i
RE-DIVERSIFIKASI PANGAN DI TANAH PAPUA Bagian-1
PPemanfaatan Enam Jenis Tumbuhan
Hutan Penghasil Buah sebagai Sumber
Bahan Pangan di Tanah Papua
ii
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Undang-Undang Hak Cipta Pasal 2. 1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta
untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan Pidana Pasal 72 1. Barang siapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah)
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
iii
RE-DIVERSIFIKASI PANGAN DI TANAH PAPUA Bagian-1
PPemanfaatan Enam Jenis Tumbuhan
Hutan Penghasil Buah sebagai Sumber
Bahan Pangan di Tanah Papua
Krisma Lekitoo, Ezrom Batorinding, Permenas A. Dimomonmau, Wilson F. Rumbiak
Charlie D. Heatubun dan Hanro Y. Lekitoo
Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
2012
iv
RE-DIVERSIFIKASI PANGAN DI TANAH PAPUA (Bagian-1) PPemanfaatan Enam Jenis Tumbuhan Hutan Penghasil Buah
sebagai Sumber Bahan Pangan di Tanah Papua
ISBN 978-979-8452-51-2
© Tim Penulis
Cetakan Pertama, November 2012
Peer Reviewer
Prof. Dr Evrizal A.M Zuhud, M.Sc.
Dr. Tati Rostiwati, M.Si.
Proof Reader
Ir. Agustinus P. Tampubolon, M.Sc.
Gambar sampul :
Pulau Yo� Meos, Sagu, ���������, Buah Piarawi, Buah ���, Buah Gayang, �������� dan ���������
Penerbit
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
Gedung Manggala Wanabakti Blok I Lt XI
Jl Jend. Gatot Soebroto Jakarta Pusat
www.forda-mof.org
v
“Kami mendedikasikan buku ini untuk mereka yang bekerja dengan hati
di Tanah Papua dan menaruh perhatian pada keanekaragaman
tumbuhan dan lingkungan, para mentor kami dan seluruh masyarakat di Tanah
Papua”
vi
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
vi
SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG KEHUTANAN UCAPAN TERIMAKASIH
xiii
xv
I. PENDAHULUAN
1
II. KEKAYAAN JENIS TUMBUHAN DI TANAH PAPUA 6
A. Potensi Jenis Endemik 6 B. Kondisi Saat Ini 11 C. Status Pemanfaatan oleh Etnik Papua 20
III. SUMBER PANGAN HUTAN DI TANAH PAPUA 21
A. Jenis Tumbuhan Hutan Penghasil Buah Potensial
21 B. Pemanfaatan oleh Beberapa Etnik Papua 22
IV. BUAH TAER (Anisoptera thurifera ssp. polyandra
(Bl.) Ashton) DAN PEMANFAATANNYA OLEH SUKU WONDAMA DI PULAU YOP MEOS KABUPATEN TELUK WONDAMA
25
A. Deskripsi Botani 25 B. Kondisi Sosio-Geografis 28
vii
C. Ekologi Habitat Taer 35 1. Faktor Fisiografis 36 2. Suhu Udara dan Kelembaban 38 3. Keadaan Tanah 40
D. Potensi Tegakan, Struktur Populasi dan Potensi Buah 41
1. Potensi Tegakan 41 a. Tingkat Semai 44 b. Tingkat Pancang 47 c. Tingkat Tiang 51 d. Tingkat Pohon 52
2. Struktur Populasi 54 3. Potensi Buah 57
E. Kandungan Gizi Taer 58 F. Etnobotani Taer dalam Budaya Suku Wondama 59
1. Fungsi Historis dan Pertahanan 60 2. Fungsi Ketahanan Pangan atau Konsumtif 61
G. Konservasi Tradisional 62 H. Status Konservasi 62 I. Prospek Pengembangan 64
V. BUAH PIARAWI (Haplolobus cf. monticola Husson)
DAN PEMANFAATANNYA OLEH SUKU WONDAMA DI KABUPATEN TELUK WONDAMA
67
viii
A. Deskripsi Botani 67 B. Kondisi Sosio-Geografis 70 C. Ekologi Habitat Piarawi 75
1. Faktor Fisiografis 75 2. Suhu Udara dan Kelembaban 76 3. Keadaan Tanah 77
D. Potensi Tegakan dan Buah 78 1. Potensi Tegakan 78 2. Potensi Buah 79
E. Kandungan Gizi Piarawi 80 F. Etnobotani Piarawi dalam Budaya Suku Wondama 82
1. Fungsi Historis dan Pertahanan 83 2. Fungsi Legalitas Perkawinan 84 3. Fungsi Perdamaian atau Rekonsilidasi 85 4. Fungsi Ekonomi 89 5. Fungsi Pewarisan 89
G. Konservasi Tradisional 90 H. Status Konservasi 92 I. Prospek Pengembangan 92
VI. BUAH WOTON (Sterculia shillinglawii F.v. Muell.)
DAN PEMANFAATANNYA OLEH SUKU GEBE DI PULAU GAG KABUPATEN RAJA AMPAT
95 A. Deskripsi Botani 95
ix
B. Kondisi Sosio-Geografis 98 C. Ekologi Habitat Woton 104
1. Faktor Fisiografis 104 2. Suhu Udara dan Kelembaban 106 3. Keadaan Tanah 106
D. Potensi Tegakan, Struktur Populasi dan Potensi Buah 107
1. Potensi Tegakan 107 a. Tingkat Semai 109 b. Tingkat Pancang 112 c. Tingkat Tiang 114 d. Tingkat Pohon 116
2. Struktur Populasi 118 3. Potensi Buah 120
E. Kandungan Gizi Woton 121 F. Etnobotani Woton dalam Budaya Suku Gebe 121 G. Konservasi Tradisional 124 H. Status Konservasi 124 I. Prospek Pengembangan 126
VII. BUAH GAYANG (Inocarpus fagifer Fosberg) DAN
PEMANFAATANNYA OLEH SUKU ISIRAWA DI KABUPATEN SARMI
129
A. Deskripsi Botani 129
x
B. Kondisi Sosio-Geografis 134 C. Ekologi Habitat Gayang 139
1. Faktor Fisiografis 139 2. Suhu Udara dan Kelembaban 140 3. Keadaan Tanah 141
D. Potensi Tegakan, Struktur Populasi dan Potensi Buah 142
1. Potensi Tegakan 142 a. Tingkat Semai 144 b. Tingkat Pancang 146 c. Tingkat Tiang 147 d. Tingkat Pohon 148
2. Struktur Populasi 150 3. Potensi Buah 151
E. Kandungan Gizi Buah Gayang 152 F. Etnobotani Gayang dalam Budaya Suku Isirawa 153 G. Konservasi Tradisional 156 H. Status Konservasi 157 I. Prospek Pengembangan 158
VIII. KELAPA HUTAN (Borassus heineanusBecc.) DAN
PEMANFAATANNYA OLEH SUKU MANIREM DI KABUPATEN SARMI
161
A. Deskripsi Botani 161
xi
B. Kondisi Sosio-Geografis 166 C. Ekologi Habitat Kelapa Hutan 168
1. Faktor Fisiografis 168 2. Suhu Udara dan Kelembaban 169 3. Keadaan Tanah 170
D. Potensi Tegakan, Struktur Populasi dan Potensi Buah 171
1. Potensi Tegakan 171 a. Tingkat Semai 172 b. Tingkat Pradewasa 175 c. Tingkat Dewasa 178
2. Struktur Populasi 180 3. Potensi Buah 181
E. Kandungan Gizi Kelapa Hutan 182 F. Etnobotani Kelapa Hutan dalam Budaya Suku
Manirem 184
G. Konservasi Tradisional 186 H. Status Konservasi 187 I. Prospek Pengembangan 188
IX. ANGGUR PAPUA (Sararanga sinuosa Hemsley)
DAN PEMANFAATANNYA OLEH SUKU TEPRA DI KABUPATEN JAYAPURA
192
A. Deskripsi Botani 192 B. Kondisi Sosio-Geografis 197
xii
C. Ekologi Habitat Anggur Papua 208 1. Faktor Fisiografis 209 2. Suhu Udara dan Kelembaban 209 3. Keadaan Tanah 210
D. Potensi Tegakan, Struktur Populasi dan Potensi Buah 211
1. Potensi Tegakan 211 a. Tingkat Semai 213 b. Tingkat Pradewasa 215 c. Tingkat Dewasa 218
2. Struktur Populasi 220 3. Potensi Buah 222
E. Kandungan Gizi Anggur Papua 223 F. Etnobotani Anggur Papuadalam Budaya Suku
Tepra 224
G. Konservasi Tradisional 225 H. Status Konservasi 226 I. Prospek Pengembangan 227
PENUTUP
230
DAFTAR PUSTAKA 232 GLOSARY 236 INDEKS SUBYEK 255 INDEKS NAMA ILMIAH 263 INDEKS NAMA DAERAH DAN PERDAGANGAN 266
xiii
SAMBUTAN KEPALA BADAN Papua merupakan salah satu kawasan hutan tropis di
Indonesia yang memiliki zona-zona vegetasi terlengkap di
dunia dan keanekaragaman jenis flora yang sanga tinggi.
Namun sampai saat ini kekayaan flora tersebut belum banyak
dikenal dan diketahui informasi botani, biologi dan
penyebarannya. Demikian pula dengan pemanfaatannya
dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat masih
dalam skala kecil dan bersifat tradisional.
Buku ini mengungkapkan keanekaragaman flora tanah
Papua dan pemanfaatannya oleh masyarakat tradisional dan
prospek pengembangan sebagai diversifikasi bahan pangan.
Buku ini sangat menarik, karena selain memberikan
pengetahuan tentang tumbuh-tumbuhan berguna, di
dalamnya juga akan terungkap rahasia budaya etnik Papua
yang dapat memperkaya khasanah budaya bangsa. Informasi
yang disajikan dilengkapi dengan gambar dan foto, sehingga
jelas untuk dikenal.
Penerbitan buku ini diharapkan dapat menjadi
penyedia Iptek dalam pengembangan penelitian
keanekaragaman flora dan manfaatnya (etnobotani) di
Indonesia dan khususnya di Tanah Papua. Karena,
pengetahuan lokal pemanfaatan jenis tumbuhan akan
xiv
terinternalisasi dalam budaya setiap etnik sepanjang dilakukan
proses transformasi generasi berikutnya dengan baik.
Saya sampaikan terimakasih dan penghargaan kepada
saudara Krisma Lekitoo, Ezrom Batorinding, Permenas A.
Dimomonmau, Wilson F. Rumbiak, Charlie D. Heatubun dan
Hanro Y. Lekitoo yang telah berhasil menyusun buku ini dan
semoga karya ini merupakan perintis bagi karya-karya
selanjutnya serta menjadi pendorong bagi para peneliti
lingkup Badan Litbang Kehutanan agar terus giat untuk
menghasilkan karya-karya yang bermanfaat untuk kemajuan
Ilmu Pengetahuan di Indonesia.
November , 2012
Dr. Ir. Iman Santoso, M.Sc.
xv
UCAPAN TERIMAKASIH Pada kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih
dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak
baik pribadi maupun lembaga yang telah membantu dalam
proses penerbitan buku ini. Buku ini merupakan hasil sintesa
penelitian Program Insentif Peningkatan Kapasitas Peneliti dan
Perekayasa (PKPP) selama 2 tahun berturut-turut yaitu tahun
2009 dan tahun 2010 yang merupakan hasil kerjasama Badan
Litbang Kehutanan Kementerian Kehutanan dan Kementerian
Negara Riset dan Teknologi.
Kami menyampaikan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada para pihak yang berkontribusi terhadap
penerbitan buku ini, yakni Balai Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan yang bersedia memfasilitasi karya kami; Ir. Thomas
Nifinluri, M.Sc. dan Dr. Ir. Arif Nirsatmanto (Mantan Kepala
Balai) yang telah mendukung ide-ide kami; Ir. Harisetjono,
M.Sc. selaku Kepala Balai saat ini yang telah membantu
sehingga buku ini dapat diterbitkan; Prof. Dr. Ir. Ervizal A�M.
Zuhud, M.Sc dari Institut Pertanian Bogor; Dr. Dra. Tati
Rostiwati, M.Si dari Badan Litbang Kehutanan selaku Peer
Reviewer dan Ir. Agustinus P. Tampubolon, M.Sc. selaku Proof
Reader�yang telah memberikan saran, masukan dan kritik
xvi
untuk penyempurnaan tulisan ini sehingga layak untuk
diterbitkan. Kepala Kampung Gambir di Pulau Gag, Kepala
Kampung Yop di Pulau Yop Meos, Kepala Kampung Maniwak
(Miei), Kepala Kampung Amsira dan Kepala Kampung
Tablasupa yang telah mendukung hingga kegiatan penelitian
ini dapat berlangsung; Laboratorium Tanah Fakultas Pertanian
UGM, Laboratorium Gizi dan Pangan Fakultas Teknologi
Pertanian UGM dan Herbarium Bogoriense LIPI yang telah
membantu dalam proses analisis tanah, kandungan gizi dan
genetika.
Akhirnya kami menyadari bahwa buku Rediversifikasi
Pangan di Tanah Papua (Bagian I)�: Pemanfaatan Enam Jenis
Tumbuhan Hutan Penghasil Buah sebagai Sumber Bahan
Pangan di Tanah Papua,�masih jauh dari sempurna.�Untuk itu,
kami mengharapkan saran dan kritik yang konstruktif demi
penyempurnaan buku ini dan seri selanjutnya. Semoga buku ini
memberikan manfaat dan menambah khasanah ilmu
pengetahuan tentang keanekaragaman dan manfaat flora di
Indonesia, khususnya di Tanah Papua.
Manokwari, November 2012
Tim Penulis
Hutan dan masyarakat tradisional di Papua memiliki
hubungan yang sangat erat. Keeratan tersebut nampak dalam
bentuk pemanfaatan berbagai jenis tumbuhan hutan yang mereka
gunakan. Bentuk pemanfaatan tersebut merupakan suatu
pengetahuan yang tercipta sebagai adaptasi mereka terhadap
faktor ekologis hutan tempat mereka bermukim dan karena mereka
berada di dalamnya dalam jangka waktu yang cukup lama. Kedua
faktor tersebut telah menghasilkan pengetahuan yang lingkup
penggunaanya hanya terbatas pada etnik tertentu, yang dikenal
dengan pengetahuan lokal (local knowledge). Perbedaan cara
pemanfaatan, bentuk pemanfaatan dan jenis tumbuhan yang
dimanfaatkan oleh tiap etnik sangat dipengaruhi oleh ragam zona
hutan tempat mereka bermukim. Setiap etnik, dalam hal ini, memiliki
cara pemahaman yang berbeda-beda tentang tumbuh-tumbuhan
hutan.
Pengetahuan lokal pemanfaatan jenis tumbuhan akan
terinternalisasi dalam budaya setiap etnik sepanjang dilakukan
proses transformasi kepada generasi berikutnya dengan baik.
Kebudayaan tersebut juga akan bertahan atau berkembang
tergantung pada penyesuaian kebutuhan kelompok-kelompok
masyarakat tertentu terhadap lingkungannya (Ember dan Ember,
1980). Etnobotani yang mempelajari pemanfaatan tumbuhan pada
I. PENDAHULUAN
1
suatu suku bangsa, dalam hal ini, menjadi kajian yang menarik
pada beberapa etnik di Papua.
Penelitian etnobotani di Tanah Papua sudah dimulai sejak 73
tahun yang lalu. Powell (1976), mencatat bahwa Whiting dan Reed
pada tahun 1939 melakukan penelitian di Jayapura dan sekitarnya,
Brass pada tahun 1941 di daerah Pegunungan Tengah (Paniai dan
sekitarnya), Kaberry pada tahun yang sama di Jayapura dan
sebagian wilayah Papua New Guinea, Luyken dan Koning pada
tahun 1955 di Mappi, Held pada tahun 1957 di Waropen, Oomen
dan Malcolm tahun 1958 di Kepala Burung, Biak dan Waropen,
Oosterwal pada tahun 1961 di Mamberamo dan sekitarnya, Couvee
et al pada tahun 1962 di Pegunungan Tengah (Paniai dan
sekitarnya), Kooijman dan Reynders pada tahun yang sama di
Wamena dan sekitarnya dan Pospisil pada tahun 1963 di
Pegunungan Tengah (Paniai dan sekitarnya).
Setelah Papua resmi masuk dalam pangkuan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), penelitian etnobotani
selanjutnya dilakukan oleh Serpenti tahun 1965 di Pulau Kimam,
Lea tahun 1965 dan 1966 di Jayapura, Helder tahun 1971 di Paniai
dan sekitarnya, Barth tahun 1971 di Wamena dan sekitarnya serta
Hatanaka dan Bragge tahun 1973 di daerah yang sama.
Hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan tersebut sangat
membantu dalam menyediakan informasi awal bagi penelitian
selanjutnya. Namun sejauh ini informasi yang dihimpun jarang
ditindaklanjuti, sehingga pengetahuan lokal masyarakat mengenai
2
sumberdaya hutan terutama jenis-jenis tumbuhan potensial belum
banyak terungkap. Penelitian tersebut sesungguhnya sangat
menarik karena selain memberikan pengetahuan tentang tumbuh-
tumbuhan berguna, di dalamnya juga akan terungkap rahasia
budaya etnik di Papua yang dapat memperkaya khasanah budaya
bangsa.
Pengetahuan lokal masyarakat Papua mengenai jenis-jenis
tumbuhan hutan yang dimanfaatkan sebagai bahan pangan telah
menjadi indikator penting perlunya pengembangan potensi
sumberdaya hutan non kayu di Indonesia pada dekade terakhir ini.
Sumbangan yang diberikan berupa peningkatan ekonomi
masyarakat pedesaan dan perlindungan terhadap sumberdaya
hutan. Dampak yang ditimbulkan tersebut merupakan isyarat bahwa
sudah saatnya potensi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) perlu
mendapat tempat tersendiri dalam aktivitas ekonomi dan
perlindungan budaya masyarakat lokal. Apabila ditinjau dari sisi
keberlanjutan produktivitas hutan, Upaya semacam ini memiliki
resiko perusakan sumberdaya hutan yang sangat kecil.
Menurut Barber et al (1997), pemanfaatan sumberdaya hutan
secara tradisional atau semi tradisional, biasanya tidak membawa
dampak negatif terhadap keanekaragaman hayati, namun
permasalahannya adalah luasan hutan Papua terus berkurang
akibat pemekaran kebupaten-kabupaten baru, pembukaan lahan
untuk perkebunan, pembangunan jalan trans Papua dan Papua
Barat dan masih beroperasinya beberapa HPH. Kondisi ini perlu
3
disikapi dengan kegiatan penelitian potensi HHBK yang digali dari
pengetahuan lokal yang kemudian pemanfaatannya dikembangkan
lewat teknologi yang lebih baik. Apabila kegiatan ini tidak dilakukan
sesegera mungkin, maka pengetahuan lokal yang saat ini masih
ada akan hilang sejalan dengan hilangnya kawasan-kawasan hutan.
Menurut Whitmore (1966) dalam Powell (1976), studi
etnobotani mengenai jenis tumbuhan penghasil bahan pangan
khususnya biji-bijian dan buah-buahan hutan kurang mendapat
perhatian dari para ahli botani, pertanian dan ahli gizi, padahal pada
masa lalu sumber makanan tambahan (suplement food) yang
berasal dari biji-bijian dan buah-buahan hutan memiliki nilai penting
dalam budaya beberapa etnik di wilayah New Guinea.
Beberapa pengetahuan lokal Papua mengenai pemanfaatan
biji dan buah-buahan hutan sebagai bahan makanan, masih sangat
terbatas. Di sisi lain, aplikasi hasil kajian etnobotani, khususnya
bahan pangan yang berasal dari biji-bijian dan buah-buahan hutan
kurang mendapat perhatian dan tindaklanjut dari pemerintah pusat
maupun daerah. Nugroho dan Murtijo (2005), berpendapat bahwa
pada umumnya masyarakat lokal memiliki konsepsi tersendiri
terhadap pemanfaatan sumberdaya hutan dan konsep seperti ini
tidak dimiliki oleh orang di luar etnis Papua, seperti yang dimiliki
masyarakat etnik Wondama di Teluk Wondama, Gebe di Pulau
Gag, Tepra di Depapre serta Isirawa dan Manirem di Sarmi.
Permasalahan yang muncul adalah apakah potensi jenis-jenis
tumbuhan penghasil bahan pangan masih potensial di hutan alam
4
Papua? dan apakah masyarakat lokal masih memanfaatkan
tumbuh-tumbuhan tersebut sebagai sumber bahan pangan
alternatif? Untuk menjawab masalah tersebut maka sangat
diperlukan penelitian dalam upaya mengumpulkan informasi
pemanfaatan dan keberadaan jenis tumbuhan tersebut di alam.
Adanya kekhawatiran terhadap krisis pangan dunia yang
disebabkan oleh perubahan iklim secara global, mengakibatkan
pemerintah mengeluarkan himbauan untuk meningkatkan
ketahanan pangan dengan memanfaatkan tumbuhan lokal atau
pangan lokal sebagai bahan makanan dan sumber energi untuk
mengantisipasi krisis pangan dan energi global. Sejumlah penelitian
eksploratif sesungguhnya telah dilakukan di Tanah Papua baik oleh
lembaga-lembaga pemerintah maupun non pemerintah.
Tujuan penulisan buku ini adalah untuk memberikan
informasi jenis (kepastian status taksonomi), ekologi habitat, potensi
tegakan, struktur tegakan, potensi buah, kandungan gizi bahan
makanan, etnobotani, konservasi tradisional, status konservasi dan
peluang pengembangan jenis tumbuhan hutan penghasil buah
potensial sebagai diversifikasi bahan pangan di Tanah Papua.
Informasi ini diharapkan menjadi bahan acuan bagi pengembangan
selanjutnya dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan di Tanah Papua.
5
A. Potensi Jenis Endemik
Tanah Papua yang merupakan sebagian dari Pulau New
Guinea adalah daerah terakhir di dunia yang belum diketahui
dengan baik dan merupakan salah satu pusat keanekaragaman
hayati yang tertinggi di dunia. Pada kawasan ini masih tersimpan
banyak misteri terutama tentang kekayaan jenis tumbuhan (flora),
yang menurut perkiraan para ahli jumlahnya tertinggi pada kawasan
flora malesiana (Petocz, 1987).
Menurut Primack (1998), keragaman flora yang terdapat pada
suatu daerah dipengaruhi oleh faktor biogeografi pulau yang khas
serta faktor-faktor fisik lainnya, misalnya ketinggian tempat, curah
hujan serta garis lintang dan jauh dekatnya suatu daerah atau pulau
dari pulau lainnya. Menurut Hope (1982), yang dikutip oleh Petocz
(1987), hutan Papua merupakan salah satu penyusun formasi hutan
hujan tropis Indo-Malaya yang kaya akan jenis, genera (marga) dan
famili yang bersifat khas dan tidak dijumpai di daerah manapun di
dunia. Menurut Van Bolgooy (1976) dalam Petocz (1987), bahwa
tipe hutan Papua mengandung banyak jenis flora yang dapat
dijadikan tumbuhan berguna bagi manusia. Namun sampai saat ini
kekayaan flora tersebut belum diketahui dengan pasti, belum
dikenal dan diketahui informasi botani, biologi dan penyebarannya.
Demikian pula pemanfaatan dalam rangka peningkatan
kesejahteraan masyarakat masih dalam skala kecil dan bersifat
tradisional.
II. KEKAYAAN JENIS TUMBUHAN DI TANAH PAPUA
6
Secara umum lingkungan flora Tanah Papua dikenal dengan
sebutan ”Papuasia”. Beberapa ahli yang pernah menyampaikan
atau bercerita soal kekayaan flora di Tanah Papua adalah :
1. Paijsman (1976), sebanyak 1.465 jenis (spesies) dari
Angiospermaetelah tercatat di Pulau Papua, dengan perkiraan
mencapai 9.000 jenis.
2. Hope (1978, pemberitaan pribadi) dalam Petocz (1987), jumlah
flora di Tanah Papua diperkirakan 16.000 jenis.
3. Womersly (1978) dalam Petocz (1987), keanekaragaman flora
seluruh Papuasia (termasuk semua famili) diduga melampaui
20.000 jenis.
4. Johns (1997), keanekaragaman flora seluruh Papuasia sangat
tinggi diperkirakan sebanyak 20.000-25.000 jenis.
Perbandingan tingkat keanekaragaman jenis flora Tanah
Papua (Papuasia) dengan beberapa daerah di kawasan Indonesia
secara singkat dapat ditampilkan sebagai berikut (van Steenis-
Kruseman dan van Steenis Cyclopedia of Botanical Exploration in
Malesia, Flora MalesianaI (1).1950) :
1. Sumatera (Andalas) : antara 8.000-10.000 jenis.
2. Kalimantan (Borneo): antara 10.000-15.000 jenis. namun
berbeda dari sumber lainnya yang memperkirakan 25.000 jenis
tumbuhan berpembuluh (tumbuhan berkayu dan non kayu).
3. Jawa (Java) : diperkirakan mencapai 4.500 jenis tumbuhan
berpembuluh (tumbuhan berkayu dan non kayu).
4. Sulawesi (Celebes) : diperkirakan 5.000 jenistumbuhan tinggi
dan 2.100 jenis diantaranya tumbuhan berkayu.
7
5. Maluku (Moluccas) : belum dapat diperkirakan jumlahnya hanya
tercatat 15.000 koleksi yang berasal dari Maluku dan 2.900
berasal dari Maluku Utara.
6. Kepulauan Sunda Kecil (Bali, Sumba, Sumbawa, NTT, Timor,
Alor) : belum dapat diperkirakan jumlahnya.
Berdasarkan tingkat kekayaan relatif dan keendemikan jenis
tumbuhan, maka Papua berada pada urutan paling tinggi
dibandingkan dengan wilayah lainnya, setelah itu Kalimantan dan
Sumatera. Perbandingan tersebut secara lengkap disajikan pada
Tabel 1. Data tersebut akan berubah sejalan dengan
perkembangan penelitian taksonomi di Tanah Papua dan masing-
masing daerah di Indonesia.
Tanah Papua dengan keanekaragaman jenis flora diduga
berkisar antara 20.000-25.000 jenis, merupakan daerah yang
memiliki keanekaragaman jenis flora tertinggi di Indonesia. Hal ini
sejalan dengan pendapat Petocz (1987) yang menyatakan bahwa
dengan penelitian taksonomi lanjutan, pasti jumlah
keanekaragaman jenis flora di Tanah Papua akan bertambah lagi
sampai melampaui 10.000 jenis dalam tahun-tahun mendatang.
Berdasarkan total perkiraan tersebut maka hanya sebagian saja
yang sudah dikenal terutama dari status taksonominya dan
dimanfaatkan secara luas oleh masyarakat untuk peningkatan
kesejahteraan mereka.
Disisi lain, kurangnya perhatian pemerintah terhadap data
base keanekaragaman hayati di Tanah Papua menyebabkan laju
8
perkembangan taksonomi dan etnobotani sangat lambat bahkan
seperti hampir dilupakan.
Tabel 1.Kekayaan jenis endemik flora di beberapa daerah di Indonesia
Wilayah Kekayaan SpesiesEndemik
Persentase Spesies Endemik
(%)Sumatera 820 11Jawa 630 5Kalimantan 900 33Sulawesi 520 7Sunda kecil 150 3Maluku 380 6Papua 1030 55
Sumber : FAO/MacKinnon (1981)dalam Kusmana dan Hikmat (2005)
Tabel 2 menunjukkan jumlah koleksi herbarium selama kurun
waktu tahun 1817-1950, tertinggi di Jawa dan terendah di Nusa
Tenggara. Kerapatan koleksi tertinggi di Maluku dan terendah di
Papua (New Guinea). Selama kurun waktu tahun 1951-2008,
jumlah koleksi herbarium tertinggi di Kalimantan dan terendah di
Papua. Hal ini menunjukkan bahwa penelitian dan ekspedisi
taksonomi, termasuk pengumpulan spesimen di Tanah Papua
masih sangat rendah sehingga perlu untuk ditingkatkan.
9
Tabe
l 2. P
erba
ndin
gan
jum
lah
kole
ksi h
erba
rium
di T
anah
Pap
ua d
an b
eber
apa
daer
ah d
i Ind
ones
ia
TAH
UN
181
7 -1
950
TAH
UN
195
1 -2
008
PULA
ULU
AS
(KM
2 )JU
MLA
H
NO
MO
R
KO
LEK
SIH
ERB
AR
IUM
RA
TA-R
ATA
N
OM
OR
K
OLE
KSI
PER
10
0 K
M2
JUM
LAH
NO
MO
R
KO
LEK
SI
HER
BA
RIU
M
JUM
LAH
N
OM
OR
K
OLE
KSI
H
IDU
P
Pap
ua( N
ew G
uine
a)2.
980.
155
196.
755
3,6
2.15
0(P
apua
)94
6(P
apua
)
Mal
uku
( Mol
ucca
s)63
.575
27.5
2543
22.2
161.
173
Sul
awes
i( C
eleb
es)
182.
870
32.3
5018
15.4
201.
834
Nus
a Te
ngga
ra98
.625
24.5
4625
4.36
53.
638
Kal
iman
tan
(Bor
neo)
739.
175
91.5
5012
28.8
20(K
alim
anta
n)2.
739
(Kal
iman
tan)
Jaw
a( J
ava)
132.
474
247.
522
254.
363
3.63
8
Sum
ater
a( A
ndal
as)
479.
513
87.9
0018
26.9
663.
357
Sum
ber :
Kar
taw
inat
a, 2
010
10
Ada 4 kabupaten yang memiliki potensi keanekaragaman
hayati yang belum banyak diteliti, yaitu : Kabupaten Teluk
Wondama yang terletak pada “leher burung” pulau Papua,
Kabupaten Sarmi yang terletak di bagian tengah pantai utara,
Kabupaten Jayapura yang terletak di bagian timur pulau Papua dan
Kabupaten Raja Ampat yang merupakan wilayah kepulauan di
“kepala burung (Vogelkop)” pulau Papua. Ke empat kabupaten
tersebut memiliki arti yang strategis dalam potensi keanekaragaman
hayati, dimana memiliki hutan dataran rendah yang sangat luas
dengan tipe ekosistem dari pantai sampai pegunungan tinggi.
Selain itu ke empat kabupaten ini juga memiliki etnik atau suku yang
cukup beragam dengan budaya pemanfaatan jenis-jenis tumbuhan
hutan penghasil buah-buahan potensial sebagai bahan pangan
yang cukup unik. Beberapa jenis tumbuhan yang dimanfaatkan
sebagai bahan pangan adalah jenis tumbuhan endemik (hanya
terdapat di Tanah Papua saja) dan indigenous (native species) yang
merupakan jenis tumbuhan asli Tanah Papua dengan
penyebarannya selain di Tanah Papua, juga terdapat di Maluku
(Moluccas) dan di Sulawesi (Celebes).
B. Kondisi Saat Ini Jumlah bahasa-bahasa asli Papua adalah 276 bahasa1), dan
dari sini jika merujuk pada bahasa menunjukkan suku bangsa maka
ada 276 suku bangsa asli di Tanah Papua. Dari 276 suku bangsa
1) Data Summer institute of Linguistik, tahun 2011
11
dan bahasa tersebut, 5 suku bangsa di antaranya sudah tidak ada
lagi (punah), karena sudah tidak ada penutur bahasanya. Artinya
hanya tertinggal 271 suku bangsa dari suku-suku tersebut. Saat ini
telah ditemukan beberapa suku terasing di Tanah Papua sehingga
jumlah suku-suku bangsa di Tanah Papua sudah tentu akan
bertambah. Salah satu suku terasing yang dimaksud adalah Suku
Korowai di Kabupaten Mappi yang hidup di atas pepohonan dan
dikenal dengan “manusia pohon” (the tree people).
Dokumentasi : Hanro Lekitoo, 2010
Gambar1. Rumah orang Korowai yang merupakan masyarakat suku terasing di Kabupaten Mappi
12
Dokumentasi : Hanro Lekitoo, 2010
Gambar 2. Potret laki-laki Korowai dengan panah sebagai alatberperang dan berburu
Dokumentasi : Hanro Lekitoo, 2010
Gambar 3. Perempuan Korowai di DusunSagu sebagai penyedia bahan pangan bagi keluarga
13
Bahasa asli yang berjumlah 271 bahasa tersebut dapat
dikategorikan kedalam dua kategori phylum2) (golongan bahasa)
yakni, golongan (phylum) bahasa-bahasa Austronesia dan golongan
bahasa-bahasa Papua. Bahasa-bahasa yang tergolong dalam
phylum Melanesia mempunyai kesamaan dengan bahasa Melayu
umumnya, sedangkan bahasa-bahasa yang tergolong dalam
phylum Papua adalah khas Papua yang umumnya berada di
daerah Papua dan Papua New Guinea serta beberapa tempat
lainnya seperti di Pulau Timor, Pulau Pantar, Pulau Alor dan
Halmahera Utara.
Sejarah antropologi etnik Papua mencatat bahwa secara
umum etnik Papua yang hidup pada wilayah sungai, muara, pantai
dan hutan dataran rendah memiliki bahan pangan pokok berupa
sagu (Metroxylon sagu) dan umbi-umbian seperti talas, gumbili,
ketela pohon (kasbi) dan ketela rambat (batatas). Sedangkan etnik
Papua yang hidup pada wilayah pegunungan umumnya memiliki
bahan pangan pokok umbian-umbian.
Namun sejalan dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi (IPTEK) serta pemekaran wilayah menjadi kabupaten
baru, saat ini boleh dikatakan hampir semua etnik di Papua telah
meninggalkan bahan pangan pokok mereka dan beralih ke beras
yang merupakan bahan pangan pokok nasional. Salah satu
alasannya adalah masyarakat tidak sabar menunggu hasil panen
dari kebun mereka yang menurut mereka waktunya lama. Mereka 2)Lihat Ajamiseba dalam Irian Jaya membangun masyarakat Majemuk (editor-Koentjaraningrat)
14
lebih tertarik pada beras yang sudah tersedia di pasar. Selain itu
menurut mereka nasi rasanya lebih enak jika dibandingkan dengan
sagu dan umbi-umbian.
Program beras miskin (RASKIN) yang merupakan program
pemerintah saat ini, dianggap oleh bebarapa pengamat pangan
nasional sebagai faktor utama ketergantungan masyarakat
sehingga mereka tidak melakukan kegiatan perladangan
(berkebun). Hal ini telah mengakibatkan lemahnya ketahanan
pangan lokal di Tanah Papua karena adanya ketergantungan
masyarakat terhadap beras. Bahkan dalam upacara-upacara adat
beberapa etnik Papua, nasi (beras) disajikan sebagai bahan pangan
utama sedangkan sagu dan umbi-umbian disajikan sebagai bahan
pangan alternatif saja.
Gambar 4. Sagu (Metroxylon sagus Rottbelliana.), salah satujenis bahan pangan pokok etnik Papua
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2009
15
Dokumentasi : Ezrom Batorinding, 2012
Gambar 5. Proses pengolahan sagu menjadi aci sagu yangmerupakan bahan pangan pokok etnik Papua
Dokumentasi : Ezrom Batorinding, 2012
16
Masyarakat etnik Papua saat ini yang memanfaatkan bahan
pangan lokal sudah sangat minim sekali. Umumnya mereka yang
memanfaatkan bahan pangan lokal adalah mereka yang hidup pada
daerah-daerah yang sulit dijangkau seperti daerah pegunungan
tengah dan daerah kepulauan serta mereka yang berasal dari
ekonomi lemah.
Gambar6. Umbi-umbian bahan pangan pokok etnik PapuaA. kumbili; B. keladi; C. kasbi (ketela pohon)
Dokumentasi : Hanro Lekitoo, 2011 Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2012
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2012
A B
C
17
Masyarakat akan kembali mengkonsumsi bahan pangan lokal
jika musim paceklik atau persediaan beras di pasar habis akibat
sulitnya transportasi (akses) karena jalan yang terputus atau
gelombang laut yang besar. Namun setelah persediaan beras ada,
masyarakat akan kembali lagi untuk mengkonsumsi beras tersebut.
Di era Otonomi Daerah saat ini, terutama dengan adanya
perkembangan pemekaran wilayah di Tanah Papua, merupakan
saat yang tepat untuk kembali menginventarisasi semua potensi
sumberdaya khususnya flora yang ada demi meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang akhirnya akan bermuara bagi
kesejahteraan rakyat tanpa harus melupakan aspek kelestariannya.
Agar dalam pemanfaatan sumberdaya tumbuhan tidak
menimbulkan dampak-dampak negatif yang merupakan ancaman
bagi kelestarian jenis-jenis tumbuhan itu sendiri di masa depan
sangat perlu ditumbuhkan pemahaman yang dalam tentang arti dan
peranan sumberdaya lokal tersebut, sehingga pembangunan yang
dijalankan akan lebih bijaksana dalam mengelola kekayaan alam
tersebut.
Budaya yang bersumber dari lingkungan hutan sedang
berada dalam ancaman seiring laju kerusakan hutan yang semakin
cepat. Menurut data Dinas Kehutanan Provinsi Papua tahun 2001,
dari 21,9 juta hektar hutan produksi, 12 juta hektar telah diberikan
kepada 54 pemegang HPH sedang 11% dari luasan tersebut
tumpangtindih dengan kawasan lindung dan kawasan konservasi
(Anggraeni dan Watopa, 2005). Sedangkan rata-rata hutan yang
ditebang per tahunnya adalah 52.000 ha.
18
Kemerosotan luas hutan di Tanah Papua dipicu oleh
pemekaran wilayah dan rencana pembangunan infrastruktur dan
kebun kelapa sawit. Sampai dengan tahun 2006 sudah dimekarkan
18 kabupaten baru di Tanah Papua. Jumlah ini bertambah menjadi
19 kabupaten setelah Mamberamo Raya dimekarkan. Pada akhir
tahun 2007 disetujui juga 6 kabupaten pemekaran lain, sedangkan
yang masih dalam proses pengurusannya berjumlah 4 kabupaten
baru. Rencana pembukaan lahan-lahan perkebunan kelapa sawit,
pemukiman dan pembangunan jalan trans Papua dan Papua Barat
mendorong terjadinya konversi hutan. Konsekuensi yang harus
dihadapi adalah terjadinya eliminasi luasan hutan yang sangat
besar. Luasan hutan dimaksud banyak mengandung sumberdaya
hutan dengan nilai budaya yang masih memerlukan perhatian untuk
digali manfaatnya.
Hampir setengah abad Papua berintegrasi dengan Negara
Kesatuan Republik Indonesia, belum banyak penelitian mengenai
potensi lokal masyarakat adat sehubungan dengan pemanfaatan
tumbuhan hutan. Padahal hasil penelitian ini adalah inti dari
keterlibatan masyarakat adat dalam pengelolaan hutan, sumber
informasi bagi pemanfaatan dan pengembangan sumberdaya baru
yang masih potensial.
Informasi ini diharapkan menjadi bahan acuan bagi
pengembangan jenis-jenis tumbuhan hutan penghasil buah
potensial untuk bahan baku pangan lokal di Tanah Papua dalam
rangka pemenuhan ketahanan pangan lokal, kebutuhan pangan
19
masyarakat pedesaan, konservasi, budidaya serta peningkatan
manfaat jenis tumbuhan tersebut.
C. Status Pemanfaatan oleh Etnik Papua
Pengetahuan dan pemanfaatan sumberdaya alam tumbuhan
oleh masyarakat tradisional di Papua telah dilakukan secara turun
temurun. Pada umumnya dalam lingkup kehidupan tradisional
masyarakat, ketergantungan hidup terhadap sumberdaya alam
tumbuhan yang tersedia tercermin dari berbagai bentuk tatanan
adat istiadat yang kuat. Ketergantungan masyarakat tersebut
terlihat dari berbagai usaha dalam mempertahankan kelangsungan
hidupnya dengan mencari tumbuhan untuk sumber pangan, bahan
sandang, bahan bangunan, obat-obatan, perkakas dan lain-lain.
Sistem pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat tentang alam
tumbuh-tumbuhan, merupakan pengetahuan dasar yang amat
penting dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Pengetahuan tentang pemanfaatan vegetasi ini merupakan warisan
budaya bangsa berdasarkan pengalaman yang secara turun
temurun telah diwariskan oleh generasi yang satu kepada generasi
berikutnya termasuk generasi saat ini dan generasi yang akan
datang. Oleh karena itu, warisan tersebut sangat perlu dijaga dan
dimanfaatkan dengan hati-hati. Masih banyak jalan atau alternatif
yang dapat ditempuh untuk mencapai tujuan agar kita dapat
dikatakan sebagai generasi yang bertanggung jawab karena
menjamin keberadaan keanekaragaman hayati secara
berkelanjutan.
20
Iiiiii
A. Jenis Tumbuhan Hutan Penghasil Buah Potensial
Hasil penelitian etnobotani yang telah dilakukan oleh
beberapa peneliti (Whiting dan Reed tahun 1939, Brass 1941,
Kaberry 1941, Luyken dan Koning 1955, Held 1957, Oomen dan
Malcolm 1958, Oosterwal 1961, Couvee et al 1962, Pospisil 1963,
Serpenti 1965, Lea 1965 dan 1966, Helder 1971, Barth 1971 dan
Hatanaka dan Bragge 1973) menunjukkan bahwa terdapat 225 jenis
tumbuhan hutan yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan,
63 jenis diantaranya berupa biji dan buah-buah hutan.115 jenis
tumbuhan sering dimanfaatkan untuk ritual dan magik, 39 jenis
dimanfaatkan untuk pembuatan perahu dan rakit, 26 jenis
dimanfaatkan sebagai obat luka, 8 jenis dimanfaatkan sebagai obat
luka bakar, 49 jenis dimanfaatkan sebagai obat sakit kepala, 38
jenis dimanfaatkan sebagai obat batuk dan pilek, 22 jenis
dimanfaatkan sebagai obat sakit gigi dan infeksi mulut, 57 jenis
dimanfaatkan sebagai obat diare dan sakit perut dan 25 jenis
dimanfaatkan sebagai obat malaria.
Lekitoo et all (2008), mencatat 40 jenis tumbuhan hutan yang
buahnya dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan di Taman
Wisata Alam Gunung Meja Kabupaten Manokwari. Sirami et al
(2009), mencatat terdapat ± 35 jenis tumbuhan hutan yang buahnya
dimanfaatkan oleh masyarakat Waropen sebagai bahan pangan.
III. SUMBER PANGAN HUTAN DI TANAH PAPUA
21
Berdasarkan hasil identifikasi di lapangan dan spesimen
herbarium diketahui bahwa enam jenis tumbuhan hutan penghasil
buah potensial sebagai bahan pangan di Tanah Papuayang
dimanfaatkan oleh masyarakat etnik Papua (Wondama, Gebe,
Isirawa, Manirem dan Depapre/Tepra) adalah sebagai berikut :
1. Taer (Anisoptera thurifera ssp. polyandra (Bl.)
Ashton)
2. Waribo (Borassus heineanusBeccarii)
3. Piarawi (Haplolobus cf. monticola Husson)
4. Gayang (Inocarpus fagifer (Park.) Fosberg)
5. Selre (Sararanga sinuosa Hemsley)
6. Woton (Sterculia shillinglawii F.v.Muell.)
A. Papua B. Pemanfaatan oleh Beberapa Etnik Papua
Buah taer (Anisoptera thurifera ssp. polyandra (Bl.) Ashton)
dimanfaatkan bijinya oleh masyarakat Suku Wondama di Pulau Yop
Meos Kabupaten Teluk Wondama seperti kacang hijau, piarawi atau
buah hitam (Haplolobus cf. monticola Husson) dimanfaatkan daging
buahnya sebagai sumber lemak atau seperti alpukat oleh
masyarakat Suku Wondama di Kabupaten Teluk Wondama, buah
woton (Sterculia shillinglawii F.v.Muell.) dimanfaatkan bijinya oleh
masyarakat Suku Gebedi Pulau Gag Kabupaten Raja Ampat seperti
kacang hijau, buah gayang (Inocarpus fagifer (Park.) Fosberg)
dimanfaatkan bijinya oleh masyarakat Suku Isirawa di Kabupaten
Sarmi sebagai bahan pangan sumber protein, buah waribo atau
kelapa hutan (Borassus heineanus Beccarii) dimanfaatkan oleh
22
masyarakat Suku Manirem di Kabupaten Sarmi sebagai bahan
pangan seperti kelapa pantai (Cocos nucifera) dan selre atau
anggur Papua (Sararanga sinuosa Hemsley) dimanfaatkan buahnya
oleh masyarakat Suku Depapre/Tepra di Kabupaten Jayapura
sebagai bahan pangan seperti buah anggur (Vitis vinifera).
