PERKEMBANGAN FILSAFAT ILMU
Pada abad 15 - 16 di barat terjadi aufkarung yang berdampak dalam hal tidak terikat
lagi dengan adat dan ikatan gereja, tumbuh percaya diri dan sikap optimisme dalam ilmu.
Akhirnya lahirlah filsafat pengetahuan yang rasional, phenomenologi, positivisme dan
sebagainya.
Melalui pengaruh politik, ilmu bersifat praktis, maka di abad 18 lahirlah pertanyaan
mengenai apa hakikat ilmu; sampai di mana batas-batas antara ilmu yang satu dengan yang
lain; sampai di mana etik dan moral ikut; apa kita sekarang telah mencapai
kesenangan/kebahagiaan.
Berikut lahir paham heuristic yaitu gejala yang muncul awal abad 19 dalam mana
faktor non ilmiah mempengaruhi perkembangan ilmu dan bahkan dapat melahirkan
cabang-cabang ilmu baru misalnya ilmu perdamaian, dan sebagainya, sehingg a setiap
zaman selalu timbul cabang baru dari ilmu dan ini tidak ada yang benar tetapi itu
merupakan realitas. Ilmu sebagai produk teori bersifat sementara Kebenaran ilmiah hanya
dapat dipertimbangkan sepanjang ia diletakkan pada metode/asumsi yang dipakai. Kalau
suatu cabang ilmu membicarakan atau menyentuh harkat manusia, maka akan timbul
filsafatnya, seperti ilmu hukum timbul filsafat hukum, dan sebagainya.
Filsafat ilmu merupakan cabang filsafat yang membahas apakah ilmu itu, tidak perlu
didefinisikan tetapi dilihat dari sejarahnya (pendekatan historis). Apa sebabnya orang
berbeda-beda memberikan definisi tentang filsafat dan ilmu.
Filsafat sudah berjalan sekitar 28 abad, dimulai zaman Yunani Kuno (8 SM - 6 M),
Abad Pertengahan (6M -14/15 M) abad modern ( 15 M-19 M dan abad kontemporer (20
M).
Filsafat Barat yang lahir di Yunani (Asia Kecil) dekat dengan Athena yang diwariskan
kepada bangsa Romawi dan dengan filosof Arab, filsafat ini di bawa ke Eropah dan hingga
sekarang ini tersebar di seluruh dunia. Filsafat Barat menjadi sumber ilmu.
Sampai abad 20 (1920) ada perdebatan apakah Yunani yang melahirkan peletak
dasar filsafat dan ilmu pengetahuan. Menurut Drogenes Laerties diperkuat oleh Edward
Zeller (1920) menyatakan bahwa Yunani merupakan tempat kelahiran filsafat. Abad 8 SM
terdapat suatu masyarakat yang ekonominya begitu maju di Athena, ada keamanan dan
ketenteraman. Dan saat itu ada sekelompok kecil yang mempertanyakan alam semesta.
Pertanyaan ini aktual hingga sekarang ini, seperti adanya keteraturan, keindahan, adanya
mati dsb.
Dasar filsafat pada saat kelahirannya adalah mitos. Mulai abad ke 5 SM tidak lagi
puas dengan jawaban mitos itu, maka mulai lari kepada logos=akal, apakah archi atau asal
mula dari segala sesuatu itu?
Untuk menjawab hal itu lahirlah filosof I Thales (624 - 548 SM) yang menjawab bahwa
archi itu adalah air.
Dalam hal ini yang dihormati adalah keberanian dia menentang, disini timbul
kepercayaan kepada akal, yang penting adalah kehidupan dan apa yang menyebabkan
hidup ialah azas yang basah yaitu air
Kemudian lahirlah berturut-turut: Anaximander (610 - 540 SM), yang menyatakan archi
=apeiron = azas yang tidak mengalami perubahan
Murid Tha1es yaitu Anaximines (590 - 518 SM), menyatakan bahwa archi = udara
yakni azas bernafas.
Pythagoras (580 - 500 SM) menyatakan bahwa archi = bilangan. Para ahli seni
mereka merasakan keseimbangan yang disimbolkan dengan angka Alam ini indah
diibaratkan dengan seni.
Herkleitos (535 - 2.75 SM) menyatakan bahwa archi = api, sedangkan Demokritos
(460 - 370 SM) menyatakan dengan nama atom.
Pendeknya segala yang ada dan yang mungkin ada dipertanyakan pada zaman
Yunani kuno itu. Dan puncak filsafat Yunani kuno berada pada tiga tokoh besar yakni:
a. Socrates (469 - 399 SM) diteruskan oleh muridnya
b. Plato (427 -347 SM) dan diteruskan oleh muridnya
c. Arestoteles (384 -322 SM)
Menurut Aristoteles segala sesuatu yang dapat dipertanggungjawabkan oleh akal
itulah filsafat. Dan karena banyaknya karangan Arestoteles tersebut, maka ada pandangan
bahwa fisafat hari ini adalah pengulangan filsafatnya. Objeknya adalah segala yang ada dan
yang mungkin ada. Karyanya ada yang bersifat umum yang melahirkan metafisika, dan ada
yang bersifat khusus dan ini ada yang bersifat mutlak melahirikan teodise (Theodicae), dan
yang tidak mutlak menyangkut alam semesta melahirkan kosmologi dan menyangkut
manusia melahirkan antropologi. Yang menyangkut manusia ini lahir pula cabang-
cabangnya yakni logika, etika dan estetika. Melalui logika mencapai kebenaran atau truth,
sedangkan melalui etika menimbulkan kehendak untuk mencapai kesusilaan atau good dan
melalui estetika menimbulkan perasaan keindahan atau beautiful. Di zamannya pula lahir
istilah philosophia. philos = cinta/teman; sophia =wisdom yang artinya pintar dan arif, satrio
pinandito. Orangnya disebut phylosophos.
Filsafat berasal dari bahasa Yunani yang telah di-Arabkan. Kata ini barasal dari dua kata
"philos" dan "shopia" yang berarti pecinta pengetahuan. Konon yang pertama kali
menggunakan kata "philoshop" adalah Socrates. (dan masih konon juga) Dia
menggunakan kata ini karena dua alasan, Pertama, kerendah-hatian dia. Meskipun ia
seorang yang pandai dan luas pengetahuannya, dia tidak mau menyebut dirinya sebagai
orang yang pandai. Tetapi dia memilih untuk disebut pecinta pengetahuan.
Kedua, pada waktu itu, di Yunani terdapat beberapa orang yang menganggap diri mereka
orang yang pandai (shopis). Mereka pandai bersilat lidah, sehingga apa yang mereka
anggap benar adalah benar. Jadi kebenaran tergantung apa yang mereka katakan.
