PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK
SEBAGAI ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN DAERAH
REPUBLIK INDONESIA
(Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 65 P/HUM/2018)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum (S. H.)
Oleh:
KHAERUL RIZAL
NIM 11140480000123
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019 M
PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK
SEBAGAI ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN DAERAH
REPUBLIK INDONESIA
(Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 65 P/HUM/2018)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah
Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
KHAERUL RIZAL
NIM 11140480000123
Pembimbing:
Prof. Dr. H. A. Salman Maggalatung, S.H., M.H.
NIP. 19540303 197611 1 001
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019 M
PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI
Skripsi yang berjudul “PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK
SEBAGAI ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK
INDONESIA (Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 65 P/HUM/2018)”
telah diajukan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program
Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal
10 Januari 2019, Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) pada Program Studi Ilmu Hukum.
Jakarta, 23 Januari 2019
Mengesahkan
Dekan,
Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A.
NIP 19691216 199603 1 001
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
1. Ketua : Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. (…………….)
NIP. 19691121 199403 1 001
2. Sekertaris : Drs. Abu Tamrin, S.H., M. Hum. (…………….)
NIP. 19650908 199503 1 001
3. Pembimbing : Prof. Dr. H. A. Salman Maggalatung, S.H., M.H. (…………….)
NIP. 19540303 197611 1 001
4. Penguji I : Abdul Qodir, S.H., M.Hum. (…………….)
NIP. 19550614 197803 1 002
5. Penguji II : Dr. Sodikin, S.H., M.H. (…………….)
NIDN. 3100568001
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya :
Nama : Khaerul Rizal
NIM : 11140480000123
Tempat, Tanggal Lahir : Tangerang, 11 Juli 1995
Prodi/Fakultas : Ilmu Hukum/ Syariah dan Hukum
Alamat : Kp. Guha Desa Lembang Sari, RT/RW
009/05 Rajeg, Tangerang, Banten.
No. Handphone : +62838 7014 2014
Dengan ini, menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (S1) di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia untuk
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 22 Desember 2018
KHAERUL RIZAL
NIM 11140480000123
ABSTRAK
KHAERUL RIZAL 11140480000123 FUNGSIONARIS PARTAI
POLITIK SEBAGAI CALON ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN
DAERAH DALAM PERSPEKTIF PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN INDONESIA (Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 65
P/HUM/2018), Skripsi Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 2019
M/1439 H, x + 74 Halaman.
Masalah utama dalam penelitian ini adalah adanya dua Putusan Pengadilan
yang eksis dan bertentangan, yaitu Putusan Mahkamah Agung Nomor 65
P/HUM/2018 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/218
tentang pencalonan fungsionari partai politik sebagai anggota Dewan Perwakilan
Daerah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keabsahan pencalonan
fungsionaris partai politik sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD),
selain itu untuk mengetahui penyebab terjadinya dualisme Putusan Mahkamah
Konstitusi 30/PUU-XVI/2018 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 65
P/HUM/2018 tentang keabsahan fungsionaris partai politik sebagai calon anggota
DPD, dan untuk mengetahui implikasi kedua putusan tersebut.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis
normatif dengan pendekatan konseptual. Bahan kajian utama adalah Putusan
Mahkamah Agung Nomor 65 P/HUM/2018 dan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 30/PUU-XVI/2018. Mahkamah Agung menyatakan Pasal 60A Peraturan
KPU Nomor 26 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan KPU
Nomor 14 Tahun 2018 Tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Daerah tidak sah dan batal demi hukum.
Peraturan KPU tersebut merupakan tindak lanjut oleh KPU terhadap Putusan
Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Agung menyatakan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut
tidak berlaku surut. Mahkamah Agung menilai bahwa sejak putusan Mahkamah
Kontitusi tersebut dikeluarkan tahapan pemilu sudah dimulai dengan adanya
penetapan Daftar Calon Sementara (DCS) calon anggota DPD. Di sisi lain,
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Tetap menjalankan Putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut dan tidak mencantumkan calon anggota DPD yang tidak
mengundurkan diri sebagai fungsionaris partai politik dalam Daftar Calon Tetap
(DCT) calon anggota DPD. Terjadinya dualisme putusan tersebut karena
perbedaan penafsiran oleh KPU dan Mahkamah Agung terhadap Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 tentang Daftar Calon Sementara
(DCT) calon anggota DPD.
Kata Kunci: Dewan Perwakilan Daerah, Fungsionaris Partai Politik, Mahkamah
Agung.
Pembimbing : Prof. Dr. H. A. Salman Maggalatung, S.H., M.H.
Daftar Pustaka : Tahun 1979 sampai Tahun 2016
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur Hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga peneliti bisa menyelesaikan skripsi
ini. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi Wassallam.
Peneliti mengucapkan terima kasih kepada para pihak baik secara langsung
maupun tidak langsung yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Drs. Abu Tamrin, S.H., M. Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mengarahkan
menyelesaikan skripsi
4. Prof. Dr. A. Salman Maggalatung, S.H., M.H. Pembimbing Skripsi, yang
dengan arahan dan bimbingan serta kesabaran beliau sehingga peneliti bisa
menyelesaikan skripsi ini
5. Kepala Pusat Perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta dan Kepala Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah
mengizikan saya untuk mencari dan meminjam buku – buku referensi dan
sumber – sumber data lainnya yang diperlukan.
6. Pihakpihak lain yang telah memberi kontribusi kepada peneliti dalam
penyelesaikan karya tulis ini sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi dan
studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Demikian ucapan terima kasih peneliti, semoga Allah SWT. memberikan
pahala dan balasan yang setimpal atas semua jasa-jasa mereka. Peneliti menyadari
bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang
bersifat membangun sangat diharapkan demi penyempurnaan skripsi ini. Peneliti
berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi peneliti dan bagi para
pembaca umumnya. Amiin
Jakarta, 22 Desember 2018
Peneliti,
Khaerul Rizal
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................. ii
PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI .............................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iv
ABSTRAK .............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ........................... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................... 8
D. Metode Penelitian ............................................................................. 9
E. Sistematika Penelitian .................................................................... 13
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Kerangka Konseptual .................................................................... 14
1. Negara Demokrasi ................................................................... 14
2. Sistem Pemilu di Indonesia ..................................................... 18
3. Judicial Review ....................................................................... 22
B. Kerangka Teori ............................................................................... 32
1. Teori Demokrasi Konstitusional ............................................. 32
2. Teori Sistem Bikameral ........................................................... 33
3. Teori Kedaulatan Rakyat ......................................................... 35
C. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu .............................................. 36
iii
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PARTAI POLITIK DAN
DEWAN PERWAKILAN DAERAH
A. Partai Politik ................................................................................... 40
1. Pengertian Partai Politik .......................................................... 40
2. Sejarah Singkat Partai Politik di Indonesia ............................. 44
3. Sistem Partai Politik di Indonesia ........................................... 49
B. Dewan Perwakilan Rakyat (DPD) .................................................. 51
1. Sejarah Singkat Dewan Perwakilan Daerah ............................ 51
2. Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah ................................ 55
3. Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Daerah ...................... 58
BAB IV FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI CALON
ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM
PERSPEKTIF PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
INDONESIA
A. Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 65 P/HUM/2018 ...... 62
B. Dualisme Putusan Mahkamah Agung Nommor 65 P/HUM/2018
dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 .... 68
C. Implikasi Putusan Mahkamah Agung Nommor 65 P/HUM/2018
dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 .... 69
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................................... 72
B. Rekomendasi .................................................................................. 73
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 75
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada 15 Agustus 2018 Presiden Indonesia mengesahkan Undang-
undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum. Dalam Undang-
undang tersebut terdapat peraturan atau pasal-pasal yang berkaitan dengan
Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dalam pasal-pasal tersebut salah satunya
mengatur tentang peserta pemilihan umum anggota DPD, yaitu pasal 181,
pasal 182 dan pasal 183.
Kemudian pada 4 April 2018, terdapat permohonan pengujian
Undang-undang Pemilu kepada Mahkamah Konstitusi. Permohonan
tersebut atas nama Muhamad Hafidz. Pemohon memohonkan pengujian
atas Pasal 182 huruf l Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang
Pemilu, yaitu:
“Perseorangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 181 dapat
menjadi peserta pemilu setelah memenuhi persyaratan:
(l) Bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat,
notaris, pejabat pembuat akta tanah, dan/atau tidak melakukan
pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan
keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan
konflik kepentingan dengan tugas, wewenang dan hak sebagai
anggota DPD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan”.
Menurut pemohon, tidak adanya pemaknaan yang jelas terhadap
frasa “pekerjaan lain” pada pasal 182 huruf l Undang-undang Pemilu telah
memberikan kemungkinan terhadap fungsionaris partai politik sebagai
calon anggota DPD. Selain itu, menurut pemohon apabila terdapat anggota
DPD yang berasal dari fungsionaris partai politik, maka anggota DPD
dimaksud akan lebih mengutamakan kepentingan atau platform partai
2
politik ketimbang mengutamakan kepentingan daerah secara keseluruhan.
Oleh karena itu, petitum dari permohonan yang diajukan oleh Muhamad
Hafidz yaitu menyatakan frasa “pekerjaan lain” pada pasal 182 huruf (l)
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum
bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak
dimaknai termasuk sebagai pengurus (fungsionaris) partai politik.
Pada 23 Juli 2018 Mahkamah Konstitusi memutus pengujian
Undang-undang Pemilu tersebut dan mengabulkan permohonan pengujian
yang diajukan oleh Muhamad Hafidz, yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 30/PUU-XVI/2018.
Dewan Perwakilan Rakyat adalah lembaga negara yang lahir dari
hasil amandemen Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Dengan tuntutan reformasi 1998 dan tujuan menghilangkan
penyelenggaraan negara yang bersifat sentralistik pada masa pemerintahan
sebelumnya yang secara signifikan telah menimbulkan kekecewaan
terhadap daerah kepada pemerintah pusat. Selain itu, hal tersebut juga
merupakan indikasi kegagalan pemerintah dalam mengelola daerah sebagai
basis bernegara. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dimaksudkan juga untuk
memperkuat hubungan daerah-daerah dan sebagai wadah aspirasi daerah
sekaligus memperteguh persatuan bangsa dengan membawa isu-isu yang
ada di daerah menjadi suatu isu Nasional.1 Dewan Perwakilan Daerah
merupakan lembaga yang memiliki kedudukan sebagai wakil dan
representasi dari daerah (Provinsi).2
Salah satu tujuan perubahan UUD Negara Republik Indonesia 1945
adalah agar terciptanya fungsi Check and Balances dalam lembaga
kenegaraan dengan demikian kekuasaan tidak bertumpu dengan hanya pada
1 Khamami Zada, “Kewenangan Legislasi Dewan Perwakilan Daerah Dalam Reformasi
Kelembagaan Perwakilan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Cita Hukum Vol. II, No. 1
(Juni, 2015), h. 26-27.
2 Jazim Hamidi dan Mustafa Lutfa, Hukum Lembaga Kepresidenan Indonesia, (Bandung:
PT Alumni, 2010), Cet. 1, h. 126.
3
satu institusi negara saja. Pembentukan Dewan Perwakilan Daerah salah
satunya dimaksud agar mekanisme Check and Balances berjalan relative
seimbang.3 Dalam amandemen ketiga dan keempat keberadaan DPD
mendapatkan dukungan kuat dari gerakan reformasi 1998. Pada
amandemen ketiga anggota DPD yang merupakan fraksi di Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) tidak lagi dipilih oleh presiden dalam
proses rekrutmennya, tetapi anggota DPD dipilih oleh langsung oleh rakyat
melalui sistem pemilu distrik. Perubahan sistem rekrutmen anggota DPD
tersebut yang semula ditunjuk menjadi dipilih oleh rakyat melalui pemilu
merupakan salah satu wujud dari desakan gerakan 1998 dalam mewujudkan
demokrasi di Indonesia. Sri Sumantri dan Mochamad Isnaeni Ramadhan
menyatakan bahwa pembentukan DPD tidak lepas dari adanya tuntutan
demokratisasi pengisian anggota lembaga agar selalu mengikutsertakan
rakyat sebagai pemilih.4 Selain dalam hal pemilihan, hak yang diberikan
negara kepada warga negaranya dapat menjadi cermin dari kehidupan
demokrasi di negara teersebut. Negara yang menganut demokrasi akan
memberikan hak pilih baik pasif maupun aktif kepada setiap warga
negaranya tanpa terkecuali.5 Oleh karena itu, sistem yang dipakai sekarang
dalam perekrutan anggota DPD adalah sistem pemilihan umum. Ketentuan
tentang pemilihan umum diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun
2017 Tentang Pemilihan umum.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga penyelenggara
pemilu. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 22E ayat (5) UUD Negara
Republik Indonesia 1945. Dalam menindaklanjuti Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018, pada tanggal 9 Agustus 2018 Komisi
3 Titik Triwulan Tuti, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca-Amandemen UUD
1945, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 113.
4 Muhamad Ali Safa’at, Parlemen Bikameral, (Malang: Universitas Brawijaya Press, 2010)
h. 95.
5 Sri Soemantri, Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, (Jakarta: Rajawali
Press, 1982), h. 70.
4
Pemilihan Umum mengesahkan Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018
Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2018
Tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Daerah.
Pada 25 September, Oesman Sapta mengajukan judicial review
terhadap Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018 tersebut kepada Mahkamah
Agung. Pemohon adalah anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dengan
jabatan sebagai Ketua, selain itu juga sebagai Ketua Umum Pimpinan Partai
Hati Nurani Rakyat (HANURA) Periode 2015-2020. Petitum dari
permohonan tersebut salah satunya adalah menyatakan Peraturan KPU
Nomor 26 Tahun 2018 bertentangan dengan Pasal 75 ayat (1) dan (2)
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, jo Pasal 10 Undang-
undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, Selain itu menyatakan Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018
tidak sah dan batal demi hukum.
Pada 25 Oktober 2018, Mahkamah Agung mengabulkan
permohonan Oesman Sapta, tetapi putusan Mahkamah Agung baru disebar
pada tanggal 10 November 2018. Putusan tersebut adalah Putusan
Mahkamah Agung Nomor 65 P/HUM/2018 dengan amar putusan
mengabulkan sebagian permohonan pemohon dan menyatakan Pasal 60A
Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018 bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu Pasal 5 huruf d dan Pasal 6 ayat
(1) huruf i Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan. Pasal 60A Peraturan KPU Nomor 26
Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Peraturan KPU Nomor 14 Tahun
2018 Tentang Pencalonan Perseorangan Perserta Pemilu Anggota Dewan
Perwakilan Daerah, yaitu:
Pasal 60A
(1) Pemenuhan persyaratan perseorangan peserta Pemilu menjadi
bakal calon Anggota DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal
60 ayat (1) huruf p, termasuk tidak dalam kedudukannya sebagai
5
pengurus partai politik tingkat pusat, pengurus partai politik
tingkat daerah provinsi dan pengurus partai politik tingkat
daerah kabupaten/kota.
(2) Bakal calon Anggota DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib mengundurkan diri dari kedudukannya sebagai pengurus
partai politik sebelum masa pendaftaran calon Anggota DPD.
(3) Bakal calon Anggota DPD yang telah memenuhi syarat calon
atau belum memenuhi syarat calon dan sedang dalam proses
perbaikan syarat calon atau sedang dilakukan verifikasi syarat
calon, dapat tetap menjadi bakal calon Anggota DPD dengan
wajib menyampaikan:
a. Surat pengunduran diri sebagai pengurus partai politik
yang bernilai hukum dan tidak dapat ditarik kembali,
yang ditandatangani oleh bakal calon Anggota DPD
yang bersangkutan dan dibubuhi materai cukup; dan
b. Keputusan pimpinan partai politik sesuai dengan
kewenangannya berdasarkan anggaran dasar dan
anggaran rumah tangga partai politik, tentang
pemberhentian bakal calon Anggota DPD yang
bersangkutan sebagai pengurus partai politik.
(4) Surat pernyataan pengunduran diri sebagaimana dimaksud
pada Ayat (3) huruf a disampaikan kepada KPU melalui KPU
Provinsi/KIP Aceh paling lambat 1 (satu) hari sebelum
penetapan DCS Anggota DPD.
(5) Keputusan pimpinan partai politik sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf b, disampaikan kepada KPU melalui KPU
Provinsi/KIP Aceh paling lambat 1 (satu) hari sebelum
penetapan DCT Anggota DPD.
(6) Dalam hal surat pernyataan pengunduran diri dan keputusan
pimpinan partai politik tidak disampaikan pada masa
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5), bakal calon
6
Anggota DPD dinyatakan tidak memenuhi syarat dan namanya
tidak dicantumkan dalam DCS Anggota DPD atau DCT
Anggota DPD.
Dalam hal ini, menurut “asas kesesuian antara jenis, hierarki, dan
materi muatan” seharusnya segala bentuk peraturan perundang-undang dan
Putusan pengadilan terdapat harmonisasi di dalamnya. Dalam hal ini,
Putusan Mahkamah Agung Nomor 65 P/HUM/2018 terdapat
ketidakwajaran karena terdapat kesenjangan dengan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018. Menurut Pakar Hukum Tata Negara
Refly Harun, Putusan Mahkamah Agung yang menguji dan mengabulkan
permohonan uji materi yang diajukan Ketua Umum Partai Hanura Oesman
Sapta Odang (OSO) bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi
(Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018). Selain itu,
Menurutnya dikabulkannya gugatan uji materi oleh Mahkamah Agung
dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum, karena terdapat dua putusan
yang eksis dan bertentangan.6
Pakar Hukum Tata Negara sekaligus Mantan Ketua Mahkamah
Konstitusi Mahfud MD berpendapat bahwa Putusan Mahkamah Agung
tentang uji materi yang diajukan Oesman Sapta tersebut tidak wajar. Selain
itu, Mahfud MD menambahkan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi
setara dengan Undang-undang.7 Kemudian senada dengan Mahfud MD,
Bivitri Susanti seorang pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia
(STHI) sekaligus pengamat hukum dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan
(PSHK) menilai bahwa Putusan uji materi Peraturan KPU ini adalah
cerminan buruk karena proses uji materi di Mahkamah Agung tidak terbuka
yang tidak bisa dikontrol oleh masyarakat. Menurutnya putusan Mahkamah
6 Bertentangan dengan Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Agung Timbulkan
Ketidakpastian Hukum. https://nasional.kompas.com/read/2018/11/01/06042201/bertentangan-
dengan-mk-putusan-ma-soal-oso-bisa-timbulkan-ketidakpastian.