Gambaran umum (sosio-geografis), deskripsi botani, ekologi
habitat, potensi tegakan, struktur tegakan, potensi buah, kandungan
gizi, etnobotani, konservasi tradisional, status konservasi dan
prospek pengembangan dari enam jenis tumbuhan hutan penghasil
buah potensial sebagai bahan pangan tersebut secara sistematik
akan diuraikan lebih lanjut pada halaman berikutnya dari buku ini.
23
Dokumentasi : Charlie D. Heatubun
Gambar7. Buah Taer (Anisoptera thurifera spp. polyandra (Bl.) Ashton24
A. Deskripsi Botani
Anisoptera thurifera ssp. polyandra (Bl.) Asthon(Dipterocarpaceae)
Nama dagang : mersawa Nama daerah : taer (Yop/Wondama), takum (Ambaidiru/Yapen)
Perawakan: Pohon berukuran besar, tingginya mencapai 40–45 m. Batang utama silindris, sedikit berbuncak, berpilin tetapi tidak berlekuk. Bebas cabang mencapai 30 m dengan diameter setinggi dada ± 150 cm, berbanir sedang dengan tinggi 100 cm dan lebar 200 cm. Pepagan luar kasar, berlenti sel, berwarna coklat atau coklat muda keabu-abuan dengan bercak keputihan. Takikan batang pepagan tebalnya 8–10 mm. Tidak bergetah.Pepagan dalam keras dan berserat, berwarna coklat muda sampai coklat kekuningan. Daun tunggal, kedudukan daun melingkar (spiral), berbentuk bulat menjorong, pangkal daun membulat, ujung daun melancip, tepi daun rata ataubergerigi halus, panjang 8–11 cm, lebar 3,5–5 cm, panjang tangkai daun 2,6–3 cm, peruratan daun tenggelam pada permukaan atas, urat daun sekunder menyirip, 10–12 pasang, urat daun tersier berbentuk jala. Permukaan atas berwarna hijau kusam, permukaan bawah hijau muda. Daun tua biasanya berwarna kekuningan. Perbungaanberbentuk malai biasanya pada ketiak daun atau ujung ranting, tangkai bunga panjangnya 5 mm. Bunga daun kelopak bulat telur memanjang, runcing, hijau pucat atau kemerahan, dari luar berambut. Daun mahkota kuning atau putih kehijauan, ke atas tidak melebar, panjang ± 1,3 cm. tonjolan dasar bunga berambut kasar. Bakal buah bulat telur, berambut rapat. Kepala putik tidak melebar. Buah bersayap dengan pangkal membulat atau berbentuk bola, gundul atau berambut halus,berwarna kuning, bergaris tengah ± 2 cm. Biji 1, berdiameter 0,7–1,0 cm, berbentuk bulat pipih dan berwarna hijau terang atau hijau mengkilat.
IV. BUAH TAER (Anisoptera thurifera ssp. polyandra (Bl.) Ashton) DAN PEMANFAATANNYA OLEH SUKU WONDAMA DI PULAU YOP MEOS TELUK WAHDAMA
25
Gambar 8. Anisoptera thurifera ssp. polyandra(Bl.) Ashton –A. perawakan batang; B. daun; C. buah muda; D. Buah tua
A
B
Dokumentasi: Krisma Lekitoo, 2009
C
Dokumentasi: C. D. Heatubun, 2006
D
Dokumentasi: Krisma Lekitoo, 2009
Dokumentasi: Krisma Lekitoo, 2009
26
Taer (A. thurifera ssp. polyandra (Bl.) Ashton, adalah
merupakan jenis tumbuhan asli (native species) di Papua.
Penyebarannya meliputi Papua, Maluku dan Maluku Utara
(Halmahera). Jenis ini juga merupakan salah satu jenis kayu
komersil di daerah-daerah yang merupakan lokasi penyebarannya.
Sayangnya, jenis ini pada diameter tertentu, tegakan alaminya
sangat mudah diserang oleh bubuk kayu sehingga sering dijumpai
kering atau mati pada hutan alam, terutama pada hutan alam tropis
di Halmahera. Kayunya yang sudah ditebang, apabila terlambat
dikupas kulitnya, dalam beberapa hari akan membusuk karena
sangat mudah diserang hama bubuk kayu.
Taer adalah salah satu dari 15 jenis Dipterocarpaceae yang
dilaporkan terdapat di Papua dan merupakan satu-satunya jenis
dari marga Anisoptera yang terdapat di Papua. Jenis ini biasanya
tumbuh pada hutan dataran rendah bersama-sama dengan jenis
vegetasi berkayu lainnya membentuk formasi hutan hujan dataran
rendah Papua yang sangat kaya akan keanekaragaman jenisnya.
Tumbuh menyebar pada hutan dataran rendah dengan tipe
habitattanah, tanah berbatu dan tanah berkarang dengan
penyebaran secara ekologipada ketinggian tempat dari 10–600m
dpl. Jenis ini termasuk jenis yang berbuah sekali dalam 3 sampai 5
tahun pada umumnya, namun biasanya ada satu sampai beberapa
pohon yang berbuah dan buahnya tidak banyak pada waktu-waktu
tertentu atau pada tahun di mana bukan musim buahnya. Meskipun
berbuah dalam waktu 3 sampai 5 tahun, namun proses
27
regenerasinya di alam tetap terjaga karena buah yang dihasilkan
sangat banyak.
B. Kondisi Sosio-Geografis
Kabupaten Teluk Wondama merupakan salah satu kabupaten
di Provinsi Papua Barat hasil pemekaran dari Kabupaten Manokwari
yang terbentuk pada tanggal 12 April 2003 berdasarkan UU Nomor
26 Tahun 2002. Kabupaten tersebut terletak pada “leher burung”
pulau Papua dengan koordinat geografis 0°15’00” - 3°25’00”Lintang
Selatan dan 132°35’00” - 134°45’00” Bujur Timur dengan luas
1.440.074 ha dengan rincian 662.786 ha luas daratan dan 778.288
ha luas perairan. Wilayah Kabupaten Teluk Wondama memiliki iklim
tropika basah dengan ciri-ciri curah hujan yang tinggi yaitu berkisar
antara 1.400–4.900 mm per tahun dengan penyebaran merata
sepanjang tahun dan suhu udara berkisar antara 22,9°-33,0°C.
Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Desember yang mencapai
162 mm/bulan (BNPB, 2011).
Secara administratif Kabupaten Teluk Wondama memiliki
batas-batas sebagai berikut :
- Sebelah Utara berbatasan dengan Distrik Ransiki Kabupaten
Manokwari;
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Distrik Yaur Kabupaten
Nabire;
- Sebelah Timur berbatasan dengan Distrik Yaur Kabupaten
Nabire dan Teluk Cenderawasih;
28
- Sebelah Barat berbatasan dengan Distrik Idoor dan Kuri
Kabupaten Teluk Bintuni.
Sejarah penulisan atau penyebutan “Wandamen” berasal dari
publikasi para penulis asing yang menuliskan Wondama-man, untuk
menyebutkan keberadaan penduduk lokal yang berada di
Wondama. Secara entimologi Wondama berasal dari bahasa
Wamesa “Won” artinya orang yang ditakdirkan atau ditentukan dan
“Dama” artinya datang dan mendiami tanah dan negerinya. Secara
harafiah Wondama berarti manusia yang dipilih untuk tinggal dan
membangun tanah dan negerinya.
Sejarah asal-usul etnis Wondama berasal dari kepercayaan
tradisional Cargo cults, yang telah dipercaya turun temurun dan
sudah ada sebelum agama Kristen masuk di Wondama. Pola
kepercayaan tradisional Cargo cults terdiri dari : Okultisme,animismedan mitos. Etnis Wondama terdiri dari Suku Wamesa,
Kuri, Miere, Mairasi (Toro), Ambumi, Dusner, Roon dan Sough.
Sistem kepemimpinan tradisional Suku Wondama merupakan
sistem kepemimpinan campuran (Mansoben, 1995). Sistem
kepemimpinan campuran ini merupakan sistem yang memiliki sifat
pewarisan kedudukan yang terdapat dalam sistem kepemimpinan
raja dan Ondoafi, dan sifat pencapaian kedudukan pemimpin yang
terdapat pada sistem kepemimpinan pria berwibawa (bigman). Tipe
kepemimpinan campuran diperoleh pada tingkat stratifikasi sosial
yang rendah dan sifatnya ditentukan oleh waktu dan tempat. Untuk
mencapai kedudukan sebagai seorang pemimpin campuran bisa
29
berubah-ubah menurut situasi dan kondisi daerah setempat. Untuk
menjadi pemimpin pada masa keadaan relatif kondusif damai dan
makmur, kriteria bagi seorang pemimpin didasarkan atas keturunan,
jadi kedudukan pemimpin diemban oleh seseorang yang
berketurunan pendiri kampung (berlaku sifat pewarisan kedudukan
pemimpin). Sebaliknya jika berada pada situasi tidak kondusif,
ketika masyarakat mengalami kesulitan, misalnya kelaparan karena
musim kering yang berkepanjangan, wabah penyakit yang
menyerang, bahaya karena diserang musuh atau penduduk sedang
dilanda dekadensi moral akibat proses akulturasi, maka kriteria
pemimpin tidak lagi didasarkan pada keturunan, tetapi diutamakan
kepada kemampuan atau kecakapan seseorang untuk menjadi
pemimpin. Dalam keadaan demikian individu-individu dengan
kacakapan tertentu akan tampil ke depan untuk menjadi pemimpin
masyarakatnya dalam usaha mengatasi situasi yang dihadapi.
Pulau Yop adalah salah satu pulau yang terdapat di
Kabupaten Teluk Wondama. Secara administrasi, Pulau Yop
termasuk wilayah Distrik Windisi. Jika ditempuh dengan
menggunakan kendaraan laut dari ibu kota kabupaten, waktunya
sangat relatif tergantung cuaca (gelombang laut), jenis transportasi
dan kecepatan motor laut yang digunakan. Jika menggunakan
perahu semang dengan motor 15 PK, waktu yang ditempuh 2 jam
(tanpa gelombang) dan 2 jam 30 menit sampai 4 jam jika
gelombang. Jika menggunakan perahu semang (longboat) dengan
motor 40 PK, waktu yang ditempuh 1 jam (tanpa gelombang) dan 1
jam 30 menit sampai 2 jam jika gelombang. Jika menggunakan
30
speedboat dengan motor 40 PK, waktu yang ditempuh 1 jam (tanpa
gelombang) dan I Jam 30 menit sampai 2 jam jika gelombang. Jika
menggunakan speedboat dengan motor 80 PK, waktu yang
ditempuh 30 menit sampai 45 menit (tanpa gelombang) dan 1 jam
sampai 1 jam 30 menit jika gelombang.
Posisi Pulau Yop Meos yang melintang pada bagian
permukaan Teluk Wondama menyebabkan masyarakat Wondama
percaya dan selalu menghubungkan posisi letak pulau tersebut
dengan cerita mitos Kuri dan Pasai. Cerita mitos Kuri dan Pasai
mengisahkan tentang dua orang raksasa bersaudara (kakak dan
adik) yang bernama Kuri dan Pasai. Ke dua raksasa ini akhirnya
berkelahi atau berperang karena adanya selisih paham yang
disebabkan karena tipu muslihat di antara keduanya. Akhirnya
Pasai meninggalkan Kuri dan pergi ke sebelah Barat. Pasai berjanji
akan kembali ke Wondama dengan membawa ilmu pengetahuan
serta benda-benda lainnya. Sementara Kuri tinggal di tempatnya di
Inggorosai (Wondama) dan meninggal akibat tipu muslihat orang
Maniwak (orang-orang kerdil yang tinggal di Miei) hanya karena
keinginannya memakan sagu. Secara umum dari mitos ini
masyarakat asli Wondama percaya bahwa apabila Pasai datang
kembali (pulang) ke Wondama maka Pulau Yop Meos akan
bergerak menutup Teluk Wondama yang dianggap sebagai pintu
masuk ke Kabupaten Wondama sehingga orang Wondama yang
berada di luar Wondama tidak bisa pulang atau kembali lagi ke
Wondama.
31
Mansoben (1995), membagi sistem mata pencaharian suku-
suku di Papua atas empat zona yang masing-masing menunjukkan
diversifikasi terhadap sistem mata pencaharian mereka
berdasarkan kebudayaannya. Ke empat zona ekologi tersebut
adalah :
1. Zona ekologi rawa, daerah pantai dan muara sungai (Swampy
Area, Coastal and Riverine);
2. Zona ekologi daerah pantai dan hutan pantai (Coastal Lowland
Areas);
3. Zona ekologi kaki-kaki gunung serta lembah kecil (Foothills and
Small Valleys);
4. Zona ekologi pegunungan tinggi (Highlands).
Secara umum Kampung Yop Meos termasuk dalam zona
ekologi kedua yaitu daerah pantai dan hutan pantai dengan mata
pencaharian utama adalah berladang berpindah dan mata
pencaharian pendamping yaitu menangkap ikan di sungai dan di
laut.
32
Gam
bar 9
.Lo
kasi
Pul
au Y
op M
eos
di K
abup
aten
Telu
k W
onda
ma
Ket
eran
gan
:
= Lo
kasi
Pen
eliti
an
Pula
u Yo
p
33
Gam
bar1
0. P
ulau
Yop
Meo
s
Gam
bar 1
0. P
ulau
Yop
Meo
s
Dok
umen
tasi
: K
rism
a Le
kito
o, 2
009
34
C. Ekologi Habitat Taer
Dalam rangka kegiatan pelestarian atau konservasi terhadap
jenis taer, baik konservasi pada habitatnya di alam (in-situ) maupun
di luar habitatnya (eks-situ), salah satu aspek yang sangat perlu
untuk diketahui adalah aspek ekologi habitat yang meliputi faktor
fisiografi (ketinggian tempat dan kelerengan), iklim (suhu dan
kelembaban), kondisi tanah (tanah, tanah berbatu, tanah berkarang
dan karang) serta kesuburan tanah. Syafei (1994) menyebutkan
bahwa faktor-faktor lingkungan yaitu iklim, edafik (tanah), topografi
dan biotik antara satu dengan yang lain sangat berkaitan erat dan
sangat menentukan kehadiran suatu jenis tumbuhan di tempat
tertentu, namun cukup sulit mencari penyebab terjadinya kaitan
yang erat tersebut. Selanjutnya Marsono (1972) menyebutkan
bahwa kehadiran suatu jenis dalam suatu tempat atau areal
ditentukan oleh beberapa faktor antara lain; habitat, karena habitat
akan mengadakan seleksi terhadap jenis yang mampu beradaptasi
dengan lingkungan setempat, waktu, dengan berjalannya waktu
vegetasi akan berkembang ke arah yang stabil dan kehadiran satu
jenis dapat ditentukan juga oleh vegetasi yang berada di sekitarnya.
Secara umum kepulauan memiliki keanekaragaman spesies
yang lebih rendah dari pada pulau besar. Hal ini disebabkan oleh
waktu yang terbatas untuk mengakumulasi spesies karena umur
kepulauan yang relatif lebih muda (Leksono, 2007). Pada tahun
1961, MacArthur dan Wilson mempublikasikan hipotesis baru
mengenai pola kekayaan spesies di kepulauan.Teori ini
35
menyatakan sedikitnya jumlah spesies di kepulauan bukan
disebabkan oleh waktu yang terbatas bagi spesies untuk menyebar,
tetapi oleh keseimbangan yang terjadi di semua kepulauan.
1. Faktor Fisiografis
Fisiografis mempunyai efek yang tidak langsung namun
penting artinya bagi penyebaran vegetasi pada lingkungan hutan,
terutama karena pengaruhnya terhadap iklm. Topografi mempunyai
arti klimatis karena menentukan arah dari mana angin bertiup,
kelembaban dan banyaknya presipitasi. Angin selain berperan
dalam menentukan kelembaban, angin juga berperan dalam
penyebaran biji tumbuhan tertentu (Leksono, 2007).
Topografi adalah perbedaan tinggi atau bentuk wilayah suatu
daerah termasuk perbedaan kecuraman dan bentuk lereng.
Topografi mempengaruhi proses pembentukan tanah dan
kesuburan tanah. Di daerah bergelombang, drainase tanah lebih
baik sehingga pengaruh iklim (curah hujan dan suhu) lebih jelas dan
pelapukan serta pencucian berjalan lebih cepat. Pada daerah yang
berlereng curam kadang-kadang terjadi terus-menerus erosi
permukaan sehingga terbentuklah tanah dangkal (tingkat kesuburan
rendah). Sebaliknya, pada kaki lereng tersebut sering ditemukan
tanah dengan profil dalam akibat penimbunan bahan organik yang
dihanyutkan dari lereng tersebut. Topografi mempengaruhi sifat-
sifat tanah antara lain tebal solum, kandungan bahan organik,
36
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2009
kandungan air tanah, warna tanah, reaksi tanah (pH), kandungan
basa, kandungan garam dan lain-lain (Hardjowigeno, 2007).
Ketinggian tempat mempunyai pengaruh terhadap faktor
iklim. Suhu udara akan menurun jika ketinggian tempat bertambah
(Arifin, 1994). Semakin tinggi letak suatu tempat di Tanah Papua,
keanekaragaman jenis semakin menurun namun tingkat
keendemikan jenis semakin tinggi (Petocz, 1987). Ketinggian
tempat pada habitat pohon buah taer di Kampung Yop Meos (Pulau
Yop) adalah 150–220m dpl. Sesuai ketinggian tempat tumbuhnya
maka taer digolongkan kedalam jenis tumbuhan berkayu (pohon)
dataran rendah.
Tabel 3. Ketinggian tempat dan kelerengan pada habitat taer di Pulau Yop Meos
Habitat Ketinggian tempat(m) dpl
Topografi/kelerengan(%)
1. 150 – 220 20 – 1102. 170 – 220 40 – 1203. 170 – 200 45 –1004. 160 – 220 50 –100
Lereng atau kemiringan lahan adalah sudut yang dibentuk
oleh permukaan tanah dan bidang horisontal. Taer pada Kampung
Yop Meos tumbuh baik pada kisaran kelerangan 20-110%. Kisaran
kelerengan tersebut sangat bervariasi dan memiliki kondisi habitat
yang relatif datar sedikit bergelombang ringan dan sedang sampai
bergelombang berat. Kondisi habitat demikian secara alami sangat
37
berdampak terhadap penyebaran dan kuantitas pertumbuhan taer.
Kualitas pertumbuhan taer pada habitat datar dan bergelombang
umumnya sangat baik, namun sangat berbeda dalam banyaknya
individu (kuantitasnya). Daerah datar dan lembah umumnya lebih
banyak individu dibanding daerah punggung dan puncak bukit.
2. Suhu Udara dan Kelembaban
Pengaruh iklim terhadap tumbuh-tumbuhan sangat nyata.
Perbedaan kondisi atmosfer baik secara lokal maupun regional
akan menyebabkan suatu variasi dalam formasi hutan. Jika kita
mengamati distribusi tumbuhan yang ada di muka bumi, terlihat
bahwa semakin ke kutub yang bersuhu rendah, keragaman
tumbuhan semakin menurun. Hal ini mengindikasikan bahwa
banyak jenis tumbuhan yang hanya dapat hidup pada suhu hangat
atau beriklim tropis.
Taer tumbuh pada daerah dengan naungan sedang sampai
berat (75–95%) dengan suhu optimum berkisar antara 27–30ºC dan
kelembaban optimum berkisar antara 79–90%. Adanya kisaran
demikian disebabkan karena penyebaran buah taer secara alami di
Pulau Yop Meos adalah pada bagian punggung dan puncak bukit.
Hal ini mengindikasikan bahwa taer mampu tumbuh pada habitat
dengan naungan yang cukup berat (tajuk sangat rapat).
38
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2009
Tabel 4. Suhu udara dan kelembaban serta persen penutupan tajuk pada habitat Taer di Pulau Yop Meos
Suhu udara berpengaruh terhadap ekosistem karena suhu
merupakan syarat yang diperlukan organisme untuk hidup. Ada
jenis-jenis tumbuhan yang hanya dapat tumbuh pada kisaran suhu
udara tertentu. Umumnya pertumbuhan meningkat kalau suhu
udara naik dan menurun kalau suhu udara turun, disebabkan
karena pengaruh cahaya terhadap aktifitas metabolisme. Pengaruh
nyata dari suhu udara terhadap pola-pola dalam ekosistem adalah
terjadinya zonasi dan stratifikasi.
Kelembaban udara, yang dinyatakan sebagai banyaknya
kandungan uap air dalam udara, merupakan fungsi dari banyak dan
lamanya curah hujan. Kelembaban mempengaruhi suhu udara.
Kelembaban cenderung kurang dari pantai mengikuti ketinggian
tempat atau kelembaban berbanding lurus dengan ketinggian
tempat.
Persen penutupan tajuk menunjukkan banyak cahaya yang
dapat menembus strata atau tajuk hutan dan sampai ke lantai
hutan. Pada hutan tropis cahaya merupakan faktor pembatas.
No. Suhu udara(ºC)
Kelembaban(%)
Penutupan Tajuk(%)
1. 27 - 29 80 – 88 902. 28 - 30 79 – 85 753. 28 - 29 80 – 85 804. 27 - 29 83 – 90 95
39
Jumlah cahaya yang menembus melalui sudut hutan akan nampak
menentukan lapisan (strata) yang dibentuk oleh pepohonan.
Pulau yang tidak bergunung atau berbukit rendah memiliki
curah hujan yang rendah sedangkan pulau yang bergunung-gunung
memiliki curah hujan yang tinggi. Air penting bagi pertumbuhan
pohon karena pada daerah yang suhunya memungkinkan bagi
pertumbuhan pohon, pepohonan tersebut akan lebih tergantung
pada suplai air.
3. Keadaan Tanah
Taer umumnya tumbuh pada habitat tanah dengan keadaan
solum yang dangkal (± 10 cm) sampai sedang (± 20 cm), sedikit
berbatu, daerah berkarang dengan banyak serasah atau bahan
organik yang proses dekomposisinya lambat dan tanah umumnya
lembab. Habitat demikian umumnya terdapat pada daerah
bergelombang ringan sampai bergelombang berat yang cukup
curam (kelerengan < 45 %) atau pada daerah puncak bukit.
Adanya curah hujan dan suhu udara tinggi di daerah tropika
menyebabkan reaksi kimia berjalan cepat sehingga proses
pencucian dan pelapukan berjalan cepat. Akibatnya pada daerah
tropika Indonesia, khususnya di Papua, telah mengalami pelapukan
lanjut, rendah kadar unsur hara dan bereaksi masam. Di daerah
yang beriklim lebih kering yang juga terdapat di Tanah Papua,
pencucian tidak berjalan intensif sehingga tanahnya kurang masam
dan lebih tinggi kadar basa-basanya.
40
Sumber : Data primer hasil analisis Laboratorium Tanah Fakultas Pertanian UGM
Tabel 5. Kesuburan tanah pada habitat taer di Pulau Yop Meos
ParameterUji
NilaiKandungan
Satuan
N 0,12 %P 587,36 ppmK 0,12 %Fe 4,29 %Mg 1,39 %
pH (T) 6,65 - 7,98 -C/N ratio 32,33 -
Bahan Organik 10,80 %
Tanah pada habitat taer bersifat netral sampai agak alkalis
(pH 6,65 - 7,98), N tersedia sangat rendah, P tersedia sangat tinggi,
Mg tersedia sedang, C/N ratio sangat tinggi dan K tersedia rendah.
Berdasarkan sifat tanah tersebut, tampak bahwa jenis tanah pada
habitat taer di Pulau Yop Meos tergolong jenis tanah marginal
dengan tingkat kesuburan sangat rendah sampai rendah.
D. Potensi Tegakan, Struktur Populasi dan Potensi Buah
1. Potensi Tegakan
Vegetasi berkayu yang tumbuh bersama taer dari tingkat
semai sampai tingkat pohon pada kawasan hutan dataran rendah
punggung dan puncak bukit Pulau Yop Meos berjumlah 62 jenis
(spesies) yang terdiri dari 35 famili. Secara rinci sebagai berikut;
pada tingkat pohon terdapat 40 jenis dari 27 famili, tingkat tiang47
jenis dari 29 famili, tingkat pancang 51 jenis dari 32 famili dan
tingkat semai 58 jenis dari 33 famili.
41
Potensi tegakan taer pada hutan alam tropis di Pulau Yop
Meos, berdasarkan tingkat pertumbuhannya yaitu semai, pancang,
tiang dan pohon, dapat dilihat pada Gambar 11.
Populasi untuk setiap tingkat pertumbuhan pada habitat
pohon taer membentuk kurva pertumbuhan yang relatif normal yaitu
berbentuk huruf J terbalik. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi
hutan habitat taer di Pulau Yop Meos tergolong baik atau belum
mendapatkan tekanan berupa kerusakan yang cukup berarti.
Gambar 11. Potensi tegakan taer berdasarkan tingkat pertumbuhan di Pulau Yop Meos
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2009
42
Struktur populasi yang demikian menurut Ewusie (1990),
disebabkan oleh dua faktor yang saling berkaitan yaitu strategi jenis
tersebut untuk mempertahankan keberadaannya dan adanya faktor
seleksi alam yang disebut seleksi – r. Hubungan ke dua faktor
tersebut adalah untuk mempertahankan keseimbangan dan
keberadan jenis taer tersebut di alam yang pada akhirnya peran
kuantitas jenis akan berubah menjadi kualitas jenis.
Jumlah anakan (semai) yang sangat banyak dibandingkan
dengan pancang, tiang dan pohon disebabkan karena jenis ini
meskipun periode berbuahnya cukup lama (3-5 tahun sekali) tetapi
pada waktu berbuah akan menghasilkan buah yang maksimal
dalam jumlah banyak dengan kematangan fisiologis buah yang baik
dan penyebaran benih yang maksimal, karena buahnya yang sudah
masak secara fisiologi sangat mudah diterbangkan oleh angin.
Kondisi Pulau Yop Meos yang sangat dipengaruhi oleh angin laut
menyebabkan pada musim berbuahnya jenis taer, hampir semua
bagian pulau terdapat buah/benih taer yang diterbangkan oleh
angin. Hal ini yang menjadi indikator bagi masyarakat di Pulau Yop
Meos kalau jenis ini memang sedang berbuah dan merupakan
masa puncak berbuah atau masa berbuah optimal. Jika demikian,
maka masyarakat akan mengadakan ritual bersama yaitu berupa
ibadah bersama di gereja sebagai tanda untuk memulai kegiatan
pemanenan.
43
a. Tingkat Semai
Komposisi jenis vegetasi atau tumbuhan dalam suatu
ekosistem dapat diartikan sebagai variasi jenis flora dan merupakan
daftar floristik jenis tumbuhan yang menyusun suatu komunitas
berdasarkan hasil deskripsi (Soerianegara dan Indrawan, 2005).
Daftar floristik berguna untuk analisis vegetasi karena merupakan
salah satu parameter guna mengetahui keanekaragaman jenis
tumbuhan (species diversity) di dalam komunitasnya.
Menurut Gopal dan Bhardwaj (1979), untuk kepentingan
deskripsi suatu komunitas tumbuhan diperlukan minimal tiga
macam parameter kuantitatif antara lain; densitas (kerapatan),
frekuensi dan dominansi. Indeks nilai penting (important value
index) adalah parameter kuantitatif yang dapat dipakai untuk
menyatakan tingkat dominansi (tingkat penguasaan) spesies-
spesies dalam suatu komunitas tumbuhan (Soegianto, 1994).
Spesies-spesies yang dominan (yang berkuasa) dalam suatu
komunitas tumbuhan akan memiliki indeks nilai penting yang tinggi,
sehingga spesies yang paling dominan akan memiliki indeks nilai
penting yang paling besar. Smith (1977) menyatakan bahwa jenis
dominan adalah jenis yang dapat memanfaatkan lingkungan yang
ditempatinya secara efisien daripada jenis lain dalam tempat yang
sama.
Taer pada tingkat permudaan semai, ternyata merupakan
salah satu jenis yang mendominasi kawasan punggung dan puncak
bukit pada hutan di Pulau Yop. Sepuluh jenis permudaan tingkat
44
semai yang paling mendominasi kawasan punggung dan puncak
bukit pada kawasan hutan di Pulau Yop Meos secara lengkap
disajikan pada Tabel 6. Jenis yang paling dominan berturut-turut
pada kawasan hutan punggung dan bukit di Pulau Yop Meos
adalah Podocarpus neriifolius, Vatica rassak, Litsea ladermanii,
Lunasia amara dan Anisoptera thurifera. Hal ini menunjukkan
adanya tingkat toleransi yang tinggi dan luas dari ke 5 jenis ini serta
adanya strategi regenerasi yang baik dari jenis ini dalam
mempertahankan kelangsungan hidupnya yang dikenal dengan
seleksi-r.
Menurut Banister (1980), respon yang berbeda terhadap
faktor-faktor lingkungan pada setiap tingkat pertumbuhan ditentukan
oleh kemampuan suatu jenis. Selanjutnya dikatakan bahwa
kemampuan suatu jenis untuk tetap bertahan ditentukan oleh
berbagai faktor, di antaranya sifat jenis itu sendiri dan
tanggapannya terhadap faktor lingkungan. Menurut Barstra (1998),
pola aliran air, ketinggian tempat dan tipe tanah adalah faktor-faktor
yang sangat menentukan komposisi jenis suatu hutan.
45
Tabel 6. Sepuluh jenis vegetasi dominan tingkat permudaan semai pada habitat taer di Pulau Yop Meos
Potensi permudaan anakan atau semai taer adalah sebanyak
6.750 anakan per hektar. Jenis ini menempati posisi dominan ke 5.
Dominannya jenis taer ini disebabkan karena jumlah individunya
yang banyak pada tingkat semai bukan karena penyebaran
individunya yang merata, hal ini menggambarkan bahwa jenis ini
menggunakan strategi – r dalam proses regenerasinya.
Adanya seleksi – r (alam) menyebabkan jenis-jenis vegetasi
pada tingkat semai menggunakan jumlah individu yang sedikit untuk
mempertahankan keberadaan jenisnya, namun setelah melalui
proses seleksi – r sampai individu tingkat pancang, kualitas jenisnya
lebih berperan penting. Walaupun jumlah individunya tidak banyak
pada tingkat semai dan tumbuhan muda namun individu-individu
NAMA JENIS K(n/ha)
KR(%)
F FR(%)
INP(%)
Podocarpus neriifolius 6250 11,36 0,7 9,86 21,22Vatica rassak 9250 16,82 0,3 4,23 21,04Litsea ladermanii 5750 10,45 0,6 8,45 18,91Lunasia amara 7000 12,73 0,4 5,63 18,36Anisoptera thurifera 6750 12,27 0,1 1,41 13,68Antiaris toxicaria 2750 5,00 0,6 8,45 13,45Lepinopsis ternatensis 2750 5,00 0,4 5,63 10,63Sterculia parkisionin 2500 4,55 0,4 5,63 10,18Dacussocarpus wallichianus 1250 2,27 0,4 5,63 7,91Haplolobus monticola 1000 1,82 0,4 5,63 7,45
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2009
46
tersebut merupakan individu yang secara alami dianggap telah
mampu dan stabil beradaptasi dengan kondisi tempat tumbuh,
karena memiliki kualitas yang baik.
b. Tingkat Pancang
Taer pada tingkat permudaan pancang, ternyata merupakan
salah satu jenis yang mendominasi kawasan punggung dan puncak
bukit pada hutan di Pulau Yop. Sepuluh jenis permudaan tingkat
pancang yang paling mendominasi kawasan punggung dan puncak
bukit pada hutan di Pulau Yop dapat dilihat pada Tabel 7. Pada
tingkat pancang, jenis yang paling dominan berturut-turut pada
kawasan hutan punggung dan puncak bukit Pulau Yop Meos adalah
Lunasia amara, Palaquium amboinensis, Podocarpus
neriifolius,Vatica rassak dan Haplolobus celebicus.
Dominannya jenis Lunasia amara pada habitat buah taer yaitu
pada kawasan hutan punggung dan puncak bukit di Pulau Yop
Meos disebabkan karena jenis ini memiliki kisaran toleransi yang
sangat tinggi terhadap habitat dengan tanah berkarang dan karang.
Habitat punggung dan puncak bukit Pulau Yop Meos yang
merupakan tanah berkarang dan karang sangat mendukung bagi
pertumbuhan jenis Lunasia amara. Karena kemampuannya yang
baik untuk tumbuh pada daerah berkarang, jenis Lunasia amara
oleh beberapa suku yang bermukim pada kawasan hutan dataran
rendah di Papua dikenal dengan sebutan “kayu karang”.
47
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2009
Tabel 7. Sepuluh jenis vegetasi dominan tingkat permudaan pancang pada habitat taer di Pulau Yop Meos
NAMA JENIS K(n/ha)
KR(%)
F FR(%)
INP(%)
Lunasia amara 440 13,41 0,4 6,90 20,31Palaquium amboinensis 360 10,98 0,5 8,62 19,60Podocarpus neriifolius 200 6,10 0,4 6,90 12,99Vatica rassak 280 8,54 0,2 3,45 11,98Haplolobus celebicus 200 6,10 0,3 5,17 11,27Aglaia spectabilis 160 4,88 0,3 5,17 10,05Gironniera nervosa 120 3,66 0,3 5,17 8,83Prunus arborea 120 3,66 0,3 5,17 8,83Dacussocarpus walichianus 160 4,88 0,1 1,72 6,60Anisoptera thurifera 80 2,44 0,2 3,45 5,89
Potensi permudaan tingkat pancang taer adalah sebanyak 80
pohon per hektar. Jenis ini menempati posisi dominan ke 10.
Dominannya jenis taer disebabkan karena penyebaran individunya
yang merata bukan karena individunya yang banyak, bila
dibandingkan dengan jenis Dacussocarpus walichianus yang
memiliki individu yang banyak tetapi penyebarannya sangat tidak
merata.
Pada tingkat pancang, proses suksesi masih terus
berlangsung. Komposisi jenis, kerapatan dan frekwensi merupakan
gambaran awal bagi proses ekologi yang terjadi pada habitat taer.
Kerapatan atau densitas adalah besarnya populasi dalam suatu unit
ruang, yang pada umumnya dinyatakan sebagai jumlah individu-
individu dalam setiap unit luas atau volume (Gopal dan Bhardwaj,
48
1979). Kerapatan populasi bervariasi menurut waktu dan tempat.
Dalam pengkajian suatu kondisi populasi atau komunitas hutan,
kerapatan populasi merupakan parameter utama yang perlu
diketahui. Kerapatan populasi merupakan salah satu hal yang
menentukan pengaruh populasi terhadap komunitas atau
ekosistem. Kerapatan juga sering dipakai untuk mengetahui
perubahan yang terjadi dalam populasi pada saat tertentu.
Perubahan yang dimaksud adalah berkurang atau bertambahnya
jumlah individu dalam setiap unit luas atau volume.
Adanya perbedaan jenis dominan dan komposisi jenis pada
tingkat semai dan pancang disebabkan karena penyebaran jenis
yang tidak merata dan kemampuan beradaptasi dari setiap jenis.
Hal ini sesuai dengan pendapat Korner (1999), dalam Dolezal dan
Srutek, 2002) yang menyatakan bahwa penyebaran atau
persebaran suatu jenis tumbuhan secara tidak langsung
dipengaruhi oleh interaksi antara vegetasi dan suhu udara,
kelembaban udara, dan kondisi topografi seperti ketinggian
tempatdan ketebalan tanah. Habitat taer yang memiliki tipe habitat
yang bervariasi yaitu tanah berbatu, tanah berkarang dan karang
dengan keadaan topsoil yang berbeda diduga merupakan faktor
yang mempengaruhi penyebaran jenis vegetasi pada tingkat semai,
di mana penyebaran jenis pada habitat tanah dan tanah berbatu
akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan habitat tanah berkarang
atau berkarang.
49
Gambar 12. Kayu Karang (Lunasia amara),jenis yang paling dominan pada tingkat pancang di Pulau Yop Meos – A. batang; B. daun; C. buah tua
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2007
C
A
B
50
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2009
c. Tingkat Tiang
Pada tingkat permudaan tiang, taer merupakan salah satu
jenis yang mendominasi kawasan punggung dan puncak bukit
pada hutan di Pulau Yop Meos. Sepuluh jenis permudaan tingkat
tiang yang paling mendominasi kawasan punggung dan puncak
bukit pada kawasan hutan di Pulau Yop Meos disajikan pada Tabel
8.
Tabel 8. Sepuluh jenis vegetasi dominan tingkat permudaan tiangpada habitat taer di Pulau Yop Meos
NAMA JENIS K(n/ha)
KR(%)
FR(%)
DR(%)
INP(%)
Podocarpus neriifolius 70 10,4 9,09 9,41 28,95
Anisoptera thurifera 60 9,0 9,09 9,63 27,67
Horsfieldia sylvestris 50 7,5 7,27 5,88 20,62
Campnosperma brevipetiolata 40 6,0 3,64 4,70 14,31
Calophyllum pseudovitiense 30 4,5 3,64 4,96 13,08
Dacussocarpus walichianus 30 4,5 3,64 4,77 12,88
Spathiostemon javaensis 30 4,5 3,64 4,26 12,38
Homalium foetidum 20 3,0 3,64 4,07 10,69
Lepinopsis ternatensis 20 3,0 3,64 3,85 10,47
Calophyllum inophyllum 20 3,0 3,64 3,85 10,47
Pada tingkat tiang, jenis yang paling dominan berturut-turut
pada kawasan hutan punggung dan puncak bukit di Pulau Yop
Meos adalah Podocarpus neriifolius, Anisptera thurifera, Horsfieldia
sylvestris, Campnosperma brevipetiolata dan Calophyllum
51
pseudovitiense. Dominannya jenis-jenis tersebut mengindikasikan
bahwa jenis ini tumbuh dan menyebar merata karena mampu
beradaptasi dengan semua tipe habitat yang ada pada kawasan
hutan punggung dan puncak bukit di Pulau Yop Meos.
Potensi permudaan tingkat tiang taer adalah sebanyak 60
pohon per hektar. Jenis ini menempati posisi dominan ke 2.
Dominannya jenistaerdisebabkan karena jumlah individunya yang
banyak, penyebaran individu yang merata dan rata-rata
pertumbuhan riap diameter yang baik.
d. Tingkat Pohon
Fase pertumbuhan pohon merupakan tahap akhir suksesi
pada habitat taer. Pada tingkat pohon, taer merupakan salah satu
jenis yang mendominasi kawasan punggung dan puncak bukit
pada kawasan hutan di Pulau Yop Meos. Sepuluh jenis vegetasi
tingkat pohon yang paling mendominasi kawasan hutan punggung
dan puncak bukit di Pulau Yop Meos disajikan pada Tabel 9. Jenis
yang paling dominan berturut-turut pada kawasan hutan punggung
dan puncak bukit di Pulau Yop Meos adalah Vatica rassak,
Anisoptera thurifera, Haplolobus lanceolatus, Spathiostemon
javaensis dan Pterygota horsfieldii. Dominannya jenis-jenis ini
menunjukkan bahwa jenis-jenis ini mempunyai toleransi yang tinggi
terhadap lingkungannya. Selain memiliki adaptasi yang baik
sehingga tersebar merata, jenis-jenis tersebut juga memiliki
kemampuan pertumbuhan diameter dan tinggi yang optimal
52
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2009
sehingga jenis ini memungkinkan untuk mendominasi strata teratas
dan menjadi penciri tegakan utama di kawasan ini.
Tabel 9. Sepuluh jenis vegetasi dominan tingkat pohon padahabitat taer di Pulau Yop Meos
NAMA JENIS K(n/ha)
KR(%)
FR(%)
DR(%)
INP(%)
Vatica rassak 20 9,20 9,21 10,43 28,83Anisoptera thurifera 15 6,90 6,58 10,23 23,71Haplolobhus lanceolatus 12.5 5,75 6,58 3,73 16,06Spathiostemon javanensis 12.5 5,75 6,58 3,50 15,83Pterygota horsfiedii 7.5 3,45 3,95 6,40 13,80Pometia coreacea 10 4,60 2,63 5,92 13,15Lepinopsis ternatensis 10 4,60 5,26 3,02 12,88Pertusadina eurynchae 10 4,60 3,95 3,28 11,82Dysoxylum sp. 10 4,60 3,95 2,29 10,84Podocarpus neriifolius 5 2,30 2,63 4,79 9,72
Jenis vegetasi tingkat pohon lainnya yang memiliki INP yang
rendah disebabkan karena jenis tersebut tidak mampu bersaing
dengan jenis lainnya atau sesama jenisnya terhadap lingkungan
yang rendah, karena setiap jenis vegetasi membutuhkan lingkungan
yang sesuai bagi pertumbuhannya mulai dari semai sampai pohon
sesuai tingkat suksesi yang terjadi pada habitatnya.
Potensi vegetasi tingkat pohon taer adalah sebanyak 20
pohon per hektar. Jenis ini menempati posisi dominan ke 2.
Dominannya jenis taer ini disebabkan karena jumlah individunya
yang banyak serta rata-rata pertumbuhan riap diameter yang cukup
53
baik, bukan karena penyebaran individunya yang merata.
Berdasarkan fakta tersebut dapat diindikasikan bahwa jenis pohon
taer tidak mampu tumbuh atau beradaptasi pada habitat karang
tetapi mampu tumbuh dan beradapatasi dengan habitat tanah
berbatu dan tanah berkarang.
2. Struktur Populasi
Struktur populasi taer di Pulau Yop Meos dapat diketahui
dengan pendekatan jumlah individu untuk setiap tingkat
pertumbuhan yang ditemukan pada kawasan hutan tersebut. Pada
fase semai, pancang, tiang dan pohon jumlah individu, tingkat
populasi dan persen kegagalan dapat dilihat pada Tabel 10.
Struktur populasi taer pada Tabel 10 memperlihatkan suatu
bentuk piramida populasi yang normal di mana semai (57,54%),
menempati alas piramida, pancang (26,82%) pada tingkat kedua
dari alas piramida, tiang (10,06%) pada tingkat ketiga dan pohon
(5,59%) pada tingkat keempat atau tingkat paling atas dari alas
piramida.
54
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2009
Tabel 10. Tingka tpopulasi dan persen kegagalan taer pada fase semai, pancang, tiang dan pohon
Tingkat pertumbuhan
Jumlah individu
Persen(%)
Jumlah gagal
Persen(%)
Semai 103 57,54 - -Pancang 48 26,82 55 53,40Tiang 18 10,06 20 41,67Pohon 10 5,59 8 44,44Jumlah 179 100,00 83 139,51
Persentase kegagalan taer dari fase semai ke fase pancang
53,40%. Persentase kegagalan tersebut tergolong besar. Hal ini
disebabkan karena adanya seleksi alam baik ekstern maupun
intern. Secara ekstern adalah persaingan antara individu taer (inter-
specific competition) maupun dengan jenis vegetasi lain (inter-
specific competition) pada tingkat yang sama maupun antar strata
dalam memperebutkan ruang tempat tumbuh, cahaya dan unsur
hara. Sedangkan faktor intern meliputi sifat genetika dan potensi
taer serta kemampuan adaptasi individu terhadap seleksi alam
tersebut.
