PENERAPAN ASAS PROPORSIONALITAS DALAM PEMBAGIAN ROYALTI
PERTAMBANGAN EMAS PT. FREEPORT INDONESIA
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh
NEVO AMABA
NIM: 1111048000021
KONSENTRASI HUKUM BISNIS
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/ 2015 M
i
ii
iii
iv
ABSTRAK
Nevo Amaba, NIM 1111048000021, “PENERAPAN ASAS PROPORSIONALITAS
DALAM PEMBAGIAN ROYALTI PERTAMBANGAN EMAS PT FREEPORT
INDONESIA”, Konsentrasi Hukum Bisnis, Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 1436 H/ 2015 M. ix
+ 73 halaman. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui penerapan asas proporsionalitas dalam
pembagian royalti emas oleh PT. Freeport Indonesia dan upaya pemerintah dalam
menjatuhkan sanksi kepada PT. Freeport Indonesia karena tidak mematuhi Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012. Latar belakang skripsi
ini adalah masih banyaknya perusahaan asing pemegang kontrak karya yang tidak mau
melakukan renegosiasi kontrak yang salah satu poin tersebut adalah penyesuaian royalti.
Penelitian ini menggunakan tipe penelitian library research, yang mengkaji berbagai
dokumen yang terkait dengan penelitian. Metode yang digunakan penulis adalah metode
yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach).
Selanjutnya ada tiga bahan hukum yang digunakan yaitu bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder dan bahan hukum tersier. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam pembagian
royalti antara PT. Freeport Indonesia dengan Pemerintah Indonesia dapat dikatakan tidak
terdapat asas proporsionalitas dari awal pembuatan kontrak hingga penerapan isi kontrak.
Belum ada sanksi terkait PT. Freeport Indonesia belum menyesuaikan royalti emas dari 1%
menjadi 3,75%. Tetapi pada akhirnya PT. Freeport sudah menandatangani nota kesepahaman
renegosiasi yang terdiri dari 6 poin yang salah satunya mengenai penyesuaian royalti.
Kata kunci : Asas Proporsionalitas, Royalti, Undang-Undang Mineral
dan Batu Bara
Dosen Pembimbing : Dr. H. Nahrowi, S.H. M.H.
Hotnidah Nasution, M.A.
Daftar Pustaka : Tahun 1967 s.d Tahun 2015
iv
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahhim ....
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat,
nikmat, dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “PENERAPAN
ASAS PROPORSIONALITAS DALAM PEMBAGIAN ROYALTI PERTAMBANGAN
EMAS PT. FREEPORT INDONESIA”. Shalawat serta salam penulis sampaikan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Untuk dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini,
penulis banyak mendapatkan bantuan serta arahan dari berbagai pihak, sehingga dalam
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang ta terhingga kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. selaku dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, SH., MH. selaku ketua Program Studi Ilmu
Hukum dan Drs. Abu Thamrin,. SH,. M. Hum selaku sekretaris Program Studi Ilmu
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. H. Nahrowi SH., MH. dan Hotnidah Nasution MA. selaku dosen pembimbing
yang telah bersedia menjadi pembimbing dalam penulisan skripsi ini dengan penuh
kesabaran, perhatian, dan ketelitian memberikan arahan dan masukan kepada penulis
serta meluangkan waktunya demi memberikan bimbingan kepada penulis hingga
skripsi ini selesai
4. Kepada Ibu Subur, Pak Priyo, Pak Made, Pak Hersonyo, Pak Syarifudin, ibu Nena
dan staf-staf di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Direktorat Jenderal
Mineral dan Batu Bara yang telah bersedia mengarahkan penulis dan menyempatkan
melakukan wawancara dengan penulis.
v
vi
5. Segenap staf Perpustakaan Utama dan segenap staf Perpustakaan Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas guna
melakukan studi kepustakaan.
6. Segenap dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
khususnya dosen program studi Ilmu Hukum yang telah memberikan ilmu
pengetahuan dengan tulus dan ikhlas, semoga ilmu pengetahuan yang sudah diberikan
dapat bermanfaat bagi penulis dan semoga Allah SWT senantiasa membalas jasa-jasa
beliau serta menjadikan semua kebaikan ini sebagai amal di akhirat kelak.
7. Kedua orang tua tercinta yaitu bapak Sutardi dan Ibu Rutinah, terima kasih atas segala
kasih sayang serta selalu memberikan motivasi, nasihat, semangat serta kasih
sayangnya kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
8. Kepada Awwaliyah Nasyiah yang telah memberikan semangat, nasihat, dan motivasi
serta kasih sayangnya.
9. Kepada Syarif Chidayatulloh sahabat penulis sedari smp, yang telah menjadi teman
untuk bertukar pikiran dalam penulisan skripsi.
10. Sahabat-sahabat penulis di grup ‘KUE LAPIS’ yaitu Idham, Ilyas, Ihsan, Ririn,
Musyrifah, Suci terima kasih atas semangat perjuangan selama kuliah dan penulisan
skripsi.
11. Sahabat-sahabat grup ‘BR’ yaitu Dadan, Alif, Andrio, Rudi, Syawal, Rifki, Febyo,
Barra, Ian teman-teman seperjuangan dalam skripsi.
12. Teman-teman Ilmu Hukum angkatan 2011 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, baik
konsentrasi Hukum Bisnis dan Kelembagaan Negara.
Wassalamualaikum Wr. Wb
vi
vii
Jakarta, 10 Juli 2015
Nevo Amaba
vii
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ......................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iii
ABSTRAK ...................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR .................................................................................... v
DAFTAR ISI................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah..................................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................... 7
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ............................................ 9
E. Metodologi Penelitian ................................................................. .. 10
F. Sistematika Penulisan ................................................................... 15
BAB II Kerangka Teoritis
A. Perjanjian di Indonesia
1. Pengertian Perjanjian ........................................................ 18
2. Syarat Sahnya Perjanjian .................................................. 21
3. Asas-Asas Dalam Hukum Perjanjian ................................ 24
4. Bentuk-Bentuk Perjanjian ................................................. 25
5. Pembatalan Perjanjian ....................................................... 26
6. Penggantian Kerugian ....................................................... 29
B. Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak
1. Pengertian Asas Proporsionalitas ...................................... 30
2. Kriteria Asas Proporsionalitas .......................................... 31
3. Makna Asas Proporsionalitas ............................................ 33
4. Fungsi Asas Proporsionalitas ............................................ 34
BAB III Ketentuan Royalti Mineral dan Teori Dalam Hukum Pertambangan
A. Ketentuan Royalti Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral
dan Batu Bara ................................................................................ 36
B. Ketentuan Royalti Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 2012 tentang
Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral ........................... 39
C. Kontrak Karya ............................................................................... 40
D. Production Sharing Contract ........................................................ 46
E. Royalti Dalam Kontrak Karya Pertambangan .............................. 47
BAB IV Analisis Yuridis Penerapan Asas Proporsionalitas Dalam Pembagian Royalti
Pertambangan Emas PT. Freeport Indonesia viii
ix
A. Penerapan asas proporsionalitas dalam pembagian royalti emas oleh PT. Freeport
Indonesia ....................................................................................... 50
B. Upaya pemerintah dalam menjatuhkan sanksi kepada PT. Freeport Indonesia
karena belum mematuhi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 dan Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012 ................................................. 64
BAB V Penutup
A. Kesimpulan ................................................................................... 70
B. Saran.............................................................................................. 70
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 73
LAMPIRAN
ix
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di masa ekonomi global saat ini, keterbukaan ekonomi suatu
negara adalah keharusan. Keterbukaan ekonomi negara terhadap arus
investasi asing ke suatu negara bukan hanya merupakan kebutuhan suatu
negara untuk ikut berpartisipasi dalam ekonomi global, tapi juga menjadi
keharusan suatu negara dalam rangka memenuhi kelangkaan sumber-
sumber ekonomi di negaranya agar dapat segera terpenuhi dengan adanya
peran dari sumber daya asing. Investasi di suatu negara akan dapat
berlangsung dengan baik dan bermanfaat bagi negara dan rakyatnya,
manakala negara mampu menetapkan kebijakan investasi sesuai dengan
amanah konstitusinya.1 Secara konsep investasi merupakan kegiatan
mengalokasikan atau menanamkan sumber daya saat ini (sekarang,
present) dengan harapan mendapatkan manfaat atau keuntungan di
kemudian hari (future). Investasi adalah padanan kata dari penanaman
modal yang merupakan terjemahan dari istilah investment.2 Investasi
diartikan sebagai kegiatan pemanfaatan dana yang dimiliki dengan
menanamkannya ke usaha atau proyek yang produktif baik secara
langsung maupun tidak langsung, dengan harapan selain mendapatkan
1 Tim Kompendium, Kompendium Bidang Hukum Investasi, (Jakarta: Badan Pembinaan
Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Ham RI, 2011), h. 1. 2 John M. Echols & Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1996), h. 330.
1
2
pengembalian modal di kemudian hari, tentunya pemilik modal juga akan
mendapatkan sejumlah keuntungan dari penanaman modal dimaksud.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman modal
memberikan pengertian Penanaman Modal sebagai berikut :
“Segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal
dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan kegiatan
usaha di wilayah Republik Indonesia.”3
Dengan demikian pengertian penanaman modal, khususnya dalam
hal penanaman modal asing, di Indonesia hanya mencakup penanaman
modal yang dilaksanakan secara langsung (direct investment) dan bukan
penanaman secara tidak langsung (portofolio investment) dimana pemilik
modal hanya memiliki sejumlah saham dalam suatu perusahaan tanpa ikut
serta atau mempunyai kekuasaan langsung dalam pengelolaan manajemen
perusahaan tersebut.4
Menarik investasi asing tentunya harus dibarengi dengan pra
kondisi iklim investasi yang pro terhadap investor sehingga merasa
nyaman dan yakin bahwa investasi yang mereka tanam akan
menguntungkan. Iklim investasi yang baik akan memberikan kepastian
dan insentif kepada dunia usaha untuk melakukan investasi yang
produktif, menciptakan lapangan kerja dan memperluas usaha. Negara
Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah namun oleh para
pembuat kebijakan di bidang investasi dipandang bahwa pelaku usaha
3 Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. 4 Aminuddin Ilmar, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2007), h. 43.
3
nasional belum memiliki kapasitas yang cukup dalam mengelola kekayaan
alam yang masih berbentuk potensi dan terpendam di bumi Indonesia
secara maksimal, oleh karenanya pemerintah memberikan kesempatan
kepada perusahaan-perusahaan asing untuk ikut serta mengelola dan
berinvestasi di Indonesia. Bagi Indonesia kegiatan investasi langsung, baik
yang berbentuk investasi asing (foreign direct investment) maupun
investasi langsung dalam negeri (penanaman modal dalam negeri)
mempunyai kontribusi secara langsung bagi pembangunan. Investasi
langsung terutama investasi asing akan semakin mendorong pertumbuhan
ekonomi, alih teknologi, dan pengetahuan, serta menciptakan lapangan
kerja baru untuk mengurangi angka pengangguran serta mampu
meningkatkan daya beli masyarakat.5
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alamnya
salah satunya di bidang pertambangan. Pertambangan merupakan salah
satu wujud dari kekayaan alam yang dikuasai orang banyak dan
menyangkut dengan hajat hidup orang banyak, hal tersebut erat kaitannya
dengan ketentuan dari pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan
Republik Indonesia Tahun 1945, adapun ketentuan dari Pasal 33 tersebut,
adalah :
1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan;
5 Tim Kompendium, Kompendium Bidang Hukum Investasi, h. 3.
4
2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara;
3. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
4. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam
undang-undang.6
Amanat dari ketentuan Pasal 33 tersebut adalah merupakan
landasan pembangunan pertambangan dan energi untuk memanfaatkan
potensi kekayaan sumber daya alam mineral dan energi yang dimiliki
secara optimal dalam mendukung pembangunan nasional yang
berkelanjutan.
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman
Modal Asing berisi ketetapan mengenai penanaman modal asing di bidang
pertambangan yang harus didasarkan pada sistem kontrak karya (contract
of work).7 Dengan kontrak karya ini, posisi investor atau pengusaha
tambang hanyalah sebagai kontraktor yang bekerja untuk pemerintah,
sedangkan pemerintah dalam perjanjian kontrak berkedudukan sebagai
6 Tim Wahyu Media, Pedoman Resmi UUD 1945 & Perubahannya, (Jakarta: Wahyu
Media, 2014), h. 33. 7 Pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.
