RASIONALITAS NURCHOLISH MADJID DALAM WACANA
KEISLAMAN DI INDONESIA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyatratan Memperolah Gelar Sarjana
Agama (S. Ag)
Oleh:
Ikhya Ulumuddin
NIM: 1111033100065
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H. /2017 M.
i
LEMBAR PERSETUJUAN
RASIONALITAS NURCHOLISH MADJID DALAM WACANA
KEISLAMAN DI INDONESIA
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta Sebagai Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Strata Satu (S1)
Oleh:
Ikhya Ulumuddin
NIM: 1111033100065
Dosen Pembimbing
Dr. Edwin Syarif, MA
NIP. 19670918 199703 1 001
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H. /2017 M.
ii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (S1) di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta 03 Februari 2017
Ikhya Ulumuddin
iii
Lembar Pengesahan
Skripsi yang berjudul “Rasionalitas Nurcholish Madjid Dalam Wacana Keislaman
di Indonesia” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin,
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 18 April 2017.
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana Strata Satu
(S1) pada Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam.
Jakarta 18 April 2017
Sidang Munaqasyah,
Ketua merangkap anggota Sekertaris merangkap anggota
Dra. Tien Rohmatin, MA Abdul Hakim Wahid, SHI., MA
NIP. 19680803 199403 2 002 NIP. 19780424 201503 1 001
Anggota
Dr. Fariz Pari, M.Fils Drs. Agus Darmaji, M.Fils
NIP. 19660629 199203 1 003 NIP. 19610827 199303 1 002
Dr. Edwin Syarif. MA
NIP. 19670918 199703 1 001
iv
ABSTRAK
Di dalam Islam teori mengenai rasionalitas pertama kali dipopulerkan
oleh Muhammad Abduh yang dijuluki juga sebagai bapak moderenisme Islam.
Pergerakan Abduh untuk mengubah paradigma Islam begitu masif sehingga tidak
hanya Mesir –kota kelahiran Muhammad Abduh– yang terkena dampaknya
melainkan hampir seluruh dunia Islam. Pengaruh Muhammad Abduh ini terasa
sampai Indonesia. Di Indonesia, banyak para ulama dan para santri yang pergi ke
Mekkah untuk belajar agama kepada para ahlinya. Setelah mereka selesai belajar
dan pulang ke kampung halaman, mereka membawa gagasan-gagasan Islam yang
bermacam-macam termasuk gagasan pembaruan Islam-nya Muhammad Abduh
yang dimotori oleh K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asyari.
Seiring dengan perkembangan zaman gagasan pembaruan itu semakin
masif disuarakan. Salah satu tokoh Neo Modernis, yaitu Nurcholish Madjid –yang
kita bahas di sini− meneruskan perjuangan para pendahulunya itu dengan
membuka kebenaran rasionalitas dalam Islam yang memang sudah berabad-abad
ditentang oleh masyarakat Muslim radikal. Menurutnya umat muslim sangat
membutuhkan sekali rasionalitas demi kelangsungan hidup agamanya. Namun
demikian, rasionalitas dalam Islam adalah rasionalitas yang terbatas. Islam
mewajibkan bagi seluruh umatnya bahkan seluruh manusia untuk menggunakan
akalnya, akan tetapi hal-hal yang di luar batas kemampuan akalnya seperti
kebenaran absolut, dalam hal ini Tuhan, Islam melarangnya.
Metode rasionalitas yang digunakan Nurcholish memang terdengar
tidak biasa dengan masyarakat Indonesia yang pada waktu itu masih
menggunakan metode taqlid dan pengajaran tradisional yang mengharamkan
penggunaan akal dalam hal urusan agama. Oleh karena itu menjadi wajar ketika
Nurcholish menggagas metode rasionalisasi Islam.
Dari renungan-renungannya itu, Nurcholish Madjid menemukan sebuah
teori rasionalitas dalam Islam yang menghasilkan banyak sekali pertentangan
terutama pada tubuh Islam tradisionalis. Tak elak lagi, pada waktu itu, Nurcholish
Madjid banyak yang membenci, namun demikian tidak sedikit juga yang
menyanjung dan mengaguminya. Kendati Nurcholish tetap bersiteguh dengan
keyakinanya, bahwa Islam dengan kemunduranya seperti sekarang ini, disebabkan
oleh para pemeluknya yang tidak mau menggunakan dan memaksimalkan
pikarannya.
v
KATA PENGANTAR
Bismillᾱhirrahmᾱnirrahīm
Alhamdulillahāh segala puji bagi Allah yang telah menciptakan alam semesta
dengan begitu sempurnanya, dan yang telah mengatur segala sesuatunya sehingga alam
semesta ini berjalan dengan harmonis. Atas kesehatan dan kasih sayangnya, penulis
akhirnya menyelesaikan penelitian skripsi ini dengan judul “Rasionalitas Nurcholish
Madjid Dalam Wacana Keislaman di Indonesia”.
Ṣhalawat serta salam penulis hantarkan kepada baginda Nabi besar
Muhammad saw, beserta sahabat-sahabat, dan keluarganya. Nabi sebagai manusia
sempurna yang telah membawa umatnya dari zaman kebodohan menuju zaman
kepintaran, dari masyarakat amoral menuju masyarakat yang bermoral mulia. Semoga
kita dipertemukan denganya di akhirat kelak.
Penelitian ini dilakukan dalam rangka sebagai syarat dalam pengajuan gelar
Sarjana Strata Satu (S1) pada jurusan Aqidah Filsafat, Fakultas Ushuluddin, Universitas
Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Peneliti menyadari bahwa, dalam
penelitian ini sedari awal sampai akhir bukan sebatas hasil sendiri, melainkan juga atas
bantuan motivasi dan semangat baik secara material dan non-material, sehingga
penelitian ini dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu patut kiranya penulis
sampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Dr. Edwin Syarif, MA, selaku Dosen Pembimbing peneliti dalam skripsi yang
telah banyak memberikan ilmu pengetahuan, masukan, saran, kritik dan waktu
untuk membimbing peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini tanpa lelah.
Kebaikan bapak akan menjadi nasihat yang mulia untuk peneliti. Semoga Allah
memberikan kebaikan untuk bapak. Amin ya Rabbal Alamin.
vi
2. Ibu Dra. Tien Rohmatin, MA, selaku ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam
sekaligus menjadi dosen penasihat akademik peneliti, yang ikut serta
membimbing sampai judul penelitian ini di terima. Dan bapak Abdul Hakim
Wahid, SHI.,MA, selaku sekertaris Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam, Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA, selaku dekan Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta beserta
jajaran dekanatnya.
4. Kepada Dosen-dosen Fakultas Ushuluddin yang telah banyak memberikan ilmu
dan motivasi kepada penulis tanpa pamrih selama proses belajar. Serta terima
kasih pula kepada seluruh staf dan karyawan Fakultas Ushuluddin, dan semua
yang tidak bisa disebutkan namanya satu persatu. Segenap staf perpustakaan
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat dan Perpustakaan Umum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memudahkan penulis dalam mencari referensi
terbaik semasa-masa perkuliahan hingga proses penyelesaian skripsi ini.
5. Selanjutnya terima kasih penulis persembahkan kepada kedua orang tua ayahanda
H. Abdul Ajid dan ibunda Hj. Mardiah yang tak henti-hentinya menasehati
penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Seluruh dukungan baik material maupun
non-material telah mereka curahkan. Berkat rasa cinta mereka penulis dapat
bangkit dari peyakit kemalasan dan mulai bersemangat untuk mencapai
kesuksesan dunia dan akhirat. Semoga Allah memberikan rahmat dan rizki yang
melimpah kepada mereka. Dan semoga Allah senantiasa memberikan kesehatan
kepada mereka. Amin.
6. Adik-adik penulis, Dzuratunnasikhah, Khopipah dan Muttaqin Aziz. Terimakasih
dik. Kalianlah yang telah menghiburku untuk menyelesaikan penelitan skripsi ini.
vii
7. Selanjutnya kepada kawan-kawan seangkatan jurusan Aqidah Filsafat 2011 yang
selalu membuat penulis tersenyum dan bahagia dalam mengerjakan skripsi ini.
Teruntuk bung Ali Nawawi, Tanwirunnadzir, Fajar Agung, Nanang Rosidi,
Ahmad Syauqi, Awam Nuryadin, Imam Santoso/Emon, Ines Dwi Puspa, Mileh,
Huda Riana, dan masih banyak lagi yang tidak bisa disebutkan satu persatu tanpa
mengurangi rasa persahabatan penulis kepada mereka. Thanks kawan.
8. Kawan-kawan FORMACI (Forum Mahasiswa Ciputat), Imam Besar Fedullah
Congor, bung Erwin Simbolon, bung Iir Irham, bung Abdallah. Sy, bung Roy
Gratisan, bung Saepul Yahya, bung Cendy Vicky, bung Didi, bung Ehma, bung
Aldo, de Ayu Alfiah, dan para pendahulu atau senior FORMACI yang tanpa
pamrih telah begitu banyak memberikan ilmu dan pengetahuan yang Insya Allah
bermanfaat bagi penulis dunia dan akhirat.
9. Kepada abang-abang satu Kosan, Anis Masykur, Ali Khumaeni, M. Zahidin Arif,
Caesar, dan Kacung. Terima kasih telah membantu penulis dalam memberikan
informasi yang berharga mengenai segala hal terutama terkait penelitian ini.
10. Para sahabat-sahabat tetangga Kosan, Don Al, Oriza Kampret, Ari Mulki. Z
(penikmat buku Pram), Habib Bilal, Yai Gusti, Budi, Ilyas, dan bang Syafiq.
Terima kasih brother.
Jakarta 03 Februari 2017
(Ikhya Ulumuddin)
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Arab Indonesia Arab Indonesia
ا
ب
ت
ث
ج
ح
خ
د
ذ
ر
ز
س
ش
ص
ض
a
b
t
ts
j
ḥ
kh
d
dz
r
z
s
sy
ṣ
ḍ
ط
ظ
ع
غ
ف
ق
ك
ل
م
ن
و
ه
ء
ي
ة
ṭ
ẓ
'
gh
f
q
k
l
m
n
w
h
'
y
h
Vokal Panjang
Arab Indonesia
ā آ
ī ٳى
ū أو
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................. i
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. iii
ABSTRAK ....................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................ v
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................... viii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................... 1
B. Permasalahan ................................................................................................ 5
1. Identifikasi Masalah ............................................................................... 5
2. Batasan Masalah ..................................................................................... 6
3. Rumusan Masalah ................................................................................... 7
C. Tujuan Penelitian .......................................................................................... 7
D. Manfaat Penelitian ........................................................................................ 8
E. Tinjauan Pustaka ........................................................................................... 8
F. Metedologi Penelitian ................................................................................... 9
1. Sumber Data ........................................................................................... 9
2. Tekhnik Pengumpulan Data ................................................................. 10
3. Tekhnik Analisis Data .......................................................................... 10
4. Tekhnik Penulisan Data ........................................................................ 11
G. Sistematika Penulisan ................................................................................. 12
BAB II SKETSA BIOGRAFI NURCHOLISH MADJID
A. Riwayat Hidup dan Pendidikan .................................................................. 15
B. Karya-karya ................................................................................................ 21
C. Kontribusi Pemikiran Nurcholish Madjid di Indonesia .............................. 25
x
BAB III TINJAUAN UMUM PEMIKIRAN RASIONAL DALAM ISLAM
A. Pengertian Pemikiran Rasional ................................................................... 29
B. Pemikiran Rasional Dalam Islam ............................................................... 33
C. Perbedaan Antara Rasio, Rasionalisme dan Rasionalitas ............................ 38
BAB IV NURCHOLISH MADJID DAN PEMIKIRAN RASIONALNYA
A. Munculnya Gerakan Islam Rasional di Indonesia ...................................... 44
B. Rasionalitas Islam Nurcholish Madjid ....................................................... 49
C. Karakter Rasionalitas Islam Nurcholish Madjid ........................................ 56
D. Rasionalitas Islam dan Ilmu Pengetahuan Modern .................................... 59
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................. 67
B. Saran-Saran ................................................................................................. 69
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 70
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tidak ada gagasan yang berdiri di atas angin. Setiap gagasan—apalagi
gagasan baru—selalu merupakan respons atas situasi sosial-historis tertentu.
Begitulah dengan gagasan pembaruan dalam Islam. Pembaruan Islam itu juga
bukan sesuatu yang berdiri sendiri dalam konteks lokal dan problem kontemporer.
Tapi juga berkaitan erat dengan apa yang terjadi di dunia Islam internasional,
maupun pembaruan-pembaruan yang sudah terjadi sebelum masa Orde Baru ini,
khususnya tokoh-tokoh Masyumi (sebelum 1955). Mereka semua adalah
golongan yang biasa disebut “kaum modernis Islam”.1
Gerakan Islam kontemporer muncul di Indonesia awal 1970. Gerakan ini
sebagai kelanjutan dari pembaharuan pada masa klasik (abad ke 17) hingga tahun
1969. Berbagai faktor menjadi penyebab kelahiran gerakan ini, seperti yang
diungkapkan Nurcholis ketika menyampaikan gagasan pembaharuannya di
Menteng Raya tanggal 3 Januari 1970 sebagai berikut: “Pertama, bahwa
organisasi-organisasi yang menerima aspirasi pembaharuan seperti
Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan Persis telah berhenti sebagai pembaharu-
pembaharu, karena ketiga organsasi ini tidak sanggup berbuat dan
mengungkapkan semangat dan ide pembaharuan itu sendiri. 2
1 Budhy Munawar-Rachman, Membaca Nurcholish Madjid, edisi digital, (Jakarta:
Democracy Project, 2011), h. 19 2 Budhy Munawar-Rachman, Membaca Nurcholish Madjid, h. 25
2
Kedua, organisasi-organisasi kontra reformasi seperti NU, Al-Wasliyah,
dan yang lain ternyata telah melakukan sendiri dan menerima nilai-nilai
pembaharuan. Ketiga, terjadinya stagnasi pemikiran secara menyeluruh yang
melanda umat Islam.3
Dalam perjalanan sejarah intelektual Islam Indonesia, Nurcholish
Madjid termasuk tokoh yang sering menyuarakan ide tentang rasionalisasi atau
pembaharuan.4 Ciri kaum rasionalis ini adalah mengupayakan penghadiran Islam
dan memberi isi, serta peranannya di tengah masyarakat yang sedang berubah.5
Maksudnya menghadirkan Islam dalam penalaran rasional.
Islam rasional yang dibawa oleh Nurcholish Madjid dapat dilihat dari
ide-ide pembaruan yang dimajukanya. Apa yang disebut gerakan pembaruan pada
sebagian pemuda muslim pada masa 1970-1972 merupakan perkembangan paling
radikal dalam pemikiran religio-politik Islam di masa Orde Baru Indonesia.
Kandungan intelektual pembaruan merupakan suatu usaha untuk memformulasi
kembali secara umum postulat-postulat Islam fundamental mengenai Tuhan,6
manusia dan alam fisik, dan cara perhubungan semua itu di dalam realitas-realitas
politik.
3 Okrisal Eka Putra, “Hubungan Islam dan Politik Masa Orde Baru” dalam Jurnal
Dakwah, Vol. IX, No. 2, Juli-Desember, 2008, h. 190 4 Pirhat Abbas, “Paradigma Pemikiran Nurcholish Madjid Tentang Modernisasi” dalam
Jurnal Media Akademika: Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Kesilaman, Vol.22, No.4, Oktober 2007, h.
246 5 Rasionalis berasal dari bahasa Inggris yaitu rasio atau rasion yang artinya akal pikiran
atau otak manusia. Dengan demikian kata rasionalis mengacu pada subjek yang menggunakan
akal pikiranya dengan sebaik-baiknya. Istilah ini diperkenalkan oleh sejumlah filosof eropa
terkemuka, seperti Descartes dan Immanuel Kant dan menjadi sebuah aliran dalam tradisi filsafat.
Aliran rasional ini sangat mementingkan rasio dalam memutuskan segala hal. Menurut aliran ini di
dalam rasio terdapat ide-ide dan dengan itu orang dapat membangun suatu ilmu pengetahuan tanpa
menghiraukan realitas di luar rasio. Lihat, A. Susanto, dalam Filsafat Ilmu, Suatu Kajian dalam
Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), h. 36 6 Imdadun Rahmat dalam Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Revivalisme Islam Timur
Tengah Ke Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 2005), h. 17
3
Definisi rasionalisasi tersebut, senada dengan penegasan yang diberikan
oleh Muhammad Natsir, yang mana menurut beliau bahwa ciri-ciri rasionalisasi
yang essensial ialah adanya kemampuan dan keberanian seseorang untuk
melepaskan diri dari cara berpikir dan bertindak tradisionl. Seorang rasionalis
berarti seorang yang berpikir tanpa prejudice (prasangka) dan tidak dogmatis
dengan istilah apapun juga.7
Kebenaran dapat ditemukan melalui kerja rasio, tetapi rasio sifatnya
terbatas, sehingga Tuhan perlu menurunkan petunjuk kepada manusia lewat
seorang nabi yang berupa wahyu.8 Oleh karena itu Nurcholish membedakan
antara rasionalisme dan rasionalitas.
Rasionalisme menurutnya adalah suatu paham yang mengakui
kemutlakan rasio. Seorang rasionalis adalah seorang yang menggunakan akal
pikiranya secara sebaik-baiknya, ditambah dengan keyakinan bahwa akal
pikiranya itu sanggup menemukan kebenaran, sampai yang merupakan kebenaran
terakhir sekalipun. Sedangkan Islam hanya membenarkan rasionalitas, yaitu
dibenarkannya menggunakan akal pikiran oleh manusia dalam menemukan
kebenaran-kebenaran. Akan tetapi, kebenaran yang ditemukanya itu adalah
kebenaran insani, dan karena itu terkena sifat relatifnya manusia.
