PENGETAHUAN PASIEN HIV/AIDS TERHADAP TERAPI ANTIRETROVIRAL (ARV) DI RUMAH SAKIT DR.
SOEBANDI
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Terapan (S.ST)
Oleh
DYAH AYU PUDYASTUTI
G41120436
PROGRAM STUDI REKAM MEDIK
JURUSAN KESEHATAN
POLITEKNIK NEGERI JEMBER
2016
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Human immunodeficiency virus (HIV) merupakan retrovirus yang
menginfeksi sel-sel dari sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak
fungsi. Selama infeksi berlangsung, sistem kekebalan tubuh menjadi lemah dan
orang menjadi lebih rentan terhadap infeksi. Infeksi tersebut dapat berkembang
menjadi AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). Keadaan ini akan
membuat orang mudah diserang oleh beberapa jenis penyakit (sindrom) yang
kemungkinan tidak mempengaruhi orang dengan sistem kekebalan tubuh yang
sehat. HIV/AIDS merupakan salah satu penyakit yang dapat menyebabkan
kematian di berbagai negara sehingga penyakit ini memerlukan perhatian yang
serius.
Berdasarkan data yang dilaporkan dari United Nations Joint Program On
HIV/AIDS (UNAIDS) pada tahun 2013 jumlah penderita HIV di tahun 2012 yang
terdiri dari 12 negara yaitu India, Cina, Indonesia, Thailand, Vietnam dan lainnya
mencapai 4.734.000 penderita. Indonesia terdapat pada urutan ketiga dengan
jumlah penderita HIV mencapai 610.000 kasus.
Di Indonesia, jumlah kasus HIV/AIDS terus meningkat. Pada tahu 2012
diketahui jimlah ODHA di Indonesia 591.823 orang dengan penyebaran di
seluruh wilayah dan dapat dikatakan tidak ada satu provinsi yang terbebas dari
HIV/AIDS. Data yang dilaporkan Dinas Kesehatan Provinsi sampai dengan juni
2014, jumlah pengidap HIV sebanyak 143.78 orang dan penderita AIDS sebanyak
54.18 orang.
Berdasarkan data yang dirilis oleh Direktur Pengendalian Penyakit
Menular(PPML), Kementrian Kesehatan RI menyatakan bahwa Propinsi Jawa
Timur menempati urutan pertama untuk kasus HIV/AIDS (Suarakawan 2011).
Sedangkan Jumlah penderita HIV/AIDS di Kabupaten Jember, Jawa Timur,
mencapai 1.500 orang dan tersebar merata hampir di 31 kecamatan di kabupaten
setempat.
Pravelensi kasus HIV AIDS yang tinggi menjadi permasalah yang ada di
masyarakat. Berbagai upaya dilakukan oleh berbagai komponen agar penularan
HIV AIDS dapat diminimalisir. Masyarakat sendiri masih menganggap penderita
HIV AIDS harus dikucilkan dari lingkungan. Beban fisik maupun psikologi
berdampak terhadap kelangsungan hidup penderita HIV AIDS.
AIDS belum bisa disembuhkan, namun infeksi ini dapat dikendalikan
dengan obat antiretroviral(ARV)(Aji, 2010). Pengobatan setelah terjadi infeksi
HIV pada seseorang dengan terapi Antiretroviral, yang berarti mengobati infeksi
HIV dengan beberapa obat. Karena HIV adalah retrovirus maka obat ini disebut
sebagai obat Antiretroviral (ARV). ARV tidak membunuh virus itu, namun hanya
dapat memperlambat laju pertumbuhan virus, begitu juga penyakit HIV.
(Spiritia,2006:403) Penggunaan ARV (antiretroviral) pada pasien dengan hasil tes
HIV positif merupakan upaya untuk memperpanjang umur harapan hidup
penderita HIV-AIDS.
