PERAN TEUNGKU MUHAMMAD DAUD BEUREUEH DALAM
PEMBERONTAKAN DI ACEH 1953-1962
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum.)
Disusun Oleh:
Muhammad Illham
NIM: 1111022000012
K O N S E N T R A S I A S I A T E N G G A R A
JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2016 M
i
ABSTRAK
Muhammad Illham
Peran Teungku Muhammad Daud Beureueh Dalam Pemberontakan di Aceh
1953-1962.
Masa awal kemerdekaan di Aceh tahun 1953-1962 menjadi awal
meletusnya peristiwa berdarah yang dipimpin oleh Teungku Muhammad Daud
Beureueh dalam menegakkan Syariat Islam di Aceh. Perjuangan yang dianggap
suatu pemberontakan timbul akibat kekecewaan rakyat Aceh terhadap Pemerintah
Pusat akibat dari janji-janji semu yang di ucapkan oleh Soekarno yang menjabat
Presiden saat itu tidak kunjung terwujud. Rakyat Aceh yang sebelumnya berjuang
mempertahankan kedaulatan RI dengan seluruh jiwa raganya, sangat geram
karena salah satu keinginan untuk mendirikan negara yang berlandaskan Syariat
Islam tidak kunjung tercapai, dan berujung pada pemberontakan rakyat Aceh
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pasca kemerdekaan, konflik
terjadi antar kedua belah pihak yaitu pemerintah pusat dan rakyat aceh dibawah
pimpinan Daud Beureueh bertikai mempertahankan ideologinya untuk dijadikan
sebuah landasan suatu negara. Sesuatu hal yang sangat menarik, dan dalam kajian
ini penulis ingin mengetahui bagaimana latar belakang pemberontakan serta usaha
dan upaya yang dilakukan pihak Daud Beureueh dalam memperjuangkan dan
mempertahankan ideologi Islam yang menjadi cita-cita rakyat Aceh.
ii
KATA PENGANTAR
Alhamdulilahi robbi alalamin, segala puja dan puji syukur ke hadirat
Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan inayah-Nya kepada penulis,
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sebagaimana
mestinya. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada muara ilham,
lautan ilmu, yang tidak pernah larut yakni keharibaan baginda nabi Muhammad
SAW, serta keluarga, para sahabat-sahabatnya dan seluruh pengikutnya.
Skripsi yang berjudul Peran Teungku Muhammad Daud Beureueh dalam
Pemberontakan Di Aceh 1953-1962 ditulis dalam rangka menyelesaikan studi
Strata satu (S1) pada Fakultas Adab dan Humaniora, Jurusan Sejarah dan
Kebudayaan Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Alhamdulillah telah
diselesaikan, hal ini tidak semata-mata berhasil dengan tenaga dan upaya sendiri,
namun banyak pihak yang telah berpartisipasi membantu dalam menyelesaikan
penulisan skripsi ini baik yang bersifat moril maupun materil, baik dalam sumber-
sumber kajian atau pun sharing pendapat. Karena itu penulis mengucapkan terima
kasih atas kerjasama, dorongan, dan bantuannya. Ucapan terima kasih tersebut
penulis sampaikan kepada:
1. Prof. Dr. Sukron Kamil, M.A., selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Yang telah memberikan persetujuan atas
persyaratan untuk memenuhi siding skripsi.
2. Bapak H. Nurhasan, M.A., selaku Ketua Jurusan Sejarah dan Kebudayaan
Islam dan Mrs. Shalikatus Sadiyah, M.Pd selaku Sekretaris Jurusan Sejarah
dan Kebudayaan Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Yang telah banyak
membantu dalam memproses berjalannya pembuatan skripsi ini.
iii
3. Drs. H. Azhar Saleh, M.A., selaku Dosen Pembimbing yang telah meluangkan
waktu untuk membantu, dan membimbing dalam proses menyelesaikan
skripsi ini.
4. Ibu Hj. Tati Hartimah, M.A., selaku Dosen Penasehat Akademik yang selalu
memotivasi diri saya dalam meningkatkan kemampuan bekerja keras dalam
menyelesaikan skripsi.
5. Bapak/ Ibu seluruh dosen Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam yang
memberikan sumbangsih ilmu dan pengalamannya.
6. Seluruh staff dan pegawai Perpustakaan Adab dan Humaniora, Perpustakaan
Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Nasional Republik
Indonesia, Perpustakaan Universitas Indonesia, dan Arsip Nasional Republik
Indonesia, yang telah menjembatani penulis dengan sumber-sumber primer
dan sekunder terkait penelitian ini.
7. Kedua orangtuaku tersayang, papa Muchdi dan mama Nunung, dan keluarga
di rumah yang telah memberikan perhatian dan curahan kasih sayangnya yang
luar biasa.
8. Eki Renata Anggraini (cicak) yang selalu menemani dan memberikan suntikan
semangat serta doa yang tulus sehingga penulis selalu dapat termotivasi dan
dapat menyelesaikan penelitian ini.
9. Sahabat-sahabatku Paisyal, Ghanis, dan Eko (coker), yang selalu menemani
dalam memberikan inspirasi kepada saya.
10. Seluruh kawan-kawan di Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam, Mitra
Zalman (Ucok) yang telah memperkenalkan saya dengan sosok Daud
iv
Beureueh. Kepada Egi Zulhansah, Muliadin Iwan, Taki, Humaedi dan kawan
seperjuangan SKI 2011 lainnya yang selalu memberikan dukungannya kepada
penulis.
Akhirnya, hanya kepada Allah jualah penulis menyerahkan segalanya,
semoga amal kebaikan yang telah mereka berikan akan mendapat balasan yang
setimpal dari Allah SWT. Amin ya Robbal alamin.
Ciputat, 16 Mei 2016
Penulis
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK...i
KATA PENGANTAR....ii
DAFTAR ISI.......v
DAFTAR LAMPIRANvii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah...1
B. Permasalahan....7
1. Identifikasi Masalah...7
2. Pembatasan Masalah..7
3. Perumusan Masalah...8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian8
D. Kerangka Teori.9
E. Metode Penelitian...11
F. Tinjauan pustaka13
G. Sistematika penulisan.15
BAB II Biografi Tgk. M. Daud Beureueh
A. Lingkungan Keluarga.16
B. Riwayat Pendidikan...18
C. Karya-karyanya..23
BAB III Kiprah Tgk. M. Daud Beureueh dalam Pemberontakan di Aceh
A. Pembentukan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia di Aceh.....25
B. Kedudukan dan Sikap Tgk. M. Daud Beureueh Dalam Pemberontakan di
Aceh...30
vi
C. Respon Rakyat Aceh Terhadap Pemberontakan Tgk. M. Daud Beureueh di
Aceh...41
BAB IV Pemberontakan dalam Perjuangan Menegakkan Syariat Islam di
Aceh
A. Usaha-usaha Menegakkan Syariat Islam di Aceh..47
B. Respon Pemerintah Terhadap Pemberontakan Tgk. M. Daud Beureueh...54
C. Upaya penyelesaian Akhir Pemberontakan Tgk. M. Daud Beureueh...67
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan78
B. Saran-saran.....80
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................82
LAMPIRAN-LAMPIRAN..86
vii
DAFTAR LAMPIRAN
1. Lampiran I Gambar Tokoh Muhammad Daud Beureueh.86
2. Lampiran II Gambar Keadaan Aceh..87
3. Lampiran III Peta wilayah uleebalang tahun1930-an..88
4. Lampiran IV Gambar Muhammad Daud Beureueh dan Ulama Aceh.89
5. Lampiran V Gambar Pidato yang dilakukan oleh Muhammad Daud
dalam Rapat Dewan Pertahanan Daerah90
6. Lampiran VI Gambar Staf Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah
Karo....91
7. Lampiran VII Surat selebaran sisa-sisa feodal..92
8. Lampiran VIII Missi Hardi 195993
9. Lampiran IX Surat Tgk. M. Daud Beureueh Kepada Soekarno..95
10. Lampiran X MAKLUMAT No. GM-14-M....96
11. Lampiran XI Surat Anakanda Kepada Ayahanda Daud Beureueh..97
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Aceh sebuah kesultanan muslim di Sumatera, Islam secara khas
menunjukan nuansa esoterisme pemikiran Ibn Arabi.1 Fenomena Aceh yang
berawal dari sebuah kerajaan berdaulat hingga menjadi salah satu bagian dari
Indonesia senantiasa berada dalam situasi kritis yang berkesinambungan.
Berbagai krisis muncul seperti krisis politik yaitu pertikaian pendapat dan
pandangan di antara pemerintah pusat dan Aceh yang berkisar pada permasalahan
kekecewaan, penindasan, dan ketidaktulusan pusat dalam menjalankan sistem
pemerintahan di Aceh.2 Sejak indonesia merdeka pada tahun 1945, Aceh telah
bergelimang dalam berbagai konflik diantarnya persoalan perang saudara seperti
perang Cumbok tahun 1946-1947 yang terjadi antara kaum Uleebalang dengan
kaum ulama yang bergabung dalam Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA).3 Jika
dilihat dari berbagai persoalan yang terjadi, untuk kasus di Aceh penulis
berpendapat ini merupakan suatu perjuangan yang terjadi dibawah pimpinan Daud
Beureueh, karena pada saat itu melalui PUSA Daud Beureueh menginginkan
proklamasi dimaknai secara nyata di Aceh. Dimana tujuan perjuangan Daud
Beureueh adalah menegakan syariat Islam di tanah rencong dan menanamkan
sikap anti penjajahan.4
Perjuangan rakyat Aceh tidak berhenti begitu saja, pasca kemerdekaan
Republik Indonesia Belanda melakukan agresi bersenjata untuk kembali
1Harun Nasution dkk., Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta, Djambatan, 1992), hal.52-
57. 2Abdulah Sani Usman, Krisis Legitimasi Politik dalam Sejarah pemerintahan di Aceh,
(Jakarta, Badan Litbang dan diklat kementrian Agama RI, 2010), hal.1. 3Persatuan ulama seluruh Aceh PUSA terbentuk pada tahun 1939. Didirikan oleh Tgk. M.
Daud Beureueh yang bertujuan untuk menghapuskan eksistensi hulu balang dan berfungsi untuk
mengatur tonggak pemerintahan di Aceh dengan berlandaskan syariat Islam. Lihat M.Nur El
Ibrahimy, Tgk. M. Daud Beureueh Peranannya dalam Pergolakan di Aceh, (Jakarta, Gunung
Agung, 1982), hal.72-77. 4Perlu untuk diketahui bahwa tidak semua kaum Uleebalang bersikap sama dengan kaum
uleebalang yang terdapat di Pidie sebagai pemicu gerakan PUSA, tetapi banyak kaum uleebalang
lainnya di Aceh berasal dari kaum ulama dan intelektual.
2
menduduki seluruh kepulauan Indonesia. Dalam usahanya menjajah Indonesia,
Belanda menyiarkan berita-berita melalui surat kabar radio bahwa kedatangannya
bukan untuk menjajah Indonesia melainkan untuk menjaga keamanan yang
diakibatkan oleh perang Dunia II. Selain melalui propaganda, Belanda juga
melakukan dua agresi militer bersenjata, yaitu agresi pertama tahun 1947 dan
agresi kedua tahun 1948. Akibat serangan itu hampir seluruh wilayah Indonesia
berhasil ditaklukan. Dan daerah yang belum dikuasai satu-satunya adalah Aceh.
beberapa kali Belanda berusaha menghancurkan perlawanan rakyat Indonesia di
daerah Aceh selalu digagalkan. Baik darat, udara, atau pun laut percobaan
serangan Belanda dapat digagalkan dan Aceh berhasil mempertahankan
kedaulatan kemerdekaan Republik Indonesia. Dan menjadikan Aceh sebagai
daerah modal.5
Aceh dijuluki sebagai daerah modal, selain karena kegigihan dari kekuatan
rakyat Aceh mempertahankan Republik Indonesia juga karena terdapat alat
komunikasi seperti pers dan radio. Dengan adanya alat komunikasi tersebut
mempermudah hubungan antara pemerintah daerah-daerah lain antara pemerintah
Aceh dengan pemerintah pusat. Melalui media ini dapat menyampaikan berita
secara praktis dan membangkitkan gelora semangat rakyat Aceh dalam
mempertahankan kedaulatan RI hingga titik darah penghabisan.6 Peranan pers dan
radio di bidang ekonomi juga terlihat dari siaran tentang kebutuhan para pejuang
agar masyarakat dapat membantunya dalam bentuk makanan, pikiran dan
persediaan perlengkapan lainnya. Dan bantuan ekonomi lainnya adalah
pengumpulan dana sumbangan untuk membeli pesawat yang sangat dibutuhkan
untuk kelancaran perjuangan. Pesawat yang dibeli berkat terkumpulnya
sumbangan masyarakat Aceh, yang kemudian oleh Soekarno diberi nama
Seulawah RI-001. Peran Aceh semakin penting ketika Teungku Muhammad
Daud Beureueh diangkat menjadi Gubernur militer Aceh, Langkat, dan Tanah
Karo yang berhasil menyatukan pasukan Aceh dari TRI, laskar Aceh, berbagai
divisi, dan tentara pelajar. Semakin banyak yang datang ke Medan Area maka
5A. K. Jakobi, Aceh Daerah Modal, (Jakarta, Yayasan Seulawah RI-001, 1992). hal.219.
