17
POLITICAL BRANDING PARTAI GERINDRA DALAM ERA NEW MEDIA 2.0
(Studi Kasus Political Branding Partai Politik Gerindra Melalui
Web Media Digital Online)
Radita Gora1
Agus Budiana2
Universitas Satya Negara Indonesia
Jalan Arteri Pondok Indah, No 11. Jakarta Selatan
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Prodi Ilmu Komunikasi
ABSTRAK
Media digital menjadi salah satu media yang digunakan oleh partai sebagai alat untuk membangun brand
dan image partai di era revolusi industri 4.0 yang mengutamakan kemudahan dan efektif untuk meraih
suara terbanyak. Masyarakat yang semakin gandrung dengan perangkat teknologi memungkinkan bagi
partai Gerindra untuk bisa lebih mudah dalam political branding dengan menonjolkan kelebihan partai
tersebut ataupun figur politik tertentu serta membangun kritik terhadap rival politik melalui kesadaran.
Melalui media digital, dan penyebaran informasi mengenai parti, sehingga partai politik berupaya
mengonstruksi suatu pandangan masyarakat melalui isu-isu yang berkembang dan membentuk
pandangan-pandangan baru terhadap partai tersebut sebagai upaya meraih sauara publik. Adapun
konsep-konsep yang mendukung dalam penelitian ini seperti ideologi politik yang dimana sebuah
ideologi politik sebagai visualisasi kenyataan sosial yang sekaligus membangkitkan kesadaran sosial.
Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus
kolektif. Analisis yang difokuskan pada Isu-isu politik yang dicanangkan partai politik benar-benar
mencerminkan permasalahan yang dihadapi masyarakat, sekaligus mampu menyadarkan publik akan
adanya persoalan mendasar yang dialami bangsa dan negara. Berdasarkan hasil penelitian bahwa partai
Gerindra lebih banyak mewacanakan adanya kritik terhadap pemerintah sebelumnya yaitu masa
kepresidenan Jokowi yang tidak membawa perubahan, hanya memberikan janji-janji palsu yang tidak
terpenuh, serta potensi terhadap nilai kurs rupiah meningkat dan nilai impor meningkat, dan juga
cenderung merugikan negara, di satu sisi gerindra juga menawarkan adanya perubahan. Sehingga dalam
hal ini partai gerindra tidak berupaya untuk meningkatkan citra partainya dengan menunjukkan kelebihan,
melainkan lebih banyak menampilkan konten-konten pesimistis dan sikap apriori terhadap kepresidenan
Jokowi.
Kata Kunci: Partai Politik, Political Branding, Figur Partai, Media Digital Online, Pengembangan
image partai.
ABSTRACT
Digital media is one of the media used by the party as a tool to build the party's brand and image in the
era of the industrial revolution 4.0 which prioritizes ease and effectiveness in gaining the most votes. A
society that is increasingly infatuated with technological devices makes it possible for the Gerindra party
to be more easily able to political branding by highlighting the strengths of the party or certain political
figures and building criticism of political rivals through awareness. Through digital media, and the
dissemination of information about parties, political parties seek to construct a public outlook through
developing issues and form new views on the party as an effort to gain a public voice. The concepts that
support in this study such as political ideology in which a political ideology as a visualization of social
reality as well as arousing social awareness. The method used in research is a qualitative method with
a collective case study approach. The analysis focused on political issues launched by political parties
truly reflects the problems faced by the community, as well as being able to make the public aware of the
fundamental problems experienced by the nation and state. Based on the results of research that the
Gerindra party more discouraged criticism of the previous government, namely the Jokowi's presidency
which did not bring change, only gave false promises that were not fulfilled, as well as the potential for
the value of the rupiah to rise and the value of imports to rise, and also likely to harm the country On the
one hand, Gerindra also offered a chance. So, in this case, the Gerindra party did not try to improve the
18
image of its party by showing its strengths but rather displayed pessimistic content and a priori attitudes
towards Jokowi's presidency.
Keyword: Political Organization, Political Branding, Figur Partai, Online Digital Mediae, Image
Image Development Political Organization.
PENDAHULUAN Komunikasi dalam lingkup
politik merupakan bagian komponen
utama menerapkan konsep kekuasaan
yang menguasai maupun untuk tujuan
dikuasai. Permainan komunikasi dalam
politik tentu tidak bisa lepas dari
peranan aktor politik di dalamnya.
Aktor politik merupakan bagian dari
agen dalam suatu pemain politik baik di
dalam kelembagaan tertentu, politik
pemerintah maupun partai politik.
Sehingga aktor politik lah yang
memainkan komunikasi bukan hanya
sebagai bahasa, namun juga
menjadikannya sebagai instrumen
kekuasaan.
Menurut Denton dan
Woodward (1990: 14), komunikasi
politik sebagai diskusi murni tentang
alokasi sumber daya publik
(pendapatan), otoritas resmi (yang
diberi kekuasaan untuk membuat
keputusan hukum legislatif dan
eksekutif), dan sanksi resmi. Aktor
politik memanfaatkan bahasa sebagai
alat komunikasi untuk operasional
relasi kekuasaan. Pada Relasi
kekuasaan mulanya dipahami sebagai
kecenderungan alamiah. Seseorang
dengan kualitas unggul otomatis akan
memerankan peran yang lebih banyak
dibanding orang lain. (Rokhman &
Surahman, 2016: 40).
Denton dan Woodward (1990:
11) mengatakan bahwa komunikasi
politik dalam hal niat pengirimnya
untuk mempengaruhi lingkungan
politik. Seperti dikatakan “Faktor
penting yang membuat komunikasi
‘politik’ bukanlah sumber pesan, tetapi
pada persoalan konten dan tujuannya.”
Seperti halnya pemanfaatan
komunikasi yang digunakan oleh
kapitalisme terhadap penindasan buruh.
Sehingga partai politik berupaya untuk
membalikkan situasi dengan
mengangkat perlawanan yang
dilakukan oleh buruh dengan cara
membangun poltiknya dan juga
kekuasaan dengan komunikasi namun
dengan cara menguasai audiensnya.
Dalam hal ini terlihat bahwa
partai tentunya sarat dengan ideologis.
Seperti halnya di AS, Partai Demokrat
secara historis dikaitkan dengan
liberalisme relatif dalam kebijakan
sosial, dan pendekatan intervensionis
terhadap ekonomi, sementara partai
Republik bercita-cita mengurangi
keterlibatan negara dalam semua aspek
kehidupan sosial-ekonomi. Sehingga
dari sini dapat dicermati dalam
pandangan Althusser mengenai
ideologi yang membawa kita bergerak
dalam relasi yang tak nyata namun
seolah nyata, menerima semu seperti
nyata, yang fana sebagai abadi.
(Althusser, 2010; xviii).
Menurut Giddens (1977) dalam
Faisal Bakti (2016: 5) mengatakan
bahwa pemilihan isu-isu yang
berkembang dalam masyarakat untuk
dijadikan kepentingan politik akan
sangat ditentukan oleh ideologi partai
politiknya. Isu tentang keamanan,
kemiskinan, kesehatan, pengangguran,
dan pendidikan tidak bisa semuanya
mendapatkan skala prioritas yang sama.
Partai politik perlu membangun basis
ideologi politik yang kuat sekaligus
tidak menciptakan semangat fanatisme
berlebihan para politisinya. Ideologi
dimanfaat partai untuk menanamkan
kesadaran kepada public sebagai upaya
untuk meraih suara partisipan.
Dalam konteks persaingan
politik, strategi politik untuk
memenangkan Pemilu perlu
mendapatkan perhatian yang serius. Hal
ini mengingat persaingan partai yang
cukup banyak dan sama-sama memiliki
19
bargain politik yang kuat. Sehingga
strategi digunakan utuk mengatur tata
cara partai untuk memenangkan
perelehan suara terbanyak. Hal ini perlu
mengacu pada pentingnya berpolitik
dengan memiliki ideologi. Hal ini
bertujuan untuk mencegah dunia politik
agar tidak teralienasi dari dirinya
sendiri. Dan organisasi politik akan
kehilangan semangat, motivasi serta
arahan untuk mengubah wajah dunia
(Mullins, 1972, dalam Faisal Bakti,
2016: 6).
