Pengembangan Bahan Ajar Matematika Materi Turunan
dengan Model Discovery Learning untuk Meningkatkan
Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa SMA
PROPOSAL
Diajukan untuk penyusunan skripsi
di Program Studi Pendidikan Matematika
Oleh
AHMAD SALMUN
NIM. 41032151111007
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS ISLAM PUTERANTARA
BANDUNG
2014
1
A. JUDUL
Pengembangan Bahan Ajar Matematika Materi Turunan dengan Model
Discovery Learning untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis
Siswa SMA
B. LATAR BELAKANG MASALAH
Pembelajaran merupakan sebuah kegiatan yang di dalamnya terjadi
proses transfer ilmu pengetahuan dan pengalaman dari pengajar terhadap
pembelajar—peserta didik. Bersandar pada pernyataan ini, maka pembelajaran
matematika merupakan proses transfer ilmu pengetahuan dan pengalaman
pengajar terkait mata pelajaran matematika terhadap peserta didik. Merujuk
pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
nomor 67, 68, 69, dan 70 tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur
Kurikulum SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA dan SMK/MAK, dalam Kurikulum
2013 mata pelajaran matematika termasuk ke dalam Struktur Kurikulum.
Berkenaan dengan Kurikulum 2013, pemerintah mencanangkan agar
pembelajaran mencapai aspek kognitif, afektif, dan keterampilan. Oleh karena
itu, pendekatan pembelajaran yang digunakan dalam Kurikulum 2013 adalah
pendekatan saintifik. Dalam pendekatan saintifik, tahapan-tahapan
pembelajaran yang dilakukan adalah mengamati, menanya, menalar, mencoba,
dan mengomunikasikan. Untuk menunjang pendekatan saintifik, maka
berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia nomor 103 tahun 2014 tentang Pembelajaran pada Pendidikan
Dasar dan Pendidikan Menengah, model pembelajaran yang digunakan dalam
Kurikulum 2013 harus sesuai dengan karakteristik pembelajaran berbasis
aktivitas. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia nomor 103 tahun 2014 Pasal 2 disebutkan bahwa karakteristik
pembelajaran berbasis aktivitas adalah: (1) interaktif dan inspiratif; (2)
menyenangkan, menantang, dan memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi
aktif; (3) kontekstual dan kolaboratif; (4) memberikan ruang yang cukup bagi
prakarsa, kreativitas, dan kemandirian peserta didik; dan (5) sesuai dengan
2
bakat, minat, kemampuan, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta
didik. Salah satu model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik
pembelajaran berbasis aktivitas adalah discovery learning.
Berlandaskan pada tahapan dalam pendekatan saintifik, peserta didik
dituntut untuk mampu mengomunikasikan pengetahuan dan pengalamannya.
Dengan demikian, dalam pembelajaran matematika dengan pendekatan
saintifik peserta didik dituntut mampu mengomunikasikan pengetahuan dan
pengalamannya terkait konsep-konsep dan ide-ide matematika yang telah
diperolehnya. Berdasarkan pandangan ini, maka peserta didik harus memiliki
kemampuan komunikasi matematis.
Temuan di lapangan menunjukkan bahwa kemampuan komunikasi
matematis siswa tergolong rendah. Hal ini tampak pada studi Rohaeti
(Nopiyani, 2013) yang menyatakan bahwa kemampuan komunikasi matematis
siswa dalam kategori kurang. Studi Rohaeti nyatanya diperkuat oleh hasil
penelitian Sobaningsih, Arvianto, dan Angraeni (Gardenia, 2013) yang
memperlihatkan bahwa kemampuan komunikasi siswa jenjang sekolah
menengah atas tergolong rendah meskipun penelitiannya menunjukkan
keberhasilan peningkatan kemampuan komunikasi matematis.
Serupa dengan penelitian Wulanratmini (Gardenia, 2013) yang
menunjukkan bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa salah satu
SMA di Bandung tergolong rendah, kemampuan komunikasi matematis siswa
SMA Negeri 21 Bandung tergolong rendah pula. Penyimpulan ini diambil
berdasarkan hasil observasi ketika melakukan kegiatan praktik pada Program
Pengalaman Lapangan Kependidikan di kelas X IIS 2. Pada tes formatif yang
di dalamnya terdapat soal yang mengarah pada kemampuan komunikasi
matematis, hasil dari kebanyakan siswa di bawah KKM di mana KKM yang
diberlakukan adalah 75.
Salah satu faktor penyebab rendahnya kemampuan komunikasi
matematis siswa di SMA Negeri 21 Bandung adalah sumber belajar yang
digunakan. Guru cenderung menggunakan sumber belajar seadanya sehingga
pembelajaran terasa monoton. Padahal banyak sekali hal yang dapat dijadikan
3
sumber belajar. Terakait sumber belajar, Pratowo (2013) mengategorikan
sumber belajar menjadi sumber belajar yang didesain dan sumber belajar yang
tidak didesain. Perbedaan dari keduanya terletak pada unsur ada atau tidaknya
proses perancangan dan kesengajaan menjadikan sumber belajar tersebut
untuk pembelajaran.
Berbicara sumber belajar yang didesain, bahan ajar menjadi salah satu
jenisnya karena pada dasarnya bahan ajar dibuat dan dirancang dengan
sengaja untuk proses pembelajaran. Oleh karena itu, sebagai sumber belajar
tentunya bahan ajar menjadi salah satu faktor berhasil atau tidaknya suatu
proses pembelajaran. Dengan demikian, pembelajaran yang baik harus
ditunjang dengan bahan ajar yang baik juga.
Salah satu kriteria bahan ajar yang baik adalah bahan ajar yang dapat
diimplementasikan berdasarkan kurikulum yang sedang berjalan. Hal ini
dimaksudkan agar terdapat kesinkronan antara sumber belajar dengan sistem
belajar sehingga pembelajaran dapat berjalan dengan baik dan efektif.
Berkaitan dengan ini, maka bahan ajar yang digunakan harus sesuai dengan
Kurikulum 2013.
Bersebrangan dengan yang seharusnya, bahan ajar yang digunakan
saat ini masih memiliki beberapa konsep yang keliru dan/atau belum menuju
kepada konsep yang akan diajarkan. Selain itu, bilamana dipandang dari segi
model pembelajaran yang harus dilakukan dalam Kurikulum 2013, maka
bahan ajar yang digunakan di kelas belum mencerminkan implementasi dari
model-model yang seharusnya. Oleh karena itu, tidak heran apabila
penggunaan model-model dalam Kurikulum 2013 dirasa sulit. Akhirnya,
pembelajaran yang terjadi masih merupakan pembelajaran yang masih
terpusat pada guru (teacher centred learning).
Sumarmo (2014) menguraikan bahwa kegiatan yang tergolong ke
dalam komunikasi matematis di antaranya adalah: (1) menyatakan suatu
situasi, gambar, diagram, atau benda nyata ke dalam bahasa, simbol, ide, atau
model matematik; (2) menjelaskan ide, situasi, dan relasi matematik secara
lisan atau tulisan; (3) mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang
4
matematika; (4) membaca tentang pemahaman suatu representasi matematika;
(5) memperkirakan konjektur, menyusun argumen, merumuskan definisi, dan
generalisasi; serta (6) mengungkapkan kembali suatu uraian matematika
dalam bahasa sendiri. Kegiatan-kegiatan ini akan berjalan apabila siswa
dengan sendirinya menemukan konsep dan ide-ide matematika. Dengan
demikian, model pembelajaran yang dapat disandingkan dengan bahan ajar
yang mampu meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa salah
satunya adalah discovery learning.
Berdasarkan temuan ini, dipandang perlu adanya pengembangan
bahan ajar yang dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis
siswa. Oleh karena itu, bahan ajar ini harus sejalan dengan tahapan-tahapan
pada pendekatan saintifik. Dengan demikian, bahan ajar ini harus dapat
diimplementasikan menggunakan model discovery learning.
C. PERUMUSAN DAN PEMBATASAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana mengembangkan bahan ajar matematika materi turunan
dengan model discovery learning?
