PRSTâSI Edisi 105

28

description

"Backpacker" menjadi trend sejak munculnya sebuah novel dan disusul film. "Masisir Backpacker" hadir sebagai sentilan sekaligus ironi; di mana tujuan luhur dirayakan dengan persiapan yang minim dan kehilangan fokus. Kami mencoba menghadirkan wacana dan kritik atas kegiatan keorganisasian di lingkungan Masisir yang terkesan kehilangan arah.

Transcript of PRSTâSI Edisi 105

Page 1: PRSTâSI Edisi 105
Page 2: PRSTâSI Edisi 105

2

Assalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Alhamdulillah, hingga saat ini kita masih merasakan

rahmat dan nikmat-Nya, sebab tanpa rahmat dan

nikmat-Nya bisa jadi langkah-langkah kita tidak ber-

jalan dengan lancar tanpa berkah. Sholawat dan

salam semoga senantiasa tercurahkan kepada bag-

inda nabi Muhammad saw yang kita nantikan

syafa’atnya di yaumil akhir kelak. Di tengah hiruk

pikuk keorganisasian Masisir, akhirnya edisi perdana

kru baru kali ini bisa terbit dengan berbagai kendala

yang melanda. Aktifnya kru di organisasi lain ber-

benturan dengan deadline, namun usaha para kru

untuk meluangkan waktu demi menggoreskan pena

tetap menjadi kewajiban yang harus dijalankan wa-

lau harus mengurung nafsu istirahat semata.

Pasalnya kegiatan menjadi sorotan utama dalam

sebuah organisasi. Beragam kegiatan dalam

keorganisasian Masisir membuatnya demam

berkegiatan. Dengan wacana tersebut, PRESTâSI

Edisi 105 kami beri tajuk “Masisir Backpacker” yang

menganalogikan sifat seorang backpacker yang

tanpa persiapan, menyerahkan diri pada nasib

secara berlebih dan seringkali orientasi tak tentu

arah pada diri sebagian Masisir yang—bisa jadi—

tersesat di tengah hiruk pikuk laju organisasi. Kami

menyajikan wacana-wacana kegiatan keorganisaian

di Masisir supaya Masisir dapat memilah dan mem-

ilih apa yang menjadi tujuan dan potensi Masisir itu

sendiri. Lalu bagaimana Masisir menyikapi kegiatan

yang beragam?

Terima kasih kami ucapkan kepada semua pihak

terkait yang membantu terbitnya edisi pertama kru

buletin PRESTâSI yang baru ini.

Dan terakhir, selamat membaca!

Da

ri

Re

da

ks

i

Pelindung: Ketua KSW│Dewan Redaksi: Nashifudin Luthfi, Muhammad Fardan Satrio

Wibowo, Lc., Nanang Fahlevi, Fadhilah Rizqi, Iis Isti’anah, Wais Al-Qorny │Pimpinan Umum: Laila Nur

Hidayati │Pimpinan Redaksi: Muhammad Samsul Arifin │Pimpinan Usaha: Muhammad Furqon Khoirudin

│Sekretaris Redaksi: Izzatun Nafisyah │Redaktur Pelaksana: Aminatuz Zuhriyah, Ni’matul Majmu’ah,

Ayatullah El-Haqqi │Reporter: Muna Ni’amy Dzurrohmah, Itta Raisah Fitriyani, Yusuf Fajri │Distributor:

Ahmad Zuhdan Maimun, Muhammad Rifqi Syarifuddin │Layouter: Ahmad Rikza Aufarul Umam │Karikaturis:

Darmono │Editor: Choiriya Safina, Zulfah Nur Alimah, Muhammad Faqih Dlofir

Redaksi menerima tulisan dan artikel yang

sesuai dengan visi misi Buletin.

Kritik dan saran, kirim ke FB: Prestasi Ksw

Page 3: PRSTâSI Edisi 105

3

Banyak bermunculannya organisasi berikut seluruh kegiatannya dimaksudkan memberi kebebasan mahasiswa untuk memilih, namun di sisi lain membuat mahasiswa menjadi kehilangan orientasi. Membebek sana-sini, aktif dalam kegiatan ini-itu, sampai-sampai seorang mahasiswa lupa untuk mengukur porsi kemampuan dan waktu yang dimiliki.

Doktrin menjadi mahasiswa ideal yang termasuk salah satu kualifikasi di dalamnya yaitu aktif dalam kegiatan organisasi, sukses menjadi iming-iming bagi sebagian orang untuk rakus beraktifitas, melahap hampir semua kegiatan yang ada. Dan sudah menjadi hal yang jamak diketahui bahwa tentunya setiap kegiatan menuntut siapapun anggotanya untuk maksimal. Maka kemudian muncul lah para mahasiswa yang linglung; kebingungan memaksimalkan diri dalam kegiatan-kegiatan yang diikuti, kesulitan menyeimbangkan antara kegiatan satu dengan kegiatan lainnya, maupun menyeimbangkan antara kegiatan organisasi dengan aktifitas kuliah.

Jika kita menilik latar belakang organisasi yang muncul sepaket dengan seabrek kegiatannya, tentu saja hal ini diharapkan dapat menunjang potensi yang dimiliki setiap orang, supaya bisa memaksimalkan potensi yang dimiliki. Hanya saja, jika kegiatan-kegiatan ini bertemu dengan penanaman mindset ‘menjadi mahasiswa ideal’ maka yang akan lahir adalah anak-anak yang ingin menjadi serba bisa. Tak ayal, mereka akan muncul di hampir semua kegiatan, semua organisasi.

Keberadaan dan peran PPMI sebagai induk dari semua organisasi yang ada di Masisir sangat urgen di sini. Dengan jargonnya “Back to Azhar, back to campus dan back to organization,” PPMI di bawah kepemimpinan Abdul Ghofur

Mahmudi atau yang akrab disapa Gobe mencanangkan sebuah program yang menurutnya sudah lama hilang nyawanya dari tubuh Masisir; kembali berorganisasi. Tentu saja, selain menggiring Masisir supaya menjadi mahasiswa yang mendekati ideal (karena tentunya yang benar-benar ideal itu tidak ada), Gobe sendiri lebih menekankan pada poin organisasi dibanding kedua poin lainnya. Hal ini setidaknya menunjukkan bahwa PPMI menitikberatkan pada kembalinya Masisir kepada organisasi.

Banyaknya organisasi yang ada berbanding lurus dengan banyaknya kegiatan yang diadakan. Organisasi-organisasi baik itu kekeluargaan, almamater, afiliatif, maupun organisasi yang bersifat independen saling berlomba membuat kegiatan. Bahkan, jika satu organisasi mengadakan suatu kajian keilmuan, maka organisasi lain juga akan saling berlomba membuat kegiatan serupa.

Maka ada baiknya jika kita kembali pada tujuan dibentuknya organisasi beserta seluruh kegiatan yang menyertainya, supaya bebas memilah dan memilih mana yang tepat sesuai dengan potensi kita untuk kemudian kita kembangkan semaksimal mungkin. Tapi yang kita jumpai justru sebuah realita yang berbenturan dengan ekspektasi. Yang terjadi bukannya seorang mahasiswa yang fokus dan benar-benar maksimal pada apa yang menjadi bidangnya, tapi seorang mahasiswa yang ingin menjadi serba bisa dan mengalami sebuah kecanduan organisasi yang cukup akut.

Dengan munculnya organisasi berikut kegiatan-kegiatannya yang sebegitu banyak dengan kapasitas waktu 24 jam perhari, masih efektifkah keberadaan organisasi-organisasi tersebut? Lalu bagaimana seharusnya peran PPMI sebagai organisasi induk Masisir?*+

Hilang Arah Oleh Muna Ni’amy

Ed

ito

ria

l

Page 4: PRSTâSI Edisi 105

4

Berorganisasi berarti berkelompok, kelompok yang memiliki ideologi tertentu juga memiliki karakter dan tujuan tertentu. Tak jarang, setiap kelompok memiliki jargon ataupun slogan untuk mengidentikkan visi misi suatu organisasi. Seperti halnya dinamika Masisir takkan luput dari keorganisasian yang dibentuk dalam ruang ke PPMI-an. PPMI sebagai induk organisasi di dunia Masisir membawa berbagai kegiatan yang beragam. Dari kegiatan beragam inilah mahasiswa terbentuk menjadi sosok jati diri yang berkecimpung di dunia akademik ataupun organisasi.

PPMI masa bakti 2015/2016 dalam visi misi-nya mengagungkan tiga poin besar yang lebih dikenal sebagai slogan PPMI: “Back to Azhar, campus dan organization”. Apakah berarti bahwa visi dan misi PPMI 2015/2016 mengharapkan setiap mahasiswa/i al-Azhar Indonesia harus memiliki tiga bidang tersebut supaya tercipta idealisme seorang mahasiswa ataukah setiap mahasiswa diberi kebebasan untuk memilih apa yang diprioritaskan mereka dalam tiga bidang tersebut?

Kita lahir dari rahim yang berbeda, memiliki pemikiran dan pendapat yang berbeda-beda, seperti pepatah arab “kullu ra’sin ra’yun.” Bahkan setiap orang pun memiliki tujuan yang tidak sama satu sama lain. Ada dari kalangan Masisir yang menghabiskan waktunya dengan berorganisasi, namun tidak pula mengurangi jam kuliahnya atau sebaliknya. Ada pula yang rajin talaqi, namun mengurangi jam kuliahnya dan sebaliknya. Ada pula yang hanya fokus dalam dunia perkuliahan saja. Mereka merasa bahwa kenyamanannya terdapat di sana. Kalau ditelisik, apakah ada Masisir yang mengoptimalkan waktunya untuk tiga bidang tersebut?

Kita lihat semangat PPMI sangat membara untuk mewujudkan visi misi tersebut demi Masisir. PPMI sudah mulai melangkah sedikit demi sedikit. Pasalnya 1 Muharram 1437 H., di

Masjid Zahro, Hay Sadis PPMI mengadakan kegiatan yang tidak lain merupakan aplikasi program back to azhar, dengan dihadiri syaikh Abdul Baits Al-Kattani dan syaikh ‘Ala Musthofa Na’imah dari Alexandria. Begitu pula PPMI mengundang syaikhuna Hisyam Kamil pada majlis ta’lim tersebut. Sebagaimana PPMI juga melakukan silaturahmi kepada masyayikh azhar guna menyambung tali silaturahmi dan dalam rangka mengundang masyayikh untuk mengadakan majlis ta’lim bersama Masisir. Selain program back to Azhar, PPMI juga memaparkan misi keduanya yaitu back to campus, presiden PPMI yang ramah disapa dengan sebutan bang Gobe memaparkan via telepon bahwa langkah yang sedang diambil PPMI untuk memajukan kehidupan kampus yaitu dengan cara menelisik dan memantau kinerja senat, selain itu bang Gobe dan jajarannya juga mengajak mereka bekerja sama dalam mem-posting jadwal pelajaran supaya kegiatan kampus tidak bertabrakan dengan kegiatan keorganisasian. Selain senat, PPMI juga telah menjalin kerja sama dengan kekeluargaan, almamater dan afiliatif lainnya untuk tidak mengadakan kegiatan saat jam kuliah berlangsung.

Namun seperti yang kita ketahui, begitu banyak organisasi di bawah pimpinan PPMI membuahkan kegiatan yang sangat padat. Tak dapat dipungkiri bahwa pantauan PPMI kepada kinerja senat dalam memosting jadwal kuliah memiliki keganjalan saat kita menemukan lembaga di bawah PPMI mengadakan acara saat jam kuliah, baik itu lembaga yang independent maupun yang dependent. Salah satu contohnya ketika Senat Ushuluddin mengadakan seminar Dauru Thalabah fi Taqdimil Ummah dengan salah satu doktor Azhar yang dilaksanakan pada tanggal 31 0ktober 2015. Acara tersebut diadakan pada saat jam perkuliahan berlangsung, yaitu pukul 10.00 bertempat di Qo’ah Abdul Halim, Fakultas Ushuluddin putra.

Kembali kepada kegiatan Masisir, kalau dirujuk

Back To Azhar, Campus and Organization

Oleh Laila Nur Hidayati

Te

ra

s

Page 5: PRSTâSI Edisi 105

5

pada tujuan awal Masisir datang ke Mesir berarti kegiatan Masisir adalah belajar. Dan belajar tidak harus didapatkan pada saat duduk di bangku kuliah saja, namun dalam berkawan, berinteraksi dengan suatu komunitas tertentu atau berorganisasi juga memberi pelajaran yang bersifat akademik maupun non akademik. Maka dari itu disinilah organisasi berperan.

Baik. Situasi yang kita lihat saat ini adalah krisis regenerasi dalam suatu organisasi. Ketika ditanya satu sama lain banyak yang menjawab selaras. Melihat hal ini, kami merasa butuh adanya riset dan evaluasi kegiatan keorganisasian di Masisir. Ada 163 kuesioner yang kami bagikan kepada pelajar Darul Lughah angkatan Imtiyaz dan angkatan Iltizam. Dari 163 kuesioner tersebut terdapat empat pertanyaan. Pertanyaan pertama adalah inti, pertanyaan kedua dan ketiga adalah proses dan pertanyaan ke empat adalah kesimpulan. Penghitungan riset dilakukan pada setiap pertanyaan.

