PERILAKU KONSUMTIF MAHASISWA DI PERKOTAAN DALAM
PENGGUNAAN PRODUK PERAWATAN WAJAH DI KLINIK
KECANTIKAN
SKRIPSI
Disusun oleh :
Elsa Monica
071211433038
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
DEPARTEMEN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS AIRLANGGA
Semester Genap 2015/2016
PERILAKU KONSUMTIF MAHASISWA DI PERKOTAAN DALAM
PENGGUNAAN PRODUK PERAWATAN WAJAH DI KLINIK KECANTIKAN
Oleh : Elsa Monica
Abstrak
Perempuan memiliki kepedulian yang tinggi dalam menjaga penampilan fisik di era
modern ini. Fenomena melakukan perawatan wajah kini banyak dilakukan seiring
menjamurnya klinik kecantikan di kota-kota besar. Mahasiswa sebagai kaum muda saat ini
tidak lepas dari perilaku konsumtif pada produk perawatan wajah yang dijual di klinik
kecantikan untuk menunjang penampilan mereka. Diawali dengan banyaknya peredaran
produk perawatan wajah atau krim wajah yang dijual di klinik kecantikan. Oleh karena itu
dilakukan penelitian tentang perilaku konsumtif mahasiswa di perkotaan pada produk
perawatan wajah di klinik kecantikan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data dalam
penelitian ini yaitu wawancara secara mendalam dan observasi lapangan. Teori yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Teori konsumsi James P. Baudrillard dan teori
Looking Glass Self Charles H. Cooley. Kemudian teknik pengambilan sampel menggunakan
metode purposive. Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah lima orang mahasiswa yang
telah lebih dari satu tahun mengonsumsi produk perawatan wajah secara aktif di klinik
kecantikan.
Hasil yang didapat dari penelitian ini adalah menjamurnya klinik kecantikan di Kota
Surabaya merupakan bentuk simulakra. Sementara itu, klinik kecantikan melakukan promosi
secara masif melalui media cetak, elektronik, sosial media untuk menawarkan produk
perawatan wajah serta keunggulan klinik kecantikan itu sendiri merupakan simulasi.
Hiperrealitas yang terjadi pada mahasiswa adalah efek ketergantungan dalam mengonsumsi
produk perawatan wajah sehingga perilaku konsumtif tidak dapat dihindari. Perawatan wajah
yang umumnya sebagai kebutuhan sekunder bagi mahasiswa kemudian menjadi kebutuhan
utama.
Kata kunci : mahasiswa, produk perawatan wajah, klinik kecantikan, perilaku
konsumtif
ABSTRACT
Women in modern era tend to have high concern in maintaining physical appearance.
Physical appearance here is not only a matter of body or figure, but also a matter of facial or
skin appearance. The phenomenon of performing facial treatments nowadays is in line with
the major establishment of various beauty clinics in many big cities. University students, as
part of young generation, cannot be separated from consumptive behavior on skin care
products that are sold in beauty clinics to upgrade their appearance. It is begun with the high
distribution of many skin care products or facial creams that are sold in beauty clinics.
Therefore, this research is conducted based on consumptive behavior of university students
in urban areas on facial or skin care products at beauty clinics.
This study used qualitative approach. Data collection techniques in this study were in-
depth interviews and field observations. The theories used in this study are consumption
theory proposed by James P. Baudrillard and the theory of Looking Glass Self by Charles H.
Cooley. Then, purposive sampling was used as sampling method. The research subjects in
this study were five students who have more than one year taking part as an active consumer
of skin care products at a beauty clinics.
The result obtained from this study is that the establishment of beauty clinics in the city
of Surabaya is a form of simulacra. Meanwhile, massive promotion by beauty clinics through
print, electronic, social media offering their skin care products and privilege in their services
is the simulation. Hyperreality found in students by the dependence of skin or facial care
products so that the consumptive behavior cannot be avoided. Facial treatments considered
generally as a secondary necessity for students but now it became a primary one.
Keywords : university students, skin or facial care products, beauty clinics,
consumptive behavior
A. Pendahuluan
Kebutuhan perempuan pada kosmetik menumbuhkan klinik-klink kecantikan dan
para dokter spesialis khusus yang menangani masalah keluhan kulit seperti jerawat, bercak
hitam, bekas luka, dan lain lain. Klinik kecantikan hadir untuk memfasilitasi perempuan dan
laki-laki yang menginginkan perawatan pada kulit wajahnya. Kecantikan adalah sesuatu
yang relatif, sementara hampir seluruhnya promosi berupa iklan klinik kecantikan yang
membentuk konsep cantik dengan memasang model perempuan berambut hitam panjang,
berkulit putih, mulus dan bersih tanpa noda.