6S.M. Amin, Kenangan-kenangan di Masa Lampau, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1978).
hal.103.
3
dibentuk suatu badan koordinasi yang disebut RIMA (Resimen Istimewa Medan
Area).7 Satu-satunya front yang tidak mampu ditaklukan Belanda pada agresi
militer kedua adalah sektor barat atau utara front Medan Area yang dipertahankan
oleh RIMA pasukan dari Aceh.
Ketika dalam keadaan krisis saat ibukota RI di Yogyakarta diduduki
Belanda. Pemerintah pusat dipindahkan ke Bukit Tinggi dan membentuk
Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Dengan agresi militer Belanda
yang kedua dapat dikatakan seluruh Sumatera telah berada dibawah kekuasaan
Belanda. Satu-satunya daerah yang masih utuh belum dimasuki Belanda adalah
Daerah Aceh. Hal ini menjadi faktor utama Aceh sebagai daerah modal
mempertahankan kedaulatan RI. Aceh sebagai garis pertahanan RI terakhir
mempunyai peran yang sangat amat penting, dimana ketika negara boneka yang
didirikan oleh Belanda sudah mengepung RI. Pada saat itu Aceh menjadi penting
sebagai alternatif satu-satunya yang menentukan cita-cita bangsa dan negara RI.
Dan ketika itu Presiden Soekarno memohon meminta bantuan kepada Gubernur
militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo Daud Beureueh untuk bersedia turut
mengambil bagian dalam perjuangan bersenjata yang tengah berkobar untuk
mempertahankan kemerdekaan. Saat itu Soekarno memanggil Daud Beureueh
dengan sebutan kakak. Selain meminta rakyat Aceh turut serta dalam perjuangan,
Soekarno juga meminta bantuan untuk membeli sebuah pesawat dari sumbangan
masyarakat Aceh yang secara ikhlas dan tulus memberi sumbangan yang sangat
berharga untuk bangsa yang sedang berjuang sebagai tanda kesetiaan rakyat Aceh
pada NKRI.
Hampir seluruh wilayah RI telah diduduki oleh Belanda, tetapi Aceh tak
sedikit pun mundur menyerahkan daerahnya ke tangan penjajah. Bahkan ketika
Indonesia sampai diujung tanduk, melalui lidah manis Soekarno lebih dahulu
meminta bantuan kepada Aceh untuk membantu mempertahankan kemerdekaan
RI. Tapi sama halnya seperti Belanda, manis di bibir tak sama seperti kenyataan
yang ada. Aceh dikhianati dengan digabungkannya provinsi Aceh dibawah
provinsi Sumatera Utara. Aceh yang dipimpin oleh Daud Beureueh saat itu
7Muhammad Ibrahim, Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, (Banda Aceh,
Depdikbud, 1978). hal.210.
4
terpedaya oleh tangisan Soekarno yang berjanji akan memberikan hak
menerapkan Syariat Islam di bumi Aceh, jika Aceh mau bergabung membantu
memperjuangkan mempertahankan kedaulatan kemerdekaan Republik Indonesia.
Pertentangan politik dengan pemerintah pusat yang terjadi setelah Aceh
digabungkan kembali menjadi bagian atau residen Sumatra Utara setelah
sebelumnya menjadi provinsi yang terpisah dengan provinsi Sumatra Utara. Hal
ini membawa kepada suatu keadaan yang meresahkan akibat adanya tarik menarik
antara Aceh dan pemerintah pusat, atau dengan kata lain pemerintah pusat tidak
mengakui pembentukan provinsi Aceh yang terpisah sehingga terjadi tumpang-
tindih kebijakan yang membawa kepada krisis kekuasaan.8 Terkait teori kesadaran
sejarah Kuntowijoyo, hal ini dapat memberikan tantangan, kritik, pendapat, serta
sikap dalam pertentangan antara rakyat Aceh dibawah pimpinan Daud Beureueh
dengan pemerintah pusat.
Aceh ketika awal perjuangan kemerdekaan Indonesia secara de facto
merupakan bagian dari provinsi Sumatera dengan kebijakan undang-undang
sementara tahun 1945 yang membagi wilayah Indonesia dalam 10 provinsi.
Setelah Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada 17
Agustus 1945,9 rakyat Aceh dibawah pimpinan Daud Beuereuh dan ulama-ulama
lainnya bergerak dan berjuang mempertahankan proklamasi kemerdekaan.10
Daud
Beureueh, orang kuat Aceh dan benteng Republik dalam revolusi, menolak untuk
menerima suatu pekerjaan di Jakarta dan tetap bermukim di Aceh sambil
memperhatikan perkembangan. Pada saat itu revolusi kemerdekaan Indonesia tak
luput dari pengamatan Daud Beureueh. Dia mengamati dengan tenang dan hati
hati setiap perkembangan yang terjadi. Dan selama tokoh-tokoh Masyumi
memegang kedudukan yang penting dalam kabinet dia tidak melakukan tindakan
apapun, akan tetapi pada bulan mei 1953 ditemukan bukti bahwa dia telah
menjalin hubungan dengan Kartosuwirjo dari Darul Islam. Gerakan Darul Islam
bagaimanapun merupakan bagian dari akibat sampingan proses sosial politik yang
8Ibid., hal.177-178.
9 17 Agustus 1945 atau 9 Ramadhan 1364 Hijriah.
10 A. Hajsimy, Ulama Aceh Mujahid Pejuang Kemerdekaan dan Pembangunan Tamadun
Bangsa, (Jakarta, Bulan Bintang, 1997), hal.109.
5
terjadi pasca kemerdekaan.11
Ketika masa kabinet Ali terbentuk, tersebar desas-
desus bahwa pemerintah pusat melalui kabinet bermaksud menangkapi orang-
orang terkemuka Aceh. Berita tersebut kemudian sampai di telinga Daud
Beureueh bahwa ia dan sejumlah kawan-kawannya akan ditangkap oleh tentara
dengan alasan menyimpan senjata gelap.12
Daud Beureueh menyatakan bahwa ia
tidak berkeberatan bila ditangkap dan dibunuh, akan tetapi jangan dengan alasan
yang dibuat-buat dan jangan mengelabui mata rakyat. Selanjutnya Daud Beureueh
menyatakan dalam suratnya bahwa dalam menghadapi tindakan sewenang-
wenang pihak tentara, rakyat akan melalui tiga tahap; tahap sabar, tahap benci dan
tahap melawan. Sekarang rakyat sudah sampai kepada tahap kedua. Maka oleh
karena itu beliau mengharapkan kebijaksanaan Presiden Soekarno, kiranya hal-hal
yang tidak diinginkan dapat dihindari.13
Aceh memang pada akhirnya memberontak melalui gerakan DI/TII Aceh.
Pada 21 September 1953 di Aceh meletus suatu peristiwa berdarah yang
merupakan tragedi bagi rakyat Tanah Rencong. Ini merupakan awal perjuangan
dalam menegakan syariat Islam.14
Daud Beureueh mengumumkan bahwa di Aceh,
yang kini merupakan bagian dari Darul Islam, tidak ada lagi pemerintahan
Pancasila. Selain persoalan ideologi keagamaan pemberontakan Darul Islam
adalah bentuk perlawanan terhadap pengaruh pemerintahan pusat yang kian
merasuk. Pemerintah merespon cepat tindakan yang dianggap sebagai
pemberontakan tersebut. Ali Sastroamidjojo mengirimkan pasukan-pasukan untuk
menghalau kaum perjuangan dari kota-kota yang penting.15
Dalam usahanya
memulihkan keamanan di Aceh Ali Sastroamidjojo memilih tindakan kekerasan.16
Usahanya tidak langsung berbuahkan hasil, tetapi melalui beberapa proses. Daud
Beureueh yang mundur dari Batee ke Lapang kira-kira sebelah utara Sampoi Niet,
Lhok Sukon (Aceh Utara) dalam usaha penyelesaian keamanan menemui jalan
11
Ibid., hal.197-198. 12
M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, (Jakarta, Serambi, 2010), hal.
514. 13
Lihat lampiran XI. 14
Ibid., hal.1 . 15
Ibid., hal.514-515. 16
Ibid., hal.162.
6
buntu militer yang berlanjut sampai tahun 1959.17
Pada akhir Mei 1959 dilakukan
upaya akhir yaitu musyawarah antara dewan revolusi dan misi Hardi untuk
mencapai persetujuan leburlah Negara Bagian Aceh dari Negara Islam
Indonesia.18
Misi Hardi dengan Keputusan Perdana Menteri RI No. 1/Misi/1959,
telah berusaha ke arah memenuhi keinginan dan hasrat rakyat Aceh. Keputusan
ini telah memberikan hak kepada daerah Aceh untuk memakai sebutan Daerah
Istimewa Aceh.19
Seperti yang telah dijelaskan diatas, maka tercetuslah pemberontakan
DI/TII di Aceh yang dipelopori oleh Tgk. M. Daud Beureueh, pemimpin DI/TII
Aceh yang tampil sebagai pemegang kekuasaan melalui revolusi sosial dan
menjadi gubernur militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo pada 1948-1950,
memimpin pemberontakan melawan kendali Jakarta pada 1953-1962 atas dasar
dua alasan, yakni menentang diserapnya Aceh ke dalam Provinsi Sumatra Utara
dan gagalnya republik melaksanakan hukum Islam.20
Pemberontakan Daud
Beureueh bertujuan untuk mendirikan negara Islam Indonesia, bukan untuk
mencapai Aceh merdeka, karena ia percaya bahwa itulah yang diperjuangkan oleh
orang Aceh sedemikian gigihnya selama revolusi mempertahankan kemerdekaan
Republik Indonesia.21
Maka dari itu penulis tertarik untuk membahas sepak
terjang Tgk. M. Daud Beureueh dalam sebuah proposal berjudul: Peran Tgk. M.
Daud Beureueh Dalam Pemberontakan di Aceh 1953-1962.
17
M. C. Ricklefs, Op.Cit., hal.515. 18
M. Nur. El Ibrahimy, Op.Cit., hal.168-171. 19
Perkataan istimewa ini menimbulkan associatie-associatie pikiran pada suatu daerah
yang memang benar-benar bersifat istimewa, suatu daerah yang berhak luas mengatur hal-hal
dalam setiap bidang pemerintahan. Akan tetapi hak yang diberikan, isi pada statusistimewa itu
pada hakikatnya bukanlah suatu hal yang luar biasa, oleh karena yang diberikan itu hanyalah hak
otonomi yang berpokok pangkal pada undang-undang tahun 1957 sehingga perkataan istimewa
itu sebenarnya tidak tepat, antara nama tidak sesuai dengan isi, menurut penafsiran yang lazim
daripada perkataan istimewa. Lihat M. Nur. El Ibrahimy, Op. Cit., hal.186. 20
Anthony Reid, Menuju Sejarah Sumatra Antara Sumatra Antara Indonesia dan Dunia,
(Jakarta, KITLV & NUS publising, 2010). hal. 388-389. 21
Ibid., hal.341.