Riset pada pertanyaan pertama mengenai intensitas kegiatan keorganisasian di lingkungan Masisir menuai hasil prosentase 3,7% kurang padat, 30,1% biasa saja dan 66,2% padat. Pada pertanyaan kedua tentang pengaruh kegiatan terhadap kegiatan prioritas pribadi Masisir menunjukkan prosentase 25,8% tidak mengganggu, 51,5% biasa saja, dan 22,7% mengganggu. Lalu pertanyaan ketiga seberapa efektif kegiatan tersebut, menunjukkan efektif dengan prosentase 30,5%, biasa saja 45%, dan tidak efektif 24,5%. Selanjutnya pada pertanyaan yang bersifat kesimpulan yaitu mengenai perlu atau tidak kegiatan keorganisasian di lingkungan Masisir dikurangi, di sini menunjukkan bahwa yang mengatakan tidak perlu sebanyak 34,4%, biasa saja 29,4%, dan yang mengatakan perlu 36,2%.

Jadi bisa dilihat dari prosentase mayoritas

bahwa kegiatan Masisir padat, dan pengaruh kegiatan keorganisasian terhadap kegiatan prioritas pribadi biasa saja, lalu keefektifan kegiatan tersebut juga biasa saja, namun pada kesimpulan prosentase paling banyak mengatakan bahwa kegiatan keorganisasian perlu dikurangi.

Mendengar kata biasa saja seperti melihat Masisir yang berlalu lalang tanpa semangat yang bergairah, tanpa ada sesuatu yang ditunggu-tunggu saat kegiatan. Beda ketika mendengar kata efektif. Ketika mendengar kata efektif kita seperti melihat Masisir enjoy dengan

kegiatannya, senang, dan memilki gairah dan semangat yang tinggi pada kegiatan yang dilakukannya, baik itu bersifat pribadi maupun umum. Lalu apakah yang diharapkan organisasi induk atas Masisir adalah suatu yang biasa saja?

Hal ini menunjukkan bahwa Masisir cenderung memilih titik aman pada kuesioner proses. Kata biasa saja dengan realita kesimpulan yang mengatakan kegiatan keorganisasian perlu dikurangi menjadi rancu. Karena logisnya kegiatan yang perlu dikurangi yaitu ketika kegiatan tersebut bersifat menganggu kegiatan prioritas pribadi dan kegiatan yang tidak efektif.

Jadi tiga poin yang dicancang PPMI menggambarkan Masisir masih dalam proses menuju mahasiswa ideal dan condong mengarah pada kegiatan keMasisiran atau organisasi. Beragam kegiatan yang ada di Masisir mengalahkan kuantitas kegiatan kampus dan berguru ke masyayikh azhar atau talaqqi. Merupakan hal yang sangat bijak jika PPMI menyaring kegiatan keorganisasian Masisir menjadi kegiatan yang lebih ramping dan memiliki nilai kualitas yang bisa meningkatkan sumber daya Masisir di dunia akademik maupun non akademik.*+

Te

ra

s

Page 6: PRSTâSI Edisi 105

6

Siapa yang tidak mengenal Jusuf Kalla? Wakil Presiden kita saat ini. Atau Anies Baswedan? Tokoh pendidikan dan figur intelektual Indone-sia. Dua tokoh yang berjaya dengan lini masing-masing ini merupakan segelintir orang yang pernah menjadi aktivis kampus. Jusuf Kalla, pernah menjabat sebagai ketua Dewan Mahasiswa (DEMA) periode 1965-1966 ketika kuliah di Universitas Hasanudin (UNHAS). Juga pernah menjadi ketua HMI cabang Makassar tahun 1965-1966. Adapun Anies Baswedan, pada tahun 1989-1995 dia aktif di gerakan mahasiswa dan menjabat se-bagai ketua Senat Mahasiswa (SEMA) Universi-tas Gajah Mada (UGM). Melirik sejarah para tokoh yang tumbuh oleh kegiatan-kegiatan organisasi, sangat gencar dalam kalangan mahasiswa istilah kuliah tanpa organisasi bagai sayur tanpa garam. Lalu yang menjadi pertanyaan saat ini adalah apakah organisasi sekarang masih bisa disebut sebagai tempat tumbuh? Apakah ada kesadaran simbi-osis mutualisme antara subjek (organisator) dan objek (mahasiswa umum) dalam pelaksa-naan kegiatan? Apakah benar-benar tepat sasaran dan sesuai yang diharapkan pelaksa-na? Apa manfaatnya benar-benar dirasakan oleh subjek dan objek? Itulah segelintir hal yang akan mendukung terciptanya kegiatan yang efektif. Sesuatu bisa dinilai ketika ada standar atau minimal skala perbandingan. Dalam konteks ini, kita akan melirik iklim organisasi mahasiswa yang ada di tanah air untuk mengambil apa yang baik sebagai cermi-nan bagi Masisir. Budaya Disiplin Mahasiswa Tidak bisa dipungkiri, budaya ngaret bukan lagi menjadi hal yang tabu di kalangan Mahasiswa Indonesia di Mesir. www.kswmesir.org pernah meliput 5 hal di Mesir yang ontime. Diakui oleh reporter, hal yang tepat waktu di Mesir bisa dihitung jari. Kegiatan kemahasiswaan Indone-sia jauh lebih tepat waktu dibandng kegiatan

di Mesir, meskipun tidak setepat waktu Je-pang. Salah satu organisasi di salah satu fakultas di Universitas Padjadjaran menerap-kan kedisplinan dalam hitungan menit. Salah satu hukuman yang diterapkan adalah denda lima ribu rupiah jika telat lima menit pertama, sepuluh ribu untuk lima menit kedua, belum lagi pandangan salah dari rekan-rekan satu tim. Jika ada yang menimpali, "uang mah yang kaya bisa nelat, yang nggak punya uang kasian dong". Jika standarnya uang, belum bisa dise-but sebagai organisator. Integritas yang sangat dijunjung tinggi dalam organisasi. Uang yang diterapkan hanya salah satu cara pendisiplinan dan punishment, serta penanaman kesadaran betapa berharganya waktu. Dalam sebuah acara yang juga dilaksanakan oleh mahasiswa, seorang pembicara memprotes panitia di muka umum karena keterlambatan acara selama tiga puluh menit: "Kalau seperti ini saya buang-buang waktu selama tiga puluh menit. Ada hal yang harus saya kerjakan. Saya tidak akan menambah waktu, karena kalian sendiri yang memotong durasinya." Prinsip mereka begitu kuat, bahwa organisasi adalah pembentukan karakter da-lam kehidupan selanjutnya di masyarakat. En-tah dari kedisplinan, komiten dan tanggungja-wab. Kebiasaan disiplin juga dibentuk oleh kampus, di mana tidak sedikit dosen member-lakukan peraturan melarang mahasisiwa ma-suk kelas jika telat dan jika dosen telat men-capai lima belas menit, maka kelas bubar. Komitmen dua arah yang tanpa disadari mem-bentuk karakter mahasiswa pelaku organisasi. Kebiasaan tersebut menjadi salah satu faktor terbentuknya kegiatan yang rapi. Jika diband-ing kita, tidak diketahui lagi siapa yang harus percaya kepada siapa. Peserta tidak lagi percaya pada penyelenggara, sehingga akan datang sampai dua jam setelah waktu yang ditetapkan. Pelaksana pun tidak percaya kepa-da peserta, sehingga tidak jarang waktu dimu-

Masisir Bercermin

Oleh Itta Raisah F.

An

al

isa

Nu

sa

nt

ar

a

Page 7: PRSTâSI Edisi 105

7

lai acara dicantumkan satu atau dua jam sebe-lum pelaksanaan yang sebenarnya. Mari die-valuasi, jika ada skala angka satu sampai sepuluh untuk evektifitas waktu, kegiatan Masisir berhak mendapat nilai berapa? Jangan sampai kita yang menyandang gelar ngaret di negeri sendiri ketika pulang kampung. Karena kepribadian terbentuk oleh kebiasaan yang berulang. Mahasiswa dan Kampus Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) atau Ba-dan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari tingkat fakultas sampai universitas merupakan organi-asasi resmi universitas. Ketika organisasi be-rada dalam naungan fakultas atau universitas, maka akan ada penyelarasan dan dukungan dari pihak kampus. Akan diseleksi oleh kampus apakah kegiatan benar-benar menunjang kom-petensi mahasiswa, apakah kegiatan tidak berbenturan dengan akademik mahasiswa. Ketika kegiatan dinilai kurang sesuai, tidak jarang proposal atau perizinan ditolak. Se-dangkan kegiatan yang dilaksanakan dikampus harus ada izin resmi dari kampus. Bahkan kegiatan yang dilaksanakan di luar kampus, namun membawa nama mahasiswa kampus, surat izin menjadi nyawa terlaksananya kegiatan. Ketika kegiatan dinilai gebrakan baru dan menarik, kampus akan memberikan sup-port dalam berbagai bentuk, entah dana atau dukungan fasilitas yang memaksimalkan pelaksanaan. Adanya kerjasama antara organ-isasi dan kampus, menjadi filter tersendiri, sehingga aktivitas dan kegiatan-kegiatan yang dimunculkan oleh mahasiswa merupakan kegiatan yang terseleksi. Dari bidang publikasi, kegiatan mahasiswa yang berpusat di kampus, kewajiban kehadiran mahasiswa masuk kelas, serta keberadaan BEM-BEM fakultas menjadi faktor yang mem-permudah. Penyebaran pamflet bisa dikirim melalui BEM fakultas lalu ditempel di papan pengumuman fakultas masing-masing atau publikasi langsung menggunakan toa di gerbang utama kampus. Jika seperti kita yang kehadiran tidak semua ada absensi, tidak ada organisasi mahasiswa resmi kampus, maka perlu usaha lebih untuk penyebaran info kepa-

da mahasiswa-mahasiswa yang keberadaann-ya tersebar. Kemungkinan istilah -nggak tau infonya- pun semakin besar, Diakui bahwa menjadi hal yang biasa maha-siswa di Indonesia terkenal dengan se-abreg kegiatan. Sumber Daya Manusia (SDM) yang berlimpah memunculkan organisasi-organisasi yang sangat beragam. Tiap-tiap organisasi akan memunculkan kegiatannya masing-masing. Jumlah kegiatan yang sangat banyak akan menimbulkan kompetisi antar kelompok. Mahasiswa non-organisator akan memilih, acara kece yang bakal diikuti, maka pelaksana akan berlomba-lomba menciptakan yang pal-ing bagus. Dari cakupan, ada seminar regional kampus sampai internasional. Ada yang mendatangkan pembicara daerah, artis, penu-lis nasional, atau bahkan tokoh internasional. Dihubungkan dengan peran kampus, ketika kampus telah memiliki ikatan kerjasama dengan suatu lembaga nasional ataupun inter-nasional, maka akan lebih mudah mengundang tokoh yang berada dalam lem-baga tersebut. Mahasiswa dan CV Pendukung lain terciptanya kegiatan kemaha-siswaan yang efektif adalah partisipasi besar dari mahasiswa. Piagam menjadi salah satu pendorong mahasiswa aktif dalam kegiatan, entah sebagai pelaksana maupun sebagai pe-serta. Curiculum Vitae (CV) menjadi nilai yang diperhatikan mahasiswa. Dikenalkan oleh kam-pus bahwa ketika lulus dari bangku perkulia-han, CV sangat penting untuk melanjutkan karir. Salah satu nilai penting dalam CV adalah adanya pengalaman-pengalaman organisasi dan pelatihan yang dibuktikan dengan adanya piagam. Semakin banyak pengalaman organ-isasi dan pelatihan-pelatihan yang diikuti, -katanya- akan lebih meyakinkan Human Re-source Development (HRD) ketika melamar pekerjaan. Beberapa universitas bahkan me-wajibkan mahasiswa memiliki sertifikat se-bagai tiket pelaksanaan skripsi. Sehingga bagi beberapa kegiatan atau organisasi, pengum-pulan massa tidak lagi menjadi masalah. Yang mereka lakukan adalah membuat target tinggi massa yang berpartisipasi.*+

An

al

isa

Nu

sa

nt

ar

a

Page 8: PRSTâSI Edisi 105

8

Setiap negara yang maju identik dengan sistem

pendidikan yang maju. Dalam artian, semakin

berkualitas pendidikan suatu negara maka se-

makin maju pula peradaban yang dimiliki oleh

negara tersebut. Selain itu, kualitas sumber

daya manusia yang dihasilkan pun memuaskan.