Kebenaran yang riil tidak ada. Akhirnya manusia waktu itu terjangkit skeptis, artinya mereka
ragu-ragu terhadap segala sesuatu, karena apa yang mereka anggap benar belum tentu
benar dan kebenaran tergantung orang-orang shopis. Dalam keadaan seperti ini, Socrates
merasa perlu membangun kepercayaan kepada manusia bahwa kebenaran itu ada dan
tidak harus tergantung kepada kaum shopis. Dia berhasil dalam upayanya itu dan
mengalahkan kaum shopis. Meski dia berhasil, ia tidak ingin dikatakan pandai, tetapi ia
memilih kata philoshop sebagai sindiran kepada mereka yang sok pandai.
Kemudian perjuangannya dilanjutkan oleh Plato, yang dikembangkan lebih jauh oleh
Aristoteles. Aristoteles menyusun kaidah-kaidah berpikir dan berdalil yang kemudian dikenal
dengan logika (mantiq) Aristotelian.
Pada mulanya kata filsafat berarti segala ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia. Mereka
membagi filsafat kepada dua bagian yakni, filsafat teoritis dan filsafat praktis. Filsafat teoritis
mencakup: (1) ilmu pengetahuan alam, seperti: fisika, biologi, ilmu pertambangan dan
astronomi; (2) ilmu eksakta dan matematika; (3) ilmu tentang ketuhanan dan methafisika.
Filsafat praktis mencakup: (1) norma-norma (akhlak); (2) urusa rumah tangga; (3) sosial dan
politik. Filusuf adalah orang yang mengetahui semua cabang-cabang ilmu pengetahuan tadi.
(Filsafat Ilmu, Makalah Ust. Husein Al-Kaff dalam Kuliah Filsafat Islam di Yayasan
Pendidikan Islam Al-Jawad)
Setelah Arestoteles, filsafat Yunani mulai menghadapi kemunduran.
Sampai abad ke 6 M. filsafat identik dengan ilmu pengetahuan termasuk segala
macam ilmu pengetahuan kita sekarang ini. Dan pada abad ke 6 ini lahir kaum Peter
=Pateristik yang memadukan filsafat Yunani dengan Kristiani dan inilah yang disebut
skolastik. Akhirnya filsafat berubah menjadi theologi.
Di abad pertengahan dikenal Agustinus dan Thomas Aquino. Thomas Aquino
mengembangkan pandangan Arestoteles untuk mendukung ajaran Kristiani. Thomas dkk itu
muncul berkat adanya filosof Arab AI-Kindi, Al-Farabi (900 - 950), Ibnu Sina (980- 1037),
Ibnu Rusyd (1126 -1198) dan Al-Gazali (1059 -1111). Sementara di Eropah waktu itu masih
barbar, sedangkan di timur (Cina) sudah maju.
Abad tengah adalah kejayaan tahta suci (Roma), kemudian terjadi kemunduran
agama dari segi politik dan ekonomi, karena tanah dikuasai oleh gereja yang dijustifikasi
oleh agama dan rakyat hanya sebagai pekerja, maka timbul keinginan untuk melepaskan
diri.
Zaman modern didahului oleh zaman renaissance (renascimento) atau kelahiran
kembali. Abad 15 -17, manusia bebas dari manusia yang dibelenggu oleh dogma agama
yang dipakai untuk membenarkan sistem ekonomi. Gerakan renaissance didukung oleh cita-
cita lahirnya manusia bebas yaitu manusia ala Yunani. Oleh karena itu karya-karya
Arestoteles yang aseli diambil kembali untuk dinilai kembali.
Manusia bebas dari segala ototritas - kebiasaan, gereja, sistem dan tradisi -, kecuali
otoritas diri sendiri. Semboyannya liberasi, emansipasi dan otonomi diri. Kemudian gerakan
kebebasan ini disusul oleh skularisasi yang melahirkan skularisme.
Adanya renaissance tersebut bernilai positif sebab melahirkan kepercayaan diri dan
optimisme. Agama dan gereja dipertanyakan dan menjadi bulan-bulanan
Renaisance melahirkan:
1. Copernicus, 1473 -1543
2. Bruno , 1548 – 1600
3. Kepler, 1571- 1630
4. Galelei , 1564 1642
- Inti ajaran Copernicus adalah revolusi pengetahuan yang menyatakan bukan bumi
sebagai pusat alam semesta tetapi matahari, dan ini menentang dogma gereja yang
menyatakan bumi sebagai pusat.
- Bruno seorang pendeta yang mendukung Copernicus dan dihukum bunuh.
- Pada abad ke 18 timbul zaman Aufklarung atau enlighten=pencerahan, mendorong
agar manusia berpikir sendiri "Sapere Aude", berpikir sendiri yang mementingkan rasio.
Pada abad ke 18 dikenal revolusi industri, sebelumnya pada abad ke 17, filsafat
meninggalkan agama dan berjalan sendiri-sendiri. Agama berdasarkan kepercayaan
sedangkan filsafat berdasarkan akal dan pengetahuan. Mungkin saja antara agama dan
filsafat punya obyek yang sama misalnya moral, tuhan, dsb. Ini merupakan gejala periode II
di samping gejala sekuler
Gejala periode III yaitu melepaskan pengetahuan dari filsafat, orang tidak lagi berpikir
dari kitab suci atau deduksi, dengan adanya renaissance orang berpikir induksi.
Anak-anak renaissance melihat alam dari bagian, tidak menyeluruh seperti pandangan
filsafat, demikian pula manusia di lihat aspek-aspeknya. Sejak renaissance, filsafat seolah-
olah menjadi kesepian dan seolah-olah hanya bagian dari metafisika. Manusia menjadi
detotalisasi, manusia dipotong-potong tidak dilihat secara keseluruhan dan inilah kenyataan
sekarang. Memang spesialisasi juga dibutuhkan. Ilmu cabang mengembangkan metode
sendiri untuk mengetahui hal-hal yang paling detail dalam wawasannya sendiri. Pada saat
ilmu cabang memasuki spekulasi/teori yang fundamental, maka harus kembali ke filsafat.
Filsafat menjadi mahkota bagi ilmu-ilmu cabang.
Di zaman Yunani – Arestoteles – pengetahuan dimanfaatkan bukan untuk
mempermudah kehidupan manusia, tetapi semata mata untuk pengenalan diri manusia,
karena kehidupan dianggap suatu yang telah ada (takdir) dari alam kodrat dan manusia
diyakini tidak dapat merubahnya. Akan tetapi pada peride lanjutan, sekali pengetahuan telah
lahir, maka untuk mengembangkannya timbullah eksprimen. Eksprimen memang diutuhkan
baik untuk memperoleh pengetahuan maupun untuk menguji pengetahuan, dan eksprimen
tidak saja berhubungan dengan alam yang sempit tetapi dengan alam yang semakin meluas
dan untuk itu tak bisa kcuali melalui pengetahuan.
