Proposal Skripsi

34
Pengembangan Bahan Ajar Matematika Materi Turunan dengan Model Discovery Learning untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa SMA PROPOSAL Diajukan untuk penyusunan skripsi di Program Studi Pendidikan Matematika Oleh AHMAD SALMUN NIM. 41032151111007 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS ISLAM PUTERANTARA BANDUNG 2014

description

Contoh proposal skripsi

Transcript of Proposal Skripsi

Page 1: Proposal Skripsi

Pengembangan Bahan Ajar Matematika Materi Turunan

dengan Model Discovery Learning untuk Meningkatkan

Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa SMA

PROPOSAL

Diajukan untuk penyusunan skripsi

di Program Studi Pendidikan Matematika

Oleh

AHMAD SALMUN

NIM. 41032151111007

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS ISLAM PUTERANTARA

BANDUNG

2014

Page 2: Proposal Skripsi

1

A. JUDUL

Pengembangan Bahan Ajar Matematika Materi Turunan dengan Model

Discovery Learning untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis

Siswa SMA

B. LATAR BELAKANG MASALAH

Pembelajaran merupakan sebuah kegiatan yang di dalamnya terjadi

proses transfer ilmu pengetahuan dan pengalaman dari pengajar terhadap

pembelajar—peserta didik. Bersandar pada pernyataan ini, maka pembelajaran

matematika merupakan proses transfer ilmu pengetahuan dan pengalaman

pengajar terkait mata pelajaran matematika terhadap peserta didik. Merujuk

pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

nomor 67, 68, 69, dan 70 tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur

Kurikulum SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA dan SMK/MAK, dalam Kurikulum

2013 mata pelajaran matematika termasuk ke dalam Struktur Kurikulum.

Berkenaan dengan Kurikulum 2013, pemerintah mencanangkan agar

pembelajaran mencapai aspek kognitif, afektif, dan keterampilan. Oleh karena

itu, pendekatan pembelajaran yang digunakan dalam Kurikulum 2013 adalah

pendekatan saintifik. Dalam pendekatan saintifik, tahapan-tahapan

pembelajaran yang dilakukan adalah mengamati, menanya, menalar, mencoba,

dan mengomunikasikan. Untuk menunjang pendekatan saintifik, maka

berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik

Indonesia nomor 103 tahun 2014 tentang Pembelajaran pada Pendidikan

Dasar dan Pendidikan Menengah, model pembelajaran yang digunakan dalam

Kurikulum 2013 harus sesuai dengan karakteristik pembelajaran berbasis

aktivitas. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik

Indonesia nomor 103 tahun 2014 Pasal 2 disebutkan bahwa karakteristik

pembelajaran berbasis aktivitas adalah: (1) interaktif dan inspiratif; (2)

menyenangkan, menantang, dan memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi

aktif; (3) kontekstual dan kolaboratif; (4) memberikan ruang yang cukup bagi

prakarsa, kreativitas, dan kemandirian peserta didik; dan (5) sesuai dengan

Page 3: Proposal Skripsi

2

bakat, minat, kemampuan, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta

didik. Salah satu model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik

pembelajaran berbasis aktivitas adalah discovery learning.

Berlandaskan pada tahapan dalam pendekatan saintifik, peserta didik

dituntut untuk mampu mengomunikasikan pengetahuan dan pengalamannya.

Dengan demikian, dalam pembelajaran matematika dengan pendekatan

saintifik peserta didik dituntut mampu mengomunikasikan pengetahuan dan

pengalamannya terkait konsep-konsep dan ide-ide matematika yang telah

diperolehnya. Berdasarkan pandangan ini, maka peserta didik harus memiliki

kemampuan komunikasi matematis.

Temuan di lapangan menunjukkan bahwa kemampuan komunikasi

matematis siswa tergolong rendah. Hal ini tampak pada studi Rohaeti

(Nopiyani, 2013) yang menyatakan bahwa kemampuan komunikasi matematis

siswa dalam kategori kurang. Studi Rohaeti nyatanya diperkuat oleh hasil

penelitian Sobaningsih, Arvianto, dan Angraeni (Gardenia, 2013) yang

memperlihatkan bahwa kemampuan komunikasi siswa jenjang sekolah

menengah atas tergolong rendah meskipun penelitiannya menunjukkan

keberhasilan peningkatan kemampuan komunikasi matematis.

Serupa dengan penelitian Wulanratmini (Gardenia, 2013) yang

menunjukkan bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa salah satu

SMA di Bandung tergolong rendah, kemampuan komunikasi matematis siswa

SMA Negeri 21 Bandung tergolong rendah pula. Penyimpulan ini diambil

berdasarkan hasil observasi ketika melakukan kegiatan praktik pada Program

Pengalaman Lapangan Kependidikan di kelas X IIS 2. Pada tes formatif yang

di dalamnya terdapat soal yang mengarah pada kemampuan komunikasi

matematis, hasil dari kebanyakan siswa di bawah KKM di mana KKM yang

diberlakukan adalah 75.

Salah satu faktor penyebab rendahnya kemampuan komunikasi

matematis siswa di SMA Negeri 21 Bandung adalah sumber belajar yang

digunakan. Guru cenderung menggunakan sumber belajar seadanya sehingga

pembelajaran terasa monoton. Padahal banyak sekali hal yang dapat dijadikan

Page 4: Proposal Skripsi

3

sumber belajar. Terakait sumber belajar, Pratowo (2013) mengategorikan

sumber belajar menjadi sumber belajar yang didesain dan sumber belajar yang

tidak didesain. Perbedaan dari keduanya terletak pada unsur ada atau tidaknya

proses perancangan dan kesengajaan menjadikan sumber belajar tersebut

untuk pembelajaran.

Berbicara sumber belajar yang didesain, bahan ajar menjadi salah satu

jenisnya karena pada dasarnya bahan ajar dibuat dan dirancang dengan

sengaja untuk proses pembelajaran. Oleh karena itu, sebagai sumber belajar

tentunya bahan ajar menjadi salah satu faktor berhasil atau tidaknya suatu

proses pembelajaran. Dengan demikian, pembelajaran yang baik harus

ditunjang dengan bahan ajar yang baik juga.

Salah satu kriteria bahan ajar yang baik adalah bahan ajar yang dapat

diimplementasikan berdasarkan kurikulum yang sedang berjalan. Hal ini

dimaksudkan agar terdapat kesinkronan antara sumber belajar dengan sistem

belajar sehingga pembelajaran dapat berjalan dengan baik dan efektif.

Berkaitan dengan ini, maka bahan ajar yang digunakan harus sesuai dengan

Kurikulum 2013.

Bersebrangan dengan yang seharusnya, bahan ajar yang digunakan

saat ini masih memiliki beberapa konsep yang keliru dan/atau belum menuju

kepada konsep yang akan diajarkan. Selain itu, bilamana dipandang dari segi

model pembelajaran yang harus dilakukan dalam Kurikulum 2013, maka

bahan ajar yang digunakan di kelas belum mencerminkan implementasi dari

model-model yang seharusnya. Oleh karena itu, tidak heran apabila

penggunaan model-model dalam Kurikulum 2013 dirasa sulit. Akhirnya,

pembelajaran yang terjadi masih merupakan pembelajaran yang masih

terpusat pada guru (teacher centred learning).

Sumarmo (2014) menguraikan bahwa kegiatan yang tergolong ke

dalam komunikasi matematis di antaranya adalah: (1) menyatakan suatu

situasi, gambar, diagram, atau benda nyata ke dalam bahasa, simbol, ide, atau

model matematik; (2) menjelaskan ide, situasi, dan relasi matematik secara

lisan atau tulisan; (3) mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang

Page 5: Proposal Skripsi

4

matematika; (4) membaca tentang pemahaman suatu representasi matematika;

(5) memperkirakan konjektur, menyusun argumen, merumuskan definisi, dan

generalisasi; serta (6) mengungkapkan kembali suatu uraian matematika

dalam bahasa sendiri. Kegiatan-kegiatan ini akan berjalan apabila siswa

dengan sendirinya menemukan konsep dan ide-ide matematika. Dengan

demikian, model pembelajaran yang dapat disandingkan dengan bahan ajar

yang mampu meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa salah

satunya adalah discovery learning.

