131
PERILAKU SOSIAL MASYARAKAT BANTARAN SUNGAI
(Studi Fenomenologi Pola Perilaku Masyarakat Bantaran Sungai Jenes
di Kelurahan Laweyan Kecamatan Laweyan Kota Surakarta)
Disusun Oleh :
IIN PUSPITOSARI
NIM D0306039
SKRIPSI
Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat Guna
Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Jurusan Sosiologi
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
132
PERSETUJUAN
Telah Disetujui Oleh Dosen Pembimbing Skripsi Untuk Dipertahankan
Dihadapan Panitia Penguji Skripsi Jurusan Sosiologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret
Hari : Kamis
Tanggal : 6 Mei 2010
Pembimbing
Dra. Hj. Trisni Utami, M.Si
NIP. 19631014 198803 2 001
133
PENGESAHAN
Telah Diuji dan Disyahkan oleh Panitia Ujian Skripsi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Pada Hari : Jum’at
Tanggal : 14 Mei 2010
Panitia Ujian
1. Drs. Jefta Leibo, SU (.............................................)
NIP. 19501229 199003 1 003 Ketua
2. Siti Zunariyah, S.Sos, M.Si (.............................................)
NIP. 19770719 200801 2 016 Sekretaris
3. Dra.Hj.Trisni Utami, M.Si (.............................................)
NIP. 19631014 198803 2 001 Penguji
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Dekan
Drs. Supriyadi, SN, SU
134
NIP. 19530128 198103 1 001
MOTTO
Jika pepohonan dijadikan pena
dan laut menjadi tinta
Niscaya tak kan pernah cukup
Tuk menuliskan semua nikmat-Nya
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana.....seperti kata
yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang
menjadikannya abu.....Aku ingin mencintaimu dengan
sederhana.....seperti isyarat yang tak sempat
dikirimkan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
(Kahlil Gibran)
Mimpi adalah kunci untuk kita menaklukkan dunia
berlarilah tanpa lelah sampai engkau meraihnya
(Nidji)
135
PERSEMBAHAN
Terselesaikannya karya ini merupakan wujud dari Kuasa
dan Kasih Sayang Allah SWT kepada umatnya
Sebuah karya ini kupersembahkan untuk kedua orang tua
tercinta, Bapak dan Ibu yang telah berjuang mencarikan
nafkah hingga aku bisa masuk di Universitas Sebelas
Maret Surakarta dan meraih gelar Sarjana
Kekuatan karya ini berkat dampingan nenekku tercinta
dan adikku tersayang
Kelengkapan karya ini merupakan kumpulan semangat dari
teman,sahabat, dan orang terkasih yang selalu setia
dalam suka dan duka
Almamater Tercinta
136
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh
Segala puji dan syukur hanya kepada Allah SWT, yang telah memberikan
rahmat, hidayah, petunjuk serta karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Perilaku Sosial Masyarakat Bantaran
(Studi Kasus Pola Perilaku Masyarakat Bantaran Kali Premulung di Kelurahan
Tipes Kecamatan Serengan Kota Surakarta)”. Sebagai salah satu syarat untuk
mencapai gelar Sarjana Sosial Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang
tulus dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah
membantu baik secara moril maupun materiil sehingga skripsi ini dapat selesai.
Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan rasa terima
kasih kepada yang terhormat:
1. Bapak Drs. Supriyadi, SN, SU selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Bapak Drs. Priyanto Susiloadi, M.Si selaku Pembantu Dekan I Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta.
137
3. Bapak DR. Drajat Tri Kartono, M.Si selaku Dosen Pembimbing
Akademik.
4. Ibu Dra. Hj. Trisni Utami, M.Si selaku Ketua Jurusan, Dosen Pembimbing
serta Penguji Skripsi.
5. Bapak Drs. Jefta Leibo, SU selaku Ketua Penguji Skripsi.
6. Ibu Siti Zunariyah, S.Sos, M.Si selaku Sekretaris Penguji Skripsi.
7. Bapak Drs. Sudarsana, PGD,PD Selaku Dosen Pembimbing Kuliah Kerja
Mahasiswa Sosiologi.
8. Bapak-bapak serta Ibu-ibu Dosen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta yang tidak dapat penulis
sebutkan satu per satu.
9. Bapak-bapak dan Ibu-ibu staff Tata Usaha, Pengajaran dan Pendidikan
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta,
serta pihak-pihak lainnya yang telah membantu dalam mendapatkan
berbagai kemudahan.
10. Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan (FPKBL), Forum
Masyarakat Laweyan Peduli Lingkungan Hidup (FMLPLH) serta
masyarakat Laweyan yang telah bersedia membantu penulis dalam
menyelesaikan skripsi.
11. Bapak dan Ibu, Nenek serta Adikku tercinta yang selalu memberikan
dukungan, semangat serta doa.
138
12. Teman-teman Sosiologi pada umumnya dan angkatan 2006 pada
khususnya Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
13. Orang terkasih yang selalu mendukung dan memberikan semangat serta
motivasi dalam penyelesaian skripsi ini.
14. Semua Pihak yang telah banyak memberikan bantuan dalam penyusunan
skripsi yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Walaupun skripsi ini sudah disusun secara maksimal, namun penulis sadar
bahwa karya ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan segala
keterbatasan yang ada dan dengan kerendahan hati penulis akan menerima kritik
dan saran yang membangun guna penyempurnaan.
Semoga segala bantuan yang telah diberikan kepada penulis akan
mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah SWT. Akhir kata dengan harapan
yang tinggi mudah-mudahan skripsi ini menjadi sebuah karya yang bermanfaat
bagi pembaca.
Sekian
Wassalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh
Surakarta, 6 Mei 2010
Penulis
139
Iin Puspitosari
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................i
HALAMAN PERSETUJUAN ......................................................................ii
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................iii
HALAMAN MOTTO .................................................................................iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ......................................................................v
KATA PENGANTAR .................................................................................vi
DAFTAR ISI .............................................................................................ix
DAFTAR TABEL .............................................................................................xi
DAFTAR MATRIK ............................................................................................xii
DAFTAR BAGAN...............................................................................................xiii
DAFTAR GAMBAR ...............................................................................xiv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................xv
ABSTRAK .......................................................................................................xvi
BAB I
PENDAHULUAN
140
A. Latar Belakang Masalah ......................................................................1
B. Perumusan Masalah ................................................................................11
C. Tujuan Penelitian ................................................................................11
D. Manfaat Penelitian ................................................................................12
E. Tinjauan Pustaka ................................................................................13
F. Definisi Konseptual ................................................................................29
G. Kerangka Berfikir ................................................................................33
H. Metode Penelitian ................................................................................35
BAB II
DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
A. Gambaran Umum Kota Surakarta ........................................................44
B. Gambaran Umum Laweyan ....................................................................47
BAB III
HASIL PENELITIAN
A. Profil Informan Masyarakat Kelurahan Laweyan
Kecamatan Laweyan Kota Surakarta ........................................................66
B. Gambaran Ekologi Laweyan ....................................................................70
C. Kepemilikan Fasilitas Kebersihan Masyarakat Laweyan ..................102
D. Keterlibatan Masyarakat Laweyan Dalam Kaitannya Dengan
Lingkungan Hidup ..............................................................................105
E. Pengelolaan IPAL oleh Masyarakat ......................................................108
F. Penerapan Eko-efisiensi ..................................................................110
G. Pemakaian Pewarna Alami Berwawasan Lingkungan ..................128
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Fungsi Sungai Bagi Masyarakat Bantaran yang Tinggal
di Bantaran Sungai Jenes di Kelurahan Laweyan ..............................131
B. Pola Perilaku Masyarakat Terhadap sungai
Serta Dampaknya Terhadap Lingkungan di Laweyan ..................139
141
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan ..........................................................................................153
B. Implikasi
B.1 Implikasi Teoritik ..............................................................................158
B.2 Implikasi Empiris ..............................................................................160
C. Saran ......................................................................................................161
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Tahapan dan Ciri Perkembangan Perilaku ................................31
Tabel 2 Penarikan Sampel ....................................................................39
Tabel 3 Jumlah Penduduk Dalam Kelompok Umur dan Jenis Kelamin
Kelurahan Laweyan Tahun 2009 ............................................55
Tabel 4 Penduduk menurut tingkat pendidikan umur 5 tahun keatas
Kelurahan Laweyan tahun 2009 ............................................57
Tabel 5 Mata Pencaharian Penduduk Laweyan
Usia 10 tahun keatas tahun 2009 ............................................58
Tabel 6 Sumber Air Minum masyarakat di Kelurahan Laweyan ........66
Tabel 7 Jumlah Prasarana Air Bersih Masyarakat Laweyan ....................66
Tabel 8 Jumlah Prasarana Air Bersih Masyarakat Laweyan Menurut
Penggunanya ................................................................................64
Tabel 9 Kualitas Air Minum Masyarakat Kelurahan Laweyan ........69
Tabel 10 Profil Informan ..............................................................................66
Tabel 11 Masyarakat berdasarkan profesinya serta perilakunya………... 106
142
Tabel 14 Jenis tanaman sebagai pewarna alami ..............................129
DAFTAR MATRIK
Matrik 1 Pemaknaan Sungai Bagi Masyarakat ..........................................137
Matrik 2 Fungsi Sungai Jenes Bagi Masyarakat ..........................................138
Matrik 3 Pola Perilaku Masyarakat Terhadap Sungai dan Lingkungan ......151
Matrik 4 Dampak Perilaku Masyarakat terhadap Sungai dan Lingkungan ......152
143
DAFTAR BAGAN
Bagan 1 Proses Terbentuknya Sikap ....................................................................35
Bagan 2 Proses Pengumpulan Data ....................................................................42
Bagan 3 Struktur Institusi/Badan Pengelola IPAL Kampoeng Batik Laweyan.....79
Bagan 4 Konsep Keluaran Bukan Produk (KBP) ..........................................113
Bagan 5 Manfaat GHK berupa “Tiga Keuntungan” ..........................................115
Bagan 6 Penerapan Eko-efisiensi ............................................................119
Bagan 7 Delapan Tahapan Siklus Eko-efisiensi ..........................................122
144
DAFTAR GAMBAR
Gb.1 Rumah Jawa ............................................................................................60
Gb.2 Rumah Indische ................................................................................60
Gb.3 Jalan / Gang di Kampung Laweyan ........................................................62
Gb. 4 Kualitas air sungai yang keruh ........................................................64
Gb.5 Kondisi sungai yang tercemar ........................................................65
145
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Dokumentasi Penelitian
Lampiran 2 Pedoman Wawancara
Lampiran 3 Jurnal Internasional
Lampiran 4 Surat-Surat
146
ABSTRAK
. Masalah pencemaran sungai merupakan bagian dari masalah lingkungan.
Banyak pencemaran yang diakibatkan oleh limbah industri pabrik, limbah rumah tangga maupun sampah-sampah. Hal ini mengakibatkan kondisi ekosistem sungai semakin menurun dan berdampak buruk bagi manusia dan juga lingkungan. Pencemaran yang terjadi di sungai sebagai akibat dari perilaku manusia yang semakin mengabaikan lingkungan sekitar. Akibat perilaku manusia yang salah dalam memperlakukan lingkungan sungai akhirnya akan menjadi sebuah bencana yang merugikan manusia itu sendiri. Bencana yang sering melanda yakni bencana banjir. Masyarakat yang paling dekat dengan sungai adalah masyarakat bantaran sungai. Maka dari itu perilaku masyarakat sangat penting dalam menentukan kualitas dan keberlangsungan sebuah sungai.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kualitatif dengan metode yang dipakai yakni fenomenologi. Dalam penelitian ini terdapat tujuh informan yang merupakan warga Laweyan dengan berbagai profesi yang berbeda. Teknik pengumpulan datanya melalui observasi, wawancara mendalam dan dokumentasi sedangkan pengambilan sampel penelitian dilakukan dengan teknik maksimum variations sampling. Analisa data yang digunakan adalah analisis
147
interaktif yang meliputi pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Keempatnya dilakukan hampir bersamaan dan terus-menerus dengan memanfaatkan waktu yang tersisa.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemaknaan masyarakat terhadap sungai hampir semuanya sama yakni sungai dipandang sebagai front belakang. Fungsi sungai bagi masyarakat bantaran juga mengalami perbedaan seiring dengan perubahan kondisi sungai. Perubahan fungsi sungai tersebut berbeda berdasarkan kurun waktunya. Perubahan kondisi sungai ini ikut mempengaruhi perilaku masyarakat sekitar. Ada perilaku yang positif untuk menjaga ekosistem sungai dan juga kelestarian lingkungan hidup di Laweyan, namun ada juga masyarakat yang berperilaku tidak peduli terhadap lingkungan dan cenderung bersikap acuh dan masa bodoh. Perilaku tersebut yakni membuang sampah dan limbah rumah tangga langsung ke sungai. Dari perilaku yang dilakukan oleh masyarakat terdapat suatu dampak yang berakibat buruk terhadap lingkungan khususnya lingkungan sungai dan juga terhadap masyarakat yang tinggal di bantaran. Dampak buruk yang sering terjadi yakni banjir yang menggenangi jalan dan juga rumah warga. Perilaku masyarakat Laweyan tidak hanya berdampak negatif saja, namun juga memberikan dampak yang positif terhadap lingkungan hidup dan juga kemajuan Laweyan sebagai salah satu daerah wisata budaya. Dampak positifnya yakni dengan adanya program-program yang dibuat oleh Tokoh masyarakat Laweyan membuat wilayah ini menjadi teduh, hijau dan tidak terlihat gersang lagi.
ABSTRACT
Problem of river pollution is part of the environmental problems. Many of
contamination caused by industrial waste plant, waste or household garbage. This resulted in declining condition of the river ecosystem and adversely affect humans and the environment. Pollution in the river as a result of human behavior are increasingly ignoring the surrounding environment. As a result of human behavior is wrong in treating the river environment will eventually become a disaster of adverse human themselves. Disasters that often hit the flood disaster. Communities closest to the river communities along the river is. Thus the behavior of the community is very important in determining the quality and sustainability of a river.
This was a qualitative descriptive study used the phenomenological method. In this study there were seven informants who are citizens Laweyan with a variety of different professions. Engineering data collection through observation, interview and documentation of research conducted while sampling technique with a maximum sampling variations. Analysis of data is interactive analysis that includes data collection, data reduction, data presentation, and drawing conclusions. The four are done almost simultaneously and continuously by utilizing the remaining time.
The results of this study indicate that the meaning of society to the river almost all the same river which is seen as the front-rear. Function for the community bank of the river also experienced a difference in line with changes in
148
river conditions. Changes in river function differently based on the period of time. Changes in river conditions influence the behavior of the surrounding community. There is a positive attitude to maintain the river ecosystem and environmental conservation in Laweyan, but there are also people who behave do not care about the environment and tend to be indifferent and nonchalant. That behavior that is taking out the trash and household waste directly into rivers. Of behavior by people who have an adverse impact on the environment especially river environment and also against the people who live in the flood plain. Adverse effects that often occur floods inundated roads and also home residents. Laweyan community behavior not only negatively impacted, but also have a positive impact on the environment and also progress Laweyan as one area of cultural tourism. Namely the existence of the positive impact of programs made by community leader Laweyan make this area a calm, green and no longer looks barren.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dan semua benda, daya, keadaan
dan makluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang
mempengaruhi kelangsungan kehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk
hidup lainnya. Lingkungan hidup merupakan segala sesuatu yang terdapat
149
disekitar manusia dalam kehidupannya sehari-hari, misalnya udara, tempat
tinggal, tanah sekitarnya, tempat bekerja, tempat berkumpul dan sebagainya.
Permasalahan yang ada dilingkungan hidup sangatlah beragam, mulai dari
mewabahnya penyakit, baik itu penyakit menular ataupun tidak menular,
pencemaran (air dan udara) bahkan juga bencana seperti banjir dan lain
sebagainya.
Untuk mencegah terjadinya pencemaran terhadap lingkungan oleh
berbagai aktivitas industri dan aktivitas manusia, maka diperlukan pengendalian
terhadap pencemaran lingkungan dengan menetapkan baku mutu lingkungan.
Baku mutu lingkungan adalah batas kadar yang diperkenankan bagi zat atau bahan
pencemar yang terdapat di lingkungan dengan tidak menimbulkan gangguan
terhadap makhluk hidup, tumbuhan atau benda lainnya. Pada saat ini, pencemaran
terhadap lingkungan berlangsung di mana-mana dengan laju yang sangat cepat.
Sekarang ini beban pencemaran dalam lingkungan sudah semakin berat dengan
masuknya limbah industri dari berbagai bahan kimia termasuk logam berat .
Masalah kerusakan lingkungan disebabkan oleh tangan-tangan manusia itu
sendiri. Untuk menjaga kelestarian lingkungan, harus ada penegakan hukum
lingkungan. Selain itu, tak kalah penting adalah menumbuhkan kesadaran yang
tinggi pada masyarakat dalam pemeliharaan lingkungan. Setidaknya wawasan
mengenai lingkungan, ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) akan mengarah
pada pemeliharaan dan pelestarian lingkungan hidup.
Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya,
keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang
150
mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta
makhluk hidup lain. Pada dasarnya, adanya perubahan kondisi lingkungan akibat
kerusakan dan pencemaran lingkungan akan mempengaruhi ekosistem di alam.
Bentuk perusakan lingkungan seperti pencemaran udara, pencemaran air, dan
menurunnya kualitas lingkungan akibat bencana alam, yakni banjir, longsor,
kebakaran hutan, krisis air bersih bisa berdampak buruk pada lingkungan,
khususnya bagi kesehatan manusia .
Pencemaran lingkungan yang terjadi di masyarakat dewasa ini,
dikarenakan kurangnya pengetahuan masyarakat tentang bagaimana cara
pengolalaan sampah yang sesuai sehingga sampah yang tiap hari terus meningkat
tersebut tidak tertangani kemudian jadilah pencemaran dari sampah tersebut, dari
pencemaran udara, tanah bahkan sampai airpun tercemar oleh sampah yang tidak
dikelola dengan baik. Untuk menangani hal ini semua perlu ditumbuhkannya
kesadaran masyarakat dalam pengelolaan limbah, baik limbah rumah tangga
maupun limbah industri. (http://eka548.blogspot.com/2009/01/pencemaran-
lingkungan-dalam-pandangan.html diakses 9 januari 2010 jam 14:15)
Penyakit yang berkaitan dengan pencemaran lingkungan khususnya
lingkungan sungai adalah penyakit kulit dan juga diare. Kurangnya sarana air
bersih juga menjadi penyebab merebaknya kedua penyakit ini. Berdasarkan
laporan hasil pengamatan dari Dinas Kesehatan Kora Surakarta, selama tahun
2006 ditemukan kasus diare sebanyak 11.758 atau sebanyak 7,64% yang tersebar
diseluruh wilayah Kota Surakarta. Dari jumlah tersebut sebanyak 3.923 diderita
oleh balita. Dengan demikian penyakit diare yang menyerang balita sebesar
151
33,36%. Jika dilihat angkanya, kasus penyakit diare tergolong rendah. Ini
dimungkinkan karena warga yang berkunjung ke puskesmas untuk memeriksakan
penyakit diare memang sedikit.
Kasus diare mempunyai korelasi dengan perilaku masyarakat, penyediaan
kualitas air bersih dan kepemilikan jamban keluarga yang memenuhi syarat
kesehatan. Jika dilihat kualitas air bersih maka hanya 63% yang memenuhi syarat.
Sedangkan untuk kepemilikan jamban keluarga yang memenuhi syarat sebesar
84%. Dari seluruh total kasus diare yang ada maka yang menyerang penduduk di
Kecamatan Laweyan sebesar 0,22% atau terdapat 878 kasus pada tahun 2006.
Data tersebut berasal dari tiga puskesmas yang ada di Laweyan yakni Puskesmas
Pajang, Puskesmas Penumping dan Puskesmas Purwosari.
Kepemilikan sarana kesehatan lingkungan menjadi salah satu pendukung
agar penyakit diare tidak menyerang warga. Sarana kesehatan tersebut meliputi
kepemilikan Sarana Air Bersih (SAB) dan kepemilikan jamban. Dari 77.067
keluarga yang dilakukan pemeriksaan, yang memiliki sarana penyediaan air bersih
sebesar 94,81%. Sedangkan keluarga yang memiliki jamban sebesar 92,22%.
Data tersebut jika ditampilkan pada tiap kecamatan adalah sebagai berikut :
152
0
20
40
60
80
100
SAB 84,54 85,79 97,31 55,69 84,12
Jamban 100 100 78,75 100 100
Laweyan Serengan Ps.Kliwon Jebres Bj.Sari
Disamping kasus diare terdapat penyakit lain yang berhubungan dengan
pencemaran lingkungan sungai yakni penyakit kulit. Dari data Dinas Kesehatan
Kota Surakarta maka jumlah penyakit kulit akibat alergi sebanyak 17.079 atau
sebesar 4,32% dan penyakit kulit karena infeksi sebanyak 13.176 atau sebesar
3,33%. (Profil Kesehatan Kota Surakarta:2007)
Sungai merupakan salah satu bagian dari lingkungan, dimana keberadaan
dari sungai sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup
lainnya. Pada zaman dahulu sungai berfungsi sebagai sarana transportasi untuk
menuju ke daerah lain, bahkan sungai juga sebagai tempat mencuci dan mandi,
selain itu sungai juga dapat dimanfaatkan untuk irigasi.
Sungai merupakan tempat pembuangan akhir limbah cair dari berbagai
kegiatan manusia, sebelum akhirnya dialirkan ke danau atau laut. Sistem drainase
kota dimulai dari permukiman, perdagangan dan drainase alami yang alirannya
akan berakhir di sungai. Kondisi ini akan mengakibatkan semua bahan pencemar
yang terlarut dalam bentuk limbah cair akan masuk kedalam aliran sungai.
153
Besarnya bahan pencemar yang masuk ke sungai akan berpengaruh terhadap
kualitas air sungai. Pada titik tertentu akan mengakibatkan terjadinya pencemaran.
Untuk mencegah terjadinya pencemaran air sungai perlu dilakukan upaya
pengendalian. Salah satu upaya untuk mencegah terjadinya pencemaran air
sungai adalah memelihara sungai agar tetap memiliki kemampuan untuk
mereduksi dan membersihkan bahan pencemar yang masuk kedalamnya. Upaya
ini diantaranya berupa pengaturan jumlah bahan pencemar yang boleh dibuang
ke sungai. Pengaturan jumlah bahan pencemar yang boleh dibuang ke sungai
didasarkan atas kajian ilmiah tentang daya tampung beban pencemaran pada
sungai. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa bahan pencemar yang
dibuang ke sungai tidak melampaui kemampuan air sungai untuk membersihkan
sendiri. Kemampuan air untuk membersihkan diri secara alamiah dari berbagai
kontaminan dan pencemar dikenal sebagai swa pentahiran atau self purification.
Penentuan daya tampung beban pencemaran sungai (badan air)
merupakan kewenangan pemerintah melalui keputusan Bupati / Walikota dan
Gubernur atau Presiden, sesuai dari kondisi sungai tersebut. Pemerintah
Kabupaten / Kota memiliki kewenangan untuk menetapkan daya tampung beban
pencemaran pada sungai yang berada di wilayahnya (Pasal 18 (3) dan Pasal 20
(a) PP No. 82 Tahun 2001). Sesuai UU No.7 Tahun 2004 Pasal 16 (b) dan Pasal
23 (1) Pemerintah Kabupaten / Kota memiliki kewenangan dan tanggung jawab
dalam hal pengelolaan sumber daya air dan pengelolaan kualitas air serta
pengendalian pencemaran air (sungai) di wilayahnya.
154
Menurut Metcalf & Eddy, 1979 dalam estimasi beban pencemaran badan
air, bahan pencemar dalam limbah cair yang berasal dari rumah tangga,
permukiman dan perkotaan pada umumnya berupa lebih dari 70% bahan organik.
Bahan pencemar dalam limbah cair yang dapat didegradasi secara alamiah melalui
peristiwa swa pentahiran adalah bahan organik juga. Atas dasar alasan ini, maka
penentuan daya tampung beban pencemaran pada badan air (sungai) lebih dititik
beratkan pada zat organik.(http://www.scribd.com/doc/17668167/Estimasi-Beban-
Pencemaran-Badan-Air diakses 9 januari 2010 jam 15:02).
Permukiman di tepi sungai atau yang sekarang sering disebut Stren Kali
atau bantaran sungai bukanlah hal yang baru. Sungai tidak hanya merupakan
sarana transportasi tetapi juga merupakan sumber daya alam yang sangat
dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi di jaman sekarang dimana biaya
hidup menjadi semakin mahal, maka tidak sedikit orang yang melirik tanah-tanah
dibantaran sungai untuk dijadikan tempat tinggalnya. Hal tersebut juga
sebagaimana yang terjadi di bantaran sungai Jenes, dimana di daerah tersebut
sangat padat dengan bangunan rumah-rumah.
Kondisi sungai akan menetukan kualitas airnya untuk dapat memberikan
manfaat bagi kehidupan manusia. Jika melihat kondisi sungai sekarang sangat
jauh berbeda dengan kondisi sungai jaman dahulu. Pola perilaku masyarakat
bantaran sungai turut menjadi penentu dari kualitas air sungai tersebut. Manusia
selalu berusaha untuk mencintai alam dan hidup selaras dengannya sehingga
menganggap sungai memiliki kehidupan yang patut dihargai. Pada saat yang
bersamaan, juga bisa menjadi sesuatu yang menakutkan bagi manusia. Alam itu
155
hebat dan kuat. Alam memiliki kekuatan yang dalam waktu singkat mampu
mencabut dan melenyapkan hidup manusia.
Pola perilaku manusia yang salah terhadap sungai akan menimbulkan
banyak permasalahan. Masalah yang sering muncul terkait dengan sungai adalah
banjir serta pencemaran. Efek samping dari hal tersebut adalah timbulnya suatu
penyakit yang akan berdampak buruk bagi kehidupan manusia itu sendiri.
Banjir adalah dimana suatu daerah dalam keadaan tergenang oleh air
dalam jumlah yang begitu besar. Bencana banjir hampir setiap musim penghujan
melanda Indonesia, begitupun juga di Solo hampir setiap musim hujan banjir
terjadi dan menggenangi daerah-daerah di Solo. Berdasarkan nilai kerugian dan
frekuensi kejadian bencana banjir terlihat adanya peningkatan yang cukup berarti.
Kejadian bencana banjir tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor alam berupa
curah hujan yang diatas normal dan adanya pasang naik air laut. Disamping itu
faktor ulah manusia juga berperan penting seperti penggunaan lahan yang tidak
tepat (pemukiman di daerah bantaran sungai, di daerah resapan, penggundulan
hutan, dan sebagainya), pembuangan sampah ke dalam sungai, pembangunan
pemukiman di daerah dataran banjir dan sebagainya). Banjir juga dapat terjadi
dari adanya limbah-limbah industri yang dibuang ke sungai sehingga
menyebabkan adanya penyumbatan di sungai. Selain itu limbah yang dibuang ke
sungai akan menyebabkan kualitas air sungai menjadi menurun, bahkan dapat
juga mendatangkan suatu penyakit.
Sudarmadji, dosen kesehatan lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Airlangga (Unair) tahun 2009. Menunjukkan, sekitar 40 persen bahan
156
pencemar sungai berasal dari limbah domestik warga yang berdiam di kawasan
sungai. Limbah itu berasal dari buangan dapur, kamar mandi, dan sampah.
Sebagian besar sampah yang dibuang itu adalah bahan organik. Secara langsung,
itu menurunkan kualitas air. Sebab, mikroba dalam sungai menguraikan zat
organik, padahal mikroba tersebut memerlukan oksigen. Semakin banyak bahan
organik yang dibuang, semakin sedikit kandungan oksigen dalam sungai. Hal
tersebut akan menyebabkan kehidupan makhluk hidup dalam sungai terancam,
sehingga sungai pun tidak layak lagi menjadi bahan baku air minum. Selain itu,
tinja menjadi salah satu limbah domestik yang sangat berperan (sangat cepat
membuat infeksi). Air yang tercemar tinja menyebabkan berbagai penyakit.
Misalnya, gangguan pencernaan, penyakit kulit, dan penyakit mata. Penyakit itu
bisa menjangkit warga yang memakai air sungai sebagai bahan baku air minum
atau mandi. (jawapos.com diakses 9 Desember 2009 jam 12:32).
Pencemaran juga terlihat di beberapa anak sungai, yakni di kali Pepe yang
bermuara ke hilir Bengawan Solo, tepatnya di Kampung Sewu Kecamatan Jebres
Surakarta, mengalirkan air yang berwarna ungu. Limbah itu berasal dari industri
pengecatan dan pencetakan batik di Pasar Kliwon, Semanggi, Surakarta. (Sugino
(59), warga setempat).
Ahli lingkungan dari Universitas Sebelas Maret Surakarta, Sulastoro, yang
turut serta dalam ekspedisi, menjelaskan, limbah industri batik pada umumnya
mengandung zat beracun, seperti Natrium (Na), Cadmium (Cd), dan Chrom (Cr).
Di sejumlah tempat di sisi Bengawan Solo sejak Surakarta hingga Kabupaten
Karanganyar, tim juga menyaksikan banyak ikan sapu-sapu (suckermouth) yang
157
mati. Ikan jenis itu biasanya bertahan pada air keruh atau kotor. Sebaliknya, ikan
nila dan bader yang banyak ditangkapi masyarakat di bagian hulu tidak lagi
ditemukan. Hal tersebut menunjukkan bahwa kepekatan limbah yang ada di
sungai sudah melampaui batas toleransi.
Retno Rosariastuti, juga mengatakan, banyaknya populasi ikan sapu-sapu
serta tiadanya ikan jenis lain menunjukkan penurunan kualitas air sungai. Ikan
sapu-sapu tahan berada di air berkadar oksigen rendah dan tercemar, sedangkan
ikan jenis lain tidak. Ini menunjukkan kualitas air Sungai Bengawan Solo sekitar
Sukoharjo, Surakarta, dan Sragen sudah tercemar berat. (kompas 13 Juni 2007).
Menurut Tim Ekspedisi Bengawan Solo, Pencemaran juga terlihat di
sekitar Dusun Bacem Desa Langenharjo Kecamatan Serengan Surakarta. Limbah
tersebut dari industri tekstil, industri rumah tangga pengecatan batik dan juga
industri peternakan yang membuang limbah ke sungai secara mencolok. Akibat
dari hal tersebut adalah air sungai tampak berwarna coklat kehitaman. Selain
mencemari kali, limbah itu juga mencemari udara karena menebarkan bau yang
tidak sedap. (Kompas 2007 diakses 9 Desember jam 14:01)
Kepala Kantor Lingkungan Hidup Pemerintah Kota (Pemkot) Solo
Handartono mengatakan, daerah dengan tingkat pencemaran paling tinggi terdapat
di Laweyan dan Pasar Kliwon. Kawasan yang terletak di sepanjang anak sungai
Premulung itu dipenuhi oleh usaha jasa dan industri rumah tangga untuk
penguatan warna tekstil. Sebagian besar usaha jasa itu tidak memiliki instalasi
pengolah air limbah (IPAL) karena biaya pembuatan IPAL sangat besar.
(kompas.com diakses 9 Desember 2009 jam 12:32).
158
Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO), Lembaga Swadaya
Masyarakat di Surakarta, Jawa Tengah, menyoroti maraknya limbah industri batik
di Laweyan yang langsung dibuang di sungai. Dari hasil penelusuran sepanjang
2008 , ternyata banyak industri batik yang membuang limbahnya ke sungai tanpa
melewati proses pengolahan. Sungai yang biasa dijadikan tempat pembuangan
limbah adalah Kali Premulung yang melewati sisi selatan Surakarta hingga
berakhir di Sungai Bengawan Solo. Hasil akhirnya, sungai-sungai di Surakarta
banyak yang tercemar hingga mengakibatkan kualitas air memburuk. Pada saat
pagi dan sore hari, air sungai berubah menjadi hitam dan merah. Itu karena sungai
tercemar oleh bahan kimia batik. Masyarakat sekitar Laweyan banyak yang
mengeluhkan kualitas air sumur mereka. Ada penduduk yang gatal-gatal dan
iritasi kulit.
Adalah ironi, apabila berkembangnya sebuah kota justru menjadikan
semakin rusaknya lingkungan. Kota terus melakukan sesuatu yang mengancam
dirinya sendiri. Dan ini adalah sesuatu yang harus di bayar mahal.
Suka atau tidak suka, demikianlah adanya. Namun demikian sungai bengawan
solo masih tetap mengalir. Ia masih berusaha menghidupi dan melindungi banyak
kehidupan di sekitarnya.
Permasalahannya pada saat sekarang adalah tingkat kesadaran masyarakat
untuk menjaga kesehatan lingkungan masih sangat kurang. Hal ini dibuktikan
dengan banyaknya tempat pemukiman kumuh disekitar bantaran sungai,
kurangnya sarana air bersih dan sanitasi, sikap dan perilaku masyarakat yang
masih minim dalam pola hidup bersih dan sehat, endemisator beberapa penyakit
159
menular yang masih tinggi, sebagai sumber penularan/sumber infeksi, kualitas,
kuantitas serta motivasi tenaga sektoral yang kegiatannya berkaitan dengan
pengelolaan program kesehatan lingkungan juga masih kurang.
Semuan permasalahan terkait dengan sungai tersebut tidak akan terjadi
jika masyarakat berperilaku sesuai dengan aturan yakni tidak membuang sampah
di sungai dan juga tidak membuang limbah industri ke sungai yang dapat
menyebabkan air sungai tercemar.