7 Mahfud MD: Putusan Mahkamah Agung Soal Oso Tak Wajar.
http://m.tribunnews.com/nasional/2018/11/07/mahfud-md-putusan-ma-soal-oso-tak-wajar.
7
Agung tersebut mengandung keanehan karena telah membenturkan dengan
Putusan Mahkamah Konstitusi yang derajatnya setara dengan Undang-
undang.8
Berdasarkan uraian di atas, sesuai dengan “asas keselarasan jenis,
hierarki dan materi muatan peraturan perundang-undangan” perlunya kajian
lebih lanjut tentang Putusan Mahkamah Agung Nomor 65 P/HUM/2018.
Oleh karena itu, peneliti membuat skripsi dengan judul Pencalonan
Fungsionaris Partai Politik Sebagai Anggota Dewan Perwakilan Daerah
Republik Indonesia (Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 65
P/HUM/2018).
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian di atas, beberapa pokok permasalahan perlu
dikaji dan diteliti yaitu diantaranya:
a. Ketidakpastian hukum pencalonan fungsionaris partai politik
sebagai calon anggota DPD.
b. Dualisme Putusan Peradilan yaitu Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 dan Mahkamah Agung
Nomor 65 P/HUM/2018.
c. Penerapan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor
26 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan KPU
Nomor 14 Tahun 2018 Tentang Pencalonan Perseorangan
Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Daerah
yang dinilai berlaku surut.
d. Ketidakselarasan hukum sebagai implikasi dari Putusan
Mahkaham Agung Nomor 65 P/HUM/2018.
8 Alasan Mahkamah Agung Batalkan Larangan Pengurus Parpol Jadi Anggota DPD Untuk
Pemilu 2019. https://m.hukumonline.com/berita/baca/lt5be426e49644e/alasan-ma-batalkan-
larangan-parpol-jadi-anggota-dpd-untuk-pemilu-2019.
8
2. Pembatasan Masalah
Mengingat cakupan persyaratan dan ketentuan pencalonan anggota
DPD dalam undang-undang pemilu dan peraturan KPU cukup luas.
Oleh karena itu, peneliti membatasi hanya pada ketentuan pencalonan
fungsionaris partai politik sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah
(DPD) Republik Indonesia.
3. Perumusan Masalah
Perumusan masalah peneliti jabarkan dalam bentuk pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
a. Bagaimana kebasahan fungsionaris partai politik sebagai calon
anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD)?
b. Mengapa terjadi dualisme Putusan Mahkamah Agung Nomor 65
P/HUM/2018 dan Mahkamah Konstitusi 30/PUU-XVI/2018 tentang
keabsahan fungsionaris partai politik sebagai calon anggota Dewan
Perwakilan Daerah (DPD)?
c. Bagaimana implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
30/PUU-XVI/2018 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 65
P/HUM/2018.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui keabsahan pencalonan anggota DPD.
b. Untuk mengetahui penyebab terjadinya dualisme Putusan
Mahkamah Konstitusi 30/PUU-XVI/2018 dan Putusan Mahkamah
Agung 65 P/HUM/2018 tentang keabsahan fungsionaris partai
politik sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
c. Untuk mengetahui implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
30/PUU-XVI/2018 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 65
P/HUM/2018.
9
2. Manfaat Penelitian
Manfaat yang hendak dicapai dalam penelitian ini yaitu secara
teoritis diharapkan memberi sumbangan penelitian terhadap khasanah
keilmuan terhadap bidang hukum, sekaligus sebagai data kajian lanjutan
bagi peneliti yang hendak meneliti tekait fungsionaris partai politik
sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah. Secara praktis, penelitian
ini diharapkan memberi manfaat sebagai bahan evaluasi dan masukan
untuk menentukan regulasi pencalonan anggota Dewan Perwakilan
Daerah (DPD). Selain itu, memberikan pengembangan wacana dan
pemikiran bagi pembuat peraturan perundang-undangan dan penegak
hukum.
D. Metode Penelitian
Dalam metode penelitian dibahas dua hal, yaitu metode
pengumpulan data dan metode analisis data. Penelitian yang merupakan
kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi yang
dilakukan secara metodologis, konsisten dan sistematis. Metodologis
artinya menggunakan metode tertentu dan sistematis yaitu berdasarkan
suatu sistem yang sudah ditetapkan.
1. Pendekatan penelitian
Pendekatan penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
pendekatan ilmu perundang-undangan (statute approach). Pendekatan
ilmu perundang-undangan adalah menelaah semua undang-undang dan
regulasi yang berkaitan dengan isu hukum yang sedang ditangani.9
Perundang-undangan yang berkaitan dengan fungsionaris partai politik
sebagai calon anggota DPD diantaranya yaitu:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
b. Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum
c. Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 26 Tahun 2018 Tentang
Perubahan Kedua Atas Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2018
9 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2010) h.
93.
10
Tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Daerah
d. Putusan Mahkamah Agung Nomor 65 P/HUM/2018
e. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU/XVI/2018
2. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian yuridis normatif. Metode yuridis normatif adalah jenis
penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang berlaku dan
hidup dimasyarakat, norma-norma hukum dalam peraturan perundang-
undangan, serta norma-norma hukum yang tercantum dalam putusan-
putusan pengadilan.10
3. Data Penelitian
Data penelitian yang digunakan adalah data sekunder, artinya data
yang sebelumnya telah diolah oleh orang lain. Data sekunder tersebut
diantaranya adalah dokumen-dokumen resmi, buku-buku ilmiah, hasil
penelitian yang berbentuk laporan, dan lain-lain.11 Data sekunder
tersebut meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan
bahan hukum tersier. Oleh karena itu, bahan hukum yang digunakan
dalam penelitian ini ada tiga jenis, yaitu:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum utama dalam
penelitian ini, diantaranya yaitu: (1) UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017
Tentang Pemilihan Umum. (3) Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 30/PUU-XVI/2018. (4) Putusan Mahkamah Agung Nomor
65 P/HUM/2018. (5) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 26
Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan KPU Nomor
10 Soedjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Peraturan dan Penggunaan Kepustakaan di
Dalam Penelitian Hukum, (Jakarta: Pusat Dokumentasi Universitas Indonesia, 1979) h. 18.
11 Soedjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press,
1986), cet 3, h. 43.
11
14 Tahun 2018 Tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Daerah.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini
adalah buku-buku kajian hukum, buku kajian tentang DPD, jurnal
hukum, skripsi tentang hukum dan DPD, dan karya tulis ilmiah
lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini.
c. Bahan Tersier
Bahan non-hukum merupakan bahan untuk penelitian ini yang
memberikan petunjuk atau penjelasan tentang hal yang berkaitan
dengan penelitian ini. Bahan non-hukum tersebut seperti Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Kamus Hukum dan ensiklopedia.
4. Metode dan Teknik Pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah mengmpulkan semua bahan kajian yang diperoleh. Setelah itu
semua data tersebut di sortir sesuai hierarki peraturan perundang-
undangan yang berlaku di Indonesia. Teknik pengumpulan data
penelitian ini menggunakan studi pustaka. Studi pustaka dilakukan
untuk mengklarifikasi masalah yang di teliti. Bagi penelitian hukum
normatif data-data yang diperlukan diklasifikasi menjadi tiga, yaitu:
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.
Oleh karena itu, dalam mengolah dan menganalisis bahan hukum
tersebut tidak lepas dari berbagai penafsiran yang disebut dengan ilmu
hukum.12
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian
normatif yang merupakan prosedur penelitian ilmiah yang digunakan
12 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2003), h. 163.
12
untuk menemukan kebenaran berdasarkan norma dalam logika
keilmuan hukum.13
5. Subjek Penelitian
Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah Putusan Mahkamah
Agung Nomor 65 P/HUM/2018 tentang Pengujian Materiil Peraturan
Komisi Pemilihan Umum Nomor 26 Tahun 2018 tentang Perubahan
Kedua Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 14 Tahun 2018
Tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Daerah.
Sumber lainnya dijadikan bahan tambahan sebagai pelengkap
penulisan penelitian ini yang didasarkan untuk mendapatkan data dan
infomrasi yang akura kemudian dikembangkan untuk menemukan
solusi dari permasalahan yang sedang dialami.
6. Teknik Pengolahan Data
Data yang telah diperoleh dan dikumpulkan kemudian disortir
menjadi Bab dan sub-bab. Selain itu, data yang telah disortir disusun
dan dirinci secara beruntutan dan sesuai hierarki peraturan perundang-
undangan yang berlaku di Indonesia. Kemudian data tersebut diolah
dengan metode induktif dan deduktif. Metode induktif dilakukan
dengan menerjemahkan berbagai sumber yang berkaitan dengan objek
yang diteliti, sedangkan metode deduktif dilakukan dengan membaca,
menafsirkan dan melakukan komparasi terhadap bahan hukum lain yang
berkaitan sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan
penelitian.14
7. Analisis data
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis konten.
Semua bahan yang telah dikumpulkan dan disortir tersebut kemudian
13 J. Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang:
Univeristas Muhamadiyah Malang Press, 2007), h. 57.
14 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1997), h. 71.
13
dikaji dan dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan atau
putusan pengadilan dari objek penelitian. Selain itu, turut pula dikaji
dengan bahan-bahan hukum yang berkaitan dengan pemilihan dan
pencalonan anggota DPD. Kemudian hal yang utama adalah pengkajian
terhadap putusan Mahkamah Agung Nomor 65 P/HUM/2018 terkait
substansi, makna, kata, ide, atau materi yang terdapat dalam objek
penelitian tersebut.
E. Sistematika Penulisan
Untuk memberi gambaran secara menyeluruh tentang penelitian ini,
maka sistematika penulisan adalah sebagai berikut:
BAB I, terdiri dari latar belakang masalah, idenfikiasi masalah, pembatasan
masalah, perumusan masalah, tujuan, manfaat, dan sistematika penulisan.
BAB II, berisi kajian pustaka tentang negara demokrasi, pemilu dan judicial
review. Selain itu, terdapat juga pemaparan teori demokrasi konstitusional,
teori sistem bikameral dan teori kedaulatan rakyat.
BAB III, menjelaskan profil lembaga subjek penelitian tentang Mahkamah
Agung. Pemaparan tentang Mahkamah Agung meliputi sejarah
terbentuknya Mahkamah Agung, judicial review di Mahkamah Agung dan
putusan Mahkamah Agung.
BAB IV, berisi analisis terhadap putusan Mahkamah Agung dan komparasi
dengan putusan Mahkamah konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018. Selain
itu, dicantumkan juga implikasi dari Putusan Mahkamah Agung Nomor.
BAB V, merupakan penutup dari pembahasan dan penelitian ini. Dalam
bagian ini, berisi simpulan dari hasil penelitian dan rekomendasi
berdasarkan temuan-temuan yang diperoleh dalam penelitian.
14
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kerangka Konseptual
1. Negara Demokrasi
Istilah Negara merupakan terjemahan dari kata state (Inggris), staat
(Jerman dan Belanda) atau Etat (Prancis) yang diserap dari bahasa Latin
status atau statum yang artinya sesuatu yang memiliki sifat-sifat yang
tetap dan tegak. Istilah bahasa Latin status dan statum berkaitan dengan
istilah lo stato yang diperkenalkan oleh Noccolo Machiaveli (1469-
1527) dalam bukunya yang berjudul The Prince.1 Negara (state) telah
dikenal sejak masa Yunani Klasik, yaitu Polis yang artinya Kota (city)
yang merupakan suatu negara. Polis atau Negara memiliki wilayah yang
tidak luas, sehingga rakyatnya tidak berjumlah banyak dan relatif saling
mengenal. Oleh karena itu, dalam sejarahnya daerah tersebut
menerapkan demokrasi langsung yang diawali oleh pidato Pericles di
depan masyarakat Athena pada zaman Yunani Klasik sebelum masehi.2
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Negara mempunyai
beberapa arti, yaitu (1) organisasi di suatu wilayah yang mempunyai
kekuasaan tertinggi yang sah yang ditaati oleh rakyat (2) kelompok
sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang diorganisasi
di bawah lembaga politik dan pemerintah yang efektif, mempunyai
kekuasaan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan
nasionalnya.3
Negara merupakan integrasi dari kekuatan politik, yaitu organisasi
pokok dari kekuasaan politik. Negara adalah agency (alat) dari
1 F. Isjawara, Pengantar Ilmu Politik, (Bandung: Bina Cipta, 1980), h. 90.
2 Anwar Arifin, Perspektif Ilmu Politik, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015), h. 33.
3 Rafael Marga Maran, Pengantar Sosiologi Politik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2014), h. 189.
15
masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-
hubungan manusia dalam masyarakat dan menertibkan gejala-gejala
kekuasaan dalam masyarakat. Manusia hidup dalam suasana kerja sama
sekaligus suasana antagonistis dan penuh pertentangan. Negara adalah
organisasi yang dalam suatu wilayah yang dapat memaksakan
kekuasannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan lainnya
dan dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan bersama. Negara
menetapkan cara-cara dan batas-batas sampai dimana kekuasaan dapat
digunakan dalam kehidupan bersama, baik oleh individu dan golongan
atau asosiasi, maupun oleh negara sendiri. Dengan demikian dapat
mengintegrasikan dan membmbing kegiatan-kegiatan sosial dari
penduduknya ke arah tujuan bersama.4
Negara mempunyai tugas yaitu mengatur dan mengendalikan
gejala-gejala kekuasaan yang timbul dalam masyarakat yang
bertentangan antar sesama. Selain itu, negara juga bertugas
mengorganisir dan mengintegrasikan aktivitas individu dan golongan
supaya tercapai tujuan dari cita-cita masyarakat.5
Tujuan Negara pada umumnya yaitu, (1) Menlindungi masyarakat
dan bangsanya dari berbagai bahaya kehancuran yang datang dari luar.
(2) Melindungi masyarakat terhadap kehancuran dari dalam karena
pertentangan masyarakat itu sendiri. (3) Meningkatkan kesejahteraan
umum dan memajukan kebudayaan.6
Selain itu, menurut Charles E. Merriam yang dikutip oleh Ellya
Rosana dalam jurnalnya yang berjudul Demokrasi dan Hak Asasi
Manusia disebutkan tujuan negara adalah sebagai berikut:
a) Kemanan ke luar (External Security)
4 A. Ubadillah, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi, HAM, dan
Masyarakat Madani, (Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000), h. 33.
5 Soelistyati dan Ismail Gani, Pengantar Ilmu Politik, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), h.
59-60.
6 Soelistyati, Ismail Gani, Pengantar Ilmu Politik,… h. 73.
16
b) Ketertiban di dalam (Internal Order)
c) Keadilan (Justice)
d) Kesejahteraan Umum (General Welfare)
e) Kebebasan (Freedom)7
Sementara itu, Demokrasi berasal dari Bahasa Yunani. Secara
etimologis yaitu terediri dari dua kata yaitu demos dan cratos. Demos
berarti rakyat atau penduduk suatu tempat. Cratos berarti kekuasaan
atau kedaulatan. Oleh karena itu, secara bahasa demokrasi adalah
keadaan negara dalam sistem pemerintahannya kedualatan berada di
tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dakam keputusan bersana
rakyat, rakyat berkuasa pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh
rakyat.8 Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan
suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan
warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara
tersebut.9
Pengertian demokrasi menurut beberapa ahli yaitu, menurut Sidney
Hook berpendapat bahwa demokrasi adalah bentuk pemerintahan
dimana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung
atau tudak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang
diberikan secara bebas dari rakyat dewasa.10 Selain itu, Affan Gafar
memaknai demokrasi dalam dua bentuk yaitu pemaknaan secara
normatif dan empiris. Demokrasi normatif adalah demokrasi yang
secara ideal hendak dilakukan oleh sebuah negara, sedangkan
demokrasi empiris adalah demokrasi dalam perwujudan pada dunia
7 Ellya Rosana, “Negara Demokrasi dan Hak Asasi Manusia”, Jurnal TAPIs, XII, 1
(Januari, 2016), h. 42.
8 Dede Rosyada, Dkk, Demokrasi, Hak Asasi dan Masyarakat Madani, (Jakarta: Prenada
Media, 2000), cet. 1. h. 110.
9 A. Salman Maggalatung dan Nur Rohim Yunus, Pokok-pokok Teori Ilmu Negara
(Aktualisasi dalam Teori Negara Indonesia), (Bandung: Fajar Media, 2013), h. 219.
10 Dede Rosyada, Dkk, Demokrasi, Hak Asasi dan Masyarakat Madani,… h. 112
17
politik praktis.11 Di sisi lain, Henry B. Mayo menyatakan demokrasi
sebagai sistem politik merupakan suatu sistem yang menunjukan bahwa
kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang
diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan berkala yang
didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan selenggarakan dalam
suasana terjaminnya kebebasan politik.12
Makna demokrasi sebagai dasar bermasyarakat dan bernegara
memberikan pengertian bahwa rakyat berhak menentukan ketentuan
dalam masalah-masalah mengenai kehidupannya, termasuk dalam
menilai kebijakan negara, kebijakan tersebut dapat menentukan arah
kehidupan rakyat. Dengan demikian negara yang menganut sistem
demokrasi adalah negara yang diselenggarakan berdasarkan kehendak
dan kemauan rakyat. Menurut Mahfud MD, ada dua alasan dipilihnya
demokrasi sebagai sistem masyarakat dan bernegara. (1) Hampir semua
negara di dunia telah menerapkan demokrasi menjadi asas yang
fundamental. (2) Demokrasi sebagai asas kenegaran secara esensial
telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk
menyelenggarakan negara sebagai organisasi tertingginya. Karena itu di
perlukan pengetahuan dan pemahaman yang benar pada warga
masyarakat tentang demokrasi.13
Di sisi lain, Juan J. Linz dan Alferd Stephan membuat kriteria pokok
mengenai demokrasi, yaitu:
Kebebasan hukum untuk merumuskan dan mendukung alternatif-
alternatif politik dengan hak yang sesuai untuk bebas berserikat,
berbicara dan kebebasan-kebebasan dasar lain bagi setiap orang.
