48
BAB III PENAFSIRAN IBNU ‘ASYŪR TERHADAP AYAT-AYAT
ANTROPOMORFISME
A. Konsep Tafsīr dan Ta’w īl menurut Ibnu ‘Asy ūr
Konsep tentang tafsīr dan ta’wīl Ibnu ‘Asyūr dapat ditemukan dalam
sepuluh muqadimah pada pendahuluan kitab tafsirnya, yakni pada muqadimah
yang pertama.
Ibnu ‘Asyūr menuturkan bahwa kata “tafsīr” (�����) merupakan bentuk
maṣdar dari kata kerja“���” dengan tasydīd pada huruf sin, yang temasuk fi‘il
ṡulaṡīy mazīd bi harf kategori fi‘il bina muḍa‘af, berasal dari fi‘il ṡulaṡīy
mujarad “���” tanpa tasydīd pada huruf sin. Keduanya (“���” dan “���”) adalah
fi‘il muta‘adiy (kata kerja yang membutuhkan obyek, transitif). Kata al-fasru
“���” merupakan padanan kata al-ibānah yang berarti penjelasan atau
mengungkap sesuatu yang dimaksud dari sebuah pembicaraan atau kata-kata
dengan menggunakan ungkapan lain yang lebih memberikan pemahaman kepada
para pendengarnya.1
Kata fassara dengan tasydīd selain dimaksudkan sebagai kata kerja
transitif juga dugunakan untuk menunjukkan “sesuatu atau kegiatan yang
banyak/berulang-ulang” dalam ilmu ṣaraf disebut faidah li al-takṡīr. Dengan kata
lain fassara bisa diartikan dengan menjelaskan al-Quran dengan berulang-ulang
untuk menghasilkan kemungkinan makna yang terkandung di dalamnya (fi taḥṣīl
al-ma‘anī al-daqīqah).2
Secara definitif, Ibnu ‘Asyūr menjelaskan bahwa tafsīr adalah sebuah ilmu
yang membahas penjelasan makna kata-kata dalam al-Quran dan sesuatu yang
dapat diambil faedah dari makna kata-kata tersebut dengan penjelasan yang
ringkas maupun luas.3
1Muhammad Ṭāhir Ibnu ‘Āsyūr, al-Taḥrir wa al-Tanwīr, juz 1, , Tunisia, al-Dar al-
Tunisiyah, 1984, hlm. 10 2Ibid. 3Ibid., hlm. 11-12
49
Sedangkan obyek tafsīr adalah kata-kata dalam al-Quran dari sisi
pembahasan makna-maknanya serta sesuatu yang digali (diistinbaṭkan) darinya.
Dengan definisi ini, tafsīr berbeda dengan ilmu qira’at karena perbedaan obyek
yang dikaji. Lebih lanjut Ibnu ‘Asyūr menjelaskan bahwa tafsīr al-Quran telah
tumbuh dan berkembang sejak masa Nabi. Hal ini terbukti ketika sebagian sahabat
bertanya tentang makna al-Quran kepada Rasulullah. Salah satu sahabat yang
bertanya adalah ‘Umar bin Khaṭṭab tentang makna “kal ālah” . Kemudian
berkembang pada sahabat-sahabat lain seperti ‘Ali bin Abi Ṭālib dan Ibnu ‘Abbās.
Kedua sahabat ini dipandang sebagai sahabat yang paling banyak berbicara
tentang tafsīr al-Quran.4
Adapun mengenai ta’wīl, Ibnu ‘Asyūr tidak mendefinisikannya secara
jelas. Beliau hanya menjelaskan perbedaan pandangan ulama’ mengenai ta’wīl.
Apakah ta’wīl sama dengan tafsīr, ataukah ta’wīl lebih spesifik, atau ta’wīl
sebagai penjelas tafsīr.5
Menurut Ibnu ‘Asyūr,6 sebagian ulama’ berpendapat bahwa keduanya
(tafsīr dan ta’wīl) adalah sama, yang berpendapat seperti ini di antaranya Ṡa‘lab,
Ibnu al-‘Arabī, Abu ‘Ubaidah. Ini kejelasan dari perkataan al-Rāgib. Sebagian lagi
ada yang berpendapat bahwa keduanya berbeda, tafsīr untuk mengungkapkan
makna ẓāhir, sedangkan ta’wīl mengungkapkan makna yang belum jelas
(mutasyābih). Sebagian ada yang mengartikan ta’wīl adalah memalingkan lafaẓ
dari makna ẓahirnya kepada makna lain karena adanya dalil yang
mengindikasikan hal tersebut. Misalnya ketika seseorang memaknai surat al-
‘An‘ ām ayat 95 sebagai berikut:
)95الميت من احلي ......... (األنعام: ............خيرج احلي من الميت وخيرج Artinya: …………..Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan Dia
mengeluarkan yang mati dari yang hidup…………… (QS. Al-‘An‘ām: 95)
4Ibid., hlm. 14 5Ibid., hlm. 16 6Ibid.
50
Jika ayat ini dimaknai keluarnya burung (yang hidup) dari telur (yang
mati) maka pemaknaan seperti ini disebut tafsīr. Apabila ayat ini dimaknai dengan
keluarnya orang Islam dari kekafiran, maka pemaknaan seperti ini disebut dengan
ta’wīl. Dengan kata lain, dapat diungkapkan bahwa ta’wīl adalah upaya
memahami sesuatu yang ada di balik teks al-Quran.7
B. Konsep Muhkām dan Mutasyābih menurut Ibnu ‘Asy ūr
Pembahasan tentang muhkām dan mutasyābih adalah pembahasan yang
sudah dikaji dan ditelaah oleh para ulama’, jauh sebelum Ibnu ‘Asyūr. Mereka
telah berbeda pendapat dan berargumen dengan kecenderungan yang berbeda-
beda. Itulah kenyataan yang ada di kalangan ulama pada umumnya. Meskipun
demikian, masih dirasa perlu untuk memaparkan konsep tentang muhkām dan
mutasyābih dari sosok Ibnu ‘Asyūr. Hal ini di antaranya dalam rangka menyelami
kesinambungan antara ulama yang telah ada. Selain itu, sebagai pengantar dalam
memahami kerangka berpikir sosok Ibnu ‘Asyūr dalam penafsirannya atas ayat-
ayat antropomorfisme, sebagaimana yang diketahui ayat-ayat tersebut
(antropomorfisme) termasuk kategori ayat mutasyābih.
Perlu diketahui, sepanjang penelusuran penulis sampai ditulisnya karya ini
belum didapati konsep muhkām dan mutasyābih yang tersistematika dari seorang
Ibnu ‘Asyūr. Bahkan dari muqadimah kitab tafsirnya yang mencakup sebagian
pembahasan ‘ulūm al-Quran tidak terdapat konsep muhkām dan mutasyābih ini.
Begitu juga kitab ‘ulūm al-Qurannya yang berjudul al-Tafsīr wa Rijāluhu tidak
penulis temukan pembahasan tentang konsep ini.
Oleh karena itu, dalam menyajikan konsep muhkām dan mutasyābih
perspektif Ibnu ‘Asyūr, penulis merujuk pada penjelasannya di dalam menafsirkan
surat Ali Imran ayat 7. Sepanjang penelitian penulis dari ayat tersebutlah dikenal
konsep muhkām dan mutasyābih al-Quran.
Mengenai konsep muhkām dan mutasyābih al-Quran, Ibnu ‘Asyūr
menuturkan sebagai berikut :
7Ibid.
51
Berdasarkan ayat 7 surat Ali Imran, dapat diketahui bahwa ayat al-Quran
terdiri dari dua macam, yakni al-muḥkamāt dan al-mutasyābihāt. Keduanya
berlawanan, yakni al-mutasyābihāt adalah kebalikan dari al-muḥkamāt. Keduanya
adalah sifat dari ayat al-Quran.8
Al-muḥkamāt adalah pokok dari i‘tiqad, tasyri’, ādāb, dan al-mawāiẓ
(nasihat), oleh karena itu, al-muḥkamāt dengan kejelasannya memberikan makna
yang tidak mungkin menimbulkan kemungkinan (dugaan) kepada makna lain.9
Sedangkan al-mutasyābihāt, sebagai lawan kata dari al-muḥkamāt
merupakan ayat yang menunjukkan pada keserupaan/kemiripan makna, yakni
setiap makna bisa saja menjadi maksud dari ayat tersebut. Maksud dari
keserupaan (tasyābuh) tersebut adalah keabsahan tentang maksud makna suatu
ayat, tidak ada yang lebih unggul dari lainnya, atau juga dimaksudkan makna
tersebut benar tetapi dengan bentuk yang berlawanan atau tidak sesuai dengan
maksud kata tersebut (tidak sesuai makna ẓāhir).10
Ibnu ‘Asyūr menuturkan bahwa para ulama’ berbeda pendapat dalam
menentukan maksud dari ayat muhkām dan mutasyābih, yang perbedaan tersebut
berkisar pada kejelasan dan kesamaran makna suatu ayat. Dalam menjelaskan
maksudnya ini, Ibnu ‘Asyūr menyebutkan beberapa pendapat dari para tokoh, di
antara mereka adalah :11
1. Ibnu ‘Abbās, menurutnya yang dimaksud muhkām adalah ayat yang tidak
diperdebatkan lagi dalam hal syari‘at, seperti ayat tentang tauhid kepada Allah
dan diharamkannya perbuatan keji (fawākhisy). Sedangkan mutasyābih adalah
ayat yang masih global belum dijelaskan seperti huruf-huruf pada beberapa
awal surat.
