POLA RELASI SOSIAL KOMUNITAS AHMADIYAH DAN NON
AHMADIYAH DI DESA TENJOWARINGIN KECAMATAN SALAWU
KABUPATEN TASIKMALAYA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana
Agama (S.Ag)
Disusun oleh:
Fauziah Gustapo
11140321000067
PRODI STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2018 M
iv
ABSTRAK
“Pola Relasi Sosial Komunitas Ahmadiyah dan Non Ahmadiyah di Desa
Tenjowaringin Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya”
Fauziah Gustapo
Skripsi ini ditulis berawal dari ketertarikan mengenai Ahmadiyah di mana
Ahmadiyah masih menjadi perbincangan yang cukup menarik baik yang pro
maupun yang kontra. Setelah terpikirkan lebih jauh maka penulis mencoba untuk
mencari lebih dalam mengenai Ahmadiyah dengan menemukan fakta di mana
Ahmadiyah banyak dibenci, dihina, bahkan dikafirkan. Namun penulis melihat
ada sesuatu yang berbeda dan unik mengenai Ahmadiyah di Desa Tenjowaringin,
Tasikmalaya di mana mereka justru mengalami perkembangan yang cukup pesat
dan memiliki hubungan yang baik antara Ahmadiyah dengan non Ahmadiyah.
Penelitian ini dilakukan untuk memperlihatkan adanya fakta yang harus
diungkap untuk menjadi salah satu acuan meskipun ada perbedaan keyakinan
tetapi harmonisasi masih dapat terjalin dengan baik. Adapun metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan menggunakan
pendekatan historis dan sosiologis. Selain mendapatkan data dari kepustakaan
penulis juga melakukan wawancara dan observasi langsung ke lapangan untuk
mendapatkan hasil yang maksimal.
Hasil dari penelitian ini ditemukan bahwa di Desa Tenjowaringin terjadi
relasi sosial yang sangat baik antara Ahmadiyah dan non Ahmadiyah karena
adanya beberapa faktor di antaranya, faktor kebudayaan, di mana bahasa yang
menjadikan mereka memiliki relasi yang baik. Faktor ekonomi, adanya hubungan
simbiosis mutualisme di mana non Ahmadiyah bekerja kepada Ahmadiyah. faktor
pendidikan, Desa Tenjowaringin memiliki sekolah formal dan non formal milik
Jemaat Ahmadiyah, tetapi tidak ada unsur diskriminasi sama sekali, semua orang
dari kalangan non Ahmadiyah berhak mendapatkan pendidikan yang sama.
Terakhir yaitu faktor lembaga sosial yang terdiri dari keluarga, agama dan
pemerintah.
Kata Kunci: Relasi Sosial, Ahmadiyah dan Non Ahmadiyah,
Tenjowaringin.
v
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kenikmatan
iman, islam, dan ihsan, serta kesehatan yang tidak terhingga akhirnya penulis
dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pola Relasi Sosial Komunitas
Ahmadiyah dan Non Ahmadiyah di Desa Tenjowaringin Kecamatan Salawu
Kabupaten Tasikmalaya.” Shalawat serta salam tidak lupa dihaturkan kepada
Nabi besar Muhammad SAW yang telah membawa manusia dari zaman
kegelapan sampai zaman terang benderang seperti ini, kelak semoga mendapatkan
syafaat darinya.
Penulis menyadari bahwa skripsi yang jauh dari kata sempurna ini tidak
akan dapat selesai tanpa adanya dukungan dari banyak pihak baik seacara materil
maupun moril. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak
terimakasih kepada pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini,
terutama kepada yang terhormat:
1. Syaiful Azmi S.Ag., M.A selaku penasehat akademik yang memberikan
arahan dan persetujuan dalam penulisan skripsi ini.
2. Prof. Dr. H. M. Ridwan Lubis yang telah banyak memberikan masukan-
masukan sehingga sampai kepada judul yang ditetapkan dan diberlakukan.
3. Dra. Marjuqoh, M.A selaku dosen pembimbing skripsi yang memberikan
arahan, motivasi, serta bimbingan kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan skripsi ini.
4. Dr. Media Zainul Bahri, M.A selaku Ketua Jurusan Studi Agama-agama
dan Dra. Halimah Mahmudy, M.A selaku Sektretaris Jurusan Studi
vi
Agama-agama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang selalu memberikan
pelayanan kepada mahasiswanya dengan baik.
5. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A atas
kesempatan belajar dan fasilitas yang diberikan pada Fakultas Ushuluddin.
Tidak lupa kepada Prof. Dr. Masri Mansoer, M.A selaku Dekan Fakultas
Ushuluddin.
6. Prof. Dr. Ikhsan Tanggok, M.A selaku Wadek I bidang Administrasi
Fakultas Ushuluddin. Dr. Bustamin, M.A selaku Wadek II bidang
Administrasi Umum. Dr. M. Suryadinata, M.A selaku Wadek III bidang
Kemahasiswaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin, para staff Akademik Fakultas
Ushuluddin khususnya Bang Jamil, serta para staff Perpustakaan Fakultas
Ushuluddin dan Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
8. Ayahanda dan Ibunda tercinta Bapak Agus Sumarna dan Mamah Apong
Suryati yang telah memberikan kesempatan berjuang hingga akhir masa
studi dan tidak lupa kepada kakak-kakak dan adik yang memberikan
dukungan sampai saat ini dan selamanya.
9. A Faruq, Teh Atin, serta masyarakat Desa Tenjowaringin khususnya para
informan yang telah membantu dalam menyelesaikan penelitian skripsi ini.
10. Senior terbaik Fahad Muhammad Alfaruq yang telah membawa sampai ke
Fakultas Ushuluddin dan membantu dalam perjuangan awal masuk kuliah.
11. Teman-teman seperjuangan Prodi Studi Agama-agama angkatan 2014,
khususnya Rexy Oktaviani, Shabrina Ghaisani, Mashlihatuz Zuhroh,
vii
Maulaya Arinil Haq, Mahfudloh, Feni Rifqoh, Wardah Humaeroh, dan
Lingga Irfa Binangkit yang telah menjadi teman lika-liku sampai saat ini.
12. Teman-teman KKN Cermat yang telah memberikan warna baru dalam
kehidupan.
13. Tim Yayasan Bakti Pemuda yang memberika kesempatan untuk gabung
sampai saat ini.
14. Teman-teman kosan di akhir semester (Aal, Boni, Inun, dan Opi) yang
telah memberikan kerusuhan baru dalam segala hal.
Ciputat, 30 September 2018
Fauziah Gustapo
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN ........................................................................................... i
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................................ ii
PENGESAHAN PANITIAN UJIAN MUNAQASYAH .............................................. iii
ABSTRAK ....................................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ..................................................................................................... v
DAFTAR ISI .................................................................................................................... viii
BAB I: PENDAHULUAN............................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................................ 1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ...................................................................... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................................. 8
D. Kerangka Teori...................................................................................................... 8
E. Tinjauan Pustaka ................................................................................................... 11
F. Metodologi Penelitian ........................................................................................... 13
G. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data ................................................................ 14
H. Sistematika Penulisan ........................................................................................... 17
BAB II: GAMBARAN UMUM WILAYAH DESA TENJOWARINGIN ................. 19
A. Sejarah Desa .......................................................................................................... 19
B. Data Demografi ..................................................................................................... 19
C. Sistem Ekonomi .................................................................................................... 21
D. Sistem Keagamaan ................................................................................................ 22
E. Sosial Budaya ........................................................................................................ 24
BAB III: AHMADIYAH DI TENJOWARINGIN ....................................................... 26
A. Sejarah Masuknya Ahmadiyah di Desa Tenjowaringin ........................................ 26
B. Perkembangan Ahmadiyah di Desa Tenjowaringin .............................................. 36
C. Eksistensi Ahmadiyah di Desa Tenjowaringin ..................................................... 41
ix
BAB IV: POLA RELASI SOSIAL ANTARA AHMADIYAH DENGAN NON
AHMADIYAH DI TENJOWARINGIN ....................................................... 50
A. Relasi Sosial Ahmadiyah dengan Non Ahmadiyah di Tenjowaringin ................. 50
1. Kekerabatan..................................................................................................... 52
2. Kegiatan Keagamaan ...................................................................................... 53
3. Kegiatan Ekonomi ........................................................................................... 54
4. Kegiatan Sosial................................................................................................ 55
B. Faktor Pendorong Terbentuknya Relasi Sosial Ahmadiyah dengan Non
Ahmadiyah di Tenjowaringin ............................................................................... 57
1. Faktor Kebudayaan ......................................................................................... 57
2. Faktor Ekonomi ............................................................................................... 60
3. Faktor Pendidikan ........................................................................................... 62
4. Faktor Lembaga Sosial .................................................................................... 65
a. Keluarga .................................................................................................... 67
b. Agama ....................................................................................................... 68
c. Pemerintah................................................................................................. 72
BAB V: PENUTUP ......................................................................................................... 74
A. Kesimpulan ........................................................................................................... 74
B. Saran dan Harapan ................................................................................................ 75
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah sebuah negara yang terdiri dari beraneka ragam
masyarakat, suku, bangsa, etnis, kelompok, sosial, kepercayaan, agama, dan
kebudayaan yang bermacam-macam. Keanekaragaman tersebut merupakan
kekayaan dan aset yang berharga. Tetapi tidak bisa dipungkiri dengan
keanekargaman yang ada di Indonesia konflik sering terjadi seperti kasus
yang menonjol adalah konflik antar-etnis Madura dan Dayak di Kalimantan.1
Struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh dua ciri yang bersifat
unik. Secara horizontal ia ditandai dengan kenyataan adanya kesatuan-
kesatuan sosial berdasarkan perbedaan-perbedaan suku bangsa, agama, adat,
serta perbedaan-perbedaan kedaerahan. Adapun struktur masyarakat
Indonesia secara vertikal ditandai dengan adanya perbedaan-perbedaan
lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam.2
Dua kelompok masyarakat yang berbeda etnis, agama, atau budaya
tidaklah secara otomatis tidak dapat dipersatukan dan hidup berdampingan.
Meskipun kenyataannya tidak selalu terjadi konflik ataupun integrasi dalam
masyarakat berbeda tersebut. Perbedaan sosial tersebut dapat berubah
menjadi integrasi yang seutuhnya dalam masyarakat jika dipenuhi dengan tiga
hal sebagaimana hasil kajian FISIP Universitas Airlangga, yaitu: Pertama,
adanya pola hubungan simbiosis mutualis di mana sekalipun dua kelompok
1Syaripulloh, “Kebersamaan Dalam Perbedaan: Studi Kasus Masyarakat Cigugur,
Kabupaten Kuningan, Jawa Barat,” Sosio Didaktika, Vol. 1, No. 1, Mei 2014, h. 64. 2Nasikun, Sistem Sosial Indonesia (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995), Cet. IX, h.
28.
2
berbeda keyakinan, kedudukan, adat, maupun budaya tetapi apabila
mereka saling melengkapi dan menghargai maka yang terjadi yaitu integrasi.3
Kedua, adanya forum atau zona netral yang dapat dijadikan titik
pertemuan antar-etnis maupun antar-agama, maka akan terjadi cross-cutting-
loyalities4. Dengan demikian akan terjadi saling mempelajari adat atau tradisi
masing-masing kelompok. Ketiga, adanya dukungan dan perasaan saling
memiliki yang tinggi dari tokoh masyarakat, masyarakat, maupun lembaga
sosial, maka akan terjadi cross-cutting-affiliations5.
Menarik perhatian penulis dengan keanekaragaman yang ada di
Indonesia adalah masalah Ahmadiyah, di mana Ahmadiyah masih menjadi
perbincangan yang cukup menarik di kalangan masyarakat baik itu yang pro
maupun yang kontra.
Lahirnya aliran Ahmadiyah dalam buku Dr. Masykur Hakim yang
mengutip pendapat Sir Muhammad Iqbal dalam bukunya Islam dan
Ahmadism, Ahmadiyah terbagi menjadi dua yaitu: Ahmadiyah Qodiani dan
Ahmadiyah Lahore. Perbedaan yang mendasar dari keduanya bisa dilihat dari
keyakinan terhadap Mirza Ghulam Ahmad, pertama berpendapat bahwa
Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi6 dan yang kedua berpendapat bahwa
3M. Ridwan Lubis, Sosiologi Agama: Memahami Perkembangan Agama dalam Interaksi
Sosial (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), Cet. I, h. 83. 4Setiap konflik yang terjadi di antara suatu kesatuan sosial dengan kesatuan-kesatuan
sosial yang lain segera akan dinetralisir oleh adanya loyalitas ganda dari para anggota masyarakat
terhadap berbagai kesatuan sosial (Nasikun: 1995). 5Suatu masyarakat senantiasa terintegrasi karena berbagai anggota masyarakat sekaligus
menjadi anggota dari berbagai kesatuan sosial (Nasikun: 1995). 6Mirza Ghulam Ahmad dianggap sebagai nabi dan rosul yang wajib diyakini dan dipatuhi
perintahnya, sebagaimana nabi dan rosul lainnya. Menurut golongan ini Qadiani tidak boleh
membedakan antara nabi yang satu dengan yang lain, sebagaimana yang diajarkan oleh al-Qur’an
dan yang dipesankan Nabi Muhammad SAW untuk mengikut Al-Mahdi yang dijanjikan. (Zulkarnain: 2005).
3
status Mirza Ghulam Ahmad adalah sebagai orang suci7 atau orang yang
sudah mencapai kesempurnaan rohaniah.8
Kemudian menurutnya Ahmadiyah bersifat keagamaan dan politis
(religious and political reasons). Dari segi keagamaan mereka berusaha
menafsirkan sebagian ajaran-ajaran Islam secara tidak lazim dan tidak sedikit
yang bertentangan dengan prinsip-prinsip agama yang sudah umum. Misalnya
dalam menafsirkan khotam an-Nabiyyin (Nabi yang terakhir) adalah Mirza
Ghulam Ahmad bukan Nabi Muhammad Saw., jihad tidak wajib bagi umat
Islam dan sebagainya. Sedangkan dari segi politis gerakan Ahmadiyah
dianggap sebagai gerakan reaksioner, karena pada saat itu umat Islam India
sudah dalam keadaan lemah dan tidak mempunyai kekuatan politik.
Kemudian untuk membela kepentingan kolonial Inggris di India mereka
mengeluarkan fatwa bahwa jihad dilarang.9 Maka dari itu Ahmadiyah lahir
tidak terlepas dari dukungan dan inisiatif Inggris untuk melemahkan
semangat jihad umat Islam Indonesia.10
Di samping itu, dalam konteks keindonesiaan Ahmadiyah
dikategorikan sebagai organisasi keagamaan yang tergolong ke dalam aliran
pemikiran dan gerakan. Ahmadiyah mulai masuk ke Indonesia mulai abad ke-
20. Ahmadiyah di Indonesia sendiri sampai saat ini masih tergolong eksis dan
7Mirza Ghulam Ahmad dianggap bukanlah seorang nabi, tetapi ia mempunyai persamaan
cukup besar dengan para nabi, yakni menerima wahyu. Golongan ini memandang bahwa Mirza
Ghulam Ahmad adalah seorang mujaddid abad ke-14 H. (Zulkarnain: 2005). 8Masykur Hakim, Kenapa Ahmadiyah Dihujat? (Jakarta: SDM Bina Utama, 2005), h. 2.
9Dalam menjelaskan konsep jihad baik Ahmadiyah Qadian maupun Lahore selalu
mendasarkan pada al-Qur’an dan hadits Nabi. Jihad yang diperintahkan adalah berusaha keras
sekuat tenaga untuk menegakkan kebenaran dan untuk mencapai tujuan suci yang diridhai Allah.
Misal untu mendekatkan diri kepada Allaj, mengorbankan harta benda dan jiwa di jalan Allah.
Kedua golongan tersebut berpendapat bahwwa jihad dalam bentuk perang sudah tidak sesuai lagi.
Untuk saat ini lebih tepat jihad dilakukan dengan pena atau dengan lisan. (Zulkarnain: 2015). 10
Hakim, Kenapa Ahmadiyah Dihujat?, h. 2-4.
4
berkembang walaupun pendukungnya tidak sebanyak Muhammadiyah atau
Nahdlatul Ulama.11
Ahmadiyah di Indonesia memiliki kondisi-kondisi situasional yang
bersifat khusus. Kelaziman yang terjadi dalam penyebaran Ahmadiyah adalah
kekhalifahan menjadi aktor tunggal dalam misi dakwah. Perluasan ajaran
Ahmadiyah menjadi kepentingan kekhalifahan di mana hanya ajaran
Ahmadiyah yang menentukan arah tujuan pengiriman mubalighnya. Hal ini
berbeda dengan Ahmadiyah Indonesia di mana kaum Ahmadiyah justru
meminta kepada kekhalifahan untuk dikirim seorang mubaligh ke negerinya.
Keunikan ini menjadi kekuatan dan perkembangan Ahmadiyah di Indonesia
di mana setiap Jemaat Ahmadiyah harus memiliki kesadaran bahwa mereka
harus bekerja keras untuk Ahmadiyah, mereka harus sanggup mengorbankan
demi Islam dan Ahmadiyah. Kekuatan Jemaat Ahmadiyah Indonesia adalah
komitmen untuk menghidupi organisasi melalui kesadaran bekerja keras dan
kerelaan berkorban.12
Jemaat Ahmadiyah masuk ke Indonesia yaitu melalui Mubaligh
Maulana Rahmat Ali yang ketika itu secara khusus diutus oleh pimpinan
Ahmadiyah Internasional ke wilayah Indonesia. Beliau masuk ke wilayah
Indonesia melalui kota Tapaktuan, Aceh pada tanggal 2 Oktober tahun
1925.13
Kemudian menyebar lebih luas masuknya Ahmadiyah ke Jawab Barat
bermula ketika M. Rahmat Ali datang ke kota Batavia (Jakarta) pada tahun
1931, kemudian menuju Bogor. Di kedua kota itu, M. Rahmat Ali
11
Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, h. xi. 12
Catur Wahyudi, Marginalisasi dan Keberadaan Masyarakat (Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia, 2015), Cet. I, h. 116. 13
Munasir Sidik, Dasar-dasar Hukum & Legalitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (Jakarta:
Neratja Press, 2014), Cet. III, h. 20.
5
menyebarkan Ahmadiyah. Maka berkat jasanya dan para mubaligh lokal
Ahmadiyah menyebar ke seluruh Jawa Barat, di antaranya ke Daerah Garut,
Tasikmalaya, Ciamis, Kuningan, dan Bandung. Para anggotanya setiap tahun
selalu bertambah dari ratusan orang pada awalnya hingga mencapai tujuh
ratus ribu orang pada saat ini.14
Kedatangan Ahmadiyah di Indonesia khususnya di Jawa Barat
sebagian masyarakat yang dipelopori oleh para ulama menentang Ahmadiyah
karena sudah dianggap sesat dan keluar dari agama Islam. Ahmadiyah di
Jawa Barat tidak jarang mendapatkan perlakuan seperti difitnah, tindakan
pidana, bahkan pembunuhan yang pernah dilakukan oleh orang-orang yang
membenci terhadap Ahmadiyah.
Beberapa contoh penentangan terhadap Ahmadiyah, di daerah
Tangerang Banten Gomar dikenakan hukuman penjara selama satu bulan
karena dianggap mengumpulkan orang tanpa izin dari pemerintah pada 1937,
yaitu pada saat ia mengadakan pengajian al-Qur’an di rumahnya yang
dihadiri oleh kurang lebih 300 orang. Kemudian di Rangkasbitung Banten,
Sastra Subrata pada 1972 dilempar asbak oleh seorang anggota Polisi Pamong
Praja bernama Djupriana pada saat berdiskusi hingga wajahnya mengalami
pendarahan. Kemudian orang-orang yang anti terhadap Ahmadiyah berusaha
untuk menghilangkan Ahmadiyah di Cianjur, di mana pada masa pendudukan
Tentara Jepang orang-orang yang anti Ahmadiyah memfitnah para anggota
Ahmadiyah sebagai pembuat kekacauan. Terjadi pula di daerah Talaga
Cianjur yaitu pemboikotan dalam pelbagai hal, di antaranya tidak boleh ada
14
Kunto Sofianto, Tinjauan Kritis Jemaat Ahmadiyah Indonesia (Malaysia: Nertja Press,
2014), Cet. 1, h. 106.
6
kegiatan jual-beli dengan para anggota Jemaat Ahmadiyah dan tidak boleh
mengambil pekerja dari Jemaat Ahmadiyah, mereka merusak masjid Jemaat
Ahmadiyah.15
Konflik yang terjadi di Jawa Barat tidak membuat Jemaat Ahmadiyah
meninggalkan Jawa Barat, melainkan setelah terjadinya konflik Jemaat
Ahmadiyah khususnya di Tasikmalaya semakin berkembang dan eksis di
kalangan masyarakat. Masyarakat di Tenjowaringin khususnya setelah
adanya Fatwa MUI, SKB 3 Menteri, dan Peraturan Gubernur yang secara
tidak langsung mendoktrin masyarakat yang kontra terhadap Ahmadiyah,
maka muncul penyerang yang cukup hebat. Hal tersebut tidak menjadikan
kebencian dari Jemaat Ahmadiyah sendiri, melainkan seiring berjalannya
waktu karena mereka guyub rukun dengan masyarakat maka terjadi relasi
sosial yang baik di antara mereka.