7
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Pasca kemerdekaan terjadi konflik yang disebabkan perbedaan pendapat
antara pemerintah pusat dengan rakyat Aceh. Dan agresi Belanda juga terjadi
setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, kembali menggugat serta
memporak-porandakan seluruh Indonesia kecuali Aceh. Kenyataan bahwa
Belanda telah mampu menduduki kembali Indonesia ditolak. Semangat anti
penjajahan dalam diri rakyat Aceh selalu dipertahankan. Pada era Orde Lama
krisis legitimasi di Aceh tidak ditunaikan janji pemerintah pusat berupa penerapan
syariat Islam yang tak terwujud menjadi akar permasalahan. Krisis melalui
ketetapan yang berakibat pengalihan kuasa pemerintah Aceh yang berbentuk
provinsi yang terpisah menjadi residen dari provinsi Sumatera Utara. Dalam
pengalihan kuasa rakyat masih dapat bersabar, namun ketika ideologi dituntut
tidak terpenuhi dan perjuangan tumpah darah rakyat Aceh mempertahankan
kedaulatan tak dianggap, akhirnya meletus lah konflik akibat dari kekecewaan dan
sebagai ekspresi kebangkitan rakyat aceh yang merasa harga diri masyarakat Aceh
terlecehkan oleh janji-janji dan iming-iming pemerintah.
Dalam penelitian ini terdapat masalah yang telah diidentifikasi oleh
penulis. Dan juga sebagai kajian lebih mendalam mengenai konflik yang terjadi
secara vertikal antara rakyat Aceh dengan pemerintah pusat, yaitu:
1. Terjadinya krisis legitimasi yang disebabkan oleh pengalihan kuasa
dan ideologi yang tidak direalisasikan.
2. Pemberontakan pimpinan Tgk. M. Daud Beureueh atas kendali
pemerintah pusat akibat diserapnya Aceh ke dalam Provinsi Sumatera
Utara.
2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi penulis tentang apa yang dipaparkan diatas, maka
penulis membatasi permasalahan yaitu seputar Peran Tgk. M. Daud Beureueh
dalam Menegakan Syariat Islam di Aceh mengenai pengalihan kuasa dan ideologi
yang tidak direalisasikan. Pada saat itu menjadi tahun pemberontakan dalam
8
menentang sikap pemerintah baik dalam mengatur otonomi daerah maupun
menetapkan ideologi suatu negara. Adapun batasan tahunnya dimulai dari
perjuangan Tgk. M. Daud Beureueh pada tahun 1953 sampai kembalinya Tgk. M.
Daud Beureueh kepangkuan Republik Indonesia pada tahun 1962. Dan
pembatasan subjeknya yaitu: terkait pengaruh Islam dan Barat, mengenai rakyat
Aceh dan Pemerintah Pusat. Serta objeknya mengenai perjuangan Tgk. M. Daud
Beureueh dalam menegakkan syariat Islam di Tanah Rencong.
3. Perumusan Masalah
Dari pemaparan mengenai pemberontakan Tgk. M. Daud Beureueh dalam
menegakan syariat Islam di Aceh, adapun perumusan masalah penelitian ini dapat
dibaca dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
1. Apa motif yang melatarbelakangi pemberontakan Tgk. M. Daud Beureueh
di Aceh?
2. Seberapa besar pengaruh Tgk. M. Daud Beureueh dalam pemberontakan
di Aceh?
3. Bagaimana hasil dari perjuangan Tgk. M. Daud Beureueh dalam
menegakan syariat Islam di Aceh?
4. Bagaimana respon pemerintah terhadap pemberontakan Tgk. M. Daud
Beureueh?
5. Apa solusi pemerintah dalam mengatasi pemberontakan di Aceh?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini tujuan yang ingin penulis capai adalah:
1. Menjelaskan motif tercetusnya pemberontakan oleh rakyat Aceh terhadap
kendali pemerintah.
2. Menjelaskan peran Tgk. M. Daud Beureueh dalam peristiwa berdarah di
Aceh.
3. Mengetahui bentuk usaha atau upaya yang dilakukan rakyat Aceh dalam
menegakan syariat Islam.
9
4. Menjelaskan hasil yang dicapai pada pemberontakan DI/TII dalam
memperjuangankan menegakan syariat Islam di Aceh.
5. Menjelaskan respon pemerintah pusat terkait pemberontakan rakyat Aceh.
Adapun dalam penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai
berikut:
1. Dapat memberikan wawasan dan menambah pengetahuan tentang peran
dan kontribusi Tgk. M. Daud Beureueh dalam peristiwa berdarah di Aceh.
2. Sebagai bentuk khazanah keilmuaan dan pengembangan sejarah keislaman
Nusantara studi kasus: Aceh.
3. Pembelajaran masa lalu untuk kehidupan dimasa yang akan datang dalam
bentuk nyata, sebagai kontribusi positif dari penulis dalam rangka
sosialisasi sejarah Nusantara.
4. Memberikan informasi dan data kepada pembaca mengenai peristiwa
berdarah di Aceh.
D. Kerangka Teori
Fenomena yang terjadi pada pristiwa berdarah di Aceh adalah bentuk
revolusi sosial suatu kelompok oleh rakyat Aceh dibawah pimpinan Daud
Beureueh yang menginginkan terwujudnya ideologi keagamaan dalam sebuah
Negara. Pada kasus ini penulis melihat konflik terjadi karena adanya hukum
sebab-akibat, sebab keinginan rakyat Aceh tidak terpenuhi, berakibat munculnya
pemberontakan dalam menegakan syariat Islam. Dalam sudut pandang teori
kesadaran sejarah, hal ini memberikan dampak tantangan, kritik, pendapat, dan
sikap. Studi kasus tentang pemberontakan DI/TII di Aceh terkait teori kesadaran
sejarah memunculkan budaya progresif dalam bidang politik.
Seperti pemikiran Marx, mengenai etika humanis yang meyakini bahwa
manusia pada hakikatnya baik, dan dalam keadaan tertentu yang menguntungkan
akan dapat membebaskan diri dari lembaga-lembaga yang menindas, menghina,
dan menyesatkan.22
Dan untuk mencapai hal tersebut kekerasan dipandang
22
Miriam Budiharjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama,
2008), hal.85.
10
sebagai alat sah yang harus dipakai. Kekerasan dalam kasus peristiwa berdarah ini
dipakai oleh pemerintah pusat yang menganggap pemberontakan Daud Beurueh
sebagai suatu tindakan yang menentang pemerintahan.
Bisa dilihat dimensi sosial dari proses politik itu mencakup status dan
peranan elite politik terhadap masyarakat Aceh bagaimana interaksi dalam
perjuangan menegakan syariat islam yang menimbulkan suatu konflik. Jadi
menurut analisa penulis ini merupakan suatu pemahaman keyakinan tentang Neo
Fundamentalisme Islam yang lebih menitik beratkan pada cita-cita ideologi
politik yaitu sebagai berikut:
1. Al-Quran dan Hadits sebagai sumber 1/6 paling otoritatif.
2. Skriptualis (tulisan), literalis, tekstualis.
3. Negara Islam sebagai cita-cita politik tentang berdasar pada syariat
Islam.
4. Anti modernisme Barat, demokrasi dan ideologi-ideologi lainnya.
Pemahaman ini bersifat frontal yang mengarah pada kekerasan yang
melahirkan ideologi baru yang bernama Ideologi Negara IslamNon
ParlementerTarbiyah.23
Maka dari itu berdasarkan penjelasan diatas, penelitian ini ingin menguji
teori paradigma perubahan sosial dengan pendekatan konflik seperti yang
dikemukakan oleh T. Persons dan N. Smelzer mengatakan bahwa masyarakat
dikonsepsikan sebagai sistem yang mempunyai fungsi adaptasi, integrasi,
mempertahankan diri, dan member orientasi tujuan. Hal tersebut mencakup ide
masyarakat dengan adanya proses adaptasi untuk menghadapi pengaruh faktor
eksogen dan endogen, maka tetap ada dinamika sosial. Kerangka teoritis tersebut
juga menonjol dalam studi perubahan sosial sebagai bentuk perkembangan.
Masalah sosial yang terjadi adalah kekecewaan, penindasan, dan ketidaktulusan
pusat dalam menjalankan sistem pemerintahan.
23
Tarbiyah, Takfiri adalah dimana mulai mengkafirkan apa-apa yang berasal dari barat.
Hal ini menjadi dasar pemikiran gerakan salafi dan jihadi.
11
E. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan sejarah dan metode yang akan
digunakan didalam penyusunan penelitian ini adalah metode historis yang bersifat
deskriptif analisis. Metode historis adalah proses menguji dan menganalisa secara
kritis sumber data, baik itu sumber primer: Ensiklopedi, Artikel, Jurnal, Majalah,
Surat Kabar yang sezaman ataupun sumber sekunder seperti buku-buku.24
Data
yang diperoleh tersebut disusun secara teratur dan sistematis lalu dianalisis secara
kualitatif. Kemudian poin-poin yang autentik ditulis dan dipaparkan sesuai
bentuk, kejadian, suasana dan masanya. Adapun analisa faktor-faktor politik
menjadi faktor pendukung.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mencapai penulisan sejarah, oleh
karena itu upaya merekonstruksi masa lampau dari obyek yang diteliti
menggunakan metode historis yang bersifat deskriptif analisis. Dengan
menggunakan metode ini melalui pemaparan penulis diharapkan dapat membantu
untuk mengetahui fakta dan sejarah mengenai peran Tgk. M. Daud Beureueh
dalam pemberontakan di Aceh 1953-1962. Adapun dalam melakukan penelitian
ini penulis menggunakan metode historis25
, yaitu:
1. Heuristik, kegiatan untuk mencari data atau pengumpulan bahan-bahan
atau sumber sejarah. Hal ini merupakan tahap awal yang harus dilakukan.
Adapun dalam pengumpulan data-data dan sumber yang akan digunakan
dalam membuat skripsi ini penulis menggunakan penelitian kepustakaan
library research. Dalam kaitannya dengan sumber-sumber seperti arsip,
jurnal, ensiklopedi, artikel/ majalah, surat kabar, dan buku-buku, penulis
mencari sumber dengan mengunjungi beberapa perpustakaan seperti;
perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, perpustakaan
Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
perpustakaan Nasional, Arsip Nasional, perpustakaan UI, melalui toko
buku di wilayah Jakarta, Tangerang, dan Depok, serta melalui katalog-
katalog dan website. Selain itu penulis juga menggunakan buku-buku
koleksi pribadi yang berhubungan dengan kajian penelitian ini.
24
Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, (Jakarta, UI Pers, 1975), hal.32. 25
Dudung Abdurahman, Metode Penelitian Sejarah, (Jakarta, Logos, 1999), hal.54.
12
2. Verifikasi, setelah melakukan heuristik atau pengumpulan sumber-sumber
baik dalam bentuk artefak, hasil-hasil dari persitiwa bersejarah ataupun
melalui dokumen-dokumen tertulis yang merupakan rekaman peristiwa,
maka tahap selanjutnya yang harus dilakukan adalah kritik sumber.26
Kritik sumber adalah usaha untuk mendapatkan sumber-sumber yang
relevan dan terbukti keaslian sumber Otentiksitas dangan pembahasan
sejarah yang ingin disusun sesuai dengan tema kajian. Disini penulis
melakukan kritik sumber melalui pengujian data yaitu: tampilan sumber
eksternal dan isi sumber internal. Dengan mengidentifikasi keaslian
sumber otentik dan keabsahan tentang kesahihan sumber kredibilitas. Baik
sumber primer dan sekunder penulis melakukan pengujian data untuk
mendapatkan hasil yang maksimal.