2. Apakah penggunaan bahan ajar matematika materi turunan dengan model
discovery learning dapat meningkatkan kemampuan komunikasi
matematis siswa?
3. Bagaimana respons siswa terhadap bahan ajar matematika materi turunan
dengan model discovery learning?
Melihat pada latar belakang masalah, dapat ditemukan bahwa
permasalahan utama siswa dalam pembelajaran matematika adalah bahan
belajar yang belum menunjang proses pembelajaran dengan model discovery
learning sehingga kemampuan komunikasi matematis siswa masih rendah.
Dengan demikian, untuk menghindari perluasan pengkajian maka penelitian
ini dibatasi pada hal-hal berikut.
5
1. Penelitian dilaksanakan di Kelas XI MIA 2 SMAN 21 Bandung pada
semester 2.
2. Bahan ajar yang dikembangkan adalah buku teks yang berisikan materi
pembelajaran turunan.
3. Variabel yang diamati adalah kemampuan komunikasi matematis siswa.
D. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Dengan berpedoman pada rumusan masalah yang telah dikemukakan,
maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Mengembangkan bahan ajar matematika materi turunan dengan model
discovery learning.
2. Mengetahui apakah penggunaan bahan ajar matematika materi turunan
dengan model discovery learning dapat meningkatkan kemampuan
komunikasi matematis siswa.
3. Mengetahui respon siswa terhadap bahan ajar matematika materi turunan
dengan model discovery learning.
Bilamana penelitian ini berhasil, maka diharapkan dapat memberikan
manfaat sebagai berikut.
1. Peneliti: pengalaman baru dalam membuat dan mengimplementasikan
bahan ajar matematika materi turunan dengan model discovery learning.
2. Guru: masukan agar lebih inovatif dan kreatif dalam melaksanakan
pembelajaran, khususnya pembelajaran matematika materi turunan.
3. Siswa: dapat menambah pengalaman baru dalam pembelajaran
matematika menggunakan bahan ajar dengan model discovery learning.
E. DEFINISI OPERASIONAL
Untuk menghindari adanya multi-tafsir terhadap penelitian ini, maka
beberapa istilah terkait judul dalam penelitian ini kiranya perlu dijelaskan.
Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut.
1. Bahan ajar adalah segala bahan (baik informasi, alat, maupun teks) yang
disusun secara sistematis, yang menampilkan sosok utuh dari kompetensi
6
yang akan dikuasai peserta didik dan digunakan dalam proses
pembelajaran dengan tujuan perencanaan dan penelaahan impelementasi
pembelajaran.
2. Model Discovery Learning adalah pembelajaran yang mengatur proses
pembelajaran sedemikian rupa sehingga peserta didik memperoleh
pengetahuan (yang sebelumnya belum diketahui) tidak melalui
pemberitahuan, tetapi ditemukan sendiri. Dengan demikian, pembelajaran
dilakukan dengan tidak memberikan hasil final, tetapi peserta didik
didorong untuk menemukan konsep yang berkaitan dengan sendirinya.
3. Komunikasi matematis adalah, proses mengomunikasikan ide-ide dan
konsep-konsep matematik kepada orang lain secara lisan maupun tulisan
sehingga ide-ide tadi semakin jelas baik bagi dirinya maupun bagi orang
lain. Dengan demikian, peserta didik dalam hal ini tengah mencoba
melakukan proses berpikir dan bernalar tentang suatu ide dan konsep
matematik
F. ANGGAPAN DASAR
1. Guru mampu melaksanakan pembelajaran menggunakan model discovery
learning.
2. Jika siswa mampu memverifikasi maka siswa mampu menjelaskan ide,
situasi, dan relasi matematika secara lisan atau tulisan.
3. Jika siswa mampu mengeneralisasi maka siswa mampu mengungkapkan
kembali suatu uraian atau paragraf matematika dalam bahasa sendiri.
G. TINJAUAN PUSTAKA
Pembelajaran Matematika
Pembelajaran merupakan sebuah kegiatan yang di dalamnya terjadi
proses transfer ilmu pengetahuan dan pengalaman dari pengajar terhadap
pembelajar—peserta didik. Dengan demikian, pembelajaran memiliki dua
dimensi yang berbeda, yaitu belajar dan mengajar. Belajar memberikan arti
7
bahwa pelaku kegiatan ini adalah peserta didik, sedangkan mengajar
memberikan arti bahwa pelaku aktivitas ini adalah guru.
Berkaitan dengan proses transfer ilmu pengetahuan dan pengalaman,
pada hakikatnya peserta didik bukanlah seonggok ‘tong kosong’ yang belum
terisi apapun. Mereka memiliki pengetahuan dan pengalaman masing-masing
yang kiranya dapat dijadikan sebagai ‘debit minimal’ untuk menerima transfer
pengetahuan dan pengalaman tersebut. Maka dari itu, alangkah baiknya
bilamana pelaku dalam pembelajaran ini adalah peserta didik sendiri. Dalam
hal ini, guru menjadi fasilitator dan motivator dalam pembelajaran.
Berelasi dengan uraian di atas, pembelajaran mengandung makna
sebagaimana diungkapkan oleh Majid (2013: 4), yakni upaya untuk
membelajarkan seseorang atau sekelompok orang melalui berbagai upaya
(effort) dan strategi, serta metode dan pendekatan ke arah pencapaian tujuan
yang telah direncanakan. Dengan demikian, pembelajaran matematika
memiliki makna sebagai upaya untuk membelajarkan peserta didik dengan
berbagai upaya dan strategi, serta metode dan pendekatan ke arah pencapaian
tujuan pembelajaran matematika yang telah direncanakan. Tujuan tersebut
salah satunya terurai dalam Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang
Standar Isi Mata Pelajaran Matematika (Depdiknas, 2006):
1. memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan
antarkonsep, dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara
luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah;
2. menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau
menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika;
3. memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami
masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model, dan
menafsirkan solusi yang diperoleh;
4. mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau
media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah;
5. memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan,
yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam
mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam
pemecahan masalah.
8
Discovery Learning
Secara harfiah, discovery learning terdiri dari dua kata yang berbeda
yaitu discovery yang berarti penemuan/pendapatan (Echols & Shadily, 2003),
dan learning yang berarti pembelajaran/pengetahuan (Echols & Shadily,
2003). Dengan demikian discovery learning berarti pembelajaran penemuan.
Implikasi pengertian ini terhadap proses pembelajaran adalah pembelajaran
dilakukan dengan tidak memberikan hasil final, tetapi peserta didik didorong
untuk menemukan konsep yang berkaitan dengan sendirinya.
Cahyo (2013) mengutarakan bahwa model pembelajaran berbasis
penemuan atau discovery learning merupakan model pembelajaran yang
mengatur proses pembelajaran sedemikian rupa sehingga peserta didik
memperoleh pengetahuan (yang sebelumnya belum diketahui) tidak melalui
pemberitahuan, tetapi ditemukan sendiri. Definisi ini memberikan pengertian
bahwa menemukan di sini bukan menemukan hal atau konsep yang benar-
benar baru, tetapi menemukan kembali (reinventing) hal-hal atau konsep-
konsep yang sebelumnya sudah ada.
Discovery learning mendesain pembelajaran sedemikian rupa sehingga
peserta didik dapat menemukan kembali konsep-konsep dan prinsip-prinsip
melalui proses mentalnya sendiri. Asumsi ini merupakan implikasi dari
pendapat Bruner (1961) yang mengutarakan bahwa tugas guru adalah
memberikan pengarahan dan mendorong peserta didik agar mereka dapat
mengurus kebutuhan belajarnya sendiri. Dalam menemukan konsep, aktivitas
yang dilakukan peserta didik adalah: (1) mengamati; (2) menggolongkan; (3)
membuat dugaan; (4) menjelaskan; dan (5) menarik kesimpulan (Cahyo,
2013).
Sebagai model pembelajaran, discovery memiliki prinsip yang sama
dengan inkuiri dan problem solving—tidak ada perbedaan yang prinsipil pada
ketiga istilah ini. Discovery learning lebih menekankan pada ditemukannya
konsep atau prinsip yang sebelumnya sudah ada dan belum diketahui.
