PERBEDAAN KANDUNGAN KUERSETIN DAN VITAMIN C
APEL (Malus sylvestris Mill) VARIETAS MANALAGI PADA
METODE PENCEGAHAN BROWNING ENZIMATIS
(LARUTAN NATRIUM METABISULFIT DAN BLANCHING)
TUGAS AKHIR
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Gizi
Oleh:
Bilqis Rindang Fadlila
NIM 135070300111039
PROGRAM STUDI ILMU GIZI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
ii
HALAMAN PENGESAHAN
TUGAS AKHIR
PERBEDAAN KANDUNGAN KUERSETIN DAN VITAMIN C APEL (Malus
sylvestris Mill) VARIETAS MANALAGI PADA METODE PENCEGAHAN
BROWNING ENZIMATIS (LARUTAN NATRIUM METABISULFIT DAN
BLANCHING)
Oleh:
Bilqis Rindang Fadlila
NIM 135070300111039
Telah diuji pada
Hari : Senin
Tanggal : 19 Juni 2017
dan dinyatakan lulus oleh:
Penguji-I,
Indria Purwantiningrum, STP., M.Si
NIP. 19791017 200501 2 001
Pembimbing-I/Penguji-II,
Titis Sari Kusuma, S.Gz., M.P
NIP. 198007022004062001
Pembimbing II/Penguji-III,
Eva Putri Arfiani, S.Gz., M.P.H
NIP. 2015058809222001
Mengetahui,
Ketua Program Studi Ilmu Gizi,
Dian Handayani, S.KM., M.Kes., Ph.D.
NIP. 197404022003122002
iii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberi petunjuk dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini dengan judul “Perbedaan
Kandungan Kuersetin dan Vitamin C Apel (Malus sylvestris Mill) Varietas Manalagi
pada Metode Pencegahan Browning Enzimatis (Larutan Natrium Metabisulfit dan
Blanching)”.
Proses penulisan Tugas Akhir ini merupakan sebuah pengalaman yang
sangat berharga, pengalaman yang dapat menjadi bekal penulis untuk menjadi
seorang yang terus memperbaiki diri. Dengan tersusunnya Tugas Akhir ini, penulis
ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada:
1. Titis Sari Kusuma, S.Gz., M.P, sebagai dosen pembimbing I yang dengan
sabar memberikan bantuan dan bimbingan serta motivasi kepada penulis
dalam proses penyusunan Tugas Akhir, sehingga Tugas Akhir ini dapat ter-
selesaikan dengan baik.
2. Eva Putri Arfiani, S.Gz., M.P.H, sebagai dosen pembimbing II yang dengan
sabar memberikan bantuan dan bimbingan serta motivasi kepada penulis
dalam proses penyusunan Tugas Akhir, sehingga Tugas Akhir ini dapat ter-
selesaikan dengan baik.
3. Indria Purwantiningrum, STP., M.Si, sebagai Tim Penguji Ujian Tugas Akhir
yang telah memberikan masukan untuk menyempurnakan naskah Tugas
Akhir.
4. Dian Handayani, S.K.M., M.Kes, Ph.D., Ketua Jurusan Gizi Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya atas dukungan dan arahan yang di-
berikan kepada penulis dalam proses penulisan Tugas Akhir ini.
iv
5. Dr. dr. Sri Andarini, M. Kes, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Brawijaya atas dukungan dan kesempatan yang diberikan kepada penulis
untuk menuntut ilmu di Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.
6. Segenap anggota Tim Pengelola Tugas Akhir FKUB, yang telah membantu
melancarkan urusan administrasi, sehingga penulis dapat melaksanakan
Tugas Akhir dengan lancar.
7. Fitri Armania, S.Si, selaku analis di Laboratorium Biokimia FKUB, yang
dengan sabar memberikan masukan, arahan, dan dukungan kepada
penulis dalam menyelesaikan penelitian.
8. Adelya Desi K., STP., MP., M.Si., selaku dosen Gizi FKUB yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini.
9. Kelompok Tani Makmur Abadi Kota Batu, yang telah memberikan bantuan
dan dukungan kepada penulis pada saat pengambilan sampel.
10. Seluruh Dosen Program Studi S1 Ilmu Gizi Universitas Brawijaya yang
telah memberikan ilmu yang bermanfaat untuk penulis.
11. Kedua orang tua penulis, yaitu Bapak Sri Busono dan Ibu Binti Isnaniyah
yang selalu memberikan semangat, doa, dan dukungan baik moril maupun
materi.
12. Sahabat-sahabat saya Aisyah Amalia Y., Arviana Bella P., Insantia F. F.
Aldea, Yuni Dwi K., Aqmarina Diah S., dan Nurul Kamila A., yang selalu
memberikan doa, dukungan, dan semangat kepada penulis.
13. M. Afid Wildan Hakim yang selalu memberikan semangat dan bantuan tak
terhingga.
14. Teman-teman Program Studi S1 Ilmu Gizi yang menemani penulis selama
perkuliahan.
v
15. Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini
yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu penulis membuka diri untuk segala saran dan kritik yang membangun.
Akhirnya, Tugas Akhir ini dapat direalisasikan dan bermanfaat bagi kita
semua.
Malang, 19 Juni 2017
Penulis
vi
ABSTRAK
Fadlila, Bilqis Rindang. 2017. Perbedaan Kandungan Kuersetin dan Vitamin C Apel (Malus sylvestris Mill) Varietas Manalagi pada Metode Pencegahan Browning Enzimatis (Larutan Natrium Metabisulfit dan Blanching). Tugas Akhir, Program Studi Ilmu Gizi, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. Pembimbing: (1) Titis Sari Kusuma, S.Gz., M.P., Eva Putri Arfiani, S.Gz., M.P.H
Buah apel merupakan 10 buah yang paling banyak dikonsumsi di
Indonesia, dan varietas yang paling banyak diminati adalah manalagi. Buah Apel biasa dikonsumsi segar maupun dalam bentuk olahan. Pengolahan buah apel menyebabkan terjadinya browning enzimatis yang berpengaruh terhadap kandungan gizi, kualitas, dan nilai ekonomis. Oleh karena itu, dilakukan upaya pencegahan browning enzimatis di industri maupun masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kandungan kuersetin dan vitamin C Apel (Malus sylvestris Mill) varietas Manalagi pada metode pencegahan browning enzimatis (larutan natrium metabisulfit dan blanching). Studi eksperimental laboratorik dengan 3 kali replikasi pada kelompok kontrol (P0), perendaman dalam larutan natrium metabisulfit 2% (P1), dan blanching 70°C (P2), masing-masing selama 2 menit. Sampel diuji menggunakan spektrofotometer. Uji kuersetin menggunakan metode kolorimetri dengan reagen NaNO2 5%, AlCl3 10%, dan NaOH 4%, sedangkan vitamin C menggunakan metode Semilcov dengan reagen natrium oksalat 0,01 N. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan kandungan kuersetin (p = 0,002) dan vitamin C (p = 0,003) antarkelompok perlakuan. Perbedaan kandungan kuersetin terdapat pada kelompok P0 dan P1 (p = 0,003) dan P1 dan P2 (p = 0,003). Perbedaan kandungan vitamin C terdapat pada kelompok P0 dan P1 (p = 0,003) dan P1 dan P2 (p = 0,026). Kesimpulan penelitian ini adalah terdapat perbedaan kandungan kuersetin dan vitamin C buah Apel Manalagi pada metode pencegahan browning menggunakan natrium metabisulfit dan blanching dan kandungan kuersetin dan vitamin C paling tinggi adalah pada kelompok P1.
Kata kunci: kuersetin, vitamin C, spektrofotometer, apel manalagi, natrium metabisulfit, blanching.
vii
ABSTRACT
Fadlila, Bilqis Rindang. 2017. The Difference of Quercetin and Vitamin C Contains in Apple (Malussylvestris Mill) Manalagi Variety in Enzymatic Browning Prevention Methods (Sodium Metabisulfite Solution and Blanching). Final Assignment, Nutrition Program, Faculty of Medicine. Supervisor: (1) Titis Sari Kusuma, S.Gz., M.P (2) Eva Putri Arfiani, S.Gz., M.P.H
Apple is top ten of most consumed fruit in Indonesia, and the most popular varieties is Manalagi. It can be eaten in fresh or through processed. The processing of apple causes browning that affect the nutrient and decrease the quality and economic value. Therefore, there is an effort to prevent the enzymatic browning in industry. This study aims to determine the difference of quercetin and vitamin C contains in apple (Malussylvestris Mill) Manalagi variety on enzymatic browning prevention methods (sodium metabisulfite solution and blanching). This study is implemented laboratory experiment with three treatment and replications there are control group (P0), immersion in 2% sodium metabisulfite solution (P1), and blanching with 70°C (P2), in 2 minutes. The sample is tested with spectrophotometer in which the quercetin by colorimetric method with NaNO2 5%, AlCl3 10%, and NaOH 4% reagent and the vitamin C by Semilcov method with sodium oxalate 0,01 N reagent. This study showed that there is a difference of quercetin (p = 0,003) and vitamin C (p = 0,002) for each treatment group. The difference of quercetin showed between P0 and P1 (p = 0,003) and P1 and P2 (p = 0,003). The difference of vitamin C showed between P0 and P1 (p = 0,003) and P1 and P2 (p = 0,026). The conclusion is there is a difference of quercetin and vitamin C in manalagi apple due to enzymatic browning prevention method with sodium metabisulfite solution and blanching. The highest quercetin and vitamin C is in P1. Keywords: quercetin, vitamin C, spectrophotometer, manalagi apple, sodium metabisulfite, blanching.
viii
DAFTAR ISI
Halaman
Judul ............................................................................................................ i
Halaman Pengesahan .................................................................................. ii
Kata Pengantar ............................................................................................ iii
Abstrak......................................................................................................... vi
Abstract........................................................................................................ vii
Daftar Isi ...................................................................................................... viii
Daftar Tabel ................................................................................................. xi
Daftar Gambar ............................................................................................. xii
Daftar Singkatan........................................................................................... xiii
Daftar Lampiran............................................................................................ xiv
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................... 5
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................. 5
1.3.1 Tujuan Umum ............................................................................. 5
1.3.2 Tujuan Khusus............................................................................ 5
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................... 6
1.4.1 Manfaat Akademik ...................................................................... 6
1.4.2 Manfaat Praktis........................................................................... 6
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Apel .................................................................................................... 7
2.1.1 Karakteristik Apel ........................................................................ 7
2.1.2 Macam-macam Varietas Apel ..................................................... 9
2.1.3 Kandungan Buah Apel ................................................................ 11
2.2 Kuersetin ............................................................................................. 11
2.2.1 Gambaran Umum Kuersetin ........................................................ 11
2.2.2 Sifat Kuersetin ............................................................................ 12
2.2.3 Susunan Kimia Kuersetin ............................................................ 13
2.2.4 Fungsi Kuersetin ......................................................................... 13
ix
2.2.5 Bahan Makanan Sumber Kuersetin ............................................. 14
2.3 Vitamin C ............................................................................................ 16
2.3.1 Gambaran Umum Vitamin C ....................................................... 16
2.3.2 Susunan Kimia Vitamin C ........................................................... 16
2.3.3 Sifat Vitamin C ............................................................................ 17
2.3.4 Metabolisme Vitamin C ............................................................... 17
2.3.5 Fungsi Vitamin C ........................................................................ 18
2.3.6 Bahan Makanan Sumber Vitamin C............................................. 20
2.4 Browning ............................................................................................. 22
2.4.1 Pengertian Browning................................................................... 22
2.4.2 Metode Pencegahan Browning Enzimatis.................................... 22
BAB 3. KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Konsep ................................................................................ 27
3.2 Hipotesis Penelitian ............................................................................. 29
BAB 4. METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian .......................................................................... 30
4.1.1 Randomisasi dan Desain Layout Analisis Kuersetin ..................... 32
4.1.2 Randomisasi dan Desain Layout Analisis Vitamin C .................... 32
4.2 Sampel Penelitian................................................................................ 33
4.3 Variabel Penelitian ............................................................................... 33
4.3.1 Variabel Bebas ........................................................................... 33
4.3.2 Variabel Terikat .......................................................................... 33
4.4 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................ 34
4.5 Bahan dan Instrumen Penelitian .......................................................... 34
4.5.1 Bahan Penelitian ........................................................................ 34
4.5.2 Alat/Instrumen Penelitian ............................................................ 34
4.6 Definisi Istilah/Operasional................................................................... 35
4.7 Prosedur Penelitian/Pengumpulan Data ............................................... 36
4.7.1 Kuersetin .................................................................................... 36
4.7.1.1 Prinsip Analisis Kuersetin ..................................................... 36
4.7.1.2 Prosedur Analisis Kuersetin.................................................. 36
4.7.1.3 Penentuan Kandungan Kuersetin ......................................... 41
x
4.7.2 Vitamin C.................................................................................... 41
4.7.2.1 Prinsip Analisis Vitamin C ..................................................... 41
4.7.2.2 Prosedur Analisis Vitamin C ................................................. 42
4.7.2.3 Penentuan Kandungan Vitamin C ......................................... 45
4.7.3 Alur Penelitian ............................................................................ 46
4.7.3.1 Alur Penelitian Kuersetin ...................................................... 46
4.7.3.2 Alur Penelitian Vitamin C ..................................................... 47
4.8 Analisa Data ........................................................................................ 47
BAB 5. HASIL .............................................................................................. 49
5.1 Karakteristik Fisik Buah Apel Manalagi dengan Perendaman dalam
Larutan Natrium Metabisulfit dan blanching .......................................... 49
5.2 Kandungan Kuersetin Buah Apel Manalagi dengan Perendaman
dalam Larutan Natrium Metabisulfit dan blanching ................................ 50
5.3 Kandungan Vitamin Buah C Apel Manalagi dengan Perendaman
dalam Larutan Natrium Metabisulfit dan Blanching ............................... 52
BAB 6. PEMBAHASAN ............................................................................... 54
6.1 Karakteristik Fisik Buah Apel Manalagi dengan Perendaman dalam
Larutan Natrium Metabisulfit dan blanching .......................................... 54
6.2 Kandungan Kuersetin Buah Apel Manalagi dengan Perendaman
dalam Larutan Natrium Metabisulfit dan blanching ................................ 57
6.3 Kandungan Vitamin Buah C Apel Manalagi dengan Perendaman
dalam Larutan Natrium Metabisulfit dan Blanching ............................... 58
6.4 Implikasi terhadap Bidang Gizi ............................................................. 59
6.5 Keterbatas dan Kelemahan Penelitian.................................................. 61
BAB 7. PENUTUP........................................................................................ 62
7.1 Kesimpulan ......................................................................................... 62
7.2 Saran .................................................................................................. 62
Daftar pustaka .............................................................................................. 64
Pernyataan Keaslian Tulisan ........................................................................ 69
Lampiran ...................................................................................................... 70
xi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Kandungan 100 g Buah Apel ......................................................... 11
Tabel 2.2 Kandungan Kuersetin dalam 100 g Bahan Makanan ...................... 15
Tabel 2.3 Kandungan Vitamin C dalam 100 g Bahan Makanan ..................... 21
Tabel 4.1 Kelompok Perlakuan Analisis Kuersetin ......................................... 31
Tabel 4.2 Kelompok Perlakuan Analisis Vitamin C ........................................ 31
Tabel 5.1 Waktu Terjadinya Browning Buah Apel Manalagi saat Proses
Blender ......................................................................................... 50
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Buah Apel ................................................................................ 7
Gambar 2.2 Struktur Kimia Kuersetin ........................................................... 13
Gambar 2.3 Struktur Kimia Vitamin C ........................................................... 16
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian ..................................................... 27
Gambar 4.1 Diagram Alur Penelitian Kuersetin............................................. 46
Gambar 4.2 Diagram Alur Penelitian Vitamin C ............................................ 47
Gambar 5.1 Karakteristik Fisik Buah Apel Manalagi (Potong dan Blender)
pada Kelompok Kontrol, Perendaman dalam Larutan Natrium
Metabisulfit, dan Blanching ....................................................... 49
Gambar 5.2 Grafik Kandungan Kuersetin pada Buah Apel Manalagi dengan
Perendaman dalam Larutan Natrium Metabisulfit dan
Blanching ................................................................................. 51
Gambar 5.3 Grafik Kandungan Vitamin C pada Buah Apel Manalagi dengan
Perendaman dalam Larutan Natrium Metabisulfit dan
Blanching ................................................................................. 52
xiii
DAFTAR SINGKATAN
CAS : Chemical Abstracts Service
PPO : Polyphenol oxidase
IUPAC : The International Union of Pure and Applied Chemistry
RAL : Rancangan Acak Lengkap
HPP : High Pressure Processing
LDL : Low Density Lipoproteins
HIV : Human Immunodeficiency Virus
BPOM : Badan Pengawasan Obat dan Makanan
WHO : World Health Organization
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Randomisasi Sampel.................................................................. 70
Lampiran 2 Desain Layout ............................................................................ 71
Lampiran 3 Diagram Alur Pembuatan Kurva Kalibrasi Kuersetin .................... 72
Lampiran 4 Diagram Alur Pembuatan Kurva Kalibrasi Vitamin C.................... 73
Lampiran 5 Hasil Uji Statistik ........................................................................ 74
Lampiran 6 Perhitungan ............................................................................... 76
Lampiran 7 Kurva Standar ............................................................................ 77
Lampiran 8 Panjang Gelombang Maksimum Kuersetin dan Vitamin C ........... 78
Lampiran 9 Hasil Absorbansi sampel ............................................................ 80
Lampiran 10 Dokumentasi Penelitian ............................................................ 82
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara penghasil buah apel. Produksi
buah apel Indonesia pada tahun 2014 sebesar 242.915 ton dan Jawa timur
merupakan provinsi penghasil buah apel terbesar di Indonesia dengan total pro-
duksi sebanyak 242.762 ton di tahun yang sama (Kementerian Pertanian, 2015).