Dan tentunya SDM yang berkualitas akan lebih

bisa memberikan kontribusi bagi perkem-

bangan sebuah negara. Meskipun begitu, agar

bisa merealisasikan keberhasilan pendidikan

maju ini, tentu banyak hal yang harus dipenuhi

secara sempurna mulai dari sistem pembelaja-

ran, tenaga pengajar dan metode pendidikann-

ya. Inilah sebenarnya yang membedakan mutu

antara negara maju dengan negara berkem-

bang.

Membaca sistem pendidikan yang maju,

teringat dengan sistem pendidikan Mesir.

Sebab Mesir tercatat atau dianggap sebagai

negara maju yang meraih peringkat keenam di

dunia sebagai penghasil doktor berkualitas.

Terbukti dari banyaknya peraih nobel yang

berasal dari Mesir, beberapa di antaranya ada-

lah Naguib Mahfouz (sastra, 1988) dan Ahmed

Hasan Zewail (Kimia, 1999). Mesir juga

mempunyai satu slogan pendidikan yang fe-

nomenal, yaitu “Pendidikan adalah hak setiap

masyarakat, seperti air dan udara.” Tidak

heran, pendidikan di Mesir sangatlah murah,

contoh al-Azhar. Di samping itu, setiap tahun

Mesir juga mengadakan pameran buku inter-

nasional, yang diselenggarakan oleh Menteri

Pendidikan yang bekerjasama dengan penerbit

-penerbit dari berbagai negara.

Secara kelembagaan, sistem pendidikan Mesir

adalah tanggungjawab kementrian pendidikan.

Kementrian pendidikan bertanggungjawab

mulai dari pendidikan sekolah dasar sampai ke

pendidikan tinggi dalam aspek perencanaan,

kebijakan, koordinasi dan pengembangannya.

Ringkasnya, pemerintah lah yang bertanggung-

jawab atas segala sesuatu untuk menjamin

terselenggaranya operasional dengan efisien.

Namun menyoroti fenomena pendidikan Mesir

saat ini, ternyata kenyataan yang ada dengan

slogan yang dipopulerkan tidaklah sepadan.

Masih banyak kekurangan yang sifatnya ele-

menter di dalam lembaga pendidikan Mesir

seperti tidak memadainya fasilitas sekolah;

bangku, perpustakaan, ruang kelas dan sistem

pendidikan. Akibatnya, permasalahan yang

seharusnya sudah dapat ditanggulangi sejak

masih dalam perancangan meluap dan men-

jamur dalam tubuh masyarakat. Lebih jauh

permasalahan pendidikan tersebut ber-

tanggung jawab atas masih banyaknya

masyarakat yang buta huruf dan mem-

bengkaknya jumlah pengangguran yang men-

capai 12,7% dari total angkatan kerja di Mesir

tahun 2015. Bandingkan dengan Singapura,

yang tingkat penganggurannya hanya 2% pada

tahun 2015. Hal ini menunjukkan bahwa kuali-

tas sumber daya penduduk Mesir masih sangat

rendah. Kenyataan di atas menunjukan ku-

rangnya dukungan atau motivasi dari

pemerintah dalam bidang pendidikan. Padahal

kedua hal inilah yang menjadi basis perubahan

dalam meningkatkan pembangunan suatu

negara.

Bukti lain rendahnya kualitas pendidikan Mesir

dapat dilihat dari hasil penelitian The Global

Competitiveness Forum. Menurut The Global

Competitiveness Index 2014-2015, Mesir be-

rada di peringkat 116 dari 140 negara. The

Global Competitiveness Index 2014-2015 meru-

pakan indeks komposit yang mencakup kualitas

kesehatan, tingkatan pendidikan dan kondisi

ekonomi. Merujuk kenyataan saat ini, pen-

capaian kinerja sistem pendidikan Mesir bisa

dikatakan masih kurang optimal.

Kerancuan Pendidikan Mesir

Oleh Izzatun Nafsiyah

Tim

ur

Te

ng

ah

Page 9: PRSTâSI Edisi 105

9

Seperti yang diberitakan akhir-akhir ini,

pengangguran di Mesir masih merajalela, be-

gitu juga dengan gelandangan. Hal ini disam-

paikan oleh Izzudin, ketua Persatuan Wilayah

untuk Universitas. Bahkan dia menambahkan

bahwa fenomena ini sudah terjadi sejak sembi-

lan tahun yang lalu. Ini menunjukkan bahwa

pendidikan di Mesir belum menyentuh setiap

lapisan masyarakat dan fenomena penganggu-

ran, buta huruf adalah bukti nyata tentang

belum adanya keberhasilan pendidikan di Me-

sir. Dan lahirnya para doktoral di Mesir, pada

kenyataannya, belum bisa banyak membantu

mengentaskan kemiskinan, pengangguran dan

buta huruf.

Untuk merespon fenomena ini, merekonstruksi

pendidikan nasional ada-

lah solusi awal dalam

mengentaskan buta hu-

ruf, kemiskinan dan

pengangguran. Caranya

adalah dengan menerap-

kan pendidikan kultural

dan pendidikan yang

sesuai dengan esensi

negara itu sendiri, bukan

justru menerapkan pen-

didikan asing yang tidak

sesuai dengan nilai-nilai

budaya atau memaksa-

kan konsep pendidikan

yang otoriter. Peran pen-

didikan kultural yang be-

rasal dari pendidikan

keluarga sangatlah

penting, karena hal tersebut merupakan faktor

pembangun karakter anak sejak dini.

Contoh pembangunan karakter anak sejak dini

bisa dilakukan dengan mengajarkan anak un-

tuk selalu berprilaku baik, mengasah kre-

atifitasnya, mengajarkan bagaimana etika ber-

sosialisasi, mengenalkan mana yang baik dan

tidak, menceritakan kisah-kisah teladan dan

lain sebagainya sehingga nilai-nilai etika,

moral, agama, sosialisasi dan budi pekerti

meresap dalam diri anak sejak dini. Sedangkan

di Mesir, anak-anak belum secara merata

mendapat pendidikan karakter seperti halnya

di atas. Terbukti saat ini masih sering

ditemukan kenakalan-kenalan anak Mesir sep-

erti membentak orangtuanya, mencuri, mem-

buat onar, tidak suka absen sekolah dan lain-

lain.

Wacana pendidikan kultural ini, bukanlah seka-

dar omong kosong belaka, sebab banyaknya

keberhasilan negara maju dalam membangun

pendidikannya juga memasukkan nilai kultural

di dalam sistem pendidikan dan kurikulumnya.

Dan di Mesir sendiri wacana tersebut seringkali

hadir di rubrik opini koran-koran Mesir. Seperti

yang dituliskan oleh Muhammad Khithab da-

lam artikelnya yang berjudul “Perkembangan

Pendidikan Mesir” dan

Alla Al-Ilmi yang berjudul

“Wacana Pengembangan

Masyarakat dan Pendidi-

kan Keluarga” bahwa

pendidikan itu juga harus

dimulai dari keluarga dan

tidak hanya mengandal-

kan pendidikan sekolah,

serta memasukkan aja-

ran-ajaran moral-etika,

nasionalisme, agama di

silabus pendidikan na-

sional. Hal ini menunjuk-

kan adanya bentuk

kepedulian masyarakat

Mesir terhadap permasa-

lah-permasalahan pen-

didikan yang ada di

negaranya.

Dari sana, kita bisa belajar bahwa pendidikan

nasional yang baik harus mampu meng-

gabungkan nilai kultural masyarakat dalam

silabus pendidikan dan ajaran di sekolah-

sekolah negara. Agar generasi mudanya bisa

menjadi manusia bertanggungjawab dalam

moral dan kelimuan secara seimbang. Sehingga

pendidikan nasional tidak merampas kebeba-

san seorang manusia yang merdeka. *+

Tim

ur

Te

ng

ah

Page 10: PRSTâSI Edisi 105

10

Saat itu Bang Gobe baru saja resmi menjabat

sebagai presiden PPMI. Kebetulan, saya dan

kawan-kawan ditugaskan mewawancarai be-

liau tentang program-program yang akan diga-lakkan PPMI di bawah kepemimpinannya.

Walhasil, ada tiga agenda besar yang diusung

Bang Gobe: back to Azhar, back to campus dan

back to organization. Dari Tri Agenda PPMI, saya menduga-duga kenapa harus demikian.

Mungkinkah gara-gara Masisir belum memiliki

tiga unsur tadi? Pun dalam pelaksanaannya,

mungkinkah Tri Agenda PPMI terealisasi dengan sempurna?

Sebelum membahas lebih dalam, kita cermati

bahwa ketiga pengembalian (back) itu berkai-tan dengan kegiatan pembelajaran bagi diri

seseorang. Dipahami secara dewasa belajar

adalah sebuah keniscayaan tanpa harus

mengembalikannya pada latar belakang seseorang. Sedang di lingkungan Masisir kita

akan menemukan fenomena ruang belajar ada-

lah sesuatu yang bersifat privasi—dalam artian

mau belajar ataupun tidak bukan urusan orang lain—, lalu menimbulkan kesan bagi yang mem

-publikasikan kegiatan belajarnya telah

mendapat sebuah prestasi. Setidaknya berupa

pujian dari Masisir.

Jumhur Masisir sepakat kalau tujuan di Mesir

adalah belajar. Tapi terjadi perbedaan pan-

dangan dalam soal “belajar apa?” Pertama, melihat bahwa belajar adalah tujuan, sehingga

posisi mahasiswa di Mesir harus memiliki porsi

belajar yang lebih dan meninggalkan kegiatan

sekunder yang tidak berbau ilmiah. Pemaham-an kaku inilah yang selalu dipromosikan oleh

“mantan” Atdik. Kedua, belajar memang sudah

menjadi satu keharusan, dalam artian, sejak

kita dilahirkan manusia memang memiliki ko-drat wajib belajar. Dalam kapasitasnya sebagai

mahasiswa, Masisir sudah seharusnya bertolak

menuju suatu dinamika sosial yang lebih luas,

yaitu belajar bermasyarakat dan berke-

budayaan—tidak melulu berkutat pada proses

belajar akademik.

Namun dua hal di atas—yang sudah jamak dipahami Masisir—, alih-alih mampu membu-

atnya keluar dari dilema status yang disan-

dangnya, mereka malah masih terjebak pada

kejumudan pikir dengan saling ejek satu sama

lain.

Manusia memang mudah luput. Tekadang,

ketika kita menginginkan suatu kemajuan, akan terjadi kemunduran pada hal lain. Katakanlah,

bagi mahasiswa yang menyatakan diri fokus

pada pendalaman agama, bisa jadi ia tak mem-

iliki sense bermasyarakat yang apik, ia hanya akan senang dalam hal belajar dan belajar.

Adapun bagi kelompok yang meyakini bahwa

belajar adalah murni urusan pribadi, kemudian

mereka menjajaki dinamika kehidupan ber-

masyarakat dan berbudaya, terkadang bela-jarnya akan ketinggalan. Lalu dimanakah con-

cern belajar Masisir yang sesungguhnya?

Tentang kemungkinan terealisasinya Tri Agen-

da PPMI sebagai program solutif bagi dinamika

Masisir yang sedemikan rupa, pada suatu obro-

lan terjadi dua perbedaan pendapat. Pertama,

adanya kemungkinan Tri Agenda tersebut ter-jadi. Sebab kelompok ini memandang Tri Agen-

da tadi sebagai sebuah cita-cita luhur. Pun

demikian, tantangan masa depan menuntut

kemampuan mahasiswa untuk menguasai tiga aspek tersebut. Seperti yang diungkapkan

Soedjatmoko (1991:97), selain tantangan masa

depan bangsa yang menuntut mahasiswa

memiliki kemampuan akademis, juga memiliki kepekaan sosial. Karenanya, agenda PPMI dira-

sa cukup tepat mengantarkan Masisir untuk

memiliki sifat dan kemampuan manusia Indo-

nesia di masa mendatang. Dengan demikian, benar jika Tri Agenda PPMI diartikan sebagai

cita-cita.

Kedua, tidak mungkin. Berbeda dengan ke-lompok pertama yang memandang Tri Agenda

sebagai cita-cita, kelompok ini memandang Tri

Membaca Ulang Proyek Tri Agenda PPMI

Oleh M. Furqon Khoiruddin

Op

ini

Page 11: PRSTâSI Edisi 105

11

Agenda sebagai satu paket keseharusan sehing-

ga timbul pemahaman yang kontradiktif dari

mereka dan mengatakan tidak mungkin keti-ganya terwujud ketika dihadapkan pada realita

saat ini. Mulai dari aktif kuliah, sesama Masisir

pasti memaklumi ihwal perkuliahan di Azhar

yang sangat moody. Belum lagi dengan back to organization, hal tersebut justru lebih masuk ke

ranah passion. Dalam artian tidak bisa

seseorang didorong terus-menerus agar terjun

dalam organisasi. Kenyataan inilah, yang men-jadikan Tri Agenda terkesan naif dan memaksa-

kan.

