PENDAHULUAN
HIV (Human Immunodeficiancy Virus) yang ditemukan tahun 1981 di Afrika ini
merupakan virus penyebab dari AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) yang
tergolong sebagai virus RNA. Target sel dari virus ini adalah semua sel sistem imun atau
sistem saraf sentral (SSS) yang mengandung reseptor CD4 dan co-reseptor yang sesuai,
misalnya limfosit T, T helper, monosit, macrofag, eosinofil, sel dendrit dari SSS, dan sel
microglia dari sistem saraf sentral.1,4
AIDS adalah suatu sindrom atau kumpulan gejala penyakit infeksi oportunistik
atau kanker tertentu akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh karena infeksi dari HIV.
Karena kehilangan kekebalan tubuh, penderita AIDS mudah terkena berbagai infeksi dari
jamur, bakteri, jamur, parasit, virus tertentu yang bersifat oportunis, bahkan keganasan
seperti sarkoma Kaposi, dan limfoma yang hanya menyerang otak.2,3
Epideminya makin luas di kalangan pemakai obat intravena secara bergantian,
pasangan seksual yang bergantian, dan kaum homoseksual. Sekarang penyakit ini bahkan
sudah ada di tengah masyarakat luas, sepanjang jalan, pantai, sungai, desa – desa, dan
kota besar / kecil. AIDS digolongkan dalam penyakit menular seksual dikarenakan
penularannya sebagian besar oleh karena hubungan seksual.4
Di Indonesia sejak tahun telah terjadi peningkatan jumlah ODHA pada kelompok
orang berprilaku risiko tinggi tertular HIV yaitu penjaja seks komersial dan penyalah
guna NAPZA suntikan di beberapa provinsi seperti DKI Jakarta, Riau, Bali, Jawa Barat
dan Jawa Timur sehingga provinsi tersebut tergolong sebagai daerah dengan tingkat
epidemi terkonsentrasi (concentrated level of epidemic). Tanah Papua sudah memasuki
tingkat epidemi meluas (generalized epidemic). Hasil estimasi tahun 2009, di Indonesia
terdapat 186.000 orang dengan HIV positif.10
AIDS adalah suatu penyakit yang kronik, progressive, dan sangat berbahaya
karena dapat menimbulkan banyak komplikasi infeksi oportunis yang dapat
menyebabkan kematian, oleh karena itu penting halnya untuk tahu bagaimana
patogenesis dari virus HIV dalam menginfeksi tubuh manusia. Dengan diketahuinya
patogenesis dari virus HIV, obat untuk mengatasi virulensi dari virus HIV pun makin
1
dikembangkan. Namun obat – obatan yang dikembangkan saat ini masih belum bisa
untuk menyembuhkan penderita HIV dengan sempurna. Oleh karena itu obat – obatan
yang dikenal sebagai “Anti Retro Viral Drugs (ARV)” ini masih dikembangkan dan perlu
banyak penelitian lebih lanjut. 1,2,3
HUMAN IMMUNODEFICIENY VIRUS
2
MORFOLOGI HIV
HIV (Human Immunodeficieny Virus) tergolong dalam famili retrovirus manusia
(Retroviridae) dan subfamili lentivirus. Virus HIV dibedakan menjadi 2 grup yakni HIV-
1 dan HIV-2, yang menyebabkan efek sitopatik baik secara langsung maupun tidak
langsung. Yang paling banyak menyebabkan penyakit, khususnya di United States adalah
HIV-1 yang meliputi berbagai subtipe dengan perbedaan distribusi geografik. Baik HIV-
1 maupun HIV-2 dapat menyebabkan AIDS pada manusia.5
Secara morfologi HIV memiliki diameter 100 – 150 nm dan berbentuk sferis
hingga oval karena bentuk selubung (envelope) yang menyelimuti partikel virus (core).
Selubung (envelope) virus berasal dari membran sel inang yang sebagian besar tersusun
dari lipid.6 Dan pada selubung terdapat glikoprotein yang menonjol – nonjol dari
membran sel. Glikoprotein yang menonjol – nonjol di envelope virus ini terdiri dari
gp120 dan gp41 yang berperan sebagai reseptor untuk melekat (binding) pada reseptor
pada membran sel inang. Gp41(glikoprotein 41) menembus lapisan fosfolipid virus dan
menjadi bagian dari reseptor membran virus, sedangkan gp120 (glikoprotein 120)
3
merupakan akhir dari batang gp41. Pada bagian dalam membran virus terdapat protein
matriks yang disebut p17. Lebih dalam lagi terdapat kapsid protein menyelubungi
komponen primer / inti (core) dari virus yang penting dalam replikasi virus yang disebut
p24. Di dalam inti terdapat 2 untaian RNA yang identik dengan enzim reverse
transcriptase, integrase, dan protease. Enzim reverse transcriptase berperan dalam
mengubah RNA virus menjadi DNA. Integrase mengintegrasikan DNA virus ke DNA
kromosom dari sel inang, juga memodifikasi protein virus menjadi bentuk yang dapat
digunakan. 1,2
Pada HIV terdapat protein gen – gen tambahan dibandingkan dengan jenis
retrovirus lainnya yang hanya memiliki 3 gen (gag, pol, dan env). Protein gen HIV terdiri
dari protein struktural (Gag, Pol, Env), protein regulator (Tat, Rev) dan gen aksesoris
(Vpu hanya pada HIV-1, Vpx hanya pada HIV-2, Vpr, Vif, dan nef). Adapun protein
kecil HIV yang punya banyak fungsi, nef (necessary and enforcing factor), yang
berperan agar virus dapat menghindari respon imun. Fungsi nef yang diketahui sampai
saat ini adalah downregulasi permukaan sel sehingga reseptor CD4 mengalami degradasi,
downregulasi molekul MHCI (Major Histocompatibility Class I). Dengan makin
sedikitnya reseptor CD4 dan molekul MHCI, virus dapat berproliferasi tanpa risiko
mendapat serangan dari respon imun intrasel maupun ekstrasel. Nef juga berperan dalam
memberi sinyal dan aktivasi produksi virus, dan meningkatkan daya infeksi dari virus
dengan menghancurkan barrier sel seperti mendegradasi proteosom saat insersi virus ke
dalam sel inang (host). Inilah yang menyebabkan progresivitas dari penyakit AIDS.
