Perilaku Konsumtif terhadap Fashion pada Pria Metroseksual yang Berpenghasilan Pas-pasan
Stepfanie Shinta Petova
Fakultas Psikologi
Universitas Gunadarma
ABSTRAK
Fenomena pria metroseksual kian menggejala di tengah masyarakat kota besar. Pria metroseksual biasanya identik dengan pekerjaan sebagai eksekutif muda dengan penghasilan yang besar. Namun disisi lain, ada beberapa pria yang berpenampilan metroseksual tetapi tidak didukung oleh kondisi keuangan yang memadai. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran perilaku konsumtif terhadap fashion pada pria metroseksual yang berpenghasilan pas-pasan, serta untuk mengetahui aspek-aspek perilaku konsumtif dan faktor penyebab yang dialami pria metroseksual. Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif studi kasus. Untuk memperoleh data, peneliti menggunakan wawancara terstruktur dan observasi non partisipan. Dalam penelitian ini, subjek berjumlah satu orang dengan karakteristik pria metroseksual dengan penghasilan yang pas-pasan dan berperilaku konsumtif. Hasil menunjukkan bahwa perilaku konsumtif yang dimiliki oleh subjek dapat dilihat dari aspek pembelian impulsif, dimana subjek sering membeli suatu barang berdasarkan keinginannya semata dan tidak pernah merencanakannya, aspek pembelian tidak rasional dan demi status, dimana subjek membeli barang karena gengsinya terhadap barang-barang bermerk agar dapat dikesankan sebagai orang yang modern, aspek pembelian boros atau berlebihan, dimana subjek boros sekali dalam membelanjakan uangnya, dan aspek pembelian diluar jangkauan, dimana subjek sering memaksakan membeli suatu barang dengan harga mahal walaupun keuangannya tidak mencukupi yang mengakibatkan subjek berhutang. Faktor-faktor yang menyebabkan subjek berperilaku konsumtif adalah modelling orangtua dimana subjek mengikuti perilaku ibu yang juga konsumtif, faktor lingkungan dimana tempat subjek bekerja sangat menuntut subjek untuk berperilaku konsumtif, dan tuntutan pekerjaan serta gaya hidup subjek dimana subjek harus selalu menjaga penampilan sebaik mungkin, dan hal ini sudah menjadi gaya hidup yang dijalani subjek. Kata kunci : Perilaku konsumtif, pria metroseksual
1
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dewasa ini, pria metroseksual
kian menggejala dihampir seluruh
kota besar, pria metroseksual lebih
dari sekedar fakta melainkan juga
sebuah fenomena. Keberadaan pria
metroseksual adalah suatu fenomena
yang sering disebut women-oriented
men yang kini telah berkembang
secara global dan kian nyata
(Kartajaya, H., Yuswohady,
Madyani, D., Christynar, M. &
Indrio, B.D., 2004).
Beberapa tahun terakhir ini
muncul fenomena baru yaitu
fenomena pria metroseksual yang
kini melanda seluruh dunia, termasuk
kota-kota besar di Indonesia. Istilah
“metroseksual” muncul dengan
definisi pria normal yang segi
emosionalnya semakin berkembang,
pria yang semakin mampu
mengekspresikan emosi dan
perasaannya secara lembut
(Kartajaya, 2006). Pria metroseksual
lebih senang mengobrol dan
memiliki kemampuan berkomunikasi
lebih baik daripada pria kebanyakan,
dan yang paling nyata terlihat, pria
metroseksual sangat fashionable
(mengikuti perkembangan tren) serta
sangat memperhatikan penampilan
diri. Dalam berbusana pria
metroseksual pun lebih berani. Pria
metroseksual tidak lagi terikat pada
kemeja dan celana panjang yang
merupakan “seragam” bagi para pria.
Pria metroseksual pun lebih berani
mengenakan pernak-pernik seperti
gelang atau kalung yang dulu hanya
di pakai wanita.
Berdasarkan Indonesian
Metrosexual Survei yang dilakukan
Mark Plus & Co pada tahun 2003,
yang dilakukan di Jakarta Raya
(Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang
dan Bekasi), hasil riset menunjukkan
pria metroseksual kini sudah
mencapai 15% dari populasi pria di
Jakarta. Hasil ini mirip dengan survei
serupa di Amerika Serikat. Disana,
pria metroseksual berjumlah sekitar
20% dari jumlah responden.
Dari hasil survei terungkap pria
kalangan atas di Jakarta ternyata
mulai melihat bahwa dalam dunia
bisnis berdandan secara menarik
adalah hal penting saat ini. Di
kalangan pebisnis juga mulai muncul
anggapan bahwa pria yang
berpenampilan menarik dinilai akan
2
lebih berhasil daripada pria yang
ceroboh pada penampilannya.
Globalisasi membawa
perubahan yang bisa tampak dalam
banyak hal, dimana salah satunya
adalah gaya hidup. Sebagai suatu
fenomena baru yang berkembang
pesat dan kian lazim dijumpai di
banyak kota besar, pria metroseksual
menciptakan gaya hidup dengan
karakteristik yang khas. Kemunculan
pria metroseksual identik dengan
adanya usaha perbaikan penampilan
secara tangible tanpa menghilangkan
preferensi utama seks pria
metroseksual melalui gaya hidup
yang juga secara jelas terlihat dalam
kehidupan sehari-hari (Coda, 2004).
Pria metroseksual memiliki
karakteristik yang unik seperti narsis
dan sangat merawat dirinya bahkan
bisa melebihi yang dilakukan oleh
seorang wanita sekalipun. Pada
umumnya pria metroseksual
memiliki pendapatan yang cukup
besar, sehingga pria metroseksual
bisa membeli apa saja yang
diinginkan untuk memenuhi
kebutuhan dan sekaligus untuk
menunjang panampilan (Kartajaya,
H., Yuswohady, Madyani, D.,
Christynar, M. & Indrio, B.D.,
2004). Hal ini menyebabkan adanya
perilaku konsumtif yang sedikit
terlihat berbeda dengan orang
kebanyakan.
Istilah konsumtif biasa
digunakan pada masalah yang
berkaitan dengan perilaku konsumen
dalam kehidupannya. Salah satu gaya
hidup konsumen yang cenderung
terjadi di dalam masyarakat adalah
gaya hidup yang mengganggap
materi sebagai sesuatu yang bisa
mendatangkan kepuasan, gaya hidup
seperti ini dapat menimbulkan
adanya gejala konsumtivisme.
Konsumtivisme didefinisikan
sebagai pola hidup individu atau
masyarakat yang mempunyai
keinginan untuk membeli barang
yang kurang atau tidak diperlukan
(Nissa, 2003).
Perilaku konsumtif cenderung
bersifat boros dengan
membelanjakan suatu barang bukan
semata-mata karena kebutuhan,
namun mempunyai orientasi dasar
yang lain, tidak melihat pada segi
kegunaan dan manfaat barang
tersebut, namun lebih didorong oleh
nafsu ingin membelanjakan tanpa
3
batasan dan tujuan yang jelas (Lina
& Rasyid, 1997).
Tambunan (2001) mengatakan
bahwa perilaku konsumtif menunjuk
pada perilaku konsumen yang
memanfaatkan nilai uang lebih besar
dari nilai produksinya untuk barang
dan jasa yang bukan menjadi
kebutuhan pokok.
Menurut Assuari (1987) tingkat
keinginan seseorang meliputi tingkat
yang paling tinggi dalam pembelian.
Keinginan untuk mengkonsumsi
barang bisa terjadi karena pembeli
ingin tampak berbeda dari yang lain
(distinctiveness), kebanggaan karena
penampilan pribadinya (pride of
personal appearance), dan
pencapaian status sosial.
Perilaku konsumtif pada pria
metroseksual nyaris sama dengan
yang dilakukan oleh kaum wanita
yang berasal dari kalangan atas.
Penggunaan kosmetik, pakaian,
segala asesoris, dan kebutuhan
perawatan diri menjadi hal yang
lazim dilakukan oleh pria
metroseksual. Banyak produk-
produk yang dahulunya menjadi khas
konsumsi, wanita kini menjadi
bagian dari produk yang dikonsumsi
oleh pria metroseksual.
Pria metroseksual dikatakan
sebagai individu yang sangat
mencintai diri sendiri dan tergolong
narsis (perhatian yang sangat
berlebihan terhadap diri sendiri).
Jones (2003) mengatakan, bahwa
pria metroseksual akan melakukan,
membeli, dan menikmati apa saja
yang diinginkannya. Sebagai
seseorang yang berasal dari kalangan
berpendapatan besar, pria
metroseksual mampu memuaskan
keinginannya dan mendapatkan apa
saja yang terlintas dalam pikirannya
(Katona, 1951). Oleh karena itu,
keberadaan pria metroseksual telah
menciptakan segmen baru dalam
dunia bisnis dan industri dan menjadi
target market yang potensial bagi
produser. Sekarang ini, banyak
majalah-majalah khusus pria yang
bermunculan, terlebih lagi
munculnya produk-produk khusus
pria yang berkaitan langsung dengan
tubuh dan penampilan fisik, juga
bisnis spa dan salon serta klub fitnes
yang menjadikan mereka sebagai
target market.
4
Sebagai contoh, fenomena
pria metroseksual dahulunya muncul
di Amerika dan Inggris dengan ikon-
ikonnya seperti David Beckham,
Leonardo DiCaprio, Robbie
Williams, dan sebagainya hingga
sekarang ini juga menjadi bagian dari
gaya hidup masyarakat kota yang
berpikiran ala luar negeri dan
memang hedonis. Ikon lokal
kemudian bermunculan di Indonesia,
seperti Fery Salim, Ferdy Hasan dan
Tantowi Yahya.
Kemunculan pria
metroseksual identik dengan adanya
usaha perbaikan penampilan secara
tangible tanpa menghilangkan
preferensi utama seks pria
metroseksual melalui gaya hidup
yang juga secara jelas terlihat dalam
kehidupan sehari-hari (Coda, 2004).
Kecintaan terhadap diri
memberikan dampak yang berbeda
terhadap hal-hal yang mengikuti
dibelakang, seperti perilaku
konsumtif. Pada tahap selanjutnya
bahwa perilaku konsumtif pria
metroseksual juga menjadi berbeda
dari golongan orang kebanyakan.
Namun di sisi lain, ada
sebagian masyarakat (pria
metroseksual) yang bersifat
konsumtif tetapi tidak didukung oleh
kondisi keuangan atau penghasilan
yang memadai. Pria metroseksual
dengan kondisi keuangan atau
penghasilan yang bisa dikatakan
“pas-pasan”, memiliki
kecenderungan untuk mengkonsumsi
barang atau jasa yang nominalnya di
luar batas penghasilannya.
Keinginannya untuk menjadi
konsumtif biasanya dipengaruhi oleh
gaya hidup masyarakat di kota-kota
besar. Perilaku konsumtif pria
metroseksual biasanya terhadap
barang-barang atau produk untuk
menunjang penampilan didepan
umum dan juga terhadap kebutuhan
interaksi yang bebas, khas, dan
melapangkan akses bagi sifat
hedonis yang dikedepankan dengan
melakukan aktivitas-aktivitas seperti
pergi ke salon, butik, klub fitnes,
sampai nongkrong di cafe-cafe. Pria
metroseksual dengan penghasilan
yang pas-pasan rela mengeluarkan
uang yang cukup besar untuk barang
atau jasa yang dikonsumsinya,
bahkan ada saja yang memilih untuk
berhutang agar dapat terpenuhi
keinginan untuk mengkonsumsi
5
barang-barang yang dapat
membuatnya terlihat trendi dan
menarik. Hal ini sungguh berbanding
terbalik dengan penghasilannya yang
terkadang tidak cukup untuk
memenuhi hasrat konsumtifnya
terhadap barang atau jasa.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Perilaku Konsumtif
1. Pengertian Perilaku Konsumtif
Konsumtif merupakan kata
sifat yang berasal dari kata
konsumsi, konsumsi berarti pemakai
barang-barang hasil industri, bahan
makanan dan sebagainya
(Wojowasito, dalam Lina & Rasyid,
1997).
Istilah konsumtif biasanya
digunakan pada masalah yang
berkaitan dengan perilaku konsumen
dalam kehidupannya. Dewasa ini
salah satu gaya hidup konsumen
yang cenderung terjadi di dalam
masyarakat adalah gaya hidup yang
mengganggap materi sebagai sesuatu
yang bisa mendatangkan kepuasan,
gaya hidup seperti ini dapat
menimbulkan adanya gejala
konsumtivisme, sedangkan
konsumtivisme didefinisikan sebagai
pola hidup individu atau masyarakat
yang mempunyai keinginan untuk
membeli barang yang kurang atau
tidak diperlukan (Nissa, 2003).
Perilaku konsumtif dapat
diartikan cenderung bersifat boros
dengan membelanjakan suatu barang
bukan semata-mata karena
kebutuhan, namun mempunyai
orientasi dasar yang lain, tidak
melihat pada segi kegunaan dan
manfaat barang tersebut, namun
lebih didorong oleh nafsu ingin
membelanjakan tanpa batasan dan
tujuan yang jelas (Lina & Rasyid,
1997).
Cahyana (1995), memberikan
definisi perilaku konsumtif sebagai
tindakan yang dilakukan dalam
mengkonsumsi berbagai macam
barang kebutuhan. Tinjauan
mengenai perilaku konsumtif,
menurut Lina & Rasyid (1997), bisa
ditelusuri melalui pemahaman
mengenai perilaku konsumen.
Kottler dan Amstrong (dalam
Simamora, 2002) mengartikan
perilaku konsumtif sebagai perilaku
pembelian konsumen akhir, baik
individu maupun rumah tangga, yang
6
membeli produk untuk konsumsi
personal.
Menurut Fromm (1998),
keinginan untuk mengkonsumsi
sesuatu secara berlebihan dapat
membuat seseorang menjadi
konsumtif. Jika manusia menjadi
konsumtif, tindakan konsumsinya
menjadi kompulsif dan tidak
rasional. Pengkonsumsian yang
berlebihan itu sering dikaitkan
dengan status individu dalam
lingkungannya, dan individu sudah
tidak lagi melihat sebagai suatu
kebutuhan melainkan keinginan
semata. Jadi pengertian konsumtif
disini adalah penggunaan uang
secara berlebihan untuk penampilan
semata yang bukan merupakan
kebutuhan tetapi lebih didasarkan
pada keinginan yang dilakukan
hanya untuk menaikkan status.
Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia (dalam Lina & Rasyid,
1997) mendefinisikan batasan
konsumtif sebagai kecenderungan
manusia untuk menggunakan
konsumsi tanpa batas, dan manusia
lebih mementingkan faktor keinginan
daripada kebutuhan. Oleh karena itu,
predikat konsumtif menurut Lina &
Rasyid (1997) biasanya melekat pada
seseorang apabila orang tersebut
membeli sesuatu di luar kebutuhan,
tetapi sudah pada taraf keinginan
yang berlebihan.
Selanjutnya menurut
Sarwono (1994), mengatakan bahwa
perilaku konsumtif biasanya lebih
dipengaruhi oleh faktor emosi
daripada rasio, karena pertimbangan-
pertimbangan dalam membuat
keputusan untuk membeli suatu
produk lebih menitikberatkan pada
status sosial, mode, dan kemudahan
daripada pertimbangan ekonomis.
Sarwono menambahkan bahwa
perilaku konsumtif berkaitan dengan
proses belajar. Artinya, dalam
perkembangan individu akan belajar
bahwa memperoleh suatu barang
atau melakukan perbuatan tertentu
dapat memberikan kesenangan atau
justru perasaan tidak enak.
Berdasarkan uraian diatas,
dapat disimpulkan bahwa perilaku
konsumtif adalah tindakan yang
dilakukan dalam mengkonsumsi
berbagai macam barang kebutuhan.
Perilaku konsumtif bersifat boros
dalam hal membelanjakan suatu
barang bukan semata-mata karena
7
kebutuhan, namun mempunyai
orientasi dasar yang lain, tidak
melihat segi kegunaan dan manfaat
dari barang tersebut, namun lebih
didorong oleh nafsu.
2. Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Perilaku
Konsumtif
Stanton (1996) mengatakan
bahwa ada kekuatan-kekuatan
psikologis yang mempengaruhi
perilaku konsumtif :
a. Pengalaman belajar (Learning
Experience)
Sebagai faktor yang
mempengaruhi persepsi
seseorang, balajar dapat
didefinisikan sebagai perubahan-
perubahan perilaku yang
disebabkan oleh pengalaman-
pengalaman masa lalu. Meskipun
begitu, belajar dapat juga
didefinisikan sebagai kegiatan
yang tidak mencakup perubahan-
perubahan perilaku yang
disebabkan oleh respon instinktif,
pertumbuhan atau keadaan
temporer organisasi tubuh seperti
lapar, lelah atau tidur. Kunci
untuk memahami perilaku
membeli pada konsumen terletak
pada kemampuan
menginterpretasikan dan
meramalkan proses belajar
konsumen, dimana belajar adalah
perubahan-perubahan perilaku
yang disebabkan oleh
pengalaman-pengalaman masa
lalu.
b. Kepribadian (Personality)
Kepribadian didefinisikan sebagai
pola ciri-ciri seseorang yang
menjadi faktor penentu dalam
perilaku responnya. Secara
umum, ciri-ciri kepribadian
(personality traits) konsumen
mempengaruhi persepsi dan
perilaku membeli. Sayangnya,
sampai sekarang belum ada titik
temu bersama tentang bagaimana
kepribadian mempengaruhi
perilaku. Ada dua pendapat
mengenai hal ini. Pertama,
barpendapat bahwa ciri-ciri
kepribadian mempunyai pengaruh
di dalam menentukan perilaku,
mengalahkan setiap pengaruh dari
luar. Pendapat yang lain, dianut
oleh para ilmuwan sosial dan
psikologi sosial yang mengatakan
bahwa lingkungan situasional
8
merupakan faktor penentu kunci.
