PENERAPAN DISSENTING OPINION DALAM PROSES PENGAMBILAN
PUTUSAN PERKARA KORUPSI PENGADAAN HELIKOPTER DENGAN
TERDAKWA IR. H. ABDULLAH PUTEH OLEH HAKIM PENGADILAN
NEGERI JAKARTA PUSAT
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Syarat-syarat
Guna Memperoleh Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Oleh :
Sartika Dewi Lestari E. 1104222
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2008
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
PENERAPAN DISSENTING OPINION DALAM PROSES PENGAMBILAN
PUTUSAN PERKARA KORUPSI PENGADAAN HELIKOPTER DENGAN
TERDAKWA IR. H. ABDULLAH PUTEH OLEH HAKIM PENGADILAN
NEGERI JAKARTA PUSAT
Disusun Oleh :
SARTIKA DEWI LESTARI
NIM : E1104222
Disetujui untuk dipertahankan
Dosen Pembimbing
Bambang Santoso, S.H., M.Hum.
NIP.131863797
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)
PENERAPAN DISSENTING OPINION DALAM PROSES PENGAMBILAN
PUTUSAN PERKARA KORUPSI PENGADAAN HELIKOPTER DENGAN
TERDAKWA IR. H. ABDULLAH PUTEH OLEH HAKIM PENGADILAN
NEGERI JAKARTA PUSAT
Disusun Oleh :
SARTIKA DEWI LESTARI
NIM : E1104222
Telah diterima dan disahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada :
Hari : Selasa
Tanggal : 1 Juli 2008
TIM PENGUJI
1. ( Edy Herdiyanto S.H., M.H.) : ………………………… Ketua
2. ( Kristiyadi, S.H.,M.Hum. ) : ......................................... Sekretaris
3. (Bambang Santoso, S.H., M.Hum) : ......................................... Anggota
MENGETAHUI
Dekan,
MOH. JAMIN, S.H., M.Hum.
NIP. 131 570 154
ABSTRAK
SARTIKA DEWI LESTARI, 2008. PENERAPAN DISSENTING OPINION DALAM PROSES PENGAMBILAN PUTUSAN PERKARA KORUPSI PENGADAAN HELIKOPTER DENGAN TERDAKWA IR. H. ABDULLAH PUTEH OLEH HAKIM PENGADILAN NEGERI JAKARTA PUSAT. Fakultas Hukum UNS.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan dissenting opinion dalam proses pengambilan putusan perkara korupsi pengadaan helikopter dengan terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh oleh Hakim pengadilan Negeri Jakarta Pusat selain itu juga untuk mengetahui pengaruh penerapan dissenting opinion terhadap putusan yang dijatuhkan oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara korupsi pengadaan helikopter dengan terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif atau doktrinal yang bersifat deskriptif. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi dokumen atau kepustakaan (library study). Analisis data menggunakan teknik analisis konten (content analysis).
Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil bahwa Dissenting Opinion Dalam Proses Pengambilan Putusan Perkara Korupsi Pengadaan Helikopter Dengan Terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh Di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terlihat dengan adanya perbedaan pendapat dari dua orang hakim, yaitu hakim ketua dan hakim anggota I. Hakim ketua dan Hakim anggota I berpendapat bahwa KPK tidak berwenang melakukan penyelidikan atau penyidikan terhadap perkara korupsi pengadaan Helikopter dengan terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh. Keadaan tersebut disebabkan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Abdullah Puteh terjadi sebelum diundangkannya UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu tanggal 27 Desember 2002. Dengan tidak diperbolehkannya KPK melakukan penyelidikan atau penyidikan terhadap perkara korupsi tersebut, maka berita acara pemeriksaan KPK dianggap tidak sah. Surat dakwaan yang dibuat berdasarkan berita acara pemeriksaan yang tidak sah, berakibat surat dakwaan yang menjadi dasar pemeriksaan persidangan juga dianggap tidak sah. Penahanan terhadap Abdullah Puteh juga dianggap tidak sah karena didasarkan kepada penyidikan yang tidak sah.
Implikasi Dissenting Opinion Terhadap Putusan Yang Dijatuhkan oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Dalam Perkara Korupsi Pengadaan Helikopter Dengan Terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh adalah bahwa putusan didasarkan suara mayoritas diantara lima anggota majelis hakim. Mayoritas suara hakim, yaitu sejumlah tiga orang hakim anggota berpendapat bahwa KPK berwenang melakukan penyidikan terhadap perkara korupsi pengadaan Helikopter dengan terdakwa Ir. Abdullah Puteh. Dengan adanya suara mayoritas tersebut, maka terdakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan oleh jaksa penuntut umum
.
MOTTO
Lupakan sebesar apapun kesalahan orang lain terhadapmu, tetapi ingat sekecil apapun kebaikan yang diberikannya
untukmu (Dewi S)
Allah SWT dalam memberikan suatu cobaan pasti selalu satu paket dengan solusinya
(Penulis)
Jangan ingkari cinta yang menghuni relung jiwa Jangan tepiskan cinta yang berhembus di setiap hela nafas
bersyukurlah karena kau masih mengenal cinta dan bisa merasakan cinta
bersyukurlah pernah bisa mencintai sekalipun cinta tak selamanya saling memiliki
(A. Widianto)
Rindu adalah ungkapan rasa yang merambah jiwa yang kesepian
kala sepi mengusik diri, kenangan dan angan akan menyapa
melambai tersenyum, mengajak menikmati tiap dentingan alunannya
(Penulis)
HALAMAN PERSEMBAHAN
Setelah sekian lama aku menimba ilmu, namun hanya kado kecil ini yang dapat
kuhadiahkan dengan segala kerendahan hati dan tulus ikhlas ingin penulis
persembahkan kepada :
ALLAH SWT
Kedua Orang tuaku (Ibu Hj Rosna Hartati dan (Alm) Bp H Sarsito) terima kasih atas
semua kasih sayang yang tak pernah putus yang tak dapat dinilai dengan apapun dan
takkan terbalas dunia akhirat
Adikku sayang (Sarnita) yang selalu memberikan keceriaan dalam hidupku
My Heartbreaker Syafwandi S.E S.Com Terimakasih atas semuanya. Kau adalah
inspirasi dan motivasiku.i hope you stay and believe me coz i dont forget u.
Pokoknya unforgettable moment deh
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat serta karunia dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan hukum ini dengan baik.
Penulisan hukum merupakan salah satu persyaratan yang harus ditempuh
dalam rangkaian kurikulum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta dan juga merupakan syarat utama yang harus dipenuhi oleh setiap
mahasiswa Fakultas Hukum dalam menempuh jenjang kesarjanaan S1.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan hukum ini tidak luput dari
kekurangan, baik dari segi materi yang disajikan maupun dari segi analisisnya.
Namun penulis berharap bahwa penulisan hukum ini mampu memberikan manfaat
baik bagi penulis sendiri maupun bagi pembacanya.
Pada kesempatan ini tidak lupa penulis mengucapkan rasa terima kasih yang
tulus kepada :
1. Bapak Moh. Jamin, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum UNS yang telah
memberi ijin dan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
2. Bapak Edi Herdyanto, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Acara
3. Bapak Bambang Santoso, S.H., M.Hum selaku pembimbing penulisan skripsi
yang telah menyediakan waktu dan pikirannya untuk memberikan bimbingan dan
arahan bagi tersusunnya skripsi ini.
4. Bapak Agus Riyanto, S.H., M.Hum. selaku pembimbing akademis, atas nasehat
yang berguna bagi penulis selama penulis belajar di Fakultas Hukum UNS.
5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan ilmu
pengetahuan kepada penulis sehingga dapat dijadikan bekal dalam penulisan
skripsi ini.
6. Ayahanda (Almarhum) H Sarsito dan Ibu Hj Rosna Hertati yang selalu
mendukungku dan memberikan kasih sayangnya padaku
7. Adikku Tha_tha yang selalu menyayangiku dan memberikan semangat padaku
8. Saudara tercintaku (E-na, Mb yas, Ms Iwan, Nugnug,Agung, Ema, Mb Yuni)
9. Syafwandi SE SCom my heartbreaker pernahkah kau bayangkan disetiap rentang
waktu yang riuh dimana kurekat erat binar matamu selalu kutitipkan harap disana
dalam desau angin dan desir gerimis senja. Ku harap ketika semua harus berakhir
sinarmu di ujung senja itu tetap menyinari ku,
jika semua itu tak mungkin, biarkan semua jadi kisah terindahku
10. Salita babes’ (Mb Ami, Mb Butet, Vani-vani hukum, Wulan_Tiwul, Menil,
Coblah, Tika Hukum, Tinatinu, Mila, Janti & Mungki, Mayang_Meymey, Nying-
nying, Lis, Dita,Tiwi, Unana, Caping, Wahyu thanks atas suportnya., it’s a
wonder women. Dont forget Tika ya....
11. Salita Crew ( Pak kos , mas-mas dan mbake) keep the Salita pride alive…
12. My Best Friend (Tera_terong, Dila_dilul, Herman, livia, Doyok, Resti_Genduk,
Titus_Titut, Dita, Yani, Maya, Gugun_Widya, Pieh, Keni, Gilang, Indah, Chida,
W Brayoto, Enrico Gustav) Indahnya dunia hanya sementara, indahnya akhirat
untuk selamanya, dan indahnya bermimpi kadang tak pasti, tapi indahnya
persahabatan akan tetap abadi
13. Beascamp Puntadewa Tomi_longor, Jery, gading, Add, Ayu, Makasih
kekonyolanmu membuat aku tersenyum setiap hari sehingga mampu memberikan
warna yang berbeda di kehidupanku dan ketulusanmu yang mengalir sebening
kasih dan setiamu telah menguatkan aku. Thanks dah membantu aku kalo
kerepotan
14. Asrama Borneo ( Dewa, Oki, Fahri, Darel, JB, Nina, Fadil, Panji, dan Kevin )
tetap menjadi Conat ya…
15. Crew Pengaman Hukum (Mas Wardi, Gunawan, Didit, Pak Harno) Terima kasih
telah mengamankan hokum selama ini
16. Teman-teman angkatan 04, dan 06 Fakultas Hukum UNS terimakasih atas
suportnya
17. Pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu baik langsung
maupun tidak langsung dalam penulisan hukum ini
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan hukum ini masih jauh dari
sempurna, mengingat keterbatasan dan kemampuan penulis. Oleh karena itu dengan
lapang dada penulis ingin mengharapkan segala saran dan kritik yang bersifat
membangun dari semua pihak untuk kesempurnaan penulisan hukum ini.
Surakarta, Juni 2008
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN............................................................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................. iii
ABSTRAK.......................................................................................................... iv
HALAMAN MOTTO......................................................................................... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ......................................................................... vi
KATA PENGANTAR ........................................................................................ vii
DAFTAR ISI....................................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah.............................................................. 1
B. Pembatasan Masalah ................................................................... 11
C. Perumusan Masalah .................................................................... 11
D. Tujuan Penelitian ........................................................................ 12
E. Manfaat Penelitian ...................................................................... 12
F. Metode Penelitian ....................................................................... 13
G. Sistematika Skripsi...................................................................... 16
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 17
A. Kerangka Teori........................................................................... 17
1. Tinjauan Umum tentang Dissenting Opinion ...................... 17
2. Tinjauan Umum tentang Putusan Hakim.............................. 20
3. Tinjauan tentang Tindak Pidana Korupsi.............................. 32
B. Kerangka Pemikiran................................................................... 38
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................... 40
A. Dissenting Opinion Dalam Proses Pengambilan Putusan Perkara
Korupsi Pengadaan Helikopter Dengan Terdakwa Ir. H. Abdullah
Puteh Di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ................................ 40
1. Deskripsi Kasus..................................................................... 40
2. Identitas Terdakwa................................................................ 41
3. Dakwaan................................................................................ 42
4. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum ........................................... 42
5. Pembelaan terdakwa dan penasehat Hukum......................... 61
6. Penerapan Dissenting Opinion Terhadap Putusan Yang
Dijatuhkan oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Dalam Perkara Korupsi Pengadaan Helikopter Dengan
Terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh ........................................... 62
7. Putusan Hakim ...................................................................... 70
8. Pembahasan........................................................................... 71
B. Implikasi Dissenting Opinion Terhadap Putusan Yang
Dijatuhkan oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Dalam
Perkara Korupsi Pengadaan Helikopter Dengan Terdakwa Ir. H.
Abdullah Puteh........................................................................... 77
BAB IV PENUTUP ....................................................................................... 80
A. ........................................................................................... Si
mpulan........................................................................................ 80
B. ........................................................................................... Sa
ran-Saran .................................................................................... 81
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 : Bagan Kerangka Pemikiran ...............................................................
............................................................................................................................... 38
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Korupsi di Indonesia sudah menjadi fenomena yang sangat mencemaskan,
karena telah semakin meluas dan merambah pada lembaga Eksekutif, Legislatif
dan Yudikatif. Kondisi tersebut telah menjadi salah satu faktor penghambat
utama pelaksanaan pembangunan di Indonesia. Ketidakberhasilan Pemerintah
memberantas korupsi juga semakin melemahkan citra Pemerintah dimata
masyarakat dalam pelaksanaan pemerintahan yang tercermin dalam bentuk
ketidakpercayaan masyarakat, ketidakpatuhan masyarakat terhadap hukum, dan
bertambahnya jumlah angka kemiskinan absolut. Apabila tidak ada perbaikan
yang berarti, maka kondisi tersebut akan sangat membahayakan kesatuan dan
persatuan bangsa.
Di mata internasional, tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia dipandang
sebagai salah satu negara terkorup di dunia. Pandangan ini diperkuat dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh berbagai entitas asing seperti, antara lain, Political
and Economic Risk Consultancy (PERC) yang diumumkan pada Bulan Maret
Tahun 2002. Penelitian tersebut menempatkan Indonesia dengan tingkat skor
9.92 berdasarkan skala tertinggi 10. Sedangkan dari sumber Transparency
International (TI) Indonesia, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) untuk Indonesia pada
tahun 2003 menempati posisi yang cukup memperihatinkan, yaitu 1.9 dan
peringkat 122 dari 133 negara yang disurvai. Pada tahun 2004, IPK Indonesia
menjadi 2.0 dan menduduki urutan 137 dari 146 negara yang disurvai. Semakin
rendah IPK, semakin parah tingkat korupsinya. Keadaan ini mempersulit kinerja
politik luar negeri Indonesia dalam melindungi dan memajukan kepentingan
nasional.
Cukup banyaknya peraturan perundang-undangan mengenai korupsi yang
dibuat sejak tahun 1957 sebenarnya memperlihatkan besarnya niat bangsa
1
Indonesia untuk memberantas korupsi hingga saat ini, baik dari sisi hukum
pidana material maupun hukum pidana formal (hukum acara pidana). Walaupun
demikian, masih didapati kelemahan yang dapat disalahgunakan oleh tersangka
untuk melepaskan diri dari jeratan hukum.
Terlepas dari kuantitas peraturan perundang-undangan yang dihasilkan,
dalam pelaksanaannya, instrumen normatif ternyata belum cukup untuk
memberantas korupsi. Permasalahan utama pemberantasan korupsi juga
berhubungan erat dengan sikap dan perilaku. Struktur dan sistem politik yang
korup telah melahirkan apatisme dan sikap yang cenderung toleran terhadap
perilaku korupsi. Akibatnya sistem sosial yang terbentuk dalam masyarakat telah
melahirkan sikap dan perilaku yang permisif dan menganggap korupsi sebagai
suatu hal yang wajar dan normal.
Sebagai contoh di bidang pelayanan publik, biaya ekstra atau pungutan
liar merupakan gambaran sehari-hari yang umum terlihat pada kantor-kantor
pelayanan masyarakat. Masyarakat dapat melihat dengan kasat mata dan
merasakan praktik korupsi yang semakin marak dan meluas. Laporan dan
pengaduanpun banyak mengalir dari masyarakat. Melalui survei yang dilakukan
oleh Lembaga Studi Pembangunan Kebijakan dan Masyarakat pada tahun
1999/2000, ditemukan bahwa terdapat 4 (empat) sektor pelayanan publik yang
memungut biaya tidak resmi yaitu sektor perumahan, industri dan perdagangan,
kependudukan dan pertanahan. Dalam sektor-sektor tersebut, antara 56–70
persen pegawainya dituding menerima suap oleh para responden yang merupakan
rekan kerjanya sendiri. Namun sayangnya berbagai praktik korupsi yang
dilakukan oleh aparat pelayanan publik seringkali tidak ditindaklanjuti dengan
pemberian sanksi bagi oknum pelakunya.
Selain itu, korupsi juga banyak terjadi pada kegiatan-kegiatan pemerintah
yang berhubungan dengan penerimaan dan pembelanjaan uang negara.
Diperkirakan terjadi kebocoran sebesar 30% dari Belanja Negara tahun 2003
yang berjumlah Rp. 118 trilyun. Hal ini terutama disebabkan oleh sistem
penerimaan dan pengelolaan keuangan negara yang kurang transparan dan
akuntabel, terutama pada sektor-sektor yang rawan korupsi seperti perpajakan
dan bea-cukai, serta sektor-sektor dengan anggaran pengeluaran negara terbesar
seperti sektor pendidikan, kesehatan, hankam, pekerjaan umum dan perhubungan.
Survei yang dilakukan oleh Partnership for Governance Reform pada
tahun 2001 mengungkapkan bahwa lembaga pemerintah harus mengeluarkan
biaya untuk mendapatkan alokasi anggaran. Hal tersebut merupakan kerugian
bagi masayarakat, karena baik secara langsung maupun tidak langsung akan
mengurangi kinerja pelayanan publik dari lembaga-lembaga pelayanan publik.
Disamping itu masalah pengadaan barang dan jasa pemerintah yang tidak
transparan, terbuka dan akuntabel juga memberikan peluang terjadinya tindak
pidana korupsi.
Penanganan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan
selama ini tidak didukung oleh :
1. Adanya kehendak Pemerintah yang sungguh-sungguh dalam memberantas
korupsi. Inpres No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi merupakan perwujudan kehendak Pemerintah yang sungguh-
sungguh dalam memberantas korupsi.
2. Adanya kesamaan persepsi, kesamaan tujuan, dan kesamaan rencana tindak
(action plan) dalam memberantas korupsi. Rencana Aksi Nasional-
Pemberantasan Korupsi (RAN – PK). Tahun 2004 – 2009 merupakan
perwujudan adanya kesamaan persepsi, kesamaan tujuan, dan kesamaan
rencana tindak dalam memberantas korupsi.
3. Pemanfaatan Teknologi Informasi (TI) untuk menanggulangi korupsi. Karena
itu, perlu menyiapkan penerapan TI dalam pencegahan dan penindakan tindak
pidana korupsi.Pemanfaatan “single identification number” untuk setiap
urusan masyarakat. Karena itu, perlu menyiapkan penerapan “single
identification number” atau suatu identifikasi yang berlaku untuk semua
keperluan masyarakat (SIM, pajak, bank, dll.) yang diharapkan mampu
mengurangi peluang penyalahgunaan oleh setiap anggota masyarakat.
4. Peraturan perundang-undangan yang saling menunjang dan memperkuat.
Masih banyak peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih,
duplikasi, dan bertentangan, sementara beberapa hal yang penting yang
berkaitan dengan tindak pidana korupsi alpa untuk diatur. Karena itu, perlu
untuk berupaya menyempurnakan peraturan perundang-undangan dalam
rangka peningkatan pengawasan atas pelayanan publik serta melakukan
harmonisasi dan revisi peraturan perundang-undangan dan peraturan
pelaksanaan yang berhubungan dengan pengawasan dan pemeriksaan internal
instansi pemerintah.
