A
PERTANGGUNGJAWABAN PERTANGGUNGJAWABAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT
Dr. Agus Surono, S.H., M.H.
i
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar ...................................................................................................... i
Daftar Isi ............................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Pengantar Tanggung Jawab Hukum Atas Tindakan Medis ..............................1
B. Pengantar Konsep Pertanggunjawaban Pidana Dalam Pemberian Terapi........4
BAB II PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PADA UMUMNYA
A. Konsep Pertanggungjawaban Pidana ................................................................9
B. Ajaran/Doktrin Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana..........................12
C. Pertanggungjawaban Pidana Berdasarkan Kesalahan.....................................17
D. Penyimpangan Asas Kesalahan Dalam Pertanggungjawaban Pidana ............21
BAB III SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI
A. Perlunya Pengaturan Tentang Pertanggungjawaban Pidana Korporasi ..........41
B. Sejarah Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana .....................54
C. Pengertian korporasi .......................................................................................63
D. Pengertian dan Ruang Lingkup Tindak Pidana Korporasi .............................72
BAB IV TINDAK PIDANA KORPORASI DAN TAHAP-TAHAP
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI
A. Karakteristik Tindak Pidana Korporasi ..........................................................81
B. Kriminalisasi Tindak Pidana Korporasi..........................................................92
C. Tahap-Tahap Perkembangan Sistem Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi.............................................................................................99
iii
BAB V PENGGUNAAN TERAPI DENGAN ZAT RADIOAKTIF
DI RUMAH SAKIT
A. Konsep Rumah Sakit Sebagai Korporasi ......................................................115
B. Ketenagaan Yang Bekerja di Rumah Sakit...................................................127
C. Kontrak Medis Antara Rumah Sakit (Dokter) Dengan Pasien .....................133
D. Pemberian Terapi Dengan Zat Radioaktif di Rumah Sakit ..........................145
BAB VI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT
A. Pertanggungjawaban Tenaga Kesehatan di Bidang Radioterapi ..................155
B. Pertanggungjawaban Pidana Rumah Sakit ...................................................170
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................201
iv
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pengantar Tanggung Jawab Hukum Atas Tindakan Medis
Banyak peristiwa penting yang berhubungan dengan masalah medis,
khususnya yang berhubungan dengan pemberian terapi bagi penderita kanker.
Radioterapi dengan menggunakan zat radioaktif disamping mempunyai kelebihan
juga terdapat kekurangan yang dapat merugikan pasien. Dalam pemberian terapi
seorang dokter dalam melaksanakan tugasnya hendaknya selalu berpedoman pada
standar profesi medis.
Fenomena yang berkembang akhir-akhir ini, ada kecenderungan seorang
tenaga medis kurang memperhatikan standar pelayanan dalam prosedur
pemberian terapi terhadap penderita penyakit kanker. Paradigma hubungan dokter
dengan pasien yang dahulu bersifat resultaat verbintenis, sekarang berubah
menjadi inspanning verbintenis yang mengandung pengertian bahwa seorang
dokter berupaya untuk menyembuhkan pasien melalui tindakan medis dengan
upaya maksimal.
Penggunaan terapi dengan menggunakan zat radioaktif dapat
mengakibatkan dampak negatif bagi pasien akibat adanya kelalaian yang
dilakukan oleh tenaga medis atau tenaga paramedis di bidang radioterapi. Adanya
malpraktek medis yang dapat diberikan sanksi pidana membutuhkan adanya unsur
culpa lata atau kelalaian berat dan adanya akibat yang fatal bagi pasien.
Hal itu sesuai dengan keputusan Hoge Raad tanggal 3- februari 1913 yang
menyatakan bahwa untuk Pasal 307 Wethoek van Strafrecht Belanda sama dengan
Pasal 359 KUHPidana Indonesia dibutuhkan pembuktian culpa lata dan bukan
culpa ringan.
Dengan semakin meningkatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi khususnya di bidang kedokteran sangat membantu seorang dokter
dalam upaya diagnosis dan terapi suatu penyakit, yang dalam hal ini penggunaan
terapi dengan menggunakan zat radioaktif. Meskipun demikian kemajuan
teknologi tersebut tidak menjamin bahwa tidak akan terjadi adanya malpraktek
2
medis yang dilakukan oleh seorang dokter maupun tenaga paramedis di bidang
radioterapi, seperti pada kasus: Hoge Raad 14-april 1950. No.1951 (roengtenolog)
yang menyatakan:
"Seorang pasien wanita mempunyai pertumbuhan yang halus agak tebal di
wajahnya. Seorang dokter radiolog telah memakai radioterapi untuk
penyembuhannya, walaupun sebagai radiologis tahu atau seharusnya tahu
tentang terapi yang dipilihnya ini mengandung bahaya yang tidak seimbang
dengan penyakitnya. Seorang dokter harus mempertimbangkan antara terapi
yang dipilih dengan kepentingan pasien. Jika hal ini tidak dilakukan maka
dokter itu harus bertanggungjawab atas kerugian yang timbul sebagai
akibatnya. Arrest ini dikenal dengan nama roengtenarest".1
Rumah sakit pada awalnya dianggap tidak memiliki tanggung jawab hukum
karena dianggap sebagai badan hukum yang berfungsi sosial dengan segala
keistimewaannya. Namun saat ini di berbagai negara, para ahli mengatakan bahwa
rumah sakit sebagai suatu entity berdasarkan teori agency yaitu pasien
menganggap semua orang yang bekerja di rumah sakit adalah agen dari rumah
sakit, relience yaitu pasien melihat ke arab rumah sakit sebagai pemberi
pelayanan dari pada dokternya, corporate yaitu rumah sakit dianggap sebagai
suatu korporasi sehingga dapat dimintai pertanggungjawaban.2
Ketika seorang dokter bekerja sebagai pegawai rumah sakit, maka hubungan
yang terjadi semakin kompleks, yaitu hubungan dokter dengan pasien serta rumah
sakit yang merupakan hubungan segitiga. Dokter tidak lagi menjadi profesional
yang bebas saat berhubungan dengan pasien. Memang dari segi teknis medis ia
masih tetap memiliki kebebasan profesional, kecuali keharusan mengikuti standar
operasional prosedur yang berlaku setempat dan ia harus tunduk kepada rumah
sakit.
Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka
1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Ul, 1993). hal.102.
2.Budi Sampurna. Aspek Etiss dan Hukum Dalam Pelayanan Kesehatan, (disampaikan dalam seminar Perhuki pada tanggal 2-Juni 2000, di Jakarta).
3
hubungan antara pasien dengan rumah sakit akan lebih menonjol dibandingkan
dengan hubungan antara dokter dengan pasien. Posisi dokter menjadi lebih mirip
sebagai pegawai rumah sakit, sebagaimana para pegawai lain seperti perawat,
penata rontgen, serta tenaga paramedic lainnya.
Hubungan antara tenaga medis dengan pasien dianggap mempunyai sifat
khusus sehingga harus diberikan standar terhadap adanya kesalahan dalam suatu
perawatan medis. Untuk itu perlu dikemukakan sejauh mana hak dan kewajiban
dokter maupun pasien dalam hubungan terapeutik yang terjadi antara pasien dan
dokter terutama yang diatur dalam undang-undang.
Agar memberikan kepastian tentang hak clan kewajiban dokter maupun
pasien dalam hubungan terapeutik diperlukan adanya informed consent, yaitu"..
suatu kesepakatan/persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan
dokter terhadap dirinya setelah pasien mendapat informasi dari dokter mengenai
upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya disertai informasi
segala resiko yang mungkin terjadi".3 Adanya informed consent tersebut tidak
menyebabkan tanggung jawab dokter atas tindakan medis yang dilakukan apabila
terjadi suatu kematian atau cacatnya seseorang pasien setelah suatu perawatan
oleh dokter atau tenaga medis lainnya menjadi tidak lagi dapat
dipertanggungjawabkan.
Hubungan antara pasien dan dokter semula merupakan hubungan enter
individu yang masuk dalam lingkup hukum perdata. Meskipun demikian apabila
dalam suatu perawatan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan menimbulkan cacat
atau matinya seorang pasien, maka tenaga kesehatan tersebut dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana.
Pada prosedur pemberian terapi pihak yang terkait adalah dokter spesialis
radioterapi, penata rontgen, kepala unit radioterapi, serta pimpinan rumah sakit
(rumah sakit).
Atas dasar itu perlu dikaji lebih mendalam apa bentuk
pertanggungjawabannya, siapa yang dapat dimintai pertanggungjawaban,
3 .Veronica, K, Hukum dam Etika Dalam Praktek Dokter. (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989 ), hal.89.
4
bagaimana rumah sakit dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas tindakan
medis dalam pemberian terapi dengan menggunakan zat radioaktif yang
menyebabkan cacat atau matinya seorang pasien. Atas dasar hal-hal yang
dikemukakan di atas penulis mencoba mengadakan penelitian dengan judul:
"Pertanggungjawaban pidana rumah sakit terhadap akibat negatif penggunaan
terapi dengan zat radioaktif".
Keterkaitan antara pertanggungjawaban pidana rumah sakit, dokter serta
tenaga paramedic di bidang radioterapi terhadap akibat negatif penggunaan terapi
dengan zat radioaktif sangat erat kaitannya dengan beberapa hal di bawah ini
yaitu: standar pertanggungjawaban pidana terhadap adanya kesalahan dalam
pemberian terapi dengan zat radioaktif, pertanggung jawaban pidana atas tindaka
medis dalam pemberian terapi dengan zat radioaktif oleh dokter/tenaga medis atau
tenaga paramedic yang bekerja di rumah sakit, serta pertanggungjawaban pidana
rumah sakit. Beberapa hal tersebut akan dibahas lebih lanjut dalam bab-bab
berikutnya karena pada intinya buku ini akan membahas mengenai
pertanggungjawaban rumah sakit.
B. Pengantar Konsep Pertanggunjawaban Pidana Dalam Pemberian Terapi
Geen straf zonder schuld dalam bahasa Belanda atau heine straf ohne schuld
dalam bahasa Jerman atau actus non Tacit reum, nisi mens sit rea (an act does not
make a person guilty, unless the mind is guilty) bahasa Inggris merupakan salah
satu asas penting dalam hukum pidana untuk menentukan apakah seseorang dapat
dipidana ataukah tidak. Secara eksplisit asas yang menyatakan bahwa tidak dapat
dipidana seseorang jika tidak ada kesalahan ini tidak dapat kita jumpai dalam
KUHPidana atau dalam aturan manapun dalam perundang-undangan kita.4
Secara teoritis, suatu tindak pidana terjadi manakala sudah memenuhi unsur-
unsur paling sedikit 3 unsur yaitu sikap yang melanggar suatu aturan perundang-
undangan hukum pidana tertulis, tindakan itu bersifat melawan hukum, dan
perilaku itu mengandung unsur kesalahan.
Menurut Simons yang dikemukakan oleh Hezenwikel. Suringa, menyatakan
4 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Askara, 1987), hal 3.
5
bahwa strafbaar felt (peristiwa pidana) ialah perbuatan melawan hukum yang
berkaitan dengan kesalahan (schuld) seseorang yang mampu bertanggung jawab.5
Kesalahan yang dimaksud oleh Simons, ialah kesalahan dalam arti luas yang
meliputi dolus (sengaja) dan culpa (alpa). Dari rumusan tersebut Simons
mencampurkan unsur-unsur perbuatan pidana yang meliputi perbuatan dan sifat
melawan hukum, dan pertanggungjawaban pidana yang meliputi kesengajaan,
kealpaan serta kelalaian dan kemampuan bertanggung jawab.
Namun pada kenyataannya mungkin yang terjadi bahwa suatu perbuatan itu
telah memenuhi ketiga unsur tersebut untuk selanjutnya dinyatakan sebagai suatu
tindak pidana namun ternyata pelakunya tidak dijatuhi hukuman. Hal ini berkaitan
dengan kemampuan bertanggung jawab dari si pelaku. Hukum pidana mengenal
adanya orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban secara penuh, kurang
mampu bertanggung jawab atau tidak dapat dimintai pertanggung jawaban sama
sekali.6 Kalau kesalahannya terbukti, tidak adanya dasar penghapus pidana dan
pelaku mampu bertanggung jawab maka terhadapnya dijatuhi hukuman pidana.
Secara tradisional perbedaan ini dilakukan untuk mengesahkan kesalahan
terhadap si pelaku atau bila tidak dapat dipertanggungjawabkan diberikan
tindakan yang bertujuan untuk merawat pelakunya.7
Masalah pertanggungjawaban pidana menjadi sangat penting bagi
penentuan adanya kesalahan seseorang atau tidak. Jika si pelaku mampu
bertanggung jawab maka itu merupakan prasyarat bagi terjadinya kesalahan,
namun jika si pelaku tidak mampu bertanggung jawab maka kenyataan itu
merupakan dasar bagi peniadaan kesalahan. Oleh karenanya berbicara masalah
pertanggungjawaban pidana tenaga medis, tenaga paramedis serta rumah sakit
mau tidak mau harus membicarakan masalah yang berkaitan dengan malpraktek
medis.
Kesalahan dalam hukum pidana dapat diartikan sebagai culpa (kealpaan)
atau dolus (kesengajaan). Kesengajaan dapat berarti melakukan sesuatu dengan
5 .Hazeinvikel, Suringa, Inleding tot de Studie van bet Nederlandse Strafrecht, (Groningen: Zasedruk.H.D.Tjeenk Willink Bv, 1973), hal.65.
6 .Utrech, Hukum Pidana I, (Bandung: Penerbit Universitas. 1994).7 .Soerjono, Soekanto, Asas-Asas Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1989). hal.132
6
menghendaki atau mengetahui. Bentuk-bentuk kesengajaan dapat digolongkan ke
dalam kesengajaan sebagai tujuan, kesengajaan berkeinsyafan kepastian dan
kesengajaan berkeinsyafan kemungkinan. Sedangkan kealpaan dapat diartikan
sebagai kelalaian yang berat yang meliputi kealpaan yang disadari (culpa lata)
dan kealpaan yang tidak disadari (culpa levi). Dalam konteks pemberian terapi
dengan menggunakan zat radioaktif, untuk menentukan pertanggungjawaban
pidana dalam prosedur pemberian terapi di sebuah rumah sakit adalah sebagai
berikut:
a. Adanya kesalahan profesional dari seorang tenaga kesehatan di bidang
radioterapi yang biasanya berupa kelalaian berat (culpa lata);
b. Tidak adanya persetujuan pasien atau keluarganya dalam prosedur
pemberian terapi dengan menggunakan zat radioaktif;
c. Bahwa peralatan yang dipergunakan dalam prosedur pemberian terapi
tidak sesuai dengan standar.
Mengenai masalah pertanggungjawaban rumah sakit tidak dapat dilepaskan
dari masalah pertanggungjawaban korporasi. Pertanggungjawaban korporasi, di
Inggris didasarkan pada asas identifikasi. Rupanya perbuatan pengurus atau
pegawai suatu korporasi, diidentifikasikan dengan perbuatan korporasi itu
sendiri.8 Karena pengertian korporasi dan badan hukum (rechtperson) adalah
suatu konsep hukum perdata, maka sebaiknya dicari konsep tentang pemahaman
badan hukum. Berdasarkan asas kepatutan dan keadilan sebagai dasar utama,
maka ilmu hukum perdata menerima bahwa suatu badan hukum harus dapat
dianggap bersalah merupakan perbuatan melawan hukum.9
Ajaran berdasarkan asas kepatutan dan keadilan ini mendasarkan diri pada
pemikiran bahwa apa yang dilakukan oleh pengurus harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada badan hukum, karena pengurus dalam bertindak
tidak melakukannya atas hak atau kewenangan sendiri, tetapi atas hak dan
kewenangan badan hukum yang bersangkutan. Kesengajaan (dolus) atau kelalaian
8 .Barda Nawawi. Arief, Perbandingan Hukuin Pidana, (Jakarta: PT Raja Gralindo Persada, 1994), hal. 92.
9 .Mardjono, Reksodiputro, Tindak Pidana Korporasi Dan Pertanggungjawabannya. (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan Dan Pengabdian Hukum UI, 1994), hal. 107.
7
(culpa) dari pengurus harus dianggap sebagai kesengajaan dan kelalaian dari
badan hukum itu sendiri.10
Dengan memperhatikan undang-undang, seperti undang-undang tindak
pidana ekonomi, undang-undang pengelolaan lingkungan hidup, serta RUU
KUHPidana, maka dapat dikemukakan konsep bahwa korporasi dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana. Perlu diperhatikan bahwa perbuatan korporasi/badan
hukum yang dalam pemberian terapi menggunakan zat radioaktif di suatu rumah
sakit biasanya diwujudkan dengan perbuatan manusia. Rumah sakit sebagai badan
hukum, berdasarkan konstruksi tentang pertanggungjawaban tersebut di atas maka
korporasi baik itu pengurus atau pegawainya dapat dimintai pertanggungjawaban
pidana.11
Berkaitan dengan alasan penghapus pidana, apakah alasan penghapus
pidana (atau kesalahan) dapat diajukan oleh korporasi? Dan selanjutnya apakah
alasan penghapus pidana dapat diajukan oleh pelaku seperti: pengurus, pegawai
atau kuasa yang sebenarnya melakukan perbuatan itu untuk korporasi, dapat pula
diajukan oleh korporasi dalam pembelaannya? Pertanyaan pertama, berlaku asas
tidak dapat diberikan pidana apabila tidak ada kesalahan. Untuk korporasi
pengertian kesalahan harus dilihat dari adanya perbuatan tertentu, karena
korporasi mempunyai kemungkinan dalam sistuasi perbuatan tertentu untuk
bertindak lain sedangkan alternatif tersebut secara wajar dapat diharapkan untuk
dilakukan oleh korporasi dalam situasi perbuatan bersangkutan.12 Pertanyaan
kedua, dapat diterima pendapat bahwa alasan penghapus pidana (kesalahan) harus
dicari pada korporasi sendiri dan pelaku manusia (pengurus, pegawai atau kuasa)
yang sebenarnya bertindak. Dengan demikian apabila pelaku manusia yang
memiliki korporasi tersebut dapat mengajukan alasan penghapus pidana, maka
belum tentu hal tersebut dapat diajukan oleh korporasi sebagai pembelaannya.13
Masalah korporasi dalam hal ini rumah sakit sebagai suatu badan hukum
10 .Ibid., hal. 108.11 .Ibid., hal. 109.12 .Ibid., hal. 11013 .Ibid., hal. 111
8
yang memberikan pelayanan medis di bidang radioterapi yang konstruksi
hukumnya dapat dipecahkan berdasarkan asas strict liability dan vicarious liability
yang sudah dianut dalam UUPLH, dimana hukum pelayanan kesehatan
merupakan salah satu aspek hukum lingkungan.14
14 .K. Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan. (Yogyakarta: Gajah Mada Press, 1999), hal. 31.
9
BAB II
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PADA UMUMNYA
A. Konsep Pertanggungjawaban Pidana
Konsep pertanggungjawaban pidana dapat dilihat dari aspek falsafah
hukum. Salah seorang filosof yang mengemukakan tentang konsep
pertanggungjawaban pada abad ke-20, Roscou Pound dalam bukunya yang
berjudul An Introduction to the Philosophy of law, mengemukakan pendapat "I ...
use the simple word liability the situation whereby one exact legally and other is
legally subjected to the exaction”.15
Pound, membahas pertanggungjawaban atau liability tersebut dari sudut
pandang filosofis dan sistem hukum secara timbal balik. Secara sistematis Pound
menguraikan perkembangan konsep liability. Teori pertama, bahwa liability
diartikan sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan
diterima oleh pelaku dari seseorang yang telah dirugikan. Ukuran ganti rugi
tersebut tidak berasal dari nilai suatu pembalasan yang harus dibeli, melainkan
dari sudut pandang kerugian atau penderitaan yang ditimbulkan oleh pelaku yang
bersangkutan.16
Dengan demikian konsep liability diartikan sebagai reparation sehingga
mengakibatkan perubahan anti konsepsi liability dari composition for vengeance
menjadi reparation for jury. Perubahan bentuk ganti rugi dengan sejumlah uang
kepada ganti rugi dengan penjatuhan hukuman secara historis merupakan konsep
awal dari liability atau pertanggungjawaban.17
Mengingat konsep tentang pertanggungjawaban pada setiap negara baik itu
yang menganut sistem hukum kontinental maupun sistem common law,
dimungkinan adanya perubahan tentang konsep pertanggungjawaban.
15 .Romli Atmasasmita, Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana, Cet.1, (Jakarta: Yayasan LBH, 1989), hal.79.
16 .Ibid., hal. 80.17 .Ibid.
10
Roeslan Saleh mempertanyakan apakah yang dimaksud dengan seseorang
itu bertanggung jawab atas perbuatannya.18 Penulis pada umumnya tidak
membicarakan tentang konsepsi pertanggungjawaban pidana. Dikatakan Roeslan
Saleh, bahwa mereka telah melakukan, analisis atas konsepsi pertanggungjawaban
pidana, yaitu dengan berkesimpulan bahwa orang yang bertanggung jawab atas
apa yang dilakukan merupakan perbuatan itu dilakukan dengan kehendak bebas.
Sehingga dapat dikatakan bahwa mereka tidak membicarakan konsep
pertanggungjawaban itu sendiri.
Selanjutnya Roeslan Saleh menyatakan berikut:
“Mereka mencari dan menegaskan tentang syarat-syarat bagaimana yang
harus ada makanya seorang dapat dikatakan bertanggung jawab atas suatu
perbuatan pidana. Tetapi hasil dari penelitiannya itu memberikan keterangan
tentang apakah yang dimaksud bahwa seseorang itu bertanggung jawab atas
perbuatannya.
Kesalahan, pertanggungjawaban pidana dan ungkapan-ungkapan yang
terdengar dan digunakan dalam percakapan sehari-hari dalam moral, agama, dan
hukum. Tiga unsur itu berkaitan yang satu dengan yang lain, dan berakar dalam
satu keadaan yang sama yaitu adanya pelanggaran terhadap suatu sistem aturan-
aturan.19
Dengan mengutip pendapat Alf Ross, Roeslan Saleh memberikan jawaban
bahwa bertanggungjawab atas suatu perbuatan pidana berarti yang bersangkutan
secara sah dapat dikenai pidana karena perbuatan itu.20 Pidana itu dapat dikenakan
secara sah berarti tindakan itu telah ada aturannya dalam suatu sistem hukum
tertentu, dan sistem hukum itu berlaku atas perbuatan itu. Singkatnya, dapat
dikatakan bahwa tindakan (hukuman) itu dibenarkan oleh sistem hukum tersebut,
hal itulah yang mendasari konsepsi Roeslan Saleh.
Berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana, ada dua aliran yang selama
ini dianut, yaitu aliran determinisme dan aliran indeterminisme. Kedua aliran
18 .Roeslan Saleh, Pikiran-pikiran tentang Pertanggungjawaban Pidana, Cet. I, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hal. 33.
19 .Ibid.20 .Ibid.
11
tersebut membicarakan hubungan antara kebebasan kehendak dengan ada atau
tidak adanya kesalahan.
1) Aliran Indeterminisme
Manusia mempunyai kehendak bebas dan itu merupakan sebab dari segala
keputusan kehendak. Tanpa ada kebebasan kehendak, maka tidak ada kesalahan.
Dan apabila tidak ada kesalahan maka tidak ada pencelaan sehingga tidak ada
pemidanaan.
2) Aliran Determinisme
Menurut aliran ini manusia tidak mempunyai kehendak bebas. Keputusan
kehendak ditentukan sepenuhnya oleh watak dalam arti nafsu-nafsu manusia
dalam hubungan kekuatan satu dengan yang lain dan motif-motif. Yang dimaksud
dengan hal itu ialah perangsang-perangsang yang datang dari dalam atau dari luar
yang melibatkan watak tersebut. Dengan demikian kejahatan merupakan
manifestasi dari keadaan jiwa seseorang yang abnormal. Oleh karena itu pelaku
kejahatan tidak dapat dipersalahkah atas perbuatannya dan tidak dapat dipidana.
Seseorang itu tidak dapat dicela atas perbuatannya atau dinyatakan
mempunyai kesalahan, sebab ia tidak punya kehendak bebas. Namun harus diakui
bahwa tidak punya kehendak bebas itu tidak dapat berarti bahwa orang yang
melakukan perbuatan pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan atas
perbuatannya. Karena tidak adanya kebebasan kehendak itu, ada
pertanggungjawaban dari seseorang atas perbuatannya.
Pandangan determenisme tersebut menjadi ide dasar dan sangat
mempengaruhi aliran positif di dalam kriminologi. Menurut Alf Ross, yang
dikutip oleh Barda Nawawi,21 pandangan itulah yang kemudian berlanjut pada
gerakan modern mengenai the compaign agains punishment. Akan tetapi aliran ini
tidak dapat dipergunakan pada hukum pidana karena akan mengalami kesulitan
tentang pertanggungjawabannya.
21 .Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Cet. 1 . (Semarang: CV Ananta, 1994), hal.19-20.
12
B. Ajaran/Doktrin Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana
Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan
perbuatan yang bertentangan dangan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi
meskipun perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan
tidak dibenarkan, hal tersebut belum memenuhi syarat penjatuhan pidana. Untuk
penjatuhan pidana masih diperlukan adanya syarat, yaitu bahwa orang yang
melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt).
Sehubungan dengan hal itu, berlaku asas tiada pidana tanpa adanya
kesalahan. Asas tersebut dianut oleh KUHPidana Indonesia dan juga negara-
negara lainnya. Akan bertentangan dengan rasa keadilan apabila ada orang yang
dijatuhi pidana padahal ia sama sekali tidak bersalah. Orang tidak mungkin
dipertanggungjawabkan kalau ia tidak melakukan perbuatan pidana, akan tetapi
meskipun melakukan perbuatan pidana ia tidak selalu dapat dipidana.
Untuk pernyataan pertama, dijelaskah bahwa orang yang tidak
melakukan perbuatan pidana atau melawan hukum tidak akan dipidana.
Sedangkan pernyataan kedua, dijelaskan bahwa tidak semua orang yang
melakukan perbuatan pidana memenuhi rurnusan delik dipidana,
hal itu masih tergantung pada apakah ia mempunyai kesalahan ataukah tidak.
Makna kesalahan itu meliputi pengertian yang luas. Seseorang yang masih
di bawah umur, walaupun melakukan perbuatan pidana tidak di pidana karena
fungsi batin atau jiwanya masih belum sempurna. Demikian juga orang gila yang
melakukan perbuatan tidak dapat dipidana karena fungsi batinnya tidak normal.
Meskipun orang yang melakukan perbuatan pidana itu dewasa dan tidak
gila orang tersebut juga tidak serta merta dapat dipidana. Hal itu harus dilihat
terlebih dahulu apakah dia melakukan perbuatan itu atas kehendak bebasnya
atau ada unsur-unsur paksaan dari luar, seperti daya paksa (overmach),
pembelaan terpaksa, dan keadaan darurat sehingga si pembuat itu tidak dipidana
karena adanya alasan pemaaf.
Dari uraian tersebut menunjukkan bahwa dalam membuktikan apakah
seseorang dapat dijatuhi pidana, pandangan tersebut menganut ajaran dualisme.
Ajaran itu memandang bahwa untuk menjatuhkan pidana, pertama harus dilihat
13
terlebih dahulu apakah perbuatan yang dituduhkan itu telah memenuhi unsur-
unsur rumusan delik. Apabila dipenuhi baru menuju pada tahap kedua, melihat
apakah ada kesalahan dan apakah pembuat mampu bertanggung jawab.
Sebaliknya, ajaran monoisme memandang bahwa seseorang yang telah melakukan
perbuatan pidana sudah dapat dipidana kalau perbuatannya itu telah memenuhi
rumusan delik tanpa harus melihat apakah dia mempunyai kesalahan atau tidak.
Berdasarkan pandangan dualisme itu Moeljatno menyimpulkan bahwa
untuk dapat dikatakan bahwa seseorang mempunyai kesalahan harus dipenuhi
unsur-unsur sebagai berikut:
a. Melakukan perbuatan pidana (sifat melawar hukum);
b. Di atas umur tertentu mampu bertanggung jawab;
c. Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan dan kealpaan;
d. Tidak ada alasan pemaaf.22
Selanjutnya akan diuraikan mengenai unsur-unsur kesalahan terutama
mengenai kemampuan bertanggungjawab dan bentuk-bentuk kesalahan berupa
kesengajaan dan kealpaan.
1. Kemampuan Bertanggung Jawab
Untuk dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang melakukan
perbuatan pidana diperlukan syarat bahwa pembuat mampu bertanggung jawab.
Bilamanakah seseorang dapat dikatakan mampu bertanggung jawab dan ukuran
apakah untuk menyatakan adanya kemampuan bertanggung jawab?
Dalam KUHPidana tidak ada ketentuan tentang arti kemampuan
bertanggung jawab, akan tetapi hanya berhubungan dengan masalah kemampuan
bertanggung jawab saja. Hal itu diatur dalam Pasal 44 KUHPiana.
Pasal 44 KUHPidana berbunyi:
"Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau jiwa yang terganggu karena
penyakit".
Dari Pasal 44 tersebut menurut Moeljatno dapat menyimpulkan bahwa
22 .Moeljatno, Op.Cit., hal.164
14
untuk adanya kemampuan bertanggungjawab harus memenuhi syarat:
1. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang
buruk sesuai dengan dan yang hukum;
2. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang
baik dan buruknya perbuatan tadi.23
Yang pertama adalah faktor akal, yaitu dapat membedakan antara perbuatan
yang diperbolehkan dan yang tidak. Kedua, adalah faktor perasaan atau kehendak,
yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas nama yang
diperbolehkan dan yang tidak. Sebagai konsekuensinya orang yang tidak mampu
menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya
perbuatan tadi, dia tidak mempunyai kesalahan. Orang yang demikian itu tidak
dapat dipertanggungjawabkan, dimana menurut Pasal 44 ketidakmampuan
tersebut harus disebabkan alat batinnya cacat atau sakit dalarn tubuh.24
2. Kesengajaan
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 1809 dinyatakan:
"Sengaja ialah kemauan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-
perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang". Selanjutnya
dalam KUHPidana Indonesia yang terbentuk pada tahun 1915 dijelaskan: "sengaja
diartikan dengan sadar dari kehendak melakukan suatu kejahatan tertentu".
Beberapa sarjana merumuskan sengaja sebagai keinginan, kemauan,
kehendak dan perbuatan merupakan pelaksanaan kehendak, yang dapat ditujukan
terhadap perbuatan yang dilarang dan akibat yang dilarang. Ada dua teori yang
berkaitan dengan pengertian "sengaja", yaitu teori kehendak dan teori
pengetahuan.
Menurut teori kehendak, sengaja adalah kehendak untuk mewujudkan
unsur-unsur delik dalam perumusan undang-undang. Sebagai contoh, A
mengarahkan pistol kepada B dan A menembak mati B; A adalah sengaja apabila
A benar-benar menghendaki kematian.
23 .Ibid., hal. 165.24 .Ibid.
15
Menurut teori pengetahuan atau teori membayangkan, manusia tidak
mungkin dapat menghendaki suatu akibat karena manusia hanya dapat
menginginkan, mengharapkan atau membayangkan adanya suatu akibat. Adalah
sengaja apabila suatu akibat yang ditimbulkan karena suatu tindakan dibayangkan
sebagai suatu maksud tindakan itu dan karena itu tindakan yang bersangkutan
dilakukan sesuai dengan bayangan yang terlebih dahulu telah dibuat. Teori ini
menitikberatkan pada apa yang diketahui dibayangkan ia pembuat, ialah apa yang
akan terjadi pada waktu ia berbuat.25
Dari kedua teori tersebut, Moeljatno lebih cenderung kepada teori
pengetahuan atau membayangkan. Adapun yang menjadi alasannya adalah:26
"Karena dalam kehendak dengan sendirinya diliputi pengetahuan. Sebab
untuk menghendaki sesuatu, orang lebih dahulu orang harus memiliki
pengetahuan tentang sesuatu. Tetapi apa yang diketahui seseorang belum
tentu juga dikehendaki olehnya. Lagi pula kehendak merupakan arah,
maksud atau tujuan, hal mana berhubungan dengan motif alasan pendorong
untuk berbuat dan tujuan perbuatannya. Konsekuensinya adalah bahwa
untuk menentukan sesuatu perbuatan yang dikehendaki terdakwa, maka 1)
harus dibuktikan bahwa perbuatan itu sesuai dengan motifnya untuk berbuat
dan tujuan yang hendak dicapai; 2) antara motif, perbuatan dan tujuan harus
ada hubungan kausal dalam batin terdakwa".
Dalam perkembangannya kemudian, secara teoritis bentuk kesalahan berupa
kesengajaan itu dibedakan menjadi tiga corak, yaitu kesengajaan sebagi kepastian,
kesengajaan sebagai kemungkinan dan dolus eventualis (apa boleh buat).27
Perkembangan pemikiran itu diikuti dalam praktek pengadilan di Indonesia. Di
dalam beberapa putusannya, hakim menjatuhkan putusannya tidak semata-mata
kesengajaan sebagai kepastian, tetapi juga mengikuti corak-corak yang lain.
Menurut hemat praktek pengadilan semacam itu akan mendekati nilai keadilan
karena hakim menjatuhkan putusan sesuai dengan tingkat kesalahan terdakwa.
25 .Lihat Moeljattio, Op.Cit., hal_ 171-176, Sodarto, Op.Cit., hal.102-10526 .Moeljatno, Op.Cit., htd.172-17327 .Sudarto, Op.Cit., hal.103-105.
16
3. Kealpaan
Yang dimaksud dengan kealpaan adalah terdakwa tidak bermaksud
melanggar undang-undang, tetapi ia tidak mengindahkan larangan itu. Jadi, dalam
kealpaan terdakwa kurang mengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati
dalam melakukan suatu perbuatan yang objektif kausal menimbulkan keadaan
yang dilarang.
Mengenai kealpaan itu, Moeljatno mengutip dari Smit yang merupakan
keterangan resmi dari pihak pembentuk WvS sebagai berikut:28
"Pada umumnya bagi kejahatan-kejahatan wet mengharuskan bahwa
kehendak terdakwa ditujukan pada perbuatan yang dilarang dan diancam pidana.
Kecuali itu keadaan yang dilarang itu mungkin itu sebagian besar berbahaya
terhadap keamanan umum mengenai orang atau barang dan jika terjadi
menimbulkan banyak kerugian, sehingga wet harus bertindak pula terhadap
mereka yang tidak berhati-hati. Di sini sikap batin orang yang menimbulkan
keadaan yang dilarang itu bukanlah menentang larangan tersebut. Dia tidak
menghendaki atau menyetujui timbulnya hal yang dilarang, tetapi kesalahannya,
kekeliruannya dalam batin sewaktu ia berbuat sehingga menimbulkan hal yang
dilarang, ialah bahwa ia kurang mengindahkan larangan tersebut".
Dari apa yang dikemukakan di atas, Moeljatno berkesimpulan bahwa
kesengajaan adalah kesalahan yang berlainan jenis dari kealpaan. Akan tetapi
dasarnya sama, yaitu adanya perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana,
adanya kemampuan bertanggungjawab, dan tidak adanya alasan pemaaf, tetapi
bentuknya lain. Dalam kesengajaan sikap batin orang menentang larangan. Dalam
kealpaan, kurang mengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati dalam
melakukan sesuatu yang obyektif kausal menimbulkan keadaan yang dilarang.29
Selanjutnya, dengan mengutip Van Hamel, Moeljatno mengatakan kealpaan itu
28 .Moeljamo, Op.Cit., hal.198.29 .Ibid.
17
mengandung dua syarat, yaitu tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana
diharuskan oleh hukum dan tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana
diharuskan oleh hukum.30
C. Pertanggungjawaban Pidana Berdasarkan Kesalahan
Konsep liability atau pertanggungjawaban dalam hukum pidana merupakan
konsep yang sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Ajaran kesalahan
dalam istilah Latin dikenal dengan sebutan mens rea. Doktrin ini dilandaskan
pada maxim actus non facit reum nisi men sit rea, yang berarti suatu perbuatan
tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat.
Dalam bahasa Inggris doktrin tersebut dirumuskan dengan an act does not make a
person guilty, unless the mind is legally blameworthy. Berdasarkan asas itu, ada
dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat dipidananya seorang, yaitu ada
perbuatan lahiriah yang terlarang (actus reus); dan ada sikap batin jahat/tercela
(mens rea).
Pertanggungjawaban pidana dapat dikatakan sebagai sesuatu yang berkaitan
dengan keadaan mental tersangka. Hubungan antara keadaan mental itu dengan
perbuatan yang dilakukan adalah sedemikian rupa sehingga orang itu dapat dicela
karena perbuatannya.
Doktrin mens rea secara klasik diartikan setiap perkara pelanggaran hukum
yang dilakukan disebabkan pada diri orang itu sudah melekat sikap batin yang
jahat (evil will). Oleh karenanya perbuatan tersebut dianggap dosa. Lord Denning,
seorang hakim terkemuka di Inggris memberikan komentar atas doktrin mens rea,
dengan mengatakan "in order that act sholud be punishible it must be morally
blame-worthy, it must be a sin". Sedangkan Jerome Hall mengatakan, mens rea
adalah "voluntary doing of morally wrong act forbiddin by penal law".31
Dari kedua pendapat tersebut terdapat perbedaan mendasar dalam
memberikan arti doktrin mens rea. Pendapat tersebut merupakan pandangan
terbaru terhadap doktrin tersebut yang berbeda dengan pandangan secara klasik.
30 .Ibid., hal. 201.31 .Roeslan Saleh, Pikiran-pikiran tentang Pertanggungjawaban Pidana (Jakaria:Ghalia
Indonesia, 1982), hal. 23.
18
Pendapat Lord Denning masih menitikberatkan asas kesalahan pada pelaku
kejahatan yang hakekatnya sama dengan pandangan klasik. Sedangkan Jerome
Hall secara tegas menitikberatkan pada perbuatan yang salah secara moral yang
oleh undang-undang perbuatan tersebut dilarang. Dalam kaitan dengan pendapat
Jerome Hall tersebut dapat dikatakan bahwa jika perbuatan tersebut secara moral
salah dan tidak dilarang oleh undang-undang, maka perbuatan tersebut tidak
mengandung unsur kesalahan dan karenanya lidak dapat dipidana. Begitu pula
sebaliknya, jika sekalipun perbuatan tersebut dilarang oleh undang-undang, akan
tetapi secara moral dianggap tidak bersalah, perbuatan tersebut tidak dapat
dipidana.32
Doktrin mens rea klasik dan pendapat Lord Denning harus diartikan bahwa
suatu perbuatan merupakan suatu perbuatan pidana, pertama-tama harus dilihat
apakah perbuatan tersebut secara moral salah, terlepas apakah perbuatan tersebut
dilarang oleh undang-undang atau tidak. Dalam kenyataan tampaknya doktrin
mens rea klasik dan pendapat Lord Denning masih sangat berpengaruh
dibandingkan dengan pendapat Jerome Hall. Penafsiran terhadap hukum
sepenuhnya terletak pada luas sempitnya penafsiran tentang: l) apakah perbuatan
tersebut benar telah dilakukan tersangka? dan 2) apakah tersangka dapat
dipertanggungjawabkan secara moral?
Unsur demikian itu oleh hukum diharuskan ada dalam pikiran seseorang
untuk dapat mengatakan bahwa ia telah melakukan perbuatan pidana sehingga
akan menjamin bahwa tidak seorangpun akan dipidana tanpa adanya syarat utama
yang disebut moral culpability. Penyebabnya memang yang dimaksudkan hanya
memidana mereka yang telah dengan sengaja melakukan perbuatan-perbuatan
yang menurut moral salah dan menuntut undang-undang juga terlarang.
Untuk dapat menjatuhkan pidana kepada seseorang haruslah didasarkan
bahwa orang tersebut memang benar-benar telah melakukan suatu perbuatan
pidana dan mempunyai kesalahan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Peter
Gillies bahwa “The policy basis for requering a guilty mind is simple-it would be
32 .Romli Atmasasmita, Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana, Cet.1 (Jakarta.YLBHI, 1989), haL52.
19
unjust to punish a person for conduct unaccompanied by guilty mind, for in effect
people would on occasions be penalished for simple inadvertence”.33
Pernyataan Gillies tersebut didukung oleh Jay A. Sigler yang menyatakan
bahwa "mens rea is one of the most important elements of crime. This is the
subject condition that must accompany an act (actus reus). A general mens rea is
a willing, conscious decision to do a prohibited act".34
Jadi doktrin mens rea itu disebut sebagai dasar hukum pidana. Dalam
praktek bahkan ditambahkan bahwa pertanggungjawaban pidana menjadi lenyap
jika ada salah satu dari keadaan atau kondisi memaafkan itu.35
Hukum pidana Indonesia pada dasarnya juga menganut asas kesalahan.
Dengan mencermati pasal-pasal yang terdapat dalam KUHPidana, meskipun tidak
secara eksplisit dinyatakan, rumusan pasal-pasalnya menyimpulkan menganut
asas kesalahan. Pasal-pasal yang terdapat di dalam KUHPidana pada dasarnya
masih mensyaratkan unsur kesalahan baik kesalahan dalam bentuk kesengajaan
maupun kealpaan. Di samping itu juga terdapat asas tidak tertulis yang biasanya
sangat dikenal dalam kalangan hukum pidana, yang berbunyi geen straft zonder
schuld yang berarti "tiada pidana tanpa adanya kesalahan".
Dalam hal ini Moeljatno menyatakan bahwa36 orang tidak mungkin
dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau ia tidak melakukan perbuatan
pidana, akan tetapi meskipun melakukan perbuatan pidana tidak selalu ia dapat
dipidana.
Dengan menganut asas kesalahan di dalam menjatuhkan pidana kepada
pelaku delik, Moeljatno yang diikuti oleh Roeslan memisahkan antara perbuatan
pidana dan pertanggungjawaban pidana yang disebut ajaran dualisme.37 Ajaran itu
memandang bahwa untuk menjatuhi pidana ada dua tahap yang perlu dilakukan.
Pertama, hakim harus menanyakan apakah terdakwa telah melakukan perbuatan
33 .Peter Gillies, Criminal Law, (Sidney: The Law Book Company, 1990), hal.43.34 .Jay A. Sigler, Understanding The Criminal Law, (Canada: Little Brown & Company,
1981), hal.56.35 .Roeslan Saleh, Pikiran-pikiran tentang Pertanggungan Jawab Pidana, Op.Cit, hal.21.36 .Moeljatno, asas-asas Hukurn Pidana, (Jakarta: PT.Bina Aksara, 1984), hal. 155.37 .Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta Aksara Baru,
1983),
20
yang dilarang oleh suatu aturan undang-undang dengan disertai ancaman pidana
bagi siapa yang melanggar aturan itu? Kedua, apabila yang pertama di atas
menghasilkan suatu kesimpulan bahwa memang terdakwa telah melakukan
perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan undang-undang, ditanyakan lebih
lanjut, apakah terdakwa tersebut dapat dipertanggungjawabkan atau tidak
mengenai perbuatannya itu?
Jadi antara perbuatan (actus reus) dengan sikap batin terdakwa (mess rea)
Harus berhubungan. Sikap batin terdakwa dapat berupa kesengajaan atau
kealpaan. Mengenai pandangan tentang kesengajaan, ada dua teori yang dianut,
yaitu teori kehendak dan teori pengetahuan. Teori kehendak memandang bahwa
tiap-tiap bentuk kesengajaan itu hanyalah apa yang dikehendaki oleh pembuatnya.
Sementara itu, menurut teori pengetahuan yang dipentingkan adalah apakah yang
dibayangkan atau diketahui oleh pembuat ketika perbuatan itu dilakukan.
Dari kedua teori tersebut Moeljatno lebih cenderung memilih teori
pengetahuan. Alasannya adalah karena dalam kehendak dengan sendirinya diliputi
pengetahuan. Untuk menghendaki sesuatu, orang lebih dahulu harus mempunyai
pengetahuan (gambaran) tentang sesuatu itu. Akan tetapi apa yang diketahui
seseorang belum tentu juga dikehendaki olehnya.
Secara teoritis bentuk kesalahan berupa kesengajaan itu dibedakan menjadi
tiga corak, yaitu kesengajaan sebagai kepastian, kesengajaan sebagai
kemungkinan dan dolus eventualis. Perkembangan pemikiran dalam teori itu
ternyata diikuti oleh praktek pengadilan di Indonesia. Dimana di dalam
menjatuhkan putusannya, hakim tidak semata-mata menjatuhkan putusan
didasarkan pada kesengajaan sebagai kepastian tetapi juga mengikuti bentuk lain,
sehingga putusan hakim tersebut lebih mendekati keadilan yang diharapkan oleh
masyarakat.
Bentuk kesalahan kedua, yaitu kealpaan yang menunjukkan bahwa terdakwa
tidak bermaksud melanggar larangan undang-undang, tetapi ia tidak
mengindahkan larangan itu. Jadi dalam kealpaan terdakwa kurang mengindahkan
larangan sehingga ia tidak berhati-hati melakukan suatu perbuatan yang obyektif
kausal menimbulkan keadaan yang dilarang.
21
Di dalam perkembangannya, asas kesalahan itu tidak dapat lagi dipakai
sebagai satu-satunya asas dalam mempertanggungjawabkan seseorang yang
melakukan perbuatan pidana. Akibat kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi serta perkembangan ekonomi yang semakin pesat, muncul
perkembangan sistem pertanggungjawaban pidana dalam bentuk lain yang
menyimpang dari asas kesalahan terhadap perbuatan pidana tertentu.
D. Penyimpangan Asas Kesalahan Dalam Pertanggungjawaban Pidana
Pada dasarnya dalam hukum pidana menganut asas kesalahan dalam
mempertanggungjawabkan seseorang yang telah melakukan perbuatan pidana.
Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya di bidang
kesehatan maupun dalam dunia usaha yang lain maka dapat dikemukakan bahwa
asas kesalahan bukanlah merupakan satu satunya asas yang dipergunakan untuk
dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang telah melakukan perbuatan
pidana.
Alasan utama dalam menerapkan asas pertanggungjawaban pidana tanpa
memperhatikan kesalahan adalah dikarenakan sangat sulit untuk membuktikan
adanya unsur kesalahan untuk tindak pidana tertentu seperti dalam pelayanan
medis di bidang kesehatan. Adapun bentuk sistem pertanggungjawaban yang
menyimpang dari asas kesalahan dapat dikemukakan tiga model yaitu: strict
liability, vicarious liability, dan enterprise liability.
1. Strict Liability (Pertanggungjawaban Pidana Ketat)
a. Pengertian Strict Liability
Terdapat beberapa definisi yang dapat dikemukakan oleh para ahli hukum
berkaitan dengan pengertian asas strict liability antara lain sebagai berikut:
1. Marise Cremona mendefinisikan bahwa strict liability sebagai:38 "the phrase
used to refer to criminal offences which do not requare wens ros3 in respect
on or more element of the actus reus" (suatu ungkapan yang menunjuk
kepada suatu perbuatan pidana dengan tidak mensyaratkan kesalahan
38 .Manse Cremona, Criminal Law, (London: The Macmillan Press Ltd, 1989), hal.54.
22
terhadap satu atau lebih unsur dari actus reus).
2. Smith & Brian Hogan yang memberikan definisi strict liability sebagai:39
"crimes which do not requare intention, recklesness or even negligent as to
one or more element in the actus reus" (kejahatan yang tidak mensyaratkan
kesengajaan, kesembronoan atau bahkan kealpaan sebagai satu atau lebih
unsur dari actus reus).
3. Richard Card Mengemukakan bahwa strict liability sebagai:40 "the accused
may be convicted although his conduct was neither intentional nor reckless
nor negligent with reference to the requisite consequence of the offence
charge" (terdakwa bisa saja dihukum meskipun perbuatannya bukan karena
kesengajaan, kesembronoan atau kealpaan berkenaan dengan syarat yang
diharuskan dalam suatu kejahatan yang dituduhkan).
Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa asas strict liability
Adalah pertanggungjawaban pidana tanpa adanya kesalahan dimana pembuat
sudah dapat dipidana apabila ia telah melakukan perbuatan pidana sebagaimana
dirumuskan dalam undang-undang, tanpa melihat bagaimana sikap batinnya. Asas
ini sering disebut dengan istilah pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan
(liability withaout fault).
Sehingga menurut asas ini hanya dibutuhkan dugaan (foresight) atau
pengetahuan (knowledge) dari pelaku tindak pidana untuk dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana. Dengan demikian disebut no mens rca
dimana yang harus dibuktikan adalah actus reusnya raja bukan mens reanya.
Pendapat lain mengenai doktrin strict liability dalam hukum pidana dapat
dikemukakan pendapat Roeslan Saleh yang menyatakan:41
Dalam praktek pertanggungjawaban pidana menjadi lenyap jika ada salah
satu keadaan yang memaafkan. Praktek pula melahirkan aneka macam tingkatan
keadaan mental yang dapat menjadi syarat ditiadakannya pidana, sehingga dalam
perkembangannya lahir kelompok kejahatan yang untuk pengenaan pidananya
cukup dengan strict liability. Yang dimaksud dengan asas ini adalah adanya
39 .J.C. Smith &Brian Hogan, Criminal Law, (London: Butterworths, 1978), hal.79.40 Richard Card, Introduction to Criminal Law, (London: Butterworths, 1984), hal.7241 .Roeslan saleh, Pikiran-pikiran tentang Pertanggungiawaban Pidana, Op.Cit., hal.21.
23
kejahatan yang dalam terjadinya itu keadaan mental terdakwa adalah tidak
mengetahui dan sama sekali tidak bermaksud untuk melakukan suatu perbuatan
pidana".
Ada dua alasan untuk menerapkan asas strict liability seperti yang
dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief dengan mengutip pendapat Smith &
Brian Hogan yang menyatakan sebagai berikut:42
1. Suatu tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan secara strict liability
apabila tidak ada mens rea yang perlu dibuktikan sebagai satu-satunya unsur
untuk actus reus yang bersangkutan. Unsur utama atau unsur satu-satunya itu
biasanya merupakan salah satu ciri utama, tetapi sama sekali tidak berarti
bahwa mens rea itu tidak disyaratkan sebagai unsur pokok.
2. Dalam kasus-kasus strict liability memang tidak dapat diajukan alasan
pembelaan untuk kenyataan khusus yang dinyatakan terlarang menurut
undang-undang, misalnya dengan mengajukan reasonable mistake.
b. Penerapan Asas Strict Liability dalam Kasus Pidana
Penerapan asas strict liability di Inggris dikembangkan pada abad ke-19
sebagai akibat buruk dari revolusi industri. Pada abad ke-20 kecenderungan
menggunakan asas srict liability semakin meningkat. Peningkatan itu sejalan
dengan kompleksitas masyarakat yang membutuhkan peraturan sosial. Peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan lalu lintas, perlindungan konsumen,
makanan dan obat-obatan, keselamatan kerja, dan perlindungan lingkungan
hidup.43 Dalam konteks peraturan perundang-undangan Indonesia dapat kita lihat
dalam Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No. 23 tahun 1997).
Kebanyakan dari bentuk peraturan yang mengatur hal-hal tersebut di atas
diletakkan yurisdiksi administrasi dan melibatkan hukum pidana. Dalam
perjalanannya kemudian, peraturan bersifat administratif itu tidak efisien karena
42 .Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, Cet, 1. (Jakarta: CV.Rajawali, 1990), hal.32.
43 .Lihat CMV Clakrson, Understanding Criminal Law, Second Edition, (London: Fontana Press, 1995), hal.108-109.
24
masih terjadi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat.
Menghadapi hal itu timbul pemikiran untuk menerapkan hukum pidana sebagai
mekanisme tradisional dari kontrol sosial terhadap perbuatan-perbuatan yang
merusak dan mencemarkan lingkungan.
Penerapan hukum pidana terhadap kejahatan yang bersifat mengatur di satu
pihak sangat penting sebagai sanksi terhadap pelaku. Namun di pihak lain,
penerapan hukum pidana ini menghadapi permasalahan, terutama yang berkaitan
dengan masalah pembuktian adanya unsur kesalahan dari pelaku delik. Dari
permasalahan tentang pembuktian dalam penegakan hukum maka strict liability
mulai dintroduksi ke dalam kasus-kasus pidana.