Mungkin jawabannya terletak
didalam ancangan yang mewakili
interaksi antara kedua pendapat,
artinya perpaduan antara (1)
pengalaman masa lalu, faktor
perbedaan perorangan dan (2)
situasi eksternal.
c. Sikap dan keyakinan
Sikap dapat didefinisikan sebagai
evaluasi kognitif seseorang yang
berlangsung terus menerus,
perasaan emosionalnya, atau
kecondongannya bertindak
(action tendencies) ke arah
sasaran atau gagasan tertentu.
Sikap mencakup sekaligus proses
berpikir dan perasaan emosi,
masing-masing memiliki
bobotnya sendiri. Sikap dan
keyakinan saling mempengaruhi
satu sama lain. Keduanya
merefleksikan pertimbangan nilai
dan perasaan negatif atau positif
terhadap suatu produk, jasa atau
merk. Sikap dan keyakinan
merupakan daya yang kuat dan
langsung mempengaruhi persepsi
serta perilaku membeli konsumen.
Sikap mempunyai pengaruh
penting terhadap persepsi
konsumen melalui penyaringan
ketat pada setiap rangsangan
(stimuli) yang bertentangan
dengan sikap. Sikap juga dapat
menyimpangkan persepsi
terhadap pesan dan
mempengaruhi kadar
penyimpangannya.
Berbagai studi sependapat
bahwa ada suatu hubungan erat
antara sikap dan keputusan
membeli konsumen, khususnya
dalam hal penyeleksian merk dan
jenis produk. Jadi sudah
sewajarnya apabila pemasar perlu
memahami bagaimana sikap
dibentuk, diukur dan diubah.
Secara umum sikap dibentuk oleh
informasi yang diperoleh oleh
seseorang (1) melalui pengalaman
masa lalunya dengan produk atau
gagasan, atau (2) melalui
hubungan dengan kelompok
acuan mereka (keluarga,
kelompok sosial, kerabat kerja
dan lain sebagainya). Persepsi
terhadap informasi ini
dipengaruhi oleh ciri-ciri
kepribadian mereka (Stanton,
1996).
9
Perubahan sikap (attitude
change) yang mempengaruhi
pemasaran berarti: bagaimana
sebuah perusahaan menciptakan
suatu situasi dimana para
konsumen mempunyai persepsi
bahwa kebutuhan-kebutuhan
mereka dapat dipenuhi oleh merk
atau produknya. Seorang pemasar
mempunyai dua pilihan yaitu: (1)
mengubah sikap konsumen agar
bisa sesuai dengan produknya,
atau (2) menentukan apakah sikap
para konsumen dan kemudian
mengubah produknya agar sesuai
dengan sikap itu. Biasanya lebih
mudah mengubah produk
daripada mengubah sikap
konsumen.
Para pemasar harus
menghadapi kenyataan bahwa
benar-benar sangat sukar untuk
mengubah sikap konsumen ;
berlawanan dengan pendapat para
pengritik pemasaran yang
mengatakan bahwa mengubah
sikap konsumen bukan hal yang
sukar. Jika mereka benar-benar
berharap untuk mengubah sikap
pembeli mereka harus
mendayagunakan komunikasi
yang benar-benar meyakinkan.
Komunikasi ini (iklan, bujukan
penjualan perorangan, pesan-
pesan yang lain) harus benar-
benar berusaha mengubah satu
atau lebih dari ketiga faktor yang
tercakup dalam definisi sikap-
evaluasi, perasaan, dan
kecenderungan bertindak (action
tendencies). Misalnya, dengan
menyediakan informasi yang
efektif tentang merk produknya,
seorang pemasar bisa mengubah
evaluasi kognitif konsumen
terhadap merk produknya.
Dengan iklan yang kuat dan yang
memikat emosi, seorang pemasar
bisa mengubah perasaan-perasaan
emosional konsumen. Sedangkan
kecenderungan bertindak (action
tendencies) ke arah merk tertentu
bisa diubah melalui usaha
membujuk pembeli berbuat
sesuatu yang berlawanan dengan
pilihan mereka saat ini.
d. Konsep diri atau citra diri (Self
Concept)
Konsep diri bisa dikatakan juga
sebagai citra diri (self image).
Citra diri (Self image) adalah cara
seseorang memandang dirinya
10
sendiri. Pada waktu yang
bersamaan, ia juga menganggap
orang lain mempunyai gambaran
yang sama tentang dirinya.
Beberapa psikolog membedakan
antara konsep diri yang aktual
(cara kita melihat diri kita
sejujurnya) dan konsep diri yang
ideal (cara kita ingin dilihat atau
berharap melihat diri kita sendiri).
Citra diri dipengaruhi oleh
kebutuhan psikologis dan fisik
yang dibawa sejak lahir dan
dipelajari selama proses
perkembangan diri. Biasanya
orang memilih suatu produk dan
merk sesuai dengan konsep
dirinya.
Sarwono (1994), mengatakan
bahwa perilaku konsumtif biasanya
lebih dipengaruhi oleh faktor emosi
daripada rasio, karena pertimbangan-
pertimbangan dalam membuat
keputusan untuk membeli suatu
produk lebih menitikberatkan pada
status sosial, mode, dan kemudahan
daripada pertimbangan ekonomis. Ia
menambahkan bahwa perilaku
konsumtif berkaitan dengan proses
belajar. Artinya, dalam
perkembangan individu akan belajar
bahwa memperoleh suatu barang
atau melakukan perbuatan tertentu
dapat memberikan kesenangan atau
justru perasaan tidak enak.
Menurut Widada (1994)
penyebab suburnya perilaku
konsumtif adalah semakin
membaiknya keadaan sosial ekonomi
sebagian masyarakat, membanjirnya
barang-barang produksi,
berkembangnya gaya hidup dan
mode, masih tebalnya sikap gengsi,
status sosial dan sebagainya. Ia
menambahkan bahwa keinginan-
keinginan seseorang untuk membeli
barang-barang yang sebenarnya tidak
dibutuhkan. Perilaku semacam inilah
yang dikategorikan sebagai perilaku
konsumtif.
Tiga faktor yang
mempengaruhi pilihan konsumen
(Sutisna, 2003) :
a. Faktor Pertama adalah konsumen
individual.
Artinya, pilihan untuk membeli
suatu produk dengan merk
tertentu dipengaruhi oleh hal-hal
yang ada pada diri konsumen.
11
b. Faktor Kedua yaitu lingkungan
yang mempengaruhi konsumen.
Pilihan-pilihan konsumen
terhadap merk dipengaruhi oleh
lingkungan yang mengitarinya.
c. Faktor Ketiga yaitu stimuli
pemasaran atau juga disebut
strategi pemasaran.
Strategi pemasaran yang banyak
dibahas adalah satu-satunya
variabel dalam model ini yang
dikendalikan oleh pemasar.
Dalam hal ini, pemasar berusaha
mempengaruhi konsumen dengan
menggunakan stimuli-stimuli
pemasaran seperti iklan dan
sejenisnya agar konsumen
bersedia memilih merk produk
yang ditawarkan.
3. Aspek-aspek Perilaku
Konsumtif
Menurut Lina & Rasyid (1997),
ada tiga aspek perilaku konsumtif
yaitu:
a. Aspek Pembelian Impulsif
Aspek pembelian ini adalah
pembelian yang didasarkan pada
dorongan dalam diri individu
yang muncul tiba-tiba.
b. Aspek Pembelian tidak Rasional
Aspek pembelian tidak rasional
adalah pembelian yang dilakukan
bukan karena kebutuhan, tetapi
karena gengsi agar dapat
dikesankan sebagai orang yang
modern.
c. Aspek Pembelian Boros atau
Berlebihan
Aspek pembelian ini adalah
pembelian suatu produk secara
berlebihan yang dilakukan oleh
konsumen.
Adapun Fromm (dalam
Wibowo, 2004) memberikan empat
aspek perilaku konsumtif, yaitu
aspek mengkonsumsi barang bukan
untuk mencukupi kebutuhan
melainkan pemenuhan keinginan,
mengkonsumsi barang diluar
jangkauan, mengkonsumsi barang
yang tidak produktif, dan
mengkonsumsi barang status.
a. Aspek mengkonsumsi barang
bukan untuk mencukupi
kebutuhan melainkan pemenuhan
keinginan.
Adalah membeli produk barang
yang model terbaru hanya
berdasarkan keinginan semata.
12
b. Aspek mengkonsumsi barang
diluar jangkauan.
Membeli produk atau barang yang
harganya mahal walaupun kondisi
keuangan terbatas.
c. Aspek mengkonsumsi barang-
barang yang tidak produktif.
Membeli barang hanya untuk
suatu kebanggaan dan mendapat
penghargaan dari orang lain.
d. Aspek mengkonsumsi barang
status
Pembelian dilakukan bukan
karena kebutuhan tetapi karena
gengsi agar dapat dikesankan
sebagai orang modern, sehingga
merupakan kebanggaan bagi
konsumen.
Dengan demikian secara garis
besar dapat disimpulkan uraian
aspek-aspek perilaku konsumtif dari
kedua tokoh tersebut diatas, yang
pada dasarnya memiliki kesamaan
satu sama lain. Aspek-aspek tersebut
adalah sebagai berikut :
a. Aspek pembelian barang yang
impulsif dan bukan untuk
mencukupi kebutuhan melainkan
pemenuhan keinginan.
Adalah pembelian yang
didasarkan pada dorongan dalam
diri individu yang muncul tiba-
tiba, tanpa direncanakan dan pada
umumnya membeli produk yang
terbaru hanya berdasarkan
keinginan semata.
b. Aspek pembelian barang yang
tidak rasional dan demi status.
Adalah pembelian yang tidak lagi
rasional, pembelian dilakukan
bukan karena kebutuhan tetapi
karena gengsi agar dapat
dikesankan sebagai orang modern,
sehingga merupakan kebanggaan
bagi konsumen.
c. Aspek pembelian barang yang
boros dan tidak produktif
Adalah pembelian suatu produk
secara berlebihan dan hanya untuk
melepas waktu luang yang
dilakukan oleh konsumen.
d. Aspek pembelian diluar
jangkauan
Membeli produk atau barang yang
harganya mahal walau kondisi
keuangan terbatas.
13
4. Tipe-tipe Perilaku Konsumen
Perilaku konsumen dalam
pembeliannya dapat dikelompokkan
kedalam empat tipe (Sutisna, 2003) :
a. Pertama, adalah konsumen yang
melakukan pembeliannya dengan
pembuatan keputusan (timbul
kebutuhan, mencari informasi dan
mengevaluasi merk serta
memutuskan pembelian), dan
dalam pembeliannya memerlukan
keterlibatan tinggi. Dua interaksi
ini menghasilkan tipe perilaku
pembelian yang kompleks
(Complex Decision Making).
b. Kedua, perilaku konsumen yang
melakukan pembelian terhadap
satu merk tertentu secara
berulang-ulang dan konsumen
mempunyai keterlibatan tinggi
dalam proses pembeliannya.
Perilaku konsumen seperti itu
menghasilkan tipe perilaku
konsumen yang loyal terhadap
merk (Brand Loyality).
c. Ketiga, perilaku konsumen yang
melakukan pembeliannya dengan
pembuatan keputusan, dan pada
proses pembeliannya konsumen
merasa kurang terlibat. Perilaku
pembelian seperti ini
menghasilkan tipe perilaku
konsumen Limited Decision
Making.
d. Keempat, perilaku konsumen
yang dalam pembelian yang atas
suatu merk produk berdasarkan
kebiasaan, dan pada saat
melakukan pembelian, konsumen
merasa kurang terlibat. Perilaku
seperti itu menghasilkan perilaku
konsumen tipe inertia.
Inertia merupakan perilaku
konsumen yang berulangkali
dilakukan, tetapi sebenarnya
konsumen itu tidak loyal karena
mudah mengubah pilihan merknya
jika ada stimulus yang menarik.
Misalnya orang akan mengubah
pilihan merknya jika merk lain
melakukan potongan harga atau
memberikan kupon belanja.
5. Aspek Positif dan Negatif
Perilaku Konsumtif
Kegiatan mengkonsumsi
yang berlebihan dapat menimbulkan
perilaku konsumtif masyarakat.
Perilaku konsumtif adalah perilaku
manusia yang melakukan kegiatan
konsumsi yang berlebihan (www.e‐
dukasi.net). Aspek positif yang
14
ditimbulkan dari perilaku konsumtif
adalah :
a. Membuka dan menambah
lapangan pekerjaan, karena akan
membutuhkan tenaga kerja yang
lebih banyak untuk memproduksi
barang dalam jumlah besar.
b. Meningkatkan motivasi konsumen
untuk menambah jumlah
penghasilan, karena konsumen
akan berusaha menambah
penghasilan agar bisa membeli
barang yang diinginkan dalam
jumlah dan jenis yang beraneka
ragam.
c. Menciptakan pasaar bagi
produsen, karena bertambahnya
jumlah barang yang dikonsumsi
masyarakat maka produsen akan
menambah pasar-pasar baru guna
mempermudah memberikan
pelayanan kepada masyarakat.
Bila dilihat dari sisi
negatifnya, maka perilaku konsumtif
akan menimbulkan dampak antara
lain sebagai berikut :
a. Pola hidup yang boros dan akan
menimbulkan kecemburuan
sosial, karena orang akan
membeli semua barang yang
diinginkan tanpa memikirkan
harga barang tersebut murah atau
mahal, barang tersebut diperlukan
atau tidak, sehingga bagi orang
yang tidak mampu mereka tidak
akan sanggup untuk mengikuti
pola kehidupan yang seperti itu.
b. Mengurangi kesempatan untuk
menabung, karena orang akan
lebih banyak membelanjakan
uangnya dibandingkan
menyisihkan untuk ditabung.
c. Cenderung tidak memikirkan
kebutuhan yang akan datang,
orang akan mengkonsumsi lebih
banyak barang pada saat sekarang
tanpa berpikir kebutuhannya di
masa datang.
6. Perilaku Konsumtif Pria
Metroseksual
Perilaku konsumtif pada pria
metroseksual bersifat overt atau
terlihat. Perilaku konsumtif yang
sifatnya overt tampak dari begitu
jelas dan nyatanya perilaku yang
dilakukan oleh individu yang
bersangkutan (Peter & Olson, 2005).
Perilaku ini bisa dilihat dari
bagaimana mereka berusaha merawat
diri dan mempercantik penampilan
15
mereka agar tampak trendy, klimis
dan dandy dengan melakukan
aktivitas-aktivitas seperti pergi ke
salon, butik, klub fitnes sampai cafe-
cafe untuk kebutuhan interaksi yang
bebas, khas dan melapangkan akses
bagi sifat hedonis yang mereka
kedepankan.
Menurut Kottler &
Armstrong (1997) ada beberapa
faktor yang mempengaruhi perilaku
konsumen dalam proses perilaku
pembelian. Berdasarkan konteks pria
metroseksual maka berikut ini adalah
penjelasannya, yaitu :
a. Kelas sosial atau divisi
masyarakat yang relatif permanen
dan teratur dengan para
anggotanya yang menganut nilai-
nilai, minat dan tingkah laku yang
serupa dan diukur sebagai
kombinasi dari pekerjaan,
pendapatan, pendidikan,
kekayaan, dan lain-lain. Dalam
hal ini pria metroseksual sudah
seperti kelas sosial baru dalam
struktur sosial yang ada dalam
masyarakat modern yang berbasis
kapitalis. Oleh karena itu wajar
jika mereka memiliki perilaku
konsumtif yang berbeda dan khas
dibandingkan dengan yang lain.
b. Peran dan status sosial.
Kebanyakan pria metroseksual
adalah individu-individu dengan
posisi yang baik, bagus, dan
“berkelas” dalam masyarakat.