Kota Batu merupakan kota penghasil apel terbesar di Indonesia yang dikenal oleh
masyarakat secara luas dengan jumlah produksi 708.438 kwintal pada tahun 2014
(BPS Kota Batu, 2015). Buah apel merupakan salah satu buah yang digemari oleh
masyarakat dan merupakan 10 buah yang paling banyak di konsumsi di Indonesia
dengan jumlah konsumsi buah apel penduduk Indonesia 0.89kg/kapita/tahun pada
tahun 2013 (Kementerian PPN/Bappenas, 2013).
Terdapat lima varietas buah apel yang dibudidayakan di Kota Batu, di
antaranya Manalagi, Rome Beauty, Anna, Wangli dan Granny Smith. Buah apel
varietas Rome Beauty, Manalagi dan Anna merupakan varietas buah apel lokal
yang banyak digunakan dalam industri dan dikonsumsi oleh masyarakat (Ichda &
Estiasih, 2015). Ketiga varietas tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan,
seperti varietas Manalagi memiliki rasa paling manis; Rome beauty memiliki
kandungan zat gizi paling tinggi; dan Anna dengan tekstur daging yang lunak. Dari
ketiganya yang paling banyak diminati adalah varietas Manalagi, selain karena
rasanya yang paling manis, buah Apel Manalagi memiliki aroma buah yang harum
dan kulit buah yang lebih tebal sehingga dapat bertahan lebih lama yakni sekitar
2
satu bulan. Oleh karena itu buah Apel Manalagi banyak dipilih oleh masyarakat
sebagai buah tangan khas Kota Batu dan Malang (batutimes.com, 2015). Selain
dikonsumsi dalam bentuk segar, buah Apel Manalagi merupakan varietas yang
biasa digunakan dalam industri kecil menengah untuk membuat berbagai macam
produk makanan seperti, sari buah apel, minuman sari buah apel, minuman rasa
apel, dan keripik (Hapsari & Estiasih, 2015; BPS Kota Batu, 2015).
Buah apel merupakan bahan makanan sumber flavonoid yang berfungsi
sebagai antioksidan, antiinflamasi, antibiotik, dan antivirus. Flavonoid yang paling
banyak terkandung dalam buah apel dan memiliki aktivitas antioksidan paling
tinggi adalah kuersetin (Lee et al., 2003). Aktivitas antioksidan yang tinggi pada
kuersetin, membuat kuersetin mampu melindungi tubuh dari penyakit degeneratif
dengan mencegah terjadinya proses perosidaksi lemak (Waji & Sugrani, 2009).
Kandungan kuersetin dalam buah apel sebesar 4,01 mg/100g (Bhagwat et
al., 2014). Kandungan kuersetin pada buah apel dipengaruhi oleh berbagai hal,
seperti varietas, cara pengolahan, dan browning. Varietas apel mempengaruhi
kandungan kuersetin, dapat dilihat dari antar varietas apel seperti Rome beauty
dan manalagi memiliki kandungan kuersetin yang berbeda (Cempaka et al., 2014).
Selain varietas cara pengolahan buah apel dengan cara juicing, blending, dan
digoreng atau dimasak dapat menurunkan kandungan kuersetin (Waji dan
Sugrani, 2009; Cempaka et al., 2014). Proses browning pada sayur dan buah juga
berhubungan dengan penurunan kandungan zat antioksidan (Irawati, 2013).
Zat gizi lain yang juga diperlukan oleh tubuh sebagai antioksidan adalah
vitamin C. Sebagai antioksidan vitamin C berperan dalam melawan radikal bebas
yang dapat menyebabkan kerusakan sel tubuh (Lee & Smith, 2000). Vitamin C
merupakan vitamin yang paling banyak terdapat dalam buah apel dibandingkan
3
dengan vitamin lainnya yakni sebanyak 6 mg/100g (Roe et al., 2013). Seperti
halnya kuersetin kadar vitamin C pada buah apel dipengaruhi oleh beberapa hal
yakni, pengolahan, penyimpanan, dan browning. Pengolahan dengan cara
pengeringan menggunakan matahari, microwave, uap panas, dehidrasi osmotik,
dan pengeringan beku serta penyimpanan menunjukkan adanya penurunan kadar
vitamin C, (Santos & Silva, 2008; Muchlisun et al., 2015). Penurunan kadar vitamin
C berhubungan dengan rusaknya vitamin C pada saat proses pengolahan dan
penyimpanan sehingga memicu terjadinya browning. Rusaknya vitamin C
membentuk kelompok karbonil reaktif sebagai prekursor yang berperan dalam
pembentukan pigmen cokelat atau browning (García-Torres et al., 2009).
Browning atau pencokelatan terjadi akibat reaksi enzimatik maupun non
enzimatik. Terjadinya browning pada buah apel merupakan reaksi enzimatik yang
disebabkan karena adanya aktivitas antara enzim polyphenol oxidase (PPO)
dalam buah apel dengan oksigen sehingga menyebabkan terbentuknya warna
cokelat (Isyuniarto & Purwadi, 2007). Selain menurunkan kandungan nutrisi,
browning juga dapat menurunkan kualitas dan nilai ekonomis pada buah apel
maupun olahannya, oleh karena itu dilakukan upaya pencegahan browning
enzimatis dalam industri maupun pada masyarakat.
Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah browning enzimatis adalah
dengan blansir, pendinginan, pembekuan, mengubah pH, HPP (High Pressure
Processing), dehidrasi, iradiasi, penambahan inhibitor, ultrafiltrasi, dan ultra-
sonikasi. Selain itu juga dilakukan dengan melakukan perendaman pada beberapa
larutan, seperti larutan asam askorbat, asam sitrat, asam asetat, natrium metabi-
sufit, larutan gula, dan air mendidih (Zulfahnur et al., 2009). Dari larutan tersebut
yang paling efektif dan yang paling banyak digunakan di Industri kecil menengah
4
adalah perendaman dalam larutan natrium metabisulfit dan air mendidih (Zulfahnur
et al., 2009; Hapsari & Estiasih, 2015).
Natrium metabisulfit merupakan zat anti browning yang dapat menghambat
aktivasi enzim polyphenol oxidase (PPO) melalui pembentukan ikatan disulfida
dengan enzim PPO yang menghambat reaksi dengan oksigen sehingga mence-
gah terjadinya browning (Wardhani et al., 2016). Perendaman dalam natrium
metabisulfit merupakan cara paling efektif dalam mencegah browning pada buah
dan sayur di bandingkan dengan asam asetat dan asam askorbat (Zulfahnur et al.,
2009). Penelitian lain menyebutkan penggunaan natrium metabisulfit tujuh kali
lebih efektif mengurangi pembentukan warna cokelat dibandingkan dengan asam
askorbat (Tan et al., 2015). Perendaman dalam larutan natrium metabisulfit 2%
selama 2 menit sebelum dilakukan wrapping efektif menurunkan perubahan warna
pada kelapa muda selama masa simpan. Selain itu perendaman dalam natrium
metabisulfit sebelum dilakukan wrapping memperpanjang masa simpan hingga 12
hari dibandingkan kelompok perlakuan tanpa perendaman (Por et al., 2012).
Air mendidih juga digunakan untuk mencegah terjadinya browning dengan
cara blanching. Blanching merupakan proses memanaskan bahan makanan
degan suhu kurang dari 100°C menggunakan air panas atau uap panas. Pada
pembuatan apel Manalagi celup, blanching dimanfaatkan untuk mempertahankan
kualitas karena dapat mengurangi terjadinya browning. Blanching menggunakan
air dengan suhu 70°C selama 2 menit menunjukkan kecerahan warna paling tinggi
pada pembuatan apel celup (Muchlisun et al., 2015).
Upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya browning selain dapat
memberikan manfaat dengan menjaga kualitas dan nilai ekonomis juga diperkira-
kan dapat menurunkan kandungan zat gizi dalam buah apel. Pada perendaman
5
dalam larutan dimungkinkan dapat menurunkan kandungan zat gizi seperti vitamin
C karena hilang atau terlarut dalam proses tersebut. Oleh karena itu perlu
dilakukan penelitian mengenai pengaruh upaya pencegahan browning enzimatis
pada kandungan zat gizi kuersetin dan vitamin C agar manfaatnya sebagai
antoksidan untuk mengatasi berbagai masalah kesehatan dapat diperoleh secara
maksimal.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apakah terdapat perbedaan kandungan kuersetin dan vitamin C Apel
(Malus sylvestris Mill) varietas Manalagi pada metode pencegahan
browning enzimatis (larutan natrium metabisulfit dan blanching)?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui perbedaan kandungan kuersetin dan vitamin C Apel (Malus
sylvestris Mill) varietas Manalagi pada metode pencegahan browning enzimatis
(larutan natrium metabisulfit dan blanching).
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Mengetahui kandungan kuersetin dan vitamin C Apel (Malus sylvestris Mill)
varietas Manalagi pada metode pencegahan browning enzimatis dengan
perendaman dalam larutan natrium metabisulfit.
1.3.2.2 Mengetahui kandungan kuersetin dan vitamin C Apel (Malus sylvestris Mill)
varietas Manalagi pada metode pencegahan browning enzimatis dengan
blanching.
6
1.3.2.3 Mengetahui perbedaan kandungan kuersetin dan vitamin C Apel (Malus
sylvestris Mill) Manalagi antar metode pencegahan browning enzimatis
dengan perendaman dalam larutan natrium metabisulfit dan blanching.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Akademik
1.4.1.1 Bagi peneliti
Untuk menambah pengetahuan dan menerapkan teori yang telah diperoleh
selama proses perkuliahan.
1.4.1.2 Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai bentuk pengembangan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan kadar
kuersetin dan vitamin C pada buah apel.
1.4.2 Manfaat Praktis
Manfaat praktis bagi industri pangan adalah sebagai informasi mengenai
upaya pencegahan browning enzimatis pada buah apel yang mudah dan tepat
untuk meminimalkan terjadinya kehilangan kuersetin dan vitamin C tanpa
mempengaruhi kualitas dan nilai ekonomis hasil akhir produk. Bagi masyarakat
adalah memberikan informasi mengenai upaya pencegahan browning enzimatis
pada buah apel yang mudah dan tepat untuk mempertahankan kandungan
kuersetin dan vitamin C, sehingga manfaat kuersetin dan vitamin C sebagai
antioksidan untuk mengatasi berbagai masalah kesehatan dapat diperoleh secara
maksimal.
7
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Apel
2.1.1 Karakteristik Apel
Gambar dari buah apel yang banyak di jumpai dalam masyarakat disajikan
dalam gambar 2.1 di bawah ini:
Gambar 2.1 Buah Apel
Apel merupakan tanaman buah tahunan yang berasal dari Asia Barat. Di
Indonesia apel mulai ditanam mulai tahun 1934 hingga saat ini. Sentra produksi
apel berada di Indonesia salah satunya berada di Malang (Batu dan
Poncokusumo) dan Pasuruan (Nongkojajar). Di daerah ini apel telah diusahakan
sejak tahun 1950, dan berkembang pesat pada tahun 1960 hingga saat ini. Daerah
lain yang banyak ditanami apel adalah Jawa Timur (Kayumas-Situbondo,
Banyuwangi), Jawa Tengah (Tawangmangu), Bali (Buleleng dan Tabanan), Nusa
Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Selatan (Menegristek, 2000).
Tanaman apel dapat tumbuh dengan baik pada iklim subtropis, akan tetapi
tanaman apel juga dapat dibudidayakan pada daerah beriklim tropis. Untuk dapat
berkembang di daerah tropis tanaman apel membutuhkan curah hujan yang ideal
8
sebesar 1.000-2.600 mm/tahun dengan hari hujan 110-150 hari/tahun. Curah
hujan yang tinggi saat berbunga akan menyebabkan bunga gugur sehingga tidak
dapat menjadi buah. Tanaman apel membutuhkan cahaya matahari yang cukup
antara 50-60% setiap harinya, terutama saat pembungaan. Suhu yang sesuai
berkisar 16-27 °C dengan kelembaban udara sekitar 75-85% (Menegristek, 2000).
Tanaman apel dapat tumbuh dan berbuah baik pada ketinggian 700-1200
m dpl, dengan ketinggian optimal 1000-1200 m dpl. Tanaman apel tumbuh dengan
baik pada tanah yang bersolum dalam, mempunyai lapisan organik tinggi, dan
struktur tanahnya remah dan gembur, mempunyai aerasi, penyerapan air, dan
porositas baik, sehingga pertukaran oksigen, pergerakan hara dan kemampuan
penyimpanan air optimal. Tanah yang cocok adalah latosol, andosol dan regosol
dengan derajat keasaman tanah (pH) berkisar 6-7. Dalam pertumbuhannya
tanaman apel membutuhkan kandungan air tanah yang cukup oleh karena itu
kandungan air tanah yang dibutuhkan adalah air tersedia. Kelerengan tanah yang
terlalu tajam akan menyulitkan perawatan tanaman, sehingga perlu dibuat
terasiring (Menegristek, 2000).
Pada umumnya buah apel dapat dipanen pada umur 4-5 bulan setelah
bunga mekar, tergantung pada varietas dan iklim. Pemanenan paling baik
dilakukan pada saat tanaman mencapai tingkat masak fisiologis (ripening), yaitu
tingkat di mana buah mempunyai kemampuan untuk menjadi masak normal
setelah dipanen. Ciri masak fisiologis buah adalah: ukuran buah terlihat maksimal,
aroma mulai terasa, warna buah tampak cerah segar dan bila ditekan terasa kres.
Periode panen buah apel adalah enam bulan sekali berdasarkan siklus
pemeliharaan yang telah dilakukan. Pemanenan buah apel dilakukan dengan cara
memetik buah dengan tangan secara serempak untuk setiap kebun. Jumlah
9
produksi buah apel sangat tergantung dengan varietas, secara umum produksi
apel adalah 6-15 kg/pohon (Menegristek, 2000).
2.1.2 Macam-macam Varietas Apel
Dari spesies Malus sylvestris Mill ini, terdapat bermacam-macam varietas
yang memiliki ciri-ciri atau kekhasan tersendiri. Beberapa varietas apel unggulan
antara lain: Manalagi, Rome Beauty, dan Anna.
a) Manalagi
Buah Apel Manalagi merupakan buah apel yang diperkenalkan dari
Belanda yang kemudian dibudidayakan di Indonesia. Buah Apel Manalagi
berbentuk bulat dengan diameter 4-7 cm dan berat buah antara 75-160 g/buah.
Buah Apel Manalagi berwarna hijau muda kekuningan dan berpori jarang
berwarna putih. Daging buah Apel Manalagi berwarna putih kekuningan, berasa
manis, dan memiliki aroma yang kuat dengan tekstur yang kenyal. Tanaman Apel
Manalagi tumbuh dengan baik di dataran tinggi antara 700-1.200 m dpl dengan
tipe iklim kering. Usia tanaman Apel Manalagi adalah 2 tahun, biasanya satu
tanaman Apel Manalagi dapat menghasilkan buah apel sebanyak 7,5 kg
(Keputusan Menteri Pertanian, 1984).
b) Rome Beauty
Sama seperti buah Apel Manalagi, buah Apel Rome Beauty juga berasal
dari Negara Belanda. Buah Apel Rome Beauty berwarna hijau dengan semburat
merah. Bagian buah Apel Rome Beauty yang terkena sinar matahari akan
berwarna merah, sedangkan bagian lain yang tidak terkena sinar matahari tetap
berwarna hijau. Buah Apel Rome Beauty berbentuk bulat hingga jorong dengan
diameter buah sepanjang 5-12 cm dan berat berkisar antara 75-300 g/buah.