Pola relasi sosial adalah corak, model, sistem, atau aturan yang
ditempuh oleh individu atau kelompok masyarakat dalam kehidupan
bermasyarakat untuk hidup bersama dari dasar suka saling menolong
disebabkan dari perasaan sesama makhluk, di mana makhluk atau manusia
membutuhkan antara satu dengan lainnya dan tidak bisa hidup sendiri tanpa
bantuan orang lain.16
Beberapa contoh relasi sosial yang terjadi di kalangan Jemaat
Ahmadiyah dengan non Ahmadiyah adalah ketika pembangunan masjid
Ahmadiyah di Desa Tenjowaringin maka non Jemaat Ahmadiyah membantu
dalam pembangunannya, begitupun sebaliknya. Kemudian mereka hidup
15
Sofianto, Tinjauan Kritis Jemaat Ahmadiyah Indonesia, h. 163-165. 16
Achmad Rosidi, “Pola Relasi Sosial Keagamaan Umat Beragama di Lombok Nusa
Tenggara Barat,” Harmoni: Jurnal Multikultural & Multireligius, Vol. X, No. 3, 2011.
7
damai berdampingan dan saling mengisi ketika ada pengajian-pengajian yang
diadakan oleh masyarakat Tenjowaringin.
Menarik perhatian untuk dibahas lebih dalam relasi seperti apa yang
mendorong adanya kedekatan antara Jemaat Ahmadiyah dan non Ahmadiyah
serta faktor apa yang mendorong terjadinya relasi antara ahmadiyah dan non
Ahmadiyah sehinggaa bisa terjadi kerukunan dengan adanya harmonisasi
dalam bermasyarakat di Desa Tenjowaringin Kabupaten Tasikmalaya, maka
dianggap perlu untuk mengangkat judul “Pola Relasi Sosial Komunitas
Ahmadiyah dan Non Ahmadiyah di Desa Tenjowaringin Kecamatan Salawu
Kabupaten Tasikmalaya”.
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar permasalahan tidak terlalu luas dan fokusnya lebih terarah,
maka penulis membatasi pada pola relasi sosial yang terjalin dan faktor
yang mendorong sehingga adanya kerukunan dan harmonisasi meskipun
adanya perbedaan keyakinan antara Jemaat Ahmadiyah dan Non
Ahmadiyah di Sukasari, Patrol, Cituak, dan Wanasigra Desa
Tenjowaringin Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya.
2. Rumusan Masalah
Setelah adanya pembatasan masalah di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut: Faktor-faktor apa saja yang mendukung
terwujudnya pola relasi sosial antara Jemaat Ahmadiyah dengan non
Ahmadiyah di Tenjowaringin?
8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Dari rumusan di atas, maka tujuan yang dapat dicapai adalah
sebagai berikut: Mengetahui faktor-faktor apa saja yang mendukung
terwujudnya relasi sosial antara Jemaat Ahmadiyah dengan non
Ahmadiyah.
2. Manfaat Penelitian
a. Sebagai upaya untuk memahami aliran agama secara objektif,
adanya perbedaan keyakinan ataupun ajaran tidak semestinya ada
bentrokan atau konflik sosial yang terjadi di masyarakat.
b. Memberikan kontribusi terhadap mahasiswa khususnya dan
masyarakat umumnya berupa buah pikiran bahwa adanya relasi
sosial yang terjaga dengan baik sangat penting dalam
menumbuhkan rasa solidaritas.
c. Memenuhi tugas akhir perkuliahan untuk memperoleh gelar
kesarjanaan Strata 1 di Jurusan Studi Agama-agama Fakultas
Ushuluddin.
D. Kerangka Teori
Manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan antara satu
orang dengan yang lainnya, antara satu kelompok dengan kelompok lainnya.
Manusia bisa dikatakan sulit bahkan tidak bisa hidup sendiri, karena makhluk
sosial membutuhkan interaksi dan pergaulan untuk menciptakan hubungan
antar manusia dan tidak jarang pula adanya konflik.
9
Konflik merupakan bagian dari proses sosial yang sangat wajar dan
tidak harus dihindari. Konflik bisa dimaknai dan berfungsi sebagai faktor
positif atau faktor pendukung bagi tumbuh kembangnya modal kedamaian
sosial. Konflik di sisi lain bisa bersifat konstruktif (membangun) terhadap
keutuhan kelompok dan integrasi sosial masyarakat dalam skala yang lebih
luas.17
Manusia selalu memiliki keinginan untuk bergaul untuk dapat
menumbuhkan hubungan yang saling mempengaruhi sehingga akan
menimbulkan suatu perasaan yang saling membutuhkan. Untuk mengenal
upaya manusia dalam menjalin hubungan terdapat beberapa perilaku dengan
tindakan dan interaksi sosial yang terdapat nilai di mana terdapat norma sosial
sebagai standar penilaian umum yang dapat membentuk keteraturan
hubungan menuju terciptanya integrasi sosial yang mantap.18
Agar dalam masyarakat integrasi dapat berjalan dengan baik, maka
perlu diperhatikan faktor-faktor sosial yang mempengaruhi kehidupan
masyarakat, di antaranya:19
1. Tercapainya suatu konsensus mengenai nilai-nilai dan norma-norma
sosial.
2. Norma-norma yang berlaku konsisten dan tidak berubah-ubah.
3. Adanya tujuan bersama yang hendak dicapai.
4. Anggota masyarakatnya merasa saling bergantung dalam mengisi
kebutuhan-kebutuhannya.
17
Bagja Waluya, Sosiologi: Memahami Fenomena Sosial di Masyarakat untuk Kelas XI
Sekolah Menegah Atas/Madrasah Aliyah Program Ilmu Pengetahuan Sosial (Bandung: PT Setia
Purna Inves, 2007), Cet. I, h. 47. 18
Waluya, Sosiologi: Memahami Fenomena Sosial di Masyarakat, h. 47. 19
Waluya, Sosiologi: Memahami Fenomena Sosial di Masyarakat, h. 47.
10
5. Dilatarbelakangi oleh adanya konflik dalam suatu kelompok.
Dalam kajian sosiologi, realitas kehidupan disebut dengan realitas
sosial agama (the social reality of religion). Dalam kaitan itulah agama tidak
lagi bekerja secara monolitik, tetapi terjadi saling interaksi dengan pranata
sosial yang masing-masing telah memiliki fungsi pokok (function imperative)
yang berbeda. Dalam hal ini selanjutnya agama mempengaruhi pertumbuhan
dan perkembangan masyarakat. Demikian pula sebaliknya, perkembangan
masyarakat membawa pengaruh terhadap pola kehidupan beragama. Dalam
hal ini juga bukan berarti agama secara substansi mengalami perubahan, tetapi
yang terjadi adalah perubahan masyarakat dalam memahami, menghayati, dan
mengamalkan ajaran agama.20
Sejalan dengan hal di atas, dalam buku Agama dan Perdamaian
mengutip pandangan Talcoot Parsons, bahwa agama memiliki fungsi sebagai
pemberi makna eksistensial terhadap realitas yang paripurna. Talcoot Parsons
selanjtnya menformulasikan konsep functional imperatives terutama dalam
kaitannya dengan masalah kelangsungan hidup sistem sosial yaitu (1)
adaptation to the environment Perfomed by the economy (2) goal attainment
perfomed by the government (3) integration (linking the institutions together)
perfomed by the legal institutional and religion (4) latency (pattern
maintenance of values from generation to generation perfomed by the family
or education.21
Pernyataan fungsi terutama yang berkaitan dengan kelangsungan
hidup manusia dalam relasi sosial ditentukan oleh empat hal tersebut, yaitu
20
M. Ridwan Lubis, Agama dan Perdamaian Landasan, Tujuan, dan Realitas Kehidupan
Beragama di Indonesia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2017), h. 8. 21
Lubis, Agama dan Perdamaian, h. 8-9.
11
melalui ekonomi, pemerintah, lembaga hukum dan agama, serta keluarga dan
pendidikan. Dalam keempat hal itulah terjadi afiliasi yang saling menyilang
(cross-cutting affiliation) dan loyalitas yang saling menyilang (cross-cutting
loyalities) sehingga bisa terbentuknya integrasi sosial.22
E. Tinjauan Pustaka
Jurnal yang ditulis oleh Mardian Sulistyati dengan judul “Dinamika
Relasi Sosial Masyarakat Keagamaan Masyarakat Ahmadiyah dan Non
Ahmadiyah” membahas mengenai adanya suatu pemukiman yang bergejolak
dalam kesunyian di Desa Manislor terkadang mereka konflik, terkadang
mereka berdamai. Penelitian ini mengantarkan pada realitas-realitas sunyi
yang jarang diumbar. Kohesi sosial masyarakat Manislor dibangun dan
dipelihara melalui serangkaian ikatan antarwarga yang sifatnya mengalir, ada
kepercayaan dan tradisi yang masih tertinggal seperti tradisi nitip dan bertani
antar kelompok Jemaat Ahmadiyah dan non Ahmadiyah yang tanpa sadar
menumbuh kembangkan harmoni kedua kelompok di Manislor.
Skripsi yang ditulis oleh Fandi Akhmad dengan judul “Hubungan
Keberagaman Hidup dalam Konteks Toleransi Antara Jamaah Ahmadiyah
dengan Non Ahmadiyah di Desa Baciro D.I Yogyakarta” membahas adanya
hubungan toleransi di masyarakat dengan memiliki hak yang sama dalam
hukum, berbangsa, dan bernegara. Toleransi di Desa Baciro antara
masyarakat dengan Jamaah Ahmadiyah menandakan kedewasaan dalam
berpikir dan pemahaman yang utuh terhadap sesama manusia yang berbeda
keyakinan.
22
Lubis, Agama dan Perdamaian, h. 9.
12
Skripsi yang ditulis oleh Muhadi dengan judul “Interaksi Sosial
antara Umat Muslim dalam Keberagamaan (Studi terhadap Interaksi Sosial
Masyarakat Desa Giri Asih Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta)”
membahas mengenai adanya interaksi sosial yang memperkokoh dalam
integrasi sosial bagi kehidupan Desa Giri Asih yang dibangun dengan adanya
nilai budaya yang menjadi panutan sehingga melahirkan kesadaran seperti:
adanya kesadaran toleransi terhadap sesama warga dan masalah kepercayaan
yang diyakini masyarakat bersifat privasi sehingga tercipta hubungan saling
menghargai dan menghormati, kemudian adanya kesadaran pluralitas bahwa
hidup ini terdapat berbagai macam suku, budaya, agama yang berbeda, di
mana semua ini diyakini sebagai keniscayaan, dan adanya kesadaran sikap
tolong menolong dan kepedulian sesama manusia.
Jurnal yang ditulis oleh Uwes Fatoni “Respon Da’i terhadap Gerakan
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Tenjowaringin Tasikmalaya”
mengungkapkan tentang respon dan strategi da’i dalam menghadapi Jemaat
Ahmadiyah Indonesia di Tenjowaringin dan Kutawaringin (pemekaran
Tenjowaringin) dengan menggunakan dua kegiatan dakwah yaitu dakwah
defensif atau bertahan dan dakwah ofensif atau aktif.
Pembahasan yang berbeda dalam penulisan ini adalah pola relasi
sosial seperti apa yang dibangun serta faktor-faktor apa saja yang mendorong
adanya relasi antara Jemaat Ahmadiyah dan non Ahmadiyah di Desa
Tenjowiringin sehingga masyarakatnya rukun, aman, dan saling menghargai
antara satu dengan yang lainnya di samping adanya perbedaan yang mendasar
dari segi keyakinan.
13
F. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan yang bermaksud
untuk mencari data yang lebih maksimal di lokasi Desa Tenjowaringin,
Kecamata Salawu, Kabupaten Tasikmalaya.
2. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bertujuan untuk
menjelaskan fenomena dengan sedalam-dalamnya melalui pengumpulan
data. Penelitian ini tidak mengutamakan besarnya populasi bahkan sangat
terbatas. Tetapi jenis penelitian ini jika data terkumpul sudah mendalam
dan bisa menjelaskan fenomena yang diteliti, maka tidak perlu mencari
sampling lainnya. Pendekatan ini lebih mengutamakan kedalaman
(kualitas) bukan banyaknya (kuantitas) data.23
3. Pendekatan
Penelitian ini menggunakan pendekatan historis, yaitu salah satu
pendekatan yang cukup favorit dalam Studi Agama dan Perbandingan
Agama. Pendekatan ini merupakan pendekatan pertama kalinya untuk
mempelajari, menyelidiki, dan meneliti agama-agama baik sebelum ilmu
agama menjadi disiplin yang berdiri sendiri maupun sesudahnya. Dalam
pendekatan ini berusaha menelusuri asal-usul dan pertumbuhan ide-ide dan
pranata-pranata keagamaan melalui periode perkembangan historis tertentu
dan menilai peranan kekuatan yang dimiliki agama tersebut untuk
23
M. Hariwijaya, Metodologi dan Penulisan Skripsi, Tesis dan Desertasi untuk Ilmu
Sosial dan Humaniora (Yogyakarta: Parama Ilmu, 2015), Cet. II, h. 85-86.
14
memperjuangkan dirinya selama periode tersebut.24
Pendekatan ini disebut
juga dengan penelitian sejarah, yaitu penelitian yang sacara ekslusif
memfokuskan kepada masa lalu dan mencoba merekonstruksikan apa yang
terjadi pada masa yang lalu selengkap dan seakurat mungkin, dan biasanya
menjelaskan mengapa hal itu terjadi.25
Selain pendekatan historis, dalam penelitian ini menggunakan
pendekatan sosiologis, pendekatan sosiologis terhadap agama bermaksud
mencari relevansi dan pengaruh agama terhadap fenomena sosial.
Pendekatan ini berfokus pada masyarakat yang memahami dan
mempraktikan agama, bagaimana pengaruh masyarakat terhadap agama
dan pengaruh agama terhadap masyarakat.26
4. Analisis Data
Data yang diperoleh dikumpulkan melalui kearsipan dan
kepustakaan, data tersebut dapat dideskripsikan secara menyeluruh,
dianalisa, dan diinterpretasikan. Kemudian data lain akan diperoleh dari
studi lapangan dengan teknik wawancara yang dipergunakan sebagai
pembanding dan mencari makna bagi pemeluknya.
G. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data
1. Sumber Data
Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri atas
sumber primer dan sekunder:
24
Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-agama Dari Era Teosofi Indonesia (1901-
1940) Hingga Masa Reformasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), Cet. I, h. 15. 25
Nurul Zuriah, Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan (Jakarta: PT Bumi Aksara,
2007), Cet. II, h. 51. 26
Bahri, Wajah Studi Agama-agama, h.43-44.
15
a. Sumber Primer
1) Tokoh
a) Informan dari Jemaat Ahmadiyah Bapak. Muslim Hidayat.
b) Informan dari Jemaat Ahmadiyah Bapak. Munawarman.
c) Informan dari Jemaat Ahmadiyah Bapak. Lili Suwarli.
d) Informan dari Jemaat Ahmadiyah Bapak. Faruq.
e) Informan dari Non Ahmadiyah Ustadz. Ana.
f) Informan dari Non Ahmadiyah Ustadz. Kostaman.
g) Informan dari Aparat Desa Ibu. Yuyu Yuningsih.
2) Buku/Jurnal/Skripsi yang berkaitan dengan penelitian
a) Kunto Sofianto, Tinjauan Kritis Jemaat Ahmadiyah Indonesia
Malaysia: Neratja Press, Cet. 1, 2014.
b) Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia.
Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, Cet. II, 2011.
c) Uwes Fatoni, “Respon Da’i terhadap Gerakan Jemaat
Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Tenjowaringin Tasikmalaya,”
Jurnal Dakwah, Vol. XV, No. 1, 2014.
d) Nadia Wasta Utami, “Upaya Komunikasi Forum Kerukunan
Umat Beragama (FKUB) dalam Resolusi Konflik
Ahmadiyah,” Jurnal Ilmu Komunikasi, Vol. 13, No. 1, Juni
2016.
b. Sumber Sekunder: Buku/jurnal yang tidak terkait langsung dengan
penelitian tetapi masih relevan dengan pembahasan.
16
2. Teknik Pegumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data dalam penulisan ini adalah
sebagai berikut:
a. Wawancara
Wawancara adalah suatu teknik pengumpulan data untuk
mendapatkan informasi yang dapat digali dari sumber data langsung
melalui percakapan atau tanya jawab. Wawancara dalam penelitian
kualitatif sifatnya wawancara mendalam karena ingin mengeksplorasi
informasi secara jelas dari informan.27
Dalam penelitian kualitatif posisi narasumber sangat penting,
bukan sekedar memberikan respon, melainkan sebagai pemilik informasi.
Hal ini berbeda dalam penelitian kuantitatif, di mana sumber data ini
disebut “responden” yaitu orang atau sejumlah orang yang memberikan
“respond” atau tanggapan terhadap apa yang diminta atau ditentukan oleh
peneliti. Dalam penelitian kualitatif peneliti dengan narasumber memiliki
kedudukan yang sama. Peneliti harus pandai-pandai dalam menggali data
dengan cara membangun kepercayaan, keakraban, dan kerjasama dengan
subjek yang diteliti, di samping tetap kritis dan analitis.28
b. Peristiwa atau Aktivitas
Data atau informasi dapat diperoleh melalui pengamatan terhadap
peristiwa atau aktivitas yang berkaitan langsung dengan permasalahan
penelitian. Dari peristiwa ini peneliti bisa mengetahui proses bagaimana
27
Djam’an Satori dan Aan Komariah, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung:Alfabeta,
2013), Cet. V, h. 130. 28
Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2003), Cet. 2, h. 163.
17
sesuatu terjadi secara lebih pasti karena menyaksikan sendiri secara
langsung.29
c. Dokumen atau Arsip
Dokumen merupakan bahan tertulis atau benda yang berkaitan
dengan suatu peristiwa atau aktivitas tertentu. Dokumen bisa berupa
rekaman atau dokumen tertulis seperti arsip data base surat-surat
rekeman gambar. Banyak peristiwa lama yang telah lama terjadi bisa
diteliti dan dipahami atas dasar dokumen atau arsip.30
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini ditulis untuk mempermudah melihat
masalah-masalahan serta pembahasan yang ada dalam skripsi ini, maka
sistematikanya disusun dalam bentuk uraian yang terbagi dalam beberapa
bab, di antaranya:
Bab I, pendahuluan menguraikan latar belakang masalah, pembatasan
dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, tinjauan
pustaka, metodologi penelitian, sumber dan teknik pengumpulan data, dan
sistematika penulisan.
Bab II, gambaran umum wilayah Desa Tenjowaringin menguraikan
tentang sejarah desa, demografi, sistem ekonomi, sistem keagamaan, dan
sosial budaya.
Bab III, Ahmadiyah di Tenjowaringin menguraikan tentang
bagaimana sejarah singkat masuknya Ahmadiyah di Tenjowaringin,
29
Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, h. 163. 30
Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, h. 164.
18
perkembangan Ahmadiyah di Tenjowaringin, dan eksistensi Ahmadiyah di
Tenjowaringin.
Bab IV, pola realasi sosial antara Jemaat Ahmadiyah dengan non
Ahmadiyah menguraikan tentang kekerabatan, kegiatan agama, kegiatan
ekonomi, dan kegiatan sosial, serta faktor pendorong terbentuknya relasi
sosial antara Ahmadiyah dan non Ahmadiyah di Tenjowaringin, meliputi
faktor kebudayaan, faktor ekonomi, faktor pendidikan, dan faktor lembaga
sosial.
Bab V, penutup menguraikan kesimpulan, serta saran dan harapan.
19
BAB II
GAMBARAN UMUM WILAYAH DESA TENJOWARINGIN
A. Sejarah Desa
Pada zaman dahulu yaitu sebelum tahun 1910 Desa Tenjowaringin
Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya masih dua desa yaitu Desa
Panenjoan dan Desa Caringin yang memiliki luas wilayah 11.457,19 Ha yang
dipimpin oleh dua orang kepala desa sebagai berikut:31
1. Desa Panenjoan dipimpin oleh Bapak Madhasan.
2. Desa Caringin dipimpin oleh Bapak Marta Warna.
Selanjutnya pada tahun 1910 Desa Panenjowan dan Desa Caringin
disatukan menjadi satu desa yaitu Desa Tenjowaringin yang dipimpin oleh
Mama Lurah Sumajibja sampai tahun 1924.
B. Data Demografi
1. Letak dan Luas Wilayah
Desa Tenjowaringin merupakan salah satu dari 12 desa di wilayah
Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya. Desa Tenjowaringin
mempunyai luas wilayah seluas ± 4656,27 Hektar.
Adapun batas-batas desa yang ada di wilayah Desa Tenjowaringin
yaitu:
Sebelah Utara : Desa Tanjung Karang
Sebelah Timur : Desa Kutawaringin
Sebelah Selatan : Desa Kersamaju
Sebelah Barat : Desa Sekamaju-Garut
31
RPJMDES, Desa Tenjowaringin Tahun 2015-2021 (diambil dari rancangan kerja
pembangunan Desa Tenjowaringin tahun 2015)..
20
2. Jumlah Penduduk Secara Umum
Tabel 1
No Kependudukan Jumlah
1. Jumlah Penduduk 4476 orang
2. Jumlah Kepala Keluarga 1345 orang
Sumber: RPJMDES, Desa Tenjowaringin Tahun 2015-202132
3. Jumlah Penduduk Menurut Kewarganegaraan
Tabel 2
No Kewarganegaraan Jumlah
1. WNI Laki-laki 2206 orang
2. WNI Perempuan 2270 orang
Sumber: RPJMDES, Desa Tenjowaringin Tahun 2015-2021
4. Jumlah Penduduk Menurut Pendidikan
Tabel 3
No Pendidikan Jumlah
1. SD/Sederajat 722 orang
2. SMP/Sederajat 402 orang
3. SMA/Sederajat 113 orang
4. Perguruan Tinggi 4 orang
5. Buta Huruf -
Sumber: RPJMDES, Desa Tenjowaringin Tahun 2015-2021
32
Diambil dari rencana pembangunan Desa Tenjowaringin tahun 2015.
