PERLINDUNGAN HUKUM INDIKASI GEOGRAFIS
PRODUK LADA HITAM LAMPUNG
(Skripsi)
Oleh:
Rifqi Saputra
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
ABSTRAK
PERLINDUNGAN HUKUM INDIKASI GEOGRAFIS
PRODUK LADA HITAM LAMPUNG
Oleh
Rifqi Saputra
Provinsi Lampung mempunyai berbagai potensi yang berasal dari kekayaan alam
salah satunya lada hitam. Lada hitam Lampung sudah terdaftar sebagai salah satu
produk indikasi geografis. Indikasi geografis merupakan suatu tanda yang
menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis
termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor
tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.
Permasalahan dalam penelitian ini yaitu mengenai bagaimana perlindungan
hukum produk lada hitam Lampung. Faktor penghambat dalam pelaksanaan
pendaftaran indikasi geografis lada hitam Lampung, manfaat yang diperoleh
masyarakat indikasi geografis lada hitam Lampung setelah didaftarkannya lada
hitam Lampung sebagai indikasi geografis.
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan tipe penelitian hukum
deskriptif. Pendekatan masalah yang digunakan adalah normatif terapan. Data
yang digunakan adalah data sekunder dengan bahan hukum sekunder, primer dan
tersier. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan wawancara.
Pengolahan data dilakukan dengan cara pemeriksaan, penandaan, rekontruksi, dan
sistematisasi data yang selanjutnya dilakukan analisis secara kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlindungan hukum dilakukan secara
preventif dengan melakukan pendaftaran indikasi geografis produk lada hitam
Lampung, dilakukan secara represif dengan cara menggugat bagi pihak yang
menyalahgunakan nama lada hitam Lampung. Faktor penghambat dalam
pelaksanaan pendaftaran indikasi geografis lada hitam Lampung yaitu, kondisi
geografis penyebaran lada hitam Lampung yang terlalu luas, kurangnya sumber
daya manusia dalam hal penjaminan mutu hasil panen, kurangnya kepedulian
Pemerintah Provinsi Lampung dan masyarakat dalam upaya perlindungan hukum
indikasi geografis terhadap lada hitam Lampung. Manfaat yang diperoleh adalah
mendapatkan perlindungan hukum, memperjelas identifikasi jenis produk dan
menetapkan standar produksi, membantu konsumen dengan memberi mereka
informasi tentang karakteristik spesifik dari produk, mendukung konservasi tanah,
menyediakan lapangan pekerjaan.
Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Indikasi Geografis, Lada Hitam
Lampung
PERLINDUNGAN HUKUM INDIKASI GEOGRAFIS
PRODUK LADA HITAM LAMPUNG
Oleh:
Rifqi Saputra
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar
SARJANA HUKUM
Pada
Bagian Hukum Keperdataan
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
Judul Skripsi :PERLINDUNGAN HUKUM INDIKASI
GEOGRAFIS LADA HITAM LAMPUNG
Nama Mahasiswa : Rifqi Saputra
Nomor Pokok Mahasiswa : 1512011074
Fakultas : Hukum
Bagian : Hukum Keperdataan
MENYETUJUI
1. Komisi Pembimbing
Rohaini S.H.,M.H.,Ph.D. M. Wendy Trijaya, S.H.,M.H NIP.198102152008122001 NIP.19801014 200604 2 001
2. Ketua Bagian Hukum Keperdataan
Dr. Sunaryo, S.H., M.Hum.
NIP. 19601228 198903 1 001
MENGESAHKAN
1. Tim Penguji
Ketua : Rohaini S.H., M.H., Ph.D. ……………………
Sekretaris/Anggota : M. Wendy Trijaya, S.H.,M.H. ……………………
Penguji
Bukan Pembimbing : Lindati Dwiatin S.H.,M.Hum ……………………
2. Dekan Fakultas Hukum
Prof. Dr. Maroni, S.H., M.Hum.
NIP 19600310 198703 1 002
Tanggal Lulus Ujian Skripsi : 16 Juli 2019
PERNYATAAN
Yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Rifqi Saputra
NPM : 1512011074
Fakultas/Prodi : Hukum/Ilmu Hukum
Bagian : Hukum Keperdataan
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Perlindungan
Hukum Indikasi Geografis Produk Lada Hitam Lampung” benar-benar hasil
karya bukan plagiat sebagaimana telah diatur dalam Pasal 27 Peraturaan
Akademik Universitas Lampung dengan Keputusan Rektor Nomor
3187/H26/DT/2010.
Bandar Lampung, 16 Juli 2019
Rifqi Saputra
NPM. 1512011074
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor, pada 25 Agustus 1997, dan
merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Penulis
merupakan putra dari pasangan Ridwan dan Sugiati.
Penulis mengawali pendidikan di TK Aisyah Metro Pusat
pada tahun 2002 sampai tahun 2003, kemudian melanjutkan ke SD Negeri 7
Metro Barat hingga tahun 2009, SMP Negeri 9 Metro Barat hingga tahun 2012,
dan SMA Kartikatama Metro Barat hingga tahun 2015.
Pada tahun 2015 penulis terdaftar sebagai Mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi
Negeri (SNMPTN), dan mengikuti kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) selama
40 hari di Desa Pardasuka, Kecamatan Pardasuka, Kabupaten Lampung Timur
pada tahun 2018.
MOTO
“Allah menjadikan bumi itu mudah untuk kalian, maka berjalanlah diseluruh
penjurunya dan makanlah sebagian rizkinya dan kepadanya tempat kembali”
(QS: Al Mulk, ayat 15)
“Kegagalan hanya terjadi bila kita menyerah."
(Lessing)
“Apabila Anda berbuat kebaikan kepada orang lain, maka Anda telah berbuat
baik terhadap diri sendiri."
(Benyamin Franklin)
PERSEMBAHAN
Atas Ridho Allah SWT dan dengan segala kerendahan hati kupersembahkan
skripsi ini pada:
Kedua orang tuaku,
Ayahanda Ridwan dan Ibunda Sugiati, yang selama ini memberikan cinta, kasih
sayang, kebahagiaan, mendidik dengan baik, dan selalu memotivasi secara materil
dan immateril, serta berkorban apapun selama ini untuk keberhasilanku.
Semoga Allah SWT senantiasa memberkahi setiap langkah kalian.
SANWACANA
Alhamdulillahirrabbil’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Skripsi yang berjudul “Perlindungan Hukum Indikasi Geografis Produk Lada
Hitam Lampung”, diajukan guna memenuhi gelar Sarjana Hukum pada Fakultas
Hukum Universitas Lampung.
Penyelesaian penelitian ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan serta saran dari
berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Maroni, S.H., M. Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Lampung;
2. Bapak Prof. Dr. I gede A.B. Wiranata, S.H., M.H., selaku Wakil Dekan I
Bagian Akademik Fakultas Hukum Universitas Lampung;
3. Bapak Dr. Sunaryo, S.H., M. Hum., selaku Ketua Bagian Hukum Keperdataan
Fakultas Hukum Universitas Lampung
4. Ibu Rohaini, S.H., Ph.D., selaku Pembimbing I. Terimakasih atas
kesediaannya meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, saran, arahan
dan berbagai kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini;
5. Bapak M. Wendy Trijaya, S.H., M.H., selaku Pembimbing II. Terimakasih
atas kesediaan, kesabaran, dan semangatnya dalam meluangkan waktu untuk
memberikan bimbingan, arahan dan berbagai kritik dalam proses penyelesaian
skripsi ini;
6. Ibu Lindati Dwiatin, S.H., M. H., selaku Pembahas I yang telah memberikan
kritik, saran, dan masukan yang membangun dalam penyelesaian skripsi ini;
7. Ibu Elly Nurlaili. S.H., M.H., selaku Pembahas II yang telah memberikan
saran, kritik, serta arahan yang membangun dalam penyelesaian skripsi ini;
8. Bapak Dr. Wahyu Sasongko S.H., M.Hum. Selaku Dosen yang telah
meluangkan waktu memberikan saran, arahan dalam pembuatan skripsi ini dari
dimulainya pembuatan skripsi ini, Terimakasih atas kesediaanya.
9. Bapak Elman Edy Patra, S.H., M.H., selaku Pembimbing Akademik, yang
telah membimbing, mengayomi penulis selama menempuh pendidikan di
Fakultas Hukum Universitas Lampung;
10. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung, khususnya dosen
bagian Keperdataan yang penuh dedikasi dalam memberikan ilmu yang
bermanfaat bagi penulis selama menyelesaikan pendidikannya;
11. Seluruh Karyawan/Karyawati Fakultas Hukum Universitas Lampung atas
segala bantuan secara teknis maupun administratif yang diberikan kepada
penulis selama menyelesaikan pendidikannya;
12. Pihak Dinas Perkebunan dan Peternakan Provinsi Lampung, yang telah
meluangkan waktu untuk dilakukannya wawancara dan memberi semua data
yang saya perlukan
13. Pihak Masyarakat Indikasi Geografis Lada Hitam Lampung, yang telah
membantu dalam menyelesaikan skripsi ini
14. Adik penulis, Viona Nahda Saputri dan Daffa Bima Erlangga Terimakasih
atas cinta dan kasih sayang yang tiada henti, semoga kita menjadi anak yang
soleh dan solehah yang selalu menjaga nama baik keluarga dan
membanggakan kedua orang tua;
15. Sahabat Karib penulis, Widya Saputri yang senantiasa mengkontruksikan
pemikiran-pemikiran hebat dalam proses pembuatan skripsi ini;
16. Sahabat perkuliahan yang selalu memberi dukungan bagi penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini, Fitri Almunawaroh, Delia Puspitasari, Lisma
Rinidewi, Siti Kholifah, Thio Haikal Anugerah, Mashuril Anwar, Sukma Ari
Sanjaya, M. Ridho Wijaya, Bobi Kurniawan, Hendri Nugeroho, Dharma Qulbi
Rahma, Zahria Humairoh, Rinida, Dina Danata, Dewi Nurhalimah, Muhamad
Bahrudin, Indah Cintya, Adi Kurniawan, Boby Kurniawan, M. Ridho Wijaya,
Sofiatun Tasliyah, Aziz Rahmat, Alfa Immanuel, Arfita Bella, Desma,
Salestina, Cania, Kak Fitri, Kak Elfa, Kak Riska, Kak Indri, Kak Sariani, Kak
Novi, Kak Nur, Kak Ica, Kak Suci, semoga kelak kita kembali bersama
dengan telah meraih cita-cita yang kita impikan;
17. Keluarga Bidikmisi Fakultas Hukum 2015 yang selalu memberikan motivasi
dan dukungan dalam proses penulisan ini, semoga kelas kita dapat
membanggakan keluarga dan negara;
18. Keluarga besar Badan Konsultasi Bantuan Hukum (BKBH) Fakultas Hukum
Universitas Lampung, yang telah memberikan pengalaman yang luar biasa
bagi penulis;
19. Keluarga UKM-U English Society Unila Yuda Eka Prasetya, Mona Dwi
Fenska, Moni Dwi Fenski, Widya Febriani, Rosy Radika, Aditya Putra Diffa,
Purnama Aldi, Thomas Andriadi, Aulia Denada, Desy Permata Sari, Fifky
Mabruroh, Asri Dwita, Putri, M Tanjung Rhomadoni, Rian Setiawan, Ananto
Widodo, Siti Sufiah, Siti Farhana, Kamilia Qadarina, Rahma Atika, Tegar
Ramadhan Akbar, Laura Caroline, Lisna, Kiki, Bagus Fajar, Esther Apriana,
semoga kelak kita kembali bertemu dengan kesuksesan yang telah kita raih;
20. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu
dalam penyelesaian skripsi ini.
