2
Assalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Alhamdulillah, hingga saat ini kita masih merasakan
rahmat dan nikmat-Nya, sebab tanpa rahmat dan
nikmat-Nya bisa jadi langkah-langkah kita tidak ber-
jalan dengan lancar tanpa berkah. Sholawat dan
salam semoga senantiasa tercurahkan kepada bag-
inda nabi Muhammad saw yang kita nantikan
syafa’atnya di yaumil akhir kelak. Di tengah hiruk
pikuk keorganisasian Masisir, akhirnya edisi perdana
kru baru kali ini bisa terbit dengan berbagai kendala
yang melanda. Aktifnya kru di organisasi lain ber-
benturan dengan deadline, namun usaha para kru
untuk meluangkan waktu demi menggoreskan pena
tetap menjadi kewajiban yang harus dijalankan wa-
lau harus mengurung nafsu istirahat semata.
Pasalnya kegiatan menjadi sorotan utama dalam
sebuah organisasi. Beragam kegiatan dalam
keorganisasian Masisir membuatnya demam
berkegiatan. Dengan wacana tersebut, PRESTâSI
Edisi 105 kami beri tajuk “Masisir Backpacker” yang
menganalogikan sifat seorang backpacker yang
tanpa persiapan, menyerahkan diri pada nasib
secara berlebih dan seringkali orientasi tak tentu
arah pada diri sebagian Masisir yang—bisa jadi—
tersesat di tengah hiruk pikuk laju organisasi. Kami
menyajikan wacana-wacana kegiatan keorganisaian
di Masisir supaya Masisir dapat memilah dan mem-
ilih apa yang menjadi tujuan dan potensi Masisir itu
sendiri. Lalu bagaimana Masisir menyikapi kegiatan
yang beragam?
Terima kasih kami ucapkan kepada semua pihak
terkait yang membantu terbitnya edisi pertama kru
buletin PRESTâSI yang baru ini.
Dan terakhir, selamat membaca!
Da
ri
Re
da
ks
i
Pelindung: Ketua KSW│Dewan Redaksi: Nashifudin Luthfi, Muhammad Fardan Satrio
Wibowo, Lc., Nanang Fahlevi, Fadhilah Rizqi, Iis Isti’anah, Wais Al-Qorny │Pimpinan Umum: Laila Nur
Hidayati │Pimpinan Redaksi: Muhammad Samsul Arifin │Pimpinan Usaha: Muhammad Furqon Khoirudin
│Sekretaris Redaksi: Izzatun Nafisyah │Redaktur Pelaksana: Aminatuz Zuhriyah, Ni’matul Majmu’ah,
Ayatullah El-Haqqi │Reporter: Muna Ni’amy Dzurrohmah, Itta Raisah Fitriyani, Yusuf Fajri │Distributor:
Ahmad Zuhdan Maimun, Muhammad Rifqi Syarifuddin │Layouter: Ahmad Rikza Aufarul Umam │Karikaturis:
Darmono │Editor: Choiriya Safina, Zulfah Nur Alimah, Muhammad Faqih Dlofir
Redaksi menerima tulisan dan artikel yang
sesuai dengan visi misi Buletin.
Kritik dan saran, kirim ke FB: Prestasi Ksw
3
Banyak bermunculannya organisasi berikut seluruh kegiatannya dimaksudkan memberi kebebasan mahasiswa untuk memilih, namun di sisi lain membuat mahasiswa menjadi kehilangan orientasi. Membebek sana-sini, aktif dalam kegiatan ini-itu, sampai-sampai seorang mahasiswa lupa untuk mengukur porsi kemampuan dan waktu yang dimiliki.
Doktrin menjadi mahasiswa ideal yang termasuk salah satu kualifikasi di dalamnya yaitu aktif dalam kegiatan organisasi, sukses menjadi iming-iming bagi sebagian orang untuk rakus beraktifitas, melahap hampir semua kegiatan yang ada. Dan sudah menjadi hal yang jamak diketahui bahwa tentunya setiap kegiatan menuntut siapapun anggotanya untuk maksimal. Maka kemudian muncul lah para mahasiswa yang linglung; kebingungan memaksimalkan diri dalam kegiatan-kegiatan yang diikuti, kesulitan menyeimbangkan antara kegiatan satu dengan kegiatan lainnya, maupun menyeimbangkan antara kegiatan organisasi dengan aktifitas kuliah.
Jika kita menilik latar belakang organisasi yang muncul sepaket dengan seabrek kegiatannya, tentu saja hal ini diharapkan dapat menunjang potensi yang dimiliki setiap orang, supaya bisa memaksimalkan potensi yang dimiliki. Hanya saja, jika kegiatan-kegiatan ini bertemu dengan penanaman mindset ‘menjadi mahasiswa ideal’ maka yang akan lahir adalah anak-anak yang ingin menjadi serba bisa. Tak ayal, mereka akan muncul di hampir semua kegiatan, semua organisasi.
Keberadaan dan peran PPMI sebagai induk dari semua organisasi yang ada di Masisir sangat urgen di sini. Dengan jargonnya “Back to Azhar, back to campus dan back to organization,” PPMI di bawah kepemimpinan Abdul Ghofur
Mahmudi atau yang akrab disapa Gobe mencanangkan sebuah program yang menurutnya sudah lama hilang nyawanya dari tubuh Masisir; kembali berorganisasi. Tentu saja, selain menggiring Masisir supaya menjadi mahasiswa yang mendekati ideal (karena tentunya yang benar-benar ideal itu tidak ada), Gobe sendiri lebih menekankan pada poin organisasi dibanding kedua poin lainnya. Hal ini setidaknya menunjukkan bahwa PPMI menitikberatkan pada kembalinya Masisir kepada organisasi.
Banyaknya organisasi yang ada berbanding lurus dengan banyaknya kegiatan yang diadakan. Organisasi-organisasi baik itu kekeluargaan, almamater, afiliatif, maupun organisasi yang bersifat independen saling berlomba membuat kegiatan. Bahkan, jika satu organisasi mengadakan suatu kajian keilmuan, maka organisasi lain juga akan saling berlomba membuat kegiatan serupa.
Maka ada baiknya jika kita kembali pada tujuan dibentuknya organisasi beserta seluruh kegiatan yang menyertainya, supaya bebas memilah dan memilih mana yang tepat sesuai dengan potensi kita untuk kemudian kita kembangkan semaksimal mungkin. Tapi yang kita jumpai justru sebuah realita yang berbenturan dengan ekspektasi. Yang terjadi bukannya seorang mahasiswa yang fokus dan benar-benar maksimal pada apa yang menjadi bidangnya, tapi seorang mahasiswa yang ingin menjadi serba bisa dan mengalami sebuah kecanduan organisasi yang cukup akut.
Dengan munculnya organisasi berikut kegiatan-kegiatannya yang sebegitu banyak dengan kapasitas waktu 24 jam perhari, masih efektifkah keberadaan organisasi-organisasi tersebut? Lalu bagaimana seharusnya peran PPMI sebagai organisasi induk Masisir?*+
Hilang Arah Oleh Muna Ni’amy
Ed
ito
ria
l
4
Berorganisasi berarti berkelompok, kelompok yang memiliki ideologi tertentu juga memiliki karakter dan tujuan tertentu. Tak jarang, setiap kelompok memiliki jargon ataupun slogan untuk mengidentikkan visi misi suatu organisasi. Seperti halnya dinamika Masisir takkan luput dari keorganisasian yang dibentuk dalam ruang ke PPMI-an. PPMI sebagai induk organisasi di dunia Masisir membawa berbagai kegiatan yang beragam. Dari kegiatan beragam inilah mahasiswa terbentuk menjadi sosok jati diri yang berkecimpung di dunia akademik ataupun organisasi.
PPMI masa bakti 2015/2016 dalam visi misi-nya mengagungkan tiga poin besar yang lebih dikenal sebagai slogan PPMI: “Back to Azhar, campus dan organization”. Apakah berarti bahwa visi dan misi PPMI 2015/2016 mengharapkan setiap mahasiswa/i al-Azhar Indonesia harus memiliki tiga bidang tersebut supaya tercipta idealisme seorang mahasiswa ataukah setiap mahasiswa diberi kebebasan untuk memilih apa yang diprioritaskan mereka dalam tiga bidang tersebut?
Kita lahir dari rahim yang berbeda, memiliki pemikiran dan pendapat yang berbeda-beda, seperti pepatah arab “kullu ra’sin ra’yun.” Bahkan setiap orang pun memiliki tujuan yang tidak sama satu sama lain. Ada dari kalangan Masisir yang menghabiskan waktunya dengan berorganisasi, namun tidak pula mengurangi jam kuliahnya atau sebaliknya. Ada pula yang rajin talaqi, namun mengurangi jam kuliahnya dan sebaliknya. Ada pula yang hanya fokus dalam dunia perkuliahan saja. Mereka merasa bahwa kenyamanannya terdapat di sana. Kalau ditelisik, apakah ada Masisir yang mengoptimalkan waktunya untuk tiga bidang tersebut?
Kita lihat semangat PPMI sangat membara untuk mewujudkan visi misi tersebut demi Masisir. PPMI sudah mulai melangkah sedikit demi sedikit. Pasalnya 1 Muharram 1437 H., di
Masjid Zahro, Hay Sadis PPMI mengadakan kegiatan yang tidak lain merupakan aplikasi program back to azhar, dengan dihadiri syaikh Abdul Baits Al-Kattani dan syaikh ‘Ala Musthofa Na’imah dari Alexandria. Begitu pula PPMI mengundang syaikhuna Hisyam Kamil pada majlis ta’lim tersebut. Sebagaimana PPMI juga melakukan silaturahmi kepada masyayikh azhar guna menyambung tali silaturahmi dan dalam rangka mengundang masyayikh untuk mengadakan majlis ta’lim bersama Masisir. Selain program back to Azhar, PPMI juga memaparkan misi keduanya yaitu back to campus, presiden PPMI yang ramah disapa dengan sebutan bang Gobe memaparkan via telepon bahwa langkah yang sedang diambil PPMI untuk memajukan kehidupan kampus yaitu dengan cara menelisik dan memantau kinerja senat, selain itu bang Gobe dan jajarannya juga mengajak mereka bekerja sama dalam mem-posting jadwal pelajaran supaya kegiatan kampus tidak bertabrakan dengan kegiatan keorganisasian. Selain senat, PPMI juga telah menjalin kerja sama dengan kekeluargaan, almamater dan afiliatif lainnya untuk tidak mengadakan kegiatan saat jam kuliah berlangsung.
Namun seperti yang kita ketahui, begitu banyak organisasi di bawah pimpinan PPMI membuahkan kegiatan yang sangat padat. Tak dapat dipungkiri bahwa pantauan PPMI kepada kinerja senat dalam memosting jadwal kuliah memiliki keganjalan saat kita menemukan lembaga di bawah PPMI mengadakan acara saat jam kuliah, baik itu lembaga yang independent maupun yang dependent. Salah satu contohnya ketika Senat Ushuluddin mengadakan seminar Dauru Thalabah fi Taqdimil Ummah dengan salah satu doktor Azhar yang dilaksanakan pada tanggal 31 0ktober 2015. Acara tersebut diadakan pada saat jam perkuliahan berlangsung, yaitu pukul 10.00 bertempat di Qo’ah Abdul Halim, Fakultas Ushuluddin putra.
Kembali kepada kegiatan Masisir, kalau dirujuk
Back To Azhar, Campus and Organization
Oleh Laila Nur Hidayati
Te
ra
s
5
pada tujuan awal Masisir datang ke Mesir berarti kegiatan Masisir adalah belajar. Dan belajar tidak harus didapatkan pada saat duduk di bangku kuliah saja, namun dalam berkawan, berinteraksi dengan suatu komunitas tertentu atau berorganisasi juga memberi pelajaran yang bersifat akademik maupun non akademik. Maka dari itu disinilah organisasi berperan.
Baik. Situasi yang kita lihat saat ini adalah krisis regenerasi dalam suatu organisasi. Ketika ditanya satu sama lain banyak yang menjawab selaras. Melihat hal ini, kami merasa butuh adanya riset dan evaluasi kegiatan keorganisasian di Masisir. Ada 163 kuesioner yang kami bagikan kepada pelajar Darul Lughah angkatan Imtiyaz dan angkatan Iltizam. Dari 163 kuesioner tersebut terdapat empat pertanyaan. Pertanyaan pertama adalah inti, pertanyaan kedua dan ketiga adalah proses dan pertanyaan ke empat adalah kesimpulan. Penghitungan riset dilakukan pada setiap pertanyaan.
