PERAN HIMPUNAN BINA MUALAF INDONESIA (HBMI) DALAM
MEMPERKOKOH KEIMANAN PARA MUALAF
(Studi Kasus Himpunan Bina Mualaf Indonesia Pusat di Pulo Mas Jakarta Timur)
Skripsi
Diajukan untuk mendapatkan gelar Sarjana Agama (S. Ag)
Oleh
Nurul Fitriyani
NIM: 1112032100016
PROGRAM STUDI STUDI AGAMA AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019 M
i
Abstrak
Peran Himpunan Bina Mualaf Indonesia (HBMI) Dalam Memperkokoh
Keimanan Para Mualaf (Studi Kasus Himpunan Bina Mualaf Indonesia
Pusat di Pulo Mas Jakarta Timur).
Fenomena konversi agama dewasa ini menjadi kajian menarik terutama
konversi agama lain ke agama Islam yang kemudian kita sebut mualaf.
Perpindahan keyakinan dari bukan Islam menjadi Islam bukanlah proses yang
mudah dan terkadang di luar nalar manusia. Fenomena ini kemudian menjadi
kajian menarik untuk kita teliti mulai dari bagaimana proses seseorang menjadi
mualaf dan faktor apa saja yang mempengaruhi seseorang pindah agama terutama
konversi dari agama lain ke agama Islam misalnya karena faktor teologis,
psikologis, dan bahkan faktor sosiologis juga menjadi faktor utama dalam
terjadinya konversi agama tersebut.
Di Indonesia sendiri konversi agama bukanlah hal baru sehingga tidak
heran jika pemerintah sendiri mengeluarkan aturan dalam upaya pembinaan para
mualaf. Tidak hanya itu ada banyak organisasi yang mempunyai perhatian
terhadap pembinaan para mualaf dengan tujuan agar para mualaf bisa memahami
Islam secara baik dan benar. Seperti yang dilakukan oleh Himpunan Bina Mualaf
Indonesia (HBMI). Pertama. pembinaan pemahaman dan kedua praktis
menyangkut praktik-praktik ibadah dalam Islam. Adapun dalam pembinaan
ekonomi, HBMI mengajak para mualaf untuk meningkatkan kreatifitas mereka.
Mereka betul-betul diberdayakan secaraa ekonomi dengan dibantu untuk
mengasah kemampuan-kemampuan kreativitas mereka. Selain model pembinaan
yang HBMI terapkan kepada para mualaf HBMI mempunyai peran penting dalam
upaya memperkokoh keimanan para mualaf. Diantarnya; pertama, pembinaan
mental dan budaya. Kedua, pembinaan lingkungan. Ketiga, pembinaan agama.
Keemapat, pembinaan ekonomi.
Penelitian ini menggunakan dua pendekatan; Pertama, menggukan
pendekatan sosiologis dan yang kedua menggunakan pendekatan psikologis
dengan menggunakan metode kualitatif dengan teknik penyajian data deskriptif.
Kata kunci : konversi agama, mualaf, Islam dan Himpunan Bina Mualaf
Indonesia (HBMI).
ii
Pedoman Transliterasi
Huruf Arab
Huruf Latin
Keterangan
Tidak dilambangkan ا
b Be ب
t Te ت
ts te dan es ث
j Je ج
h h dengan garis bawah ح
kh ka dan ha خ
d De د
dz de dan zet ذ
r Er ر
z Zet ز
s Es س
sy es dan ye ش
s es dengan garis di bawah ص
d de dengan garis di bawah ض
t te dengan garis dibawah ط
z zet dengan garis bawah ظ
koma terbalik di atas hadap kanan ‘ ع
gh ge dan غ
ha
f Ef ف
q I ق
k Ka ك
l L ل
m Em م
n En ن
w We و
ـ
ھ
h Ha
iii
Kata Pengantar
Allahamdulillah adalah ucapan begitu indah untuk ucapan rasa syukur kepada
Tuhan yang maha kuasa Allah Swt karena dengan kasihnya dan curahannya penulis
dapat menyelasikan skripsi ini dengan tuntas meskipun dengan berbagai tantangan
yang dilalui.
Dengan selasainya skripsi ini, maka selasai pula tugas akademis strata satu
pada jurusan Studi Agama-agama Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Penulis bangga dan bahagia bisa menjadi bagian dari kampus ini. Tugas
akademis sebagai mahasiswa telah paripurna. Dengan selesainya skripsi ini yang
tentunya dengan proses tidak singkat dan berbagai tantangan yang ada. Penulis sadar
bahwa karya ini tidak sempurna sehingga penulis mohon kepada para pembaca untuk
memberi saran dan masukan agar tulisan ini lebih baik.
Dalam perjuangan ini penulis sadar bahwa banyak telah terlibat baik langsung
atau tidak langsung. Maka dari itu sudah sepatut penulis mengucapkan banyak
terimakasih kepada mereka. Atas dukungannya penulis persembahkan karya ini
kepada:
1. Dr. Yusuf Rahman, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin beserta jajarannya.
2. Syaful Azmi, MA., selaku Ketua Jurusan Studi Agama-agama.
3. Lisfa Sentosa Aisyah, MA., selaku Sekretaris jurusan Studi Agama-agama.
iv
4. Dra. Hj. Hermawati, M.A., selaku pembimbing yang dengan sabar membimbing
penulis dalam upaya penyelesaian skripsi ini.
5. Kepada seluruh dosen Ushuluddin khususnya Studi Agama-agama yang telah
dengan sabar membrikan arahan serta membuka cakrawala pengetahuan kepada
penulis.
6. Kepada orang tua tercinta, Ayah Nurjen bin Marjuk, Alm., Mamah Nunung binti
H. Getong Kisan, Almh., yang selama masa hidupnya selalu memberikan
motiviasi tentang pentignya arti sebuah pendidikan. Apapun hasilnya kelak
pendidikan itu penting dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara.
7. Pendahulu kami, Kakek H. Getong bin Kisan Alm., Nenek Hj. Darih binti Jisin
Almh. Yang selalu menjadi panutan kami.
8. Kakak kami tercinta, Kaka kandung Neneng Safitri dan Ade Nurjanah. Yang
selalu menjadi pelindung dalam duka dan pelipur lara dalam nestapa.
9. Suami tercinta, Andi Subhan Maggalatung, S.Th.I. Yang sangat luar biasa dengan
cinta tulus yang dia berikan mampu membrikan semangat untuk terus berjuang
bersama dalam melangkah dan melawati rintangan yang ada. Serta motivator
handal dalam upaya penyelasaian skripsi ini.
10. Buah hati tercinta kami, Andi Nazril Ramadhan, penyemangat hidupku.
11. Bapak Mertua serta Ibu Mertua, Bapak Prof. Dr. H. Andi Salman Maggalatung,
SH.,MH., dan Ibu Dra. Hj. Andi Afridah, M.Si. yang selama ini sabar
membimbing dan membarikan semangat akademik agar penulis dapat
v
menyelesaikan skripsi ini dengan baik. dan bagi saya kalian orang tua yang luar
biasa.
12. Kakak ipar Andi Hikmawati, S.sos., Andi Zulfikar, S.sos,. dan Asrullah, S.sos
yang selama ini selalu memberikan semangat akademik, berjuang membimbing
sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
13. Teman-teman KKN PITAGORAS. Yang tidak bisa saya sebutkan namanya satu-
persatu. Kedisiplinan dan kepekahan kita tumbuh dalam menjalani kehidupan
keseharian datang karena adanya motivasi ilmu pengetahuan dalam menghadapi
hidup ini.
14. Dan keluarga besar SAA angkatan 2012 yang penulis tidak bisa sebutkan satu
persatu. Kalian luar biasa.
Penulis
Nurul Fitriyani
vi
DAFTAR ISI
Abstrak ...................................................................................................................... i
Pedoman Transliterasi ............................................................................................. ii
Kata Penganta .......................................................................................................... iii
Daftar Isi ................................................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................... 7
C. Tujuan Penelitian ......................................................................... 8
D. Manfaat Penelitian ....................................................................... 8
E. Tinjuan Analisis .......................................................................... 8
F. Metodologi Penelitian ................................................................. 11
G. Sistematika penulisan .................................................................. 15
BAB II LANDASAN TERORI
A. Pengertian Konversi Agama ........................................................ 18
B. Faktor Penyebab Konversi Agama ............................................. 19
C. Proses Konversi Agama .............................................................. 26
BAB III MENGENAL HIMPUNAN BINA MUALLAF INDONESIA
(HBMI) DI JAKARTA TIMUR
A. Sejarah Himpunan Bina Mualaf Indonesia (HBMI) ................... 28
B. Visi dan Misi Himpunan Bina Mualaf Indonesia (HMBI) .......... 30
C. Program Kegiatan Himpunan Bina Mualaf Indonesia (HBMI) .. 31
BAB IV MUALAF DAN PERAN HIMPUNAN BINA MUALAF
INDONESIA (HBMI) DI JAKARTA TIMUR
A. Motivasi Konversi Para Mualaf .................................................. 37
B. Model Pembinaan ........................................................................ 42
C. Faktor Bergabung di Himpunan Bina Mualaf Indonesia
(HBMI) ........................................................................................ 46
vii
D. Pemberdayaan Para Mualaf di Himpunan Bina Mualaf
Indonesia (HBMI) ....................................................................... 52
E. Peran Himpunan Bina Mualaf Indonesia (HBMI ) terhadap
Para Mualaf ................................................................................. 54
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................. 61
B. Saran ............................................................................................ 63
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 64
LAMPIRAN .............................................................................................................. 66
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ilmu jiwa agama merupakan bagian dari ilmu jiwa yang mempelajari
masalah-masalah kejiwaan yang sangkut pautnya dengan keyakinan beragama.
Dengan demikian ilmu jiwa agama menyangkut dua bidang kajian yang sama
sekali berlainan, sehingga ia berbeda dari cabang-cabang ilmu jiwa lainnya. Ilmu
jiwa dengan cabang-cabangnya mengkaji tentang gejala-gejala jiwa dan kaitannya
dengan tingkah laku. Perbedaan itu hanya ditentukan oleh aspek yang menjadi
titik berat kajian masing-masing. Misalnya ilmu jiwa kepribadian
menitikberatkan kajiannya pada aspek kepribadian dalam hubungannya dengan
tingkah laku manusia. Kata yang banyak menyita perhatian banyak kalangan,
baik masyarakat pada umumnya maupun para ilmuwan adalah kata "agama”.1
Kata ini begitu menggugah rasa ingin tahu banyak kalangan, sebab agama
adalah sebuah fenomena yang sangat kaya sekaligus sangat kompleks. Dimana di
dalamnya memiliki dimensi baik itu ritual, doktrin, etika, sosial maupun empiris.
Sehingga wacana tentang agama dan kehidupan beragama selalu akan muncul
baik dalam diskusi ilmiah maupun percakapan yang umum dalam masyarakat
sosial. Oleh karena itu agama diyakini dan dirasakan oleh pemeluknya
1 Agama secara gramatikal adalah tidak kacau, lebih lengkap menurut Quraiys Shihab
dalam kata pengantar buku Agama Punya Seribu Nyawa, mendifinisikan agama sebagai hubungan
manusia dengan satu kekuatan yang jauh melebihinya dimana manusia patuh kepada kekuatan: itu
yang kemudian makna "kekuatan" ditekankan kepada Sang Pencipta Alam, yaitu Tuhan. Lihat
Komaruddin Hidayat, Agama Punya Seribu Nyawa (Jakarta, Noura Book, 2012), h. VI.
2
sebagai sumber ketenangan karena agama memberi arah serta makna hidup yang
pasti.
Seiring berjalannya waktu, walaupun manusia memiliki agama tentu tidak
bisa dihindari dengan konflik yang ada di dalam batin manusia. Pertentangan
batin dan kegelisahan ini terjadi gejolak berbagai persoalan yang terkadang tidak
mampu dihadapinya sendiri, di antara ketegangan dan kegoncangan dalam
dirinya karena tidak mempunyai seseorang dalam menguasai nilai-nilai moral dan
agama dalam hidupnya. Sebenarnya orang tersebut mengetahui mana yang benar
untuk dilakukan, akan tetapi tidak mampu untuk berbuat sehingga mengakibatkan
segala yang dilakukannya serba salah, namun tetap tidak mau melakukan yang
benar. Fenomena ini terjadi pada orang-orang yang mengalami konversi agama.
Kata konversi merupakan kosa kata yang berasal dari Bahasa Inggris conversion
yang mempunyai arti berlawanan arah. Secara istilah, konversi agama adalah
terjadinya perubahan keyakinan yang berlawanan arah dengan keyakinan semula.
Para ahli pendidikan berpendapat bahwa konversi agama dipengaruhi oleh
kondisi pendidikan. Penelitian ilmu sosial penampilkan data dan argumentasi
bahwa suasana pendidikan ikut mempengaruhi konversi agama. Walaupun belum
dapat dikumpulkan data secara pasti tentang pengaruh lembaga pendidikan
terhadap konversi agama namun berdirinya sekolah-sekolah yang bernaung di
bawah yayasan agama tentunya mempunyai tujuan keagamaan pula.2
Unsur dari dalam diri (endogeenos origin), yaitu proses perubahan yang
terjadi dalam diri seseorang atau kelompok. Konversi yang terjadi dalam batin ini
2 Roharjo, Pengantar llmu Jlwa Agama (Jakarta: PT. Pustaka Rizki Putra, 2008) h, 174.
3
membentuk suatu kesadaran untuk mengadakan suatu transformasi disebabkan
oleh krisis yang terjadi dan keputusan yang diambil oleh seseorang berdasarkan
pertimbangan pribadi. Proses ini terjadi menurut gejala psikologis yang bereaksi
dalam bentuk hancurya struktur psikologis yang lama dan seiring dengan proses
tersebut rnuncul pula struktur psikologis baru yang dipilih.
Perubahan keyakinan seperti ini datang dari rasa kegelisahan terhadap
agama yang dipeluknya. Oleh sebab itu padangan hidup dan keyakian seperti
harapan serta keselamatan menjadi berlawanan arah. Timbulnya tekanan batin
penyesalan diri, rasa berdosa, cemas terhadap masa depan serta perasaan susah
yang ditimbulkan oleh kebimbangan atau rasa gelisah. Hal tersebut akan
melahirkan proses kejiwaan dalam bentuk renungan perasaan yang belawanan
itu timbul dalam batin manusia sehingga masalah tersebut harus dicari jalannya.3
Konversi agama yang terjadi pada diri manusia tentunya tidak terjadi
begitu saja tanpa unsur apapun, melainkan adanya hidayah yang diperoleh dari
Allah SWT yang telah disampaikan dalam firman-Nya surat QS Al-A'Raaf ayat:
178
هتدي ٱفههى لله ٱيهد مه ئك ههمه لمه هول ون ٱومه يهضلل فأ سره ٨٧١ لخ
"Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang
mendapat petunjuk (dalam semua kebaikan dunia dan akhirat); dan barang
siapa disesatkan Allah, maka merekalah orang-orang yang merugi {dunia dan
akhirat)".4
Menurut penjelasan ayat di atas sangat jelas bahwa Allah SWT
memberikan hidayah, karunia serta nikmat kepada siapa saja sesuai kehendak-
Nya, termasuk menghendaki orang-orang untuk melakukan konversi agama.
3 Jalaluddin dan Ramayulis, Pengantar Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: PT. Grafindo Persada,
2002)h. 59 4 Deperteman Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahan, al A’raaf : 178.
4
Terjadinya konversi agama tersebut selain dari faktor dari Yang Maha
Kuasa. Berdasarkan tinjauan psikologis, dalam teori Wiliam James bahwasannya
konversi agama banyak menyangkut masalah kejiwaan dan pengaruh lingkungan
tempat berada.5 Faktor yang melatarbelakanginya timbul dari dalam diri (intern)
dan dari luar diri (ekstern). Faktor dalam diri (intern) di sini meliputi kepribadian
dan pembawaan. Sedangkan faktor dari luar (eksrten) meliputi keluarga,
lingkungan tempat tinggal, perubahan status dan kondisi ekonomi.
Seseorang yang baru memeluk agama dan mengimani agama Islam,
penting sekali untuk mempelajari, mengetahui dan memahami agama yang baru
dianutnya. Maka dari itu pertama-tama yang harus dilakukan adalah mengikuti
pembinaan secara khusus untuk membantu proses pengenalan agama Islam dan
memberi pendalaman pengetahuan tentang agama Islam yang baru dianutnya.
Terdapat beberapa lembaga yang mejadi sarana pembinaan khusus untuk
para mualaf, tapi bentuk penanganannya yang dibedakan, seperti lembaga yang
menangani saat pengislamannya saja dan ada juga yang menangani keseluruhan
termasuk pembinaan setelah menjadi seorang mualaf. Pembinaan mualaf memiliki
peran yang sangat signifikan dalam membantu memberikan pemahaman tentang
ketauhidan, memperkokoh keyakinan, pengenalan dasar-dasar hukum Islam yang
benar serta tata cara beribadah yang baik dan benar.
Dalam pembinaan mualaf ini, komunikasi merupakan faktor yang yang
sangat penting supaya ajaran-ajaran Islam yang diterima bisa menjadi lebih
kokoh. Maka dari itu komunikasi yang dilakukan pembina mualaf bisa
5 Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agama (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2008), h.
158.
5
berpengaruh pada perubahan pemikiran serta interpretasi terhadap pemahaman
keIslaman sehingga memperkokoh keimanan yang dipelajari oleh para mualaf.
Bukan hanya itu, demi terciptanya komunikasi yang efektif dan pembinaan yang
optimal serta program kegiatan yang terarah, pengurus harus memiliki strategi dan
metode pembinaan agar apa yang disampaikan berhasil dalam masa pembinaan.
Himpunan Bina Mualaf Indonesia yang disingkat menjadi HBMI
merupakan salah satu Lembaga yang dibentuk oleh Kementrian Agama khusus
menangani pembinaan mualaf. Lembaga HBMI ini dibawah naungan Kementrian
Agama Bimas Islam dan diresmikan pada bulan November 2013 di Jakarta.