Pada saat terjadi pergeseran dari ilmu pengetahuan yang bersifat rasional-empiris
menuju ilmu pengetahuan yang bersifat rasional-eksprimental telah mengakibatkan
ditemukannya kegunaan pengetahuan.
Ilmu alam sebagai ilmu pertama yang berubah menjdi pelayanan kepada teknik,
mengakibatkan pengetahuan semakin menampakkan nilai praksisnya. Memang ada
pembagian pengetahuan teoritis dan praktis tetapi kesemuanya hampir telah menjadi
praksis.
Van Melsen meskipun mengthui adanya tendensi pengetahuan ke arah kesatuan,
tetapi kenyatannya berlainan, bakan spesialisasi pengetahuan tak dapat dimengerti. Ini
bukan diakibatkan oleh objek materianya, tetapi akibat dari perbedaan objek formanya,
tetapi akibat dari perbedaan objek forma yakni perbedaan metodologi.
Keyakinan akan kesatuan pengetahuan dan tumbuhnya spesialisasi justru harus
timbul supaya tendensi ilmu pengetahuan yang menjuniversalisir serta menyatu dapat
diwujudkan dan supaya banyak gejala yang beraneka ragam itu dapat disentetisir. Kesatuan
yang didasarkan atas prinsip yang sungguh-sungguh universal hanya dapat diperoleh
melalui spesialisasi (p.18).
Harapan ini hanya tinggal harapan hingga akhir abad ini karena berbagai ilmu dengan
nilai praksisnya telah semakin memperbesar spesialisasi. Melalui eksprimen timbul lagi yang
dahulunya belum terungkap spesialisasi baru.
Demikian pula tak ada ilmu yang menguasai realitas konkrit secara menyeluruh.
Tetapi apakah ilmu itu secara bersama-sama tidak dapat menguasai seluruh realitas?.
Bahkan jika seandainya hal itu mungkin, masih ada dua kesulitan:
1. Tidak semua ilmu berkembang sama jauhnya, karena dalam perkembangannya
antara ilmu yang satu terikat dengan ilmu yang lain (teoritis-praktis; sosial-ilmu alam; biologi-
kimia).
2. Karena ilmu berbeda dalam objek formanya, sebab tidak mudah untuk menyatukan
cara kerja dan pendekatan antara ilmu-ilmu itu (van Melsen:55).
Ilmu pengetahuan memang sukar kembali kepada induknya filsafat, karena
pradigmanya telah begitu berbeda, tentunya filsafat yang bertujuan untuk mengerti tentang
manusia dalam mana pengetahan selalu diberi nafas oleh tujuan fundamental ini. Tetapi
dewasa ini pengetahuan didasarkan atas pradigma bagaimana manusia menjadi berkuasa.
Penguasaaan terhadap alam banyak membawa manusia lupa mengenali dirinya sehingga
nilai-nilai pragmatis dan operasional menjadi semakin jelas. Bahkan menurut van Peursen
hakikat manusia telah tertindas oleh nilai praktis ilmu dan manusia sendiri dipandang tidak
lebih dari hal-hal material dan operasional (van Peursen, 1985: 112-117).
Kelahiran filsafat ilmu pada abad ke 18 memberikan petunjuk bahwa ilmu-ilmu cabang
telah menyentuh nilai-nilai dasar/fundamental bagi umat manusia menyentuh nilai-nilai
moral bagi kelangsungan umat manusia, filsafat ingin kembali memadukan.
Adapun yang dikerjakan oleh filsafat modern: l) Apa sarana untuk mencapai
kebenaran, dan 2) apakah kebenaran itu. Filsatat modern lebih identik dan menfokuskan
dengan epistemologi yakni pemikiran mengenai kenyataan dan kebenaran.
Abad modern diisi oleh diskusi antara lain:
1. Rasionalisme2. EmpirismeUntuk mendamaikan adalah rasionalisme kritis (kritisime), juga didamaikan oleh phenomenologi. (Lihat Az Zuhruf: 33).
http://junaidisyariahstain.blogspot.com/2012/02/perkembangan-filsafat-ilmu.html
http://fpk.unair.ac.id/webo/kuliah-pdf/KUL_FIL_01_FPK.pdf
A. Filsafat Ilmu
a. Pengertian Filsafat Ilmu
Istilah filsafat dalam bahasa Indonesia memiliki padanan kata falsafah (Arab),
philosophy (Inggris), philosophia (Latin), philosophie (Jerman, Belanda, Perancis) Semua
istilah itu bersumber dari pada istilah Yunani philosophia. Istilah Yunani philien berarti
mencintai sedangkan philos berarti teman. Selanjutnya istilah sophos berarti bijaksana,
sedangkan Sophia berarti kebijaksanaan.
Sedangkan kata ilmu merupakan terjemahan dari kata dalam bahasa Inggris; science.
Kata science berasal dari kata latin scienntia yang berarti pengetahuan. Kata scientia ini
berasal dari kata kerja scire yang artinya mempelajari, mengetahui.
Namun Jujun Suryasumantri mengemukakan bahwa ilmu adalah merupakan suatu
pengetatahuan yang mencoba menjelaskan rahasia alam agar gejala alamiah tersebut tidak
lagi merupakan misteri. Penjelasan ini memungkinkan kita untuk meramalkan apa yang akan
terjadi. Dengan demikian, penjelasan ini memungkinkan kita untuk mengontrol gejala
tersebut. Untuk itu ilmu membatasi ruang jelajah kegiatan pada daerah pengalaman manusia.
Artinya, obyek penjelajahan keilmuan meliputi segenap gejala yang dapat ditangkap dengan
oleh pengalaman manusia lewat pancaindera.
