PERLINDUNGAN KONSUMEN PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
(Analisa Terhadap UU No. 8 Th. 1999)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (SSY)
Oleh :
RIDWAN NIM : 102043124930
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQIH
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H / 2010 M
i
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
menganugerahkan nikmat yang tidak terhingga kepada segenap umat-Nya, Salawat
serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW,
beserta keluarganya, para sahabatnya dan para pengikutnya hingga akhir zaman.
Berkat rahmat dan hidayah dari Allah SWT., akhirnya penulis dapat
menyelesaikan karya ilmiah ini dengan judul PERLINDUNGAN KONSUMEN
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Analisis Terhadap UU No. 8 Tahun 1999)
Betapapun hambatan dan kesulitan seakan terasa ringan, berkat dukungan dan
bantuan berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada :
1. Bapak. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM, Dekan Fakultas
Syari’ah dan Hukum beserta Pembantu Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak. Dr. KH. Ahmad Mukri Aji, MA, MM, Ketua Program Studi
Perbandingan Mazhab dan Hukum beserta Bapak. Dr. H. Muhammad Taufiki,
M.Ag, Sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas
Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
ii
3. Bapak Dr. JM. Muslimin, P.hD dan Bapak. Dr. H. Muhammad Taufiki,
M.Ag., yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran sehingga
karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik.
4. Majelis Ulama Indonesia yang telah memberikan data-data dan literatur-
literatur yang berhubungan dengan kebutuhan penulis untuk menyelesaikan
tulisan ini.
5. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
6. Pimpinan dan seluruh karyawan perpustakaan di lingkungan Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Ayah dan bunda yang tercinta H. Lukman Hakim dan Hj. Romlah yang
senantiasa mendoakan, mendukung dan membantu ananda (penulis), baik
moril maupun materil.
8. Kakanda Ardiamsyah yang selalu menemani dan memberikan dukungan,
semangat dan motifasi kepada adinda (penulis).
9. Para rekan-rekan mahasiswa/i Konsentrasi Perbandingan Mazhab Fiqh
Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan
2002, yang telah menkontribusikan dukungannya kepada penulis dalam
menyelesaikan karya ilmiah ini.
10. Segenap sahabat terdekat di lingkungan Rumah (rayap-rayap) Abu, Yuyu,
Baba, Andi, Gendut, Qway.
iii
Penulis berharap semoga Allah SWT memberikan imbalan yang
terbaik dari apa yang telah dikontribusikan kepada penulis baik moril maupun
materil. Mudah-mudahan ini bukanlah karya ilmiah terakhir, yang
dipersembahkan oleh penulis, semoga skripsi ini bermanfaat, Amien.
Jakarta, 13 Syawal 1431 H
22 September 2010 M
Penulis
Ridwan
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................... i
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .......................................... 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................... 8
D. Review Kepustakaan ................................................................... 9
E. Metode Penulisan Skripsi ............................................................. 10
F. Sistematika Penulisan ................................................................. 13
BAB II KONSEP HUKUM ISLAM TENTANG MAKANAN HALAL
DAN HAK-HAK KONSUMEN
A. Pengertian Makanan Halal .......................................................... 15
B. Dasar Hukum Makanan Halal ...................................................... 18
C. Syarat-syarat dan Kriteria Makanan Halal Dalam Islam .............. 22
D. Sistem dan Prosedur Penetapan Produk Halal .............................. 23
E. Hakikat dan Hak-hak Konsumen dalam Undang-Undang
Perlindungan Konsumen .............................................................. 31
v
BAB III KETENTUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999
TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Sejarah Lahirnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen di
Indonesia .................................................................................... 34
B. Asas dan Tujuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen ......... 39
C. Bentuk-Bentuk Perlindungan Konsumen Muslim dalam Undang-
Undang No.8 Tahun 1999 ............................................................ 47
BAB IV ANALISIS TERHADAP UU NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PERSPEKTIF
ISLAM
A. Analisis Terhadap Bentuk-bentuk Perlindungan Ponsumen
Dalam Undang-undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen.................................................................................... 60
B. Analisis Relevansi UU No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen Terhadap Jaminan Kehalalan Produk Bagi Konsumen
Muslim ........................................................................................ 77
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................ 91
B. Saran .......................................................................................... 92
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 95
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini kedudukan konsumen sangat lemah,
antara lain disebabkan oleh tingkat kesadaran dan tingkat pendidikan konsumen
yang relatif masih rendah, hal ini diperburuk dengan anggapan sebagian
pengusaha yang rela melakukan apapun demi produk mereka, tanpa
memperhitungkan kerugian-kerugian yang akan dialami oleh konsumen, juga
pemahaman mereka tentang etos-etos bisnis yang tidak benar, seperti anggapan
bahwa bisnis harus memperoleh keuntungan semata-mata, bisnis tidak bernurani,
ada juga yang beranggapan bahwa bisnis itu memerlukan banyak biaya maka
akan merugikan apabila dibebani dengan biaya-biaya sosial, dan sebagainya.
Perhatian terhadap perlindungan konsumen sangat diperlukan mengingat
setiap orang pada suatu waktu, apakah sendiri atau berkelompok bersama orang
lain, dalam keadaan apapun pasti menjadi konsumen untuk suatu barang atau jasa
tertentu. Oleh karena itu diperlukan pemberdayaan konsumen.
Patut disyukuri kini di Indonesia telah memiliki undang-undang yang
mengatur tentang perlindungan konsumen, yaitu dikeluarkannya undang-undang
No 8 Tahun 1999 tentang perlindungan terhadap konsumen. UU ini disahkan oleh
BJ Habibie Presiden peralihan pada saat itu.1
1 Yusuf Shofie, Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Pidana Korporasi, ( Jakarta : Ghalia
Indonesia, 2002 ), h. 13
2
Dalam undang-undang tersebut, disebutkan bahwa hak konsumen adalah
hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang
atau jasa. Undang-undang ini menunjukkan bahwa setiap konsumen, termasuk
konsumen muslim yang merupakan mayoritas konsumen di Indonesia, berhak
untuk mendapatkan barang dan jasa yang nyaman dikonsumsi olehnya, salah satu
pengertian nyaman bagi konsumen muslim adalah bahwa barang tersebut tidak
bertentangan dengan kaidah agamanya, yaitu halal. Selanjutnya dalam undang-
undang ini juga disebutkan bahwa konsumen berhak atas informasi yang benar,
jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang atau jasa. Hal ini
memberikan pengertian kepada kita bahwa keterangan halal yang diberikan oleh
perusahaan haruslah benar atau telah teruji terlebih dahulu. Dengan demikian
perusahaan tidak dapat dan serta merta mengklaim bahwa produknya halal,
sebelum melalui pengujian kehalalan yang telah ditentukan.
Dengan adanya undang-undang tersebut diharapkan akan terwujud suatu
tatanan masyarakat dan hukum yang baik, dan terjadi keseimbangan antara
produsen dan konsumen yang baik, sehingga tercipta suatu perekonomian yang
sehat dan dinamis sehingga tercapai kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat
Indonesia.
Sehubungan dengan uraian di atas Islam telah mangajarkan bahwa setiap
perbuatan yang merugikan pihak lain itu dilarang, terutama dalam pemakaian
barang atau jasa. Sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an Surat An-nisa :
3
Allah berfirman:
Artinya : “Hai Orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan
janganlah membunuh dirimu, sesungguhnva Allah adalah maha
penyayang kepadamu”. (Q.S. An-Nisa/ 4: 29)
Dalam ayat tersebut secara jelas Allah telah mensyariatkan bahwa
transaksi ekonomi dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia harus dengan cara
yang baik dan benar, yaitu harus saling merelakan, dan cara-cara yang batil
dilarang oleh Agama.
Pembeli atau konsumen seharusnya menerima barang dalam kondisi baik
dan dengan harga yang wajar. Mereka juga harus diberitahu apabila terdapat
kekurangan-kekurangan pada suatu barang.2
Islam melarang produk-produk di bawah ini ketika berhubungan dengan
konsumen atau pembeli3 :
1. Penggunaan alat ukur atau timbangan yang tidak tepat.
2. Penimbunan dan pemanipulasian harga.
3. Penjualan barang palsu atau rusak
4. Bersumpah untuk mendukung sebuah penjualan.
5. Membeli barang-barang curian
2 Rafik Isa Beekum, Etika Bisnis Islami, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004 ), h. 72. 3 Ibid, h. 73-75
4
6. Larangan mengambil bunga atau riba.
Dengan demikian ini membuktikan, bahwa Islam adalah agama yang
universal. Karena mengatur segala kebutuhan dan kegiatan manusia, tak
terkecuali dalam hal muamalah, misalnya perekonomian dan bisnis dengan
berdasarkan al-Quran dan al-Sunnah.
Al-Quran merupakan wahyu yang diturunkan dengan berbagai tujuan.
Diantara tujuan tersebut adalah membasmi kemiskinan materiil dan spiritual,
kebodohan, penyakit dan penderitaan hidup serta pemerasan manusia atas
manusia dalam bidang agama, sosial, ekonomi, dan juga politik.4 Selain itu Al-
Quran juga merupakan sumber ajaran agama Islam yang menyangkut semua
dimensi kehidupan manusia. Dengan tujuan eksistensinya, Al-Quran merupakan
sumber ajaran yang memuat nilai-nilai dan norma-norma yang mengatur aktifitas-
aktifitas manusia termasuk aktifitas ekonomi dan bisnis.5
Kalau kita bicara tentang konsumen, pada mulanya memang tidak
mengenal suku bangsa. Namun kita sebagai umat Islam hendaklah dapat memilih
produk-produk mana yang aman dikonsumsi oleh muslim. Dengan kata lain, ada
legalitas. Misalnya hak konsumen dalam kebersihan, kesehatan, keamanan, juga
kehalalan. Karena dalam Islam mengkomsumsi yang halal, suci dan baik
4 Quraish Shihab. Wawasan al-Quran. (Bandung : Mizan, 1996), h. 12
5 Mohammad R. Lukman Fauroni. Vlsi al-Quran Tentang Etika Dan Bisnis, ( Jakarta :
Salemba Diniyah ), h. 4.
5
merupakan perintah agama dan hukumnya adalah wajib, sebagai mana dalam
firman Allah SWT :
Artinya : ”Hai sekalian manusia! makanlah yang halal lagi baik dan apa yang
terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan,
karena sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagimu” (Q.S Al-
Baqarah 2: 168 )
Ayat di atas juga menunjukkan bahwa hal tersebut merupakan salah satu
perwujudan dan rasa syukur dan keimanan kepada Allah, sebaliknya,
mengkonsumsi yang tidak halal di pandang sebagai mengikuti ajaran setan,
karena mengkonsumsi yang tidak halal (haram) menyebabkan segala amal ibadah
yang dilakukan tidak akan diterima oleh Allah SWT.6
Sebagai konsumen yang menduduki peringkat mayoritas, umat Islam
harus melindungi bahan-bahan makanannya dan bahan pencemaran bahan-bahan
haram, baik bahan utamanya maupun bahan aditif dalam proses pengolahannya.
Karena bagaimanapun masalah halal lebih terfokus pada hubungan langsung
antara manusia dengan Tuhannya, yang tidak boleh ditutupi hanya untuk
kepentingan praktis, misalnya kepentingan ekonomi, bisnis, politik, stabilitas, dan
lain-lain yang belum jelas kecenderungannya.
Oleh karena itu maka pemerintah bersama dengan ulama atau pemuda
agama Islam berkewajiban untuk melakukan pengawasan dan hal-hal yang dapat
6 Departemen Agama RI, Sistem dan Prosedur Penetapan Fatwa Produk Halal Majlis Ulama
Indonesia, 2003, h. 2
6
mempengaruhi kehalalan dan bahan pokok, bahan tambahan, produksi dan
pengedaran makanan serta minuman.7
Kasus-kasus makanan halal yang dapat meragukan masyarakat akan
mempunyai dampak negatif tidak hanya berpengaruh bagi perusahaan itu sendiri,
tetapi juga bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat dan bangsa pada umumnya.
Yang paling penting bagi seorang muslim dalam hal makanan dan minuman
adalah suatu yang erat sekali kaitannya dengan ibadah.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang merupakan wadah musyawarah para
ulama zu’ama, dan cendekiawan muslim dipandang sebagai lembaga paling
berkompeten dalam pemberian jawaban masalah sosial keagamaan (ifta) yang
senantiasa timbul dihadapi masyarakat Indonesia. Hal ini mengingat bahwa
lembaga ini merupakan wadah bagi semua umat Islam Indonesia yang beraneka
ragam kecenderungan dan madzhabnya, oleh karena itu fatwa yang dikeluarkan
oleh MUI diharapkan dapat diterima oleh seluruh kalangan dan lapisan
masyarakat, serta diharapkan pula dapat menjadi acuan pemerintah dalam
pengambilan kebijaksanaan.
Salah satu wujud nyata dan upaya MUI adalah dengan dibentuknya
lembaga pengkajian pangan, obat-obatan, dan kosmetika Majelis Ulama
Indonesia (LP. POM MUI). Fungsi dan lembaga ini adalah melakukan penelitian,
audit dan pengkajian secara seksama dan menyeluruh terhadap produk-produk
7 Departeman Agama RI, Petunjuk Teknis Pedoman Sistem Produksi Halal, ( Jakarta : 2003),
h. 2
7
olahan. Hasil penelitiannya kemudian dibawa ke komisi fatwa untuk membahas
dalam sidang komisi dan kemudian difatwakan hukumnya, yakni fatwa halal, jika
sudah diyakini bahwa produk bersangkutan tidak mengandung unsur-unsur
benda-benda haram atau najis.8
Dengan adanya kejelasan label halal ini diharapkan konsumen muslim
menjadi tenang ketika menkonsumsi makanan. sebagaimana dalam undang-
undang no 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen telah dicantumkan
dalam pasal 8 UUPK, disamping itu pemerintah juga telah mengeluarkan UU no.
76 /1996 tentang pangan dan (PP) no. 69 I 1999 pasal 10 ayat 1, juga dipertegas
oleh SK Menteri Agama RI no. 518 tentang labe1isasi halal.9
Meski demikian masih banyak para produsen yang tidak memperdulikan
tentang kehalalan produk mereka. Sedangkan mayoritas penduduk Indonesia
adalah muslim, jadi sejauh manakah UU no. 8 tahun 1999 ini merespon
kepentingan hukum Islam perlu diteliti lebih lanjut.
Berdasarkan latar belakang inilah penulis bermaksud melakukan
penelitian dengan judul : “PERLINDUNGAN KONSUMEN PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM ”. (Analisa Terhadap UU No. 8 Th. 1999)
8 Departeman Agama, Sistem dan Prosedur Penetapan Fatwa Produk Halal, h. 6
9 Wiwid Prast, “Bread Talk Dan Masalah Serti/Ikasi Halal’, Dalam Furqon, IV, 18, Mei
2006. hlm.47
8
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Untuk menghindari luasnya permasalahan yang akan dibahas dalam
penulisan dan penyusunan skripsi ini, maka penulis merasa perlu membatasi
permasalahan yang akan dibahas. Untuk itu, penulis hanya akan membahas
tentang UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dan setelah
melihat pembatasan masalah, maka penulis dapat merumuskan permasalahan
sebagai berikut :
1. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap UU No.8 tahun 1999 tentang
perlindungan konsumen ?
2. Bagaimana hakikat UU perlindungan konsumen dan nilai Islam
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Skripsi
Penulisan skripsi ini disusun dengan tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimanakah pandangan hukum Islam terhadap UU no.8
tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.
2. Untuk mengetahui bagaimanakah hakikat UU perlindungan konsumen
Adapun manfaat dan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Penelitian ini diharapkan bisa menjadi salah satu sumber informasi bagi
akademisi, praktisi dan penelitian selanjutnya.
2. Penelitian ini diharapkan bisa menjadi salah satu pedoman kehalalan produk
yang bisa dikonsumsi konsumen muslim
9
D. Review Kepustakaan
1. Muhammad Ihsan (102046225379)
Judul : Efektifitas Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Polis Asuransi
Syari’ah Ditinjau Dari Hukum Islam Dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen. (Studi Kasus AJB Bumi Putera 1912
cabang Syari’ah)
Membahas tentang : Klausula baku yang dikeluarkan oleh perusahaan
Asuransi Syari’ah serta akibat hukumnya ditinjau dari Undang-Undang No. 8
Tahun 1999 Tentang perlindungan Konsumen.
Hubungan antara akad Asuransi Syari’ah dan ketentuan pasal 18 UU No. 8
Tahun 1999 dalam perjanjian Asuransi Syari’ah.
2. Siti Nurseha (103046128321)
Judul : Hubungan Antara Persepsi Konsumen Terhadap Loss Leader Princing
Dengan Keputusan Pembelian Konsumen Pada Alfa Mart.
Membahas tentang :Bagaimana persepsi konsumen terhadap leader pricing
yang dilakukan alfa mart & adakah hubungan antara persepsi konsumen
terhadap loss leader pricing dengan keputusan pembelian konsumen.
3. Muhammad Fauzi Rahula (101046122355)
Judul : Sikap Konsumen Terhadap Promosi Product Fast Food Dalam
Perspektif Islam.
10
Membahas tentang : Gambaran umum responden KFC M.T Haryono jakarta
Selatan Serta karakteristik konsumen berdasarkan pada pengetahuan dan
status ekonomi.