Kasus yang sering dijadikan sebagai contoh penerapan asas strict liability
adalah kasus Prince,44 yang pada intinya kasus tersebut adalah sebagai berikut:
"Prince dituduh menarik dari kekuasaan orang tua seorang gadis berumur 16
tahun tanpa izin orang tuanya (melanggar Pasal 55 Offences Against the Person
Act 1861 yang diperbaharui dengan Pasal 20 Sexual Offers; Act 1956. Di muka
sidang Prince mengemukakan alasan, bahwa ia memang mengetahui gadis itu di
bawah kekuasaan orang tua tetapi ia mengira/berkeyakinan bahwa gadis itu
berumur 18 tahun, berdasarkan juga pengakuan gadis itu terhadap Prince.
Pengadilan berpendapat, bahwa terhadap perbuatan menarik gadis dari
kekuasaan orang tua harus tetap dibuktikan adanya kesengajaan, tetapi terhadap
usia gadis tersebut, yaitu 16 tahun tidak harus dibuktikan karena undang-undang
tidak mensyaratkan pengetahuan terhadap umur dari gadis itu, dan Prince tetap
dipidana".
Kasus yang lain adalah kasus Warner vs Metropolitan Police
Commissioners (1969), yang intinya kasusnya adalah sebagai berikut:45
"Terdakwa Warner dituduh memiliki bahan terlarang berupa tablet-tablet
amphetamine sulphate yang melanggar Drugs Act 1964. Bahan-bahan
terlarang itu terdapat di dalam salah satu paket parfum yang terdakwa bell
dari orang yang biasa menjual parfum kepadanya. Menurut terdakwa ia
44 .L.B. Curson, Cases in Criminal Law, (London: Macdonnald and Evans, I 974), ha1.22.45 .L.B. Curson, Ibid., hal.38.
25
tidak tahu bahwa salah satu paket itu berisi bahan terlarang, ia mengira dan
yakin paket itupun berisi parfum”.
Oleh pengadilan tingkat pertama terdakwa dipidana setelah hakim dalam
kesimpulannya menerangkan kepada juri, bahwa untuk pemidanaan cukup
dinyatakan bahwa terdakwa kedapatan memiliki bahan-bahan terlarang dan ia
tidak perlu mengetahui bahan apa itu.
Pengadilan banding menolak banding dari terdakwa, tetapi atas permohonan
terdakwa menetapkan bahwa dalam kasus ini ada masalah hukum yang penting.
Oleh karena itu dengan berat akhirnya Court of appeal mengizinkan pemeriksaan
ke House of Lord.
House of lord berpendapat bahwa tindak pidana yang dituduhkan itu bersifat
absolut yaitu tidak diperlukan adanya mens rea, sekalipun terdakwa dalam
memiliki paket itu sama sekali tidak mengetahui isi paket tersebut".
Kasus pidana lainnya yang berkaitan dengan penerapan asas strict liability
adalah kasus Alphacell Ltd v Woodward (1972), yang pada intinya kasusnya
adalah demikian:46
"Sebuah perusahaan dihukum oleh pengadilan tingkat pertama dengan
tuduhan sebagai penyebab terpolusinya air sungai. Terdakwa menentang
tuduhan itu dengan mengatakan bahwa jaksa harus membuktikan adanya
kesengajaan, kealpaan atau kesembronoan dari terdakwa. Hourse of Lord
menolak argumen terdakwa dan tetap menjatuhkan hukuman kepada
terdakwa".
c.Kriteria Strict Liability
Menentukan penerapan tanggungjawab mutlak dalam perkara pidana pada
prinsipnya tidak bersifat generalisasi. Jadi tidak terhadap semua jenis tindak
pidana dapat diterapkan asas strict liability. Akan tetapi hanya dalam hal-hal yang
46 .Marcus Fletcher, A- Level Principle of English Law , First Edition, (London HLT Publication, 1990), hal 202.
26
khusus, yaitu:
1. Ketentuan undang-undang sendiri menentukan atau paling tidak undang-
undang sendiri cenderung menuntut penerapan strict liability;
2. Kebanyakan orang berpendapat bahwa penerapannya hanya ditentukan
terhadap tindak pidana yang bersifat larangan khusus atau tertentu.
Jadi penerapannya sangat erat kaitannya dengan ketentuan tertentu dan
terbatas. Agar lebih jelas apa yang menjadi patokan penerapan asas strict liability
dapat dikemukakan patokan antara lain:47
1. Perbuatan itu tidak berlaku umum terhadap semua jenis tindak pidana, tetapi
sangat terbatas dan tertentu terutama mengenai kejahatan anti sosial atau
yang membahayakan sosial;
2. Perbuatan itu benar-benar melawan hukum yang sangat bertentangan
dengan kehati-hatian yang diwajibkan hukum dan kepatutan;
3. Perbuatan tersebut dilarang dengan keras oleh undang-undang karena
dikategorikan sebagai aktivitas atau kegiatan yang potensial mengandung
bahaya kepada kesehatan, keselamatan, dan moral publik; dan
4. Perbuatan atau aktivitas tersebut secara keseluruhan dilakukan dengan cara
tidak melakukan pencegahan yang sangat wajar.
Dengan adanya standarisasi atau patokan tersebut di atas maka para sarjana
hukum atau ahli hukum menetapkan perbuatan-perbuatan yang diterapkan pada
asas srict liability. Peter Gilles,48 mengkhususkan pada peraturan di bidang
aktivitas ekonomi, seperti mengendarai kendaraan bermotor, proses dan penjualan
bahan makanan, dan pencemaran lingkungan. Kejahatan itu juga berkaitan dengan
aktivitas yang membahayakan kesehatan umum dan perlindungan moral.
Kejahatan itu oleh Peter Gillies secara khusus disebut regulatory offences or
welfare offences.
Delik yang diterapkan strict 113bility oleh pembentuk undang-undang
47 .Lihat M.Yahya Harahap, Op.Cit , ha1.37-38.48 .Peter Giilies, Op.Cit., ha1.82.
27
biasanya adalah delik yang ringan atau yang bersifat regulatory offences, seperti
sale of food, the conductof licensed premised, and the use of Pals or misleading
trade description. Walaupun undang-undang menyebutkan bahwa suatu delik
harus memenuhi mens rea namun dalam prakteknya hakim kadang-kadang juga
menerapkan asas strict liability terhadap delik-delik tertentu.49
Pada umumnya para ahli hukum membedakan antara kejahatan sebagai
kriminal murni dan pelanggaran. Kejahatan murni disebut mala in se seperti
pembunuhan, pencurian, dan perkosaan. Sedangkan pelanggaran disebut mala
prohibita, seperti regulatory offences dan quasi crimes. hal yang terakhir ini
biasanya mengatur tentang jalannya kehidupan masyarakat, seperti perlindungan
konsumen dari makanan dan minuman harus memenuhi syarat kejahatan, atau
peraturan yang melindungi lingkungan dari berbagai macam polusi akibat
penggunaan alat-alat medis ataupun akibat industri. Untuk kejahatan murni, maka
mens rea merupakan persyaratan yang harus dipenuhi. Sedangkan untuk jenis
pelanggaran tidak mensyaratkan adanya mens rea. Untuk hal yang terakhir itulah
menurut mereka yang dapat diterapkan strict liability.50
Dari hal-hal yang disebutkan di atas, dapat ditegaskan bahwa sangat penting
untuk menekankan kata-kata kunci di dalam suatu undang-undang, sebagai isyarat
adanya mens rea. Namun dalam praktek pengadilan hal itu tidaklah mudah karena
sangat bergantung pada kasus yang ditangani. Oleh karena itu tidaklah merupakan
jaminan bahwa penerapannya sesuai dengan maksud dari pembentuk undang-
undang. Jadi dapat dikatakan bahwa tidak adanya kepastian hukum mengenai ada
atau tidaknya mens rea dalarn hukum pidana, termasuk di Inggris yang
menerapkan asas strict liability ini.51
49 Michael J Allen, Texbook on Criminal Law, (London: Blakstone Press Limited, 1991), hal.82.
50 .Ibid.51 .Wayne R.LaFave & Austin W Scott, Handbook on Criminal Law, (West
Publishing Co, 1972), hal.219.
28
2.Vicarious Liability
a.Pengertian Asas Vicarious Liability
Pengertian asas vicarious liability dapat dikemukakan oleh beberapa ahli
hukum diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Peter Gillies yang menyatakan bahwa:52 "Vicarious liability consist of the
imposition of criminal liability upon a personal by virtue of the commission I
of an offence by another, or by reference to bith of these matters
(pertanggungjawaban pengganti adalah pengenaan pertanggungjawaban
pidana terhadap seseorang berdasarkan atas perbuatan pidana yang
dilakukan oleh orang lain, atau berdasarkan atas kesalahan orang lain, atau
berkenaan dengan kedua masalah tersebut)".
2. La-Fave yang menyatakan bahwa53 "A vicarious liability is one whrein one
person, though withaout personal fault, is more liable for the conduct of
another (pertanggungjawaban pengganti adalah sesuatu di mana seseorang,
tanpa kesalahan pribadi, bertanggungjawab atas tindakan orang lain)".
3. Smith & Brian Hogan menyatkan bahwa54 A master can be held liable for his
servants crime, as general rule. Two exeptions are in public nuicence and
criminal libel, a master has been held liable for the servants act althaough he
is, personally, perfectly innocent (bahwa majikan dapat
dipertanggungjawabkan atas kejahatan yang dilakukan oleh pegawainya.
Kecuali terhadap gangguan umum dan pencemaran nama, majikan
bertanggungjawab atas tindakan pegawainya meskipun dia tidak bersalah
sama sekali)
Dari beberapa definisi yang dikemukakan tersebut di atas dapat disimpulkan
bahwa vicarious Liability adaiah pertanggungjawaban menurut hukum seseorang
atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain. Kedua orang tersebut harus
mempunyai hubungan yaitu hubungan antara atasan dan bawahan atau hubungan
majikan dan buruh atau hubungan pekerjaan. Perbuatan yang dilakukan oleh
52 .Peter Gullies, Op.Cit., hal.109.53 .Wayne R. Lafave, Op.Cit., hat 223.54 .Smith & Hogan, Op.Cit., hal.171.
29
pekerja tersebut harus masih dalam ruang lingkup pekerjaannya, atau dengan
istilah yang lain sering disebut sebagai pertanggungjawaban pengganti.
Perbedaan yang mendasar antara strict liability dan vicarious liability
menurut Glanvile William adalah mengenai ada atau tidak adanya actus reus dan
mens rea. Strict liability tidak membutuhkan mens rea, cukup dengan actus reus,
sedangkan vicarious liability justru sebaliknya, mens rea deri pekerja tetap
dibutuhkan untuk dapat mempertanggungjawabkan majikan atas perbuatan
pekerja tersebut.55
Selanjutnya Roeslan Saleh dalam bukunya mengakui adanya vicarious
liability sebagai pengecualian dari asas kesalahan. Roeslan Saleh berpendapat
bahwa pada umumnya seseorang bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri.
Akan tetapi menurut asas vicarious liability orang bertanggung jawab atas orang
lain. Aturan undang-undanglah yang menetapkan siapa-siapakah yang dipandang
sebagai pelaku yang bertanggung jawab.56
b.Penerapan dan Kriterian Asas Vicarious Liability
Penerapan doktrin vicarious liability pada awalnya diterapkan pada kasus-
kasus perdata terutama pada kasus-kasus kerugian (tort). Akan tetapi dalam
hukum pidana konsepnya sangat berbeda. Diterapkannya hukuman pidana
terhadap orang yang merugikan atau mengancam kepentingan sosial, sebagian-
untuk memperbaiki dan sebagian lagi untuk melindungi dan mencegah dari
aktivitas yang anti sosial.57
Doktrin vicarious liability itu berkembang dan pada akhirnya juga dicoba
untuk diterapkan pada kasus-kasus pidana. Perkembangan doktrin itu terutama
didukung oleh putusan-putusan pengadilan yang diikuti oleh pengadilan
berikutnya, yang pada dasarnya menganut asas presedent. Perkembangan yang
pesat mengenai penerapan asas vicarious liability ini terutama terjadi pada negara-
negara yang menganut sistem common law, terutama di Inggris dan Amerika
55 .Glanvile William, Criminal Law, Second Edition, (London: Steven and Sons, 1961), hal.285.
56 .Roeslan Saleh, Suatu Reorientasi dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Aksara Rant, 1983), hal.32.
57 Wayne R. LaFave, Op.Cit., hal.224.
30
Serikat.
Di Indonesia di beberapa undang-undangnya antara lain undang-undang
mengenai pengelolaan lingkungan hidup juga telah menerapkan asas ini dalam
sistem pertanggungjawabannya dan dalam praktek penegakannya menggunakan
asas ini.
Secara tradisional konsep itu telah diperluas terhadap suatu situasi di mana
pengusaha bertanggung jawab terhadap perbuatan pidana yang dilakukan oleh
pegawainya dalam ruang lingkup pekerjaannya. Tanggung jawab yang dipikul
oleh majikan itu dapat terjadi satu di antara tiga hal-hal berikut:58
1. Peraturan perundang-undangan menyebutkan secara eksplisit
pertanggungjawaban suatu kejahatan secara vicarious;
2. Pengadilan telah rnengembangkan doktrin pendelegasian
dalam kasus pemberian lisensi. Doktrin itu berisi tentang
pertanggungjawaban seseorang atas perbuatan yang dilakukan oleh orang
lain apabila ia telah mendelegasikan kewenangannya menurut undang-
undang kepada orang lain;
3. Pengadilan dapat menginterpretasikan kata-kata dalam
undang-undang sehingga tindakan dari pekerja atau pegawai dianggap
sebagai tindakan dari pengusaha.
Ada dua syarat penting untuk dapat menerapkan suatu perbuatan pidana
dengan asas vicarious liability yaitu:59
1. Harus terdapat suatu hubungan, seperti pekerjaan antara majikan dengan
pegawai atau pekerja (there must be relationship, such as the employment
relationship, between X and Y which is sufficient to justify the imposition of
vicarious liability);
2. Perbuatan pidana yang dilakukan (Dien pegawai atau pekerja tersebut harus
berkaitan al: masih dalam ruang lingkup pekerjaannya (the tort
committed by Y must be referable in some particular way to the relationship
between X and Y).
58 .C.M.V.Clakrson, Understanding Criminal Law, Op.Cit., haI.44.59 .Marcus Fletcher, A-Level Principles of English Law, (British Government: 1ILT Pal,
1990), hal.194.
31
Di samping dua syarat tersebut di atas masih terdapat dua prinsip yang harus
dipenuhi dalam menerapkan asas vicarious liability, yaitu prinsip pendelegasian
dan prinsip perbuatan buruh merupakan perbuatan majikan.
Adapun kedua prinsip tersebut adalah:
1. Prinsip Pendelegasian (The Delegation Principle)
Prinsip pendelegasian itu berkaitan dengan pemberian izin kepada seseorang
untuk mengelola suatu usaha. Si pemegang izin tidak menjalankan langsung usaha
tersebut, tetapi ia memberikan kepercayaan secara penuh kepada seorang manajer
untuk mengelola perusahaan tersebut. Jika manajer itu melakukan perbuatan
melawan hukum, si pemegang lisensi (pemberi delegasi) bertanggung jawab atas
perbuatan manajer tersebut. Contoh kasus mengenai prinsip pendelegasian ini
dapat dikemukakan sebagai berikut:60
a. X adalah pemilik rumah makan. Pengelolaan rumah makan itu diserahkan
kepada Y (manajer). Berdasarkan peringatan dari polisi, X telah
menginstruksikan/melarang kepada Y untuk mengizinkan pelacuran di
tempat itu yang ternyata dilanggar oleh Y.
b. X dipertanggungjawabkan berdasarkan Metropolitan Police Act 1839.
Konstruksi hukumnya adalah: "X telah mendelegasikan kewajibannya
kepada Y (manajer). Dengan telah melimpahkan kebijaksanaan usahanya itu
kepada manajer, maka pengetahuan si manajer merupakan pengetahuan dari
si pemilik rumah makan itu".
Kasus Allen v Whitehead tersebut dinyatakan telah melanggar Pasal 44
Metropolitan Police Act 1839. Dalam kaitan itu jaksa berkomentar:61
"That is ignorance of the facts was no defence. The acts of the servant and his
mens rea where both to be imputed to his master, not simply because he was a
servant, but because the management of the haouse had been delegated to him".
Prinsip pendelagasian sangat penting untuk menentukan apakah asas vicarious
ini diterapkan. Apabila tidak terdapat pendelegasian, majikan tidak bertanggung
60 .LB. Curson, Op.Cit, hal.28-29.61 .Smith & Hogan, Op.Cit., hal.142.
32
jawab atas perbuatan bawahan. Contoh kasus mengenai hal ini dapat dikemukakan
sebagai berikut:
"Izin pembukaan sebuah restoran yang menyediakan minuman beralkohol
hanya dapat dijual kepada seseorang yang memesan makanan. Penjual
minuman itu menjual minuman kepada seseorang yang tidak memesan
makanan. Pemegang lisensi didakwa melanggar Pasal 22 ayat (1) Licensing
Act 1961, atas dasar pengetahuannya menjual minuman beralkohol.
Pemegang lisensi tidak mengetahui mengenai tindakan pelayanan tersebut.
Jaksa mengabaikan pembelaan tersebut. Mahkamah Agung menerima
pembelaan pemegang lisensi sehingga majikan tidak dipidana".
Putusan Mahkamah Agung tersebut dinilai tepat karena dalam kasus itu tidak
terdapat adanya pendelegasian. Perbuatan itu dilakukan oleh pelayan yang
sebenarnya sudah diberi petunjuk oleh majikan agar tidak menjual minuman
beralkohol kepada orang yang tidak memesan makanan. Jelas dalam kasus
tersebut tanggung jawab ada pada pelayan itu sendiri.
Berkaitan dengan prinsip pendelegasian itu, hal yang penting untuk diingat
adalah bahwa prinsip ini membutuhkan adanya mens rea. Artinya perbuatan
melawan hukum itu dilakukan dengan kesalahan oleh penerima delegasi. Jadi
kalau tidak ada kesalahan prinsip pendelegasian itupun juga tidak dapat
diberlakukan.
Dalam kaitan dengan syarat mens-rea, Parker memberi komentar sebagai
berikut:
"The delegation prinsiple come info play in the case of offences requiring
mens rea. Whre liability is strict, "one person on whom liability is theown is
resposible wheter hi hasdelegated or wheter he has acted through a
servent". According to this view, if D the lissence, noL having delegated his
duties, is serving in the bar and E, the barmaid, without his knowledge, sell
liquar a) to a constable on duty and b) to drunken person, D is liable for the
letter bit not former offence, sine a) requires mens rea but b) does not".62
62 Ibid., hal. I44.
33
2. Tindakan Buruh adalah Tindakan Majikan. (The servants Act is the
Masters Act in Law)
Tindakan buruh merupakan syarat y: kedua untuk dapat diterapkan asas
vicarious liability, dimana terdapat perkataan selling yang merupakan hal yang
utama berdasarkan prinsip actus reus.
Pasal 8 Food Saftey Act 1990 melarang atas penjualan makanan yang tidak
layak. Menjual adalah batasan hukum yang menunjuk pada suatu kontrak. Adapun
yang dimaksud dengan kontrak adalah antara pemilik toko atau perusahaan
dengan pembeli. Walaupun yang menjual itu adalah pekerja atau pegawai, yang
bertanggung jawab alias barang yang dijual adalah pemilik. Jadi pekerja sebagai
pembuat materiil/fisik (auctor fisicus) dan pemilik sebagai pembuat intelektual
(auctor intelectualis). Sebagai contoh dapat dikemukakan kasus Coppen vs
Moore, adapun ringkasan kasusnya adalah sebagai berikut:
"D mempunyai enam buah toko yang menjual daging Amerika. Dia telah
menanam daging itu sebagai breakfast ham dan tidak menjual dengan nama
yang lain. Dengan ketidakhadiran D dan tanpa sepengetahuan dari manajer
cabang lain, seorang asisten menjual daging itu dengan nama scotch ham. D
didakwa melanggar Undang-Undang Merek Dagang (Merchandishe Mark
Act 1887 Pasal 2 ayat (2)) of selling good to which any false trade
description".63
Dari kasus tersebut dapat disimpulkan bahwa tindakan buruh dianggap sebagai
tindakan majikan apabila berkaitan dengan kasus menjual. Dijelaskan bahwa
perkataan menjual bukan dikaitkan dengan aktual selalu akan tetapi dikaitkan
dengan pemilikan barang tersebut.
3.Enterprise Liability (Corporate Liability)
a.Perkembangan Korporasi Sebagai Subyek Hukum Pidana
Perkembangan konsep korporasi sebagai subyek perbuatan pidana merupakan
akibat perubahan-perubahan yang terjadi dalam menjalankan aktivitas
63 .Ibid., hal. 145.
34
usahanya. Pada masyarakat yang masih sederhana, kegiatan usaha cukup
dijalankan secara perorangan. Namun, dalam perkembangan masyarakat yang
tidak lagi sederhana, timbul kebutuhan untuk mengadakan kerjasama dengan
pihak lain dalam menjalankan kegiatan usaha. Beberapa hal yang menjadi faktor
pertimbangan untuk mengadakan kerja sama antara lain, terhimpunnya modal
yang lebih banyak, tergabungnya keterampilan dalam suatu usaha jauh lebih balk
dibandingkan dengan yang dijalankan seorang diri, dan mungkin pula atas
pertimbangan dapat membagi resiko kerugian.64
Perkembangan lebih lanjut dapat dipanami berdasarkan kenyataan yang terjadi
saat ini, yaitu suatu usaha tidak hanya terbatas pada beberapa orang saja. Hal itu
dapat dibuktikan dengan adanya korporasi, misalnya perseroan terbatas yang
menawarkan saham pada masyarakat pada saat go public sehingga jumlah suatu
kerjasama dapat mencapai ratusan atau ribuan orang.
Berdasarkan gambaran tersebut dapat dipahami bahwa proses modernisasi
yang berlangsung di negeri kita, terutama di bidang ekonomi dan perdagangan
telah terjadi perubahan dari masyarakat yang sifatnya agraris menjadi masyarakat
industri dan perdagangan meskipun saat ini kondisi tidak mendukung mengingat
krisis ekonomi dan krisis multidimensional di berbagai aspek kehidupan yang
menimpa negara kita.
Adanya perbedaan dan perubahan dalam kegiatan usaha antara lain berupa
sebagai berikut:
a. kebutuhan modal dalam jumlah besar sehingga menghasilkan usaha-usaha
mengumpulkan dana masyarakat secara intensif;
b. perubahan dalam pemilikan yang dapat dilihat ke dalam kekuasaan dan
hak-hak yang tidak tampak seperti deposito, saham, dan surat berharga
lainnya;
c. kegiatan ekonomi yang berorientasi ke pasar internasional;
d. pemindahan dari milik pribadi ke pemilik korporasi; dan
e. korporasi semakin meluas dan berkuasa dalam kehidupan ekonomi dan
64.Rudy Prasetya,"Perkembangan Korporasi dalam Proses Modernisasi, (Semarang: Fakultas Hukurn UNDIP, 1989), hal.3.
35
kemasyarakatan.
Sisi lain yang menjadi pusat perhatian dalarn perkembangan dan perubahan
dalam bidang kegiatan sosial ekonomi adalah penyimpangan perilaku bersifat
merugikan dan membahayakan masyarakat dalam berbagai bentuk yang berskala
luas. Dalam lingkup pembicaraan mengenai perkembangan konsep korporasi
sebagai subyek perbuatan pidana, Rudhy Prasetya mengatakan bahwa timbulnya
konsep badan hukum sekadar konsep dalam hukum perdata sebagai kebutuhan
untuk menjalankan kegiatan usaha yang diharapkan lebih berhasil. Korporasi
merupakan suatu bentukan hukum, yaitu pemberian status sebagai subyek hukum
kepada suatu badan hukum, disamping subyek hukum yang berupa manusia
alamiah. Dengan demikian badan hukum dianggap dapat menjalankan atau
melakukan tindakan hukum.65
Pemberian status subyek hukum khusus yang berupa badan hukum tersebut,
dalam perkembangannya dapat terjadi karena berbagai macam alasan dan/atau
motivasi. Salah satu alasan misalnya, untuk memudahkan siapa yang harus
bertanggung jawab diantara mereka yang terhimpun dalam badan tersebut, yakni
secara yuridis dikonstruksikan dengan menunjuk badan hukum sebagai subyek
yang harus bertanggung jawab. Oleh karena itu dalam perkembangannya
eksistensi korporasi sebagai subyek hukum, diakui pula oleh bidang hukum di luar
hukum perdata, misalnya hukum pajak dan hukum administrasi negara serta
hukum perdata.66
Pengakuan hukum pajak terhadap korporasi tercantum dalam Undang-undang
No. 6 tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan. Pasal 1 butir
(a) disebutkan bahwa wajib pajak adalah orang atau badan hukum menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan
kewajiban perpajakan. Selanjutnya dalam undang-undang No. 7 tahun 1983
tentang pajak penghasilan, Pasal 2 ayat (1) butir (b) dinyatakan bahwa yang
menjadi subyek pajak adalah badan yang terdiri dari perseroan terbatas, perseroan
65.LS.Susanto, "Tinjauan Kriminulogi Terhadap Perilaku Menyimpang Dalam Kegiatan Ekonomi Masyarakat dan Penanggulangannya", (Semarang: Fakultas Hukum UNDIP, 1990), hal.2-3.
66 .Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia, Cet. 1., (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 29.
36
komanditer, badan usaha milik negara dan daerah dengan nama dan dalam bentuk
apapun, persekutuan, perseroan atau perkumpulan lainnya, firma, kongsi,
perkumpulan koperasi, yayasan atau lembaga dan bentuk usaha tetap.67
Korporasi diakui dalam hukum administrasi negara, tampak dalam pemberian
lain usaha, yang dalam beberapa hal mensyaratkan bahwa izin usaha hanya dapat
diberikan jika permohonan izin mengambil bentuk badan hukum atau perseroan
terbatas (P.T). Ketentuan demikiun tidak hanya berlaku di Indonesia, tetapi
berlaku secara universal di berbagai negara, sedangkan ketentuan yang
mensyaratkan bentuk badan hukum didasarkan atas berbagai pertimbangan dan
yang paling dominan ialah agar lebih mudah menunjuk siapa
penanggungjawabnya dan atau terjaminnya kontinuitasnya.68
Di bidang hukum pidana, keberadaan suatu badan hukum atau badan usaha
yang menyandang istilah korporasi diterima dan diakui sebagai subyek hukum
yang dapat melakukan tindak pidana serta dapat pula dipertanggungjawabkan.
Dalam perkembangan hukum pidana Indonesia, ada tiga sistem
pertanggungjawaban korporasi sebagai subyek tindak pidana, yaitu:
1. Pengurus korporasi yang berbuat, maka penguruslah yang bertanggung
jawab;
2. Korporasi sebagai pembuat, maka pengurus yang bertanggung jawab;
3. Korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggung jawab.69
KUHP Belanda sejak tahun 1976 telan mencantumkan pertanggungjawaban
korporasi sebagai subyek perbuatan pidana yang diakui melalui undang-undang
tanggal 23 Juni 1976, Stb.377 yang disahkan tanggal 1 September 1976. Di
Indonesia, walaupun Pasal 59 KUHP yang sampai saat ini masih berlaku seperti
Pasal 51 KUHP Belanda, mulai dikembangkan dengan munculnya korporasi
sebagai subyek hukum sebagaimana tercantum dalam Pasal 44 RUB KUHPidana
tahun 2000. Meskipun demikian sebelumnya peraturan perundang-undangan kita
beberapa diantaranya telah menyimpang dari apa yang tercantum dalam Pasal 59
67.Rudy Prasetya, Op,Cit., hal.4.68 .Ibid.69 .Mardjono Reksodiputro, "Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalarn Tindak Pidana
Korporasi", Jakarta: Fakultas Hukum UI, 1989), hal.9.
37
KUHPidana Indonesia, dimana perbuatan pidana tidak hanya dilakukan oleh
manusia alamiah tetapi dilakukan oleh korporasi. Peraturan perundang-undangan
pidana di luar KUHP yang mengakui pertanggungjawaban pidana korporasi
adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang No.7 tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, rumusan
pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Pasal 15;
2. Undang-Undang No. 11 PNPS tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan
Subversi, yang memuat rumusan pertanggungjawaban pidana korporasi
sebagai pembuat tindak pidana tercantum dalam Pasal 17;
3. Undang-Undang No.35 tahun 2009 tentang Narkotika, Pasal 130 dan Pasal
135;
4. Undang-Undang No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, Pasal 116, Pasal 118, Pasal 119;
5. Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang
mencantumkan pertanggungjawaban korporasi dalam Pasal 19 ayat(4), Pasal
61 jo Pasal 62;
6. Undang-undang No.10 tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, yang
mencantumkan pertanggungjawaban korporasi dalam Pasal 17, Pasal 28 jo
Pasal 44.
Dari sejumlah peraturan yang dikemukakan, yang dikaji oleh Pohan kecuali
UU No. 23 tahun 1997 dan UU No. 8 tahun 1999, berpendapat :”…. Adanya
keraguan dari pembuat undang-undang untuk menempatkan korporasi sebagai
subyek hukum yang dapat diberi tanggung jawab pidana.70
Kesimpulan Pohan tersebut diperkuat pula oleh kenyataan bahwa apabila
tadinya Pasal 46 Undang-Undang No.6 tahun 1982 tentang Hak Cipta telah
menerima adanya tanggung jawab pidana korporasi, tetapi Pasal 46 ini kemudian
dihapus oleh Undang-Undang No.7 tahun 1987, masih mengenai Hak Cipta,
dengan pertimbangan bahwa yang bertanggung jawab atas tindak pidana yang
dilakukan oleh suatu badan hukum adalah pengurus badan hukum itu dan
70 .Mardjono Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, OP.Cit., hal.70-71.
38
peniadaan ketentuan ini juga dimaksudkan untuk menjangkau tindakan hukum
terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh badan-badan lain seperti yayasan.71
Kesimpulan Pohan tersebut dapat diterima karena mulai tahun 1955 seperti
yang tercantum dalam Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi, pembuat
undang-undang sudah merasa perlu secara tegas menyimpang dari asas umum
Pasal 59 KUHP, untuk dapat memuat dan menjatuhkan pidana kepada korporasi
(disamping pengurusnya), karena akibat tindak pidana ekonomi itu dianggap
dapat sangat merugikan masyarakat. Hal itu kemudian diikuti pula untuk tindak
pidana yang dianggap sama seriusnya, yaitu tahun 1963 (UU No.11 PNPS tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Subversi), tahun 1964 (UU No.17 tentang Cek
Kosong, dicabut tahun 1971), tahun 1976 (tentang Narkotika) dan tahun 1982
(tentang Hak Cipta). Akan tetapi dalam tahun 1981 (tentang Metalurgi Legal) dan
tahun 1982 (tentang Wajib Daftar Perusahaan), kemajuan yang telah dicapai ini
tidak diteruskan, malahan dalam tahun 1987 (tentang Hak Cipta) sebuah undang-
undang yang telah memuat kemajuan itu telah diubah. Kalau diperhatikan dengan
seksama, tindak pidana yang terjadi dalam rangka ketiga undang-undang terakhir
itu mempunyai potensi untuk mengakibatkan kerugian yang besar pada
masyarakat khususnya kalau dilakukan oleh korporasi.72
Perubahan masyarakat yang diikuti peningkatan peranan korporasi sebagai
pelaku pembangunan di bidang ekonomi dan bisnis, berpengaruh besar terhadap
pandangan-pandangan ahli hukum pidana dan kriminologi dalam hubungannya
dengan pengembangan hukum pidana sebagai sarana dalam penanggulangan
bentuk-bentuk kejahatan korporasi. Hal itu ditandai dengan pergeseran pandangan
bahwa korporasi dapat dipertanggungjawabkan sebagai pembuat di samping
manusia. Jadi penolakan pemidanaan korporasi berdasarkan doktrin Universitas
Delinguere Non Potest (societal puniri non potest) sudah mengalami perubahan
dengan menerima konsep pelaku fungsional (functioneel daderschap).73
Di Indonesia perkembangan tersebut di atas dapat dipahami melalui pendapat
71 .Mardjono Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, Op.Cit., ha1.70-71.
72 .Ibid., hal.71.73 Muladi, "Fungsionalisasi Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Korporasi, (Semarang:
Fakultas Hukum UND1P, 1989), hal 5.
39
Tim Pengkajian Bidang Hukum Pidana dan Penyusunan Rancangan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, yang menerima korporasi sebagai
pembuat dan yang bertanggung jawab dalam hukum pidana. Penerimaan itu
dimuat dalam naskah Rancangan KUHPidana tahun 1999/2000, yaitu Pasal 44
dan 45 dengan bunyi rumusan sebagai berikut:
Pasal 44 : Korporasi merupakan subyek tindak pidana
Pasal 45 : Jika suatu tindak pidana dilakukan oleh atau untuk suatu korporasi,
maka penuntutan dapat dilakukan dan pidananya dijatuhkan terhadap
korporasi itu sendiri, atau korporasi dan pengurusnya atau pengurusnya
saja.
Sedangkan menurut naskah Rancangan Kitab Undang – Undang Hukum
Pidana (RKUHP) hasil pembahasan panitia kerja R-KUHP DPR-RI tanggal 24
Februari 2017, terkait korporasi sebagai subjek tindak pidana dan bentuk
pertanggungjawaban korporasi dapat diuraikan ketentuan Pasal 48, Pasal 50
dengan rumusan sebagai berikut:
Pasal 48 : Korporasi merupakan subjek tindak pidana.
Pasal 50 : Jika tindak pidana dilakukan oleh korporasi, pertanggungjawaban
pidana dikenakan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya atau
pengendali korporasi.
40
41
BAB III
SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI
A. Perlunya Pengaturan Tentang Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Terbentuknya negara Indonesia tidak lain memiliki suatu tujuan yang mulia
yaitu mendorong dan menciptakan kesejahteraan umum dalam payung Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan pancasila. Tujuan atau cita-cita
tersebut tercermin dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dalam alinea
ke-4 yaitu sebagai berikut :
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,…”
Kesejahteraan bagi seluruh rakyat tanpa terkecuali merupakan landasan
utama bagi setiap pengambilan kebijakan untuk terus berupaya meningkatkan
taraf kehidupan masyarakat yang pada dasarnya merupakan hak konstitusional
setiap warga negara Indonesia. Kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia hanya
sekedar cita-cita belaka jika tanpa diiringi oleh usaha yang nyata oleh
penyelenggara negara dalam mengemban amanat konstitusi, salah satu upaya
nyata yang dimaksud adalah dengan melakukan penegakan hukum yang bertujuan
melindungi segenap bangsa dan tumpah darah dari segala kesewenang-wenangan
termasuk kesewenang-wenangan mengenai hak-hak perekonomian rakyat.
Perlindungan terhadap segenap bangsa dan tumpah darah melalui perangkat
hukum yang berlaku merupakan hal yang mutlak untuk diwujudkan, tidak ada
artinya kata-kata “melindungi segenap bangsa dan tumpah darah” jika ternyata
masih ada penderitaan yang dirasakan oleh rakyat berupa ketimpangan-
ketimpangan hak-hak ekonomi yang mencerminkan ketidaksejahteraan bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Ketidaksejahteraan tersebut didorong dan diciptakan oleh sistem
pemerintahan yang tidak berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, karena
42
masih membiarkan adanya praktik-praktik pemerintahan dimana kekuasaan
dijalankan secara sewenang-wenang dan tidak berpihak pada rakyat, penguasaan
akses-akses ekonomi oleh segelintir orang dan lain sebagainya. Perlu penjabaran
lebih rinci secara hukum, agar kewajiban konstitusional tersebut benar-benar
dijalankan secara baik, dengan menciptakan praktik-praktik pemerintahan yang
terbuka, transparan dan senantiasa bertanggung jawab atas kepentingan
masyarakat secara luas, yang titik akhirnya adalah kesejahteraan secara nyata bagi
masyarakat luas dengan berpedoaman pada prinsip-prinsip keadilan sosial
berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuannya nasional melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dapat pula berarti upaya
keras dan nyata bagi pembebasan seluruh rakyat Indonesia dari penderitaan dan
upaya yang nyata bagi terciptanya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat
Indonesia tanpa kecuali.
Bangsa Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang
pasca zaman reformasi tahun 1998 dan menjadikannya sebagai negara demokratis
di dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada saat ini, Indonesia
telah memasuki era globalisasi dan kemajuan yang amat pesat dalam berbagai
bidang kehidupan. Dalam hal ini, pembangunan tidak hanya menyangkut
pembangunan di bidang ekonomi semata namun menyangkut seluruh aspek
kehidupan masyarakat termasuk pembangunan di bidang hukum, pembangunan di
bidang ekonomi bahkan pembangunan di bidang sosial dan politik.
Perkembangan dan pembangunan sebagaimana telah dikemukakan di atas
sudah tentu tidak dapat dilepaskan dari pengaruh globalisasi dan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang begitu cepat. Namun demikian,
perlu disadari bahwa globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi ini tentu saja disamping menimbulkan manfaat bagi kehidupan manusia
sudah tentu harus diwaspadai efek sampingnya yang bersifat negatif, yaitu adanya
“globalisasi kejahatan” dan meningkatkan kualitas (jumlah) serta kualitas (modus
operandi) tindak pidana diberbagai negara.74
74 Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm 1-3.
43
Dengan adanya globalisasi dan modernisasi tepatnya dalam hal kemajuan
teknologi, komunikasi, transportasi dan informatika khususnya di bidang
ekonomi, perdagangan dan investasi, kemajuan dan perkembangan dunia, seolah-
olah membuat batas-batas negara, kedaulatan dan hak-hak berdaulat menjadi tidak
berlaku lagi. Hal ini tentu akan menimbulkan dampak negatif yang sangat
memprihatinkan. Dengan perkataan lain, dapat dikatakan bahwa dewasa ini
manusia seringkali memanfaatkan perkembangan teknologi, komunikasi,
transportasi dan informatika untuk memudahkan perilaku jahat yang tidak
dikendalikan akal dan hati nurani dan justru menggunakan alat-alat teknologi
modern tersebut untuk melakukan suatu tindak pidana, bahkan tindak pidana yang
bertentangan dengan peradaban manusia. Dengan berkembangnya berbagai jenis
kejahatan yang semakin kompleks sudah tentu menuntut adanya sarana
penanganan yang mampu untuk memecahkan dan tanggap akan kondisi tersebut.
Hal ini diperkuat dengan Article 1 The United Nations Convention Against
Transnational Organized Crime Tahun 2000 (UNCATOC) disebutkan dengan
tegas bahwa :“The purpose of this convention is to promote cooperation to
prevent and combat transnational organized crime more effectively”. (tujuan dari
konvensi ini adalah untuk memajukan kerjasama untuk mencegah dan
memberantas tindak pidana transnasional terorganisasi secara lebih efektif).
Dilihat ketentuan tersebut, penulis menyimpulkan bahwa dewasa ini terbukti
adanya peningkatan kejahatan dan keprihatinan masyarakat internasional
mengenai kejahatan atau tindak pidana yang senantiasa berkembang. Tindak
pidana saat ini tidak saja merupakan masalah suatu negara, tetapi juga merupakan
masalah global.
Demikian pula dengan laporan Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
ke-5 dan ke-6 yang membahas mengenai The Prevention Of Crime and the
Treatment Of Offenders terungkap bahwa Crime As Business merupakan bentuk
kejahatan atau tindak pidana dalam bidang bisnis atau industri yang pada
umumnya dilakukan secara terorganisasi dan dilakukan oleh yang mereka
mempunyai kedudukan yang terpandang dalam masyarakat atau dapat dikatakan
sebagai kejahatan kerah putih (white collar crime). Dalam kongres ke-6
44
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) lebih lanjut dikatakan bahwa tindak pidana
bisnis atau tindak pidana yang berkaitan dengan ekonomi meliputi berbagai
bidang dan tidak dapat dipasah-pisahkan melainkan kesemuanya memiliki
hubungan satu dengan yang lain. Hal ini akan membawa konsekuensi lebih lanjut
dalam hal atau upaya pencegahan dan pemberantasannya. Karena kesemua bidang
tersebut saling berkaitan satu dengan yang lain, maka dalam upaya pencegahan
dan pemberantasannya pun tidak dapat dilakukan satu persatu atau bagian
perbagian melainkan harus dilakukan secara terpadu dan terintegrasi.
Hal yang serupa dikemukakan pula oleh The United Nation Convention
Against Corruption (UNCAC), tepatnya dalam preamble (pembukaan) dinyatakan
dengan tegas bahwa lahirnya konvensi ini dilatarbelakangi beberapa faktor
berikut:
Pertama, keprihatinan negara-negara terhadap dampak serius tindak pidana
korupsi. Negara-negara di dunia prihatin atas keseriusan masalah dan ancaman
yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi terhadap stabilitas dan keamanan
masyarakat yang merusak dan lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-
nilai etika dan keadilan serta mengacaukan pembangunan yang berkelanjutan dan
penegakan hukum (Corcernerned about the seriousness of problems and treats
posed by corruption to the stability and security of societies, undermining the
institutions and values of democracy, ethical values and justice and jeopardizing
sustainable development and the rule of law).
Kedua, adanya hubungan antara tindak pidana korporasi dengan tindak
pidana korupsi dan tindak pidana lainnya. Prihatin juga atas hubungan antara
tindak pidana korupsi dan bentuk-bentuk lain kejahatan, khususnya kejahatan
yang terorganisir dan kejahatan-kejahatan ekonomi, termasuk tindak pidana
pencucian uang (concerned also about the link between corruption and other
forms crime, in particular organized crime and economic crime, including money-
laundring).
Ketiga, tindak pidana korupsi dan juga korporasi terkait dengan jumlah aset
yang besar. Prihatin lebih lanjut atas kasus-kasus tindak pidana korupsi yang
melibatkan jumlah aset yang besar yang dapat merupakan bagian penting sumber
45
daya negara, dan mengancam stabilitas politik dan pembangunan yang
berkelanjutan negara tersebut (concerned further about cases of corruption that
involve vast quantities of assets, which may constitute a substantial proportion of
the resources of states, and that threaten the political stability and sustainable
development of those states).
Keempat, tindak pidana korporasi termasuk juga korupsi terkait aspek
internasional, perlu pendekatan komprehensif dan perlu upaya pencegahan.
Tindak pidana korupsi/korporasi tidak lagi merupakan masalah lokal, tetapi
merupakan fenomena internasional yang mempengaruhi seluruh masyarakat dan
ekonomi, dengan demikian menjadikan kerja sama internasional untuk mencegah
dan mengendalikannya sangat penting (convinced the corruption is no longer a
local matter but a transnational phenomenon that affects all societies and
economies, making international cooperation to prevent and control it essential).
Penanganan kasus korupsi dan tindak pidana korporasi juga memerlukan suatu
pendekatan yang komprehensif dan multidisipliner diperlukan untuk mencegah
dan memberantas tindak pidana korupsi secara efektif (convinced also that e
comprehensive and multidisciplinary approach is required to prevent and combat
corruption effectively). Keberadaan bantuan teknis dapat memainkan peranan
yang penting dalam meningkatkan kemampuan negara, termasuk dengan
memperkuat kapasitas dan dengan peningkatan kemampuan lembaga untuk
mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi secara efektif (convinced
further that the availability of technical assistance can play an important role in
enhancing the ability of states, including by strengthening capacity and by
institutional building, to prevent and combat corruption effectively).
Kelima, perlu upaya pencegahan dan pemberantasan akibat perolehan
kekayaan pribadi dan korporasi secara tidak sah. Adanya perolehan kekayaan
pribadi maupun korporasi secara tidak sah dapat secara khusus merusak lembaga-
lembaga demokrasi, sistem ekonomi nasional dan penegak hukum (convinced that
the illicit acquisition of personal wealth can be particularly damaging to
democratic institutions, national economies and the rule of law).Untuk mencegah,
mendeteksi dan menghambat dengan cara yang lebih efektif transfer internasional
46
aset yang diperoleh secara secara tidak sah dan untuk memperkuat kerjasama
internasional dalam pengembangan aset (Determined to prevent, detect and deter
in a more effective manner international transfers of illicitly acquired assets and
to strengthen international cooperation in asset recovery). Pengakuan atas
prinsip-prinsip dasar prosedur hukum dalam proses pidana dan perdata atau proses
administratif untuk mengadili hak-hak atas kekayaan merupakan suatu hal yang
sangat penting (Acknowledging the fundamental principles of due process of law
in criminal proceedings and in civil or administrative proceedings to adjudicate
property right). Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan
tanggung jawab semua negara dan bahwa negara-negara harus saling
bekerjasama, dengan dukungan dan keterlibatan orang-perorangan dan kelompok
di luar sektor publik, seperti masyarakat madani, organisasi non pemerintah dan
organisasi kemasyarakatan agar upaya-upaya dalam bidang ini dapat efektif
(Bearing in mind that the prevention and eradication of corruption is a
responsibility of all satates and that they must cooperate with one another, with
the support and involvement of individuals and groups outside the publik sector,
such as civil society, nongovernmental organization and community, based
organization, if their efforts in this area are to be effective). Prinsip-prinsip
pengelolaan yang baik urusan-urusan publik dan kekayaan publik, keadilan,
tanggung jawab dan kesetaraan di muka hukum dan kebutuhan untuk menjaga
integritas dan untuk mengingatkan budaya penolakan terhadap tindak pidana
korupsi (Bearing also in mind the principle of proper management of publik affair
and publik property, fairness, responsibility and equality before the law and need
to safeguard integrity and to foster a culture of rejection of corruption).
Keenam, perlunya kerjasama dengan Komisi Pencegahan Kejahatan dan
Peradilan Pidana dan organisasi internasional lainnya yang berada di bawah
naungan Perserikatan Bangsa Bangsa. Menghargai hasil kerja komisi pencegahan
kejahatan dan peradilan pidana dan kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk obat
terlarang dan kejahatan dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi
(commending the work of the commission on crime prevention and criminal
justice and the United Nation Officer on Drugs and crime in preventing and
47
combating corruption). Mengingat hasil kerja oraganisasi-organisasi internasional
dan regional lainnya dalam bidang ini, termasuk kegiatan-kegiatan Uni Afrika,
Dewan Eropa, Dewan Kerjasama Kepabeanan (juga dikenal sebagai Organisasi
Kepabeanan Dunia), Uni Eropa, Liga Negara-Negara Arab, Organisasi untuk
kerjasama Ekonomi dan Pembangunan dan Organisasi Negara-negara Amerika
(Recalling the work carried out by other international and regional organization
in this field, including the activities of the African Union, the Council of Europe,
the Customs Cooperation Council (also known as the World Customs
Organization), the European Union, the League of Arab States, the Organization
for Economic Cooperation and Development and the Organization of American
states). Mencatat dengan penghargaan instrumen-instrumen multilateral untuk
mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi, termasuk antara lain Konvensi
Antar Amerika Anti Korupsi yang disahkan oleh Organisasi Negara-Negara
Amerika pada tanggal 29 Maret 1996, Konvensi tentang Pemberantasan Tindak
pidana korupsi yang melibatkan Pejabat-Pejabat Masyarakat Eropa atau Pejabat-
Pejabat Negara-Negara Anggota Uni Eropa yang disahkan oleh Dewan Uni Eropa
pada tanggal 26 Mei 1997, Konvensi tentang Memberantas Penyuapan Pejabat-
Pejabat Publik Asing dalam Transaksi-Transaksi Bisnis internasional yang
disahkan oleh Organisasi untuk kerja sama Ekonomi dan Pembangunan pada
tanggal 21 November 1997, Konvensi Hukum Pidana tentang Tindak Pidana
Korupsi, yang disahkan oleh Komite Menteri-Menteri Dewan Eropa pada tanggal
27 Januari 1999, Konvensi Hukum Perdata tentang Tindak Pidana Korupsi, yang
disahkan oleh Komite Menteri-Menteri Dewan Eropa pada tanggal 4 November
1999 dan Konvensi Uni Afrika tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, yang disahkan oleh Kepala-Kepala Negara dan Pemerintahan Uni
Afrika pada tanggal 12 Juli 2013 (Taking note with appreciation of multilateral
instrument to prevent and combat corruption, including, inter alia, the inter-
American Convention against Corruption, adopted by the organization of
American states on 29 March 1996, the Convention on the Fight against
Corruption involving official of European Communities or Official of member
States of the European Union, adopted by the Council of the European Union 26
48
May 1997, the Convention on Combating Bribery of Foreign Publik Official in
International Business transaction, adopted by Organization for Economic
Cooperation and Development on 21 November 1997, the Criminal Law
Convention On Corruption, adopted by the committee of ministers of the council
of Europe on 27 January 1999, the Civil Law Convention On Corruption, adopted
by the Committee of ministers of the Council of Europe on 4 November 1999 and
the African Union Convention On Preventing And Combating Corruption,
adopted by the heads of State of government of the African Union on 12 July
2003, welcoming the entry into first on 29 September 2003 of the United Nation
Convention against transnational Organized crime).
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari konvensi ini tertuang tegas dalam BAB
I tepatnya Pasal 1 The United Nations Convention Against Corruption (UNCAC)
yang menyatakan sebagai berikut:
Article 1 Statement of purpose (tujuan)
The purpose of this Convention are: (Tujuan Konvensi ini adalah:)
1. To promote and strengthen measure to prevent and combat corruption more
efficiently and effectively (meningkatkan dan memperkuat upaya-upaya untuk
mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi secara lebih efiensi dan
efektif).
2. To promote, facilitate and support international cooperation and technical
assistance in the prevention of and fight against corruption, including in asset
recovery (meningkatkan, memfasilitasi dan mendukung kerjasama
internasional dan bantuan teknis dalam pencegahan dan pemberantasan
korupsi, termasuk dalam pengembalian aset).
3. To promote integrity, accountability and proper management of publik affairs
and publik property (Meningkatkan integritas, akuntabilitas dan pengelolaan
yang baik urusan-urusan publik dan kekayaan publik).
Meskipun The United Nations Convention Against Corruption (UNCAC)
berfokus pada penanggulangan tindak pidana korupsi, konvensi tersebut juga baik
secara langsung maupun secara tidak langsung mengakui adanya peningkatan
kualitas tindak pidana sehingga beberapa tindak pidana misalnya tindak pidana
49
korupsi (termasuk pula dalam hal ini tindak pidana korporasi) tidak lagi menjadi
masalah lokal, tetapi merupakan fenomena internasional yang mempengaruhi
seluruh masyarakat dan sistem perekonomian.
Menghadapi efek negatif dari globalisasi yaitu adanya “globalisasi
kejahatan” serta peningkatan terhadap kuantitas dan kualitas kejahatan
sebagaimana telah dikemukakan di atas, hukum tentu harus kembali mengambil
peranannya sebagai sarana atau alat untuk mengatur ketertiban umum dan
memulihkan keseimbangan dalam kehidupan masyarakat khususnya dalam tataran
Negara Republik Indonesia. Hukum harus mengambil peranannya dalam rangka
merealisasikan tujuan nasional sebagaimana tertuang dalam alinea ke-4 Undang-
Undang Dasar 1945 berbunyi : “melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.
Dalam rangka itu, negara dituntut untuk berperan aktif dalam
penyelenggaraan aktivitas pemerintahannya secara transparan dan tetap berada
dalam pengawasan sosial. Demikian pula dengan peranan hukum dan penegakan
hukum, hukum dan penegakan hukum akan menjadi alat utama untuk
mengendalikan perubahan-perubahan sosial, seiring perkembangan-
perkembangan di dalam masyarakat. Hukum melalui peraturan perundang-
undangan dan pola penegakkan hukum merupakan salah satu sarana untuk
menjaga stabilitas negara serta mewujudkan rasa keadilan yang dibutuhkan oleh
masyarakat dalam kaitannya dengan era globalisasi dewasa ini, eksistensi suatu
korporasi memiliki andil yang cukup besar baik bagi kepentingan manusia
ataupun bagi kepentingan negara. Dikatakan demikian karena korporasi tidak
dapat dilepaskan dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan
kata lain, dapat dikatakan bahwa dalam rangka mencukupi kebutuhan umat
manusia dewasa ini tidak dapat dilepaskan dari keberadaan suatu korporasi. Hal
ini dapat dibuktikan bahwa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari manusia
membutuhkan suatu korporasi misalnya supermarket, rumah sakit, pabrik,
perusahaan, usaha pengangkutan dan lain sebagainya.