Riset pada pertanyaan pertama mengenai intensitas kegiatan keorganisasian di lingkungan Masisir menuai hasil prosentase 3,7% kurang padat, 30,1% biasa saja dan 66,2% padat. Pada pertanyaan kedua tentang pengaruh kegiatan terhadap kegiatan prioritas pribadi Masisir menunjukkan prosentase 25,8% tidak mengganggu, 51,5% biasa saja, dan 22,7% mengganggu. Lalu pertanyaan ketiga seberapa efektif kegiatan tersebut, menunjukkan efektif dengan prosentase 30,5%, biasa saja 45%, dan tidak efektif 24,5%. Selanjutnya pada pertanyaan yang bersifat kesimpulan yaitu mengenai perlu atau tidak kegiatan keorganisasian di lingkungan Masisir dikurangi, di sini menunjukkan bahwa yang mengatakan tidak perlu sebanyak 34,4%, biasa saja 29,4%, dan yang mengatakan perlu 36,2%.
Jadi bisa dilihat dari prosentase mayoritas
bahwa kegiatan Masisir padat, dan pengaruh kegiatan keorganisasian terhadap kegiatan prioritas pribadi biasa saja, lalu keefektifan kegiatan tersebut juga biasa saja, namun pada kesimpulan prosentase paling banyak mengatakan bahwa kegiatan keorganisasian perlu dikurangi.
Mendengar kata biasa saja seperti melihat Masisir yang berlalu lalang tanpa semangat yang bergairah, tanpa ada sesuatu yang ditunggu-tunggu saat kegiatan. Beda ketika mendengar kata efektif. Ketika mendengar kata efektif kita seperti melihat Masisir enjoy dengan
kegiatannya, senang, dan memilki gairah dan semangat yang tinggi pada kegiatan yang dilakukannya, baik itu bersifat pribadi maupun umum. Lalu apakah yang diharapkan organisasi induk atas Masisir adalah suatu yang biasa saja?
Hal ini menunjukkan bahwa Masisir cenderung memilih titik aman pada kuesioner proses. Kata biasa saja dengan realita kesimpulan yang mengatakan kegiatan keorganisasian perlu dikurangi menjadi rancu. Karena logisnya kegiatan yang perlu dikurangi yaitu ketika kegiatan tersebut bersifat menganggu kegiatan prioritas pribadi dan kegiatan yang tidak efektif.
Jadi tiga poin yang dicancang PPMI menggambarkan Masisir masih dalam proses menuju mahasiswa ideal dan condong mengarah pada kegiatan keMasisiran atau organisasi. Beragam kegiatan yang ada di Masisir mengalahkan kuantitas kegiatan kampus dan berguru ke masyayikh azhar atau talaqqi. Merupakan hal yang sangat bijak jika PPMI menyaring kegiatan keorganisasian Masisir menjadi kegiatan yang lebih ramping dan memiliki nilai kualitas yang bisa meningkatkan sumber daya Masisir di dunia akademik maupun non akademik.*+
Te
ra
s
6
Siapa yang tidak mengenal Jusuf Kalla? Wakil Presiden kita saat ini. Atau Anies Baswedan? Tokoh pendidikan dan figur intelektual Indone-sia. Dua tokoh yang berjaya dengan lini masing-masing ini merupakan segelintir orang yang pernah menjadi aktivis kampus. Jusuf Kalla, pernah menjabat sebagai ketua Dewan Mahasiswa (DEMA) periode 1965-1966 ketika kuliah di Universitas Hasanudin (UNHAS). Juga pernah menjadi ketua HMI cabang Makassar tahun 1965-1966. Adapun Anies Baswedan, pada tahun 1989-1995 dia aktif di gerakan mahasiswa dan menjabat se-bagai ketua Senat Mahasiswa (SEMA) Universi-tas Gajah Mada (UGM). Melirik sejarah para tokoh yang tumbuh oleh kegiatan-kegiatan organisasi, sangat gencar dalam kalangan mahasiswa istilah kuliah tanpa organisasi bagai sayur tanpa garam. Lalu yang menjadi pertanyaan saat ini adalah apakah organisasi sekarang masih bisa disebut sebagai tempat tumbuh? Apakah ada kesadaran simbi-osis mutualisme antara subjek (organisator) dan objek (mahasiswa umum) dalam pelaksa-naan kegiatan? Apakah benar-benar tepat sasaran dan sesuai yang diharapkan pelaksa-na? Apa manfaatnya benar-benar dirasakan oleh subjek dan objek? Itulah segelintir hal yang akan mendukung terciptanya kegiatan yang efektif. Sesuatu bisa dinilai ketika ada standar atau minimal skala perbandingan. Dalam konteks ini, kita akan melirik iklim organisasi mahasiswa yang ada di tanah air untuk mengambil apa yang baik sebagai cermi-nan bagi Masisir. Budaya Disiplin Mahasiswa Tidak bisa dipungkiri, budaya ngaret bukan lagi menjadi hal yang tabu di kalangan Mahasiswa Indonesia di Mesir. www.kswmesir.org pernah meliput 5 hal di Mesir yang ontime. Diakui oleh reporter, hal yang tepat waktu di Mesir bisa dihitung jari. Kegiatan kemahasiswaan Indone-sia jauh lebih tepat waktu dibandng kegiatan
di Mesir, meskipun tidak setepat waktu Je-pang. Salah satu organisasi di salah satu fakultas di Universitas Padjadjaran menerap-kan kedisplinan dalam hitungan menit. Salah satu hukuman yang diterapkan adalah denda lima ribu rupiah jika telat lima menit pertama, sepuluh ribu untuk lima menit kedua, belum lagi pandangan salah dari rekan-rekan satu tim. Jika ada yang menimpali, "uang mah yang kaya bisa nelat, yang nggak punya uang kasian dong". Jika standarnya uang, belum bisa dise-but sebagai organisator. Integritas yang sangat dijunjung tinggi dalam organisasi. Uang yang diterapkan hanya salah satu cara pendisiplinan dan punishment, serta penanaman kesadaran betapa berharganya waktu. Dalam sebuah acara yang juga dilaksanakan oleh mahasiswa, seorang pembicara memprotes panitia di muka umum karena keterlambatan acara selama tiga puluh menit: "Kalau seperti ini saya buang-buang waktu selama tiga puluh menit. Ada hal yang harus saya kerjakan. Saya tidak akan menambah waktu, karena kalian sendiri yang memotong durasinya." Prinsip mereka begitu kuat, bahwa organisasi adalah pembentukan karakter da-lam kehidupan selanjutnya di masyarakat. En-tah dari kedisplinan, komiten dan tanggungja-wab. Kebiasaan disiplin juga dibentuk oleh kampus, di mana tidak sedikit dosen member-lakukan peraturan melarang mahasisiwa ma-suk kelas jika telat dan jika dosen telat men-capai lima belas menit, maka kelas bubar. Komitmen dua arah yang tanpa disadari mem-bentuk karakter mahasiswa pelaku organisasi. Kebiasaan tersebut menjadi salah satu faktor terbentuknya kegiatan yang rapi. Jika diband-ing kita, tidak diketahui lagi siapa yang harus percaya kepada siapa. Peserta tidak lagi percaya pada penyelenggara, sehingga akan datang sampai dua jam setelah waktu yang ditetapkan. Pelaksana pun tidak percaya kepa-da peserta, sehingga tidak jarang waktu dimu-
Masisir Bercermin
Oleh Itta Raisah F.
An
al
isa
Nu
sa
nt
ar
a
7
lai acara dicantumkan satu atau dua jam sebe-lum pelaksanaan yang sebenarnya. Mari die-valuasi, jika ada skala angka satu sampai sepuluh untuk evektifitas waktu, kegiatan Masisir berhak mendapat nilai berapa? Jangan sampai kita yang menyandang gelar ngaret di negeri sendiri ketika pulang kampung. Karena kepribadian terbentuk oleh kebiasaan yang berulang. Mahasiswa dan Kampus Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) atau Ba-dan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari tingkat fakultas sampai universitas merupakan organi-asasi resmi universitas. Ketika organisasi be-rada dalam naungan fakultas atau universitas, maka akan ada penyelarasan dan dukungan dari pihak kampus. Akan diseleksi oleh kampus apakah kegiatan benar-benar menunjang kom-petensi mahasiswa, apakah kegiatan tidak berbenturan dengan akademik mahasiswa. Ketika kegiatan dinilai kurang sesuai, tidak jarang proposal atau perizinan ditolak. Se-dangkan kegiatan yang dilaksanakan dikampus harus ada izin resmi dari kampus. Bahkan kegiatan yang dilaksanakan di luar kampus, namun membawa nama mahasiswa kampus, surat izin menjadi nyawa terlaksananya kegiatan. Ketika kegiatan dinilai gebrakan baru dan menarik, kampus akan memberikan sup-port dalam berbagai bentuk, entah dana atau dukungan fasilitas yang memaksimalkan pelaksanaan. Adanya kerjasama antara organ-isasi dan kampus, menjadi filter tersendiri, sehingga aktivitas dan kegiatan-kegiatan yang dimunculkan oleh mahasiswa merupakan kegiatan yang terseleksi. Dari bidang publikasi, kegiatan mahasiswa yang berpusat di kampus, kewajiban kehadiran mahasiswa masuk kelas, serta keberadaan BEM-BEM fakultas menjadi faktor yang mem-permudah. Penyebaran pamflet bisa dikirim melalui BEM fakultas lalu ditempel di papan pengumuman fakultas masing-masing atau publikasi langsung menggunakan toa di gerbang utama kampus. Jika seperti kita yang kehadiran tidak semua ada absensi, tidak ada organisasi mahasiswa resmi kampus, maka perlu usaha lebih untuk penyebaran info kepa-
da mahasiswa-mahasiswa yang keberadaann-ya tersebar. Kemungkinan istilah -nggak tau infonya- pun semakin besar, Diakui bahwa menjadi hal yang biasa maha-siswa di Indonesia terkenal dengan se-abreg kegiatan. Sumber Daya Manusia (SDM) yang berlimpah memunculkan organisasi-organisasi yang sangat beragam. Tiap-tiap organisasi akan memunculkan kegiatannya masing-masing. Jumlah kegiatan yang sangat banyak akan menimbulkan kompetisi antar kelompok. Mahasiswa non-organisator akan memilih, acara kece yang bakal diikuti, maka pelaksana akan berlomba-lomba menciptakan yang pal-ing bagus. Dari cakupan, ada seminar regional kampus sampai internasional. Ada yang mendatangkan pembicara daerah, artis, penu-lis nasional, atau bahkan tokoh internasional. Dihubungkan dengan peran kampus, ketika kampus telah memiliki ikatan kerjasama dengan suatu lembaga nasional ataupun inter-nasional, maka akan lebih mudah mengundang tokoh yang berada dalam lem-baga tersebut. Mahasiswa dan CV Pendukung lain terciptanya kegiatan kemaha-siswaan yang efektif adalah partisipasi besar dari mahasiswa. Piagam menjadi salah satu pendorong mahasiswa aktif dalam kegiatan, entah sebagai pelaksana maupun sebagai pe-serta. Curiculum Vitae (CV) menjadi nilai yang diperhatikan mahasiswa. Dikenalkan oleh kam-pus bahwa ketika lulus dari bangku perkulia-han, CV sangat penting untuk melanjutkan karir. Salah satu nilai penting dalam CV adalah adanya pengalaman-pengalaman organisasi dan pelatihan yang dibuktikan dengan adanya piagam. Semakin banyak pengalaman organ-isasi dan pelatihan-pelatihan yang diikuti, -katanya- akan lebih meyakinkan Human Re-source Development (HRD) ketika melamar pekerjaan. Beberapa universitas bahkan me-wajibkan mahasiswa memiliki sertifikat se-bagai tiket pelaksanaan skripsi. Sehingga bagi beberapa kegiatan atau organisasi, pengum-pulan massa tidak lagi menjadi masalah. Yang mereka lakukan adalah membuat target tinggi massa yang berpartisipasi.*+
An
al
isa
Nu
sa
nt
ar
a
8
Setiap negara yang maju identik dengan sistem
pendidikan yang maju. Dalam artian, semakin
berkualitas pendidikan suatu negara maka se-
makin maju pula peradaban yang dimiliki oleh
negara tersebut. Selain itu, kualitas sumber
daya manusia yang dihasilkan pun memuaskan.
Dan tentunya SDM yang berkualitas akan lebih
bisa memberikan kontribusi bagi perkem-
bangan sebuah negara. Meskipun begitu, agar
bisa merealisasikan keberhasilan pendidikan
maju ini, tentu banyak hal yang harus dipenuhi
secara sempurna mulai dari sistem pembelaja-
ran, tenaga pengajar dan metode pendidikann-
ya. Inilah sebenarnya yang membedakan mutu
antara negara maju dengan negara berkem-
bang.