Di -lain sisi, saya heran dengan Masisir, iyakah tidak memiliki label di mata

masyarakat Indonesia sana? Misal-

nya, kritis dengan perkembangan

fiqh kontemporer atau dapat me-rangkul segenap umat walaupun

dalam perbedaan dan lain-lain.

Sampai-sampai PPMI menggelo-

rakan paket agenda agar Masisir kembali ke jalan lurus versi PPMI—seakan-akan

Masisir telah keluar dari jalur utamanya. Tapi

saya juga ragu bagaimana PPMI melahirkan Tri

Agendanya. Jika Tri Agenda lahir hanya lanta-ran keadaan Masisir yang dianggap belum

membanggakan, seperti jarang kuliah dan sulit

diajak terjun dalam organisasi, maaf, maka nilai

Tri Agenda ini tidak memiliki nilai berarti. Kare-na, agenda ini merupakan hasil dari paradigma

“apa yang baik atau ideal bagi Masisir” tidak

ada bedanya dengan program yang diusulkan

banyak organisasi pada umumnya.

Dalam kapasitasnya sebagai organisasi induk

Masisir, PPMI seharusnya sudah menggali

dengan sedalam-dalamnya jiwa Masisir untuk menemukan pijakan universal. Mengapa ha-

rus? Dengan adanya penggalian jiwa, hasilnya

tentu berbeda. Ia akan lebih diterima, hidup

dan merakyat, sebagaimana lahirnya Pancasila. Dulu, Bung Karno menggali nilai-nilai jiwa bang-

sa dalam lautan sejarah, bahkan sampai pada

kerajaan kuno di Indonesia. Sampai akar nilai

bangsa ia gali. Melalui proses itulah, pancasila

menjadi suatu “meja statis yang dapat mem-persatukan segenap elemen, tetapi mempunyai

tuntunan dinamis ke arah mana suatu perge-

rakkan,” sebagaimana diungkapkan Bung Kar-

no.

Memang, Tri Agenda tidak akan bisa disamakan

substansinya dengan dasar NKRI, tapi yang kita ambil pelajarannya bukan itu, melainkan pros-

esnya. Wajar saja jika ada kalangan yang tidak

sepakat dengan paket agenda PPMI, mengingat

ia sebatas program normatif suatu organisasi.

Selain itu, ketika Tri Agenda dianggap sebagai satu paket cita-cita atau satu keharusan bagi

Masisir, belum tentu akan sesuai dengan

keyataan insan Masisir saat berada di tanah

air. Bisa jadi suatu kampung membutuhkan alumnus al-Azhar yang mampu

menjadi pemersatu ukhuwah di

masyarakat, tidak hanya berilmu

tinggi tapi tak peka sosial. Ada juga yang hanya membutuhkan sosok

alumnus yang menguasai banyak

kitab agama, sehingga bisa

menghidupkan suasana peradaban Islam yang telah lama lekang dan kebutuhan-

kebutuhan membumi lainnya.

Itulah mengapa, makna dari Tri Agenda PPMI yang tepat adalah sebagai sebuah peringatan

agar Masisir memiliki identitasnya sendiri-

sendiri, ya, setidaknya satu keunggulan. Tidak

harus individu Masisir menguasai tiga agenda tadi, tapi cukup masing-masing memainkan

peran sesuai bidangnya. Bagi yang suka talaqqi,

biarlah mereka mendalami ilmu agama dengan

tenang. Tapi jangan sampai melupakan peran sosialnya. Bukankah banyak media untuk

berbagi ilmu? Bagi pegiat organisasi juga harus

berusaha agar tidak menomorduakan soal bela-

jar. Bukankah itu cukup membuat orang tua kita senang?

Dengan demikian akan terjadi suatu keseim-

bangan dalam tatanan Masisir sebagai suatu masyarakat. PPMI jangan lagi terkungkung da-

lam kotak berpikir “mahasiswa ideal”. Mari kita

lebih memahami arti bermasyarakat. Karena

tidak ada satu kampung yang berisi para pem-impin. Dan sebagai Ibu, selayaknya PPMI bisa

mewujudkan sebuah meja statis dengan tun-

tunan dinamis. Demi Masisir.*+

Op

ini

Page 12: PRSTâSI Edisi 105

12

Pendidikan adalah syarat mutlak untuk meraih

kehidupan yang beradab. Sebabnya, hal terse-

but telah menjadi ukuran mengenai seberapa

maju berkembangnya sebuah negara dan

masyarakat. Karena melalui pedidikan akan

dihasilkan sumber daya manusia yang berkuali-

tas, peka, dan paham akan kebutuhan zaman.

Sehingga, diharapkan dari mereka, mampu

membangun sebuah pemikiran untuk solusi

setiap problematika yang ada. Sedangkan di

lain hal, jamak diketahui bahwa mahasiswa—

sebagai kaum terdidik—adalah garda terdepan

sebuah masyarakat. Ia mempunyai dua fungsi

yang harus dijalankan. Pertama, menciptakan

perubahan pada negara dan masyarakat agar

lebih peka pada lingkungan dan dunia. Kedua,

sebagai pengawas terhadap sistem organisasi

di masyarakat dan negara agar selalu stabil.

Dengan memahami dua fungsi yang dimiliki,

mahasiswa sebagai agen perubahan; sebagai

bibit unggul generasi terdepan, haruslah

memilik idealisme yang tidak bisa dijual

dengan kepentingan apapun. Karena melihat

realita kekinian, banyak dari mahasiswa yang

menjadi “kacung” sebuah organisasi tertentu.

Dan, idealisme yang seharusnya ia jaga, pada

akhirnya harus tenggelam dalam banjir visi dan

misinya. Sehingga pertanyaannya kemudian, di

mana idealisme mahasiswa yang murni? Ideal-

isme kaum intelektual yang harus memikirkan

pembaharuan dalam setiap langkahnya? Kare-

na setiap pelajar—sekalipun ia bukan

mahasiswa—dalam proses belajarnya, ia akan

memprioritaskan apa yang lebih dibutuhkan

oleh masyarakat dan lingkup sosialnya. Bukan

mengamini secara buta rayuan para aktivis

organisasi yang notabenya dibayangi dengan

target, visi dan kalkulasi kesuksesan program

kerja.

Dari hal tersebut, menulusuri dan mengkaji

mengenai genealogi mahasiswa ini akan

membawa pada konsepsi yang matang tentang

fungsi mahasiswa di atas. Tujuannya, maha-

siswa harus mampu mengemban tanggung

jawab dan mempertahankan idealismenya

sebagai seorang intelektual. Yaitu sebagai pela-

jar yang membawa harkat dan martabat bang-

sa, mengemban amanah sosial, melakukan

perubahan dan berkhidamat untuk masyarakat

sekitarnya.

Langkah awal yang harus diambil dalam

penelusuran ini adalah mendeteksi kedudukan

mahasiswa di masyarakat. Bahwa arti yang

terberi padanya, bukanlah sekedar permainan

bahasa sebagai kaum terdidik dan terpelajar,

tapi juga menemukan pendakuannya secara

eksistensial. Fungsinya, agar bisa memahami

spirit kaum terdidik paling natural. Yaitu aura

intelektual yang dipenuhi dengan nilai ketu-

lusan dan keikhlasan untuk mengentaskan

manusia dari jurang amoral dan kebodohan.

Hal ini akan dijadikan titik pijak sebelum me-

langkah untuk menemukan sebuah perubahan

dan perkembangan di masa-masa selanjutnya.

Yaitu masa, dimana mahasiswa—atau kita se-

but sebagai kaum terdidik—mulai bersifat

pragmatis dan lupa akan tanggungjawabnya

sebagai kaum idealis.

Di lain hal, penelusuran jejak eksistensial

mahasiswa dan kandungan makna terberinya,

diharapkan mampu mengembalikan nilai pro-

porsional terhadap bentuk aplikatif peran

seorang mahasiswa secara intelektual.

Mengembalikan kesadaran mahasiswa sebagai

Menyegarkan Kembali Fungsi dan Identitas Mahasiswa; Sebuah Upaya Pembacaan Genealogis1

Oleh Ni’matul Majmu’ah

Ka

jia

n

Page 13: PRSTâSI Edisi 105

13

kaum idealis yang memiliki prinsip dan ketegu-

han dalam membawa perubahan di setiap ling-

kungan ia berada. Bukan sekedar menjadi ka-

cung sebuah program, visi misi dan tugas kerja

suatu organisasi tertentu.2

Kemudian, perlu mendedah ulang kata maha-

siswa secara leksikal agar esensi makna awal

yang terbentuk tidak ternafikan dalam realitas

sosial. Sehingga dua fungsi di atas tadi bisa

terjaga dan terealisasikan secara maksimal ke

depannya. Terutama di dalam membangun

kembali nilai kemanusiaan dan kebangsaan

yang saat ini banyak tercederai kepentingan

sesaat oleh para pemodal, partai dan aktifis

pragmatis. Tentu, artikulasi ini menjadi awal

penting topik ke-mahasiswa-an di Masisir

dewasa kali ini. Yakni sebuah usaha untuk

membangun dinamisasi progesif dalam tradisi

intelektual dan organisasi. Sehingga tidak

sekedar mengejar kesibukan program tanpa

pencapaian “karakterifikasi mahasiswa”

menuju manusia kreatif.

Secara leksikal, kata mahasiswa memiliki arti

sebagai seseorang yang memiliki pendidikan

hingga jenjang paling tinggi. Pendidikan yang

tidak hanya mengejar titel, tapi juga

pengentahuan yang luas beserta kepribadian

yang tangguh. Hal ini bisa dilihat dari

penggabungan kata maha dengan siswa. Maha

artinya sesuatu yang luar bisa dan siswa adalah

seseorang yang menuntut ilmu di manapun

berada. Dari arti ini jelas kata mahasiswa

mengandung arti pelajar yang mempunyai

pengetahuan luas dan mendalam.

Sedangkan penerjemahan sebagai pelajar atau

seseorang yang memiliki pendidikan bermakna

sebagai orang yang menerima arti ajaran,

latihan dalam hal akhlak dan kecerdasan.3 Se-

dangkan dalam tradisi Arab kita akan

menemukan kata muta’alim atau thalabah.

Sedang kata yang berbahasa Arab tersebut

juga memiliki banyak relasi makna yang

menunjukan substansi yang sama. Di an-

taranya adalah al-Ishlah, ar-Ri’ayah, at-

Tanmiayah.4 Dari berbagai relasi makna yang

dihadirkan, penulis mencari pembenaran

dengan melihat tradisi intelektual paling awal.

Di sana, makna dari kata tersebut telah terap-

likasikan dengan apik, walaupun tanpa pen-

dakuan secara resmi dan terstruktur. Seperti di

era Nabi Muhammad, pelajar setingkat

mahasiswa mendapat pelajaran dari Nabi di

madrasah-madrasah tentang tanggungjawab,

berprilaku yang baik, berbuat baik, tekun,

bekerja keras dan menjaga kemaslahatan

bersama serta mengetahui prioritas orang

banyak.

Akan tetapi pada kenyataannya, pendidikan

mengalami polarisasi makna dari makna dasar

ke makna relasional yang sangat luas sekali

maksudnya. Bisa diperhatikan, sampai pada

tataran masa kini, telah menunjukkan sebuah

pengembangan makna pendidikan dan

transformasi kesadaran—sebagai bentuk

aplikatifnya—kaum terdidik. Artinya, kalau

seandainya pendidikan dalam tradisi awal—

dengan makna dasarnya—dipahami sebagai

sebuah usaha membangun moral dan men-

dalami sebuah ajaran, maka dalam masa

setelahnya, pendidikan dipahami dengan

tekstur yang berbeda. Sehingga, hal ini tentu

saja akan berpengaruh terhadap bentuk

kesadaran untuk memahami bentuk pendidi-

kan yang berbeda tersebut. Singkatnya, boleh

kita katakan bahwa bentuk kesadaran yang

terbilang mereduksi dari tataran idealisme

awal sebagai mahasiswa (kaum terdidik) ada-

lah dampak yang harus ditanggung ketika

melihat makna pendidikan mulai memendar

dari tataran makna awal menjadi bentuk pen-

didikan formal, institutif, terstruktur. Karena

dengan demikian kesadaran yang sudah

terbangun di masa-masa awal sebagai sebuah

kesadaran idealis, natural menjadi kesadaran

Ka

jia

n

Page 14: PRSTâSI Edisi 105

14

yang pragmatis. Pendidikan menjadi tidak

cukup dengan ajaran dan aplikatif, tapi juga

membutuhkan sebuah legalisir dan

pengakuan. Dan akhirnya, idealisme maha-

siswa yang seharusnya dipegang teguh harus

terlebur bersama wacana formalitas yang ber-

macam variannya.