Akhir kata, Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan,
akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang
membacanya, khususnya bagi penulis dalam mengembangkan dan mengamalkan
ilmu pengetahuan.
Bandar Lampung, 16 Juli 2019
Penulis
Rifqi Saputra
DAFTAR ISI
ABSTRAK
SAMPUL DALAM
HALAMAN PERSETUJUAN
HALAMAN PENGESAHAN
PERNYATAAN
RIWAYAT HIDUP
MOTO
HALAMAN PERSEMBAHAN
SANWACANA
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup ........................................................... 6
1. Permasalahan .............................................................................................. 6
2. Ruang Lingkup ............................................................................................ 7
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ..................................................................... 7
1. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 7
2. Kegunaan Penelitian .................................................................................... 7
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hak Kekayaan Intelektual ............................................................................... 9
1. Pengertian Hak Kekayaan Intelektual ......................................................... 9
2. Latar Belakang Berlakunya Hak Kekayaan Intelektual .............................. 10
3. Teori Hak Kekayaan Intelektual ................................................................. 11
4. Prinsip-Prinsip Umum HKI ........................................................................ 13
B. Perlindungan Hukum ...................................................................................... 16
1. Pengertian Perlindungan Hukum ................................................................ 16
2. Prinsip Dalam Perlindungan Hukum Terhadap Indikasi Geografis Sebagai
Bagian Dari Hak Kekayaan Intelektual ..................................................... 18
C. Indikasi Geografis ........................................................................................... 22
1. Pengertian Indikasi Geografis..................................................................... 22
2. Unsur-Unsur dalam Indikasi Geografis ...................................................... 23
3. Indikasi Geografis dalam Hukum Nasional ................................................ 26
4. Indikasi Geografis dalam Hukum Internasional ......................................... 28
D. Tanaman Lada ................................................................................................ 32
E. Kerangka Berfikir .......................................................................................... 36
III. METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ............................................................................................... 38
B. Tipe Penelitian ............................................................................................... 39
C. Sumber dan Jenis Data .................................................................................... 39
D. Metode Pengumpulan Data ............................................................................ 40
E. Metode Pengolahan Data ................................................................................ 40
F. Analisis Data ................................................................................................... 41
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Perlindungan Hukum Indikasi Geografis Produk Lada Hitam Lampung ...... 42
B. Faktor Penghambat dalam Pelaksanaan Pendaftaran Indikasi Geografis
Lada Hitam Lampung ..................................................................................... 48
1. Kondisi geografis penyebaran Lada Hitam Lampung yang terlalu luas ..... 48
2.Kurangnya sumber daya manusia dalam penjaminan mutu hasil panen. .... 50
3.Kurangnya kepedulian Pemerintah Provinsi Lampung dan masyarakat
dalam upaya perlindungan hukum indikasi geografis terhadap lada hitam
Lampung ....................................................................................................... 51
C. Manfaat yang diperoleh Masyarakat Indikasi Geografis Lada Hitam
Lampung setelah didaftarkannya Lada Hitam Lampung sebagai Indikasi
Geografis......................................................................................................... 53
V. KESIMPULAN
A. Kesimpulan ..................................................................................................... 62
B. Saran ............................................................................................................... 63
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Akar Tanaman Lada .................................................................................... 32
Gambar 2 Batang Tanaman Lada .................................................................................. 33
Gambar 3 Daun dan Buah Tanaman Lada .................................................................... 34
Gambar 4. Kerangka Pikir ............................................................................................ 35
Gambar 5. Logo Lada Hitam Lampung ........................................................................ 46
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Data Hasil Produksi Lada Hitam Lampung ..................................................... 4
Tabel 2. Pemberian Dosis Pupuk .................................................................................. 57
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang kaya dan melimpah sumber daya alamnya,
kekayaan sumber daya alam tersebut menumbuhkan banyak ragam keunikan, baik
hayati maupun nabati sehingga memberikan berbagai macam potensi anugerah
alam yang luar biasa sehingga dari potensi tersebut menimbulkan hasil budi daya
nabati maupun hayati yang mencirikan geografis di mana potensi itu berada.
Berkaitan dengan keanekaragaman sumber daya alam, maka diperlukan suatu
perlindungan hukum bagi asset nasional di wilayah Indonesia terutama dalam
kaitannya dengan Perlindungan Hukum terhadap Hak Kekayaan Intelektual
(HKI).1
Indikasi Geografis (Selanjutnya disingkat IG) adalah bagian dari HKI yang
menjadi salah satu pilar utama pembangunan ekonomi suatu negara. Eksistensi IG
telah melahirkan kekuatan ekonomi negara-negara maju seperti Perancis dan
Amerika Serikat.2 IG merupakan suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu
barang dan/atau produk yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor
1Winda Risna Yessiningrum, Perlindungan Hukum Indikasi Geografis sebagai Bagian dari
Hak Kekayaan Intelektual, Kajian Hukum dan Ham, Magister Ilmu Hukum Universitas Mataram,
Jurnal Ius Vol III Nomor 7 April 2015, hlm 42-43. 2 Saky Septiono, Perlindungan Indikasi Geografis dan Potensi Indikasi Geografis
Indonesia, www.dgip.go.id/ indikasi-geografis, diakses pada tanggal 16 Desember 2018 pukul
18.56 WIB.
2
alam, faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut memberikan
reputasi, kualitas, dan karakteristik tertentu pada barang dan/atau produk yang
dihasilkan.
Pengertian IG di atas mengacu kepada pengertian IG yang tercantum dalam
persetujuan TRIPs Article 22 (1) Geographical indications are, for the purposes
of this Agreement, indications which identify a good as originating in the territory
of a Member, or a region or locality in that territory, where a given quality,
reputation or other characteristic of the good is essentially attributable to its
geographical origin. Menurut Tomi Suryo Utomo, bahwa kata “Indikasi” tidaklah
harus merujuk suatu tempat saja, akan tetapi juga mencakup nama dan kualitas
produk yang diasosiasikan dengan sebuah tempat.3
IG di Indonesia mengalami perkembangan dengan baik, hal ini ditandai hampir
setiap tahunnya ada peningkatan pendaftaran IG di Direktorat jendral HKI (Dirjen
HKI). Data Dirjen HKI tahun 2018 tercatat sebanyak 67 (Enam Puluh Tuju) IG
yang terdaftar. Angka tersebut bukan angka yang banyak, mengingat Indonesia
memiliki areal sangat luas yang memiliki produk khas di setiap daerahnya. Belajar
dari negara-negara Eropa, produk-produk IG dapat memberikan keuntungan besar
bagi perekonomian negara tersebut, misalnya penjualan wine di Prancis naik
sekitar 230 % dari penjualannya ke negara lain, penjualan keju naik antara 158 –
203 %, penjualan jeruk florida asli dari negara bagian di Amerika Serikat, florida
yang dikenal secara luas di dunia dengan kekhasan rasanya, dapat
menyumbangkan 9 juta US Dollar, membuka sekitar 80.000 lapangan kerja baru
3 Tomi Suryo Utomo, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Era Global Sebuah Kajian
Kontemporer, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010, hlm 219.
3
dan mengekspansi 230.670 hektar lahan. Bila kita bandingkan dengan potensi IG
di Indonesia, banyak potensi yang dapat dimanfaatkan untuk bersaing di dunia
internasional, misalnya Ubi Cilembu, Lada Hitam Lampung, Wajit Cililin, Batik
Trusmi Cirebon, Batik Pekalongan, Batik Solo, Kain Songket Palembang, Ukiran
Toraja, dan Kain Sasirangan (Kalimantan Selatan). Selain itu terdapat produk kopi
yang memiliki sejumlah cita rasa yang khas, yaitu jenis kopi arabica: kopi Lintong
(Batak), kopi Mandailing (Batak), kopi Gayo, kopi Toraja, kopi Kalosi, kopi
Kintamani Bali, kopi Bajawa, kopi Luwak. Selanjutnya jenis kopi robusta: kopi
Pagaralam, kopi Lampung, kopi Jawa Dampit, kopi robusta Flores.4
Potensi-potensi tersebut dapat memberikan keuntungan apabila negara-negara
(termasuk Indonesia) dapat melindungi produk-produk khasnya dengan sistem
perlindungan IG. Perlindungan IG di Indonesia adalah sistem first to file atau
Konstitutif, sistem yang mensyaratkan adanya pendaftaran untuk mendapatkan
perlindungan dari negara. Menurut sistem ini pihak yang melakukan pendaftaran
pertama dianggap memiliki hak. Barang-barang yang memenuhi kriteria dan
persyaratan untuk memperoleh perlindungan IG sangat ditentukan oleh kelompok
masyarakat yang membuat dan menghasilkan barang-barang tersebut. Mereka
adalah para produsen (producer) baik kelompok tani yang menghasilkan produk
pertanian dalam arti luas maupun para perajin yang membuat barang-barang
kerajinan tangan (handycrafts), yang merupakan pihak-pihak berkepentingan
(interested party) dengan IG. Sejatinya, merekalah yang berhak atau berwenang
untuk mendaftarkan hak.