Masalah korupsi memang merupakan masalah yang besar dan menarik
sebagai persoalan hukum yang menyangkut jenis kejahatan yang rumit
penanggulangannya, karena korupsi mengandung aspek yang majemuk dalam
kaitannya dengan (konteks) politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Berbagai upaya
pemberantasan sejak dulu ternyata tidak mampu mengikis habis kejahatan
korupsi. Hal ini menurut Bintoro Tjokroamidjojo sebagaimana dikutip oleh
Ninik Mariyanti, disebabkan karena :
1. Persoalannya memang rumit,
2. Sulitnya menemukan bukti,
3. Adanya kekuatan yang justru menghalangi pembersihan itu. (Ninik
Mariyanti,1986 : 200).
Korupsi merupakan suatu momok bagi setiap negara di dunia. Korupsi
yang telah mengakar dengan demikian kuatnya akan membawa konsekuensi
terhambatnya pembangunan di suatu negara. Tak pelak lagi, gaung
pemberantasan korupsi semakin bergema di seluruh dunia.
Indonesia sebagai salah satu negara dengan peringkat korupsi teratas, ikut
serta dalam langkah tersebut dengan memperkuat perangkat hukum yang ada
untuk memberantas korupsi, yaitu diantaranya dengan membentuk UU tentang
Tindak Pidana Korupsi yang kemudian ditindaklanjuti dengan UU Pengadilan
Khusus Korupsi. Walaupun Indonesia termasuk dalam peringkat teratas dalam
korupsi, namun secara statistik tidak banyak kasus korupsi yang dapat dijerat
dengan perangkat hukum yang ada. Hal tersebut tentunya menimbulkan suatu
pertanyaan besar mengenai bagaimanakah sebenarnya proses penegakan hukum
dalam bidang korupsi di negara ini. Ketidak antusiasan masyarakat yang secara
nyata terlihat dalam menyikapi upaya pemerintah dalam memberantas korupsi
secara retorik menjawab pertanyaan besar tersebut.
Wacana korupsi sendiri masih menimbulkan perbedaan persepsi di
berbagai kalangan. Pemahaman masyarakat terhadap korupsi bisa jadi berbeda
dengan pemahaman penegak hukum. Bahkan pemahaman mengenai korupsi
antara satu penegak hukum yang satu dengan penegak hukum yang lain juga
kerap kali terjadi pada saat proses pemberantasan korupsi berlangsung
Terlihat bahwa dalam pengusutan tindak pidana korupsi terdapat banyak
kelemahan, seperti dalam hal penyidikan. Kelemahan lainnya adalah bahwa jaksa
kurang memperhatikan syarat-syarat serta unsur-unsur yang menyangkut tindak
pidana korupsi dalam penyusunan surat dakwaan. Sedangkan dalam pengadilan,
hakim hanya akan mempertimbangkan dan memutuskan berdasarkan apa yang
didakwakan dalam surat dakwaan. Dengan demikian, penyusunan surat dakwaan
menjadi hal yang harus diperhatikan oleh Jaksa Penuntut Umum.
Penanganan kasus korupsi memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi,
karena biasanya melibatkan tokoh-tokoh terkenal yang dibelakangnya juga
terlibat aparatur negara. Sehingga walaupun kasusnya masih merupakan indikasi
korupsi, kasusnya sudah terlanjur meluas. Namun pada akhirnya pada saat tahap
putusan sudah dikeluarkan, ternyata indikasi korupsi tersebut tidak terbukti. Hal
ini tentu saja menimbulkan kekecewaan masyarakat.
Kurangnya pengetahuan hakim akan bidang-bidang yang berkenaan
dengan korupsi seperti perbankan, pasar modal juga merupakan kendala
tersendiri dalam pemberantasan korupsi. Apabila seorang jaksa menangani
perkara korupsi yang dilakukan melalui mekanisme perbankan, maka sudah tentu
dia harus menguasai seluruh aspek dari perbankan. Apabila tidak, maka
bagaimana mungkin sang jaksa dapat menentukan suatu tindakan termasuk dalam
tindak pidana korupsi atau tidak. Korupsi yang merajalela terjadi karena
lemahnya sistem pengawasan internal dilingkup internal organisasi pemerintahan.
Setiap instansi pemerintah memiliki irjen yang berperan sebagai pengawas
internal. Namun pengawasan internal tersebut tidak berjalan secara optimal.
Korupsi merupakan extra ordinary crimes yang merupakan kejahatan luar
biasa. Sebagai suatu kejahatan yang luar biasa, maka seharusnya korupsi
ditangani secara luar biasa juga. Namun yang sering terjadi justru korupsi tidak
ditangani dengan cara yang sangat luar biasa. Hal ini terlihat dari masih buruknya
kualitas penguasaan aparat penegak hukum terhadap masalah yang berkenaan
dengan korupsi. Pembuktian juga merupakan tahapan yang memegang peranan
penting dalam perkara korupsi. Apabila kesalahan yang didakwakan tidak dapat
dibuktikan, maka si terdakwapun tidak dapat dijatuhi hukuman.
Langkah-langkah untuk menemukenali hambatan dalam pemberantasan
korupsi telah dilakukan dalam Rapat Koordinasi Pengawasan Tingkat Nasional di
Bali pada bulan Desember 2002 yang menyepakati bahwa penanganan korupsi
selama ini menghadapi berbagai hambatan serius yang dikelompokkan menjadi:
1. Hambatan Struktural, yaitu hambatan yang bersumber dari praktik-praktik
penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang membuat penanganan tindak
pidana korupsi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Yang termasuk dalam
kelompok ini diantaranya meliputi : egoisme sektoral dan institusional yang
menjurus pada pengajuan dana sebanyak-banyaknya untuk sektor dan
instansinya tanpa memperhatikan kebutuhan nasional secara keseluruhan
serta berupaya menutup-tutupi penyimpangan-penyimpangan yang terdapat di
sektor dan instansi yang bersangkutan; belum berfungsinya fungsi
pengawasan secara efektif; lemahnya koordinasi antara aparat pengawasan
dan aparat penegak hukum; serta lemahnya sistem pengendalian intern yang
memiliki korelasi positip dengan berbagai penyimpangan dan inefesiensi
dalam pengelolaan kekayaan negara dan rendahnya kualitas pelayanan
publik.
2. Hambatan Kultural, yaitu hambatan yang bersumber dari kebiasaan negatif
yang berkembang di masyarakat.. Yang termasuk dalam kelompok ini
diantaranya meliputi : masih adanya ”sikap sungkan” dan toleran diantara
aparatur pemerintah yang dapat menghambat penanganan tindak pidana
korupsi; kurang terbukanya pimpinan instansi sehingga sering terkesan
toleran dan melindungi pelaku korupsi, campur tangan eksekutif, legislatif
dan yudikatif dalam penanganan tindak pidana korupsi, rendahnya komitmen
untuk menangani korupsi secara tegas dan tuntas, serta sikap permisif (masa
bodoh) sebagian besar masyarakat terhadap upaya pemberantasan korupsi.
3. Hambatan Instrumental, yaitu hambatan yang bersumber dari kurangnya
instrumen pendukung dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang
membuat penanganan tindak pidana korupsi tidak berjalan sebagaimana
mestinya. Yang termasuk dalam kelompok ini diantaranya meliputi: masih
banyaknya peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih sehingga
menimbulkan tindakan koruptif berupa penggelembungan dana di lingkungan
instansi pemerintah; belum adanya “single identification number” atau suatu
identifikasi yang berlaku untuk semua keperluan masyarakat (SIM, pajak,
bank, dan lain lain.) yang mampu mengurangi peluang penyalahgunaan oleh
setiap anggota masyarakat; lemahnya penegakan hukum penanganan korupsi;
belum adanya sanksi yang tegas bagi aparat pengawasan dan aparat penekan
hukum; sulitnya pembuktian terhadap tindak pidana korupsi, serta lambatnya
proses penanganan korupsi sampai dengan penjatuhan hukuman.
Berdasarkan Kajian dan Inventarisasi Peraturan Perundang-undangan yang
Berpeluang KKN periode 1999 sampai dengan 2003 oleh Kementerian PAN
disimpulkan bahwa peraturan perundang-undangan yang mengandung celah
KKN adalah yang rumusan Pasal-Pasalnya ambivalen dan multi-interpretasi
serta tidak adanya sanksi yang tegas (multi-interpretasi) terhadap pelanggar
peraturan perundang-undangan..
4. Hambatan Manajemen, yaitu hambatan yang bersumber dari diabaikannya
atau tidak diterapkannya prinsip-prinsip manajemen yang baik ( komitmen
yang tinggi dilaksanakan secara adil, transparan dan akuntabel ) yang
membuat penanganan tindak pidana korupsi tidak berjalan sebagaimana
mestinya. Yang termasuk dalam kelompok ini diantaranya meliputi : kurang
komitmennya manajemen (Pemerintah) dalam menindaklanjuti hasil
pengawasan; lemahnya koordinasi baik diantara aparat pengawasan maupun
antara aparat pengawasan dan aparat penegak hukum; kurangnya dukungan
teknologi informasi dalam penyelenggaraan pemerintahan; tidak
independennya organisasi pengawasan; kurang profesionalnya sebagian besar
aparat pengawasan; kurang adanya dukungan sistem dan prosedur
pengawasan dalam penanganan korupsi, serta tidak memadainya sistim
kepegawaian diantaranya sistim rekrutmen, rendahnya ”gaji formal” PNS,
penilaian kinerja dan reward and punishment.
Dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan
UU Nomor 30 Tahun 2002 dan perangkat pengadilan Khusus Tindak Pidana
Korupsi (Tipikor), masyarakat sangat menaruh harapan pada dua lembaga
tersebut untuk mempercepat penanganan dan eksekusi kasus-kasus tindak pidana
korupsi yang melibatkan tersangka tindak pidana korupsi yang berskala besar
dan menjadi perhatian masyarakat. Namun tuntutan untuk mempercepat
penanganan kasus korupsi tersebut masih belum optimal., cukup banyak
permasalahan kapasitas kelembagaan baik pada lembaga Kepolisian, Lembaga
Kejaksaan, Lembaga Peradilan, mulai dari struktur organisasi, mekanisme kerja
dan koordinasi antara lembaga penegak hukum satu dengan lainnya serta
dukungan sarana prasarana untuk mendukung percepatan pemberantasan korupsi.
Aparat penegak hukum yang melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus
tindak pidana korupsi, kemampuan, profesionalisme dan kualitasnya yang masih
jauh dari yang diharapkan. Hal demikian mengakibatkan seringnya kasus korupsi
dihentikan proses penyidikannya dengan SP3 (Surat Perintah Penghentian
Penyidikan) berhubung belum cukupnya alat bukti yang diajukan.
Demikian pula dengan kasus tindak pidana korupsi yang sudah dilimpahkan
ke Pengadilan. Seringkali putusan hakim tidak memenuhi rasa keadilan
masyarakat, secara sosiologis tidak bisa diterima. Hal tersebut tidak lain adalah
sebagai akibat dari kurangnya kemampuan dalam pembuktian dan penghayatan
terhadap rasa` keadilan yang hidup dalam masyarakat. Kekurangan kemampuan
tersebut mempunyai akibat yang tidak baik terhadap citra lembaga penegak
hukum maupun lembaga peradilan dengan tuduhan telah terjadi kolusi dan
korupsi. Aparat penegak hukum melakukan penyimpangan, merupakan akar dari
ketidak percayaan masyarakat terhadap sistem peradilan. Survei yang dilakukan
oleh Asia Fondation dan AC Nielsen pada tahun 2001 menunjukkan 57 persen
dari orang yang mengalami masalah hukum cenderung memilih penyelesaian
diluar peradilan, 20 persen memilih proses peradilan dan sisanya memilih untuk
tidak berbuat apa-apa.
Permasalahan yang juga mengemuka dari permasalahan korupsi adalah
masih lemahnya sistem pengawasan terhadap lembaga penegak hukum.
Masyarakat telah semakin skeptis dan curiga dengan pengawasan internal yang
dilakukan oleh masing-masing lembaga penegak hukum, bahkan seringkali
dituduh sebagai tempat melindungi aparat yang bersalah. Walaupun pengawasan
eksternal saat ini telah semakin intensif dilakukan oleh masyarakat, namun masih
menjadi kendala berupa keterbatasan masyarakat untuk memperoleh akses
informasi terhadap proses penanganan perkara korupsi maupun putusan terhadap
perkara korupsi. Hal ini telah menjadi tuntutan utama, khususnya dari kelompok
masyarakat yang menaruh perhatian pada masalah korupsi.
Kualitas suatu peradilan salah satunya dapat ditunjukkan oleh putusan
yang dihasilkan dari suatu pengadilan. Proses pengadilan yang transparan, logis,
independen, dan adil, telah dan akan memberikan kontribusi kebenaran moral dan
pencerahan bagi pemikiran dan tingkah laku masyarakat secara ideal. Sebaliknya,
putusan pengadilan yang tidak nalar dan bertentangan dengan rasa keadilan
masyarakat akan menimbulkan the dead of common sense atau matinya akal
sehat (Adi Sulistyono, 2006: 6). Putusan pengadilan memikul beban tanggung
jawab agar menjadi figur puncak kearifan dari penyelesaian perkara di dalam
masyarakat. Putusan pengadilan yang benar dan penuh kearifan akan mencegah
timbulnya sikap main hakim sendiri, dan menghindarkan ketidakpercayaan
terhadap institusi pengadilan (Artidjo Alkostar dalam Adi Sulistiyono, 2006: 6).
Putusan pengadilan merupakan indikator penilaian kepercayaan pada
pengadilan. Sebelum adanya Undang-Undang No.4 tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman akses masyarakat untuk mengetahui proses pengambilan
putusan masing-masing hakim sangatlah sulit. Putusan hakim diambil setelah
pemeriksaan ditutup, kemudian diadakan suatu musyawarah terakhir oleh Majelis
Hakim untuk mengambil putusan. Dalam pasal 182 ayat (5) Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ditegaskan bahwa dalam musyawarah
tersebut hakim ketua majelis mengajukan pertanyaan dimulai dari hakim termuda
sampai hakim yang tertua, sedangkan yang terakhir mengemukakan pendapatnya
ialah hakim ketua.
Pasal 186 ayat (6) KUHAP menyatakan bahwa sedapat mungkin
musyawarah merupakan hasil permufakatan bulat, kecuali jika telah diusahakan
dengan sungguh-sungguh namun tidak dicapai kesepakatan bulat, maka putusan
diambil dengan suara terbanyak dari majelis hakim atau putusan diambil
berdasarkan pendapat hakim yang paling menguntungkan, kemudian pendapat
hakim yang berbeda akan dicatat dalam buku himpunan putusan yang disediakan
khusus untuk keperluan itu dan isi buku tersebut sifatnya rahasia. Jadi, dapat
disimpulkan masyarakat hanya mengetahui hasil jadinya saja, masyarakat tidak
mengetahui proses atau peristiwa di balik putusan hakim tersebut apakah
merupakan kesepakatan bulat dari musyawarah hakim, apakah ada perbedaan
pendapat majelis hakim, apakah putusan diambil dengan suara terbanyak, atau
merupakan putusan salah satu hakim yang paling menguntungkan terdakwa.
Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas penulis bermkasud
mengkaji masalah penerapan dissenting opinion oleh hakim dalam proses
penjatuhan putusan, dalam bentuk Penulisan Hukum/Skripsi yang berjudul :
”PENERAPAN DISSENTING OPINION DALAM PROSES
PENGAMBILAN PUTUSAN PERKARA KORUPSI PENGADAAN
HELIKOPTER DENGAN TERDAKWA IR. H. ABDULLAH PUTEH
OLEH HAKIM PENGADILAN NEGERI JAKARTA PUSAT”.
B. Pembatasan Masalah
Dalam penulisan ini penulis memberikan batasan terhadap masalah
penerapan dissenting opinion dalam proses pengambilan putusan perkara
pengadaan helikopter dengan terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh oleh Hakim
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
C. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut :
1. Bagaimanakah dissenting opinion dalam proses pengambilan putusan perkara
korupsi pengadaan helikopter dengan terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh di
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
2. Bagaimanakah pengaruh dissenting opinion terhadap putusan yang dijatuhkan
oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara korupsi
pengadaan helikopter dengan terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh ?
D. Tujuan Penelitian
Suatu kegiatan penelitian sudah tentu mempunyai suatu tujuan penelitian
yang jelas dan sudah pasti, sebagai sasaran yang akan dicapai untuk pemecahan
masalah yang dihadapi. Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di
atas, maka tujuan penulisan hukum ini adalah :
1. Tujuan Obyektif :
a. Untuk mengetahui penerapan dissenting opinion dalam proses
pengambilan putusan perkara korupsi pengadaan helikopter dengan
terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh oleh Hakim pengadilan Negeri Jakarta
Pusat
b. Untuk mengetahui pengaruh penerapan dissenting opinion terhadap
putusan yang dijatuhkan oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
dalam perkara korupsi pengadaan helikopter dengan terdakwa Ir. H.
Abdullah Puteh
2. Tujuan Subyektif :
a. Untuk memperoleh data sebagai bahan utama penyusunan skripsi guna
memenuhi syarat-syarat yang diperlukan untuk memperoleh gelar
kesarjanaan di bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
b. Untuk menambah pengetahuan penulis dalam penelitian hukum,
khususnya dalam bidang hukum acara pidana yang berhubungan dengan
penerapan dissenting opinion dalam proses pengambilan putusan perkara
korupsi pengadaan helikopter dengan terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh oleh
Hakim pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
c. Untuk memenuhi syarat akademis guna memperoleh gelar kesarjanaan di
Fakultas Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta
E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Dapat digunakan sebagai sumbangan karya ilmiah dalam perkembangan
ilmu pengetahuan hukum
b. Salah satu usaha memperbanyak wawasan dan pengalaman serta
menambah pengetahuan tentang Hukum Acara Tindak Pidana khusus dan
Hukum Pembuktian.
c. Dapat bermanfaat dalam mengadakan penelitian yang sejenis berikutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan jawaban atas masalah yang diteliti.
b. Untuk lebih mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis
sekaligus untuk mengetahui sejauh mana kemampuan penulis dalam
menerapkan ilmu yang diperoleh.
c. Dari hasil penelitian ini, akan menambah pengetahuan kita sejauh mana
keadilan ditegakkan melalui putusan pengadilan
F. Metode Penelitian
1. Jenis, Sifat dan Pendekatan Penelitian
Sebagai penelitian hukum, maka penelitian ini termasuk penelitian
hukum normatif atau doktrinal. Disebut sebagai penelitian hukum normatif
karena sumber data utamanya berupa data sekunder.
Dilihat dari sifatnya penelitian ini termasuk penelitian deskriptif, yaitu
penelitian yang bertujuan memberikan data seteliti mungkin tentang manusia
atau gejala–gejala lainnya. Dalam penelitian ini Penulis ingin memperoleh
gambaran yang nyata dan jelas tentang penerapan dissenting opinion dalam
proses pengambilan putusan perkara korupsi pengadaan Helikopter oleh
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
penelitian kualitatif. Menurut Soerjono Soekanto (1986:10) penelitian
kualitatif adalah penelitian yang dilakukan dengan melakukan pengumpulan
data berupa kata-kata, gambar-gambar, serta informasi verbal atau normatif
dan bukan dalam bentuk angka-angka.