Dari hal di atas, akan ditemukan adanya se-

buah pertautan yang erat antara makna, re-

alita sejarah dan kesadaran yang kemudian

akan memunculkan paradigma yang berbeda-

beda di benak masyarakat. Ketika pendidikan

hanya dimaknai sebagai sekedar masalah ad-

ministrasi, maka mahasiswa pun juga menjadi-

kan idealismenya menjadi barang barteran

pemerintahan. Sehingga, perlu mengurai ab-

surditas kuadrat demi menjumpai pemaknaan

dan kesadaran awal dan proporsional dari ma-

hasiswa.

Dalam kasus yang lebil nyata, mari melihat

sekeliling kita, Masisir. Setelah melihat polar-

isasi pemaknaan awal kata pendidikan serta

perbedaan tekstur kesadaran yang mengikuti-

nya, maka akan menjadi mudah untuk melihat

bentuk kesadaran seperti apa yang telah

mengakar dalam pola pikir masahasiswa di

sini. Bukan salah atau benar yang menjadi

topik di sini, namun kita berusaha membaca

dan mencari bentuk genealogi yang patut di-

jadikan rujukan. Andaikata di sana ada ketidak-

sesuaian, maka saatnya-lah disesuaikan, atau-

pun ketidak-benaran, maka sudah saatnya

mahasiswa bercermin dan memahami dirinya

sendiri untuk kembali menjadi kaum idealis

yang dipenuhi ambisi dan mimpi sesuai

kesadaran awal sebagai kaum terdidik.

Pada dasarnya kita hidup sebagai makhluk

sosial tidak akan mampu menafikan sisi prag-

matis dalam setiap sendi kehidupan. Yang ter-

penting, bagaimana seorang manusia—

terkhusus mahasiswa— dengan melihat fungsi

dan perannya harus mampu menyeimbangkan

diri dalam menghadapi arus-arus yang

demikian itu. Mahasiswa yang menjadi

pensukses progam kerja, visi dan misi pragma-

tis dianggap gagal dalam mendalami perannya

sebagai kaum terdidik. Karena sesuai pemak-

naan yang diperoleh melalui sudut pandang

genealogi di atas, mahasiswa adalah kaum

terdidik, idealis, progresif dan mampu memba-

wa dirinya dalam pembelajaran yang dibutuh-

kan. Tujuannya untuk dipraktekan dalam ling-

kungan sosialnya. Sebagaimana yang dilakukan

oleh Rasulullah SAW., sebagai pendidik paling

proposional selalu menghargai dan memeper-

timbangkan kondisi anak-anak didiknya melalui

metode-metode pengajaran yang berbeda

sesuai karakter mereka. Hal ini menandakan

bahwa hak dan idealisme seorang penuntut

ilmu, agaknya menjadi hal yang urgen dan ha-

rus tetap dipegang teguh. Karena dengan

demikian, manusia akan memahami dan

mengenali dirinya, lingkungannya sesuai ke-

mampuannya. Adalah ia yang mampu

mengenali dirinya, adalah dirinya yang mampu

mengenali lingkungannya. Adagium ini

agaknya menjadi renungan bagi badan organ-

isasi kemahasiswaan yang telah menjadikan

mahasiswa sebagai tim sukses program kerjan-

ya. Yaitu menjadikan mahasiswa sebagai peng-

genap kalkulasi target kuantitas sebuah pro-

gram, visi dan misinya.

Mahasiswa seakan mati gaya. Karena eksisten-

sisnya berubah menjadi tempat perdagangan

para aktivis organisasi. Banyak program yang

disuguhkan, menjadikannya lupa akan jati

dirinya. Sedangkan sukses dan tidaknya sebuah

kegiatan—sekarang ini—mulai diukur dari

kalkulasi peserta, kalkulasi daftar hadir dan

demikian seterusnya. Mahasisiwa mempunyai

hak dan wilayah privasi yang perlu dipertim-

bangkan. Banyak tawaran visi, misi dan pro-

gram kerja tidak membantu mereka untuk

Kajian K

aj

ia

n

Page 15: PRSTâSI Edisi 105

15

menemukan jati dirinya. Karena setiap dari

mereka memiliki kepentingan yang berbeda.

Dan pada akhirnya, mereka akan merasa

terkekang dan capek dengan banyaknya

kegiatan yang seluruhnya mengharuskan di-

penuhi secara kuantitas. Sedangkan di lain hal

mereka mengemban tanggung jawab yang

besar. Sebagai generasi bangsa, mereka mem-

ikul masa depan kampungnya. Bagaimana

yang dibutuhkan hanya mereka yang paling

tahu. Jadi, tidaklah bisa mengumpulkan mere-

ka dalam satu program, visi dan misi. Seperti

halnya melingkari mereka dengan jargon

”kembali ke Azhar, kampus, dan organisasi”.

Bisa jadi kepentingan mereka, bukan di antara

ketiganya. Kaum aktivis terlalu angkuh untuk

memahami hal ini. Terlalu sulit mengendapkan

ambisinya untuk menyukseskan program

kerjanya.

Jika demikian adanya, lalu bagaimana bisa

mereka kaum aktivis—PPMI misalnya—

mengekang mereka dalam ambisi kesuksesan

program kerjanya. Membatasi mereka dengan

pilihan kegiatan yang bisa jadi tidak masuk

dalam daftar kebutuhan. Hal ini akan menjadi

kesenjangan yang teramat jauh, ketika melihat

bagaimana pola pengembangan makna pen-

didikan dan kesadaran kaum terdidik dari

tradisi awal sampai sekarang ini.

Seharusnya, pengembangan makna pendidi-

kan yang telah termaterialkan menjadi formal,

terlembagakan, tetap menjaga unsur-unsur

idealnya—dalam ranah kognitif dan moral—

agar tetap dalam kadar yang pas. Walaupun, di

lain hal, perubahan tersebut tidak selamanya

buruk, jika ditanggapi dan dipahami dengan

apik oleh kaum pejabat maupun kaum

terdidiknya. Sehingga kesadaran yang ter-

bentuk dalam diri mahasiswa tetap dalam

pemahaman awal sebagai kaum intelektual

yang idealis dan tidak butuh intervensi dari

pihak manapun. Karena pada sejarahnya, ma-

hasiswa dan kaum muda yang menjadi dalang

di setiap pergerakan, perubahan. Baik itu dari

masa Nabi, kolonialisme, bahkan sampai refor-

masi. Mahasiswa selalu menjadi garda terde-

pan di setiap langkah perubahan, bukan men-

jadi kacung yang siap merealisasikan program,

visi dan misi sebuah komunitas tertentu.

Demikianlah kenapa dianggap perlu menelusu-

ri secara genealogis jati diri mahasiswa—

sebagai kaum terdidik—untuk memberikan

refleksi bagaimana sebenarnya sikap dan

idealisme yang harus diteguhkan. Berusaha

melihat transformasi pemaknaan pendidikan

di setiap masa yang berbeda serta melihat

kesadaran yang terbentuk menjadikan manu-

sia akan mafhum akan adanya perubahan.

Mafhum disertai sikap yang apik dan tidak

tenggelam dalam arus industrialisasi, bursa visi

misi kaum pejabat dan aktivis.*+

Kajian

1 Kata genealogi secara leksikal digunakan untuk menelusuri garis silsilah keturunan, namun dalam kajian ini akan digunakan dalam ranah sosial guna melacak otentisitas fungsi mahasiswa. Artinya, kajian ini akan berusaha mengembalikan cerminan seperti apa sikap mahasiswa yang sepatutnya dalam menghadapi arus pragmatis sebuah komunitas tertentu. Sehingga mahasiswa yang sejak dari awal telah memiliki idealisme dan kepentingan naturalnya, tidak akan tenggelam dalam pengaruh pihak manapun.

2 Pijakan sudut pandang genealogi diadopsi dari tokoh Friedrich Nietzsche dalam buku On The Genealogy of Morality. Dalam pengenalannya, disebutkan bahwa Nietzsche mengalami kegusaran dalam menerima wacana moralitas saat itu, yang terlihat cenderung terdominasi otoritas tertentu. Sehingga dengan spirit dekonstruksi, ia berusaha menghadirkan kembali hakikat moralitas paling awal sebagai tolak ukur penilain akan isu-isu yang berkembang saat itu mengenai moralitas. Hal ini akan diterapkan dalam membaca hakikat fungsi mahasiswa dan identitasnya paling awal sabagai kaum terdidik.

3 Lihat KBBI dan lihat juga PRESTâSI Edisi 103 pada Rubrik Kajian, hal. 13, oleh Saudara Nasifuddin Lufhfi digunakan sebagai pemaknaan dasar dari kata ini.

4 Lihat buku karangan Jaser Barakat yang berjudul Tarbiyatu al-Aulad, buku ini memuat makna pendidikan dan derifasi makna. Di antara makna-maknanya adalah at-Ta’lim, ar-Ri’ayah, at-Tanmiyah.

Ka

jia

n

Page 16: PRSTâSI Edisi 105

16

Suatu ketika, KSW kedatangan tamu. Tamu tersebut ingin meminjam tambang untuk kegiatan komunitasnya, namun ia belum mem-bawa surat peminjaman secara resmi. Kemudi-an dijanjikan akan saling membuat kesepaka-tan esok siangnya. Hanya telat sedikit, ada tamu lain yang kebetulan membutuhkan ba-rang yang sama. Maka tambang itu tak ber-sambut bersama peminjam yang pertama. Sedikit gambaran akan keruwetan ber-tumpuknya kegiatan di lingkungan Masisir. Mungkin naif mengatakan agenda-agenda Masisir tidak berlebih diadakan, karena sejak awal Masisir memang diarahkan pada keakti-fan mengikuti kegiatan-kegiatan. Mulai dari orientasi dari setiap komunitas yang tiap indi-vidu bisa terdaftar di tiga sampai empat macam organisasi, hingga pernak-pernik setelahnya yang―bisa jadi―tidak ada habisnya. Tapi sebagai KSW, menilai begitu sepihak tentu sangat tidak fair. Sebagai kekeluargaan yang juga mengadopsi dina-misnya aktifitas-aktifitas dalam berbagai ke-cenderungan tentu KSW juga punya andil da-lam tumpang tindih-nya kegiatan Masisir. Bagi KSW sendiri, kehidupan semerta dinilai dari jalan-tidaknya kegiatan yang sudah dipro-gramkan. Tidak kurang tidak lebih. Dan pun dengan kenyataan tersebut tentu saja KSW memaklumi kepadatan agenda yang terjadi pada dirinya sendiri pula. Tidak salah jika KSW sebagai salah satu dari macam organisasi men-dukung tambahan kepercayaan diri PPMI un-tuk mengembalikan Masisir tidak hanya pada Azhar tapi juga organisasi. Memang merupa-kan sebuah keharusan bagi organisasi induk untuk bersikap konsisten pada representasi komunitasnya, sehingga tentu saja kembali berorganisasi adalah kelumrahan yang perlu dicapai. Hakikat memprioritaskan kegiatan organisasi, selain lesunya minat organisasi Masisir menurut PPMI―dengan contoh banyak ang-

gota yang loyal dan siap sekalipun belum berani mencalonkan diri sebagai ketua baik kekeluargaan maupun PPMI sendiri―, juga merupakan solusi terhadap masalah tersebut. Yaitu menjaring kader sebanyak-banyaknya dan harap-harap cemas komunitasnya tidak mati. Maka masing-masing organisasi berlom-ba menciptakan seabrek kegiatan yang mereka harap menarik perhatian dan tidak mem-bosankan agar tak lekas ditinggalkan. Namun, mungkin akan menjadi lebih efektif jika setiap organisasi yang berkuasa di ling-kungan Masisir saling menyamakan jadwal sejak awal kepengurusan. Sehingga porsi kegiatan Masisir―khususnya anak-anak ba-ru―tidak saling bertumpuk antar satu komuni-tas dengan komunitas lainnya yang (cukup banyak) mereka ikuti. Seperti berbagai macam event bakat minat baik olahraga maupun kesenian mungkin bisa dikoordinir oleh satu jenis organisasi saja dengan didukung oleh macam-macam organisasi lainnya dan tentu di bawah organisasi induk yang berarti PPMI di sini. Alangkah lebih baik lagi antar hierarki or-ganisasi ini tidak saling berlomba berebut mo-men untuk unjuk kelihaiannya dalam beror-ganisasi. Seperti sepak bola dan musik oleh jajaran kekeluargaan saja, kajian keilmuan oleh afiliatif dan senat saja, misalnya, dan organisasi induk bertugas mengawasi semua kegiatan tersebut tanpa berebut hari dengan organisasi-organisasi di bawahnya. Meski demikian se-buah pemikiran tercipta, itu akan menjadi auto-kritik tersendiri bagi KSW yang konsen men-jalani tradisi Masisir apa adanya. Tapi begitu-lah, kritik disampaikan bahkan pada diri sendiri sekalipun yang terkadang mewakili kese-luruhan yang belum tentu berpikiran demikian. Dalam hal ini, kita dapat menelaah garis besar akar permasalahannya dari dua sudut pandang yang cukup mendalam. Yaitu antara Masisir sebagai organisasi dengan Masisir sebagai indi-vidu. Apa pengaruh terbesar bagi masing-