Maka menurut Islam sekalipun, rasio dapat menemukan kebenaran-
kebenaran, namun kebenaran-kebenaran yang relatif, sedangkan kebenaran yang
mutlak hanya dapat diketahui oleh manusia melalui sesuatu yang lain yang lebih
7 Pirhat Abbas, “Paradigma Pemikiran Nurcholish Madjid Tentang Modernisasi”, h. 248
8 Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan 1993),
h.179
4
tinggi dari pada rasio, yaitu wahyu (revelation) yang melahirkan agama-agama
Tuhan, melalui nabi-nabi.9
Keterbatasan kemampuan rasio, dan keharusan manusia untuk menerima
sesuatu yang lebih tinggi dari pada rasio dalam rangka mencari kebenaran
mempunyai dasar dari ajaran Islam. Oleh karena itu Allah dalam Al-Quran,
berfirman: “Tidaklah kamu (manusia) diberi ilmu pengetahuan (melalui rasio)
melainkan sedikit saja” (QS. 17:85).10 Dan menurut ilmu pengetahuan modern,
menurut Nurcholish yang mengutip perkataan Einstein:
“Kesadaran bahwa seluruh pengetahuan kita tentang alam raya hanyalah
semata-mata residu daripada kesan-kesan yang diselubungi oleh akal-
pikiran kita yang tidak sempurna, membuat mencari kenyataan itu
(kebenaran) nampaknya tidak bisa diharapkan.11
Dalam salah satu bukunya: Islam, Doktrin, dan Peradaban, Nurcholish
meletakkan rasio sebagai fitrah manusia. Dan sebagai manusia, dengan rasionya,
ia mampu mengaktualisasikan agar amanah yang diberikan dari Tuhan kepadanya
dapat terealisasikan. 12
Salah satu bentuk realisasinya adalah dengan meletakkan kerja kognitif
terhadap berbagai macam aspek keduniawian, sehingga dapat mewujudkan nilai-
nilai universal kehidupan umat manusia secara keseluruhan. Penegakan nilai
universal, serta penekanan pada sisi rasio pada segenap kehidupan ummat
9 Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan 1993),
h.181 10 Ayat lengkapnya adalah: وح من أمر ربى وما أوتيتم من العلم إال قليل وح قل الر ويسألونك عن الر11 Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, h.182 12 Nurcholish Madjid, dalam kata pengantar buku Islam: Doktrin, dan Peradaban:
Sebuah Telaah Kritis Terhadap Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, (Jakarta:
Paramadina, 1992), h. xii-xiii
5
manusia ini yang memungkinkan Nurcholish untuk menolak nilai lahiriyah
keagamaan yang bersifat eksklusif.13
Dalam pandangan Nurcholish: “sekalipun agama itu lebih tinggi
daripada akal, namun karena ia sejalan dengan akal, atau tidak bertentangan
denganya, maka hendaknya didekati dengan melalui jalan argumen yang masuk
akal, metode yang kritis”.14
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Banyak sekali masalah keislaman di Indonesia yang harus diselesaikan
dengan hasil yang meyakinkan. Sejak zaman Orde Baru, dimana Nurcolish
mengalami popularitas tinggi sebagai cendikiawan Muslim, ia mampu
memecahkan masalah-masalah kaum muslim di Indonesia pada waktu itu yang
tidak mudah dipecahkan bagi orang muslim biasa (awam), dan pemecahan
masalah tersebut disertai dengan hasil yang meyakinkan. Gagasan-gagasanya
mampu menembus relung terdalam pemikiran manusia terutama berkaitan dengan
Islam. Begitu banyak dan rumit apabila kita mengkaji pemikiranya secara
keseluruhan. Oleh karena itu penulis di sini hanya akan mengidentifikasi masalah-
masalah yang berkaitan dengan rasionalitas dalam ranah keislaman perspektif
Nurcholish Madjid yang diungkapakan dalam beberapa pertanyaan seperti di
bawah ini:
13 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. xii-xiii 14 Dedy Djamaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia:
Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais, Nurcholish Madjid, dan
Djalaluddin Rakhmat, (Bandung: Zaan Wacana Mulia 1998), h. 226
6
1.1. Apa yang dimaksud dengan Islam rasional menurut Nurcholish?
1.2. Apa perbedaan antara Rasionalitas dan Rasionalisme menurut
Nurcholish?
1.3.Bagaimana pemikiran rasional dalam Islam menurut Nucholish Madjid?
1.4. Bagaimana rasionalitas Nurcholish Madjid dalam wacana keislaman di
Indonesia?
1.5. Bagaimana Nurcholish Madjid menjelaskan rasionalisasi sebagai
keharusan dalam Islam?
1.6. Apa perbedaan rasionalitas dan modernitas dalam wacana keislaman
Nurcholish Madjid?
1.7. Bagaimana mengharmonisasikan Islam dengan ilmu pengetahuan
modern?
2. Batasan Masalah
Masyarakat luas sudah banyak yang mengetahui bahwa sosok yang
akrab disebut Cak Nur ini adalah sosok pendobrak dan pencetus banyak ide-ide
baru. Keluasan pemikiranya banyak menginspirasi para intelektual sesudahnya. Ia
adalah sosok yang berani mengubah haluan masyarakat Muslim di Indonesia
dengan gagasan-gagasanya yang brilian. Dengan tawarannya rasionalisasi Islam,
ia berusaha mengangkat masyarakat Muslim Indonesia, khususnya para
intelektualnya untuk bangkit menuju jalan yang benar sebagaimana intelektual,
yaitu melahirkan ide-ide baru, menggantikan ide-ide lama.
Dari keluasan pemikiranya itu, penulis mencoba membatasi masalah
yang akan dibahas di sini. Dari identifikasi masalah di atas, penulis mengambil
7
poin ke satu yaitu: Apa yang dimaksud dengan Islam rasional menurut Nurcholish
Madjid?
3. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, agar penelitian skripsi ini menjadi
cukup jelas, penulis mencoba merumuskan dengan beberapa pertanyaan-
pertanyaan yang mendasari pemikiran Nurcholish Madjid (Cak Nur) terkait
rasionalitasnya dalam pembaruan pemikiran Islam di Indonesia. Mengingat sepak
terjangnya di Indonesia cukup mengesankan dan pengaruhnya pun cukup luas.
Pertanyaan-pertanyaan ini juga yang nantinya mengarahkan tujuan penelitian
penulis. Pertanyaan-pertanyaan tersebut seperti:
1. Apa yang dimaksud pemikiran rasional dalam Islam menurut Nucholish
Madjid?
2. Bagaimana Nurcholish Madjid merumuskan pemikiran rasional dalam
Islam tersebut?
C. Tujuan Penelitian
Secara umum, tujuan penelitian dari penulisan skripsi ini adalah untuk
mengetahui secara mendalam tentang dinamika keberagamaan masyarakat
Muslim di Indonesia sejak sekitar tahun 1970-an, di mana pada tahun itu
Nurcholish mengalami populeritas yang tinggi sebagai cendikiawan Muslim.
Sedangkan secara khusus penelitian ini ditujukan untuk mengungkap
makna rasionalitas yang selama ini dianggap tidak layak untuk diterapkan dalam
pemikiran Islam. Tentu saja semua itu dalam satu perspektif, yaitu menurut
Nurcholish Madjid, di mana dialah yang mempopulerkan istilah itu di Indonesia.
8
D. Manfaat Penelitian
Terkait tujuan penelitian di atas, penulis mengira penelitian ini
mempunyai dua manfaat, yaitu bersifat akademis dan praktis:
1. Manfaat akademis
A. Mengetahui lebih jelas makna dari rasionalitas
B. Memahami secara lugas pemikiran-pemikiran Nurcholish Madjid
terkait rasionalitas dalam Islam
C. Paham sejarah, khususnya sejarah dinamika Islam di Indonesia
2. Manfaat praktis
A. Memberikan kontribusi pemahaman rasionalitas Islam persepektif
Nurcholish Madjid yang nantinya dapat dikembangkan dan dijadikan
acuan untuk penelitian lebih lanjut.
B. Secara umum diharapkan dapat bermanfaat bagi khazanah ilmu
pengetahuan, serta terhadap konsep-konsep aktual terutama mengenai
masalah-masalah yang menyangkut pemikiran rasional dalam Islam.
E. Tinjauan Pustaka
Ada beberapa orang yang menulis tentang Islam Rasional, diantaranya
adalah Harun Nasution dalam bukunya Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran
(1989). Sejauh penulis mengkaji buku tersebut, penulis berani menyimpulkan
bahwa, buku tersebut cukup padat dan jelas untuk menjelaskan masalah hubungan
Islam dan Rasional bahkan dalam salah satu sub-babnya, Harun mencantumkan
penjelasan Nurcholish mengenai sekularisasi dan sekularisme. Akan tetapi secara
9
spesifik buku tersebut tidak mengarah pada pemikiran Islam rasional versi
Nurcholish Madjid khususnya di Indonesia.
Selanjutnya ada skripsi yang di tulis oleh Jaenudin dari IAIN Syekh
Nurjati Cirebon dengan judul Pandangan Nurcholish Madjid Tentang Islam
Modern di Indonesia (2010). Judul Skripsi tersebut jika dilihat berbeda dengan
judul yang penulis ajukan, tetapi isinya mempunyai kemiripan, sebab dalam
pandangan Nurcholish, berpikir rasional berarti berpikir modern begitu pula
sebaliknya. Meskipun demikian, ada jurang pemisah yang membedakan skripsi
saya dengan yang ditulis Jaenudin. Jika Jaenudin berfokus pada Islam Modern
dengan artian modernisme Islam di Indonesia, saya secara spesifik membahas
pemikiran Nurcholish Madjid mengenai epistemologi rasional –bukan
modernisme secara luas– dalam Islam.
Selanjutnya, dalam lingkup civitas akademik Universitas Islam Negri
Syarif Hidayatullah, penulis tidak menemukan studi pemikiran yang mirip dengan
judul di atas, baik yang ditulis dalam skripsi, tesis, maupun disertasi.
F. Metedologi Penelitian
1. Sumber Data
Untuk penelitian ini, penulis menggunakan baik data-data primer
maupun sekunder. Untuk data primer, penulis mengacu pada buku-buku asli yang
di tulis Nurcholish Madjid, seperti Islam, Doktrin, Dan Peradaban, dan Islam,
Kemodernan, dan Keindonesiaan. Sedangkan untuk data-data sekunder, penulis
mengacu pada buku-buku yang terdapat kaitanya dengan pemikiran rasional
dalam Islam dalam perspektif Nurcholish Madjid seperti buku-buku yang ditulis
10
Budhy Munawar-Rachman dengan judul Ensiklopedia Nurcholish Madjid:
Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban dan Reorientasi Pembaruan Islam:
Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme Paradigma Baru Islam Indonesia.
Selain itu, ada juga buku yang ditulis oleh Ahmad Gaus AF dengan judul
Api Islam Nurcholish Madjid. Buku tersebut hanya untuk lebih mempermudah
penulis dalam menganalisis pemikiran Nurcholish dengan tema seperti penulis
angkat.
2. Tekhnik Pengumpulan Data
Untuk tekhnik pengumpulan data, penulis tidak terlalu sulit untuk
mengumpulkanya, sebab, akses untuk data-data primer banyak kita temukan di
perpustakaan seperti karya-karya Nurcholish Madid dengan judul Islam, Doktrin,
dan Peradaban; Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan; Pintu-Pintu Menuju
Tuhan; Indonesia Kita; Cita-cita Politik Islam, dan lain-lain. Begitu juga untuk
data-data sekunder, penulis tidak mengalami kesulitan untuk menghimpunya.
Data-data yang penulis kumpulkan tidak hanya bersumber dari buku-buku,
melainkan juga dari artikel, jurnal dan majalah yang relevan dengan judul di atas.
3. Tekhnik Analisis Data
Dari data-data yang penulis kumpulkan, baik primer maupun sekunder,
penulis hanya mengambil bab-bab tertentu yang mempunyai kaitan dengan
rasionalitas dalam Islam versi Nurcholish Madjid. Selanjutnya, penulis
menganalisis kembali apa yang sebenarnya dimaksud rasionalitas Islam menurut
pandanganya. Data yang terpenting bagi penulis adalah artikel yang di tulis oleh
11
Nurcholish Madjid dengan judul Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam Dan
Penyegaran Kembali Pemahaman Keagamaan.
Sudah barang tentu Nurcholish menulis tentang Islam dan rasionalitas
tidak hanya dalam artikel di atas, melainkan di hampir semua buku yang
ditulisnya, Sebab, pemikiran rasional baginya adalah kunci untuk membuka
gerbang Islam yang tertutup oleh fundamentalisme-konservatif. Oleh karena itu
penulis akan selalu mengecek dalam buku-bukunya yang tersedia seperti Islam,
Kemodernan, dan Keindonesiaan; Islam, Doktrin, dan Peradaban; Pintu-pintu
Menuju Tuhan; Khazanah Intelektual Islam; Tradisi Islam; dan lain-lain.
Pengecekan tersebut dalam rangka mencari substansi dari Islam dan rasionalitas
menurut Nurcholish Madjid.
4. Tekhnik Penulisan Data
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan tekhnik library
research (studi kepustakaan). Teknik ini berupaya mengumpulkan data-data
terkait permasalahan yang dibahas di dalam skripsi ini melalui berbagai literatur,
baik primer maupun sekunder.
Metode yang digunakan adalah metode deskriptif analitis. Deskriptif
digunakan untuk mampu memahami dan memberikan pemahaman yang jelas
mengenai permasalahan yang di usung dari skripsi ini. Sementara, analitis dipakai
agar penulis dapat menyusun skripsi ini dalam bentuk yang sistematis sehingga
menjalur pada inti permasalahan.
Panduan penulisan skripsi ini berdasarkan pada Pedoman Akademik
tahun 2011/2012 Program Strata 1 (S1) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang
12
diterbitkan oleh biro administrasi dan akademik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sedangkan mengenai transliterasi dalam penulisan skripsi ini mengacu pada
sistem transliterasi Jurnal Ilmu Ushuluddīn yang diterbitkan oleh HIPIUS
(Himpunan Peminat Ilmu-Ilmu Ushuluddin).
5. Sistematika Penulisan
Untuk dapat dipahami urutan dan pola berpikir dari tulisan ini, maka
skripsi disusun dalam lima bab. Setiap bab merefleksikan muatan isi yang satu
sama lain saling melengkapi. Untuk itu, disusun sistematika sedemikian rupa
sehingga dapat tergambar kemana arah dan tujuan dari tulisan ini.
Bab pertama, berisi pendahuluan yang merupakan garis besar dari
keseluruhan pola berpikir dan dituangkan dalam konteks yang jelas serta padat.
Atas dasar itu deskripsi skripsi diawali dengan latar belakang masalah yang
terangkum di dalamnya tentang apa yang menjadi alasan memilih judul, dan
bagaimana pokok permasalahannya. Dengan penggambaran secara sekilas sudah
dapat ditangkap substansi skripsi. Selanjutnya untuk lebih memperjelas maka
dikemukakan pula tujuan dan manfaat penulisan baik ditinjau secara teoritis
maupun praktis. Penjelasan ini akan mengungkap seberapa jauh signifikansi
tulisan ini. Kemudian agar tidak terjadi pengulangan dan penjiplakan maka
dibentangkan pula berbagai hasil penelitian terdahulu yang dituangkan dalam
tinjauan pustaka. Demikian pula metode penulisan diungkap apa adanya dengan
harapan dapat diketahui apa yang menjadi sumber data, tekhnik pengumpulan
data, analisis data dan tekhnik penulisan data. Pengembangannya kemudian
tampak dalam sistematika penulisan. Dengan demikian, dalam bab pertama ini
13
tampak penggambaran isi skripsi secara keseluruhan namun dalam satu kesatuan
yang ringkas dan padat guna menjadi pedoman untuk bab kedua, ketiga, bab
keempat, dan bab kelima.
Bab kedua membahas sketsa biografi Nurcholish Madjid. Mengingat
dalam sebuah penelitian baik dalam skripsi, tesis, maupun disertasi, apabila kita
mengambil tema yang menyoroti seorang tokoh, wajib bagi sang peneliti
mencantumkan biografi objek penelitianya, sebab kita bisa tahu akar pemikiranya
itu akibat kita menelusuri sejarah serta semangat zaman pada masa sang tokoh
tersebut hidup. Di dalam penelitian ini penulis mencantumkan biografi Nurcholish
beserta perjalanan pendidikanya, karir intelektual, dan kontribusinya bagi bangsa
Indonesia.
Dalam bab tiga penulis membahas tinjauan umum pemikiran rasional
dalam Islam. Dalam bab ini penulis mencoba menelusuri akar sejarah pemikiran
rasional dalam Islam. Pertama yang harus diungkap adalah pendefinisian arti dari
pemikiran rasional, dan selanjutnya bagaimana pemikiran tersebut bisa diterima
dalam tubuh Islam. Dan pada akhirnya dalam bab tiga ini, penulis berfokus pada
pergulatan pemikiran bangsa Indonesia khususnya seorang muslim di masa
Nurcholish hidup.
Dalam bab empat, penulis akan memaparkan tema inti dari penelitian
skripsi ini, yaitu pemikiran rasional Nurcholish Madjid. Tema tersebut memang
terdengar masih belum spesifik, oleh karena itu penulis mencoba mencari celah
bagaimana menemukan inti dari pemikiran rasional Nurcholish ini terutama ketika
berbicara soal cara seorang beragama dan berislam dengan benar. Di sinilah letak
14
tema besarnya yaitu tawhid, kausalitas, dan etika seorang muslim yang sangat
ditekankan oleh Nurcholish menggunakan epistemoligi yang rasional.
Bab kelima berisi kesimpulan dari semua pembahasan di dalam skripsi
ini disertai dengan saran-saran dari penulis.
15
BAB II
SKETSA BIOGRAFI NURCHOLISH MADJID
A. Riwayat Hidup dan Pendidikan
Nurcholish Madjid yang lebih akrab dipanggil dengan sebutan Cak Nur,1
sudah tidak asing lagi bagi bangsa Indonesia dewasa ini, terutama di kalangan
ulama dan cendikiawan muslim, baik di kelompok tradisional maupun
pembaharu. Beliau adalah ulama sekaligus cendikiawan yang berpengaruh besar
terhadap pembaruan pemikiran Islam dewasa ini, khususnya di Indonesia.
Pada awal kelahiranya nama pertama yang diberikan pasangan H.
Abdul Madjid dan Hj. Fathonah kepada putra sulungnya adalah Abdul Malik,
yang berarti “hamba Allah” (malik merupakan nama sebutan untuk Allah dalam
deretan ketiga Asmaul Husna, nama-nama Allah yang indah). Perubahan nama
menjadi Nurcholish Madjid terjadi pada usia 6 tahun karena Abdul Malik kecil
sering sakit-sakitan. Dalam tradisi Jawa, anak yang sering menderita sakit
dianggap keberatan nama, dan karena itu perlu ganti nama.
Sewaktu mulai diajari ngaji oleh ibunya, dan membaca surat al-Fatihah,
ia selalu meminta agar kata ‘maliki’ (yawmaiddin) dalam surat itu diloncati saja.