21
Gambar 1
Peta Desa Tenjowaringin
Sumber: Hasil Dokumentasi Penulis
C. Sistem Ekonomi
Kondisi ekonomi masyarakat Desa Tenjowaringin terbagi menjadi
beberapa bidang, namun dilihat secara keseluruhan di desa ini sebagian besar
bermata pencaharian bertani dengan penghasilan yang masih rendah. Sehingga
secara umum masih tergolong masyarakat yang masih belum sejahtera. Selain
itu pada bidang lain seperti usaha mikro masyarakat masih memanfaatkan
bantuan pinjaman dari bantuan pemodalan pemerintah ataupun bantuan
pinjaman pemodalan dari pihak-pihak lain.33
Desa Tenjowaringin memiliki wilayah yang luas dan penduduk yang
cukup banyak. Wilayah Desa Tenjowaringin sebagian besar merupakan lahan
persawahan, perkebunan, bukit, serta pegunungan yang di dalamnya tersebar
sumber-sumber air, sangat yang cukup banyak. Hal tersebut menjadikan Desa
Tenjowaringin memiliki potensi sumber daya alam yang besar khususnya
untuk sektor pertanian, peternakan, dan lain sebagainya.
33
RPJMDES, Desa Tenjowaringin Tahun 2015-2021 (diambil dari rancangan kerja
pembangunan Desa Tenjowaringin tahun 2015).
22
Tabel 4
Jumlah Sistem Ekonomi Menurut Mata Pencaharian di Desa
Tenjowaringin
No Mata Pencaharian Jumlah
1. Petani Pemilik Tanah 1345 orang
2. Buruh Tani 587 orang
3. Pengusaha Dagang 248 orang
4. Pengrajin 72 orang
5. Pengusaha Angkutan 42 orang
6. PNS 58 orang
7. TNI 3 orang
8. Pensiun PNS/TNI/POLRI 42 orang
9. Peternak 2 orang
Sumber: RPJMDES, Desa Tenjowaringin Tahun 2015-2021
D. Sistem Keagamaan
Sistem keagamaan di Desa Tenjowaringin yang sangat mencolok
terbagi dalam dua aliran keagamaan atau dua keyakinan dasar yang berbeda
yaitu Nahdhatul Ulama dan Ahmadiyah. Penganut Ahmadiyah di Desa
Tenjowaringin merupakan mayoritas, tetapi di setiap dusun ada perbandingan
warga yang berbeda antara Ahmadiyah dan non Ahmadiyah. Sebagaimana
tabel di bawah ini:
Tabel 5
Perbandingan Jumlah Persentase Ahmadiyah dan Non Ahmadiyah di Desa
Tenjowaringin
Nama Dusun Jumlah RT Ahmadiyah Non Ahmadiyah
Citeguh 7 RT 70% 30%
23
Wanasigra 7 RT 90% 10%
Sukasari 8 RT 50% 50%
Cigunung Tilu 5 RT 40% 60%
Ciomas 4 RT 20% 80%
Sumber: Hasil Wawancara September 2018
Dalam sistem keagamaan seperti dijelaskan sebelumnya, maka di Desa
Tenjowaringin ada beberapa masjid yang merupakan masjid milik Ahmadiyah
dan masjid milik non Ahmadiyah (Nahdhatul Ulama) yang biasa dijadikan
sebagai tempat peribadahan maupun tempat kajian ilmu keagamaan. Berikut
tabel jumlah masjid Ahmadiyah maupun non Ahmadiyah:
Tabel 6
Jumlah Masjid Ahmadiyah dan Non Ahmadiyah di Desa Tenjowaringin
Nama Dusun Masjid Ahmadiyah Masjid Non Ahmadiyah
Citeguh Baitus Subhan
Baitur Rahim
At-Taufiq
Nurul Khilafat
Wanasigra Al-Fadhal
Al- Mubarok
-
Sukasari Al-Falah Al-Aqsha
Al-Ikhlas
Nurul Ihsan
Cigunung Tilu Al-Ihsan Khusnul Jamaah
Ar-Rasyid
Ciomas - Al-Barakah
Mahbatul Anwar
Sumber: Hasil Wawancara September 2018
24
E. Sosial Budaya
Kondisi sosial masyarakat Desa Tenjowaringin memegang teguh pada
adat istiadat daerah dengan ciri-ciri budaya Sunda yang terlihat masih kental
seperti gotong royong, kesopanan dan budaya-budaya luhur lainnya. Kondisi
sosial inilah yang selalu dijadikan dasar dan modal dalam melakukan setiap
proses pembangunan yang senantiasa dijaga, dipelihara dan dikembangan.
Pada Periode 1910-1924 selama 14 tahun, Bapak Mamak Lurah
Sumajibja di bawah kendali penjajah Belanda, beliau dalam memimpin Desa
Tenjowaringin mulai menata desa dengan membuat sarana-sarana sosial
umum dengan mengandalkan gotong royong. Bukti dari hasil kentalnya
budaya gotong royong, maka terbangun 3 saluran air yang besar untuk
mengairi lahan pertanian. Pada periode 1924-1946 selama 22 tahun, Bapak
Sobandi memimpin Desa Tenjowaringin dengan meneruskan kinerja dari
periode sebelumnya. Pada masa ini beliau mengembangkan sektor pertanian
padi sawah dan padi darat atau biasa disebut oleh masyarakat dengan istilah
padi huma. Kemudian di periode-periode selanjutnya gotong royong masih
tetap terjaga dan pembangunan terus dilakukan, sehingga berhasil membangun
beberapa terowongan, gedung sekolah dasar.34
Pada periode 1946-1960 Bapak Pakih melanjutkan dan memperbaiki
atas pekerjaan yang ditinggalkan oleh kepala desa sebelumnya. Kemudian
pada periode 1960-1967 yang dipimpin oleh Bapak Wiraperaja bersama
dengan masyarakat secara gotong royong meneruskan pembangunan dan
berhasil membangun beberapa terowongan, gedung sekolah tingkat SD. Pada
34
RPJMDES, Desa Tenjowaringin Tahun 2015-2021 (diambil dari rancangan kerja
pembangunan Desa Tenjowaringin tahun 2015).
25
periode 1967-1978 yang dipimpin oleh Bapak H. Aca Sukarja bersama
masyarakat membangun dan menata desa secara bergotong royong.35
Pada periode 1978-1981 yang dipimpin oleh Bapak Odo Desa
Tenjowaringin mengalami pemekaran menjadi 2 desa yaitu Desa
Tenjowaringin dan Desa Kutawaringin. Kemudian pada periode 1981-1996
Bapak H. Aca Sukarja menjabat yang kedua kalinya dengan banyak
memberikan keberhasilan untuk desa, bahkan Desa Tenjowaringin
menyandang desa teladan tingkat nasional. Pada periode 1996-2001 dipimpin
oleh Bapak Ir. Muslih Nasir Ahmad mendirikan pabrik tenun sutra dan budi
daya ulat sutra dan mampu menyerap banyak tenaga kerja lokal. Periode
2001-2007 dijabat oleh Bapak Kodir dan melanjutkan pembangunan yang
ditinggalkan oleh kepada desa sebelumnya. Kemudian pada periode 2007-
2013 dipimpin oleh Bapak Ihin Solihin dan terakhir periode 2013-sekarang
dipimpin oleh Bapak Kodir untuk kedua kalinya banyak kemajuan yang
dicapai.36
35
RPJMDES, Desa Tenjowaringin Tahun 2015-2021 (diambil dari rancangan kerja
pembangunan Desa Tenjowaringin tahun 2015). 36
RPJMDES, Desa Tenjowaringin Tahun 2015-2021 (diambil dari rancangan kerja
pembangunan Desa Tenjowaringin tahun 2015).
26
BAB III
AHMADIYAH DI TENJOWARINGIN
A. Sejarah Masuknya Ahmadiyah di Desa Tenjowaringin
Awal masuknya Ahmadiyah ke Jawa Barat terjadi ketika M. Rahmat
Ali37
tiba di Batavia (Jakarta) pada tahun 1931 dan tinggal di daerah
Bungur.38
M. Rahmat Ali pun berusaha untuk melakukan aktivitas tabligh di
Jakarta. Cara yang beliau lakukan untuk mendekati masyarakat adalah dengan
cara menghargai budaya lokal dan menggunakan Bahasa Indonesia. Tetapi
dalam hal berpakaian M. Rahmat Ali mempunyai strategi yang khas, yaitu
mengenakan pakaian Punjabi yang biasa digunakan di India. Kekhususan
cara berpakaian ini yaitu pagri (sorban) putih untuk penutup kepala, achikrn
(jas India), dan shalwar (celana khas India). Selain itu, beliau juga
memelihara janggut dan selalu membawa tongkat ke mana pun pergi. Hal ini
membuat orang Indonesia tertarik akan menjumpainya dan berbincang-
bincang dengannya.39
Strategi yang M. Rahmat Ali terapkan ternyata menarik perhatian, ada
dua orang yang datang menghampiri ke tempat tinggalnya untuk menanyakan
beberapa hal mengenai Ahmadiyah. Pada mulanya beliau tidak langsung
tabligh tentang Ahmadiyah, tetapi beliau berusaha untuk mengadakan
37
Rahmat Ali lahir tahun 1893, merupakan lulusan pelajar generasi pertama dari
Madrasah Ahmadiyah di Qadian, kemudian pada tahun 1917 ia menjadi guru bahasa Arab dan
Agma di Ta’limul Islam High School, Qadian. Pada tahun 1924 ia dipindah ke Departemn Tabligh
(Nizarat ad-Da’wah wa at-Tabligh). Kemudian di bulan Juli 1925 sampai Mei 1950 ia bertugas
sebagai mubaligh Indonesia. (Iskandar Zulkarnain: 2011). 38
Sebelum menuju ke Batavia (Jakarta) M. Rahmat Ali pertama ke Indonesia pada tahun
1925 menuju Indonesia melalui Penang, Medan, dan Sabang-kota pelabuhan di ujung Sumatra
yang terletak di Pulau Weh. Kemudian pada tahun 1926 ia menuju Padang sampai berdirinya
Ahmadiyah pada tahun 1929 menyebar luas ke Padang Panjang, seperti Bukit Tinggi. Dua tahun
berikutnya 1931 ia pergi ke Jawa yaitu Yogyakarta. (Iskandar Zulkarnain: 2011). 39
Sofianto, Tinjauan Kritis Jemaat Ahmadiyah Indonesia, h. 123.
27
pendekatan dengan cara memberikan kursus bahasa arab di rumahnya. Cara
ini cukup berhasil untuk menarik orang mengikuti kursus yang beliau
selenggarakan. Para peserta kursus itu diikuti antara lain oleh R. Hidayat, R.
Moh. Anwar, R. Moh. Tohamihardja, Undun Abdullah, dan Soemarna (asal
dari Garut). Kemudian ada juga dari luar Jawa seperti dari Palembang dan
Manado. Dengan banyaknya orang yang datang ke rumahnya, maka beliau
memanfaatkan waktu untuk memberikan penjelasan tentang Ahmadiyah.
Akhirnya mereka merasa bahwa penjelasan dari M. Rahmat Ali sangat
menarik dan membawa mereka masuk ke dalam Ahmadiyah. Setelah kejadian
itu maka Ahmadiyah terus menyebar dari mulut ke mulut sehingga lebih
banyak orang yang mendatangi kediaman M. Rahmat Ali untuk mendapatkan
penjelasan mengenai Ahmadiyah.40
Melihat ada respon yang baik dari sebagaian masyarakat terhadap
Ahmadiyah maka M. Rahmat Ali dan para anggota Jemaat Ahmadiyah
bersepakat untuk mendirikan Jemaat Ahmadiyah pada tahun 1923 dengan
melantik Abd. Razak sebagai ketua, Simon Sirait Kohongia sebagai
sekretaris, Th. Dengah, Ahmad Jupri, dan Murdan sebagai komisaris dengan
jumlah anggota lainnya sebanyak 27 orang. Setelah berhasil mendirikan
kepengurusan Jemaat Ahmadiyah di Jakarta, M. Rahmat Ali pun berusaha
untuk menyebarkan Ahmadiyah supaya pengikut dan wilayah Ahmadiyah
semakin luas. Pada November 1932 berdirilah cabang Jemaat Ahmadiyah di
40
Sofianto, Tinjauan Kritis Jemaat Ahmadiyah Indonesia, h. 124-125.
28
Bogor dengan melantik R. Hidayat sebagai ketua, Jakaria sebagai sekretaris,
N. Madjid sebagai bendahara, dan para anggotanya sebanyak 10 orang.41
Pada akhir 1934 M. Rahmat Ali menugaskan Entoy Muhammad
Tayyib yang berasal dari Singaparna untuk melakukan pentablighan
Ahmadiyah di daerah Jawa Barat, khususnya daerah Priangan. Kota pertama
yang didatanginya ialah Tasikmalaya. Adapun usaha yang pertama dilakukan
di Tasikmalaya adalah mengadakan tabligh di gedung Sekar Putih. Hasil dari
tabligh ini yang dihadiri oleh banyak orang, maka Ahmadiyah mulai dikenal
oleh masyarakat Tasikmalaya. Selain mengadakan tabligh di gedung Sekar
Putih, beliau mengadakan tabligh mengenai Ahmadiyah kepada para
pedagang dari Tasikmalaya di Hotel Mataram, Jakarta. Para pedagang itu
sering datang ke Jakarta pada tahun 1934-1935 untuk menjual kerajinan
buatan sendiri, terutama kain kerudung. Di tempat menginap mereka sering
berbincang dan berdiskusi tentang Ahmadiyah dengan Entoy M. Tayyib.42
Cerita tentang adanya seseorang yang mengaku nabi sangat menarik
perhatian para pemuda di kampungnya. Di antara pemuda itu bernama Enggit
Syarif, ia tertarik untuk mengetahui kebenaran berita itu. Akhirnya ia mencari
kabar berita tersebut dengan mendatangi beberapa kyai Nahdatul Ulama (NU)
cabang Tasikmalaya. Tetapi para kyai itu menasihati agar jangan mendekati
Ahmadiyah. Oleh karena itu tidak merasa puas, maka ia dengan dikirim oleh
kawannya Surjah dan Endi berusaha untuk menemukan Entoy di Jakarta.
Pada akhirnya mereka bertemu dengan Entoy M. Tayyib yang sedang berada
41
Seiring dengan berkembangnya Jemaat Ahmadiyah di Jakarta dan Bogor, maka dari
beberapa orang Ahmadiyah timbul suatu gagasan untuk menerbitkan majalah bulanan agar seruan
Ahmadiyah lebih meluas. Majalah tersebut (majalah Sinar Islam) pertama kali terbit pada bulan
September 1932. (Zulkarnain: 2011). 42
Sofianto, Tinjauan Kritis Jemaat Ahmadiyah Indonesia, h. 129.
29
di Garut. Setelah beberapa kali mengadakan perbincangan dan mendapatkan
penjelasan yang memuaskan tentang Ahmadiyah, akhirnya mereka masuk
Ahmadiyah dan kembali ke Tasikmalaya untuk mendirikan Jemaat
Ahmadiyah Tasikamala. Pada awalnya E. Syarif merasa ragu karena belum
ada persiapan dan di Tasikmalaya belum ada anggota Ahmadiyah sedikitpun.
Tetapi dengan modal keberanian, Surjah membuat pamflet yang ditempelkan
di berbagai tempat, terutama di pasar dan di jalan-jalan. Pamflet itu berisi
pengumuman singkat, yaitu “Imam Mahdi sudah datang.” Dengan beredarnya
pamflet itu, masyarakat di Tasikmalaya menjadi gempar karena orang yang
setuju dan tidak setuju dengan Ahmadiyah. Salah satu usaha mereka
mewujudkan pendirian Ahmadiyah yaitu dengan cara mendirikan sebuah
komite di Indihiang pada tahun 1935.43
Selain cara tersebut, E. Syarif dan Surjah sering membawa orang-
orang supaya berjumpa dengan M. Rahmat Ali untuk bertanya dan
mendapatkan penjelasan lebih jauh tentang Ahmadiyah. salah satunya adalah
Kepala Sekolah Swasta Karang Kamulyan bernama Suryasumirat yang bai’at
masuk Ahmadiyah. Selain itu, E. Syarif berhasil mengajak temannya untuk
masuk Ahmadiyah dan mereka secara resmi menyatakan bai’at pada tahun
1939. Sejak saat ini lah aktivitas Jemaat Ahmadiyah mulai berjalan di
Sukapura, terutama pentablighan untuk mengembangkan Ahmadiyah,
mengaji al-Qur’an, shalat berjamaah, dan shalat Jum’at yang diadakan secara
bergantian di rumah-rumah para anggota jemaat. Meskipun tekanan dan
tentangan makin ramai dari masyarakat, namun Jemaat Ahmadiyah terus
43
Sofianto, Tinjauan Kritis Jemaat Ahmadiyah Indonesia, h. 131.
30
bertahan, bahkan pada tahun 1941 ada lagi beberapa orang yang melakukan
bai’at. Kemudian pada tahun tersebut keluarga E. Syarif pindah ke kota
Tasikmalaya dan mendirikan kepengurusan Ahmadiyah Cabang Tasikmalaya
pada tanggal 1 Mei 1941. Ketua cabangnya yaitu Rasli dengan jumlah
anggotanya hanya lima keluarga.44
Setelah berhasil menyebarkan Ahmadiyah di Tasikmalaya, Entoy M.
Tayyib berusaha untuk menyebarkan Ahmadiyah di kampung halamannya di
Singaparna. Setelah dari Singaparna, Ahmadiyah menyebar ke daerah lainnya
yaitu Wanasigra. Penyebaran itu terjadi pada tahun 1949 ketika seorang
penduduk Wanasigra bernama Rosyid yang pindah ke Garut akibat gangguan
gerombolan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Kartosuwiryo
berjumpa dengan Ujer. Dari hasil perbincangan itu, Rosyid tertarik dengan
Ahmadiyah yang kemudian masuk Ahmadiyah dan berhasil mempengaruhi
Agen untuk masuk Ahmadiyah dan menyebarkan Ahmadiyah ke Wanasigra.
Kemudian Rosyid terus berusaha bertabligh dengan menyebarkan Ahmadiyah
di Wanasigra, maka pada tahun 1950 terdapat 50 orang kaum wanita yang
bai’at masuk Ahmadiyah. mengingat Wanasigra berada di wilayah Kabupaten
Tasikmalaya maka Wanasigra dijadikan Anak Cabang Tasikmalaya.45
Dalam melakukan wawancara mengenai awal masuknya ke Desa
Tenjowaringin khususnya ke Wanasigra maka didapati sebelum tahun 1950
masih sangat gencar dengan DI TII, mereka mengincar para pemuka agama
yaitu M. Ejen, Rosyid, dan H. Faqih dari Desa Tenjowaringin khususnya dari
Wanasigra. Jika sudah malam hari mereka pindah ke Garut untuk mengungsi
44
Sofianto, Tinjauan Kritis Jemaat Ahmadiyah Indonesia, h. 132. 45
Sofianto, Tinjauan Kritis Jemaat Ahmadiyah Indonesia, h. 134-135.
31
karena takut akan serbuan dari DI TII, kemudian di tempat pengungsian
mereka diberikan tabligh oleh mubaligh Ahmadiyah lulusan dari Markas
Rabwah Pakistan Maulana H. Abdul Wahid. Singkat cerita para pemuka
agama ketika pulang dari pengungsian waktu siang atau sore hari mereka
bercerita kepada masyarakat di Wanasigra bahwa dewasa ini Ahmadiyah
telah datang dengan wujud Mirza Ghulam Ahmad. Pada tahun 1951 mulai
banyak orang yang masuk Ahmadiyah sekitar puluhan sampai ratusan orang
ikut melakukan bai’at. Menurut orang tua tempo dulu ada pepatah bahwa
Ahmadiyah datang kalau tidak ke Wanaraja, mereka datang ke Wanasigra.
Masyarakat di Wanasigra setiap kali mendapatkan cerita-cerita dari pemuka
agama, mereka langsung ikut masuk Ahmadiyah dan berbai’at.46
Menurut versi lain masuknya Ahmadiyah ke Tenjowaringin yaitu
ketika bapak Rosyid melakukan bai’at di Garut oleh bapak Sadkar. Kemudian
beliau menyampaikan tentang kebenaran Ahmadiyah kepada ulama besar
Tenjowaringin yaitu bapak Ejen sekitar tahun 1951-1953. Kemudian dari
sinilah bapak Ejen melakukan tabligh kepada masyarakat. Orang-orang
tertarik untuk masuk Ahmadiyah karena mereka mengerti terhadap ajarannya
dan perilaku orangnya. Adapun ajaran-ajaran Ahmadiyah tertera dalam 10
syarat bai’at di antaranya:
46
Wawancara dengan Lili Suwarli, Desa Tenjowaringin, 06 Mei 2018.
32
Gambar 3
Syarat-syarat Bai’at
Sumber: Hasil Dokumentasi Penulis
a. Orang yang bai’at, berjanji dengan hati jujur bahwa di masa yang akan
mendatang sampai masuk ke dalam kubur, akan senantiasa menjauhi
syirik.
b. Akan senantiasa menghindari diri dari dusta, zina, pandangan birahi,
perbuatan fasiq, kejahatan, aniaya, khianat, hura-hara, pemberontakan,
serta tidak akan dikalahkan oleh gejolak-gejolak hawa nafsu tatkala
bergejolak, meskipun sangat hebat dorongan yang timbul.
c. Akan senantiasa mendirikan shalat lima waktu tanpa putus, sesuai
perintah Allah dan Rasul-Nya. dan sedapat mungkin akan berusaha
dawam mengerjakan shalat Tahajjud, mengirimkan shalawat kepada
Nabi KarimNya, shallallaahu’alaihi wasallam, dan setiap hari memohon
ampunan atas dosa-dosanya serta melakukan istigfar, dan dengan hati
yang penuh kecintaan mengingat kebaikan-kebaikan Allah Ta’ala, lalu
menjadikan pujian serta sanjungan terhadap-Nya sebagai ucapan
wiridnya setiap hari.
