PERAN MEDIA SOSIAL TERHADAP SASTRA : KAJIAN HEGEMONI
Yulia Rahmi, Ari Suryawati Secio Chaesar, Diah Kusyani Universitas Negeri Yogyakarta
Abstrak
Sastra merupakan praktik sosial masyarakat, fenomena-fenomena yang terjadi di tengah masyarakat diangkat melalui karya sastra. Hal ini membuktikan bahwa sastra tidak lahir dari kekosongan semata. Sastra adalah refleksi kehidupan sehari-sehari. Karya sastra diciptakan tidak lepas dari ideologi pengarangnya, ideologi yang diciptakan oleh pengarang lewat karya satra membentuk sebuah kekuasaan ideologi. Makalah ini bertujuan melihat pembangunan ideologi lewat karya sastra pada media sosial oleh sastrawan. Makalah ini akan mendeskripsikan bagaimana peran media sosial sebagai wahana dalam menyampaikan aspirasi melalui sastra untuk membentuk ideologi di tengah masyrakat. Metode yang digunakan adalahdeskriptif kualitatif dengan kajian hegemoni. Hasilnya menunjukan bahwa pengunaan media dalam membentuk kekuasaan ideologi ditengah masyarakat melalui sastra memberikan dampak yang signifikan bagi pengarang.
Kata kunci: media sosial, sastra, dan hegemoni
PENDAHULUAN
Indonesia sebagai bangsa yang pernah terjajah pernah mengalami penindasan ideologi.
Dimana pada masa itu tidak semua orang bebas untuk bisa menyuarakan ideologinya bahkan
lewat media tulis atau lisan. Pada masa indonesia masih terjajah hegemoni oleh orang-orang yang
berkuasa dirasakan sangat kuat, tidak mudah untuk mendapatkan bahkan menuangkan pemikiran
dan ekpresi-ekspresi dalam bentuk tulisan yang terpublikasi. Hasil-hasil pemikiran yang tertuang
dalam bentuk kumpulan kata dan kalimat-kalimat hanya menjadi monopoli bagi sebagian orang
yang beruntung karena dianggap memiliki akses-akses tertentu. Bermacam aksesnya diantaranya
memiliki kedekatan atau bahkan memiliki tujuan dalam membangun suatu ideologi pada
masyarakat. Media cetak pun pada masa itu sangat selektif untuk mempublikasikan sebuah karya.
Ruang gerak untuk tokoh terpelajar dalam menuangkan ideologi masih dibatasi oleh kekuasaan
saat itu. Tidak hanya itu, jika pun ada tulisan yang dipublikasin itu tidak boleh menyentil
pemerintahan.
Semakin banyaknya kaum terpelajar dan menyadari akan situasi dan kondisi penindasan
pada saat itu maka muncullah rasa nasionalisme untuk memerdekaan diri lewat tulisan. Jika
dilihat pada masa lalu kehebatan kata-kata atau untaian kalimat dari kalangan terdidik maupun
sastrawan hanya bisa dinikmati oleh orang-orang tertentu bahkan hanya untuk kelas masyarakat
tertentu. Sastrawan hidup di dalam realitas yang sama dirasakan oleh masyarakat Indonesia pada
saat itu, di bawah penindasan struktural kultural oleh negara, karenanya realitas menjadi
sedemikian dekat bagi para sastrawan.
Semakin berkembangnya zaman, perkembangan teknologi dan alat komunikasi pada era
globalisasi pun semakin pesat. Perkembangan teknologi ini dijadikan sebagai wahana untuk
membentuk ideologi di tengah masyarakat oleh sastrawan lewat karyanya. Tidak bisa dipungkiri
pada zaman sekarang ini media menjadi sebuah hal yang tak terelakan lagi. Semua akses
kehidupan sudah dimasuki oleh media. Dalam ranah sastra sendiri, perkembangan teknologi ini
dapat dijadikan sebagai wahana untuk menyalurkan aspirasi dan pembentukan ideologi di tengah
masyarakat melalui karya sastra. Jika pada zaman penjajahan hingga masa pemerintahan Suharto,
akses media sangat dibatasi karena dianggap bisa menjatuhakan rezim penguasa pada saat itu,
lain halnya pada masa orde baru hingga sekarang penyampaian ideologi sangat demokratis. Sastra
di sini memiliki cara tersendiri dalam penyampaian ideologi tersebut. Seorang sastrawa melalui
kreatifitasnya dalam melihat fenomena-fenomena yang terjadi di dalam masyarakat dapat
menghasilkan sebuah karya dengan menyelipkan ideologi yang kuat sehingga pembacanya dapat
terpengaruh dan disadari atau tanpa disadari juga akan membentuk ideologi pembaca tersebut.