Lembaga ini memiliki struktur organisasi, metode serta program khusus seperti:
pembinaan perekonomian mualaf, santunan, buka puasa bersama, pengajian
rutinitas bulanan, pelatihan keterampilan dan rumah pintar.6
Berbagai kegiatan Himpunan Bina Mualaf Indonesia bertujuan agar
pembinaan yang dilakukan bersifat variatif demi menciptakan keakraban dan
hubungan yang baik antar sesama. Peran Himpunan Bina Mualaf Indonesia dalam
memperkokoh keimanan para mualaf (anggotanya) adalah dengan memberikan
solusi dari starategi dari pembinaan mualaf diberikan bimbingan dan tuntunan
serta pendampingan. Komunikasi pembinaan tidak hanya dilakukan secara verbal
saja, namun terkadang komunikasi non verbal juga sangat mampu meningkatkan
pemahaman para mualaf.
6 Wawancara dengan H. Syarif Tanudjaja, Ketua HBMI, Himpunan Bina Mualaf
Indonesia, Matraman, Jakarta Timur, 16 Oktober 2017.
6
Komunikasi yang digunakan bersifat mengajak dan membujuk, dengan
kata lain pembinaan yang dilakukan bersifat komunikasi persuasif secara
psikologis, agar mualaf yang mandiri, bertakwa serta istikomah dalam
keagamaannya juga mandiri dalam sosial ekonominya. Komunikasi persuasif
adalah suatu usaha untuk meyakinkan seseorang atau kelompok seolah-olah
keyakinan timbul itu atas keyakinannya sendiri tanpa ada paksaan, baik yang
tampak maupun tidak.7
Komukasi persuasif juga dapat dipahami sebagai suatu pesan yang
mempengaruhi sikap, pendapat dan perilaku orang lain secara verbal maupun non-
verbal. Proses tersebut adalah gejala atau fenomena yang menunjukkan suatu
perubahan terus secara terus menerus.8 Demi berhasilnya komunikasi persuasif
hal ini dilakukan secara sistematis dan sesuai dengan kebutuhan mualaf. Oleh
karena itu pembinaan seharusnya mengetahui dan memperhatikan latar belakang
para mualaf seperti asal kelompok masyarakat, asal agama, tinggkat pendidikan
dan sosial ekomoni mereka.
Melihat pembinaan mualaf di HBMI memiliki strategi, metode, program
khusus serta teknik-teknik persuasif, maka proses pembinaan yang bervariasi
tersebut menjadi pembeda dengan lembaga pembinaan yang lain. Oleh karena itu
dengan lahirnya Himpunan Bina Mualaf Indonesia (HBMI) selalu difasilitasi dan
terus mendapatkan ilmu pengetahuan tentang bagaimana cara menjalankan
semua ajaran agama Islam dengan baik dan benar.
7 Jalaluddin, Psikologi Agama (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), h. 20.
8 Roudhonah, Ilmu Komunkasi (Jakarta: Atama Kencana Publishing, 2013) h. 16.
7
Keberadaan Himpunan Bina Mualaf Indonesia (HBMI) di Indonesia
sebagai wadah bagi kalangan para mualaf. Bagi penulis menjadi penting untuk
diteliti dengan menganalisis peran Himpunan Bina Mualaf Indonesia dalam
pembinaan dan meningkatkan pemahaman keagamaan para mualaf. Polarisasi
pembentukan pemahaman HBMI dalam meningkatkan pemahaman keagamaan
para mualaf beserta hal-hal yang terkait dengannya. Oleh sebab itu penulis
merumuskan pada judul utama yaitu: Peran HBMI Dalam Memperkokoh
Keimanan Para Mualaf : Studi Kasus Himpunan Mualaf Indonesia Pusat
di Pulo Mas Jakarta Timur.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya maka penulis
merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana peran Himpunan Bina Mualaf Indonesia (HBMI) dalam
memperkokoh keimanan para mualaf?
2. Apa hambatan Himpunan Bina Mualaf Indonesia (HBMI) dalam
memperkokoh keimanan para mualaf?
3. Apa tantangan dan metode efektifitas Himpunan Bina Mualaf Indonesia
(HBMI) dalam memperkokoh keimanan para mualaf?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui peran, hambatan, tantangan serta efektifitas HBMI dalam
memperkokoh keimanan para mualaf.
8
2. Menambah khazanah perpustakaan.
3. Memberikan sumbangsih pemikiran dalam memperkuat peran ilmu
keushuluddinan
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Sebagai sumbangsih hasil karya penelitian bagi UIN Syarif Hidayatullah pada
umumnya dan Fakultas Ushuluddin jurusan Studi Agama-agama khususnya.
2. Memberi masukan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
3. Menjadi referensi bagi penelitian-penelitian lebih lanjut oleh mahasiswa Studi
Agama-agama tentang Peran Himpunan Bina Mualaf Indonesia (HBMI)
dalam Memperkokoh Keimanan Mualaf (Studi Kasus Himpunan Bina Mualaf
Indonesia (HBMI) Pusat di Pulo Mas Jakarta Timur).
4. Untuk mendapatkan gelar Sarjana Agama.
E. Tinjauan Pustaka
Adapun buku-buku yang menjadi rujukan skripsi ini antara lain: Pertama,
Skripsi Yaumil Kurniati Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas
Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, tahun kelulusan 2006 yang berjudul
Komunikasi Persuasif Pengurus Himpunan Bina Mualaf Indonesia dalam
Meneguhkan Keyakinan Mualaf Wilayah Jakarta Barat. Skripsi ini menerangkan
tentang Himpunan Bina Mualaf Indonesia (HBMI) di wilayah Jakarta Barat
merupakan salah satu asosiatif konsultasi dan pembinaan para mualaf. Teori
9
yang digunakan dalam skripsi ini adalah teori penilaian sosialisasi oleh Muzafer
Sherif. Dalam proses pembinaan mualaf, pengurus menggunakan berbagai
tahapan komunikasi persuasif dengan menggunakan formula AIDDA (Attention,
Interes, Desire, Decision, Action) yaitu menumbuhkan perhatian, rasa tertarik,
keinginan, memiliki keputusan dan tindakan.
Kedua, skripsi karya Apriyanto mahasiswa IAIN Purwokerto Fakultas
Tarbiyah dan ilmu keguruan tahun kelulusan 2006 dengan judul Pelaksanaan
Pendidikan Agama Islam Bagi Mualaf di Banyumas Mualaf Center. Skripsi ini
hanya menerangkan tentang macam-macam kegiatan pendidikan agama Islam
yang diadakan, yaitu pengajian Iqra’ setiap minggu, pengajian keagamaan setiap
bulan, lomba hafalan surah al Fatihah, ajang kasih, khitanan massal dan pelatihan
menjahit, membuat keset dan tas. Menggunakan pendekatan kualitatif yang besifat
deskriptif. Subjek penelitian ketua dan pengurus Banyumas Mualaf Center,
ustadz/ustadzah dan mualaf. Metode yang digunakan adalah metode observasi,
wawancara dan dokumentasi. Sedangkan analisis menggunkan analisis induktif.
Ketiga, Taufik Halily Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas
dakwah dan Ilmu Komunikasi jurusan Komunikasi Penyiaran Islam tahun 2013
yang berjudul Metode Dakwah Ustad Syamsul Arifin Nababan dalam Pembinaan
akidah antara mualaf di Pondok Pesantren pembinaan Mualaf al Naba center
Tangerang Selatan Banten. Skripsi ini hanya menjelaskan tentang pengaplikasian
metode dakwah Ustadz Syamsul Arifin Nababan dalam membina akidah santri mualaf
dengan cara hikmah (ceramah, tanya jawab dan dialog) dan konsep metode dakwah
dalam pembinaan santri di sana sesuai dengan pelaksanaannya. Meski santri
10
berbeda latar belakang pengetahuan keislaman, semua santri mendapat pengajaran
yang sama dan tidak ada jenjang pendidikan.
Keeempat skripsi Nur Jamal Sha’id mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta fakultas dakwah dan komunikasi jurusan bimbingan dan penyuluhan Islam,
tahun 2008 berjudul; Pengaruh Bimbingan Agama Terhadap Penguatan Keimanan
Mualaf Yayasan An-Naba Center Sawah Baru Ciputat. Skripsi ini hanya
menjelaskan bahwa proses bimbingan agama terhadap mualaf berjalan dengan
baik dan memberikan pengaruh positif terhadap keimanan mualaf. Hal ini
terlihat dari pemahaman mualaf tentang ajaran agama Islam. Pelaksanaan
ibadah yang mereka lakukan meningkat, semangat dan antusias para mualaf
dalam menuntut ilmu, serta perubahan sikap dan perilaku akhlakul
karimah dalam kehidupan sehari-hari yang ditunjukkan oleh para mualaf.
Metode yang digunakan pembimbing meliputi ceramah, diskusi, tanya jawab
dan menghafal dalil-dalil.
Dari hasil penelusuran penulis diatas, penulis menyatakan bahwa
hasil dari penelitian penulis berbeda dengan penelitian sebelumnya. Yang
membedakan adalah penelitian ini fokus pada peran, hambatan, tantangan
dan efektifitas Himpunan Bina Mualaf Indonesia (HBMI) dalam
memperkokoh keimanan mualaf dengan mengambil studi kasus Himpunan
Bina Mualaf Indonesia (HBMI) Pusat di Pulo Mas Jakarta Timur. Penelitian
ini belum ada yang mengkaji atau meneliti baik dalam bentuk skripsi
maupun karya ilmiah yang lainnya. Hal ini sangat mendorong penulis untuk
mengkaji lebih mendalam.
11
F. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Pada dasarnya penelitan ini adalah penelitian lapangan (field res earch)
yang bersifat kualitatif, dengan cara mendatangi langsung objek yang akan diteliti
untuk mendapatkan data-data yang berkaitan dengan permasalahan yang
dibahas. Menurut Bogdan dan Taylor., metode kualitatif penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dan lisan dari orang-
orang dan perilaku yang dapat diamati. Maka penulis dalam menganalisis
menggunakan metode deskriptif analisis. Metode ini dimaksudkan untuk
menguraikan (mendeskripsikan) masalah yang sedang dibahas secara teratur
mengenai seluruh konsepsi dan ide pemikiran pokok yang bersangkutan.9
Metode analisis ini memberikan gambaran terhadap subjek dan objek
penelitian mengenai peran Himpunan Bina Mualaf Indonesia (HBMI) dalam
memperkokoh keimanan para mualaf (studi kasus Himpunan Bina Mualaf
Indonesia (HBMI) Pusat di Pulo Mas Jakarta Timur).
2. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini mengkaji tentang peran Himpunan Bina Mualaf
Indonesia (HBMI) dalam memperkokoh keimanan para mualaf: studi kasus
Himpunan Bina Mualaf Indonesai (HBMI) Pusat di Pulo Mas Jakarta
Timur. Maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan sosiologis dan pendekatan psikosiolgis. Pendekatan Sosiologi
9 Drs. U. Maman Kh., M.Si, dkk, Metodologi Penelitian Agama Teori Dan Praktik
(Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2006) h.29
12
adalah pendekatan yang melihat atau berusaha menjelaskan sejauh mana
pengaruh agama terhadap prilaku individu maupun kelompok dengan
menggunakan teori-teori sosiologi.10
Dalam pendekatan sosiologis meninjau
dan mengenali perkembangan Himpunan Bina Mualaf Indonesia (HBMI)
dari masa lalu sampai saat ini dalam memperkokoh keimanan para mualaf..
Pendekatan psikologis adalah bermaksud mencari hubungan atau
pengaruh agama terhadap kejiwaan pemeluk agama atau sebaliknya,
pengaruh kejiwaan pemeluk terhadap keyakinan keagamaannya.11
Pada saat
yang sama Ilmu psikologi yang mempelajari tentang agama berkembang pula
seiring dengan tingkat kemajuan pemikiran manusia. Semakin modern
pemikiran manusia maka akan semakin komplek permasalahan yang
dialaminya, demikian pula halnya dengan cara mereka menggapai kepercayaan
atau agama untuk mendekatkan dirinya dengan Tuhannya akan semakin
beragam sesuai dengan tingkat pemikirannya hal ini terbukti bahwa pada saat
ini manusia menyengaja mempelajari proses yang melatarbelakangi seseorang
beragama, meyakininya, memahami dan mengamalkannya hingga pada suatu
saat dan kadar tertentu, keyakinan tersebut mampu mengubah secara frontal
tentang sikap, perilaku dan pemikirannya.12
Para psikolog agama meyakini ada
dimensi yang sakral, spiritual, divinitas, transenden, supernatural yang tidak
empiris yang dapat memengaruhi kejiwaan manusia. Dalam pendekatan
10
Imam Suprayogo, Metodologi Penelitian Sosial-Agama (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2003), h. 61. 11
M. Arif Khoiruddin, “Pendekatan Psikologi dalam Studi Islam” journal An-Nafs, Vol.
2. No. 1( juni 2017), h. 3. 12
M. Abbas Fauzan “Pendekatan Studi Islam Ditinjau Secara Psikoligis” (Artikel
journal), h. 157. diakses di http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/Quality/article/view/221 pada
tanggl 29 Juni 2019.
13
sosiologis ini meninjau dan menganalisis faktor-faktor kondisi kejiwaan
para mualaf terhadap meyakini agama yang baru, krisis dan konflik kejiwaan,
pertentangan dan kelangsungannya.
3. Sumber Data
a. Data Primer
Data primer adalah sumber data penelitian yang diperoleh seeara langsung
dari sumber asli atau pihak pertama, secara khusus dikumpulkan oleh peneliti
untuk menjawab pertanyaan riset atau penelitian yang berupa wawancara.
mendalam dengan pengurus Himpunan Bina Mualaf Indonesia (HBMI) maupun
hasil obeservasi dari suatu obyek, kejadian atau hasil pengkajian atau
dokumen yang terkait dengan penelitian ini. Sumber data primer didapat dari
sumber pertama, seperti melakukan wawancara mendalam kepada
beberapa narasumber yang relevan diantaranya adalah Ketua Himpunan Bina
Mualaf Indonesia (HBMI) Pusat Pulo Mas Jakarta Timur h. 157 H. Syarif
tanudjadja, sekretaris Ketua Himpunan Bina Mualaf Indonesia (HBMI) Pusat
Pnlo Mas Jakarta Timur, dan beberapa para mualaf yang ada di Himpunan Bina
Mualaf Indonesia (HBMI) Pusat Pulo Mas Jakarta Timur, peneliti secara
langsung meninjau lokasi atau tempat Himpunan Bina Mualaf Indonesia
(HBMI) Pusat Pulo Mas Jakarta Timur serta wawancara dengan bereapa para
mualaf diantara; Steven dan Olivia, dan keduanya merupakan mualaf yang
mendapatkan binaan langsung dari HBMI.
b. Data Sekunder
14
Data sekunder adalah sumber data yang diperoleh peneliti secara tidak
langsung melalui media perantara. Data sekunder pada umumnya berupa bukti,
catatan atau laporan yang telah tersusun dalam arsip, buku-buku, artikel, jurnal,
majalah-majalah atau dokumen yang tidak terkait langsung dengan penelitian
ini.13
Sumber data sekunder diperoleh dari buku Pedoman Pembinaan Muallaf
yang diterbitkan oleh Departemen Agama RI Ditjen Bimas Islam dan
memahami perilaku yang mengaplikasikan prinsip-prinsip psikologi, dan lain
sebagainya
4. Panduan Penulisan
Penulisan dalam penelitian ini menggunakan standar yang ditetapkan
dalam buku, Pedoman Penulisan Karya llmiah (Skripsi, Tesis, don Disertasi),
yang diterbitkan CeQDA (Center for Quality Development and Assurance) UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika dalam Penulisan ini, penulis membagi pembahasan kedalam
empat bab, dengan uraian sebagai berikut:
Bab pertama adalah pendahuluan. Terdiri dari tujuh Sub bab. Sub bab
pertama, latar belakang masalah, menjelaskan gambaran secara umum peran
Himpunan Bina Mualaf Indonesia (HBMI) yang menghantarkan kepada
perumusan masalah. Kedua, penulis menampilkan rumusan masalah berisi
permasalah pokok yang menjadi fokus penelitian ini. Selanjutnya dalam sub bab
13
Prasetya Irawan, Logika dan Posedur Penelitian (jakarta: STIA Lembaga
Administrasi Negara, !999), h. 65.
15
ketiga, penulis menyajikan tujuan penelitian dan sub bab keempat manfaat
penelitian yang tidak lepas dari rumusan masalah tersebut. Dalam sub bab kelima
mengenai tinjauan pustaka, Dalam sub bab keenam penulis memaparkan dan
pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini. Kemudian, pada sub ketujuh
penuli smenyajikan sistematika kepenulisan berupa kerangka kepenulisan
dalam penelitian.
Bab kedua adalah landasan teori. Terdiri dari empat sub bab. Pada sub
bab pertama menjelaskan mengenai definisi mualaf. Pada sub bab kedua,
menjelaskan mengenai definisi konversi agama. Pada sub bab ketiga, menjelaskan
mengenai macarn-macam konversi agama. Kemudian pada sub bab keempat,
menjelaskan proses terjadinya konversi agama.
Bab ketiga adalah sejarah berdirinya Himpunan Bina Mualaf Indonesia
(HBMI) Pulo Mas di Jakarta Timur, terdiri dari empat sub bab. Sub bab pertama,
sejarah Himpunan Bina Mualaf Indonesia (HBMI) Pulo Mas di Jakarta Timur.
