PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, DANA ALOKASI UMUM, PAJAK
DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH TERHADAP BELANJA MODAL DI
KABUPATEN/KOTA PROVINSI RIAU
TAHUN 2010-2014
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah
Untuk Memenuhi Persyaratan guna Memperoleh
Gelar Sarjana Ekonomi
Oleh :
DIAN PRATIWI
NIM: 1111084000030
JURUSAN ILMU EKONOMI DAN STUDI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H/2016 M
i
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. DATA PRIBADI
1. Nama Lengkap : Dian Pratiwi
2. Tempat, Tanggal Lahir : Airtitris, 5 Januari 1993
3. Alamat : Jl. Pahlawan No. 87 Rempoa, Ciputat
Kota Tangerang Selatan
4. Telepon : 085282206450
5. Email : [email protected]
II. PENDIDIKAN FORMAL
1. SD : SDN 011 Langgini Bangkinang, Riau
2. SMP : SMPN 1 Bangkinang, Riau
3. SMA : SMAN 2 Bangkinang, Riau
4. S1 : Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta
III. PENDIDIKAN NON FORMAL
English Course Latanza Institute, Tahun 2012
Wall Street English Course, Jakarta Tahun 2013
Wahana Kursus Komputer, Tahun 2011
ii
IV. Pengalaman Organisasi
1. Anggota Div. Pudekdok HMJ IESP Tahun 2012-2013
V. SEMINAR DAN WORKSHOP
1. Seminar Peringatan Hari Kartini “Membentuk Karakter Kartini Masa Kini
yang Maju, Cerdas, Mandiri dan Beretika” diselenggarakan oleh BEM
FEB UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 8 Mei 2012
2. Panitia dalam acara “Islamic Economy Revivalism; Between Theory and
Practice” diselenggarakan oleh Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta 15 September 2012
3. Peserta dalam acara Islamic Fair: Training dan Talkshow: “kokohkan iman
dan budayamu ditengah terjangan globalisasi” diselenggarakan oleh LDK
KOMDA FEB & FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 20 Desember 2012
4. Dialog jurusan dan seminar konsentrasi “Mengenal Lebih Dekat Dengan
Jurusan Sendiri”, diselenggarakan oleh HMJ IESP Fakultas Ekonomi dan
Bisnis” UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 3 Oktober 2014.
5. Peserta dalam acara Seminar Nasional “Korupsi Mengkorupsi Indonesia”
diselenggarakan oleh Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 3 Desember 2014
VI. LATAR BELAKANG KELUARGA
1. Ayah : Ir. H. Mhd. Nur, SP, MM
2. Tempat, Tanggal Lahir : Airtiris, 12 November 1958
3. Ibu : Hj. Hasmiaty, SE
iii
4. Tempat, Tanggal Lahir : Selat Panjang, 21 April 1971
5. Alamat : Jl. Cikditiro no 1, Bangkinang, Riau
6. Telepon : 085278039658
7. Anak ke : 2 dari 4 bersaudara
iv
ABSTRACT
This study aims to look at the effect of economic growth, the general
allocation fund, local taxes and levies on capital expenditures in the District / City
Riau Province during the period 2010-2014. This study uses panel data by
selecting the best model is the Fixed Effects Model (FEM).
These results indicate that the regional taxes and the General Allocation
Fund have a significant effect and has a positive statistical relationship to capital
expenditures, while economic growth has no significant effect and negative effect
on capital expenditure and does not affect significantly the levy and positive effect
on capital spending. Based on the results obtained by the coefficient of
determination R2 of 90.08% means that the variables of economic growth, the
general allocation fund, tax, retribution in this study may explain the dependent
variable is the capital expenditure, and the remaining 9.92% is explained by other
variables outside the study.
Keywords: Economic Growth, the General Allocation Fund, Local Taxes, Levies,
Capital Expenditure, Fixed Effect Model (FEM)
v
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pertumbuhan ekonomi, dana
alokasi umum, pajak daerah dan retribusi daerah terhadap belanja modal di
Kabupaten/Kota Provinsi Riau selama periode 2010-2014. Penelitian ini
menggunakan data panel dengan pemilihan model terbaik adalah Fixed Effect
Model (FEM).
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pajak daerah dan dana alokasi umum
berpengaruh signifikan dan memiliki hubungan yang positif secara statistik
terhadap belanja modal, sedangkan pertumbuhan ekonomi tidak memiliki
pengaruh yang signifikan dan berpengaruh negatif terhadap belanja modal dan
retribusi tidak berpengaruh signifkan dan berpengaruh positif terhadap belanja
modal. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh nilai koefisien determinasi R2
sebesar 90.08% artinya variabel pertumbuhan ekonomi, dana alokasi umum, pajak
daerah, retribusi daerah dalam penelitian ini dapat menjelaskan variabel dependen
yaitu belanja modal, dan sisanya 9.92% dijelaskan oleh variabel lain diluar
penelitian ini.
Kata Kunci : Pertumbuhan Ekonomi, Dana Alokasi Umum, Pajak Daerah,
Retribusi Daerah, Belanja Modal, Fixed Effect Model (FEM)
vi
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Segala puji bagi Allah SWT, yang telah melimpahkan segala rahmat,
karunia, rezeki dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Dana
Alokasi Umum, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terhadap Belanja
Modal Kabupaten/Kota Provinsi Riau Tahun 2010-2014” dengan baik.
Shalawat serta salam penulis junjungkan atas baginda nabi besar Muhammad
SAW yang telah membimbing umatnya dari zaman kegelapan ke zaman yang
terang benderang seperti sekarang ini.
Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi syarat-syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Ekonomi di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.Dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini tidak terlepas
dari bantuan, bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu
dalam kesempatan ini penulis penulis dengan senang hati menyampaikan
terimakasih kepada yang terhormat:
1. Kepada Allah SWT yang telah memberikan berkah dan rahmatnya serta
mendengar doa-doa saya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan baik. Terimakasih atas segala nikmat yang telah Engkau berikan ya
Allah.
2. Kedua orang tuaku untuk kasih sayang dan selalu memberikan semangat dan
dukungan yang luar biasa kepada penulis sehingga skripsi ini terselesaikan
dengan baik, Ibuku tercinta Hj.Hasmiaty,SE, Ayahku tercinta
Ir.H.Mhd.Nur,SP.MM yang selalu mendoakan, memberikan kasih sayang,
mendengarkan keluh kesah, merawat dan menjaga dengan penuh cinta dan
kasih sayang, memberikan motivasi dan selalu memberikan nasihat kepada
penulis, sehingga penulis dapat menjalani hidup ini dengan baik. Skripsi ini
ku persembahkan untuk kalian.
vii
3. Terimakasih untuk ketiga saudaraku, kakak ku Rizky Amelia,Amd , adik-
adikku Utami Agustiani Nur, Ghefira Rhaudhatul Jannah dan Abang ipar
Syamsurizon S.H yang selalu mendengarkan keluhan penulis dan selalu
memberikan semangat. Semoga kalian sukses.
4. Terimakasih untuk perempuan yang luar biasa Nenek tercinta Hj.Khairiah,
yang sudah merawat penulis dari kecil dengan penuh cinta dan selalu
mendoakan dan memberi dukungan. Semoga nenek selalu sehat.
5. Dr. Arief Mufraini selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang baru semoga dapat memajukan dan
mengembangkan FEB lebih baik lagi.
6. Bapak Arief Fitrijanto, M.Si dan Bapak Rizqon Halal Syah Aji, M.Si selaku
Ketua Jurusan dan Sekertaris Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Jakarta yang telah meluangkan waktu dan
arahan-arahan yang baik selama saya berkonsultasi.
7. Bapak Rizqon Halal Syah Aji, M.Si selaku Dosen Pembimbing Skripsi I yang
dengan kerendahan hatinya bersedia meluangkan waktu untuk memberikan
pengarahan, ilmu yang berharga serta bimbingan yang berarti selama
penyelesaian skripsi. Sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
Semoga Allah SWT membalas segala kebaikan atas ilmu-ilmu yang telah
Bapak berikan.
8. Terimakasih kepada Dosen-dosen IESP yang telah memberikan ilmu yang
sangat berguna dan berharga untuk saya. Semoga Allah selalu memberikan
pahala yang sebesar-besarnya atas kebaikan para dosen FEB UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Seluruh Jajaran karyawan dan staf FEB UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah melayani dan membantu saya selama
perkuiahan.
9. Terimakasih untuk tante dan paman tersayang Tissa Enifa,SP dan
Hendri,Amd yang telah memberikan motivasi, semangat, perhatian dan kasih
sayang.
viii
10. Terimakasih untuk H.Azwir Daud dan Elvanita yang sudah menjadi orang tua
selama penulis merantau melaksanakan kuliah, yang selalu memberikan
perhatian dan kasih sayangnya.
11. Terimakasih untuk Defeny parentya, Ayu muslimah putri, dr.Renny juniarty,
Ronny, Ihsan, Suci dan sepupu yang lain yang selalu memberikan dukungan
dan kasih sayangnya kepada penulis
12. Teman-teman IESP A angkatan 2011, yang telah menjaga kekompakan dan
kebersamaan saat awal-awal kuliah serta memberikan canda dan tawa.
Terimakasih karena kalian sudah menjadi teman yang baik buat saya.
13. Teman-teman IESP Pembangunan 2011, Ariad ditya, Dimas, Azhar, Wihda,
Hiidayati tamimi, Annisa ramadhani, Julia, Nuni, Nilam, Yuli, Annisa
Febrianti dll terimakasih atas segala pertemuan dan pertemanannya, semoga
pertemanan kita tidak selesai sampai disini.
14. Teman-teman IESP angkatan 2011, yang saya cintai dan tidak bisa saya
sebutkan satu-persatu. Terimakasih atas empat tahun kebersamaan dengan
kalian yang penuh warna, canda dan tawa.
15. Teman-teman KKN Medium Desa Sukaluyu 2014, Syafira ulfa, Lidya, Abrar,
Aziz, Bryan, Ficky, Fajrin, Azizah dll yang telah menghabiskan waktu hidup
31 hari bersama dengan canda dan tawa serta pelajaran hidup yang sangat
berguna bagi saya.
16. Terima kasih untuk diri ini, karena dengan niat yang kuat, semangat yang
membara dan tekad yang tak kenal putus asa, sehingga skripsi ini dapat
diselesaikan dengan baik.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna
dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki penulis. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan
kritik yang membangun dari berbagai pihak.
ix
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jakarta, 11 Mei 2016
Dian Pratiwi
x
DAFTAR ISI
Cover
Lembar Pengesahan Pembimbing
Lembar Pengesahan Ujian Komprehensif
Lembar Pernyataan Keaslian Karya Ilmiah
Daftar Riwayat Hidup ..................................................................................... i
Abstract .............................................................................................................. iv
Abstrak .............................................................................................................. v
Kata Pengantar ................................................................................................ vi
Daftar Isi ........................................................................................................... x
Daftar Tabel ..................................................................................................... xiv
Daftar Grafik .................................................................................................... xvi
Daftar Lampiran .............................................................................................. xvii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1
A. Latar Belakang .................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................. 11
C. Tujuan Penelitian ............................................................................... 12
D. Manfaat Peneltian .............................................................................. 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 14
A. Belanja Modal ................................................................................... 14
B. . Pertumbuhan Ekonomi ...................................................................... 18
1. Teori Pertumbuhan Ekonomi ..................................................... 19
2. Laju Pertumbuhan Ekonomi ...................................................... 24
C. Dana Alokasi Umum ......................................................................... 24
D. Pajak Daerah ...................................................................................... 26
1. Fungsi Pajak ............................................................................... 27
xi
2. Ciri – ciri Pajak Daerah .............................................................. 27
3. Jenis Pajak .................................................................................. 28
4. Tarif Jenis Pajak ......................................................................... 30
E. Retribusi Daerah ................................................................................ 32
1. Ciri – ciri Retribusi Daerah ........................................................ 33
2. Jenis Retribusi Daerah ............................................................... 33
3. Tarif Retribusi Daerah ............................................................... 35
F. Hubungan Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Belanja Modal ............ 36
G. Hubungan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terhadap Belanja Modal
............................................................................................................ 37
H. Hubungan Dana Alokasi Umum Terhadap Belanja Modal ............... 39
I. Penelitian Terdahulu .......................................................................... 40
J. Kerangka Berfikir .............................................................................. 48
K. Hipotesis Penelitian ........................................................................... 50
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ...................................................... 52
A. Ruang Lingkup Penelitian ................................................................. 52
B. Teknik Penentuan Sampel ................................................................. 52
C. Teknik Pengumpulan Data ................................................................ 53
D. Teknik Analisis .................................................................................. 53
1. Analisis Data Panel .................................................................... 53
2. Estimasi Model Data Panel ........................................................ 54
a. Common Effect Model ........................................................ 54
b. Model Efek Tetap (FEM) ..................................................... 55
c. Model Efek Random (REM) ................................................ 56
3. Pemilihan Model Data Panel ..................................................... 57
a. Uji Chow .............................................................................. 57
b. Uji Hausman ........................................................................ 59
xii
4. Model Empiris ........................................................................... 60
5. Uji Asumsi Klasik ...................................................................... 61
a. Uji Normalitas ...................................................................... 61
b. Uji Multikolinieritas ............................................................. 63
c. Uji Heterokedastisitas .......................................................... 67
d. Uji Autokolerasi ................................................................... 71
6. Uji Signifikasi ............................................................................ 72
a. Uji F ..................................................................................... 72
b. Uji T ..................................................................................... 73
c. Koefisien Determinasi R2 ..................................................... 74
E. Operasional Variabel Penelitian ........................................................ 75
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN ................................................... 78
A. Sekilas Gambaran Umum Objek Penelitian ...................................... 78
B. Analisis dan Pembahasan .................................................................. 81
1. Analisa Deskriptif ....................................................................... 81
a. Analisa Deskriptif Belanja Modal ........................................ 81
b. Analisa Deskriptif Pertumbuhan Ekonomi ........................... 84
c. Analisa Deskriptif Dana Alokasi Umum .............................. 86
d. Analisa Deskriptif Pajak Daerah .......................................... 89
e. Analisa Deskriptif Retribusi Daerah .................................... 91
2. Pemodelan dan Pengolahan Data ............................................... 93
a. Hasil Estimasi Model Data Panel ......................................... 93
b. Pemilihan Model Estimasi .................................................... 96
3. Uji Asumsi Klasik ...................................................................... 100
a. Uji Normalitas ...................................................................... 100
b. Uji Multikolinieritas ............................................................. 101
c. Uji Heterokedastisitas ........................................................... 102
xiii
d. Uji Autokolerasi ................................................................... 103
4. Persamaan Regresi (Fixed Effect Model) ................................... 105
5. Uji Signifikansi ........................................................................... 106
a. Uji F (Simultan) dan Interpretasi........................................... 106
b. Uji T (Parsial) dan Interpretasi .............................................. 107
c. Uji Koefisien Determinasi (Adjusted R Square) .................. 110
6. Analisis Cross-section Effects .................................................... 110
7. Analisis Ekonomi ....................................................................... 114
a. Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Belanja Modal ................ 114
b. Dana Alokasi Umum Terhadap Belanja Modal ................... 115
c. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Terhadap Belanja Modal
............................................................................................... 116
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 119
A. Kesimpulan ........................................................................................ 119
B. Saran .................................................................................................. 120
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 122
LAMPIRAN ...................................................................................................... 126
xiv
DAFTAR TABEL
Nomor Keterangan Halaman
1.1 Pertumbuhan Ekonomi dengan migas Kabupaten dan Kota di
Riau Tahun 2010-2014
5
1.2 Dana Alokasi Umum Kabupaten dan Kota di Riau Tahun 2010-
2014
6
1.3 Pajak Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Riau Tahun
2010-2014
7
1.4 Retribusi Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Riau Tahun
2010-2014
9
1.5 Belanja Modal Kabupaten dan Kota di Provinsi Riau Tahun
2010-2014
10
2.1 Penelitian Terdahulu 43
4.1 Hasil Regresi Pooled Least Square 98
4.2 Hasil Regresi Data Panel: Fixed Effect Model (FEM) 99
4.3 Hasil Regresi Random Effect Model 100
4.4 Hasil Uji Chow 102
4.5 Hasil Uji Hausman 103
4.6 Correlation Matrix 106
4.7 Uji Park 107
4.8 Uji Durbin Watson 108
xv
4.9 Uji t-statistik 111
4.10 Analisis Cross-section Effect 114
xvi
DAFTAR GRAFIK
Nomor Keterangan Halaman
2.1 Kerangka Pemikiran 50
4.1 Belanja Modal di Kabupaten/Kota Provinsi Riau Tahun 2010-
2014
87
4.2 Pertumbuhan Ekonomi di Kabupaten/Kota Provinsi Riau Tahun
2010-2014
89
4.3 Dana Alokasi Umum di Kabupaten/Kota Provinsi Riau Tahun
2010-2014
92
4.4 Pajak Daerah di Kabupaten/Kota Provinsi Riau Tahun 2010-2014 94
4.5 Retribusi Daerah di Kabupaten/Kota Provinsi Riau Tahun 2010-
2014
96
4.6 Uji Normalitas 105
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Keterangan Halaman
1 Data Dari Variabel-Variabel Yang Digunakan (Jutaan Rupiah) 130
1 Data Ln (Logaritma Natural) 132
2 Hasil Uji Chow 133
3 Hasil Uji Hausman 134
4 Hasil Uji Normalitas 136
5 Hasil Uji Multikolinieritas 136
6 Hasil Uji Park 137
7 Hasil Uji Glejser 137
8 Hasil Model Fixed Effect Model 138
9 Pooled Least Square 139
10 Random Effect Model 139
11 Cross-section Effect 140
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan berhubungan erat dengan berkembangnya suatu daerah, hal ini
bisa dilihat dengan banyaknya infrastruktur akan mempengaruhi kehidupan
perekonomian di suatu daerah. Sebagai contoh di Provinsi Riau yang sedang
mengalami banyaknya perubahan infrastruktur seperti jalan yang tadinya rusak
dan sempit sekarang sudah menjadi lebih baik dan lebar sehingga akan lebih
mempermudah proses perekonomian seperti pengiriman barang dan jasa,
transportasi antar daerah, mempercepat waktu tempuh, dan lain sebagainya. Salah
satu upaya pemerintah daerah dalam meningkatkan pembangunan adalah dengan
menambahkan belanja modal dalam anggaran belanja pemerintah daerah. Syarat
fundamental untuk pembangunan ekonomi adalah tingkat pengadaan modal
pembangunan yang seimbang dengan pertambahan penduduk, bertambahnya
infrastruktur dan perbaikannya oleh pemerintah daerah diharapkan akan memacu
pertumbuhan ekonomi daerah (Putro, 2010). Pertumbuhan ekonomi tersebut
merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan.
Salah satu asas pembangunan daerah adalah desentralisasi, menurut ketentuan
umum UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, desentralisasi yaitu
penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara
2
Kesatuan Republik Indonesia. Perwujudan dari asas desentralisasi, adalah
berlakunya otonomi daerah. Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip
otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberi kewenangan mengurus dan
mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah
pusat.
Untuk memenuhi kebutuhan belanja daerah, perlu adanya sumber-sumber
pendapatan yang diperoleh pemerintah daerah. Salah satu diantaranya adalah
pajak daerah dan retribusi daerah yang menjadi sumber pendapat asli daerah.
Pemasukan pajak terbesar di provinsi Riau terdapat pada pajak kendaraan
bermotor, karena semakin tahun volume kendaraan bermotor semakin meningkat.
Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan 2 sumber PAD yang terbesar. Setiap
daerah mempunyai dasar pengenaan pajak yang berbeda-beda tergantung dari
kebijakan Pemerintah Daerah setempat. Untuk daerah dengan kondisi
perekonomian yang memadai, akan dapat diperoleh pajak yang cukup besar.
Tetapi untuk daerah tertinggal, Pemerintah Daerah hanya dapat memungut pajak
dalam jumlah yang terbatas. Demikian halnya dengan retribusi daerah yang
berbeda-beda untuk tiap daerah.
Laju pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai kenaikan dalam PDRB tanpa
memandang apakah kenaikan itu lebih besar atau lebih kecil dari tingkat
pertumbuhan penduduk dan apakah ada perubahan atau tidak dalam struktur
ekonomi. Salah satu indikator yang menunjukkan tingkat kemakmuran suatu
daerah adalah data mengenai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar
3
harga yang berlaku ataupun atas dasar harga konstan. Suatu daerah mengalami
suatu pertumbuhan dalam kemakmuran masyarakatnya apabila pendapatan
perkapita menurut harga atau pendapatan terus menerus mengalami peningkatan.
Riau merupakan salah satu provinsi di Indonesia, provinsi ini memiliki kekayaan
dan sumber daya alam yang cukup besar dan sangat potensial untuk
dikembangkan. Adapun sektor yang memberikan kontribusi ekonomi paling besar
adalah sektor pertanian dan sektor perkebunan. Sektor pertanian dan perkebunan
hingga saat ini masih merupakan tulang punggung perekonomian daerah, baik
sebagai penghasil nilai tambah dan devisa maupun sumber penghasilan.
Pertumbuhan ekonomi suatu daerah biasanya ditunjukan dengan meningkatkan
produksi barang dan jasa yang diukur dengan Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB). PDRB merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit
usaha atau sektor-sektor ekonomi dalam suatu wilayah dan periode waktu
tertentu. Oleh karena itu pertumbuhan ekonomi disuatu wilayah itu sama dengan
pertumbuhan PDRB di wilayah tersebut (BPS, 2011).
Setiap daerah mempunyai kemampuan keuangan yang tidak sama dalam
mendanai kegiatan-kegiatannya, hal ini menimbulkan ketimpangan fiskal antara
satu daerah dengan daerah lainnya. Oleh karena itu, untuk mengatasi ketimpangan
fiskal ini Pemerintah mengalokasikan dana yang bersumber dari APBN untuk
mendanai kebutuhan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi. Salah satu dana
perimbangan dari pemerintah ini adalah Dana Alokasi Umum (DAU) yang
pengalokasiannya menekankan aspek pemerataan dan keadilan yang selaras
4
dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan (UU 32/2004). Dengan adanya
transfer dana dari pusat ini diharapkan pemerintah daerah bisa lebih
mengalokasikan PAD yang didapatnya untuk membiayai belanja modal di
daerahnya. Secara spesifik sumber pendanaan untuk Belanja Modal belum
ditentukan aturannya. Namun seluruh jenis sumber-sumber penerimaan daerah
dapat dialokasikan untuk mendanai Belanja Daerah diantaranya Belanja Modal.
Peningkatan alokasi belanja modal dalam bentuk aset tetap seperti infrastruktur,
peralatan dan infrastruktur sangat penting untuk meningkatkan produktivitas
perekonomian karena semakin tinggi belanja modal semakin tinggi pula
produktivitas perekonomian.
Pemerintah daerah harus mampu mengalokasikan anggaran belanja modal
dengan baik karena belanja modal merupakan salah satu langkah bagi pemerintah
daerah untuk memberikan pelayanan kepada publik. Pelayanan publik yang baik
dapat menunjukan pertumbuhan ekonomi yang baik bagi suatu daerah. Semua
dapat terwujud apabila adaupaya pemerintah dalam meningkatkan pelayanan
kepada publik dengan memfasilitasi serta memberikan belanja yang lebih besar
untuk tujuan tersebut agar pertumbuhan ekonomi akan terus lebih membaik.
5
Tabel 1.1
Pertumbuhan Ekonomi dengan migas Kabupaten dan Kota di Riau
tahun 2012-2014 (dalam persentase)
Kabupaten/Kota 2012 2013 2014
1.Kuantan Singingi 5,93 5,46 5,34
2. Indragiri Hulu 8,39 6,21 5,62
3. Indragiri Hilir 7,91 7,16 6,92
4. Pelalawan 3,02 5,55 6,08
5. Siak 2,07 -2,56 -0,71
6. Kampar 5,82 6,25 3,21
7. Rokan Hulu 6,12 5,93 6,78
8. Bengkalis -0,65 -3,48 -3,5
9. Rokan Hilir 3,65 2,49 4,01
10. Kep. Meranti 6,7 4,05 4,65
11. Pekanbaru 7,82 5,73 6,79
12. Dumai 3,66 3,72 3,53
RIAU 3,76 2,49 2,62
Sumber : BPS Provinsi Riau (diolah tahun 2014).
Tabel 1.1 menunjukan persentase pertumbuhan ekonomi dengan migas tiap
kabupaten dan kota di provinsi Riau. Sebagai salah satu provinsi penghasil migas
terbesar, perkembangan ekonomi dengan memasukkan unsur migas pada laju
pertumbuhan ekonomi Riau menjadi sangat perlu untuk dipaparkan.
Bila di lihat dari tahun 2012 sampai dengan tahun 2014 mengalami
penurunan atau kenaikan nilai. Pada tahun 2012 persentase pertumbuhan
ekonomi di Provinsi Riau sebesar 3.76% , pada tahun 2013 persentase
pertumbuhan ekonomi sebesar 2.49% maka pada tahun 2013 terjadi penurunan
pertumbuhan ekonomi sebesar -0.34% , pada tahun 2014 pertumbuhan ekonomi di
6
provinsi Riau sebesar 2.62% maka terjadi peningkatan persentase dari tahun 2013
sampai tahun 2014 sebesar 0.05%. Pada tahun 2012 kabupaten Indragiri hulu
menjadi kabupaten yang memiliki tingkat pertumbuhan perekonomian tertinggi di
bandingkan dengan kabupaten dan kota lain yang terdapat di Provinsi Riau yaitu
sebesar 8.39% dan kabupaten Bengkalis menjadi kabupaten yang memiliki
tingkat pertumbuhan ekonomi terendah yaitu sebesar -0.65% . Pada tahun 2013
kabupaten Indragiri Hilir merupakan kabupaten yang memiliki tingkat
pertumbuhan ekonomi tertinggi dibandingkan dengan kabupaten lainnya di
Provinsi Riau yaitu sebesar 7.16% disusul dengan kabupaten kampar 6.25% dan
kabupaten Siak merupakan kabupaten yang memiliki tingkat pertumbuhan
ekonomi terendah yaitu sebesar -2.56%. pada tahun 2014 kabupaten yang
memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi juga berada pada kabupaten
Indragiri hilir yaitu sebesar 6.92% , disusul dengan kota pekanbaru 6.79% dan
Siak merupakan tingkat pertumbuhan ekonomi terendah yaitu sebesar -0.71%.