55
Gambar 13. Vatica rassak, Jenis yang paling dominan pada tingkat pohon di pulau Yop Meos -A. batang; B. daun; C. buah
Persentase kegagalan taer dari fase pancang ke fase tiang
adalah sebesar 41,67%. Persentase kegagalan tersebut tergolong
rendah karena umumnya individu-individu jenis ini yang telah
mencapai fase tiang adalah individu-individu yang telah melalui
proses seleksi alam sehingga mampu tumbuh dan beradaptasi
dengan lingkungan. Namun demikian adanya persaingan terhadap
ruang dan waktu mengakibatkan persen kegagalan jenis taer pada
fase tiang hingga mencapai fase pohon sebesar 44,44%.
C
A
B
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2006
56
3. Potensi Buah
Menurut masyarakat di Pulau Yop, pohon taer hanya
berbuah sekali dalam 5 tahun dan tahun 2009 bukan merupakan
tahun berbuah untuk pohon taer tersebut, namun dalam survey
lapangan ditemukan satu pohon yang berbuah dengan potensi
buah yang cukup banyak. Pengamatan terhadap potensi buah
hanya dilakukan pada satu pohon tersebut.
Pohon yang berbuah tersebut berdiameter 50 cm, tinggi
bebas cabang 12 m dan tinggi total 35 m. Hal ini menyebabkan
adanya dugaan sementara bahwa kemungkinan pohon taer pada
awal berbuah atau pertama kali berbuah pada diameter pohon lebih
besar dari 25 cm, mengingat bahwa jenis pohon tersebut
merupakan tipe pohon berukuran besar atau raksasa pada hutan
tropis di Indonesia.
Berdasarkan hasil pengamatan potensi buah terhadap satu
pohon berbuah tersebut, dapat diketahui bahwa potensi buah taer
per pohon sangat bervariasi menurut umur, diameter dan tinggi
pohon. Namun secara umum potensi buah pada pohon berbuah
tersebut jika diukur dengan ember ukuran 5 kg, maka untuk pohon
tersebut akan menghasilkan 40–50 ember. Hal ini disebabkan
karena buah yang dihasilkan oleh pohon tersebut meskipun sangat
kecil (berdiameter ± 1 cm) tetapi jumlahnya sangat banyak.
57
Sumber : Data primer hasil analisis Laboratorium Gizi dan Pangan Fapertek UGM Tahun 2009
E. Kandungan Gizi Taer
Kandungan gizi buah taer secara lengkap disajikan pada
Tabel 11. Nampak bahwa kandungan protein, lemak dan vitamin C
pada buah taer cukup tinggi. Perbandingan kandungan gizi buah
taer dengan beberapa jenis buah yang sudah dikenal dan sering
dikonsumsi oleh masyarakat seperti alpukat, durian, sirsak, langsat,
pepaya, rambutan dan salak dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 11. Kandungan gizi taer
Komponen Hasil Analisis Rata-RataSampel 1 Sampel 2
Kadar Air
Kadar Abu
Kadar Lemak
Protein Total
Serat Kasar
Vitamin C
70,41
1,50
12,92
3,99
5,201
156,99
70,90
1,47
12,88
4,12
5,203
159,70
70,65
1,49
12,90
4,06
5,202
158,35
58
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2009 dan data Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian IPB Bogor, 2006 dalam Sirami 2009 dan The Indonesian Commodity System, IPB dalam Suhardi et al, 2006
Tabel 12. Perbandingan kandungan gizi Taer dengan beberapa jenis buah-buahan dan biji-bijian
Buah Protein(gr)
Lemak(gr)
Vit C(mg)
Air(gr)
TaerKacang hijauKedelaiSorghumJagungKacang tanahAlpukatDurianSirsakLangsatPepayaRambutanSalak
4,0623,036,99,89,420,00,92,51,00,90,52,00,9
12.901,217,23,304,2045,06,53,00,30,20
0,10
158,35-----
135,3203,078582
70,6612,49,811,213,5
-84,465
81,781
86,780,578
Kandungan protein, lemak dan vitamin C pada taer
umumnya lebih tinggi jika dibandingkan dengan jenis-jenis buah
lainnya yang sering dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia secara
umum. Taer memiliki kandungan vitamin C yang lebih tinggi dari biji-
bijian dan kacang-kacangan yang sering dikonsumsi oleh
masyarakat di Indonesia.
F. Etnobotani Taer dalam Budaya Suku Wondama
Buah taer, merupakan salah satu jenis buah yang bijinya
dikomsumsi seperti kacang hijau oleh masyarakat suku (etnik)
Wondama (khususnya masyarakat di Pulau Yop Meos dan Pulau
59
Meoswar (Roswar) secara turun temurun sejak zaman nenek
moyang hingga sampai saat ini. Tidak ada bukti yang tepat
menjelaskan sejak kapan masyarakat tradisional tersebut pertama
kali mengkonsumsi jenis buah taer tersebut. Namun secara budaya
buah taer ini memiliki beberapa fungsi atau peranan yang penting
dalam perkembangan budaya suku Wondama (terutama bagi
masyarakat suku/etnik Wondama yang tinggal di daerah kepulauan)
yaitu :
1. Fungsi Historis dan Pertahanan
Masa sebelum injil masuk di Tanah Papua (sebelum tahun
1855), orang Wondama masih hidup dalam masa pengayauan
seperti etnik-etnik lain di Papua. Masa ini ditandai dengan
gencarnya perang-perang suku antar orang Wondama dengan
orang Biak, orang Numfor, dan orang Mansinam. Kadang juga
mereka melakukan aksi pembajakan di tengah laut terhadap setiap
kapal atau perahu yang melewati daerah teritorial mereka. Dalam
melakukan peperangan atau aksi pembajakan biasanya mereka
dapat meninggalkan kampung mereka selama berminggu-minggu
bahkan berbulan-bulan (van Hasselt, 2002).
Makanan yang dikonsumsi mereka selama perjalanan adalah
selain beriam tereu atau sagu buah hitam, adalah buah taer. Buah
taer yang belum diolah dapat bertahan dalam waktu lama dan tidak
cepat rusak. Cara memasak atau mengolahnya pun tidak rumit.
Buah taer yang telah direbus biasanya dimakan bersama sagu.
60
Gambar 14. Buah taer yang telah dibelah untuk diambil bijinya sebagai bahan pangan
Kalori yang dihasilkan taer lebih banyak dibanding sagu, karena
buah taer mengandung protein, lemak dan vitamin yang lebih tinggi.
2. Fungsi Ketahanan Pangan atau Konsumtif
Buah taer merupakan makanan tambahan bagi masyarakat
Wondama (khususnya masyarakat yang hidup di daerah
kepulauan). Kebiasaan ini hanya berlangsung ketika musim
berbuah. Buah taer akan menjadi makanan utama apabila
hubungan transportasi antara daerah kepulauan dan tanah besar
(daratan Papua) terputus akibat gelombang laut yang besar
sehingga masyarakat tidak dapat mencari ikan di laut dan
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2009
61
mendapatkan pasokan makanan lain dari luar sehingga dalam
masa tersebut, masyarakat hanya mengkonsumsi buah taer saja.
Dalam pemanfaatannya, jarang sekali biji dari buah ini
dimakan tanpa dicampur dengan jenis makanan lain. Biasanya
selain dimakan dengan sagu, biji buah taer juga dapat dimakan
dengan kasbi (ketela pohon), petatas (ketela rambat) dan keladi.
Jika dimakan tanpa dicampur dengan bahan pangan lain, badan
akan terasa lemas dan menyebabkan rasa ngantuk yang
mengakibatkan tertidur dalam waktu lebih lama dari waktu tidur
normal. Karena kandungan lemak, protein dan vitamin yang tinggi,
maka masyarakat memanfaatkannya sebagai makanan tambahan
sumber lemak dalam menu makanan setiap hari, terutama pada
saat musim berbuah jenis ini.
G. Konservasi Tradisional
Masyarakat Suku Wondama (terutama orang yang berdiam di
Pulau Yop dan Pulau Meoswar) telah lama memanfaatkan buah
taer dalam kehidupan budaya dan keseharian mereka. Namun
sampai saat ini masyarakat belum melakukan kegiatan budidaya
(konservasi tradisional).
H. Status Konservasi
Taer adalah salah satu jenis pohon indigenous atau
tumbuhan asli (native species) di Papua. Di Indonesia, jenis ini
penyebarannya meliputi Papua, Maluku dan Maluku Utara
(Halmahera). Secara ekologi, taer merupakan jenis yang banyak
62
terdapat pada hutan tropis dataran rendah pada kawasan hutan
dengan topografi landai, bergelombang atau punggung bukit dan
puncak bukit. Penyebaran jenis ini secara alami pada ketinggian
tempat 10–600 m dpl.
Selain bijinya dimanfaatkan sebagai bahan pangan oleh
masyarakat di Pulau Yop Meos (seperti kacang hijau), jenis ini juga
merupakan jenis kayu perdagangan (komersial) di daerah
penyebarannya. Sayangnya, jenis taer adalah jenis yang tidak
tahan terhadap serangan hama bubuk kayu sehingga dalam
pemanfaatannya, perlu dilakukan pengawetan kayu secara cepat
dan tepat.
Meskipun secara tradisional masyarakat di Pulau Yop Meos
belum melakukan kegiatan budidaya (konservasi tradisional) namun
secara umum penyebaran jenis ini secara alami di Pulau Yop Meos
masih cukup tersedia. Pada skala yang lebih luas, jenis ini juga
terdapat pada hampir sebagian wilayah di Papua dan
regenerasinya juga sangat mudah di alam. Namun secara umum,
dalam proses regenarasinya, jenis ini sangat menyukai hutan
sekunder atau daerah-daerah yang terbuka, baik secara alami
maupun akibat campur tangan manusia (kebun tradisional).
Meskipun jenis ini secara global belum dinyatakan sebagai
spesies terancam punah, namun untuk mencegah terjadinya
kepunahan secara ekologis di Pulau Yop Meos, sekarang mungkin
sudah saatnya untuk melakukan kegiatan penanaman dalam
rangka penghijauan dan/atau reboisasi pada kawasan hutan Pulau
63
Yop Meos. Mengingat bahwa Pulau Yop Meos sebagai ekosistem
kepulauan sangat rentan terhadap kepunahan spesies, terutama
kepunahan secara ekologis (suatu spesies dinyatakan punah atau
hilang dari suatu kawasan ekologis tertentu) maka sangat
diperlukan dukungan kerjasama dengan Pemerintah Daerah
setempat melalui instansi teknis (Dinas Kehutanan) setempat dalam
kegiatan konservasi in-situ dan pengembangan tanaman taer.
I. Prospek Pengembangan
Taer sangat potensial untuk dikembangkan di seluruh Tanah
Papua terutama pada daerah yang memiliki tipe ekosistem hutan
dataran rendah. Pengembangan atau penanaman jenis ini dalam
bentuk kebun koleksi sangat mudah untuk dilakukan mengingat
jenis ini tidak membutuhkan karakter habitat yang spesifik.
64
Gam
bar 1
5. P
enye
bara
n ta
er(A
niso
pter
a th
urife
ra) d
i Tan
ah P
apua
Ket
eran
gan
:=
Loka
si P
enye
bara
n
65
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2009
Gambar 16. Buah Piarawi atau Buah Hitam
(Haplolobus cf. monticola Husson)66
A. Deskripsi Botani
Haplolobus cf. monticola Husson (Burseraceae)
Nama dagang : kenari Nama daerah : piarawi, buah hitam (Wondama)
Perawakan: Pohon berukuran sedang, tingginya mencapai 24–30m. Batang utama silindris, kadang-kadang sedikit berbuncak tetapi tidak berlekuk dan berpilin. Bebas cabang mencapai 10-12 m dengan diameter setinggi dada ± 50 cm, berbanir kecil atau kadang-kadang tanpa banir. Pepagan luar kasar, bersisik, berwarna coklat, coklat kekuningan atau coklat muda abu-abu. Takikan batang pepagan tebalnya 5–8 mm. Mengandung resin berwarna bening yang bila teroksidasi dengan udara berubah warna menjadi coklat kekuningan. Pepagan dalam keras, berwarna krem. Daunmajemuk tunggal, bersirip ganjil, kedudukan daun tersebar atau spiral, anak daun 3–5 pasang, berbentuk membundar telur menjorong sampai menjorong, pangkal anak daun membaji, ujung melancip, bertepi rata atau bergelombang, panjang 10–21 cm, lebar5–1 cm, panjang tangkai anak daun 2,5–3 cm. peruratan daun tenggelam pada permukaan atas daun, urat daun sekunder menyirip beraturan atau tidak beraturan, melengkung busur, 10–12 pasang, urat daun tersier berbentuk jala. Jumlah anak daun 5–(7)–9, tangkai anak daun membengkak pada kedua ujung. Perbungaan berbentuk malai biasanya terdapat pada ketiak daun. Bunga berwarna putih kekuningan, berukuran kecil, bergaris tengah 4– 6 mm. Buah berbentuk lonjong, panjang 2,5–3,2 cm, bergaris tengah 1,2–1,5 cm, buah muda berwarna hijau, buah matang berwarna hitam. Biji tunggal, panjang 1,8–2,2 cm, bergaris tengah 0,7–1 cm.
V. BUAH PIARAWI (Haplolobus cf. monticola Husson) DAN PEMANFAATANNYA OLEH SUKU WONDAMA DI KABUPATEN TELUK WONDAMA
67
A
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2009
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2009
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2009
D
Dokumentasi : Liafrida T, 2006
Gambar 17. Haplolobus cf. monticola Husson – A. perawakan batang; B. daun; C. buah muda; D. buah tua
B
C
68
Piarawi (Haplolobus cf. monticola Husson) merupakan jenis
tumbuhan endemik dan indigenous atau asli (native species) di
Papua. Penyebarannya sangat terbatas yaitu hanya terdapat di
semenanjung Wondama. Jenis ini menurut informasi masyarakat
dibawa dari daerah Goni (suatu daerah yang merupakan
perbatasan Kabupaten Teluk Wondama dan Kabupaten Nabire).
Jenis ini kemudian dibawa dan ditanam oleh orang tua dan
kemudian dibudidayakan di pinggir-pinggir rumah sebagai
tumbuhan penghasil buah. Secara ekonomis, jenis ini bukan
termasuk jenis kayu perdagangan karena diameternya kurang dari
60 cm dan memiliki bebas cabang yang umumnya rendah atau
kurang dari 10 m.
Haplolobus cf. monticola, adalah salah satu dari 15 jenis
Haplolobus yang dilaporkan terdapat di Papua. Jenis ini tumbuh
pada hutan dataran rendah bersama-sama dengan vegetasi
berkayu lainnya membentuk hutan hujan tropis dataran rendah di
Semenanjung Wondama. Secara ekologi, jenis ini tumbuh dan
menyebar pada daerah tanah dan tanah berbatu dengan ketinggian
tempat 10 – 500 m dpl. Namun khusus untuk daerah Pulau Yop,
jenis ini dapat tumbuh pada daerah tanah berkarang sampai karang
yaitu di punggung-punggung bukit.
Berdasarkan informasi dan hasil penelitian, jenis buah hitam
juga dimanfaatkan oleh masyarakat Suku Biak di Pulau Numfor
Kabupaten Biak Numfor, masyarakat Serui di Pulau Yapen
Kabupaten Yapen dan masyarakat Suku Muyu dan Muyu Mandobo
69
di Kabupaten Boven Digul (Tanah Merah) Merauke. Namun secara
taksonomi jenis buah hitam yang dimanfaatkan oleh masyarakat di
Pulau Numfor, Pulau Yapen dan Baven Digul berbeda dengan jenis
buah hitam yang terdapat di Kabupaten Teluk Wondama. Jenis
buah hitam yang dimanfaatkan oleh masyarakat tradisional di Pulau
Numfor, Pulau Yapen dan Boven Digul adalah Haplolobus
floribundus sedangkan yang dimanfaatkan oleh masyarakat
Wondama adalah Haplolobus cf. monticola. Begitu kentalnya
pemanfaatan buah hitam oleh masyarakat Wondama sehingga jenis
ini memiliki fungsi dan peranan yang penting dalam kehidupan
budaya masyarakat Wondama. Berbeda dengan pemanfaatan buah
hitam oleh masyarakat tradisional Papua lainnya yang tidak begitu
kental sehingga tidak mempengaruhi budaya masyarakat setempat.
Secara budaya, buah hitam merupakan makanan favorit
(kesukaan) masyarakat tradisional di Teluk Wondama. Selain dapat
dimakan secara langsung (buah masak), buah hitam juga dapat di
campur dengan aci sagu dan kemudian dibakar atau dipanggang
dengan api. Hasil bakaran tersebut dikenal dengan sebutan “Sagu
Buah Hitam”
B. Kondisi Sosio-Geografis
Sama halnya dengan buah taer, studi pemanfaatan buah
piarawi juga dilakukan di Kabupaten Teluk Wondama.
Sebagaimana dijelaskan pada Bab IV terdahulu, kabupaten Teluk
Wondama yang terletak pada “leher burung” pulau Papua
mempunyai iklim tropika basah dan didiami oleh etnis Wondama
70
yang mempunyai sistem kepemimpinan campuran (Mansoben,
1995). Pola hubungan masyarakat dan peradaban di kabupaten ini
terus berkembang yang diawali dengan kegiatan misionaris Kisten
Protestan dan pendidikan formal. Salah satu bukti dari
perkembangan masyarakat di Tanah Papua dapat dijumpai di
Kabupaten Teluk Wondama dengan adanya situs peradaban orang
Papua. Wondama sendiri dikenal sebagai kota peradapan orang
Papua karena merupakan daerah pertama berdirinya lembaga
pendidikan formal yaitu sekolah guru Kristen di Miei. Sekolah ini
dibangun oleh para Zeendeling (misionaris) dari Eropa yang
bertujuan untuk mendidik dan memperkenalkan orang Papua
kepada dunia pengetahuan formal yang pada kemudian hari
akhirnya bisa menyebar ke berbagai pelosok di Tanah Papua.
Pada masa Kolonial Belanda Kampung Maniwak (Miei)
merupakan pusat kegiatan Zeendeling atau Zending (Misionaris
Kristen Protestan). Utusan Zending yang sangat terkenal dan selalu
dikenang sepanjang masa oleh masyarakat di Wondama secara
khusus dan Tanah Papua secara umum adalah Isak Samuel Keijne
(yang dikenal dengan sebutan I.S. Keijne). Beliau terkenal karena
menulis syair “Nyanyian Rohani” bagi seluruh umat Kristen
Protestan di dunia dan menciptakan beberapa syair lagu Papua di
antaranya lagu “Hai Tanahku Papua”. Salah satu kata berkat dari
Bapak Pdt. I.S.Keijne yang selalu terkenang bagi masyarakat
Wondama dan masyarakat Papua serta umat Kristen Protestan di
Papua adalah : “Barangsiapa bekerja di Tanah ini (Tanah Papua)
71
Gambar 18. Situs peradapan orang Papua di Kampung Maniwak (dahulu Miei) Kabupaten Teluk Wondama
dengan jujur dan benar, akan mendapatkan satu tanda heran ke
tanda heran lainnya”.
Studi pemanfaatan buah piarawi secara mendalam dilakukan
di Kampung Maniwak, Distrik Wasior, Kabupaten Teluk Wondama.
Secara umum, Kampung Maniwak termasuk dalam zona ekologi
pertama berdasarkan zona ekologi yang dikembangkan oleh
Mansoben (1995), yaitu rawa, daerah pantai dan muara sungai
dengan mata pencaharian utama adalah meramu sagu serta
berladang berpindah dan mata pencaharian sampingan yaitu
menangkap ikan di sungai dan di laut. Makanan pokok mereka
adalah aci sagu dan umbi-umbian.
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2006
72
Kampung Maniwak (dahulu disebut Miei) adalah salah satu
kampung yang terdapat pada Distrik Wasior Kabupaten Teluk
Wondama. Jarak Kampung Maniwak dari ibu kota kabupaten Teluk
Wondama adalah ± 2 km. Jika berjalan kaki dapat ditempuh
dengan waktu 30 menit. Jika menggunakan kendaraan roda 2 atau
4, dapat ditempuh dalam waktu 5–10 menit. Kampung Maniwak
merupakan pusat peradaban orang Wondama dan orang Papua
secara umum.
73
Gam
bar 1
9. L
okas
i Kam
pung
Man
iwak
diK
abup
aten
Tel
uk W
onda
ma
Ket
eran
gan
: =
L
okas
i Pe
nelit
ian
Kam
pung
Man
iwak
74
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2009
C. Ekologi Habitat Piarawi
Dalam rangka kegiatan pelestarian atau konservasi terhadap
jenis piarawi, baik konservasi pada habitat aslinya di alam (in-situ)
maupun di luar habitat aslinya (eks-situ), salah satu aspek yang
sangat perlu untuk diketahui adalah aspek ekologi habitat yang
meliputi faktor fisiografi (ketinggian tempat dan kelerengan), iklim
(suhu udara dan kelembaban), kondisi habitat (tanah, tanah
berbatu, tanah berkarang dan karang) serta kesuburan tanah.
1. Faktor Fisiografis
Ketinggian tempat habitat piarawi di Kampung Maniwak
Distrik Wasior adalah 5-50 m dpl. Sesuai ketinggian tempat
tumbuhnya maka piarawi digolongkan ke dalam jenis tumbuhan
berkayu (pohon) dataran rendah.
Tabel 13. Ketinggian tempat dan kelerengan pada habitat Piarawi di Kampung Maniwak
Habitat Ketinggian tempat(m) dpl.
Topografi/kelerengan(%)
1. 5 0 – 52. 10 5 – 103. 12 5 – 104. 20 10 - 205. 50 10 - 35
Piarawi pada Kampung Maniwak Distrik Wasior tumbuh baik
pada kelerangan 0–35 %. Kisaran kelerengan tersebut sangat
75
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2009
bervariasi dan memiliki kondisi habitat yang datar sampai sedikit
bergelombang. Kondisi habitat demikian secara alami sangat
berdampak terhadap penyebaran dan kuantitas pertumbuhan
piarawi. Dari hasil pengamatan, kualitas pertumbuhan pohon
piarawi pada habitat datar dan bergelombang umumnya sangat
baik, namun sangat berbeda dalam banyaknya individu
(kuantitasnya). Daerah datar dan lembah (cekungan kecil)
umumnya lebih banyak individu dibanding daerah puncak
cekungan.
2. Suhu Udara dan Kelembaban
Suhu udara dan kelembaban serta penutupan tajuk (persen
naungan) pada habitat piarawi disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14. Suhu udara dan kelembaban serta persen penutupan tajukpada habitat piarawi di Kampung Maniwak
Habitat Suhu udara (ºC)
Kelembaban(%)
Persen Penutupan Tajuk(%)
1. 27 - 30 75 – 82 502. 28 - 31 72 – 80 353. 30 - 31 70 – 75 204. 27 - 29 78 – 85 605. 27 - 29 78 – 88 70
Piarawi tumbuh pada daerah-daerah dengan naungan ringan
sampai sedang (20–70%) dengan suhu optimum berkisar antara
27–31º C dan kelembaban optimum berkisar antara 70–88%.
76
Adanya kisaran demikian disebabkan karena jenis buah
hitam/piarawi umumnya ditanam pada areal pekarangan atau
kebun bersama-sama dengan durian (Durio zibethinus), rambutan
(Nephelium lappaceum), sagu, langsat (Lansium domesticum),
pinang (Areca catechu), mangga (Mangifera indica), nangka
(Artocarpus integra) dan manggis (Garcinia mangostana) di mana
faktor habitat sangat dipengaruhi oleh campur tangan manusia. Hal
ini mengindikasikan bahwa piarawi mampu tumbuh pada habitat
dengan naungan ringan dan jenis tersebut sudah dapat
dibudidayakan oleh masyarakat.
3. Keadaan Tanah
Piarawi umumnya tumbuh pada habitat tanah dengan
keadaan solum yang sedang (± 20 cm) sampai dalam (± 30 cm),
sedikit berbatu, banyak serasah atau bahan organik dengan kondisi
tanah umumnya agak lembab, lembab, sedikit berair atau
berlumpur. Habitat demikian umumnya terdapat pada tanah/daerah
datar sampai bergelombang ringan yang tidak curam (kelerengan <
30 %).
77
Sumber : Data primer hasil analisis Laboratorium Tanah Fakultas Pertanian UGM Tahun 2009
Tabel 15. Kesuburan tanah pada habitat piarawi di Kampung Maniwak
Parameter uji Sampel Tanah Kampung Maniwak
Satuan
N 0,13 %P 553,31 ppmK 0,47 %Fe 1,84 %Mg 0,57 %
pH (T) 6,0 - 6,31 -C/N ratio 7,54 -
Bahan Organik 3,91 %
Tanah pada habitat piarawi bersifat agak masam (pH 6,0 –
6,31), N tersedia sangat rendah, P tersedia sangat tinggi, Mg
tersedia rendah, C/N ratio rendah dan K tersedia sedang.
Berdasarkan sifat fisik tanah tersebut, jenis tanah pada habitat
piarawi di Kampung Maniwak tergolong jenis tanah marginal
dengan tingkat kesuburan rendah.
D. Potensi Tegakan dan Buah
1. Potensi Tegakan
Potensi tegakan piarawi tidak dilakukan pada hutan alam
tetapi dilakukan pada areal pekarangan rumah dan areal kebun
yang dimiliki oleh penduduk asli Suku Wondama di Kampung
Maniwak Distrik Wasior. Hal ini disebabkan karena sudah banyak
masyarakat yang melakukan kegiatan budidaya (menanam)
78
piarawi. Batasan yang digunakan dalam penilaian potensi
tegakanpohon piarawi adalah keluarga (hak milik per KK atau
keluarga besar). Alasan lain mengapa tidak dilakukan pengamatan
potensi pada hutan alam adalah persebaran pohon piarawi pada
hutan alam di sekitar Kampung Maniwak sudah sangat terbatas
sekali. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa piarawi yang
dimanfaatkan oleh masyarakat tradisional di Kabupaten Teluk
Wondama tidak menyebar merata di Semenanjung Wondama
seperti halnya buah matoa (Pometia pinnata Forst.) yang dapat
dijumpai pada semua hutan dataran rendah di Kabupaten Teluk
Wondama.
Berdasarkan hasil pengamatan, diketahui bahwa rata-rata
setiap keluarga asli Suku Wondama memiliki 5 sampai 15 pohon
piarawi. Menurut kebiasaan, hak milik pada pohon piarawi tersebut
dapat bersifat individu (perorangan) maupun bersifat hak milik
bersama dalam keluarga.
2. Potensi Buah
Hal yang positif pada musim berbuah piarawi, umumnya
semua pohon piarawi berbuah serentak. Namun yang cukup unik
(mungkin perlu diteliti lebih lanjut) adalah waktu masak atau matang
buah tersebut tidak sama untuk setiap wilayah atau kampung di
Kabupaten Teluk Wondama. Umumnya buah hitam akan matang
dari arah Barat ke arah Utara, dimulai dari Kampung Dusner dan
berakhir pada Kampung Aisandami. Hal ini sangat dipengaruhi oleh
lamanya sinar matahari menyinari dan waktu penyinaran pada
79
wilayah-wilayah tersebut yang dikenal dengan “efek bayang-
bayang”.
Potensi buah piarawi per pohon sangat bervariasi menurut
umur, diameter dan tinggi pohon. Namun secara umum rata-rata
potensi buah jika diukur dengan ember ukuran 5 kg, maka untuk
setiap pohon yang berdiameter 20–30 cm akan menghasilkan 10–
20 ember, pohon berdiameter 30–40 cm akan menghasilkan20–30
ember, pohon berdiameter 40–50 cm akan menghasilkan 25-35
ember dan pohon berdiameter >50 cm akan menghasilkan 35
ember.
E. Kandungan Gizi Piarawi
Kandungan gizi piarawi disajikan pada Tabel 16. Kandungan
protein, lemak dan vitamin C pada buah hitam umumnya cukup
tinggi. Perbandingan kandungan gizi buah hitam dengan beberapa
jenis buah yang umumnya dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia
dapat dilihat pada Tabel 17.
80
Sumber : Data primer hasil analisis Laboratorium Gizi dan Pangan Fapertek UGM
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2009 dan data Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian IPB Bogor, 2006 dalam Sirami 2009 dan The Indonesian Commodity System, IPB dalam Suhardi et al, 2006
Tabel 16. Kandungan gizi piarawi
Macam Analisa Hasil Analisis Rata-Rata
Sampel 1 Sampel 2
Kadar Air
Kadar Abu
Kadar Lemak
Protein Total
Serat Kasar
Vitamin C
64,57
1,19
14,69
2,51
10,73
279,20
64,49
1,17
14,77
2,44
10,68
275,70
64,48
1,18
14,73
2,48
10,70
277,45
Tabel 17. Perbandingan kandungan gizi piarawi dengan beberapa jenis buah
Buah Protein(gr)
Lemak(gr)
Vit C(mg)
Air(gr)
Piarawi/Buah HitamAlpukatDurianSirsakLangsatPepayaRambutanSalak
2,480,902,501,000,900,502,000,90
14,736,503,000,300,20
00,10
0
277,4513,005,3020,003,0078,0058,002,00
64,4884,4065,0081,7081,0086,7080,50,78,00
81
Kandungan protein, lemak dan vitamin C piarawi umumnya
lebih tinggi jika dibandingkan dengan jenis-jenis buah lainnya yang
sering dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia.
F. Etnobotani Piarawi dalam Budaya Suku Wondama
Secara umum masyarakat suku (etnik) Wondama yang
bermukim di daerah tanah besar (Pulau Papua) memiliki bahan
pangan pokok utama yaitu aci sagu dan umbi-umbian seperti kimpul
atau keladi (Xanthosoma violaceum), ketela rambat atau betatas
(Ipomoea batatas), talas (Colocasia esculenta) dan ketela pohon
atau kasbi (Manihot utillisima). Mata pencaharian utama mereka
adalah perladangan berpindah.
Sejalan dengan dinamika pembangunan dan terbentuknya
Kabupaten Teluk Wondama sejak tahun 2003, masyarakat
Wondama, khususnya yang hidup di tanah besar (Pulau Papua),
telah mengalami perubahan dalam hal makanan pokok. Saat ini
masyarakat tidak lagi memanfaatkan aci sagu dan umbi-umbian
sebagai bahan pangan pokok tetapi masyarakat telah beralih ke
beras sebagai bahan pangan pokok.
Piarawi, merupakan salah satu jenis buah yang dikomsumsi
oleh masyarakat suku Wondama secara turun temurun sejak
zaman nenek moyang hingga sampai saat ini. Buah piarawi yang
telah matang dapat dimakan secara langsung atau diolah terlebih
dahulu. Masyarakat suku Wondama memanfaatkan buah piarawi
pada musim berbuahnya saja.
82
Jika dimakan secara langsung, buah piarawi biasanya
direndam terlebih dahulu pada air selama beberapa jam, atau
biasanya direndam dari malam sampai pagi. Cara ini digunakan
untuk mempermudah daging buah terlepas dari bijinya. Jika diolah
terlebih dahulu, maka buah yang sudah direndam tersebut dilepas
daging buahnya dan dicampurkan dengan aci sagu dan ditambah
dengan gula pasir secukupnya, kemudian diaduk atau dicampurkan
dan dimasukkan ke dalam wadah daun sagu yang telah disiapkan
untuk selanjutnya dibakar atau dipanggang pada api. Buah piarawi
sangat erat kaitannya dengan budaya masyarakat suku Wondama
karena buah ini, baik dimakan langsung maupun diolah terlebih
dahulu, sering digunakan dalam upacara adat.
Tidak ada bukti yang dapat menjelaskan dengan tepat sejak
kapan orang Wondama pertama kali mengkonsumsi buah piarawi
tersebut. Namun secara budaya buah piarawi ini memiliki beberapa
fungsi atau peranan yang penting dalam perkembangan budaya
suku Wondama, yaitu :
1. Fungsi Historis dan Pertahanan
Masa sebelum injil masuk di Tanah Papua (sebelum tahun
1855), orang Wondama masih hidup dalam masa pengayauan
seperti etnik-etnik lain di Papua. Masa ini ditandai dengan
gencarnya perang-perang suku antar orang Wondama dengan
orang Biak, orang Numfor, dan orang Mansinam. Mereka juga
kadang-kadang melakukan aksi pembajakan di tengah laut
terhadap setiap kapal atau perahu yang melewati daerah teritorial
83
mereka. Selama melakukan peperangan atau aksi pembajakan
biasanya mereka dapat meninggalkan kampung mereka selama
berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan (van Hasselt, 2002).
Makanan yang dikonsumsi mereka selama perjalanan adalah
beriam tereu atau sagu buah hitam. Sagu buah hitam dapat
bertahan dalam waktu lama dan tidak cepat rusak. Kalori yang
dihasilkan buah piarawi lebih banyak dibanding sagu yang tidak
dicampurkan buah hitam, karena sagu buah hitam mengandung
lemak dan protein yang tinggi, sehingga disebut sebagai “sagu
perang.”
2. Fungsi Legalitas Perkawinan
Sagu buah hitam (Bariam tereu) dalam ritual adat orang
Wondama merupakan makanan khas yang hanya disajikan pada
upacara antar mas kawin, tusuk telinga dan meminang calon
pengantin wanita. Dalam upacara antar mas kawin, sagu buah
hitam berfungsi juga sebagai alat tukar oleh keluarga mempelai
wanita terhadap piring-piring mas kawin yang diantarkan keluarga
mempelai pria.
Sagu yang tidak dicampurkan tidak disajikan dalam upacara
adat dimaksud. Dalam ritual tusuk telinga, antar maskawin dan
meminang calon pengantin wanita, selalu diiringi oleh tarian dan
nyanyian dalam waktu yang sangat lama. Aktivitas ini selalu
memerlukan energi yang cukup. Oleh sebab itu, sagu buah hitam
selalu disajikan sebagai makanan selama upacara adat
84
berlangsung karena kandungan lemak dan proteinnya memberikan
energi tambahan.
3. Fungsi Perdamaian atau Rekonsolidasi
Jika terjadi perkelahian atau pertengkaran antar keluarga,
maka sagu buah hitam akan menjadi sajian dalam penyelesaian
perkara. Sagu ini akan disajikan setelah ada pembicaraan damai
antara dua keluarga yang ditengahi oleh kepala kampung atau
orang tertua di dalam sistem adat mereka. Acara makan sagu buah
hitam secara bersama-sama antara dua pihak yang bertengkar
menandakan bahwa masalah atau perkara yang terjadi di antara
mereka sudah selesai. Selain itu, sagu buah hitam juga biasa
dibakar atau disediakan khusus sebagai hidangan spesial kepada
orang tua, orang yang dihormati atau orang yang disayangi. Dalam
budaya yang lebih mendalam pada masyarakat tradisional di
Kabupaten Teluk Wondama, sagu buah hitam juga dapat disajikan
atau diberikan kepada orang yang dianggap musuh atau lawan
sebagai hidangan spesial.
Berkaitan dengan ungkapan kasih sayang, banyak orang tua
dan orang muda meluangkan waktunya untuk mengumpulkan buah
hitam, menokok sagu dan kemudian dicampur dan dibakar. Sagu
buah hitam tersebut kemudian dikirim kepada anggota keluarga
yang merantau untuk menempuh pendidikan atau bekerja di luar
Kabupaten Teluk Wondama.
85
Gambar 20. Buah Piarawi yangtelah masak, yang siap dimakan atau diolah terlebih dahulu
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2009
86
Gambar 21. Sagu buah hitam (campuran aci sagu, daging buah piarawi, kelapa parut dan gula pasir) yang telah dimasak dan siap untuk disajikan.
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2009
87
Gambar 22. Potongan melintang sagu buah hitam yang telah siap untuk disajikan
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2009
88
4. Fungsi Ekonomi
Buah piarawi, selain dikonsumsi sendiri, kadang-kadang juga
dijual. Cara penjualannya dilakukan dengan beberapa cara yaitu
ada yang per pohon, per kantong atau dalam bentuk sagu buah
hitam. Apabila ada pohon yang buahnya sudah masak dan siap
panen, pemilik pohon dapat langsung melakukan penawaran
kepada anggota masyarakat yang lain dengan harga minimal
Rp. 300.000,- sampai Rp. 500.000,- per pohon.
Selain itu, ada juga yang dijual per kantung plastik seharga
Rp. 50.000,-,sedangkan dalam bentuk sagu buah hitam biasanya
dijual dengan harga Rp. 10.000,- per bungkus, ukuran bungkus
panjangnya ± 20 cm, dengan ketebalan 4-5 cm. Aktivitas ekonomi
ini hanya dilakukan pada saat musim berbuah, biasanya 1 sampai 2
kali dalam setahun.
5. Fungsi Pewarisan
Jenis piarawi memiliki nilai warisan yang sangat tinggi
dibanding matoa, langsat, atau jenis tumbuhan hutan lain yang
buahnya dikonsumsi sebagai bahan pangan, kecuali sagu. Bila
sagu diwariskan dalam bentuk dusun, jenis ini diwariskan dalam
bentuk pohon tunggal. Seorang ayah atau kepala rumah tangga
sebelum akhir hayatnya biasanya membagi tiap pohon menurut
jumlah anak-anak dalam keluarga, dan hak pengelolaanya hanya
dipegang oleh si penerima warisan.
89
Apabila pohon tersebut akan ditebang untuk keperluan
pembangunan jalan atau fasilitas pemerintah yang lain, ganti rugi
atas pohon tersebut hanya dapat ditentukan oleh si pemilik pohon.
Walaupun pemilik pohon sedang berada di luar kampung, anggota
keluarga lain tidak berhak menentukan nilai ganti rugi dari pohon
yang dimaksud. Jika dusun sagu adalah milik keret atau keluarga
besar, pohon buah hitam adalah milik perseorangan dalam
keluarga.
G. Konservasi Tradisional
Masyarakat Suku Wondama telah lama memanfaatkan buah
piarawi dalam kehidupan budaya dan keseharian mereka. Begitu
pentingnya buah piarawi dalam budaya Suku Wondama sehingga
sejak tahun 1980-an oleh orang tua dikampung, telah dilakukan
kegiatan budidaya piarawi. Sejalan dengan perkembangan
penduduk, sejak tahun 1995 sampai sekarang, kegiatan budidaya
piarawi terus digalakkan oleh orang tua dan pemuda-pemuda di
setiap kampung. Sayangnya, kegiatan tersebut masih bersifat
pribadi dan belum didukung oleh pemerintah.
Dasar dari kegiatan budidaya tersebut adalah orang tua
khawatir jika suatu saat nanti dengan perkembangan penduduk,
jumlah pohon piarawi yang dimiliki oleh keluarga tidak akan
mencukupi kebutuhan keluarga lagi.
90
Gambar 23. Piarawi yang telah dibudidayakan dan siap ditanam pada kebun atau pekarangan rumah
Gambar 24. Dusun atau kebun piarawi milik keluarga besar matani di daerah Mawoi Kabupaten Teluk Wondama
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2009
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2009
91
H. Status Konservasi
Piarawi adalah salah satu jenis pohon endemik dan tumbuhan
asli (native species) di Papua. Di Tanah Papua, jenis ini
penyebarannya sangat terbatas yaitu pada semenanjung
Wondama. Secara ekologi, jenis piarawi merupakan jenis yang
tumbuh pada hutan tropis dataran rendah, pada kawasan hutan
dengan topografi landai, bergelombang atau punggung bukit dan
puncak bukit. Penyebaran jenis ini secara alami pada ketinggian
tempat 10–500 m dpl.
Meskipun secara tradisional masyarakat Wondama di
Kabupaten Teluk Wondama telah melakukan kegiatan budidaya
(konservasi tradisional) namun sangat perlu dibangun kebun benih
untuk jaminan keberlanjutan produksi bibitnya. Meskipun jenis ini
secara global belum dinyatakan sebagai spesies yang terancam
punah, namun untuk mencegah terjadinya kepunahan, perlu
dilakukan kegiatan penanaman, baik berupa penghijauan maupun
reboisasi.
I. Prospek Pengembangan
Piarawi sangat potensial untuk dikembangkan di hampir
seluruh Tanah Papua terutama pada daerah yang memiliki tipe
ekosistem hutan dataran rendah. Pengembangan jenis ini dalam
bentuk kebun koleksi sangat mudah untuk dilakukan mengingat
jenis ini tidak membutuhkan karakter habitat yang spesifik.
92
Gam
bar 2
5.Pe
nyeb
aran
pia
raw
i (H
aplo
lobu
s cf
. m
ontic
ola
Hus
son)
di T
anah
Pap
ua
Ket
eran
gan
:
= Lo
kasi
Pen
yeba
ran
93
Gambar 26. Buah Woton (Sterculia shillinglawi F. v. Muell.) Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2009
94
A. Deskripsi Botani
Sterculia shillinglawii F. v. Muell. (Malvaceae)
Nama dagang : kelumpang, pinpin Nama daerah : woton (Gebe), mandyagwe (Wondama)Sinonim : Sterculia conwentsii K. Schum.
Perawakan: Pohon berukuran sedang sampai besar, tingginya mencapai 40–45 m. Batang utama silindris, sedikit berbuncak, tetapi tidak berpilin dan berlekuk. Bebas cabang mencapai 10–15 m dengan diameter setinggi dada ± 80 cm, berbanir besar dengan tinggi 250 cm dan lebar 300 cm. Pepagan luar licin berwarna coklat muda keabu-abuan atau keputihan. Takikan batang pepagan tebalnya 15–25 mm. Tidak bergetah.Pepagan dalam lunak dan berserat panjang, berwarna kuning jingga atau putih. Daun tunggal, kedudukan daun tersebar atau spiral, biasanya mengelompok di ujung ranting, bentuk daun bundar telur sungsang, bercangap atau tidak. Pangkal daun umumnya membulat atau berbentuk jantung dan ujung runcing, panjang daun 15–40 cm, lebar 12–35 cm, panjang tangkai daun 5–25 cm. Tangkai daun membengkak pada kedua ujung, pada tangkai daun terhadap bulu-bulu halus berwarna cokelat muda atau karat. Daun muda tipis, daun tua tebal, peruratan daun timbul pada permukaan atas, urat daun sekunder menyirip, urat daun tersier berbentuk jala. Perbungaan berbentuk malai, biasanya terdapat di bagian ranting bersama-sama dengan kumpulan daun (ketiak daun) atau pada ranting tak berdaun. Buahbulat pipih, bopeng, bergaris tengah 3,8–4,2 cm, tersusun pada ujung tangkai buah yang panjang ± 20–25 cm. Pada ujung tangkai buah biasanya terdapat 1–2 anak tangkai buah, masing-masing terdiri dari 3–5 buah, buah muda berwarna hijau muda, buah tua berwarna jingga atau merah, umumnya tertutup bulu halus. Biji banyak, bulat pipih, berdiameter 5–8 mm, berwarna hitam.
VI. BUAH WOTON (Sterculia shillinglawii F.v. Muell.) DAN PEMANFAATANNYA OLEH SUKU GEBE DI PULAU GAG KABUPATEN RAJA AMPAT
95
Gambar 27. Sterculia shillinglawii F.v. Muell. - A. perawakan batang; B. daun; C. buah muda; D. buah tua
A
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2006
B
D
C
96
Sterculia shillinglawii F. v. Muell. adalah salah satu jenis
sterculia dari 26 jenis sterculia yang tercatat ditemukan di Tanah
Papua. Jenis ini sangat mirip atau hampir mirip dengan Sterculia
urceolata J. Sm. Perbedaannya adalah warna daun Sterculia
urceolata hijau tua dan berbulu serta warna kulit buahnya merah tua
jika dibandingkan dengan daun Sterculia shillinglawii yang berwarna
hijau muda dan tidak berbulu serta warna kulit buahnya yang
orange sampai merah muda.
Sterculia shillinglawii F. v. Muell. dan Sterculia urceolataJ.
Sm. adalah merupakan jenis tumbuhan berkayu indigenous atau
asli (native species) di Papua. Sterculia shillinglawii F. v. Muell.
penyebarannya meliputi Papua dan Maluku sedangkan Sterculia
urceolata J. Sm. penyebarannya meliputi Papua, Maluku dan
Sulawesi. Ke dua jenis ini juga dikenal sebagai jenis kayu
perdagangan dan jenis yang tumbuhnya sangat cepat (fast growing
species) sehingga dapat digunakan sebagai alternatif jenis dalam
pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI).