Berdasarkan temuan ini, dipandang perlu adanya pengembangan

bahan ajar yang dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis

siswa. Oleh karena itu, bahan ajar ini harus sejalan dengan tahapan-tahapan

pada pendekatan saintifik. Dengan demikian, bahan ajar ini harus dapat

diimplementasikan menggunakan model discovery learning.

C. PERUMUSAN DAN PEMBATASAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana mengembangkan bahan ajar matematika materi turunan

dengan model discovery learning?

2. Apakah penggunaan bahan ajar matematika materi turunan dengan model

discovery learning dapat meningkatkan kemampuan komunikasi

matematis siswa?

3. Bagaimana respons siswa terhadap bahan ajar matematika materi turunan

dengan model discovery learning?

Melihat pada latar belakang masalah, dapat ditemukan bahwa

permasalahan utama siswa dalam pembelajaran matematika adalah bahan

belajar yang belum menunjang proses pembelajaran dengan model discovery

learning sehingga kemampuan komunikasi matematis siswa masih rendah.

Dengan demikian, untuk menghindari perluasan pengkajian maka penelitian

ini dibatasi pada hal-hal berikut.

Page 6: Proposal Skripsi

5

1. Penelitian dilaksanakan di Kelas XI MIA 2 SMAN 21 Bandung pada

semester 2.

2. Bahan ajar yang dikembangkan adalah buku teks yang berisikan materi

pembelajaran turunan.

3. Variabel yang diamati adalah kemampuan komunikasi matematis siswa.

D. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

Dengan berpedoman pada rumusan masalah yang telah dikemukakan,

maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Mengembangkan bahan ajar matematika materi turunan dengan model

discovery learning.

2. Mengetahui apakah penggunaan bahan ajar matematika materi turunan

dengan model discovery learning dapat meningkatkan kemampuan

komunikasi matematis siswa.

3. Mengetahui respon siswa terhadap bahan ajar matematika materi turunan

dengan model discovery learning.

Bilamana penelitian ini berhasil, maka diharapkan dapat memberikan

manfaat sebagai berikut.

1. Peneliti: pengalaman baru dalam membuat dan mengimplementasikan

bahan ajar matematika materi turunan dengan model discovery learning.

2. Guru: masukan agar lebih inovatif dan kreatif dalam melaksanakan

pembelajaran, khususnya pembelajaran matematika materi turunan.

3. Siswa: dapat menambah pengalaman baru dalam pembelajaran

matematika menggunakan bahan ajar dengan model discovery learning.

E. DEFINISI OPERASIONAL

Untuk menghindari adanya multi-tafsir terhadap penelitian ini, maka

beberapa istilah terkait judul dalam penelitian ini kiranya perlu dijelaskan.

Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut.

1. Bahan ajar adalah segala bahan (baik informasi, alat, maupun teks) yang

disusun secara sistematis, yang menampilkan sosok utuh dari kompetensi

Page 7: Proposal Skripsi

6

yang akan dikuasai peserta didik dan digunakan dalam proses

pembelajaran dengan tujuan perencanaan dan penelaahan impelementasi

pembelajaran.

2. Model Discovery Learning adalah pembelajaran yang mengatur proses

pembelajaran sedemikian rupa sehingga peserta didik memperoleh

pengetahuan (yang sebelumnya belum diketahui) tidak melalui

pemberitahuan, tetapi ditemukan sendiri. Dengan demikian, pembelajaran

dilakukan dengan tidak memberikan hasil final, tetapi peserta didik

didorong untuk menemukan konsep yang berkaitan dengan sendirinya.

3. Komunikasi matematis adalah, proses mengomunikasikan ide-ide dan

konsep-konsep matematik kepada orang lain secara lisan maupun tulisan

sehingga ide-ide tadi semakin jelas baik bagi dirinya maupun bagi orang

lain. Dengan demikian, peserta didik dalam hal ini tengah mencoba

melakukan proses berpikir dan bernalar tentang suatu ide dan konsep

matematik

F. ANGGAPAN DASAR

1. Guru mampu melaksanakan pembelajaran menggunakan model discovery

learning.

2. Jika siswa mampu memverifikasi maka siswa mampu menjelaskan ide,

situasi, dan relasi matematika secara lisan atau tulisan.

3. Jika siswa mampu mengeneralisasi maka siswa mampu mengungkapkan

kembali suatu uraian atau paragraf matematika dalam bahasa sendiri.

G. TINJAUAN PUSTAKA

Pembelajaran Matematika

Pembelajaran merupakan sebuah kegiatan yang di dalamnya terjadi

proses transfer ilmu pengetahuan dan pengalaman dari pengajar terhadap

pembelajar—peserta didik. Dengan demikian, pembelajaran memiliki dua

dimensi yang berbeda, yaitu belajar dan mengajar. Belajar memberikan arti

Page 8: Proposal Skripsi

7

bahwa pelaku kegiatan ini adalah peserta didik, sedangkan mengajar

memberikan arti bahwa pelaku aktivitas ini adalah guru.

Berkaitan dengan proses transfer ilmu pengetahuan dan pengalaman,

pada hakikatnya peserta didik bukanlah seonggok ‘tong kosong’ yang belum

terisi apapun. Mereka memiliki pengetahuan dan pengalaman masing-masing

yang kiranya dapat dijadikan sebagai ‘debit minimal’ untuk menerima transfer

pengetahuan dan pengalaman tersebut. Maka dari itu, alangkah baiknya

bilamana pelaku dalam pembelajaran ini adalah peserta didik sendiri. Dalam

hal ini, guru menjadi fasilitator dan motivator dalam pembelajaran.

Berelasi dengan uraian di atas, pembelajaran mengandung makna

sebagaimana diungkapkan oleh Majid (2013: 4), yakni upaya untuk

membelajarkan seseorang atau sekelompok orang melalui berbagai upaya

(effort) dan strategi, serta metode dan pendekatan ke arah pencapaian tujuan

yang telah direncanakan. Dengan demikian, pembelajaran matematika

memiliki makna sebagai upaya untuk membelajarkan peserta didik dengan

berbagai upaya dan strategi, serta metode dan pendekatan ke arah pencapaian

tujuan pembelajaran matematika yang telah direncanakan. Tujuan tersebut

salah satunya terurai dalam Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang

Standar Isi Mata Pelajaran Matematika (Depdiknas, 2006):

1. memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan

antarkonsep, dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara

luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah;

2. menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi

matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau

menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika;

3. memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami

masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model, dan

menafsirkan solusi yang diperoleh;

4. mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau

media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah;

5. memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan,

yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam

mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam

pemecahan masalah.

Page 9: Proposal Skripsi

8

Discovery Learning

Secara harfiah, discovery learning terdiri dari dua kata yang berbeda

yaitu discovery yang berarti penemuan/pendapatan (Echols & Shadily, 2003),

dan learning yang berarti pembelajaran/pengetahuan (Echols & Shadily,

2003). Dengan demikian discovery learning berarti pembelajaran penemuan.

Implikasi pengertian ini terhadap proses pembelajaran adalah pembelajaran

dilakukan dengan tidak memberikan hasil final, tetapi peserta didik didorong

untuk menemukan konsep yang berkaitan dengan sendirinya.

Cahyo (2013) mengutarakan bahwa model pembelajaran berbasis

penemuan atau discovery learning merupakan model pembelajaran yang

mengatur proses pembelajaran sedemikian rupa sehingga peserta didik

memperoleh pengetahuan (yang sebelumnya belum diketahui) tidak melalui

pemberitahuan, tetapi ditemukan sendiri. Definisi ini memberikan pengertian

bahwa menemukan di sini bukan menemukan hal atau konsep yang benar-

benar baru, tetapi menemukan kembali (reinventing) hal-hal atau konsep-

konsep yang sebelumnya sudah ada.

Discovery learning mendesain pembelajaran sedemikian rupa sehingga

peserta didik dapat menemukan kembali konsep-konsep dan prinsip-prinsip

melalui proses mentalnya sendiri. Asumsi ini merupakan implikasi dari

pendapat Bruner (1961) yang mengutarakan bahwa tugas guru adalah

memberikan pengarahan dan mendorong peserta didik agar mereka dapat

mengurus kebutuhan belajarnya sendiri. Dalam menemukan konsep, aktivitas

yang dilakukan peserta didik adalah: (1) mengamati; (2) menggolongkan; (3)

membuat dugaan; (4) menjelaskan; dan (5) menarik kesimpulan (Cahyo,

2013).

