A. PENGERTIAN HUKUM
Menurut Deden Dermawan dan Sujono Riyadi(2010) hukum didefinisikan sebagai
Ugeran(norma )yang mengatur hubungan kemasyarakatan.Menurut KBBI hukum adalah
Undang-Undang peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat,yang
dikukuhkan oleh penguasa,pemerintah atau otoritas.Hukum adalah keseluruhan
kumpulan peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah dalam suatu kehidupan bersama; atau
keseluruhan peraturan tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang
dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi.
Hukum adalah keseluruhan peraturan yang mengatur dan menguasai manusia dalam
kehidupan bersama. Berkembang di dalam masyarakat dalam kehendak, merupakan
sistem peraturan, sistem asas-asas, mengandung pesan kultural karena tumbuh dan
berkembang bersama masyarakat.
Pengertian hukum kesehatan adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur hak dan
kewajiban baik dari tenaga kesehatan dalam melaksanakan upaya kesehatan maupun dari
individu dan masyarakat yang menerima upaya kesehatan tersebut dalam segala aspek
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif serta organisasi dan sarana.
B. PRINSIP-PRINSIP HUKUM
Prinsip atau asas hukum, sebagai sarana yang membuat hukum itu hidup, tumbuh dan
berkembang serta menunjukan kalau hukum itu bukan sekedar kosmos kaedah.
Kekosongan atau kumpulan dari peraturan belaka, sebab asas hukum itu mengandung
nilai-nilai dan tuntutan etis. Asas hukum tidak akan habis kekuatannya dengan
melahirkan suatu peraturan hukum, melainkan tetap saja ada dan akan melahirkan suatu
peraturan selanjutnya.Asas hukum menjadi alat anasir untuk mengisi kekosongan dan
kesenjangan hukum. Asas hukum akan menghindari keterbelakangan aturan normatif
dari realitas. Dari hukum yang normatif dan terus berjalan tertatih-tatih di belakang
kenyataan (het recht hint antcher).
Banyak yang memberikan komentar diantara ahli yuridis mengenai asas/ prinsip
hukum sebagai ground norm (Kelsen) dan penting dalam penyusunan sebuah aturan,
sebagaimana dikemukakan oleh Suparto Wijoyo (2005: 45 – 49):
a. Asas hukum itu adalah tendensi-tendensi, yang disyaratkan pada hukum oleh
pandangan kesusilaan kita (Paul Scholten}.
b. Asas hukum adalah ukuran-ukuran hukumiyah-etis, yang memberikan arah
pembentukan hukum (Karl Larens).
Dari asas itulah hukum positif memperoleh makna hukumnya. Di dalamnya juga
terdapat kriterium yang dengannya kualitas dari hukum itu dapat dinilai, hukum itu
dapat dipahami dengan berlatar belakang suatu asas yang melandasi (Meuwissen).Asas
adalah anggapan-anggapan pertimbangan-pertimbangan fundamental yang merupakan
dasar diletakkannya tingkahlaku kemasyarakatan (King Gie dan Ten Berg).
Dari uraian di atas, menunjukan betapa pentingnya asas hukum agar termuat dalam
suatu peraturan perundang-undangan. Asas hukum adalah jiwa (soul) dan jantung dari
peraturan hukum sehingga hukum itu menjadi kuat landasan sosiologis dan filsufisnya.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana memiliki landasan asas atau prinsip yang berfungsi sebagai patokan dalam
penerapan penegakan hukum.
Prinsip Pokok Negara Hukum
Dua belas prinsip pokok Negara Hukum yang berlaku di zaman sekarang ini
merupakan pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya suatu negara sehingga dapat
disebut sebagai Negara Hukum dalam arti yang sebenarnya. Di samping itu, jika konsep
Negara Hukum itu dikaitkan pula dengan paham negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha
Esa seperti Indonesia, maka keduabelas prinsip tersebut patut pula ditambah satu prinsip
lagi, yaitu: Prinsip Berke-Tuhanan Yang Maha Esa sebagai prinsip kesebelas gagasan
Negara Hukum modern
1. Supremasi Hukum (Supremacy of Law):
Adanya pengakuan normatif dan empirik akan prinsip supremasi hukum, yaitu
bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi.
Dalam perspektif supremasi hukum (supremacy of law), pada hakikatnya pemimpin
tertinggi negara yang sesungguhnya, bukanlah manusia, tetapi konstitusi yang
mencerminkan hukum yang tertinggi. Pengakuan normative atas supremasi hukum
tercermin dalam perumusan hukum dan/atau konstitusi, sedangkan pengakuan
empirik tercermin dalam perilaku sebagian terbesar masyarakatnya bahwa hukum itu
memang ‘supreme’. Bahkan, dalam republik yang menganut sistem presidential
yang bersifat murni, konstitusi itulah yang sebenarnya lebih tepat untuk disebut
sebagai ‘kepala negara’. Itu sebabnya, dalam sistem pemerintahan presidential, tidak
dikenal pembedaan antara kepala Negara dan kepala pemerintahan seperti dalam
sistem pemerintahan parlementer.
2. Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law):
Adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang
diakui secara normative dan dilaksanakan secara empirik. Dalam rangka prinsip
persamaan ini, segala sikap dan tindakan diskriminatif dalam segala bentuk dan
manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang, kecuali tindakan-
tindakan yang bersifat khusus dan sementara yang dinamakan ‘affirmative actions’
guna mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu atau kelompok
warga masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga mencapai tingkat
perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok masyarakat kebanyakan
yang sudah jauh lebih maju. Kelompok masyarakat tertentu yang dapat diberikan
perlakuan khusus melalui ‘affirmative actions’ yang tidak termasuk pengertian
diskriminasi itu misalnya adalah kelompok masyarakat suku terasing atau kelompok
masyarakat hukum adapt tertentu yang kondisinya terbelakang. Sedangkan
kelompok warga masyarakat tertentu yang dapat diberi perlakuan khusus yang
bukan bersifat diskriminatif, misalnya, adalah kaum wanita ataupun anak-anak
terlantar.
3. Asas Legalitas (Due Process of Law):
Dalam setiap Negara Hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam segala
bentuknya (due process of law), yaitu segala tindakan pemerintahan harus
didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan
perundang-undangan tertulis harus ada dan berlaku lebih dulu atau mendahului
tindakan atau perbuatan administrasi yang dilakukan. Dengan demikian, setiap
perbuatan atau tindakan administrasi harus didasarkan atas aturan atau ‘rules and
procedures’ (regels). Prinsip normatif demikian nampaknya sangat kaku dan dapat
menyebabkan birokrasi menjadi lamban. Karena itu, untuk menjamin ruang gerak
para pejabat administrasi negara dalam menjalankan tugasnya, maka sebagai
pengimbang, diakui pula adanya prinsip ‘frijsermessen’ yang memungkinkan para
pejabat administrasi negara mengembangkan dan menetapkan sendiri ‘beleid-regels’
atau ‘policy rules’ yang berlaku internal secara bebas dan mandiri dalam rangka
menjalankan tugas jabatan yang dibebankan oleh peraturan yang sah.
4. Pembatasan Kekuasaan:
Adanya pembatasan kekuasaan Negara dan organ-organ Negara dengan cara
menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan kekuasaan
secara horizontal. Sesuai dengan hukum besi kekuasaan, setiap kekuasaan pasti
memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenang-wenang, seperti
dikemukakan oleh Lord Acton: “Power tends to corrupt, and absolute power
corrupts absolutely”. Karena itu, kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara
memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat ‘checks and
balances’ dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi dan
mengendalikan satu sama lain. Pembatasan kekuasaan juga dilakukan dengan
membagi-bagi kekuasaan itu ke dalam beberapa organ yang tersusun secara vertical.
Dengan demikian, kekuasaan tidak tersentralisasi dan terkonsentrasi dalam satu
organ atau satu tangan yang memungkinkan terjadinya kesewenang-wenangan.
5. Organ-Organ Eksekutif Yang Bersifat Independen:
Dalam rangka pembatasan kekuasaan tersebut, tidak lagi cukup bahwa kekuasaan
Pemerintah dipisah dan dibagi-bagikan ke dalam beberapa organ seperti selama ini.
Untuk meningkatkan kualitas demokrasi dan demokratisasi, terutama sejak akhir
abad ke 20, kekuasaan pemerintahan juga semakin dikurangi dengan dibentuknya
berbagai ‘independent body’ seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(KOMNASHAM), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan bahkan lembaga
tradisional yang sebelumnya melekat sebagai bagian tak terpisahkan dari fungsi
eksekutif, juga dikembangkan menjadi independent seperti Bank Central, Organisasi
Tentara, Kepolisian, dan bahkan di beberapa Negara juga Kejaksaan dibuat
independent, sehingga dalam menjalankan tugas utamanya tidak dipengaruhi oleh
kepentingan politik memereka yang menduduki jabatan politik di pemerintahan. Di
hamper semua negara demokrasi, gejala pertumbuhan badan-badan independen
semacam itu merupakan sesuatu yang niscaya. Di Amerika Serikat sendiri, lebih dari
30-an badan semacam ini dikembangkan selama abad ke 20, dan biasa disebut
sebagai ‘independent auxiliary state organs’ (lembaga-lembaga negara yang
independent dan bersifat penunjang). Beberapa di antaranya diberi kewenangan
regulatoris sehingga biasa disebut sebagai ‘self regulatory body’. Di Indonesia, dapat
disebut beberapa di antaranya, misalnya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK), dan sebagainya.
6. Peradilan Bebas dan Tidak Memihak:
Adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial
judiciary). Peradilan bebas dan tidak memihak ini mutlak harus ada dalam setiap
Negara Hukum. Dalam menjalankan tugas judisialnya, hakim tidak boleh
dipengaruhi oleh siapapun juga, baik karena kepentingan jabatan (politik) maupun
kepentingan uang (ekonomi). Untuk menjamin keadilan dan kebenaran, tidak
diperkenankan adanya intervensi ke dalam proses pengambilan putusan keadilan
oleh hakim, baik intervensi dari lingkungan kekuasaan eksekutif maupun legislative
ataupun dari kalangan masyarakat dan media massa. Dalam menjalankan tugasnya,
hakim tidak boleh memihak kepada siapapun juga kecuali hanya kepada kebenaran
dan keadilan. Namun demikian, dalam menjalankan tugasnya, proses pemeriksaan
perkara oleh hakim juga harus bersifat terbuka, dan dalam menentukan penilaian dan
menjatuhkan putusan, hakim harus menghayati nilai-nilai keadilan yang hidup di
tengah-tengah masyarakat. Hakim tidak hanya bertindak sebagai ‘mulut’ undang-
undang atau peraturan perundang-undangan, melainkan juga ‘mulut’ keadilan yang
menyuarakan perasaan keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat.