50
Sebagaimana dikemukakan di atas, selain bagi manusia, eksistensi
korporasi pun dirasakan penting bagi kepentingaan negara. Hal ini dikarenakan
korporasi memiliki peranan yang sangat penting terhadap perekonomian nasional
tepatnya dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi atau pendapatan
suatu negara. Dalam hal ini, dapat dilihat bahwa korporasi memiliki peranan
penting seperti meningkatkan penerimaan negara dengan penerimaan pajak,
menciptakan lapangan pekerjaan, alih teknologi, terlebih untuk sebuah bank,
korporasi (yang dalam hal ini adalah bank dapat dikatakan sebagai pilar penopang
perekonomian nasional).
Namun demikian, peranan penting dan hal positif yang dapat diambil dari
eksistensi atau keberadaan suatu korporasi sebagai mana tersebut tidak selamanya
dapat terealisasi melainkan dengan tidak dapat dilepaskannya eksistensi korporasi
dewasa ini, sering kali diikuti oleh pelanggaran-pelanggaran atau bahkan
perbuatan melanggar hukum termasuk pelanggaran hukum pidana. Salah satu
contoh perbuatan pidana yang seringkali dilakukan oleh suatu korporasi misalnya
adalah korporasi melakukan pencemaran lingkungan, melakukan penipuan
terhadap konsumen, melakukan unfair business atau bahkan melakukan suatu
tindak pidana di bidang ekonomi seperti tindak pidana korupsi atau tindak pidana
pencucian uang (tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang secara
pasif bahkan secara aktif) yang tidak hanya merugikan orang perseorangan
ataupun masyarakat luas tetapi juga sangat berpotensi menimbulkan suatu
kerugian negara.
Tindak pidana korporasi juga dapat dikategorikan sebagai kejahatan-
kejahatan dengan dimensi yang baru.Tindak pidana korporasi dapat sebagai tindak
pidana atau kejahatan yang bersifat terorganisir. Dikatakan demikian karena
tindak pidana korporasi melibatkan suatu sistem yang tersistematis serta unsur-
unsurnya yang sangat kondusif. Dikatakan melibatkan suatu sistem yang
tersistematis karena adanya organisasi kejahatan (Criminal Group) yang sangat
solid baik karena ikatan etnis, kepentingan politis maupun kepentingan-
kepentingan lain, dengan “kode etik” yang sudah jelas. Sedangkan terkait dengan
“unsur-unsurnya yang sangat kondusif” bahwa dalam tindak pidana korporasi
51
selalu ada kelompok pelindung “pelindung” (protector) yang antara lain terdiri
atas para oknum penegak hukum dan professional serta kelompok-kelompok
masyarakat tertentu yang menikmati hasil kejahatan yang dilakukan secara
tersistematis tersebut.75
Perlu pula dikemukakan bahwa tindak pidana korporasi seringkali
mengandung elemen-elemen kecurangan (deceit), penyesatan (misrepresentation),
penyembunyian kenyataan (concealment of fact), manipulasi (manipulation),
pelanggaran kepercayaan (breach of trust), akal-akalan (subterfuge) atau
pengelakan peraturan (illegal circumvention) sehingga sangat merugikan
masyarakat secara luas.76
Menurut Mardjono Reksodiputro, tindak pidana korporasi merupakan
bagian dari White Collar Crime yang dikemukakan oleh Shutherland berikut ini:
“…..is a violation of criminal law by the person of the upper socioeconomic class
in the course of his occupational activities” (kejahatan kerah putih adalah suatu
kejahatan yang dilakukan oleh seorang yang mempunyai tingkat sosial ekonomi
kelas atas yang berhubungan dengan jabatannya).77
Menambahkan berbagai pendapat di atas, menurut hemat penulis, tindak
pidana korporasi selain dapat dikategorikan sebagai tindak pidana internasional,
yakni tindak pidana yang dilakukan dan akibat yang ditimbulkannya terjadi dalam
territorial negara tertentu,78 tindak pidana korporasi dapat dikatakan sebagai
tindak pidana internasional karena tindak pidana korporasi merupakan tindak
pidana yang dilakukan dan diarahkan kepada orang-orang asing dan aset-aset
asing, dampak yang dihasilkan dari tindak pidana korporasi dirasakan secara
global, tindak pidana korporasi merupakan tindak pidana yang dilakukan dengan
diorganisasikan dan/atau melibatkan pemerintah dan/atau organisasi atau
korporasi yang terletak lebih dari suatu negara, tindak pidana korporasi
75 Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 10.
76 Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Prenada Media, Jakarta Timur, 2003, hlm. Xiii.
77 Kristian, Prinsip-Prinsip Dasar Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Non Publikasi, 2013., hlm. 51.
78 Kristian, Hukum Pidana Korporasi (kebijakan Integral (integral policy) Formulasi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Indonesia), Nuansa Aulia, 2014., hlm. 103.
52
dilatarbelakangi oleh tujuan untuk mencapai keuntungan material, tindak pidana
korporasi memiliki karakteristik yang sangat terorganisasi, tangguh, ekstrem,
eksklusif, tertutup, memiliki komitmen yang sangat tinggi dan memiliki dukungan
keuangan dan dana yang sangat besar, tindak pidana korporasi bertujuan atau
setidaknya dapat mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah
asing.79
Tindak pidana korporasi juga dapat dikategorikan sebagai tindak pidana
transnational organized crime (tindak pidana lintas batas negara yang
terorganisir) karena tindak pidana korporasi sangat mungkin dilakukan dilebih
dari satu wilayah negara, dilakukan di suatu negara, tetapi persiapan, perencanaan,
pengarahan, atau pengendalian atas kejahatan tersebut dilakukan di wilayah
negara lain, dilakukan di suatu wilayah negara, tetapi melibatkan suatu kelompok
pelaku tindak pidana yang terorganisasi yang melakukan tindak pidana dilebih
dari satu wilayah negara atau dilakukan di suatu wilayah negara, tetapi akibat
yang ditimbulkan dari tindak pidana tersebut dirasakan di negara lain.80
Melihat beberapa hal tersebut di atas, tidaklah berlebihan apabila
dikatakan bahwa tindak pidana korporasi sebagai bentuk kejahatan yang tidak
hanya mengancam stabilitas perekonomian dan integritas sistem keuangan, tetapi
dapat juga membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Oleh karenanya, tindak pidana korporasi juga dapat dikatakan sebagai
tindak pidana luar biasa (extra ordinary crime) yang membutuhkan penanganan
yang mendayagunakan cara-cara yang juga luar biasa pula (extra ordinary
measures).
Dikatakan demikian karena tindak pidana korporasi merupakan perbuatan
yang menimbulkan bahaya terbesar (the greatest denger) terhadap hak asasi
manusia, target dari tindak pidana korporasi bersifat random atau indiscrimate
yang cenderung mengorbankan orang-orang yang tidak bersalah, dalam tindak
pidana korporasi, kemungkinan digunakan alat-alat dengan memanfaatkan
teknologi canggih, tindak pidana korporasi merupakan bagian dari “shadow
79Ibid.80Ibid.
53
economy”, “shadow crimes” atau “hidden crimes”, yakni tindak pidana yang
berjalan dengan tidak terlihat, amat menguntungkan tetapi juga merupakan
perbuatan kriminal yang sangat jahat, kecenderungan terjadinya sinergi atau
bahkan kerjasama antara organisasi korporasi yang satu dengan korporasi yang
lain baik dalam suatu negara (nasional) atau lintas batas (transnasional atau
bahkan internasional), dapat membahayakan kepentingan nasional,
membahayakan kepentingan perekonomian nasional dan internasional, korporasi
seringkali melakukan pelanggaran hak asasi manusia, pelanggaran terhadap
standar buruh, melakukan pengrusakan lingkungan dan berkaitan erat dengan
tindak pidana lain, misalnya tindak pidana korupsi dan pencucian uang, tindak
pidana korporasi seringkali mengganggu stabilitas keamanan dan kedamaian pada
masyarakat, tindak pidana korporasi dapat terkait dengan tindakan kekerasan,
tindak pidana korporasi merupakan tindak pidana yang mengancam kehidupan
sosial, ekonomi, dan perekonomian dunia.
Terkait dengan tindak pidana korporasi ini (korporasi sebagai pembuat
tindak pidana), ketika korporasi melakukan tindak pidana, maka korporasi
tersebut seharusnya dapat dimintakan pertanggungjawaban atas tindak pidana
yang dilakukannya baik yang ditujukan langsung kepada korporasi yang
bersangkutan ataupun yang ditujukan kepada pengurus-pengurusnya (organ-organ
korporasi). Pengakuan korporasi sebagai subjek hukum pidana yang dinilai dapat
melakukan tindak pidana dan dapat mempertanggungjawabkan pertanggung
jawabannya secara pidana (corporate criminal responsibility) pada dasarnya
bukanlah merupakan hal baru namun selalu menimbulkan banyak persoalan
hukum dan selalu menimbulkan suatu perdebatan baik di kalangan akademisi
maupun di kalangan praktisi hukum.
Permasalahan mengenai penerapan sistem pertanggungjawaban pidana
korporasi ini baru muncul manakala pertanggungjawaban pidana korporasi ini
dikaitkan dengan pertanyaan mendasar dalam hukum pidana diantaranya: Apa
yang dimaksud dengan korporasi itu? Kapan suatu korporasi dapat dimintakan
pertanggungjawaban secara pidana? Apa ukurannya untuk dapat mem-
pertanggungjawabkan korporasi dalam hukum pidana? Kemudian, apabila
54
dikaitkan dengan sistem pertanggungjawaban pidana Indonesia yang menganut
asas kesalahan (mens rea) sebagaimana tergambar dari asas tiada pidana tanpa
kesalahan (geen straf zonder chuld atau keine strafe ohne schuld) diterapkan
terhadap korporasi? Bagaimana bentuk kesalahan bagi suatu korporasi? Dan
bentuk pertanggungjawaban pidana seperti apakah yang dapat dimintakan
terhadap korporasi? Apakah hanya pidana denda ataukah dapat pula diterapkan
sanksi pidana lain seperti pidana mati atau pidana penjara? Berbagai
permasalahan tersebut di atas akan diuraikan dalam sub-sub bab berikutnya.
B. Sejarah Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana
Dilihat dari segi sejarahnya, pengakuan korporasi sebagai subjek hukum
pidana yang dinilai dapat melakukan tindak pidana dan dapat dimintakan
pertanggungjawaban secara pidana sudah berlangsung sejak tahun 1635.
Pengakuan korporasi sebgai subjek hukum pidana ini dimulai ketika sistem
hukum Inggris mengakui bahwa korporasi dapat bertanggung jawab secara pidana
namun hanya terbatas pada tindak pidana ringan.81
Berbeda dengan sistem hukum Inggris, di Amerika Serikat, eksistensi
korporasi sebagai subjek hukum pidana yang diakui dapat melakukan tindak
pidana dan dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana baru diakui
eksistensinya pada tahun 1909 melalui putusan pengadilan.82
Apabila dilihat dari titik sejarah sebagaimana dikemukakan di atas, dapat
diketahui bahwa konsep pertanggungjawaban korporasi merupakan konsep yang
pada mulanya berkembang dari sistem hukum common law. Dalam hal ini hakim
melakukan suatu analogi atas subjek hukum manusia, sehingga korporasi juga
81Andrew Weissman dan David Newman, Rethinking criminal corporate liability, indian law journal, 2007, hlm. 419.
82Leonard Orlan, The Transformation of corporate criminal law, Brooklyn Journal of Corporate, Financial & Commercial law, 2006, hlm. 46. Lihat juga dalam : Zachary Bookman, convergences and Omissions in Reporting Corporate and White Collar Crime, DePaul Business & Commercial law Journal, 2008, hlm. 347.
55
memiliki identitas hukum dan penguasaan kekayaan dari pengurus yang
menciptakannya.83
Dalam perkembangan selanjutnya, eksistensi pertanggungjawaban pidana
korporasi dinilai dapat melakukan tindak pidana dan dapat dimintakan
pertanggungjawaban secara pidana berkembang pula pada beberapa Negara
seperti Belanda, Italia, Prancis, Kanada, Australia, Swiss, dan beberpa Negara
Eropa termasuk berkembang pula di Indonesia.84 (mengenai sistem
pertanggungjawaban pidana korporasi di berbagai negara akan diuraikan dalam
bab berikutnya).
Berbicara mengenai sejarah pertanggungjawaban pidana korporasi di
Indonesia, mengingat Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia,
menganut sistem hukum Eropa Kontinental (civil law) maka pengaturan dan
perkembangan sistem pertanggungjawaban korporasi sedikit tertinggal jika
dibandingkan dengan negara-negara yang menganut sistem hukum common law
seperti Inggris, Amerika Serikat dan Kanada.
Di negara-negara common law tersebut perkembangan pertanggung
jawaban pidana korporasi sudah dimulai sejak Revolusi Industri. Pengadilan
Inggris mengawalinya pada tahun 1842, dimana korporasi telah dijatuhi pidana
denda karena kegagalannya untuk memenuhi suatu kewajiban hukum.85
Perlu pula dikemukakan dalam bagian ini bahwa pertanggungjawaban
pidana korporasi dalam hukum pidana muncul pada dasarnya tidak melalui
penelitian yang mendalam dari para ahli hukum, melainkan hanya sebagai trend
akibat dari adanya kecenderungan dari formalism hukum (legal formalism).
83 Andrew Weissman dan David Newman, Op.Cit., hlm. 419. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 14.
84Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana (strick Liability dan Vicarious Liability), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm. 30. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 14.
85Muladi, Penerapan Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana, Bahan Kuliah Kejahatan Korporasi, UNDIP, hlm. 2. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 14.
56
Dengan perkataan lain, dapat dikatakan bahwa doktrin-doktrin yang
membenarkan pertanggungjawaban pidana korporasi berkembang melalui
pengadilan tanpa adanya teori pendukung yang membenarkannya.
Dalam perkembangan lebih lanjut, konsep pertanggungjawaban korporasi
dalam hukum pidana yang hanya terbatas bagi tindak pidana ringan dirasakan
tidak mencukupi. Oleh sebab itu, konsep pertanggungjawaban pidana korporasi
yang terbatas pada tindak pidana ringan hanya diberlakukan hingga akhir abad ke-
1913. Setelah itu, para ahli hukum khususnya ahli hukum pidana barulah mencari
dasar pembenar perlunya korporasi dianggap sebagai subjek hukum pidana yang
dinilai dapat melakukan tindak pidana dan dapat dimintakan pertanggungjawaban
secara pidana pula.
Berikut adalah beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar pembenar/alasan
yang menjustifikasi suatu korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban secara
pidana:
a. Keuntungan yang diperoleh korporasi dan kerugian yang diderita
masyarakat dapat demikian besarnya, sehingga tidak akan mungkin
seimbang bilamana korporasi hanya dijatuhi sanksi keperdataan.86
b. Korporasi merupakan aktor utama dalam perekonomian dunia, sehingga
kehadiran hukum pidana dianggap sebagai metode yang paling efektif untuk
mempengaruhi tindakan-tindakan aktor rasional korporasi.87
c. Tindakan korporasi malalui agen-agennya pada suatu sisi seringkali
menimbulkan kerugian yang sangat besar di masyarakat, sehingga kehadiran
86Beth Stephens, The Amorality of Profit: Transnational corporations and Human Rights, Berkeley Journal of International Law, 2002, hlm. 46. Bandingkan juga dengan : Dwidja Priyanto, Kebijakan Legislatif Tentang sistem Pertanggungjawaban Korporasi di Indonesia, CV. Utomo, Bandung, 2004, hlm. 17-18 dan Mahrus Ali, Kejahatan Korporasi, Arti Bumi Intaran, Yogyakarta, 2008. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 15.
87Pamela H. Bucy, Trends In Corporate Criminal Prosecutions, American Criminal Law Review, 2007, hlm. 1288. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 15.
57
sanksi pidana diharapkan mampu mencegahnya dari perbuatan mengulangi
tindakannya itu.88
d. Dipidananya korporasi dengan ancaman pemidanaan adalah salah satu
upaya untuk menghindari tindakan pemidanaan terhadap para pegawai itu
sendiri.89
e. Ternyata, dipidananya pengurus saja tidak cukup untuk mengadakan
penindakan terhadap delik-delik atau tindak pidana yang dilakukan oleh
atau dengan suatu korporasi. Karenanya diperlukan pula untuk
dimungkinkan memidana korporasi, korporasi, atau pengurus saja.90
f. Mengingat di dalam kehidupan sosial-ekonomi, korporasi semakin
memainkan peranan yang penting pula.
g. Hukum pidana harus mempunyai fungsi dalam masyarakat dan menegakkan
norma-norma dan ketentuan yang ada dalam masyarakat.
h. Atas dasar falsafah integralistik, yakni segala sesuatu yang diukur atas dasar
keseimbangan, keselarasan, dan keserasian antara kepentingan individu dan
kepentingan sosisal.
i. Dengan dipidananya korporasi akan menimbulkan efek jera bagi korporasi
yang bersangkutan dan bagi korporasi yang lainnya.
j. Untuk memberantas anomie of success (sukses tanpa aturan).
k. Dengan dipidananya suatu korporasi yang melakukan tindak pidana maka
Indonesia dapat membuktikan kepada dunia internasional bahwa Indonesia
merupakan negara hukum yang sesuai dengan perkembangan dunia.
l. Untuk kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan.
Disamping beberapa alasan di atas, berikut akan dipaparkan beberapa
pendapat para ahli hukum yang mendukung korporasi sebagai subjek hukum
88Geraldine Szoot Moohr, On The Prostects Of Deterring Corporation Crime, Journal of Business & Technology Law, 2007, hlm. 27. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 15.
89Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Korporasi (Edisi Revisi)., Kencana Perdana Group., 2012, hlm. 47-48. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum diberbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 15.
90Ibid.
58
pidana dimana korporasi dipandang dapat melakukan tindak pidana dan
mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana pula. Beberapa pendapat
tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:91
Pertama, Roeslan Saleh. Menurut Roeslan Saleh, dikatakan bahwa
dipidananya pengurus tidak cukup untuk mengadakan represi terhadap delik-delik
yang dilakukan oleh atau dengan suatu korporasi. Karenanya diperlukan pula
untuk dimungkinkan memidana korporasi, korporasi dan pengurus atau pengurus
saja. Roeslan Saleh juga mengingatkan bahwa dalam kehidupan sosial dan
ekonomi ternyata korporasi semakin memainkan peranan yang sangat penting.
Sehingga menjadi hal yang penting pula untuk memasukkan korporasi kedalam
subjek hukum pidana untuk mengantisipasi access negatif yang mungkin muncul.
Kedua, Schaffmeister. Menurut Schaffmeister dikatakan bahwa hukum
pidana harus mempunyai fungsi dalam masyarakat yaitu melindungi masyarakat
dan menegakkan norma-norma dan ketentuan-ketentuan yang ada dalam
masyarakat. Kalau hukum pidana hanya ditekankan pada segi perorangan, yang
hanya berlaku pada manusia, maka tujuan itu tidak efektif, oleh karena itu tidak
ada alasan untuk selalu menekan dan menentang untuk dapat dipidananya
korporasi.
Ketiga, Goerge E. yang mengatakan bahwa dipidananya korporasi dengan
ancaman pidana adalah salah satu upaya untuk menghindarkan tindakan
pemidanaan terhadap para pegawai korporasi itu sendiri.
Demikian juga dengan Sutan Remy mengutip pendapat Boisvert yang
menyatakan bahwa pihak yang setuju bahwa korporasi dapat dibebani dengan
pertanggungjawaban pidana berpendapat bahwa korporasi bukanlah suatu fiksi.
Korporasi benar-benar eksis dan menduduki posisi penting di dalam masyarakat
dan berkemampuan untuk menimbulkan kerugian bagi pihak lain dalam
masyarakat seperti halnya manusia. Memperlakukan korporasi seperti manusia
(natural person) dan membenahi pertanggungjawaban atas tindak pidana yang
dibuat oleh korporasi, sejalan dengan asas hukum bahwa siapapun sama di
hadapan hukum (principle of equality before the law). Korporasi-korporasi yang
91Ibid. hlm. 31-32.
59
memberikan dampak yang besar bagi kehidupan sosial, seharusnya diwajibkan
juga untuk menghormati nilai-nilai fundamental dari masyarakat kita yang
ditentukan oleh hukum pidana.92
Sementara itu, Elliot dan Quinn yang pendapatnya dikutip oleh Sutan Remy,
menyatakan bahwa ada beberapa alasan mengenai perlunya pembebanan
pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Alasan-alasan tersebut adalah:93
a. Tanpa pertanggungjawaban pidana korporasi, perusahaan-perusahaan bukan
mustahil dapat menghindarkan diri peraturan pidana dan hanya para
pegawainya yang dituntut karena telah melakukan tindak pidana yang
sebenarnya merupakan kesalahan dari kegiatan usaha yang dilakukan oleh
perusahaan atau korporasi.
b. Dalam beberapa kasus, demi tujuan prosedural, lebih mudah untuk
menuntut suatu perusahaan atau suatu korporasi dari pada para pegawainya.
c. Dalam hal suatu tindak pidana yang serius, sebuah sebuah perusahaan atau
korporasi lebih memiliki kemampuan untuk membayar denda yang
dijatuhkan dari pada pegawai perusahaan tersebut.
d. Ancaman penuntutan pidana terhadap perusahaan dapat mendorong para
pemegang saham untuk melakukan pengawasan terhadap kegiatan-kegiatan
perusahaan dimana mereka telah menanamkan investasinya.
e. Apabila sebuah perusahaan telah mengeruk keuntungan dari kegiatan usaha
yang ilegal, maka seharusnya perusahaan itu pula yang memikul sanksi atas
tindak pidana yang telah dilakukan, bukannya pegawai perusahaan itu.
f. Pertanggungjawaban korporasi dapat mencegah perusahaan-perusahaan
menekan pegawainya, baik secara langsung atau tidak langsung, agar para
pegawai itu mengusahakan perolehan laba tidak dari melakukan usaha yang
ilegal.
g. Publisitas yang merugikan dan pengenaan pidana denda terhadap
perusahaan itu dapat berfungsi sebagai pencegah dari perusahaan untuk
92Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, graffiti Pers, Jakarta, 2006. Hlm. 55.Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 17.
93Ibid., hlm. 55-56.
60
melakukan kegiatan yang ilegal, dimana hal ini tidak mungkin tejadi bila
yang dituntut itu adalah para pegawainya.
Sutan Remy memberikan suatu rumusan mengenai alasan-alasan mengapa
suatu korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban pidana, sekalipun korporasi
tidak dapat melakukan perbuatannya sendiri, melainkan melalui orang-orang yang
menjalankan kepengurusan atau kegiatan korporasi. Alasan-alasan tersebut antara
lain:94
a. Sekalipun korporasi dalam melaksanakan kegiatannya tidak melakukannya
sendiri tetapi melalui orang-orang yang merupakan pengurus dan para
pegawainya, namun apabila perbuatan itu dilakukan dengan maksud
memberikan keuntungan secara finansial ataupun menghindarkan atau
mengurangi kerugian finansial bagi korporasi yang bersangkutan maka tidak
adil bagi masyarakat yang dirugikan baik berupa kerugian nyawa, badaniah
(menimbulkan cacat jasmani) maupun materiil apabila korporasi tidak harus
ikut bertanggungjawab atas perbuatan pengurus atau para pegawainya.
b. Tidak cukup pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada pengurus
korporasi atas tindak pidana yang dilakukannya karena pengurus jarang
memiliki harta kekayaan yang cukup untuk membayar pidana denda yang
dijatuhkan kepadanya untuk biaya sosial yang harus dipikul sebagai akibat
perbuatannya itu.
c. Membebankan pertanggungjawaban pidana hanya kepada pengurus
korporasi, tidak cukup menjadi pendorong untuk dilakukannya tindakan-
tindakan pencegahan (precautionary measure) sehingga mengurangi tujuan
pencegahan (deterrence) dari pemidanaan.
d. Pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi akan
menempatkan asset perusahaan ke dalam resiko berkenaan dengan
perbuatan-perbuatan tidak terpuji dari para pengurus korporasi (harus
memikul beban pidana denda yang berat, kemungkinan asset dirampas oleh
negara, dan lain sebagainya) sehingga akan mendorong para pemegang
94Ibid., hlm 57-58.
61
saham dan para komisaris atau pengawas korporasi untuk melakukan
pemantauan atau pengawasan yang lebih ketat terhadap kebijakan dan
kegiatan yang dilakukan oleh pengurus korporasi.
Berbeda dengan pemikiran di atas, terdapat beberapa ahli hukum pidana yang
menyatakan bahwa korporasi tidak dapat dijadikan subjek hukum pidana dengan
alasan sebagai berikut:95
a. Menyangkut masalah kejahatan atau tindak pidana, sebenarnya kesengajaan
atau kesalahan hanya terdapat pada persona alamiah (manusia alamiah).
b. Bahwa yang merupakan tingkah laku materiil, yang merupakan syarat dapat
dipidananya beberpa macam tindak pidana, hanya dapat dilaksanakan oleh
persona alamiah (mencuri barang, menganiaya orang, perkosaan dan
sebagainya). Barda Nawawi Arief dalam bukunya menyatakan bahwa ada
perkara-perkara yang menurut kodratnya tidak dapat dilakukan oleh
korporasi, misalnya bigami, perkosaan dan sumpah palsu.96
c. Bahwa pidana dan tindakan yang berupa merampas kebebasan orang, tidak
dapat dikenakan pada korporasi. Terkait dengan hal ini, Barda Nawawi
Arief menyatakan bahwa pidana yang dapat dikenakan tidak dapat
dikenakan kepada korporasi, misalnya pidana penjara atau pidana mati.97
d. Bahwa tuntutan dan pemidanaan terhadap korporasi dengan sendirinya
mungkin menimpa pada orang yang tidak bersalah.
e. Bahwa di dalam praktik tidak mudah untuk menentukan norma-norma atas
dasar apa yang dapat diputuskan, apakah pengurus saja atau korporasi itu
sendiri atau kedua-duanya harus dituntut dan dipidana.
Di sisi lain, Frank dan Lynch mengemukakan bahwa keberatan-keberatan
prinsipil dari corporate criminal responsibility (CCR) adalah orang yang tidak
95H. Setiyono, Kejahatan Korporasi Analisis Viktimologi dan pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana, edisi kedua cetakan pertama, Malang, Banyumedia Publishing 2003., hlm. 10. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 19.
96Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2010. Hlm. 45-46. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 19.
97Ibid.
62
bersalah dapat terkena hukuman. Derita dari pemidanaan terhadap korporasi dapat
terbebankan kepada pihak-pihak lain. Akibatnya, para konsumen akhirnya harus
membayar harga yang lebih tinggi untuk barang-barang yang dibuat atau jasa-jasa
korporasi yang diberikan oleh korporasi yang terpidana itu. Para pemegang saham
yang pada kenyataannya tidak mengetahui mengenai kepatusan-keputusan yang
dibuat, yaitu keputusan-keputusan yang menimbulkan kerugian, akan terpaksa
harus menerima deviden yang lebih kecil atau menderita kerugian karena nilai
sahamnya mengalami penurunan. Sementara para pegawai korporasi tersebut
kemungkinan terpaksa harus di PHK atau diturunkan upahnya.98
Sedangkan Clarkson dan Keating mengemukakan pendapat yang sejalan
dengan pendapat Frank dan Lynch, yaitu hukuman yang dijatuhkan kepada suatu
perusahaan berupa pidana denda sama saja artinya dengan menjatuhkan hukuman
kepada pihak-pihak yang tidak bersalah, yaitu para pemegang saham, para
kreditor, para pegawai, dan masyarakat yang harus memikul denda tersebut.
Dengan kata lain, yang menderita justru mereka yang ingin dilindungi oleh
hukum.99
Terlepas dari segala pro dan kontra terhadap penerapan sistem
pertanggungjawaban pidana korporasi atau korporasi sebagai subjek hukum
pidana, dalam praktik belum ada putusan pengadilan atau yurisprudensinya.
Mengenai korporasi sebagai subjek hukum pidana, telah terdapat beberapa
putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia yaitu sebagai berikut:100 Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 136/KR/1966, tertanggal 1 Maret
1969. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 66/KR/1969,
tertanggal 19 September 1970. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 346/KR/1980, tertanggal 26 Januari 1984.101 Putusan No.
98Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit.hlm. 53.99Ibid., hlm. 54.100 Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan
Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 21.101 Muladi dan Dwidja Priyatno, Op.Cit., hlm. 169-196. Sebagaimana terdapat dalam buku
Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 21.
63
812/Pid.Sus/2010/PN.Bjm. Putusan No. 04/Pid.Sus/2011/PT.Bjm dan putusan No.
2239 K/Pid.Sus/2012. Serta beberapa putusan lainnya.
Dengan adanya beberapa putusan Mahkamah Agung tersebut penulis menilai
bahwa pada dasarnya telah ada pengakuan yuridis bahwa korporasi sebgai subjek
hukum pidana yang dinilai dapat melakukan tindak pidana dan
mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana pula.
C. Pengertian Korporasi
Pada pembahasan sebelumnya, telah banyak disinggung mengenai
korporasi. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan korporasi? Apakah korporasi
dalam hukum pidana sama dengan pengertian badan hukum dalam pengertian
perdata? Jawaban atas pertanyaan tersebut di atas akan diuraikan jawabannya
dalam pembahasan selanjutnya.
Secara umum, hukum tidak hanya mengatur orang (manusia alamiah)
sebagai subjek hukum, akan tetapi selain orang perorangan dikenal pula subjek
hukum yang lain yaitu badan hukum yang padanya melekat hak dan kewajiban
hukum layaknya orang perorangan sebagai subjek hukum. Untuk mencari tahu
apa sebenarnya yang dimaksud dengan korporasi (atau yang dalam bidang hukum
perdata disebut sebagai istilah “badan hukum”), tidak dapat dilepaskan dari
beberapa teori berikut ini. Teori pertama adalah teori fiksi sebagaimana
dikemukakan oleh Carl von Savigny, C.W.Opzoomer, A.N.Houwing dan juga
Langemeyer yang menyatakan bahwa badan hukum atau korporasi merupakan
persona ficta atau “orang” yang diciptakan oleh hukum sebagai persona. Teori
van het ambtelijk vermogen sebagaimana diajarkan oleh Holder dan Binder
mengembangkan pandangan bahwa badan hukum atau korporasi adalah badan
yang mempunyai harta yang berdiri sendiri yang dimiliki pengurus harta itu
karena jabatannya sebagai pengurus harta yang bersangkutan.
Demikian pula dengan teori zwek vermogen ataupun doel vermogen theorie
sebagaimana diajarkan oleh A. Brinz dan F.J. van Heyden mengembangkan
pendapat bahwa badan hukum (korporasi) merupakan badan yang mempunyai hak
atas harta kekayaan tertentu yang dibentuk untuk tujuan melayani kepentingan
64
tertentu. Adanya tujuan tersebut menentukan bahwa harta kekayaan yang
dimaksud sah untuk diorganisasikan menjadi badan hukum. Selain itu, teori
propriete collective yang diajarkan oleh Marcel Planiol dan Teori gezammenlijke
vermogens theorie yang diajarkan oleh P.A. Mollengraff membahas pula
mengenai keberadaan badan hukum sebagai suatu subjek hukum. Menurut P.A.
Mollengraff, badan hukum hakikatnya merupakan hak dan kewajiban anggotanya
secara bersama-sama di dalamnya terdapat harta kekayaan bersama yang tidak
dapat dibagi-bagi.
Selain beberapa teori di atas, teori organ yang diajarkan Otto van Gierke
memandang badan hukum sebagai suatu yang nyata (reliteit) bukan fiksi,
pandangan ini diikuti oleh L.C. Polano. Menurut teori organ, badan hukum
merupakan een bestaan, dat hun realiteit dari konstruksi yuridis seolah-olah
sebagai manusia yang sesungguhnya dalam lalu lintas hukum yang juga
mempunyai kehendak sendiri yang dibentuk melalui alat-alat kelengkapannya
yaitu pengurus dan anggotanya. Putusan yang dibuat oleh pengurus adalah
kemauan dari badan hukum. Semua pandangan teoritis di atas berusaha memberi
pembenaran ilmiah terhadap keberadaan badan hukum sebagai subjek hukum
yang sah dalam lalu lintas pergaulan hukum. Teori propriate collective dan
gezaminlikje vermogens theorie pada umumnya relevan diberlakukan bagi
korporasi atau badan hukum yang mempunyai anggota.102
Diciptakan pengakuan adanya suatu badan, yang sekalipun badan ini
sekedar suatu badan, namun badan ini dianggap bisa menjalankan segala tindakan
hukum dengan segala harta kekayaan yang timbul dari perbuatan itu dan harta ini
harus dipandang sebagai harta kekayaan yang timbul dari perbuatan itu dan harta
ini harus dipandang sebagai harta kekayaan badan tersebut, terlepas dari pribadi-
pribadi manusia yang terhimpun di dalamnya. Jika dari perbuatan itu timbul
kerugian, maka kerugian inipun hanya dapat dipertanggungjawabkan semata-mata
102 Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum diberbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 22.
65
dengan harta kekayaan yang ada dalam badan yang bersangkutan bukan dengan
kekayaan orang-orangnya.103
Atas dasar beberapa teori di atas, untuk mencari tahu apa yang sebenarnya
dimaksud dengan korporasi dalam hukum pidana, tidak bisa dilepaskan dari
bidang hukum perdata. Hal ini disebabkan karena istilah korporasi sangat erat
kaitannya dengan istilah “badan hukum” yang dikenal dalam bidang hukum
perdata. Menurut Rudi Prasetya, istilah “korporasi” adalah sebutan yang lazim
dipergunakan di kalangan pakar hukum pidana untuk menyebut apa yang biasa
dalam bidang hukum lain, khususnya bidang hukum perdata, sebagai badan
hukum, atau yang dalam bahasa belanda disebut sebagai rechtpersoon, atau yang
dalam bahasa Inggris disebut legal entities atau corporation.104
Apabila dilihat secara etimologisnya, pengertian korporasi yang dalam
istilah lain dikenal dengan corporatie (Belanda), corporation (Inggris),
corporation (Jerman), berasal dari bahasa latin yaitu “corporatio”.105 Terkait
dengan istilah “corporation” ini, Muladi dan Dwidja Priyatno menyatakan
bahwa: “seperti halnya dengan kata lain yang berakhiran “tio” maka
“corporatio” dianggap sebagai kata benda (substantivum) yang berasal dari kata
kerja “corporare” yang banyak dipakai orang pada zaman abad pertengahan atau
sesudah itu. “Corporare” itu sendiri berasal dari kata “corpus” yang dalam
bahasa Indonesia berarti “badan” atau dapat disimpulkan bahwa corporation dapat
diartikan sebagai proses memberikan badan atau proses membadankan. Dengan
demikian, maka akhirnya “corporatio” itu berarti hasil pekerjaan membadankan,
dengan perkataan lain, dapat dikatakan bahwa korporasi merupakan badan yang
dijadikan orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan
terhadap badan manusia, yang terjadi menurut alam.106
103H. Setiyono, Op.Cit., hlm. 3.104Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana,
SHTB, Bandung, 1991, hlm. 13. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum diberbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 23.
105Ibid.106Ibid. hlm. 12.
66
Dilihat berdasarkan istilah, dalam kamus Bahasa Belanda, pengertian
korporasi ialah “corpora’tie” yang berarti perhimpunan atau kumpulan atau
persatuan. Dalam kamus World Book 1999, disebutkan bahwa korporasi adalah
sekelompok orang yang mendapat kewenangan untuk bertindak sebagai orang
pribadi. Selain itu, korporasi dapat pula diberi pengertian sebagai sekelompok
orang yang diberi kewenangan untuk bertindak sebagai individu dalam kaitan
dengan tujuan-tujuan bisnis.107
Menurut Garner dan Bryan A, pengertian korporasi diambil dari istilah
dalam bahasa inggris “Corporation” yang berarti dalam badan hukum atau
sekelompok orang yang oleh undang-undang diperbolehkan untuk melakukan
kegiatan sebagaimana seorang individu sebagai subjek hukum, berbeda dengan
para pemegang sahamnya.108
Di lain kesempatan, Kenneth S. Ferber dalam bukunya yang berjudul
Corporation Law menyatakan bahwa: “a corporation is an artificial person. It
can do anything a person can do. It can buy and sell property, both real and
personal, in its own name. it can sue and be sued in its own name. It is formal”.109
(korporasi adalah orang buatan. Korporasi dapat melakukan apa saja yang dapat
dilakukan oleh manusia. Korporasi dapat membeli dan menjual properti, baik
yang nyata secara pribadi dan atas namanya sendiri. Hal ini dapat menyebabkan
korporasi dapat menuntut dan dituntut secara resmi atas namanya sendiri).
Menurut H. Setiyono dalam bukunya yang berjudul “Kejahatan korporasi”,
pengertian korporasi terlihat dari pengertian subjek hukum pada umumnya yang
meliputi manusia dan segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan
masyarakat yang diakui oleh hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban.
107AS Hornby, Oxford Advance Leaner’s Dictionary Of Current English, 1984, hlm. 192. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 24.
108Bryan A. Garner, Black’s Lawa Dictionary (second Pocket Edition), 2003, hlm. 147. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 24.
109Kenneth S. Ferber, Corporation Law, Prentice Hall, 2002, hlm. 18. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 24.
67
Pengertian yang kedua inilah yang dinamakan dengan badan hukum atau suatu
korporasi.110
Moenaf H. Regar menyatakan bahwa korporasi adalah badan usaha (baik
yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum) yang keberadaannya
dan status hukumnya disamakan dengan manusia (orang), tanpa melihat bentuk
organisasinya. Korporasi dapat memiliki kekayaan dan utang, mempunyai
kewajiban dan hak dan dapat bertindak menurut hukum, melakukan gugatan, dan
dituntut di depan pengadilan. Oleh karena suatu korporasi adalah buatan manusia
yang tidak sama dengan manusia itu sendiri, maka harus dijalankan oleh manusia
sebagai organnya atau yang disebut sebagai pengurus atau pengelola. Suatu
korporasi, biasanya mempunyai tiga organ utama, yaitu RUPS, Dewan Komisaris,
dan Dewan Direksi (misalnya dalam perseroan terbatas). Batas umur dari
korporasi itu ditentukan dalam anggaran dasarnya atau pada saat korporasi itu
sendiri mengakhiri kegiatannya atau korporasi dinyatakan bubar.111
Mengenai hakikat pada korporasi itu sendiri pada dasarnya dapat dilihat dari
pernyataan klasik Viscount Haldane L.C., yang menyatakan bahwa: “Korporasi
adalah suatu abstraksi. Ia tidak lagi memiliki pikirannya sendiri dibanding dengan
tubuhnya sendiri, kehendak yang dijalankan dan bersifat mengarahkan harus
secara konsisten dilihat pada seseorang yang untuk tujuan tertentu mungkin
disebut agen atau wakil, tetapi yang sebenarnya mengarahkan pikiran dan
kehendak dari korporasi, yaitu ego dan pusat korporasi”.112
Sedangkan menurut Satjipto Raharjo dalam bukunya yang berjudul “ilmu
hukum” dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan korporasi adalah “Badan
yang diciptakannya itu terdiri dari corpus, yaitu struktur fisiknya dan ke dalamnya
hukum memasukkan unsur animus yang membuat badan itu mempunyai
110H. Setiyono, Op. Cit. hlm. 2.111Edi Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Berikut Studi Kasus),
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005. Hlm. 10-11. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 25.
112Peter Gillies (Penyunting: Barda Nawawi Arief), Criminal Law, 1990, hlm. 126. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 25.
68
kepribadian. Oleh karena badan hukum ini merupakan ciptaan hukum, maka
kecuali penciptaannya, kematiannya pun ditentukan oleh hukum”.113
Berbeda dengan pendapat para ahli di atas, Sutan Remi Sjahdeini
menyatakan bahwa dalam mendefinisikan apa yang dimaksud dengan korporasi
dapat dilihat artinya secara sempit, maupun melihat artinya secara luas. Sutan
Remi Sjahdeini menyatakan bahwa: “menurut artinya yang sempit, yaitu sebagai
badan hukum, korporasi merupakan figure hukum yang eksistensinya dan
kewenangannya untuk dapat atau berwenang melakukan perbuatan hukum diakui
oleh hukum perdata. Artinya, hukum perdatalah yang mengakui eksistensi dari
korporasi dan memberikannya hidup untuk dapat berwenang melakukan
perbuatan hukum sebagai suatu figur hukum. Demikian juga halnya dengan
“matinya” korporasi. Suatu korporasi hanya mati secara hukum apabila matinya
korporasi itu diakui oleh hukum.114
Adapun pengertian korporasi secara luas sebagai pengertian korporasi dalam
hukum pidana, Sutan Remi Sjahdeini mendefinisikan korporasi sebagai berikut:
“Dalam hukum pidana, korporasi meliputi baik badan hukum maupun bukan
badan hukum. Bukan saja badan-badan hukum seperti perseroan terbatas,
yayasan, koperasi atau perkumpulan yang telah disahkan sebagai badan hukum
yang digolongkan sebagai korporasi menurut hukum pidana, tetapi juga firma,
persekutuan komanditer atau CV, dan persekutuan atau maatschap, yaitu badan-
badan usaha yang menurut hukum perdata bukan suatu badan hukum.115
Di samping itu, Sutan Remi Sjahdeini mengutip definisi korporasi yang ada
dalam Jowitt’s Dictionary of English Law yang berbunyi sebagai berikut:
Corporation, a succession or collection of person having in the estimation of the
law an axistence and right and duties distinc from those of the individual person
who form it to from to time. A corporation is also known as body politic. It has
113Satjipto raharjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 13. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 25.
114Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Op. Cit., Jakarta, 2006, hlm. 43.
115Ibid., hlm. 45.
69
fictious personality distinc from that of its members. A corporation soul consist of
only one member at a time, the corporate character being kept up by a succession
of solitary members. A corporation aggregrate consist of several members at the
same time. The most frequent examples are in corporated companies. The chief
peculiarity of a corporation aggregrate is that it has perpectual succession (i.e.,
existence), a name, and a common seal by which its intention may be evidence
that, being merely a creation of the laws, it cannot enter into a personal relation,
and that, generally speaking, the majority of the members (whose voting powers
may depend on the number of their shares, or the like) have power to bind the
minority in matters within the power of the corporation.116
Definisi lain mengenai korporasi, juga dikutip Sutan Remi Sjahdeini dari
Black’s Law Dictionary. Black’s Law Dictionary memberikan penjelasan sebagai
berikut: Corporation, an artificial person or legal entity created by or under the
authority of the laws of a state or nation, composed, in same rare instances, of a
single person and his successors, being the incumbents of a particulare office, but
ordinarily consisting of a association of numerous individuls.117
Hampir senada dengan pendapat dari Sutan Remi Sjahdeini di atas, menurut
Loebby Loqman, dalam diskusi yang dilakukan oleh para sarjana mengenai
korporasi, berkembang 2 (dua) pendapat mengenai apa yang sebenarnya dimaksud
dengan korporasi itu. Pendapat pertama mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan korporasi adalah kumpulan dagang yang berbadan hukum. Dengan
demikian, menurut pendapat pertama ini hanya dibatasi bahwa korporasi yang
dapat dipertanggungjawabkan secara pidana adalah korporasi yang telah berbadan
hukum. Adapun alasan hukum yang dikemukakan oleh kelompok pertama ini
bahwa dengan berbadan hukum, telah jelas susunan pengurus serta sejauhmana
hak dan kewajiban dalam korporasi tersebut. Pendapat lain yang berkembang
adalah pendapat yang mengartikan korporasi secara luas, dimana dikatakan bahwa
korporasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana tidak perlu harus
berbadan hukum, dalam hal ini setiap kumpulan manusia, baik dalam hubungan
116Ibid., hlm. 42.117Ibid., hlm. 42.
70
suatu usaha dagang ataupun usaha lainnya, dapat dipertanggungjawabkan secara
pidana.118
Terkait dengan hal ini, H. Setiyono mengemukakan bahwa: “Korporasi
merupakan istilah yang biasa digunakan oleh para ahli hukum pidana dan
kriminologi untuk menyebut badan hukum (rechtpersoon), legal body atau legal
person. Konsep badan hukum itu sebenarnya bermula dari konsep hukum perdata
yang tumbuh akibat dari perkembangan masyarakat. Pengertian korporasi dalam
hukum pidana Indonesia lebih luas dari pengertian badan hukum sebagaimana
dalam konsep hukum perdata. Dalam berbagai peraturan perundang-udangan
hukum pidana Indonesia dinyatakan bahwa pengertian korporasi adalah kumpulan
terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan baik merupakan badan hukum maupun
bukan.119
Berdasarkan berbagai pendapat di atas, terlihat bahwa terdapat perbedaan
ruang lingkup mengenai subjek hukum, yaitu korporasi sebagai subjek hukum
dalam bidang hukum perdata dengan korporasi sebagai subjek hukum dalam
bidang hukum pidana. Pengertian korporasi dalam bidang hukum perdata adalah
“badan hukum”, sedangkan dalam hukum pidana pengertian korporasi bukan
hanya yang berbadan hukum, tetapi juga yang tidak berbadan hukum. Dengan
demikian, cakupan korporasi dalam bidang hukum pidana jauh lebih luas
dibandingkan dengan cakupan badan hukum dalam bidang hukum perdata.
Uraian tersebut di atas selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Dwidja
Priyatno yang berpendapat bahwa “Pengertian atau perumusan korporasi dalam
hukum perdata…., ternyata dibatasi, sebagai badan hukum. Adapun apabila
ditelaah lebih lanjut, pengertian atau perumusan korporasi dalam hukum pidana
ternyata lebih luas. Di Indonesia, perkembangan korporasi sebagai subjek hukum
pidana telah terjadi atau berkembang di luar KUHP yaitu dalam perundang-
118Loebby Loqman, Kapita Selekta Tindak Pidana Di Bidang Perekonomian, Jakarta, Datacom, 2002, hlm. 32. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 27.
119H. Setiyono, Op. Cit., hlm. 17.
71
undangan khusus. Sedangkan KUHP sendiri masih tetap menganut subjek hukum
pidana berupa “orang”.120
Hal ini juga tertuang tegas dalam beberapa undang-undang yang bersifat
khusus seperti undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah
oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dan di dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang serta berbagai
Undang-Undang khusus lainnya bahwa yang dimaksud dengan korporasi adalah
kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan
hukum maupun bukan badan hukum.
Perlu pula disadari bahwa eksistensi atau keberadaan korporasi dewasa ini
sudah tidak dapat dipisahkan dalam praktik bisnis modern. Lewis D. Solomon dan
Alan R. Palmiter, menyatakan: “A corporation is a structuring device for
conducting modern business. It is framework – a legal person- through which a
business can enter into contract, own property, sue in court, and be sued. It is
taxable intity subject it property, sales, income, and other taxes. It can range size
from a one person business to a multinational conglomerate. It is capitalist
invention for the pooling of capital (from shareholders and lenders), management
(from executive), and other factors of production (from supplier and employess).
It is a creature of state law, it’s formation and existence depend on state enabling
statutes. A “corpotation is an artifice”. Nobody has ever seen one. A business
conducted as a corporation looks much the same one conducted in a corporate
form. In the end, a corporation is a construct of the law – a set of legal
relationships. It is what the law defines to be” (korporasi adalah alat untuk
melakukan penataan bisnis modern. Ini adalah kerangka kerja – suatu badan
hukum dimana dengan hal ini bisnis dapat masuk ke dalam kontrak, memiliki
harta serta dapat menuntut di pengadilan, dan dapat dituntut. Ini adalah entitas
subjek property, penjualan, pendapatan, dan pajak lainnya. Hal ini dapat berbagai
ukuran dari sebuah bisnis satu orang untuk konglomerat multinasional. Ini adalah
penemuan kapitalis untuk menyatukan modal (dari pemegang saham dan
120Muladi dan Dwidja Priyatno, Op.Cit.hlm. 168.
72
kreditur), manajemen (dari eksekutif), dan faktor produksi lainnya (dari pemasok
dan karyawan). Ini adalah mahkluk buatan hukum yang pembentukan dan
keberadaan tergantung pada undang-undang. Sebuah perusahaan “adalah suatu
yang fiktif” karena tidak seorangpun pernah melihat suatu korporasi. Sebuah
bisnis yang dilakukan sebagai korporasi terlihat sama seperti yang dilakukan
dalam bentuk perusahaan. Pada akhirnya, sebuah perusahaan adalah membangun
hukum – satu hubungan hukum. Ini adalah apa yang mendefinisikan hukum).121
D. Pengertian dan Ruang Lingkup Tindak Pidana Korporasi
Istilah “tindak pidana korporasi” dalam beberapa literatur sering disebut
juga dengan istilah “kejahatan korporasi”. Oleh karenanya, pada bagian ini akan
digunakan kedua istilah tersebut secara bergantian. Tindak pidana korporasi atau
kejahatan korporasi pada dasarnya tidak muncul dengan sendirinya melainkan
muncul seiring dengan perkembangan zaman dan perkembangan masyarakat.
Awal mula lahirnya tindak pidana korporasi ini berangkat dari pendapat Edwin
Sutherland yang mengemukakan jenis-jenis kejahatan atau tindak pidana baru
yang dikenal dengan White Collar Crime (kejahatan kerah putih).
Terkait dengan white collar crime ini, Hazel Croal sebagaimana dikutip oleh
Yusuf Sofie memberikan definisi yaitu sebagai: “white collar crime sering
diasosiasikan dengan berbagai skandal dunia keuangan dan bisnis (financial and
business world) dan penipuan canggih yang dilakukan oleh para eksekutif senior
(the sophisticated frauds of senior executive) yang di dalamnya termasuk apa yang
secara popular dikenal dengan tindak pidana atau kejahatan korporasi (corporate
crime).122
Istilah corporate crime menurut R.C. Kramer dalam bukunya yang berjudul
“Corporate Criminality: The Development of An Idea” adalah kejahatan yang
121Lewis D. Solomon dan Alan R. Palmiter, Corporation (Example and Examplanations), Little- Brown & Company, 1994, hlm. 15. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 29.
122Yusuf Shofie, Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Pidana Korporasi, Ghaila Indonesia, Jakarta, 2002, hlm. 44. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 29.
73
dilakukan oleh organisasi korporat. Hal ini adalah hasil dari kebijakan yang
diambil oleh para petinggi perusahaan, dan perusahaan membuat keputusan
tersebut untuk memperoleh keuntungan bagi perusahaan yang bersangkutan. F.
Hagan dalam bukunya yang berjudul “Introduction to Criminology” menyatakan
bahwa corporate crime adalah kejahatan yang dilakukan oleh individu atau
kelompok dengan tujuan untuk memberikan keuntungan kepada organisasi atau
korporasi.123
Clinard dan Yeager juga memberikan pendapatnya yang menyatakan
bahwa: “A corporate crime is any act commited by corporations that is punished
by the state, regardless of whether it is punished under administrative, civil, or
criminial law”.124 Ralph Nader mengatakan bahwa “Corporate crime,
demonstrates the destructive impact such behavior has on our politics,
environment, consumers, workers, shareholder, small taxpayers, foreign policy
and future generations”.125
Selanjutnya, mengenai corporate crime atau kejahatan korporasi ini, Steven
Box mengemukakan tipe dan karakteristik tindak pidana yang dilakukan oleh
korporasi yang pada dasarnya berbeda-beda dengan tindak pidana atau kejahatan
konvensional pada umumnya. Steven Box menyatakan bahwa ruang lingkup
tindak pidana atau kejahatan korporasi melingkupi 3 (tiga) hal sebagai berikut:126
Pertama, Crime for corporation. Yang dimaksud dengan crime for
corporation yakni kejahatan atau pelanggaran hukum yang dilakukan oleh
123Kristian, Op.Cit., hlm. 3.124I.S Susanto, Kejahatan Korporasi, BP Universitas Diponegoro (UNDIP), Semarang,
1995, hlm. 15. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 30.
125Soedjono Dirdjosisworo, Kejahatan Bisnis (Orientasi dan Konsepsi), 1994.Hlm. 1.Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 30.