Sebagai model pembelajaran, discovery memiliki prinsip yang sama

dengan inkuiri dan problem solving—tidak ada perbedaan yang prinsipil pada

ketiga istilah ini. Discovery learning lebih menekankan pada ditemukannya

konsep atau prinsip yang sebelumnya sudah ada dan belum diketahui.

Sedangkan pada inkuiri, peserta didik benar-benar menemukan konsep baru

Page 10: Proposal Skripsi

9

yang sebelumnya tidak ada. Pada discovery masalah yang disajikan adalah

masalah yang telah direkayasa oleh guru sedangkan pada inkuiri dan problem

solving, masalah yang disajikan bukan masalah rekayasa (SUMBER???).

Berdasarkan uraian di atas, prinsip belajar dalam discovery learning

adalah materi atau bahan pelajaran yang akan disampaikan tidak disampaikan

dalam bentuk final melainkan melalui proses yang aktif. Dalam hal ini peserta

didik didorong untuk mengidentifikasi apa yang ingin diketahui dilanjutkan

dengan mencari informasi sendiri kemudian mengorganisasi atau membentuk

(konstruktif) apa yang mereka ketahui dan mereka pahami dalam suatu bentuk

akhir. Dengan demikian, peserta didik secara aktif mengonstruksi

penglamannya dengan menghubungkan pengetahuan baru dengan internal

modal atau struktur kognitif yang telah dimilikinya.

Langkah pembelajaran dalam discovery learning terdiri dari dua tahap,

yaitu persiapan dan prosedur aplikasi. Tahap persiapan sebagaimana diuraikan

oleh Bruner (1961) adalah: a) menentukan tujuan pembelajaran; b) melakukan

identifikasi karakteristik siswa (kemampuan awal, minat, gaya belajar, dan

sebagainya); c) memilih materi pelajaran; d) menentukan topik-topik yang

harus dipelajari peserta didik secara induktif; e) mengembangkan bahan-bahan

belajar yang berupa contoh-contoh, ilustrasi, tugas, dan sebagainya untuk

dipelajari siswa; f) mengatur topik-topik pelajaran dari yang sederhana ke

kompleks, dari yang konkret ke abstrak, dari tahap enaktif, ikonik, sampai ke

simbolik; dan g) melakukan penilaian proses dan hasil belajar peserta didik.

Tahap kedua—prosedur aplikasi—diuraikan oleh Syah (Cahyo, 2013) yaitu

stimulation (pemberian rangsangan), problem statement (identifikasi masalah),

data collection (pengumpulan data), data processing (pengolahan data),

verification (pembuktian), dan generalization (generalisasi/menarik

kesimpulan).

Pada tahap stimulation (pemberian rangsangan) peserta didik

dihadapkan pada permasalahan yang telah dimanipulasi/direkayasa oleh guru.

Salah satu hal yang dapat dilakukan guru dalam langkah ini adalah

mengajukan pertanyaan, anjuran membaca buku, dan aktivitas belajar lainnya

Page 11: Proposal Skripsi

10

yang mengarah pada persiapan pemecahan masalah. Pemberian rangsangan

pada tahap ini berfungsi untuk menyediakan kondisi interaksi belajar yang

dapat mengembangkan dan membantu siswa dalam mengeksplorasi

pengetahuan.

Setelah memberikan rangsangan, langkah selanjutnya problem

statement (identifikasi masalah). Pada tahap ini, guru memberi kesempatan

kepada peserta didik untuk mengidentifikasi masalah yang relevan dengan

bahan pelajaran. Memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk

mengidentifikasi dan menganalisa permasalahan merupakan teknik yang

berguna dalam membangun kebiasaan mereka untuk menemukan suatu

masalah.

Ketika eksplorasi berlangsung, guru memberikan kesempatan kepada

peserta didik untuk mengumpulkan informasi— data collection (pengumpulan

data)—yang relevan terkait pelajaran yang sedang dilaksanakan. Tahap ini

berfungsi memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengumpulkan

berbagai data/informasi yang relevan, membaca literatur, mengamati objek,

melakukan uji coba sendiri, dan sebagainya. Konsekuensi dari tahap ini adalah

peserta didik belajar secara aktif untuk menemukan sesuatu yang berhubungan

dengan permasalahan yang dihadapi.

Tahap data processing (pengolahan data) merupakan kegiatan

mengolah data dan/atau informasi yang telah diperoleh peserta didik untuk

kemudian ditafsirkan olehnya. Semua data dan/atau informasi diolah,

diklasifikasikan, ditabulasi, dan kemudian ditafsirkan.

Setelah data diolah maka peserta didik melakukan verification

(pembuktian). Dalam tahap ini hal yang dilakukan peserta didik adalah

memeriksa secara cermat untuk membuktikan benar atau tidaknya proses

pengolahan data yang telah mereka lakukan. Jika guru memberikan

kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau

pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya maka

proses belajar akan berjalan dengan baik.

Page 12: Proposal Skripsi

11

Berdasarkan hasil verifikasi/pembuktian maka dirumuskanlah prinsip-

prinsip yang mendasari generalisasi (generalization). Tahap

generalisasi/menarik kesimpulan adalah proses menarik sebuah kesimpulan

yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua konsep,

kejadian, atau masalah.

Bahan Ajar Matematika

Kesahihan informasi bergantung pada kesahihan sumber informasi itu

sendiri. Oleh karena itu, sumber informasi menjadi hal yang krusial dalam

konteks ini. Bilamana sumbernya tidak sahih, maka informasi yang

disampaikan juga tidak sahih.

Uraian di atas kiranya berimplikasi pada proses pembelajaran karena

pada hakikatnya pembelajaran merupakan proses transfer informasi—ilmu

pengetahuan dan pengalaman. Dengan demikian, pembelajaran membutuhkan

sumber informasi yang sahih. Sumber informasi tersebut dalam hal ini adalah

sumber belajar. Dengan adanya sumber, mencegah terjadinya miss-concepting

yang dapat mengakibatkan terjadinya miss-perception.

Berkenaan dengan sumber belajar kiranya banyak sekali hal yang

dapat dijadikan sebagai sumber belajar. Bertalian dengan asumsi ini, Pratowo

(2013) mengategorikan bahan ajar menurut bentuknya menjadi lima jenis

yaitu: lingkungan, benda, orang, buku, dan peristiwa.

Lingkungan dikatakan sebagai sumber belajar bilamana lingkungan

tersebut dapat digunakan sebagai tempat untuk belajar. Misalnya,

perpustakaan, museum, taman, dan lain-lain. Tidak jauh berbeda dengan

lingkungan, benda yang dapat dijadikan sebagai sumber belajar apabila benda

tersebut dapat digunakan dalam pembelajaran. Misalnya, bangunan sekitar,

candi, artefak, dan lain sebagainya. Orang sebagai sumber belajar adalah siapa

saja yang dapat memberikan informasi terkait ilmu pengetahuan dan

pengalaman yang dibutuhkan. Beberapa contoh dalam hal ini adalah guru, ahli

pendidikan, ahli goelogi, politisi, peneliti, dan lainnya. Begitu halnya dengan

guru, buku yang dapat dijadikan sebagai sumber belajar adalah segala bentuk

Page 13: Proposal Skripsi

12

buku yang memberikan informasi pengetahuan yang dibutuhkan. Jenis

terakhir dari sumber belajar berdasarkan bentuknya adalah peristiwa. Peristiwa

di sini misalnya peristiwa bencana.

Selain dipandang dari bentuknya, ternyata Association of Educational

Communication and Technology mengategorikan sumber belajar berdasarkan

tujuan pembuatannya menjadi sumber belajar yang dirancang atau resources

by design dan sumber belajar yang dimanfaatkan atau resources by utilization

(Pratowo, 2013). Sumber belajar yang dirancang berarti sumber belajar yang

dengan sengaja didesain sedemikian rupa sehingga dapat diaplikasikan dalam

pembelajaran. Contoh sumber belajar dalam jenis ini adalah Lembar Kerja

Siswa, Buku Paket, Modul, e-Book/DigiBook, e-Pub, dan lain sebagainya.

Sedangkan sumber belajar yang dimanfaatkan dapat ditafsirkan sebagai

sumber belajar yang ada di sekitar lingkungan tempat belajar, semisal lukisan

dinding, jam dinding, meja, kursi, dan masih banyak lagi.