4. Siti Rohmah (101046122319)
Membahas Tentang :Bagaimana proses sertifikasi halal pada product Papa
Ron’s Pizza dan apakah label halal sebagai suatu upaya perlindungan
konsumen muslim, berpengaruh penjualan produk dan dapat memenuhi
prefensi dikalalngan konsumen Papa Ron’s Pizza.
E. Metode Penulisan skripsi
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif, yang mendasarkan kajiannya
pada kajian literatur murni atau penelitian kepustakaan. Karena kajian ini adalah
analisis UU maka untuk mendapatkan hasil yang diharapkan dan untuk
memperoleh data yang obyektif serta otentik, dalam penelitian ini penulis
menggunakan metode-metode sebagai berikut:
1. Pendekatan perundang-undangan
Dalam metode ini peneliti perlu memahami hirarki, dan asas-asas
dalam perundang–undangan. Menurut pasal 1 angka 2 UU No. 10 Tahun
2004, peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk
oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara
umum. Selanjutnya, Pasal 7 (1) UU No. 10 Tahun 2004 menetapkan jenis dan
11
hirarki perundang-undangan Republik Indonesia. Menurut ketentuan tersebut,
Jenis dan hirarki peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
c. Peraturan Pemerintah.
d. Peraturan Presiden.
e. Peraturan Daerah.10
Oleh karena dalam pendekatan perundang-undangan peneliti bukan
saja melihat kepada bentuk peraturan perundang-undangan saja, melainkan
juga menelaah materi muatannya, perlu kiranya peneliti mempelajari dasar
ontologis lahirnya undang-undang Perlindungan Konsumen. Dalam penerapan
sebuah undang-undang harus mencerminkan gagasan yang ada
dibelakangnya, yaitu keadilan. Undang-Undang bukan sekedar produk tawar-
menawar politik.11
2. Pengumpulan Data
Penelitian ini termasuk penelitian dokumentasi yang dikuatkan dalam
jenis penelitian kepustakaan atau libray research.12
Maka pengumpulan data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian perundang-undangan,
sehingga diharapkan penulis dapat berkonsentrasi dalam penelusuran dan
10 Peter Mahmud, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2007) h. 96
11 Ibid, h. 102
12 Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, ( Jakarta : UI Press, 1986 ), h. 102
12
pengumpulan bahan-bahan pustaka dan data-data literatur yang relevan
dengan penelitian dalam skripsi ini.
Adapun sumber-sumber pengumpulan data ini diambil:
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer yaitu informasi yang langsung mempunyai
wewenang dan bertanggungjawab terhadap pengumpulan data sumber.13
Sumber data primer yang digunakan adalah UU RI NO 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder yaitu informasi yang tidak secara langsung
mempunyai wewenang dan tanggungjawab terhadap informasi yang ada
padanya.14
Sumber data sekunder yang digunakan adalah kitab-kitab
(Tafsir, Hadits, Fiqih) yang menerangkan tentang cara bermuamalah
dalam Islam serta sumber-sumber lain seperti Buku-Buku, Artikel llmiah,
dan referensi lain yang berkaitan dengan pembahasan ini.
3. Analisis Data
Sebagai tindak lanjut pengumpulan data, maka analisis data menjadi
sangat signifikan untuk menuju penelitian ini dan dalam menganalisa data
penulis menggunakan analisis deskriptif yaitu prosedur pemecahan masalah
13 Muhammad Ali, Penelitian Pendidikan; Prosedur dan Strategi, ( Bandung : Angkasa,
1993), h. 42
14 Ibid.
13
yang diselidiki dengan cara menggambarkan atau melukiskan keadaan subyek
atau obyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain) pada
saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana
adanya.15
F. Sistematika Penulisan Skripsi
Untuk memperoleh gambaran yang bersifat utuh dan menyeluruh serta ada
keterkaitan antar bab yang satu dengan yang lain dan untuk lebih mempermudah
dalam proses penulisan skripsi ini, perlu adanya sistematika penulisan. Adapun
sistematika pada penulisan skripsi ini akan melalui beberapa tahap bahasan yaitu:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini merupakan gambaran secara keseluruhan skripsi yang
meliputi: Latar belakang masalah, Perumusan masalah, Tujuan
penulisan skripsi, Metode penulisan skripsi, Analisis data, Sistematika
penulisan skripsi.
BAB II KONSEP ISLAM TENTANG MAKANAN HALAL DAN HAK-
HAK KONSUMEN (VERSI MUI)
Pada bab ini pembahasannya meliputi: Pengertian dan Dasar hukum
makanan halal, Syarat-syarat dan kriteria makanan halal. dan Sistem
dan Prosedur Penetapan Produk Halal. Serta hakikat Undang-Undang
Perlindungan Konsumen.
15 Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, ( Yogyakarta : Gajahmada University
Press, 1991 ), h. 63
14
BAB III KETENTUAN UNDANG-UNDANG NO.8 TAHUN 1999
TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
Bab tiga merupakan hal-hal yang menyangkut: Latar belakang
lahirnya UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, azas
dan tujuan UU No.8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen,
Bentuk-bentuk perlindungan konsumen dalam UU No. 8 Tahun 1999
tentang perlindungan konsumen.
BAB IV ANALISA TERHADAP UU NO 8 TAHUN 1999 TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Analisis yang dibahas meliputi: Analisis terhadap bentuk-bentuk
perlindungan konsumen dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang
perlindungan konsumen, Analisis terhadap UU No. 8 Tahun 1999
tentang perlindungan konsumen perspektif hukum Islam.
BABV PENUTUP
Bab ini merupakan rangkaian akhir dan penulisan skripsi yang
meliputi: Kesimpulan, Saran-saran, Sedangkan pada bagian akhir
skripsi ini berisi daftar pustaka, lampiran-lampiran.
15
BAB II
KONSEP ISLAM TENTANG MAKANAN HALAL
DAN HAK-HAK KONSUMEN
A. Pengertian Makanan Halal
Secara etimologi makan adalah memasukan sesuatu melalui mulut.1
Dalam bahasa Arab makanan berasal dari kata at‟tha‟âm dan jamaknya al-
at‟imah yang artinya makanan-makanan.2 Sedangkan dalam ensiklopedi hukum
Islam yaitu segala sesuatu yang dimakan oleh manusia, sesuatu yang
menghilangkan lapar.3
Halal berasal dari bahasa arab yang artinya membebaskan, memecahkan,
membubarkan dan membolehkan. Sedangkan dalam ensiklopedi hukum Islam
yaitu segala sesuatu yang menyebabkan seseorang tidak dihukum jika
menggunakan, atau mengerjakan sesuatu yang boleh dikerjakan menurut Syara’4
Sedangkan menurut buku petunjuk teknis sistem produksi halal yang
diterbitkan oleh Departemen Agama menyebutkan bahwa makanan adalah :
barang yang dimaksudkan untuk dimakan dan diminum oleh manusia, serta bahan
1 W.J.S. Peorwadarminta, Kamus Bahasa Indonesia, Cet. V, (Jakarta: PN. Balai Pustaka,
1976), h.662
2 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka
Progresif, 2002), h.853
3 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam. h.25
4 Ibid.
16
yang digunakan dalam produksi makanan dan minuman. Sedangkan halal adalah :
sesuatu yang boleh menurut Islam.5
Jadi pada intinya, makanan halal adalah makanan yang baik yang
dibolehkan memakannya menurut ajaran Islam, yaitu sesuai dengan tuntunan Al-
Qur’an dan Al-Hadits. Sedangkan pengertian makanan yang baik yaitu segala
makanan yang dapat membawa kesehatan bagi tubuh, dapat menimbulkan nafsu
makan dan tidak ada larangan dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Tetapi dalam
hal yang lain diperlukan keterangan yang lebih jelas berdasarkan ijma' dan qiyas
terhadap sesuatu nash yang sifatnya umum yang harus digali oleh ulama agar
kemudian tidak menimbulkan hukum yang syubhat (menimbulkan keragu-
raguan). Dan para ulama telah sepakat (ijma') tentang halalnya binatang-binatang
ternak seperti unta, sapi, kerbau, dan kambing serta diharamkannya segala sesuatu
yang bisa menimbulkan bahaya dalam bentuk keracunan, timbulnya penyakit atau
adanya efek samping, dengan demikian para ulama memberikan keterangan
tentang hukum-hukum makanan dan minuman.
Banyak ulama mengungkapkan pendapatnya tentang "halal" diantaranya
sebagai berikut6 :
Kata "halâl" berasal dari bahasa Arab. Menurut Ibn Manzhur, halal itu
berasal dari kata "al hillu yang berarti tidak terikat (al-thalâq). Lafazh halal
5 Bagian proyek sarana dan prasarana produk halal Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Petunjuk teknis pedoman sistem produksi halal,
Departemen Agama RI, Jakarta: 2003. hlm. 3.
6 Hussein Bahresy, Pedoman Fiqh Islam, ( Surabaya : Al-Ikhlas, 1981 ), h. 303.
17
merupakan lawan dari kata "haram", sedangkan lafazh "haram" itu pada asalnya
berarti mencegah atau merintangi (al-man‟u). Oleh karena itu, setiap yang
mengharamkan itu menjadi tercegah atau terlarang.
Ibn Manzhur menjelaskan bahwa haram itu berarti segala sesuatu yang
diharamkan Allah.7 Atas dasar itu, al-Munawi memberikan definisi halal "sesuatu
yang tidak diharamkan". Maka, di dalamnya terkandung sesuatu yang
dimakruhkan atau diperbolehkan.8 Definisi ini masih kabur karena belum
memberikan batasan yang jelas dan spesifik.
Al-Jurjani memberikan definisi halal sebagai “sesuatu yang jika
digunakan tidak mengakibatkan mendapat siksa”.9
Menurut Qal'aji dan Qunaibi, lafazh halal itu berasal dari halla al-syai'i
apabila sesuatu itu telah menjadi mubah. Oleh karena itu, pengertian halal identik
dengan "mubah",10
maka wajar apabila Al-Qardlawi secara eksplisit
mengidentikkan keduanya seperti tercermin dalam definisi halal yang
diberikannya yaitu “sesuatu yang mubah yang diizinkan oleh Syar'i untuk
dikerjakan”.11
7 Ibn Manzhur, Lisan al-Arab, Juz XV. h.9
8 Muhammad Abd Al-Rauf al-Munawi, Al-Taufîq „ala Muhimmât al-Ta‟rif Mu‟jam Lughowi
Mutshalahi, ( Beirut : Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1990 ), cet ke-1, h.20.
9 Al-Jurjani, Al-Ta‟rifat, (Mesir : Maktabah wa Mathba’ah Mushtafa al-Halabi wa Auladuh,
1936), h.82
10 Wahbah al-Zuhaily, Al-Tafsir al-Munîr, Juz II, h.72.
11 M. Yusuf al-Qardlawi, Al-Halâl wa al-Haram Fi al-Islâm, (t.t.: Dar al-Ma’rifah, 1985),
h.14
18
Dalam definisi yang diungkapkan al-Qardlawi tersebut terdapat dua unsur.
Pertama, sesuatu yang mubah yang terdapat dalam dzat. Dengan demikian, secara
substantif benda tersebut dzatnya adalah mubah. Kedua, "yang diizinkan oleh
Syar'i” jadi makanan halal adalah berkaitan dengan perbuatan mukallaf yang
diperbolehkan untuk dingerjakan.
B. Dasar Hukum Makanan Halal.
Pada asalnya : segala sesuatu yang diciptakan Allah itu halal, tidak ada
yang haram, kecuali jika ada nash (dalil) yang mengharamkannya.12
Sebagaimana
dalam sebuah kaidah fikih :
13
Artinya : Pada asalnya segala sesuatu itu mubah (boleh) sebelum ada dalil yang
mengharamkannya.
Para ulama, dalam menetapkan prinsip bahwa segala sesuatu asal
hukumnya boleh, , merujuk kepada ayat al Qur'an :
... Artinya : Dialah yang menciptakan untuk kalian segala sesuatu di bumi... (QS.
Al-Baqarah/ 2 : 29)
Dari ayat di atas dapat dikatakan bahwasanya makanan yang diharamkan
oleh Islam sangatlah sedikit, sebaliknya makanan yang dibolehkan oleh Islam
12 Yusuf Qardhâwi, Halal Haram Dalam Islam, (Solo: Era Intermedia, 2003), h.36.
13 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang : Dina Utama, 1994), cet.I, h.127
19
sangatlah banyak, jadi selama belum ada nash yang melarang atau
mengharamkannya, akan kembali pada asalnya, yaitu boleh.
Dalam hal makanan, ada yang berasal dari binatang ada pula yang berasal
dari tumbuh-tumbuhan. Ada binatang darat dan ada pula binatag laut. Ada
binatang yang boleh dimakan dan ada pula binatang yang najis dan dilarang
memakannya. Demikian juga makanan yang berasal dari bahan tumbuh-
tumbuhan. Marilah kita mempelajari keterangan dari Al-Qur'an dan Hadits yang
menyatakan makanan dan minuman yang halal dan yang haram dan kesimpulan
hukum yang diambil dari pada keduanya.
Kepedulian Allah SWT sangat besar terhadap soal makanan dan aktifitas
makan untuk makhluknya. Hal ini tercermin dari firman-Nya dalam al-Qur'an
mengenai kata tha'am yang berarti "makanan" yang terulang sebanyak 48 kali
dalam berbagai bentuknya. Ditambah pula dengan kata akala yang berarti
"makan" sebagai kata kerja yang tertulis sebanyak 109 kali dalam berbagai
derivasinya, termasuk perintah "makanlah" sebanyak 27 kali. Sedangkan kegiatan
yang berhubungan dengan makan yaitu "minum" yang dalam bahasa Al-Qur'an
disebut syariba terulang 39 kali.14
14 Tiench Tirta Winata, Makanan Dalam Perspektif Al-Qur‟an Dan Ilmu Gizi, (Jakarta : Balai
Penerbit FKUI, 2006), h.1.
20
Pada dasarnya semua makanan dan minuman yang berasal dari tumbuh-
tumbuhan sayur-sayuran, buah-buahan dan hewan adalah halal kecuali yang
beracun dan membahayakan nyawa manusia.15
Dasar hukum Al-Qur'an tentang makanan halal diantaranya yaitu
Artinya : "dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah
rizkikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman
kepadaNYA". (QS. Al-Mâ'idah/ 5 : 88)
Juga dalam surat Al-Nahl
Artinya : Makanlah yang halal lagi baik dari rizki yang telah diberikan Allah
kepadamu dan syukurilah nikmat Allah jika kamu hanya kepada-NYA
menyembah. (QS. Al-Nahl/ 16 : 114).
Ayat-ayat di atas bukan saja menyatakan bahwa mengkonsumsi yang halal
hukumnya wajib karena merupakan perintah agama, tetapi menunjukkan juga hal
tersebut merupakan salah satu bentuk perwujudan rasa syukur dan keimanan kita
kepada Allah. Sebaliknya, mengkonsumsi yang tidak halal dipandang sebagai
mengikuti ajaran syaitan.
Sebenarnya dalam Al-Qur'an makanan yang diharamkan pada pokoknya
hanya ada empat yaitu dalam surat Al-Baqarah :
15 Bagian Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal, Petunjuk Teknis Pedoman Sistem
Produksi Halal, h.7
21
Artinya : "Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu (memakan)
bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang ketika disembelih
disebut (nama) selain Allah. Tetapi, barang siapa dalam keadaan
terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya, tidak
(pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun,
Maha Penyayang”. (QS. Al-Baqarah/ 2 : 173)
Dalam ayat ini telah dijelaskan bahwa makanan yang diharamkan
diantaranya :
1. Bangkai, yang termasuk kategori bangkai adalah hewan yang mati dengan
tidak disembelih ; termasuk didalamnya hewan yang mati tercekik, dipukul,
jatuh, ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat disembelih,
hanya bangkai ikan dan belalang saja yang boleh kita makan.
2. Darah, sering pula diistilahkan dengan darah yang mengalir, maksudnya
adalah darah yang keluar pada waktu penyembelihan sedangkan darah yang
tersisa setelah penyembelihan yang ada pada daging setelah dibersihkan
dibolehkan. Ada dua macam darah yang dibolehkan untuk kita
mengkonsumsinya yaitu jantung dan limpa.
3. Babi, apapun yang berasal dari babi hukumnya haram, darahnya, dagingnya,
maupun tulangnya.
4. Binatang yang ketika disembelih menyebut selain nama Allah.
22
Jadi dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat produk pangan halal
menurut syari'at Islam adalah :
1. Halal dzatnya;
2. Halal cara memperolehnya;
3. Halal dalam memperosesnya;
4. Halal dalam penyimpanannya;
5. Halal dalam pengangkutannya;
6. Halal dalam penyajiannya;
C. Syarat-syarat dan Kriteria Makanan Halal Menurut Islam.
Dalam hal makanan sebenarnya ada dua pengertian yang bisa kita
kategorikan kehalalannya yaitu halal dalam mendapatkannya dan halal dzat atau
substansi barangnya. Halal dalam mendapatkannya maksudnya adalah benar
dalam mencari dan memperolehnya. Tidak dengan cara yang batil. Jadi, makanan
yang pada dasar dzatnya halal namun cara memperolehnya dengan cara yang batil
seperti : mencuri, hasil korupsi dan perbuatan batil lainnya, maka secara otomatis
berubah stasus hukumnya menjadi haram.
