MAKALAHPLASMAFERESIS PADA SINDROMA
GUILLAIN BARRE
PEBIMBING:
DR.ALDY S.RAMBE, Sp.S(K)
DISEDIAKAN OLEH:
SANGGARI MURUGESU070100273
DEPARTEMEN NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RSUP HAJI ADAM MALIK
MEDAN
2010
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas rahmat dan kurnia-Nya,
penulisan Makalah : Plasmaferesis pada Sindroma Guillain Barre (SGB)., dapat
diselesaikan. Makalah ini diajukan untuk melengkapi tugas pada Kepaniteraan Klinik
Senior Departemen Neurologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara.
Meskipun penulisan makalah ini banyak mengalami hambatan, kesulitan dan
kendala, namun karena adanya bimbingan, petunjuk, nasihat dan motivasi dari berbagai
pihak, penulisan makalah ini dapat diselesaikan. Di sini saya mengambil kesempatan
untuk mengucapkan jutaan terima kasih kepada pembimbing saya, dr.Aldy S.Rambe, SpS
(K).
Akhir kata, meskipun berbagai usaha telah dilakukan semaksimal mungkin dalam
menyelesaikan makalah ini, namun karena keterbatasan pengalaman, pengetahuan,
kepustakaan dan waktu, makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk ini, kritik dan
saran dari berbagai pihak sangat diharapkan untuk menyempurnakan makalah ini.
Medan, Februari 2011,
SANGGARI MURUGESU
2
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................ 1
DAFTAR ISI ............................................................................................... 2
BAB 1 PENDAHULUAN .......................................................................... 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.................................................................. 5
BAB 3 KESIMPULAN.................................................................. 11
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 12
3
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penulisan
Plasmaferesis dapat digunakan baik untuk SGB maupun miastenia gravis untuk
menyingkirkan antibodi yang membahayakan dari plasma. Plasma pasien dipisahkan
secara selektif dari darah lengkap, dan bahan-bahan abnormal dibersihkan atau plasma
diganti dengan yang normal atau dengan pengganti koloidal. Banyak pusat pelayanan
kesehatan mulai melakukan penggantian plasma ini jika didapati keadaan pasien
memburuk dan akan kemungkinan tidak akan dapat pulang kerumah dalam 2 minggu.1
Sindroma Guillain-Barre (SGB) merupakan penyebab kelumpuhan yang cukup
seringdijumpai pada usia dewasa muda. SGB ini seringkali mencemaskan penderita dan
keluarganya karena terjadi pada usia produktif, apalagi pada beberapa keadaan dapat
menimbulkan kematian, meskipun pada umumnya mempunyai prognosa yang baik.
Penyakit ini terdapat di seluruh dunia pada setiap musim, menyerang semua umur. SGB
merupakan suatu penyakit autoimun, dimana proses imunologis tersebut langsung
mengenai sistem saraf perifer. Mikroorganisme penyebab belum pernah ditemukan pada
penderita penyakit ini dan pada pemeriksaan patologis tidak ditemukan tanda-tanda
radang.Periode laten antara infeksi dan gejala polineuritis memberi dugaan bahwa
kemungkinan kelainan yang terdapat disebabkan oleh suatu respons terhadap reaksi alergi
saraf perifer. Pada banyak kasus, infeksi sebelumnya tidak ditemukan, kadang-kadang
kecuali saraf perifer dan serabut spinal ventral dan dorsal, terdapat juga gangguan medula
spinalis dan medula oblongata.Sampai saat ini belum ada terapi spesifik untuk SGB. 2
1.2 Epidemiologi
Penyakit ini terjadi di seluruh dunia, kejadiannya pada semua musim. Dowling dkk
mendapatkan frekwensi tersering pada akhir musism panas dan musim gugur dimana
terjadi peningkatan kasus influenza. Pada penelitian Zhao Baoxun didapatkan bahwa
4
penyakit ini hampir terjadi pada setiap saat dari setiap bulan dalam setahun, sekalipun
demikian tampak bahwa 60% kasus terjadi antara bulan Juli s/d Oktober yaitu pada akhir
musim panas dan musim gugur. Insidensi sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0.6
sampai 1.9 kasus per 100.000 orang pertahun. Selama periode 42 tahun Central Medical
Mayo Clinic melakukan penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000 orang.
Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang
mengenai usia dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3 bulan dan
paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari pengelompokan ras
didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7% kulit hitam, 5% Hispanic, 1%
Asia dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik. Data di Indonesia mengenai
gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi
terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II, III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah
penderita laki-laki dan wanita hampir sama. Sedangkan penelitian di Bandung
menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5
tahun. Insiden tertinggi pada bulan April sampai dengan Mei dimana terjadi pergantian
musim hujan dan kemarau.1
1.3 Ruang Lingkup Pembahasan
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai Plasmaferesis pada Sindroma Guillain
Barre (SGB).
1.4 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan laporan ini adalah untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik
senior Departemen Neurologi Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan dan
meningkatkan pemahaman mahasiswa mengenai Plasmaferesis pada Sindroma Guillain
Barre (SGB).
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Plasmaferesis berasal dari kata plasma dan aphairesis, yang berarti memisahkan
plasma. Beberapa penulis membedakan antara plasmaferesis dan plasma exchange.
Plasma exchange dipakai untuk tindakan yang lebih ekstensif dengan jumlah yang besar.
Plasmaferesis adalah istilah umum dan dapat dipakai untuk pemisahan plasma dalam
jumlah kecil maupun besar3. Plasmaferesis mula-mula diperkenalkan pada awal abad ini
oleh Fleig dan Abel dkk. Pada saat itu hanya sedikit yang menaruh minat untuk
pemakaian klinis, sebab pemisahan plasma secara manual adalah tidak praktis dan
membuang waktu. Pada tahun 1960 Schwab dan Fahey melaporkan bahwa plasmaferesis
berguna bagi penderita makroglobulinemia Waldenstrom dan penderita hiperviskositas.
Sejak saat itu, plasmaferesis manual merupakan bagian dari pengobatan standard untuk
kelainan tersebut4. Namun demikian, hanya sedikit sekali penelitian tentang terapi
plasmaferesis yang disertai dengan kelompok kelola. Hal ini disebabkan karena :
a.insidens penyakit yang mungkin dapat diobati dengan plasmaferesis umumnya tidak
tinggi. b.kesulitan untuk melaksanakan plasmaferesis palsu pada kelompok kelolao).
Kern ungkinan mekanismekerjaplasmaferesis adalah menghilangkan autoantibodi,
alloantibodi, komplcks imun, protein monoklonal, toksin atau menambah faktor yang
spesifik dalam plasma4,5. Jadi plasmaferesis hanya boleh dilakukan bila terdapat bukti
bahwa penyakit tersebut adalah akibat faktor yang abnormal dalam plasma atau akibat
kurangnya faktor yang normal terdapat dalam plasma4.
2.2 Teknik Pelaksanaan
Plasmaferesis dapat dilakukan dengan beberapa cars : 1.Secara manual
Plasmaferesis dalam jumlah yang sedikit (misalnya sampai kira-kira 500 ml) dapat
dilakukan secara manual. Darah vena dikeluarkan ke dalam kantung yang berisi
6
antikoagulan. Setelah kantung penuh atau sudah tercapai jumlah yang diinginkan, aliran
darah diputuskan dan penderita diberi larutan NaCl 0,9% agar aliran pada vena tetap
terbuka. Darah dalam kantung diputar dalam centrifuge, plasmanya dibuang dan
komponen lain dikembalikan ke penderita4,6. 2.Dengan menggunakan cell separator
Prinsip kerja cell separator dapat berupa continuous flow centrifugation (CFC) atau
intermittent flow centrifugation (IFC). Pada CFC proses pengambilan darah, pemisahan
komponen dan pengembalian komponen berjalan secara kontinyu, sedang-kan pada IFC
proses tersebut berjalan secara bergantian. Saat ini sedang dikembangkan cell separator
yang menggunakan teknik membrane filtration. Dengan cara ini, plasma mengalir melalui
membran yang akan menyaring komponen spesifik yang ada di dalam plasma6.
