PERAN GURU AGAMA
DALAM MEWUJUDKAN
KERUKUNAN UMAT BERAGAMA
Oleh : Drs. H. Sukarno, MM
Materi Disampaikan pada acara Rakor FKUB Kabupaten
Banjarnegara
17 November 2016
Drs. H. Sukarno, MM Plt. Kepala Kantor Kementerian Agama Kab. Banjarnegara
• NIP : 196902051993031001
• Pangkat & Golongan : Pembina (IV/a)
• TTL : Pati, 5 Pebruari 1969
• Alamat : Jl. Tentara Pelajar No. 44
Banjarnegara
• Telp. : 0286-591112
• Fax. : 0286-594926
• e-mail : [email protected]
Kankemenag Kab. Banjarnegara
FAKTOR PENYANGGA NEGARA
INDONESIA
PANCA
SILA
UUD
1945
NKRI
Bhineka Tunggal
Ika
NKRI = RELIGIUS
NKRI
ISLAM
KRISTEN
KA
THOLIK
HINDU
BUDHA
KONG
HUCHU
KEMULIAAN AGAMA
merangkul bukan memukul
mendidik bukan menghardik
membina bukan menghina
mengajak bukan menginjak
mengayomi bukan mencaci
bersatu bukan berseteru
mengakar bukan membakar
KONFLIK SARA
NON KEAGAMAAN
KEAGAMAAN
KONFLIK
PEMICU KONFLIK AGAMA
• Pendirian Rumah Ibadah
• Pemanfaatan bangunan untuk ibadah
• Layanan PAI di Sekolah
• Perayaan Agama
• Sengketa Rumah Ibadah
• Perkawinan beda agama
KASUS DI JAWA TENGAH
• Pengeboman Gereja di Solo (2011)
• Penolakan pendirian gereja di Dermolo Kec. Keling Jepara
• Pengalihfungsian RUKO menjadi tembat peribadatan di Kab. Pati.
• Tidak disediakanya guru PAI di sekolah Katholik di Pemalang
• Penyelenggaraan Misa Imlek oleh Gereja Katholik di Semarang
• Penolakan masyarakat terhadap rencana pendiirian sekolah
Konghuchu di Semarang (2013)
• Pernikahan beda agama di Kabupaten Wonogiri
• Sengketa Klenteng antara umat Budha dan Khonghuchu
• Ketidakharmonisan antara kelompok MTA dan NU
• Terjadinya “perang lisan” yang dipancarkan melalui radio antara
tokoh MTA dan tokoh NU.
PERAN TOGA-TOMAS
Menyemai Kedewasaan Beragama
Merawat Toleransi
Merawat saling pengertian
Merawat saling menghormati
Memupuk menghargai
Megembangkan kerjasama
• Pancasila sebagai ideologi negara = harga mati;
• Pancasila sebagai landasan etik hidup bersama;
• Pluralisme sosiologis, multikultural = harmoni sosial dan persatuan;
• Pemahaman agama sejuk = kondusif;
• Eksplorasi nilai-nilai kemanusiaan semua agama;
• Pendalaman nilai-nilai spiritual implementatif = akuntabilitas ilahiyah/ke –Tuhan-an;
• Paham keagamaan selaras paham kebangsaan;
• Intensifikasi koordinatif dengan Pemerintah.
KONTRA SARA
KONFLIK = SEMUA RUGI
DESAIN KEDEWASAAN BERAGAMA [1]
Pendidikan kebangsaan
Pendidikan keagamaan yang berwawasan ke
Indonesiaan
Pendidikan multikultural: rumah, sekolah dan
masyarakat
Sosialisasi kebersamaan
Meningkatkan dialog inter dan antar umat
beragama
Mengakui dan menghormati hari-hari besar
keagamaan
DESAIN KEDEWASAAN BERAGAMA [2]
Melakukan kegiatan-kegiatan sosial yang melibatkan
lintas umat beragama, kemah, pengamanan di hari-
hari besar
Kebersamaan dalam kegiatan kemanusiaan
Memaksimalisasi kapasitas kelembagaan FKUB
Mendorong kemauan politik pemerintah untuk
mewujudkan kebersamaan
[Konfernas I Semarang, 14 Juni 2015]
PERAN GURU AGAMA
1. SEBAGAI TOMAS
2. SEBAGAI GURU / PENDIDIK
PENDIDIKAN
MULTIKULTURAL
BAGI SISWA
DI SEKOLAH
15
Pengertian Pendidikan Multikultural
• Menurut James Banks pendidikan multikultural
sebagai pendidikan untuk people of color.