Tabel 1.2
Dana Alokasi Umum Kabupaten dan Kota di Riau
Tahun 2012-2014 (Dalam Jutaan Rupiah)
kabupaten/kota 2012 2013 2014
Prov. Riau 489.180 726.631 820.985
Kab. Bengkalis 84.769 31.862 60.778
Kab. Indragiri Hilir 651.879 773.041 847.861
Kab. Indragiri Hulu 487.476 587.934 631.168
Kab. Kampar 569.782 685.859 742.584
Kab.Kuantan Singingi 496.776 569.206 618.821
7
Kab. Pelalawan 421.048 491.288 536.384
Kab. Rokan Hilir 282.513 388.866 413.983
Kab. Rokan Hulu 442.557 528.855 571.522
Kab. Siak 167.312 272.531 276.182
Kota Dumai 299.081 345.090 359.840
Kota Pekanbaru 622.185 738.107 809.987
Kab. Meranti 302.111 342.000 371.269
Sumber : www.kemenkeu.go.id(diolah tahun 2014)
Tabel 1.2 menunjukkan tabel Dana Alokasi Umum kabupaten dan kota di
Provinsi Riau. Dana Alokasi umum kabupaten dan kota di provinsi Riau pada
tahun 2012 sampai dengan tahun 2014 mengalami peningkatan secara signifikan.
Kabupaten Indragiri Hilir merupakan kabupaten yang memiliki tingkat Dana
Alokasi Umum tertinggi pada tahun 2012 sampai dengan tahun 2014, yaitu pada
tahun 2012 sebesar 651,879 , tahun 2013 yaitu sebesar 773,041, dan pada tahun
2014 sebesar 847,861. Dari 3 tahun ini kita bisa melihat bahwakabupaten Indragiri
Hilir mengalami kenaikan Dana Alokasi Umum, dari tahun 2012 sampai tahun
2013 mengalami kenaikan sebesar 0.19% dan tahun 2013 sampai tahun 2014
mengalami kenaikan sebesar 0.10%.
Tabel 1.3
Pajak Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Riau Tahun 2012-2014
(Dalam Jutaan Rupiah)
kabupaten/kota 2012 2013 2014
Prov. Riau 1.502.894 2.025.217 2.322.001
Kab. Bengkalis 35.700 32.260 46.261
Kab. Indragiri Hilir 11.166 11.631 19.681
8
Kab. Indragiri Hulu 6.660 9.267 12.440
Kab. Kampar 24.703 49.123 51.005
Kab.Kuantan Singingi 4.381 6.765 15.146
Kab. Pelalawan 6.334 19.227 29.215
Kab. Rokan Hilir 10.616 26.547 26.197
Kab. Rokan Hulu 4.850 10.215 16.075
Kab. Siak 26.075 35.435 45.130
Kota Dumai 21.529 47.562 50.575
Kota Pekanbaru 162.073 250.347 407.842
Kab. Meranti 5.205 6.121 7.262
Sumber : www.kemenkeu.go.id (diolah tahun 2014)
Tabel 1.3 menunjukan tabel Pajak Daerah kabupaten dan kota di Provinsi
Riau. Pekanbaru merupakan Pajak daerah dari tahun 2012 sampai dengan tahun
2014 yang terbesar di Provinsi Riau karena Pekanbaru adalah Ibu kota dari
Provinsi Riau, dimana perekonomiannya lebih maju dibandingkan kabupaten kota
lainnya. Jumlah penduduk juga menjadi salah satu faktor pajak daerah di Ibu kota
provinsi lebih tinggi. Pada tahun 2012 pajak daerah di Pekanbaru sebesar
162,073 , pada tahun 2013 pajak daerah di pekanbaru sebesar 250,347 dan
pada tahun 2014 pajak daerah di pekanbaru sebesar 407,842 . Tahun 2012
sampai tahun 2013 mengalami peningkatan sebesar 0.54% dan mengalami
kenaikan pada tahun 2013 sampai tahun 2014 sebesar 0.63% .
Kabupaten kuantan singingi merupakan pajak daerah terendah pada tahun 2012
yaitu sebesar 4,381 , pada tahun 2013 dan 2014 kabupaten meranti merupakan
pajak terendah yaitu sebesar 6,121 dan 7,262.
Dalam tabel 1.4 menjelaskan mengenai pendapatan provinsi Riau melalui
retribusi yang di hasilkan. Retribusi daerah sebagaimana halnya pajak daerah
9
merupakan salah satu Pendapatan Asli Daerah yang diharapkan menjadi salah satu
sumber pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah,
untuk meningkatkan dan memeratakan kesejahteraan masyarakat.
Tabel 1.4
Retribusi Daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Riau Tahun 2012-2014
(Dalam Jutaan Rupiah)
kabupaten/kota 2012 2013 2014
Prov. Riau 6.563 12.318 25.000
Kab. Bengkalis 12.906 24.728 45.003
Kab.Indragiri Hilir 16.906 15.391 16.584
Kab.Indragiri Hulu 7.752 12.513 13.288
Kab. Kampar 9.744 10.391 8.841
Kab.Kuantan Singingi 13.373 15.162 19.427
Kab. Pelalawan 4.198 5.716 6.001
Kab. Rokan Hilir 3.454 9.619 12.536
Kab. Rokan Hulu 4.379 10.349 14.757
Kab. Siak 11.091 9.984 14.684
Kota Dumai 38.380 50.060 53.582
Kota Pekanbaru 61.948 83.335 115.653
Kab. Meranti 3.474 3.849 4.832
Sumber : www.kemenkeu.go.id (diolah tahun 2014)
Retribusi daerah di Provini Riau pada tahun 2012 sampai dengan tahun 2014
secara agregat mengalami kenaikan yang signifikan. Pada tahun 2012 retribusi
daerah provinsi Riau sebesar 6,563 naik sebesar 0.88% tahun 2013 yaitu sebesar
12,318 dan pada tahun 2014 retribusi daerah secara agregat di Provinsi Riau
sebesar 25,000.
10
Tabel 1.5
Belanja Modal Kabupaten dan Kota di Provinsi Riau
Tahun 2012-2014 (Dalam Jutaan Rupiah)
kabupaten/kota 2012 2013 2014
Prov. Riau 1.549.481 2.687.869 1.730.359
Kab. Bengkalis 1.345.270 2.066.646 2.154.124
Kab. Indragiri Hilir 412.828 347.393 519.402
Kab. Indragiri Hulu 254.157 467.350 565.890
Kab. Kampar 307.209 477.923 580.009
Kab.Kuantan Singingi 226.887 304.507 364.621
Kab. Pelalawan 462.889 557.382 788.668
Kab. Rokan Hilir 1.092.233 1.288.422 1.324.728
Kab. Rokan Hulu 334.912 426.324 528.759
Kab. Siak 713.794 723.825 914.043
Kota Dumai 158.992 320.911 408.171
Kota Pekanbaru 286.392 491.673 882.398
Kab. Meranti 333.875 519.810 582.487
Sumber : www.kemenkeu.go.id (diolah tahun 2014)
Tabel 1.5 merupakan tabel belanja modal di provinsi Riau periode tahun 2012
sampai dengan tahun 2014 Peningkatan belanja modal dari tahun ke tahun yang
paling signifikan terjadi di kabupaten Bengkalis yang pada tahun 2012 memiliki
belanja modal sebesar Rp 1.345.270.000 meningkat menjadi Rp.2.066.646.000,
dan dari tahun 2013 sampai dengan 2014 meningkat menjadi Rp.2.154.124.000
atau dengan kata lain kabupaten Bengkalis mengalami kenaikan belanja modal
sebesar 0,54% pada tahun 2013 dan 0,04 pada tahun 2014. Kabupaten Rokan Hilir
berada di posisi kedua dalam hal peningkatan belanja modal selama tahun 2012
sampai dengan tahun 2014 yaitu sebesar Rp.1.092.233.000 pada tahun 2012,
11
Rp.1.288.422.000 pada tahun 2013 dan mengalami peningkatan pada tahun 2014
yaitu sebesar Rp.1.324.728.000. Selain itu di beberapa kabupaten di Provinsi Riau
juga mengalami penurunan belanja modal, antara lain yaitu Dumai,Kuantan
Singingi,Indragiri Hulu,Pekanbaru.
Berdasarkan dari penjelasan diatas, maka pengaruh pertumbuhan
ekonomi,dana alokasi umum,pajak daerah dan retribusi daerah terhadap belanja
modal menarik untuk diteliti. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh setiap
variabel tersebut terhadap belanja modal rentang waktu yang digunakan adalah
dari tahun 2010-2014. Oleh karena itu, penulis melakukan penelitian dengan
judul:
“Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Dana Alokasi Umum, Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah Terhadap Belanja Modal Kabupaten/Kota di Provinsi
Riau Periode 2010-2014”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka penulis dapat merumuskan
beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Seberapa besar pengaruh variabel Pertumbuhan ekonomi terhadap variabel
Belanja modal di provinsi Riau tahun 20010-2014 ?
2. Seberapa besar pengaruh variabel Dana alokasi umum terhadap variabel
Belanja modal di Provinsi Riau tahun 2010-2014?
3. Seberapa besar pengaruh variabel Pajak daerah terhadap variabel Belanja
modal di Provinsi Riau tahun 2010-2014?
12
4. Seberapa besar pengaruh variabel Retribusi daerah terhadap variabel
Belanja modal di Provinsi Riau tahun 2010-2014?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Dana Alokasi Umum,
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah secara Parsial terhadap Belanja Modal di
Kabupaten/Kota di Provinsi Riau tahun 2010-2014
2. Untuk mengetahui Pertumbuhan Ekonomi, Dana Alokasi Umum, Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah secara simultan terhadap Belanja Modal di
Kabupaten/Kota di Provinsi Riau tahun 2010-2014
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Sebagai informasi dan masukan bagi pemerintah daerah dalam
mengambil kebijakan yang menyangkut pertumbuhan ekonomi,dana
alokasi umum,pajak daerah retribusi daerah dan belanja modal.
2. Kegunaaan ilmiah dari penelitian ini sebagai sumbangan informasi,
pengetahuan, serta menambah wawasan untuk kemajuan ilmu pengetahuan
dengan menekankan pada belanja modal melalui indikator pertumbuhan
ekonomi,dana alokasi umum,pajak daerah dan retribusi daerah.
3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan dan
pengetahuan serta dapat dijadikan referensi bacaan, khususnya bagi civitas
akademisi di lingkungan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam
13
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini juga diharapkan dapat
menjadi perbaikan terhadap penelitian-penelitian terdahulu.
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Belanja Modal
Mardiasmo (2009) menjelaskan bahwa belanja modal adalah pengeluaran yang
manfaatnya cenderung melebihi satu tahun dan akan menambah aset atau
kekayaan pemerintah, selanjutnya akan menambah anggaran rutin untuk biaya
operasional dan biaya pemeliharaan. Dilihat dari jenisnya, belanja modal terdiri
atas belanja publik yaitu belanja yang membiayai kegiatan investasi (menambah
aset) yang ditujukan untuk peningkatan sarana dan prasarana publik yang hasilnya
dan manfaatnya dapat dinikmati secara langsung oleh masyarakat umum serta
belanja aparatur yaitu belanja yang manfaatnya tidak dirasakan secara langsung
oleh masyarakat, tetapi dirasakan secara langsung oleh aparatur.
Belanja modal digunakan untuk pengeluaran yang dilakukan dalam rangka
pengeluaran asset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari satu
tahun, dan atau pemakaian jasa dalam melaksanakan program dan kegiatan yang
yang dilakukan oleh pemerintah daerah (Darise, 2009:137).
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005, belanja modal adalah
pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal yang sifatnya
menambah asset tetap yang memberikan manfaat lebih dari satu periode
akuntansi, termasuk di dalamnya adalah pengeluaran untuk biaya pemeliharaan
yang sifatnya mempertahankan atau menambah masa manfaat, serta
meningkatkan kapasitas dan kualitas asset.
15
Belanja modal pemerintah daerah mempunyai peran strategis dalam memicu
pertumbuhan ekonomi didaerah. Belanja modal bersifat produktif dan bersentuhan
langsung dengan kepentingan masyarakat sehingga dapat menstimulus
perekonomian didaerah yang bersangkutan. Belanja modal merupakan investasi
pemerintah daerah yang akan memberikan multiplier effect bagi masyarakat
didaerah tersebut. Misalnya pembangunan infrastruktur, dimana ini akan
mendorong investasi didaerah bersangkutan dengan adanya investasi ini ekonomi
didaerah tersebut akan berkembang dan menciptakan lapangan kerja baru
sehingga akan menyerap pengangguran dan mengurangi jumlah kemiskinan
sehingga pertumbuhan ekonomi akan semakin meningkat (BPS, 2014:23).
Menurut Permendagri No 59 Tahun 2007, untuk penganggaran belanja modal
tidak hanya sebesar harga beli/bangun asset tetapi harus ditambah seluruh belanja
yang terkait dengan pengadaan/pembangunan asset sampai asset tersebut siap
digunakan.
Belanja Modal merupakan pengeluaran pemerintah daerah yang manfaatnya
melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah dan
selanjutnya akan menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya pemeliharaan
pada kelompok belanja administrasi umum (Halim, 2004). Nordiawan (2006)
mengatakan bahwa Belanja Modal adalah belanja yang dilakukan pemerintah
yang menghasilkan aktiva tetap tertentu. Belanja modal dimaksudkan untuk
mendapatkan aset tetap pemerintah daerah, yakni peralatan, bangunan,
infrastruktur, dan harta tetap lainnya. Belanja modal memiliki karakteristik
16
spesifik dan menunjukkan adanya berbagai pertimbangan dalam
pengalokasiannya (Munir, 2003).
Menurut Standar Akuntansi Pemerintah (SAP), belanja modal dapat
diaktegorikan ke dalam 5 (lima) kategori utama, yaitu:
1. Belanja Modal Tanah
Belanja modal tanah adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk
pengadaan/ pembelian/ pembebasan/ penyelesaian, balik nama dan sewa tanah,
pengosongan, pengurukan, perataan, pematangan tanah, pembuatan sertifikat,
dan pengeluaran lainnya sehubungan dengan perolehan hak atas tanah dan
sampai tanah dimaksud dalam kondisi siap pakai.
2. Belanja Modal Peralatan dan Mesin
Belanja modal peralatan dan mesin adalah pengeluaran/biaya yang
digunakan untuk pengadaan/penambahan/penggantian, dan peningkatan
kapasitas peralatan dan mesin, serta inventaris kantor yang memberikan
manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan, dan sampai peralatan dan mesin
dimaksud dalam kondisi siap pakai.
3. Belanja Modal Gedung dan Bangunan
Belanja modal gedung dan bangunan adalah pengeluaran/biaya yang
digunakan untuk pengadaan/ penambahan/ penggantian, dan termasuk
pengeluaran untuk perencanaan, pengawasan dan pengelolaan pembangunan
gedung dan bangunan yang menambah kapasitas sampai gedung dan bangunan
dimaksud dalam kondisi siap pakai.
17
4. Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan
Belanja modal jalan, irigasi dan jaringan adalah pengeluaran yang
digunakan untuk pengadaan/ penambahan/ penggantian/ peningkatan
pembangunan/ pembuatan serta perawatan, dan termasuk pengeluaran untuk
perencanaan, pengawasan dan pengelolaan jalan irigasi dan jaringan yang
menambah kapasitas sampai jalan irigasi dan jaringan dimaksud dalam kondisi
siap pakai.
5. Belanja Modal Fisik Lainnya
Belanja modal fisik lainnya adalah pengeluaran/ biaya yang digunakan
untuk pengadaan atau penambahan atau penggantian atau peningkatan atau
pembangunan atau pembuatan serta perawatan terhadap fisik lainnya yang
tidak dapat dikategorikan ke dalam kriteria belanja modal tanah, peralatan dan
mesin, gedung dan bangunan, dan jalan irigasi dan jaringan. Termasuk dalam
belanja ini adalah belanja modal kontrak sewa beli, pembelian barang-barang
kesenian, barang purbakala dan barang untuk museum, hewan ternak dan
tanaman, buku buku, dan jurnal ilmiah.
Mengacu pada pengertian belanja modal tersebut, selain pengadaan asset-
asset fisik yang dikuasai oleh pemerintah, sebenarnya terdapat beberapa
belanja yang berkarakteristik sebagai belanja modal yang menghasilkan asset,
tetapi tidak menjadi milik pemerintah, antara lain:
a. Biaya untuk pelaksanaan tugas pembantuan.
b. Biaya jasa konsultan untuk kekayaan intelektual.
18
c. Biaya jasa profesi untuk capacity building.
d. Biaya pemeliharaan untuk mempertahankan nilai asset.
e. Biaya pengadaan aset yang diserahkan kepada masyarakat.
B. Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi adalah proses pertumbuhan perekonomian suatu
negara secara berkesinambungan menuju keadaan yang lebih baik selama periode
waktu tertentu. Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan juga sebagai proses
kenaikan kapasitas pendapatan nasional. Menurut Boediono (1985) pertumbuhan
ekonomi adalah proses kenaikan output perkapita. Perekonomian dapat dikatakan
mengalami pertumbuhan apabila tingkat kegiatan ekonomi meningkat dari satu
periode berikutnya, berarti jumlah barang dan jasa yang dihasilkan bertambah
besar pada tahun periode berikutnya yang berarti produktifitas dari faktor-faktor
yang dimasukkan dalam produksi menyebabkan pertumbuhan ekonomi
meningkat.
Infrastruktur dan sarana prasarana yang ada di daerah akan berdampak pada
pertumbuhan ekonomi daerah. Jika sarana dan prasarana mamadai maka
masyarakat dapat melakukan aktifitas sehari-hari dengan aman dan nyaman, yang
akan berdampak pada tingkat produktifitas yang semakin meningkat. Dengan
infrastruktur yang memadai maka akan menarik minat investor untuk berinvestasi
di daerah tersebut.
1. Teori Pertumbuhan Ekonomi
19
a. Teori Pertumbuhan Ekonomi Klasik
Menurut pandangan ahli-ahli ekonomi klasik ada empat faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, yaitu: jumlah penduduk, jumlah stok
barang-barang modal, luas tanah dan kekayaan alam serta tingkat teknologi yang
digunakan. Walaupun menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi tergantung kepada
banyak faktor-faktor, ahli-ahli ekonomi klasik terutama menitik beratkan
perhatiannya kepada pengaruh pertambahan penduduk kepada pertumbuhan
ekonomi. Dalam teori pertumbuhan mereka, dimisalkan luas tanah dan kekayaan
alam adalah tetap jumlahnya dan tingkat teknologi tidak mengalami perubahan.
Menurut pandangan ahli-ahli ekonomi klasik hukum hasil tambahan yang
semakin berkurang akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Ini berarti
pertumbuhan ekonomi tidak akan terus menerus berlangsung. Pada permulaannya,
apabila penduduk sedikit dan kekayaan alam relatif berlebihan, tingkat
pengembalian modal dari investasi yang dibuat adalah tinggi. Maka para
pengusaha akan mendapatkan keuntungan yang besar. Ini akan menimbulkan
investasi baru, dan pertumbuhan ekonomi terwujud. Keadaan seperti itu tidak
akan terus-menerus berlangsung. Apabila penduduk sudah terlalu banyak,
pertambahannya akan menurukan tingkat kegiatan ekonomi karena produktivitas
setiap penduduk telah menjadi negatif. Maka kemakmuran masyarakat akan
menurun kembali (Sukirno, 2006).
b. Teori Harrod-Domar
20
Teori Harrod-Domar merupakan perluasan dari analisis Keynes. Mengenai
kegiatan ekonomi nasional dan masalah penggunaan tenaga kerja. Analisis
Keynes dianggap kurang lengkap karena tidak menyinggung persoalan mengatasi
masalah ekonomi dalam jangka panjang. Analisis Harrod-Domar bertujuan untuk
menutupi kelemahan Keynes. Dalam analisis Keynes perhatian lebih ditekankan
kepada masalah kekurangan pengeluaran masyarakat, bukan kepada kesanggupan
alat-alat modal untuk memproduksi barang-barang. (Rahardjo
Adisasmita,2013:62).
Menurut Rahardjo Adisasmita, 2013:63, Teori Harrod-Domar memperhatikan
kedua-duanya yaitu (1) fungsi dari pembentukan modal (yang tidak diberikan
perhatian oleh kaum klasik) dan (2) tingkat pengeluaran masyarakat (Keynes lebih
menekankan pada kekurangan pengeluaran masyarakat). Teori Harrod-Domar
bersesuaian pendapat Keynes, yang menganggap bahwa pertambahan dalam
kesanggupan memproduksi tidak secara sendirinya akan menciptakan
pertambahan produksi dari kenaikan pendapatan nasional. Harrod-Domar
sependapat dengan Keynes bahwa pertambahan produksi dan pendapatan nasional
bukan ditentukan oleh pertambahan dalam kapasitas memproduksi tetapi oleh
kenaikan pengeluaran masyarakat. Dengan demikian, walaupun kapasitas
memproduksi bertambah, pendapatan nasional baru akan bertambah, dan
pertumbuhan ekonomi tercapai, apabila pengeluaran masyarakat mengalami
kenaikan bila dibandingkan dengan pada masa sebelumnya. Bertitik tolak dari
pendangan ini, analisis Harrod-Domar bertujuan untuk menunjukan panjang
21
kemampuan masyarakat yang bertambah dari masa ke masa (yang diakibatkan
oleh pembentukan modal pada masa sebelumnya) akan selalu sepenuhnya
digunakan.
c. Teori pertumbuhan Solow-Swan
Teori pertumbuhan Solow-Swan telah dikategorikan sebagai teori pertumbuhan
neoklasik. Seperti halnya dengan model Harrod-Domar, model Solow-Swan
memusatkan perhatiannya pada bagaimana pertumbuhan penduduk, akumulasi
kapital, kemajuan teknologi dan output saling berinteraksi dalam proses
pertumbuhan ekonomi.
1. Tenaga kerja (atau penduduk) tumbuh dengan laju tertentu, misalnya P per
tahun.
2. Adanya fungsi produksi Q = f (K,L) yang berlaku bagi setiap periode.
3. Adanya kecenderungan menabung (prospensity to save) oleh masyarakat yang
dinyatakan sebagai proporsi (s) tertentu dari output (Q). Tabungan masyarakat
S = sQ; bila Q naik S juga naik, dan sebaliknya.
4. Semua tabungan masyarakat di investasikan S = I = ΔK.
Sesuai dengan anggapan mengenai kecenderungan menabung, maka dari
output disisakan sejumlah proporsi untuk ditabung dan kemudian di investasikan.
Dengan begitu, maka terjadi penambahan stok kapital (Boediono, 1992:78)
Menurut Sukirno (2006) teori pertumbuhan Neo-Klasik melihat dari sudut
pandangan yang berbeda, yaitu dari segi penawaran. Menurut teori ini, yang
dikembangkan oleh Abramovits dan Solow pertumbuhan ekonomi tergantung
22
kepada pengembangan faktor-faktor produksi. Dalam persamaan, pandangan ini
dapat dinyatakan dengan persamaan :
Δ Y = f (ΔK, ΔL, ΔT)
Δ Y = Tingkat pertumbuhan ekonomi
Δ K = Tingkat pertumbuhan modal
Δ L = Tingkat pertumbuhan penduduk
Δ T = Tingkat perkembangan teknologi
Pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh 2 macam faktor, yaitu faktor ekonomi
dan non ekonomi. Pertumbuhan ekonomi disuatu negara tergantung pada sumber
alamnya, sumber daya manusia, modal, usaha, teknologi, dan sebagainya
a. Faktor ekonomi
Para ahli ekonomi menganggap faktor produksi sebagai kekuatan utama yang
mempengaruhi pertumbuhan. Faktor-faktor produksi terdiri dari :
1) Sumber Alam
Tanah yang dapat di tanami merupakan faktor yang paling berharga. Selain
tanah, sumber daya alam yang penting lainnya antara lain minyak gas, hutan air,
dan bahan-bahan mineral lainnya.
2) Akumulasi Modal
Untuk pembentukan modal diperlukan pengorbanan berupa pengurangan
konsumsi yang mungkin berlangsung selama beberapa puluh tahun. Pembentukan
modal dan investasi sangat dibutuhkan untuk kemajuan cepat dibidang ekonomi.
3) Organisasi
23
Organisasi bersifat melengkapi dan meningkatkan produktivitas.
4) Kemajuan Teknologi
Perubahan teknologi dianggap sebagai faktor paling penting di dalam proses
pertumbuhan ekonomi. Perubahan itu berkaitan perubahan di dalam metode
produksi yang merupakan hasil pembaharuan atau hasil teknik penelitian terbaru.
5) Pembagian kerja dan skala produksi
Spesialisasivdan pembagian kerja menimbulkan peningkatan produktivitas.
Keduanya membawa kearah ekonomi produksi skala besar yang selanjunya
membantu perkembangan industri.
b. Faktor Non Ekonomi
Faktor Non Ekonomi bersama-sama saling mempengaruhi kemajuan
perekonomian. Oleh karena itu faktor non ekonomi juga memiliki arti penting di
dalam pertumbuhan ekonomi. Beberapa faktor non ekonomi diantaranya:
1) Faktor sosial
Faktor sosial dan budaya juga mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Faktor ini
menghasilkan perubahan pandangan harapan, struktur dan nilai-nilai sosial.
2) Faktor sumber daya manusia
Kualitas input tenaga kerja atau sumber daya manusia merupakan faktor
terpenting bagi keberhasilan ekonomi.
3) Faktor politik dan administratif
24
Struktur politik dan administratif yang lemah merupakan penghambat besar
bagi pembangunan ekonomi negara terbelakang, administratif yang kuat, efisiensi,
dan tidak korup yang amat penting bagi pertumbuhan ekonomi.