Ketika ideologi sudah terbentuk
dan meyakinkannya kepada publik
dalam komitmen menjalankan visi dan
misinya, maka Partai Politik perlu
diikutkan dalam Pemilihan Umum
(Pemilu) yang merupakan salah satu
media bagi partai politik untuk
menyampaikan ideologinya kepada
rakyat melalui pemasaran politik.
Seperti halnya partai Gerindra
yang terus memenamkan ideologi
kebangsaan sebagai upaya
penyelamatan bangsa Negara Indonesia.
Hal ini termuat dalam situs resmi
Gerindra bahwa ada upaya – upaya
untuk menanamkan kedalam pemikiran
rakyat Indonesia bahwa bangsa
Indonesia selalu dalam kondisi
terancam, sehingga selalu ada upaya
menanamkan sikap persuasive kepada
masyarakat seperti “Selamatkan
Bangsa Indonesia” kemudian kerap
menilai rezim pemerintahan saat ini
sebagai rivalnya yang mengancam
keberadaan partai Gerindra berarti
mengancam bangsa Indonesia. Hal ini
yang selalu terus-menerus digembar-
gemborkan untuk memicu pemikiran-
pemikira yang negative tentang
keberadaan pemerintah saat ini. Hal ini
tentunya menjadi polemik di kalangan
partai dan juga polemik bagi
masyarakat yang di mana beragam isu-
isu politik dan juga isu-isu yang
menyangkut persoalan infrastruktur,
harga bahan pangan, isu kesejahteraan
masyarakat dan juga isu-isu lain yang
berupaya untuk menjatuhkan reputasi
dan keberadaan pemerintahan saat ini.
Upaya itu untuk bisa
menjagkau khalayak luas terutama
masyarakat Indonesia agar memiliki
pemikiran sejalan dengan Partai
Gerindra maka digunakanlah media
Sosial sebagai salah satu alat kampanye
atau menggunakan media digital untuk
kampanye yang dimana pernyataan
bentuk visi dan misi partai yang
disampaikan melalui situs resminya,
kemudian juga membuat penyebaran
berita-berita dan artikel yang diposting
melalui media social seperti bentuk
artikel, publisitas dalam bentuk berita
kegiatan partai, kemudian tulisan opini
yang mengumbar keburukan-
keburukan pemerintah saat ini sebagai
rezim yang lalim dan kritik terhadap
kinerja pemerintah sekarang bahka tak
segan menyebut keberadaan
pemerintah sekarang sebagai program
yang “gagal total”. Hal ini tentunya
seperti terlihat suatu bentuk kampanye
yang tidak mengunggulkan kelebihan
partai Gerindra sendiri, melainkan
menyebarkan informasi parta yang sarat
akan kritik dan tidak mengunggulkan
misi unggulannya kepada masyarakat,
dengan menebar informasi bahwa
“Negara dalam kondisi tidak aman
dengan adanya rezm saat ini” sehingga
hal ini lah yang kemudian menjadi
kritik bagi banyak orang bahwa
kegiatan kampanye partai tidak berjalan
sebagaimana mestinya sebagai ideal
kampanye partai politik. Sehingga
untuk memberikan solusi politis meraih
suara rakyat maka jalan yang ditempuh
adalah dengan memajukan sosok Ketua
Umum Gerindra, Prabowo Subianto
untuk maju sebagai Capres di tahun
2019 yang berpasangan dengan
Cawapres 2019 Sandiaga Salahuddin
Uno.
Upaya untuk memenangkan
suara dari rakyat, seperti yang
dilakukan partai gerindra adalah dengan
branding dirinya dan juga dengan
20
harapan ada nilai komersial yang
didapat sejauh organisasi politik,
seperti yang ada di sektor komersial,
maka partai harus menargetkan audiens
dari siapa (dukungan elektoral) yang
dicari, menggunakan saluran
komunikasi massa, dalam lingkungan
yang kompetitif dimana warga negara /
konsumen memiliki pilihan luas antara
lebih dari satu ‘merek’ produk politik.
Meskipun ada perbedaan nyata
dalam sifat pasar politik dan komersial,
dan partai politik mengukur
keberhasilan bukan dalam hal
keuntungan tetapi pada pembagian
suara dan kekuasaan efektif,
pemasaraan poltiik menggunakan
banyak prinsip yang diterapkan oleh
produsen barang dan jasa kerena
mereka berusaha untuk kesuksesan
komersial melalui iklan politik.
Peranan iklan politik adalah
untuk membangun suatu Political
Branding agar mudah untuk
mempersuasi masyarakat dan mengenal
partai politik selayaknya figur publik
yang digemari masyarakat. Kesan
tentang keseragaman parpol tanpa
diferensiasi ini memerlukan
perancangan strategi komunikasi
jangka panjang berbasis keunikan para
tokoh atau politisi dan parpol.
Kampanye berkelanjutan termasuk
rancangan strategi merk politik
(political branding), merek personal
(personal branding), para politisi dan
merek parpol (institutional branding),
sehingga meski terjadi koalisi antara
partai, namun identitas masing-masing
partai masih terlihat karakter khusus
dan kekhasannya. (Faisal Bakti, 2016:
72)
Bentuk komunikasi politik
semacam ini menggunakan media
massa untuk ‘membedakan’ produk-
produk politik (yaitu partai dan
kandidat) dan memberi mereka makna
untuk ‘konsumen’, sama seperti
produsen barang atau jasa yang
berusaha merek yang serupa secara
fungsional dari yang lain di tempat yang
ramai. Menurut Eep Saefulloh (2009)
dalam Faisal Bakti (2007: 7),
mengatakan bahwa iklan politik
memainkan peran penting untuk
merebut popularitas, akseptibilitas, dan
elektabilitas. Sehingga cara yang paling
ampuh untuk membentuk citra
seseorang adalah dengan menggunakan
media massa karena media massa
adalah bagian yang tidak terlepas dari
strategi marketing politik.
Perkembangan iklan politik
yang terus bergerak dinamis, ditambah
dengan adanya media baru serta
platform media sosial yang menjadi
sarana baru dan cukup kuat untuk
menegakkan citra partai politik dan
partisan politik di dalamnya. Media
baru yang dipakai dalam dunia politik
sifatnya memungkinkan berinteraksi
dengan publik, mampu merubah voting
behavior secara signfikan. Dalam
pandangan Faisal Bakti (2017: 76)
dalam menyikapi kemenangan mantan
Presiden Barrack Obama dalam Pemilu
amerika, disinyalir adanya indikasi kuat
mempenagruhi kemenangannya.
Dengan adanya new media, partai,
politisi, dan kandidat bisa membuat
situs website atau blog pribadi demi
berinteraksi langsung dengan
masyarakat.
Penggunaan iklan politik saja
sebenarnya tidak cukup, karena publik
pada dasarnya sudah memahami bahwa
kepentingan iklan adalah menunjukkan
sisi baik dari partai saja dengan
pergumulan kata-kata yang ditawarkan.
Namun partai harus berpikir secara
kencang bahwa dalam pemasaran
politik juga perlu didukung dengan
power engagement, atau semacam
pendekatan personal yang lebih dekat
seperti halnya yang diterapkan dalam
praktik Hubungan Masyarakat.
Hubungan Masyarakat atau
Public Relations (PR) berfokus pada
bidang yang berkaitan dengan
mengelola citra dan reputasi seseorang
21
ataupun sebuah lembaga atau organisasi
di mata publik. (Nova, 2014: 20).