Pemberian nama Nurcholish sendiri tidak terlalu jelas asal –muasalnya, kecuali
bahwa nama itu dari kata Arab, nur berarti “cahaya” dan cholish berarti “murni”
1Kata cak (lengkapnya: cacak) berarti kakak, mas, atau kang; kata ini dipakai sebagai
sapaan akrab yang biasa dipergunakan di kalangan masyarakat Surabaya, Jawa Timur. Lihat,
Faisal Ismail, Membongksr Kerancuan Pemikiran Nurcholish Madjid: Seputar Isu Sekularisasi
dalam Islam, (Jakarta: Laswell Visitama, 2010), h. 17
16
atau “bersih”. Sementara itu nama belakangnya, Madjid, diambil dari nama
belakang sang ayah.2
Nurcholish Madjid dilahirkan di sebuah kampung kecil di Desa
Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939, bertepatan dengan tanggal 26
Muharram 1358 H.3 Berasal dari keluarga NU (Nahdlatul Ulama) tetapi berafiliasi
politik modernis, yaitu Masyumi (Majlis Syuro Muslimin Indonesia).4
Pendidikan dasar Nurcholish ditempuh di dua sekolah tingkat dasar,
yaitu di Madrasah al-Wathoniyah yang dipimpin ayahnya dan di SR Mojoanyar,
Jombang. Nurcholish Madjid melanjutkan ke sekolah tingkat pertama di kota
yang sama. Sehingga Nurcholish Madjid telah mengenal dua model pendidikan
sekaligus. Pertama, pendidikan dengan pola madrasah yang sarat dengan
penggunaan kitab-kitab kuning. Kedua, pola pendidikan umum yang memadai,
sekaligus berkenalan dengan model pendidikan modern. Setelah itu oleh Abdul
Madjid, Nurcholish dimasukkan ke pesantren Darul Ulum, yang lebih dikenal
dengan nama pesantren Rejoso, karena terletak di desa Rejoso, Kecamatan
Peterongan, Jombang.
Pada saat suasana politik menjelang pemilu 1955 sangat terasa di desa-
desa. Partai-partai kaum santri yang diwakili oleh NU dan Masyumi berusaha
menarik dukungan dari kantong-kantong Islam di Jombang. NU telah keluar dari
Masyumi dalam Muktamar Palembang (1952) dengan aroma konflik yang tidak
2Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, Jalan Hidup Seorang Visioner,
(Jakarta: Kompas, 2010), h. 1 3Idris Thaha, Demokrasi Religius: Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M. Amien
Rais, (Jakarta: Teraju, 2005), h. 68 4Budhy Munawar-Rachman, Ensiklopedi Nurcholish Madjid: Pemikiran Islam di
Kanvas Peradaban, jil. 1, (Bandung: Mizan, 2006), h. liv
17
bisa ditutup-tutupi. Oleh sebab itu, persaingan NU dan Masyumi di tingkat pusat
merembes ke desa-desa tempat ke dua partai ini membangun basis dukungan.
Ia tidak betah di pesantren yang afiliasi politiknya adalah NU ini,
sehingga ia pun pindah ke pesantren yang modernis, yaitu KMI (Kulliyatul
Mu`allimin Al-Islamiyyah), Pesantren Darus Salam di Gontor, Ponorogo. Di
tempat inilah ia ditempa berbagai keahlian dasar-dasar agama Islam, khususnya
bahasa Arab dan Inggris.5
Studi Cak Nur di Pesantren Modern Darussalam Gontor, memberikan
pengalaman yang sangat berpengaruh pada perkembangan intelektualnya. Cak
Nur masuk pesantren ini pada tahun 1955, Pesantren ini merupakan pesantren
yang cukup memberikan nuansa pemikiran reformis baginya. Ia sendiri pernah
mengatakan:
“Gontor memang sebuah pondok pesantren yang modern, malah sangat
modern untuk ukuran waktu itu. Yang membuatnya demikian adalah
berbagai kegiatannya, sistem, orientasi, dan metodologi pendidikan, serta
pengajarannya. Kemodernannya juga tampak pada materi yang
diajarkannya. Dalam soal bahasa, di pesantren ini sudah diajarkan bahasa
Inggris, bahasa Arab, termasuk bahasa Belanda sebelum akhirnya dilarang.
Para santri diwajibkan bercakap sehari-hari dalam bahasa Arab atau Inggris.
Untuk para santri baru, mereka diperbolehkan berbahasa Indonesia selama
setengah tahun mereka masuk pesantren. Tapi mereka sudah dilarang
berbicara dalam bahasa daerah masing-masing. Kemudian setelah setengah
tahun, mereka harus berbahasa Arab atau Inggris. Agar disiplin ini berjalan
dengan baik, di kalangan para santri ada orang-orang yang disebut jâsûs,
mata-mata. Tugas mereka adalah melaporkan siapa saja yang melanggar
disiplin berbahasa itu. Kalau sampai tiga kali melanggar, hukumannya
adalah kepala kita digundul”.6
5Budhy Munawar-Rachman, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, jil. 1, h. liv 6Budhy Munawar-Rachman, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, jil. 1, h. lv
18
Di Gontor tidak pernah ada isu pertentangan NU-Masyumi. Pilihan-
pilihan materi pengajaran pada kitab-kitab yang tidak monolitik merupakan salah
satu alasanya. Di sini, misalnya, diajarkan kitab karya filsuf dari Spanyol, Ibn
Rusyd, Bidᾱyah al-Mujtahid. Kitab fikih klasik ini berwawasan perbandingan
mazhab, sehingga mendorong para santri bersikap terbuka dan berjiwa bebas.7
Karena kecerdasannya di Gontor, pada tahun 1960, pimpinan Pesantren
Gontor, KH. Zarkasyi, bermaksud mengirim Nurcholish Madjid ke Universitas
Al-Azhar, Kairo, ketika dia telah menamatkan belajarnya. Tetapi karena di Mesir
saat itu sedang terjadi krisis Terusan Suez, keberangkatan Nurcholish Madjid
mengalami penundaan. Sambil menunggu keberangkatan ke Mesir itulah,
Nurcholish Madjid mengajar di Gontor selama satu tahun lebih. Namun, waktu
yang ditunggu-tunggu Nurcholish Madjid untuk berangkat ke Mesir ternyata tak
kunjung tiba. Belakangan terbetik kabar bahwa kala itu di Mesir sulit memperoleh
visa, sehingga tidak memungkinkan Nurcholish Madjid pergi ke Mesir.8
Nurcholish melanjutkan studinya di IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta,
di Fakultas Adab, Jurusan Bahasa Arab dan Sejarah Kebudayaan Islam pada tahun
1961, sampai tamat Sarjana Lengkap (Drs.), pada 1968. Dan kemudian
mendalami ilmu politik dan filsafat Islam di Universitas Chicago, 1978-1984.9
Perjalanan pendidikan Nurcholish Madjid di Amerika ini didanai oleh Ford
Foundation. Ketika itu Fazlur Rahman dan Leonard Binder berkunjung ke
Indonesia untuk pertama kalinya, bertujuan untuk mencari peserta program
seminar dan loka karya di The University of Chicago.
7 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, h. 18 8 Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholish Madjid, h. 19 9 Budhy Munawar-Rachman, Membaca Nurcholish Madjid, h. 4
19
Di Chicago, Nurcholish Madjid memperoleh gelar Doktor antara tahun
1978-1984, dengan disertasi yang berjudul Ibn Taymiyya on Kalam and Falsafah:
a Problem of Reason and Revelation (Ibnu Taymiyyah dalam Kalam dan Filsafat:
antara Akal dan Wahyu dalam Islam).10
Beliau kembali ke Indonesia dan tetap mengajar di Fakultas Adab
(Sastra Arab dan Kebudayaan Islam) di samping pada program Pasca Sarjana
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sampai menjadi guru besar. Di almamaternya
yang merupakan perguruan tinggi Islam terkenal ini beliau sempat menjabat
Dekan Fakultas Pasca Sarjana, di samping itu juga beliau mengajar di beberapa
perguruan tinggi lainya.11
Karir intelektualnya, sebagai pemikir Muslim, dimulai pada masa di
IAIN Jakarta, khususnya ketika menjadi Ketua Umum PB HMI (Himpunan
Mahasiswa Islam), selama dua kali periode, yang dianggapnya sebagai
“kecelakaan sejarah” pada 1966-1968 dan 1969- 1971.12
Pada tahun itu juga Cak Nur juga menjadi Wakil Sekretaris Umum dan
pendiri International Islamic Federation of Student Organisation (IIFSO:
Himpunan Organisasi Mahasiswa Islam se-Dunia). Kemudian ia menjadi
pemimpin umum majalah MIMBAR Jakarta (1973-1976). Bersama teman-
temannya mendirikan sekaligus menjadi direktur LSIK (Lembaga Studi Ilmu-ilmu
10Junaidi Idrus, Rekonstruksi Pemikiran Nurcholish Madjid, h. 32 11Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara, (Jakarta: Gramedia, 2009), h. 659 12Budhy Munawar-Rachman, Membaca Nurcholish Madjid: Islam dan Pluralisme, h. 4
20
Kemasyarakatan) 1972-1976 dan seterusnya LKIS (Lembaga Kebajikan Islam
Samanhudi) 1974-1976.13
Selama di IAIN Jakarta, Nurcholish Madjid juga menekuni dunia
jurnalistik. Dimulai ketika ia menerjemahkan artikel berbahasa Arab tentang fiqih
umat yang dikirimnya ke majalah Gema Islam, majalah Islam pimpinan Buya
Hamka. Dengan bakat ini Nurcholish Madjid mendapat perhatian khusus dari
Buya Hamka. Sebagai penghargaan atas kepandaian Nurcholish Madjid dalam
dunia jurnalistik, Buya Hamka memberi tempat tinggal di bilik masjid al-Azhar
yang dikelolanya sendiri yang bertempat di Kebayoran Baru.14
Kegiatan ilmiahnya yang menonjol diantaranya, memberikan ceramah
ilmiah di berbagai tempat, mengikuti seminar, bahkan sering sebagai pemrasaran
atau narasumber, baik di dalam maupun di luar negeri, mengadakan penelitian di
berbagai daerah, menjadi dosen tamu di Institute of Islamic Studies, McGill
University, Motreal Kanada (1991), pernah pula aktif sebagai staf peneliti di LIPI
(Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia).
Pada hari Senin, 25 Agustus 2005, di rumah sakit Pondok Indah Jakarta,
Allah telah memanggilnya dalam usia 66 tahun. Bangsa Indonesia jelas telah
kehilangan salah seorang tokoh multidimensi yang cerdas dan bijak. Tanpa
bermaksud mencampuri rahasia Allah, Nurcholish dikenal oleh masyarakat luas
sebagai tokoh yang berhati bersih "seputih kapas dan selembut awan". Ucapannya
13Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan; Membangun Tradisi dan Visi Baru
Islam Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 2003), h. 224 14Nur Kholik Ridwan, Pluralisme Borjuis: Kritik atas Nalar Pluralisme Cak Nur,
(Yogyakarta: Glang Pres, 2002), h. 56-57
21
pun lembut, santun serta jarang melukai orang lain, kendati orang itu sedang
dikritiknya.
Namun, di balik kelembutan hatinya, salah satu organ tubuhnya justru
sering mengalami gangguan. Dalam beberapa tahun terakhir organ hatinya mulai
mengeras, dan sejumlah dokter menyebutnya terserang hepatisis. Ketika organ
vitalnya itu kian mengeras, Nurcholish tak bisa menolak ketika rekan-rekannya
dipelopori oleh Arifin Panigoro membawanya berobat ke Cina.
Setiba di tanah air, kesehatan Nurcholish masih belum membaik.
Terpaksa ia menjalani perawatan intensif di National University Hospital
Singapura, sejak 19 Agustus 2004. Sempat membaik hingga beberapa bulan, ia
kembali harus menjalani perawatan di RS Pondok Indah Jakarta Selatan, sejak
awal Februari 2005 lalu. Itu karena organ hati yang baru dicangkokkan ke
tubuhnya mengalami gangguan yang sama mengeras.
Sejak awal bulan Agustus 2005 yang lalu, dia harus balik lagi ke rumah
sakit yang sama, ketika penyakitnya makin parah, dan Allah pun tak ingin
menambah penderitaan Nurcholish dengan cara memanggilnya agar segera bisa
menghadap di sisi-Nya.15
B. Karya-karya
Nurcholish Madjid tergolong cendekiawan Muslim yang banyak
menghasilkan karya, baik berupa buku, makalah, dan artikel. Karya-karya
Nurcholish Madjid itu tersebar dalam berbagai media cetak seperti majalah dan
15Mohammad Masrur, "Mengenang Cak Nur: Dari Pembaharu Sampai Guru Bangsa"
dalam Jurnal Wahana Akademika, Volume 8, Nomor 2 Agustus 2006, Semarang: Koordinator
Perguruan Tinggi Agama Islam Wilayah X Jawa Tengah, h. 337
22
koran, maupun dalam bentuk buku. Dengan diterbitkannya karya-karyanya itu,
maka pemikiran-pemikirannya dapat dibaca, dikaji, dan dikritisi secara utuh oleh
umat Islam. Untuk memudahkan pemikiran-pemikirannya sampai ke masyarakat
secara luas, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, didirikanlah Yayasan
Paramadina sebagai sarana untuk mensosialisasikan pemikiran-pemikiran
Nurcholish Madjid, baik melalui perkuliahan, seminar-seminar, maupun
penerbitan buku. Di antara buku-bukunya yang cukup terkenal adalah:
1. Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan
Buku yang memuat tulisan-tulisan mengenai sekularisasi, slogan “Islam
Yes, Partai Islam No”, dan penolakan terhadap negara Islam ini diterbitkan
pertama kali pada tahun 1987. Dalam bukunya ini Nurcholish Madjid berusaha
memadukan antara Islam dengan kemodernan dan keindonesiaan. Buku ini
termasuk salah satu karya Nurcholish Madjid yang laris. Ini terbukti dengan
adanya beberapa kali cetak ulang. Dari cetakan pertamanya tahun 1987 sampai
tahun 1997, buku ini telah dicetak ulang sebanyak 9 kali. Hal ini menunjukkan
bahwa tulisan-tulisan Nurcholish Madjid ini mendapat perhatian luas dari umat
Islam, baik yang pro maupun yang kontra.
2. Islam, Doktrin, dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah
Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan
Diterbitkan tahun 1992 merupakan buku “terlengkap” Nurcholish
Madjid. Buku ini merupakan kumpulan dari sebagian makalah Klub Kajian
Agama (KKA) yang diselenggarakan olehYayasan Wakaf Paramadina, Jakarta.
Oleh karena itu, tulisan dalam buku ini memuat pembahasan-pembahasan terkait
23
dengan suatu masalah tertentu, seperti misalnya pembahasan mengenai Islam dan
budaya lokal. Pendekatan topikal ini menurut Nurcholish Madjid diperlukan untuk
mempertajam pemusatan pembahasan, sehingga dapat diperoleh hasil yang
maksimal. Dengan tulisan-tulisan dalam buku ini diharapkan pembaca mampu
memahami Islam secara lebih komprehensif.
3. Khazanah Intelektual Islam
Buku ini pertama kali terbit pada tahun 1984. Karya ini oleh Nurcholish
Madjid dimaksudkan untuk memperkenalkan salah satu segi kejayaan Islam di
bidang pemikiran, khususnya yang berkaitan dengan filsafat dan teologi.
Nurcholish Madjid memperkenalkan tokoh-tokoh muslim klasik, seperti al-Kindi,
al-Asy‘ari, al-Farabi, al-Afghani, Ibn Sīnā, al-Ghāzalī, Ibn Rusyd, Ibn Taymiyyah,
Ibn Khaldun, dan Muhammad Abduh. Buku ini sekedar pengantar pemikiran
kepada kajian yang lebih luas dan mendalam tentang khazanah kekayaan
pemikiran Islam.
4. Pintu-Pintu Menuju Tuhan
Buku ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1994. karya ini merupakan
kesimpulan tulisan Cak Nur pada kolom “pelita hati” yang dimuat di harian Pelita
dan Tempo. Cak Nur menjelaskan dalam buku ini bahwa Islam menyediakan
banyak pintu menuju Tuhan bagi umat manusia. Cak Nur berusaha menjelaskan
bahwa semua aspek kehidupan manusia seperti Tauhid, Tafsir, Etika Moral,
Spritual kemanusiaan, serta Sosial Politik adalah pintu menuju Tuhan. Dalam
sebuah isi buku menjelaskan salah satu contoh tentang Islam agama manusia
sepanjang masa, menceritakan bahwa Islam artinya pasrah sepenuhnya (kepada
24
Allah), sikap yang menjadi inti ajaran agama yang benar di sisi Allah oleh karena
itu semua agama yang benar disebut Islam.
5. Kaki Langit Peradaban Islam
Buku ini merupakan hasil suntingan dari makalah Nurcholish Madjid
yang ditulis dalam rentang waktu sekitar sepuluh tahun (1986-1996). Buku ini
berisi tentang, pertama mengetengahkan wawasan peradaban Islam, Kedua
menjelaskan sumbangan pemikiran-pemikiran para tokoh muslim antara lain :
Asy-Syafii dalam bidang hukum Islam, al-Ghāzalī dalam bidang tasawuf, Ibnu
Rusyd dalam bidang filsafat, Ibnu Khaldun dalam bidang filsafat sejarah, dan
sosial. Tentunya isi buku ini mengulas makna sejarah peradaban Islam, misalnya
ketika Napoleon Bonaparte menyerbu dan mengalahkan Mesir, umat Islam
seluruh dunia mengalami shock luar biasa, karena selama ini mereka berpikir
bahwa tidak suatu golongan manusia pun yang lebih unggul dan sanggup
mengalahkan serangan dari luar. Padahal selama berabad-abad orang-orang
muslim betul-betul memahami bahwa Islam adalah unggul dan tak terungguli oleh
orang lain.
6. Masyarakat Religius
Buku ini mengangkat persoalan yang sangat populer dalam kehidupan
sehari-hari seperti : masalah disiplin, pernikahan, dan keluarga, iman hari
kemudian, muzijat dan karomah. Cak Nur menjelaskan semuanya dengan bahasa
yang sederhana dan menarik, akan tetapi bukan berarti substansi permasalahan di
kesampingkan. Buku ini termasuk karyanya yang banyak diminati secara luas
25
oleh masyarakat isi dari pada buku ini menceritakan kehidupan keagamaan atau
religiutas dan sikap-sikap hidup.
7. Atas Nama Pengalaman Beragama dan Berbangsa di Masa Transisi
Buku ini juga merupakan kumpulan kotbah di Paramadina, namun buku
ini berbeda dari buku sebelumnya, buku ini lebih variatif tidak saja masalah
keislaman, seperti contohnya, beriman kepada Allah tapi syirik sehingga di
jelaskan oleh Cak Nur bagaimana pentingnya manusia selalu mengoreksi
pemahaman tentang ketuhanan dengan cara memahami dengan benar konsep
tauhid Islam. Akan tetapi juga masalah politik, kekuasaan dan kenegaraan serta
sedikit menyinggung masalah ekonomi.