Bertalian dengan sudut pandang sumber belajar dari bentuknya pada

jenis keempat, juga sumber belajar dari tujuan pembuatannya pada bagian

pertama memberikan pandangan bahwa buku teks merupakan sumber belajar.

Buku teks ini merupakan barang yang sengaja dibuat secara sistematis serta

sudah siap digunakan dalam pembelajaran sehingga dapat disebut sebagai

bahan ajar.

Majid (2011) mengutarakan bahwa bahan ajar merupakan segala

bentuk bahan yang digunakan untuk membantu guru/instruktor dalam

melaksanakan pembelajaran. Lebih lugas lagi, Pratowo (2013: 17)

menguraikan “bahan ajar merupakan informasi, alat, dan/atau teks yang

disusun secara sistematis, yang menampilkan sosok utuh dari kompetensi yang

akan dikuasai peserta didik dan digunakan dalam proses pembelajaran dengan

tujuan perencanaan dan penelaahan implementasi pembelajaran”. Dengan

demikian, bahan ajar matematika berarti segala bentuk informasi, alat,

dan/atau teks yang berisikan ide-ide dan konsep-konsep matematika, disusun

secara sistematis, menampilkan sosok utuh dari kompetensi yang akan

dikuasai peserta didik, dan digunakan untuk membantu guru dalam

Page 14: Proposal Skripsi

13

melaksanakan pembelajaran matematika dengan tujuan perencanaan dan

penelaahan implementasi pembelajaran matematika.

Bilamana ditinjau dari pengertian yang diajukan oleh Majid dan

Pratowo ini, kiranya bahan ajar memiliki jenis-jenisnya yang lebih khusus.

Jenis-jenis bahan ajar tersebut terlebih dahulu disebutkan oleh Majid (2011),

yaitu: (1) bahan ajar cetak (printed), contohnya adalah buku matematika,

ensiklopedia matematika, berita-berita terkait matematikawan, dan lain-lain;

(2) bahan ajar dengar (Audio), misalnya dubbing penjelasan materi

matematika; (3) bahan ajar pandang dengar (Audio visual), misalnya video

pengerjaan soal-soal matematika, video pembelajaran matematika, atau

tayangan guru yang sedang mengajarkan salah satu konsep matematika; dan

(4) bahan ajar interaktif (interactive teaching materials) seperti multimedia

animasi matematika.

Dari keempat jenis bahan ajar yang disebutkan oleh Majid, Pratowo

(2013) ternyata mengelompokkan jenis bahan ajar ke dalam tiga kelompok

besar. Pengelompokan ini terdiri dari bahan ajar menurut bentuknya, menurut

cara kerjanya, dan menurut sifatnya.

Jenis bahan ajar menurut bentuknya sebagaimana telah diuraikan

sebelumnya oleh Majid. Bahan ajar yang masuk pada kelompok kedua—

menurut cara kerjanya—terdiri dari: (1) bahan ajar yang tidak diproyeksikan,

yakni bahan ajar yang tidak memerlukan perangkat untuk memproyeksikan

isinya sehingga peserta didik dapat menggunakannya secara langsung; (2)

bahan ajar yang diproyeksikan, yakni bahan ajar yang memerlukan perangkat

untuk memproyeksikannya agar peserta didik dapat menggunakannya; (3)

bahan ajar audio, yaitu bahan ajar yang telah dikemas dalam sebuah

perangkat—media rekam, sehingga untuk menggunakannya dibutuhkan alat

seperti tape compo, CD/VCD Player, Multimedia Pleayer, dan lain

sebagainya; (4) bahan ajar video, bahan ajar ini hampir mirip dengan jenis

sebelumnya yakni memerlukan perangkat pemutar/pemain (player) untuk

menggunakannya. Misalnya VCD Player, DVD Player, video tape player, dan

lain-lain; dan (5) bahan ajar berbantuan media komputer, yaitu bahan ajar non-

Page 15: Proposal Skripsi

14

cetak yang menggunakan fasilitas komputer dalam penggunaannya. Anggota

kelompok terakhir—bahan ajar menurut sifatnya—adalah bahan ajar berbasis

cetak, bahan ajar berbasis teknologi, bahan ajar yang digunakan untuk praktik

proyek, dan bahan ajar yang digunakan dalam interaksi sosial.

Berdasarkan jenis-jenis bahan ajar yang telah diuraikan di atas, maka

paling tidak bahan ajar mencakup unsur-unsur yang terdiri dari petunjuk

belajar, kompetensi yang akan dicapai, informasi pendukung, latihan-latihan,

petunjuk kerja (dapat berupa lembar kerja), dan evaluasi (Majid, 2011;

Pratowo, 2013).

Petunjuk belajar merupakan komponen utama dalam hal ini. Petunjuk

belajar meliputi petunjuk bagi pendidik dan peserta didik. Di dalamnya

dijelaskan bagaimana pendidik sebaiknya mengajarkan materi matematika

kepada peserta didik dan bagaimana pula peserta didik sebaiknya mempelajari

materi matematika yang ada dalam bahan ajar tersebut.

Komponen kedua adalah kompetensi yang akan dicapai. Maksud dari

komponen ini adalah kompetensi yang akan dicapai oleh peserta didik.

Dengan demikian, hal-hal yang harus dijelaskan dan dicantumkan dalam

bahan ajar yang akan dibuat terdiri dari kompetensi inti, kompetensi dasar,

serta indikator pencapaian hasil belajar yang harus dikuasai oleh peserta didik.

Hal ini akan membuat tujuan yang harus dicapai oleh peserta didik menjadi

semakin jelas.

Informasi pendukung merupakan berbagai informasi tambahan yang

dapat melengkapi bahan ajar. Dengan demikian peserta didik akan semakin

mudah untuk menguasai pengetahuan yang akan mereka peroleh. Selain itu,

pengetahuan yang diperoleh peserta didik pun akan semakin komprehensif.

Latihan-latihan merupakan suatu bentuk tugas belajar matematika yang

diberikan kepada peserta didik untuk melatih kemampuan matematis mereka

setelah mempelajari konsep-konsep matematika. Dengan demikian,

kemampuan yang mereka pelajari akan semakin terasah dan terkuasai secara

matang.

Page 16: Proposal Skripsi

15

Petunjuk kerja (dapat juga berupa lembar kerja) adalah satu atau

beberapa lembar kertas yang berisi sejumlah langkah prosedural mengenai

cara pelaksanaan aktivitas atau kegiatan pembelajaran matematika yang harus

dilakukan oleh peserta didik. Pada lembar kerja ini dapat berisi hal-hal yang

berkaitan dengan praktik atau yang lainnya.

Komponen terakhir yang harus dibubuhkan dalam bahan ajar adalah

evaluasi. Evaluasi merupakan salah satu bagian dari proses penilaian karena

dalam komponen ini terdapat sejumlah pertanyaan yang ditujukan kepada

peserta didik untuk mengukur seberapa jauh penguasaan kompetensi yang

berhasil dikuasainya setelah mengikuti proses pembelajaran matematika.

Dengan demikian, guru dapat mengetahui efektivitas bahan ajar yang dibuat

ataupun proses pembelajaran yang diselenggarakan pada umumnya. Jika

kemudian dipandang masih banyak peserta didik yang belum menguasai,

maka diperlukan perbaikan dan penyempurnaan bahan untuk keperluan

kegiatan pembelajaran.

Kemampuan Komunikasi Matematis

Interaksi dalam pembelajaran terjadi jika dan hanya jika terjadi proses

komunikasi di dalamnya. Demikian halnya dengan pembelajaran matematika,

prosesnya berlangsung ketika terjadi komunikasi sehingga pembendaharaan

informasi terkait topik matematika semakin bertambah. Komunikasi yang baik

berakibat pada penyampaian ide dan gagasan yang baik pula. Dengan

demikian komunikasi menjadi unsur prima dalam bermatematika.

Uraian di atas menegaskan bahwa siapa saja yang berkepentingan

dengan matematika, maka wajib baginya untuk mampu berkomunikasi. Ketika

peserta didik mencoba berpikir dan bernalar tentang suatu ide matematik,

maka ia akan mengomunikasikan ide tersebut kepada orang lain secara lisan

maupun tulisan sehingga ide-ide tadi semakin jelas baik bagi dirinya maupun

bagi orang lain (Sumarmo, 2014).

