1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penglihatan merupakan indera yang sangat penting dalam menentukan
kualitas hidup manusia. Indera penglihatan yang dimaksud adalah mata. Tanpa
mata manusia tidak dapat melihat sama sekali. Salah satu gangguan pada mata
adalah kelainan refraksi (Ilyas, 2008). Miopia merupakan salah satu jenis dari
kelainan refraksi pada mata.
Miopia merupakan suatu kelainan refraksi dimana sinar-sinar yang berjalan
sejajar dengan sumbu bola mata tanpa akomodasi dibias di depan retina. Miopia
sering terjadi disebabkan kelainan elemen optik mata dengan panjang sumbu bola
mata, sehingga diperlukan lensa korektif atau terapi refraktif lainnya agar
bayangan terbentuk tepat di retina. Miopia merupakan kelainan refraksi tersering
yang dijumpai yang bertanggung jawab terhadap terjadinya gangguan penglihatan
(American Academy of Ophtalmology, 2002-2003).
Miopia juga dapat menyebabkan kehilangan penglihatan dan prevalensinya
terus meningkat (Fredrick, 2002). Kelainan refraksi ini akan memberikan dampak
yang cukup luas bagi penderitanya, seperti pada karir, sosial ekonomi, pendidikan,
dan juga tingkat kecerdasan (Erbynovita, 2008). Berbagai penelitian telah
menunjukkan terdapatnya peningkatan kejadian miopia di berbagia tempat, seperti
di Amerika Serikat dimana pada tahun 1971-1972 prevalensinya 25%, sedangkan
pada tahun 1999-2004 meningkat menjadi 41,6% (Vitale S, 2009). Pada penelitian
di Israel didapatkan peningkatan sebanyak 40% dari tahun 1990-2002 (Sperduto
RD, 1983; Dayan Y B, 2005).
Agni dan Budihardjo mendapatkan 83% penderita kelainan refraksi
merupakan penderita miopia, dan Tjahjono, dkk. mendapatkan 42,40 – 49,42%,
sedangkan Mahh dan Badri mendapatkan 50,6% (Cahyana, 2001). Menurut Seang
Mei Saw, dkk. (2002) dalam Bobby Ramses Erguna Sitepu (2008) meneliti
2
prevalensi miopia di Sumatera mencapai 26,1%. Sedangkan M. Sitepu
mendapatkan angka penderita miopia sebesar 76,5% dari 1124 penderita kelainan
refraksi di RS Pringadi Medan.
The National Research Council Committee on Vision Working Group on
Myopia Prevalence and Progression telah melihat ulang 500 artikel tentang
miopia, dan telah melaporkan kesimpulan bahwa 40% dari orang yang memasuki
universitas berkembang menjadi penderita miopia pada usia 25 tahun (National
Academy Press, 1989). Pada penelitian yang dilakukan pada pelajar di
Copenhagen usia terjadinya miopia paling banyak terdapat pada anak awal usia 20
tahun (Jacobesen N, 2008).
Menurut penelitian yang dilakukan Ohio University pada 366 subjek, miopia
paling banyak terjadi adalah miopia derajat sedang, yaitu -3.54 ± 1.77 D, dengan
66% terjadi pada wanita (Bullimore MA, 2006), sedangkan penelitian lain
menunjukkan variasi dari prevalensi miopia yang terjadi pada wanita, dimana di
Amerika Serikat dan Finlandia wanita lebih banyak menderita miopia. Hal serupa
juga terjadi di Yunani dimana 46% wanita mengalami miopia dan 29.7% pria
mengalami miopia. Sebaliknya, pada populasi Jews, pria 170% lebih cenderung
mengalami miopia (Dayan YB, 2005). Hal ini menunjukkan perbedaan
karakteristik penderita miopia di berbagai tempat sesuai dengan lingkungannya.
Kejadian penyakit miopia tersebut mempunyai beberapa faktor resiko. Salah
satu faktor yang paling penting dalam perkembangan miopia adalah riwayat
miopia pada keluarga. Penelitian menunjukkan 33-60% prevalensi miopia adalah
pada anak-anak yang memiliki kedua orang tua penderita miopia. Pada anak-anak
yang memiliki satu orang tua penderita miopia, prevalensinya adalah 23-40%.
Pada anak-anak tanpa riwayat orang tua dengan miopia, prevalensinya hanya 6-
15%. Faktor resiko lain yang dapat menyebabkan perkembangan penyakit miopia
adalah esophoria pada akomodasi positif, dekat rendah. Melakukan pekerjaan
berlebihan dengan pandangan mata jarak dekat juga dapat meningkatkan resiko
miopia. Miopia berkaitan dengan waktu yang lebih besar dalam membaca dan
melakukan pekerjaan jarak dekat, nilai membaca yang lebih baik, pendidikan
3
yang lebih tinggi dan kemampuan akademis yang lebih baik (American
Optometric Association, 2010).
Berdasarkan informasi yang terdapat diatas, peneliti ingin mengetahui
prevalensi penderita miopia di RSUP H. Adam Malik Medan.
1.2 Rumusan Masalah
Uraian dalam latar belakang masalah diatas memberikan dasar bagi peneliti
untuk merumuskan pertanyaan yaitu bagaimana prevalensi penderita miopia
di RSUP H. Adam Malik Medan?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui prevalensi penderita miopia di RSUP H. Adam Malik Medan.