Warna daging buah Apel Rome Beauty adalah putih kekuningan dengan tekstur
10
buah yang keras dan kasar serta beraroma buah apel yang lemah. Kadar asam
malat buah Apel Rome Beauty 0,956/100 g dan kadar asam sukrosa 12,08%/100
g, oleh karena itu buah Apel Rome Beauty memiliki cita rasa yang segar. Tanaman
Apel Rome Beauty baik dibudidayakan pada ketinggian 700-1.200 m dpl dengan
iklim kering. Tanaman Apel Rome Beauty akan mulai berbunga setelah berusia 2
tahun, dengan rata-rata produksi buah dari satu pohon adalah 15 kg (Keputusan
Menteri Pertanian, 1989).
c) Anna
Sejak tahun 2005 buah apel varietas Anna menjadi salah satu bibit unggul
tanaman apel di Indonesia. Buah apel Anna berasal dari negara Israel, yang ke-
mudian dibudidayakan di Indonesia. Buah apel Anna memiliki ciri-ciri berwarna
merah cerah, berbentuk bulat sampai jorong (long conical), tinggi buah berkisar
antara 7,2-8,6 cm, dan diameter 6 -7 cm. Selain itu buah apel Anna memiliki warna
daging buah yang kuning keputihan dengan karakteristik daging yang lunak dan
berair serta beraroma kuat. Beradaptasi dengan baik di dataran tinggi dengan
ketinggian lebih dari 1000 m dpl, dengan kelembaban rendah (Keputusan Menteri
Pertanian, 2005).
Dari ketiga varietas di atas, yang paling banyak diminati adalah varietas
Manalagi, selain karena rasanya yang paling manis, buah Apel Manalagi memiliki
aroma buah yang harum dan kulit buah yang lebih tebal sehingga dapat bertahan
lebih lama yakni sekitar satu bulan. Oleh karena itu buah Apel Manalagi banyak
dipilih oleh masyarakat sebagai buah tangan khas Kota Batu dan Malang
(batutimes.com, 2015). Selain dikonsumsi dalam bentuk segar, buah apel
Manalagi merupakan salah satu varietas yang biasa digunakan dalam industri kecil
menengah untuk membuat berbagai macam produk makanan seperti, sari buah
11
apel, minuman sari buah apel, minuman rasa apel, dan keripik buah (Hapsari &
Estiasih, 2015; BPS Kota Batu, 2015).
2.1.3 Kandungan Buah Apel
Kandungan dalam buah apel antar varietas berbeda-beda, kandungan
buah apel dalam 100 g berdasarkan varietasnya disajikan dalam tabel 2.1.
Tabel 2.1 Kandungan 100 g Buah Apel
Kriteria Manalagi Rome
Beauty Anna
Vitamin C (mg/100 mL) 6,6 7,04 5,28 Total Asam (%) 0,52 0,56 0,61 pH 4,27 3,60 3,54 Aktivitas Antioksidan (%) 6,53 10,19 5,50 Gula pereduksi (%) 6,96 8,85 8,09 Total padatan terlarut (°Brix) 17,10 15,30 12,90
(Susanto & Setyohadi, 2011)
Berdasarkan tabel 2.1, kandungan vitamin C pada buah apel dengan
urutan dari yang paling tinggi ke rendah adalah Rome Beauty, Manalagi, dan Anna.
Akan tetapi total asam yang paling rendah adalah pada buah apel varietas
Manalagi, oleh karena itu buah Apel Manalagi memiliki rasa yang paling manis
sehingga banyak peminatnya (Olgawati et al., 2013). Penelitian di Surakarta pada
tahun 2013 menunjukkan bahwa tingkat konsumsi apel lokal sebesar 59 % jenis
apel lokal yang paling diingat adalah apel manalagi, 53 % apel lokal yang paling
sering dikonsumsi adalah jenis manalagi (Olgawati et al., 2013).
2.2 Kuersetin
2.2.1 Gambaran Umum Kuersetin
Flavonoid merupakan kelompok besar antioksidan bernama polifenol yang
terdiri dari antosianidin, biflavon, flavonon, flavon, dan flavonol. Kuersetin
termasuk dalam kelompok flavonol dan merupakan kelompok flavonol dengan
12
jumlah terbesar dan jumlah glikosida sebanyak 60-75% dari flavonoid. Kuersetin
merupakan flavonoid dengan aktivitas antioksidan paling tinggi dibandingkan
flavonoid lain dan vitamin C. Aktivitas antioksidan kuersetin sebesar 40,39
VCEAC/100 g dengan kontribusi 34,7% (Lee et al., 2003). Karena aktivitas anti-
oksidanya yang tinggi, kuersetin dipercaya dapat melindungi tubuh dari penyakit
degeneratif dengan mencegah terjadinya proses peroksidase lemak. Kuersetin
juga mencegah proses oksidasi Low Density Lipoproteins (LDL) dengan cara me-
nangkap radikal bebas dan menghelat ion logam transisi (Waji & Sugrani, 2009).
2.2.2 Sifat Kuersetin
Makanan yang telah digoreng atau dimasak memiliki kandungan kuersetin
yang lebih rendah. Pemasakan makanan dapat menyebabkan terjadinya proses
degradasi oleh panas (Waji & Sugrani, 2009). Kuersetin merupakan aglycone yang
kekurangan pasangan gula. Kuersetin memiliki warna kuning citron cemerlang dan
sepenuhnya tidak larut dalam air dingin, sukar larut dalam air panas, akan tetapi
cukup larut dalam alkohol dan lemak (Kelly, 2011). Berikut ini adalah karakteristik
kuersetin (Waji & Sugrani, 2009):
a. Nama IUPAC : 3,5,7,3’,4’-pentahydroxyflavone
b. Nomor CAS : 117-39-5
c. Forumula molekular : C15H10O7
d. Masa molar : 302.236 g/mol
e. Densitas : 1.799 g/cm2
f. Titik leleh : 316⁰C
Ketika flavonoid kuersetin berinteraksi pada radikal bebas, kuersetin
mendonorkan protonnya dan menjadi senyawa radikal, tetapi elektron tidak
berpasangan yang dihasilkan didelokalisasi oleh resonansi, hal ini membuat
13
senyawa kuersetin radikal memiliki energi yang sangat rendah untuk menjadi
radikal yang aktif (Waji & Sugrani, 2009).
2.2.3 Susunan Kimia Kuersetin
Struktur kimia kuersetin dapat dilihat pada gambar 2.2 di bawah ini:
Gambar 2.2 Struktur Kimia Kuersetin (Kelly, 2011)
Tiga gugus dari struktur kuersetin pada gambar 2.2 yang membantu
kuersetin dalam menjaga kestabilan dan bertindak sebagai antioksidan ketika
bereaksi dengan radikal bebas antara lain:
1) Gugus O-Hidroksil pada cincin B
2) Gugus 4-oxo dalam konjugasi dengan alkena 2,3
3) Gugus 3- dan 5- hidroksil
Gugus fungsi tersebut dapat mendonorkan elektron kepada cincin yang
akan meningkatkan jumlah resonansi dari struktur benzena senyawa kuersetin.
Kebanyakan flavonoid terikat pada gula dalam bentuk alamiahnya yaitu O-
Glikosida, di mana proses hidroksilasi dapat terjadi pada gugus hidroksil mana
saja untuk menghasilkan gula. Bentuk glikosida kuersetin yang paling umum di-
temukan adalah kuersetin gugus glikosida pada posisi 3 (Waji & Sugrani, 2009).
2.2.4 Fungsi Kuersetin
Berikut ini adalah manfaat kuersetin dalam mengatasi berbagai masalah
kesehatan:
14
1) Asma
Terdapat penelitian yang menyebutkan bahwa kejadian asma menurun
dengan konsumsi makanan tinggi flavonoid. Apabila dibandingkan dengan
kaemferol dan miricetin, kuersetin menunjukkan hasil yang paling signifikan
dalam menurunkan kejadian asma. Kejadian asma menurun pada kelompok
usia 39-53 tahun dengan konsumsi kuersetin 2,8 mg/hari dan hubungan yang
paling kuat adalah sumber kuersetin dari buah apel diikuti buah jeruk (Knekt
et al., 2002). Kuersetin menurunkan patologi asma secara signifikan dengan
recuirement esinofil dan neutrofil, aktivasi sel epitel bronkus, produksi kolagen
dan lendir, serta hiperreaktivitas jalan napas (Fortunato et al., 2012).
2) Penyakit Jantung Iskemik
Angka mortalitas pada penyakit jantung iskemik menurun secara signifikan
berhubungan dengan konsumsi kuersetin dan mirisetin (Knekt et al., 2002).
3) Kanker
Total kejadian kanker juga menurun berkaitan dengan konsumsi makanan
sumber flavonoid seperti kuersetin, kaemferol dan mirisetin. Kejadian kanker
yang menurun paling signifikan berhubungan dengan konsumsi kuersetin
adalah kanker payudara diikuti dengan kanker paru-paru (Knekt et al., 2002).
4) Diabetes Melitus Tipe 2
Konsumsi makanan tinggi kuersetin dan mirisetin menurunkan resiko diabetes
tipe 2. Hasil dengan hubungan yang paling signifikan adalah dengan konsumsi
sumber kuersetin dan mirisetin pada buah apel dan beri (Knekt et al., 2002).
2.2.5 Bahan Makanan Sumber Kuersetin
Kuersetin banyak terdapat dalam buah dan sayur, seperti: apel, bawang
putih, anggur, jeruk bali, jeruk, kol putih, dan beri (Knekt et al., 2002). Kandungan
15
kuersetin pada buah apel berbeda-beda tergantung dari varietas apel tersebut,
rata-rata kandungan kuersetin dalam buah apel sebanyak 340,9 mg/L. Untuk
varietas Rome Beauty sebanyak 477,96 mg/L, Manalagi sebanyak 406,57 mg/L,
Fuji sebanyak 272,79 mg/L, dan Red Delicious sebanyak 206,54 mg/L (Cempaka
et al., 2014). Kandungan kuersetin dalam 100 g bahan makanan disajikan dalam
tabel 2.2 berikut ini:
Tabel 2.2 Kandungan Kuersetin dalam 100 g Bahan Makanan
Bahan Makanan Kuersetin (mg/100 g)
Apel dengan kulit 4,01 Brokoli (mentah) 2,25 Bawang (mentah) 12,60 Bayam (mentah) 3,97 Daun teh hitam (kering) 204,66 Daun teh hijau (kering) 255,55 Anggur merah (wine) 0,84
(Waji & Sugrani, 2009; Bhagwat et al., 2014)
Dari tabel 2.2 diketahui bahwa bahan makanan dengan kandungan
kuersetin dalam 100 g paling tinggi adalah daun teh hijau (kering) dan daun teh
hitam (kering). Meskipun kandungan kuersetin dalam daun teh kering sangat tinggi
akan tetapi daun teh kering sebanyak 100 g bukan merupakan ukuran porsi yang
memungkinkan untuk dikonsumsi. Bahan makanan dengan jumlah porsi yang
mungkin dikonsumsi dan memiliki kandungan kuersetin yang cukup tinggi adalah
apel, bayam, dan brokoli.
Kandungan kuersetin pada buah apel dipengaruhi oleh berbagai hal,
seperti varietas, cara pengolahan, dan browning. Varietas apel mempengaruhi
kandungan kuersetin, dapat dilihat dari antar varietas apel seperti Rome beauty
dan manalagi memiliki kandungan kuersetin yang berbeda (Cempaka et al., 2014).
Selain varietas cara pengolahan buah apel dengan cara juicing dan blending,
dapat menurunkan kandungan kuersetin karena adanya proses pemisahan kulit
16
dengan daging buah dan penambahan air (Cempaka et al., 2014). Cara pengolah-
an dengan digoreng atau dimasak juga dapat menurunkan kandungan kuersetin
karena terjadi proses degradasi oleh panas (Waji dan Sugrani, 2009). Proses
browning pada sayur dan buah juga berhubungan dengan penurunan kandungan
zat antioksidan (Irawati, 2013).
2.3 Vitamin C
2.3.1 Gambaran Umum Vitamin C
Vitamin C adalah vitamin yang larut dalam air yang diperlukan untuk
pertumbuhan dan perkembangan tubuh secara normal. Vitamin C juga berfungsi
sebagai antioksidan yang membantu menjaga ikatan jaringan kolagen protein,
melindungi terhadap infeksi, dan membantu penyerapan zat besi. Vitamin C atau
asam askorbat juga diperlukan dalam tubuh untuk membentuk kolagen dalam
tulang, tulang rawan, otot, dan pembuluh darah (The University of North Dakota,
2010). Jika dibandingkan dengan vitamin lain yang terdapat dalam buah apel,
kandungan vitamin C adalah yang paling tinggi yakni sebanyak 6 mg/100 g (Roe
et al., 2013).
2.3.2 Susunan Kimia Vitamin C
Struktur kimia dari vitamin C dapat dilihat pada gambar 2.3 berikut ini:
Gambar 2.3 Struktur Kimia Vitamin C (Compound Interest, 2015)
17
Asam askorbat (vitamin C) adalah turunan heksosa dan diklasifikasikan
sebagai karbohidrat yang erat berkaitan dengan monosakarida. Vitamin C dapat
biosintesis dari D-glukosa dan D-galaktosa dalam tumbuh-tumbuhan dan sebagian
besar hewan. Vitamin C terdapat dalam dua bentuk di alam, yaitu L-asam askorbat
(bentuk tereduksi) dan L-asam dehidro askorbat (bentuk teroksidasi). Kedua
bentuk vitamin C aktif secara biologi tetapi bentuk tereduksi adalah yang paling
aktif (Almatsier, 2009).
2.3.3 Sifat Vitamin C
Vitamin C adalah kristal putih mudah larut dalam air. Dalam keadaan kering
vitamin C cukup stabil, tetapi dalam keadaan larut, vitamin C mudah rusak karena
bersentuhan dengan udara (oksidasi) terutama bila terkena panas. Oksidasi
dipercepat dengan kehadiran tembaga dan besi. Vitamin C tidak stabil dalam
larutan alkali, tetapi cukup stabil dalam larutan asam. Vitamin c adalah vitamin
yang paling labil (Almatsier, 2009).
2.3.4 Metabolisme Vitamin C
Vitamin C mudah diabsorpsi secara aktif dan mungkin pula secara difusi
pada bagian atas usus halus lalu masuk ke dalam peredaran darah melalui vena
porta. Rata-rata absorpsi adalah 90% untuk konsumsi di antara 20-120 mg perhari.
Konsumsi tinggi sampai 12 gram (sebagai pil) hanya diabsorpsi sebanyak 16%.
Vitamin C kemudian dibawa ke semua jaringan. Konsentrasi tertinggi adalah di
dalam jaringan adrenal, pituitari, dan retina (Almatsier, 2009).
Tubuh dapat menyimpan hingga 1500 mg vitamin C bila dikonsumsi
mencapai 100 mg sehari. Jumlah ini dapat mencegah terjadinya skorbut selama
tiga bulan. Tanda-tanda skorbut akan terjadi bila persediaan tinggal 300 mg.
Konsumsi melebihi taraf kejenuhan berbagai jaringan dikeluarkan melalui urin
18
dalam bentuk asam oksalat. Pada konsumsi melebihi 100 mg sehari kelebihan
akan dikeluarkan sebagai asam askorbat atau sebagai karbon dioksida melalui
pernapasan. Walaupun tubuh mengandung sedikit vitamin C, sebagian akan tetap
dikeluarkan (Almatsier, 2009).
Status vitamin C tubuh ditetapkan melalui tanda-tanda klinik dan pengukur-
an kadar vitamin C di dalam darah. Tanda-tanda klinik antara lain: pendarahan
gusi dan pendarahan kapiler di bawah kulit yang muncul jika kadar vitamin C dalam
darah <0,2 mg/dL (Almatsier, 2009).
2.3.5 Fungsi Vitamin C
Berikut ini adalah manfaat Vitamin C dalam mengatasi beberapa penyakit:
1) Alergi dan asma
Vitamin C terdapat dalam permukaan jalan napas paru-paru, dan tingkat
vitamin C yang cukup berkaitan dengan konstriksi bronkus dan penurunan fungsi
paru-paru. Suplemen vitamin C membantu menurunkan gejala asma (The
University of North Dakota, 2010). Penderita asma memiliki jumlah vitamin C
dalam serum darah dan sel darah putih yang rendah. Vitamin C juga menurunkan
level dari histamin darah dan terbukti mencegah konstriksi bronkial. Gejala asma
pada orang dewasa dikaitkan dengan asupan makanan yang rendah buah, asupan
antioksidan vitamin C dan mangan, dan kadar plasma vitamin C yang rendah.
Terdapat penelitian yang menyebutkan bahwa konsumsi vitamin C sebanyak 78,4
mg/hari dapat menurunkan risiko dan diagnosa asma pada responden usia 45-75
tahun (Patel et al., 2006).
2) Pencegahan Kanker dan penyakit jantung
Vitamin C adalah antioksidan yang dikenal berhubungan dengan penurunan
risiko kanker perut, paru-paru, usus, mulut, dan prostat (The University of North
19
Dakota, 2010). Vitamin C dapat mencegah dan menyembuhkan kanker, kemung-
kinan karena vitamin C dapat mencegah pembentukan nitrosamin yang bersifat
karsinogenik. Selain itu peran vitamin C sebagai antioksidan diduga dapat mem-
pengaruhi pembentukan sel tumor. Vitamin C diduga dapat menurunkan taraf
trigliserida yang berperan dalam terjadinya penyakit jantung (Almatsier, 2009).
3) Pencegahan katarak
Studi jangka panjang suplemen vitamin C mempengaruhi pengembangan
katarak dengan mengurangi risiko katarak, khususnya di kalangan wanita.