Membaca sistem pendidikan yang maju,
teringat dengan sistem pendidikan Mesir.
Sebab Mesir tercatat atau dianggap sebagai
negara maju yang meraih peringkat keenam di
dunia sebagai penghasil doktor berkualitas.
Terbukti dari banyaknya peraih nobel yang
berasal dari Mesir, beberapa di antaranya ada-
lah Naguib Mahfouz (sastra, 1988) dan Ahmed
Hasan Zewail (Kimia, 1999). Mesir juga
mempunyai satu slogan pendidikan yang fe-
nomenal, yaitu “Pendidikan adalah hak setiap
masyarakat, seperti air dan udara.” Tidak
heran, pendidikan di Mesir sangatlah murah,
contoh al-Azhar. Di samping itu, setiap tahun
Mesir juga mengadakan pameran buku inter-
nasional, yang diselenggarakan oleh Menteri
Pendidikan yang bekerjasama dengan penerbit
-penerbit dari berbagai negara.
Secara kelembagaan, sistem pendidikan Mesir
adalah tanggungjawab kementrian pendidikan.
Kementrian pendidikan bertanggungjawab
mulai dari pendidikan sekolah dasar sampai ke
pendidikan tinggi dalam aspek perencanaan,
kebijakan, koordinasi dan pengembangannya.
Ringkasnya, pemerintah lah yang bertanggung-
jawab atas segala sesuatu untuk menjamin
terselenggaranya operasional dengan efisien.
Namun menyoroti fenomena pendidikan Mesir
saat ini, ternyata kenyataan yang ada dengan
slogan yang dipopulerkan tidaklah sepadan.
Masih banyak kekurangan yang sifatnya ele-
menter di dalam lembaga pendidikan Mesir
seperti tidak memadainya fasilitas sekolah;
bangku, perpustakaan, ruang kelas dan sistem
pendidikan. Akibatnya, permasalahan yang
seharusnya sudah dapat ditanggulangi sejak
masih dalam perancangan meluap dan men-
jamur dalam tubuh masyarakat. Lebih jauh
permasalahan pendidikan tersebut ber-
tanggung jawab atas masih banyaknya
masyarakat yang buta huruf dan mem-
bengkaknya jumlah pengangguran yang men-
capai 12,7% dari total angkatan kerja di Mesir
tahun 2015. Bandingkan dengan Singapura,
yang tingkat penganggurannya hanya 2% pada
tahun 2015. Hal ini menunjukkan bahwa kuali-
tas sumber daya penduduk Mesir masih sangat
rendah. Kenyataan di atas menunjukan ku-
rangnya dukungan atau motivasi dari
pemerintah dalam bidang pendidikan. Padahal
kedua hal inilah yang menjadi basis perubahan
dalam meningkatkan pembangunan suatu
negara.
Bukti lain rendahnya kualitas pendidikan Mesir
dapat dilihat dari hasil penelitian The Global
Competitiveness Forum. Menurut The Global
Competitiveness Index 2014-2015, Mesir be-
rada di peringkat 116 dari 140 negara. The
Global Competitiveness Index 2014-2015 meru-
pakan indeks komposit yang mencakup kualitas
kesehatan, tingkatan pendidikan dan kondisi
ekonomi. Merujuk kenyataan saat ini, pen-
capaian kinerja sistem pendidikan Mesir bisa
dikatakan masih kurang optimal.
Kerancuan Pendidikan Mesir
Oleh Izzatun Nafsiyah
Tim
ur
Te
ng
ah
9
Seperti yang diberitakan akhir-akhir ini,
pengangguran di Mesir masih merajalela, be-
gitu juga dengan gelandangan. Hal ini disam-
paikan oleh Izzudin, ketua Persatuan Wilayah
untuk Universitas. Bahkan dia menambahkan
bahwa fenomena ini sudah terjadi sejak sembi-
lan tahun yang lalu. Ini menunjukkan bahwa
pendidikan di Mesir belum menyentuh setiap
lapisan masyarakat dan fenomena penganggu-
ran, buta huruf adalah bukti nyata tentang
belum adanya keberhasilan pendidikan di Me-
sir. Dan lahirnya para doktoral di Mesir, pada
kenyataannya, belum bisa banyak membantu
mengentaskan kemiskinan, pengangguran dan
buta huruf.
Untuk merespon fenomena ini, merekonstruksi
pendidikan nasional ada-
lah solusi awal dalam
mengentaskan buta hu-
ruf, kemiskinan dan
pengangguran. Caranya
adalah dengan menerap-
kan pendidikan kultural
dan pendidikan yang
sesuai dengan esensi
negara itu sendiri, bukan
justru menerapkan pen-
didikan asing yang tidak
sesuai dengan nilai-nilai
budaya atau memaksa-
kan konsep pendidikan
yang otoriter. Peran pen-
didikan kultural yang be-
rasal dari pendidikan
keluarga sangatlah
penting, karena hal tersebut merupakan faktor
pembangun karakter anak sejak dini.
Contoh pembangunan karakter anak sejak dini
bisa dilakukan dengan mengajarkan anak un-
tuk selalu berprilaku baik, mengasah kre-
atifitasnya, mengajarkan bagaimana etika ber-
sosialisasi, mengenalkan mana yang baik dan
tidak, menceritakan kisah-kisah teladan dan
lain sebagainya sehingga nilai-nilai etika,
moral, agama, sosialisasi dan budi pekerti
meresap dalam diri anak sejak dini. Sedangkan
di Mesir, anak-anak belum secara merata
mendapat pendidikan karakter seperti halnya
di atas. Terbukti saat ini masih sering
ditemukan kenakalan-kenalan anak Mesir sep-
erti membentak orangtuanya, mencuri, mem-
buat onar, tidak suka absen sekolah dan lain-
lain.
Wacana pendidikan kultural ini, bukanlah seka-
dar omong kosong belaka, sebab banyaknya
keberhasilan negara maju dalam membangun
pendidikannya juga memasukkan nilai kultural
di dalam sistem pendidikan dan kurikulumnya.
Dan di Mesir sendiri wacana tersebut seringkali
hadir di rubrik opini koran-koran Mesir. Seperti
yang dituliskan oleh Muhammad Khithab da-
lam artikelnya yang berjudul “Perkembangan
Pendidikan Mesir” dan
Alla Al-Ilmi yang berjudul
“Wacana Pengembangan
Masyarakat dan Pendidi-
kan Keluarga” bahwa
pendidikan itu juga harus
dimulai dari keluarga dan
tidak hanya mengandal-
kan pendidikan sekolah,
serta memasukkan aja-
ran-ajaran moral-etika,
nasionalisme, agama di
silabus pendidikan na-
sional. Hal ini menunjuk-
kan adanya bentuk
kepedulian masyarakat
Mesir terhadap permasa-
lah-permasalahan pen-
didikan yang ada di
negaranya.
Dari sana, kita bisa belajar bahwa pendidikan
nasional yang baik harus mampu meng-
gabungkan nilai kultural masyarakat dalam
silabus pendidikan dan ajaran di sekolah-
sekolah negara. Agar generasi mudanya bisa
menjadi manusia bertanggungjawab dalam
moral dan kelimuan secara seimbang. Sehingga
pendidikan nasional tidak merampas kebeba-
san seorang manusia yang merdeka. *+
Tim
ur
Te
ng
ah
10
Saat itu Bang Gobe baru saja resmi menjabat
sebagai presiden PPMI. Kebetulan, saya dan
kawan-kawan ditugaskan mewawancarai be-
liau tentang program-program yang akan diga-lakkan PPMI di bawah kepemimpinannya.
Walhasil, ada tiga agenda besar yang diusung
Bang Gobe: back to Azhar, back to campus dan
back to organization. Dari Tri Agenda PPMI, saya menduga-duga kenapa harus demikian.
Mungkinkah gara-gara Masisir belum memiliki
tiga unsur tadi? Pun dalam pelaksanaannya,
mungkinkah Tri Agenda PPMI terealisasi dengan sempurna?
Sebelum membahas lebih dalam, kita cermati
bahwa ketiga pengembalian (back) itu berkai-tan dengan kegiatan pembelajaran bagi diri
seseorang. Dipahami secara dewasa belajar
adalah sebuah keniscayaan tanpa harus
mengembalikannya pada latar belakang seseorang. Sedang di lingkungan Masisir kita
akan menemukan fenomena ruang belajar ada-
lah sesuatu yang bersifat privasi—dalam artian
mau belajar ataupun tidak bukan urusan orang lain—, lalu menimbulkan kesan bagi yang mem
-publikasikan kegiatan belajarnya telah
mendapat sebuah prestasi. Setidaknya berupa
pujian dari Masisir.
Jumhur Masisir sepakat kalau tujuan di Mesir
adalah belajar. Tapi terjadi perbedaan pan-
dangan dalam soal “belajar apa?” Pertama, melihat bahwa belajar adalah tujuan, sehingga
posisi mahasiswa di Mesir harus memiliki porsi
belajar yang lebih dan meninggalkan kegiatan
sekunder yang tidak berbau ilmiah. Pemaham-an kaku inilah yang selalu dipromosikan oleh
“mantan” Atdik. Kedua, belajar memang sudah
menjadi satu keharusan, dalam artian, sejak
kita dilahirkan manusia memang memiliki ko-drat wajib belajar. Dalam kapasitasnya sebagai
mahasiswa, Masisir sudah seharusnya bertolak
menuju suatu dinamika sosial yang lebih luas,
yaitu belajar bermasyarakat dan berke-
budayaan—tidak melulu berkutat pada proses
belajar akademik.
Namun dua hal di atas—yang sudah jamak dipahami Masisir—, alih-alih mampu membu-
atnya keluar dari dilema status yang disan-
dangnya, mereka malah masih terjebak pada
kejumudan pikir dengan saling ejek satu sama
lain.
Manusia memang mudah luput. Tekadang,
ketika kita menginginkan suatu kemajuan, akan terjadi kemunduran pada hal lain. Katakanlah,
bagi mahasiswa yang menyatakan diri fokus
pada pendalaman agama, bisa jadi ia tak mem-
iliki sense bermasyarakat yang apik, ia hanya akan senang dalam hal belajar dan belajar.
Adapun bagi kelompok yang meyakini bahwa
belajar adalah murni urusan pribadi, kemudian
mereka menjajaki dinamika kehidupan ber-
masyarakat dan berbudaya, terkadang bela-jarnya akan ketinggalan. Lalu dimanakah con-
cern belajar Masisir yang sesungguhnya?
Tentang kemungkinan terealisasinya Tri Agen-
da PPMI sebagai program solutif bagi dinamika
Masisir yang sedemikan rupa, pada suatu obro-
lan terjadi dua perbedaan pendapat. Pertama,
adanya kemungkinan Tri Agenda tersebut ter-jadi. Sebab kelompok ini memandang Tri Agen-
da tadi sebagai sebuah cita-cita luhur. Pun
demikian, tantangan masa depan menuntut
kemampuan mahasiswa untuk menguasai tiga aspek tersebut. Seperti yang diungkapkan
Soedjatmoko (1991:97), selain tantangan masa
depan bangsa yang menuntut mahasiswa
memiliki kemampuan akademis, juga memiliki kepekaan sosial. Karenanya, agenda PPMI dira-
sa cukup tepat mengantarkan Masisir untuk
memiliki sifat dan kemampuan manusia Indo-
nesia di masa mendatang. Dengan demikian, benar jika Tri Agenda PPMI diartikan sebagai
cita-cita.
Kedua, tidak mungkin. Berbeda dengan ke-lompok pertama yang memandang Tri Agenda
sebagai cita-cita, kelompok ini memandang Tri
Membaca Ulang Proyek Tri Agenda PPMI
Oleh M. Furqon Khoiruddin
Op
ini
11
Agenda sebagai satu paket keseharusan sehing-
ga timbul pemahaman yang kontradiktif dari
mereka dan mengatakan tidak mungkin keti-ganya terwujud ketika dihadapkan pada realita
saat ini. Mulai dari aktif kuliah, sesama Masisir
pasti memaklumi ihwal perkuliahan di Azhar
yang sangat moody. Belum lagi dengan back to organization, hal tersebut justru lebih masuk ke
ranah passion. Dalam artian tidak bisa
seseorang didorong terus-menerus agar terjun
dalam organisasi. Kenyataan inilah, yang men-jadikan Tri Agenda terkesan naif dan memaksa-
kan.
Di -lain sisi, saya heran dengan Masisir, iyakah tidak memiliki label di mata
masyarakat Indonesia sana? Misal-
nya, kritis dengan perkembangan
fiqh kontemporer atau dapat me-rangkul segenap umat walaupun
dalam perbedaan dan lain-lain.