3. Interpretasi atau penafsiran sejarah, seringkali disebut juga dengan analisis
sejarah. Dalam sumber terkait peristiwa berdarah di Aceh, penulis
menggunakan studi komparatif yaitu menganalisis sebagian besar sumber
melalui buku-buku memaparkan Tgk. M. Daud Beureueh sebagai
pemberontak, hal ini bertolak belakang dengan pemikiran penulis bahwa
ini adalah peristiwa perjuangan. Hal ini menjadi tantangan tersendiri untuk
penulis. Tujuannya agar data yang ada mampu untuk mengungkap
permasalahan yang ada, sehingga diperoleh pemecahannya dalam sudut
pandang berbeda atau dua sisi.27
4. Historiografi, tahap ini adalah tahap yang terakhir dalam metode historis.
Setelah melakukan tahap heuristik, verifikasi dan interpretasi, selanjutnya
historiografi. Dengan menulis pemaparan atau laporan hasil penelitian
dalam suatu urutan yang sistematik yang telah diatur dalam pedoman
penelitian. Dalam hal ini penulis berusaha menyusun penelitian ini
berdasarkan kronologi waktu dan tema-tema tertentu yang akhirnya isi inti
dari penelitian atau klimaks dari penelitian ini. Tahap ini merupakan
rangkaian dari keseluruhan teknik metode pembahasan.
26
Ibid., hal. 35-37. 27
Louis Gottschalk, Op. Cit., hal. 54.
13
F. Tinjauan Pustaka
Untuk mendapatkan hasil yang dikehendaki sesuai dengan topik
permasalahan, penulis mencari beberapa literature terkait pemberontakan rakyat
Aceh khususnya peran Daud Beureueh dalam menegakan syariat Islam, namun
tidak banyak sumber-sumber dalam artikel, majalah dan surat kabar yang
memberikan informasi secara detail mengenai peristiwa berdarah tersebut. Dalam
kaitannya dengan judul, penelitian ini ingin menyajikan hasil penelitian yang
menjadi pembahasan pokok dalam berbagai literature yang ada. Adapun beberapa
literature yang dijadikan tinjauan pustaka, sebagai berikut:
Melalui artikel, majalah/surat kabar Kabinet dan Aceh oleh pembantu-
CHAS yang dimuat dalam majalah Dalam Negeri, WAKTU No.41, tanggal 7
November28
. Mengurai informasi tentang bagaimana pemerintah pusat seakan
menutupi penyebab meletusnya peristiwa berdarah di Aceh, dengan
mengesampingkan alasannya yang lebih diungkapkan adalah mengenai
pemberontakan yang terjadi pada peristiwa berdarah yang banyak menelan korban
di kalangan rakyat Aceh. Dan mengenai Cumbok Affairs pemerintah pusat
menganggap kesalahan terjadi pada pertentangan yang terjadi antara PUSA
dengan kaum hulu balang. Dalam beberapa pemaparan majalah Dalam Negeri
tersebut penulis melihat informasi dan data yang disajikan lebih mengarah pada
pembelaan terhadap PUSA dibanding terhadap pemerintah pusat.
Sama halnya dengan artikel, majalah/surat kabar yang berjudul Tentang
soal memulihkan keamanan di Atjeh yang terbit WAKTU No.23, tanggal 25 djuni
1955. Memaparkan tentang bagaimana keamanan di Aceh yang belum terkendali.
Hal itu terlihat pada bantuan militer terhadap pamong praja untuk mematahkan
pemberontakan Daud Beureueh. Berbeda dengan sebelumnya artikel,
majalah/surat kabar yang berjudul Karena keterkaitan Ideologis yang ditulis oleh
Taufik Abdullah melalui Panji Masyarakat No.419. Jika dikaitkan dengan
28
Dalam artikel, majalah/surat kabar ini untuk tahun penerbitan tidak terlihat, hal itu
dikarenakan karena sumber yang ada sangat rentan dan penulis menemukan sebagian teks hilang
terjadi akibat pengalihan dari sumber nyata yang di scan dan dipublikasikan via website online.
Terlepas dari sisi eksternalnya untuk kritik internalnya artikel, majalah/surat kabar Dalam Negeri
ini menggunakan penulis masih terkendala dalam menganalisa karena bahasa yang digunakan
bahasa yang berada di jaman sebelum dan pasca kemerdekaan.
14
penelitian penulis, melihat kasus Aceh sebagai perjuangan pengalihan kuasa dan
ideologi keagamaan. Pemaparan lebih detail dijelaskan oleh Taufik Abdullah
mengenai pilar-pilar kepemimpinan, sikap masyarakat Aceh yang bersifat
spontanitas dan enthusiasme.
Dalam literature yang lain penulis menemukan beberapa buku yang
mendukung permasalahan dari topik ini, M. Nur El Ibrahimy, Tgk. M. Daud
Beureueh perananya dalam pergolakan di Aceh, Jakarta: Gunung Agung, 1982.
Dalam buku ini membahas peranan Daud Beureueh dalam pemberontakan yang
terjadi di Aceh dimulai dari sebabnya, sumbangan rakyat Aceh kepada pendirian
Republik serta terkait pristiwa berdarah secara kronologis. Dalam buku ini juga
membahas biografi singkat mengenai Daud Beureueh.
Semangat Merdeka: 70 tahun menempuh jalan pergolakan & perjuangan
yang ditulis oleh A. Hasjmy, 1985 adalah sebuah buku yang memuat perjalanan
A. Hasjmy juga peristiwa sejarah yang terjadi kurun waktu 70 tahun penulis.
Banyak peristiwa-peristiwa sejarah yang tercatat dibuku ini selama perang
kolonial melawan Belanda, dan berbagai pergolakan politik di Aceh seperti
pertempuran dan pemberontakan juga disajikan lengkap dibuku ini. Komentar
komentar dan analisa analisanya terhadap pembahasan juga melengkapi kisah
perjalanan hidup penulis dalam kancah pergolakan di Aceh. Adapun kisah
pemberontakan terhadap tentara Jepang, Pergerakan PUSA, Gema Proklamasi di
Aceh sampai kepada bagaimana tentara Aceh mempertahankan kemerdekaan RI
merupakan sebagaian dari banyak kisah sejarah lainnya yang dikemukakan Oleh
Hasjmy, Termasuk juga kisah dalam penahanannya dalam penjara oleh
pemerintahaan RI yang disebabkan oleh diproklamirkannya Darul Islam (DI) di
Aceh oleh Tgk. M. Daud Beureueh.
Penulis juga melakukan perbandingan pada tiap literature yang ada.
Seperti dalam buku Memahami Sejarah Konflik Aceh yang ditulis oleh Mr. S. M.
Amin yang diterbitkan oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2014.
Bertentangan dengan buku Sejarah dan dokumen-dokumen pemberontakan di
Atjeh oleh Alibasjah Talsya, Mr. S. M. Amin ingin memberikan informasi kepada
pembaca dalam sudut pandang yang berbeda. Peristiwa berdarah di Aceh
15
dilihatnya sebagai suatu perjuangan dalam menegakan ideologi keagamaan. Hal
ini bertujuan untuk memberikan dan memperkaya pembaca mengenai studi kritis
dalam sejarah Aceh maupun sejarah Indonesia diawal berdirinya republic ini.
G. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pemahaman secara keseluruhan, skripsi ini terbagi
dalam lima bab. Adapun susunan skripsi ini adalah sebagai berikut:
BAB I Merupakan pendahuluan yang meliputi penjabaran singkat
mengenai permasalahan yang menjadi fokus kajian, identifikasi
masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, kerangka teori, metode penelitian, tinjauan pustaka,
serta sistematika penulisan.
BAB II Membahas biografi Tgk. M. Daud Beureueh dari mulai lingkungan
keluarga, riwayat pendidikan, dan karya-karyanya dalam berbagai
bentuk dari masa pra-kemerdekaan, kemerdekaan, dan pasca
kemerdekaan.
BAB III Membahas lebih mendalam mengenai peranan Tgk. M. Daud
Beureueh dalam pemberontakan untuk menegakan syariat Islam di
Aceh. Baik kedudukan, sikap, dan kontribusi nyatanya dalam
konflik yang disebut juga sebagai peristiwa berdarah di Aceh.
BAB IV Membahas mengenai pemberontakan yang menjadi peristiwa
berdarah di Aceh. Baik melalui upaya-upayanya, dan hasil
perjuangan dalam bentuk perubahan sosial dengan menggunakan
pendekatan konflik. Serta respon pemerintah pusat melalui
kebijakan-kebijakannya terhadap perjuangan masyarakat Aceh
yang dipimpin oleh Daud Beureueh.
BAB V Berisikan penutup yang terdiri atas kesimpulan mengenai jawaban
permasalahan penelitian, dan saran sebagai masukan terhadap
penelitian.
16
BAB II
BIOGRAFI TEUNGKU MUHAMMAD DAUD BEUREUEH
A. Lingkungan Keluarga
Teungku Muhammad Daud Beureueh, aslinya bernama Muhammad
Daud.29
Ia dilahirkan pada tanggal 17 September 189930
di kampung Beureueh,
Beureuneun atau yang sekarang termasuk Kecamatan Mutiara, Kabupaten Pidie,
Daerah Istimewa Aceh.31
Daud Beureueh adalah salah satu tokoh ulama besar di
Aceh, ia juga merupakan tokoh kontroversial yang populer dikalangan masyarakat
Aceh, dalam perjuangannya mengibarkan serta menegakan panji-panji Islam di
bumi Aceh akibat rasa ketidakpuasannya atas pemerintahan Soekarno.32
Ketika semasa hidupnya dihabiskan di Aceh, dari situlah Daud Beureueh
dikatakan sebagai anak Aceh tulen. Seperti dalam sebuah karangan yang ditulis
oleh Anggraini dalam majalah Indonesia Merdeka, No.214 yang terbit di
Banjarmasin, pada tanggal 1 oktober 1953, berjudul Siapa Teungku Daud
Beureueh, bekas Gubernur Aceh yang memberontak. Menjelaskan mengenai
nama asalnya Muhammad Daud, yang diberikan orang tuanya sejak lahir.33
Gelar
Teungku34
berasal dari masyarakat Aceh, merupakan sebutan yang diberikan
kepada ulama Aceh atau sebutan kepada setiap orang yang dihormati.35
Sedang
tambahan Beureueh adalah nama tempat kampung kelahirannya. Penamaan ini
29
Harun Nasution dkk., Op. Cit., hal.202-203. 30
Menurut A. Hasjmy, dalam buku Ulama Aceh Pejuang Kemerdekaan dan
Pembangunan Tamadun Bangsa,Tgk. M. Daud Beureueh lahir dalam tahun 1316 Hijriah atau
sekitar tahun 1896 Masehi seperti yang dipaparkan dalam Ensiklopedi Islam Indonesia yang
disusun oleh Harun Nasution dkk. 31
A. Hasjmy, Op. Cit., hal.119-120. 32
H.M. Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara, (Jakarta, Gelar Media Indonesia,
2009), hal.231-323. 33
El Ibrahimy, Op. Cit., hal.221-222. 34
Sekedar info, berbeda dengan Teungku (tgk.). Sebutan Tengku adalah titel
kebangsawanan di Sumatera Timur. Teuku adalah titel kebangsawanan di Aceh, sedangkan
Tuanku adalah titel Sultan Aceh dan turunannya atau sebagai sebutan sultan-sultan di Sumatera. 35
Anthony Reid, Perjuangan Rakyat Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera,
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987), hal. 12-17.
17
adalah suatu kebiasaan pada sebagian masyarakat di Sumatera yang menaruhkan
nama kampungnya ke dalam namanya.36
Jika dianalisa lebih mendalam mengenai Muhammad Daud nama yang
diberikan kedua orang tuanya adalah dua nama Nabiyullah yang diberikan kitab
Al Quran dan Zabur. Dari penamaan yang diberikan, penulis berasumsi bahwa
keinginan kedua orang tuanya adalah menjadikan Daud Beureueh sebagai ulama
sekaligus mujahid37
yang siap membela, menyebarkan, mengibarkan, dan
menegakan panji-panji yang berdasar pada syariat Islam. Dilihat dari lingkungan
hidupnya Daud Beureueh tumbuh dan besar dilingkungan religius yang sarat
dengan nilai-nilai Islam.38
Dan ketika memasuki masa dewasa di bawah bayang-
bayang keulamaan ayahnya yang sangat kuat, yang mengilhami jejak hidupnya.