Pendekatan PR ini bekerja di wilayah
publik sebagai fungsi komunikasi,
hubungan dengan masyarakat,
manajemen partai, maupun hubungan
dengan Pemerintah. Dengan
memaksimalkan pendekatan PR ini
maka dapat membangun suatu
publisitas yang positif tentang PR
teruatam dengan memanfaatkan media
sosial online. Adapun teknik dalam PR
di dalam partai politik yang reaktif, di
mana para pihak berusaha untuk
membatasi kerusakan, termasuk dengan
cara melobi wartawan media massa dan
membuat cerita yang mengandung
publisitas positif di dalamnya.
Upaya melakukan pendekatan
pemasaran politik melalui iklan ataupun
publisitas positif tentang partai, hal ini
tentunya dapat mendorong terjadinya
opini publik yang menanggapi partai
politik maupun aktor politik itu sendiri.
Menurut Dan Emory S. Bogardus
dalam Faisal Bakti (2016: 51) yang
menyatakan bahwa opini publik
merupakan pendapat individu-individu
yang diperoleh melalui perdebatan dan
merupakan hasil interaksi antar indvidu
dalam suatu publik.
Mengundang respon Opini
Publik yang positif, tentu dapat
mengundang respon partisipan yang
berpihak pada partai poltik tersebut.
Upaya untuk menarik suatu bentuk
opini publik yang positif, maka partai
politik pun juga menggunakan beragam
isu seperti isu-isu lingkungan,
membahas persoalan konservasi
lingkungan alam, dan pencegahan
kekejaman terhadap hewan yang
dipelihara untuk konsumsi makanan
manusia atau untuk digunakan dalam
pengujian obat-obatan dan kosmetika.
Seperti halnya Partai di Inggris
yang memanfaatkan gerakan dan isu
lingkungan, seperti Friends of Earth
yang telah membuktikan diri sebagai
eksponen yang terampil dalam
penanganan lingkungan. Sehingga
partai memanfaatkan pesan-pesan
politik terkait dengan isu lingkungan
yang dikemas dalam bentuk simbolis
dari protes dan demonstrasi yang
dirancang untuk menarik perhatian para
jurnalis.
Selain permasalahan
lingkungan, isu yang dikembangkan
juga menjadi bagian dari persoalan
buruh. Membahas tentang buruh tentu
tidak lepas dari produksi dan reproduksi.
Setiap tatanan sosial mereproduksi
kondisi produksi pada saat yang sama
tatkala dilahirkan. Tatanan sosial harus
mereproduksi faktor-faktor produksi
dan relasi produksi yang sudah ada.
Adapun persoalan buruh juga
menyangkut tentang hak buruh,
pembelaan serikat pekerja, dan
pendapatan materialnya.
Partai untuk menarik perhatian
publik di Amerika cenderung
berkampanye seputar isu-isu tunggal,
seperti gerakan anti nuklir dan lain
sebagainya. Selain itu menggunakan
isu-isu organisasi terroris yang terjadi
di Amerika dan permasalahan
diplomasi dengan Timur Tengah.
Seperti halnya yang dilakukan oleh
George W. Bush pasca peristiwa teror
WTC 9/11 oleh Al Qaeda yang
menggalakkan “perang melawan teror”
yang kemudian menjadi salah satu ikon
utama dalam kampanye partai republik.
Sebenarnya George W. Bush
bukanlah yang pertama dalam
menggalakkan kampanye anti teror
ketika dalam kampanye pencalonan
Presiden US dan juga kampanye partai
republik. Pernyataan terebut pernah
diserukan 20 tahun sebelumnya oleh
pemerintahan Reagan-Bush Sr., dengan
retorika serupa dan personel yang sama
di posisi terdepan. Dalam kampanye itu
Reagen maupun Bush berjanji akan
melenyapkan “kanker” yang membawa
“kembalinya berbarisme ada era
modern”. Mereka mengidentifikasi dua
pusat utama “Momok jahat terorisme”,
22
yakni amerika Tengah dan Timur
Tengah/ wilayah Mediterania.
Kampanye mereka untuk memberantas
wabah teror di kedua wilayah tersebut
menempati peringkat atas diantara isu-
isu kebijakan luar negeri lain pada
dekade ini. (Chomsky, 2017: 2). Namun
di satu sisi, organisasi terorisme sendiri
bukan hanya pendefinisian organisasi
yang memunculkan perlawanan
terhadap kekerasan, adapun upaya
memunculkan teror kekerasan dan isu
tentang terorisme yang digunakan
untuk mencapai tujuan politik mereka.
Propaganda tentang terorisme
internasional merupakan satu contoh
digunakannya teknik-teknik tersebut,
baik di dalam negeri maupun di luar
negeri. Para pembuat kebijakan di
pemerintahan Reagen tahu bahwa para
kelompok liberal di kongres dan media
bisa dengan mudah ditakut-takuti
dengan tuduhan bahwa mereka terlalu
lemahdan kurang militan menghadapi
ancaman apa pun yang mungkin
menjadi momok mengerikan saat itu,
sehingga mereka berbaris denan patuh
dalam perang melawan terorisme.
(Chomsky, 2017: 203)
Kampanye semacam ini juga
menjadi bentuk propaganda yang
dilakukan oleh pemerintah dalam
mencapai tujuan politiknya atas Timur
Tengah dengan mengupayakan adanya
pembentukan opini publik yang
mengikuti pandangan politik
Pemerintah. Seperti halnya yang
dilakukan oleh Partai Gerindra yang
memanfaatkan kritik terhadap rezim
saat ini dan juga menfaatkan isu agama
untuk melawan pemerintahan dan
menjadikanya sebagai persaingan untuk
menurunkan reputasi rival politik.
Menurut Kruger Reckless
dalam Faisal Bakti (2017: 51) Opini
publik adalah penjelmaan dari
pertimbangan seseorang tenang sesuatu
hal, kejadian atau pikiran yang diterima
sebagai pikiran umum. Sehingga
pemerintah mengupayakan adanya
pesan-pesan persuasi yang dibangun
untuk membentuk suatu kesadaran
palsu (ideologi) kepada masyarakat
agar mau mengikuti bentuk-bentuk
penanaman stigma kebenaran dari
pemerintah dan mengikutinya dengan
sukarela. Dalam pandangan Marx
dalam Althusser (2010: x) menjelaskan
bahwa kesadaran masyarakat akan
siapa dirinya, atau bagaimana
hubungan mereka dengan bagian
masyarakat lainna, dan pengertian yang
mereka bangun tentang pengalaman
sosialnya, diproduksi oleh masyarakat,
bukan merupakan sesuatu yang alami
atau biologis. Sehingga point disini
kembali lagi bahwa kesadaran lah yang
menumbuhkan sikap di dalam
masyarakat, dan bagaimana pihak-
pihak berotoritas dengan berupaya
untuk memasuki kesadaran khalayak.
Berdasarkan penjabaran
sebelumnya, maka dapat dipetakan
bahwa terdapat Partai dan non partai.
Organisasi publik jika partai berada di
jantung konstitusional dari proses
politik demokratik mereka, tentu saja,
para pelaku politik. Di sekitar lembaga-
lembaga politik yang mapan adalah
sejumlah organisasi non-partai dengan
tujuan politik. Pelaku non-partai ini
menjadi tiga kategori. Pertama, serikat
pekerja, kelompok konsumen, asosiasi
profesional dan lainnya dapat
didefinisikan sebagai organisasi publik.
Mereka disatukan bukan oleh ideologi
tetapi oleh beberapa fitur umum dari
situasi anggota mereka yang
membuatnya menguntungkan untuk
digabungkan, seperti masalah
pekerjaan (serikat pekerja), atau
kelemahan warga negara individu
dalam menghadapi perusahaan besar
(kelompok konsumen). Dalam
organisasi seperti itu, individu
berkumpul bukan hanya untuk
membantu satu sama lain dalam
penyelesaian masalah praktis yang
terkait dengan situasi umum mereka,
23
tetapi untuk mengkampanyekan
perubahan atau meningkatkan profil
publik dari masalah tertentu, sering kali
dengan meminta bantuan para politisi
terpilih. Organisasi-organisasi ini, pada
tingkat yang lebih besar atau lebih kecil,
status kelembagaan dan legitimasi
publik, sebagaimana tercermin dalam
akses mereka ke pembuat kebijakan dan
media, penerimaan donasi amal, dan
pendanaan resmi.
