PENANGANAN RABIES
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Rabies merupakan bentuk enchephalitis hebat dengan gejala klinis unik yang selalu
menghasilkan kematian. Beberapa kasus menunjukkan gejala paralisis, khususnya pada saat
postexposure prophylaxis.
Virus yang menjadi penyebabnya adalah virus neurotropik, yang hanya dapat
berkembang biak di dalam jaringan saraf. Virus ini tahan terhadap kekeringan, akan tetapi
mudah dimatikan dengan menggunakan antiseptic, sinar matahari langsung, pemanasan, dan
radiasi dengan menggunakan sinar ultraviolet. Masa Inkubasi pada hewan sekitar 3-6 minggu
setelah gigitan hewan rabies, sedangkan pada manusia tergantung dari parah tidaknya luka
gigitan, jauh tidaknya luka dengan susunan saraf pusat, banyaknya saraf pada luka, jumlah
virus yang masuk, serta jumlah luka gigitan 1.
Secara umum, penularan rabies terjadi diakibatkan infeksi karena gigitan binatang.
Namun rabies juga dapat menular melalui beberapa cara antara lain melalui cakaran hewan, ,
virus yang masuk melalui rongga pernapasan, dan transplantasi kornea. Virus rabies
menyerang jaringan saraf, dan menyebar hingga sistem saraf pusat, dan dapat menyebabkan
encephalomyelitis.2
Tidak ada terapi untuk penderita yang sudah menunjukkan gejala rabies; penanganan
hanya berupa tindakan suportif dalam penanganan gagal jantung dan gagal nafas. Berbagai
penelitian dari tahun 1986 hingga 2000 yang melibatkan lebih dari 800 kasus gigitan anjing
pengidap rabies di negara endemis yang segera mendapat perawatan luka, pemberian VAR
dan SAR, mendapatkan angka survival 100%.4
SMF ILMU BEDAH RSU Dr. PIRNGADI MEDAN Page 1
PENANGANAN RABIES
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Rabies merupakan penyakit virus akut dari sistem saraf pusat yang mengenai semua
mamalia dan ditularkan oleh sekresi yang terinfeksi biasanya saliva. Sebagian besar
pemajanan terhadap rabies melalui gigitan binatang yang terinfeksi, tapi kadang transplantasi
jaringan yang terinfeksi dapat memulai proses penyakit.1
Nama lain untuk rabies, la rage (Perancis), la rabbia (Italia), la rabia (Spanyol), die
tollwut (Jerman) atau di Indonesia terkenal dengan nama penyakit Anjing Gila.4
2.2 SEJARAH
Istilah rabies dikenal sejak zaman Babylonia kira-kira abad ke 23 Sebelum Masehi
(SM) dan Democritus menulis secara jelas binatang menderita rabies pada tahun 500 SM.
Tulisan adanya infeksi rabies pada manusia dengan gejala hydrophobia dilaporkan pada abad
pertama oleh Celsus dan gejala klinis rabies baru ditulis pada abad ke-16 oleh Fracastoro,
seorang dokter Italia. Pada tahun 1880 Louis Pasteur mendemostrasikan adanya infeksi pada
susunan saraf pusat. Pengobatan dilakukan dengan cara kauterisasi sampai ditemukannya
vaksin oleh Louis Pasteur pada tahun 1885. Pertumbuhan virus rabies pada jaringan
ditemukan pada tahun 1930 dan baru dapat diperlihatkan dengan mikroskop elektron pada
tahun 1960.4
2.3 ETIOLOGI
Virus rabies merupakan virus asam ribonuklet beruntai tunggal, beramplop, berbentuk
peluru dengan diameter 75 sampai 80nm termasuk anggota kelompok rhabdovirus.