1.3.2 Tujuan Khusus
Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui prevalensi penderita miopia berdasarkan usia di
RSUP H. Adam Malik Medan
2. Untuk mengetahui prevalensi penderita miopia berdasarkan status
pekerjaan di RSUP H. Adam Malik Medan
3. Untuk mengetahui prevalensi penderita miopia berdasarkan jenis
kelamin di RSUP H. Adam Malik Medan
4. Untuk mengetahui prevalensi penderita miopia berdasarkan derajat
miopia di RSUP H. Adam Malik Medan
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat yaitu:
1. Untuk mengetahui prevalensi penderita miopia di RSUP H. Adam Malik
Medan Periode Januari – Desember 2011.
2. Memberikan informasi bagi pusat-pusat pelayanan kesehatan mata untuk
membuat program kegiatan pencegahan atau pengobatan miopia.
4
3. Dapat menjadi sumbangan pemikiran dan referensi bagi rekan-rekan
sesama mahasiswa khususnya bagi peneliti berikutnya.
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Mata
Bola mata yang berbentuk bola mengisi bagian anterior dari orbit. Bentuknya
yang bundar terganggu pada bagian anterior, dimana dia sedikit membengkak
keluar. Proyeksi ini mewakili sekitar seperenam dari area total dari bola mata dan
merupakan kornea yang transparan.
Bagian posterior dari kornea dari urutan paling depan ke belakang adalah
ruangan anterior, iris dan pupil, ruangan posterior, lensa, ruangan vitreus dan
retina.
Ruangan anterior adalah area yang secara langsung terletak posterior dari
kornea dan anterior dari iris. Bukaan tengah di dalam iris adalah pupil. Letak
posterior dari iris dan anterior dari lensa adalah ruangan posterior yang lebih kecil.
Ruangan anterior dan posterior berhubungan satu sama lain melalui bukaan
pupil. Mereka diisi dengan cairan yang disebut aqueous humor yang disekresi ke
dalam ruangan posterior mengalir ke dalam ruangan anterior melalui pupil dan
diabsorbsi ke dalam sinus vena sklera (canal of Schlemm) yang merupakan kanal
vena sirkular pada pertemuan antara kornea dengan iris.
Lensa memisahkan seperlima bagian anterior pada bola mata dengan empat
per lima bagian posterior. Lensa merupakan diskus elastis, transparan dan
bikonveks yang lengket sekelilingnya pada otot yang berhubungan dengan
dinding luar dari bola mata. Perlengketan lateral ini memberikan lensa
kemampuan untuk mengubah kemampuan refraktifnya untuk menjaga visual
acuity.
Empat per lima bagian posterior dari bola mata, yaitu dari lensa sampai retina
6
diisi oleh ruangan vitreus. Bagian ini diisi dengan substansi transparan dan gelatin
yang disebut vitreous humor. Substansi ini tidak bisa digantikan.
Komponen yang mengitari bola mata adalah dinding dari bola mata. Dinding
tersebut terdiri dari tiga lapisan:
Lapisan fibrous luar yang terdiri dari sklera pada bagian posterior dan kornea
pada bagian anterior.
Lapisan vaskular tengah yang terdiri dari koroid pada bagian posterior dan
berlanjut dengan badan silia dan iris pada bagian anterior.
Lapisan terdalam yang terdiri dari bagian optik retina pada bagian posterior
dan retina non visual yang menyelubungi permukaan dalam dari badan silia
dan iris pada bagian anterior.
Gambar 2.1. Anatomi Mata
Sumber: Grey’s Anatomy
2.2. Fisiologi Refraksi
7
Gelombang cahaya melalui udara dengan kecepatan sekitar 300.000
km/detik, tetapi mereka mempunyai kecepatan lebih lambat apabila melalui benda
padat dan cair. Indeks refraktif dari benda transparan adalah perbandingan dari
kecepatan cahaya di udara pada kecepatan substansi tersebut. Indeks refraktif
udara sendiri adalah 1,00.
Apabila gelombang cahaya melewati sebuah pertemuan yang mempunyai
sisi, gelombang tersebut bengkok jika indeks-indeks refraktif pada kedua media
tersebut berbeda satu sama lainnya. Dikarenakan arah cahaya berjalan selalu tegak
lurus dengan tumpu gelombang, arah perjalanan gelombang cahaya bengkok
kebawah.
Pembengkokan gelombang cahaya pada perjumpaan bersudut dinamai
refraksi. Derajat refraksi meningkat apabila fungsi dari rasio kedua indeks refraksi
kedua media transparan dan derajat kesudutan antara pertemuan dan pemasukan
gelombang.
Lensa konveks memfokuskan cahaya. Gelombang cahaya yang melewati
pusat lensa langsung tegak lurus pada permukaan lensa, melewati lensa tanpa
terefraksi sama sekali. Pada kedua sudut lensa, gelombang cahaya melewati
secara progresif pada pertemuan yang mempunyai sudut lebih. Gelombang bagian
luar lebih terbengkok kedalam, yang disebut konvergensi cahaya.
Lensa konkav membuat gelombang cahaya berdivergensi. Gelombang yang
memasuki pusat lensa melalui pertemuan yang tegak lurus pada gelombang,
sehingga tidak terjadi refraksi gelombang pada ujung lensa memasuki lensa lebih
dulu dari gelombang yang di tengah. Hal ini berlawanan dengan efek pada lensa
konveks yang menyebabkan gelombang cahaya berdivergensi dari gelombang
cahaya yang melewati pusat lensa.