Sampai-sampai PPMI menggelo-
rakan paket agenda agar Masisir kembali ke jalan lurus versi PPMI—seakan-akan
Masisir telah keluar dari jalur utamanya. Tapi
saya juga ragu bagaimana PPMI melahirkan Tri
Agendanya. Jika Tri Agenda lahir hanya lanta-ran keadaan Masisir yang dianggap belum
membanggakan, seperti jarang kuliah dan sulit
diajak terjun dalam organisasi, maaf, maka nilai
Tri Agenda ini tidak memiliki nilai berarti. Kare-na, agenda ini merupakan hasil dari paradigma
“apa yang baik atau ideal bagi Masisir” tidak
ada bedanya dengan program yang diusulkan
banyak organisasi pada umumnya.
Dalam kapasitasnya sebagai organisasi induk
Masisir, PPMI seharusnya sudah menggali
dengan sedalam-dalamnya jiwa Masisir untuk menemukan pijakan universal. Mengapa ha-
rus? Dengan adanya penggalian jiwa, hasilnya
tentu berbeda. Ia akan lebih diterima, hidup
dan merakyat, sebagaimana lahirnya Pancasila. Dulu, Bung Karno menggali nilai-nilai jiwa bang-
sa dalam lautan sejarah, bahkan sampai pada
kerajaan kuno di Indonesia. Sampai akar nilai
bangsa ia gali. Melalui proses itulah, pancasila
menjadi suatu “meja statis yang dapat mem-persatukan segenap elemen, tetapi mempunyai
tuntunan dinamis ke arah mana suatu perge-
rakkan,” sebagaimana diungkapkan Bung Kar-
no.
Memang, Tri Agenda tidak akan bisa disamakan
substansinya dengan dasar NKRI, tapi yang kita ambil pelajarannya bukan itu, melainkan pros-
esnya. Wajar saja jika ada kalangan yang tidak
sepakat dengan paket agenda PPMI, mengingat
ia sebatas program normatif suatu organisasi.
Selain itu, ketika Tri Agenda dianggap sebagai satu paket cita-cita atau satu keharusan bagi
Masisir, belum tentu akan sesuai dengan
keyataan insan Masisir saat berada di tanah
air. Bisa jadi suatu kampung membutuhkan alumnus al-Azhar yang mampu
menjadi pemersatu ukhuwah di
masyarakat, tidak hanya berilmu
tinggi tapi tak peka sosial. Ada juga yang hanya membutuhkan sosok
alumnus yang menguasai banyak
kitab agama, sehingga bisa
menghidupkan suasana peradaban Islam yang telah lama lekang dan kebutuhan-
kebutuhan membumi lainnya.
Itulah mengapa, makna dari Tri Agenda PPMI yang tepat adalah sebagai sebuah peringatan
agar Masisir memiliki identitasnya sendiri-
sendiri, ya, setidaknya satu keunggulan. Tidak
harus individu Masisir menguasai tiga agenda tadi, tapi cukup masing-masing memainkan
peran sesuai bidangnya. Bagi yang suka talaqqi,
biarlah mereka mendalami ilmu agama dengan
tenang. Tapi jangan sampai melupakan peran sosialnya. Bukankah banyak media untuk
berbagi ilmu? Bagi pegiat organisasi juga harus
berusaha agar tidak menomorduakan soal bela-
jar. Bukankah itu cukup membuat orang tua kita senang?
Dengan demikian akan terjadi suatu keseim-
bangan dalam tatanan Masisir sebagai suatu masyarakat. PPMI jangan lagi terkungkung da-
lam kotak berpikir “mahasiswa ideal”. Mari kita
lebih memahami arti bermasyarakat. Karena
tidak ada satu kampung yang berisi para pem-impin. Dan sebagai Ibu, selayaknya PPMI bisa
mewujudkan sebuah meja statis dengan tun-
tunan dinamis. Demi Masisir.*+
Op
ini
12
Pendidikan adalah syarat mutlak untuk meraih
kehidupan yang beradab. Sebabnya, hal terse-
but telah menjadi ukuran mengenai seberapa
maju berkembangnya sebuah negara dan
masyarakat. Karena melalui pedidikan akan
dihasilkan sumber daya manusia yang berkuali-
tas, peka, dan paham akan kebutuhan zaman.
Sehingga, diharapkan dari mereka, mampu
membangun sebuah pemikiran untuk solusi
setiap problematika yang ada. Sedangkan di
lain hal, jamak diketahui bahwa mahasiswa—
sebagai kaum terdidik—adalah garda terdepan
sebuah masyarakat. Ia mempunyai dua fungsi
yang harus dijalankan. Pertama, menciptakan
perubahan pada negara dan masyarakat agar
lebih peka pada lingkungan dan dunia. Kedua,
sebagai pengawas terhadap sistem organisasi
di masyarakat dan negara agar selalu stabil.
Dengan memahami dua fungsi yang dimiliki,
mahasiswa sebagai agen perubahan; sebagai
bibit unggul generasi terdepan, haruslah
memilik idealisme yang tidak bisa dijual
dengan kepentingan apapun. Karena melihat
realita kekinian, banyak dari mahasiswa yang
menjadi “kacung” sebuah organisasi tertentu.
Dan, idealisme yang seharusnya ia jaga, pada
akhirnya harus tenggelam dalam banjir visi dan
misinya. Sehingga pertanyaannya kemudian, di
mana idealisme mahasiswa yang murni? Ideal-
isme kaum intelektual yang harus memikirkan
pembaharuan dalam setiap langkahnya? Kare-
na setiap pelajar—sekalipun ia bukan
mahasiswa—dalam proses belajarnya, ia akan
memprioritaskan apa yang lebih dibutuhkan
oleh masyarakat dan lingkup sosialnya. Bukan
mengamini secara buta rayuan para aktivis
organisasi yang notabenya dibayangi dengan
target, visi dan kalkulasi kesuksesan program
kerja.
Dari hal tersebut, menulusuri dan mengkaji
mengenai genealogi mahasiswa ini akan
membawa pada konsepsi yang matang tentang
fungsi mahasiswa di atas. Tujuannya, maha-
siswa harus mampu mengemban tanggung
jawab dan mempertahankan idealismenya
sebagai seorang intelektual. Yaitu sebagai pela-
jar yang membawa harkat dan martabat bang-
sa, mengemban amanah sosial, melakukan
perubahan dan berkhidamat untuk masyarakat
sekitarnya.
Langkah awal yang harus diambil dalam
penelusuran ini adalah mendeteksi kedudukan
mahasiswa di masyarakat. Bahwa arti yang
terberi padanya, bukanlah sekedar permainan
bahasa sebagai kaum terdidik dan terpelajar,
tapi juga menemukan pendakuannya secara
eksistensial. Fungsinya, agar bisa memahami
spirit kaum terdidik paling natural. Yaitu aura
intelektual yang dipenuhi dengan nilai ketu-
lusan dan keikhlasan untuk mengentaskan
manusia dari jurang amoral dan kebodohan.
Hal ini akan dijadikan titik pijak sebelum me-
langkah untuk menemukan sebuah perubahan
dan perkembangan di masa-masa selanjutnya.
Yaitu masa, dimana mahasiswa—atau kita se-
but sebagai kaum terdidik—mulai bersifat
pragmatis dan lupa akan tanggungjawabnya
sebagai kaum idealis.
Di lain hal, penelusuran jejak eksistensial
mahasiswa dan kandungan makna terberinya,
diharapkan mampu mengembalikan nilai pro-
porsional terhadap bentuk aplikatif peran
seorang mahasiswa secara intelektual.
Mengembalikan kesadaran mahasiswa sebagai
Menyegarkan Kembali Fungsi dan Identitas Mahasiswa; Sebuah Upaya Pembacaan Genealogis1
Oleh Ni’matul Majmu’ah
Ka
jia
n
13
kaum idealis yang memiliki prinsip dan ketegu-
han dalam membawa perubahan di setiap ling-
kungan ia berada. Bukan sekedar menjadi ka-
cung sebuah program, visi misi dan tugas kerja
suatu organisasi tertentu.2
Kemudian, perlu mendedah ulang kata maha-
siswa secara leksikal agar esensi makna awal
yang terbentuk tidak ternafikan dalam realitas
sosial. Sehingga dua fungsi di atas tadi bisa
terjaga dan terealisasikan secara maksimal ke
depannya. Terutama di dalam membangun
kembali nilai kemanusiaan dan kebangsaan
yang saat ini banyak tercederai kepentingan
sesaat oleh para pemodal, partai dan aktifis
pragmatis. Tentu, artikulasi ini menjadi awal
penting topik ke-mahasiswa-an di Masisir
dewasa kali ini. Yakni sebuah usaha untuk
membangun dinamisasi progesif dalam tradisi
intelektual dan organisasi. Sehingga tidak
sekedar mengejar kesibukan program tanpa
pencapaian “karakterifikasi mahasiswa”
menuju manusia kreatif.
Secara leksikal, kata mahasiswa memiliki arti
sebagai seseorang yang memiliki pendidikan
hingga jenjang paling tinggi. Pendidikan yang
tidak hanya mengejar titel, tapi juga
pengentahuan yang luas beserta kepribadian
yang tangguh. Hal ini bisa dilihat dari
penggabungan kata maha dengan siswa. Maha
artinya sesuatu yang luar bisa dan siswa adalah
seseorang yang menuntut ilmu di manapun
berada. Dari arti ini jelas kata mahasiswa
mengandung arti pelajar yang mempunyai
pengetahuan luas dan mendalam.
Sedangkan penerjemahan sebagai pelajar atau
seseorang yang memiliki pendidikan bermakna
sebagai orang yang menerima arti ajaran,
latihan dalam hal akhlak dan kecerdasan.3 Se-
dangkan dalam tradisi Arab kita akan
menemukan kata muta’alim atau thalabah.
Sedang kata yang berbahasa Arab tersebut
juga memiliki banyak relasi makna yang
menunjukan substansi yang sama. Di an-
taranya adalah al-Ishlah, ar-Ri’ayah, at-
Tanmiayah.4 Dari berbagai relasi makna yang
dihadirkan, penulis mencari pembenaran
dengan melihat tradisi intelektual paling awal.
Di sana, makna dari kata tersebut telah terap-
likasikan dengan apik, walaupun tanpa pen-
dakuan secara resmi dan terstruktur. Seperti di
era Nabi Muhammad, pelajar setingkat
mahasiswa mendapat pelajaran dari Nabi di
madrasah-madrasah tentang tanggungjawab,
berprilaku yang baik, berbuat baik, tekun,
bekerja keras dan menjaga kemaslahatan
bersama serta mengetahui prioritas orang
banyak.
Akan tetapi pada kenyataannya, pendidikan
mengalami polarisasi makna dari makna dasar
ke makna relasional yang sangat luas sekali
maksudnya. Bisa diperhatikan, sampai pada
tataran masa kini, telah menunjukkan sebuah
pengembangan makna pendidikan dan
transformasi kesadaran—sebagai bentuk
aplikatifnya—kaum terdidik. Artinya, kalau
seandainya pendidikan dalam tradisi awal—
dengan makna dasarnya—dipahami sebagai
sebuah usaha membangun moral dan men-
dalami sebuah ajaran, maka dalam masa
setelahnya, pendidikan dipahami dengan
tekstur yang berbeda. Sehingga, hal ini tentu
saja akan berpengaruh terhadap bentuk
kesadaran untuk memahami bentuk pendidi-
kan yang berbeda tersebut. Singkatnya, boleh
kita katakan bahwa bentuk kesadaran yang
terbilang mereduksi dari tataran idealisme
awal sebagai mahasiswa (kaum terdidik) ada-
lah dampak yang harus ditanggung ketika
melihat makna pendidikan mulai memendar
dari tataran makna awal menjadi bentuk pen-
didikan formal, institutif, terstruktur. Karena
dengan demikian kesadaran yang sudah
terbangun di masa-masa awal sebagai sebuah
kesadaran idealis, natural menjadi kesadaran
Ka
jia
n
14
yang pragmatis. Pendidikan menjadi tidak
cukup dengan ajaran dan aplikatif, tapi juga
membutuhkan sebuah legalisir dan
pengakuan. Dan akhirnya, idealisme maha-
siswa yang seharusnya dipegang teguh harus
terlebur bersama wacana formalitas yang ber-
macam variannya.
Dari hal di atas, akan ditemukan adanya se-
buah pertautan yang erat antara makna, re-
alita sejarah dan kesadaran yang kemudian
akan memunculkan paradigma yang berbeda-
beda di benak masyarakat. Ketika pendidikan
hanya dimaknai sebagai sekedar masalah ad-
ministrasi, maka mahasiswa pun juga menjadi-
kan idealismenya menjadi barang barteran
pemerintahan. Sehingga, perlu mengurai ab-
surditas kuadrat demi menjumpai pemaknaan
dan kesadaran awal dan proporsional dari ma-
hasiswa.