33
d. Tidak akan mendatangkan kesushahan apa pun yang tidak pada
tempatnya- karena gejolak-gejolak nafsunya terhadap makhluk Allah
umumnya dan kaum Muslimin khususnya, melalui lidah, tangan,atau
melalui cara lainnya.
e. Dalam segala keadaan sedih dan gembira, suka duka, nikmat dan
musibah akan tetap setia kepada Allah Ta’ala. Dan dalam setiap kondisi
akan rela atas putusan Allah. Dan akan senantiasa siap menanggung
segala kehinaan serta kepedihan di jalan-Nya. dan tidak akan
memalingkan wajahnya dari Allah Ta’ala ketika ditimpa suatu musibah
melainkan akan terus melangkah maju.
f. Akan berhenti dari adat kebiasaan buruk dan dari menuruti hawa nafsu.
Dan akan menjunjung tinggi perintah Alquran Suci di atas dirinya. Dan
menjadikan firman Allah dan sabda Rasul-Nya sebagai pedoman dalam
setiap langkahnya.
g. Akan meninggalkan takabur dan kesombongan sepenuhnya. Dan akan
menjalani hidup dengan merendahkan diri, dengan kerendahan hati, budi
pekerti yang baik, lemah lembut, dan sederhana.
h. Agama dan kehormatan agama serta solidaritas Islam akan dianggap
lebih mulia daripada nyawanya, hartanya, kehormatan dirinya, anak
keturunannya, dan dari segala yang dicintainya.
i. Semata-mata demi Allah, senantiasa sibuk dalam solidaritas terhadap
makhluk Allah umumnya, dan dengan kekuatan-kekuatan serta nikmat-
nikmat yang telah dianugerahkan Allah kepadnya, sedpat mungkin akan
mendatangkan manfaat bagi umat manusia.
34
j. Akan mengikat tali persaudaraan dengan hamba ini, semata-mata demi
Allah dengan ikrar taat dalam hal ma’ruf dan akan senantiasa berdiri
teguh di atasnya sampai akhir hayat. Tali persaudaraan ini begitu tinggi
derajatnya sehingga tidak akan diperoleh bandingannya dalam ikatan
persaudaraan maupun hubungan-hubungan duniawi atau dalam segala
bentuk pengkhidmatan/penghambaan. 47
Gambar 4
Tujuan Bai’at
Sumber: Hasil Dokumentasi Penulis
Ajaran yang tertera dalam 10 syarat bai’at menunjukkan bahwa tidak
ada perbedaan ajaran yang signifikan antara Ahmadiyah dengan Non
Ahmadiyah (Ahlu Sunnah Wal Jama’ah) sehingga ketika Ahmadiyah masuk
ke Desa Tenjowaringin, maka masyarakat menerima bahkan ikut gabung dan
berbai’at untuk masuk Jemaat Ahmadiyah.
Pengakuan dari masyarakat yang masuk ke dalam Jemaat Ahmadiyah
di Tenjowaringin mengaku bahwa awal ketertarikannya setelah mereka
47
Wawancara dengan Muslim Hidayat, Desa Tenjowaringin, 05 Mei 2018.
35
melihat ajaran Ahmadiyah dan melihat kegiatan sehari-hari dari orang
Ahmadiyah.48
Ahmadiyah masuk ke Tenjowaringin khususnya ke Kampung
Sukasari Desa Tenjowaringin sekitar tahun 1953, di mana pada waktu itu
masih sangat terbelakang, dibawa oleh tokoh agama yang cukup populer di
masyarakat yaitu Pak Ejen. Pak Ejen sendiri dalam penyebaran ideologi
Ahmadiyah dengan mengajarkan kepada masyaraktnya dalam hal shalat,
ngaji, dan lain sebagainya. Salah satu cara yang dilakukan Pak Ejen adalah
mengingat pada zaman dahulu masih kental amanat-amanat leluhur dengan
pepatah bahwa di akhir zaman akan ada yang disebut Imam Mahdi yang
ditunggu-tunggu kini telah datang maka kami (Jemaat Ahmadiyah)
mempercayai bahwa Mirza Ghulam Ahmad sebagai juru selamat,
mempercayai sebagai Nabi Buruzi (nabi yang tidak membawa syari’at).49
بكم شيء ٱنههوكان ن ٱننبيوخاتم ٱنههمن رجانكم ونكن رسول كان محمد أبا أحد ما
٠٤ا عهيم
Artinya: “Muhammad itu bukanlah bapak dari seseorang di antara kamu,
tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi. Dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.”50
Sebagian orang menyangka bahwa Jemaat Ahmadiyah tidak percaya
kepada Nabi Muhammad SAW sebagai khataman nabiyyin. Prasangka itu
tidak benar dan tidak berdasar sama sekali. Jemaat Ahmadiyah beriman bahwa
48
Wawancara dengan Muslim Hidayat, Desa Tenjowringin, 05 Mei 2018. 49
Wawancara dengan Munawarman, Desa Tenjowringin, 05 Mei 2018. 50
Al-Hikmah, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Bandung: Diponegoro, 2011), h. 423.
36
Nabi Muhammad SAW itu memang benar khataman nabiyyin dan siapa yang
ingkar kepadanya berarti tidak diragukan lagi bahwa dia itu seorang kafir.51
Perbedaan antara Ahmadiyah dan non Ahmadiyah terletak dalam surat
Al-Ahzab ayat 40 tersebut. Dalam ayat itu terdapat kata khataman nabiyyin,
kaum muslimin pada umumnya menyatakan bahwa ayat tersebut mengandung
arti “tidak akan ada nabi setelah Nabi Muhammad SAW.” Namun bagi Jemaat
Ahmadiyah ayat tersebut bukan berarti “penutup nabi-nabi” melainkan bahwa
Nabi Muhammad SAW adalah nabi yang termulia di antara semua nabi.
Khataman tidak selalu mempunyai arti “penutup” tetapi boleh juga diartikan
yang termulia atau memiliki derajat yang paling tinggi.52
Seperti keterangan di atas bahwa Jemaat Ahmadiyah Indonesia
mempercayai bahwa Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi Buruzi (nabi yang
tidak membawa syari’at/nabi bayangan) dan menjadi Imam Mahdi yang
dtunggu-tunggu. Kenyataan inilah yang menjadi salah satu faktor masyarakat
Tenjowaringin terbuka untuk menerima ajaran Ahmadiyah.
B. Perkembangan Ahmadiyah di Desa Tenjowaringin
Perkembangan Ahmadiyah di Desa Tenjowaringin khususnya di
Wanasigra mulai pada tahun 1951 setelah M. Ejen, Rosyid, dan H. Faqih
mendapatkan cerita-cerita mengenai Ahmadiyah, sebulan sekali atau bahkan
setiap minggu beliau pulang ke Wanasigra untuk menyebarkan dakwahnya
mengenai Ahmadiyah. Ahmadiyah semakin berkembang karena menurut
cerita, para pemuka agama melakukan itu sebagai salah satu usaha manusia
dan adanya wahyu kepada pendiri Jemaat Ahmadiyah bahwa “tabligh engkau
51
Abdul Rozzaq, Muhammad SAW Khatamun Nabiyyin: Tidak Ada Nabi Sesudah beliau
(Bogor: Jemaat Ahmadiyah Indonesia: 2008), h. 4. 52
Sofianto, Tinjauan Kritis Jemaat Ahmadiyah Indonesia, h. 88.
37
akan disampaikan kepada seluruh penjuru dunia.” Ahmadiyah sendiri
memiliki misi hanya untuk menyampaikan, karena dalam beragama tidak ada
paksaan di dalamnya. Ahmadiyah semakin berkembang karena orang-orang
ketika masuk Ahmadiyah bukan karena dia kalah dalil, kalah debat dan lain-
lain, tetapi mereka masuk Ahmadiyah karena melihat keseharian Ahmadiyah
yang memiliki akhlak yang terbaik dan mencontoh akhlak Rasulullah Saw,
jadi orang-orang sangat tertarik untuk masuk Ahmadiyah karena melakukan
tabligh pada dewasa ini bukan dengan kekerasan, paksaan, pakai senjata
seperti pedang, ataupun dengan iming-iming uang, pakaian dan sebagainya.53
Perkembangan Ahmadiyah di Desa Tenjowaringin khususnya di
Wanasigra cukup pesat karena banyak orang-orang yang berminat menjadi
anggota Ahmadiyah, maka pada tahun 1952 Wanasigra menjadi Cabang
Jemaat Ahmadiyah Wanasigra. Hasil tabligh dari para mubaligh Ahmadiyah
pada masa selanjutnya sangat berhasil, di mana 90 persen dari jumlah
penduduknya sekitar 2.000 orang adalah pengikut Ahmadiyah.54
Menurut
versi lain hasil wawancara yang berkaitan dengan perkembangan Ahmadiyah
di Desa Tenjowaringin sendiri cukup pesat, di mana penduduknya sekitar 85
persen berkeyakinan sebagai Ahmadiyah dengan melakukan proses tabligh.55
Kemudian Ahmadiyah bisa berkembang dengan cepat karena para
mubaligh Ahmadiyah berhasil menarik tokoh-tokoh agama di Tenjowaringin
termasuk kepala desa masuk Ahmadiyah. beberapa kepala desa pada periode
merupakan mantan pengurus Ahmadiyah sehingga ketika menjabat mereka
turut melakukan upaya tabligh mengajar warga masuk Ahmadiyah. Pada
53
Wawancara dengan Lili Suwarli, Desa Tenjowaringin, 06 Mei 2018. 54
Sofianto, Tinjauan Kritis Jemaat Ahmadiyah Indonesia, h. 134-135. 55
Wawancara dengan Munawarman, Desa Tenjowringin, 05 Mei 2018.
38
masa itu penyebaran Ahmadiyah di Tenjowaringin sangat memiliki peluang
yang besar untuk menyebarkan ajarannya. Sekalipun MUI telah
mengeluarkan fatwa pada tahun 1985 yang menyatakan Ahmadiyah sesat,
namun hal tersebut tidak menjadi penghalang bagi Ahmadiyah untuk
memperkuat cengkramannya di Tenjowaringin.56
Perkembangan Ahmadiyah di Desa Tenjowaringin sangat pesat salah
satu faktornya adalah ketika seseorang menikah dan memiliki anak maka
anaknya akan masuk Ahmadiyah. Adapun penduduk Desa Tenjowaringin
mayoritas orang asli, namun ada beberapa pendatang yang masuk Ahmadiyah
di Desa Tenjowaringin karena melihat ajaran dan mengikuti kegitan sehari-
hari. Misal ada orang yang bai’at berasal dari Rancaekek Bandung yaitu
Bapak Udih, ketika dia menghabiskan waktu di Bandung jika disuruh shalat
sama saudaranya sering menolak dan tidak melaksanakan. Tetapi ketika dia
ke Tenjowaringin dan melihat kegiatan serta memahami ajaran Ahmadiyah
akhirnya dia tertarik dan semakin rajin dalam hal beribadah.57
Perkembangan Ahmadiyah dewasa ini bisa dilihat dalam bidang
pendidikan, di mana usahanya dalam bidang pendidikan meliputi dua macam
sekolah, yaitu sekolah agama dan sekolah umum. Pendidikan yang berbentuk
sekolah agama terdiri atas tiga tingkatan madrasah, yakni Madrasah Diniyah
Awaliyah (tingkat dasar), Madrasah Diniyah Wustho (tingkat menengah), dan
Jami’ah (akademi). Sedangkan pendidikan berbentuk sekolah umum hanya
berupa taman kanak-kanak (TK).58
56
Uwes Fatoni, “Respon Da’i terhadp Gerakan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di
Tenjowaringin Tasikmalaya,” Jurnal Dakwah, Vol. XV, No. 1, 2014, h. 56. 57
Wawancara dengan Muslim Hidayat, Desa Tenjowringin, 05 Mei 2018. 58
Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, h. 285.
39
Gambar 5
Madrasah Diniyah Jemaat Ahmadiyah
Sumber: Hasil Dokumentasi Penulis
Pada tahun 1988 telah dibangun TK Siti Khadijah di daerah
Wanasigra, Tenjowaringin, Tasikmalaya dengan jumlah murid 55 orang dan
tiga orang guru. Tujuannya sama saja pada umumnya dengan Taman
Pendidikan Kanak-kanak yang dibangun oleh organisasi lain, yaitu tempat
bermain sambil belajar. Kemudian Madrasah Diniyah Wustho dan Diniyah
Ulya masing-masing berjumlah satu. Sebelumnya sekolah tersebut
merupakan sekolah agama yang dibangun oleh M. Edjen pada tahun 1980.
Tujuannya untuk membimbing keagamaan bagi anak-anak dari anggota
Jemaat Ahmadiyah yang ada di Wanasigra dan sekitarnya. Di mana mata
pelajarannya berupa shalat, membaca al-Qur’an, dan ideologi Ahmadiyah.
tempat yang dijadikan sebagai belajarnya di Masjid Al-Fadhal Wanasigra59
59
Sofianto, Tinjauan Krisis Jemaat Ahmadiyah Indonesia, h. 221.
40
Gambar 6
Masjid Alfadhal Wanasigra
Sumber: Hasil Dokumentasi Penulis
Melihat perkembangan dalam bidang pendidikan di Desa
Tenjowaringin ini ada beberapa sekolah yakni Pendidikan Anak Usia Dini
(PAUD) tepatnya berada di Kampung Sukasari, SMP PGRI dan SMA Plus
Al-Wahid tepatnya berada di Kampung Wanasigra berkembang dengan baik,
dan sampai sekarang justru malah semakin berkembang. Bukan hanya dari
Jemaat Ahmadiyah saja yang belajar di sekolah-sekolah tersebut, melainkan
dari pihak non Ahmadiyah yang berada di sekitar Desa Tenjowaringin.
Sekolah Menengah Umum jemaat Ahmdiyah yang bernama SMA
Plus Al-Wahid didirikan pada 26 Juli 2000. Jumlah pelajar yang diterima
pada waktu itu awalnya sekitar 35 orang untuk satu kelas. Sebagian besar
pelajar berasal dari anak-anak anggota Jemaat Ahmadiyah sekitar Wanasigra,
Garut, dan Tasikmalaya. Setelah beberapa tahun para pelajar datang dari luar
pulau Jawa, ada dari Sumatera, Maluku, Lombok, dan Alor.60
60
Sofianto, Tinjauan Krisis Jemaat Ahmadiyah Indonesia, h. 224-225.
41
Gambar 7
Sekolah Jemaat Ahmadiyah
Sumber: Hasil Dokumentasi Penulis
C. Eksistensi Ahmadiyah di Desa Tenjowaringin
Eksistensi berkaitan dengan strategi atau cara bertahan para penganut
Ahmadiyah dalam menghadapi tekanan yang luar biasa. Konsep pertahanan
diri tersebut sesuatu yang penting untuk melihat bagaimana proses sosial
yang terjalin antara Jemaat Ahmadiyah dengan sesama anggotanya atau
bahkan Ahmadiyah dengan non Ahmadiyah.61
Jika melihat arti dari eksistensi seperti itu, maka sebenarnya
bagaimana Ahmadiyah di Desa Tenjowaringin setelah menghadapi serangan-
serangan atau konflik seperti adanya pengrusakan masjid, rumah, sekolah
dengan lemparan-lemparan batu yang menyebabkan kaca-kaca pecah tidak
dapat dipungkiri menyisakan trauma yang cukup dalam, tetapi tidak
menjadikan Ahmadiyah di Desa Tenjowaringin menjauh dan pindah ke
tempat lain, atau bahkan menjadi pindah keyakinan karena adanya tekanan
dari luar.
61
Pranita Ikhtiyarini, Eksistensi Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Yogyakarta Pasca
SKB 3 Menteri Tahun 2008 tentang Ahmadiyah (Skripsi Fakultas Ilmu Sosial, 2012), h. 11.
42
Munculnya kasus kekerasan atas nama agama yang menodai
perdamaian sebenarnya tidaklah terjadi secara serta merta atau muncul secara
tiba-tiba. Persoalan-persoalan kecil yang berkaitan dengan keagamaan atau
masalah politik yang tidak terselesaikan kemudian mengakumulasi menjadi
persoalan besar dan ruwet. Akhirnya sulit diurai sehingga terjadilah
disharmoni dalam kehidupan sosial keagamaan maupun sosial politik.62
Kemauan politik pemerintah dalam menerbitkan banyak peraturan
yang mengatur kehidupan beragama yang bertujuan untuk menumbuhkan
sikap hidup beragama yang harmonis dan saling hormat menghormati.
Namun demikian kemauan positif pemerintah itu tidak selalu mampu
menumbuhkan kerukunan dalam kehidupan keagamaan masyarakat. Berbagai
kasus penodaan agama dan konflik masih saja terjadi. Seperti kasus Surga
Adn, Millah Ibrahim, Ahmadiyah Cikeusik, Ahmadiyah Kuningan,
Tasikmalaya, dan kekerasan atas nama agama lainnya yang terus
bermunculan.63
Salah satu upaya pemerintah yaitu dengan mengeluarkan Surat
Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri pada tahun 2008 mengenai peringatan
dan perintah kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat
Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan warga masyarakat. Memutuskan dan
menetapkan:
62
Wakhid Sugiyarto dan Zaenal Abidin, “Dinamika Sosial Keagamaan Majelis Tafsir Al-
Quran (MTA) Pusat di Kota Surakarta (Solo) Jawa Tengah,” dalam Nuhrison M. Nuh, Ed., Respon
Masyarakat terhadap Aliran dan Paham Keagamaan Kontemporer di Indonesia (Jakarta: Badan
Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2012), Cet. I, h. 42. 63
Wakhid Sugiyarto dan Zaenal Abidin, “Dinamika Sosial Keagamaan Majelis Tafsir Al-
Quran (MTA) Pusat di Kota Surakarta (Solo) Jawa Tengah,” h. 42.
43
KESATU : Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga
masyarakat untuk tidak menceritakan, menganjurkan atau
mengusahakan dukungan umum melakukan penafsiran tentang
suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan
keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu
yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.
KEDUA : Memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut,
anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia
(JAI), sepanjang mengaku beragama Islam, untuk menghentikan
penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari
pokok-pokok ajaran Agama Islam yaitu penyebaran faham yang
mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi
Muhammad Saw.
KETIGA : Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat
Ahmadiyah Indoseia (JAI) yang tidak mengindahkan peringatan
dan perintah sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU dan
Diktum KEDUA dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan, termasuk orgnaisasi dan badan
hukumnya.
KEEMPAT : Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga
masyarakat untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat
beragama serta ketentraman dan ketertiban kehidupan
bermasyarakat dengan tidak melakukan perbuatan dan/atau
44
tindakan melawan hukum terhadap penganut, anggota, dan/atau
anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).
KELIMA : Warga masyarakat yang tidak mengindahkan peringatan dan
perintah sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU dan
Diktum KEEMPAT dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
KEENAM : Memerintahkan kepada aparat pemerintah dan pemerintah daerah
untuk melakukan langkah-langkah pembinaan dalam rangka
pengamanan dan pengawasan pelaksanaan Keputusan Bersama
ini.
KETUJUH : Keputusan Bersama ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.64
Peraturan SKB 3 Menteri dikeluarkan untuk meredam konflik yang
sering terjadi, salah satu caranya dengan mengeluarkan fatwa untuk tidak
menyebarkan ajaran agama kepada non Ahmadiyah dan kepada non
Ahmadiyah untuk tidak melakukan penyerang-penyerangan terhadap
Ahmadiyah
Fakta yang terjadi setelah adanya kebijakan pemerintah dalam
Peraturan Bersama Tiga Mentri (SKB 3 Mentri). Kemudian turun lagi
regulasi yang dibuat oleh gubernur untuk larangan kegiatan. Kemudian turun
lagi peraturan daerah untuk pelarangan kegiatan dan sebagainya. Semua
peraturan-peraturan tersebut dianggap oleh masyarakat non Ahmadiyah
seolah-olah menghalalkan untuk mendiskriminasi kelompok Ahmadiyah.65
64
Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri dalam Negeri Republik
Indonesia, No. 3 Tahun 2008. 65
Wawancara dengan Munawarman, Desa Tenjowaringin, 05 Mei 2018.
45
Hasil dari semua kebijakan tersebut membuat masyarakat menjadi
lebih intoleran, pasca 2013 sempat ada gesekan akibat dampak dari beberapa
kebijakan pemerintah di tingkat pusat. Misal pada tahun 2013 sendiri
kelompok Ahmadiyah di Wanasigra diserang dan menyebabkan adanya
kerusakan masjid, rumah, sekolah, dan sebagainya. Kejadian ini tentu
menyisakan trauma yang sangat besar, karena kajadian ini merupakan
dampak dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang
seolah-olah mendiskriminasi kelompok Ahmadiyah.66
.
Tasikmalaya dijuluki sebagai kota santri dengan ciri khasnya untuk
mengurangi permasalahan daerahnya. Tasikmalaya memiliki budaya yang
sangat kental dengan penghormatan kepada para ulama/kyai serta adanya
peran aktif aktor-aktor yang peduli terhadap konflik sehingga konflik tersebut
dapat segera diredam.67
Masyarakat di Desa Tenjowaringin adalah masyarakat yang guyub
rukun, saling menghargai untuk hidup masing-masing dalam masalah ibadah.