7. Peradilan Tata Usaha Negara:
Meskipun peradilan tata usaha negara juga menyangkut prinsip peradilan bebas dan
tidak memihak, tetapi penyebutannya secara khusus sebagai pilar utama Negara
Hukum tetap perlu ditegaskan tersendiri. Dalam setiap Negara Hukum, harus
terbuka kesempatan bagi tiap-tiap warga negara untuk menggugat keputusan pejabat
administrasi Negara dan dijalankannya putusan hakim tata usaha negara
(administrative court) oleh pejabat administrasi negara. Pengadilan Tata Usaha
Negara ini penting disebut tersendiri, karena dialah yang menjamin agar warga
negara tidak didzalimi oleh keputusan-keputusan para pejabat administrasi negara
sebagai pihak yang berkuasa. Jika hal itu terjadi, maka harus ada pengadilan yang
menyelesaikan tuntutan keadilan itu bagi warga Negara, dan harus ada jaminan
bahwa putusan hakim tata usaha Negara itu benar-benar djalankan oleh para pejabat
tata usaha Negara yang bersangkutan. Sudah tentu, keberadaan hakim peradilan tata
usaha negara itu sendiri harus pula dijamin bebas dan tidak memihak sesuai prinsip
‘independent and impartial judiciary’ tersebut di atas.
8. Peradilan Tata Negara (Constitutional Court):
Di samping adanya Pengadilan Administrasi Negara atau Pengadilan Tata Usaha
Negara (verwaltungsgericht), di lingkungan negara-negara yang menganut tradisi
‘civil law’, sejak tahun 1920, juga berkembang adanya Pengadilan Tata Negara
(verfassungsgericht). Jika pengadilan tata usaha negara dapat disebut sebagai
fenomena abad ke-19 dan karena itu dianggap sebagai salah satu ciri penting konsep
‘rechtsstaat’ abad ke-19, maka dengan berkembangnya pengadilan tata negara pada
abad ke-20, adalah wajar pula jika keberadaannya organ baru ini, baik keberadaan
kelembagaannya yang berdiri sendiri ataupun setidaknya dari segi fungsinya sebagai
pengawal konstitusi sebagaimana yang dikaitkan dengan fungsi Mahkamah Agung
Amerika Serikat, juga sebagai ciri konsep negara hukum modern. Jika suatu negara
mengklaim menganut paham Negara Hukum, tetapi tidak tersedia mekanisme untuk
mengontrol konstitusionalitas pembuatan undang-undang ataupun konstitusionalitas
penyelenggaraan demokrasi, maka negara yang bersangkutan tidak sempurna untuk
disebut sebagai Negara Hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) ataupun
negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democracy).
9. Perlindungan Hak Asasi Manusia:
Adanya perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia dengan jaminan
hukum bagi tuntutan penegakannya melalui proses yang adil. Perlindungan terhadap
hak asasi manusia tersebut dimasyarakatkan secara luas dalam rangka
mempromosikan penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia
sebagai ciri yang penting suatu Negara Hukum yang demokratis. Setiap manusia
sejak kelahirannya menyandang hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang bersifat
bebas dan asasi. Terbentuknya Negara dan demikian pula penyelenggaraan
kekuasaan suatu Negara tidak boleh mengurangi arti atau makna kebebasan dan hak-
hak asasi kemanusiaan itu. Karena itu, adanya perlindungan dan penghormatan
terhadap hak-hak asasi manusia itu merupakan pilar yang sangat penting dalam
setiap Negara yang disebut sebagai Negara Hukum. Jika dalam suatu Negara, hak
asasi manusia terabaikan atau dilanggar dengan sengaja dan penderitaan yang
ditimbulkannya tidak dapat diatasi secara adil, maka Negara yang bersangkutan
tidak dapat disebut sebagai Negara Hukum dalam arti yang sesungguhnya.
10. Bersifat Demokratis (Democratische Rechtsstaat):
Dalam setiap Negara Hukum, dianut dan dipraktekkan adanya prinsip demokrasi
atau kedaulatan rakyat yang menjamin peranserta masyarakat dalam setiap proses
pengambilan keputusan kenegaraan. Dengan adanya peranserta masyarakat dalam
proses pengambilan keputusan tersebut, setiap peraturan perundang-undangan yang
ditetapkan dan ditegakkan dapat diharapkan benar-benar mencerminkan perasaan
keadilan yang hidup di tengah masyarakat. Hukum dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh
dan/atau hanya untuk kepentingan penguasa secara bertentangan dengan prinsip-
prinsip demokrasi. Karena hukum memang tidak dimaksudkan untuk hanya
menjamin kepentingan segelintir orang yang berkuasa, melainkan menjamin
kepentingan akan rasa adil bagi semua orang tanpa kecuali. Artinya, negara hukum
(rechtsstaat) yang dikembangkan bukanlah ‘absolute rechtsstaat’, melainkan
‘democratische rechtsstaat’ atau negara hukum yang demokratis. Dengan perkataan
lain, dalam setiap Negara Hukum yang bersifat nomokratis harus dijamin adanya
demokrasi, sebagaimana di dalam setiap Negara Demokrasi harus dijamin
penyelenggaraannya berdasar atas hukum.
11. Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Kesejahteraan (Welfare Rechtsstaat):
Hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang diidealkan bersama. Cita-cita
hukum itu sendiri, baik yang dilembagakan melalui gagasan negara demokrasi
(democracy) maupun yang diwujudkan melalaui gagasan negara hukum
(nomocrasy) dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan umum. Bahkan
sebagaimana cita-cita nasional Indonesia yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD
1945, tujuan bangsa Indonesia bernegara adalah dalam rangka melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social. Negara Hukum
berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan dan mencapai keempat tujuan negara
Indonesia tersebut. Dengan demikian, pembangunan negara Indonesia tidak akan
terjebak menjadi sekedar ‘rule-driven’, melainkan tetap ‘mission driven’, tetapi
‘mission driven’ yang tetap didasarkan atas aturan.
12. Transparansi dan Kontrol Sosial:
Adanya transparansi dan kontrol sosial yang terbuka terhadap setiap proses
pembuatan dan penegakan hukum, sehingga kelemahan dan kekurangan yang
terdapat dalam mekanisme kelembagaan resmi dapat dilengkapi secara
komplementer oleh peranserta masyarakat secara langsung (partisipasi langsung)
dalam rangka menjamin keadilan dan kebenaran. Adanya partisipasi langsung ini
penting karena sistem perwakilan rakyat melalui parlemen tidak pernah dapat
diandalkan sebagai satu-satunya saluran aspirasi rakyat. Karena itulah, prinsip
‘representation in ideas’ dibedakan dari ‘representation in presence’, karena
perwakilan fisik saja belum tentu mencerminkan keterwakilan gagasan atau aspirasi.
Demikian pula dalam penegakan hukum yang dijalankan oleh aparatur kepolisian,
kejaksaan, pengacara, hakim, dan pejabat lembaga pemasyarakatan, semuanya
memerlukan kontrol sosial agar dapat bekerja dengan efektif, efisien serta menjamin
keadilan dan kebenaran.
13. Berke-Tuhanan Yang Maha Esa:
Negara modern biasanya mengaitkan diri dengan paham sekularisme yang
memisahkan diri dari urusan-urusan keagamaan dan ketuhanan sama sekali. Negara
modern mengaku (claim) mampu bersikap netral dalam urusan-urusan agama dan
keagamaan[2]. Karena itu, dimensi-dimensi ketuhanan lazimnya berada di luar
jangkauan kajian kenegaraan. Akan tetapi, Negara Hukum Indonesia adalah negara
hukum yang berke-Tuhanan Yang Maha Esa. Karena setiap produk hukum
Indonesia di samping harus dibuat dan ditetapkan secara demokratis serta ditegakkan
tanpa melanggar hak-hak asasi manusia, juga mempersyaratkan adanya
persesuaiannya dengan ataupun terbebas dari kemungkinan bertentangan dengan
norma-norma agama yang diyakini oleh para subjek warganegara Indonesia. Hukum
Indonesia juga tidak boleh ditegakkan dengan semena-mena dengan tanpa
mempertimbangkan nilai-nilai keadilan yang hidup dalam konteks kehidupan umat
beragama dalam negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
Negara hukum Indonesia menurut UUD 1945 mengandung prinsip-prinsip sebagai
berikut:
a. Norma hukumnya bersumber pada Pancasila sebagai dasar dan adanya hierarki
jenjang norma hukum.S
b. Sistem konstitusional, yaitu UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan di
bawahnya membentuk kesatuan sistem hukum.
c. Kedaulatan rakyat atau prinsip demokrasi. Hal ini tampak pada Pembukaan UUD
1945: “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/ perwakilan” dan pasal 1A ayat 2 UUD 1945: “kedaulatan berada
di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar.”
d. Prinsip persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan (pasal 27A ayat (1)
UUD 1945).
1. Adanya organ pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden).
2. Sistem pemerintahannya adalah presidensiil.
3. Kekuasaan kehakiman yang bebas dari kekuasaan lain (eksekutif).
4. Hukukm bertujuan melindungi untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh
tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
5. Adanya jaminan akan hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia (pasal
28A—28J UUD 1945).
C. SUMBER DAN MACAM-MACAM HUKUM
a. Pancasila
Kedudukan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah:
1. Sebagai dasar negara sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945 alinea
keempat.
2. Sebagai jiwa dan pandangan hidup bangasa Indonesia.
3. Meliputi suasana kebatinan dari UUD Negara Indonesia.
4. Mewujudkan cita-cita hukum,yang menguasaia hukum dasar negara,baik yang
tertulis(UUD) maupun hukum dasar yang tidak tertulis(aturan-aturan dasar yang
tumbuh dan terpelihara dalam politik penyelenggaraan negara,meskipun tidak
tertulis),aturan –aturan semacam ini disebut Konvensi.
Dalam sistem /tata urutan hukum di Indonesia,Pancasila sebgai sumber dari segala
sumber hukum.
b. Undang-Undang Dasar 1945
1. Menciptakan pokok-pokok pikiran(Pancasila) dalam pasal-pasalnya
2. Memuat aturan-aturan pokok,sedang aturan yang menyelenggarakan aturan pokok
diserahkan kepada undang-undang yang lebih mudah carnya membuat,merubah
dan mencabut.
3. Dalam sistem hukum,UUD 1945 sebagai sumber hukum dengan demikian
peraturan prundang-perundang yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan
UUD 1945.
4. UUD 1945 berisi norma,aturan atau ketentuan yang harus dilaksanakan dan ditaati
oleh pemerintah,setiap Lembaga Negara,lembaga masyarakat dan setiap warga
negara dan penduduk Indonesia.
