i
PERTUMBUHAN KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.)
PADA BEBERAPA TINGKAT KEMIRINGAN LAHAN
HUTAN HARAPAN JAMBI
AMBAR MUTIARA DEWI
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
iii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perumbuhan Kelapa
Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) pada Beberapa Tingkat Kemiringan Lahan Hutan
Harapan Jambi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2015
Ambar Mutiara Dewi
NIM A24090043
iii
ABSTRAK
AMBAR MUTIARA DEWI. Pertumbuhan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.)
pada Beberapa Tingkat Kemiringan Lahan Hutan Harapan Jambi. Dibimbing oleh
HERDHATA AGUSTA.
Penelitian ini dilakukan secara observasi untuk melihat pengaruh
kemiringan lahan terhadap pertumbuhan kelapa sawit di Hutan Harapan Jambi.
Penelitian dilakukan dari bulan Desember 2012 hingga Maret 2013. Penelitian ini
menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT) satu faktor, yaitu
kemiringan lahan. Lahan dikelompikkan ke dalam empat kelas kemiringan lahan,
yaitu 0-3%, 3-12%, 12-25% dan 25-40%. Setiap perlakuan terdiri atas empat
tanaman, sehingga total tanaman yang diamati ada 16 tanaman. Pengamatan
meliputi aspek vegetatif dan ekologis tanaman. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa kemiringan lahan tidak mempengaruhi aspek vegetatif dan ekologis
tanaman kelapa sawit. Pertumbuhan daun terbaik terdapat pada kemiringan 3-
12%.
Kata kunci: ekologis, intensitas cahaya, vegetatif
ABSTRACT
AMBAR MUTIARA DEWI. Oil Palm (Elaeis guineensis Jacq.) Growth at
Various Gradients at Hutan Harapan Jambi. Supervised by HERDHATA
AGUSTA.
The objective of this research was to evaluate the impact of land slope on
growth factor of oil palm at Hutan Harapan Jambi. Research start from Desember
2012 to Maret 2013. The experiment was arranged in a randomized complete
block design with one factor and, such as land slope. The existing foeld was
classified according the slope degree was arranged into 0-3%, 3-12%, 12-25% and
25-40%. Four plants were selected in every slope, so there were 16 palm as
sample. The observed parameters included vegetative and ecological parameters.
The result of observation showed that slope didn’t affect the vegetative and
ecological parameter of oil palm. The best growt of leaf were found at slope 3-
12%.
Keyword : ecological, light intensity, vegetative
v
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Agronomi dan Hortikultura
PERTUMBUHAN KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.)
PADA BEBERAPA TINGKAT KEMIRINGAN LAHAN
HUTAN HARAPAN JAMBI
AMBAR MUTIARA DEWI
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
vii
Judul Skripsi : Pertumbuhan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) pada
Beberapa Tingkat Kemiringan Lahan Hutan Harapan Jambi
Nama : Ambar Mutiara Dewi
NIM : A24090043
Disetujui oleh
Dr Ir Herdhata Agusta
Dosen Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Agus Purwito, MScAgr
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
ix
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberi
kekuatan, umur panjang, serta karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil
diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan
Desember 2012 sampai Maret 2013 ini ialah pertumbuhan tanaman, dengan judul
Pertumbuhan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) pada Beberapa Tingkat
Kemiringan Lahan Hutan Harapan Jambi.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Herdhata Agusta selaku
pembimbing skripsi dan pembimbing akademik yang telah memberi bimbingan,
arahan serta motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih kepada
CRC990 selaku pemberi dana dalam penelitian ini. Terima kasih kepada Bapak
Nasution selaku pemilik lahan yang penulis gunakan dalam melakukan penelitian
ini. Terima kasih kepada Keluarga besar Mas Sukar dan Mas Roni yang telah
bersedia menampung penulis dan menemani serta memberikan semangat selama
penulis melakukan penelitian ini. Terima kasih kepada kedua orang tua dan adik-
adik penulis serta keluarga besar yang selalu memberikan doa dan motivasi
kepada penulis. Terima kasih kepada kak Teguh sebagai rekan penelitian yang
telah membantu penulis dalam pengamatan. Terima kasih kepada Denti, Ilsa,
Nurul, Erna, Aul, Tika, Munil, Catur dan keluarga besar Agronomi dan
Hortikultura angkatan 46 yang telah memberi doa, dukungan dan bantuan selama
penulis menyelesaikan karya ilmiah ini. Terima kasih kepada Restu Purnama atas
doa, motivasi dan waktu yang telah diberikan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2015
Ambar Mutiara Dewi
xi
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 1
Hipotesis Penelitian 1
TINJAUAN PUSTAKA 2
Botani Kelapa Sawit 2
Syarat Tumbuh Kelapa Sawit 3
Topografi 4
Kemiringan Lereng 4
METODE 5
Bahan dan Alat 5
Lokasi dan Waktu Penelitian 5
Prosedur Penelitian 5
Prosedur Analisis Data 6
HASIL DAN PEMBAHASAN 7
Kondisi Umum 7
Pelepah Kelapa Sawit pada Berbagai Kemiringan Lahan 7
Kemiringan dan Tinggi Pohon pada Berbagai Kemiringan Lahan 9
Warna Daun 10
Lolosan Intensitas Cahaya Tajuk pada Berbagai Kemiringan Lahan 11
Analisis Vegetasi Gulma 13
Penutupan Tanah pada Berbagai Kemiringan Lahan 15
SIMPULAN DAN SARAN 16
Simpulan 16
Saran 16
DAFTAR PUSTAKA 16
LAMPIRAN 19
RIWAYAT HIDUP 20
DAFTAR TABEL
1 Klasifikasi kelas kemiringan lahan 4
2 Data curah hujan dan jumlah hari hujan wilayah Hutan Harapan Jambi
Desa Singkawang Kecamatan Muara Bulian Kabupaten Batang Hari
Provinsi Jambi pada bulan Desember 2012–Februari 2013 7
3 Rata-rata jumlah pelepah, panjang pelepah dan jumlah anak daun yang
ditanam pada 4 kemiringan lahan (%) 8
4 Rata-rata kemiringan dan tinggi pohon yang ditanam pada 4 kemiringan
lahan (%) 9
5 Rata-rata nilai parameter daun kelapa sawit yang ditanam pada 4
kemiringan lahan (%) 10
6 Nisbah Jumlah Dominasi (NJD) gulma pada 4 kemiringan lahan (%) 14
7 Rata-rata % penutpan permukaan tanah oleh gulma pada 4 kemiringan
lahan (%) 15
DAFTAR GAMBAR
1 Kondisi kemiringan lahan kebun kelapa sawit 8
2 Lolosan intensitas cahaya kemiringan 3-12% 12
3 Lolosan intensitas cahaya kemiringan 12-25% 12
4 Lolosan intensitas cahaya kemiringan 25-40% 12
5 Lolosan intensitas cahaya tajuk berdasarkan jarak (m) dan kemiringan
lahan (%) 13
DAFTAR LAMPIRAN
1. Nisbah jumlah gulma (NJD) pada 4 kemiringan lahan (%) 19
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kelapa sawit memiliki peranan penting bagi perkekonomian nasional,
terutama menyediakan lapangan pekerjaan dan sebagai sumber pendapatan
Negara (Herman dan Pranowo 2009). Luas areal perkebunan kelapa sawit di
Indonesia tahun 2009 mencapai 7.5 juta ha dan merupakan perkebunan kelapa
sawit yang terluas di dunia. Demikian pula produksi minyak sawit Indonesia
tahun 2009 mencapai 21.5 juta ton dan menduduki posisi pertama di dunia
(Ditjenbun 2013).
Tingkat produksi yang dicapai dari suatu kebun kelapa sawit merupakan
hasil interaksi antara faktor potensi genetik varietas tanaman, lingkungan tempat
tumbuhnya, dan pengelolaan dalam budidayanya. Produksi tinggi akan dicapai
jika digunakan varietas sawit unggul dan ditanam di lokasi yang paling sesuai
dengan menerapkan pengelolaan yang baik (Syakir 2010).