Lebih banyaknya sebuah lensa membengkokkan gelombang cahaya, lebih
8
besar kekuatan refraksinya. Kekuatan refraksi diukur dalam istilah diopter.
Kekuatan refraksi dalam diopter sebuah lensa konveks seimbang dengan 1 meter
dibagi panjang fokalnya. Oleh karena itu, lensa sferik yang berkonvergensi paralel
dengan gelombang cahaya pada poin fokal 1 meter dari lensa mempunyai
kekuatan refraksi sebanyak +1.
2.3. Miopia
2.3.1. Definisi
Miopia atau rabun jauh merupakan kelainan refraksi dimana berkas sinar
sejajar yang memasuki mata tanpa akomodasi, jatuh pada fokus yang berada di
depan retina. Dalam keadaan ini objek yang jauh tidak dapat dilihat secara teliti
karena sinar yang datang saling bersilangan pada badan kaca, ketika sinar tersebut
sampai diretina sinar-sinar ini menjadi divergen, membentuk lingkaran yang difus
dengan akibat bayangan yang kabur (Curtin, 1997).
Miopia disebut dengan rabun jauh akibat berkurangnya kemampuan untuk
melihat jauh akan tetapi dapat melihat dekat dengan lebih baik (Ilyas, 2006).
Apabila bayangan dari benda yang terletak jauh berfokus di depan retina pada
mata yang tidak berakomodasi, maka mata tersebut mengalami miopia, atau
penglihatan dekat (nearsight) (Vaughan, 2000).
Untuk mengerti miopia kita perlu mengetahui dasar-dasar dari lensa, kornea,
dan retina. Menurut Mansjoer (2000), miopia adalah mata dengan daya lensa
positif yang lebih kuat sehingga sinar yang sejajar atau datang dari tidak terhingga
difokuskan di depan retina.
Apabila mata berukuran lebih panjang daripada normal, maka kesalahan yang
terjadi disebut miopia aksial. Apabila unsur-unsur pembias lebih retraktif daripada
rerata, maka kesalahan yang terjadi disebut miopia kelengkungan atau miopia
retraktif (Vaughan, 2000).
9
Titik tempat bayangan paling tajam fokusnya di retina disebut “titik jauh”.
Orang dengan miopia memiliki keuntungan dapat membaca titik jauh tanpa
kacamata bahkan pada usia presbiopik (Vaughan, 2000).
Miopia merupakan masalah yang cukup penting, tidak hanya karena
tingginya prevalensi miopia, tetapi juga karena miopia dapat menyebabkan
kebutaan dan meningkatkan resiko untuk kondisi yang mengancam penglihatan
(contohnya glaukoma). Karena miopia berhubungan dengan penurunan
penglihatan jarak jauh jika tidak dilakukan koreksi, miopia dapat membatasi ruang
lingkup pekerjaan (AOA, 2006).
2.3.2. Etiologi
Faktor genetik dapat menurunkan sifat miopia ke keturunannya, baik secara
autosomal dominan maupun autosomal resesif. Penurunan secara sex linked
sangat jarang terjadi, biasanya terjadi pada miopia yang berhubungan dengan
penyakit mata lain atau penyakit sistemik. Pada ras oriental, kebanyakan miopia
tinggi diturunkan secara autosomal resesif (Sidarta, 2005). Selain faktor genetik,
menurut Curtin (2002) ada 2 mekanisme dasar yang menjadi penyebab miopia
yaitu :
a. Hilangnya bentuk mata (hilangnya pola mata), terjadi ketika kualitas gambar
dalam retina berkurang.
b. Berkurangnya titik fokus mata maka akan terjadi ketika titik fokus cahaya
berada di depan atau di belakang retina. Miopia akan terjadi karena bola mata
tumbuh terlalu panjang pada saat masih bayi. Dikatakan bahwa semakin dini
mata seseorang terkena sinar terang secara langsung, maka semakin besar
kemungkinan mengalami miopia. Ini karena organ mata sedang berkembang
dengan cepat pada tahun-tahun awal kehidupan. Akibatnya, para penderita
miopia umumnya merasa bayangan benda yang dilihatnya jatuh tidak tepat
pada retina matanya, melainkan didepannya (Curtin, 2002).
10
2.3.3. Klasifikasi
Dikenal beberapa bentuk miopia terdiri dari :
a. Miopia aksial
Dalam hal ini, terjadinya miopia akibat panjangnya sumbu bola mata
(diameter antero-posterior), dengan kelengkungan kornea dan lensa normal (Ilyas,
2008).
b. Miopia kurvatura
Dalam hal ini terjadinya miopia diakibatkan oleh perubahan dari
kelengkungan kornea atau perubahan kelengkungan dari pada lensa seperti yang
terjadi pada katarak intumesen dimana lensa menjadi lebih cembung sehingga
pembiasan lebih kuat, dimana ukuran bola mata normal (Ilyas, 2005).
c. Perubahan indeks refraksi
Perubahan indeks refraksi atau miopia refraktif, bertambahnya indeks bias
media penglihatan seperti yang terjadi pada penderita diabetes melitus sehingga
pembiasan lebih kuat (Ilyas, 2008).
Menurut Ilyas (2008), derajat beratnya miopia dibagi dalam:
a. Miopia ringan, dimana miopia kecil daripada 1-3 dioptri.
b. Miopia sedang, dimana miopia lebih antara 3-6 dioptri.
c. Miopia berat atau tinggi, dimana miopia lebih besar dari 6 dioptri.
