PRAKTIK PEMUNGUTAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar
Sarjana Ekonomi Islam (S.E.I)
Oleh:
ANDRY KURNIAWAN
NIM: 102046125283
KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH
PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H/ 2009 M
PRAKTIK PEMUNGUTAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar
Sarjana Ekonomi Islam (S.E.I)
Oleh: ANDRY KURNIAWAN
NIM: 102046125283
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing I, Pembimbing II,
Dra. Hj. Hafni Muchtar, SH., MH., MM. Drs. H. Ahmad Yani, MA.
NIP: 150 269 678
KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH
PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H/ 2009
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul PRAKTIK PEMUNGUTAN PAJAK PERTAMBAHAN
NILAI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM, telah diujikan dalam sidang
munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada
tanggal 19 Februari 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S 1) pada Program Studi Muamalat.
Jakarta, 19 Februari 2009
Disahkan oleh
Dekan,
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
NIP. 150 210 422
PANITIA UJIAN
Ketua : Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM (......................)
NIP. 150 210 422
Sekretaris : H. Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag, MH. (......................)
NIP. 150 318 308
Pembimbing I : Dra. Hj. Hafni Muchtar, SH., MH., MM. (......................)
Pembimbing II: Drs. H. Ahmad Yani, MA. (......................)
NIP. 150 269 678
Penguji I : Dr. Hasanuddin, M. Ag (......................)
NIP. 150 268 590
Penguji II : Dr. H. Yayan Sopyan, M. Ag (......................)
NIP. 150 277 991
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul PRAKTIK PEMUNGUTAN PAJAK PERTAMBAHAN
NILAI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM, telah diujikan dalam sidang
munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pada tanggal 19 Februari 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah
satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S 1)
pada Program Studi Muamalat
Jakarta, 7 Februari 2007
Disahkan oleh
Dekan,
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
NIP. 150 210 422
PANITIA UJIAN
Ketua : Dr. Euis Amalia, M.Ag (......................................)
NIP. 150 289 264
Sekretaris : H. Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag, MH. (......................................)
NIP. 150 318 308
Pembimbing I : Dra. Hj. Hafni Muchtar, SH., MH., MM. (......................................)
Pembimbing II: Drs. H. Ahmad Yani, MA. (......................................)
NIP. 150 269 678
Penguji I : Dr. Hasanuddin, M. Ag (......................................)
NIP.
Penguji II : Dr. H. Yayan Sopyan, M. Ag (......................................)
NIP.
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 03 Maret 2009
Andry Kurniawan
KATA PENGANTAR
��� ا ا������ ا������
Segala puji dan syukur Kehadirat Allah SWT, pemilik Alam Semesta. Karena
berkat rahmat dan hidayah-Nya, akhirnya penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.
Shalawat dan salam dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi di
akhir zaman yang menjadi suri teladan bagi seluruh umat manusia.
Dalam menyelesaikan sebuah karya ilmiah yang berbentuk skripsi bukanlah
hal yang mudah, tetapi harus dilewati dengan berbagai rintangan yang tidak terduga
sebelumnya. Tahap demi tahap dengan selalu memohon ridho kepada Allah SWT,
akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini, dengan didukung oleh
pihak-pihak dari luar.
Ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis sampaikan kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum.
2. Ibu Dr. Euis Amalia, M.Ag., selaku Ketua Program Studi Mu’amalat
Konsentrasi Perbankan Syariah.
3. Bapak H. Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag., MH., selaku Sekretaris Program
Studi Mu’amalat Konsentrasi Perbankan Syariah.
4. Ibu Dra. Hj. Hafni Muchtar, S.H., MH., MM., selaku Pembimbing Skripsi.
5. Bapak Drs. H. Ahmad Yani, MA., selaku Pembimbing Skripsi.
6. Papah dan Mamah yang dengan penuh kesabaran memberikan bimbingan
serta senantiasa mencurahkan segala dukungan baik moril maupun materil.
7. Saudara-saudaraku Etty Widdyan, Erry Suryana, Irwan Supriyana, Andryana
Widdyan dan Andryani Widdyan, serta keponakanku: Arif Permana Putera
yang selalu mengisi hari-hariku di rumah dengan canda dan tawa.
8. Irmalia yang selalu menyemangatiku baik dalam keadaan susah maupun
senang. Dhanu, Oke, Fauzan, Azis, Arfah, Fidyar, Anggoro, serta rekan-rekan
kampus, yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Mengingat segala keterbatasan dan kemampuan, penulis menyadari masih
adanya kekurang sempurnaan pada skripsi ini, kritik dan saran yang membangun
selalu terbuka lebar demi perbaikan dalam penulisan skripsi selanjutnya.
Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi
penulis.
Depok, 03 Maret 2009
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah................................................................. 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................................... 9
D. Metode Penelitian dan Tehnik Penulisan ........................................................... 9
E. Review Terhadap Penelitian Terdahulu ........................................................... 10
F. Sistematika Penulisan...................................................................................... 14
BAB II KERANGKA TEORI
A. Sejarah Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai.................................................15
B. Pengertian Pajak Pertambahan Nilai ................................................................19
C. Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai ......................................................21
D. Penghitungan Pajak Pertambahan Nilai Serta Pengkreditannya........................24
E. Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai .............................................................36
F. Subjek Dan Objek Pajak Pertambahan Nilai ....................................................45
G. Pajak Pertambahan Nilai Yang Ditanggung Pemerintah...................................53
H. Faktur Pajak ....................................................................................................54
I. Karakteristik Pajak Pertambahan Nilai ............................................................59
BAB III PRAKTIK PEMUNGUTAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
(PPN) DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
A. Perpajakan Memurut Hukum Islam .................................................................61
1. ............................................................................................................... P
engertian Hukum Islam...........................................................................61
2. ............................................................................................................... P
ajak Dalam Islam....................................................................................63
3. ............................................................................................................... S
ejarah Pemungutan Zakat Dan Pajak Dalam Islam ..................................64
4. ............................................................................................................... D
asar Hukum Pemungutan Pajak Dalam Hukum Islam .............................68
5. ............................................................................................................... P
ersamaan Dan Perbedaan Antara Zakat Dan Pajak ..................................77
6. ............................................................................................................... K
arakteristik Pajak Dalam Hukum Islam...................................................79
B. Analisa Praktik Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Menurut Perspektif
Hukum Islam...................................................................................................80
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan .....................................................................................................84
B. Saran-saran......................................................................................................85
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Telaah ilmiah terhadap ajaran agama Islam adalah untuk kepentingan umum
dalam kehidupan duniawi sebagai persiapan menghadapi kehidupan ukhrawi. Karena
itu ajaran Islam tidak hanya mempelajari ataupun mendalami masalah teologi dan
ritual semata, tetapi juga mencakup persoalan politik, ekonomi dan sosial budaya.
Islam memandang bahwa harta kekayaan dan penghasilan yang diperoleh oleh
manusia dari berbagai kegiatan ekonomi merupakan harta yang dimiliki oleh Allah
Swt. dan diamanatkan kepada manusia. Oleh karena itulah, di dalam harta tersebut
terdapat hak orang lain dan salah satu cara untuk membelanjakan harta tersebut yaitu
dengan membayar zakat untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya
berdasarkan al-Qur’an dan hadits, serta membayar pajak kepada negara untuk
digunakan dalam meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Hal ini sesuai dengan perkataan yang dilontarkan oleh Ali bin Abi Thalib,
seperti yang dikutip oleh B. Wiwoho yang mengatakan bahwa negara itu ibarat
sebuah taman. “Pagar yang menjaga keselamatan taman itu adalah undang-undang,
yaitu kekuasaan yang wajib ditaati. Taat dan kepatuhan rakyat kepada undang-undang
itulah yang menjadi sebab teguhnya pemerintahan. Pemerintah itu adalah ibarat
pengembala dan pengawal keselamatan negara yang didukung oleh tentara yang kuat.
Tentara itu adalah alat negara yang harus ditanggung semua keperluannya oleh kas
negara dan kas negara itu dikumpulkan dari rakyat…”1
Pada zaman Rasulullah saw., sisi penerimaan APBN terdiri atas kharaj
(sejenis pajak tanah), zakat, khums/ghanimah (pajak5
1 dari harta rampasan perang),
jizyah (sejenis pajak atas badan orang non muslim), dan penerimaan lain-lain
(diantaranya kaffarah/ denda).2 Lain halnya pada masa kekhalifahan Umar bin
Khaththab RA yang menerapkan ‘usyr (pajak 10
1dari hasil perdagangan). Oleh
karena itulah ‘usyr bukan bersumber dari al-Qur’an dan bukan pula dari Sunnah nabi
SAW, akan tetapi bersumber dari ijtihad para sahabat.3
Negara Indonesia merupakan negara yang besar dan tentunya dengan
permasalahan yang besar pula, terutama dalam permasalahan di bidang
perekonomian. Oleh karena itulah, pemerintah mempunyai tiga fungsi utama, yang
oleh Musgrave dan Musgrave disebut sebagai Fiscal Function seperti yang dikutip
oleh Haula Rosdiana dan Rasin Tarigan, yaitu:
1. Mengatasi masalah inefisiensi dalam mengalokasikan sumber-sumber
ekonomi,
1 B. Wiwoho., et., al., Zakat dan Pajak, (Jakarta: PT Bina Rena Pariwara, 1992), Cet.ke 3,
h.35. 2 Adiwarman Azwar Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, (Jakarta, Gema
Insani Press, 2001), cet.ke 1, h. 25. 3 Quthb Ibrahim Muhammad, Kebijakan Ekonomi Umar bin Khaththab, (Jakarta, Pustaka
Azzam, 2002), cet.ke 1, h. 100.
2. Mendistribusikan penghasilan dan kekayaan kepada masyarakat sehingga
tercapai masyarakat yang adil dan makmur, serta
3. Untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul sebagai akibat dari
fluktuasi perekonomian dan menjaga/ menjamin tersedianya lapangan
kerja (memperkecil tingkat pengangguran) serta penjaga stabilitas harga. 4
Pada umumnya negara mempunyai sumber-sumber penghasilan yang terdiri
dari:
1. Bumi, air dan kekayaan alam.
2. Pajak-pajak, bea dan cukai.
3. Penerimaan Negara, Bukan Pajak (non tax).
4. Hasil Perusahaan Negara.
5. Sumber-sumber lain.5
Saat ini, pajak merupakan kontributor terbesar dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) kita yang berarti perannya sangat besar bagi kelangsungan
pembangunan bangsa ini.6 Pemerintah tidak dapat semena-mena untuk dapat menarik
pendapatan yang berasal dari pajak. Oleh karena itulah, penarikan pajak yang
dilakukan oleh pemerintah harus berdasarkan pada azas keadilan serta hukum pajak
yang diletakkan dalam pasal 23 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 Republik
4 Haula Rosdiana dan Rasin Tarigan, Perpajakan Teori dan Aplikasi, (Jakarta, PT. Raja
Grafindo Persada, 2005), ed.ke 1, h. 3. 5 H. Bohari, Pengantar Hukum Pajak, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2002), ed.Revisi,
cet.ke 4, h. 11. 6 Achmad Tjahjono dan Muhammad Fakhri Husein, Perpajakan, (Yogyakarta, Akademi
Manajemen Perusahaan YKPN, 2005), ed. 3, cet.ke 1, h. 2.
Indonesia yang berbunyi: “segala pajak untuk kegunaan kas negara berdasarkan
undang-undang”.
Jadi setiap pajak yang dipungut oleh pemerintah harus berdasarkan Undang-
undang, sehingga tidak mungkin ada pajak yang hanya dipungut berdasarkan
Keputusan Presiden atau berdasarkan Peraturan Pemerintah atau berdasarkan
peraturan-peraturan lain yang lebih rendah daripada Undang-undang.7
Lain halnya dengan Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan,
Keputusan Direktur Jenderal Pajak serta Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak yang
berkaitan dengan pelaksanaan Undang-undang pajak. Selain itu pula berbagai
peraturan daerah, baik Peraturan Daerah Propinsi maupun Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota, yang mengatur tentang pemberlakuan suatu jenis pajak daerah di
suatu propinsi atau kabupaten/kota.
Lahirnya Undang-undang Pajak Nasional, sebagai pengganti undang-undang
pajak yang berlaku sebelumnya yang isinya sebagian besar berasal dari zaman Hindia
Belanda, seperti Ordonansi Pajak Perseroan tahun 1925, Ordonansi Pajak Kekayaan
tahun 1932 dan Ordonansi Pajak Pendapatan tahun 1944.8 Merupakan salah satu
faktor yang mendukung keberhasilan pembangunan yang dilaksanakan sampai
sekarang, sehingga kelahirannya memiliki arti sejarah bagi bangsa dan negara.
Undang-undang Pajak Nasional ini terdiri dari:
7 Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan I, (Bandung, PT. Rafika Aditama, 1998),
ed. Revisi, cet.ke 5, h. 7. 8 Wiwoho, Zakat dan Pajak, h. 39.
1. Undang-undang No. 6 tahun 1983 yang telah diubah untuk kedua kalinya,
dan terakhir dengan Undang-undang No. 28 Tahun 2007 tentang
Ketentuan umum dan tata cara Perpajakan.
2. Undang-undang No. 7 tahun 1983 yang telah diubah untuk ketiga kalinya,
dan terakhir dengan Undang-undang No. 36 tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan (PPh).
3. Undang-undang No. 8 Tahun 1984 yang telah diubah untuk kedua kalinya,
dan terakhir dengan Undang-undang No. 18 Tahun 2000 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa (PPN) dan Pajak Penjualan atas barang
Mewah (PPnBM). 9
Selain undang-undang yang tertera pada undang-undang pajak nasional,
terdapat undang-undang yang mengatur tentang pemungutan pajak, yaitu:
1. Undang-undang Nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 12 tahun 1994.
2. Undang-undang Nomor 13 tahun 1985 tentang Bea Materai.
3. Undang-undang Nomor 21 tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 20 tahun 2000.
4. Undang-undang Nomor 18 tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 34 tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah.
9 Bohari, Pengantar Hukum Pajak, h. 5.
Undang-undang No. 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai barang
dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang lebih dikenal dengan
Undang-undang pajak Pertambahan Nilai 1984 merupakan salah satu produk
reformasi sistem perpajakan nasional (tax reform) 1983. sebagai pengganti Undang-
undang No. 19 Tahun 1951 Drt. Jo Undang-undang No. 35 Tahun 1953 tetang Pajak
Penjualan, Undang-undang PPN 1984 ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 1985.10
Dalam perjalanannya, UU Nomor 8 Tahun 1983 ini telah dua kali diubah yaitu:
1. Mulai 1 januari 1995 diubah dengan UU Nomor 11 Tahun 1994 meliputi
pasal 1 sampai dengan pasal 17 berurutan.
2. Mulai 1 Januari 2001 diubah untuk yang kedua kalinya dengan UU Nomor
18 tahun 2000 meliputi pasal 1 sampai denga pasal 16C namun tidak
berurutan. 11
Berdasarkan atas dasar hukum tersebut, maka pemerintah mewajibkan kepada
warga negaranya untuk membayar pajak yang merupakan salah satu sumber utama
pendapatan pemerintah pusat maupun daerah yang berguna untuk pengeluaran-
pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih terdapat surplus,
dipergunakan untuk membiayai public investment, dan diambil dari sebagian
kekayaan warganya tanpa mendapatkan prestasi-kembali dari negara dari pembayaran
atau penyetoran pajak.
10 Untung Sukardji, Pajak Pertambahan Nilai, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2003), ed.
Revisi, cet.ke 6, h. 15. 11 Untung Sukardji, Pokok-Pokok Pajak Pertambahan Nilai Indonesia, (Jakarta, PT. Raja
Grafindo Persada, 2004), cet.ke 2, h. 16.
Oleh karena itulah apabila terdapat kelalaian dalam membayar atau menyetor
pajak maka pemerintah yang dalam hal ini fiskus dapat menagih pajak dengan
memberikan surat paksa berdasarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang
Pemungutan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 19 Tahun 2000, akan tetapi apabila terdapat suatu perselisihan maka
dapat ditindak dengan hukum yang berlaku, berdasarkan UU No. 14 Tahun 2002
tentang Pengadilan Pajak yang menggantikan UU No. 17 tahun 1997 tentang Badan
Penyelesaian Sengketa Pajak.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mulai populer di Indonesia pada 1980-an
karena relatif mudah bagi pemerintah untuk memungutnya. Berbeda dengan Pajak
penghasilan (PPh) yang dipungut setelah berlalunya kurun waktu tertentu dan
kemungkinan timbulnya perselisihan atas jumlah pajak yang harus dibayar, Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) dipungut tunai ketika barang terjual dan jumlahnya jelas.
Sepintas, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tampak memang lebih mudah, tetapi
ternyata menimbulkan ekses negatif pada harga dan jumlah yang diperdagangkan.12
Akan tetapi dari banyaknya Undang-Undang pajak yang berlaku di Indonesia,
tidak terdapat Undang-Undang yang mendefinisikan pajak secara rinci. Hal ini
tampaknya terkait dengan definisi pajak itu sendiri, yang apabila di definisikan maka
akan terlihat jelas bahwa pajak itu merupakan salah satu alat kepentingan penguasa. 13
Berdasarkan latar belakang di atas, maka pada pembahasan ini penulis tertarik untuk
12 Adiwarman Azwar Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, h. 46. 13 Gusfahmi,Pajak menurut Syariah, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2007), ed.ke 1, h.