B. Perumusan Masalah
Adapun rumusan masalah skripsi ini adalah:
1. Sejauhmana fungsi sungai bagi masyarakat yang tinggal di bantaran
sungai?
2. Bagaimana pola perilaku masyarakat terhadap sungai serta dampaknya
terhadap masyarakat dan lingkungan?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penyusunan skripsi ini adalah:
1. Untuk mengetahui sejauhmana fungsi sungai bagi masyarakat yang tinggal
di bantaran sungai?
2. Untuk mengetahui bagaimana pola perilaku masyarakat bantaran sungai
terhadap sungai serta dampaknya terhadap masyarakat dan lingkungannya.
160
D. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian, diharapkan mampu untuk memberikan pengetahuan
dan informasi tentang :
1. Sejauhmana fungsi sungai bagi masyarakat yang tinggal di bantaran
sungai.
2. Bagaimana pola perilaku masyarakat bantaran sungai terhadap sungai serta
dampaknya terhadap masyarakat dan lingkungannya.
3. Dapat dijadikan dasar acuan pada penelitian-penelitian selanjutnya dan
dapat menambah body of knowledge.
4. Dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai arti pentingnya
pola perilaku masyarakat bantaran sungai terhadap kondisi sebuah sungai.
5. Sebagai syarat menyelesaikan S1 jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik.
E. Tinjauan Pustaka
Masalah sungai merupakan salah satu bahan kajian dalam sosiologi
lingkungan yaitu terkait dengan ekologi sungai. Bell dalam tulisan Mahmudi Siwi
tahun 2009 menyebutkan bahwa sosiologi lingkungan merupakan kajian
komunitas dalam arti yang sangat luas. Orang, binatang, lahan dan tanaman yang
tumbuh di atasnya, air, udara semuanya memiliki hubungan kait mengait yang
sangat erat. Bersama-sama mereka membentuk semacam solidaritas, yang
kemudian kita sebut dengan ekologi. Seperti dalam banyak komunitas, mereka
juga mengalami konflik ditengah-tengah hubungan tersebut. Sosiolog lingkungan
161
mengkaji komunitas terluas tersebut dengan maksud untuk memahami asal usul,
dan solusi yang diusulkan dari seluruh konflik sosial dan biofisik yang sangat
nyata.
Masalah lingkungan tidak hanya berupa masalah teknologi dan industri,
ekologi dan biologi, pengendalian polusi dan pencegahan polusi. Masalah
lingkungan juga berupa masalah sosial. Masalah lingkungan adalah masalah bagi
masyarakat merupakan masalah yang mengancam pola-pola organisasi sosial
yang ada dalam masyarakat. Adalah manusia yang menciptakan masalah
lingkungan, dan manusia juga yang harus mencari jalan keluarnya.
(Mahmudisiwi.net diakses 9 januari 2010 jam 12:55).
Hal ini sebagaimana fenomena yang ada dalam Journal of International
Green Bussines Reuters tahun 2009 yang membahas tentang pencemaran
lingkungan di sungai sebagai berikut:
The past one hundred years have marked a period of incredible human advancement. However, these advancements have wrought enormous negative impacts on the environment. One such region that has been impacted is the Nile river. The Nile is a crucial resource for all of the surrounding communities, and the pollution of the area does not only affect the natural landscape, but the African people also. Another problem that the Nile ecosystem faces is that of pollution, and the majority of this comes from human activity. There are many sources of this pollution. In rural areas, sewage is dumped into the river as a result of poor sanitation conditions. This is a problem because citizens of Egypt, for example, "Consumed more animal protein during the second half of the 20th century than they did previously. As food is metabolized, phosphorus and nitrogen are released as waste products in feces and urine" (Nixon, 1). These increasing amounts of phosphorous and nitrogen, when dumped into the water can create algal blooms which can lead to the suffocation of fish. Many industrial establishments do not follow the law, and drain untreated wastewater into the river or even inject it into the groundwater. Usage of pesticides and fertilizers
162
also pollute the river, as agricultural practices near the river use a lot of chemicals.
(Funannan:2009)
Dalam jurnal tersebut diceritakan tentang pencemaran yang terjadi di
Sungai Nil. Pencemaran yang terjadi sebagian besar berasal dari aktivitas
manusia. Di daerah pedesaan, limbah dibuang ke sungai akibat dari kondisi
sanitasi yang buruk. Selain itu limbah juga berasal dari industri di sekitar dan juga
dari pertanian yang berada dipingir sungai sehingga pestisida dan pupuk yang
digunakan juga menjadi penyebab pencemaran sungai ini.
Dalam skripsi ini juga terjadi pencemaran di Sungai Jenes yang berasal
dari limbah industri dan juga limbah rumah tangga. Namun hal yang membedakan
dengan penemuan di jurnal tersebut adalah pencemaran yang ada di sungai Jenes
bukan berasal dari pertanian karena daerah sekitar sungai sudah tidak ada lagi
sawah atau area pertanian. Pencemaran sungai Jenes lebih diakibatkan oleh
sampah-sampah yang dibuang langsung ke sungai sehingga menyebabkan
penyumbatan di sungai dan hal ini akhirnya membuat aliran air sungai tidak
lancar karena sungai tersumbat oleh tumpukan sampah yang berasal dari rumah
warga yang tinggal di sekitar sungai.
E.1 Konsep yang digunakan
Perilaku
Skinner (1938) seorang ahli perilaku mengemukakan bahwa
perilaku merupakan hasil hubungan antara perangsang (stimulus) dan
tanggapan (respon) dan respons. Ia membedakan adanya 2 respons, yakni :
163
a. Respondent Respons atau Reflexive Respons
Adalah respons yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan
tertentu. Perangsangan-perangsangan semacam ini disebut eliciting stimuli
karena menimbulkan respons-respons yang relatif tetap, misalnya
makanan lezat menimbulkan keluarnya air liur, cahaya yang kuat akan
menyebabkan mata tertutup, dan sebagainya. Pada umumnya
perangsangan-perangsangan yang demikian itu mendahului respons yang
ditimbulkan.
Respondent respons (respondent behaviour) ini mencakup juga
emosi respons atau emotional behaviour. Emotional respons ini timbul
karena hal yang kurang mengenakkan organisme yang bersangkutan,
misalnya menangis karena sedih atau sakit, muka merah (tekanan darah
meningkat karena marah). Sebaliknya hal-hal yang mengenakkan pun
dapat menimbulkan perilaku emosional misalnya tertawa, berjingkat-
jingkat karena senang dan sebagainya.
b. Operant Respons atau Instrumental Respons
Adalah respons yang timbul dan berkembangnya diikuti oleh
perangsang tertentu. Perangsang semacam ini disebut reinforcing stimuli
atau reinforcer karena perangsangan-perangsangan tersebut memperkuat
respons yang telah dilakukan oleh organisme. Oleh sebab itu, perangsang
yang demikian itu mengikuti atau memperkuat suatu perilaku yang telah
dilakukan. Apabila seorang anak belajar atau telah melakukan suatu
perbuatan kemudian memperoleh hadiah maka ia akan menjadi lebih giat
164
belajar atau akan lebih baik lagi melakukan perbuatan tersebut. Dengan
kata lain responnya akan lebih intensif atau lebih kuat lagi.
Menurut Ensiklopedia Amerika perilaku diartikan sebagai suatu
aksi atau reaksi organisme terhadap lingkungannya. Hal ini berarti bahwa
perilaku baru terjadi apabila ada sesuatu yang diperlukan untuk
menimbulkan reaksi, yakni yang disebut rangsangan. Dengan demikian
maka suatu rangsangan akan menghasilkan reaksi atau perilaku tertentu.
Robert Kwick (1974) dalam tulisan Akhmad Sudrajat tentang
perilaku soaial menyatakan bahwa perilaku adalah tindakan atau perbuatan
suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan dapat dipelajari. Perilaku
tidak sama dengan sikap. Sikap adalah hanya suatu kecenderungan untuk
mengadakan tindakan terhadap suatu objek, dengan suatu cara yang
menyatakan adanya tanda-tanda untuk menyenangi atau tidak menyenangi
objek tersebut. Sikap hanyalah sebagian dari perilaku manusia.
(http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/24/perilaku-sosial)
Masyarakat
Beberapa pengertian masyarakat dari beberapa ahli sosiologi dunia.
Ø Menurut Selo Sumardjan masyarakat adalah orang-orang yang
hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan.
Ø Menurut Karl Marx masyarakat adalah suatu struktur yang
menderita suatu ketegangan organisasi atau perkembangan akibat
adanya pertentangan antara kelompok-kelompok yang terbagi
secara ekonomi.
165
Ø Menurut Emile Durkheim masyarakat merupakan suau kenyataan
objektif pribadi-pribadi yang merupakan anggotanya.
Ø Menurut Paul B. Horton & C. Hunt masyarakat merupakan
kumpulan manusia yang relatif mandiri, hidup bersama-sama
dalam waktu yang cukup lama, tinggal di suatu wilayah tertentu,
mempunyai kebudayaan sama serta melakukan sebagian besar
kegiatan di dalam kelompok / kumpulan manusia tersebut.
Faktor-Faktor / Unsur-Unsur Masyarakat
Menurut Soerjono Soekanto alam masyarakat setidaknya memuat unsur
sebagai berikut ini :
1. Berangotakan minimal dua orang.
2. Anggotanya sadar sebagai satu kesatuan.
3. Berhubungan dalam waktu yang cukup lama yang
menghasilkan manusia baru yang saling berkomunikasi dan
membuat aturan-aturan hubungan antar anggota masyarakat.
4. Menjadi sistem hidup bersama yang menimbulkan
kebudayaan serta keterkaitan satu sama lain sebagai anggota
masyarakat.
Ciri / Kriteria Masyarakat Yang Baik
Menurut Marion Levy diperlukan empat kriteria yang harus dipenuhi agar
sekumpulan manusia bisa dikatakan / disebut sebagai masyarakat.
1. Ada sistem tindakan utama.
2. Saling setia pada sistem tindakan utama.
166
3. Mampu bertahan lebih dari masa hidup seorang anggota.
4. Sebagian atan seluruh anggota baru didapat dari kelahiran /
reproduksi manusia.
Bantaran Sungai
Sungai adalah suatu daerah yang didalamnya terdapat air yang
mengalir secara terus-menerus. Sungai merupakan suatu saluran drainase
yang terbentuk secara alamiah. Sungai mempunyai peranan yang sangat
besar bagi perkembangan peradaban manusia diseluruh dunia ini, yakni
terdapat daerah-daerah subur yang umumnya terletak di lembah-lembah
sungai dan sumber air sebagai sumber kehidupan yang paling utama bagi
kemanusiaan. Sungai juga dapat digunakan sebagai sarana transportasi
guna meningkatkan mobilitas serta komunikasi antar manusia. (Yusuf
Gayo:1994).
Bantaran sungai merupakan bagian dari daerah sungai yang
bermanfaat untuk menampung dan mengalirkan sebagian dari aliran banjir.
Drainase pada bantaran sungai perlu diperhatikan agar bantaran dapat
berfungsi dengan baik. Segala sesuatu yang menjadi penghalang seperti
bangunan hendaknya ditiadakan agar tidak mengganggu fungsi dari
bantaran. (Yusuf Gayo:1994).
Perubahan perilaku yang bersifat negatif akan menimbulkan
tekanan terhadap lingkungan yang memiliki keterbatasan dikenal sebagai
daya dukung lingkungan (DDL). Jika tekanan semakin besar maka daya
dukung lingkungan pun akan menurun.
167
Kondisi air yang tidak bersih karena pencemaran akan
menimbulkan dampak tersendiri bagi manusia seperti mewabahnya
penyakit sebagaimana yang dituliskan dalam Jurnal Internasional “Water
Pollution and Society” berikut:
Pathogens are another type of pollution that prove very harmful. They can cause many illnesses that range from typhoid and dysentery to minor respiratory and skin diseases. Pathogens include such organisms as bacteria, viruses, and protozoan. These pollutants enter waterways through untreated sewage, storm drains, septic tanks, runoff from farms, and particularly boats that dump sewage. Though microscopic, these pollutants have a tremendous effect evidenced by their ability to cause sickness. (David Krantz dan Brad Kifferstein:2009)
Pencemaran air yang terjadi menyebabkan penyakit diantaranya,
tifus, disentri, kulit, penyakit pernafasan kecil yang disebabkan oleh
organisme seperti bakteri, virus, dan protozoa. Polutan ini masuk dari
saluran air yang tidak diobati, seperti septic tank, limbah dari peternakan,
dan terutama perahu yang membuang limbah. Polutan ini mempunyai efek
yang luar biasa yang ditunjukkan oleh kemampuan mereka untuk
menyebabkan penyakit. Jika dibandingkan dengan penelitian ini maka
pencemaran yang ada di sungai Jenes belum sampai separah seperti
pencemaran yang terjadi di Britania. Pencemaran yang ada di Sungai Jenes
berasal dari limbah industri dan limbah rumah tangga. Namun pencemaran
ini tidak sampai menimbulkan penyakit yang mengganggu warga sekitar.
Meskipun ada warga yang terkena penyakit gatal dan juga diare namun itu
bukan karena kondisi sungai yang tercemar namun lebih karena faktor
168
kurang hati-hati dalam memilih makanan sehingga menyebabkan diare dan
alergi terhadap jenis makanan tertentu sehingga menyebabkan gatal-gatal.
Menurut Miller (1991) terdapat 2 bentuk sumber pencemar, yaitu:
a. Point Sources; merupakan sumber pencemar yang membuang efluen
(limbah cair) melalui pipa, selokan atau saluran air kotor ke dalam
badan air pada lokasi tertentu. Misalnya pabrik, tempat-tempat
pengolahan limbah cair (yang menghilangkan sebagian tapi tidak
seluruh zat pencemar), tempat-tempat penambangan yang aktif dan
lain-lain. Karena lokasinya yang spesifik, sumber-sumber ini relatif
lebih mudah diidentifikasi, dimonitor dan dikenakan peraturan-
peraturan.
b. Non-point sources; terdiri dari banyak sumber yang tersebar yang
membuang efluen, baik ke badan air maupun air tanah pada suatu
daerah yang luas. Contohnya adalah limpasan air dari ladang-ladang
pertanian, peternakan, lokasi pembangunan, tempat parkir dan jalan
raya. Pengendalian sumber pencemar ini cukup sulit dan membutuhkan
biaya yang tinggi untuk mengindentifikasi dan mengendalikan sumber-
sumber pencemar yang tersebar tersebut. Oleh karena itu, dibutuhkan
suatu pendekatan terpadu dengan penekanan pada pencegahan
pencemaran. Pencegahan tersebut dapat dilakukan salah satunya
melalui penataan ruang yang baik (Miller, 1991: 249).
169
Beberapa jenis kegiatan utama yang menimbulkan pencemaran
sungai menurut Haslam, 1992 yang dikutip dari blogspot.com adalah:
1. Kegiatan domestik; termasuk di dalamnya kegiatan kesehatan
(rumah sakit) dan food additives (seperti bahan pengawet makanan)
serta kegiatan-kegiatan yang berasal dari lingkungan permukiman baik
di daerah perkotaan maupun pedesaan. Efluen yang dibuang biasanya
berupa pencemar organik, tapi ada juga berupa senyawa inorganik,
logam, garam-garaman (seperti deterjen) yang cukup berbahaya karena
bersifat patogen.
2. Kegiatan industri; mempunyai banyak sekali variasi; bisa berupa
efluen organik (dari pabrik makanan dan dapat juga dari industri
minyak dan petrokimia). Sedangkan efluen inorganik dihasilkan oleh
pabrik-pabrik baja, mobil atau industri berat lainnya; partikel dan debu
dapat dihasilkan oleh kegiatan industri pertambangan. Bisa juga berupa
pencemaran panas, misalnya dari pembangkit tenaga listrik.
3. Kegiatan pertanian; terutama akibat penambahan pupuk dan
pembasmi hama, di mana senyawa-senyawa yang terdapat di dalamnya
tidak mudah terurai walaupun dalam jumlah yang sedikit, tetapi justru
aktif pada konsentrasi yang rendah. Selain itu, sedimen termasuk
pencemaran yang cukup besar ketika terjadi penebangan pohon-
pohonan, pembuatan parit-parit, perambahan hutan dan lain-lain. Belum
lagi, efluen organik yang dihasilkan oleh peternakan dapat
menyebabkan pencemaran yang cukup serius.
170
Menurut Haslam (1992: 13-14) dan Hayward (1992: 168-171), zat
pencemar sungai dapat dibagi dalam 8 jenis utama, yaitu :
1. Organisme patogen (bakteri, virus dan protozoa)
2. Limbah organik biodegradable (limbah cair domestik, limbah pertanian,
limbah perternakan, limbah rumah potong hewan, limbah industri).
3. Bahan inorganik yang larut dalam air (asam, garam, logam berat dan
senyawa-senyawanya, anion seperti sulfida, sulfit dan sianida).
4. Zat hara tanaman (garam-garam nitrat dan fosfat yang larut dalam air),
yang berasal dari penguraian limbah organik seperti limhah cair atau
pelepasan pupuk nitrat, yang jika berlebihan dapat mengakibatkan
eutrofikasi.
5. Bahan-hahan kimia yang larut dan tidak larut (minyak, plastik, pestisida,
pelarut, PCB, fenol, formaldehida dan lain-lain). Zat-zat tersebut
merupakan penyebab yang sangat beracun bahkan pada konsentrasi
yang rendah (< 1 ppm).
6. Sedimen (suspended solid); merupakan partikel yang tidak larut atau
terlalu besar untuk dapat segera larut. Kecenderungan sedimen untuk
tinggal di dasar air tergantung pada ukurannya, rasio aliran (flow rate)
dan besarnya turbulensi yang ada pada suatu badan air. Jumlah sedimen
mempengaruhi turbiditas air, dan kualitasnya mempengaruhi warna.
7. Zat-zat / bahan-bahan radioaktif
8. Pencemaran termal; biasanya dalam bentuk limbah air panas yang
berasal dari kegiatan suatu pembangkit tenaga. Pencemaran ini dapat
171
mengakibatkan naiknya temperatur air, meningkatkan rasio
dekomposisi dari limbah organik yang biodegradable dan mengurangi
kapasitas air untuk menahan oksigen.
Menurut Haslam (1992) terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi dampak pencemaran sungai, yaitu :
1. Kemampuan pengenceran pencemaran
2. Konsentrasi terlarut pada sungai
3. Jenis polusi
4. Struktur fisik sungai
Pencemaran, selain berdampak pada manusia, baik berupa limbah
maupun sedimentasi yang terjadi di kawasan pesisir, dapat pula
mempengaruhi kegiatan perikanan diantaranya (Dahuri, 1996):
a. Penurunan kandungan oksigen dalam perairan (anoxic) yang
menyebabkan pembatasan habitat ikan (khususnya ikan dasar dekat
pantai), perubahan komunitas air dan dominasi proses dekomposisi
anaerobik.
b. Eutrofikasi perairan yang menyebabkan pertumbuhan alga tidak
terkendali (blooming algae ), contohnya pada peristiwa red tide yang
menimbulkan keracunan pada ikan.
c. Terakumulasinya limbah logam berat beracun (Hg) yang menimbulkan
kematian pada ikan.
172
Penurunan kualitas sungai yang mencapai kondisi tercemar banyak
diakibatkan oleh ulah manusia. Secara alamiah memang terjadi juga
penurunan kualitas sungai akan tetapi biasanya masih berada pada batas
daya dukung lingkungan. Sedangkan yang diakibatkan oleh ulah manusia
dapat melampaui batas daya dukung lingkungan sehingga perlu upaya agar
hal tersebut tidak terjadi. (Blogspot.com:2009).
E.2 PARADIGMA DAN TEORI YANG DIGUNAKAN
a. Paradigma yang digunakan
Paradigma yang dipakai dalam penulisan ini adalah paradigma
definisi sosial. Max Weber sebagai tokoh utama paradigma ini
mengartikan Sosiologi sebagai studi tentang tindakan sosial antar
hubungan sosial. Tindakan sosial itu adalah tindakan individu sepanjang
tindakannya itu mempunyai makna atau arti subyektif bagi dirinya dan
diarahkan kepada tindakan orang lain. Tindakan sosial yang dimaksudkan
Weber dapat berupa tindakan yang nyata-nyata diarahkan kepada orang
lain. Juga dapat berupa tindakan yang bersifat “membatin” atau bersifat
subyektif yang mungkin terjadi karena pengaruh positif dari situasi
tertentu. Atau merupakan tindakan perulangan dengan sengaja sebagai
akibat dari pengaruh situasi yang serupa. Atau berupa persetujuan secara
pasif dalam situasi tertentu. (Ritzer; 2008)
Dalam mempelajari tindakan sosial itu, Weber menganjurkan
melalui penafsiran dan pemahaman (interpretatie understanding) atau oleh
173
Weber sendiri disebut verstehen. Peneliti harus mencoba
mengintepretasikan tindakan subyek yang diteliti guna mengetahui motif
tindakan tersebut. Dalam penelitian ini peneliti berusaha untuk
menginterpretasikan tindakan yang dilakukan oleh masyarakat bantaran
sungai Jenes yang merupakan anak sungai dari bengawan solo dalam
menjaga kelestarian lingkungan serta menjaga ekosistem sungai.
b. Teori Yang Digunakan
Teori perilaku sosial
Konsep dasar dari teori ini adalah penguat / ganjaran (reward). Teori ini
lebih menitikberatkan pada tingkah laku aktor dan lingkungan.
Asumsinya adalah:
ü Manusia pada dasaranya tidak mencari keuntungan maksimal,
tetapi senantiasa ingin mendapatkan keuntungan dari intraksi
tersebut.
ü Manusia tidak bertindak secara rasional sepenuhnya, tetapi
senantiasa berfikir untung rugi pada saat berinteraksi, walaupun
manusia tidak memiliki info yang cukup untuk mengembangkan
alternatif, tetapi dapat menggunkan info yang terbatas tersebut
untuk mengembangkan alternatif guna memperhitungkan untung
rugi.
ü Manusia terbatas, tapi dapat berkompetisi untuk mendapat
keuntungan. Walau manusia senantiasa berusaha mendapat
keuntungan dari hasil interaksi, tapi mereka dibatasi oleh sumber-
174
sumber yang tersedia. Manusia berusaha memperoleh wujud materi
tapi mereka melibatkan dan menghasilkan sesuatu yang non materi
(benci, suka, dll)
Bentuk perilaku sosial (5 proposisi)
v Proposisi keberhasilan
Jika tindakannya sering mendapatkan ganjaran, maka semakin
sering dilakukan.
v Proposisi stimulus
Jika stimulus merupakan kondisi dimana seseorang mendapatkan
ganjaran,
maka semakin besar kemungkina mengulangi seperti pada waktu
lalu.
v Proposisi nilai
Semakin bermanfaat maka semakin sering kemungkinan tindakan
tersebut diulangi.
v Proposisi kejenuhan kerugian
Semakin sering seseorang mendapatkan ganjaran yang isitimewa,
maka bagian yang lebih mendalam dari ganjaran tersebut menjadi
kurang bermakna bagi orang lain
v Proposisi persetujuan dan perlawanan
Jika tidak mendapat ganjaran atau hukuman yang tidak diharapkan,
ia akan marah dan semakin besar kemungkinan orang tersebut akan
melakukan perlawanan dan hasil tingkah lakunya makin berharga
175
bagi dirinya. Jika mendapat ganjaran atau lebih, maka akan
menunjukan tingkah laku persetujuan. Dan hasil tingkah lakunya
semakin berharga baginya
Teori Etika
Etika berarti adat-istiadat atau kebiasaan. Dalam arti ini, etika
berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, tata cara hidup yang baik,
baik pada diri seseorang atau masyarakat. Kebiasaan hidup yang baik ini
dianut dan diwariskan dari satu generasi ke generasi lain.
Kebiasaan hidup yang baik ini lalu dibakukan dalam bentuk
kaidah, aturan atau norma yang disebarluaskan, dikenal, dipahami, dan
diajarkan secara lisan dalam masyarakat. Kaidah, norma atau aturan ini
pada dasarnya menyangkut baik buruk perilaku manusia. Kaidah ini
menentukan apa yang baik harus dilakukan dan apa yang buruk harus
dihindari. Etika sering dipahami sebagai ajaran yang berisikan atuaran
tentang bagaimana manusia harus hidup baik sebagai manusia.
Etika dipahami dengan pengertian yang berbeda dengan moralitas.
Dalam pengertian ini, etika dimengerti sebagai refleksi kritis tentang
bagaimana manusia harus hidup dan bertindak dalam situasi konkret. Etika
adalah filsafat moral atau ilmu yang membahas dan mengkaji secara kritis
persoalan benar dan salah secara moral, tentang bagaimana harus
bertindak dalam situasi yang konkret.
176
Ada tiga teori etika :
1). Etika Deontologi
Menurut etika deontologi, suatu tindakan dinilai baik atau buruk
berdasarkan apakah tindakan itu sesuai atau tidak dengan kewajiban.
Dengan kata lain, suatu tindakan dianggap baik karena tindakan itu
memang baik pada dirinya sendiri, sehingga merupakan kewajiban yang
harus dilakukan. Sebaliknya suatu tindakan dinilai buruk secara moral
karena tindakan itu memang buruk secara moral sehingga tidak menjadi
kewajiban untuk dilakukan.
Etika deontologi tidak mempersoalkan akibat dari tindakan
tersebut, baik atau buruk. Dalam perspektif itu, membuang limbah ke
sungai akan dinilai buruk secara moral bukan karena akibatnya yang
merugikan. Tindakan ini dinilai buruk karena tidak sesuai dengan
kewajiban moral untuk hormat kepada alam (respect for nature).
2). Etika Teleologi
Etika Teleologi menilai baik buruk suatu tindakan berdasarkan tujuan atau
akibat dari tindakan tersebut. Etika Teleologis digolongkan menjadi dua:
a) Egoisme etis yang menilai suatu tindakan baik karena berakibat baik
bagi pelakunya. Walaupun bersifat egoistis, tindakan ini dinilai baik secara
moral karena setiap orang dibenarkan untuk mengejar kebahagiaan bagi
dirinya. Oleh karena itu, setiap tindakan yang mendatangkan kebahagiaan
bagi diri sendiri akan dinilai baik secara moral. Sebaliknya, buruk kalau
kita membiarkan diri kita menderita dan dirugikan. b) Utilitarianisme
177
menilai baik buruknya suatu tindakan berdasarkan akibatnya bagi banyak
orang.
3) Etika Keutamaan
Etika Keutamaan lebih mengutamakan pengembangan karakter moral pada
diri setiap orang. (Sonny Keraf: 2005)
F. Definisi Konseptual
Krech et. al. (1962:104-106) mengungkapkan bahwa untuk memahami
perilaku sosial individu, dapat dilihat dari kecenderungan-kecenderungan ciri-ciri
respon interpersonalnya, yang terdiri dari : (1) Kecenderungan Peranan (Role
Disposition); yaitu kecenderungan yang mengacu kepada tugas, kewajiban dan
posisi yang dimiliki seorang individu, (2) Kecenderungan Sosiometrik
(Sociometric Disposition); yaitu kecenderungan yang bertautan dengan kesukaan,
kepercayaan terhadap individu lain, dan (3) Ekspressi (Expression Disposition),
yaitu kecenderungan yang bertautan dengan ekpresi diri dengan menampilkan
kebiasaaan-kebiasaan khas (particular fashion).
Lebih jauh diuraikan pula bahwa dalam kecenderungan peranan (Role
Disposition) terdapat pula empat kecenderungan yang bipolar, yaitu :
1. Ascendance-Social Timidity,
Ascendance yaitu kecenderungan menampilkan keyakinan diri, dengan
arah berlawanannya social timidity yaitu takut dan malu bila bergaul dengan orang
lain, terutama yang belum dikenal.
178
2. Dominace-Submissive
Dominace yaitu kecenderungan untuk menguasai orang lain, dengan arah
berlawanannya kecenderungan submissive, yaitu mudah menyerah dan tunduk
pada perlakuan orang lain.
3. Social Initiative-Social Passivity
Social initiative yaitu kecenderungan untuk memimpin orang lain, dengan
arah yang berlawanannya social passivity yaitu kecenderungan pasif dan tak acuh.
4. Independent-Depence
Independent yaitu untuk bebas dari pengaruh orang lain, dengan arah
berlawanannya dependence yaitu kecenderungan untuk bergantung pada orang
lain
Dengan demikian, perilaku sosial individu dilihat dari kecenderungan
peranan (role disposition) dapat dikatakan memadai, manakala menunjukkan ciri-
ciri respons interpersonal sebagai berikut : (1) yakin akan kemampuannya dalam
bergaul secara sosial; (2) memiliki pengaruh yang kuat terhadap teman sebaya; (3)
mampu memimpin teman-teman dalam kelompok; dan (4) tidak mudah
terpengaruh orang lain dalam bergaul. Sebaliknya, perilaku sosial individu
dikatakan kurang atau tidak memadai manakala menunjukkan ciri-ciri respons
interpersonal sebagai berikut : (1) kurang mampu bergaul secara sosial; (2) mudah
menyerah dan tunduk pada perlakuan orang lain; (3) pasif dalam mengelola
kelompok; dan (4) tergantung kepada orang lain bila akan melakukan suatu
tindakan.
179
Kecenderungan-kecenderungan tersebut merupakan hasil dan pengaruh
dari faktor konstitutsional, pertumbuhan dan perkembangan individu dalam
lingkungan sosial tertentu dan pengalaman kegagalan dan keberhasilan
berperilaku pada masa lampau.
Sementara itu, Buhler (Abin Syamsuddin Makmun, 2003) mengemukakan
tahapan dan ciri-ciri perkembangan perilaku sosial individu sebagaimana dapat
dilihat dalam tabel berikut :
Tabel 1
Tahapan dan Ciri Perkembangan Perilaku
Tahap Ciri-Ciri
Kanak-Kanak Awal ( 0 – 3 ) Subyektif
Segala sesuatu dilihat berdasarkan pandangan sendiri
Kritis I ( 3 – 4 ) Trozt Alter
Pembantah, keras kepala
Kanak – Kanak Akhir ( 4 – 6 ) Masa Subyektif Menuju
Masa Obyektif
Mulai bisa menyesuaikan diri dengan aturan
Anak Sekolah ( 6 – 12 ) Masa Obyektif
Membandingkan dengan aturan – aturan
Kritis II ( 12 – 13 ) Masa Pre Puber
Perilaku coba-coba, serba salah, ingin diuji
Remaja Awal ( 13 – 16 ) Masa Subyektif Menuju
Masa Obyektif
Mulai menyadari adanya kenyataan yang berbeda dengan sudut
pandangnya Remaja Akhir ( 16 – 18 )
Masa Obyektif Berperilaku sesuai dengan tuntutan
masyarakat dan kemampuan dirinya (Akhmad Sudrajat: 2008)
Faktor-faktor personal yang mempengaruhi perilaku manusia
Ada dua macam psikologi sosial.
1. Psikologi sosial dengan huruf P besar
180
2. Psikologi sosial dengan huruf S besar
Kedua pendekatan ini menekankan faktor-faktor psikologis dan faktor-
faktor sosial. Atau dengan istilah lain faktor-faktor yang timbul dari dalam
individu (faktor personal), dan faktor-faktor berpengaruh yang datang dari luar
individu (faktor environmental).
McDougall menekankan pentingnya faktor personal dalam menentukan
interaksi sosial dalam membentuk perilaku individu. Menurutnya, faktor-faktor
personallah yang menentukan perilaku manusia.
Menurut Edward E. Sampson, terdapat perspektif yang berpusat pada
persona dan perspektif yang berpusat pada situasi. Perspektif yang berpusat pada
persona mempertanyakan faktor-faktor internal apakah, baik berupa instik, motif,
kepribadian, sistem kognitif yang menjelaskan perilaku manusia. Secara garis
besar terdapat dua faktor yang mempengaruhi perilaku manusia. . (Nanath:2008)
Faktor Biologis
Faktor biologis terlibat dalam seluruh kegiatan manusia, bahkan berpadu
dengan faktor-faktor sosiopsikologis. Menurut Wilson, perilaku sosial
dibimbing oleh aturan-aturan yang sudah diprogram secara genetis dalam
jiwa manusia. Pentingnya kita memperhatikan pengaruh biologis terhadap
perilaku manusia seperti tampak dalam dua hal berikut :
a. Telah diakui secara meluas adanya perilaku tertentu yang merupakan
bawaan manusia, dan bukan perngaruh lingkungan atau situasi.
b. Diakui pula adanya faktor-faktor biologis yang mendorong perilaku
manusia, yang lazim disebut sebagai motif biologis. Yang paling
181
penting dari motif biologis adalah kebutuhan makan-minum dan
istirahat, kebutuhan seksual, dan kebutuhan untuk melindungi diri dari
bahaya.
1. Faktor Sosiopsikologis
Kita dapat mengkalsifikasikannya ke dalam tiga komponen.
Ø Komponen Afektif
merupakan aspek emosional dari faktor sosiopsikologis, didahulukan
karena erat kaitannya dengan pembicaraan sebelumnya.
Ø Komponen Kognitif
Aspek intelektual yang berkaitan dengan apa yang diketahui manusia.
Ø Komponen Konatif
Aspek volisional, yang berhubungan dengan kebiasaan dan kemauan
bertindak.