Seperti paparan salah satu informan yang menyebutkan bahwa:
“Meskipun telah ada penyerangan/bentrokan yang terjadi di Desa
Tenjowaringin, tetapi karena masyarakat Desa Tenjowaringin guyub rukun,
maka kami butuh mereka dan mereka butuh kami maka keadaan pulih
kembali. Mereka dengan asik dengan kegiatan mereka dan kami pun asik
dengan kegiatan kami.”68
Sekitar tahun 2013 akhir sampai 2015 ke Tenjowaringin juga sempat
ada ulama (kalangan FPI) dari luar kota yang kontra terhadap Ahmadiyah
datang untuk berceramah dan menebar kebencian. Misalkan ujaran untuk
66
Wawancara dengan Munawarman, Desa Tenjowaringin, 05 Mei 2018. 67
Nadia Wasta Utami, “Upaya Komunikasi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)
dalam Resolusi Konflik Ahmadiyah,” Jurnal Ilmu Komunikasi, Vol. 13, No. 1, Juni 2016, h. 62. 68
Wawancara dengan Munawarman, Desa Tenjowringin, 05 Mei 2018.
46
tidak bekerja dengan Ahmadiyah “kita tidak butuh terhadap Ahmadiyah”.
Tetapi pada akhirnya itu hanya ujaran-ujaran mereka (ulama luar kota) saja,
setelah dua atau beberapa hari kemudian mereka pulang dan tidak berdampak
bagi masyarakat untuk tetap ada hubungan yang baik.69
Setelah turun SKB 3 Menteri, maka turun lagi regulasi pemerintah
yang dimuat dalam Surat Edaran Bersama Sekretaris Jendral Departemen
Agama, Jaksa Agung Muda Intelejen, dan Direktur Jendral Kesatuan Bangsa
dan Politik Departemen Dalam Negeri. Surat edaran ini dikeluarkan untuk
menindaklanjuti SKB 3 Menteri minta agar saudara melakukan sosialisasi,
pembinaan, pengamanan, pengawasan, koordinasi, dan pelporan. Di mana
SKB 3 Menteri bukanlah intervensi pemerintah terhadap keyakinan
seseorang, melainkan upaya pemerintah sesuai kewenangan yang diatur oleh
undang-undang untuk menjaga dan memupuk ketentraman beragama,
ketertiban kehidupan bermasyarakat.70
Surat Edara Bersama berisi mengenai sosialisasi kepada penganut,
anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI)
untuk tidak melakukan usaha, upaya, kegiatan atau perbuatan penyebaran
kepada orang lain. Kemudian sosialisasi terhadap warga masyarakat untuk
menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta ketentraman dan
ketertiban kehidupan masyarakat dengan tidak melakukan perbuatan melawan
hukup terhadap Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Surat Edaran Bersama memuat
juga mengenai pembinaan bagi pemerintah daerah dan pemerintah.
69
Wawancara dengan Munawarman, Desa Tenjowringin, 05 Mei 2018. 70
Surat Edaran Bersama Sekretaris Jendral Departemen Agama, Jaksa Agung Muda
Intelejen, dan Direktur Jendral Kesatuan Bangsa dan Politik Departemen Dalam Negeri, Agustus
2008.
47
Pemerintah daerah diminta secara proaktif mengadakan pertemuan dengan
Jemaat Ahmadiyah dan warga masyarakat untuk melakukan pembinaan-
pembinaan dalam rangka mewujudkan kerukunan dan persatuan nasional.
Kemudia pemerintah diarahkan untuk memantapkan kesadaran kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta menjamin persatuan dan
kesatuan nasional. Dalam surat edaran ini memuat arahan untuk
melaksanakan pengamanan dan pengawasan terhadap ketaatan Jemaat
Ahmadiyah dan warga masyarakat dalam melaksanakan SKB, pemerintah
melakukan monitoring, evaluasi, dan supervisi atas pengamanan dan
pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah daerah serta koordinasi dan
pelaporan.71
Tantangan dari masyarakat luar terhadap Ahmadiyah tidak akan
pernah ada habisnya sampai hari kiamat. Hal tersebut merupakan sunnah
nabi. Menurut Rasulullah Saw, beliau pernah mengalami hal seperti itu ketika
beliau mendapat wahyu dari Allah SWT dan menyebarkan kepada
masyarakat maka mulai gencar penyerangan-penyerangan yang terjadi pada
masa itu. Terhadap Ahmadiyah pun sama seperti itu, ketika Ahmadiyah
datang dan menyebarkan ajarannya banyak masyarakat yang benci dan tidak
menerima sama sekali. Tetapi Ahmadiyah sudah tidak merasa aneh lagi kalau
ada orang yang menghina, menyalahkan, dan mengkafirkan mereka, karena
mereka sendiri beranggapan bahwa penentangan pasti ada dan itu merupakan
salah satu jalan seperti Rasulullah Saw.72
71
urat Edaran Bersama Sekretaris Jendral Departemen Agama, Jaksa Agung Muda
Intelejen, dan Direktur Jendral Kesatuan Bangsa dan Politik Departemen Dalam Negeri, Agustus
2008. 72
Wawancara dengan Lili Suwarli, Desa Tenjowringin, 06 Mei 2018.
48
Salah satu bentuk eksistensi dari Ahmadiyah dari dulu sampai
sekarang dan seterusnya mereka sudah mempunyai keyakinan bahwa khalifah
mereka sudah datang, berbeda dengan non Ahmadiyah yang mereka ingin
mendirikan khalifah tetapi tidak pernah ada sampai saat ini. Khalifah yang
ada di Ahmadiyah bukan secara langsung mereka yang memilih, tetapi
khalifah asal mulanya harus ada nabi yang diutus. Seperti Mirza Ghulam
Ahmad sendiri beliau sebagai nabi buruzi yaitu nabi yang tidak membawa
syari’at. Nabi yang membawa syari’at yaitu Nabi Muhammad Saw setelah
wafat ada Khulafaur Rosyidin, begitu juga di Ahmadiyah setelah wafatnya
nabi buruzi yaitu Mirza Ghulam Ahmad ada khalifah yang sampai sekarang
sudah khalifah yang ke lima.73
Eksistensi Ahmadiyah di Desa Tenjowaringin untuk sampai saat ini
tidak akan sepenuhnya benar-benar bebas dari ancaman dan tekanan, karena
tidak dapat dipungkiri masyarakat meskipun menerima baik dalam hubungan
sosial, tetapi dalam hal aqidah ada yang berbeda sehingga masih ada saja
masyarakat di manapun yang kontra terhadap Ahmadiyah.
Maka salah satu cara untuk bertahan dan tetap eksis hingga saat ini
adalah dengan adanya kekuatan organisasi yang terstruktur dan mengatur
semua kegiatan. Ahmadiyah sendiri merupakan organisasi secara
internasional di berbagai belahan dunia, maka organisasi di Tenjowaringin
merupakan cabang-cabangnya.
Eksistensi Ahmadiyah di Desa Tenjowaringin salah satunya di cabang
Sukasari dalam seluruh aspek kehiudupan ada yang mengatur dan mengelola
73
Wawancara dengan Lili Suwarli, Desa Tenjowringin, 06 Mei 2018.
49
sehingga para anggota Ahmadiyah semakain kuat dan solid. Berikut struktur
kepengurusan Ahmadiyah di Cabang Sukasari, Tenjowaringin:
Ketua: Muslim Hidayat
Sekretaris Umum: Munawarman
Tarbiyat dan Ta’lim (Pengajaran): Wawan Setiawan dan Ihin Solihin
Tabhlig (Penyampaian): Maman Abdurahman
Ristanata (pernikahan): Solih Hidayat
Mal (Keuangan): Ade Yaya
Amin (Memberikan Uang): Ade Natsir
Muhasib (Penghitungan Uang): Yadi Mujafar
Mal Tambahan (Pengorbanan): Ade Uha
Jayyidan (Mengurus Kekayaan Jemaat): Atik Sutisno
Tahrik Jadid dan Waqfi Jadid (perjanjian tahunan keuangan): Nanang Natisr
Ahmad
Ta’limul Quran (Pengajaran al-Qur’an): Ao Supriadi
Audio Video (Mengatur Muslim Televisi Ahmadiyah Internasional): Faruq
Sanat wa tijarot (Perdagangan): Absor
Jiroat (Pertanian): Syarif
Diapat (Menerima Tamu): Munir
Audit (KPK): Oing
Umur Khorojiah (Relasi Pemerintah): Muksin
Umur Amah (Bidang Sosial): Soleh Abdul Ghafur
Waqaf (Pewakafan Mubaligh): Udi Nurdin.74
74
Wawancara dengan Munawarman, Desa Tenjowringin, 05 Mei 2018.
50
BAB IV
POLA RELASI SOSIAL ANTARA AHMADIYAH DENGAN NON
AHMADIYAH DI TENJOWARINGIN
A. Relasi Sosial Ahmadiyah dengan Non Ahmadiyah di Tenjowaringin
Relasi sosial atau disebut juga hubungan sosial dipergunakan untuk
menggambarkan suatu keadaan dua orang atau lebih yang terlibat dalam suatu
proses perilaku. Proses perilaku tersebut terjadi berdasarkan tingkah laku para
pihak yang masing-masing memperhitungkan perilaku pihak lain dengan cara
mengandung arti bagi masing-masing. Dengan demikian maka kriterium
menuntut adanya perilaku masing-masing pihak yang dihubunginya. Isinya
mungkin berupa konflik, sikap bermusuhan, daya tarik seksual, persahabatan,
kepercayaan, dan lain sebagainya. Di pihak lain isinya kemungkinan
menyangkut pemenuhan suatu kebutuhan, pengelakan terhadap suatu
kewajiban, ketegasan agar mentaati perjanjian, dan sebagainya.75
Hubungan sosial merupakan proses dari keserasian sosial yang
bersifat mutualis dan berkelanjutan. Keserasian sosial adalah proses
kehidupan bersama manusia yang mencerminkan adanya sikap dan perilaku
harmonis yang meliputi; rukun, tepo saliro, akrab, saling menghormati,
kesatuan dan keseimbangan, tanggung jawab, saling kebergantungan
fungsional, tidak terjadi dominasi eksploitasi, pertukaran yang saling
menguntungkan, saling pengertian, dan adanya kesamaan pandangan.76
75
Soejono Soekanto, Mengenal Tujuh Tokoh Sosiologi (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2011), Cet. 3, h. 45. 76
Bambang Rustanto, Masyarakat Multikultural di Indonesia (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2015), Cet. I, h. 73.
51
Hubungan sosial harus dilandasi oleh saling percaya dan kesepakatan
bersama untuk hidup berdampingan secara damai, menjamin terhindarnya
masalah baru antara korban bencana sosial dan komunitas, terselesaikan
berbagai masalah yang berkaitan dengan kepentingan bersama dan
memantapkan sistem kerukunan dan perdamaian sosial yang abadi di
lingkungan masyarakat.77
Salah satu bentuk dalam hubungan sosial yaitu adanya proses sosial
asimilasi yang ditandai dengan adanya upaya-upaya mengurangi perbedaan-
perbedaan yang terdapat antara orang perorangan atau antarkelompok sosial
yang diikuti pula usaha-usaha untuk mencapai kesatuan tindakan, sikap, dan
proses-proses mental dengan memperhatikan kepentingan bersama. Salah
satu faktor untuk terbentuknya asimilasi adalah sikap toleransi.78
Hubungan sosial menciptakan kehidupan yang harmonis, rukun, dan
damai dalam sebuah masyarakat sekalipun berbeda suku, budaya, ataupun
agama. Berikut beberapa contoh adanya hubungan sosial yang baik dalam
kelompok masyarakat yang berbeda keyakinan dan kepercayaan yang
mendasar, di antaranya:
77
Rustanto, Masyarakat Multikultural di Indonesia, h. 73. 78
Konsep toleransi dalam kehidupan beragama, sebagai berikut: Pertama, menghargai
keberadaan religi yang diperluk oleh masyarakat tertentu diwujudkan dengan: a) dapat
melaksanakan ritus peribadatan dengan baik, b) dapat merayakan hari-hari besar agama secara
aman, c) dapat menjalankan tradisi yang didasarkan pada religi dengan baik tanpa ada campur
tangan pihak lain. Kedua, tidak mengganggu kehidupan pemeluk dari religi lain. Ketiga,
antarpemeluk religi dapat saling membantu apabila diperlukan, sejauh tidak bertentangan dengan
ajaran masing-masing. (Mukhlis paEni, Ed: 2009)
52
1. Kekerabatan
Manusia sebagai makhluk sosial akan selalu berinteraksi79
dengan
sesamanya karena untuk mencapai kebutuhan-kebutuhan yang dikehendaki
bergantung bantuan dari orang lain, jelasnya manusia tidak bisa hidup sendiri
tanpa adanya hubungan dengan orang lain di sekitarnya.
Kekerabatan bisa terjalin jika proses interaksi diaplikasikan. Salah
satu proses interaksi adalah kerja sama, beberapa sosiolog menganggap
bahwa kerja sama merupakan bentuk interaksi sosial yang pokok. Kerja sama
yaitu sebagai suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok
manusia untuk mencapai satu atau beberapa tujuan bersama. Bentuk dan pola-
pola kerja sama dapat dijumpai pada semua kelompok manusia, seperti
kebiasaan-kebiasaan dan sikap-sikap demikian dimulai sejak masa kanak-
kanak di dalam kehidupan keluarga atau kelompok-kelompok kekerabatan.80
Hubungan sosial yang sangat erat dan akrab biasanya terjadi karena
adanya hubungan darah atau bisa disebut keluarga di mana masih ada
hubungan kekerabatan yang sangat dekat, misal saudara istri seorang non
Ahmadiyah yang istrinya itu memiliki keluarga yang Ahmadiyah.81
Pola relasi sosial yang dibangun antara Ahmadiyah dan non
Ahmadiyah dengan mereka menjalin persahabatan yang baik. Karena tidak
dapat dipungkiri khususnya bagi anak muda yang senang bergaul pasti
memiliki kedekatan yang luar biasa.
79
Menurut Soerjono Soekanto (1990) mengutip dalam buku Masyarakat Multikultur di
Indonesia, Interaksi sosial yaitu “hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut
hubungan antar orang perorangan antara kelompok-kelompok manusia maupun antara orang
perseorang dengan kelompok manusia.” (Bambang Rustanto: 2015). 80
Soejono Soekanto dan Budi Sulistyowati, Sosiologi Suatu Pengantar, h. 65. 81
Wawancara dengan Kostaman, Desa Tenjowaringin, 07 Mei 2018.
53
Misal adanya informasi bahwa dalam bidang olahraga seperti pencak
silat, badminton, dan voli antar masyarakat baik itu Ahmadiyah maupun non
Ahmadiyah mengadakan kompetisi bersama.82
2. Kegiatan Keagamaan
Dalam masyarakat beragama seperti Indonesia ini hidup dengan
berbagai keagamaan dan tradisi-tradisi yang perlu dibina dan dikembangkan
dengan penuh kebijaksanaan agar kegiatan ritual keagamaan sekaligus
mempunyai arti bagi pembangunan bangsa, negara, dan agama. Membangun
kehidupan agama berarti mendinamisasikan dan menfungsikan perwujudan-
perwujudan sosial kultur agama tersebut. Agama yang mengajarkan tentang
cinta kasih hendaknya tercermin dalam kehidupan umat beragama yang saling
cinta mencintai antar sesamanya dan melahirkan kemanusiaan yang murni
dan tulus untuk saling membantu.83
Relasi yang dibangun di Desa Tenjowaringin khususnya Wanasigra
sangat baik, dalam kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan keagamaan. Hal
ini bisa dilihat contoh hubungan yang mereka bangun seperti ketika shalat
Jum’at orang non Ahmadiyah ikut bersama Ahmadiyah, kemudian hari besar
Islam seperti Maulid Nabi dari non Ahmadiyah mengundang Ahmadiyah
untuk menghadiri. Dan sebaliknya ketika ada acara hari besar di Ahmadiyah
seperti Hari Khilafat, Hari Masih Mau’ud mereka mengundang non
Ahmadiyah untuk menghadiri.84
Relasi lain yang dibangun antara Ahmadiyah
82
Wawancara dengan Ana, Desa Tenjowaringin, 06 Mei 2018. 83
Alamsjah Ratu Perwiranegara, Pembinaan Kerukunan Hidup Umat Beragama (Jakarta:
Departemen Agama RI, 1982), h. 41. 84
Wawancara dengan Lili Suwarli, Desa Tenjowringin, 06 Mei 2018.
54
dan non Ahmadiyah di Desa Tenjowaringin ketika ada mukhotiban orang non
Ahmadiyah diundang dan begitupun sebaliknya.85
Relasi harus tetap dibangun dalam kehidupan masyarakat sekalipun
memiliki keyakinan dan kepercayaan yang berbeda seperti di Desa
Tenjowaringin memiliki keyakinan dasar yang berbeda antara Ahmadiyah
dengan non Ahmadiyah. Desa Tenjowaringin adalah salah satu wujud nyata
bahwa meskipun berbeda tetapi mereka memiliki hubungan yang baik untuk
memakmurkan masyarakat Tenjowaringin.
3. Kegiatan Ekonomi
Dalam kegiatan ekonomi pola relasi yang dibangun antara Jemaat
Ahmadiyah dengan non Ahmadiyah berjalan dengan baik tidak ada yang
mencolok seperti kasta yang berlaku di masyarakat. Ahmadiyah Sukasari
khususnya memiliki usaha atau koperasi yang mereka atur sendiri. Tetapi
untuk skala yang lebih besar terdapat di Desa Tenjowaringin di mana yang
mengelola adalah semua masyarakat baik itu dari kalangan Ahmadiyah
maupun non Ahmadiyah.86
Kegiatan ekonomi lainnya yaitu dari pihak non Ahmadiyah ada yang
bekerja di Ahmadiyah.87
Di sini mereka rupanya bekerja sebagai buruh tani
kepada Ahmadiyah yang memiliki sebidang tanah karena di Desa
Tenjowaringin masih banyak sawah-sawah, maka tidak lain bentuk pola relasi
antara Ahmadiyah dengan non Ahmadiyah bisa dilihat mereka saling
membutuhkan dalam kegiatan ekonomi antara satu dengan yang lainnya
untuk keberlangsungan hidup yang mencukupi.
85
Wawancara dengan Ana, Desa Tenjowaringin, 06 Mei 2018. 86
Wawancara dengan Faruq, Tenjowaringin, 04 Mei 2018. 87
Wawancara dengan Munawarman, Desa Tenjowaringin, 05 Mei 2018.
55
4. Kegiatan Sosial
Kerja sama dan dialog oleh orang-orang biasa pertama-tama harus
dicari pada bidang-bidang lain selain pada bidang agama langsung.
Masyarakat yang berbeda agama atau keyakinan bekerja sama untuk
menegakkan prinsip-prinsip etis dan hak-hak asasi, sehingga masyarakat
bernuansa human dan membahagiakan. Mereka masyarakat yang berbeda
agama atau keyakinan dalam melakukan kerja sama selain dialog antar agama
adalah bekerja sama dalam semua bidang human yang tidak langsung
agamani yaitu seni, pendidikan dan pengajaran, bidang sosial, politis,
ekonomis, psikologi, dan lain sebagainya.88
Salah satunya di sini yang ditampilkan relasi sosial atau hubungan
baik yang terjadi di Desa Tenjowaringin adalah dalam bidang sosial atau
kegiatan yang bersifat sosial seperti gotong royong membangun
masjid/membangun wc umum, donor darah, dan donor mata.
Relasi sosial yang dibangun dalam hal kegiatan sosial masih sangat
kental dan membaur seperti bikari amal (gotong royong), donor mata, donor
darah yang dilakukan setiap 3 bulan sekali.89
Kemudian hubungan lainnya
dibangun ketika ada orang yang sakit mereka saling perhatian dan
mengunjungi, ketika ada orang yang membutuhkan darah dari pihak
Ahmadiyah membantu, dan ada juga kegiatan pengobatan gratis dari
Ahmadiyah bagi masyarakat Tenjowaringin.90
88
Anton Bakker, Dilema Umat Beragama dalam Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia
(Beberapa Permasalahan) Kumpulan Makalah Seminar, (Jakarta: INIS, 1990), Seri INIS, Jilid. VII,
h. 119. 89
Wawancara dengan Lili Suwarli, Desa Tenjowaringin, 06 Mei 2018 90
Wawancara dengan Muslim Hidayat. Desa Tenjowaringin, 05 Mei 2018.
56
Pola relasi sosial lainnya dalam kegiatan tidak ada masalah, seperti
ada orang sakit, ada orang yang membangun rumah mereka saling membantu
dalam hal pembangunan. Kemudian relasi yang masih hidup adalah gotong
royong di mana ketika ada pembangunan masjid Ahmadiyah dan non
Ahmadiyah dibangun secara bersama-sama saling membantu baik dalam hal
bekerja maupun dalam hal materi.91
Relasi sosial terlihat sangat apik dan seolah tidak ada konflik sama
sekali di dalamnya. Pola relasi konflik tapi damai pasti ada di dalam
masyarakat terlebih lagi dalam kepercayaan yang berbeda. Konflik di
masyarakat tidak dapat dipungkiri pasti masih tetap ada dan akan terjadi,
bedanya ada yang terlihat dan tidak terlihat/tidak muncul ke permukaan.
Fenomena konflik dipandang sebagai proses sosiasi, di mana sosiasi
tersebut dapat menciptakan asosiasi, yaitu para individu yang berkumpul
sebagai kesatuan kelompok masyarakat. Sebaliknya sosiasi juga bisa
melahirkan disasosiasi, yaitu para individu mengalami interaksi saling
bermusuhan karena adanya feeling of hostility secara alamiyah.92
Melihat
adanya pola relasi sosial yang mengakitabkan kerukunan dalam masyarakat,
maka selanjutnya adalah pola relasi konflik tapi damai bisa dilihat ketika
berbicara masalah akidah atau keyakinan.