Berdasarkan sumber dari halaman Wikipedia terbukti, dengan menjamurnya klinik
kecantikan di beberapa kota besar yang dalam hal ini adalah Kota Surabaya yang mempunyai
46 pendidikan perguruan tinggi yang terdiri dari: universitas, peguruan tinggi negeri dan
swasta, institut, politeknik dan juga akademi. Ini menjadi salah satu faktor yang memicu
perkembangan klinik kecantikan di Kota Surabaya. Dari klinik kecantikan dengan harga
ekonomis kelas pelajar/mahasiswa sampai dengan klinik kecantikan yang seharga dengan
pekerja kantoran serta mempunyai mobilitas tinggi. Hal yang dilakukan perempuan dalam
merawat kesehatan kulit di sebuah klinik kecantikan merupakan semangat untuk menemukan
kembali tubuhnya. “Anda membeli dan anda akan sungguh merasa baik-baik saja”
(Baudrillard, 2011 : 173). Sehingga klinik kecantikan saat ini menjadi ruang terpenting dalam
mengisi waktu luang perempuan dengan alasan kenyamanan dan melakukan sebuah proses
untuk menjadi cantik versi mereka. Muncullah fenomena mahasiswa yang mengonsumsi
produk perawatan wajah yang dibeli di berbagai klinik kecantikan.
Maraknya media eletronik setahun belakangan juga mulai mempengaruhi peredaran
produk perawatan wajah ke ranah yang lebih luas lagi. Sistem endorse oleh perempuan yang
memiliki banyak followers di instagram misalnya menjadi salah satu terobosan bagi
produsen memasarkan produknya. Konsumen utamanya anak muda dapat mengetahui
produk-produk perawatan wajah yang ditawarkan melalui sosial media instagram dengan
sangat mudah. Tidak hanya itu, model endorse juga sampai pada kalangan artis atau publik
figure yang tengah naik daun atau yang memiliki jumlah followers instagram atau sosial
media lainnya tergolong banyak menjadikan produsen produk perawatan wajah lebih mudah
menjualkan produknya.
Melihat tren kecantikan seperti operasi plastik untuk kesempurnaan tampilan wajah
yang masih berlangsung hingga saat ini di luar negeri membuat produk-produk yang
ditawarkan pada konsumen juga mulai diimpor dari luar negeri seperti Amerika dan Korea
Selatan. Strategi menarik konsumen seperti itulah yang sedang masif terjadi saat ini. Klinik
kecantikan berusaha memuaskan keinginan konsumen sampai dengan menawarkan produk
impor untuk mendapatkan hasil perawatan yang sempurna layaknya orang-orang dengan
kulit indah seperti di Negara Korea Selatan dan seolah-olah ingin mendapatkan hasil yang
sama. Mereka mengonstruksikan kulit cantik yang dimiliki oleh wanita-wanita di Korea
Selatan kepada konsumen yang melakukan konsultasi di kliniknya.
Gaya hidup masyarakat tidak bisa dipisahkan dari iklan. Di masa kini gaya hidup
menjadi lebih banyak, beraneka ragam dan mengambang bebas. Tidak hanya terbatas untuk
masyarakat kelas tertentu, tetapi mencakup seluruh kelas dan generasi (Piliang, 1998:254).
Terbukti dengan menjamurnya klinik kecantikan yang sama-sama menawarkan fasilitas
menggunakan teknologi modern, merawat kulit sehat dan tidak menggunakan bahan kimia
berbahaya. Tetapi klinik kecantikan tersebut terbagi-bagi untuk beberapa bagian segmentasi
pasar seperti untuk kelas pelajar/mahasiswa dan kelas pekerja. Hal itu berhubungan dengan
nominal harga yang dipatok untuk perawatan dan biaya krim yang harus dikeluarkan.
Oleh karena itu, berdasarkan pemaparan diatas sebagai kaum muda yang dalam hal
ini adalah mahasiswa sebagai konsumen produk perawatan wajah memiliki tujuan yang
beragam untuk melakukan perawatan wajah di klinik kecantikan. Mahasiswa datang ke klinik
kecantikan diantaranya bertujuan untuk menghilangkan keluhan mereka terhadap kulit wajah
berminyak, berjerawat, berkomedo, terlihat kusam, terdapat noda-noda hitam ataupun
keinginan untuk memutihkan dan mencerahkan kulit wajah. Namun, selanjutnya masalah
yang dialami oleh para mahasiswa yang menjadi pelanggan klinik kecantikan adalah
pemakaian produk kecantikan dan jasa perawatan harus dilakukan secara berkelanjutan agar
keinginan mereka untuk mendapatkan wajah dan kulit cantik dapat dicapai secara maksimal.
