J-HES Jurnal Hukum Ekonomi Syariah
Volume 2 | Nomor 2 | Juli-Desember 2018
p-ISSN: 2549-4872 │ e-ISSN: 2654-4970
PENANGANAN PEMBIYAAN BERMASALAH PADA BANK SYARIAH
Sitti Saleha Madjid
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta || [email protected]
Abstrak
Tujuan daripada penulisan ini untuk memahami pembiyaan bermasalah pada
perbankkan syariah, beserta bagaimana cara menanganinya. Metode
penulisannya yaitu kualitatif literatur, dengan mengumpulkan referensi dari
literatur serta undang –undang dan peraturan pemerintah mengenai perbankkan.
Dari penelusuran yang diadakan ditemukan kesimpulan. Adanya pembiayaan
bermasalah pada bank syariah akan berakibat pada berkurang atau menurunnya
pendapatan bank. Dari sisi nasional dapat mengurangi kontribusi bank dalam
melakukan fungsi intermediarinya sehingganya tidak dapat memberikan
kontribusi pada pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.
Penanggulangan pembiayaan bermasalah dapat dilakukan melalui penyelesaian
oleh bank sendiri secara bertahap dengan pendekatan persuasif. Bila tahap
pertama tersebut telah dilakukan, maka dapat digunakan langkah dan tahapan
berikutnya antara lain penyelesaian melalui debt collector, penyelesaian melalui
Kantor Lelang, penyelesaian melalui badan peradilan (al-qadha), penyelesaian
melalui badan arbitrase (tahkim) dan Penyelesaian melalui Direktorat Jenderal
Piutang dan Lelang Negara (DJPLN) untuk bank-bank BUMN.
Kata Kunci: Pembiayaan Bermasalahah, Bank Syariah
J-HES Jurnal Hukum Ekonomi Syariah
Volume 2, No. 1, Januari-Juni 2018 | p-ISSN: 2549-4872 | e-ISSN: 2654-4970
Penanganan Pembiyaan Bermasalah pada Bank Syariah | 96
Abstract
The purpose of this writing is to understand the problematic financing of
sharia banking, along with how to handle it. The writing method is
qualitative literature, by collecting references from the literature and
laws and government regulations regarding banking. From the searches
were found conclusions. The existence of non-performing financing in
Islamic banks will result in reduced or decreased bank income. From the
national side, it can reduce the contribution of banks in carrying out their
intermediary functions so that they cannot contribute to the development
and economic growth.
Tackling problematic financing can be done through a gradual
settlement by the bank itself with a persuasive approach. If the first stage
has been carried out, then the next steps and steps can be used, among
others, settlement through debt collector, settlement through the Auction
Office, settlement through the judiciary (al-qadha), settlement through
the arbitration body (tahkim) and Settlement through the Directorate
General of Debt and State Auction (DJPLN) for state-owned banks.
Keywords: Problematic Financing, Islamic Bank
PENDAHULUAN
entuk penilaian tingkat
kesehatan dari suatu bank
antara lain dapat dilihat dari
perkembangan aktiva produktif
bermasalah dibandingkan dengan aktiva
produktif yang dimilikinya. Secara
kuantitatif perbandingan tersebut
umumnya diwujudkan dalam bentuk
rasio pembiayaan aktiva bermasalah
atau sering diistilahkan dengan
pembiayaan bermasalah (non
performing financings-NPFs), yang di
bank konvensional sering disebut
dengan non-performing loan (NPL).
Rasio pembiayaan bermasalah ini
menjadi salah satu indikator penilaian
terhadap perbankan syariah dalam
mengelola penyaluran pembiayaannya.
Menurut Bank Indonesia, suatu
bank dikatakan sehat ketika rasio
pembiayaan bermasalahnya berada di
bawah 5 persen. Pada Desember 2015,
secara kumulatif rasio pembiayaan
bermasalah pada Bank Umum Syariah
(BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS)
tercatat sebesar 4,84 persen atau Rp
7,456 triliun dari total pembiayaan Rp
153,968 triliun. Dibandingkan dengan
tahun sebelumnya NPF bank syariah
mengalami penurunan tipis. Pada
Desember 2014 NPF BUS dan UUS
B
J-HES Jurnal Hukum Ekonomi Syariah
Volume 2, No. 2, Juli-Desember 2018 | p-ISSN: 2549-4872 | e-ISSN: 2654-4970
97 | Sitti Salehah Madjid
tercatat 4,95 persen, atau Rp 7,320
triliun dari total pembiayaan Rp
147,944 triliun (Otoritas Jasa
Keuangan, 2015,16), Sedangkan untuk
BPRS, NPF tahun 2015 mengalami
kenaikan dibanding 2014. Apabila pada
tahun 2014, total NPF BPRS sebesar
7,89 persen dari total pembiayaan
sebesar 5.004.909 juta, maka pada akhir
2015, NPFnya sebesar 8,20% dari total
pembiayaan sebesar 5,765,171 juta.