Persaingan yang bebas dan anti kekerasan diantara pemimpin
11 Suryo Sakti Hadiwijoyo, Negara, Demokrasi dan Civil Society, (Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2012) cet.1, h. 41.
12 Winarno, Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan: Panduan Kuliah di
Perguruan Tinggi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2014) ed. 3 cet. 2, h. 100.
13 Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), h. 86.
18
dengan keabsahan periodik bagi mereka untuk memegang
pemerintahan, dimasukkanya seluruh jabatan politik yang efektif
didalam proses demokrasi dan hak berperan serta bagi semua
anggota masyarakat politik, apapun pilihan politik mereka. Secara
praktis ini berarti kebebasan untuk mendirikan partai partai politik
dan menyelenggarakan Pemilihan Umum yang bebas dan jujur
pada jangka waktu tertentu tanpa menyingkirkan jabatan politik
efektif apapun dari akuntabilitas pemilihan yang dilakukan secara
langsung maupun tidak langsung.14
Menurut Franz Magnis Suseno, ciri-ciri hakiki negara demokratis
yaitu, (1) Negara Hukum, (2) Pemerintahan yang dibawah kontrol
masyarakat, (3) Pemilihan umum yang bebas, (4) Prinsip Mayoritas, dan
(5) Adanya jaminan terhadap hak-hak demokratis.15
2. Sistem Pemilu di Indonesia
Pemilu adalah salah satu representatif dari kedaulatan rakyat yang
konkrit karena melibatkan partisipasi rakyat dalam penyelenggaraan
negara. Pemilu mengimplikasikan terselenggaranya mekanisme
pemerintahan secara tertib, teratur dan damai. Di samping itu, pemilu
diharapkan menciptakan suatu masyarakat yang kritis dalam arti bersifat
selektif dalam menentukan pilihannya. Masyarakat memilih seseorang
untuk mewakilinya dalam rangka keikutsertaannya dalam pemerintahan
negara sekaligus sebagai sebuah proses seleksi terhadap lahirnya
pemimpin dalam rangka perwujudan demokrasi, karena pemilu
merupakan suatu rangkaian kegiatan politik untuk menampung serta
mewujudkan kepentingan masyarakat yang dirumuskan daam berbagai
bentuk kebijaksanaan.16
14 Hendra Nurtjahyo, Filsafat Demokrasi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), h. 72.
15 Hendra Nurtjahyo, Filsafat Demokrasi,… h. 72.
16 Budiyono, “Mewujudkan Pemilu 2014 Sebagai Pemilu Demokratis”, Jurnal Fiat Justicia
Ilmu Hukum, 7, 3 (September 2014), h. 282.
19
Dalam sejarah perjalanan Indonesia, pemilu merupakan upaya nyata
dalam mewujudkan tegaknya demokrasi dan merealisasikan kedaulatan
rakyat dengan prinsip jujud dan adil (jurdil) serta langsung, umum,
bebas dan rahasia (luber). Pemilu juga merupakan panggung bagi partai
politik dalam berkompetisi untuk mendapatkan simpati rakyat dalam
memperoleh kekuasaan politik yang legitimasinya sah secara
konstitusional.
Menurut Matori Abdul Djalil, Pemilu adalah memberikan kepastian
terhadap alih kepemimpinan dan kekuasaan secara konstitusional untuk
melahirkan pemimpin yang legitimatif. Pemilihan umum adalah wujud
dari pelaksanaan kedaulatan rakyat secara mendasar di negara
demokrasi. Pemilihan umum dimaksudkan sebagai wahana formal
untuk membentuk tatanan negara dan masyarakat menuju tatanan yang
lebih baik dapat menjadi filter kepercayaan rakyat terhadap partai politik
yang menjadi pemikiran rakyat.17 Sedangkan menurut Syamsudin Haris
menyatakan bahwa Pemilu adalah 2 lembaga sekaligus praktek politik
yang memungkinkan terbentuknya sebuah pemerintahan perwakilan.18
Di sisi lain, Muhamad A. S Hikam menyatakan bahwa pemilu
merupakan lembaga sekaligus praktek politik yang mempunyai dua
dimensi yang terlihat berseberangan. 19 Pertama, pemilu pada umumnya
dimengerti sebagai sarana bagi perwujudan kedaulatan rakyat dan
sarana artikulasi kepentingan warga negara untuk memilih wakil-wakil
mereka. Kedua, pemilu merupakan salah satu sarana untuk memperkuat
politik pemerintah, sehingga keberadaannya, kebijaksanaanya, dan
17 Matori Abdul Djalil, Tuntutan Reformasi dan Penyelenggaraan Pemilu 1999 dalam
Transisi, (Jakarta: KIPP, 1999), h. 33-35.
18 Syamsudin Haris, Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1998), h. 7.
19 Muhamad A. S Hikam, Pemilu dan Legitimasi Politik, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1998), h. 49-50.
20
program-program yang dibuatnya dapat diwujudkan dengan lebih
mudah dan memiliki sanksi yang kuat.
Menurut Jimly Asshiddiqie, tujuan dari penyelenggaraan pemilu
yaitu ada empat: (1) Untuk memungkinkan terjadinya peralihan
kepemimpinan pemerintah secara tertib dan damai; (2) Untuk
memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang akan mewakili
kepentingan rakyat dilembaga perwakilan; (3) Untuk melaksanakan
prinsip-prinsip kedaulatan rakyat di lembaga perwakilan; (4) Untuk
melaksanakan prinsip hak-hak asasi warga Negara.20
Indonesia telah mengenal pemilihan umum pertama sejak tahun
1955 hingga yang terakhir 2014. Pemilihan umum yang pertama
dilaksanakan pada masa Orde Lama keikutsertaan empat partai besar
yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI), NU, Partai Komunis Indonesia
(PKI), dan Masjumi serta beberapa partai kecil lainnya seperti Partai
Katholik, Parkindo dan PSII.21 Setelah masa Orde Lama, Pemilu
selanjutnya yaitu pada tahun 1971 yaitu pada masa Presiden Soeharto
dengan keikutsertaan sepuluh partai politik. Pada masa itu serangkaian
pemilu “dikuasai” oleh rezim yang hanya mengizinkan tiga partai politik
yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia
(PDI), dan Partai Golongan Karya (Golkar). Selanjutnya pada tahun
1999 penyelenggaraab pemilu terdapat perubahan, partai politik
dikembalikan pada fungsi awalnya. Kemudian pada 2004 dengan
perkembangan dan pola pemillihan presiden yang dilakukan secara
langsung, maka pada pemilu 2009 diadakan kembali sistem pemilu yang
dama dengan perbaikan pada beberapa kekurangan pada pemilu
sebelumnya. Terkahir pemilu tahun 2014 untuk pemilihan legislatif
pusat dan daerah pada bulan April 2014, dan pemilihan presiden pada
20 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, jilid II (Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), h. 175.
21 Farahdiba Rahma Bachtiar, “Pemilu Indonesia: Kiblat Negara Demokrasi dari Berbagai
Representasi”, Jurnal Politik Profetik, 3, 1 (2014), h. 7.
21
Juli 2014 dengan perbaikan sebagai hasil dari evaluasi terhadap pemilu
sebelumnya termasuk pada Pemilu 2009.22
Salah satu perubahan mendasar dalam ketentuan mengenai
pemilihan umum pada masa sebelum dan sesudah reformasi yaitu
dimasukannya Pemilihan Presiden ke dalam Rezim Pemilu karena
adanya perubahan dalam UUD NRI 1945 atas perspektif kedaulatan
rakyat. Perdebatan pandangan tersebut mengakibatkan diubahnya bunyi
pada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Awalnya, Pasal 1 ayat 2 UUD Negara
Republik Indonesia 1945 menyebutkan “kedaulatan adalah ditangan
rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat”. Kemudian diubah pada saat amandemen ketiga UUD Negara
Republik Indonesia 1945 sehingga pasal tersebut berubah menjadi:
“kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar”. MPR semula menjadi pemegang kedaulatan
sepenuhnya dari rakyat atau pemegang mandat rakyat tertinggi, berubah
pada pandangan bahwa MPR tidak lagi sebagai penerima mandat
tunggal tertinggi, melainkan mandat kedaulatan tersebut dilaksanakan
menurut UUD Negara Republik Indonesia 1945.
Perubahan konsep kedaulatan rakyat sebagaimana diatur dalam
UUD Negara Republik Indonesia 1945 secara langsung juga
mempengaruhi pada cara bagaimana rakyat memberikan mandat pada
penyelenggara kekuasaan negara. Sebagai contoh yang bisa dilihat pada
pemilihan Presiden. Presiden yang semula dipilih oleh MPR sekarang
Presiden dipilih langsung oleh rakyat. Begitu juga mekanisme
pemberian mandat yang diberikan pada para wakil rakyat, dimana
seluruh anggota DPR dan DPD dipilih melalui mekanisme pemilihan
umum dan tidak ada anggota wakil rakyat yang dipilih melalui
mekanisme penunjukan seperti pernah terjadi sebelumnya.
22 Farahdiba Rahma Bachtiar, “Pemilu Indonesia: Kiblat Negara Demokrasi”,… h. 7.
22
Untuk pelaksanaan Pemilu di Indonesia diatur dalam Pasal 22E
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang
menyatakan bahwa:
1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil
Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
3) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai
politik.
4) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Daerah adalah perseorangan.
5) Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan
umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
6) Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan
undang-undang.
Selain itu, Pemilu juga diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun
2017 Tentang Pemilihan Umum sebagai pengaturan lebih lanjut dari
Pasal 22E Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Sesuai ketentuan tersebut, maka asas-asas dalam pemilihan umum
tersebut diantaranya; langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
Kelima asas tersebut haruslah menjadi dasar dari penyelenggaraan
pemilu dan peraturan perundang-undangan tentang pemilu.
3. Judicial Review
Pengujian peraturan perundang-undangan secara terminologi bahasa
terdiri dari perkataan “pengujian” dan “peraturan perundang-
undangan”. Pengujian berasal dari kata uji yang memiliki arti percobaan
untuk mengetahui mutu sesuatu, sehingga “pengujian” diartikan sebagai
proses, cara, perbuatan, menguji. Di sisi lain, peraturan perundang-
23
undangan diartikan sebagai peraturan tertulis yang dibentuk oleh
lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara
umum. Dengan demikian pengujian peraturan perundang-undangan
dapat diartikan sebagai proses untuk menguji peraturan tertulis baik
yang oleh lembaga negara maupun pejabat yang berwenang yang
memiliki kekuatan hukum mengikat secara umum. Oleh karena itu,
pengujian peraturan perundang-undangan yang diartikan sebagai suatu
proses untuk menguji, berkaitan dengan “siapa” (subjek) dan “apa”
(objek) dalam proses pengujian peraturan perundang-undangan
tersebut.23
Judicial review merupakan istilah teknis khas hukum tata Negara
Amerika Serikat yang merujuk pada kewenangan pengadilan dalam
membatalkan setiap perbuatan pemerintahan yang bertentangan dengan
konstitusi. Istilah judicial review pertama kali digunakan dalam kasus
“Marbury vs Madison” pada tahun 1803.24 Kasus ini bermula dari
peristiwa pengangkatan sekelompok hakim baru di larut malam (the
midnight judges) oleh Presiden John Adams menjelang serah terima
jabatan dengan Presiden terpilih yang baru yaitu Thomas Jefferson.
Pengangkatan itu memicu kemarahan seorang hakim baru, yaitu
William Marbury yang merasa keberatan dengan surat
pengangkatannya selaku hakim tidak diberikan oleh Secretary of State,
James Madison berdasarkan perintah Presiden Thomas Jefferson.
Pemerintah bermaksud membatalkan pengangkatan hakim-hakim baru
di malam yang larut itu. William Marbury memohon kepada Supreme
Court agar mengeluarkan Write of Mandamus guna memerintahkan
Secretary of State, James Madison menyerahkan surat pengangkatan
dirinya. Berdasarkan Judiciary Act 1789, perkara yang diajukan
23 Jimly Ashiddiqie, Model-model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, (Jakarta:
Konstitusi Press, 2005), h. 4.
24 Pusat Studi Konstitusi FHUA, Perkembangan Pengujian Perundang-undangan di
Mahkamah Konstitusi dalam Jurnal Konstitusi, Vol. 7 No. 6, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi RI,
2010), h. 161.
24
Marbury termasuk original jurisdiction dari Supreme Court sehingga
tidak perlu melalui pengadilan yang lebih rendah. Majelis Hakim Agung
di bawah Chief Justice John Marshall memutus perkara dimaksud
dengan cara pengujian materil undang-undang yaitu mengadakan
judicial review terhadap undang-undang yang dipandang bertentangan
dengan konstitusi. Sejak putusan itu dunia peradilan Amerika dibekali
kewenangan judicial review terhadap undang-undang termasuk untuk
perkara individual.25
Konsep judicial review tersebut juga melatari pengembangan dari
judicial review negara penganut civil law system. Salah satunya adalah
pemikiran Hans Kelsen salah satu ahli hukum pada abad ke-20. Ada dua
konsep dasar pemikiran Hans Kelsen tentang judicial review, yaitu (1)
konstitusi harus didudukan sebagai norma hukum yang superior dari
undang-undang biasa dan harus ditegakkan menurut superioritasnya. (2)
Adanya ketidakpercayaan luas terhadap badan peradilan biasa dalam
melaksanakan konstitusi, sehingga diperlukan suatu badan khusus yang
terpisah dari pengadilan biasa untuk mengawasi undang-undang serta
membatalkannya jika ternyata bertentangan dengan Undang-undang
Dasar sebagai perangkat norma hukum dasar negara.26 Dengan
demikian kesatuan hukum merupakan satu kesatuan yang selaras
sehingga tidak terdapat kesenjangan secara hierarkies diantaranya.
Austria adalah negara yang menerapkan pemikiran Hans Kelsen
tentang judicial review pada Oktober 1920. Sebelum itu, Negara
Cekoslovakia telah menerapkan konsep tersebut lebih dahulu. Hans
Kelsen mendesain judicial review dengan pola Mahkamah Konstitusi
yang diterapkan oleh Cekoslovakia pada Februari 1920.27 Kemudian
25 Kartono, “Politik Hukum Judicial Review di Indonesia”, Jurnal Dinamika Hukum, 11
(Februari, 2011), h. 19.
26 Nurul Qamar, “Kewenangan Judicial Review Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Konstitusi,
1, 1 (November, 2012), h. 5.
27 Nurul Qamar, “Kewenangan Judicial Review Mahkamah Konstitusi”,… h. 5.
25
Indonesia sendiri menerapkan judicial review dengan konsep
Mahakamah Konstitusi pada amandemen ketiga Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang secara beroperasi pada
tahun 2003.
Sebelum amandemen UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
pada era reformasi tidak dikenal dengan uji materiil sebuah peraturan
perundang-undangan terhadap konstitusi. Dalam Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman (Undang-undang
ini sudah diubah dengan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009
Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun
1970) disebutkan kewenangan uji materiil peraturan perundang-
undangan dibawah dan terhadap undang-undang.28
Selain itu, judicial review merupakan kewenangan lembaga
peradilan untuk menguji kesahihan dan daya laku produk-produk
hukum yang dihasilkan oleh eksekutif, legislatif, maupun yudikatif di
hadapan konstitusi yang berlaku. Pengujian oleh hakim terhadap
produk-produk sabang kekuasaan legilatif dan eksekutif adalah
konsekuensi dari dianutnya prinsip check and balances berdasarkan
pada doktrin pemisahan kekuasaan (separation of power). Karena itu
kewenangan untuk melakukan judicial review melekat pada fungsi
hakim sebagai subjeknya, bukan pada pejabat lain. Jika pengujian
dilakukan oleh bukan hakim, tetapi dillakukan oleh lembaga parlemen
maka pengujian tersebut dinamakan legislative review. Jika pengujian
perundang-undangan dilakukan oleh pemerintahan yang berada pada
struktur yang lebih tinggi terhadap produk perundang-undangan yang
dihasilkan oleh pemerintah yang berada dibawahnya, maka pengujian
tersebut dinamakan administrative review.
Keberadaan hak menguji undang-undang terhadap sebuah undang-
undang dasar, dalam praktik kenegaraan di Indonesia pernah dilakukan
28 Ismail Hasani, Legislasi Berkeadilan,… h. 125.
26
dengan beberapa model dan kewenangan yang menyertainya, seperti
adanya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No.
XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Produk-Produk
Legislatif Negara di luar Produk Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara yang tidak sesuai dengan UUD 1945.29 Menurut Padmo
Wahyono, dalam hal tersebut bahwa undang-undang merupakan refleksi
dari kedaulatan rakyat dan paralel dengan itu layak diuji/diganti/diubah
oleh yang berwenang membuatnya.30
Berlanjut setelah itu, MPRS mengeluarkan TAP MPRS No.
XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber
Tata Tertib Hukum dan Tata Urutan Perundangan Republik Indonesia.
Jenjang waktu dari lahirnya kedua produk MPRS ini merupakan upaya
memurnikan kembali pelaksanaan Undang-undang Dasar Negara
Reppublik Indonesia dengan penguasaan kepada pemerintah bersama-
sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk melakukan
peninjauan kembali produk-produk legislatif. Berbarengannya upaya
tersebut, dapat dimaknai sebagai pengakuan terhadap sumber tata tertib
dan tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang
diperinci dengan jelas. Penegasan mengenai sumber tertib hukum dan
tata urutan peraturan perundang-undangan Indonesia, menurut Soehino
hal tersebut bertujuan untuk terwujudnya kepastian dan keselarasan
hukum serta kesatuan tafsiran dan pengertian pelaksanaan Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.31
Peninjauan kembali dan upaya-upaya penegasan terhadap sumber
tata tertib hukum dan tata urutan perundang-undangan tersebut
ditenggarai karena kekacauan dari macam bentuk peraturan perundang-
29 Padmo Wahyono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1986), h. 15.
30 Padmo Wahyono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum,… h. 15.
31 Soehino, Hukum Tata Negara Teknik Perundang-undangan, (Yogyakarta: Liberty, 2008)
h. 7.
