PENGARUH PEMBERIAN SARI WORTEL (Daucus carota L.)
TERHADAP KERUSAKAN HISTOLOGIS SEL HEPAR
MENCIT AKIBAT PEMBERIAN PARASETAMOL
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
WINULANG SABDO NUGROHO
G0006169
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
PENGESAHAN SKRIPSI
Skripsi dengan judul : Pengaruh Pemberian Sari Wortel (Daucus carota L.) terhadap Kerusakan Histologis Sel Hepar Mencit akibat Pemberian Parasetamol
Winulang Sabdo Nugroho, NIM : G0006169, Tahun : 2010
Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Pada Hari Jumat, Tanggal 21 Mei 2010
Pembimbing Utama Nama : Muthmainah, dr., M.Kes NIP : 19660702 199802 2 001 (................................) Pembimbing Pendamping Nama : Slamet Riyadi, dr., M.Kes. NIP : 19600418 199203 1 001 (................................) Penguji Utama Nama : S. B. Widjokongko, dr., MPd., PHK NIP : 19481231 197609 1 001 (................................) Anggota Penguji Nama : Made Setiamika, dr., Sp.THT-KL (K). NIP : 19550727 198312 1 002 (................................)
Surakarta,
Ketua Tim Skripsi Dekan FK UNS
Sri Wahjono, dr., M. Kes Prof. Dr. A.A. Subiyanto, dr.,MS NIP : 19450824 197310 1 001 NIP : 19481107 197310 1 003
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi,
dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu
dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Surakarta, 06 Mei 2010
Winulang Sabdo Nugroho
G0006169
ABSTRAK
Winulang Sabdo N., G0006169, 2010, Pengaruh Pemberian Sari Wortel (Daucus carota L.) Terhadap Kerusakan Histologis Sel Hepar Mencit Akibat Pemberian Parasetamol. Skripsi, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Tujuan penelitian: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian sari wortel secara peroral dalam mencegah kerusakan sel hepar mencit yang terpapar parasetamol, dan untuk mengetahui pengaruh peningkatan dosis sari wortel dalam meningkatkan efek proteksinya. Metode penelitian: Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorik dengan post test only controlled group design. Sampel berupa mencit jantan, galur Swiss webster berumur 2-3 bulan dengan berat badan + 20 gr. Sampel sebanyak 28 ekor dibagi dalam 4 kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 7 ekor mencit. Teknik sampling yang dipakai adalah accidental sampling. Kelompok kontrol, mencit diberi aquades 0,1 ml peroral perhari selama 14 hari dan pada hari ke-12, 13 dan 14 diberi tambahan aquades 0,1 ml peroral perhari. Kelompok perlakuan 1, mencit diberi aquades 0,1 ml peroral perhari selama 14 hari dan parasetamol peroral dosis 5,07 mg/20grBB mencit peroral pada hari ke-12, 13 dan 14. Kelompok perlakuan 2, mencit diberi sari wortel 130 mg/20grBB mencit peroral selama 14 hari dan parasetamol dosis 5,07 mg/20grBB mencit pada hari ke-12, 13 dan 14. Kelompok perlakuan 3, mencit diberi sari wortel 260 mg/20grBB mencit peroral selama 14 hari dan parasetamol dosis 5,07 mg/20grBB mencit peroral pada hari ke-12, 13 dan 14. Hari ke-15, mencit dikorbankan dengan cara neck dislocation kemudian organ hepar diambil dan dibuat preparat dengan metode blok parafin dan pengecatan Hematoksilin Eosin (HE). Gambaran histologis hepar diamati dan dinilai berdasarkan kerusakan histologis yang berupa inti pyknosis, karyorrhexis dan karyolysis. Data dianalisis dengan menggunakan uji Kruskal Wallis (α = 0,05) dan dilanjutkan dengan Uji Statistik Mann Whitney (α = 0,05). Hasil penelitian : Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antara keempat kelompok perlakuan. Hasil uji Mann Whitney menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna antara kelompok KP1-KP3 dan menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antara KP1-KK, KP1-KP2, KP2 -KK, KP2 –KP3, KP3-KK. Simpulan penelitian : Sari wortel dapat mengurangi kerusakan sel hepar mencit akibat paparan parasetamol tetapi pada peningkatan dosis sari wortel yang melebihi dosis tertentu, tidak meningkatkan efek proteksinya terhadap kerusakan sel hepar mencit.
Kata kunci: Sari wortel, parasetamol, kerusakan sel hepar
ABSTRACT Winulang Sabdo N., G0006169, 2010. The Influence of Carrot Essence (Daucus carota L.) to Liver Cell Damage Histologist of Mice as a Result of Induce Paracetamol. Script, Faculty of Medicine, Sebelas Maret University, Surakarta. Objective: The objective are to know the influence of carrot essence to the liver cell damage of mice which is induced by paracetamol and the increase of carrot essence dose can also increase protection effect to the liver cell damage of mice which is induced by paracetamol. Methods: This was a laboratory experimental research with post test only controlled group design. Samples in this research were twenty eight male mice, Swiss webster type, 2-3 months old and + 20 gr of each weight. Samples divided into 4 groups, each group has seven mices. Mice for control group will not be given paracetamol and carrot essence, it was given aquadest 0,1 ml/20 gr weight of mice for 14 days, also added aquadest 0,1 ml/20 gr weight of mice on the day 12, 13 and 14. The first treatment group will be given aquadest 0,1 ml/20 gr weight of mice and also paracetamol with dose 5,07 mg/20gr weight of mice on the day 12, 13 and 14. The second treatment group will be given carrot essence dose I which consist of 130 mg/20gr weight of mice for 14 days in a row and also paracetamol dose 5,07 mg/20gr weight of mice on day 12, 13 and 14. The third treatment group will be given carrot essence dose II which consist of 260 mg/20gr weight of mice for 14 days in a row and also paracetamol dose 5,07 mg/20gr weight of mice on day 12, 13 and 14. Finally on day 15th, mice were sacrificed with neck dislocation. After that, we made preparation from the liver that stained with Hematoxillin Eosin (HE). Preparation was observed and based on the liver histological damage (pyknosis, karyorrhexis and karyolysis). Data were analized by Kruskal Wallis (α = 0,05), and continued by Mann Whitney (α = 0,05) statistics test. Results: Result of Kruskal Wallis showed that there was a significant difference between 4 groups. Result of Mann Whitney method showed that there was not the significant difference between group KP1-KP3 and it was a significant difference between KP1-KK, KP1-KP2, KP2 -KK, KP2 –KP3, KP3-KK groups. Conclusion: According to this research, we concluded that the feeding of carrot essence was able to decrease the liver cell damage of mice but the increase of carrot essence dose which exceed certain dose was not followed by the increase of protection effect to the liver cell damage of mice which was induced by paracetamol. Key words : Carrot essence, paracetamol, liver cell damage.
PRAKATA
Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas limpahan berkat dan kasih-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul ”Pengaruh Pemberian Sari Wortel (Daucus carota L.) Terhadap Kerusakan Histologis Sel Hepar Mencit Akibat Pemberian Parasetamol” yang merupakan salah satu syarat memperoleh gelar kesarjanaan di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Dengan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan penelitian hingga penyusunan laporan ini. Maka pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. H.A.A. Subijanto, dr., MS, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
2. Sri Wahjono, dr., M.Kes, selaku Ketua Tim Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
3. Muthmainah, dr., M. Kes, selaku Pembimbing Utama yang telah meluangkan waktu dan tenaganya dalam memberikan bimbingan, nasihat, dan motivasi bagi penulis.
4. Slamet Riyadi, dr., M.Kes. selaku Pembimbing Pendamping yang telah meluangkan waktu dalam memberikan bimbingan, nasihat, dan motivasi bagi penulis.
5. S. B. Widjokongko, dr., MPd., PHK, selaku Penguji Utama yang telah memberikan masukan dan saran demi kesempurnaan penulisan skripsi ini.
6. Made Setiamika, dr., Sp.THT-KL (K), selaku Anggota Penguji yang telah memberikan masukan dan saran demi kesempurnaan penulisan skripsi ini.
7. Papa, mama, dan kakak tercinta atas dukungan, doa, semangat dan cinta kasih yang telah kalian berikan.
8. Seluruh Dosen dan Staf Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
9. Bagian Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah berkenan memberikan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.
10. Teman-teman Anatomi A8, Pbl B-2, FK UNS 06, PMK, CYTO atas dukungan dan semangat yang diberikan.
11. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Penulis mengharapkan kritik serta sumbang saran di masa mendatang untuk peningkatan karya ini. Semoga karya ini bermanfaat bagi semua. Surakarta, 06 Mei 2010
Winulang Sabdo Nugroho
DAFTAR ISI
PRAKATA ...................................................................................................... vi
DAFTAR ISI....................................................................................................... vii
DAFTAR TABEL.............................................................................................. ix
DAFTAR GAMBAR.......................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................... xi
BAB I. PENDAHULUAN............................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah................................................................. 1
B. Perumusan Masalah…………………………………………........ 3
C. Tujuan Penelitian............................................................................ 3
D. Manfaat Penelitian……………………………………………..... 3
BAB II. LANDASAN TEORI.......................................................................... 5
A. Tinjauan Pustaka.......................................................................... 5
1. Wortel........................................………………………......... 5
2. Parasetamol…………………………………….………........ 9
3. Struktur histologis hepar ………………….……………...... 11
a. Lobulus Hepar................................................................... 11
b. Parenkim Hepar................................................................ 12
c. Kanakuli Biliaris................................................................. 12
d. Sinusoid Hepar.................................................................. 13
4. Kerusakan Hepar Akibat Parasetamol..................................... 14
5. Mekanisme Perlindungan Sari Wortel Terhadap Kerusakan
Sel Hepar Akibat Parasetamol .............................................. 16
B. Kerangka Pemikiran................................................................... 19
C. Hipotesis..................................................................................... 20
BAB III. METODE PENELITIAN .................................................................. 21
A. Jenis Penelitian............................................................................ 21
B. Lokasi Penelitian …………………………………………….... 21
C. Subjek Penelitian......................................................................... 21
D. Teknik Sampling.......................................................................... 21
E. Rancangan Penelitian.................................................................... 22
F. Identifikasi Variabel Penelitian.................................................. 23
G. Definisi Operasional Variabel………………………………..... 24
1. Variabel Bebas…………………………………………..... 24
2. Variabel Terikat………………………………………....... 24
3. Variabel Luar yang Dapat Dikendalikan………………..... 25
4. Variabel Luar yang Tidak Dapat Dikendalikan................... 26
H. Alat dan Bahan………………………………………………...... 26
I. Cara Kerja.................................................................................... 27
J. Teknik Analisis Data Statistik………………………………..... 34
BAB IV. HASIL PENELITIAN…………………………………………........ 35
A. Data Hasil Penelitian………………………………………....... 35
B. Analisis Data………………………………………………....... 36
BAB V. PEMBAHASAN…………………………………………………..... 38
BAB VI.SIMPULAN DAN SARAN................................................................ 44
A. Simpulan…………………………………………………….... 44
B. Saran………………………………………………………....... 44
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….... 45
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Rata-rata jumlah kerusakan sel hepar mencit pada masing-masing
kelompok
Tabel 2 Ringkasan hasil Uji Mann Whitney Kerusakan Sel Hepar Mencit
setelah Perlakuan pada Kelompok Kontrol, Perlakuan I, II, dan III
Tabel 3 Jumlah inti sel hepar yang mengalami piknosis,
karyoreksis dan karyolisis dari tiap 100 sel di zona sentrolobuler
untuk kelompok kontrol (KK)
Tabel 4 Jumlah inti sel hepar yang mengalami piknosis,
karyoreksis dan karyolisis dari tiap 100 sel di zona sentrolobuler
untuk kelompok perlakuan I ( KP1)
Tabel 5 Jumlah inti sel hepar yang mengalami piknosis,
karyoreksis dan karyolisis dari tiap 100 sel di zona sentrolobuler
untuk kelompok perlakuan II ( KP2)
Tabel 6 Jumlah inti sel hepar yang mengalami piknosis,
karyoreksis dan karyolisis dari tiap 100 sel di zona sentrolobuler
untuk kelompok perlakuan III ( KP3)
Tabel 7 Hasil uji One-Sample Kolmogorov-Smirnov untuk jumlah kerusakan
sel hepar mencit pada 4 kelompok mencit
Tabel 8 Hasil uji One-Sample Kolmogorov-Smirnov setelah Transform untuk
jumlah kerusakan sel hepar mencit pada 4 kelompok mencit.