KSW; Antara Peran sebagai Organisasi dan Perkumpulan Individu-Individu Masisir

Oleh Fadhilah Rizqi*

Le

ns

a K

SW

Page 17: PRSTâSI Edisi 105

17

masing kepribadian tersebut ketika perihal prioritas disentuh secara mendasar dan ber-benturan dengan realita. Jujur saja, saat kita berada dalam ruang kontribusi―katakanlah, di kekeluargaan―kita seringkali menjadi pribadi yang berbeda. Bahkan untuk orang yang paling egois sekalipun akan luluh oleh permintaan-tolong senior atau kawan dek-atnya untuk membantu perihal keorgan-isasian. Maka ada ruang tersendiri untuk mencurahkan perasaan yang sesungguhnya terhadap kepadatan kegiatan di lingkungan Masisir, sebagai pelaku sekalipun, akan ada waktu-waktu tertentu kita merasa lelah dengan ketergesaan dan keterburuan agenda-agenda itu. Oleh karenanya, menurut penu-lis, Masisir sebagai pelaku organisasi dan Masisir sebagai individu adalah dua kepribadian yang berbeda. Masisir sebagai Pelaku Organisasi Saat melaku organisasi, seorang akan me-luruhkan semua idealismenya demi idealisme organisasi. Maka yang sangat tepat dan me-nyenangkan adalah saat berorganisasi dengan yang satu idealisme. Bisa jadi, dari sekian ketepatan yang dapat terjadi hanya sedikit yang berorganisasi dengan hati. Meski terdengar aneh, namun berkegiatan yang sungguh-sungguh memang tidak akan mempengaruhi secara besar-besaran pada kehilangan fokus prioritas seseorang. Ber-dasarkan pengalaman pribadi, banyak yang asal-asalan―termasuk penulis―menjalankan perannya di organisasi tertentu. Apalagi bila tanggungjawab itu muncul dari perasaan tid-ak enak. Masisir sendiri berperan sebagai banyak hal di lingkungan ini, namun untuk menyadari pada taraf mana peran terbesarnya akan sangat sulit. Oleh karenan-ya, standar penilaiannya akan kembali pada kebutuhan masing-masing. Organisasi di sini dibatasi pada kepentingan umum, yang mana seringkali itu tidak ada kaitannya dengan minat para pelakunya. Tapi justru eksistensi yang dikejar dalam penggara-pan organisasi, lebih-lebih sekedar untuk nar-sis. Namun saat kekeluargaan, seperti halnya KSW, disadari sebagai keluarga (dalam arti

sesungguhnya) selain organisasi, maka perkumpulannya akan menjadi luwes dan tidak membebani. Masisir sebagai Individu Ruang ini bisa jadi paling urgen untuk dilestarikan. Sebagai seorang yang menghar-gai idealisme pribadi, saya yakin Masisir perlu untuk tidak meninggalkan ruang privasinya agar kebanggaannya sebagai mahluk ber-pemikiran tidak terinterupsi. KSW sendiri be-rusaha memperhatikan agar ruang itu tidak “diapa-apakan”. Setiap warga KSW akan menyadari ke-KSW-annya dengan sendirinya tanpa harus digesa-gesa oleh―semacam―pendaftaran Temus, misal-nya. Ruang individu ini adalah tempat priori-tas digodog sungguhan. Tanpa ada intervensi dari kegiatan dari organisasi manapun, komunitas apapun. Meski KSW sendiri tetap akan berjalan seperti biasanya, mengikuti bahkan menciptakan setiap kegiatan dan melibatkan setiap warganya, KSW tetap men-dukung ruang individu setiap Masisir untuk dikembangkan dan diwujudkan. Tidak terlalu menyusahkan, bukan?*+ *Sekretaris DP-KSW 2015/2016

Le

ns

a K

SW

Page 18: PRSTâSI Edisi 105

18

Saat orientasi Masisir terkesan mulai tak tentu arah, dipecah-pecah fokusnya ke kampus atau ke pengajian-pengajian informal Azhar atau juga ke or-ganisasi, dan atau ketiga-tiganya, kita harus membangun wacana kritis akan efektifitas upaya penyeimbangan tiga pilihan kegiatan tersebut. Oleh karenanya, kami dari Kru Buletin PRESTâSI (P) berinisiatif untuk berbincang dengan salah seorang senior Masisir yang sangat berpengala-man di dinamika kampus, pengajian-pengajian Azhar dan tentunya organisasi, Bapak Muhlashon Jalaluddin, Lc. MM. (M), mantan Pemimpin Redaksi Buletin PRESTâSI sejak edisi pertama pada tahun 1991 serta mantan Ketua KSW Mesir. P: Apa pendapat Bapak tentang dinamika organisasi di lingkungan Masisir? Apakah sudah Efektif? M: Organisasi di Masisir ini bermula dari kurangnya kesibukan mereka di kampus. Karena banyak dari mahasiswa tidak masuk kampus. Hal ini disebabkan oleh banyak keadaan yang memicu mahasiswa tidak mau masuk kuliah. Mungkin karena tidak adanya absen, bangku yang sudah penuh, ataupun karena hal lain yang disebabkan mahasiswa itu sendiri. Sehingga mereka merasa tidak tertuntut untuk datang ke kampus. Karena kegiatan itu berkurang dan merasa kosong, mereka yang punya gagasan dan ide mencoba membuat kegiatan untuk mengisi waktu dengan tujuan menambah kualitas diri. Kebetulan yang dipilih adalah bidang organisasi. Ini sebenarnya tidak negatif, cuma akan lebih baik apabila memilih skala prioritas. Mungkin ini yang perlu dipetakan ke depan. Namun kenyataannya banyak yang merangkap peran di dalam organisasi. Misal aktif di PPMI, kekeluargaan, almamater, senat bahkan di afiliatif. Kadang-kadang kita temukan orang yang sama, sehingga yang kelihatan sibuk ada banyak, padahal tidak banyak. Saya lihat di sini yang tidak aktif dimana-mana, mungkin mereka yang hanya membaca saja tidak kedengaran karena tidak ikut mengurusi. Di kegiatan yang sifatnya masif, mereka hanya sebagai hadirin. Saat undangan rapat yang seperti ini tidak tersentuh karena bukan pengurus di sana-sini. Hal ini yang perlu disinergikan sehingga yang aktif tidak hanya itu-itu saja. Hal ini tidak membuat personal sibuk, sedangkan yang lain tidak kebagian. Hal ini perlu dikordinasikan agar tidak terjadi ketimpangan di dalam berorganisasi. P: Bagaimana pengalaman Bapak selama masih aktif di Masisir dan Bagaimana dinamika organisasinya? M: Saya kira perkembangan itu bersamaan dengan berjalannya waktu dan media yang ada. Kalau dari ide-idenya, saya kira tidak banyak yang jauh berbeda. Tujuan organisasi untuk mencapai tujuan bersama selama studi di sini (Mesir_red). Antara lain adalah mengembangkan bakat dan kemampuan masing-masing. Sebenarnya banyaknya kegiatan juga tidak terlalu banyak berbeda. Dulu mahasiswa tidak terlalu banyak tentunya. Dulu biaya organisasi juga tidak sebesar seperti sekarang. Sekarang kan ada banyak kucuran dana. Kemudian kegiatan tulis-menulis juga tergolong masih baru. Dulu juga belum ada handphone. Komunikasi masih sangat terbatas. Hanya beberapa mahasiswa yang rumahnya ada telepon untuk dihubungi. Itu juga merupakan perbedaan yang sangat mendasar. Jadi, kalau merancang suatu kegiatan harus benar-benar akurat. Tidak bisa seperti sekarang yang sudah harinya saja masih mungkin untuk dirubah. Acara pada saat itu harus sudah matang untuk dilaksanakan. Jadi, kecanggihan teknologi itu hanya sebuah sarana saja, manusianya tetap sama. Pada waktu itu informasi masih langka. Kita dapat berita tentang Indonesia dari KBRI. Yaitu berupa koran yang sudah diklipingkan sedemikian rupa. Ini mempengaruhi dinamika tentunya, karena di sini kita tidak dapat merespon informasi begitu cepat. Sehingga misalkan dalam kajian isu yang berkembang hanya berputar.

Wawancara dengan Bapak Muhlashon Jalaluddin, Lc., MM.

Wa

wa

nc

ar

a

Page 19: PRSTâSI Edisi 105

19

P: Bentuk organisasinya seperti apa? M: Iya, sama. Cuma dulu HPMI (nama awal PPMI_red) berdiri tahun 1987. Waktu saya datang itu tergolong baru, sementara organisasi kekeluargaan sudah lama. Sehingga bisa dikatakan HPMI kesulitan untuk mengurusi kekeluargaan karena kekeluargaan merasa mempunyai organisasi yang lebih tua dari pada HPMI itu sendiri. Jadi sistem organisasinya itu sampai sekarang tidak bisa dianggap bawahan dan atasan, karena memang tidak memiliki garis struktural. Paling tidak bisa dianggap hanya sebagai koordinasi. Hal ini dikarenakan waktu itu kekeluargaan yang mengirim perwakilan MPA untuk PPMI, malah bukan orang yang tahu menahu banyak tentang kekeluargaannya. Ini mengakibatkan keputusan yang digodok dalam MPA tidak mewakili kekeluargaannya. Sampai pada tahun 1994, rapat yang saya ikuti dan waktu itu saya dicalonkan menjadi ketua HPMI, saya mengusulkan supaya ketua kekeluargaan adalah anggota MPA. Untuk apa? Untuk mempermudah koordinasi. Jadi tidak bisa serta merta HPMI membawahi kekeluargaan-kekeluargaan. Maka dari itu seperti yang saya katakan tadi, dibuatlah ikatan supaya terjalin komunikasi yang baik dengan sistem koordinasi. Kemudian dari sisi pendanaan waktu itu tidak mudah seperti sekarang. Dalam mencari dana ada yang mengadakan bazar, tour, dan lain sebagainya. P: Apa perbedaan dinamika organisasi yang dulu dengan sekarang? Apakah mengalami kemajuan atau kemunduran atau stagnan? M: Saya kira sekarang lebih maju. Artinya, kesibukan itu lebih banyak. Apalagi semakin banyaknya media, mahasiswa terus bertambah kreativitasnya, idenya banyak dan implementasinya lebih banyak. Tapi ya seperti halnya tadi, dalam berorganisasi harus diberi porsi agar tidak mengganggu studi. Saya singgung kecenderungan kawan-kawan yang suka talaqqi itu salah satu fenomena yang positif karena mungkin mereka belum siap untuk membaca sendiri, jadi kalau ada kesempatan seperti itu akan datang. Ini juga patut diapresiasi karena selain berorganisasi, mereka juga menyempatkan waktunya di tempat-tempat yang mendukung pembelajarannya. Tapi pokoknya yang namanya kuliah tidak harus ditinggalkan, karena ini yang utama. Jadi kalau sekarang lebih maju ya tentu saja, mengingat dinamikanya lebih banyak, prasarana lebih maju dan komunikasi lebih baik. P: Apa pendapat Bapak tentang slogan PPMI 'Back to Azhar, Back to Campus, Back to Organization'? M: Menurut saya dari ketiga ini harus ada yang diprioritaskan yaitu back to Azhar dan back to campus, setelah itu baru back to organization. Saya kira tidak muluk-muluk apabila di-manage dengan sungguh-sungguh. Yang perlu diperkuat, menurut saya adalah di kampus. Dulu kita pernah ada kesepakatan untuk menghentikan semua kegiatan keorganisasian begitu kegiatan kuliah sudah aktif. Agaknya kesepakatan itu kini tidak lagi berlaku. Maka kalau bisa hal ini diperhatikan lagi, agar slogan itu tidak hanya mimpi. Back to Azhar kalau bisa di luar jam kuliah, back to campus artinya kita berada di kampus. Seandainya ini tercapai, energi mahasiswa untuk menuntut ilmu di al-Azhar tidak terkuras untuk organisasi. Perlu diingat, kuantitas kegiatan yang sedikit tapi kualitasnya besar ini lebih baik daripada kuantitasnya besar tapi kualitasnya sedikit. P: Apakah kegiatan di Masisir bisa dirampingkan? M: Bisa dirampingkan. Menurut saya, jika ada kegiatan yang sudah ter-cover oleh kegiatan lain, ini tidak perlu diadakan lagi. Cara merampingkannya adalah dengan menggabungkan kegiatan yang kiranya senada agar tidak wasting time, membuang-buang waktu. Makanya ini perlu management yang kuat atas kegiatan organisasi. Cara merampingkan kegiatan ada banyak. Salah satunya dengan misalnya ada kegiatan yang pada waktu musim liburan berjalan mingguan, ketika sudah aktif kuliah, bisa dibuat dua-mingguan. P: Apa yang harus dilakukan oleh organisasi, agar kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan mendukung kreatifitas mahasiswa?...Selengkapnya hal. 26

Wa

wa

nc

ar

a

Page 20: PRSTâSI Edisi 105

20

Umumnya sebuah cerita, ia disuguhkan ke

publik dengan mempertimbangkan aspek yang

menonjol dari dirinya. Begitupun dengan film.