2. Laju Pertumbuhan Ekonomi
Laju pertumbuhan sebagai tolak ukur cepat lambatnya pertumbuhan ekonomi
merupakan inti dalam teori pertumbuhan ekonomi. Ada beberapa definisi tentang
laju pertumbuhan dan berbagai cara untuk mengukurnya. Pendekatan sederhana
yang lazim digunakan ialah yang menyangkut pertambahan dalam variabel-
variabel dalam fungsi produksi, artinya pertambahan pada variabel kerja dan
pertambahan pada variabel modal dan akhirnya penambahan pada pendapatan
nasional. (Sumitro Djojohadikusumo,1994:15).
C. Dana Alokasi Umum
UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang “Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat
dan Daerah” menyebutkan bahwa Dana Alokasi Umum merupakan dana yang
bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemeratan
kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam
rangka pelaksanaan desentralisasi. Kurniawan (2010) mengatakan bahwa DAU
bersifat Block Grant yakni hibah yang penggunaannya cukup fleksibel (dalam
artian tidak banyak larangan) seperti halnya hibah kategori. Hibah ini dapat
digunakan untuk banyak tujuan sesuai dengan kebutuhan.
Dana alokasi umum merupakan jenis transfer dana antar tingkat pemerintahan
yang tidak terikat dengan program pengeluaran tertentu. Adapun tujuan dari
25
transfer ini adalah untuk menutup kesenjangan fiskal (fiscal gap) dan pemerataan
kemampuan fiskal antara daerah antar daerah sehingga dana alokasi umum tiap
daerah tidak akan sama besarnya (Munir, 2003). Selain itu, DAU juga berfungsi
sebagai equalization grant yang menetralisir ketimpangan keuangan 5 karena
adanya dana bagi hasil yang diterima daerah (Walidi, 2009). Daerah yang
mempunyai pendapatan asli daerah rendah akan mendapatkan dana alokasi umum
yang tinggi, dan begitu juga sebaliknya daerah yang mempunyai pendapatan asli
daerah tinggi akan mendapatkan dana alokasi umum yang rendah (Prakosa, 2004).
Berdasarkan komponen-komponen di atas yang mengacu pada Peraturan
Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang “Dana Perimbangan”, alokasi DAU
untuk daerah dihitung dengan menggunakan formula:
DAU = CF + AD
Dimana,
DAU : Dana Alokasi Umum
CF : Celah Fiskal
AD : Alokasi Dasar
AD dihitung berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah meliputi
gaji pokok, tunjangan keluarga, dan tunjangan jabatan sesuai dengan peraturan
penggajian Pegawai Negeri Sipil termasuk di dalamnya tunjangan beras dan
tunjangan Pajak Penghasilan (PPh Pasal 21). Sedangkan CF diperoleh
berdasarkan selisih antara kebutuhan fiskal (KbF) dengan kapasitas fiskal (KpF).
26
D. Pajak Daerah
Menurut BPS (2011:2), pajak daerah adalah pungutan yang dilakukan oleh
pemerintah daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pajak daerah ini dapat dibedakan dalam dua katagori yaitu pajak daerah yang
ditetapkan oleh peraturan daerah dan pajak negara yang pengelolaan dan
penggunaannya diserahkan kepada daerah.
Pengertian pajak menurut Sumitro dalam Darise (2009:48), adalah iuran
rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang yang dipaksakan dengan
tidak mendapat jasa timbal balik (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukan
dan yang digunakan untuk membangun untuk membayar pengeluaran umum.
Menurut pasal 1 undang-undang No. 28 Tahun 2009, pajak daerah adalah
kontribusi wajib kepada daerah yang tertuang oleh orang pribadi atau badan yang
bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan
imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.
Menurut pasal 1 ayat 1 peraturan pemerintah RI No. 65 Tahun 2001 tentang
pajak daerah, yang dimaksud pajak daerah, yang selanjutnya disebut pajak adalah
iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa
imbalan langsung yang seimbang yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku yang digunakan untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah.
27
1. Fungsi Pajak
Menurut Darise (2009:49), aspek pemungutan pajak mempunyai dua fungsi,
yaitu:
a. Fungsi Budgeter
Fungsi terletak dan lazim dilakukan pada sektor publik dan pajak disini
merupakan suatu alat yang dapat digunakan untuk memasukan uang kedalam
kas negara/ daerah sesuai dengan waktunya dalam rangka membiayai
pengeluaran pemerintah pusat/ daerah.
b. Fungsi Pengaturan
Merupakan fungsi yang digunakan oleh pemerintah pusat/ daerah untuk
mencapai tujuan tertentu yang berada diluar sektor keuangan negara/ daerah.
2. Ciri-Ciri Pajak Daerah
Ciri-ciri pajak daerah menurut Sutedi (2008:58) dalam Purwanti (2011:22)
adalah:
a. Pajak daerah berasal dari pajak negara yang diserahkan kepada daerah sebagai
pajak daerah.
b. Penyerahan dilakukan berdasarkan undang-undang.
c. Pajak daerah dipungut oleh daerah berdasarkan kekuatan undang-undang
dan/atau peraturan hukum lainnya.
d. Hasil pemungutan pajak daerah dipergunakan untuk membiayai urusan rumah
tangga daerah, atau untuk membiayai pengeluaran daerah sebagai badan
hukum publik.
28
3. Jenis Pajak
Menurut Chalid (2005:26), dari sudut pandang kewenangan pemungutan, pajak
daerah secara garis besar dibedakan menjadi dua, yaitu pajak daerah yang
dipungut oleh pemerintah daerah ditingkat provinsi (pajak provinsi), dan
pajak daerah yang dipungut oleh pemerintah daerah tingkat kabupaten/ kota.
Menurut UU No 28 Tahun 2009, jenis pajak daerah yang menjadi sumber
pendapatan pemerintah tingkat provinsi yaitu:
a. Pajak kendaraan bermotor, yaitu pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan
kendaraan bermotor.
b. Bea balik nama kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air, yaitu pajak atas
penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak
atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar
menukar, hibah, warisan atau pemasukan kedalam badan usaha.
c. Pajak bahan bakar kendaraan bermotor, yaitu semua jenis pajak penggunaan
bahan bakar cair atau gas yang digunakan untuk kendaraan bermotor.
d. Pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan, yaitu
pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan (semua air yang
terdapat pada permukaan tanah).
e. Pajak Rokok, yaitu pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh pemerintah.
Menurut UU No 28 Tahun 2009, macam pajak yang dipungut pemerintah
daerah kabupaten/kota dan menjadi sumber pendapatan kabupaten/ kota:
a. Pajak hotel, yaitu pajak atas pelayanan yang disediakan oleh hotel.
29
b. Pajak restoran, yaitu pajak atas pelayanan yang disediakan oleh restoran.
c. Pajak hiburan, pajak atas penyelenggaraan hiburan.
d. Pajak reklame, pajak atas penyelenggaraan reklame.
e. Pajak penerangan jalan, pajak atas penggunaan tenaga listrik, baik yang
dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber lain.
f. Pajak pengambilan dan pengolahan bahan galian golongan C, yaitu pajak atas
kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan baik dari sumber alam
di dalam dan/ atau permukaan bumi untuk dimanfaatkan.
g. Pajak parkir, yaitu pajak atas penyelenggaraan tempat parkir di luar badan
jalan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang
disediakan sebagai suatu usaha termasuk penyediaan tempat penitipan
kendaraan bermotor.
h. Pajak air tanah, yaitu pajak atas pengambilan dan/ atau pemanfaatan air tanah.
i. Pajak sarang burung walet, yaitu pajak atas kegiatan pengambilan dan/ atau
penguasaan sarang burung walet.
j. Pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan, yaitu pajak atas bumi
(permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut
wilayah kabupaten/kota) dan/ atau bangunan (konstruksi teknik yang
dilekatkan secara tetap pada tanah, perairan pedalaman dan/atau laut) yang
dimiliki, dikuasai, dan/ atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan,
kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan
dan pertambangan.
30
k. Pajak bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, yaitu pajak atas perolehan
hak atas tanah dan/ atau bangunan.
l. Serta pajak lainnya dapat ditetapkan asal memenuhi persyaratan untuk menjadi
pajak baru.
Adapun syarat-syarat penetapan pajak baru adalah
a. Pungutan itu harus bersifat pajak, artinya dapat dipaksakan dan balas jasanya
tidak dapat langsung ditujuk.
b. Objek pajak dan dasar pajak yang baru tidak bertentangan dengan
kepentingan umum.
c. Potensi pajak tersebut memadai artinya biaya pemungutannya tidak akan
lebih besar dari pada penerimaan pajaknya.
d. Pajak baru tersebut tidak berdampak ekonomi negatif, artinya tidak
menyebabkan adanya alokasi faktor produksi yang salah dan menghambat
pembangunan.
e. Pajak dikenakan sedemikian rupa dengan memperhatikan aspek keadilan,
kemampuan membayar si wajib pajak.
f. Pajak yang dikenakan akan dapat menjaga kelestarian lingkungan.
4. Tarif Jenis Pajak
Menurut UU No. 28 Tahun 2009, Tarif jenis pajak untuk daerah provinsi
ditetapkan paling tinggi sebesar: (a) Pajak kendaraan bermotor untuk pribadi
paling rendah 1% dan paling tinggi 2%, (b) Bea balik nama kendaraan bermotor
penyerahan pertama 20% dan penyerahan kedua 1%, (c) Pajak bahan bakar
31
kendaraan bermotor sebesar 10%. Khusus tarif pajak bahan bakar kendaraan
bermotor untuk bahan bakar kendaraan umum dapat ditetapkan paling sedikit 50%
lebih rendah dari tarif pajak bahan bakar kendaraan bermotor untuk kendaraan
pribadi, (d) Pajak air permukaan sebesar 10% ditetapkan dengan peraturan daerah
dan (e) Tarif pajak rokok sebesar 10% dari cukai rokok.
Untuk penetapan tarif pajak daerah kabupaten/ kota sebesar: (a) Tarif pajak
hotel paling tinggi sebesar 10% ditetapkan dengan peraturan daerah, (b) Tarif
pajak restoran paling tinggi sebesar 10%, (c) Tarif pajak hiburan tertinggi sebesar
35%. Khusus untuk hiburan berupa pegelaran busana, kontes kecantikan, karaoke
dapat ditetapkan paling tinggi 75% dan untuk hiburan kesenian rakyat dikenakan
tarif pajak hiburan paling tinggi 10%, (d) Tarif pajak reklame tertinggi sebesar
25%, (e) Tarif untuk penerangan jalan khususnya untuk kegiatan industri,
pertambangan minyak bumi dan gas alam, nilai jual tenaga listrik ditetapkan
sebesar 3%. Tarif penerangan jalan paling tinggi sebesar 10% dan penggunaan
tenaga listrik yang dihasilkan sendiri tarif pajak penerangan jalan ditetapkan
paling tinggi sebesar 1,5%, (f) Tarif pajak pengambilan bahan galian golongan C
paling tinggi 25%, (g) Pajak parkir sebesar 30%, (h) Tarif pajak air tanah
ditetapkan paling tinggi sebesar 20%, (i) Tarif pajak sarang burung walet paling
tinggi sebesar 10%, (j) Tarif pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan
paling tinggi sebesar 0,3%, (k) Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan paling
tinggi sebesar 5% dan pajak lain-lain yang diatur sesuai dengan kriteria yang
ditetapkan undang-undang dan peraturan daerah.
32
E. Retribusi Daerah
Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau
pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh
pemerintah daerah untuk kepentingan pribadi atau badan (Draise, 2009:61).
Menurut UU No. 28 Tahun 2009, retribusi daerah adalah pungutan daerah
sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan
dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau
badan.
Menurut Suparmoko (2001:61), retribusi daerah adalah pungutan daerah
sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan
dan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan pribadi atau badan.
Di samping pajak daerah, sumber pendapatan asli daerah yang cukup besar
peranannya dalam menyumbang pada terbentuknya pendapatan asli daerah adalah
retribusi daerah. Dibeberapa daerah pendapatan yang berasal dari retribusi daerah
dapat lebih besar dari pada pendapatan dari pajak daerah.
Sesungguhnya dalam hal pemungutan iuran retribusi itu dianut asas manfaat
(benefit prinsiples). Dalam asas ini besarnya pungutan ditentukan berdasarkan
manfaat yang diterima oleh si penerima manfaat dari pelayanan yang diberikan
oleh pemerintah. Namun yang menjadi persoalan ialah dalam menentukan berapa
besar manfaat yang diterima oleh orang yang membayar retribusi daerah dan
menentukan berapa besar pungutan yang harus dibayarnya. Tarif retribusi bersifat
33
fleksibel sesuai dengan tujuan retribusi dan besarnya biaya yang dikeluarkan oleh
pemerintah daerah masing-masing untuk melaksanakan atau mengelola jenis
pelayanan publik di daerahnya. Semakin efisien pengelolaan pelayanan publik di
suatu daerah, maka semakin kecil tarif retribusi yang dikenakan.
1. Ciri-ciri Retribusi Daerah
Ciri-ciri retribusi daerah menurut Sutedi (2008:84) dalam Purwanti (2011:29)
adalah:
a. Retribusi dipungut oleh pemda.
b. Dalam pungutan retribusi terdapat prestasi yang diberikan pemda yang
langsung dapat ditunjuk.
c. Retribusi dikenakan kepada siapa saja yang memanfaatkan jasa yang
disediakan pemda.
2. Jenis Retribusi Daerah
Jenis-jenis retribusi daerah berdasarkan UU No. 34 Tahun 2000 dan Peraturan
Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang retribusi daerah untuk provinsi dan
daerah kabupaten/kota ditetapkan sesuai dengan kewenangan masing-masing
daerah. Jenis-jenis nya yaitu:
a. Retribusi yang dikenakan pada jasa umum adalah retribusi atas jasa yang
disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan
kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan.
Jenis-jenis retribusi jasa umum adalah:
1) Retribusi pelayanan kesehatan.
34
2) Retribusi pelayanan kebersihan dan persampahan.
3) Retribusi penggantian biaya cetak Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan akta
catatan sipil.
4) Retribusi pelayanan pemakaman dan pengabuan mayat.
5) Retribusi pelayanan parkir ditepi jalan umum.
6) Retribusi pelayanan pasar.
7) Retribusi pengujian kendaraan bermotor, pemeriksaan alat pemadam
kebakaran dan retribusi biaya cetak peta serta retribusi pengujian kapal
perikanan.
8) Retribusi pelayanan pendidikan.
9) Retribusi pengendalian menara telekomunikasi.
b. Retribusi yang dikenakan pada jasa usaha adalah retribusi atas jasa yang
disediakan oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial karena
pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
Jenis-jenis retribusi jasa usaha adalah:
1) Retribusi pemakaian kekayaan daerah.
2) Retribusi pasar grosir dan pertokoan.
3) Retribusi pelelangan.
4) Retribusi pelayanan terminal.
5) Retribusi pelayanan tempat khusus parkir.
6) Retribusi pelayanan tempat penitipan anak.
7) Retribusi tempat rekreasi dan olahraga, penginapan villa.
35
8) Retribusi pelayanan pelabuhan.
9) Retribusi rumah potong hewan.
10) Retribusi penyeberangan di air.
11) Retribusi penjualan produksi usaha daerah.
c. Retribusi yang dikenakan pada perizinan tertentu adalah retribusi atas kegiatan
tertentu pemerintah daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi
atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, dan pengawasaan
atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang,
prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan
menjaga kelestarian lingkungan.
Jenis-jenis retribusi perizinan tertentu adalah:
1) Retribusi izin mendirikan bangunan.
2) Retribusi izin tempat penjualan minuman beralkohol.
3) Retribusi izin gangguan.
4) Retribusi izin trayek.
5) Retribusi izin usaha perikanan.
3. Tarif Retribusi Daerah
Besarnya retribusi yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang
mengunakan jasa atau perizinan tertentu dihitung dengan cara mengalikan tarif
retribusi dengan tingkat pengunaaan jasa. Prinsip dan sasaran dalam penetapan
tarif retribusi jasa umum didasarkan pada kebijaksanaan daerah dengan
36
memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan kemampuan masyarakat
dan aspek keadilian. Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi jasa usaha
didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak sebagimana
keuntungan yang pantas diterima oleh pengusaha swasta sejenis yang beroperasi
secara efisien dan berorientasi pada harga pasar. Sedangkan prinsip dan sasaran
dalam penetapan tarif retribusi perizinan tertentu didasarkan pada tujuan untuk
menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang
bersangkutan meliputi penerbitan dokumen izin, pengawasan dilapangan,
penegakan hukum, penatausahaan dan biaya dampak negatif dari pemberian izin
tersebut (Darise, 2009:72).
F. Hubungan Pertumbuhan Ekonomi terhadap Belanja Modal
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi merupakan salah satu tujuan dari suatu
proses pembangunan yang berjalan. Proses pembangunan ekonomi pada
hakekatnya adalah upaya meningkatkan kapasitas perekonomian agar mampu
menciptakan lapangan kerja yang pada akhirnya akan mendorong terwujudnya
kesejahteraan bagi seluruh rakyat (BPS, 2008: 1 ).
Pembangunan sarana dan prasarana oleh pemerintah daerah berpengaruh
positif pada pertumbuhan ekonomi (Kuncoro, 2004). Syarat fundamental untuk
pertumbuhan ekonomi adalah tingkat pengadaan modal pembangunan yang
seimbang dengan pertambahan penduduk. Bertambahnya infrastruktur dan
perbaikannya oleh pemerintah daerah diharapkan akan memacu pertumbuhan
ekonomi daerah tersebut.
37
Hasil penelitian yang dilakukan Justin Yifu Lin & Zhiqiang Liu (2000)
menunjukkan desentralisasi memberikan dampak yang sangat berarti bagi
pertumbuhan ekonomi daerah. Yifu Lin & Zhiqiang Liu (2000) yang
membuktikan adanya hubungan yang positif dan signifikan antara desentralisasi
fiskal dengan pertumbuhan ekonomi. Hasil ini mendukung sintesa yang
menyatakan bahwa pemberian otonomi yang lebih besar akan memberikan
dampak yang lebih besar bagi pertumbuhan ekonomi, hal inilah yang mendorong
daerah untuk mengalokasikan secara lebih efisien berbagai potensi lokal untuk
kepentingan pelayanan publik (Mardiasmo, 2002).
G. Hubungan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Terhadap Belanja Modal
Dalam praktik di masyarakat, pungutan pajak daerah seringkali disamakan
dengan retribusi daerah. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa keduanya
merupakan pembayaran kepada pemerintah. Saat ini di Indonesia, khususnya di
daerah, penarikan sumber daya ekonomi melalui pajak daerah dan retribusi daerah
dilakukan dengan aturan hukum yang jelas, yaitu dengan peraturan daerah dan
keputusan kepala daerah sehingga dapat diterapkan sebagai salah satu sumber
penerimaan daerah. Hal tersebut menunjukkan adanya persamaan antara pajak dan
retribusi, yaitu pemungutan oleh pemerintah daerah kepada masyarakat yang
didasarkan pada aturan hukum yang jelas dan kuat.
Menurut pasal 1 undang-undang No. 28 Tahun 2009, pajak daerah adalah
kontribusi wajib kepada daerah yang tertuang oleh orang pribadi atau badan yang
bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan
38
imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.
Pajak daerah mempengaruhi belanja daerah. Fakta ini dibuktikan dengan
penelitian yang dilakukan. Hasil penelitian ini didukung dengan penelitian yang
dilakukan oleh Pakpahan (2009), Handayani dan Elva (2012) yang menemukan
bahwa pajak daerah berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap alokasi
belanja daerah karena pajak merupakan bagian pendapatan asli daerah yang
terbesar.
Menurut UU No. 28 Tahun 2009, retribusi daerah adalah pungutan daerah
sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus
disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang
pribadi atau badan
Pengelolaan APBD yang efektif dan efisien yang dilaksanakan oleh
pemerintah daerah dapat menjalankan pembangunan daerah dan meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Pajak dan Retribusi merupakan dua sektor pendapatan yang
memiliki potensi penyumbang pendapatan APBD yang cukup besar bagi daerah.
Persoalan yang muncul saat ini pemda dihadapkan oleh jumlah belanja daerah
yang kecil tetapi harus menanggung kebutuhan daerahnya yang sangat besar.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Edi sarwono menunjukkan bahwa
Retribusi Daerah berpengaruh signifikan terhadap Belanja Daerah. Retribusi
Daerah juga merupakan bagian dari PAD, dimana dijelaskan apabila jumlah
anggaran mengalami peningkatan, maka dapat diprediksikan jumlah belanja juga
39
dapat mengalami peningkatan.
H. Hubungan Dana Alokasi Umum Terhadap Belanja Modal
Menurut Ndadari dan Adi (2008:15) proporsi DAU terhadap penerimaan
daerah masih yang tertinggi dibandingkan dengan penerimaan daerah yang lain,
termasuk PAD. Kuncoro (2004:26) juga menyebutkan bahwa PAD hanya mampu
membiayai belanja pemerintah daerah paling besar 20%. Kenyataan inilah yang
menimbulkan perilaku asimetris pada pemerintah daerah.
UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang “Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat
dan Daerah” menyebutkan bahwa Dana Alokasi Umum merupakan dana yang
bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemeratan
kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam
rangka pelaksanaan desentralisasi. Kurniawan (2010) mengatakan bahwa DAU
bersifat Block Grant yakni hibah yang penggunaannya cukup fleksibel (dalam
artian tidak banyak larangan) seperti halnya hibah kategori. Hibah ini dapat
digunakan untuk banyak tujuan sesuai dengan kebutuhan.
Dana perimbangan keuangan merupakan konsekuensi adanya penyerahan
kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dengan demikian,
terjadi transfer yang cukup signifikan dalam APBN dari pemerintah pusat ke
pemerintah daerah. Pemerintah daerah dapat menggunakan dana perimbangan
keuangan (DAU) untuk memberikan pelayanan kepada publik yang direalisasikan
melalui belanja modal (Solikin, 2010). Penelitian empiris yang dilakukan oleh
Holtz-Eakin et. Al. (1985) dalam Hariyanto Adi menyatakan bahwa terdapat
40
keterkaitan antara dana transfer dari pemerintah pusat dengan belanja modal,
semakin tinggi DAU maka alokasi belanja modal juga meningkat. Hal ini
disebabkan karena daerah yang memiliki pendapatan (DAU) yang besar maka
alokasi untuk anggaran belanja daerah (belanja modal) akan meningkat
I. Penelitian Terdahulu
1. Penelitian pertama berupa jurnal berjudul “PENGARUH PAJAK DAERAH,
RETRIBUSI DAERAH, PENDAPATAN LAINNYA YANG SAH, DAN DANA
ALOKASI UMUM (DAU) TERHADAP BELANJA MODAL PADA
KABUPATEN/KOTA SE INDONESIA TAHUN ANGGARAN 2010-2011”.
Penilitian ini dilakukan oleh Edi Sarwono Data yang digunakan adalah data panel
yang merupakan gabungan data cross section yaitu populasi daerah
kabupaten/kota yang ada di Indonesia dalam periode tahun 2010 sampai dengan
tahun 2011. Secara simultan variabel Pajak daerah, Retribusi daerah, Pendapatan
lainnya yang sah dan Dana alokasi umum berpengaruh positif terhadap Anggaran
Belanja Modal.
2. Penelitian kedua berupa skripsi dengan judul “Pengaruh Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah Terhadap Belanja Daerah Pemerintahan Kabupaten/Kota di
Sumatera Utara” yang di tulis oleh Rolan Pakpahan pada tahun 2009. Data yang
digunakan adalah data panel yang merupakan data gabungan data cross section
yaitu 24 kabupaten/kota di provinsi Sumatera Utara dan data time series dari
tahun 2005-2007. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara parsial variabel
Pajak Daerah berpengaruh secara signifikan terhadap Belanja Daerah dan
41
variabel Retribusi Daerah tidak berpengaruh secara signifikan terhadap Belanja
Daerah. Secara simultan, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah berpengaruh secara
signifikan terhadap Belanja Daerah.
3. Penelitian ketiga berupa jurnal “Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan
Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum Terhadap Pengalokasian Anggaran
Belanja Modal pada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat”
yang ditulis oleh Dini Arwati dan Novita Hadiati pada tahun 2013. Data yang
digunakan adalah data panel yang merupakan gabungan data cross section yaitu
kabupaten/kota di provinsi Jawa Barat dan data time series dari tahun 2008-2010.
Analisis penelitian ini adalah analisis regresi linier berganda. Secara parsial PAD
berpengaruh signifikan terhadap pengalokasian anggaran belanja modal,
sedangkan pertumbuhan ekonomi dan DAU tidak berpengaruh signifikan
terhadap pengalokasian anggaran belanja modal. Secara simultan pertumbuhan
ekonomi, PAD, dan DAU berpengaruh terhadap pengalokasian anggaran belanja
modal.
4. Penelitian keempat yaitu berupa skripsi “Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi,
Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dan Dana Alokasi Khusus
Terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal” yang ditulis oleh Deva Yoga
Permana pada tahun 2013. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 35
kabupaten / kota di Jawa Tengah dari tahun 2007-2009. Metode pengambilan
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sensus dengan
mengambil seluruh populasi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa secara
42
parsial Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU)
berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal. Sedangkan, Pertumbuhan
Ekonomi dan Dana Alokasi khusus (DAK) tidak berpengaruh signifikan terhadap
Belanja Modal. Secara simultan Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah
(PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi khusus (DAK)
berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal.
5. Penelitian kelima yaitu berupa jurnal internasional “The Influence Of Local
Taxes And Levies Towards Expenditure Allocation In Kota Gorontalo,
Indonesia”. Penelitian ini ditulis oleh Walidun Husain pada tahun 2013. Metode
deskriptif digunakan untuk menganalisis data dengan menggunakan analisis
regresi berganda. Data dari penelitian ini dalam bentuk pencapaian pajak dan
retribusi daerah serta biaya selama tahun 2009 sampai dengan tahun 2011, data
diperoleh dari DPPKAD (Dinas Pendapatan Pengelolan Keuangan dan Aset
Daerah). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pajak daerah dan pungutan yang
signifikan dan positif mempengaruhi alokasi belanja daerah baik secara parsial
maupun secara simultan di Kota Gorontalo.