Ayahnya bernama Teungku Ahmad yang pada waktu itu menjadi Keucik
(lurah) Kampung Beureueh. Ayahnya merupakan seorang ulama yang
berpengaruh dikampungnya, mendapat gelar dari masyarakat setempat dengan
sebutan Imeuem (imam) Beureueh. Ibunya bernama Aminah. Menurut A.
Hasjmy dikatakan bahwa kakek Teungku Muhammad Daud Beureueh berasal dari
Kerajaan Pattani Darussalam, namanya Haji Muhammad Adami.39
Sementara
Daud Beureueh sendiri beristrikan tiga orang. Istri yang pertama bernama
Teungku Cut Halimah atau sering dipanggil Mi Usi, darinya dikaruniai tujuh
orang putra/putri. Istri yang kedua bernama Teungku Asma dipanggil Mi Paleue,
darinya dikaruniai tiga orang putra/putri. Istri yang ketiga bernama Cutnyak
Asiyah terkenal dengan panggilan Mi Beureueh, dikaruniai seorang putra yang
bernama Hatta, jika diakumulasikan semuanya berjumlah sebelas orang
putra/putri.40
Daud Beureueh melalui anak tertuanya Teungku Maryam,
mempunyai anak yaitu cucunya yang bernama Nila Inangda Mayang Keumala
36
El Ibrahimy, Op. Cit., hal. 222-223. 37
Mujahid adalah orang yang berjuang demi membela agama Islam. Sumber melalui
http://kbbi.web.id/mujahid di akses pada tanggal 31 Januari 2016, Pukul 13:37 WIB. 38
Nilai-nilai Islam yang dimaksud terlihat dimana ketika Maghrib tiba, Hikayat Perang
Sabil selalu dikumandangkan di setiap meunasah (masjid kampung). Ibid., hal. 337-338. 39
Kerajaan Pattani Darussalam adalah kerajaan Islam Melayu yang terletak di ujung
paling utara Semenanjung Tanah Melayu dan setelah dijajah Siam, sekarang menjadi Thailand
Selatan. A. Hasjmy melalui bukunya yang berjudul Ulama Aceh Mujahid Pejuang Kemerdekaan
dan Pembangunan Tamadun Bangsa. hal.120. 40
A. Hasjmy, Op. Cit., hal.120-121.
http://kbbi.web.id/mujahid
18
yang bersuamikan Tan Sri Sanusi Junit41
telah mempersembahkan cicit untuk
Daud Beureueh. Tidak banyak literature yang dapat penulis gali mengenai
keluarga Daud Beureueh, baik mengenai keluarga lingkungan ataupun orang
terdekatnya.
Ketenaran tokoh di Aceh senantiasa melekat pada kharisma kampungnya.
Kampung adalah sebuah entitas politik42
yang pengaruhnya ditandai dengan
tokoh-tokoh perlawanan. Hal ini terjadi akibat cita-cita yang belum tercapai. Jika
dikaitkan dengan tempat tinggalnya Daud Beureueh berasal dari tanah Aceh,
tepatnya didaerah Pidie. Orang-orang Pidie terkenal berwatak keras, ulet dan suka
merantau. Mungkin sekali bila penulis katakan, karena watak orang Pidie
demikian rupa, maka Daud Beureueh tumbuh menjadi manusia yang keras, dan
ulet, hal ini terlihat juga setelah ia menjadi pemimpin umat.43
Terlebih lagi Daud
Beureueh mendapatkan gelar Teungku adalah karena ia ulama yang berasal dari
rakyat jelata. Jelaslah kemauan, keinginan dan pendiriannya yang kuat yang
membuat Daud Beureueh sangat disegani oleh masyarakat Aceh.44
B. Riwayat Pendidikan
Dalam riwayat pendidikannya Daud Beureueh memperoleh pendidikannya
dari lembaga pendidikan tradisional.45
Sebelum membahas hal itu lebih jauh
penulis ingin mencoba memaparkan sedikit mengenai sejarah pendidikan Islam di
41
Tri Sri Dato Seri Sanusi Junid atau suami dari cucu Daud Beureueh yaitu Nila Inangda
Keumala lahir 10 Juli 1943, adalah tokoh politik Malaysia yang menjabat sebagai Menteri
Pembangunan Negara dan Luar Bandar pada tahun 1981. Menteri Pertaninan sewatu berumur 38
tahun pada tahun 1986. Dan Tan Sri Sanusi menjadi Menteri Besar Kedah Darul Aman yang
ketujuh pada tahun1996-1999. Sumber melalui http://m.kompasiana.com/dandibachtiar/tan-sri-
sanusi-junid-putra-aceh-yang-jadi-menteri-di-malaysia_550e5dcaa33311b82dba8166 diakses pada
tanggal 31 januari 2016, Pukul 15:41 WIB. 42
Entitas politik adalah wujud politik. Jika dikaitkan dengan dengan entitas budaya
menurut Kuntjaraningrat. Analisa penulis mengenai penelitian ini adalah sebagai bentuk entitas
ideal, yaitu merupakan kompleks dari ide-ide gagasan, nilai-nilai, norma-norma, dsb. Jelas
kaitannya dalam kasus perjuangan ini adalah terkait nilai-nilai keagamaan dalam menegakan
syariat Islam di Aceh. Sumber melalui http://kbbi.web.id/entitas di akses pada tanggal 31 Januari
2016, Pukul 17:30 WIB. 43
Bukti dari sifatnya yang keras dan tegas terlihat ketika dalam suatu khotbah Jumat di
Masjid Raya Kutaraja, dalam mengupas Islam dengan komunis, Daud Beureueh sangat militant,
tegas dan enteng dalam menyampaikan vonis haram dan kafir terhadap orang yang tidak
disukainya dalam kasus ini disebutkan untuk menjauhkan kaum Muslimin dari PKI. 44
El Ibrahimy, Op. Cit., hal. 222. 45
Harun Nasution, Op. Cit., hal 202.
http://m.kompasiana.com/dandibachtiar/tan-sri-sanusi-junid-putra-aceh-yang-jadi-menteri-di-malaysia_550e5dcaa33311b82dba8166http://m.kompasiana.com/dandibachtiar/tan-sri-sanusi-junid-putra-aceh-yang-jadi-menteri-di-malaysia_550e5dcaa33311b82dba8166http://kbbi.web.id/entitas
19
Aceh. Pendidikan Islam yang berlandaskan ayat-ayat Al Quran adalah rasa
kesadaran beriman dan beramal salih yang berdasarkan ilmu pengetahuan,
sehingga manusia menjadi makhluk sosial yang menghayati ajaran-ajaran Islam
dalam kehidupannya.46
Baik dalam kehidupan politik, ekonomi ataupun dalam
kehidupan sosial. Dengan berpedoman ayat-ayat Al Quran, pendidikan Islam
bertujuan untuk:
a. Membina manuslia Muslim yang beriman dan beramal salih sehingga
memenuhi syarat untuk menjadi Khalifah Allah di atas bumi, yang
bertugas memakmurkan dunia raya.47
b. Membina manusia Mukmin yang beramar makruf dan bernahi
mungkar, sehingga mereka memiliki syarat-syarat untuk ditampilkan
menjadi umat pilihan di depan mata dunia.48
c. Membina Jamaah Ansarullah yang bertugas melaksanakan Dakwah
Islamiyah dengan hikmah kebijaksanaan dan ajaran-ajaran yang indah
sebagai syarat mutlak bagi kaum Muslimin untuk menjadi umat yang
beruntung dan mendapat kemenangan.49
d. Membina angkatan Dakwah yang tugasnya bejihad membela rakyat
melarat yang tertindas, dengan segala daya, dana dan jiwa, sebagai
syarat mutlak untuk mendapat ampunan Allah dan kemenangan di
dunia dan di akhirat.50
Pengertian dan tujuan pendidikan Islam ini merupakan hal penting ketika
kita mengenyam pendidikan Islam dimanapun.51
Selain itu, mengetahui
pengertian dan tujuan bermanfaat untuk mengkaji mengenai suatu penelitian
terkait pendidikan, yang dalam kasus ini penulis akan mencoba untuk
menjelaskannya. Seperti yang dijelaskan dalam berbagai literature, Daud
Beureueh tidak mengalami masa-masa usia sekolah atau tidak masuk sekolah ke
lembaga pendidikan resmi yang dibuat Belanda seperti: Volkschool, Goverment
46
Landasan: Q.S. Al Alaq: 1-5 dan At Taubah: 122. 47
Landasan: Q.S. An Nur: 55-56. 48
Landasan: Q.S. Ali Imran: 110. 49
Landasan: Q.S. Ali Imran: 104 dan An Nahl: 125. 50
Landasan: Q.S. An Nisa: 74 dan Ash Shaf:10-12. 51
A. Hasjmy, Bunga Rampai Revolusi dari Tanah Aceh, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978),
hal. 51-53.
20
Indlandsche School, atau HIS.52
Hal tersebut dikarenakan banyak putra/putri Aceh
tidak diizinkan orangtuanya untuk memasuki sekolah-sekolah yang didirikan oleh
kaphe53
, terutama untuk putra/putri ulama. Dan terlebih lagi masih sangat
kuatnya anti penjajahan dan gema berkumandangnya Hikayat Perang Sabil.54
Hal
ini membuktikan bahwa tidak benar yang dikatakan pengamat yang mengatakan
bahwa orang Aceh jaman penjajahan anti ilmu pengetahuan, melainkan yang
benar bahwa rakyat Aceh saat itu dan bahkan sampai sekarang, anti penjajahan,
seperti yang diterangkan oleh A. Hasjmy dalam bukunya Ulama Aceh Mujahid
Pejuang Kemerdekaan dan Pembangunan Tamadun Bangsa.
Walaupun Daud Beureueh dan masyarakat Aceh baik dikalangan ulama
maupun rakyat jelata tidak memasuki lembaga pendidikan yang didirikan kaum
penjajah, namun mereka tidak buta huruf dan juga tidak buta ilmu karena
mereka mendapat pendidikan di pusat-pusat pendidikan seperti pesantren,
madrasah seperti, dayah/zawiyah.55
Jika dikaji lebih dalam pendidikan yang
bernama dayah/zawiyah berdiri ketika masa Kerajaan Islam Perlak, sebagai
Kerajaan Islam pertama di Asia Tenggara. Hal ini merupakan upaya utama yang
dilakukakan dengan mendirikan tempat-tempat pendidikan bagi putra/putri
negara, dalam rangka mempunyai pengetahuan yang luas. Ini merupakan perintah
Sultan56
untuk memberi pengetahuan yang luas melalui bidang pendidikan. Dan
masa itu pendidikan dayah/zawiyah diajarkan oleh ulama-ulama yang juga
mempunyai pengetahuan yang luas.
52
Volkschool atau yang dikenal sekolah desa selama tiga tahun, muncul sekitar tahun
1915 ketika jaman penjajahan Belanda, diperuntukkan bagi anak-anak peribumi yang tinggal di
desa-desa. Motif pembangunan sekolah ini adalah ekonomi. Sumber melalui
http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/3515/volkschool diakses pada tanggal 31 Januari
2016, Pukul:19:52 WIB. Goverment Indlandsche School adalah sekolah rakyat lima tahun. A.
Hasjmy, Op. Cit., Sedangkan HIS adalah sekolah dasar selama tujuh tahun dengan bahasa Belanda
sebagai pengantar, diperuntukkan untuk anak-anak pribumi. Sumber melalui Anthony Reid, Op.
Cit., hal. 13. 53
Kaphe adalah sebutan kafir oleh masyarakat Aceh untuk Belanda atau penjajah. 54
Hikayat Perang Sabil merupakan syair perang sabil yang ditulis dan disebarkan pada
waktu perlawanan anti-Belanda. Anthony Reid, Menuju Sejarah Sumatera Antara Indonesia dan
Dunia, (Jakarta: KITLV, 2011), hal. 338. 55
El Ibrahimy, Op. Cit., hal. 221-222. 56
Hal yang melatarbelakangi pendidikan masa itu adalah ketika itu Ayah Sultan sangat
mementingkan pendidikan dan ilmu pengetahuan untuk putranya, hal itu terlihat dari pemikiran
Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah yang juga mementingkan pendidikan dan ilmu
pengetahuan terinspirasi dari ayahnya.
http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/3515/volkschool
21
Setelah berdiri banyak tempat-tempat pendidikan yang bernama zawiyah
dalam Kerjaan Islam Perlak, pada akhir abad ke-3 H atau abad ke-10 M.