5. Dalam kerangka tata susunan atau tata tingkat norma hukum yang berlaku
merupakan hukum yang menempati kedudukan tinggi.
6. UUD 1945 juga mempunyai fungsi sebagai alat kontrol apakah norma hukum
yang lebih rendah sesuai atau tidak sesuai dengan ketentuan UUD 1945.
Para ahli membagi suber hukum menjadi 2 bagian:
a. Sumber hukum materiil
Sumber hukum materiil adalah faktor yg turut serta menentukan isi hukum. Dapat
ditinjau dari berbagai sudut misalnya sudut ekonomi, sejarah, sosiologi, filsafat,
agama, dan sebagainya. Dalam kata lain sumber hukum materil adalah faktor-faktor
masyarakat yang mempengaruhi pembentukan hukum (pengaruh terhadap pembuat
UU, pengaruh terhadap keputusan hakim, dsb). Atau faktor yang ikut mempengaruhi
materi (isi) dari aturan-aturan hukum, atau tempat darimana materi hukum tiu
diambil. Sumber hukum materil ini merupakan faktor yang membantu pembentukan
hukum.Faktor tersebut adalah:
1. Faktor tersebut adalah faktor idiil dan faktor kemasyarakatan.
Faktor idiil adalah patokan-patokan yang tetap mengenai keadilan yang harus
ditaati oleh para pembentuk UU ataupun para pembentuk hukum yang lain
dalam melaksanakan tugasnya.
2. Faktor kemasyarakatan
Faktor kemasyarakatan adalah hal-hal yang benar-benar hidup dalam
masyarakat dan tunduk pada aturan-aturan yang berlaku sebagai petunjuk hidup
masyarakat yang bersangkutan. Contohnya struktur ekonomi, kebiasaan, adat
istiadat, dan sebagainya.
Dalam berbagai kepustakan hukum ditemukan bahwa sumber hukum materil itu
terdiri dari tiga jenis yaitu (van Apeldoorn) :
a. Sumber hukum historis (rechtsbron in historischezin) yaitu tempat kita dapat
menemukan hukumnya dalam sejarah atau dari segi historis. Sumber hukum ini
dibagi menjadi :
1. Sumber hukum yg merupakan tempat dapat ditemukan atau dikenal
hukum secara historis : dokumen-dokumen kuno, lontar, dan lain-lain.
2. Sumber hukum yg merupakan tempat pembentuk UU mengambil
hukumnya.
b. Sumber hukum sosiologis (rechtsbron in sociologischezin) yaitu Sumber hukum
dalam arti sosiologis yaitu merupakan faktor-faktor yang menentukan isi hukum
positif, seperti misalnya keadaan agama, pandangan agama, kebudayaan dan
sebagainya.
c. Sumber hukum filosofis (rechtsbron in filosofischezin) sumber hukum ini dibagi
lebih lanjut menjadi dua :
1. Sumber isi hukum; disini dinyatakan isi hukum asalnya darimana.
Ada tiga pandangan yang mencoba menjawab pertanyaan ini yaitu :
a. pandangan theocratis, menurut pandangan ini hukum berasal dari
Tuhan
b. pandangan hukum kodrat; menurut pandangan ini isi hukum berasal
dari akal manusia
c. pandangan mazhab hostoris; menurut pandangan isi hukum berasal dari
kesadaran hukum.
2. Sumber kekuatan mengikat dari hukum yaitu mengapa hukum mempuyai
kekuatan mengikat, mengapa kita tunduk pada hukum.
b. Sumber Hukum Formal
1. Undang-undang
Undang-undang yaitu suatu peraturan negara yang mempunyai kekuatan hukum
yang mengikat diadakan dan dipelihara oleh penguasa negara
Menurut Buys, Undang-Undang itu mempunyai 2 arti :
a. Dalam arti formil, yaitu setiap keputusan pemerintah yang merupakan UU
karena cara pembuatannya (misalnya, dibuat oleh pemerintah bersama-
sama dengan parlemen)
b. Dalam arti material, yaitu setiap keputusan pemerintah yang menurut isinya
mengikat setiap penduduk.
Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut (Pasal 7
UU No. 10/2004) :
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
3. Peraturan Pemerintah;
4. Peraturan Presiden;
5. Peraturan Daerah (propinsi, kabupaten, desa)
2. Kebiasaan (custom)
Kebiasaan adalah perbuatan manusia yang tetap dilakukan berulang-ulang dalam
hal yang sama. Apabila suatu kebiasaan tertentu diterima oleh masyarakat dan
kebiasaan itu selalu berulang-ulang dilakukan sedemikan rupa, sehingga tindakan
yang berlawanan dengan kebiasaan itu dirasakan sebagai pelanggaran perasaan
hukum, maka dengan demikian timbullah suatu kebiasaan hukum, yang oleh
pergaulan hidup dipandang sebagai hukum.
Contoh apabila seorang komisioner sekali menerima 10 % dari hsil penjualan
atau pembelian sebagai upah dan hal ini terjadi berulang dan juga komisioner yg
lainpun menerima upah yang sama yaitu 10 % maka oleh karena itu timbul suatu
kebiasaan yg lambat laun berkembang menjadi hukum kebiasaan.
Namun demikian tdk semua kebiasaan itu pasti mengandung hukum yg baik dan
adil oleh sebab itu belum tentu kebiasaan atau adat istiadat itu pasti menjadi
sumber hukum formal.