2. Lokasi Penelitian
Dalam Penelitian ini penulis memilih lokasi penelitian di Perpustakaan
Fakultas Hukum UNS dan Perpustakaan Pusat UNS
3. Jenis dan Sumber Data
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa penelitian ini termasuk penelitian
hukum normatif. Jenis data utama dalam penelitian hukum normatif adalah
data sekunder. Data sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini
meliputi :
a. Bahan Hukum Primer, yang terdiri dari :
1) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
3) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
4) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Undang-
Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
5) Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
6) Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
7) Putusan Nomor : 01/Pid.B/TPK/2004/PN.Jkt.Pst.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder sebagai pendukung hukum primer yang akan
digunakan dalam penelitian ini yakni terdiri atas :
1) Buku-buku teks yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi dan
dissenting opinion.
2) Jurnal dan Majalah hukum yang membahas tindak pidana korupsi.
c. Bahan Hukum Tersier
Merupakan bahan hukum yang memberikan informasi tentang
bahan hukum primer dan sekunder, seperti Kamus Black’S Law
Dictionary, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Internet.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini sesuai
dengan jenis dan sumber datanya. Mengingat bahwa jenis data dalam
penelitian ini berupa data sekunder, maka teknik pengumpulan data dilakukan
dengan cara studi dokumen atau kepustakaan (library study).
5. Teknik Analisis Data
Data yang telah terkumpul dalam penelitian ini dianalisis dengan
teknik analisis konten (content analysis). Analisis konten dipergunakan
karena dikaitkan dengan data yang dikumpulkan berupa data sekunder atau
data studi dokumen. Menurut Valerine J.L. Kriekhoff (1992: 12), bahwa
apabila analisis konten pada prinsipnya dikaitkan dengan data sekunder atau
data studi dokumen, maka teknik analisis konten dapat pula diterapkan pada
penelitian hukum normatif. Studi dokumen merupakan suatu alat
pengumpulan data yang dilakukan dengan melalui data tertulis dengan
mempergunakan content analysis. Dalam penelitian yang dilaksanakan ini,
penulis hanya menggunakan dokumen siap pakai sebagai satu-satunya data,
yaitu melakukan inventarisasi dan menganalisis dokumen sekunder yang
berkaitan dengan masalah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan
putusan dilepas dari segala tuntutan hukum. Dengan demikian dalam analisis
data, teknik analisis konten atau analisis isi (content analysis) digunakan
sebagai tujuan utama.
G. Sistematika Skripsi
BAB I Pendahuluan
Dalam bab ini akan diuraikan pendahuluan yang terdiri dari latar
belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika
penulisan.
BAB II Tinjauan Pustaka
Dalam bab ini akan diuraikan tentang kerangka teori yang melandasi
penelitian serta mendukung di dalam memecahkan masalah yang di
angkat dalam penulisan hukum ini, yaitu: Tinjauan umum tentang
dissenting opinion, tinjauan umum tentang putusan hakim dan tinjauan
umum tentang tindak pidana korupsi.
BAB III Hasil Penelitian Dan Pembahasan
Bab ini akan menguraikan hasil penelitian dan pembahasan pokok-
pokok permasalahan yang ingin diungkapkan berdasarkan rumusan
masalah, yaitu penerapan dissenting opinion dalam proses pengambilan
putusan perkara korupsi pengadaan helikopter dengan terdakwa Ir. H.
Abdullah Puteh oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan
pengaruh penerapan dissenting opinion terhadap putusan yang
dijatuhkan oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara
korupsi pengadaan helikopter dengan terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh
BAB IV Penutup
Bab ini berisikan tentang simpulan dan saran.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum tentang Dissenting Opinion
a. Pengertian dissenting opinion
Menurut Gigih Wijaya (2007, 31) Dissenting opinion
merupakan hal baru dalam sistem hukum di Indonesia. Pranata dissenting
opinion muncul setelah dikeluarkannya Undang-Undang No. 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Menurut Bagir Manan Dissenting
opinion adalah pranata yang membenarkan perbedaan pendapat hakim
(minoritas) atas putusan pengadilan (Bagir Manan, 2006:11). Menurut
Artidjo Alkostar dissenting opinion merupakan suatu perbedaan pendapat
hakim dengan hakim lain (Artidjo Alkostar, 2000:1). Sedangkan menurut
Pontang Moerad dissenting opinion merupakan opini atau pendapat yang
dibuat oleh satu atau lebih anggota majelis hakim yang tidak setuju
(disagree) dengan keputusan yang diambil oleh mayoritas anggota majelis
hakim (Pontang Moerad, 2005: 111).
Ada beberapa definisi dissenting opinion, yaitu :
1) Menurut Bagir Manan
Dissenting opinion adalah pranata yang membenarkan perbedaan
pendapat hakim (minoritas) atas putusan pengadilan (Bagir
Manan,2006:11).
2) Menurut Artidjo Alkostar :
Dissenting opinion merupakan suatu perbedaan pendapat hakim
dengan hakim lain (Artidjo Alkostar,2000:1)
3) Menurut Pontang Moerad :
Dissenting opinion merupakan opini atau pendapat yang dibuat oleh
satu atau lebih anggota majelis hakim yang tidak setuju (disagree)
dengan keputusan yang diambil oleh mayoritas anggota majelis hakim
(Pontang Moerad, 2005: 111).
b. Kebaikan dan kelemahan pranata dissenting opinion
17
Penerapan dissenting opinion memberikan beberapa kebaikan
atau keuntungan, diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Pranata dissenting opinion merupakan perwujudan nyata kebebasan
individual hakim, termasuk kebebasan terhadap sesama Anggota
Majelis atau sesama hakim. Pranata ini sejalan dengan essensi
kekuasaan kehakiman yang merdeka, yang tidak lain dari kebebasan
hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.;
2) Pranata dissenting opinion mencerminkan jaminan hak berbeda
pendapat (the right to dessent) setiap hakim dalam memeriksa dan
memutus perkara. Dalam kerangka yang lebih luas, pranata
dissenting opinion mencerminkan demokrasi dalam memeriksa dan
memutus perkara;
3) Pranata dissenting opinion merupakan instrumen meningkatkan
tanggung jawab individual hakim. Melalui pranata ini diharapkan
hakim lebih mendalami perkara yang ia tangani sehingga hakim
tersebut bertanggung jawab secara individual baik secara moral
ataupun sesuai dengan hati nuraninya terhadap setiap putusan yang
mewajibkan memberikan pendapat pada setiap perkara yang
diperiksa dan diputus;
4) Pranata dissenting opinion merupakan instrumen meningkatkan
kualitas dan wawasan hakim. Melalui pranata dissenting opinion
setiap hakim diwajibkan mempelajari dan mendalami setiap perkara
yang diperiksa dan akan diputus karena setiap perkara ada
kemungkinan mengandung fakta-fakta dan hukum yang kompleks
5) Pranata dissenting opinion merupakan instrumen menjamin dan
meningkatkan mutu putusan. Kemungkinan menghadapi dissenting
opinion, setiap anggota majelis akan berusaha menyusun dasar dan
pertimbangan hukum yang dalam, baik secara normatif, ilmiah, serta
dasar-dasar dan pertimbangan sosiologis yang memadai;
6) Pranata dissenting opinion merupakan instrumen dinamika dan
updating pengertian-pengertian hukum. Kehadiran dissenting
opinion menunjukkan fakta-fakta hukum dalam suatu perkara
maupun aturan-aturan hukum, tidak bersifat linear. Melalui pranata
dissenting opinion pemberian makna yang berbeda baik fakta
maupun hukum akan menjamin dinamika dan updating pengertian
suatu kaidah hukum. Dengan cara tersebut akan terjadi aktualisasi
penerapan hukum;
7) Pranata dissenting opinion merupakan instrumen perkembangan
Ilmu Hukum. Ilmu hukum berkembang melalui beberapa cara, yaitu
: Perkembangan filsafat hukum, teori hukum, dan aturan-aturan
hukum. Pranata dissenting opinion akan memperkaya bahan kajian
hukum baik menyangkut muatan filsafat, teori atau doktin, maupun
kaidah-kaidah hukum baru yang dibentuk oleh hakim.
Terlepas dari berbagai kebaikan di atas, penerapan dissenting
opinion juga memiliki beberapa kelemahan, diantaranya sebagai
berikut:
1) Kebenaran dan keadilan mayoritas (kuantitas)
Pranata dissenting opinion membawa konsekuensi putusan hakim
ditentukan oleh (dengan) suara terbanyak. Dengan demikian putusan
yang benar dan adil sesuai dengan kehendak terbanyak (mayoritas).
Ada kemungkinan pendapat minoritas (dissenting) itulah yang benar
dan adil;
2) Pranata dissenting opinion baik secara keilmuan maupun praktek
dapat menimbulkan ketidakpastian hukum;
3) Pranata dissenting opinion dapat mempengaruhi harmonisasi
hubungan sesama hakim, terutama untuk masyarakat yang
mementingkan hubungan emosional di atas hubungan zekelijk,
seorang ketua majelis dapat merasa ditantang bahkan mungkin
direndahkan oleh anggota yang berbeda pendapat;
4) Pranata dissenting opinion dapat menimbulkan sifat individualis
yang berlebihan. Hal ini akan terasa pada saat anggota majelis yang
bersangkutan merasa lebih menguasai persoalan dibanding anggota
lain.
(Bagir Manan,2006:17).
2. Tinjauan Umum tentang Putusan Hakim
a. Hakim
1) Pengertian Hakim
Sesuai Pasal 1 butir 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana, Hakim adalah pejabat peradilan
negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.
Pasal 25 Undang-Undang Dasar 1945, mengamanatkan bahwa
syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim
ditetapkan dengan undang-undang. Adapun undang-undang yang
dimaksud disini adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 jo
UU No. 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 2 Tahun
1986 tentang Peradilan Umum.
a) Pengangkatan dan Pemberhentian
Hakim pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh
presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung ( pasal 16 ayat (1)
UU No. 8 Tahun 2004 ).
b) Syarat-syarat Pengangkatan
Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004, melalui pasal
14 ayat (1) telah menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi
agar seseorang dapat diangkat menjadi hakim pengadilan negeri.
Rincian syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
(1) Warga negara Indonesia;
(2) Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
(3) Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945;
(4) Sarjana Hukum;
(5) Berumur serendah-rendahnya 25 tahun ;
(6) Sehat jasmani dan rohani;
(7) Berwibawa, jujur, adil dan berkelakukan tidak tercela;
(8) Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis
Indonesia, termasuk organisasi massanya ataupun bukan
seseorang yang terlibat langsung maupun tidak langsung
dalam gerakan G-30S/PKI.
c) Pemberhentian
Dari sudut kepegawaian , status dan kedudukan hakim
selain sebagai pegawai negeri juga sebagai pejabaf fungsional.
Dengan demikian, pemberhentian dari status hakim tidak dengan
sendirinya diberhentikan sebagai pegawai negeri. Pemberhentian
sebagai hakim dikenal ada dua macam yaitu diberhentikan
dengan hormat dan diberhentikan dengan tidak hormat dari
jabatan sebagai hakim.
2) Wewenang Hakim
Landasan hukum wewenang hakim antara lain terdapat dalam
KUHAP, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 jo. UU No. 8
Tahun 2004. Wewenang utama hakim adalah mengadili yang
meliputi kegiatan-kegiatan menerima, memeriksa, dan memutus
perkara pidana. Di dalam KUHAP disebutkanbeberapa wewenang
hakim, yaitu:
(1) Melakukan penahanan;
Untuk kepentingan pemeriksaan hakim di sidang
pengadilan dengan penetapannya berwenang melakukan
pertahanan (Pasal 26 KUHAP).
(2) Pengalihan jenis penahanan;
Penyidik atau penuntut umum atau hakim berwenang
mengalihkan jenis penahanan yang satu kepada jenis
penahanan yang lain (Pasal 23 KUHAP).
(Bambang Waluyo, 2000: 79-81).
3) Tanggung Jawab dan Kewajiban Hakim
Kewajiban dan tanggung jawab hakim secara yuridis formal
bersumber dari UU NO. 4 Tahun 2004,Bab IV Pasal 28 – 30,
sedangkan pada Pasal 4 ayat (1) hanya menyiratkan tentang
tanggung jawab hakim. Di luar bab IV tersebut ditemukan
kewajiban hakim yang pertama-tama sebagai organ pengadilan
adalah tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu
perkara yang diajukan, dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau
kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya (
Pasal 16 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004).
Hakim sebagai organ pengadilan dianggap memahami hukum,
andaikata ia tidak menemukan hukum tertulis, ia wajib menggali
hukum tak tertulis untuk memutus berdasarkan hukum sebagai
seorang yang bijaksana, dan bertanggung jawab kepada Tuhan Yang
Maha Esa, diri sendiri, masyarakat, bangsa dan negara. Jadi, hakim
bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri,
masyarakat, bangsa dan negara.
4) Kebebasan Hakim
Proses penegakan hukum mutlak diperlukan suatu kebebasan
hakim. Suatu pengadilan yang bebas dapat memberikan peradilan
tanpa dipengaruhi oleh pihak manapun dan dalam bentuk apapun
merupakan syarat mutlak bagi suatu negara hukum (Nanda Agung
Dewantara, 1987:26).
Kebebasan hakim ini diatur secara tersurat dalam Bab IX Pasal
24 dan 25 setelah perubahan UUD 1945 dan telah menjadi jaminan
kebebasan hakim atau kebebasan peradilan di Indonesia. Dalam UU
No. 4 Tahun 2004 ada beberapa pasal yang menjamin keobyektifan
hakim, yaitu :
a) Pasal 4 ayat (1) disebutkan bahwa “ Peradilan dilakukan demi
keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”;
b) Pasal 4 ayat (3) disebutkan bahwa “Segala campur tangan dalam
urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman
dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945”;
c) Pasal 5 ayat (1) disebutkan bahwa Pengadilan mengadili
menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang;
d) Pasal 19 ayat (1) menyebutkan bahwa Sidang pemeriksaan
Pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali apabila
Undang-undang menentukan lain;
e) Pasal 19 ayat (3) menyebutkan bahwa rapat permusyawaratan
hakim bersifat rahasia;
f) Pasal 19 ayat (4) disebutkan bahwa Dalam sidang
permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan
pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang
sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
putusan;
g) Pasal 19 ayat (5) disebutkan bahwa dalam hal sidang
permusyawaratan tidak dicapai mufakat bulat, pendapat hakim
yang berbeda wajib dimuat dalam putusan;
h) Pasal 20 menyebutkan bahwa menyebutkan bahwa semua
putusan Pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum
apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum;
i) Pasal 25 ayat (1) menyebutkan bahwa Segala putusan
Pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar
putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari
peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak
tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
Pada dasarnya yang dilakukan oleh hakim adalah memeriksa
kenyataan yang terjadi, serta menghukumnya dengan peraturan yang
berlaku. Pada waktu diputuskan tentang bagaimana atau apa hukum
yang berlaku untuk suatu kasus, maka pada waktu itulah penegakan
hukum mencapai puncaknya (Satjipto Rahardjo, 2000: 182).
Kebebasan hakim mutlak diperlukan, terutama dalam
menjamin terpenuhinya rasa keadilan pihak yang berperkara juga
memenuhi rasa keadilan masyarakat. Kebebasan hakim terikat pada
hukum sehingga kebebasan hakim juga ada batasnya, hakim tidak
bisa berbuat sewenang-wenang terhadap perkara yang diperiksanya.
Jadi, kebebasan hakim merupakan kebebasan hakim yang
bertanggung jawab.
Menurut Hapsoro Jayaningprang, makna kebebasan hakim ada
2 (dua), yaitu :
a) Kebebasan hakim dari pengaruh dan campur tangan pihak lain.
Hal ini sesuai dengan penjelasan Pasal 1 UU No.4 Tahun 2004,
bahwa kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan
pihak kekuasaan extra yudisial, kecuali dalam hal-hal
sebagaimana disebut dalam UUD 1945.
b) Bebasnya hakim dari pihak-pihak yang berperkara.
Kebebasan hakim dalam menemukan hukum tidaklah berarti ia
menciptakan hukum, akan tetapi hakim harus berperan aktif
sebagai penegak hukum dan keadilan untuk menggali, mengikuti
dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
Aktivitas tersebut dapat direfleksi dalam Hukum Acara Pidana,
dimana Hakim itu harus berusaha mencari dan menemukan,
kebenaran maksud dari suatu perkara yang dihadapkan kepadanya
(Oemar Seno Adji,1989: 262).
b. Pengertian Putusan
1) Putusan Dalam Perkara Pidana
Pada dasarnya putusan hakim mempunyai peranan yang
menentukan dalan menegakkan hukum dan keadilan. Oleh karena itu
di dalam menjatuhkan putusannya hakim diharapkan agar selalu
berhati-hati. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga agar jangan sampai
suatu putusan penuh dengan kekeliruan yang akibatnya akan
menimbulkan rasa tidak puas, ketidakadilan dan dapat menjatuhkan
kewibawaan pengadilan.
Menurut buku “Peristilahan Hukum Dalam Pratek” yang
dikeluarkan oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia tahun 1985,
hal 221, putusan diartikan sebagai berikut “Hasil atau kesimpulan dari
suatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-
masaknya yang dapat berbentuk tertulis ataupun lisan” (Leden
Marpaung, 1992: 406).
Dalam pasal 197 ayat (1) KUHAP diatur formalitas yang harus
dipenuhi suatu putusan hakim dan menurut ayat (2) pasal itu kalau
ketentuan tersebut tidak dipenuhi, kecuali tersebut pada huruf g dan i
putusan batal demi hukum.
Ketentuan tersebut adalah :
(a) kepala putusan yang dituliskan berbunyi:
“DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG
MAHA ESA”;
(b) nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis
kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, perkerjaan
terdakwa;
(c) dakwaan sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
(d) pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan
keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari hasil
pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan
terdakwa;
(e) tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
(f) pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-
undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan disertai
keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa;
(g) hari dan tanggal diadakan musyawarah majelis hakim, kecuali
perkara diperiksa oleh hakim tunggal;
(h) pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah dipenuhi
semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan
kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan
(i) ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan
menyebutkan jumlah yang pasti dan ketentuan mengenai barang
bukti;
(j) keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan
dimana letak kepalsuan itu jika terdapat surat otentik yang
dianggap palsu;
(k) perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau
dibebaskan;
(l) hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim
yang memutuskan dan nama panitera.
Dalam pasal 200 KUHAP disebutkan bahwa surat putusan
ditandatangani oleh hakim dan panitera seketika setelah putusan
diucapkan (Martiman Prodjohamidjojo, 1988: 172-173).
Sebagai pendukung agar putusan hakim benar-benar dapat
dipertanggungjawabkan, maka hakim harus mempunyai sekurang-
kurangnya dua alat bukti yang sah untuk memperoleh keyakinan
bahwa suatu tindakan pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa
yang bersalah melakukanya
Adapun alat-alat bukti yang sah tadi menurut pasal 184 ayat
(1) KUHP yaitu :
a) keterangan saksi
b) keterangan ahli
c) surat
d) petujuk
e) keterangan terdakwa
2) Rumusan Putusan Pengadilan
Rumusan suatu putusan sangatlah penting karena dari rumusan
itu dapat diketahui jalan pikiran hakim dan pertimbangan apa yang
digunakan untuk menjatuhkan putusan tersebut.