Glikoprotein virus terikat pada reseptor asetilkolin, menambah neurovirulensi virus rabies,
membangkitkan antibody neutralisasi dan antibody penghambat hemaglutinasi, dan
merangsang imunitas sel T.1
SMF ILMU BEDAH RSU Dr. PIRNGADI MEDAN Page 2
PENANGANAN RABIES
Gambar 1 Rhabdovirus
Virus rabies inaktif pada pemanasan; pada temperature 56ºC waktu paruh kurang dari
1 menit, dan pada kondisi lembab pada temperatur 37ºC dapat bertahan beberapa jam. Virus
juga akan mati dengan deterjen, sabun, etanol 45%, solusi jodium.4
2.4 DISTRIBUSI DAN INSIDENSI
Distribusi rabies tersebar di seluruh dunia dan hanya beberapa negara yang bebas
rabies seperti Australia, sebagian besar Skandinavia, Inggris, Islandia, Yunani, Portugal,
Uruguay, Chili, Papua Nugini, Brunai, Selandia Baru, Jepang, dan Taiwan. Di Indonesia
sampai akhir tahun 1977 rabies tersebar di 20 provinsi dan 7 provinsi dinyatakan bebas rabies
adalah Bali, NTB, NTT, Maluku, Irian Jaya dan Kalimantan Barat. Data tahun 2001
menunjukkan terdapat 7 provinsi yang bebas rabies adalah Jawa tengah, Jawa timur,
Kalimantan Barat, Bali, NTB, Maluku dan Irian Jaya. Data terakhir pada tahun 2004, di
Ambon, Maluku jumlah orang yang meninggal akibat rabies tercatat 21 orang. Sedangkan di
Provinsi Bali, desa kedonganan dan Ungasan pada tanggal 29 November 2008 terdapat
beberapa anjing mati dan dinyatakan positif Rabies. Hal ini membuat Provinsi Bali dengan
status bebas rabies perlu ditinjau kembali.
SMF ILMU BEDAH RSU Dr. PIRNGADI MEDAN Page 3
PENANGANAN RABIES
Gambar 2.
Penyebaran Dan Distribusi Rabies Di Dunia
2.5 EPIDEMIOLOGI
Rabies terdapat dalam dua bentuk epidemiologik : Urban, disebarluaskan terutama
oleh anjing, dan atau kucing rumah yang tidak diimunisasi, dan Sylvatic, disebarluaskan oleh
sigung (skunk), rubah, raccoon, luwak (mongoos), serigala, dan kelelawar. Infeksi pada
manusia cenderung terjadi pada tempat rabies bersifat enzootik atau epizootik, yaitu jika
terdapat banyak populasi binatang jinak yang tidak diimunisasi, dan manusia kontak dengan
udara terbuka. Kematian karena rabies hanya sekitar 1000 dilaporkan oleh World Health
Organization (WHO) setiap tahun, sedangkan insidensi rabies di seluruh dunia diperkirakan
lebih dari 30.000 kasus pertahun. Asia Tenggara, Philipina, Afrika dan Amerika Selatan
adalah area tempat penyakit biasanya terjadi. Di Amerika, rabies manusia sangat jarang, dan
sebagian besar kasus sekarang berasal dari gigitan binatang yang terpajan di negara – negara
yang didalamnya terdapat endemik rabies anjing.4
Pada sebagian besar area di dunia, anjing merupakan vektor penting virus rabies
untuk manusia. Akan tetapi, serigala (Eropa timur, daerah kutub utara), luwak (Afrika
Selatan, Karibia), rubah (Eropa Barat) dan kelelawar (Amerika Selatan) juga merupakan
vektor penyakit yang penting. Di Amerika, rabies kucing sekarang ini dilaporkan lebih sering
daripada rabies anjing; sehingga vaksinasi kucing rumah sangat penting. Di Amerika, rabies
pada binatang buas bertanggung jawab terhadap sekitar 85% rabies binatang yang dilaporkan,
dengan anjing dan kucing hanya sekitar 2-3%.4
SMF ILMU BEDAH RSU Dr. PIRNGADI MEDAN Page 4
PENANGANAN RABIES
Beberapa kasus penularan rabies dari manusia ke manusia melalui transplantasi kornea juga
pernah ditemukan.4
2.6 TRANSMISI
Infeksi terjadi biasanya melalui kontak dengan binatang seperti anjing, kucing, kera,
serigala, kelelawar dan ditularkan ke manusia melalui gigitan binatang atau kontak virus
(saliva binatang) dengan luka pada host ataupun melalui membran mukosa. Kulit yang utuh
merupakan barier pertahanan terhadap infeksi. Transmisi dari manusia ke manusia belum
pernah dilaporkan. Infeksi rabies pada manusia terjadi dengan masuknya virus lewat luka
pada kulit (garukan, lecet, luka robek) atau mukosa. Paling sering terjadi melalui gigitan
anjing, tetapi bisa juga melalui gigitan kucing, kera atau binatang lainnya yang terinfeksi
(serigala, musang, kelelawar). Cara infeksi yang lain adalah melalui inhalasi dimana
dilaporkan terjadinya infeksi rabies pada orang yang mengunjungi gua kelelawar tanpa
adanya gigitan. Dapat pula kontak virus rabies pada kecelakaan kerja di laboratorium, atau