Dalam kasus yang lebil nyata, mari melihat
sekeliling kita, Masisir. Setelah melihat polar-
isasi pemaknaan awal kata pendidikan serta
perbedaan tekstur kesadaran yang mengikuti-
nya, maka akan menjadi mudah untuk melihat
bentuk kesadaran seperti apa yang telah
mengakar dalam pola pikir masahasiswa di
sini. Bukan salah atau benar yang menjadi
topik di sini, namun kita berusaha membaca
dan mencari bentuk genealogi yang patut di-
jadikan rujukan. Andaikata di sana ada ketidak-
sesuaian, maka saatnya-lah disesuaikan, atau-
pun ketidak-benaran, maka sudah saatnya
mahasiswa bercermin dan memahami dirinya
sendiri untuk kembali menjadi kaum idealis
yang dipenuhi ambisi dan mimpi sesuai
kesadaran awal sebagai kaum terdidik.
Pada dasarnya kita hidup sebagai makhluk
sosial tidak akan mampu menafikan sisi prag-
matis dalam setiap sendi kehidupan. Yang ter-
penting, bagaimana seorang manusia—
terkhusus mahasiswa— dengan melihat fungsi
dan perannya harus mampu menyeimbangkan
diri dalam menghadapi arus-arus yang
demikian itu. Mahasiswa yang menjadi
pensukses progam kerja, visi dan misi pragma-
tis dianggap gagal dalam mendalami perannya
sebagai kaum terdidik. Karena sesuai pemak-
naan yang diperoleh melalui sudut pandang
genealogi di atas, mahasiswa adalah kaum
terdidik, idealis, progresif dan mampu memba-
wa dirinya dalam pembelajaran yang dibutuh-
kan. Tujuannya untuk dipraktekan dalam ling-
kungan sosialnya. Sebagaimana yang dilakukan
oleh Rasulullah SAW., sebagai pendidik paling
proposional selalu menghargai dan memeper-
timbangkan kondisi anak-anak didiknya melalui
metode-metode pengajaran yang berbeda
sesuai karakter mereka. Hal ini menandakan
bahwa hak dan idealisme seorang penuntut
ilmu, agaknya menjadi hal yang urgen dan ha-
rus tetap dipegang teguh. Karena dengan
demikian, manusia akan memahami dan
mengenali dirinya, lingkungannya sesuai ke-
mampuannya. Adalah ia yang mampu
mengenali dirinya, adalah dirinya yang mampu
mengenali lingkungannya. Adagium ini
agaknya menjadi renungan bagi badan organ-
isasi kemahasiswaan yang telah menjadikan
mahasiswa sebagai tim sukses program kerjan-
ya. Yaitu menjadikan mahasiswa sebagai peng-
genap kalkulasi target kuantitas sebuah pro-
gram, visi dan misinya.
Mahasiswa seakan mati gaya. Karena eksisten-
sisnya berubah menjadi tempat perdagangan
para aktivis organisasi. Banyak program yang
disuguhkan, menjadikannya lupa akan jati
dirinya. Sedangkan sukses dan tidaknya sebuah
kegiatan—sekarang ini—mulai diukur dari
kalkulasi peserta, kalkulasi daftar hadir dan
demikian seterusnya. Mahasisiwa mempunyai
hak dan wilayah privasi yang perlu dipertim-
bangkan. Banyak tawaran visi, misi dan pro-
gram kerja tidak membantu mereka untuk
Kajian K
aj
ia
n
15
menemukan jati dirinya. Karena setiap dari
mereka memiliki kepentingan yang berbeda.
Dan pada akhirnya, mereka akan merasa
terkekang dan capek dengan banyaknya
kegiatan yang seluruhnya mengharuskan di-
penuhi secara kuantitas. Sedangkan di lain hal
mereka mengemban tanggung jawab yang
besar. Sebagai generasi bangsa, mereka mem-
ikul masa depan kampungnya. Bagaimana
yang dibutuhkan hanya mereka yang paling
tahu. Jadi, tidaklah bisa mengumpulkan mere-
ka dalam satu program, visi dan misi. Seperti
halnya melingkari mereka dengan jargon
”kembali ke Azhar, kampus, dan organisasi”.
Bisa jadi kepentingan mereka, bukan di antara
ketiganya. Kaum aktivis terlalu angkuh untuk
memahami hal ini. Terlalu sulit mengendapkan
ambisinya untuk menyukseskan program
kerjanya.
Jika demikian adanya, lalu bagaimana bisa
mereka kaum aktivis—PPMI misalnya—
mengekang mereka dalam ambisi kesuksesan
program kerjanya. Membatasi mereka dengan
pilihan kegiatan yang bisa jadi tidak masuk
dalam daftar kebutuhan. Hal ini akan menjadi
kesenjangan yang teramat jauh, ketika melihat
bagaimana pola pengembangan makna pen-
didikan dan kesadaran kaum terdidik dari
tradisi awal sampai sekarang ini.
Seharusnya, pengembangan makna pendidi-
kan yang telah termaterialkan menjadi formal,
terlembagakan, tetap menjaga unsur-unsur
idealnya—dalam ranah kognitif dan moral—
agar tetap dalam kadar yang pas. Walaupun, di
lain hal, perubahan tersebut tidak selamanya
buruk, jika ditanggapi dan dipahami dengan
apik oleh kaum pejabat maupun kaum
terdidiknya. Sehingga kesadaran yang ter-
bentuk dalam diri mahasiswa tetap dalam
pemahaman awal sebagai kaum intelektual
yang idealis dan tidak butuh intervensi dari
pihak manapun. Karena pada sejarahnya, ma-
hasiswa dan kaum muda yang menjadi dalang
di setiap pergerakan, perubahan. Baik itu dari
masa Nabi, kolonialisme, bahkan sampai refor-
masi. Mahasiswa selalu menjadi garda terde-
pan di setiap langkah perubahan, bukan men-
jadi kacung yang siap merealisasikan program,
visi dan misi sebuah komunitas tertentu.
Demikianlah kenapa dianggap perlu menelusu-
ri secara genealogis jati diri mahasiswa—
sebagai kaum terdidik—untuk memberikan
refleksi bagaimana sebenarnya sikap dan
idealisme yang harus diteguhkan. Berusaha
melihat transformasi pemaknaan pendidikan
di setiap masa yang berbeda serta melihat
kesadaran yang terbentuk menjadikan manu-
sia akan mafhum akan adanya perubahan.
Mafhum disertai sikap yang apik dan tidak
tenggelam dalam arus industrialisasi, bursa visi
misi kaum pejabat dan aktivis.*+
Kajian
1 Kata genealogi secara leksikal digunakan untuk menelusuri garis silsilah keturunan, namun dalam kajian ini akan digunakan dalam ranah sosial guna melacak otentisitas fungsi mahasiswa. Artinya, kajian ini akan berusaha mengembalikan cerminan seperti apa sikap mahasiswa yang sepatutnya dalam menghadapi arus pragmatis sebuah komunitas tertentu. Sehingga mahasiswa yang sejak dari awal telah memiliki idealisme dan kepentingan naturalnya, tidak akan tenggelam dalam pengaruh pihak manapun.
2 Pijakan sudut pandang genealogi diadopsi dari tokoh Friedrich Nietzsche dalam buku On The Genealogy of Morality. Dalam pengenalannya, disebutkan bahwa Nietzsche mengalami kegusaran dalam menerima wacana moralitas saat itu, yang terlihat cenderung terdominasi otoritas tertentu. Sehingga dengan spirit dekonstruksi, ia berusaha menghadirkan kembali hakikat moralitas paling awal sebagai tolak ukur penilain akan isu-isu yang berkembang saat itu mengenai moralitas. Hal ini akan diterapkan dalam membaca hakikat fungsi mahasiswa dan identitasnya paling awal sabagai kaum terdidik.
3 Lihat KBBI dan lihat juga PRESTâSI Edisi 103 pada Rubrik Kajian, hal. 13, oleh Saudara Nasifuddin Lufhfi digunakan sebagai pemaknaan dasar dari kata ini.
4 Lihat buku karangan Jaser Barakat yang berjudul Tarbiyatu al-Aulad, buku ini memuat makna pendidikan dan derifasi makna. Di antara makna-maknanya adalah at-Ta’lim, ar-Ri’ayah, at-Tanmiyah.
Ka
jia
n
16
Suatu ketika, KSW kedatangan tamu. Tamu tersebut ingin meminjam tambang untuk kegiatan komunitasnya, namun ia belum mem-bawa surat peminjaman secara resmi. Kemudi-an dijanjikan akan saling membuat kesepaka-tan esok siangnya. Hanya telat sedikit, ada tamu lain yang kebetulan membutuhkan ba-rang yang sama. Maka tambang itu tak ber-sambut bersama peminjam yang pertama. Sedikit gambaran akan keruwetan ber-tumpuknya kegiatan di lingkungan Masisir. Mungkin naif mengatakan agenda-agenda Masisir tidak berlebih diadakan, karena sejak awal Masisir memang diarahkan pada keakti-fan mengikuti kegiatan-kegiatan. Mulai dari orientasi dari setiap komunitas yang tiap indi-vidu bisa terdaftar di tiga sampai empat macam organisasi, hingga pernak-pernik setelahnya yang―bisa jadi―tidak ada habisnya. Tapi sebagai KSW, menilai begitu sepihak tentu sangat tidak fair. Sebagai kekeluargaan yang juga mengadopsi dina-misnya aktifitas-aktifitas dalam berbagai ke-cenderungan tentu KSW juga punya andil da-lam tumpang tindih-nya kegiatan Masisir. Bagi KSW sendiri, kehidupan semerta dinilai dari jalan-tidaknya kegiatan yang sudah dipro-gramkan. Tidak kurang tidak lebih. Dan pun dengan kenyataan tersebut tentu saja KSW memaklumi kepadatan agenda yang terjadi pada dirinya sendiri pula. Tidak salah jika KSW sebagai salah satu dari macam organisasi men-dukung tambahan kepercayaan diri PPMI un-tuk mengembalikan Masisir tidak hanya pada Azhar tapi juga organisasi. Memang merupa-kan sebuah keharusan bagi organisasi induk untuk bersikap konsisten pada representasi komunitasnya, sehingga tentu saja kembali berorganisasi adalah kelumrahan yang perlu dicapai. Hakikat memprioritaskan kegiatan organisasi, selain lesunya minat organisasi Masisir menurut PPMI―dengan contoh banyak ang-
gota yang loyal dan siap sekalipun belum berani mencalonkan diri sebagai ketua baik kekeluargaan maupun PPMI sendiri―, juga merupakan solusi terhadap masalah tersebut. Yaitu menjaring kader sebanyak-banyaknya dan harap-harap cemas komunitasnya tidak mati. Maka masing-masing organisasi berlom-ba menciptakan seabrek kegiatan yang mereka harap menarik perhatian dan tidak mem-bosankan agar tak lekas ditinggalkan. Namun, mungkin akan menjadi lebih efektif jika setiap organisasi yang berkuasa di ling-kungan Masisir saling menyamakan jadwal sejak awal kepengurusan. Sehingga porsi kegiatan Masisir―khususnya anak-anak ba-ru―tidak saling bertumpuk antar satu komuni-tas dengan komunitas lainnya yang (cukup banyak) mereka ikuti. Seperti berbagai macam event bakat minat baik olahraga maupun kesenian mungkin bisa dikoordinir oleh satu jenis organisasi saja dengan didukung oleh macam-macam organisasi lainnya dan tentu di bawah organisasi induk yang berarti PPMI di sini. Alangkah lebih baik lagi antar hierarki or-ganisasi ini tidak saling berlomba berebut mo-men untuk unjuk kelihaiannya dalam beror-ganisasi. Seperti sepak bola dan musik oleh jajaran kekeluargaan saja, kajian keilmuan oleh afiliatif dan senat saja, misalnya, dan organisasi induk bertugas mengawasi semua kegiatan tersebut tanpa berebut hari dengan organisasi-organisasi di bawahnya. Meski demikian se-buah pemikiran tercipta, itu akan menjadi auto-kritik tersendiri bagi KSW yang konsen men-jalani tradisi Masisir apa adanya. Tapi begitu-lah, kritik disampaikan bahkan pada diri sendiri sekalipun yang terkadang mewakili kese-luruhan yang belum tentu berpikiran demikian. Dalam hal ini, kita dapat menelaah garis besar akar permasalahannya dari dua sudut pandang yang cukup mendalam. Yaitu antara Masisir sebagai organisasi dengan Masisir sebagai indi-vidu. Apa pengaruh terbesar bagi masing-
KSW; Antara Peran sebagai Organisasi dan Perkumpulan Individu-Individu Masisir
Oleh Fadhilah Rizqi*
Le
ns
a K
SW
17