Adat kebiasaan tertentu di daerah hukum adat tertentu yg justru sekarang ini
dilarang untuk diberlakukan karena dirasakan tidak adil dan tidak
berperikemanusiaan sehingga bertentangan denagan Pancasila yang merupakan
sumber dari segala sumber hukum, misalnya jika berbuat susila/zinah, perlakunya
ditelanjangi kekeliling kampung.
Untuk timbulnya hukum kebiasaan diperlukan beberapa syarat :
1. Adanya perbuatan tertentu yg dilakukan berulang2 di dalam masyarakat
tertentu (syarat materiil)danya keyakinan hukum dari masyarakat yang
bersangkutan (opinio necessitatis = bahwa perbuatan tsb merupakan
kewajiban hukum atau demikianlah seharusnya) = syarat intelektual
2. Adanya akibat hukum apabila kebiasaan itu dilanggar.
3. Selanjutnya kebiasaan akan menjadi hukum kebiasaan karena kebiasaan
tersebut dirumuskan hakim dalam putusannya. Selanjutnya berarti
kebiasaan adalah sumber hukum.
Kebiasaan adalah bukan hukum apabila UU tidak menunjuknya (pasal 15 AB =
(Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia = ketentuan2 umum
tentang peraturan per UU an untuk Indonesia
Disamping kebiasaan ada juga peraturan yang mengatur tata pergaulan
masyarakat yaitu adat istiadat. Adat istiadat adalah himpunan kaidah sosial yang
sudah sejak lama ada dan merupakan tradisi serta lebih banyak berbau sakral,
mengatur tata kehidupan masyarakat tertentu. Adat istiadat hidup dan
berkembang di masyarakat tertentu dan dapat menjadi hukum adat jika mendapat
dukungan sanksi hukum. Contoh Perjanjian bagi hasil antara pemilik sawah
dengan penggarapnya. Kebiasaan untuk hal itu ditempat atau wilayah hukum adat
tertentu tidak sama dengan yang berlaku di masyarakat hukum adat yang lain.
Kebiasaan dan adat istiadat itu kekuatan berlakunya terbatas pada masyarakat
tertentu.
3. Yurisprudensi (keputusan2 hakim)
Jurisprudensi adalah keputusan hakim yang terdahulu yag dijadikan dasar pada
keputusan hakim lain sehingga kemudian keputusan ini menjelma menjadi
keputusan hakim yang tetap terhadap persoalan/peristiwa hukum tertentu.
Seorang hakim mengkuti keputusan hakim yang terdahulu itu karena ia
sependapat dgn isi keputusan tersebut dan lagi pula hanya dipakai sebagai
pedoman dalam mengambil sesuatu keputusan mengenai suatu perkara yang
sama.
a. Yurisprudensi tetap keputusan hakim yg terjadi karena rangkaian
keputusan yang serupa dan dijadikan dasar atau patokanuntuk
memutuskan suatu perkara (standart arresten).
b. Yurisprudensi tidak tetap, ialah keputusan hakim terdahulu yang bukan
standart arresten.
4. Traktat (treaty)
Traktat adalah perjanjian yang diadakan oleh 2 negara atau lebih yang mengikat
tidak saja kepada masing-masing negara itu melainkan mengikat pula warga
negara-negara dari negara-negara yang berkepentingan.
Macam-macam Traktat :
a. Traktat bilateral, yaitu traktat yang diadakan hanya oleh 2 negara, misalnya
perjanjian internasional yang diadakan diadakan antara pemerintah RI
dengan pemerintah RRC tentang “Dwikewarganegaraan”.
b. Traktat multilateral, yaitu perjanjian internasional yang diikuti oleh beberapa
negara, misalnya perjanjian tentang pertahanan negara bersama negara-negara
Eropa (NATO) yang diikuti oleh beberapa negara Eropa.Perjanjian
(overeenkomst) adalah suatu peristiwa dimana dua orang atau lebih saling
berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan tertentu. Para pihak
yang telah saling sepakat mengenai hal-hal yang diperjanjikan, berkewajiban
untuk mentaati dan melaksanakannya (asas (pact sunt servanda).
5. Pendapat sarjana hukum (doktrin)
Pendapat sarjanan hukum (doktrin) adalah pendapat seseorang atau beberapa
orang sarjana hukum yang terkenal dalam ilmu pengetahuan hukum. Doktrin ini
dapat menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusannya.
D. FUNGSI HUKUM DALAM PRAKTEK KEPERAWATAN
1. Membantu dalam mempertahankan standar praktek keperawatan dengan
meletakkan posisi perawat memiliki akutabilitas di bawah hukum
2. Memberikan kerangka untuk menentukan tindakan keperawatan mana yang sesuai
dengan hukum
3. Membedakan tanggungjawab perawat dengan profesi lain
4. Membantu menentukan batasan kewenagan tindakan keperawatan mandiri
5. Membantu dalam mempertahankan standar praktek keperawatan
E. PERAWAT SEBAGAI SAKSI AHLI
a. Pengertian Saksi Ahli
Saksi ahli adalah seseorang yang dapat menyimpulkan berdasarkan pengalaman
keahliannya tentang fakta atau data suatau kejadian, baik yang ditemukan sendiri
maupun oleh orang lain, serta mampu menyampaikan pendapatnya tersebut
(Franklin C.A, 1988).Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sebagai saksi ahli
harus dapat menarik kesimpulan, serta menyatakan pendapat sesuai dengan
keahliannya. Berdasarkan pasal 184 KUHAP ayat (1), keterangan ahli yang
diberikan oleh saksi ahli di pengadilan adalah merupakan salah satu alat bukti yang
syah. (Rahman Ardan, 2007).