Wirjono Projodikoro menyatakan sudah selayaknya bagian
pertimbangan ini disusun serapih-rapihnya oleh karena putusan
hakim selain daripada mengenai pelaksanaan suatu peraturan hukum
pidana, mengenai juga hak asasi dari terdakwa sebagai warga negara
atau penduduk dalam negara, hak-hak mana pada umumnya harus
dilindungi oleh badan-badan pemerintahan.
Pertimbangan hakim dalam suatu putusan yang mengandung
penghukuman terdakwa harus ditujukan terhadap hal-hal
terbuktinya peristiwa pidana yang dituduhkan kepada terdakwa.
Oleh karena suatu perbuatan yang diancam dengan hukuman
pidana, selalu terdiri dari beberapa bagian, yang merupakan syarat
bagi dapatnya perbuatan itu dikenakan hukuman (elementen dari
delick), maka tiap-tiap bagian itu harus ditinjau, apakah sudah dapat
dianggap nyata terjadi (Laden Marpaung, 1992: 423).
c. Jenis-jenis putusan
Pada dasarnya putusan Hakim/pengadilan dapat digolongkan
kedalam 2(dua )jenis yaitu:
1) Putusan akhir
Dalam praktik putusan akhir sering disingkat dengan istilah
putusan saja.putusan ini dapat terjadi apabila majelis hakim
memeriksa tindak pidana korupsi yang hadir dipersidangan sampai
pokok perkara diperiksa sebagai mana tercantum dalam pasal 182 ayat
(3), (8),pasal 197 dan pasal 199 KUHAP.disebut dengan pokokperara
selesai diperiksa karea majelis hakim sebelum menjatuhkan putusan
telah melalui proses-proses berupa:siding dinyatakan terbuka dan
bdibuka untuk umum, pemeriksaan identitas dan peringatan ketua
majelis kepada terdakwa supaya mendengar dan memperhatikan
segala sesuatu yang terjadi didalam persidangan, pembaca
catatan/surat dakwaan,acara keberatan/eksepsi dari terdakwa dan atau
penasehat hukumnya dan pendaat jaksa/penuntut
umum,penetapan/putusan sela,pemeriksaan alat bukti, tuntutan pidana
(requisitoir), replik-dublik,re-repiek dan re-dublik, pernyataan
pemeriksaan ditutup serta musyawarah majelis hakim dan pembaca
putusan dalam siding terbuka untuk umum (pasal 195 KUHAP) dan
harus ditandatangani hakin dan penitera seketika setelah putusa
diucapkan (pasal 200 KUHAP). (Lilik Muliady, 2000 : 319)
2) Putusan yang bukan putusan akhir.
Dalam praktik, bentuk dari pada putusa yang bukan putusan
ahir dapat berupa penetapan atau putusan sela atau sering pula disebut
dengan istilah bahasa belanda tussen-vonnis. Putusan jenis ini
mengacu pada ketentuan pasal 156 ayat (1)KUHAP, yakni dalam hal
terdakwa dan atau penasehat hokum mengajukan keberatan atau
eksepsi terhadap surat dakwaan jaksa/penuntut umum.penetapan atau
putusan sela ini secara formal dapat mengakhiri perkaraapabila
terdakwa dan atau penasehat hukum serta penuntut umum telah
menerima apa yang telah diputuskan oleh majelis hakim tersebut.
Akan tetapi, secara meteriel perkara tersebut dapat dibuka kembali
apabila perlawanan atau verzet dari penuntut umum oleh pengadilan
tinggi dibenarkan sehingga pengadilan tinggi melanjutkan
pemeriksaan perkara yang bersangkutan. Kalau dijabarkan lebih lanjut
mengapa putusan ini disebut sebagai putusan akhir karena disamping
dimungkinkan perkara tersebut secara materiel dibuka kembali karena
adanya verzet atau perlawanan yang dibenarkan, juga karena dalam
halini materi pokok perkara yang sebenarnya yaitu dari keterangan
para saksi, terdakwa serta proses berikutnya belum diperiksa oleh
majelis hakim. (Lilik Muliady, 2000 : 320)
Bentuk putusan hakim dalam tindak pidana korupsi.
Berdasarkan hasil penelitian disidang pengadilan dengan bertitik
tolak kepada surat dakwaan pembuktian musyawarah majelis hakim dan
mengacu pada ketentuan pasal 191 ayat (1) dan (2) serta pasal 193 ayat
(1) KUHAP,bentuk daripada putusan hakim terhadap terdakwa tindak
pidana korupsi berupa:
1) Putusan Bebas (Vrijspraak)
Dalam praktik,putusan bebas juga lazim disebut dengan
putusan “acquittal” , yang berarti bahwa terdakwa dinyatakan tidak
terbukti secara sah dan menyatakan bersalah melakukan tidak pidana
korupsi didakwakan atau dapat juga disebut terdakwa dibebaskan dari
tuntutan hokum. Lebih tegasnya lagi terdakwa tidak dijatuhi
pidana.berdasarkan terhadap ketentuan pasal 191 ayat (1)KUHAP,
putusa bebas terdakwa tindak pidana korupsi (atau tindak pidana pada
umumnya) dapat dijatuhi karena :
a) Dari hasil sidang dipengadilan,
b) Kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya
tidak terbukti secara sah dan menyakinkan.
Sedangkan penjelaan menurut ketentuan pasal 191 ayat (1)
KUHAP menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan yang
didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan menyakinkan
adalahj tidak cukup bukti menurut penilaian hakim atas dasar
pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurutketentuan hokum
acara pidana. (Lilik Muliady, 2000 : 322)
2) Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum (Onslag van alle
rechtsvervolging)
Pada dasarnya, ketentuan pasal 191 ayat (2) KUHAP
menyebutkan bahwa putusan pelepasan dari segala tuntutan
hukum(Onslag van alle rechtsvervolging) dapat terjadi apabila
majelis hakim beranggap bahwa :
a) Apa yang didakwakan oleh terdakwa memang terbukti secara sah
dan menyakinkan ;dan
b) Tetapi sekalipun terbukti, hakim berpendapat bahwa perbuatan
yang didakwakan tidak merupakan tindak pidana (Lilik Muliady,
2000 : 324)
3) Putusan pemidanaan (Veroordeling)
Putusan pemidanaan dalam tindak pidana korupsi dapat terjadi
apabila perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti secara
sah dan menyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak
pidana yang didakwakan mejelis hakim akan menjatuhkan pidana
(pasal 193 ayat(1) KUHAP) pengadilan dalam menjatuhkan putusan
pemidanaan (Veroordeling) jika terdakwa itu tidak melakukan
penahanan , dapat diperintahkan majelis hakim supaya terdakwa itu
ditahan, apabila tindak pidana yang dilakukan itu diancam dengan
pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, atau apabila tindak pidana
yang dilakukan diatur dalam ketentuan pasal 21 ayat (4) huruf b
KUHAP dan terdapat cukup alas an untuk itu. Dalam aspek terdakwa
dilakukan suatu penahanan, pengadilan dapat menetapkan terdakwa
tersebut tetap berada dalam tahanan atau membebaskannya, apabila
terdapat cukup alas an untuk itu (pasal 193 ayat (2) KUHAP). (Lilik
Muliady, 2000 : 325)
3. Tinjauan tentang Tindak Pidana Korupsi
a. Pengertian Korupsi
Pengertian korupsi secara umum adalah perbuatan yang
merugikan kepentingan publik atau masyarakat luas untuk keuntungan
pribadi atau kelompok tertentu. Secara yuridis Korupsi adalah setiap
orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara.
Menurut Andi Hamzah kata korupsi berasal dari bahasa latin
Corruptio atau corruptus. Selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu
berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata Latin yang lebih tua.
Dari bahasa Latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris:
corruption, corrupt; Perancis: corruption; dan Belanda: corruptie
(korruptie). Meskipun kata corruptio itu luas sekali artinya, namun sering
corruptio dipersamakan artinya dengan penyuapan.
Menurut UN’s Global Programme against Corruption korupsi
didefinisikan sebagai: abuse of power for private gain and include
thereby both the public and private sector. Although perceived differently
from from country to country, corruption tends to include the following
behaviors: conflict of interest embezzlement, fraud, bribery, political
corruption, nepotism, secretarisme and extortion Dalam Lebanon Anti
–Corruption Initiate Report 1999, korupsi diartikan sebagai sebagai the
behaviour of private individuals or public officials who deviate from set
responsibilities and use their position of power inorder to serve private
ends and secure private gains (UNDCP).
Menurut World Bank dan Transparency International, korupsi
adalah the use of one’s public position for illegitimate private gains,
abuse of power and personal gain, however, can occur in both the public
and private domains and often in collusion with individuals from both
sector. Sedangkan menurut Lilik Mulyadi (2000), UU Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebenarnya tidak
mencantumkan definisi korupsi secara langsung
Korupsi berasal dari bahasa latin”Corruptio” atau Corruptus”
yang kemudian muncul dalam banyak bahasa Eropa seperti Inggris
“Corruption”, bahasa Belanda “korruptie” yang berarti penyuapan,
perusakan moral, perbuatan tak beres dalam jawatan, pemalsuan dan
sebagainya kemudian muncul dalam bahasa Indonesia ”Korupsi”. Dalam
Kamus Umum Bahasa Indonesia karya Poerwadarminta, kata korupsi
diartikan sebagai perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang,
penerimaan uang sogok dan sebagainya. (Djoko Prakoso. dkk. 1987: 389-
390).
b. Tipe-tipe Korupsi
Pengertian tindak pidana korupsi pada Pasal 21 sampai dengan 24
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 ada 4 tipe yaitu :
1) Pengertian Korupsi Tipe Pertama
Tindak pidana korupsi pertama terdapat dalam ketentuan Pasal
2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999. Secara lengkap redaksional
Pasal 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 menyebutkan bahwa :
a) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah)
b) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat
dijatuhkan
2) Pengertian Korupsi Tipe Kedua
Pada asasnya, pengertian korupsi tipe kedua diatur dalam
ketentuan Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, yang
redaksional selengkapnya berbunyi sebagai berikut .
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan atau denda
paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)
3) Pengertian Korupsi Tipe Ketiga
Pada asasnya, pengertian korupsi tipe ketiga terdapat dalam
ketentuan Pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13 Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 yang merupakan Pasal-pasal Kitab Undang-undang
Hukum Pidana/KUHP kemudian ditarik menjadi Tindak Pidana
Korupsi. Apabila dikelompokkan maka korupsi tipe tiga dibagi
menjadi 4 (empat) pengelompokan yaitu :
Penarikan perbuatan yang bersifat penyuapan, yakni Pasal
209, Pasal 210, Pasal 418, Pasal 419 dan Pasal 420 KUHP. Ketentuan
Pasal 209, Pasal 418, Pasal 419 dan Pasal 420 KUHP ditarik menjadi
Pasal 5, 6, 7, 11, 12, dan 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999.
Pada dasarnya menurut Pandangan doktrin Ilmu Pengetahuan Hukum
Pidana maka ketentuan Pasal 209 dan Pasal 210 dikategorikan ke
dalam penyuapan aktif (aktieve omkoping) dan ketentuan Pasal 418
KUHP, Pasal 419 KUHP dan Pasal 420 KUHP ke dalam penyuapan
pasif (passive omkoping). Ketentuan Pasal 209 KUHP (pemberi suap)
berpasangan dengan ketentuan Pasal 209 KUHP (pemberi suap)
berpasangan dengan ketentuan Pasal 418 KUHP dan Pasal 419 KUHP
(Pegawai negeri yang menerima suap). Sedangkan ketentuan Pasal
210 KUHP (Pemberi suap kepada hakim) berpasangan dengan
ketentuan Pasal 420 KUHP (Hakim yang menerima suap) terhadap
perkara yang ditanganinya. Apabila kita perhatikan lebih tajam,
mendalam dan terperinci walaupun penarikan perbuatan yang bersifat
penyuapan pada KUHP adalah serumpun, tetapi dalam Tindak Pidana
Korupsi ancaman pidana penjara atau dendanya mempergunakan
pidana minima/maksima yang bervariasi
4) Pengertian Korupsi Tipe Keempat
Pada asasnya, pengertian korupsi tipe keempat adalah tipe
korupsi percobaan, pembantuan atau pemufakatan jahat serta
pemberian kesempatan, sarana atau keterangan terjadinya Tindak
Pidana Korupsi yang dilakukan oleh orang luar wilayah Indonesia
(Pasal 15 dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999).
Konkretnya, perbuatan percobaan/poging sudah diintrodusir sebagai
Tindak Pidana Korupsi oleh karena perbuatan korupsi sangat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga
menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional
yang menuntut efisiensi tinggi maka percobaan melakukan tindak
pidana korupsi dijadikan mengingat sifat dari tindak pidana korupsi
itu, maka pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi
meskipun masih merupakan persiapan sudah dapat dipidana penuh
sebagai suatu tindak pidana sendiri.
Selanjutnya, identik pula dalam hal pemberian kesempatan,
sarana atau keterangan terjadinya tindak pidana korupsi yang dilakukan
oleh orang di luar wilayah Indonesia dimana pemberian bantuan,
kesempatan, sarana atau keterangan dalam ketentuan Pasal 16 Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999 adalah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi tujuan pencantuman konteks ini adalah untuk mencegah
dan memberantas tindak pidana korupsi yang bersifat transnasional atau
lintas batas teritorial sehingga segala bentuk transfer keuangan/harta
kekayaan hasil tindak pidana korupsi dapat dicegah secara maksimal dan
efektif. (Lilik Muliady, 2000 : 17)
c. Bentuk-bentuk korupsi
United national office on drugs and crime (2004) mencatat beberapa
bentuk korupsi serta cara operasinya yaitu :
1) Korupsi besar dan korupsi kecil dilihat dari beser kecilnya jumlah
uang yang dikorupsikan dan tingkatan yang melakukan;
2) Korupsi aktif yang berkaitan dengan penawaran atau pembayaran
suap dan korupsi tidak aktif yang berkaitan dengan penerimaan suap;
3) Suap dalam berbagai bentuk dan tujuan seperti influence-peddling
(menjual pengaruh) pejabat public atau politik atau orang dalam
pemerintah menjual privileges (keistimewaan) yang dimiliki atas
status mereka, yang tidak dimiliki oleh orang luar seperti akses
kepada atau pengruh terhadap pengambilan keputusan pemerintah;
suap dalam bentuk menawarkan atau menerima hadiah,pemberian
atau komisi;suap untuk menghindari uang atas pajak atau biaya
lain;suap dalam mendukung kecurangan; suap untuk menghindari
tuntutan kriminal; suap dalam mendukung persaingan yang tidak
sehat; suap sektor swasta misalnya pada kasus kridit macet di
bank;suap untu mendapatkan informasi rahasia.
4) Penggelapan, pencurian, dan kecurangan yang dilakukan ditempat
kerja;
5) Pemerasan pada calon pegawai (pejabat) untuk memuluskan jalan atau
karier;
6) Penyalah gunaan kekuasaan untuk tujuan-tujuan yang menyimpang
dari kepentingan umum dan merugika masyarakt luas;
7) Favoritisme (mengunggulkan seseorang atau sebagai perusahaan
untuk kepentingan terselubung), nepotisme (memenangkan seseorang
atau institusi yang pernah menyumbang atau berutang budi tertentu
dengan mengabaian aturan-aturan yang benar atau sah);
8) Membuat dan mengeksploitasi kepentingan yang saling bertentangan;
9) Konstribusi (dukungan atau sumbangan) politik tang berlebihan atau
tidak tepat. (majelis tarjih dan tajdid pp muhamadiyah ,2006:19-20)
B. Kerangka Pemikiran
Gambar 1 : Bagan Kerangka Pemikiran
Pengadaan Helikopter
Tindak Pidana Korupsi
Putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat
Perbedaan Pendapat Hakim
DISSENTING OPINION
Dampak
Penerapan
Penjelasan :
Salah satu kasus korupsi yang pernah terjadi di Indonesia adalah kasus
pengadaan helikopter yang melibatkan Ir H Abdullah Puteh. Dalam kasus tersebut
telah diputus di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam pembuatan putusan tersebut
timbul perbedaan oleh para hakim. Untuk mengatasi perbedaan pendapat para hakim
dalam memutuskan perkara tersebut diperlukan suatu Dissenting Opinion.
Dissening Opinion membenarkan perbedaan pendapat hakim (minoritas) atas
putusan pengadilan dissenting opinion merupakan suatu perbedaan pendapat hakim
dengan hakim lain. Diharapkan dengan adanya Dissenting Opinion ini dapat
membulatkan pendapat hakim yang berbeda-beda.
Berdasarkan hal tersebut penulis ingin mengetahui penerapan dissenting
opinion dalam proses pengambilan putusan perkara korupsi pengadaan helikopter
dengan terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh oleh Hakim pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Selain itu Penulis juga ingin mengetahuipengaruh penerapan dissenting opinion
terhadap putusan yang dijatuhkan oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam
perkara korupsi pengadaan helikopter dengan terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Dissenting Opinion Dalam Proses Pengambilan Putusan Perkara Korupsi
Pengadaan Helikopter Dengan Terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh Di
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
1. Deskripsi Kasus
Terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh, Msi, Gubernur Propinsi
Nanggroe Aceh Darusalam baik bertindak secara sendiri-sendiri atau
bersama-sama dan bersekutu dengan saksi Bram HD MaNopo, MBA,
Presiden Direktur PT Putra Pobiagan Mandiri (PPM) telah melakukan
serangkaian perbuatan yang berhubungan sehingga dipandang sebagai
suatu perbuatan yang dilajutkan pada bulan Februari 2001 sampai dengan
Juli 2004, bertempat di Jakarta dan Nanggroe Aceh Darusalam atau
setidak-tidaknya di tempat yan berdasarkan Pasal 54 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 30 tahun 2002, masih termasuk dalam wilayah hukum
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri jakarta Pusat
yang berwenang memeriksa dan mengadilinya, secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
kooperasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekoNomian
negara.
Inti perbuatan tindak pidana korupsi tersebut adalah Pembelian
Helikopter Model M1-2 Rostov Manufacturing Number 5111238082
untuk digunakan oleh Gubernur dalam melaksanakan tugas-tugas
Gubernur maupun Bupati-Bupati dan berkunjung ke daerah-daerah di
wilayah konflik di NAD. Pembelian menggunakan Dana Alokasi Umum
untuk setiap kabupaten/kotamadya yang telah disetujui oleh DPRD
kabupaten.
40
Ditinjau dari sudut perdataan, maka yang bertindak sebagai
Pembeli adalah H.Abdullah Puteh., para Bupati/Walikota dan DPRD yang
telah memberikan persetujuannya.
Dalam perkara ini tidak terungkap dengan jelas mengenai apakah
pembelian helikopter tersebut merupakan tindakan yang melawan hukum
ataukah prosedur pembelian helikopter tersebut dipandang merupakan
tindakan melawan hukum. Tidak disitanya helikopter sebagai barang
bukti hasil kejahatan membuktikan bahwa Dakwaan lebih diarahkan
kepada penyimpangan prosedur pembelian helikopter merupakan
tindakan yang memenuhi unsur melawan hukum.
2. Identitas Terdakwa
Nama Lengkap : Ir. H. ABDULLAH PUTEH, M.Si.
Tempat Lahir : Idi, Aceh Timur.
Umur/Tanggal Lahir : 56 Tahun/04 Juli 1948
Jenis Kelamin : Laki-laki
Kebangsaan/Kewarganegaraan : Indonesia
Tempat Tinggal :1. Jalan Sultan Alaidin Mahmudsyah No.
