8/8/2019 Periurban Sebagai Perhatian Kualitas Hidup
http://slidepdf.com/reader/full/periurban-sebagai-perhatian-kualitas-hidup 1/7
Volume I - MEI 2005 Volume I - MEI 2005Wacana
JURNAL JURNAL JURNAL JURNAL JURNALDinamika Periu
Aspiratif, Berkeadilan Sosial, Keselarasan Alam - Komunitas
Periurban
sebagai perhat ian k ual i tas h id
VOLUME I - MEI 2005
Perpus takaan Jurusan Perencanaan Wi layah dan Kot a JEJAK (Jar ingan Be la ja r Antar Komuni tas )
Jurnal Dinamika Periurban merupakan kerjasama antara Jurusan PerencanaanWilayah dan Kota, ITI dengan organisasi nirlaba JEJAK (Jaringan Belajar antarKomunitas) yang bergerak pada tingkat komunitas dengan berazaskan pertemanandan keadilan sosial, JEJAK sendiri berusaha untuk melakukan penelitian sosial
dan ekonomi masyarakat, membantu masyarakat dalam mengatasipermasalahannya dengan cara memfasilitasi.
Jurnal ini ditujukan bagi segala lapisan masyarakat (pemerintah, swasta, masyarakatumum, pendidikan tinggi, LSM, dll.) dengan fokus pada permasalahan di sekitarwilayah pinggiran kota (periurban). Redaksi terbuka terhadap segala masukanbaik dalam bentuk kritik, saran-saran, maupun sumbangan tulisan.
Tim Redaksi
Penanggung JawabKetua Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota
Institut Teknologi Indonesia
KoesparmadiAdiyanti Buchholz
Ibnu FazarBudi H. Nugroho
Muhlisin
Redaksi Jurnal Dinamika Periurban Jurusan Perencanaan Wilayah Kota
Institut Teknologi IndonesiaKampus ITI Gedung F Lantai II
Jl. Raya Puspiptek SerpongTangerang - Banten
Telp. 021-7561114 , Ext 131/134/135Fax. 021-7565382Email : [email protected]
contact person : Ibnu Fazar, budi H. Nugroho, MuhlisinBank Mandiri Kantor Cabang Tangerang Serpong, Atas Nama
muhlisin, Ir or budi haryo nugroho , No. Rek. 101 00 04145031
Alamat Redaksi
Profil
8/8/2019 Periurban Sebagai Perhatian Kualitas Hidup
http://slidepdf.com/reader/full/periurban-sebagai-perhatian-kualitas-hidup 2/7
Volume I - MEI 2005 Volume I - MEI 2005
Membicarakan masalah perkotaan perlu membatasi diri tanpa harus melupakan keutuhan. Hal te
diperlukan supaya mudah berujung pada suatu agenda perubahan. Demikian niat dimunculk
jurnal peri-urban ini.
Khususnya dalam membicarakan perubahan di sekitar perkotaan akan bersinggungan de
perencanaan tata-ruang (suatu istilah yang umum dipakai dimasyarakat Indonesia). Penciptaa
pengembangan 'titik-titik pertumbuhan' sebagai suatu pendekatan memunculkan berbagai perta
teoritis maupun praksis tentang keberhasilan pembangunan kota karena yang terjadi
mengesampingkan aspek keselarasan dengan alam dan keadilan sosial masyarakat. Ketika 'titi
tumbuh diciptakan dan dikembangkan, sampai sejauh mana dianggap 'managable' dan
menyejahterakan semua pihak? Perlulah kiranya kita turun ke lapangan untuk mulai mencarpendekatan lain yang lebih tepat.
Wilayah pinggiran adalah suatu kenyataan yang tidak masuk dalam logika perubahan di atas
dasarnya upaya perubahan yang sedang berlangsung merupakan transaksi dengan kondisi fis
kondisi nyata lainnya yang bersifat 'pinggiran'. Koreksi pada strategi 'titik tumbuh' kem
memunculkan perhatian pada pendekatan 'koridor'. Titik tumbuh dan koridor mengantarkan
upaya penguasaan lahan berlebihan untuk suatu perubahan yang disengaja (perencanaan, tata-r
Ujungnya kemudian bisa diterka bahwa strategi yang dijalankan sebetulnya tidak mempunyai k
yang jelas tentang visi suatu kawasan yang nyaman huni kecuali hanya suatu logika pengu
ruang. Adakah pendekatan yang lain yang secara konsisten mengupayakan eksistensi ma
siapapun dia? Agresifitas perkembangan kota telah menyentuh pada ruang kehidupan ma
manusia yang tiba-tiba dibuat lemah karena secara sosial-ekonomis posisinya memang tidak
posisi layak dalam medan kapitalisme.