Dalam sebuah wawancara yang dilakukan oleh Elliott terhadap

Lindquist (Elliott & Kenney, 1996), diterangkan bahwa komunikasi matematis

Page 17: Proposal Skripsi

16

merupakan hal yang sangat penting yang harus dikuasai. Lindquist

melanjutkan pendapatnya bahwa bilamana kita ingin mencapai tujuan

masyarakat dalam pembelajaran seumur hidup (lifelong learning) terkait

bermatematika—siapapun kita—maka kita akan membutuhkan kemampuan

komunikasi matematis. Dengan demikian, NCTM memasukkan komunikasi

matematis menjadi salah satu dari lima kemampuan yang harus dicapai oleh

siswa dalam bermatematika.

Menurut NCTM (2000: 348) ada empat indikator dari kemampuan

komunikasi matematis, yaitu: (1) mengorganisasikan dan menggabungkan ide,

gagasan, atau pemikiran matematis secara tertulis atau lisan; (2)

mengomunikasikan ide, gagasan, atau pemikiran secara logis dan jelas kepada

teman, guru, dan orang lain; (3) menganalisa dan menilai pemikiran dan

strategi matematis orang lain; dan (4) menggunakan bahasa matematika untuk

menyatakan ide, gagasan, atau pemikiran matematika dengan tepat.

Berlainan bunyi dengan NCTM, Elliott & Kenney (1996) menguraikan

indikator kemampuan komunikasi matematik meliputi proses-proses antara

lain sebagai berikut ini.

a) Menyatakan suatu situasi atau masalah matematik atau kehidupan sehari-

hari ke dalam bentuk gambar, diagram, bahasa, atau simbol matematik,

atau model matematik.

b) Menjelaskan suatu ide matematik dengan gambar, ekspresi, atau bahasa

sendiri secara lisan maupun tulisan.

c) Membuat suatu ceritera berdasarkan gambar, diagram, atau model

matematik yang diberikan.

d) Menyusun pertanyaan tentang konten matematik yang diberikan.

Dari uraian indikator kemampuan komunikasi matematis menurut

NCTM dan Elliott & Kenney, Ross (Sumarmo, 2014: 199) mengajukan

beberapa indikator untuk mengukur kemampuan komunikasi matematik,

yaitu: mengilustrasikan situasi masalah dalam bentuk model matematik;

melukiskan suatu situasi masalah ke dalam bentuk gambar, diagram, tabel,

atau representasi aljabar; memberikan penjelasan tertulis; menggunakan

Page 18: Proposal Skripsi

17

simbol atau bahasa matematik secara tepat; dan mengungkapkan kembali

suatu uraian atau paragraf matematika dalam bahasa sendiri. Dari indikator-

indikator ini, Sumarmo (2014) menguraikan bahwa kegiatan yang tergolong

ke dalam komunikasi matematis di antaranya adalah: (1) menyatakan suatu

situasi, gambar, diagram, atau benda nyata ke dalam bahasa, simbol, ide, atau

model matematik; (2) menjelaskan ide, situasi, dan relasi matematik secara

lisan atau tulisan; (3) mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang

matematika; (4) membaca tentang pemahaman suatu representasi matematika;

(5) memperkirakan konjektur, menyusun argumen, merumuskan definisi, dan

generalisasi; serta (6) mengungkapkan kembali suatu uraian matematika

dalam bahasa sendiri. Dengan demikian, untuk mengukur kemampuan

komunikasi matematis siswa dalam penelitian ini menggunakan indikator

yang diutarakan oleh Sumarmo.

H. HIPOTESIS

Merujuk pada kajian teori yang diperoleh dari beberapa literatur maka

hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bahan ajar matematika materi turunan dengan model Discovery Learning

dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa.

2. Siswa memberikan respon positif terhadap bahan ajar matematika materi

turunan dengan model Discovery Learning.

I. PENDEKATAN, METODE, DAN DESAIN PENELITIAN

Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan kualitatif. Moleong (2001) menyebutkan bahwa terdapat beberapa

istilah untuk penelitian kualitatif, diantaranya inkuiri naturalistik, etnografi,

interaksionis simbolik, perspektif ke dalam, etnometodologi, studi kasus,

interpretatif, ekologis, dan deskriptif. Lebih jauh Bogdan dan Taylor

(Moleong, 2001) mengatakan bahwa penelitian kualitatif adalah prosedur

penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa lisan maupun tulisan dari

Page 19: Proposal Skripsi

18

orang-orang dan/atau perilaku yang dapat diamati. Akibat dari pernyataan

Bogdan dan Taylor ini memberikan pengertian terhadap penelitian kualitatif

yang diungkapkan oleh Flick (2009), di mana Flick menyatakan bahwa

penelitian kualitatif merupakan penelitian yang digunakan untuk membahas

hubungan spesifik terhadap permasalahan sosial yang nyatanya sangat

beragam.

Senada dengan Flick, Gall & Borg (2003) mengatakan bahwa

penelitian kualitatif merupakan penelitian yang berfokus pada fakta-fakta,

permasalahan, kasus-kasus, dan/atau fenomena sosial. Berdasarkan alasan ini,

Gall & Borg (2003) menyebut penelitian kualitatif sebagai studi kasus yang

memiliki karakteristik: 1) studi terhadap fenomena berfokus pada hal-hal yang

terjadi; 2) mengkaji secara mendalam mengenai kasus-kasus/permasalahan

sosial secara runtut; 3) studi terhadap fenomena terjadi dalam konteks adat

istiadat/kebiasaan/tingkah laku; dan 4) studi dilakukan terhadap persoalan

emik dan etik.

Penggunaan penelitian kualitatif ini dikarenakan dalam penelitian ini

menggunakan instrumen berupa angket, jurnal, dan lembar observasi.

Penggunaan ketiga instrumen ini didasari oleh karakteristik penelitian

kualitatif sebagaimana terurai lugas dalam Moleong (2001). Karakteristik

tersebut adalah latar alamiah, manusia sebagai alat (instrumen), metode

kualitatif, analisis data secara induktif, grounded theory, deskriptif,

mementingkan proses daripada hasil, adanya batas yang ditentukan oleh

fokus, adanya kriteria khusus untuk keabsahan data, desain yang bersifat

sementara, dan hasil penelitian dirundingkan dan disepakati bersama.

Karakteristik yang digarisbawahi yaitu manusia sebagai alat (instrumen).

Stake (2010) memberikan penguatan dengan pendapatnya yang menyatakan

bahwa dalam penelitian kualitatif, peneliti harus melakukan sesuatu lebih

banyak, merencanakan penelitian, melakukan penggubahan terhadap situasi

pengamatan, mewawancarai orang-orang, menguji dokumen, membicarakan

ide bersama-sama, dan menulis laporan. Ketika peneliti berpikir mengenai

Page 20: Proposal Skripsi

19

penggunaan instrumen dalam penelitiannya, maka ia memerlukan manusia

sebagai bagian dari instrumen.

Selain menggunakan pendekatan kualitatif, pada penelitian ini

digunakan juga pendekatan kuantitatif. Darmawan (2013) mengartikan

penelitian kuantitatif sebagai proses menemukan pengetahuan yang

menggunakan data berupa angka sebagai alat menemukan keterangan

mengenai apa yang ingin kita ketahui. Dari pengertian ini jelaslah bahwa

dalam penelitian ini terdapat data berupa angka yang diperoleh dari tes

kemampuan komunikasi matematis. Data tersebut nantinya akan diolah sesuai

dengan tujuan dalam penelitian ini untuk kemudian ditafsirkan. Sebagai

penguatan, Sugiyono (2014) mengungkapkan bahwa penelitian kuantitatif

digunakan bilamana terjadi hal-hal seperti berikut: (a) masalah yang

merupakan titik tolak penelitian sudah jelas; (b) peneliti menginginkan

informasi yang luas dari suatu populasi; (c) ingin mengetahui pengaruh

perlakuan/teratment tertentu terhadap yang lain (d) peneliti bermaksud

menguji hipotesis penelitian baik yang berbentuk deskriptif, komparatif,

maupun asosiatif; (e) peneliti ingin mendapatkan data yang akurat,

berdasarkan fenomena yang empiris dan dapat diukur; dan (f) ingin menguji

terhadap adanya keragu-raguan tentang validitas pengetahuan, teori, dan

produk tertentu.