27
undangan dalam melaksanakan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959. Dalam
konteks saat itu jenis peraturan perundang-undangan yang ada diatur
oleh Undang-undang Dasar Negara 1945 hanya ada tiga yaitu Undang-
undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang dan Peraturan
Pemerintah.32 Dalam praktiknya beberapa materi muatan yang
seharusnya diatur oleh Undang-undang, tetapi ternyata diakomodasi
dalam bentuk Penetapan Presiden atau dengan Peraturan Presiden,
Peraturan Pemerintah, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
dan Undang-undang yang menyimpang dari Undang-undang Dasar
1945.33
Pasca reformasi tepatnya pada amandemen Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945 yang ketiga terdapat beberapa
perubahan lembaga negara salah satunya dalam kekuasaan kehakiman.
Selain itu terdapat pula pengaturan tentang judicial review. Perubahan
tersebut melahirkan lembaga baru yaitu mahkamah konstitusi yang
salah satu kewenangannya adalah melakukan pengujian undang-undang
terhadap Undang-undang Dasar, hal tersebut tercantum dalam Pasal
24C Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Selain itu,
dalam Pasal 24A Ayat (1) terdapat pula perubahan kewenangan
Mahkamah Agung yang salah satunya menyatakan bahwa Mahkamah
Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang terhadap undang-undang.
Dalam pelaksanaannya di Indonesia judicial review dilakukan oleh
dua lembaga yaitu Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Dalam
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Mahkamah
Konstitusi berwenang menguji Undang-undang terhadap Undang-
undang Dasar, sedangkan Mahkamah Agung berwenang menguji
32 Ni’matul Huda dan Nazriyah, Teori dan Pengujian Peraturan Perundang-undangan,
(Bandung: Nusa Media, 2011) h. 54.
33 Ni’matul Huda dan Nazriyah, Teori dan Pengujian Peraturan Perundang-undangan, h.
54.
28
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap
undang-undang.
Menurut Jimly Asshiddiqie, pengujian terhadap undang-undang ada
dua macam,34 yaitu: (1) Pengujian materiil, adalah pengujian atas
baguan undang-undang yang bersangkutan. Bagian tersebut dapat
berupa Bab, Ayat, Pasal, atau kata bahkan kalimat dalam suatu pasal
atau ayat dalam sebuah undang-undang. Pada dasarnya pengujian
materiil berkaitan dengan kemungkinan pertnentangan materi suatu
peraturan dengan peraturan lain yang lebih tinggi ataupun menyangkut
kakhususan yang dimiliki suatu aturan dibandingkan dengan norma-
norma yang berlaku umum. (2) Pengujian formil, adalah pengujian yang
dilakukan terhadap form atau format dan aspek-aspek formalisasi
substansi norma yang diatur menjadi suatu bentuk hukum tertentu
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Substansi norma
hukum yang dimaksud menjadi mengikat untuk umum. Dengan kata
lain, pengujian formil biasanya terkait dengan hal-hal prosedural dan
berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang membuatnya.
Hakim berhak membatalkan suatu peraturan yang ditetapkan dengan
tidak mengikuti aturan resmi tentang pembentukan peraturan yang
bersangkutan. Hakim juga dapat menyatakan batal suatu peraturan
perundang-undangan yang tidak ditetapkan oleh lembaga yang memang
memiliki kewenangan resmi untuk membentuknya.
Ada beberapa landasan diterimanya doktrin Judicial Review secara
mendunia menurut Munir Fuady, yaitu (1) Prinsip-prinsip hukum
harusnya berlaku umum di dunia. (2) Prinsip-prinsip hukum yang
berlaku di suatu negara seasas dan selaras. (3) Pengakuan kepada hukum
yang suci sebagai perintah dewa-dewi (Tuhan). (4) Pengakuan kepada
hukum sebagai titah Tuhan. (5) Pengakuan terhadap hukum alam dalam
arti klasik. (6) Pengakuan terhadap hukum alam berdasarkan kepada
34 Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-undang, (Jakarta: Konpress, 2006),
h. 57.
29
ratsio manusia. (7) Pengakuan terhadap due process of law. (8)
Pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia.
a. Judicial Review di Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara yang lahir
pasca amandemen UUD Negara Republik Indonesia 1945 yang
ketiga. Ada beberapa hal yang mendasari terbentuknya Mahkamah
konstitusi.35 Pertama, sebagai perwujudan dari konsep negara
hukum yang demokratis. Kenyataan yang terjadi di masyarakat
suatu peraturan atau keputusan tidak selalu sesuai dengan ketentuan
hukum yang berlaku. Oleh karena itu, diperlukannya lembaga yang
berwenang menguji konstitusionalitas undang-undang terhadap
Undang-undang Dasar. Kedua, pasca amandemen UUD Negara
Republik Indonesia 1945 terciptanya beberapa lembaga baru di
Indonesia. Dengan bertambahnya jumlah lembaga negara
menyebabkan potensi sengketa antar lembaga menjadi semakin
banyak. Maka untuk itu perlu adanya suatu lembaga peradilan yang
netral untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Ketiga, adanya kasus
aktual yang terjadi pada tahun 2001. Kasus tersebut adalah
penurunan Presiden Abdurrahman Wahid sebagai presiden
berdasarkan hasil sidang istimewa MPR pada tahun 2001. Kasus
tersebut merupakan suatu pendorong terciptanya pemikiran untuk
mengatur mekanisme hukum proses pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden yang tidak berdasarkan alasan politis
semata. Untuk itu keperluan adanya lembaga yang memutus dan
mengadili pelanggaran hukum yang dilakukan Presiden dan/atau
Wakil Presiden yang dapat menyebabkan diberhentikan sebelum
masa jabatannya habis. Kewenangan Mahkamah Konstitusi
tercantum dalam Pasal 24C Ayat (1) Undang-undang dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu sebagai berikut:
35 Ismail Hasani, Legilasi Berkeadilan,… h. 133.
30
1) Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
3) Memutus pembubaran partai politik;
4) Memutus perselisihan hasil pemilihan umum; dan
5) Memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran
hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela,
dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Selain itu, dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 8 Tahun
2011 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 23
Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, kewenangan memutus
permohonan judicial review yang dimiliki Mahkamah Konstitusi
merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir, keputusannya
bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap, serta tidak ada
upaya hukum lain.
b. Judicial Review di Mahkamah Agung
Dasar hukum judicial review di Mahkamah Agung
tercantum dalam Pasal 24A Ayat (1) UUD Negara Republik
Indonesia 1945.
Pasal 24A Ayat (1)
Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi,
menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
31
terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang
diberikan oleh undang-undang.
Dalam hal ini terdapat perbedaan judicial review di Mahkamah
Konstitusi dan Mahkamah Agung. Jika dalam judicial review di
Mahkamah konstitusi alat ukur pengujiannya adalah Undang-
undang Dasar, sedangkan di Mahkamah Agung adalah undang-
undang. Objek yang diuji pun berbeda, Mahkamah Agung menguji
peraturan di bawah undang-undang, sedangkan Mahkamah
Konstitusi hanya menguji undang-undang saja, bukan peraturan lain
yang tingkatannya berada di bawah undang-undang. Karena itu,
tepatlah jika dikatakan bahwa Mahkamah Konstitusi menguji the
constitutionality of legislative law or legislation, sedangkan
Mahkamah Agung menguji the legality of regulation.36
Sebagaimana hierarki peraturan perundang-undangan di
Indonesia yang tercantum dalam Pasal 7 Ayat (1) Undang-undang
Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, yaitu:
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang;
4) Peraturan Pemerintah;
5) Peraturan Presiden;
6) Peraturan Daerah Provinsi; dan
7) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Hak uji materiil terhadap peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang dapat dilakukan terhadap materi muatan
36 Ismail Hasani, Legislasi Berkeadilan,… h. 6.
32
ayat, pasal dan/atau bagian dari peraturan perundang-undangan yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi maupun terhadap pembentukan peraturan perundang-
undangan.37
B. Kerangka Teori
1. Teori Demokrasi Konstitusional
Kata “Demokrasi berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti
rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat
diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal
sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu
negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan
warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara
tersebut.38
Pada masa saat ini, demokrasi dikenal dengan berbagai macam
istilah, antara lain: demokrasi konstitusional, demokrasi parlementer,
demokrasi terpimpin, demokrasi rakyat, demokrasi Soviet, dan
demokrasi nasional. Dalam beberapa jenis demokrasi tersebut salah
satunya adalah demokrasi konstitusional, demokrasi konstitusional
mencita-citakan pemerintahan yang terbatas kekuasannya, yaitu suatu
negara yang patuh pada rule of law.39
Ciri khas demokrasi konstitusional ialah gagasan bahwa pemerintah
yang demokratis adalah pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan
tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga
negaranya. Kekuasaan negara dibagi sedimikian rupa, hal tersebut
dilakukan sebagai upaya agar penyalahgunaan diperkecil, yaitu secara
37 Ismail Hasani, Legislasi Berkeadilan,… h. 144.
38 A. Salman Maggalatung dan Nur Rohim Yunus, Pokok-pokok Teori Ilmu Negara
(Aktualisasi dalam Teori Negara Indonesia), (Bandung: Fajar Media, 2013), h. 219. 39 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo), h. 259.
33
tidak memusatkan pada 1 (satu) pemerintahan atau 1 (satu) badan saja.
Perumusan yuridis dan prinsip-prinsip ini terkenal dengan istilah Negara
Hukum (Rechtsstaat) dan Rule of Law.40
Menurut Mahfud MD, bahwa satu asas yang merupakan pasangan
logis dari asas demokrasi adalah asas negara hukum, artinya bagi satu
negara demokrasi pastilah menjadikan pula hukum sebagai salah satu
asasnya yang lain. Alasannya, jika satu negara diselenggarakan dari,
oleh dan untuk rakyat, maka untuk menghindari hak rakyat dari
kesewenang-wenangan dan untuk melaksanakan kehendak rakyat bagi
pemegang kekuasaan negara haruslah segala tindakannya dibatasi atau
dikontrol oleh hukum, pemegang kekuasaan yang sebenarnya tak lain
hanyalah memegang kekuasaan rakyat, sehingga tidak boleh sewenang-
wenang. Disebutkan bahwa negara hukum menentukan alat-alat
perlengkapannya yang bertindak menurut dan terikat kepada peraturan-
peraturan yang ditetapkan terlebih dahulu yang dikuasakan untuk
mengadakan peraturan-peraturan tersebut.41
2. Teori Sistem Bikameral
Sejak awal munculnya gagasan demokrasi perwakilan, muncul
pemikiran untuk menciptakan wadah demokrasi perwakilan yang
bertugas menghasilkan keputusan-keputusan penting dalam urusan
bernegara demi kesejahteraan warga yang diwakili. Pada umumnya
dikenal ada 2 (dua) macam lembaga perwakilan atau parlemen, yaitu
parlemen dua kamar (bicameral parliament) dan parlemen satu kamar
(unicameral parliament).42
Sistem satu kamar (unicameral parliament) adalah sistem
pemerintahan yang hanya memiliki satu kamar pada parlemen atau
40 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2008), h. 108.
41 Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta,
2001), h. 85. 42 Miki Pirmansyah, “Eksistensi Dewan Perwakilan Daerah Dalam Sistem Bikameral Di
Indonesia”, Jurnal Cita Hukum, 2, 1 (Juni, 2014), h. 167.
34
lembaga legislatif. Banyak negara yang menggunakan sistem satu
kamar, terutama negara kesatuan yang kecil dan homogen dan
menganggap sebuah majelis tinggi atau kamar kedua tidak perlu,
sementara itu lembaga perwakilan dua kamar (bicameral parliament)
pada hakikatnya merupakan suatu bentuk wadah demokrasi perwakilan
yang terdiri dari dua kamar atau dua dewan dalam lembaga legislatif.
Bentuk lembaga perwakilan semacam ini merupakan hasil proses
panjang penyelenggaraan negara di berbagai belahan dunia.43
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sistem dua kamar
adalah wujud institusional dari lembaga perwakilan atau parlemen
sebauh negara yang terdiri atas dua kamar (majelis).
Giovanni Sartori membagi lembaga perwakilan rakyat bikameral
menjadi tiga jenis, yaitu; (1) Sistem bikameral yang lemah (weak
bicameralism), yaitu apabila kekuatan salah satu kamar jauh lebih
dominan atas kamar lainnya. (2) Sistem bikameral yang kuat (symmetric
bicameralism atau strong bicameralism), yaitu jika kekuatan kedua dua
kamar hampir sama kuat. (3) Sistem bikameral (Perfect bicameralism)
yaitu apabila kekuatan antara kedua kamar betul-betul seimbang.44
Menurut Tsebelis dan Money, terdapat dua karakteristik khusus
dalam sistem bikameral yaitu45; pertama, keanggotaan dari kedua kamar
berdasarkan metode yang diseleksi dan katergori dar warga negara yang
diwakili. Dikemukakan bahwa pada sebagian besar lower house
(majelis rendah) dipilih secara langsung oleh warga negara, sedangkan
seleksi pada upper house (majelis tinggi) dapat melalui metode seleksi
atau golongan yang diwakili (the type of representative). Kedua,
43 Miki Pirmansyah, “Eksistensi Dewan Perwakilan Daerah”,… h. 167.
44 Fatmawati, Struktur dan Fungsi Legislasi Parlemen dengan Sistem Multikameral: Studi
Perbandingan antara Indonesia dan Berbagai Negara, (Jakarta: UI Press, 2010) h. 25.
45 Fatmawati, Struktur dan Fungsi Legislasi Parlemen dengan Sistem Multikameral,… h.
28.
35
Kewenangan formal kedua kamar yang tercermin pada mekanisme
penyelesaian jika terjadi perbedaan.
Dalam konteks Indonesia, Parlemen dua kamar dalam satu parlemen
dimaksudkan untuk mengakomodasi semangat checks and balances
dalam parlemen. Hal ini berimplikasi pada pola hubungan kamar
pertama dan kedua dalam menjalankan fungsi-fungsinya. Parlemen
Indonesia menganut sistem bikameral karena susunan parlemen dua
kamar yaitu Dewan Perwakilan Rakyat yang mewakili rakyat sebagai
kamar pertama, dan Dewan Perwakilan Daerah yang mewakili daerah
provinsi sebagai kamar kedua. Ramlan Subakti dan Bagir Manan
menyatakan bahwa sistem dua kamar merupakan suatu mekanisme
check and balances antar kamar-kamar dalam suatu badan perwakilan.46
3. Teori Kedaulatan Rakyat
Istilah kedaulatan rakyat merupakan perpaduan dari kata
“kedaulatan” dan “rakyat”. Secara etimologi, kedaulatan berarti
superioritas belaka, tetapi ketika diterapkan pada negara, kata tersebut
berarti superioritas dalam arti khusus. Kedaulatan dalam kenegaraan
yaitu superioritas yang mengisyaratkan adanya kekuasaan untuk
membuat hukum.47 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
kedaulatan artinya kekuasaan tertinggi atas pemerintahan negara. Di sisi
lain, Jimly Asshiddiqie mengartikan kedaulatan sebagai konsep
kekuasaan tertinggi dalam suatu negara.
Menurut Jean Bodin48, kedaulatan rakyat sebagai suatu kekuasasan
penuh dan langgeng dimiliki oleh satu republik sehingga tidak terpecah-
46 Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia, Konstitusi republik Indonesia menuju perubahan
ke-5 (Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia, 2009), h. 216.
47 C. F. Strong, Konstitusi-konstitusi Politik Modern Kajian Tentang Sejarah dan Bentuk-
bentuk Konstitusi di Dunia, (Bandung: Nusamedia, 2004), h. 9.
48 Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta,
2001), h. 73.
36
belah mengingat di dalam negara hanya terdapat satu kekuasaan
tertinggi yang dimiliki oleh rakyat.
Indonesia merupakan negara yang menganut kedaulatan rakyat. Hal
tersebut jelas dinyatakan dalam Pasal 1 Ayat (2) Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia yaitu; “kedaulatan berada di tangan rakyat
dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar”. Selain itu,
dinyatakan juga dalam sila ke-4 Pancasila yaitu; “kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dan permusyawaratan
perwakilan”.
Bentuk kedaulatan rakyat di Indonesia menggunakan sistem
perwakilan (representative democracy). Hal ini sejalan dengan
diterapkannya teori pemisahan kekuasaan pada tiga kelompok
kekuasaan yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif.49 Pada hakikatnya
rakyat Indonesia tetap menjadi pemegang kedaulatan tertinggi, tetapi
tidak secara langsung melainkan melalui perwakilan yang dipilih sesuai
undang-undang dan diberi mandat dalam menjalankan pemerintahan.
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Dalam penulisan karya tulis ini, untuk menghindari kesamaan atau
kemiripan dengan pembahasan fungsionaris partai politik sebagai calon
anggota DPD (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65
P/HUM/2018) maka peneliti memaparkan beberapa kajian terdahulu.
Sebelumnya telah ada beberapa karya tulis ilmiah yang membahas tentang
Dewan Perwakilan Rakyat serta ketentuan yang berkaitan dengan hal
tersebut.
Sri Handayani dalam skripsinya yang berjudul Kewenangan
Legislasi DPD Pasca Berlakunya Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014
Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Skripsi ini adalah hasil karya tulis
ilmiah dari Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam penelitian tersebut, Sri Handayani menyimpukan bahwa dalam
49 Nur Rohim Yunus, “Aktualisasi Demokrasi Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan
Bernegara”, Social Science Education Journal, II, 2 (Februari, 2015) h. 162.
37
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan
DPRD telah terjadi inkonstitusional dalam muatan formiil maupun materill.
