Download - Pengaruh Budaya Terhadap Standarisasi Kode Etik Profesi Hukum

Transcript

Budaya, Kode Etik, dan Profesionalisme Profesi Penegak Hukum Oleh : Dinoroy Aritonang

A. Pendahuluan Dalam beberapa tahun belakangan ini telah banyak perubahan yang terjadi terhadap dunia hukum di Indonesia. Perubahan itu dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah dorongan reformasi di segala bidang termasuk bidang hukum. Reformasi bidang hukum sendiri ditandai oleh perubahan dalam struktur ketatanegaraan Indonesia yang sedikit banyaknya mengubah wajah sistem hukum Indonesia dan memperluaskan ruang lingkup penegakan hukum baik dalam sektor privat maupun publik. Perluasan tersebut semakin menunjukkan bahwa peranan dan fungsi hukum dalam menwujudkan perubahan sangatlah penting. Hukum telah menjangkau banyak aspek dan ilmu, tidak lagi hanya dibatasi dalam lingkup hukum saja. Ruang publik semakin terbuka dengan munculnya kekebasan mengemukakan pendapat dan hukum mempunyai peranan yang cukup besar disana. Dalam ruang privat juga sama, akuntabilitas dan transparansi harta kekayaan pejabat yang dulu merupakan hal tabu, sekarang menjadi salah satu hal yang dapat dinilai bahkan perlu diketahui oleh publik (masyarakat). Oleh karena itulah, reformasi dalam pembangunan dan penegakan hukum menjadi salah satu agenda penting pemerintah. Pengaruh peranan hukum tersebut juga perlu diperkenalkan kepada masyarakat. Bahwa semua orang tanpa terkecuali perlu mengetahui tentang fungsi dan peranan hukum. Secara filosofis hukum terlahir karena ada masyarkat, dan hukum berfungsi untuk mengatur kehidupan masyarakat. Sehingga kehidupan masyarakat sangat dibatasi oleh norma dan aturan dalam hukum yang berlaku baik dalam ruang publik maupun privat. Oleh karena itu, penegakan hukum secara benar merupakan hal yang sangat penting. Perluasan ruang lingkup hukum sendiri sebenarnya telah menyebabkan munculnya kompleksitas dalam penegakan hukum. Hal itu bukan hanya berada dalam tataran penafsiran dan pelaksanaan asas-asas hukum namun juga pada tataran perwujudan hukum formal (bagaimana cara menegakkan hukum material secara benar). Selain itu, kita dihadapkan pada semakin banyaknya jumlah peraturan perundang-undangan yang berlaku ditambah menumpukknya rancangan peraturan perundang-undangan baru yang sedang dibahas baik dalam lembaga eksekutif maupun ruang legislasi. Apakah ini pertanda bahwa arah sistem hukum dan penegakan hukum kita sedang berjalan kearah yang benar? Tidak ada jawaban yang pasti mengenai hal tersebut. Sebab terlalu sederhana jika jawaban yang muncul hanya ya atau tidak. Banyak faktor yang mempengaruhi pelaksanaan penegakan hukum yaitu faktor ekonomi, sosial, politik, adat budaya, agama, dan sebagainya. Dalam pelaksanaannya penegakan hukum sendiri dilakukan oleh orangorang yang berperan didalamnya mulai dari unsur pemerintah, yustisia, dunia usaha hingga masyarakat umum. Hubungan tersebut tidak dapat dilihat secara terpisah. Semua unsur tersebut berhubungan satu dengan yang lain. Namun dalam hal ini sangat penting kiranya apabila kita melihatnya dari sisi penegak hukum, sebab bisa dikatakan bahwa merekalah yang bergelut setiap saat dalam pelaksanaan penegakan hukum kita. Artinya kesan dan pandangan yang terbangun mengenai pelaksanaan penegakan hukum sangat dipengaruhi oleh sikap dan