C. Kontribusi Pemikiran Nurcholish Madjid di Indonesia
Nurcholish Madjid merupakan salah satu intelektual muslim Indonesia
yang memiliki beberapa corak pemikiran yang bersifat realistis. Menurut Anis
Saidi (peneliti LIPI, Jakarta) ada beberapa hal yang relatif khas dan konsisten dari
pemikiran Nurcholish Madjid, yaitu, pertama, upaya yang kuat untuk melakukan
desakralisasi atas wilayah-wilayah yang dianggap profan. Inti dari pemikiran ini
untuk menghadang instrumentalisasi agama dan politik. Jargon “Islam yes, partai
politik No!” sama sekali tidak memiliki konotasi atas perlunya pemisahan agama
dari negara. Agama tetap ingin difungsikan sebagai pengawal (moral) dalam
penyelenggaraan negara, tetapi bukan dilembagakan dalam partai politik.
Kedua, yang khas dari pemikiran Nurcholish Madjid adalah kuatnya
semangat keberagamaan yang mengedepankan substansi dari pada ritualitas yang
lebih berorientasi pada perilaku religius dari pada perilaku syari’at, konotasi ini
26
sama sekali tidak mengandung pengertian untuk mengabaikan syari’at. Tetapi
syari’at hanya dipandang sebagai instrumen untuk mencapai substansi. Ketiga
pemikiran Nurcholish adalah fungsi agama sebagai pembebasan (Rahmatan lil
‘alamin) agama bukan sebagai penyekat idealisme yang menjadi sumbu
perpecahan atau eksklusivitas sebuah keyakinan.16
Banyak sekali ide yang dilontarkan Nurcholish Madjid, khususnya
setelah pulang dari Amerika Serikat. Ia mengatakan bahwa kalau kita pemimpin
atau menjadi seorang pemimpin kita harus seperti lokomotif bagian dari kereta
api, yang tidak ditarik oleh gerbong-gerbongnya. Lokomotif lah yang harus
menarik gerbong-gerbongya, pemimpin harus menarik umat ke arah yang lebih
baik.17 Adapun tema pokok dari pemikiran Nurcholish Madjid pada umumnya
dilontarkan pada masalah-masalah keterbukaan, egalitarian, kebebasan, aktifisme
positif, keniscayaan untuk membumikan ajaran Islam, dan keharusan untuk
menyesuaikan aturan-aturan hidup dengan perubahan-perubahan sosial tanpa
mengkhianati atau justru untuk menegaskan kembali pesan-pesan Islam.
Kiranya tidak berlebihan jika pernyataan di atas dikaitkan dengan apa
yang pernah dikatakan Dawam Raharjo, yang menyebutkan bahwa orang-orang
yang berpendidikan Barat semacam Nurcholish Madjid, memperkenalkan
gagasan-gagasan modernisasi Fazlur Rahman. Segala bentuk perbincangan tokoh-
tokoh semacam Nurcholish Madjid menurut Dawam sangat membentuk citra
16Anas Saidi, “Tafsir Pemikiran Nurcholis Madjid”, (Media Indonesia, 23 Maret 2005),
h. 25 17Nurcholish Madjid, Islam, Kerakyatan, dan Keindonesian, (Bandung: Mizan, 1993),
h. 5
27
kecendekiawaan Muslim di samping mempengaruhi alam pikiran Islam
Indonesia.18
Dawam Raharjo menuturkan, tahun 1970-an Nurcholish Madjid
diusianya yang relatif muda telah mengguncangkan wacana pemikiran Islam di
tanah air, sebelumnya ia telah dikenal dengan Natsir Muda, yaitu prototipe
pemimpin Islam yang didambakan, memiliki simbol tradisi santri yang kuat,
pendidikan modern, sahih, fasih mengucapkan lafal Arab. Sarjana Muslim yang
dididik dalam ilmu-ilmu keislaman, tapi dengan bacaan buku-buku umum yang
cukup luas, termasuk kepustakaan asing Arab maupun Barat, dia berusaha untuk
memberi “jawaban muslim” terhadap modernisasi. Akan tetapi, karena pidatonya
tanggal 3 Januari 1970 yang berjudul “ Keharusan pembaharuan pemikiran Islam
dan masalah integrasi umat”, gelar Natsir mudanya dicopot terutama karena ia
mengajarkan “sekulerisasi” yang pemahaman kala itu termasuk salah satu bentuk
“Liberalisasi” atau pembebasan terhadap pandangan-pandangan yang keliru yang
telah mapan.19
Nurcholish Madjid menyadari benar bahwa masyarakat Indonesia sangat
pluralisik baik dari segi etnis, budaya, suku, adat istiadat maupun agama. Dari
segi agama, sejarah menunjukkan bahwa hampir semua agama, khususnya agama-
agama besar dapat berkembang dengan subur dan terwakili aspirasinya di
Indonesia. Itulah sebabnya masalah toleransi dan dialog antaragama menjadi
sangat penting, kalau bukan sebagai keharusan. Namun kenyataan ini menurut
Adian Husaini tidak selamanya menjadi inspirasi dalam penafsiran ajaran Islam
18Dawam Raharjo, Intelaktual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa, Risalah
Cendekiawan Muslim, (Bandung: Mizan, 1993), h. 25-26. 19Nurcholis Madjid, Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan, h. 19
28
secara liberal, khususnya teologi inklusifnya Nurcholish Madjid yang dinilainya
amburadul, absurd, dekonstruktif terhadap konsep-konsep Islam.20
Meskipun tidak setiap orang itu dianggap egois sampai batas yang zalim,
namun tirani vested intrest itu senantiasa menjadi penghalang bagi terjadinya
proses mobilitas sosial yang lancar, khususnya dalam dimensinya yang vertikal,
yaitu pergeseran dalam proses perubahan susunan kemasyarakatan dari bawah ke
atas akan senantiasa terhambat oleh kalangan-kalangan yang timbul dari mereka
yang memperoleh sublimasi begitu rupa sehingga pola sosial yang timbul
karenanya mendapatkan pengesahan dari masyarakat sendiri dan kemudian
diakuai sebagai sesuatu yang wajar.
Ketika kondisi ini dibiarkan tanpa pemecahan puncaknya adalah krisis
multidimensi. Sebab sekarang itu, yang menjadi halangan utama bagi para agama,
yang positif dalam perubahan sosial menuju demokrasi dan pluralisme adanya
prasangka-prasangka dan kecurigaan. Sebagian dari prasangka itu tidak berdiri
sendiri jelas adanya yang merupakan akibat dari proses-proses dan struktur-
struktur hasil bekerjanya. Perubahan sosial inilah yang menjadi stereotip tentang
golongan tertentu seperti Islam yang ekstrim kanan, Kristen-Katolik yang
konspiratif.21
Demikianlah sosok Nurcholish Madjid, seorang cendekiawan yang telah
banyak memberikan sumbangan pemikiran untuk kemajuan umat Islam
khususnya di Indonesaia.
20Adian Husaini, Nurcholish Madjid; Kontroversi Kematian dan Pemikirannya,
(Jakarta : Khoirul Bayan Press, 2005), h. 117. 21Nurcholish Madjid, Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya Dalam Pembangunan di
Indonesia, (Jakarta : Paramadina, 1997) h. 137
29
BAB III
TINJAUAN UMUM PEMIKIRAN RASIONAL DALAM ISLAM
A. Pengertian Pemikiran Rasional
Dalam pengertiannya, Pemikiran rasional adalah cara atau metode
berpikir yang berdasarkan akal (rasio). Dalam pendekatan filosofis, akal adalah
sebagai sumber utama pengetahuan, mendahulukan atau mengunggulkan dari
pengamatan inderawi.1 Seperti juga dikatakan Michael Proudfoot dan A. R. Lacey
dalam kamusnya The Routledge Dictionary of Philosophy bahwa, pemikiran
rasional adalah pemikiran yang bersumber dari akal dan menjadi sumber
pengetahuan atau pembenaran. Akal (reason) dapat dibandingkan dengan wahyu,
agama, atau dengan emosi dan perasaan seperti dalam etika, namun dalam filsafat
biasanya dikontraskan dengan indera atau empiris (termasuk introspeksi, tetapi
bukan intuisi).2
Dalam sejarah filsafat, orang yang pertama kali mencetuskan pemikiran
rasional adalah Plato3. Ia berpendapat bahwa, untuk mempelajari sesuatu,
seseorang harus menemukan kebenaran yang sebelumnya belum diketahui, tetapi,
jika ia belum mengetahui kebenaran tersebut, bagaimana dia bisa mengenalinya?
Plato menyatakan: bahwa seseorang tidak dapat mengatakan apakah suatu
pernyataan itu benar kalau dia sebelumnya sudah tahu bahwa itu benar.
1Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakart: Gramedia Pustaka Utama, 1996), h. 929 2Michael Proudfoot and A. R. Lacey, The Routledge Dictionary of Philosophy, (New
York: Routledge, 2010), h. 338 3Plato dilahirkan di Atena pada tahun 427 S.M. dan meninggal di sana pada tahun 347
S.M. dalam usia 80 tahun. Ia berasal dari keluarga aristokrasi yang turun-temurun memegang
peranan penting dalam politik Atena. Ia pun bercita-cita sejak mudanya untuk menjadi orang
pemerintahan. Tetapi perkembangan politik dimasanya tidak memberi kesempatan padanya untuk
mengikuti jalan hidup yang diinginkanya itu. Penjelasan lebih rincinya lihat Mohammad Hatta,
Alam Pikiran Yunani, (Jakarta: UI-Press, 1986), h. 87
30
Kesimpulanya adalah bahwa manusia tidak mempelajari apa pun; ia hanya
“teringat apa yang telah ia ketahui”. Semua prinsip-prinsip dasar dan bersifat
umum sebelumnya sudah ada dalam pikiran manusia. Pengalaman indra paling
banyak hanya dapat merangsang ingatan dan membawa kesadaran terhadap
pengetahuan yang selama itu sudah ada dalam pikiran.4
Dengan demikian, pada intinya, Plato hendak memproklamirkan
pemikiran atau cara berpikir rasional dan membenarkannya sebagai sumber
kesejatian pengetahuan yang abadi. Dari sini tentu saja ada satu aspek metode
pemikiran yang ia tolak, yaitu metode pemikiran yang bersumber dari
pengalaman.5
Tokoh kedua yang memfokuskan diri pada pemikiran rasional dari
zaman Yunani klasik adalah Aristoteles.6 Dari Aristoteles ini, pembahasan
mengenai rasio menjadi lebih kompleks, sebab ia “menguliti” apa yang masih
sangat umum dalam pemikiran Plato. Seperti masalah rasio, Aristoteles
mempersepsikannya menjadi lebih nyata, ketimbang Plato yang masih sangat
abstrak. Aristoteles menjadikan pemikiran rasional lebih bervariasi dan lebih
kreatif dengan mencetuskan metode logika dalam cara berfikir rasional.7
4Stanley M. Honer dan Thomas C. Hunt, Metode dalam Mencari Pengetahuan:
Rasionalisme, Empirisme, dan Metode Keilmuan dalam Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Dalam
Perspektif, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012), h. 131 5 Bertrand Rusell, Sejarah Filsafat Barat, dan Kaitanya Dengan Kondisi Sosio-politik
Dari Zaman Kuno Hingga Sekarang, terj: Sigit Jatmiko, Agung Prihantoro, Imam Muttaqien,
Imam Baihaqi, Muhammad Sodiq, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 720 6Aristoteles lahir di Stageira pada semenanjung Kalkidike di Trasia (Balkan) pada
tahun 384 S.M. dan meninggal di Kalkis pada tahun 322 S.M. ia mencapai umur 63 tahun.
Bapaknya yang bernama Machaon adalah seorang dokter istana pada raja Macedonia Amyntas II.
Dari kecil ia mendapatkan asuhan dari bapaknya sendiri. Tatkala bapaknya meninggal, ia pergi ke
Atena dan belajar pada Plato di Akedemia. Dua puluh tahun Aristoteles menjadi murid Plato dan
bergaul dengan dia…lebih lanjut lihat Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, h. 115 7 Bertrand Rusell, Sejarah Filsafat Barat, h. 715
31
Rasio bagi Aristoteles merupakan sesuatu yang paling penting bagi
manusia yang membedakanya dengan makhluk-makhluk lain. Ia sendiri pernah
mengatakan bahwa “manusia adalah hewan yang berfikir”. Oleh karena itu,
manusia sama saja dengan hewan-hewan lain apabila dalam kehidupanya ia tidak
menggunakan akal pikiranya. Dengan demikian dalam sumbangannya terhadap
khazanah pemikiran rasional, Aristoteles tidak kalah pentingya meskipun secara
spesifik ia tidak menghususkan pemikiranya pada hal tersebut. 8
Seiring dengan perkembangan zaman, cara berfikir rasional tersebut
mengalami perkembangan yang pesat sehingga membentuk sebuah aliran yang di
kalangan penggiat filsafat dikenal juga dengan aliran rasionalisme. Di zaman
modern pemikiran rasional dibangkitkan kembali –setelah sekian lama dilarang
oleh para pastur greja– oleh Renѐ Descartes.9 Descartes berusaha menemukan
suatu kebenaran yang tidak dapat diragukan yang darinya dengan memakai
metode deduktif dapat disimpulkan semua pengetahuan kita.
Dengan memberikan tekanan pada metode deduktif ini, seorang
penganut rasionalisme tentu mengakui bahwa kebenaran-kebenaran yang
dikandung oleh kesimpulan-kesimpulan yang diperolehnya sama banyaknya
8 Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Dalam Perspektif, h. 120 9Renѐ Descartes (nama Latinya: Renatus Cartesius, 1596-1650) dijuluki bapak filsafat
modern. Ia adalah seorang ahli matematika yang berkeinginan besar untuk memperoleh
pengetahuan yang ia harapkan “bisa kutemukan dalam diriku sendiri atau dalam buku besar
dunia”. Untuk itu, ia melakukan banyak perjalanan ke luar negri. Ia menjalani pendidikan militer
di Belanda (1618) dan, sebagai tentara, pernah tinggal di Neubau (dekat kota Ulm, Jerman),
tempat ia menemukan keyakinan filosofis cogito, ergo sum (Aku berpikir, maka aku ada) dalam
satu “pengalaman menara” (1619). Sebagai rasa syukurnya atas pengalaman itu, ia pergi ke
Loreto, tempat peziarahan termasyhur di Italia, di mana –menurut hikayat lama– terdapat rumah
keluarga kudus (Yesus, Maria, Yosef) yang dibawa ke sana pada abad ke-13. Ia kemudian tinggal
di Paris (1625-1628) dan mulai mengabdikan diri sepenuhnya untuk ilmu pengetahuan. Kemudian,
ia tinggal lagi di Belanda (1628) dan di sana mendapatkan seorang putri dari kekasihnya, seorang
pembantu rumah tangga (1635). Sayang, putrinya meninggal saat berusia lima tahun. Pada tahun
1649 ia pergi ke Swedia atas undangan Ratu Cristina. Namun, ia terkena radang paru-paru. Pada
tanggal 11 Februari 1650 Descartes meninggal di Stockholm. Lihat Simon Petrus L. Tjahjadi,
Petualangan Intelektual (Yogyakarta: Kanisius, 2004), h. 206
32
dengan kebenaran-kebenaran yang dikandung oleh premis-premis yang
mengakibatkan kesimpulan-kesimpulan tersebut. Karena itu jika kita
menginginkan agar kesimpulan-kesimpulan itu berupa pengetahuan, maka premis-
premis haruslah benar secara mutlak. Demikianlah seorang pemikir rasionalisme
mempunyai suatu cara untuk memperoleh kebenaran-kebenaran yang harus
dikenalnya, bahkan sebelum adanya pengalaman. Bagi Descartes, kebenaran-
kebenaran apriori ini dikenal oleh sifatnya yang terang dan tegas.10
Bagi Descartes, rasio merupakan sarana yang tertinggi untuk
mengetahui sesuatu. Pengetahuan merupakan jalan, bukti eksistensi manusia, dan
bahkan menjadi ukuran kebernilaian manusia.11
Rasionalitas Descartes sama halnya rasionalitasnya Plato, menyatakan
bahwa akal ada dalam manusia, pemikiran merupakan elemen terpenting dalam
sifat alami manusia, pemikiran merupakan alat satu-satunya atas kepastian
pengetahuan, dan akal merupakan jalan untuk menentukan apa yang secara moral
benar dan baik. Descartes juga menolak tradisi diskusi dan kerja sama yang
merupakan tradisi Socrates. Baginya, kesatuan seluruh ilmu harus digarap dan
dikonsepsikan oleh satu orang dengan satu metode. Kalau ilmu dibangun oleh
banyak orang, tentu akan kacau, seperti gedung yang digarap oleh beberapa
arsitek. Ini tidak berarti bahwa seluruh pandangan Descartes itu serba baru, akan
tetapi koherensi yang tepat dari seluruh ilmu harus datang dari satu orang.12
10Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, terj, Soejono Soemargono (Yoyakarta: Tiara
Wacana, 1986), h.135 11Abdul Munir Mulkhan, Mencari Tuhan dan Tujuh Jalan Kebebasan: Sebuah Esai
Pemikiran Imam Al-Ghazali (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 44 12 Anton Bakker, Metode-metode Filsafat (Jakarta: Gh.ia Indonesia 1986), h. 72
33
Slogan Descartes yang populer adalah cogito ergo sum (Aku berpikir
maka aku ada), dimana slogan ini dijadikan pedoman bagi para filosof di zaman
modern. Hal itu dibuktikan bahwa dengan slogan tersebut membuat pikiran
menjadi lebih pasti daripada materi, dan pikiran saya (bagi saya sendiri) lebih
pasti daripada pikiran-pikiran orang lain.13
Oleh karena itu, seluruh pemikiran yang diturunkan dari Descartes
cendrung pada subjektivisme dan cenderung untuk menganggap materi sebagai
sesuatu yang bisa diketahui dengan cara menarik kesimpulan dari apa yang
diketahui pikiran. Di sini saya tidak akan membahas lebih jauh rasionalime
Descartes. Dengan perkecualian ini, pemikiran modern telah banyak sekali
menerima perumusan masalah-masalahnya dari Descartes, tetapi tidak menerima
solusi-solusinya.14
Dari pemaparan di atas terkait pemikiran rasional penulis
menyimpulkan bahwa suatu kebenaran apa pun dapat kita ketahui melalui kerja
rasio bahkan sampai pada kebenaran terakhir atau Tuhan. Selagi akal manusia itu
masih normal dan dapat berfungsi ia bisa mencapai kebenaran-kebenaran tersebut.
Dengan kata lain, manusia dapat mencapai tuhan melalui akalnya.