Ada kemungkinan atau dugaan sementara kalau ke dua jenis
ini dimanfaatkan oleh masyarakat di Pulau Gag sebagai bahan
makanan tambahan. Hal ini disebabkan karena ke dua jenis ini
memiliki satu nama daerah yang diberikan oleh masyarakat di
Pulau Gag yaitu “woton”. Selain itu, kedua jenis ini juga memiliki
ukuran dan warna biji yang sama sehingga ada kemungkinan ke
dua jenis ini dimanfaatkan tetapi agak sulit dibedakan oleh
masyarakat.
97
B. Kondisi Sosio-Geografis
Pulau Gag adalah salah satu pulau yang terdapat di
Kabupaten Raja Ampat Provinsi Papua Barat. Pulau ini merupakan
pulau terluar dari Kabupaten Raja Ampat atau Provinsi Papua Barat
dan/atau merupakan pulau yang berbatasan langsung dengan
Provinsi Maluku Utara. Penduduk tradisional yang mendiami pulau
tersebut adalah berasal dari Pulau Gebe yang merupakan wilayah
Provinsi Maluku Utara. Hal ini disebabkan karena letak geografis
Pulau Gag yang sangat dekat dengan Pulau Gebe.
Secara histori, budaya masyarakat di Pulau Gag dan pulau-
pulau lainnya di Kabupaten Raja Ampat sangat dipengaruhi oleh
budaya Kesultanan Ternate dan Kesultanan Tidore. Hal ini juga
yang mengakibatkan sistem kepemimpinan tradisional oleh suku-
suku di Kepulauan Raja Ampat sangat dipengaruhi oleh ke dua
kesultanan tersebut.
Sistem kepemimpinan tradisional suku-suku di Kepulauan
Raja Ampat merupakan sistem Kepemimpinan Raja (Mansoben,
1995). Sistem Kepemimpinan Raja merupakan sistem yang memiliki
sifat pewarisan kedudukan. Tipe Kepemimpinan Raja diperoleh
pada tingkat stratifikasi sosial yang tinggi dan sifatnya ditentukan
oleh waktu dan tempat. Untuk mencapai kedudukan sebagai
seorang raja, seseorang haruslah merupakan keturunan raja.
Pulau Gag dapat dicapai dengan menggunakan kapal motor
(10 jam) dari kota Sorong dan 6 jam dari Waisai ibu kota Kabupaten
98
Raja Ampat. Namun berdasarkan informasi dari masyarakat bahwa
akses ke Pulau Gag lebih efisien jika dilakukan dari kota Sorong.
Hal ini sangat berkaitan dengan ketersediaan alat transportasi laut
dan jarak, di mana alat transportasi laut pada Waisai ibu kota
Kabupaten Raja Ampat jumlahnya terbatas dan umumnya relatif
lebih mahal jika dibandingkan dengan alat transportasi laut yang
terdapat di kota Sorong (jumlahnya lebih banyak dan relatif lebih
murah), alasan lainnya adalah jarak, di mana jika kita melewati
Waisai ibu kota Kabupaten Raja Ampat, maka jarak yang akan
ditempuh akan menjadi 2 kali.
Pulau Gag berbentuk oval dengan ukuran panjang 12
kilometer dan lebar 7 kilometer yang memanjang dari Utara ke
Selatan. Secara geografis pulau ini terletak antara 00o 24’ 30’’ -
00o 29’30’’ LS dan 129o 50’ 30’’ - 129o 54’ 645’’BT dengan luas
± 6.500 hektar.
Keadaan topografi Pulau Gag umumnya bergelombang,
berbukit dan bergunung. Daerah yang datar hanya terdapat di
pesisir pantai, Kampung Gambir dan daerah kampung lama.
Terdapat 2 gunung yang tinggi di bagian selatan yaitu Gunung
Elkarasonga yang merupakan gunung keramat dengan tinggi 250 m
dpl dan Gunung Susu dengan ketinggian mencapai 275 m dpl.
Kondisi tepian pantai umumnya berbatu, namun ada beberapa
bagian pantai di bagian utara dan barat pulau yang berpasir.
Iklim di Pulau Gag dipengaruhi oleh angin Pasak Tenggara
yang bertiup dari Bulan Mei sampai dengan Oktober dan angin
99
Barat Daya yang bertiup dari Bulan Nopember sampai dengan April
dengan temperatur yang sedang serta bersifat stabil dan
kelembaban yang relatif tinggi.
Musim penghujan pada kawasan ini dimulai dari Bulan
Oktober dan mencapai puncaknya pada Bulan Desember sampai
dengan Bulan Januari. Temperatur rata-rata harian bervariasi
antara 21–34oC. Pulau ini juga memiliki sejumlah sungai kecil dan
anak-anak sungai yang bermuara di Teluk Gambir, di antaranya
Sungai Musawalo di bagian Utara, Sungai Inkasu di bagian barat,
Sungai Wamana di bagian Selatan dan Sungai Wapob di bagian
Timur. Selain itu terdapat beberapa ekosistem rawa sagu dan
beberapa kolam bermata air yang berlokasi di bagian Barat Daya
Pulau Gag.
Pulau Gag merupakan daerah ekoton antara Flora Papua dan
Flora Maluku serta memiliki dua tipe ekosistem hutan hujan dataran
rendah yaitu hutan hujan dataran rendah dengan batuan dasar
vulkanik dan hutan kerangas dengan batuan dasar ultra basic.
Pulau ini juga diketahui mengandung kekayaan alam berupa
tambang nikel.
Jika menggunakan kendaraan laut lainnya dari kota Sorong,
waktu tempuh sangat relatif tergantung cuaca (bergelombang atau
tidak), kendaraan bermotor dan kecepatan motor yang digunakan.
Jika menggunakan perahu dengan motor 40 PK, waktu tempuh 8
jam (tanpa gelombang) dan 10-12 jam jika gelombang. Jika
menggunakan perahu dengan motor 80 PK, waktu tempuh 6 jam
100
(tanpa gelombang) dan 8-10 jam jika gelombang. Jika
menggunakan speedboat 80 PK, waktu tempuh 4 jam (tanpa
gelombang) dan 6-8 jam jika gelombang. Jika menggunakan
speedboat dengan motor 200 PK, waktu tempuh 2,5 jam (tanpa
gelombang) dan 3,5-4 jam jika gelombang.
Secara umum, Kampung Gambir di Pulau Gag termasuk
dalam zona ekologi ke dua berdasarkan zona ekologi yang
dikembangkan oleh Mansoben (1995), yaitu daerah pantai dan
hutan pantai dengan mata pencaharian utama adalah berladang
berpindah dan mata pencaharian sampingan yaitu menangkap ikan
di laut dan petani kopra.
101
Gam
bar 2
8. L
okas
i Pul
au G
ag d
iKab
upat
en R
aja
Ampa
t
Ket
eran
gan
:
= Lo
kasi
Pen
eliti
an
Pula
u G
ag
102
Gam
bar 2
9.K
ampu
ng G
ambi
r di P
ulau
Gag
Kab
upat
en R
aja
Ampa
t
Dok
umen
tasi
: K
rism
a Le
kito
o, 2
006
103
C. Ekologi Habitat Woton
Dalam rangka kegiatan pelestarian atau konservasi jenis
woton, baik konservasi pada habitatnya (in-situ) maupun di luar
habitatnya (eks-situ), salah satu aspek yang sangat perlu untuk
diketahui adalah aspek ekologi dan habitat yang meliputi faktor
fisiografi (ketinggian tempat dan kelerengan), iklim (suhu udara dan
kelembaban), kondisi habitat (tanah, tanah berbatu, tanah
berkarang dan karang) serta kesuburan tanah.
Secara umum kepulauan memiliki keanekaragaman spesies
yang lebih rendah dari pada pulau besar. Hal ini disebabkan oleh
waktu yang terbatas untuk mengakumulasi spesies karena umur
kepulauan yang relatif lebih muda (Leksono, 2007). Pada tahun
1961, MacArthur dan Wilson mempublikasikan hipotesis baru
mengenai pola kekayaan spesies di kepulauan. Teori ini
menyatakan sedikitnya jumlah spesies di kepulauan bukan
disebabkan oleh waktu yang terbatas bagi spesies untuk menyebar,
tetapi oleh keseimbangan yang terjadi di semua kepulauan.
1. Faktor Fisiografis
Hasil pengukuran faktor fisiografis yaitu ketinggian tempat
dan kelerengan (topografi) pada habitat woton disajikan pada Tabel
18.
104
Sumber : Data primer hasil penelitian ASDG Tahun 2006 dan KNRT Tahun 2009
Tabel 18. Ketinggian tempat dan kelerengan pada habitat woton di Pulau Gag
Habitat Ketinggian tempat(m) dpl
Topografi/kelerengan(%)
1. 90 – 150 40 – 702. 70 – 225 60 – 1203. 100 – 200 60 –1004. 85 – 220 55 –110
Ketinggian tempat habitat woton di Kampung Gambir (Pulau
Gag) adalah 70 – 225 m dpl. Sesuai ketinggian tempat tumbuhnya
maka woton digolongkan kedalam jenis tumbuhan berkayu (pohon)
dataran rendah.
Woton pada Kampung Gambir Pulau Gag tumbuh baik pada
kelerengan 40–120%. Kisaran kelerengan tersebut sangat
bervariasi dan memiliki kondisi habitat yang relatif datar sedikit
bergelombang ringan dan sedang sampai bergelombang berat.
Kondisi habitat demikian secara alami sangat berdampak terhadap
penyebaran dan kuantitas pertumbuhan woton. Dari hasil
pengamatan, kualitas pertumbuhan woton pada habitat datar dan
bergelombang umumnya sangat baik, namun sangat berbeda
dalam banyaknya individu. Daerah datar dan lembah umumnya
lebih banyak individu dibanding daerah puncak bukit.
105
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2009
2. Suhu Udara dan Kelembaban
Suhu udara dan kelembaban serta penutupan tajuk (persen
naungan) pada habitat woton di Pulau Gag, disajikan pada Tabel
19.
Tabel 19. Suhu udara dan kelembaban serta persen penutupan tajuk pada habitat woton di Pulau Gag
Habitat Suhu udara(ºC)
Kelembaban(%)
Persen Penutupan Tajuk(%)
1. 28 - 29 80 – 85 902. 29 - 31 75 – 80 753. 28 - 30 80 – 88 854. 27 - 29 83 – 90 90
Woton tumbuh pada daerah-daerah dengan naungan sedang
sampai berat (75 – 90%) dengan suhu optimum berkisar antara
27–31ºC dan kelembaban optimum berkisar antara 75–90%.
Adanya kisaran demikian disebabkan karena penyebaran woton
secara alami di Pulau Gag adalah pada bagian hutan pantai dan
punggung bukit. Hal ini mengindikasikan bahwa woton mampu
tumbuh pada habitat dengan naungan yang cukup berat (tajuk yang
rapat).
3. Keadaan Tanah
Woton umumnya tumbuh pada habitat tanah dengan keadaan
solum yang sedang (± 20 cm) sampai dalam (> 30 cm), bertanah
tetapi kadang-kadang sedikit berbatu, banyak serasah atau bahan
106
Sumber : Data primer hasil analisis Laboratorium Tanah Faperta UGM Tahun 2009
organik dan tanah umumnya kering, lembab, sedikit berair atau
berlumpur. Habitat demikian umumnya terdapat pada tanah/daerah
datar sampai bergelombang ringan dan sedang yang tidak curam
(kelerengan < 50%). Hasil analisis sampel tanah secara lengkap
dapat dilihat pada Tabel 20.
Tabel 20. Kesuburan tanah pada habitat woton di Pulau Gag
Parameter uji NilaiKandungan Satuan
N 0,23 %
P 343,85 ppm
K 0,11 %
Fe 2,67 %
Mg 1,40 %
pH (T) 6,6 - 7,50 -
C/N ratio 18,96 -
Bahan Organik 14,48 %
Tanah pada habitat woton bersifat netral (pH 6,6 – 7,5), N
tersedia sedang, P tersedia sangat tinggi, Mg tersedia sedang, C/N
ratio tinggi dan K tersedia rendah. Berdasarkan kriteria tersebut
maka tanah pada habitat woton di Pulau Gag memiliki tingkat
kesuburan yang rendah sampai sedang.
107
Gambar 30. Potensi tegakan woton berdasarkan tingkat pertumbuhan di Pulau Gag
Sumber : Data primer hasil penelitian ASDG Tahun 2006 dan KNRTTahun 2009
D. Potensi Tegakan, Struktur Populasi dan Potensi Buah
1. Potensi Tegakan
Potensi tegakan woton pada hutan alam tropis di Pulau Gag,
berdasarkan tingkat pertumbuhannya yaitu semai, pancang, tiang
dan pohon, dapat dilihat pada Gambar 30. Kurva pertumbuhan jenis
pohon woton membentuk kurva pertumbuhan yang relatif normal
yaitu berbentuk huruf J terbalik. Hal ini mengindikasikan bahwa
kondisi hutan habitat woton di Pulau Gag tergolong baik atau belum
mendapat tekanan berupa kerusakan yang cukup berarti.
108
Struktur populasi yang demikian menurut Ewusie (1990),
disebabkan oleh dua faktor yang saling berkaitan yaitu strategi jenis
tersebut untuk mempertahankan keberadaannya dan adanya faktor
seleksi alam yang disebut seleksi – r. Hubungan ke dua faktor
tersebut adalah untuk mempertahankan keseimbangan dan
keberadan jenis woton tersebut di alam yang pada akhirnya peran
kuantitas jenis akan berubah menjadi kualitas jenis.
Jumlah anakan (semai) yang sangat banyak dibandingkan
dengan pancang, tiang dan pohon disebabkan karena jenis ini pada
waktu berbuah akan menghasilkan buah yang maksimal dalam
jumlah banyak dengan kematangan fisiologis buah yang baik dan
penyebaran benih yang maksimal. Hal ini disebabkan karena
buahnya yang sudah masak secara fisiologi akan membuka atau
membelah dan bijinya akan jatuh dan tersebar pada permukaan
tanah di bawah pohon induknya.
a. Tingkat Semai
Woton pada tingkat permudaan semai, ternyata merupakan
salah satu jenis yang mendominasi kawasan punggung dan puncak
bukit hutan Pulau Gag. Sepuluh jenis permudaan tingkat semai
yang paling mendominasi kawasan hutan tersebut disajikan pada
Tabel 21. Jenis yang paling dominan berturut-turut pada kawasan
hutan tersebut adalah Timoniustimon, Sterculia shillinglawii,
Koordersiodendron pinnatum, Ilex ladermanii dan Callophyllum
inophyllum. Hal ini menunjukkan adanya tingkat toleransi yang
tinggi dan luas dari ke 5 jenis ini serta adanya strategi regenerasi
109
Sumber : Data primer hasil penelitian ASDG Tahun 2006 dan KNRT Tahun 2009
yang baik dari jenis ini dalam mempertahankan kelangsungan
hidupnya yang dikenal dengan seleksi - r.
Menurut Banister (1980), respon yang berbeda terhadap
faktor-faktor lingkungan pada setiap tingkat pertumbuhan ditentukan
oleh kemampuan suatu jenis. Selanjutnya dikatakan bahwa
kemampuan suatu jenis untuk tetap bertahan ditentukan oleh
berbagai faktor, di antaranya sifat jenis itu sendiri dan
tanggapannya terhadap faktor lingkungan. Menurut Barstra (1998),
pola aliran air, ketinggian tempat dan tipe tanah adalah faktor-faktor
yang sangat menentukan komposisi jenis suatu hutan.
Tabel 21.Sepuluh jenis vegetasi dominan tingkat permudaan semai pada habitat woton di Pulau Gag.
Nama Latin K(n/ha)
KR(%)
F FR(%)
INP(%)
Timonius timon 6136,36 15,34 15,34 5,07 20,41 Sterculia shillinglawii 3863,64 9,66 9,66 4,35 14,01 Koordersiodendron pinnatum 1363,64 3,41 0,6 4,35 7,76 Ilex ladermanii 1362,64 3,41 0,6 2,90 6,31 Canarium indicum 909,09 2,27 0,4 2,90 5,17 Calophylluminophyllum 1136,36 2,84 0,3 2,17 5,02 Exocarpus latifolia 909,09 2,27 0,3 2,17 4,45 Lepiniopsis ternatensis 681,82 1,71 0,3 2,17 3,88 Calophyllum sp. 681,82 1,71 0,2 1,45 3,15 Ochrosia ficifolia 681,82 1,71 0,2 1,45 3,15
110
Gambar 31. Timonius timon, Jenis yang paling dominan pada tingkat semai ; A. daun; B. bunga; C. buah
Dokumentasi : Krisma Lekitoo Tahun 2009
Pada tingkat permudaan semai, potensi permudaan semai
woton adalah sebanyak 3.863 anakan per hektar. Jenis ini
menempati posisi dominan ke 2. Dominannya jenis woton
disebabkan karena jumlah individunya yang banyak dan
penyebarannya yang cukup merata di kawasan hutan Pulau Gag.
Jumlah semai yang banyak pada tingkat semai menggambarkan
bahwa jenis woton menggunakan strategi – r dalam proses
regenerasinya.
Adanya seleksi – r (alam) menyebabkan jenis-jenis vegetasi
pada tingkat semai menggunakan jumlah individu yang banyak
untuk mempertahankan keberadaan jenisnya, namun setelah
melalui proses seleksi – r sampai individu tingkat pancang, kualitas
jenisnya lebih berperan penting. Walaupun jumlah individunya tidak
banyak pada tingkat pancang namun individu-individu tersebut
merupakan individu yang secara alami dianggap telah mampu dan
stabil beradaptasi dengan kondisi tempat tumbuh, karena memiliki
kualitas yang baik.
B C A
111
b. Tingkat Pancang
Woton pada tingkat permudaan pancang, merupakan salah
satu jenis yang mendominasi kawasan hutan punggung dan
puncak bukit di Pulau Gag dan masih merupakan jenis dominan ke
2. Sepuluh jenis dominan permudaan tingkat pancang pada habitat
woton di Pulau Gag disajikan pada Tabel 22. Pada tingkat pancang,
jenis yang paling dominan berturut-turut pada kawasan hutan
tersebut adalah Alphitonia microcarpa, Sterculia shillinglawii,
Comersonia bartramia, Timonius timon. dan Tabernaemontana
aurantiaca.
Dominannya jenis Alphitonia microcarpa pada habitat woton
yaitu pada kawasan hutan punggung dan puncak bukit di Pulau
Gag disebabkan karena jenis ini memiliki kisaran toleransi yang
sangat tinggi terhadap habitat dengan tanah, tanah berbatu, tanah
berkarang dan karang serta mampu beradaptasi dengan iklim
terutama suhu yang ekstrim. Habitat punggung dan puncak bukit
Pulau Gag yang merupakan tanah, tanah berbatu, tanah berkarang
dan karang sangat mendukung bagi pertumbuhan jenis Alphitonia
microcarpa.
112
Sumber : Data primer hasil penelitian ASDG Tahun 2006 dan KNRT Tahun 2009
Tabel 22. Sepuluh jenis vegetasi dominan tingkat permudaan pancang pada habitat woton di Pulau Gag.
Nama Latin K(n/ha)
KR(%)
F FR(%)
DR(%)
INP(%)
Alphitonia microcarpa 600 6,89 0,3 3,47 7,19 17,54 Sterculia shillinglawii 400 4,59 0,7 4,05 5,44 14,06 Comersonia bartramia 400 4,59 0,7 4,05 5,03 13,66 Timonius timon 360 4,13 0,7 4,05 4,95 13,12 Tabernaemontana aurantiaca 320 3,67 0,7 4,05 4,67 12,39 Rhuslamprocarpa 400 4,59 0,6 3,47 4,20 12,25 Gonocaryum litorale 240 2,75 0,5 2,90 3,24 8,88 Gironniera nervosa 280 3,21 0,4 2,31 3,04 8,57 Pangium edule 240 2,75 0,4 2,31 3,01 8,08 Schefflera cf. archboldiana 200 2,30 0,4 2,31 2,72 7,33
Pada tingkat permudaan pancang, potensi woton adalah 400
pohon per hektar dan merupakan jenis dominan kedua pada
kawasan hutan Pulau Gag. Dominannya jenis woton pada kawasan
hutan Pulau Gag karena jumlah dan penyebarannya yang merata
jika dibandingkan dengan jenis Alphitonia microcarpa yang
meskipun memiliki jumlah individu yang banyak tetapi
penyebarannya tidak merata.
113
Gambar 32. Alphitonia microcarpa, jenis yang paling dominanpada tingkat pancang di Pulau Gag
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2009
c. Tingkat Tiang
Pada tingkat permudaan tiang, woton merupakan salah satu
jenis yang cukup mendominasi pada punggung dan puncak bukit
hutan di Pulau Gag. Sebelas jenis permudaan tingkat tiang yang
paling mendominasi areal hutan tersebut disajikan pada Tabel 23.
Pada tingkat tiang, jenis yang paling dominan berturut-turut adalah
Canarium indicum, Premna integrifolia, Parartocarpus venenosus,
Fagraea racemosa dan Homalium foetidum. Dominannya jenis-jenis
tersebut mengindikasikan bahwa jenis ini tumbuh dan menyebar
merata karena mampu beradaptasi dengan semua tipe habitat yang
ada pada fisiografi punggung dan puncak bukit di Pulau Gag.
Secara umum terjadi pergeseran dominansi pada tingkat
tiang, dimana pada tingkat semai didominasi oleh Timonius timon
dan Sterculia shillinglawii, pada tingkat pancang didominasi oleh
Alphitonia microcarpa dan Sterculia shillinglawii, tetapi pada tingkat
tiang didominasi oleh Canarium indicum dan Premna integrifolia.
114
Sumber : Data primer hasil penelitian ASDG Tahun 2006 dan KNRT Tahun 2009
Hal ini mengindikasikan bahwa ada faktor lingkungan yang menjadi
faktor pembatas sehingga jenis-jenis pada tingkat semai dan
pancang memiliki tingkat dominansi yang tinggi tetapi pada tingkat
tiang terjadi pergeseran jenis dalam hal mendominasi kawasan
hutan Pulau Gag.
Tabel 23. Sebelas jenis vegetasi dominan tingkat permudaan tiangpada habitat woton di Pulau Gag
Potensi permudaan tingkat tiang woton adalah sebanyak 10
pohon per hektar. Jenis ini menempati posisi dominan ke 11, di
mana kelimpahan jenis tersebut cukup banyak, penyebaran individu
yang merata dan penampilan diameter batang yang cukup yang
baik.
Nama Latin K(n/ha)
KR(%)
FR(%)
DR(%)
INP(%)
Canarium indicum 60 5,72 3,34 7,88 16,93Premna integrifolia 30 2,86 2,22 3,66 8,74Parartocarpus venenosus 30 2,86 2,22 2,29 8,37Fagraea racemosa 30 2,86 2,22 2,82 7,90Homalium foetidum 30 2,86 3,33 1,49 7,68Lepiniopsis ternatensis 30 2,86 2,22 2,04 7,12Decaspermum parviflora 20 1,91 2,22 2,68 6,81Falcataria moluccana 20 1,91 2,22 2,33 6,46Euodia bonvickii 20 1,91 2,22 2,19 6,32Gmelina sp. 30 2,86 2,22 1,00 6,07Sterculia shillinglawii. 10 0,95 1,11 1,32 3,38
115
Gambar 33. Canarium indicum, jenis yang paling dominan padatingkat tiang di Pulau Gag
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2009
d. Tingkat Pohon
Fase pertumbuhan pohon merupakan tahap akhir suksesi
pada habitat woton. Pada tingkat pohon, woton merupakan salah
satu jenis yang cukup mendominasi pada fisiografi punggung dan
puncak bukit di Pulau Gag. Sebelas jenis vegetasi tingkat pohon
yang paling mendominasi kawasan hutan pada punggung dan
puncak bukit di Pulau Gag disajikan pada Tabel 24. Jenis yang
paling dominan berturut-turut pada kawasan hutan tersebut adalah
Canarium sp., Rhus lamprocarpa, Falcataria moluccana,
Parartocarpus venenosus dan Diospyros hebecarpa. Dominannya
jenis-jenis ini menunjukkan bahwa jenis-jenis ini mempunyai
toleransi yang tinggi terhadap lingkungannya. Selain memiliki
adaptasi yang baik sehingga tersebar merata, jenis-jenis tersebut
juga memiliki kemampuan pertumbuhan diameter dan tinggi yang
optimal sehingga memungkinkan jenis ini untuk mendominasi strata
teratas dan menjadi penciri tegakan utama di kawasan hutan Pulau
Gag.
116
Sumber : Data primer hasil penelitian ASDG Tahun 2006 dan KNRT Tahun 2009
Jenis vegetasi tingkat pohon lainnya yang memiliki INP yang
rendah disebabkan karena jenis tersebut tidak mampu bersaing
dengan jenis lainnya atau sesama jenisnya terhadap lingkungan
yang rendah, karena setiap jenis vegetasi membutuhkan lingkungan
yang sesuai bagi pertumbuhannya mulai dari semai sampai pohon
sesuai tingkat suksesi yang terjadi pada habitatnya.
Tabel 24. Sebelas jenis vegetasi dominan tingkat pohon pada habitat woton di Pulau Gag
Nama Latin K(n/ha)
KR(%)
FR(%)
DR(%)
INP(%)
Canarium sp. 22,5 8,33 2,30 7,92 18,55Rhus lamprocarpa 12,5 4,63 2,30 6,14 13,07Falcataria moluccana 5 1,86 2,30 1,87 12,87Parartocarpus venenosus 10 3,70 4,60 1,87 10,17Diospyros hebecarpa 10 3,70 2,30 3,14 9,15Sterculia macrophylla 7,5 2,78 3,45 2,78 9,00Canarium indicum 7,5 2,78 2,30 3,73 8,81Streblus elongata 10 3,70 2,30 2,80 8,81Diospyros ebenum 5 1,85 2,30 3,67 7,82Ficus benyamina 2,5 0,93 1,15 5,60 7,68Sterculia shillinglawii 7,5 2,78 2,30 2,12 7,19
Potensi vegetasi tingkat pohon woton adalah sebanyak 8
pohon per hektar. Jenis ini menempati posisi dominan ke 11.
Jumlah individu woton pada kawasan hutan tersebut cukup banyak
dengan penyebaran yang merata dan penampilan diameter batang
yang cukup baik. Berdasarkan fakta tersebut dapat diindikasikan
bahwa jenis pohon woton mampu tumbuh atau beradaptasi pada
117
Sumber : Data primer hasil penelitian ASDG Tahun 2006
semua tipe habitat baik tanah, tanah berbatu, tanah berkarang dan
karang.
2. Struktur Populasi
Struktur populasi woton pada kawasan hutan di Pulau Gag
dapat diketahui dengan pendekatan jumlah individu untuk setiap
tingkat pertumbuhan yang ditemukan pada kawasan hutan tersebut.
Pada fase semai, pancang, tiang dan pohon, jumlah individu,
tingkat populasi dan persen kegagalan dapat dilihat pada Tabel 25.
Tabel 25. Tingkat populasi dan persen kegagalan woton pada fase semai, pancang, tiang dan pohon
Tingkat pertumbuhan
Jumlah individu
Persen(%)
Jumlah gagal
Persen(%)
Semai 82 59,85 - -Pancang 44 32,12 38 46,34Tiang 8 5,84 36 81,82Pohon 3 2,19 5 0,63Jumlah 137 100 79 128,78
Struktur populasi woton pada Tabel 25 memperlihatkan suatu
bentuk piramida populasi yang normal di mana semai (59,85%),
menempati alas piramida, pancang (32,12%) pada tingkat kedua
dari alas piramida, tiang (5,84%) pada tingkat ketiga dan pohon
(2,19%) pada tingkat keempat atau tingkat paling atas dari alas
piramida.
118
Persentase kegagalan woton dari fase semai ke fase
pancang adalah 46,34%. Persentase kegagalan tersebut tergolong
besar. Hal ini disebabkan karena adanya seleksi alam baik ekstern
maupun intern. Secara ekstern adalah persaingan antara individu
woton maupun dengan jenis vegetasi lain pada tingkat yang sama
maupun antar strata dalam memperebutkan ruang tumbuh, cahaya
dan unsur hara. Sedangkan faktor intern meliputi sifat genetika dan
potensi woton serta kemampuan adaptasi individu terhadap seleksi
alam tersebut.
Persentase kegagalan woton dari fase pancang ke fase
tiangsebesar 81,82%. Persentase kegagalan tersebut tergolong
sangat tinggi. Hal ini menunjukkan adanya seleksi alam dan adanya
faktor lingkungan tertentu yang menjadi faktor pembatas pada fase
pancang menuju ke fase tiang. Umumnya, individu-individu yang
telah mencapai fase tiang adalah individu-individu yang telah
melalui proses seleksi alam sehingga mampu tumbuh dan
beradaptasi dengan lingkungan. Namun demikian, dengan adanya
persaingan terhadap ruang dan waktu mengakibatkan persen
kegagalan jenis woton dari fase tiang ke fase pohon mencapai 0,63
% dan tergolong sangat kecil. Hal ini mengindikasikan bahwa
kemampuan beradaptasi woton pada tingkat tiang terhadap faktor
lingkungan tertentu yang merupakan faktor pembatas sudah sangat
baik sehingga tingkat keberhasilan jenis ini pada tingkat tiang
menuju tingkat pohon tergolong sangat tinggi.
119
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2009
3. Potensi Buah
Secara umum pohon woton berbuah tiga sampai empat kali
dalam setahun. Jenis pohon ini umumnya merupakan jenis pionir
yang tumbuh pada daerah-daerah bekas perladangan dan daerah
rumpang (gap) pada hutan primer.
Pohon woton mulai berbuah pada saat pohon mencapai
diameter batang 25-60 cm, tinggi bebas cabang 6-15 m dan tinggi
total 12-35 m. Hal ini disebabkan karena adanya pengaruh tempat
tumbuh (habitat). Hasil pengamatan terhadap pohon woton yang
berbuah menunjukkan bahwa potensi buah woton per pohon
sangat bervariasi menurut umur, diameter batang dan tinggi pohon
serta jumlah percabangan. Namun secara umum potensi buah
pada pohon berbuah tersebut jika diukur dengan ember ukuran 5
kg, akan menghasilkan 2–3 ember, dengan potensi bijinya 1/2
sampai 1 ember
Gambar 34.Variasi buah woton pada setiap tangkai buah
120
Sumber : Data primer hasil analisis Laboratorium Gizi dan Pangan Fapertek UGM Tahun 2009
E. Kandungan Gizi Woton
Kandungan gizi biji woton dapat dilihat pada Tabel 26.
Kandungan protein, lemak dan vitamin C pada biji woton umumnya
cukup tinggi. Perbandingan kandungan gizi biji woton dengan
beberapa jenis buah dan biji-bijian dapat dilihat pada Tabel 27.
Tabel 26. Kandungan gizi woton
Macam Analisa Hasil Analisis Rata-RataSampel 1 Sampel 2
Kadar AirKadar AbuKadar LemakProtein TotalSerat KasarVitamin C
69,962,358,274,503,17
182,55
70,072,278,284,453,46
175,34
70,012,318,274,483,31
178,94
121
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2009 dan data Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian IPB Bogor, 2006 dalam Sirami 2009 dan The Indonesian Commodity System, IPB dalam Suhardi et al, 2006
Tabel 27. Perbandingan kandungan gizi woton dengan beberapa jenis buah dan biji-bijian
Buah Protein(gr)
Lemak(gr)
Vit C(mg)
Air(gr)
WotonKacang hijauKedelaiSorghumJagungKacang tanahAlpukatDurianSirsakLangsatPepayaRambutanSalak
4,4823,036,99,89,420,00,92,51,00,90,52,00,9
8.281,217,23,304,2045,06,53,00,30,20
0,10
179,94-----
135,3203,078582
70,0112,49,811,213,5
-84,465
81,781
86,780,578
Kandungan protein, lemak dan vitamin C pada woton
umumnya lebih tinggi jika dibandingkan dengan jenis-jenis buah
lainnya yang sering dikonsumsi oleh masyarakat secara umum.
Woton memiliki kandungan vitamin C yang lebih tinggi dari biji-bijian
dan kacang-kacangan yang sering dikonsumsi oleh masyarakat di
Indonesia.
F. Etnobotani Woton dalam Budaya Suku Gebe
Secara umum masyarakat suku Gebe yang bermukim di
Pulau Gag memiliki bahan pangan pokok utama yaitu umbi-umbian
122
seperti kimpul atau keladi, ketela rambat atau betatas, talas dan
ketela pohon atau kasbi.
Sejalan dengan perkembangan pembangunan, ilmu dan
teknologi, masyarakat Suku Gebe yang hidup di Pulau Gag telah
mengalami perubahan dalam hal makanan pokok. Saat ini
masyarakat tidak lagi memanfaatkan umbi-umbian sebagai bahan
pangan pokok tetapi masyarakat telah beralih ke beras sebagai
bahan pangan pokok.
Buah woton, merupakan salah satu jenis buah yang bijinya
dikonsumsi oleh masyarakat tradisional suku Gebe (khususnya
masyarakat di Pulau Gag) seperti kacang hijau secara turun
temurun sejak zaman nenek moyang hingga sampai saat ini. Tidak
ada bukti yang tepat yang menjelaskan sejak kapan orang Gebe
pertama kali mengkonsumsi jenis bij buah woton tersebut. Namun
secara budaya biji buah woton ini memiliki beberapa fungsi atau
peranan yang penting dalam perkembangan budaya suku Gebe
(terutama bagi masyarakat suku/etnik Gebe yang tinggal di daerah
kepulauan).
Biji buah woton merupakan makanan tambahan bagi
masyarakat Gebe di Pulau Gag. Kebiasaan ini hanya berlangsung
ketika musim berbuah. Biji buah woton akan menjadi makanan
apabila hubungan transportasi antara daerah kepulauan dan tanah
besar (daratan Papua) terputus akibat gelombang laut yang besar
sehingga masyarakat tidak dapat mencari ikan dilaut dan
mendapatkan pasokan makanan lain dari luar sehingga dalam
123
masa tersebut, masyarakat hanya mengkonsumsi bijibuah woton
saja. Biji buah ini dimakan setelah dimasak terlebih dahulu dengan
santan kelapa (proses memasaknya hampir sama dengan
memasak kacang hijau).
G. Konservasi Tradisional
Masyarakat Suku Gebe (terutama orang yang berdiam di
Pulau Gag) telah lama memanfaatkan buah woton dalam kehidupan
budaya dan keseharian mereka. Namun sampai saat ini masyarakat
belum melakukan kegiatan budidaya (konservasi tradisional).
Masyarakat hanya memanfaatkan buah woton yang tersedia
di alam tanpa melakukan kegiatan budidaya. Secara alami proses
regenerasi woton di alam termasuk cepat dimana dengan
mengandalkan jumlah biji yang banyak, tumbuhan tersebut pada
tingkat semai umumnya memiliki jumlah anakan yang banyak.
Namun sayangnya karena jenis ini termasuk jenis pohon intoleran
sehingga dalam proses regenerasinya akan lebih baik pada daerah-
daerah terbuka jika dibandingkan dengan hutan primer.
H. Status Konservasi
Woton adalah salah satu jenis pohon indigenous atau
tumbuhan asli (native species) di Papua. Di Indonesia, jenis ini
penyebarannya meliputi Papua dan Maluku. Secara ekologi, jenis
woton merupakan jenis yang banyak terdapat pada hutan tropis
dataran rendah pada kawasan hutan dengan topografi landai,
124
bergelombang atau punggung bukit dan puncak bukit. Penyebaran
jenis ini secara alami pada ketinggian tempat 10 – 600 m dpl.
Selain bijinya dimanfaatkan sebagai bahan pangan oleh
masyarakat di Pulau Gag (seperti kacang hijau), jenis ini juga
merupakan salah satu jenis kayu perdagangan (komersial). Namun
sayang, jenis ini belum dikembangkan dalam kegiatan budidaya
dan konservasidi Tanah Papua.
Secara tradisional, masyarakat di Pulau Gag belum
melakukan kegiatan budidaya (konservasi tradisional) namun
secara umum penyebaran jenis ini secara alami di Pulau Gag masih
cukup tersedia. Pada skala yang lebih luas, jenis ini juga terdapat
pada sebagian wilayah di Papua terutama pada kawasan hutan
dataran rendah dan regenerasinya juga sangat mudah di alam.
Namun secara umum, dalam proses regenerasinya, jenis ini sangat
menyukai hutan sekunder atau daerah-daerah yang terbuka (gap),
baik secara alami maupun akibat campur tangan atau perbuatan
manusia (kebun tradisional).
Meskipun jenis ini secara global belum dinyatakan sebagai
spesies terancam punah, namun untuk mencegah terjadinya
kepunahan secara ekologis di Pulau Gag, sekarang mungkin sudah
saatnya untuk melakukan kegiatan penanaman dalam rangka
penghijauan dan/atau reboisasi pada kawasan hutan Pulau Gag.
Mengingat bahwa Pulau Gag sebagai ekosistem kepulauan sangat
rentan terhadap kepunahan spesies, terutama kepunahan secara
ekologis (suatu spesies dinyatakan punah atau hilang dari suatu
125
kawasan ekologis tertentu) maka sangat diperlukan dukungan
kerjasama dengan Pemerintah Daerah setempat melalui instansi
teknis (Dinas Kehutanan Kabupaten Raja Ampat).
Berdasarkan hasil penelitian Balai Penelitian Kehutanan
(BPK) Manokwari, jenis woton juga terdapat pada daerah peralihan
(ekoton) antara hutan hujan tropis dataran rendah dan hutan
kerangas di Pulau Gag. Selain itu, jenis ini juga dijumpai pada hutan
pantai.
I. Prospek Pengembangan
Woton sangat potensial untuk dikembangkan di seluruh
Tanah Papua terutama pada daerah yang memiliki tipe ekosistem
hutan dataran rendah. Pengembangan atau penanaman jenis ini
dalam bentuk kebun koleksi sangat mudah dilakukan mengingat
jenis ini tidak membutuhkan karakter habitat yang spesifik.
Selain bijinya yang dapat dikonsumsi sebagai pengganti
kacang hijau, jenis ini juga termasuk jenis yang cepat tumbuh (fast
growing species) sehingga sangat cocok untuk dikembangkan
sebagai jenis unggulan dalam pembangunan Hutan Tanaman
Industri (HTI).
126
Ket
eran
gan
:
= Lo
kasi
Pen
yeba
ran
Gam
bar 3
5.Pe
nyeb
aran
Wot
on (S
terc
ulia
shi
lingl
awii
F. v
. Mue
ll.)d
i Tan
ah P
apua
127
Gambar 36. Buah Gayang (Inocarpus fagifer Fosberg)
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2010
128
A. Deskripsi Botani
Inocarpus fagifer (Park.) Fosberg (Fabaceae)
Nama dagang : gayang Nama daerah : af (Manirem/Sarmi), coweba (Isirawa/Sarmi)
Perawakan: Pohon berukuran sedang sampai besar, tingginya mencapai 35–40 m. Batang utama silindris, lurus, berlekuk dan kadang-kadang berpilin tetapi tidak berbuncak. Bebas cabang mencapai 25–30 m, diameter setinggi dada ± 80 cm, tidak berbanir atau kadang-kadang berbanir sedang dengan tinggi 100 cm dan lebar 150 cm. Permukaan pepagan luar licin, bersisik dan mengelupas kecil-kecil, berwarna coklat tua atau kehitaman. Takikan batang pepagan tebalnya 4–6 mm. Bergetah merah, setelah teroksidasi berubah menjadi hitam. Pepagan dalam lunak sampai keras, berwarna kuning jingga atau kuning coklat. Dauntunggal, kedudukan daun selang-seling, bentuk daun membundar telur memanjang, pangkal daun berbentuk jantung, tidak simetris, ujung meruncing, tepi daun rata, gundul, seperti kulit, panjang daun 18,3–27,8 cm, lebar 6,7–10,5 cm, panjang tangkai daun 7–10 mm. Urat daun sekunder tenggelam pada permukaan atas. Perbungaanberbentuk bulir, biasanya terdapat pada ketiak daun atau batang pada cabang dan ranting. Bunga berbau harum, tunggal atau pada pangkal bercabang 2–5 cm. Daun pelindung kecil, kelopak bentuk tabung atau lonceng seperti selaput tipis, daun mahkota 4–6, bentuk lanset menyempit, sama besar, putih kemudian kekuning-kuningan, panjang 1–1,5 cm dengan ujung yang sedikit terlipat. Benang sari 8–12, yang dimuka daun mahkota lebih pendek dari yang lainnya. Bakal buah berambut rapat, bakal biji 1. Buahberbentuk oval, seringkali mempunyai ujung yang miring, pipih sekali, panjang buah 6–10 cm, tidak membuka. Biji tunggal.
VII. BUAH GAYANG (Inocarpus fagifer Fosberg) DAN PEMANFAATANNYA OLEH SUKU ISIRAWA DI KABUPATEN SARMI
129
Gambar 37. Gayang (Inocarpus fagifer): A. perawakan batang;B. daun; C.buah kecil; D. buah muda; E. buah tua
A
B
C
D
E
130
Gayang merupakan jenis tumbuhan indigenous atau asli
(native species) di Papua. Penyebarannya meliputi Kalimantan,
Jawa, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, Kepulauan Pasifik dan
Papua. Jenis ini tidak termasuk jenis komersil karena bentuk
batangnya sangat berlekuk, tetapi jenis ini merupakan salah satu
jenis tumbuhan berkhasiat obat di daerah-daerah yang merupakan
lokasi penyebarannya. Jenis ini juga termasuk dalam jenis
tumbuhan kurang dikenal karena lokasi penyebarannya yang
sangat terbatas yaitu di tepi pantai (hutan pantai).
Secara umum, buah gayang dikonsumsi oleh seluruh
masyarakat tradisional (suku-suku) di Papua, terutama suku-suku
yang hidup pada wilayah zona ekologi rawa, daerah pantai dan
muara sungai. Kelompok suku-suku ini secara umum dapat dibagi
ke dalam delapan wilayah utama yaitu : 1). Jayapura; 2). Yapen
Waropen, 3). Biak Numfor, 4). Paniai Nabire, 5). Manokwari, 6).
Sorong, 7). Fakfak; dan 8). Merauke.
1. Jayapura (Teluk Humboldt: Skou, Yotefa, Imbi; Tanah Merah:
Ormu, Tabla, Demta; Pantai Utara: Bonggo, Podena, Yarsum,
Betaf; Tor: Mander, Berik, Kwersupen; Sarmi:Kwerba, Isirawa,
Sobei, Samarokena, Masep; Mamberamo:Warembori, Pauwe,
Warewek, Bauzi, Nopuk; Sentani: Sentani, Dosai, Maribu),
Kelompok suku bangsa ini semuanya mempunyai mata
pencaharian utama sebagai peramu sagu dengan sampingan
berkebun kecil dan menangkap ikan di sungai dan di laut.
131
2. Yapen Waropen (Mamberamo Barat: Karema, Nita; Waropen:
Sauri, Waropen, Kofei, Tefaro, Siromi, Baropasi, Bonefa; semua
kelompok suku bangsa ini mempunyai mata pencaharian
sebagai peramu sagu, berkebun kecil, menangkap ikan di sungai
dan di laut. Krudu: Yapen: Woriasi, Ambai, Serui Laut, Yawe,
Busami, Ansus, Pom, Woi, Munggui, Marau, Pupui; kelompok
suku bangsa ini mempunyai mata pencaharian utama sebagai
peramu sagu, dengan sampingan berkebun kecil dan
menangkap ikan di sungai dan di laut.
3. Biak Numfor; dengan mata pencaharian sebagai peramu sagu,
berladang berpindah dan menangkap ikan di laut dan di sungai
sebagai sampingan.
4. Paniai; Nabire: Windesi, Mor, Yaur, Mer, Yeretuar, kelompok ini
bermata pencaharian utama berladang berpindah dengan
sampingan meramu sagu dan menangkap ikan di sungai dan di
laut.
5. Manokwari; Wandamen: Roon, Mioswar, Rumberpon,
Wandamen; Arfak: Mantion, Hatam, Borai; Amberbaken,
kelompok ini bermata pencaharian utama berladang
berpindahdan sampingan menangkap ikan di sungai dan di laut.