Dapat dikatakan tanpa adanya nef, progresivitas penyakit AIDS tidak mungkin terjadi.1
TARGET SEL
Target sel dari HIV adalah semua sel sistem imun atau sistem saraf sentral (SSS)
yang mengandung reseptor CD4 dan co-reseptor (chemokine receptor) yang sesuai pada
mebran plasma. Contohnya adalah limfosit T (co-reseptor CCR5), sel T (co-reseptor
CXCR4), monosit dan macrofag (co-reseptor CCR5), eosinofi, sel dendrit SSS (co-
reseptor CCR5), sel mikroglia SSS.1
SIKLUS HIV
4
Replikasi HIV memerlukan 6 tahap yang harus dilalui yakni :
1. Penggabungan dengan sel inang ( binding ) dan masuknya virus 1,5,7
Reseptor gp120 HIV berhubungan dengan reseptor CD4 dari sel
sistem imn atau SSS. Untuk menyelesaikan ‘binding’, kompleks gp120
berubah bentuknya sesuai dengan reseptor chemokine yang sesuai (misal
CCR5 atau CCXR4) yang juga harus dihubungkan. Hubungan dari kedua
reseptor ini (gp120 dengan reseptor CD4 dan chemokine ) dapat membuat
virus dengan aman menyatukan gp41 dengan membran sel inang sehingga
penyatuan selubung virus (envelope) dengan membran sel inang (fusion)
pun terjadi dan kapsid dari virus masuk ke dalam sitoplasma sel inang.
2. Pelepasan kapsid virus (uncoating) 1,5,7
Setelah kapsid virus hancur, 2 untai RNA, enzim reverse
transcriptase, integrase, dan protease dilepaskan dalam sitoplasma.
3. Transkripsi terbalik (reverse transcription) 1,5,7
Dengan bantuan enzim reverse transcriptase, dibuatlah komplemen
provirus berupa DNA double-helix (cDNA) yang merupakan kopi dari
RNA virus yang asli.
Integrase kemudian memotong dinukleotida guanine-thymine dari
3 rantai terakhir dari rantai panjang cDNA. Preintegration complex (PIC)
terdiri dari cDNA, integrase, protein matriks, viral protein R (Vpr), dan
protein sel inang ke dalam nukleus. Mekanisme pasti dari transport ke
membran nukleus masih belum diketahui, mungkin microtubule-actin
network yang berperan berdasarkan penelitian yang ada.
4. Integrasi ke DNA sel host 1,5,7
Dalam nukleus, integrase mengontrol penggabungan dari rantai 3-
hydroxyl provirus ke rantai 5-fosfat akhir DNA sel host. Kemudian
susunan provirus-DNA host dirapikan oleh enzim dari DNA host sendiri
dan berakhirlah proses integrasi.
5. Sintesis protein dari virus (envelope protein) 1,5
5
Enzim RNA polimerase dari host mentranskripsi genome dari virus
menjadi molekul RNA, pada tempat yang dinamakan long-terminal repeat
(LTR). Dalam proses ini faktor transkripsi pun berperan untuk
memastikan transkripsi RNA virus dari kompleks DNA host, salah
satunya adalah NF-KB (nuclear factor kappa-light-enhancer of activated
B-cells). Adapun transcriptional activator (Tat), suatu protein virus yang
sudah ada membantu dalam transkripsi mRNA dengan memperpanjang
copy dari genome virus dan mengontrol transkripsi. Tanpa Tat, mRNA
virus akan menjadi pendek. Dan Tat ini akan aktif saat NF-KB bergabung
dengan LTR.
RNA virus yang sudah ditranskripsi akan dibelah menjadi bagian
yang lebih kecil dan menjadi mRNA, atau dapat juga dalam keadaan tidak
terbelah. Rev, protein virus membantu dalam mengeluarkan RNA virus
dari nucleus. Dan ribosome dari sel host akan menerjemahkan mRNA
menjadi protein – protein virus. Protease yang dilepaskan dalam
sitoplasma waktu virus mengalami uncoating tadi akan membelah untaian
yang sudah diterjemahkan untuk menyelesaikan sintesis dari gp120, gp41,
p24, p17 dan protein – protein virus lainnya.
Sepasang RNA yang tidak terbelah dan mengandung genome HIV
sepenuhnya akan dibawa bersama dengan enzim replikasi dan protein
ketika di sitoplasma sel host. Kapsid virus akan dibentuk oleh protein p24.
Protein p17 akan berkumpul di bawah membran plasma sel host dan
membentuk matriks protein virus. Komponen – komponen ini (kapsid,
matriks, gp120, gp41) akan membentuk virus yang masih belum matang
yang akan menonjol di membran plasma sel host dan siap untuk
dilepaskan.
6. Eksositosis dari sel host 1,5
Virus yang belum matang ini akan dilepaskan ke ekstraseluler dari
sel host dengan evaginasi dari membran plasma sel host.
6
Kemudian setelah keluar, virus akan menjadi matang saat berada di ekstrasel dan
siap untuk menginfeksi sel lain.
7
ANTI RETRO VIRAL DRUGS
Obat antiretroviral (ARV) adalah pengobatan infeksi dari retrovirus, khususnya
HIV. Ketika beberapa obat, 3 atau 4 dikombinasikan, dapat disebut sebagai Highly Active
Antiretroviral Therapy atau HAART. American National Institutes of Health dan
organisasi lain merekomendasikan penawaran pengobatan antiretroviral untuk semua
pasien AIDS. Karena kekompleksan akan memilih dan mengikuti regimen, efek samping
yang berat, dan pentingnya untuk mencegah resistensi virus.9
KLASIFIKASI
Obat – obat ARV dapat dibagi menjadi 5 yakni Nucleoside Reverse Transcriptase
Inhibitor (NRTIs), Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTIs), Protease
Inhibitor (PIs), Entry / Fusion Inhibitor (EIs / PIs), Integrase Strand Trasfer Inhibitor
(INSTIs). Sebagaimana telah dibahas sebelumnya mengenai proses replikasi virus, obat –
obat ARV ini bekerja untuk menghambat proses replikasi virus pada tahap masing –
masing yang berbeda.1
Berikut adalah tabel pengelompokan obat – obatan ARV, tahun penerimaan oleh FDA, contoh (dengan nama generik), dan mekanisme kerjanya
Klasifikasi obat
ARV
Pertama kali
diterima
oleh FDA
USA
Contoh (Nama Generik) Mekanisme kerja
Nucleoside
Reverse
Transcriptase
Inhibitors (NRTIs)
1987 lamivudine, abacavir,
zidovudine, stavudine,
didanosine, tenofovir,
emtricitabine
Menghambat proses
reverse transcription
dengan mengisi nukleotida
yang salah ke untai DNA
virus yang menghasilkan
terminasi dari DNA
8
Non-Nucleoside
Reverse
Transcriptase
Inhibitors
(NNRTIs)
1997 delavirdine, efavirenz,
etravirine, nevirapine
Menghambat enzim reverse