Filsafat ilmu adalah cabang dari ilmu filsafat. Kalau didefinisikan filsafat ilmu adalah
refleksi kegiatan secara mendasar dan integral, maka filsafat ilmu adalah refleksi mendasar
dan integral mengenai hakekat ilmu pengetahuan itu sendiri. Filsafat ilmu (Philosophy of
Sciensi, Wisssenchaftlehre, Wetenschapsleer) merupakan penerusan dalam pengembangan
filsafat pengetahuan, sebab pengetahuan ilmiah tidak lain adalah a’higher level dalam
perangkat pengetahuan manusia dalam arti umum sebagaimana diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari. Oleh karenanya obyek pengetahuan disana-sini sering berhimpitan, namun
berbeda dalam aspek dan motif pembahasannya.
b. Sejarah Perkembangan Filsafat Ilmu
Dalam sejarah perkembangannya sebagaimana yang terjadi di dunia Islam dengan
kelahiran mu’tazilah yang mengedepankan akal (rasio) sekitar (abad 2 H/8M), di dunia
Eropha juga lahir gerakan Aufklarung (abad 11 H/17 M). kedua sisi ini hendak
merasionalkan agama. Mu’tazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan dan Aufklarung menolak
trinitas sebagai sifat Tuan. Alam Aufklarung inilah dalam perkembangannya telah membuat
peradaban Eropa menjurus pada pemujaan akal. Mereka berpendapat bahwa antara ilmu dan
agama terjadi pertentangan yang keras, ilmu pengetahuan berkembang pada dunianya dan
agama pada dunia yang lain. Dalam persoalan ini lahirlah sikap sekuleristik dalam ilmu
pengetahuan.
Liberalisasi, emensipasi, otonomi pribadi, dan otoritas rasio yang begitu diagungkan
merupakan nilai-nilai kejiwaan yang selalu mewarnai sikap mental manusia Barat semenjak
zaman renaissance (abad 15) dan Aufklaerung (abad ke 18) yang memungkinkan mereka
melakukan tinggal landas mengarungi dirgantara ilmu pengetahuan yang tiada bertepi dengan
hasil-hasil sebagaimana mereka miliki hingga sekarang ini.
Tokoh-tokoh renaissance dan Aufklaerung seperti Copernicus (1473- 1543), Kepler
(1571-16300, Galilie (1564-1642), Descrates (1596-1650), Newton (1643-1727), Immanuel
Kant(1724-1804), adalah sebagaian dari deretan panjang nama-nama yang dalam sejarah
kehidupan umat manusia meupakan pelopor dan peletak dasar ilmu pengetahuan modern.
Ilmu pengetahun sebagai pengejawantahan peradaban manusia telah dan akan terus
berkembang menurut proses dialektis, eksternalisasi, tempat manusia membangun dunianya,
menciptakan alam lingkungannya, objektiivitas, tempat terciptanya hasil-hail karya manusia
secara objektif kemudian terlepas dan akan berkembang menurut hukum-hukumnya sendiri,
internalisasi , struktural dunia objektif ke dalam kesadaran subjektifnya.
Namun perkembangan fisafat ilmu itu sendiri berbanding lurus dengan perkembangan
ilmu pengetahuan. Tentang ilmu terutama amat penting karangan-karangan dan buah pikiran
Ibnu Rusyd (Averroism) sangat berpengaruh atas perkembangan ilmu pada universitas-
universitas yang terkenal di Eropa, seperti Bologna, Napoli, Paris dan lain-lain sehingga
menjadi faktor yang penting dalam bangkitnya sikap pikiran ilmu manusia baru dizaman
renaissance.
Zaman perkembangan ilmu yang palnig menentukan dasar kemajuan ilmu sekarang
ini ialah sejak zaman sekarang ini ialah sejak abad ke 17 dengan dorongan beberapa hal :
pertama : untuk mengembalikan keputusan dan pernyataan-pernyataan ilmiah lalu
menonjolkan peranan matematik sebagai sarana penunjang pemikiran ilmiah. Dalam angka
inilah mulainya menonjol peranan penggunaan angka Arab di Eropa (angka yang kita kenal
di dunia sekarang) karena dinilai lebih sederhana dan praktis dari pada angka –angka
Romawi. Adapun angka Arab itu sendiri dikembangkan dan berasal dari kebudayaan India.
Faktor yang kedua dalam revolusi ilmu di abad ke 17, ialah makin gigihnya para ilmuwan
menggunakan pengamatan dan eksperimen, dalam membuktikan kebenaran-kebenaran
preposisi ilmu.
Namun J.B.Bury menyangkal bahwa kemajuan ilmu tidak terdapat pada abad
pertengahan bahkan tidak terdapat pada awal Renaissance ,tetapi baru abad ke -17, sebagai
hasil dari rumusan Cartesius tentang dua aksioma yaitu :
1) berkuasanya akal manusia dan 2) tak berubah-ubahnya hukum alam.
Perkembangan pemikiran secara teoritis senantiasa mengacu kepada peradaban Yunani .Oleh
karena itu periodesasi perkembangan ilmu disusun mulai dari peradaban Yunani kemudian
diakhiri pada penemuan-penemuan pada zaman kontemporer. Secara singkat periodesasi
perkembangan ilmu dapat digambarkan sebagai berikut :
1. Pra Yunani Kuno (abad 15-7 SM)
Dalam sejarah perkembangan peradaban manusia. Yakni ketika belum mengenal
peralatan seperti yang dipakai sekarang ini. Pada masa itu manusia masih menggunakan batu
sebagai peralatan. Masa zaman batu berkisar antara 4 juta tahun sampai 20.000 tahun
sebelum masehi. Sisa peradaban manusia yang ditemukan pada masa ini antara lain: alat-alat
dari batu, tulang belulang dari hewan, sisa beberapa tanaman, gambar-gambar digua-gua,
tempat-tempat penguburan, tulang belulang manusia purba. Evolusi ilmu pengetahuan dapat
diruntut melalui sejarah perkembangan pemikiran yang terjadi di Yunani, Babilonia, Mesir,
China, Timur Tengah dan Eropa.
2. Zaman Yunani kuno (abad-7-2 SM)
Zaman Yunani kuno dipandang sebagai zaman keemasan filsafat, karena pada masa
ini orang memiliki kebebasan untuk mengeluarkan ide-ide atau pendapatnya, Yunani pada
masa itu dianggap sebagai gudangnya ilmu dan filsafat, karena Yunani pada masa itu tidak
mempercayai mitologi-mitologi. Bangsa Yunani juga tidak dapat menerima pengalaman-
pengalaman yang didasarkan pada sikap menerima saja (receptive attitude) tetapi
menumbuhkan anquiring attitude (senang menyelidiki secara kritis).
Sikap inilah yang menjadikan bangsa Yunani tampil sebagai ahli-ahli pikir yang
terkenal sepanjang masa. Beberapa tokoh yang terkenal pada masa ini antara lain : Thales,
Demokrates dan Aristoteles.