2.3 Cairan Pengganti
Federal and American Association of Blood Bank memberi pedoman bahwa
plasmaferesis sejumlah 1000 ml/minggu dapat dilakukan tanpa cairan pengganti yang
mengandung protein pada donor dengan ukuran badan rata-rata, tetapi dengan tetap
memantau kadar protein serum donor tersebut. Terapi plasma-feresis tentu berbeda
dengan plasmaferesis pada donor, tetapi setidak-tidaknya pedoman ini dapat dipakai
sebagai pegangan Cermin Dunia Kedokteran No. 76, 1992 34 pada penderita dengan
keadaan gizi yang baik. Biasanya juga dianjurkan diit tinggi protein bila bukan
merupakan kontra-indikasi3. Fresh frozen plasma, albumin atau derivat plasma lain dapat
dipakai untuk memenuhi kebutuhan koloid sebagai pengganti plasma penderita.
Pemakaian plasma sebagai cairan pengganti, penting pada penyakit-penyakit akibat
kekurangan suatu faktor dalam plasma misalnya thrombotic thrombocytopenic purpura4.
Pada penyakit-penyakit dengan komponen plasma yang patogen, penentuan jenis cairan
pengganti juga penting; misal-nya clearance kompleks imun dapat ditingkatkan dengan
memberikan cairan pengganti yang mengandung komplemen, meskipun ada penulis lain
yang menganjurkan pemberian cairan yang tidak mengandung komplemen4. Pada
umumnya tidak diperlukan elektrolit pengganti baik pada plasmaferesis dengan jumlah
kecil maupun dengan jumlah besar3. Jadi dapat disimpulkan bahwa sampai saat ini belum
ditemukan cairan pengganti yang optimal dan mungkin tidak akan pernah ditemukan
karena hal ini sangat individual3.
7
2.4 Efek Samping Plasmaferesis
Setiap plasmaferesis menimbulkan kerusakan vena yangdapat bersifat ringan
maupun berat3. Setiap penderita dapat mengalami serangan vasovagal yang disebabkan
oleh hipovo-lemia dan diperberat oleh stres psikis3,4. Keseimbangan cairan harus
diperhatikan untuk menghindari hipo atau hipervolemia3. Penderita-penderita yang
memiliki gangguan fungsi hepar cenderung untuk mengalami keracunan sitrat3,4.Hal ini
ter-utama terjadi bila menggunakan cairan pengganti yang mengandung sitrat misalnya
plasma3. Telah dilaporkan juga penurunan jumlah trombosit dan faktor-faktor
pembekuan5,7,8. Penurunan jumlah trombosit se-lain akibat plasmaferesis,juga diakibatkan
oleh pemakaian obat-obat sitostatika yang diberikan bersamaan dengan plasmaferesis
untuk mencegah rebound phenomena7. Penderita yang memiliki kelainan kadar elektrolit
mem-punyai risiko untuk mengalami aritmia jantung3,4. Beberapa penulis melaporkan
tidak ada perubahan kadar elektrolit akibat plasmaferesis7, tetapi penulis lain menyatakan
bahwa terjadi ketidak seimbangan elektrolit8. Reaksi urtikaria atau kadang-kadang
anafilaksis dapat timbul pada penderita yang memakai plasma sebagai cairan
pengganti4,10. Risiko timbulnya hepatitis juga meningkat bila dipakai plasma4,5,10.Suatu
kendala lain yang membatasi penggunaan plasma-feresis adalah tingginya biaya9.