Edit
Untuk sementara kita dapat kumpulkan kosa kata untuk mewakili sifat 'pinggiran' ini memperkuat keabsahan membicarakan wilayah pinggiran kota, yaitu seperti misalnya 'hinte
'wilayah eksploitasi', kawasan agraris, kota satelit, dsb. Penelusuran di lapangan atas kosa kata
kata tersebut selalu disertai cerita yang tidak memperkuat budaya hidup bersama. Suatu ken
bila membayangkan bentuk perubahan yang harus 'dijalankan' di wilayah pinggiran kota
menafikan perubahan yang kapitalistik. Suatu yang tidak mudah untuk merumuskan alternatif.
itu jurnal ini kemudian akan selalu mempunyai struktur yang diawali dengan temuan di lap
(reportase), kemudian dikembangkan dalam refleksi, ditanggapi dalam format suatu perubahan
disengaja (tentu akan banyak bersifat hipotesa) dan akhirnya hal-hal yang bersifat 'feedback' dipe
untuk pengembangan pikiran dan kreatifitas.
Harapannya, segala sesuatu yang terungkap semoga bermanfaat bagi dunia pendidikan dan
nyata (baik dari sisi kebijakan maupun peningkatan kesejahteraan warga masyarakat). Untu
menjabarkan niat tsb, mungkin tidak berlebihan bila kemunculan jurnal ini diprakarsa
Perpustakaan Jurusan PWK-ITI (yang dianggap cukup mempunyai informasi daerah pinggira
forum belajar antar komunitas JEJAK - 'Jaringan Belajar Antar Komunitas' (mewakili warga dan pihak yang mengalami perubahan di daerah pinggiran). Tentunya segala sesuatu akan s
dipengaruhi pengalaman JABODETABEK (Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi), tetapi
perkembangannya akan dicari format yang tepat supaya bermanfaat pula untuk wilayah lain d
nesia.
1
Hipotesa
Jadi, seharusnya dalam kerangka pemberdayaan ‘civil society’, selama penguatan dan prakarsa
ditingkat komunitas atau desa belum terwujud dengan baik, kecamatan mempunyai potensi dalam
penyelesaian masalah. Atau mungkin dalam fungsi lain tetapi ma sih dalam konteks yang sama (dalam
kerangka penanganan masalah) adalah bagaimana kecamatan dapat menjadi fasilitator untuk
terwujudnya penguatan tingkat ‘grassroots’? Data karakter kawasan dan data permasalahan dikuasai
oleh kecamatan terlepas dari identitas komunitas, artinya substansi akan merupakan perhatian
utamanya. Kecamatan ternyata bukan sekedar unit administratif atau batas-batas hukum.
Berkaitan dengan penanganan kemiskinan yang telah menjadi agenda global sudah seharusnya kitamemperhatikan kawasan pinggiran kota dengan seksama karena merupakan kawasan yang berpotensi
mengalami pemiskinan pada masyarakat tertentu. Komodifikas i telah dianggap sebagai proses
‘alamiah’ globalisasi; semua sah untuk dipertukarkan dengan uang. Dan ternyata pertukaran tersebut
tidak selalu menghasilkan kesejahteraan.
Adakah rencana khusus untuk ‘kota kecil’ atau ‘wilayah kecil’ setingkat kecamatan dalam rangka
penanganan kemiskinan? Sampai sejauh mana kita harus mengakui perubahan kearah ‘urbanize’
sebagai kesuksesan bila sekaligus mengandung ketidak berdayaan masyarakat?
Ruang adalah ruang hidup. Sudah saatnya pengertian ruang tidak dikonotasikan dengan batas
administratif tetapi pada batas-batas yang mempengaruhi keberlangsungan hidup manusia. Misalnya
unit alam sebagai landasan kehidupan (sebagai sumber daya, sebagai wadah dsb). Rencana tata ruang
dan kebijakan perlu mempunyai etos atau jiwa pada hal yang mendasar ini. Dapatkah rencana tata-
ruang menetapkan hal yang bersifat etis ini?
