Tugas
Perkembangan dan Pengkajian Teknologi
Konsep Adaptasi Teknologi dan Perlindungan Merk Di Indonesia
Muhammad Yusuf 15b20055
Lutfiani Jusuf
Sitti Hardyanti
Indri Anugrah Ramadhani
Pendidikan Teknologi dan Kejuruan
Pascasarjana
Universitas Negeri Makassar
BAB I
PENDAHULUAN
Perkembangan teknologi yang sangat pesat di era globalisasi saat ini telah memberikan
banyak manfaat dalam kemajuan diberbagai aspek sosial. Penggunaan teknologi oleh manusia
dalam membantu menyelesaikan pekerjaan merupakan hal yang menjadi keharusan dalam
kehidupan. Perkembangan teknologi ini juga harus diikuti dengan perkembangan pada Sumber
Daya Manusia (SDM).
Manusia sebagai pengguna teknologi harus mampu memanfaatkan teknologi yang ada
saat ini, maupun perkembangan teknologi tersebut selanjutnya. Adaptasi manusia dengan
teknologi baru yang telah berkembang wajib untuk dilakukan melalui pendidikan. Hal ini
dilakukan agar generasi penerus tidak tertinggal dalam hal teknologi baru. Dengan begitu,
teknologi dan pendidikan mampu berkembang bersama seiring dengan adanya generasi baru
sebagai penerus generasi lama.
Adanya perkembangan teknologi yang terus berkembang dari hari kehari membuat
manusia terus berkarya melalui inivasi dan kreatifitas yang baru mereka dapatkan. Mereka yang
bekerja secara kelompok atau didalam perusahaan dapat menuangkan hasil karya diperusahaan.
Perusahaan yang mendapatkan inovasi baru melindungi hasil karya mereka melalui merk. Salah
satu contoh HKI yang harus dilindungi ialah merek. Merek merupakan hal yang sangat penting
dalam dunia bisnis. Merek produk (baik barang maupun jasa) tertentu yang sudah menjadi
terkenal dan laku di pasar tentu saja akan cenderung membuat produsen atau pengusaha lainya
memacu produknya bersaing dengan merek terkenal, bahkan dalam hal ini akhirnya muncul
persaingan tidak sehat. Merek dapat dianggap sebagai “roh” bagi suatu produk barang atau jasa
(Insan Budi Maulana, 1997:60). Merek sebagai tanda pengenal atau tanda pembeda dapat
menggambarkan jaminan kepribadian (individuality) dan reputasi barang dan jasa hasil usahanya
sewaktu diperdagangkan. Apabila dilihat dari sudut produsen, merek digunakan sebagai jaminan
hasil produksinya, khususnya mengenai kualitas, di samping untuk promosi barang-barang
dagangannya guna mencari dan meluaskan pasar. Selanjutnya, dari sisi konsumen, merek
diperlukan untuk melakukan pilihan-pilihan barang yang akan dibeli (Wiratmo Dianggorro,
1997:34). Apabila suatu produk tidak mempunyai merek maka tentu saja produk yang
bersangkutan tidak akan dikenal oleh konsumen. Oleh karena itu, suatu produk (produk yang
baik atau tidak) tentu memiliki merek. Bahkan tidak mustahil, merek yang telah dikenal luas oleh
konsumen karena mutu dan harganya akan selalu diikuti, ditiru, “dibajak”, bahkan mungkin
dipalsukan oleh produsen lain yang melakukan persaingan curang (Insan Budi Maulana,
1997:60).
Proses adaptasi juga berlaku di hampir semua sektor semisal usaha/merek yang bertahan
sampai sekarang misal Kecap Bango (1928), Teh cap botol/sosro (1940), Blue Band (1936) dan
sepatu Bata yang sampai saat ini masih terlihat gerai nya di mall dan ritel. Namun ada juga
usaha/merek besar yang tidak beradaptasi seperti Kodak (kamera), Sempati Air (angkutan
pesawat), Golden Trully (supermarket), Gelael (ritel). Perlindungan merek secara khusus
diperlukan mengingat merek sebagai sarana identifikasi individual terhadap barang dan jasa
merupakan pusat “jiwa” suatu bisnis, sangat bernilai dilihat dari berbagai aspek ( Paul Latimer,
1997:161). Dengan demikian, Pemanfaatan adapatasi teknologi diIndonesia sangat diperlukan
untuk melindungi merek-merek produk perusahaan. Dengan adanya teknologi terbaru
perusahaan dapat memanfaatkan fasilitas teknolgi untuk mengembangkan produk (merek) yang
berkembang di lingkungan masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Konsep Adaptasi Teknologi
A.