5
principal dan pemilik tambang. Karenanya dalam pola kontrak karya
pertambangan, pengusaha tambang (kontraktor) tidak dapat menjadikan
cadangan bahan galian dalam wilayah kontraknya sebagai agunan untuk
meminjam modal pada bank atau lembaga keuangan lainnya. Ada pun hak
kepemilikan atas bahan galian yang telah ditambang baru beralih dari
pemerintah kepada kontraktor, setelah kontraktor memenuhi segala
kewajiban dan membayar royalti atas bahan galian yang bersangkutan di
tempat penjualan (point of sale).8 Berdasarkan pasal tersebut secara
konsep Indonesia berkedudukan sebagai pemilik tambang dan investor
berkedudukan sebagai kontraktor, tetapi seringkali Indonesia mendapatkan
royalti yang kecil. Contohnya dalam kasus pembagian royalti antara
pemerintah Indonesia dengan PT. Freeport Indonesia, untuk emas royalti
yang diberikan hanya 1% dari hasil produksi, sedangkan di dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012 Tentang Tarif Atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Energi
dan Sumber Daya Mineral, untuk emas tarif royaltinya 3,75%. Memang
pada awal pembuatan kontrak, royalti yang diberikan 1% untuk emas
tetapi dasar hukum untuk menaikkan royalti tersebut yaitu pasal 169
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara
yaitu:
a) Kontrak karya dan perjanjian pengusahaan pertambangan
batu bara yang telah ada sebelum berlakunya undang-
8 Soetaryo Sigit, Sepenggal Sejarah Perkembangan Pertambangan Indonesia, (Jakarta:
Penerbit Yayasan Minergi Informasi Indonesia, 2004), Cet. 1, h. 90.
6
undang ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu
berakhirnya kontrak atau perjanjian.
b) Ketentuan yang tercantum dalam pasal kontrak karya dan
perjanjian karya pengusahaan batu bara sebagaimana
dimaksud pada huruf (a) disesuaikan selambat-lambatnya 1
(satu) tahun sejak undang-undang ini diundangkan kecuali
mengenai penerimaan negara.
c) Pengecualian terhadap penerimaan negara sebagaimana
dimaksud pada huruf (b) adalah upaya peningkatan
penerimaan negara.9
Berdasarkan pasal 169 poin (b), seharusnya ketentuan royalti yang
baru mulai berlaku selambat-lambatnya satu tahun semenjak
diundangkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tersebut.
Berkaitan dengan hal-hal yang telah diuraikan di atas, lalu
bagaimana upaya pemerintah mengoptimalkan royalti yang didapat,
sehingga muncul judul “PENERAPAN ASAS PROPORSIONALITAS
DALAM PEMBAGIAN ROYALTI PERTAMBANGAN EMAS PT.
FREEPORT INDONESIA”.
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
9 Pasal 169 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara.
7
Untuk menghindari semakin luas dan melebarnya masalah, maka
peneliti membuat batasan ruang lingkup dalam penelitian ini hanya
pada penerapan asas proporsionalitas dalam pembagian royalti emas
pada PT. Freeport Indonesia.
2. Rumusan Masalah
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012 Tentang Tarif
Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, untuk emas tarif
royaltinya 3,75%, akan tetapi PT. Freeport Indonesia hanya
memberikan 1% kepada pemerintah Indonesia, karena itu pertanyaan
penelitiannya adalah:
a. Bagaimana penerapan asas proporsionalitas dalam pembagian
royalti emas oleh PT. Freeport Indonesia?
b. Bagaimana upaya pemerintah dalam menjatuhkan sanksi kepada
PT. Freeport Indonesia karena belum mematuhi Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
2012?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Secara umum tujuan penelitian adalah mendalami tentang
permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan dalam perumusan
8
masalah. Secara khusus tujuan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai
berikut :
a. Untuk mengetahui penerapan asas proporsionalitas dalam
pembagian royalti emas oleh PT. Freeport Indonesia.
b. Untuk mengetahui upaya pemerintah dalam menjatuhkan sanksi
kepada PT. Freeport Indonesia karena belum mematuhi Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara dan
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012 tentang Tarif Atas
Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini dapat memperkaya khasanah ilmu
pengetahuan dalam hukum bisnis di bidang Investasi, Perjanjian
dan Pertambangan, utamanya mengenai segala aspek yang
menyangkut pembagian royalti antara pemerintah Indonesia
dengan penanam modal asing. Selain itu adanya tulisan ini dapat
menambah perbendaharaan koleksi karya ilmiah dengan
memberikan kontribusi juga bagi perkembangan hukum bisnis di
Indonesia.
b. Manfaat Praktis
9
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi kerangka
acuan dan landasan bagi penulis lanjutan, dan mudah-mudahan
dapat memberikan bahan informasi dan masukan baik bagi
pemerintah maupun semua pihak yang terkait dalam rangka
penyiapan dan penyempurnaan perangkat hukum di bidang
investasi, perjanjian dan pertambangan.
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini, penulis akan
menyertakan beberapa hasil penelitian terdahulu sebagai perbandingan
tinjauan kajian materi yang akan dibahas, sebagai berikut:
Skripsi yang disusun oleh Jesi Karina dari Universitas Indonesia
pada tahun 2012 dengan judul Hubungan Asas Pacta Sunt Servanda
Dengan Kewajiban Negosiasi Ulang Royalti Pada Kontrak Pertambangan
(Studi Kasus: Kontrak Karya PT. Freeport Indonesia). Penelitian tersebut
menjelaskan tentang kewajiban negosiasi ulang kontrak karya PT.
Freeport Indonesia dihadapkan dengan asas pacta sunt servanda.
Skripsi yang disusun oleh Amelia Djamaoedin dari Universitas
Indonesia pada tahun 1991 dengan judul Sistem Penanaman Modal Asing
Di Bidang Pertambangan Emas (Studi Kasus Pada PT Eastara Melawi
Mineral). Penelitian tersebut menjelaskan tentang sistem penanaman
modal asing di bidang pertambangan emas di Indonesia.
10
Buku dari Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, yang berjudul ‘Kompendium Bidang
Hukum Investasi’ diterbitkan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta, tahun 2011.
Pada buku tersebut hanya menjelaskan tentang penanaman modal atau
investasi secara umum, dari pengertian, ruang lingkup, batasannya, serta
permasalahan dalam kegiatan investasi beserta regulasinya namun tidak
menjelaskan seperti apa pembagian royalti dari kontrak karya antara
pemerintah Indonesia dengan investor asing.
Sebagai pembanding sekaligus pembeda, pada skripsi ini penulis
menguraikan perihal bagaimana upaya pemerintah dalam mengoptimalkan
pendapatan negara dalam royalti di bidang pertambangan, karena antara
undang-undang dengan praktiknya tidak sesuai. Sehingga terdapat
perbedaan pembahasan dan masalah yang diangkat penulis dengan
penelitian-penelitian yang sudah ada.
E. Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini dibutuhkan data yang akurat, yang
dititikberatkan pada data sekunder yang diperoleh dari penelitian
kepustakaan dan data primer dari penelitian lapangan yang mendukung
data sekunder, sehingga permasalahan pokok yang diteliti dapat
ditemukan. Agar data yang dimaksud dapat diperoleh dan dibahas, peneliti
menggunakan metode penelitian sebagai berikut:
11
1. Jenis Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian maka metode
pendekatan yang digunakan adalah metode pendekatan yang bersifat
yuridis normatif. Penelitian hukum yuridis normatif adalah metode
penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data
sekunder belaka.10 Sehubungan dengan metode penelitian yang digunakan
tersebut penulis melakukan dengan cara meneliti peraturan-peraturan,
perundang-undangan, teori-teori hukum dan pendapat-pendapat para
sarjana hukum terkemuka yang merupakan data sekunder, kemudian
dikaitkan dengan keadaan yang sebenarnya. Pendekatan bersifat yuridis
yang mempergunakan data sekunder adalah untuk menganalisa penerapan
asas proporsionalitas dalam pembagian royalti pertambangan emas PT.
Freeport Indonesia.
Dalam kaitannya dengan penelitian normatif akan digunakan
pendekatan yaitu:
a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach)
Pendekatan perundang-undangan (statute approach) adalah suatu
pendekatan yang dilakukan terhadap berbagai aturan hukum yang
berkaitan dengan investasi dan pertambangan, diantaranya: Undang-
Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, Undang-
Undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan, Undang-Undang No. 11 Tahun 1970 tentang Perubahan
10 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat), (Jakarta: Rajawali Pers, 2001), h. 13-14.
12
dan Tambahan Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman
Modal Asing, Undang-Undang No.4 Tahun 2009 tentang Mineral dan
Batu Bara, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012 Tentang Tarif Atas
Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral.
2. Spesifikasi Penulisan
Spesifikasi atau jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian
ini adalah deskriptif analisis, yaitu menggambarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktik
pelaksanaan hukum positif yang menyangkut permasalahan diatas.11
Data yang diperoleh dari penelitian diupayakan memberikan
gambaran atau mengungkapkan berbagai faktor yang berhubungan erat
dengan gejala-gejala yang diteliti, kemudian dianalisa mengenai penerapan
atau pelaksanaan peraturan perundang-undangan untuk mendapatkan data
atau informasi mengenai pelaksanaanya serta hambatan-hambatan yang
dihadapi.
3. Sumber Data
Dalam mencari dan mengumpulkan data yang diperlukan
difokuskan pada pokok-pokok permasalahan yang ada, sehingga dalam
penelitian ini tidak terjadi penyimpangan dan kekaburan dalam
pembahasan. Data yag digunakan hanyalah data sekunder, data sekunder
merupakan data yang dikumpulkan dalam penelitian kepustakaan.
11 Rony Hanitijo, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), h. 35.
13
Penelitian kepustakaan adalah teknik untuk mencari bahan-bahan atau
data-data yang bersifat sekunder yaitu data-data yang erat hubungannya
dengan bahan primer dan dapat dipakai untuk menganalisa permasalahan.
Pada penelitian kepustakaan, sarana yang dipergunakan adalah
bahan-bahan pustaka yang terdiri dari tiga macam bahan hukum, yaitu
sebagai berikut:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang sifatnya mengikat12,
yaitu
1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal
Asing;
2. Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pertambangan;
3. Undang-Undang No. 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan
Tambahan Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman
Modal Asing;
4. Undang-Undang No.4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012 Tentang Tarif Atas
Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral;
6. Peraturan-peraturan lainnya yang berkaitan dengan objek
penelitian.
12 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2001), h. 52.
14
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer, yaitu
1. Berbagai hasil penelitian mengenai penanaman modal asing;
2. Berbagai buku yang membahas investasi, perjanjian dan
pertambangan;
3. Berbagai artikel dan makalah di dalam jurnal dan majalah.
c. Bahan hukum tersier, bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang terdiri
dari:
1. Kamus Hukum;
2. Kamus Bahasa Indonesia;
3. Kamus Bahasa Inggris;
4. Ensiklopedi;
5. Dan dokumen-dokumen lain yang berhubungan dengan objek
penelitian untuk diterapkan dalam penelitian ini.
4. Teknik Pengolahan dan Analisa Data
Penelitian ini menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif
yang diperoleh dari data yang bersumber dari studi kepustakaan maupun
dari penelitian lapangan. Analisis deskriptif kualitatif yaitu metode analisis
data yang mengelompokkan dan menyeleksi data yang diperoleh dari
penelitian lapangan menurut kualitas dan kebenarannya, kemudian
dianalisa secara intepretatif menggunakan teori maupun hukum positif
15
yang telah dituangkan, kemudian secara induktif ditarik kesimpulan untuk
menjawab permasalahan yang ada.
5. Metode Penulisan
Dalam penyusunan penelitian ini, penulis menggunakan metode
penulisan sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku
Pedoman Penulisan Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Tahun 2012
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini dimaksudkan untuk mempermudah
penjabaran dan pemahaman tentang permasalahan yang dikaji serta untuk
memberikan gambaran garis besar mengenai tiap-tiap bab sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan
Pada bab ini menguraikan tentang Latar Belakang Masalah,
Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian,
Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu, Metodologi Penelitian,
Sistematika Penulisan yang berkenaan dengan permasalahan yang
akan dibahas dalam skripsi ini.
BAB II Kerangka Teoritis
Pada bab ini menguraikan tentang pengertian perjanjian, syarat
sahnya perjanjian, asas-asas dalam hukum perjanjian, bentuk-
bentuk perjanjian, pembatalan perjanjian, penggantian kerugian,
serta menjelaskan tentang asas proporsionalitas dalam kontrak
16
komersial seperti pengertian asas proporsionalitas, kriteria asas
proporsionalitas, makna dan fungsi asas proporsionalitas, kontrak
karya PT. Freeport Indonesia.
BAB III Ketentuan Royalti Mineral dan Teori Dalam Hukum
Pertambangan
Pada bab ini menguraikan tentang pembagian royalti dalam
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu
Bara, pembagian royalti dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 2012 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan
Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral, serta teori dalam hukum pertambangan, kontrak karya,
production sharing contract, royalti dalam kontrak karya
pertambangan.
BAB IV “Analisis Yuridis Penerapan Asas Proporsionalitas Dalam
Pembagian Royalti Pertambangan Emas PT. Freeport Indonesia”.
Pada bab ini memaparkan hasil penelitian dan pembahasannya
yaitu Penerapan asas proporsionalitas dalam pembagian royalti
emas oleh PT. Freeport Indonesia, Upaya pemerintah dalam
menjatuhkan sanksi kepada PT. Freeport Indonesia karena belum
mematuhi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012.
BAB V Penutup
17
Bab ini merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan
saran dari penulis.