Artinya, pendidikan multikultural ingin
mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan
(anugerah tuhan atau sunatullah).
• Menurut Muhaemin el Ma’hady, pendidikan
multikultural dapat didefinisikan sebagai
pendidikan tentang keragaman kebudayaan
dalam merespons perubahan demografi dan
kultural lingkungan masyarakat tertentu bahkan
dunia secara keseluruhan ( global ). 16
• Menurut Andersen dan Cusher, pendidikan
multikultural dapat diartikan sebagai
pendidikan mengenai keragaman
kebudayaan.
• Menurut Hilda Hernandez pendidikan
multikultural sebagai perspektif yang
mengakui realitas politik, sosial, dan ekonomi
yang dialami oleh masing-masing individu
dalam pertemuan manusia yang kompleks
dan beragam secara kultur, dan
merefleksikan pentingnya budaya, ras,
seksualitas, agama, gender, entisitas, status
sosial, ekonomi, dan pengecualian-
pengecualian dalam proses pendidikan. 17
• Menurut Tilaar dalam program pendidikan multikultural, fokus tidak lagi diarahkan semata-mata kepada kelompok rasial, agama dan kultur dominan atau mainstream. Dalam konteks teoritis, belajar dari model-model pendidikan multikultural yang pernah ada dan sedang dikembangkan oleh negara-negara maju, dikenal lima pendekatan, yaitu : pertama, pendidikan mengenai perbedaan kebudayaan atau multikulturalisme. Kedua, pendidikan mengenai perbedaan kebudayaan atau pemahaman kebudayaan, ketiga, pendidikan bagi pluralisme kebudayaan. Keempat, pendidikan dwi-budaya. Kelima, pendidikan multikultural sebagai pengalaman moral manusia.
18
Paradigma Pendidikan Multikultural
Ali Maksum menggambarkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang masyarakatnya sangat majemuk atau pluralis. Kemajuan bangsa Indonesia dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu : horizontal; kemajemukan bangsa kita dapat dilihat dari perbedaan agama, etnis, bahasa daerah, geografis, pakaian, makanan, dan budaya. Vertikal; kemajemukan bangsa kita dapat dilihat dari perbedaan tingkat pendidikan, ekonomi, pemukiman, pekerjaan, dan tingkat sosial budaya.
19
Pakar pendidikan, Syarif Sairin,
memetakan akar-akar konflik dalam
masyarakat majemuk antara lain adalah:
1.Perebutan sumber daya, alat-alat
produksi, dan kesempatan ekonomi.
2.Perluasan batas-batas sosial budaya.
3.Benturan kepentingan politik, ideologi,
dan agama. 20
Ciri-ciri Pendidikan Multikultural
1. Tujuan membentuk “ manusia budaya “ dan menciptakan “ masyarakat berbudaya “.
2. Materinya mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan, nilai-nilai bangsa, dan nilai-nilai kelompok etnis.
3. Metodenya demokratis, yang menghargai aspek-aspek perbedaan dan keberagaman budaya bangsa dan kelompok etnis.
4. Evaluasinya ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku anak didik yang meliputi persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap budaya lainnya. 21
Pendekatan Pendidikan Multikultural
Men-design pendidikan multikultural dalam tatanan masyarakat yang penuh permasalahan antara kelompok, budaya, suku, dan lain sebagainya, seperti Indonesia, mengandung tantangan yang tidak ringan.