Tabel 9 Hasil uji Kruskal Wallis untuk jumlah kerusakan sel hepar mencit pada
4 kelompok mencit
Tabel 10 Hasil uji Mann Whitney antara kelompok kontrol (KK) dan kelompok
perlakuan I ( KP1)
Tabel 11 Hasil uji Mann Whitney antara kelompok kontrol (KK) dan kelompok
perlakuan II ( KP2)
Tabel 12 Hasil uji Mann Whitney antara kelompok kontrol (KK) dan kelompok
perlakuan III ( KP3)
Tabel 13 Hasil uji Mann Whitney antara kelompok perlakuan I ( KP1) dan
kelompok perlakuan II ( KP2)
Tabel 14 Hasil uji Mann Whitney antara kelompok perlakuan I ( KP1) dan
kelompok perlakuan III ( KP3)
Tabel 15 Hasil uji Mann Whitney antara kelompok perlakuan II ( KP2) dan
kelompok perlakuan III ( KP3)
Tabel 16 Tabel konversi dosis untuk manusia dan hewan
Tabel 17 Daftar volume maksimal bahan uji pada pemberian secara oral
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Grafik rata-rata jumlah kerusakan sel hepar mencit setelah
perlakuan pada tiap-tiap kelompok.
Gambar 2. Gambar histologis zona sentrolobuler lobulus hepar mencit
kelompok kontrol (KK) (pengecatan HE, perbesaran 400 X
dengan mikroskop OptiLab)
Gambar 3. Gambar histologis zona sentrolobuler lobulus hepar mencit
pada kelompok perlakuan I (KP1) (pengecatan HE,
perbesaran 400 X dengan mikroskop OptiLab)
Gambar 4. Gambar histologis zona sentrolobuler lobulus hepar mencit
pada kelompok perlakuan II (KP2) (pengecatan HE,
perbesaran 400 X dengan mikroskop OptiLab)
Gambar 5. Gambar histologis zona sentrolobuler lobulus hepar mencit
pada kelompok perlakuan III (KP3) (pengecatan HE,
perbesaran 400 X dengan mikroskop OptiLab)
Gambar 6. Mencit
Gambar 7. Sari Wortel
Gambar 8. Menyonde mencit
Gambar 9. Cervical Dislocation
Gambar 10. Mikroskop OptiLab
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil Pengamatan pada Kelompok Kontrol (KK)
Lampiran 2. Hasil Pengamatan pada Kelompok Perlakuan I (KP1)
Lampiran 3. Hasil Pengamatan pada Kelompok Perlakuan II (KP2)
Lampiran 4. Hasil Pengamatan pada Kelompok Perlakuan III (KP3)
Lampiran 5. Uji Statistik One-Sample Kolmogorov-Smirnov untuk
Jumlah Kerusakan Sel Hepar Mencit
Lampiran 6. Uji Statistik One-Sample Kolmogorov-Smirnov setelah
Transform untuk Jumlah Kerusakan Sel Hepar Mencit
Lampiran 7. Uji Statistik Kruskal Wallis untuk Jumlah Kerusakan Sel
Hepar Mencit
Lampiran 8. Uji Statistik Mann Whitney untuk Jumlah Kerusakan Sel
Hepar Mencit
Lampiran 9. Tabel Konversi Dosis Untuk Manusia dan Hewan
Lampiran 10. Daftar Volume Maksimal Bahan Uji Pada Pemberian
Secara Oral
Lampiran 11. Foto-foto Preparat
Lampiran 12. Alat dan Bahan Penelitian
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hepar merupakan organ pencernaan terbesar dengan berat antara 1,2-
1,8 kg atau kurang lebih 25 % berat badan orang dewasa yang menempati
sebagian besar kuadran kanan atas abdomen. Hepar memiliki peran penting
dalam proses metabolisme dan regulasi. Hepar memiliki fungsi bermacam-
macam, antara lain metabolisme lemak, karbohidrat, dan protein, kemudian
fungsi memproduksi protein plasma dan empedu. Hepar dengan fungsinya
yang sangat penting sering menjadi target organ yang memiliki kerusakan
akibat paparan bahan-bahan kimia (Hodgson dan Levi, 2000). Salah satu obat
yang termasuk hepatotoksin adalah parasetamol (Murray et al., 2003).
Hepatotoksisitas parasetamol dapat terjadi pada pemberian dosis
tunggal 10-15 gr (200-250 mg/kg BB) (Wilmana, 1995). Penggunaan
parasetamol dalam dosis tinggi dan waktu yang lama dapat menimbulkan
efek samping yang tidak diharapkan. Mekanisme toksisitas parasetamol pada
orang dewasa diakibatkan oleh penggunaan lebih dari 20 tablet yang masing-
masing mengandung 500 mg parasetamol. Sebelum pengobatan yang efektif
dikembangkan sekitar tahun 1973, nekrosis hepar akut terjadi pada kurang
lebih 20% penderita keracunan parasetamol (Kusminarno, 1998). Hal ini
timbul sebagai akibat dari produksi N-asetil-p-benzoquinonimin (NAPQI)
1
berlebih sebagai metabolit reaktif parasetamol yang mengandung radikal
bebas (David et al., 1998).
Tubuh manusia menghasilkan senyawa antioksidan, tetapi tidak selalu
cukup kuat untuk berkompetisi dengan radikal bebas. Kekurangan
antioksidan dapat dihasilkan dari produk seperti rempah, herbal, sayuran, dan
buah (Hernani dan Rahardjo, 2006).
Wortel (Daucus carota L.) merupakan bahan pangan (sayuran) yang
digemari dan dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Sesuai dengan
hasil penelitian yang telah dilakukan, wortel mempunyai nilai kandungan
vitamin A yang tinggi yaitu sebesar 12.000 SI. Wortel mengandung beta
karoten sebanyak 6-20 mg (Hernani dan Rahardjo, 2006).
Penelitian dari National Cancer Institute mengaitkan kandungan tinggi
beta karoten dengan pencegahan kanker, karena sifat antioksidannya yang
melawan kerja destruktif sel-sel kanker. Beta karoten juga membantu sistem
kekebalan tubuh dengan menghasilkan killer cell alami (IPTEKnet, 2005)
Dengan besarnya potensi antioksidan yang terkandung dalam wortel
tersebut dan efek proteksi wortel terhadap hepar belum banyak diteliti, maka
peneliti bermaksud ingin mengetahui apakah wortel yang biasa dikonsumsi
masyarakat sehari-hari dapat memberikan efek proteksi terhadap hepar
mencit yang diinduksi parasetamol.
B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah pada penelitian ini adalah:
1. Apakah pemberian sari wortel secara peroral dapat mencegah kerusakan
sel hepar mencit yang terpapar parasetamol ?
2. Apakah peningkatan dosis sari wortel dapat meningkatkan efek proteksi
terhadap kerusakan sel hepar mencit yang terpapar parasetamol ?
C. Tujuan Penelitian
1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian sari
wortel secara peroral dalam mencegah kerusakan sel hepar mencit akibat
paparan parasetamol.
2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh peningkatan dosis
sari wortel dalam meningkatkan efek proteksi terhadap kerusakan sel
hepar mencit akibat paparan parasetamol.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis:
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah
mengenai pengaruh sari wortel dalam mencegah kerusakan sel hepar
mencit yang terpapar parasetamol.
b. Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan acuan untuk
penelitian lebih lanjut, misalnya penelitian dengan parameter
imunologi.
2. Manfaat Aplikatif:
Sebagai bahan pertimbangan dalam mengembangkan wortel menjadi
tanaman obat (fitofarmaka) yang berkhasiat hepatoprotektor.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Wortel (Daucus carota L.)
a. Nama Botani
Nama botani dari wortel adalah Daucus carota L (Warintek, 2005).
b. Nama daerah
Wortel mempunyai nama di tiap wilayah yang berbeda yaitu
carrot (Inggris), Carrotte (Perancis), Bortel (Belanda), Wortel
(Indonesia), Bortol (Sunda), Ortel (Madura), Wortel, Wortol, Wertol,
Wertel, Bortol (Jawa) (IPTEKnet, 2005).
c. Deskripsi
Wortel merupakan tanaman semusim, tinggi 1-1,5 m, tumbuh di
daerah sejuk bertemperatur 20o C. Jenis wortel cukup banyak, tumbuh
baik pada ketinggian 500-1000 m atau 1000-2000 m dpl. Untuk
tumbuhnya, wortel memerlukan tanah geluh berpasir yang kaya bahan
organik dan sinar matahari yang cukup. Wortel tumbuh sepanjang
tahun. Wortel berbatang pendek, basah, merupakan sekumpulan
tangkai daun yang keluar dari ujung umbi bagian atas. Daun majemuk
berganda, pangkal tangkai melebar menjadi pipih, lonjong, tepi
bertoreh, ujung runcing, pangkal berlekuk, panjang 15-20 cm, lebar
10-13 cm, pertulangan menyirip, berwarna hijau. Bunga berkumpul
5
dalam payung majemuk, mahkota berbentuk bintang, halus, berwarna
putih. Buah ini, lonjong, diameter kurang lebih 3 mm, berwarna
cokelat. Biji lonjong, berwarna putih. Akarnya akar tunggang,
membengkak menjadi umbi berdaging berwarna jingga. Wortel
dipanen setelah berumur 60-90 hari. Wortel dapat dimakan mentah,
dijus dan dibuat sop atau salad. Dengan kandungan gula alamiahnya
yang cukup tinggi, sari wortel berkhasiat meningkatkan energi tubuh
(IPTEKnet, 2005).
Menurut para botanis, wortel (Daucus carota L.) dapat
dibedakan atas beberapa jenis, di antaranya :
1) Jenis imperator, yakni wortel yang memiliki umbi akar berukuran
panjang dengan ujung meruncing dan rasanya kurang manis.
2) Jenis chantenang, yakni wortel yang memiliki umbi akar
berbentuk bulat panjang dan rasanya manis.
3) Jenis mantes, yakni wortel hasil kornbinasi dari jenis wortel
imperator dan chantenang. Umbi akar wortel berwarna khas
oranye. (IPTEKnet, 2005; Wijayakusuma, 2005).
Gambar 1. Daucus carota L.
d. Klasifikasi
Dalam taksonomi, wortel diklasifikan sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Subkelas : Rosidae
Bangsa : Umbelliferales (Apiales)
Suku : Umbelliferales (Apiaceae)
Marga : Daucus
Spesies : Daucus carota L.