24.
membahas masalah perpajakan dengan judul “Praktik Pemungutan Pajak
Pertambahan Nilai Dalam Perspektif Hukum Islam”. Pembahasan ini berdasarkan
Undang-undang No. 18 tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Pembatasan dan Perumusan Masalah
Masalah pajak adalah masalah negara dan setiap orang yang hidup dalam
suatu negara harus berurusan dengan pajak, oleh karena itu masalah pajak juga
menjadi masalah seluruh rakyat dalam negara tersebut. Dengan demikian setiap orang
sebagai anggota masyarakat suatu negara harus mengetahui segala permasalahan
yang berhubungan dengan pajak.
Dari latar belakang yang telah diuraikan, maka terlihat betapa seriusnya
pemerintah dalam upaya untuk memungut pajak dari warga negaranya, walaupun
tidak terdapat Undang-Undang yeng menjelaskan serara rinci dari definisi pajak itu
sendiri. Tertarik dengan hal itu, maka pada pembahasan penelitian ini penulis
berupaya mengkaji lebih jauh tentang pemungutan Pajak pertambahan Nilai (PPN).
Penulis ingin merumuskan beberapa hal yang terkait dalam pembahasan skripsi ini
sebagai berikut :
1. Bagaimanakah kedudukan pajak dan zakat dalam Islam?
2. Bagaimanakah teori dan aplikasi peraktik pemungutan Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) menurut hukum Islam?
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Pembahasan dalam penelitian ini secara umum bertujuan untuk memperoleh
pemahaman yang lebih mendalam tentang peraktik pemungutan Pajak Pertambahan
Nilai (PPN). Selanjutnya, di harapkan dapat memeperoleh gambaran yang jelas
mengenai hal tersebut. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui dengan jelas kedudukan pajak dan zakat dalam
hukum Islam.
b. Untuk mengetahui dengan jelas teori dan aplikasi peraktik
pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menurut hukum Islam.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini, yaitu :
a. Manfaat yang bersifat teoritis, hasil penelitian ini diharapkan berguna
bagi pengembangan ilmu pengetahuan, yaitu pengetahuan tentang
perpajakan di Indonesia, khususnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
b. Manfaat yang bersifat praktis, sebagai upaya bagi pemerintah untuk
membuat Undang-Undang yang mengatur tentang pemungutan pajak
yang sesuai dengan hukum Islam.
Metode Penelitian dan Tehnik Penulisan
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah jenis
penelitian kualitatif normatif yaitu suatu penelitian yang bersumber dari bahan bacaan
yang dilakukan dengan cara penelaahan naskah. Data-data yang diperlukan dalam
pembahasan skripsi ini diperoleh melalui penelitian kepustakaan.
Adapun data yang digunakan adalah data sekunder, yaitu yaitu data yang
diperoleh dari literatur-literatur kepustakaan seperti buku-buku serta sumber lainnya
yang berkaitan dengan materi skripsi ini. Dengan metode ini penulis memperoleh
data dengan mengumpulkan, mempelajari serta menelaah buku-buku bacaan yang
sesuai dengan judul penelitian.
Sedangkan untuk metode pengumpulan data, penulis menggunakan studi
pustaka serta studi dokumentasi, yaitu metode yang didasarkan pada sumber
dokumen atau bahan bacaan. Data yang telah terkumpul diseleksi dan disusun
kemudian dianalisa dengan metode deskriptif kualitatif, yaitu menerangkan secara
sistematis dengan meneliti permasalahan yang ada pada tulisan ini untuk kemudian
ditarik suatu kesimpulan sehingga membentuk suatu karya tulis yang mencerminkan
satu kesatuan yang utuh.
Adapun teknik penulisan dan penyusunan skripsi ini berpedoman pada buku
“Pedoman Penulisan Skripsi di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta Tahun 2007”.
Review Terhadap Penelitian Terdahulu
Dalam penelitian terdahulu, penulis hanya menemukan dua penulis lain yang
membahas tentang Pajak Pertambahan Nilai. Seperti yang dilakukan oleh Fauziah
(Tahun 2005) yang berjudul “Perbandingan Mekanisme Penghitungan Pajak
Pertambahan Nilai Pada Kredit Kendaraan Bermotor dan Murabahah (Studi Kasus
BNI Konvensional dan BNI Syariah)”.
Isi dari penelitian yang ditulis Fauziah yaitu: Pembahasan tentang Pengertian
PPN, Mekanisme Pemungutan PPN, Objek dan Subjek PPN, Dasar Pengenaan Pajak,
serta Tarif PPN, Pengertian Kredit dan Unsur-unsurnya, Jenis-jenis Kredit, Analisis
Penentuan Besarnya kredit untuk konsumtif, Definisi Murabahah, Landasan Syariah,
Jenis-jenis Murabahah serta aplikasinya dalam perbankan Islam.
Sedangkan kesimpulan yang dapat diambil dari tulisan Fauziah yaitu:
a. Komposisi angsuran yang ada pada kredit kendaraan maupun murabahah hampir
sama, yaitu sama-sama dalam angsuran tersebut terdiri dari nilai pokok dan harga
jual termasuk PPN dan PPnBM. Yang membedakan yaitu, pada kredit terdiri dari
bunga, sedangkan murabahah terdiri dari margin atau nisbah bagi hasil.
b. Komponen bungan terdiri dari cost of fund, biaya operasional, cadangan resiko
kredit macet, laba yang diinginkan serta pajak.
c. Komponen murabahah terdiri dari peta persaingan, target pembiayaan, target dana
pihak ketiga, target pendapatan, dan target biaya operasional.
d. Penghitungan kredit dengan Efektif In Area Rates/ Sliding Rate, sedangkan
murabahah dengan Flat Rate.
e. Pengenaan PPN pada kredit kendaraan dan murabahah dilakukan sekali yaitu pada
saat penyerahan barang dari supplier/dealer kepada nasabah.
f. Penghitingan PPN berdasarkan mekanisme kredit pajak.
g. Belum adanya kepastian hukum dalam pengenaan PPN pada transaksi murabahah.
Sedangkan penulis lainnya yaitu Nurahdiyani HM (tahun 2007) yang
berjudul, Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif Terhadap Pajak Pertambahan
Nilai Pada Produk Murabahah di Bank Muamalat Indonesia.
Isi dari penelitian Nurahdiyani yaitu: Pengertian serta jenis-jenis Pajak,
Gambaran Umum Pajak Pertambahan Nilai, Pengertian, Mekanisme, Karakteristik,
Tipe Pemungutan, Prinsip Pemungutan, Barang Kena Pajak, Jasa Kena Pajak, Objek
dan Subjek PPN, Dasar Pengenaan serta Tarif PPN, Pengertian Murabahah, landasan
Syariah, Syarat-syarat, Jenis murabahah kepada pemesan pembelian, aplikasinya
dalam perbankan.
Sedangkan kesimpulan yang dapat diambil dari tulisan Nurahdiyani HM
yaitu:
a. Bank Muamalat Indonesia mengenakan PPN hanya sekali yaitu pada saat
pembelian barang kepada supplier.
b. Murabahah merupakan produk pembiayaan dalam rangkan perantaraan antara
pemilik dana dan pengguna dana.
c. SK Dirjen Pajak No. 243 dan No. 271, tanggal 04 September 2003 menetapkan
bahwa murabahah menjadi produk yang dikenai pajak sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang masih berlaku.
d. Adanya ketidak pastian hukum dalam pengenaan PPN pada transaksi murabahah.
Sedangkan pada pembahasan skripsi ini penulis membahas tentang PPN
termasuk di dalamnya sejarah pemungutan, pengertian dasar pengenaan,
penghitungan serta pengkreditannya, subjek dan objek, PPN yang ditanggung oleh
pemerintah, faktur pajak, dan karakteristik. Sedangkan dalam hukum Islam, penulis
membahas tentang pengertian hukum Islam itu sendiri, pajak dalam Islam, sejarah
pemungutan zakat dan pajak dalam Islam, dasar hukum pemungutan pajak dalam
Islam, persamaan antara zakat dan pajak, serta karakteristik pajak dalam Islam.
Sedangkan kesimpulan dari tulisan ini yaitu:
a. Pajak dikenal dalam hukum Islam dengan sebutan al-dharibah yang memiliki arti
beban, wajib, tetap, tentu, dan lain-lain. Sedangkan zakat memiliki arti bersih,
suci, berkah, maslahat, dan berkembang. Diantara keduanya terdapat persamaan
dan perbedaan.
b. Pajak Pertambahan Nilai tidak boleh dipungut, karena tidak sesuai dengan
prinsip-prinsip hukum Islam. Diantaranya yaitu, tidak adanya perbedaan dalam
pengenaan tarif pajak yaitu orang yang berpenghasilan rendah serta orang yang
berpenghasilan tinggi, tidak adanya kejelasan objek pajak baik yang halal maupun
yang haram. Serta PPN tidak dapat diqiyaskan dengan ‘ushr karena ‘ushr
merupakan penyeimbangatas apa yang dilakukan oleh orang kafi terhadap orang
muslim.
Dari uraian tersebut diatas semua dapat ditarik kesimpulan bahwa skripsi yang
ditulis oleh Fauziah (tahun 2005) dan Nurahdiyani HM (tahun 2007) serta penulis
terdapat perbedaan dalam pemabahasannya walaupun berpusat pada pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai, karena Fauziah (tahun 2005) dan Nurahdiyani HM (tahun 2007)
membahas tentang pengenaan PPN pada produk murabahah dalam perbankan
sedangkan penulis membahas tentang hukum Islam dari pemungutan PPN itu sendiri.
Sistematika Penulisan
Agar pembahasan skripsi ini lebih terarah dan sistematis, penulis membagi
menjadi empat bab dengan perincian sebagai berikut :
Bab kesatu berisi tentang latar belakang ini menguraikan alasan dan
ketertarikan penulis meneliti masalah ini, gambaran secara keseluruhan skripsi, latar
belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, metode penulisan dan tehnik penulisan, review terhadap penelitian
terdahulu serta sistematika penyusunan.
Bab kedua berisi tentang kerangka teori, pada bab ini penulis akan membahas
secara sekilas tentang sejarah pemungutan PPN, pengertian PPN, dasar pengenaan
PPN, penghitungan PPN serta pengkreditannya, pemungutan PPN, subjek dan objek
PPN, PPN yang ditanggung pemerintah, faktur pajak, karakteristik PPN
Bab ketiga membahas tentang praktik pemungutan Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) dalam perspektif hukum Islam, yang terdiri dari: pengertian hukum islam,
pajak dalam Islam, sejarah pemungutan zakat dan pajak dalam hukum Islam,
persamaan antara zakat dan pajak karakteristik pajak dalam hukum Islam, serta
analisa praktik pemungutan pajak pertambahan nilai (PPN) dalam perspektif hukum
Islam.
Bab keempat adalah penutup, pada bab ini penulis memberikan kesimpulan-
kesimpulan hasil penelitian dan saran-saran.
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Sejarah Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai
Sejarah pemungutan pajak mengalami perubahan dari masa ke masa yang
mana hal ini sesuai dengan perkembangan negara dan masyarakat pada waktu itu,
baik dalam bidang kenegaraan maupun dalam bidang sosial dan ekonomi. Pada
mulanya pajak belum merupakan suatu pungutan, akan tetapi merupakan suatu
pemberian sukarela oleh rakyat kepada raja dalam tujuannya untuk memelihara
negara dari segala bentuk kepentingan dan ancaman.14
Akan tetapi dalam perkembangannya pemberian sukarela tersebut berubah
sesuai dengan tema dasar penguasa untuk mensiasati rakyatnya agar bersedia menjadi
abdi bagi kepentingannya. Dimana penguasa kala itu membangun mitos-mitos bahwa
kekuasaan yang berada di tangannya merupakan kekuasaan yang langsung diterima
dari Tuhan. Yang pada akhirnya mereka memungut upeti dari rakyatnya sebagai
bentuk kesetiaan rakyat terhadap kepentingan penguasanya.15
Hal ini terkait dengan
pernyataan E.R.A. Seligmen dengan artikelnya dalam Encyclopedia of the Social
Sciences, seperti yang dikutip oleh Masdar F. Mas’udi, dengan pernyataan bahwa:
“Dalam tradisi pemerintahan kuno dan feodal, tax (upeti) telah dikenakan
secara paksa tanpa kaitan apa pun dengan aspirasi keadilan. Pungutan ini umumnya
14 Bohari, Pengantar Hukum Pajak, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2002
), ed. Revisi, cet.ke 4, h. 1. 15 Masdar F. Mas’udi, Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) Dalam Islam, (Jakarta,
Pustaka Firdaus, 1991), cet.ke 1, h. 104- 105.
dikenakan atas rakyat jelata yang tak punya pengaruh dan terhadap budak-budak
belian”.16
Akan tetapi dalam perkembangannya, sifat upeti yang diberikan oleh rakyat
tidak lagi hanya untuk kepentingan penguasa saja, tetapi sudah mengarah terhadap
kepentingan rakyat itu sendiri.
Dengan adanya perkembangan dalam masyarakat, maka upeti yang
merupakan pemberian secara cuma-cuma dengan tidak meninggalkan sifat utamanya
yaitu memaksa, kemudian dibuat suatu aturan yang lebih baik agar sifat memaksanya
tetap dipertahankan namun unsur keadilan lebih diperhatikan. Oleh karena itulah,
rakyat diikut sertakan dalam membuat aturan-aturan dalam pemungutan pajak yang
bertujuan untuk kepentingan rakyat itu sendiri.17
Dan aturan-aturan inilah yang
nantinya menjadi cikal bakal dalam praktik pemungutan pajak yang saat ini berlaku
yang disebut dengan Undang-undang.
Pajak Pertambahan Nilai ataupun Pajak Penjualan sudah dikenal sejak
berabad-abad yang lalu seperti halnya Spanyol yang telah menerapkan pajak
penjualan dengan nama “alcabala” dalam abad ke-14 serta di negara-negara lain yang
berada di bawah pengaruhnya. Pajak ini dikenakan dengan tarif 10 %.18
Pada tahun 1916, Jerman menerapkan the Stamp Sales Tax untuk membiayai
perang dan juga menutup dana yang besar. Pada tahun 1918 dikembangkan menjadi
General Turnover Tax yang dikenakan atas seluruh penyerahan barang dan jasa yang
16 Ibid, h. 105.
17 Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, hukum Pajak, (Jakarta, Salemba Empat, 2007), ed.
3, h. 5. 18 Untung Sukardji, Pajak Pertambahan Nilai, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2003), ed.
Revisi, cet.ke 6, h. 10.
dilakukan oleh para pengusaha. Dikarenakan banyaknya protes dari para pengusaha
kecil atas penerapan pajak tersebut. Pada tahun 1919 Carl Friedrich von Siemens,
seorang konsultan pemerintah, mengusulkan the Refined Turnover Tax sebagai
pengganti General Turnover Tax akan tetapi usulan ini tidak mendapat perhatian dari
penerintah. Dan akhirnya pada tanggal 1 Januari 1968, Jerman menerapkan
“Consumption Type Value Added Tax (VAT)” sebagai pengganti General Turnover
Tax.19
Akan tetapi Perancis lah yang menerapkan VAT sampai tingkat pedagang
besar pada tahun 1954, walaupun Jerman yang pertama kali mencetuskannya. Karena
Perancis telah memperluas objek pajaknya sampai dengan penyerahan barang yang
dilakukan pedagang eceran. Dan akhirnya negara-negara eropa mensyaratkan VAT
bagi setiap negara calon anggota VAT.20
Sedangkan sejarah Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia yang termasuk
kedalam kategori pajak tidak langsung, yaitu:21
a. Pajak Pembangunan I (PPbI)
Pajak pembangunan I yang dipungut secara resmi sejak tanggal 1 Juni 1947,
dipungut atas rumah makan, penginapan, dan penyerahan jasa di rumah-rumah
makan. PPb I merupakan pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat, akan tetapi
sejak dikeluarkannya Undang-undang Nomor 32 Tahun 1956 PPb I dipungut oleh
Pemerintah Daerah sejak tahun 1957.
19 Ibid., h. 10. 20 Ibid., h. 11.
21 Ibid., h. 12-13.
b. Pajak Peredaran 1950 (PPe 1950)
Pajak peredaran dikenakan atas penyerahan barang dan jasa yang dilakukan di
Indonesia. Dalam pemungutan pajak peredaran dikenakan tarif tunggal yaitu sebesar
2,5 %, dan bersifat kumulatif. Oleh karena itulah dalam penerapannya pajak ini hanya
bertahan selama 9 bulan.
c. Pajak Penjualan 1951 (Pajak Pertambahan Nilai 1951)
Pajak penjualan ini di pungut berdasarkan Undang-undang Darurat Nomor 19
tahun 1951 yang berlaku sejak tanggal 1 Oktober 1951, yang kemudian ditingkatkan
menjadi menjadi undang-undang berdasarkan Undang-undang Nomor 35 Tahun
1953, dan dikenal dengan nama Undang-undang Pajak Penjualan 1951. Tingkat
pemungutan dalam undang-undang ini merupakan single stage tax pada tingkat
pabrikan sehingga dapat juga dinamakan a manufacturer’s sales tax. Dalam
pelaksanaannya Pajak Penjualan ini bersifat kumulatif.
Undang-undang Pajak Penjualan ini mengalami perluasan objek pajak.