Makanan halal secara dzatiyah (substansi barangnya), menurut Sayyid
Sabiq dibagi dalam dua kategori, yaitu jamad (benda mati) dan hayawan
(binatang).16
16 Bagian Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal, Direkorat Jendral Bimbingan
Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Tanya Jawab Seputar Produk Halal, (Jakarta, 2003), h.7
23
Yang termasuk makanan dan minuman yang halal adalah :
1. Bukan berarti dari atau mengandung bagian atau benda dari binatang yang
dilarang oleh ajaran Islam untuk memakannya atau yang tidak disembelih
menurut ajaran Islam.
2. Tidak mengandung sesuatu yang digolongkan sebagai najis menurut ajaran
Islam.
3. Dalam proses, menyimpan dan menghidangkan tidak bersentuhan atau
berdekatan dengan makanan yang tidak memenuhi persyaratan sebagai mana
huruf a, b, c, dan d di atas atau benda yang dihukumkan sebagai najis menurut
ajaran Islam.
D. Sistem dan Prosedur Penetapan Produk Halal.
Produk-produk olahan, baik makanan, minuman, obat-obatan, maupun
kosmetika, kiranya dapat dikategorikan dalam kelompok mutasyabihat (syubhat),
apalagi jika produk tersebut berasal dari negeri yang penduduknya mayoritas non
muslim, sekalipun bahan bakunya berupa barang suci dan halal. Sebab, tidak
tertutup kemungkinan dalam proses pembuatannya tercampur atau menggunakan
bahan-bahan yang haram atau tidak suci. Dengan demikian, produk-produk
olahan tersebut bagi umat Islam jelas bukan merupakan persoalan sepele, tetapi
merupakan persoalan besar. Maka wajarlah jika umat Islam sangat
berkepentingan untuk mendapatkan ketegasan tentang status hukum produk-
24
produk tersebut, sehingga apa yang akan mereka konsumsi tidak menimbulkan
keresahan dan keraguan.
Semua persoalan-persoalan tersebut harus segera mendapat jawabannya.
Membiarkan persoalan tanpa jawaban dan membiarkan umat dalam kebingungan
atau ketidakpastian tidak dapat dibenarkan, baik secara Syar’i maupun secara
i’tiqodi. Atas dasar itulah, para ulama dituntut untuk segera mampu memberikan
jawaban dan berupaya memberikan kehausan umat akan kepastian ajaran Islam
berkenaan dengan persoalan yang mereka hadapi itu, terutama mengenai produk-
produk yang akan dikonsumsi.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang merupakan wadah musyawarah para
ulama zu’ama, dan cendekiawan muslim dipandang sebagai lembaga paling
berkompeten dalam pemberian jawaban masalah sosial keagamaan (ifta) yang
senantiasa timbul dihadapi masyarakat Indonesia. Hal ini mengingat bahwa
lembaga ini merupakan wadah bagi semua umat Islam Indonesia yang beraneka
ragam kecenderungan dan madzhabnya, oleh karena itu fatwa yang dikeluarkan
oleh MUI diharapkan dapat diterima oleh seluruh kalangan dan lapisan
masyarakat, serta diharapkan pula dapat menjadi acuan pemerintah dalam
pengambilan kebijaksanaan.
Salah satu wujud nyata dari upaya MUI adalah dengan dibentuknya
lembaga pengkajian pangan, obat-obatan, dan kosmetika Majelis Ulama
Indonesia (LP. POM MUI). Fungsi dari lembaga ini adalah melakukan penelitian,
audit dan pengkajian secara seksama dan menyeluruh terhadap produk-produk
25
olahan. Hasil penelitiannya kemudian dibawa ke komisi fatwa untuk membahas
dalam sidang komisi dan kemudian difatwakan hukumnya, yakni fatwa halal, jika
sudah diyakini bahwa produk bersangkutan tidak mengandung unsur-unsur
benda-benda haram atau najis.17
Artinya : “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu (memakan)
bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang ketika disembelih)
disebut (nama) selain Allah. Akan tetapi, barang siapa dalam keadaan
terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya, tidak
(pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun,
Maha Penyayang” (QS. Al-Baqarah/ 2 : 173)
Menurut ayat di atas, benda yang termasuk kelompok haram li-zatih
sangat terbatas, yaitu darah yang mengalir dan daging babi ; sedang sisanya
termasuk kedalam kelompok haram li-ghoirih yang karena cara penanganannya
tidak sejalan dengan syari’at Islam. Selain kedua benda yang dijelaskan al-Qur’an
itu, benda haram li-zatih juga dijelaskan dalam sejumlah hadits Nabi ; misalnya
binatang buas dan binatang bertaring, dan sebagainya. Demikian juga alkohol
(khamar). Untuk kepentingan penetapan fatwa halal, MUI hanya memperhatikan
apakah suatu produk mengandung unsur-unsur benda haram li-zatih atau haram
li-ghairih yang karena cara penanganannya tidak sejalan dengan syari’at Islam,
atau tidak. Dengan arti kata, MUI tidak sampai mempersoalkan dan meneliti
17 Bagian Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal, Direkorat Jendral Bimbingan
Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Sistem dan Prosedur Penetapan Fatwa Produk Halal
Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta : Departemen Agama RI, 2003), h.7
26
keharamannya dari sudut haram li-ghairih, sebab masalah ini sulit dideteksi, dan
persoalannya diserahkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
Prosedur dan penetapan mekanisme penetapan fatwa, sama dengan
penetapan fatwa secara umum. Hanya saja, sebelum masalah tersebut (produk
yang dimintakan fatwa halal) dibawa ke Sidang Komisi, LP.POM MUI terlebih
dahulu melakukan penelitian dan audit ke pabrik bersangkutan.
Untuk lebih jelasnya, prosedur dan mekanisme penetapan fatwa halal,
secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. MUI memberikan pembekalan pengetahuan kepada para auditor LP.POM
tentang benda-benda haram menurut syari’at Islam. Dalam hal ini benda
haram li-zatih dan haram li-ghairih yang karena cara penanganannya tidak
sejalan dengan syari’at Islam. Dengan arti kata, para auditor harus mempunyai
pengetahuan memadai tentang bendabenda haram tersebut.
2. Para auditor melakukan penelitian dan audit ke pabrik-pabrik (perusahaan)
yang meminta sertifikasi halal, pemeriksaan yang dilakukan meliputi :
a. Pemeriksaan secara seksama terhadap bahan-bahan produk, baik bahan
baku maupun bahan tambahan (penolong)
b. Pemeriksaan terhadap bukti-bukti pembelian bahan produk.
3. Bahan-bahan tersebut kemudian diperiksa di laboratorium, terutama bahan-
bahan yang dicurigai sebagai benda haram atau mengandung benda haram
(najis), untuk mendapat kepastian
27
4. Pemeriksaan terhadap suatu perusahaan tidak jarang dilakukan lebih dari satu
kali, dan tidak jarang pula auditor (LP.POM) menyarankan bahkan
mengharuskan agar mengganti suatu bahan yang dicurigai atau diduga
mengandung bahan yang haram (najis) dengan bahan yang diyakini
kehalalannya atau sudah bersertifikat halal dari MUI atau dari lembaga lain
yang dipandang berkompeten, jika perusahaan tersebut tetap menginginkan
mendapat sertifikat halal dari MUI
5. Hasil pemeriksaan dan audit LP.POM tersebut kemudian dituangkan dalam
sebuah Berita Acara, dan kemudian Berita Acara itu diajukan ke Komisi
Fatwa MUI untuk disidangkan
6. Dalam Sidang Komisi Fatwa, LP.POM menyampaikan dan menjelaskan isi
Berita Acara, dan kemudian dibahas secara teliti dan mendalam oleh sidang
komisi
7. Suatu produk yang masih mengandung bahan yang diragukan kehalalannya,
atau terdapat bukti-bukti pembelian bahan produk yang dipandang tidak
transparan oleh Sidang Komisi, dikembalikan kepada LP.POM untuk
dilakukan penelitian atau auditing ulang ke perusahaan bersangkutan
8. Sedangkan produk yang telah diyakini kehalalannya oleh Sidang Komisi,
diputuskan fatwa halalnya oleh Sidang Komisi.
9. Hasil Sidang Komisi yang berupa fatwa halal kemudian dilaporkan kepada
Dewan Pimpinan MUI untuk di-tanfz-kan dan keluarkan Surat Keputusan
Fatwa Halal dalam bentuk Sertifikat Halal.
28
Untuk menjamin kehalalan suatu produk yang telah mendapat Sertifikat
Halal, MUI menetapkan dan menekankan bahwa jika sewaktu-waktu ternyata
diketahui produk tersebut mengandung unsur-unsur bahan haram (najis), MUI
berhak mencabut Sertifikat Halal produk bersangkutan. Disamping itu, setiap
produk yang telah mendapat Sertifikat Halal diharuskan pula memperhatikan atau
memperpanjang Sertifikat halalnya setiap dua tahun, dengan prosedur dan
mekanisme yang sama. Jika, setelah dua tahun terhitung sejak berlakunya
Sertifikat Halal, perusahaan bersangkutan tidak mengajukan permohonan
(perpanjangan) Sertifikat Halal perusahaan itu dipandang tidak lagi berhak atas
sertifikat Halal, dan kehalalan produk-produknya diluar tanggung jawab MUI.
Bagi masyarakat yang ingin mendapat informasi tentang produk (perusahaan)
yang telah mendapat Sertifikat Halal MUI dan masa keberlakuannya, LP.POM
MUI telah menerbitkan Jurnal Halal.18
Hasil kajian yang memerlukan fatwa MUI disampaikan kepada MUI
untuk mendapat fatwa halal. Hasil kajian yang memerlukan fatwa MUI dan yang
telah mendapat fatwa halal dari MUI diterbitkan sertifikat halalnya dan
dikukuhkan oleh Menteri Agama. Adapun prosedurnya sebagai berikut :
1. Sistem Sertifikasi Halal
Menteri Agama melalui lembaga pemeriksa halal menyerahkan
sertifikat halal kepada pemohon dengan tembusan kepada badan pengawas
obat dan makanan. Sertifikat halal berlaku selama dua tahun dan dapat
18 Ibid, h.18-20.
29
diperbarui untuk jangka waktu yang sama sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Menteri Keuangan atas usul Menteri Agama
menetapkan struktur biaya sertifikasi halal yang sama terhadap pemohon.
Sertifikat halal dapat dicabut apabila pelaku usaha pemegang sertifikat
yang bersangkutan melakukan pelanggaran dibidang halal setelah diadakan
pemeriksaan oleh lembaga pemeriksa halal dan mendapat rekomendasi dari
KHI untuk pencabutan sertifikat halal. Setiap pelaku usaha yang telah
mendapatkan sertifikat halal terhadap produknya mencantumkan keterangan
atau tulisan halal dan nomor sertifikat pada label setiap kemasan produk
dimaksud.
Bentuk, warna dan ukuran tentang keterangan atau tulisan halal dan
nomor registrasi halal ditetapkan oleh Menteri Agama. Produk pangan, obat,
kosmetika dan produk lain berasal dari luar negeri yang dimasukkan ke
Indonesia berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam keputusan ini.
Sertifikat halal yang diterbitkan oleh lembaga sertifikasi luar negeri
dapat diakui setelah melakukan perjanjian saling pengakuan yang berlaku
timbal balik (re-ciprocal), penilaian terhadap lembaga sertifikasi, dan tempat
proses produksi. Perjanjian tersebut dilaksanakan oleh Menteri Agama dan
badan yang berwenang di luar negeri sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
2. Biaya
Biaya pemeriksaan, sertifikat halal, dan survailen ditanggung oleh
pelaku usaha yang mengajukan permohonan. Besar biaya pemerikasaan dan
30
biaya sulvailen ditetapkan oleh lembaga pemeriksa halal, sedangkan biaya
sertifikasi ditetapkan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Biaya sertifikasi
disetorkan ke kas negara.
3. Pembinaan, Pengawasan Dan Pelaporan
Pembinaan pelaku usaha di bidang penerapan sistem jaminan halal
dilaksanakan oleh Departemen Agama. Pengawasan terhadap produksi, impor
dan peredaran produk halal dilaksanakan oleh instansi yang berwenang.
4. Landasan Hukum
a) UU No. 7/1996 tentang Pangan
Didalam UU No. 7 tahun 1996 beberapa pasal berkaitan dengan masalah
kehalalan produk pangan, yaitu dalam Bab label dan iklan pangan pasal
30, 34, dan 35.
b) PP No. 69/1999 tentang Label dan Iklan Pangan
Ada dua pasal yang berkaitan dengan sertifikasi halal dalam PP No.69 ini
yaitu pasal 3, ayat (2), pasal 10 dan 11.
c) Kepmenkes No. 924/Menkes/SK/VIII/1996 tentang perubahan atas
Kepmenkes No. 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman Tulisan
“Halal” pada Label Makanan.
Demikianlah sistem dan prosedur produk halal yang dilakukan oleh
pemerintah dalam rangka melindungi konsumen muslim agar hanya
mengkonsumsi makanan halal. Karena masalah kehalalan barang yang mereka
konsumsi menyangkut diterima tidaknya ibadah seorang muslim.
31
E. Hakikat Undang-Undang Perlindungan Konsumen Dan Hak-Hak konsumen
Telah disebutkan dalam undang-undang perlndungan konsumen bahwa
tujuannya adalah unuk melindungi para konmsumen dari produsen yang tidak
bertanggung jawab atau mengenyampingkan kepentingan konsumen.
Dibawah ini adalah Hak-hak konsumen yang harus dipenuhi oleh
produsen, ada 9 Hak-hak konsumen, yaitu :
1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan\atau jasa;
2. Hak untuk memilih barang dan\atau jasa serta mendapatkan barang dan\atau
jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan;
3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan\ atau jasa;
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan\atau jasa yang
digunakan;
5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut;
6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani srecara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
32
8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan\atau penggantian, apabila
barang dan\jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagai mestinya;
9. Hak-hak yang diatur dalam dalam peraturan perundang-undangan lainnya.
Republik Indonesia menganut falsafah Pancasila sebagai pandangan hidup
bangsa dan dasar Negara Republik Indonesia. Oleh karena itu, UU tentang
Perlindungan Konsumen (UU No. 8 Tahun 1999) sebagai produk dari Dewan
Perwakilan Rakyat Indonesia, terikat pada pandangan hidup dan dasar negara itu.
Falsafah hukum perlindungan konsumen juga adalah Pancasila. Guna memenuhi
butir-butir falsafah tersebut, UU No. 8 Tahun 1999 menegaskan, bahwa
perlindungan konsumen Indonesia berdasarkan "manfaat, keadilan,
keseimbangan, keamanan, dan keselamatan, serta kepastian hukum" (pasal 2 dan
penjelasan pasal)
1. Tujuan UU Perlindungan konsumen :
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri.
b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari akses negatif pemakai barang dan/atau jasa.
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan
menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsure
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi.
33
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam menjalankan usaha.
f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan
usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan,
dan keselamatan konsumen.
2. Fungsi UU Perlindungan Konsumen
a. Menyeimbangkan daya tawar konsumen terhadap pelaku usaha; dan
b. Mendorong pelaku usaha untuk bersikap jujur dan bertanggung jawab
dalam menjalankan kegiatannya.
3. Keberadaan Undang-Undang Konsumen semata-mata untuk memberikan
kepastian hukum terhadap segala yang diperoleh konsumen.
Kepastian hukum itu meliputi segala upaya berdasarkan hukum untuk
memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas
barang dan/atau jasa, untuk membela hak-haknya apabila dirugikan oleh
perilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen tersebut. Pemberdayaan
konsumen itu adalah dengan meningkatkan kesadaran, kemampuan dan
kemandiriannya melindungi diri sendiri hingga mampu mengangkat harkat
dan martabat konsumen dengan menghindari berbagai akses negatif
pemakaian, penggunaan dan pemanfaatan barang dan/atau jasa kebutuhannya.
Disamping itu, juga kemudahan dalam proses menjalankan sengketa
konsumen yang timbul karena kerugian harta bendanya,
keselamatan/kesehatan tubuhnya, penggunaan dan/atau pemanfaatan produk
konsumen.
34
BAB III
KETENTUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999
TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Sejarah Lahirnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen di Indonesia.
Pada dasarnya kalau berbicara mengenai perlindungan konsumen maka
tidak terlepas dari gerakan perlindungan konsumen diseluruh dunia. Sebab
konsumen bukanlah masalah nasional saja, melainkan juga sudah menjadi
permasalahan di seluruh dunia. Sebagaimana diketahui perkembangan
perekonomian yang sangat pesat telah menghasilkan berbagai jenis barang atau
jasa yang dapat dikonsumsi. Dengan berbagai produk yang sedemikian luasnya
dan dengan dukungan kemajuan teknologi komunikasi dan informatika, telah
menyebabkan perluasan ruang gerak arus transaksi barang atau jasa melintasi
batas-batas wilayah suatu Negara.1
Az. Nasution menggambarkan fenomena ini dengan “dunia yang secara
teknis dan psikologis makin mengecil menyebabkan denting garpu disalah satu
ujung dunia terdengar jelas di ujung lainnya”.2
Konsumen pada akhirnya dihadapkan pada berbagai jenis barang atau jasa
yang ditawarkan secara variatif, baik yang berasal dari produksi domestik maupun
1 Gunawan Wijaya, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, ( Jakarta : Gramedia, 2000 ), h.
11.