126Lihat juga dalam: Muladi dan Dwidja Priyatno, Op.Cit., hlm. 29. Dan bandingkan juga dengan: Hamzah hatrik, Asas Pertanggungjawaban korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia (Strict Liability dan Vicarious Liability), PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm. 41. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 30.
74
korporasi dalam mencapai usaha dan tujuan tertentu guna memperoleh
keuntungan.
Kedua, Criminal Corporation. Yang dimaksud dengan criminal corporation
yaitu korporasi yang bertujuan semata-mata untuk melakukan kejahatan. (dalam
hal ini korporasi hanya sebagai kedok dari suatu organisasi kejahatan).
Ketiga, Crimes against corporation. Yang dimaksud dengan crime against
corporation yaitu kejahatan-kejahatan yang dilakukan terhadap korporasi seperti
pencurian atau penggelapan barang milik korporasi. Dengan demikian, dalam hal
ini korporasi bukanlah pihak yang melakukan tindak pidana melainkan sebagai
korban.
Terkait dengan pendapat Steven Box di atas, Setiyono dalam bukunya yang
berjudul “kejahatan korporasi” juga memberikan kejelasan sebagai berikut:127
1. Crime for corporation inilah yang merupakan kejahatan korporasi (corporate
crime). Dalam hal ini dapat dikatakan, “corporate crime are crearly committed
for the corporate, and not against” (kejahatan korporasi dilakukan untuk
kepentingan korporasi dan bukan sebaliknya).
2. Kejahatan terhadap korporasi (crime against corporation), yang sering
dinamakan employee crime, yaitu kejahatan yanag dilakukan oleh para
karyawan atau pekerja terhadap korporasi, misalnya penggelapan dana
perusahaan oleh pejabat atau karyawan perusahaan tersebut. Pelaku kejahatan
ini (crime against corporation) tidak hanya terbatas pada pejabat atau
karyawan yang bersangkutan, tetapi masyarakat secara luas bisa menjadi
pelaku kejahatan terhadap korporasi.
3. Criminal corporation adalah korporasi yang sengaja dibentuk dan dikendalikan
untuk melakukan kejahatan. Kedudukan korporasi dalam criminal corporations
hanyalah sebagai sarana melakukan kejahatan sebagai “topeng” untuk
menyembunyikan wajah asli dari suatu kejahatan. Dikatakan masuk akal
bahwa badan hukum secara sah dapat ditentukan untuk melibatkan diri dalam
kriminalitas, namun hal ini memerlukan adanya penipuan secara besar-besaran.
127H. Setiyono, Op.Cit. hlm. 20-21.
75
Setiyono menambahkan, bahwa hal penting untuk membedakan antara
crime for corporation atau corporate crime atau kejahatan korporasi dengan
criminal corporations adalah berkaitan dengan pelaku dan hasil kejahatan yang
diperoleh. Pelaku dalam kejahatan korporasi adalah korporasi itu sendiri. Sedang
pelaku dalam criminal corporations, utamanya adalah penjahat di luar korporasi,
dan korporasi hanya sebagai sarana untuk melakukan kejahatan. Hasil kejahatan
yang diperoleh sesuai dengan peran dan pelakunya. Hasil kejahatan dalam
kejahatan korporasi adalah untuk kepentingan korporasi itu sendiri. Keadaan
semacam ini tidak terjadi criminal corporation, karena korporasi ini hanyalah
sekedar sebagai alat untuk melakukan kejahatan.128
Dalam buku ini, sudah tentu yang akan dibahas hanyalah crime for
corporation yakni kejahatan atau tindak pidana atau pelanggaran hukum yang
dilakukan oleh korporasi dalam mencapai usaha dan tujuan tertentu guna
memperoleh keuntungan.
Menurut hemat penulis, dalam mendefinisikan apa yang dimaksud dengan
tindak pidana korporasi, harus dibedakan antara “tindak pidana korporasi” dan
“tindak pidana di bidang korporasi”. Perbedaan di sini penting terkait dengan
perbuatan-perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh para pelaku tindak
pidana yang bersangkutan. Oleh sebab itu, secara sederhana yang dimaksud
dengan tindak pidana korporasi adalah perbuatan melanggar hukum yang
dilakukan baik dengan sengaja ataupun dengan lalai yang dilakukan oleh
korporasi dan/atau anggota-anggota pengurusnya dalam menjalankan setiap
bentuk usahanya sehingga menimbulkan kerugian materiil dan atau immateriil
baik bagi masyarakat maupun bagi negara baik yang disadari maupun yang tidak
disadari yang terjadi dalam suatu wilayah negara tertentu ataupun lintas batas
negara dengan waktu yang seketika ataupun dengan adanya jangka waktu.
Adapun yang dimaksud dengan tindak pidana di bidang korporasi adalah setiap
perbuatan melawan hukum yang menjadikan korporasi sebagai sarana atau media
(crime through the corporation) atau sarana dari suatu tindak pidana (crimes
against the corporation). Perlu pula ditekankan bahwa apabila korporasi dijadikan
128Ibid., hlm. 21-22.
76
media untuk melakukan tindak pidana (crime through the corporation) maka
apabila hal tersebut terjadi (korporasi melakukan tindak pidana) maka hal tersebut
dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korporasi. Dalam hal ini, korporasi
dinilai dapat melakukan perbuatan pidana dan dapat dimintakan
pertanggungjawaban secara pidana. Adapun apabila korporasi yang dijadikan
sasaran tersebut tidak melakukan tindak pidana maka sebaiknya
pertanggungjawaban hanya dibebankan kepada pihak-pihak yang mencoba
melakukan suatu tindak pidana dengan sarana korporasi tersebut dengan
“percobaan melakukan pidana”. Namun demikian, hal ini akan menjadi
permasalahan tersendiri dan membutuhkan penelitian lebih lanjut.
Selanjutnya, Kriesberg mengemukakan 3 (tiga) model pengambilan keputusan
korporasi yang melanggar hukum, yaitu sebagai berikut:129
1. Rational Action Model
Rational Action Model, dimana koporasi dilihat sebagai unit tunggal yang
secara rasional bermaksud melanggar hukum apabila hal tersebut merupakan
kepentingan korporasi.
2. Organization Process Model
Korporasi dilihat sebagai suatu sistem unit-unit yang terorganisasi secara
longgar, dimana macam-macam unit korporasi mungkin tidak mematuhi
hukum karena menghadapi kesulitan untuk dapat memenuhi produk yang
ditargetkan, sehingga untuk dapat memenuhinya mereka cenderung
melakukannya dengan melanggar hukum seperti misalnya dengan mengurangi
pengeluaran-pengeluaran yang diperlukan untuk menjaga keselamatan kerja,
iklan yang menyesatkan dan sebagainya.
3. Kejahatan koporasi merupakan produk dari keputusan-keputusan yang dibuat
secara individual untuk kepentingan pribadi.
Pendapat Kriesberg tersebut di atas mencoba membedakan antara keputusan
korporasi yang melanggar hukum yang benar-benar dilakukan oleh korporasi
dalam rangka mendapatkan keuntungan yang besar dan keputusan melanggar
hukum yang dilakukan oleh para bawahan dalam rangka mencapai target yang
129I. S Susanto, Op.Cit. hlm. 28.
77
telah ditentukan oleh atasan, serta keputusan melanggar hukum yang dibuat
individu dalam struktur korporasi untuk keuntungan perseorangan atau pribadi.
Begitu rumitnya struktur oraganisasi dan sub-sub sistem yang ada dalam sebuah
korporasi, sehingga tidak jarang tanpa disadari, tindakan-tindakan yang dilakukan
dalam menjalankan bisnisnya korporasi telah melanggar hukum dan merugikan
bahkan membahayakan masyarakat.
Oleh karena itu, benarlah apa yang dikemukakan oleh I.S. Susanto yang
menyatakan bahwa “untuk memahami kejahatan korporasi, maka pertama-tama
kita harus melihat kejahatan korporasi sebagai kejahatan yang bersifat
organisatoris, yaitu suatu kejahatan yang terjadi dalam konteks hubungan-
hubungan yang kompleks dan harapan-harapan antara dewan direksi, ekskutif dan
manajer di satu sisi dan di antara kantor pusat, bagian-bagian dan cabang-cabang
di sisi lain.130
Clinard dan Yeager yang melakukan studi terhadap kejahatan korporasi
mengemukakan jenis-jenis kejahatan yang sering dilakukan korporasi yaitu
kejahatan koporasi yang berkaitan dengan administratif, lingkungan, keuangan,
tenaga kerja, produk barang, dan praktik-praktik perdagangan tidak jujur.
Kejahatan-kejahatan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:131
Pelanggaran di bidang administratif meliputi tidak memenuhi persyaratan
suatu badan pemerintahan atau pengadilan, seperti tidak mematuhi perintah
pejabat pemerintah, sebagai contohnya membangun fasilitas pengendalian
pencemaran lingkungan.
Pelanggaran di bidang lingkungan hidup meliputi pencemaran udara dan air
berupa penumpahan minyak dan kimia, yaitu seperti pelanggaran terhadap surat
izin yang mensyaratkan kewajiban penyediaan oleh korporasi untuk pembangunan
perlengkapan pengendalian polusi, baik polusi udara maupun air.
Pelanggaran di bidang keuangan meliputi pembayaran secara tidak sah atau
mengabaikan untuk menyikapi pelanggaran tersebut, seperti penyuapan di bidang
130Ibid., hlm. 27.131Arief Amrullah, Kejahatan Korporasi (The Hunt for Mega-Profits and the Attack on
Democracy), Bayumedia Publishing, Malang 2006, hlm. 82. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis danPerbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 34.
78
bisnis, sumbangan politik secara tidak sah, dan pembayaran (suap) untuk pejabat-
pejabat asing, pemberian “persenan”, dan manfaat atau keuntungan secara illegal.
Contohnya pelanggaran yang berkaitan dengan surat-surat berharga yakni
memberikan informasi yang salah atas wali utama atau mengeluarkan pernyataan
salah, pelanggaran transaksi meliputi syarat-syarat penjualan (penjualan yang
terlalu mahal terhadap langganan), penghindaran pajak, dan lain sebagainya.
Pelanggaran perburuhan dapat dibagi menjadi empat tipe utama, yaitu
diskriminasi tenaga kerja (ras, jenis kelamin, atau agama), keselamatan pekerja,
praktik perburuhan yang tidak sehat, upah dan pelanggaran jam kerja.
Pelanggaran ketentuan pabrik yang pada dasarnya melibatkan tiga badan
pemerintah, yaitu: the Consumer Product Safety Commision bertanggung jawab
atas pelanggaran terhadap the Poison Prevention Packaging Act, the Flamable
Fabrics Act, dan the Consumer Product Safety Act, the National Highway Traffic
Administration mensyaratkan pembuatan kendaraan bermotor atau
memberitahukan agen dan pemilik, pembeli, dan kecacatan dari pedagang
sehingga mempengaruhi keselamatan kendaraan bermotor, disamping itu juga
mensyaratkan pembuat (pabrik) untuk memperbaiki kerusakan tersebut.
Kecacatan itu meliputi mesin sebagai akibat dari kesalahan pada bagian
pemasangan, pemasangan bagian yang tidak benar, kerusakan sistem, dan desain
yang tidak baik.
Praktik perdagangan yang tidak jujur meliputi bermacam-macam
penyalahgunaan persaingan (antara lain monopolisasi, informasi yang tidak benar,
diskriminasi harga), iklan yang salah dan menyesatkan merupakan hal penting
dalam praktik perdagangan yang tidak jujur.
Mengenai jenis-jenis kejahatan yang dilakukan oleh korporasi, lebih lanjut
Sutherland mengemukakan bahwa kejahatan yang dilakukan oleh korporasi juga
meliputi informasi bohong dalam periklanan. Menurut Sutherland, informasi
bohong atau yang menyesatkan (misrepresentation) itu dapat dibagi menjadi 3
(tiga) kelompok utama sebagai berikut:132
132Ibid.
79
a. Iklan yang ditujukan untuk menjual produk yang secara fisik
membahayakan konsumen, tanpa menyebutkan produk tersebut berbahaya.
Kebanyakan yang termasuk dalam iklan semacam itu, yakni bisnis obat
dan kosmetik.
b. Iklan yang melebih-lebihkan nilai produk (exaggerate the value of the
products). Mengenai hal ini, Sutherland mengambil contoh yang pernah
diputus terhadap dua penjahat di Chicago sekitar tahun 1930, karena telah
menjual sebotol obat dengan harga $10 kepada orang buta dengan
mengatakan bahwa obat tersebut akan dapat mengobati kebutaannya.
Ketika dianalisis, ternyata obat tersebut terbuat dari dua aspirin yang di
capur dengan air Danau Michigan. Pelakunya dijatuhi pidana penjara
selama enam bulan. Contoh lain yakni produk garmen yang mengiklankan
dan menjual produknya dengan menyatakan bahwa produk-produk itu
terbuat dari bahan sutra atau wool, yang ternyata sama sekali bukan
kualitas sebagaimana yang diiklankan, melainkan terbuat dari bahan
kapas. Sepatu kulit (buaya), ternyata bukan terbuat dari kulit dan
sebagainya.
c. Menyampaikan informasi bohong terhadap dua produk dalam waktu yang
bersamaan (ketika keduanya dipisahkan), sebab iklan tersebut mempunyai
tujuan khusus untuk merugikan pesaing dari konsumen. Contohnya,
sebuah perusahaan menjual barang melalui pesanan pos mengiklankan
tungku perapian sebagai barang yang berkualitas istimewa, yakni tidak ada
produk lain yang menyamainya, namun dalam kenyataannya ada produk
pesaing yang berkualitas sama.
80
81
BAB IV
TINDAK PIDANA KORPORASI DAN TAHAP-TAHAP
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI
A. Karakteristik Tindak Pidana Korporasi
Tindak pidana korporasi pada dasarnya merupakan kejahatan atau tindak
pidana yang memiliki karakteristik tersendiri. Perlu dikemukakan di muka bahwa
pada dasarnya, terdapat banyak karakteristik dari tindak pidana atau kejahatan
korporasi ini. Namun demikian, dalam buku ini hanya akan diuraikan beberapa
karakteristik tindak pidana korporasi yakni sebagai berikut:
a. Tindak pidana korporasi sebagai kejahatan kerah putih (white collar
crime);
b. Tindak pidana korporasi sebagai kejahatan lintas batas negara
(transnational crime);
c. Tindak pidana korporasi sebagai kejahatan yang terorganisir (organized
crime);
d. Tindak pidana korporasi sebagai kejahatan lintas batas negara yang
terorganisasi (transnational organized crime);
e. Tindak pidana korporasi sebagai tindak pidana yang berdampak luar biasa
(extra ordinary crime);
f. Tindak pidana korporasi sebagai tindak pidana bisnis (business crime);
g. Tindak pidana korporasi sebagai tindak pidana internasional (international
crime); dan
h. Tindak pidana korporasi sebagai kejahatan dengan dimensi-dimensi baru
(new dimention of crime).
Uraian lengkap mengenai karakteristik tindak pidana korporasi sebagaimana
disebutkan di atas akan diuraikan sebagai berikut:
Pertama, Tindak Pidana Korporasi Sebagai Kejahatan Kerah Putih
(White Collar Crime).
Secara sederhana yang dinamakan dengan white collar crime (WCC) yaitu
kejahatan atau tindak pidana yang dilakukan oleh orang-orang yang kelebihan
82
kekayaan dan dipandang “terhormat”, karena mempunyai kedudukan penting baik
dalam pemerintahan atau di dunia perekonomian.133
Pada bagian pertama ini, penulis menggolongkan tindak pidana atau
kejahatan korporasi sebagai kejahatan kerah putih karena tidak dapat dipungkiri
bahwa tindak pidana atau kejahatan korporasi senantiasa dilakukan dengan
melakukan dinamisasi modus operandinya dari segala sisi sehingga dapat pula
dikatakan sebagai invisible crime yang penanganannya memerlukan kebijakan
hukum pidana secara terpadu. Disamping itu, penulis menilai bahwa orang-orang
korporasi yang melakukan tindak pidana korporasi tentu bukanlah orang
sembarangan karena mereka mempunyai akses untuk melakukan tindak pidana
tersebut dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan-kesempatan atau
sarana-sarana yang ada padanya.
Berbicara mengenai tindak pidana korporasi sebagai kejahatan kerah putih
(white collar crime), tentunya tidak dapat dipisahkan dari apa sebenarnya yang
dimaksud dengan kejahatan kerah putih (white collar crime) dan apa kriterianya.
Penjelasan mengenai kejahatan kerah putih (white collar crime) pertama kali
dikemukakan oleh Sutherland dalam bukunya yang berjudul white-collar
criminality. Dalam bukunya tersebut, Sutherland menyatakan dengan tegas bahwa
white collar crime merupakan suatu tindak pidana yang dilakukan oleh mereka
dari kalangan atas yang berkedudukan sosial tinggi terhormat dan dilakukan
dalam pekerjaannya (crime committed by person of respectability and high social
status in the course of their occupation),berupa penipuan canggih oleh para
ekskutif senior (the sophisticated faruds of senior executives).134
Sutherland ingin menyatakan dan meyakinkan bahwa white collar
criminality adalah kejahatan yang benar-benar terjadi atau kejahatan yang nyata,
ia ingin mengingatkan bahwa yang melanggar hukum, melakukan kejahatan,
133Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, 1977., hlm. 102. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 54.
134Yusuf Shofie, Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Pidana Korporasi, Ghaila Indonesia, Jakarta, 2002, hlm. 44. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 54.
83
bukan saja mereka golongan kecil dan tidak mampu, melainkan juga mereka dari
kalangan atas yang terhormat dan berkedudukan sosial tinggi dan yang terakhir ia
ingin memberi dasar yang lebih kokoh bertalian dengan teori yang telah
dikembangkannya, yaitu: teori asosiasi diferensial (differential association).135
Terkait dengan white collar crime sebagaimana dikemukakan oleh
Sutherland di atas, Hazel Croal sebagaimana dikutip oleh Yusuf Shofie
memberikan definisi mengenai white collar crime sebagai berikut: “white collar
crime sering diasosiasikan dengan berbagai skandal dunia keuangan dan bisnis
(financial and business world) dan penipuan canggih yang dilakukan oleh para
eksekutif senior (the sophisticated frauds of senior executives). Di dalamnya
termasuk apa yang secara popular dikenal sebagai tindak pidana korporasi
(corporate crime).136
Menurut hemat penulis, yang dimaksud dengan white collar crime adalah
kejahatan atau tindak pidana yang dilakukan oleh orang atau sekelompok orang
yang memiliki jabatan tertentu, yang memiliki kedudukan sosial ekonomi tinggi
dimana tindak pidana tersebut menyangkut sebuah sistem, yang dilakukan
bersamaan dengan aktifitas pekerjaan atau jabatannya baik yang dilakukan dengan
cara fisik (nyata) maupun dengan cara non-fisik (tidak nyata) ataupun dengan cara
penyembunyian atau tipu muslihat untuk memperoleh uang atau keuntungan yang
besar.
Lebih lanjut, karakteristik dari tindak pidana kerah putih atau white collar
crime ini dapat dijabarkan sebagai berikut:137
a) Low Visibility
135 J.E Sahetapy, Kejahatan Korporasi, Eresco, Bandung, 1994, hlm. 19-20.Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 54.
136 Yusuf Shofie, Op.Cit., hlm. 44.137Hanafi, perkembangan konsep pertanggung jawaban pidana dan relevansinya bagi usaha
pembaharuan hukum pidana nasional, Tesis, Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia (UI), Jakarta, 1997., hlm. 143-144. Lihat juga dalam: Mahrus Ali, Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta., hlm. 13-14. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 55.
84
Kejahatan kerah putih merupakan kejahatan yang sulit dilihat karena
biasanya tertutup oleh kegiatan pekerjaan yang normal dan pekerjaan yang
rutin dan melibatkan keahliannya serta bersifat sangat kompleks.
b) Complexity
Kejahatan kerah putih bukanlah kejahatan yang sederhana melainkan
kejahatan yang sangat kompleks karena sangat berkaitan dengan
kebohongan, penipuan, pengingkaran, serta berkaitan dengan sesuatu yang
ilmiah, teknologi, terorganisasi, melibatkan banyak orang dan sudah
berjalan bertahun-tahun.
c) Defussion of Responsibility
Dalam tindak pidana kerah putih ini biasanya terjadi penyebaran tanggung
jawab yang semakin meluas.
d) Defusion of Victimization
Di dalam tindak pidana kerah putih biasanya terjadi penyebaran korban
yang meluas.
e) Detection and Prosecution
Hambatan dalam penuntutan dan pemberantasan white collar crime ini
seringkali terjadi akibat profesi dualisme yang tidak seimbang antara
penegak hukum dan pelaku kejahatan. Dengan hal ini pelaku
menggunakan teknologi yang sangat canggih, pelaku adalah orang yang
berpendidikan tinggi dan mempunyai keahlian khusus di bidang itu
sedangkan penegak hukum hanya kepolisian dan kejaksaan yang masih
terbatas kemampuannya.
Kedua, Tindak Pidana Korporasi Sebagai Kejahatan Lintas Batas
Negara (Transnationol Crime).
Kejahatan transnasional (transnational crime) merupakan kejahatan atau
tindak pidana yang hampir selalu berkaitan dengan kejahatan yang bermotif
finansial yang membawa dampak terhadap kepentingan lebih dari satu negara.
Jenis kejahatan atau tindak pidana ini antara lain perdagangan obat bius (drug
trafficking), kejahatan terorganisir lintas batas negara (transbonder organized
85
criminal activity), pencucian uang (money laundering), kejahatan finansial
(financial crime), perusakan lingkungan secara disengaja (willful damage to the
environment), dan lain sebagainya.
Pada bagian ini penulis menggolongkan tindak pidana atau kejahatan
korporasi sebagai bagian dari tindak pidana atau kejahatan lintas batas negara atau
transnational crime mengingat tindak pidana korporasi dapat dilakukan dilbeih
dari satu negara, selalu berkaitan dengan finansial atau ekonomi dan dampak yang
dihasilkan dari tindak pidana korporasi mungkin saja dirasakan oleh negara
lainnya atau bahkan oleh perekonomian dunia.
Ketiga, Tindak Pidana Korporasi Sebagai Kejahatan Terorganisir
(Organized Crime).
Di samping sebagai tindak pidana kerah putih (white collar crime) tindak
pidana korporasi dapat pula dikategorikan sebagai tindak pidana yang terorganisir
(organized crime). Apa sebenarnya yang dimaksud dengan tindak pidana yang
terorganisir (organized crime)? I.S. Susanto menyatakan bahwa kejahatan
terorginisir (dalam tindak pidana korporasi) yaitu suatu kejahatan yang terjadi
dalam konteks hubungan-hubungan yang kompleks diantara harapan-harapan
dewan direksi, eksekutif dan manajer di satu sisi dan diantara kantor pusat,
bagian-bagian dan cabang-cabang di sisi lain.138
Schrager dan Short mendefinisikan Organized crime sebagai berikut:
“Organizational crime are illegal acts of omission or commission of an individual
or a group of individuals in a legitimate formal organization in accordance whith
the operative goals of organization which have a serious physical or economic
impact on employees, consumers or the general public”.139
Sebagaimana telah dikemukakan dalam bagian sebelumnya, tindak pidana
atau kejahatan yang bersifat terorganisir (organized crime) pada umumnya terdiri
dari 3 (tiga) unsur utama yang membentuknya. Unsur pertama yakni adanya
138 I.S Susanto, Op.Cit., hlm. 27.139 Steven Box, Power Crime and Mystification, Tavistock Publications, Limited, 1983.,
page 16.Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 57.
86
organisasi kejahatan (criminal group) yang sangat solid baik karena ikatan etnis,
kepentingan politis maupun kepentingan-kepentingan lain. Unsur kedua, adalah
adanya kelompok yang “melindungi” tindak pidana ini (protector) yang antara
lain terdiri atas oknum penegak hukum dan para oknum yang bersifat
professional. Unsur ketiga, tentu saja adalah kelompok-kelompok masyarakat
tertentu yang menikmati hasil kejahatan yang dilakukan secara sistematis
tersebut.140
Keempat, Tindak Pidana Korporasi sebagai Kejahatan Lintas Batas
Negara yang Terorganisasi (Transnational Organized Crime).
Tindak pidana korporasi dapat dikategorikan sebagai kejahatan lintas batas
negara yang terorganisasi (transnational organized crime) karena memenuhi
kriteria kejahatan lintas batas negara yang terorganisasi (transnational organized
crime) sebagaimana diatur secara tegas dalam The United Nations Convention
Against Transnational Organized Crime (UNCATOC) atau konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) menentang tindak pidana transnasional yang terorganisasi.
Pasal 1 The United Nations Convention Against Transnational Organized Crime
(UNCATOC) dengan tegas menyatakan bahwa : “The purpose of this convention
is to promote cooperation to prevent and combat transnational organized crime
more effectively” (tujuan dari konvensi ini adalah untuk memajukan kerjasama
untuk mencegah dan memberantas tindak pidana transnasional terorganisasi
secara lebih efektif).
Dilihat dari tujuan The United Nations Convention Against Transnational
Organized Crime Tahun 2000 tersebut di atas, terbukti adanya peningkatan
kejahatan atau tindak pidana dan keprihatinan masyarakat internasional mengenai
kejahatan yang berkembang dewasa ini yang tidak saja merupakan masalah satu
negara, tetapi juga masalah global yang menurut hemat penulis salah satunya
adalah tindak pidana atau kejahatan korporasi.
Pada dasarnya, tindak pidana korporasi dapat dikategorikan sebagai
kejahatan transnasional yang bersifat terorganisir. Dikatakan demikian karena
140 Nyoman Serikat Putra Jaya, Loc.Cit. hlm. 111.
87
tindak pidana korporasi selalu melibatkan orang-orang yang membentuk sebuah
jaringan atau sistem yang berkaitan dan tidak dapat dilepaskan satu dengan yang
lainnya. Di samping itu, orang-orang yang terlibat dalam tindak pidana korporasi
mempunyai fungsi, tugas, dan peranannya masing-masing sehingga tidak mudah
untuk diungkap, ditindak, dan diberantas oleh para aparatur penegak hukum.
Tindak pidana koporasi dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk dari
kejahatan transnasional yang terorganisasi (transnational organized crime) dapat
pula dilihat dari kriteria kejahatan transnasional terorganisasi yang terdapat dalam
Pasal 3 ayat (2) The United Nations Convention Against Transnational Organized
Crime (UNCATOC) tahun 2000 yang menyatakan bahwa:
a) It is commited in more than one state (hal ini dilakukan di lebih dari satu
negara);
b) It is committed in one state but substansial part of its preparation,
planning, direction or control take place in another state (hal ini
dilakukan di satu negara tetapi bagian substansialnya, perencanaan, arah
persiapan, atau kontrol terjadi di negara lain);
c) It is committed in one state but involves an organized criminal group that
engaged in criminal activities in more than one state (hal ini dilakukan di
satu negara tetapi melibatkan suatu kelompok penjahat terorganisasi yang
terlibat dalam kegiatan kriminal di lebih dari satu negara);
d) It committed in one state but has substantial effects in another state (hal
ini dilakukan di satu negara tetapi memiliki efek yang substansial di
negara lain).
Mencermati apa yang diatur dalam pasal 3 ayat (2) The United Nations
Convention Against Transnational Organized Crime (UNCATOC) di atas, penulis
menilai bahwa tindak pidana korporasi sebagai tindak pidana transnational
organized crime karena tindak pidana korporasi sangat mungkin dilakukan di
lebih dari satu wilayah negara, dilakukan di satu negara, tetapi persiapan,
perencanaan, pengarahan, atau pengendalin atas kejahatan tersebut di lakukan di
wilayah negara lain; dilakukan di suatu wilayah negara, tetapi melibatkan suatu
kelompok pelaku tindak pidana yang terorganisasi yang melakukan tindak pidana
88
di lebih dari satu wilayah negara atau dilakukan di suatu wilayah negara, tetapi
akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana tersebut dirasakan di negara lain.
Kelima, Tindak Pidana Korporasi Sebagai Tindak Pidana yang
Berdampak Luar Biasa (Extra Ordinary Crimes).
Tindak pidana korporasi dapat pula dikategorikan sebagai tindak pidana
yang berdampak luar biasa. Penulis menilai bahwa tindak pidana korporasi selalu
dilakukan secara tersistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan
keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi
masyarakat secara luas. Seiring dengan eksistensinya yang tidak dapat dipisahkan
dari kehidupan manusia, tindak pidana korporasi dewasa ini mengalami
perkembangan yang terus meningkat dari tahun ke tahun ke tahun, baik dari
jumlah kasus yang terjadi dan dari jumlah kerugian yang ditimbulkannya. Dari
segi kualitas tindak pidana yang dilakukan, tindak pidana korporasi dilakukan
semakin sistematis serta lingkup atau dampaknya dirasakan dalam sebuah aspek
kehidupan masyarakat.
Penulis menilai bahwa meningkatnya tindak pidana korporasi yang tidak
terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan berbangsa dan
bernegara pada umumnya. Tindak pidana korporasi yang meluas dan sistematis
juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi
masyarakat, dan karena itu semua maka, tindak pidana korporasi tidak lagi dapat
digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar
biasa (extra ordinary crime).
Di samping itu, penulis berkesimpulan bahwa tindak pidana korporasi dapat
dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang
membutuhkan penanganan yang mendayagunakan cara-cara yang juga luar biasa
(extra ordinary measure). Dikatakan demikian karena tindak pidana korporasi
merupakan perbuatan yang menimbulkan bahaya terbesar (the greatest danger)
terhadap hak asasi manusia, target dari tindak pidana korporasi bersifat random
atau indiscriminate yang cenderung mengorbankan orang-orang yang tidak
bersalah, dalam tindak pidana korporasi, kemungkinan digunakan alat-alat dengan
89
memanfaatkan teknologi canggih, tindak pidana korporasi merupakan bagian dari
“shadow economy”, “shadow crime” atau “hidden crime” yakni tindak pidana
yang berjalan dengan tidak terlihat, amat menguntungkan tetapi juga merupakan
perbuatan kriminal yang sangat jahat, kecenderungan terjadinya sinergi atau
bahkan kerjasama antara organisasi korporasi yang satu dengan korporasi yang
lain baik dalam satu negara (nasional) atau lintas batas negara (transnasional
bahkan internasional), dapat membahayakan kepentingan nasional,
membahayakan kepentingan perekonomian nasional dan internasional, korporasi
seringkali melakukan pelanggaran hak asasi manusia, pelanggaran terhadap
standar buruh, melakukan pengrusakan lingkungan dan berkaitan erat dengan
tindak pidana yang lain, misalnya tindak pidana korupsi dan tindak pidana
pencucian uang, tindak pidana korporasi dapat mengganggu stabilitas keamanan
pada masyarakat, tindak pidana korporasi merupakan tindak pidana yang
mengancam kehidupan sosial, ekonomi, politik, keamanan, dan perekonomian
dunia.
Keenam, Tindak Pidana Korporasi Sebagai Kejahatan Bisnis (Business
Crime).
Berikutnya, penulis menilai bahwa tindak pidana atau kejahatan korporasi
dapat dikategorikan sebagai kejahatan bisnis, mengutip pendapat Conklin,
kejahatan korporasi maupun kejahatan bisnis memiliki dimensi ekonomi
sebagaimana berikut ini: “business crime is illegal act, punishable by a criminal
sanction, which is committed by an individual or a corporation in the course of a
legitimate occupation or pursuit in the industrial or commercial sector for the
purpose of obtaining money or property, avoiding the payment of money or the
loss of property, or obtaining business or personal advantage”.141
Mardjono Reksodiputro berpendapat serupa bahwa corporate crime, yang
diterjemahkan sebagai “kejahatan korporasi”, merupakan bagian dari white collar
crime. Lebih lanjut ia menegaskan bahwa kejahatan korporasi selalu berhubungan
141 Kristian, Op.Cit., hlm. 50.
90
dengan kegiatan ekonomi atau kegiatan yang berkaitan dengan dunia bisnis
(business related activities).142
Selanjutnya, Mardjono Reksodiputro juga menyatakan bahwa kejahatan
atau tindak pidana korporasi sebagai bagian white collar crime perlu dibedakan
dengan corporate crime yang dilakukan oleh small business dan big business
karena beberapa hal berikut ini:
a. Kejahatan korporasi jangan dikaitkan dengan small business offense,
yaitu kejahatan yang dilakukan oleh perusahaan atau usaha dagang yang
lingkup kegiatannya kecil.
b. Konsep kejahatan korporasi hanya ditujukan pada kejahatan yang
dilakukan oleh bisnis yang besar (big business).
c. Kejahatan korporasi yang merupakan bagian dari white collar crime,
harus dibedakan antara ordinary crime committed class people dan small
business offense.
Menurut hemat penulis, tindak pidana korporasi dapat dikategorikan sebagai
tindak pidana atau kejahatan bisnis dikarenakan tujuan utama korporasi adalah
untuk mencapai keuntungan yang besar. Dalam rangka mencapai keuntungan
yang besar tersebut, korporasi cenderung mengarah pada perluasan usaha dan
melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan hukum yang berlaku. Perbuatan
melawan hukum ini dapat dilihat misalnya dalam melakukan aktivitas bisnis,
korporasi tidak menghormati perlindungan hak asasi manusia, dalam melakukan
aktivitas bisnis, korporasi seringkali melakukan kerja paksa dan kerja wajib,
dalam melakukan aktivitas bisnis, korporasi seringkali meggunakan pekerja anak,
dalam melakukan aktivitas bisnis, korporasi seringkali tidak menghormati dan
tidak melaksanakan tanggung jawab lingkungan dan dalam melakukan aktivitas
bisnis, korporasi seringkali melakukan tindak pidana di bidang ekonomi misalnya
melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana penyuapan dan pemerasan.
Penegakan hukum bagi korporasi yang melakukan tindak pidana bisnis ini
juga sulit dilakukan mengingat dalam menjalankan aktivitas bisnisnya, korporasi
seringkali melakukan pembagian atau pendelegasian wewenang dalam
142 Yusuf Shofie, Op.Cit., hlm. 55.
91
menentukan suatu langkah usaha atau kebijakan dalam rangka efektifitas dan
efisiensi operasional korporasi itu sendiri. Semakin besar perusahaan tersebut,
maka semakin besar pula kompleksitas pendelegasian tanggungjawab dan
wewenang dari puncak pimpinan kepada struktur yang lebih rendah di dalam
korporasi.
Perlu kiranya dikemukakan pula pada bagian ini bahwa kejahatan atau
tindak pidana korporasi sebagai salah satu bagian dari tindak pidana bisnis telah
membuat ruang lingkup tindak pidana korporasi dalam arti luas ini sering juga
disebut sebagai istilah misalnya: “economic crime”, “crime a business”,
“business crime”, “abuse of economic power” atau “economic abuse”.
Ketujuh, Tindak Pidana Ekonomi sebagai Kejahatan Internasional
(international crime).
Romli Atmasasmita menyatakan bahwa kejahatan internasional
(international crime) harus dibedakan dari kejahatan transnasional (transnational
crime) sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumya. Kejahatan
internasional (international crime) adalah suatu tindak pidana terhadap dunia atau
suatu masyarakat dan biasanya digerakkan oleh motif ideologi atau politik.
Sebagai contoh dari kejahatan ini adalah kejahatan terhadap kemanusiaan (crime
against humanity) dan hak asasi manusia, kejahatan perang (war crimes), genosida
(genocide), dan lain sebagainya.143
Menurut hemat penulis, tindak pidana korporasi sebagai tindak pidana
internasional dalam hal ini dapat diartikan bahwa tindak pidana korporasi
merupakan tindak pidana yang dilakukan dan diarahkan kepada orang-orang asing
dan asset-aset asing, dampak yang dihasilkan dari tindak pidana korporasi
dirasakan secara global, tindak pidana korporasi merupakan tindak pidana yang
dilakukan dengan diorganisasikan dan/atau melibatkan pemerintah dan/atau
organisasi atau korporasi yang terdapat dilebih dari satu negara, tindak pidana
korporasi dilatarbelakangi oleh tujuan mencapai keuntungan material, tindak
143 Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, PT. Refika Aditama, Bandung, 2000, hlm. 45.
92
pidana korporasi memiliki karakteristik yang sangat terorganisasi, tangguh,
ekstrim, eksklusif, tertutup, memiliki komitmen yang sangat tinggi dan memiliki
dukungan keuangan dan dana yang sangat besar, tindak pidana korporasi
bertujuan atau setidaknya dapat mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang dibuat
oleh pemerintah asing.
Kedelapan, Tindak Pidana Korporasi Sebagai Kejahatan dengan
Dimensi-Dimensi yang Baru (New Dimention of Crimes).
Karakteristik tindak pidana korporasi yang terakhir adalah tindak pidana
atau kejahatan dengan dimensi-dimensi yang baru. Penulis beranggapan demikian
karena tindak pidana korporasi senantiasa berkembang seiring dengan
perkembangan zaman dan perkembangan masyarakat. Singkatnya, modus
operandi tindak pidana korporasi yang dilakukan di tahun 1990-an tentunya akan
berbeda dengan modus operandi tindak pidana korporasi yang dilakukan pada
tahun 2000an dan akan berbeda pula dengan modus operandi tindak pidana
korporasi yang dilakukan ditahun 2016 ini. Dengan demikian, tindak pidana
korporasi merupakan tindak pidana dengan dimensi-dimensi kejahatan yang akan
senantiasa berkembang baik modus operandi maupun alat yang digunakan seiring
dengan perkembangan zaman, perkembangan masyarakat dan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Untuk menanggulangi hal ini, tentu hukum juga tidak
boleh statis melainkan harus mengikuti perkembangan zaman, perkembangan
masyarakat dan perkembangan dunia internasional khususnya dalam rangka
penanggulangan (mencegah dan memberantas) tindak pidana korporasi ini.
B. Kriminalisasi Tindak Pidana Korporasi
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan kriminalisasi? Mungkin pertanyaan
inilah yang pertama-tama harus dijawab terlebih dahulu.Istilah “kriminalisasi”
pada dasarnya merupakan suatu istilah yang berasal dari Bahasa Inggris yaitu
“Criminalization”. Menurut hemat penulis, secara sederhana kriminalisasi dapat
diartikan sebagai sebuah langkah atau proses yang diambil oleh badan legislatif
sebagai badan yang berwenang untuk menilai, menentukan dan merumuskan,
93
apakah suatu perbuatan yang sebelumnya bukan sebagai perbuatan pidana (tindak
pidana) menjadi suatu tindak pidana dan dapat diproses sesuai dengan hukum
yang berlaku dan dijatuhi sanksi pidana.
Menurut Soerjono Soekanto, kriminalisasi merupakan tindakan atau
penetapan penguasa mengenai perbuatan-perbuatan tertentu yang oleh masyarakat
atau golongan-golongan masyarakat dianggap sebagai perbuatan yang dapat
dipidana menjadi perbuatan pidana.144
Menurut Sudarto, kriminalisasi dapat pula diartikan sebagai suatu proses
penetapan suatu perbuatan orang sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Proses
ini diakhiri dengan terbentuknya undang-undang dimana perbuatan itu diancam
dengan suatu sanksi berupa pidana. Terbentuklah peraturan hukum pidana yang
siap untuk diterapkan oleh hakim dan selanjutnya apabila dijatuhkan pidana,
pidana tersebut akan dilaksanakan oleh kekuasaan administrasi (eksekutif), di
bawah pimpinan menteri kehakiman. Sebaliknya, dekriminalisasi adalah suatu
proses dimana dihilangkan sama sekali sifat dapat dipidananya suatu perbuatan.145
Terkait dengan masalah kriminalisasi ini, proses kriminalisasi pada dasarnya
meliputi 2 (dua) masalah sentral yaitu terkait dengan masalah menentukan:146
1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan
2. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada pelanggar.
Meskipun demikian, untuk menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak
pidana, kiranya perlu diperhatikan pernyataan dari Satjipto Rahardjo yang
menyatakan bahwa untuk menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana perlu
diperhatikan kriteria umum sebagai berikut:147
a. Apakah perbuatan tersebut diakui oleh masyarakat karena merugikan atau
dapat merugikan atau mendatangkan korban;
144 Soejono Soekanto, Kriminologi Suatu Pengantar, Cetakan Pertama, Jakarta: Ghaila Indonesia, 1981, hlm. 62.
145 Sudarto, Op.Cit. hlm. 39-40.146 Kristian, Op.Cit., hlm. 34.147 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, Alumni, Bandung, 1983, hlm. 62.
Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 64.
94
b. Apakah biaya mengkriminalisasikan seimbang dengan hasil yang akan
dicapai. Artinya, biaya pembuatan undang-undang, pengawasan dan
penegakan hukum, beban yang dipikul korban dan pelaku kejahatan itu
sendiri harus seimbang dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai;
c. Apakah akan makin bertambah beban aparat penegak hukum sehingga
terjadi ketidakseimbangan kemampuan dan beban tugas, atau nyata-nyata
tidak dapat diemban oleh kemampuan yang dimiliki petugas penegak
hukum;
d. Apakah perbuatan itu menghambat atau menghalangi cita-cita bangsa
Indonesia, yakni terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur sehingga
merupakan bahaya bagi keselamatan masyarakat.
Selain itu, di dalam mengkriminalisasi suatu perbuatan harus
memperhatikan beberapa kriteria. Terkait dengan hal ini, Sudarto menyatakan
bahwa dalam masalah kriminalisasi ini memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, Tujuan hukum pidana
Tujuan hukum pidana yaitu untuk menanggulangi kejahatan dan juga
penguguran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri demi kesejahteraan
masyarakat baik secara materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila di dalam
wadah Negara Republik Indonesia.
Kedua, Penetapan perbuatan yang tidak dikehendaki
Sesuai dengan tujuan hukum pidana maka perbuatan yang diusahakan untuk
dicegah dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak
dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian atas warga
masyarakat.
Ketiga, Perbandingan antara sarana dan hasil
Di dalam menggunakan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip
biaya dan hasil (cost and benefit principle). Dalam hal ini, maka biaya dan hasil
mencakup juga materi (dalam bentuk uang) dan materill seperti beban yang harus
ditanggung rakyat dalam bentuk biaya sosial (sosial cost) serta efektivitas dari
pidana itu sendiri.
95
Di dalam penggunaan hukum pidana dibutuhkan banyak badan dan orang
untuk dapat diterapkan seperti kepolisian, penuntut umum, pengadilan, lembaga
kemasyarakatan dan sebagainya. Oleh karena itu, pembuatan peraturan hukum
pidana harus pula memperhatikan kapasitas dan kemampuan daya kerja dari
badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas
(overbelasting).
Mengenai ukuran kriminalisasi dan dekriminalisasi secara doctrinal,
menurut Muladi harus berpedoman pada hal-hal sebagai berikut:148
a. Kriminalisasi tidak boleh terkesan menimbulkan “overkriminalisasi” yang
masuk kategori “the misuse of criminal action”;
b. Kriminalisasi tidak boleh bersifat ad hoc;
c. Kriminalisasi harus mengandung unsur korban (victimizing) baik aktual
maupun potensial;
d. Kriminalisasi harus memperhitungkan analisa biaya dan hasil dari prinsip
“ultimum remedium”;
e. Kriminalisasi harus menghasilkan peraturan yang “enforceable” (dapat
ditegakkan);
f. Kriminalisasi harus memperoleh dukungan publik;
g. Kriminalisasi harus mengandung unsur “subsosialiteit” (mengakibatkan
bahaya bagi masyarakat sekalipun kecil sekali);
h. Kriminalisasi harus memperhatikan peringatan bahwa setiap peraturan
pidana membatasi kebebasan rakyat dan memberikan kemungkinan kepada
aparat penegak hukum untuk mengekang kebebasan itu.
Perlu pula dikemukan bahwa pada dasarnya, kriminalisasi bermula dari teori
ordenings strafrecht yang dikemukan oleh Roling dan Jesseren d’Oliveira
Prakken sebagaimana dikutik oleh Roeslan Saleh yang menyatakan bahwa hukum
pidana adalah alat atau intrumen kebijakan pemerintah.149 Penggunaan hukum
148 Muladi, Op.Cit, hlm. 256.149 Roeslan Saleh, Beberapa Asas Hukum Pidana dalam Perspektif, Jakarta, Aksara Baru,
1983, hlm. 52. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 66.
96
pidana sebagai instrumen kebijakan pemerintah ini merupakan kecenderungan
baru dalam perkembangan hukum pidana modern.150
Dengan demikian, dapat disimpulkan pula bahwa istilah “kriminalisasi”
hanya berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang dinilai sebagai perbuatan pidana.
Proses kriminalisasi ini penting mengingat dalam hukum pidana Indonesia
menganut asas legalitas sebagaimana dituangkan dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan bahwa: “Tiada suatu
perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam
undang-undang yang ada terdahulu daripada perbuatan itu.151
Ini artinya, suatu perbuatan dapat dihukum apabila sudah ada aturan hukum
yang mengatur atau menyatakan bahwa perbuatan tersebut adalah suatu tindak
pidana. Perlu pula dikemukakan bahwa asas legalitas di sini dimaksudkan untuk
memberikan jaminan kedudukan hukum warga negara terhadap pemerintah. Di
sinilah pentingnya proses kriminalisasi yaitu suatu proses untuk menentukan suatu
perbuatan sebagai tindak pidana.
Proses kriminalisasi di bidang tindak pidana ekonomi yang salah satunya
tindak pidana korporasi terus berlangsung dari waktu ke waktu dalam sistem
hukum Indonesia. Hal ini adalah sesuatu yang wajar mengingat salah satu peran
negara adalah melindungi warganya dari tindak pidana serta untuk
mensejahterakan masyarakat. Dalam rangka ini, negara (pemerintah) melakukan
banyak kriminalisasi terhadap tindak pidana tindak pidana baru di bidang
ekonomi misalnya kriminalisasi tindak pidana pencucian uang yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang,
kriminalisasi tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang 20 tahun 2001
150 Roeslan Saleh, Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi: Apa yang Dibicarakan Sosiologi Hukum dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, 1993, hlm. 5. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 66.
151 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasa demi Pasal, Politeia, Bogor, hlm. 27. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 67.
97
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kriminalisasi tindak pidana
perpajakan dengan diaturnya perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 sebagaimana diubah dengan Undang-
Undang Nomor 16 tahun 2000 tentang Ketentuan Umum Dan Tatacara
Perpajakan (KUP) dan kriminalisasi tindak pidana perbankan sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan. Berdasarkan
uraian singkat di atas, dapat dilihat bahwa proses kriminalisasi dalam hal tindak
pidana korporasi di bidang ekonomi berlangsung begitu cepat dan diatur dalam
berbagai ketentuan dengan berbagai variasinya masing-masing.
Namun demikian, berbeda dengan kriminalisasi tindak pidana korupsi,
kriminalisasi tindak pidana korporasi dapat dikatakan berjalan sangat lambat
dibandingkan dengan kriminalisasi tindak pidana ekonomi lainnya. Hal ini
terbukti dengan tidak adanya undang-undang yang secara khusus mengatur
mengenai tindak pidana korporasi. Jangankan sampai pada lahirnya undang-
undang yang mengatur secara khusus mengenai tindak pidana korporasi, sampai
dengan saat ini saja masih terjadi perdebatan yang tidak kunjung selesai mengenai
pertanggungjawaban korporasi secara pidana. Di samping itu, pertanggung
jawaban pidana korporasi masih diatur tersebar dalam berbagai undang-undang
khusus baik yang sudah terkodifikasi maupun yang belum terkodifikasi
misalnya:152
a. Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana
Ekonomi (Undang-undang Nomor 7/Drt. 1955 tentang Tindak Pidana
Ekonomi);
b. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan;
c. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah;
152 Pejelasan lebih lanjut mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia dapat dilihat dalam : Kristian, Hukum Pidana Korporasi Kebijakan Integral (Integral Policy) Formulasi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, Nuansa Aula, 2014. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum diberbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 68.
98
d. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan;
e. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika;
f. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika;
g. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup;
h. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat;
i. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
j. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi Sebagaimana telah diubah oleh Undang-undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
k. Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang – Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang
Perubahan Keempat, Atas Undang – Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
l. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang;
m. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang;
n. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang;
o. Dan lain sebagainya;
Adanya pro dan kontra mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi dan
pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi yang tersebar dalam berbagai
undang-undang khusus tersebut di atas sudah tentu akan sangat berpengaruh
terhadap berkembangnya kualitas dan kauntitas kejahatan yang bersangkutan dan
akan sangat berpengaruh dalam rangka penanggulangan (Pencegahan dan
pemberantasan) tindak pidana korporasi di Indonesia.
99
Selain itu, perlu disadari bahwa dengan lambatnya proses kriminalisasi
tindak pidana korporasi maka akan menimbulkan dampak yang sangat serius. Hal
ini dikarenakan dampak dari tindak pidana korporasi begitu berbahaya. Hal ini
misalnya Nampak dalam lumpur Lapindo, apabila tindak pidana lumpur Lapindo
ini sudah menimbulkan dampak (misalnya saja rusaknya lingkungan) maka sangat
sulit atau tidak ada lagi cara yang dapat diambil negara untuk mengembalikan
kondisi lingkungan seperti semula.
Oleh sebab itu, menurut hemat penulis, alangkah baiknya dalam proses
kriminalisasi tindak pidana korporasi ini dirumuskan baik dengan menggunakan
rumusan delik formal atau material, delik aduan ataupun delik biasa dan ancaman
pidana yang diancamkan diformulasikan secara terpadu sehingga upaya
penanggulangan (Pencegahan dan pemberantasan) tindak pidana korporasi dapat
dilakukan secara efektif dan efisien.
Selain itu, yang perlu untuk diantisipasi mengingat banyaknya peraturan
yang mengkriminalisasi tindak pidana korporasi sebagaimana telah disebutkan di
atas, berkaitan dengan substansi atau pengaturannya. Dalam hal ini, seringkali
ditemukan tumpang tindih atau duplikasi norma antara ketentuan yang satu
dengan ketentuan yang lain sehingga yang dicapai bukan efektifitas dan efisiensi
dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korporasi tetapi justru
menimbulkan ketidakpastian hukum yang akan menghambat penegakan
hukumnya. Oleh sebab itu, dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana korporasi (yang tidak dapat dilepaskan antara bidang yang satu dengan
bidang yang lainnya) dan dalam rangka menghindari tumpang tindih sebagaimana
dikemukakan di atas, maka dibutuhkan suatu asas-asas hukum yang menjadi dasar
dalam melakukan kriminalisasi tersebut, dibutuhkan suatu kebijakan hukum
pidana yang terpadu (integrated penal policy).
C. Tahap-Tahap Perkembangan Sistem Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi
Pada bagian sebelumnya, telah dikemukakan bahwa korporasi dijadikan
sebagai subjek hukum pidana karena adanya perkembangan masyarakat yang
100
tidak terbendung lagi. Dengan adanya perkembangan masyarakat ini, dirasakan
perlu dan mendesak untuk menjadikan korporasi sebagai subjek hukum pidana
dimana korporasi sebagai “wadah” yang membawa hak dan kewajiban layaknya
manusia alamiah. Oleh sebab itu, dengan diaturnya korporasi sebagai subjek
hukum pidana, korporasi tersebut dinilai dapat melakukan hak dan kewajibannya
dengan nyata.
Korporasi disebut sebagai legal personality, artinya korporasi dapat
dianggap memiliki harta kekayaan sebagaimana halnya manusia dan dapat
menuntut dan dituntut dalam kasus perdata. Pertanyaan yang muncul adalah
apakah korporasi juga dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana?
Pada mulanya orang menolak untuk mempertanggungjawabkan korporasi
dalam perkara pidana. Alasannya, korporasi tidak mempunyai perasaan seperti
manusia sehingga dia tidak mungkin melakukan kesalahan. Di samping itu,
pidana penjara tidak mungkin diterapkan terhadap korporasi. Mengingat dampak
negatif yang ditimbulkan dalam kegiatan korporasi, maka timbul pemikiran untuk
mempertanggungjawabkan korporasi dalam perkara pidana. Dikatakan bahwa
korporasi bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan oleh anggotanya
dalam kaitan dengan ruang lingkup pekerjaannya. Tentu saja pidana yang dapat
dijatuhkan pada korporasi biasanya berupa pidana denda.153
Dalam perkembangan hukum pidana di Indonesia, ada tiga macam bentuk
pertanggungjawaban korporasi sebagai subyek tindak pidana, yaitu:
a. Pengurus korporasi yang berbuat, maka pengurus yang bertanggung
jawab;
b. Korporasi sebagai pembuat, maka pengurus yang bertanggung jawab;
c. Korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggung jawab.