Menurut Ilyas (2008), perjalanan miopia dikenal bentuk:
a. Miopia stasioner, miopia yang menetap setelah dewasa.
11
b. Miopia progresif, miopia yang bertambah terus pada usia dewasa akibat
bertambah panjangnya bola mata.
c. Miopia maligna, miopia yang berjalan progresif, yang dapat mengakibatkan
ablasi retina dan kebutaan atau sama dengan miopia pernisiosa = miopia
maligna = miopia degeneratif.
2.3.4. Patofisiologi
Pada saat baru lahir, kebanyakan bayi memiliki mata hiperopia, namun saat
pertumbuhan, mata menjadi kurang hiperopia dan pada usia 5-8 tahun menjadi
emetropia. Proses untuk mencapai ukuran emetrop ini disebut emetropisasi. Pada
anak dengan predisposisi berlanjut, namun mereka menderita miopa derajat
rendah pada awal kehidupan. Saat mereka terpajan pada faktor miopigenik seperti
kerja jarak dekat secara berlebihan yang menyebabkan bayangan buram dan tidak
terfokus pada retina. Miopisasi berlanjut untuk mencapai titik fokus yang
menyebabkan elongasi aksial dan menimbulkan miopia derajat sedang pada late
adolescence (Fredrick, 2002).
Dua mekanisme patogenesis terhadap elongasi pada miopia yaitu:
1. Menurut tahanan sklera
a. Mesodermal Abnormalitas
Mesodermal sklera secara kualitas maupun kuantitas dapat mengakibatkan
elongasi sumbu mata. Percobaan Columbre dapat membuktikan hal ini, dimana
pembuangan sebagian mesenkim sklera dapat menyebabkan terjadi ektasia pada
daerah ini karena adanya perubahan tekanan dinding okular (Sativa, 2003).
b. Ektodermal-Mesodermal
Vogt awalnya memperluasnya konsep bahwa miopia adalah hasil
ketidakharmonisan pertumbuhan jaringan mata dimana pertumbuhan retina yang
12
berlebihan dengan bersamaan ketinggian perkembangan baik koroid maupun
sklera menghasilkan peregangan pasif jaringan. Meski alasan Vogt pada
umumnya tidak dapat diterima, telah diteliti ulang dalam hubungannya dengan
miopia bahwa pertumbuhan koroid dan pembentukan sklera dibawah pengaruh
epitel pigmen retina (Sativa, 2003).
2. Meningkatnya suatu kekuatan yang luas
a. Tekanan intraokular basal
Contoh klasik miopia sekunder terhadap peningkatan tekanan basal terlihat
pada glaukoma juvenil dimana bahwa peningkatan tekanan berperan besar pada
peningkatan pemanjangan sumbu bola mata (Sativa, 2003).
b. Susunan peningkatan tekanan
Secara anatomis dan fisiologis sklera memberikan berbagai respon terhadap
induksi deformasi. Secara konstan sklera mengalami perubahan pada stress.
Kedipan kelopak mata yang sederhana dapat meningkatkan tekanan intraokular 10
mmHg, sama juga seperti konvergensi kuat dan pandangan ke lateral. Pada
valsava manuver dapat meningkatkan tekanan intraokular 60 mmHg (Sativa,
2003).
2.3.5. Faktor Resiko
Faktor resiko terjadinya miopia antara lain: 1. Genetika, beberapa penelitian
telah melaporkan pengaruh ras terhadap prevalensi miopia. Pada populasi kulit
putih, prevalensi miopia dilaporkan 17-26,2% sedangkan pada populasi kulit
hitam prevalensi miopia sebesar 13-21,5%. Prevalensi miopia yang cenderung
lebih tinggi lebih banyak dijumpai pada penduduk ras Asia Timur (Wong T.Y. et
al, 2003); 2. Lingkungan, bahwa membaca atau kerja dekat dalam waktu yang
lama menyebabkan miopia. Terdapat korelasi kuat antara tingkat pencapaian
pendidikan dan prevalensi serta progresitivitas gangguan refraksi miopia. Individu
13
dengan profesi yang banyak membaca seperti pengacara, dokter, pekerja dengan
mikroskop, dan editor mengalami miopia derajat lebih tinggi. Miopia dapat
berkembang tidak hanya pada usia remaja, namun melewati usia 20-30 tahun
(Seet B. et al, 2001). Iluminasi atau tingkat penerangan juga dianggap sebagai
faktor pencetus yang mempengaruhi timbulnya miopia pada faktor lingkungan.
Gangguan penerangan dapat menimbulkan gangguan akomodasi mata, kontraksi
otot siliar secara terus-menerus akan menimbulkan gangguan refraksi mata, yaitu
miopia (Fredrick, 2002).
2.3.6. Gambaran Klinis
Gejala utama adalah gangguan penglihatan jarak jauh (buram). Tanda-tanda
mata miopik antara lain adalah bola mata memanjang, kamera okuli anterior
dalam, dan pupil melebar. Pada pemeriksaan dengan funduskopi, pembuluh darah
koroid terlihat jelas, atrofi sebagian koroid sehingga sklera tampak terbayang
putih, cakram optik lebar dan pucat, pada sisi temporal terdapat tanda myopic
crescent, sedangkan pada sisi nasal terdapat supertraction crescent. Perubahan
degeneratif pada retina biasanya terjadi pada miopia progresif yang sebanding
dengan derajat miopia, bercak atrofi putih biasanya timbul di makula, namun
perdarahan koroid tiba-tiba dapat menimbulkan bercak bulat merah gelap
berbentuk kasar dibagian luar makula (Abrams D.A., 1993).