6. Penelitian keenam yaitu berupa jurnal internasional “ANALYAIA OF FLYPAPER
EFFECT IN GENERAL ALLOCATION FUND AND REGIONAL INCOME TO
REGIONAL EPENDITURE OF DISTRICTS AND CITIES IN SOUTH
SUMATERA”. Penelitian ini ditulis oleh Lestari L F Simanjuntak, Ahmad
Subeki, ika Sasti Ferina, dan Hasni Yusrianty pada bulan Oktober 18-30 tahun
2013. Jurnal ini mengamati bahwa Penelitian ini menunjukan bahwa DAU dan
43
PAD memiliki dampak yang signifikan terhadap Belanja Daerah. Hal ini
menunjukkan bahwa efek flypaper adalah tidak ditemukan baik dalam DAU
maupun dalam pengaruh PAD untuk Belanja daerah di Kabupaten dan Kota di
Sumatera Selatan.
Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu
No Peneliti Variabel Metodologi Hasil Penelitian
1. Edy Sarwono Dependen:
Belanja daerah
Independen:
Pajak Daerah,
Retribusi
Daerah,
Pendapatan Lain
Yang Sah Dan
DAU
Analisis
yang
digunakan
adalah data
panel
Hasil penelitian ini
secara simultan
variabel Pajak
daerah, Retribusi
daerah, Pendapatan
lainnya yang sah dan
Dana alokasi umum
berpengaruh positif
terhadap Anggaran
Belanja Modal.
2. Rolan Pakpahan Dependen:
Belanja Daerah
Analisis
yang
digunakan
Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa
secara parsial
44
Independen:
Pajak Daerah
dan Retribusi
Daerah
adalah data
panel
variabel Pajak
Daerah berpengaruh
secara signifikan
terhadap Belanja
Daerah dan variabel
Retribusi Daerah
tidak berpengaruh
secara signifikan
terhadap Belanja
Daerah. Secara
simultan, Pajak
Daerah dan Retribusi
Daerah berpengaruh
secara signifikan
terhadap Belanja
Daerah.
3. Dini Arwati dan
Novita Hadiati
Dependen:
Belanja Modal
Independen:
Pertumbuhan
Analisis
yang
digunakan
adalah data
panel
Hasil penelitian ini
menunjukan bahwa
Secara parsial PAD
berpengaruh
signifikan terhadap
45
Ekonomi, PAD,
DAU
pengalokasian
anggaran belanja
modal, sedangkan
pertumbuhan
ekonomi dan DAU
tidak berpengaruh
signifikan terhadap
pengalokasian
anggaran belanja
modal. Secara
simultan
pertumbuhan
ekonomi, PAD, dan
DAU berpengaruh
terhadap
pengalokasian
anggaran belanja
modal.
4. Deva Yoga
Permana
Dependen:
Pengalokasian
Analisis
yang
Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa
46
Anggaran
Belanja Modal
Independen :
Pertumbuhan
Ekonomi, Pad,
Dau, Dak
digunakan
adalah data
panel
secara parsial
Pendapatan Asli
Daerah (PAD) dan
Dana Alokasi
Umum (DAU)
berpengaruh
signifikan terhadap
Belanja Modal.
Sedangkan,
Pertumbuhan
Ekonomi dan Dana
Alokasi khusus
(DAK) tidak
berpengaruh
signifikan terhadap
Belanja Modal.
Secara simultan
Pertumbuhan
Ekonomi,
Pendapatan Asli
Daerah (PAD),
Dana Alokasi
47
Umum (DAU), dan
Dana Alokasi
khusus (DAK)
berpengaruh
signifikan terhadap
Belanja Modal
5. Walidun Husain Dependen:
Belanja Modal
Independen:
Pajak Daerah
dan Retribusi
Daerah
Analisis
yang
digunakan
adalah data
panel
Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa
pajak daerah dan
pungutan signifikan
dan positif
mempengaruhi
alokasi belanja
daerah baik secara
parsial maupun
secara simultan di
Kota Gorontalo.
6 Lestari L F
Simanjuntak,
Ahmad Subeki, ika
Dependen :
belanja modal
Indenpenden :
Analisis
yang
digunakan
Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa
DAU dan PAD
48
Sasti Ferina, dan
Hasni Yusrianty
DAU, PAD adalah data
panel
memiliki dampak
yang signifikan
terhadap Belanja
Daerah. Hal ini
menunjukkan bahwa
efek flypaper adalah
tidak diteukan baik
dalam DAU maupun
dalam pengaruh
PAD untuk Belanja
daerah di Kabupaten
dan Kota di
Sumatera Selatan
J. Kerangka Berpikir
Kerangka pemikiran digunakan untuk menunjukkan arah penyusunan
penelitian dan mempermudah dalam menganalisa masalah yang dihadapi, maka
diperlukan suatu kerangka pemikiran yang akan memberikan gambaran tahap-
tahap penelitian untuk mencapai suatu kesimpulan. Dalam konsep dasar dari
penelitian ini adalah menguji pengaruh pertumbuhan ekonomi,dana alokasi
umum,pajak daerah dan retribusi daerah terhadap belanja modal di
kabupaten/kota provinsi Riau tahun 2010-2014
49
Penelitian ini menggunakan tiga variabel independen yaitu pertumbuhan
ekonomi(X1), dana alokasi umum (X2), pajak daerah(X3) dan retribusi daerah
(X4) sedangkan variabel dependen yaitu belanja modal (Y).
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005, belanja modal adalah
Pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal yang sifatnya
menambah asset tetap yang memberikan manfaat lebih dari satu periode
akuntansi, termasuk di dalamnya adalah pengeluaran untuk biaya pemeliharaan
yang sifatnya mempertahankan atau menambah masa manfaat, serta
meningkatkan kapasitas dan kualitas aset.
Belanja modal merupakan pengeluaran pemerintah yang sangat efektif untuk
meningkatkan pelayanan umum. Untuk meningkatkan pengalokasian anggaran ke
sektor belanja modal diperlukan pengetahuan mengenai komponen-komponen
pendapatan apa saja yang berpengaruh positif untuk dialokasikan ke belanja
modal. Dari sektor PAD, pajak daerah dan retribusi daerah dapat berpeluang
untuk mempunyai pengaruh terhadap belanja modal, dana lokasi umum . Belanja
modal memiliki multiplier effect dan dapat menjadi stimulus perekonomian bagi
masyarakat. Infrastuktur dan sarana prasarana yang ada di daerah akan berdampak
pada pertumbuhan ekonomi daerah. Jika sarana dan prasarana memadai maka
masyarakat dapat melakukan aktivitas sehari-harinya secara aman dan nyaman
yang akan berpengaruh pada tingkat produktivitasnya yang semakin meningkat,
dan dengan adanya infrastruktur yang memadai akan menarik investor untuk
50
membuka usaha di daerah tersebut. Adapun kerangka pemikiran penelitian ini
adalah sebagai berikut :
Gambar 2.1
Kerangka Pemikiran
K. Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. H0: Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara pertumbuhan
ekonomi terhadap belanja modal kabupaten/kota provinsi Riau.
H1: Terdapat pengaruh yang signifikan antara pertumbuhan ekonomi
terhadap belanja modal kabupaten/kota provinsi Riau.
2. H0: Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara dana alokasi umum
terhadap belanja modal kabupaten/kota provinsi Riau.
PERTUMBUHAN
EKONOMI
DANA ALOKASI
UMUM
PAJAK DAERAH
BELANJA MODAL
RETRIBUSI
DAERAH
51
H1: Terdapat pengaruh yang signifikan antara dana alokasi umum
terhadap belanja modal kabupaten/kota provinsi Riau.
3. H0: Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara pajak daerah
terhadap belanja modal kabupaten/kota provinsi Riau.
H1: Terdapat pengaruh yang signifikan antara pajak daerah terhadap
belanja modal kabupaten/kota provinsi Riau.
4. H0: Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara retribusi daerah
terhadap belanja modal kabupaten/kota provinsi Riau.
H1: Terdapat pengaruh yang signifikan antara retribusi daerah terhadap
belanja modal kabupaten/kota provinsi Riau.
52
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian
Secara umum penelitian ini menganalisis tentang pengaruh pertumbuhan
ekonomi, dana alokasi umum, pajak daerah, retribusi daerah terhadap belanja
modal kabupaten/kota provinsi Riau tahun 2010-2014. Adapun variabel yang
digunakan terdiri dari lima variabel, yaitu belanja modal kabupaten/kota
provinsi Riau provinsi merupakan variabel dependen dalam penelitian ini.
Kemudian yang menjadi variabel independennya yaitu pertumbuhan ekonomi,
dana alokasi umum (DAU), pajak daerah, retribusi daerah.
B. Teknik Penentuan Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
populasi (Sugiyono, 2010: 56). Sampel yang digunakan dalam penelitian ini
adalah 12 kabupaten/kota provinsi Riau tahun 2010-2014. Adapun 12
kabupaten/kota provinsi Riau tersebut adalah kuantan singingi, indragiri hulu,
indragiri hilir, pelalawan, siak, kampar, rokan hulu, bengkalis, rokan hilir,
kepulauan meranti, pekanbaru, dumai.
Metode pengambilan sampel yang akan digunakan adalah teknik
purposive sampling yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan
tertentu (Sugiyono, 2010: 61).
53
C. Teknik Pengumpulan Data
Adapun jenis data dalam penelitian ini adalah data sekunder. Sumber data
dalam penelitian ini berasal dari:
1. Pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota provinsi Riau tahun 2010-2014
bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Riau .
2. Dana alokasi umum, pajak daerah, retribusi daerah dan belanja modal
kabupaten/kota provinsi Riau tahun 2010-2014 bersumber dari
www.kemenkeu.go.id
D. Teknik Analisis
Melihat kepada permasalahan dan tujuan yang telah dirumuskan, maka
metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan
analisis data panel. Tahapan-tahapan dalam menggunakan analisis data panel
adalah sebagai berikut:
1. Analisis Data Panel
Secara umum penelitian ini menganalisis tentang pengaruh
perumbuhan ekonomi, dana alokasi umum, pajak daerah dan retribusi
daerah terhadap belanja modal kabupaten/kota provinsi Riau tahun 2010-
2014 . Data ini berbentuk data panel dari tahun 2010 sampai 2014. Data
dengan karakteristik panel adalah data yang berstruktur urut waktu
sekaligus cross-section. Data semacam ini dapat diperoleh misalnya
dengan mengamati serangkaian observasi cross-section (antar individu)
pada suatu periode tertentu (Ariefianto, 2012: 148).
54
Data semacam ini memiliki keunggulan terutama karena bersifat
robust terhadap beberapa tipe pelanggaran asumsi Gauss Markov, yakni
heterokedastisitas dan normalitas (Wooldridge dalam Ariefianto, 2012:
148). Ariefianto (2012: 148) juga berpendapat dengan perlakuan tertentu
struktur data seperti itu dapat diharapkan untuk memberikan informasi
yang lebih banyak (high informational content). Suatu aspek yang sangat
diinginkan bagi penelitian empiris yang bernilai tinggi.
2. Estimasi Model Data Panel
Menurut Ariefianto (2012: 150) terdapat dua tipe pemodelan residual
data panel, yakni (1) Model efek tetap: fixed effect model (FEM) dan (2)
Model efek random: random effect model (REM). Pemodelan ini
berdasarkan asumsi apakah karakter residual spesifik ini bersifat konstan
atau random.
Jika menurut Widarjono dalam Iqbal (2015: 2), untuk mengestimasi
parameter model dengan data panel, terdapat tiga teknik (model) yang
sering ditawarkan, yaitu model common effect, model efek tetap, dan
model efek random.
a. Common Effect Model
Teknik ini merupakan teknik yang paling sederhana untuk
mengestimasi parameter model data panel, yaitu dengan
mengkombinasikan data cross-section dan time series sebagai satu
kesatuan tanpa melihat adanya perbedaan waktu entitas (individu).
55
Dimana pendekatan yang sering dipakai metode ordinary least square
(OLS). Model common effect mengabaikan adanya perbedaan dimensi
individu maupun waktu atau dengan kata lain perilaku data antar
individu sama dalam berbagai kurun waktu.
b. Model Efek Tetap (Fixed Effect Model)
Pendekatan model fixed effect mengasumsikan bahwa intersep dari
setiap individu adalah berbeda sedangkan slope antar individu adalah
tetap (sama). Teknik ini menggunakan variabel dummy untuk
menangkap adanya perbedaan intersep antar individu.
Efek tetap disini maksudnya adalah bahwa satu objek, memiliki
konstanta yang tetap besarnya untuk berbagai periode waktu.
Demikian juga dengan koefisien regresinya, tetap besarnya dari waktu
ke waktu (time invariant) (Winarno, 2011: 9.15).
Menurut Gujarati dan Heij, et, al, dalam Ariefianto (2012: 150)
pemodelan fixed effect memiliki beberapa kelemahan, yakni:
1) Masalah kekurangan derajat kebebasan (degree of freedom) akibat
jumlah sampel yang terbatas. Sebagai contoh jika data yang
dimiliki terdiri atas 10 unit cross section dan 5 unit urut waktu,
maka kita harus mengestimasi 13 variabel dummy tambahan.
Rendahnya derajat kebebasan dapat menimbulkan inefisiensi pada
parameter yang diestimasi.
56
2) Multikolinearitas yang diakibatkan oleh banyaknya variabel
dummy yang diestimasi.
3) Keterbatasan kemampuan estimasi, terutama jika terdapat variabel
yang bersifat tidak berubah berdasarkan waktu (time invariant).
4) Kemampuan korelasi di antara komponen residual spesifik (cross
section dan urut waktu).
c. Model Efek Random (Random Effect Model)
Dengan menggunakan model fixed effect, kita tidak dapat melihat
pengaruh dari berbagai karakteristik yang bersifat konstan dalam
waktu, atau konstan di antara individu. Untuk maksud tersebut dapat
digunakan model yang disebut model random effect (Rosadi, 2012:
272).
Menurut Widarjono dalam Iqbal (2015: 2) pendekatan yang
dipakai dalam random effect mengasumsikan setiap perusahaan
mempunyai perbedaan intersep, yang mana intersep tersebut adalah
variabel random atau stokastik. Model ini sangat berguna jika individu
(entitas) yang diambil sebagai sampel adalah dipilih secara random dan
merupakan wakil populasi. Teknik ini juga memperhitungkan bahwa
error munggkin berkorelasi sepanjang cross-section dan time series.
Efek random digunakan untuk mengatasi kelemahan metode efek
tetap yang menggunakan variabel semu, sehingga model mengalami
ketidakpastian. Tanpa menggunakan variabel semu, metode efek
57
random menggunakan residual, yang diduga memiliki hubungan
antarwaktu dan antarobjek. Namun untuk menganalisis dengan metode
efek random ini ada satu syarat, yaitu objek data silang harus lebih
besar daripada banyaknya koefisien (Winarno, 2011: 9.17).
3. Pemilihan Model Data Panel
Menurut Usman dan Nachrowi dalam Iqbal (2015: 3), pemilihan
metode fixed effect atau metode random effect dapat dilakukan dengan
pertimbangan tujuan analisis, atau ada pula kemungkinan data yang
digunakan sebagai dasar pembuatan model, hanya dapat diolah oleh salah
satu metode saja akibat berbagai persoalan teknis matematis yang
melandasi perhitungan. Dalam software Eviews, metode random effect
hanya dapat digunakan dalam kondisi jumlah individu lebih besar
dibanding jumlah koefisien termasuk intersep. Selain itu, menurut
beberapa ahli ekonometri dikatakan bahwa, jika data panel yang dimiliki
mempunyai jumlah waktu (t) lebih besar dibandingkan jumlah individu (i),
maka disarankan menggunakan metode fixed effect. Sedangkan jika data
panel yang dimiliki mempunyai jumlah waktu (t) lebih kecil dibandingkan
jumlah individu (i), maka disarankan menggunakan metode random effect.
a. Uji Chow
Untuk mengetahui model mana yang lebih baik dalam pengujian
data panel, bisa dilakukan dengan penambahan variabel dummy
sehingga dapat diketahui bahwa intersepnya berbeda dapat di uji
58
dengan uji statistik F. Uji ini digunakan untuk mengetahui apakah
teknik regresi data panel dengan metode fixed effect lebih baik dari
regresi model data panel tanpa variabel dummy atau metode common
effect.
Hipotesis nul pada uji ini adalah bahwa intersep sama, atau dengan
kata lain model yang tepat untuk regresi data panel adalah common
effect, dan hipotesis alternatifnya adalah intersep tidak sama atau
model yang tepat untuk regresi data panel adalah fixed effect.
Nilai statistik F hitung akan mengikuti distribusi statistik F dengan
derajat kebebasan (degrees of freedom) sebanyak m untuk numerator
dan sebanyak n-k untuk denumerator. m merupakan jumlah restriksi
atau pembatasan di dalam model tanpa variabel dummy. Jumlah
restriksi adalah jumlah individu dikurang satu. n merupakan jumlah
observasi dan k merupakan jumlah parameter dalam model fixed effect.
Jumlah observasi (n) adalah jumlah individu dikali dengan jumlah
periode, sedangkan jumlah parameter dalam model fixed effect (k)
adalah jumlah varibel ditambah jumlah individu. Apabila nilai F hitung
lebih besar dari F kritis maka hipotesis nul ditolak yang artinya model
yang tepat untuk regresi data panel adalah model fixed effect. Dan
sebaliknya, apabila nilai F hitung lebih kecil dari F kritis maka
hipotesis nul diterima yang artinya model yang tepat untuk regresi data
panel adalah model common effect.
59
b. Uji Hausman
Menurut Ariefianto (2012: 152) menjelaskan bahwa pemilihan
fixed effect model atau random effect model didasarkan pada apakah
heterogenitas bersifat konstan (dan berkorelasi dengan variabel bebas)
atau random. Namun demikian, dalam praktiknya hal ini sangat sulit
ditentukan secara apriori. Untuk itu diperlukan suatu tes untuk menguji
superioritas suatu model terhadap model lain.
Hausman dalam Ariefiano (2012: 152) mengajukan suatu tes yang
menggunakan random effect model sebagai acuan (null hipotesis).
Dasar pemikiran yang digunakan adalah dengan menguji adanya
hubungan antara ai dan xitj. Jika statistik uji menunjukkan penolakan
hipotesis nul maka fixed effect model adalah lebih tepat dan sebaliknya
random effect model jika hipotesis null tidak dapat ditolak.
Rosadi (2012: 274) juga menjelaskan bahwa uji ini bertujuan untuk
melihat apakah terdapat efek random di dalam panel data, yaitu dengan
menguji hipotesis berbentuk:
H0: E(Ci | X) = E(u) = 0 atau terdapat efek random di dalam model.
Bila H0 ditolak maka digunakan model fixed effect.
Dalam perhitungan statistik uji hausmann diperlukan asumsi
bahwa banyak kategori cross section lebih besar dibandingkan jumlah
variabel independen (termasuk konstanta) dalam model. Lebih lanjut,
dalam estimasi statistik uji hausmann diperlukan estimasi variansi
60
cross section yang positif, yang tidak selalu dapat dipenuhi oleh
model. Apabila kondisi-kondisi ini tidak dipenuhi maka hanya dapat
digunakan model fixed effect.
Menurut Usman dan Nachrowi dalam Iqbal (2015: 4) statistik uji
hausman mengikuti distribusi statistik chi-squares dengan derajat
kebebasan (d.f) sebesar jumlah variabel bebas. Hipotesis nulnya adalah
bahwa model yang tepat untuk regresi data panel adalah model random
effect dan hipotesisnya alternatifnya adalah model yang tepat untuk
regresi data panel adalah model fixed effect. Apabila nilai statistik
hausman lebih besar dari nilai kritis chi-squares maka hipotesis nul
ditolak yang artinya model yang tepat untuk regresi data panel adalah
model fixed effect. Dan sebaliknya, apabila nilai statistik hausman
lebih kecil dari nilai kritis chi-squares maka hipotesis nul diterima
yang artinya model yang tepat untuk regresi data panel adalah model
random effect.
4. Model Empiris
Pada kasus penelitian tertentu, variabel yang digunakan dalam model
regresi tidak selalu dalam besaran yang sama. Persamaan regresi estimasi
yang dihasilkan dari perbedaan nilai variabel yang sangat besar ini
berakibat koefisien regresinya ada yang nilainya sangat kecil. Untuk
mengatasi masalah ini, biasanya variabel-variabel yang nilainya relatif
terlalu besar ditranformasikan ke dalam nilai double log (ln) (algifari,
2013: 78).
61
Model persamaan secara umum yang akan diestimasi pada penelitian
ini adalah sebagai berikut:
LogBMit = β0 + β1 LogPEit + β2 LogDAUit + β3 LogPDit + β4 RDit + etit
Dimana :
LogBMit : Belanja Modal di kab/kota provinsi i pada periode t
LogPEit : Pertumbuhan ekonomi di kab/kota provinsi i pada periode t
LogDAUit : Dana Alokasi Umum di kab/kota provinsi i pada periode t
LogPDit : Pajak Daerah di kab/kota provinsi i pada periode t
LogRDit : Retribusi Daerah di kab/kota provinsi i pada periode t
β0…, βn : Koefisien regresi (konstanta)
etit : Error term
Setelah model penelitian di estimasi maka akan diperoleh nilai dan
besaran dari masing-masing parameter dalam model persamaan diatas.
Nilai parameter positif atau negatif selanjutnya akan digunakan untuk
menguji hipotesis penelitian.
5. Uji Asumsi Klasik
Berbagai masalah yang sering dijumpai dalam analisis regresi dan
korelasi adalah: multikolineritas, heteroskedastisitas, autokorelasi, dan
normalitas.
a. Uji Normalitas
Widarjono (2010: 111) menjelaskan bahwa salah satu asumsi
model regresi adalah residual mempunyai distribusi normal. Apa
62
konsekuensinya jika model tidak mempunyai residual yang
berdistribusi normal? Uji t untuk melihat signifikansi variabel
independen terhadap variabel dependen tidak bisa diaplikasikan jika
residual tidak mempunyai distribusi normal.
Dalam analisis multivariat, para peneliti menggunakan pedoman
kalau tiap variabel terdiri atas 30 data, maka data sudah berdistribusi
normal. Apabila analisis melibatkan 3 variabel, maka diperlukan data
sebanyak 3 × 3 = 90 (Winarno, 2012: 5.37).
Pelanggaran terhadap kenormalan dapat terjadi karena terok tidak
berasal dari populasi normal atau adanya beberapa data, biasanya di
pinggir, yang merupakan pencilan (penyebabnya tidak jelas atau
berasal dari populasi lain yang tidak sama dengan bagian terbesar data
lainnya) (Sembiring, 2003: 65).
Menurut Algifari (2013: 32-33) pengujian terhadap normalitas ini
dapat dilakukan dengan banyak cara, seperti uji chi-square goodness of
fit atau uji jarque-bera.
Pengujian normalitas dengan uji chi-square goodness of fit. Jika
nilai x2 lebih kecil daripada nilai kritisnya (x
2 tabel; df. = n-1-k;
dimana n adalah banyaknya kelas dan k adalah banyaknya parameter
yang disetimasi), maka dapat disimpulkan bahwa kesalahan
pengganggunya (disturbance ui) kemungkinan berasal dari distribusi
hipotesis (distribusi normal).
63
Menurut Winarno (2011: 5.39) bila nilai jarque-bera tidak
signifikan (lebih kecil dari 2), maka data berdistribusi normal. Bila
probabilitas lebih besar dari 5% (bila anda menggunakan tingkat
signifikansi tersebut), maka data berdistribusi normal (hipotesis nolnya
adalah data berdistribusi normal).
Rosadi (2012: 36) menjelaskan bagaimanakah jika data tidak
berdistribusi normal? Salah satu hal yang dapat dilakukan dalam
keadaan ini adalah melakukan transformasi terhadap data. Jika data
menceng dan semuanya bernilai positif, salah satu metode transformasi
yang dapat digunakan adalah menggunakan transformasi power (y = xλ
untuk λ ≠ 0 dan y = ln(x) untuk λ = 0), atau ekuivalennya, dengan
menggunakan metode Box-Cox power (y = (xλ
– 1)/ λ untuk λ ≠ 0 dan
y = ln(x) untuk λ = 0).
b. Uji Multikolinearitas
Multikolinearitas adalah kondisi adanya hubungan linier antar
variabel independen. Karena melibatkan beberapa variabel
independen, maka multikolinearitas tidak akan terjadi pada persamaan
regresi sederhana (yang terdiri atas satu variabel dependen dan satu
variabel independen) (Winarno, 2011: 5.1)
Gujarati dalam Ariefianto (2012: 53) menyatakan bahwa
multikolinearitas adalah fenomena sampling. Ia terjadi pada sampel
dan bukan pada populasi. Hal ini tentu saja jika kita telah
64
menspesifikasikan variabel yang masuk ke dalam model dengan benar
(misalnya tidak ada variabel yang merupakan multiplikasi dari variabel
lain). Dengan kata lain, jika dimungkinkan untuk bekerja pada
populasi maka multikolinearitas tidak akan pernah menjadi suatu
masalah.
Winarno (2011: 5.7) menjelaskan apabila model prediksi kita
memiliki multikolinearitas, akan memunculkan akibat-akibat berikut
ini:
1) Estimator masih bersifat BLUE, tetapi memiliki varian dan
kovarian yang besar, sehingga sulit dipakai sebagai alat estimasi.
2) Interval estimasi cenderung lebar dan nilai statistik uji t akan kecil,
sehingga menyebabkan variabel independen tidak signifikan secara
statistik dalam mempengaruhi variabel independen.
Menurut Montgomery dan Peck dalam Ariefianto (2012: 52)
Terdapat beberapa penyebab multikolinearitas, di antaranya:
1) Cara pengambilan data dan kecilnya ukuran sampel.
2) Pembatas pada model atau populasi yang disampel. Misalnya kita
meregresi konsumsi listrik terhadap pendapatan dan ukuran rumah.
Di sini populasi dari mana sampel diperoleh memiliki karakteristik
kolinearitas, dimana individu yang memiliki pendapatan tinggi
umumnya memiliki rumah berukuran besar.