Perluasan yang pertama dikenakan atas penyerahan 18 jenis jasa berdasarkan
Undang-undang Nomor 20 Prp dan Nomor 21 Prp Tahun 1959. Sedangkan perluasan
yang kedua dikenakan atas pemasukan barang dari luar negeri ke Daerah Pabean22
berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1968, yang sebelumnya dikenal dengan
nama Pajak Masuk berdasarkan Undang-undang Nomor 33 Prp Tahun 1960.
22 Daerah Pabean seperti yang tertuang dalam pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 18
Tahun 2000 adalah: “Wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang
udara diatasnya serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen yang
didalamnya berlaku Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan”.
d. Pajak Pertambahan Nilai 1984 (PPN 1984)
Untuk mengantisipasi sifat kumulatif Undang-undang Pajak Penjualan 1951
dan bersamaan dengan reformasi perpajakan nasional (tax reform) tahun 1983, maka
Undang-undang Pajak Penjualan 1951 diganti dengan Undang–undang Nomor 8
tahun 1983 yang dikenal dengan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984.
Pajak ini termasuk kedalam kelompok Non Cumulative Multi Stage Sales Tax, yang
mulai berlaku secara efektif sejak tanggal 1 April 1985. Sifat non kumulatif dalam
pajak ini terletak pada mekanisme pemungutannya yang dikenakan pada Nilai
Tambah (Added Value) dari Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak.
Pada akhir tahun 1994 diundangkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994
tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 8 tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas barang Mewah yang
mulai berlaku sejak 1995. Kemudian pada tahun 2000 diundangkan Undang-undang
Nomor 18 Tahun 2000 sebagai perubahan kedua Undang-undang Nomor 8 Tahun
1983 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001.
B. Pengertian Pajak Pertambahan Nilai
Sebelum membahas tentang Pajak Pertambahan Nilai, ada baiknya kita
mengerti apa yang dimaksud dengan pajak itu sendiri. Terdapat banyak definisi pajak
yang dikemukakan oleh para ahli, baik dari dalam maupun dari luar negeri.
Diantaranya oleh P.J.A. Adriani:23
23 Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, (Bandung, PT. Refika Aditama,
2003), ed. 4, cet.ke 1, h. 2.
“Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang
oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak
mendapat prestasi-kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya
adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan
tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan”.
Selain itu juga terdapat definisi yang dikemukakan oleh Rochmat Soemitro:24
“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang
(dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa-jasa timbal (kontra-prestasi), yang
langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran
umum”.
Kemudian disempurnakan dengan beliau, yang isinya sebagai berikut: “Pajak
adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai
pengeluaran rutin dan ‘surplus’-nya digunakan untuk public saving yang merupakan
sumber utama untuk membiayai public investment”.25
Sedangkan yang dimaksud dengan Pajak Pertambahan Nilai yaitu pajak yang
dipungut atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak di dalam
negeri.
Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut ketika Pengusaha Kena Pajak
melakukan pembelian barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak maka disebut
dengan Pajak Masukan. Pajak Masukan sebagaimana tertuang dalam Undang-undang
Nomor 18 tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah pasal 1 ayat (24) yaitu: “Pajak masukan adalah Pajak
Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena
perolehan Barang Kena Pajak dan/atau penerima Jasa Kena Pajak dan/atau
24 Achmad Tjahjono dan Muhammad Fakhri Husein, Perpajakan, (Yogyakarta, Akademi
Manajemen Perusahaan YKPN, 2005), ed. 3, cet. ke 1, h. 2. 25 Ibid., h. 2.
pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor barang Kena
Pajak”.
Dan sebaliknya apabila Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dijual
kepada pembeli maka Pengusaha Kena Pajak memungut Pajak Pertambahan Nilai
kepada pembeli yang disebut dengan Pajak keluaran. Pajak keluaran sebagaimana
tertuang dalam Undang-undang Nomor 18 tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah pasal 1 ayat (25)
yaitu: “Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut
oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak,
penyerahan Jasa Kena Pajak atau ekspor Barang Kena Pajak”.
Pajak Pertambahan Nilai merupakan selisih antara Pajak Masukan dengan
Pajak Keluaran. Apabila Pajak Masukan lebih besar dibandingkan dengan Pajak
Keluaran, maka Pengusaha Kena Pajak berhak untuk memperoleh pengembalian atau
dikompensasikan dengan utang pajak dalam Masa Pajak berikutnya. Dan sebaliknya
apabila Pajak Keluaran lebih besar dibandingkan dengan Pajak Masukan, maka
Pengusaha Kena Pajak wajib menyetorkan selisihnya kepada kas negara.26
C. Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
Dasar pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagai mana tertuang dalam
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa dan Pajak Penjualan atas barang Mewah pasal 1 ayat (17) yaitu: “Dasar
26 Ibid., h. 377.
Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor
atau Nilai Lain yang ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan yang dipakai
sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang”.
a. Harga Jual
Harga jual sebagaimana yang tertuang dalam pasal 1 ayat (18) yaitu: “Harga
Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya
diminta oleh penjual karena penyerahan barang Kena Pajak, tidak termasu Pajak
Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-undang ini dan potongan harga
yang dicantumkan dalam Faktur Pajak”.
b. Penggantian
Penggantian sebagaimana yang tertuang dalam pasal 1 ayat (19) yaitu:
“Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan Jasa Kena Pajak, tidak
termasuk pajak yang dipungut menurut Undang-undang ini dan potongan harga yang
dicantumkan dalam Faktur Pajak”.
c. Nilai Impor
Nilai impor sebagaimana yang tertuang dalam pasal 1 ayat (20) yaitu: “Nilai
Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk
ditambah pungutan lainnya yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan Pabean untuk impor Barang Kena Pajak, tidak
termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-undang itu”.
d. Nilai Ekspor
Nilai ekspor sebagaimana yang tertuang dalam pasal 1 ayat (26) yaitu: “Nilai
Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau yang
seharusnya diminta oleh Eksportir”.
e. Nilai Lain
Nilai lain sebagaimana yang tertuang dalam Keputusan Menteri Keuangan
Nomor KMK No. 251/ KMK.03/ 2002 tanggal 13 Mei 2002, dan mulai berlaku 1
Juni 2002 adalah sebagai berikut:
1) Untuk pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak
adalah harga jual atau penggantian setelah dikurangi laba kotor.
2) Untuk pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena
Pajak adalah harga jual atau penggantian setelah dikurangi laba kotor.
3) Untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah harga jual
rata-rata.
4) Untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan harga rata-rata per judul
film.
5) Untuk persediaan barang Kena Pajak yang masih tersisa pada saat
pembubaran perusahaan adalah harga pasar wajar.
6) Untuk aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan
sepanjang Pajak Pertambahan Nilai atas perolehan aktiva tersebut menurut
ketentuan dapat dikreditkan, adalah harga pasar wajar.
7) Untuk kendaraan bermotor bekas adalah 10% dari harga jual.
8) Untuk penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata adalah
10% dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih.
9) Untuk jasa anjak piutang adalah 5% dari jumlah seluruh Imbalan yang
diterima berupa service charge, provisi dan diskon.
10) Untuk jasa pengiriman paket adalah 10% dari jumlah tagihan atau jumlah
yang seharusnya ditagih.
11) Untuk penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dari Pusat
ke Cabang atau sebaliknya dan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
jasa Kena Pajak antar cabang adalah Harga Jual atau Penggantian setelah
dikurangi laba kotor.
12) Untuk penyerahan Barang Kena Pajak kepada Pedagang Perantara atau
melalui juru lelang adalah harga lelang.
D. Penghitungan Pajak Pertambahan Nilai Serta Pengkreditannya
Sebelum penulis membahas tentang penghitungan Pajak Pertambahan Nilai,
maka penulis akan membahas besarnya tarif Pajak Pertambahan Nilai. Besarnya tarif
Pajak Pertambahan Nilai berdasarkan pasal 7 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000,
yaitu:
a. Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen).
b. Tarif Pajak Pertambahan Nilai atas ekspor Barang Kena Pajak adalah 0%
(nol persen).
c. Dengan Peraturan Pemerintah, tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dapat diubah menjadi serendah-rendahnya 5% (lima persen) dan
setinggi-tingginya 15% (lima belas persen).
Dalam hal ini pemerintah berwenang dalam menentukan besarnya tarif Pajak
Pertambahan Nilai dengan tetap memakai tarif tunggal, berdasarkan pertimbangan
perkembangan ekonomi dan/atau peningkatan kebutuhan dana pembangunan.
Pajak Pertambahan Nilai dihitung dengan mengalikan tarif Pajak Pertambahan
Nilai seperti yang telah tersebut di atas yaitu 10% (sepuluh persen) atau 0% (nol
persen) dengan Dasar Pengenaan Pajak (Harga Jual, Penggantian, Nilai Ekspor, Nilai
Impor, atau Nilai Lain menurut Ketetapan Menteri Keuangan). Dengan demikian
besarnya Pajak Pertambahan Nilai dihitung dengan rumus sebagi berikut:
Besarnya Pajak Pertambahan Nilai yang dihitung dengan menggunakan rumus
di atas, merupakan besarnhya Pajak Keluaran yang dipungut oleh Pengusaha Kena
Pajak Penjual dan Pajak Masukan bagi Pengusaha Kena Pajak Pembeli.
Contoh :
PT. Ma’irandry adalah produsen roti yang telah dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak. Selama bulan Juni 2006 telah menyumbangkan kepada
korban bencana gempa sebanyak 10.000 dos roti kering. Harga per dos roti kering
adalah Rp 5.000,00 termasuk laba kotor sebesar 25%. Pajak Pertambahan Nilai yang
terutang atas penyerahan barang Kena Pajak secara cuma-cuma kepada korban
bencana gempa adalah sebesar Rp 4.000.000,00, yang dihitung sebagai berikut:
Pajak Pertambahan Nilai = Tarif Pajak X Dasar Pengenaan Pajak
Harga Jual: 10.000 dos x Rp 5.000,00 ..............................= Rp 50.000.000,00
(-) Laba kotor: 25/125 x Rp 50.000.000,00.......................= Rp 10.000.000,00
Dasar Pengenaan Pajak ................. ..................................= Rp 40.000.000,00
PPN yang terutang: 10% x Rp 40.000.000,00 ...................= Rp 4.000.000,00
a. Ketentuan Umum Pengkreditan Pajak Pertambahan Nilai
Ketentuan tentang pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran
adalah sebagai berikut:
1) Syarat utama pengkreditan pajak adalah Faktur Pajak.
2) Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran dilakukan pada
Masa Pajak yang sama.
3) Dalam hal belum ada Pajak Keluaran dalam suatu Masa Pajak, maka
Pajak Masukan tetap dapat dikreditkan.
4) Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan
dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan
pada Masa Pajak berikutnya selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah
berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum
dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.
Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun
2000 pasal 9 ayat (3), maka apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih
besar daripada pajak Masukan, maka selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai
yang harus dibayar oleh Pengusaha kena Pajak. Sedangkan dalam pasal 9 ayat (4)
dijelaskan bahwa, apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, maka selisihnya merupakan
kelebihan pajak yang dapat dimintakan kembali atau dikompensasikan ke Masa Pajak
berikutnya.
Contoh :
PT Mekarsari sudah dikukuhkan sebagai Pengusaha kena Pajak oleh Kantor
Pelayanan Pajak Depok. Berikut ini adalah informasi berkaitan dengan Pajak
masukan yang telah dibayar dan Pajak Keluaran yang dipungut oleh PT Mekarsari
selama Masa Pajak Januari dan Februari 2006.
1) Masa Pajak Januari 2006
a) Pajak yang telah dibayar saat perolehan Barang Kena Pajak = Rp 9.000.000,00
b) Pajak Keluaran yang telah dipungut ....................................= Rp 5.000.000,00
2) Masa Pajak Februari 2006
a) Pajak yang telah dibayar saat perolehan Barang Kena Pajak = Rp 9.000.000,00
b) Pajak Keluaran yang telah dipungut ....................................= Rp 11.000.000,00
Besarnya pajak yang lebih dibayar untuk Masa Pajak Januari 2006 dan
Februari 2006 adalah sebagai berikut:
1) Masa Pajak Januari 2006
a) Pajak Keluaran ...................................................................= Rp 5.000.000,00
b) Pajak Masukan yang dapat dikreditkan................................= Rp 9.000.000,00
c) Pajak yang lebih dibayar ....................................................= Rp 4.000.000,00
2) Masa Pajak Februari 2006
a) Pajak Keluaran ...................................................................= Rp 11.000.000,00
b) Pajak Masukan yang dapat dikreditkan ...............................= Rp 9.000.000,00
c) Pajak yang kurang dibayar ..................................................= Rp 2.000.000,00
d) Pajak yang lebih dibayar pada Masa Pajak sebelumnya
(Januari 2006) .....................................................................= Rp 4.000.000,00
e) Pajak yang kurang dibayar Masa Februari 2006 ..................= Rp 2.000.000,00
Pajak yang lebih dibayar sebesar Rp 2.000.000,00, dapat diajukan
permohonan restitusi atau dikompensasi dengan Masa Pajak Maret 2006.
b. Pajak Masukan yang Tidak Dapat Dikreditkan
Sebagaimana yang tertuang dalam pasal 9 ayat (8) dan pasal 16B ayat 3
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000, bahwa Pajak masukan yang tidak dapat
dikreditkan yaitu:
1) Pajak Masukan bagi pengeluaran untuk perolehan Barang Kena Pajak
atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak;
2) Pajak Masukan bagi pengeluaran untuk perolehan Barang Kena Pajak
atau Jasa Kena Pajak yang tidak berhubungan langsung dengan
kegiatan usaha;
3) Pajak Masukan bagi pengeluaran untuk perolehan dan pemeliharaan
kendaraan bermotor sedan, jeep, station wagon, van dan kombi kecuali
sebagai barang dagangan atau disewakan;
4) Pajak Masukan atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud
atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean, sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak;
5) Pajak Masukan bagi pengeluaran untuk perolehan Barang Kena Pajak
atau Jasa Kena Pajak yang bukti pungutan pajaknya berupa Faktur
Pajak Sederhana;
6) Pajak Masukan bagi pengeluaran untuk perolehan Barang Kena Pajak
atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (5);
7) Pajak Masukan bagi pengeluaran untuk pemanfaatan Barang Kena
Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar
daerah pabean yang faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (6)27
;
8) Pajak Masukan bagi pengeluaran untuk perolehan Barang Kena Pajak
atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih dengan
penerbitan ketetapan pajak;
9) Pajak Masukan yang tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan
Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang diketemukan pada waktu
dilakukan pemeriksaan;
27 Bunyi pasal 13 ayat (6), yaitu: Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan dokumen tertentu
sebagai Faktur Pajak.
10) Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan
atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan
dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
c. Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak yang
Menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
Pajak Pertambahan Nilai yang dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak
atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menggunakan
Norma Penghitungan Penghasilan Neto, diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 252/KMK.03/2002 dan Nomor 253/KMK.03/2002. pedoman menghitung
yang berdasarkan keputusan tersebut adalah sebagai berikut:28
1) Untuk penyerahan Barang Kena Pajak uang dilakukan oleh Pengusaha
Kena Pajak Pedagang Eceran, sebesar 80% dari Pajak Keluaran;
2) Untuk penyerahan Barang Kena Pajak uang dilakukan selain oleh
Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran, sebesar 70% dari Pajak
Keluaran;
3) Untuk penyerahan Jasa Kena Pajak, sebesar 40% dari Pajak Keluaran.
4) Pajak Keluaran dihitung dengan cara mengalikan nilai peredaran bruto
dan atau penerimaan bruto (tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai)
yang terutang Pajak Pertambahan Nilai pada Masa Pajak yang
bersangkutan dengan tarif Pajak Pertambahan Nilai.
28 Achmad Tjahjono dan Muhammad Fakhri Husein, Perpajakan, h. 395.
Sedangkan pengkreditan Pajak Masukan bagi Pengusaha Kena Pajak
Pedagang Eceran yang penghitungan PPh-nya tidak menggunakan norma
penghitungan penghasilan neto berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
253/KMK.03/2002, yaitu apabila:29
1) Pengusaha Orang Pribadi atau Badan selaku Pedagang Eceran dengan
jumlah peredaran bruto kurang dari Rp 600.000.000,00 dan atau lebih
dari Rp 600.000.000,00 setahun serta mampu menyelenggarakan
pembukuan.
2) Penyerahan barang dagangan yang dilakukan terutang Pajak
Pertambahan Nilai sebesar 10% (sepuluh persen) dari Harga Jual pada
SPT Masa PPN.
3) Wajib membuat Faktur Pajak, memungut dan menyetor pajak yang
terutang serta melaporkannya.
4) Pengkreditan Pajak Masukannya menggunakan pola yang diatur dalam
Pasal 9 ayat (2) dan ayat (9) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai
Nomor 8 Tahun 1984.
Contoh:
Arif Permana mengelola sebuah toko elektronik “Suramadu”. Selain menjual
barang-barang elektronik, Arif Permana juga melayani service perlengkapan
elektronik. Pajak Penghasilan-nya dihitung menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto. Dalam bulan Juli 2005 memperoleh peredaran bruto:
29 Ibid., h. 396.
1) Dari penyerahan barang elektronik Rp 55.000.000,00 termasuk Pajak
Pertambahan Nilai;
2) Dari penyerahan service elektronik Rp 7.700.000,00 termasuk Pajak Pertambahan
Nilai.