Sedangkan pada inkuiri, peserta didik benar-benar menemukan konsep baru
9
yang sebelumnya tidak ada. Pada discovery masalah yang disajikan adalah
masalah yang telah direkayasa oleh guru sedangkan pada inkuiri dan problem
solving, masalah yang disajikan bukan masalah rekayasa (SUMBER???).
Berdasarkan uraian di atas, prinsip belajar dalam discovery learning
adalah materi atau bahan pelajaran yang akan disampaikan tidak disampaikan
dalam bentuk final melainkan melalui proses yang aktif. Dalam hal ini peserta
didik didorong untuk mengidentifikasi apa yang ingin diketahui dilanjutkan
dengan mencari informasi sendiri kemudian mengorganisasi atau membentuk
(konstruktif) apa yang mereka ketahui dan mereka pahami dalam suatu bentuk
akhir. Dengan demikian, peserta didik secara aktif mengonstruksi
penglamannya dengan menghubungkan pengetahuan baru dengan internal
modal atau struktur kognitif yang telah dimilikinya.
Langkah pembelajaran dalam discovery learning terdiri dari dua tahap,
yaitu persiapan dan prosedur aplikasi. Tahap persiapan sebagaimana diuraikan
oleh Bruner (1961) adalah: a) menentukan tujuan pembelajaran; b) melakukan
identifikasi karakteristik siswa (kemampuan awal, minat, gaya belajar, dan
sebagainya); c) memilih materi pelajaran; d) menentukan topik-topik yang
harus dipelajari peserta didik secara induktif; e) mengembangkan bahan-bahan
belajar yang berupa contoh-contoh, ilustrasi, tugas, dan sebagainya untuk
dipelajari siswa; f) mengatur topik-topik pelajaran dari yang sederhana ke
kompleks, dari yang konkret ke abstrak, dari tahap enaktif, ikonik, sampai ke
simbolik; dan g) melakukan penilaian proses dan hasil belajar peserta didik.
Tahap kedua—prosedur aplikasi—diuraikan oleh Syah (Cahyo, 2013) yaitu
stimulation (pemberian rangsangan), problem statement (identifikasi masalah),
data collection (pengumpulan data), data processing (pengolahan data),
verification (pembuktian), dan generalization (generalisasi/menarik
kesimpulan).
Pada tahap stimulation (pemberian rangsangan) peserta didik
dihadapkan pada permasalahan yang telah dimanipulasi/direkayasa oleh guru.
Salah satu hal yang dapat dilakukan guru dalam langkah ini adalah
mengajukan pertanyaan, anjuran membaca buku, dan aktivitas belajar lainnya
10
yang mengarah pada persiapan pemecahan masalah. Pemberian rangsangan
pada tahap ini berfungsi untuk menyediakan kondisi interaksi belajar yang
dapat mengembangkan dan membantu siswa dalam mengeksplorasi
pengetahuan.
Setelah memberikan rangsangan, langkah selanjutnya problem
statement (identifikasi masalah). Pada tahap ini, guru memberi kesempatan
kepada peserta didik untuk mengidentifikasi masalah yang relevan dengan
bahan pelajaran. Memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
mengidentifikasi dan menganalisa permasalahan merupakan teknik yang
berguna dalam membangun kebiasaan mereka untuk menemukan suatu
masalah.
Ketika eksplorasi berlangsung, guru memberikan kesempatan kepada
peserta didik untuk mengumpulkan informasi— data collection (pengumpulan
data)—yang relevan terkait pelajaran yang sedang dilaksanakan. Tahap ini
berfungsi memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengumpulkan
berbagai data/informasi yang relevan, membaca literatur, mengamati objek,
melakukan uji coba sendiri, dan sebagainya. Konsekuensi dari tahap ini adalah
peserta didik belajar secara aktif untuk menemukan sesuatu yang berhubungan
dengan permasalahan yang dihadapi.
Tahap data processing (pengolahan data) merupakan kegiatan
mengolah data dan/atau informasi yang telah diperoleh peserta didik untuk
kemudian ditafsirkan olehnya. Semua data dan/atau informasi diolah,
diklasifikasikan, ditabulasi, dan kemudian ditafsirkan.
Setelah data diolah maka peserta didik melakukan verification
(pembuktian). Dalam tahap ini hal yang dilakukan peserta didik adalah
memeriksa secara cermat untuk membuktikan benar atau tidaknya proses
pengolahan data yang telah mereka lakukan. Jika guru memberikan
kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau
pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya maka
proses belajar akan berjalan dengan baik.
11
Berdasarkan hasil verifikasi/pembuktian maka dirumuskanlah prinsip-
prinsip yang mendasari generalisasi (generalization). Tahap
generalisasi/menarik kesimpulan adalah proses menarik sebuah kesimpulan
yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua konsep,
kejadian, atau masalah.
Bahan Ajar Matematika
Kesahihan informasi bergantung pada kesahihan sumber informasi itu
sendiri. Oleh karena itu, sumber informasi menjadi hal yang krusial dalam
konteks ini. Bilamana sumbernya tidak sahih, maka informasi yang
disampaikan juga tidak sahih.
Uraian di atas kiranya berimplikasi pada proses pembelajaran karena
pada hakikatnya pembelajaran merupakan proses transfer informasi—ilmu
pengetahuan dan pengalaman. Dengan demikian, pembelajaran membutuhkan
sumber informasi yang sahih. Sumber informasi tersebut dalam hal ini adalah
sumber belajar. Dengan adanya sumber, mencegah terjadinya miss-concepting
yang dapat mengakibatkan terjadinya miss-perception.
Berkenaan dengan sumber belajar kiranya banyak sekali hal yang
dapat dijadikan sebagai sumber belajar. Bertalian dengan asumsi ini, Pratowo
(2013) mengategorikan bahan ajar menurut bentuknya menjadi lima jenis
yaitu: lingkungan, benda, orang, buku, dan peristiwa.
Lingkungan dikatakan sebagai sumber belajar bilamana lingkungan
tersebut dapat digunakan sebagai tempat untuk belajar. Misalnya,
perpustakaan, museum, taman, dan lain-lain. Tidak jauh berbeda dengan
lingkungan, benda yang dapat dijadikan sebagai sumber belajar apabila benda
tersebut dapat digunakan dalam pembelajaran. Misalnya, bangunan sekitar,
candi, artefak, dan lain sebagainya. Orang sebagai sumber belajar adalah siapa
saja yang dapat memberikan informasi terkait ilmu pengetahuan dan
pengalaman yang dibutuhkan. Beberapa contoh dalam hal ini adalah guru, ahli
pendidikan, ahli goelogi, politisi, peneliti, dan lainnya. Begitu halnya dengan
guru, buku yang dapat dijadikan sebagai sumber belajar adalah segala bentuk
12
buku yang memberikan informasi pengetahuan yang dibutuhkan. Jenis
terakhir dari sumber belajar berdasarkan bentuknya adalah peristiwa. Peristiwa
di sini misalnya peristiwa bencana.
Selain dipandang dari bentuknya, ternyata Association of Educational
Communication and Technology mengategorikan sumber belajar berdasarkan
tujuan pembuatannya menjadi sumber belajar yang dirancang atau resources
by design dan sumber belajar yang dimanfaatkan atau resources by utilization
(Pratowo, 2013). Sumber belajar yang dirancang berarti sumber belajar yang
dengan sengaja didesain sedemikian rupa sehingga dapat diaplikasikan dalam
pembelajaran. Contoh sumber belajar dalam jenis ini adalah Lembar Kerja
Siswa, Buku Paket, Modul, e-Book/DigiBook, e-Pub, dan lain sebagainya.
Sedangkan sumber belajar yang dimanfaatkan dapat ditafsirkan sebagai
sumber belajar yang ada di sekitar lingkungan tempat belajar, semisal lukisan
dinding, jam dinding, meja, kursi, dan masih banyak lagi.
Bertalian dengan sudut pandang sumber belajar dari bentuknya pada
jenis keempat, juga sumber belajar dari tujuan pembuatannya pada bagian
pertama memberikan pandangan bahwa buku teks merupakan sumber belajar.