65
3) Spesifikasi model. Penambahan polynomal (x2, x
3, dst) berpotensi
menimbulkan masalah multikolinearitas terutama jika kisaran nilai
x yang dimiliki adalah kecil.
4) Model yang overdetermined. Hal ini terjadi jika model dimaksud
memiliki lebih banyak variabel dibandingkan jumlah sampel
(umumnya terjadi pada penelitian medis).
5) Common trend. Terutama jika kita menggunakan data time series,
banyak variabel seperti GDP, konsumsi agregat, PMA, dan
sebagainya bergerak searah berdasarkan waktu.
Menurut Winarno (2011: 5.1) kondisi terjadinya multikolinearitas
ditunjukkan dengan berbagai informasi, salah satunya yaitu nilai R2
tinggi, tetapi variabel independen banyak yang tidak signifikan.
Menurut Widarjono (2010: 77-82) Ada beberapa metode untuk
mendeteksi ada tidaknya masalah multikolineritas dalam suatu model
regresi berganda:
1) Korelasi parsial antar variabel independen. Multikolinearitas bisa
dideteksi dengan melihat korelasi linier antara variabel independen
di dalam regresi. Sebagai aturan main yang kasar (rule of thumb),
jika koefisien korelasi cukup tinggi yaitu di atas 0,85 maka kita
duga ada multikolineritas dalam model. Sebaliknya jika koefisien
korelasi kurang dari 0,85 maka kita duga model tidak mengandung
unsur multikolinearitas. Akan tetapi perlu kehati-hatian terutama
66
pada time series karena jenis data time series seringkali
menunjukkan korelasi antar variabel independen cukup tinggi.
Korelasi tinggi ini terjadi karena data time series seringkali
menunjukkan unsur tren yaitu data bergerak naik dan turun secara
bersamaan.
2) Regresi auxiliary. Multikolinearitas bisa terjadi karena satu atau
lebih variabel independen merupakan kombinasi linier dengan
variabel-variabel independen lain. Jika hal terjadi maka deteksi
masalah multikolinearitas dilakukan dengan melakukan regresi
setiap variabel independen dengan sisa variabel-variabel
independen lain disebut dengan regresi auxiliary. Jika nilai F-
hitung lebih besar dari nilai F-kritis dengan tingkat signifikansi α
dan derajat kebebasan tertentu maka dapat disimpulkan model
mengandung unsur multikolinearitas. Sebaliknya jika nilai F-
hitung lebih kecil dari nilai kritis F maka tidak terdapat hubungan
linier antara satu variabel X dengan variabel X yang lain.
3) Metode deteksi klien. Klien menyarankan untuk mendeteksi
masalah multikolinearitas dengan hanya membandingkan koefisien
determinasi auxiliary dengan koefisien determinasi (R2) model
regresi aslinya yaitu Y dengan variabel independen X. Sebagai rule
of thumb uji klien ini, jika R2
X1X2X3…X4 lebih besar dari R2 maka
model mengandung unsur multikolinearitas antara variabel
67
independennya dan jika sebaliknya maka tidak ada korelasi antar
variabel independen.
Terdapat suatu kemungkinan memperbaiki dengan data yang ada.
Beberapa hal yang disarankan untuk dilakukan di antaranya
(Ariefianto, 2012: 54):
1) Penggunaan informasi apriori. Informasi apriori adalah informasi
yang bersifat non-sample. Ia tidak berasal dari data melainkan dari
teori, penelitian lainnya, atau judgement peneliti.
2) Penggunaan data panel. Data semacam ini memiliki beberapa
karakter yang berguna bagi penelitian dan robust terhadap
beberapa pelanggaran asumsi (termasuk multikolinearitas).
3) Penggantian atau mengeluarkan variabel. Hal ini dilakukan jika
tidak menyebabkan specification error (variabel yang dihilangkan
tidak berasal dari teori) dan bersifat subtitusi terhadap variabel
lainnya.
4) Transformasi variabel. Beberapa untuk transformasi yang umum
digunakan adalah first different, ratio transformation (seperti pada
WLS) dan bentuk log.
c. Uji Heteroskedastisitas
Asumsi penting (asumsi Gauss Markov) dalam penggunaan OLS
adalah varians residual yang konstan. Varian dari residual tidak
berubah dengan berubahnya satu atau lebih variabel bebas. Jika asumsi
68
ini terpenuhi, maka residual disebut homokedastis, jika tidak, disebut
heteroskedastis (Ariefianto, 2012: 37).
Menurut Gujarati, Pindyck, dan Rubenfeld dalam Ariefianto (2012:
38-39) terdapat beberapa alasan mengapa residual regresi dapat
bersifat heteroskedastis, di antaranya:
1) Situasi error learning, misalnya kita ingin mengetahui hubungan
tingkat kesalahan mengetik terhadap berbagai variabel. Jika kita
menggunakan sampel yang bersifat panel atau time series akan
sangat mungkin model yang dimiliki akan bersifat heteroskedastis.
Hal ini disebabkan kesalahan pengetikan akan menurun dari waktu
ke waktu dan terjadi konvergensi di antara elemen sampel
(kesalahan anggota sampel yang paling tidak terampil akan
menurun mendekati mereka yang awalnya sudah terampil).
2) Kemampuan diskresi. Hal ini tampak jelas pada penelitian dengan
menggunakan variabel pendapatan. Aktivitas oleh individu yang
memiliki pendapatan tinggi akan jauh lebih variatif dibandingkan
mereka yang berpendapatn rendah. Dengan demikian suatu model
regresi dengan menggunakan variabel semacam ini akan
mengalami peningkatan residual kuadrat dengan semakin besarnya
pendapatan.
69
3) Perbaikan teknik pengambilan data. Peneliti akan belajar untuk
menarik informasi dengan benar, dengan demikian kesalahan
akibat proses ekstraksi data akan semakin menurun.
4) Keberadaan outlier. Outlier adalah data yang memiliki
karakteristik sangat berbeda dari kondisi yang umum. Misalnya
kita memiliki suatu set data pendapatan dengan kisaran IDR 2-5
juta per bulan, keberadaan individu dengan pendapatan 100 juta
dapat dikatakan outlier.
Menurut Widarjono (2010: 85-86) ada beberapa metode bisa
digunakan untuk mendeteksi ada tidaknya masalah heteroskedastisitas,
yaitu:
1) Metode Park dan Glejser. Menurut Park, terjadinya varian variabel
gangguan yang tidak konstan (heteroskedastisitas) karena residual
tergantung dari variabel independen yang ada di dalam model.
Heteroskedastisitas terjadi jika variabel independen secara statistik
signifikan mempengaruhi. Sebaliknya jika variabel independen
tidak signifikan mempengaruhi maka tidak ada heteroskedastisitas.
Seide dengan Park, Glejser mengatakan bahwa varian variabel
gangguan lainnya tergantung dari variabel independen yang ada di
dalam model. Jika variabel independen secara statistik signifikan
melalui uji t maka ada masalah heteroskedastisitas. Sebaliknya jika
variabel independen tidak signifikan secara statistik maka model
tidak mengandung masalah heteroskedastisitas.
70
2) Metode korelasi Spearman. Korelasi spearman merupakan salah
satu uji statistika nonparametrik.
3) Metode White. Hipotesis nol dalam uji ini adalah tidak ada
heteroskedastisitas. Uji white didasarkan pada jumlah sampel (n)
dikalikan dengan R2 yang akan mengikuti distribusi chi-squares
dengaan degree of freedom sebanyak variabel independen tidak
termasuk konstanta dalam regresi auxiliary. Jika nilai chi-squares
hitung lebih besar dari nilai χ2 kritis dengan derajat kepercayaan
tertentu (α) maka signifikan sehingga ada heteroskedastisitas dan
sebaliknya jika chi-squares hitung lebih kecil dari nilai χ2 kritis
maka tidak signifikan yang menunjukkan tidak adanya
heteroskedastisitas.
Ariefianto (2012: 42-43) menjelaskan jika pada suatu model
regresi terdekteksi heteroskedastis, maka standar error dari regresi
menjadi bias. Sebagai konsekuensinya, seluruh tipe uji hipotesis
(parsial dan exclusion) menjadi menyesatkan. Untuk itu perlu
dilakukan koreksi terhadap model. Terdapat 2 tipe koreksi yakni (1)
koreksi terhadap standar error regresi dan (2) Generalized Least
Square (GLS).
Tipe koreksi yang pertaman dilakukan hanya terbatas pada standar
error regresi. Tidak ada modifikasi atau estimasi ulang atas parameter
yang diperoleh dari OLS. Koreksi terhadap standar error regresi
71
dilakukan melalui prosedur yang diuraikan oleh White (1980) dan
dikenal dengan nama Heterocedasticity Robust Standard Error.
Generalized Least Square (GLS) prosedur koreksi
heterokedastisitas dengan cara melakukan tranformasi atau reestimasi.
Jika kita mengetahui bentuk spesifik dari heterokedastisitas (misalnya
linier terhadap variabel bebas) maka kita dapat memodifikasi nilai
variabel terikat dan variabel bebas sesuai dengan bentuk
heterokedastisitas dan mengestimasinya kembali.
d. Uji Autokorelasi
Autocorrelation adalah hubungan antara residual satu observasi
dengan residual observasi lainnya. Autokorelasi lebih mudah timbul
pada data yang bersifat runtut waktu, karena berdasarkan sifatnya, data
masa sekarang dipengaruhi oleh data pada masa-masa sebelumnya.
Meskipun demikian tetap dimungkinkan autokorelasi dijumpai pada
data yang bersifat antarobjek (cross-section) (Winarno, 2011: 5.26).
Autokolerasi adalah adanya kolerasi antara variabel itu sendiri,
pada pengamatan yang berbeda waktu atau individu. Pada umumnya
autokolerasi lebih sering terjadi pada data time series (Nachrowi dan
Usman, 2008: 135).
Menurut Winarno (2006:5.26), autokolerasi adalah hubungan
antara residual satu observasi dengan residual observasi lainnya.
Autokolerasi lebih mudah timbul pada data yang bersifat runtut waktu,
72
karena berdasarkan sifatnya, data masa sekarang dipengaruhi oleh data
pada masa-masa sebelumnya.
Dikarenakan dalam penelitian ini menggunakan data panel, maka
uji autokolerasi sudah tidak perlu di uji kembali, karena data panel
sifatnya lebih kepada cross section maka bisa dikatakan tidak ada
autokolerasi.
6. Uji Signifikasi
Sebagai alternatif, anda dapat menggunakan pendekatan ini dengan
memperoleh statistik uji yang relevan (misalnya, statistik uji t) dengan
hipotesis nol dan mencari nilai ρ untuk mendapatkan nilai tertentu dari
statistik uji menurut distribusi probabilitas yang sesuai (misalnya,
distribusi t, F, χ2). Jika probabilitas ini lebih kecil dari nilai α yang telah
ditetapkan sebelumnya, anda dapat menolak hipotesis nol. Tetapi jika
probabilitas tersebut lebih besar dari α, jangan menolak hipotesis nol. Jika
anda tidak ingin menetapkan nilai α terlebih dulu, cukup tampilkan nilai ρ
dari statistik uji (Gujarati, 2007: 109).
a. Uji F Statistik (Simultan)
Uji F digunakan untuk mengevaluasi pengaruh semua variabel
independen terhadap variabel dependen (Widarjono, 2010: 22).
Pengujian terhadap pengaruh variabel independen secara bersama-
sama (simultan) terhadap perubahan nilai variabel dependen dilakukan
melalui pengujian terhadap besarnya perubahan nilai variabel
73
dependen yang dapat dijelaskan (explained) oleh perubahan nilai
semua variabel independen.
Pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan perbandingan
antara nilai F-hitung dengan nilai F-tabel (nilai kritis) sesuai dengan
tingkat signifikansi yang digunakan. Jika F-hitung lebih kecil daripada
F-tabel, maka keputusannya adalah menerima daerah penerimaan
hipotesis nol (H0). Artinya, secara statistik dapat dibuktikan bahwa
semua variabel independen tidak berpengaruh terhadap perubahan nilai
variabel dependen. Sedangkan jika F-hitung lebih besar daripada F-
tabel maka keputusannya adalah menolak hipotesis nol (H0) dan
menerima hipotesis alternatif (H1). Artinya, secara statistik data yang
digunakan membuktikan bahwa semua variabel independen
berpengaruh terhadap nilai variabel dependen (Algifari, 2013: 72-73).
b. Uji t Statistik (Parsial)
Uji t dilakukan untuk mengetahui pengaruh masing-masing
variabel independen secara parsial terhadap variabel dependen. Uji t
dilakukan dengan membandingkan t hitung terhadap t tabel dengan
ketentuan sebagai berikut:
1) Ho : β = 0, berarti tidak ada pengaruh positif dari masing-masing
variabel independen terhadap variabel dependen secara parsial
(individu).
2) Ho : β > 0, berarti ada pengaruh positif dari masing-masing variabel
independen terhadap variabel dependen secara parsial (individu).
74
Tingkat kepercayaan yang digunakan adalah 95% atau taraf
signifikan 5% (α = 0,05) dengan kriteria penilaian sebagai berikut :
1) Jika t hitung > t tabel maka Ha diterima dan Ho ditolak berarti ada
pengaruh yang signifikan dari masing-masing variabel independen
terhadap variabel dependen secara parsial (individu).
2) Jika t hitung < t tabel maka Ho diterima dan Ha ditolak berarti tidak
ada pengaruh yang signifikan dari masing-masing variabel
independen terhadap variabel dependen secara parsial (individu).
c. Uji Koefisien Determinasi (Adjusted R Square)
Koefisien determinasi (R2) digunakan untuk mengukur seberapa
baik garis regresi sesuai dengan data aktualnya (goodness of fit).
Koefisien determinasi ini mengukur presentase total variasi variabel
dependen Y yang dijelaskan oleh variabel independen di dalam garis
regresi (Widarjono, 2010: 19).
Bila R2 = 0, artinya variasi dari Y tidak dapat diterangkan oleh X
sama sekali. Sementara bila R2
= 1, artinya variasi dari Y, 100% dapat
diterangkan oleh X. dengan kata lain bila R2
= 1, maka semua titik
pengamatan berada pada garis regresi. Dengan demikian, ukuran
goodness of fit dari suatu model ditentukan oleh R2 yang nilainya
antara nol dan 1 (Usman dan Nachrowi, 2002: 21-22).
Suatu catatan yang penting untuk diingat pada penggunaan R2
sebagai ukuran kelaikan suai model adalah bahwa R2 tidak pernah
menurun dengan penambahan regressor, sebaliknya justru cenderung
75
meningkat. Fakta ini berasal dari konsekuensi dari aljabar di mana
jumlah kuadrat tidak pernah menurun dengan bertambahnya regressor
(Ariefianto, 2012: 25).
E. Operasional Variabel Penelitian
1. Variabel Dependen
Belanja modal digunakan untuk pengeluaran yang dilakukan dalam
rangka pengeluaran asset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat
lebih dari satu tahun, dan atau pemakaian jasa dalam melaksanakan
program dan kegiatan yang yang dilakukan oleh pemerintah daerah
(Darise, 2009:137).
Maka sebagai proxy atas belanja modal, digunakan jumlah belanja
modal kabupaten/kota provinsi Riau sebagai variabel.
2. Variabel Independen
Berdasarkan uraian pada tinjauan pustaka dan hasil penelitian
terdahulu yang berkaitan dengan pengaruh pertumbuhan ekonomi, dana
alokasi umum, pajak daerah dan retribusi daerah terhadap belanja modal
kabupaten/kota Provinsi Riau tahun 2010-2014, maka penelitian ini
menspesifikasikan variabel independen dan definisi operasional sebagai
berikut:
a. Pertumbuhan ekonomi
Teori Harrod-Domar merupakan perluasan dari analisis Keynes.
Mengenai kegiatan ekonomi nasional dan masalah penggunaan tenaga
76
kerja. Analisis Keynes dianggap kurang lengkap karena tidak
menyinggung persoalan mengatasi masalah ekonomi dalam jangka
panjang. Analisis Harrod-Domar bertujuan untuk menutupi kelemahan
Keynes. Dalam analisis Keynes perhatian lebih ditekankan kepada
masalah kekurangan pengeluaran masyarakat, bukan kepada
kesanggupan alat-alat modal untuk memproduksi barang-barang.
(Rahardjo Adisasmita,2013:62). Data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah data laju pertumbuhan ekonomi dalam satuan persen
kabupaten/kota provinsi Riau tahun 2010-2014.
b. Dana alokasi umum
Dana alokasi umum merupakan jenis transfer dana antar tingkat
pemerintahan yang tidak terikat dengan program pengeluaran tertentu.
Adapun tujuan dari transfer ini adalah untuk menutup kesenjangan
fiskal (fiscal gap) dan pemerataan kemampuan fiskal antara daerah
antar daerah sehingga dana alokasi umum tiap daerah tidak akan sama
besarnya (Munir, 2003). Data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah data nominal dana alokasi umum kabupaten/kota provinsi Riau
tahun 2010-2014.
C. Pajak daerah
Pengertian pajak menurut Sumitro dalam Darise (2009:48), adalah
iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang yang
dipaksakan dengan tidak mendapat jasa timbal balik (kontra prestasi)
yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk
77
membangun untuk membayar pengeluaran umum. Data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data nominal Pajak daerah
kabupaten/kota provinsi Riau tahun 2010-2014.
D. Retribusi daerah
Menurut Suparmoko (2001:61), retribusi daerah adalah pungutan
daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang
khusus disediakan dan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk
kepentingan pribadi atau badan.
Di samping pajak daerah, sumber pendapatan asli daerah yang
cukup besar peranannya dalam menyumbang pada terbentuknya
pendapatan asli daerah adalah retribusi daerah. Dibeberapa daerah
pendapatan yang berasal dari retribusi daerah dapat lebih besar dari
pada pendapatan dari pajak daerah. Data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data nominal retribusi daerah kabupaten/kota
provinsi Riau tahun 2010-2014.
78
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Sekilas Gambaran Umum Objek Penelitian
Riau adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di bagian tengah
pulau Sumatera. Provinsi ini terletak di bagian tengah pantai timur Pulau
Sumatera, yaitu di sepanjang pesisir Selat Melaka. Hingga tahun 2004,
provinsi ini juga meliputi Kepulauan Riau, sekelompok besar pulau-pulau
kecil (pulau-pulau utamanya antara lain Pulau Batam dan Pulau Bintan)
yang terletak di sebelah timur Sumatera dan sebelah selatan Singapura.
Kepulauan ini dimekarkan menjadi provinsi tersendiri pada Juli 2004. Ibu
kota dan kota terbesar Riau adalah Pekanbaru. Kota besar lainnya antara
lain Dumai, Selat Panjang, Bagansiapiapi, Bengkalis, Bangkinang dan
Rengat.
Riau saat ini merupakan salah satu provinsi terkaya di Indonesia, dan
sumber dayanya didominasi oleh sumber alam, terutama minyak bumi, gas
alam, karet, kelapa sawit dan perkebunan serat. Tetapi, penebangan hutan
yang merajalela telah mengurangi luas hutan secara signifikan, dari 78%
pada 1982 menjadi hanya 33% pada 2005.rata 160,000 hektare hutan habis
ditebang setiap tahun, meninggalkan 22%, atau 2,45 juta hektare pada
tahun 2009. Deforestasi dengan tujuan pembukaan kebun-kebun kelapa
sawit dan produksi kertas telah menyebabkan kabut asap yang sangat
79
mengganggu di provinsi ini selama bertahun-tahun, dan menjalar ke
negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.
Luas wilayah provinsi Riau adalah 87.023,66 km², yang membentang
dari lereng bukit barisan hingga Selat Malaka. Riau memiliki iklim tropis
basah dengan rata-rata curah hujan berkisar antara 2000-3000 milimeter
per tahun, serta rata-rata hujan per tahun sekitar 160 hari. Provinsi ini
memiliki sumber daya alam, baik kekayaan yang terkandung di perut
bumi, berupa minyak bumi dan gas, serta emas, maupun hasil hutan dan
perkebunannya. Seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah, secara
bertahap mulai diterapkan sistem bagi hasil atau perimbangan keuangan
antara pusat dengan daerah. Aturan baru ini memberi batasan tegas
mengenai kewajiban penanam modal, pemanfaatan sumber daya, dan bagi
hasil dengan lingkungan sekitar. Jumlah penduduk provinsi Riau
berdasarkan data Badan Pusat Statistik Provinsi Riau tahun 2010 sebesar
5.543.031 jiwa. Kabupaten/Kota yang memiliki jumlah penduduk
terbanyak adalah kota pekanbaru dengan jumlah penduduk 903.902 jiwa,
sedangkan Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk terkecil
adalah kabupaten Kepulauan Meranti yakni sebesar 176.371 jiwa.
Perkebunan yang berkembang adalah perkebunan karet dan
perkebunan kelapa sawit, baik itu yang dikelola oleh negara ataupun
oleh rakyat. Selain itu juga terdapat perkebunan jeruk dan kelapa. Untuk
luas lahan perkebunan kelapa sawit saat ini provinsi Riau telah memiliki
lahan seluas 1.34 juta hektare. Selain itu telah terdapat sekitar 116 pabrik
80
pengolahan kelapa sawit (PKS) yang beroperasi dengan produksi coconut
palm oil (CPO) 3.386.800 ton per tahun.
Pembangunan kehutanan pada hakikatnya mencakup semua upaya
memanfaatkan dan memantapkan fungsi sumber daya alam hutan dan
sumber daya alam hayati lain serta ekosistemnya, baik sebagai pelindung
dan penyangga kehidupan dan pelestarian keanekaragaman hayati maupun
sebagai sumber daya pembangunan. Namun dalam realitanya tiga fungsi
utamanya sudah hilang, yaitu fungsi ekonomi jangka panjang, fungsi
lindung, dan estetika sebagai dampak kebijakan pemerintah yang lalu.
Hilangnya ketiga fungsi tersebut mengakibatkan semakin luasnya lahan
kritis yang diakibatkan oleh pengusahaan hutan yang mengabaikan aspek
kelestarian. Efek selanjutnya adalah semakin menurunnya produksi kayu
hutan non HPH, sementara upaya reboisasi dan penghijauan belum optimal
dilaksanakan. Masalah lain yang sangat merugikan tidak saja provinsi Riau
pada khususnya tapi Indonesia pada umumnya, adalah masalah ilegal
logging yang menyebabkan berkurangnya kawasan hutan serta masalah
pengerukan pasir secara liar.
Pada provinsi ini terdapat beberapa perusahaan berskala internasional
yang bergerak di bidang minyak bumi dan gas serta pengolahan hasil
hutan dan sawit. Selain itu terdapat juga industri
pengolahan kopra dan karet. Beberapa perusahaan besar tersebut di
antaranya Chevron Pacific Indonesia anak perusahaan Chevron
81
Corporation, PT. Indah Kiat Pulp & Paper Tbk di Perawang, dan PT. Riau
Andalan Pulp & Paper di Pangkalan Kerinci.
Provinsi Riau merupakan satu-satunya provinsi yang
mempunyai BUMD di bidang transportasi udara yakni PT. Riau Air, yang
bertujuan untuk melayani daerah-daerah yang sulit dijangkau melalui jalan
darat maupun laut. Riau Air mengoperasikan Fokker-50 buatan
Belanda sebanyak lima armada, dan tahun 2008 perusahaan ini menambah
dua armada lagi dengan jenis Avro-RJ 100.
B. Analisis dan Pembahasan
1. Analisis Deskriptif
Analisis statistik deskriptif adalah statistik yang digunakan untuk
menganalisis data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data
yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat
kesimpulan yang berlaku untuk umum atau generalisasi. Analisis ini hanya
berupa akumulasi data dasar dalam bentuk deskripsi semata dalam arti
tidak mencari atau menerangkan saling hubungan, menguji hipotesis,
membuat ramalan, atau melakukan penarikan kesimpulan (Muhson, 2006).
a. Analisis Deskriptif Belanja Modal di Kabupaten/Kota Provinsi
Riau
Belanja modal digunakan untuk pengeluaran yang dilakukan dalam
rangka pengeluaran asset tetap berwujud yang mempunyai nilai
manfaat lebih dari satu tahun, dan atau pemakaian jasa dalam
82
melaksanakan program dan kegiatan yang yang dilakukan oleh
pemerintah daerah (Darise, 2009:137).
Belanja modal merupakan pengeluaran pemerintah yang sangat
efektif untuk meningkatkan pelayanan umum. Untuk meningkatkan
pengalokasian anggaran ke sektor belanja modal diperlukan
pengetahuan mengenai komponen-komponen pendapatan apa saja
yang berpengaruh positif untuk dialokasikan ke belanja modal. Dari
sektor PAD, pajak daerah dan retribusi daerah dapat berpeluang untuk
mempunyai pengaruh terhadap belanja modal, dana alokasi umum.
Belanja modal memiliki multiplier effect dan dapat menjadi stimulus
perekonomian bagi masyarakat. Infrastuktur dan sarana prasarana yang
ada di daerah akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi daerah.
Menurut FITRA Riau, Tahun 2012 Kota pekanbaru menempati
urutan pertama besarnya alokasi untuk belanja pegawai yaitu 59% dari
total belanja daerahnya. Kemudian posisi kedua Kabupaten Kampar
mengalokasikan anggaran 55,3% dari total belanja daerahnya untuk
belanja pegawai, selanjutnya dumai 53%, Kuansing 47,2%, Inhil 46%,
dan kemudian Kabupaten Rokan Hulu 42,5% untuk belanja pegawai.
Tidak hanya itu, dalam komposisi belanja daerah dalam APBD,
selain alokasi anggaran yang dikhususkan untuk belanja gaji dan
tunjangan pegawai, belanja aparatur lainnya juga tidak kalah besarnya
dengan komponen belanja-belanja lainnya.