Metode Penelitian

Metode dalam penelitian ini adalah kombinasi dari penelitian

pengembangan (Research and development, R&D) dan eksperimen. Hal ini

dikarenakan dalam penelitian ini akan dikembangkan sebuah produk yakni

bahan ajar. Di samping adanya pengembangan bahan ajar, peneliti ingin

melihat pengaruh dari bahan ajar yang dikembangkan. Namun perlu

ditegaskan bahwa eksperimen dalam penelitian ini merupakan eksperimen

semu—kuasi eksperimen. Dengan demikian, berdasarkan pendapat Putera

(2012) metode penelitian ini adalah scientific research and experimental

development (SR & ED).

Page 21: Proposal Skripsi

20

Pengertian R & D datang dari Putera (2012: 67),

R & D adalah metode yang secara sengaja, sistematis,

bertujuan/diarahkan untuk mencari-temukan, merumuskan,

memperbaiki, mengembangkan, menghasilkan, menguji keefektifan

produk, model, metode/strategi/cara, jasa, prosedur tertentu yang lebih

unggul, baru, efektif, efisien, produktif, dan bermakna.

Arti yang dipaparkan oleh Putera ini memungkinkan R & D dapat

diimplementasikan dalam penelitian di bidang pendidikan. Sedangkan kuasi

eksperimen adalah sebuah istilah yang digunakan untuk penelitian yang

mirip/menyerupai eksperimen tetapi terdapat pengurangan pada beberapa

karakteristik, terutama distribusi subjek terhadap kelompok tidak di bawah

kontrol peneliti (Everitt & Skrondal, 2010).

Pengertian eksperimen datang dari Darmawan (2013) adalah metode

penelitian yang bertujuan untuk meneliti hubungan (baik berupa hubungan

sebab akibat atau hubungan lainnya) antar dua atau lebih variabel pada satu

atau lebih kelompok yang mengalami manipulasi/perlakuan—eksperimental,

serta membandingkan hasilnya dengan kelompok yang tidak mengalami

manipulasi—kelompok kontrol. Senada dengan Darmawan, Arikunto (2013)

mengutarakan bahwa eksperimen adalah metode penelitian yang digunakan

untuk mencari hubungan kausal antara dua faktor yang sengaja ditimbulkan

oleh peneliti dengan mengeliminasi faktor-faktor lain yang mengganggu.

Dengan demikian, secara singkat SR & ED merupakan metode penelitian

yang secara sengaja diarahkan untuk mengembangkan produk dengan melihat

keberpengaruhan produk tersebut.

Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan One-Group Pretest-Posttest Design

dengan skema yang digambarkan oleh Sugiyono (2014: 110).

O1 X O2

Keterangan:

O1 = nilai tes awal

X = perlakuan

O2 = nilai tes akhir

Page 22: Proposal Skripsi

21

J. SUMBER DATA

Responden : kelas X MIA 2

Waktu : semester II

Tempat : SMA Negeri 21 Bandung

K. TEKNIK PENGUMPULAN DATA

Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data pada penelitian ini

merupakan modifikasi dan kombinasi dari langkah R&D yang dikemukakan

oleh Thiagarajan (Arifin, 2012), Sugiyono (2014), dan Gall & Borg (2003).

Langkah-langkah yang disajikan oleh Thiagarajan adalah 4D yaitu defne,

design, develop, dan disseminate. Berbeda dengan Thiagarajan, Sugiyono

mengembangkan langkah-langkah R&D menjadi: (1) potensi masalah; (2)

pengumpulan data; (3) desain produk; (4) validasi desain; (5) uji coba produk;

(6) revisi produk; (7) uji coba pemakaian; (8) revisi produk; dan (9) produksi

massal.

Nampaknya Gall & Borg menyajikan langkah-langkah pada R&D

secara lebih terperinci. Langkah-langkah yang dikemukakan oleh Gall & Borg

sebenarnya telah terangkum dalam langkah-langkah yang dikemukakan

Sugiyono. Hanya saja Gall & Borg menyajikan langkah planning (rencana

desain produk) sebelum mendesain produk.

Dari langkah-langkah R&D yang dikemukakan oleh Thiagarajan,

Sugiyono, dan Gall & Borg yang telah disebut di atas, secara rinci langkah-

langkah yang dilakukan dalam penelitian ini terurai sebagai berikut.

1. Define

Aktivitas penelitian yang dilakukan pada tahap ini adalah studi

pendahuluan. Aktivitas ini dimaksudkan untuk mengkaji dan menyelidiki

hal-hal yang menjadi potensi masalah. Hasil dari pengkajian dan

penyelidikan berupa kumpulan data sebagai informasi dasar untuk

melakukan penelitian (research information and collection). Ruang

lingkup kegiatan dari langkah awal ini diantaranya analisis kebutuhan,

Page 23: Proposal Skripsi

22

observasi awal di lapangan (tempat penelitian), identifikasi permasalahan

yang dijumpai di lapangan baik proses pembelajaran maupun faktor-faktor

lainnya, dan menghimpun data mengenai hal-hal apa saja yang menjadi

faktor pendukung dan penghambat dalam pembelajaran.

2. Design

Pada tahap ini peneliti merancang model dan prosedur

pengembangan (planning). Peneliti membuat desain pengembangan

produk yang di dalamnya terdapat aspek-aspek mengenai (1) apa, tujuan,

dan manfaat produk tersebut; (2) mengapa produk tersebut begitu penting

untuk dikembangkan; (3) bagaimana proses pengembangan produk

tersebut; (4) siapa yang menjadi pengguna produk tersebut; dan (5) di

mana produk tersebut akan digunakan. Dengan demikian, diperlukan

adanya validasi desain oleh validator ahli agar aspek-aspek yang telah

diuraikan dapat terpenuhi. Dalam hal ini, validator ahli terdiri dari dua

orang, yang diambil dari pembimbing I dan pembimbing II.

Dalam memvalidasi desain pengembangan produk, validator akan

diberikan sebuah lembar validasi desain yang harus diisi sesuai dengan

yang diamati. lembar validasi desain ini berisi pertanyaan berupa isian.

Pertanyaan bentuk isian terdiri dari kelebihan, kekurangan, kritik, dan

saran tentang bahan ajar yang dibuat.

3. Develop

Hal yang pertama dilakukan adalah melakukan kajian empirik

tentang pengembangan produk. Dengan demikian, peneliti mulai

mengembangkan produk awal (draft) sebagai prototype (develop

preliminary form of product). Setelah produk awal dikembangkan, langkah

berikutnya adalah menguji-cobakan produk tersebut (preliminary field

testing). Selama uji coba, peneliti melakukan observasi terhadap aktivitas

subjek—responden—dalam melaksanakan produk tersebut.

Untuk melakukan observasi terhadap aktivitas subjek ini, peneliti

memilih observator (pengamat) dari guru mata pelajaran. Pemilihan ini

didasari karena guru mata pelajaran yang bersangkutan sudah memiliki

Page 24: Proposal Skripsi

23

pengalaman mendalam mengenai seluruh aspek dalam pembelajaran.

terlepas dari itu, peneliti tetap menggunakan lebar observasi agar

pengamatan tidak keluar dari tujuan penelitian serta hal-hal yang

diharapkan.

Bilamana uji coba telah selesai, peneliti memberikan jurnal kepada

subjek. Selain memberikan jurnal kepada subjek, peneliti juga melakukan

validasi dan diskusi dengan validator ahli. Sebagai bahan evaluasi

terhadap produk yang dikembangkan, peneliti memberikan jurnal kepada

subjek dan angket kepada validator ahli untuk menghimpun informasi-

informasi yang dibutuhkan.

Dalam memvalidasi produk yang telah dikembangkan, validator

akan diberikan sebuah lembar validasi produk yang harus diisi sesuai

dengan yang diamati. Lembar validasi ini berisi pertanyaan berupa isian.

Pertanyaan bentuk isian terdiri dari kelebihan, kekurangan, kritik, dan

saran tentang produk yang telah dikembangkan dan diuji-cobakan. Selain

memberikan lembar validasi produk kepada validator, peneliti juga

memberikan jurnal kepada subjek untuk melihat sejauh mana produk ini

dirasakan sesuai dengan kebutuhan subjek. Hal ini dilakukan agar produk

yang dikembangkan dapat digunakan tepat pada sasarannya.

Masukan-masukan dan saran-saran dari validator ahli dan subjek

ini mendorong peneliti untuk malakukan revisi awal (main product

revision). Hal ini dimaksudkan untuk memperbaiki dan menyempurnakan

produk awal yang telah dikembangkan.