Buku teks ini merupakan barang yang sengaja dibuat secara sistematis serta
sudah siap digunakan dalam pembelajaran sehingga dapat disebut sebagai
bahan ajar.
Majid (2011) mengutarakan bahwa bahan ajar merupakan segala
bentuk bahan yang digunakan untuk membantu guru/instruktor dalam
melaksanakan pembelajaran. Lebih lugas lagi, Pratowo (2013: 17)
menguraikan “bahan ajar merupakan informasi, alat, dan/atau teks yang
disusun secara sistematis, yang menampilkan sosok utuh dari kompetensi yang
akan dikuasai peserta didik dan digunakan dalam proses pembelajaran dengan
tujuan perencanaan dan penelaahan implementasi pembelajaran”. Dengan
demikian, bahan ajar matematika berarti segala bentuk informasi, alat,
dan/atau teks yang berisikan ide-ide dan konsep-konsep matematika, disusun
secara sistematis, menampilkan sosok utuh dari kompetensi yang akan
dikuasai peserta didik, dan digunakan untuk membantu guru dalam
13
melaksanakan pembelajaran matematika dengan tujuan perencanaan dan
penelaahan implementasi pembelajaran matematika.
Bilamana ditinjau dari pengertian yang diajukan oleh Majid dan
Pratowo ini, kiranya bahan ajar memiliki jenis-jenisnya yang lebih khusus.
Jenis-jenis bahan ajar tersebut terlebih dahulu disebutkan oleh Majid (2011),
yaitu: (1) bahan ajar cetak (printed), contohnya adalah buku matematika,
ensiklopedia matematika, berita-berita terkait matematikawan, dan lain-lain;
(2) bahan ajar dengar (Audio), misalnya dubbing penjelasan materi
matematika; (3) bahan ajar pandang dengar (Audio visual), misalnya video
pengerjaan soal-soal matematika, video pembelajaran matematika, atau
tayangan guru yang sedang mengajarkan salah satu konsep matematika; dan
(4) bahan ajar interaktif (interactive teaching materials) seperti multimedia
animasi matematika.
Dari keempat jenis bahan ajar yang disebutkan oleh Majid, Pratowo
(2013) ternyata mengelompokkan jenis bahan ajar ke dalam tiga kelompok
besar. Pengelompokan ini terdiri dari bahan ajar menurut bentuknya, menurut
cara kerjanya, dan menurut sifatnya.
Jenis bahan ajar menurut bentuknya sebagaimana telah diuraikan
sebelumnya oleh Majid. Bahan ajar yang masuk pada kelompok kedua—
menurut cara kerjanya—terdiri dari: (1) bahan ajar yang tidak diproyeksikan,
yakni bahan ajar yang tidak memerlukan perangkat untuk memproyeksikan
isinya sehingga peserta didik dapat menggunakannya secara langsung; (2)
bahan ajar yang diproyeksikan, yakni bahan ajar yang memerlukan perangkat
untuk memproyeksikannya agar peserta didik dapat menggunakannya; (3)
bahan ajar audio, yaitu bahan ajar yang telah dikemas dalam sebuah
perangkat—media rekam, sehingga untuk menggunakannya dibutuhkan alat
seperti tape compo, CD/VCD Player, Multimedia Pleayer, dan lain
sebagainya; (4) bahan ajar video, bahan ajar ini hampir mirip dengan jenis
sebelumnya yakni memerlukan perangkat pemutar/pemain (player) untuk
menggunakannya. Misalnya VCD Player, DVD Player, video tape player, dan
lain-lain; dan (5) bahan ajar berbantuan media komputer, yaitu bahan ajar non-
14
cetak yang menggunakan fasilitas komputer dalam penggunaannya. Anggota
kelompok terakhir—bahan ajar menurut sifatnya—adalah bahan ajar berbasis
cetak, bahan ajar berbasis teknologi, bahan ajar yang digunakan untuk praktik
proyek, dan bahan ajar yang digunakan dalam interaksi sosial.
Berdasarkan jenis-jenis bahan ajar yang telah diuraikan di atas, maka
paling tidak bahan ajar mencakup unsur-unsur yang terdiri dari petunjuk
belajar, kompetensi yang akan dicapai, informasi pendukung, latihan-latihan,
petunjuk kerja (dapat berupa lembar kerja), dan evaluasi (Majid, 2011;
Pratowo, 2013).
Petunjuk belajar merupakan komponen utama dalam hal ini. Petunjuk
belajar meliputi petunjuk bagi pendidik dan peserta didik. Di dalamnya
dijelaskan bagaimana pendidik sebaiknya mengajarkan materi matematika
kepada peserta didik dan bagaimana pula peserta didik sebaiknya mempelajari
materi matematika yang ada dalam bahan ajar tersebut.
Komponen kedua adalah kompetensi yang akan dicapai. Maksud dari
komponen ini adalah kompetensi yang akan dicapai oleh peserta didik.
Dengan demikian, hal-hal yang harus dijelaskan dan dicantumkan dalam
bahan ajar yang akan dibuat terdiri dari kompetensi inti, kompetensi dasar,
serta indikator pencapaian hasil belajar yang harus dikuasai oleh peserta didik.
Hal ini akan membuat tujuan yang harus dicapai oleh peserta didik menjadi
semakin jelas.
Informasi pendukung merupakan berbagai informasi tambahan yang
dapat melengkapi bahan ajar. Dengan demikian peserta didik akan semakin
mudah untuk menguasai pengetahuan yang akan mereka peroleh. Selain itu,
pengetahuan yang diperoleh peserta didik pun akan semakin komprehensif.
Latihan-latihan merupakan suatu bentuk tugas belajar matematika yang
diberikan kepada peserta didik untuk melatih kemampuan matematis mereka
setelah mempelajari konsep-konsep matematika. Dengan demikian,
kemampuan yang mereka pelajari akan semakin terasah dan terkuasai secara
matang.
15
Petunjuk kerja (dapat juga berupa lembar kerja) adalah satu atau
beberapa lembar kertas yang berisi sejumlah langkah prosedural mengenai
cara pelaksanaan aktivitas atau kegiatan pembelajaran matematika yang harus
dilakukan oleh peserta didik. Pada lembar kerja ini dapat berisi hal-hal yang
berkaitan dengan praktik atau yang lainnya.
Komponen terakhir yang harus dibubuhkan dalam bahan ajar adalah
evaluasi. Evaluasi merupakan salah satu bagian dari proses penilaian karena
dalam komponen ini terdapat sejumlah pertanyaan yang ditujukan kepada
peserta didik untuk mengukur seberapa jauh penguasaan kompetensi yang
berhasil dikuasainya setelah mengikuti proses pembelajaran matematika.
Dengan demikian, guru dapat mengetahui efektivitas bahan ajar yang dibuat
ataupun proses pembelajaran yang diselenggarakan pada umumnya. Jika
kemudian dipandang masih banyak peserta didik yang belum menguasai,
maka diperlukan perbaikan dan penyempurnaan bahan untuk keperluan
kegiatan pembelajaran.
Kemampuan Komunikasi Matematis
Interaksi dalam pembelajaran terjadi jika dan hanya jika terjadi proses
komunikasi di dalamnya. Demikian halnya dengan pembelajaran matematika,
prosesnya berlangsung ketika terjadi komunikasi sehingga pembendaharaan
informasi terkait topik matematika semakin bertambah. Komunikasi yang baik
berakibat pada penyampaian ide dan gagasan yang baik pula. Dengan
demikian komunikasi menjadi unsur prima dalam bermatematika.
Uraian di atas menegaskan bahwa siapa saja yang berkepentingan
dengan matematika, maka wajib baginya untuk mampu berkomunikasi. Ketika
peserta didik mencoba berpikir dan bernalar tentang suatu ide matematik,
maka ia akan mengomunikasikan ide tersebut kepada orang lain secara lisan
maupun tulisan sehingga ide-ide tadi semakin jelas baik bagi dirinya maupun
bagi orang lain (Sumarmo, 2014).