(Warintek, 2005).
e. Kandungan kimia dan khasiat wortel
Wortel (Daucus Carota L.) tiap 100 gram umbi mengandung
karoten 5,3 mg; vitamin E 0,56 mg; thiamin 0,04 mg; riboflavin 0,2
mg; niasin 0,2 mg; vitamin B6 0,07 mg; folat 28µg; asam pantotenat
0,25 mg; biotin 0,6 µg; vitamin C 4 µg. Pendapat lain menyebutkan
wortel mempunyai nilai kandungan vitamin A yang tinggi yaitu
12.000 SI, nilai vitamin A yang terkandung dalam wortel ini sangat
membantu hepar menghilangkan toksin dalam tubuh
(Wijayakusuma, 2005). Vitamin A juga mampu melindungi tubuh
dari senyawa kimia beracun (Dalimartha, 2007). Juga disebutkan
bahwa setiap 100 gr wortel mengandung beta karoten sebanyak 6-20
mg (Hernani dan Rahardjo, 2006). Kandungan beta karotennya dapat
mencegah dan menekan pertumbuhan sel kanker serta melindungi
asam lemak tidak jenuh ganda dari proses oksidasi. Selain itu beta
karoten merupakan antioksidan yang menjaga kesehatan dan
menghambat proses penuaan (IPTEKnet, 2005).
Antioksidan merupakan senyawa penetral radikal bebas.
Radikal bebas merupakan molekul tidak stabil yang terus-menerus
menyerang tubuh dari luar seperti sinar matahari, polusi, dan asap
rokok maupun yang menyerang tubuh dari dalam seperti
metabolisme dan kehidupan normal. Molekul ini mengalami suatu
reaksi berantai yang menimbulkan jutaan radikal bebas baru yang
merusak protein, sel, jaringan, dan organ tubuh. Radikal bebas ini
menyebabkan penuaan, perubahan degeneratif, radang, dan penyakit
yang membuat lama hidup lebih singkat. Radikal bebas bisa merusak
sel melalui proses oksidasi, apabila berlangsung lama dapat
menyebabkan berbagai penyakit kronis seperti penyakit jantung dan
kanker (IPTEKnet, 2005).
Antioksidan mencegah kerusakan tubuh dengan melindungi
protein, sel, jaringan, dan organ sasaran radikal bebas. Antioksidan
sudah terbukti secara ilmiah menghambat penuaan, penyakit jantung,
berbagai kanker, dan kebutaan, serta memperkuat sistem imun
(Wijoyo, 2001).
2. Parasetamol
Asetaminofen (parasetamol) merupakan metabolit fenasetin yang
memiliki efek antipiretik yang ditemukan di Jerman dan telah
digunakan sejak tahun 1893 (Katzung, 1998). Efek antipiretik
ditimbulkan oleh gugus aminobenzen. Asetaminofen di Indonesia lebih
dikenal dengan nama parasetamol dan tersedia sebagai obat bebas
(Wilmana, 1995)
Asetaminofen cepat diabsorbsi dari saluran cerna. Parasetamol
sedikit terikat dengan protein plasma dan sebagian dimetabolisme oleh
enzim mikrosom hepar. Secara normal, parasetamol mengalami
glukoronidasi dan sulfasi dimana 60% dikonjugasi dengan asam
glukoronat dan 30% dengan asam sulfat menjadi konjugasi yang sesuai,
merupakan 95% dari seluruh metabolit yang diekskresikan. Sedangkan
sisanya 5% dimetabolisme secara hidroksilasi melalui konjugat
glutation yang tergantung pada sitokrom P-450 menjadi metabolit
reaktif N-asetil-p-benzoquinonimin (NAPQI) (Parod dan Dolgin, 1992).
Tahapan terbentuknya NAPQI :
a. Terjadi ikatan dengan P-450
b. Oksidasi kompleks obat P-450
c. Terbentuknya oksigen reaktif pada kompleks obat P-450
d. Terbentuk metabolit obat yang telah teroksidasi.
Kemudian metabolit reaktif ini akan mengalami 2 macam jalur reaksi.
Pertama, detoksifikasi oleh glutation (Parod and Dolgin, 1992)
menghasilkan asam merkapturat yang non toksik (Greiner et al., 1990).
Kedua, pada kadar parasetamol yang tinggi, dapat terjadi kejenuhan
pada jalur glukoronidasi karena glutation tidak mencukupi. Maka
NAPQI akan berikatan dengan makromolekul sel seperti protein yang
sifatnya toksik terhadap sel hepar (Parod and Dolgin, 1992).
Efek paling serius pada kelebihan dosis akut dari parasetamol
tergantung pada dosis. Hepatotoksis parasetamol dapat terjadi setelah
mengkonsumsi dosis tunggal 10-15 gr (200-250 mg/kgBB). Dosis
tersebut secara potensial sangat fatal (Goodman dan Gilman’s, 2001).
Gejala hari pertama keracunan akut parasetamol belum mencerminkan
bahaya yang mengancam. Anoreksia, mual, dan muntah serta sakit
perut terjadi dalam 24 jam pertama dan dapat berlangsung selama
seminggu atau lebih. Gangguan hepar dapat terjadi pada hari kedua,
dengan peningkatan aktivitas serum transaminase, laktat dehidrogenase,
kadar bilirubin serum serta perpanjangan masa protrombin. Aktivitas
alkali fosfatase dan kadar albumin serum tetap normal. Kerusakan
hepar dapat mengakibatkan ensefalopati, koma, dan kematian.
Kerusakan hepar yang tidak berat dapat pulih dalam beberapa minggu
sampai beberapa bulan (Wilmana, 1995). Penderita overdosis
parasetamol harus segera cuci lambung dan diberikan zat-zat penawar
(asam amino N-Asetilsistein atau metionin) sedini mungkin, sebaiknya
dalam 8-10 jam setelah intoksikasi (Tjay & Kirana, 2002).
Indikasi klinik terhadap manifestasi kerusakan hepar terjadi 2-6
hari setelah mengkosumsi parasetamol. Kerusakan struktur hepar sudah
dapat diamati pada hari kedua dan mencapai puncaknya pada hari
keempat. Kerusakan yang ditimbulkan berupa nekrosis sentrolobuler
(Wilmana, 1995).
3. Hepar
Hepar adalah organ tubuh terbesar dan merupakan kelenjar
terbesar dalam tubuh, dengan berat rata-rata sekitar 1500 gram, atau
2,5% berat badan pada orang dewasa normal. Hepar terletak di rongga
perut di bawah diafragma. Sebagian kecil darahnya di pasok dari arteri
hepatica dan sebagian besar dipasok dari vena porta. Posisi hepar dalam
sistem sirkulasi optimal untuk menampung, mengubah, menimbun
metabolit, menetralisai, dan mengeluarkan substansi toksik (Juncqueira
dan Carneiro, 1995).
Struktur mikroskopis dari hepar meliputi stroma hepar, lobulus
hepar, sinusoid hepar, dan parenkim hepar.
a. Lobulus hepar
Pembagian lobulus hepar sebagai unit fungsional dibagi menjadi
tiga zona :
Zona 1 : merupakan zona aktif, sel-sel paling dekat pembuluh,
akibatnya zona ini yang pertama kali dipengaruhi oleh perubahan
darah yang masuk.
Zona 2 : merupakan zona intermedia, sel-selnya memberi respons
kedua terhadap darah.
Zona 3 : merupakan zona pasif, aktivitas sel-selnya rendah dan tampak
aktif bila kebutuhan meningkat.
Lobulus hepar sebagai kesatuan histologis berbentuk prisma poligonal,
diameter 1-2 mm, penampang melintang tampak sebagai heksagonal
dengan pusatnya vena sentralis dan sudut-sudut luar lobuli terdapat
kanalis porta (Leeson et al., 1998).
b. Parenkim hepar
Parenkim atau sel-sel hepar tersusun dalam rangkaian lempeng-
lempeng, atau lembaran-lembaran bercabang-cabang dan
beranastomosis membentuk labirin dan diantaranya terdapat sinusoid.
Lempeng-lempeng ini secara radial bermula dari tepi lobulus menuju
ke vena sentralis sebagai pusatnya. Sel hepar berbentuk poligonal
dengan enam atau lebih permukaan, berukuran sekitar 20-35 um. Inti
bulat atau lonjong dengan permukaan teratur dan besarnya bervariasi
dari sel satu dengan lainnya. Masing-masing inti berbentuk vesikuler
dengan granula kromatin tampak jelas dan tersebar dengan satu atau
lebih anak inti (Lesson et al., 1998).
c. Kanalikuli Biliaris
Kanalikuli biliaris kadang-kadang tampak pada sajian HE sebagai
rongga kecil di antara sel hepar yang bersebelahan, tetapi dapat lebih
baik diperlihatkan dengan pulasan khusus, misalnya reaksi Gomori
untuk fosfatase alkali atau dengan impregnasi perak. Kanalikuli
biliaris berbentuk jala-jala tiga dimensi di antara sel-sel hepar.
Dinding kanalikuli biliaris terdiri atas sel-sel hepar. Pada bagian
perifer lobulus, sel-sel parenkim yang membentuk dinding kanalikuli
biliaris secara bertahap diganti dengan sel kecil jernih dengan inti
gelap dan organel-organel yang tidak sempurna. Sel-sel ini disebut sel
duktus (Lesson et al., 1998).
d. Sinusoid Hepar
Sinusoid hepar merupakan pembuluh yang melebar secara tidak
teratur, terdiri atas sel-sel endotel bertingkat yang membentuk lapisan
tidak utuh. Diameter tingkat kira-kira 100 nm dan berkelompok
membentuk lempeng penyaring. Hepatosit dan sel-sel endotel di
atasnya dipisahkan oleh suatu celah subendotel dikenal sebagai celah
disse, yang mengandung mikrovili dari hepatosit. Selain sel-sel
endotel juga berisikan sel fagositik dari seri fagosit mononuklear yang
dikenal sebagai sel kupffer. Sel penimbun lemak memiliki
kemampuan mengumpulkan vitamin A yang masuk dari luar sebagai
ester retinil dalam tes lipid, namun peran sel ini dalam metabolisme
dan transport vitamin A belum diketahui (Juncqueira dan Carneiro,
1995).
4. Kerusakan Sel Hepar Akibat Parasetamol
Kerusakan struktur hepar dapat disebabkan oleh berbagai zat,
antara lain alkohol, zat halotan (CCL4), zat kimia makanan, serta zat-zat
xenobiotik lainnya. Adapun obat-obatan yang termasuk hepatotoksin
adalah parasetamol (Murray, 2003).
Pada kondisi normal, parasetamol dikonjugasikan dengan asam
glukoronat dan asam sulfat sebagian kecil dihidroksilasi dengan
sitokrom P-450 menjadi metabolit N-asetil-p-benzoquinonimin
(NAPQI) yang kemudian oleh glutation hepar diubah menjadi metabolit
sistein dan metabolit merkapturat yang kemudian akan dibuang bersama
urine. Jika jumlah parasetamol yang dikonsumsi berlebih maka
terbentuklah N-asetil-p-benzoquinonimin (NAPQI) oleh aktivitas
sitokrom P-450 akibat kejenuhan jalur glukoronida dan sulfat
(Wilmana, 1995).