Pajak Masukan sehubungan dengan perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena
Pajak dalam bulan Juli 2005 berdasarkan Faktur Pajak Standar adalah Rp
3.450.000,00. Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar ke kas negara untuk Masa Pajak
Juli 2005 dihitung sebagai berikut:
1) Pajak keluaran:
a) Penyerahan Barang Kena Pajak =
10/110 x Rp 55.000.000,00 ................. = Rp 5.000.000,00
b) Penyerahan Jasa Kena Pajak =
10/110 x Rp 7.700.000,00 ................... = Rp 700.000,00
Rp 5.700.000,00
2) Pajak masukan:
a) Penyerahan Barang Kena Pajak =
80% x Rp 5.000.000,00....................... = Rp 4.000.000,00
b) Penyerahan Jasa Kena Pajak =
40% x Rp 700.000,00.......................... = Rp 280.000,00
Rp 4.280.000,00
Pajak pertambahan Nilai disetor ke kas negara .......................= Rp 1.420.000,00
d. Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusahan Kena Pajak yang
Melakukan Penyerahan Yang Terutang Pajak Pertambahan Nilai dan
Tidak Terutang Pajak Pertambahan Nilai
1) Apabila penyerahan yang terutang dan tidak terutang dapat diketahui
dengan pasti, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan
adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang
terutang pajak.
2) Apabila penyerahan yang terutang dan tidak terutang tidak dapat
diketahui dengan pasti, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan dihitung dengan menggunakan pedoman yang diatur
berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 575/KMK.04/2000
adalah sebagai berikut:
a) Pengusaha Kena Pajak yang menggunakan Barang Modal yang
digunakan untuk menghasilkan Barang Kena Pajak dan atau Jasa
Kena Pajak yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan
Nilai, serta kegiatan lain yang tidak terutang Pajak Pertambahan
Nilai atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
Maka dihitung dengan rumus, sebagai berikut:
p’ x T
PM
p’ : Prosentase rata-rata penggunaan Barang Modal untuk kegiatan
lain yang tidak terutang PPN dan atau dibebaskan dari PPN
dalam satu tahun buku.
T : Masa manfaat Barang Modal yang ditentukan sebagai berikut:
- untuk bangunan 10 tahun.
- untuk Barang Modal lainnya 5 tahun.
PM : Jumlah Pajak Masukan atas perolehan dan atau pemeliharaan
Barang Modal yang telah dikreditkan.
Contoh:
Pada bulan April 2005 Ramadhan membeli generator listrik dengan maksud
digunakan seluruhnya untuk kegiatan pabrik.
1) Nilai Perolehan ......................................................................=Rp100.000.000,00
2) Pajak Pertambahan Nilai (Pajak Masukan) .............................=Rp 10.000.000,00
Pajak Masukan sudah dikreditkan seluruhnya dalam SPT Masa PPN Masa Pajak
April 2005. Selama tahun 2005 ternyata bahwa:
1) Untuk Masa 6 bulan I digunakan:
a) 45% untuk perumahan karyawan dan direksi;
b) 55% untuk kegiatan pabrik.
2) Untuk Masa 6 bulan II digunakan:
a) 35% untuk perumahan karyawan dan direksi;
b) 65% untuk kegiatan pabrik.
Rata-rata penggunaan di luar kegiatan usaha yang berhubungan langsung dengan
usaha (p’) adalah:
2
%35%45 + = 40%
Masa manfaat Barang Modal 5 tahun .
Besarnya Pajak Masukan yang harus dibayar kembali untuk tahun 2005 adalah:
40% x 5
00,000.000.10 Rp= Rp 800.000,00
Jadi, Pajak Masukan yang harus dikembalikan untuk tahun 2005 adalah sebesar Rp
800.000,00. Sedangkan untuk tahun-tahun selanjutnya, maka harus memakai rumus
yang sama dengan penyesuaian atas p’.
b) Pengusaha kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha terpadu
campuran, menghasilkan atau memperdagangkan barang dan atau
jasa, yang terutang Pajak Pertambahan Nilai dan tidak terutang
Pajak Pertambahan Nilai. Dapat dikreditkan sebanding dengan
jumlah peredaran yang terutang Pajak Pertambahan Nilai terhadap
peredaran seluruhnya. Maka wajib menghitung kembali Pajak
Masukan yang telah dikreditkan dengan rumus, sebagai berikut:
• Barang Modal
• Bukan Barang Modal
Contoh:
PT Khayangan melakukan perhitungan kembali Pajak Masukan yang telah
dikreditkan atas pembelian 2 buah truk yang digunakan dalam penyerahan Barang
Kena Pajak yang terutang PPN dan penyerahan yang tidak terutang PPN. Pajak
Masukan sebesar Rp 50.000.000,00 (10/110 x Rp 550.000.000,00) atas pembelian
Y
X x
T
PM
Y
X x PM
X : Jumlah peredaran atau penyerahan yang tidak terutang PPN
atau yang dibebaskan dari pengenaan PPN selama satu
tahun.
Y : Jumlah seluruh peredaran selama satu tahun buku.
T : Masa manfaat Barang Modal yang ditentukan sebagai
berikut:
- untuk bangunan 10 tahun.
- untuk Barang Modal lainnya 5 tahun.
PM : Jumlah Pajak Masukan yang telah dikreditkan seluruhnya.
truk tersebut telah dikreditkan pada Masa PPN bulan Maret 2003. Masa manfaat truk
sesuai dengan ketentuan yang berlaku selama 5 tahun. Untuk biaya operasional truk
selama tahun 2003, telah dibeli BBM dari depo Pertamina sebesar Rp 4.000.000,00,
dan PPN-nya sebesar Rp 400.000,00 telah dikreditkan.
Dari pembukuan diketahui bahwa jumlah penyerahan yang tidak terutang
PPN selama tahun 2003 adalah Rp 150.000.000,00, sedangkan jumlah penyerahan
yang terutang PPN sebesar Rp 750.000.000,00.
Pajak Masukan yang harus dikembalikan dihitung sebagai berikut:
1) Untuk Barang Modal:
0,00750.000.00 Rp
0,00150.000.00 Rp X
5
,0050.000.000 Rp..............................= Rp 2.000.000,00
2) Untuk bukan Barang Modal:
0,00750.000.00 Rp
0,00150.000.00 Rp X Rp 400.000,00....................................= Rp 80.000,00
Jumlah .........................................................................................= Rp 2.080.000,00
E. Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai
1. Dasar Hukum Pemungut Pajak Pertambahan Nilai
Pasal 1 angka 27 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
merumuskan bahwa: “Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah bendaharawan
Pemerintah, badan, atau instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan
untuk memungut, menyetor dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha
Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak
kepada bendaharawan Pemerintah, badan, atau instansi Pemerintah tersebut”.
2. Pemungut Pajak Pertambahan Nilai
Yang kedalam pemungut Pajak Pertambahan Nilai, yaitu:30
a. Instansi Pemerintah
1) Kantor Perbendaharaan Negara.
2) Bendaharawan Pemerintah Pusat dan Daerah.
b. Badan-badan tertentu:
1) Pertamina.
2) Kontraktor Kontrak Bagi Hasil dan Kontrak Karya di bidang
pertambangan.
3) Badan Usaha Milik Negara dan Milik Daerah.
4) Bank Pemerintah dan Bank Pembangunan Daerah.
5) Bank Indonesia
3. Teori Pemungutan Pajak31
a. Teori Asuransi
Yang dimaksud dengan asuransi di sini adalah sama dengan pengertian
asuransi yang sudah kita kenal, yaitu untuk menjaga dan melindungi keselamatan dan
keamanan jiwa dan juga harta benda. Jadi dalam teori ini dalam pemungutan pajak
30 Untung Sukardji, Pajak Pertambahan Nilai , h. 370.
31 R. Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, h. 30-35.
dapat kita katakan bahwa negara berperan dalam melaksanakan tugasnya untuk
melindungi semua orang dan juga harta bendanya.
Oleh karena itulah untuk mewujudkan semua itu maka diperlukan
pembayaran pajak yang dikatakan sebagai premi yang harus dibayarkan oleh masing-
masing orang. Akan tetapi dalam prakteknya masih terdapat banyak kejanggalan
antara negara dengan perusahaan asuransi, diantaranya:
1) Ketika terdapat kerugian tidak terdapat penggantian oleh negara,
karena yang mengganti kerugian tersebut adalah perusahaan asuransi.
2) Tidak adanya hubungan secara langsung antara pembayaran pajak
yang dianggap sebagai suatu premi dengan jasa yang diberikan oleh
negara.
Akan tetapi dalam kenyataannya teori ini tetap dipertahankan karena dapat
dijadikan dasar hukum dalam memungut pajak. Namun para ahli menganggap bahwa
dalam pemungutan pajak berdasarkan teori ini tidaklah terdapat suatu keadilan,
karena dapat merugikan salah satu pihak yaitu perusahaan asuransi.
b. Teori Kepentingan
Teori kepentingan adalah teori yang hanya memperhatikan pembagian beban
pajak yang harus dipungut dari penduduk seluruhnya berdasarkan atas kepentingan
orang masing-masing dalam tugas-tugas pemerintah (yang bermanfaat baginya),
termasuk juga perlindungan atas jiwa orang-orang itu beserta harta bendanya. Dalam
teori inipun terdapat banyak sanggahan karena dalam ajarannya pajak dikacaukan
dengan retribusi, sehingga memaksa untuk membayar pajak lebih banyak.
c. Teori Gaya Pikul
Yang dimaksud dengan teori gaya pikul yaitu teori yang menjadikan dasar
keadilan pemungutan pajak berdasarkan jasa-jasa yang diberikan oleh negara kepada
warganya. Oleh karena itulah asas keadilan menjadi suatu yang pokok dalam
pemungutan pajak berdasarkan teori ini, dengan kata lain seorang Wajib Pajak yang
pajaknya dipungut oleh fiskus harus diperlakukan secara adil dengan Wajib Pajak
yang lain tanpa adanya tekanan dari beberapa pihak.
W. J. Langen seperti yang dikutip oleh Bohari memberikan arti bahwa: “Gaya
pikul adalah kekuatan untuk membayar uang kepada negara, jadi untuk membayar
pajak, setelah dikurangi dengan minimum kehidupan (basic needs)”.32
A. J. Cohen Stuart seperti yang dikutip oleh Bohari berpendapat bahwa:
“Gaya pikul adalah sama dengan sebuah jembatan, yang pertama-tama harus dapat
memikul bobotnya sendirisebelum dicoba untuk dibebaninya dan menyerahkan
ajaranbahwa yang sangat diperlukan untuk kehidupan harus tidak dimasukkan dalam
pengertian gaya pikul”.33
d. Teori Kewajiban Pajak Mutlak atau Teori Bakti
Teori ini mengajarkan bahwa negara merupakan sekumpulan dari individu-
individu maka timbullah hak mutlak untuk memungut pajak dari warganya. Dan bagi
warganya, bahwa membayar pajak termasuk rasa baktinya kepada negara.34
e. Teori Asas Daya Beli
32 Bohari, Pengantar Hukum Pajak, h. 38.
33 Ibid., h. 39. 34 Achmad Tjahjono dan Muhammad Fakhri Husein, Perpajakan, h. 19.
Menurut teori ini, bahwa fungsi dari pemungutan pajak yaitu untuk memelihara hidup
masyarakat serta membawa ke arah tertentu. Dengan kata lain yaitu mengambil daya
beli dari masyarakat untuk disalurkan kembali kepada masyarakat.35
4. Asas Pemungutan Pajak
Menurut Adam Smith dalam bukunya An Inquiry into the Nature and causes
of the Wealth of Nations (dikenal dengan nama Wealth of Nations) terdapat empat
asas pemungutan pajak yang dikenal dengan “four canons taxation” atau sering
disebut dengan “The four Maxims” seperti yang dikutip oleh Ahmad Tjahjono dan
Muhammad Fakhri Husein, dengan uraian sebagai berikut:36
a. Equality and Equity
Dalam masalah equality seorang fiskus harus mengenakan pajak yang
besarannya sama kepada setiap Wajib Pajak berdasarkan keadaan yang sama pada
setiap Wajib Pajak. Oleh karena itulah apabila seorang Wajib Pajak mempunyai
pengeluaran yang lebih besar dalam kebutuhan hidup primer bagi keluarganya, jika
dibandingkan dengan Wajib Pajak yang mempunyai pengeluaran yang lebih kecil,
maka pengenaan pajaknya akan berbeda walaupun dengan penghasilan yang sama.
Lain halnya dalam masalah equity, bahwa seorang fiskus harus
memperlakukan setiap Wajib Pajak dengan perlakuan yang adil. Akan tetapi tidak
pada kasus-kasus tertentu dimana terdapat suatu perbedaan yang sangat signifikan,
35 Ibid., h. 19.
36 Ibid., h. 16-17.
karena sesuatu yang diterapkan adil dalam sesuatu yang sifatnya umum belum tentu
adil dalam sesuatu yang sifatnya khusus, dalam hal ini dalam suatu kasus tertentu.
Equity atau kepatutan mempunyai fungsi, sebagai berikut:
1) Jus adjuvandi, untuk menyesuaikan hukum, dalam hal ini agar tidak
melenceng dari hukum yang telah berlaku.
2) Jus sppelendi, untuk menambah hukum, karena dalam penerapannya
terdapat kasus-kasus yang lebih kompleks.
3) Jus corrigendi, untuk mengoreksi hukum, karena dalam penerapannya
terdapat beberapa masalah yang harus diselesaikan dalam rangka
memperoleh keadilan.37
b. Certainty
Dalam hal ini fiskus harus memberitahu Wajib Pajak dengan pasti dalam
pembayaran pajak yang harus dibayarkan oleh Wajib Pajak mengenai besaranya
pajak yang harus dibayarkan, waktu pembayaran, tempat pembayaran, maupun cara
pembayarannya. Dalam asas ini kepastian hukum tentang subjek pajak maupun objek
pajak yang lebih ditekankan
c. Conveniency of Payment
Dalam hal ini fiskus harus memungut pajak pada saat yang mengenakkan atau
pada saat Wajib Pajak merasa tidak terbebani atau dapat dikatakan juga pada saat
yang tepat, yaitu pada saat Wajib Pajak memperoleh penghasilan.
d. Low Cost of Collection
37 Ibid., h. 16.
Dalam hal ini fiskus yang memungut pajak tidak boleh mengenakan biaya
pemungutan yang besarannya lebih besar jika dibandingkan dengan jumlah pajak
yang masuk.
Sedangkan menurut Achmad Tjahjono dan Muhammad Fakhri Husein dalam
buku “Perpajakan”, yang termasuk dalam asas pemungutan pajak, yaitu:38
a. Asas Domisili
Yang dimaksud dengan domisili disini, yaitu negara dimana Wajib Pajak
tinggal dan dikenakan pajak atas penghasilan Wajib Pajak yang tinggal di
wilayahnya, baik penghasilan yang didapat dari dalam negeriu maupuan luar negeri.
Berdasarkan Undang-undang Pajak Penghasilan bagi warga negara asing maka pajak
dikenakan setelah menetap di negara Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka
waktu 12 bulan sejak kedatangannya.
b. Asas Sumber
Dalam asas ini, apabila seseorang berpenghasilan dari Indonesia maka negara
Indonesia berhak memungut pajak kepada orang tersebut baik warga negara
Indonesia maupun warga negara asing, walaupun bertempat tinggal di Indonesia
ataupun di luar Indonesia selama orang tersebut memperoleh penghasilan dari
Indonesia.
c. Asas Kebangsaan
38 Ibid., h. 20-21.
Dalam asas ini pajak dikenakan atas hubungannya dengan kebangsaan suatu
negara. Oleh karena itulah, apabila terdapat seseorang mempunyai hubungan
kebangsaan maka ia akan dikenakan pajak walaupun bertempat tinggal di luar negeri.
5. Sistem Pemungutan Pajak
P.J.A. Adriani seperti yang dikutip oleh Haula Rosdiana dan Rasin Tarigan
membagi sistem pemungutan pajak menjadi tiga bagian, yaitu:39
a. Wajib pajak menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang sesuai dengan
ketentuan Undang-undang.
b. Adanya kerja sama antara wajib pajak dengan fiskus.
c. Fiskus menentukan jumlah pajak yang terutang.
Akan tetapi pada saat ini sistem pemungutan pajak dibedakan menjadi:40
a. Official Assessment System
Dalam sistem ini fiskus berperan aktif dalam menghitung dan menentukan
besarnya pajak yang terutang berdasarkan surat ketetapan yang diterbitkan oleh
fiskus. Dan sebaliknya wajib pajak berperan secara pasif dengan hanya membayar
pajak yang ditentukan oleh fiskus. Di Indonesia sistem ini digunakan dalam
memungut Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
b. Self Assessment System
Dalam sistem ini wajib pajak berperan aktif dalam menghitung, menetapkan,
menyetorkan, dan melaporkan besarnya pajak yang terutang. Dan sebaliknya fiskus
39 Haula Rosdiana dan Rasin Tarigan, Perpajakan Teori dan Aplikasi, (Jakarta, PT. Raja
Grafindo Persada, 2005), ed.ke 1, h. 107. 40 Ibid., h. 108-109.
berperan secara pasif dengan hanya mengawasi wajib pajak yang mengisi Surat
Pemberitahuan (SPT) yang diberikan fiskus apakah sudah diisi dengan lengkap dan
benar atau belum. Di Indonesia sistem ini digunakan dalam memungut Pajak
Penghasilan (PPh) Orang Pribadi dan Badan serta Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
c. With Holding System
Dalam sistem ini pihak ketiga merupakan pihak yang berperan aktif dalam
menghitung, menetapkan, menyetorkan, dan melaporkan besarnya pajak yang
terutang. Sedangkan fiskus dan wajib pajak berperan secara pasif.