2. Perlindungan Merek Di Indonesia
A. Sekilas Perkembangan Perlindungan Merek di Indonesia
Pada abad pertengahan sebelum revolusi industri, merek telah dikenal dalam
berbagai bentuk atau istilah sebagai tanda pengenal untuk membedakan milik seseorang
dengan milik orang lain. Didahului oleh peranan para Gilda yang memberikan tanda
pengenal atas hasil kerajinan tangannya dalam rangka pengawasan barang hasil pekerjaan
anggota Gilda sejawat, yang akhirnya menimbulkan temuan atau cara mudah
memasarkan barang (Harsono Adisumarto, 1990:44-45). Di Inggris, merek mulai dikenal
dari bentuk tanda resmi (hallmark) sebagai suatu sistem tanda resmi tukang emas, tukang
perak dan alat-alat pemotong yang terus dipakai secara efektif bisa membedakan dari
penghasil barang sejenis lainnya (Muhammad Djumhana & Djubaedillah, 1993:117).
Persoalan merek sebenarnya bukan hal baru bagi Indonesia. Dalam sejarah
perundang-undangan merek, dapat diketahui bahwa pada masa kolonial Belanda berlaku
Reglemen Industriele Eigendom (RIE) yang dimuat dalam Staatblad 1912 Nomor 545 jo
Staatblad 1913 Nomor 214. Pada masa penjajahan Jepang, dikeluarkan peraturan merek,
yang disebut Osamu Seire Nomor 30 tentang Pendaftaran cap dagang yang mulai berlaku
tanggal 1 bulan 9 Syowa (tahun Jepang 2603. Setelah Indonesia Merdeka (17 Agustus
1945), peraturan tersebut masih diberlakukan berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan
Undang-Undang Dasar 1945. Selanjutnya, sejak era kebijakan ekonomi terbuka pada
Tahun 1961 diberlakukan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 tentang Merek
Perusahaan dan Merek Perniagaan yang menggantikan peraturan warisan kolonial
Belanda yang sudah dianggap tidak memadai, meskipun Undang-Undang tersebut pada
dasarnya mempunyai banyak kesamaan dengan produk hukum kolonial Belanda tersebut
(Saidin, 1995: 249-250).
Perkembangan selanjutnya, Undang-Undang Merek telah mengalami perubahan,
baik diganti maupun direvisi karena nilainya sudah tidak sesuai dengan perkembangan
keadaan dan kebutuhan. Pada akhirnya, pada tahun 2001 diundangkanlah Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Undang-Undang Merek ini merupakan
hukum yang mengatur perlindungan merek di Indonesia. Undang-Undang tersebut
merupakan produk hukum terbaru di bidang merek sebagai respon untuk menyesuaikan
perlindungan merek di Indonesia dengan standar internasional yang termuat dalam Pasal
15 Perjanjian TRIPs sebagai pengganti UU sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 14
tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 19 tahun 1992 tentang
Merek.
Berdasar Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001, dinyatakan
bahwa Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata huruf-huruf, angka-angka,
susunan warna, ataupun kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya
pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan adanya beberapa unsur merek, yaitu:
1. Syarat utama merek adalah tanda yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam
perdagangan barang atau jasa.
2. Tanda yang dapat menjadi simbol merek terdiri dari unsur-unsur, gambar, nama, kata,
huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut.
Sehubungan dengan definisi merek tersebut, di Australia dan Inggris, definisi
merek telah berkembang luas dengan mengikutsertakan bentuk dan tampilan produk di
dalamnya. Di Inggris, Perusahaan Coca Cola telah mendaftarkan bentuk botol sebagai
merek. Perkembangan ini mengindikasikan kesulitan membedakan perlindungan merek
dan desain industri. Di beberapa negara, suara, bau, dan warna dapat didaftarkan sebagai
merek (Baca. Tim Asian Law Group,2001:157) Perkembangan ini tentu akan
menimbulkan persoalan tersendiri yang tidak akan dibahas lebih lanjut dalam tulisan ini.