Asupan vitamin C yang cukup pada wanita di bawah 60 tahun mengurangi risiko
terkena katarak sebesar 57% (The University of North Dakota, 2010).
4) Produksi kolagen
Vitamin C membantu tubuh dalam pembuatan kolagen, yang merupakan
senyawa protein yang mengikat sel bersama-sama dan merupakan bagian jaring-
an ikat di seluruh tubuh. Vitamin C diperlukan untuk hidroksilasis prolin dan lisin
menjadi hidroksiprolin, bahan penting dalam pembentukan kolagen. Kolagen
penting untuk pembentukan dan kesehatan yang sedang berlangsung kulit, tulang
rawan, ligamen, kornea mata, dan jaringan tubuh lainnya. Vitamin C juga diduga
membantu penyembuhan luka dan cedera yang lebih cepat karena perannya
dalam produksi kolagen (The University of North Dakota, 2010; Almatsier, 2009).
5) Kontrol Diabetes
Suplemen vitamin C dapat membantu penderita diabetes dalam mengontrol
kadar gula darah dan meningkatkan metabolisme (The University of North Dakota,
2010).
6) Pencegahan penyakit kandung empedu
Sebuah studi pada lebih dari 13.000 subyek yang diterbitkan dalam Archives
20
in Internal Medicine menemukan bahwa wanita yang mengonsumsi suplemen
vitamin C kurang dari 34% memungkinkan untuk terjangkit penyakit kandung
empedu dan batu empedu (The University of North Dakota, 2010).
7) Penguat sistem kekebalan
Vitamin C meningkatkan produksi sel darah putih yang penting untuk
keseimbangan sistem kekebalan tubuh. Kadar vitamin C yang rendah meningkat-
kan risiko terjadinya infeksi. Vitamin C sering diresepkan pada pasien positif HIV
untuk melindungi sistem kekebalan tubuh (The University of North Dakota, 2010).
Vitamin C meningkatkan daya tahan terhadap infeksi pemelihara-an terhadap
membran mukosa atau pengaruh terhadap fungsi kekebalan (Almatsier, 2009).
8) Neurotransmiter dan pembangun hormon
Vitamin C sangat penting untuk mengonversi zat tertentu menjadi neurotrans-
miter yang merupakan zat kimia otak untuk transmisi impuls saraf di sinaps (ruang
antara neuron, atau sel saraf). Neurotransmiter seperti serotonin, dopamin, dan
epinefrin berperan dalam berfungsinya sistem saraf pusat, dan jika terjadi keku-
rangan neurotransmiter dapat mengakibatkan penyakit jiwa. Selain itu, vitamin C
juga membantu tubuh memproduksi hormon adrenalin (The University of North
Dakota, 2010).
2.3.6 Bahan Makanan Sumber Vitamin C
Semua buah-buahan dan sayuran mengandung beberapa jumlah vitamin
C, seperti: paprika hijau, buah jeruk dan jus jeruk, stroberi, tomat, brokoli, lobak
hijau dan sayuran hijau lainnya, ubi jalar, melon, pepaya, mangga, semangka,
kubis, kembang kol, paprika merah, raspberry, blueberry, cranberry, serta nanas
(The University of North Dakota, 2010). Berikut ini adalah daftar kandungan
vitamin C dalam 100 g beberapa jenis bahan makan disajikan dalam tabel 2.3.
21
Tabel 2.3 Kandungan Vitamin C dalam 100 g Bahan Makanan
Bahan Makanan mg Bahan Makanan mg Kentang mentah 14 Tomat 30 Jagung manis 1 Leci 1 Bawang merah 3 Pisang 9 Brokoli 79 Apel 6 Jamur 1 Anggur 2 Wortel 2 Pir 3 Kubis 47 Stroberi 57 Buncis 8 Melon 8 Pak Choi 15 Jeruk 52
(Roe et al., 2013)
Dari tabel 2.3 dapat diketahui bahwa bahan makanan golongan sayur
dengan kandungan vitamin C paling tinggi adalah kubis dan yang paling rendah
adalah jagung manis dan jamur. Sedangkan golongan buah, yang memiliki kan-
dungan vitamin C paling tinggi adalah stroberi dan yang paling rendah adalah leci.
Pada buah apel kandungan vitamin C dipengaruhi oleh beberapa hal yakni
pengolahan, penyimpanan, dan browning. Pengolahan dengan cara pengeringan
menggunakan matahari, microwave, uap panas, dehidrasi osmotik, dan penge-
ringan beku menunjukkan adanya penurunan kadar vitamin C. Semakin lama
waktu pengeringan dan semakin tinggi suhu pengeringan akan menurunkan
vitamin C, karena vitamin C merupakan zat gizi yang mudah rusak oleh panas.
Penurunan kadar vitamin C pada saat proses pengeringan juga disebabkan
karena hilangnya kandungan air dalam buah maupun sayur (Santos & Silva 2008;
Muchlisun et al. 2015).
Selain metode pengolahan, penyimpanan juga mempengaruhi kandungan
vitamin C. Terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa penyimpanan jus stroberi
dalam suhu ruang setelah 8 jam menunjukkan penurunan kadar vitamin C yang
lebih tinggi jika dibandingkan dengan penyimpanan pada suhu refrigerator, selain
itu penyimpanan jus stroberi dengan penambahan gula mencegah penurunan
22
kadar vitamin C dibandingkan dengan jus stroberi tanpa penambahan gula (Sapei
& Hwa 2014). Penurunan kadar vitamin C berhubungan dengan rusaknya vitamin
C pada saat proses pengolahan dan penyimpanan sehingga memicu terjadinya
browning. Rusaknya vitamin C membentuk kelompok karbonil reaktif sebagai
prekursor yang berperan dalam pembentukan pigmen cokelat atau browning
(Clegg 1964 dalam Lee & Chen 1998).
2.4 Browning
2.4.1 Pengertian Browning
Browning atau pencokelatan terjadi akibat dari reaksi enzimatik maupun
non enzimatik. Terjadinya browning pada buah merupakan reaksi enzimatik yang
disebabkan karena adanya aktivitas enzim polyphenol oxidase (PPO) dan oksigen
(Isyuniarto & Purwadi, 2007). Reaksi oksidasi dari senyawa fenol terjadi dengan
bantuan enzim polifenol oksidasi (PPO) yang berperan sebagai katalis sehingga
menghasilkan kuinon yang menimbulkan warna coklat (Pardede, 2013).
2.4.2 Metode Pencegahan Browning Enzimatis
Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya browning
enzimatis adalah dengan, blansir, pendinginan, pembekuan, mengubah pH,
dehidrasi, iradiasi, High Pressure Processing (HPP), penambahan inhibitor,
ultrafiltrasi, dan ultrasonikasi. Selain itu juga dapat dilakukan dengan melakukan
perendaman pada beberapa larutan, seperti larutan asam askorbat, asam sitrat,
asam asetat, metabisufit, larutan gula, dan air mendidih (Zulfahnur et al., 2009).
1) Natrium metabisulfit
Natrium metabisulfit merupakan zat anti browning yang dapat menghambat
aktivasi enzim polyphenol oxidase (PPO) melalui pembentukan ikatan disulfida
23
dengan enzim PPO yang menghambat reaksi dengan oksigen sehingga dapat
mencegah terjadinya browning (Wardhani et al., 2016). Perendaman dalam
natrium metabisulfit merupakan cara paling efektif dalam mencegah browning
pada buah dan sayur dibandingkan dengan asam asetat dan asam askorbat
(Zulfahnur et al., 2009). Penelitian lain menyebutkan penggunaan natrium
metabisulfit tujuh kali lebih efektif mengurangi pembentukan warna cokelat
dibandingkan dengan asam askorbat (Tan et al., 2015). Natrium metabisulfit juga
berperan sebagai antimikroba serta dapat menjaga kandungan vitamin C oleh
karena itu natrium metabisulfit juga dimanfaatkan sebagai bahan pengawet
makanan (Wedzicha, 1984).
Perendaman dalam larutan natrium metabisulfit 2% selama 2 menit sebelum
dilakukan wrapping atau pembungkusan efektif menurunkan perubahan warna
pada kelapa muda selama masa simpan. Selain itu perendaman dalam natrium
metabisulfit sebelum dilakukan wrapping memperpanjang masa simpan hingga 12
hari dibandingkan kelompok perlakuan tanpa perendaman yang hanya 2 hari.
Perendaman dengan larutan natrium metabisulfit 2% atau 5% selama 2 menit
sebelum dilakukan wrapping atau pembungkusan menunjukkan perbedaan yang
tidak signifikan, sehingga pada penelitian ini digunakan konsentrasi natrium
metabisulfit 2% karena jumlah natrium metabisulfit yang boleh dikonsumsi
maksimal 0-0,7mg/kgBB (Por et al., 2012; BPOM RI, 2012).
Selain digunakan sebagai zat anti browning, natrium metabisulfit juga
berfungsi sebagai antimikroba dan antioksidan. Pada pH 4,5 atau lebih rendah, ion
bisulfit dan asam sulfit mempunyai jumlah yang dominan, sedangkan pada pH 3
yang dominan adalah asam sulfit. Asam sulfit yang tidak terdisosiasi inilah yang
akan menghambat pertumbuhan mikroba, karena asam sulfit lebih mudah
24
berpenetrasi ke dalam dinding sel mikroba (Chandra dan Inggrid, 2013). Fungsi
lain natrium metabisulfit adalah sebagai antioksidan di mana natrium metabisulfit
mampu menjaga derivat xanton dan vitamin C tetap stabil (Rowe et al., 2009).
Hasil organoleptik pada buah tomat yang direndam dengan natrium
metabisulfit 6% selama 5 menit menunjukkan warna yang baik dan penurunan
pertumbuhan jamur jika dibandingkan dengan perendaman dalam air garam 10%
selama 5 menit (Latapi dan Barrett, 2003). Penambahan natrium metabisulfit pada
pembuatan krim santan sebanyak 300 ppm menghasilkan total mikroba yang
memenuhi kriteria SNI, stabilitas visual yaitu 99%, memiliki aroma yang tidak
tengik, memiliki warna putih, dan tekstur yang tidak berlendir hingga pada
penyimpanan hari ke 3 (Rianto et al., 2016).
2) Blanching
Air mendidih juga digunakan untuk mencegah terjadinya browning dengan
cara blanching. Blanching merupakan proses memanaskan bahan makanan
degan suhu kurang dari 100°C menggunakan air panas atau uap panas. Air panas
menyebabkan protein pada enzim PPO yakni enzim yang menyebabkan
terjadinya browning terdenaturasi dan menjadi tidak aktif. Pada pembuatan apel
Manalagi celup, blanching dimanfaatkan untuk mempertahankan kualitas karena
dapat mengurangi terjadinya pembentukan pigmen cokelat atau browning.
Blanching menggunakan air dengan suhu 70°C selama 2 menit menunjukkan
kecerahan warna paling tinggi dibandingkan dengan pada suhu 60°C pada
pembuatan apel celup (Muchlisun et al., 2015). Oleh karena itu pada penelitian ini
sampel diberi perlakuan blanching pada suhu 70°C selama 2 menit.
3) Asam sitrat
Asam sitrat merupakan senyawa intermediet dari asam organik berbentuk
25
kristal atau serbuk putih. Sifat-sifat asam sitrat antara lain: mudah larut dalam air,
spiritus, dan ethanol, tidak berbau, rasanya sangat asam, serta jika dipanaskan
akan meleleh kemudian terurai yang selanjutnya terbakar sampai menjadi arang.
Asam sitrat menghambat terjadinya pencokelatan karena dapat membuat ion
tembaga menjadi komplek yang dalam hal ini berperan sebagai katalis dalam
reaksi pencokelatan. Selain itu, asam sitrat juga dapat menghambat pencokelat-
an dengan cara menurunkan pH seperti halnya pada asam asetat sehingga
enzim PPO menjadi inaktif (Zulfahnur et al., 2009).
4) Larutan Gula
Larutan sirup gula juga dapat berfungsi untuk menghambat terjadinya
browning enzimatis karena larutan gula dapat memberikan lapisan atau mantel
sehingga mencegah permukaan buah dapat kontak dengan oksigen. Cara ini
merupakan cara tertua yang digunakan untuk mencegah reaksi browning
enzimatis. Di samping itu, larutan gula dapat menurunkan pH sehingga enzim
PPO menjadi inaktif. Semakin tinggi konsistensi pemanis dalam larutan menye-
babkan pH menurun, hal ini disebabkan karena gula mempunyai sifat cooling
effect (Zulfahnur et al., 2009).
5) Asam Askorbat
Asam askorbat dalam percobaan ini merupakan senyawa pereduksi kuat
yang bersifat asam di alam, membentuk garam netral dengan basa, dan memiliki
kelarutan air yang tinggi (Martin 1994 dalam Zulfahnur et al., 2009). Asam
askorbat dan garam-garam netral serta turunannya merupakan antioksidan yang
digunakan pada buah-buahan dan sayuran dan juga pada jus buah untuk
pencokelatan dan reaksi oksidatif lainnya. Asam askorbat bertindak sebagai
antioksidan karena oksigen akan mengoksidasi askorbat bukan senyawa fenolik
26
sehingga dapat menghambat atau menurunkan terjadinya reaksi pencokelatan
(Zulfahnur et al., 2009).
6) Asam Asetat
Asam asetat merupakan asam organik kuat. Asam asetat menghambat
pencokelatan dengan cara menurunkan pH lingkungan sampai pH-nya di bawah
3, sementara pH optimum PPO pada buah pir adalah sekitar 5-7, oleh sebab itu
PPO tersebut menjadi inaktif (Zulfahnur et al., 2009).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Zulfahnur et al. pada tahun 2009,
menunjukkan bahwa cara pencegahan browning yang paling efektif adalah
dengan perendaman dalam larutan metabisulfit. Terbukti dengan perendaman
dalam larutan metabisulfit dapat mencegah terjadinya browning dalam waktu yang
paling lama yakni selama 45 menit. Penelitian lain menyebutkan penggunaan
natrium metabisulfit tujuh kali lebih efektif mengurangi pembentukan warna cokelat
dibandingkan dengan asam askorbat (Tan et al., 2015). Selain lebih efektif dan
harganya yang murah, natrium metabisulfit juga dapat berperan sebagai anti
mikroba serta menjaga kandungan vitamin C (Wedzicha, 1984). Metode lain
pencegahan browning yang banyak digunakan dan mudah dilakukan adalah
dengan perendaman dalam air panas atau blanching. Pengaruh blanching dengan
air panas dapat menghambat terjadinya browning meskipun tidak sebaik larutan
metabisulfit yakni hingga 30 menit (Zulfahnur et al., 2009). Pada pembuatan apel
Manalagi celup, blanching dimanfaatkan untuk mempertahankan kualitas karena
dapat mengurangi terjadinya pembentukan pigmen cokelat atau browning
(Muchlisun et al., 2015). Oleh karena itu pada penelitian ini dipilih metode
pencegahan browning enzimatis menggunakan larutan natrium metabisulfit dan
blanching.
27
BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Konsep Penelitian
Keterangan
: variabel diteliti
: variabel tidak diteliti
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian
Buah Apel Manalagi merupakan salah satu buah yang banyak
dibudidayakan di Indonesia khususnya Kota Batu. Buah Apel Manalagi juga
Buah Apel Manalagi
Kuersetin 4,01 mg/100 g
Metode pengolahan
Browning enzimatis
Varietas
Blanch-ing
Natrium metabi-
sulfit
Larutan gula
Asam sitrat
Asam askor-
bat
Asam asetat
Kandungan kuersetin dan vitamin C dapat dipertahankan (optimal)
Vitamin C 6 mg/100 g
Metode pengolahan
Metode Penyimpanan
Penurunan Vitamin C
Segar tanpa perlakuan
28
merupakan buah yang banyak dikonsumsi masyarakat dan digunakan oleh industri
sebagai bahan dasar pembuatan berbagai produk makanan. Buah apel
mengandung kuersetin sebanyak 4,7mg/100 g. Kandungan kuersetin pada buah
apel termasuk tinggi dan lebih bisa diterima oleh masyarakat jika dibandingkan
dengan bahan makanan lain. Kandungan kuersetin pada buah apel dipengaruhi
oleh beberapa hal yaitu metode pengolahan, varietas dari buah apel dan browning
enzimatik. Selain kuersetin buah apel juga mengandung vitamin yang dibutuhkan
oleh tubuh. Vitamin yang paling banyak terdapat dalam buah apel adalah vitamin
C yakni 6 mg/100 g. Kandungan vitamin C dalam buah apel dipengaruhi oleh cara
pengolahan dan penyimpanan. Cara pengolahan dan metode penyimpanan yang
tidak tepat dapat menurunkan kandungan vitamin C yang dapat memicu
pembentukan pigmen cokelat atau browning dan pada akhirnya akan mem-
pengaruhi kandungan kuersetin.
Browning enzimatik menyebabkan penurunan kualitas buah apel, oleh
karena itu dilakukan berbagai upaya pencegahan browning. Browning dapat
dicegah melalui beberapa cara, yaitu dengan perendaman dalam: air panas,
natrium metabisulfit, asam sitrat, larutan gula, asam askorbat, dan asam asetat.