2. Ibnu Mas‘ūd dan juga Ibnu ‘Abās, muhkām adalah ayat yang menaskh
(menghapus/mengganti), sedangkan mutasyābih ayat yang
8Muhammad Ṭāhir Ibnu ‘Āsyūr, al-Taḥrir wa al-Tanwīr, juz 3, , Tunisia, al-Dar al-
Tunisiyah, 1984, hlm. 155 9Ibid. 10Ibid. 11Ibid., hlm. 155-156
52
dinaskh(dihapus/diganti). Tetapi menurut Ibnu ‘Asyūr, pendapat ini jauh dari
yang dimaksud dalam pembahasan ayat muhkām dan mutasyābih, karena tidak
adanya kesesuaian dengan dua sifat ini (ayat muhkām dan mutasyābih) dan
akhir ayat (ayat 7 surat Ali ‘Imran).
3. Al-‘Āṣim, muhkām adalah ayat yang telah jelas petunjuknya, sedangkan
mutasyābih adalah ayat yang masih membutuhkan pemikiran (tadabur).
4. Al-Syāṭibiy, menurutnya al-tasyābuh adakalanya menunjukkan makna
haqīqīy, dan iḍāfiy. Yang dimaksud makna haqīqīy adalah tidak ada jalan
untuk memahami ayat tersebut sebagaimana yang dimaksud dalam ayat ke 7
surat Ali ‘Imran ini. Dan yang dimaksud makna iḍāfiy adalah ayat yang
mempunyai kemiripan, keserupaan makna dan dibutuhkan dalil lain untuk
mengetahuinya. jika seorang mujtahid bersungguh-sungguh mencari dalil-dalil
syari‘at maka ia akan menemukan dalil yang bisa menjelaskan keserupaan
makna tersebut. al-tasyābuh dengan makna haqīqīy sangat sedikit ditemukan
dalam hal syari‘at, justru yang banyak ditemukan adalah al-tasyābuh dengan
makna iḍāfiy.
Ibnu ‘Asyūr menyebutkan bahwa mayoritas ulama terbagi menjadi dua
mażhab (kelompok) dalam mendefinisikan ayat muhkām dan mutasyābih. Mereka
adalah :
Mażhab pertama berpendapat bahwa yang dimaksud ayat muhkām adalah
ayat yang sudah jelas petunjuknya, sedangkan ayat mutasyābih berarti ayat yang
telah Allah tentukan dengan pengetahuan-Nya (hanya diketahui oleh Allah).
Pendapat ini dinisbatkan kepada Mālik, al-Khafājiy menisbatkan pendapat ini
pada Hanafiyyah dan dalam kitab al-Muwāfaqāt al-Syāṭibiy condong pada
pendapat ini.
Mażhab kedua berpendapat bahwa yang dimaksud ayat muhkām adalah
ayat yang sudah jelas petunjuknya, sedangkan ayat mutasyābih merupakan ayat
yang masih samar (tidak jelas) petunjuknya. Fakr al-Rāzi condong pada pendapat
ini.12
12Ibid.
53
Adapun sebab adanya kesamaran (tasyābuh) di dalam al-Quran adalah
keberadaannya sebagai dakwah, nasihat, pelajaran, undang-undang yang abadi,
dan mu’jizat, yang sudah diketahui bahwa ia (al-Quran) diturunkan pada umat
yang sebelumnya tidak menerima masa belajar, metode-metode ilmiah, oleh
karena itu al-Quran dihadirkan dalam bentuk seperti perkataan dan percakapan,
bukan seperti buku-buku ilmiah dan undang-undang yang dibuat untuk peraturan.
Kenyataan yang ada juga bahwa al-Quran dengan seluk beluknya diturunkan
dalam kurun waktu yang lama sekitar 20 tahun, oleh karena itu tentu hal-hal yang
dikenalkan al-Quran menyesuaikan kebutuhan dan ukuran masyarakat tersebut,
maka boleh jadi akan ada hal yang sifatnya terperinci, global, umum, khusus, atau
bisa jadi suatu hal dianggap samar pada masa awal, tetapi pada masa selanjutnya
menjadi mudah dan jelas karena sudah berbedanya kondisi. 13
Adapun tingkatan kesamaran (tasyābuh) dalam al-Quran diklasifikasikan
oleh Ibnu ‘Asyūr menjadi 10 tingkatan, yakni :14
1. Makna-makna yang sengaja dititipkan di dalam al-Quran dan disengaja pula
dengan menyebutkannya secara global. Adakalanya tidak diterimanya dalam
diri manusia karena tidak dapat dipahami, atau juga dapat diterima tetapi
mereka tidak dapat memahaminya.
2. Makna yang ada sebagai pemberitahuan pada umat Islam, dan sudah jelas
keglobalannya, serta adanya kemungkinan mengalihkan makna tersebut
kepada makna yang diketahui, tetapi dengan menggunakan ta’wīl.
3. Makna yang amat tinggi yang mengakibatkan kesempitan dan kesukaran bagi
bahasa yang telah ada untuk memenuhi maksud dari makna tersebut.
4. Makna yang melahirkan kekurangan pemahaman pada suatu masa, hal ini ada
di dalam al-Quran sebagai mu’jizat quraniyyah bagi para orang yang berilmu.
Mereka terkadang lemah dalam menemukan kemu’jizatan al-Quran yang
bukan lahiriyah.
13Ibid., hlm. 157 14Ibid., hlm. 158-160
54
5. Kata-kata majaz, kināyah yang digunakan dalam bahasa Arab, kecuali makna
ẓāhirnya kata tersebut lebih lemah-lemahnya makna yang tidak sesuai dengan
kedudukan Allah, seperti ayat-ayat sifat Allah (antropomorfisme).
6. Lafaẓ yang termasuk bahasa Arab tetapi tidak diketahui oleh umat yang ada
saat diturunkannya al-Quran.
7. Istilah-istilah syari’at (agama) yang bagi masyarakat Arab sendiri belum
mempunyai pengetahuan khusus tentang hal tersebut.
8. Gaya bahasa Arab yang samar bagi orang arab sehingga mereka mengira ayat
tersebut termasuk ayat mutasyābih.
9. Ayat yang hadir dengan kebiasaan orang Arab, orang yang ada pada saat ayat
itu diturunkan (mukhāṭab) memahaminya, kemudian datang umat pada masa
selanjutnya, mereka tidak memahaminya kemudian mereka mengira ayat
tersebut termasuk ayat mutasyābih.
10. Pemahaman-pemahaman yang lemah, mengira banyak yang termasuk dari
ayat mutasyābih, seperti golongan Bāṭiniyyah, dan Musyabbihah.
Selanjutnya, Ibnu ‘Āsyūr menambahkan bahwa ada beberapa kriteria yang
menentukan bahwa suatu ayat tidak termasuk kategori ayat mutasyābih apabila :
1. Di dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa kita tidak akan sampai pada hal yang
dimaksud, seperti ayat tentang ruh.
2. Di dalam ayat tersebut dijelaskan kita tidak dapat, mengetahui karena tidak
diketahui waktu datangnya peristiwa yang diceritakan dalam ayat tersebut,
seperti ayat tentang qiyamat.
3. Untuk mengetahui makna suatu ayat harus dipalingkan ke dalil yang berbeda
dan terpisah. Karena jika demikian maka hal tersebut termasuk dalam kategori
dua dalil yang saling bertentangan yang dalam penyelesaiannya ditempuh
dengan al-jam‘u (kompromi), tarjīḥ(memilih yang lebih unggul).15
Di akhir penuturannya tentang teori muḥkam dan mutasyābih, Ibnu ‘Āsyūr
menegaskan kepada pembaca seraya berkata “dengan penjelasan di atas kamu
semua telah mengetahui bahwa terjadinya kesamaran (tasyābuh) adalah
15Ibid., hlm. 160
55
dikarenakan tidak adanya kesesuaian antara makna-makna dan bahasa.
Adakalanya sempitnya bahasa dari makna-makna yang ada, sempitnya
pemahaman terhadap penggunaan bahasa di dalam maknanya, dan juga
dikarenakan terlupakannya sebagian bahasa. Dengan demikian jelas bahwa
muḥkam dan mutasyābih adalah dua sifat bagi lafaẓ-lafaẓ berdasarkan
pemahaman terhadap makna-makna”.16
C. Penafsiran Ibnu ‘Asyūr terhadap Ayat-Ayat Antropomorfisme
Sebagaimana telah disebutkan pada bab sebelumnya, bahwa ayat-ayat
antropomorfisme adalah ayat-ayat yang mengesankan adanya keserupaan antara
Allah dengan makhluk-Nya dalam anggota tubuh (mata, tangan, wajah, dan
sebagainya). Maka tidak heran ayat-ayat tersebut dalam disiplin ilmu kalam juga
disebut dengan ayat tajsīm.
Dalam bab ini akan penulis paparkan data-data yang dihasilkan dari
penelitian terhadap penafsiran Ibnu ‘Asyūr yang ada dalam kitab tafsirnya. Dalam
pemaparan hasil penelitian ini akan disajikan secara tematik berdasarkan tema
ayat. Tema-tema yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1. Berkenaan dengan wajah
Dalam al-Quran banyak ayat yang menyebutkan “wajah Tuhanmu”,
“wajah Allah”, “wajah Tuhan mereka”, dan juga “wajah Tuhannya”. Semua ini
mengesankan bahwa Allah mempunyai wajah. Berdasarkan penelusuran penulis,
lebih dari sepuluh ayat yang menjelaskan tentang wajah Allah. Ayat-ayat tersebut
adalah sebagai berikut :
قى وجه ربك ذو اجلالل واإلكرام (الرمحن: )27ويـبـArtinya: Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan
kemuliaan (Qs. Al-Raḥman : 27) Dalam menafsirkan kata wajah pada ayat ini, Ibnu ‘Āsyūr berkata maksud
kata wajah dalam ayat ini adalah żāt Allah, penyebutan kata wajah di sini sesuai
yang berlaku di kebiasaan orang Arab, Ibnu ‘Āsyūr juga mengutip pendapat al-
16Ibid.