Sedangkan Bintuni: Tanah Merah, Babo, Arandai, Kemberano,
Meninggo, Kaburi, kelompok ini bermata pencaharian utama
meramu sagu, berladang berpindah dan menangkap ikan di laut
dan di sungai sebagai sampingan.
6. Sorong: Karon bermata pencaharian utama berladang berpindah
dengan sampingan menangkap ikan di sungai dan di laut; Moi:
132
bermata pencaharian utama berladang berpindah, dengan
sampingan meramu sagu dan menangkap ikan di sungai. Raja
Ampat: Kawe, bermata pencaharian utama meramu sagu dan
menangkap ikan di laut dan di sungai serta berkebun kecil
sebagai sampingan. Sedangkan orang Maya, Beser/Biak, Matbat
bermata pencaharian utama meramu sagu, berladang berpindah
serta menangkap ikan di laut dan di sungai sebagai sampingan.
Seget; Teminabuan: Kalabra, Tehit, Kon, Yahadian, Kais;
Inanwatan: Suabau, Puragi, Kokoda, kelompok ini bermata
pencaharian utama meramu sagu, berkebun kecil serta
menangkap ikan di sungai dan di laut sebagai sampingan.
7. Fakfak: Onin, Iha, Karas, Baham, Buruwai; Kaimana: Mairasi,
Semini, Koiwai bermata pencaharian utama berladang
berpindah, meramu sagu dan sampingan menangkap ikan di
sungai dan di laut; Arguni: Kamberau, Irarutu, Mairasi bermata
pencaharian utama meramu sagu, berkebun kecil serta
menangkap ikan di laut dan di sungai sebagai sampingan.
Mimika: Kamoro bermata pencaharian utama meramu sagu,
berkebun kecil dan sampingan menangkap ikan di laut dan di
sungai.
8. Merauke; Asmat, Awyu, Yagai Citak bermata pencaharian utama
meramu sagu dan berkebun kecil serta menangkap ikan di laut
dan di sungai sebagai sampingan. Kimaam: Riantana,
Kimaghama, Koneraw; Marind-anim: Yab-anim, Maklew-anim,
Kanum-anim, Bian-anim bermata pencaharian utama meramu
133
sagu dan berkebun kecil, serta menangkap ikan di sungai dan di
laut sebagai sampingan.
B. Kondisi Sosio-Geografis
Kabupaten Sarmi merupakan salah satu kabupaten
pemekaran dari Kabupaten Jayapura yang terbentuk pada tanggal
11 Desember 2002 berdasarkan UU Nomor 26 Tahun 2002 tentang
Pemekaran Kabupaten Jayapura menjadi tiga kabupaten, yaitu
Jayapura, Keerom dan Sarmi. Kabupaten Sarmi memiliki luas
wilayah 35.587 + km2. Secara geografis, Kabupaten Sarmi
berbatasan dengan Samudera Pasifik di sebelah utara, kabupaten
Tolikara di sebelah Selatan, Kabupaten Puncak Jaya dan
kabupaten Waropen di sebelah Barat dan Kabupaten Jayapura di
sebelah Timur.
Sebutan nama “SARMI” berasal dari singkatan nama 5 suku
besar atau masyarakat tradisional (asli) yang terdapat di wilayah
pesisir dan pedalaman Pantai Utara Papua. S menunjukkan Suku
Sobey yaitu masyarakat tradisional Kabupaten Sarmi yang
menduduki (memiliki hak ulayat) ibu kota Kabupaten Sarmi dan
wilayah sekitarnya, A menunjukkan Suku Armati yaitu masyarakat
tradisional yang menduduki daerah bagian selatan Kabupaten
Sarmi, R menunjukkan Suku Rumbuay yaitu masyarakat tradisional
yang menduduki daerah Tor dan Holmaven, M menunjukkan Suku
Manirem yaitu masyarakat tradisional yang menduduki daerah
Bonggo, Betaf, Takar dan wilayah Sarmi Timur,Imenunjukkan suku
Isirawa yaitu masyarakat tradisional yang menduduki daerah
134
Amsira, Kasukwe dan Wapo. Singkatan Sarmi sebenarnya belum
mencerminkan suku-suku di sana mengingat di wilayah ini terdapat
87 bahasa yang dipergunakan yang identik dengan 87 suku
bangsa.
Pouwer (1966) berdasarkan studi antropologinya,
menunjukkan bahwa dalam pengelompokan orang Papua paling
sedikit dapat dibagi kedalam empat golongan berdasarkan sistem
kekerabatan yaitu sistem kekerabatan menurut tipe Iroquis,
Hawaian, Omaha dan sistem kekerabatan campuran menurut tipe
Iroquis-Hawaian. Masyarakat tradisional Sarmi mengenal sistem
kekerabatan Hawaian dan sistem kekerabatan campuran Iroquis-
Hawaian.
Sistem kekerabatan Hawaian adalah sistem pengelompokan
yang menggunakan istilah yang sama untuk menyebut saudara-
saudara sekandung dan semua saudara-saudara sepupu silang
dan paralel. Adapun masyarakat tradisional Sarmi atau kelompok
etnik yang tergolong tipe ini adalah masyarakat tradisional yang
memiliki hak ulayat di Pantai Timur Sarmi yaitu suku Manirem yang
meliputi wilayah Bonggo, Betaf, Takar dan Pantai Timur.
Sedangkan etnik Papua lainnya yang juga memiliki sistem
kekerabatan Hawaian adalah orang Hatam-Manikion, Mairasi,
Mimika dan Asmat. Sistem kekerabatan campuran Iroquis-Hawaian
adalah tipe campuran. Adapun masyarakat tradisional Sarmi atau
kelompok etnik yang tergolong tipe ini adalah masyarakat
tradisional yang memiliki hak ulayat di Pantai Barat Sarmi yaitu suku
135
Rumbuay, Armati, Sobey dan Isirawa yang meliputi wilayah Tor,
Holmaven, Sarmi Selatan, Sarmi Kota, Amsira, Kasukwe dan Wapo.
Sedangkan etnik Papua lainnya yang memiliki tipe campuran ini
adalah etnik masyarakat tradisional di Bintuni.
Kecuali penggolongan berdasarkan istilah kekerabatan, orang
Papua juga dibedakan berdasarkan prinsip pewarisan. Ada tiga
prinsip pewarisan keturunan yaitu: (a) melalui garis keturunan ayah
atau patrilineal,(b) melalui prinsip bilateral yaitu melalui garis
keturunan ayah dan ibu; dan (c) masyarakat berdasarkan struktur
ambilateral atau ambilineal, di mana kadang-kadang diatur menurut
garis keturunan pihak ibu atau ayah (De Brijn, 1959:11 of van der
Leeden, 1954, Pouwer, 1966).
Masyarakat tradisional Sarmi mengenal prinsip pewarisan
Patrilineal dan Bilateral. Masyarakat tradisional Sarmi yang
mengenal prinsip pewarisan patrilineal adalah Suku Sobey, Suku
Armati, Suku Rumbuay dan Suku Manirem. Sedangkan masyarakat
tradisional Sarmi yang mengenal prinsip pewarisan bilateral ini
adalah Suku Isirawa.
Mansoben (1995), membagi sistem mata pencaharian suku-
suku di Papua atas empat zona yang masing-masing menunjukkan
diversifikasi terhadap sistem mata pencaharian mereka
berdasarkan kebudayaannya. Keempat zona ekologi tersebut
adalah :
136
1. Zona ekologi rawa, daerah pantai dan muara sungai (Swampy
Area, Coastal and Riverine);
2. Zona ekologi daerah pantai dan hutan pantai (Coastal Lowland
Areas);
3. Zona ekologi kaki-kaki gunung serta lembah kecil (Foothills and
Small Valleys);
4. Zona ekologi pegunungan tinggi (Highlands).
Secara umum Kampung Amsira termasuk dalam zona ekologi
pertama yaitu rawa, daerah pantai dan muara sungai dengan mata
pencaharian utama adalah meramu sagu serta berladang berpindah
dan mata pencaharian sampingan yaitu menangkap ikan di sungai
dan di laut. Makanan pokok mereka adalah aci sagu dan umbi-
umbian.
Kabupaten Sarmi dapat ditempuh dari Kabupaten Jayapura
dengan jalur udara, laut maupun darat. Jika menggunakan jalur laut,
biasanya dengan menggunakan kapal-kapal perintis dengan waktu
tempuh 24 jam. Jika menggunakan jalur darat (mobil atau motor),
waktu tempuhnya sangat bervariasi tergantung cuaca dan kondisi
jalan, umumnya lebih dari 8 jam atau berkisar antara 12 sampai 17
jam. Selama perjalanan kita akan melalui Kabupaten Jayapura dan
daerah yang sebagian besar masih berupa hutan belantara dengan
sungai-sungai dan jembatan-jembatan yang sebagian besar masih
berupa jembatan kayu. Jika menggunakan jalur udara, jenis
pesawat yang sering digunakan adalah pesawat Twin milik
maskapai penerbangan Merpati dengan waktu tempuh 50 menit.
137
Gam
bar 3
8.Lo
kasi
Kam
pung
Am
sira
di K
abup
aten
Sar
mi
Ket
eran
gan
:
= Lo
kasi
Pen
eliti
an
Loka
si P
enel
itian
138
C. Ekologi Habitat Gayang
Dalam rangka kegiatan konservasi jenis gayang, baik
konservasi pada habitatnya (in-situ) maupun di luar habitatnya (eks-
situ), salah satu aspek yang sangat perlu untuk diketahui adalah
aspek ekologi habitat yang meliputi faktor fisiografi (ketinggian
tempat dan kelerengan), iklim (suhuudaradan kelembaban), kondisi
tanah (tanah, tanah berbatu, tanah berkarang dan karang) serta
kesuburan tanah. Syafei (1994) menyebutkan bahwa faktor-faktor
lingkungan yaitu iklim, edafik (tanah), topografi dan biotik saling
berkaitan erat satu satu sama lain dan sangat menentukan
kehadiran suatu jenis tumbuhan di tempat tertentu, namun cukup
sulit mencari penyebab terjadinya kaitan yang erat tersebut.
Selanjutnya Marsono (1972) menyebutkan bahwa kehadiran suatu
jenis dalam suatu tempat atau areal ditentukan oleh beberapa faktor
antara lain ; habitat dimana habitat akan mengadakan seleksi
terhadap jenis yang mampu beradaptasi dengan lingkungan
setempat, waktu yang diperlukan untuk mengatasi hal ini, dengan
berjalannya waktu vegetasi akan berkembang ke arah yang stabil
dan kehadiran satu jenis dapat ditentukan juga oleh vegetasi yang
berada disekitarnya.
1. Faktor Fisiografis
Ketinggian tempat habitat gayang di kawasan hutan pantai
Kampung Amsira adalah 0–5 m dpl. Sesuai ketinggian tempat
tumbuhnya maka gayang digolongkan kedalam jenis tumbuhan
berkayu (pohon) dataran rendah.
139
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2010
Tabel 28. Ketinggian tempat dan kelerengan pada habitatgayang di Kampung Amsira
Habitat Ketinggian tempat(m) dpl.
Topografi/kelerengan(%)
1. 0–5 0-5
2. 0–5 0-5
3. 0–5 0-5
4. 0–5 0-5
Gayang pada kawasan hutan pantai Kampung Amsira
Kabupaten Sarmi tumbuh baik pada kelerangan 0–5 %. Kisaran
kelerengan tersebut memiliki kondisi habitat yang relatif sangat
datar. Kondisi habitat demikian secara alami sangat berdampak
terhadap penyebaran dan kuantitas pertumbuhan gayang. Dari
hasil pengamatan, kualitas pertumbuhan gayang pada habitat datar
umumnya sangat baik, dan tidak berbeda dalam banyaknya
individu. Daerah yang sangat datar menyebabkan penyebaran
individu gayang merata.
2. Suhu Udara dan Kelembaban
Gayang tumbuh pada daerah-daerah dengan naungan
sedang (65–73%) dengan suhu optimum berkisar antara 30–32ºC
dan kelembaban optimum berkisar antara 64–71%. Adanya kisaran
demikian disebabkan karena penyebaran gayang secara alami di
kawasan hutan Kampung Amsira Kabupaten Sarmi adalah pada
bagian pesisir pantai yang merupakan daerah pasang tertinggi air
laut, hutan pantai dan hutan dataran rendah. Hal ini
140
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2010
mengindikasikan bahwa gayang mampu tumbuh pada habitat yang
dipengaruhi oleh salinitas (pesisir pantai) dan habitat yang tidak
dipengaruhi oleh salinitas yaitu hutan pantai dan hutan dataran
rendah dengan naungan yang sedang (daerah agak terbuka).
Tabel 29. Suhu udara dan kelembaban serta persen penutupan tajuk pada habitat gayang di Kampung Amsira
Habitat Suhu udara(0C)
Kelembaban(%)
Naungan(%)
1 31 69 702 32 65 673 31 64 654 32 64 655 30 71 73
3. Keadaan Tanah
Gayang umumnya tumbuh pada habitat tanah dengan
keadaan solum yang tipis (< 10 cm atau ± 10 cm), sedang (± 20 cm)
sampai dalam (± 30 cm), dengan variasi habitat pasir, tanah
berpasir dan tanah serta kondisi habitat tidak berbatu, sedikit
berbatu dan berbatu, tetapi kadang-kadang tumbuh pada daerah
tergenang di pinggir sungai-sungai dan pada habitat rawa
tergenang secara periodik maupun rawa tergenang permanen.
141
Sumber : Data primer hasil analisis Laboratorium Tanah Faperta UGM Tahun 2010
Tabel 30. Kesuburan tanah pada habitat gayang di Kampung Amsira
Parameter Uji NilaiKandungan
Satuan
NPK
MgpHCCaNa
C/N ratioBahan Organik
0,1221,580,150,155,630,631,140,78
12,811,09
%ppm%%%----
%
Tanah pada habitat gayang bersifat agak masam (pH 5,63),
N tersedia rendah, P tersedia sedang, Mg tersedia sangat rendah,
C/N ratio sedang dan K tersedia rendah. Berdasarkan sifat tanah
tersebut, tampak bahwa jenis tanah pada habitat gayang di
Kampung Amsira tergolong jenis tanah marginal dengan tingkat
kesuburan sangat rendah sampai rendah.
D. Potensi Tegakan, Struktur Populasi dan Potensi Buah
1. Potensi Tegakan
Potensi tegakan gayang pada hutan pantai Kampung Amsira
Kabupaten Sarmi, berdasarkan tingkat pertumbuhan semai,
pancang, tiang dan pohon, dapat dilihat pada Gambar 39.
Populasi pada setiap tingkat pertumbuhan jenis pohon
gayang membentuk kurva pertumbuhan yang relatif normal yaitu
142
berbentuk huruf J terbalik. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi
hutan pantai habitat gayang di Kampung Amsira Kabupaten Sarmi
tergolong cukup baik atau belum mendapatkan tekanan berupa
kerusakan yang cukup berarti.
Struktur populasi yang demikian menurut Ewusie (1990),
disebabkan oleh dua faktor yang saling berkaitan yaitu strategi jenis
tersebut untuk mempertahankan keberadaannya dan adanya faktor
seleksi alam yang disebut seleksi – r. Hubungan ke dua faktor
tersebut adalah untuk mempertahankan keseimbangan dan
keberadan jenis gayang tersebut di alam yang pada akhirnya peran
kuantitas jenis akan berubah menjadi kualitas jenis.
143
Gambar 39. Potensi gayang berdasarkan tingkat pertumbuhan di Kampung Amsira Kabupaten Sarmi
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2010
Jumlah anakan (semai) yang sangat banyak dibandingkan
dengan pancang, tiang dan pohon menggambarkan strategi
regenerasi dari pohon gayang yang dikenal dengan strategi – r.
a. Tingkat Semai
Gayang pada tingkat permudaan semai, ternyata merupakan
salah satu jenis yang mendominasi kawasan hutan pantai di
Kampung Amsira. Sepuluh jenis permudaan tingkat semai yang
paling mendominasi kawasan hutan pantai di Kampung Amsira
144
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2010
secara lengkap disajikan pada Tabel 31. Jenis yang paling dominan
berturut-turut adalah Inocarpus fagifer, Fagraea racemosa, Pometia
pinnata, Barringtonia asiatica dan Gonocaryum littorale. Hal ini
menunjukkan adanya tingkat toleransi yang tinggi dan luas dari ke 5
jenis ini serta adanya strategi regenerasi yang baik dari jenis-jenis
ini dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya
Tabel 31. Sepuluh jenis vegetasi dominan tingkat permudaan semai pada habitat gayang di Kampung Amsira
Nama Latin K (n/ha)
KR (%)
F FR (%)
INP (%)
Inocarpus fagifer 8000 17,39 0,5 10,64 28,03Fagraea racemosa 4250 9,24 0,3 6,38 15,62Pometia pinnata 3500 7,61 0,3 6,38 13,99Barringtonia asiatica 3500 7,61 0,3 6,38 13,99Gonocaryum littoralle 2250 4,89 0,2 4,26 9,15Syzygium malaccensis 2000 4,35 0,2 4,26 8,60Cananga odorata 1750 3,80 0,2 4,26 8,06Premna corymbosa 1500 3,26 0,2 4,26 7,52Hibiscus tilliaceus 1500 3,26 0,2 4,26 7,52Alstonia spectabilis 1000 2,17 0,2 4,26 6,43
Potensi tingkat permudaan semai gayang adalah sebanyak
8.000 anakan per hektar. Jenis ini menempati posisi dominan
pertama. Dominannya jenis ini disebabkan karena jumlah
individunya yang banyak dan penyebarannya yang merata.
145
Adanya seleksi – r (alam) menyebabkan jenis-jenis vegetasi
pada tingkat semai menggunakan jumlah individu yang sedikit untuk
mempertahankan keberadaan jenisnya, namun setelah melalui
proses seleksi – r sampai individu tingkat pancang, kualitas jenisnya
lebih berperan penting. Walaupun jumlah individunya tidak banyak
pada tingkat semai namun individu-individu tersebut merupakan
individu yang secara alami dianggap telah mampu dan stabil
beradaptasi dengan kondisi tempat tumbuh, karena memiliki
kualitas yang baik.
b. Tingkat Pancang
Gayang pada tingkat permudaan pancang, ternyata
merupakan jenis yang paling mendominasi kawasan hutan pantai di
Kampung Amsira Kabupaten Sarmi. Sepuluh jenis permudaan
tingkat pancang yang paling mendominasi kawasan hutan pantai di
Kampung Amsira dapat dilihat pada Tabel 32. Pada tingkat
pancang, jenis yang paling dominan berturut-turut adalah Inocarpus
fagifer, Barringtonia asiatica, Cananga odorata, Hibiscus tilliaceus,
Aglaia odorata, Tabernaemontana aurantiaca, Voacanga papuana,
Anthocephalus chinensis, Octomeles sumatrana dan Ficus septica.
Potensi tingkat permudaan pancang gayang adalah
sebanyak 600 pohon per hektar. Jenis ini menempati posisi
dominan pertama. Dominannya jenis ini disebabkan karena jumlah
individunya yang banyak serta penyebarannya yang merata jika
dibandingkan dengan jenis vegetasi lainnya.
146
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2010
Pada tingkat pancang proses suksesi masih terus
berlangsung, komposisi jenis, kerapatan dan frekwensi merupakan
gambaran awal bagi proses ekologi yang terjadi pada habitat
gayang. Dominannya jenis ini pada tingkat pancang karena adanya
campur tangan manusia yaitu berupa perawatan (pembersihan)
yang dilakukan sekali dalam setahun.
Tabel 32. Sepuluh jenis vegetasi dominan tingkat permudaan pancang pada habitat gayang di Kampung Amsira
Nama Latin K(n/ha)
KR(%)
F FR(%)
INP(%)
Inocarpus fagifer 600 19,23 0,5 10,20 29,44 Barringtonia asiatica 320 10,26 0,5 10,20 20,46 Cananga odorata 240 7,69 0,3 6,12 13,82 Hibiscus tilliaceus 120 3,85 0,3 6,12 9,97 Aglaia odorata 120 3,85 0,3 6,12 9,97 Tabernaemontana aurantiaca 120 3,85 0,3 6,12 9,97 Voacanga papuana 120 3,85 0,2 4,08 7,93 Anthocephalus chinensis 160 5,13 0,1 2,04 7,17 Octomeles sumatrana 80 2,56 0,2 4,08 6,65 Ficus septica 80 2,56 0,2 4,08 6,65
c. Tingkat Tiang
Pada tingkat tiang, gayang merupakan jenis yang paling
mendominasi kawasan hutan pantai Kampung Amsira Kabupaten
Sarmi. Sepuluh jenis permudaan tingkat tiang yang paling
mendominasi kawasan ini disajikan pada Tabel 33.
147
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2010
Tabel 33. Sepuluh jenis vegetasi dominan tingkat permudaan tiang pada habitat gayang di Kampung Amsira
Nama Latin KR(%)
FR(%)
DR(%)
INP(%)
Inocarpus fagifer 12,90 13,33 14,02 40,26Pometia pinnata 6,45 6,67 8,41 21,53Cananga odorata 6,45 6,67 7,59 20,71Artocarpus altillis 6,45 6,67 7,59 20,71Alstonia scholaris 6,45 6,67 6,60 19,72Morinda citrifolia 6,45 6,67 5,44 18,56Fagraea racemosa 6,45 6,67 4,45 17,57Gonocaryum littorale 6,45 3,33 5,77 15,56Barringtonia asiatica 3,23 3,33 4,67 11,23Cordia subcordata 3,23 3,33 4,20 10,75
Pada tingkat tiang, jenis yang paling dominan berturut-turut
pada kawasan hutan tersebut adalah Inocarpus fagifer, Pometia
pinnata, Cananga odorata, Artocarpus altillis dan Alstonia scholaris.
Dominannya jenis-jenis tersebut mengindikasikan bahwa jenis ini
tumbuh dan menyebar merata karena mampu beradaptasi dengan
tipe habitat hutan pantai yaitu tanah berpasir.
d. Tingkat Pohon
Fase pertumbuhan pohon merupakan tahap akhir suksesi
pada habitat gayang. Pada tingkat pohon, gayang merupakan jenis
yang paling mendominasi kawasan hutan pantai Kampung Amsira
Kabupaten Sarmi. Sepuluh jenis vegetasi tingkat pohon yang paling
mendominasi kawasan hutan ini disajikan pada Tabel 34. Jenis
148
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2010
yang paling dominan berturut-turut adalah Inocarpus fagifer,
Barringtonia asiatica, Pometia pinnata, Artocarpus altillis dan
Anthocephalus chinensis. Dominannya jenis-jenisini menunjukkan
bahwa jenis-jenis ini mempunyai toleransi yang tinggi terhadap
lingkungannya. Selain memiliki adaptasi yang baik sehingga
tersebar merata, jenis-jenis tersebut juga memiliki kemampuan
pertumbuhan diameter dan tinggi yang optimal sehingga
memungkinkan jenis ini untuk mendominasi strata teratas dan
menjadi penciri tegakan utama di kawasan hutan ini.
Tabel 34. Sepuluh jenis vegetasi dominan tingkat pohon pada habitat gayang di Kampung Amsira
Nama Latin KR(%)
FR(%)
DR(%)
INP(%)
Inocarpus fagifer 11,91 12,20 19,75 43,85Barringtonia asiatica 9,52 9,76 16,18 35,46Pometia pinnata 11,91 9,76 7,38 29,04Artocarpus altillis 7,14 7,32 13,58 28,04Anthocephalus chinensis 4,76 4,88 3,79 13,43Hibiscus tilliaceus 4,76 4,88 3,24 12,88Gonocaryum littorale 4,76 4,88 2,23 11,87Pterygota horsfieldii 2,38 2,44 5,74 10,56Cordia subcordata 2,38 2,44 3,13 7,95Alstonia scholaris 2,38 2,44 3,00 7,82
Jenis vegetasi tingkat pohon lainnya yang memiliki INP yang
rendah disebabkan karena daya saing yang rendah, baik dengan
jenis lain maupun sesama jenis dalam memanfaatkan tempat
149
tumbuh yang ada, karena setiap jenis vegetasi membutuhkan
lingkungan yang sesuai bagi pertumbuhannya mulai dari semai
sampai pohon sesuai tingkat suksesi yang terjadi pada habitatnya.
Potensi pohon gayang adalah sebanyak 25 pohon per hektar.
Jenis ini menempati posisi dominan pertama. Dominannya jenis
gayang disebabkan karena jumlah individunya banyak,
penyebarannya merata serta rata-rata pertumbuhan riap diameter
yang cukup baik. Berdasarkan fakta tersebut dapat diindikasikan
bahwa dominannya jenis pohon gayang pada tingkat semai,
pancang, tiang dan pohon selain karena mampu tumbuh atau
beradaptasi pada habitat tanah berpasir, faktor lainnya adalah
karena adanya campur tangan manusia berupa kegiatan
pembersihan pada sekitar pohon gayang yang dilakukan sekali
dalam setahun.
2. Struktur Populasi
Struktur populasi gayang di kawasan hutan pantai Kampung
Amsira Kabupaten Sarmi dapat diketahui dengan pendekatan
jumlah individu untuk setiap tingkat pertumbuhan yang ditemukan
pada kawasan hutan tersebut. Pada fase semai, pancang, tiang dan
pohon, jumlah individu, tingkat populasi dan persen kegagalan
dapat dilihat pada Tabel 35.
150
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2010
Tabel 35. Tingkat populasi dan persen kegagalan gayang pada fase semai, pancang, tiang dan pohon
Tingkat pertumbuhan
Jumlah individu
Persen(%)
Jumlah gagal
Persen(%)
Semai 284 60,43 - -Pancang 115 24,47 169 59,51
Tiang 45 9,57 70 60,87Pohon 26 5,53 19 42,44
Jumlah 470 100,00 19 162,82
Struktur populasi gayang pada Tabel 35 memperlihatkan
suatu bentuk piramida populasi yang normal dimana semai
(60,43%), menempati alas piramida, pancang (24,47%) pada
tingkat kedua dari alas piramida, tiang (9,57%) pada tingkat ketiga
dan pohon (5,53%) pada tingkat keempat atau tingkat paling atas
dari alas piramida.
3. Potensi Buah
Gayang berbuah sepanjang tahun dengan musim berbuah
maksimal yang menghasilkan banyak buah adalah 2-3 kali dalam
setahun. Pohon gayang umumnya berbuah pada diameter batang
rata-rata 30 cm, tinggi bebas cabang 5-9 m dan tinggi total 15 m.
Potensi buah gayang per pohon sangat bervariasi menurut umur,
diameter dan tinggi pohon. Namun secara umum potensi buah
gayang tersebut jika diukur dengan ember ukuran 5 kg, maka akan
menghasilkan 10–15 ember. Hal ini disebabkan karena buah yang
dihasilkan oleh pohon tersebut umumnya tidak banyak, namun
151
Sumber : Data primer hasil analisis Laboratorium Gizi dan Pangan UGM Tahun 2010
karakter buah gayang yang umumnya berdiameter 3–5 cm
menyebabkan jenis buah ini unggul dari segi volume.
E. Kandungan Gizi Buah Gayang
Kandungan gizi buah gayang disajikan pada Tabel 36.
Sedangkan perbandingan kandungan gizi biji gayang dengan
beberapa jenis buah dan biji-bijian yang umum dikonsumsi oleh
masyarakat Indonesia dapat dilihat pada Tabel 37.
Tabel 36. Kandungan gizi buah gayang
Macam Analisa Hasil Analisis Rata-Rata
Sampel 1 Sampel 2
Kadar AirKadar AbuKadar LemakProtein TotalSerat KasarKarbohidratKalori (kal)Vitamin C
43,411,711,967,241,08
46,29211,1998,57
43,541,682,047,381,1146,01211,0099,36
43,481,702,007,311,1046,15211,1098.97
Kandungan gizi buah gayang sangat tinggi jika dibandingkan
dengan tanaman budidaya lainnya seperti alpukat, durian, sirsak,
langsat, papaya, rambutan dan salak.
152
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2009 dan data Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian IPB Bogor, 2006 dalam Sirami 2009 dan The Indonesian Commodity System, IPB dalam Suhardi et al, 2006
Tabel 37. Perbandingan kandungan gizi biji gayang dengan beberapa jenis buah dan biji-bijian
Kandungan protein, lemak dan vitamin C pada gayang
umumnya lebih tinggi jika dibandingkan dengan jenis-jenis buah
lainnya yang sering dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia secara
umum. Gayang memiliki kandungan vitamin C yang lebih tinggi dari
biji-bijian dan kacang-kacangan yang sering dikonsumsi oleh
masyarakat di Indonesia.
F. Etnobotani Gayang dalam Budaya Suku Isirawa
Secara umum masyarakat suku Isirawa dan suku asli lainnya
di Sarmi memiliki bahan pangan pokok utama yaitu aci sagu dan
umbi-umbian seperti kimpul atau keladi, ketela rambat atau betatas,
Buah Protein(gr)
Lemak(gr)
Vit C(mg)
Air(gr)
GayangKacang hijauKedelaiSorghumJagungKacang tanahAlpukatDurianSirsakLangsatPepayaRambutanSalak
7,3723,036,99,89,420,00,92,51,00,90,52,00,9
2,041,217,23,304,2045,06,53,00,30,20
0,10
99,36-----
135,3203,078582
43,5312,49,811,213,5
-84,465
81,781
86,780,578
153
talas dan ketela pohon atau kasbi. Mata pencaharian utama mereka
adalah berladang berpindah.
Sejalan dengan perkembangan pembangunan, ilmu
pengetahuan dan teknologi, apalagi dengan pemekaran daerah
tersebut menjadi Kabupaten Sarmi sejak tahun 2002, masyarakat
etnik Isirawa dan etnik lainnya di Kabupaten Sarmi telah mengalami
perubahan dalam hal makanan pokok. Saat ini masyarakat tidak
lagi memanfaatkan aci sagu dan umbi-umbian sebagai bahan
pangan pokok tetapi masyarakat telah beralih ke beras sebagai
bahan pangan pokok.
Gayang adalah jenis buah yang bijinya dimanfaatkan sebagai
bahan pangan dan merupakan makanan favorit (kesukaan) oleh
masyarakat etnik Isirawa dan etnik Sarmi lainnya. Masyarakat yang
tergolong dalam 5 suku besar di Sarmi (Sobey, Armati, Rumbuay,
Manirem dan Isirawa) telah memanfaatkan buah tersebut secara
turun temurun sejak zaman nenek moyang hingga sampai saat ini.
Tidak ada bukti yang tepat menjelaskan sejak kapan orang Sarmi
pertama kali mengkonsumsi jenis buah gayang tersebut. Namun
secara budaya buah gayang ini memiliki beberapa fungsi atau
peranan yang penting dalam perkembangan budaya beberapa suku
di Sarmi.
154
Gambar 40. Pemanfaatan buah gayang: A. buahnya yang gugur secara alami dikumpulkan;B. dibelah; C. bijinya diambil sebagai bahan pangan
Buah gayang yang sudah tua (secara alami gugur dari
pohon), bijinya dapat dimakan setelah diambil dari buahnya
kemudian dibakar atau direbus terlebih dahulu, setelah masak,
buah gayang tersebut dapat dimakan secara langsung atau
biasanya dimakan dengan kelapa yang sudah diparut (kelapa parut)
atau bisa juga dimakan dengan buah kelapa yang belum diparut
(kelapa gesek). Pemanfaatan buah gayang sebagai bahan pangan
oleh masyarakat tradisional di Kabupaten Sarmi, biasanya
dilakukan 2 sampai 3 kali dalam setahun.
Jika dijual, harga buah gayang sepiring ditambah dengan 3–4
potong (penggal) kelapa harganya ± Rp. 10.000,-/piring. Selain
buahnya dimanfaatkan sebagai bahan makanan, kayunya juga
sering dimanfaatkan oleh masyarakat. Masyarakat tradisional
Kabupaten Sarmi sering memanfaatkan kayu gayang yang sudah
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2008 dan 2010
A B C
155
kering atau rantingnya yang gugur sebagai kayu bakar. Pada pohon
yang masih hidup, bagian banirnya sering dimanfaatkan oleh
masyarakat sebagai bahan pembuatan hulu atau gagang parang.
Sejalan dengan perkembangan ilmu dan teknologi pengobatan
tradisional, masyarakat akhirnya mengetahui bahwa kulit gayang
ternyata bisa digunakan untuk mengobati penyakit diabetes dengan
cara meminum rebusan kulit gayang secara rutin.
G. Konservasi Tradisional
Masyarakat Suku Sarmi telah lama memanfaatkan buah
gayang dalam kehidupan budaya dan keseharian mereka. Saat ini
masyarakat telah melakukan konservasi tradisional dengan cara
merawat anakan dan pohon gayang yang terdapat di alam serta
melakukan penanaman pohon gayang pada areal perkebunan
mereka.
Gayang yang ditanam pada kebun-kebun masyarakat dan
yang dirawat di alam umumnya memiliki perlakuan yang berbeda.
Gayang yang ditanam pada areal kebun masyarakat, biasanya
dirawat dengan baik yaitu dengan cara memperhatikan jarak tanam,
membersihkan gulma dan diberi naungan. Sedangkan pohon
gayang yang tumbuh secara alami di daerah pesisir pantai Sarmi
dirawat oleh masyarakat dengan intensitas yang rendah. Biasanya
frekwensi masyarakat untuk membersihkan gulma hanya setahun
sekali. Selain itu, gayang juga dibiarkan tumbuh bersama-sama
dengan jenis vegetasi pantai lainnya seperti Pandanus dubius,
156
Pandanus tectorius, Sararanga sinuosa, Barringtonia asiatica,
Voacanga papuana dan Tabernaemontona aurantiaca.
Biasanya gayang yang terdapat di areal kebun yang baru
dibuka akan dibiarkan pada tahap awal dan kemudian dirawat
hingga mencapai masa berbuah. Gayang yang ditanam langsung
oleh masyarakat di areal kebun akan dirawat sampai masa
berbuah. Biasanya gayang yang ditanam oleh masyarakat akan
berbuah pada umur 5 sampai 7 tahun.
H. Status Konservasi
Gayang adalah salah satu jenis tumbuhan asli (native
species) di Papua. Di Indonesia, jenis ini penyebarannya meliputi
hampir seluruh wilayah kepulauan terutama pada daerah ekologi
hutan pantai dan hutan dataran rendah. Secara ekologi, jenis
gayang merupakan jenis pada hutan pantai dan hutan dataran
rendah dengan topografi landai, bergelombang atau punggung bukit
dan puncak bukit. Penyebaran jenis ini secara alami pada
ketinggian tempat 5–300 m dpl.
Secara tradisional masyarakat Kampung Amsira Distrik Sarmi
sudah melakukan kegiatan budidaya (konservasi tradisional) namun
secara umum perlu adanya perhatian dari pemerintah Kabupaten
Sarmi untuk skala pembudidayaan yang lebih luas lagi mengingat
buah gayang merupakan salah satu sumber makanan tambahan
bagi masyarakat tradisional Sarmi.
157
Meskipun jenis ini secara global belum dinyatakan sebagai
spesies yang terancam punah, namun untuk mendukung
pemanfaatan buah gayang oleh masyarakat tradisional Sarmi
sebagai bahan makanan tambahan, sekarang sudah saatnya untuk
melakukan kegiatan penanaman dalam rangka penghijauan dan
reboisasi pada kawasan hutan pantai dan hutan dataran rendah di
Kabupaten Sarmi. Untuk itu sangat diperlukan adanya dukungan
kerjasama dengan pemerintah daerah setempat.
I. Prospek Pengembangan
Gayang sangat potensial dikembangkan di Tanah Papua
terutama pada daerah yang memiliki tipe ekosistem hutan pantai
dan dataran rendah. Buah gayang telah lama dimanfaatkan oleh
suku-suku atau masyarakat tradisional yang bermukim pada
kawasan hutan pantai dan hutan dataran rendah di Tanah Papua
sebagai buah yang dapat dikonsumsi.
Pengembangan atau penanaman jenis ini dalam bentuk
kebun koleksi sangat mudah untuk dilakukan mengingat jenis ini
tidak membutuhkan karakter habitat yang spesifik. Untuk tujuan
tersebut perlu adanya dukungan Pemerintah Daerah melalui
instansi teknis terkait.
158
Ket
eran
gan
:
= Lo
kasi
Pen
yeba
ran
Gam
bar 4
1. P
enye
bara
n G
ayan
g (In
ocar
pus
fagi
fer F
osbe
rg)d
i Tan
ah P
apua
159
Gambar 42. Buah Kelapa Hutan (Borassus heineanus Becc.)Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2010
160
A. Deskripsi Botani
Borassus heineanusBecc. (Arecaceae)
Nama dagang : palem lontar Irian, palem kipas Nama daerah : kelapa hutan, waribo (Waropen)
Deskripsi umum: Palem berukuran sedang sampai besar, tumbuh tunggal, tingginya mencapai ± 30 m, tidak memiliki tabung upih (crown shaft). Batang umumnya tegak dan berbentuk silindris dengan diameter 15-40 cm, permukaan batang halus dan licin (kadang-kadang sedikit kasar), berwarna hijau pada saat masih muda dan menjadi coklat muda keabu-abuan jika sudah tua, panjang ruas 7-15 cm. Daun tunggal, mengelompok pada ujung batang, tangkai daun panjangnya 1,5-2,2 m, ukuran daun 100-200 cm x 75-160 cm, berwarna hijau atau hijau muda, permukaan daun licin, semua sisi daun bergerigi atau bercangab, permukaan daun bergelombang atau bersegi, jumlah daun 8-15 helai, bentuk daun membulat. Perbungaan pada ketiak daun, berbentuk tandan yang umumnya bercabang 2. Buah bulat lonjong, panjang 9-13 cm, diameter 7-10 cm, permukaan buah gundul (halus) dan licin, berwarna coklat saat muda dan coklat keabu-abuan saat tua. Biji 2-3, berbentuk lonjong dengan kedua sisi membelah ke dalam, berukuran 4-6 cm x 7-11 cm, tertutup kulit yang berserabut.
VIII. KELAPA HUTAN (Borassus heineanus Becc.) DAN PEMANFAATANNYA OLEH SUKU MANIREM DI KABUPATEN SARMI
161
A
B
162
D
C
163
Gambar 43. Kelapa Hutan (Borassus heineanus Becc.) -A. perawakan habitus; B.daun; C. bunga jantan; D. buah muda; E. buah tua
Kelapa hutan (Borassus heineanus Becc.) adalah salah satu
jenis palem yang merupakan tumbuhan endemik dan indigenous
atau asli (native species) di Papua. Penyebarannya sangat terbatas
yaitu meliputi Kabupaten Sarmi, Kabupaten Waropen dan
Kabupaten Yapen. Jenis B. heineanus di lokasi penyebarannya di
Tanah Papua, menurut informasi masyarakat dikenal dengan
kelapa hutan. Pemanfaatannya juga sama seperti kelapa yaitu isi
bagian dalam tempurungnya yang dimanfaatkan.
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2010
E
164
Di Tanah Papua penyebutan tumbuhan dengan “kelapa
hutan” sering membingungkan orang awam dan para peneliti,
terutama bagi peneliti yang bukan taksonomist. Sebutan kelapa
hutan di Tanah Papua umumnya bagi tumbuhan hutan yang
pemanfaatan buahnya oleh masyarakat etnik Papua mirip dengan
pemanfaatan buah kelapa pantai (C. nucifera).
Berdasarkan hasil penelitian, minimal ada 3 jenis atau
spesies tumbuhan hutan yang dikenal atau sering disebutkan oleh
masyarakat sebagai kelapa hutan. Dua spesies berasal dari etnik
Papua yang hidup di pegunungan tengah dan satu spesies berasal
dari etnik Papua yang hidup pada dataran rendah pantai Utara
Tanah Papua. Kedua jenis tumbuhan yang berasal dari
pegunungan tengah (Wamena, Habema, Tolikara, Mulia, dll.) yang
sering disebut sebagai kelapa hutan yaitu Pandanus brosimos dan
Pandanus. jiulianettii yang merupakan jenis endemik terbatas di
Tanah Papua karena daerah penyebarannya yang sangat terbatas
yaitu hanya terdapat di daerah pegunungan tengah saja.
Sedangkan satu jenis tumbuhan yang berasal dari dataran rendah
(Bonggo, Betaf, Tor Atas, Tor Bawah, Sarmi, Mamberamo,
Waropen, Yapen, dll.) yang sering disebut sebagai kelapa hutan
adalah palem lontar Irian atau Borussus. heineanus.
Selain buahnya yang dimanfaatkan sebagai bahan pangan,
B. heineanus juga termasuk salah satu jenis dari famili Arecaceae
(Palmae) yang buahnya dapat dimanfaatkan sebagai tumbuhan
penghasil bahan bakar nabati bersama-sama dengan bintangur
165
(Calophyllum inophyllum), sagu dan Nipah (Nypa fruticans) yang
melimpah di Tanah Papua.
B. Kondisi Sosio-Geografis Daerah Bonggo, Betaf dan Takar di Kabupaten Sarmi dapat
ditempuh dari Kabupaten Jayapura dengan jalur darat dan laut. Jika
menggunakan jalur laut, biasanya dengan menggunakan longboat
atau speedboat dengan waktu tempuh 6 sampai 10 jam, tergantung
kondisi cuaca (gelombang laut), jenis transportasi dan kecepatan
motor laut yang digunakan. Jika menggunakan jalur darat (mobil
atau motor), waktu tempuhnya sangat bervariasi tergantung cuaca
dan kondisi jalan, umumnya lebih dari 5 jam atau berkisar antara 6
sampai 8 jam, Selama perjalanan kita akan melalui Kabupaten
Jayapura dan daerah yang sebagian besar masih berupa hutan
belantara dengan sungai-sungai dan jembatan-jembatan yang
sebagian besar masih berupa jembatan kayu. Informasi kondisi
sosio-geografis selengkapnya telah diungkapkan pada bagian
terdahulu dalam suku Isirawa.
166
Gam
bar 4
4.Lo
kasi
Bon
ggo,
Bet
af, T
akar
di K
abup
aten
Sar
mi P
ropi
nsi P
apua
Ket
eran
gan
:
= Lo
kasi
Pen
eliti
an
Loka
si P
enel
itian
167
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2010
C. Ekologi Habitat Kelapa Hutan
Dalam rangka kegiatan konservasi jenis kelapa hutan, baik
konservasi pada habitatnya (in-situ) maupun di luar habitatnya (eks-
situ), salah satu aspek yang sangat perlu diketahui adalah aspek
ekologi dan habitat yang meliputi faktor fisiografi (ketinggian tempat
dan kelerengan), iklim (suhu dan kelembaban), kondisi habitat
(tanah, tanah berbatu, tanah berkarang dan karang) serta
kesuburan tanah.
1. Faktor Fisiografis
Faktor fisiografis pada habitat kelapa hutan disajikan pada
Tabel 38. Ketinggian tempat habitat kelapa hutan di kawasan hutan
Kampung Takar Kabupaten Sarmi adalah 0–15 m dpl. Sesuai
ketinggian tempat tumbuhnya maka kelapa hutan digolongkan
kedalam jenis tumbuhan dataran rendah.
Tabel 38. Ketinggian tempat dan kelerengan pada habitat kelapa hutan
Habitat Ketinggian tempat(m) dpl.
Topografi/kelerengan(%)
1. 0 - 15 2 - 52. 0 –15 0 - 53. 0 –15 0 - 54. 0–15 0 - 55. 0–15 2 - 5
168
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2010
Kelapa hutan pada kawasan hutan Sarmi tumbuh baik pada
kelerengan 0–5%, yakni kondisi habitat yang relatif sangat datar.
Kondisi habitat demikian secara alami sangat berdampak terhadap
penyebaran dan kuantitas pertumbuhan kelapa hutan. Kualitas
pertumbuhan kelapa hutan pada habitat datar umumnya sangat
baik. Daerah yang sangat datar menyebabkan penyebaran individu
kelapa hutan merata.