Dari beberapa metode tersebut, yang paling efektif dan paling banyak digunakan
adalah perendaman dalam larutan natrium metabisulfit dan air mendidih atau
blanching. Oleh karena itu dilakukan penelitian perbedaan kandungan kuersetin
dan vitamin C buah Apel Manalagi pada upaya pencegahan browning enzimatik
dengan perendaman dalam larutan natrium metabisulfit dan blanching. Dari
penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang cara pencegahan
browning enzimatik yang paling baik untuk mempertahankan kandungan kuersetin
dan vitamin C agar manfaatnya dapat diperoleh secara maksimal.
29
3.2 Hipotesis Penelitian
Terdapat perbedaan kandungan kuersetin dan vitamin C buah Apel
Manalagi pada metode pencegahan browning enzimatik dengan perendaman
dalam larutan natrium metabisulfit dan blanching.
30
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode eksperimen
laboratorik. Penelitian ini mengkaji perbedaan kandungan kuersetin dan vitamin C
buah Apel Manalagi pada metode pencegahan browning enzimatis dengan
perendaman dalam larutan natrium metabisulfit dan blanching. Rancangan
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap
(RAL). Taraf perlakuan penelitian dibedakan berdasarkan kelompok kontrol dan
metode pencegahan browning enzimatis. Penelitian dilakukan dengan 3 taraf
perlakuan dan setiap taraf perlakuan dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali untuk
menghindari bias, sehingga total sampel yang digunakan sebanyak 9 sampel
untuk satu variabel.
Perhitungan yang digunakan untuk menghitung besarnya pengulangan
menggunakan rumus sebagai berikut (Hanafiah, 2004):
(rt - 1) - (t - 1) ≥ V2 (3r - 1) - (3 - 1) ≥ 6 (3r - 1) - 2 ≥ 6 3r - 1 ≥ 8 3r ≥ 9 r ≥ 3 Keterangan: V2 = derajat bebas galat t = banyaknya perlakuan yang dicoba r = banyaknya pengulangan
Kelompok perlakuan analisis kandungan kuersetin disajikan dalam tabel 4.1
31
Tabel 4.1 Kelompok Perlakuan Analisis Kuersetin
Perlakuan Pengulangan Perlakuan
1 2 3
P0 P01 P02 P03 P1 P11 P12 P13 P2 P21 P22 P23
Σ Sampel 9 Keterangan: P0 = Kontrol P1 = Larutan Natrium Metabisulfit 2% P2 = Blanching
Pada tabel 4.1 kelompok perlakuan untuk analisis kandungan kuersetin
diberi dengan tanda P. P0 merupakan kelompok kontrol di mana buah apel
dibiarkan dalam keadaan segar tanpa perlakuan. Pada kelompok perlakuan
dengan perendaman dalam larutan natrium metabisulfit diberi tanda P1 dan
kelompok perlakuan blanching diberi tanda P2. P0, P1, dan P2 diikuti angka 1, 2,
dan 3 yang menunjukkan perlakuan pengulangan.
Untuk analisis kandungan vitamin C kelompok perlakuan dapat dilihat pada
tabel 4.2 di bawah ini:
Tabel 4.2 Kelompok Perlakuan Analisis Vitamin C
Perlakuan Pengulangan Perlakuan
1 2 3
P0 P01 P02 P03 P1 P11 P12 P13 P2 P21 P22 P23
Σ Sampel 9 Keterangan: P0 = Kontrol P1 = Larutan Natrium Metabisulfit 2% P2 = Blanching
Pada tabel 4.2 kelompok perlakuan untuk analisis kandungan vitamin C
diberi dengan tanda P. P0 merupakan kelompok kontrol di mana buah apel
dibiarkan dalam keadaan segar tanpa perlakuan. Pada kelompok perlakuan
dengan perendaman dalam larutan natrium metabisulfit diberi tanda P1 dan
32
kelompok perlakuan blanching diberi tanda P2. P0, P1, dan P2 diikuti angka 1, 2,
dan 3 yang menunjukkan perlakuan pengulangan.
4.1.1 Randomisasi dan Desain Layout Analisis Kuersetin
Agar setiap sampel percobaan mendapat peluang yang sama untuk
mendapat perlakuan maka dalam pengambilan sampel dilakukan pengacakan,
dengan langkah sebagai berikut:
1) Memberi nomor urut 1 sampai 9 pada sampel.
2) Mengambil bilangan random sebanyak jumlah sampel percobaan dengan
menggunakan rumus RAND pada Microsoft Excel.
3) Memberi ranking pada bilangan random yang diperoleh. Ranking sampel
disajikan dalam lampiran 1.
4) Dari hasil randomisasi menunjukkan bahwa perlakuan P0 dilakukan pada
sampel bernomor 5, 7, dan 3; perlakuan P1 dilakukan pada sampel 2, 4, dan
8; dan perlakuan P2 dilakukan pada sampel bernomor 9, 6, dan 1.
5) Memasukkan jenis perlakuan tiap sampel percobaan dalam desain layout.
Desain layout disajikan dalam lampiran 2.
4.1.2 Randomisasi dan Desain Layout Analisis Vitamin C
Agar setiap sampel percobaan mendapat peluang yang sama untuk
mendapat perlakuan maka dalam pengambilan sampel dilakukan pengacakan,
dengan langkah sebagai berikut:
1) Memberi nomor urut 1 sampai 9 pada sampel.
2) Mengambil bilangan random sebanyak jumlah sampel percobaan dengan
menggunakan rumus RAND pada Microsoft Excel.
3) Memberi ranking pada bilangan random yang diperoleh. Ranking sampel
disajikan dalam lampiran 1.
33
4) Dari hasil randomisasi menunjukkan bahwa perlakuan P0 dilakukan pada
sampel bernomor 3, 4, dan 6; perlakuan P1 dilakukan pada sampel 1, 5, dan
2; dan perlakuan P2 dilakukan pada sampel bernomor 7, 9, dan 8.
5) Memasukkan jenis perlakuan tiap sampel percobaan dalam desain layout.
Desain layout disajikan dalam lampiran 2.
4.2 Sampel Penelitian
Sampel yang digunakan untuk penelitian ini adalah buah apel varietas
Manalagi dengan usia panen 100-114 hari setelah bunga mekar, dengan berat
antara 80-100 g, berbentuk bulat dengan diameter 5-6 cm, berwarna hijau muda
kekuningan dengan pori jarang berwarna putih serta beraroma harum manis yang
kuat. Buah Apel Manalagi diukur kandungan kuersetin dan vitamin C pada saat
masih segar (tanpa perlakuan), setelah perendaman dalam larutan natrium
metabisulfit dan blanching. Bagian buah Apel Manalagi yang akan diuji dan diberi
perlakuan adalah daging beserta kulitnya.
4.3 Variabel Penelitian
4.3.1 Variabel Bebas
Buah Apel Manalagi segar tanpa upaya pencegahan browning enzimatis dan
dengan upaya pencegahan browning enzimatis, yaitu: perendaman dalam larutan
natrium metabisulfit dan blanching.
4.3.2 Variabel Terikat
1) Kandungan kuersetin dan vitamin C pada buah Apel Manalagi segar.
34
2) Kandungan kuersetin dan vitamin C pada buah Apel Manalagi dengan
perendaman dalam larutan natrium metabisulfit.
3) Kandungan kuersetin dan vitamin C pada buah Apel Manalagi dengan
blanching.
4.4 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2017 di tempat wisata petik apel
Kelompok Tani Makmur Abadi, Bumiaji, Batu sebagai tempat pengambilan sampel
dan Laboratorium Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya untuk
pengujian kandungan kuersetin dan vitamin C.
4.5 Bahan dan Alat/Instrumen Penelitian
4.5.1 Bahan Penelitian
Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk penelitian ini, yaitu: buah Apel
Manalagi 9 buah, natrium metabisulfit 8 g, kuersetin 1 g, etanol absolut 250 mL,
NaNO2 2 g, AlCl3 3 g, NaOH 6, akuades 3 L, asam askorbat 1 g, asam sitrat 7 g,
Na2HPO4 6 g, dan natrium oksalat 1 g.
4.5.2 Alat/Instrumen Penelitian
Alat-alat yang dibutuhkan untuk penelitian ini, yaitu: Pemanas atau heater,
termometer, pisau stainless steel, timbangan digital, gelas ukur, talenan, spatula,
sendok stainless steel, tissue, paper towel, kaca arloji, blender, pipet volum,
tabung reaksi, kertas saring whatman 41, kuvet, spektrofotometer UV-visible,
sarung tangan, falcon 10 mL, centrifuge, corong, gelas beker, tabung erlenmeyer,
vortex, blue tip, pipet mikro, alumunium foil, dan stirer.
35
4.6 Definisi Istilah/Operasional
a. Buah Apel Manalagi adalah buah apel lokal dengan usia panen 100-114 hari
setelah bunga mekar dengan berat antara 80-100 g, berbentuk bulat dengan
diameter 5-6 cm, berwarna hijau muda kekuningan dengan pori jarang
berwarna putih serta beraroma harum manis yang kuat. Buah apel yang
digunakan adalah daging beserta kulitnya. Dinyatakan dalam ukuran gram
dengan skala data rasio.
b. Kandungan kuersetin adalah jumlah kuersetin pada buah apel segar, buah
apel dengan perendaman dalam larutan natrium metabisulfit dan blanching
yang diuji menggunakan metode spektofotometri. Pengujian kuersetin
dilakukan dengan segera setelah perendaman dalam larutan natrium
metabisulfit dan blanching selama 2 menit. Kandungan kuersetin diukur
dengan pengukuran absorbansi kuersetin pada panjang gelombang
maksimum dan dinyatakan dalam satuan miligram per 100 gram buah dengan
skala data rasio.
c. Kandungan vitamin C adalah jumlah vitamin C pada buah apel segar, buah
apel dengan perendaman dalam larutan natrium metabisulfit dan blanching
yang diuji menggunakan metode spektofotometri. Pengujian vitamin C
dilakukan dengan segera setelah perendaman dalam larutan natrium
metabisulfit dan blanching selama 2 menit. Kandungan vitamin C diukur
dengan pengukuran absorbansi vitamin C pada panjang gelombang
maksimum dan dinyatakan dalam satuan miligam per 100 gram dengan skala
data rasio.
d. Larutan natrium metabisulfit adalah bahan pengawet organik yang memiliki
keefektifan paling tinggi untuk mencegah terjadinya proses browning
36
enzimatis. Buah Apel Manalagi dipotong menjadi 4 bagian dan direndam
dalam 100 mL larutan natrium metabisulfit 2% selama 2 menit. Hasilnya
dinyatakan dalam satuan milliliter dan skala datanya adalah rasio.
e. Blanching merupakan proses memanaskan bahan makanan pada suhu
kurang dari 100 °C. Buah Apel Manalagi dipotong menjadi 4 bagian dan
direndam dalam 100 mL air bersuhu 70 °C selama 2 menit. Hasilnya
dinyatakan dalam satuan milliliter dan skala datanya adalah rasio.
4.7 Prosedur Penelitian/Pengumpulan Data
4.7.1 Kuersetin
4.7.1.1 Prinsip Analisis Kuersetin
Penentuan kandungan kuersetin dilakukan dengan kolorimetri komplementer AlCl3
yang menggunakan prinsip pengukuran berdasarkan pembentukan warna.
Penentuan kandungan kuersetin menggunakan kolorimetri AlCl3 adalah
berdasarkan pembentukan kompleks antara AlCl3 dengan gugus keto pada atom
C-4 dan juga dengan gugus hidroksi pada atom C-3 atau C-4, di mana kuersetin
merupakan flavonoid golongan flavonol yang mempunyai gugus keto pada C-4
dan memiliki gugus hidroksi pada atom C-3 atau C-5 (Desmiaty et al., 2009;
Cahyanta, 2016). Panjang gelombang maksimum yang dihasilkan dari pengukuran
kuersetin adalah 356 nm.
4.7.1.2 Prosedur Analisis Kuersetin
1) Pembuatan reagen analisis kuersetin
i. Larutan NaNO2 5%
Melarutkan NaNO2 sebanyak 1,5 g ke dalam 30 mL akuades menggunakan
tabung erlenmeyer.
37
ii. Larutan AlCl3 10%
Melarutkan AlCl3 sebanyak 3 g ke dalam 30 mL akuades menggunakan
tabung erlenmeyer.
iii. Larutan NaOH 4%
Melarutkan NaOH sebanyak 6 g ke dalam 150 mL akuades menggunakan
tabung erlenmeyer.
2) Pembuatan larutan induk kuersetin 1000, 100, dan 10 ppm
i. Larutan kuersetin 1000 ppm
Melarutkan 10 mg kuersetin ke dalam 10 mL etanol, kemudian di-vortex
hingga homogen.
ii. Larutan kuersetin 100 ppm
Larutan kuersetin 1000 ppm diambil sebanyak 1 mL dan dimasukkan ke
dalam tabung falcon 10 mL kemudian ditambahkan etanol hingga tanda
batas.
iii. Larutan kuersetin 10 ppm
Larutan kuersetin 100 ppm diambil sebanyak 1 mL dan dimasukkan ke
dalam tabung falcon 10 mL kemudian ditambahkan etanol hingga tanda
batas.
3) Penentuan panjang gelombang maksimum larutan kuersetin
Dari larutan kuersetin 100 ppm, diambil sebanyak 1 mL, kemudian
ditambahkan etanol absolut hingga volume mencapai 5 mL untuk membuat
larutan kuersetin 20 ppm. Dari larutan kuersetin 20 ppm, diambil sebanyak 0,5
mL dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian direaksikan dengan
reagen berikut ini:
38
i. Ditambahkan dengan akuades 2 mL dan NaNO2 5% 0,15 mL kemudian
didiamkan selama 6 menit.
ii. Ditambahkan AlCl3 10% 0,15 mL, kemudian didiamkan selama 6 menit.
iii. Ditambahkan NaOH 4% 2 mL dan akuades 0,2 mL atau hingga volume
mencapai 5 mL, kemudian didiamkan selama 15 menit.
iv. Dimasukkan ke dalam dalam kuvet ± 3 mL untuk selanjutnya diukur
absorbansi maksimum menggunakan spektrofotometer pada panjang
gelombang 200-550 nm dengan menggunakan blangko etanol absolut.
4) Pembuatan kurva kalibrasi kuersetin
Dari larutan kuersetin 10 ppm diambil dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi
masing-masing sebesar 0,5 mL, 0,75 mL, 1 mL, 1,25 mL, 2,5 mL dan 3,75 (1
ppm, 1,5 ppm, 2 ppm, 2,5 ppm, 5 ppm, dan 7,5 ppm), kemudian ditambahkan
etanol absolut hingga volumenya mencapai 5 mL. Dari larutan kuersetin 100
ppm diambil dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi masing-masing sebesar
0,5 mL, 0,625 mL, 0,75 mL, 0,875mL, 1 mL, 1,125 mL, 1,25 mL, 1,375 mL,
1,5 mL, 1,625 mL, 1,75 mL, 1,875 mL, dan 2 mL (10 ppm, 12,5 ppm, 15 ppm,
17,5 ppm, 20 ppm, 22,5 ppm, 25 ppm, 27,5 ppm, 30 ppm, 32,5 ppm, 35 ppm,
37,5 ppm, dan 40 ppm) kemudian ditambahkan etanol absolut hingga
volumenya mencapai 5 mL. Larutan di atas masing-masing diambil sebanyak
0,5 mL dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian direaksikan
dengan reagen berikut ini:
i. Ditambahkan dengan akuades 2 mL dan NaNO2 5% 0,15 mL kemudian
didiamkan selama 6 menit.
ii. Ditambahkan AlCl3 10% 0,15 mL, kemudian didiamkan selama 6 menit.
39
iii. Ditambahkan NaOH 4% 2 mL dan akuades 0,2 mL atau hingga volume
mencapai 5 mL, kemudian didiamkan selama 15 menit.
iv. Dimasukkan ke dalam dalam kuvet ± 3 mL untuk selanjutnya diukur
absorbansinya menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang
maksimum yang diperoleh yakni 356 nm.
Alur penelitian nomor 1 sampai 4 disajikan dalam bentuk diagram alur pada
lampiran 3.
5) Melakukan persiapan sampel, yaitu:
a. Membuat larutan natrium metabisulfit 2% dengan melarutkan 2 g bubuk
natrium metabisulfit ke dalam akuades hingga volume mencapai 100 mL.
b. Membuat air mendidih dengan memanaskan air hingga bersuhu 70°C
untuk blanching.
c. Sebelum diberi perlakuan, buah apel dicuci terlebih dahulu dengan
menggunakan sabun cuci pada air mengalir, kemudian ditimbang.
d. Setelah dicuci, buah Apel Manalagi diberi 3 perlakuan, yaitu:
i. Buah apel dibiarkan dalam keadaan segar
Buah apel dipotong menjadi 4 bagian dan dibuang bijinya, lalu dihaluskan
menggunakan blender dengan kecepatan 3 selama 1 menit.
ii. Perendaman buah apel dalam larutan natrium metabisulfit
Buah apel dipotong menjadi 4 bagian dan dibuang bijinya, lalu direndam
dalam 100 mL larutan natrium metabisulfit 2% selama 2 menit, setelah itu
dihaluskan menggunakan blender dengan kecepatan 3 selama 1 menit.
iii. Blanching
Buah apel dipotong menjadi 4 bagian dan dibuang bijinya, lalu direndam
dalam 100 mL air bersuhu 70°C selama 2 menit, setelah itu dihaluskan
40
menggunakan blender dengan kecepatan 3 selama 1 menit. Untuk
menjaga suhu selama perlakuan, gelas beker diletakkan di atas stirer.