Ilmu sastra menunjukan keistimewaan yaitu bahwa objek kajiannya tidak tentu dan
memiliki cakupan yang luas. Sudah banyak berbagai pihak yang memberikan batasan yang tegas
mengenai defenisi sastra itu sendiri melalui pendekatan-pendekatan yang berbeda. Namun,
batasan nama yang pernah diberikan oleh ilmuwan ternyata diserang, ditentang, disangsikan,
atau terbukti tidak kesampaian karena hanya menekankan satu aspek atau beberapa aspek saja,
atau hanya berlaku untuk sastra tertentu. Masalahnya: secara instuisi kita semua sedikit
banyaknya tahu gejala apakah yang hendak disebut sastra, tetapi begitu kita coba membatasinya,
gejala itu luput lagi dari tanggapan kita. Pada akhirnya ilmuwan sepakat menggunakan kata
“literature” untuk pemakain internasional dan di Indonesia sendiri diartikan sebagai sastra
(Teeuw, 2015:19).Karya sastra pada dasarnya lahir bukan dari kekosongan semata. Ia merupakan
hasil ciptaan manusia. Manusia memiliki pemikiran dan pandangannya masing-masing terhadap
fenomena yang ada disekitarnya. Berdasarkan pengamatan terhadap fenomen sosial itulah
pengarang membangun ideologi lewat karya sastra. Media sosial dalam hal ini mengambil
peranan penting sebagai alat penyalur ideologipengarang kepada masyarakat. Saat ini media
elekronik (media sosial) lebih memiliki kekuasaan dibandingkan media cetak. Hal tersebut
dibuktikan sudah tidak diterbitkannya lagi majalah horizon lewat media cetak, melainkan media
internet. Hal tersebut dikarenakan akses media sosial lebih efektif dan efisien dibandingkan media
cetak. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa majalah horizon merupakan salah satu majalah yang
memuat tentang sastra. Oleh sebab itu, pada makalah akan dideskripsikan bagaimana peran
media sosial terhadap sastra berdasarkan kajian hegemoni.
KONSEP HEGEMONI
Hegemoni merupakan sebuah teori mengenai kekuasaan berdasarkan intelektualitas. Jika
kita bicara hegemoni maka tokoh yang lekat dengan teori ini adalah Antonio Gramsci. Ratna
(dalam Sehandi, 2014:188) tokoh kunci teori hegemoni adalah seorang penganut Maxisme
berkebangsaan Italia bernama Antonio Gramsci. Gramcsi lahir di ales, Italia, pada tahun 22 januari
1891, dan meninggal dunia di Roma, Italia pada tahun, 27 April 1937. Teori hegemoni gramsci
digunakan untuk memahami model kekuasaan, tetapi bukan atas dasar pemaksaan, melainkan
atas dasar kesepakatan, konsesus, dan masuk akal. Lebih lanjut, Faruk (2014:141 – 144) menurut
Gramcsi, kriteria metodologis yang menjadi dasar studinya bertolak dari asumsi bahwa supremasi
suatu kelompok sosial menyatakan dirinya dalam dua cara, yaitu sebagai dominasi dan sebagai
kepemimpinan moral dan intelektual. Defenisi hegemoni oleh Gramsci adalah sebagai sesuatu
yang kompleks, yang sekaligus bersifat ekonomik dan etis-politis. Hegemoni mendefenisikan sifat
kompleks dari hubungan antara masyarakat dengan kelompok-kelompok pemimpin masyarakat:
suatu hubungan yang tidak hanya politis dalam pengertian sempit, tetapi juga persoalan
mengenai gagasan-gagasan atau kesadaran. Larrain (dala Ratna 2010:176) menyatakan bahwa
dalam teori-teori kontemporer ideologi dimanfaatkan dalam berbagai kajian ilmu dengan defenisi
yang berbeda-beda. Pada umumnya defenisi tersebut meliputi (a) ilmu pengetahuan mengenai
cita-cita, (b) cara berpikir seseorang dan kelompok, (c) paham yang dikaitkan dengan kelompok
tertentu.