56
Zamakhsyariy “kata wajah digunakan untuk menerangkan jumlah dan żāt”.
Menurut Ibnu ‘Āsyūr kata wajah disandarkan pada nama Allah menunjukkan
makna yang berbeda-beda, di antaranya pada ayat ini. Para pendengar pasti
mengerti bahwa Allah mustahil mempunyai wajah dengan makna yang
sebenarnya (ḥaqīqī), yakni bagian yang ada di kepala.17
Para ulama’ ilmu tauhid menyebut ayat yang seperti ini dengan ayat
mutasyābih. Para ulama’ salaf menahan diri mereka untuk mencari-cari dalam
ayat tersebut disertai keyakinan mustahilnya arti literal ayat tersebut bagi Allah.
Kemudian para Tabi‘in dan ulama setelahnya melakukan ta’wīl dengan secara
bertahap mengacu pada undang-undang ilmu ma‘āniy. Maka hilanglah kesamaran
dan tertolaklah kebencian. Mereka berdua (ulama salaf dan Tabi‘in dan ulama
setelahnya) adalah sebaik-baiknya umat yang beragama hanif (Islam).18
Kata wajah yang menunjukkan makna żāt ini disifati dengan żūl jalāl yang
berarti yang mempunyai kemuliaan dan juga disifati dengan al-ikrām yang berarti
dermawan memberikan nikmat pada hamba-hamba-Nya. Jika kata wajah
menunjukkan makna yang haqiqi, yakni suatu bagian di kepala maka tidak akan
disifati dengan kata al-ikrām, ini sesuai kebiasaan bahasa, dikarenakan kata al-
ikrām disifatkan untuk kata al-yad (tangan).19
)115ولله المشرق والمغرب فأيـنما تـولوا فـثم وجه الله إن الله واسع عليم (البقرة:Artinya: Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu
menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui (Qs. Al-Baqarah: 115)
Menurut Ibnu ‘Āsyūr kata wajah Allah menunjukkan hakikat maknanya,
yakni żāt-Nya. Hal ini seperti yang berlaku dalam bahasa ketika menyebutkan
wajah Zaid maksudnya dirinya. Selain makna hakikat, kata wajah dalam ayat ini
dapat dimaknai sebagai kiasan (kināyah) dari riḍā Allah.20
17Muhammad Ṭāhir Ibnu ‘Āsyūr, al-Taḥrir wa al-Tanwīr, juz 27, Tunisia, al-Dar al-
Tunisiyah, 1984, hlm. 253 18Ibid. 19Ibid. 20Muhammad Ṭāhir Ibnu ‘Āsyūr, al-Taḥrir wa al-Tanwīr, juz 1, Tunisia, al-Dar al-
Tunisiyah, 1984, hlm. 683
57
م ذين صبـروا ابتغاء وجه را وعالنية ويدرءون والناهم سر وأقاموا الصالة وأنـفقوا مما رزقـار (الرعد: ئة أولئك هلم عقىب الدي22باحلسنة الس(
Artinya: Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik) (al-Ra‘d: 22)
Ibnu ‘Āsyūr menyebutkan, yang dimaksud dari mengharapkanwajah Allah
adalah mengharapkan riḍāNya. Seakan-akan seseorang yang berbuat ia
mengharapkan dengan perbuatannya Allah akan menerimanya ketika ia bertemu
dengan Allah.21
Jawaban beliau relatif singkat, meskipun demikian beliau menuturkan
bahwa penjelasan tentang “mengharapkan wajah Allah” terdapat juga dalam surat
al-Baqarah. Oleh karena itu, nanti akan dikemukakan lagi mengenai penafsiran
kata mengharapkanwajah Allah ketika penulis menyajikan surat al-Baqarah
tersebut.
ر للذين يريدون وجه الله وأولئك فآت ذا القرىب حقه والمسكني وابن السبيل ذلك خيـ )38هم المفلحون (الروم:
Artinya: Maka berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula) kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridhaan Allah; dan mereka itulah orang-orang beruntung (Qs. Al-Rūm: 38)
Dalam menafsirkan kata “wajah” pada ayat ini, Ibnu ‘Āsyūr menuturkan
bahwa penyebutan kata “wajah” adalah sebagai tamṡīl (perumpamaan), seakan-
akan seseorang yang memberikan harta sebab muka Allah. Hal ini dikarenakan
bahwa “wajah” adalah tempat untuk melihat/memandang. Begitu juga, kata
“wajah” dalam ayat ini merupakan “musyākalah taqdīriyah” yakni perumpamaan
yang diperkirakan, maksudnya, perintah Allah untuk memberi, dibandingkan
dengan kebiasaan memberi yang dilakukan orang jahiliyah. Jika dahulu orang
21Muhammad Ṭāhir Ibnu ‘Āsyūr, al-Taḥrir wa al-Tanwīr, juz 13, , Tunisia, al-Dar al-
Tunisiyah, 1984, hlm. 129
58
jahiliyah memberi disebabkan orang yang terpandang di golongannya. Maka
sekarang pemberian dikarenakan “wajah” Allah. Maksudnya karena
melaksanakan perintah-Nya dan mendapatkan riḍā-Nya.22
وال تطرد الذين يدعون ربـهم بالغداة والعشي يريدون وجهه ما عليك من حسام من ) 52من شيء فـتطردهم فـتكون من الظالمني (االنعام : شيء وما من حسابك عليهم
Artinya: Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaanNya. Kamu tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatan mereka dan merekapun tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatanmu, yang menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka, (sehingga kamu termasuk orang-orang yang zalim) (Qs. Al-An‘ām: 52)
Dalam menafsirkan ayat ini, Ibnu ‘Āsyūr menuturkan bahwa kata wajah
secara hakikat adalah bagian yang terdapat di kepala yang di dalamnya memuat
dua mata, hidung, dan mulut. Dan diucapkannya kata wajah dengan
maksud/makna żāt secara keseluruhan disebut “majāz mursal”.23
Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa kata wajah menunjukkan isti‘ārah
(meminjam makna) kata ẓāt. Jika demikian maka maksud ayat ini adalah mereka
mengharapkan riḍā Allah bukan mengharapkan riḍā dari selain Allah. Mereka
dalam beriman dan menyembah Allah bukan karena tujuan duniawi.24
ناك واصرب نـفسك مع الذين يدعون ربـهم بالغداة والعشي يريدون وجهه وال تـعد عيـنـ هم تريد زينة احلياة الد يا وال تطع من أغفلنا قـلبه عن ذكرنا واتـبع هواه وكان أمره فـرطا عنـ
)28(الكهف:Artinya: Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang
menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati
22Muhammad Ṭāhir Ibnu ‘Āsyūr, al-Taḥrir wa al-Tanwīr, juz 20, Tunisia, al-Dar al-
Tunisiyah, 1984, hlm. 104 23Muhammad Ṭāhir Ibnu ‘Āsyūr, al-Taḥrir wa al-Tanwīr, juz 6, Tunisia, al-Dar al-
Tunisiyah, 1984, hlm. 247 24Ibid.
59
Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas (Qs. Al-Kahfi: 28)
Dalam menafsirkan kata wajah pada ayat ini, Ibnu ‘Āsyūr berkata bahwa
diucapkannya kata wajah Allah dalam ayat ini ungkapan mazāj/kiasan jika
dihadapkan dengan kata wajah yang biasa dipakai untuk hamba.25
ا نطعمكم لوجه الله 9ال نريد منكم جزاء وال شكورا (االنسان:إمن( Artinya: Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk
mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih (Qs. Al-Insān: 9)
Dalam menafsirkan kata wajah pada ayat ini, Ibnu ‘Āsyūr tidak
menjelaskan kedudukan kata tersebut, tetapi beliau langsung menjelaskan maksud
rangkaian kata hanyalah untuk mengharapkan wajah Allah¸ menurutnya
rangkaian kata ini dijelaskan oleh kata yang datang setelahnya yakni kami tidak
menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.