6) Setelah selesai perlakuan, sampel yang telah dihaluskan diambil sebanyak 1
g dan ditambahkan etanol hingga volume mencapai 10 mL kemudian di-vortex
dengan kecepatan 2500 rpm selama 1 menit sampai homogen.
7) Sampel yang telah homogen disaring menggunakan kertas saring whatman
nomor 41.
8) Sampel diencerkan sebanyak 4-6 kali agar mendapat absorbansi 0,463-0,845
dengan mengambil sampel sebanyak 1 mL dan ditambahkan etanol absolut
sesuai dengan faktor pengenceran.
9) Sampel yang telah diencerkan diambil sebanyak 0,5 mL lalu ditambahkan
dengan akuades 2 mL dan NaNO2 5% sebanyak 0,15 mL kemudian didiamkan
selama 6 menit.
10) Sampel ditambahkan AlCl3 10% 0,15 mL, kemudian didiamkan selama 6
menit.
11) Sampel ditambahkan NaOH 4% 2 mL dan akuades 0,2 mL atau hingga
volume mencapai 5 mL, kemudian didiamkan selama 15 menit.
12) Sampel dimasukkan ke dalam kuvet ± 3 mL, warna merah muda yang
terbentuk, diukur absorbansinya pada panjang gelombang maksimum yang
diperoleh yaitu 356 nm.
Pada saat uji kandungan kuersetin, satu sampel dianalisis terlebih dahulu sesuai
dengan prosedur nomor 5 sampai dengan 12 untuk kemudian dilanjutkan dengan
sampel yang lain.
41
4.7.1.3 Penentuan Kandungan Kuersetin
Penentuan kandungan kuersetin dilakukan dengan memasukkan hasil
pengukuran absorbansi ke dalam persamaan hubungan antara absorbansi dan
konsentrasi. Persamaan diperoleh dari kurva standar kuersetin setelah dilakukan
pengukuran absorbansi pada konsentrasi 0-40 ppm. Hasil pengukuran absorbansi
diperoleh persamaan y = 0,0091x + 0,4647, di mana y adalah absorbansi dan x
adalah konsentrasi dengan nilai R2 = 0,9877. Persamaan tersebut digunakan
untuk menentukan nilai x sampel dengan memasukkan nilai y sampel. Nilai x
sampel yang diperoleh selanjutnya dikalikan dengan faktor pengencer.
4.7.2 Vitamin C
4.7.2.1 Prinsip Analisis Vitamin C
Kandungan vitamin C dalam buah apel diukur menggunakan
spektrofotometer UV-Visible. Sebelum diuji sampel dihaluskan, disaring, dan
diencerkan untuk mendapatkan filtratnya yang kemudian diukur absorbansinya
untuk menentukan panjang gelombang maksimal pada rentang 200-400 nm.
Rentang 200-400 dipilih karena vitamin C berikatan rangkap, di mana molekul-
molekul dengan ikatan rangkaplah yang mempunyai energi eksitasi yang cukup
rendah yang menimbulkan penyerapan dalam daerah UV dekat (Wardani, 2012).
Pengukuran kandungan vitamin C menggunakan reagen natrium oksalat untuk
menstabilkan vitamin C pada buah apel sebelum diuji menggunakan spektro-
fotometri. Natrium oksalat 0,0056-0,011 mol/L dapat menstabilkan L-asam
askorbat selama 30 menit pada suhu ruang (Selimović et al., 2011; Tungriani et
al., 2012).
42
4.7.2.2 Prosedur Analisis Vitamin C
1) Pengecekan pH apel Manalagi
Buah Apel Manalagi dipotong untuk dicek pH-nya dengan menggunakan
kertas pH universal, dan didapatkan pH 4.
2) Pembuatan Larutan buffer fosfat sitrat pH 4
Larutan buffer fosfat sitrat dibuat dengan mencampurkan larutan asam sitrat
0,1 M dengan Na2HPO4 0,2 M.
i. Membuat larutan asam sitrat 0,1 M
Melarutkan asam sitrat sebanyak 6,148 g, ke dalam 320 mL akuades
menggunakan tabung erlenmeyer
ii. Membuat larutan Na2HPO4 0,2 M
Melarutkan Na2HPO4 sebanyak 5,678 g, ke dalam 200 mL akuades
menggunakan tabung erlenmeyer.
iii. Mencampurkan larutan asam sitrat 0,1 M dengan larutan Na2HPO4 0,2 M
Larutan asam sitrat dipipet sebanyak 307,25 mL tepat dimasukkan ke
dalam erlenmeyer, kemudian ditambahkan dengan larutan Na2HPO4 0,2 M
192,75 mL, dan diperoleh volume akhir 500 mL.
4) Pembuatan reagen natrium oksalat 0,01 N
Melarutkan natrium oksalat sebanyak 0,335 g ke dalam larutan buffer fosfat
sitrat pH 4 500 mL.
5) Pembuatan larutan induk vitamin C 1000 dan 100 ppm
i. Larutan vitamin C 1000 ppm
Melarutkan 10 mg asam askorbat ke dalam 10 mL akuades, kemudian di-
vortex hingga homogen.
ii. Larutan vitamin C 100 ppm
43
Larutan vitamin C 1000 ppm diambil sebanyak 1 mL dan dimasukkan ke
dalam tabung falcon 10 mL kemudian ditambahkan akuades hingga tanda
batas.
6) Penentuan panjang gelombang maksimum larutan vitamin C
Larutan vitamin C 100 ppm diambil sebanyak 0,5 mL dan ditambah akuades
hingga volume mencapai 5 mL untuk membuat konsentrasi 10 ppm. Larutan
vitamin C 10 ppm dipipet sebanyak 1 mL dan ditambahkan dengan 2 mL
larutan natrium oksalat 0,01 N. Kemudian dimasukkan ke dalam kuvet ±3 mL
untuk selanjutnya diukur absorbansi maksimum untuk mendapatkan panjang
gelombang maksimum menggunakan spektrofotometer pada panjang gelom-
bang 200-300 nm dengan menggunakan blangko akuades.
7) Pembuatan kurva kalibrasi vitamin C
i. Larutan vitamin C 100 ppm diambil dan dimasukkan ke dalam tabung
reaksi masing-masing sebanyak 0,375 mL, 0,5 mL, 0,625 mL, 0,75 mL, dan
0,875 mL (7,5 ppm, 10 ppm, 12,5 ppm, 15 ppm, 17,5 ppm, dan 20 ppm),
kemudian ditambahkan akuades sampai volumenya mencapai 5 mL, lalu
dihomogenkan.
ii. Masing-masing larutan di atas dipipet sebanyak 1 mL dan ditambahkan
reagen natrium oksalat 0,01 N sebanyak 2 mL. Setelah itu dimasukkan ke
dalam kuvet ±3 mL untuk selanjutnya diukur absorbansinya menggunakan
spektrofotometer pada panjang gelombang maksimum 261 nm.
Alur penelitian nomor 1 sampai 7 disajikan dalam bentuk diagram alur pada
lampiran 4.
8) Melakukan persiapan sampel, yaitu:
44
a) Membuat larutan natrium metabisulfit 2% dengan melarutkan 2 g bubuk
natrium metabisulfit ke dalam akuades 100 mL.
b) Membuat air mendidih dengan memanaskan air hingga bersuhu 70°C
untuk blanching.
c) Sebelum diberi perlakuan, buah apel dicuci terlebih dahulu dengan
menggunakan sabun cuci pada air mengalir, kemudian ditimbang.
d) Setelah dicuci, buah Apel Manalagi diberi 3 perlakuan, yaitu:
i. Buah apel dibiarkan dalam keadaan segar
Buah apel dipotong menjadi 4 bagian dan dibuang bijinya, lalu dihaluskan
menggunakan blender dengan kecepatan 3 selama 1 menit.
ii. Perendaman buah apel dalam larutan natrium metabisulfit
Buah apel dipotong menjadi 4 bagian dan dibuang bijinya, lalu direndam
dalam 100 mL larutan natrium metabisulfit 2% selama 2 menit, setelah itu
dihaluskan menggunakan blender dengan kecepatan 3 selama 1 menit.
iii. Blanching
Buah apel dipotong menjadi 4 bagian dan dibuang bijinya, lalu direndam
dalam 100 mL air bersuhu 70°C selama 2 menit, setelah itu dihaluskan
menggunakan blender dengan kecepatan 3 selama 1 menit. Untuk
menjaga suhu selama perlakuan, gelas beker diletakkan di atas stirer.
9) Setelah selesai perlakuan, sampel yang telah dihaluskan ditimbang sebanyak
2 g kemudian dimasukkan ke dalam tabung falcon 10 mL dan ditambahkan
larutan natrium oksalat pH 4 hingga volumenya mencapai 8 mL.
10) Sampel di-centrifuge dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit.
11) Sampel yang telah homogen disaring menggunakan kertas saring whatman
nomor 41.
45
12) Sampel diambil 1 mL lalu diencerkan 2-6 kali dengan menambahkan akuades
sesuai dengan faktor pengenceran.
13) Sampel diambil 1 mL dan ditambahkan larutan natrium oksalat 0,01 N pH 4
sebanyak 2 mL.
14) Sampel dimasukkan ke dalam kuvet ± 3 mL untuk diuji kandungan vitamin C-
nya dengan mengukur absorbansi pada panjang gelombang maksimum yang
diperoleh yakni 261 nm.
Pada saat uji kandungan vitamin C, satu sampel dianalisis terlebih dahulu sesuai
dengan prosedur nomor 8 sampai dengan 14 untuk kemudian dilanjutkan dengan
sampel yang lain.
4.7.2.3 Penentuan Kandungan Vitamin C
Penentuan kandungan vitamin C dilakukan dengan memasukkan hasil
pengukuran absorbansi ke dalam persamaan hubungan antara absorbansi dan
konsentrasi. Persamaan diperoleh dari kurva standar vitamin C setelah dilakukan
pengukuran absorbansi pada konsentrasi 7,5-20 ppm. Hasil pengukuran
absorbansi diperoleh persamaan y = 0,0378x - 0,0108, di mana y adalah
absorbansi dan x adalah konsentrasi dengan nilai R2 = 0,994. Persamaan tersebut
digunakan untuk menentukan nilai x sampel dengan memasukkan nilai y sampel.
Nilai x sampel yang diperoleh selanjutnya dikalikan dengan faktor pengencer.
46
4.7.3 Alur Penelitian
4.7.3.1 Alur Penelitian Kuersetin
Alur penelitian uji kuersetin disajikan pada gambar 4.1 di bawah ini:
Gambar 4.1 Diagram Alur Penelitian Kursetin
Uji spektrofotometri pada λ 356 nm
Ditambahkan etanol absolut hingga volume 10 mL
Analisis hasil dan pelaporan
Apel direndam dalam larutan natrium metabisulfit 2% selama 2
menit
Apel di Blanching pada air bersuhu 70°C selama 2 menit
Sampel Apel Manalagi
Sortasi Apel yang sesuai kriteria
Ditambahkan AlCl3 10% 0,15 mL, didiamkan 6 menit
Dihaluskan menggunakan blender
Divortex dengan kecepatan 2500 rpm selama 1 menit
Ditambahkan NaOH2 4% 2 mL dan akuades hingga volume mencapai 5 mL, didiamkan 15 menit
Ditambahkan akuades 2 mL dan NaNO2 5% 0,15 mL, didiamkan 6 menit
Sampel ditimbang 1 g
Disaring dengan kertas saring whatman 41
Dipipet 0,5 mL
Pengenceran sampel 4-6 kali
47
4.7.3.2 Alur Penelitian Vitamin C
Alur penelitian uji vitamin C disajikan pada gambar 4.1 di bawah ini:
Gambar 4.1 Diagram Alur Penelitian Kursetin
4.8 Analisis Data
Seluruh data yang diperoleh dari kedua analisis kandungan kuersetin dan
vitamin C, masing-masing akan diolah dan dianalisis dengan menggunakan
Sampel Apel Manalagi
Sortasi Apel yang sesuai kriteria
Di-centrifuge dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit
Apel direndam dalam larutan natrium metabisulfit 2% selama 2
menit
Apel di Blanching pada air bersuhu 70°C selama 2 menit
Dihaluskan menggunakan blender
Sampel ditimbang 1 g
Pengenceran sampel 2-6 kali
Menganalisis hasil dan pelaporan
Ditambahkan akuades hingga 8 mL
Disaring dengan kertas saring whatman 41
Ditambahkan reagen natrium oksalat 0,1 N 2 mL
Dipipet 1 mL
Uji spektrofotometri pada λ 261 nm
48
komputer dengan Software Statistical Product and Service Solution 16 PS (SPSS
16 PS). Hasil data yang diperoleh dilakukan uji normalitas untuk mengetahui
apakah data terdistribusi nomal dengan menggunakan Saphiro Wilk karena
sampel kurang dari 50. Data terdistribusi normal jika nilai p > 0,05. Selanjutnya
dilakukan uji homogenitas, untuk mengetahui apakah data homogen atau memiliki
varian yang sama, data homogen apabila nilai p > 0,05. Apabila data terdistribusi
normal, maka analisis data dilakukan dengan uji statistik One Way Analysis of
Variance (ANOVA) dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan
kandungan kuersetin dan vitamin C di antara ketiga kelompok perlakuan. Terdapat
perbedaan apabila nilai p < 0,05 dengan tingkat kepercayaan 95%. Selanjutnya
untuk mengetahui pasangan kelompok perlakuan yang berbeda dilakukan uji
Tukey, terdapat perbedaan apabila nilai p < 0,05.
49
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA
5.1 Karakteristik Fisik Buah Apel Manalagi dengan Perendaman dalam
Larutan Natrium Metabisulfit, dan Blanching
Karakteristik buah Apel Manalagi pada kelompok kontrol dan perlakuan
dengan perendaman dalam larutan metabisulfit 2% serta blanching pada suhu
70°C menunjukkan perbedaan karakteristik. Perbedaan karakteristik pada buah
Apel Manalagi dapat dilihat pada gambar 5.1 berikut ini:
Gambar 5.1 Karakteristik Fisik Buah Apel Manalagi (Potong dan Blender) pada Kelompok Kontrol, Perendaman dalam Larutan Natrium Metabisulfit,
dan Blanching
Keterangan: P0: Kontrol P1: Natrium Metabisulfit 2% P2: Blanching
P0 P1 P2
P0 P1 P2
50
Gambar 5.1 merupakan tampilan buah Apel Manalagi potong 30 menit setelah
perlakuan dan tampilan buah Apel Manalagi setelah di-blender. Jika diamati
secara langsung, penampakan buah Apel Manalagi potong yang mengalami
browning setelah diamati selama 30 menit dari warna paling gelap adalah
kelompok kontrol, blanching, dan perendaman dalam larutan natrium metabisulit.
Waktu terjadinya browning masing-masing perlakuan pada saat di-blender
disajikan pada tabel 5.1.
Tabel 5.1 Waktu Terjadinya Browning Buah Apel Manalagi saat Proses Blender
Kelompok Perlakuan Waktu Browning
P0 20 detik P1 >2 jam P2 30 detik
Keterangan: P0: Kontrol P1: Natrium Metabisulfit 2% P2: Blanching
Buah Apel Manalagi kelompok kontrol atau tanpa perlakukan setelah di-
blender mengalami browning saat diblender selama ±20 detik. Buah Apel Manalagi
yang direndam dalam larutan natrium metabisulfit 2% tidak mengalami browning
selama diblender hingga >2 jam setelah di-blender. Buah Apel dengan perlakuan
blanching tetap mengalami browning akan tetapi dalam waktu yang sedikit lebih
lama yakni ±30 detik saat diblender.
5.2 Kandungan Kuersetin Buah Apel Manalagi dengan Perendaman dalam
Larutan Natrium Metabisulfit dan Blanching
Analisis kandungan kuersetin dilakukan menggunakan metode spektrofoto-
metri yang disajikan dalam satuan mg/100 g buah apel. Hasil uji kandungan
51
kuersetin buah Apel Manalagi setelah dilakukan perendaman dalam larutan
natrium metabisulfit dan blanching disajikan pada Gambar 5.2.