akibat vaksinasi dari virus rabies yang masih hidup. Terjangkitnya infeksi rabies juga
dilaporkan pada tindakan transplantasi kornea dari donor yang mungkin terinfeksi rabies.4
2.7 PATOGENESIS
Kejadian pertama perjalanan virus melalui epidermis atau ke dalam membran
mukosa. Replikasi viral awal tampak terjadi dalam sel otot lurik di daerah inokulasi. Sistem
saraf perifer terpajan pada neuromuskuler. Virus kemudian menyebar secara sentripetal naik
ke saraf sampai sistem saraf pusat, mungkin melalui aksoplasma saraf perifer. Saat virus
mencapai sistem saraf pusat, virus melakukan replikasi secara eksklusif dalam substansia
kelabu dan kemudian lewat secara sentrifugal sepanjang saraf autonom untuk mencapai
jaringan – jaringan lain termasuk kelenjar saliva, medula adrenalis, ginjal, paru-paru, hepar,
otot rangka, kulit dan jantung. Virus juga tersebar pada air susu dan urine.4
Periode inkubasi rabies sangat bervariasi, antara 10 hari sampai lebih dari 1 tahun
(rata – rata 1 sampai 2 bulan). Periode waktu tampak tergantung pada jumlah virus yang
masuk, jumlah jaringan yang terserang, mekanisme pertahanan penderita dan perjalanan virus
dari daerah inokulasi ke sistem saraf pusat. Kasus rabies manusia dengan periode inkubasi
yang panjang ( 2 sampai dengan 7 tahun) telah dilaporkan tapi jarang terjadi.4
SMF ILMU BEDAH RSU Dr. PIRNGADI MEDAN Page 5
PENANGANAN RABIES
Gambar 3. Perjalanan Virus Rabies Pada Hewan dan Manusia
2.8 MANIFESTASI
Masa inkubasi rabies 95% antara 3-4 bulan, masa inkubasi bisa bervariasi antara 7
hari hingga 7 tahun, hanya 1% kasus dengan inkubasi 1-7 tahun. Karena lamanya inkubasi
kadang-kadang pasien tidak dapat mengingat kapan terjadinya gigitan. Pada anak-anak masa
inkubasi biasanya lebih pendek daripada orang dewasa. Lamanya masa inkubasi dipengaruhi
oleh dalam dan besarnya luka gigitan, lokasi luka gigitan (jauh dekatnya ke sistem saraf
pusat), derajat patogenitas virus dan persarafan daerah luka gigitan. Luka pada kepala
inkubasi 25-48 hari, dan pada ekstremitas 46-78 hari.4
Manifestasi klinis rabies dapat dibagi menjadi 4 stadium: (1) prodromal non spesifik,
(2) ensefalitis akut yang mirip dengan ensefalitis virus lain. (3) disfungsi pusat batang otak
yang mendalam yang menimbulkan gambaran klasik ensefalitis rabies, dan (4) koma rabies
yang mendalam.1
Periode prodromal biasanya menetap selama 1 sampai 4 hari dan ditandai dengan
demam, sakit kepala, malaise, mialgia, mudah terserang lelah (fatigue), anoreksia, nausea,
dan vomitus, nyeri tenggorokan dan batuk yang tidak produktif.
Gejala prodromal yang menunjukkan rabies adalah keluhan parestesia dan/atau
fasikulasi pada atau sekitar tempat inokulasi virus dan mungkin berhubungan dengan
SMF ILMU BEDAH RSU Dr. PIRNGADI MEDAN Page 6
PENANGANAN RABIES
multiplikasi virus dalam gaglion dorsalis saraf sensoris yang mempersarafi area gigitan.
Gejala ini terdapat pada 50 sampai 80% pasien.1
Stadium prodormal dapat berlangsung hingga 10 hari, kemudian penyakit akan
berlanjut sebagai gejala neurologik akut yang dapat berupa furious atau paralitik. 4
Fase ensefalitis biasanya ditunjukkan oleh periode aktivitas motorik yang berlebihan,
rasa gembira, dan gelisah. Muncul rasa bingung, halusinasi, combativeness, penyimpangan
alur pikiran yang aneh, spasme otot, meningismus, posisi opistotonik, kejang, dan paralisis
fokal. Yang khas, periode penyimpangan mental yang diselingi dengan periode lucid tapi
bersama dengan berkembangnya penyakit, periode lucid menjadi lebih pendek sampai pasien
akhirnya menjadi koma. Hiperestesi, dengan sensitivitas yang berlebihan terhadap cahaya
terang, suara keras, sentuhan, bahkan rangsangan oleh udara sering terjadi. Pada pemeriksaan
fisis, suhu tubuh naik hingga 40,6ºC. abnormalitas sistem saraf otonom meliputi dilatasi pupil
yang ireguler, lakrimasi meningkat, salivasi, dan berkeringat berlebih. Juga terdapat tanda
paralisis motor neuron bagian atas dengan kelemahan, meningkatnya refleks tendo profunda,
dan respon ekstensor plantaris. Paralisis pita suara biasa terjadi.1
Manifestasi disfungsi batang otak segera terjadi setelah mulainya fase ensefalitis.