Maksudnya kami (orang yang dimaksud dalam ayat tersebut) memberikan makan
tidak lain kecuali untuk memenuhi apa yang diperintahkan Allah, dan yang
memberikan makan kepada mereka adalah Allah, jadi dengan kata hanyalah untuk
mengharapkan wajah Allah menunjukkan tidak ada harapan untuk mendapatkan
ucapan terima kasih atau balasan.26
)19-20) (الليل: 20على () إال ابتغاء وجه ربه األ 19وما ألحد عنده من نعمة جتزى (Artinya: Padahal tidak ada seseorangpun memberikan suatu nikmat kepadanya
yang harus dibalasnyatetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya yang Maha Tinggi (Qs. Al-Lail: 19-20)
25Muhammad Ṭāhir Ibnu ‘Āsyūr, al-Taḥrir wa al-Tanwīr, juz 15, Tunisia, al-Dar al-
Tunisiyah, 1984, hlm. 305 26Muhammad Ṭāhir Ibnu ‘Āsyūr, al-Taḥrir wa al-Tanwīr, juz 29, Tunisia, al-Dar al-
Tunisiyah, 1984, hlm. 385
60
Pendapat Ibnu ‘Āsyūr dalam menafsirkan kata wajah pada ayat ini serupa
dengan penafsiran beliau atas kata wajah pada surat al-Raḥman ayat 27. Yakni
kata wajah digunakan dengan menunjukkan makna żāt.27
هالك إال وجهه له احلكم وإليه تـرجعون وال تدع مع الله إهلا آخر ال إله إال هو كل شيء )88(القصص
Artinya: Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, tuhan apapun yang lain. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Bagi-Nyalah segala penentuan, dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan (al-Qaṣaṣ: 88)
Ayat ini berbicara tentang larangan yang ditujukan kepada Nabi
Muhammad saw. Adapun maksud dari ayat ini adalah membatalkan perbuatan
syirik dan menampakkan kesesatan dari pelaku syirik. Karena mereka menyangka
telah mengerti ketuhanan Allah dan mereka menjadikan bagi Allah persekutuan,
padahal telah jelas bagi mereka bahwa tiada tuhan kecuali Allah.28
Berkaitan dengan penafsiran lafaẓ“wajah” pada ayat ini, Ibnu ‘Āsyūr
menjelaskan bahwa kata “al-wajh” pada ayat ini digunakan dalam makna “żāt”
maka maksud dari ayat tersebut adalah semua makhluk yang ada/wujud akan
binasa kecuali Allah.29
2. Berkenaan dengan yad (tangan)
Dalam al-Quran banyak pula ayat-ayat yang menyebutkan kata yad
(tangan) yang disandangkan kepada Allah. Ayat-ayat tersebut adalah sebagai
berikut :
ا يـبايعون الله يد الله فـوق أيديهم فمن نكث ف ذين يـبايعونك إمنال ا يـنكث على إن إمن )10نـفسه ومن أوىف مبا عاهد عليه الله فسيـؤتيه أجرا عظيما (الفتح:
27Muhammad Ṭāhir Ibnu ‘Āsyūr, al-Taḥrir wa al-Tanwīr, juz 30, Tunisia, al-Dar al-
Tunisiyah, 1984, hlm. 392 28Muhammad Ṭāhir Ibnu ‘Āsyūr, al-Taḥrir wa al-Tanwīr, juz 20, Tunisia, al-Dar al-
Tunisiyah, 1984, hlm 196 29Ibid., hlm. 197
61
Artinya: Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar (Qs. Al-Fatḥ: 10)
Dalam ayat ini dijelaskan tentang bai‘ah (perjanjian), kata yad (tangan)
ditetapkan pada Allah. Hal ini untuk memberikan gambaran, bayangan. Karena
sebagaimana diketahui orang yang dibai‘ah akan menaruh tangannya di tangan
orang yang membai‘ah. Jika demikian terjadi keserupaan antara Allah dan
makhluk-Nya. Maka dari itu, kata tangan yang ditetapkan pada Allah dalam ayat
ini termasuk perumpamaan. Dikarenakan Allah disucikan dari tangan dan atribut-
atribut makhluk.30
Kata al-yad yang dikhayalkan/dibayangkan kepunyaan Allah disebutkan
berada di atas tangan-tangan manusia yang melakukan perjanjian, adakalanya
menunjukkan kemuliaan tangan tersebut di atas tangan-tangan manusia.
Sebagaimana hadīṡ Rasul “tangan di atas lebih baik dari tangan di atas. Tangan
di atas adalah yang memberi dan tangan di bawah adalah yang
mengambil/penerima”. Adakalanya juga karena kenyataan bahwa proses bai‘at,
orang yang dibai‘at menjulurkan telapak tangannya ke hadapan orang yang
membai‘at, lalu menaruh tangannya di hadapan orang yang membai‘at.
Disifatinya tangan Allah di atas tangan-tangan manusia untuk sempurnanya
perumpamaan, membayangkan hal yang tidak nyata.31
قل اللهم مالك الملك تـؤيت الملك من تشاء وتـنزع الملك ممن تشاء وتعز من تشاء ر إنك على كل شيء قدير (ال عمران: وتذل من )26تشاء بيدك اخليـ
Artinya: Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau
30Muhammad Ṭāhir Ibnu ‘Āsyūr, al-Taḥrir wa al-Tanwīr, juz 25, Tunisia, al-Dar al-
Tunisiyah, 1984, hlm. 158 31Ibid.
62
kehendaki. di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Kata ر adalah tamṡīl (perumpamaan) untuk melakukan (mengerjakan)بيدك اخليـ
sesuatu. Karena orang yang bekerja atau melakukan sesuatu lebih kuat dengan
menaruh sesuatu tersebut di tangannya. Ayat ini dianggap termasuk sebagian dari
ayat mutasyābih, dikarenakan menyandarkan kata tangan pada kata ganti Allah.
Dan tidak ada kesamaran dalam ayat ini, karena jelasnya maksud dari
digunakannya kata tangan pada percakapan Arab.32
يتم أو وال تـؤمنوا إال لمن تبع دينكم قل إن اهلدى هدى الله أن يـؤتى أحد مثل ما أوت حياجوكم عند ربكم قل إن الفضل بيد الله يـؤتيه من يشاء والله واسع عليم (ال عمران
:73( Artinya: Dan janganlah kamu percaya melainkan kepada orang yang mengikuti
agamamu. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk (yang harus diikuti) ialah petunjuk Allah, dan (janganlah kamu percaya) bahwa akan diberikan kepada seseorang seperti apa yang diberikan kepadamu, dan (jangan pula kamu percaya) bahwa mereka akan mengalahkan hujjahmu di sisi Tuhanmu." Katakanlah: "Sesungguhnya karunia itu di tangan Allah, Allah memberikan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Luas karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui" (Qs. Ali ‘Imrān: 73)
Dalam ayat ini Ibnu ‘Āsyūr tidak menjelaskan apakah kata tangan yang
ada menunjukkan makna hakiki atau majazi, beliau lebih menitikberatkan
perhatiannya terhadap pembahasan linguistik kata wāsi‘ (Yang Maha Luas). Oleh
karena itu, jika mencari maksud ayat ini berdasarkan penafsiran beliau, akan
didapati “sesungguhnya anugerah ada di tangan Allah, tidak samar bagi-Nya siapa
saja yang berhak memperoleh anugerah-Nya.”
يـنفق كيف وقالت اليـهود يد الله مغلولة غلت أيديهم ولعنوا مبا قالوا بل يداه مبسوطتان نـهم ال نا بـيـ هم ما أنزل إليك من ربك طغيانا وكفرا وألقيـ عداوة يشاء وليزيدن كثريا منـ
32Muhammad Ṭāhir Ibnu ‘Āsyūr, al-Taḥrir wa al-Tanwīr, juz 3, Tunisia, al-Dar al-
Tunisiyah, 1984, hlm. 213-214
63
عون يف األرض فسادا والبـغضاء إىل يـوم القيامة كلما أوقدوا نارا للحرب أطفأها الله ويس )64والله ال حيب المفسدين (املائدة :
Artinya: Orang-orang Yahudi berkata: "Tangan Allah terbelenggu", sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dila'nat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu. (Tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki. Dan Al Quran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sungguh-sungguh akan menambah kedurhakaan dan kekafiran bagi kebanyakan di antara mereka. Dan Kami telah timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka sampai hari kiamat. Setiap mereka menyalakan api peperangan Allah memadamkannya dan mereka berbuat kerusakan dimuka bumi dan Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan. (Qs. Al-Māidah: 64)
Dalam menafsirkan ayat ini, Ibnu ‘Āsyūr tidak menjelaskan kata al-yad
(tangan) secara tekstual, tetapi mencoba menjelaskan dengan keluar dari makna
asalnya. Beliau menjelaskan kata tangan Allah terbelenggu adalah ungkapan sifat
kikir dalam pemberian. Karena orang Arab menjadikan kata tangan sebagai
ungkapan untuk sifat dermawan dalam memberi. Mereka menjadikan ungkapan
tangan digelar sebagai metafora dari pemberian dan kedermawanan. Ungkapan
tangan terbelenggu merupakan isti‘arāh qawiyyah untuk makna kikir,
dikarenakan tangan yang terbelenggu tidak bisa untuk dibuka. Dan bisa dikatakan
kata tersebut sebagai bentuk metafora dari sifat amat kikir. 33
Kemudian untuk kata tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka untuk
menetapkan keluasan anugerah Allah. Kata tersebut merupakan perumpamaan
(tamṡīl) dari sifat memberi. Bisa juga dikatakan sebagai tasybīh (menyamakan)
dengan pemberian sesuatu yang diberikan dengan kedua tangan. Kata yad dalam
kata tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka didatangkan dalam bentuk taṡniyah
untuk menyatakan besarnya sifat pemurah. Jika tidak, maka kata yad ini sebagai
ungkapan metafora dari sifat kikir dan pemurah.34
33Muhammad Ṭāhir Ibnu ‘Āsyūr, al-Taḥrir wa al-Tanwīr, juz 6, Tunisia, al-Dar al-
Tunisiyah, 1984, hlm. 249 34Ibid., hlm. 250
64
فضل الله وأن الفضل بيد الله يـؤتيه لئال يـعلم أهل الكتاب أال يـقدرون على شيء من )29من يشاء والله ذو الفضل العظيم (احلديد :
Artinya: Kami terangkan yang demikian itu) supaya ahli Kitab mengetahui bahwa mereka tiada mendapat sedikitpun akan karunia Allah (jika mereka tidak beriman kepada Muhammad), dan bahwasanya karunia itu adalah di tangan Allah. Dia berikan karunia itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar (Qs. Al-Ḥadīd: 29)
Ayat ini menjelaskan tentang karunia Allah. Disebutkan bahwa ”karunia
itu adalah di tangan Allah”. Ungkapan tersebut menunjukkan makna kināyah,
bahwa tidak adanya karunia dari Ahl al-kitāb yang tidak beriman kepada
Rasulullah saw.35
)83(يس: فسبحان الذي بيده ملكوت كل شيء وإليه تـرجعون Artinya: Maka Maha Suci (Allah) yang di tangan-Nya kekuasaan atas segala
sesuatu dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan (Qs. Yasin: 83)
Sebagaimana dalam menafsirkan ayat 73 dari surat Ali ‘Imrān di atas, Ibnu
‘Āsyūr tidak menafsirkan dan menjelaskan kata tangan. Beliau hanya
menjelaskan seperti adanya kata tangan tersebut. Oleh karena itu, tidak dapat
diketahui pemikiran Ibnu ‘Āsyūr tentang kata tangan pada ayat ini.36
)1ى كل شيء قدير (امللك:تـبارك الذي بيده الملك وهو عل Artinya: Maha Suci Allah Yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia
Maha Kuasa atas segala sesuatu (al-Mulk: 1) Kata tangan pada ayat ini adalah bentuk metafora (isti‘arāh) untuk makna
kekuatan dan perbuatan. Kata tangan merupakan perumpamaan (tamṡīl), 37
35Muhammad Ṭāhir Ibnu ‘Āsyūr, al-Taḥrir wa al-Tanwīr, juz 27, Tunisia, al-Dar al-
Tunisiyah, 1984, hlm. 431 36Muhammad Ṭāhir Ibnu ‘Āsyūr, al-Taḥrir wa al-Tanwīr, juz 22, Tunisia, al-Dar al-
Tunisiyah, 1984, hlm. 80 37Muhammad Ṭāhir Ibnu ‘Āsyūr, al-Taḥrir wa al-Tanwīr, juz 29, Tunisia, al-Dar al-
Tunisiyah, 1984, hlm. 10
65
3. Berkenaan dengan a‘yun (mata-mata)
Dalam al-Quran ayat-ayat yang menyebutkan mata yang disandangkan
pada Allah tidak begitu banyak. Dari penelusuran penulis hanya didapati beberapa
ayat sebagai berikut :
)37:واصنع الفلك بأعيننا ووحينا وال ختاطبين يف الذين ظلموا إنـهم مغرقون (هودArtinya: Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu
Kami, dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang zalim itu; sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan (Qs. Hūd: 37)
Kata “a‘yun (mata-mata)” pada ayat ini ditafsirkan oleh Ibnu ‘Āsyūr
sebagai metafora untuk makna mengawasi dan memperhatikan pekerjaan.