18
BAB II
KERANGKA TEORITIS
C. Perjanjian di Indonesia
1. Pengertian dan Makna Perjanjian Atau Kontrak
Hukum kontrak merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu
contract of law, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah
overeenscomstrecht. Dalam praktik istilah kontrak atau perjanjian
terkadang masih dipahami secara berbeda. Banyak pelaku bisnis
mencampuradukkan kedua istilah tersebut seolah merupakan pengertian
yang berbeda. Burgerlijk Wetboek menggunakan istilah overeenkomst dan
contract untuk pengertian yang sama.13
Menurut Subekti istilah “perjanjian atau persetujuan” dengan
“kontrak” memiliki pengertian lebih sempit karena ditujukan kepada
perjanjian atau persetujuan yang tertulis.14 Menurut Peter Mahmud
Marzuki penggunaan istilah kontrak atau perjanjian dengan melakukan
perbandingan terhadap pengertian kontrak atau perjanjian dalam sistem
Anglo-American.15
Sistematika Buku III tentang Verbintenissenrecht (Hukum
Perikatan) mengatur mengenai overeenkomst yang kalau diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia berarti perjanjian. Istilah kontrak merupakan
13Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak
Komersial, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2010), h. 13. 14 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermusa, 1996), Cet. XVI, h. 1. 15 Peter Mahmud Marzuki, Batas-Batas Kebebasan Berkontrak, (Jakarta: Yuridika,
2003), h. 195.
18
19
terjemahan dari bahasa Inggris contract. Di dalam konsep kontinental,
penempatan pengaturan perjanjian pada Buku III BW Indonesia tentang
Hukum Perikatan mengindikasikan bahwa perjanjian memang berkaitan
dengan masalah Harta Kekayaan (Vermogen). Pengertian perjanjian ini
mirip dengan contract pada Anglo-American, perjanjian yang bahasa
Belanda-nya overeenkomst dalam bahasa Inggris disebut agreement yang
mempunyai pengertian lebih luas dari contract, karena mencakup hal-hal
yang berkaitan dengan bisnis atau bukan bisnis. Untuk agreement yang
berkaitan dengan bisnis disebut contract, sedangkan untuk yang tidak
terkait dengan bisnis disebut agreement.16
Pasal 1313 BW memberikan rumusan tentang “kontrak atau
perjanjian” adalah “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau
lebih”.17 Terhadap penggunaan istilah kontrak dan perjanjian, penulis
sependapat dengan beberapa sarjana hukum yang memberikan pengertian
sama antara kontrak dengan perjanjian.
Dari berbagai definisi di atas, dapat dikemukakan unsur-unsur yang
tercantum dalam hukum kontrak atau perjanjian yaitu:
a. Adanya Kaidah Hukum
Kaidah dalam hukum kontrak dapat dibagi menjadi dua
macam yaitu tertulis dan tidak tertulis. Kaidah hukum kontrak tertulis
adalah kaidah-kaidah hukum yang terdapat di dalam peraturan
16 Ibid., h. 195-196. 17 R. Subekti & R Tjitrosudibjo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta:
Pradnya Paramita, 2004), Cet. 34, h. 338.
20
perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi. Sedangkan kaidah
hukum kontrak tidak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang
timbul, tumbuh, dan hidup dalam masyarakat. Contohnya jual beli
lepas, jual beli tahunan, dan lain-lain. Konsep hukum ini berasal dari
hukum adat
b. Subjek Hukum
Subjek hukum diartikan sebagai pendukung hak dan
kewajiban. Yang menjadi subjek hukum dalam hukum kontrak adalah
kreditur dan debitur.
c. Adanya Prestasi
Prestasi adalah apa yang menjadi hak kreditur dan kewajiban
debitur. Prestasi terdiri dari:
1. Memberikan sesuatu.
2. Berbuat sesuatu.
3. Tidak berbuat sesuatu.
d. Kata Sepakat
Di dalam pasal 1320 KUH Perdata ditentukan empat syarat
sahnya perjanjian. Salah satunya kata sepakat (konsensus).
Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara para
pihak.
e. Akibat Hukum
Setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan
menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum adalah timbulnya hak dan
21
kewajiban. Hak adalah suatu kenikmatan dan kewajiban adalah suatu
beban.18
2. Syarat Sah Perjanjian
Syarat sah perjanjian diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata yaitu:19
a. Kesepakatan Kedua Belah Pihak
Syarat yang pertama sahnya perjanjian adalah adanya
kesepakatan atau konsensus para pihak. Yang dimaksud dengan
kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu
orang atau lebih dengan pihak lainnya. Yang sesuai itu pernyataanya,
karena kehendak itu tidak dapat dilihat atau diketahui orang lain. Ada
lima cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, yaitu dengan:
1. Bahasa yang sempurna dan tertulis.
2. Bahasa yang sempurna secara lisan.
3. Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima
oleh pihak lawan. Karena dalam kenyataannya
seringkali seseorang menyampaikan dengan bahasa
yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak
lawannya.
4. Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak
lawannya.
5. Diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau
diterima pihak lawan.20
18 Salim H.S, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2006), Cet. 4, h. 4-5. 19 Prof. R. Subekti & R Tjitrosudibjo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, h. 339.
22
Pada dasarnya, cara yang paling banyak dilakukan oleh para pihak,
yaitu dengan bahasa yang sempurna secara lisan dan secara tertulis.
Tujuan pembuatan perjanjian secara tertulis adalah agar memberikan
kepastian hukum bagi para pihak dan sebagai alat bukti yang sempurna
dikala timbul sengketa di kemudian hari.
b. Kecakapan Untuk Melakukan Perbuatan Hukum
Cakap hukum adalah kecakapan atau kemampuan untuk
melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan
yang akan menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang akan
mengadakan perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan
mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum,
sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang. Seorang oleh
hukum dianggap tidak cakap untuk melakukan kontrak jika orang
tersebut belum berumur 21 tahun, kecuali jika ia telah kawin sebelum
cukup 21 tahun. Sebaliknya setiap orang yang berumur 21 tahun ke
atas, oleh hukum dianggap cakap, kecuali karena suatu hal dia ditaruh
di bawah pengampuan, gelap mata, dungu, sakit ingatan, atau
pemboros.21
c. Adanya Objek Perjanjian
Di dalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi
objek perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi adalah
apa yang menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak
20 Salim H.S, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, h. 33. 21 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, (Jakarta: RajaGrafindo, 2007),
Cet. 1, h. 29.
23
kreditur. Prestasi ini terdiri dari perbuatan yang positif dan negatif.
Prestasi terdiri dari:
1. Memberikan sesuatu.
2. Berbuat sesuatu.
3. Tidak berbuat sesuatu (pasal 1234 KUH Perdata).22
d. Adanya Kausa Yang Halal
Dalam pasal 1320 KUH Perdata tidak dijelaskan pengertian
kausa yang halal. Di dalam pasal 1337 KUH Perdata hanya disebutkan
kausa yang terlarang. Suatu sebab adalah terlarang apabila
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban
umum.23
Syarat yang pertama dan kedua syarat subjektif, karena
menyangkut pihak-pihak yang mengadakan perjanjian, sedangkan syarat
ketiga dan keempat disebut syarat objektif, karena menyangkut objek
perjanjian. Apabila syarat pertama dan kedua tidak terpenuhi maka
perjanjian itu dapat dibatalkan. Artinya, bahwa salah satu pihak dapat
mengajukan kepada Pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang
disepakatinya. Tetapi apabila para pihak tidak ada yang keberatan maka
perjanjian itu tetap dianggap sah. Syarat ketiga dan keempat tidak
terpenuhi maka perjanjian batal demi hukum. Artinya bahwa dari semula
perjanjian itu dianggap tidak ada.24
22 Salim H.S, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, h. 34. 23 R. Subekti & R Tjitrosudibjo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, h. 342. 24 Salim H.S, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, h. 35.
24
3. Asas-Asas Dalam Hukum Perjanjian
a. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan pasal
1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi: ”Semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku bagi mereka yang membuatnya”.25
Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan
kebebasan kepada para pihak untuk:
1. Membuat atau tidak membuat perjanjian.
2. Mengadakan perjanjian.
3. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan
persyaratannya.
4. Menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
b. Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam pasal 1320 ayat (1)
KUH Perdata. Dalam pasal itu ditentukan bahwa salah satu syarat
sahnya perjanjian yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak. Asas
konsensualisme merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian
pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan
adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan merupakan
persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua
belah pihak.26
c. Asas Pacta Sunt Servanda
25 R. Subekti & R Tjitrosudibjo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, h. 342. 26 Ibid., h. 339.
25
Asas pacta sunt servanda atau disebut juga dengan asas kepastian
hukum. Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas ini
merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati
substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya
sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi
terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas pacta
sunt servanda dapat disimpulkan dalam pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata, yang berbunyi: “Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang”.27
d. Asas Itikad Baik
Asas itikad baik dapat disimpulkan dari pasal 1338 ayat (3) KUH
Perdata, yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad
baik.” Asas itikad baik merupakan asas bahwa para pihak, yaitu
kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak
berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan
baik dari para pihak.
e. Asas Kepribadian
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa
seseorang yang akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya
untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam pasal
1315 dan pasal 1340 KUH Perdata.28
4. Bentuk-Bentuk Perjanjian
27 Ibid., h. 342. 28 Salim H.S, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, h. 9.
26
Istilah perjanjian bernama atau kontrak bernama merupakan
terjemahan dari istilah “nominaat contract” (Inggris) “benoemde”
(Belanda) penggolongan ini didasarkan pada nama perjanjian yang
tercantum di dalam pasal 1319 KUH Perdata, disebutkan dua macam
perjanjian menurut namanya, yaitu perjanjian bernama (nominaat) dan
perjanjian tidak bernama (innominaat).29
a. Perjanjian Bernama (nominaat)
Perjanjian bernama adalah perjanjian yang dikenal dalam KUH
Perdata. Yang termasuk dalam perjanjiaan bernama jual beli, tukar-
menukar, sewa-menyewa, persekutuan perdata, hibah, penitipan
barang, pinjam pakai, pinjam meminjam, pemberian kuasa,
penanggungan utang, perdamaian, dan lain-lain.
b. Perjanjian Tidak Bernama (innominaat)
Perjanjian yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam
masyarakat. Jenis perjanjian ini belum dikenal dalam KUH Perdata.
Yang termasuk dalam perjanjiaan tidak bernama adalah leasing, beli
sewa, franchise, kontrak rahim, joint venture, kontrak karya, keagenan,
production sharing, dan lain-lain.30
5. Pembatalan Perjanjian
Pembatalan perjanjian adalah pembatalan sebagai salah satu
kemungkinan yang dapat dituntut kreditur terhadap debitur yang telah
melakukan wanprestasi. Selain dapat mengajukan tuntutan pembatalan,
29 R. Subekti & R Tjitrosudibjo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, h. 339. 30 Syahmin AK, Hukum Kontrak Internasional, (Jakarta: RajaGrafindo, 2006), Cet. 1, h.
49-50.
27
kreditur dapat pula mengajukan tuntutan yang lain yaitu pembatalan
perjanjian dan ganti kerugian, ganti kerugian saja, pemenuhan perikatan
dan ganti kerugian.
Ada tiga syarat yang harus dipenuhi untuk pembatalan perjanjian,
yaitu:
a. Perjanjian harus bersifat timbal balik;
b. Harus ada wanprestasi;
c. Harus dengan putusan hakim.31
Dasar hukum pembatalan perjanjian adalah pasal 1266 KUH Perdata
yang berbunyi sebagai berikut:
1. Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam perjanjian-
perjanjian yang bertimbal balik, manakalasalah satu pihak
tidak memenuhi kewajibannya.
2. Dalam hal yang demikian perjanjian tidak batal demi hukum,
tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim.
3. Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal
mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam
perjanjian.
4. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam perjanjian, hakim
adalah leluasa untuk menurut keadaan, atas permintaan si
tergugat, memberikan suatu jangka waktu untuk masih juga
31 Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung: Alumni,
2010), Cet. 1, h. 230.
28
memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana, namun itu tidak
boleh lebih dari satu bulan.32
Perjanjian yang bersifat timbal balik adalah perjanjian dimana
kedua belah pihak sama-sama mempunyai kewajiban untuk memenuhi
prestasi, misalnya jual-beli, tukar menukar, sewa-menyewa. Jika dalam
perjanjian yang bersifat timbal balik ini salah satu pihak tidak memenuhi
prestasi atau kewajibannya maka disebut wanprestasi, pihak lainnya dapat
menuntut pembatalan. Namun, sebelum kreditur menuntut pembatalan,
debitur harus diberikan teguran atau pernyataan lalai (ingebrekestelling).
Pembatalan tidak terjadi dengan sendirinya dengan adanya wanprestasi
tersebut, melainkan harus dimintakan kepada hakim dan yang akan
membatalkan adalah putusan hakim tersebut. Jadi putusan hakim bersifat
konstitutif yaitu membatalkan perjanjian antara penggugat dan tergugat,
bukan bersifat deklaratif yang menyatakan batal perjanjian antara
penggugat dengan tergugat.33
Dengan demikian, wanprestasi hanyalah alasan hakim untuk
memberikan putusan yang membatalkan perjanjian, dan hakim
memberikan tenggang waktu satu bulan kepada debitur untuk memenuhi
prestasinya. Jadi tuntutan kreditur untuk membatalkan perjanjiannya
dengan debitur tidak selamanya dikabulkan oleh hakim, tetapi hakim
memeriksa dan mempertimbangkan lebih dulu besar kecilnya wanprestasi
tersebut. Apabila wanprestasi hanya mengenai hal kecil maka hakim akan
32 R. Subekti & R Tjitrosudibjo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, h. 328. 33 Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, h.231.