Pada sub bab kedua, menjelaskan visi dan misi Himpunan Bina Mualaf Indonesia
(HBMI) Pulo Mas di Jakarta Timur. Pada sub bab ketiga, menjelaskan struktur
Himpunan Bina Mualaf Indonesia (HBMI) Pulo Mas di Jakarta Timur. Kemudian
sub bab keempat, menjelaskan program Himpunan Bina Mualaf Indonesia
(HBMI) Pulo Mas di Jakarta Timur.
Bab keempat adalah analisis mengenai peran Himpunan Bina Mualaf
Indonesia (HBMI) Pulo Mas di Jakarta Timur. Terdiri dari empat sub bab. Pada
sub bab pertama menjelaskan pembinaan mualaf di Himpunan Bina Mualaf
Indonesia (HBMI) Pulo Mas di Jakarta Timur. Pada sub bab kedua
16
menjelaskan upaya pelestarian iman para mualaf di Himpunan Bina Mualaf
Indonesia (HBMI) Pulo Mas di Jakarta Timur. Pada sub bab ketiga menjelaskan
faktor terjadinya konversi agama di Himpunan Bina Mualaf Indonesia (HBMI)
Pulo Mas di Jakarta Timur. Pada sub bab keempat menjelaskan mengenai
efektifitas (hambatan dan tantangan) Himpunan Bina Mualaf Indonesia (HBMI)
Pulo Mas di Jakarta Timur.
Bab kelima adalah penutup pada bab ini terdiri dari dua sub bab; pertama,
kesimpulan dari hasil pembahasan yang tetap berpijak pada pokok permasalahan
dan yang kedua berisi tentang saran.
17
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Konversi Agama
Konversi agama (religious conversion) merupakan sebuah fenomena
peralihan keyakinan seseorang dari suatu sistem kepercayaan terhadap sistem
kepercayaan yang lain. Secara etimologi, konversi berasal dari kata Latin,
conversio, berarti “pindah atau berubah”. Terma ini kemudian juga diserap ke
dalam bahasa Inggris menjadi conversion. Oxford Dictionary memaknainya
sebagai “the process of changing or causing something to change from one form
to another.”1 Artinya, “proses perubahan atau sebab sesuatu berubah dari satu
bentuk ke bentuk yang lain.” Jadi, bila ditambah satu kata lagi di belakangnya,
kata tersebut hanya menyifati makna asalnya. Dari itu, konversi agama dapat
dimaknai sebagai perubahan atau sebab seseorang berubah keyakinan dari satu
sistem ke sistem keyakinan yang lain.
Adapun secara terminologi, izinkan penulis mengutip pengertian dari Max
Heirich. Dalam tulisannya, Change of Heart, dia memaparkan bahwa konversi
agama adalah suatu pilihan baru seseorang atau kelompok untuk mengimani dan
menjalankan suatu agama baru yang berlainan dengan agama yang dianut
sebelumnya.2
Dari definisi ini maka konversi agama merupakan tindakan
perseorang atau kelompok untuk memeluk agama lain, sehingga harus
meninggalkan agama yang dianut sebelumnya.
1 Angus Stevenson, Oxford Dictionary of English, Ed
3 (Kamus Oxford: Oxford
University Press, 2010), h. 381. 2 Max Heirich, “Change of Heart”, American Journal of Sociology 83, No 3, (Tahun
1977): h. 654.
18
B. Faktor Penyebab Konversi Agama
Konversi agama terjadi tentu tak lepas dari latarbelakang yang dapat kita
kategorikan sebagai faktor penyebab. Untuk mengetahuinya, supaya mendapat
pemahaman yang lebih komprehensif, penting penulis terlebih dahulu paparkan
bahwa kesimpulan tentang penentuan faktor amat tergantung pada bentuk
perspektif. Di sini, penulis akan membagi tiga perspektif tentang penentuan faktor.
Pertama, perspektif teologis. Kedua, perspektif sosiologi. Ketiga, perspektif
psikologis.
a. Perspektif Teologis
Perspektif teologis adalah cara pandang dalam melihat faktor konversi
agama dari sudut pandang agama itu sendiri. Dalam perspektif ini, konversi
agama terjadi lantaran dua faktor. Pertama, karena petunjuk ilahi.3 Dalam Islam
disebut hidayah, dalam Kristen disebut “sentuhan kasih Tuhan”. Demikian juga
dalam agama-agama lain. Faktor penyebabnya selalu dikaitkan dengan
kepentingan Tuhan. Sedangkan faktor yang kedua adalah sebab pengaruh buruk
dari kekuatan jahat. Berbeda dengan faktor yang pertama, faktor ini berasal dari
kepentingan kekuatan jahat yang selalu dianggap sebagai musuh Tuhan.4
Contoh, dalam Islam, orang yang melakukan konversi agama ke dalam
Islam disebut mendapat hidayah, sementara bila ada muslim yang konversi ke
agama lain dinyatakan “telah dikuasi oleh setan”. Orang yang pindah agama dari
3 Jalaluddin, Psikologi Agama (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), h. 275.
4 Jalaluddin, Psikologi Agama, h. 276
19
agama lain ke dalam Islam disebut mualaf, sedangkan Muslim yang keluar dan
pindah ke agama lain disebut murtadin.
Perspektif ini memiliki standar ganda. Orang yang pindah ke agama lain
akan diberi label buruk karena dianggap telah dipengaruhi kekuatan jahat.
Sedangkan orang lain yang masuk ke dalam agama itu diberi label positif lantaran
diasumsikan telah dipengaruhi oleh kekuatan baik, yakni kekuatan Tuhan sendiri.
Setiap agama menerapkan pespektif semacam ini.
Kedua faktor ini dalam ilmu pengetahuan susah untuk dibuktikan. Karena,
selain memiliki standar ganda juga susah untuk diuji secara empirik maupun
dengan nalar logis. Namun bagaimanapun, persepktif ini yang sering digunakan
oleh publik luas ketika hendak melihat faktor terjadinya konversi agama
seseorang di tengah masyarakat.
Tabel
No Perspektif Teologis Pengguanaan
1 Faktor Petunjuk Ilahi Digunakan untuk melihat seseorang yang
berasal dari agama lain yang melakukan
konversi terhadap agama itu
2 Faktor Kekuatan Jahat Digunakan untuk melihat seseorang yang
berasal dari agama itu yang melakukan
konversi terhadap agama lain
b. Perspektif Sosiologis
Berbeda dengan perspektif teologis, perspektif sosiologis ini lebih
menekankan pada pembacaan yang empirik, obyektif, rasional, dan dapat diuji
20
secara ilmiah. Persepktif ini merupakan cara pandang baru dalam melihat sebuah
fenomena yang tak lain lahir dari rahim modernisme sejak abad ke-19. Lantaran
jangkauan cakupannya yang luas terkait fenomena sosial, perspektif ini juga dapat
digunakan untuk melihat fenomena konversi agama di tengah masyarakat.5
Dalam perspektif lain, faktor penyebab terjadinya konversi agama dapat
dibagi menjadi dua. Pertama, faktor struktur sosial. Kedua, faktor agensi.6 Faktor
yang pertama meliputi:
1. Determinasi pergaulan.
2. Tradisi atau kebiasaan setempat.
3. Pengaruh ruang publik.
4. Pengaruh sepak terjang elit agama.
5. Norma yang berlaku.
6. Kebudayaan setempa.
7. Tekanan ekonomi.7
Bila dilihat dari faktor ini, seseorang bisa melakukan konversi agama
lantaran determinasi tradisi setempat. Seseorang bisa pindah agama karena tradisi
di mana dia tinggal memaksa secara simbolik untuk melakukan konversi agama.
Kebiasaan interaksi dengan penganut agama lain yang lebih mayoritas di tempat
tersebut memungkinkan seseorang untuk melakukan konversi agama. Demikian
juga seseorang bisa pindah agama karena pengaruh ruang publik, di mana
informasi kegamaan didominasi oleh agama lain yang lebih mayoritas. Selain itu
5 Dr. Bambang Syamsul Arifin, M. Si, Psikologi Agama (Bandung: CV. Pustaka Setia,
2015), h. 29. 6 Istilah ini diambil dari salah satu sosiolog besar, Anthony Giddens. Silakan baca
bukunya Priyono, Herry B, Anthony Giddens: Sebuah Pengantar. Jakarta: KPG. 2008.
7 Jalaluddin, Psikologi Agama (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), h. 275.
21
konversi agama bisa terjadi karena peran elit agama yang kuat. Propaganda
keagamaan yang dilakukan oleh para elit agama memungkinkan terjadinya
konversi agama. Contoh, dalam Islam terdapat tradisi berdakwa. Elit agama yang
melakukan dakwa tersebut disebut dengan da'i. Demikian juga dalam Kristen.
Hanya istilahnya saja yang berbeda. Dalam Kristen, elit agama yang melakukan
propaganda keagamaan supaya orang berminat masuk agama tersebut disebut
dengan misionaris. Aktivitas itu disebut dengan evangelisasi.8
Tak hanya itu, seseorang bisa pindah agama juga karena norma setempat
di mana dia tinggal mengarahkannya untuk melakukan konversi agama. Contoh,
norma larangan minum-minuman keras memungkinkan orang yang senang
dengan tradisi itu tak akan mau mengikuti agama yang punya norma itu dan lebih
memilih agama yang membolehkannya. Penjelasan ini mungkin dapat dipakai
ketika hendak melihat kenapa Suku Batak Toba lebih memilih Kristen daripada
Islam.9
Selain norma, budaya juga berpengaruh. Tren budaya hijab dan solidaritas
keumatan yang tinggi belakangan terbukti menarik minat non-Muslim untuk
pindah agama menjadi Muslim. Demikian juga dengan determinasi tekanan
ekonomi. Seseorang bisa pindah agama karena tekanan ekonomi.Itulah faktor
terjadinya konversi agama bila dilihat dari fungsi struktur sosial dalam
mendeterminasi individu dalam melakukan tindakan, dalam hal ini melakukan
konversi agama. Berbeda dengan faktor ini, faktor agensi (faktor yang kedua)
lebih menekankan pada pilihan individu.10
8 Jalaluddin, Psikologi Agama, h. 278
9 Jalaluddin, Psikologi Agama, h. 279
10 Jalaluddin, Psikologi Agama, h. 279
23
d. Perspektif Psikologis
Perspektif psikologis adalah cara pandang ilmiah dalam melihat faktor
terjadinya konversi agama dengan menggunakan ukuran-ukuran yang terdapat
dalam disipilin psikologi. Dalam persepktif ini, untuk mengetahui faktor
penyebab terjadinya konversi agama, kondisi kejiwaan seseorang yang
melakukannya menjadi obyek utama yang dilihat.
Menurut William James, konversi agama terjadi lantaran perubahan yang
terjadi di dalam alam bawah sadar seseorang. Seseorang yang pindah agama
mengalami suatu perubahan jiwa yang memaksanya secara halus untuk
melakukan konversi. Menurutnya, orang yang memiliki jiwa melankolis lebih
rentan melakukan konversi agama.11
Ketidakstabilan jiwa ini merupakan
konsekuensi dari gerakan alam bawah sadar yang mampu menentukan pilihan-
pilihan tanpa disadari bahwa kekuatan itu telah menguasai.12
Adapun menurut Guy Em Swanson, konversi agama biasanya dilakukan
oleh orang yang jiwanya sedang mengalami tekanan, yakni stress. Menurutnya,
kondisi ini biasa terjadi pada anak yang lahir di antara saudaranya yang sulung
dan bungsu. Anak ini mengalami stress karena kurangnya perhatian dari orang tua
daripada kedua anak lainnya,13
yakni yang sulung dan bungsu. Hal ini disebut
dengan adalah faktor internal.
Adapun faktor ekternalnya adalah kondisi di luar diri seseorang yang turut
membentuk kondisi kejiwaan dirinya dalam melakukan konversi agama. Yakni
meliputi 1) kultur keluarga, 2) lingkungan, 3) status sosial, dan 4) kemiskinan.
11
William James, The Varieties of Religious Experience (New York: Tp, 1958),h. 30. 12
Jalaluddin, Psikologi Agama (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), h. 276. 13
Sakiman, “Konversi Agama: Studi Kasus Pada Keluarga di Dusun Pasaken
Magowoharjo, Depok, Sleman”, aplikasia, jurnal aplikasi ilmu-ilmu agama, 6 No. 1 (Juni 2005):
h, 70.
25
C. Proses Terjadinya Konversi Agama
Agama sejatinya bukan hanya identitas sosial seorang individu. Ia adalah
adalah jalan hidup yang bukan pula hanya memuat seperangkat aturan-aturan.
Namun lebih dari itu, agama merupakann bagian dari kehidupan manusia itu
sendiri. Disadari atau tidak, perilaku sosial seorang individu tak dapat dilepaskan
dari pengaruh agama, sekalipun dia seorang ateis. Karena agama merupakan unsur
kebudayaan yang tak satupun manusia dalam sejarahnya mampu menyingkirkan.
Pengaruh agama sangat terasa bagi orang atau kelompok yang melakukan
konversi agama. Karena konversi agama sejatinya adalah proses manusia untuk
semakin religius. Dengan melakukan konversi agama, pada saat yang sama dia
telah meyakini bahwa agama itu penting. Konversi agama tak mungkin dilakukan
oleh orang yang sejak awal telah menentukan sikapnya untuk menjadi seorang
ateis atau agnostik.15
Oleh karena itu konversi agama bisa juga dikatakan sebagai bukan hanya
peralihan keyakinan dari satu sistem kepercayaan terhadap kepercayaan yang lain.
Lebih dari itu, konversi agama adalah peralihan jalan hidup itu sendiri.
Seseorang yang pindah agama, menurut Jalaluddin seperti sedang
melakukan pemugaran sebuah bangunan di lahan yang sama. Dia menulis,
“Proses konversi agama ini dapat diumpamakan seperti proses pemugaran
sebuah gedung, bangunan lama dibongkar dan pada tempat yang sama didirikan
bangunan baru yang lain sama sekali dari bangunan sebelumnya.” Perumpamaan
ini sangat menarik. Seseorang yang telah melakukan konversi agama, pada saat
15
Jalaluddin, Psikologi Agama, h. 280.
26
yang sama telah melakukan proses-proses pemugaran batin dengan cara-cara yang
radikal.16
H. Carrier membagi proses konversi agama ke dalam beberapa tahapan.
Tahapan-tahapan tersebut terjadi secara linier dan terus berkelanjutan. Inilah
tahapan-tahapannya:
1. Krisis yang dialami menyebkan terjadinya kondisi disintegratif dalam diri
seseorang.
2. Disintegrasi tersebut membutuhkan solusi. Konversi agama tekadang menjadi
salah satu pilihannya. Orang berharap dengan berpindah agama, masalah
disintegrasi dalam dirinya mendapat solusi.
3. Dengan demikian, terjadilah reintegrasi kepribadian. Seseorang yang pindah
agama mengalami pembaruan kondisi batin dan cara pandang hidupnya. (Di
sinilah kadang terjadi overconfidence (terlalu percaya diri) seseorang yang
baru pindah agama. Setelah mengalami reintegrasi, dia merasa menjadi
manusia paling benar. Tak heran bila melihat banyak fenomena muallaf yang
kerap berani secara terang-terangn menyerang agama sebelumnya sebagai
agama sesat.
4. Tumbuhnya sikap penerimaan total terhadap ajaran baru yang dianutnya.
5. Dengan begitu lalu timbullah pengukuhan dalam dirinya bahwa apa yang
dilakukannya dia anggap sebagai panggilan Tuhan. Dan dia yang baru pindah
agama itu merasa menjadi orang yang paling disayang oleh Tuhan karena
telah diberi petunjuk.17
16
Jalaluddin, Psikologi Agama (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), h. 276. 17
Jalaluddin, Psikologi Agama, h. 277.
27
Adapun Zakiah Daradjat membagi proses konversi agama ke dalam 5
tahapan berbeda. Tahapan yang dijelaskan olehnya adalah tahapan-tahapan
perubahan kondisi kejiwaan. Yakni: Masa tenang, instabilitas batin, terjadinya
konversi, masa tenang sebagai kondisi baru, dan masa ekspresi.18
Pertama, masa tenang merupakan masa di mana segala sikap dan tingkah
lakunya serta sifat-sifatnya menunjukkan acuh tak acuh terhadap agama. Kedua,
instabilitas batin hal ini merupakan konflik dan pertentangan batin berkecamuk
dalam hatinya, gelisah, putus asa, tegang, panik dan sebagainya, baik disebabkan
oleh moralnya, kekecewaan atau yang lainnya. Pada masa ini, seseorang biasanya
amat peka perasaannya, cepat tersinggung dan hampir putus asa dalam hidupnya,
serta mudah kena sugesti. Ketiga, Peristiwa konversi agama itu sendiri setelah
mengalami masa puncaknya, seseorang tiba-tiba merasa mendapat petunjuk
Tuhan, mendapat kekuatan dan semangat. Gejolak atau konflik yang terjadi
dalam dirinya, tiba-tiba menjadi reda, jiwa menjadi tenang dan damai berkat
keyakinan barunya. Keempat, keadaan tenang dan tenteram. Setelah krisis
konversi selesai, maka timbullah perasaan atau keadaan jiwa yang baru, rasa aman
dan damai di hati,lepas dari segala dosa, segala persoalan menjadi enteng dan
dapat diselesaikan. Kelima, ekspresi konversi dalam hidup. Tahapan terakhir
dalam konversi agama ialah pengungkapan konversi agama dalam tindak tanduk,
perbuatan, sikap dan perbuatan sesuai dengan tuntunan ajaran agama.19
Lima hal
tersebut merupakan hal yang lumrah terjadi pada setiap diri seseorang yang akan
melakukan konversi agama dan telah melakukan konversi agama.
18
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: Bulan Bintang 2010), h. 58. 19
Prof. Dr. H. Kurnia Ilahi, MA., dkk, Konversi Agama, (Malang: Intelegensia Media,
2017), h. 19.
28
BAB III
MENGENAL HIMPUNAN BINA MUALAF INDONESIA (HBMI)
DI JAKARTA TIMUR
A. Sejarah Himpunan Bina Mualaf Indonesia (HBMI)
Indonesia merupakan negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia.