83
Gambar 4.1
Belanja Modal (Jutaan Rupiah) di Kabupaten/Kota Provinsi
Riau Tahun 2010-2014
Sumber : www.kemenkeu.go.id (diolah tahun 2016)
Pada gambar 4.1 menunjukkan bahwa data belanja modal di kabupaten/kota
provinsi Riau megalami fluktuatif setiap tahunnya dari tahun 2010-2014. Dilihat
dari data yang tersedia bahwa pada tahun 2010 rata-rata disetiap kabupaten/kota
mengalami belanja modal tertinggi dibandingkan dengan tahun 2011-2014. Pada
tahun 2010 kabupaten Meranti merupakan kabupaten yang memiliki belanja
modal terendah dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya karena kabupaten
Meranti merupakan kabupaten yang baru mengalami pemekaran pada tanggal 16
Januari 2009, dimana sumber pendapatan daerah kabupaten Meranti sebagian
besar berasal dari pertanian, perkebunan dan perikanan. Sehingga pendapatan
daerahnya kecil, namun belanja pemerintah besar. Kabupaten Rokan Hilir
merupakan kabupaten yang memiliki belanja modal tertinggi dari tahun 2010
sampai tahun 2014 .
-
500,000
1,000,000
1,500,000
2,000,000
2,500,000
2010
2011
2012
2013
2014
84
b. Analisis Deskriptif Pertumbuhan Ekonomi di Kabupaten/Kota Provinsi Riau
Menurut Boediono (1985) pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan
output perkapita. Perekonomian dapat dikatakan mengalami pertumbuhan apabila
tingkat kegiatan ekonomi meningkat dari satu periode berikutnya, berarti jumlah
barang dan jasa yang dihasilkan bertambah besar pada tahun periode berikutnya
yang berarti produktifitas dari faktor-faktor yang dimasukkan dalam produksi
menyebabkan pertumbuhan ekonomi meningkat.
Bila total rata-rata pertumbuhan ekonomi di Indonesia 6,5 persen, maka
rata-rata pertumbuhan ekonomi di Riau adalah 5,01 persen. Riau bahkan menjadi
nomor lima besar se-Indonesia untuk rata-rata pertumbuhan perekonomiannya.
Pertumbuhan ekonomi di Riau bahkan lebih besar dari Kalimantan Timur dan
Sumatera Utara Disebutkan, sejak tahun 2010 ke Riau, (Hari Utomo , Kepala BI
cabang Riau) menilai pertumbuhan ekonomi Riau sangat baik dan terus
mengalami peningkatan. Pada 2011, ekonomi juga tumbuh baik, di mana bila
perkiraan ekonomi dunia tumbuh hanya 4 persen akibat krisis di Eropa, maka
ekonomi Riau justru masih tetap bagus dan berada pada angka 5,04 persen
“Ekspor CPO ke China dan India menbuat ekonomi Indonesia, termasuk Riau
tertolong,” sebutnya. Sementara itu, investasi dalam 2 tahun terakhir juga cukup
baik dan bahkan nilai investasi publik cukup besar karena ada rencana
penyelenggaraan PON di Riau. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau
memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau tahun 2015 mencapai 2,62
persen. Namun dengan mengeluarkan unsur Migas, maka pertumbuhan ekonomi
85
bisa mencapai 7,09 persen. Pertumbuhan didorong oleh sektor perdagangan yang
terus tumbuh dalam lima tahun terakhir. Penopang pertumbuhan ekonomi Riau
lainnya seperti sektor pertanian dan industri pengolahan diperkirakan bakal
mengalami perlambatan. Sebab dari sisi penggunaan, permintaan domestik
diperkirakan masih menjadi penyumbang utama.
Secara umum perekonomian Provinsi Riau semakin maju. Hal ini terlihat
dari total Pendapatan Domestik Regional Bruto Propinsi Riau yang meningkat
dari tahun ke tahun. Pernyataan tersebut juga menunjukan bahwa kabupaten/kota
yang terdapat di Provinsi Riau ikut memberikan kontribusi dalam meningkatkan
pendapatan propinsinya. Pertumbuhan tiap-tiap kabupaten/kota akan memberi
dampak terhadap pertumbuhan Provinsi Riau.
Gambar 4.2
Pertumbuhan Ekonomi (Dalam Persentase) di Kabupaten/Kota Provinsi
Riau Tahun 2010-2014
Sumber : BPS Provinsi Riau (diolah tahun 2016).
-10
-5
0
5
10
15
2010
2011
2012
2013
2014
86
Gambar 4.2 menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi Riau dengan migas
senantiasa berfluktuatif tergantung dari tingkat kestabbebilan harga dan
permintaan pasar dunia serta tingkat produksi yang didapatkan. Provinsi Riau
Sebagai salah satu provinsi penghasil migas terbesar, perkembangan ekonomi
dengan memasukkan unsur migas pada laju pertumbuhan ekonomi Riau menjadi
sangat perlu untuk dipaparkan. Kabupaten yang mempunyai sumber daya migas
yang besar adalah Kabupaten Bengkalis, Siak, Rokan Hilir dan Kampar.
Pertumbuhan ekonomi Pekanbaru lima tahun terakhir rata-rata di atas 5
persen. Dari survey yang dilakukan Universitas Indonesia terhadap kota-kota di
Indonesia, untuk dijadikan tujuan investasi bagi para pengusaha, Pekanbaru
menjadi tujuan investasi terbaik nomor 1 di Indonesia. Banyak peluang investasi
yang tersedia. Besarnya kontribusi Kota tersier Pekanbaru ini didukung oleh
kekuatan aktivitas perekonomian di luar migas, yakni sektor meliputi sektor
perdagangan, sektor angkutan, sektor keuangan dan sektor jasa. Selanjutnya
kabupaten/kota yang juga berkontribusi cukup tinggi terhadap perekonomian di
Riau selain Kota Pekanbaru adalah Kabupaten Indragiri Hilir.
c. Analisis Deskriptif Dana Alokasi Umum di Kabupaten/Kota Provinsi Riau
Dana alokasi umum merupakan jenis transfer dana antar tingkat
pemerintahan yang tidak terikat dengan program pengeluaran tertentu. Adapun
tujuan dari transfer ini adalah untuk menutup kesenjangan fiskal (fiscal gap) dan
pemerataan kemampuan fiskal antara daerah antar daerah sehingga dana alokasi
umum tiap daerah tidak akan sama besarnya (Munir, 2003).
87
Salah satu fenomena yang paling mencolok dari otonomi daerah di
Indonesia adalah ketergantungan pemerintah daerah yang tinggi terhadap
pemerintah pusat. Ketergantungan ini sangat terlihat jelas dari aspek keuangan.
Alokasi transfer DAU yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
kurang memperhatikan kemampuan tiap – tiap daerah dalam mengoptimalkan
sumber – sumber pendanaannya. Akibat yang ditimbulkan, pemerintah daerah
akan selalu menuntut transfer yang besar dari pemerintah pusat, bukannya
memaksimalkan potensi yang ada di daerahnya. Sehingga, ketergantungan ini
menimbulkan rendahnya peran pemerintah daerah itu sendiri dalam mendanai
belanja daerah.
Kemenkeu melaporkan pada tahun 2012 masih terdapat 185 pemerintah
daerah yang belum menyerahkan laporan APBD. Di antaranya 12 daerah berasal
dari Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, 21 daerah dari Provinsi Sumatera Utara,
9 daerah dari Provinsi Riau, 8 daerah dari Provinsi Lampung. Meski daerah
terancam tidak menerima DAU, namun bukan berarti PNS di daerah tidak
menerima gaji. Gaji PNS bukan satu-satunya bersumber dari DAU. Ada beberapa
item yang digunakan dari anggaran pemerintah pusat tersebut.
88
Gambar 4.3
Dana Alokasi Umum (Jutaan Rupiah) di Kabupaten/Kota Provinsi Riau
Tahun 2010-2014
Sumber : www.kemenkeu.go.id (diolah tahun 2016)
Gambar 4.3 menunjukkan Dana Alokasi Umum kabupaten/kota provinsi Riau
tahun 2010-2014. Pada tahun 2010-2011 pertumbuhan Dana Alokasi Umum
paling tinggi terdapat pada kabupaten Kampar sebesar 228% , sedangkan yang
paling rendah pada kabupaten Indragiri Hilir sebesar 58%. Pada tahun 2011-2012
pertumbuhan Dana Alokasi Umum tertinggi masih terdapat pada kabupaten
Kampar sebesar 29%. Pada tahun 2012-2013 pertumbuhan Dana Alokasi Umum
tertinggi terdapat pada kabupaten Siak sebesar 63% dan pada tahun 2013-2014
pertumbuhan Dana Alokasi Umum tertinggi terdapat pada kabupaten Bengkalis
sebesar 91% sedangkan pertumbuhan Dana Alokasi Umum terndah terdapat pada
kabupaten Siak sebesar 1%.
-
100,000
200,000
300,000
400,000
500,000
600,000
700,000
800,000
900,000
2010
2011
2012
2013
2014
89
d. Analisis Deskriptif Pajak Daerah di Kabupaten/Kota Provinsi Riau
Pengertian pajak menurut Sumitro dalam Darise (2009:48), adalah iuran
rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang yang dipaksakan dengan
tidak mendapat jasa timbal balik (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukan
dan yang digunakan untuk membangun untuk membayar pengeluaran umum.
Menurut pasal 1 undang-undang No. 28 Tahun 2009, pajak daerah adalah
kontribusi wajib kepada daerah yang tertuang oleh orang pribadi atau badan yang
bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan
imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.
Menurut Kepala Dinas Perkebunan provinsi Riau, meskipun Riau dikenal
sebagai daerah penghasil CPO terbesar di Indonesia, dimana pada tahun 2012 saja
pajak ekspor CPO dari Riau mencapai Rp13 triliun, namun sampai saat ini Riau
tidak mendapatkan apa-apa dari pajak ekspor CPO tersebut. ''Untuk itu, Riau
beserta 17 provinsi lainnya merasa layak untuk mendapat bagi hasil bea keluar
dari CPO untuk kepentingan pembinaan dan pengelolaan usaha subsektor
perkebunan seperti untuk infrastruktur, pengembangan SDM petani maupun yang
lainnya,'' ujar Zulher.
90
Gambar 4.4
Pajak Daerah (Jutaan Rupiah) di Kabupaten/Kota Provinsi Riau Tahun
2010-2014
Sumber : www.kemenkeu.go.id (diolah tahun 2016)
Dalam gambar yang disajikan diatas ini menggambarkan situasi pajak di
kabupaten/kota di provinsi Riau. Dari gambar dibawah terlihat jelas bahwa kota
Pekanbaru memiliki pajak yang tertinggi di bandingkan dengan kabupaten/kota
lain yang terdapat di provinsi Riau. Kota Pekanbaru mengalami kenaikan pajak
yang paling signifikan yaitu pada tahun 2014, pada tahun 2014 penerimaan pajak
kota Pekanbaru sebesar Rp 407.842.000.000 Dengan kata lain kota Pekanbaru
mengalami kenaikan pajak sebesar RP 147.495.000.000 di bandingkan dengan
tahun 2013 yang memiliki pendapatan pajak sebesar Rp 250.347.000.000.
Sedangkan pajak daerah yang paling kecil dari tahun 2010-2014 hampir
seluruhnya merupakan kabupaten Meranti, pada tahun 2010 pajak daerahnya
-
50,000
100,000
150,000
200,000
250,000
300,000
350,000
400,000
450,000
2010
2011
2012
2013
2014
91
sebesar Rp. 1.644.000.000 lalu sebesar Rp. 7.262.000.000 pada tahun 2014.
Namun khusus pada tahun 2012 pajak daerah terkecil sebesar Rp. 4.381.000.000
dipegang oleh kabupaten Kuantan Singingi.
e. Analisis Deskriptif Retribusi Daerah di Kabupaten/Kota Provinsi Riau
Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa
atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh
pemerintah daerah untuk kepentingan pribadi atau badan (Draise, 2009:61).
Dikutip dari goriau.com, menurut Bupati kabupaten Indragiri Hilir bahwa
''Misalnya dari data tahun 2015, masih ada beberapa sumber penerimaan pajak
dan retribusi daerah belum mencapai target. Hal tersebut agar dievaluasi dan
dicarikan solusi sehingga kita mampu memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap
tuntutan pembangunan yang sangat besar,'' sebut pemimpin Negeri Seribu Parit
itu. Apalagi, dikatakannya berdasarkan rekapitulasi usulan masyarakat yang
disampaikan pada Musrenbang kecamatan dan Forum SKPD beberapa waktu
yang lalu, setelah dilakukan rasionalisasi terhadap seluruh usulan maka diperoleh
total usulan sebesar Rp5,99 triliun. Sedangkan rencana anggaran sesuai dengan
RPJMD Inhil tahun 2013-2018 hanya sebesar Rp1,22 triliun. Sehingga hanya
20,67 persen saja usulan masyarakat yang dapat direalisasikan.
Dikutip dari goriau.com bahwa kabupaten Bengkalis dirugikan dari sektor
penerimaan pajak retribusi telekomunikasi. Pasalnya, sebanyak 200 tower telepon
seluler yang tersebar di Kabupaten Bengkalis, rata-rata tak miliki izin.Seperti
disampaikan Sekretaris Dishubkominfo Kabupaten Bengkalis, Radius Akima, dari
92
200 tower seluler yang tidak mengantongi izin tersebut, hampir 70 persen terletak
di Duri, Kecamatan Mandau. ''Dalam waktu dekat kita akan melakukan penertiban
tower telpon seluler yang tidak mengantongi izin. Yang jelas karena tidak berizin,
pemerintah rugi,'' kata Radius, Kamis (26/3/2015). Kendati demikian, pihak
Dishubkominfo bukan tinggal diam soal pajak retribusi. Karena terkendala
Perbup, Dishubkominfo Kabupaten Bengkalis tidak punya kekuatan hukum untuk
melakukan pemungutan retribusi. ''Untuk tahun lalu retribusi sangat kecil, hanya
kisaran Rp40 juta, itu hanya bagi pemilik tower yang memiliki kesadaran yang
bayar. Padahal potensinya Rp400-500 juta, kendalanya kita belum mendata secara
detail dan tidak ada Perbupnya meski Perdanya sudah di sahkan,'' beber Radius.
Gambar 4.5
Retribusi Dearah (Jutaan Rupiah) di Kabupaten/Kota Provinsi Riau Tahun
2010-2014
Sumber : www.kemenkeu.go.id (diolah tahun 2016)
-
20,000
40,000
60,000
80,000
100,000
120,000
140,000
2010
2011
2012
2013
2014
93
Gambar 4.5 menunjukkan Retribusi Daerah kabupaten/kota provinsi Riau,
pada tahun 2010-2014 Retribusi daerah terbesar adalah kota Pekanbaru. Adapun
nilai pada tahun 2010 adalah sebesar Rp. 75.050.000.000, dan Rp.
115.653.000.000 pada tahun 2014. Sedangkan Retribusi daerah terkecil adalah
kabupaten Meranti pada tahun 2010-2014, nilai pada tahun 2010 sebesar Rp.
2.330.000.000 dan Rp. 4.832.000.000 pada tahun 2014.
2. Pemodelan dan Pengolahan Data
Pemodelan dalam menggunakan teknik regresi data panel dapat
dilakukan dengan menggunakan tiga pendekatan metode dalam
pengolahannya, yakni (1) Pooled Least Square, (2) Fixed Effect Model,
dan (3) Random Effect model. Berikut merupakan aplikasi dan pemilihan
model yang diterapkan.
a. Hasil Estimasi Model Data Panel
Dengan menggunakan aplikasi Eviews 7.0, maka dihasilkan output
estimasi model data panel sebagai berikut:
1) Pooled Least Square
Model poled least square mengabaikan adanya perbedaan
dimensi individu maupun waktu atau dengan kata lain perilaku
data antar individu sama dalam berbagai kurun waktu. Berikut
merupakan output dari regresi menggunakan model pooled least
square.
94
Tabel 4.1
Hasil Regresi Pooled least square
R-squared 0.476579
Adjusted R-squared 0.438512
Tabel 4.1 memperlihatkan hasil estimasi dari regresi data
panel dengan menggunakan metode PLS, dimana R-Squared yang
diperoleh sebesar 0.476579, artinya sebesar 47,65% variabel
Belanja Modal pada kabupaten/ kota di Riau dapat dijelaskan oleh
Pertumbuhan Ekonomi, Dana Alokasi Umum, Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah pada kabupaten/kota di Riau. Sedangkan 52,35%
variabel Belanja Modal dijelaskan oleh variabel lain yang tidak
termasuk dalam penelitian ini.
2) Fixed Effect Model
Setelah hasil dari PLS diperoleh, maka dapat dilakukan uji
selanjutnya yaitu dengan metode Fixed Effect Model (FEM). Hal
ini dilakukan agar hasil yang diperoleh antara PLS dengan FEM
dapat dibandingkan dan dilihat kesesuaiannya, sehingga dapat
dijadikan sebagai model penelitian. Dari hasil pengolahan E-
Views 7.0 diperoleh hasil sebagai berikut:
95
Tabel 4.2
Hasil Regresi Data Panel: Fixed Effect Model (FEM)
R-squared 0.900864
Adjusted
R-squared 0.867068
Tabel 4.2 memperlihatkan hasil estimasi dari regresi data
panel dengan menggunakan metode FEM, dimana R-Squared
yang diperoleh sebesar 0.900864, artinya sebesar 90,08% variabel
belanja modal pada kabupaten/kota di provinsi Riau dapat
dijelaskan oleh Pertumbuhan Ekonomi, Dana Alokasi Umum,
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Sedangkan 0,02% variabel
belanja modal dijelaskan oleh variabel lain yang tidak masuk ke
dalam penelitian ini.
3) Random Effect Model
Setelah ditentukan bahwa Fixed Effect merupakan model
yang sesuai dengan penelitian ini melalui pengujian F-Restricted.
Untuk melihat bahwa model ini merupakan model yang tepat,
maka perlu dilakukan pengujian selanjutnya dengan
membandingkan antara model FEM dan REM pada uji Hausman.
Dari hasil pengolahan E-Views 7.0 didapatkan hasil sebagai
96
berikut:
Tabel 4.3
Hasil Regresi Random Effect Model
R-squared 0.652852
Adjusted R-
squared 0.627605
Berdasarkan hasil regresi dengan menggunakan model random
effect memperlihatkan bahwa dari nilai probabilitas terdapat tiga
variabel yang signifikan dan satu variabel yang tidak signifikan.
Nilai Adjusted R-Squared sebesar 0.627605 menjelaskan bahwa
variasi variabel dependen 62,76% dapat dijelaskan oleh variabel
independen. Namun dengan nilai durbin-watson sebesar 1.243775
mengindikasikan bahwa model tidak dapat diputuskan.
b. Pemilihan Model Estimasi
Setelah diperoleh output dari ketiga estimasi model data panel,
maka langkah selanjutnya yaitu dengan melakukan pemilihan model
estimasi terbaik. Adapun langkah pemilihan model estimasi terbaik
adalah sebagai berikut:
LogBMit = β0 + β1 LogPEit + β2 LogDAUit + β3 LogPDit + β4 RDit + etit
Dimana :
97
LogBMit : Belanja Modal di kab/kota provinsi i pada periode t
LogPEit : Pertumbuhan ekonomi di kab/kota provinsi i pada periode t
LogDAUit : Dana Alokasi Umum di kab/kota provinsi i pada periode t
LogPDit : Pajak Daerah di kab/kota provinsi i pada periode t
LogRDit : Retribusi Daerah di kab/kota provinsi i pada periode t
β0…, βn : Koefisien regresi (konstanta)
etit : Error term
1) Uji Chow (Common Effect Model vs Fixed Effect Model)
Uji chow digunakan untuk mengetahui apakah teknik regresi
data panel dengan metode fixed effect lebih baik dari regresi model
data panel tanpa variabel dummy atau metode common effect.
Untuk mengetahui model data panel yang akan digunakan,
maka digunakan uji F-restricted dengan cara membandingkan F-
statistik dan F-tabel. Hipotesis null pada uji ini adalah bahwa
intersep sama, atau dengan kata lain model yang tepat untuk regresi
data panel adalah common effect, dan hipotesis alternatifnya adalah
intersep tidak sama atau model yang tepat untuk regresi data panel
adalah fixed effect.
H0 : Model Common Effect
H1 : Model Fixed Effect
Berikut merupakan output uji chow dengan menggunakan
redundant fixed effects tests.
98
Tabel 4.4
Hasil Uji Chow
Redundant Fixed Effects Tests
Equation: FIXED
Test cross-section fixed effects
Effects Test Statistic d.f. Prob.
Cross-section F 17.119308 (11,44) 0.0000
Cross-section Chi-square 99.833600 11 0.0000
Dari tabel 4.4 di atas diperoleh nilai F-statistik adalah
17.119308 dengan nilai F-tabel pada d.f (11,44) α = 5% adalah
2,54 yang berarti nilai F-statistik > F-tabel. Kemudian jika melihat
pada nilai probabilitas F-statistik sebesar 0,0000 yang berarti nilai
probabilitas F-statistik lebih kecil dari tingkat signifikansi (α =
5%). Maka dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak, sehingga model
data panel yang digunakan adalah fixed effect model.
99
2) Uji Hausman (Fixed Effect Model vs Random Effect Model)
Uji hausman bertujuan untuk melihat apakah terdapat efek
random di dalam panel data, yaitu dengan menguji hipotesis
berbentuk:
H0 : Model Random Effect
H1 : Model Fixed Effect
Statistik uji hausman mengikuti distribusi statistik chi-squares
dengan derajat kebebasan (d.f) sebesar jumlah variabel. Berikut
merupakan output uji hausman dengan menggunakan correlated
random effect – hausman test:
Tabel 4.5
Hasil Uji Hausman
Correlated Random Effects - Hausman Test
Equation: RANDOM
Test cross-section random effects
Test Summary
Chi-Sq.
Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.
Cross-section random 33.868772 4 0.0000
Dari tabel 4.5 di atas diperoleh nilai chi-squares statistik adalah
33,868772 dengan nilai chi-squares tabel pada d.f (4) α = 5%
100
adalah 9,49 yang berarti nilai chi-squares statistik > chi-squares
tabel. Kemudian jika melihat pada nilai probabilitas chi-squares
statistik sebesar 0,0000 yang berarti nilai probabilitas chi-squares
statistik lebih kecil dari tingkat signifikansi (α = 5%). Maka dapat
disimpulkan bahwa H0 ditolak, sehingga model data panel yang
digunakan adalah fixed effect model.
3. Uji Asumsi Klasik
Setelah melakukan pemilihan model estimasi terbaik, maka model
yang tepat digunakan dalam penelitian ini yaitu fixed effect model. Analisis
regresi korelasi memerlukan dipenuhinya berbagai asumsi agar model
dapat digunakan sebagai alat prediksi yang baik. Maka untuk langkah
selanjutnya akan dilakukan uji asumsi klasik.
a. Uji Normalitas
Dalam analisis multivariat, para peneliti menggunakan pedoman
kalau tiap variabel terdiri atas 30 data, maka data sudah berdistribusi
normal. Apabila analisis melibatkan 3 variabel, maka diperlukan data
sebanyak 3 × 3 = 90 (Winarno, 2012: 5.37).
Pelanggaran terhadap kenormalan dapat terjadi karena terok tidak
berasal dari populasi normal atau adanya beberapa data, biasanya di
pinggir, yang merupakan pencilan (penyebabnya tidak jelas atau
berasal dari populasi lain yang tidak sama dengan bagian terbesar data
lainnya) (Sembiring, 2003: 65)
101
Gambar 4.6
Uji Normalitas
0
2
4
6
8
10
12
-0.3 -0.2 -0.1 0.0 0.1 0.2
Series: Standardized Residuals
Sample 2010 2014
Observations 60
Mean 9.25e-19
Median -0.014828
Maximum 0.256514
Minimum -0.327555
Std. Dev. 0.100043
Skewness -0.083879
Kurtosis 4.021581
Jarque-Bera 2.679428
Probability 0.261921
Gambar 4.6 menunjukkan nilai J-B sebesar 2,679428 dan nilai
Chi-Square Tabel df(3), α=5% adalah 7,81. Dengan nilai Chi-Square
tabel (7,81) > JB Hitung (2,679428) dan dapat disimpulkan bahwa
data penelitian ini berdistribusi normal. Selain itu dapat dilihat dari
nilai probabilitas yang lebih dari α=5% (0,05), dengan nilai
probabilitas sebesar 0,261921.
b. Uji Multikolinearitas
Multikolinearitas bisa dideteksi dengan melihat korelasi linier
antara variabel independen di dalam regresi. Sebagai aturan main
kasar, jika koefisien korelasi cukup tinggi yaitu di atas 0,85 maka kita
duga ada multikolinearitas dalam model. Berikut ini adalah uji
multikolinearitas dengan menggunakan correlation matrix:
102
Tabel 4.6
Correlation Matrix
PERTUMBUHAN_EKONO
MI DAU PAJAK RETRIBUSI
PERTUMBUHAN_EKONO
MI 1.000000 0.405146 -0.096369 -0.001722
DAU 0.405146 1.000000 0.164274 0.192625
PAJAK -0.096369 0.164274 1.000000 0.796997
RETRIBUSI -0.001722 0.192625 0.796997 1.000000
Dari Tabel 4.6 terlihat bahwa tidak ada masalah
multikolineritas karena nilai matrik korelasi (correlation
matrix) semua variabel (pajak, retribusi dan pertumbuhan
ekonomi) kurang dari nilai 0.8 (Hamja, 2012:23).
c. Uji Heteroskedastisitas
Ada tidaknya masalah heteroskedastisitas dapat di dideteksi
dengan beberapa metode salah satunya yaitu dengan menggunakan uji
park. Menurut Widarjono (2010: 85) heteroskedastisitas terjadi jika
variabel independen secara statistik mempengaruhi. Sebaliknya jika
variabel independen tidak signifikan mempengaruhi maka tidak ada
heteroskedastisitas. Berikut ini merupakan output uji
heteroskedastisitas dengan uji park
103
Tabel 4.7
Uji Park
Dependent Variable: LOG(RES2)
Method: Panel Least Squares
Date: 04/09/16 Time: 20:05
Sample: 2010 2014
Periods included: 5
Cross-sections included: 12
Total panel (balanced) observations: 60
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -6.322516 3.237049 -1.953173 0.0559
PERTUMBUHAN_EKONOMI -0.054136 0.094322 -0.573949 0.5683
DAU -0.272275 0.249055 -1.093235 0.2791
PAJAK -0.502630 1.074140 -0.467937 0.6417
RETRIBUSI 1.401509 1.288381 1.087807 0.2814
Berdasarkan tabel 4.7 diatas, dari hasil tersebut diketahui bahwa
koefisien masing-masing variabel independen tidak signifikan. Hal ini dapat
dilihat dari nilai probabilitas masing-masing variabel yang lebih besar dari
tingkat signifikansi α = 5%. Maka dapat disimpulkan bahwa model terbebas
dari heteroskedastisitas.
d. Uji Autokorelasi
Autocorrelation adalah hubungan antara residual satu observasi
dengan residual observasi lainnya. Autokorelasi lebih mudah timbul
104
pada data yang bersifat runtut waktu, karena berdasarkan sifatnya, data
masa sekarang dipengaruhi oleh data pada masa-masa sebelumnya.