B. Pemikiran Rasional Dalam Islam
Tradisi pemikiran rasional dalam Islam dapat dipelajari dan dilihat
dalam berbagai cara. Adalah sebuah kekeliruan yang sangat fatal apabila tidak
memandang tradisi rasional dalam Islam dengan pandangan yang luas sehingga
mencakup hampir setiap hal dalam sejarah dan kebudayaan Islam. Karena, dengan
13 Anton Bakker, Metode-metode Filsafat, h. 74 14 Bertrand Rusell, Sejarah Filsafat Barat, h. 740
34
sudut pandang yang luas ini, kapan saja orang-orang muslim terlibat dalam
pemikiran dan ke arah mana pun jalan pemikiran yang mereka ambil, mereka
harus menggunakan akal, dan dengan melakukan hal itu mereka dianggap menjadi
bagian dari tradisi rasional, baik mereka mengiginkanya atau tidak.15
Dalam sejarah, tradisi pemikiran rasional di dunia Islam ini mencapai
puncaknya ketika terjadi interaksi secara intensif dengan pemikiran rasional
(filsafat) Yunani melalui gerakan penerjemahan karya-karya Yunani ke dalam
bahasa Arab. Kemajuan peradaban Islam dapat dicapai jika pemikiran umat Islam
juga maju, dan pemikiran maju tersebut bertitik tolak pada pemikiran teologinya.
Pandangan teologi yang dapat membawa kemajuan tersebut adalah pemikiran
teologi rasional. Sebaliknya, pemikiran teologi tradisional, yang pada umumnya
dianut oleh sebagian besar umat Islam dapat menjadi salah satu faktor yang
menghambat kemajuan umat Islam.16
Sementara itu, beberapa peneliti Barat, seperti Renan, menyatakan
bahwa Islam tidak memiliki pemikiran rasional dan filsafat. Apa yang sekarang
disebut filsafat Islam, menurutnya, bukanlah orisinil dari Islam itu sendiri,
melainkan hanya pengulangan dari filsafat Yunani, khususnya pemikiran
Aristoteles (384-322 SM).17
Terlepas dari pernyataan para sarjana Barat di atas terkait pemikiran
rasional dalam Islam, jika kita melihat ke belakang, Pada empat abad pertama
15Farhad Daftary, Tradisi-tradisi Intelektual Islam, terj: Fuad Jabali, Udjang Tholib,
(Jakarta: Erlangga, 2002), h. 63 16Abdul Halim (ed.), Teologi Islam Rasional Apresiasi terhadap Wacana dan Praksis
Harun Nasution, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), h. 14 17Ibrahim Madkur, Fi al-Falsafah al-Islamiyah: Manhajuha wa Tathbiquha, (Kairo:
Dar al-Ma’arif, tanpa tahun), h. 21
35
Islam, muncul dua isu dan proses politik utama yang, menurut Hugh Kennedy
(Guru Besar Sejarah Timur Tengah di Universitas St. Andrews), membentuk latar
belakang penting bagi perkembangan kebudayaan Islam. Isu pertama yang
dihadapi masyarakat Islam, dan yang memicu perdebatan politik panas di antara
mereka, adalah persoalan kepemimpinan umat. Tidak terdapat konsensus umat
tentang sifat dasar kepemimpinan setelah Nabi saw.18
Isu yang kedua adalah persoalan mengenai penyebaran Islam. Setelah
Rasulullah saw wafat, masyarakat Islam berkembang terus. Perkembangan besar
pertama terjadi pada masa al-Khulafa al-Rasyidin, terutama pada masa Khalifah
Umar ibn al-Khaththab. Di zaman kekhalifahannya, penyebaran Islam telah
mencapai Mesir di Afrika Utara, Palestina, Suriah, dan Irak di Asia Barat. Dengan
demikian, masyarakat yang dihadapi Khalifah Umar tidak lagi hanya bangsa Arab
saja (homogen), melainkan terdiri dari berbagai bangsa, bahasa, dan agama:
Islam, Nasrani, Yahudi, dan Majusi (heterogen).19
Seiring dengan semakin luasnya kekuasaan Islam, muncul masalah-
masalah baru di bidang agama dan sosial yang dihadapi Khalifah Umar dan
Khalifah-khalifah setelahnya, sebagai konsekuensi dari terjadinya interaksi dan
asimilasi antara bangsa Arab Islam dan non-Arab. Dalam mengatasi masalah-
masalah tersebut, Khalifah Umar dan para sahabat lainnya berpegang teguh pada
al-Quran dan Sunnah Nabi saw. Namun acap kali tidak dijumpai ajaran yang tegas
baik dari al-Quran dan Sunnah Nabi saw tentang penyelesaian masalah-masalah
baru tersebut. Oleh karena itu, para sahabat melakukan ijtihad dalam
18 Farhad Daftary, Tradisi-tradisi Intelektual Islam, h. 25 19 Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung: Mizan, 1996), h. 89
36
menyelesaikan masalah-masalah yang mereka hadapi. Dengan demikian, lahirlah
ajaran-ajaran Islam yang dikembangkan dari hasil ijtihad para sahabat tersebut.20
Pada empat abad pertama sejarah Islam, ilmu-ilmu yang datang dari
luar tradisi Islam, seperti: filsafat, sains, kedokteran, dan astronomi, belum banyak
ditekuni oleh sebagian besar intelektual muslim, kecuali oleh sekelompok kecil
saja. Ilmu-ilmu dari luar tradisi Islam tersebut dibawa ke dalam tradisi Islam
melalui gerakan penerjemahan dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab,
terutama pada abad ke-9 M, pada masa kekhalifahan Abbasiyah.21
Pada masa kekhalifahan Abbasiyah ini, ilmu pengetahuan dipandang
sebagai sesuatu yang sangat penting dan mulia. Para khalifah, terutama pada masa
kekhalifahan Abbasiyah I, dan para pembesar lainnya membuka kesempatan yang
seluas-luasnya untuk kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Para
khalifah sendiri pada umumnya adalah ulama yang mecintai ilmu, juga
menghormati dan memuliakan para ilmuwan, sehingga pada masa kekhalifahan
Abbasiyah ini tradisi pengembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam menjadi
berkembang pesat dan mencapai masa keemasannya.
Pada masa kekhalifahan Abbasiyah ini pula kebebasan berfikir diakui
sepenuhnya. Akal benar-benar dibebaskan dari belenggu taqlid. Kondisi ini
menyebabkan orang sangat leluasa mengeluarkan pendapat dalam segala bidang,
termasuk bidang aqidah, filsafat, ibadah, dan sebagainya.22
20Harun Nasution, Islam Rasional, h. 90 21Farhad Daftary, Tradisi-tradisi Intelektual Islam, h. 36-37 22Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam,
(Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 51
37
Pada masa kekhalifahan Abbasiyah ini pula perkembangan ilmu
pengetahuan yang mendasarkan pada pemikiran rasional mencapai puncak
kejayaannya. Yang termasuk ilmu ini antara lain: filsafat, kimia, fisika,
kedokteran, ilmu hitung, astronomi, dan lain-lain. Usaha penerjemahan karya-
karya Yunani, Persia, atau India, mencapai puncaknya pada masa Khalifah al-
Makmun dengan didirikannya Bait al-Hikmah sebagai pusat penerjemahan dan
pengembangan ilmu pengetahuan.23
Bertolak dari karya-karya yang diterjemahkan tadi, para intelektual
muslim mengembangkan penelitian dan pemikiran mereka, menguasai semua
bidang ilmu pengetahuan dan pemikiran filsafat, serta melakukan penelitian
secara empiris dengan mengadakan eksperimen dan pengamatan, bahkan
membantah, mengkritik dan membatalkan filsafat dan teori ilmu pengetahuan
Yunani.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tradisi pengembangan ilmu
pengetahuan di dunia Islam telah dimulai pada masa Rasulullah saw dan Khalifah
al-Rasyidin. Fokus perhatian pengembangan ilmu pengetahuan saat itu terpusat
pada upaya untuk memahami al-Quran dan Hadits sebagai sumber dasar utama
ajaran Islam. Selanjutnya, pada masa kekhalifahan Umawiyah dan puncaknya
pada masa kekhalifahan Abbasiyah, tradisi pengembangan ilmu pengetahuan di
dunia Islam sudah mulai luas, tidak hanya terbatas pada ilmu-ilmu keislaman,
melainkan juga meliputi filsafat dan sains yang berasal dari luar dunia Islam
melalui penerjemahan karya-karya Yunani.
23Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, h. 78-79
38
Di samping itu di bidang teologi, hanya aliran Mu’tazilah saja yang
memegang kendali terhadap rasionalitas. Aliran ini lahir kurang lebih pada
permualaan abad pertama hijriah di kota Basrah (Irak), pusat ilmu dan peradaban
Islam di kala itu, tempat peraduan aneka kebudayaan asing dan pertemuan
bermacam-macam agama.
Untuk mengatasi dan menghindari berlarut-larutnya perpecahan dan
perbedaan pendapat, Mu’tazillah mengemukakan konsepsi jalan tengah dalam
usaha mengkompromomikan pendapat-pendapat yang berbeda. Pendapatnya tidak
terlalu keras sebagaimana pendapat Khawarij dan juga tidak terlalu lemah
sebagaimana pendapat Murjiah, tetapi bainal manzilataini, di antara dua pendapat
yang berbeda. Terhadap serangan-serangan, baik dari luar maupun dari dalam,
Mu'tazilah muncul dengan pikiran-pikiran baru guna menyelamatkan Islam.
Usaha itu melahirkan ilmu baru dalam Islam yang dikenalkan
Mu'tazilah, yaitu “Ilmu Kalam”. Ilmu ini berisi perpaduan antara Filsafat dan
Logika dengan ajaran-ajaran agama Islam, sehingga merupakan gagasan-gagasan
baru, konsepsi-konsepsi filsafat mengenai teologi Islam.
C. Perbedaan Antara Rasio, Rasionalisme dan Rasionalitas
Inti dari rasio adalah argumen-argumen bagi pandangan atau pemikiran
yang telah dihasilkan. Oleh karena itu, rasio oleh para filosof terutama Plato dan
Aristoteles dipahami sebagai sebuah kapasitas yang memiliki kemampuan
39
membuat suatu putusan, sekaligus mengandung alasan-alasan atau dasar-dasar
argumentasi bagi putusan yang telah dibuat.24
Sedangkan Rasionalisme atau gerakan rasionalis adalah doktrin filsafat
yang menyatakan bahwa kebenaran haruslah ditentukan melalui pembuktian,
logika, daripada melalui iman, dogma, atau ajaran agama. Rasionalisme
mempunyai kesamaan dari segi ideologi dan tujuan
dengan humanisme dan atheisme, dalam hal bahwa mereka bertujuan untuk
menyediakan sebuah wahana bagi diskursus sosial dan filsafat di luar kepercayaan
keagamaan atau takhayul.25
Di luar diskusi keagamaan, rasionalisme dapat diterapkan secara lebih
umum, misalnya kepada masalah-masalah politik atau sosial. Dalam kasus-kasus
seperti ini, yang menjadi ciri-ciri penting dari perpektif para rasionalis adalah
penolakan terhadap perasaan (emosi), adat-istiadat atau kepercayaan yang sedang
populer. Pada pertengahan abad ke-20, ada tradisi kuat rasionalisme yang
terencana, yang dipengaruhi secara besar oleh para pemikir bebas dan kaum
intelektual.26
Rasionalitas merupakan konsep normatif yang mengacu pada
kesesuaian keyakinan seseorang dengan alasan seseorang untuk percaya, atau
tindakan seseorang dengan alasan seseorang untuk bertindak. Namun, istilah
"rasionalitas" cenderung digunakan secara berbeda dalam berbagai disiplin ilmu,
24 Ahmad Tafsir, FilsafatUmum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), h. 39 25 A. Susanto, Filsafat Ilmu, h. 30 26 Anton Bakker, Metode-metode Filsafat, h.53
40
termasuk diskusi khusus ekonomi, sosiologi, psikologi, biologi evolusioner dan
ilmu politik.
Sebuah keputusan yang rasional adalah salah satu yang tidak hanya
beralasan, tetapi juga optimal untuk mencapai tujuan atau memecahkan masalah.
Menentukan optimal untuk perilaku rasional membutuhkan formulasi diukur dari
masalah, dan membuat beberapa asumsi utama. Ketika tujuan atau masalah
melibatkan membuat keputusan, faktor rasionalitas dalam berapa banyak
informasi yang tersedia (misalnya lengkap atau pengetahuan yang tidak lengkap).
Secara kolektif, perumusan dan latar belakang asumsi yang model di mana
rasionalitas berlaku. Menggambarkan relativitas rasionalitas: jika seseorang
menerima model yang diuntungkan diri sendiri adalah optimal, maka rasionalitas
disamakan dengan perilaku yang mementingkan diri sendiri ke titik yang egois.27
Secara kolektif, perumusan dan latar belakang asumsi model
rasionalitas mana yang berlaku. Menggambarkan relativitas rasionalitas: jika
seseorang menerima model optimal yang menguntungkan diri mereka sendiri,
maka rasionalitas disamakan dengan perilaku egois untuk titik yang egois;
sedangkan jika seseorang menerima model menguntungkan optimal, maka
perilaku murni egois tidak rasional. Oleh karena itu sarana untuk menegaskan
rasionalitas tanpa juga menentukan asumsi dari model yang menggambarkan
bagaimana latar belakang masalah dibingkai dan dirumuskan.28
Selanjutnya Rasionalitas merupakan kepercayaan pada kemampuan
ilmu-ilmu alam untuk menangani berbagai permasalahan dalam masyarakat. Jadi
27 Wikipedia tentang Rasionalitas, https://id.wikipedia.org/wiki/Rasional 28 Harun Nasution, Islam Rasional, h. 55
41
rasionalitas dalam pengertian Weber adalah proses meluasnya penggunaan
rasional ke dalam segenap aspek kehidupan masyarakat.29 Menurut Weber, secara
garis besar ada dua jenis rasionalitas manusia, yaitu pertama rasionalitas tujuan
(Zwekrationalitaet) dan kedua rasionalitas nilai (Wetrationalitaet).30
Rasionalitas tujuan adalah rasionalitas yang menyebabkan seseorang
atau sekelompok orang dalam suatu tindakan berorientasi pada tujuan tindakan,
cara mencapainya dan akibat-akibatnya. Ciri khas rasionalitas ini adalah bersifat
formal, karena hanya mementingkan tujuan dan tidak mengindahkan
pertimbangan nilai.
Rasionalitas nilai adalah rasionalitas yang mempertimbangkan nilai-
nilai atau norma-norma yang membenarkan atau menyalahkan suatu penggunaan
cara tertentu untuk mencapai suatu tujuan. 31
Untuk kesimpulan lebih jelas lagi terkait tiga konsep diatas, lihat tabel di bawah
ini. Dalam tabel tersebut, penulis sengaja menambahkan pengertian kata rasional,
rasionalis, rasionalisasi berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan
Kamus Filsafat. Penambahan pengertian tersebut agar pemahaman terhadap ketiga
konsep di atas yang menjadi fokus di sini, menjadi jelas.
29 Listiyono Santoso, dkk, Epistemologi Kiri, (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2007), h.
107 30 Anton Bakker, Metode-metode Filsafat, h.59 31 Listiyono Santoso, dkk, Epistemologi Kiri, h. 110
42
Tabel Perbandingan
Bentuk Kata Etimologi Kamus Besar
Bahasa Indonesia
Pengertian Perspektif
Filsafat
Perspektif
Nurcholish
Madjid
Rasio Pemikiran menurut akal
sehat, akal budi, nalar,
menggunakan akal
dengan baik, berpikir
secara logis (masuk
akal).
Rasional Menurut pikiran dan
pertimbangan yang
logis, menurut pikiran
yang sehat, cocok
dengan akal.
Tindakan yang sudah
diyakini sebagai sesuatu
yang sudah tepat.
Tindakan yang diyakini
sudah tepat secara
subjektif.
Proses
perombakan pola
berpikir dan tata
kerja lama yang
tidak akliah
(rasional), dan
menggantinya
dengan pola
berpikir dan tata
kerja baru yang
akliah (rasional).
Rasionalis Orang yang menganut
paham rasionalisme
Orang yang menganut
paham rasionalisme.
Orang yang
menggunakan
akalnya dengan
sebaik-baiknya,
karena dengan
akal manusia
dapat menemukan
kebenaran sampai
kebenaran yang
terakhir.
Rasionalisasi Proses, perbuatan
menjadikan bersifat
rasional; perbuatan
merasionalkan (sesuatu
yang mungkin semula
tidak rasional)
Proses
menginterpretasikan
tindakan dan ucapan
untuk menilai sesuatu
itu rasional atau tidak.
Proses berpikir
dan bekerja
melalui akal yang
menjadi fitrah
atau sunnatullah
(Hukum Ilahi)
guna kebahagiaan
umat manusia.
Rasionalitas Kerasionalan Argumen tentang
sesuatu yang dapat
diterima oleh akal
sehingga dapat meraih
kebenaran
Penggunaan akal
di dalam Islam
untuk mencapai
kebenaran, namun
kebenaran-
kebenaran yang
diperoleh itu
bersifat insani
43
atau relatif.
Sedangkan
kebenaran yang
absolut dapat
dicapai melalui
wahyu
(revelation).
Rasionalisme Teori atau paham yang
menganggap bahwa
pikiran dan akal
merupakan satu-
satunya dasar untuk
memecahkan problem
(kebenaran) yang lepas
dari jangkauan indra;
paham yang lebih
mengutamakan
(kemampuan) akal dari
pada emosi atau batin.
Aliran filsafat yang
mengutamakan rasio
dalam meraih
kebenaran. Aliran ini
pertama kali
berkembang pada abad
16 di Prancis yang di
populerkan oleh Rene
Descartes.
Suatu paham
yang mengakui
kemutlakan rasio,
sebagaimana yang
dianut oleh kaum
Komunis.
44
BAB IV
NURCHOLISH MADJID DAN PEMIKIRAN RASIONALNYA
A. Munculnya Gerakan Islam Rasional di Indonesia
Kemunculan gerakan Islam Rasional Indonesia sejatinya tidak bisa
dilepaskan dari perkembangan yang terjadi di negara-negara lain secara
keseluruhan yang terjadi perubahan besar.1 Seperti perubahan yang terjadi di
ranah global, dinamika pada konteks regional dan nasional juga memiliki
pengaruh yang penting terkait dengan tumbuh dan perkembangan pemikiran Islam
rasional. Apa yang terjadi di beberapa negara Asia dan Asia Tenggara secara tidak
langsung memberi pengaruh gerakan perubahan.