Besarnya jumlah pemeluk agama tersebut tentu memiliki dampak sosiologis terhadap
pemeluk agama lain. Salah satu buktinya adalah banyaknya pemeluk agama lain yang
tertarik untuk masuk ke dalam agama tersebut. Mereka yang baru masuk ke dalam
Islam atau baru memeluk Islam disebut dengan mualaf.
Fenomena mualaf ini, masuknya non-Muslim ke dalam Islam, belakangan
dirasa perlu mendapatkan wadah institusi yang memadai. Karena berdasarkan laporan
dari Mualaf Center Indonesia (MCI), tren mualaf dari tahun ke tahun terus
meningkat. “Kemudian, terus naik pada 2011, 2012, sampai sekarang naik terus
angkanya. Paling tidak dalam lima tahun ke belakang sudah lebih dari 10 ribu orang
masuk Islam,” kata Steven Indra, Ketua MCI kepada Republika online pada 3
Februari 2017.1 Maka dari itu tak heran bila pada tahun 2013 diadakanlah suatu
pertemuan rutin antara berbagai kelompok keagamaan yang tertarik di bidang ini
untuk membicarakan persoalan tersebut. Di antaranya adalah Yayasan MUSTIKA
(Muslim Tionghoa dan Keluarga), PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia),
1 Republika.com “Geliat Dakwah untuk Mualaf” diakses pada 27 Junuari 2019 dari
https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/17/02/03/okskqq313-geliat-dakwah-untuk-
mualaf
29
Komunitas Masjid Agung Sunda Kelapa, Yayasan Karim Oey, Daarut Tauhid
Muslimah, Masjid Lautze, dll.
Gagasan yang mereka tuangkan dan tawarkan ternyata mendapat sambutan
baik dari Pemerintah Republik Indonesia. Pada tanggal 10 November tahun itu juga
(2013) didirikanlah wadah institusi yang dapat menampung proses dan program
fenomena mualaf di Indonesia. Institusi tersebut diberi nama dengan apa yang dikenal
selama ini sebagai Himpunan Bina Mualaf Indonesia (HBMI).
Peresmian tersebut langsung difasilitasi oleh Direktorat Penerangan Agama
Islam dan Dirjen Bimas Islam Kementrian Agama Republik Indonesia. Karena
pendirian HBMI berada di bawah naungan Kementerian Agama.2
Melihat dari keberadaannya dan keterlibatan pemerintah dalam
pembentukannya, eksistensi HBMI merupakan bukti nyata bahwa Indonesia
merupakan negara yang sama sekali jauh dari sekular. Sebab, negara ini terbukti telah
terlibat memfasilitasi salah satu agama untuk melakukan misionarisasi atau lebih
tepatnya Mualafisasi (proses perekrutan non-Muslim menjadi Muslim). Terbukti,
sejak awal keberadaannya, orang yang masuk ke dalam Islam semakin bertambah.
Fenomena tren mualaf ini tak dapat dilepaskan dari peran aktif HBMI.
Organisasi tersebut memang sejak awal pendiriannya bertujuan untuk memberikan
wadah kepada mereka yang ingin masuk Islam. Peran HBMI ini di sini memberikan
ruang yang lebih terbuka kepada mereka yang ingin masuk Islam.
2 Wawancara, H. Syarif Tanudjaja, Ketua HBMI, Himpunan Bina Mualaf Indonesia,
Matraman, Jakarta Timur, 16 Oktober 2017.
30
Sikap ini bisa dipahami karena memang Islam hampir sama dengan Kristen,
yakni memiki suatu agenda misionarisasi, yang mana kedua agama tersebut sama-
sama dianjurkan secara doktrin untuk memperbanyak pengikut. Kehadiran HBMI
bisa diterjemahkan sebagai bentuk dari penerapan ajaran tersebut dalam Islam.
Pemerintah mendukungnya karena kita tak dapat lupa bahwa Islam adalah agama
mayoritas di negara ini. Kebijakan komunal semacam ini memang kerap terjadi di
beberapa negara yang belum bisa melepaskan pentingnya peran agama dalam
kehidupan politik.
B. Visi dan Misi Himpunan Bina Mualaf Indonesia (HBMI)
1. Visi
Terwujudnya Himpunan Bina Mualaf Indonesia yang berkomitmen serta
menjadi pusat lembaga bina mualaf yang proactive (proaktif dalam penanganan
mualaf), responsive (responsif dalam menyikapi setiap problematika yang dihadapi
para mualaf), progressive (mengedapankan kemajuan pembinaan mualaf), dan
accountable (bertanggung jawab penuh atas pembinaan mualaf yang berlangsung)
serta menyediakan sumber daya dalam pembinaan dan pemberdayaan khususnya
untuk kota Administrasi Jakarta Timur.
2. Misi
Adapun misi Himpunan Bina Mualaf Indonesia, sebagai berikut:
a. Meningkatkan kualitas kerja antar pengurus lembaga pembina mualaf di Jakarta
Timur.
31
b. Meningkatkan kualitas para mualaf di wilayah Jakarta Timur dengan pemahaman
dan pengalaman Islam yang lengkap, ekonomi mandiri dan advokasi.3
Melihat visi misi di atas dapat disimpulkan bahwa HBMI merupakan
organisasi yang benar-benar serius menangani tren mualaf yang terus meningkat di
negeri ini. Institusi ini tak hanya melakukan perekrutan terhadap para non-Muslim
untuk masuk ke dalam Islam. Namun lebih dari itu, organisasi tersebut juga
melakukan pembinaan yang optimal di tiga bidang, keagamaan, sosial, dan ekonomi.
C. Program Kegiatan Himpunan Bina Mualaf Indonesia (HBMI)
HBMI memiliki beberapa program kegiatan yang dapat disebut sebagai kerja-
kerja sosial sebagai wadah dan sekaligus tempat yang dapat memfasilitasi para
mualaf. Di antara program yang ada adalah:
1. Kerja Pengurus
Sebuah organisasi dapat dikatakan aktif bila para pengurusnya bekerja. Kerja
yang dilakukan tentu sesuai dengan visi dan misi yang telah ditentukan. Sebagai
langkah kerja tersebut, pengurus HBMI melakukan beberapa kegiatan wajib. Di
antaranya adalah:
a. Mendata semua mualaf yang berada di Jakarta Timur. Pendataan ini dilakukan
untuk mengidentifikasi perkembangan dan kemajuan para mualaf yang berada di
lokasi tersebut. Hal yang diidentifikasi adalah soal pengetahuan keislaman.
b. Melakukan sosialisasi ke Kesbangpol, Birodikmental, Departemen Sosial, dan
beberapa lembaga lain terkait kepedulian dan kecintaan terhadap tanah air.
3 Dokumen Pribadi HBMI, Jakarta Timur, 16 Oktober 2017.
32
Sosialisasi ini dilakuakn demi membangun jaringan silaturrahmi dengan jajaran
pemerintah setempat. Langkah ini ditempuh supaya HBMI semakin menjadi
organisasi yang terus dekat dengan pemerintah.
c. Turut mengikuti kegiatan sosial yang insidental. Tak hanya mendatangi institusi-
institusi pemerintahan, sosialisasi yang dilakukan HBMI juga menyentuh
masyarakat sekitar. Kegiatan-kegitan sosial yang diadakan oleh masyarakat,
HBMI selalu terlibat.
d. Melaksanakan pengajian rutin setiap bulan. Sebagai organisasi yang bergerak di
ranah sosial-keagamaan, HBMI tak hanya juga melakukan sosialisasi biasa.
Organisasi tersebut juga sering mengadakan pengajian yang temanya adalah
soal-soal keislaman. Pengajian ini dapat dikatakan sebagai sosialisasi keislaman
terhadap masyarakat sekitar dan terutama bagi para mualaf.
e. Mengadakan pelatihan. Sebuah organisasi biasanya dapat bertahan dengan lama
karena kreatifitas yang dibangun di dalamnya. HBMI menerapkan prinsip
tersebut. Untuk melakukannya, organisasi tersebut mengadakan pelatihan-
pelatihan. Pelatihan yang diselenggarakan terdapat tiga macam. Pelatihan di
bidang pengetahuan keislaman, praktik keislaman, dan praktik kreatifitas serta
kerajinan.
2. Proses Pengislaman
Dalam Islam, syarat untuk memasuki agama tersebut adalah membacakan
sebuah kredo kesaksian yang dikenal dengan syahadatain, yakni dua kalimat
syahadat. Asyhadu an là ilàha illa ‘Llàh wa asyhadu anna muhammada ‘rasùlu
33
‘Llàh: aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad
adalah utusan Allah.
Dalam melakukan proses Islamisasi terhadap seorang calon mualaf, HBMI
mengadakan sebuah acara yang sesi inti dari acara tersebut adalah pembacaan dua
kalimat syahadat itu. Pembacaan dua kalimat syahadat itu dilakukan oleh seorang
calon mualaf dengan mengikuti tuntunan yang dibacakan oleh penuntun. Sang
penuntun bisa dilakukan siapa saja yang memenuhi syarat. Biasanya dilakukan oleh
ketua HBMI sendiri.
3. Pembinaan
Orang yang baru masuk Islam (mualaf) tentu sama sekali asing tengan ajaran
Islam. Orang tersebut tidak mengerti bahwa dalam ajaran Islam apa saja yang perlu
dijalankan dan dihindari. Supaya dapat mengetahuinya, HBMI memberikan
pembekalan dalam bentuk pembinaan.
Dalam melakukan pembinaan, HBMI membelaki para mualaf dengan buku
panduan atau pedoman singkat yang mudah dimengerti. Pedoman tersebut selain
dapat dibaca sendiri juga diajarkan dalam bentuk pengajaran seperti workshop. Para
mualaf dengan buku panduan itu diberi pengetahuan dasar tentang Islam.
Pengetahuan utama yang disampaikan adalah terkait beberapa hal. Di
antaranya adalah:
a. Pengenalan Tentang Siapa Allah Menurut Islam
Dalam Islam terdapat sebuah dalil yang berbunyi “awwaluddin ma’rifatu
‘Llàh” yang artinya awal masuk agama adalah mengenal Allah. HBMI betul-betul
34
menerapkannya. Para mualaf yang masuk Islam melakukan organisasi ini mendapat
bimbingan secara intens untuk mengenal siapakah Allah menurut Islam
b. Ilmu Tauhid Seperti Sifat dan Nama-nama Allah
Setelah para peserta dirasa berhasil pada tahapan pertama, maka tahapan
pembinaan selanjutnya adalah pendalaman tentang ilmu tauhid seperti sifat-sifat Allah
dan nama-nama-Nya.
c. Fikih-fikih Dasar
Dalam Islam selain soal teologi juga terdapat sebuah ajaran hukum yang
sering disebut sebagai fiqh, atau fikih. Pemahaman terkait disiplin ini juga
disampaikan dalam beberapa kesempatan di tiap pembinaan berlangsung yang
dilakukan oleh HBMI. Namun tentu untuk para mualaf yang baru masuk materi yang
disampaikan sangat sederhana dan level tingkatannya dasar. Pelajaran-pelajaran yang
disampaikan di antaranya adalah fikih solat, wudhu, puasa, zakat, dll.
d. Wawasan Keislaman
Tak cukup hanya dibekali dengan fikih dan akidah, HBMI juga
memberdayakan pengetahuan keislaman para mualaf dengan wawasan-wawasan
yang dapat memperluas pandangan tentang Islam. Di sini, para mualaf diberi bacaan-
bacaan tentang keutamaan-keutamaan Islam dari berbagai perspektif.
4. Pendekatan yang Digunakan
Dalam melakukan Islamisasi terhadap para mualaf, HBMI menerapkan
beberapa pendekatan. Di antaranya adalah pendekatan informatif, partisipatif, dan
personal.
a. Pendekatan Informatif
35
Pendekatan informatif adalah sebuah pendekatan yang menekankan pada
upaya-upaya dalam memperkaya pengetahuan para mualaf tentang Islam. Pendekatan
ini diimplementasikan dalam bentuk workshop, pengajian, dan halaqah-halaqah.
Pada pendekatan ini yang paling berperan penting adalah tutor atau seorang guru.
Para mualaf sebagai murid lebih berperan sebagai mustami’, yaitu pendengar.
b. Pendekatan Partisipatif
Adapun pendekatan partisipatif sebaliknya, berbeda dengan pendekatan yang
pertama. Pendekatan ini menekankan pada upaya-upaya a) mengasah pengetahuan
keislaman para mualaf, b) pengalaman-pengalaman selama masuk Islam, dan c)
pengutaraan alasan-alasan kenapa berkenan untuk masuk Islam. Pendekatan ini
dilakukan dalam bentuk berbagi dalam satu forum bersama. Para mualaf berkumpul
dan melakukan diskusi terkait tiga tema di atas. Pendekatan ini hampir menyerupai
program evangelisasi dalam Katolik.
c. Pendekatan Personal
Adapun pendekatan personal adalah pendekatan yang dilakukan oleh para
pendamping mualaf secara personal. Para pendamping mendatangi rumah para
mualaf dalam waktu-waktu tertentu dan di situ mereka saling berbagi tentang
pengalaman-pengalaman selama menjadi Muslim. Biasanya orang yang dikirim
adalah ustadz yang memang membidangi dakwah ini dan juga seorang mualaf yang
sudah lama masuk Islam.4
4 Wawancara, dengan H. Syarif Tanudjaja, Ketua HBMI, Himpunan Bina Mualaf Indonesia,
Matraman, Jakarta Timur, 16 Oktober 2017.
36
5. Agenda Kegiatan Pembinaan
a. Baca tulis Al-Quran
Agenda ini dilakukan pada minggu pertama.
b. Pengenalan Aqidah dan Fikih
Agenda ini dilakukan pada minggu kedua
c. Praktik Fikih
Agenda ini dilakukan pada minggu ketiga
d. Keterampilan
Agenda ini dilakukan pada minggu keempat.
Empat agenda ini terus dilakukan secara kontinuitas selama sekian tahun.
Pendampingan ini dilakukan demi tujuan supaya para mualaf semakin merasa
mendapat perhatian secara psikologis dan bila dipandang dari kaca mata pendididikan
supaya pengetahuan mereka tentang Islam semakin bertambah.5
5 Wawancara dengan, H. Syarif Tanudjaja, Ketua HBMI, Himpunan Bina Mualaf Indonesia,
Matraman, Jakarta Timur, 16 Oktober 2017.
37
BAB IV
MUALAF DAN PERAN HIMPUNAN BINA MUALAF
INDONESIA (HBMI) DI JAKARTA TIMUR
A. Motivasi Konversi Para Mualaf
Seseorang atau kelompok yang melakukan konversi agama tentu tak lepas
dari adanya suatu dorongan kehendak yang menyebabkan mereka untuk
melakukan perpindahan agama. Zakiyah Daradjat meyebutkan bahwa proses
konversi agama dipengaruhi oleh pertumbuhan jiwa, pendidikan dan
pengalamannya sejak kecil serta pengalaman dari lingkungan dimana ia
mendapatkan agama yang baru.1
Masing-masing mualaf memiliki motivasi yang berbeda dalam melakukan
konversi agama, hal ini bisa disebabkan karena keinginan dan kebutuhan yang
berbeda-beda pula. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan penulis terhadap
seseorang atau kelompok yang melakukan konversi agama antara lain disebabkan
oleh dua faktor, yaitu: faktor pendidikan dan lingkungan. Suasana pendidikan,
ssstem pendidikan, muatan pengajaran yang diberikan kepada seseorang dan
interaksi dengan ilmu pengetahuan ikut memberikan pengaruh terhadap terjadinya
konversi agama.
Dilihat dari aspek motif yang menyebabkan konversi agama, Lofland &
Skonov (dalam Schwartz, 2000) mengidentifikasi enam motif yang
melatarbelakangi peristiwa konversi agama: motif intelektual, mistikal,
eksperimental, afeksional, revivalistik, dan koersif.
1 Zakiyah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 2010), 161.
38
1. Motif Intelektual
Merupakan hasil penemuan interaksi dengan konsep-konsep yang
berhubungan dengan sesuatu yang Ilahi atau dengan agama dalam pengertian
intelektual, mislanya berdasarkan konsep ketuhanan yang ditawarkan, bukti ilmiah
dan konkrit atas keberadaan hal-hal yang berhubungan dengan Ilahi. Pada konversi
agama atas motif intelektual ini sedikit dijumpai atau bahkan tidak ada tekanan
eksternal yang memaksa individu untuk mengakui suatu pemikiran atau keyakinan
yang baru.2
2. Motif Mistikal
Konversi agama berdasarkan motif mistikal ini sangat dipengaruhi oleh
adanya intensitas emosional yang tinggi, bisa bersumber dari berbagai peristiwa
traumatis, kekecewaan yang mendalam atau konflik yang tidak terpecahkan yang
menjurus pada suatu peristiwa berharga yang menjadi titik balik penyelesaian dan
penemuan kebahagiaan. Motif mistikal ini biasanya mendorong perubahan
perilaku dan sikap yang sangat drastic dan signifikan dalam kehidupan individu.3
3. Motif Eksperimental
Merupakan usaha pencarian yang disengaja untuk menemukan arti dan
makna kehidupan melalui serangkaian uji coba secara kritis terhadap beberapa
keyakinan sehingga individu sampai pada batas pencarian tentang sesuatu yang
hakiki, yang dianggap sebagai puncak kebenaran dari pencariannya.4
2 Prof. Dr. H. Kurnia Ilahi, MA., dkk, Konvesi Agama, h. 33.
3 Prof. Dr. H. Kurnia Ilahi, MA., dkk, Konvesi Agama, h. 33.
4 Prof. Dr. H. Kurnia Ilahi, MA., dkk, Konvesi Agama, h. 33.
39
4. Motif Afeksional
Motif afeksional pada terjadinya konversi agama disebabkan oleh adanya
persepsi yang baik, keterlibatan, dan keterikatan dalam hubungan interpersonal
dengan penganut agama atau dengan komunitas keagamaan.5
5. Motif Revivalistik
Konversi agama dipengaruhi oleh adanya keterlibatan yang intensif
dengan kelompok-kelompok keagamaan baru yang mengusung konsep dan
pemikiran-pemikiran pembaruan, serta memiliki kohesivitas yang besar sesame
anggotanya.6
6. Motif Koersif
Terjadinya konversi agama disebabkan secara dominan oleh adanya actor
eksternal berupa pemaksaan, ancaman, dan perilaku persuasive/sugestif yang
intensif terhadap individu untuk mempercayainya, terlibat dan akhirnya menerima
kepercayaan dan keyakinan yang baru.7
Selain itu, banyak yang menjelaskan motivasi para new converters ini
masuk Islam, menggambarkan konfigurasi latar belakang yang beragam. Pertama,
karena kehidupan mereka yang sebelumnya sekuler, tidak terarah dan tidak punya
tujuan. Pola hidup tersebut menciptakan suatu kegersangan dan kegelisahan jiwa.