6. Tata Cara Pemungutan Pajak41
a. Stelsel Nyata
Dalam stelsel nyata pemungutan pajak didasarkan oleh objek pajak atau
penghasilan sesungguhnya yang diterima oleh Wajib Pajak dalam satu tahun pajak.
Oleh karena itulah, besarnya jumlah pajak yang terutang menunjukkan kondisi yang
sebenarnya dari Wajib Pajak.
b. Stelsel Anggapan
Dalam stelsel anggapan pengenaan pajak yang dibebankan kepada Wajib
Pajak berdasarkan pada suatu anggapan yang ditunjukkan oleh Undang-undang.
Dengan kata lain Wajib Pajak dapat mengetahui besarnya pajak terutang apabila
penghasilan tahun berjalan disamakan dengan penghasilan tahun sebelumnya. Dan
sebaliknya Wajib Pajak tidak dapat mengetahui besarnya pajak terutang apabila
penghasilan tahun berjalan tidak disamakan dengan penghasilan tahun sebelumnya.
41 Achmad Tjahjono dan Muhammad Fakhri Husein, Perpajakan, h. 19-20.
c. Stelsel Campuran
Stelsel campuran merupakan kombinasi antara stelsel nyata dengan stelsel
anggapan. Pengenaan pajak dilakukan pada awal tahun berjalan berdasarkan
anggapan yang ditentukan Undang-undang, dan kemudian jumlah pajak terutang
dikoreksi pada akhir tahun.
Apabila jumlah pajak yang ditentukan pada awal tahun lebih kecil
dibandingkan dengan jumlah pajak yang dihitung pada akhir tahun, maka koreksi
dilakukan untuk menentukan besarnya pajak yang harus dibayar. Dan apabila
sebaliknya, maka koreksi dilakukan untuk menentukan besarnya pajak yang lebih
dibayar dan dimintakan restitusi (pengembalian).
F. Subjek dan Objek Pajak Pertambahan Nilai
Yang termasuk dalam subjek pajak dalam Pajak Pertambahan Nilai seperti
yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000, yaitu:
1. Pengusaha Kena Pajak.
Yang dimaksud dengan Pengusaha Kena Pajak yaitu pengusaha yang apabila
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau jasa Kena Pajak dengan jumlah
peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto melebihi Rp. 600.000.000,00 selama satu
tahun buku.
2. Pengusaha Yang Memilih Menjadi Pengusaha Kena Pajak.
Pengusaha Kecil yang memilih menjadi Pengusaha Kena Pajak, yaitu
Pengusaha Kecil yang termasuk ke dalam:
a. Eksportir
b. Pedagang yang menjual Barang Kena Pajak kepada pengusaha Kena
Pajak.
3. Orang Pribadi atau Badan yang Melakukan Pembangunan Rumahnya Sendiri
Dengan Persyaratan Tertentu, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan
Nomor: 332/KMK.03/2002 dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor
KEP-387/PJ./2002 yaitu:
a. Pembangunan tersebut dilakukan tidak dalam lingkungan perusahaan
atau pekerjaan oleh orang pribadi, yang hasilnya digunakan sendiri
atau digunakan oleh pihak lain.
b. Peruntukan bangunan tersebut adalah untuk tempat tinggal atau tempat
usaha.
c. Luas bangunan 200 m2 atau lebih.
d. Bangunan bersifat permanen.
e. Tidak dibangun dalam lingkungan real estate.
4. Orang Pribadi atau Badan yang memanfaatkan barang Kena Pajak tidak
berwujud atau jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean.
5. Subjek Pajak Pajak Pertambahan Nilai yang diwajibkan oleh Undang-undang
dalam rangka membantu pemerintah melakukan mekanisme pemungutan
Pajak Pertambahan Nilai.
Sedangkan yang termasuk objek pajak dalam Pajak Pertambahan Nilai
berdasarkan Pasal 4 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1984 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000, yaitu:
1. Penyerahan Barang Kena Pajak, berdasarkan syarat-syarat sebagai berikut:
a. Barang berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak.
b. Barang yang tidak berwujud yang dikenakan merupakan barang Kena
Pajak tidak berwujud.
c. Penyerahan dilakukan di Daerah Pabean.
d. Penyerahan dilakuakan dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan
pengusaha yang bersangkutan.
2. Impor Barang Kena Pajak.
3. Penyerahan Jasa Kena Pajak yang dilakukan di dalam Daerah Pabean oleh
pengusaha, berdasarkan syarat-syarat sebagai berikut:
a. Jasa yang diserahkan merupakan Jasa Kena Pajak.
b. Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean.
c. Penyerahan dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan
pengusaha yang bersangkutan.
4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean.
5. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean.
6. Ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
7. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam lingkungan usaha
atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan.
8. Penyerahan aktiva oleh Pengusaha Kena Pajak yang menurut tujuan semula
tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar
pada saat perolehannya dapat dikreditkan.
Barang Kena Pajak sebagaimana yang tercantum dalam pasal 1 ayat (2) dan
(3) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 adalah barang yang berwujud dan tidak
berwujud yang menurut sifat dan hukumnya dapat berupa barang bergerak atau
barang tidak bergerak yantg dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Jenis barang yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai berdasarkan
Undang-undang Nomor 18 tahun 2000 pasal 4A ayat (2) dan Peraturan Pemerintah
Nomor 144 tahun 2000 pasal 1 - 4, yaitu:
1. Barang hasil Pertambangan atau hasil pengeboran, yang diambil langsung dari
sumbernya, yaitu:
a. Minyak mentah
b. Gas bumi, dalam hal ini tidak termasuk gas bumi yang siap dikonsumsi
langsung olrh masyarakat seperti elpiji;
c. Panas bumi;
d. Pasir dan kerikil;
e. Batubara sebelum diproses menjadi briket batubara; dan
f. Biji besi, biji timah, biji emas, biji tembaga, biji nikel, dan biji perak serta
biji bauksit.
2. Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak,
yaitu:
a. Beras;
b. Gabah;
c. Jagung;
d. Kedelai;
e. Garam baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium.
3. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan,
warung, dan sejenisnya. Dalam hal ini baik yang dikonsumsi di tempat
maupun tidak, tidak termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh
jasa boga atau catering.
4. Uang, emas batangan, dan surat-surat berharga.
Sedangkan Jasa Kena Pajak sebagaimana yang tercantum dalam pasal 1 ayat
(5) dan (6) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 adalah setiap kegiatan pelayanan
berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang
atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang
dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan
dan atas petunjuk dari pemesan yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Jenis jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai berdasarkan
Undang-undang Nomor 18 tahun 2000 pasal 4A ayat (3) dan Peraturan Pemerintah
Nomor 144 tahun 2000 pasal 5 - 16, yaitu:
1. Jasa di bidang pelayanan kesehatan medik, meliputi:
a. Jasa dokter umum, dokterspesialis, dan doktergigi;
b. Jasa dokter hewan;
c. Jasa ahli kesehatan seperti akupuntur, ahli gigi, ahli gizi, dan fisioterapi;
d. Jasa kebidanan, dukun bayi;
e. Jasa paramedis, parawat;
f. Jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium
kesehatan, dan sanatorium; dan
g. Jasa pengobatan alternatif, psikolog, dan paranormal.
2. Jasa di bidang pelayanan sosial, meliputi:
a. Jasa pelayanan Panti Asuhan dan Panti Jompo;
b. Jasa pemadam kebakaran kecuali yang bersifat komersial;
c. Jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan;
d. Jasa Lembaga Rehibilitasi kecuali yang bersifat komersial;
e. Jasa pemakaman termasuk krematorium;
f. Jasa di bidang olah raga kecuali yang bersifat komersial.
3. Jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko;
4. Jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi,
meliputi:
a. Jasa perbankan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, kecuali jasa
penyediaan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga, jasa
penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak
(perjanjian), serta anjak piutang;
b. Jasa asuransi, tidak termasuk broker asuransi; dan
c. Jasa sewa guna usaha dengan hak opsi.
5. Jasa di bidang keagamaan, meliputi:
a. Jasa pelayanan rumah-rumah ibadah;
b. Jasa pemberian khotbah atau dakwah; dan
c. Jasa lainnya di bidang keagamaan.
6. Jasa di bidang pendidikan, meliputi:
a. Jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa penyelenggaraan
pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan
kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, dan pendidikan
profesional; dan
b. Jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah, seperti kursus-kursus.
7. Jasa dibidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan Pajak Tontonan,
termasuk Jasa di bidang kesenian yang tidak bersifat komersial seperti
pementasan kesenian tradisional yang diselenggarakan secara cuma-cuma;
8. Jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan dan tidak dibiayai oleh
sponsor yang bertujuan komersial;
9. Jasa di bidang angkutan umum di darat dan di air;
10. Jasa di bidang tenaga kerja, meliputi:
a. Jasa tenaga kerja;
b. Jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang Pengusaha penyedia tenaga kerja
tidak bertanggung jawab atas hasil kerja dari tenaga kerja tersebut; dan
c. Jasa penyelenggaraan latihan bagi tenaga kerja.
11. Jasa di bidang perhotelan, meliputi:
a. Jasa persewaan kamar termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapan,
motel, losmen, hostel, serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan
perhotelan untuk tamu yang menginap; dan
b. Jasa persewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel,
rumah penginapan, motel, losmen, dan hostel.
12. Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan
pemerintahan secara umum, termasuk didalamnya jasa yang dilaksanakan
oleh instansi pemerintah seperti pemberian Izin Mendirikan Bangunan,
pemberian Izin Usaha Perdagangan, pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak,
serta pembuatan Kartu Tanda Penduduk.
G. Pajak Pertambahan Nilai Yang Ditanggung Pemerintah42
Pajak Pertambahan Nilai atas impor dan penyerahan Barang Kena Pajak dan
Jasa Kena Pajak tertentu, yang Pajak Pertambahan Nilai-nya ditanggung pemerintah
adalah:
1. Impor Barang Modal berupa mesin dan peralatan pabrik baik dalam keadaan
terpasang maupun terlepas;
2. Impor senjata, amunisi, alat angkut di air, di bawah air, dan di udara,
kendaraan lapis baja serta kendaraan angkuta khusus lain untuk keperluan
TNI yang belum dibuat di dalam negeri;
3. Impor Vaksin Polio dalam rangka melaksanakan program Pekan Imunisasi
Nasional (PIN);
4. Impor Barang Kena Pajak yang bersifat strategis untuk keperluan
pembangunan nasional yang ditetapkan oleh Menteri Keunangan;
5. Penyerahan Barang Modal berupa mesin dan peralatan pabrik baik dalam
keadaan terpasang maupun terlepas;
6. Penyerahan senjata, amunisi, alat angkut di air, di bawah air, dan di udara,
kendaraan lapis baja serta kendaraan angkuta khusus lain untuk keperluan
TNI yang belum dibuat di dalam negeri;
7. Penyerahan Vaksin Polio dalam rangka melaksanakan program Pekan
Imunisasi Nasional (PIN);
42 Ibid., h. 424.
8. Penyerahan Barang Kena Pajak yang bersifat strategis untuk keperluan
pembangunan nasional yang ditetapkan oleh Menteri Keunangan;
9. Penyerahan jasa yang diserahkan oleh kontraktor kepada Perum Perumnas
untuk pemborongan bangunan rumah murah, rumah sederhana, pondok boro,
asrama mahasiswa dan pelajar serta perumahan lainnya yang batasnya
ditetapkan oleh Menteri Keuangan setelah mendengar pertimbangan Menteri
Negara Urusan Perumahan Rakyat;
10. Penyerahan jasa oleh kontraktor dalam rangka pembangunan tempat-tempat
yang semata-mata untuk keperluan ibadah;
11. Penyerahan jasa persewaan Rumah Susun Sederhana.
H. Faktur Pajak
Faktur pajak sebagaimana tertuang dalam pasal 1 ayat (23) yaitu: “Faktur
Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak atau
bukti pungutan pajak karena impor Barang Kena Pajak yang digunaka oleh Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai”.
Jenis-jenis faktur pajak menurut Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000,
yaitu:
1. Faktur Pajak Sederhana.
Faktur Pajak Sederhana adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh
Pengusaha Kena Pajak untuk menampung kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak
dan atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan secara langsung kepada konsumen akhir
dan kepada pembeli Barang Kena Pajak dan atau penerima Jasa Kena Pajak yang
tidak diketahui identitasnya. Faktur Pajak Sederhana tidak dapat digunakan oleh
pembeli Barang Kena Pajak dan atau penerima jasa Kena Pajak untuk mengkreditkan
Pajak Masukan.
2. Faktur Pajak Standar.
Faktur Pajak Standar adalah Faktur Pajak yang dapat digunakan sebagai bukti
pungutan pajak serta dapat digunakan sebagai sarana untuk mengkreditkan Pajak
Masukan. Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (3) Peraturan Direktur jenderal Pajak
Nomor: PER- 159 /PJ./2006, tanggal 31 Oktober 2006, Faktur Pajak Standar
sekurang-kurangnya berisikan:
a. Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena
Pajak atau jasa Kena Pajak;
b. Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau
penerima Jasa Kena Pajak;
c. Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan
harga;
d. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
e. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;
f. Kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
g. Nama, jabatan dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
Sedangkan dokumen-dokumen yang diperlakukan sebagai Faktur Pajak
Standar berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-312/PJ/2001,
tanggal 23 April 2001, adalah sebagai berikut:
a. Pemberitahuan Impor Barang (PIB), yang dilampiri Surat Setoran Pajak (SSP)
atau Bukti Pungutan Pajak oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebagai
dokumen impor barang Kena Pajak;
b. Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang telah difiat muat oleh pejabat yang
berwenang dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan dilampiri dengan
invoice yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan
Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) tersebut;
c. Surat Perintah Penyerahan Barang (SPPB) yang dibuat/ dikeluarkan oleh
BULOG/ DOLOG untuk penyaluran tepung terigu;
d. Faktur Nota Bon Penyerahan (FNBP) yang dibuat/dikeluarkan oleh
PERTAMINA untuk penyerahan BBM dan atau bukan BBM;
e. Tanda Penyerahan atau kuitansi telepon;
f. Ticket, tagihan Surat Muatan Udara (Airway Bill), atau Delivery Bill, yang
dibuat/ dikeluarkan untuk penyerahan jasa angkutan udara dalam negeri;
g. Surat Setoran Pajak (SSP) untuk pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atas
pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak dari
luar Daerah Pabean;
h. Nota Penjualan Jasa yang dibuat/ dikeluarkan untuk penyerahan jasa
kepelabuhan;
i. Tanda pembayaran atau kuitansi listrik.
Menurut Pasal 2 ayat (1) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER- 159
/PJ./2006, tanggal 31 Oktober 2006. Faktur Pajak Standar harus dibuat paling lambat:
a. Pada akhir bulan berikutnya setelah bulan terjadinya penyerahan Barang Kena
Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dalam hal pembayaran diterima setelah akhir
bulan berikutnya setelah bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa
Kena Pajak;
b. Pada saat penerimaan pembayaran dalam hal pembayaran terjadi sebelum
akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
penyerahan Jasa Kena Pajak;
c. Pada saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi
sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa
Kena Pajak;
d. Pada saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian
tahap pekerjaan; atau
e. Pada saat Pengusaha Kena Pajak rekanan menyampaikan tagihan kepada
Bendaharawan Pemerintah sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.
3. Faktur Pajak Gabungan.
Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (4) Peraturan Direktur jenderal Pajak Nomor:
PER- 159 /PJ./2006, tanggal 31 Oktober 2006, yang disebut dengan Faktur Pajak
Gabungan adalah Faktur Pajak Standar untuk semua penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang terjadi selama 1 (satu) bulan takwim
kepada pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama.
Menurut Pasal 2 ayat (2) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER- 159
/PJ./2006, tanggal 31 Oktober 2006. Faktur Pajak Gabungan harus dibuat paling
lambat:
a. Pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau Jasa Kena Pajak, dalam hal pembayaran baik sebagian atau
seluruhnya terjadi setelah berakhirnya bulan penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau Jasa Kena Pajak; atau
b. Pada akhir bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak,
dalam hal pembayaran baik sebagian atau seluruhnya terjadi sebelum
berakhirnya bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa
Kena Pajak.
Apabila Pengusaha Kena Pajak yang wajib membuat faktur pajak tetapi tidak
melaksanakannya sesuai dengan waktu yang ditentukan ataupun tidak dengan
selengkap-lengkapnya maka akan dikenakan sanksi administrasi berupa denda
sebesar 2 % (dua per seratus) dari dasar pengenaan pajak. Dan apabila pengusaha
yang belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak membuat faktur pajak maka
akan dikenakan sanksi berupa denda sebesar 2% (dua per seratus) dari dasar
pengenaan pajak, serta diwajibkan menyetor jumlah pajak tersebut ke kas negara.43
43 Ibid., h. 432.
I. Karakteristik Pajak Pertambahan Nilai44
Yang termasuk dalam karakteristik Pajak Pertambahan Nilai, yaitu:
1. Pajak Pertambahan Nilai merupakan Pajak Tidak Langsung
Pajak tidak langsung yaitu pajak yang pemungutannya dapat dibebankan
kepada pihak ketiga.45
Oleh karena itulah, apabila terdapat penyimpangan dalam
penyetoran Pajak Pertambahan Nilai maka fiskus akan meminta pertanggung jawaban
dari pihak yang menjual Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut.