2. Suhu Udara dan Kelembaban Suhu udara, kelembaban dan penutupan tajuk (persen
naungan) pada habitat kelapa hutan disajikan pada Tabel 39.
Tabel 39. Suhu udara dan kelembaban serta persen penutupan tajuk pada habitat kelapa hutan
Habitat Suhu udara(ººC)
Kelembaban(%)
Naungan(%)
1 29 80 852 30 70 753 31 68 704 32 62 705 30 72 78
Kelapa hutan tumbuh pada daerah-daerah dengan naungan
sedang sampai berat (70–85%) dengan rata-rata naungan 75,6%,
suhu optimum berkisar antara 29–32ºC dengan rata-rata suhu
optimum 30,4ºC dan kelembaban optimum berkisar antara 62–80%
atau rata-rata kelembaban 70,4%. Kisaran demikian disebabkan
karena penyebaran kelapa hutan secara alami di kawasan hutan
169
Kabupaten Sarmi adalah pada hutan sekunder dan primer yang
merupakan hutan pantai dan hutan dataran rendah. Hal ini
mengindikasikan bahwa kelapa hutan mampu tumbuh pada habitat
hutan pantai dan hutan dataran rendah dengan naungan yang
sedang sampai berat.
3. Keadaan Tanah
Kelapa hutan umumnya tumbuh pada tanah dengan solum
sedang (± 20 cm) sampai dalam (> 30 cm), dengan variasi tanah
berpasir dan tanah serta kondisi habitat tidak berbatu sampai
sedikit berbatu, tetapi kadang-kadang tumbuh pada daerah
tergenang di pinggir sungai-sungai dan pada habitat rawa
tergenang secara periodik maupun tergenang permanen.
Tabel 40. Kesuburan tanah pada habitat kelapa hutan di Kampung Takar
Parameter Uji NilaiKandungan
Satuan
N 1,74 %P 50,19 ppmK 1,69 %Fe - %Mg 0,18 %
pH (T) 6,75 -C 0,70 -Ca 2,78 -Na 1,32 -
C/N ratio 38,62 -Bahan Organik 1,21 %
Sumber : Data primer hasil analisis Laboratorium Tanah UGM Faperta UGM Tahun 2010
170
Tanah pada habitat kelapa hutan bersifat netral (pH 6,75), N
tersedia sangat tinggi, P tersedia sangat tinggi, Mg tersedia rendah,
C/N ratio sangat tinggi dan K tersedia sangat tinggi. Berdasarkan
kriteria tersebut, tampak bahwa jenis tanah pada habitat kelapa
hutan tergolong jenis tanah dengan tingkat kesuburan sedang
sampai tinggi.
D. Potensi Tegakan, Struktur Populasi dan Potensi Buah
1. Potensi Tegakan
Potensi tegakan kelapa hutan pada hutan alam tropis di
Kampung Takar Kabupaten Sarmi, berdasarkan tingkat
pertumbuhannya yaitu semai, pra dewasa dan dewasa, dapat dilihat
pada Gambar 45.
Populasi setiap tingkat pertumbuhan kelapa hutan
membentuk kurva pertumbuhan relatif normal yaitu berbentuk huruf
J terbalik. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi hutan habitat
kelapa hutan di kawasan hutan Kampung Takar tergolong cukup
baik atau belum mendapatkan tekanan berupa kerusakan yang
cukup berarti.
171
Gambar 45. Potensi kelapa hutan berdasarkan tingkat pertumbuhan di kawasan hutan Kampung Takar
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2010
Struktur populasi yang demikian menurut Ewusie (1990),
disebabkan oleh dua faktor yang saling berkaitan yaitu strategi jenis
tersebut untuk mempertahankan keberadaannya dan adanya faktor
seleksi alam yang disebut seleksi – r. Hubungan kedua faktor
tersebut adalah untuk mempertahankan keseimbangan dan
keberadan jenis kelapa hutan tersebut di alam yang pada akhirnya
peran kuantitas jenis akan berubah menjadi kualitas jenis.
a. Tingkat Semai
Kelapa hutan pada tingkat permudaan semai, merupakan
salah satu jenis yang mendominasi kawasan hutan Kampung Takar
172
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2010
Kabupaten Sarmi. Sepuluh jenis permudaan tingkat semai yang
paling mendominasi kawasan hutan tersebut disajikan pada Tabel
41. Jenis yang paling dominan berturut-turut adalah Pometia
pinnata, Cananga odorata, Comersonia bartramia, Sterculia
parkinsonii dan Artocarpus altillis. Hal ini menunjukkan adanya
tingkat toleransi yang tinggi dan luas dari ke 5 jenis ini serta adanya
strategi regenerasi yang baik dari jenis ini dalam mempertahankan
kelangsungan hidupnya yang dikenal dengan seleksi - r.
Tabel 41. Sepuluh jenis vegetasi dominan tingkat permudaan semai pada habitat kelapa hutan di Kampung Takar
Nama Latin K(n/ha)
KR(%)
F FR(%)
INP(%)
Pometia pinnata 3000 9.45 0.5 7.35 16.80
Cananga odorata 2750 8.66 0.5 7.35 16.01
Comersonia bartramia 2250 7.09 0.6 8.82 15.91
Sterculia parkinsonii 3000 9.45 0.4 5.88 15.33
Artocarpus altillis 1750 5.51 0.6 8.82 14.34
Palaquium amboinensis 2250 7.09 0.4 5.88 12.97
Borassus heineanus 2500 7.87 0.3 4.41 12.29
Intsia bijuga 2000 6.30 0.1 1.47 7.77
Duabanga moluccana 1000 3.15 0.1 1.47 4.62
Endospermum molucanum 750 2.36 0.2 2.94 5.30
Potensi tingkat permudaan semai kelapa hutan adalah
sebanyak 2.500 anakan per hektar. Jenis ini menempati posisi
dominan ke 7. Dominannya jenis kelapa hutan disebabkan karena
173
Gambar 46. Pometia pinnata Forst., Jenis yang dominan pada tingkat semai dan dewasa
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2007
jumlah individunya yang banyak serta penyebaran individunya yang
merata. Hal ini menggambarkan bahwa jenis ini menggunakan
strategi – r dalam proses regenerasinya.
Adanya seleksi – r (alam) menyebabkan jenis-jenis vegetasi
pada tingkat semai menggunakan jumlah individu yang sedikit untuk
mempertahankan keberadaan jenisnya, namun setelah melalui
proses seleksi – r sampai individu tingkat pancang, kualitas jenisnya
lebih berperan penting. Walaupun jumlah individunya tidak banyak
pada tingkat semai dan tumbuhan muda namun individu-individu
B
A
C
174
tersebut merupakan individu yang secara alami dianggap telah
mampu dan stabil beradaptasi dengan kondisi tempat tumbuh,
karena memiliki kualitas yang baik.
Namun demikian, serangan hama babi hutan (Sus crova) dan
burung kasuari (Casuarius benneti) menyebabkan kelapa hutan
pada fase semai untuk mencapai fase pra dewasa sangat riskan
terhadap frekwensi kegagalan. Kedua hama ini biasanya memakan
biji atau tunas hutan pada kelapa hutan.
b. Tingkat Pra Dewasa Kelapa hutan pada tingkat permudaan pra dewasa
merupakan salah satu jenis yang mendominasi kawasan hutan
Kampung Takar Kabupaten Sarmi. Sepuluh jenis permudaan
tingkat pra dewasa yang paling mendominasi kawasan hutan
tersebut disajikan pada Tabel 42. Jenis yang paling dominan pada
tingkat permudaan pra dewasa, berturut-turut adalah Cananga
odorata, Pometia pinnata, Borassus heineanus, Canarium indicum
dan Pterocarpus indicus.
175
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2010
Tabel 42. Sepuluh jenis vegetasi dominan tingkat permudaan pra dewasa pada habitat kelapa hutan di Kampung Takar
Nama Latin K(n/ha)
KR(%)
F FR(%)
INP(%)
Cananga odorata 720 18,75 0,7 15,91 34,66 Pometia pinnata 680 17,71 0,5 11,36 29,07 Borasus heineanus 560 14,58 0,5 11,36 25,95 Canarium indicum 160 4,17 0,2 4,55 8,71 Pterocarpus indicus 160 4,17 0,2 4,55 8,71 Endospermum moluccanum 120 3,13 0,2 4,55 7,67 Osmoxyllon novoguinensis 120 3,13 0,2 4,55 7,67 Intsia bijuga 120 3,13 0,1 2,27 5,40 Palaquium amboinensis 80 2,08 0,1 2,27 4,36 Artocarpus altillis 80 2,08 0,1 2,27 4,36
Potensi permudaan tingkat pra dewasa kelapa hutan adalah
sebanyak 560 pohon per hektar. Jenis ini menempati posisi
dominan ke 3. Dominannya jenis kelapa hutan disebabkan karena
jumlah individunya yang banyak serta penyebaran individunya yang
merata pada kawasan hutan tersebut.
Pada tingkat permudaan pra dewasa, proses suksesi masih
terus berlangsung. Komposisi jenis, kerapatan dan frekwensi
merupakan gambaran awal bagi proses ekologi yang terjadi pada
habitat buah kelapa hutan. Kerapatan atau densitas adalah
besarnya populasi dalam suatu unit ruang, yang pada umumnya
dinyatakan sebagai jumlah individu-individu dalam setiap unit luas
atau volume (Gopal dan Bhardwaj, 1979). Kerapatan populasi
176
Gambar 47. Cananga odorata Hook., Jenis yang dominan pada tingkat pra dewasa – A. perawakan batang; B. daun; C. buah
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2007
bervariasi menurut waktu dan tempat. Dalam pengkajian suatu
kondisi populasi atau komunitas hutan, kerapatan populasi
merupakan parameter utama yang perlu diketahui. Kerapatan
populasi merupakan salah satu hal yang menentukan pengaruh
populasi terhadap komunitas atau ekosistem. Kerapatan juga sering
dipakai untuk mengetahui perubahan yang terjadi dalam populasi
pada saat tertentu. Perubahan yang dimaksud adalah berkurang
atau bertambahnya jumlah individu dalam setiap unit luas atau
volume.
B
A
C
177
Adanya perbedaan jenis dominan dan komposisi jenis pada
tingkat semai dan pra dewasa disebabkan karena penyebaran jenis.
Hal ini sesuai dengan pendapat Korner (1999), dalam Dolezal dan
Srutek (2002) yang menyatakan bahwa persebaran suatu jenis
tumbuhan secara tidak langsung dipengaruhi oleh interaksi antara
vegetasi dan suhu udara, kelembaban udara, dan kondisi topografi
seperti ketinggian tempat dan ketebalan tanah. Habitat kelapa
hutan yang memiliki tipe habitat yang bervariasi yaitu tanah, tanah
berbatu, dan tanah berpasir dengan keadaan topsoil yang berbeda
diduga merupakan faktor yang mempengaruhi penyebaran jenis ini
pada tingkat semai dan pra dewa, di mana penyebaran jenis pada
habitat tanah dan tanah berbatu akan lebih tinggi jika dibandingkan
dengan habitat tanah berpasir.
c. Tingkat Dewasa
Fase pertumbuhan tingkat dewasa merupakan tahap akhir
suksesi pada habitat kelapa hutan. Pada tingkat dewasa, kelapa
hutan merupakan salah satu jenis yang mendominasi kawasan
hutan Kampung Takar Kabupaten Sarmi. Sepuluh jenis vegetasi
tingkat pohon yang paling mendominasi kawasan hutan tersebut
disajikan pada Tabel 43. Jenis yang paling dominan, berturut-turut
adalah Pometia pinnata, Cananga odorata, Borassus heineanus,
Inocarpus fagifer dan Artocarpus altillis. Dominannya jenis-jenis ini
menunjukkan bahwa jenis-jenis ini mempunyai toleransi yang tinggi
terhadap lingkungannya. Selain memiliki adaptasi yang baik
sehingga tersebar merata, jenis-jenis tersebut juga memiliki
178
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2010
kemampuan pertumbuhan diameter dan tinggi yang optimal
sehingga memungkinkan jenis ini untuk mendominasi strata teratas
dan menjadi penciri tegakan utama di kawasan hutan ini.
Jenis vegetasi tingkat pohon lainnya yang memiliki INP yang
rendah disebabkan karena jenis tersebut tidak mampu bersaing
dengan jenis lainnya atau sesama jenisnya. Setiap jenis vegetasi
membutuhkan lingkungan yang sesuai bagi pertumbuhannya mulai
dari semai sampai pohon sesuai tingkat suksesi yang terjadi pada
habitatnya.
Tabel 43. Sepuluh jenis vegetasi dominan tingkat dewasa pada habitat kelapa hutan di Kampung Takar
Nama Latin KR(%)
FR(%)
DR(%)
INP(%)
Pometia pinnata 14,29 15,39 18,49 48,16 Cananga odorata 15,71 11,54 19,59 46,84 Borassus heineanus 22,86 11,54 12,07 46,46 Inocarpus fagifer 7,14 7,69 14,36 29,19 Artocarpus altillis 4,29 5,77 6,39 16,45 Canarium indicum 2,86 3,85 1,90 8,60 Pterygota horsfieldii 1,43 1,92 5,67 9,02 Pterocarpus indicus 2,86 3,85 2,21 8,91 Hibiscus tilliaceus 1,43 1,92 2,15 5,50 Palaquium amboinensis 1,43 1,92 2,04 5,39
179
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2010
Potensi vegetasi tingkat dewasa kelapa hutan adalah
sebanyak 34 pohon per hektar. Jenis ini menempati posisi dominan
ke 3. Dominannya jenis kelapa hutan disebabkan karena jumlah
individunya yang banyak, penyebarannya yang merata serta rata-
rata pertumbuhan riap diameter yang cukup baik. Berdasarkan fakta
tersebut dapat diindikasikan bahwa jenis kelapa hutan kurang
mampu tumbuh atau beradaptasi pada habitat tanah berpasir tetapi
mampu tumbuh dan beradaptasi pada habitat tanah berbatu dan
tanah.
2. Struktur Populasi
Struktur populasi kelapa hutan di kawasan hutan Kampung
Takar Kabupaten Sarmi diketahui dengan pendekatan jumlah
individu untuk setiap tingkat pertumbuhan yang ditemukan pada
kawasan hutan tersebut. Pada fase semai, pra dewasa dan dewasa
jumlah individu, tingkat populasi dan persen kegagalan dapat dilihat
pada Tabel 44.
Tabel 44. Tingkat populasi dan persen kegagalan kelapa hutanpada fase semai, pra dewasa dan dewasa
Tingkat pertumbuhan
Jumlah individu
Persen(%)
Jumlah gagal
Persen(%)
Semai 184 66,91 - -
Pra Dewasa 60 21,82 124 67,39
Dewasa 31 11,27 29 48,33
Jumlah 275 100,00 153 115,72
180
Struktur populasi kelapa hutan pada Tabel 44
memperlihatkan suatu bentuk piramida populasi yang normal
dimana semai (66,91%), menempati alas piramida, pra dewasa
(21,82%) pada tingkat kedua dari alas piramida dan tingkat dewasa
(11,27%) pada tingkat ketiga atau tingkat paling atas dari piramida.
Persentase kegagalan kelapa hutan dari fase semai ke fase
pra dewasa adalah sebesar 67,39%. Persentase kegagalan
tersebut tergolong besar. Hal ini disebabkan karena adanya seleksi
alam baik ekstern maupun intern. Faktor ekstern adalah persaingan
antara individu kelapa hutan maupun dengan jenis vegetasi lain
pada tingkat yang sama maupun antar strata dalam
memperebutkan ruang tumbuh, cahaya dan unsur hara. Sedangkan
faktor intern meliputi sifat genetika dan potensi kelapa hutan serta
kemampuan adaptasi individu terhadap seleksi alam tersebut.
Faktor lainnya adalah serangan hama babi hutan dan kasuari.
Persentase kegagalan kelapa hutan dari fase pra dewasa ke
fase dewasa adalah sebesar 48,33%. Persentase kegagalan
tersebut tergolong rendah karena umumnya individu-individu jenis
kelapa hutan yang telah mencapai fase pra dewasa adalah individu-
individu yang telah melalui proses seleksi alam sehingga mampu
tumbuh dan beradaptasi dengan lingkungan.
3. Potensi Buah
Kelapa hutan berbuah sepanjang tahun seperti kelapa
pantai. Dari hasil pengamatan diketahui bahwa kelapa hutan
181
berbuah pada diameter rata-rata 25 cm, tinggi bebas cabang 7,5 m
dan tinggi rata-rata 13 m. Satu mayang atau tangkai buah kelapa
hutan biasanya menghasilkan 4 sampai 12 buah. Setiap buah
umumnya menghasilkan 2 biji atau tempurung.
Potensi kelapa hutan per pohon sangat bervariasi menurut
umur, diameter dan tinggi pohon. Namun secara umum potensi
buah kelapa hutan jika diukur dengan ember ukuran 5 kg, akan
menghasilkan 2–3 ember untuk setiap mayang. Hal ini disebabkan
karena buah yang dihasilkan oleh pohon tersebut umumnya tidak
banyak, namun karakter buah kelapa hutan yang umumnya
berdiameter 8–10 cm menyebabkan jenis buah ini unggul dari segi
volume. Kelapa hutan yang sudah berbuah biasanya memiliki 2
sampai 3 mayang buah matang yang siap dipanen.
E. Kandungan Gizi Kelapa Hutan
Kandungan gizi kelapa hutan secara lengkap disajikan pada
Tabel 45. Nampak bahwa kandungan protein, kalori, lemak dan
vitamin C pada kelapa hutan cukup tinggi. Perbandingan
kandungan gizi kelapa hutan dengan beberapa jenis buah dan biji-
bijian yang sering dikonsumsi oleh masyarakat disajikan pada Tabel
46.
182
Sumber : Data primer hasil analisis Laboratorium Gizi dan Pangan UGM Tahun 2010
Tabel 45. Kandungan gizi kelapa hutan
Macam Analisa Hasil Analisis Rata-RataSampel 1 Sampel 2
Kadar AirKadar AbuKadar LemakProtein TotalSerat KasarVitamin CKarbohidratKalori
42,841,611,083,625,35
158,5751,26
212,44
42,941,521,023,584,44
158,5451,32213,01
42,891,571,053,604,90
158,5651,29212,73
Tabel 46. Perbandingan kandungan gizi kelapa hutan dengan beberapa jenis buah dan biji-bijian
Buah Protein(gr)
Lemak(gr)
Vit C(mg)
Air(gr)
Kelapa hutanKacang hijauKedelaiSorghumJagungKacang tanahAlpukatDurianSirsakLangsatPepayaRambutanSalak
3,6123,036,99,89,420,00,92,51,00,90,52,00,9
1,071,217,23,304,2045,06,53,00,30,20
0,10
158,56-----
135,3203,078582
42,9412,49,811,213,5
-84,465
81,781
86,780,578
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2009 dan data Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian IPB Bogor, 2006 dalam Sirami 2009 dan The Indonesian Commodity System, IPB dalam Suhardi et al 2006
183
Kandungan protein kelapa hutan umumnya lebih tinggi jika
dibandingkan dengan jenis-jenis buah-buahan namun lebih rendah
dibanding jenis kacang-kacangan, sorghum dan jagung. Namun
demikian, kelapa hutan memiliki kandungan vitamin C yang lebih
tinggi dari biji-bijian dan kacang-kacangan yang sering dikonsumsi
oleh masyarakat di Indonesia.
F. Etnobotani Kelapa Hutan dalam Budaya Suku Manirem
Secara umum masyarakat Suku Manirem dan etnik lainnya di
Sarmi memiliki bahan pangan pokok utama yaitu aci sagu dan
umbi-umbian seperti kimpul atau keladi, ketela rambat atau betatas,
talas dan ketela pohon atau kasbi. Mata pencaharian utama mereka
adalah berladang berpindah.
Sejalan dengan perkembangan pembangunan, ilmu
pengetahuan dan teknologi, apalagi dengan pemekaran daerah
tersebut menjadi Kabupaten Sarmi sejak tahun 2002, masyarakat
Suku Manirem dan etnik lainnya di Kabupaten Sarmi telah
mengalami perubahan dalam hal makanan pokok. Saat ini
masyarakat tidak lagi memanfaatkan aci sagu dan umbi-umbian
sebagai bahan pangan pokok tetapi masyarakat telah beralih ke
beras sebagai bahan pangan pokok.
Kelapa hutan adalah jenis buah yang dikomsumsi (bahan
pangan) dan merupakan bahan pangan alternatif oleh masyarakat
Suku Manirem dan etnik lainnya di Sarmi. Masyarakat yang
tergolong dalam 5 suku besar di Sarmi (Sobey, Armati, Rumbuay,
184
Manirem dan Isirawa) telah memanfaatkan buah tersebut secara
turun temurun sejak zaman dahulu nenek moyang hingga sampai
saat ini. Tidak ada bukti yang tepat menjelaskan sejak kapan orang
Sarmi pertama kali mengkonsumsi jenis kelapa hutan tersebut.
Namun secara budaya buah kelapa hutan ini memiliki beberapa
fungsi atau peranan yang penting dalam perkembangan budaya
beberapa suku di Sarmi.
Selain buahnya dapat dimakan seperti kelapa, batang dan
daunnya juga dapat dimanfaatkan. Batangnya sering dimanfaatkan
sebagai tiang rumah atau sebagai lantai dalam pembuatan rumah
tradisional atau rumah-rumah darurat di hutan. Sedangkan daunnya
yang lebar dapat dimanfaatkan sebagai atap bagi rumah tradisional
atau rumah-rumah darurat di hutan dan sebagai wadah
penyimpanan hasil kebun atau hasil buruan dan pelindung dari
hujan atau panas matahari.
185
Gambar 48. Pemanfaatan daun kelapa hutan sebagai atap rumah tradisional
Saat ini, salah satu bentuk pemanfaatan modern yang cukup
terkenal adalah pemanfaatan semai atau anakan kelapa hutan
sebagai tanaman hias. Biasanya anakan kelapa hutan diambil dari
alam kemudian ditanam pada pot atau langsung di pekarangan
rumah. Anakan kelapa hutan yang sudah tumbuh baik dapat dijual
dengan harga Rp. 50.000,- sampai Rp. 100.000,- per pot
G. Konservasi Tradisional
Masyarakat Suku Manirem telah lama memanfaatkan buah
kelapa hutan dalam kehidupan budaya dan keseharian mereka.
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2010
186
Saat ini masyarakat telah melakukan konservasi tradisional dengan
cara merawat anakan dan pohon kelapa hutan yang terdapat di
alam serta melakukan penanaman dalam skala kecil pada kebun
mereka dan pekarangan sebagai tanaman hias.
H. Status Konservasi
Kelapa hutan adalah salah satu jenis pohon endemik dan
tumbuhan asli (native species) di Tanah Papua. Jenis ini
penyebarannya sangat terbatas yaitu pada hutan dataran rendah
pesisir pantai Utara Papua meliputi Kabupaten Sarmi, Kabupaten
Waropen dan Kabupaten Yapen. Secara ekologi, jenis kelapa hutan
merupakan jenis yang banyak terdapat pada hutan tropis dataran
rendah pada kawasan hutan dengan topografi landai,
bergelombang atau punggung bukit dan puncak bukit. Penyebaran
jenis ini secara alami pada ketinggian tempat 10–300 m dpl.
Meskipun secara tradisional masyarakat di Kabupaten Sarmi
sudah melakukan kegiatan budidaya (konservasi tradisional) namun
secara umum jenis kelapa hutan perlu dilakukan kegiatan budidaya
yang intensif, mengingat jenis ini merupakan jenis endemik yang
penyebarannya sangat terbatas namun pemanfaatannya oleh
masyarakat cukup tinggi, selain itu jenis ini juga dapat dimanfaatkan
sebagai penghasil bahan bakar nabati.
Kabupaten Sarmi sebagai kabupaten yang baru dimekarkan
sudah tentu akan membutuhkan lahan bagi kegiatan pembangunan.
Pembukaan hutan untuk pemukiman, pertanian dan perkebunan
187
serta tujuan lainnya dikhawatirkan akan menurunkan populasi jenis
ini di alam bahkan bisa saja terjadi kepunahan kelapa hutan secara
ekologis.
Status konservasi jenis kelapa hutan saat ini adalah terkikis
di mana penyebarannya terbatas tetapi pemanfaatannya cukup
tinggi. Untuk itu, perlu dilakukan tindakan konservasi, baik
konservasi di dalam kawasan hutan (in-situ) melalui kegiatan
reboisasi atau konservasi di luar kawasan hutan (eks-situ) melalui
kegiatan penghijauan dan pembuatan kebun koleksi kelapa hutan
untuk mempertahankan keberadaan jenis tersebut di alam.
I. Prospek Pengembangan
Kelapa hutan sangat potensial untuk dikembangkan pada
habitat aslinya yaitu di Kabupaten Sarmi, Kabupaten Mamberamo
dan Kabupaten Waropen. Tetapi dapat pula dikembangkan di
daerah lainnya di Tanah Papua yang bukan merupakan habitat
aslinya tetapi memiliki tipe ekosistem hutan dataran rendah seperti
Kabupaten Jayapura, Kabupaten Manokwari, Kabupaten Sorong,
Kabupaten Timika, Kabupaten Fakfak, Kabupaten Kaimana,
Kabupaten Merauke dan daerah lainnya.
Pengembangan atau penanaman jenis ini dalam bentuk
kebun koleksi sangat mudah dilakukan mengingat jenis kelapa
hutan tidak membutuhkan karakter habitat yang spesifik. Untuk
tujuan tersebut perlu adanya dukungan Pemerintah Daerah melalui
instansi teknis terkait. Buahnya yang berbentuk seperti kelapa tetapi
188
berukuran kecil, selain dapat dimakan juga dapat dimanfaatkan
sebagai bahan bakar nabati seperti pemanfaatan buah Calophyllum
inophyllum.
Salah satu bentuk pengembangan atau pembuatan kebun
koleksi adalah dengan mengadopsi pengembangan jenis
Calophyllum inophyllum dengan pemberdayaan masyarakat
tradisional Papua melalui desa konservasi.
189
Gam
bar 4
9.Pe
nyeb
aran
Kel
apa
Hut
an (B
oras
sus
hein
eanu
sBec
c.)d
i Tan
ah P
apua
Ket
eran
gan
:
= Lo
kasi
Pen
yeba
ran
Gam
bar 4
9. P
enye
bara
n K
elap
a H
utan
(Bor
assu
s he
inea
nus
Bec
c.) d
i Tan
ah P
apua
190
Gambar 50. Buah Anggur Papua (Sararanga sinuosa Hemsley)
Dokumentasi : Krisma Lekitoo,2010191
A. Deskripsi Botani
Sararanga sinuosa Hemsley. (Pandanaceae)
Nama dagang : pandan, anggur papua
Nama daerah : selre (Tablasupa Depapre/Tepra)
Deskripsi umum : Tumbuhan tidak berkayu, umumnya sangat menyerupai tumbuhan pandan (Pandanaceae) lainnya tidak berumpun, tinggi total dapat mencapai 20 m. Batang tumbuh tegak, berdiameter 13–22 cm, berwarna coklat muda keabu-abuan dengan bercak-bercak kehitaman, pada pangkal batang tidak terdapat akar tunjang seperti pada umumnya jenis-jenis pandan (Pandanaceae) lainnya, biasanya beruas-ruas (berbuku), dengan panjang 10–15 cm dan tidak berduri. Umumnya bercabang dua, tiga dan empat atau kadang-kadang tidak bercabang (percabangan umumnya pada bagian ujung batang utama). Daun berbentuk pita, pedang atau garis berukuran 50–120 cm x 5–15 cm, bagian tepi dan kadang-kadang pada bagian punggung ibu tulang daun berduri kecil-kecil yang tajam sama seperti tumbuhan pandan (Pandanaceae) lainnya.Daun tersebar atau spiral, biasanya mengumpul pada ujung batang dan cabang. Bunga biasanya terdapat pada ujung batang/cabang atau di ketiak daun, dengan daun pelindung yang besar, seringkali berwarna putih kekuningan atau kuning sampai orange. Buahberbentuk bulat lonjong yang umumnya agak melengkung seperti tanda bulan sabit, belakang buah terdapat tanda simetris buah yang juga merupakan susunan biji, berukuran 0,8–1,0 cm x 1,0–1,5 cm. Biji sangat kecil menyerupai biji rica, berjumlah sangat banyak.
IX. ANGGUR PAPUA (Sararanga sinuosa Hemsley) DAN PEMANFAATANNYA OLEH SUKU TEPRA DI
KABUPATEN JAYAPURA
192
A
Dokumentasi : Ezrom Batorinding, 2010
B
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2010
193
Gambar 51. Anggur Papua (Sararanga sinuosa) - A. perawakan batang; B. daun; C. buah; D. biji
C
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2010
D
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2010
194
Anggur Papua (Sararanga sinuosa) merupakan jenis
tumbuhan endemik atau asli (native species) di Papua.
Penyebarannya hanya terdapat pada hutan hujan tropis dataran
rendah di pesisir pantai utara Papua yang meliputi Kabupaten
Jayapura, Kabupaten Sarmi, Kabupaten Mamberamo Raya,
Kabupaten Waropen dan Kabupaten Yapen. Secara ekologi jenis ini
tumbuh dan menyebar pada daerah tanah, tanah berpasir, tanah
berkapur, tanah berbatu dan tanah berkarang serta habitat rawa
baik rawa temporer maupun permanen dan hutan sagu dengan
ketinggian tempat 0–200 m dpl. dan topografi landai sampai
bergelombang berat.
Anggur Papua merupakan satu-satunya marga Sararanga yang
terdapat di Tanah Papua, marga Sararanga lainnya terdapat di
Philipina. Jenis ini memiliki kerabat dekat dengan jenis-jenis
pandanus lainnya. Jika dilihat sepintas lalu, jenis S. sinuosa sangat
mirip dengan jenis Pandanus spp. lainnya, seperti P. tectorius, P.
polycephalus, P. conoideus dan lain-lain. Namun jika dicermati
secara baik maka kita akan tahu perbedaan utama yang paling
mencolok baik secara vegetatif maupun generatif.
195
Gambar 52. Perawakan Sararanga sinuosayang sangat mirip dengan perawakan Pandanus spp. – A. Sararanga sinuosaHemsley; B. Pandanus conoideus Lamk.
Secara vegetatif, ciri utama yang paling mencolok yang
membedakan anggur Papua dengan jenis-jenis Pandanus spp.
lainnya adalah jenis anggur Papua tidak memiliki akar tunjang
seperti layaknya jenis-jenis pandan lainnya. Secara generatif, ciri
utama yang paling mencolok yang membedakan jenis anggur
Papua dengan jenis-jenis Pandanus spp. lainnya adalah tandan
buahnya yang berbentuk malai dan bentuk buahnya yang
menyerupai buah anggur (Vitis vinifera) yang sangat berbeda
BA
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2010 Dokumentasi : Hanro Lekitoo, 2010
196
Gambar53. Perbedaan marga Sararanga dan marga Pandanus secara generatif - A. Perbungaan Sararanga sinuosa yang berbentuk malai dengan buah yang berbentuk oval; B. Perbungaan Pandanus conoideus yang berbentuk tandan dengan buah yang berbentuk lonjong atau kotaktersusun sepanjang tandan
dengan jenis-jenis buah pandan pada umumnya yaitu berbentuk
tandan, bongkol dan gada.
B. Kondisi Sosio-Geografis
Perjalanan singkat sejarah berdirinya Kota Kabupaten
Jayapura yang dimulai dari Pulau Debi di Teluk Yotefa hingga ke
daratan Dobonsolo Sentani adalah sebagai berikut :
Tahun 1900 – 1910 dimulai dengan pembukaan Pos
Pemerintahan di Pulau Debi yang terletak di Teluk Yotefa antara
Kampung Tobati dan Enggros yang berfungsi sebagai Pusat
Pengabaran Injil di daratan Jayapura/Numbay.
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2010 Dokumentasi : Hanro Lekitoo,2010
B
A
197
Berdasarkan Surat Keputusan (Besillit) Gubernur Hindia
Belanda No. 4 Tahun 1909 tanggal 28 Agustus 1909 berangkat satu
Detasemen Militer yang terdiri dari empat Perwira dan 80 Prajurit
dibawah Pimpinan Kapten Infantri F.J.P Sachese dengan
menumpang Kapal Perang EDI dan bertolak dari Manokwari
menuju daratan Numbay dengan tugas untuk membantu persiapan
bagi Komisi Pengaturan Perbatasan Antara Belanda dengan
Jerman untuk memegang dan mengendalikan kekuasaan disana.
Satu bulan kemudian, tepatnya tanggal 28 September 1909,
mereka berhasil mendarat di Teluk Numbay/Humbolt dan membuat
markas di Taman Imbi atau yang sekarang kita kenal dengan
Gedung Sarinah dan Percetakan Labor Jayapura.
Tanggal 7 Maret 1910, atau tepatnya enam bulan kemudian,
Kapten Infantri F.J.P. Sachese memproklamirkan Dataran Numbay
dengan sebutan baru yaitu Hollandia dan dikukuhkan sebagai Ibu
Kota Pemerintahan menggantikan Pos Pemerintahan di Pulau Debi
yang ditutup.
Setelah 32 tahun, tepatnya di tahun 1942, setelah Ibu Kota
Hollandia berdiri, tentara Jepang berhasil mendarat dan menguasai
Tanah Papua termasuk Ibu Kota Hollandia. Dua tahun kemudian
setelah Perang Dunia II akan berakhir atau tepatnya di tahun 1944,
Belanda kembali menguasai Tanah Papua dan memindahkan Ibu
Kota Hollandia yang terletak didaratan Numbay teluk Humbolt ke
daratan Makanwai.
198
Tahun 1944-1946 dataran Makanwai diganti namanya
menjadi Kota NICA dan menjadi Ibukota Keresidenan New Guinea
(sekarang lebih dikenal dengan Kampung Harapan). Pada bulan
Maret 1946 Kota NICA dilembah Makanwai dipindahkan ke NIBI-
ABEI yaitu bekas komplek Rumah Sakit Armada ke VII dan menjadi
Kota NICA yang baru akan tetapi limabulan kemudian dirubah
kembali namanya menjadi Kota Baru (sekarang Kota Abepura).
Tahun 1946-1951 karena kepindahan Pemerintahan di Kota
Baru menyebabkan Gedung Markas Besar yang menjadi kediaman
Jenderal MacArthur yang terletak di Camp Seven Fleet (Ifar Gunung
Sentani) turut dipindahkan. Markas Besar yang sekarang berada di
Kota Baru digunakan sebagai Ambdswoning Residen yang
kemudian digunakan sebagai Istana Gubernur (sekarang Gedung
FISIP UNCEN) terletak di Abepura dan terkenal disebut sebagai
Gedung Transistor.
Tahun 1951-1955 Kota Baru diganti namanya menjadi
Hollandia Stad. Kemudian Tahun 1955-1958 Kota Hollandia Stad
yang menjadi Ibu Kota Kabupaten Jayapura diganti kembali
namanya menjadi Hollandia Binnen.
Tahun 1958 Ibu Kota Hollandia Binnen dipindahkan lagi ke
Pantai Teluk Numbay/Humbolt (Hollandia Haven) dan dibangun
pula Kantor Gubernur beserta Kantor-kantor Dinas di Dok II yang
selanjutnya menjadi Ibukota Pemerintahan dengan nama Hollandia.
Tanggal 31 Desember 1962 nama Ibukota Pemerintahan Hollandia
diganti menjadi Kota Baru.
199
Tanggal 31 Desember 1963 untuk pertama kalinya Presiden
Pertama Republik Indonesia Bpk. Ir. Soekarno mengunjungi Tanah
Papua dan mengganti nama Kota Baru menjadi Soekarnopura dan
Teluk Hubolt menjadi Teluk Yos Sudarso. Tahun 1965 atau
tepatnya setelah terjadi Gerakan 30 September 1965 PKI, maka
nama Kota Soekarnopura dirubah menjadi Djajapura.
Tahun 1969 ditetapkan pembentukan Kabupaten Jayapura
sebagai Daerah Otonomi dengan Ibukota Jayapura berdasarkan
Undang-undang No. 12 Tahun 1969 tentang Pembentukan Propinsi
Otonom Irian Barat dan Kabupaten-kabupaten Otonom di Propinsi
Irian Barat.
Tahun 1979, atau tepatnya sepuluh tahun kemudian,
Kabupaten Jayapura dimekarkan dan memiliki Kota Administratif
Jayapura yang dikukuhkan berdasarkan Peraturan Pemerintah RI
No. 26 Tahun 1979 tertanggal 28 Agustus 1979 dengan wilayah
yang meliputi dua Kecamatan yaitu Kecamatan Jayapura Utara dan
Kecamatan Jayapura Selatan dibawah pembinaan Kabupaten
Jayapura.
Tahun 1993 setelah empat belas tahun melalui beberapa
tahapan dan penilaian maka status Kota Administratif Jayapura
dinaikkan statusnya menjadi Kotamadya Jayapura berdasarkan
Undang-undang No. 6 Tahun 1993 tentang Pembentukan
Kotamadya Daerah Tingkat II Jayapura yang diresmikan
pelaksanaannya tanggal 21 September 1993 dengan wilayah
cakupan empat Kecamatan yaitu: Kecamatan Jayapura Utara,
200
Kecamatan Jayapura Selatan, Kecamatan Abepura dan Kecamatan
Muara Tami dan sekaligus menjadi Kotamadya terluas wilayahnya
di Indonesia.
Tepat satu abad kemudian yang dimulai dari Pembukaan Pos
Pemerintahan di Pulau Debi tahun 1900 sampai dengan tahun
2000, Pemerintah Republik Indonesia menetapkan Peraturan
Pemerintah No. 15 tanggal 10 Maret 2000 tentang Pemindahan
Ibukota Kabupaten Jayapura dari Kota Jayapura ke wilayah
Sentani. Berdasarkan Surat Keputusan tersebut maka tanggal 10
Maret 2000 dapat dikatakan sebagai tonggak awal sejarah
keberadaan kantor Kabupaten Jayapura di Kota Sentani dan
ditetapkan sebagai hari jadi Kota Sentani.
Etnis Jayapura terdiri dari suku Sentani, Kai Pulo, Kai Batu,
Genyem, Depapre, Nafri, Nimbokran dan Demta. Sejarah asal-usul
etnis Depapre berasal dari kepercayaan tradisonal Cargo cults,
yang telah dipercaya turun temurun dan sudah ada sebelum agama
Kristen masuk di Jayapura. Pola kepercayaan tradisional Cargo
cults terdiri dari : Okultisme, animisme dan mitos.
Depapre adalah nama distrik dari salah satu distrik di
Kabupaten Jayapura. Distrik Depapre terletak di sebuah teluk yang
bernama teluk Tanah Merah. Jarak ibukota Kabupaten Jayapura
ke ibu kota distrik Depapre kira-kira 19 km. Adapun suku yang
hidup di wilayah Depapre dikenal dengan Suku Tepra. Suku Tepra
di distrik Depapare mendiami sejumlah kampung, antara lain,
Kampung Waiya, Tablanusu, Tablasupa, Yepase, Yewena,
201
Wambena dan Dormena. Selain mendiami Distrik Depapre, suku
Tepra juga mendiami sebagian wilayah Distrik Ravenirara, yakni
di Kampung Yongsu Spari dan Yongsu Desoyo, serta di Distrik
Demta, yakni, mendiami kampung Yokari, Kamtumilena, Bukisi,
Meukisi, dll.
Sistem kepemimpinan masyarakat tradisional atau suku-suku
secara umum di Kabupaten Jayapura dan khususnya Suku Tepra di
Distrik Depapre adalah sistem kepemimpinan klan atau
kepemimpinan ondoafi (Mansoben, 1995). Mansoben dalam
karyanya Sistem Politik tradisional di Irian Jaya, mengklasifikasi
sistem politik di Papua (Irian Jaya) dalam empat sistem
kepemimpinan tradisional, yakni, sistem kepemimpinan bigman
(pria berwibawa), sistem kepemimpinan Kepala Klen (ondoafi),
sistem kepemimpinan Kerajaan dan sistem kepemimpinan Mix
(campuran).
Sistem kepemimpinan ondoafi merupakan pewarisan
kedudukan dan birokrasi secara tradisional. Wilayah/teritorial
kekuasaan seseorang pemimpin hanya terbatas pada satu
kampung dan kesatuan sosialnya terdiri dari golongan atau sub
golongan etnik saja dan pusat orientasi adalah religi. Sistem ini
terdapat di bagian Timur Papua yaitu Nimboran, Teluk Humboldt,
Tabla, Yaona, Skou, Arso, Waris (Mansoben, 1995).
Secara umum, wilayah-wilayah yang menganut sistem
kepemimpinan kepala Klen di Papua (Irian Jaya) adalah suku-suku
yang berada di wilayah Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura dan
Kabupaten Keerom. Sedangkan istilah atau sebutan ondoafi yang
202
kini digunakan secara umum pada tipe kepemimpinan kepala klen
sesungguhnya berasal dari wilayah Depapre atau Suku Tepra.
Padahal jika kita telusuri sejenak ke belakang, sebutan istilah
sistem kepemimpinan kepala Klen untuk masing-masing suku
berbeda-beda. Sebut saja, istilah kepala klen untuk Suku Sentani
(Puyaka) adalah dengan sebutan Ondofolo, sedangkan untuk Suku
Tobati-Enggros dengan istilah Harsori atau Suku Ormu dengan
istilah Tubwe, dan lain-lain.
Dalam sistem kepemimpinan kepala klen (Ondoafi),
kekuasaan seorang pemimpin bersifat ascribement status atau
diwariskan secara turun temurun dari seorang kepala klen
(Ondoafi) kepada anak laki-lakinya yang tertua. Sistem ini berbeda
dengan sistem kepemimpinan bigman yang umumnya berlaku pada
suku-suku di wilayah pegunungan Tengah di Provinsi Papua
seperti, misalnya Suku Dani di mana kekuasaan seseorang bukan
karena diwariskan (ascribement status) melainkan
diusahakan/dicapai (achievement status).
Namun demikian, sistem kepemimpinan kepala Klen (ondoafi)
hampir sama dengan sistem kerajaan, seperti yang dianut oleh
suku-suku di wilayah Kepulauan Raja Ampat, Fakfak dan Kaimana,
di mana dalam sistem kerajaan kekuasaan diperoleh melalui
pewarisan (ascribement status). Akan tetapi yang membedakannya
dengan sistem kepemimpinan kerajaan adalah wilayah kekuasaan
203
kepala klen (ondoafi) hanya terbatas dalam satu kampung (yo3))5)
bahkan hanya meliputi satu keret/klen atau beberapa cabang klen
saja. Sedangkan sistem kepemimpinan kerajaan meliputi tidak
hanya beberapa klen saja tetapi hingga beberapa suku bangsa dan
bahasa yang berbeda-beda dengan lingkup wilayah yang sangat
luas.
Meskipun suku yang berada di wilayah Depapre adalah suku
Tepra, namun tidak dapat semua kampung digeneralisasi dengan
menggunakan struktur klen/keret dari kampung lain. Masing-masing
kampung sesungguhnya memiliki struktur klen yang berbeda-beda
satu dengan lainnya. Untuk itu pada bagian ini diambil dua
kampung yakni kampung Tablasupa dan Dormena sebagai sampel
untuk menjelaskan struktur klen pada orang Tepra.
Secara umum, penyebutan suku yang lazim digunakan dalam
setiap perbincangan mengenai organisasi sosial pada suku-suku
asli di wilayah Kabupaten Jayapura, sesungguhnya adalah sebutan
untuk keret/klen. Seperti telah dikemukakan di atas bahwa setiap
suku mempunyai kepala suku. Dan setiap suku juga masing-masing
memiliki hak kepemilikan terutama hak atas tanah. Sebagai contoh,
dapat dilukiskan sebagai berikut :
Orang Tablasupa di Kampung Tablasupa Distrik Depapre
misalnya dalam tatanan adat komunitasnya mengenal istilah tiga
pilar utama yang sering disebut dengan istilah “tiga tungku”, yakni
3) Yo adalah sebutan untuk istilah kampung dalam bahasa orang Tepra
di Depapre, tetapi juga istilah ini (yo) digunakan oleh orang Sentani (Puyakha).