Fenomena yang sering terjadi mahasiswa seperti kecanduan terhadap produk kecantikan dan
jasa perawatan yang ditawarkan oleh klinik-klinik kecantikan. Pada prinsipnya mereka tidak
boleh terlambat atau berhenti mengkonsumsi produk kecantikan dan jasa perawatan. Hal
tersebut ditujukan agar wajah dan kulit mereka tidak kembali lagi seperti keadaan sebelum
mereka menjadi pelanggan klinik kecantikan.
Sebagai upaya untuk mengungkap perilaku konsumtif pada produk perawatan wajah
di klinik kecantikan yang muncul pada diri mahasiswa, maka dalam penelitian kali ini akan
dilakukan sebuah penelitian untuk mengungkap awal terbentuknya perilaku konsumtif yang
dilakukan oleh mahasiswa di perkotaan melalui tahapan simulakra, simulasi, dan
hiperrealitas dalam penggunaan produk perawatan wajah di klinik kecantikan. Kemudian
masalah kedua, yang akan diungkap dalam penelitian ini adalah munculnya identitas diri
pada mahasiswa di perkotaan pasca mengonsumsi produk perawatan wajah di klinik
kecantikan.
Penelitian semacam ini telah dilakukan oleh peneliti lain melalui perspektif
sosiologi, maupun komunikasi. Namun, yang membuat peneliti tertarik kali ini dilakukan
guna memberikan pemahaman baru teori terhadap konsep simulakra, simulasi, dan
hiperrealitas Jean P.Baudrillard serta konsep diri Charles H. Cooley sekaligus dapat
memperkaya studi-studi sosiologi khususnya sosiologi ekonomi.
B. Fokus Penelitian
Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui terbentuknya perilaku konsumtif
mahasiswa di perkotaan dalam penggunaan produk perawatan wajah di klinik kecantikan
melalui konsep Baudrillard dan perilaku konsumtif mahasiswa terhadap produk perawatan
wajah di klinik kecantikan kaitannya dalam perubahan dirinya. Oleh karena itu, skripsi
berjudul Perilaku Konsumtif Mahasiswa di Perkotaan dalam Penggunaan Produk Perawatan
Wajah di Klinik Kecantikan memiliki fokus penelitian untuk memperoleh data-data yang
akurat. Fokus penelitian dalam studi ini di antaranya adalah sebagai berikut :
1) Bagaimana simulakra, simulasi, dan hiperrealitas membentuk perilaku konsumtif
mahasiswa di perkotaan dalam penggunaan produk perawatan wajah di klinik
kecantikan?
2) Bagaimana identitas diri pada mahasiswa di perkotaan pasca mengonsumsi produk
perawatan wajah di klinik kecantikan?
C. Kerangka Pemikiran
Teori Konsumsi
Jean P. Baudrillard berpikir bahwa logika sosial konsumsi tidak akan terfokus pada
pemanfaatan nilai guna barang dan jasa oleh individu, namun terfokus pada produksi dan
manipulasi sejumlah penanda sosial (Ritzer, dalam Baudrillard, 2006 : xxii). Konsumsi
dalam pandangan Baudrillard dalam Suyanto (2013), dilihat bukan sebagai kenikmatan atau
kesenangan yang dilakukan masyarakat secara bebas dan rasional, melainkan sebagai sesuatu
yang terlembagakan, yang dipaksakan kepada masyarakat, dan seolah merupakan suatu tugas
yang tidak terhindarkan. Jean Baudrillard, mencirikan masyarakat konsumer sebagai
masyarakat yang di dalamnya terjadi pergeseran logika dalam konsumsi, yaitu dari logika
kebutuhan menuju logika hasrat.
Mahasiswa pengguna produk perawatan wajah yang dibeli di klinik kecantikan tidak
semata-mata memahami fungsinya. Mereka cenderung mengonsumsi karena awalnya
terkesan melihat teman-teman yang juga memakai produk kecantikan tersebut. Hasil dari
pemakaian yang terbilang berhasil akan terlihat pada wajah seseorang. Ketika seorang
mahasiswa setelah memakai produk perawatan wajah terlihat lebih cantik dari penampilan
sebelumya, maka orang lain sesama mahasiswi akan terkesan sehingga muncul perasaan
ingin mencoba juga.
Menurut Charles H. Cooley, ia lebih menekankan peranan interaksi dalam teorinya.
Menurut dia, Konsep Diri (self concept) seseorang berkembang melalui interaksinya dengan
orang lain. Sesuatu yang kemudian disebut looking-glass self terbentuk melalui tiga
komponen atau tahapan sebagai berikut :
1. Kita membayangkan bagaimana penampilan kita di mata orang lain.
2. Kita membayangkan bagaimana orang lain menilai kita.
3. Kita membayangkan semacam perasaan diri tertentu seperti rasa harga diri atau
rasa malu, sebagai akibat dari bayangan kita mengenai penilaian oleh orang lain.