Kemampuan / kompetensi koordinasi adalah kunci penyeleaian masalah. Dibutuhkan ketepatan
merumuskan substansi yang harus dipertukarkan dan juga metode pertukaran itu sendiri. Kultur
semacam apa yang yang harus diciptakan untuk mengakui keberagaman dan hidup saling menunjang?
Kelengkapan data adalah penting. Bagaimana menciptakan monografi kecamatan sebagai suatu basis
data yang bermakna?
Akhirnya perlu kiranya dipertimbangkan adanya suatu perhatian khusus yang bersifat disipliner
pada persolaan ini. Adakah pembenaran ilmu ekonomi yang makin memperdaya kehidupan
masyarakat? Adakah peluang keadilan pada hukum yang tidak berlandaskan hukum positif? Dimana
letak karakter alam sebagai landasan hidup? Dst.
Daftar Pustaka:1. Penyusunan Agenda Wilayah Periferi; Kasus Desa Serpong, Kec. Serpong;
Untung Saputra (023980006); Laporan Kerja Praktek - Jurusan PWK ITI, 20022. Evaluasi Saluran Drainase Bintaro Sektor VI; Jaya Real Property; Nopember 20023. Studi Antisipatoris Wilayah Periferi; Kasus Desa Cisauk, Serpong,; Tim LAPAK; 2003
12
8/8/2019 Periurban Sebagai Perhatian Kualitas Hidup
http://slidepdf.com/reader/full/periurban-sebagai-perhatian-kualitas-hidup 3/7
Volume I - MEI 2005 Volume I - MEI 2005
Daerah Periurban
oleh Muhlisin*
Di sekeliling pusat suatu kota terdapat wilayah dengan macam-macam tata guna lahan, terutama
untuk perumahan penduduk. Pertumbuhan kota keluar melahirkan wilayah pinggiran kota yang
disebut suburbia (periurban). Di negara-negara barat dalam abad ke-21 ini pertumbuhan suburbia
amat mencolok.
Whynne Hammond mengemukakan lima alasan tumbuhnya pinggiran kota, sebagai berikut :1. Peningkatan pelayanan transportasi kota. Tersedianya trem, bus kota dan kereta api di
bawah tanah ( khususnya di negeri barat dan juga di Jepang). Memudahkan orang bertempat
tinggal jauh dari tempat kerjanya. Apalagi setelah kendaraan bermotor mudah dimiliki,
terjadilah ‘suburban explosion’. Dimasa lampau perumahan penduduk terutama berderet
di sepanjang jalan raya atau rel kereta api, akan tetapi sekarang lahan-lahan kosong di
pinggiran kota yang semula pedesaan menjadi kawasan perumahan.
2. Pertumbuhan penduduk.Ramainya suburbia dengan manusia baru disebabkan oleh dua
hal, yaitu: berpindahnya sebagian penduduk dari bagian pusat kota ke bagian tepi-tepinya,
masuknya penduduk dari pedesaaan.
3. Meningkatnya taraf hidup masyarakat. Bertambahnya kemakmuran secara pribadi
memungkinkan orang untuk mendapatkan perumahan lebih baik, entah dengan menyewa
atau memiliki sendiri. Bersama dengan mengecilnya jumlah anggota keluarga, ikut
mengurangi kepadatan penduduk dan juga memencarkannya dengan mudah.
4. Gerakan pendirian bangunan pada masyarakat. Pemerintah membantu mereka yang inginmemiliki rumah sendiri melalui pemberian kredit lewat jasa suatu bank yang ditunjuk.
5. Dorongan dari hakikat manusia sendiri. Suburbia pernah dijuluki " collective attempt at
private living" akan tetapi kebenarannya hanya berlaku di negara-negara tertentu, misalnya
di Inggris, Amerika serikat, dan wilayah-wilayah lain dimana pengaruh Inggris pernah kuat.
Hal itu disebabkan barangkali karena bangsa anglo-saxon, melebihi bangsa lain dalam hal
ingin bertempat tinggal di rumah-rumah yang longgar dikelilingi oleh halaman atau kebun
luas. Dikebanyakan negara Eropa sebaliknya seperti di Perancis, juga di Australia, gaya
hidup di kawasan suburban belum berkembang benar dan orang cenderung tinggal di
gedung-gedung flat yang tinggi dan menjadi apartemen untuk ditempati sendirian atau
bersama keluarga.