Dalam konklusi dari penjabaran
ini, dapat ditanggapi dari pandangan
Kaid, dkk yang menunjukkan bahwa
kita dapat melihat 'realitas' politik
sebagai terdiri dari tiga kategori (1991):
Pertama, kita dapat berbicara tentang
realitas politik obyektif, yang terdiri
dari peristiwa-peristiwa politik yang
terjadi benar-benar terjadi. Kedua, ada
subjektivisme - 'realitas' dari peristiwa-
peristiwa politik seperti yang dirasakan
oleh aktor dan warga negara. Aktor
politik memiliki pandang Ketiga, dan
kritis terhadap pembentukan kategori
kedua persepsi subyektif, adalah
realitas yang dibangun, yang berarti
peristiwa yang dicakup oleh media.
LANDASAN TEORITIS
Teori Pembentukan Opini
Unsur penting dalam versi
audiens ini adalah praeksistensi dari
kelompok sosial yang aktif, interaktif,
dan sebagian besar otonom yang
dilayani oleh media tertentu, tetapi
keberadaannya tidak bergantung pada
media. Pengelompokkan orang secara
politis yang terwujud sebagai unit sosial
melalui pengakuan bersama atas
masalah bersama yang perlu
ditanggulangi. Pengelompokkan seperti
itu memerlukan berbagai sarana
komunikasi bagi pengembangan dan
kesinambungannya, tetapi menurut
Mills (1956), media massa telah
berkembang sedemikian rupa untuk
mengelakkan pembentukan publik.
Audiens dipandang memiliki
signifikansi rangkap bagi media,
sebagai perangkat calon konsumen
produk dan sebagai audiens jenis iklan
tertentu, yang merupakan sumber
pendapatan media penting lainnya.
Dengan demikian, pasar bagi produk
media juga mungkin merupakan pasar
bagi produk lainnya, untuk mana media
akan menjadi wahana iklan dan sarana
‘pengantaran’ calon pelanggan produk
lain. Meskipun media komersial perlu
memandang audiensnya sebagai pasar
dalamkedua arti itu dan adakalanya
mencirikan audiens tertentu dalam
hubungannya dengan gaya hidup dan
pola konsumsi, ada sejunlah
konsekuensi pendekatan ini terhadap
cara memandang audiens. Pertama,
pendekatan tersebut merinci hubungan
antara media dengan audiensnya
sebagai hubungan konsumen produsen
yang karenanya bersifat ‘kalkulatif’
dari sudut pandang pengirim. Kedua,
pendekatan ini kurang menekankan
hubungan sosial audiens yang bersifat
intern: yaitu sekumpulan individu dan
konsumen yang sederajat, yang berbagi
ciri demografi atau budaya tertentu.
Ketiga, karakteristik audiens yang
paling relevan dengan cara berpikir ini
adalah sosial-ekonomi dan stratifikasi
sosial audiens selamanya tela menuntut
perhatian yang tidak semestinya.
(McQuail, 1999: 205).
Kemajuan abad kedua puluh
telah melihat arena politik menjadi
lebih internasional, karena media telah
memperluas jangkauan mereka, secara
geografis dan temporal. Di abad ke 21,
audiens media adalah target komunikasi
politik tidak hanya dari sumber-sumber
domestik, tetapi juga dari luar negeri.
Pemerintahan asing, organisasi bisnis,
dan kelompok teroris seperti Al Qaeda,
semua menggunakan sistem informasi
global untuk memajukan tujuan politik.
Bentuk-bentuk tradisional
diplomasi internasional secara
interpersonal tetap ada, tetapi dalam
24
bentuk perang modern, perjuangan
pembebasan dan perselisihan teritorial
semakin diperjuangkan di media,
dengan opini publik global sebagai
hadiah (karena protagonis - pemerintah
dan badan internasional seperti
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
dianggap menjadi responsif terhadap
opini publik). Sebagaimana yang diakui
Walter Lippmann pada awal tahun
1920-an, 'pemerintah saat ini bertindak
berdasarkan prinsip bahwa tidak cukup
untuk mengatur warganya sendiri
dengan baik dan untuk meyakinkan
orang-orang bahwa mereka bertindak
sepenuh hati atas nama mereka. Mereka
memahami bahwa opini publik dari
seluruh dunia penting bagi
kesejahteraan mereka '(dikutip dalam
Bernays, 1923, hlm. 44).
Teori Pembentukan Opini oleh
Lippman yang mengatakan bahwa
Propaganda menjadi semacam
tantangan yang keras sehingga
membutuhkan perubahan yang drastis
dalam sistem politik. Publik sangat
rentan terhadap propaganda, sehingga
sejumlah mekanisme dan lembaga perlu
melindungi mereka. (Baran, 2010: 106).
Ideologi Politik
Sekularisasi kehidupan social
dan kekuasaan politik menciptakan
kondisi bagi pemunculan dan
penyebaran ‘ideologi-ideologi’. Dalam
konteks ini, ‘ideologi-ideologi’ tersebut
dipahami. Dalam konteks ini, ‘ideologi-
ideologi’ terseut dipahami sebagai
system kepercayaan secular yang
berfungsi untuk memobilisasi dan
memberikan legitimasi. Seiring dengan
terbentuknya relasi social yang baru ini,
kekuatan politik kemudian secara cepat
terkonsentrasi pada lembaga Negara
yang tersekularkan, yaitu Negara yang
didasarkan pada adanya pemahaman
tentang kedaulatan dan peran hokum
formal dengan mengacu pada nilai,
hukum, dan hak universal daripada nila
atau kehidupankeagamaan dan mistis
yang menggantikan kekuatan politik
dengan otoritas kehendak yang suci.
(Thompson, 2017: 107)
Teori-teori politik dan filsafat
melihat bahwa ideologi adalah bagian
dari kekuatan kompleks yang berusaha
mempertahankan atau menggantiikan
struktur politik. Bagi mereka, ideologi
politik adalah alat atau cara untuk
mendapatkan kekuasaan. (Firmanzah,
2008 dalam Faisal Bakti, 2016: 6).
Ideologi politik termanifestasikan
dalam institusi politik. Sehingga
ideologi politik merupakan suatu
bentuk yang merupakan gabungan atau
inti aspirasi para anggota yang
menyusun institusi politik bersangkutan.
Menurut Lane dalam Faisal Bakti
(2016: 6-7), ideologi politik cirikan
empat hal. Pertama, ideologi politik
berkaitan dengan pertanyaan siapa yang
akan memimpin? Bagaimana mereka
dipilih? Dan, dengan prinsip-prinsip
apa mereka memimpin? Kedua,
ideologi mengandung banyak sekali
argumen untuk persuasi atau juga
melawan (counter) ide-ide yang
berlawanan. Ketiga, ideologi sangat
mempenagruhi banyak sekali aspek
kehidupan manusia, mulai aspek
ekonomi, pendidikan, kesehatan,
kesejahteraan, dan sebagainya.
Keempat, ideologi terkait dengan hal-
hal penting dalam kehidupan sosial,
baik mengajukan program atau
menentangnya. Kelima, ideologi
mencoba merasionalisasi kepentingan
kelompok sehingga kepentingan
tersebut sangat beralasan dan layak
diperjuangkan. Keenam, ideologi
berisikan hal-hal yang bersifat normatif,
etis, dan moral. Berdasarkan hal ini,
dapat diamati bahwa ideologi sebagai
visualisasi kenyataan sosial yang
sekaligus membangkitkan kesadaran
sosial. (Faisal Bakti, 2016: 7)
Political Branding
Pendekatan merek parpol
(political party branding) berorientasi
25
konsumen atau konstituen melalui riset
French dan smith (2010) untuk
memetakan kekuatan ekuitas merek
politik menemukan persepsi atau
asosiasi merek yang berbeda antara
atribut merek. Partai Koservatif yang
lebih kuat ketimbang partai buruh di
Inggris. Konsekuensi dari penelitian
tersebut, partai politik bisa memakai
sejumlah atribut atau asosiasi merek
parpol yang melekat di benak
konstituen untuk menguatkan
diferensiasi merek parpol dan sebagai
bahan tema kampanye. (Dikutip dari
Alifahmi dalam Literasi Politik dan
Lembaga Pemilu. Editor: Andi Faisal
Bakti, 2016: 84).