Identitas diri adalah kesadaran akan diri sendiri yang bersumber dari observasi dan
penilaian, yang merupakan sintesa dari semua aspek konsep diri sebagai suatu kesatuan yang
utuh (Stuart dan Sundeen, 1991). Dalam diri seorang perempuan akan timbul keinginan untuk
mengekspresikan dirinya berkaitan dengan pembentukan identitas diri. Keinginan tersebut
perlu didukung pula dengan aktifitas yang tergolong feminin dan biasa dilakukan perempuan
sebagai bentuk mewujudkan keindahan dari dalam dirinya.
D. Metode Penelitian
Penelitian kali ini, bermaksud untuk mengetahui fenomena munculnya klinik
kecantikan bagi mahasiswa dan perilaku konsumtif mahasiswa di perkotaan dalam
penggunaan produk perawatan wajah di klinik kecantikan kaitannya dalam konsep
simulakra, simulasi, dan hiperrealitas Baudrillard. Pertanyaan dalam studi ini dapat dipahami
dan dianalisis melalui paradigma perilaku sosial dengan perspektif fenomenologi. Penelitian
ini dimulai dari respon maraknya klinik kecantikan bagi mahasiswa dan perilaku konsumtif
mahasiswa dalam penggunaan produk perawatan wajah di klinik kecantikan ikut membentuk
pula identitas diri.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif dapat
mendeskripsikan suatu kondisi yang berawal dari fenomena yang ada dalam kehidupan
sehari-hari, yaitu mengenai perilaku yang mengarah pada perilaku konsumtif mahasiswi saat
ini. Pendekatan kualitatif bertujuan untuk memahami makna klinik kecantikan bagi
mahasiswi serta kecenderungan mereka mengonsumsi produk perawatan wajah yang dibeli
pada klinik kecantikan tersebut. Pemilihan tipe penelitian seperti ini sesuai dengan
permasalahan yang diangkat peneliti pada studi ini.
E. Hasil Penelitian
Awal mula pemakaian produk perawatan wajah oleh sebagian besar informan
mahasiswa karena menderita jerawat pada wajahnya. Perilaku konsumtif yang berbeda justru
ditunjukkan oleh informan RSI, ia mengonsumsi produk perawatan wajah justru berawal dari
lingkungan terdekatnya yakni keluarga yang sering melakukan perawatan wajah dan
membuat dirinya tertarik untuk mencoba.
Perilaku konsumtif kelima informan dalam penelitian kali ini mengungkapkan
bahwa mereka menyediakan biaya tersendiri setiap bulannya untuk membeli produk
perawatan wajah yang diakui sebagai kebutuhan. Selain itu, beberapa informan diantaranya
SKD, RSI, dan NW senang bergonti-ganti produk perawatan wajah dan juga klinik
kecantikan untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
Kepuasan mengonsumsi produk perawatan wajah dirasakan oleh hampir seluruh
informan mahasiswa. Namun, hanya satu informan saja yakni, RSI yang tidak merasakan
kepuasan dalam mengonsumsi produk-produk perawatan wajah yang dikonsumsinya selama
ini di klinik kecantikan sekalipun ditangani oleh dokter kecantikan langsung sehingga, hal
itulah yang menjadi alasan dirinya untuk bergonta-ganti produk perawatan wajah hingga
mencoba produk perawatan wajah melalui onlineshop di instagram.
Selain itu, seluruh informan menyatakan pernah melakukan treatment wajah yang
ditawarkan oleh klinik kecantikan. Kelima informan mengaku ada penawaran untuk
melakukan perawatan wajah disana. Treatment yang pernah mereka coba diantaranya facial,
peeling, microdermabrasi hingga suntik vitamin c untuk meratakan warna kulit. Adanya
promosi harga (diskon) membuat informan tertarik untuk mencoba melakukan treatment
yang ditawarkan oleh klinik kecantikan.
Seluruh informan mempunyai argumen yang sama bahwa cantik/tampan tidak harus
kulit yang putih melainkan kulit yang bersih, terawat dan bebas jerawat. Informan mahasiswa
setelah mendapatkan kulit yang bersih, terawat, dan bebas jerawat namun, faktanya setelah
mereka memiliki kulit yang mereka dambakan tersebut secara tidak sadar justru membuat
mereka mengonsumsi lebih banyak lagi treatment yang sebenarnya tidak mereka perlukan.