Berdasarkan pernyataan di atas tampak jelas bahwa kekayaan inteltualistas menjadi titik
tolak Gramcsi dalam membangun sebuah hegemoni. Bahasa melalui tulisan dijadikan sebagai alat
untuk membangun kekuasaan. Kompleksifitas dalam karya sastra dibentuk untuk mendominasi
kelompok tertentu. Ideologi merupakan salah satu faktor pendorong terpenting terjadinya
hegemoni yang diciptakan oleh penguasa untuk mempengaruhi, mengarahkan, dan membentuk
pola pikir masyarakat. Dalam karya sastra, seorang pengarang membangun sebuah ideologi
ditengah masyarakat lewat sebuah karya karya atau tulisan yang ia hasilkan.
Hegemoni tidak hanya berbentuk fisik semata yang mengandalkan kekuatan untuk
menguasai kelompok tertentu, tetapi hegemoni dalam konsep Gramsci membangun hegemoni
dalam bentuk wacana. Wacana yang menyebar di tengah masyarakat juga tidak tercipta begitu
saja, melainkan menjadikan bahasa sebagi medianya. Menurut Gramcsi (dalam Ratna, 2010:183)
ada tiga cara untuk membentuk gagasan, yaitu bahasa, pendapat umum, dan folklor. Oleh sebab
itu, dalam perkembangannya sastra merupakan media penyalur ideologi kepada pembaca untuk
membangun sebuah hegemoni atau kekuasaan untuk kepertingan tertentu.
Teori hegemoni merupakan penelitian dalam kaitannya dengan relasi-relasi sastra dengan
masyarakat, hubungan pengarang dengan masyarakat. Secara ringkas bagaimana kekuatan-
kekuatan sosial dibangun di dalam teks sastra, karya sastra tidak lagi berfungsi sebagai cermin
pasif, cerita sebagai mata-mata memindahkan melalui kejadian sehari-hari, sebaliknya karya
sastra adalah peristiwa kultural itu sendiri (Ratna, 2010:186). Jadi, hegemoni yang diciptakan
secara intelektualitas dibangun oleh sebuah wacana lewat media bahasa. Kekuasaan yang
dibangun oleh teori hegemoni secara intelektual mengandung ideologi-ideologi yang hendak
disampaikan melalui bahasa. lebih lanjut, Eriyanto (2001:3–4) menyebutkan bahwa bahasa
meruakan aspek utama dari penggambaran suatu subjek, dan melalui bahasa ideologi tergambar
di dalamnya. Bahasa memiliki andil besar untuk menampakan kekuasaannya. Bahasa merupakan
representasi yang berperan membentuk subjek tertentu, tema-tema tertentu, strategi tertentu,
bahkan ideologi tertentu bagi penuturnya. Sastra diciptakan oleh pengarang dan menggunakan
bahasa sebagai media untuk menyebarkan ideologi pengarang di tengah masyarakat. Sastra yang
menjadi wacana tidak serta merta akan merefleksikan kehidupan sehari-hari, melainkan juga
menempatakan ideologi pengarang dalam sebuah karya sastra dan membangun hegemoni di
tengah masyarakat.
APA ITU SASTRA?