Jika menyangkut masalah keyakinan, Ahmadiyah sudah berbeda
dengan Nahdlatul Ulama. Bahkan Ahmadiyah bisa dikatakan organisasi yang
91
Wawancara dengan Munawarman, Desa Tenjowaringin, 05 Mei 2018 92
Novri Susan, Pengantar Sosiologi Konflik (Jakarta: Prenadamedia Group, 2009), h. 33.
57
sesat.93
Hal ini yang menyebabkan adanya rasa toleransi yang cukup
mendasar terhadap Ahmadiyah.
Tetapi konflik seperti ini tidak muncul ke permukaan pada saat ini
dengan sebab masih banyak faktor pendorong lain yang menyebabkan adanya
hubungan sosial yang dibangun di Desa Tenjowaringin, Kecamata Salawu,
Kabupaten Tasikmalaya.
B. Faktor Pendorong Terbentuknya Relasi Sosial Ahmadiyah dengan
Non Ahmadiyah di Tenjowaringin
1. Faktor Kebudayaan
Kata budaya adalah sebagai suatau perkembangan dari kata
majemuk budi daya yang berarti daya dari budi. Karena itu mereka
membedakan budaya dan kebudayaan. Budaya adalah daya dari budi
berupa cipta, karsa, dan rasa, sedangkan kebudayaan94
adalah hasil dari
cipta, karsa, dan rasa tersebut. Maka kebudayaan secara keseluruhan
adalah hasil usaha manusia untuk mencukupi semua kebutuhan
hidupnya.95
Berbicara masalah kebudayaan tidak akan terlepadas dari kata
masyarakat. Di mana keduanya memiliki hubungan yang erat sekali satu
sama lain.96
Walau demikian, tapi antara keduanya bisa dipisahkan
93
Wawancara dengan Kostaman, Desa Tenjowaringin, 07 Mei 2018. 94
Menurut seorang Antropolog yaitu E.B. Tylor (1871) dalam buku Sosiologi Suatu
Pengantar, terjemahannya adalah sebagai berikut: “Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan lain kemampuan-
kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota
masyarakat” (Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati: 2013). 95
Abu Ahmadi, Sosiologi Pendidikan (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2007), Cet. II, h. 58. 96
Kebudayaan berisikan tradisi, nilai-nilai, ide-ide, dan artifak sosial (karya-karya yang
dihasilkan oleh individu sebagai anggota masyarakat, seperti buku, TV show, temuan ilmiah, puisi,
patung, lukisan, dan lain sebagainya. sementara masyarakt adalah orang-orang yang saling
58
minimal dalam tataran konsep. Jika masyarakat adalah sekumpulan orang
dengan berbagai interaksi mereka, maka kebudayaan adalah perilaku,
keyakinan, perasaan, nilai-nilau yang diperlajari secara sosial oleh anggota
masyarakat. Kebudayaan itu apa yang dialami masyarakat, termasuk
kebiasaan dan bahasa. Kebudayan mempengaruhi bagaimana orang-orang
itu berinteraksi dan bagaimana interaksi itu diorganisir. Masyarakat itu
seperti aktor yang memainkan peran, sementara kebudayaan itu seperti
naskah yang harus mereka jalankan.97
Kebudayaan mencakup semuanya yang didapatkan atau dipelajari
oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan terdiri dari segala
sesuatu yang dipelajari dari pola-pola perilaku yang normatif. Artinya
mencakup segala cara seperti pola berpikir, merasakan, dan bertindak.
Dalam kajian sosiologi lebih menaruh perhatian pada perilaku sosial, yaitu
pola-pola perilaku yang membentuk struktur sosial.98
Kebudayaan menyangkut keseluruhan aspek kehidupan manusia
baik material maupun nonmaterial. Jadi, kebudayaan adalah keseluruhan
sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka
kehiduapan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.
Kebudayaan bisa dikatakan sebagai suatu sistem dalam masyarakat di
mana terjadi interaksi antar individu/kelompok dengan individu/kelompok
berinteraksi dalam suatau wilayah terbatas yang diarahkan oleh kebudayaan mereka. (M. Amin
Nurdin dan Ahmad Abrori: 2006). 97
M. Amin Nurdin dan Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi: Pengantar untuk Memahami
konsep-konsep Dasar (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2006), Cet. I, h. 61. 98
Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT
Grafindo Persada, 2013), Cet. 45, h. 150-151.
59
lain sehingga menimbulkan suatu pola tertentu, kemudian menjadi sebuah
kesepakatan bersama (baik langsung ataupun tidak langsung).99
Adapun unsur-unsur umum kebudayaan adalah sebagai berikut:100
a. Simbol
Simbol adalah bentuk objek atau tanda apapun yang melahirkan
respon sosial yang diakui bersama. Contohnya adalah uang, di mana uang
menjadi simbol untuk alat pertukaran yang sah dalam proses jual beli.
Simbol juga memiliki beberapa karakteristik: Pertama, simbol dibuat dan
dikembagkan secara bersama-sama dalam masyarakat. Sebagai contoh
bahwa sapi adalah simbol suci bagi umat Hindu dan hanya mereka yang
meyakiki demikian. Kedua, simbol yang mungkin memiliki lebih dari satu
makna. Ketiga, ada keterkaitan langsung antara budaya dengan pemaknaan
terhadap sebuah simbol dan simbol bis berbeda sesuai waktu dan
tempatnya.
b. Bahasa
Bahasa adalah seperangkat simbol-simbol tulisan dan ucapan yang
ada aturannya. Tanpa bahasa kita akan sulit mentransmisikan kebudayaan
dan juga tanpa bahasa kebudayaan akan mengalami perkembangan yang
sangat lambat. Bahasalah yang menjadi kunci penting dalam memahami
kebudayaan dan masyarakat manapun.
Ahmadiyah yang ada di Desa Tenjowaringin khususnya di
Wanasigra yang pertama kali mendapatkan tabligh dari beberapa tokoh
99
Rustanto, Masyarakat Multikultur di Indonesia, h. 26. 100
M. Amin Nurdin dan Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi: Pengantar untuk Memahami
konsep-konsep Dasar, h. 62-63.
60
agama yang sudah bai’at masuk Ahmadiyah adalah mereka asli orang
Wanasigra, bukan dari masyarakat luar kota atau pendatang.101
Dalam hal ini bisa dilihat bahwa salah satu faktor pendorong dari
terjadinya relasi sosial antara Ahmadiyah dengan non Ahmadiyah di Desa
Tenjowaringin adanya kesamaan budaya, di mana mayoritas masyarakat di
Desa Tenjowaringin adalah masyarakat asli dari budaya sunda dan hampir
semua masih memakai bahasa daerah yaitu bahasa sunda.
2. Faktor Ekonomi
Ekonomi sebagai suatu usaha dalam pembuatan keputusan dan
pelaksanaannya yang berhubungan dengan pengalokasian sumberdaya
masyarakat (rumah tangga dan pembisnis/perusahaan) yang terbatas di
antara anggotanya dengan mempertimbangkan kemampuan, usaha, dan
keinginan masing-masing. Jadi kegiatan ekonomi merupakan gejala
bagaimana cara orang atau masyarakat memenuhi kebutuhan hidup mereka
terhadap barang dan jasa.102
Titik tolak analisis ekonomi adalah individu. Di mana individu
merupakan makhluk yang rasional, senantiasa menghitung pribadi atau
keuntungan pribadi, dan bagaimana mengurangi penderitaan atau menekan
biaya untuk keberlangsungan hidup. Sebagai contoh, untuk bertahan hidup
setiap individu perlu bekerja dan individu sendirilah yang lebih
mengetahui dibandingkan dengan orang lain, dia harus bekerja apa. Hal ini
dikarenakan individu lebih mengetahui tentang dirinya sendiri dari sisi
101
Wawancara dengan Lili Suwarli, Desa Tenjowaringin, 06 Mei 2018. 102
Damsar, Pengantar Sosiologi Ekonomi (Jakarta: Kencana, 2011), Cet. II, h. 35-36.
61
kemampuan, pengetahuan, keterampilan jaringan dan lainnya yang
dimilikinya.103
Perekonomian di Desa Tenjowaringin mayoritas adalah petani.
Desa Tenjowaringin masih banyak sawah-sawah yang menghasilkan untuk
menjadi salah satu sumber perekonomian masyarakat. Kemudian kenapa
faktor ekonomi menjadi salah satu pendorong adanya suatu hubungan
antara Ahmadiyah dan non Ahmadiyah? Maka sedikitnya jawaban dari
wawancara yang dilakukan adalah sebagai berikut:
Sekitar tahun 2013 sampai 2015 datang ke Tenjowaringin ulama
dari luar kota yang kontra terhadap Ahmadiyah dengan motif untuk
berceramah dan menebar kebencian. Misalkan ujaran untuk tidak bekerja
dengan Ahmadiyah, dengan dalih kita tidak butuh terhadap Ahmadiyah.
Tetapi pada akhirnya itu hanya ujaran-ujaran mereka (ulama luar kota)
saja, setelah dua atau beberapa hari kemudian mereka pulang dan tidak
berdampak sama sekali bagi masyarakat untuk tetap adanya hubungan,
seperti dalam bidang ekonomi dari pihak non Ahmadiyah ada yang bekerja
di orang Ahmadiyah.104
Setelah melakukan wawancara tersebut bisa dilihat di sini ada
hubungan yang baik bahkan hubungan saling menguntungkan antara satu
dengan yang lainnya. Di mana non Ahmadiyah yang tidak bekerja di luar
kota atau tidak memiliki usaha apapun mereka bekerja kepada orang
Ahmadiyah yang mereka memiliki sawah dan membutuhkan pekerja untuk
mengurusi sawah-sawah mereka.
103
Damsar, Pengantar Sosiologi Ekonomi, h. 36. 104
Wawancara dengan Munawarman, Desa Tenjowaringin, 05 Mei 2018.
62
3. Faktor Pendidikan
Pengertian pendidikan sendiri secara sederhana dapat merujuk pada
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merupakan proses pengubahan
sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usahan
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Dari
pengertian tersebut dalap dilihat melalui pendidikan: Pertama, orang
mengalami pengubahan sikap dan tata laku; dua, orang berproses menjadi
lebih dewasa, matang dalam sikap dan tata laku; tiga, proses pendewasaan
ini dilakukan melalui upaya pengajaran dan pelatihan.105
Menurut Brown dalam bukunya Abu Ahmadi pengertian dari
pendidikan adalah proses pengendalian secara sadar di mana perubahan-
perubahan di dalam tingkah laku dihasilkan di dalam diri orang itu melalui
kelompok dan suatu proses yang mulai sejak lahir dan berlangsung
sepanjang hidup. Menurutnya ada 3 pelaku dalam pendidikan:
a. Lembaga-lembaga pendidikan formal, misalnya sekolah lembaga-
lembaga keagamaan, museum, perpustakaan, rekreasi yang diorganisi,
dan sebagainya.
b. Kelompok-kelompok yang terorgansir yang mempunyai fungsi
pendidikan yang penting.
c. Organisasi-organisasi yang bersifat komersial dan industri, misalnya
toko-toko, industri, dan perkebunan.106
Menurut Payne dalam bukunya Abu Ahmadi fungsi-fungsi
daripada pendidikan ada 3 macam, di antaranya:
105
Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2012), Cet. II, h. 8. 106
Ahmadi, Sosiologi Pendidikan, h. 74-75.
63
a. Assimilasi dari tradisi-tradisi. Di sini mengakui bahwa assimilasi
adalah merupakan hal yang penting. Payne menggambarkan proses
assimilasi dari tradisi sebagai imitasi dan tekanan sosial.
b. Pengembangan dari pola-pola sosial yang baru. Kalau ada masalah-
masalah yang baru maka perlu dipecahkan, misalnya:
1) Masalah perkembangan penduduk
2) Masalah urbanisasi
3) Masalah pekerjaan
4) Masalah penempatan wanita di dalam pekerjaan.
c. Kreatifitas/peranan yang bersifat membangun di dalam pendidikan.
Kreatif adalah kemampuan pemikiran yang bersifat asli.107
Tujuan pendidikan sebagaimana diungkapkan oleh A. Tresna
Sastrawijaya (1991) dalam bukunya Abdullah Idi adalah mancakup
kesiapan jabatan, keterampilan, memecahkan maslah, penggunaan waktu
senggang secara membangun, dan sebagainya karena setiap siswa/anak
mempunyai harapan yang berbeda. Sementara itu tujuan pendidikan yang
berkaitan dengan bidang studi dapat dinyatakan lebih spesifik, misalnya
dalam pelajaran bahasa yang digunakan untuk mengembangkan
kemampuan berkomunikasi mahir secara lisan dan tulisan. Adapaun tujuan
pendidikan secara umum menyangkut kemampuan luas yang akan
membantu siswa untuk berpartisipasi dalam masyarakat.108
Berbicara masyarakat, antara pendidikan dengan masyarakat tidak
dapat dipisahkan. Kemajuan suatu masyarakat dan suatu bangsa sangat
107
Ahmadi, Sosiologi Pendidikan, h. 74. 108
Abdullah Idi, Sosiologi Pendidikan: Individu, Masyarakat, dan Pendidikan (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2011), Cet. I, h. 59.
64
ditentukan pembangunan sektor pendidikan dalam penyiapan Sumber
Daya Manusia (SDM) yang sesuai dengan perkembangan zaman.109
Dari adanya pemaparan tentang pendidikan di atas, hal ini
dikarenakan pendidikan menjadi salah satu faktor dari adanya hubungan
baik antara Ahmadiyah dengan non Ahmadiyah yang terjalin di Desa
Tenjowaringin. Mengingat setelah melakukan wawancara dan observasi
langsung maka bisa sedikitnya dipaparkan alasannya sebagai berikut:
Relasi dalam hal pendidikan formal maupun non formal, misalnya
di lembaga formal terjalin seperti biasa saja, tidak lantas karena itu sekolah
Ahmadiyah dan mayoritas jadi gurunya harus dari Ahmadiyah.
Pengelolaan guru sendiri di Desa Tenjowaringin nyaris semua yang
ditugaskan dari dinas pendidikan. Unsur diskriminasi sendiri tidak ada dari
pihak non Ahmadiyah maupun pihak Ahmadiyah sendiri yang merupakan
mayoritas. Bahkan anak-anak SD yang belajar non formal misalkan
pendidikan madrasah yang berskala di desa maupun di kampung terjalin
seperti biasa dicampur.110
Kemudian ada juga di mana Ahmadiyah sudah memiliki SMP
sendiri yaitu SMP PGRI dan di sana murid-muridnya campuran ada dari
kalangan Ahmadiyah sendiri dan ada juga dari luar Ahmadiyah. Dan
sekolah berbasis menengah ke atas yaitu SMA Al-Wahid di Wanasigra.
Pola relasi lain terlihat ketika ustadz dari Nahdhatul Ulama
dipanggil untuk menjadi salah satu pengajar di SMA Al-Wahid (milik
Ahmadiyah). Selain dipanggil untuk menjadi pengajar ustadz Ana juga
109
Idi, Sosiologi Pendidikan: Individu, Masyarakat, dan Pendidikan, h. 60. 110
Wawancara dengan Munawarman, Desa Tenjowaringin, 05 Mei 2018
65
dibutuhkan dan saling berbagi ilmu dan kemampuan dengan pihak-pihak
Ahmadiyah untuk mengadakan pengajaran berupa:
a. Malam minggu melatih bela diri silat di Sukasari.
b. Setiap hari minggu ke kampung Gunung Tilu melatih bela diri silat
dan Ta’liman Qur’an.
c. Malam rabu dan sabtu ke Citeguh melatih bela diri silat.111
4. Faktor Lembaga Sosial
Lembaga sosial yang keberadaannya disadari dengan baik oleh
anggota masyarakat dan bahkan diharapkan kehadirannya akan berfungsi
secara nyata dalam masyarakat.112
Adapun tipe-tipe dari lembaga sosial
adalah sebagai berikut:
a. Berdasarkan perkembangannya dapat dibedakan menjadi crescive
institution dan enaced institution. Lembaga yang tumbuh dari adat
istiadat satu mayarakat secara tidak didasari maka lembaga sosial
seperti itu tergolong kepada tipe crescive institution seperti keluarga
dan agama. Adapun yang tergolong kepada tipe enaced institution
seperti sekolah, rumah sakit di mana lembaga sosial itu sengaja
dibentuk untuk memenuhi kebutuhan tertentu dengan tujuan sendiri.
b. Dari segi sistem nilai yang menjadi sumber awal terciptanya lembaga
sosial dapat dibedakan menjadi basic institution dan subsidiary
institution. Lembaga sosial yang tergolong basic institution apabila
diperlukan untuk memelihara dan mempertahankan keteraturan secara
mendasar dalam masyarakat, seperti lembaga-lembaga negara pada
111
Wawancara dengan Ana, Desa Tenjowaringin, 06 Mei 2018 112
Yusran Razak, Ed., Sosiologi Sebuah Pengantar: Tinjauan Pemikiran Sosiologi
Perspektif Islam (Ciputat: Laboratorium Sosiologi Agama, 2008), Cet. I, h. 69.
66
konteks yang paling kecil termasuk keluarga. Subsidiary institution
adalah lembaga sosial yang oleh masyarakat dianggap kurang penting
tapi ada, seperti lembaga-lembaga yang bersifat menghibur yaitu
bioskop dan lembaga pariwisata.
c. Dari sisi penerimaan masyarakat terhadap lembaga, lembaga sosial
dapat dibedakan sanction institution (dapat diterima) seperti rumah
sakit atau sekolah dan unsanction institution (tidak dapat diterima)
seperti tempat perjudian atau tempat pelacuran.
d. Berdasarkan penyebarannya lembaga sosial terbagi menjadi dua yang
general institution dan ungeneral institution. Apabila lembaga sosial
tersebut dikenal dan disadari oleh mayoritas anggota masyarakat maka
lembaga tersebut tergolong general institution, seperti agama.
Sedangkan ungeneral institution adalah lembaga sosial yang hanya
disadari dan dikenal oleh kelompok tertentu saja dalam satu
masyarakat, seperti lembaga tarekat dalam agama Islam.
e. Dilihat dari peran dan fungsi lembaga sosial dalam masyarakat, ada
bentuk lembaga sosial yang disebut operative institution dan
regulative institution. Operative institution berfungsi menghimpun
pola-pola yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan lembaga tersbut
seperti lembaga perindustrian. Sedangkan bentuk regulative institution
bertujuan dan berfungsi untuk mengawasi perilaku masyarakat secara
keseluruhan.113
113
Razak, Ed., Sosiologi Sebuah Pengantar, h. 70-71.
67
Secara mendasar bentuk-bentuk lembaga sosial yang nyata adalah
keluarga, agama, dan pemerintahan.
1) Keluarga
Keluarga adalah lembaga sosial yang sangat fundamental dan
utama. Pada masyarakat-masyarakat lama keluarga menjadi pusat
kehidupan sosial untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan individu dan
kelompok. Sebagai sebuah lembaga sosial, keluarga adalah unit dasar
terbentuknya satu kekerabatan, hubungan darah atau ketutunan, hubungan
perkawinan, dan adopsi yang di dalamnya ada seperangkat nilai, norma,
dan kesepakatan yang menggambarkan struktur kekerabatan dan
hubungan-hubungan.114
Keluarga adalah wadah yang sangat penting di antara individu dan
group, serta merupakan kelompok sosial yang pertama di mana anak-anak
menjadi anggotanya. Dan keluargalah yang pertama-tama menjadi tempat
untuk mengadakan sosialisasi kehidupan anak-anak. Ibu, ayah, dan
saudara-saudara serta keluarga-keluarga yang lain adalah orang-orang
yang pertama di mana anak-anak mengadakan kontak dan yang pertama
pula untuk megajarkan pada anak-anak itu sebagaimana dia hidup dengan
orang lain.115
Keluarga berfungsi untuk memperkuat solidaritas sosial,
penanaman nilai budaya, kerja sama ekonomi, pengisian kebutuhan
114
Razak, Ed., Sosiologi Sebuah Pengantar, h. 74. 115
Ahmadi, Sosiologi Pendidikan, h. 108.
68
psikologis, seperti kebutuhan kepada cinta kasih, saling perhatian,
perlindungan, dan untuk mengusir rasa kesepian.116
Di sini keluarga termasuk dalam lingkup faktor pendorong
terciptanya relasi sosial antara Ahmadiyah dan non Ahmadiyah, karena di
Tenjowaringin sendiri sangat masih erat hubungan kekeluargaannya. Hal
itu terjadi karena masyarakat di sana rata-rata hampir semua orang asli
bukan orang pendatang.
Membahas faktor yang mendorong adanya hubungan baik antara
Ahmadiyah dan non Ahmadiyah yang paling menonjol adalah faktor
keturunan. Di mana hampir di Desa Tenjowaringin ada pertalian keluarga,
entah itu saudara kandung, saudara sepupu, ataupun saudara jauh mereka
ada yang masuk Ahmadiyah ada juga yang tidak melakukan bai’at dan
masih tetap dengan keyakinan awalnya memeluk agama Islam (Nahdhatul
Ulama).117
2) Agama
Agama menurut Emile Durkheim mengutip dalam buku Pengantar
Sosiologi karya Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, bahwa agama dapat
mengantar individu-individu anggota masyarakat menjadi makhluk sosial.