Kerusakan sel hepar ditimbulkan oleh NAPQI sebagai metabolit
yang sangat reaktif. NAPQI menghasilkan zat radikal bebas yang
berasal dari metabolisme parasetamol di hepar berupa oksigen tunggal
yang merupakan oksidan bagi sel (David et al., 1998). Oksigen tunggal
ini melalui reaksi Fenton dan Haber Weiss membentuk OH- (radikal
hidroksil). OH- inilah yang akan berdampak buruk pada sel hepar
apabila berikatan dengan protein, asam lemak tak jenuh, dan DNA
hingga akhirnya terjadi kerusakan sel hepar. Untuk meredam reaksi
radikal hidroksil tersebut, secara normal diatasi oleh hepar melalui
konjugasi dengan glutation. Tetapi jika hal itu terus berlanjut sampai
melewati batas kemampuan hepar untuk membentuk glutation maka
OH- akan tetap dihasilkan dan bereaksi dengan protein berakibat
kematian sel atau nekrosis sentrolobuler (Katzung, 2002). Kerusakan
sel hepar tersebut mulai terjadi pada hari kedua dan mencapai
puncaknya pada hari keempat setelah pemberian parasetamol dosis
berlebih. Kerusakan yang terjadi merupakan nekrosis di sekitar vena
sentralis atau nekrosis sentrilobuler karena sitokrom P-450 paling
banyak terdapat pada daerah tersebut (Wilmana, 1995).
Nekrosis sel hepar akibat parasetamol dapat bersifat fokal, sentral,
perifer atau masif. Kematian sel terjadi bersamaan dengan pecahnya
membran plasma. Perubahan morfologis awal berupa : edema
sitoplasma, dilatasi retikulum endoplasma dan disagregasi polisom.
Selanjutnya terjadi akumulasi trigliserida sebagai butiran lemak dalam
sel, pembengkakan mitokondria progresif dengan kerusakan krista dan
pembengkakan biokimia yang bersifat kompleks (Wenas, 1999).
Stadium selanjutnya sel dapat mengalami degenerasi hidropik, susunan
sel yang terpisah-pisah, inti sel piknotik, karyoreksis (hancurnya inti
yang meninggalkan pecahan-pecahan zat kromatin yang tersebar di
dalam sel), karyolisis (hilangnya kemampuan inti sel yang mati untuk
diwarnai dan menghilang), pecahnya membran plasma dan akhirya
terjadi nekrosis (Thomas, 1988).
5. Mekanisme Perlindungan Sari Wortel Terhadap Kerusakan Sel
Hepar Akibat Parasetamol
Kerusakan sel hepar yang terjadi disebabkan oleh NAPQI
sebagai zat metabolit reaktif parasetamol (Wilmana, 1995). NAPQI ini
terbentuk oleh aktivitas sitokrom P-450 akibat kejenuhan jalur
glukoronida dan sulfat. NAPQI ini menghasilkan zat radikal bebas yang
berasal dari metabolisme parasetamol di hati. Melalui reaksi Fenton dan
Haber Weiss terbentuklah OH- (radikal hidroksil) sebagai berikut:
Reaksi Fenton Fe2+ +H2O2 à Fe2+ + OH + OH-
Reaksi Haber Weiss O2- + H2O2 à O2 + OH + OH –
Radikal Hidroksil ini sangat reaktif dan toksik terhadap sel-sel tubuh.
OH- inilah yang akan berdampak buruk terhadap sel hepar apabila
berikatan dengan senyawa-senyawa penting antara lain :
a. Asam lemak tak jenuh (komponen glikolipid, fosfolipid dan
kolesterol)
Asam lemak tak jenuh merupakan penyusun membran sel.
Apabila bereaksi dengan radikal hidroksil akan terjadi peroksidasi
lipid. Hal ini akan mengakibatkan gangguan fungsi sel hingga
akhirnya terjadi kematian sel hepar.
b. DNA
DNA merupakan perangkat genetik sel. Disini, OH-
menyebabkan kerusakan rantai DNA.
c. Protein
Radikal hidroksil (OH-) merusak protein karena dapat
mengadakan reaksi dengan asam-asam amino penyusun protein
terutama sistein. Sistein mengandung gugus sulfihidril (SH) dan
gugus inilah yang paling peka terhadap OH-. Ikatan protein dengan
OH- akan membentuk ikatan molekul protein yang kehilangan
fungsi biologisnya. Untuk meredam reaksi radikal hidroksil dengan
protein, secara normal diatasi oleh hepar melalui konjugasi dengan
glutation. Tetapi jika hal ini terus berlanjut sampai melewati batas
kemampuan hepar untuk membentuk glutation maka OH- akan
tetap dihasilkan dan bereaksi dengan protein berakibat kematian sel
atau nekrosis sentrolobuler (Katzung, 2002).
Sari wortel, seperti yang telah diketahui, mengandung beta-
karoten dengan kadar tinggi dan bersifat sebagai penangkap radikal
bebas. Beta-karoten mempunyai aktivitas antioksidan dengan
mengikat oksigen tunggal (singlet oksigen) yang dimiliki oleh
NAPQI. Dengan demikian kerusakan yang ditimbulkan akibat
reaksi radikal hidroksil dengan asam lemak tak jenuh, DNA, dan
protein dapat dicegah, dan kerusakan sel hepar pun dapat
berkurang (Agarwal dan Rao, 2000). Selain itu beta karoten dapat
meningkatkan kadar enzim glutation S transferase (GST) di hepar,
sehingga ketika terpapar parasetamol dosis toksik enzim glutation
S transferase (GST) dalam hepar tidak habis dan kerusakan hepar
dapat dicegah (Lienshout dkk, 1996).
B. Kerangka Pemikiran
Keterangan:
Parasetamol dosis berlebih
Jalur glukoronidasi dan sulfatasi jenuh
Meningkatkan NAPQI (N-asetil-p-benzoquinonimin)
Penangkap radikal bebas
NAPQI berlebih menimbulkan radikal bebas O2-(Oksigen tunggal)
OH- (Radikal Hiroksil)
Reaksi Fenton & Haber weiss
Asam lemak tak jenuh
Sari Wortel (Daucus Carota L.)
beta karoten
Antioksidan
DNA Protein
Peroksidasi lipid Kehilangan fungsi biologis
Kerusakan sel hepar
: memacu : menghambat
Variabel luar yang tak terkendali : kondisi psikologis, reaksi hipersensitivitas dan keadaan awal hepar mencit
Cadangan glutation hepar habis
meningkatkan GST
C. Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah:
1. Pemberian sari wortel dapat mencegah kerusakan sel hepar yang terpapar
parasetamol.
2. Peningkatan dosis sari wortel dapat meningkatkan efek proteksi terhadap
kerusakan sel hepar mencit yang terpapar parasetamol.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorik.
B. Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Histologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
C. Subjek Penelitian
Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit (Mus
musculus) jantan, galur Swiss webster berumur 2-3 bulan dengan berat
badan ± 20 gram. Sampel sebanyak 28 ekor dibagi dalam 4 kelompok,
masing-masing kelompok terdiri dari 7 ekor mencit. Jumlah ini
diperhitungkan menurut rumus Federer (Purwawisastra, 2001), yaitu (t-I)
(n-I) > 15, dengan t adalah jumlah perlakuan, sedangkan n adalah jumlah
mencit untuk tiap kelompok.
D. Teknik Sampling
Pengambilan sampel dilakukan secara accidental sampling. Besar
sampel sebanyak 28 ekor mencit.
21
E. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian ini adalah The post test only control group
design (Taufiqqurohman, 2003).
KK : (-) O0
KP1: (X 1) O1
KP2: (X 2) O2
KP3 : (X 3) O3
Keterangan :
KK = Kelompok kontrol tanpa diberi sari wortel maupun parasetamol.
KP1 = Kelompok perlakuan I yang diberi parasetamol tanpa diberi sari
wortel.
KP2 = Kelompok perlakuan II yang diberi parasetamol dan sari wortel
dosis I.
KP3 = Kelompok perlakuan III yang diberi parasetamol dan sari wortel
dosis II.
(-) = Pemberian aquades peroral 0,2 ml / 20 g BB mencit setiap hari
selama 14 hari berturut-turut.
X1 = Pemberian aquades peroral sebanyak 0,2 ml / 20 g BB mencit
setiap hari selama 14 hari berturut-turut dan pada hari ke-12, 13
dan 14 diberi parasetamol peroral 0,1 ml / 20 g BB mencit perhari.
X2 = Pemberian sari wortel peroral dosis I yaitu 130 mg/ 20 g BB
mencit selama 14 hari berturut-turut, dimana hari ke-12, 13 dan 14
diberikan juga parasetamol dosis peroral 0,1 ml/ 20 g BB mencit 1
jam setelah pemberian sari wortel.
Sampel Mencit 28 ekor
Bandingkan dengan uji
statistik
X3 = Pemberian sari wortel peroral dosis II yaitu 260 mg/ 20 g BB
mencit selama 14 hari berturut-turut, dimana hari ke-12, 13 dan 14
diberikan juga parasetamol dosis peroral 0,1 ml/ 20 g BB mencit 1
jam setelah pemberian sari wortel.
O0 = Pengamatan jumlah inti sel hepar piknosis, karyoreksis dan
karyolisis dari 100 sel di sentrolobuler hepar kelompok kontrol.
O1 = Pengamatan jumlah inti sel hepar piknosis, karyoreksis dan
karyolisis dari 100 sel di sentrolobuler hepar KP1.
O2 = Pengamatan jumlah inti sel hepar piknosis, karyoreksis dan
karyolisis dari 100 sel di sentrolobuler hepar KP2.
O3 = Pengamatan jumlah inti sel hepar piknosis, karyoreksis dan
karyolisis dari 100 sel di sentrolobuler hepar KP3.
Pengamatan jumlah inti sel hepar piknosis, karyoreksis dan
karyolisis dilakukan pada hari ke-15 setelah perlakuan pertama dikerjakan.
F. Identifikasi Variabel Penelitian
1. Variabel bebas : pemberian sari wortel.
2. Variabel terikat : kerusakan histologis sel hepar mencit.
3. Variabel luar :
Variabel luar dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Variabel luar yang dapat dikendalikan : variasi genetik, jenis
kelamin, umur, suhu udara, berat badan, dan jenis makanan
mencit semuanya diseragamkan.
b. Variabel luar yang tidak dapat dikendalikan : kondisi psikologis,
reaksi hipersensitivitas dan keadaan awal hepar mencit
G. Definisi Operasional Variabel Penelitian
1. Variabel Bebas
Sari wortel diberikan secara per oral dengan sonde lambung
dalam 2 dosis, diberikan selama 14 hari berturut-turut.
Dosis I : 130 mg/20grBB mencit/hari yang diberikan pada mencit
KP2.
Dosis II : 260 mg/20grBB mencit/hari yang diberikan pada mencit
KP3.
Skala pengukuran variabel ini adalah ordinal.
2. Variabel Terikat
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kerusakan histologis
sel hepar mencit. Yang dimaksud dengan kerusakan histologis sel
hepar mencit pada penelitian ini adalah gambaran mikroskopis sel
hepar mencit yang diinduksi dengan parasetamol setelah pemberian
sari wortel. Kerusakan sel hepar dinilai dari jumlah sel hepar yang
mengalami piknotik, karyoreksis dan karyolisis yang dihitung dari
100 sel pada zona sentrolobuler.
Adapun tanda-tanda kerusakan sel :
a. Sel yang mengalami piknotik intinya kisut dan bertambah basofil,
berwarna gelap batasnya tidak teratur.
b. Sel yang mengalami karyoreksis inti mengalami fragmentasi atau
hancur dengan meninggalkan pecahan-pecahan zat kromatin yang
tersebar di dalam sel.
c. Sel yang mengalami karyolisis yaitu kromatin basofil menjadi
pucat, inti sel kehilangan kemampuan untuk diwarnai dan
menghilang begitu saja (Price dan Wilson, 1990).