Terkenanya saraf kranialis menyebabkan diplopia, dan kesulitan menelan yang khas.
Gabungan salivasi yang berlebihan dan kesulitan menelan menimbulkan gambaran
tradisional “foaming at the mouth”. Hidrofobia, tampak pada sekitar 50% kasus. Pasien
menjadi koma dengan terkenanya pusat respirasi oleh virus, yang akan menimbulkan
kematian apneik. Menonjolnya disfungsi batang otak dini membedakan rabies dari ensefalitis
virus lainnya.
Gambar 4 : Manifestasi Klinis gejala rabies
SMF ILMU BEDAH RSU Dr. PIRNGADI MEDAN Page 7
PENANGANAN RABIES
Daya tahan hidup rata-rata setelah mulainya gejala adalah 4 hari, dengan maksimum
20 hari, kecuali diberikan tindakan bantuan artifisial.1
Tabel 1. Perjalanan Penyakit Penderita Rabies
Stadium Lamanya (% kasus) Manifestasi klinis
Inkubasi
Prodromal
Neurologik akut
Furious (80%)
Paralitik
Koma
< 30 hari (25%)
30-90 hari (50%)
90 hari – 1 tahun (20%)
>1 tahun (5%)
2-10 hari
2-7 hari
2-7 hari
0-14 hari
Tidak ada
Parestesi, nyeri pada luka gigitan,
demam, malaise, anoreksia, mual
& muntah, nyeri kepala, lethargi,
agitasi, anxietas, depresi
Halusinasi, bingung, delirium,
tingkah laku aneh, agitasi,
menggigit, hidropobia,
hipersalivasi, disfagia, afasia,
inkoordinasi, hiperaktif, spasme
faring, aerofobia, hiperventilasi,
disfungsi saraf otonom, sindroma
abnormalitas ADH
Paralisis flaksid
Autonomic instability,
hipoventilasi, apnea, henti nafas,
hipotermia/hipertermia, hipotensi,
disfungsi pituitari, rhabdomiolisis,
aritmia dan henti jantung
2.9 KOMPLIKASI
Berbagai komplikasi dapat terjadi pada penderita rabies dan biasanya timbul pada fase
koma. Komplikasi neurologik dapat berupa peningkatan tekanan intrakranial; kelainan pada
hipotalamus berupa diabetes insipidus, sindrom abnormalitas hormon antidimetik (SAHAD);
SMF ILMU BEDAH RSU Dr. PIRNGADI MEDAN Page 8
PENANGANAN RABIES
disfungsi otonomik yang menyebabkan hipertensi, hipotensi, hipertemia/hipotermia, aritmia
dan henti jantung. Kejang dapat lokal maupun generalisata dan sering bersamaan dengan
aritmia dan gangguan respirasi. Pada stadium prodromal sering terjadi komplikasi
hiperventilasi dan alkalosis respiratorik, sedangkan hipoventilasi dan depresi pernafasan
terjadi pada fase neurologik akut. Hipotensi terjadi karena gagal jantung kongestif, dehidrasi
dan gangguan otonomik.4
2.10 TEMUAN LABORATORIUM
Pada awal penyakit hemoglobin dan kimia darah rutin normal, tapi abnormalitas
terjadi bersamaan dengan disfungsi hipotalamus, perdarahan gastrointestinal, dan komplikasi
lainnya. Jumlah leukosit agak meningkat tapi mungkin juga normal.1
Seperti pada setiap infeksi virus, diagnosis spesifik rabies tergantung pada (1) isolasi
virus dari sekresi yang terinfeksi [saliva, cairan serebrospinalis (CSF), atau jaringan (otak)],
(2) uji serologik infeksi akut, atau (3) adanya antigen virus dalam jaringan yang terinfeksi,
misalnya, apusan impresi kornea, biopsi kulit, atau otak.1
Fluororescent antibodi test (FAT) dengan cepat mengidentifikasi antigen virus rabies
di jaringan otak, sedimen cairan serebrospinalis, urin. Sensitivitas tes ini bahkan 60-100%.