(Otoritas Jasa Keuangan, 2015,16)
Sebagaimana dimaklumi bahwa
tujuan Bank memberikan pembiayaan
antara lain untuk memperoleh imbalan
atau pendapatan. Dari pendapatan yang
diperoleh tersebut, akan dipakai oleh
bank untuk keperluan pemberian
imbalan kepada nasabah yang
menempatkan dana pada bank,
membayar biaya-biaya operasional
bank, membentuk cadangan kerugian,
dan memberikan dividen kepada
pemegang saham bank. Dengan adanya
kegagalan tersebut maka tujuan dari
pembiayaan berupa kemanfaatan bagi
bank dan nasabah penyimpan dana serta
meningkatkan pertumbuhan ekonomi
nasional akan mengalami disfungsi.
Oleh karena itu, dikaitkan
dengan tujuan dan kemanfaatan dari
adanya pemberian pembiayaan tersebut,
adanya pembiayaan bermasalah akan
menjadi persoalan besar ketika
penanganan dan penyelesaiannya tidak
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Berkaitan dengan hal tersebut, dalam
tulisan ini akan membahas persoalan -
persoalan penyelamatan dan
penyelesaian pembiayaan bermasalah
yang dapat dilakukan oleh bank-bank
khususnya oleh bank-bank syariah.
PEMBAHASAN
1. Pengertian Pembiayaan dan
Pembiyaan Bermasalah
Berdasarkan Pasal 1 butir 25 UU
No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah, yang dimaksud dengan
Pembiayaan adalah penyediaan dana
atau tagihan yang dipersamakan dengan
itu berupa:
a. transaksi bagi hasil dalam bentuk
Mudharabah dan Musyarakah;
b. transaksi sewa-menyewa dalam
bentuk Ijarah atau sewa beli dalam
bentuk Ijarah Muntahiyah bit
Tamlik;
c. transaksi jual beli dalam bentuk
piutang Murabahah, Salam, dan
Istishna’;
d. transaksi pinjam meminjam dalam
bentuk piutang Qardh; dan
J-HES Jurnal Hukum Ekonomi Syariah
Volume 2, No. 1, Januari-Juni 2018 | p-ISSN: 2549-4872 | e-ISSN: 2654-4970
Penanganan Pembiyaan Bermasalah pada Bank Syariah | 98
e. transaksi sewa-menyewa jasa dalam
bentuk ijarah untuk transaksi
multijasa.
Berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan antara Bank Syariah
dan/atau UUS dan pihak lain yang
mewajibkan pihak yang dibiayai
dan/atau diberi fasilitas dana untuk
mengembalikan dana tersebut setelah
jangka waktu tertentu dengan imbalan
ujrah, tanpa imbalan atau bagi hasil.
Dari ketentuan peraturan
perundang-undangan di atas dapat
disimpulkan bahwa setiap nasabah bank
syariah yang mendapat pembiayaan dari
bank syariah apapun jenisnya, setelah
jangka waktu tertentu wajib untuk
mengembalikan pembiayaan tersebut
kepada bank syariah berikut imbalan
atau bagi hasil atau tanpa imbalan untuk
transaksi dalam bentuk qard.
Sedangkan yang dimaksud
dengan “pembiayaan bermasalah” atau
dalam bahasa Inggris disebut Non
Performing Financings (NPFs), sama
dengan Non Performing Loan (NPL)
untuk fasilitas kredit, yang merupakan
rasio pembiayaan bermasalah terhadap
total pembiayaan, adalah pembiayaan
yang kualitasnya berada dalam
golongan kurang lancar, diragukan,
dan macet. Dalam pengertian lain,
pembiayaan bermasalah/ NPFs adalah
Pembiayaan Non-Lancar mulai dari
kurang lancar sampai dengan macet.
2. Penetapan Kualitas Pembiayaan
Berdasarkan ketentuan Bank
Indonesia, kualitas pembiayaan dinilai
berdasarkan aspek-aspek prospek
usaha, kinerja (performance) nasabah,
dan kemampuan membayar atau
kemampuan menyerahkan barang
pesanan. (Pasal 9 PBI No.
8/21/PBI/2006 dan PBI No.
10/24/PBI/2008). Atas dasar penilaian
aspek-aspek tersebut, kualitas
pembiayaan ditetapkan menjadi 5 (lima)
golongan yaitu Lancar (current), Dalam
Perhatian Khusus (under special
mention), Kurang Lancar
(substandard), Diragukan (doubtful),
dan Macet (loss).
Dalam praktik perbankan
kualitas pembiayaan untuk golongan
lancar disebut golongan I (satu), untuk
golongan dalam perhatian khusus
disebut golongan II (dua), untuk
golongan kurang lancar disebut
golongan III (tiga), untuk golongan
diragukan disebut golongan IV (empat)
dan untuk golongan macet disebut
golongan V (lima).