Peran dan status sosial tersebut
secara tidak langsung menuntut
mereka untuk memiliki
penampilan yang sangat
menunjang keberadaan mereka.
c. Pekerjaan. Pria metroseksual
kebanyakan adalah eksekutif
muda. Masalah penampilan jelas
terlihat dari pakaian dengan
segala atributnya seperti dasi,
sepatu sampai parfum dan
sebagainya. Faktor yang relevan
dengan sisi penampilan juga
ditambah dengan perawatan tubuh
mulai dari salon, spa dan klub
fitnes.
d. Situasi ekonomi. Seperti yang
telah dikemukakan oleh
Kartajaya, H., Yuswohady,
Madyani, D., Christynar, M. &
Indrio, B.D., (2004), bahwa pria
metorseksual biasanya berasal
dari kalangan dengan penghasilan
ekonomi yang besar. Oleh karena
16
itu besarnya materi yang
dikeluarkan untuk menunjang
perilaku konsumtif yang mereka
lakukan bukan menjadi masalah.
e. Gaya hidup. Gaya hidup pria
metroseksual jelas berbeda
dibandingkan dengan pria
kebanyakan. Mereka biasa
melakukan pleasure shopping
dibandingkan purpose shopping,
mereka biasa berinteraksi dari
cafe ke cafe (social butterflies)
yang jelas tidak mungkin hanya
menghabiskan biaya yang sedikit
dan masih banyak gaya hidup
yang lainnya (Kartajaya, H.,
Yuswohady, Madyani, D.,
Christynar, M. & Indrio, B.D.,
2004)
f. Gabungan antara motivasi,
persepsi, pengetahuan, keyakinan,
dan sikap dari pria metroseksual
itu sendiri. Semua hal ini
dipengaruhi iklan, pergaulan,
keadaan dan suasana lingkungan
kerja, respon klien, konsumsi
dunia hiburan dan masih banyak
hal lainnya. Gabungan fakrot-
faktor ini semakin memperjelas
betapa pria metroseksual benar-
benar target market yang
potensial.
7. Pendekatan untuk
Mempengaruhi Perilaku
Konsumtif Pria Metroseksual
Menurut Peter & Olson
(2005), pendekatan yang digunakan
dan disandingkan dengan perilaku
konsumtif pria metroseksual, yaitu :
a. Mengetahui segala informasi
tentang bagaimana sesungguhnya
itu dengan segala karakteristiknya
melalui perasaan, kognisi dan
perilakunya adalah sesuatu yang
penting untuk dilakukan.
b. Segala informasi yang disuguhkan
oleh pihak produsen melalui
beberapa media spesial seperti
majalah khusus pria maupun dari
majalah-majalah biasa dan media
massa lainnya tersebut kemudian
dicampur menjadi suatu kesatuan
iklan dan pemasaran.
c. Semua hal tersebut akan
mempengaruhi perasaan dan
kognisi pria metroseksual. Mereka
akan menjadi semakin tertarik
secara lebih jauh. Mereka akan
merasakan mana yang cocok
untuk memenuhi kebutuhan gaya
17
hidupnya dan mereka berpikir
apakah pantas produk tersebut
kemudian mereka konsumsi.
d. Pengaruh berikutnya kemudian
akan terasa pada perilaku
konsumtif yang ditunjukkan
secara tampak dan jelas oleh pria
metroseksual yang sangat
mencintai diri sendiri. Mereka
akan lebih mudah dipengaruhi
sehingga perilaku konsumtifnya
lebih mudah pula untuk dibentuk.
Biasanya perilaku konsumtif
mereka akan menjadi lebih
ekstrim dalam menikmati gaya
hidup dibandingkan pria yang
biasa.
e. Pengaruh terhadap perasaan,
kognisi dan perilaku konsumtif
pria metroseksual tersebut harus
tetap didukung secara kontinu
oleh data-data penelitian
konsumen serta data-data
penjualan dan pembagian pasar.
Hal ini penting untuk dilakukan
mengingat perubahan bisa saja
terjadi setiap saat terhadap apa-
apa saja yang menjadi daya tarik
dan prioritas kebutuhan hidup pria
metroseksual.
f. Data-data tersebut juga digunakan
sebagai informasi dasar yang
selalu dijadikan pedoman dan
mudah direvisi sesuai dengan
perkembangan terkini dari pria
metroseksual, terutama tentang
apa yang dirasakan, dipikirkan
dan apa yang akan menjadi bagian
perilaku konsumtifnya.
B. Pria Metroseksual
1. Pengertian Pria
Pria atau laki-laki dalam
bahasa indonesia dapat diartikan
sebagai lawan jenis perempuan atau
wanita. Pria atau laki-laki identik
dengan gaya maskulin dengan
bersuara besar dan bertubuh tegap.
Bentuk tubuh pria atau laki-laki
sangat berbeda dengan perempuan
atau wanita (Wojowasito, dalam
Kamus Bahasa Indonesia, 1972).
2. Pengertian Metroseksual
Istilah ‘metroseksual”
muncul denga definisi pria normal
yang segi emosionalnya semakin
berkembang, pria yang semakin
mampu mengekspresikan emosi dan
perasaannya secara lembut
(Kartajaya, 2006).
18
Metroseksual didefinisikan
sebagai pria yang memiliki suatu
perasaan estetik yang kuat, minat
yang cukup besar dalam bergaya dan
menjaga penampilan
(www.newyork.com).
Selain itu, Yuswohady (2003)
mendefinisikan metroseksual adalah
sosok narsistik dengan penampilan
dandy, yang jatuh cinta tidak hanya
terhadap diri sendiri tetapi juga gaya
hidup urban.
Pria metroseksual adalah
women-oriented men (Kartajaya, H.,
Yuswohady, Madyani, D.,
Christynar, M. & Indrio, B.D.,
2004). Secara lebih jauh pria
metroseksual dideskripsikan sebagai
laki-laki yang cinta setengah mati
tidak hanya terhadap dirinya, tetapi
juga gaya hidup kota besar yang
dijalaninya (Simpson, dalam
Kartajaya dkk,. 2004).
Berdasarkan definisi diatas,
maka dapat disimpulakan bahwa
metroseksual adalah pria yang
mampu mengekspresikan emosi dan
perasaannya serta sangat
mempertahankan penampilan diri.
3. Ciri-ciri Pria Metroseksual
Menurut Supriyono (2005)
ciri-ciri pria metroseksual adalah
wangi, trendy, dandy, dan
fashionable.
Menurut Sinaulan (2004) ciri-
ciri pria metroseksual antara lain
adalah senang berdandan, merawat
rambut, wajah, tubuh, dan selalu
mengikuti tren yang sedang
berkembang.
Selain itu, menurut Iskandar
(2005) ciri-ciri pria metroseksual
bisa dilihat dari penampilan yang
rapi, rambut klimis, dan sangat
menghargai persamaan gender. Ciri
pria metroseksual adalah pria
heteroseksual, tidak malu
menunjukkan sisi feminimnya, lebih
sensitif, lebih lembut, sangat
memperhatikan perawatan diri dan
mengikuti perkembanga fashion
(www.doktertomi.com).
Berdasarkan uraian diatas,
maka dapat disimpulkan bahwa pria
metroseksual memiliki ciri-ciri
antara lain adalah trendy, dandy,
tidak malu menunjukkan sisi
feminimnya, sensitif, lebih lembut,
dan fashionable.
19
4. Sifat Pria Metroseksual
Pria metroseksual pada
umumnya memiliki sifat antara lain
romantis, realistis, loyal, open
minded, dan easy going. Mereka
adalah pekerja keras, tetapi juga
tidak melupakan kesenangan hidup
(www.nofieiman.com).
Menurut Faraa 2005 (dalam
www.xfresh.com) sifat pria
metroseksual antara lain adalah
charming, romantis, mempunyai cita
rasa tinggi dalam fashion, sensitif
dan peka pada keadaan sekitarnya.
5. Faktor-faktor Penyebab
Metroseksual
Menurut Arifin 2004 (dalam
http://lautan.blogspot.com/)
mengemukakan beberapa faktor
penyebab metroseksual antara lain :
a. Lingkungan
Dalam teori nativisme,
perkembangan perilaku semata-
mata hanya tergantung pada
faktor lingkungan dan tidak
mengakui adanya pembawaan
yang dibawa lahir. John Locke,
tokoh empirisme mengungkapkan
teori yang disebut tabularasa yaitu
jiwa manusia yang baru lahir itu
adalah seperti meja atau papan
lilin yang belum tergores. Akan
menjadi apa bayi itu kelak
sepenuhnya tergantung pada
pengalaman-pengalaman apa yang
memenuhi jiwa anak tersebut.
Aliran ini disebut juga aliran
optimisme. Lingkungan sering
disebut miliu, environment, atau
juga disebut nurture. Lingkungan
dalam pengertian psikologi adalah
segala apa yang berpengaruh
dalam diri individu dalam
berperilaku. Lingkungan turut
berpengaruh terhadap
perkembangan pembawaan dan
kehidupan manusia. Lingkungan
dapat digolongkan menjadi :
1) Lingkungan manusia : yang
termasuk ke dalam lingkungan ini
adalah keluarga, sekolah dan
masyarakat termasuk didalamnya
kebudayaan, agama, taraf
kehidupan dan sebagainya.
2) Lingkungan benda : yaitu benda
yang terdapat disekitar manusia
yang turut memberi warna pada
jiwa manusia.
3) Lingkungan geografis : latar
geografis turut mempengaruhi
corak kehidupan manusia.
20
Masyarakat yang tinggal didaerah
pantai mempunyai keahlian,
kegemaran dan kebudayaan yang
berbeda dengan manusia yang
tinggal di daerah yang gersang.
Kebanyakan orang-orang
metroseksual adalah orang-orang
yang dituntut oleh lingkungan
untuk dapat selalu tampil prima
dan penuh percaya diri. Maka dari
itulah mereka harus bisa
mencerminkan karakteristik yang
penuh dengan kharisma karena
mereka adalah para eksekutif
muda yang harus memiliki
hubungan interpersonal dan
jaringan atau networking yang
baik, atau mereka mungkin adalah
para entertainment yang harus
memiliki penampilan yang
“menjual”. Jadi dapat dikatakan
bahwa lingkungan telah
membentuk kepribadian mereka
terutama lingkungan sosial, para
penggemar, sutradara, ataupun
relasi bisnis.
b. Persepsi
Dalam teori Health Belief Model,
seseorang akan berperilaku
tergantung pada percaya bahwa
mereka rentan terhadap masalah
kesehatan tertentu, menganggap
bahwa masalah ini serius,
meyakini efektivitas tujuan
pengobatan dan pencegahan tidak
mahal, menerima anjuran untuk
mengambil tindakan kesehatan.
Kayakinan atau kepercayaan
(belief) yang ada pada diri mereka
lah yang menggerakkan mereka
untuk berperilaku. Dengan
berperilaku seperti itu, mereka
yakin bahwa hal tersebut akan
banyak membantu mereka dalam
pekerjaan ataupun dalam bidang
lainnya.
C. Perilaku Konsumtif terhadap
Fashion pada Pria
Metroseksual dengan
Penghasilan yang Pas-pasan.
Keberadaan pria
metroseksual adalah suatu fenomena
yang kian menggejala di masyarakat
kota-kota besar. Fenomena yang
sering disebut women-oriented men
ini telah berkembang secara global
dan kian nyata (Kartajaya, H.,
Yuswohady, Madyani, D.,
Christynar, M. & Indrio, B.D.,
21
2004). Secara lebih jauh, pria
metroseksual didefinisikan sebagai
lelaki yang cinta setengah mati tidak
hanya terhadap dirinya, tetapi juga
terhadap gaya hidup kota besar yang
dijalaninya (Simpson, dalam
Kartajaya, H., Yuswohady, Madyani,
D., Christynar, M. & Indrio, B.D.,
2004). Pria metroseksual juga
digambarkan sebagai sosok yang
normal atau straight, sensitif dan
terdidik, hanya saja pria
metroseksual lebih mengedepankan
sisi feminim yang dimilikinya
(Jones, 2003).
Kemunculan pria
metroseksual identik dengan adanya
usaha perbaikan penampilan secara
tangible tanpa menghilangkan
preferensi utama seks pria
metroseksual melalui gaya hidup
yang juga secara jelas terlihat dalam
kehidupan sehari-hari (Coda, 2004).
Pria metroseksual memiliki
karakteristik yang unik seperti narsis
dan sangat merawat dirinya bahkan
bisa melebihi yang dilakukan oleh
seorang wanita sekalipun. Pada
umumnya pria metroseksual
memiliki pendapatan yang cukup
besar, sehingga pria metroseksual
bisa membeli apa saja yang
diinginkan untuk memenuhi
kebutuhan dan sekaligus untuk
menunjang panampilan (Kartajaya,
H., Yuswohady, Madyani, D.,
Christynar, M. & Indrio, B.D.,
2004). Hal ini menyebabkan adanya
perilaku konsumtif yang sedikit
terlihat berbeda dengan orang
kebanyakan.
Perilaku konsumtif pada pria
metroseksual nyaris sama dengan
yang dilakukan oleh kaum wanita
yang berasal dari kalangan atas.
Penggunaan kosmetik, pakaian,
segala aksesoris, dan kebutuhan
perawatan diri menjadi hal yang
lazim dilakukan oleh pria
metroseksual. Banyak produk-
produk yang dahulunya menjadi khas
konsumsi wanita, kini menjadi
bagian dari produk yang dikonsumsi
oleh pria metroseksual.
Menurut Fromm (1998),
keinginan untuk mengkonsumsi
sesuatu secara berlebihan dapat
membuat seseorang menjadi
konsumtif. Jika manusia menjadi
konsumtif, maka tindakan
konsumsinya menjadi kompulsif dan
tidak rasional. Pengkonsumsian yang
22
berlebihan itu sering dikaitkan
dengan status individu dalam
lingkungannya, dan individu sudah
tidak lagi melihat sebagai suatu
kebutuhan melainkan keinginan
semata.
Kebanyakan dari pria
metroseksual bekerja sebagai
eksekutif muda atau sebagai
seseorang yang berpenghasilan
besar. Hal ini membuat seorang pria
metroseksual dapat memenuhi apa
saja keinginannya untuk sekedar
menunjang penampilan di depan
umum.
Namun disisi lain, ada
sebagian dari pria metroseksual di
kota besar tidak berasal dari
kalangan berpendapatan besar, ada
juga yang memiliki pendapatan pas-
pasan. Subjek dalam penelitian ini
adalah seorang pria metroseksual
yang sangat konsumtif terhadap
barang-barang untuk menunjang
penampilan (fashion) dan perawatan
terhadap tubuhnya, akan tetapi tidak
didukung oleh kondisi keuangan
yang memadai. Bisa dibilang
penghasilan yang dihasilkan subjek
tergolong pas-pasan. Sebagian pria
metroseksual yang berpenghasilan
pas-pasan juga sangat konsumtif
terhadap barang-barang yang bagus
dengan harga mahal untuk
menunjang penampilannya.
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti
mneggunakan pendekatan kualitatif,
berupa studi kasus. Menurut Nawawi
(2003), studi kasus adalah penelitian
yang memusatkan diri terhadap 1
(satu) objek tertentu, dengan
mempelajari sebagai suatu kasus.
Menurut Heru Basuki (2006),
studi kasus adalah suatu bentuk
penelitian (inquiry) atau studi
tentang suatu masalah yang memiliki
sifat kekhususan (particulary), dapat
dilakukan baik dengan pendekatan
kualitatif maupun kuantitatif, dengan
sasaran perorangan (individual)
maupun kelompok, bahkan
masyarakat luas.
Sedangkan menurut Stake
(dalam Heru Basuki, 2006), studi
kasus menekankan pada pendekatan
23
kualitatif, bersifat naturalistik,
berbasis budaya dan minat
fenomenologi. Studi kasus bukan
merupakan pilihan metodologi, tetapi
pilihan masalah yang bersifat khusus
untuk dipelajari. Selain itu menurut
Moleong (2004), penelitian kualitatif
merupakan penelitian yang
memanfaatkan wawancara terbuka
untuk menelaah dan memahami
sikap, pandangan, perasaan dan
perilaku individu atau sekelompok
orang. Penelitian kualitatif juga
merupakan penelitian yang
menggunakan pendekatan
naturalistik untuk mencari dan
menemukan pengertin atau
pemahaman tentang fenomena dalam
suatu latar yang berkonteks khusus.
Pengertian ini hanya mempersoalkan
dua aspek yaitu pendekatan
penelitian yang digunakan adalah
naturalistik, sedangakan upaya dan
tujuan adalah suatu fenomena dalam
suatu konteks khusus.
Selanjutnya, menurut
Surachmad (dalam Achmadi &
Narbuko, 2003), penelitian studi
kasus bertujuan untuk mempelajari
secara intensif tentang latar belakang
keadaan sekarang, dan interaksi
lingkungan sesuatu unit sosial,
individu, kelompok, lembaga atau
masyarakat.
Disamping itu, studi kasus
yang baik harus dilakukan secara
langsung dalam kehidupan
sebenarnya dari kasus yang
diselidiki. Untuk itu data studi kasus
dapat diperoleh tidak saja dari kasus
yang bersangkutan, tetapi dapat juga
diperoleh dari semua pihak yang
mengetahui dan mengenalnya secara
baik. Dengan kata lain, data dalam
studi ini dapat dikumpulkan dari
beberapa sumber (Moleong, 1997).
Dari uraian di atas dapat
diketahui tentang metode-metode
penelitian yang ada. Peneliti memilih
studi kasus karena studi kasus
meneliti sesuatu hal yang bersifat
spesifik, unik dan mendetil yang
tidak dapat diungkap oleh studi yang
lain, dengan tujuan agar peneliti
mendapatkan pemahaman yang lebih
mendalam secara langsung dan juga
mendapat data yang akurat dengan
melakukan observasi dan wawancara
dalam kondisi apa adanya.