Dalam sebuah wawancara yang dilakukan oleh Elliott terhadap
Lindquist (Elliott & Kenney, 1996), diterangkan bahwa komunikasi matematis
16
merupakan hal yang sangat penting yang harus dikuasai. Lindquist
melanjutkan pendapatnya bahwa bilamana kita ingin mencapai tujuan
masyarakat dalam pembelajaran seumur hidup (lifelong learning) terkait
bermatematika—siapapun kita—maka kita akan membutuhkan kemampuan
komunikasi matematis. Dengan demikian, NCTM memasukkan komunikasi
matematis menjadi salah satu dari lima kemampuan yang harus dicapai oleh
siswa dalam bermatematika.
Menurut NCTM (2000: 348) ada empat indikator dari kemampuan
komunikasi matematis, yaitu: (1) mengorganisasikan dan menggabungkan ide,
gagasan, atau pemikiran matematis secara tertulis atau lisan; (2)
mengomunikasikan ide, gagasan, atau pemikiran secara logis dan jelas kepada
teman, guru, dan orang lain; (3) menganalisa dan menilai pemikiran dan
strategi matematis orang lain; dan (4) menggunakan bahasa matematika untuk
menyatakan ide, gagasan, atau pemikiran matematika dengan tepat.
Berlainan bunyi dengan NCTM, Elliott & Kenney (1996) menguraikan
indikator kemampuan komunikasi matematik meliputi proses-proses antara
lain sebagai berikut ini.
a) Menyatakan suatu situasi atau masalah matematik atau kehidupan sehari-
hari ke dalam bentuk gambar, diagram, bahasa, atau simbol matematik,
atau model matematik.
b) Menjelaskan suatu ide matematik dengan gambar, ekspresi, atau bahasa
sendiri secara lisan maupun tulisan.
c) Membuat suatu ceritera berdasarkan gambar, diagram, atau model
matematik yang diberikan.
d) Menyusun pertanyaan tentang konten matematik yang diberikan.
Dari uraian indikator kemampuan komunikasi matematis menurut
NCTM dan Elliott & Kenney, Ross (Sumarmo, 2014: 199) mengajukan
beberapa indikator untuk mengukur kemampuan komunikasi matematik,
yaitu: mengilustrasikan situasi masalah dalam bentuk model matematik;
melukiskan suatu situasi masalah ke dalam bentuk gambar, diagram, tabel,
atau representasi aljabar; memberikan penjelasan tertulis; menggunakan
17
simbol atau bahasa matematik secara tepat; dan mengungkapkan kembali
suatu uraian atau paragraf matematika dalam bahasa sendiri. Dari indikator-
indikator ini, Sumarmo (2014) menguraikan bahwa kegiatan yang tergolong
ke dalam komunikasi matematis di antaranya adalah: (1) menyatakan suatu
situasi, gambar, diagram, atau benda nyata ke dalam bahasa, simbol, ide, atau
model matematik; (2) menjelaskan ide, situasi, dan relasi matematik secara
lisan atau tulisan; (3) mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang
matematika; (4) membaca tentang pemahaman suatu representasi matematika;
(5) memperkirakan konjektur, menyusun argumen, merumuskan definisi, dan
generalisasi; serta (6) mengungkapkan kembali suatu uraian matematika
dalam bahasa sendiri. Dengan demikian, untuk mengukur kemampuan
komunikasi matematis siswa dalam penelitian ini menggunakan indikator
yang diutarakan oleh Sumarmo.
H. HIPOTESIS
Merujuk pada kajian teori yang diperoleh dari beberapa literatur maka
hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Bahan ajar matematika materi turunan dengan model Discovery Learning
dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa.
2. Siswa memberikan respon positif terhadap bahan ajar matematika materi
turunan dengan model Discovery Learning.
I. PENDEKATAN, METODE, DAN DESAIN PENELITIAN
Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan kualitatif. Moleong (2001) menyebutkan bahwa terdapat beberapa
istilah untuk penelitian kualitatif, diantaranya inkuiri naturalistik, etnografi,
interaksionis simbolik, perspektif ke dalam, etnometodologi, studi kasus,
interpretatif, ekologis, dan deskriptif. Lebih jauh Bogdan dan Taylor
(Moleong, 2001) mengatakan bahwa penelitian kualitatif adalah prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa lisan maupun tulisan dari
18
orang-orang dan/atau perilaku yang dapat diamati. Akibat dari pernyataan
Bogdan dan Taylor ini memberikan pengertian terhadap penelitian kualitatif
yang diungkapkan oleh Flick (2009), di mana Flick menyatakan bahwa
penelitian kualitatif merupakan penelitian yang digunakan untuk membahas
hubungan spesifik terhadap permasalahan sosial yang nyatanya sangat
beragam.
Senada dengan Flick, Gall & Borg (2003) mengatakan bahwa
penelitian kualitatif merupakan penelitian yang berfokus pada fakta-fakta,
permasalahan, kasus-kasus, dan/atau fenomena sosial. Berdasarkan alasan ini,
Gall & Borg (2003) menyebut penelitian kualitatif sebagai studi kasus yang
memiliki karakteristik: 1) studi terhadap fenomena berfokus pada hal-hal yang
terjadi; 2) mengkaji secara mendalam mengenai kasus-kasus/permasalahan
sosial secara runtut; 3) studi terhadap fenomena terjadi dalam konteks adat
istiadat/kebiasaan/tingkah laku; dan 4) studi dilakukan terhadap persoalan
emik dan etik.
Penggunaan penelitian kualitatif ini dikarenakan dalam penelitian ini
menggunakan instrumen berupa angket, jurnal, dan lembar observasi.
Penggunaan ketiga instrumen ini didasari oleh karakteristik penelitian
kualitatif sebagaimana terurai lugas dalam Moleong (2001). Karakteristik
tersebut adalah latar alamiah, manusia sebagai alat (instrumen), metode
kualitatif, analisis data secara induktif, grounded theory, deskriptif,
mementingkan proses daripada hasil, adanya batas yang ditentukan oleh
fokus, adanya kriteria khusus untuk keabsahan data, desain yang bersifat
sementara, dan hasil penelitian dirundingkan dan disepakati bersama.
Karakteristik yang digarisbawahi yaitu manusia sebagai alat (instrumen).
Stake (2010) memberikan penguatan dengan pendapatnya yang menyatakan
bahwa dalam penelitian kualitatif, peneliti harus melakukan sesuatu lebih
banyak, merencanakan penelitian, melakukan penggubahan terhadap situasi
pengamatan, mewawancarai orang-orang, menguji dokumen, membicarakan
ide bersama-sama, dan menulis laporan. Ketika peneliti berpikir mengenai
19
penggunaan instrumen dalam penelitiannya, maka ia memerlukan manusia
sebagai bagian dari instrumen.
Selain menggunakan pendekatan kualitatif, pada penelitian ini
digunakan juga pendekatan kuantitatif. Darmawan (2013) mengartikan
penelitian kuantitatif sebagai proses menemukan pengetahuan yang
menggunakan data berupa angka sebagai alat menemukan keterangan
mengenai apa yang ingin kita ketahui. Dari pengertian ini jelaslah bahwa
dalam penelitian ini terdapat data berupa angka yang diperoleh dari tes
kemampuan komunikasi matematis. Data tersebut nantinya akan diolah sesuai
dengan tujuan dalam penelitian ini untuk kemudian ditafsirkan. Sebagai
penguatan, Sugiyono (2014) mengungkapkan bahwa penelitian kuantitatif
digunakan bilamana terjadi hal-hal seperti berikut: (a) masalah yang
merupakan titik tolak penelitian sudah jelas; (b) peneliti menginginkan
informasi yang luas dari suatu populasi; (c) ingin mengetahui pengaruh
perlakuan/teratment tertentu terhadap yang lain (d) peneliti bermaksud
menguji hipotesis penelitian baik yang berbentuk deskriptif, komparatif,
maupun asosiatif; (e) peneliti ingin mendapatkan data yang akurat,
berdasarkan fenomena yang empiris dan dapat diukur; dan (f) ingin menguji
terhadap adanya keragu-raguan tentang validitas pengetahuan, teori, dan
produk tertentu.