Setelah produk diperbaiki dan siap digunakan, peneliti melakukan

uji pemakaian produk (operational field testing). Untuk memulai tahap ini,

peneliti melakukan tes awal terlebih dahulu. Begitu pula di akhir tahap ini

peneliti melakukan tes akhir. Tes di sini merupakan tes kemampuan

komunikasi matematis (KKM) yang sebelumnya telah diuji-cobakan.

Akhirnya, untuk melihat respons dari subjek, peneliti memberikan angket.

Angket dalam hal ini merupakan angket tertutup yang mana subjek tinggal

memilih jawaban yang telah disediakan.

Page 25: Proposal Skripsi

24

L. TEKNIK PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA

Pengolahan data uji coba

Sebelum tes digunakan sebagai alat pengumpul data, terlebih dahulu

diuji cobakan untuk mengetahui validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran, dan

daya pembeda tes tersebut. Dengan demikian, tes tersebut mempunyai daya

kelayakan untuk dijadikan Instrumen penelitian.

1. Uji Validitas

Validitas menurut Arikunto (2013: 211) adalah “ukuran yang

menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrumen”.

Lebih lanjut Arikunto (2013) menyebutkan bahwa instrumen yang valid

memiliki validitas tinggi, dan sebaliknya. Untuk mengetahui koefisien

validitas salah satunya dapat menggunakan rumus korelasi product

moment dari sebagai berikut:

𝑟𝑥𝑦 =𝑁 ∑ 𝑋𝑌 − (∑ 𝑋)(∑ 𝑌)

√{𝑁 ∑ 𝑋2 − (∑ 𝑋)2

} {𝑁 ∑ 𝑌2 − (∑ 𝑌)2

}

(Arikunto, 2013: 213)

Keterangan:

𝑟𝑥𝑦 ∶ koefisien korelasi antara variable Y dan X

𝑁 ∶ jumlah siswa

𝑋 ∶ skor setiap butir soal masing-masing siswa

𝑌 ∶ skor total masing-masing siswa

Untuk mengetahui interpretasi mengenai kriteria dari besarnya

koefisien validitas, digunakan kriteria dari Suherman (Sulastri, 2009: 28)

yang terlihat seperti berikut ini.

Tabel L.1.

Interpretasi Koefisien Korelasi

Nilai 𝒓𝒙𝒚 Interpretasi

0,80 ≤ 𝒓𝒙𝒚 < 1,00 Validitas sangat tinggi

0,60 ≤ 𝒓𝒙𝒚 < 0,80 Validitas tinggi

Page 26: Proposal Skripsi

25

Nilai 𝒓𝒙𝒚 Interpretasi

0,40 ≤ 𝒓𝒙𝒚 < 0,60 Validitas sedang

0,20 ≤ 𝒓𝒙𝒚 < 0,40 Validitas rendah

0,00 ≤ 𝒓𝒙𝒚 < 0,20 Validitas sangat rendah

𝒓𝒙𝒚 < 0,00 Tidak valid

2. Uji Reliabilitas

Arikunto (2013) menerangkan bahwa instrumen yang baik tidak

akan bersifat tendensius (menyusahkan) sehingga mengarahkan responden

memilih jawaban-jawaban tertentu. Dengan kata lain beberapa kali pun

alat ukur tersebut digunakan, hasil ukurnya sama. Untuk menentukan

koefisien reliabilitas tes, digunakan rumus Spearman-Brown, yaitu:

𝑟11 =2 × 𝑟𝑥𝑦

(1 + 𝑟𝑥𝑦)

(Arikunto, 2013: 223)

Keterangan:

𝑟11 ∶ reliabilitas instrumen

𝑟𝑥𝑦 ∶ koefisien korelasi antara variable Y dan X

Untuk mengadakan interpretasi mengenai kriteria dari besarnya

koefisien reliabilitas, maka digunakan klasifikasi menurut Guilford

(Ruseffendi, 1991) sebagai berikut:

Tabel L.2.

Klasifikasi Koefisien Reliabilitas

Nilai 𝒓𝟏𝟏 Tingkat Reliabilitas

0,00 ≤ 𝑟11 < 0,20 Kecil

0,20 ≤ 𝑟11 < 0,40 Rendah

0,40 ≤ 𝑟11 < 0,70 Sedang

0,70 ≤ 𝑟11 < 0,90 Tinggi

0,90 ≤ 𝑟11 ≤ 1,00 Sangat tinggi

Page 27: Proposal Skripsi

26

3. Indeks Kesukaran

Suatu soal dikatakan memiliki tingkat kesukaran yang baik bila

soal tersebut terlalu mudah dan juga tidak terlalu sukar. Soal yang terlalu

mudah tidak merangsang siswa untuk memecahkannya. Melakukan

perhitungan tingkat kesukaran dimaksudkan untuk mengetahui sukar atau

mudahnya soal yang digunakan. Untuk menghitung indeks kesukaran soal

digunakan rumus sebagai berikut:

𝐼𝐾 =𝐵𝑎 + 𝐵𝑏

12 𝑁

(Ruseffendi, 1991: 202)

Keterangan:

𝐼𝐾 :Indeks kesukaran

𝐵𝑎 : Skor kelompok atas

𝐵𝑏 : Skor kelompok bawah

𝑁 : Skor keseluruhan

Klasifikasi Indeks kesukaran menurut Mudrikah (2013: 120) adalah

sebagai berikut:

Tabel L.3.

Klasifikasi Indeks Kesukaran

Nilai 𝑰𝑲 Kategori

𝐼𝐾 = 0,00 Sangat sukar

0 < 𝐼𝐾 < 0,30 Sukar

0,30 ≤ 𝐼𝐾 < 0,70 Sedang

0,70 < 𝐼𝐾 < 1,00 Mudah

𝐼𝐾 = 1 Sangat mudah

4. Daya pembeda

Daya pembeda dari butir soal menyatakan seberapa jauh

kemampuan butir soal tersebut membedakan antara siswa yang

Page 28: Proposal Skripsi

27

mengetahui jawabannya dengan benar dengan siswa yang tidak dapat

menjawab soal tersebut. Untuk melihat daya pembeda soal digunakan

rumus sebagai berikut :

𝐷𝑃 =𝐵𝑎 − 𝐵𝑏

14 𝑁

(Ruseffendi, 1991: 202)

Keterangan:

𝐷𝑃 : Daya Pembeda

𝐵𝑎 : Skor kelompok atas

𝐵𝑏 : Skor kelompok bawah

𝑁 : Skor keseluruhan

Klasifikasi interpretasi untuk daya pembeda sebagaimana

dikemukakan oleh Ebel (Ruseffendi, 1991: 204) adalah:

Tabel L.4.

Kriteria Daya Pembeda Butir Soal

Daya Pembeda Interpretasi

0,40 dan lebih Sangat baik

0,30 – 0,39 Cukup baik

0,20 – 0,29 Minimum

0,19 ke bawah Jelek

Pengolahan data tes awal dan tes akhir

Pengolahan data tes awal dan tes akhir pada penelitian ini

menggunakan uji Wilcoxon. Penggunaan uji Wilcoxon ini dikarenakan

sampel—dalam hal ini responden—dalam penelitian ini terdiri dari satu

sampel. Everitt & Skrondal (2010) yang menyatakan

“Wilcoxon’s rank sum test: A distribution free method used as an

alternative to the Student’s t-test for assessing whether two

populations have the same location. Given a sample of observations

Page 29: Proposal Skripsi

28

from each population, all the observations are ranked as if they were

from a singlet sample, and the test statistis W is the sum of the ranks

in the smaller group. Equivalent to The Mann–Whitney test. Tables

giving critical values of the test statistic are available, and for

moderate and large sample sizes, a normal approximation can be

used”.

Senada dengan Everitt & Skrondal, Susetyo (2012) mengartikan uji

Wilcoxon sebagai metode statistika yang dipergunakan untuk menguji

perbedaan dua buah data yang berpasangan atau menguji satu sampel dengan

menggunakan median tertentu yang akan diuji sebagai standar atau patokan.

Pada uji Wilcoxon, data asli tidak langsung dianalisis tetapi menggunakan

selisih kedua skor kemudian dilakukan ranking.

Langkah-langkah yang dilakukan dalam uji Wilcoxon pada penelitian

ini diadopsi dari Susetyo (2012), yang mana terurai sebagai berikut ini.