Ada dua cara untuk dapat memidana korporasi, yaitu:
a. Korporasi dapat dikenakan pidana berdasarkan asas strict liability atas
kejahatan yang dilakukan oleh pegawainya;
b. Korporasi dapat dikenakan pidana berdasarkan asas identifikasi.
153 .Sue Titus Reid, Criminal Law. Third Edition, (New Jersey: Prentice Hall, 1995), hal.51.
101
Pengadilan mengakui bahwa tindakan anggota tertentu dari korporasi,
selama tindakan itu berkaitan dengan urusan korporasi dianggap sebagai tindakan
dari korporasi itu sendiri.154
Teori identifikasi sebagaimana disebutkan di atas adalah salah satu teori
yang memberikan justifikasi pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana.
Teori ini menyebutkan bahwa tindakan dan kehendak dari direktur juga
merupakan tindakan dan kehendak dari korporasi (the acts and state of mind of the
person are the acts and state of mind of the corporation).155
Korporasi mempunyai sifat yang mandiri dalam hal pertanggungjawaban
pidana sehingga ia tidak dapat disamakan dengan model pertanggungjawaban
berdasarkan asas vicarious. Perbedaan antara pertanggungjawaban korporasi
(enterprise liability) dengan vicarious liability dapat dilihat pada pertimbangan
pengadilan dalam memutus perkara antara Tesko Supermarket Ltd versus
Nattrass. Pertimbangan pengadilan dapat dikutip sebagai berikut:
"A living persons as a mind which can have knowledge or intention or be
negligent and has hands to carry out his intention. A corproration has none
of these, it must act through living persons, though not always one and the
same person the .the person who acts is not speaking or acting for the
company. There is no question to the company being vicarious liability. He
is not acting as servent, representatives, agent or delegate. He is an
ambodiment of the company, or one could say, he hears and speaks, and his
mind is the mind of the company. If it is a guilty mind then that guilt is the
guilt of the company".156
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah siapa yang dimaksud identik
dengan korporasi, atau dengan kata lain siapa yang mewakili korporasi. Untuk
mengetahui hal tersebut dapat kita lihat pendapat hakim Lord Denning dalam
kasus HL.Bolton Co. versus PJ.Graham&Sons Ltd, sebagai berikut:
154 .Peter Sego, Criminal Law, Op.Cit., hal.143.155 .Richard Card, Introduction to Criminal Law, Op.Cit., hal.123.156 .Ibid.
102
"A company may in many ways be likened to human body. It has a brain
and nerve centre which controls what it dces. It also has hands which hold
the tools and act in accordance with directions from the centre. Some of the
people of the company are mere servent and agent who are bothing more
than hands to do work and can not be said to represent the directing mind
and will. Other or derectors and managers who represent the directing
mind and will of the company and control what is does. The state mind of
these manager is the state of mind company and his treated by the law as
such."157
Dari pendapat Lord Denning tersebut dapat disimpulkan bahwa direktur
identik dengan korporasi sehingga dapat dikatakan bahwa tindakan direktur itu
juga merupakan tindakan dari korporasi, asal saja tindakan tersebut masih dalam
ruang lingkup pekerjaannya dan demi keuntungan korporasi. Mengenai masalah
kesengajaan dan kealpaan, Van Bemmelen dan Remmelink berpendapat bahwa:
"Pengetahuan bersama dari sebagian besar anggota direksi dapat dianggap
sebagai kesengajaan badan hukum itu, jika mungkin sebagai kesengajaan
bersyarat dan bahwa kesalahan ringan dari tiap orang yang bertindak untuk
korporasi itu, jika dikumpulkan dapat merupakan kesalahan besar dari
korporasi itu sendiri".158
Perubahan dan perkembangan kedudukan korporasi sebagai subjek hukum
pidana, mengalami beberapa perkembangan secara bertahap yang secara garis
besar dapat dibagi dalam 4 (empat) tahap sebagaimana akan diuraikan di bawah
ini. Perlu pula dikemukakan bahwa tahap-tahap pertanggungjawaban pidana
korporasi ini akan mempengaruhi bentuk sistem pertanggungjawaban pidana
korporasi.
Adapun tahapan perkembangan system pertanggungjawaban korporasi
meliputi sebagai berikut:
157 .Ibid., hal. 124.158 .Hamcah Hetrik, Op.Cit., hal.94.
103
Tahap Pertama: Hanya manusia alamiah yang menjadi subjek
hukum pidana, korporasi diapandang tidak dapat melakukan tindak pidana.
Tahap ini ditandai dengan usaha-usaha agar sifat atau tindak pidana yang
dilakukan oleh korporasi dibatasi pada perorangan (manusia alamiah naturlijk
person). Sehingga apabila suatu tindak pidana terjadi dalam lingkungan korporasi,
maka tindak pidana tersebut dianggap dilakukan oleh pengurus korporasi, maka
tindak pidana tersebut dianggap dilakukan oleh pengurus korporasi tersebut.159
Pandangan pada tahap pertama ini sangat dipengaruhi oleh asas “societas
delinquere non potest” yaitu badan hukum tidak dapat melakukan tindak
pidana.160 Dengan demikian, apabila dalam suatu korporasi terjadi tindak pidana
maka tindak pidana tersebut dianggap dilakukan oleh pengurus korporasi terjadi
tindak pidana maka tindak pidana tersebut dianggap dilakukan oleh pengurus
korporasi tersebut dan pengurus korporasilah yang harus bertanggungjawab atas
perbuatan itu.
Asas “societas delinquere non potest”ini merupakan dasar yang
menyatakan bahwa badan hukum (korporasi) tidak dapat melakukan suatu tindak
pidana. Asas ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 59 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) (atau Pasal 51 W.v.S.) yang berbunyi: “Dalam hal-hal di
mana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota badan
pengurus, atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran
tindak pidana.” Asas ini merupakan contoh yang khas dari pemikiran dogmatis
pada abad ke-19, dimana kesalahan menurut hukum pidana selalu disyaratkan
sebagai kesalahan dari manusia alamiah.
Tahap Ke Dua: Korporasi dinilai dapat melakukan tindak pidana
tetapi pertanggungjawabannya dibebankan kepada pengurus-pengurusnya.
Tahap kedua ini ditandai dengan pengakuan yang timbul sesudah Perang
Dunia I dalam perumusan undang-undang bahwa suatu tindak pidana dapat
dilakukan oleh persrikatan atau badan usaha (korporasi). Namun demikian, perlu
159Dwidja Priyatno dan Muladi, Op.Cit.hlm. 52.160Ibid. hlm. 53.
104
disadari bahwa pada tahap ini pertanggungjawaban pidana tetap menjadi beban
dari pengurus atau organ-organ dari badan hukum (korporasi) tersebut.
Tanggung jawab pada tahap ini perlahan-lahan beralih dari anggota atau
pengurus atau organ korporasi kepada mereka yang memerintahkan tindak pidana
dilakukan. Dengan perkataan lain, dapat dikatakan bahwa pertanggungjawaban
pidana dapat dimintakan terhadap pengurus yang secara nyata memimpin
korporasi tersebut. Oleh sebab itu, pada tahap ini korporasi diakui dapat
melakukan tindak pidana akan tetapi yang mempertanggungjawabkan
perbuatannya secara pidana adalah para anggotanya atau pengurusnya selama
dinyatakan dengan tegas dalam peraturan perudang-udangan atau dalam peraturan
korporasi yang bersangkutan. Dengan demikian, pada tahap ini dapat disimpulkan
bahwa pertanggungjawaban pidana secara langsung dari korporasi masih belum
muncul.161
Dalam upaya menggambarkan korporasi sebagai subjek hukum pidana
yang perbuatannya dilihat dari perbuatan para pegawai yang mewakilinya
Denning L.J menjelaskan secara metaforis sebagai berikut:
“A company may in many ways be likened to a human body. It has a brain
and a nerve centre which control what is does. It also has hands which
holds the tools and act in accordance with direction from the centre. Some
of the people of the company are mere servants and agent who are nothing
more than hands to do the work and cannot be said to represent the mind
or will. Others are directors and manager who present the directing mind
of these managers are the state of mind of the company and is treated by
the law as such. So you will find that the case where the law requires a
personal fault as a condition of a criminal offence, the guilty mind of the
directors or managers will render the company itself guilty”.162
Dengan demikian, berdasarkan pernyataan Denning L.J di atas, dapat
disimpulkan bahwa sebuah perusahaan mungkin dalam banyak hal dapat
161Ibid., hlm. 53-54.162 Peter Gillies, Op.Cit. Page. 136.
105
disamakan dengan tubuh manusia. Memiliki otak dan pusat saraf yang mengontrol
apa yang dilakukannya. Korporasi juga memegang tangan yang memegang alat
dan bertindak sesuai dengan petunjuk dari pusat. Beberapa orang dari dari
perusahaan adalah pekerja belaka dan agen yang tidak lebih dari tangan untuk
melakukan pekerjaan dan tidak dapat dikatakan untuk mewakili pikiran atau
kehendak dari suatu korporasi. Lainnya adalah direksi dan manajer yang mewakili
pikairan untuk mengarahkan dan kehendak perusahaan serta mengontrol apa yang
dilakukannya. Keadaan pikiran manajer ini adalah keadaan pikiran dari suatu
korporasi dan diperlakukan oleh hukum seperti itu. Oleh karenanya, dalam hal
menemukan bahwa dalam kasus dimana hukum mengharuskan adanya kesalahan
pribadi sebagai syarat kewajiban dalam perbuatan melawan hukum, kesalahan
manajer akan menjadi kesalahan korporasi, begitu juga dalam hukum pidana.
Dalam kasus dimana hukum membutuhkan pikiran bersalah sebagai syarat tindak
pidana, pikiran bersalah dari direktur atau manajer akan membuat korporasi itu
sendiri bersalah.
Adapun contoh dari peraturan perundang-undangan yang berada pada tahap
ini antara lain:163 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951 (Undang-Undang Tenaga
Kerja); Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1951 (Undang-Undang Kecelakaan);
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 (Undang-Undang Pengawasan
Perburuhan); Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1951 (Undang-Undang Senjata
Api); Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1953 (Undang-Undang Pembukaan
Apotek); Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 (Undang-Undang Penyelesaian
Perburuhan); Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1958 (Undang-Undang
Penempatan Tenaga Asing); Undang-Undang Nomor 83 Tahun 1958 (Undang-
Undang Penerbangan); Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1964 (Undang-Undang
Telekomunikasi, berubah menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1989);
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 (Undang-Undang Wajib Lapor
Ketenagakerjaan); Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 (Undang-Undang
163 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Cetakan Kedua Edisi Revisi, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2002, hlm. 223. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 73.
106
Metrologi Legal); Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 (Undang-Undang Wajib
Lapor Perusahaan); Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
sebagaimana telah diganti oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998); dan lain
sebagainya.164
Tahap ke Tiga: Korporasi dinilai dapat melakukan tindak pidana dan
mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana.
Tahap ketiga ini merupakan permulaan adanya pertanggungjawaban yang
langsung dari korporasi sebagai pembuat tindak pidana. Pertanggungjawaban
pidana korporasi ini dimulai pada waktu sesudah Perang Dunia II. Pada tahap ini,
korporasi dapat dinilai melakukan tindak pidana dan mempertanggungjawabkan
perbuatannya secara pidana. Dengan demikian, pada tahap ini dibuka
kemungkinan untuk menuntut korporasi dan meminta pertanggungjawabannya
menurut hukum pidana.
Alasan diaturnya korporasi sebagai pembuat tindak pidana sekaligus
sebagai pihak yang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana
karena dalam delik-delik ekonomi atau tindak pidana ekonomi dan tindak pidana
fiscal, keuntungan yang diperoleh korporasi atau kerugian yang diderita
masyarakat dapat demikian besarnya sehingga tidak akan mungkin seimbang
bilamana pidana hanya dijatuhkan kepada pengurus korporasi saja. Alasan yang
diajukan bahwa dengan memidana para pengurus saja tidak atau belum ada
jaminan bahwa korporasi tidak akan mengulangi tindak pidana tersebut.
Pemidanaan korporasi dengan jenis dan beratnya yang sesuai dengan sifat
korporasi itu, diharapkan dapat memaksa korporasi menaati peraturan yang
bersangkutan.165
164 Penjelasan lebih lanjut mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi dalam berbagai undang-undang ini dapat dilihat di : Kristian, Hukum Pidana Korporasi Kebijakan Integral (Integral Policy) Formulasi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, Nuansa Aulia, 2014. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 74.
165 Dwidja Priyatna, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Indonesia, Bandung, CV Utomo, 2004, hlm. 27. Sebagaimana terdapat dalam buku
107
Menurut Muladi sebagaimana dikutip oleh Edi Yunara, pembenaran
pertanggungjawaban korporasi sebagai pelaku tindak pidana dan dapat dimintakan
pertanggungjawaban secara pidana dapat didasarkan pada hal-hal berikut ini:166
a. Atas dasar falsafah integralistik, yakni segala sesuatu yang diukur atas
dasar keseimbangan, keselarasan, dan keserasian antara kepentingan
individu dan kepentingan sosial;
b. Atas dasar kekeluargaan sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 Undang-
Undang Dasar 1945;
c. Untuk memberantas anomie of success (sukses tanpa aturan);
d. Untuk perlindungan konsumen;
e. Untuk kemajuan teknologi.
Apabila dilihat secara global, maka tujuan pemidanaan korporasi
menyangkut tujuan bersifat integratif yang mencakup beberapa hal berikut ini:167
a. Tujuan pemidanaan adalah pencegahan (umum dan khusus). Tujuan
pencegahan khusus adalah untuk mendidik dan memperbaiki penjahatnya,
sedangkan tujuan pencegahan umum adalah agar orang lain tidak
melakukan kejahatan tersebut. Jadi jika dihubungkan dengan korporasi,
maka tujuan pidananya korporasi agar korporasi itu tidak melakukan pidana
lagi, dan agar korporasi-korporasi lain tercegah untuk melakukan tindak
pidana yang serupa, semuanya itu dilakukan dengan tujuan demi
pengayoman masyarakat.
b. Tujuan pemidanaan adalah perlindungan masyarakat. Perlindungan
masyarakat sebagai tujuan pemidanaan mempunyai dimensi yang sangat
luas, karena secara fundamental, perlindungan masyarakat merupakan
tujuan semua pemidanaan. Secara sempit hal ini digambarkan sebagai bahan
Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 74.
166 Edi Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (berikut studi kasus), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 31. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 74.
167 H. Setiyono, Op.Cit., hlm. 121-123. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 75.
108
kebijaksanaan pengadilan untuk mencari jalan melalui tindak pidana.
Perlindungan masyarakat sering dikatakan berbeda diseberang pencegahan
dan mencakup apa yang dinamakan tidak mampu. Bila dikaitkan
pemidanaan bagi korporasi, sehingga korporasi tidak mampu lagi
melakukan suatu tindak pidana.
c. Tujuan pemidanaan adalah memelihara solidaritas masyarakat.
Pemeliharaan solidaritas masyarakat dalam kaitannya dengan tujuan
pemidanaan adalah untuk penegakan adat istiadat masyarakat, dan untuk
mencegah balas dendam perseorangan, atau balas dendam yang tidak resmi.
Pengertian solidaritas ini juga sering dihubungkan dengan masalah
kompensasi terhadap korban kejahatan yang dilakukan oleh negara. Apabila
dihubungkan sengan pemidanaan korporasi, kompensasi terhadap korban
dilakukan oleh korporasi itu sendiri yang diambil dari kekayaan korporasi,
sehingga solidaritas sosial dapat dipelihara.
d. Tujuan pemidanaan adalah pengimbalan atau keseimbangan, yaitu adanya
kesebandingan antara pidana dengan pertanggungjawaban individual dari
pelaku tindak pidana, dengan memperhatikan beberapa faktor. Penderitaan
yang dikaitkan oleh pidana harus menyumbang pada proses penyesuaian
kembali terpidana pada kehidupan masyarakat sehari-hari dan disamping itu
beratnya pidana tidak boleh melebihi kesalahan terdakwa bahkan tidak
dengan alasan-alasan prevensi general apapun. Dihubungkan dengan
pemidanaan korporasi diharapkan dapat memberikan keseimbangan antara
tindak pidana/kejahatan yang telah dilakukan oleh korporasi dengan sanksi
pidana yang dibebankan kepadanya.
Pada mulanya, peraturan perundang-undangan yang menempatkan korporasi
sebagai subjek hukum pidana dan secara langsung dapat dipertanggungjawabkan
secara pidana adalah Undang-Undang Drt Nomor 7 Tahun 1955 Tentang Tindak
Pidana Ekonomi yang menyatakan: “jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan
dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan baik terhadap badan
hukum, perseroan, suatu perikatan atau orang atau yayasan, maka tuntutan pidana
dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan baik terhadap
109
badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu, baik terhadap mereka
yang member perintah melakukan tindak pidana ekonomi itu atau yang bertindak
sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu maupun terhadap kedua-
duanya.” Berdasarkan perumusan di atas dapat dilihat bahwa yang dapat
melakukan suatu tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan secara pidana
adalah orang dan korporasi itu sendiri.
Tahap ketiga ini telah mempengaruhi politik hukum pidana (criminal
policy) Indonesia dimana hal ini menyebabkan peraturan perundang-undangan di
Indonesia mulai mencantumkan tanggungjawab pidana langsung dari korporasi
dimana korporasi dinilai dapat melakukan tindak pidana dan dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana meskipun masih terbatas dalam peraturan
perundang-undangan khusus di luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP). Peraturan perundang-undangan khusus ini diantaranya:168 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1951 Tentang Kerja; Undang-undang Nomor 2 Tahun
1951 Tentang Kecelakaan; Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang
Pengawasan Perburuhan, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1951 tentang Senjata
Api; Undang-Undang Nomor 83 Tahun 1958 Tentang Penerbangan dan lain
sebagainya.
Tahap Ke Empat: Pengaturan Sistem Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi dalam Ketentuan Umum Hukum Pidana Nasional.
Menurut Muladi, tahap perkembangan korporasi sebagai subjek hukum
pidana di Indonesia ternyata mengikuti perkembangan di Negeri Belanda. Namun
sekarang di Negeri Belanda menurut beliau, sistem pertanggungjawaban pidana
korporasi telah memasuki tahap keempat, yaitu pengaturan tentang
pertanggungjawaban korporasi tidak lagi tersebar di luar Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP-WVS) Belanda, sebab dengan lahirnya Undang-Undang
Tanggal 23 Juni 1976 Stb 377, yang disahkan pada tanggal 1 September 1976,
muncul perumusan baru Pasal 51 W.v.S Belanda yang berbunyi:
a. Tindak pidana dapat dilakukan oleh manusia alamiah dan badan hukum;
168 Barda Nawawi Arief, Op.Cit. hlm. 233.
110
b. Apabila suatu tindak pidana dilakukan oleh badan hukum, dapat dilakukan
tuntutan pidana dan jika dianggap perlu dapat dijatuhkan pidana dan
tindakan-tindakan yang tercantum dalam undang-undang terhadap: badan
hukum atau terhadap yang “memerintah” melakukan tindakan yang dilarang
itu; atau terhadap mereka yang bertindak sebagai “pemimpin” melakukan
tindakan yang dilarang itu; terhadap “badan hukum” dan “yang memerintah
melakukan perbuatan” di atas bersama-sama.
c. Bagi pemakai ayat selebihnya disamakan dengan badan hukum: perseroan
tanpa badan hukum, perserikatan, dan yayasan.
Dengan lahirnya undang-undang ini maka semua ketentuan peraturan
perundang-undangan pidana khusus yang tersebar diluar kitab Undang-undang
Hukum Pidana KUHP Belanda yang mengatur tentang pertanggungjawaban
pidana korporasi dicabut karena dipandang tidak perlu lagi, sebab dengan
diaturnya sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Pasal 51 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana KUHP Belanda, maka sebagai ketentuan umum
berdasarkan Pasal 91 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP Belanda
(Pasal 103 KUHP Indonesia), ketentuan ini berlaku untuk semua peraturan diluar
kodifikasi sepanjang tidak disampingi.
Dalam sistem hukum nasional, perlu disadari bahwa perkembangan
pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi pada tahap ke-4 ini masih
bersifat “ius contituendum”. Pengaturan mengenai pertanggungjawaban pidana
korporasi tahap ke-4 ini yakni dengan mengatur pertanggungjawaban pidana
korporasi secara umum dalam buku I Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) Nasional, sehingga berlaku untuk semua tindak pidana. Dengan
demikian, pada tahap ke-4 ini tidak dapat lagi berbicara mengenai siapa yang
dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana (apakah orang atau korporasi
atau kedua-duanya) melainkan akan berfokus pada pengaturan
pertanggungjawaban pidana korporasi pada hukum pidana umum yang akan
berlaku untuk semua tindak pidana.
Pertanggungjawaban pidana korporasi dianggap sebagai sesuatu yang
penting, sehingga ketua Penyusunan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum
111
Pidana (RKUHP) mengatur tentang “corporate criminal liability”. Dengan
dimasukkannya hal tersebut berarti bahwa bentuk pertanggungjawaban pidana
terhadap korporasi berlaku umum untuk semua tindak pidana, termasuk yang
berada di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).169
Menurut Muladi, Pasal 18 Council of Europe Criminal Law Convention on
Corruption (1999) dapat dijadikan pedoman, dimana dinyatakan:170 “….that the
legal persons can be held liable for the criminal offences… Committed for their
benefit by any natural person, acting either individually or as part of an organ of
the legal person, who has a leading position within the legal person, based on:
a. A power of representation of the legal person;
b. An authority to decisions on behalf of the legal person;
c. An authority to exercise control whitin the legal person;
d. As well as for involvement of such a natural person as accessory or
instigator in the above-mentioned offences.”
Dalam rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) hasil
pembahasan panitia kerja R-KUHP DPR-RI tanggal 24 Februari 2017.
Pertanggungjawaban pidana korporasi telah diatur secara tegas, yakni dalam
beberapa pasal berikut ini:
a. Pasal 48 RKUHP:
Korporasi merupakan subjek hukum pidana.
Berdasarkan penjelasannya, berdasarkan ketentuan ini, korporasi telah
diterima sebagai subjek hukum pidana, dalam arti dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana atas perbuatan yang dilakukan.
169http://www.dipp.depkumham.go.id/inc/buka.php?d=sos+1&f=Beberapa_Catatan_Tentang_RUU_KUHP, diakses terakhir pada tanggal 16 November 2012 pada pukul 11.16. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 78.
170http://www.dipp.depkumham.go.id/inc/buka.php?d=sos+1&f=Beberapa_Catatan_Tentang_RUU_KUHP, diakses terakhir pada tanggal 16 November 2012 pada pukul 11.25. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 78.
112
b. Pasal 49 RKUHP:
Tindak pidana dilakukan oleh korporasi jika dilakukan oleh orang-orang
yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi
yang bertindak untuk dan atas nama korporasi atau demi kepentingan
korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain, dalam
lingkup usaha korporasi tersebut, baik sendiri-sendiri atau bersama-sama.
Berdasarkan penjelasannya, kedudukan fungsional diartikan bahwa orang
tersebut mempunyai kewenangan mewakili, kewenangan mengambil
keputusan dan kewenangan untuk menerapkan pengawasan terhadap korporasi
tersebut. Termasuk di sini orang-orang tersebut berkedudukan sebagai orang
yang menyuruh melakukan, turut serta melakukan, penganjuran atau
pembantuan tindak pidana tersebut.
c. Pasal 50 RKUHP:
Jika tindak pidana dilakukan oleh korporasi, pertanggungjawaban pidana
dikenakan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.
d. Pasal 51 RKUHP:
Korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu
perbuatan yang dilakukan dan/atau atas nama korporasi, jika perbuatan
tersebut masuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam
anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang
bersangkutan.
Berdasarkan penjelasannya, mengenai kedudukan sebagai pembuat tindak
pidana dan sifat pertanggungjawaban pidana dari korporasi terdapat
kemungkinan sebagai berikut:
a. Pengurus korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan oleh karena itu
penguruslah yang bertanggungjawab;
b. Korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan pengurus yang
bertanggungjawab; atau
113
c. Korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan juga sebagai yang
bertanggungjawab.
Oleh karena itu, jika suatu tindak pidana dilakukan oleh dan untuk suatu
korporasi maka penuntutannya dapat dilakukan dan pidananya dapat
dijatuhkan terhadap korporasi sendiri atau korporasi dan pengurusnya, atau
pengurusnya saja.
e. Pasal 52 RKUHP:
Pertanggungjawaban pidana pengurus korporasi dibatasi sepanjang pengurus
mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi.
Berdasarkan penjelasannya, sebagaimana ditentukan dalam pasal 50
tanggungjawab korporasi dalam hukum pidana telah diterima sebagai suatu
prinsip hukum. Namun, korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam
hukum pidana terhadap semua objek, kecuali jika secara khusus telah
ditentukan bahwa perbuatan tersebut masuk dalam lingkungan usahanya. Hal
ini harus secara tegas diatur dalam Anggaran Dasar atau ketentuan lain yang
berlaku sebagai Anggaran Dasar dari korporasi yang bersangkutan.
f. Pasal 53 RKUHP:
Dalam pertimbangan suatu tuntutan pidana, harus dipertimbangkan apakah
bagian hukum lain telah memberikan perlindungan yang lebih berguna
daripada menjatuhkan pidana terhadap suatu korporasi.
Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dinyatakan dalam
putusan hakim. Berdasarkan penjelasannya, dalam hukum pidana, penjatuhan
pidana selalu harus dipandang sebagai ultimum remedium. Oleh karena itu,
dalam menuntut korporasi harus dipertimbangkan apakah bagian hukum lain
telah telah memberikan perlindungan yang lebih berguna dibandingkan
dengan tuntutan pidana dan pemidanaan. Jika memang telah ada bagian
hukum lain yang mampu memberikan perlindungan yang lebih berguna maka
tuntutan pidana atas korporasi tersebut harus didasarkan pada motif atau
alasan yang jelas.
114
g. Pasal 54 RKUHP:
Alasan pemaaf atau alasan pembenar yang dapat diajukan oleh pembuat yang
bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi, dapat diajukan oleh korporasi
sepanjang alasan tersebut langsung berhubungan dengan perbuatan yang
didakwakan kepada korporasi.
h. Pasal 85 RKUHP:
Jika pengembalian kekayaan atau pendapatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 84 ayat (2) tidak dapat dilakukan maka untuk korporasi dikenakan
pidana pengganti denda berupa pencabutan izin usaha atau pembubaran
korporasi.
115
BAB V
PENGGUNAAN TERAPI DENGAN ZAT RADIOAKTIF
DI RUMAH SAKIT
A. Konsep Rumah Sakit Sebagai Korporasi
1. Pengertian Rumah Sakit Sebagai Korporasi.
Pada zaman dahulu sebelum ilmu pengetahuan dan teknologi masih sangat
sederhana perkembangannya, penyakit dianggap sebagai hukuman atau kutukan
Tuhan atas dosa manusia. Pada waktu itu hanya ada dua jalan yang dapat
ditempuh oleh seorang pasien, yaitu berobat dan bertobat kepada mereka yang
dapat memberikan pertolongan karena dekat dengan Tuhan. Saat itu hubungan
antara ilmu pengetahuan dengan agama sangat erat, sampai pada suatu waktu
muncul Marthin Luther yang secara terang-terangan berani mengatakan "no
malady comes from God".171
Ungkapan yang senada sebenarnya juga telah pernah diucapkan oleh
Hippocrates yang hingga kini dianggap sebagai bapak ilmu kedokteran modern,
yaitu yang mendekati penyakit tidak dari segi kepercayaan tetapi dari segi yang
lebih rasional melalui penentuan diagnosa secara sistematis sebagaimana yang
dilakukan oleh para dokter pada saat ini. Dari sumpah Hippocrates itulah
kemudian dituangkan sebagai sumpah dokter yang pada dasarnya seragam di
berbagai negara di dunia. Sumpah tersebut dituangkan dalam sebuah deklarasi
yang dicetuskan oleh forum Word Medical Association di Genewa pada tahun
1948 dan yang kemudian diperbaiki dan disempurnakan pada sidang ke-22 Forum
Medical Association di Sydney pada tahun 1968.172
Adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang
kedokteran akan membawa konsekuensi masalah, baik itu masalah etis di bidang
pelayanan kesehatan, maupun masalah hukum dengan berbagai aspeknya.
Masalah tersebut diantaranya adalah bagaimana hubungan antara etika kedokteran
171 .Soerjono Soekanto & Kartono Mohammad. "Aspek Fluktim dan Etika KcciAteran di Indonesia”, 1983. hal.13 yang mengutip dari Joseph Flethcer "Moral and Medicine-. Princeton: N.J.University Press. 1979.
172 .Hermin Hadiati, Beberapa Perrnasalahan Hukum dan Medik, (Bandung: PT, Cilia Aditya Bakti. 1992), hal. 61.
116
dan etik rumah sakit, bagaimana hubungan antara etik rumah sakit dengan etik
umum masyarakat, bagaimana hubungan antara etik rumah sakit dengan hukum,
serta bagaimana hubungan antara etik rumah sakit dengan hukum yang berlaku
untuk rumah sakit.
Apa yang dimaksudkan dengan etik kedokteran adalah syarat-syarat tertentu
yang menjadi pegangan dalam sikap bagaimana seorang dokter harus berbuat
demi kepentingan pasien sesuai dengan lafal sumpahnya yang disusun oleh
Hippocrates dan yang menjadi dasar dari kode etik kedokteran internasional
hingga kini. Sedang yang dimaksud dengan perawatan kesehatan (medical care)
adalah merupakan penerapan klinis dan sosial dari ilmu kedokteran.173
Berbicara tentang hal tersebut kita terlebih dahulu seyogyanya mengetahui
apakah rumah sakit itu, dan bagaimana fungsi rumah sakit dalam masyarakat
sebagai sub sistem. Kiranya sudah tidak perlu diragukan mengenai fungsi rumah
sakit dari segi medik yang merupakan tempat praktek medik, jelas nampak dari
perumusan yang diberikan Oleh Philip D. Bornnet, N.D.sebagai:174 an institution
providing medical care and other services injured persons". Untuk itu maka ada
beberapa tipe rumah sakit yang pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam tiga
hal yang prinsip, yaitu:
a. Yang didasarkan pada pemilikannya (ownership);
b. Didasarkan pada lamanya waktu tinggal (length of stay); dan
c. Yang didasarkan pada tipe pelayanan yang diberikan (type of service
provided).
Tiga tipe rumah sakit tersebut tiap-tiap negara berbeda jumlahnya sesuai
dengan kondisi dan kemampuan, serta kebutuhan akan adanya tipe rumah sakit
yang diperlukan.
Sejarah perkembangan rumah sakit sebagai tempat praktek medik
mengalami perjalanan yang panjang sejak abad ke-18 sampai dengan abad ke-20
tidak perlu diragukan lagi dari tujuan awal, yang tidak lain memberikan
173 .Kampachi Yoshioka, dalam Oriental Medical Ethics From The Standart of Life Science, hal.35.
174 .Encyclopedia Americana, International Edition, Op.Cit.. hal.437.
117
pelayanan, perawatan, dan tempat bagi mereka yang sakit yang merupakan syarat
utama dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.
Rumah sakit sebagai tempat praktek medik yang dilakukan oleh orang-
orang yang berpegang pada lafal sumpah Hippocrates dan yang diikat oleh dalil-
dalilnya dengan demikian secara idealnya berfungsi sosial, dalam arti secara
cuma-cuma memberikan pelayanan perawatan medik.
Sepanjang perkembangannya dari tujuan semula rumah sakit mengalami
pertumbuhan dan perkembangannya baik yang menyangkut segi organisasi
maupun manajemennya. Walaupun sudah ada beberapa klasifikasi rumah sakit
sebagaimana diuraikan di muka namun secara umum organisasi dan manajemen
rumah sakit pada dasarnya adalah sama, yaitu terdiri dari sebuah majelis yang
mengatur, memerintah, mengelola (governingboard), dan sebuah pimpinan
sebagai pelaksana dari apa yang dirumuskan oleh majelis tadi (executive head of
hospital).175
Di Indonesia pada umumnya ada tiga tipe rumah sakit yang kriterianya
dikaitkan dengan tujuan didirikannya rumah sakit tersebut, yaitu rumah sakit
umum, rumah sakit sosial, dan rumah sakit swasta.176 Dalam Pasal 1 butir 3
Permenkes No.56 tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Rumah Sakit dinyatakan
bahwa:
"Rumah sakit umum adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan
kesehatan pada semua bidang dari jenis penyakit".
Pasal 1 butir 3 menyatakan bahwa:
"Rumah sakit khusus adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan utama
pada suatu bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin
ilmu, golongan umur, organ, jenis penyakit atau kekhususan lainnya".
Kedua jenis rumah sakit tersebut sesuai dengan tujuannya pada asasnya
merupakan organisasi yang otonom dalam melaksanakan pekerjaan. Dengan
demikian rumah sakit dalam artinya yang umum merupakan suatu perusahaan
yang dalam bentuk yuridisnya biasanya diberi bentuk wadah sebagai suatu
175 .Hermin Hadiati, Op.Cit., hal.68.176 .Hermin Hadiati, Medical Law dan Rumah Sakit sebagai Pusat Harapan Kesehatan,
makalah dalam Kongres PERSI II di Surabaya, hal. 1.
118
yayasan (stiching) atau perkumpulan (vereniging), sehingga dalam lalu lintas
perhubungan hukum mempunyai tanggung jawab yang penuh.177
Disinilah dua tugas rumah sakit bertemu, yaitu pertama, tugas yang
didasarkan oleh dalil-dalil etik medik karena rumah sakit merupakan tempat
berkumpulnya para pelaksana lafal sumpah medik yang diikat oleh dalil-dalil
Hippocrates dalam melakukan tugasnya, dan kedua, segi hukum sebagai dasar
bagi wadah organisasi rumah sakit yang bergerak dalam lalu lintas perhubungan
kemasyarakat yang diikat oleh norma-norma tertentu, baik itu norma etik umum
masyarakat maupun norma hukum yang dibuat dengan sengaja oleh pimpinan
masyarakat tersebut. Oleh karenanya maka Kompachi Yoshioka memandang
perlu dalam gerak operasionalnya rumah sakit yang meliputi kedua bidang
tersebut (etik dan hukum) diikat oleh ketentuan-ketentuan tertentu sebagaimana
yang dikatakan olehnya “…it is necessary for a hospital to stipulate strict medical
standards which must be observed by the hospital staff as an ethical code and
abide by its guiding principals of medical care”.178 Mengapa ia memandang
perlu? Tidak lain ialah karena kriteria atau tolok ukur yang dipergunakan untuk
menilai apakah suatu perbuatan benar atau salah bagi etik dan bagi hukum tidak
sama atau belum tentu sama.
Suatu contoh misalnya, dari segi etik pemberian terapi dengan
menggunakan zat radioaktif yang dilakukan oleh radioterapi di sebuah rumah
sakit adalah wajar sepanjang hal tersebut memang sudah sangat perlu untuk
dilakukan, dan mendapat persetujuan dari pasien, serta dilakukan sesuai dengan
ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran yang dikuasainya.
Berbeda halnya dari segi hukum, apabila pemberian terapi dengan
menggunakan zat radioaktif itu menimbulkan kerugian kepada pasien berupa
rusaknya jaringan sehat yang sebenarnya tidak perlu terjadi, serta menyebabkan
cacatnya pasien, dilakukan oleh bukan seorang ahli radioterapi, tidak di rumah
sakit serta tanpa adanya persetujuan dari pasien maka oleh hukum pidana hal itu
dapat dimintai pertanggungjawaban.
177 .Hermin Hadiati, Op.Cit., hal. 2.178 .Kompachi Yoshioka, Op.Cit., hal. 35.
119
Tolok ukur yang berbeda bagi kenyataan yang sama dalam masyarakat,
yaitu pemberian terapi dengan zat radioaktif membawa konsekuensi yang berbeda
dalam bidang etik dan dalam bidang hukum. Terlebih kalau hal ini oleh awam
dicampur adukkan, dan dalam kenyataan hampir selalu apa yang membawa ekses
negatif itulah yang mendapat sorotan tajam dari masyarakat.
Jika perbuatan tadi masing-masing dilakukan oleh orang yang berbeda, di
tempat yang berbeda dan didasarkan oleh tujuan yang berbeda seringkali
menimbulkan masalah. Karena orang tidak mempermasalahkan lebih jauh
motivasi apa yang mendasari perbuatan yang dilakukan itu. Hal tersebut akan
jelas apabila unsur-unsur yang menjadi sebab dari kenyataan yang sama
perwujudannya dalam masyarakat itu diketahui hubungan sebab akibatnya, yaitu
tindakan medis untuk mengurangi rasa sakit dan berusaha menyembuhkannya.179
Sedangkan apabila tindakan medis itu dilakukan bukan oleh dokter atau ahli
radioterapi maka yang melakukannya merupakan penganiayaan yang termasuk
perbuatan yang oleh hukum pidana dapat diberikan sanksi pidana. Contoh tersebut
didasarkan kepada prinsip dasar dalam moral bahwa manusia jangan
dipergunakan sebagai alat. Ilmu kedokteran bercirikan moral, dan setiap orang
yang berpraktek keahlian yang konfidensial ini selalu memiliki posisi yang
berbasis merdeka.180
Dari segi hukum, hubungan antara pihak yang minta bantuan dengan pihak
yang memberikan bantuan pertolongan itu disebut sebagai
“hulloverleningscontract”.181 Para dokter yang memiliki posisi demikian tadi dan
bekerja di rumah sakit meningkatkan diri dengan rumah sakit dalam suatu ikatan
perjanjian-transaksi yang disebut sebagai "toelatingscontract", dan merupakan
medical staff dari rumah sakit tersebut.
Masalahnya sekarang ialah sampai sejauhmana batas-batas tanggung jawab
etik rumah sakit terhadap medical staff dan sebaliknya, dan di lain pihak tanggung
jawab etik dan hukum rumah sakit terhadap masyarakat yang dalam hal tertentu
179 .Ibid.180 .W.B.Van der Mijn dalam "Medical Deciplinary Law", Jakarta, 2-5 September, 1984,
hal 1.181 .Hermin Hadiati, Op.Cit., hal.17.
120
pasien? Karena tindakan yang tidak jelas dari segi etik itulah kiranya rumah sakit
perlu mengadakan serangkaian dalil-dalil yang mengikat secara etik, bagi siapa
saja yang akan memanfaatkan fungsi rumah sakit tersebut.
Rumah sakit yang tidak hanya menghimpun para dokter yang bekerja
sebagai anggota medical staff, juga menghimpun para pencari nafkah lain yang
mungkin berasal dari profesi yang berbeda, dan bahkan mungkin juga terdiri dari
bukan kalangan profesi. Demikian juga bila dilihat dari segi luar rumah sakit,
kalangan yang akan memanfaatkan fungsi rumah sakit juga terdiri dari beraneka
ragam golongan kelompok manusia. Maka demi menghindari kepastian dalam
penafsiran standar profesi medis perlu adanya peraturan yang mengatur
perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh tenaga medis dan tenaga paramedis.
Rumah sakit tidak hanya perlu memperhatikan mutu pelayanan medik tetapi
juga mutu pelayanan pengelolaan. Untuk pengelolaan yang baik perlu ada
keberagaman dalam media komunikasi yang dipergunakan sehingga tidak terdapat
penafsiran yang berbeda-beda.
Kalau kita cermati Pasal 78 ayat (2) Permenkes No.56 Tahun 2014 tentang
Klasifikasi dan Perizinan Rumah sakit dinyatakan bahwa:
“Menteri, Pemerintah Daerah Provinsi dan/atau Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota, dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan dapat
mengikutsertakan masyarakat, asosiasi perumahsakitan, atau organisasi
profesi”
Selanjutnya Pasal 78 ayat (3) Permenkes No. 56 Tahun 2014 dinyatkan
bahwa Pembinaan dan pengawasan dilaksanakan melalui :
a. Advokasi, sosialisasi, supervisi, konsultasi, dan bimbingan teknis;
b. Pendidikan dan pelatihan; dan/atau
c. Pemantauan dan evaluasi.
Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang No.44 Tahun 2009 tentnag Rumah Sakit,
dinyatakan bahwa :
“Organisasi rumah sakit paling sedikit terdiri atas Kepala Rumah Sakit atau
Direktur Rumah Sakit, unsur pelayanan medis, unsur keperawatan, unsur
121
penunjang medis, komite medis, satuan pemeriksaan internal, serta
administrasi umum dan keuangan”.
Adapun bila pengertian pelaku usaha berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UU No.8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan:
"Setiap perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum
maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan
kegiatan dalam wilayah hukum negara Indonesia, baik sendiri maupun bersama-
sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang
ekonomi".
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (11) jo Pasal 52 ayat (2) UU No. 36
Tahun 2006 tentnag Kesehatan dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
jasa dalam bidang kesehatan ialah" setiap kegiatan untuk meningkatkan kesehatan
yang dilakukan oleh pemerintah ataupun masyarakat yang antara lain meliputi
kegiatan dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif".
Dahulu rumah sakit dianggap tidak memiliki tanggung jawab hukum karena
dianggap sebagai badan hukum yang berfungsi sosial dengan segala hak
keistemewaannya. Namun saat ini; di berbagai negara para ahli mengatakan
bahwa rumah sakit sebagai badan hukum juga bertanggung jawab sebagai suatu
entity berdasarkan teori agency (pasien menganggap semua orang yang bekerja di
rumah sakit adalah agen dari rumah sakit), relience (pasien melihat lebih ke arah
rumah sakit sebagai pemberi pelayanan dari pada dokternya), corporate (rumah
sakit sebagai suatu korporasi), non delegable duty (bahwa kewajiban
menyelenggarakan berbagai aktifitas kesehatan adalah kewajiban rumah sakit
yang tidak dapat didelegasikan) dan ostensible (semuanya tampak sebagai bagian
dari rumah sakit).182 Dengan diberlakukannya ketentuan bahwa rumah sakit di
Indonesia boleh diselenggarakan oleh badan hukum hukum yang berbentuk
perseroan terbatas dan bersifat profit meskipun masih tetap memikul kewajiban
sosial, maka praktis rumah sakit menjadi liable atas tindakan rumah sakit yang
182 .Brody H, The Physician-Patient Relationship, in Veath RM (ed), (Boston: Jones and Barlett Publ, 1997).
122
melanggar hukum dart juga bertanggung jawab atas perbuatan orang-orang yang
menjadi tanggungannya dan barang-barang yang berada dalam pengawasannya.183
Ketika seorang dokter bekerja sebagai dokter pegawai di suatu rumah sakit
maka hubungan yang terjadi menjadi semakin kompleks, yaitu hubungan antara
dokter-pasien rumah sakit yang merupakan hubungan segitiga.
Dokter tidak lagi menjadi profesional yang bebas saat berhubungan dengan
pasien. Memang dari segi teknis medis ia masih tetap memiliki kebebasan profesi,
kecuali keharuasn mengikuti standar operasional prosedur yang berlaku setempat,
tetapi dari segi administratif ia harus tunduk kepada rumah sakit. Berdasarkan atas
teori-teori tanggung jawab rumah sakit tersebut di atas, maka hubungan antara
pasien dengan rumah sakit akan lebih menonjol dari pada hubungan antara dokter
dengan pasien. Posisi dokter menjadi lebih mirip sebagai pegawai rumah sakit
sebagaimana juga para pegawai rumah sakit yang lain.
2. Rumah Sakit Sebagai Subyek Hukum Pidana
Setelah kita babas pengertian rumah yang dapat dikelompokkan sebagai
korporasi. Maka pertanyaan selanjutnya adalah apakah rumah sakit merupakan
subyek hukum pidana? Pada saat KUHP disusun di Belanda tahun 1886, para
perumus menerima asas societas atau universitas delinguere non potest
(persekutuan /perkumpulan tidak dapat melakukan tindak pidana), sebagai reaksi
terhadap pemerintahan absolut sebelum revolusi Perancis yang dapat memidana
orang yang tidak bersalah atas dasar prinsip collective responsibility. Dengan
demikian suatu tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh manusia alamiah, begitu
pula yang dapat dipidana juga manusia alamiah (naturlijke persoon). Dalam
kaitannya dengan korporasi, yang dapat melakukan tindak pidana dan yang dapat
dipertanggungjawabkan adalah para pengurusnya saja, sesuai dengan anggaran
dasar dan anggaran rumah tangga korporasi tersebut baik yang berupa badan
hukum maupun yang tidak merupakan badan hukum.184
183 .Lihat Pasal 13655 dan Pasal 1367 KUHPerdata.184 .Muladi & Dwija Priatna, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana,
(STHP, 1991), hal.15.
123
Sebagai catatan dapat dikemukakan di sini bahwa pengaruh hukum Belanda
terhadap hukum Indonesia sangat besar melalui tiga hal:
a. melalui asas konkordansi;
b. melalui asas doktrin hukum yang diajarkan oleh para ahli hukum Belanda;
dan
c. melalui yurisprudensi Mahkamah Agung (Hoge raad) Belanda yang dikaji
dalam penerapan hukum positif.185
Secara konseptual dan praktis, persepsi di atas berubah dengan munculnya
Pasal 15 ayat (1) Wet Economische Delicten (WED) 1950 Belanda (kemudian
ditiru Indonesia melalui UU No.7 Drt. Tahun 1955) yang mengatur bahwa dalam
tindak pidana ekonomi, korporasi dapat melakukan tindak pidana dan dapat
dipidana. Prof. BVA. Roling pada tahun itu bahkan mendesak untuk memperluas
sistem tersebut agar berlaku untuk semua tindak pidana sehubungan dengan
fungsi sosial korporasi dalam masyarakat yang semakin meluas (theori van het
functioneel daderschap).186
Perdebatan tentang hal ini cukup keras, Prof. Rammelink yang menentang
perkembangan ini mengajukan argumentasi yang berkaitan/melekat pada sifat
manusia alamiah seperti kesengajaan dan kealpaan, tingkah laku materiel, pidana
dan tindakan serta argumentasi lain seperti kemungkinan pemidanaan korporasi
dapat merugikan orang yang tidak bersalah, seperti pemegang saham, konsumen
dan karyawan.
Alasan-alasan lain berkaitan dengan pendapat bahwa teori hukum pidana
dibangun atas dasar menusia alamiah sebagai pelaku tindak pidana, hanya
sebagian sistem pemidanaan yang dapat diterapkan, melanggar asas nebis in idem.
Baru pada tahun 1976 melalui UU tanggal 23 Juni 1976, 5.377 yang
disahkan pada tanggal 1 September 1976 "pertanggungjawaban korporasi yang
bersifat khusus" (specific corporate responsibility) tersebut dijadikan bersifat
185 .Ibid., hal.33.186 .Muladi, "Pertanggungjawaban Pidana Perusahan Pers", disampaikan dalam Diskusi
Panel Pelanggaran Hukum oleh Pers dan Pertanggungjawaban Hukumnya, 7 Februari 2001, di Hotel La Maredien, Jakarta, hal. 3.
124
umum (general corporate rensponsibility) dengan mengaturnya di dalam
perumusan Pasal 51 KUHPidana Belanda yang kira-kira terjemahannya sebagai
berikut:187
a. Tindak pidana dapat dilakukan oleh manusia alamiah dan badan hukum;
b. Apabila suatu tindak pidana dilaksanakan oleh badan hukum dapat
dilakukan penuntutan pidana dan jika dianggap perlu dapat dijatuhkan
pidana dan tindakan-tindakan yang tercantum dalarn undang-undang
terhadap: a) badan hukum, b) terhadap yang memerintahkan melakukan
perbuatan itu demikian pula terhadap mereka yang bertindak sebagai
pemimpin melakukan tindakan yang dilarang atau, c) terhadap yang
disebutkan dalam butir a dan b di atas secara bersama-sama;
c. Bagi pemakaian ayat selebihnya disamakah dengan badan hukum perseroan
tanpa hak badan hukum, perserikatan dan yayasan.
Perkembangan semacam ini belum terjadi di Indonesia, yang terjadi dalam
tindak pidana khusus di luar KUHP (specific responsibility), yang memungkinkan
korporasi dapat melakukan dan dapat dipertanggungjawabkan untuk semua tindak
pidana baru dalarn tingkat rancangan KUHPidana yang disusun oleh Departemen
Kehakiman dan HAM.
Dengan diundangkannya UU tahun 1976 di atas, semua peraturan dalam UU
khusus mengenai dapat dipidananya korporasi dan pengurusnya dihapus karena
dipandang tidak perlu lagi (overbodig vervallen). Prof. Schaffmeister dalam hal
ini mengatakan: "Undang-undang tersebut telah menghentikan pertumbuhan
secara liar dari peraturanperaturan yang timbul dalam tahap-tahap sebelumnya".
Hal ini dianggap merupakan sumbangan nyata dalam memajukan kesatuan
hukum.
Untuk menentukan kapan suatu perbuatan dianggap pula sebagai perbuatan
korporasi, perlu dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut:188
187 .Muladi & Dwija Priyatna, Op.Cit., hal. 5.188 Muladi, dalam "Pertanggungjawaban Pidana Perusahaan Pers", Op.Cit , hal. 5-6.
125
a. Apabila perbuatan perorangan (pengurus) tersebut tercermin dalam lalu
lintas sosial sebagai perbuatan badan hukum;
b. Perbuatan tersebut sesuai dengan kebijaksanaan perusahaan
(bedrijhpolitiek);
c. Tindakan tersebut sesuai dengan ruang lingkup pekerjaan (feitelejke
werzaamheeden) badan hukum;
d. Pengurus itu harus mempunyai kekuasaan untuk menentukan apakah
perbuatan itu dilakukan atau tidak, dan perbuatan itu harus merupakan
bagian dari perbuatan-perbuatan yang memuat kenyataan diterima atau
lazimnya diterima (ijzerdraad Arrest, 6 April 1979);
e. Dalam menentukan kesengajaan dan kealpaan, disamping persyaratan
bahwa perbuatan tersebut tercakup dalam politik perusahaan, maka dapat
dilihat pula dari konstruksi pertanggungjawaban (toerekenings constructie)
berupa kesengajaan atau kealpaan perorangan (naturlijke persoon) yang
berbuat atas nama korporasi;
f. Badan hukum juga dapat menunjuk kepada dasar penghapusan pidana
(strafuitsluitingsgrond), baik alasan pembenar maupun alasan pemaaf.
Di Amerika pertumbuhan criminal corporate liability lebih tua sebagaimana
tersurat dan tersirat pada Sherman Act 1890 (UU Anti Trust). Apabila di Belanda
landasan filosofis yang diginakan didasarkan pada konsep kepelakuan korporasi
(functioneele daderschap) sebagai realitas, sosial, maka di Amerika pertimbangan
lebih menekankan pada aspek viktimologi yanq besar baik terhadap perusahaan
kompetitor, konsumen, negara, masyarakat maupun karyawan. Belum lagi biaya
penyelidikan, penyidikan dan penuntutannya yang kompleks dan mahal.189
Sesuai dengan model Penal Code (1980) maka "corporate liability" muncul
apabila: "the commission of the offense was authorized, requeted, commanded,
performed or recklessly tolarated by boar° or directors or by a high managerial
agent acting in behalt of the corporations within the scope of his office or
employement". Namun demikian karena pengaruh case law, kemudian digunakan
respondent superior rule" (let the master answer), yang memungkinkan
189 .Ibid., hal.7.