204
tiga Keret/suku. Ketiga keret/suku tersebut adalah Suku Apaserai,
suku Demena dan suku Sorontou. Suku Apaserai dan Demena
adalah suku-suku yang memiliki kekuasaan atas wilayah darat
termasuk atas hutan Cagar Alam Pegunungan Cycloop, sedangkan
suku Sorontou memiliki kekuasaan atas wilayah lautan.
Dalam kaitan dengan semua hal yang hendak dikerjakan
yang berhubungan dengan lingkungan alam laut, yakni pasir, air
laut, ikan, kerang, rumput laut, karang laut, dsb, maka harus
meminta ijin kepada sang ondoafi Marthen Sorontou. Sedangkan
hal-hal yang berkaitan dengan daratan seperti, hutan, gunung,
lembah, sungai, dsb., harus berhubungan dengan ondoafi Obaja
Apaseray dan Ondoafi Demena.
Masyarakat tradisional pada Suku Tepra di Distrik Depapre
Kabupaten Jayapura umumnya mengenal kelompok kekerabatan
menurut tipe Iroquois. Sistem ini mengklasifikasikan anggota
kerabat saudara sepupu paralel dengan istilah yang sama dengan
saudara kandung. Juga untuk menyebut istilah yang sama untuk
ayah maupun sesama saudara laki ayah dan saudara laki ibu.
Adapun kelompok etnik Papua yang tergolong dalam tipe ini adalah:
Suku Biak, Iha, Waropen, Senggi, Marind-anim, Teluk Humboldt
dan orang Mee.
Orang Tepra yang hidup di wilayah Teluk Tanah Merah
Depapre berbatasan dengan dua ekologi utama, yakni ekologi laut
(Teluk Tanah Merah) dan ekologi gunung (Cagar Alam Pegunungan
Cycloop). Mereka mengenal sistem mata pencarian pokok seperti
menokok sagu, berkebun secara terbatas, menangkap ikan dan
205
berburu. Dalam aktivitas sistem mata pencaharian hidup ini mereka
memiliki sejumlah pranata adat yang harus dipatuhi supaya tidak
terjadi benturan nilai dan menyebabkan konflik dalam kehidupan
masyarakat. Sebagai contoh, setiap wilayah hutan, gunung atau
laut tentu dimiliki oleh keret/klen tertentu dengan sub-keret/klen-
nya. Untuk itu, jika seorang dari keret/klen lain yang hendak
memasuki wilayah keret atau klen lain untuk mengambil kayu, maka
harus meminta ijin kepala keret/klen pemiliki hak ulayat yang akan
dimasuki.
Secara umum, Kampung Tablasupa termasuk dalam zona
ekologi pertama berdasarkan zona ekologi yang dikembangkan
oleh Mansoen (1995), yaitu rawa, daerah pantai dan muara sungai
dengan mata pencaharian utama adalah meramu sagu serta
berladang berpindah dan mata pencaharian sampingan yaitu
menangkap ikan di sungai dan di laut. Makanan pokok mereka
adalah aci sagu dan umbi-umbian.
206
Gam
bar 5
4. L
okas
i Dis
trik
Dep
apre
Kab
upat
en J
ayap
ura
Loka
si P
enel
itian
207
C. Ekologi Habitat Anggur Papua
Dalam rangka kegiatan konservasi jenis anggur Papua, baik
konservasi pada habitatnya (in-situ) maupun di luar habitatnya (eks-
situ), salah satu aspek yang sangat perlu untuk diketahui adalah
aspek ekologi dan habitat yang meliputi faktor fisiografi (ketinggian
tempat dan kelerengan), iklim (suhu udara dan kelembaban),
kondisi habitat (tanah, tanah berbatu, tanah berkarang dan karang)
serta kesuburan tanah. Syafei (1994) menyebutkan bahwa faktor-
faktor lingkungan yaitu iklim, edafik (tanah), topografi dan biotik
berkaitan sangat erat satu sama lain dan sangat menentukan
kehadiran suatu jenis tumbuhan di tempat tertentu, namun cukup
sulit mencari penyebab terjadinya kaitan yang erat tersebut.
Selanjutnya, Marsono (1972) menyebutkan bahwa kehadiran suatu
jenis dalam suatu areal ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain:
habitat dimana berlangsung proses seleksi terhadap jenis yang
mampu beradaptasi dengan lingkungan setempat dan waktu yang
diperlukan untuk proses seleksi dan adaptasi. Dengan berjalannya
waktu, vegetasi akan berkembang ke arah yang stabil dan
kehadiran satu jenis dapat ditentukan juga oleh vegetasi yang
berada disekitarnya.
1. Faktor Fisiografis
Ketinggian tempat habitat anggur Papua di Kampung
Tablasupa Distrik Depapre Kabupaten Jayapura adalah 0–140 m
dpl. Sesuai ketinggian tempat tumbuhnya maka anggur Papua
digolongkan kedalam jenis tumbuhan dataran rendah.
208
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2010
Tabel 47. Ketinggian tempat dan kelerengan pada habitat anggur Papua di Kampung Tablasupa
Habitat Ketinggian tempat(m) dpl
Topografi/kelerengan(%)
1. 0–85 10-302. 0–95 15-453. 0–115 20-704. 0–140 20-75
Anggur Papua pada kawasan hutan Kampung Tablasupa
tumbuh baik pada kelerangan 10–75%. Kisaran kelerengan
tersebut memiliki kondisi habitat yang relatif bergelombang sampai
agak curam. Kondisi habitat demikian secara alami sangat
berdampak terhadap penyebaran dan kuantitas pertumbuhan
anggur Papua. Kualitas pertumbuhan anggur Papua pada habitat
yang relatif datar atau agak bergelombang umumnya sangat baik,
dan tidak berbeda dalam banyaknya individu. Daerah yang sangat
datar menyebabkan penyebaran individu anggur Papua merata.
2. Suhu Udara dan Kelembaban
Suhu udara dan kelembaban serta pengamatan penutupan
tajuk (persen naungan) pada habitat anggur Papua disajikan pada
Tabel 48.
209
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2010
Tabel 48. Suhu udara dan kelembaban serta persen penutupan tajuk pada habitat anggur Papua di Kampung Tablasupa
Habitat Suhu udara(ºC)
Kelembaban(%)
Naungan(%)
1 31 67 702 30 80 783 31 68 684 29 90 855 32 65 60
Anggur Papua tumbuh pada daerah-daerah dengan naungan
sedang sampai berat (60–85%) dengan suhu udara optimum
berkisar antara 29–32ºC dan kelembaban optimum berkisar antara
65–90%. Adanya kisaran demikian disebabkan karena penyebaran
anggur Papua secara alami di kawasan hutan Kampung Tablasupa
adalah pada hutan sekunder dan primer yang merupakan hutan
pantai dan hutan dataran rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa
anggur Papua mampu tumbuh pada habitat hutan pantai dan hutan
dataran rendah dengan naungan yang sedang sampai berat
(daerah tertutup).
3. Keadaan Tanah
Anggur Papua umumnya tumbuh pada habitat tanah dengan
keadaan solum yang tipis (<10 cm) sampai dalam (± 30 cm),
dengan variasi habitat mulai tanah berpasir, tanah, tanah tidak
berbatu sampai sedikit berbatu (tanah berkarang). Jenis ini kadang-
kadang tumbuh pada daerah tergenang di pinggir sungai dan pada
210
Sumber : Data primer hasil analisis Laboratorium Tanah Faperta UGM Tahun 2010
habitat rawa tergenang secara periodik maupun rawa tergenang
permanen.
Tabel 49. Kesuburan tanah pada habitat anggur Papua
Parameter Uji Nilai Kandungan
Satuan
N 0,08 %P 45,93 ppmK 0,10 %Fe - %Mg 0,12 %
pH (T) 5,40 -C 0,94 -Ca 0,85 -Na 0,52 -
C/N ratio 8,67 -Bahan Organik 1,62 %
Tanah pada habitat anggur Papua bersifat masam (pH 5,40),
N tersedia sangat rendah, P tersedia sangat tinggi, Mg tersedia
sangat rendah, C/N ratio rendah dan K tersedia rendah.
Berdasarkan sifat tanah tersebut, tampak bahwa jenis tanah pada
habitat anggur Papua tergolong jenis tanah dengan tingkat
kesuburan rendah sampai sedang.
D. Potensi Tegakan, Struktur Populasi dan Potensi Buah
1. Potensi Tegakan
Potensi tegakan anggur Papua pada hutan alam tropis di
Kampung Tablasupa Distrik Depapre Kabupaten Jayapura,
211
Gambar 55. Potensi tegakan anggur Papua berdasarkantingkat pertumbuhan di Kampung Tablasupa
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2010
berdasarkan tingkat pertumbuhannya yaitu semai, pra dewasa dan
dewasa, dapat dilihat pada Gambar 55.
Populasi setiap tingkat pertumbuhan jenis anggur Papua
membentuk kurva pertumbuhan yang relatif normal yaitu berbentuk
huruf J terbalik. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi hutan
habitat anggur Papua tersebut tergolong baik atau belum
mendapatkan tekanan berupa kerusakan yang cukup berarti.
212
Gambar 56. Intsia bijuga O.K., Jenis dominan ke 3 pada tingkat semai – A. perawakan batang; B. daun; C. buah
a. Tingkat Semai
Komposisi jenis vegetasi dalam suatu ekosistem dapat
diartikan sebagai variasi jenis flora dan merupakan daftar floristik
jenis tumbuhan yang menyusun suatu komunitas berdasarkan hasil
deskripsi (Soerianegara dan Indrawan, 2005). Daftar floristik
berguna untuk analisis vegetasi karena merupakan salah satu
parameter guna mengetahui keanekaragaman jenis tumbuhan
(species diversity) di dalam komunitasnya. Jenis-jenis vegetasi
berkayu tingkat permudaan semai yang paling mendominasi pada
habitat anggur Papua di kawasan hutan Kampung Tablasupa
secara lengkap disajikan pada Tabel 50.
B
CA
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2007
213
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2010
Anggur Papua pada tingkat permudaan semai, ternyata
merupakan salah satu jenis yang mendominasi kawasan hutan
dataran rendah Kampung Tablasupa Distrik Depapre Kabupaten
Jayapura. Jenis yang paling dominan berturut-turut pada kawasan
hutan tersebut adalah Inocarpus fagifer, Pometia pinnata, Intsia
bijuga, Cananga odorata dan Comersonia bartramia. Hal ini
menunjukkan adanya tingkat toleransi yang tinggi dan luas dari ke 5
jenis ini serta adanya strategi regenerasi yang baik dari jenis ini
dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya yang dikenal
dengan seleksi-r.
Tabel 50. Dua belas jenis vegetasi dominan tingkat permudaan semai pada habitat anggur Papua di Kampung Tablasupa
Nama Latin K(n/ha)
KR(%)
F FR(%)
INP(%)
Inocarpus fagifer 2500 6,17 0,5 8,93 15,10Pometia pinnata 4000 9,88 0,2 3,57 13,45Intsia bijuga 2500 6,17 0,3 5,36 11,53Cananga odorata 3000 7,41 0,2 3,57 10,98Comersonia bartramia 2500 6,17 0,2 3,57 9,74Pongamia pinnata 2250 5,56 0,2 3,57 9,13Fagraea racemosa 1500 3,70 0,3 5,36 9,06Barringtonia racemosa 1750 4,32 0,2 3,57 7,89Premna corymbosa 1750 4,32 0,2 3,57 7,89Artocarpus altillis 1500 3,70 0,2 3,57 7,28Ficus septica 1000 2,47 0,2 3,57 6,04Sararanga sinuosa 1000 2,47 0,2 3,57 6,04
214
Potensi tingkat permudaan semai anggur Papua adalah
sebanyak 1.000 anakan per hektar. Jenis ini menempati urutan ke
12. Kurang dominannya jenis anggur Papua ini disebabkan karena
jumlah semainya relatif sedikit dibanding jenis lain. Hal ini
menggambarkan bahwa jenis ini kurang menggunakan strategi – r
dalam proses regenerasinya.
b. Tingkat Pra Dewasa
Anggur Papua pada tingkat permudaan pra dewasa
menduduki posisi dominan ke delapan pada kawasan hutan dataran
rendah Kampung Tablasupa Distrik Depapre. Sepuluh jenis
permudaan tingkat pra dewasa yang paling mendominasi kawasan
hutan tersebut dapat dilihat pada Tabel 51. Pada tingkat pra
dewasa, jenis yang paling dominan berturut-turut pada kawasan
hutan tersebut adalah Cananga odorata, Pometia pinnata,
Palaquium amboinensis, Canarium indicum dan Intsia bijuga.
Dominannya jenis Cananga odorata pada habitat anggur
Papua yaitu pada kawasan hutan Kampung Tablasupa disebabkan
karena jenis ini memiliki kisaran toleransi yang sangat tinggi
terhadap habitat dengan tanah, tanah berbatu, tanah berpasir,
tanah berkapur dan tanah berkarang. Habitat punggung dan puncak
bukit Kampung Tablasupa yang merupakan tanah berkarang dan
tanah berkapur sangat mendukung bagi pertumbuhan jenis
Cananga odorata.
215
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2010
Tabel 51. Sepuluh jenis vegetasi dominan tingkat permudaan pra dewasa pada habitat anggur Papua di Kampung Tablasupa
Nama Latin K
(n/ha)
KR
(%)
F FR
(%)
INP
(%)
Cananga odorata 720 14,29 0,7 11,67 25,95
Pometia pinnata 680 13,49 0,5 8,33 21,83
Palaquium amboinensis 480 9,52 0,6 10,00 19,52
Canarium indicum 400 7,94 0,4 6,67 14,60
Intsia bijuga 280 5,56 0,5 8,33 13,89
Morinda citrifolia 240 4,76 0,3 5,00 9,76
Artocarpus altillis 240 4,76 0,3 5,00 9,76
Sararanga sinuosa 240 4,76 0,3 5,00 9,76
Ficus septica 240 4,76 0,2 3,33 8,10
Gnetum gnemon 240 4,76 0,2 3,33 8,10
Potensi permudaan tingkat pra dewasa anggur Papua adalah
sebanyak 240 pohon per hektar. Jenis ini menempati posisi
dominan ke 8. Dominannya jenis anggur Papua disebabkan karena
jumlah individunya yang banyak dan penyebaran individunya yang
merata.
Pada tingkat pra dewasa proses suksesi masih terus
berlangsung, komposisi jenis, kerapatan dan frekwensi merupakan
gambaran awal bagi proses ekologi yang terjadi pada habitat
anggur Papua. Kerapatan atau densitas adalah besarnya populasi
dalam suatu unit ruang, yang pada umumnya dinyatakan sebagai
jumlah individu-individu dalam setiap unit luas atau volume (Gopal
216
Gambar 57. Palaquium amboinensis Burck., Jenis dominan ke 3 pada tingkat pra dewasa – A. perawakan batang; B. daun; C. buah
dan Bhardwaj, 1979). Kerapatan populasi bervariasi menurut waktu
dan tempat. Dalam pengkajian suatu kondisi populasi atau
komunitas hutan, kerapatan populasi merupakan parameter utama
yang perlu diketahui. Kerapatan populasi merupakan salah satu hal
yang menentukan pengaruh populasi terhadap komunitas atau
ekosistem. Kerapatan juga sering dipakai untuk mengetahui
perubahan yang terjadi dalam populasi pada saat tertentu.
Perubahan yang dimaksud adalah berkurang atau bertambahnya
jumlah individu dalam setiap unit luas atau volume.
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2005
C A
B
217
c. Tingkat Dewasa
Fase pertumbuhan dewasa merupakan tahap akhir suksesi
pada habitat anggur Papua. Pada tingkat dewasa, anggur Papua
merupakan salah satu jenis yang mendominasi kawasan hutan
Kampung Tablasupa Distrik Depapre Kabupaten Jayapura. Sepuluh
jenis vegetasi tingkat dewasa yang paling mendominasi kawasan
hutan tersebut disajikan pada Tabel 52. Jenis vegetasi tingkat
dewasa yang paling dominan berturut-turut pada kawasan hutan
tersebut adalah Pometia pinnata, Cananga odorata, Inocarpus
fagifer, Artocarpus altillis dan Sararanga sinuosa. Dominannya
jenis-jenis ini menunjukkan bahwa jenis-jenis ini mempunyai
toleransi yang tinggi terhadap lingkungannya. Selain memiliki
adaptasi yang baik sehingga tersebar merata, jenis-jenis tersebut
juga memiliki kemampuan pertumbuhan diameter dan tinggi yang
optimal sehingga memungkinkan jenis ini untuk mendominasi strata
teratas dan menjadi penciri tegakan utama di kawasan ini.
Jenis vegetasi tingkat pohon lainnya yang memiliki INP yang
rendah disebabkan karena jenis tersebut tidak mampu bersaing
dengan jenis lainnya atau sesama jenisnya terhadap lingkungan
yang rendah, karena setiap jenis vegetasi membutuhkan lingkungan
yang sesuai bagi pertumbuhannya mulai dari semai sampai pohon
sesuai tingkat suksesi yang terjadi pada habitatnya.
218
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2010
Tabel 52. Sepuluh jenis vegetasi dominan tingkat dewasa pada habitat anggur Papua di Kampung Tablasupa
Nama Latin KR(%)
FR(%)
DR(%)
INP(%)
Pometia pinnata 14,67 10,17 18,09 42,93Cananga odorata 14,67 8,48 17,98 41,13
Inocarpus fagifer 6,67 5,09 13,19 24,94Artocarpus altilis 5,33 6,78 6,14 18,25Sararanga sinuosa 6,67 3,39 2,88 12,95Pterocarpus indicus 2,67 3,39 3,39 9,45Pterygota horsfieldii 1,33 1,69 6,04 9,07Canarium indicum 2,67 3,39 2,61 8,66Pypturus argenteus 2,67 3,39 1,62 7,67
Barringtonia asiatica 2,67 3,39 1,37 7,42
Potensi tegakan tingkat dewasa anggur Papua adalah
sebanyak 7 pohon per hektar. Jenis ini menempati posisi dominan
ke 5. Dominannya jenis anggur Papua disebabkan karena jumlah
individunya yang banyak serta penyebaran individunya yang merata
bukan karena rata-rata pertumbuhan riap diameter yang cukup baik.
Berdasarkan fakta tersebut dapat diindikasikan bahwa jenis anggur
Papua mampu tumbuh atau beradaptasi pada semua tipe habitat
yaitu tanah, tanah berbatu, tanah kapur dan tanah berpasir, namun
karena karakter pertumbuhannya yang umumnya memiliki diameter
maksimal ± 25 cm, sehingga dari sisi dominansi jenis ini tidak
berpengaruh terhadap kawasan hutan Kampung Tablasupa yang
merupakan habitatnya.
219
Gambar 58. Artocarpus altilis (Parkinson) Fosberg, jenis dominan ke 4 pada tingkat dewasa – A. daun; B. buah
2. Struktur Populasi
Struktur populasi anggur Papua di Kampung Tablasupa dapat
diketahui dengan pendekatan jumlah individu untuk setiap tingkat
pertumbuhan yang ditemukan pada kawasan hutan tersebut. Pada
fase semai, pra dewasa dan dewasa jumlah individu, tingkat
populasi dan persen kegagalan dapat dilihat pada Tabel 53.
Struktur populasi anggur Papua pada Tabel 53
memperlihatkan suatu bentuk piramida populasi yang normal
dimana semai (64,87%), menempati alas piramida, pra dewasa
(27,53%) pada tingkat kedua dari alas piramida dan dewasa
(7,59%) pada tingkat ketiga atau tingkat paling atas dari alas
piramida.
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2005
A B
220
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2010
Tabel 53. Tingkat populasi dan persen kegagalan anggur Papuapada fase semai, pra dewasa dan dewasa
Tingkat pertumbuhan
Jumlah individu
Persen(%) Jumlah
gagal
Persen(%)
Semai 205 64,87 - -
Pra dewasa 87 27,53 118 57,56
Dewasa 24 7,59 63 72,41
Jumlah 316 100,00 181 129,97
Persentase kegagalan anggur Papua dari fase semai ke fase
pra dewasa sebesar 57,56%. Persentase kegagalan tersebut
tergolong tinggi. Hal ini disebabkan karena adanya seleksi alam
baik ekstern maupun intern. Secara ekstern adalah persaingan
antara individu anggur Papua maupun dengan jenis vegetasi lain
pada tingkat yang sama maupun antar strata dalam
memperebutkan ruang tumbuh, cahaya dan unsur hara. Sedangkan
faktor intern meliputi sifat genetika dan potensi anggur Papua serta
kemampuan adaptasi individu terhadap seleksi alam tersebut.
Persentase kegagalan anggur Papua dari fase pra dewasa ke
fase dewasa sebesar 72,41%. Persentase kegagalan tersebut
tergolong tinggi karena umumnya individu-individu jenis ini yang
telah mencapai fase dewasa adalah individu-individu yang telah
melalui proses seleksi alam sehingga mampu tumbuh dan
beradaptasi dengan lingkungannya.
221
Gambar 59. Potensi buah anggur Papua berdasarkan variasi pembuahannya yang berbentuk malai (mayang)
3. Potensi Buah
Anggur Papua berbuah sepanjang tahun seperti jenis-jenis
pandan (Pandanus spp.) lainnya. Dari hasil pengamatan diketahui
bahwa anggur Papua berbuah pada diameter batang rata-rata 21
cm, tinggi bebas cabang 9 m dan tinggi rata-rata 14 m. Hasil
pengamatan terhadap anggur Papua yang berbuah dan
berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat, dapat diduga
bahwa potensi anggur Papua per pohon sangat bervariasi menurut
umur, diameter batang dan tinggi pohon.
Namun secara umum potensi buah anggur Papua jika diukur
dengan ember ukuran 5 kg, akan menghasilkan 1–2 ember.Hal ini
disebabkan karena buah yang dihasilkan oleh pohon tersebut
Dokumentasi : Krisma Lekitoo, 2010
222
Sumber : Data primer hasil analisis Laboratorium Gizi dan Pangan UGM Tahun 2010
umumnya banyak (buah duduk pada malai), namun karakter buah
anggur Papua yang umumnya berdiameter kecil 1-2 cm
menyebabkan jenis buah ini tidak unggul dari segi volume.
E. Kandungan Gizi Anggur Papua
Kandungan gizi buah anggur Papua secara lengkap disajikan
pada Tabel 54. Nampak bahwa kandungan protein, lemak dan
vitamin C pada anggur Papua cukup tinggi. Perbandingan
kandungan gizi buah anggur Papua dengan beberapa jenis buah
yang sudah dikenal dan sering dikonsumsi oleh masyarakat seperti
alpukat, durian, sirsak, langsat, pepaya, rambutan dan salak dapat
dilihat pada Tabel 55.
Tabel 54. Kandungan gizi anggur Papua
Macam Analisa Hasil Analisis Rata-Rata
Sampel 1 Sampel 2Kadar AirKadar AbuKadar LemakProtein TotalSerat KasarVitamin CKarbohidrat
86,841,051,591,165,46
31,379,37
86,871,081,581,175,59
30,079,30
86,861,071,591,175,53
30,729,34
223
Sumber : Data primer hasil penelitian KNRT Tahun 2010 dan data Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian IPBBogor, 2006 dalam Sirami, 2009
Tabel 55. Perbandingan kandungan gizi anggur Papua dengan beberapa jenis buah
Buah Protein (gr)
Lemak (gr)
Vit C (mg)
Air (gr)
Anggur Papua Alpukat Durian Sirsak Langsat Pepaya Rambutan Salak
1,16 0,9 2,5 1,0 0,9 0,5 2,0 0,9
1,58 6,5 3,0 0,3 0,2 0
0,1 0
98,35 13 5,3 20 3,0 78 58 2
86,86 84,4 65
81,7 81
86,7 80,5 78
F. Etnobotani Anggur Papua dalam Budaya Suku Tepra
Secara umum masyarakat Suku Tepra dan etnik lainnya di
Jayapura memiliki bahan pangan pokok utama yaitu aci sagu dan
umbi-umbian seperti kimpul atau keladi, ketela rambat atau betatas,
talas dan ketela pohon atau kasbi. Mata pencaharian utama mereka
adalah berladang berpindah.
Sejalan dengan perkembangan pembangunan, ilmu
pengetahun dan teknologi, apalagi jarak mereka yang hanya 19 km
dari ibukota kabupaten, masyarakat Suku Tepra telah mengalami
perubahan dalam hal makanan pokok. Saat ini masyarakat tidak
lagi memanfaatkan aci sagu dan umbi-umbian sebagai bahan
pangan pokok tetapi masyarakat telah beralih ke beras sebagai
bahan pangan pokok.
224
Anggur Papua yang buahnya sudah tua atau matang dapat
dimakan secara langsung, rasanya seperti buah anggur dan manis,
buah yang agak tua rasanya agak manis dan buah muda rasanya
sedikit tawar. Anggur Papua adalah jenis buah yang tidak
dikonsumsi (bahan pangan) oleh semua orang Depapre karena
belum dikenal secara baik oleh semua masyarakat Depapre.
Selain buahnya yang dapat dimanfaatkan untuk dimakan,
batang dan daunnya juga sering dimanfaatkan oleh masyarakat
tradisional Depapre. Daunnya sering dimanfaatkan sebagai bahan
baku anyaman, sedangkan potongan batangnya dimanfaatkan
sebagai alat penjepit bara api atau gata-gata. Anggur Papua
umumnya tumbuh pada kawasan hutan sagu dan dusun-dusun
masyarakat Suku Tepra.
G. Konservasi Tradisional
Masyarakat Suku Depapre telah lama memanfaatkan daun
dan buah anggur Papua dalam kehidupan budaya dan keseharian
mereka. Saat ini masyarakat belum melakukan konservasi
tradisional. Hal ini disebabkan karena masyarakat belum mengenal
secara baik jenis anggur Papua tersebut dan mereka masih
merasa bahwa jenis anggur Papua belum populer seperti halnya
buah matoa (Pometia coreacea), langsat (Lansium domesticum)
dan durian (Durio zibethinus).
225
Gambar 60. Buah anggur Papua - A. buah muda; B. buah setengah matang; C. buah matang
H. Status Konservasi
Anggur Papua adalah salah satu jenis tumbuhan endemik
dan tumbuhan asli (native species) di Tanah Papua. Jenis ini
penyebarannya sangat terbatas yaitu pada hutan dataran rendah
pesisir pantai utara Papua meliputi Kabupaten Jayapura,
Kabupaten Sarmi, Kabupaten Mamberamo, Kabupaten Waropen
dan Kabupaten Yapen. Secara ekologi, jenis anggur Papua
merupakan jenis yang banyak terdapat pada hutan tropis dataran
rendah pada kawasan hutan dengan topografi landai,
C
Dokumentasi : K. Lekitoo, 2010Dokumentasi : E. Batorinding, 2010
Dokumentasi : K. Lekitoo, 2010
B A
226
bergelombang atau punggung bukit dan puncak bukit. Penyebaran
jenis ini secara alami pada ketinggian tempat 10–200 m dpl.
Masyarakat tradisional di Distrik Depapre Kabupaten
Jayapuradan kabupaten lainnya yakni Kabupaten Sarmi, Kabupaten
Mamberamo, Kabupaten Waropen dan Kabupaten Japen belum
melakukan kegiatan budidaya anggur Papua. Secara umum,
kegiatan konservasi anggur Papua perlu dilakukan, mengingat jenis
ini merupakan jenis endemik yang penyebarannya sangat terbatas
meskipun pemanfaatannya oleh masyarakat tidak terlalu tinggi
namun dikhawatirkan pembukaan lahan yang berlebihan untuk
tujuan pembangunan akan mengakibatkan jenis ini terancam
keberadaannya secara ekologi.
Status konservasi jenis anggur Papua saat ini adalah terkikis
dimana penyebarannya sangat terbatas di Tanah Papua. Tindakan
konservasi sangat diperlukan, baik konservasi di dalam kawasan
hutan (in-situ) melalui kegiatan reboisasi atau konservasi di luar
kawasan hutan (eks-situ) melalui kegiatan penghijauan dan
pembuatan kebun koleksi anggur Papua untuk mempertahankan
keberadaan jenis tersebut di alam.
I. Prospek Pengembangan
Jenis anggur Papua sangat potensial untuk dikembangkan
pada habitat aslinya yaitu di Kabupaten Jayapura, Kabupaten
Sarmi, Kabupaten Mamberamo, Kabupaten Waropen dan
Kabupaten Yapen. Tetapi dapat pula dikembangkan di daerah
227
lainnya di Tanah Papua yang bukan merupakan habitat aslinya
tetapi memiliki tipe ekosistem hutan dataran rendah seperti
Kabupaten Manokwari, Kabupaten Sorong, Kabupaten Timika,
Kabupaten Fak-fak, Kabupaten Kaimana, Kabupaten Merauke dan
daerah lainnya.
Pengembangan atau penanaman jenis ini dalam bentuk
kebun koleksi sangat mudah dilakukan mengingat jenis anggur
Papua tidak membutuhkan karakter habitat yang spesifik. Untuk
tujuan tersebut, perlu adanya dukungan Pemerintah Daerah melalui
instansi teknis terkait. Buahnya yang berbentuk seperti anggur dan
rasanya yang manis sangat menjanjikan untuk peningkatan
ekonomi masyarakat tradisional di wilayah penyebarannya. Jika
buah anggur dapat dipasarkan disemua swalayan, toserba dan mal-
mal di seluruh Indonesia, kenapa anggur Papua tidak bisa!
228
Gam
bar 6
1.Pe
nyeb
aran
ang
gur P
apua
(Sar
aran
ga s
inuo
saH
emsl
.)di T
anah
Pap
ua
Ket
eran
gan
:
= Lo
kasi
Pen
yeba
ran
229
Berdasarkan analisis kandungan zat gizi untuk berbagai jenis
pangan tidak ada satu jenis panganpun yang mengandung zat gizi
yang lengkap, yang mampu memenuhi semua zat gizi yang
dibutuhkan oleh manusia. Satu makanan mungkin kaya akan zat
gizi tertentu, namun kurang mengandung zat gizi lainnya. Padahal
seseorang untuk dapat hidup sehat paling tidak memerlukan 40 zat
gizi yang harus diperoleh dari makanan. Untuk hidup sehat, orang
perlu makan makanan yang beragam (diversified), termasuk
pangan pokok yang tidak harus nasi.
Secara teknis, pangan pokok lokal tersebut dapat
dikembangkan menjadi produk pangan unggulan. Dengan rekayasa
teknologi proses pangan dapat dilakukan perbaikan mutu produk
pangan yang meliputi nilai gizi, organoleptik, keamanan, kegunaan,
keawetan dan kepraktisan. Dengan kemajuan sosial, ekonomi dan
budaya masyarakat, maka produk olahan pangan ini dapat
memenuhi kebutuhan masyarakat modern dengan kriteria praktis,
menyehatkan dan terjangkau.
Pemanfaatan buah-buahan dan biji-bijian hutan sebagai
bahan pangan oleh setiap etnik di Papua sangat berbeda satu
dengan yang lainnya, baik spesies, bagian yang dimanfaatkan
maupun cara memanfaatkan buah-buahan dan biji-bijian hutan
tersebut. Hal ini diakibatkan oleh perbedaan latar belakang
sosiokultur dan ekosistem lingkungan masing-masing daerah.
X. PENUTUP
230
Keanekaragaman buah-buhan dan biji-bijian hutan tersebut
perlu untuk di data dalam bentuk suatu data base dan kemudian
diberikan ranking untuk prioritas pengembangannya. Hal ini
dimaksudkan untuk tujuan program ketahanan pangan lokal dan
pemenuhan kebutuhan gizi dan vitamin nabati di Tanah Papua
secara khusus dan Indonesia secara umum
Sangat diperlukan adanya dukungan dari pemerintah pusat
dan daerah baik provinsi maupun kabupaten di Tanah Papua dalam
hal pengembangan jenis-jenis buah-buahan hutan sebagai bahan
pangan unggulan lokal melalui program pengembangan yang tepat.
Kegiatan pengembangan yang berhasil, sudah tentu akan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal di sekitar kawasan
hutan dan meningkatkan ketahanan pangan secara nasional
sekaligus konservasi keanekaragaman hayati Papua dapat
terwujud.
231
Angraeni, D. danY. Watopa. 2005. Kajian singkat konservasi dan ekonomi (RACE): Suatu usaha untuk memadukan kepentingankonservasi dan pembangunan ekonomi di Tanah Papua (Laporan Akhir). Conservation International. Jayapura.
Arifin,A. 1994. Hutan, Hakikat dan Pengaruhnya Terhadap Lingkungan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Banister, P. 1980. Introduction to Physiological Plant Ecology.Black-Well Scientific Publication. Oxford.
Barber, C.V., Suraya dan P. Agus. 1997. Meluruskan Arah Pelestarian Keanekaragaman Hayati dan Pembangunan di Indonesia. (Penerjemah M. Malik) Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Barstra, G. J. 1998. Bird’s Head Approaches. Irian Jaya Studies – Aprogramme for Interdiciplinary Research. A. A. Balkema, Rotterdam, Brookfield. Netherlands.
BNPB, 2011. Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Banjir Bandang Wasior Kabupaten Teluk Wondama 4Oktober 2010. Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Jakarta.
Dolezal, J. And M. Srutek. 2002. Altitudinal changes in composition and structure of mountain – temperate vegetation. A case study from Western Carpathians. Journal of Plant Ecology 158 (16): 201-221.
DAFTAR PUSTAKA
232
Ember, C.R. dan M. Ember. 1980. Konsep kebudayaan. Dalam T. O. Ihromi (Editor). Pokok-pokok Antropologi Budaya.Gramedia. Jakarta.
Ewusie, J. Y. Ekologi Tropika. 1990. ITB. Bandung.
Gopal, B. And N. Bhardwaj.1979. Elements of Ecology. Department of Botany. Rajasthan University Jaipur. India.
Hardjowigeno, S. 2007. Ilmu Tanah (Edisi Baru). Akademika Pressindo. Jakarta.
Jhons, R. 1997. Common Forest Trees of Irian Jaya Papua –Indonesia. Royal Botanical Garden, Kew. Inggris.
Kartawinata, K. 2010. Dua Abad Mengungkap Kekayaan Flora dan Ekosistem di Indonesia. Sarwono Prawirohardjo Memorial Lecture X, 23 Agustus 2010, Jakarta. (Tidak diterbitkan)
Kusmana, C dan A. Hikmat. 2005. Keanekaragaman Hayati Flora di Indonesia. Tidak dipublikasikan.
Lekitoo, K., O.P.M. Matani., H. Remetwa dan C.D. Heatubun. 2008. Buah-buah yang dapat dimakan di Kawasan Taman Wisata Alam Gunung Meja -Papua Barat. Balai Penelitian Kehutanan. Manokwari.
Leksono A.S., 2007. Ekologi. Pendekatan Deskriptif dan Kuantitatif.Bayumedia Publishing. Malang.
Mansoben J.R.. 1995. Sistem Politik Tradisional di Irian Jaya, LIPI-RUL, Jakarta.
Marsono, D. 1977. Deskripsi Vegetasi dan Tipe-tipe Vegetasi Tropika. Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan UGM.Yogyakarta.
233
Nugroho, A. dan Murtijo. 2005. Antropologi Kehutanan. Wana Aksara. Tangerang.
Petocz, R. 1987. Konservasi Alam dan Pembangunan Irian Jaya.PT. Gramedia. Jakarta.
Powell, J.M. 1976. Ethnobotany. In K. Paijmans (Editor). New Guinea Vegetation: 106-170. The Australian National University Press. Canberra.
Pouwer, J. 1966. Toward a configurational approach to society and culture in New Guinea. JPS. 75 : 267-286.
Primack, R.B. 1998. Biologi Konservasi. Penerbit Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Sirami E.V. 2009. Buah Nati (Chrysophyllum sp.) sumber gizi yang terlupakan. Warta Konservasi Lahan Basah. Edisi Juli 2009. Wetland International. Bogor.
Sirami E.V., K. Lekitoo dan A.O Wanma. 2009. Inventarisasi Hutan Pada Distrik Koweda Kabupaten Waropen. (Tidak diterbitkan).
Smith, R.L. 1977. Element of Ecology. Harper and Row, Publisher. New York.
Soegianto, A., 1994. Ekologi Kuantitatif (Metode Analisis Populasi dan Komunitas). Usaha Nasional. Surabaya.
Soerianegara, I., dan A. Indrawan. 2005. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi Hutan Fakultas Kehutanan – IPB.Bogor.
234
Suhardi, S. Sabarnurdin, S. A. Sudjoko, Dwidjono H.D, Minarningsih dan A. Widodo. 2006. Hutan dan Kebun Sebagai Sumber Pangan Nasional. Kanisius. Yogyakarta.
van Hasselt, F.J.F. 2002. Di Tanah Orang Papua (terjemahan oleh Zeth Rumere dan Ot. Loupatty), Yayasan Timotius Papua bekerjasama dengan yayasan HAPIN Belanda.
van Steenis-Kruseman M.J. and C.G.G.J van Steenis,, 1950. Malaysian PlantCollectors and Collections, being a Cyclopedia of Botanical Exploration in Malaysia and a Guide to the Concerned Literature up to the year 1950. Hal.i-clii & 1-639 dalam C.G.G.J van Steenis (Ed.), Flora Malesiana, I, 19.Noordhoff-Kolff NV, Djakarta.
235
Adaptasi (=adaptation) — proses penyesuaian diri pada organisme dengan lingkungannya atau dengan cara hidupnya sehingga dapat terus mempertahankan kehadirannya.
Aktinomorf (= actinomorphic) — tipe simetri benda yang jumlahnya banyak sehingga dapat dibagi menjadi bagian setangkup berkaii-kali dari berbagai arah, contohnya pada bunga matahari Helianthus annuus.
Alur — beraluran (= sulcate) — keadaan permukaan yang memiliki lekuk-lekuk atau saluran memanjang.
Ambilateral atau ambilineal — prinsip pewarisan yang kadang-kadang diatur menurut garis keturunan ibu atau ayah.
Anak daun (= leaflet) — segmen atau unsur daun majemuk yang terpisah.
Anisoptera thurifera ssp. polyandra Asthon — nama jenis tumbuhan dari famili Dipterocarpaceae yang buahnya dikonsumsi seperti kacang ijo oleh masyarakat tradisional di Pulau Yop Meos.
Aril (= aril) — selaput luar atau penjuluran bagian biji yang berkembang yang membentuk lapisan pembungkus biji.
Baji (= peg).
Membaji (= cuneata) - bentuk bidang yang menyempit ke arah pangkalnya dan bersudut kurang dari 45°.
Bakal biji (=ovule) — bagian bakal buah pada tumbuhan berbiji yang kelak berkembang menjadi biji.
Bakal buah menumpang (= superior ovary) — posisi bakal buah
GLOSSARY
236
yang bebas dari kelopak dan mahkota, serta terletak di atas titik melekatnya kelopak dan mahkota pada dasar bunganya.
Bakal buah terbenam (= inferior ovary) — posisi bakal buah yang terletak di bawah titik penempelan kelopak dan mahkota pada dasar bunganya.
Banir (= buttress root) — akar berbentuk papan yang tumbuh di atas tanah untuk menunjang batang, contohnya pada jenis pohon kenari Canarium spp.
Bariam tereu atau sagu buah hitam — makanan tradisional yang merupakan campuran aci sagu (Metroxylon sagu) dan daging buah hitam (Haplolobus cf. monticola).
Benang sari (= stamen) — organ bunga yang menghasilkan sel kelamin jantan; benangsari terdiri dari kepala sari dan tangkai sari.
Benjol (= lump)
Berbenjolan (= tuberculate) — keadaan permukaan yang dipenuhi benjolan membulat tidak teratur.
Bentuk gada (=cia ate) — bentuk benda seperti gada, membesar ke arah ujung.
Bentuk jantung (= cordate) — bentuk bidang yang hampir seperti bundar telur, tetapi dasarnya melekuk dan terbagi seperti jantung.
Bercak (= spot)
Bebercakan (= spotted) — keadaan warna permukaan yang warnanya berupa bercak-bercak tidak beraturan.
237
Bercangab (= cleft) — mempunyai bentuk yang bertoreh dalam seperti bibir sumbing.
Berhadapan (= opposite) — kedudukan sepasang daun yang sama pada garis ketinggian yang sama atau relatif sama; akan tetapi masing-masing terletak pada sisi-sisi yang berlawanan pada suatu sumbu.
Berombak (= sinuate) — bentuk tepi daun yang bertoreh-toreh membentuk ombak.
Biji (= seed) — bentuk tumbuhan dalam stadium embrio yang berasal dari bakal biji, dilengkapi dengan cadangan makanan dan dibungkus dengan kulit biji.
Bilateral — prinsip pewarisan berdasarkan garis keturunan ayah atau ibu.
Bongkol (= capitulum; head) — perbungaan terbatas atau tidak terbatas dengan kumpulan bunga-bunga kecil hamper tidak bergantian, memadati suatu penyangga yang membulat, seperti pada tumbuhan putri malu Mimosa pudica.
Borassus heineanus Becc. — salah satu jenis palem (Arecaceae)yang buahnya dikonsumsi seperti kelapa pantai (Cocos nucifera).
Botani (= botany) — ilmu yang mempelajari seluk-beluk kehidupan tumbuhan.
Buah (=fruit) — tubuh reproduksi tumbuhan berbiji (Spermathophyta), yang merupakan hasil proses pembuahan; di dalam buah biasanya terdapat satu biji atau lebih; pada umumnya buah terdiri atas kulit buah, daging buah, kulit biji dan biji yang mengandung lembaga.
238
Buku (= node) — cincin yang melingkar batang tumbuhan monokotil (berkeping satu), bekas tempat tumbuhnya daun.
Bulat (= globe shaped)
Membulat (= globose, spherical] -- bentuk benda seperti atau hampir mendekati bola.
Membulat telur (= ovoid) — bentuk benda menjorong tetapi sumbu terlebarnya mendekati bagian dasar.
Membulat telur sungsang (= obovoid) — bentuk benda membulat telur yang sumbu terlebarnya mendekati bagian ujung.
Bulir (= spike) — perbungaan memanjang tak terbatas, dengan bunga-bunga duduk tak bergantilan.
Bundar (= round)
Membundar (= rounded) — ujung bidang yang bersama-sama sisinya membentuk busur melengkung setengah lingkaran.
Membundar telur (= ovate] -- bentuk bidang menjorong tetapi sumbu terlebarnya mendekati bagian dasar sehingga menyerupai belahan telur.
Membundar telur sungsang (= obovate) — bentuk bidang membundar telur yang sumbu terlebarnya mendekati bagian ujung.
Bunga (= flower)
Perbungaan (= inflorescence) — himpunan dan cara penyusunan bunga dalam suatu gagang bersama; sering
239
secara kurang tepat disebut juga karangan bunga atau bunga majemuk.
Bunga betina (= pistillate flower) — bunga yang hanya mempunyai putik saja, tanpa benang sari.
Bunga jantan (= staminate flower) — bunga yang hanya mempunyai benangsari saja, tanpa putik.
Buni (=berry) — buah berdaging yang bagian luar dinding buahnya sangat tipis, bagian dalamnya sembab, lunak dan berair, seperti dijumpai pada jambu biji Psidium guajava, belimbing manis Averrhoa carambola dan sawo Achras zapota.
Butir (= grain, granule)
Berbutiran (= granular) --- keadaan permukaan atau masa benda yang unsur-unsurnya berupa serbuk-serbuk membulat halus.
Cargo cults — kepercayaan tradisional.
Crown shaft — tabung upih atau mahkota daun.
Cuping (= lobe)
Bercuping (= globed) — keadaan pinggiran bidang yang berlekukan tidak begitu dalam sehingga terbentuk lingkaran membundar besar-besar.
Bercuping menjari (= palmately lohed) -- bidang menjari dengan torehan pinggir bercuping, seperti daun jarak pagar Jatropa curcas.
240
Bercuping menyirip (= pinnately lobed] -- keadaan pinggiran bidang yang bercuping secara menyirip, seperti pada daun terung Solanum melongena.