4Indra Rahmatullah, Perlindungan Indikasi Geografis dalam Hak Kekayaan Intelektual,
diakses dari https://indrarahmatullah.wordpress.com/2013/10/25/perlindungan-indikasi-geografis-
dalam-hak-kekayaan-intelektual-hki-melalui-ratifikasi-perjanjian-lisabon/ pada 7 Desember 2018
pukul 10.00 WIB
4
Produsen pendaftar merupakan penduduk lokal atau masyarakat yang tinggal
dalam suatu wilayah geografis tertentu yang membentuk kelompok. Oleh sebab
itu, menurut ketentuan, pemohon yang diberi hak untuk mendaftarkan IG adalah
kelompok yang bersifat komunal atau kolektif, seperti asosiasi produsen atau
koperasi. Dalam hal ini, kolektivitas tidak hanya menunjukkan jumlahnya yang
banyak, tetapi juga harus berkaitan dengan status atau kedudukan dan peranannya
terhadap produk atau barang-barang yang didaftarkan. Sedangkan, subyek hukum
perorangan dan korporasi sebagai badan hukum prifat, tidak diperkenankan untuk
mendaftarkan IG. Dengan demikian, tidak mudah untuk menentukan pihak-pihak
berkepentingan dan sekaligus berwenang mengajukan permohonan pendaftaran.5
Provinsi Lampung sangat terkenal dengan produk lada hitam (black pepper), baik
di tingkat Nasional maupun Internasional dengan nama: “Lampung Black Pepper”
yang dihasilkan di Kabupaten Lampung Timur, Lampung Utara, Tanggamus dan
Lampung Barat dengan ketinggian 20-800 m d.p.l. lada hitam Lampung memiliki
ciri berwarna hitam sampai kecoklat-coklatan dengan kadar air maksimal 13%,
kadar piperine (3,29-4,7%), minyak atsiri (1,14-2,89%) dan Olcoresin (12,8-
15,20%). Melalui Masyarakat Indikasi Geografis Lada Hitam Lampung (MIG-
LHL) lada hitam Lampung sudah berhasil mendapatkan sertifikat IG lada hitam
Lampung.6
IG dapat menggerakkan perekonomian khususnya bagi masyarakat Lampung,
karena memiliki aspek penting lada hitam dipasaran serta mengangkat reputasi
5 Wahyu Sasongko, Indikasi Geografis Studi Tentang Kesiapan Indonesia Memberikan
Perlindungan Hukum Terhadap Produk Nasional, Bandar lampung, Universitas Lampung, 2012,
hlm. 158. 6http://www.dgip.go.id/images/ki-images/pdf-files/publikasi/publikasi_ig/2016/brig-2-
2016.pdf diakses pada tanggal 25 September 2018 pukul 03.00 WIB.
5
daerah. Lada hitam Lampung yang telah mendapat sertifikat IG dapat melindungi
konsumen dari upaya curang pihak lain yang membuat imitasinya. Fungsi lain
yang didapat dari pendaftaran IG yaitu meningkatkan nilai ekonomis suatu produk
yang mengandung IG. Konsumen lebih tertarik atas originalitas kualitas dan
reputasi yang melekat pada barang tersebut. Disisi lain, IG dapat mewajibkan
produsen untuk mempertahankan kualitas produk, sehingga konsumen dapat
menikmati produk dengan mutu yang sama dari waktu ke waktu. Konsumen juga
mempunyai akses informasi untuk bisa melacak keberadaan daerah asal penghasil
produk.
Provinsi Lampung sangat potensial untuk pengembangan komoditas rempah
khususnya lada hitam lampung, Berikut adalah data produksi lada hitam
komoditas perkebunan:
No Data Hasil Produksi Lada Hitam Lampung (Ton)
1 2013 24.639
2 2014 15.324
3 2015 14.860
4 2016 15.128
5 2017 13.771
Sumber: Dinas Perkebunan dan Peternakan Provinsi Lampung
Tabel 1. Data Hasil Produksi Lada Hitam Lampung
Berdasarkan data di atas, terlihat bahwa perkembangan produksi lada hitam
Lampung sudah terbilang baik, namun dalam perkembangannya produksi lada
mengalami penurunan, hal tersebut terlihat bahwa pada tahun 2013 produksi lada
mencapai 24.639 ton namun tahun-tahun berikutnya jumlah produksi lada hitam
6
Lampung menurun dan pada tahun 2017 jumlah produksi yang tercatat di Dinas
Perkebunan dan Peternakan Provinsi Lampung hanya mencapai 13.771 ton.7
Perlindungan IG akan terus ada selama terjaganya reputasi, kualitas dan
karakteristik yang menjadi dasar pada suatu barang. Oleh karena itu, jika kondisi
lada hitam Lampung terus mengalami penurunan seperti ini, maka perlindungan
IG Lada hitam lampung akan hilang, padahal lada hitam Lampung berpotensi
menjadi sumber pendapatan daerah, karena produk-produk unggulan daerah
sangat penting bagi kemajuan perekonomian daerah, khususnya demi kepentingan
peningkatan kesejahteraan masyarakat Lampung.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut
mengenai penelitian hukum yang berjudul “Perlindungan Hukum Indikasi
Geografis Produk Lada Hitam Lampung”.
B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana perlindungan hukum indikasi geografis produk lada hitam
Lampung?
b. Apa faktor penghambat dalam pelaksanaan pendaftaran indikasi geografis lada
hitam Lampung?
c. Apa saja manfaat yang diperoleh masyarakat indikasi geografis lada hitam
Lampung setelah didaftarkannya lada hitam Lampung sebagai indikasi
geografis?
7https://lampung.bps.go.id/dynamictable/2017/10/12/723/volume-dan-nilai-ekspor-
perbulan-provinsi-lampung-2014-2016.html diakses pada 7 Desember 2018 pukul 23.00 WIB.
7
2. Ruang Lingkup
a. Ruang Lingkup Keilmuan
Bidang ilmu ini adalah hukum keperdataan, khususnya hukum kekayaan
intelektual
b. Ruang Lingkup Objek Kajian
Ruang lingkup kajian ini adalah mengenai perlindungan hukum indikasi
geografis produk lada hitam Lampung.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Mengetahui perlindungan hukum indikasi geografis lada hitam lampung.
b. Mengetahui faktor-faktor penghambat dalam pelaksanaan pendaftaran indikasi
geografis lada hitam Lampung
c. Mengetahui manfaat yang diperoleh masyarakat indikasi geografis lada hitam
Lampung setelah didaftarkannya lada hitam Lampung sebagai indikasi
geografis
2. Kegunaan Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis berharap agar hasil penelitian ini berguna baik
secara teoritis maupun secara praktis yaitu:
1. Secara Teoritis
Secara teoritis penelitian ini berguna sebagai salah satu upaya untuk
memberikan pemahaman baru bagi masyarakat tentang perlindungan hukum
indikasi geografis produk lada hitam Lampung
8
2. Secara Praktis
Hasil penelitian yang dilakukan penulis juga mampu memberikan sumbangan
praktis sebagai bahan tambahan informasi atau referensi bagi mahasiswa
terutama mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung dan bagi
masyarakat luas secara umum.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Hak Kekayaan Intelektual
1. Pengertian Hak Kekayaan Intelektual
Hak Kekayaan Intelektual (selanjutnya disingkat HKI) adalah terjemahan resmi
dari Intellectual Property Rights. Berdasarkan substansinya, HKI berhubungan
erat dengan benda tidak berwujud serta melindungi karya intelektual yang lahir
dari cipta, rasa dan karsa manusia. World Intellectual Property (WIPO), sebuah
lembaga internasional di bawah PBB yang menangani masalah HKI
mendefinisikan HKI sebagai kreasi yang dihasilkan dari pikiran manusia yang
meliputi: invensi, karya sastra dan seni, simbol, nama, citra dan desain yang
digunakan di dalam perdagangan. Definisi yang bersifat lebih umum
dikemukakan oleh Jill Mc-Keough dan Stewart “sekumpulan hak yang diberikan
oleh hukum untuk melindungi investasi ekonomi dari usaha-usaha yang kreatif”.
Definisi yang dirumuskan oleh para ahli, HKI selalu dikaitkan dengan tiga elemen
penting berikut ini:
a. Adanya sebuah hak eksklusif yang diberikan oleh hukum.
b. Hak tersebut berkaitan dengan usaha manusia yang didasarkan pada
kemampuan intelektual.
c. Kemampuan intelektual tersebut memiliki nilai ekonomi.
10
Hak eksklusif yang diberikan oleh hukum merupakan reward yang sesuai bagi
para inventor dan pencipta HKI. Melalui reward tersebut, orang-orang yang
kreatif didorong untuk terus mengasah kemampuan intelektualnya agar dapat
dipergunakan untuk membantu kehidupan manusia. Tujuan utama sistem HKI
adalah menjamin agar proses kreatif tersebut terus berlangsung dengan
menyediakan perlindungan hukum yang memadai dan menyediakan sanksi
terhadap pihak yang menggunakan proses kreatif tanpa izin.8
2. Latar Belakang Berlakunya Hak Kekayaan Intelektual
HKI adalah suatu sistem yang sekarang ini melekat pada tata kehidupan modern.
Seperti juga pada aspek-aspek lain yang memberi warna pada kehidupan modern
misalnya masalah lingkungan hidup serta persaingan usaha, hak kekayaan
intelektual merupakan konsep yang relative baru bagi sebagian besar negara,
terutama negara-negara berkembang. Akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21
tercapai kesepakatan negara-negara untuk mengangkat konsep hak kekayaan
intelektual kearah kesepakatan bersama dalam wujud Agreement Establishing the
World Trade Organization (WTO Agreement) dan segala perjanjian internasional
yang menjadi lampirannya. Ketentuan-ketentuan tentang HKI diatur dalam annex
1c berjudul Agreement on Trade –Related Aspect of Intellectual Property Rights
(TRIPs Agreement).9
WTO sendiri tidak dapat dilepaskan dari kisah masa lalunya, dimulai dengan
keinginan kuat negara-negara memulihkan kembali perekonomian dunia yang
hancur setelah Perang Dunia II. Sebelum terbentuknya WTO, masalah hak
8 Tomi Suryo Utomo, Op.cit, hlm. 1.
9 Achmad Zen Umar Purba, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, Bandung, PT Alumni.
2011, hlm. 1.