F. Analisis Teori Konsumsi Jean Baudrillard dan Identitas Diri oleh C.H. Cooley
Tahapan konsumsi yang dilakukan oleh masyarakat yang didukung teori dari
Baudrillard. Pengonsumsian suatu produk perawatan wajah diawali dengan banyaknya usaha
klinik kecantikan di Kota Surabaya. Simulakra adalah ruang realitas yang disarati oleh proses
reduplikasi dan daur ulang berbagai fragmen kehidupan yang berbeda (dalam wujud
komoditas citra, fakta, tanda, serta kode silang sengkarut), dalam satu dimensi ruang
danwaktu yang sama (Piliang dalam Hidayat, 2012:75). Dalam wacana simulasi, manusia
mendiami ruang realitas yang memiliki perbedaan antara yang nyata dan asli, dan nyata dan
palsu sangat tipis.
Mahasiswa yang tinggal di perkotaan dengan kelangsungan hidup yang serba modern
nyatanya akan memilih perawatan wajah yang instan. Mahasiswa yang memilih merawat
wajah dan mengonsumsi produk perawatan wajah di klinik kecantikan dinilai aman dan
terjamin kualitasnya daripada mengonsumsi produk perawatan wajah yang dijual di pasaran.
Mereka beranggapan bahwa dengan melakukan perawatan wajah dan mengonsumsi produk
perawatan wajah di klinik kecantikan karena disana terdapat dokter spesialis kulit yang ahli
di bidangnya sehingga pasien dapat melakukan konsultasi terlebih dahulu mengenai
permasalahan pada kulit wajah.
Bagi Baudrillard dalam masayarakat konsumsi modern ini kita mengonsumsi bukan
hanya barang, namun juga jasa manusia dan hubungan antar manusia. Orang yang terlibat
dalam jasa tersebut, sebagaimana disebutkan sebelumnya, begitu curiga terhadap kita.
Namun, melalui rasa khawatir itulah mereka menjinakkan kita. Jadi, penjinakkan
dimasukkan kepada kekangan dan represi sistem dan kode. Pada akhirnya, yang tengah
dikonsumsi dalam masyarakat konsumsi adalah konsumsi itu sendiri sebagai contoh, adalah
iklan. Ketika membaca atau menonton iklan orang mengonsumsi iklan-iklan itu; mereka
tengah mengonsumsi konsumsi.
Simulakra adalah klinik kecantikan itu sendiri dimana, klinik kecantikan juga
menawarkan pelayanan dan fasilitas yang beragam untuk memanjakan konsumennya.
Strategi penawaran jenis perawatan atau harga merupakan bentuk penawaran yang paling
utama dilakukan oleh klinik kecantikan.
Simulasi yang di tawarkan klinik kecantikan Larissa tidak hanya pada produk
perawatan wajah dan treatment di sekitar wajah saja, melainkan terdapat perawatan wajah
dan juga perawatan tubuh yang berupa produk dan treatment. Tidak hanya sampai disitu,
promo-promo yang ditawarkan oleh klinik kecantikan juga diwarnai dengan banyaknya
diskon pada waktu tetentu untuk para konsumennya sehingga, konsumen yang tadinya tidak
sedang ingin melakukan perawatan dapat berubah pikiran dalam waktu sekejap untuk
melakukan perawatan dan menikmati diskon tersebut.
Sementara itu, Baudrillard dalam Suyanto (2013) menggambarkan kehidupan post-
modern ini sebagai hiperrealitas. Media berhenti menjadi cermin realitas, tetapi justru
menjadi realitas itu sendiri atau bahkan lebih nyata dari realitas itu. Disamping itu,
penyebaran informasi melalui media cetak juga digalakkan biasanya diikuti dengan promo
terkini bagi konsumen. Selanjutnya, Lingkungan terdekat informan dapat menjadi elemen
paling memungkinkan dalam berperilaku konsumtif. Diawali dengan terbiasa melihat orang-
orang disekitarnya seperti keluarga dan teman membuat informan sebagai konsumen
memiliki pola konsumsi yang sama.
Bagi Baudrillard, konsumsi bukan sekedar nafsu untuk membeli begitu banyak
komoditas, satu fungsi kenikmatan, satu fungsi individual, pembebasan kebutuhan,
pemuasan diri, kekayaan, atau konsumsi objek. Konsumen atau masyarakat yang
mengonsumsi produk perawatan wajah terhegomeni oleh promosi yang dikembangkan oleh
kapitalis.
Fenomena hiperrealitas ini selanjutnya diikuti oleh serangkaian fenomena hiper yang
lain. Yasraf Amir Piliang, dalam bukunya Sebuah Dunia Yang Dilipat (1998), memaparkan
beberapa bentuk fenomena hiper ini (Piliang, 1998: 16), yaitu: Hypercare, Hypercommodity,
Hyperconsumption, Hypermarket, Hypersensibility, Hypersexuality, Hyperspace.