5
B. Subjek Penelitian
1. Karakteristik Subjek
Subjek adalah seorang
pria metroseksual berusia 27
tahun yang termasuk kedalam
golongan dewasa awal (Papalia,
dkk., 2008) yang bekerja sebagai
seorang wartawan sebuah
majalah fashion terkemuka
khusus untuk pria. Subjek
berperilaku konsumtif terhadap
fashion sejak subjek masih
duduk dibangku kuliah sampai
sekarang, tetapi setelah bekerja
subjek memiliki penghasilan
yang pas-pasan. Penghasilan
subjek dalam sebulan sebesar
2,5 juta rupiah.
2. Jumlah Subjek
Jumlah subjek sangat
tergantung pada apa yang ingin
diketahui oleh peneliti, tujuan
peneliti, konteks saat itu, apa
yang dianggap bermanfaat dan
dapat dilakukan dengan waktu
dan sumber daya yang tersedia
(Patton dalam Poerwandari,
1998). Jumlah subjek dalam
penelitian ini adalah 1 (satu)
orang subjek penelitian dan 1
(satu) orang significant other.
C. Tahap-Tahap Penelitian
1. Tahap Persiapan Penelitian
Dalam tahap persiapan
penelitian studi kasus ini,
peneliti melakukan persiapan
dengan cara membaca literatur-
literatur dan artikel-artikel yang
berhubungan dengan
pembahasan atau topik
penelitian, peneliti juga
melakukan observasi terhadap
masalah yang akan diteliti dan
mencari apa saja masalah yang
dihadapinya tersebut dan
kemudian peneliti menyusun
pedoman wawancara dan
panduan observasi.
2. Tahap Pelaksanaan
Penelitian
Dalam tahap ini, peneliti
terlebih dahulu mencari dan
meminta kesediaan seorang pria
metroseksual yang berperilaku
konsumtif kemudian peneliti
melakuakan observasi dan
wawancara.
3. Tahap Penyelesaian
Penelitian
6
Pada tahap ini, peneliti
memulai dari perumusan
masalah sampai langkah di tahap
pelaksanaan yaitu memindahkan
hasil wawancara dengan subjek
peneliti kedalam verbatim dan
kemudian membuat kesimpulan.
D. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, metode
pengambilan data yang akan
digunakan adalah sebagai berikut :
1. Metode Wawancara
Basuki (2006)
menyatakan bahwa wawancara
adalah suatu kegiatan tanya
jawab dengan tatap muka (face
to face) antara pewawancara
(interviewer) dengan yang
diwawanara (interviewee)
tentang masalah yang diteliti,
dimana pewawancara
bermaksud memperoleh
persepsi, sikap dan pola piker
dari yang diwawancarai yang
relevan dengan masalah yang
diteliti. Karena wawancara itu
dirancang oleh pewawancara,
maka hasil pun dipengaruhi oleh
karakteristik pribadi
pewawancara.
Wawancara adalah
proses tanya jawab dalam
penelitian yang berlangsung
secara lisan dimana 2 (dua)
orang atau lebih bertatap muka
mendengarkan secara langsung
informasi-informasi atau
keterangan-keterangan
(Achmadi dan Narbuko, 2003).
Pendapat lain dikemukakan oleh
Banister dkk (1994) (dalam
Poerwandari, 1998), wawancara
adalah percakapan dan tanya
jawab yang diarahkan untuk
mencapai tujuan tertentu.
Wawancara dibedakan
menjadi 2 (dua) yaitu
wawancara terstruktur dan
wawancara tidak terstruktur.
Wawancara terstruktur yaitu
apabila pertanyaan yang
diajukan pewawancara
dilakukan secara ketat sesuai
daftar pertanyaan yang telah
disiapkan, sedangkan
wawancara tidak terstruktur
yaitu apabila pertanyaan yang
diajukan bersifat fleksibel tetapi
tidak menyimpang dari tujuan
wawancara yang ditetapkan
(Basuki, 2006).
7
Pada penelitian ini,
peneliti menggunakan metode
wawancara terstruktur, dimana
pertanyaan yang diajukan
pewawancara dilakukan secara
ketat sesuai daftar pertanyaan
yang telah disiapkan.
2. Metode Observasi
Selain wawancara,
penelitian ini juga menggunakan
observasi, dimana peneliti juga
memperhatikan dan mencatat
aktivitas-aktivitas yang
berlangsung, serta orang-orang
yang terlibat dalam kejadian
aktivitas tersebut. Observasi
dibutuhkan untuk dapat
memahami proses terjadinya
wawancara dan hasil wawancara
dapat dipahami konteksnya.
Observasi yang akan dilakukan
adalah observasi terhadap subjek
penelitian, perilaku selama
wawancara, interaksi subjek
penelitian dengan peneliti dan
hal-hal lain yang dianggap
relevan sehingga dapat
memberikan data tambahan
terhadap hasil wawancara.
Menurut Banister dkk,
1994 (dalam Poerwandari, 2001)
menyatakan bahwa observasi
menjadi metode yang paling
dasar dan paling tua dari ilmu-
ilmu sosial, karena dalam cara-
cara tertentu kita selalu terlibat
dalam proses mengamati. Semua
bentuk penelitian psikologis,
baik itu kualitatif maupun
kuantitatif mengandung aspek
observasi di dalamnya. Istilah
observasi diturunkan dari bahasa
Latin yang berarti “melihat” dan
“memperhatikan”. Istilah
observasi diarahkan pada
kegiatan memperhatikan secara
akurat, mencatat fenomena yang
muncul, dan mempertimbangkan
hubungan antar aspek dalam
fenomena tersebut. Kartono,
1980 (dalam Basuki, 2006)
pengertian observasi adalah
studi yang disengaja dan
sistematis tentang fenomena
sosial dan gejala-gejala psikis
dengan jalan pengamatan dan
pencatatan.
Dalam melakukan
pengamatan, terdapat
pengamatan langsung dan
pengamatan tidak langsung.
Menurut Nawawi (2003),
8
pengamatan langsung adalah
pengamatan yang dilakukan
terhadap objek penelitian di
tempat berlangsunganya
peristiwa, sehingga pengamat
berada bersama objek yang
diamati. Sedangkan pengamatan
tidak langsung adalah
pengamatan yang dilakukan
tidak pada saat berlangsungnya
suatu peristiwa yang diamati,
misalnya mengamati melalui
film atau foto.
Poerwandari (2001)
mengemukakan beberapa jenis
observasi, antara lain:
a. Pengamatan melalui cara
berperan serta (partisipan)
Dalam penelitian ini peneliti
mempunyai dua fungsi
sekaligus artinya dapat
secara mudah langsung
mengamati fenomena yang
ada dan masuk kedalam
kelompok subjek yang
diteliti.
b. Pengamatan tanpa berperan
serta (non partisipan)
Dalam penelitian ini peneliti
hanya mempunyai satu fungsi
yaitu peneliti dapat
mengamati dan mendata
secara langsung tentang
subjek.
Berdasarkan uraian diatas
dapat disimpulkan, bahwa observasi
adalah suatu studi yang disengaja
dan dilakukan secara sistematis,
terencana dan terarah pada suatu
tujuan dengan melakukan
pengamatan dan pencatatan
fenomena atau perilaku pada satu
atau sekelompok orang. Dalam
penelitian ini peneliti menggunakan
pengamatan tanpa melalui berperan
serta (non partisipan), dimana
peneliti dapat mengamati dan
mendata secara langsung tentang
subjek.
E. Keakuratan Penelitian
Salah satu proses
pengumpulan data yang tepat adalah
dengan proses triangulasi. Menurut
Moleong (2002), triangulasi adalah
teknik pemeriksaan keakuratan data
yang memanfaatkan sesuatu yang
lain di luar data itu, untuk keperluan
atau sebagai pembanding terhadap
data itu. Patton (dalam Poerwandari,
1998), membedakan 4 (empat)
macam triangulasi sebagai teknik
9
pemeriksaan untuk mencapai
keakuratan, yaitu :
1. Triangulasi Data
Peneliti menggunakan
berbagai sumber data, seperti
hasil wawancara dan hasil
observasi dari subjek, significant
other serta pelaksanaan
wawancara lebih dari satu kali.
2. Triangulasi Pengamat
Adanya pengamat di luar
penelitian yang turut memeriksa
hasil pengumpulan data. Dalam
penelititan ini, dosen tidak
bertindak sebagai pengamat
(expert judgement) yang
memberikan hasil pengumpulan
data.
3. Triangulasi Teori
Untuk penggunaan
berbagai teori yang berlainan,
untuk memastikan bahwa yang
dikumpulkan sudah memenuhi
syarat. Pada penelitian ini,
berbagai teori telah dijelaskan
dalam bab II untuk digunakan
dan menguji terkumpulnya data
tersebut.
4. Triangulasi Metode
Yaitu digunakan beberapa
metode yang berbeda yaitu
metode observasi dan
wawancara, untuk meneliti suatu
hal yang sama.
Bila berbagai macam triangulasi
tersebut di atas dapat diterapkan,
penelitian akan menampilkan temuan
yang akurat. Meski demikian, Patton
(dalam Poerwandari, 1998),
mengingatkan bahwa triangulasi
merupakan suatu konsep ideal yang
kadang kala atau bahkan sekarang
tidak dapat sepenuhnya dicapai
karena berbagai hambatan.
F. Alat Bantu Penelitian
Menurut Poerwandari (2001)
penulis sangat berperan dalam
seluruh proses penelitian, mulai dari
memilih topik, mendekati topik
tersebut, mengumpulkan data, hingga
menganalisis, menginterpretasikan
dan menyimpulkan hasil penelitian.
Dalam mengumpulkan data-data,
penulis membutuhkan alat bantu
(instrumen penelitian). Dalam
penelitian ini menggunakan tiga
instrumen, yaitu :
1. Pedoman Wawancara
10
Pedoman wawancara
digunakan agar wawancara
dilakukan tidak menyimpang
dari tujuan penelitian. Pedoman
ini disusun berdasarkan ciri-ciri
kecemasan yang dialami pada
subjek, faktor-faktor yang
menyebabkan kecemasan pada
subjek, dan bagaimana cara
mengatasi kecemasan pada
subjek.
2. Pedoman Observasi
Dalam lembaran ini
dicatat hal-hal penting yang
terjadi selama wawancara.
Catatan ini berisikan deskripsi
tentang hal-hal yang diamati,
yang dianggap penting oleh
peneliti, misalnya: penampilan
dan gerak-gerik responden
selama wawancara yang
dirasakan penting, gangguan-
gangguan yang dialami saat
wawancara, dan lain-lain.
3. Alat Tulis dan Alat Perekam
Alat bantu yang
digunakan oleh peneliti pada
saat melakukan observasi dan
wawancara adalah menggunakan
alat tulis dan perekam. Alat
perekam yang dimiliki peneliti
dapat digunakan apabila telah
mendapatkan izin dan
diperbolehkan oleh subjek
selama proses wawancara
berlangsung. Alat perekam ini
digunakan agar peneliti dapat
benar-benar berkonsentrasi pada
saat proses pengambilan data-
data penelitian.
G. Teknik Analisis Data
Adapun dalam proses analisis
data yang dilakukan dalam penelitian
ini akan dianalisa dengan teknik
analisa data kulitatif yang dilakukan
terdiri dari tiga alur kegiatan yang
terjadi bersamaan, yaitu reduksi data,
penyajian data dan penarikan
kesimpulan atau verivikasi (Miles &
Huberman, 1992).
1. Reduksi Data
Reduksi data merupakan
suatu bentuk analisis yang
menajamkan, menggolongkan,
mengarahkan, membuang yang
tidak perlu dan mengorganisasi
data dengan cara sedemikian rupa
sehingga kesimpulan-kesimpulan
akhir dapat ditarik dan
verivikasikan (Miles &
Huberman, 1992). Pilihan peneliti
11
tentang bagian mana yang dikode,
bagian mana yang harus dibuang,
pola-pola mana yang meringkas
sejumlah bagian yang tersebar dan
cerita apa saja yang sedang
berkembang, merupakan pilihan–
pilihan analisis.
Koding atau membubuhkan
kode-kode pada materi yang
diperoleh dimaksudkan untuk
dapat mengorganisasikan data dan
mensistematisasi data secara
lengkap dan mendetail sehingga
data dapat memunculkan
gambaran tentang topik yang
dipelajari. Dengan demikian,
peneliti akan dapat menemukan
makna dari data yang
dikumpulkannya (Poerwandari,
2005). Secara praktis dan efektif
efektif, langkah awal koding dapat
dilakukan melalui :
a. Peneliti menyusun transkip
verbatim (kata demi kata) atau
catatan lapangannya
b. Peneliti secara urut dan
bersambung melakukan
penomoran pada respon
transkip atau catatan lapangan.
c. Peneliti memberikan nama
dengan kode-kode tertentu dan
membubuhkan tanggal. Setelah
langkah awal ini dilakukan,
maka langkah selanjutnya
yaitu:
1) Membaca transkip untuk
mengidentifikasikan
kemungkinan tema-tema
yang muncul.
2) Membaca transkip secara
berulang untuk menentuka
tema yang sesuai dengan
respon subjek sebelum
dilakukannnya kodiing. Hal
ini dilakukan untuk
menghindari kesulitan
mengambil kesimpulan.
2. Penyajian Data
Penyajian data merupakan
sekumpulan informasi tersusun
yang memberi kemungkinan
adanya penarikan kesimpulan dan
pengambilan tindakan (Miles &
Huberman, 1992). Data-data yang
diperoleh ini berdasarkan
wawancara dengan pedoman
umum, sehingga pertanyaan dapat
berkembang dan jawaban subjek
akan semakin jelas tanpa harus
menyimpang dari pertanyaan yang
yang diajukan. Setelah dilakukan
wawancara, peneliti membuat
12
verbatim dan melakukan koding
agar penulis tidak mengalami
kesulitan dalam penarikan
kesimpulan. Peneliti juga
melakukan catatan perbandingan
pada kedua subjek agar terlihat
perbedaan dan persamaan dalam
setiap jawaban. Hal ini dilakukan
untuk memudahkan subjek dalam
menarik kesimpulan dalam setiap
pertanyaan penelitian.
3. Penarikan Kesimpulan
Setelah dilakukan analisis
data yaitu mencari makna dari
data yang dikumpulkan dan
mencari sebab akibat dari suatu
permasalahan, maka langkah yang
terakhir adalah dilakukan
penarikan kesimpulan. Menurut
Glaser dan Strauss mula-mula
belum jelas, namun kemudian
meningkat menjadi lebih rinci dan
mengakar dengan kokoh (dalam
Miles & Huberman, 1992).
Kesimpulan-kesimpulan yang
muncul merupakan hasil dari
keterkaitan antara satu data
dengan data yang lain.
IV. HASIL DAN ANALISIS
A. Hasil penelitian
1. Subjek
a. Identitas subjek
Nama : Y
Jenis kelamin : Pria
TTL : Bali, Sept 1982
Usia : 27 Tahun
Status : Belum menikah
Pendidikan : S1 Jurnalistik
Pekerjaan : Wartawan / reporter
Agama : Islam
Anak ke : 1 dari 3 bersaudara
Alamat : Jakarta
b. Gambaran umum subjek
Subjek adalah seorang pria
metroseksual yang memiliki postur
tubuh yang sangat ideal dengan
tinggi 175 cm dan berat badan 63 kg.
Subjek memiliki warna kulit yang
tidak terlalu gelap dan juga tidak
terlalu putih tetapi tampak sangat
bersih terawat dan juga harum.
Penampilan subjek pun sangat
menarik, dengan gaya yang santai
dan casual dipadukan dengan
13
tampilan rambut yang agak sedikit
berantakan namun begitu subjek
masih terlihat sangat menarik.
Subjek berasal dari keluarga yang
biasa-biasa saja, bisa dibilang tidak
terlalu kaya dan juga tidak terlalu
miskin. Namun sampai sekarang,
kebutuhan keluarganya masih bisa
dipenuhi oleh ayahnya yang bekerja
sebagai pegawai negeri sipil. Subjek
adalah seorang wartawan yang
bekerja di salah satu perusahaan
media terbesar di Jakarta yang
bergerak dibidang media cetak
(majalah).
c. Pelaksanaan observasi
1) Observasi
Hari / tanggal : Sabtu, 21 November
2009
Waktu : Pukul 13.30 sampai
17.00 WIB
Tempat : Di sebuah mall, di
toko pakaian
d. Hasil observasi
1) Observasi terhadap setting
Peneliti melakukan observasi
terhadap subjek sebanyak satu kali,
pada hari sabtu 21 November 2009
pukul 13.30 sampai 17.00 WIB.
Penelitian dilakukan di sebuah pusat
perbelanjaan tepatnya di sebuah toko
yang menjual pakaian untuk pria di
daerah Jakarta. Sebuah mall (Plaza
Indonesia) yang terletak di pusat kota
itu terdiri dari lima lantai. Ditiap-tiap
lantai terdapat banyak toko yang
menjual kebutuhan pria khususnya
pakaian, sepatu dan lain-lain. Toko
yang dipilih subjek untuk berbelanja,
terletak di lantai 2 ini memiliki luas
kira-kira sekitar 250 meter. Toko
yang kental dengan nuansa biru tua
dan beberapa perabot yang terbuat
dari kayu sangat mencirikan
kekhasan seorang pria.