Skala pengukuran variabel ini adalah rasio.
3. Variable Luar yang Dapat Dikendalikan
Variabel luar ini dibuat keadaanya seragam, yaitu :
a. Makanan dan minuman
Makanan yang diberikan berupa pellet dan air PAM.
b. Genetik
Mencit galur Swiss webster.
c. Jenis Kelamin
Mencit berjenis kelamin jantan.
d. Umur
Mencit umur 2-3 bulan.
e. Berat badan
Mencit dengan berat-badan ± 20 gram.
f. Suhu udara
Hewan percobaan ditempatkan di dalam ruangan dengan
suhu berkisar antara 25-280 C.
4. Variabel Luar yang Tidak Dapat Dikendalikan
a. Kondisi psikologis mencit dipengaruhi oleh lingkungan sekitar.
Lingkungan yang terlalu ramai dan gaduh, pemberian perlakuan
yang berulang kali, dan perkelahian antar mencit dapat
mempengaruhi kondisi psikologis mencit.
b. Reaksi hipersensitivitas dapat terjadi karena adanya variasi
kepekaan mencit terhadap zat yang digunakan.
c. Keadaan awal hati mencit tidak diperiksa pada penelitian ini
sehingga mungkin saja ada mencit yang sebelum perlakuan
hatinya sudah mengalami kelainan.
H. Alat dan Bahan Penelitian
1. Alat.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian :
a. Kandang hewan coba dengan ukuran 30x20x10 cm
b. Timbangan hewan
c. Sonde lambung
d. Alat bedah hewan coba (Scalpel, pinset, gunting, jarum, dan
meja lilin)
e. Alat untuk membuat preparat histologi
f. Mikroskop cahaya medan terang
g. Gelas ukur dan pengaduk
h. Becker glass 250cc
i. Lampu spiritus
j. Blender
k. Kamera OptiLap
2. Bahan.
Bahan yang akan digunakan sebagai berikut :
a. Makanan hewan coba (pellet dan air PAM)
b. Parasetamol tablet 500 mg
c. Wortel
d. Bahan untuk pembuatan preparat histologis dengan pengecatan
HE
I. Cara Kerja
1. Persiapan Percobaan
a. Sampel
Sampel diperoleh dari Universitas Setia Budi (USB),
Surakarta. Kemudian dilakukan adaptasi di Laboratorium
Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret
Surakarta, selama 7 hari dan dilakukan pengelompokan secara
random menjadi 4 kelompok. Tiap kelompok 7 ekor. Pada
minggu I dilakukan penimbangan dan penandaan.
b. Sari Wortel
Wortel yang digunakan adalah wortel yang didapatkan di
Pasar Besar Surakarta. Setelah itu wortel dicuci dengan air
bersih. Sari wortel dibuat dengan cara memblender 100 gr
wortel, kemudian diperas dan hasil perasan ini merupakan sari
wortel.
Kebutuhan beta karoten tiap hari pada manusia adalah 10
mg/hari (Hernani dan Rahardjo, 2006). Tiap 5 gr wortel
mengandung 1 mg beta karoten, sehingga tiap hari manusia
membutuhkan 50 gr wortel. Nilai konversi dari manusia (70
kg) ke mencit (20 gr) adalah 0,0026 (Ngatidjan, 1991). Jadi
dosis untuk mencit adalah :
Dosis = nilai konversi x dosis
= 0,0026 x 50 gr wortel/hari
= 0,13 gr/hari atau 130 mg/hari
Pada penelitian ini dosis sari wortel yang digunakan ada 2
macam yaitu :
Dosis I : 130 mg/20grBB/hari dan
Dosis II : 260 mg/20grBB/hari
Dari hasil perasan diperoleh volume sari wortel sebanyak 50
ml dan ampas sisa perasan 20 gr maka berat sari wortel adalah
100 gr – 20 gr = 80 gram, sehingga kandungan sari wortel 80
gr/50 ml. Jumlah yang diberikan yaitu 0,08 ml = 130
mg/20grBB/hari sebagai dosis I dan 0,16 ml = 260
mg/20grBB/hari sebagai dosis II.
Pemberian sari wortel selama 14 hari berturut-turut
dengan harapan antioksidan yang berupa beta karoten dapat
meningkatkan kadar enzim glutation S transferase (GST) di
hepar, sehingga ketika terpapar parasetamol dosis toksik
enzim glutation S transferase (GST) dalam hepar tidak habis
dan kerusakan hepar dapat dicegah. Menurut Setiono (2008)
pemberian sari wortel selama dua minggu dapat meningkatkan
antioksidan dalam tubuh.
c. Parasetamol
LD-50 untuk mencit secara peroral yang telah diketahui
adalah 338 mg/KgBB atau 6,76 mg/20 gBB mencit (Alberta,
2006). Dosis parasetamol yang dapat menimbulkan efek
kerusakan hepar berupa nekrosis sel hepar tanpa menyebabkan
kematian mencit adalah dosis 3/4 LD-50 perhari (Sabrang,
2008). Dosis yang digunakan adalah 338 mg/KgBB x 0,75 =
253,5 mg/KgBB = 5,07 mg/20grBB mencit. Parasetamol 500
mg dilarutkan dalam aquades hingga 9,86 ml, sehingga dalam
0,1 ml larutan parasetamol mengandung 5,07 mg parasetamol.
Parasetamol diberikan selama 3 hari berturut-turut yaitu
pada hari ke-12, 13, dan 14. Pemberian parasetamol dengan
cara ini dimaksudkan untuk menimbulkan kerusakan pada sel
hepar berupa nekrosis pada daerah sentrolobularis tanpa
menimbulkan kematian pada mencit. Menurut Wilmana dan
Gunawan (2007) pemberian parasetamol dosis tunggal sudah
dapat menimbulkan kerusakan sel hepar berupa nekrosis pada
daerah sentrolobularis dalam waktu 2 hari setelah pemberian
parasetamol.
2. Pelaksanaan Percobaan
Percobaan mulai dilakukan pada minggu II, dan percobaan
berlangsung selama 14 hari.
Pengelompokan subjek :
a. KK = Kelompok kontrol diberi aquadest peroral sebanyak 0,2
ml/ 20 g BB mencit setiap hari selama 14 hari berturut-
turut.
b. KP1 = Kelompok perlakuan I diberi aquades peroral sebanyak
0,2 ml/ 20 g BB mencit setiap hari selama 14 hari
berturut-turut dan pada hari ke 12, 13 dan 14 juga
diberi parasetamol peroral dosis 0,1 ml / 20 g BB
mencit peroral perhari.
c. KP2 = Kelompok perlakuan diberi sari wortel peroral dosis 130
mg/ 20 g BB mencit selama 14 hari berturut-turut,
dimana hari ke-12, 13 dan 14 diberikan juga
parasetamol peroral dosis 0,1 ml/ 20 g BB mencit
setelah 1 jam pemberian sari wortel.
d. KP3 = Kelompok perlakuan diberi sari wortel peroral dosis 260
mg/ 20 g BB mencit selama 14 hari berturut-turut,
dimana hari ke-12, 13 dan 14 diberikan juga
parasetamol peroral dosis 0,1 ml/ 20 g BB mencit
setelah 1 jam pemberian sari wortel.
Setiap sebelum pemberian parasetamol dan sari wortel,
mencit dipuasakan dahulu ± 5 jam untuk mengosongkan
lambung. Pemberian parasetamol dilakukan ± 1 jam setelah
pemberian sari wortel agar sari wortel terabsorbsi terlebih
dahulu.
Skema Pemberian Perlakuan
Sampel 28 ekor mencit
Kelompok kontrol
Kelompok perlakuan 2
Kelompok perlakuan 1
Kelompok perlakuan 3
Dipuasakan selama ± 5 jam
Aquades 0,1 ml
Aquades 0,1 ml
Sari wortel 130 mg/20grBB
mencit/hari
Sari wortel 260 mg/20grBB
mencit/hari
setelah ± 1 jam
0,1 ml parasetamol dosis 5,07 mg/20 gBB mencit
Perlakuan sampai hari ke-14. Pemberian parasetamol hanya dilakukan pada hari ke 12, 13 dan 14. Pembuatan preparat pada hari ke-15.
3. Pengukuran Hasil
Pada hari ke-15 setelah perlakuan pertama diberikan, semua
hewan percobaan dikorbankan dengan cara dislokasi vertebra
servikalis, kemudian organ hepar diambil untuk selanjutnya dibuat
preparat histologi dengan metode blok paraffin dengan pengecatan
HE. Pembuatan preparat dilakukan pada hari ke-15 agar efek
perlakuan tampak nyata. Lobus hepar yang diambil adalah lobus
kanan dan irisan untuk preparat diambil pada bagian tengah dari
lobus tersebut, hal ini dilakukan untuk mendapatkan preparat yang
seragam. Dari tiap lobus kanan hepar dibuat 3 irisan dengan tebal
tiap irisan 3-8 um. Jarak antar irisan satu dengan yang lain kira-kira
25 irisan. Tiap hewan percobaan dibuat 3 preparat. Dari masing-
masing preparat diambil 1 (satu) daerah di sentrolobuler yang
terlihat kerusakannya paling berat. Dari 1 (satu) zona tersebut akan
didapatkan 1 (satu) angka mengenai jumlah sel hepar yang
mengalami kerusakan. Sehingga dari hewan coba didapatkan 3
angka mengenai jumlah sel hepar yang mengalami kerusakan.
Dalam percobaan ini menggunakan 7 hewan percobaan dalam tiap
kelompoknya sehingga akan diperoleh 21 angka untuk tiap
kelompok percobaan. Pengamatan preparat dengan perbesaran 100
kali untuk mengamati seluruh bagian irisan preparat, kemudian
ditentukan daerah yang akan diamati pada sentrolobuler lobulus
hepar dan dipilih 1 (satu) daerah yang kerusakannya terlihat paling
berat. Dari tiap zona sentrolobuler lobulus hepar tersebut dengan
pembesaran 400 kali ditentukan jumlah inti yang mengalami
piknosis, karyoreksis dan karyolisis dari tiap 100 sel. Penghitungan
jumlah sel dilakukan dengan bantuan alat OptiLap yang
disambungkan dengan komputer.
Jadi misalnya dari satu daerah zona sentrolobuler dari 100 sel
yang diamati, ternyata terdapat 25 sel dengan inti piknotik, 15
dengan karyoreksis dan 5 dengan karyolisis maka jumlah sel hepar
yang mengalami kerusakan adalah 25 + 15 + 5 = 45. Sehingga dari
tiap preparat diperoleh satu nilai angka. Jadi dari 3 preparat dari 1
(satu) hewan coba akan didapatkan 3 angka mengenai jumlah sel
hepar yang mengalami kerusakan. Dalam percobaan ini
menggunakan 7 hewan percobaan dalam tiap kelompoknya
sehingga akan diperoleh 21 angka mengenai jumlah sel hepar yang
mengalami kerusakan untuk tiap kelompok percobaan. Selanjutnya
data yang diperoleh diuji mengenai jumlah sel hepar yang
mengalami kerusakan dari masing-masing kelompok dibandingkan
dengan uji Oneway ANOVA dan jika terdapat perbedaan yang
bermakna maka dilanjutkan dengan uji Post Hoc. Kalau syarat
tidak terpenuhi akan digunakan uji Kruskal Wallis yang dilanjutkan
dengan Uji Statistik Mann Whitney.