Dalam hal ini fenomena hiperrealitas yang terjadi adalah hypercare. Hypercare adalah
gejala upaya perawatan dan penyempurnaan daya kerja serta penampilan tubuh secara
berlebihan lewat bantuan kemajuan teknologi kosmetik dan medis (Piliang dalam Hidayat,
2012 : 96). Tipikal masyarakat modern yang hidup dalam era yang mulai serba canggih dan
penuh kesibukan memilih cara yang instan utamanya untuk merawat penampilan mereka.
Charles H. Cooley lebih menekankan peranan interaksi dalam teorinya. Menurut dia,
Konsep Diri (self concept) seseorang berkembang melalui interaksinya dengan orang lain.
Sesuatu yang kemudian disebut looking-glass self terbentuk melalui tiga komponen atau
tahapan sebagai berikut :
1. Kita membayangkan bagaimana penampilan kita di mata orang lain.
Dalam hal ini sama halnya dengan mahasiswa menerima respon dari orang
lain dan orang terdekat mereka terhadap perubahan yang nampak pada dirinya
setelah melakukan perawatan wajah. Salah satu hal yang mendukung mahasiswa
melakukan perawatan pada dasanya dimulai dengan adanya penilaian terhadap
dirinya dan juga terhadap orang lain yang melihatnya. Adanya permasalahan pada
kulit wajah informan mahasiswa membuat mereka membayangkan penilaian orang
lain terhadap dirinya dengan kondisi tersebut.
Perasaan malu dan tidak percaya diri pada awalnya muncul dikarenakan oleh
permasalahan kulit membuat mahasiswa membayangkan dirinya apabila terlihat
oleh orang lain. Dengan segala kekurangan pada bagian wajahnya membuat
informan mencari cara untuk mengatasi hal tersebut. Kesadaran akan penampilan
diri membuatnya berfikir dengan cara yang telah banyak ditemui yakni perawatan
wajah.
1. Kita membayangkan bagaimana orang lain menilai kita.
Seperti yang telah dijabarkan pada bab sebelumnya, hampir seluruh informan
mahasiswa mendapat pujian atas hasil wajah yang diinginkan perempuan muda pada
umumnya yakni kecantikan yang natural atau alami. Hal tersebut bagi informan
merupakan suatu bentuk ukuran keberhasilan bagi dirinya dalam mengonsumsi
produk perawatan wajah.
Tuntutan untuk memiliki wajah yang cantik sesuai dengan keinginan dan
dapat diakui oleh orang sekitarnya membuat informan berusaha untuk mencapainya.
Setelah diri mahasiswa sendiri membayangkan bagaimana dirinya dimata orang
lain, maka ia akan membayangkan bagaimana orang lain menilai dirinya. Oleh
karena itu, informan mencoba menyamakan apa yang dirasanya dan yang dirasa
oleh orang lain dalam hal penampilan.
3. Kita membayangkan semacam perasaan diri tertentu seperti rasa harga diri atau rasa
malu, sebagai akibat dari bayangan kita mengenai penilaian oleh orang lain.
Perilaku konsumtif memberi dampak tersendiri bagi mahasiswa. kebiasaaan
mengonsumsi membuat mahasiswa tidak lagi bisa terlepas dari produk perawatan wajah.
Rasa takut kembali ke kondisi sebelum melakukan perawatan seperti muka yang berjerawat
sehingga terjadi hilangnya kepercaya dirian membuat mereka berusaha menjaga kondisi
wajahnya untuk jangka waktu kedepan. Respon orang sekitar juga sangat penting, dalam hal
ini mereka menjadikan pujian sebagai bentuk keberhasilannya merawat wajah.
Mahasiswa ketika melakukan perawatan di klinik kecantikan secara tidak sadar
berharap memiliki wajah yang cantik, putih dan bersih sesuai dengan standar kecantikan yang
terbentuk di masyarakat akibat iklan-iklan produk kecantikan dengan menggunakan model
wanita hingga artis yang berwajah cantik, mulus dan putih. Mahasiswa juga akan merasa
percaya diri dalam bersosialisasi di lingkungan kampus, lingkungan organisasi, lingkungan
teman sebaya ataupun lingkungan sosial lainnya. Mahasiswa dengan wajah yang cantik juga
dapat dengan mudah mendapatkan teman atau relasi. Melihat wajah cantik hasil dari
perawatan temannya yang bagus, maka ketertarikan untuk bisa memiliki wajah yang cantik
juga muncul.
G. Kesimpulan
Melalui studi ini, peneliti berupaya untuk menjawab fokus penelitian sebagaimana
yang telah dijelaskan pada bab 1, yaitu : 1) bagaimana terbentuknya perilaku konsumtif
mahasiswa Universitas Airlangga dalam pengambilan keputusan untuk mengonsumsi produk
perawatan wajah di klinik kecantikan? dan 2) apa yang dialami mahasiswa Universitas
Airlangga dengan perilaku konsumtif pada produk perawatan wajah di klinik kecantikan?