HIV merupakan salah satu penyakit yang belum ditemukan obatnya. Virus
yang ada di dalam tubuh penderita ini tidak bisa keluar, sehingga seseorang harus
mengonsumsi obat ARV seumur hidup dan tepat waktu. Jadwal ketat minum obat
HIV ini tidak boleh meleset agar bisa menekan jumah virus di tubuhnya. Jika
tidak disiplin maka obat akan menjadi resisten terhadap tubuh. HIV adalah
retrovirus yang menginfeksi sel sistem kekebalan tubuh manusia, terutama sel T
CD4 dan makrofag yang merupakan komponen vital dari sistem kekebalan
tubuh. Hal inilah yang membuat ODHA memiliki sistem kekebalan tubuh lemah
dan mudah terkena infeksi. Karenanya seseorang harus mengonsumsi obat ARV
untuk mempertahankan kekebalan tubuhnya.
Kepatuhan pada pengobatan ARV telah diketahui sebagai komponen
penting untuk mencapai keberhasilan suatu program terapi yang optimal.
Penelitian tentang kepatuhan tersebut di negara maju menunjukkan bahwa tingkat
kepatuhan yang tinggi berkaitan erat dengan perbaikan virologis maupun klinis
(Anonim, 2007). Kepatuhan terhadap terapi merupakan hal yang kritis untuk
mendapatkan manfaat penuh dari terapi ARV termasuk memaksimalkan serta
penekanan yang lama terhadap replikasi virus, mengurangi resistensi virus,
peningkatan kembali kekebalan tubuh, dan memperlambat perkembangan
penyakit, sehingga diperlukan pengetahuan pasien yang cukup mendalam tentang
kepatuhan terapi ARV. Berdasarkan uraian penelitian diatas penulis tertarik untuk
mengangkat judul “ Pengetahuan Pasien HIV/AIDS terhadap terapi Antiretroviral
di RS Dr. soebandi “
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka bisa dirumuskan
permasalahan :
1.2.1 Bagaimana Tingkat pengetahuan dasar pasien terhadap penyakit
HIV/AIDS?
1.2.2 Bagaimana Tingkat pengetahuan pasien terhadap terapi ARV?
1.2.3 Bagaimana pengetahuan pasien mengenai efek samping dari terapi ARV?
1.2.4 Bagaimana kepatuhan terapi ARV pasien HIV/AIDS di RS. dr.Soebandi ?
1.2.5 Bagaimana Dukungan keluarga dalam pengobatan ARV?
1.2.6 Adakah hubungan Tingkat pendidikan pasien HIV/AIDS dengan
pengetahuan pasien terkait terapi ARV?
1.2.7 Adakah hubungan Status sosial penderita pasien HIV/AIDS dengan
pengetahuan pasien terkait terapi ARV?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Pengetahuan
pasien HIV/AIDS terhadap Terapi Antiretroviral (ARV)
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Mengetahui Tingkat pengetahuan dasar pasien terhadap penyakit
HIV/AIDS
b. Mengetahui Tingkat pengetahuan pasien terhadap terapi ARV
c. Mengetahui Tingkat pengetahuan pasien mengenai efek samping dari
terapi ARV ?
d. Memberikan informasi terkini terkait kepatuhan terapi ARV pasien
HIV/AIDS di RS. dr.Soebandi
e. Mengetahui Dukungan keluarga dalam pengobatan ARV
f. Mengetahui Tingkat pendidikan pasien HIV/AIDS
g. Mengetahui Status sosial penderita pasien HIV/AIDS
1.4 Manfaat
1.4.1 Bagi ODHA
Meningkatkan kemampuan ODHA dalam memahami dan memelihara
kesehatan secara mandiri serta tetap semangat dalam menjalani terapi
antiretroviral.
1.4.2 Bagi Rumah Sakit Umum daerah dr.Soebandi Jember
Sebagai bahan masukan dan informasi bagi pihak Rumah Sakit dalam
menganalisa dan merencanakan strategi untuk meningkatkan kepatuhan ODHA
dalam menjalani terapi antiretroviral.
1.4.3 Bagi Keluarga dan Pendamping
Meningkatkan pengetahuan keluarga dan pendamping lainnya tentang
HIV/AIDS dan terapi ARV agar dapat memberikan perhatian, dukungan dan setia
mendampingi pasien dalam menjalani pemeriksaan terapi ARV.