Meskipun kata a‘yun (mata-mata) dalam ayat ini didatangkan dalam bentuk
jamak, tetapi menunjukkan makna muṡanā. Yakni dua mata. Jadi meskipun
berbentuk jamak tetap diartikan dengan bentuk muṡanā.38
نا إليه أن اصنع الفلك بأعيننا ووحينا فإذا جاء أمرنا وفار التـنور فاسلك فيها من فأوحيـهم وال ختاطبين يف الذين ظلمو ا كل زوجني اثـنـني وأهلك إال من سبق عليه القول منـ
) 27:إنـهم مغرقون (املؤمنونArtinya: Lalu Kami wahyukan kepadanya: "Buatlah bahtera di bawah penilikan
dan petunjuk Kami, maka apabila perintah Kami telah datang dan tanur[997] telah memancarkan air, maka masukkanlah ke dalam bahtera itu sepasang dari tiap-tiap (jenis), dan (juga) keluargamu, kecuali orang yang telah lebih dahulu ditetapkan (akan ditimpa azab) di antara mereka. Dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang zalim, karena sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan (Qs. Al-Mu’minūn: 27)
Penafsiran Ibnu ‘Āsyūr terhadap kata “a‘yun (mata-mata)” pada ayat ini
ditemukan justru di suratHūd ayat 37, beliau menjelaskan bahwa kata “a‘yun
(mata-mata)” yang ada dalam ayat ini menunjukkan makna kināyah bukan makna
mata secara literal. Maka yang dimaksud dari kata tersebut pada ayat ini adalah
38Muhammad Ṭāhir Ibnu ‘Āsyūr, al-Taḥrir wa al-Tanwīr, juz 10, Tunisia, al-Dar al-
Tunisiyah, 1984, hlm. 66
66
kepastian Allah dalam menjaga dari kekurangan dan kesalahan pekerjaan, yakni
dalam membuat perahu (nabi Nuh). 39
)48:واصرب حلكم ربك فإنك بأعيننا وسبح حبمد ربك حني تـقوم (الطورArtinya: Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, maka
sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan Kami, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu ketika kamu bangun berdiri (Qs. Al-Ṭūr: 48)
Serupa dengan penafsirannya yang terdahulu terhadap kata a‘yun, Ibnu
‘Āsyūr tidak memahami kata tersebut secara literal. Beliau menafsirkan bahwa
maksud dari kata a‘yun pada ayat ini adalah menempati makna pertolongan dan
pemeliharaan dari Kami (Allah).40
)14:جتري بأعيننا جزاء لمن كان كفر (القمرArtinya: Yang berlayar dengan pemeliharaan Kami sebagai belasan bagi orang-
orang yang diingkari (Nuh) (Qs. Al-Qamar: 14) Dalam menafsirkan kata a‘yun pada ayat ini, Ibnu ‘Āsyūr tidak
memahaminya secara literal. Melainkan memahaminya sebagai kinayah. Lebih
lanjut beliau menuturkan sebagai berikut: pada ayat ini kata ‘ain (mata) berbentuk
jamak (kata plural) untuk menguatkan makna, karena kata jamak lebih kuat dari
pada mufrad (kata tunggal). Jika demikian maka maksud kata a‘yunina di sini
adalah perlindungan-perlindungan dari Kami (Allah) dan pertolongan-pertolongan
Kami. Boleh dikatakan bahwa kata a‘yun yang berbentuk jamak dengan melihat
bermacam-macamnya pertolongan dan sekaligus adanya bekas/hasil yang
bermacam-macam pula.41
39Muhammad Ṭāhir Ibnu ‘Āsyūr, al-Taḥrir wa al-Tanwīr, juz 10, Tunisia, al-Dar al-
Tunisiyah, 1984, hlm. 66 40Muhammad Ṭāhir Ibnu ‘Āsyūr, al-Taḥrir wa al-Tanwīr, juz 27, Tunisia, al-Dar al-
Tunisiyah, 1984, hlm. 83 41Ibid., hlm. 185
67
4. Berkenaan dengan sāq (betis)
)42يـوم يكشف عن ساق ويدعون إىل السجود فال يستطيعون (القلم:Artinya: Pada hari betis disingkapkandan mereka dipanggil untuk bersujud;
maka mereka tidak kuasa (Qs. Al-Qalam: 42) Dalam memaknai kata betis dalam ayat pada hari betis disingkapkan, Ibnu
‘Āsyūr tidak memahaminya secara literal kata betis sebagai salah satu anggota
tubuh manusia. Beliau menjelaskan ungkapan dari ayat ada hari betis
disingkapkan adalah perumpamaan dari susahnya keadaan dan sukarnya
permasalahan. Asalnya seseorang jika sedang kesusahan yakni cepat-cepat dalam
berjalan, dan menyangsikan bajunya sehingga terbuka betisnya. Ungkapan
tersingkapnya betis merupakan kiasan/kināyah dari kesusahan yang menimpa
seseorang, meskipun tidak sampai tersingkapnya betis.42
Lebih lanjut Ibnu ‘Āsyūr menjelaskan makna dari pada hari betis
disingkapkan adalah hari dimana manusia sampai pada situasi yang amat sulit dan
berat. Beliau menyebutkan pendapat Ibnu ‘Abbās, yakni hari dimana manusia
merasakan kepayahan dan kesusahan, yakni kesusahan yang amat saat hari
kiamat.43
5. Berkenaan dengan al-janb (lambung)
أن تـقول نـفس يا حسرتا على ما فـرطت يف جنب الله وإن كنت لمن الساخرين )56(الزمر:
Artinya: Supaya jangan ada orang yang mengatakan: "Amat besar penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah, sedang aku sesungguhnya termasuk orang-orang yang memperolok-olokkan (agama Allah) (Qs. Al-Zumar: 56)
Dalam al-Quran penulis dapati satu ayat yang menyebutkan kata “al-janb”
(lambung) yang disandarkan kepada Allah. Inilah penafsiran Ibnu ‘Āsyūr seputar
kata tersebut.
42Muhammad Ṭāhir Ibnu ‘Āsyūr, al-Taḥrir wa al-Tanwīr, juz 29, Tunisia, al-Dar al-
Tunisiyah, 1984, hlm. 97 43Ibid., hlm. 98
68
Awalnya beliau mengkaji berdasarkan makna bahasanya. Beliau
menuturkan, kata al-janb dan al-jānib adalah sinonim, kata tersebut berarti suatu
sisi/bagian dari sesuatu dan tempatnya. seperti kata al-ṣāḥib bi al-jānib.
Maksudnya teman yang berada di samping.
Huruf jar fi pada ayat tersebut boleh disebut sebagai kata yang menjadikan
kata kerja طتفـرsebagi fi ‘il muta‘adiy (kata kerja yang membutuhkan obyek). Dan
hal yang dilalaikan adalah janb Allah. Maksudnya dari sisi Allah. Kata al-janb
adalah bentuk metafora (isti‘ārah) untuk makna keadaan dan kebenaran yakni
keadaan Allah, sifat-sifat-Nya, dan nasihat-nasihat-Nya yang diserupakan dengan
kedudukan seorang tuan.