Munculnya gerakan Islam rasional di Indonesia di mulai sejak
terbentuknya organisasi masyarakat yang dinamakan Muhammadiyah pada
tanggal 18 November 1912. Organisasi ini didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan
yang tujuannya untuk mendirikan suatu lembaga pendidikan yang bersifat
permanen. Dari sinilah awal mula gerakan pembaruan pemikiran Islam di
Indonesia. Ahmad Dahlan dilahirkan di Yogyakarta pada tahun 1869 dengan
nama Muhammad Darwis, anak dari seorang K.H. Abu Bakar bin Kitai Sulaiman,
khatib di masjid Sultan di kota itu. Ibunya adalah anak Haji Ibrahim yang seorang
penghulu.2
1Zuly Qodir, Islam Liberal, Varian-Varian Liberalisme Islam di Indonesia 1991-2002,
(Yogyakarta: LKIS, 2010), h. 70 2 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, terj: Deliar Noer
(Jakarta: LP3ES, 1982), h. 76
45
Setelah ia menyelesaikan pendidikan dasarnya dalam nahwu, fiqh dan
tafsir di Yogya dan sekitarnya, ia pergi ke Mekkah tahun 1890 di mana ia belajar
selama setahun. Salah seorang gurunya ialah Syaikh Ahmad Khatib. Sekitar tahun
1903 ia mengunjungi kembali tanah suci di mana ia menetap selama dua tahun
lamanya.
Ahmad Dahlan telah menghayati cita-cita pembaharuan sekembali dari
hajinya yang pertama. Tidak pasti, apakah ia sampai pada pemikiran pembaruan
itu secara perorangan ataukah ia dipengaruhi oleh orang-orang lain dalam hal ini.3
Akan tetapi menurut Ulil Abshar Abdalla4 dalam ceramahnya pada acara
Democracy Project, ia mengatakan bahwa, K.H Ahmad Dahlan sangat
terpengaruh oleh tokoh pembaharuan Islam yang ada di Mesir yaitu Muhammad
Abduh.5
Melalui majalah Almanar yang diterbitkan Abduh, dihampir sebagian
belahan dunia Islam mengalami perubahan besar termasuk di Indonesia. Ahmad
Dahlan sangat terpengaruh oleh gagasan Abduh tentang tajdidi movement
(gerakan pembaharuan) di mana kondisi sosial umat Islam pada saat itu diliputi
3 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, h. 85 4 Ulil Abshar Abdalla adalah seorang cendikiawan muslim Indonesia yang masih
hidup sampai sekarang. Selain itu ia juga yang mendirikan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
Jaringan Islam Liberal (JIL) yang bertempat di Utan Kayu, Jakarta Pusat. 5Muhamammad Abduh adalah seorang pemikir, teolog, mufti, dan pembaharu Islam
di Mesir pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Ia lahir di mesir pada 1849 M/ 226 H, pada
masa pemerintahan Ali Pasya dan dibesarkan di Mah.lat Nasr.Abduh mengawali pendidikanya
dengan berguru pada ayahnya di rumah. Pelajaran pertama yang ia perleh adalah membaca,
menulis, dan menghafal Al-Qur’an. Abduh mampu menghafal Al-Qur’an dalam jangka waktu
yang sangat singkat, yaitu hanya dua tahun. Setelah besar ia pergi ke Al-Azhar untuk menunut
ilmu lebih dalam. Di Al-Azhar, ia dan kawan-kawanya mempunyai kesempatan berdialog dengan
tokoh pembaharu Jamaluddin Al-Afghani.Dari sini lah awal mula corak pemikiran Abduh
dibangun. Ketika belajar degan Al-Afghani, Abduh mendalami pengetahuan tentang filsafat,
teologi, politik, dan jurnalistik. Salah satu bidang yang paling menarik perhatianya adalah teologi,
terutama teologi Mu’tazilah yang dikenal sangat rasional dan liberal dalam menanggapi sesuatu.
Lihat Samsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam,
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), h.116
46
oleh taqlid pada tradisi mazhab fiqh (tradisionalisme mazhabiyah) dan
menganggap bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Di sini lah peran Muhammad
Abduh sebagai pembaharu pemikiran Islam sangat penting, dan di kemudian hari
gagasan-gagasanya diikuti oleh pemikir-pemikir setelahnya termasuk Ahmad
Dahlan di Indonesia.6
Menurut Mujamil Qomar, pada paruh pertama abad ke-20, pemikiran
Abduh ini telah berpengaruh terhadap organisasi-organisasi Islam di Indonesia
yang bercorak modernis seperti Muhammadiyah dan Al-Irsyad serta bercorak
puritan seperti Persis, sehingga mengakibatkan gesekan-gesekan dengan ulama
tradisional yang berbasis pesantren yang kemudian membangun saluran wadah
organisasi sendiri, yaitu Nahdlatul Ulama (NU). Organisasi yang berbasis
pesantren ini sejak awal berdirinya menyatakan dalam Anggaran Dasarnya,
mengikuti Islam ala Ahl Al-Sunnah wa Al-Jama’ah. Karena itu, gesekan-gesekan
tersebut makin meruncing, tidak hanya melibatkan level tokoh-tokohnya, tetapi
tidak jarang juga menyeret para pengikutnya dalam bentuk perdebatan.7
Pada 1936, perdebatan semakin parah. Sebagai contoh perdebatan
antara ulama yang diwakili tokoh-tokoh Persis dan Al-Irsyad melawan ulama
tradisional dari Nahdlatul Ulama. Bahkan pada bagian lain hubungan antar
Muhammadiyah dan NU kadang-kadang ditandai oleh sikap saling curiga dan
pada masa tertentu tampaknya seperti ingin meniadakan. Masing-masing ingin
tampil sebagai kekuatan Islam yang paling sah dengan paradigm keislamanya
6Ulil Abshar Abdalla Tentang Muhammad Abduh, Democracy Project,
https://www.youtube.com/watch?v=96ZFsS0dWdU 7 Mujamil Qomar, Fajar baru Islam Indonesia?: Kajian Komprehensif Atas Arah
Sejarah Dan Dinamika Intelektual Islam Nusantara, (Bandung: Mizan, 2012), h. 42
47
sendiri.8 Gerakan Islam sendiri pada dekade 1930-an cenderung mengalami
dinamika semata-mata atas dasar politik aliran. Basis sosial Islam ketika itu nyaris
terpolarisasi pada dua tren aliran, yaitu aliran tradisionalis yang diwakili NU dan
aliran modernis yang diwakili Muhammadiyah.9
Hampir semua organisasi Islam tersebut mengklaim dirinya sebagai Ahl
Al-Sunnah, baik secara legal formal yang dinyatakan oleh institusinya,
keputusanya, maupun pengakuan tokohnya. Hal ini menunjukan bahwa secara
teologis, paham keagamaan mayoritas masyarakat Muslim Indonesia adalah Ahl
Al-Sunnah. Tetapi, mereka berbeda-beda dalam memaknai, menafsirkan, dan
menerjemahkan Ahl Al-Sunnah itu dalam konteks aplikasi kehidupan keagamaan
mereka sehari-hari. Tidak jarang terjadi pertentangan di antara mereka dalam
persoalan yang kecil-kecil atau furûiyah akibat khilᾱfiyah (perbedaan
pandangan).10
Dari perdebatan organisasi-organisasi masyarakat di atas dapat kita
simpulkan bahwa, dalam pandangan, ideologi, visi dan misi, mereka semua sama.
Menggenggam teguh aqidah Islam, menjunjung tinggi Islam, dan memajukan
Islam. Semua itu terwadahkan dalam satu aqidah, yaitu Ahl Al-Sunnah wa Al-
Jama’ah. Selanjutnya, yang jadi permasalahan adalah cara penafsiran-nya yang
berbeda-beda. Yang dapat kita soroti di sini adalah gaya penafsiran organisasi
8 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, h. 80 9 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, h. 86 10Mujamil Qomar, Fajar baru Islam Indonesia, h. 43
48
Muhammadiyah yang lebih bersifat modernis dan reformis mengikuti alur
pikirnya Muhammad Abduh yang lebih rasionalis.11
Terlepas dari perdebatan ormas-ormas di atas, pada 1970-an terdapat
gelombang baru yang sengaja diciptakan. Harun Nasutuion mengenalkan dan
mempopulerkan gagasan teologi rasional ala Mu’tazilah di Indonesia.
Semangatnya mengenalkan teologi ini menyebabkan Nasution sering disebut
sebagai neo-Mu’tazilah. Popularisasi pemikiran Mu’tazilah ini mendapatkan
penolakan yang sangat keras dari kalangan umat Islam pengikut Ahl Al-Sunnah,
terutama dari kalangan ulama tradisional atau ulama konservatif yang berbasis
pesantren. Tetapi, tidak demikian dengan dosen maupun mahasiswa UIN.12
Pemikiran-pemikiran Mu’tazilah yang disosialisasikan Nasution untuk
membangkitkan semangat umat Islam Indonesia dapat diterima oleh dosen
maupun mahasiswa UIN. Dosen-dosen yang berpengaruh, banyak sekali
mendapatkan pengaruh dari pemikiran Mu’tazilah Harun Nasution.13
Dalam mengamati kondisi sosial masyarakat Islam di zaman itu, Harun
menegaskan bahwa: “yang membuat Islam itu maju adalah para pemimpin yang
pemikir, yaitu para intelektual. Setiap negara atau masyarakat yang maju adalah
lebih disebabkan oleh kaum intelektual, bukan golongan awam. Golongan
intelektual di Indonesia belum terlihat dengan jelas yang menjadi juru dakwah,
maka mereka ini yang harus dimasukkan jiwa Islam, kalau mereka sudah tertanam
11 Djohan Effendi, Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi: Wacana Keagamaan di
Kalangan Generasi Muda NU Masa Kepemimpinan Gus Dur, (Jakarta: Kompas, 2010), h. 44 12 Djohan Effendi, Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi, h. 57 13Mujamil Qomar, Fajar baru Islam Indonesia, h. 44
49
jiwa Islam dengan benar dan baik, maka perkembangan Islam akan lebih baik dan
maju.14
Lahirnya gagasan Islam rasional sebenarnya juga dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yakni: keyakinan perlunya sebuah filsafat dialektik; keyakinan
adanya aspek historisisme dalam kehidupan sosial keagamaan; perlunya membuka
kembali pintu ijtihad; penggunaan argumen-argumen rasional untuk iman;
perlunya pembaharuan pendidikan, dan pentingnya menaruh simpati pada hak-hak
perempuan dalam Islam.15
B. Rasionalitas Islam Nurcholish Madjid
Setelah melalui pergulatan panjang selama satu dasawarsa, sejak tahun
1980-an, pemikiran dan aksi Islam Indonesia tampak sekali mengalami perubahan
yang signifikan. Perubahan signifikan ini sekurang-kurangnya ditandai dengan
tiga hal.
Pertama, format pemikiran Islam era 1990-an jauh berbeda dengan
corak pemikiran Islam era 1960-an sebagai gelombang awal pergulatan pemikiran
Islam Indonesia. Pemikiran Islam era 1990-an merupakan kelanjutan dari corak
pemikiran Islam tahun 1970 dan 1980-an dengan aktor-aktor baru yang muncul di
pentas nasional. Salah satu dari tokoh-tokoh tersebut adalah Nurcholish Madjid
yang akan kita bahas pada bab ini.16 Tahun 1990-an merupakan era di mana rezim
Soeharto telah mulai menampakan tanda-tanda penerimaanya terhadap Islam. Hal
ini dapat dibuktikan dengan berdirinya lembaga-lembaga yang merepresentasikan
14Nurhadi, “Harun Nasution: Islam Rasional Dalam Gagasan dan Pemikiran”, dalam
Jurnal Edukasi, Volume 01, No, 01, Juni 2013, h. 48 15Zuly Qodir, Islam Liberal, h. 95
16Zuly Qodir, Islam Liberal, h. 87
50
Islam seperti ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia), BMI (Bank
Muamalat Indonesia), dan UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria).
Kedua, perubahan sikap rezim kekuasaan terhadap Islam telah
mendukung perkembangan pemikiran Islam era 1990-an. Corak pemikiran Islam
pada era ini sejatinya mempunyai kecendrungan menjembatani ketegangan
konseptual antara gagasan-gagasan keislaman dengan ide-ide politik dan
kenegaraan yang muncul dari pengalaman dan trauma politik tahun 1970 dan
1980-an di bawah rezim Orde Baru.17
Ketiga, pada tahun 1990-an telah muncul generasi baru pemikiran Islam
Indonesia, dengan nuansa yang lebih terbuka dan memunculkan apa yang bisa
disebut mazhab baru pemikiran Islam Indonesia, yakni mazhab liberal Islam. Era
1990-an bisa disebut juga sebagai era “bulan madu” Islam dengan negara, sebab
pada tahun ini negara benar-benar menengok Islam sebagai sesuatu yang amat
penting.18
Perubahan-perubahan di atas, sejatinya bukan berubah secara alamiah
melainkan ada yang memotorinya, yaitu para tokoh intelektual Muslim, dimana
salah satunya adalah Nurcholish Madjid yang pemikiran-pemikiranya sangat
tajam sehingga tidak sedikit orang yang menganggapnya kontroversial. Salah satu
gagasanya yang brilian adalah tentang rasionalisasi Islam. Bagi Nurcholish, sifat
rasional itu bertujuan untuk memperoleh daya guna dalam berpikir dan bekerja
maksimal untuk kebahagiaan umat manusia. Tujuan itu bisa dicapai dengan terus
17 Zuly Qodir, Islam Liberal, h. 87 18Zuly Qodir, Islam Liberal, h. 88
51
menerus mengusahakan segala perbaikan, baik pribadi maupun masyarakat, yang
semuanya dilakukan dengan semangat the ultimate truth, yakni Allah sendiri.19
Selanjutnya Nurcholish sangat berhati-hati dan membedakan antara
rasionalisme dan rasionalitas Islam. Menurutnya, rasionalisme adalah suatu
paham yang mengakui kemutlakan rasio, sebagaimana yang dianut oleh kaum
komunis dan juga mayoritas masyarakat di Barat.20 Maka, seorang rasionalis
adalah seorang yang menggunakan akal pikirannya secara sebaik-baiknya,
ditambah dengan keyakinan bahwa akal pikirannya itu sanggup menemukan
kebenaran, sampai yang merupakan kebenaran terakhir sekalipun. Sedangkan
Islam hanya membenarkan rasionalitas, yaitu dibenarkannya menggunakan akal
pikiran oleh manusia dalam menemukan kebenaran-kebenaran. Akan tetapi,
kebenaran-kebenaran yang ditemukannya itu adalah kebenaran insani, dan karena
itu terkena sifat relatifnya manusia. Karenanya, menurut Islam sekalipun rasio
dapat menemukan kebenaran-kebenaran, yakni kebenaran-kebenaran yang relatif,
namun kebenaran yang mutlak hanya dapat diketahui oleh manusia melalui
sesuatu lain yang lebih tinggi daripada rasio, yaitu wahyu (revelation) yang
melahirkan agama-agama Tuhan, melalui nabi-nabi.21
19Zuly Qodir, Islam Liberal, h. 94 20Menurut Nurcholish Madjid, komunisme adalah bentuk yang paling tinggi dari
sekularisme–Sekularisme itu sendiri adalah suatu paham dari Barat yang menekankan
kemerdekaan individu di dunia tanpa ada intervensi dari Tuhan–sebeb, komunisme adalah
sekularisme yang paling murni dan konsekuen. Dalam komunismelah seseorang menjadi ateis
sempurna. Kaum komunis membenarkan, malah mendasarkan keseluruhan ajaranya pada prinsip
persamaan di antara manusia. Tetapi prinsip persamaan dalam komunisme itu pun mengalami
nasib yang sama dengan prinsip kemerdekaan dalam kapitalisme. Kaum komunis menodai prinsip
persamaan itu, sehingga tinggal semboyan semata. Malahan yang terjadi ialah adanya supermasi
mutlak pihak penguasa atas pihak yang dikuasai, yaitu rakyat pada umumnya. Diktator proletar,
pada hakikatnya, ialah diktator pemimpin-pemimpin dan penguasa-penguasa. Lihat, Nurcholish
Madjid dalam, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, h. 189 21Nurcholish Madjid dalam, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, h. 181
52
Penyataan di atas didukung juga oleh firman Tuhan yang berbunyi:
“Tidaklah kamu (manusia) diberi ilmu pengetahuan (melalui rasio) melainkan
sedikit saja (Qs, 17: 85).22
Selanjutnya Cak Nur mengemukakan pekataan Einstein yang
merupakan sang jenius abad 20 bahwa:
“Kesadaran bahwa seluruh pengetahuan kita tentang alam raya
hanyalah semata-mata residu dari kesan-kesan yang diselubungi oleh
akal pikiran kita yang tidak sempurna, membuat mencari kenyataan itu
(kebenaran) tampaknya tidak bisa diharapkan.”
Agaknya, karena kesadaran akan keterbatasan akal pikiran inilah,
Einstein memasuki alam keinsafan keagamaan yang sangat mendalam.
Maksud sikap rasional itu sendiri ialah memperoleh dayaguna yang
maksimal untuk memanfaatkan alam ini bagi kebahagiaan manusia. Oleh karena
manusia –karena keterbatasan kemampuanya– tidak dapat sekaligus mengerti
seluruh hukum alam ini, melainkan sedikit demi sedikit dari waktu ke waktu,
maka menjadi rasional adalah juga berarti progresif dan dinamis. Jadi tidak dapat
bertahan kepada sesuatu yang telah ada (status quo), dan karena itu bersifat
merombak dan melawan tradisi-tradisi yang terang-terang tidak benar, tak sesuai
dengan kenyataan yang ada dalam hukum alam, tidak rasional, tidak ilmiah,
sekalipun di sisi lain juga ada keharusan menerima dan meneruskan, kemudian
mengembangkan warisan generasi sebelumnya yang mengandung nilai
kebenaran.23
22Ayat lengkapnya adalah: ويسئلونك عن الروح قل الرح من أمر ربي وما أوتيتم من العلم إال قليال 23Nurcholish Madjid dalam, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, h. 173-174
53
Islam memiliki dasar-dasar yang jelas tentang kesiapanya untuk
menjadi modern dan rasional. Hal ini dibuktikan bahwa sejak awal Islam telah
mampu menyerap peradaban umat manusia dan sekaligus mempertahankan
keteguhan iman untuk menolak mana yang tidak baik. Sumber-sumber
universalisme maupun kosmopolitanisme ajaran Islam termuat dalam makna
Islam yang berarti sikap pasrah ke hadirat Tuhan, yang sebenarnya merupakan
agama manusia sepanjang masa. Dengan makna itu, Islam merupakan makna
kesatuan kenabian dan kesatuan kemanusiaan yang muncul dari konsep kesatuan
ke-Maha Esaan Tuhan. Dengan konsep inilah Islam sejalan dengan hakikat
humanitas yang berdasarkan semangat alhanafiyah as-samhah: semangat mencari
kebenaran yang lapang, toleran, tidak sempit, tanpa fanatik, dan tidak
membelenggu jiwa.24
Selanjutnya Cak Nur meruntut tahapan epistemologi manusia dalam
mencapai kebenaran yang final. Menurutnya, manusia untuk kehidupanya yang
bahagia, ia harus melalui empat tahap epistemologis berturut-turut. Pertama,
tahap naluriah, dengannya seorang manusia yang baru lahir ke dunia, hidup.