1.4.4 Bagi Peneliti
Diharapkan menjadi pengalaman belajar, bermanfaat dan dapat digunakan
sebagai data dasar dalam menambah wawasan penelitian selanjutnya.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 PengetahuanPengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh
manusia melalui pengamatan indrawi. Pengetahuan muncul ketika
manusia menggunakan indera dan akal budinya untuk mengenali dan
merasakan benda atau kejadian yang belum pernah dilihat sebelumnya.
Rogers (dalam Notoatmodjo, 2003) mengungkapkan bahwa seseorang
mengadopsi perilaku baru sesuai proses yang berurutan seperti: Awarenes:
seseorang menyadari adanya stimulus, Interest: orang tertarik pada
stimulus, Evaluation: mulai menimbang-nimbang baik buruknya stimulus
tersebut untuk dirinya, Trial: mulai mencoba perilaku baru, Adaption:
mulai berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan. Pengetahuan seseorang
dipengaruhi oleh Intelegensi, Pendidikan, Pengalaman, Informasi,
Kepercayaan, Umur, Sosial budaya, Status sosial ekonomi
(Notoatmodjo:2003).
1. Intelegensi: merupakan kemampuan yang dibawa sejak lahir yang
memungkinkan seseorang berbuat sesuatu dengan cara tertentu.
2. Pendidikan : bersifat memberikan atau meningkatkan pengetahuan,
menimbulkan sifat positif, meningkatkan kemampuan individu dalam
segala aspek sehingga memungkinkan masyaraakat untuk berkemmbang.
3. Pengalaman: seseorang berperilaku tertentu disebabkan karena adanya
pemikiran dan perasaan dalam diri seseorang yang terbentuk dalam
pengetahuan,persepsi, sikap, dan kepercayaan-kepercayaan dan
penilaianpenilaian seseorang terhadap objek tersebut dimana seseorang
mendapatkan pengetahuan baik dari pengalaman pribadi dan pengalaman
orang lain.
4. Informasi : media masa memiliki peranan yang sangat penting dalam
proses perubahan.
5. Kepercayaan: komponen kognitif berisi kepercayaan seseorang, sekali
kepercayaan itu telah terbentuk maka ia akan menjadi dasar pengetahuan
seseorang mengenai apa yang diharapkan dari objek tertentu.
6. Umur : secara normal semakin cukup umur maka tingkat kemampuan
orang semakin matang dalam berfikir dan menerima informasi.
7. Sosial budaya termasuk didalamnya pandangan agama dapat
mempengaruhi proses pengetahuan.
8. Status sosial ekonomi : berpengaruh terhadap tingkah laku individu. Sosial
ekonomi yang baik dimungkinkan memiliki sikap positif memandang diri
dan masa depan dibandingkan mereka yang dengan sosial ekonomi
rendah. Pengetahuan ODHA tentang terapi ARV dapat mempengaruhi
kepatuhan dalam mengikuti aturan-aturan yang telah disepakati dalam
terapi ARV. Memberikan informasi secara rinci tentang ARV perlu
dijelaskan pada pasien ODHA dan pendamping minum obatnya (PMO).
Kepatuhan yang tinggi diperlukan untuk keberhasilan program terapi.
Aturan minum obat ARV harus ditaati dengan baik, efek samping yang
mungkin terjadi, serta mencari pertolongan bila terjadi efek samping pada
pasien. Hal ini sangatlah penting untuk menghindari teradinya putus obat
ataupun ketidakpatuhan dalam menjalankan terapi ARV.
2.2 Definisi HIV&AIDS
HIV (Human: Manusia, Immunodeficiency: Penurunan daya tahan
tubuh, Virus: virus) yaitu virus yang dapat merusak sistem kekebalan
tubuh manusia. Ini adalah retrovirus, yang berarti virus yang mengunakan
sel tubuhnya sendiri untuk memproduksi kembali dirinya. AIDS
(Acquired: didapat, Immune Deficiency : Penurunan daya tahan tubuh
Syndrom : kumpulan gejala) adalah fase terakhir dari infeksi HIV, yang
merupakan kumpulan dari sejumlah penyakit yang mempengaruhi tubuh
dimana sistem kekebalan yang melemah tidak dapat merespon.