Gambar 5.2 Grafik Kandungan Kuersetin pada Buah Apel Manalagi dengan Perendaman dalam Larutan Natrium Metabisulfit dan Blanching
Keterangan: Nilai-nilai pada tabel yang diikuti dengan notasi yang berbeda (a, b) menunjukkan perbedaan yang signifikan (p<0,05) P0: Kontrol P1: Natrium Metabisulfit 2% P2: Blanching
Gambar 5.2 menunjukkan kandungan kuersetin pada buah Apel Manalagi
yang berbeda pada setiap kelompok perlakuan dengan rata-rata kandungan
kuersetin sebesar 5,08-8,99 mg/100g buah apel. Kandungan kuersetin terendah
terdapat pada perlakuan blanching (P2) yakni 5,08 mg/100 g, selanjutnya adalah
kelompok kontrol (P0) sebesar 5,20 mg/100 g, dan kelompok dengan kandungan
kuersetin tertinggi adalah larutan natrium metabisulfit (P1) yaitu 8,99 mg/100 g.
Uji statistik hasil penelitian kandungan kuersetin dilakukan menggunakan
software SPSS 16. Data yang diperoleh selanjutnya dilakukan uji normalitas
menggunakan uji statistik Shapiro Wilk untuk mengetahui apakah data terdistribusi
normal. Data terdistribusi normal apabila nilai p > 0,05 dan hasil dari uji normalitas
didapatkan nilai p = 0,167. Uji homogenitas dilakukan untuk mengetahui apakah
memiliki varian data yang sama. Data homogen apabila nilai p > 0,05 dan hasil uji
homogenitas didapatkan p = 0,159.
P0 P1 P2
Mean 5,2 8,99 5,08
1,26a
0,40b
0,43a
0123456789
10K
andunga
n K
ue
rse
tin
(mg/1
00
g)
Kelompok Perlakuan
52
Uji statistik One Way Anova dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat
perbedaan kandungan kuersetin di antara ketiga kelompok perlakuan dengan
tingkat kepercayaan 95%. Terdapat perbedaan apabila nilai p < 0,05 dan hasil dari
uji One Way Anova didapatkan nilai p = 0,002. Selanjutnya untuk mengetahui
pasangan kelompok perlakuan yang berbeda dilakukan uji Tukey, terdapat
perbedaan apabila nilai p < 0,05. Hasil uji Tukey terdapat perbedaan pada
kelompok perlakuan P0 dan P1 (p = 0,003) serta P1 dan P2 (p = 0,003).
5.3 Kandungan Vitamin C Buah Apel Manalagi dengan Perendaman dalam
Larutan Natrium Metabisulfit dan Blanching
Analisis kandungan vitamin C dilakukan menggunakan metode spektrofoto-
metri yang disajikan dalam satuan mg/100 g buah apel. Hasil uji kandungan
vitamin C buah Apel Manalagi setelah dilakukan perendaman dalam larutan
natrium metabisulfit dan blanching disajikan pada Gambar 5.3 berikut ini:
Gambar 5.2 Grafik Kandungan Vitamin C pada Buah Apel Manalagi dengan Perendaman dalam Larutan Natrium Metabisulfit dan Blanching
Keterangan: Nilai-nilai pada tabel yang diikuti dengan notasi yang berbeda (a, b) menunjukkan perbedaan yang signifikan (p<0,05) P0: Kontrol P1: Natrium Metabisulfit 2% P2: Blanching
P0 P1 P2
Mean 2,97 6,95 4,52
1,05a
0,64b
0,70a
012345678
Ka
ndunga
n V
ita
min
C
(mg/1
00
g)
Kelompok Perlakuan
53
Gambar 5.3 menunjukkan kandungan vitamin C pada buah Apel Manalagi
yang berbeda pada setiap kelompok perlakuan dengan rata-rata kandungan
vitamin C sebesar 2,97-6,95 mg/100 g buah apel. Kandungan vitamin C terendah
terdapat pada kelompok kontrol (P0) yakni 2,97 mg/100 g, urutan selanjutnya
adalah kelompok perlakuan blanching (P2) sebesar 4,52 mg/100 g, dan kelompok
perlakuan dengan kandungan vitamin C tertinggi adalah yang direndam dalam
larutan natrium metabisulfit (P1) yaitu 6,95 mg/100 g.
Uji statistik hasil penelitian kandungan vitamin C dilakukan menggunakan
software SPSS 16. Data yang diperoleh selanjutnya dilakukan uji normalitas
menggunakan uji statistik Shapiro Wilk untuk mengetahui apakah data terdistribusi
normal. Data terdistribusi normal apabila nilai p > 0,05 dan hasil dari uji normalitas
didapatkan nilai p = 0,663. Uji homogenitas dilakukan untuk mengetahui apakah
data homogen atau memiliki varian data yang sama. Data homogen apabila nilai
p > 0,05 dan hasil dari uji homogenitas didapatkan p = 0,504.
Uji statistik One Way Anova dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat
perbedaan kandungan vitamin C di antara ketiga kelompok perlakuan dengan
tingkat kepercayaan 95%. Terdapat perbedaan apabila nilai p < 0,05 dan hasil dari
uji One Way Anova didapatkan nilai p = 0,003. Selanjutnya untuk mengetahui
pasangan kelompok perlakuan yang berbeda dilakukan uji Tukey, terdapat
perbedaan apabila nilai p < 0,05. Hasil uji Tukey terdapat perbedaan pada
kelompok perlakuan P0 dan P1 (p = 0,003) serta P1 dan P2 (p = 0,026).
54
BAB 6
PEMBAHASAN
6.1 Karakteristik Fisik Buah Apel Manalagi dengan Perendaman dalam
Larutan Natrium Metabisulfit, dan Blanching
Reaksi pencokelatan atau browning erat kaitannya dengan senyawa fenol
yakni flavonoid dan asam fenolat yang terdapat dalam buah dan sayur. Pada buah
dan sayur segar memiliki sel yang masih utuh sehingga tidak terjadi reaksi
browning enzimatis. Ketika buah mengalami kerusakan mekanis akibat gesekan,
tusukan, benturan atau tumbukan akan terjadi kerusakan sel yang menyebabkan
reaksi pencokelatan akibat terpaparnya fenol dengan oksigen. Reaksi oksidasi dari
senyawa fenol terjadi dengan bantuan enzim polifenol oksidasi (PPO) yang
berperan sebagai katalis sehingga menghasilkan kuinon yang menimbulkan warna
coklat (Pardede, 2013).
Reaksi pencokelatan pada buah apel menyebabkan warna menjadi tidak
menarik dan menurunkan kualitas, oleh karena itu dilakukan upaya pencegahan
browning enzimatis. Pada penelitian ini dilakukan upaya pencegahan browning
enzimatis dengan menggunakan larutan natrium metabisulfit dan blanching.
Setelah diberi perlakuan buah Apel Manalagi pada kelompok kontrol (P0) dan
perlakuan dengan perendaman dalam larutan natrium metabisulfit 2% (P1) serta
blanching suhu 70°C (P2) menunjukkan perbedaan karakteristik.
Proses pemotongan buah Apel Manalagi pada kelompok kontrol (P0) dan
blanching (P2) menyebabkan terjadinya browning. Kelompok kontrol (P0)
mengalami browning dengan warna yang paling gelap jika dibandingkan dengan
55
kelompok perlakuan lain setelah dilakukan pengamatan selama 30 menit. Pada
kelompok kontrol (P0) reaksi browning pada buah Apel Manalagi terjadi ±1-2 menit
setelah dipotong, sedangkan pada kelompok perlakuan blanching (P2) reaksi
browning terjadi ±10-15 menit setelah dipotong.
Proses menghaluskan dengan blender pada buah Apel Manalagi menyebab-
kan terjadinya browning pada kelompok kontrol dan blanching. Kelompok kontrol
mengalami browning saat di-blender selama ±20 detik, dapat dilihat dari warna
buah apel yang semula putih kekuningan berubah menjadi cokelat. Kelompok
kontrol merupakan kelompok perlakuan dengan waktu browning paling cepat saat
di-blender. Buah Apel kelompok perlakuan blanching (P2) juga mengalami
browning seperti pada kelompok kontrol akan tetapi dalam waktu yang lebih lama
yakni ±30 detik saat proses blender.
Pada kondisi normal atau segar, polifenol yang merupakan substrat bagi
reaksi pencokelatan dan enzim baik PPO berada pada bagian sel yang berbeda
yakni, fenol atau polifenol ditemukan di bagian vakuola sel sedangkan PPO berada
di sitoplasma (Wardhani et al., 2016). Proses pemotongan dan blending pada
kelompok kontrol dan blanching menyebabkan jaringan buah terbuka sehingga sel
buah mengalami kerusakan. Kerusakan sel, menyebabkan enzim yang berada
dalam organel akan terlepas dan terjadi pertemuan enzim-enzim polifenoloksidase
dengan fenol serta oksigen sehingga terjadi reaksi browning enzimatis (Pardede,
2013).
Pada proses blending buah apel mengalami pengecilan ukuran karena
blending bertujuan untuk menghaluskan jaringan dan serat buah (Cempaka et al.,
2014). Hal ini menyebabkan kerusakan sel yang terjadi semakin banyak sehingga
fenol dan enzim polifenoloksidase yang terlepas dari organel buah juga semakin
56
banyak. Selain itu, penurunan ukuran buah apel menyebabkan semakin banyak
bagian buah apel yang terpapar oleh oksigen. Jumlah fenol dan enzim PPO yang
terlepas serta paparan oksigen yang lebih banyak menyebabkan reaksi browning
enzimatis pada proses blending terjadi lebih cepat jika dibandingkan dengan buah
apel yang dipotong. Perbedaan waktu terjadinya browning pada kelompok kontrol
dan blanching, disebabkan karena perlakuan blanching atau perendaman dalam
air panas dalam waktu dan suhu tertentu menyebabkan inaktivasi enzim PPO,
sehingga menghambat terjadinya browning (Muchlisun et al., 2015).
Berbeda dengan kelompok kontrol (P0) dan blanching (P2) yang mengalami
browning, pada kelompok perlakuan dengan perendaman dalam larutan natrium
metabisulfit (P1) buah Apel Manalagi tidak mengalami browning baik pada proses
pemotongan maupun blending. Setelah direndam dalam larutan natrium
metabisulfit, buah Apel Manalagi tidak mengalami browning bahkan hingga >2 jam
setelah proses pemotongan dan blending. Hal ini disebabkan karena natrium
metabisulfit membentuk ikatan disulfida dengan enzim PPO yang menghambat
reaksi dengan oksigen sehingga mencegah terjadinya browning (Wardhani et al.,
2016). Sejalan dengan penelitian yang dilakukan pada rebung, di mana rebung
direndam dalam larutan natrium metabisulfit 3000ppm selama 45 menit
menunjukkan penurunan aktivitas enzim PPO dan memiliki derajat putih paling
baik bahkan setelah disimpan selama 3 hari (Wardhani et al., 2016). Selain itu,
penelitian lain juga menyebutkan bahwa perendaman kelapa muda dalam larutan
natrium metabisulfit 2% selama 2 menit sebelum di-wrapping dapat mencegah
terjadinya browning enzimatis hingga 12 hari (Por et al., 2012).
57
6.2 Kandungan Kuersetin Buah Apel Manalagi dengan Perendaman dalam
Larutan Natrium Metabisulfit dan Blanching
Hasil uji kandungan kuersetin pada buah Apel Manalagi berbeda pada setiap
kelompok perlakuan dengan rata-rata kandungan kuersetin sebesar 5,08 – 8,99
mg/100 g buah apel. Kandungan kuersetin terendah terdapat pada perlakuan
blanching (P2) yakni 5,08 mg/100 g, urutan selanjutnya adalah kelompok kontrol
(P0) sebesar 5,20 mg/100 g, dan kelompok perlakuan dengan kandungan
kuersetin tertinggi adalah yang direndam dalam larutan natrium metabisulfit (P1)
yaitu 8,99 mg/100 g. Kandungan kuersetin yang diperoleh dari hasil penelitian ini
tidak jauh berbeda dengan referensi yang ada, yakni kandungan kuersetin pada
buah apel adalah 4,01 mg/100 g (Bhagwat et al., 2014).
Kandungan kuersetin pada kelompok perlakuan blanching (P2) lebih rendah
dari kelompok kontrol (P1), akan tetapi setelah dilakukan uji beda antara kelompok
kontrol (P0) dengan kelompok perlakuan blanching (P2) tidak menunjukkan
perbedaan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan pada daun baobab
yang diberi perlakuan blanching dengan air mendidih bersuhu 80°C selama 10
menit, menunjukkan penurunan kadar flavonoid, kecuali pada kuersetin (Irondi et
al., 2017). Akan tetapi, penelitian lain menyebutkan perlakuan blanching pada
brokoli dengan menggunakan air mendidih 100°C selama 3 menit, menunjukkan
penurunan kadar flavonoid total hingga 43% (Ahmed & Ali, 2013).
Blanching pada suhu tinggi menyebabkan kerusakan dinding sel dan
pemecahan fenolat yang dapat menurunkan kandungan flavonoid dan asam
fenolat, nilai penurunan kandungan flavonoid dan asam fenolat yang berbeda-
beda setiap objek penelitian merefleksikan adanya variasi kelarutan dan stabilitas
suhu dalam air panas (Irondi et al., 2017).
58
Kelompok perlakuan dengan kandungan kuersetin tertinggi adalah yang
direndam dalam larutan natrium metabisulfit (P1) yaitu 8,99 mg/100 g. Sejalan
dengan penelitian lain pada rebung dengan perendaman dalam larutan natrium
metabisulfit 3000 ppm selama 45 menit kemudian disimpan menunjukkan
konsentrasi total fenolik yang lebih tinggi dibandingkan pada kelompok tanpa
perlakuan. Hal ini disebabkan karena natrium metabisulfit mampu menurunkan
konsentrasi total fenolik yang terlibat dalam pencokelatan rebung melalui
pembentukan ikatan disulfida dengan enzim PPO sehingga menurunkan aktivitas
enzim tersebut (Wardhani et al., 2016).
6.3 Kandungan Vitamin C Buah Apel Manalagi dengan Perendaman dalam
Larutan Natrium Metabisulfit dan Blanching
Kandungan vitamin C pada buah Apel Manalagi berbeda pada setiap
kelompok perlakuan dengan rata-rata kandungan vitamin C sebesar 2,97 – 6,95
mg/100 g buah apel. Kandungan vitamin C terendah terdapat pada kelompok
kontrol (P0) yakni 2,97 mg/100 g, urutan selanjutnya adalah kelompok perlakuan
blanching (P2) sebesar 4,52 mg/100 g, dan kelompok perlakuan dengan
kandungan vitamin C tertinggi adalah yang direndam dalam larutan natrium
metabisulfit (P1) yaitu 6,95 mg/100 g. Kandungan vitamin C yang diperoleh dari
hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan referensi, yaitu kandungan vitamin
C pada buah apel adalah 6 mg/100 g sedangkan pada buah Apel Manalagi
sebesar 6,6 mg/100 g (Roe et al., 2013; Susanto & Setyohadi, 2011).
Uji beda yang dilakukan antar kelompok perlakuan tidak menunjukkan adanya
perbedaan yang signifikan pada kelompok kontrol (P0) dengan kelompok
perlakuan blanching (P2). Penelitian pada sayuran hijau dengan perlakuan
59
blanching pada suhu 80°C selama 1 menit menunjukkan adanya penurunan
aktivasi enzim peroksidase dan kandungan vitamin C yang relatif stabil dengan
penurunan 10-15% (Gupta et al., 2008). Akan tetapi, pada hasil penelitian yang
sama perlakuan blanching pada sayuran hijau dengan suhu 90 dan 98 °C selama
4 menit menunjukkan penurunan vitamin C hingga 20-40%. Hasil kandungan
vitamin C buah Apel Manalagi pada kelompok kontrol (P0) dan blanching (P2)
sejalan dengan penelitian oleh Gupta et al. pada tahun 2008 bahwa perendaman
dengan waktu >2 menit dengan suhu >80°C secara signifikan menurunkan
kandungan vitamin C, sedangkan perlakuan dalam penelitian yaitu blanching
dengan suhu 70°C selama 2 menit sehingga kandungan vitamin C dapat
dipertahankan. Kandungan vitamin C dengan perlakuan blanching dipengaruhi
oleh suhu dan waktu blanching (Gupta et al., 2008).
Kelompok perlakuan dengan kandungan vitamin C tertinggi adalah yang
direndam dalam larutan natrium metabisulfit (P1) yaitu 6,95 mg/100 g. Hal ini
sesuai dengan penelitian pada ubi jalar dengan perlakuan perendaman dalam
larutan natrium metabisulfit efektif dalam mempertahankan vitamin C dengan
konsentrasi paling baik yakni 0,3% selama 10 menit (Wdiyowati, 2007). Natrium
metabisulfit dapat mempertahankan kandungan vitamin C karena natrium
metabisulfit berfungsi sebangai zat antioksidan di mana natrium metabisulfit akan
mengalami oksidasi terlebih dahulu dibandingkan dengan vitamin C dengan
menjaga derivat xanton dan vitamin C tetap stabil (Rowe et al., 2009).