(Kuliah komunikasi.com: 2009)
G. Kerangka Pikir
Dari uraian paradigma, teori, dan definisi di atas dapat dijadikan dasar
untuk melihat bagaimana pola perilaku masyarakat bantaran sungai dalam
ikut menjaga ekologi sungai. Dimana dalam skripsi ini adalah masyarakat
bantaran sungai Jenes yang ada di kelurahan Laweyan Kecamatan Laweyan
Kota Surakarta. Dari situ juga dapat diketahui seberapa besar pengaruh pola
perilaku masyarakat bantaran sungai terhadap eksistensi sebuah sungai atau
dengan kata lain bagaimana perilaku masyarakat bantaran sungai terhadap
182
sungai serta dalam menjaga ekosistem sungai agar dapat berfungsi
sebagaimana mestinya.
Sebelum mengungkap pengertian tentang pola perilaku, maka terlebih
dahulu akan dijelaskan mengenai sikap. Perilaku seseorang akan
dilatarbelakangi oleh sikap yang ada pada orang yang bersangkutan. Menurut
Myers (1983) memandang bahwa ada kaitan antara sikap dengan perilaku.
Sebuah perilaku merupakan sesuatu yang mempunyai banyak pengaruh dari
lingkungan. Demikian pula sikap yang diekspresikan (expressed attutudes)
juga merupakan sesuatu yang dipengaruhi oleh keadaan sekitarnya.
Sedangkan expressed attutudes adalah perilaku. Orang tidak dapat mengukur
sikap secara langsung, maka yang dapat diukur adalah sikap secara nampak
dan sikap yang nampak adalah perilaku, maka dengan demikian sikap jelas
bahwa sikap mempunyai kaitan dengan perilaku. Perilaku dengan sikap saling
berinteraksi, saling mempengaruhi satu dengan yang lain.
Dari pengertian-pengertian di atas dapat diketahui bahwa perilaku
masyarakat bantaran sungai berhubungan dengan sikap yang dilakukan
sehari-hari sehingga akan membentuk suatu pola pikir yang akhirnya menjadi
suatu kebiasaan yang berujung pada pola perilaku.
Seperti telah dipaparkan diatas sikap tidak dibawa sejak lahir tetapi
dibentuk sepanjang perkembangan individu yang bersangkutan. Untuk dapat
menjelaskan bagaimana terbentuknya sikap akan dijelaskan pada bagan
berikut :
183
Bagan 1
Proses Terbentuknya Sikap
(Bimo Walgito:2002)
H. Metode Penelitian
H.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang akan dilakukan termasuk dalam kategori penelitian
kualitatif berdasarkan metode utamanya yang dipakai yaitu
Fenomenologi. Penelitian Fenomenologi dapat diartikan sebagai kajian
terhadap fenomena atau apa-apa yang nampak. Dalam arti luas,
fenomenologi berarti ilmu tentang gejala-gejala atau apa saja yang
tampak. Dalam arti sempit, ilmu tentang gejala-gejala yang
menampakkan diri pada kesadaran kita. Dalam skripsi ini fenomena yang
dilihat adalah Pola Perilaku Masyarakat Bantaran Sungai Jenes di
Kelurahan Laweyan Kecamatan Laweyan Kota Surakarta yang sering
Faktor eksternal - pengalaman - situasi - norma-norma - hambatan - pendorong -
sikap Obyek sikap
reaksi
Faktor internal - fisiologis - psikologis
184
membuang sampah dan juga limbah ke sungai. Masyarakat sekitar
bantaran sungai yang berpola perilaku menyimpang yakni perilakunya
tidak sesuai dengan aturan yang semestinya, seperti membuang sampah
ke kali atau membuang limbah rumah tangga lainnya ke sungai akan
mengakibatkan kondisi sungai menjadi tercemar sehingga airnya menjadi
keruh dan kotor. Selain itu juga banyaknya industri yang membuang
limbah produksi batiknya ke sungai juga akan mempengaruhi kualitas
dari air sungai yang semakin kotor dan menjadi keruh. Hal tersebut akan
berdampak buruk bagi kesehatan karena air yang tidak bersih akan
meresap ke sumur-sumur warga dan akan dikonsumsi untuk memasak,
air minum dan sebagainya.
H.2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah di Kelurahan Laweyan Kecamatan Laweyan
Kota Surakarta. Alasan pemilihan tempat penelitian yaitu karena kondisi
Sungai Jenes yang mengalir di Laweyan kondisinya sudah sangat parah.
Apalagi Laweyan sebagai kompleks dari industri batik di Solo yang
terkadang limbah-limbah batik dibuang ke sungai yang menyebabkan air
sungai berwarna keruh. Selain itu rumah-rumah penduduk yang letaknya
berdekatan sehingga tidak ada ruang lagi untuk membangun sebuah
sanitasi yang baik. Dari hal tersebut menjadi menarik untuk diteliti terkait
dengan pola perilaku masyarakat bantaran sungai dalam upaya untuk
menjaga ekosistem sungai.
185
H.3. Sumber Data
a. Data Primer
Sumber data primer diperoleh secara langsung dari lapangan melalui
observasi dan wawancara dengan informan. Observasi dilakukan
dengan mengamati kondisi fisik sungai dan pemukiman bantaran
sungai dan aktivitas-aktivitas masyarakat bantaran sungai (tindakan
dan perilaku yang dilakukan) di Laweyan. Wawancara dilakukan
secara langsung dari sumbernya yaitu informasi dari masyarakat
bantaran Sungai Jenes di Kelurahan Laweyan.
b. Data Sekunder
Yaitu data yang diperoleh dari buku referensi, surat kabar, data-data
dari Pemerintah Kota surakarta, internet dan berbagai dokumen yang
terkait dengan sungai dan pola perilaku masyarakat bantaran sungai
Jenes.
H.4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan hal sangat penting bagi
peneliti yang sedang mengadakan penelitian karena menyangkut
bagaimana cara yang digunakan untuk memperoleh data. Adapun teknik
pengumpulan data pada penelitian ini adalah:
a. Observasi tidak berpartisipasi
Observasi tidak berpartisipasi adalah kegiatan pengumpulan data yang
bersifat nonverbal dimana peneliti tidak berperan ganda. Peneliti
berperan sebagai pengamat, tidak turut serta sebagai aktor yang
186
melibatkan diri di dalam suatu kegiatan. (Y.Slamet; 2006; 86). Dari
hasil pengamatan akan dituangkan dalam lembar observasi yang
selanjutnya dijadikan data lapangan.
b. Wawancara mendalam (Indepth Interview)
Teknik wawancara yang dilakukan secara mendalam ini tidak
dilakukan dengan ketat dan formal, hal ini dimaksudkan supaya
informasi yang dikumpulkan memiliki kedalaman yang cukup.
Kelonggaran yang didapat dengan cara ini akan mampu lebih banyak
mengorek keterangan tentang apa yang dijadikan kajian dalam
penelitian ini (pola perilaku) dan tingkat kejujuran informan.
Wawancara dilakukan dengan pedoman panduan wawancara
(interview guide) yang telah dibuat yang berkaitan dengan apa yang
dijadikan kajian dalam penelitian ini.
Selain itu dilakukan pendokumentasian baik berupa catatan,
rekaman, maupun audiovisual dari percakapan, pertemuan yang dianggap
unik dan penting.
H.5. Teknik Pengambilan Sampel
Tehnik pengambilan sampel dilakukan dengan memaksimalkan
jumlah sampel (Maksimum Variation Sampling) yaitu dengan mencari
variasi-variasi maksimal sampai semua data yang diperlukan terkumpul.
Alasan memakai maksimum variation sampling karena peneliti ingin
menginterpretasikan tindakan subyek yang diteliti terkait dengan motif
dari perilaku yang dilakukan. Selain itu peneliti ingin membandingkan
187
perilaku masyarakat bantaran dilihat dari profesi sehingga diketahui latar
belakang perilaku informan dengan mencari variasi maksimal. Dalam hal
ini orang yang akan dijadikan sampel adalah produsen batik, tokoh
masyarakat dari Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan
(FPKBL), tokoh lingkungan hidup, pedagang batik, usaha batik rumahan
(skala kecil), masyarakat biasa (pegawai pabrik), pengurus IPAL, Pelajar,
Wiraswasta (pedagang) serta ibu rumah tangga.
· Besarnya Sampel
Dari sekian banyak masyarakat yang tinggal di bantaran sungai
Jenes maka akan diambil beberapa sampel yakni produsen batik 1 orang,
tokoh masyarakat 1 orang, tokoh lingkungan hidup 1 orang, pedagang
batik 1 orang, usaha batik rumahan (skala kecil) 1 orang, masyarakat biasa
(pegawai pabrik) 1 orang, pengurus IPAL 1 orang, pelajar 2 orang,
pedagang atau wiraswasta 1 orang serta ibu rumah tangga 1 orang.
Penarikan sampel dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 2 Penarikan Sampel
Kategori masyarakat Jumlah
Produsen Batik 1 orang Tokoh Masyarakat (FPKBL) 1 orang Tokoh Lingkungan Hidup 1 orang Pedagang batik 1 orang Usaha batik rumahan 1 orang Pegawai pabrik 1 orang Pengurus IPAL 1 orang Pelajar 2 orang Pedagang / wiraswasta 1 orang Ibu rumah tangga 1 orang
Sumber : hasil observasi dan pra survey penelitian
188
H.6. Analisis Data
Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa
data model interaktif yang memiliki tiga komponen, yaitu pemilihan
data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Untuk lebih jelasnya
masing-masing tahap (termasuk proses pengumpulan data) dapat
dijabarkan sebagai berikut :
a. Pengumpulan data
Data yang muncul berwujud kata-kata yang dikumpulkan dalam
aneka cara yaitu observasi, wawancara mendalam serta data
dokumentasi, kemudian data yang diperoleh melalui pencatatan di
lapangan dianalisa melalui tiga jalur kegiatan yaitu pemilihan data,
penyajian data dan penarikan kesimpulan. Data-data tersebut
diperoleh dari wawancara para informan yang berasal dari
masyarakat yang tinggal di bantaran Sungai Jenes di Kelurahan
Laweyan Kecamatan Laweyan Kota Surakarta. Semua hasil
wawancara tersebut dikumpulkan tanpa mengalami penyaringan.
b. Pemilihan data atau reduksi data
Diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang
muncul catatan-catatan tertulis di lapangan (field note). Pemilihan
data sudah dimulai sejak peneliti mengambil keputusan dan
menyatakan bahwa tentang kerangka kerja konseptual, tentang
pemilihan fenomena, pertanyaan yang diajukan dan tentang tata cara
189
pengumpulan data yang dipakai pada saat pengumpulan data
berlangsung. Pemilihan data berlangsung terus-menerus selama
penelitian kualitatif berlangsung dan merupakan bagian dari analisis.
Reduksi data dilakukan agar data-data yang diperoleh dapat sejalan
dengan masalah yang akan penulis sajikan. Sehingga akan terjadi
pengurangan data yang tidak sesuai dengan permasalahan yang akan
diteliti.
c. Penyajian data
Penyajian data meliputi berbagai jenis gambar atau skema, pola
perilaku, keberkaitan kegiatan dan tabel yang dapat membantu satu
rakitan informasi yang memungkinkan kesimpulan dapat dilakukan.
Hal ini merupakan kegiatan yang dirancang untuk merakit secara
teratur agar mudah dilihat dan dimengerti sebagai informasi yang
lengkap dan saling mendukung.
d. Penarikan kesimpulan
Merupakan proses konklusi yang terjadi selama pengumpulan data
dari awal sampai proses pengumpulan data berakhir. Kesimpulan
yang perlu diverifikasi yang dapat berupa suatu penggolongan yang
meluncur cepat sebagai pemikiran kedua yang timbul melintas dalam
pikiran peneliti pada waktu penulis dengan melihat kembali sebentar
pada field note.
190
Untuk lebih jelasnya, proses analisis interaktif dapat digambarkan
dengan skema sebagai berikut
Bagan 2
Proses Pengumpulan Data
(Y.Slamet:2002)
H.7. Validitas Data
Data yang diperoleh selama proses penelitian akan diuji kembali
dengan melakukan pengujian validitas data melalui penggunaan
trianggulasi data. Tringgulasi data adalah teknik pemeriksaan data
dengan memanfaatkan sesuatu yang lain di luar untuk keperluan
pengecekan atau pembanding terhadap data itu. Teknik trianggulasi ada
empat macam, yaitu pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan
sumber, metode, penyelidik, teori.
Pengumpulan Data
Reduksi Data
Penyajian data
Penarikan Kesimpulan
191
Untuk mengecek kembali derajat kepercayaan suatu informasi dengan
trianggulasi sumber dapat dengan cara :
a) Membandingkan data hasil pengamatan dengan data yang diperoleh
dari hasil wawancara.
b) Membandingkan apa yang dikatakan orang didepan umum dengan
apa yang dikatakan secara pribadi
c) Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi
peneliti, dengan apa yang dikatakan sepanjang waktu
d) Membandingkan keadaan perspektif seseorang dalam berbagai
pendapat dan pandangan orang lain, seperti rakyat biasa, orang
berpendidikan menengah atau tinggi, orang berada, serta orang
pemerintah.
e) Membandingkan hasil wawancara dengan isi dokumen yang
berkaitan. (Lexy J. Moleong;2002; 176)
BAB II
DESKRIPSI LOKASI
192
A. Gambaran Umum Kota Surakarta
Surakarta dimasa lalu, Surakarta Hadiningrat yang juga dikenal dengan
nama Solo merupakan ibukota kerajaan Surakarta Hadiningrat serta pusat
pemerintahan dan kebudayaan. Sekarang peninggalan budaya zaman dulu itu telah
menjadi salah satu aset yang bisa dijual sehingga tidak salah jika saat ini Kota
Solo memiliki slogan “Solo the Spirit of Java”.
Berkunjung ke Surakarta tidak lengkap rasanya jika tidak melihat keraton
Surakarta yang dibangun pada tahun 1745 oleh Raja Paku Buwono II. Di keraton
Surakarta ini wisatawan masih bisa melihat sisa-sisa keagungan zaman raja-raja
dahulu. Selain itu juga bisa dilihat berbagai peninggalan zaman dahulu yang
menjadi koleksi di museum Keraton Surakarta seperti kuda kereta, senjata kuno
serta keris dan benda-benda antik lainnya.
Tempat lainnya yang masih berhubungan dengan raja-raja zaman dahulu
adalah pura Mangkunegaran. Selain menyimpan benda-benda kuno bersejarah, di
Poro Mangkunegaran ini juga terdapat perpustakaan Reksopustoko yang
menyimpan ribuan naskah kuno berisi filsafat, babad tanah jawa, serta keagamaan
yang masih meggunakan bahasa jawa kuno maupun yang sudah diterjemahkan
baik kedalam bahasa Indonesia maupun bahasa Belanda. Di Pura Mangkunegaran
ini pengunjung bisa menikmati tarian-tarian karena setiap sore pendopo Pura
Mangkunegaran digunakan untuk latihan menari.
Lepas dari wisata budaya belum cukup juga rasanya jika wisatawan tidak
melakukan wisata belanja sekaligus wisata di Kampung Batik di daerah Laweyan.
Berbagai macam jenis batik, mulai dari kain batik sutera hingga batik yang
193
harganya hanya puluhan ribu juga bisa diperoleh di Kelewer yang letaknya tidak
jauh dari Keraton Surakarta.
Sementara di Kampoeng Batik Laweyan wisatawan akan dibawa
bernostalgia di zaman dahulu di dalam kampung yang dulunya dikenal sebagai
kampung saudagar batik. Bangunan kuno dengan halaman yang luas serta pagar
tembok yang tinggi masih banyak ditemukan disana.
Kota Solo selain dikenal dengan sebutan kota budaya, tampaknya juga
layak untuk disebut sebagai kota kuliner. Banyak menu tradisional yang rasanya
tidak kalah lezat dengan makanan modern. Pada saat ini Kota Solo sedang giat-
giatnya melakukan pembangunan, baik dari segi ekonomi maupun budaya.
Berbagai atraksi seni budaya juga terus digelar untuk meningkatkan pengunjung
maupun wisatawan yang datang ke Kota Solo. Acara yang telah digelar adalah
Sekaten dan Gunungan Maulud Nabi, Selain itu juga akan digelar karnaval batik
tingkat Internasional dengan mengambil tema batik. Acara yang digelar tersebut
bertujuan untuk mengenalkan Solo akan batiknya dan ingin mengenalkan batik ke
dunia Internasional. Dengan hal tersebut pembangunan tidak harus melupakan
budaya khas Solo. (www.Surakarta.online.com)
Kota Surakarta merupakan salah satu kota yang memiliki kegiatan industri
yang beragam, diantaranya berupa kegiatan produksi batik, keris gamelan, dan
busana jawa serta aktivitas lainnya yang telah ada sejak dulu. Perjalanan sejarah
kegiatan perekonomian tersebut dipengaruhi oleh budaya dari Kerajaan Mataram
Islam dan pemerintahan Belanda serta budaya sebagai kota dagang. Dengan
demikian, aktivitas kegiatan ekonomi masyarakat tersebut tentunya menjadi salah
194
satu bagian peninggalan sejarah tersendiri, baik dalam bentuk tangible yang
berupa sarana pewadahan aktivitasnya maupun yang berbentuk intangible yang
berupa aktivitas itu sendiri beserta instrumen dan produknya. Pusaka budaya
tersebut atau dapat disebut dengan pusaka industri mampu memberikan bagian
alur cerita sejarah perkembangan kota dari sisi perekonomian dan menjadi bagian
dari nilai sosial catatan kehidupan keseharian masyarakat, dan memberikan sense
of identity yang penting. Oleh karena itu, pusaka industri yang dimiliki perlu
dilestarikan dalam rangka mampu mempertahankan eksistensi aktivitas ekonomi
masyarakat yang telah ada sejak dulu serta mampu mempertahankan bangunan-
bangunan sejarah perkembangan ekonomi bagi Kota Surakarta.
Kota Surakarta dikenal identik dengan kerajinan batik yang sudah terkenal
pada tingkat nasional hingga internasional dengan jumlah pengusaha batik
mencapai 200 lebih industri yang didominasi oleh pengusaha UKM. Jenis usaha
batiknya pun beragam mulai dari hanya pemotifan, hingga yang sudah komplit
dalam satu usaha. Banyaknya usaha batik ini memberikan efek positif dalam
perekonomian, disamping itu ternyata industri batik masih menyisakan persoalan
lingkungan terkait dengan pencemaran akibat limbah cair yang masih belum
diolah atau belum optimal diolah. Biaya pengolahan limbah cair industri batik
yang mahal masih menjadi kendala terbesar bagi UKM Batik.
Banyaknya event yang digelar di Kota Surakarta ini menjadi salah satu
bukti bahwa pemerintah Kota Surakarta benar-benar ingin mengangkat eksistensi
masyarakat Solo dengan citra batiknya yang khas sehingga mampu bersaing
195
dengan masyarakat Luar Solo atau bahkan dengan masyarakat Internasional.
Salah satu tempat yang menjadi sentra batik di kota Solo adalah Laweyan.
B. Gambaran Umum Laweyan
1. Sejarah Laweyan
Kelurahan Laweyan merupakan kawasan sentra industri batik yang unik,
spesifik dan bersejarah. Desa Laweyan (kini wilayah Kelurahan Laweyan) sudah
ada sebelum munculnya kerajaan Pajang. Sejarah kawasan Laweyan baru berarti
setelah Kyai Ageng Henis bermukin di desa Laweyan pada tahun 1500 an M,
Kyai Ageng Henis adalah putra dari Kyai Ageng Selo yang merupakan keturunan
raja Brawijaya V. Kyai Ageng Henis atau Kyai Ageng Laweyan adalah juga
manggala pinituaning nagara kerajaan Pajang senasa Jaka Tingkir menjadi Adipati
Pajang pada tahun 1546 M. Dari beliaulah seni membatik diperkenalkan kepada
santri-santrinya yang berguru kepadanya di Laweyan dan di kampoeng inilah Ki
Ageng Henis dimakamkan, dan salah satu peninggalannya adalah masjid Laweyan
yang dibangun tahun 1546.
Laweyan tumbuh sebagai pusat perdagangan, terutama perdagangan Lawe
atau benang untuk bahan tenun. Lawe berasal dari pinilan kapas yang saat itu
dihasilkan oleh petani Pedan, Juwiring dan Gawok. yang terletak di selatan pusat
Kerajaan Pajang. Lawe inilah yang kemudian melahirkan nama Laweyan (pakar
sejarah UNS, Drs. Sudarmono.SU).
Lawe dan tenun pasar kemudian dijual keberbagai daerah dengan
memanfaatkan angkutan sungai karena didekat Pasar Laweyan juga terdapat
196
bandar atau pelabuhan yang bernama Bandar Kabanaran. selain itu juga terdapat
kampung Lor (utara) pasar dan kampung kidul (selatan) pasar. Dari pelabuhan ini
barang dagangan diangkut dengan rakit ke pelabuhan yang lebih besar di
Nusupan, di tepi Bengawan Semanggi yang kini dikenal dengan Bengawan Solo.
Di Utara Pasar Laweyan bermukim Sutowijoyo (cucu Ki Ageng Henis)
anak Ki Gede Pemanahan. Ia populer dengan sebutan Raden Mas Ngabehi Loring
Pasar, karena bermukim di Lor (Utara) pasar. Anak dan Bapak inilah yang
berhasil menyingkirkan musuh Hadiwijoyo, yakni Adipati Jipang, Aryo
Panangsang. Atas jasa ini maka Sultan Pajang memberikan hadiah berupa tanah di
Mentaok untuk Sutowijoyo. Mentaok yang semula hutan ditangan Sutowijoyo
berubah menjadi pedesaan, dan akhirnya menjadi Kota Gede (Imogiri) dan
disinilah Kerajaan Mataram I berdiri dengan Rajanya Sutowijoyo, yang bergelar
Panembahan Senopati.
Seiring berkembangnya Solo sebagai pusat kerajaan, popularitas Laweyan
pun mulai surut. Pasar Laweyan makin berkurang kumandangnya, dan bandar
Kabanaran mulai kehilangan fungsi, setelah transportasi beralih memakai jalan
darat dan kereta api, Kampoeng Laweyan berkembang sebagai pemukiman yang
sebagian besar warganya menggeluti industri tenun lalu menjadi industri batik.
Laweyan kembali tenar di awal abad ke 20, pada masa itu industri batik
tumbuh dengan pesat, sehingga melahirkan para saudagar yang kekayaannya
melebihi kaum bangsawan keraton. Di tahun 1930 an jumlah industri batik di Solo
mencapai 230 an dan sebagian besar berada di Laweyan. Setiap tahun Laweyan
memproduksi batik tidak kurang dari 60.400 potong batik.
197
Masyarakat Laweyan terdiri dari beberapa kelompok, yakni kelompok
saudagar (pedagang), wong cilik (orang kebanyakan), wong mutihan (muslim)
dan priyayi (bangsawan). Saudagar yang paling dominan adalah saudagar batik.
Mereka memiliki usaha batik dengan jaringan pemasaran yang sangat luas. Kaum
saudagar menjadi kelas menengah, bukan kelas atas seperti bangsawan, namun
memiliki kekuatan ekonomi yang tidak kalah dengan bangsawan.
Kelas menengah tidak hanya eksis secara ekonomi tetapi juga secara
politis. Mereka melibatkan diri dalam pergerakan menuju Indonesia Merdeka. Ini
dibuktikan dengan didirikannya Sarekat Dagang Inslam tahun 1911 oleh seorang
saudagar batik, KH. Samanhudi yang kemudian menjadi Sarekat Islam. Selain itu
juga berdiri Persatoean Peroesahaan Batik Boemipoetra Soerakarta (PPBBS)
tahun 1935. Hebatnya, usaha batik ini justru lebih banyak dikendalikan oleh kaum
perempuan. Mereka adalah perempuan-perempuan yang terampil mengelola
usaha, mulai dari proses membatik, memasarkan, mengelola keuangan hingga
mengembangkan usaha. Sebutan untuk mereka adalah Mbok Mase, dan suami
adalah Mas Nganten.
Peran Mbok Mase dalam industri Batik Laweyan sangat dominan,
sedangkan peran Mas Nganten hanya 25%. Keberhasilan perempuan mengangkat
batik sebenarnya juga merupakan keberhasilan mereka dalam mengangkat status,
bukan lagi perempuan yang terpinggirkan melainkan telah memperoleh posisi
secara proporsional. Mereka tetap menghormati suami sebagai kepala rumah
tangga, dan memberikan kebebasan. Mas Nganten boleh melakukan apa saja
asalkan jangan foya-foya dan poligami.
198
Gaya hidup saudagar memiliki kelas tersendiri. Penghasilan saudagar bisa
mencapai 60.000 gulden setiap tahunnya dan penghasilan tersebut jauh melebihi
penghasilan kaum ningrat di keraton. Mereka membangun rumah-rumah mewah
dengan arsitektur art deco dan dikelilingi tembok tinggi layaknya benteng.
Mereka memiliki kuda, bahkan kereta hingga mobil.
Pada saat Keraton Kartasura diduduki pemberontak China (1741), Paku
Buwono II melarikan diri ke Ponorogo. Raja Mataram tersebut bermaksud
meminjam kuda para saudagar untuk kepentingan pelarian, tetapi para saudagar
menolaknya. Hal ini merupakan salah satu bentuk perlawanan terhadap kaum
ningrat yang suka foya-foya dan poligami. Penolakan tersebut jelas membuat
Paku Buwono II kecewa, kemudian ia bertitah bahwa keturunan ningrat tidak
boleh menikah dengan keturunan saudagar Laweyan. Namun mitos ini semakin
memudar. Hubungan saudagar dan bangsawan tetap berjalan dengan baik, karena
bagaimanapun batik sulit dipisahkan dengan keraton.
Mbok Mase menyiapkan anak-anak perempuannya menjadi penerus usaha.
Anak perempuan yang disebut Mas Roro ini sejak kecil sudah dilibatkan dalam
industri batik. Kemudian dinikahkan, membina rumah tangga dan
mengembangkan usaha batik hingga akhirnya menjadi pasangan Mbok Mase dan
Mas Nganten.
Alih generasi semacam ini berlangsung hingga beberapa keturunan, namun
memasuki tahun 1970 an industri batik di Laweyan mulai goyah dan surut diterpa
oleh teknologi-teknologi modern dengan pemain-pemain baru yang lebih
199
bermodal kuat dengan industri tekstil printing. Mbok Mase ternyata tidak berhasil
menyiapkan Mas Roro untuk memasuki industri yang lebih modern.
Sisa-sisa kejayaan saudagar Laweyan hingga kini masih bisa dinikmati,
bangunan Ndalem Cokrosumarto misalnya, rumah ini dibangun tahun 1915 dan
masih utuh dan terawat dengan bagus. Pada masa lalu rumah ini sering
dipergunakan untuk pertemuan kaum pergerakan. Perundingan antar Gerilyawan
RI dengan Belanda berlangsung juga dirumah ini pada tanggal 12 November
1949. Bangunan rumah saudagar terdiri dari pendopo, ndalem, senthong, gandok,
pavilion, pabrik, regol dan halaman depan cukup luas dengan orientasi bangunan
menghadap utara-selatan. Hampir tiap rumah memiliki pintu kecil sebagai
butulan. Pintu ini menghubungkan dengan rumah lainnya agar akses silaturahmi
selalu terjaga. Selain pintu butulan, beberapa rumah saudagar terdapat Bunker
bawah tanah yang berfungsi untuk bersembunyi dari serangan-serangan maupun
untuk menyimpan kekayaan. Bunker tersebut ada yang tembus ke rumah tetangga
yang dihubungkan dengan lorong bawah tanah, namun ada juga yang buntu.
Bunker yang tembus terdapat pada bangunan sebelum abad ke 20 atau pada jaman
kerajaan Pajang. Peninggalan ini masih dapat kita lihat pada kediaman Bp. Harun
Muryadi di Setono Rt.02/II Laweyan. Menurut Harun Muryadi rumah tersebut
peninggalan Hangabehi Kertayuda seorang abdi dalem kerajaan Pajang yang
diberikan kepada ayahnya (R. Wilasdi Wiryosupadmo) yang tidak lain adalah
keturunan ketujuh dari Hangabehi Kertayuda. Akses Bunker yang tembus
ketempat lain banyak yang ditutup setelah pemberontakan PKI tahun 1948 karena
sering disangka sebagai tempat persembunyian orang PKI.
200
Memasuki tahun 1990 an industri batik di Laweyan kian memprihatinkan,
namun walau demikian Laweyan masih bisa mengumandangkan batik dengan
pembatiknya yang semakin susut. Sekarang setelah ditetapkan sebagai Kampoeng
Batik Laweyan dan menjadi salah satu icon batik di Kota Solo maka semakin
banyak pecinta batik yang berkunjung ke Laweyan mencari atau memesan batik
yang eksklusif apalagi para kolektor batik.
Laweyan sebagai salah satu kawasan bersejarah di Kota Surakarta
memiliki banyak potensi. Selain menyimpan banyak sejarah, Laweyan yang telah
dikenal sejak zaman kerajaan pajang memiliki tradisi yang unik. Sebagian
masyarakatnya bermata pencaharian sebagai pembatik. Umumnya mereka
memproduksi batik-batik hasil olahan mereka sendiri atas permintaan masyarakat
menengah kebawah. Hampir sebagaian besar penduduk di Kelurahan Laweyan
berprofesi sebagai pengrajin batik, baik sebagai pengusaha maupun sebagai buruh
atau pekerja.
Karena tidak ingin Laweyan tenggelam diterpa jaman, maka pada tanggal
25 September 2004 dicanangkan Laweyan menjadi Kampoeng Batik dan
sekaligus sebagai daerah tujuan wisata di Kota Solo. Pada saat yang bersamaan
terbentuklah Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan. Forum ini
memiliki visi “ menjadikan Laweyan sebagai kawasan wisata dan cagar budaya
melalui pengembangan dan pelestarian potensi serta keunikan lokal sehingga
menjadi salah satu identitas Kota Surakarta.” Sedangkan misinya adalah “
memberikan arahan pengembangan/ penataan kawasan dari segi fungsi, struktur
ruang, fasilitas pelayanan dan infrastruktur yang bertumpu pada industri batik dan
201
non batik, situs bersejarah, arsitektur khas Laweyan, lingkungan serta sosial
budaya”.
Sejak itulah Laweyan dianggap sebagai orang “tertidur” yang mulai
bangkit dan berbenah dengan mengandalkan keunikan-keunikan kawasan dan
industri batik yang dikemas dengan nuansa wisata “ Tiga Zaman”, yaitu zaman
keemasan kerajaan Pajang, zaman kejayaan batik dan zaman kehancuran dan
kebangkitan batik era sekarang. (Suyono:2009)
2. Sosial dan Budaya Masyarakat
Menurut Sarsono dan Suyatno (Widayati, 2002) terdapat pengelompokan
sosial dalam kehidupan masyarakat Laweyan, yaitu : kelompok wong saudagar
(pedagang), wong cilik (orang kebanyakan), wong mutihan (Islam atau alim
ulama) dan wong priyayi (bangsawan atau pejabat). Selain itu dikenal pula
golongan saudagar atau juragan batik dengan pihak wanita sebagai pemegang
peranan penting dalam menjalankan roda perdagangan batik.
Sebagian masyarakat Laweyan masih tampak aktif nguri-uri
(melestarikan) kesenian tradisional, seperti musik keroncong dan karawitan yang
biasanya ditampilkan atau dimainkan sebagai pengisi acara hajatan, seperti
mantenan, sunatan, tetakan dan kelahiran bayi. Dalam bidang keagamaan,
sebagian besar penduduk penduduk Laweyan yang beragama Islam dan terlihat
aktif menyelenggarakan kegiatan-kegiatan keagamaan seperti pengajian,
tadarusan dan aktivitas keagamaan lainnya baik secara terjadwal maupun
insidental.
3. Kondisi Geografis
202
a) Letak Wilayah dan Batas Desa
Kelurahan Laweyan termasuk pada Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta yang
terletak pada barat daya kota Surakarta yang berbatasan langsung dengan
Kabupaten Sukoharjo. Kelurahan Laweyan terdiri dari 8 kampung kecil yaitu :
· kampung kwanggan
· kampung sayangan kulon
· kampung sayangan wetan
· kampung kramat
· kampung sentono
· kampung lor pasar
· kampung kidul pasar
· kampung klaseman
Secara administratif Kelurahan Laweyan berbatasan dengan :
Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Bumi
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo
Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Pajang
Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Sondakan
b) Luas Wilayah dan Tata Guna Lahan
Luas wilayah kelurahan Laweyan adalah 0,248 km2, dengan luas pemukiman
hampir mendominasi seluruh lahan yang ada yaitu sekitar 91,9% atau 0,228 km2.
Sedangkan lahan yang digunakan untuk prasarana umum dan lainnya hanya 0,02
km2 atau sekitar 8% saja.