1. Memberi harga mutlak pada setiap selisih pasangan data. Harga mutlak

diberikan dari yang terkecil hingga yang terbesar atau sebaliknya. Harga

mutlak terkecil diberi nomor urut atau ranking satu, kemudian selisih yang

berikutnya diberikan nomor urut atau ranking dua, dan seterusnya.

2. Setiap selisih pasangan diberi tanda positif dan negatif. Tanda positif dan

negatif dari selisih pasangan data yang kemudian diranking inilah yang

menjadi unsur utama dalam analisis.

3. Menghitung jumlah ranking yang bertanda positif dan negatif.

4. Selisih tanda ranking yang terkecil atau sesuai dengan arah hipotesis,

diambil sebagai harga mutlak dan diberi notasi dengan huruf J. Harga

mutlak terkecil (J) dijadikan dasar untuk pengujian hipotesis dengan

melakukan perbandingan dengan tabel yang dibuat khusus untuk uji

Wilcoxon.

Pengolahan data lembar observasi

Lembar observasi digunakan untuk melihat kesesuaian pelaksanaan

pembelajaran dengan model yang digunakan. Observasi yang digunakan

dalam penelitian ini adalah observasi sistematis, yaitu observasi yang

Page 30: Proposal Skripsi

29

dilakukan observator dengan menggunakan pedoman sebagai instrumen

pengamatan.

Pengolahan data angket

Penggunaan angket ditujukan untuk melihat respons siswa terhadap

produk—bahan ajar—yang dikembangkan. Untuk menganalisis hasil data

angket digunakan persamaan berikut ini. Angket terdiri dari pernyataan

tertutup yang mana responden tinggal memilih jawaban yang disediakan oleh

peneliti.

Adapun skala yang digunakan dalam mengolah data angket ini adalah

skala Likert. Hal ini sesuai dengan pendapat Sugiyono (2014) yang

menyatakan bahwa skala Likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat,

dan/atau persepsi seseorang atau sekelompok orang terkait fenomena sosial.

Jawaban responden terhadap setiap instrumen yang menggunakan skala Likert

memiliki gradasi dari positif hingga negatif.

Berdasarkan gradasi tersebut, pernyataan dalam angket pada

penelitian ini terdiri dari dua kategori besar, yaitu pernyataan positif dan

pernyataan negatif. Adapun untuk pemberian skor pada masing-masing

kelompok pernyataan disajikan dalam tabel berikut ini.

Tabel L.5.

Skor terhadap Jawaban Responden pada Angket

Pilihan Jawaban Skor pada pernyataan

Positif Negatif

SS (Sangat Setuju) 5 1

S (Setuju) 4 2

TS (Tidak Setuju) 2 4

STS (Sangat Tidak Setuju) 1 5

(Sugiyono, 2014)

Page 31: Proposal Skripsi

30

Pengolahan lembar validasi dan jurnal

Teknik yang digunakan untuk mengolah kedua alat pengumpul data

ini adalah dengan menggunakan teknik analisis deskriptif. Teknik ini

digunakan dengan kenyataan bahwa data yang terkumpul berupa isian

(pernyataan terbuka).

M. JADWAL KEGIATAN

No Uraian Kegiatan Des Jan Peb Mar

1 2 3 4 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5

1 Pengajuan judul

2 Pembuatan instrumen dan

bahan ajar

3 Finishing bahan ajar

4 Validasi

5 Perbaikan desain

6 Uji coba produk

7 Revisi

8 Uji coba pemakaian

9 Revisi akhir

10 Penyusunan skripsi

11 ujian komprehensif

12 Sidang skripsi

N. DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Z. (2012). Penelitian Pendidikan Metode dan Paradigma Baru.

Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Arikunto, S. (2013). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:

PT Rineka Cipta.

Bruner, J. S. (1961). The act of discovery. (Ed. Rev., v. 31, pp. 21-32).

Cambridge: Harvard University Press. [Online]. Tersedia: https://

Page 32: Proposal Skripsi

31

esci310-civicscienceeducation.wikispaces.com/file/links/The+Act+of+

Discovery-Bruner.pdf. [12 Desember 2014]

Cahyo, A. N. (2013). Panduan Aplikasi Teori-Teori Belajar Mengajar

Teraktual dan Terpopuler. Jogjakarta: Diva Press.

Darmawan, D. (2013). Metode Penelitian Kuantitatif. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya.

Depdiknas (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Depdiknas.

Echols, J. M. & Shadily, H. (2003). Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: PT

Gramedia

Elliott, P. C. & Kenney, M. J. (1996). Communicatioin in Matehmatics, K-12

and Beyond. Yearbook. Reston, Virginia: NCTM Inc.

Everitt, B. S. & Skrondal, A. (2010). The Cambridge Dictionary of Statistics

Fourth Edition. Cambridge: Cambridge University Press.

Flick, U. (2009). An Introduction to Qualitative Research 4th Edition SAGE.

London: SAGE 2009. [Online]. Tersedia: http://en.bookfi.org/book/

15053 87 [21 September 2014]

Gall, M. D., Gall, J. P., & Borg, W. R. (2003). Educational Research An

Introduction Seventh Edition. Boston: Longman.

Gardenia, N. (2013). Peningkatan Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi

Matematis Siswa SMK Melalui Pembelajaran Konstruktivisme Model

Needham. Tesis pada PPS UPI. Bandung: Tidak diterbitkan. [Online].

Tersedia: http://repository.upi.edu/2281/4/T_MTK_1101617_Chapter1

.pdf [11 November 2014].

Majid, A. (2011). Perencanaan Pembelajaran Mengembangkan Standar

Kompetensi Guru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

________ . (2013). Strategi Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Moleong, L. J. (2001). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya.

Mudrikah, A. 2013. Pembelajaran Berbasis Masalah Berbantuan Komputer

untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi, Pemecahan Masalah,

dan Disposisi Matematik Siswa Sekolah Menengah Atas. Tesis pada

PPS UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.

National Council of Teachers of Mathematics. (2000). Principles and

standarts for school mathematics. Reston, Virginia: NCTM Inc.

Page 33: Proposal Skripsi

32

Nopiyani, D. (2013). Penerapan Pembelajaran Matematika Realistik

Berbantuan Geogebra untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi

Matematis Siswa SMP. Tesis pada PPS UPI. Bandung: Tidak

diterbitkan. [Online]. Tersedia: http://repository.upi.edu/596/4/S_

MTK_0901957_CHAPTER1.pdf [11 November 2014].

Permendikbud RI. (2013). Salinan Peraturan Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2013. Jakarta:

Kemendikbud RI.

________ . (2013). Salinan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan

Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2013. Jakarta: Kemendikbud RI.

________ . (2013). Salinan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan

Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 2013. Jakarta: Kemendikbud RI.

________ . (2013). Salinan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan

Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2013. Jakarta: Kemendikbud RI.

________ . (2014). Salinan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan

Republik Indonesia Nomor 103 Tahun 2014. Jakarta: Kemendikbud RI.

[Online]. Tersedia: https://drive.google.com/folderview?id=0B_RtEW

_7CflTLURpdUh4TWZfS1U&usp=drive_web. [14 November 2014].

Pratowo, A. (2013). Panduan Kreatif Membuat Bahan Ajar Inovatif

Menciptakan Metode Pembelajaran yang Menarik dan Menyenangkan.

Jogjakarta: Diva Press.

Putera, N. (2012). Research and Development: Suatu Pengantar. Jakarta:

Rajawali Pers.

Ruseffendi, E. T. (1991). Penilaian Pendidikan dan Hasil Belajar Siswa

Khususnya dalam Pengajaran Matematika untuk Guru dan Calon Guru.

Diktat. Bandung: IKIP.

Stake, R. E. (2010). Qualitative Research Studying How Things Work. New

York: The Guilford Press.

Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,

Kualitatif, dan R & D. Bandung: Alfabeta.

Sulastri, Y., L. (2009). Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis

Melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Pendidikan Matematika

Realistik Siswa Sekolah Menengah Pertama di Kabupaten Bandung.

Tesis pada PPS UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.

Sumarmo, U. (2014). Berpikir dan Disposisi Matematik serta

Pembelajarannya. Bandung: FPMIPA UPI.

Page 34: Proposal Skripsi

33

Susetyo, B. (2012). Statistika untuk Analisis Data Penelitian Dilengkapi Cara

Perhitungan dengan SPSS dan MS Office Excel. Bandung: Refika

Aditama.