Kesimpulan pada bab ini merupakan hasil analisis data berdasarkan kerangka teoritik yang
telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Oleh karena itu, berikut ini dipaparkan kesimpulan
hasil penelitian, antara lain:
1. Mahasiswa telah melewati tahapan simulakra, simulasi, dan hiperrealitas dimana awal
mula mahasiswa mengonsumsi produk perawatan wajah diawali dengan alasan yang
beragam. Permasalahan kulit wajah yang diderita mahasiswa merupakan salah satu
alasan mereka ditambah lagi adanya dorongan oleh lingkungan sekitar yang membuat
mereka kian tertarik mengonsumsinya. Disamping itu, kebutuhan akan mengonsumsi
produk perawatan wajah yang selama ini sudah dilakukan oleh mahasiswa menjadi
suatu hal yang biasa dan sudah menjadi rahasia umum baik mahasiswa perempuan
maupun mahasiswa laki-laki kini telah banyak melakukan konsumsi produk perawatan
wajah dan melakukan perawatan wjah di klinik kecantikan
Banyaknya klinik kecantikan yang berdiri di Kota Surabaya menjadikan wadah bagi
kaum perempuan kebanyakan tak terkecuali mahasiswa untuk merawat wajahnya.
Mahasiswa tidak lagi berfikir masalah biaya namun dibalik itu penampilanlah yang
menjadi penting bagi mereka sehingga berusaha untuk memenuhinya. Dalam hal ini,
status mahasiswa bidik misi, jalur undangan, jalur seleksi nasional, dan jalur mandiri
tidak memiliki perbedaan yang berarti dalam mengonsumsi produk perawatan wajah
dimana notabenenya mereka memiliki latarbelakang ekonomi yang berbeda-beda.
Mereka mendapatkan kepuasan tersendiri bagi diri mereka. Dalam penelitian ini
ditemukan bahwa latarbelakang ekonomi mahasiswa tidak menjadi suatu masalah,
terbukti mahasiswa dengan status bidik misi, jalur undangan, jalur seleksi nasional, dan
jalur mandiri di Unair secara bersamaan mengonsumsi produk perawatan wajah di
klinik kecantikan. Adanya kelas ekonomi yang berbeda yang ditinjau berdasarkan jalur
masuk Unair nyatanya tidak dapat menunjukkan bahwa hanya mahasiswa dari jalur
mandiri saja yang mampu untuk memutuskan berperilaku konsumtif terhadap produk
perawatan wajah dan menikmati treatment wajah disana. Namun, faktanya seperti yang
kita ketahui dimana mahasiswa bidik misi yang memiliki status kurang mampu ternyata
juga mampu berkebutuhan yang sama yakni mengonsumsi produk perawatan wajah.
Hal tersebutlah yang akhirnya membuktikan bahwa biaya yang dipatok oleh suatu
klinik kecantikan tidak berdampak apapun terhadap mahasiswa dalam mengonsumsi
produk perawatan wajah dan juga melakukan berbagai jenis perawatan wajah yang
tersedia di klinik kecantikan.
2. Adapun pengalaman yang dirasakan mahasiswa Universitas Airlangga setelah
mengonsumsi produk perawatan wajah di klinik kecantikan. Hal tersebut membangun
suatu identitas diri bagi mahasiswa yakni, semakin memperkuat rasa percaya diri dalam
dirinya, merawat kesahatan wajah secara rutin, menjadi inspirasi atau contoh bagi
lingkungan sosial atau sekitar, dan merasa terlihat lebih cantik dari sebelumnya.
Namun, dibalik pengalaman mahasiswa setelah berperilaku konsumtif itu, mahasiswa
juga menerima efek yang berkepanjangan seperti diantaranya, 1) menjadi suatu gaya
hidup baru bagi mahasiswa yang di jaman modern ini mengutamakan penampilan
individu, 2) ketergantungan terhadap krim perawatan wajah yang memang
mengharuskan konsumen untuk memakainya secara rutin agar mendapatkan hasil yang
maksimal, 3) menjadi boros karena secara otomatis juga rutin menyediakan budget
tersendiri untuk membeli krim perawatan wajah sehingga dapat mempertahankan
kondisi wajah dalam jangka waktu yang panjang, 4) mahasiswa menjadi mudah
terpengaruh oleh media massa dan promosi, bagaimanapun juga informasi yang
disuguhkan cukup menarik dan informatif sehingga mahasiswa merasa hal tersebut
adalah sesuatu yang wajar dan menjadi tren maka, mereka akan menjadikan media
massa dan promosi sebagai patokan mereka dalam berperilaku konsumtif 5) tidak
pernah merasa puas. Hampir seluruh informan mahasiswa mengaku bahwa mereka
menginginkan kulit yang bersih dan putih tidak harus cantik namun, pada
kenyataannya mereka sering bahkan senang bergonta-ganti klinik kecantikan ataupun
krim wajah untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Seakan-akan mereka tidak
merasa puas dengan hasil yang telah disarankan dokter saat mereka telah mendapatkan
hasil yang semestinya.