Mereka merasakan kekacauan hidup, tidak seperti orang-orang muslim yang
mereka kenal. Hidup dalam hingar bingar dunia modern dan fasilitas materi yang
melimpah banyak membuat mereka merasakan kehampaan dan ketidakbahagiaan.
Ketika menemukan Islam dari membaca ayat-ayat Al-Qur’an, dari buku bacaan
5 Prof. Dr. H. Kurnia Ilahi, MA., dkk, Konvesi Agama, h. 34.
6 Prof. Dr. H. Kurnia Ilahi, MA., dkk, Konvesi Agama, h. 34
7 Prof. Dr. H. Kurnia Ilahi, MA., dkk, Konvesi Agama, h. 34
40
atau kehidupan teman muslimnya yang sehari-harinya taat beragama, dengan
mudah saja mereka ikut masuk Islam.
Kedua, merasakan ketenangan, kedamaian dan kebahagiaan yang tidak
pernah dirasakan dalam agama yang dianut sebelumnya. Dalam Islam mereka
merasakan hubungan dengan Tuhan itu langsung dekat. Hal ini dituturkan oleh
beberapa responden yang mengaku merasakan hidupnya menjadi lebih tenang dan
damai setelah masuk Islam, dimana hal ini belum pernah mereka rasakan dalam
agama yang mereka anut sebelumnya.8
Ketiga, menemukan kebenaran yang dicarinya. Beberapa mualaf mengakui
bahwa konsep-konsep ajaran Islam lebih rasional atau lebih masuk akal seperti
tentang keesaan Tuhan, kemurnian kitab suci, kebangkitan (resurrection) dan
penghapusan dosa (salvation).
Keempat, banyak kaum perempuan yang berkesimpulan ternyata Islam
sangat melindungi dan menghargai perempuan. Dengan kata lain, perempuan
dalam Islam dimuliakan dan posisinya sangat dihormati. Walaupun mereka tidak
setuju dengan poligami, mereka melihat posisi perempuan sangat dihormati dalam
Islam dari pada dalam peradaban Barat modern.
Dalam jurnal ilmiah yang di terbitkan di Universitas Kebangsaan Malaysia
pada Institute of Islam Hadhari, menggambarkan beberapa tahap psikologis
sebelum dan sesudah memeluk Islam. Setelah seseorang menemukan hakikat
kebenaran yang dicari, dikaji dan dianalisis, kesahihan dan keindahan ajaran Islam
maka seseorang tersebut dengan rela hati akan mengucapkan dua kalimat syahadat
dan sterusnya berkomitmen dengan ajaran Islam. Tetapi yang demikian adalah
8 Zakiyah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, h.59.
41
dalam proses menemukan Sinar Ilahi. Namun sebelum itu seorang individu harus
melewati beberapa tahap-tahap dalam perjalalan. Kesabaran, dorongan, sokongan,
nasehat dan motivasi yang terus menerus sebagai modal untuk menghadapi setiap
tahap-tahap yang nantinya akan di hadapi sekurang-kurangnya ada lima tahap,
seperti:9
1. Tingkat tenang pada tahap ini seorang individu mengalami ketenangan dalam
beragama karena keyakinan sebelumnya belum tercampur oleh hal-hal yang
menyangkut kepada keyakinan baru, dan juga tidak ada dorongan dari diri
untuk mencari sesuatu yang baru dan segala kegiatan rutin berjalan dengan
normal seperti biasa.
2. Individu akan menghadapi konflik kepercayaan. Individu memiliki
kefahaman agama Islam secara mendalam sehinga mampu mempertahankan
konsep ketuhanan dan kehakikian ajaran Islam.
3. Pada tingkat desakan dalam pengakuan dirinya tentang ajaran Islam, dan
akhirnya menyebabkan dirinya terdorong untuk menyatakan sebagai seorang
muslim atau masuk ajaran agama Islam.
4. Tingkat tenang pemula setelah seorang individu masuk dan hidup sebagai
muslim. Pada tahap ini seorang individu hanya tenang karena telah memeluk
agama Islam dan telah menjadi seorang muslim tetapi dalam tahap inilah
muncul gejolak psikologis karena adanya tekanan-tekanan dan hinaan dari
orang yang tidak suka terhadap tindakan konversi agama tersebut.
9 Nur A’Thiroh Masyaa’il TAN Binti Abdullah, TAN AI PAO Fariza MD SHAM,
“Keperluan Memahami Psikologi Sodara Muslim”, Jurnal Hadhari bil. 2 (2009).h .87-88.
42
5. Seorang individu tersebut tingkat pengukuhan, penghayatan mengenai ajaran-
ajaran Islam dan pada tahap ini seorang individu telah menjalankan ajaran
agama Islam secara sempurna dengan tanpa paksaan. 10
B. Model Pembinaan
Himpunan Bina Mualaf Indonesia (HBMI) sebagai sebuah institusi yang
bertanggung jawab penuh atas pembinaan mualaf, memberikan pembekalan dalam
bentuk pembinaan. Institusi ini tak hanya melakukan perekrutan terhadap para
non-Muslim untuk masuk ke dalam Islam, namun lebih dari itu, organisasi
tersebut juga melakukan pembinaan yang optimal di tiga bidang, yaitu:
keagamaan, sosial, dan ekonomi.
Program pembinaan rutinitas yang berlangsung di HBMI terbagi menjadi
dua, yaitu: pembinaan secara teoritis dan praktisi. Pembinaan secara teoritis
seperti pengurus menyampaikan materi tentang pengenalan Allah, pengenalan
dasar keyakinan Islam (iman, aqidah dan Ushuluddin), pengenalan diinul Islam
dalam aturan dan sistem kehidupan atau materi lainnya. Adapun pembinaan secara
praktisi seperti pembinaan praktik wudhu dan sholat. Maka, demi mewujudkan
pembinaan yang lebih optimal para pengurus terus berupaya merealisasikan
program jangka panjang yakni mengadakan wadah atau rumah mualaf.
Pada program pembinaan HBMI diwajibkan bagi mualaf mengikuti
pembinaan minimal 8 kali pertemuan, setelah dipastikan mualaf tersebut dapat
mengikuti pembinaan dengan baik dan benar, dari mulai pemahaman ketauhidan,
keimanan, menjelaskan praktik ibadah dan lain-lain. Maka, mualaf tersebut tidak
10
Nur A’Thiroh Masyaa’il TAN Binti Abdullah, TAN AI PAO Fariza MD SHAM,
“Keperluan Memahami Psikologi Sodara Muslim”, Jurnal Hadhari bil. 2 (2009).h .87-88.
43
lagi diwajibkan mengikuti pembinaan secara rutin, namun tetap dianjurkan untuk
terus mengikuti pembinaan dengan tujuan memperdalam pengetahuan serta
pemahaman pada diri masing-masing mualaf.11
1. Materi-Materi Pembinaan
Mualaf memiliki ciri khas yaitu dnegan pengetahuan dan pemahaman
keagamaan yang masih terbatas. Oleh karena itu pengurus perlu membentuk serta
merumuskan tahapan-tahapan pembinaan seseorang menjadi mualaf, antara lain
sebagai berikut: Adapun materi-materi pembinaan yang disampaikan sebelum
syahadat, yaitu:
a. Pengenalan tentang Allah (Awaluddin Ma’rifatullah).
b. Pengenalan dasar keyakinan Islam (Iman, Aqidah, dan Ushuluddin).
c. Pengenalan diinul Islam dalam aturan dan system kehidupan.
d. Pemahaman Islam sebagai agama fitrah untuk manusia fitrah.
e. Pemahaman Islam agama tauhid (Laailaaha Ilallah).
f. Pemahaman tentang Asmaul Husna, sifat dan zat Allah.
g. Pemahaman agama Islam dengan kaffah.
h. Pemahaman dasar hukum Islam (Islam, syar’i, Syariah dan fiqih) seperti:
pertama, sumber hukum Islam, diantaranya: hukum Islam (wajib, sunnah,
haram, subhat dan mubah) dan hukum ibadah (sholat, puasa, zakat dan haji).
Kedua, dasar adab Islam, diantaranya: akhlak mulia sebagai aplikasi atau
perwujudan Islam yang menyeluruh dan pembersih hati.
i. Pemantapan aqidah, Syariah dan akhlak.
11
Wawancara dengan, H. Syarif Tanudjaja, Ketua HBMI, Himpunan Bina Mualaf
Indonesia, Matraman, Jakarta Timur, 16 Oktober 2017.
44
j. Praktek shalat dengan belajar syarat dan rukun shalat.
k. Pengamalan ibadah puasa.
l. Pengamalan akhlak mulia atau bersikap ikhsan.
m. Pembinaan ekonomi.
2. Pendekatan Program Pembinaan
Dalam upaya pembinaan para mualaf tentu ada aspek yang harus kita
berhatikan. Sehingga pembinaan tersebut dapat diukur sejauah mana
perkambangannya dan bisa mencapai hasil yang maksimal. Beberapa pendekatan
utama dalam program pembinaan di HBMI, antara lain:
a. Pendekatan Informatif (Informative Approach), dengan pendekatan informatif,
pada dasarnya seseorang menjalankan program dengan menyampaikan
informasi kepada peserta. Dengan pendekatam informatif biasanya program
pembinaan diisi dengan ceramah atau kuliah oleh berbagai pembicara yang
dianggap perlu bagi para peserta. Dengan pendekatan ini partisipasi para
peserta dalam pembinaan kecil saja. Partisipasi peserta terbatas pada
permintaan penjelasan atau penyampaian pertanyaan mengenai hal yang benar-
benar belum dimengerti. Sebagaimana halnya pembinaan HBMI, salah satu
metode yang digunakan para pengurus adalah metode ceramah dan
mempresentasikan materi-materi yang telah dikurikulumkan dan tentunya
menyesuaikan tahapan kemualafannya serta berkesinambungan dari pelajaran
yang satu dengan pembelajaran berikutnya.
b. Pendekatan Partisipatif (Partisipative Approach), pendekatan partisipatif,
berlandaskan kepercayaan bahwa para peserta sendiri merupakan sumber
pembinaan yang utama. Maka dalam pembinaan, pengetahuan, pengalaman
45
dan keahlian yang dimanfaatkan, lebih merupakan situasi belajar bersama,
dimana pembina dan para peserta belajar satu sama lain. Pendekatan ini banyak
melibatkan para peserta secara langsung, antara lain: pernyataan, pengumpulan
gagasan, audio visual, diskusi kelompok, kelompok berbincang-bincang, kuis,
studi kasus, peragaan peran, dan lain-lain. Pembina tidak sebagai guru, tetapi
koordinator dalam proses belajar, meskipun Pembina juga wajib memberikan
masukan, input sejauh dibutuhkan oleh tujuan program.12
Selain pendekatan informatif, pelaksanaan pembinaan di HBMI juga
menggunakan pendekatan partisipatif dimana pembinaan dilakukan dengan
pemaparan materi dengan alat bantu visual, diskusi, studi kasus, peragaan peran
dan lain-lain, dengan tujuan agar pemaparan materi yang disampaikan dapat lebih
dipahami dengan benar.
c. Pendekatan Pribadi (Personal Approach), metode ini dilakukan dengan
pendekatan kepada setiap pribadi mualaf. Dengan metode ini pengurus
melakukan dialog langsung secara pribadi dengan mualaf memberikan
penjelasan-penjelasan, memberikan pemecahan masalah-masalah mualaf baik
dalam segi material atau psikologi, seperti: 1). Pengalaman agama atau
menjalankan ibadahnya di lingkungan non-muslim. 2). Ketidakharmonisan
hubungannya dengan anggota keluarganya yang lain bahkan sampai dikucilkan
dan diputuskan hubungan dnegan keluarganya.13
3. Jadwal Kegiatan Rutinitas
a. Minggu pertama, pembelajaran Iqra meliputi baca dan tulis.
12
Mangunhardjana, Pembinaan, Arti dan Metodenya (Yogyakarta: Kanisius, 1991), h. 37. 13
Wawancara dengan, H. Syarif Tanudjaja, Ketua HBMI, Himpunan Bina Mualaf
Indonesia, Matraman, Jakarta Timur, 16 Oktober 2017.
46
b. Minggu kedua, pengajian rutinitas bulanan meliputi aqidah dan fiqih.
c. Minggu ketiga, pengajian dengan metode ceramah.
d. Minggu keempat, pelatihan keterampilan untuk para mualaf seperti
pembuatan kue, keterampilan merangkai dan lain-lain.
Adapun bentuk pelaksanaan kegiatan rutinitas pembinaan mualaf sebagai
berikut: Pelaksanaan kegiatan dari semua program, diantaranya: Pertama,
pembelajaran Iqra meliputi baca dan tulis yang dilaksanakan oleh anggota
pengurus yang mempunyai waktu luang. Kedua, pengajian rutinitas bulanan.
Ketiga, pengajian dengan metode ceramah. Keempat, Pelatihan keterampilan,
dilakukan oleh anggota, pengurus maupun jama’ah yang mempunyai keahlian,
keterampilan tertentu dan bekerjasama dengan Lembaga profesional terkait
sehingga mualaf diharapkan dapat mandiri di bidang ekonomi. Kelima, kegiatan
lain-lain. Kegiatan ini memberikan kesempatan kepada para mualaf untuk
membuat keterampilan yang nantinya akan dipasaran keada para mualaf lainnya
atau mengikutsertakan hasil keterampilan tersebut ke bazar-bazar yang ada,
guna meningkatkan ekonomi mualaf.
C. Faktor Bergabung di Himpunan Bina Mualaf Indonesia (HBMI)
Berbagai program pembinaan yang ditawarkan oleh Himpunan Bina
Mualaf Indonesia (HBMI) bertujuan agar pembinaan yang dilaksanakan bersifat
variatif demi menciptakan keakraban dan hubungan yang baik antar sesama.
Hakikatnya, seorang mualaf merupakan seseorang yang membutuhkan bujukan,
dorongan, motivasi serta kepercayaan diri mengenai hal-hal yang telah diputuskan
melalui ketekunan dan pengorbanannya, misalnya dikucilkan dan diusir dari
47
keluarganya, tidak diterima dan tidak diakui sebagai anggota keluarga, diputus
tunjangan dan biaya pendidikannya, diberhentikan dari pekerjaannya, diceraikan
oleh suami atau istrinya atau berpisah dengan anak-anaknya, disabotase atau
diputuskan jaringan bisnisnya dan lain sebagainya. Hal ini merupakan
konsekuensi yang harus diterima oleh seorang mualaf atas keputusan yang telah ia
pilih.
Berdasarkah hal-hal tersebut, mualaf sangatlah membutuhkan pembinaan,
bimbingan dan tuntunan serta pendampingan atas dirinya. Maka, peran pembina
di sini sangat diperlukan terutama perihal komunikasi baik verbal maupun
nonverbal. Komunikasi yang baik yang bersifat persuasif atau membujuk mualaf
yang baru pindah agama sangat diperlukan. Hal ini perlu diperhatikan agar mualaf
dapat tetap tegar, teguh dan konsisten dalam memilih agama Islam dan menjadi
mualaf yang mandiri, bertaqwa dan istiqomah dalam keagamaannya juga mandiri
dalam sosial ekonominya.
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang dilakukan penulis, dalam
proses melaksanakan kegiatan pembinaan, terdapat beberapa faktor yang
menyebabkan mualaf tertarik untuk bergabung di Himpunan Bina Mualaf
Indonesia (HBMI). Adapun faktor tersebut antara lain:
1. Pengurus
Dalam melaksanakan proses pembinaa, pengurus adalah salah satu faktor
pendukung dengan berperan aktif dalam melakukan pembinaan, diantaranya
menyiapkan silabus materi-materi untuk disampaikan ke mualaf, membantu
secara psikologis dengan konsultasi pribadi, mengadakan pengkajian,
48
mengadakan kegiatan-kegiatan positif dan membantu mualaf yang tidak mampu
dengan tujuan mengoptimalkan pembinaan.
2. Materi
Pada pembinaan mualaf, materi merupakan hal terpenting untuk diketahui
oleh para mualaf baik yang belum masuk Islam atau sudah bersyahadat. Untuk itu
pengurus memilih dan menentukan materi-materi, serta tahapan-tahapan
penyampaian materi sehingga terbentuklah silabus. Karena dengan memberikan
materi yang matang dan penguasaan materi dalam menyampaikan tersebut dapat
mempengaruhi mualaf dari berbagai faktor, baik melalui pikiran, sudut pandang
bahkan psikologis.
3. Media
Media merupakan salah satu faktor pendukung komunikasi, untuk itu
pengurus juga melakukan pembinaan dengan salah satu alat bantu yaitu email
majalah internet dll. Menurut hasil observasi, para pengurus menyampaikan
materi-materi sesuai dengan silabus dalam bentuk power point, dimana pengurus
melakukan presentasi dan pengkajian secara langsung. Adapun setelahnya
berlangsung tanya jawab di setiap point yang sudah ditentukan.