126
pertanggungjawaban korporasi atas dasar tindak pidana yang dilakukan oleh
"officers and agents" dalam ruang lingkup pekerjaannya, tanpa
mempertimbangkan statusnya dalam hirarki korporasi. Dalam kerangka ini terkait
apa yang dinamakan vicarious liability.190
"Non vicarious liability of corporation" terjadi apabila berkaitan dengan
kenyataan bahwa directors and managers who represent the directing mind and
will of the company and control what it does". Selanjutnya apa yang dinamakan
statutory liability of officers, apabila tindak pidana tersebut dilakukan dengan
persetujuan (consent) atau kerjasama (connicance) atau diakibatkan oleh
keteledoran (to be attibutable to any neglect) seorang direktur, menajer, sekretaris
atau pejabat lain yang sederajat atau setiap orang yang mempunyai kapasitas
tersebut, maka orang-orang tersebut dan korporasi dapat dipertanggungjawabkan
secara pidana.191
Selanjutnya yang menjadi pertanyaan adalah apakah rumah sakit yang
memberikan pelayanan medis dengan menggunakan zat radioaktif dapat
dikategorikan sebagai subyek pidana? Rumah sakit sebagai sebuah institusi yang
memberikan pelayanan jasa kesehatan berdasarkan Pasal 7 UU No. 44 Tahun
2009 ayat (3) dan (4) tentang Rumah sakit, maka rumah sakit dapat
dikelompokkan ke dalam subyek hukum pidana. Dimana berdasarkan uraian
sebelumnya dapat disimpulkan bahwa rumah sakit dengan segala
keistemewaannya dapat dipertanggungjawabkan secara pidana bila dalam
memberikan pelayanan medis di bidang radioterapi menimbulkan kerugian
kepada pasien yang beruba dacat sebagian atau seluruh anggota badan, lukanya
pasien atau rusaknya jaringan sehat sekitar kanker yang sebenarnya tidak perlu
terkena penyinaran.
Mengingat bahwa rumah sakit juga dapat dikategorikan sebagai pelaku
usaha, berdasarkan Pasal 61 UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, dinyatakan bahwa: "Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap
pelaku usaha dan/atau pengurusnya".
190 .Ibid.191 .Ibid., hal. 8.
127
Pasal 63 ayat (3) menyatakan bahwa:
"Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat
tetap, atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku".
Dari ketentuan Pasal 61 dan Pasal 62 ayat (3) UU Perlindungan Konsumen
tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa rumah sakit sebagai pelaku usaha
(korporasi) yang memberikan jasa. pelayanan di bidang kesehatan dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana atau dengan kata lain rumah sakit
merupakan subyek hukum dalam lalu lintas hukum pidana.
B. Ketenagaan Yang Bekerja di Rumah Sakit
Tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit dapat dikelompokkan ke
dalam tenaga medis dan tenaga paramedis. Adapun yang dimaksud dengan tenaga
kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan dalam bidang kesehatan serta
memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang
kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan
upaya kesehatan (Pasal 1 UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan).
Sedangkan Pasal 11 ayat (1) tersebut menyatakan bahwa:
Tenaga kesehatan terdiri dari:
a. tenaga medis;
b. tenaga psikologi klinis;
c. tenaga keperawatan;
d. tenaga kebidanan;
e. tenaga kefarmasian;
f. tenaga kesehatan masyarakat;
g. tenaga lingkungan;
h. tenaga gizi;
i. tenaga keterapian fisik;
j. tenaga keteknisian medis.
k. tenaga teknik biomedika;
128
l. tenaga kesehatan tradisional
m. tenaga kesehatan lain
Dari apa yang dikemukakan dalam Pasal 11 UU Tenaga Kesehatan tersebut,
maka dapat disimpulkan bahwa tenaga kesehatan yang terkait pada saat
pemberian terapi dengan menggunakan zat radioaktif adalah tenaga medis, tenaga
keteknisian medis dan ahli fisika medis. Tenaga medis yang terkait pada saat
pemberian terapi adalah dokter spesialis radioterapi dan tenaga keteknisian medis
yang terkait meliputi radioterapis/radiografer.
Seorang tenaga kesehatan dalam menjalankan tugasnya wajib memiliki
pengetahuan dan ketrampilan di bidang kesehatan yang dinyatakan dengan ijazah
dari lembaga pendidikan. Untuk dapat melakukan upaya kesehatan seorang tenaga
kesehatan harus memiliki ijin dari Menteri Kesehatan.
1. Tenaga Medis (Dokter Spesialis Radioterapi): harus diupdate peraturan
perundang-undangan terkait!!
Dalam memberikan pelayanan medis di bidang radioterapi peranan seorang
dokter spesialis radioterapi sangat penting. Sebagaimana rumusan tenaga
kesehatan yang tercantum dalam UU No.36 tahun 2014 yang menyatakan bahwa
yang dimaksud dengan tenaga kesehatan ialah setiap orang yang mengabdikan diri
dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan ketrampilan melalui
pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan
kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan dikenai peraturan tersebut.
Tenaga kesehatan yang dimaksud oleh UU No.36 tahun 2014, mencakup
setiap orang, dan untuk itu perlu ada pengaturan lebih lanjut yang merinci siapa
saja yang masuk dalam kualifikasi sebagai tenaga kesehatan.
Selanjutnya ketentuan Pasal 11 ayat (1) UU No.36 tahun 2014 dinyatakan
bahwa tenaga kesehatan terdiri dari: tenaga medis, tenaga psikologi klinis, tenaga
keperawatan, tenaga kefarmasian, tenaga kebidanan, tenaga kesehatan
masyarakat. tenaga gizi, tenaga keterapian fisik, dan tenaga keteknisian medis,
tenaga kesehatan lingkungan, tenaga teknik biomedika, tenaga kesehatan
129
tradisional, tenaga kesehatan lain. Selanjutnya dalam Pasal 11 ayat (2) dinyatakan
bahwa :
“tenaga medis meliputi dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi
spesialis”.
Untuk tenaga kesehatan jenis tertentu menurut Pasal 4 ayat (1) PP tersebut
harus memiliki ijin dari Menteri Kesehatan untuk dapat melakukan upaya
kesehatan.
Bagi jenis tenaga kesehatan tertentu dalam hal ini yang dimaksud adalah
tenaga medis yang meliputi dokter dan dokter gigi berhak mendapat perlindungan
hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya, yaitu wajib untuk
mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien.192 Sedangkan yang
dimaksudkan dengan standar profesi adalah pedoman yang harus dipergunakan
sebagai petunjuk dalam menjalankan profesinya secara baik. Adapun yang
dimaksud dengan hak pasien diantaranya ialah hak atas informasi (the right to
information), hak untuk memberikan persetujuan melalui hak untuk menentukan
nasibnya sendiri (the right of self determination), hak atas rahasia kedokteran, hak
atas pendapat kedua (the right for a second opinion), dan lain-lain.193
Untuk dapat menjadi seorang tenaga medis temasuk juga dokter spesialis
radioterapi berdasarkan Pasal 46 ayat (2) UU No.36 tahun 2014 tentang tenaga
kesehatan, wajib memiliki pengetahuan dan ketrampilan di bidang kesehatan yang
dinyatakan dengan ijazah dari lembaga pendidikan setingkat spesialis di bidang
radioterapi. Seorang dokter spesialis radioterapi dalam melakukan upaya
kesehatan harus memiliki izin dari Menteri Kesehatan.
Pengadaan dan penempatan tenaga kesehatan dilaksanakan untuk
memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan yang merata bagi seluruh masyarakat yang
pelaksanaannya sesuai dengan perencanaan nasional tenaga kesehatan.
Perencanaan nasional tenaga kesehatan disusun dengan memperhatikan faktor:
192 .Periksa ketentuan Pasal 11 ayat (I) dan ayat (2) UU No.36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan.
193 .Bandingkan dengan Hermin Hadiati, Op.Cit., hal. 36 dan juga Robert Francoeur dalam "Biomedical Ethics:a Guide To Discution Making", A Wiley Medical Publ:John Wiley & SonavNew York, 1983, hal 73-74.
130
a. Jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat;
b. Sarana kesehatan;
c. Jenis dan jumlah tenaga kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan pelayanan
kesehatan.
Secara umum tenaga medis yang bekerja pada sebuah rumah sakit dapat
dikelompokkan sebagai berikut:
Pertama, Staf Medis Fungsional
Staf medis fungsional terdiri dari:
a. Para dokter spesialis dan sarjana terkait yang memberikan pelayanan
langsung kepada pasien yang dikelompokkan ke dalam kelompok ahli
onkologi medis, onkologi bedah dan onkologi radiasi serta memberikan
pelayanan tidak langsung kepada pasien yang dikelompokkan ke dalam ahli
penunjang medis;
b. Staf medis fungsional mempunyai tugas melaksanakan diagnosa,
pengobatan, pencegahan, pemulihan kesehatan, penyuluhan,
pengembangan, pendidikan dan pelatihan.
Kedua, Komite Medis.
Komite medis adalah wadah non struktural yang keanggotaannya dipilih
dari wakil staf fungsional medis dan wakil profesi lain yang dianggap perlu secara
ex officio. Komite medis ini mempunyai tugas memberikan pertimbangan kepada
direktur dalam standar pelayanan medis, pengawasan dan penilaian mutu
pelayanan medis, hak klinis khusus kepada SMF, program pelayanan, pendidikan
dan pelatihan serta penelitian dan pengembangan. Komite medis tentang
penerimaan tenaga medis yang diberi tanggung jawab atas pelaksanaan etika
profesi di rumah sakit.
Ketiga, Kelompok Staf Medis.
Bidang yang dilakukan oleh kelompok staf medis antara lain:
1) Bidang Kegiatan
131
Bidang kegiatan meliputi: kemoterapi Han hematologi, imunologi klinik,
endoskopi penyakit dalam umum, onkologi anak, rehabilitasi mental, dan
rehabilitasi medic.
2) Jenis Kegiatan Umum
Jenis kegiatan umum antara lain membuat diagnosis kanker atau bukan
kanker secara terpadu, menetapkan jenis penyakit.
3) Jenis Kegiatan Khusus
Jenis kegiatan khusus meliputi:
a) Kemoterapi dan hematologi yaitu kegiatan kemoterapi oral dan intra arteri
pada penderita dewasa. Disamping itu juga menemukan efek samping
sitostatika dan radioterapi serta menanggulanginya;
b) Imunologi klinik yaitu kegiatan melakukan imunoterapi;
c) Endoskopi yaitu melakukan kegiatan endoskopi disertai biopsi dan
mengobati kelainan non kanker gastrointestinal, hepatologi, dan
pulmunologi;
d) Infeksi yaitu kegiatan mendiagnosis infeksi pada penderita kanker den
mengobati infeksi pada penderita kanker;
e) Psikiatri yaitu kegiatan melakukan psikiatri sebelum dan selama setelah
kanker;
f) Neorologi yaitu kegiatan mendiagnosis kanker otak, mengobati sitostatika
dan mengobati kelainan neurologi non kanker;
g) Rehabilitasi medik yaitu kegiatan rehabilitasi fisik, mental dan sosial.
Keempat, Kelompok Staf Radioterapi
Kelompok staf radioterapi bertugas untuk melaksanakan pengobatan radiasi
terhadap berbagai jenis kanker baik untuk tujuan kuratif maupun paliatif dan
dilakukan secara sendiri (hanya menggunakan radiasi) atau bersama-sama dengan
disiplin ilmu lainnya (radiasi atau pengobatan yang bukan radiasi).
132
Kelima, Kelompok Staf Penunjang Medis.
Kelompok staf penunjang medis bertugas memberikan pelayanan penunjang
medis baik untuk pekerjaan diagnose kanker maupun untuk pengobatannya serta
penatalaksanaan pasien penderita kanker. Kelompok staf penunjang medis ini
terdiri dari:
a. Pelaksana pelayanan radiodiagnostik;
b. Pelaksana pelayanan radioterapi;
c. Pelaksana pelayanan rehabilitasi medik;
d. Pelaksana pelayanan farmasi dan sterilisasi sentral;
e. Pelaksana pelayanan gizi;
f. Pelaksana pelayanan laboratorium;
g. Pelaksana pelayanan bank darah;
h. Pelaksana pelayanan pemulasaraan jenazah.
Khusus untuk pengobatan radiasi bertujuan untuk baik secara sendiri-sendiri
maupun secara bersama-sama dengan disiplin ilmu lainnya.194
Dalam memberikan penyinaran yang diperuntukkan bagi pengobatan
penyakit kanker tenaga medis yang terkait secara langsung adalah dokter spesialis
radioterapi. Pemberian terapi dengan menggunakan zat radioaktif memang
memerlukan adanya kehati-hatian sehingga peranan dokter spesialis radioterapi
sangatlah menentukan apakah penyinaran tersebut sesuai dengan tujuan dan
dilakukan sesuai standar profesi medis dalam pemberian penyinaran dengan zat
radioaktif yang diperuntukkan bagi pasien penderita penyakit kanker. Meskipun
demikian tidak tertutup kemungkinan kelompok staf penunjang medik lain juga
ikut menentukan apakah penyinaran tersebut sesuai dengan tujuan semula yaitu
bagi upaya tercapainya penyembuhan penyakit kanker.
2. Tenaga Keteknisian Medis
Yang dimaksud dengan tenaga kesehatan antara lain terdiri dari tenaga
keteknisian medis yang meliputi: radiografer, radioterapis, teknisi gigi, teknisi
194 .Riwayat Suyono et.al., Profil Rumah Sakit Kanker Dharmais, (Jakarta:Humas Rumah Sakit Kanker Dharmais, 1993), hal,1-3.
133
elektromedis, analis kesehatan, refraksionis optisien, otorik prostetik, teknisi
tranfusi dan perekam medis.
Tenaga kesehatan dalam memberikan pelavanannya wajib memiliki
pengetahuan dan ketrampilan di bidang kesehatan yang dinyatakan dengan ijazah
dari lembaga pendidikan. Sedangkan tenaga keteknisian medis yang berkaitan
dengan pemberian terapi, dengan zat radioaktif ialah radiografer dan radioterapis.
Dimana kedua jenis tenaga keteknisian medis ini terlebih dahulu harus
menyelesaikan pendidikannya setingkat DIII pada Akademi Teknik
Radiodiagnostik dan Radioterapi (ATRO) baik itu akademi kedinasan yang
dikelola oleh Departemen Kesehatan dan dikelola oleh swasta.
Dalam menjalankan tugasnya terutama dalam pemberian terapi dengan
menggunakan zat radioaktif ini wajib untuk mematuhi standar profesi tenaga
kesehatan yaitu yang berkaitan dengan prosedur pemberian terapi terutama
dengan menggunakan zat radioaktif.
Bagi kedua jenis tenaga keteknisian medis ini dalam melaksanakan tugas
profesinya berkewajiban untuk:
a. menghormati hak pasien;
b. menjaga kerahasiaan identitas dan data kesehatan pribadi pasien;
c. memberikan informasi yang berkaitari dengan kondisi dan tindakan yang
akan dilakukan;
d. meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan;
e. membuat dan memelihara rekam medis.
Mengingat tenaga keteknisian medis pada waktu memberikan pelayanan
medis pemberian terapi dengan zat radioaktif dapat menimbulkan akibat negatif
kepada pasien maka harus hati-hati dalam prosedur penyinaran. Hal ini harus
diperhatikan agar terhindar dari tuntutan baik itu dari pasien ataupun dari negara
yang berupa tuntutan dari aspek hukum pidana.
C. Kontrak Medis Antara Rumah Sakit (Dokter) Dengan Pasien
134
Kontrak medis antara rumah sakit dengan pasien dalam hal ini rumah sakit
diwakili oleh dokter dimana dalam pemberian terapi lazimnya dokter yang
mewakili adalah dokter spesialis radioterapi yang bekerja di rumah sakit tersebut.
1. Pengertian dokter dan pasien.
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering melihat bahwa seorang yang
menyandang profesi dokter itu mempunyai status sosial dan status ekonomi yang
cukup tinggi di tengah-tengah masyarakat. Masyarakat pada umumnya telah
mengetahui apa yang dimaksud dengan dokter dan apa yang menjadi tugas dokter
di sebuah rumah sakit. Sehingga setiap orang mengetahui apabila sakit harus
berusaha ke dokter. Namun kadangkala masyarakat tidak mengetahui bagaimana
cara membedakan antara seorang dokter dan bukan dokter. Sering kali kita
menjumpai di dalam kehidupan sehari-hari siapa saja yang memberikan pelayanan
kesehatan apapun kadang kala disebut sebagai seorang dokter baik itu dokter di
puskesmas ataupun di rumah sakit, meskipun kenyataannya yang memberikan
pelayanan kesehatan itu bukanlah seorang dokter.195
Secara umum dapat dikatakan bahwa yang disebut sebagai seorang dokter
adalah mereka yang telah mengikuti pendidikan sarjana kedokteran dan telah lulus
ujian profesi kedokteran, dimana biasanya telah memiliki ijin praktek dari
Departemen Kesehatan. Meskipun demikian itu bukanlah rumusan yang baku
karena di dalam berbagai peraturan tentang kesehatan baik itu berupa undang-
undang ataupun peraturan yang lain tidak mencantumkan secara tegas tentang
pengertian dokter.
Seperti halnya tentang pengertian dokter, maka untuk mengetahui
pengertian pasien juga sulit karena pengertian pasien juga tidak pernah kita
temukan dalam peraturan perundang-undangan bidang kesehatan. Tetapi sebagai
pedoman dapat dirumuskan bahwa pasien adalah orang yang berdasarkan
pemeriksaan dokter dinyatakan menderita mengidap penyakit baik di dalam tubuh
maupun di dalam jiwanya.
195 Husein Kerbala, Segi-segi Etis dan Yuridis Informed Consent, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993), hal.32.
135
Jika dilihat dari cara perawatannya maka pasien dapat dibedakan atas:
Pertama, Pasien Opname.
Pasien opname adalah pasien yang memerlukan perawatan serius dan terus
menerus secara teratur serta harus terhindar dari gangguan situasi dan keadaan
dari luar yang dapat mempengaruhi proses penyembuhan penyakitnya, bahkan
dapat menghambat kesembuhan pasien. Biasanya pasien dalam keadaan seperti ini
adalah pasien yang sudah di diagnosa oleh seorang dokter dan harus mendapat
perawatan khusus guna upaya penyembuhan penyakitnya.
Kedua, Pasien berobat jalan.
Pasien yang berobat jalan adalah pasien yang tidak memerlukan perawatan
secara khusus di rumah sakit seperti pasien opname. Hal ini karena pasien yang
berobat jalan itu hanyalah mengidap penyakit yang dianggap dokter tidak
membutuhkan perawatan khusus dan untuk menjalani pengobatannya cukup
datang pada dokter yang mengobati pada waktu-waktu tertentu saja.196
2. Hubungan Rumah Sakit (Dokter) dan Pasien
Pada umumnya seorang pasien berhubungan dengan dokter adalah dalam
keadaan dirinya sakit atau merasa sakit. Namun dapat pula terjadi seorang datang
kepada dokter hanya untuk memeriksakan kesehatan secara berkala yang biasa
disebut sebagai general check-up. Dalam hubungan seorang pasien dengan dokter
maka faktor kepercayaan menjadi salah satu dasarnya artinya pasien berhubungan
dengan dokter itu, yakin bahwa dokter tersebut dapat dan mampu membantu
menyembuhkan penyakit.
Dalam kaitannya dengan transaksi terapeutik tersebut dapat
dipermasalahkan beberapa hal yaitu:
Pertama, Siapa saja yang merupakan para pihak dalam perjanjian itu?
Dalam rangka usaha ingin sembuh, pasien atau penderita akan mendatangi
baik dokter sebagai perorangan maupun dokter yang bekerja di sebuah badan
196 .Ibid., hal. 37.
136
hukum seperti rumah sakit, yayasan atau lembaga lain. Apabila demikian
keadaannya maka dapat dibedakan antara kelompok pasien yang memang secara
nyata mengadakan suatu perjanjian dan sekelompok pasien yang tanpa
mengadakan satu perjanjian.
Pembedaan ini untuk memperjelas dalam membedakan hubungan yang
dapat ditimbulkan secara langsung dari adanya perjanjian itu yang membebankan
hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian. Hal ini penting disebabkan karena
di dalam hukum ada pihak-pihak yang tidak mampu bertindak sebagai pihak
dalam perjanjian seperti anak di bawah umur, mereka yang jiwanya cacat
sehingga mereka tidak mampu untuk bertindak secara mandiri sebagai pihak
dalam perjanjian. Di lain pihak dari pihak dokter, pihak dalam perjanjian itu dapat
juga terjadi pada seorang perawat yang tidak mempunyai kewenangan untuk
bertindak tetapi yang menjalankan tugasnya karena perintah dari rumah sakit.197
Kedua, Perjanjian dengan rumah sakit sebagai pihak akan juga mempunyai
efek yang lain, apalagi kalau dalam penanganan pelayanan kesehatan tersebut
pihak yang dimaksud berupa tim.
Ketiga, Masalah ketiga yang dapat diajukan dalam kaitannya dengan
perjanjian terapeutik tersebut ialah masalah syarat apa yang harus dipenuhi agar
perjanjian itu sah menurut hukum dan dengan demikian jika kemudian ternyata
ada pihak yang tidak memenuhi isi perjanjian, pihak yang lain dapat menuntut
atas kerugian yang diterima.198
Di dalam berbagai literatur, hubungan dokter dengan pasiennya disebut
sebagai transaksi terapeutik atau kontrak terapeutik yaitu suatu transaksi untuk
mencari dan menerapkan terapi yang paling tepat untuk menyembuhkan penyakit
pasien. Sebagai suatu kontrak atau perikatan maka transaksi terapeutik itu
umumnya bersifat inspanning verbintenis yaitu suatu perikatan dimana
prestasinya berupa suatu usaha yang dilakukan secara sungguh-sungguh tanpa
mendasarkan hasil sebagai prestasinya.
197 .Hermin Hadiati, Beberapa Permasalahan Hukum dan Medik, Op.Cit., hal 144.198 .Ibid., hat ,145.
137
3. Kedudukan Para Pihak Dalam Pelayanan Kesehatan Serta Hak dan
Kewajiban Menurut Hukum
Bertolak dari rekam medis yang hakekatnya merupakan sebuah dokumen
yang isinya dapat dibahas dan dipertimbangkan dalam suatu proses persidangan
baik perkara perdata maupun pidana merupakan masukan yang relevan bagi
keputusan yang akan diambil oleh hakim. Disamping itu rekam medis juga dapat
digunakan untuk menguatkan pasien atau menolak bagi dokter atau rumah sakit
suatu gugatan perdata atau tuntutan pidana yang didasarkan pada kelalaian, baik
yang disengaja atau pun karena adanya kelalaian. Ini berarti bahwa rekam medis
mempunyai kekuatan hukum sebagai salah satu unsur masukan dalam proses
pengambilan keputusan oleh hakim.199
Dengan meningkatnya kasus-kasus yang dihadapi oleh profesi medik ini
telah memperluas yurisdiksi peradilan, sehingga tidak jarang peradilan
dihadapkan tidak saja dengan putusan yang diperlukan oleh para pihak, tetapi juga
perdamaian melalui negosiasi para pihak.
Perluasan yurisdiksi peradilan ini disebut yurisdiksi kesehatan yang
disebabkan oleh beberapa hal yaitu:200
a. Masyarakat menjadi semakin sadar akan hak-haknya yang dilindungi oleh
hukum dan perundang-undangan;
b. Hubungan antara kedokteran dan hukum menjadi semakin kompleks yang
mengakibatkan adanya berbagai macam tuntutan ganti rugi karena kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat yang semula belum
terjangkau oleh hukum;
c. Masyarakat semakin meningkatkan fungsi sosial kontrol yang
mengidentifikasi kekurangan dalam bidang pelayanan kesehatan.
Apabila persyaratan untuk sahnya satu perjanjian sudah dipenuhi, maka
perjanjian tersebut merupakan hukum bagi para pihak yang mengadakan
199 .Salah satu masukan dalam decision making process old hakim, karena berlakunya asas "unus testis nulus testis" dalam pemeriksaan pembuktian dalam persidangan.
200 Herrain Hadiati, Beberapa Permasalahan Hukum dan Medik, Op.Cit., hal 148.
138
perjanjian, dan sebagai akibatnya masing-masing pihak dibebani dengan hak dan
kewajiban.
Secara pokok kewajiban dokter dapat dirumuskan dalam beberapa hal
sebagai berikut:201
a. Bahwa ia wajib merawat pasiennya dengan cara keilmuan yang ia miliki
secara adekuat. Dokter dalam perjanjian tersebut tidak menjanjikan
menghasilkan suatu resultaat atau hasil tertentu, karena apa yang
dilakukannya itu merupakan upaya sejauh mungkin sesuai dengan ilmu
yang dimilikinya;
b. Dokter wajib menjalankan tugasnya sendiri dalam arti secara pribadi dan
bukan dilakukan oleh prang lain sesuai dengan yang telah diperjanjikan,
kecuali apabila dalam hal pasien menyetujui perlu adanya seseorang yang
mewakilinya;
c. Dokter wajib memberi informasi kepada pasiennya mengenai segala sesuatu
yang berhubungan dengan penyakit atau penderitaannya. Kewajiban dokter
ini dalam hal perjanjian menyangkut dua hal yang ada kaitannya dengan
kewajiban pasien.
Fred Ameln, mengemukakan kewajiban dokter yang dapat dikelompokkan
kedalam tiga kelompok sebagai berikut:202
a. Kewajiban yang berkaitan dengan fungsi sosial pemeliharaan kesehatan
(health care). Pada kelompok ini kepentingan masyarakat lebih menonjol
dan bukan kepentingan pasien, karena itu dalam melakukan kewajiban
seorang dokter harus mempertimbangkan faktor kepentingan masyarakat;
b. Kewajiban yang berhubungan dengan hak pasien;
c. Kewajiban yang berhubungan dengan standar kedokteran dan kewajiban
yang timbul dari standar profesi kedokteran.
Disamping kewajiban dokter menurut kedua rumusan tersebut di atas, maka
kewajiban tentang tenaga kesehatan dapat kita temukan pada Pasal 54 ayat (1) dan
Pasal 55 ayat (1) UU No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan.
201 .Ibid., hal.149.202 .Fred Ameln, Kapita Selekta Hokum Kedokteran, (Jakarta: PT. Gratikatama, 1991),
hal.56.
139
Pasal 54 ayat (1) menyatakan bahwa:
"Penyelenggaraan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara bertanggung
jawab, aman, bermutu, serta merata dan nondiskriminatif".
Dari rumusan pasal tersebut dapat diketahui adanya kewajiban dokter
sebagai salah satu unsur tenaga kesehatan untuk bekerja atau melakukan kegiatan
kesehatan yang sesuai dengan keahlian dan kewenangannya saja. Kewajiban ini
berkaitan erat atau sejalan dengan ketentuan Kodeki yang menegaskan, bila dokter
merasa tidak mampu atau bukan kewenangannya atau suatu tindakan medic, maka
ia wajib berkonsultasi atau merujuk pasien kepada dokter lain yang mempunyai
keahlian untuk itu.
Selanjutnya Pasal 55 ayat (1) menyatakan bahwa:
"Pemerintah wajib menetapkan standar mutu pelayanan kesehatan".
Berdasarkan standar mutu pelayanan kesehatan tersebut maka dapat
diketahui dua kewajiban bagi dokter sebagai tenaga kesehatan. Terhadap
kewajiban untuk mematuhi standar profesi yang dibuat oleh masing-masing
profesi kesehatan ini, maka para tenaga kesehatan telah mempunyai panduan atau
pedoman dalam melaksanakan tugasnya. Sedangkan kewajiban dokter untuk
mematuhi hak pasien dimaksudkan bahwa dokter hendaklah menghormati hak-
hak yang dimiliki pasien serta memberi kesempatan kepada pasien untuk
melaksanakan hak-haknya.
Disamping dokter mempunyai kewajiban, di lain pihak pasien juga
mempunyai kewajiban yang antara lain dapat dikemukakan sebagai berikut:203
a. Memberikan keterangan, penjelasan sebanyak mungkin tentang
penyakitnya. Kewajiban pasien ini dapat dikaitkan dengan hak dokter atas
itikad baik pasien.
b. Mentaati petunjuk dan instruksi dokter. Kewajiban pasien ini dapat
dikaitkan dengan hak seorang dokter untuk mengakhiri hubungan dengan
seorang pasien jika ia menilai bahwa kerja sama pasien dengan dokter tidak
ada gunanya lagi.
203 ,Ibid., haL53-54.
140
c. Mentaati peraturan rumah sakit. Hal ini pun berlaku untuk keluarga dan
relasi pasien.
d. Memberikan imbalan jasa kepada dokter. Hal ini dapat dikaitkan dengan
fungsi sosial seorang dokter dalarn masyarakat sehingga dapat diharapkan
suatu imbalan jasa yang tidak selalu sesuai dengan lasa yang telah diberikan
oleh seorang dokter tetapi tentu dokter juga harus memperhatikan status
sosial pasien.
e. Melunasi biaya rumah sakit. Di sini rumah sakit harus memperhatikan status
pasien dan dalam hal pasien tidak mampu membayar maka rumah sakit
tidak melakukan penahanan pasien.
Disamping kewajiban tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Fred Amelh,
juga dapat dikemukakan kewajiban pasien menurut pendapat yang lain yang
terdiri:
a. Pasien wajib memenuhi kontra prestasi dengan cara mengadakan
pembayaran honorarium kepada dokter atau rumah sakit sesuai dengan yang
telan diperjanjikan dan disepakati;
b. Pasien wajib bekerjasama dengan loyal dalam hal pemeriksaan dan
perawatan, demi untuk menemukan cara penyembuhan yang tepat, yaitu
misalnya menjawab dengan jujur pertanyaan yang diajukan oleh dokter
dalam mencari diagnosa penyakitnya sehingga dapat ditentukan secara tepat
dan bersama-sama terapinya.
Disamping kewajiban dari para pihak rnaka perlu dikemukakan hak dari
masing-masing pihak. Adapun yang menjadi hak dokter dapat dikemukakan
sebagai berikut :204
a. Hak untuk bekerja sesuai dengan standar profesinya;
b. Hak untuk menolak melaksanakan tindakan medik karena secara profesional
tidak dapat dipertanggungjawabkan;
c. Hak untuk menolak suatu tindakan medik yang menurut suara hatinya tidak
baik;
204 .Ibid., hal.64-66.
141
d. Hak mengakhiri hubungan dengan seorang pasien jika menilai bahwa kerja
sama pasien dengan dokter tidak lagi ada gunanya;
e. Hak atas privasi sebagai seorang dokter;
f. Hak atas informasi/pemberitahuan pertama dalam menghadapi pasien yang
tidak puas terhadapnya;
g. Hak atas honorarium setelah melakukan kewajibannya;
h. Hak atas pemberian penjelasan pasien yang lengkap oleh pasien tentang
penyakit yang dideritanya;
i. Hak untuk membela diri;
j. Hak untuk memilih pasien;
k. Hak untuk menolak memberikan keterangan tentang pasien di pengadilan.
Sedangkan apa yang menjadi hak pasien dapat dikemukakan sebagai
berikut:205
a. Hak atas informasi;
b. Hak untuk memberikan persetujuan medik;
c. Hak untuk memilih dokter;
d. Hak untuk memilih sarana kesehatan (rumah sakit);
e. Hak atas rahasia kedokteran;
f. Hak untuk menolak perawatan atau pengobatan.
Pada dasarnya hubungan dokter dengan pasien dalam transaksi terapeutik
itu bertumpu pada dua macam hak asasi manusia, yang dijamin oleh dokumen-
dokumen internasional. Kedua macam hak tersebut adalah hak atas informasi (the
right to information) dan hak untuk menentukan nasib sendiri (the right to self
determination). Antara dokter dan pasien karena transaksi terapeutik tersebut
melahirkan hak dan kewajiban secara timbal balik, dan apabila hak dan kewajiban
ini tidak dipenuhi oleh salah satu pihak wajar bila pihak yang merasa dirugikan
melakukan gugatan.
Kedua hak dasar manusia dalam kesehatan tersebut oleh Harold Himsworth
telah dirumuskan sebagai"... an expectation in respect to matters affecting the
205 .Ibid., hal.40-41.
142
interests of individuals within a particular society which the consensus of opinion
in that society accept as justifiable".206
Hak dasar manusia yang lazimnya dikenal sebagai hak asasi manusia itu
bertolak dari suatu ide yang tidak kalah pentingnya dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi pada abad ke dua puluh, yang pada asasnya adalah
untuk mencapai tujuan pokok dari hidup manusia yang oleh expert committee
WHO pada tahun 1970 dikaitkan dengan hubungan kait mengkait antara manusia
dengan lingkungannya.
4. Aspek Hukum Pidana dalam Hubungan Tenaga Medis dan Konsumen
(Pasien)
Hubungan hukum antara tenaga kesehatan dengan pasien menjadi
perbincangan setelah diundangkannya Undang-undang No.8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen. Timbulnya masalah dalam hubungan antara tenaga
kesehatan dan pasien dikarenakan hubungan antara keduanya mempunyai sifat
khusus sehingga harus diberikan standar terhadap adanya dugaan kesalahan-
kesalahan dalam suatu perawatan medis.207
Pada dasarnya hubungan dokter pasien dalam transaksi terapeutik itu
bertumpu pada dua macam hak asasi yang merupakan hak dasar manusia, yaitu
hak untuk menentukan nasib sendiri (the right to self determination) dan hak atas
informasi (the right to information). Hak untuk menentukan nasib sendiri itu
diketemukan dasarnya dalam United Nations International Convention Civil and
Political Rights 1966, khususnya Pasal 1 yang berbunyi sebagai berikut:
"(1) All people have the right to self dtermination. By virtue of the right they
freely determine their political status and freeley pursue their economic, social
and cultural development".208
206 .Norman Post, "Human Right in Healty", dalam Pediatrics yang mengutip dari Harold Himsworth "The Human Right to Life, yang dimuat dalam Hilton et.al., New York, Plannurn Press, 1973, ha 634.
207.Loebby Loqman, "Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Hubungan Tenaga Kesehatan dengan Konsumen, Disampaikan dalam Workshop dan Rapat Kerja Nasional PERHUK1, Jakarta 23-24 Maret, 2000., hal.2.
208 .Walter Laqueur, Op.Cit., ha1.217.
143
Sedang hak atas informasi dapat diketemukan dasarnya dalam Deklarasi
Helsinki209, yaitu dalam bab clinical research combined with profesional care,
yang diantaranya berbunyi:
"… if at all possible, consistent with the patient phisicology, the doctor
should obtain the patient freely given consent after the patient has been given
freely given consent after the patient has been a full explanation…".
Dari hak pribadi inilah sebenarnya timbul hak dalam Informed consent.
Meskipun pada hakekatnya dalam pelayanan kesehatan adalah demi kepentingan
si pasien itu sendiri. Dalam pelayanan kesehatan hak yang dijamin secara yuridis
termasuk di Indonesia dihadapkan dengan hak pribadi.
Disamping Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang merupakan
hukum khusus, masih diperlukan hukum yang sifatnya lebih umum yaitu Hukum
Pidana. Penggunaan hukum pidana terutama sekali diperlukan apabila dalam
pemberian terapi dengan menggunakan zat radioaktif dapat menimbulkan
kerugian atau akibat negatif yang menyebabkan matinya seorang pasien atau
cacatnya seseorang.
Peranan hukum pidana adalah sebagai hukum sanksi, oleh karena itu
terhadap adanya sanksi seharusnya didahului dengan pembuatan norma hukum
terlebih dahulu.
Dalam hal pelayanan kesehatan, norma hukumnya adalah hukum kesehatan
itu sendiri yang tertuang dalam Undang-Undang No.36 tahun 2009 tentang
Kesehatan, sedangkan terhadap penyimpangannya barulah digunakan hukum
sanksi yang berupa hukum pidana.210
Hukum pidana merupakan salah satu aspek dari terjadinya penyimpangan
dalam pelayanan kesehatan. Hal itu terjadi apabila menyangkut kematian atau
terjadinya cacat sebagai akibat pelayanan kesehatan yang dalam hal ini adalah
pelayanan di bidang radioterapi dengan menggunakan zat radioaktif.
209.Periksa Declaration of Helsinki, Recommendation Guiding Doctors in Clinical Research, adabted by the 18'1' World Medical assembly, Helsinki, Finland, 1964.
210 .Loebby Loqman, Op.CIt., hal. 11.
144
Seseorang dikatakan mampu bertanggung jawab menurut hukum pidana
apabila ia mampu mengadakan pilihan antara mana yang baik dan mana yang
buruk. Untuk itu diperlukan pendapat yang mandiri; sehat dan dewasa supaya
mampu mengambil sikap dalam mengadakan pilihan tersebut dan akhirnya
menjatuhkan putusannya untuk memilih satu diantara beberapa alternatif putusan.
Bahwa dalam kenyataannya pilihannya itu mungkin jatuh pada perbuatan yang
ternyata dilarang oleh peraturan pidana, yang mungkin tidak masuk dalam
pertimbangannya pada waktu mengadakan pilihan tersebut, atau ia telah
mengetahui bahwa perbuatan yang dipilihnya itu dilarang oleh peraturan hukum
pidana namun tetap ia lakukan, merupakan indikator bagi penentuan apakah
perbuatannya itu dilakukan dengan sengaja ataukah karena kealpaan.211
Dalam bidang kesehatan, justru titik pautnya dengan hukum pidana adalah
adanya kesalahan. Sejauhmana telah terjadi kesalahan itulah yang menjadi
permasalahan. Apakah memang benar bahwa peristiwa yang terjadi akibat dari
adanya kesalahan. Sebagai contoh dapat kita cermati terhadap putusan dalam
kasus dr. Setyaningrum oleh Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Putusan
Mahkamah Agung.
Dalam kasus dr. Setyaningrum diatas nyata-nyata terjadi perbedaan terhadap
terjadinya suatu kesalahan. Meskipun dari semula sikap kurang hati-hati telah
ditunujukkan oleh dokter yang bersangkutan, setelah diajukan ke depan
Pengadilan Negeri, dianggap telah terjadi kelalaian dalam perawatan sehingga
dinyatakan bersalah. Demikian pula di tingkat Pengadilan Tinggi, akan tetapi
apabila kita perhatikan putusan Mahkamah Agung yang membatalkan putusan
Pengadilan Tinggi didasari tidak adanya kesalahan dalam kasus tersebut.
Secara teori mungkin mudah memberikan konstruksi tentang kesalahan,
dimana bentuk kesalahan dalam hukum pidana dapat berupa kesengajaan atau
kelalaian. Dengan demikian setiap pelaku usaha baik itu perorangan ataupun yang
berupa badan hukum atau sejenisnya apabila melakukan pelayanan jasa di bidang
211 .Hermin Hadiati, Beberapa Permasalahan Hukum dan Medik, Op.Cit., hal. 48.
145
kesehatan ada unsur kesalahan baik itu karena kesengajaan ataupun karena
kelalaian dapat diberikan sanksi pidana.212
D. Pemberian Terapi Dengan Zat Radioaktif di Rumah Sakit
1. Prosedur Terapi Dengan Zat Radioaktif dan Terapi Pada Umumnya
Pengobatan kanker yang ingin dicapai dapat bersifat kuratif yang bertujuan.
untuk membunuh sel ganas dengan menjaga kerusakan terhadap sel normal lain
sesedikit mungkin dan paliatif serta suportif yang bertujuan untuk mengurangi
tingkat pertumbuhan dan mengobati efek yang diakibatkan pertumbuhan kanker
terhadap jaringan, organ, atau sistem yang normal dari bagian tubuh lainnya.213
Untuk melaksanakan pengobatan kanker salah satu atau kombinasi dari
pengobatan primer harus dikerjakan. Salah satu pengobatan primer adalah
radioterapi yang bertujuan untuk mengobati kanker secara lokal dan regional.
Radiasi untuk mencegah sel kanker untuk membelah diri dan menyebar, dengan
cara menghancurkan inti se1.214
Biasanya yang lazim dilakukan dalam pemberian terapi yang dilakukan di
beberapa rumah sakit dapat dikemukakan tahap-tahap sebagai berikut:215
Pertama, Indikasi Untuk Radioterapi
Pada tahap ini penyinaran dilakukan secara radikal, paliatif atau post
operatif. Penyinaran pre operatif sangat jarang dilakukan karena akan
memperlambat tindakan pembedahan, kecuali untuk tumor yang sangat besar dan
radiosensitif seperti tumor embrional dari ginjal atau tumor Wilms.
Kedua, Rencana Penyinaran
Maksud radioterapi adalah memberikan dosis tertentu pada tumor untuk
menghancurkan dan sedapat mungkin menghindarkan jaringan sehat dari
kerusakan. Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan sebelum memberikan
penyinaran, antara lain:
212 .Loebby Loqman., hal. 14.213 .Djumhana Atmakusurna, "Pemberian Terapi Pada Pasien Kanker", (Jakarta: Ilmu
Penyakit Dalam FKUI, 1997), hal.2.214 .Ibid., hal. 4.215 .Hasil wawancara dengan Prof. DR. H.M Zakaria, Sp. Rad, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, tanggal 25 Mei 2001.
146
Ketiga, Letak dan luas Tumor
Untuk tumor yang letaknya dangkal dan dapat diraba, luasnya lapangan
penyinaran dapat ditentukan dengan mudah. Untuk tumor yang letaknya dalam,
perlu dibuat foto rontgen untuk mengetahui letak dan luasnya tumor, supaya luas
lapangan dan arah penyinaran dapat ditentukan.
Keempat, Distribusi Dosis
Pada penyinaran distribusi dosis harus sedemikian rupa sehingga tumor
mendapat dosis yang merata dan lebih tinggi dari pada dosis jaringan sehat
sekitarnya. Ini dapat dicapai dengan menggunakan kurva isodosis untuk
menentukan banyaknya serta kecilnya lapangan yang harus dipakai dan
bagaimana lapangan-lapangan itu harus diberikan. Misalnya jika penyinaran
dilakukan dengan cross-fire tehnic, maka sinar ditujukan pada suatu titik di bawah
tumor supaya dosis maksimum jatuh pada tumor, karena dosis maksimum terletak
pada titik itu. Jika letak titik di bawah tumor dimana arah sinar ditujukan
tergantung pada sudut serta besar kecilnya lapangan yang dipakai. Pada
penyinaran berputar dosis maksimum terletak di sebelah atas titik pusat rotasi,
sehingga dosis maksimum jatuh pada tumor.
Kelima, Toleransi Jaringan Sehat
Batas toleransi jaringan sehat harus diperhatikan pula pada penyinaran
untuk menghindarkan terjadinya dosis yang berlebihan atau radionekrosis pada
jaringan sehat. Lapangan penyinaran makin kecil toleransi jaringan makin tinggi,
demikian sebaliknya. Lapangan yang dipakai harus sesuai dengan besar kecilnya
tumor yang harus disinari.
Keenam, Tahap Pemberian Penyinaran
Penyinaran radikal diberikan untuk tumor yang masih dalam stadium
permulaan, yang belum mengadakan infiltrasi luas ke dalam jaringan sekitarnya
dan belum terdapat penyebaran.
Penyinaran paliatif diberikan pada tumor yang sudah dalam stadium lanjut
untuk mengurangi rasa nyeri atau keluhan penderita. Dosis paliatif kira-kira 2/3
dosis radikal. Penyinaran paliatif tidak diberikan pada jenis tumor yang
radioresisten karena tidak akan ada manfaatnya.
147
Penyinaran post operatif diberikan pada tumor bed atau llyipphatic field of
drainage untuk menghancurkan sisa-sisa sel ganas. Tidak semua tumor yang telah
dioperasi harus mendapat penyinaran post operatif. Diberikan atau tidaknya
penyinaran post operatif terganturig pada stadium klinik dari plaja jenis tumor:
basil pemeriksaan histologik dan cara pmbedahan yang dilakukan. Misalnya pada
karsinoma mame stadium I yang telah dilakukan operasi radikal, maka penyinaran
post operatif akan diberikan apabila pemeriksaan histologik menunjukkan
kelenjar-kelenjar getah bening ketiak yang positif.
2. Standar Pelayanan Rumah Sakit Dalam Pemberian Terapi
Dalam Undang-undang No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan, tidak secara
tegas diatur mengenai pelayanan medis di bidang radioterapi. Berdasarkan
ketentuan Pasal 19 ayat (1) UU No.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit,
dinyatakan bahwa "salah satu bentuk pelayanan medis spesialistik adalah rumah
sakit khusus". Rumah sakit khusus adalah rumah sakit yang menyelenggarakan
pelayanan medis berdasarkan jenis penyakit tertentu dan disiplin ilmu tertentu.216
Rumah sakit yang menyelenggarakan pelayanan di bidang radioteraPi di
Jakarta antara lain: Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Rumah Sakit Fatmawati,
Rumah Sakit Persahabatan, Rumah Sakit Kanker Dharmais, serta Rumah Sakit
Pertamina.
Selanjutnya dalam Pasal 2 PP No.12 tentang Pemakaian Zat Radioaktif dan
Sumber Radiasi Lainnya menyatakan bahwa:
"Setiap pemakaian zat radioaktif dan atau sumber radiasi lainnya hanya
dapat dilakukan setelah mendapat izin dari instansi yang berwenang, kecuali
pemakaian zat radioaktif dan atau sumber radiasi lainnya yang aktifitasnya di
bawah nilai minimum yang ditentukan oleh instansi yang berwenang".
Dalam ketentuan Pasal 2 Peraturan Pemerintah No.64 tahun 2000 tentang
Perizinan Pemanfaatan Tenaga Nuklir, menyatakan bahwa:
216 .Lihat Pasal 4 huruf f Undang-undang No.23 tahun 1992 tenting Kesehatan, serta bandingkan dengan Pasal 2 Peraturan Pemerintah No.12 tahun 1975 tentang Izin Pemakaian Zat Radioaktif dan Sumber Radiasi Lainnya.
148
(1) Setiap orang atau badan yang akan memanfaatkan tenaga nuklir wajib
mendapat izin badan pengawas;
(2) Izin sebagaimana disebut dalam ayat (1) diberikan setelah memenuhi
persyaratan yang ditetapkan;
(3) Pemanfaatan tenaga nuklir dengan aktivitas dan paparan radiasi sangat
rendah yang tidak membahayakan masyarakat, pekerja dan lingkungan
hidup, dikecualikan dari kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1);
(4) Aktivitas dan paparan radiasi sangat rendah yang dikecualikan dari
kewajiban mendapatkan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur
lebih lanjut dengan Keputusan Kepala Badan Pengawas.
Untuk memperoleh izin dalam pemanfaatan tenaga nuklir dan sumber
radiasi lainnya harus memenuhi persyaratan baik persyaratan umum dan khusus.
Persyaratan umum sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah
tersebut yang menyatakan:
"Persyaratan yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
yang merupakan persyaratan umum meliputi:
a. Mempunyai izin usaha atau izin lain dari instansi yang bersangkutan;
b. Mempunyai fasilitas yang memenuhi persyaratan keselamatan;
c. Mempunyai petugas ahli yang memenuhi kualifikasi untuk pemanfaatan
tenaga nuklir;
d. Mempunyai peralatan teknik dan peralatan keselamatan radiasi yang
diperlukan untuk pemanfaatan tenaga nuklir; dan
e. Memiliki prosedur kerja yang aman bagi pekerja, masyarakat dan
lingkungan hidup.
Sedangkan yang menjadi persyaratan khusus dapat dikemukakan
berdasarkan Pasal 4, yang menyatakan:
(1) Selain persyaratan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, persyaratan
khusus diberlakukan terhadap:
a. Pemanfaatan bahan nuklir, dan
b. Instansi yang mempunyai potensi dampak radiologi tinggi.
149
(2) Persyaratan khusus yang diberlakukan terhadap pemanfaatan bahan nuklir
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf, a adalah:
a. Mempunyai sistem pertanggungjawaban dan pengawasan bahan nuklir;
b. Mempunyai sistem proteksi bahan nuklir.
(3) Persyaratan khusus yang diberlakukan terhadap instalasi yang mempunyai
dampak radiologi tinggi sebagaimaga dimaksud dalam ayat (1) huruf b
adalah:
a. Menyampaikan dokumen Laporan Analisis Keselamatan yang
selanjutnya disebut LAK; dan atau
b. Wajib memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup yang
selanjutnya disebut AMDAL;
c. Memenuhi persyaratan konstruksi.
(4) Ketentuan mengenai sistem pertanggungjawaban dan pengawasan bahan
nuklir, serta sistem proteksi fisik bahan nuklir sebagaimana dimaksud
da1am ayat (2), dan pembuatan dokumen LAK dan AMDAL serta
persyaratan konstruksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), diatur lebih
lanjut dengan Keputusan Kepala Badan Pengawas.
Dari rumusan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap pelayanan
medis yang menggunakan zat radioaktif atau sumber radiasi lainnya harus
mendapat izin dari Badan Tenaga Atom Nasional, yang berdasarkan Peraturan
Pemerintah tersebut diganti dengan Badan Pengawas (BAPETEN).
Untuk menjamin keselamatan dan kesehatan pekerja, masyarakat dan
lingkungan hidup, pengusaha instalasi yang melaksanakan setiap kegiatan
pemanfaatan tenaga nuklir yang dapat mengakibatkan penerimaan dosis radiasi
harus memenuhi prinsip-prinsip keselamatan dan kesehatan sebagai berikut:
a. Setiap pemanfaatan tenaga nuklir harus mempunyai manfaat lebih besar
dibanding dengan resiko yang ditimbulkan;
b. Penerimaan dosis radiasi terhadap pekerja atau masyarakat tidak
melebihi nilai batas dosis yang ditetapkan oleh badan pengawas;
150
c. Kegiatan pemanfaatan tenaga nuklir harus direncanakan dan sumber
radiasi dirancang dan dioperasikan untuk menjamin agar paparan radiasi
yang terjadi ditekan serendah-rendahnya.
Disamping itu berdasarkan Pasal 30 Peraturan Pemerintah No.64 tahun
2000 tersebut diatas menyatakan:
(1) Pengusaha instalasi wajib mengkalibrasi alat ukur radiasi secara berkala
sekurang-kurangnya 2 (satu) tahun sekali;
(2) Pengusaha instalasi wajib mengkalibrasi keluaran radiasi (out put) peralatan
radioterapi secara berkala sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun sekali;
(3) Kalibrasi alat ukur radiasi dan atau peralatan radioterapi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) hanya dapat dilakukan oleh instansi
yang telah terakreditasi dan ditunjuk oleh Badan Pengawas.
Dalam pemanfaatan sumber radiasi atau zat radiaktif lainnya harus
berpedoman pada tiga asas yaitu: asas justifikasi, asas limitasi, asas optimasi
untuk setiap kegiatan yang mengakibatkan penerimaan doses radiasi pada
seseorang berdasarkan rekomendai Komisi Internasional tentang Proteksi Radiasi.
Asas justifikasi adalah setiap kegiatan yang memanfaatkan zatradioaktif
atau sumber radiasi lainnya hanya boleh dilakukan apabila menghasilkan
keuntungan yang lebih besar kepada seseorang yang terkena penyinaran radiasi
atau bagi masyarakat, dengan memperhatikan kerugian radiasi yang mungkin
timbul akibat penyinaran tersebut.
Asas limitasi adalah penerimaan dosis radiasi tidak boleh melampaui nilai
batas dosis yang ditetapkan oleh Badan Pengawas. Yang dimaksud dengan nilai
batas dosis adalah dosis radiasi yang diterima oleh penyinaran eksternal dan
internal selama 1 (satu) tahun dan tidak tergantung pada laju dosis.
Asas optimasi yaitu proteksi dan keselamatan terhadap penyinaran yang
berasal dari sumber radiasi yang dimanfaatkan, harus diusahakan sedemikian rupa
151
hingga besarnya dosis yang diterima seseorang dan jumlah orang yang tersinari
sekecil mungkin dengari memperhatikan faktor sosial dan ekonomi.217
Dari ketentuan-ketentuan yang disebutkan di atas memberikan landasan
yuridis terhadap penyelenggaraan pelayanan medic di rumah sakit yang
menggunakan zat radioaktif dan atau sumber radiasi lainnya, khususnya di unit
radioterapi.
Penggolongan rumah sakit ke dalam rumah sakit umum dan rumah sakit
khusus didasarkan pada Peraturan Menteri Kesehatan No.56 tahun 2014 tentang
Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit. Dalam menjalnkan fungsinya rumah sakit
harus memenuhi standar pelayanan antara lain sebagai berikut:
a. Menyediakan dan menyelenggarakan pelayanan medik, pelayanan
penunjang medik, pelayanan perawatan, pelayanan rehabilitasi, pencegahan
dan peningkatan kesehatan;
b. Tempat pendidikan dan atau latihan tenaga medik dan paramedik;
c. Tempat penelitian dan pengembangan iimu pengetahuan dan teknologi
bidang kesehatan.