trascriptase dengan
bergabung secara langsung
ke enzim dan
mempengaruhi fungsi dari
enzim tersebut
Protease
Inhibitors (PIs)
1995 amprenavir, fosamprenavir,
atazanavir, darunavir,
indinavir, nelfinavir,
ritonavir, saquinavir,
tipranavir, lopinavir/ritonavir
Menghalangi pembentukan
virus dengan menghambat
enzim protease
Entry/Fusion
Inhibitors (EIs/FIs)
2003/2007 enfuvirtide, maraviroc Menghambat infeksi HIV
dari penggabungan atau
masuk ke dalam sel host
dengan memblok reseptor
Integrase Strand
Transfer Inhibitors
(INSTIs)
2007 raltegravir Menghambat integrasi dari
DNA virus ke DNA sel host
EFEK SAMPING OBAT ARV
AIDS adalah penyakit yang kronik dan progresif, sehingga pengobatannya yang
hanya bersifat menghambat progresifitas pun memerlukan waktu yang sangat lama /
dalam jangka panjang, oleh karena itu penting untuk diketahui efek samping dari obat –
obat dari ARV itu sendiri. Hal ini dapat berpengaruh dalam menentukan kualitas hidup
seorang penderita AIDS. Berikut adalah efek – efek samping dari obat ARV berdasarkan
klasifikasinya.1
9
Efek Samping Deskripsi Gejala dan Tanda Associated
Drug Class
Dislipidemi Peningkatan lipid dalam
peredaran darah, dapat
menyebabkan penyakit
jantung dan pancreatitis
Tidak ada gejala maupun
tanda
NRTIs,
NNRTIs, PIs
Hepatotoksik Kondisi spesifik :
Hepatitis – peradangan
dari hepar
Nekrosis hepar – kematian
dari sel hepar
Steatosis hepar – terlalu
banyaknya lemak pada
hati, mungkin terkait
dengan asidosis laktat
Mual, muntah, nyeri abdomen,
hilang nafsu makan, diare,
pusing, lemah, ikterik,
hepatomegali
NRTIs,
NNRTIs, PIs
Hiperglikemi Peningkatan kadar gula
darah sehubungan dengan
resistensi insulin atau bila
pankreas tidak membuat
insulin yang cukup
Peningkatan frekwensi buang
air kecil, haus dan lapar yang
berlebih, kehilangan berat
badan yang tidak dapat
dijelaskan
PIs
Asidosis Laktat Kondisi yang mengancam
nyawa yang disebabkan
penumpukan asam laktat
dalam aliran darah yang
lebih cepat dibandingkan
penghilangannya
Mual yang persisten, muntah,
nyeri perut, capek yang tidak
dapat dijelaskan, nafas yang
pendek dan cepat,
pembesaran hati, kaki dan
tangan menjadi dingin / biru,
denyut jantung abnormal,
kehilangan berat badan
NRTIs
Lipodistrofi Juga disebut redistribusi
lemak. Gangguan dalam
proses produksi,
penggunaan, dan
Akumulasi lemak pada leher
belakang dan bahu atas
(“buffalo hump”), payudara,
abdomen (“protease paunch”
NRTIs,
NNRTIs,
PIs, INSTIs
10
penyimpanan lemak tubuh atau “crixivan potbelly”),
lipoma (pertumbuhan lemak di
bagian tubuh yang berbeda),
fat wasting-face (sunken
cheeks), pada tangan dan
kaki : pembuluh vena menjadi
lebih menonjol (seperti tali),
pantat
Osteonecrosis,
Osteopenia,
Osteoporosis
Osteonecrosis – kematian
tulang sehubungan
dengan buruknya aliran
darah ke area
Osteopenia- bone mineral
density (BMD) yang
kurang dari normal
Osteoporosis- penurunan
BMD dari waktu ke waktu
Osteonecrosis- nyeri pada
area yang terkena, range of
motion (ROM) yang terbatas,
kaku sendi, spasme otot
Osteopenia- tidak ada gejala
maupun tanda
Osteoporosis- nyeri
punggung, penurunan berat
badan dari waktu ke waktu,
postur bungkuk, fraktur
NRTIs,
NNRTIs, PIs
Stevens-Johnson
Syndrome and
Toxic Epidermal
Necrolysis
(SJS/TEN)
Kondisi yang mengancam
jiwa yang mempengaruhi
kulit di mana epidermis
terlepas dari dermis. TEN
berbeda dari SJS dalam
lingkup kerusakan kulit-
TEN melibatkan
setidaknya 30% dari total
area kulit tubuh
Bintik – bintik merah datar
atau menonjol pada kulit yang
berkembang menjadi lecet di
tengah, lecet di mulut, mata,
genital, atau daerah lembab
tubuh lainnya. Pengelupasan
kulit yang menyebabkan
kesakitan, demam, sakit
kepala, dan malaise
NRTIs,
NNRTIs, PIs
Sebelum mendapat terapi ARV pasien harus dipersiapkan secara matang dengan
konseling kepatuhan karena terapi ARV akan berlangsung seumur hidupnya.10
Pemantauan laboratorium diindikasikan berdasarkan gejala yang ada sangat
dianjurkan untuk memantau keamanan dan toksisitas pada ODHA yang menerima terapi
11
ARV. Hanya apabila sumberdaya memungkinkan maka dianjurkan untuk pemeriksaan
viral load pada pasien tertentu untuk mengkonfirmasi adanya gagal terapi menurut
kriteria klinis dan imunologis. Pemeriksaan laboratorium yang ideal sebelum memulai
ART bila sumber daya memungkinkan seperti darah lengkap, jumlah CD4, SGOT /
SGPT, kreatinin serum, urinalisa, HbsAg, anti HCV, profil lipid serum, gula darah,
VDRL / TPHA / PRP, rontgen dada, tes kehamilan, PAP smear, jumlah virus / Viral
Load RNA HIV dalam plasma.10
Untuk ODHA yang akan memulai terapi ARV dalam keadaan jumlah CD4 di
bawah 200 sel/mm3 maka dianjurkan untuk memberikan Kotrimoksasol (1x960 mg
sebagai pencegahan / profilaksis infeksi sekunder) 2 minggu sebelum terapi ARV. Hal ini
dimaksudkan untuk : 10
1. Mengkaji kepatuhan pasien untuk minum obat
2. Menyingkirkan kemungkinan efek samping tumpang tindih antara kotrimoksasol
dan obat ARV (mengingat obat ARV punya efek samping yang sama dengan efek
samping kotrimoksasol)
Alasan mengapa dipilih kotrimoksasol adalah beberapa penelitian telah
membuktikan efektifitas pengobatan pencegahan kotrimoksasol dalam menurunkan
angka kematian dan kesakitan pada orang yang terinfeksi HIV. Hal tersebut dikaitkan
dengan penurunan insidensi infeksi bakterial, parasit (Toxoplasma) dan Pneumocystis
carinii pneumonia (disingkat PCP). Pengobatan seperti ini dapat disebut sebagai
Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol (PPK).5,10
PPK dianjurkan bagi :5,10
1. ODHA yang bergejala (stadium klinis 2,3, atau 4) termasuk wanita hamil dan
menyusui. Walau teorinya kotrimoksasol dapat menimbulkan kelainan kongenital,
namun risiko wanita hamil dengan jumlah CD4 yang rendah (<200) sangat tinggi
bahkan dapat mengancam jiwa.