Dalam pembahasan Merek Partai
Politik, juga membahas tentang
penyelarasan merek (brand allignment)
antara merek parpol dan merek personal
tokoh (politisi) yang bisa menghasilkan
koherensi dalam sejumlah atribut merek
(brand atribute coherency) dari
keduanya.
Komunikasi politik itu
sebenarnya bukan hanya di level merek
personal atau merek parpol, melainkan
mengulas mengenai kampanye merek
politik sebagai institusi dalam konteks
negara seperti kampanye KPU di level
Nasional, maupun Kampanye Pilkada
di level provinsi bahkan di level
pemerintahan kabupaten dan kota.
(Alifahmi, 2008).
New Media 2.0
Dunia media digital seperti
dikenal masyaraka luas saat ini ibarat
kita sedang mengarungi suatu lautan
literasi baru, di mana kita sekarang
mugkin masih sedang mengejanya.
Dunia digital sudah mulai terjadi sejak
satu dua decade lalu, dan pada saat yang
sama ada pertumbuhn alat penerima
komunikasi yang semakin canggih.
Alat komunikasi yang kita miliki
sekarang memungkinkan kita untuk
tidak sekedar berkomunikasi lisan,
tetapi juga berkomunikasi dengan tukar
menukar data, berkirim pesan tertulis,
dalam jumlah yang sangat besar.
Melalui media internet,
pembentukan budaya siber berlangsung
secara global dan universal. Budaya
siber bisa dipandang sebagai objek
sekaligus subjek dalam kajian
antropologi, sosilogi, maupun dalam
kajian media dan cultural studies.
(Nasrullah, 2016: 142).
Menurut Erving Goffman dalam
bukunya The Presentation of Self in
Everyday Life (1959) dalam Nasrullah
(2016: 142) mengatakan bahwa setiap
individu pada kenyataannya melakukan
konstruksi atas diri mereka dengan cara
menampilkan diri (self performance).
Namun penampilan diri ini pada
dasarnya dibentuk atau untuk
memenuhi keinginan audiensi atau
lingkungan sosial, bukan berasal dari
diri dan bukan pula diciptakan oleh
individu itu sendiri.
Internet pada dasarnya
komunikasi dan/interaksi yang terjadi
memakai medium teks, secara langsung
hal ini akan mempengaruhi bagaimana
seseorang mengkomunikasikan
identitas dirinya di kehidupan virtual
(virtual life) dan setiap teks menjadi
semacam perwakilan dari setiap ikon
diri dalam penampilan diri.
Internet of things telah
menciptakan kemampuan individu
untuk mengekspresikan diri dan
berinteraksi secara terbuka. Hal ini
mendorong inovasi baru bagi Partai
untuk bisa merubah mindset kinerja
komunikasi ydalam membangun
publisitas dan publikasinya, serta perlu
merubah paradigma partai menjadi
bagian utama dalam corporate
communications pelibatan dua arah
melibatkan khalayak dan multiplatform.
Perkembangan Teknologi Digital
ini memang menjadi sutu transformasi
Communication Challenge, mengingat
beberapa perusahaan yang tidak siap
dengan tantangan global
communication pada akhirnya harus
26
tergerus dan gulung tikar. Namun
apabila siap dengan tantangan teknologi
digital ini, maka perusahaan pun siap
bersaing untuk fase kedua. Menurut
David Gauntlet (2014) menyebutkan
studi media di era internet ini sebagai
“Studi Media 2.0”, sebagai lawan dari
“Studi Media 1.0” (surat
kabar/radio/televisi). Pada media 1.0,
terdapat pembedaan tegas antara media
dan khalayak penerima. Komunikasi
massa ditndai oleh beberapa penyampai
pesan (suratkabar/radio/televisi) yang
mengirimkan pesan kepada banyak
orang (khalayak). Definisi ini berubah
setelah kehadiran internet, di mana
saluran pesan saat ini sangat banyak.
Lewat internet (seperti blog dan media
sosial), setiap orang pada dasarnya bisa
berfungsi sebagai saluran pesan.
Sementara pada media 2.0 adalah
melihat khalayak sebagai aktif dan
paritfipatif. Di era internet, khalayak
tidak hanya bisa memilih tetapi juga
berpartisipasi dengan jalan mengubah,
menciptakan ulang dan menyebarkan
suatu informasi. Dari sini, titik penting
media 2.0 adalah kolaborasi, sharing
dan jaringan yang dimana teknologi
sangat memungkinkan di sini.
Perkembangan Teknologi Digital
ini memang menjadi suatu transformasi
Communication Challenge, mengingat
beberapa organisasi yang tidak siap
dengan tantangan global
communication pada akhirnya harus
tersaingi atau kalah persaingan. Namun
apabila siap dengan tantangan teknologi
digital ini, maka partai pun siap
bersaing untuk Pemilihan Umum.
METODELOGI PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam
penelitian ini menggunakan metode
penelitian kualitatif. Penelitian ini
menggunakan metode kualitatif karena
lebih sesuai untuk digunakan
mengingat banyak aspek dari Political
Branding partai politik dalam upaya
penyelerasan merek partai dan merek
personal (personal branding) dari
Partai Poltiik di Amerika yang perlu
digali lebih mendalam dari para
informan.
Paradigma yang digunakan
dalam penelitian ini adalah paradigma
Konstruktivis.paradigma
konstruktivisme menyatakan bahwa
individu melakukan interpretasi dan
bertindak menurut berbagai macam
konseptual yang ada didalam
pikirannya. realitas tidak menunjukkan
dirinya dalam bentuknya yang kasar,
tetapi harus disaring terlebih dahulu
melalui bagaimana cara seseorang
melihat sesuatu (Morissan, 2009:107)
Tipe penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah penelitian
deskriptif untuk menyajikan gambaran
melalui narasi, dan memaparkan profil
klasifikasi mengenai tahapan
penyelarasan merek (brand allignment)
dan jenjang ekuitas merek politik
berbasis konstituen yang dikemas
dalam bentuk iklan di media massa
online digital yang terdistribusikan
melalui portal web maupun melaui
media sosial.
Pada tipe penelitian deskriptif
bertujuan untuk menyediakan
gambaran secara terinci mengenai
fenomena yang diteliti, menempatkan
data baru yang berlawanan dengan data
lama, menciptakan seperangkat
kategori atau klasifikasi, melakukan
klasifikasi terhadap urutan suatu
tahapan atau jenjang, mencatat proses
mekanisme iklan partai, dan
melaporkan mengenai latar belakang
atau konteks dari sebuah situasi yang
terjadi (Neuman, 2006: 34).
Unit analisis penelitian ini terbagi
level partai atau organisasi politik,
yakni merek level organisasi partai atau
merek partai politik yang melakukan
publisitas di portal web dan media
sosial. Fokus analisis adalah tingkat
keselarasan atribut-atribut merek dari
organisasi partai.
27
Pengumpulan data penelitian
dilakukan melalui wawancara
mendalam kepada sejumlah informan
secara snowball sampling dan pakar
politik dengan menggunakan panduan
wawancara sesuai dengan kebutuhan
dan karakteristik Parpol. Panduan
teknik klasifikasi dan kategorisasi
dalam pengumpulan dan analisis data
yang dikenal dengan pengkodean
(coding). Untuk sampel yang diteliti
mencakup publisitas Gerindra di media
social dan juga publitas di web portal,
dan promosi partai Gerindra di media
online web maupun media massa online.