J-HES Jurnal Hukum Ekonomi Syariah
Volume 2, No. 2, Juli-Desember 2018 | p-ISSN: 2549-4872 | e-ISSN: 2654-4970
99 | Sitti Salehah Madjid
Kriteria komponen dari aspek
penetapan penggolongan kualitas
pembiayaan untuk bank syariah ini
diatur secara berbeda berdasarkan
pengelompokan produk pembiayaan.
(Lampiran I Surat Edaran Bank
Indonesia No. 8/22/DPbS tanggal 18
Oktober 2006). Pengelompokan
tersebut adalah sebagai berikut:
1) Penggolongan Kualitas
Mudharabah dan Musyarakah;
2) 2) Penggolongan Kualitas
Murabahah, Istishna, Qardh, dan
Transaksi Multijasa;
3) Penggolongan Kualitas Ijarah atau
Ijarah Muntahiyah bi Tamlik; dan
4) Penggolongan Kualitas Salam.
Komponen penilaian terhadap
masing-masing aspek kualitas
pembiayaan sesuai dengan masing-
masing produk pembiayaan, diuraikan
dalam komponen-komponen sebagai
berikut:
a. Aspek prospek usaha meliputi
komponen-komponen:
1) potensi pertumbuhan usaha;
2) kondisi pasar dan posisi nasabah
dalam persaingan;
3) kualitas manajemen dan
permasalahan tenaga kerja;
4) dukungan dari group atau
afiliasi; serta
5) upaya yang dilakukan nasabah
dalam rangka memelihara
lingkungan hidup (bagi nasabah
berskala besar yang memiliki
dampak penting terhadap
lingkungan hidup).
b. Aspek kinerja (performance)
nasabah meliputi komponen-
komponen sbb:
1) perolehan laba;
2) struktur permodalan;
3) arus kas; dan
4) sensitivitas terhadap risiko
pasar.
c. Aspek kemampuan membayar/
kemampuan menyerahkan barang
pesanan meliputi penilaian terhadap
komponen-komponen sbb:
1) ketepatan pembayaran pokok
dan marjin/bagi hasil/fee;
2) ketersediaan dan keakuratan
informasi keuangan nasabah;
3) kelengkapan dokumentasi
Pembiayaan; kepatuhan
terhadap perjanjian Pembiayaan;
4) kesesuaian penggunaan dana;
dan
5) kewajaran sumber pembayaran
kewajiban
Selanjutnya untuk menetapkan
golongan kualitas pembiayaan, pada
masing-masing komponen ditetapkan
kriteria/kriteria-kriteria tertentu untuk
masing-masing kelompok produk
pembiayaan (contoh dalam tabel).
(Lihat Lampiran I SEBI No. 8/22/DPbS
tgl 18 Oktober 2006) Sebagai contoh
untuk produk murabahah, dari aspek
J-HES Jurnal Hukum Ekonomi Syariah
Volume 2, No. 1, Januari-Juni 2018 | p-ISSN: 2549-4872 | e-ISSN: 2654-4970
Penanganan Pembiyaan Bermasalah pada Bank Syariah | 100
kemampuan membayar angsuran
nasabah maka pembiayaan digolongkan
kepada:
a. Lancar
Apabila pembayaran angsuran
tepat waktu, tidak ada tunggakan, sesuai
dengan persyaratan akad, selalu
menyampaikan laporan keuangan
secara teratur dan akurat, serta
dokumentasi perjanjian piutang lengkap
dan pengikatan agunan kuat.
b. Dalam Perhatian Khusus
Apabila terdapat tunggakan
pembayaran angsuran pokok dan atau
margin sampai dengan 90 (sembilan
puluh) hari, selalu menyampaikan
laporan keuangan secara teratur dan
akurat, dokumentasi perjanjian piutang
lengkap dan pengikatan agunan kuat,
serta pelanggaran terhadap persyaratan
perjanjian piutang yang tidak prinsipil.
c. Kurang Lancar
Apabila terdapat tunggakan
pembayaran angsuran pokok dan atau
margin yang telah melewati 90
(sembilan puluh) hari sampai dengan
180 (seratus delapan puluh) hari,
penyampaian laporan keuangan tidak
teratur dan meragukan, dokumentasi
perjanjian piutang kurang lengkap dan
pengikatan agunan kuat, terjadi
pelanggaran terhadap persyaratan
pokok perjanjian piutang, dan berupaya
melakukan perpanjangan piutang untuk
menyembunyikan keseulitan keuangan.
d. Diragukan
Apabila terdapat tunggakan
pembayaran angsuran pokok dan atau
margin yang telah melewati 180 (seratus
delapan puluh) hari sampai dengan 270
(dua ratus tujuh puluh) hari. Nasabah
tidak menyampaikan informasi
keuangan atau tidak dapat dipercaya,
dokumentasi perjanjian piutang tidak
lengkap dan pengikatan agunan lemah
serta terjadi pelanggaran yang prinsipil
terhadap persyaratan pokok perjanjian
piutang.
e. Macet
Apabila terdapat tunggakan
pembayaran angsuran pokok dan atau
margin yang telah melewati 270 (dua
ratus tujuh puluh) hari, dan dokumentasi
perjanjian piutang dan atau pengikatan
agunan tidak ada.