29
menolak membatalkan perjanjian dan apabila wanprestasi cukup besar
merugikan kreditur tentu saja hakim akan membatalkan perjajian tersebut.
Apabila hakim telah menjatuhkan putusan membatalkan perjanjian, maka
hubungan hukum antara para pihak yang semula mengadakan perjanjian
menjadi batal, sehingga tidak perlu lagi memenuhi prestasinya. Apabila
salah satu pihak sudah melakukan prestasi namun dilain pihak belum
melakukan maka wajib dikembalikan, dan apabila tidak mampu maka
dihargai dengan materi.34
6. Penggantian Kerugian
Ketentuan tentang ganti rugi dalam KUH Perdata diatur pada pasal
1243-1252 KUH Perdata. Dari pasal-pasal itu dapat ditarik kesimpulan
bahwa yang dimaksud ganti rugi adalah sanksi yang dapat dibebankan
kepada debitur yang tidak memenuhi prestasi dalam suatu perjanjian untuk
memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga.
Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-
nyaa telah dikeluarkan oleh kreditur. Rugi adalah segala kerugian karena
musnahnya atau rusaknya barang-barang milik kreditur akibat kelalaian
debitur. Sedangkan bunga adalah segala keuntungan yang diharapkan atau
sudah diperhitungkan. Kerugian-kerugian yang dapat dituntut:
Walaupun debitur yang wanprestasi dapat dituntut oleh kreditur
untuk membayar ganti kerugian, tetapi kerugian yang dituntut oleh
34 Ibid., h.232.
30
kreditur jumlahnya tidak dapat dituntut sekehendak hati kreditur, maka
dari itu harus memiliki batasan yang diatur dalam undang-undang.
Batasan pertama untuk wanprestasi disebutkan dalam pasal 1248
KUH Perdata yaitu: bahkan jika hal tidak dipenuhinya perikatan itu
disebabkan karena tipu daya si berutang, penggantian biaya, rugi dan
bunga sekadar mengenai kerugian yang diderita oleh si berpiutang dan
keuntungan yang terhilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang
merupakan akibat langsung dari tidak dipenuhinya perikatan.35
Batasan kedua termuat dalam pasal 1247 KUH Perdata yang
menentukan: si berutang hanya diwajibkan mengganti biaya, rugi, dan
bunga yang nyata telah, atau sedianya harus dapat diduga sewaktu
perikatan dilahirkan, kecuali jika hal tidak dipenuhinya perikatan itu
disebabkan oleh suatu tipu daya yang dilakukan olehnya.36
D. Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak
1. Pengertian Asas Proporsionalitas
Pengertian asas proporsionalitas dapat dirunut dari asal kata
“proporsi” (proportion-Inggris; proportie-Belanda) yang berarti
perbandingan, perimbangan, sedangkan “proporsional” (proportional-
Inggris; proportioneel-Belanda) berarti sesuai dengan proporsi, sebanding,
seimbang, berimbang.37 Menurut P.S Atijah, asas proporsionalitas dalam
35 R. Subekti & R Tjitrosudibjo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, h. 325. 36 Ibid. 37 Tim Redaksi Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), Cet. IV, h. 1106.
31
kaitannya dengan peran kontrak sebagai landasan pertukaran yang adil di
dunia bisnis, menurutnya pertemuan para pihak dalam mekanisme pasar
sesuai sesuai dengan apa yang diinginkan (proportion in what they want)
merupakan bentuk pertukaran yang adil (fair echange). Mekanisme ini
merupakan dasar fundamental yang melandasi konsep “freedom of choice
in exchange-freedom of contract”.38
Maka asas proporsionalitas bermakna sebagai asas yang melandasi
atau mendasari pertukaran hak dan kewajiban para pihak sesuai proporsi
atau bagiannya dalam seluruh proses kontraktual. Asas proporsionalitas
dalam kontrak diartikan sebagai asas yang mendasari pertukaran hak dan
kewajiban para pihak sesuai proporsi atau bagiannya. Proporsionalitas
pembagian hak dan kewajiban ini yang diwujudkan dalam seluruh proses
hubungan kontraktual, baik pada fase prakontraktual, pembentukan
kontrak maupun pelaksanaan kontrak. Asas proporsionalitas tidak
mempermasalahkan keseimbangan atau kesamaan hasil, namun lebih
menekankan proporsi pembagian hak dan kewajiban di antara para
pihak.39
2. Kriteria Asas Proporsionalitas
a. Kontrak yang bersubstansi asas proporsionalitas adalah kontrak
yang memberikan pengakuan terhadap hak, peluang dan
38 Seperti dikutip oleh Agus Yudha Hernoko dari P.S Atijah, An Introduction to The Law
of Contract, 4th Ed, Oxford University Press Inc, New York, 1995, h. 5. Lihat Agus Yudha
Hernoko, Hukum Perjanjian (Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial), (Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group, 2010), h. 13. 39 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsional Dalam Kontrak
Komersial, h. 31-32.
32
kesempatan yang sama kepada para kontraktan untuk menentukan
pertukaran yang adil bagi mereka. Kesamaan bukan dalam arti
“kesamaan hasil” melainkan pada posisi para pihak yang
mengandaikan “kesetaraan kedudukan dan hak (equitability)”
(prinsip kesamaan hak atau kesetaraan hak)
b. Berlandaskan pada kesamaan atau kesetaraan hak tersebut, maka
kontrak yang bersubstansi asas proporsional adalah kontrak yang
dilandasi oleh kebebasan para kontraktan untuk menentukan
substansi apa yang adil dan apa yang tidak adil bagi mereka
(prinsip kebebasan)
c. Kontrak yang bersubstansi asas proporsional adalah kontrak yang
mampu menjamin pelaksanaan hak dan kewajiban secara
proporsional bagi para pihak. Perlu digarisbawahi bahwa keadilan
tidak selalu berarti semua orang harus mendapatkan dalam jumlah
yang sama, dalam konteks ini dimungkinkan adanya hasil akhir
yang berbeda. Dalam hal ini maka prinsip distribusi-proporsional
terhadap hak dan kewajiban para pihak harus mengacu pertukaran
yang fair.
d. Dalam hal terjadinya sengketa kontrak, maka beban pembuktian,
berat ringan kadar kesalahan maupun hal-hal lain terkait, harus
diukur berdasarkan asas proporsionalitas untuk memperoleh hasil
penyelesaian yang elegan dan win-win solution.40
40 Ibid., h.84-86.
33
3. Makna Asas Proporsionalitas
Ruang lingkup dan daya kerja asas proporsionalitas lebih
dominan pada kontrak komersial dengan asumsi dasar bahwa
karakteristik kontrak komersial menempatkan posisi para pihak pada
kesetaraan, sehingga tujuan para kontraktan yang berorientasi pada
keuntungan bisnis akan terwujud apabila terdapat pertukaran hak dan
kewajiban yang fair (proporsional). Asas proporsionalitas tidak dilihat
konteks keseimbangan-matematis (equilibrium), tetapi pada proses dan
mekanisme pertukaran hak dan kewajiban yang berlangsung secara fair.
Menurut Peter Mahmud Marzuki menyebut asas proporsionalitas
dengan istilah “equitability contract” dengan unsur justice serta
fairness. Makna “equitability” menunjukkan suatu hubungan yang
setara (kesetaraan), tidak berat sebelah dan adil (fair), artinya hubungan
kontraktual tersebut pada dasarnya berlangsung secara proporsional dan
wajar.41
Pada dasarnya asas proporsionalitas merupakan perwujudan
doktrin “keadilan berkontrak” yang mengoreksi dominasi asas kebebasan
berkontrak yang dalam beberapa hal justru menimbulkan ketidakadilan.
Perwujudan keadilan berkontrak ditentukan melalui dua pendekatan.
Pertama, pendekatan prosedural, pendekatan ini menitikberatkan pada
persoalan kebebasan kehendak dalam suatu kontrak. Pendekatan kedua,
yaitu pendekatan substantif yang menekankan kandungan atau substansi
41 Peter Mahmud Marzuki, Batas-batas Kebebasan Berkontrak, h. 205.
34
serta pelaksanaan kontrak. Mengambil moralitas pertimbangan tersebut,
maka asas proporsionalitas bermakna sebagai “asas yang melandasi atau
mendasari pertukaran hak dan kewajiban para pihak sesuai proporsi atau
bagiannya dalam seluruh proses kontraktual”. Asas proporsionalitas sangat
berorientasi pada konteks hubungan dan kepentingan para pihak, menjaga
kelangsungan hubungan agar berlangsung kondusif dan fair.42
4. Fungsi Asas Proporsionalitas
Dalam hubungannya dengan kegiatan bisnis, kontrak berfungsi
untuk mengamankan transaksi. Hal ini karena dalam kontrak terkandung
suatu pemikiran atau tujuan akan adanya keuntungan komersial yang
diperoleh para pihak. Terkait dengan kontrak komersial yang diperoleh
para pihak. Terkait dengan kontrak komersial yang berorientasi
keuntungan para pihak, fungsi asas proporsionalitas menunjukkan pada
karakter kegunaan yang operasional dan implementatif dengan tujuan
mewujudkan apa yang dibutuhkan para pihak. Dengan demikian, fungsi
asas proporsionalitas, baik dalam proses pembentukan maupun
pelaksanaan kontrak komersial adalah:
a. Dalam tahap pra-kontrak, asas proporsionalitas membuka peluang
negosiasi bagi para pihak untuk melakukan pertukaran hak dan
kewajiban secara fair. Oleh karena itu, tidak proporsional dan harus
ditolak proses negosiasi dengan itikad buruk.
42 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsional Dalam Kontrak
Komersial, h.88.
35
b. Dalam pembentukan kontrak asas proporsionalitas menjamin
kesetaraan hak serta kebebasan dalam menentukan atau mengatur
proporsi hak dan kewajiban para pihak berlangsung secara fair.
c. Dalam pelaksanaan kontrak, asas proporsional menjamin terwujudnya
distribusi pertukaran hak dan kewajiban menurut proporsi yang
disepakati atau dibebankan pada para pihak.
d. Dalam hal terjadi kegagalan dalam pelaksanaan kontrak, maka harus
dinilai secara proporsional apakah kegagalan tersebut bersifat
fundamental sehingga mengganggu pelaksanaan sebagian besar
kontrak atau sekadar hal-hal sederhana atau kesalahan kecil. Oleh
karena itu, pengujian melalui asas proporsionalitas sangat menentukan
dalil kegagalan pelaksanaan kontrak, agar jangan sampai terjadi
penyalahgunaan oleh salah satu pihak dalam memanfaatkan klausul
kegagalan pelaksanaan kontrak, semata-mata demi keuntungan salah
satu pihak dengan merugikan pihak lain.
e. Bahkan dalam hal terjadi sengketa kontrak, asas proporsionalitas
menekankan bahwa proporsi beban pembuktian kepada para pihak
harus dibagi menurut pertimbangan yang fair.43
43 Ibid., h. 101-102.
36
37
BAB III
KETENTUAN ROYALTI MINERAL DAN TEORI DALAM HUKUM
PERTAMBANGAN
A. Ketentuan Royalti Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Mineral dan Batu Bara
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat (3) menegaskan bahwa
bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Mengingat mineral dan batubara sebagai kekayaan alam yang terkandung
di dalam bumi merupakan sumber daya alam yang tak terbarukan,
pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan,
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, serta berkeadilan agar
memperoleh manfaat sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat secara
berkelanjutan.44
Guna memenuhi ketentuan pasal 33 ayat (3) Undang-Undang
Dasar 1945 tersebut, telah diterbitkan Undang-Undang Nomor 11 tahun
1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Undang-undang
tersebut selama lebih kurang empat dasawarsa sejak diberlakukannya telah
dapat memberikan sumbangan yang penting bagi pembanguan nasional.
Dalam perkembangan lebih lanjut, undang-undang tersebut yang
materi muatannya bersifat sentralistik sudah tidak sesuai dengan
44 Tim Wahyu Media, Pedoman Resmi UUD 1945 & Perubahannya, (Jakarta: Wahyu
Media, 2014), h. 33.
37
38
perkembangan situasi sekarang dan tantangan di masa depan. Di samping
itu, pembangunan pertambangan harus menyesuaikan diri dengan
perubahan lingkungan strategis, baik bersifat nasional maupun
internasional. Tantangan utama yang dihadapi oleh pertambangan mineral
dan batubara adalah pengaruh globalisasi yang mendorong demokratisasi,
otonomi daerah, hak asasi manusia, lingkungan hidup, perkembangan
teknologi dan informasi, hak atas kekayaan intelektual serta tuntutan
peningkatan peran swasta dan masyarakat.45 Maka dibuatlah Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara.
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan
Batu Bara royalti atau iuran produksi diatur dalam beberapa pasal yaitu:
1. Pasal 39 ayat (2) yaitu berisikan tentang kewajiban memuat
ketentuan IUP Operasi Produksi salah satunya wajib memuat
penerimaan negara bukan pajak yang terdiri atas iuran tetap dan
iuran produksi.
2. Pasal 45 yaitu mineral atau batu bara yang tergali sebagaimana
dimaksud pasal 43 dikenai iuran produksi.