Mendengar kata sastra imajinasi kita langsung dihadapkan dengan berbagai bentuk karya
seperti cerpen, novel, puisi, dan drama. Terlepas dari bentuk tersebut sastra itu sendiri
mempunyai suatu tujuan dalam penyampian isi yang kaya akan makna. Banyak ahli sastra yang
mencoba mendefenisikan sastra dan membentuk suatu konsep, tetapi defenisi itu tidaklah bisa
mencajadi suatu acuan untuk mendefenisikan apa itu sastra? Sebab sastra mempunyai kajian
ruang lingkup yang luas. Salah satu batasan “sastra “ adalah segala sesuatu yang tertulis dan
tercetak. Cara lain untuk memberi defenisi pada sastra adalah membatasi nya pada “mahakarya”
yaitu buku-buku yang dianggap menonjol pada karena bentuk dan ekspresi sastranya. Nampaknya
istilah “sastra” itu sendiri paling tepat diterapkan pada seni sastra, yaitu sastra sebagai karya
imajinatif. Cara yang paling mudah untuk masalah pembatasan sastra itu sendiri adalah merinci
penggunaan bahasa yang khaspada sastra. Bahasa merupakan bahan baku kesusastraan, tetapi
harus disadari bahwa bahasa bukan benda mati, melainkan ciptaan manusia, dan memiliki muatan
budaya dan linguistik dari kelompok pemakai bahasa tertentu. Bahasa sastra penuh ambiguistas
serta memiliki kategori-kategori yang tak beraturan dan ta rasional. Karya sastra juga pebuh
dngan asosiasi mengacu pada ungkapan atau karya yang diciptakan sebelumnya, dengan kata lain
bahasa sastra sangat “konotatif” sifatnya. Bahasa sastra bukan bahasa referensial yang hanya
mengacu pada suatu hal tertentu. Bahasa sastra mempunya fungsi ekspresif, menunjukan nada
dan sikap pembicara atau penulisnya. Bahasa sastra berusaha mempengaruhi, membujun, dan
pada akhirnya mengubah sikap pembaca (Wellek dan Warren, 1989: 11 – 15).
Berbicara mengenai sastra tidak akan lepas dari pengarang, karya, dan pembaca.
Terciptanya sebuah karya sastra tentunya tidak lepas dari penciptanya yaitu pengarang.
Pengarang secara imajinatif telah berhasil mengangkat fenomena-fenomena yang terjadi di
tengah masyarakat dan merefleksiknnya dalam sebuah karya sastra. Penciptaan suatu karya oleh
seorang pengarang memiliki tujuan tertentu. Salah satu tujuannya adalah untuk mempengaruhi
pembaca lewat ideologi yang diselipkan pengarang dalam karyanya. Jika dahulu untuk
membangun sebuah kekuasaan orang melakukan perang, lain halnya zaman sekarang kekuasaan
dibangun secara intektual lewat wacana. Karya sastra di ini merupakan sebuah wacana untuk
mempengaruhi dan membangun ideologi.
Perkembangan teknologi yang semakin cangih dapat menjadi wahana dalam penyaluran
ideologi tersebut. Hal ini disebabkan akses teknologi yang sangat luas. Seperti halnya media
sosial, banyak sekali pengarang-pengarang novel yang menjadikan media sosial sebagai alat
untuk mempengaruh pembacanya. Alternatif ini dipilih karena media sosial memiliki massa yang
tak terbatas dan lebih efektif serta efisien dalam penyebaran ideologi. Di samping itu tidak
dipungkiri juga media sosial dijadikan sebagai cara untuk mempertahankan eksistensi oleh
pengarang.
PERAN MEDIA SOSIAL TERHADAP SASTRA DALAM MEMBANGUN HEGEMONI
The Power of Sosial Media
Teknologi dan informasi berkembang pesat di era globalisasi saat ini. Hal tersebut tidak
terlepas dari peningkatan logika dan pemikiran manusia. Imbasnya, komunikasi menjadi bagian
terpenting bagi kehidupan masyarakat. Salah satu ciri masyarakat modern ditandai dengan
ketergantungan memperoleh dan menggunakan media komunikasi seperti media sosial. Media
komunikasi dalam hal ini media sosial yang menjelma menjadi alat propaganda paling efektif.
Selain itu, media sosial juga dapat sebagai pengantar untuk mengubah pola pikir masyarakat.