Teknik analisis data yang
dilakukan adalah dengan pengkodean
terbuka, aksial, dan selektif (Neuman,
2006: 460: 464). Tahap pengkodean
terbuka (open coding) adalah untuk
memilah data, memerinci, menguji,
membandingkan, konseptualisasi dan
kategorisasi data untuk membuka
gagasan melalui penelusuran data yang
intensif dan terinci. Pengkodean aksial
(axial coding) merupakan metode
analisis integrasi melalui
penghubungan kategori-kategori,
memunculkan data dalam bentuk baru.
Sementara itu tahap pengkodean
selektif (selective coding) memilih
kategori inti atau peristiwa utama dan
menghubungkan dengan kategori lain.
PEMBAHASAN
Gambaran Umum Partai
Partai Gerakan Indonesia
Raya atau Partai Gerindra, adalah
sebuah partai politik di Indonesia yang
didirikan dan diketuai oleh Letnan
Jenderal TNI (Purn) H. Prabowo
Subianto. Partai Gerindra berdiri pada
tanggal 6 Februari 2008. Pengurus dan
aktivis partai ini dicirikan dengan
pakaian safari lengan pendek dan
panjang, serta kopiah hitam. Inspirasi
nama Gerindra berasal dari nama partai
lama, Perindra, yang merupakan
pemberian langsung dari Presiden
Soekarno.
Pada periode 2009-2014, Partai
Gerindra berada di luar kabinet
pemerintahan pusat bersama Partai
Demokrasi Indonesia
Perjuangan dan Partai Hanura.
Pada Pemilu 2014, partai Gerindra
mendapatkan 73 kursi di Dewan
Perwakilan RakyatRepublik Indonesia.
Partai Gerindra mengusung Prabowo
Subianto selaku Ketua Dewan Pembina
sebagai calon presiden. Pada periode
2014-2019, Partai Gerindra kembali
berada di luar kabinet pemerintahan
pusat bersama.
Bermula dari Keprihatinan,
Partai Gerindra lahir untuk mengangkat
rakyat dari jerat kemelaratan, akibat
permainan orang-orang yang tidak
peduli pada kesejahteraan. Dalam
sebuah perjalanan menuju Bandara
Soekarno-Hatta, terjadi obrolan antara
intelektual muda Fadli Zon dan
pengusaha Hashim Djojohadikusumo.
Ketika itu, November 2007, keduanya
membahas politik terkini, yang jauh
dari nilai-nilai demokrasi
sesungguhnya. Demokrasi sudah
dibajak oleh orang-orang yang tidak
bertanggung jawab dan memiliki
kapital besar. Gagasan pendirian partai
pun kemudian diwacanakan di
lingkaran orang-orang Hashim dan
Prabowo. Rupanya, tidak semua setuju.
Ada pula yang menolak, dengan alasan
bila ingin ikut terlibat dalam proses
politik sebaiknya ikut saja pada partai
politik yang ada. Kebetulan, Prabowo
adalah anggota Dewan Penasihat Partai
Golkar, sehingga bisa mencalonkan diri
maju menjadi ketua umum.
Pembentukan Partai Gerindra
terbilang mendesak. Sebab
dideklarasikan berdekatan dengan
waktu pendaftaran dan masa kampanye
pemilihan umum, yakni pada 6 Februari
2008. Dalam deklarasi itu, termaktub
visi, misi dan manifesto perjuangan
partai, yakni terwujudnya tatanan
masyarakat indonesia yang merdeka,
berdaulat, bersatu, demokratis, adil dan
28
makmur serta beradab dan
berketuhanan yang berlandaskan
Pancasila sebagaimana termaktub
dalam pembukaan UUD NRI tahun
1945.
(http://partaigerindra.or.id/sejarah-
partai-gerindra)
Kisah Gerindra dan Kepala Garuda Memberi nama partai politik gampang-
gampang susah. Karena nama partai
berkaitan dengan persepsi yang akan
diingat oleh masyarakat selaku
konstituen. Sebelum nama Gerindra
muncul, para pendiri partai ini seperti
Prabowo Subianto, Hashim
Djojohadikusumo, Fadli Zon dan
Muchdi Pr juga harus memikirkan
nama yang tepat. Ketika itu di Bangkok,
Thailand, mereka berkumpul untuk
acara Sea Games Desember 2007, demi
mendukung tim indonesia, terutama
polo dan pencak silat yang berhasil
lolos untuk dipertandingkan di sana.
Kebetulan Prabowo adalah
ketua IPSI (Ikatan Pencak Silat Seluruh
Indonesia). Namun ajang kumpul-
kumpul tersebut kemudian
dimanfaatkan untuk membahas nama
dan lambang partai. Nama partai harus
memperlihatkan karakter dan ideologi
yang nasionalis dan kerakyatan
sebagaimana manifesto Gerindra.
Tersebut lah nama “Partai Indonesia
Raya”. Nama yang sebenarnya tepat,
namun sayang pernah digunakan di
masa lalu, yakni PIR (Partai Indonesia
Raya) dan Parindra. “Kalau begitu
pakai kata GERAKAN, jadi Gerakan
Indonesia Raya,” ucap Hashim penuh
semangat. Peserta rapat pun kemudian
menyetujuinya. Selain gampang
diucapkan, juga mudah diingat:
Gerindra, begitu bila disingkat. Nah,
setelah persoalan nama selesai, tinggal
soal lambang. Lambang apa yang layak
digunakan?
Muncul ide untuk menggunakan
burung garuda. Namun, ini lambang
yang sudah banyak digunakan partai
lain. Apalagi simbol Pancasila yang
tergantung di dada garuda, mulai dari
bintang, padi kapas, rantai, sampai
kepala banteng dan pohon beringin,
sudah digunakan oleh partai yang ada
sekarang. Untuk menemukan lambang
yang tepat, Fadli Zon mengadakan
survei kecil-kecilan.
Perpaduan antara nama dan
lambang yang tepat, sebab keduanya
menggambarkan semangat
kemandirian, keberanian dan
kemakmuran rakyat. Kepala burung
garuda yang menghadap ke kanan,
melambangkan keberanian dalam
bersikap dan bertindak. Sisik di leher
berjumlah 17, jengger dan jambul 8
buah, bulu telinga 4 buah, dan bingkai
gambar segi lima yang seluruhnya
mengandung arti hari kemerdekaan, 17-
8-1945. Dalam perjalanannya
kemudian, terbukti, Gerindra
mendapatkan tempat di hati
masyarakat, meski berusia muda.
Ketika iklan kampanye gencar
dilakukan, burung garuda dan suaranya
ikut memberi latar belakang sehingga
para penonton merasa tergugah dengan
iklan tersebut.
(http://partaigerindra.or.id/sejarah-
partai-gerindra)
Analisa
Berdasarkan hasil analisis data,
dapat dilihat bahwa upaya Gerindra
dalam mempromosikan partai dengan
menggunakan media web portal online
merupakan cara baru yang juga
digunakan oleh partai-partai untuk
menginformasika keberadaan partai
dan juga sebagai sarana untuk
mempromosikan partai terutama ketika
menjelang Pemilu atau persiapan untuk
pemilihan Kepala Daera (PILKADA)
maka Partai pun turut andil melalui
media social untuk mempromosikan
partainya dan juga untuk mengusng
kandidat-kandidat atau calon legislatif
yang maju dalam pemilihan legislatif
termasuk mengusung para calon kepala
negara dan kepala daerah.
29
Partai Gerakan Indonesia Raya
(Gerindra), Partai Keadilan Sejahtera
(PKS) dan PDI Perjuangan diakui
sebagai partai yang rajin memanfaatkan
media sosial sebagai media untuk
propaganda ideologinya. Materi politik
yang disampaikan ketiga partai ini
paling banyak direspon masyarakat.