1 Banda Aceh.
2. Jalan Warung Sila No. 1 Ciganjur
Jakarta Selatan
Agama : Islam
Pekerjaan : Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam (yang dahulu disebut
Porpinsi Daerah Istimewa Aceh)
Pendidikan : Pasca Sarjana (52) Universitas
Indonesia
3. Dakwaan
Primer :
Perbuatan Terdakwa Ir. H. ABDULLAH PUTEH, M.Si., diancam pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 ayat (1) huruf a, b
ayat (2), (3) Undang-Undang Nomor: 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang Nomor: 20
Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana;
Subsider :
Perbuatan Terdakwa II Ir.H.Abdullah Puteh, Msi diancam pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 3 jo Pasal 18 ayat (1) huruf a, b, ayat (2),
(3) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi Jo Undang-Undang Nomor: 20 tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang No.31 tahun 1999 jo Pasal 55 ayat (1) ke
1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.
Di dalam menanggapi surat dakwaan tersebut, Terdakwa dan Penasihat
Hukum Terdakwa telah mengajukan eksepsi, dan terhadap eksepsi
tersebut telah diputus oleh Majelis Hakim melalui Putusan Sela
tertanggal: 10 Januari 2005, Nomor: 01/PID.B/TPK/2004/PN.JKT.PST.
4. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum
a. Menyatakan terdakwa Ir.H.ABDULLAH PUTEH,Msi, bersalah
melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dan diancam
pidana dalam Pasal2 ayat (1) jo Pasal 18 ayat a,b, ayat (2) (3)
Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001
tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo
Pasal 55 ayat (1) ke 1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP sebagaimana dalam
surat dakwaan primair;
b. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Ir.H.ABDULLAH
PUTEH,Msi, berupa pidana penjara selama 8 (delapan ) tahun dengan
dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan ditambah dengan
denda sebesar Rp.500.000.000,0 (lima ratus juta rupiah) subsidair
selama 6(enam) bulan kurungan dan dengan perintah terdakwa tetap
ditahan;
c. Menghukum terdakwa Ir.H.ABDULLAH PUTEH,Msi membayar
uang pengganti sebesar Rp.10.087.500.000,0 (sepuluh miliyar delapan
puluh tujuh juta lima ratus ribu rupiah), paling lama dalam waktu 1
(satu) bulan setelah perkaranya memperoleh kekuatan hukum tetap
dan apabila uang pengganti tersebut tidak dibayar, maka dipidana
dengan pidana penjara selama 1(satu) tahun;
d. Menyatakan barang bukti berupa :
1. 1 (satu) lembar asli rekening koran P.T. Putra Pobiagan Mandiri
Nomor : 1014941-01-7 bulan Juli 2002 pada Bank Bukopin Jl.
M.T. HaryoNo. Kav. 50-51
2. 1 (satu) lembar asli rekening koran P.T. Putra Pobiagan Mandiri
Nomor : 1014941-01-7 bulan Agustus 2002 pada Bank Bukopin
Jl. M.T. HaryoNo. Kav. 50-51
3. 1 (satu) lembar asli rekening koran P.T. Putra Pobiagan Mandiri
Nomor : 1014941-01-7 bulan Nopember 2002 pada Bank
Bukopin Jl. M.T. HaryoNo. Kav. 50-51
4. 1 (satu) lembar asli rekening koran P.T. Putra Pobiagan Mandiri
Nomor : 1014941-01-7 bulan Juli 2003 pada Bank Bukopin Jl.
M.T. HaryoNo. Kav. 50-51
5. 1 (satu) lembar Dokumen Pembayaran ke Rostov Mil dari IRZAL
CHANIAGO melalui City Bank Jakarta tanggal 18 Juli 2002
senilai US$.1007,00.00
6. 1 (satu) lembar Dokumen Pembayaran ke Rostov Mil dari IRZAL
CHANIAGO melalui City Bank Jakarta tanggal 8 Agustus 2002
US$.25,000.00
7. 1 (satu) lembar Dokumen Pembayaran ke Rostov Mil dari IRZAL
CHANIAGO melalui City Bank Jakarta tanggal 22 Agustus 2002
US$.30,000.00
8. 1 (satu) lembar Dokumen Pembayaran ke Rostov Mil dari IRZAL
CHANIAGO melalui City Bank Jakarta tanggal 25 September
2002 US$.10.000,00
9. 1 (satu) lembar Dokumen Pembayaran ke Rostov Mil dari IRZAL
CHANIAGO melalui City Bank Jakarta tanggal 11 Oktober 2002
US$.15.000,00
10. 1 (satu) lembar Dokumen Pembayaran ke Rostov Mil dari IRZAL
CHANIAGO melalui City Bank Jakarta tanggal 5 Nopember 2002
US$.400.000,00
11. 1 (satu) lembar Dokumen Pembayaran ke Rostov Mil dari IRZAL
CHANIAGO melalui City Bank Jakarta tanggal 6 Nopember 2002
US$.220.000,00
12. 1 (satu) lembar Dokumen Aplikasi Transfer Bank Bali dari
rekening Nomor : 0260185535 ke Rostov Mil PLC tanggal 22
Nopember 2002 US$.10.000,00
13. 1 (satu) lembar Dokumen Pembayaran ke Rostov Mil dari IRZAL
CHANIAGO melalui City Bank Jakarta tanggal 28 November
2002 US$.23.020,00
14. 1 (satu) buah buku CONTRACT OF SALE/PURCHASE Nomor :
28-00 OT 28-08-2001. Tanggal 28 Agustus 2001 atau PLC
EXPERIMENTAL DESIGN BUREAU ROSTOV-Mill RUSIA
dengan PT. PUTRA POBIAGAN MANDIRI.
15. 1 (satu) buah buku surat perjanjian bual/beli Nomor :
04/SPJB/2002 tanggal 26 Juli 2002 OF MI-2 HELICOPTERS
antara PT. Putra Pobiagan Mandiri dengan Pemerintah Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam.
16. 2 (tiga) lembar surat perjanjian tambahan No:
07/KOP/PRJ/X/2003 tanggal 21 Oktober 2003 terhadap Perjanjian
Pembelian Helikopter Jenis MI-2 Merek Rostov Mil Rusia untuk
Pemerintah Provinsi Aceh Nanggroe Darussalam No:
06/KOP/PRJ/VII/2002 taggal 21 Juli 2003 antara Gubernur Prop.
NAD dengan PT. Putra Pobiagan Mandiri
17. 1 (satu) lembar surat dari P.T. Bank BUKOPIN .Pusat Jakarta
tanggal 1 Juli 2004 Nomor : 4903/CBG/VII/2004 kepada BRAM
HD MANOPPO Presiden Direktur PT. PUTRA POBIAGAN
MANDIRI.
18. 1 ( satu) buku Akte Notaris N.R.MAKAHANAP No.7 tanggal 4
September 1987 Tentang Salinan Perubahan Anggaran Dasar
Perusahaan P.T PUTRA POBIAGAN MANDIRI dan akte
Notaris H. AZHAR ALIA,S.H., No. 96 tanggal 20 Juni 1991
tentang pernyataan Keputusan Rapat Umum Luar Biasa Para
Pemegang Saham P.T. PUTRA POBIAGAN serta keputusan
Menteri Nomor : C2-3299.HT.01.01-th.88, tanggal 9 April 1988
tentang Penetapan Persetujuan Akta Pendirian P.T. PUTRA
POBIAGAN MANDIRI
19. 1 (satu) lembar surat Deperatemen Keuangan RI Dirjen Pajak
Kantor Wilayah VI Jakarta Raya 1. Kantor Pelayanan Pajak
Jakarta Kebayoran Baru No. PEM-655/WPJ.04/KP.0803/2001
Tanggal 17 September 2001 tentang Surat Keterangan Terdaftar
sebagai Wajib Pajak.
20. 1 (satu) lembar surat dari Rostov Mil Experimental Design Bureau
tanggal 1 Januari 2002 tentang penunjukkan P.T PUTRA
POBIAGAN MANDIRI /P.T CATUR DAYA PRIMA sebagai
agen pemasaran MI-2 di Indonesia.
21. 1 (satu) lembar kartu NPWP Nomor 02.179-015.000 atas nama
PT. PUTRA POBIAGAN MANDIRI.
22. 1 (satu) lembar Surat Departemen Keuangan RI Dirjen Pajak
Kantor Wilayah IV DJP Jaya 1, Kantor Pelayanan Pajak Jakarta
Tebet No. PRM-25/WPJ.04/KP/0703/2002 tanggal 15 Mei 2002
tentang Surat ketetapan Terdaftar sebagai Wajib Pajak.
23. 1 (satu) lembar Surat Departemen Keuangan RI Dirjen Pajak
Kantor Wilayah IV DJP Jaya 1, Kantor Pelayanan Pajak Jakarta
Tebet No. PEM-1766/WPJ.04/KP/0703/2002 tanggal 15 Mei 2002
tentang Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Wajib Pajak.
24. 1 (satu) lemgar Surat Departemen Keuangan RI Dirjen Pajak
Kantor Wilayah IV DJP Jaya 1, Kantor Pelayanan Pajak Jakarta
Tebet No. S-176/WPJ.04/KP/0703/2002 tanggal 16 Mei 2002
tentang Pemberitahuan Nomor Kode Seri Faktur Pajak NPWP
No.02.279.019.0-015.000.
25. 1 (satu) lembar Surat dari Suku Dinas Perindustrian dan
Perdagangan Kotamadya Jakarta Selatan Nomor 464/8753/09-
04/PM./V2002 tanggal 21 Mei 2002 tentang Surat Izin Usaha
Perdagangan ( SIUP) Menengah.
26. 1 (satu) SURAT KUASA dari BRAM.HD.MANOPPO.MBA.
kepada Bpk. Kol.T. DJOHAN tanggal 15 Desember 2003.
27. 1 (satu) surat No. 2904/PPM/BM/IV/2004/Ltr tanggal 29 April
2004 dari P.T. PPM kepada Pimpro Pengadaan Kendaraan
Operasional Pemda NAD.
28. 1 (satu) surat No.2104/PPM/BM/IV/2004/Ltr tanggal 21 April
2004 dari P.T. PPM kepada Pimpro Pengadaan Kendaraan
Operasional Pemda NAD.
29. 1 (satu) lembar SURAT KUASA Nomor 27/KOP/KS/IX/2003.
30. 1 (satu) lembar Slip Bukti Transfer Bank MANDIRI sebesar US$
55,200 ke Helikopter Roplane Limited dari T. DJOHAN
BASYAR.
31. 1 (satu) lembar TANDA TERIMA uang dari P.T. CATUR DAYA
PRIMA DIRGANTARA senilai US$50,000
32. 1 (satu) lembar TANDA TERIMA uang dari P.T. CATUR DAYA
PRIMA DIRGANTARA senilai US$. 1,950,000
33. 1 (satu) lembar disposisi Gubernur sehubungan dengan surat dari
P.T. PUTRA POBIAGAN MANDIRI ditujukan kepada Bapak
Gubernur Propinsi Daerah Istimewa Aceh
No.0135/PPM/HM/VII.2001 perihal Pembayaran Uang Muk
Tanda Jadi.
34. 1 (satu) lembar Slip Setoran Bank BUKOPIN ke Rekening Nomor
: 0101.038492 a.n ABDULLAH PUTEH sebesar
Rp.3.750.000.000 (empat milyar rupiah).
35. 1 (satu) lembar Slip Setoran Bank BUKOPIN ke Rekening Nomor
: 0101.038492 a.n ABDULLAH PUTEH sebesar
Rp.3.750.000.000 (tiga milyar tujuh ratus lima puluh juta
rupiah).tanggal 13 Oktober 2002.
36. 1 (satu) lembar Slip Setoran Bank BUKOPIN ke Rekening Nomor
: 101.5960.015 a.n P.T PUTRA POBIAGAN ADIGUNA sebesar
Rp.1.2750.000.000 (satu milyar dua ratus tujuh puluh lima puluh
juta rupiah).tanggal 25 Juli 20023
37. 1 (satu) lembar kredit Nota tanggal 24 Juli 2003, Nomor rekening
1002211137 atas nama THANTHAWI ISHAK, S.H., sebesar
Rp.1.3.00.000.000.- ( satu miliyar tiga ratus juta rupiah).
38. 1 (satu) lembar Slip Setoran Bank BUKOPIN ke Rekening
Nomor 101.5960.015 a.n P.T PUTRA POBIAGAN ADIGUNA
sebesar Rp. 198.150.000,- ( seratus sembilan puluh delapan juta
seratus lima puluh ribu rupiah) tanggal 1 Juni 2004.
39. 1 (satu) lembar Pengantar ditujukan kepada Bagian Operasional
BPD Propinsi NAD, yaitu Bilyet Giro/Ceque/pos No. 051235
tanggal 8 Maret 2004 untuk dipindahkan buku pada Bank Mandiri
Cab. Banda Aceh an. T. Djohan Basyar No.Rek.133.00.0223282
sejumlah Rp. 964.350.000,-
( sembilan ratus enam puluh empat juta tiga ratus lima puluh ribu
rupiah )
40. 2 (dua) lembar Tanda Penerimaan dari Bank BPD Aceh untuk
rekening No 01.02.121007.1 a.n Zainuddin.SE. sebesar
Rp.15.693.151,- ( lima belas juta enam ratus sembilan puluh tiga
ribu seratus lima puluh satu rupiah) tanggal 6 Juli 2004.
41. 1 (satu) lembar bukti transfer dana via RTGS Bank BUKOPIN
Ap. Mushamdi Ses.Rel.Trn:105.0704 tanggal 6 Juli 2004 sebesar
Rp.2.300.000.000,- (dua milyar tiga ratus juta rupiah)
42. 1 (satu) lembar kwitansi tanda terima uang dari Pemda NAD
kepada PT. PPM.No.PPM/0014/2004 tanggal 15 Agustus 2002
sebesar Rp. 4.000.00.000,- ( empat milyar rupiah).
43. 1 (satu) lembar kwitansi tanda terima uang dari Pemda NAD
kepada PT. PPM.No.PPM/0014/2004 tanggal 5 Agustus 2003
sebesar Rp. 1.275.000.000,- ( satu milyar dua ratus tujuh puluh
lima juta rupiah).
44. 1 (satu) lembar kwitansi tanda terima uang dari Pemda NAD
kepada PT. PPM.No.PPM/0130/2004 tanggal 24 Pebruari 2004
sebesar Rp. 964.350.000,- ( sembilan ratu enam puluh empat juta
tiga ratur lima puluh ribu rupiah)
45. 1 (satu) lembar kwitansi tanda terima uang dari Pemda NAD
kepada PT. PPM.No.PPM/0160/2004 tanggal 15 Mei 2004 sebesar
Rp. 750.000.000,- (tujuh ratus lima puluh rupiah).
46. 1 (satu) lembar kwitansi tanda terima uang dari Pemda NAD
kepada PT. PPM.No.PPM/0175/2004 tanggal 13 Mei 2004 sebesar
Rp. 198.150.000,- (seratus sembilan puluh delapan juta seratus
lima puluh ribu rupiah).
47. 6 (enam) lembar rekening Nomor : 010.01.02.101007-1 Bank
BPD Aceh.
48. Pembukuan dana Helikopter Mi-2.
49. 1 (satu) lembar asli Potongan Cek No. AA.0263.34, tgl 15
Agustus 2001. Pinjaman Sementara Pemda (Heli) jumlah
Rp.4.000.000.000 ( empat milyar rupiah).
50. 1 (satu) lembar asli potongan Bilyet Giro No.AC.002152.tgl 26
September 2001, Pemegang Kasda Pindahan dari Rek. 12.11.86 ke
Rek.21090, jumlah Rp. 4.000.000.000,0 (empat milyar rupiah).
51. 1 (satu) lembar asli potongan Cek No.AA.071577.tgl 15 Juli 2002,
Pinjaman sementara pembelian 1 unit helikopter Gub jumlah Rp.
2.000.000.000,- (dua milyar rupiah).
52. 1 (satu) lembar asli potongan Cek No.AA.071578. tgl 30 Juli
2002, Biro Perwat Munawar, MSi untuk heli, jumlah
Rp.1.500.000.000,- ( satu milyar lima ratus juta rupiah)
53. 1 (satu) lembar asli potongan Cek No.AA.008438.tgl 10 Juli 2003,
Bram HD MaNoppo, MBA Dir PT. Putra Pobiagam Mandiri THP
I. Pem. Unit Helikopter MI-2, jumlah Rp. 3.500.000.000,- ( tiga
milyar lima ratus juta rupiah ).
54. 1 (satu) lembar asli potongan Cek No.AA.071581.tgl 30 Oktober
2002, lunas pembayaran Helikopter keperluan Gubernur NAD
jumlah Rp. 3.750.000.000,- (tiga milyar lima ratus juta rupiah )
55. 1 (satu) lembar asli potongan Bilyet Giro No.AD.003598.tgl 24
Juli 2003, Pinjaman sertifikat Asli Kelaikan Helikopter Pemda
kepada PT Putra Pobiagan Adiguna Jakarta, jumlah
Rp.1.275.000.000,- ( satu milyar dua ratus tujuh puluh lima juta
rupiah).
56. 1 (satu) lembar asli Potongan Cek No. AF 011862, tgl.16 Maret
2004, Dana pengoperasian hely Pemda NAD a.n. Marsimin
Ro.Perlengkapan jumlah Rp.964.350.000,- ( sembilan ratus enam
puluh empat juta tiga ratus lima puluh ribu rupiah)
57. 1 (satu) lembar asli Potongan Cek No. AF 011864, tgl.31 Mei
2004, Pembayaran dana Heli Drs. Chalid Ro. Perwa, jumlah
Rp.198.150.000,- ( seratus sembilan puluh delapan juta seratus
lima puluh ribu rupiah).
58. 1 (satu) buah Buku Penerimaan dan Pengeluaran asli, Kasda
Propinsi Daerah Istimewa Aceh B IX No. 10 Tahun 2001.
59. 1 (satu) buah buku Penerimaan dan Pengeluaran asli, Kasda
Propinsi Daerah Istimewa Aceh B IX No. 6 Tahun 2002.
60. 1 (satu) buah Buku Pembantu Bank Asli, Kas Daerah Istimewa
Aceh, Bank Pembangunan Daerah Migas ( 121.1090.1) No.1
Tahun Anggaran 2002.
61. 1 (satu) buah Buku Pembantu Bank Asli, Kas Daerah Istimewa
Aceh, Bank Pembangunan Daerah Migas ( 121.186) Tahun
Anggaran 2001.
62. 1 (satu) lembar Tanda Penerimaan asli dari PT. Bank BPD Aceh
Kantor pusat Operasional untuk rekening 121090 (Migas) atas
nama pemegang Kas Daerah Banda Aceh tgl.20 September 2001,
sejumlah Rp.4.000.000.000,- (empat milyar rupiah).
63. 9 (sembilan) lembar Rekening Koran Asli dari Bank BPD Aceh
untuk rekening giro atas nama Rekening Khusus PPH/PPN Nomor
rek:121007.1 terdiri dari : periode 15/03/01 s.d 31/12/01 (1
lembar); 02/01/02 s.d 30/05/02 (1 lembar); 01/06/02 s.d 11/6/02 (1
lembar); 12/06/02 s.d 20/07/04 ( 5 lembar); 06/07/04 s.d 20/07/04
( 1 lembar0.
64. 1 (satu) lembar asli Potongan Cek No. AA 027351, tgl. 11
Pebruari 2001, Potongan UT Pengadaan Helikopter Dari Dana
perlakuan Khusus Kab/Kota, jumlah Rp.5.100.000.000,- ( lima
milyar seratus juta rupiah).