masing kepribadian tersebut ketika perihal prioritas disentuh secara mendasar dan ber-benturan dengan realita. Jujur saja, saat kita berada dalam ruang kontribusi―katakanlah, di kekeluargaan―kita seringkali menjadi pribadi yang berbeda. Bahkan untuk orang yang paling egois sekalipun akan luluh oleh permintaan-tolong senior atau kawan dek-atnya untuk membantu perihal keorgan-isasian. Maka ada ruang tersendiri untuk mencurahkan perasaan yang sesungguhnya terhadap kepadatan kegiatan di lingkungan Masisir, sebagai pelaku sekalipun, akan ada waktu-waktu tertentu kita merasa lelah dengan ketergesaan dan keterburuan agenda-agenda itu. Oleh karenanya, menurut penu-lis, Masisir sebagai pelaku organisasi dan Masisir sebagai individu adalah dua kepribadian yang berbeda. Masisir sebagai Pelaku Organisasi Saat melaku organisasi, seorang akan me-luruhkan semua idealismenya demi idealisme organisasi. Maka yang sangat tepat dan me-nyenangkan adalah saat berorganisasi dengan yang satu idealisme. Bisa jadi, dari sekian ketepatan yang dapat terjadi hanya sedikit yang berorganisasi dengan hati. Meski terdengar aneh, namun berkegiatan yang sungguh-sungguh memang tidak akan mempengaruhi secara besar-besaran pada kehilangan fokus prioritas seseorang. Ber-dasarkan pengalaman pribadi, banyak yang asal-asalan―termasuk penulis―menjalankan perannya di organisasi tertentu. Apalagi bila tanggungjawab itu muncul dari perasaan tid-ak enak. Masisir sendiri berperan sebagai banyak hal di lingkungan ini, namun untuk menyadari pada taraf mana peran terbesarnya akan sangat sulit. Oleh karenan-ya, standar penilaiannya akan kembali pada kebutuhan masing-masing. Organisasi di sini dibatasi pada kepentingan umum, yang mana seringkali itu tidak ada kaitannya dengan minat para pelakunya. Tapi justru eksistensi yang dikejar dalam penggara-pan organisasi, lebih-lebih sekedar untuk nar-sis. Namun saat kekeluargaan, seperti halnya KSW, disadari sebagai keluarga (dalam arti
sesungguhnya) selain organisasi, maka perkumpulannya akan menjadi luwes dan tidak membebani. Masisir sebagai Individu Ruang ini bisa jadi paling urgen untuk dilestarikan. Sebagai seorang yang menghar-gai idealisme pribadi, saya yakin Masisir perlu untuk tidak meninggalkan ruang privasinya agar kebanggaannya sebagai mahluk ber-pemikiran tidak terinterupsi. KSW sendiri be-rusaha memperhatikan agar ruang itu tidak “diapa-apakan”. Setiap warga KSW akan menyadari ke-KSW-annya dengan sendirinya tanpa harus digesa-gesa oleh―semacam―pendaftaran Temus, misal-nya. Ruang individu ini adalah tempat priori-tas digodog sungguhan. Tanpa ada intervensi dari kegiatan dari organisasi manapun, komunitas apapun. Meski KSW sendiri tetap akan berjalan seperti biasanya, mengikuti bahkan menciptakan setiap kegiatan dan melibatkan setiap warganya, KSW tetap men-dukung ruang individu setiap Masisir untuk dikembangkan dan diwujudkan. Tidak terlalu menyusahkan, bukan?*+ *Sekretaris DP-KSW 2015/2016
Le
ns
a K
SW
18
Saat orientasi Masisir terkesan mulai tak tentu arah, dipecah-pecah fokusnya ke kampus atau ke pengajian-pengajian informal Azhar atau juga ke or-ganisasi, dan atau ketiga-tiganya, kita harus membangun wacana kritis akan efektifitas upaya penyeimbangan tiga pilihan kegiatan tersebut. Oleh karenanya, kami dari Kru Buletin PRESTâSI (P) berinisiatif untuk berbincang dengan salah seorang senior Masisir yang sangat berpengala-man di dinamika kampus, pengajian-pengajian Azhar dan tentunya organisasi, Bapak Muhlashon Jalaluddin, Lc. MM. (M), mantan Pemimpin Redaksi Buletin PRESTâSI sejak edisi pertama pada tahun 1991 serta mantan Ketua KSW Mesir. P: Apa pendapat Bapak tentang dinamika organisasi di lingkungan Masisir? Apakah sudah Efektif? M: Organisasi di Masisir ini bermula dari kurangnya kesibukan mereka di kampus. Karena banyak dari mahasiswa tidak masuk kampus. Hal ini disebabkan oleh banyak keadaan yang memicu mahasiswa tidak mau masuk kuliah. Mungkin karena tidak adanya absen, bangku yang sudah penuh, ataupun karena hal lain yang disebabkan mahasiswa itu sendiri. Sehingga mereka merasa tidak tertuntut untuk datang ke kampus. Karena kegiatan itu berkurang dan merasa kosong, mereka yang punya gagasan dan ide mencoba membuat kegiatan untuk mengisi waktu dengan tujuan menambah kualitas diri. Kebetulan yang dipilih adalah bidang organisasi. Ini sebenarnya tidak negatif, cuma akan lebih baik apabila memilih skala prioritas. Mungkin ini yang perlu dipetakan ke depan. Namun kenyataannya banyak yang merangkap peran di dalam organisasi. Misal aktif di PPMI, kekeluargaan, almamater, senat bahkan di afiliatif. Kadang-kadang kita temukan orang yang sama, sehingga yang kelihatan sibuk ada banyak, padahal tidak banyak. Saya lihat di sini yang tidak aktif dimana-mana, mungkin mereka yang hanya membaca saja tidak kedengaran karena tidak ikut mengurusi. Di kegiatan yang sifatnya masif, mereka hanya sebagai hadirin. Saat undangan rapat yang seperti ini tidak tersentuh karena bukan pengurus di sana-sini. Hal ini yang perlu disinergikan sehingga yang aktif tidak hanya itu-itu saja. Hal ini tidak membuat personal sibuk, sedangkan yang lain tidak kebagian. Hal ini perlu dikordinasikan agar tidak terjadi ketimpangan di dalam berorganisasi. P: Bagaimana pengalaman Bapak selama masih aktif di Masisir dan Bagaimana dinamika organisasinya? M: Saya kira perkembangan itu bersamaan dengan berjalannya waktu dan media yang ada. Kalau dari ide-idenya, saya kira tidak banyak yang jauh berbeda. Tujuan organisasi untuk mencapai tujuan bersama selama studi di sini (Mesir_red). Antara lain adalah mengembangkan bakat dan kemampuan masing-masing. Sebenarnya banyaknya kegiatan juga tidak terlalu banyak berbeda. Dulu mahasiswa tidak terlalu banyak tentunya. Dulu biaya organisasi juga tidak sebesar seperti sekarang. Sekarang kan ada banyak kucuran dana. Kemudian kegiatan tulis-menulis juga tergolong masih baru. Dulu juga belum ada handphone. Komunikasi masih sangat terbatas. Hanya beberapa mahasiswa yang rumahnya ada telepon untuk dihubungi. Itu juga merupakan perbedaan yang sangat mendasar. Jadi, kalau merancang suatu kegiatan harus benar-benar akurat. Tidak bisa seperti sekarang yang sudah harinya saja masih mungkin untuk dirubah. Acara pada saat itu harus sudah matang untuk dilaksanakan. Jadi, kecanggihan teknologi itu hanya sebuah sarana saja, manusianya tetap sama. Pada waktu itu informasi masih langka. Kita dapat berita tentang Indonesia dari KBRI. Yaitu berupa koran yang sudah diklipingkan sedemikian rupa. Ini mempengaruhi dinamika tentunya, karena di sini kita tidak dapat merespon informasi begitu cepat. Sehingga misalkan dalam kajian isu yang berkembang hanya berputar.
Wawancara dengan Bapak Muhlashon Jalaluddin, Lc., MM.
Wa
wa
nc
ar
a
19
P: Bentuk organisasinya seperti apa? M: Iya, sama. Cuma dulu HPMI (nama awal PPMI_red) berdiri tahun 1987. Waktu saya datang itu tergolong baru, sementara organisasi kekeluargaan sudah lama. Sehingga bisa dikatakan HPMI kesulitan untuk mengurusi kekeluargaan karena kekeluargaan merasa mempunyai organisasi yang lebih tua dari pada HPMI itu sendiri. Jadi sistem organisasinya itu sampai sekarang tidak bisa dianggap bawahan dan atasan, karena memang tidak memiliki garis struktural. Paling tidak bisa dianggap hanya sebagai koordinasi. Hal ini dikarenakan waktu itu kekeluargaan yang mengirim perwakilan MPA untuk PPMI, malah bukan orang yang tahu menahu banyak tentang kekeluargaannya. Ini mengakibatkan keputusan yang digodok dalam MPA tidak mewakili kekeluargaannya. Sampai pada tahun 1994, rapat yang saya ikuti dan waktu itu saya dicalonkan menjadi ketua HPMI, saya mengusulkan supaya ketua kekeluargaan adalah anggota MPA. Untuk apa? Untuk mempermudah koordinasi. Jadi tidak bisa serta merta HPMI membawahi kekeluargaan-kekeluargaan. Maka dari itu seperti yang saya katakan tadi, dibuatlah ikatan supaya terjalin komunikasi yang baik dengan sistem koordinasi. Kemudian dari sisi pendanaan waktu itu tidak mudah seperti sekarang. Dalam mencari dana ada yang mengadakan bazar, tour, dan lain sebagainya. P: Apa perbedaan dinamika organisasi yang dulu dengan sekarang? Apakah mengalami kemajuan atau kemunduran atau stagnan? M: Saya kira sekarang lebih maju. Artinya, kesibukan itu lebih banyak. Apalagi semakin banyaknya media, mahasiswa terus bertambah kreativitasnya, idenya banyak dan implementasinya lebih banyak. Tapi ya seperti halnya tadi, dalam berorganisasi harus diberi porsi agar tidak mengganggu studi. Saya singgung kecenderungan kawan-kawan yang suka talaqqi itu salah satu fenomena yang positif karena mungkin mereka belum siap untuk membaca sendiri, jadi kalau ada kesempatan seperti itu akan datang. Ini juga patut diapresiasi karena selain berorganisasi, mereka juga menyempatkan waktunya di tempat-tempat yang mendukung pembelajarannya. Tapi pokoknya yang namanya kuliah tidak harus ditinggalkan, karena ini yang utama. Jadi kalau sekarang lebih maju ya tentu saja, mengingat dinamikanya lebih banyak, prasarana lebih maju dan komunikasi lebih baik. P: Apa pendapat Bapak tentang slogan PPMI 'Back to Azhar, Back to Campus, Back to Organization'? M: Menurut saya dari ketiga ini harus ada yang diprioritaskan yaitu back to Azhar dan back to campus, setelah itu baru back to organization. Saya kira tidak muluk-muluk apabila di-manage dengan sungguh-sungguh. Yang perlu diperkuat, menurut saya adalah di kampus. Dulu kita pernah ada kesepakatan untuk menghentikan semua kegiatan keorganisasian begitu kegiatan kuliah sudah aktif. Agaknya kesepakatan itu kini tidak lagi berlaku. Maka kalau bisa hal ini diperhatikan lagi, agar slogan itu tidak hanya mimpi. Back to Azhar kalau bisa di luar jam kuliah, back to campus artinya kita berada di kampus. Seandainya ini tercapai, energi mahasiswa untuk menuntut ilmu di al-Azhar tidak terkuras untuk organisasi. Perlu diingat, kuantitas kegiatan yang sedikit tapi kualitasnya besar ini lebih baik daripada kuantitasnya besar tapi kualitasnya sedikit. P: Apakah kegiatan di Masisir bisa dirampingkan? M: Bisa dirampingkan. Menurut saya, jika ada kegiatan yang sudah ter-cover oleh kegiatan lain, ini tidak perlu diadakan lagi. Cara merampingkannya adalah dengan menggabungkan kegiatan yang kiranya senada agar tidak wasting time, membuang-buang waktu. Makanya ini perlu management yang kuat atas kegiatan organisasi. Cara merampingkan kegiatan ada banyak. Salah satunya dengan misalnya ada kegiatan yang pada waktu musim liburan berjalan mingguan, ketika sudah aktif kuliah, bisa dibuat dua-mingguan. P: Apa yang harus dilakukan oleh organisasi, agar kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan mendukung kreatifitas mahasiswa?...Selengkapnya hal. 26
Wa
wa
nc
ar
a
20
Umumnya sebuah cerita, ia disuguhkan ke
publik dengan mempertimbangkan aspek yang
menonjol dari dirinya. Begitupun dengan film.