2. ODHA dengan jumlah CD4 di bawah 200 sel/mm3
12
Terdapat 2 macam pengobatan pencegahan yaitu profilaksis primer dan
profilaksis sekunder :10
1. Profilaksis primer adalah pengobatan pencegahan untuk mencegah suatu infeksi
yang belum pernah diderita
2. Profilaksis sekunder adalah pemberian pengobatan pencegahan yang ditujukan
untuk mencegah berulangnya suatu infeksi yang pernah diderita sebelumnya
SAAT MEMULAI ARV
1. Bila tidak tersedia pemeriksaan CD4 :
a. Penentuan berdasarkan penilaian klinis
2. Bila tersedia pemeriksaan CD4 :
a. Semua pasien dengan jumlah CD4 < 350 sel/mm3 tanpa memandang
stadium klinis
b. Semua pasien TB aktif, ibu hamil dan koinfeksi Hepatitis B tanpa
memandang jumlah CD4
Target Populasi Stadium Klinis Jumlah sel CD4 Rekomendasi
ODHA dewasa Stadium klinis 1
dan 2
>350 sel/mm3 Belum mulai
terapi. Monitor
gejala klinis dan
jumlah CD4 setiap
6 – 12 bulan
<350 sel/mm3 Mulai terapi
Stadium klinis 3
dan 4
Berapapun jumlah
sel CD4
Mulai terapi
Pasien dengan ko-
infeksi TB
Stadium klinis
apapun
Berapapun jumlah
sel CD4
Mulai terapi
Pasien dengan
ko-infeksi
Hepatitis B
Kronik aktif
Stadium klinis
apapun
Berapapun jumlah
sel CD4
Mulai terapi
13
Ibu Hamil Stadium klinis
apapun
Berapapun jumlah
sel CD4
Mulai terapi
Panduan yang digunakan pemerintah dalam pengobatan ARV berdasarkan 5
aspek yaitu : 10
Efektivitas
Efek samping / toksisitas
Interaksi obat
Kepatuhan
Harga obat
Prinsip dalam pemberian ARV adalah : 10
1. Paduan obat ARV harus menggunakan 3 jenis obat yang terserap dan berada
dalam dosis terapeutik. Prinsip tersebut untuk menjamin efektivitas penggunaan
obat.
2. Membantu pasien agar patuh minum obat antara lain dengan mendekatkan akses
pelayanan ARV .
3. Menjaga kesinambungan ketersediaan obat ARV dengan menerapkan manajemen
logistik yang baik.
Panduan ARV lini Pertama
Pemilihan obat ARV lini pertama yang dianjurkan adalah :
2 NRTI + 1 NNRTI
Panduan untuk memulai terapi ARV dengan salah satu kombinasi :10
AZT + 3TC + NVP (Zidovudine + Lamivudine + Nevirapine) ATAU
AZT + 3TC + EFV (Zidovudine + Lamivudine + Efavirenz) ATAU
TDF + 3TC (atau FTC)
+ NVP
(Tenofovir + Lamivudine (atau
Emtricitabine) + Nevirapine)
ATAU
14
TDF + 3TC (atau FTC)
+ EFV
(Tenofovir + Lamivudine (atau
Emtricitabine) + Efavirenz)
Untuk panduan lini pertama yang direkomendasikan untuk penderita yang belum
pernah mendapat terapi ARV (treatment-naive) dapat dilihat pada tabel berikut :10
Populasi Target Pilihan yang
direkomendasikan
Catatan
Dewasa dan anak AZT atau TDF + 3TC
(atau FTC) + EFV atau
NVP
Merupakan pilihan
paduan yang sesuai untuk
sebagian besar pasien.
Gunakan FDC jika
tersedia
Perempuan hamil AZT + 3TC + EFV atau
NVP
Tidak boleh
menggunakan EFV pada
trimester pertama. TDF
bisa merupakan pilihan
Ko-infeksi HIV/TB AZT atau TDF + 3TC
(FTC) + EFV
Mulai terapi ARV segera
setelah terapi TB dapat
ditoleransi (antara 2
minggu hingga 8
minggu). Gunakan NVP
atau triple NRTI bila
EFV tidak dapat
digunakan
Ko-infeksi HIV /
Hepatitis B kronik aktif
TDF + 3TC (FTC) +
EFV atau NVP
Pertimbangkan
pemeriksaan HbsAg
terutama bila TDF
merupakan paduan lini
pertama. Diperlukan
penggunaan 2 ARV yang
15
memiliki aktivitas anti -
HBV
panduan penggunaan terapi arv lini pertama dan pertimbangannya :
1. Mulai dan menghentikan NNRTI (Non-Nucleoside Reverse Transcriptase
Inhibitor) 10
a. Nevirapine (NVP) dimulai dengan dosis awal 200 mg tiap 24 jam
selama 14 hari pertama dalam panduan ARV lini pertama bersama
AZT atau TDF + 3TC. Bila tidak ada toksisitas hati, dosis dinaikkan
jadi 200 mg tiap 12 jam pada hari ke-15 dan selanjutnya. Dosis awal
bertujuan untuk mengurangi risiko terjadi ruam dan hepatitis karena
NVP yang muncul dini. Selama 2 minggu pertama terapi, NVP
menginduksi metabolismenya sendiri. Bila berhenti lebih dari 14 hari,
terapi dimulai lagi dengan dosis awal.
b. Cara menghentikan NNRTI :10
i. Stop NVP aau EFV
ii. Teruskan NRTI (2 obat ARV saja) selama 7 hari setelah
penghentian NVP dan EFV, kemudian hentikan semua obat. Ini
untuk mengisi waktu paruh NNRTI yang panjang dan menurunkan
risiko resistensi NNRTI
c. Efek samping NVP dan EFV :5,10
i. NVP : ruam kulit, sindrom Steven-Johnson dan hepatotoksik
yang lebih tinggi dari EFV. Oleh karena itu dalam keadaan reaksi
kulit atau hepar yang berat, NVP harus dihentikan dan tidak boleh
dimulai lagi. Untuk ibu hamil trisemester 1 berikan NVP atau
Protease Inhibitor.
ii. EFV : berhubungan dengan SSP (Sistem Saraf Pusat) dan
kemungkinan teratogenik bila diberikan pada trisemester 1 (tidak
pada trisemester 2 dan 3), ruam kulit ringan. Gejala SSP yang
sementara sering menyebabkan penghentian obat oleh pasien.