Pada saat observasi keadaan
toko tersebut sedang ramai
dikunjungi oleh pembeli, karena
sedang diadakan diskon untuk item
tertentu yang mencapai 70%. Subjek
terlihat begitu antusias sekali saat
melihat toko yang sering
dikunjunginya itu sedang
mengadakan diskon. Toko yang
mayoritas dikunjungi pria ini
menjual berbagai macam pakaian
dan segala aksesoris untuk pria,
mulai dari kameja, celana panjang,
jas, kaos, ikat pinggang, kaos kaki,
sampai aksesoris-aksesoris kecil
14
untuk menghiasi tangan dan leher
kaum pria. Subjek pun langsung
melihat kesana-kemari untuk
menemukan beberapa pakaian yang
cocok untuk dirinya. Subjek sangat
tidak merasa terganggu dengan
kehadiran peneliti yang terus
mengikutinya.
2) Observasi terhadap subjek
Peneliti membuat janji
dengan subjek untuk melakukan
observasi pada hari sabtu tanggal 21
November 2009 di sebuah mall yang
letaknya tidak begitu jauh dari kantor
dan tempat tinggal subjek saat ini.
Peneliti dan subjek membuat
janji untuk betemu di mall tersebut
pada pukul 13.00 WIB. Subjek
datang pada pukul 13.10 WIB
dengan mengenakan kaos oblong
berwarna hijau menyala dan celana
jeans belel yang dipadukan dengan
sendal jepit dan tas yang berukuran
agak besar berwarna hijau muda.
Subjek memiliki postur tubuh
yang sangat ideal dengan tinggi 175
cm dan berat badan 63 kg. Subjek
memiliki warna kulit yang tidak
terlalu gelap dan juga tidak terlalu
putih tetapi tampak sangat bersih
terawat dan juga harum. Penampilan
subjek pun sangat menarik, dengan
gaya yang santai dan casual
dipadukan dengan tampilan rambut
yang agak sedikit berantakan namun
begitu subjek masih terlihat sangat
menarik.
Setelah peneliti bertemu
dengan subjek, subjek pun langsung
mengajak peneliti menuju toko
pakaian yang sering sekali
dikunjungi oleh subjek. Didalam
perjalanan menuju toko tersebut,
subjek pun bercerita tentang
pengalamannya berbelanja baik yang
di mall atau di pasar uler sekalipun.
Ternyata subjek tidak sungkan untuk
berbelanja di pasar, meskipun tidak
terlalu sering dan hanya beberapa
kali saja.
Setelah sampai di toko,
subjek pun langsung tersenyum
senang saat melihat ada beberapa
barang yang didiskon sampai dengan
70%. Subjek pun langsung mengitari
toko untuk melihat-lihat semua
barang-barang yang dijual toko
tersebut dan mendapatkan yang
subjek inginkan. Subjek juga sesekali
mencoba berbagai macam pakaian
yang sekiranya menarik
15
perhatiannya, mulai dari kemeja,
kaos, dan celana jeans. Subjek sangat
tidak terganggu dengan kehadiran
peneliti yang terus mengikutinya
untuk mengobservasi.
3) Obervasi terhadap perilaku
konsumtif
Selama observasi
berlangsung, terlihat subjek sangat
antusias dan senang melihat banyak
barang-barang yang berlabelkan
diskon. Subjek tampak mengambil
beberapa item barang untuk dicoba
di fitting room.
Selama berbelanja, subjek
sering sekali menanyakan pendapat
temannya terhadap barang yang
sedang dipegangnya atau yang ingin
dibelinya. Subjek asyik mengelilingi
seluruh sudut toko tersebut untuk
mencari barang yang sesuai dengan
keinginannya. Tampak sekali subjek
membeli beberapa barang yaitu
kemeja, kaos sejenis kaos oblong,
rompi (vest), dan empat pasang tali
sepatu kets hanya karena barang
tersebut menarik perhatiannya dan
memiliki fungsi yang tidak terlalu
penting untuk dirinya pada saat itu.
Subjek membeli empat pasang tali
sepatu karena subjek menyukai
warna dan motifnya sedangkan
subjek tidak terlalu sering
menggunakan tali sepatu tersebut,
karena subjek hanya mempunyai satu
pasang sepatu kets.
Subjek banyak membeli
barang yang mahal dan bermerk,
yang memang sudah menjadi
kebiasaan subjek dari dulu. Rata-rata
harga barang yang dibeli subjek
berkisar antara 300.000 – 900.000
rupiah. Saat berbelanja subjek
membeli kemeja bermerk
Debenhams dengan harga sekitar
450.000 rupiah untuk satu pasang
dan sebuah kaos sejenis kaos oblong
tetapi terlihat lebih eksklusif bermerk
sama dengan kemeja yang dibelinya
dengan harga 380.000 rupiah.
Subjek terkesan berlebihan
dan boros dalam membelanjakan
uangnya. Subjek bisa membeli
sebuah barang dengan jumlah
banyak, misalnya membeli tali untuk
sepatu kets. Warna dan motif yang
menarik membuat subjek tertarik dan
langsung membeli sebanyak 4
pasang dengan total harga sebesar
160.000 rupiah.
16
Ditengah subjek asyik
berbelanja, subjek menemukan
sebuah vest (rompi) bergaya tahun
70-an dengan warna cokelat tua yang
sangat elegan dengan harga 259.000
rupiah. Subjek pun langsung tertarik
dan ada keinginan untuk
membelinya, namun subjek telah
banyak membeli barang lain
sehingga uangnya tidak cukup untuk
membeli baju tersebut. Akhirnya
subjek pun memutuskan untuk
menarik seluruh uang di atmnya
untuk membeli baju tersebut. Subjek
rela menghabiskan uangnya untuk
sebuah barang yang mahal dan untuk
menunjang penampilannya. Setiap
berbelanja, subjek menggunakan
kartu debit untuk melakukan
pembayaran. Subjek tidak pernah
mau untuk menggunakan kartu kredit
karena subjek beranggapan hal itu
akan menyulitkannya di kemudian
hari.
2. Hasil wawancara subjek
a. Pelaksanaan wawancara
Hari/Tanggal : Minggu, 22
November 2009
Waktu : Pukul 11.00 sampai
14.15 WIB
Tempat : Di kostan subjek
1) Setting
Wawancara dilakukan di
tempat tinggal subjek. Saat ini subjek
tinggal disebuah rumah kost yang
hanya satu lantai dan didalamnya
terdiri dari satu kamar tidur, satu
kamar mandi dan satu ruang yang
digunakan untuk bersantai dan
menonton televisi. Ruang tamu yang
dipakai untuk santai dan menonton
televisi dilengkapi dengan karpet
merah marun yang berukuran besar
dan diatasnya terdapat sofa-bed
dengan warna senada bercorak bunga
matahari, terdapat dua kursi bantal
yang berukuran agak besar, dan
televisi yang berukuran tidak terlalu
besar. Di dinding diatas sofa-bed
terdapat foto keluarga yang
digantung dengan bingkai berwarna
emas. Difoto itu ada kedua orangtua
subjek dan dua adik perempuannya.
Keadaan tempat tinggal
subjek sangat nyaman, karena tidak
banyak cahaya dari luar yang masuk
sehingga membuat rumah tersebut
sangat redup, adem dan sejuk,
ditambah dengan adanya penyejuk
ruangan (air conditioner) yang
diletakkan di ruang tamu. Disudut
17
ruangan dekat pintu kamar tidur
subjek terdapat meja yang berukuran
tidak terlalu besar yang digunakan
sebagai meja makan dan dilengkapi
dua buah kursi, dan disebelahnya
terdapat lemari es yang berukuran
sedang. Disebelah kamar tidur subjek
terdapat kamar mandi yang ukuran
ruangannya tidak terlalu besar,
didalamnya terdapat kloset duduk,
wastafel, dan ruang tembus pandang
untuk mandi yang hanya dilengkapi
shower (pancuran air). Di dalam
kamar tidur subjek terdapat satu
tempat tidur berukuran sedang,
dilengkapi dengan bed cover dan
disampingnya ada meja kecil untuk
meletakkan lampu tidur dan barang
yang kecil seperti handphone, jam
tangan dan lain-lain. Berhadapan
dengan tempat tidur terdapat meja
rias dan lemari yang berukuran
lumayan besar. Disudut dekat pintu
kamar tidur terdapat rak sepatu yang
sangat rapih.
Pada saat wawancara
dilakukan yang ada di dalam rumah
tersebut hanya subjek, significant
others, dan peneliti. Subjek
mengenakan kaos oblong berwarna
abu-abu dengan celana jeans panjang
berwarna agak terang. Saat itu subjek
terlihat senang menerima kedatangan
peneliti dan subjek sangat ramah.
Wawancara belangsung sangat
nyaman dan proses tanya jawabnya
pun berjalan lancar.
b. Hasil wawancara
1) Latar belakang subjek
Subjek adalah anak pertama
dari tiga bersaudara. Subjek memiliki
dua adik perempuan yang masih
duduk dibangku sekolah. Hubungan
subjek dengan kedua adiknya sangat
dekat.
“Saya deket sama dua adik
perempuan saya. Mereka suka jadi
tempat curhat buat saya.” (Respon
ke 25)
Hubungan subjek dengan
kedua orangtuanya baik, tetapi
subjek lebih dekat dengan ibunya
karena subjek memiliki banyak
kesamaan dengan ibunya sedangkan
kedua adiknya dekat dengan ayah
subjek.
“Baik. Sama-sama baik sama
keduanya. Tapi saya lebih deket
sama ibu, nah kalau adik-adik saya
deketnya sama ayah saya.” (Respon
ke 54)
18
Saat ini hanya subjek dan
ayah subjek yang bekerja untuk
menghidupi semua anggota keluarga
dan keperluan keluarga. Sedangkan
ibu subjek hanya seorang ibu rumah
tangga.
“Ayah saya bekerja sebagai
pegawai negeri sipil di Departemen
Agama, dan ibu saya manajer rumah
tangga alias ibu rumah tangga.
He..he.” (Respon ke 43)
Kondisi perekonomian
keluarga subjek menengah dan masih
kecukupan untuk memenuhi semua
keperluan keluarga, baik untuk
kebutuhan rumah tangga maupun
kebutuhan anggota keluarga.
Walaupun sesekali subjek ikut
membantu jika ayah subjek sedang
kesulitan.
“Sampai saat ini kebutuhan
rumah tangga dan biaya adik-adik
saya masih bisa ditanggung sama
ayah saya. Walaupun kadang uang
ayah saya juga gak mulus yah ?.”
(Respon ke 34)
Subjek bekerja sebagai
wartawan di salah satu perusahaan
media (majalah fashion untuk pria).
Subjek sudah bekerja selama kurang
lebih 3 tahun sejak lulus kuliah.
“Saya kerja di majalah
fashion buat pria. Majalah khusus
untuk pria.” (Respon ke 47)
Penghasilan subjek dalam
sebulan sebesar Rp 2.500.000 per
bulan. Sebagian dari penghasilan
subjek digunakan untuk membayar
kostan dan keperluan hidup subjek.
“Gaji saya gak banyak.
Cuma 2,5 juta per bulan.” (Respon
ke 45)
Subjek memilih untuk tinggal
di rumah kost karena jarak tempuh
yang lumayan jauh antara rumah
tinggal orangtua subjek dengan
tempat kerja subjek.
“Sejak saya kerja, saya
memutuskan untuk ngekost aja.”
(Respon ke 65)
Sejak subjek mulai bekerja,
subjek tinggal di sebuah rumah kost
dan hanya seminggu sekali pulang ke
rumah orangtua subjek. Rumah
orangtua subjek di daerah Bekasi dan
letaknya bukan di sebuah komplek
perumahan tetapi di daerah
perkampungan yang kondisi
lingkungan sekitarnya sangat biasa-
biasa saja. Rumah orangtua subjek
juga tidak terlalu besar dan tidak
19
terlalu kecil. Lingkungan di rumah
orangtua subjek sangat kekeluargaan.
“Yaa. Begitulah, rumahnya
biasa aja. Tetangga saya juga
begitu, yang rumahnya besar banget
juga ga ada, semuanya standar kok.
Orang-orangnya juga pada ramah
semua, rata-rata sih ga ada yang
sombong.” (Respon ke 31)
Didalam keluarga subjek
ternyata tidak hanya subjek yang
gemar sekali berbelanja, ibu subjek
pun sangat gemar berbelanja. Subjek
mengakui, bahwa kecintaannya
terhadap belanja didapat dari ibunya.
Sejak kecil subjek sangat dekat
dengan ibunya, sehingga subjek
meniru kegemaran ibunya yaitu
berbelanja.
“Karena saya deket sekali
sama ibu saya sejak kecil, beliau
suka ajak saya kalau mau belanja.
Nah, dari situ saya jadi suka belanja
juga. Saya ngikutin beliau.” (Respon
ke 26)
2) Aspek-aspek perilaku
konsumtif
a) Pembelian impulsif
Subjek membeli suatu barang
atau produk kerena ketertarikannya
dan keinginannya untuk memiliki
barang tersebut secara tiba-tiba.
Selain karena untuk kebutuhan, yang
terpenting adalah subjek sangat
menyukai barang tersebut.
“Butuh juga sih. Tapi kadang
ya karena saya suka aja sama
barang itu.” (Respon ke 9)
Subjek juga tidak pernah
merencanakan terlebih dahulu
sebelum belanja, baik waktu untuk
berbelanja ataupun barang-
barangnya, karena setiap subjek
merinci barang-barang yang harus
dibeli, subjek tidak pernah
mendapatkannya.
“Gak pernah direncanain,
kalo direncanain suka gak
kesampaian.” (Respon ke 10)
b) Pembelian tidak rasional dan demi
status
Subjek merasa berbeda dari
orang kebanyakan jika subjek bisa
memiliki suatu barang yang
sebelumnya tidak banyak orang
pakai. Terkadang subjek berbelanja
hanya untuk menunjukkan bahwa
dirinya berbeda dari orang lain,
karena akan ada kepuasan dan rasa
20
bangga yang timbul di dalam diri
subjek.
“Pokoknya saya merasa
senang bisa terlihat berbeda dari
orang lain, saya juga merasa puas,
merasa lebih aja didepan orang.”
(Respon ke 6)
Subjek berbelanja karena
ingin menutupi gengsi diantara
teman-temannya, karena lingkungan
tempat subjek bekerja sangat
mendorong subjek untuk mengikuti
segala perubahan tren yang terjadi.
Gengsi yang lebih ditonjolkan ialah
terhadap barang-barang bermerk dan
mahal (brand-oriented). Subjek
sering membeli barang-barang
bermerk dengan harga yang mahal
dan bervariasi seperti barang-barang
merk Debenhams, Zara, Hammer,
Levi’s, Kickers dan lain sebagainya.
Barang bermerk yang dibeli subjek
berkisar seharga 300.00 rupiah
sampai 900.000 rupiah untuk satu
barang (item).
“Soalnya semua orang-orang
di lingkungan tempat saya bekerja,
semuanya brand-oriented. Membeli
sesuatu barang yang bermerk dan
mahal itu bisa dijadikan sebagai
posisi kita di situ.” (Respon ke 12)
c) Pembelian boros atau berlebihan
Subjek terkesan boros dalam
membelanjakan uangnya untuk
sesuatu yang tidak terlalu penting.
Subjek bisa saja membeli suatu
barang secara berlebihan dengan
jumlah yang banyak dan hanya
berdasarkan hasratnya akan barang
tersebut.
“Iya, kadang-kadang. Saya
suka beli satu item dalam jumlah
banyak, tapi sebenernya gak terlalu
butuh juga. Yang pasti saya suka
sama barangnya.” (Respon ke 7)
Pemborosan subjek terhadap
uangnya dilakukan selain untuk
memenuhi hasratnya akan berbelanja
dan juga untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari dan untuk menunjang
penampilannya.
“Karena ya balik lagi ke
kebutuhan yah? Dimana saya kerja
dan tinggal pasti menuntut saya
untuk jadi boros.” (Respon ke 8)
d) Pembelian diluar jangkauan
Jika subjek dihadapkan pada
saat subjek sangat menginginkan
suatu barang yang harganya mahal,
tetapi pada saat yang bersamaan
21
uang yang subjek miliki tidak
mencukupi atau kurang, maka subjek
rela untuk menghabiskan berapa pun
uang yang tersisa di atmnya. Apabila
uangnya juga tidak cukup, subjek
akan meminjam uang kepada
temannya untuk membeli barang
yang diinginkannya tersebut. Hal ini
sering sekali terjadi pada subjek.