65. 1 (satu) lembar Surat No. 0135/PPM/BM/VII/2001 tanggal 15 Juli
2001 yang ditujukan kepada Gubernur Daerah Istimewa Aceh,
perihal : Pembayaran Uang Muka Tanda Jadi.
66. 1 (satu) lembar Surat pengantar No. 63/KASDA/2001 tanggal 2
Oktober 2001 dari Bendaharawan Umum/Pemegang Kas Daerah
(Zainuddin, SE) ditujukan kepada Bagian Operasional BPD
Istimewa Aceh.
67. 13 (tiga belas) potongan cek asli Nomor ; AC 002153, AC
002154, AC 002155, AC 002156, AC 002157, AC 002158, AC
002159, AC 002160, AC 002161, AC 002162, AC 002164, AC
002165, AC 002166
68. 1 (satu) lembar asli Rekening Koran Bangk Pembangunan Daerah
Istimewa Aceh atas nama: Dana Alokasi Khusus dengan alamat
THANTAWI ISHAK,S.H., M.M (Sekda), jenis rekening Giro
Nomor 121196.9 periode : 03/09/2001 s/d 30/09/2001
69. 1 (satu) lembar Permohonan Pengiriman Uang sebesar US$1,950
(seribu sembilan ratus lima puluh US Dollar) dari Bank BNI
Kantor Cabang Setia Budhi Building Jakarta tertanggal 4 Pebruari
2004, atas nama INDRA SURYA DJANI, SE (PT Catur Daya
prima Dirgantara). Kepada Life & TechNologies.Ltd. (Accra
Ghana, Spintex Road, Regimanual Estate “Golden Gate” Gray
Hill No.4 Po.Box AN19932 Accra North, Ghana.
70. Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 48 tahun
2001 tentang perubahan APBC Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam tahun anggaran 2001.
71. Keputusan Gubernur Nomor : 62 tahun 2001 tentang penjabaran
perubahan APBD Kegiatan/Pasal dan Proyek APBD Tahun
Anggaran 2001.
72. Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 6 tahun 2002
tentang Sisa Perhitungan APBC Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
73. Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5 tahun 2002
tentang APBC Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun
Anggaran 2002.
74. Keputusan Gubernur Nomor: 19 Tahun 2002 tentang Penjabaran
Pendapatan, Kegiatan/Pasal dan Proyek APBD tahun anggaran
2002.
75. Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 15 tahun
2003 tentang Perhitungan APBC Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam Tahun Anggaran 2002.
76. DIPDA Proyek Nomor : 150/DIPDA/2002 tanggal 29 Juni 2002,
Pengesahan Proyek Pembangunan Daerah Propinsi tahun 2002.
77. SKO Nomor : 147/P/2002 tanggal 10 Juli 2002 sebesar Rp. 6
milyar tentang Otorisasi Anggaran Pembangunan.
78. SKO Nomor : 255/R/2001 tanggal 24 September 2001 sebesar Rp.
35 milyar tentang Otorisasi Anggaran Belanja Rutin.
79. Keputusan Gubernur Nomor: 45 Tahun 2001 tanggal 28 Agustus
2001 tentang Penetapan Rincian Jumlah Bantuan Pemberlakuan
Khusus untuk Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota dalam
Propinsi Daerah Istimewa Aceh Beserta lampirannya.
80. Keputusan Gubernur Nomor: KU 024/6269 tanggal 26 Desember
Tahun 2001 kepada Pimpinan DPRD Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam perihal Persetujuan Prinsip Pengadaan Helikopter.
81. Keputusan Gubernur Nomor: KU 024/6269 tanggal 20 Oktober
Tahun 2001 kepada Pimpinan DPRD Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam tentang Persetujuan Prinsip Pengadaan Helikopter.
82. Keputusan Gubernur Nomor: KU 570/3758 tanggal 2 Agustus
Tahun 2001 kepada Para Bupati/Walikota dalam Propinsi
Nanggroe Aceh Darussalam hal Sumber Dana Tambahan
Penyertaan Modal Pemerintah Daerah dan Biaya Pengadaan
Helikopter.
83. SPMU Nomor : 1536/PT/2001 tanggal 30 Juli 2002 Pembayaran
Tahap 1 Pembelian 1 (satu) Unit Helikopter jenis M1-2 atas
bebasn Proyek Pengadaan Kendaraan Operasional Pemda Propinsi
Nanggroe Aceh Darussalam sebesar Rp.3.500.000.000,-.
84. SPMU Nomor : 4723/RT/2001 tanggal 29 September 2001 atas
nama rekening Kas Daerah kota Banda Aceh untuk Pembayaran
Biaya Pengadaan Pesawat Helikopter dan Bantuan Perlakuan
Khusus sebesar Rp.2.712.500.000,-
85. SPMU Nomor : 4724/RT/2001 tanggal 29 September 2001 atas
nama Rekening Kas Daerah Kota Sabang untuk pembayaran
Biaya Pengadaan pesawat Helikopter dan bantuan perlakuan
Khusus sebesar Rp.2.607.500.000,-
86. SPMU Nomor : 4725/RT/2001 tanggal 29 September 2001 atas
nama Rekening Kas Daerah Kabupaten Aceh Besar di Janto untuk
Pembayaran Biaya Pengadaan Pesawat Helikopter dan Bantuan
Perlakuan Khusus Sebesar Rp.2.712.500.000
87. SPMU Nomor : 4726/RT/2001 tanggal 29 September 2001 atas
nama Rekening Kas Daerah Kabupaten Pidie di Siglie untuk
Pembayaran Biaya Pengadaan Pesawat Helikopter dan Bantuan
Perlakuan Khusus Sebesar Rp.2.695.000.000,-
88. SPMU Nomor : 4727/RT/2001 tanggal 29 September 2001 atas
nama Rekening Kas Daerah Kabupaten Bireuen untuk
Pembayaran Biaya Pengadaan Pesawat Helikopter dan Bantuan
Perlakuan Khusus Sebesar Rp.2.719.500.000,-
89. SPMU Nomor : 4728/RT/2001 tanggal 29 September 2001 atas
nama Rekening Kas Daerah Kabupaten Aceh Utara di
Lhokseumawe untuk Pembayaran Biaya Pengadaan Pesawat
Helikopter dan Bantuan Perlakuan Khusus Sebesar
Rp.2.688.000.000,-
90. SPMU Nomor : 47229/RT/2001 tanggal 29 September 2001 atas
nama Rekening Kas Daerah Kabupaten Aceh Timur di Langsa
untuk Pembayaran Biaya Pengadaan Pesawat Helikopter dan
Bantuan Perlakuan Khusus Sebesar Rp.2.688.000.000,-
91. SPMU Nomor : 4730/RT/2001 tanggal 29 September 2001 atas
nama Rekening Kas Daerah Kabupaten Aceh Tengah di Tekengon
untuk Pembayaran Biaya Pengadaan Pesawat Helikopter dan
Bantuan Perlakuan Khusus Sebesar Rp.2.870.000.000,-
92. SPMU Nomor : 4731/RT/2001 tanggal 29 September 2001 atas
nama Rekening Kas Daerah Kabupaten Aceh Barat di Meulaboh
untuk Pembayaran Biaya Pengadaan Pesawat Helikopter dan
Bantuan Perlakuan Khusus Sebesar Rp.2.695.000.000,-
93. SPMU Nomor : 4732/RT/2001 tanggal 29 September 2001 atas
nama Rekening Kas Daerah Kabupaten Aceh Selatan di
Tapaktuan untuk Pembayaran Biaya Pengadaan Pesawat
Helikopter dan Bantuan Perlakuan Khusus Sebesar
Rp.2.677.000.000,-
94. SPMU Nomor : 4733/RT/2001 tanggal 29 September 2001 atas
nama Rekening Kas Daerah Kabupaten Aceh Tenggara di
Kotacane untuk Pembayaran Biaya Pengadaan Pesawat Helikopter
dan Bantuan Perlakuan Khusus Sebesar Rp.2.695.000.000,-
95. SPMU Nomor : 4734/RT/2001 tanggal 29 September 2001 atas
nama Rekening Kas Daerah Kabupaten Aceh Singkil di Singkil
untuk Pembayaran Biaya Pengadaan Pesawat Helikopter dan
Bantuan Perlakuan Khusus Sebesar Rp.2.677.000.000,-
96. SPMU Nomor : 47235/RT/2001 tanggal 29 September 2001 atas
nama Rekening Kas Daerah Kabupaten Simeuleu di Sinabang
untuk Pembayaran Biaya Pengadaan Pesawat Helikopter dan
Bantuan Perlakuan Khusus Sebesar Rp.2.572.500.000,-
97. Surat Pernyataan Bupati/Ketua DPRD Simeuleu No, :
KU.900/88/2001 tanggal 7 Agustus 2001
98. Surat pernyataan Bupati/Ketua DPRD Aceh Singkil No. :
KU.900/71/2001 tanggal 7 Agustus 2001
99. Surat pernyataan Bupati/Ketua DPRD Aceh Utara No. :
KU.900/2974 tanggal 7 Agustus 2001
100. Surat pernyataan Bupati/Ketua DPRD Aceh Singkil No. :
KU.900/71/2001 tanggal 7 Agustus 2001
101. Surat pernyataan Bupati/Ketua DPRD Selatan tanggal 7 Agustus
2001
102. Surat pernyataan Bupati/Ketua DPRD Aceh Tenggara No. :
KU.900/32/2001 tanggal 7 Agustus 2001
103. Surat pernyataan Bupati/Ketua DPRD Aceh Barat No. :
KU.900/375/2001 tanggal 7 Agustus 2001
104. Surat pernyataan Bupati/Ketua DPRD Sabang No. :
027/1304/2001 tanggal 7 Agustus 2001
105. Surat pernyataan Bupati/Ketua DPRD Pidie No. : 900/18/2001
tanggal 7 Agustus 2001
106. Surat pernyataan Bupati/Ketua DPRD Aceh Timur No. :
8653a/18/2001 tanggal 7 Agustus 2001
107. Surat pernyataan Bupati/Ketua DPRD Aceh Tengah No. :
KU.900/71/2001 tanggal 7 Agustus 2001
108. 1 (satu) budel foto copy yang telah dilegalisir oleh Sekda
Propinsi NAD, yaitu Surat Perjanjian Pembelian Nomor :
05/KOP/PRJ/VII/2002 tanggal 10 Juli 2002 Pekerjaan :
Pengadaan Helikopter jenis Mi-2 Merk PLC ROSTOV MIL
RUSIA untuk pembda Propinsi Aceh Darussalam.
109. 1 (satu) lembar foto Copy yang telah dilegalisir oleh Sekda
Provinsi NAD, yaitu Berita Acara Penyerahan untuk Sertifikasi
Nomor : 01/BA/KOP/II/2003 tanggal 25 Pebruari 2003.
110. LOI No 553.3/23580 tanggal 28 Juni 2001.
111. Persetujuan Prinsip Pengadaan Helikopter dari DPRD Aceh
No.065/962 tanggal 12 Juni 2002.
112. Penetapan Penunjukkan Bendaharawan Proyek dan Pimpinan
Proyek No. KU.954/155/2002, tanggal 18 Juni 2002.
113. Surat Gubernur NAD No.602/23393 tanggal 29 Juni 2002 perihal
Rekomendasi Penunjukkan langsung.
114. Keputusan Gubernur NAD No.602.126.2002 tanggal 8 Juli 2002
tentang penunjukkan PT.PPM sebagai pelaksana pengadaan
pesawat Helikopter Mi-21.
115. Saving Account Statement Periode Januari 2001 s/d Desember
2001 dari PT. Bank Bukopin Nomor Tabungan 101038492.
116. Saving Account Statement Periode Januari 2002 s/d Desember
2002 dari PT. Bank Bukopin Nomor Tabungan 101038492.
117. Saving Account Statement Periode Januari 2003 s/d Desember
2003 dari PT. Bank Bukopin Nomor Tabungan 101038492.
118. Saving Account Statement Periode Januari 2004 s/d Desember
2004 dari PT. Bank Bukopin Nomor Tabungan 101038492.
119. Berita Acara Serah Terima No.02/BA/KP/II/2003.
Agar tetap dilampirkan dalam berkas perkara untuk dipergunakan dalam
perkara lain, sedangkan :
120. 1 (satu) buku keputusan Bupati Aceh Barat tentang Penjabaran
Anggaran Pendapatan Kegiatan dan Proyek Perubahan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah TA 2001.
121. 1 (satu) lembar asli P.T. Bank BPD Aceh No.
CD.3958/AKT/06/2001 tanggal 17 Oktober 2001 ditujukan
kepada Kasda Kabupaten Aceh Barat di Meulaboh yang
ditandatangani oleh Pemimpin Cabang P.T. Bank BPD Aceh
JOHAN ARIFIN, S.H.
122. 1 (satu) lembar asli pembukuan 1.3.4.002 tentang Peny. Uang
DAKCN. 3958/AKT06/2001 tanggal 17 Oktober 2001 sebesar
1.995.000.000 (satu milyar sembilan ratus sembilan puluh
lima juta rupiah)
123. 1 (satu) lembar asli warna hijau muda Surat Tanda Setoran
sebesar Rp.1.995.000.000.-
124. 1 (satu) lembar asli buku Kas Umum Penerimaan dan
pengeluaran TA 2001 halaman 528.
125. Asli 1 (satu) buah buku Keputusan Bupati Pidie Nomor : 380
tahun 2001 tentang penjabaran Realisasi kegiatan /Pasal dan
Proyek Anggaran pendapatan dan Belanja Daerah Tahun
Anggaran 2001.
126. Asli 1 (satu) buah buku Perubahan Anggaran Pendapatan Dan
Belanja Daerah Kebupaten Pidie Tahun Anggaran 2001
127. Asli 1 (satu) buah Buku Perhitungan Anggaran Pendapatan
Dan Belanja Daerah Kabupaten Pidie Tahun Anggaran 2001.
128. 1 (satu) asli Potongan buku Kas Penerimaan Dan Pengeluaran
tertanggal 27-10-2001 Halaman :543 # tahun anggaran 2001
yang ditandatangani oleh Kabag Keuangan Setda Pidie H.M.
Djamil Gani, S.E., M.Si.
129. 1 (satu) lembar asli Nota Kredit Nomor : 166/08/DJ/IX/2001,
Sigli tanggal 04 Oktober 2001 dari P.T. BANK
PEMBANGUNAN DAERAH ISTIMEWA ACEH CABANG
SIGLI, dengan nilai uang sejumlah Rp. 1.995.000.000,- (satu
milyar sembilan ratus sembilan puluh lima juta rupiah).
130. 1 (satu) Bundel salinan (copy) Peraturan Bupati Aceh Selatan
Nomor 10 tahun 2001 tentang Perubahan APBD TA 2001
beserta lampirannya.
131. 1 (satu) Bundel salinan (opy) Keputusan Bupati Aceh Selatan
No.LU.913/567/ TA 2001 tentang Penjabaran Anggaran
Pendapatan kegiatan dan Proyek perubahan APBD beserta
lampirannya.
132. 1 (satu) lembar Surat perintah membayar uang No. :
00041.RT.2001 . Tapaktuan 03 Desember 2001 dengan nilai
uang sejumlah Rp.700.000.000,- ( tujuh ratus juta rupiah).
Dengan kertas berwarna biru.
133. 1 (satu) lembar asli surat yang ditujukan kepada Kasda
Kabupaten Aceh Selatan di Tapaktuan dengan jumlah uang
Rp. 1.967.000.000,- ( satu milyar sembilan ratus enam puluh
tujuh juta rupiah) dari P.T. Bank BPD Istimewa Aceh No. :
1388/901/2001 tanggal 03/10/2001.
134. 1 (satu) lembar foto copy sesuai dengan aslinya yang ditanda
tangani oleh Sekda kabupaten Aceh Selatan Drs. H.T. Meurah
Hasan, M.Si. buku Kas Penerimaan dan Pengeluaran
Kabupaten Aceh Selatan TA 2001, hal. 677.
135. 1 (satu) asli Buku BIX Nomor : VIII (delapan) mulai halaman
653 s/d 748 TA 2001 (Buku Kas Umum Penerimaan dan
Pengeluaran).
136. 1 (satu) lembar Nota kredit No221/Akt/2001 tanggal 5
Oktober 2001 yang telah dilegalisir.
137. 1 (satu) lembar asli koran (rekening giro) Bank Pembangunan
Daerah Nomor 1201002.5 atas nama KTR.
WALIKOTAMADYA SABANG periode : 01/10/2001 s/d
31/10/2001.
138. 1 (satu) lembar asli Surat Perintah Membayar Uang Nomor :
165/RT/2001 tanggal 31 Desember 2001 yang ditanda tangani
oleh Kabag Keuangan Setda Sabang Sdr. Ramelan Janas, S.E.,
senilai Rp. 700.000.000,- (tujuh ratus juta rupiah).
139. 1 (satu) buku Keputusan Walikota Sabang No. : 603 Tahun
2001 tentang Penjabaran Perhitungan Anggaran Pendapatan,
Kegiatan/Pasal dan Proyek APBD TA 2001
140. 1 (satu) asli buku keputusan walikota Sabang Nomor :
679/KEP/2001 tentang Penjabaran Perhitungan Anggaran
Pendapatan, Kegiatan/Pasal dan Proyek APBD TA 2001
Dikembalikan kepada orang dari siapa barang bukti tersebut disita.
e. Menetapkan agar terdakwa Ir.H.ABDULLAH PUTEH, M.Si,
membayar biaya perkara sebesar Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah)
5. Pembelaan terdakwa dan penasehat Hukum
Nota pembelaan dari terdakwa yang pada pokoknya sebagai berikut ;
a. Bahwa KPK tidak berwenang melakukan penyidikan penyidikan dan
penuntutan, terhadap perkara yang terjadi sebelum tanggal 27
Desember 2002 (saat Undang-Undang KPK) ditetapkan ;
b. Bahwa dakwaan penuntut umum tidak terbukti;
Nota pembelaan dari penasehat hukum terdakwa,yang pada pokoknya
sebagai berikut;
a. Menerima pembelaan dari tim penasehat hukum terdakwa
Ir.H.ABDULLAH PUTEH,Msi,;
b. Menyatakan dakwaan demikian juga akibat hukumnya dengan
tuntutan pidana penuntut umum pada KPK tidak dapat diterima;
c. Menyatakan terdakwa Ir.H.ABDULLAH PUTEH,Msi, tidak terbukti
secara sah dan menyakinkan melanggar Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 18 ayat
(1) huruf a,b, ayat (2),(3) Undang-Undang No 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.UU No.20 tahun 2001
tentang perubahan atas UU No 31 Tahun 1999 jo. Pasal 55 Ayat (1)
ke- 1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP jo. Pasal 3 jo.Pasal 18 ayat (1)huruf
a,b, ayat (2),(3), Undang-Undang No 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.UU No.20 tahun 2001
tentang perubahan atas UU No.31 tahun 1999 jo. Pasal55 ayat (1) ke-i
jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP;
d. Membebaskan terdakwa Ir.H.ABDULLAH PUTEH,Msi, dari setiap
dan semua dakwaan;
e. Mengembalikan dan merehabilitasi nama baik terdakwa pada harkat
dan martabatnya semula;
f. Membebankan biaya perkara terhadap negara.