J. Teknik Analisis Data Statistik
Data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan menggunakan
uji one way ANOVA (α : 0,05), jika terdapat perbedaan yang bermakna
maka dilanjutkan dengan Post Hoc Test (α : 0,05), kalau syarat tidak
terpenuhi akan digunakan uji Kruskal Wallis (α : 0,05) yang dilanjutkan
dengan Uji Statistik Mann Whitney (α : 0,05) menggunakan program
SPSS.
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Data Hasil Penelitian
Setelah dilakukan penelitian mengenai pengaruh pemberian sari wortel
terhadap kerusakan histologis sel hepar mencit akibat pemberian parasetamol
yang dikelompokkan menjadi 4 kelompok perlakuan yaitu kelompok kontrol,
kelompok perlakuan I, kelompok perlakuan II, kelompok perlakuan III,
didapatkan hasil pengamatan pada masing-masing kelompok perlakuan yang
dapat dilihat pada lampiran 1 - 4. Dari data tersebut didapatkan hasil seperti
yang terlihat pada tabel 1.
Tabel 1. Rata-rata jumlah sel hepar mencit yang mengalami kerusakan pada masing-masing kelompok.
Kelompok Rata-rata jumlah
kerusakan Standar Deviasi
Kontrol (KK)
Perlakuan I (KP1)
Perlakuan II (KP2)
Perlakuan III (KP3)
32,81
62,05
37,86
59,57
4,52
5,56
5,46
4,60
Sumber : Data Primer, 2010.
Dari data tabel di atas dapat dilihat bahwa pada kelompok perlakuan I
(KP1) memiliki rata-rata jumlah kerusakan yang paling besar yaitu 62,05 ±
5,56. Sedangkan untuk kelompok kontrol (KK) memiliki rata-rata jumlah
kerusakan paling ringan yaitu 32,81 ± 4,52.
35
B. Analisis Data
Data mengenai jumlah sel yang mengalami kerusakan tiap kelompok
dari lampiran 1 – 4 selanjutnya dilakukan uji statistik One-Sample
Kolmogorov-Smirnov untuk mengetahui apakah data terdistribusi normal atau
tidak. Dari uji statistik One-Sample Kolmogorov-Smirnov didapatkan nilai p
adalah 0,033 (p < 0,05), ini berarti data hasil penelitian terdistribusi secara
tidak normal. Selanjutnya dilakukan uji Transform, ternyata didapatkan nilai p
adalah 0,012 ini berarti hasilnya masih tidak normal. Perhitungan mengenai
uji statistik One-Sample Kolmogorov-Smirnov dapat dilihat pada lampiran 5
dan 6.
Karena data hasil penelitian terdistribusi tidak normal maka uji One-
Way ANOVA tidak bisa digunakan akan tetapi dapat menggunakan uji
alternatif lain yaitu uji statistik Kruskal Wallis. Dari hasil perhitungan uji
Kruskal Wallis didapatkan nilai sig. adalah 0,000 dimana nilai ini lebih kecil
dari nilai alpha (0,05), sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat
perbedaan rata-rata jumlah kerusakan histologis sel hepar mencit yang
bermakna antara kelompok kontrol, kelompok perlakuan I, II, dan III. Hasil
uji Kruskal Wallis ini dapat dilihat pada lampiran 7.
Karena didapatkan adanya perbedaan yang signifikan dari empat
kelompok tersebut maka uji statistik dilanjutkan dengan Uji Mann Whitney
untuk mengetahui antar kelompok mana terdapat perbedaan rata-rata jumlah
kerusakan histologis sel hepar mencit, dapat dilihat pada lampiran 8.
Tabel 2. Ringkasan hasil Uji Mann Whitney Kerusakan Sel Hepar Mencit setelah Perlakuan pada Kelompok Kontrol, Perlakuan I, II, dan III.
Kelompok p Perbedaan jumlah
kerusakan sel hepar KK – KP1
KK – KP2
KK – KP3
KP1 – KP2
KP1 – KP3
KP2 – KP3
0,000
0,006
0,000
0,000
0,136
0.000
Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan Tidak Signifikan Signifikan
Sumber : Data Primer, 2010.
0
10
20
30
40
50
60
70
Kontrol Perlakuan 1 Perlakuan 2 Perlakuan 3
Gambar 1 : Grafik rata-rata jumlah kerusakan sel hepar mencit setelah perlakuan pada tiap-tiap kelompok.
BAB V
PEMBAHASAN
Penelitian pengaruh pemberian sari wortel (Daucus carota L) terhadap
kerusakan histologis sel hepar mencit akibat pemberian parasetamol
menggunakan 4 kelompok mencit masing-masing terdiri dari 7 ekor yang diberi
perlakuan berbeda. Kelompok kontrol tidak diberi parasetamol maupun sari
wortel, hanya diberi aquadest. Kelompok perlakuan I diberi parasetamol pada hari
ke 12, 13, dan 14 menggunakan dosis 5,07 mg/20 grBB mencit/hari. Kelompok
perlakuan II diberi sari wortel dosis I sebesar 130 mg/20 grBB mencit selama 14
hari dan juga diberi parasetamol pada hari ke 12, 13, dan 14 menggunakan dosis
5,07 mg/20 grBB mencit/hari. Kelompok perlakuan III diberi sari wortel dosis I
sebesar 260 mg/20 grBB mencit selama 14 hari dan juga diberi parasetamol pada
hari ke 12, 13, dan 14 menggunakan dosis 5,07 mg/20 grBB mencit/hari. Diluar
jadwal perlakuan hewan coba diberi makanan standar berupa pellet dan air PAM.
Pada penelitian ini yang diamati adalah jumlah sel hepar yang intinya
mengalami kerusakan (piknosis, karyoreksis, dan karyolisis). Jumlah sel yang
intinya mengalami kerusakan dihitung dari tiap 100 sel didaerah sentrolobuler.
Daerah sentrolobuler merupakan daerah yang kandungan sitokrom P-450-nya
tinggi sehingga metabolit NAPQI akan lebih banyak terbentuk didaerah ini
(Wilmana, 1995).
Data jumlah kerusakan inti sel hepar setelah perlakuan dianalisis dengan
uji Kruskal Wallis didapatkan perbedaan yang bermakna antara keempat
kelompok perlakuan. Perbedaan jumlah kerusakan sel hepar ini menunjukan
adanya pengaruh pemberian sari wortel (Daucus carota L) terhadap kerusakan
histologis sel hepar mencit akibat pemberian parasetamol. Letak perbedaan antara
keempat kelompok perlakuan dapat diketahui dengan uji Mann Whitney.
Kelompok kontrol dijumpai adanya kerusakan inti sel hepar. Hal ini
kemungkinan karena proses penuaan dan kematian sel yang secara fisiologi
dialami oleh semua sel-sel normal. Setiap sel dalam tubuh akan selalu mengalami
penuaan yang diakhiri kematian sel dan digantikan oleh sel-sel baru melalui
proses regenerasi (Iber dan Latham, 1994). Selain itu, mungkin juga karena
pengaruh variabel luar yang tidak dapat dikendalikan.
Kelompok perlakuan I memiliki kerusakan sel paling berat karena hanya
mendapat perlakuan dengan parasetamol dosis toksik dan tidak mendapat sari
wortel. Nekrosis sel hepar akibat parasetamol dapat bersifat fokal, sentral, perifer
atau massif. Kematian sel terjadi bersamaan dengan pecahnya membran plasma.
Perubahan morfologis awal berupa: edema sitoplasma, dilatasi retikulum
endoplasma dan disagregasi polisom. Selanjutnya terjadi akumulasi trigliserid
sebagai butiran lemak dalam sel, pembengkakan mitokondria progresif dengan
kerusakan krista dan pembengkakan biokimia yang bersifat kompleks (Wenas,
1999). Stadium selanjutnya dapat mengalami degenerasi hidropik, susunan sel
yang terpisah-pisah, inti sel piknosis, karyoreksis (hancurnya inti yang
meninggalkan pecahan-pecahan zat kromatin yang tersebar didalam sel),
kariyolisis (hilangnya kemampuan inti sel yang mati untuk diwarnai dan
menghilang), pecahnya membran plasma, dan akhirnya terjadi nekrosis (Thomas,
1988).
Dari hasil analisa jumlah kerusakan sel hepar didapatkan perbedaan
bermakna antara kelompok K dan kelompok P I. Hal ini disebabkan karena pada
kelompok perlakuan I terjadi kerusakan sel hepar akibat pemberian parasetamol
dosis toksik. Hasil tersebut sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa
parasetamol pada dosis toksik mampu menginduksi kerusakan sel hepar.
Mekanisme kerusakan sel hepar akibat dosis toksik parasetamol dapat terjadi
akibat reaksi reaksi toksik dan radikal bebas. Reaksi toksik disebabkan langsung
oleh ikatan antara NAPQI dengan gugus nukleofilik yang terdapat pada
makromolekul sel seperti protein sehingga mengakibatkan kematian sel atau
nekrosis sentrolobuler. Selain itu, radikal hidroksil yang terbentuk akibat dosis
toksik parasetamol juga dapat merusak rantai poly unsaturated fatty acid (PUFA)
menjadi lipid hidroperoksida (COOH). Radikal ini akan memisahkan atom
hidrogen dari rantai PUFA dalam membran sel hepar, sehingga terjadi
peroksidasi lipid. Penimbunan zat tersebut pada membran sel akan mengakibatkan
gangguan fungsi sel sehingga akhirnya terjadi nekrosis sel hepar (Santoso, 2004).
Hasil analisa jumlah kerusakan sel hepar pada kelompok perlakuan I dengan
perlakuan II didapatkan perbedaan bermakna. Hal ini berarti pemberian sari
wortel dengan dosis I yaitu 130 mg/20 grBB mencit selama 14 hari berturut-turut
dapat mengurangi jumlah inti sel hepar yang mengalami kerusakan akibat
pemberian parasetamol. Sari wortel, seperti yang telah diketahui, mengandung
beta-karoten dengan kadar tinggi dan bersifat sebagai penangkap radikal bebas.
Beta karoten mempunyai aktivitas antioksidan dengan mengikat oksigen tunggal
(singlet oksigen) yang dimiliki oleh NAPQI. Dengan demikian kerusakan yang
ditimbulkan akibat reaksi radikal hidroksil dengan asam lemak tak jenuh, DNA,
dan protein dapat dicegah, dan kerusakan sel hepar pun dapat berkurang (Agarwal
dan Rao, 2000). Selain itu beta karoten dapat meningkatkan kadar enzim glutation
S transferase (GST) di hepar, sehingga ketika terpapar parasetamol dosis toksik
enzim glutation S transferase (GST) dalam hepar tidak habis dan kerusakan hepar
dapat dicegah (Lienshout dkk, 1996).
Hasil analisa jumlah kerusakan sel hepar antara kelompok perlakuan I dan
perlakuan III menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna. Kelompok perlakuan
III merupakan kelompok yang diberi sari wortel dosis II yaitu 260 mg/20 grBB
mencit (dosis II) dan juga mendapat parasetamol. Berdasar teori, pemberian sari
wortel dapat mencegah kerusakan sel hepar akibat paparan parasetamol, tapi pada
kelompok ini terdapat perbedaan yang tidak signifikan dengan kelompok
perlakuan I. Atau dengan kata lain, pemberian sari wortel dosis 260 mg/20 grBB
mencit (dosis II) tidak dapat mencegah kerusakan sel hepar. Hal ini dapat terjadi
kemungkinan karena dosis sari wortel yang diberikan terlalu tinggi untuk mencit
dan dosis tersebut melebihi dosis optimal sehingga menurunkan fungsi sari wortel
dalam mencegah kerusakan sel hepar.