“Ya, saya rela abisin uang di
atm saya. Tapi kalo emang bener-
bener pas-pasan uang saya, terpaksa
harus pinjam sama teman buat
nambahin.” (Respon ke 5)
3) Penyebab subjek menjadi
konsumtif
a) Modelling orangtua
Di dalam keluarga, hanya
subjek dan ibunya yang gemar
berbelanja. Ibu subjek juga
berperilaku sama, yaitu sangat
komsumtif terhadap barang-barang
bermerk. Subjek mengaku, bahwa
dari ibunya lah subjek menjadi
konsumtif. Awalnya karena sejak
kecil subjek sangat dekat dengan
ibunya, dan ibunya sering membawa
subjek kemanapun, termasuk
berbelanja. Ibunya pula yang
mengenalkan subjek pada barang-
barang bagus dan bermerk walaupun
kehidupan dan kondisi keuangan
keluarga subjek biasa-biasa saja.
“Sejak kecil yang saya tahu
ibu saya memang sudah konsumtif,
suka banget belanja. Walaupun
cuma seorang ibu rumah tangga,
tapi gayanya tetep up to date.”
(Respon ke 26)
b) Faktor lingkungan
Saat ini subjek bekerja pada
sebuah perusahaan media terbesar di
Jakarta yang memiliki banyak anak
perusahaan salah satunya adalah
tempat subjek bekerja, yaitu sebuah
majalah fashion khusus untuk pria.
Kantornya berada ditengah kota dan
juga dikelilingi banyak kantor-kantor
lain. Subjek berada di lingkungan
pekerjaan yang sangat menuntut
subjek untuk selalu berpenampilan
baik, bagus, dan menarik. Hal ini lah
yang membuat subjek semakin
konsumtif, terlebih lagi dengan
barang-barang yang bagus dan
bernilai mahal. Selain karena ingin
menjaga dan mengikuti image
perusahaan tempat subjek bekerja,
semua karyawan dan teman-teman
subjek terlihat sangat fashionable
22
dan up to date terhadap
perkembangan fashion yang terjadi.
“Image dari perusahaannya
udah fashionable dan stylish,
otomatis kita semua pun terbawa
untu seperti itu. Temen-temen saya
into fashion semua lho.” (Respon ke
21)
c) Tuntutan pekerjaan
Subjek berprofesi sebagai
wartawan sebuah majalah fashion
khusus untuk pria. Dalam hal ini
subjek sangat dituntut untu selalu
berpenampilan sebaik dan semenarik
mungkin. Subjek selalu menjaga
penampilannya agar selalu terlihat
trendy, modern, dan modis. Hal ini
dilakukan untuk menunjang
profesinya yang selalu mendatangi
acara-acara fashion dan bertemu
dengan banyak orang dari kalangan
menengah ke atas.
“Biar gak dibilang jadul lah,
dan mau gak mau saya selalu
menjaga penampilan saya supaya
terlihat menarik terus. Namanya
juga wartawan fashion.” (Respon ke
23)
3. Significant others (SO)
a. Identitas significant others
Nama : D
Jenis kelamin : Wanita
Usia : 25 Tahun
Pendidikan : S1 Public Relation
Pekerjaan : Account Executive
Hubungan dengan subjek :
Sahabat dekat
b. Pelaksanaan wawancara
Hari / Tanggal : Minggu, 22
November 2009
Waktu : Pukul 15.00
– 17.00 WIB
Tempat : Di kostan
subjek
c. Hasil Observasi
1) Observasi terhadap setting
Wawancara dilakukan di
kostan subjek pada pukul 15.00 –
17.00 WIB. Pada saat wawancara
berlangsung subjek sedang
mengerjakan pekerjaannya yang
belum selesai di kamar tidurnya.
Wawancara dilakukan di ruang tamu
kostan subjek dan berlangsung
sangat nyaman. SO tidak sungkan
23
terhadap peneliti dan bisa menjawab
bahkan menceritakan segala sesuatu
yang diketahui oleh SO terhadap
subjek.
2) Observasi terhadap significant
others (SO)
Pada saat wawancara
berlangsung, SO mengenakan
pakaian casual yaitu kaos berwarna
hitam dengan dipadukan celana jeans
pendek selutut. SO adalah sahabat
dekat subjek sejak masih di
perkuliahan. Hubungan mereka
sangat dekat sehingga subjek sangat
nyaman untuk bercerita tentang
apapun kepada SO. Saat ini SO
bekerja sebagai account executive di
sebuah perusahaan swata yang
letaknya tidak jauh dari tempat
subjek bekerja. Jadi walaupun SO
dan subjek sudah tidak satu kantor,
tetapi masih tetap bersahabat dan
dekat.
d. Hasil wawancara
1) Latar belakang subjek
Hubungan SO dan subjek
adalah sahabat dekat sejak masih di
perkuliahan. SO menganggap subjek
adalah seorang yang sangat
menyenangkan, baik dan keren
dalam berpenampilan. SO sangat
nyaman bersahabat dengan subjek
begitu pula sebaliknya. SO dan
subjek saling berbagi cerita
mengenai masalah apapun, dari
urusan pekerjaan sampai tentang
fashion.
“Kita sahabatan udah lama.
Saling berbagi cerita, mau tentang
kerjaan atau ngomongin fashion.”
(Respon ke 19)
Subjek adalah anak pertama
dari tiga bersaudara. Kedua adiknya
ialah perempuan dan masih duduk di
bangku sekolah. Hubungan subjek
dengan adiknya sangat dekat.
“Y tiga bersaudara, adiknya
dua cewek semua.” (Respon ke 43)
Subjek sangat dekat sekali
dengan ibunya. Sejak kecil subjek
selalu ikut dengan ibunya kalau
ibunya sedang berbelanja.
“Menurut cerita Y, hubungan
mereka sangat dekat dan akrab. Y
dari kecil deket sama ibunya, suka
ikutan belanja.” (Respon ke 27)
Saat ini subjek bekerja di
salah satu majalah terkemuka di
Jakarta. Subjek bekerja sudah 3
tahun sejak subjek lulus kuliah.
24
“Kerjanya di majalah
fashion.” (Respon ke 39)
Subjek memilih untuk tinggal
di rumah kost karena jarak tempuh
yang lumayan jauh antara rumah
tinggal orangtua subjek dengan
tempat kerja subjek.
“Y ngekost di deket
kantornya sejak mulai kerja.”
(Respon ke 54)
Hubungan significant other
(SO) dengan subjek adalah sahabat
dekat. Subjek sering sekali mengajak
SO untuk pergi berbelanja atau
hanya sekedar bertemu dengan
teman-temannya di cafe dan klab.
“Y sering ajak saya belanja.
Kalo lagi ngumpul sama temennya
juga kadang suka ajak saya.”
(Respon ke 20)
2) Aspek-aspek perilaku
konsumtif
a) Pembelian impulsif
Subjek membeli suatu barang
atau produk kerena ketertarikannya
dan keinginannya untuk memiliki
barang tersebut secara tiba-tiba.
Namun subjek juga mengatakan
bahwa subjek membutuhkan barang
yang dibelinya tersebut.
“Hal pertama yang membuat
Y beli suatu barang karena dia suka
atau tertarik karena corak ataupun
motif sama barang itu.” (Respon ke
11)
Setiap kali berbelanja, subjek
tidak pernah merencanakan
sebelumnya untuk membeli suatu
barang, karena setiap direncanakan
subjek tidak pernah mendapatkan
barang yang dicarinya.
“Gak pernah sih kayaknya.
Pernah Y bilang kalo belanjanya
direncanain mau beli ini itu, tapi
akhirnya gak pernah dapet.”
(Respon ke 10)
b) Pembelian tidak rasional dan demi
status
Subjek adalah seseorang yang
sangat menyukai barang-barang
bermerk dan mahal. Setiap
berbelanja, subjek selalu membeli
barang-barang yang bermerk dan
mahal. Subjek merasa sangat bangga
jika memakai barang-barang yang
bermerk.
“Y suka banget beli barang
bermerk dan mahal, sepertinya ada
perasaan bangga pake barang yang
ada merknya.” (Respon ke 5)
25
Subjek merasa berbeda dari
orang kebanyakan jika subjek bisa
memiliki suatu barang yang
sebelumnya tidak banyak orang
pakai. Terkadang subjek berbelanja
hanya untuk menunjukkan bahwa
dirinya berbeda dari orang lain,
karena akan ada kepuasan dan rasa
bangga yang timbul didiri subjek.
“Y itu senang kalo dia
terlihat beda dari orang lain,
kayaknya ada perasaan bangga dan
puas di dalam dirinya. Y juga
bangga kalo ada orang yang puji
dia.” (Respon ke 7)
Terkadang subjek berbelanja
juga karena ingin menutupi
gengsinya diantara teman-teman
subjek. Lingkungan tempat subjek
bekerja menuntut subjek untuk selalu
mengikuti segala perubahan tren
yang terjadi. Biasanya tren terhadap
barang-barang bagus, bermerk, dan
mahal yang selalu diikuti subjek.
“Iya kadang-kadang.”
“Y suka iri kalo ada
temennya yang punya barang tapi
dia gak pernah punya, dia rela lho
cari barang yang lebih bagus atau
bahkan sama cuma kerena gengsinya
sama temennya itu.” (Respon ke 6)
c) Pembelian boros atau berlebihan
Subjek adalah seseorang yang
boros. Subjek bisa saja membeli
barang yang mahal sekalipun
uangnya akan habis hanya untuk
memamerkan bahwa dirinya mampu
membeli barang tersebut.
“Y bisa lho beli satu barang
mahal, bis itu uangnya habis.”
“Itu karena dia gak mau
kalah sama temen-temennya menurut
saya. Boros sih udah pasti.” (Respon
ke 9)
Subjek juga pernah membeli
barang yang tidak terlalu penting
untuknya dalam jumlah yang banyak.
Seperti pada saat observasi
berlangsung, subjek membeli 4
pasang tali sepatu yang bermacam-
macam warna dan motifnya hanya
karena ketertarikan dan keinginannya
semata.
“Kayak waktu kita belanja
kemaren aja kan, dia beli tali sepatu
sebanyak itu, padahal mah dipake
juga engga tuh kayaknya.” (Respon
ke 8)
d) Pembelian diluar jangkauan
26
Jika subjek dihadapkan pada
saat subjek sangat menginginkan
suatu barang yang harganya mahal,
tetapi pada saat yang bersamaan
uang yang subjek miliki tidak
mencukupi, maka subjek rela untuk
menghabiskan berapa pun uang yang
tersisa di atmnya. Apabila uangnya
juga tidak cukup, subjek akan
meminjam uang kepada temannya
untuk membeli barang yang
diinginkannya.
“Y sering banget uangnya
suka kurang kalo belanja.”
“Saking keseringannya
belanja ya begitu deh, abis
uangnya.”
“Biasanya sih dia pinjem
sama temennya dulu, sama saya juga
pernah.” (Respon ke 4)
3) Penyebab subjek menjadi
konsumtif
a) Modelling orangtua
Di dalam keluarga, hanya
subjek dan ibunya yang memang
gemar berbelanja. Ibu subjek juga
berperilaku sama, yaitu sangat
komsumtif terhadap barang-barang
untuk menjaga penampilan. Subjek
mengaku, bahwa dari ibunya lah
subjek menjadi konsumtif. Awalnya
karena sejak kecil subjek sangat
dekat dengan ibunya, dan ibunya
sering membawa subjek kemana
ibunya pergi termasuk pada saat
berbelanja.
“Setau saya sih, Y itu
mencontoh ibunya, yang memang
gemar belanja dari dulu. Y lebih
deket sama ibunya, jadi kemana-
mana ya sama ibunya dari kecil.
Mungkin dikenalin sama belanja
juga dari ibunya.” (Respon ke 14)
b) Faktor lingkungan
Saat ini subjek bekerja pada
sebuah perusahaan media terbesar di
Jakarta yang memiliki banyak anak
perusahaan salah satunya adalah
tempat subjek bekerja, yaitu sebuah
majalah fashion khusus untuk pria.
Kantornya berada ditengah kota dan
juga dikelilingi banyak kantor-kantor
lain. Subjek berada di lingkungan
pekerjaan yang sangat menuntut
subjek untuk selalu berpenampilan
baik, bagus, dan menarik. Hal ini lah
yang membuat subjek semakin
konsumtif, terlebih lagi dengan
barang-barang yang bagus dan
bernilai mahal. Selain karena ingin
27
menjaga dan mengikuti image
perusahaan tempat subjek bekerja,
semua karyawan dan teman-teman
subjek terlihat sangat fashionable
dan up to date terhadap
perkembangan fashion yang terjadi.
“Menurut saya lingkungan
kantornya bener-bener
mempengaruhi Y buat tambah makin
konsumtif yah. Orang-orangnya aja
begitu, fashionista semua, dan saya
tau image kantornya dia juga begitu.
Jadi menurut saya ya mau gak mau Y
pasti akan seperti itu.” (Respon ke
30)
c) Tuntutan pekerjaan
Pekerjaan sebagai seorang
wartawan sebuah majalah fashion
sangat menuntut subjek untuk
berperilaku konsumtif. Perilaku
konsumtif disini ialah konsumtif
terhadap barang-barang untuk
menunjang penampilan dan
konsuntif terhadap gaya hidup kaum
hedonis. Subjek sangat
memperhatikan penampilannya agar
tidak terlihat membosankan dan
selalu up to date, karena subjek
sering sekali menghadiri undangan
ataupun liputan tentang fashion.
“Menurut saya karena
tuntutan profesinya dia jadi
konsumtif. Kan mau gak mau dia
harus tampil fashionable karena
ketemu klien terus kan. Apalagi
kliennya high class semua.” (Respon
ke 45)
B. Analisis Penelitian
1. Gambaran subjek
2. Rangkuman biografi subjek
3. Triangulasi data
a. latar belakang subjek
Dari uraian diatas
dapat ditarik kesimpulan
bahwa terdapat kesesuaian
antara yang dikatakan subjek
dengan yang dikatakan oleh
significant others (SO) yaitu
pada hal subjek adalah anak
pertama dari tiga bersaudara,
subjek tinggal disebuah
rumah kost yang letaknya
dekat dengan kantornya, dan
hubungan subjek dengan
orangtua dan kedua adiknya
sangat baik dan juga sangat
dekat, namun subjek lebih
dekat dengan ibunya daripada
ayahnya. Sujek juga
menjadikan orangtuanya
28
yaitu ibunya sebagai role-
model untuk berperilaku
konsumtif. hubungan subjek
dengan ibunya memang
sangat dekat sejak subjek
kecil. Subjek sering diajak
ibunya pada saat berbelanja.
Ibunya juga mengenalkan
subjek pada barang-barang
bagus dan mahal sejak subjek
kecil. Maka dari itu subjek
jadi suka dengan barang-
barang bagus, mahal dan
bermerk dan suka sekali
berbelanja.
Selain subjek adalah
seorang pria metroseksual
yang memang sangat
memperhatikan
penampilannya, pekerjaannya
sebagai seorang wartawan
majalah fashion terkemuka di
Jakarta pun membuatnya
semakin konsumtif terhadap
segala jenis barang-barang
atau produk untuk menunjang
penampilannya di depan
umum dan konsumtif
terhadap akses untuk kaum
hedonis seperti pergi ke cafe
atau klab hanya untuk
bergaul dengan teman-
temannya.
Tujuan subjek
menjadi konsumtif adalah
karena gaya hidup subjek
yang memang sudah
dijalaninya sejak subjek
kuliah, sejak subjek sudah
mempunyai uang jajan yang
lumayan banyak. Gaya hidup
subjek sebagai pria
metroseksual membuat
subjek mampu melakukan
pleasure shopping
dibandingkan dengan
purpose shopping. Ada tiga
hal yang membuat subjek
menjadi konsumtif yaitu
karena kebutuhan, tuntutan
pekerjaannya sebagai
wartawan majalah fashion
dan juga karena gaya
hidupnya sebagai seorang
pria metroseksual.
b. Aspek-aspek perilaku
konsumtif
Keterangan atau
pernyataan subjek dan
significant others (SO)
tentang aspek-aspek perilaku
29
konsumtif sesuai. Menurut
significant others (SO),
subjek sering sekali membeli
suatu barang atau produk
hanya berdasarkan
keinginannya semata. Subjek
adalah seseorang yang mudah
tertarik terhadap barang yang
bagus dan menarik. Subjek
pernah mengatakan bahwa
subjek pernah
membelanjakan uangnya
untuk suatu barang dalam
jumlah banyak dan setelah itu
subjek agak sedikit menyesal
dengan apa yang telah
dibelinya. Akhirnya barang
tersebut jarang sekali dipakai.
Menurut significant
others, subjek tidak pernah
merencanakan jika ingin
berbelanja. Subjek juga tidak
pernah merinci terhadap
barang-barang yang akan
dibelinya, karena jika subjek
merencanakan akan membeli
atau mencari suatu barang
tidak pernah tercapai. Untuk
waktu berbelanja juga tidak
pernah direncanakan oleh
subjek. Biasanya jika subjek
ada waktu luang, selalu
disempatkan mengunjungi
mall untuk melihat-lihat.
Pekerjaan subjek sebagai
wartawan fashion pun mebuat
subjek sering mengunjungi
mall atau butik-butik terkenal
dan mahal untuk meliput
(liputan) acara atau event
tentang fashion yang sedang
diselenggarakan. Oleh karena
itu subjek suka
menyempatkan untuk
berbelanja setelah selesai
liputan.