Apakah ciri-ciri yang khas dari suburbia ? yang paling mudah dilihat adalah : makin jauh lokasinya
dari pusat kota, makin baru perubahannya dan makin kurang padat penghuninya.
Istilah suburbia dan fringe dalam geografi sosial dipakai bersama-sama sejak tahun 1950 sebagai
sinonim (dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai: daerah pinggiran). Karena perkembangan
kota dan pedesaan selanjutnya dapat menghasilkan proses yaitu, kota mencaplok pedesaan, dan
orang desa berurbanisasi secara fisik (mengkota) maka muncullah antara kota dan desa (rural-ur-
ban fringe), yang hakikatnya merupakan bagian kota maupun bagian desa.
Wacana
* Peneliti - Laboratorium Pengembangan Komunitas (LAPAK)-PWK ITI2
Belajar dari Entitas Kecamatan
Oleh: Koesparmadi*
Memang ini suatu pengalaman yang sangat khusus yaitu tentang tata-ruang, tentang pe
maupun tentang penyelesaian masalah di sekitar Serpong, Pamulang, Cisauk, Pondok Ar
Kabupaten Tangerang) yang sangat dipengaruhi oleh Jakarta. Ciri khas permasalahan di
adalah:
- kawasan pinggir kota cenderung mempunyai keterbatasan infrastruktur dan fasilitas ssifatnya yang jauh dari pusat pertumbuhan atau kota
- kawasan pinggir kota mempunyai kesenjangan pada dirinya (hampir pada semua a
terdapat kawasan ‘lama’ dan kawasan ‘baru’
- kawasan pinggir kota kental dengan jenis permasalahan yang bersifat lintas batas ad
Tiga ciri khas permasalahan tersebut diatas selalu disertai dengan cerita ‘peminggiran’ (m
terhadap suatu pihak; terutama terhadap pihak yang tidak mempunyai sumber daya uang
bertani sudah tidak ekonomis lagi, perubahan penggunaan lahan menjadi non-pertania
menyengsarakan, peluang kerja yang sulit digapai dsb. Terdapat cerita kemiskinan dan
golongan masyarakat tertentu yang bersanding dengan cerita pembangunan kawasan baru
hyperstore dsj; cerminan total semangat globalisasi).
Barangkali di tempat lain terdapat hal yang serupa dengan hal-hal tersebut sehingga kita
menimbang-nimbang untuk menyiasati segalanya berdasarkan suatu pola.Yang menarik dalam menghadapi permasalahan diatas adalah posisi lembaga kecamatan
merupakan bagian struktural kepemerintahan yang berada diatas kelurahan dan dibawah
Pada prakteknya lembaga yang mewakili kewenangan kepe merintahan ini dituntut untuk
data dasar yang tepat untuk pengambilan keputusan ditingkat atasnya sekaligus diharap
fasilitator penyelesaian lintas batas pada tingkat yang paling kongkrit di lapangan. Ketika p
komunitas yang identitasnya terkotakkan pada administrasi kampung/desa terdapat m
membutuhkan campur tangan pemerintah atau terdapat masalah yang bersifat lintas batas a
penyelesaiannya ada pada kewenangan kecamatan (pada lembaga yang lebih ting
kelurahan/desa). Kasus banjir di lingkungan permukiman yang makin sering muncul
hujan menunjukkan hal ini.
Pada fungsinya sebagai fasilitator tsb diatas wewenangnya yang sebatas hanya sebagai ad
seringkali menjadi ‘bemper’ penyelesaian masalah. Keterbatasan pada sumber daya (kdana, tenaga ahli dsb) tidak memungkinkan lembaga yang pada dasarnya sangat jelas melih
lapangan harus menghadapi birokrasi yang tidak disukai oleh para warga yang butuh
dianggap sebagai lembaga yang tidak dapat dijadikan jaminan penyelesaian masalah.