11
kekayaan intelektual dalam dimensi internasional berada dibawah administrasi
World Intellectual Property Organization (WIPO), satu badan khusus perserikatan
Bangsa-Bangsa yang didirikan tahun 1967.10
Indonesia sebagai negara berkembang sudah menjadi anggota dan secara sah ikut
dalam TRIPs, melalui ratifikasi WTO Agreement dengan Undang-Undang No.7
tahun 1994.11
Ratifikasi ini kemudian diimplementasikan dalam revisi terhadap
ketiga Undang-Undang bidang HKI yang berlaku saat itu, diikuti perubahan yang
menyusul kemudian, serta pengundangan beberapa bidang HKI yang baru bagi
Indonesia. Pelaksanaan HKI bagi Indonesia bukan hanya karena TRIPs. Sejarah
menunjukkan Indonesia sudah mengenal dan menerapkan HKI sejak lama, bahkan
sejak zaman Hindia Belanda, seperti juga dengan negara-negara lain yang pernah
melakukan kolonisasi, berkepentingan untuk menyebarkan paham tentang
perlindungan atas karya intelektual ini untuk kesuksesan pihaknya sendiri.12
3. Teori Hak Kekayaan Intelektual
Teori Hak Kekayaan Intelektual (HKI) sangat dipengaruhi oleh pemikiran
John Locke tentang hak milik. Dalam bukunya, Locke mengatakan bahwa hak
milik dari seorang manusia terhadap benda yang dihasilkannya itu sudah ada
sejak manusia lahir. Benda dalam pengertian disini tidak hanya benda yang
berwujud tetapi juga benda yang abstrak, yang disebut dengan hak milik atas
10
Ibid. hlm. 2. 11
Undang-Undang Nomor 57 Tahun 1994 tentang Ratifikasi WTO Agreement. 12
Achmad Zen Umar Purba. Op.cit. hlm. 7.
12
benda yang tidak berwujud yang merupakan hasil dari intelektualitas
manusia.13
Ada tiga teori terkait dengan pentingnya sistem Hak Kekayaan Intelektual dari
perspektif ilmu hukum, yaitu:14
a. Natural Right Theory
Berdasarkan teori ini, seorang pencipta mempunyai hak untuk mengontrol
penggunaan dan keuntungan dari ide, bahkan sesudah ide itu diungkapkan
kepada masyarakat. Ada dua unsur utama dari teori ini, yaitu :
1. First Occupancy
Seseorang yang menemukan atau mencipta sebuah invensi (ide penemu)
berhak secara moral terhadap penggunaan ekslusif invensi tersebut.
2. A Labor Justification
Seseorang yang telah berupaya di dalam mencipta Hak Kekayaan
Intelektual, dalam hal ini adalah sebuah invensi seharusnya berhak atas hasil
dari usahanya tersebut. Mencipta merupakan istilah dari Hak Cipta, istilah
tersebut mengandung arti, yaitu hasil karya yang dituangkan dalam bentuk
yang khas. Sedangkan Invensi merupakan istilah dari Hak Paten yang
mengandung arti, sebagai ide Inventor yang dituangkan ke dalam suatu
kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi dan dapat
berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk
dan proses.
13
Rose Diana Daniswara, Hak Kekayaan Intelektual, http://abcdanis.id/2013/05/hak-
kekayaan-intelektual_15.html diakses pada 16 November 2018.Pukul 17:40 WIB. 14 Tomi Suryo Utomo. Op.cit. hlm. 9.
13
b. Utilitarian Theory
Teori ini diperkenalkan oleh Jeremy Bentham dan merupakan reaksi
terhadap Natural Right Theory. Menurut Bentham, Natural Right Theory
merupakan “simple nonsense”. Kritik ini muncul disebabkan oleh adanya
fakta bahwa natural right memberikan hak mutlak hanya kepada inventor
dan tidak kepada masyarakat. Menurut utilitarian theory, negara harus
mengadopsi beberapa kebijakan (misalnya membuat peraturan perundang-
undangan) yang dapat memaksimalkan kebahagiaan masyarakat.
c. Contact Theory
Teori ini memperkenalkan prinsip dasar yang menyatakan bahwa sebuah paten
merupakan perjanjian antara inventor dengan pemerintah. Dalam hal ini,
bagian dari perjanjian yang harus dilakukan oleh pemegang paten adalah
untuk mengungkapkan invensi tersebut dan memberitahukan kepada publik
bagaimana cara merealisasikan invensi tersebut. Berdasarkan teori ini, invensi
harus diumumkan sebelum diadakannya pemeriksaan substantif atas invensi
yang dimohonkan. Jika syarat ini dilanggar oleh inventor, invensi tersebut
dianggap sebagai invensi yang tidak dapat dipatenkan.
4. Prinsip-Prinsip Umum HKI
Prinsip-Prinsip Umum yang berlaku di dalam HKI adalah sebagai berikut:15
a. HKI Memberikan Hak Eksklusif
Hak yang diberikan oleh sistem HKI bersifat eksklusif. Maksudnya, hak terseut
bersifat khusus dan hanya dimiliki oleh orang yang terkait langsung dengan
kekayaan intelektual yang dihasilkan. Melalui hak tersebut, pemegang hak
15
Tomi Suryo Utomo. Op.cit. hlm.12
14
dapat mencegah orang lain untuk membuat, menggunakan atau berbuat sesuatu
tanpa ijin. Dengan hak eksklusif, orang didorong untuk terus berkreasi dan
berinovasi. Pada akhirnya, inovasi, ciptaan, dan kreasi yang dihasilkan
seseorang dapat bermanfaat untuk masyarakat. Prinsip ini merupakan salah
satu dasar yang melatarbelakangi tujuan pemberian perlindungan hukum dalam
rezim HKI.16
b. HKI Melindungi Usaha Intelektual Yang Bersifat Kreatif Berdasarkan
Pendaftaran
Secara umum, pendaftaran merupakan salah satu syarat kekayaan intelektual
yang dihasilkan oleh seseorang. Prinsip ini mendasari semua UU HKI
diseluruh dunia dan membawa konsekuensi bahwa pemilik kekayaan
intelektual yang tidak melakukan pendaftaran tidak dapat menuntut seseorang
yang dianggap telah menggunakan kekayaanya secara melawan hukum. Dua
sistem pendaftaran HKI, yaitu:
1. First to file system
Sistem pendaftaran ini didasarkan pada pendaftar pertama, artinya jika ada
dua orang mendaftarkan kekayaan intelektual pada hari yang sama dengan
objek yang sama, pihak yang mendaftarkan terlebih dahulu yang
diprioritaskan untuk diproses
16
Miranda Risang Ayu, Memperbincangkan Hak Kekayaan Intelektual Indikasi Geografis,
Bandung, Alumni, 2006, hlm 74.
15
2. Fisrt to use system
Sistem ini didasarkan pada pengguna pertama. Artinya, pemilik kekayaan
intelektual yang akan didaftar adalah orang pertama yang menggunakan
kekayaan intelektual tersebut.
c. Prinsip Pemisahan Benda Secara Fisik Dengan HKI yang Terkandung Di
Dalam Benda Tersebut
Sistem ini sangat unik dan merupakan ciri khas HKI karena didalam cabang
hukum lain yang bersifat berwujud, penguasaan secara fisik dari sebuah benda
sekaligus membuktikan kepemilikan yang sah atas benda tersebut. Didalam
sitem HKI, seseorang yang menguasai benda secara fisik tidak otomatis
memiliki hak esklusif dari benda fisik itu. Sebagai contoh, jika seseoang
membeli buku dengan uangnya sendiri, orang itu hanya berhak atas buku
tersebut (benda secara fisik) untuk penggunaan secara pribadi (misalnya dibaca
dirumah). Hak eksklusif berupa hak untuk mengumumkan dan memperbanyak
tidaklah termasuk didalam pembelian buku tersebut karena didalam sistem
HKI yang dibeli adalah benda fisik bukan hak ciptanya.
d. Prinsip Jangka Waktu Perlindungan HKI Adalah Terbatas
Meskipun ada cabang HKI (merek) yang dapat diperpanjang jangka waktu
perlindungannya, secara umum jangka waktu perlindungan HKI tidak
selamanya atau bersifat terbatas. Tujuan pembatasan perlindungan ini adalah
untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat mengakses kekayaan
intelektual tersebut secara optimal melalui usaha-usaha pengembangan lebih
lanjut dan sekaligus mencegah monopoli atas kekayaan intelektual tersebut.
16
e. Prinsip kekayaan intelektual yang berakhir perlindungannya menjadi public
domain
HKI yang telah berakhir jangka waktu perlindungannya akan menjadi milik
umum (public domain). Semua orang berhak untuk mengakses HKI yang telah
berakhir jangka waktu perlindungannya. Pasca berakhirnya perlindungan
hukum, pemegang HKI tidak boleh menghalangi atau melakukan tindakan
seolah-olah masih memiliki hak eksklusif. Contoh, perjanjian lisensi dengan
kewajiban membayar royalty bagi pihak lisensi ridak boleh dilakukan jika
jangka waktu perlindungan HKI yang menjadi dasar bagi terjadinya perjanjian
tersebut telah berkahir.17
B. Perlindungan Hukum
1. Pengertian Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum apabila dijelaskan harfiah dapat menimbulkan banyak
persepsi. Perlindungan hukum dalam makna yang sebenarnya dalam ilmu hukum,
dapat timbul dari penggunaan istilah perlindungan hukum, maka bisa berarti
perlindungan yang diberikan terhadap hukum agar tidak ditafsirkan berbeda
dan tidak disalahgunakan oleh aparat penegak hukum dan juga bisa berarti
perlindungan yang diberikan oleh hukum terhadap sesuatu. Pengertian
Perlindungan hukum adalah suatu tindakan melindungi atau memberikan
pertolongan dalam bidang hukum agar seseorang mendapatkan keadilan dari
perbuatan kesewenang-wenangan dari pihak yang tidak bertanggung jawab.
Perlindungan hukum terdiri dari 2 (dua) suku kata yaitu “perlindungan” dan
17
Tomi Suryo Utomo. Op.cit. hlm.16
17
“hukum” artinya perlindungan hukum menurut undang-undang dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Perlindungan hukum merupakan sarana untuk mewujudkan dan mempertahankan
keadilan yang menjadi jiwa dan tujuan dari hukum. Perlindungan hukum
ditujukan untuk melindungi seseorang dari perbuatan yang semena-mena.
Perlindungan hukum tidak hanya ditujukan untuk orang yang berkuasa
ataupun memiliki kekayaan tetapi perlindungan hukum itu juga ditujukan untuk
orang yang berhak mendapatkan perlindungan hukum. Apabila seseorang yang
berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum namun mereka tidak
mendapatkan perlindungan hukum tersebut maka mereka menerima
ketidakadilan. Perlindungan hukum ini dimaksudkan untuk seseorang
mendapatkan keadilan dari perbuatan-perbuatan yang semena-mena yang
dilakukan seseorang sehingga orang tersebut telah mendapat perlindungan di
dalam bidang hukum. Teori perlindungan hukum bahwa hukum bertujuan
mengintegrasikan dan mengkoordinasikan sebagai kepentingan dalam
masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap
kepentingan tertentu dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai
kepentingan di lain pihak.
Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia,
sehinggahukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan
manusia yang perlu diatur dan dilindungi. Perlindungan hukum harus melihat
tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala
peraturan hukum yang diberikan oleh masyrakat yang pada dasarnya merupakan
kesepakatan masyrakat tersebut untuk mengatur hubungan prilaku antara anggota-
18
anggota masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang dianggap
memiliki kepentingan masyarakat.
Menurut Satjipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman
terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan
itu diberikan masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan
oleh hukum.18
Selanjutnya menurut Philipus M. Hadjon bahwa perlindungan
hukum bagi rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan
resprensif. Perlindungan hukum yang preventif mencegah terjadinya sengketa,
yang mengarahkan tindakan pemerintah bersikap hati-hati dalam pengambilan
keputusan berdasarkan diskresi dan perlindungan yang respresif bertujuan untuk
pengendalian setelah terjadinya sengketa, termasuk penanganannya dilembaga
peradilan.19
2. Prinsip Dalam Perlindungan hukum Terhadap Indikasi Geografis Sebagai
Bagian Dari Hak Kekayaan Intelektual
Sebagai salah satu bagian dari HKI, Prinsip-Prinsip HKI berlaku secara umum
pada IG. Prinsip-prinsip yang terdapat dalam IG adalah sebagai berikut:20
a. Prinsip Keadilan (The Principle of Natural Justice)
Menyangkut IG, maka peristiwa yang menjadi alasan melekatnya hak tersebut
berdasarkan keadaan geografis, sumber daya alam maupun faktor manusia dan
menjadi satu unsur dimana penyatuan dari ketiga unsur tersebut menghasilkan
suatu barang yang disebut IG. Indikasi geografis tersebut menjadi hak dari
18
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 2000, hlm 53. 19
Tomi Suryo Utomo. Op.cit. hlm.21 20
Ibid, hlm. 48
19
masyarakat tempat ditemukannya indikasi geografis tersebut. Dalam prinsip
keadilan ini mengatur hubungan yang adil antara orang yang satu dan yang lain
atau antara warga negara yang satu dengan warga negara lainnya dengan
tatanan horizontal.21
Hubungan yang adil dalam HKI adalah seseorang atau kelompok yang
menciptakan sesuatu berhak mendapatkan imbalan atas temuan atau ciptaanya.
Imbalan tersebut dapat berupa materi maupun immateril seperti penghargaan
ataupun pengakuan atas hasil karyanya juga rasa aman karena mendapat
perlindungan. Sebagai bagian dari HKI, IG baru akan mendapatkan
perlindungan jika didaftarkan. Sistem ini disebut dengan Prinsip Fist to File,
pada prinsip ini pihak yang melakukan pendaftaran pertama adalah yang
dianggap memiliki hak atas temuan. Pada prinsip ini hak atas indikasi geografis
diperoleh melalui pendaftaran artinya hak eksklusif dari indikasi geografis
diberikan karena adanya pendaftaran, sehingga dapat dikatakan bahwa
pendaftaran IG adalah hal yang mutlak, karena indikasi geografis yang tidak
didaftarkan tidak akan mendapatkan perlindungan hukum.
b. Prinsip Ekonomi (Economic Principle)
Dalam hubungan dengan IG, prinsip ekonomi diartikan sebagai masyarakat
yang mendiami suatu daerah atau kawasan dimana terdapat potensi IG dan
mengolah dan meproduksinya menjadi suatu barang yang memiliki nilai
21
Esmi Warasih Puji Rahayu, Pranata Hukum, Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang, PT
Suryandaru Utama, 2005, hlm 81.
20
ekonomis dimana barang tersebut memiliki kualitas dan reputasi yang tidak
dapat dimiliki oleh hasil produksi atau barang dari daerah lain.
Adapun perlindungan IG bertujuan sebagai perlindungan terhadap produk,
mutu dari produk, nilai tambah dari suatu produk dan juga sebagai
pengembangan pedesaan. Karena indikasi geografis merupakan salah satu
komponen HKI yang penting dalam kegiatan perdagangan. Khususnya
memberikan perlindungan terhadap komoditas perdagangan yang terkait erat
dengan nama daerah atau tempat asal produk barang. Maka bisa dibayangkan
betapa besar nilai ekonomi kekayaan indikasi geografis ini, Misalkan produk
indikasi geografis lada hitam Lampung tentu sangat besar sekali potensi
ekonominya terhadap masyarakat indikasi geografis lada hitam Lampung.
Secara tidak langsung pendaftaran IG akan memacu pertumbuhan ekonomi di
Lampung.
Dengan adanya produk IG, dengan sendirinya reputasi suatu kawasan indikasi
geografis akan ikut terangkat, disisi lain IG dapat melestarikan keindahan alam,
pengetahuan tradisional, serta sumberdaya hayati dan ini akan berdampak pada
pengembanga agrowisata, dengan IG juga akan merangsang timbulnya
kegiatan-kegiatan lain yang terkait seperti pengolahan lanjutan suatu produk.
Kegiatan mengindikasi geografis produk unggulan disetiap wilayah Indonesia
sangat penting untuk dilakukan karena produk-produk unggulan di Indonesia
sangat banyak.
21
c. Prinsip Kebudayaan (The Culture Principle)
Karya manusia itu pada hakikatnya bertujuan untuk memungkinkan hidup,
selanjutnya dari karya itu pula akan timbul suatu gerakan hidup yang harus
menghasilkan lebih banyak karya lagi.22
Dengan konsepsi demikian, maka
pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan, seni, sastra sangatlah besar
artinya bagi taraf hidup, peradaban dan martabat manusia. Dalam hal ini,
beberapa nilai dan bentuk kearifan lokal, termasuk hukum adat, nilai-nilai
budaya dan kepercayaan yang ada sebagian bahkan sangat relevan untuk
diaplikasikan kedalam proses pembangunan kesejahteraan masyarakat.
Kebudayaan dari suatu daerah diharapkan mampu menarik perhatian dari
masyrakat lokal maupun mancanegara untuk mengenal ragam budaya dari tiap
provinsi di Indonesia yang memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
d. Prinsip Sosial (The Social Argument)
Berkaitan dengan indikasi geografis pada sistem perlindungan produk hasil
alam maupun karya manusia yang memiliki ciri khas daerah dilindungi secara
komunal. IG selain sebagai rezim hak kekayaan intelektual yang
perlindungannya masih paling terbuka bagi pengaruh keragaman budaya
bangsa-bangsa di dunia, indikasi geografis juga amat menghargai keterkaitan
historis antara suatu produk dengan tempat asalnya.
IG juga amat potensial untuk menjamin agar keuntungan ekonomi tertinggi
dari suatu produk dapat tetap dinikmati oleh produsen dari daerah asal produk
22
Etty Susilowati, Hak Kekayaan Intelektual Dan Lisensi Pada HKI, Semarang, CV Elang
Tuo, 2013, hlm 176
22
itu sendiri. Bahkan, dibeberapa negara maju indikasi geografis secara nyata
mengangkat kesejahteraan produsen-produsen didalam suatu lokalitas tertentu
yang letaknya terpencil dan hanya memiliki alternative mata pencaharian yang
amat sedikit. Aspek-aspek perlindungan HKI yang paling dibutuhkan oleh
mayoritas negara-negara Asia, yang terkenal dengan keragaman budaya,akar
historis produk yang kuat, budaya kepemilikan kolektif, kepentingan untuk
tetap menguasai produk-produk bangsanya sendiri, serta persoalan
kemiskinan.23
C. Indikasi Geografis
1. Pengertian Indikasi Geografis
Di Indonesia perlindungan terhadap Indikasi Geografis (Selanjutnya disingkat
IG) diatur dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi
Geografis. Pasal 1 angka 6 mengatur bahwa IG merupakan suatu tanda yang
menunjukkan daerah asal suatu barang dan/atau produk yang karena faktor
lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia atau kombinasi dari
kedua faktor tersebut memberikan reputasi, kualitas, dan karakteristik tertentu
pada barang dan/atau produk yang dihasilkan.
Pengertian IG tersebut diatas mengacu kepada pengertian IG yang tercantum
dalam persetujuan TRIPs Article 22 (1) Geographical indications are, for the
purposes of this Agreement, indications which identify a good as originating in
the territory of a Member, or a region or locality in that territory, where a given
quality, reputation or other characteristic of the good is essentially attributable to
23
Roisah. Kholis, Dinamika Perlindungan HKI Indonesia dalam Tatanan Global,
Semarang, CV Elang Tuo, 2013, hlm 121.
23
its geographical origin. Menurut Tomi Suryo Utomo, bahwa kata “Indikasi”
tidaklah harus merujuk suatu tempat saja, akan tetapi juga mencakup nama produk
yang diasosiasikan dengan sebuah tempat.24
Pengertian IG juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007
tentang Indikasi Geografis. Di dalam penjelasannya menjelaskan pengertian dari
IG yaitu suatu tanda yang tanpa disadari sudah lama ada dan secara tidak
langsung dapat menunjukkan adanya kekhususan pada suatu barang yang
dihasilkan dari daerah tertentu. Tanda dimaksud selanjutnya dapat digunakan
untuk menunjukkan asal suatu barang, baik yang berupa hasil pertanian, bahan
pangan, hasil kerajinan tangan, atau barang lainnya, termasuk bahan mentah
dan/atau hasil olahan, baik yang berasal dari hasil pertanian maupun yang berasal
dari hasil tambang. Tanda yang dilindungi sebagai indikasi geografis adalah suatu
identitas yang menunjukkan suatu barang berasal dari tempat atau daerah tertentu.
Tempat atau daerah tertentu itu menunjukkan kualitas dan karakteristik suatu
produk.
2. Unsur-Unsur dalam Indikasi Geografis
Rumusan definisi IG dalam perjanjian TRIPs memiliki unsur-unsur pokok yang
menjadi ciri dan syarat utama. Berikut ini adalah unsur-unsur tersebut.25
a. Unsur Indikasi Geografis untuk Mengidentifikasi
Nama geografis atau nama tempat tidak harus digunakan sebagai tanda atau
nama barang. IG tidak dibatasi pada penggunaan nama geografis atau nama
24
Tomi Suryo Utomo, Op.cit, hlm 219. 25
Wahyu Sasongko, Op.cit, hlm. 151.