6. Penerapan Dissenting Opinion Terhadap Putusan Yang Dijatuhkan
oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Dalam Perkara
Korupsi Pengadaan Helikopter Dengan Terdakwa Ir. H. Abdullah
Puteh
Menimbang, bahwa pada Putusan Sela
No.01/Pid.B/TPK/2004/PN.JKT.PST. tanggal 10 januari 2005 pada
pertimbangan hukum pada poin 1, tentang penangguhan dengan alasan
Preaiudideell Ceschill, di mana pada pertimbangan hukumnya antara lain
sebagai berikut:
"Bahwa di situ pihak, perkara yang kita hadapi sekarang ini adalah
perkara pidana yaitu perkara Tindak Pidana Korupsi, dan di lain pihak
perselisihan hukum (Pre-ludicieell Geschill) yang dijadikan alasan
keberatan Terakwa dan Penasihat Hukumnya adalah bahwa objektum litis
sebagai titik preajudicieell mengenai kewenangan KPK yang berlaku
surut, masih dalam proses pemeriksaan (hak uji materil ) di Mahkamah
Konstitusi sesuai dengan Nomor register 069/PUU-ll/ 2004 tanggal 11
Nopember 2004, sedangkan pemeriksaan prosesual kewenangan KPK
memiliki objectum litis yang sama pada proses persidangan perkara
pidana terhadap Terdakwa sekarang ini."
"Bahwa dengan hal-hal yang mempertimbangkan di atas pemeriksaan
perkara ini tetap dilanjutkan sepanjang belum ada putusan Mahkamah
Konstitusi yang menyatakan lain."
Menimbang, bahwa perkara No.069/PUU-ll/2004 telah diputus oleh
Mahkamah Konstitusi tanggal 15 Februari 2005, di dalam pertimbangan
hukumnya Mahkamah Konstitusi, mempertimbangkan secara sistimatis
kaitan Pasal 68, 72 dan Pasal 70 sebagai berikut:
a. Pasal 72 Undang-Undang KPK yang berada di bawah judul Bab
Ketentuaan Penutup, selengkapnya berbunyi: Undang-Undang ini
berlaku pada tanggal diundangkan, tanggal pengundangan Undang-
Undangan dimaksud adalah 27 Desember 2002. Dengan rumusan
Pasal 72 tersebut jelas bahwa Undang-Undang KPK berlaku kedepan
(prospective) yaitu sejak tanggak 27 Desember 2002, artinya
keseluruhan Undang-Undang a quo hanya dapat diberlakukan
terhadap peristiwa pidana yang tempus delictinya terjadi sebelum
Undang-Undang a quo diundangkan. Secara argumentum a contrario
Undang-Undang ini tidak berlaku terhadap peristiwa pidana yang
tempus delictinya terjadi sebelum Undang-Undang a quo
diundangkan;
b. Pasal 70 Undang-Undang KPK menyatakan bahwa " Komisi
Pemberantasan Korupsi melaksanakan tugas dan wewenangnya paling
lambat 1 ( satu ) tahun setelah Undang-Undang ini di undangkan ".
Pasal ini adalah mengatur tentang saat KPK mulai melaksanakan
tugas dan wewenangnya yaitu paling lambat 1 (satu) tahun setelah
Undang-Undang a quo diundangkan. Undang-Undang a quo
diundangkan pada tanggal 27 Desember 2002 sekaligus berarti saat itu
pulalah KPK melaksanakan tugas dan wewenangnya;
c. Pasal 68 Undang-Undang KPK, yang berada di bawah Bab ketentuaan
Peralihan (Bab XI) menyatakan semua tindakan penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan Tindak Pidana Korupsi yang proses
hukumnya belum selesai pada saat terbentuknya Komisi
Pemberantasan Korupsi berdasarkan ketentuan sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 9 dan seterusnya;
Menimbang, bahwa dari pertimbangan Mahkamah Konstitusi
tersebut di atas yang menjadi pokok persoalan hukum yang harus
dipertimbangkan dalam perkara ini a quo perkara Ir. H. Abdullah Puteh,
M.Si adalah:
a. Apakah KPK mengambil alih proses hukum yang sebelumnya
dilakukan oleh Lembaga Kepolisian dan Kejaksaan atau tidak;
b. Kapan tempus delicti peristiwa pidana terjadi a quo Ir. H. Abdullah
Puteh, M.Si;
Menimbang, bahwa pertama-tama kami akan pertimbangkan, apakah
KPK telah mengambil alih proses hukum yang dilakukan sebelumnya
oleh Kepolisian dan Kejaksaan atau tidak;
Menimbang, bahwa berdasarkan Berita Acara Penyidikan oleh KPK
No.BP/01 .Xl/ 2004/KPK tanggal 29 Nopember 2004, terlihat bahwa
KPK melakukan tindakan penyidikan berdasarkan laporan kejadian
Korupsi No.LKK/02/VI/2004/KPK tanggal 25 Juni 2004, yang dilaporkan
oleh AKBP Yurod Saleh, Penyidik pada Sat Gas KPK (Komisi
Pemberantasan Korupsi), dan berdasarkan laporan tersebut KPK
melakukan penyidikan terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi yang
dilakukan oleh Ir. H. Abdullah Puteh, M.Si., dengan dasar Surat Perintah
Penyidikan No. Sprint-DIK/02/VI/2004/P.KPK tanggal 29 Juni 2004, dan
selanjutnya dilakukan Penuntutan oleh KPK dengan melimpahkan
perkara ini ke Pengadilan dengan Surat Dakwaan
No.01/TUT.KPK/XII/2004 yang terdaftar di Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan
No.01/Pid.B/TPK/2004/PN.JKT.PST.
Menimbang, bahwa Terdakwa dipersidangan juga menerangkan bahwa ia
sebelumnya belum pernah diperiksa oleh Kepolisiaan atau Kejaksaan
dalam perkara ini;
Menimbang, bahwa di dalam berita acara penyidik tersebut juga tidak
ditemukan Surat atau bukti lainnya, bahwa penyidik KPK melakukan
proses a quo dalam perkara ini dengan cara pengambil alihan proses
hukum yang belum selesai yang dilakukan oleh Lembaga Kepolisian atau
Kejaksaan, yang juga berwenang melakukan proses hukum penyidikan
tindak pidana korupsi, yang telah ada sebelum KPK terbentuk.
Menimbang, bahwa dengan demikian KPK dalam perkara a quo, dalam
melakukan proses hukum murni menggunakan kewenangan berdasarkan
Pasal 6 c, dan bukan berdasarkan Pasal 68 Undang-Undang No. 30 tahun
2002 Tentang Komisi Pemberantas Tindak Pidana Korupsi.
Menimbang bahwa berdasarkan Dakwaan Penuntut Umum dan dikuatkan
oleh saksi-saksi dan Terdakwa serta bukti surat, terbukti dari rentetan
peristiwa tersebut tempus delictinya telah terjadi beberapa tindak pidana
sejak Februari 2002 sampai 5 Nopember 2002 sebelum KPK terbentuk
tanggal 27 Desember 2002;
Menimbang, bahwa meskipun ada rentetan peristiwa pidana yang di
dalamnya terdapat perbuatan melawan hukum yang juga terjadi setelah
tanggal 27 Desember 2002, hal tersebut tidaklah dapat dipisah-pisahkan,
karena sesuai dengan Dakwaan Penuntut Umum di mana Terdakwa
didakwa melakukan tindak pidana Korupsi yang dilakukan secara
bersama-sama sebagai perbuatan berlanjut (lihat dakwaan baik Primair
maupun subsidair);
Menimbang, bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, KPK murni
melakukan proses hukum berdasarkan Pasal 6 c, bukan pengambilalihan
proses hukum yang belum selesai berdasarkan Pasal 68 Undang-Undang
No.30 Tahun 2002 dan tempus delicti nya terjadi a quo perkara Ir. H.
Abdullah Puteh, M.Si. sebelum tanggal 27 Desember 2002 (sebelum KPK
terbentuk), maka kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan berlaku ketentuan Pasal 70 jo. Pasal 72
Undang-Undang No.30 Tahun 2002, di mana kewenangan KPK berlaku
ke depan (prospective), yaitu sejak tanggal 27 Desember 2002 (Undang-
Undang diundangkan). Artinya keseluruhan Undang-Undang a quo hanya
dapat diperlakukan terhadap peristiwa pidana yang tempus delictinya
terjadi setelah Undang-Undang dimaksud diundangkan. Secara
agumentum a contrario, Undang-Undang ini tidak berlaku terhadap
peristiwa pidana yang tempus delictinya terjadi sebelum Undang-Undang
a quo diundangkan, kecuali dalam hal penerapan Pasal 68
(pengambilalihan hukum yang belum selesai) dan harus memenuhi
ketentuan Pasal 9 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002;
Menimbang, bahwa sebab kami mempertimbangkan kewenangan KPK
karena menurut salah satu asas KPK sebagaimana tersebut dalam Pasal 5
Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 adalah kepastian hukum,
proporsionalitas dan demikian juga menurut penjelasan umum Undang-
Undang No. 30 tahun 2002 pada alinea VI, pengaturan kewenangan
KPKdilakukan secara berhati-hati agar tidak terjadi tumpangtindih
kewenangan dengan berbagai instansi;
Menimbang, bahwa adapun instansi yang berwenang melakukan
penyelidikan, penyidikan menurut Pasal 6 ayat (1) huruf a KUHAP
adalah Polri, sedangkan Jaksa diatur dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP jo.
Pasal 17 PP No. 27 Tahun 1983;
Menimbang, bahwa terhadap kewenangan (kompetensi) tersebut di-
pertimbangkan, karena menyangkut hukum acara dan hukum acara
merupakan ketentuan hukum yang baku tidak dapat ditafsirkan lain, selain
ditentukan dalam Undang-Undang tersebut;
Menimbang, bahwa setiap Tersangka berhak diselidiki, dan disidik di atas
landasan sesuai dengan hukum acara, tidak boleh undue process, hak due
process dalam tindakan penegakan hukum bersumber dari cita-cita
Negara hukum yang menjunjung tinggi supremasi hukum (the law is
supreme) yang menegaskan "kita diperintah oleh hukum dan bukan oleh
orang (government of law and not of men). Konsep due process dikaitkan
dengan landasan menjunjung tinggi supermasi hukum". Di dalam
menangani tindak pidana tidak seorangpun berada dan menempatkan diri
di atas hukum (No one is above the law) dan hukum harus diterapkan
kepada siapapun berdasar prinsip perlakuan dan dengan cara yang jujur
(fait manner). Esensi due process: setiap penegakan dan penerapan
hukum pidana sesuai dengan "persyaratan konstitusional" serta harus
"menaati hukum". Due process tidak "membolehkan pelanggaran"
terhadap suatu bagian ketentuan hukum dengan dalih menegakkan bagian
hukum lain.
Menimbang bahwa penyelesaian Tindak Pidana Korupsi harus didasarkan
atas ketentuan dan procedure yang berlaku, menyandarkan diri "Rule of
Law", bahwa penyimpangan Hukum Acara Pidana (Umum) masih harus
bergerak dalam batas yang diakui oleh prinsip dalam Negara Hukum.
Selanjutnya dalam symposium Tracee Baru pada tahun 1966 mengenai
Indonesia Negara hukum, adanya 3 (tiga) ciri dari unsur utama dalam
Negara hukum Indonesia, yaitu:
a. Pengakuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia;
b. Peradilan bebas dan tidak memihak;
c. Legalitas dalam arti hukum baik formil maupun materiil;
Menimbang, bahwa Oemar Senoadji, (2007:32) berpendapat suatu
perUndang-Undangan mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
dalam aspek hukum Pidana materiil maupun Hukum Acara Pidana dalam
Negara hukum Indonesia; berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dan
Pancasila; tidak akan meninggalkan hak azasi manusia dan prinsip
legalitas, yang dalam Negara hukum manapun dipandang sebagai
palladium dari kepastian hukum, apa lagi sistem Peradilan bebas, dari
factor extra-judisiel dan dari paksaan ("compulsion") dan jauh dari
tekanan, direktiva atau rekomendasi dari executive dan legislative;
Menimbang, bahwa sebagaimana diketahui fungsi Peradilan tidak lain
dalam rangka memeriksa dan mengadili perkara untuk mewujudkan
kebenaran dan keadilan (to enforce the truth justice) atau menemukan
keadilan menurut hukum (Legal Justice) yaitu suatu keadilan yang
diwujudkan berdasarkan sistem hukum yang dianut (according to legal
system), jadi suatu keadilan yang lahir dari proses peradilan sesuai dengan
hukum acara yang berlaku (dueprocess);
Menimbang, bahwa dengan demikian proses peradilan bukan semata-
mata menemukan keadilan moral (not moral justice) yang lepas dalam
kaitan penyelesaian perkara ataupun sistem hukum yang dianut, maka
keadilan diharapkan harus didasarkan pada ketentuan yang terdapat dalam
Undang-Undang dan berbagai peraturan lainnya yang mengatur
kewenangan Majelis untuk memeriksa dan mengadili perkara ini,
sehingga proses penegakan hukum dilakukan secara professional dan
proporsionalitas sehingga diharapkan diperoleh keadilan yang
sebenarnya;
Menimbang, bahwa Hakim adalah tangan keadilan, bukan algojo bagi
sekedar nafsu hukum, tangan keadilan Hakim bukan saja untuk
memuaskan khalayak ramai, atau korban, tetapi juga keadilan untuk
pelaku dan keluarganya, rasa malu, tercoreng yang mungkin akan
dikenang turun temurun merupakan faktor sosiologis yang harus
dipertimbangkan. Keadilan Hakim adalalh keadilan Komprenhensif,
bukan keadilan sesaat atau untuk kepentingan tertentu (Sambutan Ketua
Mahkamah Agung R.I. pada pembukaan Rapat Kerja Nasional tanggal
27-30 September 2004 halaman 4 dan 5);
Menimbang, bahwa Hakim dalam hal tertentu juga tidak kaku dalam
menerapkan hukum hal ini terbukti dalam putusan sela, eksepsi lainnya
dari Penasihat Hukum yang lainnya tidak mendasar, telah
dikesampingkan;
Menimbang, bahwa karena tentang kewenangan suatu lembaga penegak
hukum adalah kaitan dengan HAM, dan dalam hukum acara pidana
merupakan hal yang mendasar suatu proses penegakan hukum;
Menimbang, bahwa dengan adanya kewenangan KPK yang berlaku
kedepan atau Prospective sebagaimana pertimbangan Mahkamah
Konstitusi tersebut dan juga uraian-uraian tersebut di atas di mana dalam
penegakan hukum harus didasarkan hukum acara yang berlaku (due
process), maka berarti KPK tidak berwenang melakukan penyelidikan
atau penyidikan terhadap tindak pidana yang tempus delictinya yang
terjadi sebelum KPK terbentuk, in casu tindak pidana yang dilakukan
oleh Terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh, M.Si. sebelum tanggal 27
Desember 2002 (Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 diundangkan);
Menimbang, bahwa oleh karena KPK tidak berwenang melakukan
penyelidikan dan penyidikan, maka Berita Acara yang dibuat oleh KPK
dinyatakan tidak sah, sehingga Surat Dakwaan a quo yang berasal dari
Berita Acara yang tidak sah menyebabkan surat dakwaan tersebut tidak
sah pula atau tidak dapat diterima sebagai dasar pemeriksaan perkara
tindak pidana korupsi atas nama Terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh, M.Si.,
dengan demikian Penahanan yang dilakukan oleh KPK terhadap
Terdakwa juga tidak sah;
Demikianlah pendapat dari Hakim Ketua dan Hakim Anggota I yang
berbeda pendapat dengan Hakim-Hakim Anggota lainnya dalam
musyawarah untuk mengambil keputusan, dan pendapat ini merupakan
satu kesatuan dengan putusan ini, sebagaimana yang dimaksud Pasal 19
ayat (5) Undang-Undang No. 4 Tahun 2002 Tentang Kekuasaan
Kehakiman.
7. Putusan Hakim
Berdasarkan pembuktian yang diperoleh dalam persidangan yang
berupa keterangan baik dari Terdakwa maupun dari saksi-saksi, maka
Hakim menjatuhkan putusan sebagai berikut :
MENGADILI
a. Menyatakan terdakwa Ir.H.ABDULLAH PUTEH, MSi , terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana
Korupsi;
b. Menjatuhkan pidana oleh karenanya terhadap terdakwa
Ir.H.ABDULLAH PUTEH, Msi., dengan pidana penjara selama 10
(sepuluh) tahun dan denda sebesar Rp. 500.000.000,00 ( lima ratus
juta rupiah), subsider 6 (enam) bulan kurungan;
c. Menghukum terdakwa Ir.H.ABDULLAH PUTEH, Msi., untuk
membayar uang pengganti sebesar Rp. 3.687.500.000,00 ( tiga milyar
enam ratus delapan puluh tujuh juta lima ratus ribu rupiah), selambat-
lambatnya 1 (satu) bulan setelah putusan ini memperoleh kekuatan
hukum tetap, subsider 1 (satu) tahun pidana penjara;
d. Memerintahkan Terdakwa tetap berada dalam tahanan;
e. Memerintahkan barang-barang bukti berupa surat-surat dan berkas-
berkas sebagaimana tercantum dalam daftar bukti, dikembalikan
kepada Penuntut Umum untuk keperluan lain;
f. Menghukum terdakwa Ir.H.ABDULLAH PUTEH, Msi., untuk
membayar biaya perkara sebesar Rp. 10.000,00 (sepuluh ribu rupiah).
Demikian diputuskan dalam rapat permusyawaratan Majeis Hakim
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat pada Hari: Senin, tanggal 20 Maret 2005 oleh kami: KRESNA
MENON.,S.H.,M.Hum., sebagai Ketua Majelis, GUSRIAL, S.H.,
Drs.H.DUDU DUSWARA, S.H.,M.Hum., I MADE HENDRA
KUSUMA, S..H., M.Hum., dan H.ACHMAD LINON, S.H., masing-
masing sebagai Hakim Anggota. Putusan mana diucapkan dalam
sidang terbuka untuk umum pada Hari Senin, tanggal 11 April 2005,
oleh Majelis Hakim tersebut, dengan didampingi oleh HADI
SUKMA, S.H., DAN SUSILAWATI, S.H., sebagai Panitera
Pengganti, dan dihadiri oleh KHAIDIR RAMLI, S.H., YESSI
ESMIRALDA, S.H. dan WISNU BAROTO, S.H., M.Hum., sebagai
Penuntut Umum dan tanpa dihadiri Terdakwa dan Penasihat
Hukumnya.
8. Pembahasan
Dalam KUHAP diatur mengenai tingkatan pemeriksaan suatu
perkara pidana. Tahapan tingkat pemeriksaan tersebut terdiri atas tahap
pemeriksaan pendahuluan dan tahap pemeriksaan di sidang pengadilan.
Apabila pemeriksaan sidang dinyatakan selesai seperti yang diatur dalam
Pasal 182 ayat (1) KUHAP, tahap proses persidangan selanjutnya ialah
penuntutan, pembelaan, dan jawaban. Tibalah saatnya hakim ketua
mejelis menyatakan “ pemeriksaan dinyatakan ditutup”. Pernyataan
inilah yang mengantar persidangan ke tahap musyawarah hakim, guna
menyiapkan putusan yang akan diajukan pengadilan.
Sebenarnya, dari tahap-tahap tingkat pemeriksaan tersebut yang
paling ditunggu-tunggu ialah keluarnya putusan hakim. Putusan
pengadilan merupakan pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang
terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala
tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-
Undang.
Pengambilan putusan dalam perkara pidana diatur dalam Pasal
182 ayat 4 KUHAP. Untuk menentukan suatu putusan perlu diadakan
musyawarah terlebih dulu oleh majelis hakim, dalam musyawarah
tersebut didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti
dalam pemeriksaan di sidang. Dalam musyawarah tersebut, hakim ketua
majelis memberi kesempatan kepada setiap anggota majelis untuk
memberikan pendapat disertai dengan alasannya dan yang memberi
pendapat terakhir ialah ketua majelis (Pasal 182 ayat 5 KUHAP).