Berdirilah pendidikan Islam yang bernama Zawiyah Cot Kala didirikan oleh
pangeran Muhammad Amin yang sekaligus merupakan seorang ulama atau lebih
dikenal dengan nama Teungku Chik Cot Kala. Kata-kata zawiyah seiring
perkembangan jaman berubah sebutan menjadi dayah menjadi Dayah Cot
Kala.57
Mempunyai akar sejarah dalam bidang pendidikan yang kuat,
memunculkan upaya yang dilakukan Kerajaan Aceh Darussalam untuk menyusun
lembaga-lembaga pendidikan, yand disesuaikan dengan system dan organisasi
pendidikan atau pengajaran yang disusun oleh Perdana Menteri Nizamuddin dari
Daulah Abbasiyah sekitar abad ke-16 M. dan seiring perkembangan pendidikan di
Aceh membawa ajaran wajib dalam rangka membasmi buta huruf tadan buta ilmu.
Adapun tingkatan pendidikan di Aceh sekitar abad ke-17 M adalah sebagai
berikut:
a. Meunasah atau madrasah, yaitu sekolah permulaan yang sama dengan
sekolah dasar. Didirikan ditiap-tiap kampung atau desa, untuk
mengajar murid-murid menulis dan membaca huruf Arab.
b. Rangkang, melalui Masjid sebagai pusat segala kegiatan umat, ini
merupakan pendidikan tingkat menengah pertama atau yang dikenal
dengan nama Madrasah Tsanawiyah. Diajar mengenai fiqh atau hukum
Islam.58
c. Dayah, dapat disamakan dengan Sekolah Menengah Atas atau
Madrasah Aliyah. Dalam tingkatan ini murid-murid diajarkan
mengenai kitab-kitab dan kajian fiqh lebih mendalam.
d. Dayah Teungku Chik, atau yang disebut Dayah Manyang, disamakan
dengan akademik. Teungku Chik artinya guru besar. Diajarkan
mengenai pelajaran tentang bahasa, fiqh, hukum Islam, sejarah, ilmu
manthiq, tauhid, tasawuf, ilmu falak, tafsir, hadits.
57
Ibid., hal. 51-56. 58
Diajar mengenai hukum islam yaitu tentang rubuk ibadah, tauhid, tasawuf, sejarah Islam
dan umum, dan bahasa Arab. Melalui buku-buku berbahasa Melayu dan Arab.
22
e. Jamiah Baiturrahman, setara dengan tingkatan universitas mempunyai
Daar atau fakultas. Di ajar oleh guru-guru besar, ulama atau sarjana,
dari Aceh maupun didatangkan dari Arab, Turki, Persia dan India.59
Kembali dalam fokus kajian mengenai pendidikan Daud Beureueh. Dalam
pusat-pusat pendidikan yang bernama dayah/zawiyah Daud Beureueh dan ulama
sejaman mempelajati baca tulis Arab dan pengetahuan Agama Islam. Dalam
riwayat pendidikannya dari beberapa dayah terkemuka di Tanah Aceh, Daud
Beureueh menimba ilmu pengetahuan, bahasa Arab, terutama sekali ilmu-ilmu
syariat dan hakikat serta ilmu-ilmu lain yang erat hubungannya dengan
pengembangan dan pembinaan Islam dalam melahirkan ulama besar dan
pemimpin rakyat.60
Pada mulanya Daud Beureueh belajar di Pesantren Titeue,
yang dipimpin oleh Tgk. Muhammad Hamid selama satu setengah tahun,
kemudian pindah ke Pesantren Lie Leumbeue dibawah pimpinan Tgk. Ahmad
Harun yang terkenal dengan sebutan Teungku di Tenoh Mirah. Setelah empat
setengah tahun belajar ia keluar sebagai ulama tulen atau tempaan pesantren
sejati. Setelah lulus Daud Beureueh menikah dengan Tgk. Halimah di kampung
Usi Meunasah Dayah. Pada tahun 1930, ia membentuk Jamiah Diniyah dan
kemudian mendirikan Madrasah Saadah Abadiyah di Blang Paseh, Sigli. Ini
merupakan pengembangan dari lembaga pesantrennya. Dan sejak itu Daud
Beureueh mulai terkenal dengan gelar Teungku di kampung Usi Meunasah
Dayah.61
62
Setelah Daud Beureueh mendirikan kedua lembaga pendidikannya,
kemudian ia menjadi pemimpin dalam mempelajari huruf latin sehingga teman
ulama sejamannya menjadi pandai membaca dan menulis huruf. Ilmu itu mereka
dapat ketika memasuki usia sekolah dalam lembaga pendidikan resmi yang
didirikan oleh Belanda yaitu Government Inlandsache School di kota kecil
59
A. Hasjmy, Op. Cit., hal. 63-71. 60
A. Hasjmy, Op. Cit., hal. 121-123. 61
Harun Nasution dkk., Op. Cit., hal. 202. 62
Pada mulanya kebanyakan penduduk kampung Usi menganut kepercayaan suluk, yang
bersumber kepada ajaran-ajaran Al Hallaj yang terkenal dalam sejarah ilmu Tasawuf. Mereka
bertekad, bahwa Allah, Muhammad dan Adam, hakikatnya adalah satu, ibarat kain, benang dan
kapas. Dengan petunjuk-petunjuk yang terus menerus dari Tgk. M. Daud Beureueh, kebanyakan
mereka telah kembali ke jalan yang benar. Sumber melalui M. Nur El Ibrahimy dalam bukunya
Tgk. M. Daud Beureueh Peranannya Dalam Pergolakan di Aceh. hal. 222.
23
Seulimeum. Dikatakan oleh Anthony Reid Tgk. M. Daud Beureueh tahun 1910-
1946 mendapatkan pendidikannya pada Europese School di Sigli. Dan hal itu
yang dianggap Anthony Reid bahwa Daud Beureueh lebih bersifat ke Eropaan
dibanding uleebalang lainnya.63
C. Karya-karyanya
Dalam hal ini, sangat menarik untuk dikaji lebih mendalam mengenai
karya-karya Tgk. M. Daud Beureueh. Disini penulis membagi karya-karyanya
menjadi 3 bagian yaitu: pertama pemikiran, merupakan hasil dari manusia, tak
jarang manusia yang berfikir menghasilkan pemikiran-pemikiran yang bermanfaat
bagi kemajuan jaman, namun dalam menerapkan pemikiran tersebut banyak
tantangan yang harus dihadapi. Bukan mengenai tantangan tersebut, tapi
bagaimana hal itu menjadi pecutan semangat untuk menghadapi tantangan jaman
yang mencoba melawan arus manusia.
Dalam kasus ini jelas pemikiran Daud Beureueh merupakan pemikiran
politik, yaitu menciptakan konsep Negara Islam Indonesia di Aceh.64
Islam
sebagai dasar Negara dan Syariat Islam, sebagaimana diperintahkan Allah SWT.
Dan dijalankan oleh Rasulullah SAW. Tantangan yang dihadapi dalam
mewujudkan pemikirannya adalah pemerintah pusat. Pemerintah menganggap
pembentukan negara Islam ini adalah suatu tindakan pemberontakan dan
menentang terhadap kebijakan pemerintah. Dan hasil dari pemikiran ini maka
tercetuslah Republik Islam Aceh (RIA)65
berdiri pada 15 Agustus 1961. Tetapi
tidak lama berselang setelah perundingan antara Daud Beureueh dengan pihak
pemerintah Indonesia akhirnya tercapailah rumusan yaitu bahwa di Aceh dibentuk
sebagai Daerah Istimewa Aceh (DISTA) dengan penerapan syariat Islam dengan
batas-batas yang diperbolehkan oleh perundang-undangan republik Indonesia.
Sebelum pada akhirnya Aceh kembali kepangkuan Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan bagian dari NKRI.66
63
Ibid., hal. 350. 64
Abdullah Sani Usman, Op. Cit., hal 200-205. 65
RIA akhirnya berhenti pada bulan juli akibat dari propaganda pemerintah pusat dan
perpecahan dalam kubu DI/TII. 66
Abdullah Sani Usman, Op. Cit., hal 205-208.
24
Kedua adalah bentuk, melalui karyanya Daud Beureueh membentuk
Jamiah Diniyah dan Madrasah Saadah Abadiyah di Blang Paseh, Sigli. Ini
adalah bentuk nyata bagaimana Daud Beureueh ingin memberikan sesuatu yang
bermanfaat bagi penerus dalam bidang pendidikan. Jika dikaji melalui pemikiran
pembaharuan dalam dunia Islam menurut At Tahtawi (1801-1873) kaitannya
dengan Daud Beureueh, ini adalah bentuk yang lebih spesifik. Karena Menurut At
Tahtawi, untuk menuju kesejahtraan ialah dengan berpegang kepada agama dan
budi pekerti yang baik. Dan menganjurkan pendidikan yang universal. Tujuan
pendidikan menurut pendapatnya mencakup kecintaan kepada bangsa dan At
Tahtawi juga berpendapat ulama harus mengetahui ilmu-ilmu modern agar
mereka dapat menyesuaikan syariat dengan kebutuhan zaman modern.67
Hal ini
terlihat pada Daud Beureueh yang mempelajari huruf latin untuk menambah
pengetahuannya yang lebih luas.
Menurut pandangan James Siegel, antropolog Amerika, anggota
Departement of Antrophology di Cornel University mengenai Daud Beureueh
yang dianggap sebagai ulama yang berani (militant) dan reformis dari sejarah
Aceh. James Siegel mengatakan bahwa Daud Beureueh pernah bersedia
membantu mengerjakan obyek-obyek yang bermanfaat bagi umum dengan
menyediakan diri sebagai alat dalam usaha membangun masjid, perbaikan dan
pembuatan jalan-jalan, memperbaiki saluran-saluran Irigasi.68
Ia juga termasuk
uleebalang yang kaya dan paling giat dalam membuka perkebunan kopi di Tangse
sekitar tahun 1930-an untuk membantu perekonomian masyarakat sekitar.69
67
Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban,
(Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002). hal. 397-398. 68
El Ibrahimy, Op. Cit., hal. 228-235. 69
Anthony Reid, Op. Cit., hal. 350.
25
BAB III
PERAN TEUNGKU MUHAMMAD DAUD BEUREUEH DALAM
PEMBERONTAKAN DI ACEH
A. Pembentukan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia di Aceh
Perjuangan Daud Beureueh menegakan syariat Islam di Aceh terjadi pada
masa Era Orde Lama 1953-1962 telah menimbulkan peristiwa berdarah, atau yang
lebih dikenal dengan pemberontakan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia Aceh
(DI/TII Aceh). Meletus pada 20 september 1953,70
perjuangan untuk menciptakan
negara Islam di Aceh sebagai suatu negara bagian dari Negara Islam Indonesia.