Kelapa sawit merupakan tanaman tropik yang ditanam sebagai tanaman
industri. Kelapa sawit memerlukan curah hujan yang tinggi dan merata serta suhu
yang tinggi untuk pertumbuhan dan produksi optimal. Kondisi tanah harus dalam
dan drainase baik (Verheye 2011). Curah hujan rata – rata yang diperlukan kelapa
sawit adalah 2000 – 2500 mm/tahun dengan distribusi merata sepanjang tahun
tanpa bulan kering yang berkepanjangan (Fauzi et al 2006).
Budi daya pengembangan perkebunan kelapa sawit sangat erat kaitannya
dengan daya dukung lahan sebagai media tanam (Krisnohadi 2011). Lahan miring
memiliki potensi terjadinya kerusakan tanah akibat erosi, seperti turunnya
kandungan bahan organik tanah yang diikuti dengan berkurangnya kandungan
unsur hara dan ketersediaan air tanah bagi tanaman. Tanah – tanah yang
mengalami erosi berat umunya memiliki tingkat kepadatan yang tinggi sebagai
akibat terkikisnya lapisan atas tanah yang lebih gembur (Yahya et al. 2010)
Kondisi fisik lahan seperti diuraikan di atas pada gilirannya menurunkan
laju pertumbuhan dan produksi tanaman termasuk kelapa sawit (Harahap 2001).
Fenomena tersebut cukup banyak terjadi pada lahan perkebunan kelapa sawit
yang telah menghasilkan (Pambudi dan Hermawan 2010). Lahan curam
menghasilkan populasi tanaman per hektar lebih sedikit. Kemiringan optimal
kurang dari 23% (12°) dan tidak disarankan lebih dari 38% (20°) (Syakir 2010).
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh kemiringan lahan terhadap
pertumbuhan kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) pada lahan perkebunan kelapa
sawit yang telah menghasilkan (TM8)
Hipotesis Penelitian
1. Kemiringan lahan mempengaruhi keragaan pertumbuhan kelapa sawit.
2. Semakin curam kemiringan lahan pertumbuhan sawit semakin menurun.
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Kelapa Sawit
Kelapa sawit merupakan tanaman monokotil yaitu batangnya tidak
mempunyai kambium dan tidak bercabang. Batangnya lurus, berbentuk bulat
panjang dengan diameter 25-75 cm (Sunarko 2007). Batang berfungsi sebagai
penyangga tajuk serta menyimpan dan mengangkut bahan makanan. Tanaman
yang masih muda batangnya tidak terlihat karena tertutup oleh pelepah daun.
Pertambahan tinggi batang terlihat jelas setelah tanaman berumur 4 tahun. Tinggi
batang bertambah 25-45 cm/th. Pertambahan tinggi batang dapat mencapai 100
cm/th jika kondisi lingkungan sesuai. Tinggi maksimum yang ditanam di
perkebunan antara 15 sampai 18 m, sedangkan yang di alam mencapai 30 m.
pertumbuhan batang tergantung pada jenis jenis tanaman, kesuburan lahan, dan
iklim setempat (Wardiana et al. 2003).
Akar tanaman kelapa sawit berfungsi sebagai penunjang struktur batang,
menyerap air dan unsur hara dari dalam tanah, serta sebagai salah satu alat
respirasi. Sistem perakaran tanaman kelapa sawit merupakan sistem akar serabut.
Perakarannya sangat kuat karena tumbuh ke bawah dan ke samping membentuk
akar primer, sekunder, tertier, dan kuartener. Akar primer tumbuh ke bawah di
dalam tanah sampai batas permukaan air tanah. Akar sekunder, tertier, dan kuarter
tumbuh sejajar dengan permukaan air tanah bahkan akar tertier dan kuarter
menuju ke lapisan atas atau ke tempat yang banyak mengandung zat hara. Kelapa
sawit juga memiliki akar nafas yang muncul di atas permukaan atau di dalam air
tanah. Penyebaran akar terkonsentrasi pada tanah lapisan atas. Akar primer tertier
dan kuarter merupakan bagian akar yang paling dekat dengan permukaan tanah.
Kedua akar ini paling banyak ditemukan pada 2-2.5 m dari pangkal batang dan
sebagian besar berada di luar piringan (Wardiana et al. 2003).
Daun kelapa sawit mirip daun kelapa yaitu membentuk susunan daun
majemuk, bersirip genap, dan bertulang sejajar. Daun-daun membentuk satu
pelepah yang panjangnya mencapai 7.59 m. Jumlah anak daun di setiap pelepah
berkisar antara 250-400 helai. Produksi daun tergantung iklim setempat. Di
Sumatera Utara produksi daun dapat mencapai 20-24 helai/tahun. Umur daun
mulai terbentuk sampai tua sekitar 6-7 tahun. Daun kelapa sawit yang sehat dan
segar berwarna hijau tua (Wardiana et al. 2003).
Jumlah pelepah, panjang pelepah, dan jumlah anak daun tergantung pada
umur tanaman. Tanaman yang berumur tua memiliki jumlah pelepah dan anak
daun lebih banyak. Begitu pula pelepahnya akan lebih panjang dibandingkan
dengan tanaman yang masih muda. Tanaman dewasa dapat memproduksi 40-50
pelepah. Tanaman yang berumur sekitar 10-13 tahun luas daun permukaannya
dapat mencapai 10-15 m2. Luas permukaan daun akan berinteraksi dengan tingkat
produktivitas tanaman. Semakin luas permukaan atau semakin banyak jumlah
daun maka produksi akan meningkat karena proses fotosintesis akan berjalan
dengan baik. Proses fotosintesis akan optimal jika luas permukaan daun mencapai
11 m2 (Lubis 1992).
3
Syarat Tumbuh Kelapa Sawit
Kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik pada daerah tropika basah sekitar
Lintang Utara – Selatan 12° pada ketinggian 0 – 500 m dpl (Lubis 2008). Syakir
(2010) menyatakan bahwa iklim dan karakteristik lahan atau tanah adalah faktor
lingkungan penting yang perlu diperhatikan dalam memilih lokasi untuk
pengusahaan kelapa sawit.
Faktor iklim yang perlu diperhatikan dalam budidaya kelapa sawit adalah
curah hujan, suhu, dan intensitas matahari. Curah hujan berhubungan dengan
jaminan ketersediaan air dalam tanah sepanjang pertumbuhan tanaman. Ada dua
hal yang perlu diperhatikan yaitu jumlah curah hujan tahunan (mm) dan distribusi
curah hujan bulanan. Curah hujan yang ideal berkisar 2000–3500 mm/th yang
merata sepanjang tahun dengan minimal 100 mm/bulan (Paramananthan 2003).
Di luar kisaran tersebut tanaman kelapa sawit akan mengalami hambatan dalam
pertumbuhan dan berproduksi. Lokasi dengan curah hujan kurang dari 1450
mm/th dan lebih dari 5000 mm/th sudah tidak sesuai untuk sawit. Rendahnya
curah hujan tahunan berkaitan dengan defisit air dalam jangka waktu relatif lama
sedangkan curah hujan yang tinggi berkaitan dengan rendahnya intensitas cahaya
(Syakir 2010).
Intensitas matahari yang optimal bagi tanaman sawit berkisar antara 5
sampai 7 jam/hari dengan kelembaban 80%. Temperatur yang optimal bagi
tanaman kelapa sawit adalah 24–28 °C, terendah 18 °C dan tertinggi 32 °C (Lubis
2008). Temperatur rendah menyebabkan stomata tertutup dan mengurangi
fotosintesis (Paramananthan 2003). Temperatur sangat erat kaitannya dengan
tinggi tempat diatas permukaan laut (dpl) pada daerah tropis. Tinggi tempat
optimal adalah 200 mdpl dan disarankan tidak lebih dari 400 mdpl (Syakir 2010).
Temperatur menurun 0.6 °C per 100 m ketinggian di atas permukaan air laut
(dpl). Hal ini telah dilaporkan dari Sumatera bahwa tanaman kelapa sawit yang
ditanam pada ketinggian >500 m mengalami cekaman lingkungan pada tahun
pertama dan produksi lebih rendah dari tanaman yang ditanam pada dataran
rendah (<100 mdpl) (Hartley 1988). Hal ini diduga karena radiasi matahari yang
diterima berkurang dengan tingkat ketinggian dan ketebalan kabut
(Paramananthan 2003).