b. Syarat Perawat Sebagai Saksi Ahli
Pengacara melihat beberapa faktor ketika mereka mempertahankan perawat baik
konsultan hukum atau saksi ahli, dengan syarat : (Paterson, 2007)
a. Seorang perawat harus memiliki minimal sarjana ilmu di keperawatan untuk
menarik minat firma hukum atau lembaga kesehatan.
b. Perawat yang memiliki pengalaman klinis saat ini di bidang minat atau
perhatian.
c. Sertifikasi Specialty adalah faktor lain yang akan dipertimbangkan ketika
mempertahankan perawat konsultan hukum atau saksi ahli.
d. Reputasi perawat di daerahnya, keahlian merupakan faktor penting juga.
e. Seorang perawat yang memiliki masalah hukum sebelumnya tidak dapat
dijadikan sebagai saksi ahli.
f. Seorang perawat harus dapat menerjemahkan isu-isu kompleks tentang
kesehatan dengan istilah sederhana yang dimengerti oleh pengacara lain, juri,
dan hakim.
c. Perbedaan Perawat sebagai Konsultan Hukum dengan Saksi ahli
Ada beberapa perbedaan penting antara perawat konsultan hukum dan saksi ahli :
a. Perawat konsultan hukum biasanya disewa untuk meninjau kasus-kasus dan
menentukan apakah kasus ini berjasa. Dalam membuat penentuan ini, mereka
biasanya mengatur catatan medis yang bersangkutan dan menyiapkan
kronologis atau waktu yang terkait dengan kasus tertentu. Mereka mungkin
juga bertanggung jawab untuk meneliti sastra dan standar pelayanan yang
penting berkaitan dengan isu-isu dalam kasus tersebut. Beberapa konsultan
hukum perawat membantu pengacara karena mereka merumuskan pertanyaan
yang akan ditanyakan pada deposisi atau di pengadilan. Konsultan Hukum
perawat juga dapat disewa oleh organisasi perawatan kesehatan untuk
melayani sebagai manajer risiko atau ahli pengurangan risiko. Salah satu
perbedaan yang sangat penting adalah bahwa perawat konsultan hukum tidak
biasanya menawarkan kesaksian ahli di deposisi atau di pengadilan.
Akibatnya, beberapa perawat praktek maju mungkin merasa sulit untuk disewa
oleh sebuah firma hukum karena biro hukum mungkin tidak ingin
menduplikasi meninjau grafik dan persiapan kasus ketika mereka akan harus
memiliki saksi ahli juga meninjau kasus untuk bersaksi. Jika Anda
dipertahankan sebagai perawat konsultan hukum Anda mungkin
mengharapkan imbalan kurang daripada jika anda melayani sebagai saksi ahli
karena tanggung jawab kurang terlibat.
b. Saksi ahli ,perawat terlibat dalam kegiatan yang mirip dengan perawat
konsultan hukum. Sebagai contoh, mereka mungkin akan diminta untuk
mengatur catatan medis, menyiapkan garis waktu, penelitian literatur terkait,
dan menyelidiki standar asuhan keperawatan. Namun, juga diharapkan bahwa
mereka akan bersedia untuk bersaksi di deposisi dan sidang harus perlu timbul.
Seperti perawat konsultan hukum, saksi ahli juga bisa disewa oleh organisasi
perawatan kesehatan di posisi pengurangan risiko. Ahli saksi biasanya cukup
dibayar sedikit lebih untuk layanan mereka.
d. Tata Cara Pemanggilan Saksi Ahli
Tata cara pemanggilan saksi ahli diatur dalam pasal 227 KUHAP, secara garis
besarnya adalah :
a. Semua jenis pemberitahuan atau panggilan oleh pihak yang berwenang
disampaikan selambat-lambatnya tiga hari sebelum tanggal hadir yang
ditentukan.
b. Petugas yang melaksanakan panggilan harus bertemu sendiri dan berbicara
langsung dengan orang yang dipanggil.
c. Bila orang yang dipanggil tidak terdapat disalah satu tempat tinggalnya atau
tempat kediamannya yang terakhir, surat panggilan disampaikan melalui
Kepala Desa atau pejabat, dan jika di luar negeri melalui perwakilan Republik
Indonesia di tempat dimana orang yang dipanggil tinggal.
e. Persiapan Perawat Sebagai Saksi Ahli
Perawat konsultan hukum dan peran saksi ahli membutuhkan fleksibilitas. Dalam
sejumlah kasus, saksi atau ahli konsultan perlu :
a. Menyiapkan bahan dan meninjau dokumen produktif dalam waktu yang relatif
singkat.
b. Saksi ahli perawat juga harus siap untuk tampil di deposisi atau dalam sidang
ketika diperintahkan.
f. Kewajiban dan Hak Perawat sebagai Saksi Ahli
Didasarkan KUHAP, saksi ahli memiliki kewajiban dan hak sebagai berikut:
a. Kewajiban sebagai saksi alih:
1. Didasarkan pasal 159 ayat (2) KUHA Pidana saksi ahli wajib menghadap
ke persidangan setelah dipanggil dengan patut.
2. Didasarkan pasal 160 KUHA Pidana, saksi ahli wajib ber-sumpahmenurut
agamanya untuk memberi keterangan yang sebenarnya.
b. Hak sebagai saksi ahli:
1. Didasarkan pasal 229 KUHAP, saksi ahli yang telah hadir berhak
mendapatpenggantian biaya menurut Undang-undang yang berlaku.