Perkembangan HIV&AIDS dapat dibagi kedalam 4 fase:
1. Periode Jendela (windows periode)
Yaitu HIV masuk ke dalam tubuh, sampai terbentuknya antibodi terhadap
HIV dalam darah. Tidak ada tanda-tanda khusus, penderita HIV tampak
sehat dan merasa sehat. Test HIV belum bisa mendeteksi keberadaan virus
ini. Tahap ini umumnya berkisar 3 bulan.
2. HIV Positif (tanpa gejala)
Rata-rata selama 5-10 tahun, HIV berkembang biak dalam tubuh. Tidak
ada tanda-tanda khusus, penderita HIV tampak sehat dan merasa sehat.
Test HIV sudah dapat mendeteksi status HIV seseorang, karena telah
terbentuk antibodi terhadap HIV. Umumnya tetap tampak sehat selama 5-
10 tahun, tergantung daya tahan tubuhnya (rata-rata 8 tahun di negara
berkembang lebih pendek).
3. HIV Positif (muncul gejala)
yaitu Sistem kekebalan tubuh semakin turun. Mulai muncul gejala infeksi
oportunistik, misalnya pembengkakan kelenjar limfa di seluruh tubuh,
diare terus menerus, flu, dll. Umumnya berlangsung selama lebih dari 1
bulan, tergantung daya tahan tubuhnya.
4. Tahap terakhir AIDS
Yaitu kondisi sistem kekebalan tubuh sangat lemah, berbagai penyakit lain
(infeksi oportunistik) semakin parah.
2.2.1 Epidemiologi
Kasus AIDS pertama kali dilaporkan ke publik secara luas pada
tanggal 5 Juni 1981 dalam Morbidity and Mortality Weekly Report yang
dirilis oleh CDC di Atlanta, Amerika Serikat (Whiteside, 2008). Saat itu
dilaporkan bahwa telah ditemukan Pneumocystis carinii (sekarang dikenal
dengan jirovecii) pneumonia dan kaposi sarkoma pada pria homoseksual 6
dan immunocompromised. Kondisi tersebut dapat dengan cepat diketahui
sebagai AIDS, tetapi pada saat itu sebab dan model transmisi penyakit
AIDS belum diketahui. HIV yang sekarang dikenal sebagai penyebab
AIDS baru ditemukan pada tahun 1983 (Sultan dan Adler, 2012). Saat ini
sudah 30 tahun lebih setelah AIDS diketahui untuk pertama kali. Setelah
satu atau dua tahun AIDS ditemukan pada pria homoseksual, penyakit
dengan gejala yang sama juga ditemukan terjadi pada kelompok subjek
lain, seperti pengguna obat injeksi, orang dengan hemofilia, penerima
transfusi darah, anak anak, dan orang-orang di Afrika (Essex dan
Novitsky, 2013). Kasus HIV/AIDS di dunia memang telah mengalami
penurunan, walaupun demikian survei yang dilakukan UNAIDS (Joint
United nations Programme on HIV AIDS) pada tahun 2012 menunjukkan
statistik yang cukup memprihatinkan. Hingga akhir tahun 2012 di dunia
terdapat sekitar 35,3 juta (3,3 juta–4,2 juta) orang hidup dengan HIV,
dengan 2,3 juta (1,9 juta–2,7 juta) di antara populasi tersebut adalah orang
yang baru terinfeksi HIV pada tahun 2012. Kematian akibat AIDS dapat
dikategorikan tinggi, pada tahun 2012 terdapat 1,6 juta (1,4 juta–1,9 juta)
meninggal akibat AIDS. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
(Ditjen PP dan PL Kemenkes RI) telah melakukan survei kasus HIV/AIDS
di Indonesia hingga bulan Desember 2013 dan hasil survei tersebut cukup
memprihatinkan. Kasus HIV dan AIDS pada bulan Oktober hingga
Desember 2013 memperoleh tambahan masing masing sejumlah 8.624 dan
2.845 kasus baru. Jumlah ini menambah jumlah kasus pada tahun 2013
yang didata dari tanggal 1 Januari hingga 31 Desember 2013 sebesar
29.037 kasus untuk HIV dan 5.608 kasus untuk AIDS. Kumulatif kasus
HIV dan AIDS di Indonesia sejak 1 April 1987 hingga 31 Desember 2013
masing masing sebesar 127.416 dan 52.348 kasus, dengan jumlah
kematian 9.585 kasus (Anonim, 2014).