Ada beberapa pendekatan dalam proses pendidikan multikultural.
Pertama tidak lagi menyamakan pandangan pendidikan dengan persekolahan,atau pendidikan multikultural dengan program-program sekolah formal.
Kedua menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan dengan kelompok etnik.
22
Ketiga interaksi insentif dengan orang-
orang yang sudah memiliki kompetensi maka
dapat dilihat lebih jelas bahwa upaya untuk
mendukung sekolah-sekolah yang terpisah
secara etnik merupakan anti etnis terhadap
tujuan pendidikan multikultural.
Keempat pendidikan multikultural
meningkatkan kompetensi dalam beberapa
kebudayaan.
Kelima kemungkinan bahwa pendidikan
meningkatkan kesadaran tentang kompetensi
dalam beberapa kebudayaan. 23
Sasaran Pendidikan Multikultural
Pertama, pengembangan identitas kultural yakni merupakan kompetensi yang dimiliki siswa untuk mengidentifikasi dirinya dengan suatu etnis tertentu. Kompetensi ini mencakup pengetahuan, pemahaman dan kesadaran akan kelompok etnis dan menimbulkan kebanggaan serta percaya diri sebagai warga kelompok etnis tertentu.
Kedua, hubungan interpersonal. Yakni, kompetensi untuk melakukan hubungan dengan kelompok etnis lain, dengan senantiasa mendasarkan pada persamaan dan kesetaraan, serta menjauhi sifat syakwasangka dan stereotip.
Ketiga, memberdayakan diri sendiri. Yakni suatu kemampuan untuk mengembangkan secara terus menerus apa yang dimiliki berkaitan dengan kehidupan multikultural.
24
Implikasi Pendidikan Multikultural Di Sekolah
1. Membangun paradigma keberagaman inklusi di lingkungan sekolah.
Guru sebagai orang dewasa dan kebijakan sekolah harus menerima bahwa ada agama lain selain agama yang dianutnya. Ada pemeluk agama selain dirinya yang juga memeluk suatu agama. Dalam sekolah yang muridnya beragam agama, sekolah harus melayani kegiatan rohani semua siswanya secara baik. Hilangkan kesan mayoritas minoritas siswa menurut agamanya. Setiap kegiatan keagamaan atau kegiatan apapun antar siswa yang beragama berbeda.
Hal ini perlu diterapkan di sekolah yang berbasis agama tertentu atau menerima siswa yang beragama sejenis. Guru dan kebijakan sekolah tidak mengungkapkan secara eksplisit, radikal, dan provokatif dalam wujud apapun, karena di luar sekolah itu siswa akan bertemu, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain yang berbeda agama.
25
2. Menghargai keragaman bahasa di sekolah.
Dalam suatu sekolah bisa terdiri di guru, tenaga kependidikan, dan siswa yang berasal dari berbagai wilayah dengan keragaman bahasa, dialek, dan logat bicara. Meski ada bahasa Indonesia sebagai pengantar formal di sekolah, namun logat atau gaya bicara selalu saja muncul dalam setiap ungkapan bahasa, baik lisan maupun tulisan.
Sekolah perlu memiliki peraturan yang mengakomodasi penghargaan terhadap perbedaan bahasa. Guru serta warga sekolah yang lain tidak boleh mengungkapkan rasa”geli” atau “aneh” ketika mendengarkan atau membaca ungkapan bahasa yang berbeda dari kebiasaannya. Semua harus bersikap apresiatif dan akomodatif terhadap perbedaan-perbedaan itu.