2 Az. Nasution, Konsumen Dan Hukum, ( Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1995 ), h. 61
35
yang berasal dari luar negeri. Kondisi yang demikian disatu sisi sangat
bermanfaat bagi konsumen, karena kebutuhan yang diinginkan dapat dipenuhi
dengan disertai kebebasan untuk memilih variasi barang atau jasa tersebut. Tetapi
disisi yang lain dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen
tidak seimbang, dimana konsumen pada posisi yang lemah. Konsumen hanya
dijadikan objec aktivitas bisnis untuk meraup laba sebeser-besarnya oleh pelaku
usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar
yang merugikan konsumen.
Fenomena di atas kemudian mengilhami gerakan perlindungan konsumen
diseluruh dunia. Oleh karena itu lahirlah gerakan konsumen diseluruh dunia yang
merupakan bukti bahwa hak-hak masyarakat (konsumen) dijunjung tinggi dan
dihargai. Adapun gerakan perlindungan konsumen secara teroganisir diawali pada
tahun 1891, yaitu dengan terbentuknya Liga Konsumen yang untuk pertama kali
di New York, pada tahun 1898 di tingkat Nasional Amerika Serikat terbentuk
Liga Konsumen Nasional (The Nasional Consumer‟s League). Organisasi ini
tumbuh dan berkembang dengan pesat sehingga pada tahun 1903 telah
berkembang menjadi 64 cabang yang meliputi 20 negara bagian.3
Pada tahun 1962 Presiden AS John F. Kennedy menyampaikan Consumer
Message kepada konggres, dan ini dianggap sebagai era baru gejolak konsumen.
Setelah itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan resolusi nomor 39/248
3 Wijaya, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, h. 13.
36
Tahun 1985 tentang perlindungan konsumen (guidelenis for consumerprotecton),
juga merumuskan hak-hak konsumen yang perlu dilindungi, yang meliputi:4
1. Perlindungan Konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan
keamanannya;
2. Promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi sosial konsumen.
3. Tersedianya informasi yang menandai bagi konsumen untuk memberikan
kemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan
kepentingan pribadi.
4. Pendidikan konsumen.
5. Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif.
6. kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen.
Sampai dengan tahun 1995, CI telah mempunyai 203 anggota yang
berasal dari 80 negara termasuk Indonesia. Di Indonesia ditandai dengan
terbentuknya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada tanggal 11
mei 1973. Dalam perkembangannya di Indonesa telah terbentuk kurang lebih 19
organisasi konsumen termasuk Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen
(LP2K) semarang.
Sejak YLKI didirikan muncul panca hak konsumen yang terdiri atas :5
1. Hak atas keamanan dan keselamatan.
2. Hak informasi.
4 Ibid, h. 27-28.
5 Nasution, Konsumen Dan Hukum, h. 30.
37
3. Hak untuk memilih.
4. Hak untuk didengar.
5. Hak atas lingkungan hidup yang baik.
Secara konseptual hak-hak konsumen tersebut dalam bentuk konsep
rancangan UUPK hukum yang disampaikan pada pemerintah dan semua pihak
yang bertanggung jawab agar dimasukan dalam jaringan hukum Indonesia
sehingga dapat menjadi salah satu instrument hukum.6
Pada tahun 1981 untu pertama kalinya YLKI mengusulkan kepada
pemerintah Indonesia untuk mengeluarkan Undang-undang perlindungan
konsumen, karena banyaknya keluhan konsumen yang disampaikan kepada
lembaga ini. Tetapi usulan ini ditolak dengan alasan di Indonesia telah ada aturan
yang membahas tentang konsumen. Kaidah-kaidah hukum yang berkaitan dengan
masalah konsumen itu termuat dalam lingkungan hukum perdata (KUH Perdata,
KUHD, dan lain-lain) maupun hukum publik (Hukum Pidana, hukum
administrasi, hukum internasional, hukum acara perdata, hukum acara pidana, dan
lain-lain). Disamping itu bentuk lain dari hubungan dan masalah konsumen
terdapat pula penanggulangnnya dalam etika bisnis yang lazim disebut regulasi
sendiri (Self regulation) dari kalangan pengusaha atau profesi ( antara lain : kode
etik, kode pemasaran, kode praktek pengusaha atau profesi)7 Oleh karena itu
6 Ibid, h. 80.
7 Ibid, h. 62.
38
pemerintah beranggapan belum perlu adanya peraturan perundang-undangan yang
baru.
Tetapi pada kenyataannya “Hukum Konsumen” yang dimaksud oleh
pemerintah Indonesia, menurut Az.Nasution, SH, banyak yang mengalami
kendala dalam pemanfaatannya, yaitu8:
1. Peraturan perundang-undangan tersebut diterbitkan bukan untuk tujuan
khusus untuk menghatur dan atau melindungi.
2. Dalam peraturan tersebut tidak menyebutkan dengan jelas apa yang dimaksud
dengan kepentingan konsumen.
3. Kebebasan kalangan pelaku usaha dalam bisnis telah banyak merugikan
konsumen, hal ini membuktikan bahwa perundang-undangan tersebut sudah
tidak memadai lagi.
4. Hukum acara yang berlaku tidak mudah dimanfaatkan oleh konsumen yang
dirugikan.
5. Berbagai kepentingan konsumen sebagaimana yang telah disepakati oleh PBB
dalam resolusi tentang pedoman perlindungan konsumen memerlukan sarana
dan prasarana hukum untuk dapat diwujudkan bagi kepentingan masyarakat.
Oleh karena itu masyarakat Indonesia melalui organisasi konsumen terus
berusaha agar undang-undang perlindungan konsumen di Indonesia dapat segera
terbentuk. Dan akhirnya perjuangan selama bertahun-tahun itu membuahkan
hasil, yaitu pada tanggal 20 April 1999 pemerintah telah bersedia mengeluarkan
8 Ibid., h. 80-81
39
UU No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen yang disahkan oleh
presiden B.J Habibie (Presiden Indonesia pada waktu itu).
Dengan munculnya UUPK ini diharapkan akan dapat mendidik
masyarakat Indonesia untuk lebih menyadari akan segala hak-hak dan kewajiban-
kewajiban yang dimiliki konsumen dan pelaku usaha. Dalam konsiderans
Undang-Undang ini dikatakan bahwa untuk meningkatkan kesadaran, kepedulian,
kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya, serta
menumbuh kembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab. Agar
tercipta suatu kegiatan perekonomian yang baik dan sah menurut hukum Islam
serta tidak merugikan bagi konsumen.
B. Asas dan Tujuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Sedangkan
yang dimaksud sebagai konsumen di sini adalah setiap orang pemakai barang atau
jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,
orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Jadi yang
dimaksud konsumen dalam Undang-undang ini adalah konsumen akhir, bukan
untuk diperjual belikan kembali.
Dalam pasal 2 disebutkan bahwa Perlindungan konsumen berasaskan
manfaat, keadilan, keseimbangan, Keamanan, dan keselamatan konsumen, serta
kepastian hukum. Sedangkan maksud dari pasal ini yaitu perlindungan konsumen
40
diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 asas yang relevan dalam
pembangunan nasional, yaitu :
1. Asas Manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam
menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memmberikan manfaat
sebesar-besesarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara
keseluruhan.
2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan
secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku
usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara
kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan
spiritual.
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan
jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam
penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang atau jasa yang dikonsumsi
atau digunakan.
5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen
mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan
perlindungan konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum.
Memperhatikan substansi pasal 2 UU Perlindungan Konsumen demikian
penjelasannya, tampak bahwa perumusannya mengacu pada filosofi
41
pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang
berlandaskan pada falsafah Negara Republik Indonesia.
Sebagai asas hukum, dengan sendirinya menempatkan asas ini yang
menjadi rujukan pertama baik dalam pengaturan perundang-undangan maupun
dalam berbagai aktivitas yang berhubungan dengan gerakan perlindungan
konsumen oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya.
Keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum juga oleh banyak jurist
menyebut sebagai tujuan hukum. Persoalannya, sebagai tujuan hukum hal ini
masih terdapat kesulitan dalam mewujudkan secara bersamaan, dan sering antara
tujuan yang satu dengan yang lainnya terjadi benturan.
Asas keamanan dan keselamatan konsumen yang dikelompokan ke dalam
asas manfaat oleh karena keamanan dan keselamatan konsumen itu sendiri
merupakan bagian dari manfaat penyelenggaraan perlindungan yang diberikan
kepada konsumen di samping kepentingan pelaku usaha secara keseluruhan.
Menyangkut asas keseimbangan yang dikelompokan ke dalam asas
keadilan, mengingat hakikat keseimbangan yang dimaksud adalah juga keadilan
bagi kepentingan masing-masing pihak, yaitu konsumen, pelaku usaha, dan
pemerintah. Kepentingan pemerintah dalam hubungan ini tidak dapat dilihat
dalam hubungan transaksi dagang secara langsung menyertai pelaku usaha dan
konsumen. Kepentingan pemerintah dalam rangka mewakili kepentingan publik
yang kehadirannya tidak secara lansung di antara para pihak tetapi melalui
42
berbagai pembatasan dalam bentuk kebijakan yang dituangkan dalam berbagai
peraturan perundang-undangan.
Keseimbangan perlindungan antara pelaku usaha dan konsumen
menampakan fungsi hukum sebagai sarana pengendalian hidup bermasyarakat
dengan menyeimbangkan kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat
atau dengan kata lain sebagai sarana kontrol sosial.
Dalam konsep efisiensi, suatu proses dikatakan telah mencapai efisiensi
apabila proses yang bersangkutan menghasilkan output maksimal dengan input
minimum. Di bidang ekonomi konsep tersebut menjelma dalam bentuk; efficient
production, efficient exchange, dan utilitarian efficiency. Dalam hubungan ini,
maka pranata hukum juga perlu dilihat sebagai “faktor produksi”, yang baru
menjadi efisien apabila nilai ekonomi barang dan jasa telah dimanfaatkan
semaksimal mungkin oleh pranata hukum bersangkutan.
Asas-asas Hukum Perlindungan Konsumen yang dikelompokan dalam 3
(tiga) kelompok di atas yaitu asas keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.
Dalam hukum ekonomi keadilan disejajarkan dengan asas keseimbangan,
kemanfaatan disejajarkan dengan asas maksimalisasi, dan kepastian hukum
disejajarkan dengan asas efisiensi.9
Dalam Pasal 3 UU No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen
menyebutkan bahwa, perlindungan konsumen bertujuan :
9 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, ( Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 2007 ), h.35.
43
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri.
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya
dari akses negatif pemakai barang atau jasa.
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan
menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan
informasi.
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan
konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam
berusaha.
6. Meningkatkan kwalitas barang dan atau jasa yang menjamin kelangsungan
usaha produksi barang dan atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan
keselamtan konsumen.
Pasal 3 UUPK ini merupakan isi pembangunan nasional sebagaimana
disebutkan dalam pasal 2, karena tujuan perlindungan konsumen yang ada itu
merupakan sasaran akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan di
bidang hukum perlindungan konsumen.
hal itu juga tampak dari pengaturan Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen, yang mengatur tujuan khusus perlindungan konsumen, sekaligus
44
membedakan dengan tujuan umum sebagaimana dikemukakan berkenaan dengan
ketentuan Pasal 2 di atas.
Keenam tujuan khusus perlindungan konsumen yang disebutkan di atas
bila dikelompokan ke dalam tiga tujuan hukum secara umum, maka tujuan hukum
untuk mendapatkan keadilan terlihat dalam rumusan angka 3, dan angka 5.
sementara tujuan untuk memberikan kemanfaatan dapat terlihat dalam rumusan
angka 1, angka 2, termasuk angka 3, dan 4, serta angka 6. Terakhir tujuan khusus
yang diarahkan untuk tujuan kepastian hukum terlihat dalam rumusan angka 4.
pengelompokan ini tidak berlaku mutlak, oleh karena seperti yang dapat kita lihat
dalam rumusan pada angka 1 sampai dengan angka 6 terdapat tujuan yang dapat
dikualifikasikan sebagai tujuan ganda.
Kesulitan memenuhi ketiga tujuan hukum (umum) sekaligus sebagaimana
dikemukakan sebelumnya, menjadikan sejumlah tujuan khusus dalam angka 1
sampai dengan angka 6 dari Pasal 3 tersebut hanya dapat tercapai secara
maksimal, apabila didukung oleh keseluruhan subsistem perlindungan yang diatur
dalam undang-undang ini, tanpa mengabaikan fasilitas penunjang dan kondisi
masyarakat. Termasuk dalam hal ini substansi ketentuan pasal demi pasal yang
akan diuraikan dalam bab selanjutnya. Unsur masyarakat sebagaimana
dikemukakan berhubungan dengan persoalan kesadaran hukum dan ketaatan
hukum, yang seterusnya menentukan efektifitas Undang-Undang Perlindungan
Konsumen, karena kesadaran hukum, ketaatan hukum, dan efektivitas undang-
undang adalah tiga unsur yang saling berkaitan.
45
Bila mencermati susunan hak-hak konsumen dalam UUPK ini
kenyamanan, keamanan,dan keselamatan barang dan jasa merupakan prioritas hak
yang utama.ketentuan ini memang sangat tepat mengingat kebutuhan barang dan
atau jasa yang harus dipenuhi oleh setiap konsumen terutama yang berkaitan
dengan kebutuhan pokok seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, kesehatan dan
pendidikan. Islam memandang bahwa kebutuhan semacam ini merupakan sesuatu
yang bersifat dloruri (primer).10
Oleh karena itu para ahli hukum Islam telah
sepakat bahwa memelihara kebutuhan ini merupakan kebutuhan syari‟ah
(maqosid al-syariah) yang utama.11
Namun agar pemenuhan kebutuhan tersebut
tetap selaras dengan ajaran Islam, pelaksanaannya harus senantiasa
memperhatikan ketetapan-ketetapan hukum Islam itu sendiri. Sehingga konsumen
akan dapat merasakan kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan atau jasa.
Konsumen juga mempunyai hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur
mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa. Untuk memilih dan
mengetahui kondisi dan jaminan barang dan jasa tertentu, informasi dari barang
dan atau jasa yang sah untuk dikonsumsi. Semua transaksi yang dilakukan antara
konsumen dan pelaku usaha akan sempurna bila transaksi tersebut jelas, terang,
jauh dari praktek-praktek penipuan, pemalsuan, dan menutupi cacat atau aib. Jika
10 Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, ( Bandung : LPPM UNISBA, 1995 ), h.101.
11 Zainuddin Ahmad, Al-qur’an Kemiskinan dan Pemerataan Pendapatan, ( Yogyakarta :
Dana Bakti wakaf, 1995 ), h.21
46
yang demikian dilakukan maka sebagaiman dikatakan oleh Rasulallah SAW
dalam sabdanya :
:
12
Artinya : “Diceritakan Badal bin Mahrab, diceritakan Syu’bah dari Qatadah
berkata saya mendengar Abi Khulail pembicaraan dari Abdullah bin
Harist dari Hakim bin Hizam RA. Bahwa Rasulallah berkata : “dalam
jual beli dengan cara khiyar selagi belum terpisa ataupun sudah terpisa
jarak, jika terdapat kejujuran dan kejelasan diantara mereka maka
terdapat berkah dalam transaksinya dan Jika mereka menyembunyikan
dan berdusta, maka Allah akan menghapus berkah dari transaksi
tersebut” (HR. Al Bukhârî)
Jika Allah telah menghapus berkah dari transaksi ini, maka syari‟at tidak bisa
membiarkan transaksi tersebut berlaku ataupun meluluskannya. Dengan kata lain
hukum Islam melarang adanya informasi yang tidak jelas apalagi tidak benar dari
pelaku usaha. Oleh karena itu Islam memberikan kepastian bahwa hak
mendapatkan informasi yang jujur, jelas dan harus mendapat jaminan hukum.
Hal ini senada dengan pasal 7 dan pasal 8 bahwa, pelaku usaha tidak boleh
tidak harus mengikuti ketentuan produks secara halal, sebagaimana pernyataan
“halal” yang dicantumkan dalam label. Dengan pelabelan ini konsumen dapat
mengetahui apakah barang tersebut boleh dikonsumsi bagi konsumen muslim
12 Al-Maktabah al-Syamilah, Muhammad bin Ismaîl Abu Abdullah al-Bukhârî, Sahîh al-
Bukhârî, ( Yaman: Ridwana, 2008 ), Juz.2, h.733., no.1976.
47
atau tidak. Dan pelabelan halal ini dilakukan atas pengawasan dan sertifikasi dari
Badan LPPOM MUI.
C. Bentuk-Bentuk Perlindungan Konsumen Muslim dalam Undang-Undang
No.8 Tahun 1999.
Dalam Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen
dijelaskan bahwa setiap konsumen, termasuk konsumen muslim yang merupakan
mayoritas konsumen di Indonesia, berhak untuk mendapatkan barang dan jasa
yang nyaman dikonsumsi olehnya, salah satu pengertian nyaman bagi konsumen
muslim adalah bahwa barang tersebut tidak bertentangan dengan kaidah agama
Islam, yaitu halal.