Tak terkecuali film ini. Dan saya, dengan satu
kali tonton, hanya mendapati satu hal yang
menonjol dari film ini; peruntuhan sistem per-
judian Las Vegas besar-besaran yang dilakukan
oleh beberapa mahasiswa. Namun, tulisan ini
tidak akan menyoroti hal tersebut, menimbang
hal tersebut langsung kentara hanya dengan
satu kali baca—tonton. Dan akan lebih mem-
bahas ihwal tokoh sentral dalam film 21, yang
akhir-akhir ini marak menjadi objek berita me-
dia Indonesia; mahasiswa miskin yang jenius
dan mampu merampungkan studinya dengan
nilai yang memuaskan.
Adalah Ben (Jim Strugess), tokoh sentral film
21 yang digambarkan miskin namun jenius.
Kemiskinannya di awal film ditampilkan melalui
kesehariannya pergi ke kuliah dengan menga-
yuh sepeda kesayangannya. Dilanjut permo-
honan beasiswanya kepada pihak Universitas
Harvard dengan memperlihatkan curriculum
vitae yang berisikan prestasi-prestasi akade-
miknya. Pun masih diimbuhi rengekan me-
melas. Secara sekilas, dengan bukti-bukti pres-
tasi akademik yang ia ajukan pada pihak Uni-
versitas Harvard itu cukup mampu membuk-
tikan kepantasannya mendapatkan beasiswa
Robinson tersebut. Namun, Prof. Phillips (Jack
Gilpin) menanggapinya dengan biasa saja
tanpa ada ketakjuban sama sekali. Menurut-
nya, prestasi akademiknya bukanlah hal yang
istimewa. “Kau harus menceritakan kepada
kami apa yang membuatmu istimewa. Pengala-
man hidup apa yang membedakanmu dari
yang lain.” Di titik ini, beasiswa Robinson tidak
tertarik dengan orang miskin meski jenius. Dan
nahasnya, tipe orang demikian bukanlah hal
yang istimewa di mata Prof. Phillips.
Biaya kuliahnya sebesar tiga ratus ribu dolar.
Dan bagi Ben, itu adalah jumlah yang begitu
besar. Di menit ketujuh, keinginan Ben untuk
dapat kuliah di universitas ternama tersebut
ditegaskan dengan tekunnya ia bekerja di toko
pakaian, sehingga ia dipromosikan menjadi
asisten manajer dengan gaji delapan dolar per-
jam. Dengan demikian, butuh 37500 jam bagi
Ben untuk bisa mengumpulkan uang sebanyak
300.000 dolar.
Tiga adegan di atas berhasil menginformasikan
kepada penonton ihwal keadaan Ben yang
benar-benar membutuhkan beasiswa atau
dana untuk menghidupkan keinginanya, kuliah
di Universitas Harvard.
Keinginan yang membabi-buta setidaknya me-
numbuhkan dua reaksi; ketekunan atau
menghalalkan segala cara. Dan Ben, dengan
latar belakang kemiskinannya, mengambil si-
kap yang kedua—tentu dengan diselimuti ke-
bimbangan dan kegalauan. Hal ini tergambar
saat ia ditawari seorang dosen dan beberapa
teman barunya untuk bergabung dalam se-
buah tim penghitungan kartu Blackjack. Awal
Angka 21 dan Revitalisasi Kebutuhan Belajar
Oleh Aminatuz Zuhriyah
Judul Film : 21
Sutradara : Robert Lucetic
Produksi : Sony Pictures
Tahun Rilis : 2008
Durasi Film : 123 menit
Pemain : Ben Sturgess, Kevin Spacey, Kate Boswort, Aaron
Yoo, Liza Lapira, Jacob Pitts, Josh Gad, Sam Golzari
Re
se
ns
i
21
mula, dengan berbagai pertimbangan, ia me-
nolak dengan tegas. Namun saat Jill (Kate Bos-
wort), perempuan yang ia idamkan, berkunjung
ke tempat ia bekerja dan mengajukan pena-
waran ulang disertai iming-iming uang yang
bakal dihasilkan dari penghitungan kartu black-
jack tersebut membuat keputusannya goyah. Di
satu sisi, ia baru saja naik jabatan, dari karya-
wan biasa menjadi asisten manajer. Selain itu,
ia juga mempunyai proyek yang sedang ia kem-
bangkan dengan dua sahabatnya, Miles (Josh
Gad) dan Cam (Sam Golzari). Dan juga ia masih
merasa tabu dengan tawaran yang diajukan
padanya, karena ia belum pernah bersentuhan
dengan Blackjack sebelumnya. Di lain sisi, ia
sangat membutuhkan uang yang begitu banyak
guna mencukupi semua kebutuhannya. Dengan
berbagai pertimbangan, akhrinya ia memutus-
kan untuk bergabung dalam tim. Ia merasa hal
ini cukup mudah untuk ia jalani, mengingat
hitung menghitung adalah kepiawaiannya.
Orang tidak dapat berhati-hati setiap saat buat
seumur hidupnya. Pernyataan Pram tersebut
senada untuk menggambarkan tingkah Ben
setelah ia masuk ke dalam tim. Setelah ia ma-
suk dalam tim dan mendapatkan uang yang ia
targetkan, 300.000 dolar, alih-alih merasa
cukup dan keluar dari tim ia terus melanjutkan
permainan kartunya sampai lupa dengan uru-
san kuliahnya. Ia pun terlilit kasus yang cukup
serius dengan pihak perjudian, sebab per-
mainannya sangat merugikan sang bandar.
Seperti yang saya kemukakan di atas, sedari
awal, dalam penceritaannya, film ini lebih me-
nyoroti proses beberapa mahasiswa jenius da-
lam meruntuhkan sistem perjudian di Las Ve-
gas. Namun dengan latarbelakang mahasiswa,
ditambah scene awal yang terpusat pada Ben
yang dalam pengakuannya saat ia mengajukan
permohonan beasiswa mengatakan, “... sebagi-
an anak-anak bercita-cita untuk bermain Red
Sox, yang lainnya ingin menjadi pemadam ke-
bakaran. Sedangkan aku hanya ingin sekolah di
Harvard Medical,” 21 gagal menopang latarbe-
lakang para tokoh dalam keseluruhan cerita.
Banyak hal lain yang seharusnya Ben tampak-
kan sebagai seorang mahasiswa jenius di uni-
versitas ternama itu.
Kegagalan Sang Sutradara, Robert Luketic, di
atas nampak terang di detik-detik terakhir film
ini. Ben, yang dalam film ini hanya diceritakan
bolak-balik ke Las Vegas sampai 17 kali, tiba-
tiba lulus dengan nilai yang memuaskan.
Selain kegagalan di atas, penulis juga
menemukan cacat lain dalam film ini. Ambigui-
tas dalam pemberian judul. Entah dari mana
Sang Produser mendapatkan angka 21 dan
memutuskannya sebagai judul film. Memang
ada beberapa scene yang mempunyai kaitan
dengan angka 21 dan berkemungkinan menjadi
rujukan dalam pengambilan judul film, setid-
aknya penulis menemukan dua scene. Yang
pertama, usia tokoh utama yang diceritakan
baru merayakan ulang tahunnya ke 21. Se-
dangkan angka 21 ini dalam scene tersebut
diterangkan sebagai bagian dari bilangan fibo-
nacci—entah apa maksudnya. Yang kedua, pen-
jelasan Micky (Kevin Spacy) yang mengatakan
bahwa ketika ada angka yang mendekati 21,
maka angka itu akan menjadi angka keme-
nangan dalam hitungan kartu Blackjack.
Untuk kemungkinan yang pertama, pengambi-
lan judul film ini dari scene tersebut tidak mem-
iliki dasar yang kuat. Sedangkan pengambilan
judul dari scene kedua kurang mewakili isi ceri-
ta. Oleh sebab itu, saya merasa kedua adegan
tersebut—yang di dalamnya terdapat angka
21—hanya dibuat semata-mata untuk melegiti-
masi pemberian judul pada film ini. Sebab, per-
lu diketahui bahwa film ini diadaptasi dari novel
dengan judul yang berbeda, Bringing Down The
House: The Inside Story of Six M.I.T Students
Who Took Vegas for Millions karangan Ben
Mezrich. Entah motif apa yang mendasari
Robert mengubah judul aslinya. Yang jelas, alih-
alih mewakili isi cerita—seperti lazimnya se-
buah judul, penggantian tersebut malah
menambah list cacat film ini.*+
Re
se
ns
i
22
Semenanjung Sinai, satu kawasan strategis yang amat dielu-elukan rakyat Mesir, ternyata sempat jatuh di tangan bangsa lain. Meski tak lebih dari 7 tahun. Namun bukan Mesir na-manya, kalau lantas berpangku tangan begitu saja. Mesir dengan anugerah alamnya yang demikian mempesona, memang sudah semes-tinya sedikit agresif terhadap pihak-pihak yang mengusik, mengeksploitasi atau bahkan men-coba mengambil alih kekayaan dan potensi yang ada. Bukan sebatas soal memperkaya diri atau mempertahankan kekayaan, hal itu juga berkaitan erat menyangkut jati diri suatu bang-sa. Yakni sejauh mana bangsa itu berdaulat, baik di mata rakyatnya sendiri, maupun di mata Dunia. Tahun 1967, koalisi negara-negara Arab, ter-masuk di antaranya Mesir, gencar menyerbu Israel yang kala itu baru saja memproklamirkan kemerdekaannya. Meski belum sepenuhnya dilegalkan, terutama oleh sekelompok negara Arab. Ya, penyerbuan itu memang merupakan sebentuk invasi mereka terhadap wilayah yang dikuasai Israel. Namun nahas, pasukan koalisi mampu dipukul mundur hingga wilayah masing-masing. Tak berhenti sampai di situ, Israel—yang ternyata turut menggandeng negara adidaya (baca: Amerika)—bahkan mampu mencomot beberapa kawa-san strategis negara-negara koalisi. Tak terkecuali Mesir yang kecolongan semenan-jung Sinai-nya. Tidak sesederhana kasus kecolongan yang masih bisa diupayakan untuk diselidiki, lalu direbut kembali. Kekalahan Mesir kala itu juga berdampak pada mental dan kepribadian rakyat Mesir, karena juga mencederai jati diri mereka. Sehingga, wajar saja kalau semenjak kekalahan itu, Mesir tampak agresif. Ia bertekad mencari celah kelengahan musuh untuk menuntut balas, demi mengobati cider-anya. Berbagai ekspedisi ia lancarkan, di bawah komando Presiden kala itu, Gamal Ab-dul Nasser. Meski hingga akhir usianya, belum
juga membuahkan hasil signifikan. Tapi setid-aknya, Mesir banyak belajar dari kegagalan-kegagalannya setiap kali berekspedisi. Sehing-ga bisa dibilang, keberhasilan rakyat Mesir dalam perang Yom Kippur tahun 1973, adalah buah perjuangan mereka selama tak kurang dari 7 tahun, terhitung sejak tahun 1967. Tahun 1972, setahun sebelum perang Yom Kippur bergejolak, rakyat Mesir semakin dibu-at geram, lantaran Israel menolak mentah-mentah tawaran Anwar El-Sadat dalam suatu forum perundingan, untuk melepas semenan-jung Sinai. Menyadari upaya damainya di meja perundingan tak membuahkan hasil apapun, Anwar El-Sadat memustuskan angkat senjata. Terlebih melihat desakan rakyat Mesir yang demikian berhasrat untuk bertempur, menuntut balas atas kekalahan bertubi dalam beberapa pertempuran sebelumnya. Tak ingin turut tersulut emosi publik, Anwar El-Sadat terlebih dahulu membenahi kakuatan militer Mesir, terkhusus Angkatan Udara, dengan membeli pesawat tempur, rudal dan roket dalam jumlah besar. Berkaca dari kekala-han-kekalahan selama berekspedisi, Ia menya-dari titik kelemahannya terletak pada lini udara. Sehingga, berbekal pengalaman itulah, ia bertekad untuk tidak lagi terjembab pada lubang yang sama. Menariknya, tidak sekedar persiapan materil, Anwar El-Sadat juga menggencarkan persiapan dari sisi moril, dengan menggalang dukungan dari beberapa negara sahabat di Afrika atau-pun Eropa. Pun pula persiapan spiritual, di antaranya mengunjungi para tokoh ber-pengaruh pada masa itu, lalu meminta siraman rohani dan memohon doa kemenangan. Ia juga menziarahi makam-makam Auliyâ` Mesir, seperti syeikh Mutawalli Sya’rawi, syeikh Badawi dan lain sebagainya. Sehingga banyak asumsi beredar, hal semacam itulah yang—secara langsung ataupun tidak—menjadi faktor kemenangan Mesir dalam tragedi Yom Kippur.