Kedua, tahap panca indra atau indra umumnya, yang akan menyempurnakan
bekerjanya naluri, malahan memang bekerja atas dasar bekerjanya naluri pula.
Tetapi, indra pun belum cukup, sebab indra masih terlalu banyak membuat
kesalahan. Maka dilengkapilah dengan tahap ketiga, yaitu akal pikiran, yang
memberikan koreksi terhadap kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh indra, dan
bekerja atas dasar bekerjanya indra pula. Akal pikiran atau rasio ini pun
mempunyai kemampuan yang terbatas, seperti diakui oleh Einstein, seorang
24Zuly Qodir, Islam Liberal, h. 95
54
ilmuwan (rasional) terbesar abad sekarang. Padahal, demi kebahagiaan sejati,
manusia harus sampai kepada kebenaran terakhir. Oleh karena itu, Tuhan pun
memberikan pengajaran kepada manusia tentang kebenaran terakhir (ultimate
truth) itu melalui nabi-nabi dan rasul-rasul yang dipilih di antara manusia.
Pengajaran Tuhan itu –dan juga termasuk dalam tahap epistemologis yang
keempat‒ yaitu dinamakan wahyu (revelation). Wahyu penghabisan Tuhan ialah
Al-Quran, kitab suci Agama Islam. Maka Islam mengklaim dirinya sebagai
kebenaran terakhir. Empat tahap jalan hidup manusia itu adalah seperti jenjang
anak tangga: naluri, indra, rasio, dan wahyu (agama). Sekalipun menunjukan
urutan yang semakin tinggi nilainya, namun tidak boleh ada yang bertentangan
dengan akal (rasio), sekalipun lebih tinggi daripada rasio.25
Pernyataan-pernyataan Nurcholish di atas mempunyai kemiripan —
dengan tidak bermaksud menyamakan atau membandingkan— dengan pernyataan
yang dikemukakan oleh seorang filsuf berkebangsaan Iran, yaitu Murtadha
Muthahhari yang mengatakan bahwa, dalam perkembangan pengetahuan, manusia
akan mengalami tiga tahap pengetahuan. Pertama adalah indra, namun indra
adalah untuk alam materi. Dengan alat ini manusia memperoleh pengetahuan dari
alam materi. Dan kedua berbagai argumen logika, argumen yang rasional — yang
dalam ilmu logika disebut qiyas (silogisme) atau burhan (demonstrasi)— yang ini
adalah suatu bentuk praktik yang dilakukan oleh rasio manusia. Alat tersebut
dapat diberlakukan, saat kita meyakininya sebagai suatu sumber pengetahuan.
Mereka yang membatasi sumber pengatahuan itu pada alam materi saja, dan
membatasi instrumen pengetahuan hanya indra, tentunya mereka menolak rasio
25Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, h.182
55
sebagai sumber pengetahuan, dan jelas mereka juga menolak nilai alat silogisme
dan demonstrasi (burhan). Selama kita tidak mengakui rasio sebagai sumber
pengetahuan, maka kita pun tidak dapat bersandar pada alat silogisme dan
demonstrasi. Yakni kita tidak dapat mengakuinya sebagai suatu alat
pengetahuan.26
Sampailah kita kepada sumber yang terakhir atau yang ketiga yaitu qalb
(hati) atau nafs (jiwa) manusia. Menurut Muthahhari, Kita mesti meyakini bahwa
alat untuk sumber pengetahuan yang ketiga ini, adalah penyucian hati atau jiwa
(tazkiyah an-nafs). Hati manusia ibarat satu sumber dan manusia dapat
mengambil manfaat sumber itu dengan menggunakan alat “penyucian hati”
(tazkiyah an-nafs).27
Dengan demikian, baik Murtadha Muthahhari maupun Nurcholish
Madjid, ke duanya sangat mengutamakan pengetahuan yang bersumberkan wahyu
sebagai kebenaran yang final. Meskipun demikian bukan berarti mereka
menafikan sumber yang lain, melainkan keseluruhanya saling bertautan dan saling
melengkapi. Dengan demikian runtuhlah semua anggapan bahwa kebenaran
terakhir yang terkandung dalam Islam bisa dicapai melalui akal pikiran. Ada
sedikit perbedaan dari argument Muthahhari ini dengan Nurcholish. Nurcholish
membagi dalam empat kategori tahapan ilmu pengetahuan bagi manusia, yaitu
naluri, panca indra, rasio (akal pikiran), dan wahyu yang dengan alat
pencapaianya yaitu qalb (hati). Pencapaian ini menuju kebenaran terakhir atau
26 Murtadha Muthahhari, Pengantar Epitemologi Islam, terj: Muhammad Jawad
Bafaqih (Jakarta: Sadra Press, 2010), h. 62 27 Murtadha Muthahhari, Pengantar Epitemologi Islam, h. 78-79
56
Tuhan. Sedangkan Muthahhari membaginya hanya dalam tiga kategori, yaitu
panca indra, rasio atau logika, qalb (hati).
C. Karakter Rasionalitas Islam Nurcholish Madjid
Tradisi rasional dalam Islam ini dimulai sejak bermunculanya para
pemikir atau filsuf Muslim pada masa dinasti Abbasiah. Bagi para filsuf Muslim
ini, rasionalitas adalah pembeda hakiki (alfashl al-dzâtî, differensia essensial)
bagi manusia dari makhluk hidup lainnya. Karena itu, terkenal sekali definisi
mereka tentang manusia sebagai “hewan rasional” (hayawân nâthiq). Bagi mereka
ini, rasio adalah anugerah Allah: sesuatu yang paling berharga bagi manusia.
Rasiolah yang memberi kemampuan kepada Adam (manusia) untuk mengenali
dunia sekelilingnya. Atas dasar kemampuan itu manusia dipilih Tuhan sebagai
Khalifah-Nya di bumi, dan protes malaikat ditolak meskipun mereka ini
senantiasa bertasbih memuji Allah dan mengkuduskan-Nya (Qs, 25: 44).28
Para failasuf Muslim juga memandang fundamental berbagai firman
Allah yang mengaitkan iman dengan akal-pikiran, dan kekafiran dengan
kebodohan dan ketidak mampuan menggunakan akal-pikiran. Bahkan terdapat
ilustrasi bahwa kaum kafir itu, seperti raja kaya, malah lebih sesat lagi (Q., 2:30-
34).29 Oleh karena itu, sangat wajar bahwa kebangkitan bangsa-bangsa Eropa
untuk memasuki Zaman Renaisans kemudian ke Zaman Modern terjadi setelah
mengalami kontak dengan dunia pikiran Islam.30
أم تحسب أن أكثر هم يسمعون أو يعقلون إن إال كاألنعام بل هم أضل سبيل 28مآء ون حن نس 29 وإذ قال ربك للمإلكة إنى جاعل فى األرض خليفة قالوآ أتجعل فيها من يفسد فيها ويفسك الد
من الكافرين.إل إبليس أبى واستكر وكان بحمدك ونقدس لك. قال إنى أعلم ما ال تعلمون # وإذ قلنا للملئكة اسجدوا ألدم فسجدوآ30Budhy Munawar-Rachman, Ensiklopedi Nurcholish Madji, jil. IV, h. 2842
57
Dalam hal ini, Ibn Rusyd dan filsafatnya (“Averroisme”) adalah yang
paling jauh penetrasi dan pengaruhnya ke dalam dunia pemikiran Barat. Mengenai
tokoh ini, penting sekali kita melihat betapa ia adalah seorang yang sangat
percaya kepada rasionalitas, namun tetap seorang agamawan yang saleh, bahkan
seorang yang sangat ahli dalam fiqih seperti dicerminkan dalam kitabnya yang
sangat masyhur, Bidâyat Al-Mujtahid wa Nihâyat Al-Muqtashid.
Ibn Rusyd dan para failasuf Islam lainnya seperti Al-Kindi, AlFarabi,
Ibn Sina, dan lain-lain, adalah tokoh-tokoh pemikir yang mempersonifikasikan
rasionalitas dan religiusitas sekaligus, tanpa pemisahan antara keduanya. Oleh
karena itu, mereka juga dapat dipandang sebagai bukti tentang adanya kesatuan
organik dalam sistem ajaran Islam antara religiusitas dan rasionalitas. Dengan
kata-kata lain, rasionalitas adalah sui generis dari Islam, artinya hasil yang secara
sejati berasal dari ajaran Islam sendiri, bukan sesuatu yang ditambahkan atau
didapatkan dari luar.
Inilah yang menyebabkan kaum Muslim klasik (salaf) menunjukkan
sikap-sikap spontan terhadap ilmu pengetahuan ketika mereka menemukannya di
kawasan-kawasan yang mereka bebaskan seperti Syria, Mesir, Persia, India, dan
lain-lain. Karena itu pula, mereka (kaum Muslim) adalah yang pertama di antara
umat manusia yang menginternasionalkan ilmu pengetahuan dan menyudahi
watak pseudorasional parokialisme dalam ilmu pengetahuan.
Ajaran-ajaran Ibn Rusyd bukan hanya memengaruhi cara berpikir
orang-orang Barat, tapi juga membangkitkan revolusi pemikiran yang keras dan
gaduh, disebabkan oleh rasionalitasnya yang mengandung makna menentang
58
dogmatika gereja Kristen saat itu. Akibatnya, setiap orang Eropa (Kristen) yang
menunjukkan etos ilmiah yang tinggi dengan rasionalitas yang tampak jelas akan
dituduh telah terpengaruh oleh agama Islam dan oleh Ibn Rusyd.31
Karena itu, di Eropa, setiap kali muncul seorang yang kreatif dalam
pemikiran keilmuan dan kefilsafatan tentu memusuhi agama yang ada di sana dan
menjadi sasaran pengejaran dan penyiksaan oleh gereja, yang terkenal dengan
Inkuisisi. Namun kita ketahui bahwa “perang tanding” antara ilmu pengetahuan
dan agama di Barat (yang Kristen) itu akhirnya dimenangkan oleh ilmu
pengetahuan. Itulah garis besar keadaan yang kini dapat kita saksikan sendiri di
sana, meskipun sisa-sisa “perang tanding” itu masih berlangsung, seperti
pertentangan antara “Creatioinism” lawan “Evolutionism”, dan lain-lain.
Timbulnya fundamentalisme Kristen di Barat, khususnya di Amerika
sekarang ini, dapat dipandang sebagai kelanjutan “perang tanding” antara ilmu
dan teologi Kristen, antara rasionalitas dan dogma. Meskipun fundamentalisme
menghasilkan suara yang gemuruh, tapi tidak ada tanda-tanda bahwa ia akan
menang atas ilmu.32
Hal ini menunjukan bahwa, dalam kesejarahan Islam klasik para bangsa
Muslim Arab –khususnya para failasuf– karena sifat reijiusitas mereka yang
tinggi, pemikiran spekulatif kefalsafahan terjadi hanya dalam batas-batas yang
masih dibenarkan oleh agama, yang agama itu, bagi mereka, telah cukup rasional
sebagaimana dituntut oleh falsafah. Yang paling penting dari kontribusi ilmu
31Budhy Munawar-Rachman, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, jil. IV, h. 2843 32 Budhy Munawar-Rachman, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, jil. IV, h. 2844
59
pengetahuan orang-orang Muslim dulu adalah –juga yang menjadi landasan sains
modern– matematika dan kimia.33
Tidak adanya orisinalitas yang mengesankan pada pemikiranya
kefilsafatan Islam klasik kiranya tidak perlu mengherankan. Sebabnya, para
failsafuf klasik Islam, betapa pun luas pengembaraan intelektualnya, adalah
orang-orang yang relijius. Mungkin tafsiran mereka atas beberapa nuktah ajaran
agama tidak dapat diterima oleh para ulama ortodoks, namun, berbeda dengan
rekan-rekan mereka di Eropa pada masa skolastik, Renaissance dan Modern, yang
umumnya menolak atau meragukan agama, para failasuf muslim klasik itu
berfalsafah karena dorongan keagamaan, malahan seringkali justru untuk
membela dan melindungi keimanan agama.34
Seperti yang dikatakan R.T. Wallis, seorang ahli dalam bidang falsafah
Islam, bahwa “para failasuf Arab, meski dalam cara yang agak berbeda, semuanya
orang-orang relijius yang ikhlas, sekalipun paham keagamaan mereka tidaklah
sepenuhnya sejalan dengan ortodoksi Islam”.35
D. Rasionalitas Islam dan Ilmu Pengetahuan Modern
Telah disebutkan di atas bahwa, peradaban Islam, agaknya memang
lebih kreatif dan orisinal dalam pengembangan ilmu pengetahuan (science), bukan
falsafah yang spekulatif dan teoretis. Hal-hal yang bersifat kefalsafahan, yang
mebentuk pandangan dunia dan hidup menyeluruh, sesungguhnya telah
disediakan oleh pokok-pokok ajaran Islam sendiri dalam al-Qur’an. Karena itu
33 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 2008), h.
132 34 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 133 35R.T. Wallis, Neoplatonism (London: Gerald Duckworth & Company, 1972), h. 164
60
dalam sains-lah peradaban Islam memiliki keunggulan pasti dan amat
mengesankan atas yang lain, termasuk atas peradaban Yunani.
Tidak ada pertentangan dalam tubuh Islam mengenai sains dan agama
malahan sains itu sangat didukung oleh agama demi mengoptimalkan sifat
rasionalitas dalam manusia. Seperti yang dikatakan Oliver Leaman bahwa: Tujuan
utama sains Islam adalah menegaskan bahwa Islam ataupun sains alam sama-
sama bersandar pada sikap tertentu tentang rasionalitas. Jenis rasionalitas yang
digunakan oleh sains melibatkan kepercayaan yang sama dengan yang ada pada
agama. Karena itu, sains tidak lebih meyakinkan daripada agama. Keduanya
sama-sama melibatkan keyakinan tertentu pada serangkaian asas yang tak
berdalil. Orang bisa mengatakan bahwa sains tampaknya berhasil, tetapi demikian
pula halnya dengan agama.36
Keunggulan utama gagasan sains Islam adalah wataknya yang permisif
sehubungan dengan metodelogi. Artinya, ia memperluas konsep pengetahuan
mencakup berbagai pengetahuan. Akibatnya, pada saat bersamaan, ia bisa
melahirkan ragam sains yang lebih kaya. Islam membenarkan banyak jalan untuk
mengetahui sesuatu secara sahih. Sekalipun demikian, sebagianya boleh jadi
terasa sangat personal dan subjektif. Hal ini tidak lain adalah hasil dari
pengetahuan Islam yang sedang berkembang pada waktu itu.37
Peradaban Islam adalah yang pertama menginternasionalisasikan ilmu
pengetahuan. Internasionalisasi itu terjadi dalam dua bentuk: pertama, sesuai
36Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam: Sebuah Pendekatan Tematis, (Bandung:
Mizan, 2002), h. 64-65 37Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, h. 65
61
dengan kedudukan dan tugas suci mereka sebagai “umat penengah” dan “saksi
atas manusia”, orang-orang Muslim klasik menyatukan dan mengembangkan
semua warisan ilmu pengetahuan umat manusia dari hampir seluruh muka bumi;
kedua, sejalan dengan keyakinan bahwa ajaran agama mereka harus membawa
kebaikan seluruh umat manusia sebagai “rahmat untuk sekalian alam”, ilmu
pengetahuan yang telah mereka satukan dan kembangkan itu mereka sebarkan
kepada seluruh umat manusia tanpa parokialisme dan fanatisme. Maka dunia dan
umat manusia mewarisi dari orang-orang muslim berbagai dasar dan cabang ilmu
pengetahuan.38
Pengaruh ilmu pengetahuan dan sains Islam itu kepada ilmu
pengetahuan modern sama sekali tidak dapat diremehkan. Pengaruh itu meliputi
hampir bidang kajian, yang sampai saat ini sebagian dari padanya secara
permanen terbakukan dalam istilah-istilah Arab yang masuk ke dalam Bahasa-
bahasa Barat, seperti Bahasa Inggris yang menunjukan lingkup kehidupan yang
luas.
Pervez Hoodbhoy, seorang ahli dalam sejarah Islam klasik, menuturkan
dalam bukunya “Islam dan Sains” bahwa: Pada masa kekpemerintahan Harun al-
Rasyd dan al-Ma’mun, sains tidak merupakan sekedar kesenangan bagi pangeran-
pangeran tercerahkan atau bahan polemik di kalangan cendikiawan. Alih-alih, ia
telah menjadi sarana yang denganya seluruh peradaban ummat manusia
tertransformasi secara tak-terbalikkan. Kekuatan militer, kekuatan politis dan
38 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 138
62
kesejahteraan ekonomis menjadi tergantung pada kemampuan bangsa-bangsa
modern memahami, mengontrol dan menciptakan sains.39
Secara historis, peradaban Islam telah membayar mahal atas
kegagalanya melanjutkan peradaban saintisnya. Tak pelak, kegagalan ini dapat
menjelaskan kemunduran peradaban Islam dan meningkatnya Barat selama
ratusan tahun. Pada abad pertengahan, hubungan Islam dan Barat berbeda secara
kualitatif. Ada masa-masa yang penuh dengan kolaborasi yang akrab dan kaya
hasil, dan masa-masa yang penuh dengan kekerasan dan konfrontasi. Tujuh abad
kekuasaan Muslim di Spanyol memberi bangsa-bangsa Eropa, antara lain, akses
ke arah harta tersimpan ilmu pengetahuan Yunani dan Islam. Sebaliknya,
konfrontasi yang berkepanjangan dan pahit selama Perang Salib, dan selanjutnya
dominasi dinasti Utsmani atas semenanjung Balkan, meninggalkan –untuk ke dua
belah pihak– prasangka dan kerisihan. Prasaan bermusuhan ini meyebabkan
perbedaan-perbedaan antara kedua peradaban menjadi luar biasa besar.40 Meski
demikian pengaruh pengetahuan dan sains Islam terhadapa peradaban Barat
sangat besar sekali.
Selanjutnya menurut Osman Bakar, yang menjadi masalah dalam sains
itu adalah dalam hal metodologi-nya ketika dihadapkan dengan agama, sebab,
pada kenyataanya, terdapat perbedaaan-perbedaan fundamental antara konsepsi
metodologi sains dalam Islam, atau dalam semua peradaban tradisional lainya.
39 Pervez Hoodbhoy, Islam dan Sains: Pertarungan Menegakkan Rasionalitas, ter:
Luqman (Bandung: Pustaka, 1997), h.2 40 Pervez Hoodbhoy, Islam dan Sains, h. 3
63
Namun, dalam kebiasaan cara berpikir kita, kita telah menerima pula
sebuah gagasan yang lain. Telah lama kita tidak lagi mempersoalkan pendapat
yang mengatakan bahwa sains modern diciptakan dengan menggunakan satu
metodologi saja, yang termasyhur dengan sebutan Metode Ilmiah.