Meskipun demikian tetap dimungkinkan autokorelasi dijumpai pada
data yang bersifat antar objek (cross-section) (Winarno, 2011: 5.26).
Statistik durbin-watson adalah suatu prosedur rutin yang umum
ditemukan pada banyak software statistik, sehingga yang dilakukan
adalah melihat apakah nilai dimaksud terletak di antara 2 < DW < 4-du
untuk menentukan ada tidaknya autokorelasi.
Tabel 4.8
Uji Durbin-Watson
Tolak H0, berarti
ada autokorelasi
positif
Tidak dapat
diputuskan
Tidak menolak
H0, berarti tidak
ada autokorelasi
Tidak dapat
diputuskan
Tolak H0, berarti
ada autokorelasi
negatif
0 dL
1,65
du
1,77
2 4-du
2,23
4-dL
2,35
4
Dari hasil regresi menggunakan model fixed effect (lihat tabel 4.2)
diperoleh nilai durbin-watson sebesar 1.901831. Dengan n = 60 dan k
= 4 diperoleh nilai tabel DW 1,77 < 1,90 < 4-du yang artinya berada
pada daerah bebas autokorelasi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
model terbebas dari autokorelasi.
105
4. Persamaan Regresi (Fixed Effect Model)
Model penelitian yang menggunakan model fixed effect ini dapat
dijelaskan melalui persamaan sebagai berikut:
LogBM =2.612421-0.007349*LogPE+
0.071038*LogDAU+0.570897*LogPD+0.063530*LogRD+ e
Dimana:
LogBMit : Belanja Modal di kab/kota provinsi i pada periode t
LogPEit : Pertumbuhan ekonomi di kab/kota provinsi i pada periode t
LogDAUit : Dana Alokasi Umum di kab/kota provinsi i pada periode t
LogPDit : Pajak Daerah di kab/kota provinsi i pada periode t
LogRDit : Retribusi Daerah di kab/kota provinsi i pada periode t
β0…, βn : Koefisien regresi (konstanta)
etit : Error term
Dari persamaan regresi yang telah diuraikan sebelumnya, dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
a. Jika variabel-variabel independen dianggap konstan atau bernilai nol,
artinya variabel independen tidak terjadi peningkatan atau penurunan
maka besarnya Belanja Modal adalah sebesar 2.61%.
b. Nilai koefisien variabel Pertumbuhan ekonomi adalah sebesar -
0.007349 yang berarti setiap peningkatan Pertumbuhan ekonomi
sebesar 1% akan menurunkan Belanja modal sebesar 0,007%.
106
c. Nilai koefisien variabel dana alokasi umum adalah sebesar 0.071038
yang berarti setiap peningkatan Retribusi daerah sebesar 1% akan
meningkatkan Belanja modal sebesar 0,07%.
d. Nilai koefisien regresi variabel pajak adalah sebesar 0.570897 yang
berarti setiap peningkatan pembiayaan konsumsi perbankan syariah
sebesar 1% akan meningkatkan Belanja Modal 0,57%.
e. Nilai koefisien regresi variabel Retribusi daerah adalah sebesar
0.063530 yang berarti setiap peningkatan Retribusi daerah sebesar 1%
akan menurunkan Belanja modal sebesar 0,06%.
5. Uji Signifikasi
Pengujian signifikansi ini dilakukan untuk mengetahui apakah
hipotesis yang telah ditetapkan diterima atau ditolak secara statistik.
Adapun rincian uji signifikansi terdiri dari uji t (parsial), uji F (simultan),
dan uji koefisien determinasi.
a. Uji F (Simultan) dan Interprestasi
Untuk melihat apakah variabel independen berpengaruh secara
bersama-sama (simultan) terhadap variabel dependen, maka digunakan
uji F dengan melihat nilai F-statistik yang dibandingkan dengan nilai
F-tabel pada tingkat signifikansi α = 5%. Jika nilai F-statistik < F-tabel
atau nilai probabilitas > α = 5% maka H0 diterima H1 ditolak. Namun
jika nilai F-statistik > F-tabel atau nilai probabilitas < α = 5% maka H0
ditolak H1 diterima.
107
Dengan menggunakan hasil regresi model fixed effect (lihat tabel
4.2) diperolah nilai probabilitas F-statistik adalah sebesar 0,000000
yang artinya nilai probabilitas F-statistik lebih kecil dari tingkat
signifikansi α = 5% (0,000000 < 0,05) yang berarti H0 ditolak. Maka
secara bersama-sama variabel independen yaitu pertumbuhan ekonomi,
dana alokasi umum, pajak daerah dan retribusi daerah mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap belanja modal di kabaputen/kota
provinsi Riau.
b. Uji t (Parsial) dan Interprestasi
Uji ini dilakukan untuk melihat apakah variabel independen yaitu
pembiayaan konsumsi, pembiayaan modal kerja, dana pihak ketiga,
dan total aset secara parsial berpengaruh terhadap variabel dependen
yaitu produk domestik regional bruto riil. Untuk membuktikan
hipotesis yang telah dibuat, kita dapat melihat masing-masing nilai t-
statistik yang dibandingkan dengan nilai t-tabel pada tingkat
signifikansi α = 5%. Jika nilai t-statistik < t-tabel atau nilai probabilitas
> α = 5% maka H0 diterima H1 ditolak. Namun jika nilai t-statistik > t-
tabel atau nilai probabilitas < α = 5% maka H0 ditolak H1 diterima.
Tabel 4.9
Uji t-statistik
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 2.612421 0.392608 6.654023 0.0000
PERTUMBUHAN_EKONOMI -0.007349 0.006179 -1.189292 0.2407
108
DAU 0.071038 0.014262 4.981076 0.0000
PAJAK 0.570897 0.079894 7.145725 0.0000
RETRIBUSI 0.063530 0.100899 0.629637 0.5322
Tabel 4.9 merupakan hasil pengujian vaiabel independen yaitu
Pertumbuhan ekonomi, dana alokasi umum, pajak daerah, retribusi
daerah secara parsial. Adapun hipotesisnya adalah sebagai berikut:
1) H0: Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara pertumbuhan
ekonomi terhadap belanja modal di kabupaten/kota provinsi Riau.
H1: Terdapat pengaruh yang signifikan antara pertumbuhan
ekonomi terhadap belanja modal di kabupaten/kota provinsi Riau.
2) H0: Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara dana alokasi
umum terhadap belanja modal di kabupaten/kota provinsi Riau.
H1: Terdapat pengaruh yang signifikan antara dana alokasi
umum terhadap belanja modal di kabupaten/kota provinsi Riau.
3) H0: Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara pajak daerah
terhadap belanja modal di kabupaten/kota provinsi Riau.
H1: Terdapat pengaruh yang signifikan antara pajak daerah terhadap
belanja modal di kabupaten/kota provinsi Riau.
4) H0: Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara retribusi daerah
terhadap belanja modal di kabupaten/kota provinsi Riau.
109
H1: Terdapat pengaruh yang signifikan antara retribusi daerah
terhadap belanja modal di kabupaten/kota provinsi Riau.
Berdasarkan hasil regresi yang diperoleh pada tabel 4.9 maka pembuktian
dari hipotesis yang telah dipaparkan adalah sebagai berikut:
1) Variabel Pertumbuhan ekonomi memiliki nilai probabilitas lebih besar dari
tingkat signifikansi α = 5% (0.2407> 0,05) yang berarti H0 diterima. Artinya
secara parsial Pertumbuhan ekonomi tidak mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap Belanja Modal kabupaten dan kota di provinsi Riau.
2) Variabel Dana alokasi umum memiliki nilai probabilitas lebih kecil dari
tingkat signifikanasi α = 5% (0.0000 < 0,05) yang berarti H0 ditolak. Artinya
secara parsial Retribusi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
Belanja Modal kabupaten dan kota di provinsi Riau.
3) Variabel pajak daerah memiliki nilai probabilitas lebih kecil dari tingkat
signifikansi α = 5% (0.0000 < 0,05) yang berarti H0 ditolak. Artinya secara
parsial Pajak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap Belanja Modal
kabupaten dan kota di provinsi Riau.
4) Variabel Retribusi daerah memiliki nilai probabilitas lebih besar dari tingkat
signifikansi α = 5% (0.5322> 0,05) yang berarti H0 diterima. Artinya secara
parsial Pertumbuhan ekonomi tidak mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap Belanja Modal kabupaten dan kota di provinsi Riau.
110
c. Uji Koefisien Determinasi (Adjusted R Square)
Berdasarkan hasil regresi menggunakan model fixed effect (lihat
tabel 4.2), didapatkan Adjusted R Square sebesar 0.867068. Dari nilai
koefisien determinasi tersebut menunjukkan bahwa 86,70% belanja
modal di kabupaten/kota provinsi Riau dapat dijelaskan
olehpertumbuhan ekonomi, dana alokasi umum, pajak daerah dan
retribusi daerah. Sedangkan 13.3 belanja modal di kabupaten/kota
provinsi Riau dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam
penelitian ini.
6. Analisis Cross-section Effects
Dapat kita lihat pada tabel 4.10 bahwa 12 kabupaten/kota provinsi
Riau memiliki pengaruh individu yang berbeda-beda untuk setiap
perubahan pada pertumbuhan ekonomi, dana alokasi umum pajak daerah
dan retribusi daerah.
Tabel 4.10
Cross-section Effect Kawasan Sumatera
1 Kab. Bengkalis 0.408285
2 Kab. Indragiri Hilir -0.025285
3 Kab. Indragiri Hulu -0.028865
4 Kab. Kampar -0.157836
5 Kab. Kuantan Singingi -0.031659
6 Kab. Pelalawan 0.150410
7 Kab. Rokan Hilir 0.418448
8 Kab. Rokan Hulu 0.071122
9 Kab. Siak 0.022130
10 Kota Dumai -0.414738
11 Kota Pekanbaru -0.698019
12 Kab. Meranti 0.286007
111
a. Kabupaten Bengkalis
Apabila terjadi perubahan sebesar 1% pada pertumbuhan ekonomi,
dana alokasi umum pajak daerah dan retribusi daerah baik antar
kabupaten/kota maupun antar waktu, maka kabupaten Bengkalis akan
mendapatkan pengaruh individu terhadap Belanja modal sebesar 0.40%.
b. Kabupaten Indragiri Hilir
Apabila terjadi perubahan sebesar 1% pada pertumbuhan ekonomi,
dana alokasi umum pajak daerah dan retribusi daerah baik antar
kabupaten/kota maupun antar waktu, maka kabupaten Indragiri Hilir akan
mendapatkan pengaruh individu terhadap Belanja modal sebesar -0.02%.
c. Kabupaten Indragiri Hulu
Apabila terjadi perubahan sebesar 1% pada pertumbuhan ekonomi,
dana alokasi umum pajak daerah dan retribusi daerah baik antar
kabupaten/kota maupun antar waktu, maka kabupaten Indragiri Hulu akan
mendapatkan pengaruh individu terhadap Belanja modal sebesar -0.02%.
d. Kabupaten Kampar
Apabila terjadi perubahan sebesar 1% pada pertumbuhan ekonomi,
dana alokasi umum pajak daerah dan retribusi daerah baik antar
kabupaten/kota maupun antar waktu, maka kabupaten Kampar akan
mendapatkan pengaruh individu terhadap Belanja modal sebesar -
0.15%.
112
e. Kabupaten Kuantan Singingi
Apabila terjadi perubahan sebesar 1% pada pertumbuhan ekonomi,
dana alokasi umum pajak daerah dan retribusi daerah baik antar
kabupaten/kota maupun antar waktu, maka kabupaten Kuantan
Singingi akan mendapatkan pengaruh individu terhadap Belanja modal
sebesar -0.03%.
f. Kabupaten Pelalawan
Apabila terjadi perubahan sebesar 1% pada pertumbuhan ekonomi,
dana alokasi umum pajak daerah dan retribusi daerah baik antar
kabupaten/kota maupun antar waktu, maka kabupaten Pelalawan akan
mendapatkan pengaruh individu terhadap Belanja modal sebesar
0.15%.
g. Kabupaten Rokan Hilir
Apabila terjadi perubahan sebesar 1% pada pertumbuhan ekonomi,
dana alokasi umum pajak daerah dan retribusi daerah baik antar
kabupaten/kota maupun antar waktu, maka kabupaten Rokan Hilir
akan mendapatkan pengaruh individu terhadap Belanja modal sebesar
0.41%.
h. Kabupaten Rokan Hulu
Apabila terjadi perubahan sebesar 1% pada pertumbuhan ekonomi,
dana alokasi umum pajak daerah dan retribusi daerah baik antar
kabupaten/kota maupun antar waktu, maka kabupaten Rokan Hulu
113
akan mendapatkan pengaruh individu terhadap Belanja modal sebesar
0.07%.
i. Kabupaten Siak
Apabila terjadi perubahan sebesar 1% pertumbuhan ekonomi, dana
alokasi umum pajak daerah dan retribusi daerah baik antar
kabupaten/kota maupun antar waktu, maka kabupaten Siak akan
mendapatkan pengaruh individu terhadap Belanja modal sebesar
0.02%.
j. Kota Dumai
Apabila terjadi perubahan sebesar 1% pada pertumbuhan ekonomi,
dana alokasi umum pajak daerah dan retribusi daerah baik antar
kabupaten/kota maupun antar waktu, maka kota Dumai akan
mendapatkan pengaruh individu terhadap Belanja modal sebesar -
0.41%.
k. Kota Pekanbaru
Apabila terjadi perubahan sebesar 1% pada pertumbuhan ekonomi,
dana alokasi umum pajak daerah dan retribusi daerah baik antar
kabupaten/kota maupun antar waktu, maka kota Pekanbaru akan
mendapatkan pengaruh individu terhadap Belanja modal sebesar -
0.69%
114
l. Kabupaten Meranti
Apabila terjadi perubahan sebesar 1% pada pertumbuhan ekonomi,
dana alokasi umum pajak daerah dan retribusi daerah baik antar
kabupaten/kota maupun antar waktu, maka kabupaten Meranti akan
mendapatkan pengaruh individu terhadap Belanja modal sebesar -
0.28%.
7. Analisis Ekonomi
Berdasarkan hasil dari estimasi dengan menggunakan fixed effect
model dapat disimpulkan bahwa regresi yang dihasilkan cukup baik untuk
menjelaskan hubungan antara pertumbuhan ekonomi, dana alokasi umum,
pajak daerah dan retribusi darah terhadap belanja modal di kabupaten/kota
provinsi Riau tahun 2010-2014. Namun dari seluruh variabel yang diteliti
terdapat dua variabel yaitu pertumbuhan ekonomi dan retribusi daerah
yang tidak berpengaruh signifikan dan pertumbuhan ekonomi mempunyai
hubungan yang negatif terhadap Belanja modal. Kemudian variabel
lainnya yaitudana alokasi umum dan pajak daerah mempunyai pengaruh
yang signifikan dan berkorelasi positif terhadapbelanja modal.
a. Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Belanja Modal
Pada masa Reformasi hingga sekarang ini, tingkat pemerataan
pendapatan masyarakat tidak lagi menjadi hal yang diutamakan,
pertumbuhan ekonomi yang tinggilah yang menjadi tujuan utama dari
kegiatan perekonomian. Dari terlalu fokusnya pada tujuan utama yaitu
115
pertumbuhan ekonomi, menyebabkan timbulnya permasalahan-
permasalahan di dalam masyarakat, seperti masih adanaya masyarakat
miskin dan ketidak merataan pendapatan sehingga yang kaya menjadi
semakin kaya dan miskin menjadi semakin miskin.
Pertumbuhan ekonomi adalah proses pertumbuhan perekonomian
suatu negara secara berkesinambungan menuju keadaan yang lebih baik
selama periode waktu tertentu. Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan
juga sebagai proses kenaikan kapasitas pendapatan nasional. Menurut
Boediono (1985) pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output
perkapita. Infrastruktur dan sarana prasarana yang ada di daerah akan
berdampak pada pertumbuhan ekonomi daerah. Variabel pertumbuhan
ekonomi secara parsial mempunyai pengaruh yang tidak signifikan dan
mempunyai hubungan yang negatif terhadap belanja modal kabupaten
dan kota di provinsi Riau
Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Deva Yoga Permana (2013) yang menyatakan bahwa Pertumbuhan
ekonomi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap belanja modal.
b. Dana Alokasi Umum Terhadap Belanja Modal
Dana alokasi umum merupakan jenis transfer dana antar tingkat
pemerintahan yang tidak terikat dengan program pengeluaran tertentu.
Adapun tujuan dari transfer ini adalah untuk menutup kesenjangan
fiskal (fiscal gap) dan pemerataan kemampuan fiskal antara daerah
116
antar daerah sehingga dana alokasi umum tiap daerah tidak akan sama
besarnya (Munir, 2003).
Penelitian empiris yang dilakukan oleh Holtz-Eakin et. Al. (1985)
dalam Hariyanto Adi menyatakan bahwa terdapat keterkaitan antara
dana transfer dari pemerintah pusat dengan belanja modal, semakin
tinggi DAU maka alokasi belanja modal juga meningkat. Hal ini
disebabkan karena daerah yang memiliki pendapatan (DAU) yang besar
maka alokasi untuk anggaran belanja daerah (belanja modal) akan
meningkat . Variabel Dana Alokasi Umum (DAU) secara parsial
mempunyai pengaruh yang signifikan dan mempunyai hubungan yang
positif terhadap belanja modal kabupaten dan kota di provinsi Riau.
Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Edi Sarwono yang menyatakan bahwa Dana Alokasi Umum
berpengaruh positif terhadap anggaran belanja modal.
c. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Terhadap Belanja Modal
Menurut BPS (2011:2), pajak daerah adalah pungutan yang
dilakukan oleh pemerintah daerah berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Pajak daerah ini dapat dibedakan dalam dua
katagori yaitu pajak daerah yang ditetapkan oleh peraturan daerah dan
pajak negara yang pengelolaan dan penggunaannya diserahkan kepada
daerah. Pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang
pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang
117
seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, yang digunakan guna membiayai
penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah.
Menurut Suparmoko (2001:61), retribusi daerah adalah
pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin
tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh pemerintah
daerah untuk kepentingan pribadi atau badan
Dalam praktik di masyarakat, pungutan pajak daerah seringkali
disamakan dengan retribusi daerah. Hal ini didasarkan pada pemikiran
bahwa keduanya merupakan pembayaran kepada pemerintah. Saat ini
di Indonesia, khususnya di daerah, penarikan sumber daya ekonomi 23
melalui pajak daerah dan retribusi daerah dilakukan dengan aturan
hukum yang jelas, yaitu dengan peraturan daerah dan keputusan kepala
daerah sehingga dapat diterapkan sebagai salah satu sumber
penerimaan daerah. Hal tersebut menunjukkan adanya persamaan
antara pajak dan retribusi, yaitu pemungutan oleh pemerintah daerah
kepada masyarakat yang didasarkan pada aturan hukum yang jelas dan
kuat.
Variabel Pajak Daerah secara parsial mempunyai pengaruh yang
signifikan dan mempunyai hubungan yang positif terhadap belanja
modal kabupaten dan kota di provinsi Riau. Penelitian ini juga sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Edi Sarwono yang menyatakan
118
bahwa Pajak Daerah berpengaruh positif terhadap anggaran belanja
modal.
Variabel Retribusi Daerah secara parsial mempunyai pengaruh yang
tidak signifikan dan mempunyai hubungan yang positif terhadap belanja
modal kabupaten dan kota di provinsi Riau. Penelitian ini juga sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Rolan Pakpahan yang
menyatakan bahwa Retribusi Daerah tidak signifikan dan berpengaruh
positif terhadap anggaran belanja modal.
119
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah dipaparkan sebelumnya,
penulis memperoleh kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian mengenai
Pertumbuhan Ekonomi, Dana Alokasi Umum, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
terhadap Belanja Modal di Kabupaten/Kota di Provinsi Riau tahun 2010-2014, maka
dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Berdasarkan hasil regresi data panel model Fixed Effect Model, secara parsial variabel
Pertumbuhan Ekonomi mempunyai pengaruh yang tidak signifikan dan berkorelasi
negatif terhadap belanja modal kabupaten/kota di provinsi Riau tahun 2010-2014.
Pada hasil penelitian menunjukkan apabila Pertumbuhan Ekonomi meningkat 1%
maka akan menurunkan Belanja modal sebesar 0,07%. Pertumbuhan ekonomi
memiliki nilai probabilitas lebih kecil dari tingkat signifikanasi α = 5% (0.2407<
0,05)
2. Berdasarkan hasil regresi data panel model Fixed Effect Model, secara parsial variabel
Dana Alokasi Umum mempunyai pengaruh yang signifikan dan berkorelasi positif
terhadap belanja modal kabupaten/kota di provinsi Riau tahun 2010-2014. Pada hasil
penelitian menunjukkan apabila Dana Alokasi Umum meningkat 1% maka akan
menaikkan Belanja modal sebesar 0,07%. Dana alokasi umum memiliki nilai
probabilitas lebih kecil dari tingkat signifikanasi α = 5% (0.0000 < 0,05)
3. Berdasarkan hasil regresi data panel model Fixed Effect Model, secara parsial variabel
Pajak Daerah mempunyai pengaruh yang signifikan dan berkorelasi positif terhadap
belanja modal kabupaten/kota di provinsi Riau tahun 2010-2014. Pada hasil penelitian
120
menunjukkan apabila Pajak Daerah meningkat 1% maka akan menaikkan belanja
modal sebesar 0,57%. Pajak daerah memiliki nilai probabilitas lebih kecil dari tingkat
signifikansi α = 5% (0.0000 < 0,05)
4. Berdasarkan hasil regresi data panel model Fixed Effect Model, secara parsial variabel
Retribusi Daerah mempunyai pengaruh yang tidak signifikan dan berkorelasi positif
terhadap belanja modal kabupaten/kota di provinsi Riau tahun 2010-2014. Pada hasil
penelitian menunjukkan apabila Retribusi Daerah meningkat 1% maka akan
menaikkan belanja modal sebesar 0,06%. Retribusi daerah memiliki nilai probabilitas
lebih kecil dari tingkat signifikansi α = 5% (0.5322 > 0,05)
5. Berdasarkan hasil regresi data panel dengan menggunakan Fixed Effect Model juga
dijelaskan bahwa secara simultan atau bersama-sama variabel Pertumbuhan Ekonomi,
Dana Lokasi Umum, Pajak Daerah, Retribusi Daerah mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap belanja modal kabupaten dan kota di provinsi Riau tahun 2010-
2014. Dengan menggunakan hasil regresi model fixed effect diperolah nilai
probabilitas F-statistik adalah sebesar 0,000000 yang artinya nilai probabilitas F-
statistik lebih kecil dari tingkat signifikansi α = 5% (0,000000 < 0,05).
B. Saran
Berdasarkan atas kesimpulan diatas, maka adapun saran yang dapat penulis berikan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi pemerintah daerah disarankan agar terus meningkatkan dan melakukan proses
sosialisasi terhadap pajak daerah dan retribusi daerah bagi pihak-pihak yang
diperkenankan sebagai wajib pajak, karena partisipasi dan ketaatan mereka dalam
membayar pajak dan retribusi daerah merupakan wujud nyata dalam membangun
suatu daerah sehingga akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di daerah yang
bersangkutan.
121
2. Belanja modal khususnya bagi pemerintah di kota Pekanbaru, kabupaten Kampar, kota
Dumai, kabupaten Kuantan Singingi, kabupaten Indragiri Hilir dan kabupaten Rokan
Hulu porsi anggaran untuk belanja modal agar lebih ditingkatkan lagi dan digunakan
untuk membiayai kegiatan yang produktif seperti sektor infrastruktur sehingga
memberikan multiplier effect bagi pertumbuhan ekonomi di daerah.
3. Bagi pemerintah daerah disarankan agar lebih jeli dalam memanfaatkan dana yang
bersumber dari pajak daerah, retribusi daerah, dan Dana Alokasi Umum(DAU) untuk
mendanai kegiatan pembangunan suatu daerah yang sifatnya lebih produktif sehingga
dana tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kegiatan perekonomian,
sehingga dalam jangka panjang akan terus meningkatkan pertumbuhan ekonomi
disuatu daerah.
4. Bagi pemerintah Riau agar dapat lebih mengambil banyak manfaat dari hasil pajak
ekspor CPO yang dihasilkan oleh provinsi Riau, agar dapat lebih meningkatkan
pembinaan dan pengelolaan usaha subsektor perkebunan seperti infrastruktur,
pengembangan SDM petani maupun yang lainnya.