3. Zaman Pertengahan (Abad 2- 14 SM)
Zaman pertengahan (middle age) ditandai dengan para tampilnya theolog di lapangan
ilmu pengetahuan. Ilmuwan pada masa ini adalah hampir semuanya para theolog, sehingga
aktivitas ilmiah terkait dengan aktivitas keagamaan. Atau dengan kata lain kegiatan ilmiah
diarahkan untuk mendukung kebenaran agama. Semboyan pada masa ini adalah Anchila
Theologia (abdi agama). Peradaban dunia Islam terutama abad 7 yaitu Zaman bani Umayah
telah menemukan suatu cara pengamatan stronomi, 8 abad sebelum Galileo Galilie dan
Copernicus. Sedangkan peradaban Islam yang menaklukan Persia pada abad 8 Masehi, telah
mendirikan Sekolah kedokteran dan Astronomi di Jundishapur. Pada masa keemasan
kebudayaan Islam, dilakukan penerjemahan berbagai karya Yunani. Dan bahkan khalifah
Al_Makmun telah mendirikan rumah Kebijaksanaan (House of Wisdom) / Baitul Hikmah
pada abad 9. Pada abad ini Eropa mengalami zaman kegelapan (dark age).
4. Masa Renaissance (14-17 M)
Zaman Renaissance ditandai sebagai era kebangkitan kembali pemikiran yang bebas
dari dogma-dogma agama, Renaissanse adalah zaman peralihan ketika kebudayaan abad
pertengahan mulai berubah menjadi suatu kebudayaan modern. Tokoh-tokohnya adalah :
Roger Bacon, Copernicus, Tycho Brahe, yohanes Keppler, Galilio Galilei. Yang menarik
disini adalah pendapat Roger Bacon, ia berpendapat bahwa pengalaman empirik menjadi
landasan utama bagi awal dan ujian akhir bagi semua ilmu pengetahuan. Matematik
merupakan syarat mutlak untuk mengolah semua pengetahuan. Menurut Bacon, filsafat harus
dipisahkan dari theologi. Agama yang lama masih juga diterimanya. Ia berpendapat bahwa
akal dapat membuktikan adanya Allah. Akan tetapi mengenai hal-hal yang lain didalam
theology hanya dikenal melalui wahyu. Menurut dia kemenangan iman adalah besar, jika
dogma-dogma tampak sebagai hal-hal yang tidak masuk akal sama sekali.
Sedangkan Copernicus adalah tokoh gereja ortodok, yang menerangkan bahwa
matahari berada di pusat jagat raya, dan bumi memiliki dua macam gerak, yaitu perputaran
sehari-hari pada porosnya dan gerakan tahunan mengelilingi matahari. Teori ini disebut
Heliosentrisme. Namun teorinya ditentang kalangan gereja yang mempertahankan prinsip
Geosentrisme yang dianggap lebih benar dari pada prinsip Heliosentrisme. Setiap siang kita
melihat semua mengelilingi bumi. Hal ini ditetapkan Tuhan, oleh agama, karena manusia
menjadi pusat perhatian Tuhan, untuk manusialah semuanya, paham demikian disebut
Homosentrisme. dengan kata lain prinsip Geosentrisme tidak dapat dipisahkan dari prinsip
Homosentrisme.
5. Perkembangan Filsafat Zaman Modern (17-19 M)
Zaman ini ditandai dengan berbagai dalam bidang ilmiah, serta filsafat dari berbagai
aliran muncul. Pada dasarnya corak secara keseluruhan bercorak sufisme Yunani. Paham–
paham yang muncul dalam garis besarnya adalah Rasionalisme, Idialisme, dengan
Empirisme. Paham Rasionalisme mengajarkan bahwa akal itulah alat terpenting dalam
memperoleh dan menguji pengetahuan. Ada tiga tokoh penting pendukung rasionalisme,
yaitu Descartes, Spinoza, dan Leibniz.
Sedangkan aliran Idialisme mengajarkan hakekat fisik adalah jiwa., spirit, Para
pengikut aliran/paham ini pada umumnya, sumber filsafatnya mengikuti filsafat
kritisisismenya Immanuel Kant. Fitche (1762-1814) yang dijuluki sebagai penganut
Idealisme subyektif merupakan murid Kant. Sedangkan Scelling, filsafatnya dikenal dengan
filsafat Idealisme Objektif .Kedua Idealisme ini kemudian disintesakan dalam Filsafat
Idealisme Mutlak Hegel.
Pada Paham Empirisme mengajarkan bahwa tidak ada sesuatu dalam pikiran kita
selain didahului oleh pengalaman. ini bertolak belakang dengan paham rasionalisme. Mereka
menentang para penganut rasionalisme yang berdasarkan atas kepastian-kepastian yang
bersifat apriori. Pelopor aliran ini adalah Thomas Hobes Jonh locke,dan David Hume.
6. Zaman Kontemporer
Yang dimaksud dengan zaman kontemporer adalah dalam kontek ini adalah era
tahun-tahun terakhir yang kita jalani hingga saat sekarang. Hal yang membedakan
pengamatan tentang ilmu pada zaman sekarang adalah bahwa zaman modern adalah era
perkembangan ilmu yang berawal sejak sekitar abad ke-15, sedangkan kontemporer
memfokuskan sorotannya pada berbagai perkembangan terakhir yang terjadi hingga saat
sekarang. Beberapa contoh perkembangan ilmu kontemporer adalah : Santri, Priyayi, dan
Abangan, dalam kajian ilmu social keagamaan, penelitiannya Clifford Geert yang dalam versi
aslinya berjudul The Religion of Java. Teknologi rekayasa genetika, teknologi Informasi,
adanya teori Partikel Elementer dan kemajuan sains dan teknologi dibidang-bidang lain .
Lebih lanjut Semenjak tahun 1960 filsafat ilmu mengalami perkembangan yang
sangat pesat, terutama sejalan dengan pesatnya perkembangan ilmu dan teknologi yang
ditopang penuh oleh positivisme-empirik, melalui penelaahan dan pengukuran kuantitatif
sebagai andalan utamanya. Berbagai penemuan teori dan penggalian ilmu berlangsung secara
mengesankan.
Pada periode ini berbagai kejadian dan peristiwa yang sebelumnya mungkin dianggap
sesuatu yang mustahil, namun berkat kemajuan ilmu dan teknologi dapat berubah menjadi
suatu kenyataan. Bagaimana pada waktu itu orang dibuat tercengang dan terkagum-kagum,
ketika Neil Amstrong benar-benar menjadi manusia pertama yang berhasil menginjakkan
kaki di Bulan. Begitu juga ketika manusia berhasil mengembangkan teori rekayasa genetika
dengan melakukan percobaan cloning pada kambing, atau mengembangkan cyber
technology, yang memungkinkan manusia untuk menjelajah dunia melalui internet. Belum
lagi keberhasilan manusia dalam mencetak berbagai produk nano technology, dalam bentuk
mesin-mesin micro-chip yang serba mini namun memiliki daya guna sangat luar biasa.