2.3.7. Diagnosis
Pengukuran Status Refraksi
Pengukuran status refraksi terlebih dahulu ditentukan dengan penentuan
tajam penglihatan. Tajam penglihatan dinilai melalui bayangan terkecil yang
terbentuk di retina, dan diukur melalui obyek terkecil yang dapat dilihat jelas pada
jarak tertentu. Makin jauh obyek dari mata, maka makin kecil bayangan yang
terbentuk pada retina sehingga ukuran bayangan tidak hanya merupakan fungsi
ukuran obyek namun juga jarak obyek dari mata (Abrams D.A, 1993).
Pemeriksaan kelainan refraksi secara obyektif dilakukan dengan menggunakan
14
retinoskopi untuk melihat refleks fundus dan ultrasonografi (USG) untuk
mengukur panjang aksis bola mata sehingga dapat dipastikan bahwa miopia yang
tejadi bersifat aksial, namun pemeriksaan dengan USG memerlukan biaya yang
relatif mahal (Muhdahani, 1994).
Titik fokal terjauh mata tanpa bantuan berbeda pada individu yang berbeda
bergantung pada bentuk kornea. Mata ametropik mempunyai fokus optimal pada
penglihatan jauh. Mata ametropik (miopia, hyperopia atau astigmatisma)
memerlukan lensa korektif untuk memiliki fokus yang layak untuk melihat
kejauhan.
Visual acuity sentral diukur dengan pemberian target dengan ukuran yang
berbeda yang diperlihatkan pada jarak standar dari mata. Sebagai contoh, Snellen
Chart terdiri dari rangkaian huruf acak yang makin lama makin kecil pada tiap
barisnya. Tiap baris dirancang dengan jarak yang berkorespondensi, dalam ukuran
kaki atau meter, dimana mata normal dapat melihat semua huruf tersebut.
Penglihatan dapat diukur pada jarak 20 kaki atau 6 meter, atau pada jarak
yang dekat, yaitu 14 inci. Untuk tujuan diagnosa, jarak tersebut merupakan
perbandingan standart dan selalu dites berbeda pada tiap mata. Angka pertama
mewakili jarak tes dalam kaki antara chart dan pasien, dan angka kedua mewakili
baris terkecil dari huruf dimana mata pasien dapat melihat dari jarak tes.
Penglihatan normal adalah 20/20; 20/60 menandai mata pasien hanya mampu
membaca huruf-huruf 20 kaki dan cukup besar untuk mata normal melihat dari
jarak 60 kaki.
Chart yang berisi numeral dapat digunakan apabila pasien tidak mengerti
alphabet latin. Chart E buta huruf digunakan untuk anak-anak atau terdapat
gangguan bahasa. Figur E secara acak diputar pada keempat orientasi yang
berbeda. Kebanyakan anak dapat dites pada usia 3 setengah tahun.
Apabila pasien tidak mampu untuk membaca huruf terbesar pada chart, maka
pasien tersebut harus dipindahkan mendekati chart hingga huruf bisa dibaca.
15
Jarak dari chart lalu dicatat pada angka pertama. Visual acuity 5/200 berarti
pasien hanya dapat melihat angka terbesar dari 5 kaki. Sebuah mata yang tidak
mampu untuk membaca semua huruf lalu dites dengan kemampuan menghitung
jari. Pencatatan pada chart yang disebut CF pada 2 kaki mengindikasikan mata
hanya mampu menghitung jari yang terletak 2 kaki dari pasien.
Apabila menghitung jari tidak memungkinkan, mata masih dapat melihat
pergerakan vertikal ke horizontal yang disebut HM. Tingkat penglihatan yang
lebih rendah berikutnya disebut LP atau light perception.Mata yang tidak mampu
mengenali cahaya disebut buta total (Chang, 2004).
2.3.8. Komplikasi
Komplikasi yang disebabkan miopia antara lain: 1. Ablasio retina, resiko
untuk terjadinya ablasio retina pada 0 D – (-4,75) D sekitar 1/6662. Sedangkan
pada (-5) D – (-9,75) D resiko meningkat menjadi 1/1335. Lebih dari (-10) D
resiko ini menjadi 1/148. Dengan kata lain penambahan faktor resiko pada miopia
rendah tiga kali sedangkan miopia tinggi meningkat menjadi 300 kali (Sativa,
2003); 2. Vitreal Liquefaction dan Detachment, badan vitreus yang berada di
antara lensa dan retina mengandung 98% air dan 2% serat kolagen yang seiring
pertumbuhan usia akan mencair secara perlahan-lahan, namun proses ini akan
meningkat pada penderita miopia tinggi. Hal ini berhubungan dengan hilangnya
struktur normal kolagen. Pada tahap awal, penderita akan melihat bayangan-
bayangan kecil (floaters). Pada keadaan lanjut, dapat terjadi kolaps badan viterus
sehingga kehilangan kontak dengan retina. Keadaan ini nantinya akan beresiko
untuk terlepasnya retina dan menyebabkan kerusakan retina (Sativa, 2003);3.
Miopic maculopaty, dapat terjadi penipisan koroid dan retina serta hilangnya
pembuluh darah kapiler pada mata yang berakibat atrofi sel-sel retina sehingga
lapangan pandang berkurang. Dapat juga terjadi perdarahan retina dan koroid
yang bisa menyebabkan kurangnya lapangan pandang (Sativa, 2003); 4.