2.2.2 Etiologi
Human immunodeficiency virus (HIV), virus penyebab penyakit
AIDS, merupakan lentivirus, subfamili retrovirus. HIV memiliki regulasi
ekspresi gen dan replikasi yang kompleks, sehingga HIV dikategorikan
sebagai retrovirus yang lidak lazim. Kebanyakan retrovirus relatif tidak
berbahaya dan jarang membunuh sel yang diinfeksi, tetapi HIV bersifat
sitopatik dan sitotoksik, serta memiliki ekspresi viral yang sering
mengakibatkan kematian sel yang diinfeksi maupun sel disekitarnya. HIV
tetap memiliki siklus kehidupan yang sama dengan kebanyakan retrovirus
walaupun dikategorikan sebagai retrovirus yang tidak lazim (Goff, 2004).
Terdapat dua sub tipe HIV, yaitu HIV-1 dan HIV-2. HIV-2 lebih sulit
ditransmisikan dan memiliki perkembangan yang lebih lambat. Kedua
virus tersebut berasal dari virus yang ditemukan pada primata di Afrika,
virus ini dikenal dengan simian (monyet) immunodeficiency virus(SIV).
Sumber dari HIV-1 adalah simpanse di Afrika Tengah, sedangkan HIV-2
berasal dari monyet Sooty mangabey di Afrika Barat (Whiteside,2008).
HIV dapat menyerang dan berikatan dengan sel-sel spesifik pada
sistem imun, seperti monosit, makrofag, dan sel-T limfosit. Sel-sel
tersebut memiliki protein reseptor spesifik yang dikenal dengan reseptor
CD4, HIV memiliki kemampuan berikatan dengan reseptor ini. HIV juga
mampu menghambat pembentukan sel CD4 yang baru. Setiap berikatan
dengan reseptor CD4, dibutuhkan protein pendukung untuk melakukan
fusi (CCR-5 dan CXR-4). CCR-5 ditemukan pada monosit dan limfosit T,
jumlahnya meningkat tajam pada pasien yang baru terinfeksi HIV. CXR-4
banyak ditemukan pada limfosit T dan jumlahnya meningkat dalam
jumlah yang berlebihan pada pasien yang telah menerima terapi ARV
dalam jangka waktu yang cukup lama. Kompleks yang terbentuk antara
CD4 dengan CCR-5/CXR-4 menyebabkan perubahan konformasional
yang mengakibatkan ikatan antara HIV dan sel inang semakin kuat. HIV
mengalami fusi dengan sel dan melepaskan RNA virus serta enzim-enzim
replikasi ke sitoplasma sel inang. RNA virus yang beruntai tunggal
mengalami transkripsi dengan bantuan enzim reverse transcriptase
menjadi DNA proviral untai ganda yang kemudian bergabung dengan
materi genetik sel inang dengan bantuan enzim integrase. HIV kemudian
menggunakan sel yang terinfeksi untuk bertranslasi, bertranskripsi, dan
memproduksi virion muda yang dapat keluar dari sel inang. Virion yang
sudah dewasa dapat dengan bebas menginfeksi sel lain dan kemudian
memproduksi lebih banyak virus (Dumond dan Kashuba, 2009). Seiring
dengan waktu, menurut Fauci (1996) sel inang yang terinfeksi HIV dapat
rusak melalui beberapa mekanisme, seperti: efek sitolitik dari virus (misal
disfungsi selular), identifikasi dan eliminasi sel yang terinfeksi oleh respon
sistem imun alami dari inang (misal akibat sel T sitotoksik limfosit), atau
siklus sel terhenti secara alami. Sekali pasien terinfeksi HIV, ledakan awal
viremia terjadi dan mengakibatkan infeksi laten di berbagai jaringan dan
sel. Ledakan viremia mengakibatkan terjadinya deplesi sel CD4 pada
pasien HIV/AIDS. Kebanyakan virion infektif HIV (hampir 99%)
ditemukan di dalam nodus limfa dan berbagai jaringan yang banyak
mengandung sel imun. Sistem imun bereaksi dengan memproduksi
antibodi untuk melawan HIV, walaupun demikian usaha ini belum mampu
mengatasi replikasi yang cepat dan perkembangan galur baru dari HIV
(Richman dkk., 2003).