Kelompok perlakuan II merupakan kelompok perlakuan menggunakan sari
wortel dosis 130 mg/20 grBB mencit (dosis I) dan juga mendapatkan parasetamol.
Hasil analisa jumlah kerusakan sel hepar pada kelompok perlakuan II didapatkan
perbedaan bermakna dengan kelompok kontrol dan kelompok perlakuan I. Hal ini
dapat disimpulkan pemberian sari wortel dosis 130 mg/20 grBB mencit (dosis I)
dapat mengurangi kerusakan sel hepar mencit akibat pemberian parasetamol tetapi
tidak dapat mengembalikan sel hepar ke kondisi seperti kelompok kontrol.
Hasil analisa jumlah kerusakan sel hepar pada kelompok perlakuan III
didapatkan perbedaan bermakna dengan kelompok kontrol namun menunjukkan
perbedaan tidak bermakna dengan kelompok perlakuan I. Hal ini berarti
pemberian sari wortel dengan dosis 260 mg/20 grBB mencit (dosis II) sebelum
pemberian parasetamol tidak mampu mencegah kerusakan sel hepar yang
diinduksi dengan parasetamol, hal ini dapat terjadi karena dosis sari wortel yang
diberikan pada kelompok perlakuan III terlalu tinggi, sehingga fungsi protektif
sari wortel justru semakin menurun dan jumlah kerusakan sel hepar mendekati
dengan kelompok perlakuan I meskipun derajat kerusakannya lebih ringan. Hal ini
dapat dianalogikan dengan cara kerja obat. Sebagaimana obat yang memiliki dosis
optimal, sari wortel juga memiliki dosis optimal. Kurva dosis dan efek berbentuk
sigmoid sehingga apabila dosis yang diberikan lebih dari maksimal, maka akan
menurunkan fungsi obat tersebut (Mycek et al., 1997). Begitu pula dengan sari
wortel, bila dosis yang diberikan berlebihan, maka akan menurunkan efek
protektifnya.
Jumlah kerusakan sel hepar pada kelompok perlakuan II lebih sedikit
apabila dibandingkan dengan kelompok perlakuan III. Hal ini berarti peningkatan
dosis sari wortel tidak meningkatkan efek proteksi terhadap kerusakan sel hepar
mencit yang diinduksi parasetamol karena diasumsikan dosis pada kelompok
perlakuan III melebihi dosis optimal sehingga menurunkan fungsi protektif sari
wortel.
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terbukti adanya
efek proteksi sari wortel terhadap hepar yang berupa pengurangan kerusakan sel
hepar mencit yang diinduksi parasetamol pada dosis sari wortel tertentu meskipun
belum optimal karena hasilnya belum sebanding dengan kelompok kontrol. Tetapi
pada peningkatan dosis sari wortel sampai tingkat tertentu (dosis II) justru tidak
menunjukkan peningkatan efek proteksi sari wortel, oleh karenanya perlu dicari
dosis yang tepat.
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
1. Pemberian sari wortel dengan dosis 130 mg/20grBB mencit selama 14
hari berturut-turut mempunyai efek proteksi terhadap kerusakan sel
hepar mencit akibat paparan parasetamol.
2. Peningkatan dosis sari wortel dari dosis I sebesar 130 mg/20grBB
mencit menjadi dosis II sebesar 260 mg/20grBB mencit tidak
meningkatkan efek proteksi terhadap kerusakan sel hepar mencit
akibat paparan parasetamol.
B. Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan dosis sari wortel yang
lebih bervariasi dan dengan lama pemberian sari wortel yang lebih
bervariasi sehingga diketahui dosis dan waktu pemberian yang efektif
untuk mencegah kerusakan sel hepar mencit yang diinduksi
parasetamol.
2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan sarana dan prasarana yang
lebih canggih misalnya penelitian sari wortel ditinjau dari segi
immunologi sehingga didapatkan data yang lebih lengkap tentang
fungsi hepatoprotektor sari wortel dan fungsi dari masing-masing
kandungan sari wortel
DAFTAR PUSTAKA
Alberta G. and Canada G. 2006. DrugBank : Acetaminophen (APRD00252).http://redpoll.pharmacy.ualberta.ca/drugbank/cgi-bin/getCard.cgi?CARD=APRD00252.txt. (6 September 2009).
Dalimartha S. 2007. Ramuan Tradisional untuk Pengobatan Kanker.
Jakarta: Penebar Swadaya.Hal :8-12. David H.S. & Sudaryati, E. 1998. Aspek Pencegahan Radikal Bebas Melalui
Antioksidan. Majalah Kedokteran Indonesia 48 (1). Pp : 50-3. Goodman and Gilman’s. 2001. The Pharmocological Basis of Therapeutics.
10th edition. The Mc Graw-Hill Companies. USA, pp: 703-5. Greiner. 1990. Non invasive determination of Acetaminophen disposition in
down syndrome. In : Clinical Pharmacology and Terapeutics, p:521. Hernani dan Rahardjo. 2006. Tanaman Berkhasiat Antioksidan. Jakarta :
Penebar Swadaya. Pp: 25-6. Hodgson E dan Levi P.E. 2000. A Textbook of Modern Toxicology. 2nd ed.
Singapore: The McGraw-Hill. Pp : 199-205.
Iber F. L. dan Latham P. S. 1994. Pathologic Physiology Mechanism of Disease. Jakarta: EGC, p: 565.
IPTEKnet 2009. Wortel (Daucus carota l.) dalam Tanaman Obat Indonesia. Junquiera L.E, Carneiro., Kelley R.O. 1995. Histologi Dasar. Alih Bahasa:
Jan Tambayong. Jakarta : EGC, pp: 387-7. Katzung B. 2002. Basic & Clinical Pharmacology. 8th ed. Jakarta: Salemba
Medika, pp: 485-6. Kusminarno. 1998. Parasetamol sebagai obat penurun demam dan
mengurangi rasa nyeri. Majalah Kesehatan Depkes 58, pp: 35-7. Leeson C.R., Thomas S., & Paparo A.A. 1998. Buku Ajar Histologi. Jakarta:
EGC, pp : 383-95. Murray R. K., Granner, D. K. Mayes, P. A., Rodwell, V. W. 2003. Biokimia
Harper. EGC. Jakarta. Pp : 743-9. Mycek M. J., Harvey R. A., Champe P. C., Fisher B. D. 1997. Obat-obat
Antiinflamasi dan Autakoid. Dalam: Harvey R. A., Champe P. C. (eds). Farmakologi Ulasan Bergambar. Edisi ke-2. Jakarta: Widya Medika.
Ngatidjan 1991. Petunjuk Laboratorium Metode Laboratorium dalam
Toksikologi. Yogyakarta : Pusat Antar Universitas Bioteknologi UGM.
Price S. A. dan Wilson L. M. 1994. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-
proses Penyakit. Edisi 4. Jakarta: EGC, pp: 773-5. Parod J.P. dan Dolgin G.J. 1992. Toxicology: Management of Acute
Poisonic. In: Cedric M. Smith & Alam M. Reynord. Text Book of Pharmacology. Philadelphia : W.B. Sauders, pp: 99-1003.
Rao A. V. and Agarwal S. 1999. Role of lycopene as antioxidant carotenoid
in the prevention of chronic diseases : as review. Nurt Res. 19:305-23.
Sabrang R. 2008. Pengaruh Minyak Jintan Hitam (Nigella Sativa) Terhadap Kerusakan Histologis Hepar Mencit (Mus Musculus) Yang Diinduksi Parasetamol. Skripsi. FK UNS, p: 18.
Santoso A.B. 2004. Gambaran Histologis Hati Mencit Setelah Pemberian
Parasetamol dan Vitamin C. Skripsi FK UNS. Surakarta.
Setiono A. 2008. Efek Hepatoprotektor Sari Wortel Terhadap Kerusakan Struktur Histologis Hepatosit Mencit Akibat Paparan CCL4. Skripsi FK UNS. Surakarta, p:26.
Soesilo S. 1992. Peranan Jamu dan Obat Tradisional dalam Pelayanan
Kesehatan Indonesia. Dalam Agoes A.dan Jacob (eds). Jakarta:EGC.pp:1-11
Taufiqqurohman M.A. 2004. Histologi Umum Kedokteran. Surakarta:
Sebelas Maret University Press. Hal : 2-6. Thomas C. 1988. Histopatologi Edisi X. Alih Bahasa: Tonang dkk. EGC.
Jakarta. Pp:169. Tjay T.H. & Raharja K. 2002. Obat-obat Penting : Khasiat, Penggunaan,
dan Efek-efek Sampingnya. Edisi 5. Jakarta : Gramedia, hal: 296-8. Van Lienshout E.M.,Doters W.H., and Jansen J.B. 1996. Effect of Oltiprazt,
Alpha Tocopherol, Beta-carotene and Phenetyl Isothiocyanate on Rats Oesophageal, Gastric, Colonic, and Hepatic. Gluthatione, Gluthatione S Tranferase and Peroxidase, Carcinogenesis. 17(7). Pp : 1439-1445.
Warintek 2005.Wortel.http://warintek.progressio.or.id/pertanian/wortel.htm
(6 September 2009) Wenas N.T. 1996. Kelainan Hati Akibat Obat. Dalam : Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I Edisi III. Balai Penerbit FK UI. Jakarta. Pp:364
Wijayakusuma H. 2005. Penyembuhan dari Kanker. Jakarta : Pustaka Populer Obor.
Wijoyo Y. 2001. Antaraksi Sari Wortel dengan Parasetamol Kajian Pada
Kinerja Farmakokinetika Parasetamol pada Tikus Putih Jantan. Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma. Tesis.
Wikipedia. 2008. Apiaceae : Wortel. http://id.wikipedia.org/wiki/Wortel.ht
(6 September 2009) Wilmana P.F. 1995. Analgetik antipiretik, analgetik antiinflamasi non
steroid dan obat pirai. Dalam : Ganiswara S.G. Farmakologi dan Terapi. Edisi IV. Jakarta: Bagian Farmakologi FK UI, hal : 214-5.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil Pengamatan pada Kelompok Kontrol (KK)
Tabel 3. Jumlah inti sel hepar yang mengalami piknosis, karyoreksis, karyolisis dari tiap 100 sel di zona sentrolobuler untuk kelompok kontrol.
No.Urut Mencit
No. Preparat
Inti sel hepar Jumlah Piknosis Karyoreksis Karyolisis
1 2 3 4 5 6 7
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
9 8 8
10 8 9 8 9
10 12 8 8
12 14 13 12 11 12 9
11 10
20 25 24 17 12 15 17 16 17 20 25 18 22 18 20 25 23 22 23 21 23
4 3 3 4 2 3 1 2 2 4 1 3 3 2 3 3 3 2 2 3 2
33 36 35 31 22 27 26 27 29 36 34 29 37 34 36 40 37 36 34 35 35
Σ 211 423 55 689
Sumber : Data Primer, 2010
Rata-rata jumlah kerusakan sel hepar mencit untuk kelompok kontrol = 32,81
Lampiran 2. Hasil Pengamatan pada Kelompok Perlakuan I (KP1)
Tabel 4. Jumlah inti sel hepar yang mengalami piknosis, karyoreksis, karyolisis dari tiap 100 sel di zona sentrolobuler untuk kelompok perlakuan I.