tingkah laku para penegak hukum tersebut. B. Pembangunan dan Penegakan Hukum Penegakan hukum merupakan salah satu agenda utama pemerintah. Hal ini dapat dilihat melalui UU Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional 2000-2004 dan Rencana Kerja Pemerintah tahun 2007. Dimasukkan penegakan hukum ke dalam salah satu prioritas pembangunan disebabkan oleh lemahnya penegakan hukum selama ini. Salah satu penyebabnya adalah belum terlaksananya pembangunan hukum yang komprehensif. Intensitas peningkatan produk peraturan perundang-undangan,dan peningkatan kapasitas aparatur penegak hukum serta sarana dan prasarana hukum pada kenyataannya tidak diimbangi dengan peningkatan moral dan profesionalisme aparat penegak hukum, kesadaran, dan mutu pelayanan publik di bidang hukum kepada masyarakat. Sehingga kepastian keadilan dan jaminan hukum tidak tercipta dan akhirnya melemahkan penegakan supremasi hukum. Perwujudan supremasi hukum oleh pemerintah tidak hanya merupakan lingkup dan dilaksanakan dalam bidang hukum saja, tetapi juga merupakan tanggung jawab bersama di bidang-bidang pembangunan lainnya. Perwujudan tersebut dilakukan melalui upaya penyempurnaan dan pembaruan peraturan perundang-undangan dan pengembangan budaya hukum, pemberdayaan lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya, peningkatan etika dan komitmen para penyelengara negara dalam mematuhi berbagai aturan hukum, pembentukan budaya taat hukum melalui pendidikan dan agama, serta peningkatan kualitas sumber daya manusia. Dalam arah kebijakan pembangunan hukum ada beberapa hal yang menjadi perhatiannya yaitu : 1) mengembangkan budaya hukum di semua lapisan masyarakat untuk terciptanya kesadaran dan kepatuhan hukum dalam kerangka hukum dalam rangka kerangka supremasi hukum dan tegaknya negara hukum; 2) meningkatkan integritas moral dan keprofesionalan aparat penegak hukum termasuk Kepolisian untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat dengan meningkatkan kesejahteraan, dukungan sarana dan prasarana hukum, pendidikan serta pengawasan yang efektif; 3) mewujudkan lembaga peradilan yang mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa dan pihak manapun; 4) menyelenggarakan proses peradilan secara cepat, mudah, murah, dan terbuka serta bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme dengan tetap menjunjung tinggi asas keadilan dan kebenaran. Dalam hal ini sebenarnya terlihat jelas keinginan pemerintah untuk melakukan perubahan dalam pelaksanaan penegakan hukum. Penegakan hukum tersebut diarahkan bukan hanya pada proses pelaksanaannya saja namun juga mencakup unsur utama lainnya. Unsur-unsur tersebut antara lain pada sumber Daya manusia (penegak hukum), tingkah laku dan norma yang hidup dalam masyarakat, kondisi sosial, politik, dan ekonomi, serta aparatur pemerintah secara keseluruhan. Pelaksanaan penegakan hukum juga menyangkut tiga elemen penting yaitu hukum itu sendiri, penegak hukum, dan budaya penegakan hukumnya. Perwujudan penegakan hukum yang benar tidak bisa dilaksanakan tanpa mengikutsertakan ketiga elemen tadi. Hubungan ketiga elemen tersebut adalah saling mempengaruhi. Artinya apabila salah satu ketiga elemen tersebut tidak dilaksanakan sesuai asas dan prinsip yang benar maka penegakan hukum akan

menjadi tidak benar pula. Salah satu contoh untuk mengambarkan realita yang terjadi adalah pada dunia peradilan kita. Rendahnya minat dan keinginan masyarakat untuk menyelesaikan berbagai permasalahan hukum melalui lembaga peradilan merupakan salah satu indikator kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap dunia peradilan kita. Salah satu penyebabnya adalah kesan dan pandangan yang terbangun bahwa dunia peradilan kita masih jauh dari kesan bersih. Sehingga tujuan lembaga peradilan sebagai tempat mencari keadilan masih sangat diragukan. Penyebab dari hal tersebut adalah perilaku dan budaya yang berlaku dalam proses penegakan hukum kita yang lebih dipengaruhi oleh sikap dan