26
3. Membangun sikap sensitif gender di sekolah.
Dalam suatu sekolah bisa terdiri di guru, tenaga Pembagian tugas, menyebutkan contoh-contoh nama tokoh, dan sebagainya harus proporsional antara laki-laki dan perempuan. Tidak ada yang lebih dominan atau sebaliknya minoritas antara gender laki-laki dan perempuan. Dengan tetap mempertimbangkan nilai-nilai kodrati, penerapan gender dalam fungsi-fungsi pembelajaran di sekolah harus proporsional karena setiap siswa laki-laki dan perempuan memiliki potensi masing-masing. Perempuan jadi pemimpin, laki-laki mengurusi konsumsi, atau yang lain saat ini bukan sesuatu yang tabu. Biarlah siswa mengembangkan potensinya dengan baik tanpa bayang-bayang persaingan gender. Siapa yang berpotensi biarlah dia yang berprestasi.
27
4. Membangun pemahaman kritis dan empati terhadap ketidakadilan serta perbedaan sosial.
Pelayanan pendidikan dan penegakan peraturan sekolah tidak boleh mempertimbangkan status sosial siswa. Baurkan siswa dari beragam status sosial dalam kelompok dan kelas untuk berinteraksi normal di sekolah. Meskipun begitu, guru dan siswa harus tetap memahami perbedaan sosial yang ada di antara teman-temannya. Pemahaman ini bukan untuk menciptakan perbedaan, sikap lebih tinggi dari yang lain, atau sikap rendah diri bagi yang kurang, namun untuk menanamkan sikap syukur atas apapun yang dimiliki. Selanjutnya dikembangkan kepedulian untuk tidak saling merendahkan namun saling mendukung menurut kemampuan masing-masing. Sikap empati dan saling membantu tidak hanya ditanamkan di lingkungan sekolah saja. Suatu waktu siswa bisa diajak berkegiatan sosial di luar sekolah seperti di panti asuhan, panti jompo, dan sebagainya.
28
5. Membangun sikap antideskriminasi etnis.
Sekolah bisa jadi menjadi Indonesia mini atau dunia mini, di mana berbagai etnis menuntut ilmu di sekolah. Di sekolah bisa jadi suatu etnis mayoritas terhadap etnis lainnya. Tetapi perlu dipahami, di sekolah lain etnis yang semula mayoritas bisa jadi menjadi minoritas. Hindari sikap negative terhadap etnis yang berbeda. Tanamkan dan biasakan pergaulan yang positif. Pahamkan bahwa inilah Indonesia yang hebat, warganya beraneka ragam suku atau etnis, bahasa, tradisi namun bisa bersatu karena sama-sama berbahasa Indonesia. “Ciptakan kultur dan kehidupan sekolah yang Bhinneka Tunggal Ika dengan interaksi dan komunikasi yang positif”.
29
6. Menghargai perbedaan kemampuan.
Sekolah tidak semua siswanya
berkemampuan sama atau standar. Dalam
psikologi sosial dikenal istilah disability,
artinya terdapat sebuah kondisi fisik dan
mental yang membuat seseorang baiknya
dibiasakan pembauran siswa unggul dan
lemah dalam kelompok atau kelas agar
terjadi pembimbingan sebaya, yang unggul
semakin kuat pemahamannya tentang suatu
materi dan bermanfaat dengan ilmunya,
serta yang kurang memperoleh guru sebaya
yang lebih komunikatif dan merasa diterima
oleh teman-temannya.
30
7. Menghargai perbedaan umur.
Setiap individu siswa mengalami
pertumbuhan fisik dan perkembangan
kejiwaannya sesuai pertambahan umurnya.
Guru harus memahami ini, terutama tentang
karakteristik psikologis dan tingkat
kemampuan sesuai umurnya. Seharusnya
yang lebih tua memberi teladan, memberi
motivasi, memberi kepercayaan,
demokratis, membimbing, mengasuh, dan
melindungi yang lebih muda. Yang muda
menghormati, sopan santun, meneladani
kebaikan, dan membantu yang lebih tua. 31
RUKUN YES…SARA, NO….
Kata kunci :
“Yang sama
jangan dibedakan,
yang beda
jangan disamakan”.
(KH. Hasyim Muzadi)
TOGA-TOMAS BERSAMA
KONFLIK SARA SIRNA……
SEKIAN
TERIMAKASIH
Top Related