Kelapa sawit dapat tumbuh pada jenis tanah podzolik, latosol,
hidromorfik kelabu, alluvial atau regosol, tanah gambut saprik, dataran pantai
dan muara sungai. Tingkat kemasaman (pH) yang optimum untuk sawit adalah
5.0–5.5. Kelapa sawit menghendaki tanah yang gembur, subur, datar, berdrainase
(beririgasi) baik dan memiliki lapisan solum cukup dalam tanpa lapisan padas
(BPTP 2008).
Topografi, drainase lahan, dan kesuburan tanah merupakan faktor lahan
yang cukup penting dalam mempengaruhi pertumbuhan dan produksi sawit.
Faktor topografi berkaitan dengan derajad kemiringan lereng dan panjang lereng
yang berpengaruh nyata terhadap erosi tanah, biaya infrastruktur serta biaya
mobilisasi dan panen. Makin curam dan atau makin panjang lereng, bahaya
erosi makin meningkat. Pada lahan yang curam, populasi tanaman per hektar
lebih sedikit (Syakir 2010). Paramananthan (2003) mengungkapkan bahwa
kemiringan yang baik untuk tanaman kelapa sawit adalah <23% (<12°),
meskipun ada yang berhasil dibudidayakan pada kemiringan <38% (<20°).
4
Topografi
Topografi adalah perbedaan tinggi atau bentuk wilayah suatu daerah,
termasuk di dalamnya adalah perbedaan kemiringan lereng, panjang lereng,
bentuk lereng dan posisi lereng (Hardjowigeno 1993). Topografi merupakan salah
satu karakter tanah penting yang menentukan kecocokan tanah untuk kepentingan
pertanian (Paramanthan 2003). Elemen topografi utama yang mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan tanaman adalah bentuk permukaan lahan, sudut
kemiringan lereng, arah kemiringan lereng, dan ketinggian tempat. Bentuk
permukaan berpegaruh terhadap drainase tanah, sudut kemiringan lereng
berpengaruh terhadap perbandingan run off dan infiltrasi air, sedangkan
ketinggian tempat berpengaruh terhadap faktor biotik disekitar tanaman (Alvim
dan Kozlowski 1977). Hal ini sejalan dengan penelitian Banuwa (2001) yang
menjelaskan bahwa intensitas hujan dan kemiringan lereng sangat nyata
mempengaruhi dinamika aliran permukaan dan erosi.
Daerah dengan curah hujan tinggi menyebabkan pergerakan air pada satu
lereng menjadi tinggi pula sehingga dapat menghanyutkan partikel-partikel tanah.
Proses penghancuran dan transportasi oleh air akan mengangkut berbagai partikel-
partikel tanah, bahan organik, unsur hara, dan bahan tanah lainnya.
Kemiringan Lereng
Kemiringan lereng adalah perbandingan antara beda tinggi (jarak vertikal)
suatu lahan dengan jarak mendatarnya. Besar kemiringan lereng dapat dinyatakan
dengan beberapa satuan, di antaranya adalah dengan % (persen) dan ° (derajat)
(Dephut 2013). Dua titik yang berjarak horizontal 100 m yang mempunyai selisih
tinggi 10 m membentuk lereng 10%. Kecuraman lereng 100% sama dengan
kecuraman 45º. Kecuraman lereng memperbesar jumlah aliran permukaan, selain
itu juga memperbesar energi angkut air. Jumlah butir-butir tanah yang terpercik ke
bawah oleh tumbukan butir hujan akan semakin banyak jika kemiringan lereng
semakin besar. Hal ini disebabkan gaya berat yang semakin besar sejalan dengan
semakin miringnya permukaan tanah dari bidang horizontal, sehingga lapisan
tanah atas yang tererosi akan semakin banyak. Banyaknya erosi per satuan luas
menjadi 2.0-2.5 kali lebih banyak jika lereng permukaan tanah menjadi dua kali
lebih curam (Arsyad 2000).
Tabel 1 Klasifikasi kelas kemiringan lereng
Kemiringan lereng (%) Kelas lereng Bentuk relief
0-3 A Datar
3-8 B Agak landai
8-15 C Landai
15-30 D Agak curam
30-45 E Curam
45-60 F Sangat curam
60-100 G Terjal Sumber: Puslitanak 2003
5
Hardjowigeno (1993) menyatakan bahwa perbedaan lereng dapat
menyebabkan perbedaan banyaknya air yang tersedia bagi tumbuh-tumbuhan
sehingga mempengaruhi pertumbuhan vegetasi di tempat tersebut. Air memegang
peranan penting dalam pertumbuhan tumbuhan, sehingga apabila kebutuhan air
kurang tercukupi maka pertumbuhan dan produksi tumbuhan tersebut akan
terganggu.
Kemiringan lereng dapat diukur dengan beberapa cara, salah satunya
menggunakan alat ukur wilayah. Alat ukur wilayah yang digunakan untuk
mengukur kemiringan lereng diantaranya abney level, klinometer, dan distometer.
METODE
Bahan dan Alat
Bahan tanaman yang digunakan untuk penelitian adalah pohon kelapa
sawit pada tanaman menghasilkan (TM8). Bahan-bahan lainnya adalah amplop
coklat, kertas hvs, plastik dan karet. Alat-alat yang digunakan terdiri dari alat budi
daya pertanian, digital colour analyzer, distometer, light meter, paralon, gelas
ukur 100 ml, timbangan digital (digital scale), meteran, pisau, gantar, kuadran
(0.5 m x 0.5 m), alat tulis, dan oven dengan pengaturan suhu 105 °C selama 24
jam.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di lokasi Hutan Harapan Jambi yang telah
ditranformasi menjadi kebun sawit di Desa Singkawang, Kecamatan Muara
Bulian, Kabupaten Batang Hari, Jambi. Kebun sawit yang menjadi lokasi
penelitian merupakan kebun kelapa sawit milik Bapak Muhammad Inzar
Nasution. Penelitian dilakukan disekitar lokasi plot CRC990. Tanaman yang
diamati merupakan tanaman menghasilkan (TM8). Kegiatan penelitian
dilaksanakan pada bulan Desember 2012 sampai Maret 2013. Penimbangan dan
pengeringan dalam oven dilaksanakan di Laboratorium Pasca Panen Departemen
Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Prosedur Penelitian
Penelitian ini dilakukan secara observasi untuk melihat pertumbuhan
keragaan (vegetatif) tanaman kelapa sawit pada beberapa tingkat kemiringan
lahan. Mula-mula lahan penelitian seluas 1 ha dikelompokkan ke dalam empat
kelas kemiringan lahan, yakni datar (0-3%), landai (3-12%), agak curam (12-
25%), dan curam (25-40%). Empat tanaman kelapa sawit dipilih secara acak dari
setiap kelas kemiringan lahan, sehingga total tanaman yang diamati berjumlah 16
tanaman. Setelah lokasi penelitian ditentukan, selanjutnya lokasi ditandai untuk
mempermudah pengamatan.
6
Pengamatan dilakukan terhadap aspek vegetatif yaitu panjang pelepah,
jumlah pelepah, jumlah anak daun, tinggi pohon, kemiringan pohon, dan warna
daun. Selain itu, dilakukan juga pengamatan terhadap aspek ekologis yaitu lolosan
intensitas cahaya tajuk, analisis vegetasi gulma di sekitar tanaman dan persentase
penutupan tanah oleh gulma. Panjang pelepah diukur mulai dari pangkal hingga
ujung pelepah menggunakan meteran. Pelepah yang diukur merupakan pelepah
terakhir yang didodos. Selanjutnya dilakukan perhitungan jumlah anak daun.
Tinggi tanaman dan kemiringan tanaman diukur menggunakan distometer.
Distometer adalah alat pengukur jarak dan kemiringan digital. Warna daun diukur
menggunakan digital colour analyzer. Daun yang diukur merupakan daun bagian
tengah dari setiap pohon dan dilakukan pada permukaan daun.. Pengamatan warna
daun dilakukan setiap dua minggu sekali mengingat siklus pertumbuhan daun
pada tanaman kelapa sawit menghasilkan terjadi setiap dua minggu sekali.