24
tempat di mana barang itu berasal, tetapi boleh menggunakan tanda lain yang
sudah menjadi simbol ikon dari suatu negara. Hal ini disebabkan, karena tidak
dipersyaratkan untuk menggunakan nama geografis secara langsung, maka
indikasi yang bukan geografis juga dibolehkan, seperti menara Eiffel untuk
barang-barang produksi dari Paris atau Perancis, patung liberty untuk barang-
barang dari Amerika dan Taj mahal untuk barang-barang dari india.
IG hanya untuk barang-barang dan tidak termasuk jasa sesuai dengan
definisinya yang hanya menyebut barang. Dalam hal barang-barang pun
sesungguhnya masih sangat luas, karena barang-barang dalam hal ini dapat
berupa hasil pertanian seperti anggur, kopi, lada termasuk makanan dan juga
barang-barang kerajinan tangan yang dibuat dengan keterampilan dan tradisi
khusus, seperti kain batik dan kain tapis.
b. Unsur Wilayah dalam Negara
Dalam mengidentifikasi barang itu senantiasa terkait atau dikaitkan dengan
tempat atau wilayah oleh karena itu dalam rumusan definisi dikatakan bahwa
mengidentifikasi barang yang berasal dari dalam wilayah negara anggota, atau
daerah, atau tempat di dalam wilayah itu. Akibatnya, tertutup kemungkinan
untuk memberikan hak melekatkan IG pada pihak di luar wilayah. Tetapi
dalam implementasinya dan fleksibilitas. Dalam hal-hal tertentu, karena sifat
khusus pada suatu barang, ada kemungkinan untuk beberapa bagian tertentu
pembuatannya mendapat pasokan bahan baku yang berasal dari luar wilayah.
Begitupun dengan perluasan produksi, awalnya produksi dilakukan dalam
wilayah geografis tertentu, kemudian berkembang diwilayah lain.
25
Hal ini biasanya untuk barang-barang manufaktur dengan pabrik didirikan di
daerah lain. Oleh sebab itu ketiadaan batas-batas wilayah dapat dibenarkan
sepanjang hal itu merupakan sifat khusus dari barang yang bersangkutan,
termasuk adanya perbedaan tahap produksi dan bahan baku. Selanjutnya,
berkenaan dengan ukuran luas pada masing-masing negara anggota ada
kemungkinan meggunakan istilah dan cakupan yang berseragam. Termasuk
ukuran atau luasan dari wilayah geografis itu, sehingga istilah atau nama yang
digunakan pun berbeda beda karena melibatkan batas-batas wilayah politik dan
non politik. Misalnya berupa desa (village), kota (town), daerah (region), atau
negara (country).26
c. Unsur Kualitas, Reputasi, atau karakteristik lain
Kualitas tertentu, reputasi atau karakteristik lain dari barang yang pada
hakikatnya diakibatkan oleh asal geografisnya. Rumusan definisi IG dalam
Perjanjian TRIPs, menggunakan kata-kata “kualitas reputasi, atau karakteristik
lain”. Penggunaan kata “atau” tersebut, menunjukkan sifat alternative, dengan
demikian tidak diisyaratkan harus seluruh unsur terpenuhi, tetapi cukup hanya
satu unsur saja sudah dapat diberikan perlindungan.
Kriteria dari unsur kualitas kadang kala bersifat subyektif, ditinjau dari
produsen misalnya, mereka merasa telah membuat barang sesuai dengan acuan
dan standar yang diakui. Begitu pun konsumen, mereka berkeyakinan bahwa
suatu barang memiliki kualitas setelah merasakan atau menikmatinya. Kriteria
kualitas juga dapat diukur secara kualitatif ditinjau dari kondisi fisik barang itu,
26
Ibid. hlm. 152.
26
dengan cara memberikan uraian tentang barang yang bersangkutan atau uraian
tentang cara atau proses pembuatannya.
Unsur reputasi lebih bersifat subyektif dan kualitatif, karena sulit untuk
membuat ukuran yang obyektif. Secara harfiah, reoutasi (reputation) dapat
diartikan sebagai nama baik (good name). Pengertian reputasi sebagai nama
baik sesungguhnya erat berkaitan dengan kualitas. Suatu barang memperoleh
nama baik karena kualitasnya dijaga dan dipertahankan terus, sehingga menjadi
terkenal. Unsur reputasi berkaitan erat dengan sejarah, tentang asal dari barang
yang bersangkutan untuk menunjukkan bahwa suatu barang diproduksi dalam
wilayah geografis tertentu. Reputasi suatu barang juga terkait dengan asal
geografis, sehingga dapat dikatakan bahwa suatu wilayah geografis memiliki
reputasi menghasilkan barang-barang tertentu.
Unsur karakteristik yang lain pada barang dapat ditafsirkan luas, ada yang
menafsirkan bahwa karakteristik lain dari lingkungan geografis meliputi faktor
alam, seperti tanah dan iklim, dan faktor manusia seperti tradisi professional
tertentu dari produsen yang dibentuk dalam wilayah geografis yang
ditentukan.27
3. Indikasi Geografis dalam Hukum Nasional
Indikasi geografis dilindungi oleh hukum nasional dengan konsep batasan yang
luas, seperti melalui ketentuan unfair competition hukum merek atau hukum yang
secara khusus mengatur indikasi geografis dalam UU No 20 tahun 2016 tentang
27
Ibid. hlm. 153.
27
Merek dan indikasi geografis. Saat ini Indonesia masih belum memiliki UU
Indikasi Geografis tersendiri karena masih dijadikan satu dengan UU merek.
Konsep indikasi geografis adalah perlindungan komunal, oleh karena itu dalam
proses perlindungan indikasi geografis pelaksanaanya dapat dilakukan dengan
memberdayakan dari kalangan LSM, dari dinas-dinas pemerintah, warga sekitar
untuk membuat uraian/deskripsi atas produknya yang didaftarkan sebagai indikasi
geografis. Jumlah indikasi geografis di Indonesia masih banyak, hanya saja
banyak yang masih belum mendapatkan sertifikasi indikasi geografis. Indikasi
geografis baru dilindungi dan mendapat perlindungan setelah didaftarkan
sebagaimana HKI kita menganut prinsip first to file.28
Permasalah mengenai hak kekayaan intelektual akan menyentuh berbagai aspek
seperti aspek teknologi industri, sosial, budaya, dan berbagai aspek lainnya.
Aspek teknologi juga merupakan faktor yang sangat dominan dalam
perkembangan dan perlindungan hak kekayaan intelektual. Perkembangan
teknologi informasi yang sangat cepat saat ini telah menyebabkan dunia terasa
sempit, informasi dapat dengan mudah dan cepat tersebar ke seluruh pelosok
dunia. Pada keadaan seperti ini hak kekayaan intelektual menjadi semakin
penting. Namun aspek terpenting jika dihubungkan dengan upaya perlindungan
bagi karya intelektual adalah aspek hukum. Hukum diharapkan mampu mengatasi
berbagai permasahan yang timbul berkaitan dengan hak kekayaan intelektual
tersebut. Hukum harus dapat memberikan perlindungan bagi karya intelektual,
28
Budi Agus Riswandi, Mencari Bentuk dan Substansi Pengaturan Indikasi Geografis,
Yogyakarta, FH UII, 2006, hlm 1.
28
sehingga mampu mengembangkan daya kreasi masyarakat yang akhirnya
bermuara pada tujuan berhasilnya perlindungan hak kekayaan intelektual.29
4. Indikasi Geografis dalam Hukum Internasional
TRIPs merupakan salah satu perjanjian utama yang dihasilkan dalam putaran
Uruguay yang dimaksudkan untuk mengurangi gangguan dan hambatan terhadap
perdagangan internasional, meningkatkan perlindungan yang efektif dan
memadahi terhadap HKI serta untuk menjamin bahwa prosedur dan langkah-
langkah penegakan hukum HKI itu sendiri tidak menjadi hambatan terhadap
perdagangan yang absah. Indonesia sebagai bagian dari keanggotaan GATT/WTO
dan telah meratifikasi Persetujuan Pendirian Organisasi Perdagangan Dunia
(Agreement Establising World Trade Organization) melalui UU No. 7 Tahun
1994, di mana dalam Persetujuan Pendirian Organisasi Perdagangan Dunia ini ada
satu kesepakatan yang menyangkut hak kekayaan intelektual. Kesepakatan itu
dikenal dengan istilah Trade Related Aspect of Intelektual Property Rights
(TRIPs).30
Indikasi Geografis merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari TRIPs. Oleh
karena itu, Indikasi geografis juga merupakan materi yang harus dimasukkan di
dalam pengaturan hukum nasional. Dalam hal pengaturan minimal ada du acara
yang dilakukan oleh suatu negara yang telah meratifikasi TRIPs, yakni; Pertama,
melakukan pengaturan masalah indikasi geografis didalam hukum lain semisal
merek. Dalam hubungan ini indikasi geografis hanya merupakan bagian saja;
29
Yeti Sumiyati, Kajian Yuridis Sosiologis Mengenai Indikasi Geografis Sebagai Sumber
Pendapatan Asli Daerah (PAD), Fakultas Hukum Unisba, Mimbar Vol XXIV Nomor 1, 2008 hlm
5. 30
Bambang Kesowo, Implementasi Persetujuan TRIPs dalam Hukum Hak Kekayaan
Intelektual, Bandung, Universitas Padjajaran, 2007, hlm 23.
29
Kedua, melakukan pengaturan indikasi geografis dapat saja dilakukan secara
tersendiri dalam hukum nasional suatu negara. Artinya aturan tersebut bersifat
mandiri.31
Indonesia adalah salah satu negara yang telah merealisasikan TRIPs Agreement.
Salah satu realisasi materi TRIPs Agreement yakni perlindungan indikasi
geografis. Wujud realisasi perlindungan adalah indikasi geografis ini dituangkan
dalam Pasal 56 hingga Pasal 58 UU No. 20 Tahun 2016 tentang Merek.
Dalam kenyataannya keberadaan ketentuan ini tidak serta merta mampu
memberikan perlindungan hukum atas indikasi geografis. Salah satu yang
menjadi alasan mendasar dikarenakan masih banyaknya permasalahan pengaturan
atas indikasi geografis itu sendiri. Permasalahan ini tidak saja pada tataran bentuk
hukum yang digunakan, akan tetapi meliputi pada substansi aturannya.