2.5 Komplikasi terapi plasmapheresis
Meskipun plasmapheresis sangat membantu dalam kondisi medis tertentu, seperti
terapi lainnya, ada risiko potensial dan komplikasi. Penyisipan kateter intravena agak
besar dapat menyebabkan perdarahan, paru tusukan (tergantung pada lokasi penyisipan
kateter), dan, jika kateter dibiarkan terlalu lama, maka bisa terinfeksi.
Selain menempatkan kateter, prosedur itu sendiri memiliki komplikasi. Ketika darah
pasien berada di luar tubuh melewati mesin plasmapheresis, darah memiliki
kecenderungan untuk membeku. Untuk mengurangi kecenderungan, dalam satu protokol
yang umum, sitrat diinfuskan sementara darah berjalan melalui sirkuit. Sitrat mengikat
kalsium dalam darah, kalsium yang penting bagi darah untuk membeku. Sitrat sangat
efektif dalam mencegah darah dari pembekuan, namun penggunaannya dapat
mengakibatkan mengancam jiwa tingkat kalsium yang rendah. Hal ini dapat dideteksi
dengan menggunakan tanda Chvostek atau tanda trousseau's. Untuk mencegah
8
komplikasi ini, kalsium diinfuskan intravena saat pasien mengalami plasmapheresis
tersebut; di samping itu, kalsium suplementasi melalui mulut juga dapat diberikan.
Komplikasi lainnya termasuk:6
Potensi paparan produk darah, dengan risiko reaksi transfusi atau transfusi
penyakit menular
Penekanan sistem kekebalan tubuh pasien
Perdarahan atau hematoma dari penempatan jarum
2.6 Terapi Plasmaferesis pada Sindroma Gullien Barre
Penatalaksanaan pasien SGB seringkali sangat rumit dan pengobatan medis dan
perawatan yang baik sangat mempengaruhi keluaran (outcome). Dalam fase dini yang
masih progresif, harus dilakukan observasi yang seksama dan perawatan di rumah sakit
adalah wajib, juga pada kasus-kasus yang enteng. 11,12
Karena terjadi perbaikan spontan pada kebanyakan kasus, maka penatalaksanaan
terutama ditujukan pada perawatan yang baik dan menghindari komplikasi infeksi
sekunder, namun penatalaksanaan tetap rumit dan melelahkan.11,13
Walaupun dalam kepustakaan disebutkan, bahwa hanya 2 jenis terapi
(plasmaferesis dan Imunoglobulin) yang secara spesifik dapat mempengaruhi jalannya
penyakit, namun terdapat tindakan2 lain yang membantu untuk mencegah terjadinya
komplikasi yang sering menyertai penyakit ini.Pengobatan medikamentosa pada saat ini
terutama ditujukan pada imunomodulasi. Menurut petunjuk guideline dari American
Academy of Neurology (AAN), maka pengobatan SGB yang dimulai secara dini dalam
waktu 2 – 4 minggu setelah gejala pertama timbul, dapat mempercepat waktu
penyembuhan. 11 Hanya plasmaferesis (plasma exchange therapy) dan imunoglobulin
intravena (IVIg 7s) yang terbukti efektif. Kedua modalitas pengobatan ini telah terbukti
dapat memperpendek waktu penyembuhan sampai 50 % , namun harganya mahal dan ada
kesukaran dalam cara memberi dan efektivitas ke 2 regimen pengobatan itu hampir sama
dan komparabel.12
Walaupun terbukti menurunkan beratnya penyakit dan memperpendek waktu
adanya gejala, namun outcome jangka panjang belum jelas dipengaruhi oleh obat-obatan
ini Plasmaferesis (PE) secara historis dan case control studies terbukti menurunkan
9
beratnya penyakit dan gejala-gejalanya dan memperpendek durasi SGB, namun efeknya
biasanya tidak segera dan tidak dramatis. PE seringkali digunakan pada anak2 dan pada
sindroma Miller Fisher; suatu varian SGB, namun belum ada bukti definitif mengenai
efektivitas PE pada ke 2 penyakit ini, namun telah dipakai secara luas. PE sebaiknya
diberikan secepat mungkin pada penderita SGB yang tidak dapat berjalan tanpa bantuan
(unable to walk unassisted). Plasmaferesis adalah suatu metode untuk memisahkan
komponen darah dengan menggunakan mesin sehingga plasma dipisahkan dari sel darah