Subjek membeli
barang berdasarkan
gengsinya semata. Membeli
suatu barang yang mahal dan
bermerk membuat subjek
tampil berbeda dan ada
perasaan bangga dan puas di
dalam diri subjek. Subjek
sering sekali membeli suatu
barang hanya karena tidak
ingin kalah saing dengan
teman-teman atau orang
disekitarnya, karena subjek
beranggapan bahwa jika
subjek bisa membeli barang
yang mahal dan mempunyai
30
merk terkenal, maka hal itu
membuat subjek memiliki
posisi di dalam kelompok
tersebut (orang-orang yang
berada dilingkungan subjek
bekerja).
Subjek termasuk
orang yang lumayan boros
dalam membelanjakan
uangnya, maka dari itu
sampai saat ini subjek belum
juga mempunyai tabungan
untuk hari depannya. Subjek
rela menghabiskan uangnya
untuk sesuatu yang sangat
disukainya dan tidak terlalu
memikirkan bagaimana
selanjutnya. Subjek juga
pernah membeli barang
secara berlebihan.
Dalam berbelanja,
subjek sangat menyukai
barang-barang yang bermerk
dan otomatis harganya pun
mahal. Sering sekali subjek
membeli barang yang mahal
sehingga menghabiskan
uangnya. Tidak kalah sering
juga, subjek meminjam uang
kepada teman-temannya
untuk membeli barang yang
diinginkannya jika uangnya
sudah habis terkuras, alhasil
subjek sering berhutang
hanya untuk memenuhi
hasratnya berbelanja. Tetapi
sejauh ini, subjek
menjelaskan tidak pernah ada
kesulitan untuk membayar
hutangnya kepada teman-
teman. Menurut significant
others (SO), subjek sering
meminjam uang kepada
teman-temannya bahkan
meminjam kepada SO.
Biasanya subjek meminjam
uang untuk berbelanja atau
untuk kebutuhannya sehari-
hari di kostan. Tetapi subjek
tidak pernah meminjam
kepada orangtua ataupun
saudara-saudaranya.
C. Hasil dan Pembahasan
1. Bagaimana gambaran
perilaku konsumtif subjek
terhadap fashion sebagai
pria metroseksual ?
Subjek adalah seorang
pria metroseksual yang
memang sangat trendi dan
sangat memperhatikan
31
penampilan diri agar selalu
terlihat bagus dan menarik.
Hal ini membuat subjek
menjadi konsumtif terhadap
segala macam barang atau
produk untuk menunjang dan
memperindah penampilannya
didepan umum. Menurut
Assuari (1987) tingkat
keinginan seseorang meliputi
tingkat yang paling tinggi
dalam pembelian. Keinginan
untuk mengkonsumsi barang
bisa terjadi karena pembeli
ingin tampak berbeda dari
yang lain (distinctiveness),
kebanggaan karena
penampilan pribadinya (pride
of personal appearance), dan
pencapaian status sosial.
Perilaku konsumtif subjek
sangat didorong karena
keinginannya untuk tampil
berbeda dari orang lain atau
orang disekelilingnya dan
juga karena pencapaian status
sosial dimana subjek sudah
mendapatkan pekerjaan dan
memiliki uang hasil kerja
keras selama bekerja. Subjek
sangat suka berbelanja
barang-barang seperti baju,
kemeja, sepatu, aksesoris dan
sebagainya untuk menunjang
penampilan subjek didepan
umum. Subjek sangat
menyukai barang-barang
bagus dengan merk ternama
dan harganya mahal.
Perilaku konsumtif
pada pria metroseksual nyaris
sama dengan yang dilakukan
oleh kaum wanita.
Penggunaan kosmetik,
pakaian, segala aksesoris, dan
kebutuhan perawatan diri
menjadi hal yang lazim
dilakukan oleh mereka.
Banyak produk yang
dahulunya menjadi khas
konsumsi wanita kini menjadi
bagian dari produk yang
dikonsumsi oleh pria
metroseksual misalnya facial
foam, obat-obat khusus untuk
membersihkan wajah dan
sebagainya. Dalam hal ini,
subjek juga melakukan
perawatan wajah ke dokter
kecantikan yang ada di Skin
Care Centre, yang biasanya
dikunjungi oleh kaum wanita.
32
Subjek melakukan perawatan
wajah dikarenakan banyak
sekali noda bekas jerawat
yang sejak dulu sulit untuk
hilang. Subjek memutuskan
untuk melakukan perawatan
di dokter kecantikan karena
rekomendasi dari beberapa
teman wanitanya.
Perilaku konsumtif
subjek tidak hanya kepada
berbelanja barang-barang
mahal dan perawatan dokter
kecantikan wajah tetapi juga
kepada interaksi dari cafe ke
cafe (social butterflies).
Subjek sering sekali
meluangkan waktunya untuk
berkumpul bersama teman-
temannya di sebuah cafe atau
coffee shop hanya untuk
mengobrol ataupun bertemu
klien. Hal ini adalah bagian
dari gaya hidup subjek
sebagai seorang pria
metroseksual yang konsumtif.
Berdasarkan data yang
telah dikumpulkan peneliti
dari hasil wawancara dengan
subjek dan significant others
(SO) serta observasi yang
dilakukan peneliti selama
wawancara, maka
pembahasan dengan teori dari
kasus yang membahas aspek-
aspek perilaku konsumitf
terdiri atas, yaitu :
a. Pembelian Impulsif
Subjek sering
membeli barang secara tiba-
tiba, hanya karena ingin
tampil berbeda dan tidak
ingin kalah saing dengan
teman-temannya. Subjek
sering membeli barang yang
tidak terlalu penting dan
hanya berdasarkan
ketertarikannya terhadap
barang tersebut, entah dari
corak ataupun dari motif
barang tersebut. Hal ini
diungkapkan Lina & Rasyid
(1997) yang mengartikan
pembelian impulsif adalah
pembelian yang didasarkan
pada dorongan dalam diri
individu yang muncul tiba-
tiba, maka dari itu subjek
membeli suatu barang
berdasarkan dorongan yang
muncul secara tiba-tiba.
33
Subjek membeli
barang tanpa direncanakan
terlebih dahulu baik terhadap
rincian barang-barang yang
ingin dibeli maupun
waktunya untuk berbelanja.
Setiap ada waktu luang
subjek selalu menyempatkan
pergi ke mall untuk
berbelanja atau bahkan hanya
sekedar melihat-lihat saja.
Setiap berbelanja subjek tidak
pernah niat untuk membeli
suatu barang terlebih dahulu,
namun seringnya subjek
membeli.
Subjek juga sangat
suka membeli barang
keluaran terbaru dan
bermerk. Biasanya subjek
membeli barang tersebut
karena keinginan semata
akibat terpengaruh oleh
teman-temannya yang lebih
dulu mempunyai barang
keluaran terbaru tersebut.
b. Pembelian tidak rasional
dan demi status
Subjek membeli
barang atau produk karena
gengsi dan tidak ingin kalah
saing dengan teman-teman di
lingkungan kantornya. Subjek
sering sekali membeli
barang-barang mahal dan
bermerk hanya karena
gengsinya untuk
memperlihatkan bahwa
dirinya berbeda dan
dikesankan sebagai seseorang
yang modern. Menurut
Fromm (dalam Wibowo,
2004), aspek mengkonsumsi
barang-barang yang tidak
produktif adalah membeli
barang hanya untuk suatu
kebanggaan dan mendapat
penghargaan dari orang lain.
Faktor lingkungan
sangat berpengaruh terhadap
perilaku konsumtif subjek.
Dalam penelitian ini, subjek
membenarkan bahwa
lingkungan pekerjaannya lah
yang sangat berpengaruh
terhadap perilaku
konsumtifnya, karena jika
subjek bisa membeli dan
memiliki suatu barang yang
bagus, bermerk dan mahal
maka bisa dijadikan sebagai
34
simbol keberadaan atau posisi
subjek di lingkungan
pekerjaannya. Hal ini untuk
menutupi gengsi terhadap
orang-orang yang berada di
lingkungan pekerjaannya
yang bersifat brand-oriented
(orientasi terhadap barang
bermerk) dan subjek akan
merasa puas, bangga dan
terlihat berbeda dari orang
lain. Maka dari itu, Lina &
Rasyid (1997)
mengungkapkan bahwa
perilaku seperti itu masuk
kedalam aspek pembelian
tidak rasional yaitu,
pembelian yang dilakukan
bukan karena kebutuhan,
tetapi karena gengsi agar
dapat dikesankan sebagai
orang yang modern.
Menurut Assuari
(1987), tingkat keinginan
seseorang meliputi tingkat
yang paling tinggi dalam
pembelian. Keinginan untuk
mengkonsumsi barang bisa
terjadi karena pembeli ingin
tampak berbeda dari yang
lain (distinctiveness),
kebanggaan terhadap
penampilan pribadinya (pride
of personal appearance), dan
pencapaian status sosial.
Fromm (1998) juga
mengatakan bahwa keinginan
untuk mengkonsumsi sesuatu
secara berlebihan dapat
membuat seseorang menjadi
konsumtif. Jika manusia
menjadi konsumtif, tindakan
konsumsinya menjadi
kompulsif dan tidak rasional.
c. Pembelian boros atau
berlebihan
Dalam penelitian ini,
bisa dikatakan subjek adalah
seseorang yang sangat boros
dalam membelanjakan
uangnya. Subjek bisa
membeli apa saja yang
diinginkannya tanpa
mempedulikan harga dan
kegunaannya. Subjek juga
suka berlebihan dalam
berbelanja. Membeli barang
lebih dari satu akan membuat
subjek merasa puas. Lina &
Rasyid (1997) mengatakan
bahwa aspek pembelian boros
35
atau berlebihan adalah
pembelian suatu produk
secara berlebihan yang
dilakukan oleh konsumen dan
hanya untuk melepas waktu
luang yang dilakukan oleh
konsumen. Subjek juga sering
mengisi waktu luangnya
untuk jalan-jalan di mall dan
berbelanja.
Intensitas subjek
dalam berbelanja juga cukup
sering, hal inilah yang
membuat subjek terkesan
boros dan berlebihan dalam
berbelanja. Subjek suka
membeli barang-barang
seperti baju, kaos, celana
jeans, kemeja, dan semua
yang berhubungan untuk
menunjang penampilan diri
sebagai seorang pria
metroseksual dan wartawan
dari majalah fashion
terkemuka di Jakarta. Subjek
juga sangat suka mengkoleksi
sepatu. Sampai saat ini sudah
banyak sepatu yang dikoleksi
sejak subjek mulai hobi
berbelanja. Hal ini
diungkapkan pula oleh Lina
& rasyid (1997) yaitu
perilaku konsumtif cenderung
bersifat boros dengan
membelanjakan suatu barang
bukan semata-mata karena
kebutuhan, namun
mempunyai orientasi dasar
yang lain, tidak melihat pada
segi kegunaan dan manfaat
barang tersebut, namun lebih
didorong oleh nafsu ingin
membelanjakan tanpa batasan
dan tujuan yang jelas.
Jones (2003) juga
mengatakan bahwa pria
metroseksual akan
melakukan, membeli, dan
menikmati apa saja yang
mereka inginkan.
d. Pembelian diluar
jangkauan
Subjek dalam
penelitian ini sering sekali
dihadapkan pada situasi
dimana subjek sangat
menginginkan membeli suatu
barang tetapi uang yang
dimiliki subjek tidak
mencukupi atau sudah habis
karena sudah membeli
36
barang-barang yang lain. Jika
hal ini terjadi, yang subjek
lakukan adalah meminjam
uang kepada teman-teman
subjek untuk membeli barang
yang diinginkannya tersebut,
atau subjek rela
menghabiskan berapapun
uang yang tersisa di mesin
anjungan tunai mandirinya
(ATM).
Fromm (dalam
Wibowo, 2004) mengatakan
bahwa seseorang membeli
produk atau barang yang
harganya mahal walaupun
kondisi keuangan terbatas
termasuk kedalam aspek
pembelian diluar jangkauan.
Dalam penelitian ini, subjek
sampai rela berhutang kepada
temannya karena
keinginannya terhadap suatu
barang.
2. Mengapa subjek yang
seorang pria metroseksual
berperilaku konsumtif
meskipun penghasilannya
pas-pasan ?
Dalam penelitian ini,
subjek adalah seorang pria
metroseksual yang sangat
memperhatikan penampilan
diri tetapi memiliki
penghasilan yang tidak terlalu
besar. Bisa dibilang subjek
penelitian ini memiliki
penghasilan yang pas-pasan.
Subjek adalah seorang
wartawan sebuah majalah
fashion khusus untuk pria
terkemuka di Jakarta.
Perusahaan yang menaungi
majalah tempat subjek
bekerja adalah sebuah
perusahaan yang sudah
memiliki nama besar. Image
dari perusahaan itu tentunya
lain dari perusahaan majalah
lainnya. Semua karyawan
dari seluruh cabang majalah
di perusahaan tempat subjek
bekerja adalah orang-orang
yang memang juga sangat
memperhatikan penampilan
diri dan memiliki sifat brand-
oriented. Maka dari itu,
image yang ditampilkan ialah
trendy (fashionable) dan
stylish. Hal ini sangat
37
mendorong subjek untuk
lebih memperhatikan
penampilan dirinya dan juga
mendorongnya untuk menjadi
semakin konsumtif terhadap
barang-barang bermerk.
Kedua sifat inilah yang
membuat subjek tampil
sebagai seorang pria
metroseksual, dimana
menurut Faraa 2005 (dalam
www.xfresh.com) sifat seorang
pria metroseksual antara lain
adalah charming, romantis,
mempunyai cita rasa yang
tinggi dalam fashion, sensitif,
dan peka terhadap keadaan
sekitar.
Pria metroseksual
dikatakan sebagai individu
yang sangat mencintai diri
sendiri dan tergolong narsis.
Jones (2003) juga
mengatakan bahwa pria
metroseksual akan
melakukan, membeli, dan
menikmati apa saja yang
mereka inginkan. Kecintaan
terhadap diri sendiri memberi
dampak yang berbeda
terhadap hal-hal yang
mengikuti dibelakang, seperti
perilaku konsumtif. Pada
tahap selanjutnya bahwa
perilaku konsumtif mereka
juga menjadi berbeda dari
golongan orang kebanyakan.
Ada beberapa faktor
yang menjadi penyebab
subjek berperilaku konsumtif,
diantaranya yaitu modelling
orangtua, faktor lingkungan,
serta tuntutan pekerjaan dan
gaya hidup subjek. Berikut
penjelasan dari masing-
masing faktor :
a. Modelling orangtua
Subjek berasal dari
keluarga yang biasa-biasa
saja, namun tidak pernah
kekurangan. Hal ini
dikarenakan ayah subjek
masih bekerja dan masih
mampu menghidupi segala
kebutuhan subjek dan
keluarga.
Saat ini ayah subjek
bekerja sebagai pegawai
negeri sipil dan ibu subjek
hanya sebagai ibu rumah
tangga. Di dalam keluarga
ternyata bukan hanya subjek
38
yang konsumtif terhadap
barang-barang untuk
menunjang penampilan, ibu
subjek juga sangat konsumtif.
Subjek mengakui bahwa
kebiasaan yang sudah
menjadi gaya hidupnya ini
diturunkan oleh ibunya,
karena sejak kecil subjek
selalu ikut kemana saja
ibunya pergi berbelanja.
Subjek berpendapat
bahwa kecintaannya terhadap
barang-barang bagus
diajarkan oleh ibu subjek. Ibu
subjek sangat suka membeli
barang-barang bagus
terutama yang bermerk. Hal
ini diturunkan kepada subjek
yang sampai saat ini sangat
menyukai barang bermerk.
Walaupun kondisi
keuangan keluarga subjek
biasa-biasa saja, namun
orangtua subjek tidak pernah
menemukan kesulitan yang
besar mengenai keuangan, ini
dikarenakan ayah subjek
pintar sekali menabung.
Namun hal ini berbanding
terbalik dengan subjek dan
ibu subjek yang sama-sama
tidak bisa menabung.
Sampai saat ini,
subjek mengikuti jejak
ibunya yang akhirnya
menjadi gemar berbelanja.
Subjek bisa berbelanja apa
saja yang diinginkannya
tanpa memikirkan kondisi
keuangannya dikemudian
hari. Hal ini menyebabkan
subjek suka berhutang kepada
teman-temannya.
Waktu subjek kuliah,
subjek juga sudah mulai suka
belanja, namum pada saat itu
uang jajan subjek tidak
terlalu besar tetapi cukup
untuk membeli produk atau
barang-barang pria pada saat
itu. Sejak subjek mulai
bekerja, subjek dengan
leluasa membelanjakan
uangnya untuk barang-barang
tersebut karena sudah punya
penghasilan sendiri.
Sejak subjek bekerja,
subjek memutuskan untuk
tinggal terpisah dari
orangtuanya, karena alasan
jarak tempuh yang cukup
39
jauh untuk mencapai tempat
kerja. Penghasilan subjek
sebagai seorang wartawan
tidaklah besar. Semua
penghasilannya dibagi dua
yaitu untuk biaya kost, makan
dan hidupnya sehari, dan juga
untuk berbelanja. Menurut
peneliti, hal ini sangat
berbanding terbalik, karena
penghasilan subjek yang
tidak terlalu besar harus
menutupi biaya
pengeluarannya yang
lumayan besar atau banyak.