Dalam merek dikenal adanya hak eksklusif sebagaimana dinyatakan dalam Pasal
3 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, yaitu hak eksklusif yang
diberikan negara kepada pemilik merek. Secara umum hak eksklusif dapat didefinisikan
sebagai ‘hak yang memberi jaminan perlindungan hukum kepada pemilik merek, dan
merupakan pemilik satu-satunya yang berhak memakai dan mempergunakan serta
melarang siapa saja untuk memiliki dan mempergunakannya’. Dengan demikian, hak
eksklusif memuat dua hal, yaitu, pertama,menggunakan sendiri merek tersebut, dan
kedua, memberi ijin kepada pihak lain menggunakan merek tersebut.
Hak eksklusif bukan merupakan monopoli yang dilarang sebagai persaingan tidak
sehat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat, tetapi justru merupakan hak yang bersifat khusus
dalam rangka memberi penghormatan dan insentif pengembangan daya intelektual untuk
sebuah persaingan sehat dan kesejahteraan masyarakat.
Dalam hukum merek terdapat ajaran atau doktrin persamaan yang timbul
berkaitan dengan fungsi merek, yaitu untuk membedakan antara barang atau jasa yang
satu dengan yang lainnya. Ada dua ajaran persamaan dalam merek yaitu:
1. Doktrin persamaan keseluruhan, dan
2. Doktrin persamaan identik.
Menurut doktin persamaan menyeluruh, persamaan merek ditegakkan di atas
prinsip entireties similar yang berarti antara merek yang satu dengan yang lain
mempunyai persamaan yang menyeluruh meliputi semua faktor yang relevan secara
optimal yang menimbulkan persamaan (M. Yahya Harahap, 1996 : 288).
Doktrin persamaan identik mempunyai pengertian lebih luas dan fleksibel, bahwa
untuk menentukan ada persamaan merek tidak perlu semua unsur secara komulatif sama,
tetapi cukup beberapa unsur atau faktor yang relevan saja yang sama sehingga terlihat
antara dua merek yang diperbandingkan identik atau sangat mirip. Jadi menurut doktrin
ini antara merek yang satu dengan yang lain tetap ada perbedaan tetapi perbedaan
tersebut tidak menonjol dan tidak mempunyai kekuatan pembeda yang kuat sehingga satu
dengan yang lain mirip (similar) maka sudah dapat dikatakan identik.
Doktrin persamaan yang dianut dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001
dapat dilihat dalam Pasal 6 Ayat (1) yang menyatakan : Permohonan harus ditolak oleh
Direktorat Jenderal apabila Merek tersebut :
1. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek milik pihak
lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang/jasa sejenis;
2. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek yang sudah
terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis;
3. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasi geografis
yang sudah dikenal;
Selanjutnya, Pasal 6 ayat (3) menyatakan : Permohonan juga harus ditolak oleh
Direktorat Jenderal apabila Merek tersebut:
1. Merupakan atau menyerupai nama orang terkenal, foto, atau nama badan hukum yang
dimiliki orang lain, kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak;
2. Merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan nama, bendera, lambang atau
simbol atau emblem negara atau lembaga nasional maupun internasional, kecuali atas
persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang;
3. Merupakan tiruan atau menyerupai tanda atau cap atau stempel resmi yang digunakan
oleh negara atau lembaga Pemerintah, kecuali atas persetujuan tertulis pihak yang
berwenang.
Ajaran persamaan dalam Undang-Undang seperti tersebut di atas dipresentasikan
dalam kata atau kalimat ’persamaan pada pokoknya’, ‘persamaan pada keseluruhannya’,
‘merupakan’, ‘merupakan tiruan’ dan ‘menyerupai’. Undang-Undang Merek tidak
memberikan arti dan pengertian untuk membedakan kata-kata tersebut, tetapi
memberikan beberapa faktor sebagai unsur yang dapat menimbulkan kesan adanya
persamaan sebagaimana diuraikan dalam penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Merek,
yaitu:
1) Persamaan bentuk
2) Persamaan komposisi atau penempatan
3) Persamaan penelitian
4) Persamaan bunyi
5) Persamaan ucapan
6) Persamaan kombinasi unsur-unsur
Dengan melihat rumusan Undang-Undang tersebut, terlihat jelas maksud pembuat
Undang-Undang bahwa Undang-Undang menganut doktrin persamaan identik, yaitu
bahwa adanya persamaan keseluruhan atau pada pokoknya diartikan sama dengan identik
(sama serupa).