Glaukoma, resiko terjadinya glaukoma pada mata normal adalah 1,2%, pada
miopia sedang 4,2%, dan pada miopia tinggi 4,4%. Glaukoma pada miopia terjadi
16
dikarenakan stres akomodasi dan konvergensi serta kelainan struktur jaringan ikat
penyambung pada trabekula (Sativa, 2003); 5. Katarak, lensa pada miopia
kehilangan transparansi. Bahwa pada orang dengan miopia onset katarak muncul
lebih cepat (Sativa, 2003); 6. Skotomata, komplikasi timbul pada miopia derajat
tinggi. Jika terjadi bercak atrofi retina maka akan timbul skotomata (sering timbul
jika daerah makula terkena dan daerah penglihatan sentral menghilang). Vitreus
yang telah mengalami degenerasi dan mencair berkumpul di muscae volicantes
sehingga menimbulkan bayangan lebar di retina yang sangat mengganggu pasien
dan menimbulkan kegelisahan. Bayangan tersebut cenderung berkembang secara
perlahan dan selama itu pasien tidak pernah menggunakan indera penglihatannya
dengan nyaman sampai akhirnya tidak ada fungsi penglihatan yang tersisa atau
sampai terjadi lesi makula berat atau ablasio retina (Abrams D.A., 1993).
2.3.9. Prognosis
Miopia sangat dipengaruhi oleh usia. Setiap derajat miopia pada usia kurang
dari 4 tahun harus dianggap serius. Pada usia lebih dari 4 tahun dan terutama 8-10
tahun, miopia sampai dengan -6 D harus diawasi dengan hati-hati. Jika telah
melewati usia 21 tahun tanpa progresivitas serius maka kondisi miopia dapat
diharapkan telah menetap dan prognosis dianggap baik. Pada derajat lebih tinggi,
prognosis harus dipertimbangkan dengan hati-hati berdasarkan gambaran fundus
dan tajam penglihatan setelah koreksi. Pada semua kasus harus diperhatikan
kemungkinan perdarahan tiba-tiba atau ablasio retina (Abrams D.A., 1993).
2.3.10.Penatalaksanaan
Pengobatan terhadap miopia dapat dilakukan diantaranya dengan: 1.
Kacamata, terapi yang diberikan pada pasien yang menderita miopia adalah
dengan pemakaian kacamata negatif untuk memperbaiki penglihatan jarak jauh.
Perubahan refraksi terkecil dimana kebanyakan klinik merekomendasi perubahan
kacamata adalah sekitar -0,5 D (Goss,2000); 2. Lensa kontak, lensa kontak yang
biasanya digunakan ada 2 jenis yaitu, lensa kontak keras yang terbuat dari bahan
plastik polimetilmetacrilat (PMMA) dan lensa kontak lunak terbuat dari
17
bermacam-macam plastik hidrogen. Lensa kontak keras secara spesifik
diindikasikan untuk koreksi astigmatisma ireguler, sedangkan lensa kontak lunak
digunakan untuk mengobati gangguan permukaan kornea. Salah satu indikasi
penggunaan lensa kontak adalah untuk koreksi miopia tinggi, dimana lensa ini
menghasilkan kualitas bayangan lebih baik dari kacamata. Namun komplikasi dari
penggunaan lensa kontak dapat mengakibatkan iritasi kornea, pembentukan
pembuluh darah kornea atau melengkungkan permukaan kornea. Oleh karena itu,
harus dilakukan pemeriksaan berkala pada pemakai lensa kontak (Fredrick, 2002);
3. Bedah keratoretraktif, bedah keratoretraktif mencakup serangkaian metode
untuk mengubah kelengkungan permukaan anterior bola mata diantaranya adalah
keratotomi radial, keratomileusis, keratofakia, dan epikeratofakia (Fredrick,
2002); 4. Lensa intraokuler, penanaman lensa intraokuler merupakan metode
pilihan untuk koreksi kesalahan refraksi pada afakia (Fredrick, 2002); 5. Operasi
laser refraktif, dapat mengurangi kondisi refraksi miopia, namun tidak
menurunkan laju kondisi kebutaan karena ablasio retina, degenerasi makula, dan
glaukoma akibat miopia derajat tinggi (Fredrick, 2002); 6. Farmakologi,
antikolinergik seperti atropin telah digunakan dengan kombinasi kacamata bifokus
untuk menghambat progresivitas miopia. Walaupun progresivitas miopia
terhambat selama terapi namun efek jangka pendek nampaknya dengan perbedaan
ukuran tidak lebih dari 1-2 D dan tidak ada kasus miopia patologis yang telah
dicegah dengan terapi ini (Seet B. et al, 2001); 7. Non-farmakologi, menjaga
higiene visual dengan iluminasi yang adekuat, postur tubuh yang nyaman dan
alami saat melakukan kerja, dan menghindari kelelahan mata (Abrams D.A.,
1993).
2.3.11. Pencegahan
Menurut Curtin (2002) ada cara untuk mencegah terjadinya miopia, yaitu
dengan:
1. Mencegah kebiasaan buruk seperti
a. Biasakan anak duduk dengan posisi tegak sejak kecil.
18
b. Memegang alat tulis dengan benar.
c. Lakukan istirahat setiap 30 menit setelah melakukan kegiatan membaca atau
menonton televisi.
d. Batasi jam untuk membaca.
e. Atur jarak membaca buku dengan tepat (kurang lebih 30 sentimeter dari
buku) dan gunakan penerangan yang cukup.
f. Membaca dengan posisi tidur atau tengkurap bukanlah kebiasaan yang baik.