2. Pajak Objektif
Pajak Pertambahan Nilai merupakan pajak objektif karena dalam
pemungutannya Pajak Pertambahan Nilai tidak melihat kepada kondisi subjektif
subjek pajak dengan kata lain tidak membedakan antara konsumen yang
berpenghasilan tinggi maupun berpenghasilan rendah.
3. Pemungutan PPN Multi Stage Tax.
Dalam hal ini Pajak Pertambahan Nilai dikenakan pada setiap mata rantai
jalur produksi maupun jalur distribusi. Dengan kata lain pada setiap penyerahan
barang yang merupakan objek pajak dari tingkat pabrikan (manufacturer) kepada
tingkat pedagang besar (wholesaler) sampai dengan tingkat pedagang eceran
(retailer) akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
4. Pajak Pertambahan Nilai dipungut dengan alat bukti Faktur Pajak.
44 Untung Sukardji, Pajak Pertambahan Nilai, h. 19-29.
45 Achmad Tjahjono dan Muhammad Fakhri Husein, Perpajakan, h. 6.
Metode pengkreditan yang digunakan dalam pembayaran Pajak Pertambahan
Nilai mengharuskan Pengusaha Kena Pajak menerbitkan faktur pajak yang digunakan
untuk memperoleh suatu bukti besarnya jumlah Pajak Masukan dan Pajak Keluaran
dalam memperoleh besarnya Pajak Pertambahan Nilai yang wajib disetorkan oleh
Pengusaha Kena Pajak.
5. Pajak Pertambahan Nilai adalah Pajak atas Konsumsi Umum Dalam Negeri.
Berdasarkan dengan pernyataan di atas maka, sejumlah komoditi yang
diimpor dari negara lain dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Akan tetapi komoditi
yang diekspor ke negara lain sebaliknya yaitu dengan tidak dibebani Pajak
pertambahan Nilai.
6. Pajak Pertambahan Nilai Bersifat Netral.
Netralitas ini dapat dibentuk karena adanya dua faktor, yaitu:
1) PPN dikenakan atas konsumsi barang atau jasa.
2) PPN dipungut menggunakan prinsip tempat tujuan.
7. Tidak Menimbulkan Dampak Pengenaan Pajak Berganda.
BAB III
PRAKTIK PEMUNGUTAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN)
DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
A. Perpajakan Menurut Hukum Islam
1. Pengertian Hukum Islam
Menurut pengertian bahasa hukum berarti menetapkan sesuatu atau tidak
menetapkannya.46
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia hukum adalah peraturan,
undang-undang ataupun adat yang secara resmi dianggap mengikat yang dikukuhkan
oleh pemerintah untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat.47
Menurut H.M.N Purwosutjipto seperti yang dikutip oleh Gemala Dewi
mengatakan bahwa hukum adalah keseluruhan norma, yang oleh penguasa negara
atau penguasa masyarakat yang berwenang menetapkan hukum dinyatakan atau
dianggap sebagai peraturan yang mengikat bagi sebagian atau seluruh anggota
masyarakat, dengan tujuan untuk mengadakan suatu tata yang dikehendaki oleh
penguasa tersebut.48
Sedangkan definisi lain menyebutkan bahwa hukum adalah
peraturan-peraturan atau seperangkat norma yang mengatur tingkah laku manusia
46 Fani, Sumber Hukum Islam, Hukum Taklifi dan Hukum Wad’I, artikel diakses pada 4 Maret
dari 2009 ppt.islamfani-hukum-sumber/11/2008/com.wordpress.files.ahmadlabib://http.257. h, .
.php.index/kbbi/id.go.diknas.pusatbahasa://http 47 48 Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan Dan Peransuransian Syari’ah Di
Indonesia, (Jakarta, Kencana, 2006), cet.ke 1, h. 1.
dalam suatu masyarakat yang beraupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang
dalam masyarakat tersebut.49
Jika dikaitkan dengan kata Islam maka definisi dan pengertiannya akan sedikit
berbeda seperti yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwasannya
hukum Islam adalah peraturan dan ketentuan yang berkenaan dengan kehidupan
berdasarkan al-quran dan al-hadits.50
Sedangkan menurut Ahmad Sukardja seperti
yang dikutip oleh M. Daud Ali, menyatakan bahwasannya hukum Islam adalah
peraturan yang dirumuskan berdasar wahyu Allah SWT. dan sunah Rasul tentang
tingkah laku mukallaf (orang yang sudah dewasa dan cakap hukum) yang diakui dan
berlaku serta mengikat bagi semua pemeluk Islam.51
Menurut para ahli fiqih hukum Islam adalah akibat yang ditimbulkan oleh
tuntutan syariat, berupa al-wujub, al-mandub, al-hurmah, al-karahah dan al-
ibadah.52
Sedangkan menurut para ahli ushu al-fiqih hukum Islam adalah khitab atau
perintah Allah SWT. yang menuntut mukallaf untuk memilih antara mengerjakan dan
tidak mengerjakan atau menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau
penghalangbagi adanya sesuatu yang lain.53
Berdasarkan pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwasannya hukum
Islam ditujukan untuk mengatur kehidupan manusia ditengah alam semesta untuk
49 M. Daud Ali, Hukum Islam- Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Di Indonesia,
(Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 38.
.php.index/kbbi/id.go.diknas.pusatbahasa://http 50 51 M. Daud Ali, Hukum Islam- Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Di Indonesia, Ibid.,
h. 2. 52 Fani, “Sumber Hukum Islam, Hukum Taklifi dan Hukum Wad’I”, Ibid., h. 257.
53 Ibid., h. 257.
mencapai ketenteraman hidup di dunia dan keselamatan serta kebahagiaan hidup di
akhirat. Semua hal ini dapat tercapai apabila seseorang benar-benar bertingkah laku
sesuai dengan aturan yang terkandung dalam hukum Islam.
2. Pajak Dalam Islam
Dalam bahasa arab pajak disebut dengan al-dharibah yang mengandung arti
beban, wajib, tetap, tentu, dan lain-lain, seperti dalam kalimat “Ia telah membebankan
kepadanya upeti untuk dibayarkan”.54
Dalam al-Ahkam al-Sulthaniyah karya Imam
al-Mawardi seperti yang dikutip oleh Gusfahmi al-kharraj mengandung arti kontrak,
sewa-menyewa atau menyerahkan yang berarti pajak atas tanah atau hasil tanah.55
Sebagaimana firman Allah SWT., yang berbunyi:
��اج ر��� ��� وه� ��� ا���از��� �)72: 23/ا��,م*�ن(أم %�$#"� ��!� Artinya:
“Atau kamu meminta upah kepada mereka? maka upah dari Tuhanmu adalah
lebih baik, dan Dia adalah Pemberi rezeki Yang Paling Baik”.(Al-Mu’minun/23: 72)
Sedangkan al-jizyah mengandung arti kompensasi yang berarti beban yng
diambil dari penduduk non muslim yang ada di negara muslim untuk mendapatkan
perlindungan56
, dan hal ini sesuai dengan firman Allah SWT., yang berbunyi:
��%#�ا ا��9ی� 7ی,م*�ن �� و7 �����م ا8�� و7ی��5م�ن م����م ا ورس3�� و7ی;ی*�ن دی� ا�F5� م� ا��9ی� أو%�ا اCE��ب B�C� یA@�ا ا�?<ی= >� ی; وه�
) 29: 9/��=ا�I)C�H�ون
54 Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, (Jakarta, Gema Insani Press,
2007), cet.ke 5, h. 56. 55 Gusfahmi,Pajak menurut Syariah, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2007), ed.ke 1, h.
126. 56 Ibid, h. 119.
Artinya:
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula)
kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan
oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama
Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka
membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk”. (Al-
Taubah/9: 29)
Selain itu pajak diartikan dengan al-‘ushr yang mengandung arti 10% yang
berarti 10% dari hasil pertanian yang disirami dengan air hujan, serta 10% yang
diambil dari pedagang kafir yang berdagang di dalam wilayah Islam yang mana mirip
dengan kebijakan bea cukai pada saat ini.57
Lain halnya dengan al-zakat yang mengandung arti bersih, suci, berkah,
maslahat, dan berkembang. hal ini sesuai dengan firman Allah SWT., yang berbunyi:
9� م� أم�ا�"� I;�= %@"��ه� و%<آ��"� �"� و�MI >#�"� إن� KI%� سE� ��"� وا��#< O��س) =��C103: 9/ا�(
Artinya:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya
doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui”. (Al-Taubah/9: 103)
3. Sejarah Pemungutan Zakat Dan Pajak Dalam Islam
Sejarah perpajakan dimulai dari adanya orang-orang yang menganggap bahwa
tanah atau bumi adalah milik raja. Abdul Khalik al-Nawawi dalam bukunya al-
Nidham al-Mali fi al-Islam seperti yang dikutip oleh B. Wiwiho, menyebutkan bahwa
Raja Ramsis II membagi-bagikan tanah Mesir kepada penduduk. Tiap-tiap anggota
keluarga memperoleh sebidang tanah dan sebagai gantinya atau imbalannya
57 Ibid., h. 130.
dikenakan kharaj atau pajak bumi. Kharaj ini sudah dikenal pada masa-masa Raja
Ptolemen, Bizantine/ Bizantium, Rumawi, dan Persia.58
Tradisi pajak ini rupanya terus berlanjut sampai zaman raja-raja Arab pra
Islam. Pada tahun-tahun awal pemerintahan Islam, sumber pemasukan ataupun
pengeluaran hampir tidak ada. Oleh karena itulah, pendapatan yang diperoleh untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari bersumber dari sesuatu yang tidak terikat.59
Dan pada saat itu juga belum terdapat tentara dalam bentuk yang tetap serta tidak
menerima gaji, akan tetapi diperbolehkan untuk mendapatkan bagian dari harta
rampasan perang tanpa adanya ketentuan yang pasti.
Pada tahun kedua Hijriyah dimana Rasulullah SAW. serta para sahabat-
sahabatnya prinsip-prinsip Islam telah dijalankan dengan sangat baik, Allah SWT.
mensyariatkan zakat yang merupakan rukun Islam ketiga setelah syahadat dan shalat.
Zakat telah memberikan perubahan ekonomi secara signifikan dalam masyarakat
muslim. Zakat ditetapkan berdasarkan nash-nash al-quran serta hadits nabi yang
bersifat qathi’, sehingga kewajibannya bersifat mutlak atau absolut dan sepanjang
masa.60
Dan pada bulan Ramadhan tahun kedua Hijriyah Allah SWT. mensyariatkan
tentang pembagian harta rampasan perang yang menerangkan bahwa seperlima
58 B. Wiwoho., et., al., Zakat dan Pajak, (Jakarta: PT Bina Rena Pariwara, 1992), Cet.ke 3,
h.39. 59 Adiwarman Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2004), Cet.ke 1, h. 37. 60 Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, h. 57.
bagian untuk Allah dan Rasul-Nya, dan ini dikenal dengan istilah khums/ghanimah,
berdasarkan firman-Nya yang berbunyi:
ل و9�ي اB��X� واC���مB 3 ��3� و�#��س�# � UVء �Sن� م��ا أن��� C�*H�وا>#�����ن ی�م <�*� >#B >];ن� ی�م ا�[ �� وم\أنC� آ*C� ءام*� وا�� ا���]�M إنوا����آ�
)41: 8/ا8ن[�ل( � >#B آUV �Mء �;ی?�A�ن وا اBXC� ا�
Artinya:
“Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai
rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul,
anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnusabil, jika kamu beriman kepada Allah
dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari
Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu”. (Al-Anfal/8: 41)
Dan pada tahun itu juga Allah mewajibkan kaum muslimin untuk menunaikan
zakat fitrah yaitu sebanyak 1 sha’ kurma, tepung, keju lembut, atau kismis; atau
setengah sha’ gandum pada setiap bulan Ramadhan. Kemudian Allah mewajibkan
zakat mal pada tahun kesembilan Hijriyah, setelah perekonomian kaum muslimin
dirasakan stabil.61
Pada masa pemerintahannya beliau juga menerapkan jizyah yaitu pajak yang
diterima dari orang-orang non muslim khususnya yaitu para ahli kitab agar mendapat
perlindungan jiwa, yaitu sebesar satu dirham dalam setiap tahunnya bagi laki-laki
yang telah dewasa dan mampu membayarnya. Selain itu juga beliau menerapkan
sistem kharaj yakni pajak terhadap tanah yang dipungut dari kaum non muslim
dengan beban sebesar setengah dari hasil produksi.
Selain kharaj dan jizyah
Rasulullah juga menerapkan sistem ushr sebagai bea impor yang dikenakan kepada
semua pedagang dan hanya dikenakan terhadap barang-barang yang bernilai lebih
61 Ibid., h. 38-39.
dari 200 dirham dan hanya dikenakan sekali dalam setahun, dengan tingkatan bahwa
bagi non muslim dikenakan sebesar 5% sedangkan bagi orang-orang muslim sebesar
2,5%.62
Zaman di mana pemerintahan Islam telah begitu sarat dengan aktifitas dan
program-program pembangunan, yaitu pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin
Khaththab atas inisiatif/ijtihad Umar pada saat itu mulai diterapkan adanya
kharaj/pajak bumi dan ‘usyur/pajak impor dan ekspor yang dapat disebut dengan
pemungutan pajak terhadap barang-barang perdagangan.
Jadi Khalifah Umar-lah yang pertama kali melestarikan dan menyempurnakan
kharaj/pajak bumi dan ‘usyur/pajak impor dan ekspor yang manfaatnya tentu
dikembalikan kepada umat. Apa yang dilakukan Umar bin Khaththab ini dapat
dijadikan dalil atau hujjah hukum sejalan dengan hadits Nabi:
)رواa أ��داود وا��Cم�9ى(>#BC�*�� �E� و س*�BC ا��#[�ءا���اV;ی� ا��";ی��� Artinya:
“Ikutilah sunnahku dan apa-apa yang dilakukan oleh Khulafaurrasyidin yang
memperoleh petunjuk”. (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi)
Dana yang dihimpun dari bermacam-macam pajak itu masuk ke baitul mal yang
kegunaannya di peruntukkan untuk membiayai jalannya roda pemerintahan yang
kegiatannya terus meningkat. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa terdapat
kesamaan terhadap maksud dan tujuan dalam pemungutan pajak dan zakat.
4. Dasar Hukum Pemungutan Pajak Dalam Hukum Islam
62 Ibid., h. 43-45.
a) Pendapat Yang Menyatakan Bahwa Tidak Ada Kewajiban Lain Atas
Harta Selain Zakat
Mayoritas fuqaha termasuk para ahli fiqih periode muta’akhirin berpendapat
bahwa, zakat merupakan satu-satunya kewajiban yang telah dilimpahkan atas kaum
muslim atas harta yang dimilikinya. Oleh karena itulah, barang siapa yang telah
membayar zakat maka hartanya akan bersih serta tidak ada lagi kewajiban setelah itu,
kecuali jika dia berkehendak untuk mengeluarkan hartanya untuk mendapatkan
pahala yang lebih besar yaitu dengan cara bershadaqah sunnat.63
Pendapat mereka
mengacu pada firman Allah SWT., yang berbunyi:
وه� ا��9ي أنSd !*��ت م�A�وV�ت وH�� مA�وV�ت وا�*��M وا�<�رع م�C#[� أآ3# وا�<�ی�Cن وا��hم��ن مdC��"� وH�� مdC�3� آ#�ا م� a��e إذfأe�� وءا%�ا 3�X� ی�م
)141: 6/ا8نA�م(��ا إن�3 7یhj5 ا������� i��دa و%7��Artinya:
“Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak
berjunjung, pohon kurma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun
dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya), dan tidak sama (rasanya).
Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila ia berbuah, dan
tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya); dan
janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang
berlebih-lebihan.” (Al-An’am/6: 141)
Serta firman Allah SWT yang berbunyi:
)24: 70/ا��A�رج(وا��9ی� �B أم�ا�"� lF� مA#�م Artinya:
“Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu” (Al-
Ma’arij/ 70: 24)
Kedua ayat di atas menjelaskan bahwa dalam harta kita termasuk di dalamnya
harta dari pertanian terdapat kewajiban berupa zakat yang harus dikeluarkan bagi
63
Yusuf Qardhawi, Fiqhu al-Zakat, (Libanon: Beirut, 1973), Cet. Ke-2, h. 964.
orang-orang yang berhak untuk menerimanya, dan juga agar kita tidak termasuk
kedalam golongan orang-orang yang kikir.