Pada awal penyakit (minggu I) FAT merupakan tes yang paling sensitif walaupun dapat
terjadi negatif palsu.4
Di Amerika Serikat, tes standard adalah rapid fluororescent focus inhibition test
(RFFIT) untuk mendeteksi antibodi spesifik, dimana hasil diperoleh dalam waktu 48 jam.2
Deteksi RNA virus rabies seperti juga pada infeksi virus lainnya dapat dilakukan
melalui pemeriksaan Reverse-Transcriptase Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)4
2.11 DIAGNOSIS BANDING
Rabies harus dipertimbangkan sebagai penyebab pada semua penderita dengan gejala
neurologik, psikiatrik atau laringofaringeal yang tak bisa dijelaskan, khususnya bila terjadi di
daerah endemis atau orang yang mengalami gigitan binatang pada daerah endemis rabies.4
Penderita rabies harus dibedakan dengan rabies histerik yaitu suatu reaksi psikologik
orang-orang yang terpapar dengan hewan yang diduga mengidap rabies. Penderita dengan
rabies histerik akan menolak jika diberikan minum (pseudohidropobia) sedangkan pada
penderita rabies sering merasa haus.4
Tetanus dapat dibedakan dengan rabies melalui masa inkubasinya yang pendek,
adanya trismus, kekakuan otot yang persisten diantara spasme, status mental normal, cairan
SMF ILMU BEDAH RSU Dr. PIRNGADI MEDAN Page 9
PENANGANAN RABIES
serebrospinal biasanya normal dan tidak terdapat hidropobia. Ensefalitis dapat dibedakan
dengan metode pemeriksaan virus dan tidak dijumpai hidropobia.4
Rabies paralitik dapat dikelirukan dengan Syndroma Guillain Barre transverse
myelitis, japanese ensefalitis, herpes simpleks ensefalitis, poliomielitis atau ensefalitis post
vaksinasi. Pada poliomielitis saat timbul gejala neurologik sudah tidak ada demam, dan tidak
ada gangguan sensorik.
Ensefalitis post vaksinasi rabies terjadi 1 :200 – 1:1600 pada vaksinasi nerve tissue rabies
vaccine, dibedakan dengan mulai timbulnya gejala cepat, dalam 2 minggu setelah dosis
pertama. Pemeriksaan neurologik yang teliti dan pemeriksaan laboratorium berupa isolasi
virus akan membantu diagnosis.4
Diagnosa banding dalam kasus pasien suspek rabies meliputi banyak penyebab dari
ensephalitis, yang pada umumnya karena infeksi dari virus seperti herpesvirus, enterovirus,
dan arbovirus. Virus yang sangat penting untuk dijadikan diagnosa banding adalah herpes
simpleks tipe 1, varicella-zooster. Faktor epidemilogik seperti cuaca, lokasi geografi, umur
pasien, riwayat perjalanan, dan pajanan yang mungkin untuk tergigit binatang dapat
membantu menolong penegakan diagnosa.1
2.12 PENATALAKSANAAN RABIES
Tidak ada terapi untuk penderita yang sudah menunjukkan gejala rabies; penanganan
hanya berupa tindakan suportif dalam penanganan gagal jantung dan gagal nafas. Walaupun
tindakan perawatan intensif umumnya dilakukan, hasilnya tidak menggembirakan. perawatan
intensif hanyalah metode untuk memperpanjang dan bila mungkin menyelamatkan hidup
pasien dengan mencegah komplikasi respirasi dan kardiovaskuler yang sering terjadi. Isolasi
penderita penting segera setelah diagnosa ditegakkan untuk menghindari rangsangan-
rangsangan yang dapat menimbulkan spasme otot dan mencegah penularan. Staf rumah sakit
perlu menghindarkan diri terhadap penularan virus dari air liur, urin, air mata, cairan lain dan