Merupakan NNRTI pilihan pada ko-infeksi TB/HIV yang
mendapat terapi berbasis Rifampisin
16
2. Pemberian NRTI :10
a. Pemberian Triple NRTI
i. Hanya digunakan bila pasien tidak dapat menggunakan ARV
berbasis NNRTI seperti :
1. Ko-infeksi TB/HIV terkait dengan interaksi terhadap
Rifampisin
2. Ibu Hamil, terkait dengan kehamilan dan ko-infeksi
TB/HIV
3. Hepatitis, terkait dengan efek hepatotoksik karena
NVP/EFV/ Protease Inhibitor
ii. Anjuran triple NRTI : AZT + 3TC + TDF
iii. Hanya dibatasi 3 bulan saja karena supresi virologisnya kurang
kuat
b. Efek samping AZT dan TDF :5,10
i. AZT : anemi dan intolerans gastrointestinal
ii. TDF : nefrotoksik, sindroma Fanconi
c. Stavudin (d4T) :5,10
i. ARV golongan NRTI yang poten
ii. Keuntungan : untuk memulai tidak memerlukan laboratorium dan
harga yang relatif terjangkau dibanding NRTI lain seperti
Zidovudine (AZT), Tenofovir (TDF), maupun Abacavir (ABC)
iii. Efek samping : lipodistrofi dan neuropati perifer permanen yang
menyebabkan cacat dan asidosis laktat yang menyebabkan
kematian
iv. Tahun 2010 WHO merekomendasikan secara bertahap mengganti
penggunaanya dengan Tenofovir (TDF)
d. Protease Inhibitor (PI)
i. Sebenarnya hanya digunakan sebagai lini kedua
ii. Digunakan hanya bila pasien mengalami intoleransi terhadap
NNRTI
17
3. Sindrom Pulih Imun (SPI) atau IRIS (Immune Reconstitution Syndrome)5,10
a. Definisi :
Adalah perburukan kondisi klinis sebagai akibat respon inflamasi
berlebihan saat pemulihan respon imun setelah pemberian terapi
antiretroviral (ODHA dengan respon baik terhadap ARV).
b. Manifestasi Klinis :
i. Infeksi : tersering
ii. Non infeksi
c. Patofisiologi :
Belum diketahui dengan jelas, diduga karena respon imun berlebihan dari
pulihnya sistem imun terhadap rangsangan antigen tertentu setelah
pemberian ARV.
d. Insidens : berdasarkan meta analisis 16.1%
e. Klasifikasi :
i. Unmasking IRIS : pada pasien yang tidak terdiagnosis dan tidak
mendapat terapi untuk infeksi oportunistiknya dan langsung
mendapatkan terapi ARV-nya.
ii. Paradoksikal IRIS : pasien telah mendapatkan pengobatan untuk
infeksi oportunistiknya dan mengalami perburukan dari penyakit
infeksinya tersebut .
f. Faktor risiko :
i. Jumlah CD4 yang rendah saat mulai ARV
ii. Jumlah virus RNA HIV yang tinggi saat mulai ARV
iii. Banyak dan berat infeksi oportunistik
iv. Penurunan jumlah virus RNA HIV yang cepat selama terapi
v. Belum pernah mendapat ARV saat diagnosis infeksi oportunistik
vi. Pendeknya jarak waktu antara memulai terapi infeksi oportunistik
dan memulai terapi ARV
g. Tatalaksana :
18
i. pengobatan patogen penyebab untuk menurunkan jumlah antigen
dan meneruskan terapi ARV
ii. Antiinflamasi : AINS maupun steroid dapat diberikan (dosis
prednisolon belum pasti, sekitar 0.5-1 mg/kg/hari)
Panduan Terapi ARV Lini Kedua
Rekomendasi panduan lini kedua adalah :
2 NRTI + boosted-PI
Boosted-PI adalah satu obat dari golongan Protease Inhibitor (PI) yang sudah
ditambahi (boost) dengan Ritonavir sehingga obat tersebut akan ditulis dengan kode .../r
(misal LPV/r = Lopinavir / ritonavir). Penambahan Ritonavir ini dimaksudkan untuk
mengurangi dosis obat PI, karena tanpa Ritonavir dosis yang diperlukan akan menjadi
tinggi sekali.
Lini kedua yang disediakan pemerintah gratis adalah :
TDF atau AZT + 3TC + LPV/r
Populasi Target dan ARV yang digunakan Pilihan paduan ARV
pengganti yang
direkomendasikan
Dewasa (termasuk
perempuan hamil)
Bila menggunakan AZT
sebagai lini pertama
TDF +3TC atau FTC + LPV/r
Bila menggunakan TDF
sebagai lini pertama
AZT + 3TC + LPV/r
Ko-infeksi TB/HIV Mengingat rifampisin tidak
dapat digunakan bersamaan
dengan LPV/r, dianjurkan
menggunakan paduan OAT
19
tanpa rifampisin. Jika
rifampisin perlu diberikan
maka pilihan lain adalah
menggunakan LPV/r dengan
dosis 800 mg/200 mg dua kali
sehari). Perlu evaluasi fungsi
hati ketat jika menggunakan
Rifampisin dan dosis ganda
LPV/r
Ko-infeksi HIV/HBV AZT + TDF + 3TC (FTC) +
LPV/r
(TDF + (3TC atau FTC)) tetap
digunakan meski sudah gagal
di lini pertama karena
pertimbangan efek anti-HBV
dan untuk mengurangi risiko
“flare‟
TERAPI ANTIRETROVIRAL PADA POPULASI KHUSUS
1. Untuk Ibu Hamil10
No Situasi Klinis Rekomendasi Pengobatan
(Panduan untuk Ibu)
1 ODHA dengan indikasi terapi
ARV dan kemungkinan hamil
atau sedang hamil
AZT + 3TC + NVP atau
TDF + 3TC(atau FTC) +
NVP
Hindari EFV pada trimester pertama
AZT + 3TC + EVF* atau
20
TDF + 3TC (atau FTC /
Emtricitabine) + EVF*
2 ODHA sedang menggunakan
terapi ARV dan kemudian
hamil
Lanjutkan paduan (ganti
dengan NVP atau golongan
PI jika sedang menggunakan
EFV pada trimester I)
Lanjutkan dengan ARV
yang sama selama dan
sesudah persalinan
3 ODHA hamil dengan jumlah
CD4 > 350/mm3 atau dalam
stadium klinis 1.
ARV mulai pada minggu ke 14
Kehamilan.
Paduan sesuai dengan butir 1
4 ODHA hamil dengan jumlah
CD4 < 350/mm3 atau dalam
stadium klinis 2, 3 atau 4
Segera Mulai Terapi ARV
5 ODHA hamil dengan
Tuberkulosis aktif
OAT yang sesuai tetap diberikan
Paduan untuk ibu, bila pengobatan
mulai trimester II dan III:
AZT (TDF) + 3TC + EFV
6 Ibu hamil dalam masa
persalinan dan
tidak diketahui status HIV
Tawarkan tes dalam masa
persalinan; atau tes setelah
persalinan.