Sri Handayani menyatakan bahwa Undang-undang tersebut tidak sesuai
dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 bahkan
dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan sehingga menyulitkan DPD untuk
melaksanakan kewenangannya. Dalam Penelitiannya Sri Handayani
menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan
pendekatan perundang-undangan, pendekatan sejarah dan pendekatan
komparatif. Berdasarkan uraian tersebut, perbedaan penelitian Sri
Handayani dengan penelitian ini yaitu Sri Handayani membahas tentang
kewenangan DPR dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang
MPR, DPR, DPD dan DPRD, sedangkan penelitian ini terfokus pada
pencalonan fungsionaris partai politik sebagai anggota DPD.
Miki Pirmansyah dalam skripsinya yang berjudul Eksistensi Dewan
Perwakilan Daerah Dalam Sistem Bikameral di Indonesia. Skripsi ini
merupakan karya tulis ilmiah dari Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Dalam skripsinya, Miki Pirmansyah menyimpulkan
bahwa eksistensi DPD dalam sistem bikameral di Indonesia belum
seimbang dengan DPR khususnya dalam fungsi kewenangannya. DPD
hanya berwenang mengajukan Rancangan Undang-Undang tertentu yang
berkaitan dengan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran sertapenggabungan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan
dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Miki Pirmansyah
menyayangkan bahwa DPD hanya ikut membahas usulannya pada tingkat
pertama, sedangkan dalam tataran memutuskan usulan tersebut menjadi
undang-undang, DPD tidak mempunyai kewenangan sedikitpun. Perbedaan
Skripsi Miki Pirmansyah dengan penelitian ini yaitu Miki Pirmansyah
membahas tentang kewenangan dan eksistensi DPD dalam sistem bikameral
38
di Indonesia, sedangkan penelitian ini membahas tentang pencalonan
fungsionaris partai politik sebagai anggota DPD.
Beberapa buku yang membahas tentang Dewan Perwakilan Daerah
diantaranya yaitu, Parlemen Indonesia: Lintasan Sejarah dan Sistemnya,
ditulis oleh Charles Simabura. Dalam bukunya, Charles Simabura
menjelaskan tentang konsep-konsep dalam parlemen, periodisasi parlemen
Indonesia dari sejak Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945 sampai pasca
amandemen UUD 1945. Selain itu, Charles juga memaparkan sistem
bikameral dalam Negara Unitaris atau Kesatuan dan Negara Federal seperti
Jepang dan Amerika Serikat. Dalam bukunya, terdapat pernyataan bahwa
keinginan untuk menjadikan parlemen di Indonesia menjadi dua kamar
dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa aspirasi dan kepentingan politik
yang tercermin di DPR lebih mengemuka dibandingkan aspirasi dan
kepentingan teritorial atau kedaerahan. Perbedaan buku yang ditulis oleh
Charles Simabura dengan penelitian ini adalah bahwa Charles Simabura
melakukan pembahasan pada lintas sejarah parlemen di Indonesia dan studi
komparatif sistem bikameral dengan Negara Unitaris/Kesatuan dan Negara
Federal, sedangkan penelitian ini membahas pada cakupan sejarah singkat
DPD dan pencalonan fungsionaris partai politik sebagai anggota DPD.
Selain itu, terdapat buku yang berjudul Implementasi Sistem
Bikameral Dalam Parlemen di Indonesia, ditulis oleh Reni Dwi
Purnomowati. Dalam bukunya, Reni menyimpulkan bahwa kamar kedua
dalam sistem bikameral dibentuk sebagai tempat untuk menampung
perwakilan lain, selain perwakilan politik yang ditempatkan pada kamar
pertama. Biasanya kamar kedua menampung perwakilan yang berbeda
dengan kamar pertama, yaitu untuk kepentingan sosial, kepentingan
ekonomi, atau perbedaan teritorial. Pada umumnya terhadap kamar kedua
secara konstitusional diberikan untuk perwakilan teritorial. Perbedaan buku
tersebut dengan penelitian ini adalah tentang konsep tentang sistem
bikameral di Indonesia dan perbandingannya di berbagai negara dan
tinjauan historis penerapan bikameralisme di Indonesia, sedangkan
39
penelitian ini membahas keabsahan fungsionaris partai politik sebagau
calon anggota DPD.
Selain itu, terdapat jurnal yang membahas tentang DPD, yaitu
Kewenangan Legislasi Dewan Perwakilan Daerah Dalam Reformasi Pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi. Jurnal ini ditulis oleh Khamami Zada dalam
Jurnal Cita Hukum Vol. II Nomor 1 Juni 2015. Dalam jurnalnya, Khamami
Zada menyimpulkan bahwa dengan struktur bikameral diharapkan proses
legislasi dapat diselenggarakan berdasarkan sistem double-check yang
memungkinkan representasi kepentingan seluruh rakyat secara relatif dapat
disalurkan secara luas. DPR merupakan representasi politi, sedangkan DPD
mencerminkan representasi teritorial atau regional. Kewengangan legislasi
DPD masih dibatasi, DPD tidak memiliki kewenangan membentuk undang-
undang, meskipun dapat mengajukan rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan otonomi daerah. Perbedaan jurnal yang ditulis oleh
Khamami Zada dan penelitian ini yaitu Khamammi Zada meneliti hanya
pada cakupan kewengangan legislasi yang dimiliki DPD pasca putusan
Mahkamah Konstitusi dan dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014
Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, sedangkan penelitian ini mencakup
pencalonan fungsionaris partai politik sebagai anggota DPD.
40
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG PARTAI POLITIK DAN DEWAN
PERWAKILAN DAERAH
A. Partai Politik
1. Pengertian Partai Politik
Dalam politik modern, pemilu merupakan syarat mutlak bagi
terselenggaranya pemerintahan berdasarkan prinsip keterwakilan.1
Selain itu, pemilu juga merupakan bagian yang penting dari konsolidasi
demokrasi. Sebab, esensi konsolidasi demokrasi adalah legitimasi dan
pemilu merupakan satu-satunya jalan bagi pemerintah demokratis untuk
mendapatkan legitimasi dari rakyat. Dengan kata lain, pemilu akan
menghasilkan pemerintahan perwakilan yang diabsahkan dan diakui
bersama oleh rakyat yang membentuknya.2
Partai politik merupakan salah satu komponen yang amat
menentukan kesuksesan dan kegagalan pemilu, karena di dalam
kegiatan pemilu terdapat tiga pilar utama, yaitu partai politik sebagai
peserta pemilu, Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara
pemilu, dan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.3 Melalui
partai politik rakyat dapat mewujudkan haknya untuk menyampaikan
pendapat tentang arah kehidupan dan masa depannya dalam
bermasyarakat dan bernegara. 4 Partai politik merupakan komponen
yang sangat penting dalam sistem politik demokrasi. Dengan demikian
1 Hermawan Sulistio, Kekerasan Politik dalam Pemilu 1999: Acuan Teoritik Pengalaman
Masa Transisi, (Jakarta: KIPP, 2000), h. 1.
2 Tommi A. Legowo, Pemilu 2009, Konsolidasi Demokrasi dan Perwakilan Politik,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 77-78.
3 Kemenkopolkam, Pembangunan Bidang Politik, (Jakarta: Kemenkopolkam, 2003) h. 12.
4 Kemenkopolkam, Pembangunan Bidang Politik,… h. 9.
41
penataan kepartaian harus bertumpu pada kaidah-kaidah kedaulatan
rakyat, yaitu kebebasan, kesetaraan dan kebersamaan.
Secara etimologi politik berasal dari kata polis (Yunani) yang berarti
Kota atau Negara Kota. Kemudian diturunkan kata-kata polities yang
berarti warga negara, politike te ckne’ berarti kemahiran politik dan
politike episteme yang berarti ilmu politik. Secara istilah politik adalah
usaha untuk mencapai atau mewujudkan cita-cita atau ideologi.5
Menurut Miriam Budiardjo, partai politik merupakan suatu kelompok
terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai,
dan satu cita-cita. Tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh
kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya) secara
konstitusional untuk melaksanakan programnya.6 Begitu juga menurut
Carl J. Friedrich, partai politik adalah sekelompok manusia yang
terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan
pengusaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya, dan
berdasarkan penguasaan ini, memberikan pada anggota partainya
kemanfaatan yang bersifat adil serta material.7
Indonesia mempunyai regulasi tentang partai politik. Undang-
undang tersebut yaitu Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai
Politik. Dalam Undang-undang tersebut, dinyatakan bahwa partai
politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh
sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar
kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela
kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara serta memelihara
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan Pancasila
dan UUD Negara Republik Indonesia.
5 Soelistyati Ismail Gami, Pengantar Ilmu Politik, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), h. 14.
6 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2008), h. 160.
7 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, 2008), h. 160.
42
Partai politik memiliki peran dan posisi yang strategis karena partai
politik merupakan bagian penting dari pilar-pilar demokrasi. Demokrasi
prosedural maupun substansial senantiasa menempatkan aktor politik
utama yakni partai politik sebagai instrument yang menentukan jalannya
pemilu.8
Dalam mencapai hal tersebut dibutuhkan fungsi-fungsi dan tujuan
partai politik yang kemudian diatur dalam Pasal 11 Undang-undang
Nomor 2 Tahun 2008 sebagaimana diubah dengan Undang-undang
Nomor 2 Tahun 2011 tentang partai politik yaitu:
(1) Partai politik berfungsi sebagai sarana:
a. Pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar
menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan
kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara;
b. Pencipta iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa
Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat;
c. Penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat
dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara;
d. Partisipasi politik warga Negara Indonesia;
e. Rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui
mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan
keadilan gender.
(2) Fungsi Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diwujudkan secara konstitusional.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka pada umumnya para ilmuwan
politik menggambarkan 4 (empat) fungsi partai politik yaitu meliputi:
(a) komunikasi politik, (b) sosialisasi politik (political socialization), (c)
8 Nur Hidayat Sardini, Restorasi Pelnyelenggaraan Pemilu di Indonesia, (Yogyakarta:
Fajar Media Press, 2011), h. 22.
43
rekrutmen politik (political recruitment), dan (d) pengatur konflik
(conflict management).9
a. Komunikasi Politik
Komunikasi politik adalah proses penyampaian informasi
mengenai politik dari pemerintah kepada warga masyarakat, dan
dari warga masyarakat kepada pemerintah. Dalam konteks ini
partai politik berfungsi sebagai komunikator politik, tidak
terbatas menyampaikan segala keputusan dan penjelasan
pemerintah kepada warga masyarakat tetapi juga menyampaikan
aspirasi dan kepentingan berbagai kelompok masyarakat kepada
pemerintah. Keduanya dilaksanakan oleh partai politik dalam
sistem politik demokrasi.
b. Sosialisasi Politik
Sosialisasi Politik adalah proses pembentukan sikap dan
orientasi politik para anggota masyarakat. Melalui proses
sosialisasi politik para anggota masyarakat dapat memperoleh
sikap dan orientasi terhadap kehidupan politik yang berlangsung
dalam masyarakat.
c. Rekrutmen Politik
Rekrutmen politik adalah seleksi dan pemilihan atau
pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk
melaksanakan sejumlah peranan dalam sistem politik pada
umumnya dan pemerintahan pada khususnya, semakin besar
fungsinya manakala partai politik itu mayoritas di parlemen,
sehingga berwenang membentuk pemerintahan dalam sistem
demokrasi.
9 Mustafa Lutfi dan M. Iwan Satriawan, Risalah Hukum Partai Politik, (Malang: UB Press,
2016), h. 34.
44
d. Pengatur Konflik
Partai politik sebagai salah satu lembaga demokrasi
berfungsi untuk bisa mengendalikan konflik melalui dialog
dengan pihak-pihak yang berkonflik, menampung dan
memadukan berbagai aspirasi dan kepentingan dari pihak-pihak
yang berkonflik dan membawa permasalahan kedalam
musyawarah badan perwakilan rakyat (DPR) untuk
mendapatkan penyelesaian berupa keputusan politik (kompromi
di antara para wakil rakyat yang berasal dari partai-partai
politik).
2. Sejarah Singkat Partai Politik di Indonesia
a. Era Orde Lama (1945-1966)
Beberapa bulan setelah kemerkdekaan Indonesia terbuka
kesempatan yang besar untuk mendirikan partai politik, sehingga
bermunculanlah parti-partai politik Indonesia. Dengan demikian
Pemilu 1955 memunculkan 4 partai politik besar, yaitu: Masyumi,
PNI, NU dan PKI. Masa tahun 1950 sampai 1959 ini sering disebut
sebagai masa kejayaan partai politik, karena partai politik
memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan
bernegara melalui sistem parlementer. Sistem banyak partai ternyata
tidak dapat berjalan baik. Partai politik tidak dapat melaksanakan
fungsinya dengan baik, sehingga kabinet jatuh bangun dan tidak
dapat melaksanakan program kerjanya. Sebagai akibatnya
pembangunan tidak dapat berjalan dengan baik pula. Masa
demokrasi parlementer diakhiri dengan Dekrit 5 Juli 1959 dan
dilanjutkan dengan demokrasi terpimpin.10
Pada masa demokrasi terpimpin ini peranan partai politik
mulai dikurangi, sedangkan di pihak lain, peranan presiden sangat
10 Artis, “Esistensi Partai Politik dan Pemilu Langsung dalam Konteks Demokrasi di
Indonesia”, Jurnal Sosial Budaya, 9, 1 (Januari, 2012), h. 62.
45
kuat. Partai politik pada saat ini dikenal dengan NASAKOM
(Nasional, Agama dan Komunis) yang diwakili oleh NU, PNI dan
PKI. Sejak Indonesia merdeka pada Tahun 1945 sampai
dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Indonesia telah
berganti-ganti Konstitusi yaitu diantaranya Undang-undang Dasar
1945 (Periode 1945-1949), Konstitusi Republik Indonesia Serikat
(periode 1949-1950) dan Undang-Undang Dasar Sementara
(periode 1950-1959).11
Sebelum ditetapkannya UUD 1945, Indonesia terlebih dulu
mengalami perdebatan tentang konsep dasar negara pada awal
kemerdekaan Indonesia. Menurut Salman Maggalatung, terdapat
dua paham dalam perdebatan tersebut yaitu; pertama, yaitu paham
yang ingin menjadikan Islam sebagai dasar negara. Kedua, paham
yang menghendaki Indonesia bukan negara Islam, tetapi negara
yang persatuan yang terlepas dari agama.12
Untuk menyelesaikan perdebatan tersebut, maka dibuatlah
panitia yang terdiri dari; Soekarno, Muhammad Hatta, A.A.
Maramis, Abikusno Tjokrosuyoso, Abdul Kahar Muzakir, H.A.
Agus Salim, Ahmad Subardjo, H. Abdul Wahid Hasyim, dan
Muhammad Yamin. Panitia tersebut untuk menyusun rancangan
pembukaan yang dikenal sebagai Piagam Jakarta. Dalam Piagam
Jakarta, terdapat kandungan yang menyatakan “Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’.
Pada waktu itu pemimpin-pemimpin Islam tetap teguh bahwa Islam
harus menjadi dasar negara Indonesia.
Kemudian pada 18 Agustus 1945 dibentuknya PPKI yang
tugasnya sama dengan BPUPKI yaitu menetapkan UUD. Para
anggota PPKI tidak setuju jika preambule UUD tidak diubah, karena
11 A. Salman Maggalatung, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Politik Hukum di Indonesia
(Perspektif Hukum Islam), (Jakarta: Focus Grahamedia, 2012), h. 200.
12 A. Salman Maggalatung, Dekrit Presiden 5 Juli 1959…, h. 161
46
jika menggunakan Islam sebagai dasar negara maka itu akan
menimbulkan disintegrasi di Indonesia terutama penolakan dari
wilayah luar Jawa dan Indonesia Bagian Timur. Oleh karena itu,
Bung Hatta bekerja sama dengan pemimpin-pemimpin Islam yaitu
Ki Bagus Hadikusumo, A. Wahid Hasjim, Kasman Singodimedjo,
dan Teuku Hasan untuk membicarakan masalah tersebut.
Keberhasilan Bung Hatta mengghilangkan tujuh kata dalam kalimat
tersebut yaitu “…dengan Kewajiban Menjalankan Syariat bagi
Pemeluk-pemeluknya” diganti dengan “Ketuhanan Yang Maha
Esa”. Hal tersebut dirasakan sebagai kerugian bagi umat Islam,
tetapi demi persatuan dan kesatuan sebagai keluarga besar yang baru
saja merdeka agar golongan Protestan, Katholik dan sebagian
Indonesia Bagian Timur tidak memisahkan diri, maka umat Islam
bersedia berkorban. Pada 5 Juli 1959, Soekarno menegaskan bahwa
Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan bagian yang
tak terpisahkan dari UUD 1945.13
b. Era Orde baru (1966-1998)
Setelah Indonesia memasuki masa Orde Baru dan partai-
partai dapat bergerak lebih leluasa dibanding dengan masa
Demokrasi terpimpin. Suatu catatan pada masa ini adalah
munculnya organisasi kekuatan politik baru yaitu Golongan Karya
(Golkar). Pada pemilihan umum thun 1971, Golkar muncul sebagai
pemenang partai yang diikuti oleh 3 partai politik besar yaitu NU,
Parmusi (Persatuan Muslim Indonesia) serta PNI. Pada tahun 1973
terjadi penyederhanaan partai melalui fusi partai politik. Empat
partai politik Islam, yaitu: NU, Parmusi, Partai Sarikat Islam dan
Perti bergabung menjadi Partai Persatu Pembangunan (PPP). Lima
partai lain yaitu PNI, Partai Kristen Indonesia, Parati Katolik, Partai
Murba dan Partai IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia)
13 A. Salman Maggalatung, Dekrit Presiden 5 Juli 1959,… h. 164-168.
47
bergabung menjadi Partai Demokrasi Indonesia. Maka pada tahun
1977 hanya terdapat 3 organisasi kekuatan politik Indonesia yaitu
Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokrasi Indonesia dan
Golongan Karya (GOLKAR). Golkar pada masa orde baru bisa
dikatakan bukan partai politik sebab organisasi ini merupakan suatu
organisasi kalangan eksekutif yang selalu diikutsertakan dalam
pemilu.14
Sedikitnya partai politik juga diakibatkan juga karena
adanya Undang-undang tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi,
yaitu Undang-undang Nomor 11/PNPS/ Tahun 1963. Tercatat dalam
sejarah bahwa pada masa orde baru Soeharto berkuasa selama 32
tahun menjadi presiden Indonesia. Pada masa awal pemerintahan
Soeharto, kondisi perpolitikan bisa dikatakan belum stabil karena
disibukkan untuk menghilangkan citra Bung Karno dan Orde Lama.