Media dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang mendefinisikan realitas sesuai dengan
kepentingannya dan merupakan wujud dari penyalur ideologi kepada masyarakat. Media sosial
sebagai arena kontestasi kekuasaan untuk membangun ideologi oleh kelompok tertentu. Selain
itu, juga dapat menjadi saluran paling ekspresif, dan merdeka dalam menyampaian pemikiran-
pemikiran. Penggunaan teknologi diberbagai bidang juga semakin meningkat. Perkembangan
teknologi juga mengalami inovasi yang cukup cepat, khususnya teknologi internet, seperti media-
media sosial. Media sosial seperti facebook, instagram, twiter, dan blog menjadi wadah dalam
penyampaian aspirasi dan ideologi. Pengarang dalam hal ini memanfaatkan perkembangan
teknologi pada media sosial sebagai alat penyalur ideologi pengarang untuk membangun
kekuasaan di tengah masyarakat.
Banyak sastrawan-sastrawan yang menjadikan media sosial sebagai wadah dalam
penyampaian konsep dan ideologi. Contohnya seperti “sonian”, di Indonesia sendiri nama ini
masih sangat asing dan tahukah anda nama sonian diambil dari nama kreatornya yaitu Soni Farid
Maulana. Sonian adalah bentuk puisi baru sepanjang empat larik dalam sastra Indonesia modern
dengan pola 6-5-4-3 suku kata pelarik. Para kreator bisa menggunakan majas, simbol, metafora,
dan imajinasi. Di samping bahasa, imajinasi merupakan faktor utama dalam menciptakan karya
sastra. Sonian semacam puisi mediatif yang ringkas dan padat. Puisi sonian ini menyampaikan
makna pesan secara luas dengan keterbatasan suku kata yang meruncing ke bawah dan
memberikan ketajaman dalam menulis. Sonian dilahirkan oleh Soni Farid Maulana pada medio
Januari 2015. Soni telah memberikan ciri khas pada puisi sonian ini diantaranya puisi ini lebih
memiliki karakter pada barisnya yang terbatas dan berformat 6 5 4 3, hanya terdiri dari 4 baris
dan tiap baris ditentukan oleh jumalah suku katanya. Soni menentukan format mengecut ini
dengan tujuan bahwa apa yang disampaikan penulis semakin jelas fokusnya, sehingga ideologi
yang ingin dibangun oleh pengarang itu tersampaikan.
Soni disini menjadikan media sosial sebagai alat untuk memperkenalkan “sonian”
tersebut. Salah satu media sosial yang digunakan Soni dalam mensosialisasikan sonian adalah
facebook. Cara yang ditenpun Soni dalam menyosialisasikan “sonian” adalah dengan membuat
grup di facebok, tidak membutuhkan waktu lama bagi “sonian” agar bisa diketahui banyak orang.
Gruo ini langsung disambar oleh pecinta puisi dengan antusias. Hal ini disebabkan bahwa puisi ini
memang punya daya tarik karena bisa dikatakan cukup menantang. Ia memudahkan penulis
karena temanya bebas dan ringan, tapi jumlah suku kata yang mengikat terasa menantang, seperti
tengah bermain puzzel.
Berdasarkan gambaran di atas terlihat jelas peran media yang sangat signifikan oleh
pengarang. Media sosial yang memiliki akses luas tersebut merupakan alternatif yang efektif dan
efisien dalam pembangunan ideologi terhadap kalangan atau golongan tertentu, dalam konteks
ini yaitu sastra. Bagaimana pecinta sastra itu sangat antusia dengan genre baru dan sekaligus
menantang tersebut. Berikut ini adalah contoh puisi sonian.
Puisi oleh Ewith Bahar
Dusta
Seorang lelaki Mengayam dusta Pada mata Waspada! 28 Januari 2015
Kenangan
Kenangan mengambang Pada pelupuk Dipilukan Gerimis 27 anuari 2015
PERAN MEDIA SOSIAL DALAM PEMBANGUNAN IDEOLOGI
Seiring berkembangnya ideologi, perkembangan sastra dan media penyalurannya pun
juga tidak ketinggalan.Kesusastraan dapat menampung berbagai aspirasi masyarakat yang
disuarakan oleh pengarang melalui karya sastra yang ditulis atau dihasilkan. Banyaknya peminat
sastra menunjukkan tingginya kasadaran atas kemauan dan kemampuan menyampaikan berbagai
perasaan, pendapat, bahkan pola pikir. Karya sastra merupakan media paling efektif dalam
menyebarkan gagasan-gagasan. Selain itu melalui karya sastra dapat diolah untuk menekankan
kesadaran moral dan ideologi.