Pengamatan terhadap lolosan intensitas cahaya tajuk dilakukan saat pagi,
siang, atau sore hari saat hari cerah (tidak hujan) menggunakan light meter.
Pengamatan dilakukan pada gawangan hidup dengan bantuan tali. Tali dibentuk
seperti segitiga dengan ukuran panjang 415 cm (titik tengah jarak tanam kelapa
sawit) dan lebar 270 cm. pengukuran dilakukan dari jaran 45 cm sampai 315 cm
dari pokok tanaman. Pengukuran dilakukan setiap 45 cm, sehingga total titik yang
diamati pada 1 pohon berjumlah 28 titik.
Analisis vegetasi tanaman di sekitar tanaman dilakukan pada piringan dan
gawangan hidup. Hal pertama yang dilakukan adalah menentukan petak contoh
pada lahan penelitian yang akan dianalisis gulmanya. Petak contoh diambil secara
acak dengan melemparkan kuadrat (0.5m x 0.5m) pada lahan penelitian. Petak
contoh yang diambil pada penelitian kali ini berjumlah 32 petak yang diharapkan
dapat mewakili populasi seluruh area. Selanjutnya dilakukan pemanenan gulma
yang tumbuh pada petak contoh tepat setinggi permukaan tanah untuk
menentukan kerapatan, frekuensi, dan berat kering biomassa gulma. Gulma yang
tumbuh menjalar melewati kuadrat dipotong tepat pada luasan kuadrat. Gulma
yang yang telah dipanen dipisahkan berdasarkan spesies. Kerapatan ditentukan
dengan cara menghitung jumlah individu tiap spesies gulma pada tiap petak
contoh. Gulma yang telah dipisahkan berdasarkan spesies dimasukkan ke dalam
kertas dan amplop coklat lalu gulma dikeringkan dengan cara dioven pada suhu
105°C selama 24 jam. Frekuensi dilakukan dengan cara menghitung jumlah petak
contoh (dalam persen) yang memuat spesies gulma tertentu. Penentuan beerat
kering biomassa dilakukan dengan menimbang tiap spesies gulma yang telah
dioven.
Prosedur Analisis Data
Data yang diperoleh merupakan data primer yang didapat secara langsung
baik melalui pengamatan secara langsung di lapang maupun di laboratorium. Data
yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara deskriptif dan kuantitatif dengan
perhitungan rataan dan perhitungan matematika sederhana lainnya. Selanjutnya,
dilakukan analisis data menggunakan pendekatan rancangan acak kelompok
lengkap (uji F pada taraf 5%) dan apabila berpengaruh nyata dilanjutkan dengan
uji duncan multiple range test (DMRT) pada taraf nyata 5%.
7
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum
Kebun kelapa sawit yang diamati merupakan perkebunan rakyat (PR).
Lokasi kebun berada pada ketinggian 55 mdpl dengan kondisi topografi lahan
datar sampai berbukit. Kemiringan lahan menghadap ke Selatan, namun pada
lahan datar (0-3%) kemiringan menghadap ke Utara. Kondisi lahan yang miring
tidak diikuti dengan penggunaan teras, sehingga mempengaruhi pertumbuhan
kelapa sawit pada tiap kemiringan yang berbeda (Gambar 1). Tekstur tanah
lempung liat berpasir gingga kedalaman 60 cm dan liat berpasir pada kedalaman
60-100 cm.
Gambar 1 Kondisi kemiringan lahan kebun kelapa sawit
Curah hujan harian rata-rata tiap bulan selama penelitian berkisar antara
231-346 mm dengan rata-rata curah hujan bulanan sebesar 282 mm dan jumlah
hari hujan rata-rata 10 hari tiap bulan. Curah hujan ini diperoleh dari pengukuran
curah hujan harian dengan menggunakan ombrometer manual. Data curah hujan
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Data curah hujan dan jumlah hari hujan wilayah Hutan Harapan Jambi
Desa Singkawang Kecamatan Muara Bulian Kabupaten Batang Hari
Provinsi Jambi pada bulan Desember 2012 – Februari 2013
Bulan Curah Hujan (mm) jumlah Hari Hujan
Desember 346.0 10
Januari 231.1 12
Februari 268.9 10
Pelepah Kelapa Sawit pada Berbagai Kemiringan Lahan
Pengamatan pelepah kelapa sawit dilakukan pada pelepah terakhir yang
sudah didodos. Hal ini dilakukan sebab penelitian tidak boleh merusak tanaman
yang ada. Pengamatan dilakukan untuk melihat petumbuhan pelepah kelapa sawit
pada 4 kemiringan lahan.
8
Tabel 3 Rata-rata jumlah pelepah, panjang pelepah dan jumlah anak daun yang
ditanam pada 4 kemiringan lahan
Kemiringan lahan (%) Jumlah
pelepah/pokoktn
Panjang
pelepah (m)tn
Jumlah anak
daun/pelepahtn
0-3 36.00 5.73 318.7
3-12 38.62 6.98 360.0
12-25 36.54 6.60 336.0
25-40 36.25 5.71 186.7 a tn : tidak berpengaruh nyata pada α = 5%
Kemiringan lahan tidak berpengaruh nyata terhadap peubah jumlah
pelepah, panjang pelepah dan jumlah anak daun kelapa sawit (Tabel 3).
Kemiringan lahan landai (3-12%) meskipun tidak nyata cenderung memiliki nilai
peubah vegetatif tanaman yang lebih tinggi dibandingkan dengan kemiringan
lainnya. Hal ini disebabkan pertumbuhan gulma yang tidak terlalu lebat sehingga
tidak mengganggu pertumbuhan pelepah kelapa sawit. Selain itu sebagian gulma
yang tumbuh berfungsi sebagai tanaman penutup tanah pencegah erosi. Faktor
luar yang mempengaruhi adalah letak lahan yang berdekatan dengan jalan
sehingga memudahkan pekerja untuk melakukan pemeliharaan secara maksimal.
Kemiringan lahan curam (25-40%) memiliki nilai peubah vegetatif
terendah. Jumlah anak daun pada lahan ini jauh lebih rendah jika dibandingkan
dengan jumlah anak daun pada kemiringan lainnya dan di bawah rata-rata
produksi seharusnya. Wardiana (2003) menyatakan bahwa jumlah anak daun di
setiap pelepah berkisar antara 250 sampai 400 helai. Namun pada kemiringan
lahan curam (25-40%) jumlah anak daun yang dihasilkan hanya 186.7 helai. Hal
ini terjadi karena tingginya % penutupan tanah oleh gulma dan tingginya erosi
yang terjadi pada lahan.
Gulma yang tumbuh pada kemiringan curam (25-40%) memenuhi hampir
seluruh lahan, baik pada piringan maupun gawangan (80%). Gulma yang tumbuh
menyebabkan tanaman kelapa sawit tidak dapat tumbuh optimum sebab terjadi
persaingan unsur hara, air dan cahaya, sehingga pertumbuhan daun menjadi
terhambat atau terganggu.
Erosi yang terjadi pada lahan curam (25-40%) diduga menjadi salah satu
penyebab rendahnya jumlah daun dan anak daun yang dihasilkan tanaman. Yahya
et al. (2010) menyatakan bahwa lahan yang miring memiliki potensi terjadinya
kerusakan tanah akibat erosi, seperti turunnya kandungan bahan organik tanah
yang diikuti dengan berkurangnya kandungan unsur hara dan ketersediaan air
tanah bagi tanaman. Penelitian Sitepu (2007) menunjukkan bahwa kandungan
NPK yang terdapat pada lahan dengan kemiringan lereng sebesar 15% sangat
rendah sehingga mempengaruhi pertumbuhan dan produksi daun tanaman. Lee et
al. (2011) menjelaskan bahwa kemiringan juga berpengaruh terhadap kandungan
P, Mg, Cl, B, dan S pada daun. Kandungan Mg dan B pada lahan berombak lebih
tinggi 10% dari lahan curam.