3. Pasal 70 yaitu berisikan tentang kewajiban pemegang IPR yang
salah satunya membayar iuran tetap dan iuran produksi.
4. Pasal 79 yaitu berisikan tentang kewajiban memuat ketentuan
IUPK Operasi Produksi salah satunya wajib memuat iuran tetap
45 Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara.
39
dan iuran produksi serta bagian pendapatan negara/ daerah, yang
terdiri atas bagi hasil dari keuntungan bersih sejak berproduksi.
5. Pasal 82 yaitu mineral atau batu bara yang tergali sebagaimana
dimaksud pasal 81 dikenai iuran produksi.
6. Pasal 92 yaitu pemegang IUP dan IUPK berhak memiliki mineral,
termasuk mineral ikutannya, atau batubara yang tela diproduksi
apabila telah memenuhi iuran eksplorasi dan iuran produksi kecuali
mineral ikutan radioaktif.
7. Pasal 105 ayat 3 yaitu mineral atau batubara yang tergali dan akan
dijual sebagaimana dimaksud ayat (1) dikenai iuran produksi.
8. Pasal 128 ayat 4 yaitu penerimaan negara bukan pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
a. Iuran tetap;
b. Iuran eksplorasi;
c. Iuran produksi; dan
d. Kompensasi data informasi.
9. Pasal 130 ayat (1) yaitu pemegang IUP atau IUPK tidak dikenai
iuran produksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 128 ayat (4)
huruf c dan pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana
dimaksud dalam pasal 128 ayat (5) atas tanah/ batuan yang ikut
tergali pada saat penambangan.
Pasal 130 ayat (2) yaitu pemegang IUP atau IUPK tdikenai iuran
produksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 128 ayat (4) huruf c
40
atas pemanfaatan tanah/ batuan yang ikut tergali pada saat
penambangan.
10. Pasal 132 ayat (1) yaitu besaran tarif iuran produksi ditetapkan
berdasarkan tingkat pengusahaan, produksi, dan harga komoditas
tambang.
pasal 132 ayat (2) yaitu besaran tarif iuran produksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
B. Ketentuan Royalti Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 2012
tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang
Berlaku Pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
Dalam rangka mengoptimalkan Penerimaan Negara Bukan Pajak
serta guna menunjang pembangunan nasional, Penerimaan Negara Bukan
Pajak pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sebagai salah
satu sumber penerimaan negara perlu dikelola dan dimanfaatkan untuk
peningkatan pelayanan pada masyarakat. Kementerian Energi dan Sumber
Daya Mineral telah memiliki tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan
Pajak sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun
2003 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang
Berlaku Pada Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Namun
dengan adanya perubahan struktur organisasi dan penyesuaian atas jenis
dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada
41
Kementerian Negara Energi dan Sumber Daya Mineral, perlu mengatur
kembali jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang
berlaku pada Kementerian Negara Energi dan Sumber Daya Mineral.46
Telah dijelaskan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun
2012 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang
Berlaku Pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral di bagian
penjelasan bahwa royalti untuk emas 3,75%.47
C. Kontrak Karya
PT. Freeport Indonesia adalah sebuah perusahaan afiliasi dari
Freeport McMoran merupakan perusahaan modal asing pertama yang
melakukan usaha pertambangan di Indonesia dengan menggunakan
kontrak karya. Kontrak karya PT. Freeport Indonesia dilakukan pada 7
April 1967 dan disebut kontrak karya generasi 1, karena kontrak karya ini
merupakan pelopor penanaman modal asing dalam bidang pengusahaan
pertambangan. Dilihat dari sejarah munculnya pola kontrak karya di
Indonesia, banyak pihak berpendapat bahwa kedudukan para pihak di
dalam kontrak karya tidak seimbang, dengan posisi pemerintah Indonesia
46 Penjelasan atas Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 2012 tentang Tarif Atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral. 47 Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 2012 tentang Tarif Atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral.
42
yang lebih lemah dalam merundingkan kerangka investasi asing di industri
pertambangan.48
Pada awal negosiasi dengan PT. Freeport Indonesia, pemerintah
Indonesia telah menawarkan skema bagi hasil seperti yang diterapkan
dalam pertambangan minyak dan gas, dan meyakinkan pemerintah
Indonesia bahwa model kontrak bagi hasil tidak sesuai untuk diterapkan
pada pertambangan tembaga. Oleh karena pemerintah Indonesia tidak
memiliki argumentasi lain, maka pemerintah Indonesia justru menawarkan
kepada PT. Freeport Indonesia untuk menyiapkan kerangka kontrak. PT.
Freeport Indonesia kemudian menunjuk Bob Duke selaku ahli hukum PT.
Freeport Indonesia untuk menyusun dokumen kontrak, yang selanjutnya
disebut kontrak karya.49
Kontrak karya ini sangat menguntungkan PT. Freeport Indonesia
karena sebagian besar materi kontrak tersebut merupakan usulan yang
diajukan oleh perusahaan selama proses negosiasi artinya lebih banyak
disusun untuk kepentingan PT. Freeport Indonesia. Dalam operasi
pertambangan, pemerintah Indonesia tidak mendapatkan manfaat yang
proporsional dengan potensi ekonomi yang sangat besar di wilayah
pertambangan tersebut. Padahal posisi tawar Indonesia sangat tinggi
seharusnya kontrak karya tersebut disusun lebih banyak untuk kepentingan
negara bukan kepentingan PT. Freeport Indonesia.
48 Nanik Trihastuti, Hukum Kontrak Karya Pola Kerjasama Pengusahaan Pertambangan
Indonesia, (Malang: Setara Press, 2013), Cet. 1, h. 5. 49 Seperti dikutip oleh Nanik Trihastuti dari Arianto Sangaji, Buruk Inco Rakyat digusur,
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002), h.76. Lihat Nanik Trihastuti, Hukum Kontrak Karya Pola
Kerja Sama Pengusahaan Pertambangan Indonesia, (Malang: Setara Press, 2013), Cet. 1, h. 4.
43
Masa berlaku kontrak karya PT. Freeport Indonesia 30 tahun
terhitung mulai masa produksi komersial perusahaan tersebut yaitu pada
tanggal 1 juli 1973, sehingga berakhir pada tanggal 1 juli 2003, namun
sebelum tahun 2003, Freeport McMoran Inc. Selaku pemegang saham PT.
Freeport Indonesia pada tahun 1989 menyampaikan permohonan
perpanjangan kontrak karya PT. Freeport Indonesia kepada Menteri
Pertambangan dan Energi, permohonan ini sesuai dengan ketentuan dalam
kontrak karya PT. Freeport Indonesia generasi 1 bahwa setelah jangka
waktu kontrak berjalan setengahnya yaitu 15 tahun, perusahaan dapat
mengajukan permohonan perpanjangan karena PT. Freeport Indonesia
menemukan cadangan yang lebih kaya. Sehingga kontrak karya akan
berakhir pada 1 juli 2021 dan dapat diperpanjang lagi 2 x 10 tahun,
sehingga akan berakhir 2041.50
Menurut pasal 10 ayat (2) dan (3) Undang-Undang No. 11 tahun
1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, istilah yang
digunakan dalam ketentuan tersebut adalah Perjanjian Karya, tetapi dalam
praktik, istilah yang digunakan adalah Kontrak Karya sebagai terjemahan
dari “Contract of Work”. Menurut pasal 1 huruf a Keputusan Direktur
Jenderal Pertambangan Umum Nomor 150.K/20.01/DDJP/1998 tentang
Tatacara, Persyaratan dan pemrosesan permohonan Kontrak Karya,
Kontrak Karya memiliki pengertian sebagai “kontrak antara Pemerintah
Republik Indonesia dengan perusahaan berbadan hukum Indonesia untuk
50 “Sejarah PT. Freeport Indonesia”, artikel diakses pada 20 mei 2015 dari
http://ptfi.co.id/id/media/facts-about-feeport-indonesia/facts-about-kontrak-karya.
44
melaksanakan usaha pertambangan bahan galian, tidak termasuk minyak
bumi, gas alam, panas bumi, radio aktif dan batu bara”.51
Dasar hukum digunakannya pola Kontrak Karya dalam
pengusahaan sektor pertambangan terdapat dalam pasal 8 ayat (1)
Undang-Undang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, yang
menyatakan bahwa “Penanaman Modal Asing di bidang pertambangan
didasarkan pada suatu kerja sama dengan pemerintah atas dasar Kontrak
Karya atau bentuk lain sesuai dengan peraturan perundangan yang
berlaku”52, serta pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 11 tahun 1967
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan yang menyatakan
bahwa:
1. Menteri dapat menunjuk pihak lain sebagai kontraktor apabila
diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang belum
atau tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh instansi pemerintah atau
Perusahaan Negara yang bersangkutan selaku pemegang Kuasa
Pertambangan.
2. Dalam mengadakan Perjanjian Karya dengan kontraktor seperti
yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, instansi pemerintah atau
perusahaan negara harus berpegang pada pedoman-pedoman,
petunjuk-petunjuk dan syarat-syarat yang diberikan oleh menteri
51 Nanik Trihastuti, Hukum Kontrak Karya Pola Kerjasama Pengusahaan Pertambangan
Indonesia, h. 33. 52 Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal
Asing.
45
3. Perjanjian Karya tersebut dalam ayat (2) pasal ini berlaku sesudah
disahkan oleh pemerintah setelah berkonsultasi dengan Dewan
Perwakilan Rakyat apabila menyangkut eksploitasi golongan a
sepanjang bahan galian yang ditentukan dalam pasal 13 undang-
undang ini dan/ atau yang perjanjian karyanya berbentuk
penanaman modal asing.53
Kontrak karya diperuntukkan bagi perusahaan yang berstatus sebagai
penanam modal asing. Ruang lingkup kewenangan kontrak karya yaitu dapat
mengusahakan seluruh jenis bahan galian kecuali minyak dan gas bumi dan
batu bara yang diatur dalam aturan tersendiri. Adapun mekanisme atau
prosedurnya adalah sebagai berikut:54
1. Perusahaan mengajukan permintaan pencadangan wilayah kepada
Unit Pelayanan Informasi Pencadangan Wilayah Pertambangan
(UPIPWP).
2. Perusahaan pemohon memperoleh peta dan formulir permohonan
kontrak karya dari UPIPWP.
3. Perusahaan pemohon menyetor uang jaminan ke bank yang
ditunjuk, bukti setoran dijadikan lampiran dengan dokumen dan
persyaratan lain.
4. Perusahaan mengajukan surat permohonan kepada Direktur
Jenderal Pertambangan Umum (DJPU), berikut lampiran atau
53 Nanik Trihastuti, Hukum Kontrak Karya Pola Kerjasama Pengusahaan Pertambangan
Indonesia, h. 32-33. 54 Nandang Sudrajat, Teori dan Praktik Pertambangan Indonesia, (Jakarta: Pustaka
Yustisia, 2013), Cet. 1, h. 67.
46
dokumen yang harus dipenuhi kepada Direktorat Pembinaan
Pengusahaan (DPB) melalui sekretariat Direktorat Jenderal
Pertambangan Umum.
5. Direktorat Jenderal Pertambangan Umum menyampaikan hasil
pemrosesan DPB kepada perusahaan pemohon, apakah
pengajuannya diterima atau ditolak.
6. Direktorat Jenderal Pertambangan Umum membentuk dan
menugaskan tim perunding, yang bertugas melakukan perundingan
dengan perusahaan pemohon kontrak karya.
7. Direktur DPB bersama perusahaan pemohon, menyampaikan hasil
perundingan kepada DJPU.
8. DJPU menyampaikan draf kontrak karya kepada menteri untuk
dilakukan pemrosesan lebih lanjut.
9. Menteri menyampaikan draf kontrak karyakepada DPR RI untuk
dikonsultasikan dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal
(BKPM) untuk mendapat rekomendasi.
10. DPR menyampaikan tanggapan kepada menteri atas draf kontrak
karya yang disampaikan sebelumnya.
11. BKPM menyampaikan rekomendasi atas draf kontrak karya yang
disampaikan menteri kepada presiden.
12. Presiden memberikan persetujuan, yang dalam pelaksanaannya
didelegasikan kepada menteri, untuk dan atas nama pemerintah
menandatangani kontrak karya.
47
13. Menteri melaksanakan penandatanganan kontrak karya dengan
perusahaan pemohon.
Setelah dilakukan penandatanganan kontrak karya, kemudian
perusahaan memulai kegiatan di lapangan pada area yang telah ditetapkan
dalam kontrak karya, dengan luas dan titik-titik koordinatnya ditentukan
secara jelas dan rinci yang merupakan wilayah hukum kontrak karya yang
dimaksud. Secara teknis, perusahaan pemegang kontrak karya melakukan
kegiatan di lapangan sebagai berikut:
1. Melaksanakan penyelidikan umum, dengan jangka waktu
pelaksanaan satu tahun ditambah kesempatan perpanjangan
selama satu tahun.
2. Melaksanakan kegiatan eksplorasi, dengan jangka waktu
pelaksanaan tiga tahun, dengan diberikan kesempatan dua
tahun masa perpanjangan waktu.
3. Tahapan studi kelayakan (feasibility study) selama satu tahun,
dengan masa perpanjangan selama satu tahun.