Jika hasil tes reaktif maka
dapat diberikan paduan pada
butir 1
7 ODHA datang pada masa
persalinan dan belum
mendapat Terapi ARV
Paduan pada butir 1
2. Untuk Ko-Infeksi Hepatitis B (HBV) dan Hepatitis C (HCV)10
Hepatitis B
21
Pengobatan HIV dan HBV menggunakan obat yang sama yakni Tenofovir
(TDF), Lamivudine (3TC), dan Emtricitabine (FTC)
Perlu diwaspadai timbul flare (hepatic flare) pada pasien ko-infeksi
HIV/Hep B jika pengobatan HIV menggunakan TDF / 3TC dihentikan
karena alasan apapun
Mulai pengobatan tanpa memandang CD4 atau stadium klinis
Obat : TDF + 3TC atau FTC
Hepatitis C
Substitusi sementara Zidovudine (AZT / ZDV) dan Stavudine (d4T)
dengan TDF (Tenofovir)
Dianjurkan mulai saat CD4 < 350 sel/mm3 dan setelah terapi ARV stabil
untuk mencapai tingkat SVR (Sustained Virological Response) yang lebih
tinggi
Obat : sama dengan pengobatan HIV pada dewasa, hanya perlu
pemantauan fungsi hepar
Pemantauan pengobatan :
o Serum transaminase tiap minggu selama 4 minggu, selanjutnya tiap
bulan atau jika perlu
o Jumlah HCV RNA setelah pengobatan 4 minggu, 12 minggu, 24
minggu, dan 48 minggu untuk melihat respon virologi
Respon Virologi Pengobatan Hepatitis C :
Respon Virologi Definisi
Rapid virological response
(RVR)
HCV RNA tidak terdeteksi pada pengobatan
minggu ke 4
Early virological response
(EVR)
Penurunan HCV RNA > 2 log dibandingkan
dengan data dasar atau HCV RNA menjadi tidak
terdeteksi pada pengobatan minggu ke 12.
(Complete EVR)
22
End-of-treatment response
(ETR)
HCV RNA menjadi tidak terdeteksi pada minggu
ke 24 atau 48
Sustained virological
response (SVR)
HCV RNA tetap tidak terdeteksi 24 minggu setelah
penghentian pengobatan
Breakthrough HCV RNA timbul kembali sementara dalam
pengobatan
Relapse HCV RNA timbul kembali setelah pengobatan
dihentikan
Non Responder Gagal untuk clearance HCV RNA setelah 24
minggu pengobatan
Null responder Penurunan < 2 log HCV RNA setelah 24 minggu
pengobatan
Partial responder Penurunan > 2 log HCV RNA dan HCV RNA
masih terdeteksi setelah 24 minggu pengobatan
3. Untuk Ko-Infeksi Tuberkulosis (TBC)10
Mulai terapi ARV
CD4 Paduan yang Dianjurkan Keterangan
Berapapun
jumlah CD4
Mulai terapi TB.
Gunakan paduan yang mengandung
EFV (AZT atau TDF) + 3TC + EFV
(600 mg/hari).
Setelah OAT selesai maka bila perlu
EFV dapat diganti dengan NVP.
Pada keadaan dimana paduan berbasis
NVP terpaksa digunakan bersamaan
dengan pengobatan TB maka NVP
diberikan tanpa lead-in dose (NVP
diberikan tiap 12 jam sejak awal
terapi)
Mulai terapi ARV segera
setelah terapi TB dapat
ditoleransi (antara 2
minggu hingga 8 minggu)
23
CD4 tidak
mungkin
diperiksa
Mulai terapi TB. Mulai terapi ARV segera
setelah terapi TB dapat
ditoleransi (antara 2
minggu hingga 8 minggu)
Panduan ARV untuk ODHA yang terdiagnosis TB setelah terapi ARV lini
pertama :
Panduan
ARV
Panduan ARV pada
saat TB muncul
Pilihan Terapi ARV
Lini pertama 2 NRTI + EFV Teruskan dengan 2 NRTI + EFV
2 NRTI + NVP Ganti dengan EFV atau teruskan
dengan 2 NRTI + NVP. Triple NRTI
dapat dipertimbangkan digunakan
selama 3 bulan jika NVP dan EFV tidak
dapat digunakan
Lini kedua 2 NRTI + PI/r Mengingat rifampicin tidak dapat
digunakan bersamaan dengan LPV/r,
dianjurkan menggunakan panduan OAT
tanpa rifampicin. Jika rifampicyn perlu
diberikan maka pilihan lain adalah
mengurangi gi LPV/r dengan dosis 800
mg/200 mg 2 kali sehari). Perlu
evaluasi fungsi hati ketat jika
menggunakan Rifampicyn dan dosis
ganda LPV/r
4. Untuk Pengguna NAPZA Suntik 10
Panduan pengobatan ARV umumnya sama dengan rekomendasi umum.
Hanya saja perlu dipantau interaksi obat NAPZA dengan ARV seperti Metadon.
5. Untuk Individu Dengan Penggunaan Metadon10
24
Pemberian metadon bersamaan dengan EFV, NVP, atau RTV untuk
ODHA dengan riwayat NAPZA berakibat menurunnya kadar metadon dalam
darah dan tanda ketagihan opiat. Pemantauan tanda ketagihan harus dilakukan dan
dosis metadon perlu dinaikkan ke tingkat yang sesuai untuk mengurangi gejala
ketagihan tersebut.
Sangat direkomendasi untuk memulai terapi ARV tanpa harus
menghentikan metadon dan sebaliknya. Karena ARV bukan merupakan
kontraindikasi dari orang yang masih menggunakan metadon untuk terapi
rumatan.
Panduan yang direkomendasi adalah AZT atau TDF + 3TC + EFV atau
NVP
6. Untuk Nefropati yang berhubungan dengan HIV (HIV – associated
nephropathy = HIVAN)10
a. HIVAN biasanya ditemukan pada stadium lanjut HIV dan ditemukan
dalam berapapun jumlah CD4.
b. Semua pasien HIV dengan proteinuri perlu dicurigai sebagai HIVAN
c. HIVAN hanya didiagnosis berdasarkan biopsi ginjal
d. Panduan yang dianjurkan AZT + 3TC + EFV atau NVP
e. TDF tidak digunakan karena efek sampingnya pada fungsi ginjal
f. Mulai terapi pada kasus HIVAN tanpa memandang CD4
7. Untuk Profilaksis Pasca Pajanan (PPP atau Post Exposure Prophylaxis =
PEP)10
a. Contoh : perkosaan, pecah kondom saat hubungan intim, kasus pajanan di
tempat kerja
b. Waktu terbaik diberikan sebelum 4 jam, maksimal 48 – 72 jam setelah
kejadian, selama 1 bulan pemberian dan perlu dilakukan tes HIV sebelum
mulai PPP
i. Tidak diberikan untuk tujuan PPP bila tes HIV reaktif (karena
sudah positif sebelum kejadian)
25
ii. Pemantauan efek samping ARV
iii. Tes HIV ulang pada bulan ke 3 dan 6 setelah pemberian PPP
c. Bila menderita Hepatitis B, PPP yang digunakan sebaiknya mengandung
TDF / 3TC untuk mencegah terjadinya hepatic flare
d. Nevirapine (NVP) tidak digunakan untuk PPP
PEMANTAUAN PASIEN DALAM TERAPI ARV
1. Pemantauan Klinis
a. Frekwensi pemantauan klinis tergantung dari respon terapi ARV. Batasan
minimalnya perlu dilakukan pada minggu 2, 4, 8, 12 dan 24 minggu sejak
memulai ARV kemudian setiap 6 bulan bila pasien telah stabil.