tingkah laku penegak hukum dalam menegakkan hukum materil. Komisi Hukum Nasional (KHN) dalam Policy Papernya memberikan perhatian tersendiri terhadap keberadaan penegak hukum. Hal tersebut dibuktikan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh KHN sendiri. Hanya sekitar 27,8% responden yang menyatakan puas dengan pelayanan yang diberikan oleh profesi hakim, 22,2% responden menyatakan puas dengan pelayanan profesi jaksa, 19,7% puas dengan pelayanan profesi advokat, dan 19,2% puas dengan pelayanan profesi polisi. Dari jumlah tersebut dapat diasumsikan bahwa kualitas pelayanan dan profesi penegak hukum sendiri masih sangat rendah. Sehingga patut disimpulkan pula bahwa proses penegakan hukum di Indonesia masih panjang dan membutuhkan waktu lama. C. Peranan Profesi Penegak Hukum Suatu studi yang dilakukan oleh almarhum Soerjono Soekanto menyimpulkan bahwa agar suatu penegakan hukum dapat terlaksana dengan baik, beberapa faktor di bawah ini harus difungsikan benar-benar, yaitu sebagai berikut : (Munir Fuady ; 2005) 1. Pemberian teladan kepatuhan hukum oleh para penegak hukum; 2. Sikap yang lugas (zakelijk) dari para penegak hukum; 3. Penyesuaian peraturan yang berlaku dengan perkembangan teknologi mutakhir; 4. Penerangan dan penyuluhan mengenai peraturan yang berlaku terhadap masyarakat; 5. Memberi waktu yang cukup bagi masyarakat untuk memahami peraturan yang baru dibuat. Bahkan masih menurut beliau, faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum adalah 1. Faktor hukumnya sendiri (termasuk faktor undang-undang); 2. Faktor penegak hukum (dimasukkan di sini, baik para pembentuk maupun penerap hukum); 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum; 4. Faktor masyarakat, yakni masyarakat di mana hukum tersebut diterapkan; 5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan karsa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Dari hal tersebut di atas dapat dilihat bahwa faktor penegak hukum merupakan salah satu faktor yang mesti selalu dibenahi jika kita menginginkan agar suatu penegakan hukum dapat dilakukan dengan benar dan baik. Para penegak hukum merupakan golongan yang bekerja dalam praktek untuk menerapkan hukum secara langsung kepada masyarakat. Para penegak hukum ini dikenal juga sebagai catur wangsa penegak hukum yang terdiri dari hakim, jaksa, polisi, dan advokat. Dalam hal penegakan hukum, catur wangsa berada dalam hubungan yang saling mendukung dan merupakan elemen yang

tidak bisa dihilangkan. Tanpa kehadiran dan peranan catur wangsa maka hokum baru berada pada tahap pembangunan atau pembentukan dan belum memasuki tahap pelaksanaan. Setiap profesi penegak hukum mempunyai wewenang atau kekuasaan tugas masing-masing. Kekuasaan tersebut dilekatkan kepada setiap profesi penegak hukum dengan asas kemadirian masing-masing (bebas dari pengaruh pihak manapun). Hakim berada dalam peranan yang sangat menentukan ketika suatu keputusan diharapkan untuk lahir dan pelaksanaan tugas tersebut hakim berada dalam kemandiriannya sendiri. sedangkan tugas dari penegak hukum yang lain adalah meyakinkan dan menjelaskan kepada hakim apa dan bagaimana permasalahan hukumnya sehingga diperoleh keyakinan oleh hakim untuk memutuskanya. Namun permasalahannya tidak sesederhana itu, sebab pada kenyataannya proses peradilan atau penegakan hukum tidak berjalan dalam koridor yang benar. Menurut Munir Fuady penyebabnya antara lain : 1. Rendahnya kualitas hakim, jaksa, polisi dan advokat; 2. Tidak diindahkannya prinsip the right man in the right place; 3. Rendahnya komitmen mereka terhadap penegakan hokum; 4. Tidak adanya mekanisme penegakan hokum yang baik dan modern; 