Semua keberhasilan ini kiranya semakin memperkokoh keyakinan manusia terhadap
kebesaran ilmu dan teknologi. Memang, tidak dipungkiri lagi bahwa positivisme-empirik
yang serba matematik, fisikal, reduktif dan free of value telah membuktikan kehebatan dan
memperoleh kejayaannya, serta memberikan kontribusi yang besar dalam membangun
peradaban manusia seperti sekarang ini.
Namun, dibalik keberhasilan itu, ternyata telah memunculkan persoalan-persoalan
baru yang tidak sederhana, dalam bentuk kekacauan, krisis dan chaos yang hampir terjadi di
setiap belahan dunia ini. Alam menjadi marah dan tidak ramah lagi terhadap manusia, karena
manusia telah memperlakukan dan mengexploitasinya tanpa memperhatikan keseimbangan
dan kelestariannya. Berbagai gejolak sosial hampir terjadi di mana-mana sebagai akibat dari
benturan budaya yang tak terkendali.
Kesuksesan manusia dalam menciptakan teknologi-teknologi raksasa ternyata telah
menjadi bumerang bagi kehidupan manusia itu sendiri. Raksasa-raksasa teknologi yang
diciptakan manusia itu seakan-akan berbalik untuk menghantam dan menerkam si
penciptanya sendiri, yaitu manusia.
Berbagai persoalan baru sebagai dampak dari kemajuan ilmu dan teknologi yang
dikembangkan oleh kaum positivisme-empirik, telah memunculkan berbagai kritik di
kalangan ilmuwan tertentu. Kritik yang sangat tajam muncul dari kalangan penganut “Teori
Kritik Masyarakat”, sebagaimana diungkap oleh Ridwan Al Makasary (2000:3). Kritik
terhadap positivisme, kurang lebih bertali temali dengan kritik terhadap determinisme
ekonomi, karena sebagian atau keseluruhan bangunan determinisme ekonomi dipancangkan
dari teori pengetahuan positivistik. Positivisme juga diserang oleh aliran kritik dari berbagai
latar belakang dan didakwa berkecenderungan meretifikasi dunia sosial. Selain itu
Positivisme dipandang menghilangkan pandangan aktor, yang direduksi sebatas entitas pasif
yang sudah ditentukan oleh “kekuatan-kekuatan natural”. Pandangan teoritikus kritik dengan
kekhususan aktor, di mana mereka menolak ide bahwa aturan aturan umum ilmu dapat
diterapkan tanpa mempertanyakan tindakan manusia. Akhirnya “ Teori Kritik Masyarakat”
menganggap bahwa positivisme dengan sendirinya konservatif, yang tidak kuasa menantang
sistem yang eksis.
Senada dengan pemikiran di atas, Nasution (1996:4) mengemukan pula tentang kritik
post-positivime terhadap pandangan positivisme yang bercirikan free of value, fisikal,
reduktif dan matematika.
Aliran post-positivime tidak menerima adanya hanya satu kebenaran,. Rich (1979)
mengemukakan “There is no the truth nor a truth – truth is not one thing, - or even a system.
It is an increasing completely” Pengalaman manusia begitu kompleks sehingga tidak
mungkin untuk diikat oleh sebuah teori. Freire (1973) mengemukakan bahwa tidak ada
pendidikan netral, maka tidak ada pula penelitian yang netral.
Usaha untuk menghasilkan ilmu sosial yang bebas nilai makin ditinggalkan karena tak
mungkin tercapai dan karena itu bersifat “self deceptive” atau penipuan diri dan digantikan
oleh ilmu sosial yang berdasarkan ideologi tertentu. Hesse (1980) mengemukakan bahwa
kenetralan dalam penelitian sosial selalu merupakan problema dan hanya merupakan suatu
ilusi. Dalam penelitian sosial tidak ada apa yang disebut “obyektivitas”. “ Knowledge is
a’socially contitued’, historically embeded, and valuationally.
Namun ini tidak berarti bahwa hasil penelitian bersifat subyektif semata-mata, oleh
sebab penelitian harus selalu dapat dipertanggungjawabkan secara empirik, sehingga dapat
dipercaya dan diandalkan. Macam-macam cara yang dapat dilakukan untuk mencapai tingkat
kepercayaan hasil penelitian. Jelasnya, apabila kita mengacu kepada pemikiran Thomas Kuhn
dalam bukunya The Structure of Scientific Revolutions (1962) bahwa perkembangan filsafat
ilmu, terutama sejak tahun 1960 hingga sekarang ini sedang dan telah mengalami pergeseran
dari paradigma positivisme-empirik, yang dianggap telah mengalami titik jenuh dan banyak
mengandung kelemahan, menuju paradigma baru ke arah post-positivisme yang lebih etik.
Terjadinya perubahan paradigma ini dijelaskan oleh John M.W. Venhaar (1999:)
bahwa perubahan kultural yang sedang terwujud akhir-akhir ini, perubahan yang sering
disebut purna-modern, meliputi persoalan-persoalan : (1) antihumanisme, (2) dekonstruksi
dan (3) fragmentasi identitas. Ketiga unsur ini memuat tentang berbagai problem yang
berhubungan dengan fungsi sosial cendekiawan dan pentingnya paradigma kultural, terutama
dalam karya intelektual untuk memahami identitas manusia.
http://junaidisyariahstain.blogspot.com/2012/02/perkembangan-filsafat-ilmu.html
http://fpk.unair.ac.id/webo/kuliah-pdf/KUL_FIL_01_FPK.pdf
Beberapa Aliran Filsafat Ilmu
Sejarah perjalanan perkembangan keyakinan dan pemikiran umat manusia tentang pendidikan telah melahirkan sejumlah filsafat ilmu yang melandasinya. Dari berbagai filsafat ilmu yang ada, terdapat tiga aliran paham yang dirasakan masih dominan pengaruhnya hingga saat ini, yang secara kebetulan ketiganya lahir pada jaman abad pencerahan menejelang zaman modern.
1. Nativisme atau Naturalisme, dengan tokohnya antara lain. J.J. Rousseau (1712-1778) dan Schopenhauer (1788-1860 M). Paham ini berpendirian bahwa setiap bayi lahir dalam keadaan suci dan dianugerahi dengan potensi insaniyah yang dapat berkembang secara alamiah. Karena itu, pendidikan pada dasarnya sekedar merupakan suatu proses pemberian kemudahan agar anak berkembang sesuai dengan kodrat alamiahnya. Pandangan ini diidentifikasikan sebagai konsepsi pendidikan yang cenderung pesimistik.