4. Umpan Balik
Umpan balik antara mualaf dengan pengurus menjadi kunci dalam
kesuksesan komunikasi antara kedua belah pihak. Menurut hasil wawancara,
beberapa mualaf telah melakukan beberapa perubahan sikap yang awalnya tidak
mengikuti pembinaan secara rutin, namun saat ini menjadi rutin. Tidak hanya itu,
mualaf juga telah melakukan salah satu kewajiban selayaknya muslim yaitu
49
melaksanakan sholat lima waktu setiap harinya, melakukan konsultasi pribadi jika
terdapat beberapa masalah yang belum diselesaikan dan merasa mendapatkan
pembinaan dengan sedikit waktu, dan aktif mengikuti setiap kegiatan di luar
pembinaan lainnya yang diadakan pengurus HBMI.
HBMI merupakan organisasi yang benar-benar serius dalam menangani
tren mualaf yang terus meningkat.14
Institusi ini tak hanya melakukan perekrutan
terhadap para non-Muslim namun lebih dari itu, organisasi ini sangat
memperjuangkan dan mengupayakan pembinaan yang optimal terhadap mualaf
yang mereka bina. Mereka (para pembina) mencoba memberikan prioritas utama
bagi para mualaf dengan mengedepankan aspek spiritual dan sosial dalam wadah
pembinaan yang kompatibel agar terbentuk keselarasan di semua lini kehidupan.
Berdasarkan hasil data wawancara dapat diketahui bahwa para maulaf
cenderung mengambil keputusan untuk masuk Islam dan bergabung dengan
HBMI berawal dari beberapa kegelisahan dan kekaguman terhadap fenomena
yang terjadi di alam dan lingkungan sekitarnya. Dimana hal tersebut seiring
dengan berjalannya waktu sehingga menuntut mereka untuk melakukan tindakan
konversi Agama atau berpindah Agama. Pengalaman seorang mualaf menuturkan
bahwa proses konversi yang mereka lakukan sebelumnya mendapatkan penolakan
dan cemohan dari pihak keluarga dan kerabat karena dalam kehidupan obyek
sebelumnya memiliki latar belakang sebagai keluarga terkemuka (pemimpin atau
14
Sejak 2003 MCI mencatat ada 58.500-an. Rata-rata untuk demo grafi paling banyak di
usia 30 ke atas hingga 40. Untuk Status Ekonomi Sosial (SES)-nya di kategori B-C di mana
pengeluaran rumah tangganya antara 2-4 juta perbulan. Ini masuk kategori average atau ra ta-rata.
Untuk tingkat pendidikannya di antara lulus D3 sampai S1. Untuk suku paling banyak masih
dominan dari Jawa, sementara untuk etnis dominasi Tionghoa. Etnis Tionghoa ini sekitar 27
persen. Angka mualaf setahun terakhir mengalami peningkatan sekitar 18 persen dari tahun
sebelumnya. Dari 2.800 menjadi 3.500 dalam satu tahun. Lihat
https://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/pmm42z313/tren-hijrah-pengaruhi-
jumlah-mualaf-di-indonesia diakses pada 23 Juli 2019
50
imam dalam keyakinan sebelumnya). Oleh karena itu proses konversi yang
mereka lakukan tidak begitu mulus dan lancar karena adanya intervensi-intervensi
dari keluarga dan kerabat-kerabat yang memiliki keyakinan sama dengan
keyakinan obyek terdahulu. Tetapi dengan berjalannya waktu proses konversi
yang obyek lakukan perlahan-lahan dapat diterima oleh pihak keluarga meski
dalam keluarga belum ada yang melakukan konversi agama seperti keyakinan
objek sekarang.15
Kesulitan yang harus dihadapi oleh obyek pasca konversi adalah harus
menjalani kehidupan sendiri dengan meninggalkan keluarga harus berusaha
mencari penghasilan sendiri dan tempat tinggal sendiri dan harus berinteraksi
dengan masyarakat yang baru dan hal-hal yang baru dari kebiasaan sebelumnya.
Dan keterangan yang di ambil dari subyek pendukung adalah obyek memiliki
kekuatan spirit untuk berubah kepada ke keyakinan yang baru obyekpun sangat
mudah menangkap dan mempelajari dari apa yang telah diajarkan dan
disampaikan, karena sebelum mereka melakukan konversi mereka telah lebih dulu
belajar mengenai hal-hal yang berkaitan dengan keyakinan yang sekarang mereka
pilih.16
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konversi agama yang
dilakukan seseorang dengan kesadaran diri dan tanpa ada paksaan dari faktor
eksternal selain berdampak positif terhadap diri mualaf yang dapat memudahkan
dia lebih mudah untuk memahami agama secara mendalam dan dapat memberikan
inspirasi terhadap orang lain dan juga dengan semakin dalamnya pemahaman
15
Wawancara dengan Steven (Mualaf), 20 Januari 2019. 16
Wawancara dengan, H. Syarif Tanudjaja, Ketua HBMI, Himpunan Bina Mualaf
Indonesia, Matraman, Jakarta Timur, 16 Oktober 2017.
51
agama hal tersebut dapat diaplikasikan, konversi agama juga dapat menyebabkan
tekanan-tekanan batin yang dapat mengganggu kondisi psikologis mualaf.
Proses pendampingan dalam membina mualaf adalah dengan metode
kelompok dan perorangan. Dengan tahap pendampingan mengenai pemberian
penguatan agama, aqidah, keyakinan, keislaman, kewanitaan, dan sebagainya. Hal
tersebut dilakukan dengan metode kelompok atau bersama-sama. Sedangkan
untuk proses pendampingan ibadah seperti berwudhu, sholat, puasa, mengaji, dan
lain-lain dan hal-hal yang sifatnya pribadi dilakukan dengan metode perorangan
yang didampingi oleh masing-masing satu pendamping. Tahap akhir dari
pendampingan para mualaf dengan memberikan hak-hak sebagai hak para mualaf
dan pendampingan keberlangsungan hidup dan hukum sebagai bentuk rasa aman
atas hak-hak hidup para mualaf.
Sebagai bentuk tawaran dalam pemberian pendampingan untuk para
mualaf, jika ditinjau kembali dari aspek psikologis dan faktor yang menjadikan
seseorang melakukan tindakan konversi, karena beberapa hal tersebut pula yang
membuat seseorang yang melakukan konversi memiliki tekanan batin yang
mengimbas kepada terjadinya gangguan pada psikologis seseorang mualaf. Oleh
karena bentuk psikologis seorang mualaf sebagai faktor yang sangat penting yang
harus ditangani maka dalam hal ini perlu pemberian penguatan dalam bentuk
pendampingan dan pembinaan dengan metode conseling dan coaching. Metode
conseling merupakan pendekatan dengan membantu memberikan solusi dan
mengubah sikap dengan mengarahkan seorang mualaf kepada pemahaman atas
sikap dari mualaf itu sendiri. Sedangkan metode coaching merupakan pendekatan
dengan membantu memberikan solusi pemecahan masalah dengan melatih
52
keterampilan dengan memberikan tugas baru kepada seoarang mualaf dengan
mengajarkan dan menunjukan apa yang harus dilakukan.17
D. Pemberdayaan Para Mualaf di Himpunan Bina Mualaf Indonesia (HBMI)
Konsep pemberdayaan masyarakat mencakup pembangunan masyarakat
(community development) dan pembangunan yang bertumpu pada masyarakat
(community-based development). Dalam memahami hal tersebut terlebih dahulu
memahami mengenai keberdayaan dan pemberdayaan masyarakat. Keberdayaan
masyarakat merupakan unsur-unsur yang dapat digunakan masyarakat untuk
bertahan, dan dalam arti dinamis dapat mengembangkan diri untuk mencapai
kemajuan. Sedangkan, memberdayakan masyarakat adalah upaya unutk
meningkatkan kehidupan masyarakat dari perangkap kemiskinan dan
keterbelangkangan menuju masyarakat yang maju.18
Menurut Tjiptoherianto,19
seseorang dapat dikatakan terberdaya jika telah
memenuhi indikator-indikator pemberdayaan sebagai berikut:
a. Keimanan yaitu naiknya ketakwaan seorang terhadap Allah SWT yang
tercermin dari keaktifannya beribadah serta menjalankan kegiatan-kegiatan
dakwah Islam.
b. Kemampuan membeli, yaitu kemampuan individu untuk membeli barang-
barang kebutuhan keluarga sehari-hari serta kebutuhan dirinya seperti makan
dan minum serta pendidikan.
17
Wawancara dengan, H. Syarif Tanudjaja, Ketua HBMI, Himpunan Bina Mualaf
Indonesia, Matraman, Jakarta Timur, 16 Oktober 2017. 18
Mardikanto, Totok dan Poerwoko Soebiato, Pemberdayaan Masyarakat Dalam
Perspektif Kebijakan Publik: Edisi Revisi (Bandung: Alfabeta, 2015), h. 40. 19
Tjiptoherianto, Islam dan Kemiskinan (Bandung: Penerbit Pustaka, 1988), h. 10.
53
c. Kemampuan membeli barang kebutuhan tambahan, yaitu kemampuan individu
untuk memberli barang-barang sekunder atau tersier, seperti lemari pakaian,
TV, radio, Koran, majalah, pakaian, dan kendaraan bermotor.
d. Jaminan ekonomi dan kontribusi terhadap keluarga, yaitu seperti memiiki
rumah, tanah, aset produktif, tabungan karena aspek-aspek tersebut merupakan
hal yang dibutuhakan keluarga. Seseorang dianggap terberdaya jika ia memiliki
atau dapat memenuhi aspek-aspek tersebut secara sendiri atau terpisah dari
pasangannya.
e. Hubungan bermasyarakat, yaitu keaktifan seseorang dengan menjalin atau
mengikuti kegiatan bermasyarakat di lingkungan sekitar atau terlibat kegiatan
dalam perannya sebagai warga negara.
Mualaf memiliki kekhasan antara lain dalam segi pengetahuan dan
pemahaman keagamaannya yang masih terbatas. Tingkat pendidikan dan sosial
ekonomi mereka tidak sama, ada masyarakat awam dan juga intelektual, ada yang
tergolong miskin dan ada juga pengusaha sukses bahkan ada yang menjadi pejabat
tinggi negara, oleh karena itu pendidikan dakwah juga harus bervariasi. Pola
pembinaan dan pemberdayaan yang harus dikembangkan adalah pola pembinaan
dan pemberdayaan secara terus menerus dan terpadu.
Mualaf perlu mendapatkan perhatian, terutama dalam penguatan keimanan
dan pemberdayaan ekonomi. Kedua hal ini sangat perlu dilakukan terhadap
mualaf karena selain dapat membekali mereka dalam urusan agama, mereka pun
dapat belajar dalam memberdayakan keahlian yang mereka miliki sehingga
mereka menjadi pribadi yang mandiri dan berdaya saing secara ekonomi.
54
Pendampingan mualaf perlu dilakukan untuk memperkokoh iman para
mualaf. Di samping mereka ingin memperdalam ajaran Islam, para mualaf juga
berhak untuk mendapatkan pendampingan sebagai bentuk pemberdayaan untuk
meningkatkan taraf hidup mereka terutama dalam bidang ekonomi. Karena
berdasarkan Analisa di lapangan, banyak mualaf yang kemudian lemah dalam
ekonomi. Hal itu yang kemudian dapat membuat mereka rentan terhadap akidah
mereka sehingga dapat menggiring mereka kepada kekufuran.
HBMI hadir dengan berbagai program pembinaan yang dilaksanakannya,
bermaksud ingin menggabungkan antara program penguatan keimanan dan ibadah
dengan ekonomi. Terdapat dua hal yang ditempuh HBMI dalam melaksanakan
pemberdayaan para mualaf, antara lain:
1. Pembinaan Sumber Daya Manusia, meliputi:
a. Membangun sistem pembinaan dan pelatihan yang sistematis terhadap
sumber daya manusia yang bergerak di kelola Usaha Mandiri.
b. Memberikan akses informasi seluas-luasnya terhadap pola peningkatan
produktivitas kelola usaha mandiri.
c. Membangun kerjasama yang bersifat kemitraan dengan Lembaga yang
mempunyai perhatian khusus terhadap peningkatan kelola usaha mandiri
yang berbasis kemandirian.
d. Menciptakan lapangan kerja baru dengan memanfaatkan sumber-sumber
produksi.
e. Kemitraan berbasis dakwah yaitu jalinan kemitraan harus didasarkan pada
prinsip sinergi, yaitu saling membutuhkan dan saling membantu. Pola
kemitraan yang tidak saling membutuhkan tidak akan bertahan lama. Pola
55
kemitraan harus kami sesuaikan dengan potensi dan karakteristik
lingkungan sekitar, yaitu pola kemitraan berbasis dakwah sehingga selain
membantu peningkatan kesejahteraan masyarakat juga mampu
meningkatkan kualitas pengetahuan keIslaman para mualaf.
Selain itu juga, yang termasuk dalam program pemberdayaan ekonomi
mualaf di HBMI adalah dilaksanakannya praktik kreatifitas serta kerajinan. Hal
ini dilakukan untuk membekali keterampilan para mualaf, melatih mereka sesuai
minat dan bakat mereka sehingga potensi yang mereka miliki dapat tersalurkan
sehingga para mualaf dapat mengaktualisasikan dirinya dan mendayagunakan
potensi yang dimiliki untuk kemudian tersalurkan dalam sebuah produksi
ekonomi kreatif.
Berdasarkan paparan di atas, tujuan program pemberdayaan mualaf di
HBMI ada untuk memperkuat akidah mualaf agar tidak keluar dari agama Islam.
Selain itu program tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan mualaf
secara ekonomi. Sehingga semakin kuat akidah mualaf dan semakin sejahtera
maka dakwah untuk masyarakat yang belum menjadi mualaf akan semakin
meluas.
Pemberdayaan mualaf di HBMI memerlukan sinergitas dan sinkronisasi
antar stakeholder yang memiliki kepentingan dalam lembaga tersebut. Sinergitas
dan sinkronisasi dari masing-masing stakeholder memiliki fungsi dan peran
penting dalam pemberdayaan mualaf. Selain itu, adanya sinergisitas antar
stakeholder untuk mewujudkan dinamisasi pemberdayaan mualaf yang ideal
untuk saling melengkapi agar program pemberdayaan mualaf dapat berjalan
dengan lancar.
56
E. Peran Himpunan Bina Mualaf Indonesia (HBMI) terhadap Para Mualaf
Dunia mualaf adalah dunia mengenai fenomena psikologis dengan
bermacam-macam gejolak batin yang ada pada diri seseorang yang karena
disebabkan dalam diri seorang mualaf muncul berbagai konflik baik yang
berhubungan dengan keluarga, masyarakat atau keyakinan yang pernah dianutnya.
Jika kita memandang kepada pokok persoalan yang mendasar dari
mengapa seseorang melakukan konversi agama, karena persoalan yang terjadi
dalam hidup seseorang tersebut mengalami banyak kesusahan, dengan tingkat
kejadian ada yang cepat dan ada yang berproses atau berangsur-angsur.20
Banyak persoalan-persoalan yang terjadi yang menimbulkan seseorang
melakukan konversi agama, seperti ketertarikan kepada lawan jenis dan berlanjut
kepada pernikahan dengan berbeda agama yang menjadikan seseorang dapat
berpindah agama. Bujukan dari luar diri yang kadang membawa seseorang
tersugesti kepada tindakan konversi agama, dengan bujukan dan iming-iming
seseorang yang memiliki kepribadian yang lemah akan mudah terbawa. Meski
awal mula dengan perasaan biasa saja terhadap kepercayaan baru akan tetapi jika
seseorang yang melakukan konversi tersebut merasakan kesenangan, ketentraman
batin dalam keyakinan baru, maka lama-kelamaan akan masuk keyakinan baru itu
kedalam kepribadiannya. Dan orang yang mengalami kegelisahan, kegoncangan
batin, karena keadaan ekonomi, sosial, rumah tangga dalam keadaan tidak baik
20
Zakiah Dradjat,Ilmu Djiwa Agama,(Jakarta: PT Bulan Bintang, 2005), h.781.
57
akan mudah tergoncang dan sangat mudah menerima ajakan atau sugesti dari luar
dirinya.21
Karena kemauan diri sendiri juga memainkan peran yang sangat penting
dalam konversi agama. Dengan pengalaman masa lalu dari perjalanan hidup,
pembelajaran hidup, kejadian semasa hidupnya, dan serta bentuk perilaku yang di
lakukan sebelunya yang kurang baik, kadang membuat orang untuk intropeksi diri
dan melakukan perubahan dalam dirinya secara keseluruhan dan boleh jadi
dengan hal tersebut seseorang melakukan tindakan konversi agama.
Tujuan awal didirikannya HBMI adalah untuk dijadikan asosiasi
konsultasi dan pembinaan para mualaf serta perkumpulan lembaga-lembaga
pembinaan mulaf yang ada di Indonesia. Lembaga ini menangani proses
pengIslaman serta bertanggung jawab dalam hal pembinaan keagamaan. Bentuk
pembinaan mualaf yang disampaikan tidak hanya mengenai aspek Islam dalam
keilmuan namun pengurus juga ikut berperan aktif dalam perkembangan
psikologis yang dialami oleh para mulaf sejak awal masuk Islam sampai dengan
menghadapi masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari, seperti konflik
keluarga, profesi, dan perekonomian. Hal ini dilakukan secara terbuka antara
mualaf dengan pengurus karena sistem kekeluargaan yang selalu dibangun baik
secara moral maupun material dengan tujuan meneguhkan keyakinan mualaf
tersebut.
Sebagai lembaga yang berperan dalam melaksanakan pembinaan mualaf,
HBMI tentunya sudah mencanangkan arah pembinaan yang dilaksanakan, adapun
arah pembinaan mualaf di HBMI diarahkan kepada:
21
Zakiah Dradjat,Ilmu Djiwa Agama., h. 187.