203
4. Kondisi Demografi
a) Distribusi Penduduk Menurut Kelompok Umur, Tenaga Kerja dan Pendidikan
Penduduk Laweyan tersebar pada 8 kampung dengan tingkat kepadatan yang
hampir sama di tiap-tiap kampung. Dengan jumlah penduduk 2565 jiwa,
perbandingan jumlah antara laki-laki dan wanita tidak begitu mencolok. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 3
Jumlah Penduduk Dalam Kelompok Umur dan Jenis Kelamin
Kelurahan Laweyan Tahun 2009
Kelompok Umur
Laki-laki Perempuan Jumlah
0 - 4 5 - 9
10 - 14 15 - 19 20 - 24 25 - 29 30 - 39 40 - 49 50 - 59
60 +
55 63 113 149 144 145 155 146 161 73
45 84 194 152 154 148 161 162 161 95
100 147 307 301 298 293 316 308 322 168
Jumlah 1204 1361 2565 Sumber : Data monografi kelurahan Laweyan tahun 2009
Laweyan menyimpan potensi tenaga kerja yang belum dikembangkan
secara maksimal. Penduduk usia produktif memang mempunyai ragam pekerjaan
yang berbeda, namun potensi yang jelas terlihat pada sektor tenaga kerja adalah
kemampuan membatik yang diwariskan secara turun temurun. Hal tersebut
terutama terlihat pada wanita yang sudah sejak dahulu mengelola batik dan jika
dikembangkan akan akan mampu menjadi usahawan dengan bisnis batiknya yang
204
lebih besar lagi. Namun karena stereotype dan beban ganda yang dilekatkan pada
wanita, menyebabkan wanita ini hanya bekerja sebatas lingkungan rumahnya,
sedangkan untuk urusan pemasaran dan hubungan dengan pihak luar lebih
didominasi oleh kaum laki-laki.
Distribusi penduduk 5 tahun keatas menurut pendidikan tertinggi yang
ditamatkan menunjukkan hasil baik. Dari data yang ada menunjukkan bahwa
angka tamat sekolah memang beragam mulai dari tamat SD hingga Strata 2. Dari
hal ini dapat dikatakan bahwa penduduk Laweyan sudah banyak yang
mengenyam pendidikan tinggi dengan jumlah lulusan Sarjana sebanyak 258
orang. Jika dilihat dari distribusi pendidikan memang masyarakatnya cukup baik
dan terbuka dalam hal pendidikan. Hal ini memang sangat dibutuhkan mengingat
Laweyan sebagai salah satu pusat industri batik di Kota Solo yang memang
membutuhkan orang-orang yang pandai dan terampil serta mempunyai
pengetahuan yang luas sehingga diharapkan mampu untuk mengembangkan
industri batik di Laweyan pada khususnya dan industri batik di Solo pada
umumnya.
Tabel 4
Penduduk menurut tingkat pendidikan umur 5 tahun keatas
Kelurahan Laweyan tahun 2009
Tingkat Pendidikan Jumlah
Tidak/belum sekolah
Belum Tamat SD
Tidak Tamat SD
140
155
102
205
Tamat SD
SLTP/Sederajat
SLTA/Sederajat
Diploma III
Diploma IV/S1
Strata 2
187
288
771
118
235
23
Jumlah 2019
Sumber : Bank Data Kelurahan Laweyan tahun 2009
b) Distribusi Penduduk Menurut Mata Pencaharian
Jumlah Kepala Keluarga yang mendiami wilayah ini sebanyak 609 kepala
keluarga. Sebagian besar penduduk Kelurahan Laweyan bermata pencaharian
sebagai buruh industri, terutama industri batik. Selain dikenal sebagai sentra batik,
Laweyan juga dikenal sebagai pemukiman islam dan merupakan bekas poros
keraton Mataram di Kartasura yang masih kental dengan adat dan budaya Jawa.
Selain buruh industri juga masih banyak lagi mata pencaharian penduduk
Laweyan diantaranya adalah nelayan, pengusaha, buruh bangunan, pedagang,
pengangkutan, pensiunan dan lain-lain. Untuk dapat jelasnya dapat dilihat pada
tabel dibawah ini :
Tabel 5
Mata Pencaharian Penduduk Laweyan
Usia 10 tahun keatas tahun 2009
No Jenis Pekerjaan Jumlah
1.
2.
Petani Sendiri
Buruh Tani
-
-
206
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
Nelayan
Pengusaha
Buruh Industri
Buruh Bangunan
Pedagang
Pengangkutan
Pegawai NegeriSipil/ ABRI
Pensiunan
Lain-lain
-
60
200
150
50
75
20
28
1111
Jumlah 1694
Sumber : Laporan Monografi Dinamis Kelurahan Laweyan 2009
Sebagai jantung kecamatan Laweyan, Kelurahan Laweyan mempuyai
potensi yang cukup menonjol sebagai sentra industri batik Surakarta. Selain
sebagai pegiat ekonomi rakyat, Laweyan juga berpotensi membangkitkan
kepariwisataan di kota Surakarta sebagai Kota Batik.
5. Sarana dan Prasarana Penunjang
a) Sarana dan Prasarana Perekonomian
Sebagai salah satu kawasan wisata dan sentra batik di Kota Surakarta,
Laweyan mempunyai sarana dan prasarana pendukung kegiatan ekonomi
masyarakatnya terutama yang mendukung jalannya kegiatan membatik sebagai
kegiatan utama penduduk Laweyan. Sarana penunjang kegiatan perekonomian di
Laweyan berupa sarana pendukung kegiatan produksi batik seperti drainase atau
saluran pembuangan limbah sisa produksi batik, namun karena kurangnya
perhatian dari pemerintah kota, sarana drainase ini kurang memadai untuk
mencukupi kebutuhan bagi industri-industri rumahan yang semakin berkembang
disana. Hal ini terlihat dari keruhnya air sungai yang melintasi Laweyan dan tidak
207
jarang juga berwarna karena pewarna pakaian yang sering digunakan dalam
industri ini.
b) Sarana dan Prasarana Perumahan
Masyarakat Laweyan bukanlah keturunan bangsawan, tetapi karena
mempunyai hubungan yang erat dengan kraton melalui perdagangan batik serta
didukung dengan kekayaan yang ada, maka corak pemukiman khususnya milik
para saudagar batik banyak dipengaruhi oleh corak pemukiman bangsawan Jawa .
Bangunan rumah saudagar biasanya terdiri dari Pendopo, ndalem, sentong,
gandok, pavilion, pabrik, beteng, regol, halaman depan rumah yang cukup luas
dengan orientasi bangunan menghadap utara-selatan. Atap bangunan kebanyakan
menggunakan atap limasan bukan joglo karena bukan keturunan bangsawan
(Widayati, 2002).
Dalam perkembangannya sebagai salah satu usaha untuk lebih
mempertegas eksistensinya sebagai kawasan yang spesifik, corak bangunan di
Laweyan banyak dipengaruhi oleh gaya arsitektur Eropa dan Islam, sehingga
banyak bermunculan bangunan bergaya arsitektur Indisch (Jawa-Eropah) dengan
façade sederhana, berorientasi ke dalam, fleksibel, berpagar tinggi lengkap
dengan lantai yang bermotif karpet khas Timur Tengah. Keberadaan “beteng”
tinggi yang banyak memunculkan gang-gang sempit merupakan ciri khas
Laweyan selain untuk keamanan juga merupakan salah satu usaha para saudagar
untuk menjaga privacy dan memperoleh daerah “kekuasaan” di lingkungan
komunitasnya.
208
Gb.1 Rumah Jawa
Gb.2 Rumah Indische
Permukiman Tradisional
Permukiman tradisional biasanya banyak dicirikan dengan munculnya
massa bangunan yang mempunyai tampak berupa dinding – dinding tertutup
menghimpit dan dikelilingi oleh gang atau jalan sempit (Cobusier dalam Carmona
dkk. 2003). Massa bangunan dalam permukiman tradisional saling berhimpitan
antara satu dengan lainnya, muka bangunan berhimpit dengan jalan, tampak
bangunan menyerupai dinding. (Carmona dkk.,2003). Menurut Rowe dan Kotter
dalam Carmona dkk. (2003) massa bangunan dalam kota tradisional atau kuno
biasanya berhubungan satu dengan lainnya membentuk blok bangunan atau urban
block. Antara urban block satu dengan lainnya dipisahkan oleh jalan berpola grid
dan ruang umum sehingga membentuk butiran – butiran urban blocks yang relatif
kecil. Masih menurut Rowe dan Kotter dalam Carmona dkk. (2003) ketinggian
209
bangunan di kawasan tradisional relatif rendah dan hampir mempunyai ketinggian
sama antara satu dengan yang lainnya, perkecualian di beberapa bangunan umum
dan peribadatan mempunyai massa yang lebih tinggi dan menonjol. Sedangkan
untuk kota modern , massa bangunan biasanya membentuk blok – blok dengan
butiran blok yang besar. Massa bangunan membentuk super blocks dan dikelilingi
oleh taman di sekitarnya. Super blocks biasanya dibatasi oleh jalan – jalan berpola
grid yang merupakan jalan utama penghubung antar kawasan. Kampung Laweyan
sebagai permukiman tradisional, elemen kawasannya dibentuk oleh butiran massa
yang saling berdekatan membentuk jalan lingkungan yang relatif sempit. Massa
bangunan milik juragan batik sebagian besar terdiri dari massa bangunan besar
dan sedang. Bangunan tersebut biasanya dilengkapi dengan pagar tinggi yang
menyerupai “beteng”. Adapun massa bangunan kecil jumlahnya lebih sedikit dan
sebagian besar merupakan milik pekerja batik.
210
Gb.3 Jalan / Gang di Kampung Laweyan
(Alpha Febela Priyatmono:2004)
c) Sumber Daya Air
Sumber Daya Air di Laweyan yang digunakan sebagai air minum berasal
dari banyak sumber, yakni sumur gali, sumur pompa, bahkan juga hidran umum,
PAM dan sebagainya. Jumlah sumur gali yang ada di Laweyan mencapai 142,
Sumur pompa 25 dan sumur hidran sebanyak 3 dengan kondisi yang bermacam-
macam mulai dari kondisi yang baik hingga kondisi yang rusak atau kurang baik.
Sebagian besar masyarakat Laweyan masih menggunakan air PAM sebagai
konsumsi air minum rumah tangganya. Hal tersebut terbukti dari jumlah
pengguna air PAM sebanyak 305 KK. Untuk kondisi paling sedikit adalah
keluarga yang menggunakan Hidran umum yakni sebanyak 50 KK.
Tabel 6
Sumber Air Minum masyarakat di Kelurahan Laweyan
Sumber air Jumlah (unit) Pengguna
Mata Air
Sumur gali
Sumur pompa
Hidran umum
PAM
Pipa
Sungai
-
142
25
3
-
-
-
-
100 KK
55 KK
50 KK
305 KK
-
-
Sumber : Daftar Potensi Kelurahan Laweyan 2009
211
Sedangkan untuk jumlah prasarana air bersih yang ada di Kelurahan
Laweyan ada dari berbagai sumber yakni dari sumur pompa, sumur gali dan juga
hidran umum, selain itu juga ada dari fasilitas rumah tangga yang berupa MCK.
Tabel 7
Jumlah Prasarana Air Bersih Masyarakat Laweyan
Prasarana Air Bersih Jumlah Keterangan
Sumur pompa
Sumur Gali
Hidran Umum
MCK
18
98
4
6
Ada
Ada
Ada
Ada
Sumber : Daftar Potensi Kelurahan Laweyan 2009
Untuk ketersediaan sarana air bersih sebagian besar juga berasal dari
sumber air sumur gali yang ada di tiap-tiap rumah penduduk. Banyaknya kepala
keluarga yang menggunakan air bersih dari sumur gali ada sebanyak 215 KK.
Selain itu penduduk juga banyak yang memilih menggunakan pipa-pipa untuk
mendapatkan air bersih yakni sebanyak 260 KK. Masyarakat yang menggunakan
air sungai sebagai konsumsi air bersih mereka tidak ada karena memang air
sungai yang mengalir di Laweyan sangat kotor dan bahkan tak jarang juga sudah
tercemar oleh bahan-bahan pewarna dari industri rumah tangga maupun industri
batik yang ada di daerah tersebut. Sehingga masyarakat enggan untuk
menggunakan air sungai untuk konsumsi sehari-hari. Sungai hanya digunakan
sebagai tempat pembuangan limbah rumah tangga, maka dari itu sangatlah wajar
jika kondisi sungai keruh dan banyak bahan pencemar.
212
Gb. 4 kualitas air sungai yang keruh
Tabel 8 Jumlah Prasarana Air Bersih Masyarakat Laweyan Menurut Penggunanya
Prasarana Air Bersih Jumlah Pengguna (KK) Air sumur gali
Air sungai Hidran umum Sumur pompa
Perpipaan PAM MCK
215 -
75 50 260
- 50
Sumber : Daftar Potensi Kelurahan Laweyan 2009 Kualitas air minum yang berasal dari sumur baik itu sumur gali ataupun
sumur pompa kondisinya masih baik. Begitu juga dengan Hidran umum yang
tersedia dan juga PAM dan pipa. Sedangkan untuk sungai memang sangat
tercemar. Pencemaran sungai yang ada di Laweyan sedikit banyak juga atas
perilaku dari masyarakat yang ada di Laweyan. Dengan perilaku mereka yang
salah misalnya membuang sampah, baik itu sampah padat maupun cair ke sungai
akan ikut mempengaruhi kualitas dari air sungai terebut. Banyaknya masyarakat
yang berprofesi sebagai pengusaha batik juga menjadikan sungai tercemar jika
limbah pewarna batiknya dibuang ke sungai.
213
Gb.5 kondisi sungai yang tercemar
Tabel 9
Kualitas Air Minum Masyarakat Kelurahan Laweyan
Sumber Air Kualitas Air Mata air
Sumur gali Sumur pompa Hidran umum
PAM Pipa
Sungai
- Baik Baik Baik Baik Baik
Tercemar Sumber : Daftar Potensi Kelurahan Laweyan 2009
BAB III
HASIL PENELITIAN
214
A. Profil Informan Masyarakat Kelurahan Laweyan Kecamatan Laweyan
Kota Surakarta.
Dari keseluruhan jumlah penduduk di Laweyan dengan berbagai macam
mata pencaharian, yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah 11 orang
yang dipilih berdasarkan keragaman mata pencaharian atau profesi, jenis kelamin,
usia, jarak rumah atau tempat tinggalnya dengan sungai Jenes dan juga asal
daerah. Hal tersebut dipilih agar dapat dibandingkan pola perilakunya dalam
menjaga kelestarian sungai serta dampak yang dirasakan dari kondisi sungai yang
kualitas airnya semakin keruh.
Gambaran tentang profil informan akan dijabarkan secara ringkas melalui
tabel-tabel dibawah ini, dimana tabel-tabel ini bersumber dari hasil wawancara:
Tabel 10 Profil Informan
No Masyarakat berdasar profesi
Jenis kelamin
Usia (th)
Jarak rumah dengan sungai
Asal daerah
1. Produsen Batik Laki-laki 40 ±100 m Laweyan 2. Tokoh Masyarakat (FPKBL) Laki-Laki 42 ±300 m Laweyan 3. Tokoh Lingkungan Hidup Perempuan 40 ±300 m Laweyan 4. Pedagang batik Laki-Laki 47 ± 5 m Wonogiri 5. Usaha batik rumahan Perempuan 45 ± 5 m Laweyan 6. Pegawai pabrik Laki-Laki 36 ± 5 m Wonogiri
7. Pengurus IPAL Laki-Laki 50 ± 10 m Laweyan 8. Pelajar Laki-laki 4 ± 5 m Laweyan 9. Pelajar Perempuan 7 ± 15 m Laweyan 10. Pedagang/wiraswasta Perempuan 45 ± 15 m Laweyan 11. Ibu Rumah Tangga Perempuan 28 ± 20 m Yogyakarta Sumber : Data primer
Dari tabel diatas dapat digambarkan bahwa jumlah informan dalam
penelitian ini adalah sebanyak 11 orang dengan berbagai profesi yang berbeda.
215
Dari keragaman profesi tersebut maka akan dilihat bagaimana profesi tersebut
mempengaruhi pola perilaku serta kontribusi yang berbeda pula dalam
mewujudkan lingkungan hidup yang aman, nyaman dan bebas dari penyakit
dimana dalam hal ini adalah lingkungan sungai Jenes, bagaimana ekologi serta
ekosisem yang ada didalamnya sebagaimana yang kita tahu bersama bahwa dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat tidaklah mungkin lepas dari lingkungan sekitar
tempat tinggalnya.
Lingkungan merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, daya
keadaan dan makhluk hidup, termasuk didalamnya manusia dan perilakunya yang
mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta
makhluk hidup lainnya. Sedangkan lingkungan hidup merupakan ekologi terapan
dengan tujuan agar manusia dapat menerapkan prinsip dan konsep pokok ekologi
dalam lingkungan hidupnya. Manusia banyak menentukan corak kehidupan dan
mempunyai peran yang sangat dominan terhadap ekosistem bumi. (Pramudya
Sunu: 2001: 10)
Dari kesebelas informan tersebut ada laki-laki sebanyak 6 orang dan 5
orang perempuan. Banyaknya informan laki-laki dikarenakan dari segi pengusaha,
pengurus IPAL itu sendiri adalah kaum laki-laki walaupun juga ada perempuan
namun untuk penggerak di bidang lingkungan hidup di Laweyan masih terhitung
sedikit. Selain itu juga tokoh masyarakat yang ada di Laweyan juga sebagian
besar adalah kaum laki-laki sehingga informan yang ditemui lebih banyak laki-
laki daripada perempuan. Dengan jumlah informan yang hanya terpaut satu saja
antara laki-laki dan perempuan juga dijadikan sebagai pembanding antara tingkat
216
kepedulian terhadap lingkungan apakah lebih peduli laki-laki atau lebih peduli
perempuan.
Jika dilihat dari usia informan maka jaraknya ada yang terpaut jauh yakni
mulai dari 4 tahun sampai 36 tahun. Dengan usia yang terpaut cukup jauh akan
dijadikan pembanding dari perilakunya. Perilaku yang mereka lakukan yang
berkaitan dengan keberadaan dari Sungai Jenes juga dapat dikatakan merupakan
suatu kebiasaan. Baik itu perilaku yang positif maupun negatif dalam
memperlakukan sebuah sungai yang berada disekitar lingkungan tempat
tinggalnya. Dengan usia yang masih kecil dan masih duduk di bangku sekolah
dasar dan juga Taman Kanak-kanak (TK) akan menjadi suatu hal yang menarik
jika diteliti. Apakah yang melatarbelakangi seorang anak dalam berperilaku dalam
kehidupan sehari-hari. Sedangkan untuk usia informan yang sudah 30-an tahun
ketas merupakan usia yang sudah cukup matang, sehingga dapat diamati
bagaimana kondisi Sungai Jenes dari tahun ke tahun atau kondisi sungai tempo
dulu dan tempo sekarang. Apa yang membuat Sungai Jenes sekarang menjadi
tercemar dan kondisi airnya keruh serta dampak yang mereka rasakan.
Selain dilihat dari jenis pekerjaan, informan dalam penelitian ini juga
dilihat berdasarkan jarak tempat tinggal dan tempat usaha atau produksi batiknya
dari sungai Jenes yang alirannya melewati Laweyan.
Dari kesebelas informan yang ada dalam penelitian ini maka dapat
diketahui jarak rumah atau tempat produksi batik yang tidak begitu jauh dari
keberadaan sungai Jenes. Jarak rumah juga sedikit banyak mempengaruhi
kegiatan sehari-hari masyarakat dalam hubungannya dengan perubahan kondisi
217
sungai yang ada di Laweyan. Sungai dapat dimanfaatkan sebagai front depan dan
fron belakang bagi masyarakat yang tinggal disekitar sungai.
Jika tingkat kepedulian masyarakat terhadap lingkungan tinggi maka
sudah tentu masyarakat akan memperlakukan sungai sebagai front depan yang
akan selalu dijaga dan dirawat sehingga kondisinya akan selalu baik dan
memberikan manfaat bagi masyarakat. Namun jika masyarakat dengan tingkat
kepedulian terhadap lingkungan rendah maka dengan mudahnya mereka akan
memperlakukan sungai semena-mena sebagai front belakang dan tak jarang
sungai digunakan sebagai tempat pembuangan sampah atau limbah rumah tangga
yang akibatnya kondisi air sungai menjadi keruh dan kotor.
Jarak rumah informan tersebut beragam mulai dari yang paling dekat
dengan sungai sampai yang paling jauh dengan sungai. Jarak rumah informan
berkisar antara ± 5 m sampai dengan ± 300 m. Dengan jarak yang berbeda akan
menggambarkan perilaku masyarakat yang berbeda pula. Tidak hanya itu saja,
walaupun jarak rumah mereka kurang lebih sama maka perilaku mereka juga
berbeda antara informan yang satu dengan informan yang lain.
Informan yang ada dalam penelitian tidak semuanya merupakan penduduk
asli Laweyan melainkan ada juga penduduk yang datang dari wilayah lain. Asal
daerah informan yang berbeda juga akan menjadi pembanding terhadap pola
perilaku yang mereka lakukan selama ini dalam partisipasinya menjaga
kebersihan lingkungan hidup yang ada di Laweyan khususnya perilaku mereka
yang berhubungan dengan menjaga kualitas sungai Jenes yang mengalir di
218
Laweyan. Dengan asal daerah yang berbeda juga dapat dilihat tingkat kepedulian
informan terhadap lingkungan tempat tinggalnya.
B. Gambaran Ekologi Laweyan
Ekologi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata, yaitu oikos
yang berarti habitat atau lingkungan dan logos yang berarti ilmu pengetahuan.
Ekologi adalah merupakan suatu ilmu mengenai hubungan saling ketergantungan
antara makhluk atau organisme hidup dengan lingkungannya, secara fisik maupun
biologik. Dalam perkembangannya, ekologi juga mempelajari penyebaran
manusia dalam hubungannya dengan sumber kekayaan alam serta sosial budaya
sebagai akibat adanya hubungan saling ketergantungan tersebut.
Salah satu komponen dari ekologi manusia adalah penduduk yang
cenderung semakin meningkat, sehingga semakin banyak pula kekayaan alam
yang harus di eksploitasi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ledakan
penduduk yang tidak terkendali akan mempersulit dalam upaya melestarikan
lingkungan. Hal tersebut dapat dihindari, bila semua pihak memiliki kesadaran,
berperan dan berbuat untuk melestarikan lingkungan. (Pramudya Sunu: 2001: 9).
Dari uraian diatas maka dalam penelitian ini yang terkait dengan ekologi
lingkungan di Laweyan dapat ditinjau dari beberapa segi yakni :
1. Pengelolaan Limbah
Adanya limbah dilihat dari segi sifat maupun jumlahnya baik secara
langsung maupun tidak langsung dapat merusak dan atau mencemari lingkungan
hidup dan juga dapat membahayakan kesehatan manusia. Limbah dapat berasal
219
dari berbagai macam kegiatan, salah satunya adalah kegiatan industri. (Pramudya
Sunu: 2001: 11).
Laweyan merupakan salah satu daerah industri batik yang terkenal di Kota
Surakarta. Industri tidak lepas dengan yang namanya limbah. Seperti halnya
dengan industri-industri yang ada maka industri batik di Laweyan juga
menghasilkan limbah yang jumlahnya tidak sedikit. Untuk mengelola limbah
tersebut agar tidak mencemari lingkungan dan tidak mengganggu masyarakat
maka di Laweyan terdapat Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL).
IPAL – UKM Batik di Kampoeng Batik Laweyan Kota Surakarta
merupakan bantuan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Pro-LH – GTZ
melalui Pemerintah Kota Surakarta dan dukungan Bapeda Provinsi Jawa Tengah
sebagai implementasi dari Program Produksi Bersih dan Pengendalian
Pencemaran Air Limbah Industri kecil Batik di Kampoeng Batik Laweyan Kota
Surakarta.
a. Teknologi IPAL DEWATS-Plus
1) Konsep Teknologi DEWATS-Plus
DEWATS (Decentralized Wastewater Treatment System)
merupakan sebuah sistem pengelolaan limbah cair secara terdesentralisasi,
terdiri dari modul-modul pengolahan yang sesuai untuk aplikasi dan
desiminasi yang mudah dalam pengoperasian dan perawatan.
Teknologi DEWATS dikembangkan oleh Lembaga Pengembangan
Teknologi Pedesaan (LPTP) Surakarta, teruji untuk pengolahan air limbah
organik dan sanitasi yang berbasis pada masyarakat. Teknologi DEWATS
220
banyak diaplikasikan sebagai pengolahan limbah peternakan, industri
pengolahan makanan, limbah domestik (sanimas), limbah rumah sakit dan
hotel.
Teknologi DEWATS - Plus merupakan pengembangan dari
Teknologi DEWATS yang di desain untuk pengolahan limbah batik dan
printing kalangan UKM (Usah Kecil dan Menengah) seperti di Kampoeng
Batik Laweyan Kota Surakarta.
Konsep Teknologi DEWATS – Plus memanfaatkan energi
gravitasi secara bejana berhubungan dengan proses biologis, yang tidak
perlu input energi listrik dan bahan kimia. Penggunaan Teknlogi DEWATS
– Plus diperoleh keuntungan, selain mudah operasional dan perawatan, juga
murah.
2) Sistem IPAL Kampoeng Batik Laweyan
Teknologi DEWATS – Plus adalah sebuah sistem yang merupakan
interaksi dan interdependensi diantara subsistem yang mempunyai
kedudukan yang sama pentingnya dengan kedudukan komponen-komponen
secara individual. Sebuah sistem sebagai suatu seri interelasi dan
interdependensi bagian-bagian sehingga interaksi atau saling pengaruh
mempengaruhi setiap bagian akan mempengaruhi keseluruhan. Bekerjanya
seluruh komponen atau sub sistem tersebut akan menjamin
keberlangsungan dan keberhasilan dalam mengatasi permasalahan limbah
batik.
221
Limbah cair batik ditampung di bak penampungan air limbah yang
terdapat pada masing-masing pabrik dan dialirkan melalui scum trap yang
diukur volumenya. Setelah melalui instrumentasi, air limbah dialirkan
kedalam saluran jaringan air limbah. Dalam jarak tertentu, di dalam saluran
jaringan air limbah dibangun bak kontrol serta di dua titik persimpangan
dipasang bak intake yang sekaligus berfungsi sebagai scum trap.
Setelah melewati scum trap air limbah ditampung pada bak
equalisasi aerob (A), melalui pipa disalurkan kedalam bak anaerob dan
sedimentasi serta netralisasi/septictank (B). Dari bak B, air limbah masuk
ke bak C (baffle reaktor). Di dalam bak B sudah terjadi proses
pengendapan (sedimentasi) awal, netralisasi dan proses homogenitas dari
limbah yang berasal dari beberapa pabrik.
Air limbah mengalir masuk kedalam bak C (baffle reaktor) sebagai
bak utama untuk proses dekomposisi air limbah. Di dalam baffle reaktor
dipasang media penambat tempat berbiaknya mikroba. Setelah diproses
pada bak C, air limbah menuju ke bak D (anaerob stabilisasi) dan ke E
(anaerob filter) kemudian diabsorb dalam bak F dan G (kolom aerob). Air
yang keluar dari pengolahan ini dialirkan ke H (kolam kontrol) untuk
dibuang ke saluran/sungai.
222
3) Komponen Teknologi IPAL Kampoeng Batik Laweyan
(a) Komponen Bangunan IPAL
v Equalisasi Aerob (A)
Dalam Equalisasi Aerob terdapat proses homogenitas air limbah
serta tempat untuk mengantisipasi terjadinya fluktuasi volume air
limbah dan memisahkan partikel/komponen besar, malam, minyak
atau lemak. Selain itu, juga sebagai tempat pengambilan sampel air
limbah yang belum diolah.
v Equalisasi Anaerob (B)
Dalam bak ini merupakan tempat memasukkan nutrient (tinja), dan
menumbuhkan proses homogenitas. Konstruksi bangunan juga
dibuat tertutup agar tidak menimbulkan bau yang dapat
mengganggu masyarakat sekitar.
v Pengolahan primer sedimentasi/netralisasi model septictank (B)
Terdapat empat ruang untuk pengendapan serta stabilisasi proses
anaerob. Ruang I berfungsi memisahkan tiga bagian air limbah.
Bagian atas berbentuk busa, bagian tengah supernatan yaitu limbah
yang dialirkan pada bak selajutnya, lumpur yang berat jenisnya
lebih besar secara perlahan mengendap pada bagian bawah. Ruang
II tempat menampung supernatan aliran dari ruang I dan berfungsi
sama dengan ruang I tetapi besaran lumpur dan busa sudah
berkurang. Kegiatan serupa terus berulang hingga melalui ruang III
dan ruang IV. Proses pada setictank berlangsung tanpa
223
udara/oksigen (anaerob) atau ruangan tertutup, sehingga bakteri
anaerob tumbuh dan berkembangbiak.
v Pengolahan sekunder anaerob model Buffel Reaktor (C)
Proses yang ada disini adalah proses sedimentasi padatan yang
melalui kontak lumpur. Didalamnya dipasang batu vulkanik dan
filter polyuretan sebagai media penambat microorganisme agar
tidak mudah hanyut namun mudah berkembangbiak. Bagian atas
bangunan dipasang man hole untuk menyedot lumpur dan
perawatan
v Pengolahan tersier anaerob stabilisasi (D)
Merupakan tahap lanjutan dari baffle reaktor sebagai pengendapan
dan tempat stabilisasi dari reaktor sebelumnya.
v Pengolahan tersier anaerob dengan model media filter aluvial (E)
Didalamnya berisi batu berpori untuk penambat bakteri agar
memakan limbah yang tidak terolah pada reaktor sebelumnya.
v Pengolahan sekunder aerob/filter absorbsion karbon aktif (F)
Sebagai filter terbuka agar terjadi kontak dengan udara. Media
filter menggunakan ijuk dan karbon aktif untuk diserapnya zat
warna atau kimiawi serta mengurangi bau.
v Pengolahan tersier aerasi dengan model kolam nabati (G)
Untuk proses aerasi ditanami tumbuhan air seperti enceng gondok
dan teratai yang menghasilkan oksigen dan untuk mengikat
sebagian logam berat yang tersisa.
224
v Bak kontrol akhir (H)
Pada bak ini digunakan untuk menguji kualitas hasil akhir dari
proses pengolahan limbah. Sebagai indikator maka pada kolam
dipelihara ikan serta tempat untuk mengambil sampel air limbah
setelah diolah.
(b) Sistem Jaringan Air Limbah
v Air limbah dari masing-masing pabrik dialirkan menggunakan pipa
4” (jaringan tersier) menuju bak intake (bak pengambilan) dan
disalurkan menuju bangunan IPAL menggunakan pipa 6” (jaringan
sekunder). Kemiringan saluran tersier maupun saluran sekunder
adalah 0,9% dan jaringan pipa harus bersih atau bebas dari
genangan air. Pada saluran tinja dipasang jaringan pemipaan 4”.
Tinja berasal dari 2 atau 3 rumah tangga yang berdekatan dengan
lokasi IPAL dan disalurkan langsung masuk ke bak equalisasi
anaerob untuk menghindari timbulnya bau.
v Scum Trap (Penangkap Kotoran)
Air limbah batik dari masing-masing produsen pengguna IPAL,
sebelum masuk ke jaringan tersier disaring terlebih dahulu. Setiap
saluran pembuangan di dalam pabrik dipasang alat penangkap
kotoran untuk menjaring material yang berpartikel besar sisa
produksi seperti malam, minyak, dan material lain.
225
v Bak Intake
Bangunan ini merupakan tempat pengumpulan air limbah dari
pabrik dan dari tempat lain dialirkan ke bak equalisasi aerob.
v Bak Kontrol
Untuk melakukan kontrol dan perawatan jaringan pemipaan, setiap
3 pipa atau 12 meter dipasang bak kontrol. Bangunan bak kontrol
tertutup rapat untuk menghindari masuknya sampah lain yang
bukan air limbah.
v Bak Penampung Air Limbah di Pabrik
Sebagai penampung awal dari air limbah di masing-masing pabrik
dan untuk mengendalikan volume air limbah sebelum dialirkan
kedalam saluran tersier. Bak penampungan juga berfungsi untuk
proses sedimentasi awal sebelum dialirkan melalui scum trap.
v Flow meter
Merupakan alat untuk mengukur volume air pompa di masing-
masing pabrik, dipasang pada air yang akan dialirkan ke bak/kolam
produksi.
b. Kelembagaan
1) Stakeholder
Program pembangunan IPAL batik merupakan bantuan
Kementerian Lingkungan Hidup dan GTZ ProLH yang diusulkan oleh
Pemerintah Kota Surakarta atas usulan masyarakat Kampoeng Laweyan
dalam hal ini FKKB (Forum Pengembangan Kampoeng Batik) Laweyan.
226
Dengan demikin IPAL batik diserahkan Kementerian Lingkungan Hidup
dan GTZ ProLH kepada Pemerintah Kota Surakarta untuk selanjutnya
diserahkan kepada masyarakat Kelurahan Laweyan dalam hal ini diwakili
oleh FPKB Laweyan. Karena itu menjadi tanggung jawab FPKB Laweyan
untuk mengoperasikan dan merawat bantuan tersebut dengan membentuk
sebuah institusi atau badan yang secara khusus mengelola IPAL.
2) Struktur Organisasi Pengelola IPAL
Untuk menjalankan atau mengoperasionalkan, merawat dan
memperbaiki serta mengelola administrasi pelanggan dan keuangan,
diperlukan sebuah institusi atau badan yang mengelola IPAl. Badan
tersebut bersifat mandiri dalam mengelola sumber keuangan dan
membelanjakan sesuai dengan rencana anggaran yang telah ditetapkan.
Anggaran disusun berdasarkan standart manajemen keuangan dan
menganut prinsip acountabilitas dan transparasi, semua transakasi
(pemasukan dan pengeluaran) disertai bukti dan dicatat dalam pembukuan.
Adapun jenis instrumen administrasi yang diperlukan yaitu kartu anggota
pelanggan dan catatan pemakaian, buku bulanan pelanggan dan catatan
pemakaian, buku kas dan buku tabungan atau rekening.