4. Tahapan konstruksi atau pekerjaan persiapan selama tiga tahun.
5. Masa eksploitasi selama tiga puluh tahun, ditambah masa
perpanjangan selama 2 x 10 tahun.55
D. Production Sharing Contract
55 Ibid., h. 68-69.
48
Production Sharing Contract adalah salah satu pola kerja sama
modal pertambangan di Indonesia dimana perusahaan negara di negeri
tuan rumah menguasai kepemilikan, tetapi memberikan tanggung jawab
penuh kepada perusahaan asing untuk mengelola operasi dan menyediakan
atau menghasilkan kebutuhan dana untuk eksplorasi dan pengembangan.
Perusahaan asing memperoleh bagian dari produksi untuk membayar biaya
yang dikeluarkannya dan persentase tertentu dari hasil bersih.56 Pola
kontrak kerja sama seperti ini biasanya terdapat pada pertambangan
minyak dan gas.
Perbedaan kontrak karya dengan production sharing contract
adalah pada sistem manajemen operasinya, di dalam kontrak karya,
manajemen operasi sepenuhnya berada di tangan kontraktor, sehingga
kontraktor memiliki hak serta kewenangan mutlak untuk mengatur dan
mendahulukan kepentingan perusahaannya dengan mengambil langkah-
langkah yang secara pasti akan memberikan keuntungan sebesar-besarnya
bagi perusahaan.57 Sedangkan dalam production sharing contract
manajemen operasi ada pada pemerintah.
E. Royalti Dalam Kontrak Karya Pertambangan
Royalti atau iuran produksi/ iuran eksploitasi adalah jumlah yang
diserahkan kepada pemerintah untuk mineral yang diproduksi perusahaan
pertambangan. Perusahaan harus membayar iuran eksploitasi atau
56 Nanik Trihastuti, Hukum Kontrak Karya Pola Kerjasama Pengusahaan Pertambangan
Indonesia, h. 85. 57 Ibid., h. 5.
49
produksi untuk kadar mineral hasil produksi dari wilayah pertambangan
sepanjang setiap mineral dan produksi itu merupakan mineral yang
nilainya sesuai dengan kebiasaan umum dibayar atau dibayarkan kepada
perusahaan oleh pembeli.58 Royalti berhubungan erat dengan kegiatan
produksi yang terjadi dalam pertambangan, diberikan kepada pemilik atau
penguasa mineral atas pemberian ijin untuk mengeksploitasi mineral yang
ada di suatu wilayah. Royalti dikenakan karena pemilik sebenarnya sudah
memberikan ijin dan kewenangannya kepada penerima ijin untuk
mengambil manfaat dari adanya kekayaan mineral di tempat tersebut.
Dalam kegiatan produksinya, penerima ijin atau kontraktor bekerja atas
risikonya sendiri dan juga dengan modalnya sendiri, akan tetapi bekerja di
“lahan” bukan miliknya, karena itu kontraktor berkewajiban memberikan
royalti kepada pemilik “lahan” yaitu pemerintah bersangkutan. Kontraktor
hanya mempunyai hak untuk menambang saja (mining right).59
Dalam sistem royalti, sebenarnya telah terjadi perpindahan
kepemilikan kepada penerima ijin. Hal tersebut bisa dilihat dari
kewenangan penerima ijin untuk menggali dan menjual hasil tambang itu
atas nama dirinya. Tetapi dalam tambang kontraktor tidak menjadi pemilik
penuh dari hasil tambang itu karena harus membayar royalti atas berapa
banyaknya hasil tambang yang digalinya. Besaran royalti itu ditentukan
dari besarnya produksi, bukan dari besarnya penjualan produksinya.
Logikanya adalah negara tetap mempunyai hak untuk menjual atau tidak
58 Pemerintah Republik Indonesia dan PT. Freeport Indonesia Company, Kontrak Karya,
(Jakarta: 1991 ), pasal 11 butir ke-2. 59 Adrian Sutedi, Hukum Pertambangan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), Cet. 1, h. 342.
50
atau memanfaatkan langsung atau tidak barang tambang itu yang mungkin
berbeda dengan kepentingan kontraktor. Hanya saja kontraktor dianggap
tidak mempunyai kemampuan untuk memasarkan atau memanfaatkan
barang mineral tersebut atau kemampuan itu ditundanya dan diserahkan
kepada kontraktor atau bahwa telah terjadi perpindahan kewenangan atau
penguasaan atau kepemilikan atas barang tambang itu sehingga
kontraktorlah yang paling berhak memanfaatkan barang tambang tersebut.
Tetapi walaupun begitu, atas kemauan negara untuk menunda atau
memberikan kewenangannya kepada kontraktor, ia berhak mendapatkan
kompensasi berupa penerimaan royalti.60
60 Ibid., h. 342.
51
BAB IV
ANALISIS YURIDIS PENERAPAN ASAS PROPORSIONALITAS
DALAM PEMBAGIAN ROYALTI PERTAMBANGAN EMAS
PT.FREEPORT INDONESIA
A. Penerapan asas proporsionalitas dalam pembagian royalti emas oleh
PT. Freeport Indonesia
PT. Freeport Indonesia adalah sebuah perusahaan afiliasi dari
Freeport McMoran, merupakan perusahaan modal asing pertama yang
melakukan usaha pertambangan di Indonesia dengan menggunakan
kontrak karya. Kontrak karya PT. Freeport Indonesia dilakukan pada 7
April 1967 dan disebut kontrak karya generasi 1, karena kontrak karya ini
merupakan pelopor penanaman modal asing dalam bidang pengusahaan
pertambangan. Masa berlaku kontrak karya PT. Freeport Indonesia 30
tahun terhitung mulai masa produksi komersial perusahaan tersebut yaitu
pada tanggal 1 juli 1973, sehingga berakhir pada tanggal 1 juli 2003,
namun sebelum tahun 2003, Freeport McMoran Inc. Selaku pemegang
saham PT. Freeport Indonesia pada tahun 1989 menyampaikan
permohonan perpanjangan kontrak karya PT. Freeport Indonesia kepada
Menteri Pertambangan dan Energi, permohonan ini sesuai dengan
ketentuan dalam kontrak karya PT. Freeport Indonesia generasi 1 bahwa
setelah jangka waktu kontrak berjalan setengahnya yaitu 15 tahun,
perusahaan dapat mengajukan permohonan perpanjangan karena PT.
51
52
Freeport Indonesia menemukan cadangan yang lebih kaya. Sehingga
kontrak karya akan berakhir pada 1 juli 2021 dan dapat diperpanjang lagi 2
x 10 tahun, sehingga akan berakhir 2041.61 Dari awal kontrak karya
memang royalti untuk emas disepakati 1% tetapi dasar hukum untuk
menyesuaikan royalti tersebut yaitu pasal 169 Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara yaitu:
d) Kontrak karya dan perjanjian pengusahaan pertambangan batu bara
yang telah ada sebelum berlakunya undang-undang ini tetap
diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak atau
perjanjian.
e) Ketentuan yang tercantum dalam pasal kontrak karya dan perjanjian
karya pengusahaan batu bara sebagaimana dimaksud pada huruf (a)
disesuaikan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak undang-undang
ini diundangkan kecuali mengenai penerimaan negara.
f) Pengecualian terhadap penerimaan negara sebagaimana dimaksud
pada huruf (b) adalah upaya peningkatan penerimaan negara.62
Berdasarkan pasal 169 poin (b), seharusnya ketentuan royalti yang
baru yaitu 3,75% mulai berlaku selambat-lambatnya satu tahun sejak
diundangkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tersebut.
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan
Republik Indonesia tahun 1945 menegaskan bahwa, bumi, air dan
61 “Sejarah PT. Freeport Indonesia”, artikel diakses pada 20 mei 2015 dari
http://ptfi.co.id/id/media/facts-about-feeport-indonesia/facts-about-kontrak-karya. 62 Pasal 169 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara.
53
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tetapi rumusan pasal
tersebut berbanding terbalik dengan realita yang ada, meskipun Indonesia
adalah negara yang kaya akan berbagai sumber daya alam, namun pada
kenyataannya tidak membawa kesejahteraan bagi rakyatnya, tetapi yang
terjadi justru sebaliknya, kekayaan alam yang ada menjadi petaka bagi
bangsa Indonesia. Berjuta-juta ton bahan galian tambang setiap tahunnya
dieksploitasi dan dijual ke berbagai negara tujuan, tetapi secara nyata
hanya sebagian kecil hasilnya yang dapat dirasakan rakyat Indonesia. Pada
praktiknya ternyata pemerintah tidak mempunyai daya paksa terhadap
pelaku kegiatan usaha pertambangan yang nakal, bahkan cenderung selalu
mengalah pada kepentingan investor. Kecenderungan tersebut, dapat kita
lihat dari fakta berikut:
1. Lemahnya posisi pemerintah dalam melakukan negosiasi pengelolaan
dan pengusahaan bahan galian, hal tersebut berimplikasi pada
kecilnya bagian yang dapat diterima negara atas hasil bahan galian
yang dieksploitasi.
2. Munculnya beberapa paket kebijakan yang memanjakan investor
pertambangan, seperti insentif atau keringanan pajak, bebas bea
masuk barang dan peralatan produksi dan lain-lain.
3. Kebebasan investor untuk melakukan penjualan produk bahan galian
yang dihasilkan dalam bentuk biih (batu), bukan produk yang telah
mengalami pengolahan dan pemurnian.
54
4. Tidak adanya kebijakan yang berpihak untuk kepentingan nasional
secara nyata, contohnya kebijakan yang melarang ekspor bahan galian
dalam bentuk bijih.63
Pada awal negosiasi antara Pemerintah Indonesia dengan PT.
Freeport, Pemerintah Indonesia mengusulkan bahwa kontrak kerja sama
yang akan dipakai adalah model kontrak bagi hasil atau production
sharing contract seperti yang diterapkan pada pertambangan minyak dan
gas, tetapi PT. Freeport mengusulkan model kontrak karya karena kontrak
bagi hasil tidak sesuai untuk diterapkan pada pertambangan tembaga. Oleh
karena Pemerintah Indonesia tidak memiliki argumentasi lain serta pada
saat itu pemerintah Indonesia sangat sulit mendapatkan penanam modal
asing karena syarat untuk menarik modal asing adalah:
1. Syarat keuntungan ekonomi.
2. Syarat kepastian hukum.
3. Syarat stabilitas politik.64
Karena pada saat itu stabilitas politik Indonesia sedang kacau
akibat G 30S PKI dan pada saat itu PT. Freeport satu-satunya penanam
modal asing yang mau berinvestasi di Indonesia, maka dari itu PT.
Freeport diberikan kemudahan dan keistimewaan. Akhirnya Pemerintah
Indonesia menawarkan kepada PT. Freeport untuk menyiapkan kerangka
kontrak. Kemudian PT. Freeport menunjuk Bob Duke selaku ahli hukum
63 Nandang Sudrajat, Teori dan Praktik Pertambangan Indonesia, (Jakarta: Pustaka
Yustisia, 2013), Cet. 1, h. 9. 64 Tim Kompendium, Kompendium Bidang Hukum Investasi, (Jakarta: Badan Pembinaan
Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Ham RI, 2011), h. 2.
55
PT. Freeport untuk menyusun dokumen kontrak yang selanjutnya disebut
Kontrak Karya.65
Dilihat dari sejarah munculnya pola kontrak karya di Indonesia,
penulis berpendapat bahwa kedudukan para pihak di dalam kontrak karya
tidak seimbang dan tidak proporsional, karena didalam kontrak karya
dalam konteks pengelolaan dan pengusahaan bahan galian posisi negara
dengan lembaga usaha swasta ditempatkan sejajar, hal ini merupakan
bentuk melemahkan atas kedaulatan negara dalam hal hak menguasai
negara atas bahan galian. Karena bagaimanapun juga, kedudukan negara
yang merdeka dan berdaulat secara politik dan hukum merupakan
representasi dari seluruh rakyat satu negara, tidak dapat disejajarkan
dengan lembaga usaha yang merepresentasikan segelintir orang. Di dalam
kontrak karya, manajemen sepenuhnya berada di tangan kontraktor,
sehingga kontraktor memiliki hak dan wewenang mutlak untuk mengatur
dan mendahulukan kepentingan perusahaannya dengan mengambil
langkah-langkah strategis, yang secara pasti akan memberikan keuntungan
yang sebesar-besarnya bagi perusahaan. Dengan demikian tidak adanya
kontrol pemerintah atas perusahaan merupakan bentuk penyimpangan dari
nilai filosofis pasal 33 ayat (2) yaitu melanggar hakikat hak menguasai
negara karena kontrol manajemen perusahaan kontraktor berada pada
perusahaan dan bukan pada negara. Berbeda dengan sistem production
65 Seperti dikutip oleh Nanik Trihastuti dari Arianto Sangaji, Buruk Inco Rakyat digusur,
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002), h.76. Lihat Nanik Trihastuti, Hukum Kontrak Karya Pola
Kerja Sama Pengusahaan Pertambangan Indonesia, (Malang: Setara Press, 2013), Cet. 1, h. 4.
56
sharing contract walaupun perusahaan kontraktor yang menjalankan
operasional di lapangan, tetapi sistem manajemen perusahaan dipegang
oleh negara, dengan demikian negara dapat mengambil langkah-langkah
strategis demi kepentingan negara.