5. Kuatnya pengaruh dan intervensi politik dan kekuasaan ke dalam dunia caturwangsa, terutama ke badan kepolisian, kejaksaan dan kehakiman; 6. Dan yang sangat memperihatinkan adalah kuatnya tuduhan tentang adanya korupsi dan organized crime antaranggota caturwangsa tersebut berupa tuduhan mafia peradilan. (Munir Fuady ; 2005). Praktek penegakan hukum semakin ruyam karena kurang adanya koordinasi antarpenegak hukum sesama anggota caturwangsa tersebut, baik pada tataran teroritis dan kaidah, maupun di tingkat operasionalnya. Padahal, koordinasi hukum merupakan salah satu faktor penting bagi pemberdayaan hukum kepada masyarakat. Berpijak pada kurang baiknya koordinasi antarpenegak hukum ini, maka kemudian bergemalah keinginan untuk mewujudkan pendekatan hukum terpadu pada keadilan (integrated justice system). D. Kode Etik dan Standar Profesi Advokat Perbaikan kualitas penegakan hokum sangatlah dipengaruhi oleh kualitas sumber daya manusia penegak hukum. Hal ini sebagaiamana disampaikan oleh Munir Fuady bahwa penyebab tidak maksimalnya penegakan hokum adalah rendahnya kualitas dan komitmen dari caturwangsa serta maraknya dugaan korupsi dan organized crime (Munir Fuady ; 2005). Dugaan tersebut tentu saja bukanlah tanpa alasan, sebab hal tersebut dapat dilihat berdasarkan pada hasil penelitian KHN mengenai rendahnya tingkat kepuasan pelayanan caturwangsa. KHN sendiri dalam policy papernya memberikan perhatian tersendiri pada salah satu profesi penegak hukum yaitu advokat. Perhatian tersebut diwujudkan sebagai rekomendasi terhadap upaya membangun profesi hukum yang berkualitas dan berintegrasi. Arah rekomendasi tersebut sendiri dibagi ke dalam standar disiplin profesi dan standar pengajuan profesi hukum. Sebagaimana diatur dalam Undang-undang 18 tahun 2003, dikatakan bahwa advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini. Sedangkan hak dan kewajiban advokat diatur dalam bab IV UU tersebut. Ada batasan dalam melaksanakan hak dan kewajiban tersebut yang dikenal sebagai kode etik profesi advokat, dan hal ini diakui oleh UU advokat

sebagai aturan yang mengikat. Hak dan kewajiban tersebut antara lain advokat bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan. Selain itu pula advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan. Kode etik profesi hukum adalah seperangkat kaidah, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang berlaku bagi anggota organisasi profesi yang bersangkutan. Kode etik profesi hukum disusun untuk melindungi klien, masyarakat, dan para anggotanya sendiri dari penyalahgunaan keahlian profesi. Dengan berpedoman pada kode etik profesi inilah para profesional hukum melaksanakan tugas profesinya untuk menciptakan penghormatan terhadap martabat manusia yang bertujuan menciptakan keadilan di masyarakat. Pelaksanaan tugas profesi hukum tidak terlepas dari adanya saling keterkaitan dan saling ketergantungan di antara mereka. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa setiap profesi hukum merupakan mitra bagi profesi hukum lainnya. Hasil penelitian terhadap 100 responden masyarakat yang berdomisili di Jakarta dan Bandung dengan topic mengenai halhal yang menghambat upaya penegakan kode etik profesi hukum menunjukkan bahwa kecenderungan melindungi teman sejawat secara tidak proporsional berjumlah 29,8%, masalah kultural 27,2%, ketidakjelasan prosedur 14%, dan jawaban lebih dari satu 28,1%. Menurut responden, jenis pelanggaran kode etik profesi hukum adalah suap, pemerasan, dan penggelapan barang bukti berjumlah 53,3%, melanggar sumpah jabatan, backing judi/narkoba, diskriminasi pelayanan, mengancam, memaksa mengaku berbuat