Karya sastra sebagai alat komunikasi, sering digunakan sebagai alat untuk melakukan
penghegemonian bukan dengan tindak kekerasan. Hal tersebut sesuai dengan pemikiran Gramsci
bahwa hegemoni merupakan suatu kekuasaan atau dominasi atas nilai-nilai kehidupan, norma,
kebudayaan sekelompok masyarakat yang akhirnya berubah menjadi doktrin terhadap kelompok
masyarakat lainnya dimana kelompok yang didominasi oleh kelompok penguasa tidak merasa
ditindas dan merasa hal tersebut sebagai hal yang wajar (Faruk, 2014:132).
Hegemoni suatu kelas terhadap kelas yang ada di bawahnya merupakan hasil dari
bangunan konsensus. Konsensus merupakan suatu dominasi yang dilakukan bukan dengan suatu
pemaksaan melainkan melalui persetujuan dan pemahaman. Oleh karena itu, konsensus
merupakan suatu kepatuhan atau ketertundukan seseorang atau sekelompok orang karena
adanya suatu kesadaran.
Media sosial sebagai media berbagi informasi dapat dimanfaatkan untuk pembangunan
ideologi. Hal ini tentu dapat menjadi efektif karena pengguna media sosial telah merebak di era
informasi saat ini. Peran media sosial dalam masyarakat mampu mempengaruhi, membangun,
bahkan mengubah cara berpikir suatu kelompok masyarakat. Kekuatan media sosial ini juga
digunakan oleh pemerintah maupun suatu kelompok masyarakat tertentu untuk mempengaruhi
masyarakat. Dalam dunia sastra, media sosial digunakan sebagai alat untuk menyampaikan
aspirasi masyarakat dalam pembangunan ideologi. Hal tersebut salah satunya dapat dibuktikan
dengan adanya meme-meme dalam media sosial seperti instragram, facebook, tweeter, path dan
lain sebagainya.
Media sosial merupakan bagian dari mekanisme sastrawan untuk mempertahankan
eksistensi melalui karya-karya yang diunggah dalam media sosial. Selain untuk mempertahankan
eksistensi sastrawan, peran media sosial dapat membangun ideologi melalui karya sastra
tersebut. Dengan berperannya media sosial dalam memuat karya sastra, seni, dan budaya dalam
pembangunan ideologi, para sastrawan dan budayawan semakin tertantang untuk menyajikan
karyanya di dalam media sastra. Bahkan pada era sekarang peran media sosial juga digunakan
oleh sekelompok sastrawan pemula untuk menyampaikan karya-karyanya. tidak hanya itu,
mahasiswa yang berniat menulis karya sastra dan ingin menyebarkannya pada semua orang,
dapat memanfaatkan media sosial tersebut. Pemanfaatan teknologi seperti internet, facebook,
path, tweeter menawarkan sistem kebebasan dalam penyampaian ideologi.
Melalui media sosial, pengarang atau penulis mampu menyampaikan perasaannya
melalui karya-karya sastra salah satunya seperti puisi. Karya sastra puisi yang dimuat dalam media
sosial seperti wikipedia, facebook, path, maupun tweeter dapat menjadi wahana pembangun
ideologi Hal tersebut dapat dilihat dalam gambar berikut.
Gambar di atas merupakan bentuk salah satu peran media sosial dalam pembangunan
ideologi. Karya-karya Gie yang dimuat dalam media sosial seperti pada wikipuisi saat ini dapat
dijadikan alat untuk pembangunan ideologi. Pada masa pergerakan mahasiswa, kelompok
mahasiswa biasanya menggunakan media “propaganda” untuk mengekpresikan maksud dan
tujuan gerakan mereka. Soe Hok Gie menggunakan media massa (koran) untuk menerbitkan
tulisan-tulisannya, sama halnya dengan Goenawan Mohamad yang menggunakan media massa
sebagai tempat untuk mengekpresikan kegusarannya dan menyampikan ideologinya melalui ide
yang dituangkan dalam sebuah tulisan,. Hok Gie dikenal sebagai penulis proaktif di beberapa
media massa, misalnya Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indoneisa
Raya. Sekitar 35 karya artikelnya (kira-kira sepertiga dari seluruh karyanya) selama rentang waktu
tiga tahun Orde Baru, sudah dibukukan dan diterbitkan dengan judul Zaman Peralihan (Bentang,
1995).