Pengertian IG adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang
yang karena faktor lingkungan, geografis termasuk faktor alam, manusia atau
kombinasi dari kedua faktor tersebut. IG mengacu pada merek tetapi indikasi
geografis penekannya pada tempat/asal dimana produk/barang itu berasal dari
suatu daerah dan juga merek dimiliki secara individu sedangkan indikasi
geografis dimiliki secara komunal. IG berbeda dengan aspek HKI lainya seperti
paten, merek, hak cipta dan disain industri dimana indikasi geografis sebagai
pemohon adalah lembaga-lembaga yang mewakili masyarakat di daerah yang
31
Abubakar Karim, Analisis Indikasi Geografis Kopi Arabika Gayo Ditinjau Dari
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten, Magister Pertanian Universitas Syiah Kuala Banda
Aceh, Jurnal Agrista Vol. 16 Nomor 2, 2012, hlm 7.
30
memproduksi barang, lembaga pemerintah daerah yang di beri wewenang baik
tingkat provinsi maupun kabupaten.32
Untuk memahami hubungan antara hak kekayaan intelektual dan indikasi
geografis dapat ditelusuri dari pemahaman terhadap indikasi geografis sendiri. IG
dapat diartikan sebagai;
A geographical indication is a sign used on goods that have a specific
geographical origin and possess qualities or a reputation that are due
to that place of origin. Most commonly, a geographical indication
consists of the name of the place of origin of the goods. Agricultural
products typically have qualities that derive from their place of
production and are influenced by specific local factors, such as
climate and soil. Whether a sign functions as a geographical
indication is a matter of national law and consumer perception.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat diambil suatu batasan bahwa sesungguhnya
indikasi geografis adalah suatu tanda (a sign) pada barang yang mempunyai asal
geografis yang spesifik dan mempunyai kualitas atau suatu reputasi yang teruji
dari asal tempatnya. Secara garis besar, suatu indikasi geografis meliputi nama
asal tempat dan asal barang. Secara tipikal, produk- produk pertanian mempunyai
kualitas yang mengarah dari produksi tempat mereka dan dipengaruhi secara
spesifik oleh faktor lokal, sepertti iklim dan tanah. Apapun suatu tanda berfungsi
sebagai suatu indikasi geografis merupakan suatu materi hukum nasional dan
persepsi konsumen.33
WTO memberikan batasan indikasi geografis adalah place names (in some
countries also words associated with a place) used to identify the origin and
32
OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada,
2003, hlm 308 33 Siti Asyifah, Perlindungan Hukum Potensi Indikasi Geografis di Kabupaten Brebes
Guna Pengembangan Ekonomi Masyarakat Global, Magister Hukum Universitas Jendral
Soedirman, Jurnal Idea Hukum Vol I Nomor 2, 2015, hlm 9.
31
quality, reputation or other characteristics of products (for example,
“Champagne”, “Tequila” or “Roquefort”). Nama-nama tempat (di beberapa
negara juga kata-kata yang diasosiasikan dengan suatu tempat) digunakan untuk
mengidentifikasi asal dan kualitas, reputasi atau karakteristik lainnya dari suatu
produk, untuk contoh; “Champagne”, “Tequila” atau “Roquefort”.
Indikasi geografis juga dapat ditemukan dalam Article 1 (2) the Paris Convention
for the Protection of Industrial Property of 1883 yang menyatakan: The
Protection of Industrial Property has its object Patents, Utility Models,
Industrial Designs, Trademarks, Servicesmarks, Tradenames, Indication of
Source of Appelation of Origin, and the repression of Unfair Competition.
Indikasi geografis menurut ketentuan Konvensi Paris ini hanya merupakan
bagian dari dari hak kekayaan intelektual. Selanjutnya, pengertian lainnya dapat
ditemukan pada ketentuan Article 2 (1) the Lisbon Agreement for the Protection
of Appellations of Origin yang menyatakan sebagai berikut: The geographical
name of country, region or locality, which serves to designate a product
originating therein the characteristic qualities of which are due exclusively or
essentially to geographical environment, including natural and human factor.
Mengacu pada pengertian dari Article 2 (1) Lisbon Agreeement, maka dapat
ditarik beberapa kesimpulan, yakni:
a. Penamaan atas barang/produk harus dengan nama geografis sebuah
negara, wilayah atau daerah;
b. Penamaan tempat asal harus menunjukkan bahwa barang atau produk
tersebut berasal dari negara, wilayah atau daerah.
32
c. Harus ada kualitas dan karakteristik pada barang atau produk yang berasal
dari daerah geografis tersebut. Kedua hal tersebut merupakan hal yang sangat
mendasar dalam menentukan suatu penamaan tempat asal. Kualitas dan
karakteristik tersebut ditentukan oleh faktor alam dan manusia.
D. Tanaman Lada
Lada termasuk jenis tanaman memanjat atau merambat dengan panjang batang
mencapai 10-15 m. Tanaman ini termasuk keluarga Piperaceae (suku sirih-
sirihan) dari ordo Piperales yang terdiri dari lebih kurang 12 genus.
Sumber: Koleksi Pribadi
Gambar 1. Akar Tanaman Lada
Akar tanaman lada adalah akar tunggang, akan tetapi agak mirip akar serabut.
Akar tidak terlalu panjang kecuali akar tunggang. Secara umum akar lada
dibedakan menjadi dua yakni akar lekat dan akar tanah. Akar lekat yaitu akar
yang melekatkan tanaman ke tajar atau tiang kayu. Akar ini tumbuh pada
setiap ruas buku pada batang utama dan cabang ortotrop yang berada di
permukaan tanah dan mempunyai panjang rata-rata 2,5 – 3,5 cm. Dalam satu
ruas buku dapat tumbuh 10-25 helai akar. Sedangkan akar tanah adalah akar
33
yang tumbuh pada batang tanaman lada yang berada di dalam tanah. Dari satu
suku batang bisa tumbuh sekitar 10-20 akar.
Bentuk batang tanaman lada beruas-ruas menyerupai tebu dan panjang ruas
berkisar 4-7 cm. Panjang ruas pada pangkal biasanya lebih pendek disbanding
dengan ruas ruas pada pangkal biasanya lebih pendek disbanding dengan ruas
yang berada di pertengahan maupun diujung. Sedangkan diameter batang rata-
rata berukuran 6-25 mm. Dari batang akan tumbuh cabang yang terdiri dari
cabang ortotrop (cabang panjat), cabang plagiatrop (cabang produksi), cabang
gantung (sulur gantung) dan cabang tanah. Cabang ortotrop adalah cabang
yang tumbuh dari ketiak daun yang berada pada buku batang.
Cabang ini dapat tumbuh pada batang baik yang berada di permukaan tanah
maupun yang di dalam tanah. Cabang plagiatrop tumbuh dari buku dahan.
Cabang ini biasanya akan tumbuh setelah tanaman lada berbuah sebanyak dua
kali. Lada biasanya akan berproduksi lebih tinggi bila banyak buku cabang
yang ditumbuhi oleh cabang plagiatrop. Panjang cabang plagiotrop kisaran 35-
65 cm. cabang gantung hampir mirip dengan cabang plagiotrop tetapi akarnya
tidak mendapat tempat untuk melekat ke tajar sehingga posisinya
menggantung.
34
Sumber: Koleksi Pribadi
Gambar 2. Batang Tanaman Lada
Daun tanaman lada berbentuk bulat telur dengan ujung daun meruncing. Daun
belahan atas berwarna hijau tua mengkilat, sedang yang bagian bawah
berwarna hijau pucat. Panjang daun bisa mencapai 12-18 cm dengan lebar 5-10
cm. Daun akan berukuran lebih panjang jika berada pada batang bagian atas,
begitu sebaliknya.
Kuncup daun lada akan terbungkus oleh kelopak (sisik). Jika daun
mengembang, maka berjatuhanlah kelopak tersebut. Daun lada juga bersifat
kenyal dan bertangkai.
35
Sumber: Koleksi Pribadi
Gambar 3. Daun dan Buah Tanaman Lada
Buah lada berbentuk bulat dengan biji yang keras namun memiliki kulit buah
yang lunak. Buah lada merupakan buah duduk, yang melekat pada malai.
Diameter biji lada yang masih terbungkus kulit segar sebesar 4-6 mm. Berat
100 biji kurang lebih 38 gr atau rata-rata 0,38 gr. Biji kering berdiameter lebih
kurang 8-10 cm, jumlah buah dalam satu malai kisaran 60-80 (tergantung
varietas). Waktu yang diperlakukan tanaman lada dari fase berbunga sampai
buah masak, adalah kisaran 7-9 bulan dimana tergantung varietas lada.
Sedangkan dari setelah panen sampai tanaman kembali berbunga diperlukan
waktu kurang lebih 4 bulan.
36
E. Kerangka Berfikir
Keterangan:
Berdasarkan kerangka berfikir diatas, penulis memulai pembahasan awal
mengenai aspek Hak Kekayaan Intelektuak (Selanjutnya disebut HKI) secara
umum dan kemudian dilanjutkan pembahasan mengenai indikasi geografis
sebagai salah satu cabang dari HKI. Lalu pembahasan akan mengerucut pada
indikasi geografis lada hitam Lampung dimana lada hitam Lampung merupakan
objek dari pokok pembahasan penelitian. Kemudian dilanjutkan pada tiga
permasalahan yang akan dibahas lebih detil, yaitu mengenai perlindungan hukum
indikasi geografis produk lada hitam Lampung, faktor penghambat dalam
pelaksanaan pendaftaran indikasi geografis lada hitam Lampung serta
pembahasan terakhir mengenai manfaat yang diperoleh masyarakat indikasi
Hak Kekayaan Intelektual
Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2016 Tentang Merek dan Indikasi
Geografis
Indikasi Geografis Lada Hitam
Hitam Lampung
Perlindungan Hukum
Indikasi Geografis
Lada Hitam Lampung
Faktor penghambat
dalam pelaksanaan
pendaftaran Indikasi
Geografis Lada Hitam
Lampung
Manfaat yang
diperoleh Mayarakat
Indikasi Geografis
Lada Hitam Lampung
setelah didaftarkan
37
geografis lada hitam Lampung setelah didaftarkannya lada hitam Lampung
sebagai indikasi geografis.
III. METODE PENELITIAN
Metode penelitian terhadap permasalahan yang akan dibahas, memerlukan metode
yang terstruktur untuk memberikan informasi yang sesuai terhadap aspek
keilmuan yang kemudian mudah dipahami publik secara umum. Penelitian hukum
pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode,
sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau
beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya. Untuk itu,
diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk
kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang
timbul di dalam gejala bersangkutan.34
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif terapan, yaitu
penelitian hukum yang mengkaji pelaksanaan atau implementasi ketentuan
hukum positif (perundang-undangan) dan kontrak secara faktual pada setiap
peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat guna mencapai tujuan
yang telah ditentukan.35
34
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI-Press, 2007, hlm. 5. 35
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung, PT Citra Aditya Bakti,
2004, hlm 53.