Kata kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) di pinggang Allah adalah
perumpamaan untuk keadaan seseorang yang diberhentikan untuk dihisab dan
disiksa, sebagaimana seorang tuan yang telah mempercayakan hambanya untuk
menjaga hewan ternaknya, kemudian hamba itu lalai terhadap kepercayaan (janji)
terhadap tuannya. Kemudian hewan ternaknya memakan rumput di tempat yang
dilarang sehingga hewan-hewan ternak tersebut mati binasa, lalu hamba tadi
berkata “alangkah ruginya aku telah melalaikan kewajiban dari tuanku”.
Dari sini, diperbolehkan untuk menetapkan kata al-janb pada makna
hakikatnya, dikarenakan perumpamaan bersandar pada keserupaan situasi dengan
situasi.44
6. Berkenaan dengan istiwā’ (bersemayam)
Selain ayat-ayat yang berkaitan dengan anggota badan, terdapat juga ayat-
ayat yang menyebutkan perbuatan Allah yang itu mengesankan adanya
keserupaan antara Allah dan makhluk-Nya. Di antaranya adalah ayat-ayat tentang
istiwā’. Dalam al-Quran terdapat banyak ayat yang menyebutkan tentang istiwā’,
ayat-ayat tersebut adalah sebagai berikut:
44Penjelasan pada penafsiran kata al-Janb pada ayat ini diintisarikan atas pembacaan
Muhammad Ṭāhir Ibnu ‘Āsyūr, al-Taḥrir wa al-Tanwīr, juz 22, Tunisia, al-Dar al-Tunisiyah, 1984, hlm. 46
69
)5الرمحن على العرش استـوى (طه:Artinya: (Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas 'Arsy
(Qs. Ṭaha: 5) Mengenai kata istiwā’ pada ayat ini, Ibnu ‘Āsyūr menjelaskan sebagai
berikut : Disebutkannya kata istiwā’ pada ayat tentang arsy sebagai tambahan
dalam menggambarkan keagungan Allah dan luasnya kekuasaan-Nya. Kemudian
ta’wīl dari kata istiwā’ adalah kata istiwā’ merupakan bentuk perumpamaan
(tamṣīl) untuk kedudukan keagungan Allah dengan keagungan paling mulia-
mulianya para raja, mereka duduk di singgasana. Orang Arab telah mengenal para
raja di Persia dan Romawi, mereka adalah contoh yang dijadikan oleh orang Arab
dalam menjelaskan keagungan.45
Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa ayat ini termasuk ayat mutasyābih
yang jelas ta’wīlnya dengan menggunakan kebiasaan orang Arab dan dengan apa
yang telah ditetapkan dalam ‘aqidah yakni tiada yang menyerupai Allah suatu
apapun. Ada juga yang berpendapat kata istiwā’ digunakan dengan makna
menguasai.
Di akhir penafsirannya ini, Ibnu ‘Āsyūr menjelaskan bahwa penafsirannya
ini telah ada pada surat al-A‘rāf. Beliau mengatakan “saya mengulangi sebagian
penafsiran kata istiwā’ pada ayat ini karena ayat ini terkenal di antara kalangan
sahabat kita al-Asy‘āriyyah ” 46
يعا مث استـوى إىل السماء فسواهن سبع مساوات هو الذي خلق لكم ما يف األرض مج )29:وهو بكل شيء عليم (البقرة
Artinya: Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu (Qs. Al-Baqarah: 29)
45Muhammad Ṭāhir Ibnu ‘Āsyūr, al-Taḥrir wa al-Tanwīr, juz 16, Tunisia, al-Dar al-
Tunisiyah, 1984, hlm. 187 46Ibid.
70
Ketika menjelaskan kata istiwā’ pada ayat ini, Ibnu ‘Āsyūr terlebih dahulu
menjelaskan pengertian kata tersebut berdasarkan asal maknanya, menurutnya,
kata istiwā’ berarti lurus, dan tidak adanya bengkong. Diucapkan ṣirāṭ mustawa
maka berarti jalan lurus. Kata istiwā’ diucapkan dengan makna majāz
menunjukkan arti menyengaja pada sesuatu dengan adanya niat dan kecepatan.
Seakan-akan seseorang berjalan dengan lurus tanpa berbelok-belok. Kata istiwā’
jika dijadikan fi‘il muta‘diy dengan ditambahkan huruf jar Maka .ا�
menunjukkan arti majāzi, yaitu makna tamṡīl (perumpamaan). Dengan demikian,
menurut beliau. Makna dari Allah beristiwā’ ke langit berhubungan dengan
kehendak Allah yang terlaksana dengan menjadikan langit, kata istiwā’ juga
menunjukkan makna mempersiapkan untuk perbuatan yang agung dan
meyakinkan.47
إن ربكم الله الذي خلق السماوات واألرض يف ستة أيام مث استـوى على العرش يدبـر ه ربمن بـعد إذنه ذلكم الل رون (يونساألمر ما من شفيع إال3:كم فاعبدوه أفال تذك(
Artinya: Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy untuk mengatur segala urusan. Tiada seorangpun yang akan memberi syafa'at kecuali sesudah ada izin-Nya. (żāt) yang demikian itulah Allah, Tuhan kamu, maka sembahlah Dia. Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran?(Qs. Yūnus: 3)
Dalam ayat ini, Ibnu ‘Āsyūr tidak menuturkan penafsirannya tentang kata
istiwā’, beliau hanya menyebutkan bahwa penafsirannya disebutkan dalam surat
al- A‘rāf. 48
ر الله الذي رفع السماوات بغري عمد تـرونـها مث استـوى على العرش وسخر الشمس والقم )2:اآليات لعلكم بلقاء ربكم توقنون (الرعدكل جيري ألجل مسمى يدبـر األمر يـفصل
Artinya: Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya),
47Muhammad Ṭāhir Ibnu ‘Āsyūr, al-Taḥrir wa al-Tanwīr, juz 1, Tunisia, al-Dar al-
Tunisiyah, 1984, hlm. 385 48Muhammad Ṭāhir Ibnu ‘Āsyūr, al-Taḥrir wa al-Tanwīr, juz 10, Tunisia, al-Dar al-
Tunisiyah, 1984, hlm. 87
71
menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan (mu) dengan Tuhanmu (Qs. Al-Ra‘d: 2)
Mengenai kata istiwā’pada ayat ini, Ibnu ‘Āsyūr tidak menjelaskannya
secara terperinci, beliau hanya menyebutkan bahwa penafsirannya telah beliau
sebutkan pada saat menafsirkan kata istiwā’ pada surat al- A‘rāf dan Yūnus.49
Oleh karena itu kita dapat mengetahui penjelasan kata istiwā’ dalam ayat ini saat
penulis paparkan penafsiran Ibnu ‘Āsyūr pada surat al- A‘rāf dan Yūnus.
نـهما يف ستة أيام مث استـوى على العرش الرمحن الذي خلق السماوات واألرض وما بـيـ )59:فاسأل به خبريا (الفرقان
Artinya: Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa, kemudian dia bersemayam di atas Arsy, (Dialah) Yang Maha Pemurah, maka tanyakanlah (tentang Allah) kepada yang lebih mengetahui (Muhammad) tentang Dia (Qs. Al-Furqān: 59)
Dalam ayat ini juga Ibnu ‘Āsyūr tidak menjelaskan dari kata istiwā’,
beliau hanya menuturkan bahwa penjelasan kata istiwā’ telah ada pada surat al-
A‘r āf.50
نـهما يف ستة أيام مث استـوى على العرش ما الله الذي خلق السماوات واألرض وما بـيـ رون (السجدةلكم من دونه من ويل4: وال شفيع أفال تـتذك(
Artinya: Allah lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy. Tidak ada bagi kamu selain dari padaNya seorang penolongpun dan tidak (pula) seorang pemberi syafa'at. Maka apakah kamu tidak memperhatikan? (Qs. Al-Sajdah: 4)
Pada ayat ini, tidak ditemukan penafsiran Ibnu ‘Āsyūr atas kata istiwā’.
Meskipun demikian dapat kita ketahui beliau mengarahkan pada para pembaca
bahwa ta’wīl kata istiwā’ dapat diketahui pada surat al- A‘rāf.51
49Muhammad Ṭāhir Ibnu ‘Āsyūr, al-Taḥrir wa al-Tanwīr, juz 13, Tunisia, al-Dar al-
Tunisiyah, 1984, hlm. 80 50Muhammad Ṭāhir Ibnu ‘Āsyūr, al-Taḥrir wa al-Tanwīr, juz 18, Tunisia, al-Dar al-
Tunisiyah, 1984, hlm. 60 51Muhammad Ṭāhir Ibnu ‘Āsyūr, al-Taḥrir wa al-Tanwīr, juz 20, Tunisia, al-Dar al-
Tunisiyah, 1984, hlm, 212
72
نا مث استـوى إىل السماء وهي دخان فـقال هلا ولألرض ائتيا طوعا أو كرها قالتا أتـيـ )11:طائعني (فصلت
Artinya: Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: "Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa." Keduanya menjawab: "Kami datang dengan suka hati." (Qs. Fuṣilat: 11)
Dalam ayat ini, Ibnu ‘Āsyūr menjelaskan kata istiwā’ secara singkat,
beliau menuturkan bahwa kata istiwā’ berarti menuju kepada sesuatu untuk
menguasai dan mendatangkan sesuatu yang lain. Kata istiwā’ pada ayat ini
sebagai perumpamaan (tamṡīl) karena adanya hubungan kehendak Allah dengan
menjadikan langit-langit. Setelah penjelasan singkatnya ini, Ibnu ‘Āsyūr
menambahkan keterangan bahwa penafsiran kata ini juga telah ada lebih dahulu
pada surat al-Baqarah.52
لم ما يلج يف هو الذي خلق السماوات واألرض يف ستة أيام مث استـوى على العرش يـع ها وما يـنزل من السماء وما يـعرج فيها وهو معكم أين ما كنتم وا لله األرض وما خيرج منـ
)4مبا تـعملون بصري (احلديد:Artinya: Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa:
Kemudian Dia bersemayam di atas ´arsy Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan (Qs. Al-Ḥadīd: 4)
Saat menafsirkan kata istiwā’ dalam ayat ini, Ibnu ‘Āsyūr menafsirkannya
dengan sangat singkat. Beliau berkata bahwa ayat Allah beristiwā’ di atas langit
menunjukkan makna perumpamaan (tamṡīl) untuk kata kerajaan. Meskipun
singkat dapat kita ketahui bahwa beliau menafsirkan kata istiwā’ tidak secara
literal.53
52Muhammad Ṭāhir Ibnu ‘Āsyūr, al-Taḥrir wa al-Tanwīr, juz 22, Tunisia, al-Dar al-
Tunisiyah, 1984, hlm. 245 53Muhammad Ṭāhir Ibnu ‘Āsyūr, al-Taḥrir wa al-Tanwīr, juz 27, Tunisia, al-Dar al-
Tunisiyah, 1984, hlm. 364
73
إن ربكم الله الذي خلق السماوات واألرض يف ستة أيام مث استـوى على العرش يـغشي والشمس والقمر والنجوم مسخرات بأمره أال له اخللق واألمر الليل النـهار يطلبه حثيثا
)54:تـبارك الله رب العالمني (االعرافArtinya: Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit
dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy.Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam (Qs. Al-A‘rāf: 54)
Sebagaimana telah diketahui, hampir dari ayat-ayat di atas Ibnu ‘Āsyūr
menyebutkan bahwa penjelasan tentang kata istiwā’ beliau mengatakan
“penjelasan kata istiwā’ telah terlebih dahulu dijelaskan pada surat al-A‘rāf ”.