126
DAFTAR PUSTAKA
Adisasmita, Rahardjo, “Teori-Teori Pembangunan Ekonomi: Pertumbuhan
Ekonomi dan Pertumbuhan Wilayah”, Graha Ilmu: Makassar, 2013
Algifari. 2013. “Analisis Regresi: Teori, Kasus, dan Solusi”. Yogyakarta: BPFE-
Yogyakarta
Ariefianto, Moch. Doddy. 2012. “Ekonometrika: Esensi dan Aplikasi dengan
Menggunakan Eviews”. Jakarta: Erlangga
Arwati, Dini dan Novita Hadiati, “Pengaruh Pertumbuhan ekonomi, Pendapatan
Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum Terhadap Pengalokasian Anggaran
Belanja Modal Pada Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota Di Provinsi
Jawa Barat” 2013
Boediono, “Teori Pertumbuhan Ekonomi”, Ed. 1, BPFE Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta, 1992
Chalid, Pheni. “Keuangan Daerah Investasi, dan Desentralisasi: Tantangan dan
Hambatan”, Kemitraan partnership:Jakarta, 2005
Darise, Nurlan. “ Pengelolaan Keuangan Pada Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD) Dan BLU”, Indeks: Gorontalo, 2009
Darise, Nurlan. “Pengelolaan Keuangan Daerah”, edisi kedua, Indeks:
Gorontalo, 2009
127
Gujarati, Damodar N. “Dasar-dasar ekonometrika”, Edisi Ketiga, Jilid Dua,
Erlangga: Jakarta, 2007
Hamid, Abdul dan Ahmad Rodoni, “Buku Panduan Penulisan Skripsi”. Jakarta:
Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010
Hamja, Yahya. “Materi Kuliah Ekonometrik”, Bandung, 2008
Husain, Walidun “The Influence Of Local Taxes And Levies Towards Expenditure
Allocation In Kota Gorontalo, Indonesia” Economic and Business Faculty
Of State University Of Gorontalo, 2013
Iqbal, Muhammad. 2015. “Sarana Tukar Menukar Informasi dan Pemikiran
Dosen: Regresi Data Panel”. http://dosen.perbanasinstitute.ac.id
Kuncoro, Mudrajat. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah: Reformasi,
Perencanaan, Strategi dan Peluang. Penerbit Erlangga. Jakarta
Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Andi. Yogyakarta
Pakpahan, Rolan. “Pengaruh Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah
Terhadap Belanja Daerah Pemerintahan Kabupaten/Kota Di Sumatera
Utara”, Univesritas Sumatera Utara, 2009
Permana, Deva Yoga “pengaruh pertumbuhan ekonomi, pendapatan asli daerah,
dana alokasi umum dan dana alokasi khusus terhadap pengalokasian
anggaran belanja modal”, 2013
128
Prakosa, Kesit Bambang. 2004. “Analisis Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU)
dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Prediksi Belanja
Daerah”.JAAI Vol.6 No.2,p 101-118.
Purwanti. “ Pengaruh Dana Alokasi Umum, Bagi Hasil Pajak, Pajak Daerah Dan
Retribusi Daerah Terhadap PDRB: Studi Kasus Pada Pemerintahan
Daerah Keresidenan Kedu Di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2000-2008”,
FEB UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011
Peraturan Pemerintah Nomor 33 2004 tentang perimbangan keuangan antara
Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat, 2004
Rosadi, Dedi. 2012. “Ekonometrika dan Analisis Runtun Waktu Terapan dengan
Eviews: Aplikasi untuk Bidang Ekonomi, Bisnis, dan Keuangan”.
Yogyakarta: ANDI.
Samuelson, Paul. William Nordhaus. “Ilmu Makroekonomi”, Media Global
Edukasi: Jakarta, 2004
Sarwono, Edy “Pengaruh Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Pendapatan Lainnya
Yang Sah Dan Dana Alokasi Umum (DAU) Terhadap Belanja Daerah Pada
Kabupaten/Kota Se Indonesia Tahun Anggaran 2010-2011”.Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Universitas Dian Nuswantoro.
Simanjuntak, L. F. Lestari, Ahmad Subeki dkk “Analysis Of Flypaper Effect In
General Allocation Fund And Regional Income To Regional Expenditure Of
Districts And Cities On South Sumatera”2013
129
Sugiyono, Prof. “Statistik untuk Penelitian”, Alfabeta Bandung: Jawa Barat, 2007
Sukirno, Sadono. “Makro Ekonomi Modern: Perkembangan Pemikiran Dari
Klasik Hingga Keynessian Baru”, Rajawali Press: Jakarta, 1999
Sukirno, Sadono. “Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah dan Dasar
Kebijakan”, Edisi Kedua, Kencana: Jakarta, 2006
Suparmoko, M. “Ekonomi Public Untuk Keuangan Dan Pembangunan Daerah”,
Edisi Pertama, Andi Jogyakarta:Purwokerto, 2001
Undang-Undang Republik Indonesia No. 28 Tahun 2009 tentang pajak Daerah
dan Retribusi Daerah
Usman, Hardius dan Nachrowi Djalal Nacrowi. 2002. “Penggunaan Teknik
Ekonometri: Pendekatan Populer dan Praktis Dilengkapi Teknik Analisis
dan Pengolahan Data dengan Menggunakan Paket Program SPSS”.
Jakarta: PT. RajaGrafindo.
Widarjono, Agus. 2010. “Analisis Statistika Multivariat Terapan”. Yogyakarta:
STIM YKPN.
Winarno, Wing Wahyu. 2011. “Analisis Ekonometrika dan Statistika dengan
Eviews”. Yogyakarta: STIM YKPN
130
Lampiran
Lampiran 1
Data (dalam Jutaan Rupiah)
Kab/Kota Tahun
Belanja
Modal Pajak Retribusi DAU
Pertumbuhan
Ekonomi
Kab. Bengkalis 2010 458317,0307 14131,5 6127 0 12,7
Kab. Bengkalis 2011 1173141,821 30510 30510 180413,024 9,38
Kab. Bengkalis 2012 1345269,948 35700 12905,6155 84768,625 -0,65
Kab. Bengkalis 2013 2066646,477 32260 24727,55 31862,241 -3,48
Kab. Bengkalis 2014 2154123,709 46260,5554 45002,924 60777,928 -3,5
Kab. Indragiri Hilir 2010 177705,2839 8017 18098,6672 363153 7,31
Kab. Indragiri Hilir 2011 321430,4249 9407 9407 573462,644 7,38
Kab. Indragiri Hilir 2012 412828,2537 11165,52 16906,4348 651878,979 7,91
Kab. Indragiri Hilir 2013 347392,884 11630,572 15391,421 773041,103 7,16
Kab. Indragiri Hilir 2014 519401,5779 19680,9717 16583,815 847860,75 6,92
Kab. Indragiri Hulu 2010 97387,10743 2435 8995,52274 220101,763 5,69
Kab. Indragiri Hulu 2011 123871,7841 8439 8439 437199,799 7,44
Kab. Indragiri Hulu 2012 254157,3974 6660 7751,878 487476,121 8,39
Kab. Indragiri Hulu 2013 467349,7486 9267,43426 12512,723 587933,543 6,21
Kab. Indragiri Hulu 2014 565890,472 12439,5718 13287,695 631168,431 5,62
Kab. Kampar 2010 187990,9485 9395,28451 18569,853 134527,917 3,03
Kab. Kampar 2011 440630,5098 11554,3878 11554,3878 440702,2305 6,19
Kab. Kampar 2012 307209,4965 24703,4002 9743,94224 569782,157 5,82
Kab. Kampar 2013 477922,7307 49123,2258 10391,2447 685859,4 6,25
Kab. Kampar 2014 580008,5914 51004,7858 8841,26885 742583,673 3,21
Kab. Kuantan
Singingi 2010 131545,278 3232,5 7842,92 248122,805 7,03
Kab. Kuantan
Singingi 2011 143160,4202 4055,75 4055,75 431274,589 7,33
Kab. Kuantan
Singingi 2012 226886,97 4380,75 13373,212 496776,188
5,93
Kab. Kuantan
Singingi 2013 304507,4965 6764,75 15162,012 569206,381 5,46
Kab. Kuantan
Singingi 2014 364621,4691 15146,4 19426,7542 618821,044 5,34
Kab. Pelalawan 2010 211168,2374 4445 3137,7 197159,001 6,71
Kab. Pelalawan 2011 333567,5694 5815 5815 363741,026 6,83
Kab. Pelalawan 2012 462889,1228 6333,5 4198,375 421047,701 3,02
Kab. Pelalawan 2013 557381,6119 19226,5 5715,5 491287,503 5,55
131
Kab. Pelalawan 2014 788668,3625 29214,5 6001 536384,455 6,08
Kab. Rokan Hilir 2010 239687,2109 6085,38739 5572 0 -1,3
Kab. Rokan Hilir 2011 937677,427 8751,66744 8751,66744 186049,029 1,2
Kab. Rokan Hilir 2012 1092233,075 10616,0106 3454,3675 282513,158 3,65
Kab. Rokan Hilir 2013 1288421,688 26547 9618,9995 388866,199 2,49
Kab. Rokan Hilir 2014 1324727,985 26197 12536,444 413982,787 4,01
Kab. Rokan Hulu 2010 160875,4833 4610 4122 202101,992 4,75
Kab. Rokan Hulu 2011 190838,3438 4705,198 4705,198 375558,605 8,94
Kab. Rokan Hulu 2012 334911,8392 4850 4379,2 442557,164 6,12
Kab. Rokan Hulu 2013 426323,9765 10215 10348,7924 528854,782 5,93
Kab. Rokan Hulu 2014 528758,5904 16075 14757,1245 571522,21 6,78
Kab. Siak 2010 326626,8044 28289 15780,555 0 -8,81
Kab. Siak 2011 621350,2993 38789 38789 30912,561 -0,24
Kab. Siak 2012 713793,7804 26075 11091 167312,486 2,07
Kab. Siak 2013 723824,745 35435 9983,96425 272530,636 -2,56
Kab. Siak 2014 914043,0285 45130 14683,712 276181,935 -0,71
Kota Dumai 2010 149667,5768 9980 23981,3757 87732,997 4,1
Kota Dumai 2011 175785,5784 18258,4365 18258,4365 260185,1948 5,02
Kota Dumai 2012 158991,8146 21528,9454 38380,4496 299081,335 3,66
Kota Dumai 2013 320910,831 47562,4173 50059,6845 345090,262 3,72
Kota Dumai 2014 408171,494 50574,8637 53581,541 359840,493 3,53
Kota Pekanbaru 2010 237195,5758 100776,591 75049,677 280283,932 8,98
Kota Pekanbaru 2011 290448,6075 129236,371 129236,371 488849,55 9,56
Kota Pekanbaru 2012 286391,535 162072,582 61948,0558 622184,684 7,82
Kota Pekanbaru 2013 491672,5062 250347,452 83334,99 738107,469 5,73
Kota Pekanbaru 2014 882397,7568 407841,637 115652,829 809987,156 6,79
Kab. Meranti 2010 84309,83365 1644,44068 2329,87157 0 -0,73
Kab. Meranti 2011 297385,0795 3900 3900 240293,83 5,93
Kab. Meranti 2012 333874,6924 5205 3474 302110,63 6,7
Kab. Meranti 2013 519810,347 6121 3849,135 342000 4,05
Kab. Meranti 2014 582487,0607 7262 4832 371269,172 4,65
132
Lampiran 1
Data Ln (Logaritma Natural)
Kab/Kota Tahun Belanja Modal Pajak Retribusi DAU Pertumbuhan
Ekonomi
Kab. Bengkalis 2010 5,661165996 4,150188263 3,78724788 0 12,7
Kab. Bengkalis 2011 6,069350517 4,484442208 4,484442208 5,256268 9,38
Kab. Bengkalis 2012 6,128809441 4,552668216 4,110778722 4,928235 -0,65
Kab. Bengkalis 2013 6,315266192 4,508664363 4,393181089 4,503276 -3,48
Kab. Bengkalis 2014 6,333270641 4,665210843 4,653240732 4,783746 -3,5
Kab. Indragiri Hilir 2010 5,249700341 3,904011884 4,257646594 5,56009 7,31
Kab. Indragiri Hilir 2011 5,507086982 3,973451144 3,973451144 5,758505 7,38
Kab. Indragiri Hilir 2012 5,615769412 4,047878954 4,228052034 5,814167 7,91
Kab. Indragiri Hilir 2013 5,540820918 4,065601074 4,187278718 5,888203 7,16
Kab. Indragiri Hilir 2014 5,715503265 4,294046536 4,219684444 5,928325 6,92
Kab. Indragiri Hulu 2010 4,988501467 3,386498966 3,954026406 5,342624 5,69
Kab. Indragiri Hulu 2011 5,092972393 3,926290987 3,926290987 5,64068 7,44
Kab. Indragiri Hulu 2012 5,405102755 3,823474229 3,889406929 5,687953 8,39
Kab. Indragiri Hulu 2013 5,669642013 3,966959514 4,09735183 5,769328 6,21
Kab. Indragiri Hulu 2014 5,752732382 4,094805432 4,123449651 5,800145 5,62
Kab. Kampar 2010 5,274136939 3,972909936 4,268808466 5,128812 3,03
Kab. Kampar 2011 5,644074565 4,06274694 4,06274694 5,644145 6,19
Kab. Kampar 2012 5,487434637 4,392756733 3,988734701 5,755709 5,82
Kab. Kampar 2013 5,679357687 4,691286878 4,01666757 5,836235 6,25
Kab. Kampar 2014 5,763434427 4,707610928 3,946514597 5,870745 3,21
Kab. Kuantan
Singingi 2010 5,119075263 3,509538534 3,894477785 5,394667 7,03
Kab. Kuantan
Singingi 2011 5,155822965 3,608071177 3,608071177 5,634754 7,33
Kab. Kuantan
Singingi 2012 5,355809555 3,64154847 4,126235729 5,696161 5,93
Kab. Kuantan
Singingi 2013 5,483597989 3,830251751 4,180756836 5,75527 5,46
Kab. Kuantan
Singingi 2014 5,561842237 4,180309422 4,288400244 5,791565 5,34
Kab. Pelalawan 2010 5,324628595 3,647871765 3,496611418 5,294817 6,71
Kab. Pelalawan 2011 5,52318382 3,764549719 3,764549719 5,560792 6,83
Kab. Pelalawan 2012 5,665476976 3,801643775 3,623081227 5,624331 3,02
Kab. Pelalawan 2013 5,746152637 4,283900232 3,757054229 5,691336 5,55
Kab. Pelalawan 2014 5,896894419 4,465598458 3,778223627 5,729476 6,08
Kab. Rokan Hilir 2010 5,379644862 3,78428823 3,746011108 0 -1,3
133
Kab. Rokan Hilir 2011 5,972053461 3,942090806 3,942090806 5,269627 1,2
Kab. Rokan Hilir 2012 6,038315324 4,025961345 3,538368539 5,451039 3,65
Kab. Rokan Hilir 2013 6,110058027 4,42401545 3,983129902 5,5898 2,49
Kab. Rokan Hilir 2014 6,122126711 4,41825156 4,098174365 5,616982 4,01
Kab. Rokan Hulu 2010 5,206489865 3,663700925 3,615107987 5,305571 4,75
Kab. Rokan Hulu 2011 5,280665639 3,672577904 3,672577904 5,574678 8,94
Kab. Rokan Hulu 2012 5,5249305 3,685741739 3,64139478 5,645969 6,12
Kab. Rokan Hulu 2013 5,629739758 4,009238371 4,014889675 5,723336 5,93
Kab. Rokan Hulu 2014 5,723257436 4,206150982 4,169001743 5,757033 6,78
Kab. Siak 2010 5,514051822 4,451617596 4,198122273 0 -8,81
Kab. Siak 2011 5,793336512 4,588708583 4,588708583 4,490135 -0,24
Kab. Siak 2012 5,853572759 4,416224317 4,044970705 5,223528 2,07
Kab. Siak 2013 5,859633426 4,549432437 3,999303017 5,435415 -2,56
Kab. Siak 2014 5,960966641 4,654465334 4,166835858 5,441195 -0,71
Kota Dumai 2010 5,175127727 3,999130541 4,379874093 4,943163 4,1
Kota Dumai 2011 5,244983242 4,261463585 4,261463585 5,415283 5,02
Kota Dumai 2012 5,201374766 4,333022757 4,584110058 5,475789 3,66
Kota Dumai 2013 5,506384375 4,677263919 4,699488108 5,537933 3,72
Kota Dumai 2014 5,610842671 4,703934721 4,7290152 5,55611 3,53
Kota Pekanbaru 2010 5,375106584 5,003359664 4,875348828 5,447598 8,98
Kota Pekanbaru 2011 5,463069299 5,111384755 5,111384755 5,689175 9,56
Kota Pekanbaru 2012 5,456960177 5,209709551 4,792027681 5,793919 7,82
Kota Pekanbaru 2013 5,691675924 5,398543176 4,920827388 5,86812 5,73
Kota Pekanbaru 2014 5,945664395 5,610491562 5,06315626 5,908478 6,79
Kab. Meranti 2010 4,925878232 3,216018211 3,367331983 0 -0,73
Kab. Meranti 2011 5,473319175 3,591064607 3,591064607 5,380743 5,93
Kab. Meranti 2012 5,523583501 3,716420734 3,540829814 5,480166 6,7
Kab. Meranti 2013 5,71584492 3,786822379 3,585363143 5,534026 4,05
Kab. Meranti 2014 5,765286282 3,861056245 3,684126926 5,569689 4,65
Lampiran 2
Uji Chow
Redundant Fixed Effects Tests
Equation: FIXED
Test cross-section fixed effects Effects Test Statistic d.f. Prob. Cross-section F 17.119308 (11,44) 0.0000
Cross-section Chi-square 99.833600 11 0.0000
134
Cross-section fixed effects test equation:
Dependent Variable: BELANJA_MODAL
Method: Panel Least Squares
Date: 04/09/16 Time: 20:09
Sample: 2010 2014
Periods included: 5
Cross-sections included: 12
Total panel (balanced) observations: 60 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 4.882297 0.318291 15.33911 0.0000
PERTUMBUHAN_EKONOMI -0.029355 0.009274 -3.165123 0.0025
DAU 0.055181 0.024489 2.253285 0.0282
PAJAK 0.556421 0.105617 5.268275 0.0000
RETRIBUSI -0.430942 0.126683 -3.401731 0.0013 R-squared 0.476579 Mean dependent var 5.596176
Adjusted R-squared 0.438512 S.D. dependent var 0.317738
S.E. of regression 0.238089 Akaike info criterion 0.047313
Sum squared resid 3.117756 Schwarz criterion 0.221841
Log likelihood 3.580621 Hannan-Quinn criter. 0.115580
F-statistic 12.51951 Durbin-Watson stat 1.044859
Prob(F-statistic) 0.000000
Lampiran 3
Uji Hausman
Correlated Random Effects - Hausman Test
Equation: RANDOM
Test cross-section random effects
Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.
Cross-section random 33.868772 4 0.0000
Cross-section random effects test comparisons:
Variable Fixed Random Var(Diff.) Prob. PERTUMBUHAN_EKONOMI -0.007349 -0.016713 0.000005 0.0001
DAU 0.071038 0.078416 0.000025 0.1372
PAJAK 0.570897 0.530125 0.001312 0.2603
RETRIBUSI 0.063530 -0.156111 0.002478 0.0000
135
Cross-section random effects test equation:
Dependent Variable: BELANJA_MODAL
Method: Panel Least Squares
Date: 04/09/16 Time: 20:09
Sample: 2010 2014
Periods included: 5
Cross-sections included: 12
Total panel (balanced) observations: 60 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 2.612421 0.392608 6.654023 0.0000
PERTUMBUHAN_EKONOMI -0.007349 0.006179 -1.189292 0.2407
DAU 0.071038 0.014262 4.981076 0.0000
PAJAK 0.570897 0.079894 7.145725 0.0000
RETRIBUSI 0.063530 0.100899 0.629637 0.5322 Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared 0.900864 Mean dependent var 5.596176
Adjusted R-squared 0.867068 S.D. dependent var 0.317738
S.E. of regression 0.115847 Akaike info criterion -1.249914
Sum squared resid 0.590503 Schwarz criterion -0.691422
Log likelihood 53.49742 Hannan-Quinn criter. -1.031457
F-statistic 26.65567 Durbin-Watson stat 1.901831
Prob(F-statistic) 0.000000
136
Lampiran 4
Uji Normalitas
0
2
4
6
8
10
12
-0.3 -0.2 -0.1 0.0 0.1 0.2
Series: Standardized Residuals
Sample 2010 2014
Observations 60
Mean 9.25e-19
Median -0.014828
Maximum 0.256514
Minimum -0.327555
Std. Dev. 0.100043
Skewness -0.083879
Kurtosis 4.021581
Jarque-Bera 2.679428
Probability 0.261921
Lampiran 5
Uji Multikolinieritas
PERTUMBUHAN_EKONOMI DAU PAJAK RETRIBUSI
PERTUMBUHAN_EKONOMI 1.000000 0.405146 -0.096369 -0.001722
DAU 0.405146 1.000000 0.164274 0.192625
PAJAK -0.096369 0.164274 1.000000 0.796997
RETRIBUSI -0.001722 0.192625 0.796997 1.000000
137
Lampiran 6
Uji Park
Dependent Variable: LOG(RES2)
Method: Panel Least Squares
Date: 04/09/16 Time: 20:05
Sample: 2010 2014
Periods included: 5
Cross-sections included: 12
Total panel (balanced) observations: 60 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -6.322516 3.237049 -1.953173 0.0559
PERTUMBUHAN_EKONOMI -0.054136 0.094322 -0.573949 0.5683
DAU -0.272275 0.249055 -1.093235 0.2791
PAJAK -0.502630 1.074140 -0.467937 0.6417
RETRIBUSI 1.401509 1.288381 1.087807 0.2814 R-squared 0.060881 Mean dependent var -4.345199
Adjusted R-squared -0.007419 S.D. dependent var 2.412459
S.E. of regression 2.421392 Akaike info criterion 4.686217
Sum squared resid 322.4726 Schwarz criterion 4.860746
Log likelihood -135.5865 Hannan-Quinn criter. 4.754485
F-statistic 0.891375 Durbin-Watson stat 1.817291
Prob(F-statistic) 0.475356
Lampiran 7
Uji Glejser
Dependent Variable: RESABS
Method: Panel Least Squares
Date: 04/09/16 Time: 20:05
Sample: 2010 2014
Periods included: 5
Cross-sections included: 12
Total panel (balanced) observations: 60 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 0.684352 1.276930 0.535936 0.5942
PERTUMBUHAN_EKONOMI 0.041159 0.037207 1.106193 0.2735
DAU -0.068186 0.098245 -0.694040 0.4906
PAJAK 0.491057 0.423720 1.158920 0.2515
138
RETRIBUSI -0.390298 0.508232 -0.767953 0.4458 R-squared 0.039180 Mean dependent var 0.984235
Adjusted R-squared -0.030698 S.D. dependent var 0.940843
S.E. of regression 0.955175 Akaike info criterion 2.825810
Sum squared resid 50.17973 Schwarz criterion 3.000339
Log likelihood -79.77431 Hannan-Quinn criter. 2.894078
F-statistic 0.560691 Durbin-Watson stat 2.001548
Prob(F-statistic) 0.692129
Lampiran 8
Fixed Effect Model
Dependent Variable: BELANJA_MODAL
Method: Panel Least Squares
Date: 04/09/16 Time: 20:03
Sample: 2010 2014
Periods included: 5
Cross-sections included: 12
Total panel (balanced) observations: 60 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 2.612421 0.392608 6.654023 0.0000
PERTUMBUHAN_EKONOMI -0.007349 0.006179 -1.189292 0.2407
DAU 0.071038 0.014262 4.981076 0.0000
PAJAK 0.570897 0.079894 7.145725 0.0000
RETRIBUSI 0.063530 0.100899 0.629637 0.5322 Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared 0.900864 Mean dependent var 5.596176
Adjusted R-squared 0.867068 S.D. dependent var 0.317738
S.E. of regression 0.115847 Akaike info criterion -1.249914
Sum squared resid 0.590503 Schwarz criterion -0.691422
Log likelihood 53.49742 Hannan-Quinn criter. -1.031457
F-statistic 26.65567 Durbin-Watson stat 1.901831
Prob(F-statistic) 0.000000
139
Lampiran 9
Pooled Least Squared
Dependent Variable: BELANJA_MODAL
Method: Panel Least Squares
Date: 04/09/16 Time: 20:02
Sample: 2010 2014
Periods included: 5
Cross-sections included: 12
Total panel (balanced) observations: 60 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 4.882297 0.318291 15.33911 0.0000
PERTUMBUHAN_EKONOMI -0.029355 0.009274 -3.165123 0.0025
DAU 0.055181 0.024489 2.253285 0.0282
PAJAK 0.556421 0.105617 5.268275 0.0000
RETRIBUSI -0.430942 0.126683 -3.401731 0.0013 R-squared 0.476579 Mean dependent var 5.596176
Adjusted R-squared 0.438512 S.D. dependent var 0.317738
S.E. of regression 0.238089 Akaike info criterion 0.047313
Sum squared resid 3.117756 Schwarz criterion 0.221841
Log likelihood 3.580621 Hannan-Quinn criter. 0.115580
F-statistic 12.51951 Durbin-Watson stat 1.044859
Prob(F-statistic) 0.000000
Lampiran 10
Random Effect Model
Dependent Variable: BELANJA_MODAL
Method: Panel EGLS (Cross-section random effects)
Date: 04/09/16 Time: 20:03
Sample: 2010 2014
Periods included: 5
Cross-sections included: 12
Total panel (balanced) observations: 60
Swamy and Arora estimator of component variances Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 3.688329 0.298269 12.36578 0.0000
PERTUMBUHAN_EKONOMI -0.016713 0.005723 -2.920424 0.0051
DAU 0.078416 0.013370 5.865001 0.0000
140
PAJAK 0.530125 0.071211 7.444465 0.0000
RETRIBUSI -0.156111 0.087762 -1.778796 0.0808 Effects Specification
S.D. Rho Cross-section random 0.134520 0.5742
Idiosyncratic random 0.115847 0.4258 Weighted Statistics R-squared 0.652852 Mean dependent var 2.011273
Adjusted R-squared 0.627605 S.D. dependent var 0.235817
S.E. of regression 0.143906 Sum squared resid 1.138984
F-statistic 25.85844 Durbin-Watson stat 1.243775
Prob(F-statistic) 0.000000
Lampiran 10
Cross-section effect
1 Kab. Bengkalis 0.408285
2 Kab. Indragiri Hilir -0.025285
3 Kab. Indragiri Hulu -0.028865
4 Kab. Kampar -0.157836
5 Kab. Kuantan Singingi -0.031659
6 Kab. Pelalawan 0.150410
7 Kab. Rokan Hilir 0.418448
8 Kab. Rokan Hulu 0.071122
9 Kab. Siak 0.022130
10 Kota Dumai -0.414738
11 Kota Pekanbaru -0.698019
12 Kab. Meranti 0.286007
Top Related