Metode Penelitian
Metode dalam penelitian ini adalah kombinasi dari penelitian
pengembangan (Research and development, R&D) dan eksperimen. Hal ini
dikarenakan dalam penelitian ini akan dikembangkan sebuah produk yakni
bahan ajar. Di samping adanya pengembangan bahan ajar, peneliti ingin
melihat pengaruh dari bahan ajar yang dikembangkan. Namun perlu
ditegaskan bahwa eksperimen dalam penelitian ini merupakan eksperimen
semu—kuasi eksperimen. Dengan demikian, berdasarkan pendapat Putera
(2012) metode penelitian ini adalah scientific research and experimental
development (SR & ED).
20
Pengertian R & D datang dari Putera (2012: 67),
R & D adalah metode yang secara sengaja, sistematis,
bertujuan/diarahkan untuk mencari-temukan, merumuskan,
memperbaiki, mengembangkan, menghasilkan, menguji keefektifan
produk, model, metode/strategi/cara, jasa, prosedur tertentu yang lebih
unggul, baru, efektif, efisien, produktif, dan bermakna.
Arti yang dipaparkan oleh Putera ini memungkinkan R & D dapat
diimplementasikan dalam penelitian di bidang pendidikan. Sedangkan kuasi
eksperimen adalah sebuah istilah yang digunakan untuk penelitian yang
mirip/menyerupai eksperimen tetapi terdapat pengurangan pada beberapa
karakteristik, terutama distribusi subjek terhadap kelompok tidak di bawah
kontrol peneliti (Everitt & Skrondal, 2010).
Pengertian eksperimen datang dari Darmawan (2013) adalah metode
penelitian yang bertujuan untuk meneliti hubungan (baik berupa hubungan
sebab akibat atau hubungan lainnya) antar dua atau lebih variabel pada satu
atau lebih kelompok yang mengalami manipulasi/perlakuan—eksperimental,
serta membandingkan hasilnya dengan kelompok yang tidak mengalami
manipulasi—kelompok kontrol. Senada dengan Darmawan, Arikunto (2013)
mengutarakan bahwa eksperimen adalah metode penelitian yang digunakan
untuk mencari hubungan kausal antara dua faktor yang sengaja ditimbulkan
oleh peneliti dengan mengeliminasi faktor-faktor lain yang mengganggu.
Dengan demikian, secara singkat SR & ED merupakan metode penelitian
yang secara sengaja diarahkan untuk mengembangkan produk dengan melihat
keberpengaruhan produk tersebut.
Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan One-Group Pretest-Posttest Design
dengan skema yang digambarkan oleh Sugiyono (2014: 110).
O1 X O2
Keterangan:
O1 = nilai tes awal
X = perlakuan
O2 = nilai tes akhir
21
J. SUMBER DATA
Responden : kelas X MIA 2
Waktu : semester II
Tempat : SMA Negeri 21 Bandung
K. TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data pada penelitian ini
merupakan modifikasi dan kombinasi dari langkah R&D yang dikemukakan
oleh Thiagarajan (Arifin, 2012), Sugiyono (2014), dan Gall & Borg (2003).
Langkah-langkah yang disajikan oleh Thiagarajan adalah 4D yaitu defne,
design, develop, dan disseminate. Berbeda dengan Thiagarajan, Sugiyono
mengembangkan langkah-langkah R&D menjadi: (1) potensi masalah; (2)
pengumpulan data; (3) desain produk; (4) validasi desain; (5) uji coba produk;
(6) revisi produk; (7) uji coba pemakaian; (8) revisi produk; dan (9) produksi
massal.
Nampaknya Gall & Borg menyajikan langkah-langkah pada R&D
secara lebih terperinci. Langkah-langkah yang dikemukakan oleh Gall & Borg
sebenarnya telah terangkum dalam langkah-langkah yang dikemukakan
Sugiyono. Hanya saja Gall & Borg menyajikan langkah planning (rencana
desain produk) sebelum mendesain produk.
Dari langkah-langkah R&D yang dikemukakan oleh Thiagarajan,
Sugiyono, dan Gall & Borg yang telah disebut di atas, secara rinci langkah-
langkah yang dilakukan dalam penelitian ini terurai sebagai berikut.
1. Define
Aktivitas penelitian yang dilakukan pada tahap ini adalah studi
pendahuluan. Aktivitas ini dimaksudkan untuk mengkaji dan menyelidiki
hal-hal yang menjadi potensi masalah. Hasil dari pengkajian dan
penyelidikan berupa kumpulan data sebagai informasi dasar untuk
melakukan penelitian (research information and collection). Ruang
lingkup kegiatan dari langkah awal ini diantaranya analisis kebutuhan,
22
observasi awal di lapangan (tempat penelitian), identifikasi permasalahan
yang dijumpai di lapangan baik proses pembelajaran maupun faktor-faktor
lainnya, dan menghimpun data mengenai hal-hal apa saja yang menjadi
faktor pendukung dan penghambat dalam pembelajaran.
2. Design
Pada tahap ini peneliti merancang model dan prosedur
pengembangan (planning). Peneliti membuat desain pengembangan
produk yang di dalamnya terdapat aspek-aspek mengenai (1) apa, tujuan,
dan manfaat produk tersebut; (2) mengapa produk tersebut begitu penting
untuk dikembangkan; (3) bagaimana proses pengembangan produk
tersebut; (4) siapa yang menjadi pengguna produk tersebut; dan (5) di
mana produk tersebut akan digunakan. Dengan demikian, diperlukan
adanya validasi desain oleh validator ahli agar aspek-aspek yang telah
diuraikan dapat terpenuhi. Dalam hal ini, validator ahli terdiri dari dua
orang, yang diambil dari pembimbing I dan pembimbing II.
Dalam memvalidasi desain pengembangan produk, validator akan
diberikan sebuah lembar validasi desain yang harus diisi sesuai dengan
yang diamati. lembar validasi desain ini berisi pertanyaan berupa isian.
Pertanyaan bentuk isian terdiri dari kelebihan, kekurangan, kritik, dan
saran tentang bahan ajar yang dibuat.
3. Develop
Hal yang pertama dilakukan adalah melakukan kajian empirik
tentang pengembangan produk. Dengan demikian, peneliti mulai
mengembangkan produk awal (draft) sebagai prototype (develop
preliminary form of product). Setelah produk awal dikembangkan, langkah
berikutnya adalah menguji-cobakan produk tersebut (preliminary field
testing). Selama uji coba, peneliti melakukan observasi terhadap aktivitas
subjek—responden—dalam melaksanakan produk tersebut.
Untuk melakukan observasi terhadap aktivitas subjek ini, peneliti
memilih observator (pengamat) dari guru mata pelajaran. Pemilihan ini
didasari karena guru mata pelajaran yang bersangkutan sudah memiliki
23
pengalaman mendalam mengenai seluruh aspek dalam pembelajaran.
terlepas dari itu, peneliti tetap menggunakan lebar observasi agar
pengamatan tidak keluar dari tujuan penelitian serta hal-hal yang
diharapkan.
Bilamana uji coba telah selesai, peneliti memberikan jurnal kepada
subjek. Selain memberikan jurnal kepada subjek, peneliti juga melakukan
validasi dan diskusi dengan validator ahli. Sebagai bahan evaluasi
terhadap produk yang dikembangkan, peneliti memberikan jurnal kepada
subjek dan angket kepada validator ahli untuk menghimpun informasi-
informasi yang dibutuhkan.
Dalam memvalidasi produk yang telah dikembangkan, validator
akan diberikan sebuah lembar validasi produk yang harus diisi sesuai
dengan yang diamati. Lembar validasi ini berisi pertanyaan berupa isian.
Pertanyaan bentuk isian terdiri dari kelebihan, kekurangan, kritik, dan
saran tentang produk yang telah dikembangkan dan diuji-cobakan. Selain
memberikan lembar validasi produk kepada validator, peneliti juga
memberikan jurnal kepada subjek untuk melihat sejauh mana produk ini
dirasakan sesuai dengan kebutuhan subjek. Hal ini dilakukan agar produk
yang dikembangkan dapat digunakan tepat pada sasarannya.
Masukan-masukan dan saran-saran dari validator ahli dan subjek
ini mendorong peneliti untuk malakukan revisi awal (main product
revision). Hal ini dimaksudkan untuk memperbaiki dan menyempurnakan
produk awal yang telah dikembangkan.