maka di sini akan penulis paparkan secara detail sehingga akhirnya diketahui
penjelasan tentang istiwā’ menurut Ibnu ‘Āsyūr secara komprehensif.
Hakikat kata istiwā’ adalah i‘tid āl (lurus), dan pendapat yang diambil dari
para ulama’ tafsir dan bahasa adalah hakikat dari kata istiwā’ adalah al-
i‘til ā’ (ketinggian) dan irtif ā‘ (keluhuran). Selain makna secara hakikat, kata
istiwā’ mempunyai makna-makna lain yang bermacam-macam. Yang paling
terkenal adalah makna al-qaṣdu (menyengaja) dan al-i‘til ā’ (keluhuran). Dalam al-
Quran kata istiwā’ selalu disandarkan pada lafaẓ Allah dalam perkara yang
berhubungan dengan langit.
Kata istiwā’ banyak diulangi dalam al-Quran, sekitar tujuh ayat. Dari sini
Ibnu ‘Āsyūr berkata bagi beliau jelas bahwa kata istiwā’ mempunyai kekhususan
dalam perkataan orang Arab, maka dari itu yang paling penting adalah petunjuk
dari kata ini disampaikan secara global dengan hal-hal yang patut untuk sifat-sifat
Allah dan memberikan pemahaman terhadap keagungan-Nya. Oleh karena ini,
Ibnu ‘Āsyūr berkata beliau memilih untuk menafsirkan kata ini (istiwā’ )
dibandingkan kata lain yang ditafsirkan oleh para ulama’ tafsir.
Kata istiwā’ diucapkan untuk menjelaskan sifat keagungan dari sifat-sifat
keagungan Allah Sang pencipta. Adapun diucapkannya kata ini adalah sebagai
ungkapan perumpamaan (tamṡīl) dan metafora (isti‘ārah). Karena kata istiwā’ ini
74
adalah kata dalam bahasa Arab yang paling dekat untuk menyatakan keagungan
Allah. Sebagaimana diketahui, ketika Allah menjelaskan hal-hal yang tidak nyata
(ghaib) maka Allah akan mengungkapkannya dengan hal-hal yang ada di alam
nyata ini agar dapat mendekatkan pada pemahaman. Dan ungkapan–ungkapan ini
banyak terdapat dalam al-Quran, yakni ungkapan-ungkapan metafora tamṡīliyyah
(perumpamaan, contoh)dan takhlyiliyyah (gambaran, perkiraan).
Ulama’ salaf dalam menanggapi ayat-ayat seperti ini, mereka tidak
mempertanyakan dan mencari-cari maksudnya, karena mereka telah mengetahui
makna globalnya dan mereka merasa cukup dengan pengetahuan global tersebut.
Mereka menyebut ayat-ayat seperti ini dengan ayat-ayat mustasyābihāt. Pada
masa awal pembahasan tentang ayat-ayat seperti ini, mereka mengatakan “Allah
beristiwā’ di atas ‘arsy” tetapi kami tidak mengetahui caranya. ‘Iyāḍ
menceritakan dalam kitabnya al-Madārik dari Sufyān bin ‘Uyainah, bahwa ada
seorang lelaki yang bertanya kepada Imam Mālik, wahai Imam, Allah beristiwā’
di atas ‘arsy, bagaimana caranya?. Imam Mālik terdiam lalu menjawab,
istiwā’ telah diketahui, sedang caranya tidak terpikirkan oleh akal, bertanya
tentangnya bid‘ah, iman kepadanya wajib, saya menyangka kamu telah tersesat.
Riwayat tentang cerita ini telah terkenal.
Kemudian, pada masa ulama’ muta’akhir dari ulama Asy‘ariy mereka
melakukan ta’wīl-ta’wīl. Adapun yang terbaik adalah pendapat yang dicondongi
oleh Imam al-Haramain, yakni kata istiwā’ berarti, istīlā’ (menguasai), ini jika
kata istiwā’ dimuta‘adikan dengan huruf jar ��.
Setelah menyebutkan pendapat para ulama’ termasuk ta’wīl di atas. Ibnu
‘Āsyūr mengatakan, maksud ungkapan metafora dari kata istiwā’ tergantung pada
kata hubung yang ada sesudahnya. Jika kata istiwā’ dihubungkan dengan huruf jar
��, maka menunjukkan arti irtifā‘ keluhuran, ungkapan majāz dari kemampuan,
atau dimungkinkan juga sebagai perumpamaan (tamṡīl) untuk menjelaskan
perbuatan Allah dalam mengatur alam, yakni menciptakannya dan juga mengatur
urusan-urusannya dengan kekuatan-Nya.
75
Kemudian, jika kata istiwā’ dimuta‘adikan dengan huruf jar Maka .ا�
merupakan ungkapan metafora dari kata al-qaṣdu (menyengaja) dan al-tawajuh
(menghadap), yakni berhubungan dengan kehendak Allah.54
7. Berkenaan dengan jāa dan al-ityān (datang)
Ayat-ayat tentang perbuatan yang dinisbatkan kepada Allah sehingga
mengesankan adanya keserupaan dengan mahkluk-Nya adalah bahwa Allah
datang. Ayat-ayat yang dimaksud adalah sebagai berikut :
)22وجاء ربك والملك صفا صفا (الفجر:Artinya: Dan datanglah Tuhanmu sedang malaikat berbaris-baris (Qs. Al-Fajr:
22) Kata Jāa pada ayat ini ditafsirkan Ibnu ‘Āsyūr adakalanya sebagai bentuk
majaz ‘aqliy, yakni bukan Allah yang datang melainkan keputusan-Nya, atau
sebagai bentuk metafora dengan perumpamaan dimulainya perhitungan Allah
dengan kedatangan-Nya.55
الغمام والمالئكة وقضي األمر وإىل الله تـرجع هل يـنظرون إال أن يأتيـهم الله يف ظلل من )210األمور (البقرة:
Artinya: Tiada yang mereka nanti-nantikan (pada hari kiamat) melainkan datangnya (siksa) Allah dalam naungan awan dan malaikat, dan diputuskanlah perkaranya. Dan hanya kepada Allah dikembalikan segala urusan (Qs. Al-Baqarah:210)
Dalam menjelaskan kata ityān (datang) pada ayat ini, Ibnu ‘Āsyūr
menjelaskan sebagai berikut :56
Kata ityān berarti hadirnya diri dalam suatu tempat setelah sebelumnya ia
hadir di suatu tempat pula, disandarkannya kata ityān pada Allah dengan
54 Penafsiran kata istiwā’dalam ayat ini berdasarkan pembacaan penulis atas Muhammad
Ṭāhir Ibnu ‘Āsyūr, al-Taḥrir wa al-Tanwīr, juz 8, Tunisia, al-Dar al-Tunisiyah, 1984, hlm. 162-165
55Muhammad Ṭāhir Ibnu ‘Āsyūr, al-Taḥrir wa al-Tanwīr, juz 30, Tunisia, al-Dar al-Tunisiyah, 1984, hlm.337
56Muhammad Ṭāhir Ibnu ‘Āsyūr, al-Taḥrir wa al-Tanwīr, juz 2, Tunisia, al-Dar al-Tunisiyah, 1984, hlm. 284-285
76
menetapkan keberadaan-Nya (ityān). Maka menuntut literalnya kata ityān
dilekatkan pada Allah, padahal kata ityān pasti mengandung arti berpindah dan
membentang agar bisa disebut ityān. Jika demikian maka memastikan adanya
jasad, padahal Allah disucikan dari memiliki jasad. Maka dengan demikian jelas
harus memalingkan literalnya kata ityān dengan dalil logika. Yakni jika ada
perkataan berupa kabar, atau ejekan, maka tidak perlu melakukan ta’wīl, karena
kepercayaan manusia jelas menentangnya. Sedangkan jika perkataan itu termasuk
janji Allah maka harus dilakukan ta’wīl. Karena allah yang wujud tidak disifati
dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh makhluk seperti berpindah, oleh karena itu
harus menta’wilkan ayat ini menurut kita berdasarkan pokok al-Asy‘ariy dalam
menta’wilkan ayat-ayat mutasyabihat.