Selain menurut firman Allah SWT., terdapat hadits Nabi Muhammad saw
yang menyatakan bahwa tidak terdapat kewajiban selain zakat, yang berbunyi:
mأن ��� ا��م �< ،hU]X�oا� –�;�*e�C��]= �� س� ;�A� � M��!� q�یp �� >];ا!�ء ر!M : >� أB� س"M�، >� أ3�� أن�3 س�q O#5= �� >]�;ا یX�ل–������ئ >3�#
ا B�#I ا >#3� وس#�� م� أهM ن?;، e�ئ� ا���أس، ن��O دوي� I�%3 إB� رس�لو7ن[3X م�یX�ل، B�C� دن� م� رس�ل ا B�#I ا >#3� وس#��، �uذاه�یS�ل >�
I : #�B ا >#3� وس#��، ��I m#�ات �B ا���م وا�#��#= �X�لاvسKم، �X�ل رس�ل اهa��H �U#< M؟ : 7، إ�7أن %@��ع، وI��م V"�رمx�ن �X�ل: هH �U#< M�� ه��؟ ��ل
ه�U#< M : ا B�#I ا >#3� وس#�� ا�<�آ�ة، �X�ل7، إ�7أن %@��ع وذآ3�� رس�ل: �X�ل�Sد��ا���!M وه�یX�ل : - ��ل -7، إ�7أن %@��ع : H��ه�؟ ��ل : B#<;7 أزی وا
�#< رواa (أ�#| إن I;ق : 3 وس#��ه9او7أنzX م*3، �X�ل رس�ل ا B�#I ا )ا�]��رى وم�#�
Artinya:
“Qutaibah bin Sa’id bin Jamil bin Tharif bin Abdullah ats-Tsaqafiy berkata:
Malik bin Anas (yang dibacakan kepadanya) dari Abu Suhail dari bapaknya
bahwasannya beliau mendengar Thalhah bin Ubaidillah r.a., berkata: “Seorang laki-
laki penduduk Nejd datang menghadap Rasulullah Saw. Ia berambut kusut masai dan
suaranya parau, kelihatan bagai orang dungu. Setelah dekat dengan Rasulullah Saw.,
iapun bertanya kepada beliau tentang Islam. Rasulullah Saw. Berkata: “Islam itu ialah
mengerjakan shalat lima kali sehari semalam.” Orang itu berkata: “Apakah ada
kewajiban lain?” Beliau menjawab: “Tidak ada, kecuali engkau lakukan shalat sunnat
dan puasa Ramadhan.” Ia bertanya lagi: “Apakah ada kewajiban puasa selain itu?”
Beliau menjawab: “Tidak ada, kecuali engkau lakukan puasa sunnat.” Kemudian
Rasulullah Saw. menyebut kewajiban zakat. Ia bertanya lagi: “Apakah ada kewajiban
lain di luar zakat?” Beliau menjawab: “Tidak ada, kecuali shadaqah sunnat.” Lalu ia
mundur sambil berkata: “Saya tidak akan menambah atau menguranginya.”
Rasulullah Saw. berkata: “Beruntunglah jika ia benar (ia akan masuk surga kalau
benar).” (HR. Bukhari dan Muslim).64
64 Abi al-Husain Muslim bin al-Haj al-Qusyairi al-Naisaburi: Muhammad Fuad Abd al-Baqi,
Shahih Muslim, (Riyadh: Dar-Salam,Juli 1998), h. 26-27.
3*< د��*B : أن� أ>�ا��~�أ%B ا�*�]B�#I �U ا >#3� وس#�� �X�ل: >� أB� ه�ی�ة رضB ا%A];ا d%7�ك V 3��$�، و%X�� ا�K�iة : >#M�< B إذا>�#3C د�#� ا�?*�=، �X�ل
E��نا�x�م رمi%ة ا��[�وض=، و�و%,د�ى ا�<�آ ،=��C .ل�7أزی; : � ،a;�� B�]وا��9ى ن�#���و��B، ��ل رس�ل ا B�#I ا >#3� وس#��. >#B ه9ا : M!ر B�أن ی*�� إ aس�� �م
)رواa ا�]��رى(?*�= �#�*��إB� ه9ا م� أهM ا�Artinya:
“Dari Abu Hurairah r.a.: Bahwa seorang Arab dusun datang kepada Nabi
Saw. Ia berkata: “Tunjukkanlah padaku suatu amal yang memasukkan aku kedalam
surga.” Nabi berkata: “Beribasahlah kepada Allah SWT dan jangan berbuat syirik
sedikitpun kepada-Nya, dirikanlah shalat fardhu, tunaikan zakat, dan berpuasalah
bulan Ramadhan.” Orang itu berkata: “Demi yang menguasai diriku, aku tak akan
menambahnya.” Kemudian Rasulullah Saw berkata: “Ingin melihat ahli surga,
lihatlah orang ini.” (HR. Bukhari)
Berdasarkan kedua hadits di atas disebutkan bahwa, yang wajib dikeluarkan
atas harta adalah zakat saja. Mengenai adanya nash (dalil) yang menyebutkan bahwa
adanya kewajiban lain atas harta selain zakat, mayoritas ulama menyatakan bahwa
yang dimaksud oleh dalil tersebut ialah anjuran (sunnat).65
Dikarenakan tidak ada kewajiban lain selain zakat maka negara tidak boleh
menarik pajak dalam usahanya untuk meningkatkan sumber daya, dan sejalan dengan
pemikiran ini, Dr. Hasan Turobi seorang ulama dari Sudan pengarang buku Principle
of Governance, Freedom, and Responsibility in Islam, seperti yang dikutip oleh
Gusfahmi menyatakan bahwa:
Pemerintahan yang ada di dunia Muslim dalama sejarah yang begitu lama
“pada umumnya tidak sah”. Karena itu, para fuqaha khawatir jika diperbolehkan
menarik pajak akan disalahgunakan dan menjadi suatu alat penindasan.66
65 Gusfahmi,Pajak menurut Syariah, h. 173.
66 Ibid., h. 186.
b) Pendapat Yang Menyatakan Bahwa Ada Kewajiban Lain Atas Harta
Selain Zakat
Selain yang berpendapat bahwa tidak ada kewajiban lain selain zakat, maka
terdapat beberapa pendapat yang mengatakan bahwa ada kewajiban lain selainn
zakat, diantaranya: Umar, Ali, Abu Dzar, aisyah, Ibn Umar, Abu Hurairah, Hasan bin
Ali, Fatimah binti Qais dari kalangan sahabat r.a., berpendapat bahwa terdapat
kewajiban lain dalam harta kekayaan selain zakat, yang mana pendapat ini disahkan
oleh Sya’bi, Mujahid, Thawus, ‘Atha dan lain-lain dari kalangan tabi’in.67
Dan
pendapat mereka mengacu pada firman Allah SWT, yang berbunyi:
h��% ا�]�� أن m�� وا���م �ا و!�هM[� �E ا��d�ق وا����ب وE��� ا�]�� م� ءام� �� Bم�C��وا B��X�3 ذوي ا�[� B#< ل�ا�� B%وءا �ب وا�*�]����CE�وا =E$#��ا8�� وا
M وا����ئ#�� و�U ا�����ب وأ��م ا�K�iة وءا%B ا�<�آ�ة وا�����ن وا����آ�� وا�� ا���]�A�";ه� إذا >�ه;وا وا��i���ی� �U ا�]Sس\ء وا�f���xء و��� ا�]Sس أو�$� ا��9ی� I;��ا
)177: 2/ا�]�Xة (وأو�$� ه� ا��X�C�ن
Artinya:
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu
kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari
kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang
dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang
memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan
(memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat; dan
orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang
sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-
orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa”. (Al-
Baqarah/ 2: 177)
Imam al-Qurthubi, seperti yang di kutip oleh Didi Hafidhuddin, ketika
menafsirkan ayat di atas (“...dan memberikan harta yang dicintainya...”)
67 Yusuf Qardhawi, Fiqhu al-Zakat, Ibid., h. 968.
mengemukakan pendapatnya bahwa para ulama telah sepakat, jikalau kaum muslimin
memiliki berbagai macam kebutuhan serta keperluan yang harus ditanggulanginya,
maka wajib untuk mengeluarkan harta untuk mengatasinya walaupun sudah
mengeluarkan zakat.68
Serta firman Allah SWT yang berbunyi:
�E*م�مS�ا B��اا���س�ل وأوA�qوأ �B#I Bی�أیـl"�ا��9ی�ءام*�اأA�q�اا �C<ز�ن %*u���S�وا���م ا ذ�� ���وأ��� جBVء��دhوa إB� ا وا���س�ل إن آ*C� %,م*�ن ��
KویS%)ء�59: 4/ا�*�( Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya),
dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (Al-Nisaa’/4:
59)
Ayat di atas menerangkan bahwa terdapat perintah yang menyatakan untuk
taat kepada ulil amri (pemerintah) termasuk dalam ketaatan untuk membayar pajak
selain ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Tetapi apabila dana pajak yang dipungut
dari masyarakat dipergunakan untuk hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai
Islam serta bertentangan dengan kemaslahatan bersama, maka tidak ada alasan bagi
umat Islam untuk membayar pajak.
Muhammad Ali al-Shabuni seperti yang dikutip oleh Didin Hafidhuddin,
ketika menafsirkan ayat diatas menyatakan bahwa ketaatan kepada penguasa jika
68 Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, h. 62.
mereka adalah kaum muslimin yang berpegang teguh kepada syariat Islam dan tidak
ada ketaatan kepada makhluk jika bermaksiat kepada Allah SWT.69
Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Muhalla, tatkala ditanya tentang ayat diatas,
seperti yang dikutip oleh Gusfahmi mengatakan bahwa:
Apabila dana zakat tidak mencukupi bagi pemenuhan kebutuhan orang-orang
miskin dalam suatu daerahatau negara, maka menjadi tanggung jawab warga yang
mampu untuk memenuhi kebutuhan mereka. Apabila mereka tidak melakukan itu,
semuanya berdosa. Penguasa berhak untuk menghukum mereka. Inilah pendapat yang
tidak diragukan, yang diambil dari makna dan tujuan al-quran.70
Selain menurut firman Allah SWT., terdapat hadits Nabi Muhammad saw
yang menyatakan bahwa terdapat kewajiban selain zakat, yang berbunyi:
م5��;�� ا�@�*e M�]h�V�ی� >� أB� ��<ة >� >�م� >� ��m�� �*� =�q ) أ�]�ن�(X� �E�~� س�ى ا�<�آ�ة ا���� س�A� رس�ل ا B�#I ا >#3� وس#�� یX�ل أن� �B أم�
)X�دارا aرواm�� �*� =�q�� )@*B و Artinya:
“Muhammad Thufail dari Abu Hamzah dari ‘Amir dari Fathimah binti Qais
mengatakan: Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda: Sesungguhnya di dalam
setiap harta kalian terdapat kewajiban selain zakat ”. (HR. Darul Quthni dan
Fathimah binti Qais)71
Dalam hadits lain Nabi Muhammad Saw meyebutkan bahwa:
;�Aس �� =[�C��*e�;� :����*e�;� :|رم �م5��;� �*e�;�: و �ا� �< ،O�أ�]�ن�ا�#��� >� ن�#< أ7 آ#Eh� راع، وآ#Eh� م�$�ل >� : 3� وس#�� أن�3 ��ل>�� >� ا�*�]B�#I U ا
3C��<ر. Mأه B#< راع M!3،وا���C��<ر �س راع، وه� م�$�ل >�ا�*� B#< م��ا��9ىS��� را>�= >#A� ��� B#"�وو�;a، وهU م�$��= 3C��، راع، وه� م�$�ل >*"�، وا���أة
أ7�Eh#E� راع، وآ#Eh� م�$�ل >� .>*"�، واA�]; راع >#B م�ل س��;a وه� م�$�ل >*33C��<م�#�.(ر aروا(
Artinya:
69 Ibid., h. 63.
70 Gusfahmi,Pajak menurut Syariah, h. 175. 71 Muhammad Abdullah ibn Bahram Darimi, Sunan al-Darimi, (Beirut: Dar al-Fikr, 1990),
Jilid 1, h. 385.
“Qutaibah bin Sa’id berkata: Laits berkata: Muhammad bin Rumhin berkata:
Laits mengabarkan dari Nafi’ dari Ibn ‘Umar dari Nabi Saw, bahwasannya beliau
bersabda: Sesungguhnya setiap kalian itu adalah pemimpin, dan setiap kalian
bertanggung jawab atas apa yang kalian pimpin. Dan seorang penguasa itu adalah
pemimpin, dan dia bertanggung jawab atas apa yang dia pimpin. Dan seorang suami
itu adalah pemimpin bagi keluarganya, dan dia bertanggung jawab atas anggota
keluarganya. Dan seorang isteri itu adalah pemimpin bagi tempat tinggal serta
anaknya, dan dia bertanggung jawab atas itu semua. Dan seorang hamba pemimpin
atas harta tuannya, dan dia bertanggung jawab atas itu semua. Sesungguhnya kalian
adalah pemimpin, dan kalian bertanggung jawab atas apa yang kalian pimpin”. (HR.
Muslim)72
Berdasarkan kedua hadits di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwasannya
pemungutan pajak dibolehkan akan tetapi dengan syarat tidak menyampingkan
prinsip-prinsip hukum Islam, serta digunakan untuk kemaslahatan masyarakat karena
pajak dipungut dari masyarakat untuk masyarakat.
Berdasarkan Kaidah Fiqih:
j!�وا"� م�7یh�C ا��ا!j إ3��7 Artinya:
“Segala sesuatu yang menjadi sebab sempurnanya sesuatu yang wajib
hukumnya adalah wajib”.73
Sedangkan para ulama lain yang berpendapat bahwa terdapat kewajiban lain
selain zakat seperti halnya pajak, yaitu:
a. Imam Qurtubi dalam Tafsir al-Qurtubi, seperti yang dikutip oleh
Gusfahmi berpendapat bahwa:
Para ulama sependapat bila datang satu kebutuhan mendesak kepada kaum
Muslimin-setelah membayar zakat-maka wajib kepada mereka yang kaya
mengeluarkan hartanya untuk menanggulangi keperluan tersebut.74
72 Abi al-Husain Muslim bin al-Haj al-Qusyairi al-Naisaburi: Muhammad Fuad Abd al-Baqi,
Shahih Muslim, h. 820. 73 B. Wiwoho., et., al., Zakat dan Pajak, h.151.
b. Mahmud Syaltut dalam al-Fatawa, seperti yang dikutip oleh Gusfahmi
berpendapat bahwa:
Apabila pemerintah atau pemimpin rakyat tidak mendapat dana untuk
menunjang kemaslahatan umum, seperti pembangunan sarana pendidikan, balai
pengobatan, perbaikan jalan dan saluran air, serta mendirikan industri alat pertahanan
negara di mana kaum hartawan masih diam membelenggu tangannya, maka
dibolehkan bagi pemerintah, untuk memungut pajak dari kaum hartawan, untuk
meringankan pelaksanaan rencana pembangunan itu.75
c. Abu Yusuf, dalam kitabnya al-Kharaj, seperti yang dikutip oleh Gusfahmi
menyebutkan bahwa
Semua khulafa ar-rasyidin, terutama Umar, Ali dan Umar bin Abdul Aziz
dilaporkan telah menekankan bahwa pajak harus dikumpulkan dengan keadilan dan
kemerataan, tidak diperbolehkan melebihi kemampuan rakyat untuk membayar, juga
jangan sampai membuat mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok mereka
sehari-hari. Abu Yusuf mendukung hak penguasa untuk meningkatkan atau
menurunkan pajak menurut kemampuan rakyat yang terbebani.76
d. Hasan al-Banna, dalam bukunya Majmuatur Rasa’il, seperti yang dikutip
oleh Gusfahmi menyatakan bahwa:
74 Gusfahmi,Pajak menurut Syariah, h. 180.
75 Ibid., h. 181. 76 Ibid., h. 183.
Melihat tujuan keadilan sosial dan distribusi pendapatan yang merata, maka
sistem perpajakan progresif tampaknya seirama dengan sasaran-sasaran Islam.77
e. Ibnu Taimiyah, dalam Majmuatul Fatawa, seperti yang dikutip oleh M.
Umer Chapra mengatakan bahwa:
Penghindaran pajak itu dilarang meskipun pajak tersebut tidak adil
berdasarkan alasan bahwa mereka yang tidak membayar pajak oleh mereka yang
berkewajiban akan mengakibatkan beban yang tidak semestinya bagi kelompok
lain.78
f. M. Umer Chapra, dalam Islam and The Economic Challange, menyatakan
bahwa:
Hak negara Islam untuk menarik pajak disamping zakat untuk meningkatkan
sumber penerimaan telah dipertahankan oleh para ahli fiqih yang secara otomatis
telah mewakili seluruh aliran dalam fiqih.hal ini disebabkan karena hasil zakat
digunakan terutama untuk kesejahteraan orang-orang miskin, dimana negara
membutuhkan sumber pemasukan lain selain zakat agar dapat melakukan seluruh
fungsi alokasi, distribusi, serta stabilisasi secara efektif. Dan ini berdasarkan hadits
Nabi Saw yang berbunyi: “Di dalam kekayaanmu yang telah melebihi bata nishab ada
kewajiban zakat”. Serta didasarkan pada kaidah Hukum Islam yang berbunyi: “Suatu
pengorbanan kecil boleh dikenakan untuk menghindari pengorbanan yang lebih
besar”, serta kaidah yang berbunyi: ”Sesuatu yang tanpanya suatu kewajiban tidak
dapat dilaksanakan adalah juga wajib”.79
5. Persamaan Dan Perbedaan Antara Zakat Dan Pajak
a) Persamaan Antara Zakat Dan Pajak
77 Ibid., h. 185.
78 M. Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, Edisi terj. oleh Ikhwan Abidin Basri,
(Jakarta: Gema Insani Press dan Tazkia Inztitute, 2000), Cet. Ke-1, h. 322. 79 Ibid., h. 319.