merahnya, lalu plasma dibuang dan sel darah merahnya dicampurkan dengan larutan
koloid pengganti yaitu albumin 4 % dalam larutan salin, lalu dimasukkan kembali
kedalam tubuh. 13,14
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor
autoantibodi yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil
yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas yang
lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan
mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat
bila diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama).11
Plasma yang akan diganti dalam 4-5x PE yang dilakukan dalam jangka waktu 7 –
10 hari seluruhnya adalah kira-kira 250 cc/kgbb. Harus dipakai suatu alat dengan
pengaliran yang terus-menerus (continuous flow machine), dan cairan pengganti plasma
yang dipakai adalah albumin 5%. Pelaksanaan PE yang lebih intensif, misalnya setiap
hari tidak dianjurkan, PE biasanya aman dan ditoleransi dengan baik. Untuk melakukan
PE dipilih vena perifer yang baik dan bisa juga dilakukan didaerah subklavia.11,14
Komplikasi yang bisa timbul adalah instabilitas otonom, hiperkalsemia dan
perdarahan karena faktor pembekuan ikut dihilangkan dan infeksi.14
Sebuah garis pedoman baru dari American Academy of Neurology
merekomendasikan menggunakan kurs tukar plasma untuk mengobati orang dengan
relaps parah di multiple sclerosis (MS) dan penyakit terkait, serta mereka dengan
beberapa jenis gangguan saraf yang dikenal sebagai neuropati. pedoman ini diterbitkan
dalam, 2011, cetak edisi 18 Januari Neurology ®, jurnal medis dari American Academy
of Neurology. Pertukaran plasma, secara resmi dikenal sebagai plasmapheresis, adalah
proses mengambil darah keluar dari tubuh, menghapus konstituen dalam plasma darah itu
10
dianggap berbahaya, dan kemudian transfusi sisa darah (sel darah terutama merah)
dicampur dengan plasma penggantian kembali ke tubuh. Pedoman ini merekomendasikan
dokter mempertimbangkan untuk menggunakan penggantian plasma sebagai pengobatan
sekunder untuk flare parah dalam kekambuhan bentuk MS dan penyakit terkait.
Perlakuan tidak ditemukan efektif untuk bentuk sekunder progresif progresif dan kronis
MS. Menurut pedoman, dokter harus menawarkan pertukaran plasma untuk pengobatan
bentuk parah sindrom Guillain-Barre dan untuk pengobatan sementara polineuropati
demielinasi peradangan kronis. Plasma tukar juga dapat dipertimbangkan untuk
pengobatan beberapa jenis lain neuropati inflamasi. Menurut pedoman pemimpin penulis
Irene Cortese, MD, ahli saraf dengan National Institute of Health di Bethesda, Md, dan
anggota American Academy of Neurology jenis gangguan neurologis yang terjadi ketika
sistem kekebalan tubuh salah menyebabkan kerusakan sistem saraf. Pertukaran plasma
membantu karena menghilangkan faktor dalam plasma diduga berperan dalam gangguan
ini. Para penulis pedoman juga melihat penggunaan pertukaran plasma untuk gangguan
neurologis lainnya, termasuk myasthenia gravis dan pediatrik gangguan neuropsikiatri
autoimun (panda), tapi tidak ada cukup bukti untuk menentukan apakah itu adalah
pengobatan yang efektif.15
BAB 3
11
KESIMPULAN
Plasmaferesis telah dibuktikan dapat memperpendek lamanya paralisa dan
mepercepat terjadinya penyembuhan. Waktu yang paling efektif untuk melakukan PE
adalah dalam 2 minggu setelah munculnya gejala. Sebanyak 95 % pasien dengan GBS
dapat bertahan hidup dengan 75 % diantaranya sembuh total. Kelemahan ringan atau
gejala sisa seperti dropfoot dan postural tremor masih mungkin terjadi pada sebagian
pasien. Plasmaferesis dapat mengurangi kemungkinan terjadinya relapsing inflammatory
polyneuropathy.