2. Empirisme atau Environtalisme, dengan tokohnya antara lain John Locke (1632-1704 M) dan J. Herbart (1776-1841 M). Aliran ini berpandangan bahwa manusia lahir hanya membawa bahan dasar yang masih suci namun belum berbentuk apapun, bagaikan papan tulis yang masih bersih belum tertulisi (Tabula Rasa, Locke ) atau sebuah bejana yang masih kosong (Herbart). Atas dasar itu, pendidikan pada hakikatnya merupakan suatu proses pembentukan dan pengisian pribadi peserta didik ke arah pola yang diinginkan dan diharapkan lingkungan masyarakatnya. Pandangan ini diidentifikasikan sebagai konsepsi pendidikan yang cenderung optimistik.
3. Konvergensionisme atau Interaksionisme, dengan tokohnya antara lain William Stern (1871-1939). Pandangan ini pada dasarnya merupakan perpaduan dari kedua pandangan terdahulu. Menurut pandangan ini, baik pembawaan anak maupun lingkungan merupakan faktor-faktor yang determinan terhadap perkembangan dan pembentukan pribadi peserta didik. Oleh karenanya, pendidikan pada hakekatnya merupakan suatu rangkaian peristiwa interaksi antara pembawaan dengan lingkungan. Pribadi peserta didik akan terbentuk sebagai resultante atau hasil interaksi dari kedua faktor determinan tersebut. Pandangan ini diidentifikasikan sebagai konsepsi pendidikan yang cenderung rasional.
http://arfiasta.wordpress.com/2010/05/24/konsep-dasar-filsafat-ilmu/
Sejarah Perkembangan Filsafat Ilmu.
Sejarah pengembangan ilmu memaparkan berbagai wacana yang berkembang diseputar temuan-temuan ilmiah sesuai dengan periodisasi-periodisasi. Setiap periode menampakkan kekhasannya masing-masing, sehingga perbandingan secara kritis antara satu dengan yang lain akan memperlihatkan kekayaan paradigma ilmiah sepanjang sejarah perkembangan ilmu. Kuhn bahkan menegaskan terjadinya revolusi sains yang didukung oleh penemuan paradigma baru dalam bidang ilmu tertentu, sehingga mampu mengubah pola pikir masyarakat.
Perbincangan filsafat ilmu baru merebak di awal abad ke-20, namun Francis Bacon dengan metode induksi yang ditampilkannya pada abad ke-19 dan dikatan sebagai peletak dasar filsafat ilmu dalam khasanah bidang filsafat umum. Sebagian ahli filsafat berpandangan bahwa perhatian yang besar terhadap peran dan fungsi filsafat ilmu mulai mengedepankan ilmu pengetahuan dan teknologi mengalami kemajuan yang sangat pesat. Dalam hal ini ada semacam kekawatiran dikalangan para ilmuan dan filsuf. Termasuk juga kalangan agamawan, bahwa kemajuan IPTEK dapat mengancam eksistensi umat manusia. Bahkan alam beserta isinya. Para fisuf terutama melihat ancaman tersebut muncul lantaran pengembangan IPTEK berjalan terlepas dari asumsi-asumsi dasar filosofisnya seperti landasan ontologis, epistimologi, dan aksiologis yang cenderung berjalan sendiri-sendiri. Untuk memahami gerak perkembangan IPTEK yang sedemikian itulah mangkannya, maka kehadiran filsafat ilmu sebagai upaya meletakan kembali pearan dan fungsi IPTEK sesuai dengan tujuan semula, yakni yakni mendasarkan diri dan concern terhadap kebahagian umat manusia, sangat diperlukan.
Pembahasan dan perkembangan ilmu, umumnya menunjukkan :
1. Bagaimana proses isnad (silsilah) suatu ilmu dari awal hingga akhir. Maka bisa dilihat para ilmuwan dalam memandang proses itu. Misalnya misalnya ada yang mengatakan peruses itu berjalan linier, sirkuler, dst; Agust comte melihat bahwa perkembangan pengetahuan manusia terjadi dalam tiga tahap; teologis, metafisika, dan terakhir positif.hegel melihat perkembangan ilmu sebagai proses dari suatu tesis, anti tesis, dan terakhir sintesis. Sudah tentu, masih banyak lagi perspektif tertentu dari para ilmuwan dalam melihat sejarah ilmu nemun yang terpenting dari semua itu, akan diketahui bagaimana proses “pemisahan” suatu disiplin tertentu dari induknyas sehingga spesialisasi tertentu.2. Bahwa perkembangan ilmu itu terbagi menjadi beberapa penggal sejarah dan setiap penggal sejarah itu memiliki keunikan wacana atau tema dominan tertentu. Dari sini kemudian bisa dimengerti jika tema kajian para ilmuwan tidak jauh dari wacana jika diantara ilmuwan terkadang terjadi ledakan sesama ilmuwan dengan mengatakan : “anda rupanya ketinggalan wacana” atau “teori anda sudah using”, dll
B. Ilmu dan Pengalaman Prailmiah.
Ilmu dan pengalaman dua hal yang tidak bisa di pisahkan dari kehidupan kita sebagai manusia yang merindukan ke bahagiaan. Ilmu merupakan pelita bagi kita di kala kegelapan datang menimpa, sedangkan pengalaman merupakan tongkat penyangga ketika kita terpelanting jatuh dan untuk menambah kualitas aktivitas kita.
pengetahuan ilmiah diperoleh secara sadar, aktif, sistematis, jelas prosesnya secara prosedural, metodis dan teknis, tidak bersifat acak, kemudian diakhiri dengan verifikasi atau diujikebenaran (validitas) ilmiahnya. Sedangkan pengetahuan yang prailmiah. walaupun sesungguhnya diperoleh secara sadar dan aktif, namun bersifat acak,yaitu tanpa metode, Apalagi yang berupa intuisi, sehingga tidak dimasukkan dalam ilmu. Dengan demikian, pengetahuan pra-ilmiah karena tidak diperoleh secara sistematis-metodologis ada yang cenderung menyebutnya sebagai pengetahuan “naluriah”.
Dalam sejarah perkembangannya, di zaman dahulu yang lazim disebut tahap-mistik, tidak terdapat perbedaan di antara pengetahuan pengetahuan yang berlaku juga untuk obyek-obyeknya. Pada tahap mistik ini, sikap manusia seperti dikepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di sekitarnya, sehingga semua obyek tampil dalam kesemestaan dalam artian satu sama lain berdifusi menjadi tidak jelas batas-batasnya. Tiadanya perbedaan di antara pengetahuan-pengetahuan itu mempunyai implikasi sosial terhadap kedudukan seseorang yang memiliki kelebihan dalam pengetahuan untuk dipandang sebagai pemimpin yang mengetahui segala-galanya. Fenomena tersebut sejalan dengan tingkat kebudayaan primitif yang belum mengenal berbagai organisasi kemasyarakatan, sebagai implikasi belum adanya diversifikasi pekerjaan. Seorang pemimpin dipersepsikan dapat merangkap fungsi apa saja, antara lain sebagai kepala pemerintahan, hakim, guru, panglima perang, pejabat pernikahan, dan sebagainya. Ini berarti pula bahwa pemimpin itu mampu menyelesaikan segala masalah, sesuai dengan keanekaragaman fungsional yang dicanangkan kepadanya.