No.Urut Mencit
No. Preparat
Inti sel hepar Jumlah Piknosis Karyoreksis Karyolisis
1 2 3 4 5 6 7
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
33 38 27 27 22 38 32 30 31 33 24 27 30 36 31 28 24 26 37 36 32
25 24 30 34 32 22 24 28 26 28 25 18 22 17 18 30 34 37 30 27 22
5 5 6 4 4 3 5 4 6 5 5 6 5 5 4 6 6 6 7 5 6
63 67 63 65 58 63 61 62 63 66 54 51 57 58 53 64 64 69 74 68 60
Σ 642 553 108 1303
Sumber : Data Primer, 2010
Rata-rata jumlah kerusakan sel hepar mencit untuk kelompok perlakuan I = 62,05
Lampiran 3. Hasil Pengamatan pada Kelompok Perlakuan II (KP2)
Tabel 5. Jumlah inti sel hepar yang mengalami piknosis, karyoreksis, karyolisis dari tiap 100 sel di zona sentrolobuler untuk kelompok perlakuan II.
No.Urut Mencit
No. Preparat
Inti sel hepar Jumlah Piknosis Karyoreksis Karyolisis
1 2 3 4 5 6 7
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
14 16 12 20 16 12 21 18 20 14 16 18 12 20 14 14 20 16 14 18 18
22 18 17 14 12 18 22 16 18 24 24 18 18 22 12 10 12 14 18 20 18
3 4 4 3 3 4 3 4 5 4 5 6 4 5 4 3 4 4 4 5 4
39 38 33 37 31 34 46 38 43 42 45 42 34 27 30 47 36 34 36 43 40
Σ 343 367 85 795
Sumber : Data Primer, 2010
Rata-rata jumlah kerusakan sel hepar mencit untuk kelompok perlakuan II = 37,86
Lampiran 4. Hasil Pengamatan pada Kelompok Perlakuan III (KP3)
Tabel 6. Jumlah inti sel hepar yang mengalami piknosis, karyoreksis, karyolisis dari tiap 100 sel di zona sentrolobuler untuk kelompok perlakuan III.
No.Urut Mencit
No. Preparat
Inti sel hepar Jumlah Piknosis Karyoreksis Karyolisis
1 2 3 4 5 6 7
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
25 28 20 27 25 24 26 23 26 28 24 20 33 31 30 24 26 20 27 32 31
30 22 28 30 28 28 24 28 22 25 22 24 20 26 25 22 26 28 24 26 25
10 8 7 8 9 9 8 7 10 10 6 8 5 8 6 6 7 9 8 10 9
65 58 55 65 62 61 58 58 58 63 52 52 58 65 61 52 59 57 59 68 65
Σ 550 553 168 1251
Sumber : Data Primer, 2010
Rata-rata jumlah kerusakan sel hepar mencit untuk kelompok perlakuan III =
59,57
Lampiran 5. Uji Statistik One-Sample Kolmogorov-Smirnov untuk Jumlah
Kerusakan Sel Hepar Mencit
Tabel 7. Hasil uji One-Sample Kolmogorov-Smirnov untuk jumlah kerusakan sel
hepar mencit pada 4 kelompok mencit.
NPar Tests
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Skor kerusakan sel
hepar mencit
N 84
Normal Parametersa Mean 48.07
Std. Deviation 13.888
Most Extreme Differences Absolute .157
Positive .147
Negative -.157
Kolmogorov-Smirnov Z 1.434
Asymp. Sig. (2-tailed) .033
a. Test distribution is Normal.
Lampiran 6. Uji Statistik One-Sample Kolmogorov-Smirnov setelah Transform
untuk Jumlah Kerusakan Sel Hepar Mencit
Tabel 8. Hasil uji One-Sample Kolmogorov-Smirnov setelah Transform untuk
jumlah kerusakan sel hepar mencit pada 4 kelompok mencit.
NPar Tests
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
transform_selhepar
N 84
Normal Parametersa Mean 1.6626
Std. Deviation .13308
Most Extreme Differences Absolute .175
Positive .118
Negative -.175
Kolmogorov-Smirnov Z 1.605
Asymp. Sig. (2-tailed) .012
a. Test distribution is Normal.
Lampiran 7. Uji Statistik Kruskal Wallis Jumlah Kerusakan Sel Hepar Mencit
Uji Kruskal Wallis jumlah kerusakan sel hepar mencit
Tabel 9. Hasil uji Kruskal Wallis untuk jumlah kerusakan sel hepar mencit pada
4 kelompok mencit.
Ranks
KELOMPOK N Mean Rank
jumlah sel hepar rusak KONTROL 21 16.29
PERLAKUAN 1 21 66.31
PERLAKUAN 2 21 26.71
PERLAKUAN 3 21 60.69
Total 84
Test Statisticsa,b
jumlah sel hepar rusak
Chi-Square 64.865
df 3
Asymp. Sig. .000
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: KELOMPOK
Lampiran 8. Uji Statistik Mann Whitney Jumlah Kerusakan Sel Hepar Mencit Tabel 10. Hasil uji Mann Whitney antara kelompok kontrol dan kelompok
perlakuan I
Ranks
KELOMPOK N Mean Rank Sum of Ranks
jumlah sel hepar rusak KONTROL 21 11.00 231.00
PERLAKUAN 1 21 32.00 672.00
Total 42
Test Statisticsa
jumlah sel hepar
rusak
Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 231.000
Z -5.554
Asymp. Sig. (2-tailed) .000
a. Grouping Variable: KELOMPOK
Tabel 11. Hasil uji Mann Whitney antara kelompok kontrol dan kelompok
perlakuan II
Ranks
KELOMPOK N Mean Rank Sum of Ranks
jumlah sel hepar rusak KONTROL 21 16.29 342.00
PERLAKUAN 2 21 26.71 561.00
Total 42
Test Statisticsa
jumlah sel hepar
rusak
Mann-Whitney U 111.000
Wilcoxon W 342.000
Z -2.765
Asymp. Sig. (2-tailed) .006
a. Grouping Variable: KELOMPOK
Tabel 12. Hasil uji Mann Whitney antara kelompok kontrol dan kelompok
perlakuan III
Ranks
KELOMPOK N Mean Rank Sum of Ranks
jumlah sel hepar rusak KONTROL 21 11.00 231.00
PERLAKUAN 3 21 32.00 672.00
Total 42
Test Statisticsa
jumlah sel hepar
rusak
Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 231.000
Z -5.560
Asymp. Sig. (2-tailed) .000
a. Grouping Variable: KELOMPOK
Tabel 13. Hasil uji Mann Whitney antara kelompok perlakuan I dan kelompok
perlakuan II
Ranks
KELOMPOK N Mean Rank Sum of Ranks
jumlah sel hepar rusak PERLAKUAN 1 21 32.00 672.00
PERLAKUAN 2 21 11.00 231.00
Total 42
Test Statisticsa
jumlah sel hepar
rusak
Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 231.000
Z -5.551
Asymp. Sig. (2-tailed) .000
a. Grouping Variable: KELOMPOK
Tabel 14. Hasil uji Mann Whitney antara kelompok perlakuan I dan kelompok
perlakuan III
Ranks
KELOMPOK N Mean Rank Sum of Ranks
jumlah sel hepar rusak PERLAKUAN 1 21 24.31 510.50
PERLAKUAN 3 21 18.69 392.50
Total 42
Test Statisticsa
jumlah sel hepar
rusak
Mann-Whitney U 161.500
Wilcoxon W 392.500
Z -1.491
Asymp. Sig. (2-tailed) .136
a. Grouping Variable: KELOMPOK
Tabel 15. Hasil uji Mann Whitney antara kelompok perlakuan II dan kelompok
perlakuan III
Ranks
KELOMPOK N Mean Rank Sum of Ranks
jumlah sel hepar rusak PERLAKUAN 2 21 11.00 231.00
PERLAKUAN 3 21 32.00 672.00
Total 42
Test Statisticsa
jumlah sel hepar
rusak
Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 231.000
Z -5.557
Asymp. Sig. (2-tailed) .000
a. Grouping Variable: KELOMPOK
Lampiran 9. Tabel Konversi Dosis Untuk Manusia dan Hewan
Tabel 16. Tabel Konversi Dosis Untuk Manusia dan Hewan
Mencit
20 g Tikus 200g
Marmot 400 g
Kelinci 1,5 kg
Kucing 2 kg
Kera 4kg
Anjing 12 kg
Manusia 70 kg
Mencit 20 g
1,0 7,0 12,25 27,8 29,7 64,1 124,2 387,9
Tikus 200 g
0,14 1,0 1,74 3,9 4,2 9,2 17,8 56,0
Marmot 400 g
0,08 0,57 1,0 2,25 2,4 5,2 10,2 31,5
Kelinci 1,5 kg
0,04 0,25 0,44 1,0 1,08 2,4 4,5 14,2
Kucing 2 kg
0,03 0,23 0,41 0,92 1,0 2,2 4,1 13,0
Kera 4 kg
0,016 0,11 0,19 0,42 0,45 1,0 1,9 6,1
Anjing 12 kg
0,008 0,06 0,1 0,22 0,24 0,52 1,0 3,1
Manusia 70 kg
0,0026 0,018 0,031 0,07 0,0076 0,10 0,32 1,0
(Sumber: Ngatidjan, 1991)
Lampiran 10.
Tabel 17. Daftar Volume Maksimal Bahan Uji Pada Pemberian
Secara Oral
Jenis Hewan Berat Rerata Volume Maksimal
Mencit 20 – 30 g 1,0 ml
Tikus putih 100 g 5,0 ml
Hamster 50 g 2,5 ml
Marmot 250 g 10,0 ml
Kelinci 2500 g 20,0 ml
Kucing 3000 g 50,0 ml
Anjing 5000 g 100,0 ml
Lampiran 11. Foto-foto Preparat
Gambar 2. Gambar histologis zona sentrolobuler lobulus hepar mencit pada
kelompok kontrol (KK), perbesaran 400 X dengan mikroskop OptiLab Keterangan : A :Inti sel normal; B :Inti sel piknosis; C :Inti sel karyoreksis; D :Inti sel karyolisis
Gambar 3. Gambar histologis zona sentrolobuler lobulus hepar mencit pada
kelompok Perlakuan I (KP1), perbesaran 400 X dengan mikroskop OptiLab Keterangan : A :Inti sel normal; B :Inti sel piknosis; C :Inti sel karyoreksis; D :Inti sel karyolisis
.
B A. D.
A.
C.
D.
B.
C.
Gambar 4. Gambar histologis zona sentrolobuler lobulus hepar mencit pada
kelompok Perlakuan II (KP2), perbesaran 400 X dengan mikroskop OptiLab Keterangan : A :Inti sel normal; B :Inti sel piknosis; C :Inti sel karyoreksis; D :Inti sel karyolisis
Gambar 5. Gambar histologis zona sentrolobuler lobulus hepar mencit pada
kelompok Perlakuan III (KP3), perbesaran 400 X dengan mikroskop OptiLab Keterangan : A :Inti sel normal; B :Inti sel piknosis; C :Inti sel karyoreksis; D :Inti sel karyolisis
B.
C.
D.
A.
B. A.
C.
D.
Lampiran 12. Gambar Alat dan Bahan Penelitian
Gambar 8. Menyonde mencit Gambar 9. Cervical Dislocation
Gambar 6. Mencit Gambar 7. Sari Wortel
Gambar 10. Mikroskop OptiLab
.
Top Related