6.4 Implikasi terhadap Bidang Gizi Kesehatan
Buah apel masuk ke dalam 10 buah yang paling banyak di konsumsi di
Indonesia dengan jumlah konsumsi buah apel penduduk Indonesia sebesar
60
0.89kg/kapita/tahun pada tahun 2013 (Kementerian PPN/Bappenas, 2013). Salah
satu varietas buah apel yang paling diminati karena rasanya yang manis adalah
buah Apel Manalagi (Ichda & Estiasih, 2015). Selain dikonsumsi dalam bentuk
segar, buah apel Manalagi merupakan salah satu varietas yang biasa digunakan
dalam industri kecil menengah untuk membuat berbagai macam produk makanan
seperti, sari buah apel, minuman sari buah apel, minuman rasa apel, dan keripik
buah (Hapsari & Estiasih, 2015; BPS Kota Batu, 2015).
Pada saat pengolahan buah apel sangat mudah mengalami browning yang
mempengaruhi kandungan nutrisi buah apel yakni kuersetin dan vitamin C. Selain
menurunkan kandungan nutrisi dalam buah apel browning juga dapat menurunkan
kualitas dan nilai ekonomis pada buah apel maupun olahannya, oleh karena itu
dilakukan upaya pencegahan browning enzimatis dalam industri maupun pada
masyarakat.
Upaya pencegahan Browning enzimatis dengan perendaman dalam larutan
natrium metabisulfit lebih efektif jika dibandingkan dengan blanching. Buah Apel
Manalagi yang direndam dalam larutan natrium metabisulfit (P1) memiliki
kandungan kuersetin dan vitamin C paling tinggi, yaitu 8,99 mg/100 g dan 6,95
mg/100 g, sedangkan pada kelompok perlakuan blanching kandungan kuersetin
dan vitamin C sebesar 5,20 mg/100 g dan 4,52 mg/100 g. Meskipun efektif dalam
mencegah browning, penggunaan natrium metabisulfi dalam makanan harus
memperhatikan jumlahnya yakni 2 g/kg bahan makanan (Maharani et al., 2014).
Kadar sulfit yang rendah tidak berbahaya bagi tubuh, karena tubuh manusia
mampu melakukan metabolisme sulfit menjadi sulfat yang dikeluarkan bersama
urine (Rianto et al., 2016).
61
Residu sulfit dari natrium metabisulfit dalam bentuk SO2 adalah sebesar 65-
67,4% dan batas yang diperbolehkan perhari atau acceptable daily intake adalah
3,5 mg/KgBB sedangkan berdasarkan WHO dan BPOM RI adalah sebesar 0,07
mg/kgBB (Rowe et al., 2009; BPOM RI, 2012). Besar residu sulfit pada penelitian
ini adalah sebesar 1,3-1,34 gram dan jika dibandingkan dengan standar masih
cukup tinggi. Angka tersebut masih merupakan estimasi sehingga perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut terkait residu sulfit pada perendaman buah apel mengguna-
kan natrium metabisulfit agar diperoleh nilai residu sulfit yang sebenarnya.
Penggunaan natrium metabisulfit yang melebihi batas normal, dapat
berpengaruh terhadap kesehatan, seperti penurunan volume ventrikel jantung,
mencegah sintesis dari prostaglandin sehingga menurunkan angiogenesis atau
pembentukan pembuluh darah baru, dan kebocoran mikrovaskular saluran
pernapasan (Noorafshan et al., 2014).
6.5 Keterbatas dan Kelemahan Penelitian
Dalam melaksanakan penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan dan
kelemahan, antara lain:
1) Kurang maksimalnya dalam melakukan prosedur penelitian dan penggunaan
alat.
2) Penggunaan alat yang kurang tepat dalam melarutkan kuersetin, yakni labu
ukur.
62
BAB 7
PENUTUP
7.1 Kesimpulan
Berdasarkan analisis kandungan kuersetin dan vitamin C pada Buah Apel
Manalagi dengan perendaman dalam larutan natrium metabisulfit dan blanching
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1) Terdapat perbedaan kandungan kuersetin dan vitamin C Apel (Malus
sylvestris Mill) varietas Manalagi pada metode pencegahan browning
enzimatis dengan perendaman dalam larutan natrium metabisulfit (P1) dan
blanching (P2).
2) Rata-rata kandungan kuersetin dan vitamin C Apel (Malus sylvestris Mill)
varietas Manalagi pada metode pencegahan browning enzimatis dengan
perendaman dalam larutan natrium metabisulfit (P1) yaitu: kuersetin 8,99
mg/100 g dan vitamin C 10,4 mg/100 g.
3) Rata-rata kandungan kuersetin dan vitamin C Apel (Malus sylvestris Mill)
varietas Manalagi pada metode pencegahan browning enzimatis dengan
blanching yaitu: kuersetin 5,08 mg/100 g dan vitamin C 6,77 mg/100 g.
7.2 Saran
1) Natrium metabisulfit dapat digunakan dalam bahan makanan dengan
memperhatikan maksimal penggunaan yaitu 0-0,7mg/kgbb atau 2 g/kg bahan
makanan.
63
2) Melakukan penelitian lanjutan terkait konsentrasi natrium metabisulfit, suhu
blanching, dan lama waktu perendaman yang bervariasi terkait pengaruhnya
terhadap browning dan kandungan zat gizi.
3) Melakukan penelitian lanjutan terkait residu sulfit setelah dilakukan
perendaman dalam larutan natrium metabisulfit.
64
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier, S., 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, pp.183-190.
Ahmed, F.A. dan Ali, R.F.M., 2013. Bioactive Compounds and Antioxidant Activity of Fresh and Processed White Cauliflower. BioMed research international. Available at: http://www.hindawi.com/journals/bmri/2013/367819/abs/.
Batutimes.com, 2015. AgroTimes Yuk Kenali Jenis Apel yang Ditanam Petani Kota Batu. Available at: http://www.malangtimes.com/baca/7209/20151205/150 832/yuk-kenali-jenis-apel-yang-ditanam-petani-kota-batu/.
Bhagwat, S., Haytowitz, D.B. dan Holden, J.M., 2014. USDA Database for The Flavonoid Content of Selected Foods Prepared.
BPOM RI. 2012, Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2013 tentang Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pengawet.
BPS Kota Batu, 2015. Statistik Daerah Kota Batu 2015, Available at: http://batu kota.bps.go.id.
Cahyanta, A.N. 2016. Penetapan Kadar Flavonoid Total Ekstrak Daun Pare Metode Kompleks Kolorimetri dengan Pengukuran Absorbansi secara Spektrofotometri. Electronic Journal Politeknik Harapan Bersama Tegal, 5.
Cempaka, A.R., Santoso, S. dan Tanuwijaya, L.K., 2014. Pengaruh Metode Pengolahan (Juicing dan Blending) terhadap Kandungan Quercetin Berbagai Varietas Apel Lokal dan Impor (Malus domestica). Indonesian Journal of Human Nutrition, 1, pp.14–22.
Chandra, A. dan Inggrid, H. M. 2013. Pengaruh pH dan Jenis Larutan Perendam pada Perolehan dan Karakterisasi Pati dari Biji Alpukat. Universotas Katolik Parahyangan
Compound Interest, 2015. The Chemical Structures of Vitamins,
Desmiaty, Y., Ratnawati, J. dan Andini, P., 2009. Penentuan jumlah flavonoid total ekstrak etanol daun buah merah (Pandanus conoideus Lamk.) secara Kolorimetri Komplementer. Seminar Nasional POKJANAS TOI XXXVI, pp.1–8.
García-Torres, R. et al. .2009. Effects of Dissolved Oxygen in Fruit Juices and Methods of Removal. Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety, 8(4), hal. 409–423. doi: 10.1111/j.1541-4337.2009.00090.x.
65
Fortunato, L.R., Alves, Claudiney de Freitas, Teixeira, M.M.,Rogerio,A.P., 2012. Quercetin: A flavonoid with The Potential to Treat Asthma. Brazilian Journal of Pharmaceutical Sciences, 48(4), pp.589–599.
Gupta, S., A, J.L. dan Prakash, J., 2008. Effect of Different Blanching Treatments
on Ascorbic Acid Retention in Green Leafy Vegetables. Natural Product Radiance, 7(2), pp.111–116.
Hapsari, M.D.Y. dan Estiasih, T., 2015. Variasi Proses dan Grade Apel (Malus sylvestris mill) Pada pengolahan Minuman Sari Buah Apel: Kajian Pustaka. Jurnal Pangan dan Agroindustri, 3(3), pp.939–949.
Ichda, L. dan Estiasih, T., 2015. Karakteristik Minuman Sari Apel Produksi Skala Mikro dan Kecil di Kota Batu: Kajian Pustaka. Jurnal Pangan dan Agroindustri, 3(2), pp.374–380.
Irawati, O.R.L., 2013. Pengaruh Pemberian Jus Apel Fuji (Malus Domestica) dan Susu Tinggi Kalsium Rendah Lemak terhadap Kadar Kolesterol HDL dan Kolesterol LDL pada Tikus Sprague Dawley Hiperkolesterolemia. Journal of Chemical Information and Modeling, 53(9), pp.1689–1699.
Irondi, E.A., Akintunde, J.K., Agboola, S.O., Boligon, A.A., Athayde, M.L., 2017. Blanching Influences The Phenolics Composition, Antioxidant Activity, and Inhibitory Effect of Adansonia digitata Leaves Extract on α -Amylase, α-Glucosidase, and Aldose Reductase. Food Science dan Nutrition, 5(2), pp.233–242. Available at: http://doi.wiley.com/10.1002/ fsn3.386.
Isyuniarto dan Purwadi, A., 2007. Pengaruh Penggunaan Oksidan Ozon dalam Pengemas Plastik Polietilen untuk Menyimpan Buah Apel Manalagi (malus sylvestris M). Ganendra, X(1), pp.13–18.
Kelly, G.S., 2011. Quercetine. Alternative Medicine Review, 16(2), pp.172–194.
Kementerian Pertanian, 2015. Statistik Produksi Hortikultura Tahun 2014,
Kementerian PPN/Bappenas, 2013. Konsumsi Buah-Buahan Per Kapita 2009-2013,
Keputusan Menteri Pertanian, 2005. Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 513/Kpts/SR.120/12/2005 tentang Pelepasan Apel Anna Sebagai Varietas Unggul,
Keputusan Menteri Pertanian, 1989. Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 893/Kpts/TP.240/11/1984, Jakarta.
Keputusan Menteri Pertanian, 1984. Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 899/Kpts/TP.240/11/1984, Jakarta.
Knekt, P., Kumpulainen, J., Järvinen, R., Rissanen, H., Heliövaara, M., Reunanen, A., et al., 2002. Flavonoid Intake and Risk of Chronic Diseases. The American journal of clinical nutrition, 76(3), pp.560–568.
66
Latapi, G. dan Barrett, D. M. 2003. “Use of Salt and Sodium Metabisulfite Dips Prior to Sun-Drying Tomatoes,” Acta Horticulturae, 613, hal. 391–397.
Lee, C.Y. dan Smith, N.L., 2000. Apples : An Important Source of Antioxidants in the American Diet. New York State Horticultural Society, 8(2), pp.8–10.
Lee, H.S. dan Chen, C.S., 1998. Rates of Vitamin C Loss and Discoloration in Clear Orange Juice Concentrate during Storage at Temperatures of 4−24 °C †. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 46(11), pp.4723–4727. Available at: http://pubs.acs.org/doi/abs/10.1021/jf980248w.
Lee, K.W., Kim, Y.J., Kim, D.O., Lee, H.J., Lee, C.Y., 2003. Major Phenolics in Apple and Their Contribution to The Total Antioxidant Capacity. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 51(22), pp.6516–6520.
Maharani, D.M., Yulianingsih, R., Dewi, S.R., Sugiarto, Y., Indriani, D.W., 2014. Pengaruh penambahan Natrium Metabisulfit dan Suhu Pemasakan dengan Menggunakan Teknologi Vakum terhadap Kualitas Gula Merah Tebu. Agritech, 34(4), pp.365–373.
Menegristek, 2000. APEL (Malus sylvestris Mill), Jakarta. Available at: http://www.ristek.go.id.
Muchlisun, A., S, Y.P. dan Choiron, M., 2015. Karakteristik Apel Manalagi Celup yang Dibuat dengan Variasi Lama Blanching dan Suhu Pengeringan. Teknologi Pertanian, (1).
Noorafshan, A., Asadi-Golshan, R., Monjezi, S., Karbalay-Doust, S., 2014. Sodium Metabisulphite, a Preservative Agent, Decreases the Heart Capillary Volume and Length, and Curcumin, the Main Component of Curcuma Longa, Cannot Protect It. Folia Biologica (Czech Republic), 60(6), pp.275–280.
Olgawati, A.C., Mardikanto, T. dan Sundari, M.T., 2013. Analisis Citra beberapa Buah Apel Lokal di Kalangan Konsumen pada Berbagai Pasar di Kota Surakarta.
Pardede, E., 2013. Tinjauan Komposisi Kimia Buah dan Sayur: Peranan sebagai Nutrisi dan Kaitannya dengan Teknologi Pengawetan dan Pengolahan. VISI, 21(3), pp.1–16.
Patel, B.D., Welch, A.A., Bingham, S .A., Luben, R.N., Day, N.E., Khaw, K-T., et al., 2006. Dietary Antioxidants and Asthma in Adults. Thorax, 61(5), pp.388–93. Available at: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid= 2111195dan tool=pmcentrezdanrendertype=abstract.
Por, R., Kong, V., Buntong, B., Chay, K., Ek, S., 2012. Effects of Sodium
Metabisulfite and Poly Ethylene Resin on Browning of Young Shaped-Coconut. Asian Food Savety and Security Association, pp.115–118.
Rianto, N.K., Nawansih, O. dan Erna, M., 2012. Kajian Penggunaan Narium Bisulfit
dalam Pengawetan Krim Santan Kelapa. , pp.1–15. Available at:
67
http://digilib.unila.ac.id/19942/.
Roe, M., Church, S., Pinchen, H., Finglas, P., 2013. Nutrient Analysis of Fruit and Vegetables, United Kingdom. Available at :https://www.gov.uk/government/ uploads/system/uploads/attachment_data/file/167944/Nutrient_analysis_of_fruit_and_vegetables_-_Analytical_Report.pdf.
Santos, P.H.S. dan Silva, M.A., 2008. Retention of Vitamin C in Drying Processes of Fruits and Vegetables — A Review. Drying Technology, 26(12), pp.1421–1437.
Sapei, L. dan Hwa, L., 2014. Study on the Kinetics of Vitamin C Degradation in Fresh Strawberry Juices. Procedia Chemistry, 9, pp.62–68. Available at: http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1876619614000096.
Selimović, A., Salkić, M. dan Selimović, A., 2011. Direct Spectrophotometric Determination of L- Ascorbic acid in Pharmaceutical Preparations using Sodium Oxalate as a Stabilizer. International Journal of Basic dan Applied Sciences IJBAS-IJENS, 11(April), pp.106–109.
Susanto, W.H. dan Setyohadi, B.R., 2011. Pengaruh Varietas Apel (Malus sylvestris) dan Lama Fermentasi oleh Khamir Saccharomyces cerivisiae sebagai Perlakuan Prapengolahan terhadap Karakteristik Sirup. Jurnal Teknologi Pertanian, 12(3), pp.135–142.
Tan, T.C., Cheng, L.H., Bhat, R., Rusul, G., Easa, A.M., 2015. Effectiveness of Ascorbic Acid and Sodium Metabisulfite as Anti-Browning Agent and Antioxidant on Green Coconut Water (Cocos nucifera) Subjected to Elevated Thermal Processing. International Food Research Journal, 22(2), pp.631–637.
The University of North Dakota, 2010. Factsheet: Vitamin C, Available at: http://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S0011502903001676.
Tungriani, D., Karim, A., Asmawati, Seniwati., 2012. Analisis Kandungan β-Karoten dan Vitamin C pada Berbagai Varietas Talas (Colocasia esculenta). Indonesian Chimica Acta, pp.1–10. Available at: http://repository.unhas. ac.id/handle/123456789/2845.
Waji, R.A. dan Sugrani, A., 2009. Makalah Kimia Organik Bahan Alam-Flavonoid (Quercetin).
Wardani, L.A., 2012. Validasi Metode Analisis dan Penentuan Kadar Vitamin C pada Minuman Buah Kemasan dengan Spektrofotometri UV-Visibel (skripsi). Universitas Indonesia.
Wardhani, D.H., Yuliana, A.E. dan Dewi, A.S., 2016. Natrium Metabisulfit sebagai Anti-Browning Agent pada Pencoklatan Enzimatik Rebung Ori (Bambusa Arundinacea). Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan, 5(4), pp.140–145. Available at: https://doi.org/10.17728/jatp.202%0A140.
68
Wdiyowati, I.I., 2007. Pengaruh Lama Perendaman dan Kadar Natrium Metabisulfit dalam Larutan Perendaman pada Potongan Ubi Jalar Kuning (Ipomea Batatas (L.) Lamb) terhadap Kualittas Tepung yang Dihasilkan. Jurnal Teknologi Pertanian Universitas Mulawaran, 2(2), pp.55–58.
Wedzicha, L., 1984. Sulphur Dioxide in Foods - Chemical Interactions. , pp.155–164.
Zulfahnur, Nurapriani, R.R., Tegar, T., Askanovi, D., 2009. Mempelajari Pengaruh Reaksi Pencoklatan Enzimatis pada Buah dan Sayur,
Top Related