Jumlah anak daun selanjutnya akan mempengaruhi luas daun sehingga
dapat dihubungkan bahwa jumlah anak daun mempengaruhi fotosintesis yang
akan berdampak pada produksi tanaman. Semakin luas permukaan daun atau
semakin banyak jumlah daun dan anak daun maka produksi akan meningkat
9
karena proses fotosintesis akan berjalan dengan baik (Lubis 2008). Kelapa sawit
yang ditanam pada lahan curam (25-40%) memiliki potensi produksi yang rendah
sebab rendahnya jumlah anak daun yang dihasilkan.
Produksi daun yang rendah dapat diatasi dengan meningkatkan pemberian
pupuk N dan K (Pahan 2008). Nitrogen dapat meningkatkan pertumbuhan daun
dan membuat daun menjadi lebih lebar dengan warna yang lebih hijau, sedangkan
kalium berperan dalam proses fotosintesis.
Kemiringan dan Tinggi Pohon pada Berbagai Kemiringan Lahan
Batang kelapa sawit tumbuh tegak lurus (phototropi) dibungkus oleh
pangkal pelepah daun (fond base). Batang dapat juga timbul percabangan
meskipun sangat jarang sekali karena sebab tertentu (Lubis 2008).
Kemiringan dan tinggi pohon diukur menggunakan alat bantu ukur yaitu
distometer. Selain mengukur kemiringan dan tinggi, alat ini juga dapat digunakan
untuk mengukur jarak antara dua titik. Tinggi pohon diukur dari permukaan tanah
hingga titik tumbuh tanaman. Hasil pengamatan pada Tabel 4 menunjukkan
bahwa kemiringan lahan yang berbeda memberikan pengaruh yang relatif sama
terhadap kemiringan dan tinggi pohon tanaman kelapa sawit. Hal ini disebabkan
karena derajat kemiringan pohon lebih ditentukan oleh faktor lain, yaitu angin.
Kemiringan pohon juga berhubungan dengan umur dan asal-usul genetisnya.
Unsur genetis memberikan pengaruh yang berbeda terhadap pertumbuhan tinggi
tanaman sehingga rawan terhadap kerusakan oleh angin. Angin yang terlalu
kencang menyebabkan tanaman baru menjadi miring (Pahan 2008).
Tabel 4 Rata-rata kemiringan dan tinggi pohon yang ditanam pada 4 kemiringan
lahan
Kemiringan lahan (%) Kemiringan pohon (°)tn
Tinggi pohon (m)tn
0-3 4.48 4.20
3-12 3.22 4.11
12-25 6.48 4.03
25-40 9.48 3.15 a tn : tidak berpengaruh nyata pada α = 5%
Hasil pengamatan menunjukkan pada keadaan lahan yang semakin curam
pertumbuhan batang kelapa sawit akan semakin miring mengikuti arah
kemiringan lahan. Kemiringan pohon tertinggi terdapat pada lahan dengan
kemiringan 25-40% (9.48°) dan kemiringan pohon terendah terdapat pada lahan
dengan kemiringan 3-12% (4.48°). Tinggi pohon relatif sama untuk tiap
kemiringan. Tinggi pohon tertinggi terdapat pada kemiringan 0-3% (4.4 m) dan
tinggi pohon terendah terdapat pada kemiringan 25-40% (3.15 m). Tinggi pohon
rata-rata tanaman kelapa sawit pada semua kemiringan cukup rendah. Hal ini
disebabkan pengolahan lahan yang kurang baik, salah satunya penempatan arah
gawangan mati yang tidak sejajar dengan topografi lahan dan kondisi lahan yang
tidak ditanami tanaman penutup tanah (cover crop) yang mengakibatkan tingginya
laju erosi dan run off sehingga mengganggu proses pertumbuhan tanaman sawit.
10
Terlebih lagi pada lahan dengan kemiringan curam, sehingga semakin curam
kemiringan lahan tingkat erosi juga semakin tinggi. Selain itu tingkat
pertumbuhan gulma pada lahan yang semakin miring semakin tinggi hingga
mengakibatkan pertumbuhan kelapa sawit terganggu akibat persaingan unsur hara,
air dan cahaya yang terjadi antara tanaman kelapa sawit dan gulma di sekitar
tanaman. Semakin tinggi pertumbuhan gulma maka pertumbuhan sawit semakin
tidak optimal. Cahyo (2013) menjelaskan bahwa tinggi tanaman akan
mempengaruhi luas daun yang ternaungi maupun yang terkena sinar matahari
sehingga dapat dihubungkan bahwa tinggi tanaman mempengaruhi fotosintesis.
Warna Daun
Pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya
adalah kualitas cahaya. Hanya cahaya pada panjang gelombang tertentu saja yang
dapat diserap oleh tanaman. Cahaya berwarna merah dan biru memiliki pengaruh
yang paling besar terhadap pertumbuhan tanaman. Sedangkan cahaya berwarna
hijau memiliki pengaruh yang paling sedikit bagi tanaman karena sebagian besar
cahaya hijau yang sampai dipantulkan dan hanya sedikit yang diserap oleh
tanaman.
Pengamatan ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh kemiringan lahan
terhadap kandungan warna daun tanaman. Warna daun tanaman dapat diukur
dengan beberapa cara, salah satunya menggunakan alat digital colour analyzer.
Parameter warna yang diamati yaitu red, green dan blue.
Tabel 5 Rata-rata nilai parameter warna daun kelaspa sawit yang ditanam pada 4
kemiringan lahan (%)
Kemiringan lahan (%) Redtn
Greentn
Bluetn
0-3 63.92 69.58 40.50
3-12 70.96 72.75 43.50
12-25 62.12 63.87 36.71
25-40 65.79 66.62 40.29 a
tn : tidak berpengaruh nyata pada α = 5%.
Hasil analisis pada Tabel 5 menunjukkan bahwa kemiringan lahan yang
berbeda tidak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap semua parameter
warna daun. Namun, kandungan warna merah, hijau dan biru tertinggi terdapat
pada tanaman dengan kemiringan lahan landai (3-12%). Hal ini berdampak pada
pertumbuhan daun tanaman. Lahan dengan kemiringan landai (3-12%) memiliki
jumlah pelepah dan jumlah anak daun terbanyak dibandingkan dengan kemiringan
lainnya. Hal ini sejalan dengan pernyataan Nhut et al. (2003) yang menyatakan
bahwa cahaya biru memiliki peran dalam menghentikan proses pemanjangan
sehingga tanaman menjadi lebih padat dan daun tumbuh lebih besar. Selain itu,
cahaya biru juga berperan dalam mendorong pertumbuhan daun. Sebaliknya,
cahaya merah berperan dalam pemanjangan batang. Hal ini sejalan dengan
pernyataan Schruerger et al. (1997) yang menyatakan bahwa cahaya merah
11
berperan dalam pemanjangan batang, reaksi phytochrome dan perubahan anatomi
tumbuhan.
Nilai warna hijau pada daun menunjukkan kandungan nitrogen dalam daun
tersebut (Kawashima dan Nakatani 1998). Nilai warna hijau daun yang diamati
relatif cukup rendah yaitu berkisar antara 63-72 (Tabel 6). Selain itu, kondisi daun
tua pada tanaman yang diamati sangat kering dan alot sehingga menyebabkan
pelepah sulit untuk didodos. Hal ini mengindikasikan kurangnya kandungan
nitrogen dalam tanaman. Nasrudin dan Parawansa (2010) menyatakan bahwa
Kandungan warna hijau daun sangat berpengaruh pada pemberian pupuk.
Semakin tinggi dosis pupuk nitrogen yang diberikan maka warna daun yang
diperoleh sangat hijau. Akan tetapi jika dosis yang diberikan dalam jumlah sedikit
atau tidak sesuai dengan kebutuhan maka hasil warna daun yang diperoleh
kekuningan. Hal ini sesuai dengan pendapat Novizan (2005) yang menyatakan
bahwa jika terjadi kelebihan nitrogen tanaman tampak terlalu subur, ukuran daun
menjadi lebih besar, batang menjadi lunak dan berair, sehingga mudah patah dan
mudah diserang penyakit. Selain itu, Sutejo (1987) menambahkan, gejala
kekurangan unsur hara nitrogen terlihat di mulai dari daunnya. Warna daunnya
hijau agak kekuning-kuningan, selanjutnya berubah menjadi kuning lengkap.