2.3 Terapi antiretroviral
Penggunaan terapi antiretroviral atau antiretroviral therapy (ART)
sebagai pengobatan infeksi HIV telah berkembang secara signifikan sejak
kesuksesan uji terapetik terhadap zidovudin (AZT/ZDV) pada tahun 1986.
Terapi ini tidak dapat menyembuhkan HIV/AIDS, tetapi dapat
memaksimalkan supresi replikasi HIV. Hal ini telah mengurangi total
morbiditas dan mortalitas pasien infeksi HIV, serta mereduksi transmisi
perinatal. Terapi ARV relatif poten, mudah dilakukan, dan dapat
ditoleransi dengan baik (Wagner, 2013). Selain itu pemberian terapi ARV
dapat meningkatkan kualitas hidup pasien HIV/AIDS (Kumarasamy dkk,
2011). Penggunaan terapi ARV secara kontinyu, terutama dengan
kombinasi obat, secara signifikan dapat memperlambat progresi penyakit
(Uretsky dan Odle, 2006).Terapi ARV diharapkan dapat membuat viral
load pada plasma pasien menjadi lebih rendah dari batas kuantifikasi atau
tidak terdeteksi. Selain penurunan viral load, diharapkan terjadi
peningkatan CD4, hal ini dapat mencegah terjadinya infeksi oportunistik
pada pasien (Fletcher dan Kakuda,2005).
2.2.3 Penggunaan ARV
Akses terhadap ARV di dunia pada saat terbilang sudah sangaT
luas, hingga akhir tahun 2012 di negara-negara berkembang terdapat total
1,6 juta orang menerima terapi ARV. Angka ini sangat jauh dibandingkan
dengan pererima ART di negara-negara berkembang pada tahun 2002
yaitu hanya sebanyak 300.000 orang. Jumlah tersebut masih jauh dari
target 15 juta penerima ART pada tahun 2015, sebuah target yang
dicanangkan oleh PBB (Persatuan Bangsa Bangsa) pada bulan Juni 2011
dalam General Assembly High-Level Meeting on AIDS di New York
(Anonim, 2013).
2.2.4 Golongan obat ARV
Menurut Merry dan Flexner (2012) saat ini terdapat lima golongan
obat ARV, yaitu :
1. nucleoside (NRTI) dan nucleotide (NtRTI) reverse transcriptas inhibitor
Obat golongan RTI merupakan awal kesuksesan dari obat obatan ARV.
Obat jenis ini merupakan inhibitor kompetitif dari proses reverse
transcription (RT), yaitu perubahan RNA menjadi DNA. Obatobat NRTI
akan ditangkap oleh sel-sel yang terinfeksi HIV dan kemudian
difosforilasi oleh enzim kinase sel inang menjadi derivat trifosfat dari
senyawa induk. Nukleotida yang dihasilkan akan dikenali oleh enzim
reverse trancriptase sebagai template RNA virus yang digunakan sebagai
penyusun komplemen DNA. Berbeda dengan golongan NRTI obat
golongan NtRI yang merupakan analog nukleotida tidak memerlukan
fosforilasi intraseluler. Mekanisme obat golongan NRTI dan NtRTI dapat
mencegah proses elongasi DNA dan menggagalkan proses RT sehingga
akan menekan replikasi virus (Schooley, 2004).
2. Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI)
Obat golongan NNRTI dapat berikatan langsung dengan enzim reverse
transcriptase dari HIV, menyebabkan inhibisi alosterik terhadap RNA dan
DNA yang tergantung pada polimerase DNA. Letak ikatan NNRTI
berdekatan tetapi berbeda dengan NRTI. Tidak seperti NRTI, NNRTI
tidak berkompetisi dengan nukleosida trifosfat dan tidak memerlukan
aktivasi dengan proses fosforilasi. Obat NNRTI menunjukkan aktivitas in
vitro yang rendah terhadap HIV-2. Resistensi NNRTI terjadi secara cepat
pada monoterapi dan dapat diakibatkan oleh mutasi tunggal. Walaupun
demikian tidak ditemukan resistensi silang antara NNRTI dengan NRTI.
Obat NNRTI kerap dikaitkan dengan terjadinya beragam keluhan
gastrointestinal dan ruam kulit (Safrin, 2009).
3. Protease inhibitor (PI)
Enzim protease bertanggung jawab dalam memecah molekul molekul
prekursor untuk membentuk protein struktural sebagai inti virion matang.
PI dapat mencegah terjadinya proses pemecahan molekul-molekul
prekursor, sehingga dapat mencegah perubahan protein viral menjadi
konformasi fungsional dan akan terbentuk partikel viral yang tidak matang
dan noninfektif. Obat obat PI bersifat aktif terhadap HIV-1 maupun HIV-2
(Safrin, 2009). Obat PI berupa protein abnormal yang memiliki
kemampuan antiviral tinggi dan secara umum dapat ditoleransi dengan
baik, walaupun demikian penggunaan jangka panjang kadang
menimbulkan gangguan metabolisme lipid dan karbohidrat (Lüllmann,
2000).
4. Entry inhibitor (EI)
Proses penetrasi HIV ke dalam sel inang merupakan hal yang kompleks
dan setiap tahapnya dapat menjadi target aksi obat EI. Proses ini diawali
dengan terbentuknya ikatan kompleks glikoprotein gp160 (tersusun atas
gp120 dan gp41) viral dengan reseptor CD4 seluler sel inang. Ikatan ini
akan menginduksi perubahan konformasional pada gp120 yang
memungkinkan akses ke kemokin koreseptor CCR5 atau CCR4. Ikatan
koreseptor menyebabkan perubahan konformasi lebih lanjut pada gp120
dan gp41, sehingga mengakibatkan terjadinya fusi viral envelope dengan
membran sel inang dan menginisiasi terjadinya penetrasi inti viral ke
dalam sitoplasma. Obat EI dapat menghambat proses di atas (Safrin,
2009).
5. Integrase inhibitor (INSTI)
Integrase adalah salah satu enzim HIV yang dapat menginduksi
penggabungan genom DNA virus dengan genom sel inang. Enzim ini
terletak di dalam partikel viral dan dilepaskan selama proses infeksi.
Integrase berikatan dengan DNA yang dihasilkan oleh enzim reverse
transcriptase dan menghilangkan dua nukleotida. Selanjutnya integrase
menangkap genom sel inang dan menggabungkan asam nukleat virus
dengan DNA seluler (Offermanns dan Rosenthal, 2008). INSTI mampu
menggagalkan replikasi virus dengan menghambat transfer untai DNA.
Obat ISTI dapat ditoleransi dengan baik dan memiliki efikasi yang sama
dengan terapi lini pertama. Metabolisme INSTI tidak melalui jalur
sitokrom P450. Karakteristik INSTI ini membuat beberapa pedoman ART
memasukkan INSTI ke dalam terapi lini pertama (Benn dkk, 2012).
2.3 Kepatuhan terapi ARV
Terapi ARV, terapi yang ditujukan bagi pasien dengan infeksi HIV
merupakan salah satu terapi oral yang paling membutuhkan ketelitian dan
perhatian lebih dari pasien. Diperlukan kepatuhan terapi yang tinggi untuk
memperoleh kesuksesan pengobatan dan mengurangi kemungkinan
terjadinya resistensi. Hal ini cukup sulit dipenuhi oleh sebagian pasien
yang mengalami efek samping jangka pendek maupun jangka panjang,
seperti fatigue, nausea, diare, insomnia, akumulasi lemak, perubahan
indera perasa, dan neuropati perifer. Untuk memperoleh manfaat penuh
dari terapi ARV diperlukan tidak hanya dengan meminum semua dosis
seperti pada penyakit kronis lain, tetapi harus mengikuti regimen dosis
(frekuensi, waktu, dll) dan aturan makan yang ketat dengan sempurna.