* Pengajar - Juru san PWK - ITI
8/8/2019 Periurban Sebagai Perhatian Kualitas Hidup
http://slidepdf.com/reader/full/periurban-sebagai-perhatian-kualitas-hidup 4/7
Volume I - MEI 2005 Volume I - MEI 2005
Kutrz dan Eicher, menemukan enam definisi rural-urban fringe, sebagai berikut :
a. Kawasan dimana tata guna lahan rural dan urban saling bertemu dan mendesak, di p
kota modern.
b. Rural-urban fringe, meliputi semua suburbia, kota satelit dan teritorium lain yang ber
langsung di luar kota, dimana labor force-nya terlibat dibidang non-farming.
c. Suatu kawasan yang letaknya di luar perbatasan kota yang resmi, tetapi masih dalam
melaju (commuting distance).
d. Kawasan di luar kota yang penduduknya berkiblat ke kota (urban oriented residents)
e. Suatu kawasan pedesaan yang terbuka yang dihuni oleh orang-orang yang bekerja di
kota.f. Suatu daerah dimana bertemu mereka yang memerlukan kehidupan di kota dan di d
Jika kita kembali ke tahun 1940-an, masalah rural-urban fringe masih sederhana. Wehrwein dan
secara mudah mengatakan bahwa rural-urban fringe secara geografis adalah suatu ‘no mans l
Suburbia atau dalam bahasa latinnya ‘suburbis’ (semula artinya di bawah tembok kota) h
sekarang secara spatial berlokasi di agricultural hinterland, tetapi pola tata guna lahannya
mengalami perubahan. Densitas penduduk terus saja meningkat dan harga tanah naik terus. A
secara ekologis suburbia adalah kawasan dimana terjadi invasi (menyerbu masuknya orang
Dapat disimpulkan bahwa suburbia dibangun tanpa rencana dalam situasi peralihan, tata guna
ditangani secara semrawut, meski status resminya rural tetapi nyatanya campuran rural-
Berbarengan dengan bertambahnya penduduk dan beranekaragamnya mata pencaharian, m
dominanlah penduduk suburbia yang non-agraris kerjanya dan menjadi pelaju (ulang-alik) kNamun ada suburbia yang tetap bereksistensi rural murni, sehingga oleh Spectorsky disebut
bia’, karena letaknya di luar kota atau di luar suburbia. Exurbia ini di kemudian hari juga bstrukturnya kearah urban dan lenyap pula ruralitasnya.
Apa makna definisi-definisi tersebut? Umumnya definisi tersebut digunakan untuk lankebijakan pembangunan pada kawasan-kawasan tertentu. Yang menjadi persoalan adalahpernah terdapat kondisi yang betul-betul sama / sesuai dengan definisi, dan setiap kawmempunyai karakter yang berbeda satu-sama lainnya. Setiap kawasan mempunyai kandungral atau urban yang sangat khas. Ketepatan kebijakan menjadi sukar dicapai. Untuk itu David Iadan Axel Drescher merumuskan tipologi periurban melalui ‘kontekstualisasi institusional’ (arti luas, bukan administratif). Antara urban dan rural membuahkan kawasan ‘periurban’ (PUdapat dilihat ujudnya berdasarkan proses waktu dan konfigurasi ruang. Terdapat 5 kategori: VPU, Diffuse PU, Chain PU, In-Place PU dan Absorbed PU (lihat gambar hal 4). Adapun sifat koinstitusionalnya seperti ditunjukkan pada tabel hal 5. Mereka menyarankan penggunaan titersebut secara dinamis, yaitu situasional dan kasuistik.Daftar Pustaka
Arthur B. Gallion, Simon Eisner. 1992. Pengantar Perancangan Kota. Jakarta. Erlangga.N. Daldjoeni. 1992. Seluk Beluk Masyarakat Kota. Bandung. Alumni.N. Daldjoeni. 1992. Geografi Baru : Organisasi Keruangan Dalam Teori dan Praktek. Bandung. Alumni.Melville C. Branch. 1996. Perencanaan Kota Komprehensif. Yogyakarta. Gajah Mada University Press.“Defining Periurban: Towards Guidelines for Understanding Rural-Urban Linkages and Their Connection to Institutiotexts”, Axel Dresher UN Food and Agriculture Organization, http://www.fao.org/DOCREP/003/X8050t02.htm#PRome, June 1999David Iaquinta with Jacques Du Guerny and Libor Stoukal “Linkages between Rural Population Ageing, IntergeneTransfers of Land and Agricultural Production: Are They Important?”, UN Food and Agriculture Organization, Rome, Sber 1999, http://www.fao.org/sd/wpdirect/wpan0039.htm
Wa
10 3
Resensi Buku
Penulis yang mempergunakan metode pengamatan terlibat ketika menyusun penelitiannya, sungguh
merupakan suatu cara ekplorasi yang amat mendalam yang menj adikan buku ini kuat akan informasi
yang akurat dan tajam. Seperti saat mengamati sekelompok pengojek, penulis mengatakan dia
meminjam motor pengojek dan mencoba mencari penumpang untuk mengetahui bagaimana rasanya
menjadi seorang pengemudi ojek. Kemudia n juga saat melihat bagaimana fungsi dan peranan faktor-
faktor dasar utama yang membentuk hubungan-hubungan sosial di kalangan penduduk desa,
misalnya tentang peran pemimpin formal maupun informal di desa, peran wanita dalam kegiatan
ekonomi di Desa Suralaya, status sosial orang-orang di desa dilihat dari berbagai sudut seperti jenispekerjaan, tingkat pendidikan, kualitas moral dan kekayaan. Penulis ikut kumpul dan bergaul da lam
keseharian semua aktor-aktor tersebut.