yang paling berbahaya adalah kontak dengan mukosa atau kulit yang terluka khususnya
akibat gigitan dengan universal precaution (memakai sarung tangan dan sebagainya). Virus
tidak menular melalui darah dan tinja. Yang penting dalam pengawasan penderita rabies
adalah terjadinya hipoksia, aritmia, gangguan elektrolit, hipotensi dan edema serebri.4
Penderita rabies dapat diberikan obat-obat sedatif dan analgesik secara adekuat untuk
memulihkan ketakutan dan nyeri yang terjadi. Penggunaan obat-obat anti serum, anti virus,
interferon, kortikosteroid dan imunosupresif lainnya tidak terbukti efektif.4
SMF ILMU BEDAH RSU Dr. PIRNGADI MEDAN Page 10
PENANGANAN RABIES
Kategori Pajanan Terhadap Binatang Kelinci Dengan Rabies
Tindakan Pasca Pajanan
Kategori I – Menyentuh atau memberi makan hewan, menjilat pada kulit utuh (tidak ada paparan)
Tak perlu tindakan
Kategori II – Gigitan pada kulit, goresan kecil atau lecet tanpa pendarahan
Segera lakukan tindakan vaksinasi dan pengobatan lokal terhadap luka
Kategori III – Gigitan atau goresan transdermal yang tunggal atau multipel, menjilat pada kulit yang rusak, Kontaminasi selaput lendir dengan air liur dari jilatan, pajatan oleh kelelawar
Segera lakukan vaksinasi dan pemberian imunoglobulin rabies, pengobatan lokal terhadap luka
Tabel : Fitur Profilaksis Pasca Pajatan Untuk Infeksi Rabies Oleh WHO
Gambar 5 : Penatalaksanaan gigitan hewan tersangka rabies
2.13 PENCEGAHAN
Pada setiap keadaan, keputusan harus dilakukan kapan memulai profilaksis rabies
pasca pemajanan. Ketika memutuskan kapan harus memberikan profilaksis rabies, digunakan
pertimbangan berikut: (1) apakah individu mengalami kontak fisis dengan saliva atau bahan
lain yang mungkin mengandung virus rabies, (2) apakah rabies diketahui atau diduga pada
spesies dan area yang dihubungkan dengan pemajanan (misalnya, semua individu dalam
kepulauan Amerika yang digigit kelelawar yang membawa virus, sebaiknya menerima
profilaksis pasca-pemajanan), (3) keadaan sekitar pemajanan, dan (4) pengobatan alternatif
dan komplikasi. 1
SMF ILMU BEDAH RSU Dr. PIRNGADI MEDAN Page 11
PENANGANAN RABIES
Jika rabies diketahui ada atau diduga ada pada spesies binatang yang terlibat
pemajanan pada manusia, binatang itu ditangkap jika mungkin. Binatang buas atau yang
sakit, binatang rumah yang tidak divaksinasi, atau yang berkeliaran yang dapat terlibat dalam
pemajanan rabies, menunjukkan tingkah laku abnormal, atau diduga gila, sebaiknya dibunuh
secara penuh perikemanusiaan, dan kepalanya segera dikirim ke laboratorium yang sesuai
untuk pemeriksaan fluororescent antibody rabies. Jika pemeriksaan otak dengan teknik
fluororescent antibody negatif untuk rabies, dapat disimpulkan bahwa saliva tidak
mengandung virus, dan orang yang terkena tidak perlu diobati.1
Jika anjing atau kucing yang sehat menggigit orang, maka binatang itu ditangkap,
diisolasi dan diobservasi selama 10 hari. Jika timbul penyakit atau tingkah laku yang
abnormal pada binatang itu selama periode observasi, binatang itu dibunuh untuk
pemeriksaan fluororescent antibody. Bukti percobaan dan epidemiologik menunjukkan
bahwa binatang yang tetap sehat selama 10 hari setelah gigitan tidak akan menularkan virus
rabies rabies pada waktu menggigit.