Manuver politik penguasa pada masa Orde Baru terkesan pada
politik pencitraan serta kontrol ketat pemerintah dengan
menggunakan militer, birokrasi dan Golkar. Orde baru juga tak
segan melakukan tindakan represif untuk menindak segala gerakan
yang mengancam kekuasaannya. Terdapat pula lawan politik yang
menjadi tahanan politik karena tidak sejalan dan menolak untuk
tunduk dan patuh.15 Hal tersebut kemudian menjadi salah satu faktor
penyebab sedikitnya partai politik peserta pemilu pada masa orde
baru.
Menurut Salman Maggalatung, Soeharto dengan Kekuatan
ABRI-nya sebenarnya menggunakan segala macam cara bahkan
dengan kekerasan untuk mendapatkan legitimasi kekuasaaan selama
32 tahun. Oleh karena itu, masyarakat khususnya dari golongan
14 Artis, Esistensi Partai Politik dan Pemilu Langsung dalam Konteks Demokrasi di
Indonesia, h. 63.
15 Dwi Wahyono Hadi, “Propaganda Orde Baru 1966-1980”, Jurnal Verlede, Vol. 1, No.
1 (Desember, 2012) h. 48.
48
muda, cendekiawan, dan masyarakat yang kritis untuk menyuarakan
perlunya untuk mengakhiri kekuasaan Soeharto. Pada saat itu,
terjadi demonstrasi besar pada 1998 yang menyebabkan gerakan pro
demokrasi menguasai dan menduduki gedung DPR/MPR-RI
sehingga menyebabkan suasana tidak terkendali dan Soeharto pun
memlilih mundur sebagai Presiden. Pada 21 Mei 1998 Soeharto
resmi mengundurkan diri dan Wakil Presiden B. J. Habibie dilantik
sebagai Presiden menggantikan Presiden Soeharto.16 Setelah masa
tersebut terdapat beberapa penambahan dan perubahan konstitusi
yang menjamin demokrasi di Indonesia, salah satunya adalah
Undang-undang Nomor 26 Tahun 1999 Tentang Pencabutan
Undang-undang Nomor 11/PNPS/ Tahun 1963 Tentang
Pemberantasan Kegiatan Subversi.
c. Era Reformasi (1998-sekarang)
Seiring dengan bergulirnya reformasi 1998 dengan ditandai
jatuhnya pemerintahan orde baru tepat pada tanggal 21 Mei 1998,
maka terdapat beberapa perubahan dalam demokrasi dan sistem
pemerintahan.
Era kebebasan dalam berpolitik dan berpendapat semakin
dilindungi dengan keluarnya UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Hal ini berlanjut dengan dibukanya pendaftaran partai politik baru
untuk mengikuti pemilu yang pertama kali diselenggarakan pasca
tumbangnya orde baru pada tahun 1999. Ketentuan peraturan
perundang-undangan pertama kali secara khusus mengatur partai
politik pada masa reformasi adalah Undang-undang No 2 Tahun
1999 tentang partai politik. Berdasarkan undang-undang ini, partai
politik diakui sebagai sarana yang sangat penting arti, fungsi dan
perannya. Partai politik merupakan wujud kemerdekaan berserikat,
16 A. Salman Maggalatung, Dekrit Presiden 5 Juli 1959…, h. 138.
49
berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dalam mengembangkan
kehidupan demokrasi yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat.17
Melalui partai politik, rakyat dapat mewujudkan haknya
untuk menyatakan pendapat tentang arah kehidupan berbangsa dan
bernegara. Sedangkan untuk pendirian partai politik dilakukan
dengan akta notaris dan didaftarkan pada Departemen Hukum dan
HAM. Partai politik yang telah didaftarkan, disahkan pendiriannya
menjadi badan hukum yang diumumkan dalam Berita Negara
Republik Indonesia oleh Menteri Hukum dan HAM. Pendaftaran
tersebut merupakan syarat formal untuk memperoleh status sebagai
badan hukum. Maka pada pemilu tahun 1999 tersebut ada sekitar 48
partai yang telah terdaftar sebagai peserta pemilu.18
Kemudian pada tahun 2004 pemilihan umum sudah
dilaksanakan secara langsung sesuai dengan yang diamanatkan
UUD 1945 pasal 22E ayat 1,”Pemilihan umum dilaksanakan secara
umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali”.
Dengan beberapa koeksi dari pemilu sebelumnya, Dalam pemilu
2004 terdapat perbedaan yaitu pemilihan presiden secara langsung
oleh rakyat. Selain itu, dengan selesainya amandemen Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia pada tahun 2002 membuat
seleksi keikutsertaan partai-partai baru dalam pemilu 2004 semakin
ketat. Hal ini menghasilkan hanya 24 partai yang lolos seleksi dan
berhak mengikuti pemilihan umum 2004 setelah diverifikasi oleh
Komisi Pemilihan Umum (KPU).
3. Sistem Partai Politik di Indonesia
Sistem kepartaian dapat didefinisikan sebagai struktur kompetisi
dan kerjasama partai politik. Sedangkan Duverger menyatakan sistem
kepartaian adalah relasi diantara karakteristik tertentu partai politik
17 Mustafa Lutfi dan M. Iwan Satriawan, Risalah Hukum Partai Politik,… h. 77.
18 Mustafa Lutfi dan M. Iwan Satriawan, Risalah Hukum Partai Politik,… h. 78.
50
diantaranya jumlah, ukuran respektif, sekutu, lokasi geografis, distribusi
politik dan sebagainya.19
Berdasarkan penelitian Scott Mainwarning yang dikutip oleh
Mustafa Lutfi dan Miwan Satriawan dalam bukunya Risalah Hukum
Partai Politik, ada tiga bentuk sistem kepartaian yang lebih umum
disetiap pemerintahan yaitu20:
a. Sistem Partai Tunggal
Sistem partai tunggal yaitu hanya ada satu partai yang diakui
oleh pemerintah. Sistem ini biasanya dipraktekkan dalam negara-
negara komunis semacam Republik Rakyat Cina (RRC), Kuba dan
sebagainya.
b. Sistem Dwi Partai
Sistem dwi partai yaitu hanya ada dua partai besar yang berhak
ikut serta dalam setiap pemilihan atau dalam kepustakaan ilmu
politik dalam suatu negara. Sistem dwi partai biasanya diartikan
bahwa ada dua partai di antara beberapa partai yang berhasil
memenangkan dua tempat teratas dalam pemilihan umum secara
bergiliran dan dengan demikian mempunyai kedudukan dominan.
Dewasa ini hanya ada beberapa negara yang memiliki ciri-ciri sistem
dwi partai, yaitu Amerika Serikat antara partai Republik dan
Demokrat, Inggris, Filipina, Kanada dan Selandia Baru.
c. Sistem Multi Partai
Sistem multi partai yaitu terdapat lebih dari dua partai dalam
setiap pelaksanaan pemilu. Perbedaan yang tajam antara ras, suku,
budaya dan agama cenderung mendorong golongan-golongan ini
untuk menyalurkan ikatan-ikatan terbatasnya dalam satu wadah
yang sempit saja. Fenomena ini biasa terjadi jika pluralitas budaya
terjadi sehingga sistem multi partai lebih cocok digunakan. Beberapa
19 Sigit Pamungkas, Partai Politik Teori dan Praktik di Indonesia, (Yogyakarta: Institute
For Democracy and Wellfarism, 2011) h. 43.
20 Mustafa Lutfi dan M. Iwan Satriawan, Risalah Hukum Partai Politik,… h. 60-61.
51
negara yang menganut sistem multi partai diantaranya yaitu
Malaysia, Prancis dan Indonesia.
B. Dewan Perwakilan Daerah
1. Sejarah Singkat Dewan Perwakilan Daerah
Dewan Perwaklan Daerah (DPD) adalah lembaga yang
berkedudukan sebagai lembaga negara.21 Dewan Perwakilan Daerah
adalah Lembaga negara baru sebagai langkah akomodasi bagi
keterwakilan kepentingan daerah dalam badan perwakilan tingkat
nasional. Setelah ditiadakannya utusan daerah dan utusan golongan
yang diangkat sebagai anggota MPR, keberadaannya dimaksudkan utuk
memperkuat kesatuan Negara Republik Indonesia. Dewan Perwakilan
Daerah dipilih secara langsung oleh masyarakat di daerah melalui
pemilu, mempunyai kewenangan mengajukan dan ikut membahas RUU
yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
RUU lain yang berkait dengan kepentingan daerah.22
Sementara itu, menurut Ni’matul Huda didalam buku hukum tata
negara Indonesia. Dewan Perwakilan Daerah adalah lembaga
perwakilan dearah yang berkedudukan sebagai lembaga negara dan
mempunyai fungsi; (1) Pengajuan usul, ikut dalam pembahasan dan
memberikan pertimbangan yang berkaitan dengan bidang legislasi
tertentu. (2) Pengawasan atas pelaksanaan undang-undang tertentu.23
Era reformasi yang dimulai pada tahun 1998 telah menjadi salah satu
titik balik struktur ketatanegaraan yang berkaitan dengan lembaga
perwakilan di Negara Republik Indonesia, diantaranya adalah
mencakup proses perubahan atau amandemen Undang Undang Dasar
21 Eni Suharti, MD3 (UU RI No. Tahun 2014) MPR, DPR, DPD, DPRD, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2014), h. 133.
22 Entol Zaenal Muttaqin, Pokok-pokok Hukum ketatanegaraan, (Serang: Lembaga
Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, 2014), h. 107.
23 Ni’matu Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007),
h. 181.
52
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Salah satu perubahan yang
penting setelah dilakukannya amandemen ketiga tahun 2001 adalah
perubahan terhadap Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan: “Majelis
Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan
Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui
pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang”.
Dewan Perwakilan Daerah bersanding dengan lembaga Dewan
Perwakilan rakyat (DPR) dalam komposisi keanggotaan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Pembentukan Dewan Perwakilan Daerah semula dimaksudkan
dalam rangka mereformasi struktur parlemen Indonesia menjadi dua
kamar (bicameral) yaitu terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dengan struktur bikameral itu
diharapkan proses legislasi dapat diselenggarakan berdasarkan double-
check yang memungkinkan representasi kepentingan seluruh rakyat
secara relative dapat disalurkan dengan basis sosial yang lebih luas.
DPR merupakan cermin representasi politik (political representation),
sedangkan DPD mencerminkan prinsip representasi territorial atau
regional (regional representation).24 Dibentuknya lembaga DPD sejalan
dengan semangat untuk mengakomodasi keterlibatan daerah dalam
pengambilan kebijakan nasional dan juga sesuai dengan prinsip check
and balances yang ingin di terapkan oleh pemerintah pada waktu itu.25
Gagasan-gagasan tentang pentingnya keberadaan perwakilan daerah
di parlemen, pada awalnya diakomondasikan dalam konstitusi pertama
Indonesia, yaitu UUD 1945, dengan konsep utusan daerah di dalam
MPR, yang bersandingan dengan utusan golongan dan anggota DPR.
24 Subardjo, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Menurut Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan Penerapan Sistem Bikameral dalam Lembaga Perwakilan
Indonesia, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), h. 7-8.
25 M.yusuf, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (Arsitektur Histori, Peran Dan
Fungsi DPD RI Terhadap Daerah Di Era Otonomi Daerah), (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013),
h.35.
53
Hal tersebut diatur dalam pasal 2 UUD 45, yang menyatakan bahwa
“Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota DPR ditambah
dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan,
menurut aturan yang diterapkan dengan undang-undang.” Pengaturan
tersebut, kemudian diatur lebih lanjut dalam berbagai peraturan
perundangan-undangan. Selain itu, terdapat pula gagasan mengenai
pembentukan DPD dengan sistem bikameral yang diusulkan Soepomo
dalam perundingan pada 1 Maret 1948 antara Republik Indonesia
dengan Belanda dibantu oleh UNCI (United Nations Commission for
Indonesia). Soepomo pada waktu itu mengusulkan beberapa poin yang
berkaitan dengan sistem bikameral, diantaranya yaitu:26
a. Negara Indonesia Serikat memiliki dua kamar, kamar pertama
mewakili rakyat Indonesia secara keseluruhan (Dewan-dewan Wakil
Rakyat) dipilih untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun, sedangkan kamar
kedua (senat) dipilih oleh rakyat di negara bagian, untuk masa
jabatan 4 (empat) tahun.
b. Pembentukan undang-undang federal dilaksanakan oleh Pemerintah
bersama-sama dengan Dewan Wakil Rakyat dan Senat (Badan
Perwakilan Rakyat Federal), tetapi khusus RUU tentang anggaran,
Pemerintah mengajukannya pada Badan Perwakilan Rakyat Federal.
c. Dewan Wakil Rakyat dan Senat memiliki hak inisiatif dan hak
amandemen.
d. Kabinet hanya bertanggung jawab terhadap Dewan Wakil Rakyat.
e. Presiden tidak dapat dimintai pertanggungjawaban dan dapat
membubarkan pemerintah federal.
f. Dalam hal ihwal ketegangan yang memaksa, Pemerintah Federal
berhak menerapkan Peraturan Pemerintah Federal sebagai UU
Federal, dan harus disahkan oleh Badan Perwakilan Rakyat Federal
26 Fatmawati, Struktur dan Fungsi Legislasi Parlemen dengan Sistem Multikameral,
(Jakarta: UI Press, 2010), h. 54.
54
dalam persidangan yang berikut, jika tidak mendapat pengesahan
maka peraturan tersebut tidak berlaku.
Pada periode Republik Indonesia Serikat, gagasan tersebut
diwujudkan dalam bentuk Senat Republik Indonesia yang mewakili
negara bagian dan bekerja berdampingan dengan DPR-RIS. Oleh karena
itu, Pembentukan Dewan Perwakilan Daerah (Senate atau upperhouse)
dimaksudkan agar mekanisme Check and balances dapat berjalan
relative seimbang, terutama yang berkaitan dengan kebijakan di pusat
dan kebijakan di daerah. Menurut Ramlan Surbakti, beberapa
pertimbangan Indonesia membentuk DPD: (1) Distribusi penduduk
Indonesia menurut wilayah sangat penting dan terlampau besar
terkonsentrassi di pulau jawa. (2) Sejarah Indonesia menunjukan
aspirasi kedaerahan sangat nyata dan mempunyai basis materil yang
sangat kuat, yaitu adanya pluralisme daerah otonomi seperti daerah
istimewa dan daerah khusus.27
Amandemen ketiga Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia secara yuridis kedudukan DPD diatur dalam Pasal 2 Ayat (1),
Pasal 22C dan 22D Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Menurut Salman Maggalatung, ada beberapa asumsi dasar
lahirnya DPD dalam ketatanegaraan Indonesia, 28 yaitu pertama, harus
ada keterwakilan penduduk, keterwakilan ruang (daerah, dan
keterwakilan deskriptif dalam sistem keterwakilan di Indonesia. kedua,
keterkaitan budaya, sejarah, sosial, politik dan ekonomi antara
penduduk dan ruang (daerah) dan penyebaran penduduk yang tidak
merata di Indonesia. ketiga, pluralisme yang kuat dan cakupan daerah
yang luas. Keempat, menghindari monopoli pembuatan undang-undang
27 Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca-Amendemen
UUD 1945, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 196.
28 Salman Maggalatung, Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945,
(Bekasi: Gramata Publishing, 2016), h. 68-69.
55
di ranah legislatif. Kelima, mewujudkan mekanisme check and balances
dalam legislatif untuk menghindari penyelewengan kekuasaan.
Selain itu, peraturan tentang DPD juga diatur dalam Undang-undang
Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang
Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Untuk
pengaturan pemilihan lebih lanjut tentang pemiliihan anggota DPD
diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu dan
Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pasal 2 Ayat (1) UUD
Negara Republik Indonesia 1945
Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang
anggotanya dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut
dengan undang-undang.
2. Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah
Dalam ketentuan UUD Negara Republik Indonesia 1945, DPD tidak
mempunyai kewenangan untuk membentuk undang-undang. Namun
dalam bidang pengawasan meskipun hanya terbatas pada hal-hal yang
berkaitan dengan kepentingan daerah dan pelaksanaan undang-undang
tertentu. Oleh karena itu, DPD lebih berkonsentrasi dalam bidang
pengawasan, sehingga fungsinya dapat efektif di daerah-daerah.29
Kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam Pasal 22D
UUD Negara Republik Indonesia 1945, yaitu:
(1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan ke DPR rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan
pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta yang
berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
29 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
(Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), h. 139.
56
(2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-
undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan
daerah; pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah;
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan
pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.
(3) Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas
pelaksanaan undang-undang mengenai: otonomi daerah,
pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, bungan pusat
dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan belanja negara,
pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil
pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai
bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
Selain itu, kewenangan DPD juga tercantum dalam Pasal 249
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan
DPRD, yaitu:
(1) DPD mempunyai wewenang dan tugas:
a. Mengajukan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan
otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, Pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang
berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah
kepada DPR.
b. Ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan hal sebagaimana dimaksud dalam huruf.a,
c. Menyusun dan menyampaikan daftar inventaris masalah
rancangan undang-undang yang berasal dari Dewan Perwakilan
57
Rakyat atau Presiden yang berkaitan dengan hal sebagaimana
dimaksud dalam huruf a.
d. Memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan
undang-undang tentang APBN dan rancangan undang-undang
yang berkaitan dengan Pajak, Pendidikan, dan agama;
e. Dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang
mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan
penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan
surnber daya alarn, dan sumber daya ekonomi lainnya,
pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama;
f. Menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan undang-
undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran,
dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, pelaksanaan undang-undang APBN, pajak, pendidikan,
dan agama kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk
ditindaklanjuti;
g. Menerima hasil pemeriksaan atas keuangan negara dari BPK
sebagai bahan membuat pertimbangan kepada DPR tentang
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan APBN;
h. Memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan
anggota BPK;
i. Menyusun program legislasi nasional yang berkaitan dengan
otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, Pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang
berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
j. Melakukan pemantauan dan evaluasi atas rancangan peraturan
daerah dan peraturan daerah.