Kebanyakan pasien memiliki tingkat kepatuhan terapi yang belum
sempurna sehingga potensi ARV yang diperoleh belum maksimal (Safren
dkk, 2008).
Kepatuhan mempengaruhi terapi HIV melalui dua cara.
Pertama,kepatuhan terhadap terapi HIV mengakibatkan obat-obatan ARV
dapat bekerja secara efektif untuk mengurangi jumlah HIV di dalam
tubuh. Melewatkan pengobatan walaupun jarang dapat memberikan
kesempatan pada HIV utuk bereplikasi dengan cepat. Kedua, kepatuhan
terapi HIV dapat mencegah resistensi obat. Resistensi terjadi akibat virus
bermutasi dan menjadi resisten terhadap obat ARV. Satu atau lebih obat
ARV dalam 30 regimen terapi dapat menjadi tidak efektif lagi akibat
resistensi sehingga dapat menurunkan kemungkinan kesuksesan terapi
(Anonim, 2012). Risiko ini tidak hanya pada pasien yang tidak patuh
dalam menjalani terapi, tetapi juga pada komunitas pasien sebab virus
yang telah resisten dapat ditansmisikan dari satu orang ke orang lain
(Safren dkk, 2008). Resistensi dapat terjadi dengan sangat cepat, bahkan
hanya setelah satu minggu tidak minum obat atau tidak rutin minum obat.
Sekali resistensi terjadi, maka keefektivan obat tersebut pada individu
tersebut hilang selamanya, pada beberapa kasus dapat terjadi resistensi
silang dengan obat lain (Bambergerdkk, 2000).
Pasien dengan tingkat kepatuhan terapi yang rendah akan
menunjukkan nilai viral load yang tinggi dan berisiko tinggi mengalami
kegagalan terapi. Sebaliknya, pasien yang memiliki kepatuhan 100% akan
mengalami supresi virus. Pasien HIV/AIDS yang menghentikan
pengobatan ARV lebih berisiko mengalami progresivitas penyakit dan
mortalitas (Goldstein, 2010). Kepatuhan terapi ARV dan penanganannya
sangat bervariasi diantara kelompok usia, kelas sosial-ekonomi, dukungan
sosial, dan keterjangkauan terhadap layanan kesehatan. Faktor risiko lain
yang dapat menyebabkan ketidakpatuhan terapi ARV antara lain
kepercayaan, ketidakmampuan beradaptasi dengan pengobatan, stigma
sosial, stres, trauma, depresi, kecemasan, keputusasaan, permasalahan
rumah tangga, keuangan, pekerjaan, dan penyalahgunaan obat. Faktor
faktor tersebut tidak hanya menjadi hambatan bagi kepatuhan terapi ARV,
tetapi juga mempengaruhi kesehatan pasien HIV/AIDS secara keseluruhan
(Parrisbagolun, 2013).
Konseling dapat dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan terapi
ARV, berikut merupakan tahapan konseling untuk meningkatkan
kepatuhan terapi ARV yang diuraikan dalam Anonim (2011).
1. Membina hubungan kepercayaan dengan pasien
2. Memberikan informasi akurat mengenai manfaat ARV
3. Membantu pasien menemukan orang yang dapat membantu
Pengobatan (misalnya keluarga atau teman)
4. Mengembangkan regimen terapi yang sesuai dengan keseharian pasien
5. Mendiskusikan cara yang paling sesuai untuk digunakan sebagai
pengingat minum obat
6. Menyederhanakan regimen terapi dan meminimalkan efek samping
obat
7. Mengidentifikasi penyebab ketidakpatuhan pasien dan
memberikansolusi sesuai dengan faktor penyebabnya.
Top Related