Sedangkan dalam konteks keislaman di komunitas Desa Suralaya penulis membahas Islam atas dua
aspeknya, yaitu : Islam sebagaimana diajarkan dan Islam sebagaimana yang dipraktikkan. Dalam
‘Islam sebagaimana diajarkan’ misalnya di bahas konsep kesalehan dalam persepsi orang-orang desa.
Sementara dalam ‘Islam sebagaimana dipraktikkan’ dilakukan analisis, diantaranya, ziarah kubur
dalam hubungannya dengan kegiatan ekonomi. Di sini terlihat bagaimana hubungan antara ajaran-
ajaran agama dengan tingkah laku ekonomi dan terjadilah ‘pertemuan’ antara apa yang disebut sebagai
‘yang ideal’ (ajaran agama) dengan realitas sosial (kegiatan ekonomi). Pada bagian akhir penulis
secara ringkas memandang dari perspektif teoritis, bahwa Islam membentuk etika yang sepadan
dengan ‘etika Protestan’ ( Teori Weber yang dinyatakan dalam The Protestant Ethic and The Spirit of
Capitalism) dalam diri penduduk desa. Hubungan-hubungan erat antara Islam dengan perdagangan
(secara historis Islam tidak bisa dipisahkan dari perdagangan dan sebaliknya) juga tergambar dalam
kehidupan desa. Para penduduk desa, dengan perkataan lain memiliki semangat yang oleh Weber
disebut sebagai ‘semangat kapitalisme’. Namun dalam tataran praktis, semangat ini tidak bisa diterapkan
sepenuhnya akibat adanya kendala-kendala struktural di desa sendiri.
8/8/2019 Periurban Sebagai Perhatian Kualitas Hidup
http://slidepdf.com/reader/full/periurban-sebagai-perhatian-kualitas-hidup 5/7
Volume I - MEI 2005 Volume I - MEI 2005Rese
Kesalehan dan Tingkah Laku Ekonomi(Judul asli : PIETY AND ECONOMIC BEHAVIOR A STUDY OF THE INFORMAL SECTOR
SURALAYA, WEST JAVA)
Pengarang : Mohamad Sobary
Penerbit : Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta. 1999.
Dikutip dan disarikan oleh : Muhlisin
Buku Kesalehan dan Tingkah Laku Ekonomi ini semula adalah tesis master dari penulisnya ke
menyelesaikan studinya dengan predikat distinction di Universitas Monash, Australia pada tahunbuku ini Mohamad Sobary menguraikan dan menganalisis pola kehidupan pedesaan setelah lenyapnya
berdasar pertanian karena digusur industrialisasi, dan munculnya kegiatan komersial sebagai alt
bertahan hidup. Agama, sebagai konsep yang dinamis, karena memiliki kemampuan membebas
mempunyai peranan penting dalam mewujudkan hubungan yang positif antara kesalehan dan tingkah
mereka di kawasan yang berlatar belakang budaya Betawi itu. Ada dua dimensi yang dibongkar ole
: dimensi realitas empiris masyarakat dan dimensi ajaran agama yang fungsional. Kedua dimensi itu
untuk dicari makna-maknanya.