(2) Dalam menjalankan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf e, anggota DPD dapat melakukan rapat dengan
58
pemerintah daerah, DPRD, dan unsur masyarakat di daerah
pemilihannya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa dalam bidang
pengawasan keberadaan DPD bersifat utama yang sederajat dengan
DPR, Sedangkan dalam bidang legislasi fungsi DPD hanya sebagai co-
legislator di samping Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Tugas DPD
dalam bidang legislasi hanya menunjang tugas konstitusional DPR.
Dalam proses pembentukan undang-undang atau legislasi, DPD tidak
mempnyai kewenangan untuk memutuskan atau berperan dalam proses
pengambilan keputusan.30
Menurut peneliti, dalam kondisi saat ini keberadaan DPD hanya
sebatas pendamping DPR, lemahnya kewenangan membuat DPD hanya
bisa mengusulkan dan ikut membahas tentang hal-hal yang terkait
dengan otonomi daerah dan tidak diberi kewenangan membuat
keputusan terhadap hal tersebut. Keberadaan DPD perlu diberi
kewenangan untuk turut serta membahas dan membuat peraturan
perundang-undangan, oleh karena itu dalam perlu dilakukannya
amandemen Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
3. Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Daerah
Mekanisme pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
pertama diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang
Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Dalam Pasal 11
mengatur peserta pemilihan umum dari perseorangan, dalam pasal
tersebut ditegaskan bahwa:
(1) Untuk dapat menjadi calon anggota DPD, peserta pemilu dari
perseorangan harus memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan:
30 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
h. 139.
59
a. Provinsi yang berpendudukan sampai dengan 1.000.000 (satu
juta) orang harus didukung sekurang-kurangnya oleh 1.000
(seribu) orang pemilih.
b. Provinsi yang berpendudukan lebih dari 1.000.000 (satu juta)
sampai dengan 5.000.000 (lima juta) orang harus didukung
sekurang-kurangnya oleh 2.000 (dua ribu) orang pemilih.
c. Provinsi yang berpendudukan lebih dari 5.000.000 (lima juta)
sampai dengan 1.000.000 (satu juta) orang harus didukung
sekurang-kurangnya oleh 3.000 (tiga ribu) orang pemilih.
d. Provinsi yang berpendudukan lebih dari 10.000.000 (sepuluh
juta) sampai dengan 15.000.000 (lima belas juta) orang harus
didukung sekurang-kurangnya oleh 4.000 (empat ribu) orang
pemilih.
e. Provinsi yang berpendudukan lebih dari 15.000.000 (lima belas
juta) orang harus didukung sekurang-kurangnya oleh 5.000
(lima ribu) orang pemilih.
(2) Dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebar di
sekurang-kurangnya 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah
kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan.
(3) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dibuktikan dengan tanda tangan atau cap jempol dan foto kopi Kartu
Tanda Penduduk atau identitas lain yang sah.
Kemudian susunan dan kenggotaan DPD diatur dalam Undang-
undang Nomor 22 tahun 2003 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR,
DPR, DPD, dan DPRD. Dalam Pasal 32 dinyatakan bahwa DPD terdiri
atas wakil-wakil daerah provisi yang dipilih melalui pemilihan umum.
Selain itu juga dinyatakan dalam Pasal 33 yaitu:
(1) Anggota DPD dari setiap provinsi ditetapkan sebanyak empat orang.
(2) Jumlah seluruh anggota DPD tidak lebih dari 1/3 jumlah Anggota
DPR.
60
(3) Keanggotaan DPD diresmikan dengan Keputusan Presiden.
(4) Anggota DPD berdomisili di daerah pemilihannya dan selama
bersidang bertempat tinggal di ibukota negara Republik Indonesia.
Di samping itu, persyaratan untuk calon anggota DPD tercantum
dalam Pasal 63 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang
Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Persyaratannya
yaitu; (1) Berdomisili di provinsi yang bersangkutan sekurang-
kurangnya tiga tahun secara berturut-turut yang dihitung sampai dengan
tanggal pengajuan calon atau pernah berdomisili selama 10 (sepuluh)
tahun sejak berusia 17 tahun di provinsi yang bersangkutan. (2) Tidak
menjadi pengurus partai politik sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun
yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon.
Selanjutnya dalam Pasal 64 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003
Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, dinyatakan
bahwa calon anggota DPD yang berasal dari pegawai negeri sipil,
anggota TNI, atau anggota Polri harus mengundurkan terlebih dahulu
dari pegawai negeri sipil, anggota TNI, atau anggota Polri.
Dalam hal tersebut, pada Pemilu 2004 calon anggota DPD tidak
boleh dari pengurus partai politik. Hal ini menegaskan bahwa kedudukan
DPD sebagai perwakilan dari rakyat daerah, sedangkan ranah partai
politik sudah tersedia dengan adanya DPR. Hal ini dimaksudkan untuk
mengakomondasi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dari
utusan daerah dan anggota yang sudah dihapuskan. Dengan demikian,
tokoh-tokoh daerah tokoh-tokoh masyarakat nonpartai, memiliki
kesempatan menjadi anggota DPD tanpa harus berafiliasi dengan partai
politik.
Kemudian pada Pemilu 2009 terdapat perubahan tentang
persyaratan calon anggota DPD. Dengan undang-undang pemilu yang
baru yaitu Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan
61
Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Dalam undang-undang tersebut
dihapuskan syarat calon anggota DPD yang harus dari orang non-partai
politik. Begitu juga dengan Pemilu 2014. Implikasinya adalah upaya
menjadikan DPD sebagai perwakilan daerah yang berasal dari politisi
non-partai pun tidak terjadi.
62
BAB IV
PENCALONAN FUNGSIONARIS PARTAI POLITIK SEBAGAI CALON
ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN DAERAH
A. Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 65 P/HUM/2018
Pasal 182 huruf l Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang
Pemilihan Umum, dinyatakan bahwa:
“Perseorangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 181 dapat
menjadi peserta pemilu setelah memenuhi persyaratan:
(l) Bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat,
notaris, pejabat pembuat akta tanah, dan/atau tidak melakukan
pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan
keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan
konflik kepentingan dengan tugas, wewenang dan hak sebagai
anggota DPD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan”.
Kemudian pada tanggal 4 April 2018 terdapat permohonan
pengujian Pasal 182 tersebut kepada Mahkamah Konstitusi. Pemohon
bernama Muhamad Hafidz, pemohon adalah peserta pemilu tahun 2014
sebagai calon anggota DPD RI Provinsi Jawa Barat. Selain itu, pemohon
belum pernah menjadi anggota partai politik dan hendak mencalonkan diri
kembali menjadi calon anggota DPD RI pada Pemilu 2019.
Pengujian tersebut adalah terhadap frasa “pekerjaan lain” yang
tercantum dalam Pasal 182 tersebut. Menurut pemohon frasa tersebut telah
memberi kemungkinan terhadap fungsionaris partai politik sebagai calon
anggota DPD. Selain itu, apabila terdapat anggota DPD yang berasal dari
fungsionaris partai politik maka dikhawatirkan hal tersebut akan lebih
mengutamakan kepentingan partai politik. Oleh karena itu, petitum dari
pemohon tersebut adalah menyatakan bahwa Pasal 182 huruf l Undang-
63
undang Nomor 7 Tahun 2018 Tentang Pemilihan Umum bertentangan
dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai
pengurus (fungsionaris) partai politik.
Kemudian pada tanggal 23 Juli 2018 Mahkamah Konstitusi
memutus pengujian undang-undang tersebut dengan amar putusan
mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya dengan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018.
Pada tanggal 9 Agustus 2018, Komisi Pemilihan Umum (KPU)
dengan maksud menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut
membuat Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua
atas Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2018 Tentang Pencalonan
Perseorangan Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Daerah. Dalam Peraturan KPU tersebut, terdapat Pasal yang mengatur
tentang persyaratan calon anggota DPD. Pasal tersebut yaitu Pasal 60A yang
menyatakan bahwa:
Pasal 60A
(1) Pemenuhan persyaratan perseorangan peserta Pemilu menjadi bakal
calon Anggota DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1)
huruf p, termasuk tidak dalam kedudukannya sebagai pengurus partai
politik tingkat pusat, pengurus partai politik tingkat daerah provinsi dan
pengurus partai politik tingkat daerah kabupaten/kota.
(2) Bakal calon Anggota DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
mengundurkan diri dari kedudukannya sebagai pengurus partai politik
sebelum masa pendaftaran calon Anggota DPD.
(3) Bakal calon Anggota DPD yang telah memenuhi syarat calon atau belum
memenuhi syarat calon dan sedang dalam proses perbaikan syarat calon
atau sedang dilakukan verifikasi syarat calon, dapat tetap menjadi bakal
calon Anggota DPD dengan wajib menyampaikan:
64
a. Surat pengunduran diri sebagai pengurus partai politik yang
bernilai hukum dan tidak dapat ditarik kembali, yang
ditandatangani oleh bakal calon Anggota DPD yang bersangkutan
dan dibubuhi materai cukup; dan
b. Keputusan pimpinan partai politik sesuai dengan kewenangannya
berdasarkan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai
politik, tentang pemberhentian bakal calon Anggota DPD yang
bersangkutan sebagai pengurus partai politik.
(4) Surat pernyataan pengunduran diri sebagaimana dimaksud pada Ayat
(3) huruf a disampaikan kepada KPU melalui KPU Provinsi/KIP Aceh
paling lambat 1 (satu) hari sebelum penetapan DCS Anggota DPD.
(5) Keputusan pimpinan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf b, disampaikan kepada KPU melalui KPU Provinsi/KIP Aceh
paling lambat 1 (satu) hari sebelum penetapan DCT Anggota DPD.
(6) Dalam hal surat pernyataan pengunduran diri dan keputusan pimpinan
partai politik tidak disampaikan pada masa sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) dan ayat (5), bakal calon Anggota DPD dinyatakan tidak
memenuhi syarat dan namanya tidak dicantumkan dalam DCS Anggota
DPD atau DCT Anggota DPD.
Kemudian pada tanggal 25 September 2018, Peraturan KPU tersebut
di mohonkan untuk di uji di Mahkamah Agung dengan pemohon Oesman
Sapta Odang. Oesman Sapta Odang merupakan Ketua DPD RI dan
sekaligus sebagai Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat (HANURA).
Selain itu, Oesman Sapta Odang sebagai fungsionaris partai politik dan juga
telah mendaftarkan diri sebagai calon anggota DPD RI Provinsi Kalimantan
Barat. Oleh karena itu, maka dalam petitumnya pemohon menyatakan
bahwa Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua
atas Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2018 Tentang Pencalonan
Perseorangan Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
65
Daerah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada di
atasnya serta tidak sah dan batal demi hukum.
Selanjutnya pada tanggal 25 Oktober 2018 Mahkamah Agung
memutus perkara tersebut yaitu Putusan Mahkamah Agung Nomor 65
P/HUM.2018, tetapi Putusan Mahkamah Agung tersebut baru disebar
secara publik pada 10 November 2018. Amar Putusan Mahkamah Agung
Nomor 65 P/HUM.2018, yaitu:
1. Menerima dan mengabulkan sebagian permohonan Dr. OESMAN
SAPTA tersebut
2. Menyatakan ketentuan Pasal 60A Peraturan KPU Nomor 26 Tahun
2018 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan KPU Nomor 14 Tahun
2018 Tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Daerah, bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi yakni Pasal 5 huruf d dan Pasal
6 ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
3. Menyatakan Ketentuan Pasal 60A Peraturan KPU Nomor 26 Tahun
2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan KPU Nomor 14 Tahun
2018 Tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilu anggota Dewan
Perwakilan Daerah, tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat dan
berlaku umum sepanjang tidak diberlakukan surut terhadap Peserta
Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2019 yang telah
mengikuti Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan
Umum Tahun 2019 berdasarkan Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2017.
4. Menyatakan permohonan pemohon ditolak untuk selebihnya.
Dalam Mahkamah Agung tersebut, salah satu pertimbangan
Mahkamah Agung yaitu bahwa Bahwa meskipun telah nyata Putusan
Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap terhitung sejak
diucapkan, namun ternyata pihak Termohon tetap memberlakukan
Ketentuan Pasal 60A Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018 secara surut
66
(retroactive) terhadap Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah
Tahun 2019, dengan dalih pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi.
Terhadap hal demikian, menurut Mahkamah penerapan peraturan a quo
tersebut tidak efektif, karena perubahan suatu aturan disertai dengan suatu
kewajiban (yang sebelumnya belum diatur) pada saat tahapan, program, dan
penyelenggaran pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2019
yang telah dilaksanakan dan sedang berlangsung dapat menimbulkan
persoalan hukum baru.1
Berdasarkan hal tersebut, pengamat hukum dari Pusat Studi Hukum
dan Kebijakan (PSHK) Bivitri Susanti menilai bahwa putusan Mahkamah
Agung tersebut bisa berbahaya bagi sistem tata negara. Bivitri Susanti
menyatakan bahwa Mahkamah Agung keliru memaknai Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018. Selain itu, jika Komisi
Pemilihan Umum (KPU) mengikuti putusan yang sebenernya keliru, maka
hal tersebut berbahaya bagi sistem tata negara Indonesia.2
Sementara itu, berentangan dengan Bivitri Susanti, Yusril Ihza
Mahendra selaku Pakar Hukum Tata Negara sekaligus kuasa hukum dari
pemohon yaitu Oesman Sapta Odang mengatakan bahwa Putusan
Mahkamah Agung Nomor 65 P/HUM/2018 tidak bertentangan dengan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 terkait
pencalonan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Menurut Yusril,
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tidak bersifat retroaktif, melainkan
harus berlaku prospektif. Pada pemilu 2024 Komisi Pemilihan Umum
(KPU) berhak memberlakukan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut yang
1 Lihat Putusan Mahkamah Agung Nomor 65 P/HUM/2018.
2 Putusan MA soal Oso Dianggap Membahayakan Sistem Tata Negara,
https://nasional.tempo.co/read/1147633/putusan-ma-soal-oso-dianggap-membahayakan-sistem-
tata-negara
67
menyatakan fungsionaris partai politik tidak berhak mencalonkan diri
sebagai calon anggota DPD.3
Sebelumnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencoret nama
Oesman Sapta Odang dalam Daftar Calon Tetap (DCT) perseorangan
peserta pemilu anggota DPD berdasarkan Keputusan KPU Nomor
1130/PL.01.4.-Kpt/06/KPU/IX/2018 pada 20 September 2018 dengan
maksud sebagai tindak lanjut dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
30/PUU-XVI/2018 .
Di sisi lain Refly Harun menyatakan bahwa Putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut mengacu pada Undang-undang, sedangkan Putusan
Mahkamah Agung hanya menganulir Peraturan KPU. Selain itu,
menurutnya Putusan Mahkamah Konstitusi tidak berlaku surut karena
belum ada Daftar Calon tetap (DCT) calon anggota DPD yang ditetakan
oleh KPU, sehingga Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut jelas untuk
diterapkan pada Pemilu 2019.4
Berdasarkan uraian di atas, Putusan Mahkamah Agung Nomor 65
P/HUM/2018 menyatakan bahwa Pasal 60A Peraturan KPU Nomor 26
Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan KPU Nomor 14
Tahun 2018 Tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Daerah yang melarang fungsionaris partai
politik mecalonkan diri sebagai calon anggota DPD. Peraturan KPU
tersebut sebagaimana sebagaimana tindak lanjut dari Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018. Mahkamah Agung dalam
putusannya tesebut menyatakan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 30/PUU-XVI/2018 tidak berlaku surut, karena sudah terdapat Daftar
3 Yusril Sebut KPU Berkelit Tak Mau Jalankan Putusan PTUN soal OSO,
https://nasional.kompas.com/read/2018/11/28/09515331/yusril-sebut-kpu-berkelit-tak-mau-
jalankan-putusan-ptun-soal-oso.
4 Refly Harun: Ironi Putusan MK dan MA Dalam Gugatan OSO,
http://www.dakta.com/news/17368/refly-harun-ironi-putusan-mk-dan-ma-dalam-gugatan-oso
68
Calon Sementara (DCS) anggota DPD. Di sisi lain, Komisi Pemilihan
Ummum (KPU) menilai bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut
tidak berlaku surut, karena pada saat itu Mahkamah Konstitusi
mengeluarkan putusan tersebut belum terdapat Daftar Calon Tetap (DCT)
anggota DPD sehingga Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut berlaku
untuk Pemilu 2019.
B. Dualisme Putusan Mahkamah Agung Nomor 65 P/HUM/2018 dan
Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018
Berdasarkan uraian di atas, ditinjau dari kronologi pada 23 Juli 2018
Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Nomor 30/PUU-XVI/2018
yang menyatakan fungsionaris partai politik tidak berhak mencalonkan diri
sebagai calon anggota DPD. Pada saat itu telah terdapat Daftar Calon
Sementara (DCS) calon anggota DPD. Kemudian pada 9 Agustus dengan
maksud sebagai tindak lanjut dari Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut,
Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan Peraturan KPU Nomor 26
Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan KPU Nomor 14
Tahun 2018 Tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Daerah. Dalam peraturna KPU tersebut
terdapat ketentuan bahwa fungsionaris partai politik harus mengundurkan
diri dari partai politik jika mencalonkan diri sebagai calon anggota DPD.
Oleh karena itu, pada 20 September 2018 KPU mengeluarkan Daftar Calon
Tetap (DCT) dan mencoret Oesman Sapta Odang dari calon anggota DPD
Pemilu 2019 dalam Putusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor
1130/PL.01.4.-Kpt/06/KPU/IX/2018. Kemudiaan Oesman sapta Odang
mengajukan judicial review terhadap Peraturan KPU tersebut di Mahkamah
Agung dan melakukan gugatan atas Putusan KPU tersebut di Peradilan Tata
Usaha Negara (PTUN). Mahkamah agung mengeluarkan Putusan Nomor 65
P/HUM/2018 yang menyatakan bahwa Pasal 60A dalam Peraturan KPU
tersebut tidak sah dan batal demi hukum dengan pertimbangan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 tidak berlaku surut.