J-HES Jurnal Hukum Ekonomi Syariah
Volume 2, No. 2, Juli-Desember 2018 | p-ISSN: 2549-4872 | e-ISSN: 2654-4970
101 | Sitti Salehah Madjid
Tabel 1:
Contoh Kriteria Penilaian Kualitas Pembiayaan Dari Segi Kemampuan Bayar
Berdasarkan Kelompok Produk Pembiayaan
Jenis
Pembiaya
an
Lancar DPK Kurang
Lancar
Diragukan Macet
Mudharab
ah&
Musyaraka
h
Pembayaran
angsuran
pokok
pembiayaan
tepat waktu;
dan atau RP
sama atau
lebih dari 80
% PP
Terdapat
tunggakan
angsuran
pokok
pembiayaan
sampai
dengan 90
hari; dan atau
RP sama atau
lebih dari
80% PP
Terdapat
tunggakan
angsuran
pokok
pembiayaan
yang telah
melampaui 90
hari; dan atau
RP di atas 30
% PP s/d 80 %
PP
(30%PP<RP<8
0%PP)
Terdapat
tunggakan
angsuran
pokok
pembiayaan
yang telah
melampaui
120 hari s/d
180 hari; dan
atau RP< 30
% PP s/d 3
periode
pembayaran
Terdapat
tunggakan
angsuran
pokok
pembiayaan
yang telah
melampaui
180 hari; dan
atau RP < 30
% PP lebih
dari 3 periode
pembayaran
Murabahah
, Istihna,
Qardh,
Multijasa
Pembayaran
angsuran
tepat waktu
dan tidak ada
tunggakan
serta sesuai
dengan
persyaratan
akad
Terdapat
tunggakan
pembayaran
angsuran
pokok dan
atau margin
s/d 90 hari
Terdapat
tunggakan
pembayaran
angsuran
pokok dan atau
margin yang
telah melewati
90 hari s/d 180
hari
Terdapat
tunggakan
pembayaran
angsuran
pokok dan
atau margin
yang telah
melewati 180
hari s/d 270
hari
Terdapat
tunggakan
pembayaran
angsuran
pokok dan
atau margin
yang telah
melewati 270
hari.
IJARAH Pembayaran
sewa tepat
waktu
Terdapat
tunggakan
sewa s/d 90
hari
Terdapat
tunggakan
sewa yang
telah melewati
90 hari s/d 180
hari
Terdapat
tunggakan
sewa yang
telah
melewati 180
hari s/d 270
hari
Terdapat
tunggakan
sewa yang
telah
melampaui
270 hari
SALAM Piutang salam
belum jatuh
tempo
Piutang salam
telah jatuh
Itempo s/d 90
hari
Piutang salam
telah jatuh
tempo s/d 60
hari
Piutang Salam
telah jatuh
tempo s/d 90
hari
Piutang Salam
telah jatuh
tempo
melebihi 90
hari
J-HES Jurnal Hukum Ekonomi Syariah
Volume 2, No. 1, Januari-Juni 2018 | p-ISSN: 2549-4872 | e-ISSN: 2654-4970
Penanganan Pembiyaan Bermasalah pada Bank Syariah | 102
3. Sebab-Sebab Pembiyaan
Bermasalah
Berdasarkan Pasal 23 dan
Penjelasan Pasal 37 ayat (1) UU No. 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah,
dapat disimpulkan bahwa Penyaluran
dana oleh Bank Syariah mengandung
risiko kegagalan atau kemacetan dalam
pelunasannya, sehingga dalam
pelaksanaannya bank harus benar-benar
memperhatikan asas-asas penyaluran
dana/pembiayaan yang sehat.
Apabila bank tidak
memperhatikan asas-asas pembiayan
yang sehat dalam menyalurkan
pembiayaannya, maka akan timbul
berbagai risiko yang harus ditanggung
oleh bank antara lain berupa:
a. Hutang/ kewajiban pokok
pembiayaan tidak dibayar;
b. Margin / Bagi hasil / fee tidak
dibayar;
c. Membengkaknya biaya yang
dikeluarkan;
d. Turunnya kesehatan pembiayaan
(finance soundness).
Risiko-risiko tersebut dapat
mengakibatkan timbulnya pembiayaan
bermasalah (non performing
financings/NPFs), yang pada akhirnya
dapat menurunkan tingkat kesehatan
bank dan juga akan berpengaruh pula
kepada keamanan dana masyarakat
yang ada di bank tersebut. Oleh
karenanya, memahami sebab-sebab
timbulnya pembiayaan bermasalah
menjadi hal yang penting.