Awal tulisan dimulai dengan membahas berbagai kebijakan pemerintah, terutama kebi
menyediakan perumahan bagi penghuni kota, yang ternyata dirancang terutama untuk
penduduk kota sendiri. Dalam hal ini, penduduk desa terpaksa digusur dari tanahnya. M
pernah memperoleh manfaat dari kebijakan ini. Akhirnya mengakibatkan pola kehidupan
berubah, terutama kegiatan perekonomian yang berdasar pertanian yang kemudian dig
munculnya kegiatan perdagangan, terutama pedagang kecil, pengemudi ojek, bengkel (
motor dan sepeda, dsb).
Desa Suralaya (bukan nama desa sebenarnya) yang menjadi lokasi penelitian terletak anta
industri : Jakarta dan Tangerang. Tekanan dari pertumbuhan industri dan populasi dari k
telah menimbulkan perubahan sosial dalam kehidupan desa ini, misalnya pemisahan
menajam telah berkembang antara penduduk desa sendiri dengan para pendatang
dirangsang terutama oleh pembangunan kompleks perumahan. Kesadaran kelas sema
sebagaimana terungkap dalam pernyataan : Saya hanya orang kampung, Anda orang komple
orang yang tidak berpendidikan, Anda orang berpendidikan dan Saya orang miskin tetapi Kamu
Cara klasifikasi diri yang merendah itu juga merupakan salah satu contoh dari perubahandisebabkan oleh tekanan perluasan daerah kota ke dalam kehidupan desa.
4
Wacana
PERIURBAN SYNTHESIS (TYPOLOGY)
WITH INSTITUTIONAL CONTEXTS
T
I
M
E
R U R A L
R
U
R
A
L
VillagePeriurban
(Network
induced )
In-Place
Periurban
(traditional )
Chain
Periurban
(Reconstituted )
Diffuse
Periurban
( Amalgamated )
U
R
B
A
N
URBAN
Absorbed
Periurban
Residual )
MIGRATION
Paper Presented at the Tenth World Congress, International Rural Sociology Association,Rio de Janeiro, August 1, 2000. Portions of this work completed under the partnership of theUnited Nation Food and Agriculture Organization.
8/8/2019 Periurban Sebagai Perhatian Kualitas Hidup
http://slidepdf.com/reader/full/periurban-sebagai-perhatian-kualitas-hidup 6/7
8/8/2019 Periurban Sebagai Perhatian Kualitas Hidup
http://slidepdf.com/reader/full/periurban-sebagai-perhatian-kualitas-hidup 7/7
Volume I - MEI 2005 Volume I - MEI 2005
Desa Cibogo, desa periurban yang penuh potensidi Serpong
Oleh Ibnu Fazar *
Profil Desa Cibogo
Desa Cibogo terletak di Kabupaten Tangerang, tepatnya di Kecamatan Cisauk, 15 km dari Kotamadya
Tangerang dan ± 40 km dari Jakarta serta berada di tepi Sungai Cisadane. Desa ini memiliki luas 411
ha dengan jumlah penduduk 8.055 jiwa (pada tahun 2001).
Desa ini terdiri dari 5 kampung yaitu:- Kampung Cibelut
- Kampung Kedokan
- Kampung Rancamoyan
- Kampung Bermis
- Eko Mandiri
Sejarah perkembangan Desa Cibogo
1. Sebelum tahun 1970-an sampai 1970-an
Desa Cibogo pada periode ini masih mengandalkan pertanian sebagai basis ekonominya;
terutama padi, singkong, buah-buahan, umbian. Sistem pertaniannya adalah tadah hujan dan
irigasi tradisional yang airnya mengalir dari kali-kali kecil. Pada periode ini telah mulai ada
penambangan batu kerikil di tepian Sungai Cisadane yang dikelola oleh koperasi desa. Populasi
penduduk relatif sedikit, yang didominasi oleh beberapa keluarga besar.
2. Tahun 1980-anPada periode ini mulai terjadi jual beli tanah oleh masyarakat Cibogo akibat adanya potensi
tambang pasir di Desa Cibogo tersebut. Pasir di desa ini termasuk pasir kualitas nomor 1
sehingga harganya cukup mahal. Pasir dieksploitasi dan dijual ke Jakarta. Pembangunan
fisik yang cepat di Jakarta berlangsung terus sampai saat ini.
Kondisi lingkungan mulai berubah. Banyak lahan berlubang akibat bekas galian pasir. Kualitas
tanah berubah karena tanah telah bercampur dengan pasir sehingga tidak dapat di tanami. Di
daerah Serpong sendiri telah terjadi pembangunankota baru Bumi Serpong Damai, dengan
luas pengembangan ± 6000 ha.