kejahatan, menghambat penyelesaian perkara, konspirasi dan penyalahgunaan jabatan 31,8%, dan salah (Laporan KHN ; 2003). Hasil penelitian tersebut secara umum dapat disimpulkan bahwa kode etik profesi hukum masih belum sepenuhnya ditegakkan. Dengan adanya penegakan kode etik profesi hukum diharapkan para pengemban profesi hukum berusaha meningkatkan tanggung jawab profesinya. Maksud dari penegakan kode etik adalah kontrol dan pengawasan terhadap pelaksanaan nilai-nilai yang tertuang dalam kode etik yang merupakan kesepakatan para pelaku profesi hukum itu sendiri dan sekaligus menerapkan sanksi terhadap setiap perilaku yang bertentangan dengan nilai nilai tersebut. Beberapa faktor yang menyebabkan kondisi rendahnya kualitas pengembanan profesi hukum adalah: a. tidak berjalannya kontrol dan pengawasan yang seharusnya dilakukan oleh organ masyarakat; b. organisasi profesi tidak menyediakan sarana dan prosedur yang mudah diakses oleh masyarakat untuk menyampaikan keluhan dan dewan-dewan kehormatan yang ada juga tidak tanggap menerima keluhan masyarakat; c. rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai substansi kode etik profesi hukum akibat buruknya sosialisasi dari pihak profesi itu sendiri; d. belum terbentuknya budaya dan kesadaran dari para pengemban profesi hukum itu sendiri untuk menjaga martabat

luhur dari profesinya; e. tidak adanya kesadaran etis dan moral di antara para pengemban profesi bahwa menaati keputusan dewan kehormatan profesi merupakan salah satu faktor penting dalam menjaga martabat profesi. (Laporan KHN ; 2003) Adanya upaya penegakan kode etik profesi disertai dengan perumusan aturan disiplin yang tegas dan lengkap, diharapkan dapat mendorong setiap anggota profesi hokum untuk lebih berhati-hati dan berusaha menjalankan profesinya dengan penuh tanggung jawab. Untuk maksud tersebut diusulkan adanya Standar Profesi Advokat (Standar Profesi Hukum) yang diberlakukan atas profesi Advokat. Standar tersebut dapat digunakan untuk: a. pengembangan dan penyempurnaan kode etik yang sudah ada; dan b. pedoman umum dalam penegakan dan pengawasan kode etik para pengemban profesi hukum. Standar profesi hukum Indonesia adalah seperangkat kaidah moral positif yang diturunkan dari nilai-nilai moralitas umum dan yang diterima sebagai sumber aspirasi, referensi, dan/atau pedoman umum perilaku profesional hukum di Indonesia dalam rangka mewujudkan dan mempertahankan keberadaan profesinya agar tetap luhur dan terhormat. Standar Profesi Advokat (Standar Profesi Hukum) harus menjadi persyaratan dalam program pendidikan dan pelatihan untuk para calon pengemban profesi hukum. Rencana aksi yang diambil adalah memasukkan Standar Profesi Advokat (Standar Profesi Hukum) sebagai mata ujian persyaratan yang harus diikuti oleh calon pengemban profesi hukum. Standar Profesi Advokat (Standar Profesi Hukum) Indonesia sebaiknya berisi norma profesi hukum sebagai berikut: a. Seorang pengemban profesi hukum wajib senantiasa menjalankan profesinya dengan integritas yang tinggi dan menegakkan serta melaksanakan keadilan; b. Seorang pengemban profesi hukum selalu menjalankan profesinya dengan penuh rasa pengabdian kepada masyarakat berdasarkan kejujuran, keterbukaan, dan kepatutan; c. Seorang pengemban profesi hukum hanya wajib menangani persoalan hukum dimana dirinya memiliki kompetensi untuk menanganinya dan harus melaksanakan semua dan setiap pelayanan jasa hukum yang disanggupinya untuk diberikan demi kepentingan klien atau pihak lain; d. Seorang pengemban profesi hukum harus senantiasa memberikan pelayanan jasa hukum dan/atau melaksanakan keahlian hukumnya, termasuk pengakhiran pelayanan jasa hukumnya dengan penuh kehati-hatian, kerajinan, efisiensi, dan cara yang beradab demi tingkat kualitas pelayanan yang diyakini setara dengan apa yang umumnya diharapkan dari seorang pengemban profesi hokum yang kompeten dalam situasi yang serupa, dan senantiasa menghindarkan diri dari perilaku atau tindak tanduk yang tidak sesuai dengan kepatutan, kepantasan, dan/atau standar profesional; e. Seorang pengemban profesi hukum harus melaksanakan profesinya dengan penuh kejujuran dan keterbukaan serta