Secara umum pembiayaan
bermasalah dapat terjadi karena
disebabkan oleh faktor-faktor intern
dan faktor-faktor ektern. Faktor Intern
adalah faktor yang ada di dalam
perusahaan sendiri, dan faktor utama
yang paling dominan adalah faktor
manajerial. Misalnya kelemahan dalam
kebijakan pembelian dan penjualan,
lemahnya pengawasan biaya dan
pengeluaran, kebijakan piutang yang
kurang tepat, penempatan yang
berlebihan pada aktiva tetap, dan
permodalan yang tidak cukup. Faktor
Ektern adalah faktor-faktor yang berada
di luar kekuasaan manajemen
perusahaan, seperti bencana alam,
peperangan, perubahan dalam kondisi
perekonomian dan perdagangan,
perubahan-perubahan teknologi, dan
lain-lain. ( Zainul Arifin, 2002, 244)
Untuk menentukan langkah
yang perlu diambil dalam menghadapi
pembiayaan bermasalah terlebih dahulu
perlu diteliti sebab-sebab terjadinya
pembiayaan bermasalah.
J-HES Jurnal Hukum Ekonomi Syariah
Volume 2, No. 2, Juli-Desember 2018 | p-ISSN: 2549-4872 | e-ISSN: 2654-4970
103 | Sitti Salehah Madjid
Bila pembiayaan bermasalah
disebabkan oleh faktor eksternal seperti
bencana alam, bank tidak perlu lagi
melakukan analisis lebih lanjut. Yang
perlu adalah bagaimana membantu
nasabah untuk segera memperoleh
penggantian dari perusahaan asuransi.
Yang perlu diteliti adalah faktor
internal, yaitu yang terjadi karena
sebab-sebab manajerial. Bila bank telah
melakukan pengawasan secara seksama
dari bulan ke bulan, dari tahun ke tahun,
lalu timbul pembiayaan bermasalah,
sedikit banyak terkait pula dengan
kelemahan pengawasan itu sendiri.
Kecuali apabila aktivitas pengawasan
telah dilaksanakan dengan baik, masih
juga terjadi kesulitan keuangan, perlu
diteliti sebab-sebab pembiayaan
bermasalah secara lebih mendalam.
Mungkin kesulitan itu disengaja oleh
manajemen perusahaan, yang berarti
pengusaha telah melakukan hal-hal
yang tidak jujur.
4. Upaya-upaya untuk
Mengantisipasi Risiko
Pembiayaan Bermasalah/Macet
Secara garis besar,
penanggulangan pembiayaan
bermasalah dapat dilakukan melalui
upaya-upaya yang bersifat preventif dan
upaya-upaya yang bersifat represif /
kuratif.
Upaya-upaya yang bersifat
preventif (pencegahan) dilakukan oleh
bank sejak permohonan pembiayaan
diajukan nasabah, pelaksanaan analisa
yang akurat terhadap data pembiayaan,
pembuatan perjanjian pembiayaan yang
benar, pengikatan agunan yang
menjamin kepentingan bank, sampai
dengan pemantauan atau pengawasan
terhadap pembiayaan yang diberikan.
Sedangkan upaya-upaya yang
bersifat represif / kuratif adalah upaya-
upaya penanggulangan yang bersifat
penyelamatan atau penyelesaian
terhadap pembiayaan bermasalah (non
performing financings/NPFs).
5. Penyelamatan Pembiayaan
Bermasalah
Penyelamatan pembiayaan
adalah istilah teknis yang biasa
dipergunakan dikalangan perbankan
terhadap upaya dan langkah-langkah
yang dilakukan bank dalam usaha
mengatasi permasalahan pembiayaan
yang dihadapi oleh debitur yang masih
memiliki prospek usaha yang baik.
Namun mengalami kesulitan
pembayaran pokok dan/atau kewajiban-
J-HES Jurnal Hukum Ekonomi Syariah
Volume 2, No. 1, Januari-Juni 2018 | p-ISSN: 2549-4872 | e-ISSN: 2654-4970
Penanganan Pembiyaan Bermasalah pada Bank Syariah | 104
kewajiban lainnya, agar debitur dapat
memenuhi kembali kewajibannya.
Dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku bagi bank yang
melaksanakan kegiatan berdasarkan
prinsip syariah, terdapat beberapa
ketentuan Bank Indonesia yang
memberikan pengertian tentang
restrukturisasi pembiayaan, yaitu:
a. Peraturan Bank Indonesia
No.10/18/PBI/2008 tentang
Restrukturisasi Pembiayaan bagi
Bank Syariah dan Unit Usaha
Syariah, sbb:
Restrukturisasi Pembiayaan adalah
upaya yang dilakukan oleh Bank
dalam rangka membantu nasabah
agar dapat menyelesaikan
kewajibannya, antara lain melalui:
1) Penjadwalan kembali
(rescheduling), yaitu
perubahan jadwal pembayaran
kewajiban nasabah atau jangka
waktunya;
2) Persyaratan kembali
(reconditioning), yaitu
perubahan sebagian atau
seluruh persyaratan
Pembiayaan, antara lain
perubahan jadwal pembayaran,
jumlah angsuran, jangka waktu
dan/atau pemberian potongan
sepanjang tidak menambah
sisa kewajiban nasabah yang
harus dibayarkan kepada Bank;
b. Penataan kembali (restructuring),
yaitu perubahan persyaratan
Pembiayaan tidak terbatas pada
rescheduling atau reconditioning.
c. Peraturan Bank Indonesia
No.8/12/PBI/2006 tanggal 10 Juli
2006 tentang Laporan Berkala
Bank Umum, Penjelasan Pasal 2
ayat (4) huruf g :
“Restrukturisasi Pembiayaan
adalah upaya perbaikan yang
dilakukan bank dalam kegiatan
pembiayaan, piutang, dan atau
ijarah terhadap debitur yang
mengalami kesulitan untuk
memenuhi kewajibannya.”
d. PBI No 8/21/PBI/2006 tgl 5
Oktober 2006 tentang Penilaian
Kualitas Aktiva Bank Umum Yang
Melaksanakan Kegiatan Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah, Pasal
1 butir 31:
“Restrukturisasi Pembiayaan
adalah upaya perbaikan yang
dilakukan Bank dalam kegiatan
Penyediaan Dana terhadap
nasabah yang mengalami
kesulitan untuk memenuhi
kewajibannya dengan mengikuti
ketentuan yang berlaku yaitu
fatwa Dewan Syariah Nasional
dan Standar Akuntansi
J-HES Jurnal Hukum Ekonomi Syariah
Volume 2, No. 2, Juli-Desember 2018 | p-ISSN: 2549-4872 | e-ISSN: 2654-4970
105 | Sitti Salehah Madjid
Keuangan yang berlaku bagi
bank syariah.”
Dari berbagai ketentuan Bank
Indonesia di atas dapat disimpulkan
bahwa berdasarkan tujuannya,
penyelamatan pembiayaan merupakan
upaya dan langkah-langkah
restrukturisasi yang dilakukan bank
dengan mengikuti ketentuan yang
berlaku agar pembiayaan non lancar
(golongan kurang lancar, diragukan dan
macet) dapat menjadi atau secara
bertahap menjadi golongan lancar
kembali.
Bentuk-bentuk Restrukturisasi
Dalam Rangka Penyelamatan
Pembiayaan Bermasalah, dari
ketentuan-ketentuan Bank Indonesia
pada uraian di atas, restrukturisasi
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah
meliputi :
a) penurunan imbalan atau bagi hasil;
b) pengurangan tunggakan imbalan
atau bagi hasil;
c) pengurangan tunggakan pokok
pembiayaan;
d) perpanjangan jangka waktu
pembiayaan;
e) penambahan fasilitas pembiayaan;
f) pengambialihan aset debitur sesuai
dengan ketentuan yang berlaku;
g) konversi pembiayaan menjadi
penyertaan pada perusahaan
debitur.
Di samping itu, sebagai contoh,
berdasarkan Penjelasan Pasal 46 ayat
(3) PBI No 8/21/PBI/2006, upaya dan
mekanisme restrukturisasi pembiayaan
dilakukan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku yang antara lain untuk
Murabahah bisa dilakukan dengan
memberi potongan dari total kewajiban
pembayaran, penjadwalan kembali, dan
konversi akad murabahah yang
dilaksanakan sesuai dengan fatwa
Dewan Syariah Nasional yang berlaku.
Khusus mengenai konversi akad
Murabahah, Fatwa DSN No. 49/DSN-
MUI/11/2005 antara lain menyatakan
bahwa Lembaga Keuangan Syariah
boleh melakukan konversi akad
murabahah bagi nasabah yang tidak
dapat menyelesaikan/ melunasi
pembiayaan murabahahnya sesuai
jumlah dan waktu yang telah disepakati,
tetapi ia masih prospektif, dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. Akad murabahah dihentikan
dengan cara:
1) Obyek murabahah dijual oleh
nasabah kepada LKS dengan
harga pasar;
2) Nasabah melunasi sisa
hutangnya kepada LKS dari hasil
penjualan;
J-HES Jurnal Hukum Ekonomi Syariah
Volume 2, No. 1, Januari-Juni 2018 | p-ISSN: 2549-4872 | e-ISSN: 2654-4970
Penanganan Pembiyaan Bermasalah pada Bank Syariah | 106
3) Apabila hasil penjualan melebihi
sisa hutang maka kelebihan itu
dapat dijadikan uang muka untuk
akad ijarah atau bagian modal
dari mudharabah dan
musyarakah;
4) Apabila hasil penjualan lebih
kecil dari sisa hutang maka sisa
hutang tetap menjadi hutang
nasabah yang cara pelunasannya
disepakati antara LKS dan
nasabah.
b. LKS dan nasabah eks-murabahah
tersebut dapat membuat akad baru
dengan akad:
1) Ijarah Muntahiyah Bit Tamlik
(IMBT) atas barang tersebut;
2) Mudharabah, atau
3) Musyarakah..