Penggunaan istilah “presepsi” punya arti penting. Kita tidak pernah punya pengalaman indrawi murni. Pengalaman indrawi selalu sudah terjadi dengan akal, suatu dorongan suatu dorongan untuk mengetahui. Pengalaman kognitif manusia selalu bersifat indrawi-akal (sensitive-intellective). Sumbangan masing-masing, yakni indra dan akal,dalam suatu pengalaman yang dihidupi hanya dapat diisolasikan dan diidentifikasikan dalam analisis dan abstraktis.
Semua bentuk penyelidikan ke arah pengetahuan mulai dengan pengalaman. Maka, hal pertama dan utama –yang mendasari dan memungkinkan adanya pengetahuan adalah pengalaman. Pengalaman adalah keseluruhan peristiwa perjumpaan dan apa yang terjadi pada manusia dalam interaksinya dengan alam, diri sendiri, lingkungan sosial sekitarnya, dan dengan seluruh kenyataan, termasuk Yang Ilahi.
Ada dua macam pengalaman, yakni pengalaman primer dan pengalaman skunder. Penglaman primer adalah pengalaman yang langsung akan persentuhan indrawi dengan benda-benda kontret diluar manusia dan akan peristiwa yang dilaksanakan. Sedangkan pengalaman skunder adalah penglaman yang tidak langsung atau pengalaman reflektif mengenai pengalaman primer.
C. Cara berfikir dan presepsi manusia tentang kebenaran.
Munculnya ilmu pengetahuan adalah karena karakter unik yang dimiliki oleh manusia yaitu hasrat atau keinginan untuk mengetahui. Manusia mempuyai rasa ingin tahu terhadap benda-benda di sekelilingnya, alam sekitar, matahari, bulan, tanaman, hewan dan semua makhluk hidup yang lainya. Tidak sampai di sini, manusia juga mempunyai hasrat untuk mengetahui tentang hakikat dirinya sendiri.
Kebenaran itu ialah fungsi kejiwaan, fungsi rohaniah. Manusia selalu mencari kebanran itu, membina dan menyempurnakannya sejalan dengan kematangan kepribadiannya. Ukuran Kebenarannya :
1. Berfikir merupakan suatu aktifitas manusia untuk menemukan kebenaran.2. Apa yang disebut benar oleh seseorang belum tentu benar bagi orang lain.3. Oleh karena itu diperlukan suatu ukuran atau kriteria kebenaran.
Jenis-jenis Kebenaran :
1. Kebenaran Epistemologi (berkaitan dengan pengetahuan)2. Kebenaran ontologis (berkaitan dengan sesuatu yang ada/ diadakan)3. Kebenaran semantis (berkaitan dengan bahasa dan tutur kata)
Menurut Auguste Comte (1798-1857), dalam sejarah perkembangan peradaban manusia, baiksebagai individu Maupun keseluruhan, berlangsung dalam tiga tahap:
1. Tahap teologi/fiktif, dalam tahap ini manusia berusaha untuk mencari dan menemukan sebab yang pertama dan tujuan akhir dari segala sesuatu. tentu saja semua itu dihubungkan kepada kekuatan ghaib diluar kemampuan mereka sendiri. Mereka meyakini adanya kekuatan yang maha hebat yang menguasai semua fenomena alam entah itu dewa atau kekuatan ghaib lainya.2. Tahap filsafat/fisik/abatrak, tahap ini hampir sama dengan tahap sebelumnya. Hanya saja mereka mendasarkan semua itu pada kamampuan akalnya sendiri,akal yang mampu untuk melakukan abstareaksi untuk menemukan hakikat sesuatu.3. Tahap positif/ilmiah riil, merupakan tahap di mana manusia mampu untuk melakukan aktivitas berfikir secara positif atau riil. Kemampuan ini didapatkan melalui usaha pengamatan, percobaan, dan juga perbandingan.
Agust Comte berkeyakinan bahwa makrifat-makrifat manusia melewati tiga tahapan sejarah: pertama, tahapan agama dan ketuhanan, pada tahapan ini untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi hanya berpegang kepada kehendak Tuhan atau Tuhan-Tuhan; tahapan kedua, adalah tahapan filsafat, yang menjelaskan fenomena-fenomena dengan pemahaman- pemahaman metafisika seperti kausalitas, substansi dan aksiden, esensi dan eksistensi; dan adapun Positivisme sebagai tahapan ketiga, menafikan semua bentuk tafsir agama dan tinjauan filsafat serta hanya mengedepankan metode empiris dalam menyingkap fenomena-fenomena. Sedangkan Menurut van Peursen, skema pemikiran manusia adalah :
1. MitisDalam tahap mitis, apa yang disebut kebenaran atau kenyataan adalah sesuatu yang given, mistis, dan tidak perlu dipikirkan2. OntologisDalam hal ontologis, manusia atau masyarakat mandambakan kebenaran substansial3. FungsionalKebenaran atau kenyataan diletakkan pada fungsi atau relasi kemamfaatannya. Manusia memamfaatkan segala yang ada di sekitar.
Adapun tiga kategori pengetahuan yaitu :
1. Pengetahuan tentang apa yang baik dan buruk2. Pengetahuan tentang yang baik dan buruk (estetika)3. Pengetahuan tentang yang baik dan salah (logika)
Adapun tiga ciri pembeda pengetahuan yaitu :
1. Tentang apa (entologi)2. Bagaimana (epistemologi)3. Untuk apa (aksiologi)
Kebenaran apa yang disebut benar bagi setiap orang adalah tidak sama. Proses berpikir manusia mempunyai tiga criteria kebenaran.
1. Koherensi (utuh)Merupakan teori kebenaran yang mendasarkan diri kepada kriteria tentang suatu argumentasi.
2. KorespondensiMerupakan teori kebenaran yang mendasarkan diri kepada kriteria tentang kesesuaian antara materi yang dikandung oleh suatu pernyataan dengan objek yang dikenai pernyataan.
3. PragmatismeMerupakan teori kebenaran yang mendasarkan diri kepada kriteria tentang berfungsi atau tidaknya suatu pernyataan dalam lingkup ruang dan waktu tertentu. http://ayazcuu.blogspot.com/2011/07/sejarah-perkembangan-filsafat-ilmu.html
Top Related