Kehalalan suatu makanan atau produk bukan hanya terletak pada adanya
unsur babi atau tidak. Banyak unsur lainnya yang menyebabkan suatu makanan
atau minuman menjadi haram. Misalnya unsuf fermentasi atau unsur lainnya
seperti alkohol. Sup ikan belum halal karena dalam memasak ikan menggunakan
ang cui atau arak, adahal ikan itu adalah makanan yang halal. Demikian juga
anggur, buah anggur itu halal, tapi setelah menjadi minuman maka nggur tersebut
menjadi haramg.13
Contoh yang lain, Majelis Ulama Indonesia (MUI) tetap bersikukuh
bahwa vaksin maningitis (radang selaput otak) yang disuntikan peda jemaah haji
13 Minuman cap badak kok tak ada label halalnya pak?, artikel diakses pada 24 Juni 2009
dari http://ariesaja.wordpress.com/2009/06/24/minuman-cap-badak-kok-tak-ada-label-halalnya-pak/#
more-386.
48
Indonesia tetap haram. MUI menolak fakta yang disodorkan Depkes, bahwa
vaksin itu bebas dari DNA babi. “Hasil uji Badan Obat dan Makanan (POM)
membuktikan hasil akhir vaksin bebas dari DNA babi. Akan tetapi, dalam proses
pembuatan terjadi persinggungan dengan unsur babi, yaitu trypsin (enzim) yaang
berasal dari porcine yang bersumber dari enzim babi.14
Contoh lainnya adalah apa yng telah dilakukan oleh Badan Pengawas
Obat dan Makanan (BPOM), bahwa BPOM mengingatkan kepada masyarakat
agar tidak menggunakan peralatan makan melamin. Pasalnya menurut data
BPOM, peralatan makan „melamin‟ yang bila digunakan untuk mewadahi
makanan berair, asam atau panas akan melepaskan formalin. Akibatnya
penggunaan berbagai produk yang mengandung melamin tersebut dalam jangka
panjang beresiko menimbulkan gangguan ginjal dan kandung kemih, gagal ginjal,
kerusakan organ tubuh, kanker, hingga kematian.15
Selain contoh di atas terdapat juga kasus yang baru-baru ini kita dengar
dan menjadi pembicaraan umum, yaitu kasus pidana pencemaran nama baik
dengan tersangka Prita Mulyasari (32) dengan penuntut rumah sakit Omni adalah
salah kaprah. Seharusnya pihak rumah sakit memberikan penjelasan kepada
pasien dalam hal ini konsumen tentang kondisi kesehatan dan pemeriksaannya.
14 Mediakonsumen, Majelis Ulama Indonesia (MUI) tetap bersikukuh, artikel diakses pada 24
Juni 2009 dari http://www.mediakonsumen.com/artikel931.html.
15 Ibid.
49
“ini malah konsumennya dikenakan pencemaran nama baik dengan alat UU
Informasi dan Traksaksi Elektronik (ITE)”.
Dalam Pasal 4 UU PK disebutkan hak konsumen adalah hak untuk
didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan.
“Dan tulisan Prita dalam email merupakan bentuk meminta penjelasan bukan
pencemaran nama baik”.16
Adapun salah satu pasal yang menjelaskan tentang hal tersebut dapat
ditemukan pada pasal 4 mengenai hak dan kewajiban konsumen. Pada pasal ini
disebutkan bahwa hak konsumen adalah :
1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan atau jasa.
2. Hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau
jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan.
3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan atau jasa.
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan atau jasa yang
digunakan.
5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut.
16 Mediakonsumen, Kasus pidana pencemaran nama baik, artikel diakses pada 24 Juni 2009
dari http://www.mediakonsumen.com/artikel931.html.
50
6. Hak untuk mendapat permintaan dan pendidikan konsumen.
7. Hak untuk diperlakukan dan dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif.
8. Hak untuk mendapatkan Kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian,
apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau
tidak sebagaimana mestinya.
9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Dari sembilan butir hak-hak konsumen yang diuraikan di atas, terlihat
bahwa kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen merupakan hal yang
paling pokok dan utama dalam perlindungan konsumen.
Barang dan atau jasa yang penggunaannya tidak memberikan kenyamanan
terlebih lagi yang tidak aman atau membahayakan keselamatan konsumen hal ini
jelas tidak layak untuk diedarkan dalam masyarakat. Kelayakan produk tersebut
merupakan "standar minimum" yang harus dimiliki atau dipenuhi oleh suatu
barang dan atau jasa tertentu sebelum barang dan atau jasa tersebut dapat
diperdagangkan untuk dikonsumsi oleh masyarakat luas.17
Dengan demikian, jaminan keamanan, keselamatan, dan kenyamanan
dalam menggunakan barang dan atau jasa, terutama yang dibutuhkan konsumen
untuk mempertahankan hidupnya seperti sandang, pangan, papan, pelayanan
kesehatan, pendidikan dan sanitasi (kebutuhan pokok) sangat dibutuhkan bagi
konsumen. Untuk menjamin bahwa suatu barang dan atau jasa dalam
17 Widjaya, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, h.39.
51
penggunaannya akan nyaman, aman maupun tidak membahayakan penggunanya,
maka konsumen mempunyai hak untuk memilih barang dan atau jasa yang
dibutuhkan secara bebas, atas dasar keyakinan diri sendiri dan bukan karena
pengaruh lingkungan luar (Iklan, lingkungan dan sebagainya). Konsumen berhak
menentukan pilihannnya, disinilah ungkapan konsumen adalah raja sudah saatnya
diwujudkan, sehingga tidak hanya sekedar slogan semata. Untuk menjamin hak
pilihan konsumen ini, menurut LP2K (Lembaga Pembinaan dan Perlindungan
Konsumen) sekarang harus diciptakan iklim usaha yang tidak monopolis.
Dengan demikian, produsen tidak bisa seenaknya memaksa konsumen
untuk membeli atau menggunakan produk tertentu tanpa informasi yang jelas
tentang produk tersebut. Sedangkan pasal yang menjelaskan tentang hak dan
kewajiban pelaku usaha diterangkan pada pasal 7 UUPK. Di sini disebutkan
bahwa kewajiban pelaku usaha adalah :
1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usaha.
2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,
perbaikan dan pemeliharaan.
3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benda dan jujur serta tidak
diskriminatif.
4. Menjamin mutu barang dan atau jasa yang diproduksi dan atau jasa
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan atau jasa
yang berlaku.
52
5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan atau mencoba
barang dan atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan atau garansi atas
barang yang dibuat dan atau yang diperdagangkan.
6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan atau jasa yang
diperdagangkan.
7. Memberikan Kompensasai, ganti rugi dan atau penggantian apabila barang
dan atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Sementara dalam pasal 8 UUPK desebutkan ;
1. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan atau memperdagangkan barang dan
atau jasa yang :
a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan
oleh ketentuan peraturan perundang-undangan.
b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto dan jumlah dalam
hitungan yang sebagaimana dinyatakan dalam label atau etiket barang
tersebut.
c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam
hitungan menurut ukuran yang sebenarnya.
d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran
sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan
atau jasa tersebut.
53
e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan komposisi proses pengolahan, gaya,
mode atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau
keterangan barang dan atau jasa tersebut.
f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan,
iklan atau promosi penjualan barang dan atau jasa tersebut.
g. Tidak mencantumkan kadar kadaluarasa atau jangka waktu penggunaan
atau pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu.
h. Tidak mengikuti ketentuan berfroduksi secara halal, sebagaimana
pernyataan "Halal" yang dicantumkan dalam label.
i. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat
nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai,
tanggal poembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha
serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus
dipasang/dibuat.
j. Tidak mencantumkan informasi dan atau petunjuk penggunaan barang
dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.
2. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas
dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas
barang yang dimaksud.
54
3. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan-pangan
yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan
informasi secara lengkap dan benar.
Dari uraian diatas dapatlah disimpulkan bahwa informasi tersebut
meliputi:
1. Manfaat atau kegunaan barang.
2. Efek samping yang dapat timbul dari pemakaian barang dan atau jasa tersebut.
3. Tanggal kadaluarsa.
4. Nama dan alamat perusahaan dan nomor pendaftaran (registration).
Adapun informasi di atas dapat diperoleh dengan cara :
1. Secara langsung dari pedagang.
2. Keterangan yang tercantum dalam table kemasan.
3. Melalui promosi media cetak dan media elektronik.
Dengan ketentuan di atas maka konsumen memiliki hak untuk dilindungi
dari berbagai merek atau iklan-iklan yang menipu dan mengelabui (yang tidak
benar).
Konsumen secara kolektif atau individu memiliki hak untuk didengar
keluhan dan pendapatnya menyangkut hal-hal yang berkaitan erat dengan
keputusan atau kebijakasanaan yang akan berakibat pada dirinya yang dibuat oleh
pelaku usaha. Disamping itu konsumen juga memiliki hak untuk menyuarakan
kepentingannya sebagai konsumen dalam pembuatan dan pelaksanaan
kebijaksanaan pemerintah. Hak untuk di dengar ini dapat diaktualisasikan dengan
55
cara mengadu baik kepada produsen (pelaku usaha) apabila konsumen dirugikan
atau dikecewakan, maupun kepada pemerintah untuk meminta bantuan peraturan
yang telah ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha.
Selanjutnya dalam pasal 34 ayat 1 hurup f UUPK ini disebutkan bahwa
Badan Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai tugas "menerima
pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha".
Adapun mengenai proses pengajuan keluhan atau bahkan gugatan
sengketa konsumen akan dibahas dalam sub bahasan berikutnya.
Sebagaimana disebutkan dalam UUPK pasal 31, bahwa dalam rangka
mengembangkan upaya perlindungan konsumen dibentuk BPKN. Selanjutnya
dalam pasal 33 ayat 1 UU tersebut dijelaskan bahwa BPKN bertugas :
1. Memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka
penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen.
2. Melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan
yang berlaku di bidang perlindungan konsumen.
3. Melakukan penelitian terhadap barang dan atau jasa yang menyangkut
keselamatan konsumen.
4. Mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat.
5. Menyebrluaskan informasi melalui media mempunyai perlindungan
konsumen dan memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen.
56
6. Menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyrakat,
lembaga perlindungan konsumen dari masyarakat atau pelaku usaha.
7. Melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen.
Selanjutnya dalam pasal 45 UUPK tersebut diatas dikatakan :
1. Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui
lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku
usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
2. Penyelesain sengketa konsumen dapat di tempuh melalui pengadilan atau
diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
Adapun yang dimaksud denda sengketa konsumen dalam ketentuan
tersebut adalah sengketa antara konsumen sebagai penggugat yang menderita
kerugian akibat mengkonsumsi, menggunakan, memanfaatkan barang dan atau
jasa terhadap pelaku usaha sebagai tergugat yang memproduksi, menyediakan,
menjual, mengiklankan barang dan atau jasa.
Mengenai mekanisme gugatan atas pelanggaran pelaku usaha
sebagaiamana dinyatakan dalam pasal 46 ayat 1 UUPK dapat dilakukan oleh :
1. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan.
2. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama.
3. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi
syarat, yaitu yang berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran
dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi
57
tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah
melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.
4. Pemerintah dan atau instansi terkait apabila barang dan atau jasa yang
dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian meteri yang besar dan
atau korban yang tidak sedikit.
Kemudian sebagaimana disebutkan di atas bahwa penyelesaian konsumen
dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan. Penyelesaian sengketa
konsumen melalui pengadilan sebagaimana dinyatakan dalam pasal 48 UUPK :
"Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada
ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan
ketentuan dalam pasal 45".
Adapun proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan
sebagaimana dinyatakan dalam pasal 49 ayat 1 UUPK :
"Pemerintah membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen di daerah
tingkat II untuk menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan".
Sementara itu dalam pasal 52 huruf a UUPK dinyatakan bahwa salah satu
tugas dan wewenang BPKS adalah :
"Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dapat
dilakukan dengan cara melakukan mediasi, arbritase atau konsilidasi".
Dengan adanya ketentuan di atas maka kepentingan konsumen yang
selama ini dirugikan oleh pelaku usaha di harapkan akan dapat diselesaikan secara
adil.
58
Pentingnya pemberian informasi yang jelas bagi konsumen bukanlah tugas
dari pelaku usaha semata-mata, melainkan juga tugas konsumen untuk mencari
apa dan bagaimana informasi yang dianggap relevan yang dapat dipergunakan
untuk membuat suatu keputusan tentang penggunaan, pemanfaatan maupun
pemakaian dan atau jasa tertentu. Untuk itu, pendidikan tentang "perlindungan
konsumen" menjadi suatu hal yang signifikan, tidak hanya memberikan
bargaining position yang lebih kuat pada konsumen untuk menegakan hak-
haknya, melainkan juga agar dapat tercipta aturan main yang lebih fair bagi
semua pihak.
Dalam pasal 29 UUPK ini disebutkan bahwa :
1. Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan
konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta
diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya
kewajiban konsumen dan pelaku usaha.
2. Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan konsumen
sebagimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan oleh menteri dan atau
menteri teknis terkait.
3. Menteri sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) melakukan koordinasi
atas penyelenggaraan perlindungan konsumen.
4. Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana di maksud
dalam ayat (2) meliputi upaya untuk :
a) Terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara
pelaku usaha dan konsumen.
59
b) Berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.
c) Meningkatkan kualitas sumber daya manusia serta meningkatnya kegiatan
penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen.
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan penyelenggaraan perlindungan
konsumen diatur oleh peraturan pemerintah.
60
BAB IV
ANALISIS TERHADAP UU NO 8 TAHUN 1999 TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PERSPEKTIF ISLAM
A. Analisis Terhadap Bentuk-bentuk Perlindungan Konsumen dalam Undang-
undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Dalam ketentuan Undang-undang perlindungan konsumen, penulis hanya
akan membahas beberapa poin tentang perlindungan konumen secara global saja.
dengan alasan peraturan ini diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan lainnya. Bila mengingat banyaknya peraturan perundangan di
Indonesia, rasanya mustahil untuk membahasnya satu persatu dalam kesempatan
yang relatif singkat ini.
Sebagaimana telah diuraikan dalam bab III bahwa, Perlindungan
konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk
memberi perlindungan kepada konsumen. Sedangkan yang dimaksud sebagai
konsumen di sini adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain
maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Jadi yang dimaksud
konsumen dalam Undang-undang ini adalah konsumen akhir, bukan untuk
diperjual belikan kembali.
Memperhatikan substansi pasal 2 Undang-undang Perlindungan
Konsumen demikian penjelasannya, tampak bahwa perumusannya mengacu pada
61
filosofi pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya
yang berlandaskan pada falsafah negara Republik Indonesia.
Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut, bila diperhatikan
substansinya dapat dibagi menjadi tiga asas, yaitu1 :
1. Asas kemanfaatan, yang di dalamnya meliputi asas keamanan dan
keselamatan konsumen.
2. Asas keadilan yang di dalamnya meliputi asas keseimbangan
3. Asas kepastian hukum.
Dari ketiga asas ini, asas yang paling menonjol adalah asas keadilan,
demikian pula hubungannya dengan substansi pasal 1 angka (1) dalam bab
sebelumnya, dapat dikatakan hukum ini dalam lingkup kajian hukum ekonomi.
Hukum ekonomi yang dimaksud yaitu, mengakomodasi dua aspek hukum
sekaligus diantaranya aspek hukum publik dan aspek hukum privat (perdata).
Sebagai asas hukum, dengan sendirinya menempatkan asas ini yang menjadi
rujukan pertama baik dalam pengaturan perundang-undangan maupun dalam
berbagai aktifitas yang berhubungan dengan perlindungan konsumen oleh semua
pihak yang terlibat di dalamnya.
Asas-asas hukum perlindungan konsumen yang dikelompokkan dalam
tiga kelompok di atas, dalam hukum ekonomi keadilan disejajarkan dengan asas
1 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, ( Jakarta, PT. Raja
Grafindo, 2004 ), cet.1, hlm.26.
62
keseimbangan, kemanfaatan disejajarkan dengan memaksimalisasi, dan asas
kepastian hukum disejajarkan dengan asas efisiensi.
Dalam Pasal 3 UU No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen
menyebutkan bahwa Perlindungan konsumen bertujuan :
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri;
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya
dari akses negatif pemakai barang dan/atau jasa;
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan
menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan
informasi;
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan
konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam
berusaha;
6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan
usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan
keselamatan konsumen”.
Keenam tujuan khusus perlindungan konsumen yang disebutkan di atas
bila dikelompokkan ke dalam tiga tujuan hukum secara umum, maka tujuan
hukum untuk mendapatkan keadilan terlihat dalam rumusan huruf c dan huruf e.
63
Sementara tujuan untuk memberikan kemanfaatan dapat terlihat dalam rumusan
huruf a dan huruf b termasuk huruf c dan d serta huruf f. Terakhir tujuan khusus
yang diarahkan untuk kepastian hukum terlihat dalam rumusan huruf d.
Pengelompokan ini tidak berlaku mutlak, karena dalam rumusan pada huruf a
sampai huruf f terdapat tujuan yang dapat dikualifikasi sebagai tujuan ganda.