Jaringan daun mati dan menyebabkan daun menjadi kering dan berwarna merah
kecoklatan.
Rendahnya kandungan warna hijau daun disebabkan rendahnya pemberian
pemberian pupuk yang kurang mencukupi. Selain itu pupuk yang diberikan pada
tanaman ikut tergerus terbawa erosi sehingga tidak terserap secara sempurna.
Keadaan ini dapat diperbaiki dengan memberikan pupuk kandang pada tanaman
dan memperbanyak dosis pemberian pupuk nitrogen. Menurut Setiawan (1996)
pupuk kandang mempunyai peranan penting dalam hal menyerap air, melewati
sehingga mengurangi erosi dan juga menambah sumber hara tanaman serta
memperbaiki sifat-sifat fisik tanah. Borman dan Likens (1992) menambahkan,
bahan organik yang berasal dari pupuk kandang akan terdekomposisi dan dapat
memperbaiki total porositas tanah dan permeabilitas tanah dengan menambah
kapasitas infiltrasi tanah. Kapasitas infiltrasi yang makin besar meningkatkan
kemampuan tanah untuk melewati air, udara dan akar tanaman sehingga dapat
mengurangi erosi.
Lolosan Intensitas Cahaya Tajuk pada Berbagai Kemiringan Lahan
Intensitas cahaya merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi
produktivitas kelapa sawit. Yuswita (1995) menjelaskan bahwa intensitas cahaya
merupakan jumlah total cahaya yang diterima oleh tanaman. Intensitas cahaya
berkorelasi dengan laju fotosintesis tanaman budidaya. Tanaman suka cahaya jika
diberi intensitas cahaya yang tinggi atau rendah akan menunjukkan perbedaan dan
karakteristik fotosintesis tertentu. Tanaman kelapa sawit merupakan tanaman yang
menyukai cahaya, sehingga jika intensitas cahaya yang diterima kurang akan
berakibat pada produksi bunga dan produktivitas.
Kemiringan lahan berhubungan dengan lolosan intensitas cahaya di bawah
tajuk. Lolosan intensitas cahaya ialah perbandingan jumlah cahaya yang lolos
melalui sela-sela pelepah tanaman terhadap cahaya kontrol pada keadaan langit
12
cerah di jam yang sama. Lolosan intensitas cahaya tajuk erat kaitannya dengan
penutupan kanopi tajuk akibat tingkat pertumbuhan tanaman dan kesuburannya.
Nilai lolosan intensitas yang semakin tinggi mengindikasikan indeks luas daun
pada tanaman semakin kecil. Arinya, cahaya yang lolos melalui sela-sela daun
semakin besar.
Penyebaran lolosan intensitas cahaya di bawah tegakan sawit pada TM8
berkisar antara 5-25%. Kemiringan landai (3-12%) dan curam (25-40%)
didominasi lolosan intensitas cahaya sebesar 10-15%, sedangkan kemiringan agak
curam (12-25%) didominasi lolosan intensitas cahaya sebesar 5-10%. Rata-rata
lolosan intensitas cahaya terbesar dimiliki oleh lahan agak curam, yaitu sebesar
13.54% dan terkecil dimiliki oleh lahan landai dengan lolosan intensitas cahaya
sebesar 11.91%. artinya tanaman yang paling baik penerimaan cahayanya terdapat
pada lahan landai. Hal ini berhubungan dengan jumlah pelepah dan jumlah anak
daun tanaman. Kemiringan landai memiliki jumlah pelepah dan anak daun
terbanyak dibandingkan dengan kemiringan lainnya. Semakin banyak jumlah
pelepah dan anak daun, maka lolosan intensitas cahaya akan semakin kecil, sebab
cahaya banyak terserap oleh daun dan hanya sedikit yang lolos sampai ke
prmukaan tanah. Sedangkan kemiringan yang lebih curam memiliki nilai lolosan
intensitas cahaya yang lebih besar. Hal ini terjadi karena pada kemiringan yang
lebih curam pertumbuhan pelepah sawit kurang optimum, sehingga lolosan
intensitas cahaya semakin besar. Ilustrasi dan penyebaran lolosan intensitas
cahaya di bawah tegakan sawit (tanaman diasumsikan tegak lurus dengan cahaya)
dapat dilihat pada Gambar 2,3 dan 4.
Gambar 2 Lolosan intensitas cahaya Gambar 3 Lolosan intensitas cahaya
kemiringan 3-12% kemiringan 12-25%
Keterangan
Isolight transmission 5-10%
Isolight transmission 10-15%
Isolight transmission 15-20%
Gambar 4 Lolosan intensitas cahaya
kemiringan 25-40% Isolight transmission 20-25%
13
Rata-rata lolosan intensitas cahaya yang diterima tanaman pada tiap
kemiringan memiliki trend yang sama, yaitu lolosan intensitas cahaya tertinggi
terdapat pada jarak terdekat (45 cm) kemudian menurun sampai jarak 135 cm dan
naik lagi sampai jarak 315 cm (Gambar 5). Hal ini berhubungan dengan ukuran
anak daun. Anak daun yang terdapat pada pangkal pelepah berukuran lebih
pendek dibandingkan dengan anak daun yang terdapat pada bagian tengah dan
ujung. Kondisi ini menyebabkan lolosan intensitas cahaya yang diteruskan lebih
besar.
Gambar 5 Lolosan intensitas cahaya tajuk berdasarkan jarak (m) dan kemiringan
lahan (%)
Analisis Vegetasi Gulma
Gulma adalah tumbuhan yang tumbuh di tempat yang tidak dikehendaki
oleh manusia atau tumbuhan yang kegunaannya belum diketahui (Tjitrosoedirjo
1984). Pahan (2008) berpendapat bahwa kehadiran gulma di perkebunan kelapa
sawit dapat menurunkan produksi akibat bersaing dalam pengambilan air, hara,
sinar matahari, dan ruang hidup. Gulma juga dapat menurunkan mutu produksi
akibat terkontaminasi oleh bagian gulma, mengganggu pertumbuhan tanaman,
menjadi inang bagi hama, mengganggu tata guna air, dan meningkatkan biaya
pemeliharaan. Sembodo (2010) menambahkan, kerugian akibat gulma dapat pula
terjadi melalui proses alelopati, yaitu proses penekanan pertumbuhan tanaman
akibat senyawa kimia (alelokimia) yang dikeluarkan oleh gulma. Rambe et al.
(2010) menyebutkan bahwa Mikania micrantha dapat menurunkan produksi
Tandan Buah segar (TBS) sebesar 20% karena pertumbuhannya sangat cepat dan
mengeluarkan zat allelopatik yang bersifat racun bagi tanaman.
Analisis vegetasi gulma perlu dilakukan untuk mengetahui jenis-jenis gulma
dominan pada sauatu ekosistem agar dapat diterapkan pengendalian yang efektif
dan efisien. Pengamatan ini dilakukan untuk melihat jenis gulma yang paling
dominan berdasarkan kemiringan lahan. Tabel 6 menyajikan data 10 gulma yang
paling dominan pada 4 kemiringan lahan.