Diantara persamaan antara zakat dan pajak yaitu:
1) Unsur Paksaan
Seorang muslim yang memiliki harta dan telah memenuhi persyaratan zakat,
jika tidak mau membayar zakat, maka petugas zakat wajib memaksanya. Hal ini
berdasarkan firman Allah SWT. yang berbunyi:
9� م� أم�ا�"� I;�= %@"��ه� و%<آ��"� �"� و�MI >#�"� إن� KI%� سE� ��"� وا )103: 9/ا�O�) =��C >#��س�
Artinya:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya
doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui”. (Al-Taubah/9: 103)
Demikian pula halnya dengan pajak apabila seseorang termasuk dalam
kategori wajib pajak, maka fiskus hendaknya memaksa yang dilakukan secara
bertingkat mulai dari peringatan, teguran, surat paksa, sampai dengan penyitaan.
Berdasarkan UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang menggantikan
UU No. 17 tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak.
2) Unsur Pengelola
Unsur pengelolaan zakat berdasarkan atas firman Allah SWT. yang berbunyi:
�"� و�U ا�����ب � >#�"� وا��,��[= �#�� واA��م#�إن��� ا��i;��ت �#[X�اء وا����آ���ی� و�U س]�وا���رم� M�[ا��� �وا� )60: 9/ا�x�E� ��) =��C= م� ا وا >#M� ا
Artinya:
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-
orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-
orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan
Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (Al-Taubah/9: 60)
Berdasarkan ayat di atas, dapat diketahui bahwa pengelolaan zakat tidaklah
dilakukan secara individual, akan tetapi dikelola oleh lembaga yang khusus
menangani zakat yang disebut dengan amil zakat. Dalam bab III Undang-undang No.
38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dikemukakan bahwa terdapat dua
pengelola zakat, yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) dan (Lembaga Amil Zakat).
Adapun pengelolaan pajak, jelas diatur oleh negara. Hal ini sesuai dengan
Undang-undang Dasar 1945 Republik Indonesia Pasal 23 ayat (2), yang berbunyi
segala pajak untuk kegunaan kas negara berdasarkan undang-undang.
3) Dari Sisi Tujuan
Pada dasarnya tujuan pemungutan zakat dan pajak yaitu sebagai sumber dana
untuk mewujudkan suatu masyarakat adil, makmur yang merata, dan
berkesinambungan antara hubungan material dan spiritual.80
b) Perbedaan Antara Zakat Dan Pajak
1) Dari Segi Nama
Seperti yang telah penulis uraikan pada pembahasan sebelumnya
bahwasannya zakat bermakna bersih, suci, berkah, maslahat, dan berkembang.
Sedangkan pajak bermakna beban, wajib, tetap, tentu, dan lain-lain
2) Dari Segi Dasar Hukum Dan Sifat Kewajiban
Zakat ditetapkan berdasarkan nash al-quran serta hadits Nabi Muhammad saw
yang bersifat mutlak, sehingga kewajibannya juga bersifat mutlak dan sepanjang
80 Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, h. 55.
masa. Sedangkan pajak, tergantung pada kebijakan pemerintah sesuai dengan
kebutuhan.
3) Dari Sisi Objek, Persentase, Serta Pemanfaatannya.
Zakat memiliki nishab (kadar minimal) dan persentase yang sifatnya baku
berdasarkan ketentuan yang tertuang dalam hadits, serta dipergunakan untuk
kepentingan para mustahiq (orang yang berhak menerima zakat) yang berjumlah
delapan ashnaf (golongan). Sedangkan pajak sangat bergantung pada peraturan yang
ada serta objek pajaknya yang berupa jenis, sifat, maupun cirinya, dan pajak
dipergunakan dalam seluruh sektor kehidupan, walaupun sama sekali tidak berkaitan
dengan ajaran agama.
6. Karakteristik Pajak Dalam Islam
Diantara karakteristik pajak dalam syariat Islam, adalah:
d. Pajak (dharibah) bersifat temporer, bahwa pajak tidak dipungut ketika
baitul mal sudah terisi kembali.
e. Pajak (dharibah) hanya boleh dipungut untuk pembiayaan yang
merupakan kewajiban bagi kaum muslim serta terbatas jumlah yang
dibutuhkan untuk menutupi biaya kewajiban tersebut serta tidak boleh
lebih.
f. Pajak (dharibah) dipungut dari kaum muslim yang kaya, dengan dengan
pengertian bahwa orang yang memiliki kelebihan harta dari biaya
kebutuhan yang dikeluarkan menurut kelayakan masyarakat sekitar.
g. Pajak (dharibah) hanya dikenakan pada objek pajak yang bersifat halal.
B. Analisa Praktik Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Dalam Perspektif
Hukum Islam
Pajak Pertambahan Nilai atau yang dikenal dengan sebutan PPN yaitu pajak
yang dipungut berdasarkan atas konsumsi suatu jenis barang ataupun jenis jasa
tertentu di dalam negeri, berdasarkan pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa
dalam Pajak Pertambahan Nilai tidak terdapat batasan antara mengkonsumsi jenis
barang ataupun jasa baik yang halal ataupun yang haram.
Dalam al-quran, hadits, ijma’ serta qiyas tidak terdapat larangan dalam
mengkonsumsi suatu jenis barang yang halal, akan tetapi untuk jenis barang yang
haram jelas dilarang, seperti yang telah difirmankan Allah Swt, yang berbunyi:
hj57 ی ی�أیh"� ا��9ی� ءام*�ا 7 %��5م�ا ��q]�ت م\أ�M� ا E�� وCA% 7;وا إن� ا )87: 5/ ا���ئ;ة(ا��CA;ی�
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang
baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Al-
Maidah/ 5: 87)
Oleh karena itulah, jika terdapat pengenaan pajak pada jenis barang ataupun
jasa yang telah diharamkan dalam syariat Islam, maka hasil dari pemungutan pajak
tersebut sudah tercampur dengan hasil dari pemungutan pajak atas barang-barang
ataupun jasa-jasa yang dihalalkan oleh hukum Islam.
Nabi Muhammad Saw melarang kita sebagai umatnya untuk mengharamkan
segala jenis barang ataupun jasa yang telah dihalalkan ataupun menghalalkan segala
jenis barang ataupun jasa yang telah diharamkan. Dan ini sesuai dengan sabda beliau,
yang berbunyi:
�� �M�7 أوأK� ���م�q�V �7إ �"q�وV B#< وا���#��ن �م9ي(ام�Cا� aروا( Artinya:
“Kaum muslimun itu wajib mengikuti segala syarat yang mereka buat,
kecuali syarat yang mengharamkan barang yang halal atau menghalalkan barang
yang haram.” (HR. At-Tirmidzi)
Selain pengkonsumsian jenis barang ataupun jasa Pajak Pertambahan Nilai
juga tidak dapat membedakan antara golongan yang berpendapatan tinggi ataupun
golongan yang berpendapatan rendah, karena Pajak Pertambahan Nilai memakai satu
tarif tunggal yaitu 10%.
Dalam hal ini hukum Islam telah dengan jelas melarangnya, karena pengenaan
pungutan ataupun pajak seperti yang kita kenal sekarang ini dipungut seharusnya
hanya kepada golongan yang berpendapatan tinggi. Jikalau dipungut juga kepada
golongan yang berpendapatan rendah maka beban yang ditanggungnyapun akan lebih
berat yang menyebabkan mereka akan lebih sengsara.
Dikarenakan barang yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dikenakan
pajaknya sebesar 10% sehingga akan sangan membebankan perekonomian terutama
bagi masyarakat yang termasuk dalam golongan yang berpenghasilan rendah.Maka
menyebabkan harga-harga barang dan jasa termasuk barang-barang kebutuhan pokok
jauh di atas harga yang sewajarnya
Oleh karena itulah, maka penerapan Pajak Pertambahan Nilai kurang
mencerminkan adanya keadilan bagi tinggi serta golongan yang berpenghasilan
rendah. Dalam hal ini salah seorang pakar ekonomi Islam M. Umer Chapra
menegaskan bahwa:
Suatu sistem perpajakan dianggapnya adil jika digunakan untuk mendanai
sesuatu yang sangat penting untuk mewujudkan maqashid, beban pajak yang
ditanggungkan kepada yang membayarnya hendaknya tidak terlalu berat sehingga
melebihi kemampuannya untuk menanggungnya dan didistribusikan secara adil
diantara mereka yang mampu membayar, serta hasil yang didapatkan dari penarikan
pajak tersebut harus benar-benar digunakan berdasarkan tujuan sebagaimana yang
telah ditetapkan.81
Dalam hal lain, jika Pajak Pertambahan Nilai itu termasuk ‘ushr (bea cukai)
yang dikenakan tarif 10% maka pernyataan tersebut adalah tidak benar adanya,
karena ‘ushr dikenakan kepada orang kafir ketika mereka akan menjajakan barang
dagangannya di dalam daerah kaum muslim, dan tarif tersebut juga berlaku di dalam
kawasan kaum kafir jika kaum muslim memasuki daerah kaum kafir.
Jadi dapat dikatakan bahwa pengenaan ‘ushr yaitu dikarenakan adanya
balasan terhadap kaum kafir yang mengenakan pajak terhadap kaum muslim dan
bukan dikarenakan kaum muslim ataupun kaum kafir yang mengkonsumsi suatu jenis
barang tertentu.
Seperti yang terjadi pada kekhalifahan Umar bin Khaththab ra. dimana Abu
Yusuf melaporkan bahwa Abu Musa al-Asy’ari salah seorang gubernur, pernah
menulis kepada Khalifah Umar bahwa para pedagang muslim dikenakan bea dengan
tarif sepersepuluh di tanah-tanah harb. Khalifah Umar menasehatinya untuk
melakukan hal yang sama dengan menarik bea dari mereka seperti yang mereka
lakukan kepada pedagang muslim.82
81 Ibid., h. 320.
82 Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dari Masa Klasik Hingga Kontemporer,
(Jakarta: Pustaka Asatruss,2005), Cet.ke 1, h. 75.
Oleh karena itulah, berdasarkan atas apa yang telah penulis uraikan, maka
penulis berkesimpulan bahwa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang diterapkan di
Indonesia tidak boleh dipungut, karena tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hukum
Islam.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah menguraikan, membahas serta menganalisa teori dan aplikasi peraktik
pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), maka pada bab akhir ini penulis
menarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Pajak dikenal dalam hukum Islam dengan sebutan al-dharibah yang memiliki
arti beban, wajib, tetap, tentu, dan lain-lain. Sedangkan zakat memiliki arti
bersih, suci, berkah, maslahat, dan berkembang. Zakat dan pajak memiliki
beberapa persamaan, diantaranya yaitu: adanya paksaan, adanya pengelola,
serta adanya tujuan yang sama. Selain itu zakat dan pajak juga memiliki
beberapa perbedaan, diantaranya yaitu: nama, dasar hukum dan sifat
kewajibannya, objek, persentase serta pemanfaatannya.
2. Dalam hukum Islam teori dan peraktik pemungutan Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) tidak dibenarkan adanya, karena tidak adanya kejelasan
pengkonsumsian barang ataupun jasa baik yang halal ataupun yang haram.
Selain itu pula, bahwa pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dikenakan
kepada seluruh golongan masyarakat, maka dari itu golongan masyarakat
yang berpenghasilan rendah akan terkena pungutan dari Pajak Pertambahan
Nilai (PPN) sehingga mereka akan mempunyai beban lebih. Pengenaan pajak
pada sejumlah jenis barang ataupun jasa pada Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
akan berdampak bahwa barang berada pada harga yang di atas sewajarnya.
Jika Pajak Pertambahan Nilai (PPN) diqiyaskan dengan ‘Ushr adalah tidak
benar adanya karena ‘ushr merupakan penyeimbang atas apa yang dilakukan
oleh orang kafir kepada umat Islam. Berdasarkan itu semua, maka penulis
berkesimpulan bahwa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi suatu pajak
yang tidak boleh dipungut, karena tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hukum
Islam.
B. Saran
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis memberikan saran sebagai berikut:
1. Majelis Ulama Indonesia (MUI) hendaknya membuat fatwa yang menyatakan
bahwa pajak (dharibah) dibolehkan dalam Islam berdasarkan al-Quran, al-
Hadits serta ijma’ para sahabat. Akan tetapi, pajak yang dimaksudkan di sini
yaitu bukanlah pajak seperti yang telah dipraktikkan di negara Indonesia. Oleh
karena itulah, pajak-pajak di Indonesia perlu di reformasi terlebih dahulu agar
sesuai dengan prinsip-prinsip hukum Islam sebelum diperbolehkan.
2. Pajak (dharibah) merupakan suatu kewajiban tambahan selain zakat. Oleh
karena itulah, hendaknya pajak (dharibah) dan zakat dikelola dalam satu
pengelolaan di bawah pengawasan Departemen Keuangan RI (DepKeu).
3. Setidaknya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemeritah meninjau
kembali RAPBN dalam setiap tahunnya, agar apa yang dicita-citakan dari
pemungutan pajak dapat terealisasikan dengan baik dan benar.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta, Departemen Agama RI, 1997.
Abdullah, Muhammad ibn Bahram Darimi, Sunan al-Darimi, Beirut, Dar al-Fikr,
Jilid 1, 1990.
Ali, M. Daud, Hukum Islam- Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Di Indonesia,
Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2002
Amalia, Euis, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dari Masa Klasik hingga
Kontemporer, Jakarta, Pustaka Asatruss, cet.ke-1, 2005.
Azwar Karim, Adiwarman, Ir., H., SE., M.B.A., M.A.E.P., Ekonomi Islam Suatu
Kajian Kontemporer, Jakarta, Gema Insani Press, , 2001.
Bohari, H., S.H., M.S.,Pengantar Hukum Pajak, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada,
ed. Revisi, cet.ke 4, 2002.
Brotodihardjo, R., Santoso, S.H., Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung, PT. Refika
Aditama, ed. 4, cet.ke 1, 2003.
Chapra, M. Umer, Islam dan Tantangan Ekonomi, Edisi terj. oleh Ikhwan Abidin
Basri, Jakarta, Gema Insani Press, cet.ke-1, 2000.
Dewi, Gemala, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan Dan Peransuransian Syari’ah
Di Indonesia, Jakarta, Kencana, cet.ke 1, 2006.
Fani, Sumber Hukum Islam, Hukum Taklifi dan Hukum Wad’I,artikel diakses pada 4
Maret 2009 dari http://ahmadlabib.files.wordpress.com/2008/11/sumber-
hukum-islamfani.ppt.
Gusfahmi, SE., MA., Pajak Menurut Syariah, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada,
ed.ke-1, 2007.
Hafidhuddin, Didin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, Jakarta, Gema Insani
Press, cet.ke 5, 2007.
http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php.
Ibrahim Muhammad, Quthb, Kebijakan Ekonomi Umar bin Khaththab, Jakarta,
Pustaka Azzam, cet.ke 1, 2002.
Ilyas, Wirawan B. dan Richard Burton, Hukum Pajak, (Jakarta, Salemba Empat, ed.
3, 2007.
Inayah, Gazi, Teori Komprehensip Tentang Zakat dan Pajak, Edisi terj. Zainudin
Adnan dan Nailul Falah, Yogyakarta, PT. Tiara Wacana Yogya, cet.ke 1,
2003.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 253/KMK.03/2002, tentang Pajak Pertambahan
Nilai Atas Penyerahan Barang Dagangan Oleh Pedagang Eceran selain Yang
Menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 575KMK.04/2000, tentang Pedoman
Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang
Melakukan Penyerahan Yang Terutang Pajak Dan Penyerahan Yang Tidak
Terutang Pajak.
Mas’udi, Masdar F., Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) Dalam Islam, Jakarta,
Pustaka Firdaus, cet.ke 1, 1991.
Muslim, Abi al-Husain bin al-Haj al-Qusyairi al-Naisaburi: Muhammad Fuad Abd al-
Baqi, Shahih Muslim, Riyadh, Dar-Salam, Juli 1998.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER- 159/ PJ./2006, tentang Saat
Pembuatan, Bentuk, Ukuran, Pengadaan, Tata Cara Penyampaian, dan Tata
Cara Pembetulan Faktur Pajak Standar.
Peraturan Pemerintah Nomor: 144 Tahun 2000, tentang Jenis Barang Yang Tidak
Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
Qardhawi, Yusuf, Fiqhu al-Zakat, Libanon, Beirut, cet.ke-2, 1973.
Rosdiana, Haula, Dra., M.Si., dan Drs. Rasin Tarigan, M.Si., Perpajakan Teori dan
Aplikasi, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, ed. 1, 2005.
Soemitro, Rochmat, Prof., Dr., H., S.H., Asas Dan Dasar Perpajakan I, Bandung, PT.
Rafika Aditama, ed. Revisi, cet.ke 5, 1998.
Sukardji, Untung, Pajak Pertambahan Nilai, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, ed.
Revisi, cet.ke 6, 2003.
__________, Pokok-Pokok Pajak Pertambahan Nilai Indonesia, Jakarta, PT. Raja
Grafindo Persada, ed. Revisi, cet.ke 2, 2004.
Tjahjono, Achmad, Drs., M.M., Ak., dan Muhammad Fakhri Husein, SE., M.Si.,
Perpajakan, Yogyakarta, Akademi Manajemen Perusahaan YKPN, ed. 3, cet.
ke 1, 2005.
Undang-Undang No. 38 Tahun 1999, tentang Pengelolaan Zakat.
Undang-Undang No. 18 Tahun 2000, tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Peenjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM).
Wiwoho, B, et., al., Zakat dan Pajak, ,Jakarta: PT Bina Rena Pariwara, cet.ke-3,
1992.
www.pajak.go.id.
Top Related