Populasi penduduk meningkat terus, bukan saja akibat pertambahan alamiah masyarakat
Cibogo tetapi juga berasal dari luar terutama masyarakat pindahan akibat pengembangan
kota baru Bumi Serpong Damai.
3. Tahun 1990-an sampai 2000-an
Penggalian pasir pada periode ini masih berlangsung, bahkan dengan alat-alat berat.
Ppenggalian sempat terhenti ketika krisis moneter melanda Indonesia (tahun 1998). Tahun
2000-an penggalian pasir mulai kembali. Banyak lahan-lahan produktif dijual untuk
dieksploitasi. Perpindahan penduduk dari pengembangan kota baru Bumi Serpong Damai
semakin banyak.
Teropong
* Peneliti - Laboratorium Pengembangan Komunitas (LAPAK)-PWK ITI6
Akibat kegiatan eksploitasi pasir, Desa Cibogo telah mempunyai 5 lubang luas bekas g
(berhenti sejak tahun 2000). Untuk memperkirakan besarnya eksploitasi pasir di desa
digambarkan dengan contoh kasus suatu lokasi galian pasir dengan luas 1,2 ha yang digali
1994 hingga 1995. Tiap hari terjadi 30 rit truk yang berkapasitas 8 M3, maka dalam 1 tahu
kira-kira 80.000 m3 yang diangkut ke luar desa. Bila di Desa Cibogo terdapat 5 bekas ga
maka pasir yang telah dieksploitasi ke Jakarta + 400.000 m3/tahun.
Kampung dapat apa?
Pada Tahun 2000, LAPAK (Laboratorium Pengembangan Komunitas) Jurusan Perencanaa
Kota - ITI mencoba melakukan prakarsa bersama warga Desa Cibogo. Idenya adalah menggsosial-ekonomi-budaya dan fisik alam desa untuk mengatasi masalah yang ada. Segalanya
secara partisipatif, mulai dari perumusan masalah sampai dengan penyelesiannya. Kegiat
bersama-sama dengan para pemuda yang mengalami kesulitan mencari pekerjaan . Me
para pengangguran dalam pengertian sama sekali tidak melakukan kegiatan ‘pekerjaan’. Mer
seadanya sesuai kondisi yang ada di permukimannya atau menjadi pekerja lepas di perkota
ketidakpastian ini merupakan keprihatinan bersama diantara mereka dan LAPAK.
Program pertama; mengembangkan kerajinan tangan dengan bahan baku bambu (pohon bam
tumbuh di desa ini), hasilnya cukup memuaskan, produk kerajinan telah dapat dijual d
pameran (di Kampus, Perumahan BIP Pamulang) maupun pemesanan.
Program kedua; kertas daur ulang, kegiatan ini tidak berkembang karena bahan baku tid
dan tidak berasal dari desa tersebut, program ini merupakan pengalaman ‘horizontal exchan
komunitas kampung Sungai Bambu (Jakarta Utara).
Program ketiga; pemanfaatan danau bekas galian pasir untuk perikanan, pada bulan Des
telah selesai pembuatan kontruksi kolam apung dan menebar bibit sebanyak 80 kg ikan m
kemudian panen dengan hasil 125 kg ikan mas, ikan sebagian besar dibeli oleh ibu-ibu De
keuntungan bersih penjualan Rp 750.000,-
Pengalaman diatas memunculkan optimisme untuk mengatasi pengangguran dan sekaligus
permasalahan lainnya (ketahanan pangan, peningkatan ketrampilan dsb).
Desa Cibogo, daerah periurban berpotensi
Melihat kesuksesan program di Desa Cibogo yang mengandalkan potensi lokal (bambu, d
galian pasir, pemuda serta ibu-ibu) menandakan adanya potensi yang besar untuk peng
diri kawasan peri-urban. Dengan adanya potensi ini, warga terutama para pemuda berkehe
mengembangkan kegiatan-kegiatan lainnya seperti aqua cultur , produksi speaker aktif, pbatako, pembuatan minyak kelapa murni (VCO) dll dengan menggunakan penghasilan
yang ada (terutama kolam-apung ikan).
Upaya yang bersifat lokal seperti ini mungkin merupakan awal penguatan komunitas peri-u
menghadapi tekanan globalisasi saat ini.
Top Related