69
Jika penetapan Daftar Calon Sementara (DCS) calon anggota DPD
merupakan tahapan pencalonan anggota DPD, maka Putusan Mahkamah
Agung tidak bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
30/PUU-XVI/2018. Di sisi lain, jika penetapan Daftar Calon Sementara
(DCS) calon anggota DPD bukan merupakan tahapan pencalonan anggota
DPD, maka Putusan Mahkamah Agung bertentangan dengan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 dan pembentukan
Peraturan KPU tersebut tidak menyalahi asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yaitu asas berlaku surut.
Menurut Bivitri Susanti, tahap pemilu baru berhenti tahap
pendaftaran ketika Daftar Calon Tetap (DCT) ditetapkan. Oleh karena itu,
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 keluar waktu
masih dalam Daftar Calon Sementara (DCS) dan KPU mengirimkan surat
pemberitahuan kepada bakal calon terkait hal tersebut dan memberitahukan
untuk pengunduran diri sebagai fungsionaris partai politik. berdasarkan hal
tersebut, Bivitri Susanti menilai bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 30/PUU-XVI/2018 tidak berlaku retroaktif, karena Daftar Calon
Tetap (DCT) belum ditetapkan.5
C. Implikasi Putusan Mahkamah Agung Nomor 65 P/HUM/2018 dan
Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018
Berdasarkan uraian di atas, beberapa implikasi kedua putusan
tersebut di uraikan secara kronologis. Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 30/PUU-XVI/2018, menjadi dasar Komisi Pemilihan Umum (KPU)
menetapkan Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018 Tentang Perubahan
Kedua atas Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2018 Tentang Pencalonan
Perseorangan Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Daerah. Kemudian KPU juga menetapkan Daftar Calon Tetap (DCT) calon
anggota DPD pada surat keputusan KPU Nomor 1130/PL.01.4.-
5 Pakar: Hanya Oesman Sapta Odang (OSO) yang Melawan Putusan MK Soal Larangan
Pengrus Parpol Jadi Calon Anggota DPD,
https://m.tribunnews.com/amp/nasional/2018/11/18/pakar-hanya-oso-yang-melawan-putusan-mk-
soal-larangan-pengurus-parpol-jadi-calon-anggota-dpd
70
Kpt/06/KPU/IX/2018 pada 20 September 2018 yang telah diubah dengan
Keputusan KPU Nomor 1174/PL/01.4-KPt/06/IX/2018. Dengan keputusan
itu, beberapa Daftar Calon Sementara (DCS) calon anggota DPD dicoret
dari Daftar Calon Tetap (DCT) calon anggota DPD, termasuk nama Oesman
Sapta Odang yang mencalonkan diri sebagai calon anggota DPD.
Kemudiaan Oesman sapta Odang mengajukan judicial review
terhadap Peraturan KPU tersebut di Mahkamah Agung dan melakukan
gugatan atas Putusan KPU tersebut di Peradilan Tata Usaha Negara
(PTUN). Mahkamah agung mengeluarkan Putusan Nomor 65 P/HUM/2018
yang menyatakan bahwa Pasal 60A dalam Peraturan KPU tersebut tidak sah
dan batal demi hukum dengan pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 30/PUU-XVI/2018 tidak berlaku surut.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) tetap melaksanakan kebijakan
berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018.
Dalam surat keputusannya KPU memberikan jangka waktu kepada para
bakal calon anggota DPD yang masih menjadi fungsionaris partai politik
untuk mengundurkan diri. Oleh karena itu, 200 (dua ratus) calon anggota
DPD yang mematuhi Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dan
mengundurkan diri sebagai fungsionaris partai politik.
Kemudian Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencoret Oesman
Sapta Odang lantaran tidak menyerahkan surat pengunduran diri dari partai
politik. Pada tanggal 8 Desember 2018 KPU mengirimkan surat kepada
Oesman Sapta Odang untuk memberikan kelonggaran waktu sampai 21
Desmeber 2018 untuk menyerahkan surat pengunduran diri tersebut, tetapi
pada jumat 21 Desember Pihak Oesman Sapta Odang tetap tidak ada yang
menyerahkan surat pengunduran diri tersebut. Oleh Karena itu, Pada 22
Desember 2018 KPU tetap tidak melakukan perubahan Surat Keputusan
Daftar Calon Tetap (DCT) calon anggota DPD, sehingga Oesman Sapta
71
Odang tetap tidak tercantum dalam Daftar Calon Tetap (DCT) calon
anggota DPD.6
6 KPU Coret Oesman Sapta Odang (OSO) dari Daftar Caleg DPD Pemilu 2019,
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20181222143424-32-355726/kpu-coret-oso-dari-daftar-
caleg-dpd-pemilu-2019
72
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diteliti pada bab-bab
sebelumnya, maka peneliti memberikan kesimpulan sebagai berikut:
1. Fungsionaris partai politik tidak berhak mecalonkan diri sebagai calon
anggota DPD sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
30/PUU-XVI/2018. Dalam surat keputusan KPU tidak dicantumkannya
Oesman Sapta Odang dalam Daftar Calon Tetap (DCT) anggota DPD,
terdapat pernyataan calon yang berasal dari fungsionaris partai politik
diberi waktu untuk mengundurkan diri dari partai politik sampai pada
waktu yang ditentukan. Jika pengunduran diri dari partai politik tersebut
tidak dilakukan, maka yang bersangkutan tidak bisa mencalonkan diri
sebagai calon anggota DPD.
2. Terdapat dualisme putusan adalah karena berbeda penafsiran yang
dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) terhadap Oesman Sapta
Odang sebagai bakal calon anggota DPD dengan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 dan tahapan pemilu. Hal tersebut
mengakibatkan Oesman Sapta Odang mengajukan judicial review
terhadap Peraturan KPU Nomor Nomor 26 Tahun 2018 Tentang
Perubahan Kedua atas Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2018 Tentang
Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Daerah dan Keputusan KPU tentang Daftar Calon Tetap
(DCT) calon anggota DPD. Kemudian Mahkamah Agung
mengeluarkan Putusan Nomor 65 P/HUM/2018 yang mengabulkan
judicial review Oesman Sapta Odang.
3. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018,
menjadi dasar Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan Peraturan
KPU Nomor 26 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan
73
KPU Nomor 14 Tahun 2018 Tentang Pencalonan Perseorangan Peserta
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Daerah. Kemudian KPU
juga menetapkan Daftar Calon Tetap (DCT) calon anggota DPD pada
surat keputusan KPU Nomor 1130/PL.01.4.-Kpt/06/KPU/IX/2018 pada
20 September 2018 yang telah diubah dengan Keputusan KPU Nomor
1174/PL/01.4-KPt/06/IX/2018. Dengan keputusan itu, beberapa Daftar
Calon Sementara (DCS) calon anggota DPD dicoret dari Daftar Calon
Tetap (DCT) calon anggota DPD, termasuk nama Oesman Sapta Odang
yang mencalonkan diri sebagai calon anggota DPD. Selain itu, lebih dari
200 (dua ratus) bakal calon anggota DPD mengundurkan diri dari
kepengurusan partai politik, sedangkan Putusan Mahkamah Agung
Nomor 65 P/HUM/2018 yang menyatakan bahwa Pasal 60A dalam
Peraturan KPU tersebut tidak sah dan batal demi hukum dengan
pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-
XVI/2018 tidak berlaku surut.
B. Rekomendasi
Dari hasil penelitian, maka peneliti memberikan rekomendasi sebagai
berikut:
1. Para hakim Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi harus lebih
jeli dan memperhatikan asas-asas peraturan perundang-undangan dalam
mengadili perkara judicial review sehingga tidak terjadi ketidak
selarasan antara putusan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.
Selain itu, pembuat peraturan perundang-undangan pun harus
menafsirkan putusan lembaga peradilan dengan sebaik-baiknya.
2. Dalam kedudukan DPD sebagai perwakilan daerah seharusnya tidak
dari fungsionaris partai politik, karena dikhawatirkan terjadi
ketimpangan kepentingan dalam pelaksanaan tugas dan kewajiban
sebagai anggota DPD.
3. Partai politik perlu melakukan himbauan kepada anggota-anggotanya
untuk tidak juga mencalonkan diri sebagai anggota DPD, karena DPR
sudah merupakan representasi dari partai politik, sedangkan DPD
74
merupakan representasi dari perwakilan daerah. Jika perlu seharusnya
bukan hanya melarang fungsionaris partai politik sebagai calon anggota
DPD, tetapi juga seluruh anggota partai politik. Hal ini seperti ketentuan
yang pernah berlaku di Indonesia yaitu Pasal 63 Ayat (1) Undang-
undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota
DPR, DPD, dan DPRD yang menyatakan bahwa syarat menjadi calon
anggota DPD yaitu tidak menjadi pengurus partai politik sekurang-
kurangnya 4 (empat) tahun yang dihitung sampai dengan tanggal
pengajuan calon.
75
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Al-Quranul Karim
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003.
Arifin, Anwar, Perspektif Ilmu Politik, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2015.
Asshiddiqie, Jimly, Hukum Acara Pengujian Undang-undang, Jakarta:
Konpress, 2006.
______________, Model-model Pengujian Konstitusional di Berbagai
Negara, Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
______________, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, jilid II, Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI,
2006.
______________, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi RI, 2006.
Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 2008.
Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia, Konstitusi republik Indonesia menuju
perubahan ke-5, Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia,
2009.
Djalil, Matori Abdul, Tuntutan Reformasi dan Penyelenggaraan Pemilu
1999 dalam Transisi, Jakarta: KIPP, 1999.
Fatmawati, Struktur dan Fungsi Legislasi Parlemen dengan Sistem
Multikameral: Studi Perbandingan antara Indonesia dan Berbagai
Negara, Jakarta: UI Press, 2010.
Hadiwijoyo, Suryo Sakti, Negara, Demokrasi dan Civil Society,
Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012.
Hamidi, Jazim dan Mustafa Lutfa, Hukum Lembaga Kepresidenan
Indonesia. Bandung: PT Alumni, 2010.
76
Haris, Syamsudin, Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1998.
Hikam, Muhamad A. S, Pemilu dan Legitimasi Politik, Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 1998.
Huda, Ni’matul dan Nazriyah, Teori dan Pengujian Peraturan Perundang-
undangan, Bandung: Nusa Media, 2011.
______________, Ni’matul, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2007.
Ibrahim, J. Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,
Malang: Univeristas Muhamadiyah Malang Press, 2007.
Isjawara, F., Pengantar Ilmu Politik, Bandung: Bina Cipta, 1980.
Kemenkopolkam, Pembangunan Bidang Politik, Jakarta: Kemenkopolkam,
2003.
Legowo, Tommi A., Pemilu 2009, Konsolidasi Demokrasi dan Perwakilan
Politik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Lutfi, Mustafa dan M. Iwan Satriawan, Risalah Hukum Partai Politik,
Malang: UB Press, 2016.
Maggalatung, A. Salman dan Nur Rohim Yunus, Pokok-pokok Teori Ilmu
Negara (Aktualisasi dalam Teori Negara Indonesia), Bandung:
Fajar Media, 2013.
______________, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Politik Hukum di
Indonesia (Perspektif Hukum Islam), Jakarta: FOCUS
Grahamedia, 2012.
______________, Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD
1945, Bekasi: Gramata Publishing, 2016.
Maran, Rafael Marga, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta: Rineka Cipta,
2014.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada
Media, 2010.
MD, Mahfud, Demokrasi dan Konstitusi Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta,
1993.
77
______________, Mahfud, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia,
Jakarta: Rineka Cipta, 2001.
Muttaqin, Entol Zaenal, Pokok-pokok Hukum ketatanegaraan, Serang:
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, 2014.
Nurtjahyo, Hendra, Filsafat Demokrasi, Jakarta: Bumi Aksara, 2006.
Pamungkas, Sigit, Partai Politik Teori dan Praktik di Indonesia,
Yogyakarta: Institute for Democracy and Wellfarism, 2011.
Rosyada, Dede, Dkk, Demokrasi, Hak Asasi dan Masyarakat Madani,
Jakarta: Prenada Media, 2000.
Safa’at, Muhamad Ali, Parlemen Bikameral, Malang: Universitas
Brawijaya Press, 2010.
Sardini, Nur Hidayat, Restorasi Pelnyelenggaraan Pemilu di Indonesia,
Yogyakarta: Fajar Media Press, 2011.
Soehino, Hukum Tata Negara Teknik Perundang-undangan, Yogyakarta:
Liberty, 2008.
Soekanto, Soedjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas
Indonesia Press, 1986.
______________, Soedjono dan Sri Mahmudji, Peraturan dan Penggunaan
Kepustakaan di Dalam Penelitian Hukum, Jakarta: Pusat
Dokumentasi Universitas Indonesia, 1979.
Soelistyati Ismail Gani, Pengantar Ilmu Politik, Jakarta: Ghalia Indonesia,
1984.
Soemantri, Sri, Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara,
Jakarta: Rajawali Press, 1982.
Strong, C. F., Konstitusi-konstitusi Politik Modern Kajian Tentang Sejarah
dan Bentuk-bentuk Konstitusi di Dunia, Bandung: Nusamedia,
2004.
Subardjo, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Menurut Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Penerapan
Sistem Bikameral dalam Lembaga Perwakilan Indonesia,
Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012.
78
Suharti, Eni, MD3 (UU RI No. Tahun 2014) MPR, DPR, DPD, DPRD,
Jakarta: Sinar Grafika, 2014.
Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1997.
Sulistio, Hermawan, Kekerasan Politik dalam Pemilu 1999: Acuan Teoritik
Pengalaman Masa Transisi, Jakarta: KIPP, 2000.
Tutik, Titik Triwulan, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca-
Amendemen UUD 1945, Jakarta: Kencana, 2010.
Ubaidilah, A., Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education)
Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, Jakarta: IAIN Jakarta
Press, 2000.
Wahyono, Padmo, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1986.
Winarno, Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan: Panduan
Kuliah di Perguruan Tinggi cet. 2, Jakarta: Bumi Aksara, 2014.
Yusuf, M., Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (Arsitektur
Histori, Peran Dan Fungsi DPD RI Terhadap Daerah Di Era
Otonomi Daerah), Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013.
B. JURNAL HUKUM
Artis, “Esistensi Partai Politik dan Pemilu Langsung dalam Konteks
Demokrasi di Indonesia”, Jurnal Sosial Budaya, Vol. 9, 1 (2012).
Bachtiar, Farahdiba Rahma, “Pemilu Indonesia: Kiblat Negara Demokrasi
dari Berbagai Representasi”, Jurnal Politik Profetik, Vol. 3, 1
(2014).
Budiyono, “Mewujudkan Pemilu 2014 Sebagai Pemilu Demokratis”, Jurnal
Fiat Justicia Ilmu Hukum, Vol. 7, 3 (2014.
Kartono, “Politik Hukum Judicial Review di Indonesia”, Jurnal Dinamika
Hukum, 11 (2011)
Pirmansyah, Miki, “Eksistensi Dewan Perwakilan Daerah Dalam Sistem
Bikameral Di Indonesia”, Jurnal Cita Hukum, Vol. 2, 1 (2014).
Rosana, Ellya, “Negara Demokrasi dan Hak Asasi Manusia”, Jurnal TAPIs,
Vol. XII, 1, (2016).
79
Yunus, Nur Rohim, “Aktualisasi Demokrasi Pancasila dalam Kehidupan
Berbangsa dan Bernegara”, Social Science Education Journal, II,
2 (2015).
Zada, Khamami, ‘Kewenangan Legislasi Dewan Perwakilan Daerah Dalam
Reformasi Kelembagaan Perwakilan Pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi’, Jurnal Cita Hukum. Vol. II, (2015).
C. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota
DPR, DPD, dan DPRD
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota
DPR, DPD, dan DPRD
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD
dan DPRD
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-
undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018
Putusan Mahkamah Agung Nomor 65 P/HUM/2018
Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua atas
Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2018 Tentang Pencalonan
Perseorangan Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Daerah
D. INTERNET
Aditya, Boy, Refly Harun: Ironi Putusan MK dan MA Dalam Gugatan OSO.
Artikel diakses pada 23 November 2018 dari
http://www.dakta.com/news/17368/refly-harun-ironi-putusan-mk-
dan-ma-dalam-gugatan-oso.
Florenti, Vindry, Putusan MA soal Oso Dianggap Membahayakan Sistem
Tata Negara. Artikel diakses pada 23 November 2018 dari
https://nasional.tempo.co/read/1147633/putusan-ma-soal-oso-
dianggap-membahayakan-sistem-tata-negara.
80
Farisa, Fitria Chusna, Yusril Sebut KPU Berkelit Tak Mau Jalankan Putusan
PTUN soal OSO. Artikel diakses pada 1 Desember 2018 dari
https://nasional.kompas.com/read/2018/11/28/09515331/yusril-
sebut-kpu-berkelit-tak-mau-jalankan-putusan-ptun-soal-oso.
Jurnaliston, Reza, Bertentangan dengan Mahkamah Konstitusi, Putusan
Mahkamah Agung Timbulkan Ketidakpastian Hukum. Artikel
diakses pada tanggal 11 September 2018 dari
https://nasional.kompas.com/read/2018/11/01/06042201/bertentan
gan-dengan-mk-putusan-ma-soal-oso-bisa-timbulkan-
ketidakpastian.
Umam, Chaerul, Mahfud MD: Putusan Mahkamah Agung Soal Oso Tak
Wajar. Artikel diakses pada tanggal 11 November 2018 dari
http://m.tribunnews.com/nasional/2018/11/07/mahfud-md-
putusan-ma-soal-oso-tak-wajar.
Mardatillah, Aida, Alasan Mahkamah Agung Batalkan Larangan Pengurus
Partai politik Jadi Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
Untuk Pemilu 2019. Artikel diakses pada 12 November 2018 dari
https://m.hukumonline.com/berita/baca/lt5be426e49644e/alasan-
ma-batalkan-larangan-parpol-jadi-anggota-dpd-untuk-pemilu-
2019.
Top Related