Fungsi merek sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2001 tentang Merek adalah sebagai alat pembeda barang atau jasa. Berkenaan
dengan hal tersebut merek dilihat dari daya pembedanya dibagi dalam dua kategori, yaitu
kategori pertama adalah merek yang lemah daya pembedanya karena sifatnya yang
deskriptif, dan kategori kedua adalah merek yang kuat daya pembedanya karena
merupakan hasil imajinasi.
Dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 disebutkan, hak merek
diberikan kepada pemilik merek terdaftar, dengan demikian jelas bahwa sistem merek
yang dipakai di Indonesia adalah sistem konstitutif (aktif) sehingga pemilik merek
terdaftar adalah sebagai pemegang hak merek. Pemilik merek terdaftar sebagai pemegang
merek menggunakan merek itu sendiri atau memberi ijin pihak lain menggunakannya.
Lebih lanjut dalam pasal 40 Undang-Undang Merek Nomor 15 Tahun 2001 dinyatakan
bahwa hak merek dapat dialihkan haknya menurut ketentuan Undang-Undang.
Perlindungan hukum berdasarkan sistem first to file principle diberikan kepada
pemegang hak merek terdaftar yang ‘beritikad baik’ bersifat preventif maupun represif.
Perlindungan hukum preventif dilakukan melalui pendaftaran merek, dan perlindungan
hukum represif diberikan jika terjadi pelanggaran merek melalui gugatan perdata maupun
tuntutan pidana dengan mengurangi kemungkinan penyelesaian alternatif diluar
pengadilan.
B. Merek Terkenal
Persoalan pelanggaran dan perlindungan merek terkenal tidak hanya terjadi di
Indonesia, tetapi juga di negara lain. Misalnya, di Swedia (kasus Friskis och Svettles,
1991), Jerman (kasus Ungaro, 1991 atau Rochas, 1991), Inggris (Elderflower
Champaqne, 1993) dan di Jepang (kasus Lorely, 1991). Selanjutnya, masih banyak kasus
merek terkenal di Jepang (Baca Takeshi KIKUCHI, 1998:36-44).
Persoalan merek terkenal di Indonesia mempunyai keunikan tersendiri, karena
pemilik merek terkenal yang sebenarnya justru digugat oleh pihak lokal, misalnya dalam
kasus Piere Cardin dan Levi’s dan sebagainya (Ekbis, 1998). Penggunaan merek terkenal
secara melawan hukum yang marak di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari mentala
pengusaha lokal yang “potong kompas” dan tanpa usaha yang cukup untuk
mengembangkan merek yang mereka buat sendiri. Idealnya pengusaha lokal memang
harus memiliki merek sendiri dan mengembangkannya sehingga memiliki reputasi tinggi
dan menjadi merek terkenal. Akan tetapi, hal tersebut tentu akan memakan waktu yang
cukup lama (Ridwan Kharandy, 1992:2).
Sebelum dibahas merek terkenal, penulis akan menguraikan macam-macam
merek berdasarkan reputasi dan kemashuran suatu merek. Merek dapat dibedakan dalam
tiga jenis berdasarkan reputasi (reputation) dan kemahsyuran (renown) suatu merek, yaitu
merek biasa (normal marks), merek terkenal (well-known marks) dan merek termahsyur
(famous mark).
Merek biasa merupakan merek yang tergolong tidak mempunyai reputasi tinggi.
Merek yang berderajat ’biasa’ ini dianggap kurang memberi pancaran simbolis gaya
hidup baik dari segi pemakaian maupun teknologi. Masyarakat konsumen melihat merek
tersebut kualitasnya rendah. Merek ini juga dianggap tidak memiliki draving power yang
mampu memberi sentuhan keakraban dan kekuatan mitos (mythical power) yang sugestif
kepada masyarakat konsumen, dan tidak mampu membentuk lapisan pasar dan pemakai
(Yahya Harahap, 1996:80-81).
Merek terkenal merupakan merek yang memiliki reputasi tinggi. Merek ini
memiliki reputasi tinggi. Merek ini memiliki kekuatan pancaran yang memukau dan
menarik, sehingga jenis barang yang berada di bawah merek itu langsung menimbulkan
sentuhan keakraban (familiar) dan ikatan mitos (mythical context) kepada segala laposan
konsumen (Yahya Harahap, 1996:82).