Tak terkecuali film ini. Dan saya, dengan satu

kali tonton, hanya mendapati satu hal yang

menonjol dari film ini; peruntuhan sistem per-

judian Las Vegas besar-besaran yang dilakukan

oleh beberapa mahasiswa. Namun, tulisan ini

tidak akan menyoroti hal tersebut, menimbang

hal tersebut langsung kentara hanya dengan

satu kali baca—tonton. Dan akan lebih mem-

bahas ihwal tokoh sentral dalam film 21, yang

akhir-akhir ini marak menjadi objek berita me-

dia Indonesia; mahasiswa miskin yang jenius

dan mampu merampungkan studinya dengan

nilai yang memuaskan.

Adalah Ben (Jim Strugess), tokoh sentral film

21 yang digambarkan miskin namun jenius.

Kemiskinannya di awal film ditampilkan melalui

kesehariannya pergi ke kuliah dengan menga-

yuh sepeda kesayangannya. Dilanjut permo-

honan beasiswanya kepada pihak Universitas

Harvard dengan memperlihatkan curriculum

vitae yang berisikan prestasi-prestasi akade-

miknya. Pun masih diimbuhi rengekan me-

melas. Secara sekilas, dengan bukti-bukti pres-

tasi akademik yang ia ajukan pada pihak Uni-

versitas Harvard itu cukup mampu membuk-

tikan kepantasannya mendapatkan beasiswa

Robinson tersebut. Namun, Prof. Phillips (Jack

Gilpin) menanggapinya dengan biasa saja

tanpa ada ketakjuban sama sekali. Menurut-

nya, prestasi akademiknya bukanlah hal yang

istimewa. “Kau harus menceritakan kepada

kami apa yang membuatmu istimewa. Pengala-

man hidup apa yang membedakanmu dari

yang lain.” Di titik ini, beasiswa Robinson tidak

tertarik dengan orang miskin meski jenius. Dan

nahasnya, tipe orang demikian bukanlah hal

yang istimewa di mata Prof. Phillips.

Biaya kuliahnya sebesar tiga ratus ribu dolar.

Dan bagi Ben, itu adalah jumlah yang begitu

besar. Di menit ketujuh, keinginan Ben untuk

dapat kuliah di universitas ternama tersebut

ditegaskan dengan tekunnya ia bekerja di toko

pakaian, sehingga ia dipromosikan menjadi

asisten manajer dengan gaji delapan dolar per-

jam. Dengan demikian, butuh 37500 jam bagi

Ben untuk bisa mengumpulkan uang sebanyak

300.000 dolar.

Tiga adegan di atas berhasil menginformasikan

kepada penonton ihwal keadaan Ben yang

benar-benar membutuhkan beasiswa atau

dana untuk menghidupkan keinginanya, kuliah

di Universitas Harvard.

Keinginan yang membabi-buta setidaknya me-

numbuhkan dua reaksi; ketekunan atau

menghalalkan segala cara. Dan Ben, dengan

latar belakang kemiskinannya, mengambil si-

kap yang kedua—tentu dengan diselimuti ke-

bimbangan dan kegalauan. Hal ini tergambar

saat ia ditawari seorang dosen dan beberapa

teman barunya untuk bergabung dalam se-

buah tim penghitungan kartu Blackjack. Awal

Angka 21 dan Revitalisasi Kebutuhan Belajar

Oleh Aminatuz Zuhriyah

Judul Film : 21

Sutradara : Robert Lucetic

Produksi : Sony Pictures

Tahun Rilis : 2008

Durasi Film : 123 menit

Pemain : Ben Sturgess, Kevin Spacey, Kate Boswort, Aaron

Yoo, Liza Lapira, Jacob Pitts, Josh Gad, Sam Golzari

Re

se

ns

i

Page 21: PRSTâSI Edisi 105

21

mula, dengan berbagai pertimbangan, ia me-

nolak dengan tegas. Namun saat Jill (Kate Bos-

wort), perempuan yang ia idamkan, berkunjung

ke tempat ia bekerja dan mengajukan pena-

waran ulang disertai iming-iming uang yang

bakal dihasilkan dari penghitungan kartu black-

jack tersebut membuat keputusannya goyah. Di

satu sisi, ia baru saja naik jabatan, dari karya-

wan biasa menjadi asisten manajer. Selain itu,

ia juga mempunyai proyek yang sedang ia kem-

bangkan dengan dua sahabatnya, Miles (Josh

Gad) dan Cam (Sam Golzari). Dan juga ia masih

merasa tabu dengan tawaran yang diajukan

padanya, karena ia belum pernah bersentuhan

dengan Blackjack sebelumnya. Di lain sisi, ia

sangat membutuhkan uang yang begitu banyak

guna mencukupi semua kebutuhannya. Dengan

berbagai pertimbangan, akhrinya ia memutus-

kan untuk bergabung dalam tim. Ia merasa hal

ini cukup mudah untuk ia jalani, mengingat

hitung menghitung adalah kepiawaiannya.

Orang tidak dapat berhati-hati setiap saat buat

seumur hidupnya. Pernyataan Pram tersebut

senada untuk menggambarkan tingkah Ben

setelah ia masuk ke dalam tim. Setelah ia ma-

suk dalam tim dan mendapatkan uang yang ia

targetkan, 300.000 dolar, alih-alih merasa

cukup dan keluar dari tim ia terus melanjutkan

permainan kartunya sampai lupa dengan uru-

san kuliahnya. Ia pun terlilit kasus yang cukup

serius dengan pihak perjudian, sebab per-

mainannya sangat merugikan sang bandar.

Seperti yang saya kemukakan di atas, sedari

awal, dalam penceritaannya, film ini lebih me-

nyoroti proses beberapa mahasiswa jenius da-

lam meruntuhkan sistem perjudian di Las Ve-

gas. Namun dengan latarbelakang mahasiswa,

ditambah scene awal yang terpusat pada Ben

yang dalam pengakuannya saat ia mengajukan

permohonan beasiswa mengatakan, “... sebagi-

an anak-anak bercita-cita untuk bermain Red

Sox, yang lainnya ingin menjadi pemadam ke-

bakaran. Sedangkan aku hanya ingin sekolah di

Harvard Medical,” 21 gagal menopang latarbe-

lakang para tokoh dalam keseluruhan cerita.

Banyak hal lain yang seharusnya Ben tampak-

kan sebagai seorang mahasiswa jenius di uni-

versitas ternama itu.

Kegagalan Sang Sutradara, Robert Luketic, di

atas nampak terang di detik-detik terakhir film

ini. Ben, yang dalam film ini hanya diceritakan

bolak-balik ke Las Vegas sampai 17 kali, tiba-

tiba lulus dengan nilai yang memuaskan.

Selain kegagalan di atas, penulis juga

menemukan cacat lain dalam film ini. Ambigui-

tas dalam pemberian judul. Entah dari mana

Sang Produser mendapatkan angka 21 dan

memutuskannya sebagai judul film. Memang

ada beberapa scene yang mempunyai kaitan

dengan angka 21 dan berkemungkinan menjadi

rujukan dalam pengambilan judul film, setid-

aknya penulis menemukan dua scene. Yang

pertama, usia tokoh utama yang diceritakan

baru merayakan ulang tahunnya ke 21. Se-

dangkan angka 21 ini dalam scene tersebut

diterangkan sebagai bagian dari bilangan fibo-

nacci—entah apa maksudnya. Yang kedua, pen-

jelasan Micky (Kevin Spacy) yang mengatakan

bahwa ketika ada angka yang mendekati 21,

maka angka itu akan menjadi angka keme-

nangan dalam hitungan kartu Blackjack.

Untuk kemungkinan yang pertama, pengambi-

lan judul film ini dari scene tersebut tidak mem-

iliki dasar yang kuat. Sedangkan pengambilan

judul dari scene kedua kurang mewakili isi ceri-

ta. Oleh sebab itu, saya merasa kedua adegan

tersebut—yang di dalamnya terdapat angka

21—hanya dibuat semata-mata untuk melegiti-

masi pemberian judul pada film ini. Sebab, per-

lu diketahui bahwa film ini diadaptasi dari novel

dengan judul yang berbeda, Bringing Down The

House: The Inside Story of Six M.I.T Students

Who Took Vegas for Millions karangan Ben

Mezrich. Entah motif apa yang mendasari

Robert mengubah judul aslinya. Yang jelas, alih-

alih mewakili isi cerita—seperti lazimnya se-

buah judul, penggantian tersebut malah

menambah list cacat film ini.*+

Re

se

ns

i

Page 22: PRSTâSI Edisi 105

22

Semenanjung Sinai, satu kawasan strategis yang amat dielu-elukan rakyat Mesir, ternyata sempat jatuh di tangan bangsa lain. Meski tak lebih dari 7 tahun. Namun bukan Mesir na-manya, kalau lantas berpangku tangan begitu saja. Mesir dengan anugerah alamnya yang demikian mempesona, memang sudah semes-tinya sedikit agresif terhadap pihak-pihak yang mengusik, mengeksploitasi atau bahkan men-coba mengambil alih kekayaan dan potensi yang ada. Bukan sebatas soal memperkaya diri atau mempertahankan kekayaan, hal itu juga berkaitan erat menyangkut jati diri suatu bang-sa. Yakni sejauh mana bangsa itu berdaulat, baik di mata rakyatnya sendiri, maupun di mata Dunia. Tahun 1967, koalisi negara-negara Arab, ter-masuk di antaranya Mesir, gencar menyerbu Israel yang kala itu baru saja memproklamirkan kemerdekaannya. Meski belum sepenuhnya dilegalkan, terutama oleh sekelompok negara Arab. Ya, penyerbuan itu memang merupakan sebentuk invasi mereka terhadap wilayah yang dikuasai Israel. Namun nahas, pasukan koalisi mampu dipukul mundur hingga wilayah masing-masing. Tak berhenti sampai di situ, Israel—yang ternyata turut menggandeng negara adidaya (baca: Amerika)—bahkan mampu mencomot beberapa kawa-san strategis negara-negara koalisi. Tak terkecuali Mesir yang kecolongan semenan-jung Sinai-nya. Tidak sesederhana kasus kecolongan yang masih bisa diupayakan untuk diselidiki, lalu direbut kembali. Kekalahan Mesir kala itu juga berdampak pada mental dan kepribadian rakyat Mesir, karena juga mencederai jati diri mereka. Sehingga, wajar saja kalau semenjak kekalahan itu, Mesir tampak agresif. Ia bertekad mencari celah kelengahan musuh untuk menuntut balas, demi mengobati cider-anya. Berbagai ekspedisi ia lancarkan, di bawah komando Presiden kala itu, Gamal Ab-dul Nasser. Meski hingga akhir usianya, belum

juga membuahkan hasil signifikan. Tapi setid-aknya, Mesir banyak belajar dari kegagalan-kegagalannya setiap kali berekspedisi. Sehing-ga bisa dibilang, keberhasilan rakyat Mesir dalam perang Yom Kippur tahun 1973, adalah buah perjuangan mereka selama tak kurang dari 7 tahun, terhitung sejak tahun 1967. Tahun 1972, setahun sebelum perang Yom Kippur bergejolak, rakyat Mesir semakin dibu-at geram, lantaran Israel menolak mentah-mentah tawaran Anwar El-Sadat dalam suatu forum perundingan, untuk melepas semenan-jung Sinai. Menyadari upaya damainya di meja perundingan tak membuahkan hasil apapun, Anwar El-Sadat memustuskan angkat senjata. Terlebih melihat desakan rakyat Mesir yang demikian berhasrat untuk bertempur, menuntut balas atas kekalahan bertubi dalam beberapa pertempuran sebelumnya. Tak ingin turut tersulut emosi publik, Anwar El-Sadat terlebih dahulu membenahi kakuatan militer Mesir, terkhusus Angkatan Udara, dengan membeli pesawat tempur, rudal dan roket dalam jumlah besar. Berkaca dari kekala-han-kekalahan selama berekspedisi, Ia menya-dari titik kelemahannya terletak pada lini udara. Sehingga, berbekal pengalaman itulah, ia bertekad untuk tidak lagi terjembab pada lubang yang sama. Menariknya, tidak sekedar persiapan materil, Anwar El-Sadat juga menggencarkan persiapan dari sisi moril, dengan menggalang dukungan dari beberapa negara sahabat di Afrika atau-pun Eropa. Pun pula persiapan spiritual, di antaranya mengunjungi para tokoh ber-pengaruh pada masa itu, lalu meminta siraman rohani dan memohon doa kemenangan. Ia juga menziarahi makam-makam Auliyâ` Mesir, seperti syeikh Mutawalli Sya’rawi, syeikh Badawi dan lain sebagainya. Sehingga banyak asumsi beredar, hal semacam itulah yang—secara langsung ataupun tidak—menjadi faktor kemenangan Mesir dalam tragedi Yom Kippur.