Agama melestarikan masyarakat, memeliharanya di hadapan manusia
dalam arti memberi nilai bagi manusia, menanamkan sifat dasar manusia
untuk-Nya.118
116
Bustanuddin Agus, Agama dan Kehidupan Manusia: Pengantar Antropologi Agama
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), h. 206. 117
Wawancara dengan Kostaman, Desa Tenjowaringin, 07 Mei 2018. 118
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiolog: Pemahaman Fakta dan Gejala
Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya (Jakarta: Kencana, 2011), h. 331.
69
Secara fungsional lembaga agama berperan secara fundamental
dalam menggerakan kehidupan manusia secara personal atau kolektif.
Agama dipandang oleh Durkheim sebagai basis moral dari masyarakat, di
mana anggota-anggota masyarakat secara bersama berpegang dan
berpedoman kepada keyakinan, nilai-nilai, dan norma-norma suci. Di
samping fungsinya secara umum dapat mempersatukan dan menyatukan
orang-orang dalam satu komunitas yang sama/seiman, agama juga dapat
menimbulkan konflik karena fakta fanatisme yang berlebihan.119
Jika melihat pernyataan tersebut, maka pemeluk agama sendiri
yang harus berpegang teguh terhadap keyakinan agama yang dipatuhi
tetapi jangan terlalu menganggap bahwa agama yang diyakini adalah satu-
satunya yang paling benar. Hal ini perlu diaplikasikan sebagai salah satu
bentuk menjaga agar selalu terhindar dari sikap intoleran.
Secara sosiologis, agama penting bagi kehidupan manusia di mana
pengetahuan dan keahlian tidak berhasil memberikan sarana adaptasi
untuk penyesuaian yang dibutuhkan dalam perilaku manusia. Maka
kedudukan agama menjadi penting sehubungan dengan proses
pembentukan karakter, sikap, dan perilaku manusia dalam kehidupan
sosial.120
Dalam memahami dan menghayati ajaran agama dalam pendekatan
jarak psikologi akan melahirkan dua macam pandangan yaitu melihat masa
lalu keberagamaan sebagai pencapaian paripurna dan tugas manusia pada
masa kini untuk memelihara kelestarian ajaran tanpa melakukan upaya
119
Razak, Ed., Sosiologi Sebuah Pengantar, h. 75. 120
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiolog, h. 332.
70
mengutak-atik pemikiran masa lalu. Sebagian lain berpendapat bahwa
konstruk pemahaman pada masa lalu tidak pernah terlepas dari kondisi
objektif yang dihadapi oleh umat manusia pada waktu itu. Oleh karena
kehidupan sekarang terikat oleh hasil perubahan maka perlu dilakukan
upaya penafsiran yang baru yang tentunya tidak keluar dari substansi
ajaran agama masing-masing.121
Perubahan sosial adalah suatu keniscayaan yang terus menerus
terjadi, oleh karena itu menjadi tugas semua umat beragama untuk
melakukan antisipasi meningkatkan kualitas kehidupan dalam persoalan-
persoalan mendasar seperti kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan.
Logikanya bukankan semua agama menolak kemiskinan, menolak
kekerasan, dan kebiadaban. Apabila umat beragama tidak mewujudkan
wujud dari konstruk keberagamaan terhadap kelompok sosial dalam
persoalan-persoalan yang mendasar, maka di sinilah letak dan tugas agama
dan lembaga keagamaan untuk menawarkan alternatif solusi sebagai dasar
filosofi peneguhan etos kerja yang berdasar syari’at melakukan aksi
gerakan pembebasan terhadap penderitaan umat manusia. Langkah
tersebut tidak bisa dipikul oleh hanya satu kelompok agama baik penganut
mayoritas maupun minoritas karena akan saling terkait antara satu
kelompok dan kelompok lainnya.122
Mengatasi berbagai gejala negatif tersebut membutuhkan kerja
sama dan konsolidasi yang masif antara lembaga-lembaga agama, pemuka
agama, dan umat beragama. Kerja sama seperti ini dapat dibangun apabila
121
Lubis, Agama dan Perdamaian, h. 64. 122
Lubis, Agama dan Perdamaian, h. 65.
71
masyarakatnya sudah memiliki modal sosial. Unsur-unsur yang
merupakan terbentuknya modal sosial dalam bentuk kerja sama adalah
membangun kepedulian pada semua kelompok umat beragama dan
menetapkan tekad guna mengatasi ketidakadilan sosial dan umat beragama
hendaknya tidak larut dalam mempertentangkan perbedaan antara doktrin
ajaran agama-agama karena perbedaan itu sudah melekat dalam ajaran
masing-masing.123
Ajaran agama sudah menegaskan bahwa kesuksesan dari wujud
keberagaaan tidak hanya bersifat ritual, melainkan dalam bentuk
kepedulian sosial. Tugas dari pemuka agama dengan menjelaskan bahwa
pada umumnya agama harus bisa membangun nilai-nilai yang universal,
nilai-nilai yang diterima secara rasional yang dapat melintas batas-batas
perbedaan teologis karena setiap agama datang adalah membawa
kesejahteraan hidup umat manusia.124
Lembaga sosial berupa agama maupun peran tokoh sangat
dibutuhkan untuk menjalin hubungan yang baik antar agama antar
kelompok/organisasi. Hal ini menjadi salah satu faktor yang mendorong
adanya hubungan antara Ahmadiyah dan non Ahmadiyah di Desa
Tenjowaringin yaitu peran dari tokoh agama sendiri.
Pada tahun 2016 di hotel Padjajaran dengan kurun waktu 3 hari,
membahas perselisihan yang paling resah di Tenjowaringin 2 kejadian di
mana non Ahmadiyah merusak masjid, rumah, dan kaca-kaca dilempar,
kemudian ketika ada pengajian atau tausiah berisi tentang cacian terhadap
123
Lubis, Agama dan Perdamaian, h. 65. 124
Lubis, Agama dan Perdamaian, h. 66-67.
72
golongan Ahmadiyah. Setelah itu ustadz Ana diberikan kesempatan untuk
menyampaikan usulan kepada ketua MUI (kelompok Nahdhatul Ulama),
ada 3 usulan yang dikemukakan di antaranya:125
a) Kerjasama di bidang sosial pembangunan.
b) Kerjasama dalam bidang olahraga kepemudaan.
c) Kerjasama dalam bidang keagamaan, contohnya pada kegiatan 17
Agustus. Karena awalnya Ahmadiyah tidak dipersilahkan untuk
mengikuti acara keagamaan dalam kegiatan lomba 17 Agustus.
3) Pemerintah
Kekuasaan adalah konsep para ahli ilmu-ilmu sosial yang
sebenarnya sama dengan energi dalam konsep ahli-ahli fisika.
Sebagaimana halnya energi, kekuasaan memiliki beberapa bentuk seperti
kekayaan, peralatan atau perangkat-perangkat, wewenang pemerintahan,
mempengaruhi opini, dan sebagainya. Pemerintah adalah salah satu
lembaga politik yang nyata.126
Berbicara masalah pemerintah, setelah adanya SKB 3 Menteri dan
ditindaklanjuti dengan adanya SEB, maka konflik yang terjadi sedikitnya
bisa diredam dengan adanya aktor/tokoh yang cukup berpengaruh dalam
meredam konflik. Salah satunya ada peran FKUB yang dibentuk oleh
masyarakat dan difasilitasi oleh pemerintah dalam rangka membangun,
memelihara, dan memberdayakan umat beragama untuk kerukunan dan
kesejahteraan.127
125
Wawancara dengan Ana, Desa Tenjowaringin, 06 Mei 2018. 126
Razak, Ed., Sosiologi Sebuah Pengantar, h. 76. 127
Utami, “Upaya Komunikasi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dalam
Resolusi Konflik Ahmadiyah,” h. 62.
73
Dalam hal pemerintah dimasukan ke dalam salah satu faktor yang
mendorong adanya relasi sosial antara Ahmadiyah dan non Ahmadiyah
karena melihat dari salah satu informan dengan mengatakan bahwa: Relasi
yang terjadi di Desa Tenjowaringin salah satunya masalah pemerintahan.
Di Desa Tenjowaringin kepala desa diduduki oleh orang Ahmadiyah,
adapun staf-staf di bawahnya ada juga yang non Ahmadiyah. Jadi
hubungan antara Ahmadiyah dengan non Ahmadiyah baik-baik saja dalam
hal pemerintahan.128
Relasi sosial lainnya yang dibangun antara Ahmadiyah dan non
Ahmadiyah dari pemerintah, setelah ada masukan-masukan sebelumnya
dan seiring berjalannya waktu hubungan mereka menjadi lebih baik bukan
karena ada hubungan kekeluargaan saja.
Relasi yang dibangun oleh ketua MUI desa yang merupakan non
Ahmadiyah misalkan untuk menyambut perayaan 17 agustus mengadakan
lomba kerohanian seperti MTQ dan lain sebagainya, digabung dan
mengadakan kerja sama bersama masyarakat Ahmadiyah.129
.
128
Wawancara dengan Kostaman, Desa Tenjowaringin, 07 Mei 2018 129
Wawancara dengan Munawarman, Desa Tenjowaringin, 05 Mei 2018.
74
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan sebelumnya maka dalam penulisan skripsi ini dapat
disimpulkan sebagai berikut:
Kerukunan ini bukan kerukunan yang tuntas, di sisi lain masih ada
konflik ideologi yang sangat sulit untuk diredam. Namun konflik tersebut
tidak muncul ke permukaan atau bisa disebut sebagai relasi konflik tapi damai
karena banyak faktor-faktor lain yang menyebabkan adanya relasi sosial
antara Ahmadiyah dengan Non Ahmadiyah di Tenjowaringin. Faktor-faktor
tersebut di antaranya: Faktor kebudayaan, di mana bahasa menjadi salah satu
faktor adanya hubungan sosial antara Ahmadiyah dan non Ahmadiyah di
Desa Tenjowaringin karena mayoritas masyarakat Tenjowaringin adalah
masyarakat asli dari budaya sunda dan hampir semua masih memakai bahasa
daerah sunda.
Faktor kedua adalah faktor ekonomi, di mana non Ahmadiyah yang
tidak bekerja di luar kota atau tidak memiliki usaha apapun mereka bekerja
kepada orang Ahmadiyah yang memiliki sawah dan membutuhkan pekerja
untuk mengelola sawah tersebut. Ketiga adanya faktor pendidikan, misalnya
pengelolaan guru di Desa Tenjowaringin hampir semua yang ditugaskan dari
dinas pendidikan. Unsur diskriminasi sendiri tidak ada dari pihak non
Ahmadiyah maupun pihak Ahmadiyah yang merupakan mayoritas, muridnya
campuran ada dari kalangan Ahmadiyah sendiri dan ada juga dari luar
Ahmadiyah. Pola relasi lain bisa dilihat dari ustadz Ana (ustadz dari
75
Nahdhatul Ulama) dipanggil untuk menjadi salah satu pengajar di SMA Al-
Wahid (milik Ahmadiyah) dan melatih bela diri silat di Desa Tenjowaringin.
Terakhir adalah faktor lembaga sosial yang terdiri dari keluarga,
agama, dan pemerintah. Di mana keluarga adalah unit dasar terbentuknya satu
kekerabatan, hubungan darah atau keturunan, dan lain sebagainya. kemudian
agama maupun peran tokoh agama menjadi sentral adanya pola relasi sosial
di Tenjowaringin. Kemudian dalam pemerintah di Desa Tenjowaringin
kepala desa diduduki oleh orang Ahmadiyah, adapun staf-staf di bawahnya
ada juga yang non Ahmadiyah. Relasi yang dibangun oleh ketua MUI desa
yang merupakan non Ahmadiyah mengadakan kerja sama bersama
masyarakat Ahmadiyah.
B. Saran dan Harapan
Melihat adanya relasi sosial yang baik di Desa Tenjowaringin penulis
menyarankan supaya tetap terjaga dengan baik, tetap harmoni dalam
keberagaman. Bahkan harus jauh lebih memajukan bersama-sama untuk
terbentuknya desa yang maju dan makmur dalam segala bidang. Terlebih lagi
menyarankan supaya tetap mempertahankan kegaiatan keagamaan khususnya
bagi para pemuda yang tidak dipungkiri semakin berkembangnya zaman,
kegiatan keagamaan sudah mulai terkikis.
Pola relasi sosial yang terjadi di Desa Tenjowaringin sangat baik. Hal
ini diharapkan bisa menjadi cerminan bagi seluruh masyarakat Indonesia
untuk lebih mengenal, saling menghargai, menghormati, saling mengenal, dan
saling membantu antar masyarakat untuk menciptakan harmonisasi dalam
kehidupan disamping adanya perbedaan akidah/keyakinan yang mendasar
sangat.
DAFTAR PUSTAKA
Agus, Bustanuddin. Agama dan Kehidupan Manusia: Pengantar
Antropologi Agama. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006.
Ahmadi, Abu. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta, Cet. II.
2007.
Al-Hikmah, Al-Qur’an dan Terjemahannya. Bandung: Diponegoro. 2011.
Akhmad, Fandi. Hubungan Keberagaman Hidup dalam Konteks Toleransi
Antara Jamaah Ahmadiyah dengan Non Ahmadiyah di Desa Baciro
D.I Yogyakarta. Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2008.
Bahri, Media Zainul. Wajah Studi Agama-agama Dari Era Teosofi
Indonesia (1901-1940) Hingga Masa Reformasi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, Cet. I. 2015.
Bakker, Anton. Dilema Umat Beragama dalam Ilmu Perbandingan Agama
di Indonesia (Beberapa Permasalahan) Kumpulan Makalah Seminar.
Jakarta: INIS, Seri INIS, Jilid. VII. 1990.
Damsar. Pengantar Sosiologi Ekonomi. Jakarta: Kencana, Cet. II. 2011.
______. Pengantar Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, Cet. II. 2012.
Fatoni, Uwes. “Respon Da’i terhadap Gerakan Jemaat Ahmadiyah Indonesia
(JAI) di Tenjowaringin Tasikmalaya,” Jurnal Dakwah, Vol. XV, No.
1, 2014.
Hakim, Masykur. Kenapa Ahmadiyah Dihujat?. Jakarta: SDM Bina Utama,
2005.
Hariwijaya, M. Metodologi dan Penulisan Skripsi, Tesis dan Desertasi
untuk Ilmu Sosial dan Humaniora. Yogyakarta: Parama Ilmu, Cet. II.
2015.
Idi, Abdullah. Sosiologi Pendidikan: Individu, Masyarakat, dan Pendidikan.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Cet. I. 2011.
Ikhtiyarini, Pranita. Eksistensi Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) di
Yogyakarta Pasca SKB 3 Menteri Tahun 2008 tentang Ahmadiyah.
Skripsi Fakultas Ilmu Sosial, 2012.
Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri dalam
Negeri Republik Indonesia, No. 3 Tahun 2008.
Komariah, Aan dan Djam’an Satori. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung:
Alfabeta, Cet. V. 2013.
Lubis, M. Ridwan. Agama dan Perdamaian Landasan, Tujuan, dan Realitas
Kehidupan Beragama di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2017.
_______________. Sosiologi Agama: Memahami Perkemangan Agama
dalam Interaksi Sosial. Jakarta: Prenadamedia Group, Cet. I. 2015.
Muhadi, Interaksi Sosial Antar Umat Muslim dalam Keberagamaan (Studi
terhadap Interaksi Sosial Masyarakat Desa Giri Asih Kabupaten
Gunung Kidul, Yogyakarta). Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN
Kalijaga Yogyakarta, 2013.
Nasikun. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Cet.
IX. 1995.
Nurdin, M. Amin dan Ahmad Abrori. Mengerti Sosiologi: Pengantar untuk
Memahami konsep-konsep Dasar. Ciputat: UIN Jakarta Press, Cet. I.
2006.
Paeni, Mukhlis Ed,. Sejarah dan Kebudayaan Indonesia: Religi dan
Falsafah. Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Perwiranegara, Alamsjah Ratu. Pembinaan Kerukunan Hidup Umat
Beragama. Jakarta: Departemen Agama RI, 1982.
Razak, Yusran, Ed. Sosiologi Sebuah Pengantar: Tinjauan Pemikiran
Sosiologi Perspektif Islam. Ciputat: Laboratorium Sosiologi Agama,
Cet. I. 2008.
Rosidi, Achmad. “Pola Relasi Sosial Keagamaan Umat Beragama di
Lombok Nusa Tenggara Barat,” Harmoni: Jurnal Multikultural &
Multireligius, Vol. X, No. 3, 2011.
Rozzaq, Abdul. Muhammad SAW Khatamun Nabiyyin: Tidak Ada Nabi
Sesudah beliau. Bogor: Jemaat Ahmadiyah. 2008.
RPJMDES, Desa Tenjowaringin Tahun 2015-2021.
Rustanto, Bambang. Masyarakat Multikultural di Indonesia, Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, Cet. I. 2015.
Satori, Djam’an dan Aan Komariah. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung:
Alfabeta, Cet. V. 2013.
Setiadi, Elly M. dan Usman Kolip. Pengantar Sosiolog: Pemahaman Fakta
dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan
Pemecahannya. Jakarta: Kencana, 2011.
Sidik, Munasir. Dasar-dasar Hukum & Legalitas Jemaat Ahmadiyah
Indonesia. Jakarta: Neratja Press, Cet. III. 2014.
Sofianto, Kunto. Tinjauan Kritis Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Malaysia:
Neratja Press, Cet. 1. 2014.
Soekanto, Soejono. Mengenal Tujuh Tokoh Sosiologi. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, Cet. 3. 2011.
Soekanto, Soerjono dan Budi Sulistyowati. Sosiologi Suatu Pengantar.
Jakarta: PT Grafindo Persada, Cet. 45. 2013.
Sugiyarto, Wakhid dan Zaenal Abidin, “Dinamika Sosial Keagamaan
Majelis Tafsir Al-Quran (MTA) Pusat di Kota Surakarta (Solo) Jawa
Tengah,” dalam Nuhrison M. Nuh, Ed., Respon Masyarakat
terhadap Aliran dan Paham Keagamaan Kontemporer di Indonesia
(Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, Cet. I.
2012.
Suprayogo, Imam dan Tobroni. Metodologi Penelitian Sosial-Agama.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cet. 2. 2003.
Surat Edaran Bersama Sekretaris Jendral Departemen Agama, Jaksa Agung
Muda Intelejen, dan Direktur Jendral Kesatuan Bangsa dan Politik
Departemen Dalam Negeri, Agustus 2008.
Susan, Novri. Pengantar Sosiologi Konflik. Jakarta: Prenadamedia Group.
2009.
Syaripulloh. “Kebersamaan Dalam Perbedaan: Studi Kasus Masyarakat
Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat,” Sosio Didaktika, Vol.
1, No. 1, Mei 2014.
Utami, Nadia Wasta “Upaya Komunikasi Forum Kerukunan Umat
Beragama (FKUB) dalam Resolusi Konflik Ahmadiyah,” Jurnal
Ilmu Komunikasi, Vol. 13, No. 1, Juni 2016.
Wahyudi, Catur. Marginalisasi dan Keberadaan Masyarakat. Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Cet. I. 2015.
Waluya, Bagja. Sosiologi: Memahami Fenomena Sosial di Masyarakat
untuk Kelas XI Sekolah Menegah Atas/Madrasah Aliyah Program
Ilmu Pengetahuan Sosial. Bandung: PT Setia Purna Inves, Cet. I.
2007.
Zulkarnain, Iskandar. Gerakan Ahmadiyah di Indonesia. Yogyakarta: LkiS
Yogyakarta, Cet. II. 2011.
Zuriah, Nurul. Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan. Jakarta: PT
Bumi Aksara, Cet. II. 2007.
Wawancara:
Wawancara dengan Faruq, Desa Tenjowaringin, 04 Mei 2018.
Wawancara dengan Muslim Hidayat, Desa Tenjowaringin, 05 Mei 2018.
Wawancara dengan Munawarman, Desa Tenjowringin, 05 Mei 2018.
Wawancara dengan Lili Suwarli, Desa Tenjowaringin, 06 Mei 2018.
Wawancara dengan Ana, Desa Tenjowaringin, 06 Mei 2018.
Wawancara dengan Kostaman, Desa Tenjowaringin, 07 Mei 2018.
Wawancara dengan Yuyu, Desa Tenjowaringin, 13 September 2018.
LAMPIRAN I
SURAT IZIN PENELITIAN
LAMPIRAN II
SURAT KETERANGAN DESA TENJOWARINGIN
LAMPIRAN III
HASIL WAWANCARA
A. Wawancara dengan Muslim Hidayat
1. Sejarah masuknya Ahmadiyah di Desa Tenjowaringin?
Pada awalnya yang masuk ke Ahmadiyah yaitu bapak Rosyid yang
melakukan bai’at di Garut oleh bapak Sadkar. Kemudian beliau
menyampaikan tentang kebenaran Ahmadiyah kepada ulama besar
Tenjowaringin yaitu bapak Ejen antara pada tahun 1951-1953. Dari sini
lah bapak Ejen melakukan tabligh kepada masyarakat.