Selain itu posisi Pemerintah Indonesia lebih lemah dalam
merundingkan kerangka kontrak, menurut penulis seharusnya secara
konsep Indonesia memiliki posisi tawar yang lebih tinggi karena semua
persoalan yang berkaitan dengan pengelolaan pertambangan mineral dan
batu bara, sebagaimana kita ketahui, harus bermuara untuk sebesar-
besarnya demi kemakmuran rakyat. Prinsip untuk sebesar-besarnya demi
kemakmuran rakyat adalah landasan pokok yang wajib dilaksanakan oleh
aparatur negara dalam hal ini pemerintah. Karena merupakan amanat
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia pasal 33 ayat
(3). Dengan demikian pemerintah tidak mengamalkan amanat tersebut
sehingga kontrak karya ini sangat menguntungkan PT. Freeport Indonesia
karena sebagian besar materi kontrak tersebut merupakan usulan yang
diajukan oleh perusahaan selama proses negosiasi artinya lebih banyak
disusun untuk kepentingan PT. Freeport Indonesia. Dalam operasi
pertambangan, pemerintah Indonesia tidak mendapatkan manfaat yang
proporsional dengan potensi ekonomi yang sangat besar di wilayah
pertambangan tersebut. Sehingga dalam proses awal pembuatan kontrak
karya antara pemerintah Indonesia dengan PT. Freeport Indonesia dapat
dikatakan tidak proporsional karena tidak adanya keseimbangan posisi
57
tawar dan lebih merugikan Indonesia, karena kontrak yang baik adalah
kontrak yang mampu mengakomodir kepentingan para pihak, maka dari
itu pertukaran hak dan kewajiban harus seimbang dan proporsional.
Karena asas proporsionalitas dalam kontrak komersial
menempatkan posisi para pihak pada kesetaraan, sehingga tujuan para
kontraktan yang berorientasi pada keuntungan bisnis akan terwujud
apabila terdapat pertukaran hak dan kewajiban yang fair atau
proporsionaal. Asas proporsional dilihat dari proses dan mekanisme
pertukaran hak dan kewajiban yang berlangsung secara fair. Karena asas
proporsionalitas bermakna sebagai asas yang melandasi atau mendasari
pertukaran hak dan kewajiban para pihak sesuai proporsi atau bagiannya
dalam seluruh proses kontraktual. Asas proporsionalitas mengandaikan
pembagian hak dan kewajiban diwujudkan dalam seluruh proses hubungan
kontraktual baik pada fase prakontraktual, pembentukan kontrak maupun
pelaksanaan kontrak. Asas proporsional sangat berorientasi pada konteks
hubungan dan kepentingan para pihak yaitu menjaga kelangsungan
hubungan agar berlangsung kondusif dan fair. Karena kriteria atau syarat
yang harus dipenuhi untuk dapat dikatakan proporsional, yaitu sebagai
berikut:
e. Kontrak yang bersubstansi asas proporsionalitas adalah kontrak yang
memberikan pengakuan terhadap hak, peluang dan kesempatan yang
sama kepada para kontraktan untuk menentukan pertukaran yang adil
bagi mereka. Kesamaan bukan dalam arti “kesamaan hasil” melainkan
58
pada posisi para pihak yang mengandaikan “kesetaraan kedudukan
dan hak (equitability)” (prinsip kesamaan hak atau kesetaraan hak).
f. Berlandaskan pada kesamaan atau kesetaraan hak tersebut, maka
kontrak yang bersubstansi asas proporsional adalah kontrak yang
dilandasi oleh kebebasan para kontraktan untuk menentukan substansi
apa yang adil dan apa yang tidak adil bagi mereka (prinsip
kebebasan).
g. Kontrak yang bersubstansi asas proporsional adalah kontrak yang
mampu menjamin pelaksanaan hak dan kewajiban secara proporsional
bagi para pihak. Perlu digarisbawahi bahwa keadilan tidak selalu
berarti semua orang harus mendapatkan dalam jumlah yang sama,
dalam konteks ini dimungkinkan adanya hasil akhir yang berbeda.
Dalam hal ini maka prinsip distribusi-proporsional terhadap hak dan
kewajiban para pihak harus mengacu pertukaran yang fair.
h. Dalam hal terjadinya sengketa kontrak, maka beban pembuktian, berat
ringan kadar kesalahan maupun hal-hal lain terkait, harus diukur
berdasarkan asas proporsionalitas untuk memperoleh hasil
penyelesaian yang elegan dan win-win solution.66
Dengan demikian, kontrak karya antara pemerintah Indonesia dan
PT. Freeport Indonesia harus dibangun berdasarkan pemahaman keadilan
yang dilandasi atas pengakuan hak para kontraktan tersebut. Pembagian
hak dan kewajiban harus adil yang termanifestasi dalam pemberian
66 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsional Dalam Kontrak
Komersial, h.88.
59
peluang dan kesempatan yang sama dalam pertukaran kepentingan yaitu
hak dan kewajiban para pihak. Namun demikian pengakuan hak,
kebebasan dan kesamaan dalam pertukaran hak dan kewajiban tersebut
harus dalam bingkai aturan main yang mempertimbangkan prinsip
distribusi yang proporsional.67
Pemerintah Indonesia juga tidak memperoleh keuntungan yang
berarti dari hasil penambangan yang dilakukan karena pada saat kontrak
karya di tandatangani, nilai mineral (mineral value) masih merupakan
sesuatu yang belum pasti, sedangkan jangka waktu antara
penandatanganan kontrak sampai ditemukannya cadangan mineral dapat
mencapai 12 tahun lamanya. Berkaitan dengan hal ini, banyak terjadi
masalah dimana tuntutan kewajiban terhadap PT. Freeport yang ringan
terlanjur diberikan, namun kemudian ternyata cadangan mineral yang
ditemukan sangat besar. Keadaan yang demikian tentu saja sangat
merugikan pihak Indonesia, karena ternyata dalam kontrak karya tidak
terdapat klausul yang mengatur adanya kemungkinan ditemukannya
mineral yang besar dan kaya.68
Kontrak karya pertambangan yang dilakukan pemerintah Indonesia
dengan PT. Freeport Indonesia pada kontrak karya generasi I tahun 1967
yang kemudian diperpanjang dengan kontrak karya generasi V tahun 1991,
67 Ibid., h. 89. 68 Seperti dikutip oleh Nanik Trihastuti dari Rachman Wiriosudarmo, Kebijaksanaan
Mineral Dalam Menghadapi Era Pasar Bebas, Temu Profesi Tahunan PERHAPI, Bandung, 1995,
h.76. Lihat Nanik Trihastuti, Hukum Kontrak Karya Pola Kerja Sama Pengusahaan
Pertambangan Indonesia, (Malang: Setara Press, 2013), Cet. 1, h. 6.
60
pemerintah Indonesia hanya mendapatkan royalti 1,5%-3,5% dari hasil
penjualan tembaga dan 1% dari hasil penjualan emas dan perak. Besaran
royalti ini jauh lebih rendah dari royalti rata-rata di negara lain yang
besarnya mencapai 6% untuk tembaga dan 5% untuk emas dan perak.
Seharusnya royalti yang diperoleh pemerintah Indonesia dapat mencapai
di atas rata-rata royalti tersebut karena potensi dan nilai kandungan
mineral dipertambangan PT. Freeport sangat bagus. Maka dari itu
permintaan hasil tambang PT. Freeport semakin meningkat.69
Berdasarkan kenyataan bahwa royalti yang diterima pemerintah
Indonesia dari penambangan di Indonesia tidak sebanding dengan
keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan penambangan yang ada
khususnya PT. Freeport, maka pemerintah Indonesia telah mengeluarkan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2000 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 1998 tentang Tarif
Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada
Departemen Pertambangan dan Energi di Bidang Pertambangan Umum,
yang isinya menaikkan royalti atas semua jenis mineral dan logam yang
dihasilkan oleh kegiatan penambangan di Indonesia secara tidak pandang
bulu. Tarif royalti untuk emas dinaikkan yakni dari 1% menjadi 3,75%.
Dengan mempertimbangkan perkembangan nasional maupun
internasional, bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang
69 Nanik Trihastuti, Hukum Kontrak Karya, Pola Kerja Sama Pengusahaan Pertabangan
Indonesia, h. 7.
61
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan jaman dan sudah tidak mampu lagi mengakomodir segala
persoalan dalam dunia pertambangan nasional sehingga dibutuhkan
perubahan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan
mineral dan batu bara yang dapat mengelola potensi mineral dan batu bara
yang lebih baik lagi maka diundangkannya Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara.70 Dengan dikeluarkannya
peraturan pertambangan yang baru secara otomatis terjadi pembaruan
hukum yang materinya lebih baik dari undang-undang sebelumnya. Di
dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu
Bara pasal 169 menyatakan bahwa:
a. Kontrak karya dan perjanjian pengusahaan pertambangan batu bara
yang telah ada sebelum berlakunya undang-undang ini tetap
diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak atau
perjanjian.
b. Ketentuan yang tercantum dalam pasal kontrak karya dan perjanjian
karya pengusahaan batu bara sebagaimana dimaksud pada huruf (a)
disesuaikan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak undang-undang
ini diundangkan kecuali mengenai penerimaan negara.
c. Pengecualian terhadap penerimaan negara sebagaimana dimaksud
pada huruf (b) adalah upaya peningkatan penerimaan negara.
70 Konsideran menimbang huruf (c) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Mineral dan Batu Bara.
62
Merujuk pada ketentuan pasal 169 huruf b, maka semua pasal-
pasal dalam kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan
pertambangan batu bara harus disesuaikan dengan ketentuan pasal-pasal
dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009. Ketentuan tersebut salah
satunya mengenai penyesuaian royalti sebagaimana diatur dalam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2003 tentang Perubahan
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2000 tentang Tarif Atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen
Pertambangan dan Energi di Bidang Pertambangan Umum, dengan
demikian PT. Freeport Indonesia seharusnya sudah menyesuaikan tarif
royalti emas yang tadinya 1% menjadi 3,75% sejak diundangkannya pada
12 januari 2009 dan paling lambat disesuaikan pada tanggal 12 januari
2010. Tetapi PT. Freeport Indonesia tidak mau melakukan penyesuaian
tersebut dengan alasan bahwa pemerintah Indonesia harus menghargai
kontrak karya yang dibuat hingga kontrak selesai sesuai dengan asas pacta
sunt servanda, yaitu perjanjian yang sudah dibuat mengikat para pihaknya.
Sebagai alternatif penyelesaian permasalahan tersebut pemerintah
mengeluarkan kebijakan renegosiasi tetapi pada saat dikeluarkan kebijakan
tersebut PT. Freeport Indonesia masih tidak mau melakukan penyesuaian
royalti dan masih berargumentasi bahwa pemerintah Indonesia harus tetap
konsisten melaksanakan kontrak karya sesuai asas pacta sunt servanda.
Dengan demikian apabila dikaitkan dengan asas proporsionalitas,
jelas perbuatan PT. Freeport Indonesia tidak menerapkan asas
63
proporsionalitas, karena kontrak yang bersubstansi asas proporsional
adalah kontrak yang mampu menjamin pelaksanaan hak dan kewajiban
secara proporsional bagi para pihak serta berorientasi pada konteks
hubungan dan kepentingan para pihak yaitu menjaga kelangsungan
hubungan agar berlangsung kondusif dan fair, pertukaran hak dan
kewajiban harus adil atau proporsional, serta dalam pelaksanaanya dengan
itikad baik harus melaksanakan distribusi proporsional yaitu bagaimana
dalam pelaksanaan kontrak selalu dengan itikad baik dengan menghormati
hak para pihak dan jangan sampai ada pihak yang rugi. Karena asas
proporsionalitas bermakna sebagai asas yang melandasi atau mendasari
pertukaran hak dan kewajiban para pihak sesuai proporsi atau bagiannya
dalam seluruh proses kontraktual. Apabila salah satu pihak yaitu pihak
pemerintah Indonesia menaikkan tarif royalti emas yang tadinya 1%
menjadi 3,75% karena menurut pemerintah Indonesia tarif emas 3,75% itu
proporsi yang adil seharusnya dengan itikad baik PT. Freeport Indonesia
mengakui hak pemerintah Indonesia tersebut. Karena dalam kontrak
penyesuaian kontrak atau renegosiasi kontrak merupakan hal yang wajar
dalam konteks situasi, terutama pada kontrak yang masa berlakunya
panjang (long term contract). Sehingga para pihak yang menandatangani
kontrak perlu untuk mengevaluasi hal-hal yang telah disepakati. Dalam
konteks hukum pertambangan renegosiasi kontrak merupakan bentuk dari
64
pelaksanaan amanat pasal 169 huruf (b) Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2009 tentang Mineral dan Batu Bara.71
Asas pacta sunt servanda di dalam hukum positif Indonesia dapat
ditemukan dalam Pasal 1338 KUH Perdata yaitu:
Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi mereka yang
membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan
sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-
undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan
dengan itikad baik.72
Tetapi coba kita lihat kembali pasal 1339 KUH Perdata yang
menyebutkan bahwa:
Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan
tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang
menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau
undang-undang.73
Menurut penulis bahwa dalam sebuah perjanjian, para pihak
memiliki kewajiban untuk menghormati kontrak yang telah ada,
dilaksanakan serta dengan itikad baik, namun di samping itu KUH Perdata
juga mengatur bahwa suatu kontrak perjanjian dapat ditarik kembali jika
ada alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang, serta perjanjian
tersebut harus berdasarkan kepatutan, kebiasaan dan atau undang-undang.