mendukung setiap upaya untuk mencegah praktik hukum yang tidak sah; f. Seorang pengemban profesi hukum harus memelihara dan menjaga kepercayaan dan rahasia yang menyangkut urusan dan kepentingan yang sah dari klien dan/atau pihak pencari keadilan lain yang mempercayakan urusan dan kepentingan kepadanya; g. Seorang pengemban profesi hukum harus senantiasa membuat keputusan profesional yang bebas demi kepentingan klien atau pencari keadilan lainnya; dan menghindarkan diri dari timbulnya benturan antara kepentingan klien dengan kepentingan pribadinya dan/atau klien lain dan/atau pihak ketiga; h. Seorang pengemban profesi hukum wajib mengesampingkan dan/atau mencegah pemanfaatan secara tidak wajar dan/atau tidak adil atas kedudukan hukum/non-hukum yang lemah atau kurang menguntungkan dari warga masyarakat di dalam atau di luar pengadilan; i. Seorang pengemban profesi hukum harus selalu berupaya dan mendukung setiap upaya untuk memajukan dan mengembangkan sistem hukum dan sistem peradilan; j. Dalam pelaksanaan profesinya, seorang pengemban profesi hukum harus selalu berpartisipasi aktif dalam upaya menghormati dan mengawasi pelaksanaan tugas pengembanan profesi hukum, baik oleh pengemban profesi hukum yang memiliki bidang karya yang sama atau yang berbeda, demi mempertahankan integritas dan kehormatan profesi hukum pada umumnya; dan k. Kecuali terdapat alasan yang sah untuk bersikap dan bertindak sebaliknya, setiap pengemban profesi hukum wajib senantiasa menghormati dan mentaati setiap keputusan dan/atau tindakan disipliner yang dimaksudkan untuk menegakkan prinsip moral umum dan kode etik profesi yang berlaku terhadapnya. (Laporan KHN ; 2003) E. Tinjauan Faktor Budaya Terhadap Pelakanaan Kode Etik Patut diakui proses penegakan hukum tidaklah sebaik yang diharapkan. Bahkan boleh dikatakan masih membutuhkan waktu yang lama untuk dapat merealisasikan penegakan hukum secara benar dan professional. Perubahan tersebut harus dilakukan secara menyeluruh kedalam seluruh aspek yang dimulai dengan pembangunan atau penegakan hukum secara benar. Salah satu faktor penentu dalam penegakan hukum adalah peningkatan kualitas dan profesienalisme profesi hukum atau dalam hal ini adalah advokat. Lahirnya Undang-undang 18 tahun 2003 sebenarnya membawa secercah harapan bagi para praktisi hukum untuk mulai turut serta dalam perbaikan kualitas hukum. Sebab dalam UU tersebut cukup jelas diatur mengenai hak dan kewajiban seorang advokat, serta wewenang apa yang dimiliki sebagai salah satu pelaku pelayanan publik (jasa hukum). Bahkan dalam pasal 5 diatur mengenai kebebasan dan kemandirian seorang advokat berdasarkan hokum dan peraturan perundangundangan. Begitu juga dalam bagian penjelasannya dikatakan bahwa status advokat sebagai penegak hukum adalah Advokat sebagai salah satu perangkat