Belajar dari Sitta ‘Uktûbar; Misi Transformasi Mental Rakyat Mesir
Oleh A. Rikza Aufarul U.
Oa
se
23
Rupanya, gerak-gerik Anwar El-Sadat memper-siapkan pertempuran tercium oleh musuh. Kendati demikian, Israel yang ketika itu tengah memperingati hari suci terbesar mereka, Yom Kippur, justru berasumsi bahwa sikap Anwar El-Sadat tersebut tak lebih dari ‘gertak sambel’ semata. Mereka menilai, kedua belah pihak, baik Mesir ataupun Israel sendiri tidak sedang dalam kondisi siap tempur. Karena keduanya memang sedang memperingati hari suci mas-ing-masing. Yom Kippur bagi rakyat Israel dan Ramadhan bagi rakyat Mesir. Hal inilah yang melatarbelakangi penamaan perang 6 Oktober sebagai perang Yom Kippur ataupun perang Ramadhan. Di saat Israel merehatkan banyak tentaranya, untuk sekedar bercuti merayakan hari suci mereka, Mesir secara tak disangka, menyerbu garis pertahanan Israel di sisi timur Terusan Suez. Ya, tepat pada tanggal 6 Oktober 1973, Presiden Anwar El-Sadat menyerukan perang kepada seluruh rakyat Mesir, sebagai respon atas desakan mereka yang semakin menjadi-jadi. Se-hingga hari itu, bertemulah dua kubu yang sama-sama tengah berpuasa; mem-peringati hari suci masing-masing. Miris memang, tapi demikianlah sejarah men-catat. Diawali dengan gempuran meriam-meriam air, Mesir dapat dengan mudah menjebol benteng pasir Israel. Tak lama berselang, ratusan pe-sawat tempur Mesir diluncurkan untuk mem-bombardir jaringan pertahanannya. Disusul puluhan ribu pasukan darat Mesir yang ber-hasil menerobos garis pertahanan Israel, dengan menyeberangi Terusan Suez. Mereka berhasil menyusup masuk ke dalam lini per-tahanan Israel di kawasan Sinai. Setelah sukses memporak-porandakan pasukan Israel, akhirn-ya, Mesir dapat kembali menduduki Semenan-jung Sinainya. Tak hanya itu, Mesir dengan
alutsistanya, mampu meluluhlantakkan markas besar militer Israel di tengah gurun pasir, beri-kut puluhan tank yang menjadi simbol arogansi mereka menindas Palestina dan negara-negara Arab. Hasrat seluruh rakyat Mesir demikian mengge-bu untuk bersatu, menggalang kekuatan demi mewujudkan misi bersama—memulihkan har-ga diri masyarakat Mesir, setelah terjembab dalam satu titik terendah, yakni saat dibekuk Israel pada perang 6 hari, tahun 1967 dan merebut kembali semenanjung Sinai—sudah barang tentu, tak lepas dari peran sosok Anwar El-Sadat. Dengan kepiawaian melobin-ya, ia berhasil merangkul seluruh elemen rakyat Mesir, termasuk Ikhwanul Muslimin
(IM), yang kala itu memain-kan peran cukup signifikan di medan perang. Dukungan dari dalam saja tak cukup baginya, ia pun berhasil melobi lebih dari 100 nega-ra, hingga kesemuanya itu memberikan support kepa-da Mesir. Demikian sejarah panjang kemenangan Mesir, yang hingga kini masih dan akan terus diperingati setiap ta-hunnya, pada tanggal 6 Ok-tober, atau yang biasa dikenal dengan peringatan Sitta ‘Uktûbar. Sayangnya, menjadi ironis ketika kita
menilik realita saat ini. Di mana penindasan Israel terhadap masyarakat Palestina khu-susnya, semakin tak terkendali dan banyak menerobos batas norma kemanusiaan. Di pihak yang berseberangan, negara-negara tetangga justru disibukkan dengan konflik in-ternal yang tak berkesudahan. Namun setid-aknya, sejarah telah membuktikan. Selama mau bersatu, bahu membahu menghimpun kekuatan, semerta menepis jauh-jauh arogansi dan egoisme individu atau kelompok, niscaya sukses di medan perang akan terwujud. Perang mengikut pada arti tekstualnya, pun juga perang dalam arti yang seluas-luasnya.*+
Oa
se
24
Ketukan Tak Bertuan Oleh Darmono*
Sa
st
ra
25
Sa
st
ra
26
(Sambungan halaman 19, Wawancara dengan Bapak Muhlashon Jalaluddin, Lc., MM.)
M: Sudah sifat manusia untuk bersemangat jika ada harapan. Semakin besar harapannya, maka dia semakin semangat melakukan sebuah kegiatan. Maka, menuntut organisasi agar kegiatannya menghasilkan produktifitas anggota adalah antara lain dengan memberi dorongan harapan. Kalau kegiatan itu kajian, maka ia harus sering didorong dengan menerbitkan karya. Begitu juga dalam studi, KBRI telah memberikan dorongan berupa pemberian apresiasi untuk mahasiswa berprestasi. Harapan-harapan seperti ini membuat orang semakin produktif. Meskipun seharusnya produktifitas itu harus dorongan yang tanpa pamrih, tapi dalam organisasi hal yang harus dilakukan adalah dengan memberikan dorongan dan harapan. Lalu, saya ada keinginan untuk sedikit memperingan tugas kekeluargaan agar bidang akademik ini diserahkan kepada Senat. Kalau bisa, kita mengadakan prioritas jangka panjang akan hal ini, sehingga Senat benar-benar optimal dalam menjalankan fungsinya, yaitu kegiatan akademik. Hal ini nanti akan membantu kekeluargaan dalam hal akademik agar kekeluargaan tidak lagi terbebani dengan hal-hal semacam itu karena sudah ditangani oleh senat. Peran dari kekeluargaan lebih bersifat mendorong, tidak perlu terjun langsung. Keuntungan lain yang akan kita dapat dari hal di atas adalah pembauran, yaitu anggota kekeluargaan satu dengan lainnya tidak hanya membaur dengan kekeluargaannya saja, sehingga kita bisa meminimalisir premordialisme. P: Tadi Bapak sudah berpesan untuk organisasi. Mungkin sekarang bapak bisa memberikan pesan bagi para pelajar Indonesia di Mesir? M: Tujuan kita di sini adalah untuk belajar. Tapi, jangan apriori dengan organisasi. Pesan saya, dibuatlah skala prioritas: berapa untuk akademik, berapa untuk organisasi. Silahkan diukur masing-masing. Kalau saya menghabiskan 20 menit untuk menghabiskan 50 halaman, maka saya butuh berapa waktu untuk belajar setiap hari. Dari situ kita bisa menghitung, berapa waktu yang harus dihabiskan untuk organisasi. Skala prioritas ini harus diterapkan dan yang paling tahu akan hal ini adalah pelajar yang bersangkutan. Menurut saya, kuliah dan organisasi sama-sama kita butuhkan. Saya tidak mengatakan bahwa yang tidak berorganisasi tidak bisa hidup. Karena mayoritas kawan-kawan di sini tidak berorganisasi. Menurut saya, yang tidak meluangkan sedikitpun waktu di organisasi, agar memberikan sedikit waktu untuk menghadiri acara keorganisasian jangan sama sekali menjauhkan diri. Terakhir, sukses studi harus dibarengi dengan sukses kompetensi. Pelajar al-Azhar jelas harus berbeda dengan pelajar di Indonesia. Di sini, tugas kita tidak hanya sukses di akademik tapi kita harus memahami budaya di sini, mempraktekkan bahasa Arab dan memiliki keterampilan yang lebih dibanding pelajar di Indonesia.*+ (A. Zuhdan Maimun & M. Rifqy Syarifuddin)
Se
rb
a-S
er
bi
(Sambungan halaman 25, Ketukan Tak Bertuan)
*+
27
Saya yakin bin percaya bahwa tokoh Fahri da-
lam “Ayat-Ayat Cinta” sungguh ada; ya, ada
hanya dalam ide El-Shirazy. Dalam ranah sastra,
perdebatan mengenai apakah penciptaan
tokoh harus realis atau idealis sebenarnya telah
ada, jauh sebelum Fahri lahir. Terutama sekali
bagi para sastrawan aliran Realisme Sosial,
tokoh sastra musti dilibatkan sedekat mungkin
dengan realitas yang dapat dijangkau; yaitu
berupa materialisme sebagai kontra idealisme.
Tapi tentu tulisan ini tak akan bergeser ke
perdebatan tersebut, mengingat bahwa buletin
ini (Prestâsi—Red) bukanlah buletin sastra.
Menyangkut ideal, kita tak akan pernah bisa
lepas dari paham filsafat. Ialah Plato, bapak
idealis purba itu. Republik ciptaan Plato
sungguh ada dan justru nyata; ya, nyata dan
ada hanya dalam idenya sendiri. Menurut En-
gels, kolega Karl Marx itu, filsafat secara kese-
luruhan bisa diterjemahkan menggunakan dua
kata: idealisme dan materialisme. Plato, Hume,
Hegel masuk pada partai idealisme, sementara
Demokritus, Epikurus, Marx-Engels masuk pada
partai materialisme. Penyebutan paham filsafat
ini hanyalah syarat atribut untuk masuk lebih
dalam pada masalah sosial. Dan kita tak akan
terjerumus lebih jauh pada perdebatan di atas
karena buletin ini (Prestâsi—Red) bukanlah
buletin Filsafat.
Masuklah kita pada keadaan semestinya dari
sebuah sistem kemasyarakatan, sistem sosial.
Ada beberapa istilah yang berganti baju dan
mengalami penyempitan maupun pelebaran
makna. Idea tidak lagi dipahami sebagai paham
filsafat yang rumit seperti yang pernah
diungkapkan David Hume. Tetapi maknanya
terkadang mengalami alienasi di telinga kita:
ideal adalah bla bla bla. Ideal menyusuri
berbagai ranah, baik yang fisik ataupun meta-
fisik (keduanya tidak diarahkan pada paham
filsafat). Yang fisik, orang sering berkata bahwa
perempuan cantik adalah yang bla bla bla. Yang
metafisik, orang sering berkata bahwa lelaki
yang baik adalah yang bla bla bla. Di sini kita
melihat adanya jagal-menjagal, tumpang-tindih
pemahaman mengenai ideal; ia akan patuh
pada hukum relativitas (law of relativity) Ein-
stein.
Tan Malaka menggambarkan hukum relativitas
Einstein dengan contoh sederhana. Sebuah
kereta api melaju ke arah selatan dengan ke-
cepatan yang tinggi. Di dalam kereta, seorang
Gipsi tekencing-kencing mencari toilet di bagi-
an pantat gerbong. Si Gipsi itu berjalan berla-
wanan arah dengan kereta, ke arah utara. Di
sini hukum relativitas bekerja. Jika dilihat dari
satu titik di luar kereta, Si Gipsi tetaplah ber-
jalan ke selatan mengikuti arah kereta. Tapi jika
dilihat dari titik yang lain di dalam kereta, Si
Gipsi itu berjalan ke arah utara.
Masyarakat paling mikro sekalipun acapkali
dihadapkan pada dilema tentang status ideal.
Mau tidak mau, ideal harus bereaksi dengan
keadaan sosial. Dalam kenyataannya, banyak
hal yang justru menjadi dominan dalam ideal
tapi terjepit dalam kenyataannya; banyak hal
yang tidak mampu dijawab dengan logika.
Lelaki ideal menurut orang pedalaman Afrika
adalah yang tangkas memburu binatang, se-
dangkan lelaki ideal menurut perkotaan di Ja-
karta adalah yang berduit banyak. Lantas
dengan demikian, ideal hanya bertahan dalam
pikiran kita. Sementara itu, realitas tetap ber-
jalan sebagaimana adanya. Persepsi kitalah
yang menentukan suatu hal dianggap ideal
atau tidak.
Tapi lepas dari sana, kita perlu diberi hasrat
untuk mencapai taraf ideal; dengan relativ-
ismenya sendiri-sendiri. Fahri nyatanya me-
mang ada meskipun tidak nyata. Ia ada di
pikiran El-Shirazy sebagai puncak pencapaian
manusia yang nyaris melampaui malaikat. Kita
bisa menciptakan fahri-fahri yang lain; dengan
karakter yang lain dan dengan idealisme yang
berbeda. Tentu kita akan tenang jika kita tidak
pernah mendengar sindiran dari Marx: “Sibuk
menafsiri dunia, atau merubahnya?”*+
Ideal
Oleh M.S. Arifin
Ca
ta
ta
n P
oj
ok
Top Related