Gagasan bahwa hanya satu jenis sains tentang alam yang mungkin ada,
yakni melalui penggunaan Metode Ilmiah, sangat mempengaruhi seluruh cara
pandang kita mengenai sains-sains pra-modern, termasuk sains Islam. Tingkat
penerapan Metode Ilmiah menjadi alat ukur universal bagi masyarakat ilmiah
dalam menentukan drajat kreativitas ilmiah dan “kemurnian” pemikiran pra-
modern.41
Dengan pengecualian yang amat sedikit, tanggapan orang Islam
terhadap keyakinan modern tentang metodologi ilmiah di atas pada umumnya
adalah dengan berupaya untuk memperlihatkan bahwa peradaban Islam telah
mendahului Barat modern dalam hal penerapan Metode Ilmiah, diperaktikan
secara luas dalam sains Islam kini merupakan fakta yang telah diakui di halaman-
halaman sejarah sains. Tetapi kita juga mengetahui bahwa hal ini tidak berarti
metode tersebut adalah satu-satunya metode yang digunakan para ilmuawan
Muslim dalam menciptakan elemen sains Islam itu, yang sangat sesuai dengan
makna term ‘sains’ saat ini.
Sangat menarik ketika kita melihat bahwa para orang-orang Muslim
klasik itu tidak menggunakan satu metode pun dalam sains itu yang
mengenyampingakan metode-metode lainya. Sebaliknya, sains Islam senantiasa
41Osman Bakar, Tauhid dan Sains: Esai-esai Tentang Sejarah dan Filsafat Sains
Islam, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1995), h. 23
64
berupaya untuk menerapkan metode-metode yang berlainan sesuai dengan watak
subyek yang dipelajari dan cara-cara memahami subyek tersebut. Para ilmuwan
Muslim, dalam menanamkan dan mengembangkan beraneka ragam sains, telah
menggunakan setiap jalan pengetahuan yang terbuka bagi manusia, dari
rasionalisasi dan interpretasi Kitab Suci hingga observasi dan eksperimentasi.
Bahkan dalam sains modern sendiri, gagasan bahwa hanya satu
metodologi saja yang bertanggung jawab atas terciptanya sains itu telah
disingkirkan oleh sejumlah besar karya tentang metodologi sains, yang terbit
selama dekade terakhir ini. Sebaliknya, gagasan tentang kemajmukan metodologi
kini telah mendapat pengakuan umum di kalangan sejarahwan dan saintis
kontemporer. Sebagian mereka telah memperluasnya hingga bahkan menerima
Kitab Suci sebagai komponen yang tak dapat dipisahkan dari pluralitas
metodologi ini. 42
Metodologi sains dalam Islam didasarkan pada sebuah epistemologi
yang secara fundamental berbeda dari epistemologi yang dominan dalam sains
modern, yang sejauh ini tetap tidak terpengaruh oleh perkembangan intelektual
yang baru ini meskipun semakin banyak jumlah ilmuan, sejarahwan, dan saintis
yang berbicara tentang perlunya paradigma epistemologi baru yang dapat
memberikan pandangan yang koheren tentang dunia yang disingkapkan oleh sains
modern.
Lebih dari pada itu, Cak Nur berpandangan bahwa, jika sains mengikuti
metodenya sendiri dengan lebih terbuka dan tidak apriori membatasi kenyataan
42Osman Bakar, Tauhid dan Sains, h. 25
65
hanya kepada yang tampak mata saja, maka barangkali ia akan mampu ikut
membimbing manusia ke arah menginsafi alam ruhani secara lebih mendalam,
suatu alam yang sesungguhnya menguasai seluruh yang ada. Sebagai “berita” dari
Yang Mahakuasa, Al-Quran pun memberi petunjuk tentang adanya dimensi
keruhanian dalam benda-benda, baik yang bernyawa maupun tidak: 43
Langit yang tujuh dan bumi, juga penghuninya semua bertasbih kepada-
Nya (Allah), dan tidak ada sesuatu apa pun kecuali tentu bertasbih
memuji-Nya, namun kamu sekalian (wahai manusia) tidak mengerti tasbih
mereka. Sesungguhnya Allah lah yang maha bijaksana nan pengampun
(Q., 17: 44).44
Tidak ada binatang yang melata di bumi ataupun burung yang terbang
dengan kedua sayapnya, melainkan umat umat seperti kamu (wahai
manusia)! (Q., 6: 38).45
Jadi, agaknya ada harapan kepada ilmu pengetahuan untuk dapat
membantu membawa manusia kepada tingkat kehidupan yang lebih tinggi—dan
tidak terbatas hanya kepada kehidupan material seperti yang sekarang ada.
Harapan itu tumbuh karena adanya kebenaran dasar dalam seruan agama tersebut
di atas, yaitu seruan untuk memerhatikan secara mendalam hakikat alam dan
lingkungan. Apalagi Al-Quran sendiri memberi antisipasi, bahwa Allah akan
memperlihatkan kepada manusia berbagai pertanda atau ayat-Nya, baik dalam
seluruh cakrawala (jagat besar) maupun dalam diri manusia sendiri (jagat kecil)
sehingga mereka akan tahu bahwa Dia dan ajaran-ajaran-Nya benar belaka.46
43Budhy Munawar-Rachman, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h. 2915 . وإن من شيء إاليس بحمده ولكن ال تفقهون تسيحهم. إنه كان 44 ع واألرض ومن فيهن ماوات الس تس له الس
حليما غفورا.طنا فى الكتاب من ش يء ثم إلى ر بهم 45 ا فر وما من دآبة فى األرض والطآئر يطير بجناحيه إلآ أمم أمثالكم. م
يحشرون.46Budhy Munawar-Rachman, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h. 2916
66
Dengan demikian Cak Nur tidak menolak mentah-mentah sains yang
didasarkan pada ilmu pengetahuan alam, sebab, alam sendiri butuh diketahui demi
kelangsungan hidup manusia. Lebih dari itu dalam Islam Al-Qur’an menyuruh
kepada seluruh umat manusia untuk melestarikan alam –baik yang makro (jagat
raya ini) maupun yang mikro (seperti manusia)– melaui ilmu pengetahuan
tersebut.
Pendapat Cak Nur mengenai ilmu pengetahuan alam (sains) tersebut
bahwa, dasar pengetahuan dari sains modern yang menghasilkan kemajuan yang
sangat pesat dibarengi dengan kemunculan tekhnologi-tekhnologi canggih tidak
lain berasal dari peradan Islam yang terkenal sangat rasional dan yang sekarang
sedang mengalami tidur panjangnya. Pemegang otoritas sains modern sekarang
berasal dari peradaban Barat daimana dalam sejarah kemunculanya di tampuk
dunia mengadopsi sains Islam tanpa membawa sifat keimanan orang para saintis
Islam itu.
Ini lah yang ditentang Cak Nur, bahwa sains modern itu seakan tidak
menggunakan rasionalitasnya lagi. Dalam prosesnya sains memang sangat
rasional, tapi dalam hal kesejahteraan umum sains modern melupakanya, lebih-
lebih mereka tidak beriman lagi kepada Tuhan yang tidak dapat dijangkau oleh
pengetahuan manusia.
67
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian panjang di atas, akhirnya penulis menyimpulkan sesuai
dengan pertanyaan rumusan masalah yang penulis susun, bahwa Nurcholish sama
sekali tidak menentang pemikiran rasional dalam Islam. Pemikiran rasional
menurutnya adalah suatu keadaan alamiah manusia dimana dengan alasan apa pun
mau tidak mau manusia harus menggunakan pikiranya termasuk dalam hal urusan
agama. Oleh karena itu Nurcholish Madjid menganjurkan seluruh umat Muslim
untuk mengoptimalkan pikiranya demi kemajuan Islam, sebab di zaman sekarang
apabila umat muslim masih terpuruk dengan sifat kejumudan dan konservatifnya,
maka mereka akan lebih jauh tertinggal dari peradaban lain. Pernyataan
Nurcholish tersebut menjadi lebih kuat sebab didukung oleh ayat Al-Qur’an.
Sebuah Pemikiran yang agung yang akan terus bertahan dan tidak akan terhapus
oleh waktu adalah pemikiran yang berasaskan pada Al-Qur’an laiknya pemikiran
Nurcholish Madjid ini.
Menurut Nurcholish, Islam mengalami masa kejayaan pada periode
kekhalifahan Abbasiyah berkat para kaum muslim yang bebas mengekspresikan
pikiranya selagi tidak keluar jalur ketawhidan. Hal-hal yang menyangkut bidang
filsafat dan sains tidak menjadi sebuah pertentangan dalam tubuh Islam. Umat
Islam mengembangkan beraneka ragam penemuan-penemuan ilmiah. Salah satu
contohnya adalah Ibn Haitam dengan penemuan optiknya, al-Khawarizmi dengan
penemuan al-Jabar, Umar Khayyam sang ahli astronomi, Jabir bin Hayyan sang
68
bapak kimia Islam dan lain-lain. Dalam bidang kedokteran tokoh-tokoh seperti
Ibn Sina, Ibn Rusyd, Al-Razi menempati rengking pertama.
Hal di atas menunjukan bahwa suatu kemajuan akan selalu dicapai
apabila antara agama dan rasionalitas sains, juga filsafat, tidak selalu
dipertentangkan. Meski demikian, Nurcholish membatasi penggunaan rasio.
Menurutnya rasio tidak bisa dipergunakan dan dianggap bisa mencapai suatu
kebenaran hakiki seperti tuhan.
Penggunaan rasionalitas dalam tubuh Islam tersebut memang sebuah
kemestian di zaman modern ini sehingga orang-orang yang mengikutinya dikenal
dengan istilah kaum modernis. Di Indonesia istilah ini mulai popular pada tahun
1970 an dan dipopulerkan kembali pada tahun 1990 oleh para tokoh-tokoh
intelektual khususnya Nurcholish Madjid. Mereka –para kaum neo-modernis−
termasuk Nurcholish bertujuan agar umat Islam Indonesia terus-menerus
mengusahakan segala perbaikan, baik pribadi maupun masyarakat, yang
semuanya dilakukan dengan semangat the ultimate truth, yakni Allah sendiri.
Nurcholish menegaskan bahwa Upaya rasionalisasi Islam itu bukanlah
westernisasi, sekularisme, ataupun materialisme. Meski demikian, Islam
membenarkan rasionalitas dalam arti penggunaan akal pikiran manusia untuk
menemukan kebenaran-kebenaran dalam bimbingan kebenaran yang lebih tinggi
dari rasio, yakni wahyu.
Dari argumenya itu, Nurcholish merasa harus bergerak untuk
mengubah paradigma-paradigma tradisional yang masih bersarang di dalam umat
69
muslim Indonesia karena paradigma-paradigma tersebut tidak membuat Islam
menjadi maju, alih-alih menenggelamkan islam dalam zaman modern ini.
B. Saran-Saran
Untuk saran-saran ini penulis tujukan kepada semua kalangan terutama
kalangan pemerintah, akademisi, dan masyarakat umum.
Untuk kalangan pemerintahan dalam menanggapi permasalahan
keagamaan di zaman modern ini sepatutnya bersikap tegas dalam merespon sikap-
sikap masyarakat yang berpeluang besar memecah belah Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) yang di dalamnya terdapat berbagai macam agama,
budaya, dan bahasa. Ia mampu bersikpa rasional dan modern, dalam artian, cara
beragama yang mengikuti perkembangan zaman. Demikian juga seorang
pemerintah seharusnya memahami betul konteks keagamaan dari semua agama
yang ada di Indonesia sehingga mampu menghasilkan sikap yang toleran. Tidak
seharusnya Pemerintah bersikap konservatif dan radikal dalam beragama, karena
sikap demikian dapat menjadi contoh buruk bagi masyarakatnya.
Saran selanjutnya ditujukan untuk kalangan akademisi. Tidak sedikit
dari kalangan akademisi yang tidak mampu bersikap toleran terhadap agama lain.
Hal ini disebabkan terutama oleh cara pengajaran yang kurang baik dengan
mengedepankan kekerasan untuk menegakan hukum syariat dan memberikan
stigma negatif.
70
DAFTAR PUSTAKA
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1996
Bakker, Anton, Metode-metode Filsafat, Jakarta, Ghlmia Indonesia 1986
Bakar, Osman, Tauhid dan Sains: Esai-esai Tentang Sejarah dan Filsafat Sains
Islam, Bandung: Pustaka Hidayah, 1995
Daftary, Farhad, Tradisi-tradisi Intelektual Islam, Jakarta, Erlangga, 2002
Djamaluddin, Dedy dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Bru Islam Indonesia:
Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais,
Nurcholish Madjid, dan Djalaluddin Rakhmat, Bandung, Zaan Wacana
Mulia, 1998
Effendi, Djohan, Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi: Wacana Keagamaan
di Kalangan Generasi Muda NU Masa Kepemimpinan Gus Dur, Jakarta,
Kompas, 2010
Gaus AF, Ahmad, Api Islam Nurcholish Madjid, Jalan Hidup Seorang Visioner,
Jakarta, Kompas, 2010
Hakim, Abdul dan Saebani Beni Ahmad, Filsafat Umum Dari Mitologi Sampai
Teofilosofi, Bandung, Pustaka Setia, 2008
Halim, Abdul, Teologi Islam Rasional Apresiasi terhadap Wacana dan Praksis
Harun Nasution, Jakarta, Ciputat Press, 2005
Hoodbhoy, Pervez, Islam dan Sains: Pertarungan Menegakkan Rasionalitas,
Bandung, Pustaka, 1997
Husaini, Adian, Nurcholish Madjid; kontroversi Kematian dan Pemikirannya,
Jakarta, Khoirul Bayan Press, 2005
Kattsoff, Louis O., Pengantar Filsafat, Yoyakarta, Tiara Wacana, 1986
Kurniawan,Samsul dan Mahrus, Erwin, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam,
Yogyakarta, Ar-Ruzz Media, 2011
Leaman, Oliver, Pengantar Filsafat Islam: Sebuah Pendekatan Tematis,
Bandung, Mizan, 2002
Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis
Terhadap Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, Jakarta,
Paramadina, 1992
---------, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung, Mizan 1993
71
---------, Islam Agama Kemanusiaan; Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam
Indonesia, Jakarta, Paramadina, 2003
---------, Tradisi Islam: Peran dan fungsinya Dalam pembangunan di Indonesia,
Jakarta, Paramadina, 1997
---------, Islam kerakyatan dan Keindonesian, Bandung, Mizan, 1993
Madkur, Ibrahim, Fi al-Falsafah al-Islamiyah: Manhajuhawa Tathbiquha, Kairo,
Dar al-Ma’arif, TT
Munawar-Rachman, Budhy, Ensiklopedi Nurcholish Madjid: Pemikiran Islam di
Kanvas Peradaban, Bandung, Mizan, 2006
----------, Membaca Nurcholish Madjid, Jakarta, Democracy Project, 2011
Mulkhan, Abdul Munir, Mencari Tuhan dan Tujuh Jalan Kebebasan: Sebuah
Esai Pemikiran Imam Al-Ghazali, Jakarta, Bumi Aksara, 1991
Muthahhari, Murtadha, Pengantar Epitemologi Islam, Jakarta, Sadra Press, 2010
Nasution,Harun, Islam Rasional, Bandung, Mizan, 1996
Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta, LP3ES,
1982
Proudfoot, Michael and Lacey A. R., The Routledge Dictionary of Philosophy,
New York, Routledge, 2010
Qodir, Zuly, Islam Liberal, Varian-Varian Liberalisme Islam di Indonesia 1991-
2002, Yogyakarta, LKIS, 2010
Qomar, Mujamil, Fajar baru Islam Indonesia?: Kajian Komprehensif Atas Arah
Sejarah Dan Dinamika Intelektual Islam Nusantara, bandung, Mizan,
2012
Raharjo, Dawam, Intelaktual Intelegensia dan Prilaku Politik Bangsa, Risalah
Cendekiawan Muslim, Bandung, Mizan, 1993
Rahmat, Imdadun Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Revivalisme Islam Timur
Tengah Ke Indonesia, Jakarta, Erlangga, 2005
Ridwan, Nur Kholik, Pluralisme Borjuis: Kritik atas Nalar Pluralisme Cak Nur,
Yogyakarta, Galang Pres, 2002
Rusell, Bertrand, Sejarah Filsafat Barat, dan Kaitanya Dengan Kondisi Sosio-
politik Dari Zaman Kuno Hingga Sekarang, Yogyakarta, Pustaka Pelajar,
2007
Saidi, Anis, Tafsir Pemikiran Nurcholis madjid, Media Indonesia, 23 Maret 2005
72
Sunanto, Musyrifah, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Islam, Jakarta, Prenada Media, 2004
Suprapto, Bibit, Ensiklopedi Ulama Nusantara, Jakarta, Gramedia, 2009
Suriasumantri, Jujun S, Ilmu Dalam Perspektif, Jakarta, Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2012
Susanto, A, Filsafat Ilmu, Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis,
dan Aksiologis Jakarta, Bumi Aksara, 2011
Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra,
Bandung, Remaja Rosdakarya, 2010
Thaha,Idris, Demokrasi Religius: Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M.
Amien Rais, Jakarta, Teraju, 2005
Tjahjadi, Simon Petrus L., Petualangan Intelektual, Yogyakarta, Kanisius, 2004
Wallis, R.T., Neoplatonism, London, Gerald Duckworth & Company, 1972
REFERENSI JURNAL:
Abbas, Pirhat, “Paradigma Pemikiran Nurcholish Madjid Tentang
Modernisasi”,Jurnal Media Akademika: Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu
Kesilaman, Vol.22, No.4, Oktober 2007
Eka, Putra Okrisal, “Hubungan Islam dan Politik Masa Orde Baru”,Jurnal
Dakwah, Vol. IX, No. 2, Juli-Desember, 2008
Masrur, Mohammad, "Mengenang Cak Nur: Dari Pembaharu Sampai Guru
Bangsa",Jurnal Wahana Akademika, Volume 8, Nomor 2 Agustus 2006
Nurhadi, “Harun Nasution (Islam Rasional Dalam Gagasan dan Pemikiran)”,
Jurnal Edukasi, Volume 01, No, 01, Juni 2013
REFERENSI INTERNET
Ulil Absha Abdala, Muhammad Abduh, Demokrasi Project, diakses pada tanggal
07 Desembe 2016. https://www.youtube.com/watch?v=96ZFsS0dWdU.
Wikipedia, Pengertian Rasionalitas, diakses pada tanggal 17 Januari 2017
https://id.wikipedia.org/wiki/Rasional
Top Related