b. Yang dinilai adalah tanda dan gejala efek samping obat, gagal terapi,
frekwensi infeksi oportunistik, konseling ke pasien untuk memahami
terapi ARV dan dukungan kepatuhan
2. Pemantauan Laboratoris
a. Pemantauan CD4 rutin tiap 6 bulan atau bila ada indikasi klinis. Angka
limfosit total (TLC = Total Lymphocyte Count) digunakan untuk
memprediksi keberhasilan terapi, bukan untuk memantau terapi.
b. Untuk pasien yang akan mulai terapi dengan AZT perlu untuk dilakukan
pengukuran kadar Hemoglobin (Hb) sebelum mulai terapi, minggu ke 4, 8,
12 sejak mulai terapi atau ada indikasi gejala anemia.
c. Pengukuran enzim transaminase dan kimia darah lain perlu dilakukan bila
ada tanda dan gejala, bukan berdasar sesuatu yang rutin. Namun bila
menggunakan NVP untuk wanita dengan CD4 250-350 sel/mm3 perlu
dilakukan pemantauan enzim transaminase pada minggu 2, 4, 8, 12 sejak
mulai ARV
d. Evaluasi fungsi ginjal perlu pada pasien yang mendapat TDF
e. Hiperlaktatemi dan asidosis laktat pada pasien yang mendapat NRTI,
terutama d4T. Tidak dianjurkan untuk pemeriksaan rutin, kecuali pasien
menunjukkan gejala.
26
f. PI (Protease Inhibitor) mempengaruhi metabolisme glukosa dan lipid.
Pemeriksaan dianjurkan bila bergejala.
g. Viral Load (VL) tidak dianjurkan sampai sekarang karena keterbatasan
fasilitas dan kemampuan pasien. Pemeriksaan VL digunakan untuk
membantu diagnosis gagal terapi, dan ini dapat memprediksi gagal terapi
lebih awal. Harapan terapi ARV dapat menurunkan VL menjadi tidak
terdeteksi (undetectable) setelah bulan ke 6
3. Pemantauan jumlah CD4
a. ARV meningkatkan jumlah CD4
b. Dapat tidak terjadi terutama pada pasien jumlah CD4 sangat rendah.
Namun bukan menutup kemungkinan pasien mencapai pemulihan, hanya
perlu waktu yang lebih lama.
c. Curiga gagal obat secara imunologis bila CD4 pasien tidak pernah
mencapai 100 sel/mm3, atau pernah tinggi kemudian turun perlahan –
lahan secara progresif tanpa ada penyakit lain.
4. Kematian dalam terapi ARV
a. Penyebab kematian pasien :
i. Penanganan infeksi oportunis yang tidak adekuat
ii. Efek samping ARV yang berat (misal SJS)
iii. Gagal fungsi hati stadium akhir (ESLD – End Stage Liver Disease)
SUBSTITUSI OBAT ARV PADA TOKSISITAS DAN INTOLERANSI
Obat ARV Toksisitas yang Sering Terjadi Anjuran Substitusi
AZT Anemia berat atau netropenia
Intoleransi GI yang persisten
TDF
d4T Asidosis laktat
Lipoatrofi/ sindrom metabolik,
neuropati perifer
TDF, AZT
27
TDF Toksisitas renal (disfungsi tubuler) AZT
EFV Toksisitas SSP persisten dan berat NVP. Jika NVP tidak dapat
diberikan karena adanya riwayat
hepatotoksik atau hipersensitifitas
berat, dapat dipertimbangkan
disubstitusi dengan PI
Potensi teratogenik (pada
kehamilan trimester pertama atau
perempuan tanpa kontrasepsi yang
memadai)
NVP Hepatitis EFV. Jika EFV tidak dapat
diberikan karena tetap
menyebabkan hepatotoksik, dapat
dipertimbangkan disubstitusi
dengan PI
Reaksi hipersensitif tidak berat
(derajat 1- 2)
Jika memburuk dengan
diteruskannya NVP, substitusi
dengan EFV. Jika tetap
memberikan reaksi
hipersensitivitas, dapat
dipertimbangkan disubstitusi
dengan PI
Ruam kulit berat yang mengancam
jiwa (Stevens-Johnson syndrome)
Hentikan NVP dahulu, lalu NRTI
dihentikan 7 hari kemudian.
Substitusi dengan PI
Kriteria Gagal Terapi Menurut WHO :
Kegagalan
Terapi
Kriteria Keterangan
Kegagalan
klinis
Pasien telah mendapatkan
terapi ARV selama 6 bulan.
Kepatuhan pasien < 95 % tapi
> 80%
Evaluasi ada interaksi obat
Dalam menggunakan kriteria klinis
sebagai metoda untuk waspada terhadap
kemungkinan gagal terapi , kriteria yang
harus selalu dimasukkan adalah Pasien
mendapatkan terapi ARV dan telah
28
yang menyebabkan penurunan
ARV dalam darah.
PPE atau Prurigo timbul
kembali setelah pemberian
ARV selama 6 bulan.
Penurunan Hb sebesar >
1g/dL.
mendapatkan pengobatan selama 6 bulan,
evaluasi kepatuhan minum obat dan
evaluasi kemungkinan
adanya interaksi obat
Kegagalan
imunologis
Penurunan CD 4 kembali
seperti awal sebelum
pengobatan
ATAU
Penurunan sebesar 50 % dari
nilai tertinggi CD4 yang
pernah dicapai
ATAU
Jumlah CD4 tetap < 100
sel/mm3 setelah 1 tahun
pengobatan dengan ARV
WHO menyatakan bahwa jumlah CD4
bukan merupakan prediktor yang baik
dalam menentukan kegagalan
pengobatan. Sekitar 8 – 40 % dari pasien
yang menunjukkan kegagalan
imunologis, terbukti masih dalam kondisi
virological suppression dan tidak
memerlukan switch ke lini kedua.