Selanjutnya, merek termahsyur ialah merek yang sedemikian rupa mahsyurnya di
seluruh dunia, sehingga mengakibatkan reputasinya digolongkan sebagai ’merek
aristorkat dunia’ (Yahya Harahap, 1996:85). Untuk membedakan antara merek yang
terkenal dan merek yang termahsyur dalam kenyataannya sangatlah sulit. Kesulitan
dalam penafsiran, mengakibatkan kesulitan menentukan batas dan ukuran diantara
keduanya. Apabila merek termahsyur didasarkan pada ukuran ‘sangat terkenal dan sangat
tinggi reputasinya’, maka pada dasarnya ukuran tersebut juga dimiliki oleh merek
terkenal. Oleh karena itu, bagi yang mencoba membuat definisi merek termahsyur,
kemudian besar akan terjebak dengan perumusan yang tumpang tindih dengan definisi
merek terkenal (Yahya Harahap, 1996).
Sampai saat ini, sebenarnya tidak ada definisi merek terkenal yang dapat diterima
secara luas. Upaya-upaya untuk mengiventarisasi unsur-unsur yang membentuk
pengertian tersebut sampai saat ini belum memperoleh kesepakatan. Oleh karena itu, jika
ada pihak yang selalu mendesakkan pengertian yang dimilikinya atau diakuinya terhadap
pihak lain, hal itu hanyalah semata-mata karena adanya kepentingan pemilik merek yang
bersangkutan. Selama perundingan Putaran Uruguay di bidang TRIPs berlangsung
sampai berakhir dan ditandatanganinya Persetujuan Pembentukan WTO, tidak satu
negarapun mampu membuat dan mengusulkan definisi merek terkenal tersebut (Lihat
Bambang Kesowo, 1998:1-2).
Agar suatu merek menjadi merek terkenal yang mampu menunjukkan jaminan
kualitas atau reputasi suatu produk tertentu tidak mudah dan memerlukan waktu yang
cukup lama serta biaya yang tidak sedikit pula. Coca-Cola merek minuman ringan dari
Amerika Serikat memerlukan waktu 100 tahun, Toyota perlu waktu 30 tahun dan Mc
Donald 40 tahun lebih (Ekbis, 1998). Jika suatu merek telah terkenal tentu menjadikan
merek tersebut sebagai kekayaan perusahaan yang tinggi nilainya. Tetapi keterkenalan
tersebut akan memancing produsen lain yang menjalankan perilaku bisnis curang untuk
‘‘membajak’’atau menirunya.
Pertanyaan yang muncul ialah apa kriteria atau ciri-ciri merek terkenal itu?
Jabawan atas pertanyaan ini akan dijelaskan berikut ini.
1. Kriteria Merek Terkenal
Dalam kenyataannya, setiap negara memberikan kriteria merek terkenal tidak
sama atau berbeda dengan negara lain. Kriteria merek terkenal yang dianut oleh Amerika
Serikat diatur dalam Pasal 43 (c) (1) Lannham Act yang diperbaharui. Dalam pasal
tersebut ditentukan bahwa untuk menentukan apakah suatu merek mempunyai sifat daya
pembeda dan terkenal, Pengadilan dapat mempertimbangkan faktor-faktor seperti (tetapi
tidak terbatas pada) (Lihat Iman Syahputra, et.al. 1997:21-22):
a) Derajat sifat yang tidak terpisahkan atau mempunyai sifat daya pembeda dari merek
tersebut;
b) Jangka waktu dan ruang lingkup pemakaian merek yang berkaitan dengan barang atau
jasa dari merek;
c) Jangka waktu dan ruang lingkup dari pengiklanan dan publisitas merek tersebut;
d) Ruang lingkup geografis dari daerah perdagangan tempat merek tersebut dipakai;
e) Jaringan perdagangan barang atau jasa dari merek yang dipakai;
f) Derajat pengakuan atas merek tersbeut dari arena perdagangan dan jaringan perdagangan
dari pemilik merek dan larangan terhadap orang atas pemakaian merek tersebut
dilaksanakan;
g) Sifat umum dan ruang lingkup pemakaian merek yang sama oleh pihak ketiga; dan
h) Keberadaan pendaftaran merek tersebut berdasarkan Undang-Undang Tanggal 3 Maret
1981 atau Undang-Undang Tanggal 20 Februari 1905 atau pendaftaran pertama.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
2. Saran
https://prasetyohp.wordpress.com/problematika-perlindungan-merek-di-
indonesia/
http://www.climateactionprogramme.org/news/10_adaptation_technologies
Top Related