Pada asasnya putusan yang dikeluarkan majelis hakim tersebut
merupakan hasil permufakatan bulat. Namun, apabila setelah diusahakan
dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai kesepakatan, maka berlaku
ketentuan bahwa putusan yang diambil merupakan putusan yang diambil
dengan suara terbanyak, jika suara terbanyak tidak juga dapat terpenuhi
maka putusan yang dipilih adalah pendapat hakim yang paling
menguntungkan bagi terdakwa (Pasal 182 ayat 6 KUHAP ).
Apabila putusan diambil seperti ketentuan dalam ayat (6)
tersebut, maka dicatat dalam buku himpunan putusan yang disediakan
khusus untuk keperluan itu dan isi buku tersebut sifatnya rahasia.
Dikaitkan dengan munculnya pranata dissenting opinion , di
dalam KUHAP belum mengaturnya, karena pranata tersebut belum lama
dikenal di Indonesia dan belum banyak diterapkan dalam peradilan di
Indonesia. Pasal 182 Ayat (6) KUHAP, Hukum Acara (Pidana) Indonesia
masih mengandalkan sistem tertutup dan rahasia berdasarkan pendekatan
konservatif. Adanya suatu putusan harus dilandasi suatu permufakatan
bulat, kecuali apabila dengan sungguh-sungguh permufakatan bulat tidak
dapat dicapai, maka putusan diambil dengan suara terbanyak dengan tetap
memperhatikan prinsip In Dubio Proreo (yang paling menguntungkan
terdakwa), bahkan penjelasan Pasal tersebut menegaskan bahwa
dissenting opinion tersebut dicatat dalam berita acara sidang majelis yang
bersifat rahasia. Seolah, dissenting opinion yang terbuka dianggap hal
yang tabu saja(Indriyanto seNo Adji, 2001).
Dengan diaturnya dissenting opinion oleh Undang-Undang No. 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang No. 5
Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, maka hakim menjadi lebih
berani dalam menerapkan dissenting opinion dalam proses pengambilan
putusan.. Kasus korupsi pengadaan helikopter dengan terdakwa Abdulah
Puteh, merupakan salah satu contoh penerapan disseneting opinion.
Majelis hakim Pengadilan Tipikor menyatakan bahwa terdakwa
Abdulah Puteh bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan
menjatuhkan pidana penjara selama 10 (sepuluh ) Tahun dan denda
sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), subsider 6 (enam )
bulan kurungan. Majelis hakim terdiri dari 5 orang, yaitu 1 orang hakim
ketua dan 4 orang hakim anggota.
Adanya dissenting opinion dalam pemeriksaan perkara korupsi pengadaan
Helikopter tersebut, bisa diketahui dari adanya perbedaan pendapat dari 2
orang hakim, yaitu Hakim ketua dan Hakim anggota I. Perbedaan
pendapat tersebut terjadi dalam musyawarah untuk mengambil keputusan.
Perbedaan pendapat tersebut merupakan satu kesatuan dengan keputusan
sebagai mana yang dimaksud Pasal 19 ayat (5) Undang-Undang No 4
tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Di dalam Pasal 30 ayat (4)
UU No. 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung disebutkan bahwa dalam
hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat
hakim agung yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.
Hakim Ketua, KRESNA MENON dan Hakim Anggota I
GUSRIAL, berpendapat bahwa kewenangan KPK adalah berlaku kedepan
atau Prospective. Hal tersebut didasarkan kepada pertimbangan
Mahkamah Konstitusi. Kresna Menon dan Gusrial juga berpendapat KPK
tidak berwenang melakukan penyelidikan atau penyidikan terhadap tindak
pidana yang tempus delictinya yang terjadi sebelum KPK terbentuk, in
casu tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh,
M.Si. sebelum tanggal 27 Desember 2002 (Undang-Undang No. 30
Tahun 2002 diundangkan).
Selanjutnya karena KPK tidak berwenang melakukan penyelidikan
dan penyidikan, maka Berita Acara yang dibuat oleh KPK dinyatakan
tidak sah, sehingga Surat Dakwaan a quo yang berasal dari Berita Acara
yang tidak sah menyebabkan surat dakwaan tersebut tidak sah pula atau
tidak dapat diterima sebagai dasar pemeriksaan perkara tindak pidana
korupsi atas nama Terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh, M.Si.. Dengan
demikian Penahanan yang dilakukan oleh KPK terhadap Terdakwa
Abdullah Puteh juga dianggap tidak sah.
Praktek pengadilan yang melarang hakim mengeluarkan
dissenting opinion dapat pula diketahui dalam Buku II Pedoman
Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan yang dikeluarkan oleh
Mahkamah Agung. Dalam Buku II tersebut diatur bahwa dalam hal dua
pendapat yang sama, hakim yang kalah suara seyogyanya menerima
pendapat tersebut. Selanjutnya, diatur bahwa hakim yang kalah suara
dapat menuliskan pendapatnya dalam sebuah buku ( catatan hakim)
khusus yang dikelola oleh ketua pengadilan negeri dan bersifat rahasia.
Meskipun ketentuan itu bukan paksaan, tetapi hanya sebatas anjuran,
anggota majelis hakim tetap terikat dengan ketentuan Mahkamah Agung.
Menurut Pasal 19 ayat 3 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman, sebelum hakim mengambil keputusan akan diadakan
musyawarah hakim terlebih dahulu dimana musyawarah tersebut bersifat
rahasia. Musyawarah tersebut harus didasarkan pada surat dakwaan dan
segala sesuatu yang terbukti dalam sidang pemeriksaan di pengadilan. Dalam
sidang permusyawaratan, setiap hakim menyampaikan pertimbangan atau
pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa. Pertimbangan atau
pendapat tertulis hakim tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
putusan (Pasal 19 ayat 4 UU No. 4 Tahun 2004). Pencantuman dasar dan
pertimbangan hukum dalam sebuah putusan sangatlah penting, karena tanpa
adanya suatu dasar dan pertimbangan hukum maka dapat menyebabkan
putusan tersebut batal demi hukum.
Praktek peradilan di Indonesia menentukan asas pemeriksaan dan
memutus perkara dengan hakim majelis, kecuali undang-undang menentukan
lain. Terhadap perkara pidana pada umumnya majelis terdiri dari tiga orang
atau lima orang hakim yang dipimpin satu orang hakim sebagai ketua majelis
dan hakim lainnya sebagai anggota majelis. Pemeriksaan dan putusan oleh
hakim tunggal hanya berlaku untuk perkara tindak pidana anak, tindak pidana
ringan, dan pra peradilan atau dapat juga dilakukan setelah mendapat izin
Ketua Mahkamah Agung (Penetapan Ketua Mahkamah Agung) karena alasan
kekurangan hakim.
Penerapan sistem majelis dalam memeriksa dan memutus perkara
pidana mempunyai beberapa kelemahan, salah satunya ialah ada
kemungkinan seorang hakim tidak mendalami suatu perkara dan
menyerahkan tanggung jawab tersebut pada hakim yang lainnya. Dengan
begitu, putusan yang diambil hanya didasarkan pada pendapat anggota yang
ditugasi mendalami perkara atau pada hakim yang rajin mendalami perkara
tersebut. Potensi kelemahan ini makin besar ketika ada ketua majelis hakim
yang menyerahkan tanggungjawab tersebut pada anggota majelis.
Pasal 19 ayat 4 UU No. 4 Tahun 2004 Tentang kekuasaan menyebutkan
bahwa setiap hakim wajib untuk menyampaikan pertimbangan atau pendapat
tertulis terhadap perkara yang ia periksa dan pertimbangan tersebut menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dalam putusan. Hal ini menandakan bahwa
setiap hakim baik berkedudukan sebagai ketua majelis maupun sebagai
anggota majelis diwajibkan untuk mendalami suatu perkara dengan sungguh-
sungguh dan tidak boleh bergantung pada hakim yang lain.
Adanya kewajiban bagi setiap hakim yang menyidangkan perkara untuk
memberikan pertimbangan dan pendapat tertulis mengakibatkan majelis
hakim tersebut mempunyai pendapat sendiri-sendiri. Dengan keadaaan seperti
itu, ada kemungkinan pendapat para hakim sama diantara satu dengan yang
lain. Namun, ada juga kemungkinan hakim saling berbeda pendapat
(dissenting opinion) satu dengan yang lain.
Dissenting opinion merupakan opini atau pendapat yang dibuat oleh
satu atau lebih anggota majelis hakim yang tidak setuju (disagree) dengan
keputusan yang diambil oleh mayoritas anggota majelis hakim (Pontang
Moerad, 2005: 111). Dengan demikian Esensi dari suatu dissenting opinion
adalah penolakan anggota majelis (minoritas) terhadap putusan (yang telah
disepakati mayoritas).
Ada beberapa kemungkinan terjadinya dissenting opinion yang pertama
ialah perbedaan mulai dari dasar-dasar pertimbangan sampai pada putusan hal
ini terjadi ketika ada hakim yang dalam dasar pertimbangan dan bentuk
putusan yang ia keluarkan berbeda dengan hakim yang lain., kedua perbedaan
pada dasar-dasar pertimbangan tetapi tidak ada perbedaan pada putusan,
ketiga ialah ada persamaan-persamaan pertimbangan tetapi berbeda putusan
(Bagir Manan, 2006: 14).
B. Implikasi Dissenting Opinion Terhadap Putusan Yang Dijatuhkan oleh
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Dalam Perkara Korupsi
Pengadaan Helikopter Dengan Terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh
Di dalam proses pengambilan putusan perkara korupsi pengadaan
helikopter dengan terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh di Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi, ada perbedaan pendapat di antara lima anggota majelis
hakim. Dua hakim anggota yaitu, KRESNA MENON.,S.H.,M.Hum., sebagai
Ketua Majelis dan GUSRIAL, S.H., sebagai hakim anggota I berpendapat
bahwa Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak berwenang
melakukan penyidikan terhadap perkara korupsi dengan terdakwa Ir. H.
Abdullah Puteh. Sebaliknya tiga hakim anggota lainnya, yaitu Drs.H.DUDU
DUSWARA, S.H.,M.Hum., I MADE HENDRA KUSUMA, S..H., M.Hum.,
dan H.ACHMAD LINON, S.H tidak berpendapat seperti itu.
Implikasi dari adanya perbedaan pendapat diantara lima hakim yang
memeriksa perkara korupsi pengadaan Helikopter terhadap putusan yang
dijatuhkan terhadap terdakwa Abdullah Puteh adalah bahwa putusan
didasarkan kepada suara terbanyak. Dengan demikian putusan ditentukan
berdasarkan suara mayoritas diantara lima anggota majelis hakim.
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa diantara lima anggota majelis hakim
yang memeriksa perkara korupsi Abdullah Puteh, hanya dua orang hakim
anggota yang menyatakan perbedaan pendapat, sedangkan tiga orang hakim
anggota lainnya sepakat.
Ratio antara jumlah hakim yang berbeda pendapat dengan hakim yang
sepakat adalah dua berbanding tiga. Dengan demikian tiga suara hakim
anggota merupakan mayoritas. Dengan suara mayoritas ini, maka terdakwa Ir.
H. Abdullah Puteh oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan
bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan oleh
Jaksa Penuntut Umum.
Pada asasnya putusan dalam musyawarah majelis hakim merupakan
hasil permufakatan bulat, kecuali apabila telah diusahakan dengan sungguh-
sungguh tidak juga dicapai kata mufakat, maka putusan diambil dengan suara
terbanyak. Apabila suara terbanyak tidak juga diperoleh maka putusan yang
diambil adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa.
Untuk pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan, hal
tersebut tersurat dalam Pasal 19 ayat (5) UU No. 4 Tahun 2004 Tentang
Kekuasaan Kehakiman. Dengan demikian, dapat diketahui proses
pengambilan putusan tersebut, apakah merupakan permufakatan bulat atau
ada hakim yang berbeda pendapat.
Dengan berlakunya prinsip dissent, maka setiap anggota majelis mampu
menjelaskan dan mengambil peranan aktif, dengan mengajukan keberatan
atau argumentasinya terhadap keputusan yang diambil. Dengan demikian,
keputusan yang diambil bukanlah keputusan kompromistis, tetapi suatu
putusan yang memiliki keragaman pemikiran dan kebenaran. Meskipun
keberatan dan argumentasi dari minoritas anggota majelis hakim itu tidak
akan mempengaruhi putusan yang telah diambil oleh majelis hakim mayoritas
dengan suara terbanyak(pontang Moerad, 2005,112)
Adanya pranata dissenting opinion atau pencantuman perbedaan
pendapat diantara majelis dalam pengambilan putusan sehingga ada hakim
minoritas yang menolak putusan hakim mayoritas dan dimuat dalam putusan
membuat masyarakat dapat menilai kemampuan dan kredibilitas seorang
hakim. Hakim yang berani mempertahankan pendapatnya walaupun berbeda
dengan putusan yang mempunyai kekuatan hukum menunjukkan bahwa
hakim tersebut sungguh-sungguh dalam mendalami suatu perkara. Hakim
tersebut pasti mempunyai dasar yang kuat didalam pertimbangannya sehingga
ia tetap mempertahankan pendapatnya tersebut. Walaupun, harus disadari
bahwa pendapat hakim yang berbeda tidak menentukan benar tidaknya
pendapat tersebut, tetapi obyektivitas pendapat tersebut diserahkan kepada
publik, baik kalangan akademis, praktisi maupun justiabelen melalui cara
eksaminasi terhadap putusan hakim.
Putusan yang dibuat oleh hakim berdasarkan obyektivitas perkara yang
dihadapinya, maka hakim dalam hal ini tidak merasakan suatu kekhawatiran
dari segala impact maupun efek putusan yang dibuatnya, karena ia dapat
mempertanggungjawabkannya berdasarkan integritas, kejujuran, dan
kapabelitas yang melekat pada dirinya (Indriyanto Seno Adji dalam Subagio
Gigih Wijaya, 2007: 1).
Menurut Subagio Gigih Wijaya (2007, 49), sebenarnya kebijakan
internal lembaga peradilan sudah sejak lama membolehkan seorang hakim
untuk menyatakan perbedaan pemikirannya dengan pemikiran mayoritas
hakim dalam suatu putusan. Perbedaannya, dahulu perbedaan tersebut tidak
diumumkan atau dilampirkan dalam putusannya, namun hanya disimpan
sebagai catatan (guna keperluan evaluasi kinerja hakim) di buku khusus yang
disimpan ketua pengadilan. Permasalahannya, sangat sedikit hakim yang mau
atau berani menggunakan hak tersebut.
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan apa yang telah diuraikan di dalam bab hasil penelitian dan
pembahasan, maka Penulis dapat merumuskan 2 (dua) simpulan sebagai
berikut :
1. Dissenting Opinion Dalam Proses Pengambilan Putusan Perkara Korupsi
Pengadaan Helikopter Dengan Terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh Di
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terlihat dengan adanya perbedaan
pendapat dari dua orang hakim, yaitu hakim ketua dan hakim anggota I.
Hakim ketua dan Hakim anggota I berpendapat bahwa KPK tidak
berwenang melakukan penyelidikan atau penyidikan terhadap perkara
korupsi pengadaan Helikopter dengan terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh.
Keadaan tersebut disebabkan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
Abdullah Puteh terjadi sebelum diundangkannya UU No. 30 tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu tanggal 27
Desember 2002. Dengan tidak diperbolehkannya KPK melakukan
penyelidikan atau penyidikan terhadap perkara korupsi tersebut, maka
berita acara pemeriksaan KPK dianggap tidak sah. Surat dakwaan yang
dibuat berdasarkan berita acara pemeriksaan yang tidak sah, berakibat
surat dakwaan yang menjadi dasar pemeriksaan persidangan juga
dianggap tidak sah. Penahanan terhadap Abdullah Puteh juga dianggap
tidak sah karena didasarkan kepada penyidikan yang tidak sah.
2. Implikasi Dissenting Opinion Terhadap Putusan Yang Dijatuhkan oleh
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Dalam Perkara Korupsi
Pengadaan Helikopter Dengan Terdakwa Ir. H. Abdullah Puteh adalah
bahwa putusan didasarkan suara mayoritas diantara lima anggota majelis
hakim. Mayoritas suara hakim, yaitu sejumlah tiga orang hakim anggota
berpendapat bahwa KPK berwenang melakukan penyidikan terhadap
perkara korupsi pengadaan Helikopter dengan terdakwa Ir. Abdullah
Puteh. Dengan adanya suara mayoritas tersebut, maka terdakwa
dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana
didakwakan oleh jaksa penuntut umum.
B. Saran
1. Hakim sejogianya lebih berhati-hati, cermat dan bijaksana dalam
mempergunakan pranata dissenting opinion, agar didapat putusan yang adil
bagi semua pihak
2. Proses musyawarah untuk pengambilan putusan harus dilakukan secara
transparan dan akuntabel agar tidak ada kesan ditutup-tutupi.
3. Ketentuan mengenai dissenting opinion perlu diatur lebih tegas dan
terperinci dalam perundang-undangan yang berlaku.
80
DAFTAR PUSTAKA
Andi Hamzah. 1985 . Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta :Galia Indonesia.
Bagir Manan. 2006. Dissenting Opinion. Jakarta: IKAHI
Darwan Prinst . 2002 . Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bandung : PT.Citra Aditya Bakti.
Evi Hartanti . 2006 . Tindak Pidana Korupsi . Jakarta : Sinar Grafika .
Harun M.Husein . 1991 . Penyidikan dan Penuntutan Dalam Proses Pidana . Jakarta :PT.Rineka Cipta.
HB. Sutopo .1999 . Metode Penelitian Kualitatif . Bandung : PT. Remaja Rosda Karya.
__________. 2002 . Metode Penelitian Kualitataf (Dasar-Dasar Teoritis dan Praktis). Surakarta : Pusat Penelitian.
Klitgaard Robert . 2001 . Membasmi Korupsi . Jakarta : Yayasan Obor Indonesia
M. Dawam Rahardjo . 1999 . Menyikapi Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme . Yogyakarta : Aditya Media .
Moch. Faisal Salam, 2001. Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek. Bandung : Mandar Maju.
Martiman Prodjohamidjojo . 1978 . Kekuasaan Kejaksaan dan Penuntutan . Bandung : Alumni.
______________________. 2001 . Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi . Bandung : CV. Mandar Maju.
Pontang Moerad. 2005. Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana. Bandung: PT.Alumni
Soerjono Soekanto . 1984 . Pengantar Penelitian Hukum . Jakarta : Universitas Indonesia Press .
Soenarto Soeryodibroto, 2003. KUHP & KUHAP. Rajawali Pers
Subagio Gigih Wijaya, 2007, Pranata Dissenting Opinion Sebagai Instrumen Meningkatkan Tanggung Jawab Individual Hakim Dalam Memutus Perkara Pidana Ditinjau Dari Undang-Undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Winarno Surakhmad . 1982 . Pengantar Penelitian Ilmiah . Yogyakarta : Transito.
Lilik Mulyadi, S.H., M.H. 2007. Tindak Pidana Korupsi di Indonesia (Normatif, Teoretis, Praktis dan Masalahnya).Bandung : PT Alumni .
Yahya Harahap, 2002. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta. Sinar Grafika.
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
Putusan Nomor : 01/Pid.B/TPK/2004/PN.Jkt.Pst
.
.
Top Related