Seluruh informan mahasiswa Universitas Airlangga mengakui bahwa mereka tidak
bisa apabila tidak mengonsumsi produk perawatan wajah di klinik kecantikan. Secara
tidak sadar mereka telah berperilaku konsumtif pada produk perawatan wajah di klinik
kecantikan namun, hal tersebut tertutupi oleh anggapan mereka bahwa konsumsi
produk perawatan wajah merupakan kebutuhan sehingga mereka merasa hal tersebut
mudah saja dilakukan oleh mereka. Di sisi lain, mahasiswa sadar bahwa kebutuhan
tersebut saat ini telah menjadi kebutuhan primer. Disinilah letak ketidakjelasan
mahasiswa dalam memahami dirinya antara kebutuhan dan keinginan menjadi sesuatu
yang tidak jelas, walapun peneliti akhirnya menggarisbawahi hal tersebut adalah suatu
perilaku konsumtif yang didasarkan oleh keinginan semata.
H. Saran
Kepada Pemerintah :
Persebaran klinik kecantikan sudah merata di kota-kota besar di Indonesia khususnya
Surabaya. Pemerintah dalam hal ini Dinas Kesehatan misalnya diharapkan melakukan
peninjauan secara berkala sebab tiap klinik kecantikan memproduksi produk-produk
perawataan wajah secara pribadi. Mengingat kini banyak informasi akan bahaya kandungan
produk perawatan wajah yang di jual bebas di tengah-tengah masyarakat. Selain itu perlu
adanya kontrol oleh Dinas Kesehatan agar dapat memastikan bahwa produk perawatan wajah
yang diproduksi oleh klinik kecantikan memiliki sertifikasi dari Badan Pengawasan Obat dan
Makanan.
Kepada Masyarakat :
Masyarakat diharapkan lebih mawas diri dan berhati-hati dalam memilih produk
perawatan wajah. Tidak semua produk perawatan wajah aman dan cocok untuk dikonsumsi
dalam jangka waktu yang panjang. Perlunya pengetahuan sederhana sangat penting diketahui
oleh masyarakat pengonsumsi produk perawatan wajah agar terhindar dari bahaya. Maraknya
tren melakukan jenis perawatan wajah dengan teknologi yang canggih seperti tanam benang,
lifting, suntik botox, filler dan lain lain membuat masyarakat sudah tidak asing lagi dengan
hal-hal yang berkaitan dengan kecantikan instan.
Kepada Akademisi :
Kepada para akademisi, baik mahasiswa, dosen, maupun peneliti diharapkan dapat
melanjutkan penelitian sehubungan dengan masalah ini, yaitu perilaku konsumtif mahasiswa
Universitas Airlangga pada produk perawatan wajah di klinik kecantikan dengan
membandingkan perilaku konsumtif yang terjadi di kampus atau wilayah lain.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku :
Baudrillard, Jean. 2004. Masyarakat Konsumsi. Yogyakarta : Kreasi Wacana.
Douglas, Kellner. 2010. Budaya media/identitas/politik antara modern dan postmodern.
Yogyakarta : Jalasutra.
Prof, Damsar. 2009. Pengantar Sosiologi Ekonomi. Jakarta : Kencana
Prasetijo, Ristiyanti. Perilaku Konsumen. Yogyakarta : Andi.
Ritzer, George. 2014. Teori Sosiologi Modern. Jakarta : Kencana.
Suyanto, Bagong. 2013. Sosiologi Ekonomi Kapitalisme dan Konsumsi di Era Masyarakat
Post-Modernisme. Jakarta : Kencana.
Sumber dari Internet :
http://www.tribunnews.com/lifestyle/2015/04/06/menelusuri-wisata-medis-ala-bintang-
korea-banyak-warga-indonesia-kencangkan-kulit-wajah diakses pada tanggal 25 Maret 2016
pada pukul 00.00
http://indonesiana.tempo.co/read/10791/2014/03/24/riuusa/trend-bentuk-tubuh-dari-masa-
ke-masa diakses pada tanggal 25 Maret 2016 pada pukul 00.00
https://www.academia.edu/7096242/Kebudayaan_Posmodern_Jean_Baudrillard
diakses pada tanggal 26 April 2016 pada pukul 21.00
Top Related