Susunan pengurus institusi/Badan Pengelola IPAL Kampoeng
Batik Laweyan terdiri dari ketua, wakil ketua, sekretaris, bendahara dan
beberapa seksi. Pengurus tersebut merupakan sukarelawan karena niat dan
kepeduliannya, namun dalam pelayanan operasional sehari-harinya
mengangkat beberapa tenaga kerja yang diber honor antara lain tenaga
227
operator dan tenaga administrasi. Adapun susunan pengurus tersebut
digambarkan dalam bagan berikut :
Bagan 3
Struktur Institusi/Badan Pengelola IPAL
Kampoeng Batik Laweyan
Sumber : Data Sekunder (panduan operasional IPAL di Laweyan)
3) Tugas dan Tanggung Jawab Badan Pengelola IPAL
Badan Pengelola IPAL berasal dari FPKBL yang membentuk
sebuah badan untuk menyelenggarakan pengelolaan lingkungan hidup di
Kampoeng Batik Laweyan yang secara khusus didirikan sebagai pegelola
IPAL industri Batik di Kampoeng Batik Laweyan. Bertujuan untuk
mewujudkan lingkungan hidup yang bersih dan sehat di Kampoeng Batik
Laweyan.
Kepala Kelurahan Laweyan
FPKBL LPMK Kelurahan Laweyan
Ketua
Wakil Ketua
Bendahara
Sekretaris
Seksi IPAL Seksi Pelanggan Seksi Pengawas
228
Berbentuk sebuah badan yang bersifat independent,
keanggotaannya bersifat sukarela (volunteer) yang berasal dari unsur
masyarakat yag aktif dan peduli terhadap lingkungan hidup serta unsur
pengusaha pengguna IPAL. Pembiayaan diperoleh dari kontribusi
pengusaha pengguna IPAL, iuran warga masyarakat dan usaha-usaha lain
yang menurut norma agama dan hukum yang berlaku. Badan tersebut
mempunyai tugas dan tanggung jawab sebagai berikut :
(a) Seksi IPAL bertugas sebagai operator untuk menjalankan dan merawat
seluruh bangunan dan sistem IPAL ; Seksi Pelanggan bertugas sebagai
operator untuk melayani administrasi pelanggan, mulai dari pencatatan
pemakaian, menagih kontribusi/iuran pelanggan, dan
mengadministrasikanya ; Seksi Pengawas bertugas sebagai operator
untuk memeriksa seluruh jaringan pemipaan IPAL, kewajiban
pelanggan terutama dalam ketaatan pembuangan air limbah pada
tempatnya, tepat jadwal, memastikan tidak ada air hujan yang masuk
kedalam jaringan saluran limbah dan mengecek segel pengaman flow
meter air bersih.
(b) Mendinamisir penyusunan peraturan-peraturan berskala lokal
mengenai pengelolaan Lingkungan Hidup dengan persetujuan warga
Laweyan dan disyahkan oleh Pemerintah Kota Surakarta.
4) Tugas dan Tanggung Jawab Operator IPAL
Operator IPAL adalah tenaga terlatih yang bertanggung jawab
dalam pengelolaan, operasional dan perawatan sehingga sistem jaringan air
229
limbah maupun IPAL berfungsi dengan baik. Tenaga operator IPAL
berjumlah 2 orang dan berasal dari warga Kampoeng Batik Laweyan.
Rekruitmen operator dilakukan oleh FPKBL dan Badan Pengelola
Lingkungan Kampoeng Batik Laweyan bersama Akademi Teknik Adiyasa
Surakarta. Adapun tugas dan tanggung jawabnya adalah :
(a) Merawat dan mengawasi kelancaran aliran air limbah yang masuk ke
scum trap melalui pipa hingga masuk ke Equalisasi Aerob.
(b) Merawat semua penutup bak kontrol agar tidak kemasukan air hujan.
(c) Memastikan semua air hujan yang terdapat di UKM/pabrik tidak masuk
ke jaringan pipa air limbah.
(d) Mencatat secara tertib dan teratur volume air yang digunakan untuk
produksi oleh pengusaha pengguna IPAL melalui flow meter.
(e) Menjaga keamanan, ketertiban dan kebersihan IPAL dan
lingkungannya.
(f) Menguras dan menyedot lumpur jika bangunan IPAL sudah mulai
terpenuhi oleh lumpur. Bisanya dilakukan setiap 6 bulan sekali.
(g) Memberi nutisi secara periodik 2 bulan sekali dan atau masa pabrik
libur panjang.
(h) Mengatasi keadaan darurat yang disebabkan oleh over flow sesuai
dengan prosedur yang ditentukan dan segera mengaktifkan kembali
proses pengolahan limbah.
(i) Menyampaikan temuan kepada Badan Pengelola Lingkungan
Kampoeng Batik Laweyan apabila terjadi ketidaksesuaian dan atau
230
terjadi pelanggaran Pengusaha Pengguna IPAL terhadap surat
pernyataan dan peraturan-peraturan lokal mengenai pengelolaan
lingkungan hidup.
5) Hak dan Kewajiban Pengguna IPAL
(a) Mendukung sepenuhnya program produksi bersih (eko-efisiensi) dan
program pembangunan IPAL bersama industri kecil batik di Kampoeng
Batik Laweyan.
(b) Melaksanakan penerapan produksi bersih bagi industri kecil batik
didalam setiap tahapan proses produksi berlangsung.
(c) Melaksanakan pembangunan/pemasangan pipa saluran pemisah air
limbah industri batik dengan air limbah rumah tangga yang berada di
area usaha sampai ke bak scum trap jaringan pemipaan air limbah batik.
(d) Memanfaatkan IPAL bersama tersebut dengan menyalurkan air limbah
hasil usaha untuk diproses/diolah di IPAL bersama dengan
konsekuensinya berdasarkan hasil musyawarah bersama antara
pengusaha dan pengelola IPAL maupun dengan Pemerintah Kota
Surakarta.
(e) Bertanggung jawab atas pemeliharaan jaringan pemipaan air limbah
dan bersedia membiayai operasional dan pemeliharaan IPAL bersama
tersebut.
(f) Melakukan perawatan/pembersihan bak scum trap yang berada di area
perusahaan secara berkala.
231
(g) Menyampaikan informasi secara terbuka kepada pengelola IPAL
bersama jika terjadi kelebihan produksi usaha sebagai upaya
optimalisasi IPAL yang ada.
(h) Menerima sanksi apabila melanggar ketentuan tersebut diatas maupun
hasil-hasil kesepakatan bersama antara pengusaha dan pengelola IPAL
maupun dengan Pemerintah Kota Surakarta.
c. Perawatan Sistem IPAL
1) Perawatan Proses Pengolahan Limbah
Faktor terpenting dalam pengolahan limbah adalah bagaimana cara
merawat dan menjaga kondisi limbah yang ideal sehingga proses
dekomposisi limbah oleh mikroba dapat berlangsung efektif dan maksimal.
Dalam hal ini yang dilakukan adalah :
(a) Mengoptimalkan waktu tinggal
Mengoptimalkan waktu tinggal yaitu menjaga agar limbah-limbah sisa
produksi ditampung dalam bangunan IPAL minimal selama 48 jam (2
hari) serta mengatur pembuangan air limbah pabrik agar tidak
berlangsung secara bersamaan yang akan mengakibatkan munculnya
over flow (air yang masuk ke IPAL berlebihan).
(b) Penambahan nutrisi
Penambahan nutrisi dilakukan secara rutin dengan
pemberian TSP dan urea dengan ukuran yang telah ditentukan yakni
200 ppm dan dilakukan setiap 3 bulan sekali. Selain itu juga ada
penambahan bekatul yang dilakukan setiap 6 bulan sekali. Apabila
232
terjadi kondisi darurat seperti air yang masuk ke IPAL berlebihan yang
mengakibatkan rusaknya pembiakan mikro maka tindakan yang
dilakukan adalah membuang air limbah ke selokan dengan terlebih
dahulu meminta ijin kepada Kantor Lingkungan Hidup Kota Surakarta
atau dapat juga dengan menghentikan pembuangan selama beberapa
hari (biasanya 1 atau 2 minggu).
Penambahan nutrisi juga dilakukan secara berkala setiap 6
bulan sekali dengan melakukan penggantian arang aktif (arang
tempurung kelapa) dengan kantong yang baru. Setiap 6 bulan sekali
juga dilakukan uji hasil pengolahan limbah dengan mengambil sampel
pada bak kontrol yang dibuang ke sungai.
2) Perawatan Lingkungan dan Bangunan IPAL
Dalam melakukan perawatan terhadap bangunan dan lingkungan di
sekitar IPAL maka ada beberapa larangan seperti berjalan kencang bagi
kendaraan berat yang melintasi tengah bangunan IPAL, meletakkan
barang-barang atau material bangunan di atas IPAL, serta berlarian dan
bermain diatas bangunan IPAL.
Selain larangan juga terdapat beberapa anjuran untuk melakukan
perawatan seperti membersihkan lumut, jamur, tanaman paku-pakuan yang
tumbuh pada tembok bangunan IPAL dan membersihkan sampah yang
masuk ke bangunan.
Perawatan juga dilakukan pada saluran pipa pemasukan dan pipa
pengeluaran yang dijaga agar tetap terbuka sehingga air limbah dapat
233
mengalir lancar, selain itu juga ada perawatan untuk WC dan kamar mandi,
Tempat Pembuangan Sampah (TPS) serta tanaman hias dan peneduh yang
ada di lokasi bangunan IPAL.
3) Perawatan Jaringan Pemipaan Air Limbah dan Bak Kontrol
Air limbah yang harus disalurkan kedalam IPAL adalah air limbah
yang kadar atau beban pencemarannya sangat tinggi, yaitu air limbah
penghilang pati, laseman, pemutih dan setiap baceman serta air bekas
cuaian plankan. Sedangkan untuk air bekas pencucian pewarnaan yang
kadar pencemarannya rendah dan air bekas kamar mandi tidak dimasukkan
ke saluran IPAL.
Proses pengelolaan IPAL ini mengandalkan bakteri yang hidup di
dalam IPAL dan perlu masa tinggal limbah di dalam IPAL minimum 2
hari. Masing-masing unit pengelola limbah memiliki keterbatasan
kapasitas. Jika aliran yang masuk ke IPAL terlalu banyak akan
mempengaruhi masa tinggal dalam IPAL yang menjasdi kurang dari 48
jam. Karena itu perlu adanya pengeturan debit/keluaran dari masing-
masing pabrik dengan cara dilakukan penjadwalan/giliran pembuangan
limbah. Jadwal tersebut disusun dan disepakati bersama oleh pengguna
IPAL yaitu dengan membagi menjadi 2 kelompok dengan jadwal
pembungan air limbah yang berbeda. Dengan demikian setiap pabrik harus
memiliki kolam penampungan air limbah untuk kapasitas minimal 2 hari.
Perawatan dilakukan dengan melakukan pengecekan kelengkapan
jaringan pemipaan air limbah, perawatan saluran dan bak kontrol serta
234
perawatan sarana bak scum trap. Dalam perawatan terkadang ditemukan
penyumbatan saluran karena adanya sampah-sampah yang masuk, selain
itu juga penyumbatan akibat endapan lumpur.
d. Kontribusi
1) Ketentuan Kontribusi dan Volume Air Limbah
Biaya kontribusi terdiri atas biaya pelanggan, biaya pemakaian,
baiaya perawatan dan biaya keterlambatan. Besaran biaya kontribusi
ditetapkan berdasarkan biaya operasional, biaya perawatan dan biaya
pengembangan yang dalam kurun waktu tertentu dapat berubah. Dalam
kontribusi digunakan prisip insentif dan disinsentif bagi pelanggan dengan
tahapan pelaksanaannya yakni (1) pada tahun-tahun awal dilakukan prinsip
kebersamaan sebagai upaya edukasi pada pelanggan dengan menerapkan 3
golongan tarif, yaitu besar (A), sedang (B) dan kecil (C). Semakin besar
jumlah volume air limbah maka harga tarifnya semakin kecil.
Pada tahun-tahun berikutnya diterapkan prinsip insentif disinsentif
dengan menerapkan 3 golongan tarif yaitu besar (A), sedang (B) dan kecil
(C), semakin kecil jumlah volume air limbah maka harga tarifnya juga
semakin kecil. Prinsip ini terkait dengan kinerja pelanggan yang mampu
melaksanakan clean production dan eco effisiensi, yaitu jika melaksanakan
produksi bersih dan mampu meminimalisasi limbah akan memperoleh
penghargaan dengan dikenai tarif yang lebih rendah.
Semua pembukuan pemasukan yang diperoleh dari biaya
kontribusi pelanggan maupun dari usaha-usaha lain serta pembukuan
235
seluruh biaya pembelanjaan yang meliputi biaya operasional, biaya
perawatan dan perbaikan serta biaya pengembangan akan dipertanggung
jawabkan kepada pelanggan.
Sedangkan dalam penyusunan baseline volume air limbah
dilakukan dengan memasang flow meter air bersih pada jaringan pipa yang
dialirkan ke bak atau kolam penampungan air produksi pada semua
pelanggan. Hasil pencatatan secara periodik dari flow meter setiap bulan
merupakan informasi untuk mengetahui besaran air bersih yang digunakan
pelanggan.
2) Rencana Biaya Operasional dan Perawatan IPAL
Biaya operasional terdiri dari biaya operasional tetap dan biaya
operasional tidak tetap. Adapun biaya operasional tetap yang harus
dikeluarkan setiap bulan adalah untuk tenaga kerja (operator) IPAL.
Sedangkan biaya operasional tidak tetap dikeluarkan secara periodik 3 atau
6 bulan sekali dalam satu tahun yang meliputi penambahan nutrisi, material
filter, bensin untuk mesin pompa penyedot lumpur. Apabila pompa mesin
ini menggunakan energi listrik PLN maka diperlukan biaya tetap untuk
ongkos PLN. Namun jika menggunakan penggerak motor maka tidak ada
biaya tetap karena hanya memerlukan beberapa liter bensin.
3) Metode Penentuan Tarif/Biaya Kontribusi
Besarnya kontribusi ditentukan berdasarkan bebarapa kategori
biaya, yaitu biaya tetap yang meliputi biaya pelanggan, dan biaya tidak
tetap yang meliputi biaya perawatan serta biaya keterlambatan.
236
Biaya pelanggan merupakan biaya tetap yang harus dibayar oleh
setiap pelanggan dengan jumlah rata-rata sama. Meskipun pelanggan tidak
produksi tetap akan dikenai biaya ini. Biaya pelanggan ini untuk
mendukung keberlangsungan dan operasionalisasi lembaga pengelola
IPAL. Nilainya harus disepakati oleh pengguna IPAL yakni Rp. 15.000,-
tiap pelanggan per bulan. Biaya pemakaian merupakan biaya yang dibayar
berdasarkan jumlah volume air limbah yang dibuang.
Biaya perawatan digunakan unutuk merawat bangunan IPAL
maupun jaringan pemipaan air limbah, sifatnya bisa tetap dan jumlahnya
rata-rata sama. Besarnya ditentukan sesuai dengan kebutuhan pekerjaan
untuk perawatan dan perbaikan yakni sekitar 10% dari biaya operasional.
Biaya keterlambatan bertujuan untuk mentaati kedisiplinan dan ketertiban
dalam membayar kontribusi. Jumlahnya disepakati oleh pengguna IPAL
minimal 1% sampai dengan 3% dari jumlah yang harus dibayar pada bulan
yang sudah berjalan.
4) Rencana Penerimaan dan Rencana Belanja
Dalam menghitung rencana penerimaan dan pengeluaran maka
harus diketahui komponen-komponen biaya pengeluaran yang meliputi
biaya tenaga kerja dan biaya treatment. Biaya treatment ini meliputi biaya
yang diperlukan untuk pengadaan bahan-bahan nutrisi, material penambat
dan bensin untuk mesin penyedot lumpur.
Setelah diketahui biaya pengeluaran maka baru bisa dibuat estimasi
biaya pemasukan dan pengeluaran. Apabila terdapat saldo maka akan
237
dialokasikan untuk biaya rehabilitasi jika harus melakukan perbaikan dan
dana cadangan serta pengembangan organisasi.
2. Kondisi Sungai
Sungai yang mengalir di Laweyan adalah sungai Jenes, dimana
kondisi sungai tersebut mengalami perkembangan setiap tahunnya. Namun
sayangnya perkembangan tersebut bukanlah perkembangan ke arah positif
melainkan perkembangan ke arah yang negatif. Kondisi sungai Jenes sekarang
dapat dikatakan sangat tercemar baik itu oleh sampah maupun limbah lainnya
yang berasal dari hasil kegiatan industri dan juga limbah rumah tangga.
Sungai Jenes tempo dulu sekitar tahun 1980-an keadaannya masih
baik yakni airnya masih jernih dan juga airnya tidak bercampur dengan
limbah. Bahkan kegiatan penduduk selalu berhubungan dengan sungai.
Sebagian besar dari masyarakat Laweyan menggunakan sungai Jenes sebagai
tempat untuk mencuci kain batik yang telah dibuatnya. Walaupun masyarakat
mencuci batiknya di sungai, namun keadaan sungai masih tetap jernih karena
limbah hasil pencucian batik dapat langsung mengalir terbawa oleh arus
sungai sehingga tidak menimbulkan pencemaran air. Hal tersebut sebagaimana
diungkapkan oleh salah seorang informan dalam wawancara sebagai berikut :
“..... kalau dulu ya sekitar tahun 80-an itu sungai Jenes sangat bermanfaat, saya dan juga banyak masyarakat lain selalu pergi ke sungai untuk mencuci batik-batik yang dibuat. Tetapi dulu tidak ada limbah seperti sekarang karena pewarna dari batik yang dicuci disungai langsung ikut hanyut bersama arus sehingga tidak ada limbah dan airnya juga tetap jernih dan kondisi sungai juga masih aman....” Sumber : Hasil Wawancara
238
Selain sebagai tempat mencuci sungai juga digunakan sebagai
tempat mandi dan juga bermain. Dahulu di sungai tersebut setiap harinya
sangat ramai oleh penduduk sekitar. Selain mencuci batik mereka juga
terkadang bersendau gurau dengan penduduk lain dan saling bertukar pikiran
serta pengalaman dalam menjalankan usahanya. Dengan cara demikian maka
penduduk menjadi lebih akrab dan saling mengenal satu dengan yang lainnya
sehingga hubungan yang tercipta diantara mereka sudah seperti hubungan
keluarga.
“......Dulu waktu saya masih kecil, sungai Jenes itulah yang menjadi tempat favorit saya untuk bermain bersama teman-teman. Saya bisa nglangi sepuasnya tanpa harus merasa takut kalau hanyut terbawa arus karena memang alirannya masih kecil dan airnya tenang serta jernih tidak banyak limbah seperti sekarang....” Sumber : Hasil Wawancara
Sungai Jenes tempo dulu juga digunakan sebagai tempat untuk
mengambil air serta mandi. Penduduk sekitar tidak merasa takut jika terkena
penyakit kulit jika mandi disungai karena memang kualitas airnya masih
sangat jernih dan belum terkontaminasi oleh limbah-limbah pabrik dan
industri-industri yang besar. Pada zaman dahulu masyarakat Laweyan dapat
dikatakan sangat bersahabat dengan lingkungan dan sungai Jenes adalah salah
satunya. Sungai tersebut menjadi salah satu tempat favorit bagi mereka dan
sangat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
“.......sebelum tercemar limbah seperti sekarang ini, sungai Jenes ramai mbak, tapi itu sekitar tahun 70-an. Masyarakat Laweyan sering mandi disana dengan membuat “belik” (sumur kecil dipinggir sungai) dan itu air yang keluar sangat jernih sehingga masyarakat menggunakannya untuk mandi bahkan juga untuk mencuci......” Sumber : Hasil Wawancara
239
Semakin banyaknya industri-industri besar yang mulai
bermunculan tidak dapat dipungkiri juga ikut andil dalam menyumbangkan
limbah di sungai Jenes. Meskipun banyak industri yang berasal dari luar Kota
Solo seperti Sukoharjo dan sekitarnya, namun limbah yang dihasilkan masih
saja melewati Kota Solo dan salah satunya ke sungai Jenes. Hal ini juga
dikatakan oleh informan dalam wawancara sebagai berikut :
“....... sebenarnya limbah yang ada di sungai Laweyan ini bukan berasal dari masyarakat Laweyan tetapi dari industri-industri besar yang ada di Kabupaten Sukoharjo. Biasanya pabrik tersebut membuang limbahnya pada waktu malam hari dan juga pagi hari sekitar pukul sepuluh malam dan empat pagi. Jika dilihat pada jam-jam tersebut air sungai menjadi keruh dan berwarna hitam pekat bahkan juga mengeluarkan bau yang tidak sedap....” Sumber : Hasil Wawancara
Kondisi sungai Jenes memang mengalami banyak perubahan dari
tahun ke tahun. Dengan semakin majunya zaman dan kecanggihan teknologi
yang digunakan pada industri-industri besar yang menggeser home industri
juga berdampak yang buruk pada lingkungan sekitar. Limbah yang dihasilkan
dari industri tersebut jika tidak ditangani secara tepat akan menimbulkan
pencemaran yang pada akhirnya akan berdampak juga pada masyarakat.
Untuk mengatasi kondisi sungai Jenes yang semakin parah maka di
tepi sungai tersebut dibangun talut untuk menjaga sungai agar tanah dipinggir
sungai tidak ikut hanyut jika banjir datang. Walaupun demikian tetap saja
banjir selalu melanda jika hujan turun dan bahkan sampai menggenangi jalan-
jalan. Selain itu ada juga rumah warga yang sampai kemasukan air hujan
akibat banjir yang kerap datang jika sungai Jenes meluap.
240
Sebagaimana yang kita tahu bahwa Laweyan telah menjadi sebuah
Kampoeng Batik dan tentunya setiap harinya pengusaha batik di Laweyan
selalu memproduksi batik. Batik yang diproduksi tidak semuanya
menggunakan pewarna yang alami dan ramah lingkungan. Produsen batik
mengaku bahwa memang dulu sebelum industri maju dalam pewarnaan masih
menggunakan yang alami, dengan jumlah produksi yang masih sedikit maka
industrinya dapat berjalan. Namun sekarang sudah banyak yang beralih
menggunakan pewarna buatan. Hal tersebut dilakukan karena semakin
banyaknya pesanan dan untuk memenuhi pangsa pasar yang menuntut
produsen untuk lebih cepat dalam melakukan produksi.
Semakin banyaknya permintaan konsumen membuat produsen
harus secara cepat membuat motif baru dengan perpaduan warna-warna yang
lebih berani. Selain itu, pewarna alami jarang digunakan karena prosesnya
lebih lama jika dibandingkan dengan pewarna buatan. Dengan penggunaan
pewarna batik yang buatan membuat industri tidak ramah terhadap lingkungan
sekitar karena limbahnya lebih banyak. Namun demikian hal tersebut disikapi
dengan membuang limbah batiknya ke IPAL agar mampu diproses terlebih
dahulu sebelum akhirnya memang juga dibuang ke sungai.
Dengan adanya proses penyaringan di IPAL maka paling tidak
kadar pencemaran yang mengalir ke sungai jauh lebih ringan dibandingkan
jika produsen harus langsung membuang limbahnya ke sungai.
241
3. Tata Lingkungan
Lingkungan merupakan suatu sistem kompleks yang berada diluar
individu yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkambangan organisme.
Lingkungan bersifat dinamis yang dapat berubah-ubah setiap saat. Perubahan
dan perbedaan yang terjadi akan berbeda-beda menurut waktu. (Zoer’aini,
Djamal Irwan :2003 :108-109).
Manusia tidak pernah akan mampu hidup tanpa tergantung pada
lingkungan dimana ia hidup. Interaksi manusia dengan lingkungan
merupakan gambaran ketergantungan hidup manusia untuk mempertahankan
kelangsungan hidup dan generasinya. Apabila lingkungan baik, maka hidup
manusia yang ada didalamnya pun juga akan baik. Namun sebaliknya apabila
lingkunganya buruk, maka hidup manusia akan penuh kesulitan dan bahkan
menuai bencana, seperti kesakitan, banjir dan sebagainya.
Penyakit, manusia dan lingkungan mempunyai interaksi yang
sangat kuat. Bahkan oleh Gordon, interaksi tersebut dimodelkan pengungkit
dengan agent (penyakit) dan host (populasi beresiko tinggi) sebagai dua kutub
serta lingkungan adalah penyeimbangnya. Lingkungan yang sehat merupakan
kebutuhan, disamping hak setiap orang, baik mencakup fisik maupun mental
(Declaration of Human Right). Disamping hak tersebut, manusiapun punya
kewajiban dan tanggung jawabun untuk kesehatan dan juga untuk
mewariskan kepada generasi penerus sumberdaya alam yang tidak berkurang
dengan sistem-sistem alam yang telah rusak. Ada sinergi yang kuat antara
242
kesehatan, perlindungan atas lingkungan dan penggunaan sumberdaya yang
berkelanjutan (WHO,2001).
Pola penyakit berbasis lingkungan semakin hari semakin
bervariasi. Sebagaimana disebutkan oleh Kusnoputranto, 2000 bahwa akan
ada pola penyakit di Indonesia yaitu penyakit infeksi yang memang akan
terus ada dan penyakit-penyakit non infeksi yang disebabkan oleh non living
organism atau non living contaminants seperti zat-zat kimia, debu, panas,
logam berat, tekanan mental serta perilaku hidup tak sehat. Fenomena sosial
ini memicu keprihatinan hati dengan munculnya berbagai jenis penyakit yang
diakibatkan oleh buruknya kualitas lingkungan. Merujuk hal-hal tersebut
maka diperlukan upaya nyata untuk mewujudkan mata rantai penularan
penyakit tersebut melalui peningkatan kualitas lingkungan dan perilaku hidup
sehat masyarakat. Fenomena bencana alam yang akhir-akhir ini terjadi
seharusnya semakin menyadarkan kita akan pentingnya upaya memelihara
alam dan lingkungan ini agar kualitas hidup kita menjadi lebih baik dan sehat.
(Wahyu:2007).
Kota Surakarta yang dikenal identik dengan kerajinan batik yang
sudah terkenal pada tingkat nasional hingga internasional dengan jumlah
pengusaha batik mencapai 200 lebih industri yang didominasi oleh pengusaha
UKM. Untuk jumlah pengusaha batik di Laweyan hingga tahun 2009 tercatat
sebanyak 51 pengusaha. Jenis usaha batiknya pun beragam mulai dari hanya
pemotifan, hingga yang sudah komplit dalam satu usaha. Banyaknya usaha
243
batik ini memberikan efek positif dalam bidang ekonomi, budaya dan
pariwisata. (data monografi kelurahan Laweyan: 2009).
Selain efek positif tersebut diatas, ternyata industri batik masih
menyisakan persoalan lingkungan terkait dengan pencemaran akibat limbah
cair yang masih belum diolah atau belum optimal diolah. Biaya pengolahan
limbah cair industri batik yang mahal masih menjadi kendala terbesar bagi
UKM batik (Buletin Lingkungan Hidup Kota Surakarta).
Seperti halnya di Laweyan, banyaknya industri batik juga
menyisakan persoalan tersendiri terkait dengan limbah. Walaupun sudah ada
Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) sendiri namun hanya bisa untuk
menampung sebagian industri saja. Sehingga belum sepenuhnya UKM batik
yang ada di Laweyan mampu ditampung limbah produksinya oleh IPAL.
Mengingat sifatnya yang masih terbatas hanya pada beberapa industri saja
maka masih ada juga masyarakat yang membuang limbah batiknya secara
langsung ke sungai. Jumlah industri yang tertampung dalam IPAL sebanyak 8
industri batik dan sisanya belum menggunakan pengolahan limbah dengan
IPAL dan masih secara langsung dibuang ke sungai melalui pipa-pipa pralon.
Disamping masalah limbah batik dan pencemaran sungai, ternyata
masyarakat Laweyan juga memperhatikan lingkungan hidup yang ada
disekitarnya. Dengan ciri khas kawasan Laweyan yang berupa gang-gang
sempit membuat lokasi tersebut kurang leluasa jika harus ditanami pohon-
pohon besar. Untuk menyiasati hal tersebut maka masyarakat Laweyan yang
tergabung dalam Forum Masyarakat Laweyan Peduli Lingkungan Hidup
244
mengadakan suatu kegiatan-kegiatan untuk menyelamatkan lingkungan
disana agar terlihat indah, tidak gersang dan mampu menarik wisatawan
untuk berkunjung ke Kampoeng Batik tersebut. Salah satu kegiatan yang
dilakukan oleh Forum Masyarakat Peduli Lingkungan Hidup adalah dengan
mengadakan lomba lingkungan yang bersih, indah dan teduh.
Latar belakang diadakannya acara tersebut karena Laweyan
merupakan kawasan bersejarah yang sekaligus sebagai daerah tujuan wisata
di Surakarta yang unik dan spesifik. Sejak zaman kerajaan Pajang tahun 1954
sampai sekarang, dikenal sebagai kawasan bersejarah dan penghasil batik.
Seiring dengan berjalannya waktu, maka Laweyan menjadi daerah tujuan
wisata dengan obyek rumah-rumah kuno yang berarsitektur Jawa, Indisch dan
Gedong yang didukung oleh lingkungan yang khas juga merupakan daya tarik
tersendiri.
Kebersihan dan keteduhan merupakan fenomena fisik yang
menunjukkan budaya masyarakat yang ramah terhadap lingkungan. Hiruk
pikuknya perkotaan dan sibuknya urusan perekonomian telah melupakan diri
kita bahwa kita semua adalah bagian dari lingkungan yang tidak terpisahkan
dengan alam termasuk juga tumbuhan, masyarakat dan sumber daya di
sekitarnya.
Sebagai wujud dari insan yang secara fitrah merupakan kafilah
untuk menjaga dan memelihara lingkungan karunia Tuhan YME. Sudah
saatnya kita selalu menyempatkan diri memelihara lingkungan kita dimulai
dengan mewujudkan kebersihan dan keteduhan di sekitar.
245
Tujuan dari kegiatan lomba tersebut adalah untuk meningkatkan
kesadaran masyarakat akan pentingnya lingkungan yang bersih, indah dan
teduh serta ingin menunjang Kampoeng Batik Laweyan sebagai icon
pariwisata Kota Surakarta.
Harapan dari Forum Masyarakat Laweyan Peduli Lingkungan
Hidup dari kegiatan lomba yang dibuat adalah agar masyarakat lebih peduli
akan kelestarian lingkungan, khususnya masalah penghijauan yang bisa
berdampak pada pemanasan global dan ketingaersediaan air tanah yang akan
diwariskan pada anak cucu kelak.
Lomba yang digelar oleh Forum Masyarakat Laweyan Peduli
Lingkungan Hidup (FMLPLH) juga merupakan kerjasama dengan Badan
Lingkungan Hidup Kota Surakarta dalam mewujudkan lingkungan yang
bersih dan teduh sehingga lingkungan di Laweyan ditata sedemikian rupa
agar terlihat indah dan mampu menarik wisatawan yang hendak berkunjung.
Bentuk dari kegiatan tersebut adalah lomba menanam pohon
disekitar rumah, gang-gang maupun pinggir jalan raya sekitar Laweyan.
Mengingat jalan di Laweyan adalah berupa gang-gang sempit maka media
yang digunakan dapat berupa pot yang diletakkan ditanah atau juga pot yang
digantung. Selain itu jika memungkinkan juga dapat langsung menanam di
tanah pekarangan. Peserta terdiri dari seluruh warga Laweyan tanpa
terkecuali yang terbagi dalam masing-masing RT, dimana setiap RT
mengajukan 2 kelompok untuk lomba tersebut.
246
Disamping lomba penghijauan atau menanam pohon juga ada
lomba pengelolaan sampah rumah tangga. Sampah rumah tangga adalah
sampah yang berbentuk padat yang berasal dari sisa kegiatan sehari-hari
dirumah tangga, tidak termasuk tinja dan sampah spesifik. Sampah ini
bersumber dari rumah per rumah atau kompleks perumahan (Buletin Badan
Lingkungan Hidup Kota Surakarta).
Pengelolaan sampah rumah tangga terdiri dari pengurangan
sampah dan penanganan sampah. Pengurangan sampah meliputi pembatasan
timbunan sampah, pendauran ulang sampah dan atau pemanfaatan kembali
sampah. Penanganan sampah meliputi :
a. Pemilahan dalam bentuk pengelompokan dan pemisahan sampah sesua
dengan jenis, jumlah dan atau sifat sampah,
b. Pengumpulan dalam bentuk pengambilan dan pemindahan sampah dari
sumber sampah ke tempat penampungan sementara atau tempat
pengolahan sampah terpadu,
c. Pengolahan dalam bentuk mengubah karakteristik, komposisi dan jumlah
sampah,
d. Pemrosesan akhir sampah dalam bentuk pengembalian sampah dan atau
residu pengolahan sebelumnya ke media lingkungan secara aman.
Lomba yang diadakan oleh Forum Masyarakat Laweyan Peduli
Lingkungan Hidup tersebut merupakan suatu bentuk langkah lanjutan yang
digelar oleh FMLPLH, dimana dulunya merupakan suatu wacana dikalangan
masyarakat Laweyan yang kemudian sekarang direalisasikan dalam suatu
247
bentuk lomba. Realisasi tersebut terlebih dahulu diawali dengan membentuk
suatu kepanitiaan yang terdiri dari LPPM dan Lingkungan Hidup dengan
beberapa tahapan rapat yakni rapat pra untuk membicarakan lingkungan yang
bersih dan nyaman serta penetapan hari, tanggal dan peserta lomba.