Berdasarkan fungsi tersebut rumah sakit dalam memberikan pelayanan
kesehatan dilakukan oleh tenaga kesehatan sesuai dengan kualifikasi rumah sakit.
Sedangkan jenis tenaga kesehatan yang ada dapat dibedakan menjadi tenaga
medis dan tenaga paramedis.
Pelayanan medis di sebuah unit radioterapi rumah sakit, sebelum pasien
dilakukan pemberian terapi dengan menggunakan zat radioaktif terlebih dahulu
dimintakan persetujuan pasien ataupun keluarganya. Persetujuan itu tidak
diberikan secara tertulis yang sering dilakukan di beberapa unit radioterapi sebuah
rumah sakit yang menyelenggarakan pelayanan di bidang radioterapi. Padahal
menurut Permenkes No.56 Tahun 2014, bahwa persetujuan itu harus diberikan
secara tertulis mengingat bahwa pemberian terapi dengan menggunakan zat
radioaktif tersebut mengandung resiko yang cukup tinggi.
217 .Hasil wawancara dengan.BAPETEN yang dalam hal ini sebagai Lembaga Pengawas Penggunaan Zat Radioaktifdan Sumber Radiasi Lainnya.
152
3. Dampak Negatif Penggunaan Zat Radioaktif
Pemanfaatan tenaga nuklir secara positif dapat meningkatkan kesejahteraan
dan kemakmuran rakyat serta turut mencerdskan kehidupan bangsa dan
meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Tenaga nuklir disamping
mempunyai manfaat yang cukup besar dalam berbagai aplikasi di bidang industri,
pertanahan, kesehatan, hidrologi, energi, pendidikan, penelitian dan lain-lain, juga
mempunyai bahaya radiasi yang cukup besar. Pemanfaatan tenaga nuklir ada
kalanya dapat menimbulkan kerugian nuklir, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal
1 butir 16 Undang-Undang No.10 tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Pasal 1
butir 16 menyatakan:
"Kerugian nuklir adalah setiap kerugian yang dapat berupa kematian, cacat,
cidera atau sakit, kerusakan harta benda, pencemaran dan kerusakan lingkungan
hidup yang ditimbulkan oleh bahaya radiasi atau gabungan radiasi dengan sifat
racun, sifat mudah meledak, atau sifat bahaya lainnya sebagai akibat kekritisan
bahan nuklir dalam instalasi nuklir atau selama pengangkutan, termasuk kerugian
sebagai akibat tindakan preventif dan kerugian sebagai akibat atau tindakan untuk
pemulihan lingkungan hidup".
Selain istilah kerugian nuklir dapat dikemukakan istilah lain yang terdapat
dalam Peraturan Pemerintah No.64 tahun 2000 tentang Perizinan Pemanfaatan
Tenaga Nuklir. Pasal 1 butir 9 menyatakan:
"Kecelakaan radiasi adalah kejadian yang tidak direncanakan termasuk
kesalahan operasi, kerusakan ataupun kegagalan fungsi alat atau kejadian lain
yang menjurus timhulnya dampak radiasi, kondisi paparan radiasi dan atau
kontaminasi yang melampaui betas keselamatan".
Radioterapi dengan menggunakan zat radioaktif pada hakekatnya tergantung
dari energi absorbsi suatu jaringan sebagai akibat ionisasi yang dapat
menimbulkan dampak negatif antara lain berupa rusaknya jaringan sehat yang
seharusnya tidak patut terkena akibat negatif dari penyinaran tersebut.
Efek radiasi pada berbagai jaringan bermacam-macam antara lain pada kulit.
Efek radiasi pada kulit muncul berbagai reaksi antara lain dermatitis akut. Reaksi
153
dermatitis akut dapat berupa adanya eritema kulit yang dijumpai pada 4 sampai 7
hari setelah penyinaran dengan dosis tertentu.
Reaksi lain pada dermatitis adalah adanya bulosa. Reaksi ini dijumpai pada
dosis yang lebih tinggi, sampai dengan dosis toleransi. Akibatnya kulit akan
tampak hitam merah dan terjadi epilasim permanen disertai destruksi dermatitis.
Selain reaksi dermatitis akut luga muncul dermatitis kronika, yang terjadi
akibat dosis yang sangat rendah Yang diberikan dalam jangka waktu yang lama.
Ciri-ciri adanya dermatitis kronika adalah kulit menjadi kering, timbul kelainan
hipertrofi. Dan beberapa tahun kemudian akan menjadi kanker kulit.218
Radioterapi dapat menyebabkan penyakit radiasi. Berat tidaknya penyakit
tersebut sangat ditentukan oleh jumlah dosis yang diberikan, bagian tubuh yang
terkena radiasi, dan sensitivitas jaringan terhadap radiasi.
Bagian tubuh yang paling mudah menimbulkan penyakit radiasi adalah
rongga atas abdomen. Adapun gejala-gejala penyakit radiasi yang mungkin
muncul antara lain: demam, rasa lemas, nafsu makan kurang, mual, nyeri pada
kepala, muntah dan diare.
Adapun yang menjadi penyebab kemungkinan adanya kesalahan
operasional yang menyebabkan akibat negatif/kerugian nuklir diantaranya:219
a. Kesalahan pada saat melakukan diagnosa terhadap penyakit tumor yang
akan diberikan terapi, dimana kesalahan ini menimbulkan kesalahan
dalam prosedur pemberian terapi yang merupakan sesuatu yang sifatnya
berkesinambungan;
b. Setelah pasien didiagnosa maka pasien dilakukan pemblokan terhadap
daerah tumor yang akan disinari dan ini menjadi sangat penting karena
merupakan tahap nantinya akan menentukan dosis penyinaran serta
luasnya lapangan penyinaran yang akan dipergunakan;
c. Setelah dilakukan pengeblokan maka pasien diberikan penyinaran
dengan menggunakan sistem penyinaran secara fraksinasi atau bertahap,
dan tidak diberikan sekaligus.
218 .Erie D.Widjaya, Prinsip Pemberian Terapi di Rumah Sakit, 1979, ha1.25-26.219 .Hasil wawancara dengan Tenaga Keteknisian Medis di Bidang Radioterapi di beberapa
rumah sakit di Jakarta yang menggunakan terapi dengan zat radioaktif.
154
Kemungkinan-kemungkinan terjadinya kesalahan ini bisa disebabkan oleh
dokter yang melakukan diagnosa. Jika seorang dokter yang melakukan diagnosa
melakukan kesalahan maka bagian radioterapi tidak dapat dimintai pertanggung
jawaban atas kesalahan yang dilakukan oleh bagian diagnosa ini.
Bentuk kesalahan yang lain terjadi pada, tahap kalibrasi alat yang
seharusnya alat dikalibrasi secara rutin, tetapi karena rumah sakit tidak melakukan
kalibrasi rutin ini maka keluaran dari alat yang dipergunakan tidak sesuai dengan
dosis yang sebenarnya. Ini akan menyebabkan dosis yang dihasilkan tidak sesuai
dengan apa yang tertera dalam skala alat tersebut.
Disamping adanya kesalahan pada kalibrasi alat, kemungkinan kesalahan
yang lain adalah pada saat penentuan dosis yang akan diberikan kepada pasien.
Penentuan jumlah dosis yang diberikan biasanya dilakukan oleh dokter radioterapi
yang didasarkan pada jenis penyakit kanker yang diderita oleh pasien.
Ada kalanya kesalahan terjadi pada saat pemberian dosis, yaitu antara
jumlah dosis yang diberikan oleh seorang penata rontgen dengan apa yang tertera
dalam daftar yang menunjukkan adanya perbedaan sehingga otomatis akan
berpengaruh terhadap dosis yang harus diterima oleh pasien.
155
BAB VI
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT
A. Pertanggungjawaban Tenaga Kesehatan di Bidang Radioterapi
Sebelum kita menganalisa tentang pertanggungjawaban rumah sakit
terhadap tuntutan yang muncul, terlebih dahulu dapat dikemukakan tanggung
jawab tenaga kesehatan. Tanggung jawab tenaga kesehatan akan dikemukakan
tanggung jawab pidana dokter radioterapi dan tanggung jawab tenaga paramedis
(penata roentgen). Sedangkan tanggung jawab pidana rumah sakit akan
dikemukakan tanggung jawab pidana berdasarkan asas strict liability, tanggung
jawab pidana berdasarkan asas vicarious liability.
1. Tanggung Jawab Dokter Radioterapi
Dengan semakin meningkatnya kesadaran hukum masyarakat, dalam
perkembangan selanjutnya timbul permasalahan tanggung jawab pidana
seorang dokter khususnya yang menyangkut dengan kelalaian, hal ini
didasarkan pada teori-teori kesalahan dalam hukum pidana.
Tanggung jawab pidana disini timbul bila pertamatama dapat
dibuktikan adanya kesalahan professional, misalnya kesalahan dalam
diagnosa atau kesalahan dalam cara-cara pengobatan. Dalam bidang
radioterapi untuk pengobatan penyakit kanker dengan menggunakan zat
radioaktif, penentuan kesalahan professional dalam pemeriksaan sidang di
pengadilan diperlukan pendapat para ahli yang dapat memberikan data
akurat kepada hakim. Tentu saja kesalahan di sini harus mempunyai
hubungan sebab akibat dengan hasilnya, dan mempunyai derajat-derajat
tertentu.
Tanggung jawab pidana yang perlu dibuktikan dengan adanya kesalahan
profesional itu biasanya dihubungkan dengan masalah kelalaian (negligence) dan
persetujuan dari pasien yang bersangkutan.
156
Dalam menganalisa apakah perbuatan itu mengandung tanggung jawab
pidana ataukah tidak, adalah dalam hal melakukan pembedahan pasien.
Dipertanyakan di sini, apakah perbuatan membedah seorang pasien yang
dilakukan oleh ahli bedah dapat dikategorikan sebagai penganiayaan
sebagaimana yang dirumuskan dalam KUHPidana.
Sejalan dengan perbuatan pembedahan seorang pasien oleh ahli bedah,
dalam konteks pemberian terapi dapat juga dipertanyakan, apakah kelalaian
dokter radioterapi dalam menentukan dosis yang harus diterima oleh pasien
yang menyebabkan adanya kesalahan dalam penyinaran oleh penata roentgen
sehingga menyebabkan matinya atau cacatnya pasien dapat dipertanggung
jawabkan secara pidana?
Sebelum mengupas permasalahan tersebut di atas perlu dikemukakan di sini
tentang dasar pembedahan tersebut yang dapat dikategorikan:220
a. Pembedahan atas dasar indikasi medis yang tujuannya untuk memulihkan
kesehatan pasien;
b. Pembedahan tanpa indikasi medis misalnya pada operasi plastik untuk
kepentingan menambah kecantikan atau keindahan badan.
Bertitik tolak dari dasar diadakannya pemberian terapi dengan
menggunakan zat radioaktif serta unsur persetujuan pasien, kemudian
menimbulkan permasalahan yang baru dalam hubungannya dengan tanggung
jawab pidana seorang dokter radioterapi yaitu:
a. Pemberian terapi atas dasar indikasi medis dengan adanya persetujuan
pasien;
b. Pemberian terapi atas dasar indikasi medis dengan persetujuan pasien; dan
c. Pemberian terapi tanpa dasar indikasi medis dan tanpa adanya persetujuan
dari pasien.
Untuk menanggapi semua persoalan yang timbul di atas perlu analisa yang
dalam, terutama yang ditujukan pada fungsi diadakannya persetujuan pasien dari
pasien yang bersangkutan. Ada beberapa masalah yang erat kaitannya dengan
220.Soerjono Soekanto & Kartono Muhammad, Aspek Hukum dan Etika Kedokteran di Indonesia. Cet. 1., (Jakarta: Graffiti Press, 1983), hal.68.
157
tanggung jawab dokter dari segi hukum pidana yaitu berkaitan dengan beberapa
pertanyaan sebagai berikut:221
a. Apakah dokter dalam menjalankan profesinya dapat dikenai ketentuan
hukum pidana Indonesia, atau dengan kata lain apakah usaha untuk
mengobati pasien dengan pemberian terapi dengan zat radioaktif itu
melanggar hukum pidana atau tidak?
b. Kapan seorang dokter dapat dikatakan mampu bertanggung jawab dari segi
hukum pidana, sehingga karenanya dapat dijatuhi pidana?
c. Bagaimanakah usaha atau cara kalangan profesi kedokteran mengembalikan
kepercayaan masyarakat, atau memulihkan citra profesinya?
Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, dapat diuraikan
secara lengkap sebagai berikut:
Pertama, Kelalaian Dokter Radioterapi
Salah satu unsur yang penting agar seorang dokter radioterapi yang
melakukan kesalahan professional adalah adanya kelalaian (negligence)
berkaitan dengan penentuan dosis radiasi yang harus diterima oleh seorang
pasien. Adapun yang dimaksud dengan dosis radiasi adalah jumlah yang
terdapat dalam medan radiasi atau jumlah energi radiasi yang diserap atau
diterima oleh materi yang dilaluinya.222
Sedangkan yang dimaksud dengan kelalaian dapat dikemukakan beberapa
pendapat sebagai berikut:
1) Kelalaian adalah suatu sifat yang kurang hati-hati, kurang waspada atau
kelalaian tingkat kasar (een min of meer grove of aan merkelijke on voor
zichtigheid of nalatigheid).223
2) Kelalaian adalah kekurang perhatian yang wajar. Kegagalan untuk
melakukan apa yang seorang berhati-hati secara wajar akan melakukan
atau melakukan sesuatu apa yang seorang wajar tidak akan melakukan
suatu tindakan dalam kasus tersebut. (Negligence is the lack of
221 .Herinin Hadiati, Beberapa Permasalahan Hukum dan. Medik, (Bandung: PT. Cutra Aditya Bakti, 1992), hal. 41.
222 .Pasal 1 butir 6, Peraturan Pemerintah No.63 tahun 2000 tentang Keselanialan dan Keschaian Terhadap Pemanfaatan Radiasi Pengion.
223 .Arrest Hoge Rand, tanggal 3 Februari 1913 tentang pengertian kelalaian.
158
ordinary care. It is the failure to do what a reasonable careful and
prudent person would have done or the doing of something which a
reasonable person would not have done on the occasion in
question):224
3) Kelalaian adalah tidak melakukan sesuatu apa yang seorang wajar
berdasarkan pertimbangan biasa yang umumnya mengatur peristiwa
manusia, akan melakukan atau telah melakukan sesuatu yang seorang
wajar dan hati-hati justru tidak akan melakukannya (Negligence is
the omission to do some thing which a reasonable man, guided by
those ordinary considerations which ordinary regulate human
affairs, would do, or the doing of something which a reasonable
and prudent man would not do. 225
Dari beberapa definisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa dikatakan
terdapat malpraktek medik apabila:
1) Adanya sikap tindak dokter yang bertentangan dengan etika, bertentangan
dengan hukum, bertentangan dengan standar profesi medis, kekurangan
pengetahuan di dalam profesinya; dan
2) Menelantarkan, kelalaian, kurang hati-hati, acuh tak acuh, serta adanya
kelalaian yang mencolok.
Leenan mengatakan bahwa seorang dokter harus bekerja menurut norma
"medische prfessionale standard", yaitu bertindak dengan hati-hati dan teliti
menurut ukuran standar medis dari seorang dokter yang berkepandaian rata-
rata dari golongan yang sama dengan menggunakan cara yang selaras dalam
perbandingan dengan tujuan pengobatan tersebut. Dengan kata lain dokter
tersebut bekerja secara "lege Artis".226
Senada dengan pendapat Leenan, Taylor mengatakan bahwa seorang dokter
yang memberikan pelayanan pengobaLan profesional harus memenuhi beberapa
224 .Bost v Reiley, Harmon and Catawba Memorial Hospital, 1979.225 .Blacks Law Dictionary. 5di ed, 1979.226 .J.Guwandi, Kelalaian Medik, Ed.2., (Jakarta: Balai Penerbit FK UI, 1994), hal. 21.
159
syarat:227
a. He must process the degree of professional learning, skiil and ability which
others similiarly situated ordinary process;
b. He must exercise reasonable care and diligence in the application of his
knowledge and skill to the the patiens case;
c. He must use his best judgment in the treatment and care of his patient.
Tolok ukurnya untuk dapat dikatakan sebagai suatu tindakan yang lalai
adalah adanya kebodohan yang serius, ceroboh (culpa lata).Hal ini diungkapkan
oleh Hazenwikel Suringa:228
"Niet de uiterste naden kenheid, niet de grootste voor zichtigheid mag
werden vereist. Om straf bear to zijn is nodig een min of meer ernstige domheid,
geen culpa levis dus, maar culpa late".
Dalam pemberian terapi dengan menggunakan zat radioaktif yang
menentukan dosis radiasi paparan yang boleh diterima pasien adalah dokter
radioterapi, dimana hal ini didasarkan pada jenis kanker dan stadiumnya.
Apabila seorang dokter radioteapi yang melakukan kecerobohan dalam
menentukan dosis radiasi yang menyebabkan kesalahan dalam penyinaran
sehingga menyebabkan rusaknya jaringan sehat, cacat serta matinya seorang
pasien maka ia bisa dianggap bertanggung jawab atas dasar professionale
negligence apabila sikap tindaknya tidak berdasarkan standar porofesi yang
berlaku.
Dalam kaitannya dengan masalah tanggung jawab pidana bagi seorang
dokter, tentu saja kesalahan yang di perbuatnya dalam melaksanakan tugas
yang mengakibatkan kematian atau luka-luka adalah unsur kelalaian,
kealpaan/kurang hati-hati (culpa), bukan kesalahan karena unsur kesengajaan
(dolus), sebab apabila seorang dokter yang melakukan kesalahan tersebut
karena memang sudah disengaja, tentu saja perbuatannya jelas masuk dalam
kategori penganiayaan.
Masalah timbul sehubungan dengan unsur kelapaan (culpa) apabila
227 .Ibid.228 .Hazenwikel Suringa, Inleiding to de Stndie Vail Het Nederlandse Recht, 1953), hal.109.
160
dikaitkan dengan tanggung jawab seorang dokter. Culpa sendiri mempunyai arti
teknis yaitu: "suatu kesalahan karena kurang hati-hati, sehingga secara tidak
sengaja terjadi sesuatu".229
Sedangkan hati-hati itu sendiri, menurut tingkatannya dapat digolongkan
menjadi:
a. Tingkat yang sangat berhati-hati
b. Tingkat tidak begitu hati-hati
c. Tingkat kurang hati-hati
d. Tingkat kurang lagi berhati-hati sehingga menjadi serampangan atau ugal-
ugalan.230
Kelalaian/kealpaan yang manakah yang dapat dimintakan tanggung
jawabnya pada dokter apabila melakukan kesalahan hingga pasien mengalami
luka-luka atau kematian?
Hal ini perlu dengan jelas dan tegas ditentukan, sebab menurut teori hukum
pidana, culpa itu sendiri dapat dikategorikan menjadi culpa Levi (kelapaan ringan)
dan culpa lata (kelapaan berat).
Dalam menentukan telah atau belum terjadinya culpa, kebanyakan ahli
hukum pidana menggunakan ukuran: bagaimanakah sebagaian besar orang dalam
masyarakat bersikap tindak dalam suatu keadaan yang nyata-nyata terjadi.
Dengan demikian sifat kebanyakan orang dalam masyarakat itulah yang
menjadi tolok ukurnya. Hal ini perlu sekali diperhatikan oleh para penegak
hukum, khususnya para hakim di dalam memutuskan apakah seorang dokter itu
benar-benar telah melakukan kealpaan.
Menelusuri arti dari kealpaan itu sendiri, KUHPidana kita tidak memberikan
apa arti dari kealpaan tetapi untuk memperoleh gambaran tentang itu, Vos dan
Van Hammel memberikan unsur-unsur:231
Vos menyatakan bahwa culpa mempunyai dua unsur, yaitu:
a. Kemungkinan pendugaan terhadap akibat;
229 .Mustofa Abdullall dan Ruben Aclunad. Intisari Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983). hal.43.
230 .Ibid., hal. 414.231 .Ibid.
161
b. Tidak berhati-hati mengenai apa yang diperbuat atau tidak diperbuat.
Sedangkan Van Hammel menyatakan bahwa culpa mempunyai dua syarat,
yaitu:
a. Kurangnya pendugaan yang diperlukan;
b. Kurangnya berhati-hatian yang diperlukan.
Kemudian dalam menentukan jenis kealpaan mana yang dapat menimbulkan
tanggung jawab pidana bagi seorang dokter, keputusan Hoge Raad tertanggal 14
Maret 1929 menunjuk kepada kealpaan berat (culpa lata), bukan culpa levi.
Dapat dikatakan bahwa tanggung jawab hukum di bidang pidana bagi
dokter akan timbul setelah dapat membuktikan terjadinya malpraktek medik,
yang dalam hal ini dasar timbulnya tanggung jawab tersebut adalah bahwa
kesalahan yang berupa kealpaan berat. Karena hal ini terjadi di kalangan para
dokter, maka kriteria kealpaan di sini tentu saja diukur atas dasar bagaimana pada
umumnya secara normal para dokter itu bersikap tindak dalam melaksanakan
tugasnya, dengan segala fasilitas yang ada.
Dengan adanya kriteria kealpaan yang berat yang dapat mengakibatkan
timbulnya tanggung jawab pidana, tidak berarti behwa setiap kesalahan
profesional selalu harus diikuti oleh tanggung jawab pidana, karena kematian atau
keadaan luka-luka tidaklah selalu disebabkan karena adanya kelalaian berat itu,
tetapi banyak faktor yang lain. Dalam hal yang belakangan ini maka dokter
tersebut tidak dijatuhi hukuman.232
Dalam hubungan ini pasal-pasal dalam KUHPidana kita yang relevan
dengan masalah tanggung jawab pidana dokter radioterapi karena adanya
kelalaian yang menyebabkan mati atau luka-luka berat adalam Pasal 359, Pasal
360, serta Pasal 361.
Pasal 359 KUHPidana menyatakan:
"Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu
tahun"
232 .Keputusan Road van Justoitie di Medan, tertanggal 12 Maret, 1923.
162
Pasal 360 menyatakan:
"(1) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-
luka beret, diancam dengan pidana penjara paling, lama lima tahun atau
kurungan paling lama satu tahun.
(2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka
sedemikian rupa sehingga menimbulkan penyakit atau halangan
menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu,
diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda
paling tinggi tiga ratus rupiah".
Apabila karena kelalaian dalam melakukan jabatan atau pekerjaannya misalnya
dokter, bidan, sopir dan lain-lain melalaikan peraturan-pereaturan pekerjaannya
hingga mengakibatkan mati atau luka berat, make mendapat hukuman yang lehih
beret pula, sebagaimana terdapat dalam Pasal 361 KUHPidana.
Kedua, Tanggung Jawab Terhadap Pelaksanaan Informed Consent
Pada dasarnya yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan informed
consent adalah dokter radioterapi yang menangani pasien yang bersangkutan.
Suatu tindakan medis seorang dokter untuk dapat diberlakukan ketentuan hukum
pidana harus memenuhi dua hal, yaitu:
1) Adanya suatu perbuatan/tindakan yang dilakukan oleh seseorang dan yang
melanggar ketentuan peraturan hukum pidana, sehingga memenuhi
perumusan delik sebagaimana tersebut dalam KUHPidana;
2) Bahwa pelanggar tersebut mampu bertanggungjawab atas perbuatannya
sehingga oleh karenanya dia dapat dijatuhi pidana sebagaimana yang
ditentukan oleh KUHPidana, hal mane terletak dalam alam batin yang
dapat berupa kesalahan.233
Dari kedua alasan agar seorang dokter dapat diberlakukan ketentuan hukum
pidana, perlu dipertanyakan kapan seorang dokter dapat dikatakan mampu
bertanggung jawab sehingga kararenanya dapat dijatuhi pidana?
Seseorang dikatakan mampu bertanggung jawab menurut hukum pidana
233 .Hermin Hadiati, Op. cit,.Cit., hal.41.
163
apabila ia mampu mengadakan pilihan antara mana yang baik dan mana yang
buruk. Untuk itu diperlukan pendapat yang mandiri, sehat dan dewasa, supaya
mampu mengambil sikap dalam mengadakan pilihan tersebut dan akhirnya
menjatuhkan pilihannya untuk memilih satu diantara beberapa alternatif
putusan. Bahwa dalam kenyataan pilihannya mungkin jatuh pada perbuatan
yang ternyata dilarang oleh peraturan hukum pidana, yang mungkin tidak
masuk dalam pertimbangannya pada waktu mengadakan pilihan tersebut, atau
ia telah mengetahui bahwa perbuatannya dilarang oleh hukum namun ia tetap
melakukan merupakan indikator bagi penentuan apakah perbuatannya itu
dilakukan dengan sengaja atau karena kealpaan.234
Pada dasarnya yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan informed
consent adalah dokter yang menangani pasien yang bersangkutan. Sedangkan
pada pelaksanaan pemberian terapi dengan menggunakan zat radioaktif di unit
radioterapi sebuah rumah sakit yang bertanggung jawab terhadap pemberian
informasi tentang prosedur penyinaran adalah dokter radioterapi yang sebelum
dilakukan penyinaran bertugas memberikan informasi tentang resiko akibat
penyinaran dengan zat radioaktif. Biasanya di suatu rumah sakit yang
menyelenggarakan pelayanan medis di bagian radioterapi juga ditentukan oleh
kepala instalasi radioterapi yang biasanya dijabat oleh seorang dokter spesialis
radioterapi.
Aplikasi dari tanggung jawab ini adalah bahwa seorang dokter harus
memberikan informasi yang sedetilnya tentang prosedur pelaksanaan
penyinaran dan segala akibatnya dengan sebenar-benarnya dengan
memperhatikan tingkat pendidikan pasien sehingga pasien dapat memahami
informasi yang diberikan oleh dokter tentang prosedur penyinaran dan segala
akibatnya. Selanjutnya dokter harus mendapatkan persetujuan dari pasien
terhadap tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasiennya. Hal ini
menunjukkan bahwa seorang dokter tidak dapat melakukan suatu tindakan
medik terhadap pasien apabila pihak pasien tidak memberikan persetujuan
untuk tindakan medik tertentu.
234 .Ibid.
164
Mengenai tanggung jawab dokter dalam pelaksanaan informed consent
secara eksplisit telah ditegaskan dalam Permenkes No.290/Menkes/Per/III/2008
tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan
bahwa:
"Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien
harus mendapat persetujuan tertulis".
Sedangkan persetujuan tindakan medik yang mempunyai resiko tinggi
harus dibuat dalam bentuk tertulis, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 ayat
(1) Permenkes tersebut.
Dalam memberikan informasi kepada pasien tugas dan tanggung jawab
dokter dapat didelegasikan. Pendelegasian tersebut harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:235
a. Delegasi tidak dapat diberikan sepanjang mengenai diagnosa, indikasi
medik dan terapi;
b. Dokter harus mempunyai keyakinan tentang kemampuan dari orang yang
menerima delegasi tersebut;
c. Delegasi itu harus tertulis;
d. Dokter yang memberikan delegasi dapat hadir setiap saat bila diperlukan,
Meskipun telah dilakukan pendelegasian dalam pemberian informasi
akan tetapi tanggung jawab pelaksanaan informed consent tetap pada dokter
yang memberikan delegasi, hal itu dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 4 ayat
(2) Permenkes No.290 tahun 2008 Pasal 4 ayat (2) dinyatakan bahwa:
“Keputusan untuk melakukan tindakan kedokteran sebagaimana
dimaksud ayat (1) diputuskan oleh dokter atau dokter gigi dan dicatat
dalam rekam medik”.
Dilihat dari aspek hukum pidana, maka mengenai masalah informed consent
lebih ditekankan pada aspek persetujuannva, apakah dalam pelaksanaan
pomberian tetapi sudah mendapat persetujuan dari pasien atau keluarganya.
Sedangkan apabila pemberian penyinaran dengan menggunakan zat radioaktif itu
235 .Fred Anteln, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, (Jakarta: Grafikatania Java, 1991), hal.70.
165
tanpa persetujuan dari pasien atau keluarganya maka dokter yang bertanggung
jawab terhadap pelaksanaan prosedur penyinaran tersebut dapat diberikan sanksi
pidana, sesuai dengan ketentuan Pasal 359 dan Pasal 360 KUHPidana.
Akan tetapi ketentuan Pasal 359 dan Pasal 360 KUHPidana tidak dapat
diberlakukan terhadap dokter yang bertanggung jawab terhadap pemberian
penyinaran dengan zat radioaktif apabila dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
"adanya indikasi medik, adanya persetujuan pasien dan sesuai dengan standar
profesi medik”.
Dampak negatif yang muncul akibat prosedur pemberian terapi dengan
menggunakan zat radioaktif yang disebabkan karena kesalahan biasanya terjadi
dalam hal-hal seperti adanya kelalaian dalam pemberian dosis, penghitungan
dosis, sistem pemblokan, serta dalam penentuan objek penyinaran.
Kelalaian yang dilakukan oleh seorang dokter berbeda dengan salah
penilaian, yang mana dalam kelalaian itu terjadi apabila seorang dokter dalam
prosedur pemberian terapi tidak mempergunakan fasilitas yang tersedia serta
standar profesi medik yang sudah ditentukan berdasarkan pertimbangan ilmu
pengetahuan dan teklnologi.
2.Tanggung Jawab Pidana Tenaga Paramedis (Penata Roentgen)
Hubungan hukum yang timbul antara pasien dan rumah sakit dapat dibedakan
pada dua macam perjanjian, yaitu:
a. Perjanjian perawatan dimana terdapat kesepakatan antara rumah sakit dan
pasien bahwa pihak rumah sakit menyediakan kamar perawatan dimana
tenaga perawat melakukan tindakan perawatan;
b. Perjanjian pelayanan medis dimana terdapat kesepakatan antara rumah sakit
dan pasien bahwa tenaga medis pada rumah sakit akan berupaya secara
maksimal untuk menyembuhkan pasien melalui tindakan medis.236
Bertitik tolak dari hal tersebut maka hubungan hukum pasien dan tenaga
kesehatan di rumah sakit dapat berupa hubungan hukum pasien dengan dokter dan
hubungan hukum pasien dengan tenaga kesehatan lainnya. Hubungan hukum
236 .Ibid., Hal. 76.
166
pasien dengan tenaga kesehatan lainnya (penata roengten) ini berupa kontrak
dimana tenaga kesehatan lain itu harus berupaya memberikan pelayanan sesuai
dengan kemampuan dan perangkat ilmu yang dimiliki.
Di suatu rumah sakit yang memberikan pelayanan medis di bidang
radioterapi, seorang dokter radioterapi tidak mungkin melakukan pekerjaannya
sendiri. Dalam pemberian terapi ia senantiasa dibantu oleh tenaga paramedis,
yaitu seorang penata rontgen, ada kalanya dalam praktek sehari-hari para penata
rontgen melakukan tindakan yang sebenarnya termasuk tugas dokter radioterapi
dan yang didelegasikan kepadanya.
Dasar hukum pendelegasian ini dapat dilihat dari keputusan Hoge Raad
tanggal 4 November 1992 yang menyatakan bahwa orang yang belum pernah
menjadi dokter dapat melakukan tindakan kedokteran di bawah pengawasan.237
Dengan adanya pendelegasian tersebut, atau bekerjanya seorang penata
rontgen atas instruksi dari dokter radioterapi, apakah seorang penata rontgen dapat
dimintai pertanggungjawaban pidana?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut perlu dikemukakan tentang
tindakan malpraktek medis. Agar dapat dikatakan bahwa suatu tindakan itu
merupakan tindakan malpraktek medis harus dipenuhi syarat-syarat:
a. The existence of the physician-patient relationship;
b. The applicable. standard of care and its violation;
c. A compensable injury; and
d. A causal connection between the violation of the standar of care and the
harm complained of.238
Arthur F Southwick dalam bukunya "The Law cf Hospital and Health
Care Administration yang mengemukakan adanya tiga teori sumber dari suatu
perbuatan malpraktek, yaitu:239
Pertama, Teori Pelanggaran Kontrak
237 .Ibid., Hal 77.238 .Joseph H. King JR, The Law of Medical Malpractice, (St.Palll Miimesota: West
Publishing Company, 1986), hal.5.239 .Ninik Marivatiti, MalprAtek Kedokterait Dari Sergi Hokum Pidana clan Pet:data.
(Jakarta: PT. Bina Aksara, 1988). hal.44-46.
167
Teori pelanggaran kontrak menyatakan bahwa sumber perbuatan malpraktek
adalah karena terjadinya pelanggaran kontrak, ini berprinsip bahwa secara hukum
seorang dokter tidak mempunyai kewajiban merawat seseorang bilamana di antara
keduanya tidak terdapat suatu hubungan kontrak antara dokter dan pasien.
Kedua, Teori Perbuatan Yang Disengaja
Teori kedua merupakan teori yang dapat dipakai oleh pasien sebagai dasar
untuk menggugat dokter karena perbuatan malpraktek adalah kesalahan yang
dibuat dengan sengaja (intentional tort), yang mengakibatkan seorang secara
fisik mengalami cidera (assult and battery). Kasus malpraktek menurut teori ini
jarang terjadi dan dapat digolongkan sebagai tindakan kriminal atas dasar unsur
kesengajaan.
Ketiga, Teori Kelalaian
Teori ketiga menyebutykan bahwa sumber perbuatan malpraktek adalah
kelalaian (negligence). Kelalaian yang menyebabkan sumber perbuatan yang
dikategorikan dalam malpraktek ini harus dapat dibuktikan adanya, selain itu
kelalaian yang dimaksud harus termasuk dalam kategori kelalaian yang berat
(culpa iota).
Pemberian terapi dengan menggunakan zat radioaktif di suatu rumah sakit
biasanya dilakukan oleh penata rontgen atas instruksi dokter spesialis radioterapi,
bahkan kadangkala dokter radioterapi memberikan delegasi kepada penata
rontgen dalam prosedur penyinaran. Meskipun seorang dokter dapat memberikan
delegasi atau melimpahkan wewenangnya, namun pemberian itu harus memenuhi
syarat-syarat:240
a. Penegakan diagnosis, pemberian atau penentuan terapi serta penentuan
indikasi, harus diputuskan oleh dokter itu sendiri. Pengambilan keputusan
tersebut tidak dapat didelegasikan;
b. Delegasi tindakan medis itu hanya dibolehkan jika dokter tersebut sudah
sangat yakin bahwa perawat yang menerima delegasi itu sudah mampu
untuk melaksanakan dengan baik;
c. Pendelegasian harus dilakukan secara tertulis termasuk instruksi yang jelas
240 .Fred AnteIn, Op. cit., hal. 78.
168
tentang pelaksanaannya, serta bagaimana harus bertindak jika timbul
komplikasi;
d. Harus ada pengawasan medik pada pelaksanaannya. Pengawasan tersebut
tergantung kepada tindakan yang dilakukan. Apakah dokter itu harus berada
di tempat itu ataukah ia dapat dipanggil.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, terdapat putusan Gerechtshop
Amsterdam, 29 Mei 1986 yang dalam pertimbangannya dismpulkan bahwa dokter
secara yuridis dan moral tetap bertanggung jawab, karena apa yang dilakukan oleh
perawat itu atas instruksi dokter. Namun si pelaku juga bertanggung jawab untuk
tindakannya yang dilakukan tidak sesuai instruksi.
Untuk menjelaskan konstruksi hukum pada prosedur pemberian terapi
kepada pasien dapat ditemukan dasar hukumnya pada Pasal 55 dan Pasal 56
KUHpidana.
Pasal 55 KUHP, menyatakan:
"(1) Dipidana sebagai pembuat (dader) suatu perbuatan pidana: ke-1 mereka
yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta
melakukan perbuatan, ke-2 mereka yang dengan memberi atau
menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat,
dengan kekerasan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang
lain supaya melakukan perbuatan.
(2) Terhadap penganjur hanya perbuatan yang disengaja dianjurkan sajalah
yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya".
Pasal 56 KUHP menyatakan:
"Dipidana sebagai pembantu (medeplichtige) suatu kejahatan: ke-1 mereka yang
sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan, ke-2 mereka yang
sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan
kejahatan".
Pertanyaan selanjutnya yang dapat dikemukakan adalab apa yang dijadsikan
dasar hukum untuk meminta pertanggung jawaban pidana seorang penata
roengten dalam prosedur pemberian terapi dengan zat radioaktif yang
169
menyebabkan kerugian bagi pasien berupa cacat atau matinya pasien?
Yang paling tepat untuk menjawab hal ini, mengingat kesalahan yang
mungkin untuk dapat dipertanggungjawabkan adalah termasuk jenis kelalaian
berat dengan mendasarkan pada Pasal 359 dan 360 KUHP.
Ada kalanya terjadi kesulitan untuk menilai dan membuktikan apakah
tindakan medis yang dilakukan oleh tenaga kesehatan. merupakan tindakan yang
masuk dalam kategori malpraktek medis atau tidak, dapat dipakai empat kriteria
antara lain:241
a. Apakah perawatan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan cukup layak (a
duty of due care). Dalam hal ini standar perawatan yang diberikan oleh
pelaksana kesehatan dinilai apakah sesuai dengan apa yang diharapkan
(persyaratan);
b. Apakah terdapat pelanggaran kewajiban (the breach of the duty). Untuk
membuktikan bahwa telah terjadi suatu pelanggaran terhadap standar
perawatan yang diberikan kepada seorang pasien maka diperlukan kesaksian
ahli dari tenaga kesehatan lain yang mengerti akan hal itu;
c. Apakah kelalaian itu benar-benar merupakan penyebab cidera (causation);
d. Adanya ganti rugi (darnages). Bila dapat dibuktikan bahwa kelalaian
penyebab cidera, maka pasien berhak memperoleh ganti rugi yang terdiri
dari pengantian biaya pengobatan, kehilangan pendapatan. Kesakitan fisik,
tekanan jiwa dan rasa frustasi.
Selain dikenal adanya beberapa teori tentang sumber perbuatan
malpraktek serta beberapa kriteria yang dapat dijadikan patokan dalam
menilai dan membuktikan adanya perbuatan malpraktek, yang apabila
ditinjau dari kegunaan teori-teori tersebut tentu saja sangat berguna bagi
pasien dan aparat penegak hukum, maka di pihak lain tenaga kesehatan
dijumpai pula beberapa teori yang dapat dijadikan pegangan untuk
mengadakan pembelaan apabila ia menghadapi tuntutan malpraktek. Teori-
teori tersebut adalah:242
241 Ninik Mariyanti. Op.Cit., hal. 54.242 .Ibid., hal. 56.
170
a. Teori kesaediaan untuk menerima resiko (assumption of risk). Teori ini
menyatakan bahwa seorang dokter akin terlindung dalam tuntutan
malpraktek, bila pasien memberikan izin atau persetujuan dan menyatakan
bersedia memikul segala resiko dan bahaya yang mungkin timbul akibat
tindakan medis itu.
b. Teori pasien ikut berperan serta dalam kelalaian (contributory negligence)
yaitu kasus dimana dokter dan pasien dinyatakan oleh pengadilan sama-
sama melakukan kelalaian;
c. Perjanjian membebaskan dari kelalaian (exculpatory contract). Menurut
teori ini cara lain untu melindungi diri dari tuntutan malpraktek ialah
dengan mengadakan suatu perjanjian atau kontrak khusus dengan pasien,
yang berjanji tidak akan menuntut dokter dan rumah sakit bila terjadi
kelalaian malpraktek medis;
d. Pembebasan atas tuntutan (releas) yaitu suatu kasus dimana pasien
membebaskan dokter dari seluruh tuntutan malpraktek dan kedua belah
pihak bersepakat untuk mengadakan penyelesaian bersama.
B. Pertanggungjawaban Pidana Rumah Sakit
Mengenai masalah pertanggungjawaban rumah sakit tidak dapat dilepaskan
dari masalah pertanggungjawaban korporasi. Pertanggungjawaban korporasi di
Inggris didasarkan pada asas identifikasi. Dimana perbuatan pengurus atau
pegawai suatu korporasi (rumah sakit dengan segala keunikannya), dapat
diidentifikasikan dengan perbuatan korporasi itu sendiri.243 Karena pengertian
korporasi dan badan hukum adalah suatu konsep hukum perdata, maka sebaiknya
dicari konsep tentang pemahaman badan hukum. Berdasrkan asas kepatutan dan
keadilan sebagai dasar utama, maka ilmu hukum perdata menerima bahwa suatu
badan hukum harus dapat dianggap bersalah merupakan perbuatan melawan
hukum.244
243 .Barda Nawawi Arief. Perbandingan Hukurn Pidana. (Jakarta: PT. Raja Grail ado Persada. 1994), hal. 92.
244 .Mardjorto Reksodiputro, Tindak Pidana Korporasi dan Pertanggungjawabannya, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI. 1994), hal. 107
171
Ajaran berdasarkan asas kepatutan dan keadilan ini mendasarkan pada
pemikiran bahwa apa yang dilakukan oleh pengurus harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada badan hukum, karena pengurus dalam bertindak
tidak melakukannya atas hak atau kewenangan sendiri, tetapi atas hak dan
kewenangan badan hukum yang bersangkutan. Kesengajaan (doles) atau kelalaian
(culpa) dari pengurus harus dianggap sebagai kesengajaan dan kelalaian dari
badan hukum itu sendiri.245
Dengan memperhatikan undang-undang, seperti Undang-Undang Tindak
Pidana Ekonomi, Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-
Undang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Ketenaganukliran, serta
Rancangan Undang-Undang KUHPidana, maka dapat dikemukakan konsep
bahwa korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Perlu
diperhatikan bahwa perbuatan korporasi yang dalam hal pemberian terapi
menggunakan zat radioaktif di suatu rumah sakit biasanya diwujudkan dengan
perbuatan manusia. Rumah sakit sebagai badan hukum, berdasarkan
konstruksi tentang pertanggungjawaban pidana tersebut di atas, maka
korporasi baik itu pengurus atau pegawainya dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana.246 Adapun pertanggungjawaban pidana rumah sakit
terhadap akibat negatif penggunaan terapi dengan zat radioaktif yang
menyebabkan kerugian bagi pasien baik berupa matinya atau cacatnya seorang
pasien dapat dikemukakan pertanggungjawaban pidana rumah sakit berdasarkan
asas strict liability, vicarious liability dan hospital liability.
1. Pertanggungjawaban Pidana Berdasarkan Asas Strict Liability
Perkembangan mengenai konsep korporasi sebagai subjek, tindak pidana,
sebenarnya merupakan akibat perubahan-perubahan yang terjadi dalam
masyarakat dalam menjalankan aktifitas usaha. Pada masyarakat yang masih
sederhana, kegiatan usaha cukup dijalankan secara perorangan. Namun dalam
perkembangan masyarakat yang tidak lagi sederhana, timbul kebutuhan untuk
245 .Ibid., hal.108.246 .Ibid., hal. 109.
172
mengadakan kerjasama dengan pihak lain dalam menjalankan kegiatan usaha.
Pemikiran pemberian status subjek hukum khusus yang berupa badan
hukum tersebut, dalam perkembangannya dapat terjadi karena berbagai
macam alasan atau motivasi. Salah satu alasan, misalnya untuk memudahkan
menentukan siapa yang harus bertanggung jawab di antara mereka yang
terhimpun dalam badan hukum tersebut, yaitu secara yuridis dikonstruksikan
dengan menunjuk badan hukum sebagai subjek yang harus bertanggung
jawab. Oleh karena itu dalam sejarah perkembangan eksistensi korporasi
sebagai subjek hukum, diakui pula oleh bidang hukum di luar hukum perdata,
misalnya hukum pajak, dan hukum administrasi negara serta hukum pidana.
Rumah sakit sebagai salah satu bentuk yang dapat dikonstruksikan sebagai
badan hukum (korporasi) dapat dikategorikan sebagai subyek hukum yang dapat
melakukan tindakan hukum sehingga dapat dipertanggungjawabkan.
Di bidang hukum pidana, keberadaan suatu badan hukum atau badan usaha
yang menyandang istilah korporasi diterima dan diakui sebagai subyek hukum
yang dapat melakukan tindak pidana serta dapat pula dipertanggungjawabkan.
Dalam perkembangan hukum pidana Indonesia, ada tiga sistem
pertanggungjawaban korporasi, sebagai subyek tindak pidana, yaitu:
1. Pengurus korporasi sebagai pembuat, maka penguruslah yang bertanggung
jawab;
2. Korporasi sebagai pembuat, maka pengurus yang bertanggung jawab;
3. Korporasi sebagai pembuat dan korporasi yang bertanggung jawab.247
Uraian berikut akan menjelaskan tentang asas strict liability secara lebih
detail sebagai berikut:
Pertama, Pengertian Asas Strict Liabiit.
Ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli yang berkaitan
dengan pengertian asas strict liability, adalah sebagai berikut:
1. "The phrase used to refer to criminal ofences whish do not require mens
rea in respect one or more element of
actus reus"248 (suatu ungkapan yang menunjuk kepada suatu perbuatan
247 .Mardjono Reksodiputro, Op.Cit., hal. 9.
173
pidana dengan tidak mensyaratkan kesalahan terhadap satu atau lebih unsur
dari actus reus).
2. "Crime which do not require intention, recklekness or even negligent as to
one or more element in the actus reus”249 (kejahatan yang tidak
mensyaratkan kesengajaan, kesembronoan atau bahkan sebagai satu atau
lebih unsur dari actus reus).
3. "Strict liability is a theory under which a defendant may be held liable
for injuries he caused even though he acted with reasonable care"250
(strict liability adalah sebuah teori dimana seorang terdakwa harus
bertanggung jawab untuk kasus yang merugikan meskipun terdakwa
melakukan dengan hati-hati).
4. "The term strict liability refers to those exceptional situations where
a defendant is liable irespective of fault on his part. As a result, a
palin who suffers harm in certain circumstances can sue withaout
having to prove intention or negligent pn D's part (istilah strict
liability menunjuk kepada pengecualian situasi, dimana terdakwa
bertanggung jawab dengan mengabaikan kesalahan. Sebagai
akibatnya penggugat yang menderita kerugian dapat menuntut tanpa
harus membuktikan kesengajaan atau kealpaan dari terdakwa.
Dari definisi tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa strict
liability adalah pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan dimana
pembuat sudah dapat dipidana apabila ia telah melakukan perbuatan pidana
sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, tanpa melihat bagaimana
sikap batinnya.
Secara tegas dapat dikatakan bahwa dalam perbuatan pidana yang
bersifat strict liability, hanya dibutuhkan dugaan (foreseight) atau
pengetahuan (knowledge) dari pelaku, sehingga hal itu sudah cukup dianggap
248 .Marise Cremona, Criminal Law, (London: The Macmillan Press Ltd, 1989), hal.54.249 .J.C.Smith&Brian Hogan. Criminal Law. Fourth Edition. (London: Butter Worths,
1978), ha1.79.250 .Joseph H.King, JR, The Law of Medical Malpractice, 2nd Edition, (St. Paul Minnesota:
West Publ Co, 1986), hal.260.
174
untuk menuntut pertanggungjawaban pidana dari padanya.
Dalam ruang lingkup pertanggungjawaban tanpa kesalahan sering
dipersoalkan apakah strict liability sama dengan absolut liability. Dalam hal
ini Eric Colin, mengatakan:
"It is sometime said that absolut liability means liability without fault and that
strict liability means that although lack of fault is a defence, the burden is on
the accused to prove its absense".251
Pengecualian asas kesalahan ini dapat diajukan due pendapat yang saling
berbeda. Pendapat pertama menyatakan bahwa strict liability merupakan absolut
liability. Sedangkan pendapat yang kedua menyatakan bahwa strict liability bukan
absolut liability."252
Alasan yang menyatakan strict liability adalah absolut liability,
bahwa dalam perkara strict liability seorang yang telah melakukan
perbuatan terlarang (actus reus) sebagaimana yang telah dirumuskan dalam
undang-undang sudah dapat dipidana tanpa perlu mempersoalkan apakah
pembuat mempunyai kesalahan (mens rea) atau tidak. Sebaliknya, pendapat yang
menyatakan strict liability, bahwa meskipun orang yang telah melakukan
perbuatan terlarang sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang belum tentu
dipidana.
Strict liability ini pada awalnya berkembang dalam praktek peradilan
Inggris. Sebagian hakim berpendapat asas mens rea tidak dapat dipertahankan lagi
untuk setiap kasus pidana. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan untuk
menerapkan asas strict liability terhadap kasus-kasus tertentu.253
Kedua, Penerapan Asas Strict Liability Dalam Pertanggungjawaban
Pidana.
Pemanfaatan zat radioaktif untuk keperluan terapi untuk penyakit
kanker memerlukan penanganan yang sangat hati-hati dan cermat, agar
251 .Lihat Hamzah Hatrik, Asas Petanggurtgjawaban Korporasi, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1996), hal, 24.
252 .Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidaiia. (Semarang:FH Undip, 1988), hal. 31.
253 .Peter Gillies, Criminal Law. Op.Cit.. hal. 80.
175
pemanfaatannya tidak menimbulkan kerugian kepada pasien baik berupa
cacat fisik akibat kerusakan jaringan sehat ataupun matinya seorang
pasien.
Pasal 1 butir 17 Undang-Undang No. 10 tahun 1997 tentang
Ketenaganukliran, menyatakan:
"Pengusaha instalasi nuklir adalah orang perseorangan atau badan hukum yang
bertanggung jawab dalam pengoperasian instalasi nuklir".
Pada pemberian terapi dengan zat radioaktif biasanya pengusaha instalasi
lazimnya adalah rumah sakit yang dapat dikonstruksikan sebagai badan hukum
atau korporasi. Rumah sakit pada awalnya dianggap tiodak memiliki tanggung
jawab hukum karena dianggap sebagai badan hukum yang berfungsi sosial
dengan segala keistimewaannya. Namun pada scat ini rumah sakit sebagai
suatu entity dapat dimintai pertanggungjawaban.254
Pasal 28 TJU No.10 tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, menyatakan:
"Pengusaha instalasi nuklir wajib bertanggung jawab atas kerugian nuklir yang
diderita oleh pihak ketiga yang disebabkan oleh kecelakaan nuklir yang terjadi
dalam instalasi nuklir tersebut".
Penjelasan Pasal 28 tersebut menyatakan:
"Pada prinsipnya dalam hal terjadi kecelakaan nuklir, tanggung jawab hanya
dibebankan pada satu pihak, yaitu pengusaha instalasi nuklir. Dengan
demikian tidak ada pihak lain yang dapat dimintai pertanggungjawaban
selain pihak pengusaha instalasi. Dalam sistem tanggung jawab mutlak
pihak ketiga yang menderita kerugian nuklir tidak dibebani pembuktian
ada atau tidaknya kesalahan pengusaha instalasi nuklir. Untuk
menghindari ganti rugi jatuh kepada mereka yang tidak berhak, pihak
ketiga cukup menunjukkan bukti yang sah bahwa kerugiannya
diakibatkan oleh kecelakaan nuklir".
254 ,Budi Sampurna, "Aspek Etis dail-Iukum Dalam Pelayanan Kesehatan". (Jakarta: Seminar Perhuki pada tanggal 2 Juni 2000), hal. 2.
176
Pasal 87 ayat (1) UU No.32 tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup, menyatakan:
"Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan
perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain dan
lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan
tindakan tertentu".
Selanjutnya dalam penjelasan umum Undang-Undang Ketenaganukliran
dinyatakan bahwa:
"Prinsip yang dianut dalam sistem pertanggungjawaban adalah:
1. Tanggung jawab mutlak;
2. Pengusaha instalasi nuklir bertanggung jawab dengan mengecualikan
orang lain;
3. Batas pertanggungjawaban dalam jumlah ganti rugi dan waktu;
4. Pengusaha instalasi nuklir diwajibkan mempertanggungjawabkan dalam
bentuk asuransi atau bentuk jaminan keuangan lainnya.
Penjelasan Pasal 88 UUPLH, menyatakan:
"Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya
menggunakan B3, mengahsilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau
yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup
bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu
pembuktian unsur kesalahan".
Dari uraian Pasal 28 UUKetenaganukliran dan Pasal 35 ayat (1) UUPLH
beserta masing-masing penje'lasannya, dapat disimpulkan bahwa kedua undang-
undang tersebut di atas menganut system pertanggungjawaban yang dapat
dikonstruksikan sebagai pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability withaut
fault) seperti pada asas strict liability.