Selain itu, pasien dengan SGB atau miastenia gravis yang menerima plasmaferesi,
berisiko terhadap potensial komplikasi karena prosedur tersebut. Infeksi mungkin terjadi
pada tempat akses vaskuler. Hipovolemia dapat mengakibatkan hipotensi. Takikardia,
pening, dan diaphoresis. Hipokalemia dan hipokalsemia dapat mengarah pada disritmia
jantung. Pasien dapat mengalami sirkumolar temporer dan paresis ekstremitas distal,
kedutan otot dan mual serta muntah yang berhubungan dengan pemberian plasma sitrat.
Pengamatan dengan cermat pengkajian penting untuk mencegah masalah-masalah ini.
Oleh itu, sebagai dokter kita harus mempertimbangan indikasi dan kontraindikasi
penatalaksanaan plasmaferesis pada penderita SGB. Menurut American Academy of
Neurologi plasmaferesis belum juga terbukti pengobatan paling efektif pada SGB.
Daftar Pustaka
12
1. Japardi, Iskandar. Sindrom Guillain Barre. http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi46.pdf . FK USU.
2. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.Sindrom Guillain Barre. In: Harsono, editor. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2008; p.307-8.
3. Huestis DW, Thomas SF. Presently available plasmapheresis technics. In: Berkman EM, Umlas J. Therapeutic Hemapheresis.
4. .A technical workshop. Washington DC: American Association of Blood Banks. 1980; pp 1-12. 2.Shumak KH, Rock GA. Therapeutic plasma exchange. N Eng J Med 1984; 310: 76271.
5. Moschella SL. Topic of Current Interest in Dermatology. In: Moschella SL, Hurley HJ. Dermatology. 2nd ed, Philadelphia: WB Saunders Co. 1985. pp 21078:
6. McCullough J, Chopek M. Therapeutic plasma exchange. Lab Med 1981; 12: 63442.
7. Auerbach R, Bystryn JC. Plasmapheresis and immunosuppressive therapy. Effect on levels of intercellular antibodies in pemphigus vulgaris. Arch Dermatol 1979; 115: 728-30.
8. Bysuyn JC. Plasmapheresis therapy of pemphigus. Arch Dermatol 1988; 124: 1702-4.
9. King MEE, Breslow JL, Lees RS. Plasma-exchange therapy of homo- zygous familial hyperchelesterolemia. N Engl J Med 1980; 302: 1457-9
10. Roujeau JC et al. Plasma exchange in pemphigus. Arch Dermatol 1983; 119: 215-21.
11. Parry GJ. Diagnosis of-Guillain-Barre Syndrome. In. Parry GJ. Guillain-Barr Syndrome. Thieme Medical Publishers Inc, New York. 1993 : 113-129.
13
12. Adams RD. Victor MR. Guillain Barre Syndrome. Diseases of the PeripheryNerves. In Principles of Neurology. Chapter 46. Mcgraw-Hill. New York. 1991 Page 1312-1318.
13. Johnson Richard T. Viral Infctions Of the Nervous Sistem. Raven Pres, Nev York. 1984: 174
14. Mardjono Mahar, Sidharta Priguna. Sindroma Guillain-Barre : Neurologi Klinis Dasar, Cetakan ke 8. Dian Rakyat, Jakarta, 2000 :42, 87,176,421.
15. American Academy of Neurology. Pedoman Baru Merekomendasikan
Penggunaan Plasmapheresis untuk Mengobati Orang dengan Relaps di MS,
neuropati
14
Top Related