Selanjutnya adalah rapat-rapat kecil yang dilaksanakan untuk persiapan
lomba dan sosialisasi lomba kepada masyarakat Laweyan.
Dalam sistem penilaian yang ditetapkan oleh panitia, patokannya
adalah dari segi keasrian, kebersihan, keteduhan serta keterlibatan
masyarakat. Dalam perjalanan lomba sampai dengan sekarang sudah ada 25
kelompok masyarakat yang mengikuti lomba tersebut. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa masyarakat Laweyan sudah antusias dan mempunyai
ketertarikan untuk menjadikan lingkungan Laweyan menjadi sebuah kawasan
yang teduh dan nyaman baik untuk masyarakat maupun untuk wisatawan
yang berkunjung ke tempat tersebut. Jika dilihat dari segi partisipasi
masyarakatnya juga dapat dikatakan baik karena kerjasama yang terjalin
cukup akrab dan rasa kebersamaan dalam mengikuti lomba juga ada.
Jika dilihat lebih jauh lagi ternyata lomba yang digelar tersebut
merupakan lanjutan juga dari upaya masyarakat Laweyan yang ingin
menjadikan kawasan ini menjadi hijau dan tidak gersang. Dahulu pernah ada
program di Laweyan yakni “Kampoengku Hijau” yang juga merupakan
kerjasama dengan Badan Lingkungan Hidup. Latar belakang dari program
Kampoengku Hijau adalah karena di Laweyan daerahnya terdiri dari tembok-
tembok yang tinggi dan sulit untuk ditanami sehingga menjadikan kawasan
248
ini menjadi gersang. Berawal dari keadaan itulah maka dari Forum
Masyarakat Laweyan Peduli Lingkungan Hidup ingin membuat suasana yang
berbeda di Laweyan agar terlihat teduh dan tidak panas sehingga jadilah
program Kampoengku Hijau di Laweyan.
Langkah awal yang dilakukan oleh FMLPLH adalah dengan
melakukan survei terhadap tanaman-tanaman yang tidak merusak tembok
atau bangunan rumah. Awalnya terpilih tanaman dari jenis akar serabut
seperti pohon kantil dan saputangan. Program ini ada pada tahun 2007 dengan
lokasi awal yang ditanami pohon yakni di bantaran sungai dan di sumber-
sumber resapan untuk menyeimbangi pencemaran. Kegiatan ini melibatkan
semua masyarakat Laweyan terutama kaum ibu-ibu.
Untuk menjalankan program ini tidaklah mudah karena harus
melalui proses yang panjang untuk mampu mengajak dan meyakinkan
masyarakat terkait dengan ide ini. Pola pikir masyarakat yang masih terbawa
dengan kultur zaman dulu serta adanya ketakutan-ketakutan jika adanya
pohon dan tanaman justru akan membuat pencuri mudah masuk ke rumah dan
menjadikan tempat tinggal menjadi tidak aman merupakan suatu tantangan
tersendiri bagi forum untuk mampu mengubah pola pikir yang demikian serta
mampu untuk mengajak masyarakat agar berpartisipasi dalam program ini.
Walaupun mendapatkan tantangan-tantangan yang demikian
namun tidak membuat forum mengurungkan niatnya. Justru sebaliknya hal ini
manjadi tantangan tersendiri bagi mereka. Dengan tahapan awal yang
dilakukan yakni melakukan pendekatan-pendekatan sehingga lama-kelamaan
249
masyarakat juga mau terbuka dan akhirnya masyarakat peduli dan mau
berpartisipasi akan program ini. Penyuluhan-penyuluhan yang dilakukan
untuk menarik masyarakat adalah dengan memasukkan unsur pariwisata
dengan cara mengadakan pemberdayaan. Dengan demikian masyarakat akan
lebih mudah untuk diajak bekerjasama mengingat latar belakang masyarakat
Laweyan sebagian besar adalah sebagai pengusaha batik.
Ketika masyarakat sudah siap untuk menjalankan program
Kampoengku Hijau maka selanjutnya FMLPLH segera mengadakan rapat-
rapat untuk mematangkan program dengan melihat kebutuhan dari
masyarakat dan potensi daerah. Langkah selanjutnya yang dilakukan adalah
memberikan pelatihan-pelatihan kepada masyarakat dimana pelatihan yang
diberikan mengarah pada nilai ekonomi.
Pemberdayaan yang diberikan kepada masyarakat yakni yang
nantinya mempunyai nilai jual yang tinggi. Tidak sembarang tanaman yang
bisa ditanam oleh masyarakat hanya jenis tanaman yang tidak merugikan dan
juga tidak mengganggu yang diperbolehkan ditanam oleh masyarakat. Selain
itu berbagai jenis bunga juga dapat ditanam karena untuk memberikan warna
tersendiri dan juga tanaman-tanaman bungan mampu memberikan nilai jual
tersendiri dan masyarakat dapat memperoleh keuntungan dengan hal ini.
Ketika program telah berjalan maka ada suatu pemantauan yang
dilakukan. Dengan jadwal yang telah ditentukan yakni ada suatu perawatan-
perawatan terhadap tanaman. Pemeriksaan dan pengecekan terhadap
parameter-parameter pencemaran limbah dilakukan setiap 3 bulan sekali.
250
Selain itu untuk menjaga agar program ini tetap ada dan diminati oleh
masyarakat maka diangkat isu-isu terkait dengan Kampoengku Hijau dalam
sebuah forum pertemuan seperti PKK dan lainnya.
Kepedulian Forum Masyarakat Laweyan Peduli Lingkungan Hidup
tidak hanya berhenti sampai disitu saja tetapi juga ada kegiatan lain yang
dilakukan yakni lomba-lomba pelatihan eko-efisiensi dengan tujuan untuk
membuka jejaring antara masyarakat, pemerintah serta akademisi dalam
dunia usaha tentunya untuk mengembangkan Kampoeng Laweyan sebagai
kawasan wisata agar lebih diminati oleh wisatawan.
Selain ingin menjadikan Laweyan menjadi teduh dan tidak gersang,
maka tujuan lain yang ingin dicapai adalah untuk menjaga ekosistem. Dengan
adanya suatu pendampingan pada tiap-tiap RT menjadikan program ini
berjalan hingga sekarang dan Laweyan sekarang sudah jauh berbeda dengan
semakin banyaknya pohon dan tanaman lain yang menghiasi jalan-jalan
disana. Tindakan yang sudah berjalan adalah pembuatan sumur-sumur
resapan, Good Housekeeping (GHK) serta Prokasih (Program Kali Bersih).
C. Kepemilikan Fasilitas Kebersihan Masyarakat Laweyan
Laweyan merupakan suatu daerah yang berada di pinggiran Kota Solo.
Laweyan juga merupakan salah satu daerah dengan industri batiknya. Dengan ciri
khas tempat yang khas dengan gang-gang yang sempit juga ikut mempengaruhi
masyarakat dalam menjaga kebersihan lingkungan. Selain itu mengalirnya sebuah
sungai di Laweyan juga membuat masyarakat yang tinggal disana harus berhati-
251
hati jika harus membuang limbah baik limbah industri ataupun limbah rumah
tangga dalam bentuk sampah cair maupun padat.
Jika masyarakat salah berperilaku atau dengan kata lain tidak berperilaku
hidup sehat maka lingkungan yang Laweyan akan tercemar. Padahal Laweyan
merupakan salah satu daerah tujuan wisata batik juga di Kota Solo. Dengan tetap
menjaga lingkungan maka akan menambah daya tarik tersendiri bagi wisatawan
untuk mengunjungi daerah tersebut. Untuk menjaga dan menunjang itu semua
maka diperlukan peran serta seluruh masyarakat Laweyan agar tercipta
lingkungan yang bersih dan nyaman serta bebas dari penyakit. Fasilitas kebersihan
yang dimiliki masyarakat Laweyan menjadi salah satu sarana untuk mengetahui
apakah masyarakat menjunjung tinggi kebersihan lingkungan atau malah justru
tidak peduli terhadap lingkungan tempat tinggal maupun lingkungan sungai.
Kepemilikan fasilitas kesehatan tersebut berupa sarana MCK, kepemilihan
serta kesediaan tempat sampah, pembuangan limbah, serta kepemilikan sarana air
bersih dan aksesnya. Dalam kehidupan sehari-hari ternyata sebagian besar
masyarakat Laweyan sudah mempunyai sarana tersebut. Semua masyarakat sudah
memiliki sarana MCK di rumah masing-masing sehingga tidak ada masyarakat
yang masih menggunakan sungai untuk mandi, mencuci atau sekedar membuang
hajat. Dengan kondisi sungai yang sudah sangat tercemar maka tidak heran jika
masyarakat sudah tidak tergantung lagi pada sungai dalam kehidupan sehari-hari
mereka. Meskipun rumah mereka hanya berjarak beberapa meter saja dari sungai
namun untuk urusan MCK mereka selalu menjaga dan mempunyai sarana
tersendiri. Selain perkembangan jaman yang sudah semakin maju, kepemilikan
252
MCK juga menjadi kebutuhan masyarakat bahkan dapat dikatakan sudah menjadi
kebutuhan pokok yang wajib ada di tiap-tiap rumah. Dengan kepemilikan MCK
sendiri maka sudah ada kesadaran masyarakat untuk hidup sehat dan bersih.
Selain sarana MCK, tempat sampah juga dirasakan penting. Dengan
adanya tempat sampah ditiap-tiap rumah menjadikan masyarakat terbiasa untuk
tidak membuang sampah sembarangan yang dapat mengotori lingkungan. Setiap
harinya ada petugas sampah yang datang kerumah untuk mengambil sampah dan
mengangkutnya ke Tempat Pembuangan Sampah (TPS) yang lokasinya tidak jauh
dari sungai juga. Dengan membayar iuran kepada petugas sampah maka
masyarakat tidak perlu repot lagi untuk membuang sampahnya.
Jika masalah limbah, jika itu limbah industri batik ada yang telah ikut
dalam program IPAL namun ada juga yang belum tertampung dalam IPAL. Untuk
masyarakat yang belum tertampung dalam IPAL maka limbahnya masih dibuang
di sungai bersamaan dengan limbah rumah tangganya. Adanya sarana tempat
sampat juga ternyata masih belum merupakan jaminan bagi masyarakat untuk
tertib dalam membuang sampah ke tong yang telah ada. Apalagi untuk masyarakat
yang rumahnya sangat dekat dengan dengan sungai atau masyarakat bantaran
sungai lebih tak jarang lebih memilih membuang sampahnya ke sungai. Selain
lebih praktis juga dirasakan sudah terbiasa dengan hal yang demikian.
Meskipun masyarakat sadar bahwa tindakannya tersebut salah namun
masyarakat masih sulit untuk mengubahnya karena sudah menjadi suatu
kebiasaan. Posisi rumah yang memang sangat dekat dengan sungai, bahkan dapat
dikatakan halaman belakang mereka adalah sungai maka tidak heran jika dengan
253
mudahnya sampah-sampah serta limbah yang mereka hasilkan langsung dibuang
begitu saja ke sungai tanpa melalui proses pengolahan terlebih dahulu.
Untuk urusan air bersih masyarakat Laweyan mengandalkan sumur-sumur
mereka sendiri. sumur yang berasal dari galian air tanah malah justru
mengeluarkan air yang jernih dan bersih. Walaupun ada juga warga yang
menggunakan air PAM tetapi untuk urusan air bersih sudah tersedia.
D. Keterlibatan Masyarakat Laweyan Dalam Kaitannya Dengan
Lingkungan Hidup
Masalah lingkungan hidup adalah masalah moral, persoalan perilaku
manusia. Lingkungan hidup bukan semata-mata persoalan teknis. Tidak bisa
disangkal bahwa berbagai kasus lingkungan hidup yang terjadi sekarang ini, baik
pada lingkungan global maupun lingkup nasional, sebagian besar bersumber dari
perilaku manusia. Kasus-kasus pencemaran dan kerusakan bersumber pada
perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab, tidak peduli dan hanya
mementingkan diri sendiri. Manusia adalah penyebab utama dari kerusakan
lingkungan.
Menurut Arne Naess, krisis lingkungan dewasa ini hanya bisa diatasi
dengan melakukan perubahan cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam
secara fundamental dan radikal. Yang dibutuhkan adalah sebuah sebuah pola
hidup atau gaya hidup baru yang tidak hanya orang per orang tetapi juga budaya
masyarakat secara keseluruhan. Artinya dibutuhkan etika lingkungan hidup yang
menuntun manusia untuk berinteraksi secara baru dalam alam semesta.
254
Dalam kaitannya dengan masalah lingkungan hidup ada berbagai macam
kegiatan yang dilakukan dan itu masing-masing berbeda antara masyarakat yang
satu dengan masyarakat yang lainnya. Kegiatan tersebut yang dilakukan adalah
sebagai berikut :
Tabel 11
Masyarakat berdasarkan profesi serta pola perilakunya
No Masyarakat berdasar
profesi
Kegiatan yang dilakukan
1. Produsen Batik - Memproduksi batik
- Mengikuti pertemuan guna
mamajukan lingkungan
hidup di Laweyan
- Berpartisipasi dalam
pengelolaan IPAL
2. Tokoh Masyarakat
(FPKBL)
- Mengelola IPAL
- Mempromosikan batik
3. Tokoh Lingkungan Hidup - Mensosialisasikan kepada
masyarakat tentang kegiatan
lingkungan hidup
- Membuat kegiatan-kegiatan
terkait dengan lingkungan
hidup
4. Pedagang batik - Menjual batik
- Ada partisipasi dalam IPAL
5. Usaha batik rumahan - Membuat batik
- Partisipasi dalan kegiatan
lingkungan hidup yang ada.
6. Pegawai pabrik - Bekerja bakti membersihkan
255
lingkungan sekitar tempat
tinggal
7. Pengurus IPAL - Memeriksa saluran air
- Membersihkan pipa-pipa
agar lubangnya tidak
tersumbat sehingga air
limbah bisa mengalir dengan
lancar
- Menguras bak penampungan
limbah
- Memberi makan bakteri-
bakteri pengurai
8. Pelajar TK -
9. Pelajar SD Membuang sampah pada bak
sampah
10. Pedagang/wiraswasta - Mengikuti lomba-lomba
yang terkait dengan
lingkungan hidup
11. Ibu rumah tangga -
Sumber : Data Primer
Dari kesebelas informan yang ditemui maka memiliki kegiatan yang
berbeda-beda antar satu dengan yang lain sesuai dengan profesi atau pekerjaan
masing-masing. Walaupun ada juga kegiatan antara informan tersebut yang sama
misalnya jika ada pertemuan-pertemuan di Kelurahan untuk membahas lomba
kebersihan atau kegiatan lain yang memang melibatkan sebagian besar
masyarakat.
256
E. Pengelolaan IPAL oleh Masyarakat
Intalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) yang ada di Laweyan dalam
penanganannya sepenuhnya sudah diserahkan kepada Forum Pengembangan
Kampoeng Batik Laweyan (FPKBL). Dalam perawatan setiap harinya FPKBL
menunjuk salah seorang warga yang bertugas untuk merawat bangunan IPAL.
Warga yang rumahnya tidak jauh dari lokasi IPAL dan hanya berjarak beberapa
meter dari pendirian bangunan IPAL tersebut mendapatkan imbalan yang ia
terima setiap bulannya. Imbalan yang ia terima merupakan sebagian dari iuran
warga yang ikut tergabung dalam pengelolaan limbah.
Lokasi IPAL yang berdekatan dengan TPS dan juga berada di pinggir
sungai tersebut terdiri dari 2 bak besar yang digunakan sebagai tempat
penampungan air limbah dan juga sebagai tempat untuk mengendapkan lumpur.
Namun dalam perjalanannya hingga sekarang hanya ada satu bak saja yang
digunakan sedangkan bak yang satunya masih dibiarkan kosong. Menurut petugas
yang mengelola rencananya bak yang masih kosong tersebut akan digunakan jika
ada pengusaha yang mendaftarkan diri sebagai anggota IPAL. Karena jika ada
tambahan pengusaha lagi maka bak penampungan yang selama ini digunakan
tidak muat untuk menampung debit air limbah sehingga disiapkan bak cadangan.
Hal tersebut sebagaimana yang diungkapkan oleh petugas dalam wawancara
sebagai berikut :
“ ....dalam sistem IPAL ada dua bak besar yang satu disini dan satunya lagi disana. Dalam bak pertama limbah yang masuk masih sangat kental maka harus disaring dulu dengan proses yang panjang dan biasanya limbah baru bisa keluar setelah diproses selama 2 hari. Untuk bak yang disana memang masih kosong rencana awalnya akan digunakan sebagai tempat pengendapan lumpur namun dengan penyaringan yang sudah sangat panjang maka bak yang masih
257
kosong tersebut akan digunakan sebagai cadangan jika debit limbah sudah tidak mampu lagi tertampung dalam bak pertama.....” Sumber : Hasil wawancara
Jika menurut peraturan maka satu bak hanya cukup digunakan untuk 6-8
pengusaha saja, namun kini bak tersebut sudah digunakan untuk menampung 10
pengusaha. Mengingat lokasi dan tempat juga terbatas maka dalam pengelolaan
IPAL selama ini sudah diusahakan semaksimal mungkin. Misalnya hal yang rutin
dilakukan oleh petugas adalah setiap dua hari sekali mengecek lubang-lubang air
dan membersihkannya supaya tidak tersumbat. Selain itu pada bak setiap
minggunya diberikan TSP dan juga urea agar bakteri-bakteri dapat makan dan
mampu bekerja dengan baik. Kegiatan lain yang dilakukan adalah melakukan
pengurasan bak penampungan limbah agar terjaga kebersihannya dan tidak
menjadi sarang nyamuk dan sumber penyakit dan yang terlebih lagi tidak berbau
menyengat yang akhirnya akan mengganggu warga sekitar.
Untuk pemberian TSP dan Urea dilakukan setiap dua minggu sekali yang
secara rutin diberikan. Pemberian TSP dan urea tersebut dilakukan pada minggu
pertama dam minggu ketiga yang masing-masing sudah ada jadwalnya.
Sedangkan untuk pemberian konsentrat dilakukan setiap dua bulan sekali. Dari
jadwal yang telah dilakukan maka pemberian konsentrat tersebut dilakukan pada
bulan Februari, April, Juni, Agustus, Oktober dan Desember dimana pada masing-
masing diberikan setiap akhir bulan atau minggu ke empat pada bulan yang
bersangkutan. Untuk pemberian arang aktif setiap enam bulan sekali, jadi setiap
tahunnya hanya dua kali pemasukan arang aktif yang dilakukan oleh petugas. Hal
serupa juga dilakukan untuk pemasukan kantong-kantong pasir dan batu serta
258
penyedotan lumpur yang masing-masing juga dilakukan setiap enam bulan sekali.
Untuk pemasukan kantong-kantong pasir dan batu sesuai jadwal juga dilakukan
pada bulan Mei dan November sedangkan untuk sedot lumpur dilakukan pada
bulan Januari dan Juli. Selain hal tersebut masih ada pemberian nutrisi plus yang
dilakukan setiap minggu sekali sehingga setiap tahunnya dilakukan pemberian
nutrisi sebanyak 48 kali.
Untuk pemberian TSP sebesar ¼ kg per 2 minggu atau setiap minggu
pertama dan minggu ketiga sehingga untuk kebutuhan tiap tahunnya adalah 6 kg.
Sedangkan untuk urea sebesar ½ kg per 2 minggu juga yakni setiap minggu
pertama dan minggu ketiga, jumlah kebutuhan adalah 12 kg per tahun. Pemberian
konsentrat adalah 10 kg per 2 bulan yakni pada minggu ke empat sehingga jumlah
kebutuhan adalah 60 kg per tahun. Untuk pemberian nutrisi plus takarannya
adalah ½ liter per minggu sehingga per tahunnya memerlukan 24 liter nutrisi plus.
Masing-masing treatment tersebut sudah terjadwal dan harus rutin
dilakukan. Hal ini dilakukan untuk menjaga sistem IPAL yang telah dibuat serta
untuk perawatan agar IPAL dapat berfungsi sebagaimana yang diharapkan.
F. Penerapan Eko-Efisiensi Sebagai Upaya Ramah terhadap Lingkungan
Eko-efisiensi (EE) menurut Kamus Lingkungan Hidup dari Kementerian
Lingkungan Hidup Republik Indonesia didefinisikan sebagai suatu konsep
efisiensi yang memasukkan aspek sumber daya alam dan energi atau suatu proses
produksi yang meminimumkan penggunaan bahan baku, air dan energi serta
dampak lingkungan per unit produk.
259
Eco-efisiensi menurut The Federal Ministry for the Environment, Nature
Conservations and Nuclear Safety (2002) disefinisikan sebagai rasio antara nilai
tambah yang diperoleh melalui sisi ekonomi (monetary) dengan nilai tambah yang
diperoleh dari sisi fisik (ecological).
Eco-efisiensi (EE) merupakan strategi yang menggabungkan konsep
efisiensi ekonomi berdasarkan prinsip efisiensi penggunaan sumber daya alam.
Eko-efisiensi dapat diartikan sebagai suatu strategi yang menghasilkan suatu
produk dengan kinerja yang lebih baik, dengan menggunakan sedikit energi dan
sumber daya alam. Dalam bisnis, eko-efisiensi dapat diartikan sebagai strategi
bisnis yang mempunyai nilai lebih karena sedikit menggunakan sumber daya alam
serta mengurangi jumlah limbah dan pencemaran lingkungan.
Tujuan EE adalah untuk mengurangi dmpak lingkungan per unit yang
diproduksi dan dikonsumsi. Dengan mengurangi sumber daya yang diperlukan
bagi terbentuknya produk serta pelayanan yang lebih baik, maka akan diperoleh
keuntungan karena mempunya daya saing.
Konsep EE pertama kali diperkenalkan pada tahun 1992 oleh World
Business Council for Sustainable Development (WBCSD) dalam publikasinya
“Changing Course”. WBCSD adalah sebuah lembaga independen, berkedudukan
di Jenewa yang beranggotakan sekitar 200 perusahaan dari 20 sektor industri yang
terkenal didunia dari 35 negara dan mempunyai komitmen pada pembangunan
berkelanjutan.
260
Ada tujuh faktor kunci dalam eko-efisiensi, yaitu :
1. Mengurangu jumlah penggunaan lahan
2. Mengurangi jumlah penggunaan energi
3. Mengurangi pencemaran
4. Memperbesar daur ulang lahan
5. Memaksimalkan penggunaan SDA yang dapat diperbaharui
6. Memperpanjang umur pakai produk
7. Meningkatkan intensitas pelayanan
Produksi Bersih (Cleaner Production) diperkenalkan oleh UNEP (United
National Environmental Program) yang merupakan salah satu organisasi yang
berada dibawah bendera PBB yang berkecimpung di bidang lingkungan dan
berkedudukan di Perancis. Produksi bersih merupakan suatu strategi pengelolaan
lingkungan yang dilakukan secara terus menerus terhadap proses produksi, produk
maupun jasa yang bertujuan untuk mengurangi resiko terhadap manusia dan
lingkungan, sekaligus meningkatkan efisiensi secara menyeluruh.
Pada prinsipnya eko-efisiensi dan produksi bersih hampir sama.
Perbedaannya adalah orientasinya, dimana produksi bersih lebih berorientasi pada
strategi pencegahan pencemaran lingkungan baik akibat proses produksi pada
daur hidup produknya maupun pada aspek pelayanan (jasa) yang kemudian
memiliki keuntungan secara ekonomi. Sedangkan eko-efisiensi berorientasi pada
strategi peningkatan efisiensi ekonomi pada proses produksi dan peningkatan
pelayanan yang berimplikasi pada pengurangan penggunaan sumber daya alam
maupun pengurangan penggunaan bahan beracun.
261
Sebelum menerapkan konsep eko-efisiensi terdapat suatu langkah awal
yang harus dilakukan yakni melakukan pemahaman atas Keluaran Bukan Produk
(KBP) atau Non Product Output (NPO) yang merupakan keseluruhan materi,
energi, dan air yang digunakan dalam proses produksi namun tidak terkandung
dalam proses akhir. Total biaya KBP merupakan penjumlahan biaya KBP dan
input, biaya KBP dari proses produksi dan biaya KBP dari output. Secara umum,
total biaya KBP berkisar antara 10-30% dari total biaya produksi.
Bagan 4
Konsep Keluaran Bukan Produk (KBP)
Masukan Proses Keluaran
+ + =
Sumber : Eimer, hal 74
F.1. Perangkat Eko-efisiensi
F.1.1. Good Housekeeping (GHK)
Good Housekeeping (Tata Kelola yang Apik) berkaitan dengan
sejumlah langkah praktis berdasarkan pertimbangan umum yang dapat
dilaksanakan oleh UKM atas inisiatif sendiri untuk meningkatkan kinerja
Bahan baku
Energi
Air
Produk akhir yang digunakan
10-30% dari total biaya
produksi
262
operasional, menyempurnakan prosedur pembelajaran dalam organisasi serta
meningkatkan keselamatan dan kesehatan kerja.
GHK memiliki tiga manfaat, yaitu :
1). Penghematan biaya
Penerapan GHK dapat membantu mewujudkan keuntungan yang lebih nyata
bagi perusahaan.
2). Kinerja lingkungan hidup lebih baik
Penerapan GHK dapat mengurangi dampak lingkungan hidup yang
ditimbulkan oleh UKM. Semakin efisiensi penggunaan sumber daya untuk
proses produksi akan semakin kecil KBP yang dihasilkan, sehingga kinerja
lingkungan pun menjadi lebih baik. Dengan demikian, UKM dapat
memperbaiki citranya dan citra produknya terhadap para konsumen, supplier
dan masyarakat sekitar.
3). Pembelajaran dalam organisasi
Penerapan GHK memerlukan komunikasi internal untuk memotivasi
karyawan dan menetapkan tanggungjawab yang jelas. Semua aspek ini harus
ditangani sehingga mampu menimbulkan manfaat organisasi yang membantu
meningkatkan kinerja UKM dalam jangka panjang.
Hal ini dapat dilihat sebagai segi tiga dengan efek sinergisitas yang
memungkinkan UKM memanfaatkan opsi “tiga keuntungan” atau “triple
win” yang dapat menghasilkan proses perbaikan secara kontinu.
263
Bagan 5
Manfaat GHK berupa “Tiga Keuntungan”
Efisiensi
Ekonomi
Kinerja
Lingkungan
Pembelajaran
Organisasi
Sumber : Eimer, hal 6
F.1.2. Environment oriented Cost Management (EoCM)
EoCM (Manajemen Biaya Berorientasi Lingkungan) bertujuan untuk
memberikan informasi atas pengambilan keputusan untuk perbaikan kinerja
lingkungan, ekonomi dan orfanisasi. Perhitungan ekonomi dilakukan terhadap
setiap langkah proses yang melibatkan materi, energi, tenaga kerja dan
peralatan. Pada setiap langkah proses, biaya produksi dan besarnya biaya
KBP dihitung dalam kurun waktu 1 tahun. Dari hasil perhitungan tersebut
akan teridentifikasi langkah proses yang mempunyai nilai KBP dan
menyebabkan dampak lingkungan yang tingi.
Mengurangi limbah, racun, dan emisi udara
264
Pendekatan EoCM secara garis besar dilakukan dengan enam tahap
yaitu :
1). Mengidentifikasikan langkah proses yang mempunyai KBP dan dampak
lingkungan yang dominan
2). Menganalisis pengaruh terkait dengan biaya resiko dan bahaya dampak
lingkungan
3). Menganalisis sebab timbulnya KBP
4). Mengembangkan upaya-upaya alternatif untuk meminimunkan KBP
5). Melaksanakan rencana aksi yang terpilih
6). Mengintegrasikan dalam stuktur di perusahaan
F.1.3. Chemical Management (CM)
Chemical Management (Pengelolaan Bahan Kimia) merupakan upaya
perbaikan pengelolaa bahan kimia agar dapat memperoleh penghematan
biaya, mengurangi dampak lingkungan, meningkatkan kesehatan dan
keselamatan kerja serta meningkatkan daya saing. Pendekatan CM dilakukan
dengan dua tahap yaitu :
1). Mengenali daerah rawan (bot spot)
Pada tahap ini dilakukan identifikasi kehilangan bahan kimia dan bahaya
bahan kimia bagi karyawan dan lingkungan, untuk selanjutnya dilakukan
penanganan terhadap permasalahan tersebut. Dalam CM dikenal empat
prinsip dasar penanganan bahan kimia berdasarkan prioritasnya, yaitu :
a). Menghilangkan bahan kimia berbahaya dengan menggantinya dengan
bahan yang bahayanya lebih rendah.
265
b). Memberi jarak antara bahan kimia dengan pekerja
c). Membuat ventilisasi untuk menghilangkan atau mengurangi kadar asap,
gas dan uap
d). Adanya perlindungan pekerja misalnya dengan menyediakan peralatan
perlindungan diri.
2). Inventarisasi bahan kimia
Pada tahap ini dilakukan identifikasi menyeluruh terhadap bahan kimia yang
disimpan dan digunakan di UKM serta membentuk informasi terstruktur
untuk mengidentifikasi dan melakukan upaya peningkatan secara
berkesinambungan.
F.2. Penerapan Eko-efisiensi
Dalam penerapan eko-efisiensi di suatu UKM terdapat komponen non teknis,
diantaranya adalah :
1) Pengambilan keputusan
Pengambilan keputusn mutlak diperlukan dalam penerapan eko-efisiensi
karena merupakan awal dari adanya perubahan. Pengambilan keputusan
merupakan hak penuh dari pemilik usaha, dan jika diperlukan akan
dibantu dengan konsultan. Keputusan yang diambil disesuaikan dengan
besarnya skala prioritas suatu rencana aksi dan kemampuan finansial dari
pemilik usaha.
2) Motivasi
Motivasi untuk terus melakukan perbaikan perlu dimiliki oleh para
pemilik usaha dan didukung oleh para karyawan. Sehingga penerapan
266
eko-efisiensi tidak dirasakan sebagai beban, namun sebagai sutau
kebutuhan.
3) Komitmen
Pemilik usaha dan karyawan harus memiliki komitmen yang besar dalam
mensukseskan suatu perubahan yang disepakati. Rasa memiliki karyawan
terhadap perusahaan akan membantu menumbuhkan komitmen dalam
menentukan perbaikan.
4) Kebiasaan (habbit)
Perubahan-perubahan yang telah disepakati sebelumnya perlu dijadikan
suatu kebiasaan bagi karyawan. Pemilik usaha perlu melakukan
pemantauan dan evaluasi terhadap penentuan eko-efisiensi secara berkala
untuk menjamin karyawan melakukan perubahan itu sebagai suatu
kebiasaan.
5) Hubungan pemilik usaha dan karyawan (team work/kebersamaan)
Kebersamaan antara pemilik usaha dan karyawan sangat diperlukan
dalam menerapkan suatu perubahan. Rasa kebersamaan dan komunikasi
yang intensif antara kedua belah pihak akan memudahkan dalam
penyampaian masukan dan kritik terhadap perubahan, sehingga bisa
diambil tindakan yang lebih cepat (win-win solution). Dari hasil
penerapan eko-efisiensi tidak hanya dinikmati oleh pemilik usaha, namun
juga karyawan dan masyarakat, baik dari segi finansial, lingkungan dan
juga organisasional.
267
Bagan 6
Penerapan eko-efisiensi
Sumber : Panduan Penerapan Eko-efisiensi
Dalam penelitian ini penerapan eko-efisiensi diterapkan pada
proses pewarnaan batik. Dimana dalam menggunakan pewarna dalam
batik yang dibuat harus diperhatikan segi keuntungan dan juga resiko dan
dampaknya baik terhadap karyawan maupun lingkungan. Adapun
penerapan eko-efisiensi dalam industri batik adalah sebagai berikut :
v Pengambilan keputusan
Pengambilan keputusan dilakukan ketika ada suatu ide baru
yakni dalam penerapan pewarna alami yang lebih ramah lingkungan.
Pemilik usaha mengambil keputusan untuk menggunakan pewarna
alami. Namun demikian pemilik usaha juga membuat suatu keputusan
yang jelas yakni pewarna yang alami hanya digunakan untuk jenis
Pengambilan keputusan
Kunci sukses penerapan eko-
efisiensi Motivasi Team Work
Kebiasaan Komitmen
268
batik tertentu dan masih dalam skala yang minim. Hal tersebut
dilakukan mengingat bahan untuk pewarna yang sulit didapat dan juga
harus diperhatikan dampak positif dan juga negatifnya terhadap
lingkungan.
v Motivasi
Motivasi untuk mengembangkan usaha yang dimiliki oleh
pemilik usaha harus mendapatkan dukungan dari karyawan. Dengan
adanya suatu keputusan untuk mencoba menggunakan suatu pewarna
yang alami maka diperlukan suatu kesabaran karena proses
pembatikan akan lebih lama jika dibandingkan dengan penggunaan
pewarna kimia. Adanya motivasi yang kuat antara pemilik dan juga
dukungan karyawan maka dirasakan limbah sisa produksi dengan
penggunaan pewarna alami lebih sedikit dan lebih bersih.
v Komitmen
Adanya suatu komitmen yang kuat antara pemilik usaha dengan
karyaean ditunjukkan ketika ada suatu kasus yakni bahan pewarna
batik yang digunakan menimbulkan suatu iritasi kulit pada tangan
karyawan. Dengan adanya kejadian yang demikian maka karyawan
melaporkan hal ini kepada pemilik usaha dan dicari jalan keluar
bersama antara karyawan dengan pemilik yakni mengganti zat
pewarna yang digunakan dengan merek lain agar proses produksi juga
tidak terhambat. Selain itu karyawan juga tidak akan berhenti bekerja
269
karena masalah ini karena sudah merasa memiliki suatu komitmen
dengan pemilik.
v Kebiasaan
Dengan penggunaan pewarna alami yang prosesnya berbeda
dan jauh lebih lama dibandingkan dengan pewarna sintetis maka
karyawan harus membiasakan diri dengan hal ini dan dapat
menyesuaikan dengan kandungan dari bahan pewarna yang memang
terkadang tidak cocok dengan kulit sehingga menimbulkan suatu
iritasi dan juga gatal-gatal pada tangan karyawan.
v Hubungan pemilik usaha dan karyawan
Hubungan antara pemilik usaha dengan karyawan terlihat dari
adanya keputusan yang diambil oleh pemilik yang memerlukan
masukan dari karyawan. Dengan adanya kasus iritasi kulit yang
dialami oleh karyawan yang berkaitan dengan penggunaan pewarna
maka pemilik harus mempertimbangkan masukan dari karyawan
dalam pemilihan pewarna agar lebih aman untuk kesehatan karyawan
dan juga lebih ramah terhadap lingkungan.