Oleh karena itu, tidak jarang
pula akhirnya subjek
memutuskan untuk
meminjam uang kepada
teman-temannya.
b. Faktor lingkungan
Faktor lingkungan
tempat subjek bekerja dan
juga faktor tuntutan pekerjaan
sebagai seorang wartawan
majalah fashion sangat
mendorong subjek untuk
berperilaku konsumtif apalagi
terhadap barang-barang
bermerk dengan harga yang
mahal. Subjek berpendapat
jika bisa membeli barang
dengan merk ternama dan
harga yang mahal, hal itu
akan menentukan posisi
subjek di dalam lingkungan
pekerjaan yang memang
memiliki sifat brand-oriented
(berorientasi terhadap merk).
Hal inilah yang mendorong
subjek berperilaku konsumtif
meskipun penghasilan pas-
pasan.
Lingkungan tempat
subjek bekerja sangat
mendorong dan mendukung
subjek untuk menjadi
semakin konsumtif. Hal ini
dikarenakan orang-orang
disekitar subjek juga sangat
trendy dan sangat menjaga
penampilannya agar tetap
terlihat menarik, dan juga
karena menjaga image
perusahaan subjek yang
memang semua karyawannya
berpenampilan trendy
(fashionable) dan stylish.
Oleh karena itu, naluri subjek
sebagai pria metroseksual
yang selalu berpenampilan
40
trendi semakin menjadi dan
juga konsumtif sudah
menjadi gaya hidup dan hobi
subjek.
Subjek mampu
membelanjakan sisa uangnya
yang tersisa untuk suatu
barang yang diinginkan
dengan harga yang relatif
mahal. Jika pada saat
berbelanja uang subjek
kurang, maka subjek tidak
sungkan untuk meminjam
uang kepada teman untuk
menambahi uangnya yang
kurang dan membeli produk
atau barang yang sangat
diinginkannya tersebut.
Subjek rela mebelanjakan
uangnya dengan jumlah yang
banyak tanpa peduli
bagaimana selanjutnya.
Ternyata menurut pengakuan
subjek, apabila subjek
meminjam uang kepada
temannya tidak hanya untuk
berbelanja, tetapi kadang-
kadang juga untuk biaya
hidup subjek sehari-hari
(untuk makan, bayar kostan,
laundy, dan sebagainya) yang
tinggal jauh dari orangtua.
c. Tuntutan pekerjaan dan
gaya hidup
Pria metroseksual
kebanyakan adalah eksekutif
muda. Masalah penampilan
jelas terlihat dari pakaian
dengan segala atributnya.
Faktor yang relevan dengan
sisi penampilan juga
ditambah dengan perawatan
tubuh mulai dari salon, spa,
dan klub fitnes.
Dalam hal ini subjek
bukanlah seorang eksekutif
muda yang berpenghasilan
sangat besar, tetapi subjek
adalah seorang pria
metroseksual dan hanya
seorang wartawan majalah
fashion untuk pria dengan
penghasilan yang tidak begitu
besar, bisa dibilang
kehidupan subjek pas-pasan.
Penampilan subjek
sangat berbeda dibandingkan
dengan pria-pria kebanyakan.
Mulai dari atas kepala sampai
ujung kaki penampilan subjek
41
bisa dibilang sempurna,
trendy, dan menarik. Selain
penampilan, subjek juga
sangat memperhatikan
kesehatan untuk tubuhnya.
Subjek mengikuti fitnes yang
rutin dilakukan satu minggu
sekali dan perawatan wajah
pada dokter kecantikan untuk
membuat wajahnya lebih
bersih dan lebih putih. Hal ini
dikarenakan tuntutan
pekerjaannya sebagai
wartawan majalah fashion
dan juga sebagai seorang pria
metroseksual.
Pekerjaannya sebagai
wartawan menuntutnya untuk
selalu berpenampilan sebaik
mungkin dan semenarik
mungkin karena subjek sering
bertemu dengan banyak
orang diri kalangan atas dan
menghadiri acara-acara yang
berhubungan dengan fashion.
Gaya hidup pria
metroseksual jelas berbeda
dibandingkan dengan pria
kebanyakan. Mereka biasa
melakukan pleasure shopping
dibandingkan purpose
shopping, mereka
berinteraksi dari cafe ke cafe
(social butterflies) yang jelas
tidak mungkin hanya
menghabiskan biaya yang
sedikit dan masih banyak
gaya hidup yang lainnya
(Kartajaya dkk., 2004).
Ketiga faktor inilah
yang melatarbelakangi subjek
untuk berperilaku konsumtif
sebagai seorang pria
metroseksual dan wartawan
majalah fashion meskipun
penghasilan yang didapat
subjek dalam sebulan adalah
pas-pasan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil penelitian ini,
dapat ditarik kesimpulan bahwa
subjek adalah seorang pria
metroseksual yang memang
berperilaku konsumtif terhadap
fashion tetapi penghasilan yang
dimiliki pas-pasan.
Subjek adalah seorang pria
metroseksual yang sangat
memperhatikan penampilan diri baik
dari segi penampilan fisik sampai
perawatan untuk tubuh. Subjek juga
42
gemar sekali berbelanja. Saat ini
subjek bekerja sebagai seorang
wartawan dari sebuah majalah
fashion terkemuka khusus untuk pria
di Jakarta. Subjek sudah bekerja
selama kurang lebih tiga tahun sejak
subjek lulus kuliah. Penghasilan
subjek adalah 2,5 juta perbulan, hal
ini berbanding terbalik dengan
pengeluaran subjek yang suka
melebihi pendapatan. Subjek sangat
suka berbelanja barang yang bagus
dengan harga yang mahal untuk
menunjang penampilannya sebagai
seorang pria metroseksual dan juga
sebagai wartawan sebuah majalah
fashion khusus untuk pria.
Aspek pembelian impulsif,
dimana subjek sering membeli suatu
barang secara tiba-tiba berdasarkan
keinginannya semata dan hanya
karena ingin tampil berbeda dan
tidak ingin kalah saing dengan
teman-temannya. Subjek juga
membeli suatu barang tanpa
direncanakan terlebih dahulu, baik
untuk rincian barang-barang yang
ingin dibeli maupun waktu untuk
berbelanja. Jika subjek ada liputan ke
sebuah mall, subjek selalu
menyempatkan untuk berbelanja atau
hanya sekedar melihat-lihat.
Aspek pembelian tidak
rasional dan demi status, dimana
subjek sering sekali membeli barang
bermerk dan mahal hanya karena
gengsinya untuk memperlihatkan
bahwa dirinya berbeda dan
dikesankan sebagai seseorang yang
modern. Faktor lingkungan sangat
mendorong subjek untuk lebih
semakin konsumtif. Subjek
beranggapan bahwa jika bisa
membeli atau memiliki suatu barang
yang bermerk dan mahal maka bisa
dijadikan simbol keberadaan atau
posisi subjek di lingkungan
pekerjaannya.
Aspek pembelian boros
atau berlebihan, dimana subjek bisa
membeli apa saja yang diinginkan
tanpa mempedulikan harga dan
kegunaannya. Bisa dikatakan subjek
seseorang yang sangat boros dalam
membelanjakan uangnya dan juga
berlebihan dalam berbelanja.
Membeli barang lebih dari satu akan
membuat subjek merasa puas.
Aspek pembelian diluar
jangkauan, dimana subjek sering
memaksakan membeli suatu barang
43
yang sangat diinginkannya tetapi
pada saat yang bersamaan keuangan
subjek tidak mencukupi atau sudah
habis karena sudah membeli barang
yang lain. Dalam hal ini, subjek tidak
sungkan untuk meminjam uang
(berhutang) kepada temannya atau
bahkan subjek rela menghabiskan
berapapun sisa uang yang berada di
ATM.
Dalam penelitian ini, ada tiga
faktor yang menjadi penyebab subjek
menjadi sangat konsumtif meskipun
penghasilannya pas-pasan. Ketiga
faktor tersebut adalah modelling
orangtua, dimana subjek mengikuti
jejak ibunya yang juga sangat
konsumtif terhadap barang-barang
bagus. Ibu subjek hanyalah seorang
ibu rumah tangga yang sangat
memperhatikan penampilan. Sejak
kecil, subjek yang adalah anak
pertama dari tiga bersaudara, selalu
diajak ibunya untuk berbelanja dan
subjek selalu dibelikan suatu barang
yang diinginkannya. Subjek juga
dikenalkan pada barang-barang
bagus dengan harga yang pada saat
itu juga mahal. Subjek berpendapat
bahwa kecintaannya terhadap
barang-barang bagus diajarkan oleh
ibunya. Oleh karena ibu, perilaku
konsumtif ibunya menurun pada
subjek sampai sekarang. Subjek bisa
berbelanja apa saja yang
diinginkannya tanpa memikirkan
kondisi keuangannya dikemudian
hari. Hal ini menyebabkan subjek
suka berhutang kepada teman-
temannya.
Faktor lingkungan, dimana
faktor lingkungan tempat subjek
bekerja lah yang sangat mendorong
subjek untuk berperilaku konsumtif.
Hal ini dikarenakan orang-orang
disekitar subjek juga sangat trendy
dan sangat menjaga penampilannya
agar tetap terlihat menarik, karena
untuk menjaga image perusahaan
subjek yang memang trendy
(fashionable) dan stylish. Subjek
berpendapat jika bisa membeli
barang dengan merk ternama dan
harga yang mahal, hal itu akan
menentukan posisi subjek di dalam
lingkungan pekerjaan yang memang
memiliki sifat brand-oriented
(berorientasi terhadap merk). Hal
inilah yang mendorong subjek
berperilaku konsumtif meskipun
penghasilan pas-pasan.
44
Tuntutan pekerjaan dan
gaya hidup, dimana pekerjaan
subjek sebagai wartawan,
menuntutnya untuk selalu
berpenampilan sebaik mungkin dan
semenarik mungkin karena subjek
sering bertemu dengan banyak orang
diri kalangan atas dan menghadiri
acara-acara yang berhubungan
dengan fashion. Gaya hidup pria
metroseksual jelas berbeda
dibandingkan dengan pria
kebanyakan. Mereka biasa
melakukan pleasure shopping
dibandingkan purpose shopping,
mereka berinteraksi dari cafe ke cafe
(social butterflies) yang jelas tidak
mungkin hanya menghabiskan biaya
yang sedikit dan masih banyak gaya
hidup yang lainnya.
Dari hasil penelitian
mengenai perilaku konsumtif
terhadap fashion pada pria
metroseksual yang memiliki
penghasilan pas-pasan ini, maka
saran yang diajukan peneliti terhadap
penelitian ini sebagai berikut :
1. Untuk subjek penelitian.
Sebagai seorang pria
metroseksual yang memang
selalu memperhatikan
penampilan diri baiknya
diseimbangkan dengan
pendapatannya yang tidak
terlalu besar sebagai seorang
wartawan. Subjek dianjurkan
untuk biasakan menabung
dan mengontrol
pengeluarannya dalam
berbelanja sehingga subjek
tidak perlu lagi berhutang
kepada teman-temannya.
Subjek juga dianjurkan untuk
mengontrol keinginannya
membeli suatu barang dengan
harga yang mahal jika uang
yang dimiliki sekiranya tidak
mencukupi.
2. Untuk pria metroseksual lain
yang juga berpenghasilan
pas-pasan, disarankan untuk
tidak boros dalam berbelanja
dan biasakan untuk
menabung. Menjadi
seseorang yang trendy dan
stylish tidak selalu memakai
barang baru dan bermerk, hal
ini dapat disiasati dengan
pintar memadu padankan
pakaian dan selalu percaya
diri.
45
3. Untuk penelitian selanjutnya,
agar dapat mengembangkan
penelitian mengenai perilaku
konsumtif pada pria
metroseksual, aspek-aspek
perilaku konsumtif dan faktor
penyebab perilaku konsumtif
pada pria metroseksual
seperti, faktor lingkungan
atau tuntutan pekerjaan yang
dapat menuntut seorang pria
metroseksual untuk
berperilaku sangat konsumtif,
gaya hidup dan lain
sebagainya. Peneliti
selanjutnya diharapkan dapat
mengembangkan penelitian
mengenai perilaku konsumtif
pada kasus atau tema yang
lebih menarik seperti perilaku
konsumtif terhadap fashion
pada remaja putri yang sering
terjadi di masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Adi, S.B. (2001). Perilaku konsumen dalam pemilihan merk sepeda motor di DKI Jakarta. Tesis. Depok : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Arifin, S. (2004). Metroseksual.
http://lautan.blogspot.com.
Tanggal akses 13 Juli 2009.
Assuari, A. (1987). Manajemen
pemasaran. Jakarta :
Rajawali.
Coda, P. (2004). A new style for men: metroseksual (it is not just about looking clean and handsome: it is the change in attitude that is critical). http://www.mynippon.com/MYNIPPON0707/story126.htm. Tanggal akses 13 Juli 2009.
Cahyana, Y.Y. (1995). Iklan telivisi dan perilaku konsumtif remaja di perkotaan. Hasil Penelitian. Surabaya : Universitas Airlangga.
Engel, James F, Blackwell R.D & Miniard P.W. (1994). Perilaku konsumen (Edisi Keenam); Alih Bahasa : FX. Budiyono. Jakarta : Binapura Aksara.
Faraa, R. (2005). Metroseksual vs uberseksual perseteruan baru trend pria. http://www.xfresh.com. Tanggal akses: 20 Agustus 2009.
Fromm, E. (1998). To have or to be.
New York : The Chaucer
Press, Ltd.
46
Heru Basuki, A. M. (2006). Penelitian kualitatif untuk ilmu-ilmu kemanusiaan dan budaya. Jakarta: Universitas Gunadarma.
Kartajaya, H. (2006). Hermawan kartajaya on marketing mix. Jakarta : PT Mizan Pustaka.
Kartajaya, H., Yuswohady, Madyani, D., Christynar, M. & Indrio, B.D. (2004). Metrosexual in venus: pahami perilakunya, bidik hatinya, menangkan pasarnya. Jakarta: MarkPlus&Co.
Lina & Rasyid, H.F. (1997). Perilaku konsumtif berdasarkan locus of control pada remaja putra. Psikologika No. 4 Tahun II. Jakarta.
Miles, M.B & Huberman, A.M (1992). Analisis data kualitatif. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Moleong, L. J. (1997). Metode penelitian kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Narbuko & Achmadi. (2003).
Metode penelitian. Jakarta:
Universitas Indonesia.
Nawawi, H. (2003). Metode penelitian bidang sosial. Jogjakarta: Gadjah mada University Press.
Nissa, A. (2003). Hubungan antara konsep diri dan sikap terhadap diskon dengan perilaku konsumtif. Skripsi. Surakarta : Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Papalia, D. E., Sally, W. O., Ruth, D. F. (2008). Human development. The McGraw Hill Companies.
Poerwandari, E. K. (1998). Pendekatan Kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi – Fakultas Universitas Indonesia.
Poerwandari, K. (2001). Pendekatan Kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi – Fakultas Universitas Indonesia.
Riyanto, Y. 1996. Metodologi
penelitian. Surabaya :
Penerbit SIC.
47
Sarwono. (1994). Iklan telivisi dan perilaku konsumtif remaja di perkotaan. www.suarapembaharuan.com/news.
Sarwono, S. W. (1994). Iklan televisi dan perilaku konsumtif remaja di perkotaan. www.suarapembaharuan.com/news.
Simamora, B. (2002). Panduan riset perilaku konsumen. Jakarta : Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
Sinaulan, B. D (2004). Senang berdandan dan merawat tubuh. http://www.suaramerdeka.com.
Supriyono, D. S. (2005). Ciri-ciri pria metroseksual. http://www.deepblue.indika.net.id. Tanggal akses 22 Agustus 2009.
Sutisna. (2003). Perilaku konsumen dan komunikasi pemasaran. Bandung : Penerbit PT Remaja Rosda Karya.
Stanton, W. J. (1996). Prinsip pemasaran jilid I (Terjemahan; Yayasan Lamanta). Jakarta : Erlangga.
Tambunan, R. (2001). Remaja dan perilaku konsumtif. www.e-psikologi.com.
Usman, H & Akbar, P. S. (2008). Metode penelitian sosial. Jakarta : Bumi aksara.
Wibowo, E. T. (2003). Hubungan antara harga diri dengan perilaku konsumtif terhadap handphone pada mahasiswa pria. Skripsi (tidak diterbitkan). Depok : Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma.
Widada, Y. S. (1994). Pola hidup sederhana kontra konsumerisme. Majalah Krida. Edisi XI. Jakarta.
Wojowasito. (1972). Kamus bahasa indonesia, dengan ejaan yang disempurnakan menurut pedoman lembaha bahasa nasional. Bandung: Shinta Dharma.
Yuswohady. (2003). Dunia masa kini: Metroseksual. http://www.suaramerdeka.com/harian/0407/24/nas07.htm. Tanggal akses 22 Agustus 2009.
48
Top Related