Daging (= flesh)
Mendaging (= carnose, fleshy) — tekstur isi benda yang kenyal, padat, berair sari dan mudah dipotong.
Daun (= leaf) — bagian tumbuhan yang melebar, pipih dan tipis, tumbuh dari batang atau pada ujung-ujung batang, berfungsi untuk fotosintesis dan respirasi.
Daun gagang (= barcteole) — daun pelindung kecil yang tumbuh pada gagang perbungaan atau gagang buah
Daun kelopak (= sepal) -- satuan atau unsur kelopak yang bersifat majemuk (polisepal).
Daun mahkota (= petal) — satuan atau unsur mahkota yang bersifat majemuk (polipetal).
Domatia (= domatia) — semacam benjolan yang muncul pada sumbu garai dan tulang daun di permukaan bawah. Mungkin terdiri dari kumpulan bulu-bulu atau biji yang diselimuti selaput tipis dan sebagainya.
Duduk (= sessile) --- organ yang dasarnya langsung berhubungan dengan organ lain, tanpa tangkai atau gagang.
Duri (= spina) — organ kuat berkayu, langsing, kaku dan berujung tajam serta umumnya berasal dari jaringan kayu
Ekologi (= ecology) — cabang ilmu pengetahuan yang mempelajarihubungan timbal balik antara organisme dengan lingkungannya; termasuk di dalamnya perkembangan komunitas, interaksi antar jenis dan antar organisme,
241
penyebaran geografis dan perubahan susunan peralihan populasi.
Ekosistem (= ecosystem) — satuan komunitas ekologi yang merupakan suatu sistem terdiri dari komponen hayati (makhluk hidup) dan nonhayati (tanah, air, batu, bangunan dll.); dalam suatu ekosistem tercermin adanya hubungan timbal balik antar unsur-unsur penyusunnya yang telah menunjukkan kemantapan dan keswasembadaan.
Eksudat (= exudate) — cairan atau sejenis getah yang merembes keluar jika pepagan dipotong.
Endemik(= endemic) — Makhluk hidup yang penyebarannya terbatas pada daerah tertentu saja.
Etnobotani (= etnobotany) — cabang ilmu botani yang mempelajari pemanfaatan tumbuhan dalam keperluan kehidupan sehari-hari dan adat suatu suku bangsa.
Ex situ (= ex situ) — Keadaan suatu makhluk hidup di luar tempat alaminya yang asli atau posisi normalnya; digunakan untuk usaha pelestarian jenis di luar habitatnya.
Flora (= flora) — semua populasi tumbuhan yang ada di suatu daerah tertentu; tulisan yang mempertelakan semua tumbuhan yang ada di suatu daerah tertentu.
Gag — nama pulau yang terdapat di Kabupaten Raja Ampat.
Gagang (peduncle) — sumbu atau tangkai pembawa utama untuk keseluruhan perbungaan dan pembungaan.
Galah (= hallow stick)
Menggalah (= terete) — bentuk benda seperti tabung yang ramping dengan nisbah panjang = lebar melebihi 12 = 1.
242
Gantilan (= pedicel) — pembawa atau tangkai yang langsung mendukung setiap kuntum bunga (atau buah) dalam suatu perbungaan (atau perbuahan).
Gergaji (= saw)
Mennggergaji (= serate) — keadaan pinggir bidang bertorehan sehingga berbentuk deretan segitiga yang ujung-ujungnya mengarah ke depan seperti gigi gergaji.
Gerigi (= small teeth)
Bergigi (= denticulate) — keadaan pinggir bidang yang bergerigi, tetapi gigi-giginya lebih kecil.
Gigi (= tooth)
Bergigi (= dentate) — keadaan pinggir bidang yang bertorehan sehingga terbentuk deretan segi-tiga runcing yang tegak lurus pada pinggir bidangnya.
Gimbal (= raggedy hair)
Menggimbal (= tomentose) — keadaan permukaan yang tertutup bulu-bulu halus pendek, rapat dan berjalinan.
Gundul (= glabrous) — keadaan permukaan yang licin karena bebas dari rambut dan bulu.
Habitat (= habitat) — tempat makhluk hidup biasanya tumbuh dan hidup secara alami.
Haplolobus cf. monticola Husson — salah satu jenis tumbuhan dari famili Burseraceae yang buahnya dikonsumsi seperti alpukat (Persea americana) oleh masyarakat tradisional di Kabupaten Teluk Wondama.
243
Inocarpus fagifer (Park.) Fosberg — salah satu jenis tumbuhan dari famili Fabaceae yang buahnya dikonsumsi seperti buahketapang (Terminalia cattapa) oleh masyarakat tradisional di Kabupaten Sarmi dan seluruh Tanah Papua
In situ (= in situ) — petunjuk yang menerangkan bahwa objek yang dibicarakan berada di dalam tempat atau lingkungan alamiahnya yang asli.
Jantung (= heart)
Menjantung (= cordate; cordiform) — bentuk bidang yang secara garis besar segitiga atau membulat telur, tetapi kedua ujung dasarnya melebar serta membentuk cuping bundar.
Jari (= finger)
Menjari(digitate: fingered; palmate) — bidang yang bercuping, bercangap, berbagi ataupun bersumbingan dengan cuping atau unsur-unsurnya (yang umumnya berjumlah lima buah) bertemu pada satu titik sehingga kesemuanya berupa jari tangan.
Jorong (= ellips)
Menjorong (= ellipitical) — bentuk bidang bundar memanjang teratur bersimetri setangkup dengan sumbu terlebar ditengah-tengah; dipakai juga untuk benda bulat memanjang dengan rumusan sumbu serupa.
Kabupaten Jayapura — salah satu kabupaten di Provinsi Papua
Kabupaten Raja Ampat — salah satu kabupaten di Provinsi PapuaBarat.
Kabupaten Sarmi — salah satu kabupaten di Provinsi Papua.
244
Kabupaten Teluk Wondama— Salah Satu kabupaten di Provinsi Papua Barat.
Kapsul (= capsule) --- buah kering beruangan sebanyak daunbuah yang membentuknya, merekah dan berbiji banyak, contohnya pada jenis tumbuhan kesumba Bixa orelliana dan anggrek-anggrekan Orchidaceae.
Kayu (= wood)
Mengayu (= ligneous; woody) — tekstur isi benda yang padat, kering, keras dan rapat.
Keanekaragaman jenis (=species diversity) — banyaknya jenis tumbuhan dan/atau hewan yang terdapat dalam suatu masyarakat hutan.
Kelembaban (= humidity) — tingkat kandungan uap air dalam udara dibandingkan terhadap keadaan jenuh yang dinyatakan dalam persentase.
Kelenjar (= gland)
Berkelenjar (= glandular) — keadaan permukaan yang tertutup bulu-bulu yang ujungnya merupakan kelenjar.
Kelimpahan (= abundance) — mengenai keterdapatan suatu jenis tumbuhan di suatu tempat, yang mudah dijumpai dalam jumlah individu yang relatif banyak atau melimpah.
Kelopak (= calyx) — pusaran terluar atau terbawah hiasan bunga,dapat terdiri atas daun kelopak (bersifat polisepal) atau bertautan (bersifat gomopetal), biasanya berwarna kehijauan seperti daun dan berfungsi melindungi bagian–bagian bunga dalam perkembangannya.
245
Kerapatan (= density) — perbandingan antara jumlah individu suatu jenis dengan jumlah individu seluruh tumbuhan yang terdapat pada satu satuan luas.
Kertas (= paper)
Mengertas (= papery ; papyraceous) — tekstur lembaran benda yang tipis, tegap tetapi tidak kuat.
Ketinggian tempat (= altitude) — tingginya suatu tempat terhadap permukaan laut.
Kompetisi (= competition) — persaingan antara dua jenis organisme untuk memperoleh sumber pokok kehidupannya pada waktu yang sama dari lingkungan yang sama, yang akhirnya salah satu akan tersingkir dari lingkungan tersebut.
Komunitas (= community) — sekelompok makhluk, baik tumbuh-tumbuhan maupun hewan yang hidup bersama-sama dalam hubungan ekologi pada suatu wilayah (daerah) tertentu.
Kuncup (= bud) --- pucuk vegetatif dan atau generatif yang belum dewasa, berupa meristem rembang yang kadang-kadang ditutupi sisik.
Lampang (= scar)
Berlampangan (= scarred) — keadaan permukaan yang dipenuhi bekas-bekas tempat melekat organ lain yang sudah luruh.
Lampang daun (= leaf scar) — bekas yang menunjukkan tempat pelekatan tangkai atau pangkal daun.
Lampang penumpu (= stipular scar) — bekas yang menunjukan tempat pelekatan daun penumpu.
246
Lancip (= pointed)
Melancip (= acuminate) --- ujung bidang yang menyempit tajam dan membentuk sudut kurang dari 45°.
Lanset (= lancet)
Melanset (= lanceolate) — bentuk bidang seperti mata lembing dengan sumbu terlebar terletak dekat pangkal dan berangsur-angsur menyempit keujungnya yang lancip.
Lemak (= fat) — substansi berupa ester gliserol dengan asam lemak, lazimnya dengan asam oleat, asam palmitat atau asam stearat; pada suhu kamar lemak berbentuk padat
Lentisel (= lenticel) — bentuk pori-pori yang menonjol, biasanya berbentuk lonjong, yang terbentuk pada cabang-cabang berkayu, terjadi jika lapisan epidermis digantikan oleh lapisan gabus.
Longkah (= achene) — buah kecil, kering, tak merekah, berdinding tipis yang merapat pada selaput biji tunggalnya, berasal dari bakal buah menumpang, contohnya kembang pagi sore Mirabilis jalapa.
Lonjong (= oblong)
Melonjong (= oblong) — bentuk benda menjorong yang sisinya hampir sejajar dan ujung tumpul.
Mahkota (= carolla) — pusaran teratas atau terdalam hiasan bunga, dapat bertautan (bersifat gomopetal) atau terdiri atasdaun mahkota (bersifat polipetal), berwarna-warni yang menentukan corak warna bunga.
247
Malai (= panicle) — perbungaan tandan yang bercabang-cabang secara monopodial, contohnya pada mangga Mangifera indica.
Malesia (= malesia) — daerah biogeografi tumbuhan yang meliputi Filipina, kawasan Malaysia, Singapura, Indonesia dan Papua Nugini.
Maniwak — nama baru untuk Kampung Miei setelah pemekaran Kabupaten Teluk Wondama.
Marga (= genus) — tingkat satuan taksonomi diantara suku dan jenis serta merupakan wadah yang mempersatukan jenis-jenis yang erat hubungannya; huruf depan nama marga ditulis dengan huruf besar dan selalu tercantum dalam nama jenis.
Masyarakat tradisional — masyarakat asli (native people) yang hidup pada lingkungan dengan batasan geografi yang jelas, contohnya masyarakat tradisional Wondama, masyarakat tradisional Raja Ampat.
Matang (= mature) — mengenai keadaan fisiologi yang sesuai yang untuk melakukan fungsi tertentu, misalnya biji masak siap untuk memulai tumbuhan baru.
Miei— nama lama untuk Kampung Maniwak sebelum pemekaran Kabupaten Teluk Wondama.
Morfologi (= morphology) — Ilmu yang mempelajari bentuk dan susunan luar makhluk hidup.
Nama daerah (= vernacular name) — nama yang diberikan kepada jenis-jenis makhluk hidup oleh penduduk di sekitar tempat hidup jenis tersebut.
248
Nama ilmiah (= scientific name) — nama yang diberikan kepada setiap takson makhluk hidup yang berlaku untuk seluruh dunia; nama tadi umumnya menggunakan bahasa latin dan penamaannya diatur oleh kode internasional tata nama tumbuhan atau hewan sehingga hanya ada satu nama untuk setiap takson.
Nama pengarang (= author’s name) — nama orang yang memberikan dan menerbitkan nama ilmiah, yang biasanya dicantumkan dibelakang nama ilmiah yang bersangkutan; nama tersebut kadang-kadang ditulis lengkap atau disingkat.
Ondoafi — sebutan untuk kepala suku oleh masyarakat tradisionaldi Kabupaten Jayapura (Teluk Humbolt).
Organik (= organic) — segala bahan yang berasal dari makhluk hidup; dalam ilmu kimia diartikan sebagai semua bahan yang mengandung unsur karbon (C).
Pangan (= food) — apa saja yang bisa dimakan atau dimasukkan ke dalam tubuh sebagai makanan.
Patrilineal — prinsip pewarisan berdasarkan garis keturunan ayah
Pelestarian (= conservation) — hal ihwal pengawetan komponen (sumberdaya alam, budaya dan lain-lain), agar terjamin kehidupannya sepanjang masa.
Penumpu (= stipule) — sepasang umbi, sisik, duri atau organ menyerupai daun yang terletak pada dasar tangkai daun.
Perawakan (= habitus) — bentuk struktur (batang dan percabangannya) dan sifat ketegakan tumbuhan (tegak, merayap, atau menjalar) suatu jenis tumbuhan.
249
Pepagan (= bark) — jaringan terluar yang melapisi batang pohon,jadi merupakan kulit jaringan kayu.
Perbungaan (= inflorescence) — sekelompok bunga yang terdapat pada gagang yang sama; bunga-bunga tersebut tersusun menurut aturan tertentu; perbungaan sering disebut bunga majemuk atau karangan bunga
Perisai (= shield)
Memerisai (= peltate) — bentuk bidang membundar dengan tempat perlekatan dipusatnya.
Pertanian (= agriculture) — segala kegiatan dan upaya manusia untuk meningkatkan hasil bumi, jadi selain bercocok tanam termasuk ke dalamnya kegiatan dalam bidang kehutanan, perikanan, peternakan dan perkebunan.
Pita (= ribbon)
Memita (= linear) — bentuk bidang persegi-empat panjang yang sempit dengan nisbah panjang = lebar melebihi 12 = 1.
Pribumi (= indigenous) — penghuni asli, berasal dari tempat yang bersangkutan.
Protein (= protein) — bahan organik yang susunannya sangat majemuk, terdiri atas beratus-ratus atau beribu-ribu asam amino, merupakan bahan utama pembentukan sel dan inti sel.
Punah (= extinct) — keadaan lenyapnya suatu takson atau organisme dari kehidupan di alam
Rakis (= rachis) — sumbu utama tangkai daun majemuk menyirip, tangkai paku atau gagang perbungaan.
250
Rompang (= truncate) — ujung bidang atau benda yang tiba-tiba terpotong melintang tegaklurus pada sumbu.
Runcing (= pointed)
Meruncing (= acute) — ujung bidang yang menyempit dan membentuk sudut Iebih dari 45°.
Sararanga sinuosa Helms. — salah satu jenis tumbuhan dari familiPandanaceae yang buahnya dikonsumsi seperti buahanggur (Vitis vinifera) oleh masyarakat tradisional di Distrik Depapre.
Semai (= seedling) — tumbuhan muda yang baru keluar dari biji,sampai bisa membuat makanannya sendiri di daun dengan bantuan fontosintesa; umur dan tinggi tanaman kecambah sebelum terjadi tanaman biasanya berbeda-beda menurut jenisnya.
Sirip (= pin)
Menyirip (= pinnate) --- sistem pembagian bidang, penulangan atau percabangan yang menyerupai tuiang ikan atau bulu unggas.
Menyirip ganda (= bipinnate) — bidang yang tersusun menyirip dan bagian-bagiannya yang tersusun menyirip.
Menyirip gasal (imparipinnate) — bidang yang tersusun secara menyirip dengan semua unsur sirip terdapat di rembang dan tidak berpasangan,
Menyirip genap (paripinnate) — bidang yang tersusun menyirip dengan semua unsur siripnya berpasangan rangkap.
251
Sporadik (= sporadic) — keadaan penyebaran tumbuhan atau penyakit di suatu daerah yang tidak merata dan hanya dijumpai di sana sini.
Sterculia shillinglawii F.v.Muell — nama jenis tumbuhan dari famili Malvaceae yang buahnya dimakan seperti kacang ijo oleh masyarakat tradisional di Pulau Gag.
Suksesi (= succession) — perubahan dalam susunanan suatu masyarakat kehidupan (umumnya tumbuh-tumbuhan) menuju suatu susunan klimaks yang berlangsung secara perlahan-lahan dan teratur.
Suksesi primer (=primary succession) — suksesi yang terjadi pada daerah yang terbuka dan belum mengalami perubahan secara fisik oleh manusia.
Suksesi sekunder (= secondary successiom) — suksesi tumbuhan yang terjadi setelah adanya gangguan pada suatu suksesi primer atau normal.
Suku (= family) — salah satu takson dalam klasifikasi organisme (makhluk) terdiri dari satu atau beberapa marga yang mempunyai sifat-sifat yang hampir sama.
Tablasupa — salah satu kampung yang terdapat pada Distrik Depapre Kabupaten Jayapura.
Tajuk (= perianth) — sebutan kolektif untuk kedua macam hiasan bunga (kelopak dan mahkota} bila dianggap sebagai satu satuan.
Takar — salah satu nama kampung di Distrik Pantai TimurKabupaten Sarmi.
Takson (= taxon) — istilah yang umum untuk suatu kelompok taksonomi, tanpa memandang tingkatannya; suku, marga,
252
jenis, variabel dan lain-lain; masing-masing kelompok tersebut disebut takson.
Taksonomi (= taxonomy) — cabang biologi yang menelaah penamaan, pencirian dan pengelompokan makhluk hidup berdasarkan persamaan dan perbedaan sifat-sifatnya.
Tandan (= raceme) — perbungaan yang memanjang, tak terbatas, tak bercabang dengan bunga-bunga bergantilan.
Tegakan (= stand) — bagian atau contoh yang nyata dari suatu masyarakat tumbuhan.
Toleran (= tolerant)— berkesanggupan untuk menderita atau menahan pengaruh obat, racun, suhu dingin dan sebagainya.
Toleransi (= tolerance) — daya tahan terhadap pengaruh obat, racun, suhu rendah, serangan hama dan faktor buruk lainnya.
Tumpu (= support)
Penumpu (= stipule) — sepasang sisik, duri, kelenjar atau organ lain menyerupai daun yang terdapat pada dasar tangkai daun.
Yop Meos atau Yop — nama pulau yang terdapat di Kabupaten Teluk Wondama.
Vegetasi (= vegetation) — jumlah semua tumbuh-tumbuhan yang terdapat pada suatu daerah tertentu; juga tumbuh-tumbuhan yang menutupi bagian atau seluruh permukaan bumi.
Vegetatif (= vegetative) — untuk menyatakan bagian tumbuhan yang tidak khusus untuk berkembang biak; tak kawin.
253
Vitamin (= vitamine) — zat organik yang dihasilkan oleh tumbuhan dan dibutuhkan dalam jumlah sedikit untuk pertumbuhan dan kesehatan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan.
Wasior — sebutan untuk nama distrik sebelum dimekarkan menjadiKabupaten Teluk Wondama.
Wol (= wool)
Mengewol (lanate: wooly) — keadaan permukaan yang tertutup bulu-bulu panjang, mengeriting dan saling berjalin, seperti bulu domba.
Zeendeling atau Zending — misionaris Kristen Protestan dari Eropa yang melaksanakan tugas pengabaran injil di Tanah Papua.
Zigomorf (= bilateral: zygomorphic) — tipe simetri benda atau bidang yang hanya dapat dibagi sekali menjadi dua bagian setangkup, contohnya pada jenis anggrek bulan Phalaenopsis amabilis.
254
A
Ahli Botani, 4Ahli Gizi, 4 Alor, 8Ambaidiru, 25Ambumi, 29Andalas, 7, 10Anggraeni, 18Angiospermae, 7Animisme, 29, 201Arifin, 37, 232
B
Bahan Bangunan, 20Bahan Organik, 36, 40, 77, 106, 250Bahan Sandang, 20Balai Penelitian Kehutanan (Bpk) Manokwari, 126Bali, 8Banister, 45, 110, 232Barat, 3, 19, 28, 29, 31, 79, 98, 100, 131, 135, 200, 233, 244, 245Barber, 3, 232Barstra, 45, 110, 232Batang Utama, 25, 67, 95, 129Bhardwaj, 44, 48, 176, 217, 233Biak, 2, 60, 69, 83, 131, 132, 133, 205Bigman, 29Biji, 4, 21, 36, 59, 62, 97, 121, 122, 123, 124, 129, 152, 153, 175, 182, 183,
184, 192, 230, 231, 236, 238, 240, 241, 247, 248, 251BNPB, 28, 232Borneo, 7, 10Brass, 2, 21Buah, 4, 5, 11, 19, 21, 22, 23, 25, 28, 37, 38, 43, 47, 49, 57, 58, 59, 60, 61, 62,
67, 69, 70, 77, 79, 80, 82, 83, 84, 85, 89, 90, 95, 109, 115, 120, 121, 122, 123, 124, 129, 131, 151, 152, 153, 154, 155, 156, 157, 158, 161, 165, 176, 178, 182, 183, 184, 186,189, 192, 196, 211, 222, 223, 224, 225, 228, 230, 231, 233, 236, 237, 238, 240, 241, 243, 244, 245, 247, 251
Bubuk Kayu, 27, 63Budidaya, 20, 62, 63, 78, 90, 92, 124, 125, 152, 157, 187, 227Bujur Timur, 28Bunga, 25, 129, 192, 236, 237, 238, 239, 240, 243, 245, 247, 250, 252, 253
INDEKS SUBYEK
255
C
Celebes, 7, 10, 11
D
Dama, 29Daun, 25, 67, 83, 95, 97, 129, 161, 192, 225, 236, 238, 239, 240, 241, 245,
246, 247, 249, 250, 251, 253Densitas, 44, 48, 176, 216Depapre, 4, 22, 23, 192, 201, 202, 203, 204, 205, 208, 211, 214, 215, 218, 225,
227, 251, 252Deskripsi, 23, 44, 213Distrik Idoor, 29Distrik Ransiki, 28Distrik Wasior Selatan, 30Distrik Yaur, 28Dolezal, 49, 178, 232Dominansi, 44, 114, 219Dusner, 29, 79
E
Ekologi, 5, 23, 27, 32, 35, 48, 62, 69, 72, 75, 92, 101, 104, 124, 131, 136, 137, 139, 147, 157, 168, 176, 187, 195, 205, 206, 208, 216, 226, 227, 242, 246
Ekologis, 1, 63, 125, 188Ekosistem, 11, 39, 44, 49, 63, 64, 92, 100, 125, 126, 158, 177, 188, 213, 217,
228, 230, 242Ekoton, 100, 126Ember Dan Ember, 1Endemik, 6, 9, 242Entimologi, 29Etnik, 1, 3, 4, 11, 14, 15, 17, 22, 59, 60, 82, 83, 122, 123, 135, 154, 165, 184,
202, 205, 224, 230Etnobotani, 2, 4, 5, 9, 21, 23Ewusie, 43, 109, 143, 172, 233
F
Famili, 6, 7, 41, 165, 236, 243, 244, 251, 252FAO, 9Fast Growing Species, 97, 126Fisiografis, 36, 75, 104, 139, 168, 208
256
Flora, 6, 7, 8, 9, 18, 44, 213, 242Flora Malesiana, 7, 235Floristik, 44, 213Frekwensi, 48, 147, 156, 175, 176, 216
G
Gap, 120, 125Gebe, 4, 22, 95, 98, 122, 123, 124Gopal, 44, 48, 176, 217, 233
H
Habitat, 5, 23, 27, 35, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 47, 48, 49, 51, 52, 54, 64, 75, 76, 77, 78, 92, 104, 105, 106, 107, 108, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 120, 126, 139, 140, 141, 142, 143, 145, 147, 148, 149, 150, 158, 168, 169, 170, 171, 173, 176, 178, 179, 180, 188, 195, 208, 209, 210, 211, 212, 213, 214, 215, 216, 218, 219, 227, 228, 243
Hai Tanahku Papua, 71Halmahera, 14, 27, 62Held, 2, 21Helder, 2, 21Hope, 6, 7HPH, 3, 18Hutan Tanaman Industri (HTI), 97, 126
I
Indigenous, 11, 62, 69, 97, 124, 131, 164, 250Indrawan, 44, 213, 234Inggorosai, 31Injil, 60, 83, 254In-situ, 35, 64, 75, 104, 139, 168, 188, 208, 227Isak Samuel Keijne, 71
J
Java, 7, 10Jawa, 7, 9, 10, 131Jayapura, 2, 11, 23, 131, 134, 137, 166, 188, 195, 197, 198, 199, 200, 201,
202, 204, 205, 208, 211, 214, 218, 224, 226, 227, 232, 244, 249, 252Jhons, 233
257
K
Kabupaten Jayapura, 134, 137, 166, 200, 201, 202 Kabupaten Nabire, 28, 69 Kabupaten Raja Ampat, 11, 22, 98, 99, 126, 242, 244 Kabupaten Sarmi, 11, 22, 134, 137, 140, 142, 143, 146, 147, 148, 150, 154,
155, 157, 158, 164, 166, 168, 170, 171, 173, 175, 178, 180, 184, 187, 188, 195, 226, 227, 244, 252
Kabupaten Teluk Bintuni, 29Kabupaten Teluk Wondama, 11, 22, 28, 30, 69, 70, 71, 73, 79, 82, 85, 92, 232,
243, 245, 248, 253, 254Kacang Hijau, 22, 59, 63, 123, 124, 125, 126Kalimantan, 7, 8, 9, 10, 131Kandungan Gizi, 5, 23, 58, 80, 121, 122, 152, 182, 183, 223, 224Keanekaragaman Hayati, 3, 6, 8, 11, 20Keanekaragaman Jenis, 7, 8, 37, 44, 213Kebun Tradisional, 63, 125Kelembaban, 35, 36, 38, 39, 49, 75, 76, 100, 104, 106, 139, 140, 141, 168,
169, 178, 208, 209, 210Kelerengan, 35, 37, 40, 75, 77, 104, 105, 107, 139, 140, 168, 208, 209Kepala Burung, 11Kepemimpinan Pria Berwibawa, 29Kepemimpinan Raja, 29Kepulauan Sunda Kecil, 8Keragaman Tumbuhan, 38Kerapatan, 9, 48, 176, 216, 246Kesuburan Tanah, 35, 36, 75, 104, 139, 168, 208Ketela Pohon, 14, 62, 82, 123, 154, 184, 224Ketela Rambat, 14, 62, 82, 123, 153, 184, 224Ketinggian Tempat, 6, 35, 37, 39, 45, 49, 63, 75, 92, 104, 105, 110, 125, 139,
157, 168, 178, 187, 195, 208, 227Komunitas, 44, 49, 177, 213, 217, 241, 242Konservasi, 5, 18, 20, 23, 35, 62, 63, 64, 75, 92, 104, 124, 125, 139, 156, 157,
168, 187, 188, 189, 208, 225, 227, 232Konservasi Tradisional, 62, 90, 124, 156, 186, 225Korner, 49, 178Kristen Protestan, 71, 254Kuri, 29, 31
L
Leher Burung, 11, 28Lekitoo, 21, 233, 234Leksono, 35, 36, 104, 233
258
Lintang Selatan, 28
M
MacArthur, 35, 104 Mackinnon, 9Mairasi, 29, 133Malcolm, 2, 21Maluku, 8, 9, 10, 11, 27, 62, 97, 98, 100, 124, 131Maluku Utara, 8, 27, 62, 98Mamberamo Raya, 19, 195Mansoben, 29, 32, 98, 136, 202, 233Marsono, 35, 139, 208, 233Merauke, 70, 131, 133, 188, 228Miei, 31, 71, 73, 248Miere, 29Misionaris, 71, 254Mitos, 29, 31, 201Moluccas, 8, 10, 11Murtijo, 4, 234
N
Native species, 11, 27, 62, 69, 92, 97, 124, 131, 157, 164, 187, 195, 226New Guinea, 2, 4, 9, 10, 14, 199, 234NTT, 8Nugroho, 4, 234Nyanyian Rohani, 71
O
Obat-obatan, 20Okultisme, 29, 201Oomen, 2, 21Oosterwal, 2, 21Orang Biak, 60Orang Mansinam, 60, 83Orang Numfor, 60, 83
259
P
Paijsman, 7Pancang, 41, 42, 43, 46, 47, 48, 49, 54, 55, 56, 108, 109, 111, 112, 113, 114,
118, 119, 142, 144, 146, 147, 150, 151, 174Pangan Alternatif, 5, 15, 184Papua, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 14, 15, 17, 18, 19, 20, 22, 23, 27, 28, 32,
40, 47, 60, 61, 62, 63, 69, 70, 71, 73, 82, 83, 92, 97, 98, 100, 123, 124, 125, 131, 134, 135, 136, 157, 158, 164, 165, 187, 189, 195, 196, 198, 202, 203, 205, 208, 209, 210, 211, 212, 213, 214, 215, 216, 218, 219, 220, 221, 222, 223, 224, 225, 226, 227, 228, 230, 233, 235, 244, 245, 248
Papua Barat, 98Papuasia, 7Pasai, 31Pegunungan Tengah, 17, 165Pepagan, 25, 67, 95, 129, 249Perbungaan, 25, 67, 95, 129, 161, 239, 250Perkakas, 20Persen Penutupan Tajuk, 39, 76Pertanian, 4, 187Petocz, 6, 7, 8, 37, 234Pohon, 12, 27, 37, 40, 41, 42, 43, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 62, 75, 76, 78, 79, 80,
89, 90, 92, 105, 108, 109, 113, 116, 117, 118, 119, 120, 124, 139, 142, 144, 146, 148, 149, 150, 151, 155, 156, 176, 178, 179, 180, 182, 187, 216, 218, 219, 222, 237, 249
Pospisil, 2, 21Potensi Buah, 57, 80, 120, 151Potensi Jenis, 4Potensi Tegakan, 5, 23, 78Powell, 2, 4, 234Pulau Gag, 4, 22, 97, 98, 99, 100, 101, 105, 106, 107, 108, 109, 110, 111, 112,
113, 114, 115, 116, 117, 118, 122, 123, 124, 125, 126, 252Pulau Kimam, 2Pulau Meoswar, 59, 62Pulau New Guinea, 6Pulau Yop, 30, 37, 43, 45, 47, 51, 52, 63
R
Republik Indonesia, 2, 19, 200, 201Roon, 29, 132
260
S
Sarmi, 4, 23, 129, 131, 134, 135, 136, 153, 154, 156, 157, 158, 165, 169, 184 Selatan, 28, 99, 135, 200, 201 semai, 41, 42, 43, 44, 46, 49, 53, 54, 55, 108, 109, 111, 114, 117, 118, 119,
124, 142, 144, 145, 146, 150, 151, 171, 172, 173, 174, 175, 178, 179, 180, 181, 186, 212, 213, 214, 215, 218, 220, 221
Smith, 44, 234 Soegianto, 44, 234 Soerianegara, 44, 213, 234 Sough, 29 Species Diversity, 44, 213, 245 Speedboat, 31, 166Srutek, 49, 178, 232Strata, 39, 53, 55, 116, 119, 149, 179, 181, 218, 221Stratifikasi, 29, 39, 98Suhu, 28, 35, 36, 38, 39, 40, 75, 76, 104, 106, 112, 139, 140, 168, 169, 178,
208, 210, 247, 253Sulawesi, 7, 9, 10, 11, 97, 131Sumatera, 7, 8, 9, 10Sumba, 8, 41, 54, 108, 118, 142, 150, 171, 180, 211, 220Sumbawa, 8Sumber Pangan, 20Suplement Food, 4Syafei, 35, 139, 208
T
Takikan batang, 25, 67, 95, 129Taksonomi, 5, 8, 9, 70, 248, 252Talas, 14, 82, 123, 154, 184, 224Tanah Papua, 2, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 15, 18, 19, 22, 37, 40, 60, 64, 71, 83, 92,
97, 126, 158, 164, 165, 166, 187, 188, 195, 198, 200, 226, 227, 228, 231, 232, 244, 254
Teluk Cenderawasih, 28Tiang, 41, 42, 43, 51, 52, 54, 55, 56, 108, 109, 114, 115, 118, 119, 142, 144,
147, 148, 150, 151, 185Timor, 8, 14Timur, 11, 28, 100, 134, 135, 202, 252Toro, 29
261
U
Utara, 11, 14, 28, 79, 98, 99, 100, 131, 134, 165, 200
V
Van Hasselt, 60, 84Vogelkop, 11
W
Wamesa, 29Wandamen, 29, 132Waropen, 2, 21, 131, 134, 161, 164, 165, 187, 188, 195, 205, 226, 227, 234Watopa, 18, 232Whitmore, 4Wilson, 35, 104Womersly, 7Won, 29Won”, 29Wondama, 4, 22, 25, 28, 29, 31, 59, 60, 61, 62, 67, 69, 70, 71, 73, 78, 79, 82,
83, 84, 90, 92, 95, 248
Y
Yapen, 25, 69, 131, 164, 165, 187, 195, 226, 227Yop, 22, 25, 30, 31, 32, 37, 38, 39, 41, 42, 43, 44, 46, 47, 48, 51, 52, 53, 54,
57, 59, 62, 63, 69, 236, 253Yop Meos, 22, 31, 32, 37, 38, 39, 41, 42, 43, 45, 46, 47, 48, 51, 52, 53, 54, 59,
63, 236, 253
Z
Zeendeling, 71, 254zonasi, 39
262
Angka dan nama ilmiah (Latin) yang dicetak tebal adalah nomor halaman dan jenis pohon atau jenis tumbuhan hutan penghasil buah potensial untuk bahan pangan di Tanah Papua, sedangkan angka dannama latin yang dicetak biasa adalah nomor halaman, jenis-jenis vegetasi pada habitat tumbuhan hutan penghasil buah potensial untuk bahan pangan dan sinonim dari jenis yang dideskripsikan dalam buku ini.
Aglaia odorata, 146, 147 Aglaia spectabilis, 48 Alphitonia microcarpa, 112, 113, 114 Alstonia scholaris, 148, 149 Alstonia spectabilis, 145 Anisoptera thurifera ssp. polyandra, 22, 25Anthocephalus chinensis, 146, 147, 149Antiaris toxicaria, 46Areca catechu, 77Artocarpus altillis, 148, 149, 173, 176, 178, 179, 214, 216, 218Artocarpus integra, 77Barringtonia asiatica, 145, 146, 147, 148, 149, 157, 219Borassus heineanus, 22, 161, 164, 173, 175, 178, 179Calophyllum inophyllum, 51, 166, 189Calophyllum pseudovitiense, 51, 52Campnosperma brevipetiolata, 51Cananga odorata, 145, 146, 147, 148, 173, 175, 176, 178, 179, 214, 215, 216,
218, 219Canarium indicum, 110, 114, 115, 117, 175, 176, 179, 215, 216, 219Canarium sp., 116, 117Casuarius benneti, 175Cocos nucifera, 23Comersonia bartramia, 112, 113, 173, 214Cordia subcordata, 148, 149Dacussocarpus walichianus, 48, 51Decaspermum parviflora, 115Depapre, 204Diospyros ebenum, 117Diospyros hebecarpa, 116, 117Duabanga moluccana, 173Durio zibethinus, 77, 225
INDEKS NAMA ILMIAH
263
Dysoxylum sp., 53 Endospermum molucanum, 173 Euodia bonvickii, 115 Exocarpus latifolia, 110 Fagraea racemosa, 114, 115, 145, 148, 214 Falcataria moluccana, 115, 116, 117 Ficus septica, 146, 147, 214, 216 Garcinia mangostana, 77 Gironniera nervosa, 48, 113 Gmelina sp., 115 Gnetum gnemon, 216 Gonocaryum littorale, 145, 148, 149 Haplolobus celebicus, 47, 48 Haplolobus cf. monticola, 22, 67, 69, 70 Haplolobus floribundus, 70 Haplolobus lanceolatus, 52 Hibiscus tilliaceus, 145, 146, 147, 149, 179 Homalium foetidum, 51, 114, 115 Horsfieldia sylvestris, 51 Ilex ladermanii, 109, 110 Inocarpus fagifer, 22, 129, 145, 146, 147, 148, 149, 178, 179, 214, 218, 219 Intsia bijuga, 176, 214, 215, 216 Koordersiodendron pinnatum, 109, 110 Lansium domesticum, 77, 225 Lepiniopsis ternatensis, 110, 115 Litsea ladermanii, 45, 46 Lunasia amara, 45, 46, 47, 48 Mangifera indica, 77 Metroxylon sagus, 14 Morinda citrifolia, 148, 216 Nephelium lappaceum, 77 Nypa fruticans, 166 Ochrosia ficifolia, 110 Octomeles sumatrana, 146, 147 Osmoxyllon novoguinensis, 176 Palaquium amboinensis, 47, 48, 173, 176, 179, 215, 216 Pandanus brosimos, 165 Pandanus dubius, 156 Pandanus jiulianettii, 165 Pandanus spp., 195, 196, 222 Pandanus tectorius, 157 Pangium edule, 113 Parartocarpus venenosus, 114, 115, 116, 117 Pertusadina eurynchae, 53 Podocarpus neriifolius, 45, 46, 47, 48, 51, 53 Pometia coreacea, 53, 225
264
Pometia pinnata, 79, 145, 148, 149, 173, 175, 176, 178, 179, 214, 215, 216, 218, 219
Premna corymbosa, 145, 214 Premna integrifolia, 114, 115 Prunus arborea, 48 Pterocarpus indicus, 175, 176, 179, 219 Pterygota horsfieldii, 52, 149, 179, 219 Pypturus argenteus, 219 Sararanga sinuosa, 22, 23, 157, 192, 195, 214, 216, 218, 219 Schefflera cf. archboldiana, 113 Spathiostemon javaensis, 51, 52 Sterculia macrophylla, 117 Sterculia parkinsonii, 173 Sterculia shillinglawii, 22, 95, 97, 109, 110, 112, 113, 114, 115, 117 Sterculia urceolata, 97 Streblus elongata, 117 Sus crova, 175 Syzygium malaccensis, 145 Tabernaemontana aurantiaca, 112, 113, 146, 147 Timonius timon, 110, 112, 113, 114 Vatica rassak, 45, 46, 47, 48, 52, 53 Vitis vinifera, 23, 196 Voacanga papuana, 146, 147, 157
265
266
Af, 129 Alpukat, 22, 58, 152, 223 Buah Hitam, 22, 60, 67, 69, 70, 77, 79, 80, 84, 85, 89, 90 Coweba, 129 Depapre, 204 Durian, 58, 77, 152, 223, 225 Gayang, 22, 131, 139, 140, 141, 144, 146, 151, 152, 153, 154, 156, 157, 158 Kacang Hijau, 22, 59, 63, 123, 124, 125, 126 Kacang Tanah, 59, 122, 153, 183 Kayu Karang, 47 Kedelai, 59, 122, 153, 183 Kelapa Hutan, 22, 161, 164, 165, 168, 169, 170, 171, 172, 173, 175, 176, 178,
179, 180, 181, 182, 183, 184, 185, 186, 187, 188 Kenari, 67Langsat, 58, 77, 89, 152, 223, 225Mandyagwe, 95Pepaya, 58, 223Piarawi, 22, 67, 70, 72, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 89, 90, 92Rambutan, 58, 77, 152, 223Sagu Buah Hitam, 84, 85Sagu Perang, 84Salak, 58, 152, 223Selre, 23, 192Sirsak, 58, 152, 223Taer, 22, 25, 35, 37, 38, 41, 42, 43, 46, 47, 48, 49, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57,
58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 70Takum, 25Waribo, 22, 161Woton, 22, 95, 97, 104, 105, 106, 107, 108, 109, 110, 111, 112, 113, 114, 115,
116, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 126
INDEKS NAMA DAERAH DAN PERDAGANGAN
266
Krisma Lekitoo – Lahir pada tanggal 31 Juli 1976 di Kampung Miei Kabupaten Teluk Wondama. Lulusan Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Univ. Cenderawasih Manokwari tahun 1998 dan melanjutkan Pasca Sarjana dengan gelar Master of Science (M.Sc.) pada Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 2011 dan merupakan lulusan terbaik. Saat ini bekerja sebagai staf peneliti pada
Balai Penelitian Kehutanan Manokwari dengan jabatan fungsional Peneliti Muda. Pernah mengikuti Diklat Pengenalan Jenis Pohon Hutan Indonesia yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan di Bogor tahun 2003. Aktif mengikuti pertemuan ilmiah, termasuk pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan oleh Penggalang Taksonomi Tumbuhan Indonesia. Publikasi yang dihasilkan didominasi pada bidang taksonomi dan konservasi sebagai minat utama. Buku yang pernah ditulis adalah Keanekaragaman Flora Taman Wisata Alam Gunung Meja – Papua Barat (Jenis-jenis pohon-Bagian-1) dan Jenis Buah-buahan Hutan Yang Dapat Dimakan Pada Taman Wisata Alam Gunung Meja Kabupaten Manokwari.
Ezrom Batorinding – Lahir pada tanggal 12 November 1975 di Soroakoluwu. Staf peneliti Konservasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan pada Balai Penelitian Kehutanan Manokwari. Lulusan S1 Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih Manokwari (2000), dan melanjutkan Pasca Sarjana minat konservasi
dengan gelar Master of Science (M.Sc.) pada Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 2011.
267
Permenas Alexzander Dimomonmau –Lahir pada tanggal 3 Maret 1974 di Sarmi. Lulusan Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Negeri Cenderawasih (Faperta-Uncen) tahun 2000. Pernah bekerja sebagai Manajer Operasional pada IPK CV. Irman Jaya Martabe di Kecamatan Sarmi Kabupaten Jayapura tahun 2000 - 2001. Sejak tahun 2001 sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS)
Lingkup Badan Litbang Kehutanan, dan ditempatkan pada Balai Penelitian Kehutanan Manokwari, bekerja sebagai peneliti Bidang Konservasi Sumber Daya Hutan, aktif dalam kegiatan seminar dan melakukan penelitian terkait bidang kepakaran, yaitu Konservasi Satwa Liar dan Keanekaragaman Hayati. Kandidat Master of Science (MSc.) pada Fakultas Kehutanan Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
Wilson F. Rumbiak – Lahir pada tanggal 3 Oktober 1974 di Biak. Lulusan Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih (Faperta-Uncen) tahun 2000. Sejak tahun 2000 bekerja sebagai peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Manokwari. Bidang kepakaran penelitian adalah Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) khususnya masohi, aktif dalam
kegiatan seminar dan melakukan penelitian terkait bidang kepakaran.Kandidat Master of Science (MSc.) pada Fakultas Kehutanan Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
268
Charlie Danny Heatubun – Staf Pengajar Fakultas Kehutanan Univ. Papua Manokwari. Lulus S1 Jurusan Kehutanan Faperta Univ. Cenderawasih Manokwari (1997), S2 (2006) dan S3 (2009) dan merupakan lulusan terbaik program doktor pada bidang Taksonomi Tumbuhan. Sekolah Pasca Sarjana IPB Bogor. Pernah mengikuti beberapa
kursus dan pelatihan Sistematika Tumbuhan dan Manajemen Herbarium di dalam dan luar negeri termasuk visiting fellowke beberapa herbarium dan kebun raya di Negara ASEAN, China, Australia dan Eropa. Aktif dalam berbagai pertemuan ilmiah termasuk pertemuan rutin Flora Malesiana. Publikasi yang dihasilkan beberapa diantaranya dimuat dalam Peer Review jurnal nasional dan internasional. Telah menemukan dan memberi nama beberapa taksa baru tumbuhan, terutama pada suku palem-paleman (Arecaceae). Tergabung dalam beberapa organisasi profesi dalam dan luar negeri diantaranya Penggalang Taksonomi Tumbuhan Indonesia dan sebagai anggota aktif IUCN Species Survival Committee – Palm Specialist Group.
Hanro Yonathan Lekitoo –Lahir pada tanggal 7 Januari 1969 di Kampung Miei Kabupaten Teluk Wondama. Lulusan Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Cenderawasih (UNCEN) Jayapura tahun 1993 dan melanjutkan Pasca Sarjana dengan gelar Master of Humaniora (M. Hum.) pada Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 2003. Sejak 1996 mengajar di Jurusan Antropologi FISIP UNCEN. Pernah bekerja di World Vision International Indonesia – Jayapura tahun 1995. Saat ini penulis aktif sebagai pengajar, dan peneliti di Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Cenderawasih (UNCEN) Jayapura.
269
Top Related