Dalam menerapkan eko-efisiensi terdapat siklus pengelolaan dengan
delapan tahapan sebagai berikut:
a. Identifikasi potensi optimal
b. Analisis dampak
c. Analisis sebab
d. Alternatif langkah
270
e. Analisis manfaat
f. Rencana aksi
g. Penerapan rencana aksi
h. Evaluasi langkah
Untuk membantu mengidentifikasi potensi optimalisasi, melakukan
analisis dampak maupun analisis sebab dapat digunakan daftar periksa
(checklist) yang memuat hal-hal yang berkaitan dengan bahan, limbah,
penyimpanan dan penanganan bahan, air dan air limbah, energi serta
perlindungan keselamatan dan kesehatan. Delapan tahapan pengelolaan
siklus eko-efisiensi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
Bagan 7
8 Tahapan Siklus Eko-efisiensi
Sumber : Panduan Penerapan Eko-efisiensi
8. Evaluasi langkah
1. Identifikasi potensi optimalisasi
7. Penerapan rencana aksi
2. Analisis dampak
6. Rencana aksi
3. Analisis sebab
5. Analisis manfaat
4. Alternatif langkah
271
Tahap 1. Mengidentifikasi Potensi Optimalisasi
Untuk melakukan identifikasi, harus memahami tata urutan
proses produksi batik, dimulai dari tahapan pengadaan bahan,
penyimpanan, penanganan, proses pembuatan batik hingga pembuangan
limbah cair, padat maupun gas.
Dalam penerapannya, yang jelas terlihat adalah dalam upaya
pembuangan limbah cair sisa produksi batik. Sebelum ada pengolahan
limbah IPAL di Laweyan maka limbah cair batik langsung dibuang ke
sungai dengan menggunakan pipa pralon.
Tahap 2. Melakukan Analisis Dampak
Analisis dampak ini terkait dengan biaya, resiko, potensi bahaya
dan dampak lingkungan. Hal ini dilakukan dengan menganalisis atas
jumlah bahan dan biaya yang harus dikeluarkan pada setiap tahapan
proses maupun yang terbuang. Selain itu juga dilakukan analisis pada
potensi tingkat bahaya jika bahan kimia yang digunakan tercecer diareal
kerja maupun dampaknya terhadap lingkungan.
Ketika limbah cair batik yang dibuang langsung ke sungai, maka
akan mencemari sungai dan membuat kondisi dari air sungai menjadi
keruh dan berwarna karena terkena limbah batik. Banyaknya pengusaha
yang membuang limbah cair batik ke sungai menyebabkan penduduk
yang tinggal disekitar bantaran mengeluh karena baunya yang menyengat
dan mengganggu warga sekitar.
272
Tahap 3. Menganalisis Penyebab
Menganalisis penyebab adanya ketidakefisienan. Bisa
dikarenakan beberapa hal yakni kualitas bahan baku kain yang sering
berubah-ubah, kondisi tempat penyimpanan yang lembab, cara
penimbangan yang kurang hati-hati, atau juga karena bentuk bahan kimia
yang ditangani dalam bentuk serbuk yang mudah terhambur, kurangnya
kedisiplinan pekerja yang membatik atau mengecap dengan merokok,
cairan bahan kimia berceceran ketika dibawa dan sebagainya.
Ketika limbah cair batik yang dibuang ke sungai dan ternyata
menimbulkan bau yang tidak enak dan mengganggu warga sekitar maka
dengan ini pemilik usaha malakukan identifikasi penyebab limbah yang
bau. Bau yang keluar akibat limbah disebabkan karena tingkat kepekatan
limbah karena bahan pewarna yang digunakan. Dengan diketahuinya
penyebab dari bau limbah tersebut maka pemilik akan dapat menentukan
langkah yang akan diambil untuk mengatasinya.
Tahap 4. Menentukan beberapa Alternatif Langkah
Jika sumber penyebab ketidakefisienan sudah diketahui, maka
langkah selanjutnya adalah mencari beberapa alternatif cara untuk
mengurangi resiko kehilangan, kerusakan atau resiko bahaya. Alternatif
yang terpilih biasanya berdasarkan pertimbangan beberapa pihak, yaitu
pemilik dan pekerja. Namun jika diperlukan juga meminta bantuan tenaga
ahli (konsultan) untuk memberikan pertimbangan teknis maupun non
teknis.
273
Masalah yang dihadapi pemilik adalah berhubungan dengan
limbah cair batik, maka dengan kesepakatan bersama antara para pemilik
usaha timbullah suatu ide untuk membangun suatu pengolahan limbah di
Laweyan agar limbah yang batik tidak lagi mengganggu warga. Rencana
pembangunan IPAL yang ada di Laweyan merupakan bentuk kerjasama
Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan (FPKBL), Badan
Lingkungan Hidup serta GTZ ProLH sebagai penyumbang dana
pembuatan IPAL.
Tahap 5. Melakukan Analisis Manfaat
Memberikan analisis manfaat dari berbagai alternatif yang
dipilih secara realistis, baik dari segi teknis, maupun ekonomi. Memilih
alternatif yang memberikan penghematan optimal dengan aspek teknis
yang sederhana dengan cara menemukan indikator utama yang sesuai
untuk memantau hasil yang dicapai.
Dengan pembangunan IPAL yang ada di Laweyan, maka dapat
dilihat manfaatnya. Manfaat yang kini dirasakan adalah limbah yang
masuk ke sungai sudah tidak pekat lagi karena telah melalui proses
pengolahan yang cukup lama yakni semala 2 hari. Manfaat yang
dirasakan oleh pemilik usaha adalah adanya penghematan listrik dan juga
air karena limbah sudah langsung masuk ke saluran pipa yang sudah
terhubunga dengan IPAL sehingga tidak diperlukan banyak air untuk
melarutkan limbah sampai ke sungai.
274
Tahap 6. Persiapan Rencana Aksi
Merupakan persiapan implementasi semua rencana yang ada
berdasarkan atas identifikasi yang terpilih pada masing-masing tahapan
proses. Pada tahap ini diputuskan langkah-langkah apa yang akan diambil
dan memprioritaskan langkah-langkah tersebut.
Rencana yang telah disusun bersama antara FPKBL, Badan
Lingkungan Hidup dan juga GTZ ProLH terkait dengan pembangunan
IPAL maka terkait dengan ini segera dipersiapkan segala hal yang
diperlukan, mulai dari penentuan lahan dan juga material yang digunakan
serta biaya pemeliharaan serta mempersiapkan orang untuk merawat
IPAL jika prosesnya sudah berjalan.
Tahap 7. Penerapan Rencana Aksi
Pada tahap ini dilakukan implementasi semua langkah
penerapan eko-efisiensi yang telah disepakati. Hasil penerapan rencana
aksi dapat didiskusikan pada suatu pertemuan jejaring antara pengusaha
atau pekerja untuk saling berbagi kisah sukses dan pembelajaran dalam
penerapan eko-efisiensi serta memotivasi untuk persiapan dan perbaikan
yang berkelanjutan.
Setelah semua yang hal yang dipersiapkan untuk pembuatan
IPAL selesai dipersiapkan, maka langkah selanjutnya adalah memulai
membangun IPAL. Setelah melalui percobaan dan juga pengukuran
terkait dengan lokasi dan kemiringan tanah, maka akhirnya IPAL
dibangun di tanah milik umumyang letaknya di tengah tanah makam dan
275
dipinggir sungai jenes. Selain kemiringan tanah yang sesuai juga
lokasinya dekat dengan sungai sehingga memudahkan proses
pembuangan.
Tahap 8. Evaluasi Langkah (Perbaikan)
Dilakukan pemantauan atas rencana aksi yang telah dilakukan
kemudian dilakukan evaluasi tingkat keberhasilannya. Setelah itu
melakukan langkah perubahan internal baik menyangkut prosedur kerja
maupun penetapan penanggungjawaban setiap pekerjaan agar
mendapatkan hasil yang diharapkan.
Evaluasi selalu dilakukan untuk memantau apakah program
yang berjalan memberikan manfaat atau tidak. Ketika IPAL sudah jadi
dan sudah digunakan juga ada suatu evaluasi dari Forum yang tentunya
juga melibatkan masyarakat. Evaluasi dilakukan untuk mengadakan
langkah perbaikan atas apa yang telah dikerjakan.
Setelah adanya IPAL ternyata ada suatu manfaat yang dirasakan
pemilik usaha dan juga masyarakat tidak lagi terganggu karena bau yang
sangat menyengat. Dengan masih banyaknya pengusaha yang masih
belum mampu tertampung dalam IPAL maka dengan evaluasi ini akan
dibangun suatu bak penampungan lagi sehingga akan lebih banyak
pengusaha yang limbahnya masuk dalam IPAL untuk diproses untuk
menghasilkan limbah yang lebih bening.
276
G. Pemakaian Pewarna Alami Berwawasan Lingkungan
Dalam suatu proses pembuatan batik, baik itu batik cap maupun batik
tulis tidak dapat lepas dari yang namanya pewarnaan. Banyaknya kombinasi
warna yang digunakan serta proses dari pewarnaan tersebut akan menjadi suatu
ciri khas tersendiri dari masing-masing produsen batik. Semakin majunya jaman
serta semakin banyaknya masyarakat yang menggemari produk-produk batik akan
menjadi suatu tantangan tersendiri bagi produsen-produsen batik dalam
mengkombinasikan berbagai warna agar mampu menjadi daya tarik dan juga ciri
khas untun industrinya.
Semakin banyak masyarakat yang menggemari batik membuat produsen
batik harus mampu memproduksi batik dengan cara yang cepat namun tetap
memperoleh keuntungan. Maka dari itu tidak jarang juga yang banyak
menggunakan pewarna sintetis daripada pewarna alami yang lebih ramah
lingkungan. Selain prosesnya yang cepat juga dirasakan lebih praktis dan juga
lebih mudah untuk mengejar target pasar.
Hal serupa juga terjadi di Laweyan yang merupakan salah satu tempat
wisata batik di Kota Solo. Dengan banyaknya produsen batik disana dan juga
pesanan yang semakin banyak pula membuat pengusaha batik di Laweyan juga
menggunakan pewarna sintetis. Namun demikian pewarna alami juga masih
digunakan dalam skala yang kecil. Biasanya pewarna alami digunakan untuk
produk-produk tertentu yang memang harus diwarnai dengan pewarna yang alami.
Dalam proses pewarnaan membutuhkan campuran air untuk melarutkan
pewarna tersebut. Kebutuhan air untuk memproses kain mori menjadi kain batik
277
dengan 1-3 warna adalah 25-50 liter air untuk setiap 1 m kain. Hal ini dapat
diartikan bahwa diperlukan air lebih sedikit jika proses pewarnaannya hanya satu
kali. Untuk kebutuhan energi diperlukan sekitar 5-15 watt per jam per meter kain.
Kebutuhan zat warna diperoleh dari pewarna alami dan sintetis. Pewarna
alami diperoleh dari daun, kulit kayu, dan akar berbagai tanaman. Tidak ada dosis
dan formula yang tepat ketika zat warna yang digunakan berasal dari tanaman,
mengingat umur tanaman, jenis tanaman dan jenis kombinasinya sangat
bervariasi. Sebelum menggunakan pewarna alami maka hal yang pertama
dilakukan adalah melakukan percobaan awal agar diperoleh kombinasi warna
yang sesuai dengan apa yang diinginkan.
Untuk mendapatkan jenis warna yang diinginkan dapat dipilih tanaman
sebagai berikut :
Tabel 11
Jenis tanaman sebagai pewarna alami
Jenis tanaman Warna
Kayu secang Merah / oranye
Jawale Kuning
Daun nila, tom, indigo Bitu tua/ wedelan
Daun jati, kulit kayu jambal Merah kecoklatan
Kulit kayu tegeran, kulit kayu mahoni Sogan
Kayu manis, kulit akar mengkudu, kulit
buah jengkol, kayu tingi
Coklat
Kulit kayu bulian Merah hati
Buah mengkudu Krem
Sumber : Data Sekunder Panduan Penerapan Eko-efisiensi
278
Pewarna dari beberapa tanaman lainnya adalah akar temu lawak, kayu
samak merah, kulit batang daun salam, daun salam, daun alpukat, daun mangga,
daun bougenvile, akar dan batang mangrove, kunyit dan pasak bumi.
Semua zat warna alami dari tumbuh-tumbuhan diperoleh dengan cara
ekstraksi (perebusan dalam air mendidih), kecuali untuk nila yang harus
difermentasi terlebih dahulu. Ekstrak larutan digunakan untuk mencelup kain.
Kain yang telah dibatik, dicelup dalam larutan ekstrak zat warna alam kemudian
dikeringkan ditempat yang teduh setelah itu kain tersebut dicelup kembali. Cara
pencelupan tersebut dilakukan sebanyak 5-30 kali kemudian difiksasi dengan cara
direndam dalam larutan kapur, larutan tawas (alumunium sulfat) atau larutan
tunjung (ferro sulfat) selama 15 menit. Proses selanjutnya adalah dicuci dan
dikeringkan.
Keuntungan jika menggunakan zat warna alami adalah ramah lingkungan
karena tidak termasuk bahan berbahaya dan beracun. Namun dalam
pelaksanaannya juga ada beberapa kendala yaitu variasi warna yang sangat
sedikit, kesulitan untuk memperoleh bahan baku jika dalam jumlah banyak, harga
yang relatif mahal dan kesulitan untuk mendapatkan warna yang sama persis
walaupun dengan dosis yang sama.
279
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Fungsi Sungai Bagi Masyarakat yang Tinggal di Bantaran Sungai Jenes
di Kelurahan Laweyan
Sungai Jenes yang merupakan anak dari sungai Bengawan Solo ini
tidaklah begitu besar. Sungai ini mengalir di tengah-tengah perkampungan yang
ada di Laweyan dan merupakan perbatasan wilayah antara Solo dengan
Sukoharjo. Aliran sungai Jenes memiliki dua cabang, dimana oleh masyarakat
Laweyan disebut sebagai tempuran. Kedua cabang itu berasal dari aliran sungai
yang ada di Solo dan juga aliran sungai dari wilayah Sukoharjo dan sekitarnya.
280
Fungsi sungai Jenes berbeda antara zaman dahulu sebelum tahun 1980-an
dengan setelah tahun 1980-an dimana sebelum tahun 1980-an kondisi sungai
masih terlihat sangat bening dan jernih sedangkan setelah tahun 1980-an kondisi
sungai menjadi semakin kotor dan tercemar karena semakin banyaknya industri
yang ada disekitar daerah tersebut.
Pada waktu kondisi sungai Jenes masih baik dan airnya masih sangat
jernih maka masyarakat Laweyan menggunakan sungai tersebut sebagai sarana
transportasi air. Hal tersebut dilakukan karena sejak zaman dahulu pada waktu
kerajaan Pajang, Laweyan sudah merupakan daerah penghasil batik. Dengan
komoditi batiknya yang khas maka untuk perdagangan jual beli dan sebagainya
masyarakat masih menggunakan sarana transportasi air yakni melalui sungai Jenes
ini. Transportasi dilakukan melalui sungai untuk kegiatan jual-beli batik dan
transaksi penjualan lainnya yang berupa bahan baku pembuatan batik juga.
Selain sebagai sarana transportasi, dahulu Sungai Jenes juga digunakan
sebagai tempat mencuci kain batik bagi masyarakat Laweyan. Dapat dikatakan
dahulu masyarakat Laweyan kehidupannya sangat bergantung pada sungai ini.
Sebagian besar masyarakat Laweyan berprofesi sebagai pembatik sehingga daerah
ini sekarang disebut sebagai Kampoeng Batik Laweyan. Masyarakat
menggunakan sungai sebagai tempat mencuci kain batik buatannya karena dahulu
batik yang dibuat masih dalam jumlah yang relatif sedikit dan itu juga sebagian
besar masih digunakan untuk kebutuhan pribadi sehingga walaupun kain-kain
batik dicuci di sungai tetap saja tidak begitu banyak mempengaruhi sungai dan
airnya pun juga masih dalam kondisi yang baik dan tidak keruh. Limbah pewarna
281
kain batik yang dicuci akan ikut hanyut bersama dengan arus sungai sehingga
setelah proses pencucian selesai tidak aka lagi pewarna bekas kain yang ada di
sungai.
Fungsi sungai yang lain adalah sebagai tempat bermain bagi anak-anak,
tempat mandi bagi penduduk serta sebagai tempat untuk berkumpul dan bertukar
pikiran antar penduduk khususnya ibu-ibu yang mencuci pakaian disungai
ataupun yang sedang melakukan aktivitas lainnya. Bermain dan mandi disungai
merupakan suatu hal yang sangat menyenangkan bagi anak-anak. Mereka tidak
takut akan sakit ataupun tenggelam karena kondisi sungai Jenes tempo dulu
sangatlah dangkal dan jernih bahkan isi dalam sungai masih dapat dilihat dan
dirasakan benar manfaatnya oleh penduduk. Dengan kondisi yang demikian maka
tak heran kehidupan sehari-hari penduduk sulit dipisahkan dari sungai ini.
Kondisi sungai yang memberikan manfaat yang demikian banyaknya pada
penduduk di Laweyan dan sekitarnya itu lama-lama berubah fungsinya. Setelah
tahun 1980-an yakni tepatnya ketika industri-industri besar mulai banyak
bermunculan maka sedikit demi sedikit air sungai yang dulunya begitu bening dan
sangat jernih itu berubah menjadi coklat dan bahkan sampai hitam dan berwarna
karena terkontaminasi oleh limbah-limbah industri.
Seiring dengan perkembangan jaman yang semakin maju dengan berbagai
peralatan yang canggih dan modern selain memberikan dampak yang positif dan
kemudahan bagi manusia ternyata disisi lain juga memberikan efek atau dampak
yang negatif pada lingkungan sekitar dan akhirnya jika hal ini dibiarkan terus-
menerus maka akan berdampak buruk pada manusia. Hal yang paling sering
282
terjadi dan itu berhubungan dengan sungai adalah banjir. Musim hujan yang turun
secara terus-menerus juga terkadang menyebankan sungai jenes meluap dan
membanjiri jalan bahkan rumah-rumah penduduk sekitar daerah bantaran sungai.
Semakin maraknya industri besar baik itu yang berada di Solo maupun
Sukoharjo yang merupakan perbatasan dengan Solo membuat limbah yang
dihasilkan dari proses produksi tersebut dibuang ke sungai. Ketika daerah sekitar
sungai masih berupa sawah maka jarang sekali atau bahkan tidak pernah
mengalami banjir namun kini setelah ladang-ladang sawah berubah menjadi
pabrik-pabrik besar maka sungai sering banjir jika hujan datang dan juga sering
bau karena pengaruh limbahnya. Apalagi sungai jenes yang juga merupakan
pertemuan dari dua anak sungai yakni dari Solo dan Sukoharjo membuat
masyarakat sulit membedakan limbah yang ada berasal dari Solo atau dari daerah
di luar Solo.
Sungai yang telah beralih fungsi tersebut sekarang oleh sebagian
masyarakat Laweyan yang tinggalnya di bantaran sungai dengan jarak rumah
yang hanya beberapa meter saja terkadang juga dijadikan sebagai tempat
pembuangan sampah. Baik itu sampah rumah tangga yang berwujud cair maupun
sampah lainnya yang berwujud padat. Sampah rumah tangga yang dihasilkan
dibuang begitu saja ke sungai tanpa melalui proses penyaringan terlebih dahulu.
Dengan menggunakan pipa pralon yang langsung terhubung ke sungai membuat
penduduk lebih mudah dan praktis untuk membuang ke sungai dari pada ke
tempat penampungan lainnya.
283
Tidak hanya sampah cair saja yang membuat warna sungai menjadi
semakin keruh, namun juga banyak sampah yang berupa plastik yang ada disungai
hingga membuat aliran di sungai menjadi tersumbat dan banyak juga yang
menumpuk di tengah dan pinggir sungai. Tumpukan sampah-sampah tersebut
dapat dilihat dengan jelas ketika air sungai sedang surut atau kecil sehinnga
pendangkalan akibat sampah sangat jelas terlihat.
Selain sungai yang digunakan sebagai tempat pembuangan sampah dan
limbah rumah tangga bagi penduduk sekitar bantaran, ternyata sungai jenes juga
berfungsi sama untuk masyarakat Laweyan yang jarak rumahnya agak jauh dari
sungai. Hal ini terutama terlihat pada kelompok pembuat batik dimana sungai
digunakan sebagai tempat untuk membunag limbah batik mereka namun sebelum
limbah tersebut dibuang ke sungai terlebih dahulu diproses dengan menggunakan
sisten IPAL yang ada di Laweyan.
Setelah melalui berbagai proses di IPAL dan melalui pengujian oleh
bidang yang ahli maka akhirnya sisa limbah hasil olahan tersebut berujung di
sungai juga sebagai tempat pembuangan akhirnya. Walaupun memang limbah
yang sudah diproses tersebut sudah layak untuk dibuang ke sungai karena tidak
mengandung zat berbahaya lagi atau kandungannya sudah jauh berkurang tetapi
dengan demikian akan mengganggu fungsi utama sungai sehingga sungai tersebut
sudah tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya lagi.
Hal tersebut sebagaimana pendapat Miller (1991) yakni sumber pencemar
sungai berasal dari Point Sources yang merupakan sumber pencemar dengan
membuang limbah cair melalui pipa, selokan atau saluran air kotor kedalam badan
284
air pada lokasi tertentu, seperti pabrik dan juga tempat pengolahan limbah cair
yang dalam hal ini adalah IPAL yang hanya menghilangkan sebagian tetapi tidak
seluruh zat cair.
Semakin banyaknya limbah yang ada di Sungai Jenes juga merupakan
pencemaran akibat beberapa kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar
yang dapat berupa kegiatan rumah tangga maupun kegiatan industri. Hal tersebut
sebagaimana menurut Haslam (1992) dapat dirinci sebagai berikut :
1. Kegiatan domestik : kegiatan yang berasal dari lingkungan pemukiman
baik yang berasal dari daerah perkotaan ataupun pedesaan. Limbah yang
dibuang seperti deterjen, pencemar organik dan lain sebagainya. Dengan
demikian masyarakat bantaran baik itu yang berada di Laweyan ataupun
sekitarnya yang menggunakan pipa-pipa pembuangan ke sungai sisa
pencucian dan sebagainya merupakan salah satu limbah yang berasal dari
kegiatan domestik dan hal itu akan turut menyumbangkan limbah ke
sungai.
2. Kegiatan industri : banyaknya industri yang berada di Laweyan dan
sekitarnya juga ikut mempengaruhi kualitas sungai tersebut. Industri batik
yang ada di Laweyan menggunakan sistem pengolahan limbah IPAL
dengan tahapan proses penyaringan yang sangat lama juga menggunakan
sungai sebagai tempat pembuangan akhirnya. Selain itu industri-industri
lain yang ada di luar Laweyan seperti Sukoharjo dan membuat sisa
produksinya mengalir ke sungai walaupun itu hanya sebagian kecil dari
limbah pabrik namun tetap saja warnanya akan mempengaruhi kualitas
285
sungai dan juga terkadang baunya yang sangat menyengat membuat
warga bantaran sungai menjadi terganggu.
Matrik 1
Pemaknaan Sungai Bagi Masyarakat
No. Masyarakat berdasar profesi dan asal daerah Pemaknaan sungai 1. Produsen batik/pengusaha, Laweyan Sungai sebagai front belakang 2. Tokoh masyarakat, Laweyan Sungai masih dipandang sebagai front belakang yang digunakan
sebagai tempat pembuangan akhir dan juga pembuangan limbah, baik limbah rumah tangga maupun limbah industri yang berasal dari Solo, Sukoharjo dan sekitarnya.
3. Tokoh lingkungan hidup, Laweyan Sungai sebagai front depan yang perlu dijaga dan dipelihara agar ekosistem yang ada tetap terjaga dengan baik.
4. Pedagang batik, Wonogiri Sungai sebagai front belakang 5. Usaha/pembuat batik rumahan (home industri),
Laweyan Sungai sebagai front belakang
6. Pegawai pabrik, Wonogiri Sungai sebagai front belakang 7. Pengurus IPAL Sungai sebagai front belakang 8. Pelajar Sungai sebagai front belakang 9. Pelajar Sungai sebagai front belakang
10. Wiraswasta/Pedagang Sungai sebagai front belakang 11. Ibu Rumah tangga Sungai sebagai front belakang
137
Matrik 2 Fungsi Sungai Jenes Bagi Masyarakat
No. Masyarakat berdasar profesi dan asal daerah
Dulu (sebelum tahun 1980-an)
Sekarang (sesudah tahun 1980-an)
1. Produsen batik/pengusaha, Laweyan Sebagai tempat mencuci kain batik, sebagai sarana transportasi air yang berguna untuk perdagangan.
Sebagai tempat pembuangan akhir dari IPAL
2. Tokoh masyarakat, Laweyan Sebagai tempat mandi, dan bermain bagi anak-anak serta tempat untuk mencuci dan ngrumpi bagi kaum ibu-ibu.
Sebagai tempat pembuangan limbah rumah tangga.
3. Tokoh lingkungan hidup, Laweyan Sebagai arena bermain dan juga mandi Sebagai salah satu target program yakni penanaman pohon dipinggir sungai untuk mencegah longsor dan juga banjir.
4. Pedagang batik, Wonogiri - Sebagai tempat pembungan sampah dan juga limbah rumah tangga.
5. Usaha/pembuat batik rumahan (home industri), Laweyan
Tempat mencuci kain batik Sebagai tempat pembuangan sampah, limbah rumah tangga dan juga limbah industri.
6. Pegawai pabrik, Wonogiri - Sebagai tempat pembungan sampah dan limbah rumah tangga.
7. Pengurus IPAL, Laweyan Sebagai tempat mandi dan bermain, berkumpul bersama warga lain.
Sebagai tempat akhir dari proses IPAL.
8. Pelajar, Laweyan - Sebagai tempat membuang sampah 9. Pelajar, Laweyan - Sebagai tempat membuang sampah
10. Wiraswasta/Pedagang, Laweyan Sebagai tempat bermain anak-anak Sebagai tempat sampah 11. Ibu Rumah Tangga, Yogyakarta - Sebagai tempat sampah
138
139
B.Pola Perilaku Masyarakat Terhadap Sungai Serta Dampaknya Terhadap
Lingkungan di Laweyan
Tidak bisa disangkal bahwa berbagai kasus lingkungan hidup yang terjadi
sekarang ini, baik pada lingkungan global maupun lingkup nasional, sebagian
besar bersumber dari perilaku manusia. Kasus-kasus pencemaran dan kerusakan
bersumber pada perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab, tidak peduli dan
hanya mementingkan diri sendiri.
Perilaku masyarakat Laweyan dalam kaitannya dengan sungai dan juga
lingkungan hidup sangat beragam. Perilaku masyarakat didasarkan pada adanya
manfaat yang dapat diperoleh dan disarakan oleh masyarakat sehingga perilaku
yang demikian diimbangi dengan cara pandang dari masing-masing masyarakat
yang kuat menjadikan perilaku mereka menjadi terpola dan akhirnya menjadi
suatu kebiasaan yang sulit untuk diubah.
Perilaku yang demikian sedikit banyak akan berdampak pula pada
lingkungan sekitar tempat tinggal mereka. Seperti perilaku yang sudah menjadi
wajar dilakukan oleh masyarakat adalah membuang sampah ke sungai. Di
Laweyan sudah ada Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang letaknya ada di dekat
sungai dan juga disebelah bangunan IPAL serta di masing-masing rumah sudah
ada keranjang sampah yang setiap dua hari sekali ada petugas sampah yang
mengambil untuk kemudian dibuang ke TPA. Dengan membayar biaya
kebersihan perbulannya maka masyarakat tidak usah repot untuk mengurusi
sampah-sampah yang mereka hasilkan setiap harinya. Namun walaupun demikian
masih ada juga masyarakat yang lebih memilih untuk membuang sampah
140
langsung ke sungai karena dirasakan lebih dekat dan juga lebih praktis daripada
harus berjalan dahulu menuju ke tempat pembuangan sampah. Selain alasan
tersebut juga karena sampah yang sudah menumpuk banyak tetapi masih belum
juga diambil oleh petugas. Hal ini membuat masyarakat bantaran memilih untuk
langsung membuang sampah ke sungai. Dengan jarak yang sangat dekat atau
bahkan dapat dikatakan halaman belakang masyarakat bantaran adalah sungai
maka tak heran jika masyarakat sekitar bantaran memilih hal itu dilihat dari segi
kepraktisan dan kecepatannya.
Masyarakat sadar dan tahu kalau membuang sampah ke sungai merupakan
suatu kebiasaan yang buruk karena dapat menyebabkan banjir dan juga merusak
pemandangan sungai dan membuat sungai tidak mampu lagi berfungsi
sebagaimana mestinya, namun kebiasaan membuang sampah ke sungai tetap saja
dilakukan karena sudah terbiasa atau orang jawa menyebutnya sudah kulino
sehingga mereka santai-santai saja melakukan hal itu.
Pemaknaan masyarakat terhadap sungai Jenes adalah sungai sebagai front
belakang sehingga tak heran jika selama ini digunakan sebagai tempat
pembuangan limbah industri baik itu rumah tangga maupun pabrik-pabrik sekitar.
Perilaku masyarakat yang demikian sulit untuk dirubah selain kurangnya
kesadaran masyarakat akan pemeliharaan lingkungan juga karena tidak adanya
peraturan yang secara jelas mengatur hal itu. Sehingga masyarakat sekitar
cenderung untuk mengabaikan dan juga bersikap acuh tak acuh.
Sebagian masyarakat yang berperilaku tidak peduli terhadap lingkungan
sungai adalah berasal dari kampung atau desa tetangga yang memang jaraknya
141
sangat dekat dengan sungai. Sungai yang sekaligus menjadi pembatas antar daerah
tersebut hanya terdapat sebuah jembatan penghubung sehingga sangatlah mudah
jika hanya sekedar membuang sampah ke sungai. Kebiasaan masyarakat tersebut
jelas terlihat pada waktu sore hari sekitar pukul 4 sore dan hal itu hampir
berlangsung setiap harinya. Untuk masyarakat Laweyan sendiri terkait dengan
perilakunya dalam menjaga kualitas lingkungan hidup yang ada disana dapat
dikatakan sudah cukup baik. Walaupun juga masih ada warga yang menyalahi
aturan. Hal ini kembali lagi pada kepribadian pada tiap-tiap individu. Meskipun
sudah ada penyuluhan dan aturan tetapi jika pada dasarnya individu tidak
mempunyai rasa kepedulian yang tinggi tetap saja akan melanggar aturan yang
ada.
Perilaku masyarakat yang demikian jika ditafsirkan melalui pemahaman
Weber yakni interpretatie understanding atau yang lebih sering disebut vestehen
maka dari hasil penelitian yang ada dapat bahwa motif masyarakat dalam
berperilaku setiap harinya yakni membuang sampah dan juga limbah rumah
tangga langsung ke sungai karena memang sudah merupakan suatu kebiasaan dan
sudah kulino dan juga tidak adanya aturan yang jelas yang ada dimasyarakat,
selain itu pemaknaan masyarakat terhadap sungai yang sudah mulai berubah yakni
sungai dimaknai sebagai front belakang yang berfungsi sebagai tempat
pembuangan.
Perilaku masyarakat tersebut dalam kaitannya dengan Teori Perilaku
Sosial adalah masyarakat dalam berperilau setiap harinya memperhitungkan
adanya reward atau ganjaran yang akhirnya diwujudkan dalam suatu bentuk
142
tingkah laku pada lingkungan dimana ia tinggal. Reward yang diperoleh dapat
berupa keuntungan maksimal yang dapat dirasakan oleh individu dan juga
pertimbangan akan untung dan rugi yang diterima.