Orang tertarik masuk Ahmadiyah karena mengerti terhadap
ajarannya dan orangnya. Adapun ajarannya tertera dalam syarat bai’at di
antaranya ada 10 syarat bai’at untuk masuk Ahmadiyah:
a. Orang yang bai’at, berjanji dengan hati jujur bahwa di masa yang akan
mendatang sampai masuk ke dalam kubur, akan senantiasa menjauhi
syirik.
b. Akan senantiasa menghindari diri dari dusta, zina, pandangan birahi,
perbuatan fasiq, kejahatan, aniaya, khianat, hura-hara, pemberontakan,
serta tidak akan dikalahkan oleh gejolak-gejolak hawa nafsu tatkala
bergejolak, meskipun sangat hebat dorongan yang timbul.
c. Akan senantiasa mendirikan shalat lima waktu tanpa putus, sesuai
perintah Allah dan Rasul-Nya. dan sedapat mungkin akan berusaha
dawam mengerjakan shalat Tahajjud, mengirimkan shalawat kepada
Nabi KarimNya, shallallaahu’alaihi wasallam, dan setiap hari
memohon ampunan atas dosa-dosanya serta melakukan istigfar, dan
dengan hati yang penuh kecintaan mengingat kebaikan-kebaikan Allah
Ta’ala, lalu menjadikan pijian serta sanjungan terhadap-Nya sebagai
ucapan wiridnya setiap hari.
d. Tidak akan mendatangkan kesushahan apa pun yang tidak pada
tempatnya- karena gejolak-gejolak nafsunya terhadap makhluk Allah
umumnya dan kaum Muslimin khususnya, melalui lidah, tangan,atau
melalui cara lainnya.
e. Dalam segala keadaan sedih dan gembira, suka duka, nikmat dan
musibah akan tetap setia kepada Allah Ta’ala. Dan dalam setiap
kondisi akan rela atas putusan Allah. Dan akan senantiasa siap
menanggung segala kehinaan serta kepedihan di jalan-Nya. dan tidak
akan memalingkan wajahnya dari Allah Ta’ala ketika ditimpa suatu
musibah melainkan akan terus melangkah maju.
f. Akan berhenti dari adat kebiasaan buruk dan dari menuruti hawa nafsu.
Dan akan menjunjung tinggi perintah Alquran Suci di atas dirinya. Dan
menjadikan firman Allah dan sabda Rasul-Nya sebagai pedoman
dalam setiap langkahnya.
g. Akan meninggalkan takabur dan kesombongan sepenuhnya. Dan akan
menjalani hidup dengan merendahkan diri, dengan kerendahan hati,
budi pekerti yang baik, lemah lembut, dan sederhana.
h. Agama dan kehormatan agama serta solidaritas Islam akan dianggap
lebih mulia daripada nyawanya, hartanya, kehormatan dirinya, anak
keturunannya, dan dari segala yang dicintainya.
i. Semata-mata demi Allah, senantiasa sibuk dalam solidaritas terhadap
makhluk Allah umumnya, dan dengan kekuatan-kekuatan serta nikmat-
nikmat yang telah dianugerahkan Allah kepadnya, sedpat mungkin
akan mendatangkan manfaat bagi umat manusia.
j. Akan mengikat tali persaudaraan dengan hamba ini, semata-mata demi
Allah dengan ikrar taat dalam hal ma’ruf dan akan senantiasa berdiri
teguh di atasnya sampai akhir hayat. Tali persaudaraan ini begitu tinggi
derajatnya sehingga tidak akan diperoleh bandingannya dalam ikatan
persaudaraan maupun hubungan-hubungan duniawi atau dalam segala
bentuk pengkhidmatan/penghambaan.
2. Bagaimana perkembangan Ahmadiyah di Desa Tenjowaringin?
Rata-rata setelah seseorang menikah dan memiliki anak, maka
anaknya akan berkeyakinan terhadap Ahmadiyah. di Desa Tenjowaringin
ini kebanyakan orang asli dari Tenjowaringin tetapi ada beberapa
pendatang juga yang masuk Ahmadiyah di Desa Tenjowaringin karena
melihat ajaran dan mengikuti kegitan sehari-harinya. Misalnya ada yang
baru-baru bai’at rentan waktu ini dia dari Rancaekek Bandung yaitu
Bapak. Udih dia waktu di Bandung katanya ketika disuruh shalat sama
saudaranya dia malah menolak. Tetapi ketika dia ke Tenjowaringin dan
melihat kegiatan serta memahami ajarannya akhirnya dia tertarik dan
semakin rajin dalam hal beribadah.
3. Pola relasi sosial seperti apa yang terjadi di Desa Tenjowaringin?
Kalau ada orang sakit suka saling menengok, kalau ada orang yang
membutuhkan darah kita orang Ahmadiyah membantu. Kemudian ada
juga kegiatan pengobatan gratis dari Ahmadiyah bagi masyarakat
Tenjowaringin.
B. Wawancara dengan Munawarman.
1. Bagaimana sejarah awal masuknya Ahmadiyah ke Desa Tenjowaringin?
Ahmadiyah masuk ke Tenjowaringin khususnya ke kampung
Sukasari sekitar tahun 1953 yang pada waktu itu masih sangat terbelakang,
dibawa oleh tokoh agama yang cukup populer di masyarakat yaitu Pak
Ejen. Pak Ejen sendiri dalam penyebaran ideologi Ahmadiyah seperti
biasa saja mengajarkan kepada masyaraktnya dalam hal shalat, ngaji, dan
lain sebagainya. Kemudian caranya, karena dulu masih kental dengan
amanat-amanat leluhur dengan pepatah leluhur mereka bahwa di akhir
zaman akan ada yang disebut Imam Mahdi yang ditunggu-tunggu kini
telah datang dan kami (Jemaat Ahmadiyah) mempercayai bahwa Mirza
Ghulam Ahmad sebagai juru selamat.
2. Bagaimana perkembangan Ahmadiyah di Desa Tenjowaringin?
Perkembangan Ahmadiyah di Desa Tenjowaringin cukup pesat, di
mana penduduknya sekitar 85 persen berkeyakinan sebagai Ahmadiyah
dengan melakukan proses tabligh.
3. Bagaimana eksistensi Ahmadiyah di Desa Tenjowaringin?
Pasca 2013 sempat terkotak-kotak, maksudnya sempat ada gesekan
akibat dampak dari beberapa kebijakan pemerintah di tingkat pusat. Pada
tahun 2008 itu ada kebijakan pemerintah adanya peraturan bersama tiga
mentri (SKB 3 Mentri). Kemudian turun lagi ada regulasi yang dibuat oleh
gubernur untuk larangan kegiatan. Kemudian turun lagi di daerah ada
peraturan bupati untuk pelarangan kegiatan dan sebagainya. Semua
pertauran-peraturan tersebut seolah-olah menghalalkan untuk
mendiskriminasi kelompok Ahmadiyah karena dari pemerintah sendiri
sudah ada larangan-larangan terhadap kelompok Ahmadiyah. Hasil dari
semua ini masyarakat begitu intoleran, pada tahun 2013 kelompok
Ahmadiyah di Wanasigra diserang dan menyebabkan adanya kerusakan
masjid, rumah, sekolah, dan sebagainya. Kejadian ini tentu menyisakan
trauma yang sangat besar, karena kajadian ini merupakan dampak dari
kebijakan-kebijakan pemerintah yang mendiskriminasi kelompok
Ahmadiyah.
Tetapi karena kami guyub rukun dengan masyarakat, kami butuh
mereka dan mereka butuh kami maka keadaan pulih kembali. Mereka
dengan asik dengan kegiatan mereka dan kami pun asik dengan kegiatan
kami.
Kemudian sekitar tahun 2013 sampai 2015 ke Tenjowaringin juga
sempat ada ulama dari luar kota yang kontra terhadap Ahmadiyah datang
untuk berceramah dan menebar kebencian. Misalkan ujaran untuk tidak
bekerja dengan Ahmadiyah, kita tidak butuh terhadap Ahmadiyah. Tetapi
pada akhirnya itu hanya ujaran-ujaran mereka (ulama luar kota) saja,
setelah dua atau beberapa hari kemudian mereka pulang dan tidak
berdampak bagi masyarakat untuk tetap adanya hubungan, seperti dalam
bidang ekonomi dari pihak non Ahmadiyah ada yang bekerja di orang
Ahmadiyah.
4. Bagaimana pola relasi yang terjadi di Desa Tenjowaringin?
Pola relasi di sini cenderung tidak ada masalah, cara kita berelasi
cukup baik dan hubungan kemasyarakat antara Ahmadiyah dengan non
Ahmadiyah itu nyaris tidak ada sekat. Karena dilihat dari garis keturunan
antara Ahmadiyah dengan non Ahmadiyah masih ada hubungan
kekeluargaan. Kemudian untuk pola relasi sosial sebetulnya tidak ada
masalah, seperti ada orang sakit, orang yang membangun rumah mereka
seperti biasa saja. Misalnya salah satunya adalah gotong royong yang
masih sangat hidup di sini. Masjid Ahmadiyah dan non Ahmadiyah
dibangun secara bersama-sama dalam hal bekerja. Kemudian dalam hal
materi mereka saling membantu.
Relasi dalam hal pendidikan formal maupun non formal, misalnya
di lembaga formal seperti biasa saja, tidak lantas karena itu sekolah
Ahmadiyah dan mayoritas jadi gurunya harus dari Ahmadiyah.
Pengelolaan guru sendiri di Desa Tenjowaringin nyaris semua yang
ditugaskan dari dinas pendidikan. Unsur diskriminasi sendiri tidak ada dari
pihak non Ahmadiyah maupun pihak Ahmadiyah sendiri yang merupakan
mayoritas. Bahkan anak-anak SD yang belajar non formal misalkan
pendidikan madrasah yang berskala di desa maupun di kampung ya seperti
biasa dicampur.
Relasi yang dibangun oleh ketua MUI desa yang merupakan non
Ahmadiyah misalkan untuk menyambut perayaan 17 agustus mengadakan
lomba kerohanian seperti MTQ dan lain sebagainya, ya dicampur
mengadakan kerja sama bersama masyarakat Ahmadiyah.
Masalah politik sangat menarik jika Ahmadiyah diikutsertakan,
bagaimana tidak jika mereka yang kontra terhadap Ahmadiyah tentu
mereka akan berjanji bagaimana mengkerdilkan Ahmadiyah dengan cara
mereka dengan pimpinan yang akan mereka pilih. Ataupun sebaliknya
misalkan calon kepala daerah karena memandang untuk Tenjowaringin
suaranya banyak itu sangat menarik karena dapat mempengaruhi jumlah
suara mereka. Dan dari kelompok Ahmadiyah sendiri tidak pernah
memandang harus memilih calon dari Ahmadiyah dan sebagainya, kita
dari pihak Ahmadiyah memberikan kebebasan kepada para anggota untuk
memilih secara hati nurani.
C. Wawancara dengan Lili Suwarli
1. Bagaimana sejarah masuknya Ahmadiyah ke Desa Tenjowaringin?
Sebelum tahun 1950 masih sangat gencar dengan DI TII, mereka
mengincar para pemuka agama yaitu M. Ejen, Rosyid, dan H. Faqih dari
Desa Tenjowaringin khususnya dari Wanasigra jika sudah malam hari
pindah ke Garut untuk mengungsi karena takut akan serbuan dari DI TII,
kemudian di tempat pengungsian mereka diberikan tabligh oleh Mubaligh
Ahmadiyah lulusan dari Markas Rabwah Pakistan Maulana H. Abdul
Wahid. Singkat cerita para pemuka agama kalau sudah pulang dari
pengungsian waktu siang atau sore hari mereka bercerita kepada
masyarakat di Wanasigra bahwa dewasa ini Ahmadiyah telah datang
dengan wujud Mirza Ghulam Ahmad. Menurut Rasulullah apabila Imam
Mahdi telah datang maka kita harus Bai’at. Kemudian pada tahun 1951
mulai banyak orang yang masuk Ahmadiyah sekitar puluhan sampai
ratusan orang ikut melakukan Bai’at. Menurut orang tua tempo dulu ada
pepatah bahwa Ahmadiyah datang kalau tidak ke Wanaraja, mereka
datang ke Wanasigra. Masyarakat di Wanasigra setiap kali mendapatkan
cerita-cerita dari pemuka agama, mereka langsung ikut masuk Ahmadiyah
dan berbai’at.
2. Bagaimana perkembangan Ahmadiyah di Desa Tenjowaringin?
Perkembangan Ahmadiyah di Desa Tenjowaringin khususnya di
Wanasigra mulai pada tahun 1951 setelah M. Ejen, Rosyid, dan H. Faqih
mendapatkan cerita-cerita mengenai Ahmadiyah, sebulan sekali atau
bahkan setiap minggu beliau pulang ke Wanasigra untuk menyebarkan
dakwahnya mengenai Ahmadiyah. Ahmadiyah semakin berkembang
karena menurut cerita, para pemuka agama melakukan itu sebagai salah
satu usaha manusia dan adanya wahyu kepada pendiri Jemaat Ahmadiyah
bahwa “tabligh engkau akan disampaikan kepada seluruh penjuru dunia.”
Ahmadiyah sendiri memiliki misi hanya untuk menyampaikan, karena
dalam beragama tidak ada paksaan di dalamnya. Ahmadiyah semakin
berkembang karena orang-orang ketika masuk Ahmadiyah bukan karena
dia kalah dalil, kalah debat dan lain-lain, tetapi mereka masuk Ahmadiyah
karena melihat keseharian Ahmadiyah yang memiliki akhlak yang terbaik
dan mencontoh akhlak Rasulullah Saw, jadi orang-orang sangat tertarik
untuk masuk Ahmadiyah karena melakukan tabhlig pada dewasa ini bukan
dengan kekerasan, paksaan, pakai senjata seperti pedang, ataupun dengan
iming-iming uang, pakaian dan sebagainya.
3. Bagaimana eksistensi Ahmadiyah di Desa Tenjowaringin?
Tantangan dari masyarakat luar terhadap Ahmadiyah tidak akan
pernah ada habisnya sampai hari kiamat. Hal tersebut merupakan sunnah
Nabi. Menurut Rasulullah Saw, beliau pernah mengalami hal seperti itu
ketika beliau mengumumkan mendapat wahyu dari Allah SWT mulai
gencar penyerangan-penyerangan dan terhadap Ahmadiyah pun sama
seperti itu. Maka dari itu orang-orang Ahmadiyah tidak aneh lagi kalau
ada orang yang menghina, menyalahkan dan mengkafirkan karena mereka
beranggapan bahwa penentangan pasti ada dan itu merupakan salah satu
jalan seperti Rasulullah Saw. Salah satu bentuk eksistensi dari Ahmadiyah
mereka sudah mempunyai keyakinan bahwa khalifah mereka sudah datang
berbeda dengan non Ahmadiyah yang mereka ingin mendirikan khalifah
tetapi tidak pernah ada sampai saat ini. Khalifah yang ada di Ahmadiyah
bukan secara langsung mereka yang memilih, tetapi khalifah asal mulanya
harus ada nabi yang diutus. Seperti Mirza Ghulam Ahmad sendiri beliau
sebagai nabi buruzi yaitu nabi yang tidak membawa syari’at. Nabi yang
membawa syari’at yaitu Nabi Muhammad Saw setelah wafat ada
Khulafaur Rosyidin, begitu juga di Ahmadiyah setelah wafatnya nabi
buruzi yaitu Mirza Ghulam Ahmad ada khalifah yang sampai sekarang
sudah khalifah yang ke lima.
Wanasigra sendiri untuk sampai saat ini sudah banyak yang
menjadi Mubaligh salah satunya ada yang lagi meneruskan pendidikan di
Ghana (hampir setingkat dengan S-3).
4. Bagaimana pola relasi sosial yang terjadi antara Jemaat Ahmadiyah
dengan non Ahmadiyah di Desa Tenjowaringin?
Relasi yang dibangun di Wanasigra khususnya sangat baik, dalam
hal keagamaan ataupun dalam kegiatan sosial. Dalam hal keagamaan
seperti shalat Jumat orang non Ahmadiyah ikut bersama Ahmadiyah,
kemudian hari besar Islam seperti Maulid dari non Ahmadiyah
mengundang Ahmadiyah untuk menghadiri. Kemudian acara hari besar di
Ahmadiyah sendiri seperti hari khilafat, hari masih mau’ud mengundang
non Ahmadiyah. Adapun hubungan dalam hal kegiatan sosial masih sangat
kental dan membaur seperti bikari amal (gotong royong), donor mata,
donor darah yang dilakukan setiap 3 bulan sekali.
D. Wawancara dengan Ana
1. Bagaimana hubungan yang terjadi antara non Ahmadiyah dengan
Ahmadiyah di Desa Tenjowaringin?
Pada tahun 2016 di hotel Padjajaran dengan kurun waktu 3 hari,
membahas perselisihan yang paling resah di Tenjowaringin 2 kejadian di
mana non Ahmadiyah merusak masjid, rumah, dan kaca-kaca dilempar
dan ketika ada pengajian atau tausiah isinya semua tentang cacian terhadap
golongan Ahmadiyah. kemudian ustadz Ana diberikan kesempatan untuk
menyampaikan usulan kepada ketua MUI (kelompok Nahdhatul Ulama),
dan ada 3 usulan:
d) Kerjasama di bidang sosial pembangunan.
e) Kerjasama dalam bidang olahraga kepemudaan.
f) Kerjasama dalam bidang keagamaan, contohnya pada kegiatan 17
Agustus. Karena awalnya Ahmadiyah tidak dipersilahkan untuk
mengikuti acara keagamaan dalam kegiatan 17 Agustus.
Pola relasi lain bisa dilihat dari ustadz Ana dipanggil untuk
menjadi salah satu pengajar di SMA Al-Wahid (milik Ahmadiyah). selain
dipanggil untuk menjadi pengajar ustadz Ana juga dibutuhkan dan saling
berbagi ilmu dan kemampuan dengan pihak-pihak Ahmadiyah untuk
mengadakan pengajaran berupa:
d. Malam Ahad ngajar bela diri silat di Sukasari.
e. Hari Minggu ke kampung Gunung Tilu ngajar silat dan ta’liman
qur’an.
f. Malam rabu dan sabtu ke Citeguh bela diri silat.
Relasi lainnya yang terjadi di Desa Tenjowaringin yaitu:
a. Dalam bidang olah raga seperti pencak silat, badminton, dan voli
mereka mengadakan kompetesi.
b. Dalam acara walimahan diundang dan turut hadir.
c. Dalam acara mukhotiban diundang dan turut hadir.
2. Faktor apa saja yang mendorong terjadinya relasi sosial antara
Ahmadiyah dan non Ahmadiyah di Desa Tenjowaringin?
Faktor yang mendorong adanya relasi sosial antara Ahmadiyah
dengan non Ahmadiyah di antaranya sebagai berikut:
a. Adanya suatu hubungan baik antar tokoh yaitu Ustadz Nahdathul
Ulama dengan Mubalaligh Ahmadiyah.
b. Adanya rasa toleransi yang mengibaratkan jika toleransi tidak
dibangun hal itu mengisyaratkan seperti bangkai hidup-hidup.
E. Wawancara dengan Kostaman
1. Apakah ada kegiatan sosial seperti gotong royong yang dilakukan
bersama antara Ahmadiyah dengan non Ahmadiyah di Desa
Tenjowaringin?
Ya ada, gotong royong tetap terjaga dan dilaksanakan bersama-
sama ketika ada perintah dari RT/RW setempat. Tetapi tidak ada jadwal
tertentu/rutin kecuali kalau ada kegiatan-kegiatan yang cukup besar dan
membutuhkan kerja sama antar masyarakat di Desa Tenjowaringin.
2. Bagaimana relasi yang terjadi antara Ahmadiyah dan non Ahmadiyah di
Desa Tenjowaringin?
Relasi yang terjadi di Desa Tenjowaringin salah satunya masalah
pemerintahan. Di Desa Tenjowaringin kepala desa diduduki oleh orang
Ahmadiyah, adapun staf-staf di bawahnya ada juga yang non Ahmadiyah.
Jadi ya hubungannya baik-baik saja dalam hal pemerintahan. Kemudian
ada juga di mana Ahmadiyah sudah memiliki SMP sendiri yaitu SMP
PGRI dan di sana murid-muridnya campuran ada dari kalangan
Ahmadiyah sendiri dan ada juga dari luar Ahmadiyah.
3. Faktor-faktor apa saja yang mendorong adanya relasi sosial antara
Ahmadiyah dengan non Ahmadiyah di Desa Tenjowaringin?
Membahas faktor yang mendorong adanya hubungan baik antara
Ahmadiyah dan non Ahmadiyah yang paling menonjol adalah faktor
keturunan. Di mana hampir di Desa Tenjowaringin ada pertalian keluarga,
entah itu saudara kandung, saudara sepupu, ataupun saudara jauh mereka
ada yang masuk Ahmadiyah ada juga yang tidak melakukan bai’at dan
masih tetap dengan keyakinan awalnya memeluk agama Islam (Nahdhatul
Ulama).
F. Wawancara dengan Yuyu
1. Berapa persen perbandaingan jumlah Ahmadiyah dan non Ahmadiyah
Desa Tenjowaringin?
Nama Dusun Jumlah RT Ahmadiyah Non Ahmadiyah
Citeguh 7 RT 70% 30%
Wanasigra 7 RT 90% 10%
Sukasari 8 RT 50% 50%
Cigunung Tilu 5 RT 40% 60%
Ciomas 4 RT 20% 80%
2. Berapa jumlah masjid Ahmadiyah maupun non Ahmadiyah di Desa
Tenjowaringin?
Nama Dusun Masjid Ahmadiyah Masjid Non Ahmadiyah
Citeguh Baitus Subhan
Baitur Rahim
At-Taufiq
Nurul Khilafat
Wanasigra Al-Fadhal
Al- Mubarok
-
Sukasari Al-Falah Al-Aqsha
Al-Ikhlas
Nurul Ihsan
Cigunung Tilu Al-Ihsan Khusnul Jamaah
Ar-Rasyid
Ciomas - Al-Barakah
Mahbatul Anwar
LAMPIRAN IV
SURAT KETERANGAN WAWANCARA
LAMPIRAN V
FOTO-FOTO
Kegiatan Mukhotiban
Kegiatan Bakti Sosial Renovasi Masjid
Masjid Al-Aqsho (Non Ahmadiyah)
Masjid Al-Falah (Ahmadiyah)
Top Related