Kriteria penurunan jumlah CD4 seperti
kondisi sebelum mendapatkan terapi
ARV dan penurunan jumlah CD4 sebesar
50 % dari nilai tertinggi bisa digunakan
HANYA JIKA memiliki data dasar
jumlah CD4 sebelum pengobatan
Kegagalan
virologis
Jika pasien telah mendapatkan
terapi ARV setidaknya selama
6 bulan dan pemeriksaan VL
diulang 4 – 8 minggu
kemudian didapat jumlah viral
load > 5000 copies/ml
Pada tempat layanan yang memiliki
sarana pemeriksaan viral load dan pasien
mampu menjangkau pemeriksaan viral
load, maka viral load dapat digunakan
sebagai prediktor dari kepatuhan minum
obat. Viral load diharapkan menjadi
undetectable ( < 50 copies/ml) dalam
waktu 6 bulan dengan menggunakan
paduan yang direkomendasikan. Viral
29
load diharapkan akan turun sebesar 1 – 2
log dalam waktu 2 bulan pengobatan
KESIMPULAN
HIV (Human Immunodeficiecy Virus) merupakan virus retro RNA yang dapat
menyebabkan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome). Virus ini memiliki bagian
envelope (selubung) dan core (inti) di mana pada envelope terdapat protein gp41 dan
gp120 yang membantu dalam proses infeksi virus pada sel target. Dan pada core
diselubungi oleh kapsid dan berisi materi – materi virus yang sangat penting dalam
proses replikasi virus seperti 2 untai RNA, enzim reverse transcriptase, integrase, dan
protease. Masing – masing materi tersebut memiliki fungsinya masing – masing dalam
proses replikasi virus.
Sel target dari HIV adalah semua sel sistem imun atau sistem saraf sentral (SSS)
yang mengandung reseptor CD4 dan co-reseptor (chemokine receptor) yang sesuai pada
mebran plasma seperti sel T khususnya.
Adapun reaksi dari tubuh terhadap infeksi dari virus HIV berupa respon imun
bawaan dan respon imun adaptif. Respon imun yang melibatkan sitokin – sitokin tersebut
dapat memperparah maupun menghambat perjalanan penyakit AIDS itu sendiri. Masing
– masing respon imun tersebut dapat membuat serangkaian fase dari perjalanan penyakit
dari AIDS itu sendiri di mana didapati CD4 yang akan terus menurun hingga menuju
kematian.
Dengan perkembangan zaman dan banyaknya penelitian mengenai patofisiologi
HIV, maka obat dari HIV pun dapat dibuat untuk menghambat replikasi dari HIV dan
memperlambat progresivitas dari penyakit yang dinamakan obat anti retroviral (ARV).
Obat ARV sendiri diklasifikasikan menjadi 5 yakni NNRTI (Non-Nucleoside
Reverse Transcriptase Inhibitor), NRTI (Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor), PI
30
(Protease Inhibitor), EIs / FIs (Entry / Fusion Inhibitors), INSTIs (Integrase Strand
Transfer Inhibitors). Hanya saja EIs dan INSTIs masih dalam tahap pengembangan
sehingga yang banyak dipakai adalah NNRTI, NRTI, dan PI. Masing – masing golongan
bekerja pada fase – fase dari replikasi HIV dengan sifat menghambat / menginhibisi.
Sistim pengobatan dari ARV ini sendiri tidak dapat menggunakan monoterapi
seperti pada pengobatan dari penyakit pada umumnya. Alasannya adalah pengobatan
monoterapi ditakutkan dapat menyebabkan resistensi yang menyebabkan kegagalan dari
pengobatan. Oleh karena itu pengobatan ARV menggunakan sistim kombinasi dimana
terus dikembangkan dari tahun ke tahun.
Pengobatan ARV memerlukan waktu seumur hidup dari penderita karena
pengobatan hanya bersifat menghambat progresivitas penyakit, bukan menyembuhkan
atau menghilangkan HIV dari tubuh penderita. Oleh karena itu penting halnya untuk
memperhatikan efek – efek samping yang cukup berat dari obat – obatan ARV itu sendiri
yang dapat muncul dan memperberat kondisi dari penderita, melihat sistim
pengobatannya yang juga menggunakan sistim kombinasi yang dapat memperbesar
kemungkinan munculnya efek samping obat yang dapat fatal.
Kematian dari penyakit AIDS bukan disebabkan oleh HIV namun oleh karena
infeksi oportunistik yang sangat banyak dalam satu pasien dimana penanganan infeksi
oportunistik juga tidak adekuat. Hal lain yang dapat menyebabkan kematian dari
penderita AIDS adalah akibat efek samping obat ARV itu sendiri.
Saat ini telah keluar pedoman nasional penatalaksanaan pengobatan ARV tahun
2011 di Indonesia yang cukup banyak berbeda dari tahun sebelumnya yakni tahun 2007.
Pedoman ini sekarang menjadi pegangan dalam setiap pengobatan ARV di Indonesia
sampai muncul pedoman terbaru
31
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonymus : HIV/AIDS Cell Bio. January 2012. [accessed March, 1st, 2013].
Available at url: http://pt851.wikidot.com/hiv-aids-cell-bio
2. Duarsa : Infeksi HIV dan AIDS; dalam Daili Sjaiful F, Makes Wresti Indriatmi B,
Zubier Farida, editors : Infeksi Menular Seksual; edisi ke-4, FKUI, Jakarta 2011,
hal 146 – 158
3. Unandar : HIV dan AIDS; dalam Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors : Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin; edisi ke-5, FKUI, Jakarta 2007, hal 427-432
4. Siregar RS : Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS); dalam Hartanto H,
editors : Saripati Penyakit Kulit; edisi ke-2, EGC, Jakarta 2005, 16 : Hal 310 –
315
5. Hill’s McGraw : Human Immunodeficiency Virus Disease : AIDS and Related
Disorders; dalam Fauci, dkk, editors : Harrison’s Principles of Internal Medicine;
17th edition, McGraw-Hill Companies Inc, US 2008, Chapter 182
6. Anonymus : HIV. April 2012. [accessed March, 1st, 2013]. Available at url :
http://id.wikipedia.org/wiki/HIV
7. Gandhi R : HIV Pathogenesis. 2009. [accessed March, 1st, 2013]. Available at
url :
http://www.acthiv.org/2009_presentations/HIV_The_Basics/Rajesh_Gandhi.pdf
8. International AIDS Society USA : Pathogenesis of HIV Infection: Total CD4+ T-
Cell Pool, Immune Activation, and Inflammation. 2010. [accessed March, 1st,
2013]. Available at url : http://www.iasusa.org/pub/topics/2010/issue1/2.pdf
32
9. Anonymus : Antiretroviral Drug. March 2012. [accessed March, 5th, 2013].
Available at url : http://en.wikipedia.org/wiki/Antiretroviral_drug
10. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia : Pedoman Nasional Tatalaksana
Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral Pada Orang Dewasa. 2011. [accessed
March, 5th, 2013]. Available at url : http://spiritia.or.id/Dok/pedomanart2011.pdf
33