Penanganan luka
Pengobatan lokal luka gigitan adalah faktor penting dalam pencegahan rabies. Luka
gigitan harus segera dicuci dengan sabun, dilakukan debridemen dan diberikan desinfektan
seperti alkohol 40-70%, atau larutan ephiran 0.1%. Luka akibat gigitan binatang penular
rabies tidak dibenarkan untuk dijahit kecuali bila keadaan memaksa dapat dilakukan jahitan
sementara (bila terjadi pendarahan hebat). Profilaksis tetanus dapat diberikan dan infeksi
bakterial yang berhubungan dengan luka gigitan perlu diberikan antibiotik.4
Profilaksis pasca – paparan
Dasar vaksinasi post-exposure (pasca paparan) adalah dengan neutralizing antibody
terhadap virus rabies agar antibodi terhadap rabies dapat segera terbentuk dalam serum
setelah masuknya virus kedalam tubuh dan antibodi sebaiknya terdapat dalam titer yang
cukup tinggi selama setahun sehubungan dengan panjangnya inkubasi penyakit. neutralizing
antibody tersebut dapat berasal dari imunisasi pasif dengan serum antirabies atau secara aktif
diproduksi oleh tubuh oleh karena imunisasi aktif.1
Secara garis besar ada 2 tipe vaksin anti rabies (VAR) yaitu a). Nerve Tissue Vaccine
(NTV); b). Non Nerve Tissue Vaccine (Duck Embryo Vaccine = DEV) dan vaksin yang
berasal dari biakan jaringan seperti Human Diploid Cell Vaccine (HDCV) dan Purified Vero
Cell Rabies Vaccine (PVRV).4
SMF ILMU BEDAH RSU Dr. PIRNGADI MEDAN Page 12
PENANGANAN RABIES
Pada luka gigitan yang ringan pemberian vaksin saja sudah cukup tetapi pada semua
kasus gigitan yang parah dan semua gigitan binatang liar yang biasanya menjadi vektor
rabies, kombinasi vaksin dan serum anti rabies (SAR) adalah yang paling ideal dan
memberikan proteksi yang jauh lebih baik dibandingkan dengan vaksin saja.4
Cara vaksinasi pasca paparan yang dilakukan pada paparan yang ringan berupa
pemberian VAR secara intramuskuler pada otot deltoid atau anterolateral paha dengan dosis
0.5 mL pada hari 0, 3, 7, 14, 28 (regimen Essen/rekomendasi WHO), atau pemberian VAR
0.5 mL pada hari 0, 7, 21 (regimen Zagreb/rekomendasi Depkes RI). Pada orang yang sudah
mendapat vaksin rabies dalam waktu 5 tahun terakhir, bila digigit binatang tersangka rabies,
vaksin cukup diberikan 2 dosis pada hari 0 dan 3, namun bila gigitan dikategorikan berat,
vaksin diberikan lengkap. Pada luka gigitan yang parah, gigitan leher ke atas, pada jari tangan
dan genitalia diberikan SAR 20 IU per kilogram berat badan dosis tunggal. Cara pemberian
SAR adalah setengah dosis infiltrasi pada daerah luka dan setengah dosis intramuskuler pada
tempat yang berlainan dengan suntikan SAR, diberikan pada hari yang sama dengan dosis
pertama SAR.4
Profilaksis pra-pemajanan
Individu dengan resiko kontak dengan virus rabies tinggi seperti dokter hewan,
penyelidik gua (arkeolog), pekerja laboratorium dan pelatih binatang, sebaiknya mendapat
profilaksis pra-pemajanan dengan vaksin rabies. Wisatawan yang akan berkunjung ke daerah-
daerah endemis seperti Meksiko, Thailand, Filipina, India, Sri Lanka dianjurkan
mendapatkan pencegahan pre-exposure. Vaksin anti rabies diberikan dengan dosis 1 mL
secara intramuskuler pada hari ke 0, 7, dan 28 lalu booster setelah 1 tahun dan tiap 5 tahun.4
Efek samping/komplikasi vaksinasi
Vaksin anti rabies di samping memberikan perlindungan terhadap rabies juga dapat
memberikan macam-macam reaksi negatif pada tubuh manusia yaitu reaksi lokal, berupa
udem, gatal-gatal, eritema dan rasa sakit pada tempat suntikan serta reaksi umum berupa
panas, malaise, mual muntah, diare dan mialgia. Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian
kompres lokal pada tempat suntikan, anti histamin dan antipiretik.4
Komplikasi neurologi yang cukup berbahaya adalah ensephalomielitis dengan gejala
sakit kepala mendadak, panas, muntah, paresis, paralisis, parestesia, kaku kuduk, ataksia dan
kejang. Komplikasi ini biasanya terjadi pada vaksinasi dengan NTV yang berkaitan dengan
protein myelin yang bersifat ensefalitogenik dan terjadi hipersensitivitas terhadap jaringan
SMF ILMU BEDAH RSU Dr. PIRNGADI MEDAN Page 13
PENANGANAN RABIES
saraf. Pada vaksin generasi baru (PRCV) tidak pernah dilaporkan lagi komplikasi
ensefalomielitis.4
SAR dapat memberikan efek samping berupa reaksi anafilaksis dan serum sickness.