58
1. Pembinaan Mental dan Budaya
Seseorang yang beralih dari agama dan kepercayaan tertentu menjadi
pemeluk Agama Islam mengalami perubahan mental, budaya dan sosial.
Keyakinan akan Allah SWT, Rasul, Kitab, Hari Akhirat, Qadla dan Qadar serta
aspek-aspek lainnya dalam agama Islam membentuk jiwa dan kepribadian yang
berbeda dengan pemahaman dan keyakinan sebelumnya yang terefleksikan dalam
kepribadian dan tingkah lakunya sehari-hari. Demikian pula seseorang yang
beralih agama mengalami perubahan budaya dan sosial. Budaya yang selama ini
menjadi bagian dari hidupnya mengalami perubahan-perubahan dan penyesuaian-
penyesuaian dengan agama Islam. Hal ini akan memperngaruhi pandangan,
apresiasi mereka dengan budaya tersebut. Haruslah dihindari culture shock
(kekagetan budaya). Demikian juga pengaruhnya pada aspek-aspek sosial lainnya.
Mualaf yang mengalami proses demikian harus dibina dan diarahkan secara
bertahap. Didampingi untuk melewati proses tersebut.
2. Pembinaan Lingkungan
Dalam upaya pengembangan keimanan mereka harus dijalankan secara
bertahap, sesuai situasi dan kondisi mereka, sesuai tahapan atau periodisasi
menjadi mualafnya, tidak dapat sekaligus sebab mereka yang baru masih perlu
dibawa kepada suatu keyakinan bahwa agama pilihannya bukan karena pengaruh
lain atau perkawinan atau paksaan. Usaha ke arah pembinaan itu dapat dengan
membawa mereka misalnya kepada majelis-majelis taklim, khususnya majelis
taklim bersifat khalaqah (dialog dan diskusi), sering mengadakan silaturahim dan
mendengarkan ceramah-ceramah umum.
59
Peran lingkungan sangat berpengaruh bagi mereka pada ketahanan dan
kemantapan keimanan mereka dalam agama Islam. Lingkungan majelis taklim
yang diselenggarakan majlis dan dihadiri oleh mualaf akan memberikan semangat
kepada mereka karena dari taklim tersebut mereka dapat pengalaman-pengalaman,
solusi dalam memantapkan keimanan mereka. Pembinaan lingkungan ini menjadi
tanggung jawab masyarakat umat Islam bersama organisasi Pembina mualaf.
3. Pembinaan Agama
Pembinaan agama kepada mereka meliputi pembelajaran bimbingan
keagamaan. Pembinaan agama pada tahapan sebelum syahadat (prolog syahadat).
Pengenalan dasar keyakinan Islam (Iman-Akidah-Ushuluddin). Ada pun hal yang
utama dalam pengenalan tentang Allah (awaluddin marifatullah) Islam tidak
sebatas agama tetapi diinul Islam (aturan/sistem kehidupan). Islam agama fitrah
untuk manusia yang fitrah, Islam agama tauhid “lailaha ilallah (Qs. 4: 36), Islam
agama yang mengesakan af’al, asma, sifat dan dzat Allah, memasuki agama Islam
secara kaffah (Qs.2 :208). Hanya diinul Islam yang diridhoi Allah SWT. (Qs.3
:19, 85). Islam adalah rahmatan alamin (rahmat bagi sekalian alam). Islam
memerintahkan berlaku adil sekalipun terhadap musuh (Qs.5:8). Islam menyuruh
berbuat baik terhadap sesama (Qs.4:36). Pengenalan dasar hukum Islam (Islam-
Syar’i-Syariah/Fiqih). Sumber Hukum Islam. Hukum Islam (wajib, sunnah,
haram, subhat dan mubah). Hukum Ibadah/Islam, sholat, puasa, zakat dan haji).
Pengenalan dasar adab Islam (Ikhsan-Akhlak), akhlak mulia sebagai
aplikasi/perwujudan Islam yang menyeluruh pembersihan hati. Pembelajaran pada
tahapan saat syahadat. Pemantapan akidah, syariah dan akhlak. Praktek solat
dengan belajar syarat, rukun dan sahnya sholat. Praktek dasar solat, puasa.
60
Pembelajaran pada tahapan sesudah syahadat (epilog syahadat). Pengamalan
akhlak mulia atau bersikap ikhsan. Ketiga ajaran pokok Islam (dalam sistem
pembelajaran), akidah, sayariah dan akhlak dalam pengamalannya tidak
terpisahkan satu sama lain merupakan satu kesatuan yang utuh.
4. Pembinaan Ekonomi
Selain dengan tiga pembinaan tersebut di atas, juga perlu dilakukan
pembinaan sosial ekonominya yaitu berupa kursus-kursus ketrampilan di bidang
teknik dan non teknik yang diikut sertakan dalam usaha yang ada. Kesemuanya itu
harus di bawah koordinasi lembaga, Pembina Mualaf (HBMI), tidak boleh dan
atau tidak dapat dilakukan oleh masing-masing mualaf sendiri.
Peran aksi bina mualaf menuju mualaf mandiri dan bertaqwa harus
dilakukan secara bersinergi oleh semua pihak umat Islam yang peduli dan punya
keterkaitan dengan pembinaan mualaf yakni ormas Pembina mualaf (HBMI),
Kementerian Agama, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Dewan Masjid Indonesia
(DMI) dan Badan Zakat Nasional (Baznas)/Badan Zakat Infaq dan Shadaqoh
(Bazis).
Tempat dan lokasi pelaksanaan program aksi bina mualaf menuju mualaf
mandiri dan bertaqwa terpadu tersebut akan disebut sebagai Baitul Mualaf
Mandiri dan/atau Rumah Singgah Mualaf Mandiri. Dipergunakan kata “Singgah”
karena program pembinaan mualaf ini hanya bersifat pembinaan “sementara” atau
dengan perkataan lain HBMI hanya mengantar seseorang dari status “mualaf”
menjadi seorang muslim yang mandiri dan Muslim kaffah (bertakwa).
61
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Konversi agama (religious conversion) adalah sebuah fenomena peralihan
keyakinan seseorang dari suatu sistem kepercayaan terhadap sistem kepercayaan
yang lain. Fenomena ini terjadi tentu memiliki latar belakang faktor. Untuk
mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakanginya, kita mesti mengetahui
terlebih dahulu perspektif yang digunakan untuk membedahnya. Secara umum,
terdapat tiga perspektif utama yang dapat kita gunakan. Pertama, perspektif
teologis, kedua sosiologis, dan ketiga psikologis.
Perspektif pertama menganggap bahwa peralihan keyakinan atau
fenomena konversi agama itu disebabkan oleh petunjuk ilahiyah. Perspektif ini
menerapkan standar ganda. Mereka yang masuk ke dalam agama tersebut akan
disebut mendapat petunjuk itu, sementara mereka yang keluar dari agama tersebut
dan masuk agama lain disebut sebagai orang tersesat. Standar ini digunakan oleh
hampir semua agama. Islam menganggap orang yang baru masuk Islam (mualaf)
sebagai orang yang telah mendapatkan petunjuk dari Allah. Sedangkan orang
Islam yang masuk Kristen disebut sebagai orang yang telah tersesat. Demikian
juga dengan Kristen dan agama-agama lain.
Berbeda dengan persepktif teologis, persepktif sosiologis lebih
menekankan pada aspek rasionalitas dan hasil temuan riset lapangan. Perspektif
62
ini lebih obyektif. Sebab konversi agama dalam persepktif ini merupakan
fenomena yang disebabkan oleh pertama determinasi struktur sosial dan kedua
kehendak bebas individu sebagai agen.
Adapun dalam persepktif ketiga, yakni persepktif psikologis, konversi
agama dianggap sebagai fenomena kejiwaan yang di mana seseorang yang pindah
agama sebenarnya telah mengalami distabilitas jiwa. Faktornya beragam. Di
antaranya adalah kemiskinan, pendidikan, lingkungan, dll.
Adapun motivasinya terbagi ke dalam beberapa hal, fenomena konversi
agama di Indonesia merupakan fenomena yang menarik. Tulisan ini mengupas
fenomena mualaf, yakni non-muslim yang pindah agama menjadi muslim. Dalam
hal ini, penulis melakukan riset terhadap satu wadah para mualaf yang dikenal
dengan nama Himpunan Bina Mualaf Indonesia (HBMI).
Himpunan ini berdiri sejak tahun 2013, 14 tahun setelah keruntuhan
Rezim Soeharto. HBMI ini berdasarkan hasil penelitian penulis dalam membina
para maulaf menerapkan beberapa langkah. Di antaranya adalah pembinaan
agama dan kreativitas. Dalam hal pembinaan agama, HBMI bertanggung jawab
menerapkan dua model. Pertama pembinaan pemahaman dan kedua praktis
menyangkut praktik-praktik ibadah dalam Islam. Adapun dalam pembinaan
ekonomi, HBMI mengajak para mualaf untuk meningkatkan kreatifitas mereka.
Mereka betul-betul diberdayakan secaraa ekonomi dengan dibantu untuk
mengasah kemampuan-kemampuan kreativitas mereka.
Selain model pembinaan yang HBMI terapkan kepada para mualaf. HBMI
mempunyai peran penting dalam upaya memperkokoh keimanan para mualaf.
63
Diantarnya; pertama, pembinaan mental dan budaya. Kedua, pembinaan
lingkungan. Ketiga, pembinaan agama. Keemapat, pembinaan ekonomi.
Dalam upaya pembinaan para mualaf yang menjadi hambatan bagi HBMI
diantaranya, pertama. Dalam meningkatkan keimanan para mualaf HBMI
menbutuhkan proses yang cukup lama sebab sebagian dari para mualaf benar-
benar buta terhadap pemahaman Islam atau belajar Islam dari nol. Kedua,
permasalahan ekomoni terkadang menajdi faktor utama bagi mualaf. Sehingga
ada mualaf kembali pada agama yang semula demi ekomoni yang lebih baik atau
mereka masuk Islam demi mendapat pekerjaan yang lebih baik. Ketiga. Dana dari
pemerintah yang kurang maksimal terutama Bimas Islam.
Tantangan utama dalam pembinaan mualaf diantaraya; pertama, harus
sabar dan selalu memberikan support agar para mualaf tetap istiqamah dalam
memeluk agama Islam. Kedua, mencoba memahami dan menggali beberapa minat
dan bakat para mualaf terutama untuk pmebrdayaan ekomoni, karena tekadang
permasalahan ekonomi menjadi alasan utama untuk pindah lagi pada agama yang
sebelumnya.
B. Saran-saran
Menyikapi beberapa temuan di atas, penulis hendak mengusulkan
beberapa saran. Pertama, saran untuk kalangan akademisi dan kedua saran untuk
kalangan aktivis. Saran untuk para akademisi adalah penelitian tentang fenomena
konversi agama terutama dan terkhusus kasus mualaf sangat penting dilakukan.
Sebab, agama merupakan elemen penting di dalam suatu masyarakat. Bahkan
64
belakangan ini, kita sering mendengar terjadinya kekerasan yang selalu
mengatasnamakan agama. Mungkin pertanyaan penting yang dapat diangkat pada
penelitian berikutnya adalah bagaimana respon para pemuka agama non-Islam
terhadap fenomena mualaf yang terus berkembang di Indonesia.
Adapun saran untuk kalangan aktivis adalah fenomena konversi agama
adalah wujud dari penerapan kebebasan sipil untuk menganut agama apapun.
Fenomena ini tentu akan subur dan sangat didukung oleh system demokrasi.
Namun mungkin pertanyaan yang perlu kita pikirkan bersama adalah apakah
fenomena konversi agama juga berlaku secara bebas di luar agama Islam? Tugas
para aktivis adalah mengawal kebebasan itu berlangsung. Pastikan bukan hanya
non-Muslim yang bebas untuk masuk Islam. Orang Islam yang ingin masuk
agama lain juga harus diberikan kebebasan sebagaimana kebebasan orang non-
Muslim yang ingin menjadi mualaf.
65
DAFRTAR PUSTAKA
Buku
al-Qur’an dan Terjemahan, Deperteman Agama RI.
Arifin, Bambang Syamsul. Psikologi Agam, Bandung: CV Pustaka Setia, 2008.
Daradjat, Zakiah, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang 2010.
Hendropuspito, Sosiologi Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1983.
Herry B, Priyono, Anthony Giddens: Sebuah Pengantar. Jakarta: KPG. 2008.
Hidayat, Komaruddin, Agama Punya Seribu Nyawa, Jakarta: Noura Book, 2012.
Ilahi, H. Kurnia, dkk, Konversi Agama, Malang: Intelegensia Media, 2017.
Irawan, Prasetya, logika dan Posedur Penelitian Jakarta: STIA Lembaga
Administrasi Negara, 1999.
Jalaluddin dan Ramayulis, Pengantar Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: PT. Grafindo
Persada, 2002.
Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005.
James, William, The Varieties of Religious Experience, New York: Tp, 1958.
Kh, U. Maman dkk, Metodologi Penelitian Agama Teori Dan Praktik, Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada, 2012.
Mangunhardjana, Pembinaan, Arti dan Metodenya, Yogyakarta: Kanisius, 1991.
Mardikanto dkk, Pemberdayaan Masyarakat Dalam Perspektif Kebijakan Publik:
Edisi Revisi, Bandung: Alfabeta, 2015.
Roharjo, Pengantar llmu Jlwa Agama, Jakarta: PT Pustaka Rizki Putra, 2008.
66
Roudhonah, Ilmu Komunkasi, Jakarta: Atama Kencana Publishing, 2013.
Stevenson, Angus, Oxford Dictionary of English, Ed3, Kamus Oxford: Oxford
University Press, 2010.
Tjiptoherianto, Islam dan Kemiskinan, Bandung: Penerbit Pustaka, 1988.
Jurnal
Abdullah, Nur A’Thiroh Masyaa’il TAN Binti “Keperluan Memahami Psikologi
Sodara Muslim”, jurnal hadhari bil. 2 (2009).h .87-88.
Fauzan , M. Abbas, “Pendekatan Studi Islam Ditinjau secara Psikologis”, (Artikel
journal), h. 150-169.
Heirich, Max, “Change of Heart”, American Journal of Sociology, Vol 83, No 3,
(Tahun 1977), h. 640-659.
Khoiruddin, M. Arif. “Pendekatan psikologi dalam studi islam” journal An-Nafs,
Vol. 2. No. 1( juni 2017), h. 1-17.
Sakiman, “Konversi Agama: Studi Kasus Pada Keluarga di Dusun Pasaken
Magowoharjo, Depok, Sleman”, aplikasia, jurnal aplikasi ilmu-ilmu agama,
6 No. 1 (Juni 2005): h, 67-82.
Media online
https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/17/02/03/okskqq313-
geliat-dakwah-untuk-mualaf.
https://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/pmm42z313/tren-hijrah-
pengaruhi-jumlah-mualaf-di-indonesia.
67
Wawancara dan Dokumen
Dokumen Pribadi HBMI, Jakarta Timur, 16 Oktober 2017.
Wawancara dengan Steven (Mualaf), 20 Januari 2019.
wawancara, H. Syarif Tanudjaja, Ketua HBMI, Himpunan Bina Mualaf
Indonesia, Matraman, Jakarta Timur, 16 Oktober2017.
Wawancara, H. Syarif Tanudjaja, Ketua HBMI, Himpunan Bina Mualaf
Indonesia, Matraman, Jakarta Timur, 16 Oktober 2017.
Wawancara, H. Syarif Tanudjaja, Ketua HBMI, Himpunan Bina Mualaf
Indonesia, Matraman, Jakarta Timur, 16 Oktober 2017
68
Lampiran 1
Struktur Kepengurusan Himpunan Bina Muallaf Indonesia (HBMI)
Adapun struktur pengurus daerah Himpunan Bina Muallaf Indonesia wilayah Jakarta
Timur sebagai berikut:
Bismillahirrahmanirrahiim
Surat keputusan pengurus pusat
Himpunan Bina Muallaf Indonesia
Nomor: 001/SK/HBMI/JAYA/IX/13
Tentang
Susunan pengurus daerah
Himpunan Bina Muallaf Indonesia Kota Jakarta Timur
Periode masa bakti 2013-2018
Atas rahmat Allah Yang Maha Esa, pengurus HBMI wilayah Jakarta
Timur:
Menimbang:
1. Bahwa HBMI merupakan organisasi kemasyarakatan dakwah islamiyah bersifat
independen dan bertugas melaksanakan pembinaan, bimbingan, penyuluhan dan
penerangan kepada para muallaf di Indonesia, dan
2. Bahwa berkenaan dengan fungsi dan peran HBMI seperti di atas. Maka, perlu dibentuk
kepengurusan daerah dalam rangka memperluas jaringan dan mengembangkan program
pembinaan bagi para muallaf secara terpadu.
Mengingat:
1. Anggaran dasar HBMI pasal 14 tentang susunan organisasi yang terdiri atas pengurus
pusat, pengurus wilayah dan pengurus daerah.
69
2. Anggaran dasar HBMI pasal 15 tentang kepengurusan yang terdiri atas kepengurusan
tingkat pusat, tingkat wilayah dan tingkat daerah.
3. Anggaran dasar HBMI pasal 23 tentang pengurus daerah.
4. Keputusan pengurus HBMI No. 002/SK/PP-HBMI/X/2011 tentang organisasi dan tata
kerja.
Memperhatikan:
1. Rapat mandataris/tim/formatur pembentukan pengurus daerah HBMI kota Jakarta Timur
pada tanggal 11-12 September 2013 di Jakarta.