Pembentukan negara Islam yang berlandaskan kepada pelaksanaan syariat Islam
adalah cita-cita Daud Beureueh. Pemberontakan ini timbul akibat kekecewaan
terhadap Soekarno, serta harga diri yang terlecehkan karena tidak memenuhi
janjinya untuk menjadikan negara Indonesia sebagai sebuah negara yang
berlandaskan kepada Islam.71
Adapun faktor-faktor penyebab terjadinya pemberontakan yang terjadi
tahun 1953-1962 oleh Darul Islam Tentara Islam Indonesia (DI/ TII) Aceh adalah
rasa sakit hati rakyat Aceh atas perjuangan mempertahankan kedaulatan RI yang
dipandang sebelah mata setelah berhasil mempertahankan kemerdekaan, serta
kecewa dengan pemerintah karena wilayah Aceh dimasukan kedalam wilayah
Sumatera Utara dan janji pemerintah mengenai hak istimewa bagi daerah Aceh
tidak kunjung terwujud.72
Sedangkan pendapat lebih kuat menurut Anthony Reid,
faktor perjuangan melawan kendali Jakarta pada 1953-1962 didasari dua alasan,
yakni menentang diserapnya Aceh ke dalam Provinsi Sumatera Utara, dan
gagalnya Republik melaksanakan hukum Islam.73
Pertentangan politik dengan
pemerintah pusat membawa kepada suatu keadaan yang meresahkan akibat
70
Dilihat pada beberapa literature peristiwa perjuangan di Aceh oleh Tgk. M. Daud
Beureueh dipandang sebagai suatu pemberontakan yang menentang kebijakan pemerintah dalam
menerapkan dasar negara Indonesia pasca kemerdekaan dan mengubur alasan kenapa
pemberontakan itu terjadi serta perjuangan gigihnya rakyat Aceh mengusir penjajah saat itu. 71
Abdullah Sani Usman, Op. Cit., hal.200. 72
__________, Ensiklopedi Islam untuk Pelajar. 73
Anthony Reid, Op. Cit., hal. 338.
26
adanya tarik menarik antara Aceh dengan pemerintah pusat. Pemerintah pusat
tidak mengakui pembentukan provinsi Aceh yang terpisah sehingga terjadi
tupmang-tindih kebijakan yang membawa kepada krisis kekuasaan pemerintahan
di Aceh.
Dalam permasalahan ideologi, yaitu penerapan perundang-undangan Islam
yang dikehendaki oleh rakyat Aceh gagal diberikan oleh pemerintah pusat. Hal ini
menjadi masalah dan membawa pertikaian atau konflik di era Orde Lama, Darul
Islam Tentara Islam Indonesia (DI/ TII) Aceh dengan pemerintah pusat, awalnya
disebabkan permasalahan kekuasaan dan selanjutnya masalah ideologi. menurut
kacamata penulis dalam kasus ini konflik dapat melenyapkan unsur-unsur yang
memecah belah dan menegakan kembali. Artinya konflik yang terjadi juga dapat
meredakan ketegangan antara pihak-pihak yang bertentangan, sehingga konflik
dapat berfungsi sebagai stabilisator sistem sosial. Sisi positifnya konflik dapat
menciptakan jenis-jenis interaksi yang baru di antara pihak yang bertentangan.
Dan konflik juga berlaku sebagai rangsang untuk menciptakan aturan-aturan dan
sistem norma baru, yang mengatur pihak-pihak yang bertentangan sehingga
keteraturan sosial Republik Indonesia khususnya Aceh dapat terwujud.74
Pada kenyataannya pembentukan Negara Islam yang merupakan cita-cita
impian Daud Beureueh terilhami dari perjuangan DI/TII pimpinan Imam
Soekarmadji Maridjan Kartosuwiryo.75
Kartosuwiryo adalah pemimpin pusat
yang pertama kali mencetuskan gerakan ini di Jawa Barat pada 7 Agustus 1949.
Ini merupakan alasan Daud Beureueh merangsang dan ikut berjuang juga dalam
melahirkan Negara Islam di Aceh sebagai suatu Negara Bagian dari Negara Islam
Indonesia. Selain itu, alasan lain Daud Beureueh untuk tidak meminta bantuan
atau bergabung menyatukan kekuatan dengan DI/ TII Kartosuwiryo adalah karena
Daud Beureueh melihat ada tekanan hebat yang dilakukan pemerintah pusat
terhadap gerakan Kartosuwiryo. Perjuangannya di Jawa direspon dengan sikap
74
Ulfah Fajarini, Konflik dan Integrasi: Potret Keagamaan Masyarakat Sawangan,
(Jurnal: Al-Turas Vol. 11, No. 3, September 2005). hal. 289. 75
Imam Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo (1905-1962) lahir pada 7 Februari 1905.
Adalah pemimpin yang menentang legitimasi dan otoritas Republik Indonesia yang baru merdeka,
antara 1948 dan 1962. Kartosuwiryo dikeluarkan dari sekolah kedokteran pada 1927. Karena
nasionalisme radikalnya, dan secara politik aktif berasosiasi erat dengan H.O.S. Tjokroaminoto,
pemimpin Sarekat Islam. Kartosuwiryo terilhami oleh pendirian Tjokroaminoto bahwa sebuah
negara Indonesia yang merdeka harus didasarkan pada prinsip-prinsip Islam. Lihat Ensiklopedi
Islam Ringkas, hal. 356.
27
keras oleh pemerintah pusat. Melalui Tentara Nasional Indonesia gerakan yang
dianggap sebagai pemberontak ini berhasil ditumpas di berbagai wilayah di Jawa
Barat.76
Walaupun mengikuti pola DI/ TII Kartosuwiryo, hakikatnya gerakan DI/
TII Aceh lebih merupakan gerakan peringatan kepada penguasa Jakarta agar tidak
sewenang-wenang dan melupakan sumbangan Aceh di masa lalu dengan
mengorbankan seluruh jiwa raga dan harta berharga masyarakat Aceh.77
Hubungannya dengan masyarakat Aceh adalah konteks dimensi perilaku
kolektif. Dimana suatu gerakan tidak hanya melakukan protes dan demonstrasi,
melainkan berakibat pada pengrusakan harta benda dan juga mengakibatkan
jatuhnya korban jiwa. Dari hubungan antar kelompok ini melibatkan suatu
gerakan sosial yaitu DI/ TII yang bertujuan menginginkan perubahan dalam
kekuasaan ataupun ideologi negara.78
Dalam pembentukannya perjuangan Daud
Beureueh terinspirasi dari perjuangan dakwah yang ditempuh oleh Rasulullah
SAW. Adapun langkah-langkah perjuangan menegakan syariat Islam di Aceh
melalui tiga tahap, yaitu:
1. Pertama, tahap pembinaan dan pengkaderan
Pada tahapan ini Daud Beureueh sangat serius dalam menanamkan nilai-
nilai dan norma Islam dalam kehidupan masyarakat di Aceh.79
Diketahui Islam di
Indonesia sulit berkembang karena ada tiga penyebab. Pertama, jarak Indonesia
dengan pusat Islam terlalu jauh. Kedua, Islam sampai ke Indonesia adalah Islam
kosmopolitan, dimana hubungan antar pemeluk Islam sedunia begitu dekat lalu
berubah menjadi Islam parokial, yang lokal. Ketiga, Islam di Indonesia menjadi
Islam pedesaan dan menjadi Islam petani. Ini berbeda dengan Timur Tengah yang
memiliki kaum pedagang yang mobil. Sebelum abad ke-15 M mobilitas para
pedagang sangat tinggi namun ketika sampai di Indonesia menjadi Islam petani
yang mobilitasnya makin menurun. Dan dipengaruhi oleh budaya agraris yang
relative statis dan percaya mistik.80
76
Cyrill Glasse, Op. Cit., hal. 356. 77
Abdullah Sani Usman, Op. Cit., hal. 201. 78
Ibid. hal. 160. 79
Pada masa kesultanan Aceh, Islam mengalami proses pelembagaan yang sangat jelas
sebagai kekuatan sosial budaya dan politik. pada masa itu kekuatan pengaruh Islam semakin
dirasakan di hamper seluruh aspek kehidupan masyarakat Aceh. lihat Ensiklopedi Tematis Dunia
Islam, hal. 65. 80
Kuntowijoyo, Op. Cit., hal. 28-29.
28
Hal itu merupakan sebuah tantangan untuk Daud Beureueh dalam
menanamkan Islam di masyarakat Aceh. Dalam pembinaan nilai dan norma Islam
Daud Beureueh dalam bidang pendidikan mendirikan dua lembaga yaitu Jamiah
Diniyah dan Madrasah Saadah Abadiyah di Blang Paseh, Sigli sekitar tahun
1930. Dengan tujuan agar nafas Islam selalu ada di dalam masyarakat Aceh dan
membebaskan buta huruf dan buta ilmu dikalangan masyarakat Aceh. Terutama
mengenai ilmu-ilmu syariat dan hakikat serta ilmu-ilmu yang erat hubungannya
dengan pengembangan dan pembinaan Islam dalam melahirkan ulama besar dan
pemimpin rakyat.81
2. Kedua, Tahap Interaksi dan Perjuangan
Pada tahap pembinaan aktifitas di bidang pendidikan yang dilakukan Daud
Beureueh adalah tandingan dari pendidikan yang di buat oleh kolonial Belanda.
Dan secara tidak langsung Islam sudah berinteraksi di kalangan masyarakat Aceh,
bagaimana di perkenalkan secara sederhana melalui pendidikan tradisional dan
dakwah-dakwah. Rasa keimanan yang kuat sudah tertanam di masyarakat Aceh
kemudian menemui pergesekan ideologi. Antara ide-ide yang dianggap benar
tentang Islam dengan ide-ide karena pengaruh barat melalui Ideologi Pancasila.
Pada periode ini perjuangan Daud Beureueh begitu berat karena memperjuangkan
nilai-nilai keIslaman dalam cita-cita nya mendirikan negara yang berlandaskan
syariat Islam.
Melalui dakwah-dakwahnya Daud Beureueh ingin menciptakan
masyarakat Aceh yang mempunyai semangat yang berkobar-kobar dalam
memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Dalam substansinya dakwah adalah
menyeru kepada mentauhidkan Allah dan seruan ibadah hanya kepada-Nya serta
seruan untuk meninggalkan penyembahan kepada berhala dan seruan untuk
melepaskan diri dari kehidupan diluar ketentuan Islam seperti zaman jahiliyah.
Dan ketika Soekarno mengkhianati cita-cita revolusi itu. Soekarno dianggap
sebagai alasan di segala macam maksiat dan kemungkaran. Soekarno menentang
Islam, memisahkan Islam dari negara, dan pemerintahan, dan Islam itu sendiri
dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Pancasila selalu diagung-agungkan dengan
81
A. Hasjmy, Op. Cit., hal. 121-123.
29
penafsiran dan pelaksanaannya itu bukan merupakan wadah untuk Islam.82
Dalam
pernyataannya, ini menjadi alasan Daud Beureueh mengangkat senjata dan
berjanji ditengah-tengah masyarakat Aceh, atas permintaan rakyat Aceh untuk
memimpin dan berjanji, berjuang bersama-sama hingga kemenangan tercapai,
melaksanakan hukum Allah di Republik Indonesia.83
3. Ketiga, Tahap Penerimaan Kekuasaan
Jika kaitannya dengan dakwah yang ditempuh Rasulullah SAW. Tahapan
ini adalah tahapan menerapkan Islam secara praktis dan menyeluruh, sekaligus
menyebarkan risalah Islam ke penjuru dunia. Berbeda pada perjuangan yang
dilakukan Daud Beureueh, Islam sebagai ilmu yang revolusioner. Memiliki
kemampuan untuk mengubah, dalam periode ilmu berbagai masalah
kemasyarakatan dapat dicarikan jawabannya dalam Islam. Misal mengenai
ketimpangan sosial, pemilikan tanah, hubungan kerja, ataupun masalah modal dan
penguasaan pasar. Islam memiliki jawaban dari persoalan itu. Tetapi hal itu masih
terbatas pada tingkat formulasi normatif, dan belum mengangkat Islam menjadi
teori sosial. Keadaan ini yang mungkin dianggap pemerintah saat itu masih tidak
percaya bahwa ide Islam bisa menjadi kenyataan. Dan menganggap itu sebagai
ide abstrak atau dengan kata lain non progresif.84
Setelah melakukan langkah-langkah mulai dari pembinaan, pengkaderan,
interaksi dan perjuangan. Aceh pada awal perjuangan kemerdekaan Indonesia
secara de facto85
yang merupakan bagian dari provinsi Sumatera, dengan
kebijakan undang-undang sementara tahun 1945 yang membagi wilayah
Indonesia menjadi 10 provinsi. Pergantian pemerintahan Jepang kepada
pemerintahan Indonesia secara otomatis menghapus dan menggantikan undang-
undang peradilan, baik dari zaman Belanda maupun Jepang menjadi perundang-
undangan Republik Indonesia yang diatur dalam lembaran Negara No. 23/ 1947.