Reaksi anafilaksis ditangani dengan pemberian adrenalin dan serum sickness diatasi dengan
pemberian kortikosteroid dan antihistamin.4
Dosis booster HDCV disertai demam, sakit kepala, nyeri otot dan sendi pada sekitar
20% resipien. Reaksi-reaksi ini akan sembuh dengan sendirinya.1
2.14 PROGNOSIS
Kematian karena infeksi virus rabies boleh dikatakan 100% bila virus sudah mencapai
sistem saraf pusat. Dari tahun 1857 sampai tahun 1972 dari kepustakaan dilaporkan 10 pasien
yang sembuh dari rabies namun sejak tahun 1972 hingga sekarang belum ada pasien rabies
yang dilaporkan hidup. Prognosis seringkali fatal karena sekali gejala rabies telah tampak
hampir selalu kematian terjadi 2-3 hari sesudahnya sebagai akibat gagal nafas/henti jantung
ataupun paralisis generalisata.
Berbagai penelitian dari tahun 1986 hingga 2000 yang melibatkan lebih dari 800
kasus gigitan anjing pengidap rabies di negara endemis yang segera mendapat perawatan
luka, pemberian VAR dan SAR, mendapatkan angka survival 100%.4
Gambar 5. Rabies Secara Umum
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Rabies merupakan penyakit virus akut dari sistem saraf pusat yang mengenai semua
mamalia dan ditularkan oleh sekresi yang terinfeksi biasanya saliva.
SMF ILMU BEDAH RSU Dr. PIRNGADI MEDAN Page 14
PENANGANAN RABIES
2. Sebagian besar pemajanan terhadap rabies melalui gigitan binatang yang terinfeksi, tapi
kadang transplantasi jaringan yang terinfeksi dapat memulai proses penyakit.
3. Distribusi rabies tersebar di seluruh dunia dan hanya beberapa negara yang bebas rabies.
4. Di Indonesia sampai akhir tahun 1977 rabies tersebar di 20 provinsi dan 7 provinsi.
dinyatakan bebas rabies adalah Bali, NTB, NTT, Maluku, Irian Jaya dan Kalimantan
Barat. Data tahun 2001 menunjukkan terdapat 7 provinsi yang bebas rabies adalah Jawa
tengah, Jawa timur, Kalimantan Barat, Bali, NTB, Maluku dan Irian Jaya.
5. Infeksi terjadi biasanya melalui kontak dengan binatang seperti anjing, kucing, kera,
serigala, kelelawar dan ditularkan ke manusia melalui gigitan binatang atau kontak virus
(saliva binatang) dengan luka pada host ataupun melalui membran mukosa.
6. Manifestasi klinis rabies dapat dibagi menjadi 4 stadium: (1) prodromal non spesifik, (2)
ensefalitis akut yang mirip dengan ensefalitis virus lain. (3) disfungsi pusat batang otak
yang mendalam yang menimbulkan gambaran klasik ensefalitis rabies, dan (4) koma
rabies yang mendalam.
7. Tidak ada terapi untuk penderita yang sudah menunjukkan gejala rabies; penanganan
hanya berupa tindakan suportif dalam penanganan gagal jantung dan gagal nafas.
Walaupun tindakan perawatan intensif umumnya dilakukan, hasilnya tidak
menggembirakan. perawatan intensif hanyalah metode untuk memperpanjang dan bila
mungkin menyelamatkan hidup pasien dengan mencegah komplikasi respirasi dan
kardiovaskuler yang sering terjadi.
8. Kematian karena infeksi virus rabies boleh dikatakan 100% bila virus sudah mencapai
sistem saraf pusat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal PPM & PPL tahun 2000. Dalam :Petunjuk
Pemberantasan Rabies di Indonesia. Filetype : PDF
2. Repository USU. Dalam : Rabies. Filetype : PDF
SMF ILMU BEDAH RSU Dr. PIRNGADI MEDAN Page 15
PENANGANAN RABIES
3. Ida Lestari Soedijar dan Dewa Made Ngurah Dharma. Dalam : Review Rabies. Filetype :
4. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal PPM & PL Tahun 2000. Dalam : Petunjuk
Perencanaan dan Penatalaksanaan Kasus Hewan Tersangka/Rabies di Indonesia. Filetype :
5. Centers for Disease Control and Prevention. In : Rabies. Available from : http://www.cdc.gov/rabies/
6. Mayo Clinic. In : Rabies. Available from : http://www.mayoclinic.com/health/rabies/DS00484
7. PubMed Health. In : Rabies. Available from : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0002310/
SMF ILMU BEDAH RSU Dr. PIRNGADI MEDAN Page 16
Top Related