2. Beberapa penelitian melaporkan bahwa usaha untuk melatih jauh atau
melihat jauh dan dekat secara bergantian dapat mencegah terjadinya miopia.
3. Jika ada kelainan pada mata, kenali dan perbaiki sejak awal. Jangan
menunggu sampai ada gangguan mata. Jika tidak diperbaiki sejak awal, maka
kelainan yang ada bisa menjadi permanen. Contohnya bila ada bayi prematur
harus terus dipantau selama 4-6 minggu pertama di ruang inkubator supaya dapat
mencegah tanda-tanda retinopati.
4. Untuk anak dengan tingkat miopia kanan dan kiri tinggi, segera lakukan
konsultasi dengan dokter spesialis mata anak supaya tidak terjadi juling. Dan
selama mengikuti rehabilitasi tersebut, patuhilah setiap perintah dokter dalam
mengikuti program tersebut.
5. Walaupun sekarang ini sudah jarang terjadi defisiensi vitamin A, ibu hamil
tetap perlu memperhatikan nutrisi, termasuk pasokan vitamin A selama hamil.
6. Periksalah mata anak sedini mungkin jika dalam keluarga ada yang memakai
kacamata.
7. Dengan mengenali keanehan, misalnya kemampuan melihat yang kurang,
19
maka segeralah melakukan pemeriksaan.
Selain Curtin (2002), menurut Wardani (2009) ada cara lain untuk mencegah
terjadinya miopia, yaitu dengan:
1. Melakukan pemeriksaan mata secara berkala setiap 1 tahun sekali atau
sebelum 1 tahun bila ada keluhan (terutama yang telah memakai kacamata).
2. Istirahat yang cukup supaya mata tidak cepat lelah.
3. Kurangi kebiasaan yang kurang baik untuk mata, misalnya membaca sambil
tiduran dengan cahaya yang redup. Jarak aman untuk membaca adalah sekitar 30
cm dari mata dengan posisi duduk dengan penerangan yang cukup baik (tidak
boleh terlalu silau atau redup). Lampu harus difokuskan pada buku yang dibaca.
4. Jaga jarak aman saat menonton televisi. Jarak yang ideal adalah 2 meter dari
layar televisi dan usahakan posisi layar sejajar dengan mata dan pencahayaan
ruangan yang memadai.
5. Bila bekerja di depan komputer, usahakan setiap 1-1,5 jam sekali selama 5-10
menit untuk memandang ke arah lain yang jauh, dengan maksud untuk
mengistirahatkan otot-otot bola mata. Dan jangan lupa untuk sering berkedip
supaya permukaan bola mata selalu basah.
6. Perbanyak konsumsi makanan, baik sayuran maupun buah-buahan yang
banyak mengandung vitamin A, C, E dan lutein yang berfungsi sebagai anti-
oksidan karotenoid pemberi warna kuning jingga pada sayuran dan buah-buahan.
7. Tidak merokok dan hindari asap rokok, karena rokok dapat mempercepat
terjadinya katarak dan asap rokok dapat membuat mata menjadi cepat kering.
8. Gunakanlah sunglasses yang dilapisi dengan anti UV bila beraktifitas di luar
ruangan pada siang hari. Hal ini untuk mencegah paparan sinar matahari yang
20
berlebihan oleh karena sinar matahari mengandung sinar ultraviolet (UV) yang
tidak baik untuk sel-sel saraf di retina.
9. Aturlah suhu ruangan bila menggunakan pendingin ruangan (AC).
Kelembaban yang baik untuk permukaan mata berkisar antara 22-25° C. Jadi bila
menggunakan AC jangan terlalu dingin karena penguapan mata menjadi lebih
cepat sehingga mata menjadi cepat kering.
BAB 3
21
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Konsep
Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam penelitian
ini adalah:
3.2 Variabel dan Defenisi Operasional
Sesuai dengan masalah, tujuan, dan model penelitian, maka yang menjadi
variabel dalam penelitian beserta dengan defenisinya operasionalnya masing-
masing sesuai dengan yang dicatat oleh petugas rumah sakit sebagai berikut:
Penderita miopia adalah seluruh penderita yang didiagnosa dokter mengalami
miopia yang tercatat dalam rekam medik di RSUP H. Adam Malik periode
Januari 2011 – Desember 2011.
Usia
a. Defenisi : umur penderita saat didiagnosa menderita miopia yang
tercatat dalam rekam medik RSUP H. Adam Malik dan usia
dinyatakan dalam tahun
b. Cara ukur : observasi
c. Alat ukur : data rekam medik
d. Kategori : usia dikategorikan sesuai dengan nilai usia yang didapat
- 21-25 tahun
- Usia
- Jenis Kelamin
- Status Pekerjaan
- Derajat Miopia
PenderitaMiopia
22
- 26-30 tahun
- 31-35 tahun
- 36-40 tahun
e. Skala ukur : interval
Jenis kelamin
a. Defenisi : jenis kelamin penderita miopia yang tercatat dalam rekam
medik di RSUP H. Adam Malik
b. Cara ukur : observasi
c. Alat ukur : data rekam medik
d. Kategori : - laki-laki
- perempuan
e. Skala ukur : nominal
Status pekerjaan
a. Defenisi : status pekerjaanpenderita miopia yang tercatat dalam rekam
medik RSUP H. Adam Malik
b. Cara ukur : observasi
c. Alat ukur : data rekam medik
d. Kategori : status pekerjaandikategorikan sesuai dengan status
pendidikan yang didapat
- mahasiswa
- bekerja
e. Skala ukur : ordinal
Derajat miopia
a. Defenisi : tingkat keparahan miopia pada penderita yang tercatat
dalam rekam medik RSUP H. Adam Malik
b. Cara ukur : observasi
c. Alat ukur : data rekam medik
d. Kategori : - ringan : < 3.00 D
23
- sedang : 3.00 D – 6.00 D
- berat : > 6.00 D
e. Skala ukur : ordinal
BAB 4
METODE PENELITIAN
24
4.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional yang akan
melihat prevalensi penderita miopia. Desain penelitian yang akan digunakan
adalah secara cross sectional study.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian akan dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan. Penelitian akan
dilakukan pada bulan Agustus 2012.