0
5
10
15
20
25
30
4 5 9 0 1 3 5 1 8 0 2 2 5 2 7 0 3 1 5
Lo
losa
n i
nte
nsi
tas
cahay
a ta
juk (
%)
Jarak dari pohon (cm)
Kemiringan (3-12)%
Kemiringan (12-25)%
Kemiringan (25-40)%
14
Tabel 6 Nisbah Jumlah Dominasi (NJD) gulma pada 4 kemiringan lahan (%)
Nomor Spesies Gulma Jenis
Gulmaa
Nisbah Jumlah Dominasi (NJD)
0-3% 3-12% 12-25% 25-40%
1 Borreria alata DL 45.15 49.40 36.87 28.20
2 Melastoma affine DL 11.69 6.58 4.88 11.36
3 Borreria leavis DL 4.78 11.56 4 Mikania micrantha DL 1.99 1.05 3.02 10.88
5 Paspalum commersonii R 10.40 4.12
3.95
6 Cyrtococcum acrescens R
9.26
7 Paspalum conjugatum R 9.03
6.77
8 Asystasia coromandeliana DL 7.78
2.24
9 Centotheca lappacea R
7.50 3.79 3.89
10 Cytrococcum oxyphyllum R 2.90 3.25 7.35 11 Elaeis guineensis DL
7.70 2.77
12 Hyptis rhomboidea DL
5.14
13 Asystasia intrusa DL
4.91
14 Imperata cylindrica R
3.88 15 Nephrolepis biserrata P
3.47 16 Axonopus compressus R
2.98 2.87
17 Diodia sarmentosa DL
18 Panicum maxima R
2.73 19 Ageratum conyzoides DL 2.31
2.35
20 Setaria plicata R 1.92
21 Phyllanthus niruri DL 1.80 a:DL : Daun Lebar; R: Rumput; P : Paku.
Berdasarkan hasil analisis vegetasi yang dilakukan dapat dilihat bahwa
gulma yang paling dominan pada 4 kemiringan berasal dari spesies yang sama,
yaitu Borreria alata dan Melastoma affine. Kedua gulma ini muncul dangan nilai
NJD tertinggi pada semua kemiringan lahan.
Borreria alata dan Melastoma affine merupakan gulma yang cukup penting
pada perkebunan kelapa sawit. Masalah yang ditimbulkannya cukup besar, yaitu
dapat mengganggu pembangunan penutup tanah kacangan, mengganggu saluran
drainase, dan menjadi saingan tanaman kelapa sawit dalam memperoleh unsur
hara, air, dan cahaya. Borreria alata berkembangbiak dengan biji. Banyaknya biji
yang dihasilkan tiap individu menyebabkan peluang tumbuh semakin besar.
Selain itu penyebaran biji dipermudah dengan bantuan angin karena bijinya kecil
dan ringan sehingga gulma ini bisa terdapat dimana-mana, baik di tempat terbuka
atau agak ternaungi.
Berdasarkan tabel 6 dapat juga dilihat bahwa ada gulma-gulma penting yang
dapat menimbulkan kerugian cukup besar, diantaranya adalah Mikania micrantha
dan Imperata cylindrica. Micania micrantha merupakan tumbuhan yang mudah
menyebar dan berkembang biak dengan cepat. Tumbuhan ini memiliki daya yang
cepat untuk tumbuh di lingkungan apa saja, seperti di lahan lembab dan lahan
kering. Micania micrantha hidup menjalar atau melilit pada tumbuhan yang lain,
15
baik pada tumbuhan pohon, semak dan perdu. Pertumbuhannyasangat cepat
karena dalam sehari dapat tumbuh sebanyak 8 cm. Tumbuhan ini sangat cepat
tumbuh ketika musim hujan. Di Australia Mikania micrantha merupakan jenis
tumbuhan yang sangat mengancam dalam pertumbuhan pertanian karena
menyebabkan kerusakan yang serius dalam produksi tanaman pertanian (Bukma
2011). Gulma ini terdapat pada seluruh kemiringan lahan, namun lebih dominan
pada lahan curam dengan nilai NJD sebesar 10.88.
Imperata clyndrica dianggp sebagai salah satu dari 10 gulma terburuk di
dunia karena cepat tumbuh. Tumbuhan ini tumbuh subur di lahan seperti kebun,
halaman berumput dan pinggir jalan. Menghasilkan rimpang, penyebaran biji
sangat cepat dan jarak jauh, akar dan rimpang tahan terhadap api (Soeryani 1974).
Gulma ini terdapat pada lahan dengan kemiringan 3-12%.
Penutupan Tanah pada Berbagai Kemiringan Lahan
Kemiringan lahan tidak berpengaruh nyata terhadap % penutupan
permukaan tanah oleh gulma. Namun terdapat kecenderungan ketika kemiringan
lahan semakin curam, % penutupan tanah semakin tinggi. Tabel 10 menunjukkan
persen penutupan tanah yang lebih tinggi seiring bertambahnya persen
kemiringan lahan. Penutupan tanah tertinggi terdapat pada lahan dengan
kemiringan 25-40% (80%) sedangkan penutupan tanah terendah terdapat pada
lahan dengan kemiringan 0-3% (54.68%). Hal ini berhubungan dengan lolosan
intensitas cahaya. Semakin besar lolosan intensitas cahaya yang lolos maka
penutupan tanah semakin tinggi sebab vegetasi di sekitar tanaman memperoleh
cahaya yang lebih banyak untuk pertumbuhannya. Lolosan intensitas cahaya yang
tinggi disebabkan oleh pertumbuhan pelepah yang kurang maksimum. Jumlah
anak daun pada kemiringan curam (25-40%) jauh lebih rendah dibandingkan
kemiringan lainnya. Hal ini menyebabkan pertumbuhan gulma menjadi lebih lebat
dan menutupi hampir seluruh permukaan tanah.
Table 7 Rata-rata % penutupan permukaan tanah oleh gulma pada 4
kemiringan lahan
Kemiringan lahan (%) Rata-rata % penutupan tanahtn
0-3 54.68
3-12 60.95
12-25 57.30
25-40 80.00 a tn : tidak berpengaruh nyata pada α = 5%.
16
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Kemiringan lahan tidak mempengaruhi semua peubah vegetative tanaman
kelapa sawit, intensitas lolosan cahaya, dan keragaman gulma. Akan tetapi,
terdapat kecenderungan bahwa tanaman yang ditanam pada lahan yang lebih datar
akan tumbuh lebih baik. Pertumbuhan daun terbaik terdapat pada lahan landai (3-
12%).
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap aspek produksi tanaman
untuk melihat hubungannya dengan kemiringan lahan.
DAFTAR PUSTAKA
Alvim T, Kozlowski TT. 1977. Ecophysiology of Tropical Crops. New york (US):
Academic Press.
Arsyad S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. Bogor (ID): IPB Pres.
Banuwa IS, Sukri I. 2001. Model hubungan intensitas hujan dan panjang lereng
dengan aliran permukaan dan erosi pada berbagai konservasi tanah di
pertanaman sayuran dataran tinggi. Jurnal Penelitian Pertanian Terapan.
9: 41.
Bukman. 2011. Mikania micrantha [Internet]. [diunduh pada 2013 Juli 24].
Tersedia pada: http://AudocumentsBiosecurityEnviromentalPestsIPA-
MikaniaVine-PP143.
[BPTP] Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 2008.
Teknologi Budidaya Kelapa Sawit. Lampung (ID): BPTP Lampung
Borman. FH, Gene EL. 1992. Pattern and Process in A Forested Ecosystem.
Berlin: Springger-Verlag.
Cahyo YID. 2013. Emisi gas CH4 dan serapan karbon dari aplikasi pupuk
anorganik, organik dan tanaman sela pada budidaya jarak pagar [skripsi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
[Ditjenbun] Direktorat Jendral Perkebunan. 2013. Lintasan 30 tahun tahun
pengembangan kelapa sawit [Internet]. [diunduh pada 2013 September
27]. Tersedia pada: http://ditjenbun.deptan.go.id/tanhun/berita-176-
lintasan-30-tahun-pengembangan-kelapa-sawit.html.
Fauzy Y, Widyastuti YE, Satyawibawa I, Paeru RH. 2006. Kelapa Sawit:
Budidaya Pemanfaatan Hasil dan Limbah Analisis Usaha dan Pemasaran.
Ed revisi. Jakarta (ID). Penebar Swadaya.
17
Harahap IY. 2006. Penataan ruang pertanaman kelapa sawit berdasar pada konsep
optimalisasi pemanfaatan cahaya matahari. Warta pusat penelitian kelapa
sawit. 14(1): 9-15.
Hardjowigeno S. 2003. Klasifikasi Tanah dan Padogenesis. Ed revisi. Jakarta
(ID): Akademika Presindo.
Hartley CWS. 1988. The Oil Palm. London: Longman.