Setelah produk diperbaiki dan siap digunakan, peneliti melakukan
uji pemakaian produk (operational field testing). Untuk memulai tahap ini,
peneliti melakukan tes awal terlebih dahulu. Begitu pula di akhir tahap ini
peneliti melakukan tes akhir. Tes di sini merupakan tes kemampuan
komunikasi matematis (KKM) yang sebelumnya telah diuji-cobakan.
Akhirnya, untuk melihat respons dari subjek, peneliti memberikan angket.
Angket dalam hal ini merupakan angket tertutup yang mana subjek tinggal
memilih jawaban yang telah disediakan.
24
L. TEKNIK PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA
Pengolahan data uji coba
Sebelum tes digunakan sebagai alat pengumpul data, terlebih dahulu
diuji cobakan untuk mengetahui validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran, dan
daya pembeda tes tersebut. Dengan demikian, tes tersebut mempunyai daya
kelayakan untuk dijadikan Instrumen penelitian.
1. Uji Validitas
Validitas menurut Arikunto (2013: 211) adalah “ukuran yang
menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrumen”.
Lebih lanjut Arikunto (2013) menyebutkan bahwa instrumen yang valid
memiliki validitas tinggi, dan sebaliknya. Untuk mengetahui koefisien
validitas salah satunya dapat menggunakan rumus korelasi product
moment dari sebagai berikut:
𝑟𝑥𝑦 =𝑁 ∑ 𝑋𝑌 − (∑ 𝑋)(∑ 𝑌)
√{𝑁 ∑ 𝑋2 − (∑ 𝑋)2
} {𝑁 ∑ 𝑌2 − (∑ 𝑌)2
}
(Arikunto, 2013: 213)
Keterangan:
𝑟𝑥𝑦 ∶ koefisien korelasi antara variable Y dan X
𝑁 ∶ jumlah siswa
𝑋 ∶ skor setiap butir soal masing-masing siswa
𝑌 ∶ skor total masing-masing siswa
Untuk mengetahui interpretasi mengenai kriteria dari besarnya
koefisien validitas, digunakan kriteria dari Suherman (Sulastri, 2009: 28)
yang terlihat seperti berikut ini.
Tabel L.1.
Interpretasi Koefisien Korelasi
Nilai 𝒓𝒙𝒚 Interpretasi
0,80 ≤ 𝒓𝒙𝒚 < 1,00 Validitas sangat tinggi
0,60 ≤ 𝒓𝒙𝒚 < 0,80 Validitas tinggi
25
Nilai 𝒓𝒙𝒚 Interpretasi
0,40 ≤ 𝒓𝒙𝒚 < 0,60 Validitas sedang
0,20 ≤ 𝒓𝒙𝒚 < 0,40 Validitas rendah
0,00 ≤ 𝒓𝒙𝒚 < 0,20 Validitas sangat rendah
𝒓𝒙𝒚 < 0,00 Tidak valid
2. Uji Reliabilitas
Arikunto (2013) menerangkan bahwa instrumen yang baik tidak
akan bersifat tendensius (menyusahkan) sehingga mengarahkan responden
memilih jawaban-jawaban tertentu. Dengan kata lain beberapa kali pun
alat ukur tersebut digunakan, hasil ukurnya sama. Untuk menentukan
koefisien reliabilitas tes, digunakan rumus Spearman-Brown, yaitu:
𝑟11 =2 × 𝑟𝑥𝑦
(1 + 𝑟𝑥𝑦)
(Arikunto, 2013: 223)
Keterangan:
𝑟11 ∶ reliabilitas instrumen
𝑟𝑥𝑦 ∶ koefisien korelasi antara variable Y dan X
Untuk mengadakan interpretasi mengenai kriteria dari besarnya
koefisien reliabilitas, maka digunakan klasifikasi menurut Guilford
(Ruseffendi, 1991) sebagai berikut:
Tabel L.2.
Klasifikasi Koefisien Reliabilitas
Nilai 𝒓𝟏𝟏 Tingkat Reliabilitas
0,00 ≤ 𝑟11 < 0,20 Kecil
0,20 ≤ 𝑟11 < 0,40 Rendah
0,40 ≤ 𝑟11 < 0,70 Sedang
0,70 ≤ 𝑟11 < 0,90 Tinggi
0,90 ≤ 𝑟11 ≤ 1,00 Sangat tinggi
26
3. Indeks Kesukaran
Suatu soal dikatakan memiliki tingkat kesukaran yang baik bila
soal tersebut terlalu mudah dan juga tidak terlalu sukar. Soal yang terlalu
mudah tidak merangsang siswa untuk memecahkannya. Melakukan
perhitungan tingkat kesukaran dimaksudkan untuk mengetahui sukar atau
mudahnya soal yang digunakan. Untuk menghitung indeks kesukaran soal
digunakan rumus sebagai berikut:
𝐼𝐾 =𝐵𝑎 + 𝐵𝑏
12 𝑁
(Ruseffendi, 1991: 202)
Keterangan:
𝐼𝐾 :Indeks kesukaran
𝐵𝑎 : Skor kelompok atas
𝐵𝑏 : Skor kelompok bawah
𝑁 : Skor keseluruhan
Klasifikasi Indeks kesukaran menurut Mudrikah (2013: 120) adalah
sebagai berikut:
Tabel L.3.
Klasifikasi Indeks Kesukaran
Nilai 𝑰𝑲 Kategori
𝐼𝐾 = 0,00 Sangat sukar
0 < 𝐼𝐾 < 0,30 Sukar
0,30 ≤ 𝐼𝐾 < 0,70 Sedang
0,70 < 𝐼𝐾 < 1,00 Mudah
𝐼𝐾 = 1 Sangat mudah
4. Daya pembeda
Daya pembeda dari butir soal menyatakan seberapa jauh
kemampuan butir soal tersebut membedakan antara siswa yang
27
mengetahui jawabannya dengan benar dengan siswa yang tidak dapat
menjawab soal tersebut. Untuk melihat daya pembeda soal digunakan
rumus sebagai berikut :
𝐷𝑃 =𝐵𝑎 − 𝐵𝑏
14 𝑁
(Ruseffendi, 1991: 202)
Keterangan:
𝐷𝑃 : Daya Pembeda
𝐵𝑎 : Skor kelompok atas
𝐵𝑏 : Skor kelompok bawah
𝑁 : Skor keseluruhan
Klasifikasi interpretasi untuk daya pembeda sebagaimana
dikemukakan oleh Ebel (Ruseffendi, 1991: 204) adalah:
Tabel L.4.
Kriteria Daya Pembeda Butir Soal
Daya Pembeda Interpretasi
0,40 dan lebih Sangat baik
0,30 – 0,39 Cukup baik
0,20 – 0,29 Minimum
0,19 ke bawah Jelek
Pengolahan data tes awal dan tes akhir
Pengolahan data tes awal dan tes akhir pada penelitian ini
menggunakan uji Wilcoxon. Penggunaan uji Wilcoxon ini dikarenakan
sampel—dalam hal ini responden—dalam penelitian ini terdiri dari satu
sampel. Everitt & Skrondal (2010) yang menyatakan
“Wilcoxon’s rank sum test: A distribution free method used as an
alternative to the Student’s t-test for assessing whether two
populations have the same location. Given a sample of observations
28
from each population, all the observations are ranked as if they were
from a singlet sample, and the test statistis W is the sum of the ranks
in the smaller group. Equivalent to The Mann–Whitney test. Tables
giving critical values of the test statistic are available, and for
moderate and large sample sizes, a normal approximation can be
used”.
Senada dengan Everitt & Skrondal, Susetyo (2012) mengartikan uji
Wilcoxon sebagai metode statistika yang dipergunakan untuk menguji
perbedaan dua buah data yang berpasangan atau menguji satu sampel dengan
menggunakan median tertentu yang akan diuji sebagai standar atau patokan.
Pada uji Wilcoxon, data asli tidak langsung dianalisis tetapi menggunakan
selisih kedua skor kemudian dilakukan ranking.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam uji Wilcoxon pada penelitian
ini diadopsi dari Susetyo (2012), yang mana terurai sebagai berikut ini.