Walaupun seorang perawat dapat menggunakan hak ingkar untuk tidak
memberikan keterangan karena adanya kewajiban menyimpan rahasia
jabatan,berdasarkan pasal 179 ayat (1) KUHA Pidana, setiap orang yang
diminta - minta pendapatnya sebagai keperawatan atau tenaga kesehatan
lainya, kita harus wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan. Sekalipun
perawat memiliki hak ingkar untuk dapat menolak memberikan keterangan
yang berhubungan dengan pasiennya, karena kewajiban menjaga rahasia
jabatan, tetapi harus disadari tanggung jawabnya untuk mengutamakan
kepentingan masyarakat dan negara. Perawat dapat membuka kerahasiaan
pasien bila :
a. Ada perintah dari hakim, sesuai pasal 180 ayat (1) KUHA Pidana.
b. Ada permintaan tertulis dari penyidik, sesuai pasal 133 KUHA
Pidana.
c. Untuk melaksanakan perintah atasan, sesuai pasal 51 KUHA
Pidana, contoh Perawat Militer.
d. Untuk melaksanakan ketentuan Undang Undang, sesuai pasal 50
KUHA Pidana.
e. Kasus yang dihadapi menyangkut kepentingan umum yang
membahayakan ketertiban umum, dimana pendapat dan keterangan
yang diberikan perawat dapat memberi nilai bagi proses keadilan.
Apabila perawat menolak memenuhi kewajiban untuk dipanggil
sebagai saksi ahli dibidang Keperawatan, maka berdasarkan pasal
224 KUHA Pidana, diancam pidana penjara.
g. Perencanaan dalam Pembuatan Usaha Perawat sebagai Saksi Ahli
a. Proses Perencanaan Usaha
1. Mengidentifikasi Peluang Usaha
Pada saat ini banyak sekali kelalaian yang dilakukan oleh perawat dalam
melakukan tindakan keperawatan dan perawat juga banyak berurusan dengan
masalah hukum. Masalah seperti ini yang dapat mendasari untuk membuka
peluang usaha entrepreneurship.
2. Menentukan Jenis Usaha yang akan Dijalankan
Sebagai seorang perawat entrepreneurship dapat membantudalam
menyelesaikan masalah masalah kelalaian perawat dalam melakukan
tindakan keperawatan perawat dapat membuka peluang usaha sebagai saksi
ahli.
3. Faktor Pendukung
1. Banyaknya kelalaian yang dilakukan seorang perawat dalam
memberikan tindakan keperawatan kepada pasien
2. Adanya kelegalan dalam usaha perawat sebagai saksi ahli
4. Faktor Penghambat
1. Terbatasnya sumber modal yang ada
5. Faktor Lingkungan
1. Internal contohnya kurangnya pengetahuan, ketrampilan dan pengala
man dalam berwirausaha.
2. External contohnya banyaknya pesaing dalam penyediaan jasa yang
sama.
6. Implementasi
Tahap ini merupakan tahap yang paling inti dalam proses berbisnis dan tentu
saja merupakan tahap yang paling sulit. Semua orang bisa punya ide, namun
tidak semua orang berani take action.
1. Sasaran : Perawat yang berurusan dengan masalah hukum yang
melakukan kelalaian ( malpraktek ) dalam tindakan keperawatan.
2. Biaya : Biaya diambil dari keputusan dua belah pihak antara partner dan
kita sebagai perawat sebagai saksi ahli.
7. Evaluasi
Dari evaluasi ini, kita bisa mengetahui implementasi yang kita lakukan
berhasil atau tidak. Sama dalam dunia bisnis, evaluasi akan memberikan
gambaran kepada kita konsep yang sudah kita jalankan berhasil atau tidak.
Jika berhasil, maka kita bisa lakukan peningkatan, namun jika tidak,
perubahan rencana dan strategi bisa dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Dermawan,Deden dan Sujono Riyadi.2010.Keperawatan Profesional.Yogjakarta:Gosyen
Publising.
Purnama.2013.Prinsip Hukum.Terdapat:http://purnama-bgp.blogspot.com/2013/05/prinsip-
negara-hukum-indonesia.html(diakses tanggal 17 September 2014).
Damang.2010.Prinsip Hukum.Terdapat:http://www.negarahukum.com/hukum/prinsip-
prinsip-hukum.html(diakses tanggal 17 September 2014).
Pino.2012.Hukum dan Regulasi dalam Keperawatan.Terdapat:
http://pinocc.blogspot.com/2012/12/makalah-keprof-askep-hukum-dan-
regulasi.html(diakses tanggal 17 September 2014).
Infokom Uniriyo.2011.Perawat Sebagai Saksi.Terdapat:
http://infokomaccess.blogspot.com/2011/07/kata-pengantar-puji-syukur-
penyusun.html(diakses tanggal 17 September 2014).
ASPEK HUKUM DAN REGULASI DALAM KEPERAWATAN
OLEH:
KELOMPOK 7 TINGKAT 2.1 REGULER
KADEK LISA PRADNYAMITA P07120013027
NI MADE ARY PRIYANTI PUSPARINI P07120013028
PUTU DINA ARISTA P07120013029
NI NYOMAN AYU DARMA SANTHINI P07120013030
NI PUTU ANNA WILLYANI P07120013031
POLTEKKES KEMENKES DENPASAR
JURUSAN KEPERAWATAN
2014
Top Related