Masyarakat dalam berperilaku di kehidupan sehari-hari dapat digambarkan
sebagai berikut :
· Mendapatkan keuntungan maksimal
Rumah Sungai
1-2 meter
Dengan jarak yang demikian dekatnya antara rumah dengan sungai
membuat masyarakat mudah untuk membuang sampah. Baik itu sampah
padat maupun sampah cair yang dihasilkan oleh limbah rumah tangga
seperti deterjen sisa pencucian maupun limbah cair lainnya. Proses
pembuangan limbah yang hampir terjadi setiap harinya tersebut terjadi
melalaui pipa-pipa pralon yang langsung dihubungkan ke sungai. Tidak
membutuhkan pipa yang panjang karena jarak dengan sungai begitu
dekat. Dengan kemudahan inilah maka dapat dikatakan masyarakat akan
mendapatkan keuntungan maksimal karena tidak harus berjalan jauh
untuk membuang sampah dan juga tidak perlu ikut dalam IPAL karena
biaya yang dikeluarkan mahal yakni dengan membuat pipa perpanjangan
sendiri dari tempat pembuangan limbah IPAL sampai dengan jarak rumah
masing-masing. Selain itu dalam ikut menjadi anggota IPAL juga harus
membayar iuran setiap bulannya untuk biaya perawatan dan juga untuk
membayar petugas perawatan di IPAL. Dengan saluran pipa yang dibuat
143
langsung dihubungkan ke sungai maka tidak perlu terlalu panjang pipanya
dan juga setiap bulannya tidak harus membayar biaya apapun sehingga
lebih praktis. Hal inilah yang menjadi pola pikir dari masyarakat yang
tinggal di bantaran sungai sehingga dengan demikian akan diperoleh
keuntungan maksimal.
· Pertimbangan untung rugi
Untuk pertimbangan untung rugi dalam berperilaku didasarkan
pada letak atau jarak rumah dengan sungai sehingga warga pembuat batik
yang rumahnya bantaran sungai dan tepat disisi sungai menjadi
keuntungan tersendiri karena limbah batik buatannya tidak memerlukan
penyaringan dalam proses pengolahan limbah, dimana yang dalam
masyarakat Laweyan tergabung dalam IPAL.
IPAL yang dibangun di Laweyan digunakan oleh sebagian
pengusaha batik dengan skala industrinya yang besar. Dengan pembuatan
batik dengan jumlah yang banyak untuk setiap harinya maka jumlah
limbah yang dihasilkannya pun juga banyak. Jika masing-masing
pengusaha tidak mempunyai tempat penampungan limbah sendiri maka
limbah yang dihasilkan akan menjadi masalah yang sangat mengganggu.
Pembuatan IPAL dan juga saluran pipanya membutuhkan biaya yang
besar.
Masyarakat Laweyan yang tinggal di bantaran adalah dengan
produksi batik yang hanya sedikit. Kebanyakan adalah industri batik
rumahan dengan modal yang kecil dan juga tenaga kerja adalah anggota
144
keluarga sendiri. Dengan omset penjualan yang tidak begitu banyak dan
juga tempat tinggal berdekatan dengan sungai maka dipilih pembuangan
limbah batiknya langsung dialirkan ke sungai. Tanpa melalui proses yang
lama dan panjang maka mereka juga dirasakan lebih irit dan praktis.
Perilaku manusia dalam kehidupan bermasyarakat juga tidaklah lepas dari
etika yang dimiliki oleh masing-masing individu. Adanya suatu etika akan
membuat manusia berperilaku sesuai aturan atau tidak. Dengan demikian perilaku
mereka juga dapat dinilai baik atau buruk. Dalam teori etika disebutkan bahwa
suatu tindakan dipengaruhi oleh kemajuan intelektual dan juga budaya serta cara
pikir.
Hal ini terlihat dalam perilaku yang dilakukan oleh masyarakat yang
menjadi obyek penelitian ini. Masyarakat Laweyan terdiri dari golongan
pengusaha dan juga golongan rakyat biasa. Pada kelompok pengusaha batik yang
sudah mempunyai nama dan juga produknya sudah terkenal tentu saja akan
berperilaku yang berbeda dengan pembatik rumahan biasa yang memang produksi
batiknya hanya secara manual dengan hasil per harinya yang tidak lah terlalu
banyak. Selain itu faktor usia juga mencerminkan perilaku yang berbeda.
Jika dibandingkan antara kedua pembuat batik ini maka akan jelas terlihat
pola perilakunya yakni :
- Pembatik rumahan (bukan pengusaha) : Dalam proses pembuatan
batik yang hanya berjumlah sedikit tentunya dalam proses pewarnaan
juga akan ada limbah sisa bahan pewarna. Sisa bahan pewarna
145
tersebut dibuang ke sungai secara langsung melalui pipa pembuangan
tanpa melalui proses penyaringan atau pengolahan terlebih dahulu.
- Pembatik yang punya pabrik (pengusaha) : Membuat batik dalam
jumlah yang besar untuk setiap harinya. Hasil akhirnya akan sama-
sama menghasilkan limbah sisa pewarnaan. Sisa pewarnaan juga akan
dibuang ke sungai tetapi tidak secara langsung, namun melalui proses
penyaringan terlebih dahulu dalam IPAL yang ada di Laweyan.
Dengan demikian walaupun sama-sama membuang limbah pewarna
batik ke sungai namun terlihat jelas berbeda cara dan juga metode
yang digunakan sehingga kadar limbah yang dibuang juga akan
dirasakan lebih sedikit zat berbahayanya.
Dari kedua perbandingan diatas maka jelas terlihat bahwa pola perilaku
yang dilakukan oleh masyarakat terutama untuk pembungan limbah batik yang
ada di Laweyan juga berbeda dan dipengaruhi oleh intelektual, budaya serta cara
pikir pada tiap individu.
Suatu tindakan dinilai baik dan buruk berdasarkan apakah tindakan itu
sesuai atau tidak dengan kewajiban. Suatu tindakan dianggap baik karena tindakan
itu memang baik pada dirinya sendiri, sehingga merupakan kewajiban yang harus
dilakukan. Sebaliknya suatu tindakan dinilai buruk secara noral karena tindakan
itu memang buruk secara moral sehingga tidak menjadi kewajiban untuk
dilakaukan. Hal ini dalam teori etika deontologi sama sekali tidak mempersoalkan
akibat dari tindakan tersebut baik atau buruk.
146
Dalam perspektif ini, membuang limbah ke sungai akan dinilai buruk
secara moral bukan karena akibatnya yang merugikan. Tindakan ini dinilai buruk
karena tidak sesuai dengan kewajiban moral untuk hormat kepada alam. (respect
for nature).
Perbedaan perilaku antara masyarakat juga dapat dibedakan berdararkan
usianya. Informan yang masih duduk di bangku TK yakni masih berumur 4 tahun
dalam berperilaku sehari-hari lebih meniru pada kebiasaan orang tua. Anak belum
bisa membedakan apakah perilaku tersebut baik atau buruk yang jelas apa yang
dilakukan oleh orang tuanya itulah yang ditiru olehnya.
Hal yang berbeda ditemukan pada informan yang berusia 7 tahun yakni
yang duduk di bangku kelas 1 Sekolah Dasar. Informan ini adalah perempuan.
Dalam berperilaku tidak sepenuhnya sesuai dengan apa yang dilakukan oleh orang
tua, namun lebih pada apa yang dipandangnya benar. Pelajaran yang diberikan
oleh orang tua dan juga oleh guru yang ada di sekolah digabungkan sehingga
perilakunya terhadap lingkungan lebih terkendali. Walaupun keduanya sama-sama
masih anak, Namun terdapat sedikit perbedaan. Mereka sama-sama masih
membuang bungkus makanan atau es ke sungai namun dengan frekuensi yang
berbeda. Informan yang duduk di bangku SD hanya kadang-kadang membuang
bungkus makanannya ke sungai karena terkadang mengingat akan pelajaran yang
diberikan di sekolah yakni membuang sampah ke sungai dilarang karena dapat
menyebabkan banjir. Sedangkan anak yang masih duduk dibangku TK masih
belum begitu memperhatikan aturan-aturan dan larangan yang diberikan di
sekolah.
147
Kecenderungan perilaku individu dalam masyarakat Laweyan juga dapat
dilihat dari :
v Kecenderungan Peranan (Role Disposition)
Kecenderungan ini mengacu pada tugas, kewajiban serta posisi yang
dimiliki. Hal tersebut dapat dilihat sebagai berikut :
Produsen Batik : Kegiatan utama yang dilakukan tentunya adalah
membuat batik. Dalam Hal lingkungan hidup, partisipasi terbesarnya
terlihat dari keikutsertaannya dalam IPAL. Pembuangan limbah yang
diproses melalui IPAL merupakan suatu perilaku yang diperlihatkan
tentang kepeduliannya terhadap lingkungan.
Tokoh Masyarakat (FKKBL) : Tugas serta peranan terbesar dari
FPKBL ini adalah mempromosikan batik dan membuat kawasan
Laweyan semakin diminati oleh wisatawan. Dengan demikian forum
melakukan tindakan yang dapat memajukan lingkungan hidup untuk
menunjang promosi batiknya. Dengan lingkungan yang nyaman dan
bersih maka diharapkan akan semakin banyak wisatawan yag
berkunjung ke Kampoeng Batik Laweyan ini.
Tokoh Lingkungan Hidup : Masyarakat yang tergabung dalam Forum
Masyarakat Laweyan Peduli Lingkungan Hidup secara otomatis akan
melakukan kegiatan-kegiatan dan membuat suatu program-program
untuk memajukan lingkungan di kawasan Laweyan. Tindakan yang
secara nyata sudah dilakukan adalah membuat program kampoengku
hijau di Laweyan dengan penanaman pohon-pohon yang mampu
148
menjadikan sumber resapan air sehingga akan membuat Laweyan
lebih hijau dan juga teduh. Program tersebut sekarang ditindak lanjuti
dengan lomba penanaman pohon juga yang berlokasi di gang-gang
dan juga pinggir jalan dengan tujuan membuat keindahan di Laweyan
dan juga keteduhan dan menarik wisatawan agar mau berkunjung di
Laweyan. Sosialisasi-sosialisasi pun juga dilakukan agar warga
Laweyan semakin antusias untuk mengikuti lomba ini.
Pengurus IPAL : Kegiatan yang secara nyata dilakukan adalah
mengurus jalannya proses IPAL agar proses penyaringan lancar dan
tidak tersumbat. Perilaku inilah yang setiap harinya dilakukan dalam
partisipasinya terhadap lingkungan hidup di Laweyan.
v Kecenderungan Sosiometrik (Sociometric Disposition)
Di Laweyan juga ada hubungan antar kelembagaan yang saling
menopang untuk kemajuan Laweyan yakni terlihat dari FPKBL dan
juga dari FMLPLH dimana program yang dijalankan juga
berhubungan dan saling menopang.
v Ekspresi (Expressi Disposition)
Hal ini terlihat dari kebiasaan masyarakat dalam ikut serta menjaga
sungai yang dilakukan dengan cara-cara yang berbeda. Masyarakat
biasa melakukannya dengan membuang sampah pada tempat sampah,
sedangkan tokoh masyarakat yang ada di Laweyan dengan membuat
program yang berkaitan dengan sungai dan juga lingkungan yakni
program kali bersih (prokasih) dengan menanam pohon-pohon di
149
pinggir sungai dan juga membuat sumur-sumur resapan agar sungai
tidak banjir.
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Laweyan, perilaku individu
ditentukan oleh faktor personal yang ada pada tiap-tiap individu sehingga dalam
bertindak sesuai dengan kemauan masing-masing individu. Hal ini juga
sebagaimana diungkap oleh McDougall yang menekankan pentingnya faktor
personal dalam menentukan interaksi sosial dalam membentuk perilaku individu.
Selain itu perilaku yang diperlihatkan oleh masyarakat Laweyan juga
berhubungan dengan kebiasaan atau pakulinan yang menurut Edward E Sampson
ada suatu komponen kognitif yakni perilaku yang berhubungan dengan kebiasaan
dan juga kemauan bertindak.
Dari perilaku masyarakat yang sebagian besar sudah merupakan suatu
kebiasaan tersebut maka sering kali juga menimbulkan suatu dampak. Dampak
yang terjadi dapat berupa dampak yang positif dan juga dampak negatif. Dampak
negatif yang dialami masyarakat Laweyan adalah seringnya terjadi banjir jika
hujan datang dan tak jarang juga banjir tersebut menggenangi jalan-jalan Laweyan
dan juga airnya msuk ke rumah-rumah warga. Hal ini terutama dialami oleh
masyarakat yang rumahnya dekat dengan sungai atau masyarakat bantaran.
Jalanan juga menjadi becek akibat banjir melanda. Selain dampak negatif juga
terdapat dampak positif akibat perilaku yang dilakukan oleh masyarakat terutama
yang tergabung dalam sebuah forum yang ada di Laweyan yakni FPKBL dan juga
FMLPLH. Dari kegiatan dan juga program yang dibuat menghasilkan Kampoeng
Laweyan kini menjadi teduh, hijau dan juga nyaman tidak seperti dulu yang
150
terlihat sangat gersang. Dengan suasana Laweyan yang demikian juga menjadikan
pengunjung atau wisatawan lebih tertarik untuk mengunjungi Laweyan sebagai
tempat wisata dan belanja batik.
151
Matrik 3 Pola Perilaku Masyarakat Terhadap Sungai dan Lingkungan
No. Masyarakat berdasar profesi dan asal daerah
Concern Non Concern
1. Produsen batik/pengusaha, Laweyan
Berpartisipasi dalam IPAL, penggunaan pewarna alami
Membuang sampah ke tempat sampah
2. Tokoh masyarakat, Laweyan Berpartisipasi dalam IPAL, Program Kampoeng Laweyan Hijau, Sosialisasi penggunaan pewarna alami
Membuang sampah ke tempat sampah, membersihkan lingkungan sekitar
3. Tokoh lingkungan hidup, Laweyan
Berpartisipasi dalam Kampoeng Laweyan Hijau, Mengadakan lomba lingkungan yang teduh dan hijau, Membuat sumur resapan, dan juga program prokasih (program kali bersih)
Membuang sampah ke tempat sampah, kerja bakti membersihkan lingkungan
4. Pedagang batik, Wonogiri -
Membuang sampah ke sungai
5. Usaha/pembuat batik rumahan (home industri), Laweyan
- Membuang sampah, limbah rumah tangga dan juga limbah industri ke sungai
6. Pegawai pabrik, Wonogiri - Membuang sampah dan limbah rumah tangga ke sungai
7. Pengurus IPAL Merawat, menbersihkan bangunan IPAL
Membuang sampah ke tempat sampah
8. Pelajar, Laweyan - Membuang sampah ke sungai
9. Pelajar, Laweyan - Membuang sampah ke sungai
10. Wiraswasta/Pedagang, Laweyan
Partisipasi dalam lomba-lomba yang diadakan oleh forum
Membuang sampah ke sungai
11. Ibu Rumah Tangga, Yogyakarta
- Membuang sampah ke sungai
Matrik 4 Dampak Perilaku Masyarakat terhadap Sungai dan Lingkungan
No. Perilaku Dampak
152
Positif Negatif 1. Pengolahan limbah
melalui IPAL Limbah lebih terkontrol (kadar zat berbahaya berkurang)
Bau yang menyengat disekitar bangunan IPAL
2. Pemakaian pewarna alami
Lebih ramah lingkungan, mengurangi limbah
Pemakaian yang berlebihan dalam jumlah yang besar akan merusak lingkungan
3. Membuang sampah ke tempat sampah
Lingkungan menjadi bersih -
4. Menjalankan program Kampoeng Laweyan Hijau
Laweyan menjadi tidak gersang dan panas sehingga terasa lebih indah
-
5. Mengadakan lomba lingkungan yang teduh dan hijau
Lingkungan menjadi teduh dan juga semakin hijau
-
6. Membuat sumur-sumur resapan
Mengurangi kemungkinan banjir dan meresap air limbah
-
7. Membuat program kali bersih (prokasih)
Pinggiran kali lebih tertata dan mengurangi longsor
-
8. Mengadakan kerja bakti
Lingkungan menjadi bersih dan rapi
-
9. Membuang sampah ke sungai
- Sungai menjadi kotor, sering banjir
10. Membuang limbah rumah tangga ke sungai
- Air sungai menjadi keruh dan tercemar
11. Membuang limbah industri langsung ke sungai
- Air sungai tercemar, keruh dan merusak ekosistem sungai
153
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Pemaknaan dan fungsi sungai bagi masyarakat bantaran Sungai Jenes di
Kelurahan Laweyan berbeda berdasarkan waktunya
a. Sebelum tahun 1980-an
Sebelum tahun 1980-an sungai dianggap sangat bermanfaat bagi masyarakat
Laweyan. Keberadaan sungai Jenes memberikan arti tersendiri bagi masyarakat. Sungai
digunakan sebagai sarana transportasi air yang membantu saudagar-saudagar batik untuk
melakukan pengangkutan batik. Selain itu pengusaha batik mendatangkan bahan baku
batiknya yang berupa kain dan pewarna juga melawati sungai ini.
Selain sebagai sarana perdagangan, sungai juga digunakan sebagai tempat
berkumpulnya masyarakat. Setiap harinya masyarakat datang ke sungai untuk mencuci
kain batik buatannya. Dengan demikian masyarakat lebih sering bertemu dan suasana
keakraban masih dapat terjalin dan masih mampu dirasakan oleh masyarakat Laweyan.
Pada zaman dahulu masyarakat membuat batik masih dengan skala yang kecil dan
kebanyakan dari mereka membuat batik tersebut untuk keperluan sendiri.
Fungsi sungai lainnya adalah sebagai tempat bermain dan juga tempat mandi bagi
masyarakat sekitar. Dengan kondisi air yang masih jernih dan masih segar maka sungai
menjadi tempat bermain yang sangat diminati oleh penduduk terutana oleh anak-anak.
Dengan senangnya mereka berenang dan juga bercanda di sungai tanpa harus merasa
154
takut dan was-was karena memang kondisi sungai pada waktu itu yang masih dangkal
dan tidak membahayakan.
Tepatnya di pinggir-pinggir sungai banyak terdapat lubang galian seperti sumur-
sumur kecil yang oleh masyarakat biasanya disebut belik yang akan keluar airnya dan
digunakan sebagai tempat mandi bagi penduduk. Di samping belik banyak terdapat batu-
batu yang biasanya digunakan sebagai tempat berkumpulnya masyarakat terutama ibu-
ibu untuk mencuci atau juga hanya sekedar ngomong-ngomong dengan masyarakat lain.
b. Sesudah tahun 1980-an
Seiring dengan semakin banyaknya pabrik dan juga industri besar yang ada di
Laweyan dan daerah sekitarnya membuat kondisi sungai juga semakin berubah. Air
sungai yang semakin keruh dan kotor karena terkena limbah dari industri tersebut dan
juga kondisi kedalaman sungai yang mejadi semakin dalam membuat masyarakat sekitar
juga berpandangan lain dan mengartikan sungai yang jauh berbeda dengan zaman dahulu.
Sekarang sungai dipandang sebagai front belakang. Pada zaman dulu ketika kondisi
sungai masih jernih maka masyarakat juga menghormati sungai dengan cara tidak
membuang sampah ke sungai. Sampah-sampah yang mereka hasilkan dibakar, namun
sekarang cara pandang masyarakat sudah jauh berubah. Sungai digunakan sebagai tempat
pembuangan sampah bagi masyarakat bantaran yang memang jarak tempat tinggalnya
dengan sungai hanya 1-2 meter saja atau dapat dikatakan bahwa sungai sebagai halaman
belakang rumah-rumah warga yang memang posisinya tepat dibantaran. Warga yang
masih membuang sampah rumah tangganya ke sungai memberikan alasan karena lebih
praktis dengan hanya melempar saja maka sampah-sampah tersebut sudah masuk ke
sungai dan hanyut terbawa arus sungai. Dengan demikian warga merasa tidak perlu repot
155
dan juga tidak usah menunggu sampah petugas sampah mengambil sampah-sampah
mereka.
Dengan halaman belakang mereka adalah sungai maka sampah yang mereka
buang ke sungai juga tidak akan kelihatan karena masih tertutup oleh rumah mereka
sehingga tetangga atau masyarakat lain tidak akan mengetahui kalau mereka membuang
sampahnya ke sungai. Selain karena faktor kedekatan atau jarak rumah dengan sungai
masih ada faktor lain yang menjadi motif mengapa meraka membuang sampah ke sungai
yakni karena kebiasaan atau menurut bahasa jawa adalah kulino.
2. Pola perilaku masyarakat terhadap sungai serta dampaknya terhadap
lingkungan di Laweyan
Perilaku masyarakat sangat beragam jenisnya. Baik itu perilaku yang menyangkut
kepentingan individu maupun perilaku yang menyangkut kepentingan masyarakat atau
orang banyak. Dampak yang ditimbulkan dari perilaku tersebut juga berbeda ada yang
berdampak pada diri sendiri dan juga ada yang berdampak pada lingkungan sekitar.
Dari penelitian yang dilakukan, maka perilaku masyarakat Laweyan dalam
kaitannya dengan menjaga ekosistem sungai dan juga lingkungan sekitarnya berbeda
antar satu dengan yang lainnya. Perbedaan perilaku masyarakat tersebut selain
dikarenakan faktor kebudayaan dan juga pola pikir juga dikarenakan faktor profesi atau
pekerjaan yang dimiliki.
Produsen atau pengusaha batik akan berperilaku yang berbeda dengan pembuat
batik rumahan atau home industri walaupun sama-sama membuat batik. Hal ini terlihat
dari perilakunya dalam hal membuang sisa produksi yang berupa limbah cair dari batik.
Seorang pengusaha dalam memperlakukan limbah batiknya dengan ikut dalam IPAL
156
yang ada di Laweyan. Dengan demikian limbah batik sisa produksinya akan diolah
terlebih dahulu dengan sistem IPAL dan kemudian baru dibuang ke sungai. Setelah
melewati proses pengolahan yang panjang maka limbah batiknya akan lebih berkurang
zat-zat berbahayanya dan lebih aman jika walaupun dibuang ke sungai. Sedangkan untuk
home industri sisa limbah batiknya langsung dibuang ke sungai dengan membuat pipa
yang menghubungkan tempat produksinya dengan sungai sehingga ketika limbah tersebut
masuk ke sungai maka akan jelas terlihat kondisi air sungai yang menjadi berubah merah
dan hitam atau juga berubah warna karena limbah tersebut.
Perbedaan pola perilaku juga terlihat dalam masyarakat dengan profesi sebagai
pegawai pabrik, pengurus IPAL dan juga tokoh masyarakat dan tokoh lingkungan hidup
yang ada di Laweyan. Dalam kehidupan sehari-hari tokoh masyarakat dan tokoh
lingkungan hidup akan lebih berperan banyak terhadap lingkungan sekitar jika
dibandingkan dengan pegawai pabrik. Pola perilaku dari tokoh masyarakat dan tokoh
lingkungan hidup akan lebih banyak memberikan manfaat atau dampak yang positif
terhadap lingkungan daripada perilaku masyarakat yang berprofesi sebagai pegawai
pabrik yang cenderung tidak bersahabat dengan lingkungan.
Perilaku yang tercermin dari tokoh masyarakat dan tokoh lingkungan hidup yang
lebih bersahabat dengan alam yakni dengan membuat program-program terkait dengan
lingkungan seperti pengelolaan limbah melalui IPAL, Kampoeng Laweyan Hijau, lomba
lingkungan teduh dan hijau, pembuatan sumur resapan, sosialisasi pemakaian pewarna
alami, program kali bersih (prokasih). Sedangkan perilaku yang dilakukan oleh
masyarakat yang sebagai pegawai pabrik adalah membuang sampah dan juga limbah
157
rumah tangganya ke sungai. Hal ini jelas akan semakin cepat merusak ekosistem sungai
dan menambah pencemaran di sungai.
Disamping itu perilaku yang berbeda juga dibedakan menurut usia informan.
Informan yang masih duduk di sekolah dasar dan taman kanak-kanak dalam menentukan
perilakunya lebih meniru pada perilaku dari orang tuanya. Walaupun juga tidak
sepenuhnya demikian. Perilku yang diperlihatkan oleh anak SD juga didasari atas
pelajaran yang diberikan oleh guru disekolah sehingga anak terkadang menurut jika
dilarang untuk membuang sampah ke sungai karena akan mengakibatkan banjir.
Dari berbagai perilaku masyarakat tentunya akan berujung pada dampak, baik itu
dampak positif maupun dampak negatif. Dampak positif dari pola perilaku masyarakat
tersebut adalah Laweyan sekarang menjadi sebuah kawasan yang lebih hijau dan tidak
gersang. Semakin banyak pohon dan tanaman membuat Laweyan semakin banyak
dikunjungi sebagai kawasan wisata. Selain itu kampung ini juga terasa lebih nyaman dan
teduh. Dengan adanya tempat pembuangan sampah dan petugas sampah yang
mengangkut membuat lingkungan di Laweyan menjadi bersih dan tertata rapi.
Selain dampak positif diatas juga ada dampak negatif yakni dengan pembuangan
sampah ke sungai membuat sungai tersumbat karena banyaknya tumpukan sampah.
Adanya limbah batik yang langsung dibuang ke sungai juga membuat air sungai ini
menjadi keruh dan berwarna. Jika musim hujan datang sering terjadi banjir di kawasan
bantaran. Rumah-rumah yang dibangun tepat dibantaran sungai selalu terkena banjir jika
musim penghujan datang. Banjir juga menggenangi jalan sehingga jika sudah surut akan
mengakibatkan jalan becek dan lingkungan menjadi kotor.
158
B. Implikasi
B.1. Implikasi Teoritik
Penelitian tentang “Pola Perilaku Sosial Masyarakat Bantaran Sungai Jenes di
Kelurahan Laweyan Kecamatan Laweyan Kota Surakarta” menggunakan teori perilaku
sosial dimana konsep dasarnya adalah adanya ganjaran atau reward yang akan diterima,
selain itu juga teori etika lingkungan yang mengedepankan adanya moral dalam
melakukan suatu tindakan terhadap lingkungan. Dalam melakukan suatu tindakan sosial
Weber menganjurkan melalui penafsiran dan pemahaman (interpretatie understanding)
atau oleh Weber sendiri disebut Verstehen. Dalam teori perilaku sosial manusia pada
dasarnaya mencari keuntungan maksimal dari perilakunya dan berfikir untung rugi pada
saat melakukan sesuatu. Hal tersebut jika dalam teori etika terdapat sebuah sistem etik
yang menggerakkan tindakan atau keputusan dan akan sangat dipengaruhi oleh kemajuan
intelektual yang dialami oleh sang pelaku. Sementara itu, frame budaya dimana sang
pelaku membina kehidupan akan sangat mempengaruhi cara berpikir yang dianut oleh
sang pelaku. Oleh karena itu, dapat pula dikatakan bahwa karakteristik etika yang
dikembangkan oleh setiap pelaku (manusia) akan sangat ditentukan oleh derajat
kemajuan atau capaian budaya (peradaban) dalam sistem masyarakatnya.
Dari pengertian diatas dapat diketahui bahwa pola perilaku masyarakat bantaran
sungai terhadap lingkungan merupakan senuah perilaku yang menginginkan adanya suatu
ganjaran tersendiri dan juga perilaku tersebut didasarkan pula pada kemajuan intelektual
pada masing-masing individu. Perilaku masyarakat juga berdasarkan budaya yang telah
lama melekat dan sulit untuk dilepaskan yaitu budaya kulino walaupun masyarakat sadar
bahwa tindakannya salah dan tidak baik untuk dilakukan tetapi dianggap sebagai sesuatu
159
yang wajar karena memberikan keuntungan tersendiri bagi pelaku. Perilaku yang paling
jelas terlihat dan merupakan suatu bentuk pakulinan masyarakat adalah membuang
sampah ke sungai. Hal ini dianggap wajar karena masyarakat yang melakukan hal
tersebut merasa lebih mudah, praktis dan tidak repot serta cepat untuk mengaksesnya.
B.2. Implikasi Empiris
Kesimpulan yang didapat dari hasil penelitian ini adalah pola perilaku selalu
didasari oleh sifat kulino dan juga karena masyarakat menginginkan adanya reward dari
perilakunya. Secara empiris kesimpulan ini didapat dari adanya pemaparan bahwa sifat
kulino dan reward akan mempengaruhi perilaku individu yang ada di Laweyan. Sifat
kulino tersebut dapat dilatarbelakang oleh budaya, moral dan juga intelektual pada
masing-masing individu. Sedangkan reward muncul dari segi kemudahan, kepraktisan,
dan kecepatan serta manfaat yang diinginkan.
Setelah melakukan penelitian muncul pemahaman bahwa:
1. Ganjaran/ reward mempunyai pengaruh yang kuat untuk seseorang
berperilaku.
2. Perilaku sosial yang dilakukan masyarakat juga didasari sifat kebiasaan atau
kulino.
3. Adanya perilaku yang peduli terhadap lingkungan didasari oleh moral dan
intelektual dari individu yang bersangkutan.
160
C. Saran
Mengacu pada hasil dan kesimpulan di atas, penulis merekomendasikan saran
sebagai alternatif dan tindakan sebagai berikut:
1. Tokoh Masyarakat Laweyan harus lebih sering membuat program dan memunculkan
ide-ide baru terkait dengan lingkungan agar masyarakat semakin terbiasa dan menjadi
semakin sadar untuk berperilaku yang bersahabat terhadap lingkungan.
2. Pemerintah harus lebih tegas dalam mengeluarkan suatu peraturan. Dalam hal ini
peraturan yang terkait dengan IPAL agar pengelolaannya berjalan dengan baik dan
juga terkontrol sehingga perlu adanya suatu monitoring dan evaluasi secara langsung
dari pemerintah untuk mengetahui kekurangan dan kelemahan dari sistem yang telah
dibuat.
3. Bagi Forum dan Pemerintah harus lebih sering lagi membuat program terkait dengan
lingkungan hidup dan penanganan limbah serta memberikan pemberdayaan atau
keterampilan kepada masyarakat untuk mendaur ulang sampah dengan cara
memberikan reward agar masyarakat lebih tertarik untuk berpartisipasi.
161
DAFTAR PUSTAKA
Abin Syamsuddin Makmun. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Rosda Karya
Remaja.
Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek. PT.
Rineka Cipta. Jakarta.
Dahuri, R. 2000. Permasalahan Pengelolaan Lingkungan Kawasan Pesisir , Journal
Ekologi dan Pembangunan No.4 Agustus 2000, PPSDAL -LP Unpad.
David Krantz dan Brad Kifferstein. 2009. Water Pollution and Society. online
(http://www.umich.edu/~gs265/society/waterpollution.htm).
Djamal Irwan, Zoer’aini. M.Si. 2003. Prinsip-prinsip Ekologi dan Organisasai
Ekosistem, Komunitas dan Lingkungan. Jakarta : PT Bumi Aksara.
Dwiyatmo B, Kus. 2007. Pencemaran Lingkunagn dan Penanganannya. Yogyakarta: PT
Citra Aji Parama.
Eka. 2009. Pencemaran Lingkungan. online
(http://eka548.blogspot.com/2009/01/pencemaran-lingkungan-dalam-
pandangan.html)
Funannan. 2009. Relations The Oil Trade Between China and Angola. online. ( http://www.focusire.com/archives/203.html).
Gayo, Yusuf. 1994. Perbaikan dan Pengaturan Sungai. Jakarta: PT Pradnya Paramita..
Keraf, Sonny. 2005. Etika Lingkungan. Jakarta : PT Kompas Media Nusantara.
Linsley, RK dan Franzini, JB. 1995. Tehnik Sumber Daya Air. Jilid 2 edisi III.
terjemahan Djoko Sasongko, Jakarta: Penerbit Erlangga.
Moleong, Lexy. 1991. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakarya.
162
Nanath.2008.PsikologiKomunikasi.online(http://kuliahkomunikasi.com/2008/06/ diakses
9 januari 2009 jam 17:26)
Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Cet.
ke-2, Mei. Jakarta : Rineka Cipta.
Petra, Eimer. Pengelolaan Internal yang Baik (Good Housekeeping). GTZ.
Priyatmono, Alpha Febela. 2004. Studi Kecenderungan Perubahan Morfologi Kawasan
di Kampung Laweyan Surakarta. Yogyakarta: Program Pasca Sarjana Universitas
Gadjah Mada.
Ritzer, George dan Goodman, Douglas. 2008. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana.
Siwi, Mahmudi. 2009. Ekologi Manusia: Sosiologi Lingkungan. online.
(http://mahmudisiwi.net/ekologi-manusia-sosiologi-lingkungan diakses 9 Januari
2010).
Slamet, Yulius. 2006. Metode Penelitian Sosial. Surakarta: UNS Press.
Soerjono, Soekanto dan Brotosusilo, Agus. 1986. Masyarakat dan Kekuasaan. Jakarta:
Rajawali.
Sudrajat,Akhmad.2008.PerilakuSosial.online(http://akhmadsudrajat.wordpress.
com/2008/01/24/perilaku-sosial)
Sunu, Pramudya. 2001. Melindungi Lingkungan dengan Menerapkan ISO 14001. Jakarta
: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Suyono. 2009. Profil Kelurahan Laweyan Kecamatan Laweyan Kota Surakarta.
Surakarta: Panitia Dana Pembangunan Kelurahan.
Syamsuddin Makmum, Abin. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Rosda Karya
Remaja.
163
Ting, Sajogyo. 1982. Ekologi Pedesaan. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Wahyu. 2007. Media Informasi Lingkungan Jawa Tengah edisi Januari. Jawa Tengah:
Bappedal Propinsi Jawa Tengah.
Walgito, Bimo. 2002. Psikologi Sosial (Suatu Pengantar). Yogyakarta: Andi
Widayati, Naniek. 2002. Permukiman Pengusaha Batik di Laweyan Surakarta. Jakarta:
Program Pasca Sarjana Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Profil Kesehatan Kota Surakarta tahun 2007
Data Monografi Kelurahan Laweyan tahun 2009
Panduan Penerapan Eko-Efisiensi Usaha Kecil Menengah sektor Batik
http://kuliahkomunikasi.com/2008/06/faktor-personal-yang-mempengaruhi-perilaku-
manusia
Top Related