Herman M, Pranowo D. 2011. Produktivitas jagung sebagai tanaman sela pada
peremajaan sawit rakyat di Bagan Sapta Permai Riau [Internet]. [diunduh
pada 2014 Januari 29]. Tersedia pada:
http:/balitsereal.litbang.deptan.go.id.
Kawashima S, Nakatani M. 1998. An algorithm for estimating chlorophyll content
in leaves using a video camera. Annals of Botany [Internet]. [diunduh 2014
Februari 15]; 81: 49-54. Tersedia pada: http://aob.oxfordjournals.org.
Krisnohadi A. 2011. Analisis pengembangan lahan gambut untuk tanaman kelapa
sawit kabupaten kubu raya. J Perkebunan dan Lahan Tropika. 1: 1-7.
Lee CH, Rahman ZA, Musa MH, Norizan MS, Tan CC. 2011. Leaf nutrient
concentrations in oil palm as affected by genotypes, irrigation and terrain.
Journal of Oil Palm & The Environment. 2:38-47. doi:
10.5366/jope.2011.05.
Lubis AU. 2008. Kelapa Sawit (Elaeis guinensis jacq.) di Indonesia. Ed ke-2.
Medan (ID: Pusat Penelitian Kelapa Sawit.
Nasaruddin, Parawansa INR. 2010. Pertumbuhan evaluasi kandungan nitrogen
melaluui indikasi warna daun pada tanaman kakao (Theobrema cacao L.)
belum menghasilkan. Jurnal Agrisistem [Internet]. [diunduh 2015 Februari
10];6(2): Tersedia pada:
http://www.stppgowa.ac.id/DataDownloadCentrePap/data-jurnal-
agrisistem-stpp-gowa.
Novizan. 2005. Petunjuk Pemupukan yang Efektif yang Efektif. Jakarta (ID):
Agromedia Pustaka.
Nhut DT, Tajamura T, Watanabe H, Okamoto K, Tanaka M. Responses of
strawberry plantlets cultured in vitro under superbrighht red and blue light-
emitting diodes (LED). 2003. Plant Cell, Tissue and Orange Culture.
73:43-52p
Pahan I. 2008. Panduan Lengkap Kelapa Sawit: Manajemen Agribisnis dari Hulu
hingga Hilir. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.
Pambudi DT, Hermawan B. 2010. Hubungan antara beberapa karakteristik fisik
lahan dan produksi kelapa sawit. Akta Agrosia. 13(1) : 35-39.
Paramananthan S. 2003. Oil Palm: Management for Large and Sustainable Yields.
Fairhust T, Hardter R, editor. Singapore (SG): Potash and Phosphate inst.
[PPPP] Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. 2010. Budidaya Kelapa
Sawit. Bogor (ID): Aska Media.
Rambe TD, Pane L, Sudharto P, Caliman. 2010. Pengelolaan Gulma pada
Perkebunan Kelapa Sawit di PT. Smart Tbk. Jakarta (ID).
Schuerger AC, Brown CS, Stryjewski EC. 1997. Anatomical features of pepper
plants (Capsicum annum L.) grown under red light-emitting diodes
suplemented with blue or far-red light. Annual Botany. 79:273-282p.
18
Sembodo DRJ. 2010. Gulma dan Pengelolaannya. Yogyakarta (ID): Graha Ilmu.
Setiawan AI. 1996. Memanfaatkan Kotoran Ternak. Jakarta (ID): Penebar
Swadaya.
Sitepu A. 2007. Evaluasi kesesuaian lahan untuk tanaman kelapa sawit (Elaeis
guinensis Jacq.), coklat (Theobroma cacao) dan karet (Havea brasiliensis)
di Desa Belitung Kecamatan Sei Bingei Kabupaten Langkat [skripsi].
Medan (ID): Universitas Sumatera Utara.
Soeryani M. 1974. The Evaluation Of Competition Between Annual Crops and
Weeds. Workshop On Research Methodology in Weed Science. Bandung
(ID).
Sunarko. Petunjuk Praktis Budi Daya dan Pengolahan Kelapa Sawit. 2007.
Jakarta: Agromedia Pustaka.
Sutejo MM. 1987. Pupuk dan Pemupukan. Jakarta (ID): Rinela Cipta.
Syakir M. 2010. Budidaya kelapa sawit. Bogor (ID). Aska media.
Tjitrosoedirdjo S, Utomo IH, Wiroatmojo J. 1984. Pengelolaan Gulma di
Perkebunan. Jakatra (ID): PT Gramedia.
Verheye W. 2011. Growth and production of oil palm. Soils, plant growth and
crop production [Internet]. [diunduh pada 2014 Februari 2]; Vol 2.
Tersedia pada: http://www.eolss.net.
Wardiana E, Mahmud Z. 2003. Tanaman sela diantara pertanaman kelapa sawit
[Internet]. [diunduh 2014 Februari 8]. Tersedia pada:
http://digilib.litbang.deptan.go.id.
Yahya Z, Husin A, Talib J, Othman J, Ahmed OH, Jalloh MB. 2010. Oil palm
(Elaeis guineensis) roots response to mechanization in Bernam series soil.
Am. J. Applied Sci [Internet]. [diunduh 2013 Januari 14]; 7(3): 343-348..
Tersedia pada: http://thescipub.com/PDF/ajassp.2010.343.348.pdf.
Yuswita. 1995. Keragaman dan hasil tanaman jahe muda (Zingiber officinale
Rose.) pada berbagai intensitas cahaya [Tesis]. Padang (ID): Universitas
Andalas.
19
LAMPIRAN
Lampiran 1 Nisbah Jumlah Gulma (NJD) pada 4 kemiringan lahan (%)
Nomor Spesies Gulma Jenis
Gulmaa
Nisbah Jumlah Dominasi (NJD)
0-3% 3-12% 12-25% 25-40%
1 Borreria alata DL 45.15 49.40 36.87 28.20
2 Melastoma affine DL 11.69 6.58 4.88 11.36
3 Borreria leavis DL 4.78 11.56 4 Mikania micrantha DL 1.99 1.05 3.02 10.88
5 Paspalum commersonii R 10.40 4.12 1.88 3.95
6 Cyrtococcum acrescens R
9.26
7 Paspalum conjugatum R 9.03
2.00 6.77
8 Asystasia coromandeliana DL 7.78
2.24
9 Centotheca lappacea R
7.50 3.79 3.89
10 Cytrococcum oxyphyllum R 2.90 3.25 7.35 11 Elaeis guineensis DL
7.70 2.77
12 Hyptis rhomboidea DL
5.14
13 Asystasia intrusa DL
4.91
14 Imperata cylindrica R
3.88 15 Nephrolepis biserrata P
3.47 16 Axonopus compressus R 1.80 2.98 2.87 1.92
17 Diodia sarmentosa DL
2.85
18 Panicum maxima R
2.73 19 Ageratum conyzoides DL 2.31
2.35
20 Setaria plicata R 1.92
21 Phyllanthus niruri DL 1.80 2.23
22 Ottochloa nodosa R
2.25
23 Clidemia hirta DL
2.12
24 Cleria sumatranensis DL 1.83
2.10 1.39 a:DL : Daun Lebar; R: Rumput: P ; Paku.
20
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 02 Juni 1991 di Bandung, Provinsi Jawa
Barat. Penulis merupakan anak pertama dari pasangan Bapak Kamajaya dan Ibu
Murni. Tahun 2003 penulis lulus dari SD Negeri Gunung Batu 01 Bogor.
Selanjutnya penulis menyelesaikan studi di SMP Negeri 7 Bogor pada tahun 2006
dan di SMA Negeri 9 Bogor pada tahun 2009.
Tahun 2009 penulis diterima di IPB melalui jalur PMDK. Penulis diterima
sebagai mahasiswa Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian
pada tahun 2010. Selama menjadi mahasiswa penulis pernah aktif menjadi
pengurus agrohortplate divisi kewirausahaan. Penulis juga pernah aktif di dalam
kepanitiaan acara Agrosportment dan Festival Tanaman. Penulis pernah mengikuti
magang saat libur akhir semester di Indo Flower Nursery (IFN) Bogor pada bulan
Januari - Maret 2012.
Top Related