1. Memberi harga mutlak pada setiap selisih pasangan data. Harga mutlak
diberikan dari yang terkecil hingga yang terbesar atau sebaliknya. Harga
mutlak terkecil diberi nomor urut atau ranking satu, kemudian selisih yang
berikutnya diberikan nomor urut atau ranking dua, dan seterusnya.
2. Setiap selisih pasangan diberi tanda positif dan negatif. Tanda positif dan
negatif dari selisih pasangan data yang kemudian diranking inilah yang
menjadi unsur utama dalam analisis.
3. Menghitung jumlah ranking yang bertanda positif dan negatif.
4. Selisih tanda ranking yang terkecil atau sesuai dengan arah hipotesis,
diambil sebagai harga mutlak dan diberi notasi dengan huruf J. Harga
mutlak terkecil (J) dijadikan dasar untuk pengujian hipotesis dengan
melakukan perbandingan dengan tabel yang dibuat khusus untuk uji
Wilcoxon.
Pengolahan data lembar observasi
Lembar observasi digunakan untuk melihat kesesuaian pelaksanaan
pembelajaran dengan model yang digunakan. Observasi yang digunakan
dalam penelitian ini adalah observasi sistematis, yaitu observasi yang
29
dilakukan observator dengan menggunakan pedoman sebagai instrumen
pengamatan.
Pengolahan data angket
Penggunaan angket ditujukan untuk melihat respons siswa terhadap
produk—bahan ajar—yang dikembangkan. Untuk menganalisis hasil data
angket digunakan persamaan berikut ini. Angket terdiri dari pernyataan
tertutup yang mana responden tinggal memilih jawaban yang disediakan oleh
peneliti.
Adapun skala yang digunakan dalam mengolah data angket ini adalah
skala Likert. Hal ini sesuai dengan pendapat Sugiyono (2014) yang
menyatakan bahwa skala Likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat,
dan/atau persepsi seseorang atau sekelompok orang terkait fenomena sosial.
Jawaban responden terhadap setiap instrumen yang menggunakan skala Likert
memiliki gradasi dari positif hingga negatif.
Berdasarkan gradasi tersebut, pernyataan dalam angket pada
penelitian ini terdiri dari dua kategori besar, yaitu pernyataan positif dan
pernyataan negatif. Adapun untuk pemberian skor pada masing-masing
kelompok pernyataan disajikan dalam tabel berikut ini.
Tabel L.5.
Skor terhadap Jawaban Responden pada Angket
Pilihan Jawaban Skor pada pernyataan
Positif Negatif
SS (Sangat Setuju) 5 1
S (Setuju) 4 2
TS (Tidak Setuju) 2 4
STS (Sangat Tidak Setuju) 1 5
(Sugiyono, 2014)
30
Pengolahan lembar validasi dan jurnal
Teknik yang digunakan untuk mengolah kedua alat pengumpul data
ini adalah dengan menggunakan teknik analisis deskriptif. Teknik ini
digunakan dengan kenyataan bahwa data yang terkumpul berupa isian
(pernyataan terbuka).
M. JADWAL KEGIATAN
No Uraian Kegiatan Des Jan Peb Mar
1 2 3 4 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
1 Pengajuan judul
2 Pembuatan instrumen dan
bahan ajar
3 Finishing bahan ajar
4 Validasi
5 Perbaikan desain
6 Uji coba produk
7 Revisi
8 Uji coba pemakaian
9 Revisi akhir
10 Penyusunan skripsi
11 ujian komprehensif
12 Sidang skripsi
N. DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Z. (2012). Penelitian Pendidikan Metode dan Paradigma Baru.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Arikunto, S. (2013). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:
PT Rineka Cipta.
Bruner, J. S. (1961). The act of discovery. (Ed. Rev., v. 31, pp. 21-32).
Cambridge: Harvard University Press. [Online]. Tersedia: https://
31
esci310-civicscienceeducation.wikispaces.com/file/links/The+Act+of+
Discovery-Bruner.pdf. [12 Desember 2014]
Cahyo, A. N. (2013). Panduan Aplikasi Teori-Teori Belajar Mengajar
Teraktual dan Terpopuler. Jogjakarta: Diva Press.
Darmawan, D. (2013). Metode Penelitian Kuantitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Depdiknas (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Depdiknas.
Echols, J. M. & Shadily, H. (2003). Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: PT
Gramedia
Elliott, P. C. & Kenney, M. J. (1996). Communicatioin in Matehmatics, K-12
and Beyond. Yearbook. Reston, Virginia: NCTM Inc.
Everitt, B. S. & Skrondal, A. (2010). The Cambridge Dictionary of Statistics
Fourth Edition. Cambridge: Cambridge University Press.
Flick, U. (2009). An Introduction to Qualitative Research 4th Edition SAGE.
London: SAGE 2009. [Online]. Tersedia: http://en.bookfi.org/book/
15053 87 [21 September 2014]
Gall, M. D., Gall, J. P., & Borg, W. R. (2003). Educational Research An
Introduction Seventh Edition. Boston: Longman.
Gardenia, N. (2013). Peningkatan Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi
Matematis Siswa SMK Melalui Pembelajaran Konstruktivisme Model
Needham. Tesis pada PPS UPI. Bandung: Tidak diterbitkan. [Online].
Tersedia: http://repository.upi.edu/2281/4/T_MTK_1101617_Chapter1
.pdf [11 November 2014].
Majid, A. (2011). Perencanaan Pembelajaran Mengembangkan Standar
Kompetensi Guru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
________ . (2013). Strategi Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Moleong, L. J. (2001). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Mudrikah, A. 2013. Pembelajaran Berbasis Masalah Berbantuan Komputer
untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi, Pemecahan Masalah,
dan Disposisi Matematik Siswa Sekolah Menengah Atas. Tesis pada
PPS UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.
National Council of Teachers of Mathematics. (2000). Principles and
standarts for school mathematics. Reston, Virginia: NCTM Inc.
32
Nopiyani, D. (2013). Penerapan Pembelajaran Matematika Realistik
Berbantuan Geogebra untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi
Matematis Siswa SMP. Tesis pada PPS UPI. Bandung: Tidak
diterbitkan. [Online]. Tersedia: http://repository.upi.edu/596/4/S_
MTK_0901957_CHAPTER1.pdf [11 November 2014].
Permendikbud RI. (2013). Salinan Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2013. Jakarta:
Kemendikbud RI.
________ . (2013). Salinan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2013. Jakarta: Kemendikbud RI.
________ . (2013). Salinan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 2013. Jakarta: Kemendikbud RI.
________ . (2013). Salinan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2013. Jakarta: Kemendikbud RI.
________ . (2014). Salinan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia Nomor 103 Tahun 2014. Jakarta: Kemendikbud RI.
[Online]. Tersedia: https://drive.google.com/folderview?id=0B_RtEW
_7CflTLURpdUh4TWZfS1U&usp=drive_web. [14 November 2014].
Pratowo, A. (2013). Panduan Kreatif Membuat Bahan Ajar Inovatif
Menciptakan Metode Pembelajaran yang Menarik dan Menyenangkan.
Jogjakarta: Diva Press.
Putera, N. (2012). Research and Development: Suatu Pengantar. Jakarta:
Rajawali Pers.
Ruseffendi, E. T. (1991). Penilaian Pendidikan dan Hasil Belajar Siswa
Khususnya dalam Pengajaran Matematika untuk Guru dan Calon Guru.
Diktat. Bandung: IKIP.
Stake, R. E. (2010). Qualitative Research Studying How Things Work. New
York: The Guilford Press.
Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif, dan R & D. Bandung: Alfabeta.
Sulastri, Y., L. (2009). Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis
Melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Pendidikan Matematika
Realistik Siswa Sekolah Menengah Pertama di Kabupaten Bandung.
Tesis pada PPS UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.
Sumarmo, U. (2014). Berpikir dan Disposisi Matematik serta
Pembelajarannya. Bandung: FPMIPA UPI.
33
Susetyo, B. (2012). Statistika untuk Analisis Data Penelitian Dilengkapi Cara
Perhitungan dengan SPSS dan MS Office Excel. Bandung: Refika
Aditama.