Kesulitan memenuhi ketiga tujuan hukum (umum) sebagaimana
dikemukakan sebelumnya, menjadikan tujuan khusus dalam huruf a sampai f
akan dapat tercapai maksimal, apabila didukung oleh keseluruhan sub sistem
perlindungan yang diatur dalam undang-undang ini, tanpa mengabaikan fasilitas
penunjang dan kondisi masyarakat. Unsur masyarakat sebagaimana dikemukakan
berhubungan dengan persoalan kesadaran hukum dan ketaatan hukum, yang
seterusnya menentukan efektifitas undang-undang perlindungan konsumen,
kesadaran hukum, ketaatan hukum, dan efekifitas perundangundangan adalah tiga
unsur yang saling berhubungan.
Pasal 3 Undang-Undang perlindungan konsumen ini, merupakan isi
pembangunan nasional sebagaimana disebutkan dalam pasal 2, karena tujuan
perlindungan konsumen yang ada itu merupakan sasaran akhir yang harus dicapai
dalam pelaksanaan pembangunan di bidang hukum perlindungan konsumen.
Untuk mewujudkan tujuan UUPK, pemerintah bertujuan atas pembinaan
penyelenggaraan perlindungan konsumen (pasal 29 ayat (4) UUPK) sebagaimana
berikut :
64
1. Terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku
usaha dan konsumen.
2. Berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.
3. Meningkatnya kualitas sumber daya manusia serta meningkatnya kegiatan
penelitian dan pengembangan dibidang perlindungan konsumen.
Menurut penulis inti dari UU No.8 Tahun 1999 tentang perlindungan
konsumen ini bertitik beratkan pada hak dan kewajiban saja, sedangkan
pasalpasal berikutnya adalah penunjang dan kelanjutan dari hak dan kewajiban
konsumen dan pelaku usaha, seperti sangsi, klausa baku, pidana, dan lain
sebagainya.
Bila mencermati susunan hak-hak konsumen dalam UUPK ini,
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan barang dan jasa merupakan prioritas
hak yang utama. Ketentuan ini memang sangat tepat mengingat kebutuhan barang
dan/ atau jasa yang harus dipenuhi oleh setiap konsumen terutama yang berkaitan
dengan kebutuhan pokok seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, kesehatan dan
pendidikan. Islam memandang bahwa kebutuhan semacam ini merupakan sesuatu
yang bersifat dzoruri (primer).2 Oleh karena itu para ahli hukum Islam telah
sepakat bahwa memelihara kebutuhan ini merupakan kebutuhan syari’ah
(maqosid syari‟) yang utama.3 Namun agar pemenuhan kebutuhan tersebut tetap
2 Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, ( Bandung : LPPM UNISBA, 1995 ), h.101.
3 Ziauddin Ahmad, Al Qur‟an Kemiskinan dan Pemerataan Pendapatan, ( Yogyakarta : Dana
Bakti Wakaf, 1995 ), h.21.
65
selaras dengan ajaran Islam, pelaksanaanya harus senantiasa memperhatikan
ketetapan-ketetapan hukum Islam itu sendiri. Sehingga konsumen itu sendiri akan
dapat merasakan kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa. Bahkan dengan aspek kenyamanan, Islam memandang
bahwa hal ini merupakan kebutuhan pokok dan tepat guna, karena memberikan
kesenangan dan kenyamanan kepada konsumen.4
Dalam Islam juga mengajarkan tentang etika tidak boleh berlebihlebihan
atau bersifat boros. Sifat yang diistilahkan dalam Al Qur’an dengan ishrof dan
tabdzir ini, sangat dilarang dalam Islam. Allah SWT. Berfirman dalam surat Al-
A’râf :
Artinya : “Hai anak adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki)
masjid, makan dan minumlah dan janganlah berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah sangat tidak menyukai orang yang berlebih-
lebihan”. (QS. Al-A’râf / 7 : 31)
Menurut Afzlur Rahman sifat berlebih-lebihan berpotensi untuk
menumbuh kembangkan in dustri-industri yang tidak kondusif dan tidak bermoral
serta kejahatan dan kekacauan dalam masyarakat yang akhirnya dapat
menghancurkan kesatuan dan integritas d alam masyarakat. Dalam kontek ini
perilaku yang demikian jelas sangat bertentangan dengan kepentingan
kenyamanan, keselamatan dan keamanan konsumen. Berkaitan dengan hal ini
4 Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid 2, ( Yogyakarta : Dana Bakti Wakaf, 1995 ),
h.42.
66
Monzer kahf mengatakan, pola konsumsi berlebih-lebihan merupakan ciri khas
masyarakat yang tidak mengenal Tuhan dan dikutuk oleh Islam.5
Sementara itu M. Abdul manan mengatakan, bahwa pada hakekatnya
perilaku konsumsi umat islam itu dikendalikan oleh lima prinsip, yaitu prinsip
keadilan, kebersihan, kesederhanaan, kemurah hati dam moralitas.6 Dengan
demikian barang dan/atau jasa yang boleh dikonsumsi adalah yang berguna dan
baik yang manfaatnya menimbulkan perbaikan secara material, moral, maupun
spiritual pada konsumennya.
Berdasarkan uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa
kenyamanan, keamanan keselamatan untuk mengkonsumsi barang dan/atau jasa
dalam perspektif hukum Islam, tidak hanya bersifat duniawi semata, melainkan
juga akhirat. Atau dengan kata lain hak kenyamanan, keamanan, keselamatan,
untuk mengkonsumsi barang dan atau jasa harus selalu mengindahkan aspek-
aspek tersebut. Sebagai konsekwensinya, pelaku usaha yang tidak mengindahkan
ketentuan di atas hendaknya tidak diberi izin oleh pemerintah untuk
mengoperasikan usahanya. dan apabila sudah mendapat izin maka izinnya harus
dicabut.
Konsumen memiliki hak untuk memilih barang dan atau jasa yang
dibutuhkan baik kualitas maupun kuantitasnya secara bebas atas keyakinan diri
5 Monzer Khaf, Ekonomi Islam., ( Yogyakarta : Putaka Pelajar, 1995 ), h.28.
6 M. Abdul Manan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, ( Yogyakarta : Dana Bakti
Wakaf,1995 ), h.45.
67
sendiri. Ia tidak boleh dibujuk atau dipaksa untuk memilih atau membeli suatu
barang atau jasa tertentu. James F Angel mengatakan, konsumen adalah raja. Ia
bukan bidak yang tidak dapat berfikir, yang dapat dimanipulasi semuanya
semuanya oleh pembujuk komersial.7 Atas dasar inilah produk sutu barang dan
atau jasa yang ditawarkan pelaku usaha dapat diterima atau ditolak berdasarkan
sejauh mana keduanya dipandang relevan dengan kebutuhan dan gaya hidup.
Dalam Islam hak untuk memilih barang dan atau jasa ini disebut dengan
hak khiyar. Menurut Sayyid Sabiq, hak khiyar berarti mencari kebaikan dari
perkara melangsungkan atau membatalkan transaksi. Adapun mengenai
kesesuaian nilai tukar Sayyid Sabiq berpendapat bahwa ini harus dilaksanakan
secara wajar, pelaku usaha dilarang untuk menjerumuskan konsumen. Akan
halnya dengan kesesuaian kondisi barang dan/atau jasa serta jaminan yang
dijanjikan menurut hukum Islam telah jelas adanya.
Maksudnya bahwa setiap manfaat yang diperoleh dari barang dan/atau
jasa yang diperjualbelikan adalah milik/hak konsumen. Oleh karena itu jika
dikemudian hari terdapat ketidaksesuaian kondisi barang dan/atau jasa yang
dijanjikan maka ia berhak mendapatkan gantinya. Konsumen berhak memilih
barang dan/atau jasa yang dimiliki konsumen, maka sangat tidak etis jika masih
terdapat usaha-usaha yang sifatnya monopolistis. Sebab secara tidak langsung
pola usaha semacam ini akan menghambat kepentingan diatas.
7 James F Angel, dkk, Periaku Konsumen, ( Jakarta : Bina Rupa Aksara, 1994 ), h.9.
68
Konsumen juga mempunyai hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur
mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Untuk memilih dan
mengetahui kondisi suatu barang dan jasa tertentu, informasi dari barang dan/atau
jasa yang sah untuk dikonsumsi. Semua transaksi yang dilakukan antara
konsumen dan pelaku usaha akan sempurna bila transaksi tersebut jelas, terang,
jauh dari praktek-praktek penipuan, pemalsuan, dan menutupi cacat atau aib.8 Jika
yang demikian dilakukan maka sebagaimana dikatakan oleh Rasulullah dalam
sabdanya:
:
9
Artinya : “Diceritakan Badal bin Mahrab, diceritakan Syu‟bah dari Qatadah
berkata saya mendengar Abi Khulail pembicaraan dari Abdullah bin
Harist dari Hakim bin Hizam RA. Bahwa Rasulallah berkata : “dalam
jual beli dengan cara khiyar selagi belum terpisa ataupun sudah
terpisa jarak, jika terdapat kejujuran dan kejelasan diantara mereka
maka terdapat berkah dalam transaksinya dan Jika mereka
menyembunyikan dan berdusta, maka Allah akan menghapus berkah
dari transaksi tersebut” (HR. Al Bukhârî)
Dr. ahmad Muhammad al Assad dan Dr. Ahmad Abdul Karim
mengatakan, jika Allah telah menghapuskan berkah dari transaksi ini, maka
8 Drs. Imam Saefudin, Sistem Dan Tujuan Ekonomi Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 1999 ),
h.208.
9 Muhammad Bin Ismail Abu Abdullah Al-Bukhârî, Sahih Al-Bukhârî, (Yaman : Ridwana,
2008 ), Juz.2, h.733., no.1976.
69
syari’at tidak bisa membiarkan transaksi tersebut berlaku atau pun
meluluskannya.10
Dengan kata lain hukum Islam melarang adanya informasi yang tidak jelas
apalagi tidak benar dari pelaku usaha. Oleh karena itu Islam memberikan
kepastian bahwa hak mendapatkan informasi yang jujur, jelas dan benar harus
mendapat jaminan hukum. Hal ini juga sesuai dengan pasal 7 dan 8 bahwa, pelaku
usaha tidak boleh tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal,
sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label. Dengan
pelabelan ini konsumen dapat mengetahui apakah barang tersebut boleh
dikonsumsi bagi konsumen muslim maupun tidak. Dan pelabelan halal ini
dilakukan atas pengawasan dan sertifikasi dari Badan LPPOM MUI. Hak untuk
didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan.
Disadari atau tidak semua masyarakat adalah konsumen, bahkan pelaku usaha
sekalipun. Berkaitan dengan ketentuan ini, konsumen secara kolektif atau
individu memiliki hak untuk didengar keluhan dan pendapatnya menyangkut
barang dan/atau jasa yang dikonsumsinya.
Menurut Ibn Rusyd bila terdapat ketidaksesuaian antara kondisi barang
dan juga harga yang diterima dengan yang dijanjikan konsumen diperbolehkan
untuk mengadukannya kepada pelaku usaha. Hal ini menurutnya masih dalam
rangka khiar.11
Senada dalam hal ini Sayid Sabiq mengatakan, jika penjual dan
10 Saefudin, Sistem Dan Tujuan Ekonomi Islam, h.209. 11 Ibnu Rusyd, Bidâyah al-Mujtahîd, ( Semarang : Wahana Keluarga, tth ), h. 105.
70
pembeli berselisih tentang kondisi barang dan/atau jasa, dan masing-masing
beralternatif, tetapi tidak ada kejelasan diantara keduanya, maka yang dipegang
adalah ucapan penjual dengan sumpah seperti yang dilakukan Ustman. Ada pula
yang mengatakan adalah pembeli dengan sumpah.12
Berdasarkan pendapat para ulama di atas, dalam konteks transaksi bisnis
sekarang ini maka konsumen jelas memiliki hak untuk didengar keluhan dan
pendapatnya baik kepada pelaku usaha sendiri maupun penentu kebijakan yang
lain semisal pemerintah. Sebab dalam prakteknya dewasa ini pembuat kebijakan
mengenai ketentuan barang dan/jasa termasuk dalam hal harga, tidak sepenuhnya
hak pelaku usaha. Atau dengan kata lain kebijakan mengenai harga dan barang
dan/atau jasa itu sendiri dibuat bersama antara pelaku usaha dan pemerintah.
Dengan demikian konsumen tidak hanya menerima keputusan secara sepihak
melainkan melibatkan secara bersamasama.
Menurut Juhaya S. Praja, terdapat lima prinsip dalam melaksanakan
kegiatan mu’amalah yaitu taba‟dulul manafi‟ (memberikan keuntungan dan
manfaat bersama), pemerataan, „an taradhin (suka sama suka), „adâmul ghurûr
(tidak boleh terdapat tipu daya), kebaikan dan takwa, dan musyawarah
(kerjasama).13
Dengan adanya prinsip-prinsip tersebut secara tidak langsung
konsumen secara sah dan meyakinkan mempunyai hak untuk didengar pendapat
12 Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Penerjemah : Mauludin, ( Bandung : Al Maarif, 1987 ), h.
101. 13 Praja, Filsafat Hukum Islam, h. 113–114.
71
dan keluhannya agar setiap kebijakan yang dibuat dapat sesuai dengan prinsip di
atas.
Hal ini sesuai dengan pasal 34 ayat 1 bahwa badan perlindungan
konsumen nasional mempunyai tugas “menerima pengaduan tentang
perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga perlindungan konsumen
swadaya masyarakat, atau pelaku usaha”.
Sering terjadi konsumen menderita kerugian akibat mengkonsumsi suatu
barang dan/atau jasa. Pada saat demikian kemungkinan besar yang akan muncul
adalah sengketa antara para pihak yang terlibat, yang diistilahkan disini dengan
sengketa konsumen. Dalam kondisi seperti ini konsumen memerlukan bantuan
hukum (advokasi) dalam rangka untuk menyelesaikan sengketa tersebut secara
hukum. Sebab sebagaimana di atur dalam pasal 48 dan 49 UUPK ini,
penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan melalui pengadilan atau di luar
pengadilan. Untuk kepentingan ini tidak semua konsumen memiliki keahlian di
bidang tersebut. Oleh karena itu suatu keharusan bilamana konsumen mempunyai
hak untuk mendapatkan advokasi dalam upaya penyelesaian sengketa konsumen.
Dalam Islam dikenal adanya lembaga peradilan yang disebut al qadla.
Disamping itu ada lagi yang disebut dengan Lembaga Tahkim, Wilayah
Madzalim, Wilayah Hisbah dan Lembaga Ifta‟.14
Disamping lembaga-lembaga
14 T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, ( Semarang : Pustaka Rizki
Putra, 1997 ), h. 48.
72
tersebut juga dikenal satu lagi yaitu as Shulhu.15
Lembaga-lembaga inilah yang
akan menyelesaikan setiap persoalan hukum yang timbul dalam masyarakat
Islam. Secara historis, telah banyak sengketa konsumen yang dapat diselesaikan
melalui lembaga-lembaga tersebut.
Namun bila dicermati maka secara etimologis lembaga-lembaga di atas
memang jelas berbeda dengan lembaga peradilan di Indonesia, demikian juga
dalam hal pelaksanaannya, sebab lembaga tersebut harus mendasarkan
keputusannya dengan hukum Islam. Sedangkan lembaga peradilan Indonesia
mendasarkan keputusannya kepada hukum positif yang berlaku. Tetapi secara
substansial lembaga tersebut sama-sama bertujuan untuk menyelesaikan sengketa
yang ada dalam masyarakat. Sehingga ditemukan satu keputusan yang adil.
Berdasarkan hal di atas, dapat disimpulkan bahwa penyelesaian sengketa
konsumen baik melalui pengadilan ataupun di luar pengadilan tidak ada masalah,
termasuk dalam hal kewenangannya sejauh hal ini untuk melindungi semua pihak
terutama yang teraniaya. Hasbi ash Shiddieqi mengatakan, bahwa suatu keharusan
untuk melindungi kepentingan orang-orang yang teraniaya dan untuk
menghilangkan sengketa-sengketa yang timbul dalam masyarakat.16
Oleh karena itu sangat tepat kiranya jika dewasa ini banyak Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) seperti YKLI dan LP2K yang didirikan untuk
memperjuangkan hak konsumen yang merasa dirugikan. Demikian pula perlu
15 Ibid, h. 49.
16 Ibid, h. 38.
73
disambut langkah pemerintah yang akan mendirikan Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK) di setiap daerah.
Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen Untuk
melaksanakan hak-hak yang disebutkan di atas diperlukan adanya satu
pemahaman yang cukup mengenai masalah konsumen. Oleh karena itu
pembinaan dan pendidikan konsumen merupakan suatu hal yang sangat
diperlukan oleh konsumen. Melalui pembinaan dan pendidikan konsumen akan
timbul dalam masyarakat wawasan yang luas mengenai apa, mengapa, dan
bagaimana mengkonsumsi barang dan jasa.17
Dengan demikian konsumen akan
dapat merasakan kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa. Hal ini sesuai dengan pasal 29 UUPK bahwa “Pemerintah
bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen
yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta di
laksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha”.