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian
4.3.1 Populasi
Populasi penelitian adalah seluruh data rekam medik penderita miopia pada
periode Januari 2011 – Desember 2011. Sampel penelitian diambil dengan metode
Total Sampling, semua objek kriteria inklusi dimasukkan dalam penelitian hingga
jumlah sampel yang dibutuhkan terpenuhi. Kriteria inklusi yang digunakan
adalah:
1. Penderita miopia di Poli Kelainan Refraksi Mata RSUP H. Adam Malik
2. Penderita miopia yang berumur diantara 21 - 40 tahun
Sedangkan kriteria eksklusi yang digunakan adalah:
1. Penderita miopia yang berumur dibawah 20 tahun
2. Penderita miopia yang berumur diatas 40 tahun
4.3.2 Sampel
25
Sampel pada penelitian ini adalah seluruh penderita miopia yang telah sesuai
dengan kriteria penelitian yaitu semua penderita miopia di Poli Kelainan Refraksi
Mata RSUP H. Adam Malik Medan periode Januari 2011 – Desember 2011.
4.4 Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data sekunder yang
diperoleh dari pencatatan pada rekam medis pada pasien miopia, di RSUP H.
Adam Malik Medan pada periode Januari 2011 – Desember 2011.
4.5 Metode Analisis Data
Data yang diperoleh akan dideskriptifkan menggunakan program Statistical
Package for Social Sciences (SPSS), dan kemudian didistribusikan secara
deskriptif dengan menggunakan tabel distribusi dan dilakukan pembahasan sesuai
dengan pustaka yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
26
American Academy of Ophtamology, 2002. Section 12 Retina and Vireus. USA:
AAO.
American Optometric Association, 2006. Care of the Patient with Myopia.
Lidbergh Blvd: AOA. Available from: http://www.aoa.com
Bullimore, M.A., et al., 2009. The Study of Progression of Adult Nearsightedness
(SPAN): Design Baseline Characteristics. Optom Vis Sci. 83(8): 594-604.
Cahyana, N.W., Hartono, Gunawan, Wasisdi, dan Suhardjo. Ampitudo Akomodasi
pada berbagai jenis myopia. Universitas Jember. Available from:
http://www.ojs.lib.unair.ac.id/index.php/bik/article/viewFile
Curtin, B.J., 2002. The Myopia. Philadelphia: Harper and Row.
Dayan, Y.B., 2005. The Changing Prevalence of Myopia in Young Adult: A 13
Years Series of Population-Baesd Prevalence Surveys. Investigative
Ophtalmology and Visual Science 46: 2760-2765.
Drake, R.L., Vogl, A.W., Mitchell, A.W.M, 2010. Gray’s Anatomy for Students.
Philadelphia: Churchill Livingstone.
Erbynovita, 2008. Faktor yang berpengaruh Terhadap Kejadian Miopia pada
Murid Sekolah Dasar Kleas IV, V, dan VI: Studi di SDK Santa Theresia 2
Surabaya.Surabaya: Universitas Airlangga. Available from:
http://www.adln.lib.unair.ac.id/go.php.
Fredrick, D.R., 2002. Myopia. University of California. Available form:
http://www.bmj.com/cgi/content/extract/324/734/1195
Ilyas, H.S., 2008. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ke-3. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Jacobsen, N., 2008. Does the Level of Physical Activity in University Students
Influence Development and Progression of Myopia. Optom Vis Sci 49:1322
27
National Research Council (US), 1989. Myopia: Prevalence and Progression.
Washington DC: National Academy Press. Available from:
http://www.nap.edu/openbook.php.
Sitepu, B. R. E., 2008. Hubungan Ukuran Pupil dengan Miopia Derajat Sedang
dan Berat. Departemen Ilmu Kesehatan Mata FK USU.
Sperduto, R.D., Siegel, D., Robert, J., Rowland, M., 1983. Prevalence of Myopia
in the United States. Arch Ophtalmol 101(3):405-407.
Vaughan, G.D., Asbury, T., Riordan-Eva, P, 2000. Oftalmologi Umum Edisi ke-
14. Jakarta: Widya Medika.
Vitale, S., Sperduto, R.D., amd Ferris, F.L., 2009. Increased Prevalence of
Myopia in the United States between 1971-1972 and 1999-2004. Arch
Ophtamol 127(12):1632-1639.
Wedner, S.H., et al., 2002. Myopia in Secondary school students in Mwanza city,
Tanzania: The Need for a National Screening Programe. British Journal of
Ophtalmology 86:1200-1206.