Apabila disandingkan PBI No.
8/21/PBI/2006 dengan Fatwa DSN-
MUI No. 49/DSN-MUI/11/2005 di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa
konversi akad murabahah kepada akad
pembiayaan mudharabah atau
musyarakah atau IMBT sebagaimana
disebutkan dalam fatwa, merupakan
bagian dari restrukturisasi pembiayaan
sebagaimana diatur dalam PBI No.
8/21/PBI/2006.
6. Peyelesaian Pembiayaan Macet
Penyelesaian Pembiayaan Macet
(atau ketegori Golongan V) adalah
upaya dan tindakan untuk menarik
kembali pembiayaan nasabah/debitur
dengan kategori macet, terutama yang
sudah jatuh tempo atau sudah
memenuhi syarat pelunasan.
Secara garis besar, usaha
penyelesaian pembiayaan macet dapat
dibedakan berdasarkan kondisi
hubungannya dengan nasabah debitur,
apakah ia bersikap kooperatif atau tidak.
Apabila dalam penyelesaian
pembiayaan tersebut pihak debitur
masih kooperatif, sehingga usaha
penyelesaian dilakukan secara
kerjasama antara debitur dan bank,
dalam hal ini disebut sebagai
“penyelesaian secara damai” atau
“penyelesaian secara persuasif”. Namun
apabila dalam penyelesaian pembiayaan
tersebut pihak debitur tidak kooperatif
lagi, sehingga usaha penyelesaian
dilakukan secara pemaksaan dengan
melandaskan pada hak-hak yang
dimiliki oleh bank, dalam hal ini
penyelesaian tersebut disebut
“penyelesaian secara paksa”.
Sumber-sumber penyelesaian
pembiayaan antara lain berupa:
J-HES Jurnal Hukum Ekonomi Syariah
Volume 2, No. 2, Juli-Desember 2018 | p-ISSN: 2549-4872 | e-ISSN: 2654-4970
107 | Sitti Salehah Madjid
a. Barang-barang yang dijaminkan
kepada bank. Dalam fikih
didasarkan kepada prinsip rahn.
b. Jaminan perorangan (borgtocht),
baik dari orang perorangan
maupun dari badan hukum.
Dalam fikih didasarkan kepada
prinsip kafalah.
c. Seluruh harta kekayaan debitur
dan pemberi jaminan (lihat pasal
1131 KUH Perdata), termasuk
yang dalam bentuk piutang
kepada bank sendiri (kalau ada).
Dalam fikih, hal ini antara lain
didasarkan kepada Hadis
Rasulullah Saw, sbb: Dari Ka`ab
bin Malik, “Sesungguhnya Nabi
SAW pernah menyita harta milik
Muaddz lalu beliau menjualnya
untuk membayar utangnya “ (HR.
Imam Daruquthni).
d. Pembayaran dari pihak ketiga
yang bersedia melunasi hutang
debitur. Dalam fikih didasarkan
kepada prinsip hawalah atau
kafalah.
Dengan dasar dan prinsip-
prinsip tersebut, strategi penyelesaian
pembiayaan macet yang dapat ditempuh
oleh Bank adalah berupa tindakan-
tindakan sebagai berikut:
a. Penyelesaian oleh bank sendiri
b. Penyelesaian melalui debt
collector
c. Penyelesaian melalui Kantor
Lelang
d. Penyelesaian melalui badan
peradilan (al-qadha)
e. Penyelesaian melalui badan
arbitrase (Tahkim)
f. Penyelesaian melalui Direktorat
Jenderal Piutang dan Lelang
Negara (DJPLN)
g. Penyelesaian Melalui Kejaksaan
Bagi Bank-bank BUMN
h. Kebijakan Hapus Buku dan
Hapus Tagih
KESIMPULAN
Adanya pembiayaan bermasalah
pada bank syariah secara langsung atau
tidak langsung dapat memberikan
dampak risiko bagi bank itu sendiri
maupun secara nasional. Dilihat dari
segi produktivitasnya (performance-
nya) yaitu dalam kaitannya dengan
kemampuannya menghasilkan
pendapatan bagi bank, adanya
pembiayaan bermasalah akan berakibat
pada berkurang atau menurunnya
pendapatan bank dan bahkan mungkin
sudah tidak ada lagi. Risiko lainnya
adalah adanya kewajiban bagi bank
untuk memperbesar biaya pencadangan,
yaitu pencadangan Penyisihan
Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP).