Pada masa orde baru di kampus-kampus, lembaga pers mahasiswa acapkali dibungkam
atau ditekan, karena sikap kritis mereka. Bahkan tidak hanya para mahasiswa yang dibungkam,
para sastrawan dengan karya-karyanya yang fenomenal sebagian besar dibredel dan tidak
diperkenankan dipublikasikan di khalayak ramai. Sastrawan yang pernah merasakan hal tersebut
pada rezim Orde Baru, antara lain WS Rendra, Seno Gumira dan sastrawan senior
lainnya.Persoalan pelarangan karya sastra, juga tidak terlepas dari unsur politik kepentingan
penguasa berambisi memporak-porandakan genre sastra di mata pembacanya. Tidak hanya itu,
persoalan asal usul dan posisi penulis dalam masyarakat menjadi pertimbangan penting. Itulah
sebabnya, isi sebuah karya merupakan faktor dominan tercetusnya ide pelarangan karya yang
bermuatan ideologis yang bertikungan dengan penguasa.
Karya-karya yang dibuat sastrawan pada masa menjadi tolok ukur dan memberikan
dampak ideologis hingga saat ini. hanya saja media yang digunakan untuk menyalurkan ideologi
tersebut semakin berkebnag seperti halnya peran media menjadi bagianterpenting dalam
penyalurannya, bahkan pembangun ideologi. Pada masa kini, tidak hanya para sastrawan yang
sudah terkenal, melainkan sastrawan-sastrawan pemula kerap menggunakan media sosial seperti
facebook, tweeter, Instagram untuk mengekpresikan rasa dan pikiran dengan mengunggah ke
media sosial. Para sastrawan pemula menggunakan media sosial sebagai alat untuk membangun
eksistensi dan menyalur ideologi mereka melalui karya-karyanya. Pengguna media sosial dapat
menyalurkan ungkapan perasaan, gagasan, dan ide mereka dalam sebuah tulisan yang mampu
dibaca oleh jutaan orang di seluruh dunia dalam waktu sekejap. Ini alasan kenapa media sosial
dapat menjadi wahana penyampaian ideologi oleh pengarang. Selain efektif dan efisien, media
sosial juga memiliki akses yang sangat luas.
KESIMPULAN
Berdasarkan pemaparan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa media sosial
mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap pengarang. Melalui media sosial
pengarang dapat membentuk suatu ideologi dan menyampaikan ideologinya tersebut kepada
masyarakat. pengungkapan praktik kekuasaan melalui karya sastra telah banyak dilakukan. Hal
tersebut disebabkan karya sastra sebagai pengungkapan praktik kekuasaan memungkinkan karya
sastra sebagai arena refleksi atas peristiwa kekuasaan yang terjadi di masyarakat. sastra dan
kekuasaan pada dasarnya memiliki hubungan yang saling terkait. Keterkaitan sastra dan
kekuasaan bisa berbentuk pengungkapan praktik kekuasaan yang terjadi di masyarakat melalui
karya sastra. Media sosial merupakan wadah penyalur ideologi pengarang kepada pembacanya.
Ideologi tersebut akan mendominasi suatu kelompok yang memiliki realitas sama dengan
pengarang. Oleh sebab itu, media sosial pada zaman sekarang mempunyai peranan penting
dalam pembangunan hegemoni lewat sastra.
DAFTAR PUSTAKA
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana Pengantar Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta:Lkis Printing Cermelang. Faruk. 2014. Pengantar Sosiologi Sastra “dari Stukturalisme Genetik samapi Post-modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Gramsci, Antonio. 2013. Prison Notebooks “Catatan-catatan dari Penjara”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Sastra dan Cultural Studies Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sehandi, Yohanes. 2014. Mengenal 25 Teori Sastra.Yogyakarta:Ombak.
Teeuw, A. 2015. Sastra dan Ilmu Sastra. Bandung: PT Dunia Pustaka Jaya.
Wellek, Rene, Austin Warren. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia.
Top Related