Menurut doktrin strict liability, seseorang sudah dapat dipertanggung
jawabkan untuk tindak pidana tertentu walaupun pada diri orang itu tidak ada
kesalahan (mens rea). Secara singkat, strict liability dapat diartikan sebagai
177
liability withaout fault (pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan).255
Menurut L.B.Curzon, doktrin strict liability ini didasarkan pada alasan-
alasan sebagai berikut:
a. Adalah sangat esensial untuk menjamin dipatuhinya peraturan-peraturan
penting tertentu yang diperlukan untuk kesejahteraan sosial;
b. Pembuktian adanya mens rea akan menjadi sangat sulit untuk pelanggaran-
pelanggaran yang berhubungan dengan kesejahteraan sosial itu;
c. Tingginya tingkat bahaya sosial yang ditimbulkan oleh perbuatan yang
bersangkutan.256
Argumentasi yang hampir serupa dikemukakan pula dalam bukunya
Ted Henderick. Dikemukakan olehnya bahwa alasan yang biasa dikemukakan
untuk strict liability adalah:
a. Sulitnya membuktikan pertanggungjawaban untuk tindak pidana tertentu;
b. Sangat perlunya mencegah jenis-jenis tindak pidana tertentu untuk
menghindari adanya bahaya-bahaya yang sangat luas;
c. Pidana yang dijatuhkan sebagai akibat dari strict liability adalah ringan.257
Di Inggris asas strict liability itu dikembangkan pada abad ke-19 sebagai
akibat buruk dari revolusi industri. Pada waktu itu banyak peraturan baru
seperti kesehatan, keselamatan dan kesejahteraan. Pada abad ke-20
kecenderungan menggunakan strict liability semakin meningkat. Peningkatan
itu sejalan dengan kompleksitas masyarakat yang membutuhkan peraturan
sosial. Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan lalu lintas,
perlindungan konsumen, makanan dan obat-obatan, keselamatan kerja,
keehatan kerja dan perlindungan lingkungan hidup.258
Penerapan hukum pidana terhadap kejahatan yang bersifat
mengatur (regulatory offences) di satu pihak sangat penting sebagai
sanksi terhadap pelaku. Namun di pihak lain penerapan hukum pidana
255 .Barda Nawawi Arief, Pelengkap Kuliah Hukum Pidana. Op.Cit., hal.68.256 .Roeslan Saleh, Pikiran-Pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta: Ghalia
Indonesia. 1982), hal.23.257 .Bards Nawawi Arief, Op.Cit., hal,68-69.258 .CM V Clarkson, Understanding Criminal Law. 2nd, (London: Fontana Press. 1995),
ha1.108-109.
178
ini menghadapi permasalahan, teruitama yang berkaitan dengan masalah
pembuktian adanya unsur kesalahan dari pelaku delik. Dari permasalahan tentang
pembuktian dalam penegakan hukum itulah, strict liability mulai di introdusir
dalam kasus-kasus pidana.
Kasus yang paling tua mengenai penerapan strict liability itu adalah kasus
Prince, yang intinya sebagai berikut:259
"Prince dituduh menarik dari kekuasaan orang tua seorang gadis berumur 16
tahun tanpa izin orang tuanya (melanggar Pasal 55 Offences Against the Person
Act 1861 yang diperbaharui dengan Pasal 20 Sexual Offences Act 1956)".
Di muka sidang Prince mengemukakan alasan, bahwa ia memang
mengetahui gadis itu di bawah kekuasaan orang tua akan tetapi ia mengira
kebanyakan/berkeyakinan bahwa gadis itu berumur 18 tahun, berdasarkan
juga pengakuan gadis itu terhadap Prince. Pengadilan berpendapat bahwa
terhadap perbuatan menarik gadis atas kekuasaan orang tua harus tetap
dibuktikan adanya kesengajaan tetapi terhadap usia gadis tersebut, yaitu 16
tahun tidak harus dibuktikan karena undang-undang tidak mensyaratkan
pengetahuan tentang umur dari gadis itu. Prince tetap dipidana.
Kasus pidana lain yang berkaitan dengan penerapan asas strict laiability
adalah kasus Alphacell Ltd v.Woodward (1972). Posisi kasusnya adalah sebagai
berikut:260
"Sebuah perusahaan dihukum oleh pengadilan tingkat pertama dengan
tuduhan sebagai penyebab terpolusinya air sungai. Terdakwa menentang
tuduhan itu dengan menyatakan bahwa jaksa harus membuktikan adanya
kesengajaan, kealpaan atau kesombronoan dari terdakwa. House of Lord
menolak argumen terdakwa dan tetap menjatuhkan hukuman kepada
terdakwa".
Dasar pokok untuk menentukan penerapan tanggung jawab dengan asas
strict liability dalam perkara pidana pada prinsipnya tidak bersifat generalisasi.
Jadi tidak terhadap semua tindak pidana boleh diterapkan, akan tetapi lebih
259 .L.B.Curson. Cases in Criminal Law (London: Mc.Donald&Evans, 1974), hal. 22.260 .Marcus Fletcher, A-Level Priciple of English Law. I Edition, (London:HLT Publ.
1990), hal. 202.
179
bercorak khusus, yaitu:
a. Ketentuan undang-undang sendiri menentukan atau paling tidak undang-
undang sendiri cenderung menuntut penerapan strict liability; dan
b. Kebanyakan orang berpendapat bahwa penerapannya hanya ditentukan
terhadap tindak pidana yang bersifat larangan khusus atau tertentu.
Jadi penerapannya sangat erat kaitannya dengan ketentuan tertentu dan
terbatas. Agar lebih jelas apa yang menjadi landasan penerapan strict liability
crime, dapat dikemukakan patokan antara lain:261
a. Perbuatan itu tidak berlaku umum terhadap semua jenis tindak pidana
tetapi sangat terbatas dan tertentu terutama mengenai kejahatan anti sosial
atau yang membahayakan sosial;
b. Perbuatan itu benar-benar bersifat melawan hukum (unlawful) yang sangat
bertentangan dengan kehati-hatian yang diwajibkan hukum dan kepatutan;
c. Perbuatan tersebut dilarang dengan karas oleh undang-undang karena
dikategorikan sebagai aktivitas atau kegiatan yang sangat potensial
mengandung bahaya kepada kesehatan, keselamatan, dan moral publik;
d. Perbuatan atau aktivitas tersebut secara keseluruhan dilakukan dengan cara
tidak melakukan pencegahan yang sangat wajar (unreasonable
precausions).
Patokan tersebut di atas dapat lebih disingkat standarisasinya sebagai
berikut:
a. Perbuatan bersifat terbatas dan tertentu;
b. Perbuatan merupakan tindakan yang dilarang tegas oleh undang-undang;
c. Perbuatan yang dilakukan nyata-nyata melawan hukum;
d. Perbuatan yang dilakukan sangat potensial mendatangkan bahaya terhadap
kesehatan, keselamatan, atau moral masyarakat;
e. Perbuatan itu tidak dibarengi dengan pencegahan yang wajar.
Pertanyaan yang dapat dikemukakan berkaitan dengan pemberian terapi
dengan mengguriakan zat radioaktif oleh rumah sakit, apakah rumah sakit sebagai
suatu korporasi dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan asas strict liability?
261 .Lihat M.Yallya harahap, Op.Cit., hal.37-38.
180
Pemanfaatan tenaga nuklir telah berkembang pesat dan secara luas di
berbagai bidang di Indonesia, baik dalam bidan penelitian, pertanian,
kesehatan, indutri dan lain-lain. Tenaga nuklir, disamping sangat bermanfaat
juga dapat menimbulkan bahaya sehingga perlu dilakukan pengawasan melalui
perizinan di samping pengaturan den pemeriksaan.
Salah satu pemanfaatan tenaga nuklir di bidang kesehatan adalah pemberian
terapi dengan menggunakan zat radioaktif. Dimana selain ada manfaatnya
pemberian terapi dengan zat radioaktif tersebut dapat menimbulkan kerugian
nuklir.
Adapun yang dimaksud dengan kerugian nuklir adalah setiap kerugian
yang dapat berupa kematian, cacat, cidera atau sakit, kerusakan harta benda,
pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang ditimbulkan oleh radiasi
atau gabungan radiasi dengan sifat racun, sifat mudah meledak, atau sifat
bahaya lainnya sebagai akibat kekritisan bahan bakar nuklir dalam instalasi
nuklir atau selama pengangkatan, termasuk kerugian sebagai akibat tindakan
preventif dan kerugian sebagai akibat atau tindakan untuk pemulihan
lingkungan hidup.
Selain ketentuan dalam undang-undang tentang Ketenaganukliran yang
menyatakan tentang penerapan asas pertanggungjawaban pidana dengan
mengabaikan unsur kesalahan (strict liability), maka dapat dikemukakan dalam
Pasal 88 UU No.32 tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang
menyatakan bahwa:
"Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya
menggunakan B3, mengahsilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau
yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup
bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu
pembuktian unsur kesalahan".
Dari apa yang telah dipaparkan dalam kedua peraturan perundang-undangan
tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa rumah sakit dalam memberikan
pelayanan di bidang radioterapi dengan menggunakan zat radioaktif yang
menyebabkan adanya kerugian nuklir berupa matinya, atau cacat seorang pasien
181
atau masyarakat dapat dimintai tanggung jawab pidana tanpa harus membuktikan
unsur kesalahan (liability withaut fault), yang dikenal dengan strict liability.
Penyimpangan undang-undang di luar KUHPidana terhadap pertanggung
jawaban pidana berdasarkan asas kesalahan ini dipertegas dalam rumusan
Pasal 32 ayat (3) RUU KUHPidana tahun 1999-2000 sebagaimana terakhir
pada tahun 2015, yang menyatakan:
"Untuk tindak pidana tertentu, undang-undang dapat menentukan bahwa
seseorang dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur
tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya unsur kesalahan".
Secara konkrit yang dijadikan tolok ukur agar rumah sakit dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana dalam pemberian terapi dengan zat
radioaktif adalah:
a. Bahwa perbuatan pemberian terapi dengan zat radioaktif merupakan
tindakan yang mempunyai lingkup terbatas dan tertentu (hanya rumah sakit
yang mempunyai unit radioterapi);
b. Bahwa perbuatan yang dilakukan dalam pemberian terapi bila menyebabkan
kerugian nuklir baik bagi pasien, masyarakat maupun lingkungan hidup
merupakan tindakan yang dilarang tegas oleh undang-undang berdasarkan
UU PLH dan UU Ketenaganukliran;
c. Bahwa perbuatan pemberian terapi dengan zat radioaktif yang dilakukan
tersebut sangat potensial mendatangkan bahaya terhadap kesehatan
masyarakat dan lingkungan bila dilakukan dengan kurang hati-hati atau
ceroboh;
d. Bahwa perbuatan yang dilakukan tersebut tidak dilakukan sesuai standar
pelayanan rumah sakit dalam prosedur pemberian terapi dengan
menggunakan zat radioaktif.
2. Pertanggungjawaban Berdasarkan Asas Vicarious Liability
Berikut akan diuraikan secara lebih detail tentang
pertanggungjawaban pidana berdasarkan asas vicarious liability sebagai
berikut:
182
Pertama, Pengertian Asas Vicarious Liability.
Pengertian vicarious liability dikemukakan oleh para ahli hukum diantaranya
adalah:
a. “Vicarious liability consist of the imposition of criminal liability upon a
person by virtue of the commission of an offence by another, or by virtue
of the possession of a given mens rea by another, or by reference to bith of
these matters”262
(pertanggungjawaban pengganti adalah pengenaan pertanggungjawaban
pidana terhadap seseorang berdasarkan atas perbuatan pidana yang
dilakukan oleh orang lain, atau berdasarkan atas kesalahan orang lain, atau
berkenaan dengan kedua masalah tersebut).
b. "A vicarious liability is one where in one person, though without
personal fault, is more liable for the conduct of another” 263
(pertanggungjawaban pengganti adalah sesuatu dimana seseorang,
tanpa kesalahan pribadi, bertanggung jawab atas tindakan orang lain).
c. "Vicarious liability is inderect legal responsibility, the liability of an
employer for the acts of an employee, or a principal for torts and contract
of an agent”264
(pertanggungjawaban pengganti adalah pertanggungjawaban hukum
secara tidak langsung, pertanggungjawaban majikan atas tindakan dari
pekerja, atau pertanggungjawaban principal terhadap tindakan suatu agen
dalam suatu kontrak).
d. "Under the doctrine of vicarious liability, however, one party (A) who may
be innocent of any personal fault, may under certain circumstances, be
held liable for the liability-producing acts of another (B)"265
(menurut doktrin vicarious liability, pihak lain (A) melakukan kesalahan,
akan tetapi tanggung jawab produk ada pada pihak lain (B).
262 .Peter Giilies, hal.109.263 .Wayne R. La Faye, Op. Cit., hal,223.264 .Henry Campbell, Blaks Law Dictionary, (St. Paul Minn: West Publishing Co, 1979),
hal.104.265 .Joseph H.King JR, OpCit,, hal.231.
183
Dari beberapa definisi yang dikemukakan tersebut di atas dapat disimpulkan
bahwa vicarious liability adalah pertanggungjawaban menurut hukum seseorang
atas perbuatan yang dilakukan oleh orang lain. Kedua orang tersebut harus
mempunyai hubungan yaitu hubungan atasan dan bawahan atau hubungan
majikan dan buruh atau hubungan pekerjaan. Perbuatan yang dilakukan oleh
pekerja tersebut harus masih dalam ruang lingkup pekerjaannya. Secara
singkat model pertanggungjawaban itu sering disebut pertanggungjawaban
pengganti.
Senada dengan pendapat di atas menurut Romli Atamasasmita yang
menyatakan vicarious liability adalah suatu pertanggungjawaban pidana yang
dibebankan kepada seseorang atas perbuatan orang lain. Pertanggungjawaban
demikian misalnya terjadi dalam hal perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh
orang lain itu ada dalam ruang lingkup jabatannya.
Jadi pada umumnya terbatas pada kasus-kasus yang menyangkut
hubungan antara majikan dengan buruh, pembantu atau bawahannya. Dengan
demikian dalam pengertian vicarious liability ini, walaupun seseorang tidak
melakukan sendiri suatu tindak pidana dan tidak mempunyai kesalahan dalam
arti yang biasa, ia masih tetap dapat dipertanggungjawabkan.266
Roeslan Saleh dalam bukunya mengakui adanya vicarious liability
sebagai pengecualian dari asas kesalahan. Roeslan Saleh berpendapat bahwa
pada umumnya seseorang bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Akan
tetapi ada yang disebut vicarious liability dimana seseorang bertanggung jawab
atas perbuatan orang lain. Aturan undang-undanglah yang menetapkan siapa-
siapakah yang dipandang sebagai pelaku yang bertanggung jawab.267
Kedua, Penerapan Asas Vicarious Liability Dalam
Pertanggungjawaban Rumah Sakit.
Vicarious liability ini berlaku hanya terhadap jenis tindak pidana tertentu
266 ,Barda Nawawi Arief, Masalah Pernidanaan, Op.Cit., hal.111.267 .Roeslan Saleh,Suatu Reorientasi Dalam Hukum Pidana. (Jakarta: Aksara Baru. 1983),
hal.32.
184
menurut hukum pidana Inggris. Vicarious liability hanya berlaku terhadap:268
1. Delik yang mensyaratkan kualitas;
2. Delik yang mensyaratkan adanya hubungan antara buruh dan majikan.
Pertanyaan yang dapat dikemukakan berkaitan dengan pemberian terapi
dengan zat radioaktif adalah apakah asas vicarious liability dapat diterapkan
dalam pertanggungjawaban rumah sakit?
Dalam prosedur pemberian terapi di sebuah rumah sakit, biasanya yang
terkait dalam pemberian terapi antara lain tenaga kesehatan yang terdiri dari:
dokter radioterapi, penata rontgen, dan kepala bagian radioterapi.
Secara t r ad i s iona l konsep i tu te lah d iper luas terhadap suatu
situasi dimana pengusaha bertanggung jawab terhadap perbuatan pidana yang
dilakukan oleh pegawainya dalam ruang lingkup pekerjaannya. Tanggung jawab
yang dipikul oleh majikan itu dapat terjadi satu diantara tiga hal sebagai
berikut:269
a. Peraturan perundang-undangan secara eksplisit menyebutkan
pertanggungjawaban suatu kejahatan secara vicarious;
b. Pengadilan telah mengmbangkan doktrin pendelegasian dalam
kasus pemberian lisensi. Doktrin itu berisi tentang
pertanggungjawaban seseorang atas perbuatan yang dilakukan oleh
orang lain, apabila ia telah mendelegasikan kewenangannya menurut
undang-undang kepada orang lain itu. Jadi harus terdapat prinsip
pendelegasian;
c. Pengadilan dapat menginterpretasikan kata-kata dalam undang-undang
sehingga tindakan dari pekerja atau pegawai dianggap sebagai tindakan dari
pengusaha.
Ada dua syarat penting yang harus dipenuhi untuk dapat menerapkan suatu
perbuatan pidana dengan vicarious liability, yaitu:270
a. Harus terdapat suatu hubungan seperti hubungan pekerjaan antara majikan
268 .Romly Annasasinita, Op.Cit., hal. 94.269 .C.M.V. Clarkson, Understanding Criminal Law. Op.Cit., hal. 44.270 .Marcus Fletcher, Alevel Principles of English Law, (British Goverment: HLT Publ,
1990), hal.194.
185
dengan pegawai atau pekerja;
b. Perbuatan pidana yang dilakukan oleh pegawai atau pekerja tersebut
harus berkaitan atau masih dalam ruang lingkup pekerjaannya.
Dalam pemberian terapi di suatu rumah sakit dapat
dikelompokkan beberapa tenaga kesehatan yang terkait dengan
prosedur penyinaran dengan menggunakan zat radioaktif adalah penata
rontgen, dokter radioterapi yang menangani prosedur penyinaran, kepala
bagian radioterapi, sampai dengan direktur rumah sakit.
A ga r r u ma h s a k i t d a pa t d ip e r t an g gu ng j aw ab kan berdasarkan
asas vicarious liability, dengan memperhatikan pendapat Marcus Fletcher tersebut
di atas, harus memenuhi syarat-syarat:
a. B a h w a d a l a m p r o s e d u r p e mb e r i a n t e r a p i d e n g a n
menggunakan zat radioaktif di suatu rumah sakit harus terdapat
hubungan pekerjaan antara penata rontgen, dokter radioterapi, serta
hubungan pekerjaan yang lebih tinggi antara tenaga kesehatan dengan
pihak pimpinan di sebuah rumah sakit tersebut;
b. Bahwa perbuatan pidana yang dilakukan oleh penata rontgen atau dokter
radioterapi (tenaga kesehatan di bidang radioterapi) harus berkaitan atau
masih dalam ruang lingkup pekerjaannya.
Apabila kita cermati kedua syarat tersebut agar rumah sakit dapat
dipertanggungjawabkan, harus memenuhi kedua syarat tersebut di atas.
Bagaimana jika perbuatan yang dilakukan oleh pegawai bukan dalam ruang
lingkup pekerjaannya?
Jika perbuatan yang dilakukan oleh seorang pegawai di luar ruang lingkup
pekerjaan, maka seorang pegawai yang melakukan perbuatan tersebut tetap
harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dalam kaitan itu Smith and
Brian Hogan memberi contoh kasus Huggin. Huggin adalah kepala penjara,
tanpa sepengetahuan Huggin seorang pegawai penjara telah membunuh salah
seorang penghuni penjara tersebut. Pada mulanya Huggin dituduh ikut
bertanggung jawab. Namun oleh pengadilan dia dibebaskan dengan alasan
186
bahwa perbuatan pegawai itu di luar lingkup pekerjaannya.271
Dalam pemberian terapi, jika seorang penata roengten atau dokter
radioterapi melakukan perbuatan di luar ruang lingkup pekerjaannya maka kepala
bagian radioterapi atau direktur sebuah rumah sakit tidak dapat dipertanggung
jawabkan berdasarkan vicarious liability.
Disamping kedua syarat tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Marcus
Fletcher, maka dalam menerapkan vicarious liability, yaitu prinsip pendelegasian
dan prinsip perbuatan buruh. merupakan perbuatan majikan. Prinsip
pendelegasian sangat penting dalam penerapan asas pertanggungjawaban pidana
berdasarkan asas vicarious liability yang antara lain meliputi:
a. Prinsip Pendelegasian (The Delegation Principle)
Prinsip pendelegasian itu berkaitan dengan pemberian izin kepada seseorang
untuk melakukan pekerjaan sesuai kewenangan ang diberikan oleh si pemberi
delegasi. Jika si penerima delegasi itu melakukan perbuatan melawan hukum,
maka pemberi delegasi bertanggung jawab atas perbuatan penerima delegasi
tersebut. Contoh kasus mengenai prinsip pendelegasian ini adalah sebagai
berikut:
a. X adalah seorang dokter umum. Dan Y adalah seorang perawat.
Dokter memberikan delegasi kepada perawat untuk menyuntikkan
seorang pasien dengan anti histamin dengan dosis tertentu. Ternyata
jumlah dosis yang diberikan oleh perawat tidak sesuai dengan dosis
yang seharusnya dinstruksikan oleh dokter (X);
b. X adalah seorang dokter radioterapi. Y adalah seorang koas spesialis
radioterapi. Dalam penghitungan dosis, X melimpahkan kewenangannya
kepada Y, sehingga terjadi kesalahan dalam penghitungan dosis yang
menyebabkan kelebihan dosis dalam pemberian terapi yang dilakukan oleh
seorang penata rontgen.272
Contoh kasus yang menarik mengenai tidak terdapat pendelegasian untuk
menerapkan vicarious liability dapat dikemukakan sebagai berikut:
271 .Smith & Hogan, Op.Cit., hal.140-141.272 .Joseph H.King ,JR, The Law of Medical Malpractice, Op. Cit., hal.23 3.
187
"Izin pembukaan sebuah restoran yang menyediakan minuman
beralkohol hanya dapat dijual kepada seseorang yang memesan makanan.
Pelayanan menjual minuman .tersebut kepada seseorang yang tidak
memesan makanan. Pemegang lisensi didakwa melanggar Pasal 22 ayat
(1) Licensing Act 1961, atas dasar pengetahuannya menjual minuman
beralkohol. Pemegang lisensi tidak mengetahui mengenai tindakan
pelayan tersebut. Jaksa mengabaikan pembelaan tersebut. Mahkamah
Agung menerima pembelaan pemegang lisensi sehingga majikan tidak
dipidana.
Putusan Mahkamah Agung tersebut dinilai tepat karena dalam kasus itu
tidak terdapat adanya pendelegasian. Perbuatan itu dilakukan oleh pelayan
yang sebenarnya diberi petunjuk oleh majikan agar tidak menjual minuman
beralkohol kepada orang yang tidak memesan makanan. Jelas dalam kasus
seperti itu tanggung jawab ada pada pelayan itu sendiri.
Berkaitan dengan prinsip pendelegasian itu, hal yang penting untuk
diingat adalah bahwa prinsip ini membutuhkan adanya mens rea. Artinya
perbuatan melawan hukum itu dilakukan dengan kesalahan oleh penerima
delegasi. Jadi kalau tidak ada kesalahan prinsip pendelegasian itupun juga
tidak dapat diberlakukan.
b. Tindakan pegawai adalah tindakan majikan (The servant's Acts is the
Master's Act in Law)
Dengan mencermati ketentuan Pasal 2E UU No.10 tahun 1997 tentang
ketenaganukliran, yang menyatakan:
"Pengusaha instalasi nuklir wajib bertanggung jawab atas kerugian nuklir
yang diderita oleh pihak ketiga yang disebabkan oleh kecelakaan nuklir
yang terjadi dalam instalasi nuklir tersebut".
Selanjutnya pada penjelasan Pasal 28 tersebut menyatakan:
"Pada prinsipnya dalam hal terjadi kecelakaan nuklir, tanggung jawab
dibebankan kepada satu pihak, yaitu pengusaha instalasi nuklir. Dengan
188
demikian, tidak ada pihak lain yang dapat diminta selain pengusaha instalasi
nuklir itu".
Dari Pasal 28 beserta penjelasannya dapat disimpulkan bahwa
meskipun tindakan yang dilakukan oleh pegawai atau pekerja instalasi
nuklir, yang dalam hal pemberian terapi dilakukan oleh tenaga medis dan
paramedis maka pengusaha instalasi (rumah sakit) tetap bertanggung jawab
terhadap tindakan pegawainya.
Selanjutnya Pasal 11 Peraturan Pemerintah No.64 tahun 2000 tentang
Perizinan Pemanfaatan Tenaga Nuklir, menyatakan:
"Pemegang izin bertanggung jawab atas kerugian yang timbul akibat pemanfaatan
tenaga nuklir".
Dari ketentuan Pasal 11 PP tersebut, dapat disimpulkan bahwa
apabila seorang penata roengten atau dokterspesialis rasioterapi dalam
memberikan penyinaran melakukan tindakan medis tidak sesuai prosedur yang
berlaku yang mengakibatkan kerugian nuklir bagi pasien maka pemegang izin
dalam hal ini pihak rumah sakit dapat dimintai tanggung jawab. Dengan kata lain
tindakan medis dari pegawai di bagian radioterapi merupakan tindakan majikan.
Perkembangan konsep korporasi sebagai subjek perbuatan pidana
merupakan akibat perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat dalam
menjalankan aktivitas usaha. Pada masyarakat yang masih sederhana,
kegiatan usaha cukup dijalankan secara perorangan. Dalam perkembangan
masyarakat yang terjadi, timbul kebutuhan untuk mengadakan kerjasama
dengan pihak lain dalam menjalankan usaha. Beberapa hal menjadi faktor
pertimbangan untuk mengadakan kerjasama antara lain terhimpunnya modal
yang lebih banyak. Tergabungnya ketrampilan dalam suatu usaha jauh lebih
baik dibandingkan dengan dijalankan seorang diri, dan mungkin atas
pertimbangan dapat membagi resiko kerugian.273
Dalam bidang hukum pidana, keberadaan suatu badan hukum atau badan
usaha yang menyandang istilah korporasi diterima dan diakui sebagai subjek
273 .Rudy Prasetya, "Perkembangan Korporasi dalam Proses Modenisasi", Makalah Seminar Nasional Kejahatan Korporasi. (Semarang: FH UNDIP, 23-24 Noll:Alba, 1989), hal.3.
189
hukum yang dapat melakukan tindak pidana serta dapat pula dipertanggung
jawabkan. Dalam perkembangan hukum pidana di Indonesia, ada tiga sistem
pertanggungjawaban korporasi sebagai subjek hukum pidana, yaitu:274
a. Pengurus korporasi yang berbuat, maka penguruslah yang bertanggung
jawab;
b. Korporasi sebagai pembuat, maka pengurus yang bertanggung jawab;
c. Korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggung jawab.
Penyelenggaraan rumah sakit sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang ada, dapat dilakakan baik oleh pemerintah ataupun swasta. Kiranya sudah
tidak perlu diragukan lagi mengenai fungsi rumah sakit dalam masyarakat sebagai
subsistem.
3. Sifat Dasar Pertanggungjawaban Rumah Sakit
Fungsi rumah sakit dari segi medis yang merupakan tempat praktek medik,
jelas nampak dari perumUsan yang diberikan oleh Philip D.Bonnet, N.D.275
sebagai: “…an istitution providing medical care and other services for sick and
injured persons". Untuk itu maka ada beberapa tipe rumah sakit yang pada
dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam tiga hal yang prinsipil, yaitu :276
a. yang didasarkan pada kepemilikannya (ownership);
b. yang didasarkan pada lamanya waktu tinggal (length of stay) ;
c. yang didasarkan pada jenis pelayanan yang diberikan (type of service
provided).
Berdasarkan pelayanan yang diberikan dapat dibedakan atas rumah sakit
umum dan rumah sakit khusus. Pengertian rumah sakit umum yaitu, rumah
sakit yang memberikan pelayanan kesehatan semua jenis penyakit dari yang
bersifat dasar sampai dengan spesialistik. Sedangkan rumah sakit khusus hanya
menyelenggarakan pelayanan kesehatan berdasarkan jenis penyakit tertentu
atau disiplin ilmu tertentu.
274 .Mardjono Reksodiputro, Tindal( Pidana Korporasi dan Pertanggungjawabannya, (Jakarta: Pusal Pelayanan Keadilan dan Hukum UI, 1994), lia1,72.
275 .Encyclopedia America, International Edition, hal .437.276 ,Hermin Hadiati K. Beberapa Permasalahan Huktun dan Medik, Op.Cit., hal. 67.
190
Pertanggungjawaban rumah sakit ini dapat dibedakan dalan dua hal yaitu
berdasarkan doktrin strict liability dan vicarious liability. Pertanggungjawaban
rumah sakit berdasarkan asas strict liability dapat dibedakan karena defective
products dan injuries suffered by the patients.277
Sifat dasar dari pertanggungjawaban rumah sakit dapat dikemukakan
sebagai berikut:278
a. Hospital equipment, supplies, medication and food (peralatan rumah sakit,
persediaan, pengobatan dan makanan);
Menurut sifat dasar ini rumah sakit bertanggung jawab terhadap
peralatan yang dipergunakan, persediaan obat dan makanan yang
memadai sesuai standar pelayanan yang baik.
b. Hospital environment (lingkungan rumah sakit);
Lingkungan rumah sakit yang harus diperhatikan, karena lingkungan rumah
sakit yang sehat akan sangat berpengaruh terhadap upaya penyembuhan
penyakit pasien.
c. Saftey procedure (prosedur yang aman);
Rumah sakit harus melakukan prosedur-perosedur operasional yang
berkaitan dengan pelayanan medis yang dilakukan memberikan rasa aman
kepada pasien dengan peralatan yang baik dan standar.
d. Selection and retention of employees and conferral of staff previlages
(seleksi dan kemampuan pekerja serta memberikan perlindungan kepada
staff);
Rumah sakit melakukan seleksi kepada pekerja berdasarkan kemampuan
sehingga memberikan pelayanan kesehatan yang baik. Disamping rumah
sakit harus memberikan perlindungan kepada pegawainya yang telah
melaksanakan kewajibannya dengan memberikan pelayanan medis
dengan baik.
e. R e s p o n s i b i l i t y f o r s u p e r v i s i o n o f p a t i e n t c a r e (bertanggung
jawab untuk mengawasi perawatan pasien);
277 .Jospeh H.King, JR, the Law of Medical Malpractice. Op.Cil., hal.304.278 .Ibid., hal. 310-317.
191
Rumah sakit bertanggung jawab dengan melakukan pengawasan terhadap
berbagai tindakan medis dalam rangka perawatan terhadap pasien.
Tugas rumah sakit adalah memberikan pelayanan kesehatan dengan
mengutamakan kegiatan penyembuhan penderita dan pemulihan keadaan
cacat badan dan jiwa yang dilakukan secara terpadu dengan upaya
peningkatan dan pencegahan serta melakukan upaya rujukan.
Untuk memperjelas mengenai pertanggungjawaban rumah sakit, perlu
dikemukakan beberapa kasus antara lain:
1) Keputusan pidana Arrondissementsrechbank Leeuwarden, 23 Desember 1987
Ringkasan kasusnya adalah:
"Seorang anestesis dipersalahkan telah mengakibatkan matinya seorang
pasien, karena memakai obat narkose yang rusak. Anestesi dianggap tidak
hati-hati. Terdapat hubungan kausal. antara pemakaian alat yang rusak
dengan matinya pasien. Ia dijatuhi hukuman bersyarat 6 bulan. Penyeledikan
yang dilakukan memberikan gambaran bahwa pada pembetulan alat narkose
tersebut telah dilakukan penggantian 2 buah nippel. Oleh hakim dikatakan
bahwa seorang anestesi harus bertanggung jawab, tidak saja pada saat
dipakainya alat tersebut, tetapi harus yakin bahwa pembentulan itu
dilakukan dengan baik. Syarat mutlak pada pemberian narkose bahwa alat
pengamannya juga harus bekerja dengan baik. Selain itu rumah sakitpun
dijatuhi hukuman denda karena dianggap bersalah telah mengakibatkan
matinya seorang pasien. Dianggap tidak cukup hati-hati dalam
mengusahakan pemeliharaan dan pengamanan dari alat narkosa yang
dipakai di rumah sakit itu”.279
2) Woodhouse v. Knickerbocker Hospital, 39 N.Y.S.2d 671, 1943
Ringkasan kasusnya adalah :
“ Rumah sakit yang memberikan peralatan yang rusak bertanggung jawab
terhadap pasien jika sampai cidera karenanya. Demikian pula perawat yang
mempergunakan peralatan yang rusak, bertanggung jawab terhadap
279 .J Guwandi, Malpraktek Medik, (Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 1993), hal.59.
192
pasiennya. Berdasarkan latihan dan pengalaman mengenai peralatan, para
perawat mengetahui apakah peralatannya memenuhi standar ataukah tidak".280
3) Darling v. Charleston Community memorial Hospital, 1965
"Kasus Darling adalah suatu Landmark decision yang diputuskan pada tahun
1965. Menjadi sangat terkenal dalam kaitannya dengan kasus malpraktek
medik, karena secara radikal telah merubah pendapat-pendapat yang dianut
sebelumnya. Pada keputusan ini fokusnya tidak lagi secara ekslusif dipusatkan
kepada dokternya, tetapi memperluas tanggung jawab rumah sakit. Ini apa
yang dinamakan suatu konsep tentang corporate liability for all malpractice
committed within hospital walls”.
Duduk perkaranya:
Pada tanggal 5 november tahun 1960 seorang mahasiswa berumur 18
tahun mengalami patah kaki sewaktu bermain sepak bola. Ia dibawake unit
gawat darurat Charleston Hospital dan ditangani oleh dr. Alexander, seorang
dokter jaga bukan pegawai rumah sakit. Terhadap pasien dilakukan traksi dan
dipasang gips. Namun setelah selesai pasien mengalami kesakitan hebat dan
jari kakinya menjadi bengkak dan berwarna gelap. Tak lama kemudian jari
tersebut menjadi dingin dan tidak terasa.
Pada tanggal 6 november, dr Alexander memberi insisi gips sekeliling jari
kaki dan esok sorenya memotong gips tersebut tiga inchi dari jari kaki. Pada
tanggal 8 november, gips itu dibelah dengan gergaji stryker. Para perawat melihat
selain darah juga terdapat jaringan kental lain yang sangat berbau busuk. Pasien
dirawat terus di rumah sakit tersebut.
Baru pada tanggal 19 november, akhirnya pasien dirujuk ke Barnes
Hospital. Menurut dokter ahlinya terdapat gangguan sirkulasi darah dan
perdarahan disebabkan karena konstruksi pemasangan gips. Akhirnya kaki itu
harus diamputasi 8 inchi di bawah lutut.
Orang tua pasien menuntut RS Charleston karena dianggap bertanggung
jawab atas tindakan dr Alexander yang ditugaskan menjaga unit gawat darurat,
280 .Ibid., hal. 65.
193
yaitu karena tidak merujuk pasien kepada dokter yang lebih ahli dan tidak
dilaksanakan prosedur sebagaimana mestinya di suatu rumah sakit.
Keputusan kasus Darling ini kemudian diikuti oleh keputusan-keputusan
hakim berikutnya di dalam masalah yang menyangkut rumah sakit. Sejak kasus
ini maka yang pertama-tama dimintakan pertanggungjawaban terlebih dahulu
adalah rumah sakitnya.281
Dalam konteks hukum kedokteran, doktrin corporate liability ini mulai
timbul dalam penerapannya kepada rumah sakit, sehingga timbul doktrin hospital
liability. Dimana menurut doktrin ini sebuah rumah sakit dapat dimintakan
tanggung jawab terhadap adanya kerugian yang ditimbulkan oleh orang-orang di
bawah perintahnya seperti dokter organik, perawat, bidan, tenaga penata rontgen
serta karyawan lainnya yang sampai menimbulkan kerugian kepada pihak pasien.
Dasar pemikiran mengapa rumah sakit dapat dimintai tanggung jawab
adalah bahwa seorang pasien yang datang ke suatu rumah sakit tidak akan tahu
apakah dokter itu adalah dokter organik atau bukan. Selain itu kepada rumah
sakit juga dibebankan kewajiban untuk memberikan pelayanan kesehatan yang
baik (duty of due care) dengan akibat bahwa kepala rumah sakit sebelum
menerima seorang tenaga kesehatan harus mengadakan seleksi dalam
pembuatan kontrak.
Di sebuah rumah sakit apabila seorang pasien diberikan obat atau
peralatan yang rusak (devective) tetapi oleh sang produsen tidak diketahui,
maka tanggung jawab beralih dari produsen kepada rumah sakit yang harus
mengganti kerugian. Hal ini disebabkan karena berdasarkan hospital liability
sebuah rumah sakit harus mengadakan pemeliharaan (maintenance) dari
peralatan-peralatan medik yang dipergunakan. Hal ini biasanya dilakukan oleh
suatu bagian yang dinamakan elektromedik.
Dalam pemberian terapi dengan menggunakan zat radioaktif, berdasarkan
Pasal 30 PP No.63 tahun 2000 tentang Keselamatan dan Kesehatan Terhadap
Pemanfaatan Radiasi Pengion maka pengusaha instalasi wajib melakukan
kalibrasi keluaran radiasi peralatan radiasi secara berkala. Apabila kalibrasi
281 .Ibid., hal. 67.
194
tersebut tidak dilakukan dan kemudian peralatan tersebut tetap dipergunakan
oleh tenaga radioterapis yang akhirnya menyebabkan kerugian nuklir baik
cacat fisik atau bahkan meninggalnya pasien maka rumah sakit dapat
dipertanggungjawabkan.
Dengan memperhatikan pendapat Joseph H.King, tentang dua sistem
pertanggungjawaban korporasi, maka rumah sakit yang menyelenggarakan
pelayanan radioterapi yang dapat mengakibatkan kerugian kepada pasien dapat
di konstruksikan sebagai berikut:
Pertama, Pertanggungjawaban berdasarkan vicarious liability
Doktrin ini mengandung inti, bahwa seorang majikan bertanggungjawab
atas kerugian pihak lain yang ditimbulkan oleh orang-orang/karyawan yang
berada di bawah pengawasannya. Latar belakang dasar pemikiran ini adalah
bahwa tak akan mungkin atau setidak-tidaknya sangat sulit untuk memperoleh
ganti kerugian kepada karyawan tersebut.
Dalam konteks hukum kedokteran, doktrin vicarious liability ini timbul
secara khusus dalam doktrin chaptain of the ship yang berlaku terhadap dokter
spesialis radioterapi yang melakukan prosedur pemberian terapi dengan zat
radioaktif di suatu rumah sakit. Ia dianggap bertanggung jawab atas kesalahan
atau kelalaian para staf pembantunya, termasuk penata rontgen dan perawat.
Dalam hal ini penata rontgen sebagai borrowed servant kepada dokter spesialis
radioterapi tersebut, walaupun penata rontgen secara struktural adalah tenaga
organik yang digaji oleh rumah sakit.
Kedua, Pertanggungjawaban berdasarkan strict liability
Doktrin ini mengandung inti bahwa pertanggungjawaban tanpa
memperhatikan adanya kesalahan dari pelaku, yang paling penting bahwa
tindakan yang dilakukan itu menimbulkan bahaya bagi pasien.
Rumah sakit juga dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan asas ini apabila
dalam prosedur pemberian terapi peralatan yang dipergunakan tidak dalam
keadaan standar, sehingga pemberian terapi yang dilakukan oleh tenaga kesehatan
di bidang radioterapi dapat menyebabkan kerugian nuklir kepada pasien tanpa
195
memperhatikan adanya kesalahan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di bagian
radioterapi tersebut.
4. Pengaturan Pertanggungjawaban Rumah Sakit di Bidang Radioterapi
Dalam Perundang-undangan Indonesia
Penyelenggaraan rumah sakit sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang ada, dapat dilakukan baik oleh pemerintah ataupun swasta. Sesuai tugas
rumah sakit dalam melaksanakan pelayanan kesehatan maka rumah sakit harus
mengutamakan kegiatan penyembuhan penderita dan pemulihan keadaan cacat
badan dan jiwa yang dilakukan secara terpadu dengan upaya peningkatan
(promotif) dan pencegahan (preventif) serta melakukan upaya rujukan.
Salah satu bentuk upaya pelayanan kesehatan di rumah sakit adalah
pemberian terapi dengan menggunakan zat radioaktif. Sebelum prosedur
pemberian terapi dilakukan, maka pihak rumah sakit yang dalam hal ini unit
radioterapi terlebih dahulu harus meminta persetujuan pasien atau keluarga
pasien yang diberikan secara tertulis.
Rumah sakit sebagai suatu institusi yang menyelenggarakan pelayanan
kesehatan pada dewasa ini, yang sarat dengan persaingan harus senantiasa
berbenah diri dalam meningkatkan kualitas pelayanannya. Kondisi tersebut
apabila tidak didukung oleh peralatan dan sumber daya manusia akan dapat
menimbulkan masalah yaitu adanya kerugian nuklir yang diterima pasien akibat
penggunaan terapi dengan zat radioaktif tersebut.
Setelah kita mengetahui bahwa rumah sakit dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana pada uraian bab-bab sebelumnya. Pertanyaan yang
dapat dikemukakan, bagaimanakah peraturan perundang-undangan Indonesia
mengatur tentang dasar hukum pertanggungjawaban pidana rumah sakit dalam
pemberian terapi dengan zat radioaktif yang menimbulkan kerugian kepada
pasien?
Pertanggungjawaban pidana rumah sakit dalam peraturan perundang-
undangan di Indonesia antara lain dapat diuraikan sebagai berikut:
196
Pertama, Pertanggungjawaban Pidana Berdasarkan UU No.8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen
Pasal 1 angka 3 menyatakan bahwa :
"Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara RI,
baik sendiri maupun bersama-sama melui perjanjian menyelnggarakan
kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi".
Selanjutnya Pasal 1 angka 7 menyatakan:
"Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang
disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen".
Dari bunyi kedua pasal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa rumah
sakit yang memberikan pelayanan di bidang radioterapi dapat dikelompokkan
sebagai pelaku usaha yang berbentuk badan hukum. Dengan demikian apabila
rumah sakit yang memberikan pelayanan medis di bidang radioterapi dengan
menggunakan zat radioaktif menyebabkan kerugian kepada pasien berupa luka
berat, cacat tetap atau kematian, maka rumah sakit dapatdipertanggungjawabkan
secara pidana.
Pasal 19 ayat (4) menyatakan:
"Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) dan ayat (2)
tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan
pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan".
Disamping berdasarkan Pasal 19 ayat (4) tersebut di atas, maka
pertanggungjawaban pidana rumah sakit dapat didasarkan Pasal 61 dan Pasal 62
ayat (3).
Pasal 61 menyatakan:
"Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau
pengurusnya".
Pasal 62 ayat (3) menyatakan:
"Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap,
197
atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku".
Berdasarkan ketentuan Pasal 19 ayat (4), Pasal 61, dan Pasal 62 ayat (3)
memberikan dasar hukum bahwa pelaku usaha (rumah sakit) dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana.
Kedua, Pertanggungjawaban Pidana Berdasarkan UU No.32 tahun
2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Apabila kita ingin mengetahui pertanggungjawaban pidana rumah sakit,
maka salah satu pijakan yang menjadi dasar hukum adalah Undang-undang
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No.32 tahun 2009).
Pasal 99 ayat (1) menyatakan:
"Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku
mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut atau kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat
1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan paling sedikit Rp.
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp.
3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)".
Selain Pasal 99 ayat (1) terkait dengan larangan perbuatan pidana juga
diatur dalam Pasal 99 ayat (2) s/d Pasal 115 UU PLH. Apabila tindak pidana
sebagaimana Pasal 99 s/d Pasal 115 dilakukan oleh, untuk atau atas nama
korporasi, maka badan usaha tersebut dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.
Pasal 116 ayat (1) UUPLH, dinyatakan bahwa:
“Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk atau atas
nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:
a. badan usaha; dan/atau
b. orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut
atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak
pidana tersebut”.
Selanjutnya Pasal 116 ayat (2) UUPLH, dinyatakan bahwa:
“Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana yang dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh orang yang berdasarkan hubungan kerja atau
198
berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha,
sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam
tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut
dilakukan secara sendiri – sendiri atau bersama – sama”
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa rumah
sakit yang memberikan pelayanan medis di bidang radioterapi dengan
menggunakan zat radioaktif dapat dimintai pertanggungjawaban pidana bila
menimbulkan kerugian kepada pasien.
Ketiga, Pertanggungjawaban Pidana Berdasarkan UU No.10 tahun
1997 tentang Ketenaganukliran
Pasal 1 angka 17 UU No.10 tahun 1997 tentang Ketenaganukliran,
menyatakan:
"Pengusaha instalasi nuklir adalah orang perseorangan atau badan hukum yang
bertanggung jawab dalam pengoperasian instalasi nuklir".
Selanjutnya Pasal 28 menyatakan bahwa:
"Pengusaha instalasi nuklir wajib bertanggung jawab atas kerugian nuklir yang
diderita oleh pihak ketiga yang disebabkan oleh kecelakaan nuklir yang terjadi
dalam instalasi nuklir tersebut".
Penjelasan Pasal 28 tersebut menyatakan:
"Pada prinsipnya dalam hal terjadi kecelakaan nuklir, tanggung,jawab hanya
dibebankan kepada satu pihak yaitu pengusaha instalasi nuklir. Dalam sistem
tanggung jawab mutlak, untuk menerima ganti rugi pihak ketiga yang menderita
kerugian nuklir tidak dibebani beban pembuktian ada atau tidaknya kesalahan
pengusaha instalasi nuklir".
Ketentuan kedua pasal tersebut di atas apabila dikaitkan dengan ketentuan
Pasal 44, dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan zat radioaktif untuk keperluan
terapi yang dapat menimbulkan kerugian nuklir kepada pasien maka rumah sakit
dapat dimintai pertanggungjawaban.
Pasal 44 menyatakan:
"(1) Barangsiapa. melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan
199
Pasal 24 ayat (2) untuk penghasil limbah radioaktif tingkat tinggi dipidana
dengan penjaran paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak
Rp.300.000.000.
(2) Barangsiapa melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Pasal 24 ayat
(1) untuk penghasil limbah radioaktif tingkat rendah dan tingkat sedang
dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp.100.000.000".
Mengingat pengusaha instalasi juga termasuk badan hukum, maka
ketentuan Pasal 44 ini juga dapat diberlakukan terhadap rumah sakit yang
memberikan terapi dengan zat radioaktif yang menyebabkan kerugian nuklir
kepada pasien.
200
201
DAFTAR PUSTAKA
Achadiat, Crisdiono.M. Pernik-Pernik Hukum Kedokteran. Cet.2. Jakarta:Widya
Medika, 1986.
Abidin, Zamhari. Pengertian dan Asas Hukum Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia,
1986.
Ameln, Fred. Kapita Selekta Hukum Kedokteran. Jakarta: PT.Grafikatama Jaya,
1991.
Arief, Barda Nawawi. Perbandingan Hukum Pidana. Cet.2. Jakarta: PT. Raja
Grafika Persada, 1994.
Afrian, Wiwik. :Pelacuran, Aborsi dan Etika Kebebasan," Jayakarta (30-april
1986).
Bakri, Abdullah. Kapita Selekta Hukum Medik. Bandung: Fakultas Hukum
Unisha, 1998.
Bayles, M.D. Profesional Ethics. Belmont: Wadsworth Inc, 1981.
Brody H. The Phisiciari-Patient Relationship, in Veath RM: Medical Ethics
Boston: Jones and Barlett Publ, 1997.
Darry R, FurLow. Liability and Quality Issues in Health Care. Minnesota: West
Publ, Co., 1991.
Brown, Kent Louis. Medical Problems and The Law. Illionis: Charles C.Thomas
Publisher, 1971.
Burton, Arthur W. Medical Ethics and The Law. Australian: Australian Medical
Publishing, 1979.
Departemen Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan Tentang Rumah Sakit,
Permenkes No.159b tahun 1988.
Flarcher, Marcus. A-Level Principle of English Law. London: HLT Publication,
1990.
Giilies, Peter. Criminal Law. Sidney: The Law Book company, 1990.
Guwandi, J. Malpraktek Medis. Jakarta: Fakultas Kedokteran Uhiversitas
Indonesia, 1993.
___________. Dokter, Pasien dan Hukum. Jakarta : Fakultas Kedokteran
202
Universitas Indonesia, 1994.
__________. Kelalaian Medik. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 1994.
__________. Tindakan Medik dan Tanggung Jawab Produk Medik. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1993.
Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Arikha Media Cipta,
1993.
___________. Peranan Keterangan Ahli Dalam Perkara Pidana. Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1986.
___________. Pembuktian Perkara Pidana Dalam Pengadilan. Jakarta: Ghalia
Indonesia, 196.
___________. Asas-asas Hukum Pidana. Cet. 2. Jakarta : PT. Rineka Cipta,
1994.
Human Rights and Professional Responsibility of Phisician Document of
International Organitation. The Word Phisichiatric Association, 1994.
Hardjasoemantri, Kosnadi. Hukum Tata Lingkungan. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 1999.
H.King, Joshep, JR. The Law of Medical Malpraktice. St. Paul, Minn: West
Publishing Co, 1986.
Hadiati, Hermin. Beberapa Permasalahan Hukum dan Medik. Bandung: PT.Citra
Aditya Bakti, 1992.
Hanafi. Penerapan Instrumen Hukum Pidana Dalam Konteks Penegakan Hukum
Lingkungan. Laporan Penelitian. Jakarta: Universitas Indonesia, 1996.
_______. Strict Liability dan Vicarious Liability dalam Hukum Pidana. Hasil
Penelitian. Yogyakarta: UII, 1997.
Hetrik, Hamzah. Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana.
Jakarta: Pt.Raja Grafindo Persada, 1996.
Hart, H.L.A. Punishment and Responsibility: Essay in The Pilosophy of Law.
Oxford: Oxford University Press, 1968.
Indonesia. Undang-Undang tentang Kesehatan. UU No.23, LN No.100 tahun
1992, TLN No.3495.
203
_________. Undang-Undang Tenaga Kesehatan, UU No. 32, LN No.49,
TLN No.3637.
King, Joseph. The Law of Medical Practice in Nuthsell. Minnesota: West Pbl,Co.,
1986.
Kerbala, Husein. Segi-Segi Etis Dan Yuridis Informed Consent. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1993.
Kartanegara, Satochid. Hukum Pidana. Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa.
Lamintang, PAF. Dasar-Oasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Sinar Baru,
1990.
LaFave, Wayne R and Austin w. Scott Jr. Handbook on Criminal Law. America:
Publishing, 1972.
Robert M, Veatch. Medical Ethics. Massachusets: Jones and iBarhter Publ, 1989.
Mardjono, Reksodiputro. Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan.
Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Hukum Universitas Indonesia,
1994.
_________. Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Pusat Pelayanan
Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 1994.
Muladi dan Barda Nawawi Arief. Teori dan Kebijakan Hukum Pidana. Bandung:
Alumni, 1992.
Moejatno. Asas-asas Hukum Pidana. Cet.2. Jakarta: PT Bina Akasara, 1984.
________. Atas Dasar Apakah Hendaknya Hukum Pidana Dibangun. Cet.3.
Yogyakarta:Al-Hikmah, 1985.
Sianturi, SR. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta:
Alumni, 1989.
Sudarto. Perbandingan Hukum Pidana Indonesia. Unclip: Badan Penyediaan
Bahan Kuliah, 1981.
Saleh, Roeslan. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta:
Aksara Baru, 1983.
__________. Pikiran-pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta:
Aksara Baru, 1983.
__________. Suatu Reorientasi dalam Hukum Pidana. Jakarta: Aksara Baru,
204
1983.
Sheley, Joseph F. Expolring Crime: Reading in Criminology and Criminal Justice.
California: Wadsworth Publishing Co, 1987,
Smith & Hogan. Criminal Law. Fourth Edition. London: Butterwoths, 1978.
Skegg, P.D.G. Law, Ethics and Medicene Studies in Medical Law, Oxford:
Clarendon Press, 1984.
Wiradharma, Danny. Penuntun Kuliah Hukum Kesehatan. Jakarta: Binarupa
Aksara, 1991.
Top Related