dalam proses peradilan yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan. Hal ini menandakan bahwa UU advokat sangat mengharapkan terjadinya perbaikan kualitas dan profesionalisme dari para advokat. Perbaikan tersebut tentu saja bukan hanya pada kualitas keilmuan (pengetahuan hukum) melainkan juga moral dan perilaku advokat dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai penegak hukum. Sehingga hal ini akan membawa dampak secara keseluruhan, dan mempengaruhi perbaikan pada sisi penegak hukum lainnya. Sebagaimana dikatakan di atas ada banyak faktor yang mempengaruhi proses penegakan hukum, antara lain adalam faktor penegak hukum, masyarakat, dan faktor budaya. Soerjono Soekanto dalam penelitiannya mengatakan bahwa faktor masyarakat, yakni masyarakat di mana hukum tersebut diterapkan faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan karsa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Sedangkan faktor penegak hukum adalah mulai dari pembentuk hukum sampai pada penegak hukum. Dalam hal ini faktor budaya menjadi salah satu bagian penting yang harus dikritisi. Sebab faktor inilah yang membentuk hubungan dan pergaulan sehari-hari diantara para profesi hukum. sistem budaya yang terbangun diantara mereka (terutama dalam proses peradilan) sangat mempengaruhi bagaimana mereka bekerja. Pelaksanaan tugas profesi hukum tidak terlepas dari adanya saling keterkaitan dan saling ketergantungan di antara mereka. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa setiap profesi hukum merupakan mitra bagi profesi hukum lainnya. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan kode etik, dalam laporan KHN dikatakan bahwa kemandirian organisasi profesi harus selalu berdampingan dengan penegakan kode etik profesi. Organisasi profesi harus dipandang sebagai badan otonom yang berwenang mengatur diri sendiri untuk menjaga martabat profesi dan meningkatkan kredibilitas profesi di mata masyarakat yang menjadi konsumen mereka. Organisasi profesi masih belum secara aktif melakukan penegakan kode etik. Hal ini bukan karena tidak adanya peraturan, melainkan karena kurang tanggapnya organisasi profesi terhadap pelanggaran kode etik anggota mereka dan semangat korps yang keliru. ( Laporan KHN ; 2003) Untuk mendorong terjadi perbaikan terhadap profesi hokum, setidaknya perlu dibangun juga beberapa hal yaitu : 1. perlunya kontrol dan pengawasan dari organ masyarakat (membangun budaya pasrtisipatif masyarakat); 2. budaya check and balances antara profesi hukum dengan masyarakat dengan memberikan sarana pengajuan keluhan terhadap tindakan dan perilaku profesi hukum; 3. membangun kesadaran dan pengetahuan masyarakat akan hukum yang proses penegakannya (daya kritis masyarakat); 4. Membangun budaya malu dan kesadaran moral kepada profesi hukum untuk menjaga keluhuran profesinya. Proses perbaikan kualitas profesi hukum hanya merupakan bagian kecil dari perbaikan penegakan hukum. Membangun kesadaran hukum dan budaya taat hukum harus dilakukan kepada semua orang tanpa terkecuali. Mulai dari tataran

pembangunan hokum sampai kepada masyarakat. Sebab berjalannya sistem hukum yang ada dalam suatu Negara sangat dipengaruhi oleh perilaku dari setiap elemen tadi. Buruknya perilaku para profesi hukum dalam menegakkan hukum akan berimbas pada hilangnya kepercayaan masyarakat kepada proses peradilan. Hal ini juga akan membangun budaya yang buruk kepada masyarakat dan tidak akan pernah memberikan pendidikan yang benar mengenai fungsi dan tujuan hukum. Ini salah atu tanda bahwa hukum sedang kehilangan keberdayaannya.

DAFTAR PUSTAKA Fuady, Munir, Aliran Hukum Kritis (Paradigma Ketidakberdayaan Hukum), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003. Saleh, Abdul Rahman, Penegakan Hukum Sebagai Komponen Integral Pembangunan Nasional, Jurnal Wacana Hukum, Juni 2005. Komisi Hukum Nasional, Kebijakan Reformasi Hukum (Suatu Rekomendasi), KHN, Jakarta, 2003. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.