Survei Institute for
Transformation Studies (Intrans)
bertajuk pemantauan dan analisis
materi kampanye di media sosial akun
resmi partai politik di Indonesia,
menunjukkan akun
resmi Gerindra paling banyak direspon
netizen. Tercatat, materi dalam akun
resmi Gerindra dishare hingga 77.000
kali. Jauh lebih unggul dibandingkan
PKS yang hanya dishare 59.000
dan PDIP yang hanya dishare 37.000
kali.
Survei ini dilakukan 1
September 2015 hingga 15 Januari
2016. Direktur Intrans Andi Saiful Haq
menjelaskan, jumlah share sebagai
indikator paling terlihat jelas untuk
mengukur tingkat keterlibatan politik
masyarakat di media sosial. "Karena
tidak sekadar melihat, suka atau
menyetujui, tapi terlibat dengan
tindakan ikut menyebarkan konten-
konten kampanye partai politik yang
bersangkutan," ujar Andi di
Cikini, Jakarta, Jumat (29/1) .
Andi mengakui kuatnya tim
kampanye Gerindra di jejaring dan
media sosial. Tim media sosial partai
besutan Prabowo ini terbukti punya
kemampuan besar menggaet pengguna
sosial media. Indikatornya terlihat dari
jumlah akun audiens Gerindra yang
mencapai 3,8 juta. Jumlahnya jauh di
atas PDIP yang hanya 1,6 juta.
Sementara PKS hanya 250.000 audiens.
"Hal ini terbaca dari urutan yang
hampir menyamai urutan jumlah
audiens," tambah Andi.
Konten media sosial yang
dirancang secara terstruktur dan
sistematis. Jauh berbeda jika
dibandingkan dari partai-partai lain,
khususnya partai pendukung
pemerintah.
Sejak pemilihan umum 2014, akun
media sosial Gerindra memang jauh
lebih rapi dengan pesan kampanye dan
sistem komunikasi yang memusat dari
atas ke bawah. Materi-materi kampanye
bertumpu pada akun-akun resmi partai.
Sejauh yang bisa diamati, apa yang
dilakukan Gerindra ini setidaknya
memiliki dua efek penting.
Pertama, media sosial memungkinkan
partai berkomunikasi secara langsung
dengan pemilih dan calon pemilih.
Setidaknya ia menjadi ruang untuk
merawat isu yang selama ini menjadi
garis pembeda bagi posisi kelompok
oposisi dan pemerintah.
Dengan karakter media sosial
yang membuat orang mudah lupa,
merawat isu dengan konsisten adalah
cara untuk tetap diingat publik. Jejak
digital akan diingat atau diungkit publik
dan bisa digunakan sebagai senjata di
masa pemilihan umum. Melihat fakta
bahwa partai politik di Indonesia kerap
hanya dirasakan kehadirannya ketika
musim pemilu, “kehadiran” di media
sosial setidaknya menjaga agar isu yang
dibawa terus itu dekat dengan publik.
Algoritma media sosial, yang
membentuk gelembung filter,
sebenarnya akan menguntungkan partai
yang bisa terus merawat isu-isu yang
coba diusung. Lepas dari pelbagai sisi
negatifnya, kecenderungan pengguna
media sosial untuk mencari ide-ide
yang sesuai pemikirannya, jika dirawat
oleh partai, akan “mengeraskan”
dukungan terhadap partai.
Kedua, media sosial adalah platform
dengan kapasitas yang mampu
melampaui peran media arus utama.
Ketika kampanye politik mulai
diizinkan di televisi oleh pemerintah
Orde Baru pada dekade 1990-an,
masing-masing partai hanya
mendapatkan jatah terbatas. Artinya,
semakin sedikit waktu yang bisa
30
mereka gunakan untuk menjangkau
publik melalui media. Bahkan di era
pasca reformasi, akses terhadap media
akan ditentukan oleh sumber daya milik
partai.
Sikap Gerindra yang aktif dan
agresif di media sosial bisa dipahami.
Ini langkah yang sangat strategis,
khususnya jika yang disasar adalah
generasi pemilih Milenial dalam pemilu
2019. Sebuah lumbung suara yang
strategis, mengingat 34,4 persen
penduduk Indonesia adalah generasi
Milenial (kelompok usia 17-34 tahun,
menurut data Saiful Mujani Research &
Consulting). Artinya, gabungan antara
kampanye media sosial dan mesin
partai yang sedang punya moral tinggi
pasca menang di Pilkada Jakarta bisa
membawa kejutan pada Pemilu 2019.
Pasangan Prabowo – Sandiaga
lebih eksis di kalangan pengguna tiga
platform media sosial besar, seperti
Facebook, Twitter, dan Instagram.
Sejumlah anggota tim Badan
Pemenangan Nasional Prabowo –
Sandiaga mengatakan ini adalah
kesuksesan yang tidak terduga. “Kami
kaget juga tahu berita ini,” kata juru
bicara BPN, Faldo Maldini kepada
Tempo pada Rabu, 28 November 2018.
Terdapat 3 strategi Political Branding:
1. Menggiatkan influencer relawan
Prabowo – Sandiaga
Juru bicara BPN sekaligus politikus
Partai Gerindra, Andre Rosiade,
mengatakan timnya menggandeng
sejumlah influencer relawan Prabowo
– Sandiaga untuk mengunggah konten-
konten kampanye di media sosial.
“Jumlah influencer itu ratusan,” kata
Andre kepada Tempo pada Rabu pagi,
28 November 2018.
Influencer itu terdiri atas selebgram,
selebtwit, hingga YouTuber.
influencer menarasikan kampanye
capres dan cawapres yang dibelanya
dengan konten-konten program yang
diklaim positif. Misalnya melalui
infografis program pengembangan
ekonomi.
Pada 30 Oktober lalu influencer
bertemu dengan Prabowo di
kediamannya, Jalan Kertanegara 4,
Jakarta Selatan. Sandiaga
mengkonfirmasi, para influencer
dipersilakan mengutip atau menyadur
platform visi misi dan pernyataan-
pernyataan capres serta cawapres.
2. Melabeli Sandiaga sebagai
tokoh sentral di medsos
Tim media sosial Sandiaga Uno,
Raditya, mengatakan cawapres yang
dibelanya merupakan tokoh yang
berperan penting untuk mendongkrak
elektabilitas Prabowo di media sosial.
unggahan-unggahan tim media sosial
di akun-akun personal Sandiaga cukup
dekat dengan keseharian milenial.
3. Konten dan target yang
terukur
Partai Gerindra memiliki konten-
konten yang substantif dengan sasaran
yang terukur. Tim Gerindra memakai
media sosial sebagai medium untuk
mendengar.
Adapun gagasan yang ditawarkan
untuk kampanye kubu Prabowo di
beberapa jenis media sosial, Tim
media sosial Prabowo dan Sandi selalu
menghindari perang-perang di dunia
maya, seperti di Twitter.
Pada konten yang dibangun oleh
Partai Gerindra terlihat bahwa pada
Partai Gerindra, strategi branding
politics yang dibangun lebih
mengedepankan konten-konten tertulis
namun lebih banyak bermuatan konten-
konten yang bersifat kritik dan
propaganda. Tak sedikit konten-konten
yang juga bermuatan berita-berita yang
disinyalir hoax seperti beberapa
pernyataan Prabowo dan juga
pernyataan Sandiaga Uni. mengenai
Hal ini tentunya menjadi hal yang
kontroversial dan dapat mengurangi
simpatik public. Adapun di dalam
31
muatan konten media sosial terdapat
iklan partai Gerindra tentang
menyelesaikan permasalahan
pengangguran di Indonesia. Hal ini pun
juga dinilai terlalu ambigu untuk diulas
karena berupaya untuk mengkritik
keberadaan Pemerintahan menurutnya
saat ini tidak dapat mengatasi masalah
pengangguran di Indonesia, namun
iklan ini justru sebagai sesuatu yang
membingungkan karena banyak yang
menganggap iklan ini justru terlihat
mengambang dan tidak jelas.