Dalam rangka inilah menurut Qardhawi, Islam mengarahkan pola
konsumsi umat Islam ke dalam lima hal, yaitu pendidikan moral, pendidikan
masyarakat, pendidikan ekonomi, pendidikan kesehatan, dan pendidikan politik.18
Pendidikan moral mengandung maksud bahwa setiap pembatasan
terhadap pemanfaatan dan penggunaan barang dan/atau jasa merupakan sarana
untuk mendidik masyarakat hidup sederhana. Pendidikan masyarakat
17 James F. Angel, Periaku Konsumen, hlm. 5–6.
18 Yusuf Qardhâwi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, Penerjemah Didin
Hafidudin, ( Jakarta : Robbani Press, 1997 ), h. 262–271.
74
mengandung maksud bahwa pembatasan pemanfaatan dan penggunaan barang
dan/atau jasa merupakan sarana untuk mengatasi kesenjangan sosial yang terlalu
lebar. Pendidikan ekonomi bertujuan agar masyarakat selalu bersikap produktif
dan tidak konsumtif. Pendidikan kesehatan mengandung maksud bahwa
pembatasan pemanfaatan dan penggunaan barang dan/atau jasa bertujuan untuk
menjaga kesehatan sebagai unsur terpenting dalam kehidupan.
Tersirat dalam uraian di atas bahwa ajaran Islam tidak hanya membuka
wacana perilaku konsumen yang berorientasi pada kepuasan materiil, tetapi juga
kepuasan spirituil.
Dengan demikian pendidikan konsumen tidak hanya bermanfaat bagi
konsumen secara individu, tetapi juga konsumen secara kolektif bahkan seluruh
bangsa. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif. Secara faktual sepertinya tidak dapat ditemukan di muka bumi ini
suatu komunitas masyarakat tanpa adanya suatu perbedaan. Baik ras, suku,
maupun agama. Apalagi di bumi nusantara ini yang serba majemuk. Dalam suatu
kondisi masyarakat yang demikian seringkali dalam beberapa hal muncul sikap
diskriminatif antara suatu masyarakat dengan masyarakat yang lain. Tak
terkecuali dalam pelayanan konsumsi.
Oleh karena itu, dalam rangka melindungi setiap kepentingan konsumen
hak untuk diperlakukan tanpa diskriminatif harus diwujudkan dengan sebenar-
benarnya tidak hanya sebagai slogan semata. Hukum Islam sangat mendukung
terselenggaranya ketentuan ini. Sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Hujurât :
75
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu laki-laki dan
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang bertaqwa. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurât/ 49 :
13)
Ayat di atas menghendaki bahwa sesama manusia itu tidak ada perbedaan
dengan alasan apapun. Berkaitan dengan konteks inilah Juhaya S. Praja
mengatakan, Islam memiliki prinsip-prinsip umum sebagai berikut :
Prinsip tauhid, al „adl (keadilan), amar ma‟ruf nahi munkar, al huriyah
(kebebasan), al musa‟wah (persamaan), at Ta‟awun (tolong menolong), dan
Tasa‟muh (toleransi).19
Semua prinsip ini diharapkan dapat dijadikan pedoman
umat Islam bahwa tidak ada kebenaran sama sekali untuk memperlakukan orang
lain secara tidak benar dan tidak jujur apalagi bertindak diskriminatif, termasuk
dalam masalah konsumsi.
Hak untuk mendapatkan konpensasi ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau
tidak sebagaimana mestinya. Sudah merupakan suatu keharusan, bila barang
dan/atau jasa yang diterima oleh konsumen tidak sesuai dengan perjanjian untuk
19 Praja, Filsafat Hukum Islam, h. 78.
76
mendapatkan konpensasi ganti rugi. Dalam epistemologi hukum Islam hal ini
disebut dengan tadlmin atau iwadl.
M. Daud Ali mengatakan, hukum Islam memiliki azas perlindungan hak
yang berarti bahwa semua hak yang diperoleh seseorang dengan jalan yang halal
dan sah, harus dilindungi. Bila hal itu dilanggar maka pihak yang dirugikan
berhak untuk menutut. Hal ini sesuai dengan pasal 19 UUPK yaitu “Pelaku usaha
bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan
kerugian konsumen akibat menkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan
atau diperdagangkan”. Juga pada pasal 24 UUPK bahwa “Pelaku usaha yang
menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas
tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain tanpa
melakukan perubahan atas barang dan/atau usaha tersebut, pelaku usaha lain
dalam sebuah transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang dan
atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha apabila tidak sesuai dengan contoh,
mutu, dan komposisi”.
Adapun ganti rugi yang dapat dilakukan adalah bisa dengan diganti
dengan barang dan/atau jasa seperti pada saat perjanjian, atau dengan membayar
harganya. Pembayaran ganti rugi ini selanjutnya akan menjadi hak milik
konsumen. Sebab dalam hukum Islam dinyatakan bahwa radlmin dan ta‟widl
merupakan salah sebab dari kepemilikan.
77
Demikianlah uraian tentang bentuk-bentuk perlindungan konsumen dalam
Undang-undang No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen di tinjau dari
perspektif hukum Islam.
B. Analisis Relevansi UU No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Terhadap Jaminan Kehalalan Produk Bagi Konsumen Muslim.
Sebagian besar penduduk Indonesia beragama Islam, jadi sudah jelas
kalau konsumen terbesar adalah konsumen muslim. Meski demikian, hak-hak
dasar keberagamaannya belum terjamin secara maksimal oleh kebijakankebijakan
pemerintahan, khususnya dalam urusan yang berkaitan dengan makanan dan
minuman. Padahal semestinya makanan atau apapun yang dikunsumsi oleh
konsumen muslim tersebuuut harus sudah di standarisasi sesuai dengan hukum
Islam, bukan semata-mata hanya menurut hokum dagang, untung rugi saja. Hal
yang sering terjadi di pasar tradisional maupun swalayan besar halal haram
makanan yang sijual belikan seringkali berbaur. Tersamarkan oleh kepiawaian
produsen makanan tersebut.
Dalam ajaran Islam, sangat mementingkan kebaikan dan kebersihan di
semua aspek, baik dari makanan maupun barang gunaan. Karena umat Islam
diperintahkan untuk memakan dan mengkonsumsi bahan-bahan makanan yang
baik, suci dan bersih saja, karena hal ini berkaitan dengan hukum halal maupun
78
haram. Oleh karena itu umat Islam perlu mengetahui informasi yang jelas
mengenai barang yang mereka gunakan.20
Islam sangat menekankan pentingnya aspek keselamatan dan keamanan
dalam menkonsumsi barang dan/ atau jasa. Dalam Islam faktor nyaman dalam hal
ini adalah adanya jaminan halal, atau makanan tersebut sudah jelas kehalalannya
(boleh) dan thayyib (baik).21
Dalam Surat Al Maidah Allah SWT. berfirman :
Artinya : “Mereka menanyakan kepadamu : “Apakah yang dihalalkan bagi
mereka?” Katakanlah:”Dihalalkan bagimu yang baik-baik (buruan
yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan
melatihnya untuk berburu, kamu mengajarnya menurut apa yang telah
diajarkan Allah kepadamu, maka makanlah dari apa yang ditangkapnya
untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu(waktu
melepasnya). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat
cepat hisab-Nya”. (QS. Al-Mâidah / 5 : 4)
Berkaitan dengan itu, Monzer Kahf memberikan satu sifat lagi yaitu,
rizq.22
Kata thayyib menurut Kahf, menunjukkan nilai-nilai kebaikan, kesucian
dan keindahan. Sedangkan kata ar rizq menunjukkan konotasi bahwa Allah adalah
20 Imam Masykur Alie, Bunga Rampai Jaminan Produk Halal Di negara Anggota Mabims,
Bagian Proyek Sarana dan Pra Sarana Produk halal Direktoat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, ( Jakarta : Departemen Agama RI, 2003 ), h.21
21
M. Quraisy Shihab, Membumikan al Qur‟an, ( Bandung : Mizan, 1996 ), h. 287.
22 Khaf, Ekonomi Islam, h. 25.
79
pemberi rahmat sebenarnya dan pemasok semua kebutuhan makhluk hidup.
Rangkaian sifat ini menurut Quraish shihab menunjukkan bahwa yang berhak
dikonsumsi adalah yang memenuhi syarat tersebut.
Dalam Undang Undang perlindungan kondumen yang Berkaitan dengan
hal tersebut, dinyatakan dalam pasal 8 ayat 1 huruf a s/d h sebagaimana berikut :
1. Pelaku usaha dilarang untuk memproduksi dan atau memperdagangkan
barang dan/atau jasa yang:
2. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan
ketentuan perundang-undangan.
3. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah hitungan
sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
4. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah hitungan
menurut ukuran yang sebenarnya;
5. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran
sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket, atau keterangan barang dan/atau
jasa tersebut;
6. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya
mode atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau
keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
7. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan,
iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut.
80
8. Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu
penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu.
9. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara "halal" yanh di cantumkan
dalam label.
Dengan adanya ketentuan ini maka setiap produsen dalam memproduksi
suatu barang dan /atau jasa mempunyai kewajiban untuk:
1. Mentaati atau memenuhi persyaratan peraturan atau ketentuan yang telah di
tetapkan pemerintah.
2. Menjamin hasil produksinya aman atau tidak berbahaya bila dikonsumsi.
Sebenarnya bila diperhatikan lebih jauh ketentuan “halal” dalam pasal 8
UUPK poin h, belum jelas karena halal dalam arti luas adalah aman untuk
dikonsumsi atau boleh dikonsumsi oleh konsumen. Karena tidak dijelaskan
apakah hal itu juga halal bagi konsumen muslim. Memgingat begitu umumnya
makna kosumen.
Menyangkut perlindungan konsumen terhadap produk halal, dibutuhkan
jaminan kehalalan suatu produk pangan yang di wujudkan diantaranya dalam
bentuk sertifikat halal. Yang dengan sertifikat halal produsen dapat
mencantumkan logo halal dalam tiap kemadan hail produksi, sehingga kondumen
dapat mengetahui dengan jelas barang yang akan mereka konsumsi. Yang jadi
masalah sekarang, bagaimana menjamin bahwa sertifikat halal tersebut telah
memenuhi kaidah syari’ah yang ditetapkan oleh hukum Islam .
81
Suatu produk pangan, dalam hal ini berhubungan dengan kompetensi
lembaga yang mengeluarkan sertifikat, standa halal yang digunakan, personel
yang terlibat dalam sertifikasi dan auditing juga mekanisme sertifikat halal itu
sendiri. Dengan demikian, diperlukan adanya suatu standar dan system yang
dapat menjamin kebenaran hasil sertifikasi halal.23
Pengwasan terhadap makanan/minuman baru bisa dilakukan oleh
pemerintah apabila produsen mendaftarkan produk mereka secara administratif,
pada Lambaga Pengkajian Pangan kosmetika dan Obat-obatan (LPPOM). secara
tertulis kepada pemohon disertai alasan.
Dalam masalah pelabelan ini UUPK di dukung oleh beberapa peraturan
pemerintah dan Undang undang lainnya, sebagaimana berikut :
1. UU No. 7/1996 tentang Pangan
Didalam UU No. 7 tahun 1996 beberapa pasal berkaitan dengan
masalah kehalalan produk pangan, yaitu dalam Bab label dan iklan pangan
pasal 30, 34, dan 35. bunyi pasal dan penjelasan pasal tersebut adalah sebagai
berikut :
a. Pasal 30
1). Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan kedalam wilayah
Indonesia pangan yang dikemas untuk diperdagangkan wajib
mencantumkan label pada, didalam dan atau di kemasan pangan.
23 Anton Apriyantono dan Nur Bowo, Panduan Belanja Dan Sertifikasi Halal, ( Jakarta :
Khoirul Bayan, 2003 ), h.25
82
2). Label, sebagaiman dimaksud pada ayat (1) memuat
sekurangkurangnya keterangan mengenai :
a) Nama produk
b) Daftar bahan yang digunakan
c) Berat bersih atau isi bersih
d) Nama dan alamat pihak yang memproduksi
e) Keterangan tetang halal ; dan
f) Tanggal, bulan dan tahun kadaluwarsa
Penjelasan pasal 30 ayat 2 (e): keterangan halal untuk suatu produk
pangan sangat penting bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas
memeluk agama Islam. Namun, pencantumannya pada label pangan baru
merupakan kewajiban apabila setiap orang yang memproduksi pangan dan
atau memasukkan pangan ke wilayah Indonesia untuk diperdagangkan
menyatakan bahwa pangan yang bersangkutan adalah halal bagi umat
Islam. Adapun keterangan tentang halal dimaksudkan agar masyarakat
terhindar dari mengkonsumsi pangan yang tidak halal (haram). Dengan
pencantuman halal pada label pangan, dianggap telah terjadi pernyataan
dimaksud dan setiap orang yang membuat pernyataan tersebut
bertanggungjawab atas kebenaran pernyataan tersebut.
b. Pasal 34
Setiap orang yang menyatakan dalam label atau iklan bahwa
pangan yang diperdagangkan adalah sesuai dengan persyaratan agama
83
atau kepercayaan tertentu, bertanggungjawab atas kebenaran pernyataan
berdasarkan persyaratan agama atau kepercayaan tersebut.
Penjelasan : dalam ketentuan ini, benar tidaknya suatu pernyataan
halal dalam label atau iklan pangan tidak hanya dapat dibuktikan dari segi
bahan baku pangan, bahan tambahan pangan, tetapi mencakup pula proses
pembuatannya.
2. PP No. 69/1999 tentang Label dan Iklan Pangan
Ada dua pasal yang berkaitan dengan sertifikasi halal dalam PP No. 69
ini yaitu pasal 3, ayat (2), pasal 10 dan 11.
a. Pasal 3 ayat (2)
Label berisikan keterangan sekurang-kurangnya :
1). Nama produk
2). Daftar bahan yang digunakan
3). Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan
ke wilayah Indonesia
4). Tanggal, bulan dan tahun kadaluwarsa
b. Pasal 10
1). Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang
dikemas kedalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan
menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi umat Islam,
bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan wajib
mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada label.
84
2). Pernyataan tentang halal sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari label.
Penjelasan Pasal 10 : pencantuman keterangan halal atau tulisan
”halal” pada label pangan merupakan kewajiban apabila pihak yang
memproduksi dan atau memasukkan pangan kedalam wilayah Indonesia
menyatakan (mengklaim) bahwa produknya halal bagi umat Islam.
Penggunaan bahasa atau huruf selain bahasa Indonesia dan huruf latin,
harus digunakan bersamaan dengan padanannya dalam bahasa indonesia
dan huruf latin. Keterangan tentang kehalalan pangan tersebut mempunyai
arti yang sangat penting dan dimaksudkan untuk melindungi masyarakat
yang beragama Islam dari mengkonsumsi pangan yang tidak halal
(haram). Kebenaran suatu pernyataan halal pada label pangan tidak hanya
dibuktikan dari segi bahan baku, bahan tambahan pangan, atau bahan
bantu yang digunakan, tetapi harus pula dibuktikan dalam proses
produksinya.
c. Pasal 11
1). Untuk mendukung kebenaran pernyataan halal sebagaimana dimaksud
dalam pasal 10 ayat (1), setiap orang yang memproduksi atau
memasukkan pangan yang dikemas kedalam wilayah Indonesia untuk
diperdagangkan, wajib memeriksakan terlebih dahulu pangan tersebut
pada lembaga pemeriksa yang telah terakreditasi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
85
2). Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksankan
berdasrkan pedoman dan tata cara yang ditetapkan oleh Menteri
Agama dengan memperhatikan pertimbangan dan saran lembaga
keagamaan yang memiliki kompetensi di bidang tersebut.
Penjelasan pasal 11: (1) pencantuman tulisan halal pada dasarnya
bersifat sukarela. Namun setiap oran yang memproduksi dan atau
memasukkan pangan kedalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan
menyatakannya sebagai produk yang halal, sesuai ketentuan ia wajib
mencantumkan tulisan halal pada label produknya. Untuk menghindarkan
timbulnya keraguan di kalangan umat Islam terhadap kebenaran
pernyataan halal tadi, dan dengan demikian untuk kepentingan
kelangsungan atau kemajuan usahanya, sudah pada tempatnya bila pangan
yang dinyatakannya sebagai halal tersebut diperiksakan terlebih dahulu
pada lembaga yang telah diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional
(KAN). Pemeriksaan tersebut dimaksudkan untuk memberikan
ketenteraman dan keyakinan umat Islam bahwa pangan yang akan
dikonsumsi memang aman dari segi agama. (2). Lembaga keagamaan
yang dimaksudkan adalah Majelis Ulama Indonesia. Pedoman ini bersifat
umum, dan antara lain meliputi persyaratan bahan, proses atau produknya.
3. Kepmenkes No. 924/Menkes/SK/VIII/1996 tentang perubahan atas
Kepmenkes No. 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman Tulisan
”Halal” pada Label Makanan.
86
Kepmenkes ini memuat perubahan penting kepmenkes sebelumnya,
kelihatannya perubahan ini sebagai konsekwensi adanya SKB tiga lembaga
yaitu Depag, Depkes dan MUI. Pasal-pasal yang berubah dan sekaligus
relevan dengan masalah sertifikasi halal adalah sebagai berikut :
a. Pasal 8
Produsen atau importir yang akan mengajukan permohonan
pencantuman tulisan ”Halal” wajib siap diperiksa oleh petugas Tim
Gabungan dari Majelis Ulama Indonesia dan Direktorat Jenderal
Pengawasan Obat dan Makanan yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal.
b. Pasal 10
1). Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud Pasal 8 dan hasil pengujian
laboratorium sebagaimana dimaksud Pasal 9 dilakukan evaluasi oleh
Tim Ahli Majelis Ulama Indonesia.
2). Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud ayat (1) disampaikan kepada
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia untuk memperoleh Fatwa.
3). Fatwa MUI sebagaimana dimaksud ayat (2) berupa pemberian
sertifikat halal bagi yang memenuhi syarat atau berupa penolakan.
c. Pasal 11
Persetujuan pencantuman tulisan ”Halal” diberikan berdasarkan
Fatwa dari komisi Fatwa MUI.
d. Pasal 12
Berdasarkan fatwa dari MUI, Direktur Jenderal memberikan :
87
1). Persetujuan bagi yang memperoleh sertifikat ”Halal”
2). Penolakan bagi yang tidak memperoleh sertifikat ”Halal”
Jadi untuk pemberian label jaminan halal harus memperhatikan hal-hal di
atas, produsen tidak bisa asal mencantumkan label halal walaupun sudah
meyakini produk yang mereka produksi halal, sebelum melalui pengujian dan
pengawasan dari badan LPPOM, yang dalam hal ini dilakukan oleh LPPOM
MUI. Dengan kejelasan label ini konsumen dapat merasa aman ketika
menkonsumsi makanan.
Demikianlah kenyataannya bahwa, dalam Undang Undang No.8 Tahun
1999 tentang perlindungan konsumen ini, penulis merasa masih kurangnya respon
pemerintah terhadap jaminan kehalalan produk bagi konsumen muslim, sebagai
perlindungan konsumen yang menduduki tingkat mayoritas di negeri ini. Namun
setidaknya kita dapat merasa sedikit lega karena, peraturan tentang jaminan
kehalalan produk ini mulai dibahas dalam ketentuan-ketentuan lain, semoga
diwaktu yang akan datang pemerintah lebih peduli terhadap hak-hak konsumen
muslim
Berdasarkan seluruh uraian di atas penulis dapat mengambil kesimpulan
bahwasanya terdapat hubungan yang erat antara konsumen dan pelaku usaha. Hal
ini memang sebagai konsekuensi logis dari adanya akibat hukum. Dengan kata
lain lahirnya hak konsumen secara otomatis akan memunculkan kewajiban dari
pelaku usaha. Yang jelas semua ketetapan hukum Islam yang dibuat adalah tidak
88
lain bertujuan untuk melindungi mashalih (kemaslahatan-kemaslahatan)
manusia.24
Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an surat Al-Anbiyâ :
Artinya : “Tidaklah Kami utus engkau Muhammad kecuali untuk menjadi rahmat
buat sekalian alam”. ( QS. Al-Anbiyâ / 21 : 107 )
Kata rahmat dalam ayat di atas tidak lain adalah bahwa tujuan akhir dari
setiap pengundangan hukum syara’ adalah terwujudnya kemaslahatan manusia.25
Para Fuqaha dalam memandang kemaslahatan ini, merekamengklasifikasinya
menjadi tiga kelompok yaitu untuk memelihara kebutuhan dharuri, hajji dan
tahsini yang merupakan tujuan dari syari’at Islam (maqasid as Syar‟i).26
Bila
dikaitkan dengan konteks perlindungan hak konsumen maka hal ini sangat
relevan dengan konsep kemaslahatan di atas. Oleh karena itu merupakan suatu
anjuran (mandub) bagi setiap muslim yang mukalaf dan fardlu kifayah untuk
menegakkan dan mendukung terselenggaranya hak-hak konsumen dengan
semestinya.
24 Yang dimaksud mashalih menut Ash Satibi yang dikuti oleh Dr. M. Khalid Mas’ud, adalah
mashalih yang membicarakan substansi kehidupan manusia, dan pencapaian yang dituntut oleh
kualitas-kualitas emosional dan intelektual yang mutlak. Mashalih ini diwujudkan demi kepentingan
dunia dan akhirat. (Lihat Dr. M. Khalid Mas’ud, Filsafat Hukum Islam Dan Perubahan Sosial,
(Surabaya : Al Ikhlas, 1995), h. 229–230). 25 Dahlan Idhami, Karakteristik Hukum Islam, ( Jakarta : Media Sarana Press, 1987 ), h. 20.
26 Praja, Filsafat Hukum Islam, h. 101.
89
Meskipun demikian dalam pelaksanaannya, terdapat aturan perlu
diperhatikan. Dalam pelaksanaan suatu hak akan membawa akibat hukum sebagai
berikut:
1. Menyangkut pelaksanaan dan penuntutan hak. Para pemilik hak harus
melaksanakan hak-haknya itu dengan cara-cara yang disyari’atkan.
2. Menyangkut pemeliharaan hak. Syari’at Islam telah menetapkan agar setiap
orang berhak untuk memelihara dan menjaga haknya itu dari segala bentuk
kesewenangan orang lain.
3. Menyangkut penggunaan hak. Hukum Islam telah menyatakan bahwa hak itu
harus digunakan untuk hal-hal yang disyari’atkan oleh Islam.
Bila mencermati seluruh uraian di atas terlihat adanya Relevansi konsep
Islam dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perlindungan
konsumen khususnya yang berkaitan dengan hak-hak konsumen. Hal ini tentunya
sejalan dengan kaidah yang mengatakan:
Artinya : “Suatu tindakan (peraturan) pemerintah, berintikan terjaminnya
kemaslahatan rakyatnya”.
Indikasi ini meyakinkan penulis bahwa terdapat transformasi nilainilai
hukum Islam ke dalam peraturan perundang-undangan tersebut. Sebab
sebagaimana dikatakan oleh C.S.T. Kansil sumber hukum dalam pembentukan
hukum adalah dapat ditinjau dari aspek ekonomi, sejarah, sosiologi, filsafat dan
90
sebagainya.27
Menurut hemat penulis hukum Islam termasuk salah satu di antara
sumber hukum tersebut. Hal ini dibuktikan dengan pengalaman sejarah bahwa
pembentukan hukum nasional tidak terlepas dari aspek hukum Islam.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa ketentuan dalam Undang-
Undang Perlindungan Konsumen tersebut merupakan manifestasi dari nilai-nilai
hukum Islam yang bersifat universal, yang harus didukung pelaksanaannya.
27 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, ( Jakarta : Balai Pustaka, 1992 ), h. 44.
91
BAB V
PENUTUP
Tinjauan dan penelaahan tentang perlindungan konsumen yang penulis
sajikan baik peninjauan dalam perspektif hokum Islam ini adalah merupakan rasa
keingin tahuan penulis dan merupakan waktu yang tepat untuk memahami perihal
perlindungan konsumen.
Untuk itulah, dalam mengakhiri penyusunan skripsi ini perlu sedikit dan
merupakan suatu keharusan bagi penulis untuk memberikan uraian yang merupakan
kesimpulan dari apa-apa yang sudah penulis kemukakan di muka dan beberapa saran
yang mungkin dapat terealisasikan, berikut kesimpulan dan sarannnya.
A. Kesimpulan.
Dari seluruh uraian di atas penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai
berikut :
1. Ketentuan Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen
secara substansial sangat relevan dengan nilai-nilai hukum Islam. Bahkan
dapat dikatakan terdapat transformasi hukum Islam ke dalam ketentuan
tersebut. Karena tujuan UU ini untuk melindungi segenap konsumen
Indonesia, termasuk didalamnya konsumen muslim, dan nilainilai yang
terkandung didalamnya sudah sesuai dengan hukum Islam, karena tidak
bertentangan dengan al Qur’an dan as sunah.
92
2. Relevansi Undang-undang perlindungan konsumen terhadap jaminan
kehalalan produk bagi konsumen muslim, masih sangat minim. Karena begitu
sedikitnya point yang membahas kawajiban pelaku usaha untuk berproduksi
secara “halal”, sebagaimana “halal” yang tercantum dalam label. Sedangkan
dalam Islam masalah kehalalan merupakan suatu hal yang bersifat dharuri
(primer), yang hal ini menyangkut hubungan manusia dengan Tuhannya,
karena diterima tidaknya amalan ibadah seseorang tergantung dari kehalalan
yang mereka konsumsi. Jadi dibutuhkan ketegasan mengenai produk tersebut,
dalam hal ini pemerintah diharapkan dapat melakukan pembaharuan atau
pengawasan istilah “halal” Supaya konsumen muslim dapat merasa tenang
ketika mengkonsumsi suatu barang atau jasa tertentu. Karena, Melindungi dan
memperjuangkan hak-hak konsumen sesuai dengan peraturan
perundangundangan secara benar dan adil merupakan tindakan yang sangat
dianjurkan bagi setiap orang yang mukallaf, dan fardhu kifayah bagi seluruh
umat.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas penulis berusaha memberikan saran-
saran sebagai berikut :
1. Kepada pemerintah, penulis harapkan untuk dapat memberlakukan Undang-
Undang Perlindungan Konsumen sebagaimana mestinya, sehingga hak-hak
konsumen dapat senantiasa terjaga dan terlindungi.
93
2. Terobosan terhadap kebijakan harus lebih kuat lagi untuk melindungi para
konsumen di Indonesia yang kini dengan mendapatkan barang yang
diimporkan dari berbagai Negara.
3. Mengingat mayoritas konsumen Indonesia adalah orang Islam, pemerintah
harus senantiasa mengawasi barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan
hukum Islam. Dalam hal ini pemerintah dapat berkerjasama dengan organisasi
keIslaman yang berkompeten, seperti Majelis Ulama Indonesia.
4. Pemerintah seharusnya lebih giat lagi dalam mengkampanyekan dan
mensosialisasikan hak-hak konsumen dalam rangka perlindungan konsumen
serta memberdayakan aparat-aparatnya di seluruh daerah di Indonesian,
sehingga para konsumen lebih mengetahui secara umum tentang hak-haknya.
5. Bagi cendekiawan muslim, diharapkan untuk senantiasa melakukan kajian dan
diskusi mengenai masalah konsumen dalam perspektif hukum Islam yang
memadai mengenai konsumen.
6. Terselenggaranya peraturan mengenai hak-hak konsumen dengan semestinya
tergantung bagaimana konsumen itu sendiri dalam menyikapinya. Oleh karena
itu konsumen diharapkan untuk dapat memahami, kemudian melaksanakan
peraturan tersebut.
C. Penutup
Demikian sekilas pembahasan tentang perlindungan konsumen dalam
Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen yang ditinjau
94
dalam perspektif hukum Islam, penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh
dari kesempurnaan, mengingat kemampuan penulis yang sangat terbatas. Oleh
karena itu segala kritik yang konstruktif sangat penulis harapkan demi
kesempurnaan penulisan ini. Namun demikian penulis tetap berharap semoga
tulisan ini dapat bermanfaat, khususnya bagi diri penulis. Amin.
95
DAFTAR PUSTAKA
Depag RI. Al-Qur‟an dan Terjemahnya. 2006.
Departemen Penerangan R.I. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahub
1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Bandung : Nuansa Aulia, 2006.
Departemen Agama RI. Sistem dan Prosedur Penetapan Fatwa Produk Halal Majlis
Ulama Indonesia, 2003.
Departeman Agama RI. Petunjuk Teknis Pedoman Sistem Produksi Halal. Jakarta :
2003.
Departemen Agama RI. Bagian proyek sarana dan prasarana produk halal direktorat
Jenderal bimbingan masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji. Petunjuk
teknis pedoman sistem produksi halal. Jakarta : 2003.
Departemen Agama RI. Bagian Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal, Direkorat
Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Tanya
Jawab Seputar Produk Halal. Jakarta : 2003.
Departemen Agama RI. Bagian Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal, Direkorat
Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji. Sistem dan
Prosedur Penetapan Fatwa Produk Halal Majelis Ulama Indonesia. Jakarta :
2003
Ahmad, Zainuddin. Al-qur‟an Kemiskinan dan Pemerataan Pendapatan. Yogyakarta
: Dana Bakti wakaf, 1995.
Ali, Achmad. Menguak Tabir Hukum. Jakarta : Chandra Pratama, 1996.
Ali, Muhammad. Penelitian Pendidikan; Prosedur dan Strategi. Bandung : Angkasa,
1993.
Alie, Imam Masykur. Bunga Rampai Jaminan Produk Halal Di negara Anggota
Mabims, Bagian Proyek Sarana dan Pra Sarana Produk halal Direktoat
Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji. Jakarta :
Departemen Agama RI, 2003.
Apriyantono, Anton dan Bowo, Nur. Panduan Belanja Dan Sertifikasi Halal. Jakarta
: Khoirul Bayan, 2003.
96
Ash Shiddieqy, T.M. Hasbi. Peradilan dan Hukum Acara Islam. Semarang : Pustaka
Rizki Putra, 1997.
Bahresy, Hussein. Pedoman Fiqh Islam. Surabaya : Al-Ikhlas, 1981.
Beekum, Rafik Isa. Etika Bisnis Islami. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004.
Bukhârî, al, Muhammad bin Ismaîl Abu Abdullah. Sahîh al- Bukhârî, Yaman:
Ridwana, 2008.
Dahlan, Abdul aziz. Ensiklopedi Hukum Islam.
Engel, James F, dkk. Periaku Konsumen. Jakarta : Bina Rupa Aksara, 1994.
Fauroni, Mohammad R. Lukman. Vlsi al-Quran Tentang Etika Dan Bisnis. Jakarta :
Salemba Diniyah, T.th.
Idhami, Dahlan. Karakteristik Hukum Islam. Jakarta : Media Sarana Press, 1987.
Jurjani, Al. Al-Ta‟rifat. Mesir : Maktabah wa Mathba’ah Mushtafa al-Halabi wa
Auladuh, 1936.
Kansil, C.S.T. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : Balai Pustaka, 1992.
Khaf, Monzer. Ekonomi Islam. Yogyakarta : Putaka Pelajar, 1995.
Khalaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang : Dina Utama, 1994. Cet.I.
Mahmud, Peter. Penelitian Hukum. Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2007.
Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir : Kamus Arab-Indonesia. Surabaya :
Pustaka Progresif, 2002.
Manan, M. Abdul. Teori dan Praktek Ekonomi Islam. Yogyakarta : Dana Bakti
Wakaf,1995.
Manzhur, Ibn. Lisan al-Arab, Juz XV.
Mediakonsumen, Kasus pidana pencemaran nama baik, artikel diakses pada 24 Juni
2009 dari http://www.mediakonsumen.com/artikel931.html.
97
Mediakonsumen, Majelis Ulama Indonesia (MUI) tetap bersikukuh, artikel diakses
pada 24 Juni 2009 dari http://www.mediakonsumen.com/artikel931.html.
Miru, Ahmadi dan Yodo, Sutarman. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta, PT.
Raja Grafindo, 2004. Cet.1.
Munawi, al, Muhammad Abd Al-Rauf. Al-Taufiq „ala Muhimmat al-Ta‟rif Mu‟jam
Lughowi Mutshalahi. Beirut : Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1990. Cet.I.
Nasution, Az. Konsumen Dan Hukum. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1995.
Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta : Gajahmada
University Press, 1991.
Praja, Juhaiyya S. Filsafat Hukum Islam. Bandung : LPPM UNISBA, 1995.
Prast, Wiwid. “Bread Talk Dan Masalah Serti/Ikasi Halal‟, Dalam Furqon, IV, 18,
Mei 2006.
Peorwadarminta, W.J.S. Kamus Bahasa Indonesia, Cet. V. Jakarta : PN. Balai
Pustaka, 1976.
Qardlawi, al, M. Yusuf. Al-Halal wa al-Haram Fi al-Islam. t.t.: Dar al-Ma’rifah,
1985.
------------. Halal Haram Dalam Islam. Solo: Era Intermedia, 2003.
------------. Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, Penerjemah Didin
Hafidudin. Jakarta : Robbani Press, 1997.
Rahman, Afzalur. Doktrin Ekonomi Islam. Yogyakarta : Dana Bakti Wakaf, 1995.
Rusyd, Ibnu. Bidayah al-Mujtahid. Semarang : Wahana Keluarga, tth.
Sabiq, Sayid. Fiqh Sunnah, Penerjemah : Mauludin. Bandung : Al Maarif, 1987.
Saefudin, Imam. Sistem Dan Tujuan Ekonomi Islam. Bandung : Pustaka Setia, 1999.
Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Quran. Bandung : Mizan, 1996.
------------, Membumikan Al-Qur‟an. Bandung : Mizan, 1996.
98
Shofie, Yusuf. Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Pidana Korporasi. Jakarta :
Ghalia Indonesia, 2002.
Soekanto, Soejono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press, 1986.
Wijaya, Gunawan. Hukum Tentang Perlindungan Konsumen. Jakarta : Gramedia,
2000.
Winata, Tiench Tirta. Makanan Dalam Perspektif Al-Qur‟an Dan Ilmu Gizi. Jakarta :
Balai Penerbit FKUI, 2006.
Wordpress. “Minuman cap badak kok tak ada label halalnya pak?”. artikel diakses
pada 24 Juni 2009 dari http://ariesaja.wordpress.com/2009/06/24/minuman-
cap-badak-kok-tak-ada-label-halalnya-pak/#more-386
Zuhaili, al, Wahbah. Al-Tafsir al-Munir. Yaman : Ridwana, 2008.
Top Related