Dengan berlakunya undang-undang ini, segala bentuk perundang-undangan dan
struktur pemerintahan di Aceh yang berlaku pada era Belanda dan Jepang telah
82
Pada Saat Soekarno tidak menepati janjinya, Pancasila dengan penafsiran dan
pelaksanaannya dianggap sebagai syirik yang sesat dan menyesatkan yang hanya sesuai dengan
agama lain di luar agama Islam. 83
Abdullah Sani Usman, Op. Cit., hal. 201. 84
Kuntowijoyo, Op. Cit., hal. 30-31. 85
De facto adalah pengakuan secara kenyataan, pada kasus Aceh ini bersifat sementara.
30
berubah. Namun pada kenyataannya walaupun mengalami perubahan, secara
prinsipnya perundang-undangan tersebut masih menyerupai kedua era Belanda
dan Jepang. Dan perlu ditekankan perubahan yang terjadi bukan berarti
merupakan pengembalian kepada bentuk asal perundang-undangan Aceh atau
hasil perundingan perundang-undangan yang sesuai dengan kehendak masyarakat
Aceh. Hal ini juga yang menyebabkan rakyat Aceh semakin geram dengan
pemerintah pusat dan alasan munculnya gerakan DI/TII Aceh.86
B. Kedudukan dan Sikap Tgk. M. Daud Beureueh dalam Perjuangan di
Aceh
Pada masanya perjuangan dengan berlandas pada syariat Islam, Daud
Beureueh memiliki rentan waktu yang lama. Mulai dari masa kolonial Belanda,
masa kedudukan Jepang, masa pra dan pasca kemerdekaan, dan masa revolusi.
Adapun kedudukan Daud Beureueh adalah sebagai berikut:
Ulama, seperti pemaparan penulis diatas dalam riwayat pendidikan, Daud
Beureueh dikenal sebagai ulama tulen. Hal itu terlihat dari pendidikan yang Daud
Beureueh jalani di Pesantren sekitar 6 tahun sebelum ia dikenal oleh rakyat Aceh
sebagai seorang ulama. Pada saat menjadi ulama, Daud beureueh mendirikan
lembaga pendidikan dan pemimpin dalam mengawali mempelajari huruf latin.
Peran sebagai ulama makin terlihat tatkala ia menyelesaikan persoalaan yang
terjadi di masyarakat. Dalam tahun 1920-1930-an, Daud Beureueh dan para ulama
lainnya, baik yang muda maupun yang sebaya dengannya, telah berhasil
memberantas gerakan kebatinan saleek buta,87
dimana bagi mereka gerakan itu
adalah suatu ancaman karena dapat merusak akidah keIslaman masyarakat Aceh.
Ketua PUSA, Persatuan Ulama Seluruh Aceh adalah organisasi modern
pertama dan sebuah gerakan rakyat yang berhasil muncul di Aceh setelah
pendudukan militer. Berdiri pada tahun 1939-1942, organisasi ini menghimpun ke
86
Abdullah Sani Usman, Op. Cit., hal. 178-179. 87
Saleek buta ialah satu aliran kebatinan yang tumbuh di Aceh sekitar abad ke-19 dan
awal ke-20 M, sampai dengan tahun tiga puluhan. Di antara ajaran saleek buta, bahwa Tuhan dan
makhluk adalah satu, atau bersatunya Allah dengan manusia. Dan bagi mereka, syariat Islam
seperti yang diamalkan tidak berlaku. Dalam buku A. Hasjmy, Op. Cit., hal. 105.
31
mayoritas ulama aktif di Aceh dalam program pengembangan sekolah-sekolah
agama yang lebih modern dan peningkatan Kekuatan Islam Aceh.88
Organisasi ini
lahir dalam konfrensi pada bulan Mei tahun 1939, oleh Teungku Abdul Rahman
dari perguruan Al- Islam di Peusangan. Lahir pada masa kolonial organisasi ini
muncul sebagai pejuang dalam mengambil kekuasaan dari Belanda di Aceh. Hal
itu terlihat dari konflik yang terjadi antara PUSA dengan uleebalang. Suatu
hubungan antara uleebalang dengan Belanda menjadi alasan mengapa PUSA
ingin memimpin sistem pemerintahan di Aceh.
Meskipun berdiri di saat situasi tegang, tetapi dalam perkembangannya
PUSA telah menunjukan dirinya sebagai suatu faktor politik yang sangat penting.
Dalam empat tahun terakhir setelah berdirinya PUSA, kekuasaan Belanda di Aceh
mengalami kemerosotan. Perubahan sikap dan perilaku antara uleebalang dan
rakyat Aceh menjadi bukti nyata makin rapuhnya kekuasaan uleebalang.
Perubahan sikap dan perilaku terlihat dari kemarahan dan kebencian masyarakat
Aceh akibat penindasan dan skandal beberapa uleebalang yang tergambar di
majalah Penjedar yang terbit di Medan pada bulan November 1938.89
Kemerosotan juga terlihat di bidang ekonomi, yaitu dengan munculnya
PUSA sebagai kaum tandingan atau atasan baru, sebagai motor penggerak
perekonomian rakyat dalam bentuk kaum pedagang yang berkembang didaerah
seperti Sigli, Garot, Bireun, dan Idi. Dan dalam dunia pendidikan terlihat pada
aliran pembaharuan yang pada dasarnya rakyat Aceh menganggap Belanda
sebagai kaphe, dengan munculnya sekolah-sekolah keagamaan dengan
berlandaskan Islam menjadi tandingan untuk sekolah-sekolah yang didirikan
Belanda. Berbeda dalam bidang politik, perjuangan mendapatkan kekuasaan oleh
ulama dianggap Belanda sebagai suatu gerakan perlawanan yang begitu
berpengaruh. Tapi aneh ketika sikap politik Belanda membiarkan gerakan yang di
pimpin oleh ulama tumbuh dan berkembang.90
88
Anthony Reid, Op. Cit., hal. 280. 89
Majalah Penjedar awalnya didirikan oleh mantan pemimpin PKI Xarim M. S., tetapi
kemudian majalah ini beralih ke tangan seorang wartawan Medan yaitu mantan pemimpin PSII,
Mohammad Said, menjadi pemimpin redaksinya pada bulan November dengan tujuannya yaitu
menggantikan kedudukan raja-raja uleebalang. 90
Anthony Reid, Op. Cit., hal. 58-63.
32
Menurut analisa penulis terhadap sikap politik Belanda melalui golongan
pembesar atau petinggi Belanda, melihat perjuangan melalui organisasi yang
dipimpin ulama melalui PUSA sebagai sebuah hal yang wajar dan tidak
mengkhawatirkan, sebaliknya pada tahun 1930an munculnya Muhammadiyah
sebagai sebuah gerakan non-Aceh yang terbuka dan menerima kebangkitan
nasionalisme Indonesia justru menimbulkan kekhawatiran oleh Belanda. Jadi
kekhawatiran Belanda timbul melalui ruang lingkup. PUSA gerakan pembaharuan
ruang lingkupnya lebih kecil dibanding dengan Muhammadiyah.
Gubernur Militer merangkap panglima divisi X TRI,91
pada masa revolusi
demi menciptakan proses pertahanan politik nasional, di wilayah Aceh, melalui
keputusan wakil Presiden Muhammad Hatta, Daud Beureueh dilantik menjadi
Gubernur Tentara di wilayah Aceh, Langkat dan Tanah Karo pada tanggal 27
Agustus 1947 di Bukit Tinggi. Melalui Daud Beureueh, kekuatan bersenjata di
Aceh dapat dibentuk dan dileburkan dalam wadah Tentara Nasional Indonesia
(TNI), yang sebelumnya terdiri dari berbagai barisan pejuang kekuatan bersenjata
Aceh yang tidak terkawal.92
Hal ini didasarkan pertimbangan politis, karena selain Daud Beureueh
seorang ulama dan pemimpin rakyat yang sangat berpengaruh, juga karena banyak
diantara pemimpin laskar rakyat itu adalah muridnya. Dengan demikian, Daud
Beureueh dapat dijadikan figur pemersatu di wilayah Aceh. kemudian atas dasar
posisi strategis yang dimilikinya, Daud Beureueh diangkat sebagai Gubernur
Aceh pertama 1950. Namun tiga tahun kemudian, 21 september 1953, terjadi
perselisihan pandangan politik antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat.
Hal itu yang menyebabkan Daud Beureueh bersama rakyat mengangkat senjata,
dan terjadilah tragedi berdarah atau lebih dikenal peristiwa berdarah.93
Proklamator Darul Islam, sebelum mengkaji mengenai kedudukan Daud
Beureueh dalam gerakan Darul Islam di Aceh, penulis ingin memberikan
informasi bagaimana cikal bakal timbulnya Darul Islam di Aceh. Darul Islam
adalah nama yang diberikan kepada sebuah gerakan pejuang Islam di Jawa Barat,
91
El Ibrahimy, Op. Cit., hal. 47. 92
Abdullah Sani Usman, Op. Cit., hal. 184-186. 93
Harun Nasution, Op. Cit., hal. 202-203.
33
Indonesia, yang menentang legitimasi dan otoritas Republik Indonesia yang baru
merdeka, antara 1948 dan 1962. Dipimpin oleh Sukarmadji Maridjan
Kartosuwiryo (1905-1962), kekuatan militer Darul Islam resmi dikenal sebagai
Tentara Islam Indonesia (TII) dengan basisnya didataran tinggi Jawa Barat,
mencoba memproklamasikan Negara Islam Indonesia 7 Agustus 1949 melalui
Kartosuwiryo yang dianggap sebagai pemimpin yang kharismatik. Beraliansi
dengan pejuang Islam di Aceh pimpinan Daud Beureueh dan di Sulawesi Selatan
pimpinan Kahar Muzakkar, melalui Piagam Jakarta, pemimpin Islam menyetujui
sebuah negara pluralitas94
demi kesatuan nasional. Imbalannya adalah adanya
pernyataan bahwa umat Islam wajib menjalankan hukum Islam. Hal ini
merupakan klaim minimalis atas sistem politik, walaupun secara konstitusional
tidak pernah dijadikan undang-undang. Bagi kartosuwiryo dan pengikutnya pada
1945 bergerak dalam sayap radikal politik Islam hal ini merupakan
pengkhianatan.95
Ketidak senangan mereka diperkuat oleh munculnya
keprihatinan terhadap pengaruh politis sayap kiri didalam barisan kaum
nasionalis.96
Tepat tanggal 21 September 1953 (12 Muharam 1373 Hijriah), Daud
Beureueh memproklamirkan berdirinya Darul Islam, negara Islam di Aceh. Aceh
memberontak dari Republik Indonesia yang berlandasrkan Pancasila dan
bergabung dengan Negara Islam Indonesia yang berlandaskan syariat Islam.
Berbeda dengan gerakan Darul Islam di Jawa Barat, di daerah Aceh sendiri selain
lebih lambat munculnya, gerakan ini pun relatif lebih singkat, antara 1953-1957.
Dan perjuangan terakhir pada tahun 1962, saat itu Daud Beureueh dianggap
sebagai tokoh sparatis dalam mewujudkan apa yang dicita-citakannya.97
Dalam
94
Pluralisme adalah keadaan masyarakat yang majemuk, berkaitan dengan sistem sosial
dan politik. Melalui kebudayaan muncul berbagai kebudayaan yang berbeda dalam suatu
masyarakat. Dalam kaitannya dengan perjuangan menegakan syariat Islam di Aceh adalah tentang
sebuah prinsip-prinsip Islam sebagai payung ideologi bagi penduduk Indonesia. Sumber melalui
http://kbbi.web.id/pluralisme di akses pada tanggal 16 Februari 2016, Pukul 09:50 WIB. 95
Pandangan alternatif Kartosuwiryo mengenai Indonesia dan tuntutannya akan sebuah
negara yang sepenuhnya Islam dijabarkan dalam risalahideologis 1946 bertajuk Haluan Politik
Islam. Dia menulis bahwa hanya dengan beridirinya Darul Islam-lah kese
Top Related