Belajar dari Sitta ‘Uktûbar; Misi Transformasi Mental Rakyat Mesir

Oleh A. Rikza Aufarul U.

Oa

se

Page 23: PRSTâSI Edisi 105

23

Rupanya, gerak-gerik Anwar El-Sadat memper-siapkan pertempuran tercium oleh musuh. Kendati demikian, Israel yang ketika itu tengah memperingati hari suci terbesar mereka, Yom Kippur, justru berasumsi bahwa sikap Anwar El-Sadat tersebut tak lebih dari ‘gertak sambel’ semata. Mereka menilai, kedua belah pihak, baik Mesir ataupun Israel sendiri tidak sedang dalam kondisi siap tempur. Karena keduanya memang sedang memperingati hari suci mas-ing-masing. Yom Kippur bagi rakyat Israel dan Ramadhan bagi rakyat Mesir. Hal inilah yang melatarbelakangi penamaan perang 6 Oktober sebagai perang Yom Kippur ataupun perang Ramadhan. Di saat Israel merehatkan banyak tentaranya, untuk sekedar bercuti merayakan hari suci mereka, Mesir secara tak disangka, menyerbu garis pertahanan Israel di sisi timur Terusan Suez. Ya, tepat pada tanggal 6 Oktober 1973, Presiden Anwar El-Sadat menyerukan perang kepada seluruh rakyat Mesir, sebagai respon atas desakan mereka yang semakin menjadi-jadi. Se-hingga hari itu, bertemulah dua kubu yang sama-sama tengah berpuasa; mem-peringati hari suci masing-masing. Miris memang, tapi demikianlah sejarah men-catat. Diawali dengan gempuran meriam-meriam air, Mesir dapat dengan mudah menjebol benteng pasir Israel. Tak lama berselang, ratusan pe-sawat tempur Mesir diluncurkan untuk mem-bombardir jaringan pertahanannya. Disusul puluhan ribu pasukan darat Mesir yang ber-hasil menerobos garis pertahanan Israel, dengan menyeberangi Terusan Suez. Mereka berhasil menyusup masuk ke dalam lini per-tahanan Israel di kawasan Sinai. Setelah sukses memporak-porandakan pasukan Israel, akhirn-ya, Mesir dapat kembali menduduki Semenan-jung Sinainya. Tak hanya itu, Mesir dengan

alutsistanya, mampu meluluhlantakkan markas besar militer Israel di tengah gurun pasir, beri-kut puluhan tank yang menjadi simbol arogansi mereka menindas Palestina dan negara-negara Arab. Hasrat seluruh rakyat Mesir demikian mengge-bu untuk bersatu, menggalang kekuatan demi mewujudkan misi bersama—memulihkan har-ga diri masyarakat Mesir, setelah terjembab dalam satu titik terendah, yakni saat dibekuk Israel pada perang 6 hari, tahun 1967 dan merebut kembali semenanjung Sinai—sudah barang tentu, tak lepas dari peran sosok Anwar El-Sadat. Dengan kepiawaian melobin-ya, ia berhasil merangkul seluruh elemen rakyat Mesir, termasuk Ikhwanul Muslimin

(IM), yang kala itu memain-kan peran cukup signifikan di medan perang. Dukungan dari dalam saja tak cukup baginya, ia pun berhasil melobi lebih dari 100 nega-ra, hingga kesemuanya itu memberikan support kepa-da Mesir. Demikian sejarah panjang kemenangan Mesir, yang hingga kini masih dan akan terus diperingati setiap ta-hunnya, pada tanggal 6 Ok-tober, atau yang biasa dikenal dengan peringatan Sitta ‘Uktûbar. Sayangnya, menjadi ironis ketika kita

menilik realita saat ini. Di mana penindasan Israel terhadap masyarakat Palestina khu-susnya, semakin tak terkendali dan banyak menerobos batas norma kemanusiaan. Di pihak yang berseberangan, negara-negara tetangga justru disibukkan dengan konflik in-ternal yang tak berkesudahan. Namun setid-aknya, sejarah telah membuktikan. Selama mau bersatu, bahu membahu menghimpun kekuatan, semerta menepis jauh-jauh arogansi dan egoisme individu atau kelompok, niscaya sukses di medan perang akan terwujud. Perang mengikut pada arti tekstualnya, pun juga perang dalam arti yang seluas-luasnya.*+

Oa

se

Page 24: PRSTâSI Edisi 105

24

Ketukan Tak Bertuan Oleh Darmono*

Sa

st

ra

Page 25: PRSTâSI Edisi 105

25

Sa

st

ra

Page 26: PRSTâSI Edisi 105

26

(Sambungan halaman 19, Wawancara dengan Bapak Muhlashon Jalaluddin, Lc., MM.)

M: Sudah sifat manusia untuk bersemangat jika ada harapan. Semakin besar harapannya, maka dia semakin semangat melakukan sebuah kegiatan. Maka, menuntut organisasi agar kegiatannya menghasilkan produktifitas anggota adalah antara lain dengan memberi dorongan harapan. Kalau kegiatan itu kajian, maka ia harus sering didorong dengan menerbitkan karya. Begitu juga dalam studi, KBRI telah memberikan dorongan berupa pemberian apresiasi untuk mahasiswa berprestasi. Harapan-harapan seperti ini membuat orang semakin produktif. Meskipun seharusnya produktifitas itu harus dorongan yang tanpa pamrih, tapi dalam organisasi hal yang harus dilakukan adalah dengan memberikan dorongan dan harapan. Lalu, saya ada keinginan untuk sedikit memperingan tugas kekeluargaan agar bidang akademik ini diserahkan kepada Senat. Kalau bisa, kita mengadakan prioritas jangka panjang akan hal ini, sehingga Senat benar-benar optimal dalam menjalankan fungsinya, yaitu kegiatan akademik. Hal ini nanti akan membantu kekeluargaan dalam hal akademik agar kekeluargaan tidak lagi terbebani dengan hal-hal semacam itu karena sudah ditangani oleh senat. Peran dari kekeluargaan lebih bersifat mendorong, tidak perlu terjun langsung. Keuntungan lain yang akan kita dapat dari hal di atas adalah pembauran, yaitu anggota kekeluargaan satu dengan lainnya tidak hanya membaur dengan kekeluargaannya saja, sehingga kita bisa meminimalisir premordialisme. P: Tadi Bapak sudah berpesan untuk organisasi. Mungkin sekarang bapak bisa memberikan pesan bagi para pelajar Indonesia di Mesir? M: Tujuan kita di sini adalah untuk belajar. Tapi, jangan apriori dengan organisasi. Pesan saya, dibuatlah skala prioritas: berapa untuk akademik, berapa untuk organisasi. Silahkan diukur masing-masing. Kalau saya menghabiskan 20 menit untuk menghabiskan 50 halaman, maka saya butuh berapa waktu untuk belajar setiap hari. Dari situ kita bisa menghitung, berapa waktu yang harus dihabiskan untuk organisasi. Skala prioritas ini harus diterapkan dan yang paling tahu akan hal ini adalah pelajar yang bersangkutan. Menurut saya, kuliah dan organisasi sama-sama kita butuhkan. Saya tidak mengatakan bahwa yang tidak berorganisasi tidak bisa hidup. Karena mayoritas kawan-kawan di sini tidak berorganisasi. Menurut saya, yang tidak meluangkan sedikitpun waktu di organisasi, agar memberikan sedikit waktu untuk menghadiri acara keorganisasian jangan sama sekali menjauhkan diri. Terakhir, sukses studi harus dibarengi dengan sukses kompetensi. Pelajar al-Azhar jelas harus berbeda dengan pelajar di Indonesia. Di sini, tugas kita tidak hanya sukses di akademik tapi kita harus memahami budaya di sini, mempraktekkan bahasa Arab dan memiliki keterampilan yang lebih dibanding pelajar di Indonesia.*+ (A. Zuhdan Maimun & M. Rifqy Syarifuddin)

Se

rb

a-S

er

bi

(Sambungan halaman 25, Ketukan Tak Bertuan)

*+

Page 27: PRSTâSI Edisi 105

27

Saya yakin bin percaya bahwa tokoh Fahri da-

lam “Ayat-Ayat Cinta” sungguh ada; ya, ada

hanya dalam ide El-Shirazy. Dalam ranah sastra,

perdebatan mengenai apakah penciptaan

tokoh harus realis atau idealis sebenarnya telah

ada, jauh sebelum Fahri lahir. Terutama sekali

bagi para sastrawan aliran Realisme Sosial,

tokoh sastra musti dilibatkan sedekat mungkin

dengan realitas yang dapat dijangkau; yaitu

berupa materialisme sebagai kontra idealisme.

Tapi tentu tulisan ini tak akan bergeser ke

perdebatan tersebut, mengingat bahwa buletin

ini (Prestâsi—Red) bukanlah buletin sastra.

Menyangkut ideal, kita tak akan pernah bisa

lepas dari paham filsafat. Ialah Plato, bapak

idealis purba itu. Republik ciptaan Plato

sungguh ada dan justru nyata; ya, nyata dan

ada hanya dalam idenya sendiri. Menurut En-

gels, kolega Karl Marx itu, filsafat secara kese-

luruhan bisa diterjemahkan menggunakan dua

kata: idealisme dan materialisme. Plato, Hume,

Hegel masuk pada partai idealisme, sementara

Demokritus, Epikurus, Marx-Engels masuk pada

partai materialisme. Penyebutan paham filsafat

ini hanyalah syarat atribut untuk masuk lebih

dalam pada masalah sosial. Dan kita tak akan

terjerumus lebih jauh pada perdebatan di atas

karena buletin ini (Prestâsi—Red) bukanlah

buletin Filsafat.

Masuklah kita pada keadaan semestinya dari

sebuah sistem kemasyarakatan, sistem sosial.

Ada beberapa istilah yang berganti baju dan

mengalami penyempitan maupun pelebaran

makna. Idea tidak lagi dipahami sebagai paham

filsafat yang rumit seperti yang pernah

diungkapkan David Hume. Tetapi maknanya

terkadang mengalami alienasi di telinga kita:

ideal adalah bla bla bla. Ideal menyusuri

berbagai ranah, baik yang fisik ataupun meta-

fisik (keduanya tidak diarahkan pada paham

filsafat). Yang fisik, orang sering berkata bahwa

perempuan cantik adalah yang bla bla bla. Yang

metafisik, orang sering berkata bahwa lelaki

yang baik adalah yang bla bla bla. Di sini kita

melihat adanya jagal-menjagal, tumpang-tindih

pemahaman mengenai ideal; ia akan patuh

pada hukum relativitas (law of relativity) Ein-

stein.

Tan Malaka menggambarkan hukum relativitas

Einstein dengan contoh sederhana. Sebuah

kereta api melaju ke arah selatan dengan ke-

cepatan yang tinggi. Di dalam kereta, seorang

Gipsi tekencing-kencing mencari toilet di bagi-

an pantat gerbong. Si Gipsi itu berjalan berla-

wanan arah dengan kereta, ke arah utara. Di

sini hukum relativitas bekerja. Jika dilihat dari

satu titik di luar kereta, Si Gipsi tetaplah ber-

jalan ke selatan mengikuti arah kereta. Tapi jika

dilihat dari titik yang lain di dalam kereta, Si

Gipsi itu berjalan ke arah utara.

Masyarakat paling mikro sekalipun acapkali

dihadapkan pada dilema tentang status ideal.

Mau tidak mau, ideal harus bereaksi dengan

keadaan sosial. Dalam kenyataannya, banyak

hal yang justru menjadi dominan dalam ideal

tapi terjepit dalam kenyataannya; banyak hal

yang tidak mampu dijawab dengan logika.

Lelaki ideal menurut orang pedalaman Afrika

adalah yang tangkas memburu binatang, se-

dangkan lelaki ideal menurut perkotaan di Ja-

karta adalah yang berduit banyak. Lantas

dengan demikian, ideal hanya bertahan dalam

pikiran kita. Sementara itu, realitas tetap ber-

jalan sebagaimana adanya. Persepsi kitalah

yang menentukan suatu hal dianggap ideal

atau tidak.

Tapi lepas dari sana, kita perlu diberi hasrat

untuk mencapai taraf ideal; dengan relativ-

ismenya sendiri-sendiri. Fahri nyatanya me-

mang ada meskipun tidak nyata. Ia ada di

pikiran El-Shirazy sebagai puncak pencapaian

manusia yang nyaris melampaui malaikat. Kita

bisa menciptakan fahri-fahri yang lain; dengan

karakter yang lain dan dengan idealisme yang

berbeda. Tentu kita akan tenang jika kita tidak

pernah mendengar sindiran dari Marx: “Sibuk

menafsiri dunia, atau merubahnya?”*+

Ideal

Oleh M.S. Arifin

Ca

ta

ta

n P

oj

ok

Page 28: PRSTâSI Edisi 105