39
B. Tipe Penelitian
Berdasarkan permasalahan pada pokok bahasan dalam penelitian ini, maka tipe
peneltian ini adalah tipe deskriptif, tipe penelitian deskriptif bersifat pemaparan
dan bertujuan untuk memperoleh gambaran (deskriptif) lengkap tentang
keadaan hukum yang berlaku ditempat tertentu dan pada saat tertentu atau
mengenai peristiwa yang terjadi di masyarakat.36
Pada penelitian ini penulis
menganalisis secara jelas, rinci dan sistematis tentang perlindungan hukum
indikasi geografis produk lada hitam Lampung.
C. Sumber dan Jenis Data
Jenis data dilihat dari sumbernya, dibedakan antara data yang diperoleh
langsung dari masyarakat dan dari bahan kepustakaan.37
Data sekunder
bersumber dari studi kepustakaan dengan cara membaca, mengutip, dan
menelaah peraturan perundang-undangan, buku-buku, dokumen-dokumen,
kamus, literature, berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas. Data
yang digunakan peneliti dalam penulisan ini terdiri dari bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier, yaitu:
1. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mengikat sifatnya. bahan
hukum primer yang digunakan Undang-undang Nomor 20 tahun 2016
tentang Merek dan Indikasi Geografis, Peraturan Pemerintah Nomor 51
tahun 2007 tentang Indikasi Geografis.
36
Ibid, hlm 50. 37
Soerjono Soekanto, Op.cit, hlm 11.
40
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder berasal dari buku-
buku literatur dan karya ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan
penelitian.
3. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan hukum yang memberikan
petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, antara
lain Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Inggris, Kamus Hukum
maupun majalah dan surat kabar atau media cetak.
D. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penulisan penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan cara studi kepustakaan (library research) dan wawancara. Studi
kepustakaan merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan penulisan
dengan maksud untuk memperoleh data sekunder dengan cara membaca,
mencatat, dan mengutip dari berbagai literatur, peraturan perundang-undangan,
buku-buku, media masa, dan bahan tulisan lainnya yang berhubungannya
dengan penelitian yang dilakukan. Sedangkan wawancara dilakukan dengan
cara tanya jawab kepada masyarakat indikasi geografis lada hitam Lampung
bagian Lampung Timur, Lampung Utara dan Dinas Perkebunan dan
Peternakan Provinsi Lampung
E. Metode Pengolahan Data
Data yang diperoleh selanjutnya akan diolah melalui tahap-tahap, sebagai
berikut:
41
1. Pemeriksaan data, yaitu memeriksa kembali apakah data yang diperoleh itu
relevan dan sesuai dengan bahasan, selanjutnya apabila data ada yang salah
akan dilakukan perbaikan dan terhadap data yang kurang lengkap akan
dilengkapi
2. Penandaan data, yaitu pengelompokkan dan sesuai dengan pokok bahasan
agar memudahkan pembahasan
3. Rekontruksi data, yaitu penulusuran data berdasarkan urutan data yang lebih
ditentukan sesuai dengan ruang lingkup pokok bahasan secara sistematis.38
F. Analisis Data
Setelah dilakukan pengolahan data, selanjutnya data dianalisis secara kualitatif.
Analisis ini dilakukan dengan cara menafsirkan atau menginterprestasikan
data. Hasil analisis diuraikan kedalam bentuk kalimat secara sistematis dengan
bahasa yang efektif yang menghubungkan data tersebut menurut pokok
bahasan yang telah ditetapkan, sehingga diperoleh gambaran yang jelas untuk
mengambil suatu kesimpulan.39
38
Abdulkadir Muhammad, Op.cit, hlm 126. 39
Ibid, hlm. 127.
V. KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian tentang perlindungan hukum indikasi geografis
produk lada hitam Lampung, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Perlindungan hukum indikasi geografis produk lada hitam Lampung dilakukan
dengan dua cara, pertama perlindungan hukum secara preventif yaitu lada
hitam Lampung didaftarkan menjadi produk indikasi geogris. Kedua,
perlindungan hukum secara represif yaitu penggunaan produk dan logo lada
hitam Lampung hanya dapat digunakan oleh produsen anggota MIG-LHL yang
terdaftar, sedangkan bagi pihak yang menyalahgunakan nama lada hitam
Lampung atau tiruan, akan diajukan gugatan ke Pengadilan Niaga oleh
Pemegang Hak atas Indikasi Geografis sesuai ketentuan Pasal 69 UU Nomor
20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis berupa ganti rugi dan
penghentian penggunaan serta pemusnahan label Indikasi Geografis yang
digunakan secara tanpa hak.
2. Terdapat faktor penghambat dalam pelaksanaan pendaftaran indikasi geografis
lada hitam Lampung, diantaranya:
a. Kondisi geografis penyebaran Lada Hitam Lampung yang terlalu luas
63
b. Kurangnya sumber daya manusia dalam hal penjaminan mutu hasil panen
c. Kurangnya kepedulian Pemerintah Provinsi Lampung dan masyarakat
dalam upaya perlindungan hukum indikasi geografis terhadap Lada Hitam
Lampung
3. Terdapat manfaat yang didapatkan oleh masyarakat indikasi geografis lada
hitam Lampung, diantaranya:
a. Mendapatkan perlindungan hukum
b. Memperjelas identifikasi jenis produk dan menetapkan standar produksi
c. Membantu kosnsumen dengan memberi mereka informasi tentang
karakteristik spesifik dari produk.
d. Mendukung konservasi tanah
e. Menyediakan Lapangan Pekerjaan
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka penulis memberikan saran yaitu:
1. Kondisi Geografis yang luas harus selalu dipantau oleh MIG-LHL dan
Pemerintah untuk menjaga kualitas dan ciri khas produk lada hitam
Lampung
2. MIG-LHL dan Pemerintah harus memperbanyak sumber daya manusia yang
ahli dalam melakukan standarisasi mutu hasil
3. MIG-LHL harus lebih sering mengadakan pertemuan untuk membahas hal-
hal yang terkait lada hitam Lampung
4. Pemerintah juga harus turut aktif dalam kegiatan yang dilakukan oleh MIG-
LHL misalnya dalam sosialisasi indikasi geografis lada hitam Lampung
kepada petani-petani, karena selama ini petani-petani banyak yang menjual
64
lada hitam Lampung ke perusahaan tanpa mencantumkan nama produk lada
hitam Lampung.
5. Pemerintah harus memberi bantuan untuk membuat gudang guna
menampung lada hitam Lampung dan melakukan pelabelan agar petani
mudah dalam kegiatan produksi dan mengelola administrasi.
6. Pemerintah juga harus membuat regulasi kepada perusahaan-perusahaan
yang menjual lada hitam untuk membeli produk yang sudah dilabelkan lada
hitam Lampung.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku Literatur
Ayu. Miranda Risang, 2006, Memperbincangkan Hak Kekayaan Intelektual
Indikasi Geografis, Bandung, Alumni.
Kesowo Bambang, 2007, Implementasi Persetujuan TRIPs dalam Hukum Hak
Kekayaan Intelektual, Bandung, Universitas Padjajaran.
Muhammad. Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung, PT Citra
Aditya Bakti.
___________, 2001, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual,
Bandung, Citra Aditya Bakti.
Purba. Achmad Zen Umar, 2011, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs,
Bandung, PT Alumni.
Purba. Afrillyana, dkk, 2005, TRIP’s – WTO & Hukum HKI Indonesia Kajian
Perlindungan Hak Cipta Seni Batik Tradisional Indonesia, Jakarta, Rineka
Cipta.
Raharjo. Satjipto, 2000, Ilmu Hukum, Bandung, PT Citra Aditya Bakti.
Rahayu. Esmi Warasih Puji, 2005, Pranata Hukum, Sebuah Telaah Sosiologis,
Semarang, PT Suryandaru Utama
Riswandi. Budi Agus, 2006, Mencari Bentuk dan Substansi Pengaturan Indikasi
Geografis, Yogyakarta, FH UII.
Roisah. Kholis, 2013, Dinamika Perlindungan HKI Indonesia dalam Tatanan
Global, Semarang, CV Elang Tuo.
Saidin OK, 2003, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Jakarta, PT Raja
Grafindo Persada.
Sasongko. Wahyu, 2012, Indikasi Geografis Studi Tentang Kesiapan Indonesia
Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Produk Nasional, Bandar
Lampung Universitas Lampung.
Soekanto. Soerjono, 2007, Pengantar penelitian Hukum, Jakarta, UI-Press.
Susilowati. Etty, 2013, Hak Kekayaan Intelektual Dan Lisensi Pada HKI,
Semarang, CV Elang Tuo.
Utomo. Tomi Suryo, 2009, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Era Global,
Yogyakarta, Graha Ilmu.
B. Karya Ilmiah
Asyifah. Siti, 2015, Perlindungan Hukum Potensi Indikasi Geografis di
Kabupaten Brebes Guna Pengembangan Ekonomi Masyarakat Global,
Magister Hukum Universitas Jendral Soedirman, Jurnal Idea Hukum, Vol I
Nomor 2.
Karim. Abubakar, 2012, Analisis Indikasi Geografis Kopi Arabika Gayo Ditinjau
Dari Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten, Magister Pertanian
Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Jurnal Agrista Vol. 16 Nomor 2.
Sumiyati. Yeti, 2008, Kajian Yuridis Sosiologis Mengenai Indikasi Geografis
Sebagai Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD), Fakultas Hukum Unisba,
Mimbar Vol XXIV Nomor 1.
Yessiningrum. Winda Risna, 2015, Perlindungan Hukum Indikasi Geografis
Sebagai Bagian dari Hak Kekayaan Intelektual, Kajian Hukum dan Ham,
Magister Ilmu Hukum Universitas Mataram, Jurnal Ius Vol III Nomor 7 A.
C. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 57 Tahun 1994 tentang Ratifikasi WTO Agreement.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis
Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis.
Trade Related Intellectual Property Rights Agreement.
D. Website
http://www.dgip.go.id.
https://media.neliti.com/media/publications/115480-ID-none.pdf,
https://lampung.bps.go.id.
http://abcdanis.id/2013/05/hak-kekayaan-intelektual_15.html
Top Related