Adapun konten-konten yang
termuat dalam artikel tulisan di web
resmi Partai Gerindra lebih banyak
mengkritik pemerintahan saat ini yang
berada dibawah rezim Presiden Joko
Widodo yang menurut Partai Gerindra,
pemerintahan Jokowi dianggap gagal
dalam memajukan pembangunan di
Indonesia dan meningkatkan
perekonomian Indonesia. Seperti judul
artikel di dalam pemuatan kutipan dari
Fadli Zon “Pembangunan
Infrastruktur Hanya Etalase Politik
atau Pencitraan Semu”. Selain itu
juga pada judul “Gerindra Tahu Cara
PDIP Dominasi Kekuasaan di
Jateng, Tapi Rakyat Tetap Miskin”.
Hal ini terlihat bahwa upaya
membangun konten-konten pada web
resmi Gerindra lebih banyak
mendominasi pada upaya-upaya
provokatif dan ingin menunjukkan
bahwa pemerintahan saat ini dinilai
gagal dalam upaya mensejahterakan
rakyat Indonesia.
Adapun Gerindra sendiri lebih
banyak menggunakan strategi
propaganda dalam mengkampanyekan
partainya dan juga mengkampanyekan
kandidat Presiden yang dimajukannya.
Hal ini juga terlihat dalam konten-
konten yang dibangun oleh Partai
Gerindra yang mengedepankan
persaingan dengan partai lain seperti
partai PDI P, dan menjadikan PDI P
sebagai pesaing partai yang berat, di
satu sisi PDI P juga menjadi Partai
utama yang mengusung Presiden Joko
Widodo untuk maju sebagai Pilpres di
periode kedua. Sehingga hal ini terlihat
bahwa Partai Gerindra mengupayakan
untuk mengedepankan pernyataan-
pernyataan dari anggota partai dengan
memuat kutipan-kutipan dari para
tokoh Gerindra dan kader-kadernya.
Partai Gerindra terlihat bahwa
pada partai Gerindra tidak seperti awal-
awal Patai ini didirikan dan partai ini
maju sebagai kandidar partai dalam
setiap Pemilihan Umum. Awalnya
Partai Gerindra lebih mempersuasikan
masyarakat gerakan-gerakan revolusi
untuk membenahi Indonesa dibawah
keterpurukan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dan juga dibawah bayang-
bayang Partai Demokrat. Gerindra pun
ketika awal berdiri dan turut berkoalisi
dengan partai PDI P lebih banyak
mengusung tentang gerakan perubahan
Indonesia dan juga gerakan untuk
kembali pada nasionalisme bangsa
dengan memandang Indonesia yang
plural dan berjiwa Pancasila. Sehingga
parta Gerindra pun mampu meraih
suara rakyat dengan meyakinkan
kepada masyarakat.
Keberadaan Gerindra ini
kemudian dirasa berbeda oleh banyak
kalangan terutama para kaum elit
politik dan juga di mata marakat itu
sendiri, ketika Jokowi Widodo atau yag
akrab disapa Jokowi ini maju dalam
Pilpres 2014 sementara sebelumnya
Jokowi masih menjabat sebagai
Gubernur DKI Jakarta periode 2014 –
2019. Suhu politik pun makin memanas
ketika Prabowo merasa dikhianati oleh
Megawati Soekarno Putri dan
Megawati dianggap melanggar
perjanjian Batu Tulis terkait perjanjian
dari PDI P untuk mendukung Prabowo
dalam maju Pilpre tahun 2014.
Sehingga dengan hal ini, kondisi politik
makin memanas, sementara Prabowo
sendiri melihat bahwa Jokowi
merupakan kandidat pesaing yang kuat
hingga pada pemilihan Capres
32
Cawapres tahun 2019 ini, Jokowi dan
Prabowo bersaing kembali dalam
perebutan kursi Capres.
Jokowi dianggap sebagai
kandidat yang cukup kuat dan memiliki
peranan besar dalam meraih suara
rakyat dan suara terbanyak, sehingga
dala hal ini Gerindra pun sekuat tenaga
untuk melakukan kampany emeraih
suara para kaum milenial dengan
memanfaatkan media sosial. Adapun
dalam media sosial ini pun juga kerap
menuliska beragam tawaran dalam
bentuk visi, misi dan janji-janji. Dalam
prinsip teori pertukaran sosial dalam
kehidupan politik pemerintahan
dijelaskan oleh Siney R. Waidman
(1972). Menurutnya, prinsi pertukaran
sosial berlaku di semua tingkat dan
ranah politik. LEgitimasi kekuasaan
suatu rezim pemerintah bisa diperleh
karena ia mampu menawarkan sesuatu
yang bernilai (barang, jasa, kebijakan)
bagi rakyat. (Herdiansah, 2015: 14)
KESIMPULAN
Dapat disimpulkan bahwa
strategi yang digunakan Partai Gerindra
dengan menggunakan media sosial
seperti Facebook, Twitter, Instagram
danjuga Youtube untuk memuat
konten-konten yang bersifat provokatif
terkait dengan program pemerintah saat
ini dengan menekankan program rezim
pemerintahan Jokowi yang dinilai
Gagal, dan Gerindra dianggap sebagai
partai yang mampu memberikan
tawaran serta janji-janji dengan peranan
untuk membuat Indonesia mengalami
perubahan yang lebih baik. Selain itu
juga ada bersifat propaganda yang
dilakuka oleh Gerindra, yang dimana
konten yang dibangun bukan
didasarkan atas upaya
mengkampanyekan visi dan misi parta
atau menunjukkan upaya yang
dilakukan gerindra untuk rencana
jangka panjang dan rencana kedepan
partai apabila menang dalam Pemilu
2019. Sehingga terihat bahwa Partai
Gerindra seperti ada rasa was was atau
takut dengan keberadaan Capres
pesaingnya.
Berkaitan dengan memandang
Capres Jokowi sebagai pesaing berat
dalam Pemilu 2019, partai Gerindra pun
lebih agresif dalam memanfaatkan
media sosial sebagai alat atau media
kampanye dan juga lebih aktif dalam
memuat konten-konten yang
menunjukkan aktivitas atau kegiatan
Gerindra dan juga konten-konten yang
dibangun juga bermuatan sindiri dan
kritik terhadap rezim pemerintahan saat
ini.
DAFTAR PUSTAKA
Althusser, Louis. 2010. Tentang
Ideologi:Marxisme
Strukturalis, Psikoanalisis,
Cultural Studies.
Agger, Ben. 2003.Teori Sosial Kritis:
Kritik, Penerapan, dan
Implikasinya. Yogyakarta:
Kreasi Wacana.
Camus, Albert. 2017. Seni, Politik dan
Pemberontak. Jakarta: Buku
Obor.
Camus, Albert. 2017. Krisis
Kebebasan. Jakarta: Buku
Obor..
Faisal Bakti, Andi. 2016. Literasi
Politik dan Pelembagaan
Pemilu. Jakarta: FIKOM UP
Press bekerja sama denganThe
Policy Institute dan Churia.
Faisal Bakti, Andi. 2017. Literasi
Politik dan Kampanye Pemilu.
Jakarta: FIKOM UP Press
bekerja sama denganThe
Policy Institute dan Churia.
Herdiansyah, 2015. Paradoks Koalisi
Tanpa Syarat (Suatu Tinjauan
dari Perspektif Sosiologi
Politik). Jakarta: Rajawali Pers.
Nasrullah, Rulli. 2016. Teori dan RIset
Media Siber (Cybermedia).
33
Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Neuman, W. Lawrence. 2013.
Metodologi Penelitian
Sosial: Pendekatan
Kualitatif dan
Kuantitatif. Jakarta:
Penerbit Indeks.
Nova, Firsan. 2014. PR War
(Pertarunga mengalahkan
Krisis, Menaklukan media, dan
Memenangkan Simpati Publik.
Jakarta: Grasindo.
Rokhman, Fathur & Surahmat. 2016.
Politik Bahasa Penguasa.
Jakarta: Kompas Gramedia.
Creswell, John.W., 2015. Riset Desain
Kualitatif: Memilih
Diantara Lima
Pendekatan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Top Related