2. Surat usulan susunan pengurus daerah HBMI kota Jakarta Timur tertanggal 13 september
2013 yang ditandatangani oleh mandataris/tim/formatur.6
Berikut susunan kepengurusan HBMI wilayah Jakarta Timur terlampir:
Susunan pengurus
Himpunan Bina Muallaf Indonesia (HBMI)
Kota administrasi Jakarta Timur
Periode 2013-2018
1. Penasihat : Drs. Jamhuri
2. Pengawas : H. Afrizal Alamsyah
H. Thoni
H. Kasnarto H. D.
3. Ketua Umum : HM. Syarief Tanudjaja
4. Ketua : Drs. Iman Wahyudi
5. Wakil ketua I : Muhammad
6. Sekretaris I : Siti Syamsiyah
7. Sekretaris II : Handy
70
8. Bendahara I : Romalidah
9. Bendahara II : Elly Phang S.E.
10. Humas : Hj. Lili Judiarti
Siti Sopiah
11. Bidang Dakwah : H. Pepen Effendi
12. Bidang Diklat : Rosdianti, BA.
Siti Soenarmi Suryo Putri
Serly Lilyrahmawati
Ustadzah Muslihah1
1 Dokumen Pribadi HBMI, Jakarta Timur, 16 Oktober 2017.
71
Lampiran 2
Laporan Hasil Wawancara dengan Pembina HBMI
Nama : H. M. Syaref Tanudjaja,. SH
Alamat : Jl. Tegalan III No. 15, Tegalan, Matraman
Jakarta Timur
Usia : 63 Thn
Status : Menikah
Agama Sebelumnya : Tionghoa
Pendidikan : S1
Struktur Pengurus HBMI
Waktu Wawancara : 10.00-12.00 WIB
Tanggal wawancara : 16 Oktober 2017
Tempat : Jl. Tegalan III No. 15, Tegalan, Matraman
Jakarta Timur
Laporan Hasil wawancara
1. Bagaimana sejarah berdirinya HBMI?
2. Apa saja struktur organisasi dalam HBMI ?
3. Apa saja aktivitas dalam pembinaan HBMI?
4. Siapa saja pembinanya?
5. Apa kendala dan peluang dalam rangka memperkokoh keimnan para muallaf?
6. Apa saja solusi yang dilakukan HBMI ?
7. Berapa banyak HBMI mengislamkan para muallaf?
8. Strategi apa saja yang dilakukan oleh lembaga dalam membina keimanan para
muallaf
72
9. Apa dampak dalam menjalani pembinaana muallaf?
10.Apa saja solusi yang dilakukan terhadap kendala yang ada?
11. Apa saja proses dan cara memuallafkan anggotanya?
12. Berapa lama proses bergabung di HBMI?
Jawaban
1. Pada tahun 2013 diadakan suatu pertemuan rutin antara berbagai kelompok
keagamaan yang tertarik di bidang mualaf ini untuk membicarakan persoalan
mualaf di Indonesia. Di antaranya adalah Yayasan MUSTIKA (Muslim
Tionghoa dan Keluarga), PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia),
Komunitas Masjid Agung Sunda Kelapa, Yayasan Karim Oey, Daarut Tauhid
Muslimah, Masjid Lautze, dll. Gagasan yang mereka tuangkan dan tawarkan
ternyata mendapat sambutan baik dari Pemerintah Republik Indonesia. Pada
tanggal 10 November 2013, tahun itu juga didirikanlah wadah institusi yang
dapat menampung proses dan program fenomena muallaf di Indonesia.
Institusi tersebut diberi nama Himpunan Bina Muallaf Indonesia (HBMI).
Peresmian tersebut langsung difasilitasi oleh Direktorat Penerangan Agama
Islam dan Dirjen Bimas Islam Kementrian Agama Republik Indonesia. Karena
pendirian HBMI berada di bawah naungan Kementerian Agama.
2. Susunan pengurus HBMI Jakarta Timur: Drs. Jamhuri (penasihat), H. Afrizal
Alamsyah, H. Thoni, Kasnarto (Pengawas), ketua Umum saya sendiri, Iman
Wahyudi (ketua), Muhammad (Wakil Ketua), Siti Syamsiyah (Sekretaris I),
Handy (Sekretaris II), Romalidah (Bendahara I), Elly Phang (Bendahara II),
Hj. Lili, Ibu Siti Sopiah (Humas), Pepen (Bid. Dakwah), Rosdianti, Siti
Soenarni Suryo Putri, Serly, Ust. Muslihah (Bid. Diklat).
3. Di sini kami melaksanakan program kerja pengurus, proses pengislaman,
program pembinaan.
4. Pak Pepen (Bid. Dakwah), Rosdianti, Siti Soenarni Suryo Putri, Serly, Ust.
Muslihah (Bid. Diklat).
5. HBMI membelaki para mualaf dengan buku panduan atau pedoman singkat
yang mudah dimengerti. Pedoman tersebut selain dapat dibaca sendiri juga
73
diajarkan dalam bentuk pengajaran seperti workshop. Para mualaf dengan buku
panduan itu diberi pengetahuan dasar tentang Islam. Misalnya tentang
pengenalan tentang siapa Allah menurut Islam, ilmu tauhid, fikih dasar dan
wawasan keislaman.
6. Dengan melaksanakan program pembinaan dan pemberdayaan yang optimal,
kami yakin bahwa hal tersebut dapat menumbuhkan kecintaan para mualaf
terhadap Islam dan juga dapat membekali mereka dengan ajaran-ajaran Islam
yang harus tercermin dalam kehidupan kesehariannya.
7. ……
8. Melakukan bimbingan konseling, pembinaan dan pemberdyaan terhadap
mualaf.
9. Mereka, para mualaf merasakan ketenangan, kedamaian dan kebahagiaan yang
tidak pernah dirasakan dalam agama yang dianut sebelumnya. Dalam Islam
mereka merasakan hubungan dengan Tuhan itu langsung dekat, menemukan
kebenaran yang dicarinya, dan juga banyak kaum perempuan yang
berkesimpulan ternyata Islam sangat melindungi dan menghargai perempuan.
10. Dalam setiap tindakan melakukan kebaikan, pastinya tidak selalu berjalan
dengan mulus. Terkadang masih terdapat kendala-kendala yng kami temui
dalam melaksanakan pembinaan terhadap para mualaf. Unutk mengatasi hal
tersebut pasti kita selal istiqomah/kontinuitas dalam melaksanakan pembinaan
dan pemberdayaan harus selalu dilakukan. Kami mencoba menggali beberapa
minat bakat mereka utamanya untuk program pemberdayaan. Dån rata-rata
memang urusan ekonomi menjadi persoalan utama, mengingat hal itu kami
sellau mengupayakan untuk memberikan support kepada mereka terkait bidng
apa yang akan mereka tekuni. Karena biasanya ketika ada seseorang
memutuskan untuk berpindah agama, terkadang mendapatkan tekanan dari
oran-orang di sekelilingnya bisa keluarga, pertemanan bahkan di tempat
kerjaan. Jai pemberdayaan ini perlu dilakukan untuk memperkokoh komitmen
mereka dan menguatkan iman para mualaf.
11. Dalam Islam, syarat untuk memasuki agama adalah membacakan sebuah kredo
kesaksian yang dikenal dengan syahadatain, yakni dua kalimat syahadat.
75
Laporan Hasil Wawancara dengan Mualaf
A. Muallaf Baru
Nama : Steven
Alamat : Jl. TB. Simatupang Kav. 15, RT.4/RW.1, Lebak Bulus,
Jakarta Selatan.
Status : Belum menikah
Agama Sebelumnya : Kristen Katholik
Pendidikan : SMA
Waktu wawancara : 12.00- 14.00
Tanggal wawancara : 20 Januari 2019
Tempat : Jl. TB. Simatupang Kav. 15, RT.4/RW.1, Lebak Bulus,
Jakarta Selatan.
Laporan Hasil wawancara
1. Apa penyebab anda pindah agama?
2. Apa dasar anda memilih HBMI untuk melakuakan proses pindah agama?
3. Apa saja bentuk pembinaan yang dilakukan HBMI?
4. Apakah ada manfaat yang dirasakan ketika bergabung dalam HBMI?
5. Harapan apa yang anda inginkan di HBMI?
6. Apa agama anda sebelumnya?
7. Berapa lama anada bergabung dalam pembinaan di HBMI?
8. Apakah ada dukungan dari keluarga ketika anda pindah agama?
9. Berapa lama anda belajar mengenaal Islam?
Jawaban:
76
1. Saya pindah agama karena teman main saya semuanya muslim dan mereka
semuanya sangat baik. Jadi setiap hari Jum’at kalau mereka menunaikan
ibadah sholat jum’at, pasti saya sendirian karena memang kebetulan saya
sendiri yang katholik, jadi saya kesepian dan akhirnya saya berpindah agama
ikut teman-teman saya.
2. HBMI sangat bagus dalam melakukan pembinaan terhadap para mualaf.
Setelah saya masuk Islam, saya bertanya-tanya kepada guru agama saya di
sekolah, saya bertanya kira-kira tempat/lembaga apa yang bagus untuk
memperdalam agama Islam? Nah lalu guru saya ngasih rekom kepada saya
untuk bergabung ke HBMI saja, kata guru saya di situ sangat bagus untuk
orang-orang yang baru masuk Islam.
3. Mereka melakukan konseling dan pembinaan. Konseling lebih kepada pribadi
sih, jadi kita semacam curhat gitu ke Pembina, kita boleh bertanya apapun
terutama soal ajaran-ajaran Islam, bahkan mereka juga terkadang dapat
memberikan solusi setiap ada permaslahan pribadi misalnya masalah dengan
keluarga/orang tua. Dan di sini juga ada pembinaan rutin yang terjadwal
misalnya pengajian rutin dll.
4. Iya ada, saya menjadi merasa lebih tenang setelah masuk Islam. Karena dulu
waktu saya masih katholik, saya juga termasuk yang sering jarang ke gereja sih
ya, jarang banget, jadinya merasa gersang gitu, dan setelah masuk Islam saya
lebih merasa hidup saya damai saja.
5. Saya ingin supaya HBMI tetap konsisten dalam membina kami, para mualaf
ini. Kami menyadari bahwa kami masih sangat awam, saya berharap para
Pembina yang ada di HBMI dapat bersabar dan konsisten dalam membina
kami, untuk memperoleh pemahaman keislaman yang lebih baik lagi.
6. Kristen Katholik. Ini pun saya mengikuti agama Ayah saya, karena ibu saya
seorang muslim. Ibu saya muslim namun jarang sholat juga sih, jadi ya gitu
selama di rumah ya ayah dan ibu ibadahnya masing-masing. Ayah ke gereja
dan ibu di rumah saja, tapi saya juga tidak pernah melihat dia sholat, hehehe.
7. Saat saya mulai masuk Islam, sekitar satu bulan setelah itu saya bergabung
dengan HBMI sesuai arahan dari guru agama saya di sekolah.
77
8. Iya, ayah dan ibu saya memasrahkan kepada saya ingin memilih yang mana.
Ayah dan ibu saya sebenarnya sudah sepakat bahwa ketika saya berusia 17
tahun maka saya harus masuk Islam. Kesepakatan ini merupakan perjanjian
yang dibuat oleh ayah dan ibu saya, tapi meskipun begitu ibu saya tidak
memaksakan kepada saya, dia justru mempersilahkan. Apakah saya ikut ayah
Bergama katholik atau pilih Islam bersama ibu. Tapi terlepas dari hal itu,
lingkungan saya juga sangat berperan besar dalam menentukan kepercayaan
yang saya anut, selain saya tertarik dengan ajaran Islam, saya juga sebenarnya
merasa beruntung memiliki sahabat/teman-teman tongkrongan sekolah yang
baik-baik ya, meskipun juga tidak sepenuhnya baik, hehehe dalam hal ini ya
nakal-nakal sewajarnya anak remaja, misalnya merokok. Ya walaupun juga
banyak orang-orang muslim tetangga saya ibu-ibu yang suka merumpi dan
menggunjing orang, tapi secara umum saya memang benar-benar tertarik
dengan Islam. Kalau ayah saya juga memasrahkan ke saya mau beragama apa,
ayah hanya bilang tidak ada paksaan dalam memeluk suatu kepercayaan.
9. Dari kecil saya sebenarnya sudah tau ajaran Islam, karena memang di rumah
saya fenomena perbedaan agama sudah terbentuk lama ya, ibu dan ayah saya
beda agama. Lalu saya juga punya tante dan om yang juga berbeda agama
dengan masing2 pasangannya. Jadi hal ini sudah lumrah di keluarga. Bahkan
saya sering lihat tante saya, kebetulan rumahnya ada di samping rumah saya,
ketika nenek saya mau sholat, tante saya yang beragama katholik justru yang
gelarin sajadahnya dan menyiapkan mukenanya. Jadi seperti itulah toleransi di
keluarga saya. Satu saja, pesan ayah saya yaitu selalu menghormati satu
dengan yang lain.
78
79
B Muallaf yang Lama
Nama : Olivia
Alamat : Jl. Raden saleh jakarta Pusat
Status : Menikah
Agama sebelumnya : Kristen Protestan
Pendidikan : S1
Waktu wawancara : 14.00- 15.00
tanggal wawancara : 13 Januari 2019
tempat : Jl. Bojong Indah, Jakarta Barat
1. Sudah berapa lama anda bergabung di HBMI ?
2. Sudah berapa lama anda menjadi muallaf ?
3. Bagaimna pandangan anda terhadap program yang dilakukan HBMI ?
4. Apakah dengan pembinaan lembaga ini anda semakin kokoh keimnan ?
5. Apakah manfaat yang anda dapat dalam lembaga ini ?
6. Kegiatan apa saja yang dilkukan HBMI dalam memperkokoh keimanan
muaallaf ?
7. Apa saja kendala yang dihadapi dalam pempelajari agama Islam ?
8. Sejauh mana peran HBMI dalam memperkokoh keimanan para muallaf ?
9. Harapan apa yang anda inginkan terhadap HBMI dalam memperkokoh
keimanan para muallaf ?
10. Pada saat masuk Islam siapa saja yang menghadiri acara tersebut ?
Jawaban
80
1. Saya sudah setahun bergabung dengan HBMI. Ya waktu itu saya setelah masuk
Islam, saya cari tau kan, tanya-tanya ke orang, yaudah terus saya disaranin oleh
teman saya untuk ikut pembinaan di sini.
2. Sudah sekitar 1,5 tahun. Ya, jadi enam bulan awal setelah masuk Islam saya
tidak ngapa-ngapain, baru pas tau ada HBMI yang melakukan pembinaan
kepada mualaf, yaudah saya kemudian gabung.
3. Pembinaan yang dilakukan HBMI sangat menarik menurut saya. Di sini saya
bisa belajar Islam dengan dibimbing oleh Pembina. Selain itu juga ada
pengajian rutin. Lalu mereka juga baik-baik, sikapnya yang ramah jadi
membuat kita untuk betah seperti di keluarga sendiri. Mereka juga mengadakan
konseling terhadap kita.
4. Saya bisa belajar memperdalam ajaran Islam, dengan orang-orang baik dan
tidak punya niat jahat kan, apalagi sekarang sedang musim ajaran-ajaran Islam
yang fundamental atau Islam garis keras itu, itu mereka malah membuat orang-
orang takut kepada Islam. Islam teroris lah, Islam itu selalu mengajarkan
perang, padahal kan tidak seperti itu setahu saya Islam mengajarkan kebaikan.
5. Saya dapat mengerti ajaran Islam terutama dalam urusan perempuan. Islam itu
sangat memuliakan perempuan. Saya justru semakin tertarik ketika mengetahui
hal ini setelah masuk Islam.
6. Di HBMI ini, program pembinaan yang harus diikuti mualaf itu pembinaan
minimal 8 kali pertemuan, setelah dipastikan mualaf tersebut dapat mengikuti
pembinaan dengan baik dan benar, dari mulai membahas ketauhidan,
keimanan, menjelaskan praktik ibadah dan lain-lain. Setelah itu, mualaf
tersebut tidak lagi diwajibkan mengikuti pembinaan secara rutin, namun tetap
dianjurkan untuk terus mengikuti pembinaan dengan tujuan memperdalam
pengetahuan serta pemahaman pada diri masing-masing mualaf.
7. Ya selama ini kan terkadang manusia pasti tidak semuanya baik. Terkadang
kita niatnya baik namun belum tentu menurut orang lain baik juga, justru
kadang mereka menilai sebaliknya. Misalnya saya masuk Islam lalu ada yang
ngomongin kalau saya ingin cari-cari sensasi saja. Ya kendala ini terutama
banget datang dari keluarga sih sebenernya. Dibilang neko-nekolah,
81
mempermainkan agamalah, tidak ikut ajaran nenek moyang lah dan lain-lain
yang terkadang kalau dipikirkan bikin pusing.
8. HBMI sangat berperan dalam membimbing dan membina para mualaf seperti
kami, dimana kami memang harus dibimbing untuk diberikan pemahaman
kegamaaan yang benar sesuai ajaran Islam yang baik pastinya. Terutama
banget memang pada saat seseorang baru banget/awal banget masuk Islam,
terkadang masih suka digangguin temen-temen, dicenginlah, nah itu kan dapat
membuat mental down dan bikin kita bisa murtad lagi/membatalkan pilihan
kita pada ajaran Islam. Namun lebih dari itu, HBMI dengan program konseling
dapat membuat kami seperti memiliki keluarga baru, dengan suasana yang
sangat hangat dan sangat mengayomi.
9. Pastinya harapan saya tentu HBMI konsisiten dalam membibing kami, para
mualaf. HBMI harus mampu menjadi rumah atau ruang terbuka untuk dialog-
dialog dalam urusan apapun baik keIslaman, kebangsaan dan sebagaimana kita
sebagai masyarakat.
10. Saat itu teman saya, iya dia teman rumah, teman sekolah yang memang
keseharian juga akrab dan sering main dengan saya. Ada dua orang yang saya
suruh temenin waktu saya masuk Islam. Karena ya mereka sudah tahu saya
bagaimana dan juga pastinya atas izin kedua orang tua saya.
Top Related