71 Ahmad Redi, Hukum Pertambangan, (Jakarta: Gramata Publishing, 2014), h. 80. 72 R. Subekti & R Tjitrosudibjo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta:
Pradnya Paramita, 2004), Cet. 34, h. 342. 73 Ibid.
65
Lagi pula pasal 1338 merupakan lex generalis dan Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara dan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2012 tentang Perubahan
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2003 tentang Tarif Atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Energi
dan Sumber Daya Mineral merupakan lex specialis. Sebagaimana kita
ketahui salah satu asas perundangan yaitu lex specialis derogat lex
generalis yaitu undang-undang yang isi dan peraturannya bersifat khusus
mengesampingkan atau menyingkirkan undang-undang yang isi dan
peraturannya bersifat umum.74 Seharusnya PT. Freeport Indonesia dengan
itikad baik dan berbesar hati melaksanakan segala ketentuan yang berlaku
di Indonesia, karena secara konsep PT. Freeport Indonesia merupakan
perusahaan berbadan hukum Indonesia, jadi sudah seharusnya tunduk pada
peraturan yang berlaku di Indonesia dan seharusnya tidak menzalimi
bangsa Indonesia dengan mengeruk kekayaan bangsa Indonesia tetapi
hanya memberikan royalti yang kecil, sebagaimana terkandung dalam
firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 279:
ااا٢٧٩الموناتظ ااولاالموناتظ االا.....“kamu tidak menganiaya dan tidak “pula” dianiaya”
Selain itu juga tidak memberikan mudharat kepada bangsa
Indonesia sesuai dengan kaidah fiqh “la dharara wa la dhiror” yang
artinya jangan kalian menzalimi dan tidak boleh dizalimi, secara garis
74 Syafrudin Makmur, Hukum Acara Perdata Sekelumit Teori dan Praktek. (Ciputat: t.p.,
2013), h.78.
66
besar kaidah fiqh ini melarang segala sesuatu perbuatan yang
mendatangkan mudharat atau bahaya tanpa alasan yang benar serta tidak
boleh membalas kemudharatan yang serupa juga, apalagi dengan yang
lebih besar dari kemudharatan yang menimpanya.
B. Upaya pemerintah dalam menjatuhkan sanksi kepada PT. Freeport
Indonesia karena belum mematuhi Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012
Ketentuan yang menyatakan kenaikan royalti pada awalnya yaitu
diberlakukannya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 13
Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 58
Tahun 1998 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak
yang berlaku pada Departemen Pertambangan dan Energi di Bidang
Pertambangan Umum, yang isinya menaikkan royalti atas semua jenis
mineral dan logam yang dihasilkan oleh kegiatan penambangan di
Indonesia secara tidak pandang bulu. Tarif royalti untuk emas dinaikkan
yakni dari 1% menjadi 3,75%.75 Lalu direvisi menjadi Peraturan
Pemerintah Nomor 45 Tahun 2003 dan sekarang Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 2012. Seharusnya sejak diundangkannya Peraturan
Pemerintah Nomor 13 Tahun 2000 tersebut kewajiban PT. Freeport untuk
membayar royalti emas 3,75% sudah berlaku tetapi pada kenyataannya
sampai saat ini belum disesuaikan dan masih membayar royalti emas 1%.
75 Nanik Trihastuti, Hukum Kontrak Karya, Pola Kerja Sama Pengusahaan Pertabangan
Indonesia, h. 8.
67
Dalam wawancara dengan staf Sub Dit Bimbingan Usaha
Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara, Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral, PT. Freeport tidak menaikkan royalti emas 3,75%
ketika diundangkannya Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2000
tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Undang-Undang Mineral
dan Batu Bara Nomor 4 Tahun 2009 karena PT. Freeport berpendapat
bahwa kontrak yang disepakati antara PT. Freeport dengan pemerintah
Indonesia mengikat para pihak atau bisa disebut lex specialis dan ketika
ditandatanganinya kontrak masih mengacu pada Undang-Undang
pertambangan yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 11 tahun 1967
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Ketika
diundangkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral
dan Batu Bara dan Undang-Undang Nomor 11 tahun 1967 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan dinyatakan tidak berlaku lagi
pemerintah memiliki dasar argumentasi, barulah dilakukan renegosiasi
yaitu meninjau kembali serta merevisi enam poin renegosiasi yaitu:
wilayah kerja, perpanjangan kontrak, penyesuaian royalti, divestasi,
smelting, dan penggunaan barang dan jasa dalam negeri.76 Pada akhirnya
PT. Freeport sudah menandatangani nota kesepahaman renegosiasi pada
juli 2014 yang terdiri dari enam poin yang salah satunya mengenai
penyesuaian royalti. Karena proses renegosiasi itu sangat kompleks maka
hingga saat ini masih dilakukan negosiasi dan belum ada sanksi terkait
76 Wawancara pribadi dengan Syarifudin. Jakarta, 17 juni 2015.
68
pelanggaran PT. Freeport Indonesia karena belum menyesuaikan royalti
terkait Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu
Bara dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012 Tentang Tarif Atas
Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral.
Meskipun perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan PT.
Freeport Indonesia menggunakan pola kontrak karya, dimana dalam
sistem kontrak karya sistem manajemen perusahaan dipegang perusahaan
kontraktor. Pemerintah melakukan pengawasan terhadap operasi dan
keuangan perusahaan. Dalam wawancara dengan staf Sub Dit Penerimaan
Negara, Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara, pemerintah setidaknya
melakukan audit keuangan perusahaan 2 tahun sekali untuk mengetahui
apa yang sudah dibayarkan apakah lebih bayar, kurang bayar ataupun
sesuai yang sudah dibayarkan, antara lain berapa hasil produksi, pajak,
royalti, dan lain sebagainya. Audit tersebut dilakukan oleh Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan dan
Pembangunan (BPKP).77 Jadi walaupun manajemen perusahaan ditangan
perusahaan kontraktor, pemerintah juga mampu mengaudit keuangan
perusahaan tersebut.
Menurut penulis apa yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sudah tepat karena apa
yang dilakukan pemerintah adalah upaya mengoptimalkan penerimaan
77 Wawancara pribadi dengan Priyo Adi Kumoro. Jakarta, 23 juni 2015.
69
negara yaitu royalti dari hasil tambang karena merupakan amanat dari
pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia,
pasal 169 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu
Bara dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012 tentang Tarif Atas
Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral. Tetapi alangkah lebih baik lagi jika
pemerintah lebih tegas kepada semua perusahaan pemegang kontrak karya
khususnya dalam hal ini PT. Freeport Indonesia karena belum
menyesuaikan kontrak karya yang salah satu poin renegosiasi tentang
penyesuaian royalti karena berdampak kepada penerimaan negara yang
tidak optimal dalam kata lain merugikan pemerintah Indonesia karena
mereka belum membayar apa yang seharusnya dibayarkan, walaupun tidak
melanggar karena dalam pasal 169 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Mineral dan Batu Bara tidak disebutkan dengan jelas pengecualian
batasan waktu tentang penerimaan negara tetapi seharusnya PT. Freeport
Indonesia segera menyesuaikan kontrak karya tersebut. Lagi pula apabila
PT. Freeport dengan itikad baik menerapkan asas proporsionalitas, jelas
hal ini tidak akan terjadi karena merugikan pihak pemerintah Indonesia,
karena dalam asas proporsionalitas menekankan pada pengakuan terhadap
hak, peluang dan kesempatan kepada para pihak sehingga pertukaran
berjalan dengan adil, fair dan tidak ada pihak yang dirugikan. Lagi pula
renegosiasi merupakan hal yang wajar dilakukan dalam dunia bisnis dalam
hal konteks situasi, terutama pada kontrak yang masa berlakunya panjang
70
seperti kontrak karya pemerintah Indonesia dengan PT. Freeport Indonesia
dan memang seharusnya PT. Freeport Indonesia patuh dan tunduk pada
semua peraturan yang berlaku di Indonesia karena PT. Freeport Indonesia
merupakan badan hukum Indonesia.
71
72
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada bab-bab
sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan diantaranya sebagai berikut:
1. Dalam pembagian royalti antara PT. Freeport Indonesia dengan
Pemerintah Indonesia dapat dikatakan tidak terdapat asas
proporsionalitas dari awal pembuatan kontrak hingga penerapan isi
kontrak.
2. Dalam hal penyesuaian ketentuan mengenai royalti yang merupakan
amanat dari pasal 169 (b) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Mineral dan Batu Bara dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012
tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku
Pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, royalti emas belum
disesuaikan dari 1% menjadi 3,75% oleh PT. Freeport Indonesia. Tetapi
pada akhirnya PT. Freeport sudah menandatangani nota kesepahaman
renegosiasi pada juli 2014 yang terdiri dari 6 poin yang salah satunya
mengenai penyesuaian royalti. Karena proses renegosiasi itu sangat
kompleks maka hingga saat ini masih dilakukan negosiasi dan belum ada
sanksi terkait hal ini.
B. Saran
Pada akhir penulisan ini, penulis mengemukakan beberapa saran
diantaranya sebagai berikut:
72
73
1. Pemerintah harus memberikan kepastian hukum kepada investor, dan
merevisi undang-undang agar tidak adanya tumpang tindih. Serta
menjamin adanya konsisten antara peraturan dan perundangan.
2. Dalam membuat kontrak dengan investor asing pemerintah selalu
menerapkan asas-asas hukum yang ada sehingga berdampak pada tujuan
dan kepentingan negara dalam hal ini pendapatan negara yang optimal
serta selalu berpihak kepada kepentingan negara dan tidak terlalu
memanjakan pada kepentingan investor.
3. Pemerintah harus lebih tegas dalam memberikan sanksi kepada
pemegang kontrak karya yang tidak mau melakukan renegosiasi. Agar
tidak ada lagi pemegang kontrak karya yang tidak patuh pada peraturan
di Indonesia. Dan tidak membedakan antara investor asing yang satu
dengan lainnya.
4. Harus dibuat peraturan mengenai penagihan royalti yang seharusnya
sudah berlaku tetapi belum dilaksankan oleh perusahaan pemegang
kontrak karya agar pendapatan negara menjadi optimal.
5. Bagi perusahaan tambang pemegang kontrak karya harus patuh terhadap
peraturan yang berlaku di Indonesia.
74
DAFTAR PUSTAKA
Al Quran
BUKU:
AK, Syahmin. Hukum Kontrak Internasional. Jakarta: RajaGrafindo, 2006.
Echols, John M dan Shadily, Hassan. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1996.
Hanitijo, Rony. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998).
Hernoko, Agus Yudha. Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak
Komersial. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2010.
H.S, Salim. Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar
Grafika, 2006.
Ilmar, Aminuddin. Hukum Penanaman Modal di Indonesia. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2007.
Makmur, Syafrudin. Hukum Acara Perdata Sekelumit Teori dan Praktek. Ciputat:
t.p., 2013.
Marzuki, Peter Mahmud. Batas-batas Kebebasan Berkontrak. Jakarta: Yuridika,
2003.
Miru, Ahmadi. Hukum Kontrak Perancangan Kontrak. Jakarta: RajaGrafindo,
2007.
Pemerintah Indonesia dan PT. Freeport Indonesia, Kontrak Karya. Jakarta: 1991.
Sigit, Soetaryo. Sepenggal Sejarah Perkembangan Pertambangan Indonesia.
Jakarta: Penerbit Yayasan Minergi Informasi Indonesia, 2004.
Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermusa, 1996.
Subekti, R dan Tjitrosudibjo, R, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta:
Pradnya Paramita, 2004).
Sudrajat, Nandang. Teori dan Praktik Pertambangan Indonesia. Jakarta: Pustaka
Yustisia, 2013.
75
Sutedi, Adrian. Hukum Pertambangan. Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Rajawali Pers, 2001.
Soekanto, Soerjono & Mamudji, Sri. Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat). Jakarta: Rajawali Pers, 2001.
Syahrani, Riduan. Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata. Bandung: Alumni,
2010.
Tim Kompendium. Kompendium Bidang Hukum Investasi. Jakarta: Badan
Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Ham RI, 2011.
Tim Redaksi Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Tim Wahyu Media, Pedoman Resmi UUD 1945 & Perubahannya. Jakarta: Wahyu
Media, 2014.
Trihastuti, Nanik. Hukum Kontrak Karya Pola Kerjasama Pengusahaan
Pertambangan Indonesia. Malang: Setara Press, 2013.
UNDANG-UNDANG:
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara.
WAWANCARA:
Wawancara pribadi dengan Syarifudin. Jakarta, 17 juni 2015.
Wawancara pribadi dengan Priyo Adi Kumoro. Jakarta, 23 juni 2015.
INTERNET:
“Sejarah PT. Freeport Indonesia”, artikel diakses pada 20 mei 2015 dari
http://ptfi.co.id/id/media/facts-about-feeport-indonesia/facts-about-kontrak-karya.
Top Related