J-HES Jurnal Hukum Ekonomi Syariah
Volume 2, No. 1, Januari-Juni 2018 | p-ISSN: 2549-4872 | e-ISSN: 2654-4970
Penanganan Pembiyaan Bermasalah pada Bank Syariah | 108
Adanya PPAP yang besar, maka akan
mengurangi produktifitas dana yang
dikelola oleh bank tersebut. Sedangkan
dari segi nasional, hal tersebut akan
mengurangi kontribusi bank dalam
melakukan fungsi intermediarinya
sehingganya tidak dapat memberikan
kontribusi pada pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi.
Penanggulangan pembiayaan
bermasalah dapat dilakukan melalui
upaya-upaya yang bersifat preventif dan
upaya-upaya yang bersifat
represif/kuratif. Upaya-upaya yang
bersifat preventif (pencegahan)
dilakukan oleh bank sejak permohonan
pembiayaan diajukan nasabah sampai
dengan pemantauan atau pengawasan
terhadap pembiayaan yang diberikan.
Sedangkan upaya-upaya yang bersifat
represif/kuratif adalah upaya-upaya
penanggulangan yang bersifat
penyelamatan atau penyelesaian
terhadap pembiayaan bermasalah (non
performing financings/NPFs).
Secara garis besar, usaha
penyelesaian pembiayaan macet dapat
dilakukan melalui penyelesaian oleh
bank sendiri secara bertahap dengan
pendekatan persuasif. Bila tahap
pertama tersebut telah dilakukan, maka
dapat digunakan langkah dan tahapan
berikutnya antara lain penyelesaian
melalui debt collector, penyelesaian
melalui Kantor Lelang, penyelesaian
melalui badan peradilan (al-qadha),
penyelesaian melalui badan arbitrase
(tahkim) dan Penyelesaian melalui
Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang
Negara (DJPLN) untuk bank-bank
BUMN.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Zainul. Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah. Jakarta: Alvabet, 2002.
Chapra, Umer and Tariqullah Khan. Regulation and Supervision of Islamic Banks. Jeddah: IRTI- IDB, 2000.
Darus, Mariam. Aneka Hukum Bisnis. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997.
Djamil, Fathurrahman. Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah. Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
Fatullah Said, Abdullah as-Sattar. al-Muamalah fi al-Islam. Mekkah: Rabithah al-'Alam al-Islami, 1402H.
Imtiyazuddin Ahmad (ed.). Islamic Banking and Finance The Concept, The Practice and The Challenge. Plainfield: The Islamic Society of North Amerika 1999.
J-HES Jurnal Hukum Ekonomi Syariah
Volume 2, No. 2, Juli-Desember 2018 | p-ISSN: 2549-4872 | e-ISSN: 2654-4970
109 | Sitti Salehah Madjid
Kumpulan Fatwa Dewan Syariah Nasional
Peraturan Bank Indonesia No. 8/21/PBI/2006 tentang Kualitas Aktiva Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana diubah dengan PBI No. 9/9/PBI/2007 dan PBI No. 10/24/PBI/2008.
Peraturan Bank Indonesia No.10/18/PBI/2008 tentang Restrukturisasi Pembiayaan bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah.
Peraturan Bank Indonesia No.8/12/PBI/2006 tanggal 10 Juli 2006 tentang Laporan Berkala Bank Umum
Saeed, Abdullah. Islamic Banking and Interest : A Study of Prohibition of Riba and Its Contemporary Interpretations. Leiden : EJ. Brill, 1996.
Siamat, Dahlan. Lembaga Manajemen Keuangan. Edisi III, FE-UI, Jakarta, 2001.
Siddiqie,Moh. Nejatullah. Issues In Syariah Banking. Leicester: Syariahic Foundation, 1985.
Sjahdeini, Sutan Remy. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia. Jakarta: Inatitut Bankir Indonesia, 1993.
Sjahdeini, Sutan Remy. Kredit Sindikasi Proses Pembentukan dan Aspek Hukum. Jakarta: Grafiti, 1997.
Statistik Bank Syariah Bulan Mei 2010. www.bi.go.id.
Subekti. Aneka Perjanjian. Cet. Ke-10; Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995.
Supyadillah, Asep. Hukum Perbankan Syariah. Jakarta: Wahana Kardofa, 2013.
Surat Edaran Bank Indonesia No. 8/22/DPbS tanggal 18 Oktober 2006 tentang Penilaian Aktiva Produktiv Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana diubah dengan SEBI No. 10/36/DPbS tanggal 22 Oktober 2008.
Undang-undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Undang-undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
Undang-undang No. 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
Undang-Undang No. 49 Prp Tahun 1960 tentang Pengurusan Piutang Negara
Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006 dan UU No. 50 Tahun 2009.
Undang-Undang No. tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998.
Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
Top Related