Adapun yang dita’wilkan bisa kata ityān, bisa juga disandarkannya kata
ityān pada Allah.
Yang pertama, kelompok salaf berkata sebelum adanya keraguan-
keraguan yang dibuat oleh orang-orang yang benci agama. Bahwa ditetapkannya
sifat-sifat mutasyabihat tanpa adanya ta’wil . Maka kata ityān tetap berlaku bagi
Allah tetapi tanpa cara, seperti sifat beristiwa’. Maksudnya Allah datang tetapi
tidak seperti datangnya makhluk.
Yang kedua, kelompok muta’akhirin berkata untuk menolak keburukan
dari orang yang membenci agama. Di antara ta’wil-ta’wil yang dimaksud adalah :
1. Datangnya Allah boleh dita’wil dengan mengatakan datangnya Allah adalah
makna kiasan/majaz, dalam hadirnya Allah dan pertolongan-Nya. Ta’wil ini di
antaranya, jika kata ganti/ḍamīrinya kembali pada orang yang mengisyaratkan
mengharap riḍā Allah.
2. Disandarkannya ityān kepada Allah dimaksudkan penyandaran secara
kiasan/majaz. Maka yang dimaksud ayat ini adalah datangnya siksa Allah
pada hari kiamat.
3. Yang datang adalah firman Allah yang mengandung perintah, yang perkataan
itu didengar dari balik awan yang tertutup.
Kata ityān juga dalam al-Quran terdapat pada surat al-An‘ām: 158 sebagai
berikut:
77
فع نـ هل فسا يـنظرون اال ان تأتيـهم المالئكة او يأيت ربك او يأيت بـعض ايات ربك اليـنـرا قل انـتظروا انا منتظرون (األنعام: إميانـها مل تكن امنت من قـبل او كتبت ىف إمياا خيـ
158( Artinya: Yang mereka nanti-nanti tiada lain hanyalah kedatangan malaikat
kepada mereka (untuk mencabut nyawa mereka), atau kedatangan (siksa) Tuhanmu atau kedatangan beberapa ayat Tuhanmu. Pada hari datangnya beberapa ayat dari Tuhanmu tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang kepada dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum mengusahakan) kebaikan dalam masa imannya. Katakanlah: Tunggulah olehmu sesungguhnya kami pun menunggu (pula) (Qs. al-An‘ām: 158)
Kata ityān (datang) yang dinisbatkan pada Allah di ayat ini dipahami Ibnu
‘Āsyūr sebagai bentuk majaz/kiasan. Maka maksud dari ayat ini adalah
datangnya siksa Allah yang besar, bukan datangnya żāt Allah. Karena besarnya
siksa Allah yang datang, maka kata ityān (datang) dinisbatkan kepada Allah (yang
mempunyai perintah) karena kepastian datangnya perintah itu. Ini juga ditujukan
supaya diketahui agungnya perkara tersebut dikarenakan penyebutannya
dinisbatkan pada yang memberi perintah. Contoh dari isnād majāziy adalah
perkataan “raja membangun kota”.57 Tentu kata ini dapat jelas diketahui
menunjukkan makna kiasan karena tidaklah mungkin seorang raja membangun
kota secara pribadi. Ini bertujuan menampakkan kebesaran pembangunan tersebut.
8. Berkenaan dengan ru’yah (melihat Allah)58
)22- 23) (القيامة: 23) إىل ربـها ناظرة (22وجوه يـومئذ ناضرة (Artinya: Wajah-wajah (orang mu’min) pada hari itu berseri-seri (22) kepada
Tuhannyalah mereka melihat (23) (Qs. Al-Qiyāmah: 22-13) Dalam menjelaskan perihal ru’yah (melihat Allah), Ibnu ‘Āsyūr
memulainya dengan mengartikan terlebih dahulu kata nāẓirāh dalam ayat ini.
57Muhammad Ṭāhir Ibnu ‘Āsyūr, al-Taḥrir wa al-Tanwīr, juz 8, Tunisia, al-Dar al-
Tunisiyah, 1984, hlm. 186 58Muhammad Ṭāhir Ibnu ‘Āsyūr, al-Taḥrir wa al-Tanwīr, juz 29, Tunisia, al-Dar al-
Tunisiyah, 1984, hlm. 353-355
78
Menurutnya kata tersebut berasal dari kata naẓara yang berarti memandang
dengan mata, ini untuk memperlihatkan kemuliaan wajah-wajah yang
memandang-Nya, dikarenakan kekhususan memandang ke sisi Allah yang
dimiliki mereka tidak dapat dilakukan oleh siapa saja yang tidak berada pada
tingkatan mereka.
Dalālah (petunjuk) tentang dilihatnya Allah oleh orang mu’min dengan
mata mereka secara global, menunjukkan dalālahẓanniy. Karena masih
memungkinkannya dita’wilkan seperti yang lakukan kelompok Mu‘tazilah, bahwa
melihat Allah kelak, adalah melihat keagungan-Nya, gemilangnya kesucian-Nya,
yang mana kekuasaan melihat tersebut tidak diperoleh kecuali bagi orang-orang
yang beruntung (penduduk surga).
Ibnu ‘Āsyūr menuturkan mengenai pemahaman ayat ini, para ulama’ telah
berbeda-beda pendapat, yakni:
Ulama’-ulama’ pada masa awal, yakni para ulama salaf. Menanggapi ayat
ini mereka menempuh jalan dan akhlaq dari sejarah Nabi, yakni mengimani apa
yang datang secara global dan menghindarkan dari mencari-cari dan meneliti
kenyataannya dengan menggunakan rasio mereka telah benar-benar mendengar
hal ini dan yang serupa baik itu keseluruhan ataupun sebagian. Mereka
menyibukkan diri mereka dan tidak mencari-cari penjelasan rincinya, justru
mereka memalingkan diri mereka untuk perkara yang lebih benar yakni menolong
dan bersungguh-sungguh dalam mendirikan ajaran agama, dan menetapkan
kekuasaan syariatnya serta yakin sucinya Allah dari hal-hal lahiriyah yang
disebutkan oleh ayat-ayat sifat tersebut. Mereka menjadikan pedoman dari sikap
mereka dengan ayat al-Quran yang menyatakan “tidak ada suatupun yang
menyerupai Allah”. Atau juga dalil lain yang mensucikan Allah dari dapat dilihat,
yakni “tidak dapat melihat-Nya makhluk-makhluk” (dengan menisbatkan konteks
ayat dalam dunia ini). Mereka juga sepakat bahwa ketidaktahuan dalam urusan
rinci tantang ayat-ayat sifat tidaklah menjadi celaan dalam hal ‘aqidah.
Kemudian, dengan berubahnya masa dan pola pemikiran, maka pada
berikutnya para ulama’ tidak hanya bersikap seperti di atas, melainkan berusaha
mendiskusikannya, mencari-cari pengetahuan tentang ayat-ayat tersebut,
79
dikarenakan untuk membentengi agama ini dari orang-orang yang mempunyai
niatan buruk dan bertujuan merusak tatanan agama ini, ulama-ulama masa ini
melakukan metode mengkompromikan hal-hal yang bertentangan, mereka
melakukan ta’wīl lalu dikuatkan dengan dalil-dalil.
Kelompok-kelompok menempuh metode-metode ta’wil secara global, dan
mereka mempercayai ayat-ayat mutasyābihāt tersebut secara global dan meyakini
dengan mensucikan Allah dari maksud literalnya ayat, mereka tidak mencari-cari
pengetahuan rincinya tetapi menta’wilkan secara global. Kelompok ini disebut
kelompok salaf karena metode yang ditempuh mendekati metode salaf dalam
ayat-ayat mutasyābihāt. Kelompok-kelompok ini berbeda-beda sesuai dasar
mereka. Seperti al-Ḥanābilah, al-Ẓawāhir, al-Khawārij yang terdahulu yakni
yang tidak mengikuti metode al-Mu‘tazilah.
Di antara mereka juga ada Ahl al-sunnah sebelum al-Asy‘āri, seperti
Mālikiyyah, dan Ahl al-Ḥadīṡ mereka berpegang teguh pada makna literal ḥadīṡ-
ḥadīṡṣaḥīḥ dengan memberikan pengkhususan untuk dita’wilkan secara global.
Sungguh telah melampaui batas golongan yang hanya mengambil makna literal
dari sifat-sifat Allah, mereka seperti al-Karāmiyah dan al-Musyabbihah.
Setelah menjelaskan perbedaan para ulama’, Ibnu ‘Āsyūr menyebutkan
kesimpulan dari pendapat mereka terhadap ayat melihat (ru’yah) sebagai berikut:
Kelompok Salaf menetapkan tentang melihat (ru’yah) tanpa
membahasnya, Mu‘tazilah menafikannya dan menta’wilkan dalil-dalil pada arah
majaz, isytirāk, kemudian mereka mentarjih apa yang pasti bagi mereka dan
mereka melampaui batas.
Al-‘Asy‘ āirah menetapkan ru’yah (melihat Allah), mereka melontarkan
dalil-dalil yang menjadikan kepastian dengan membatalkan pendapat Mu‘tazilah.
Setiap kelompok yang datang dengan dalil-dalil (hujah-hujah) tidak ada
yang selamat dari pertentangan, maka menolak dan mengambil pendapat akan
terus ada tanpa ada batas. Dan yang baik adalah kita menyerahkan kaifiyah ru’yah
(cara melihat Allah) kepada pengetahuan Allah seperti ayat-ayat mutasyābihāt
lainnya yang kembali pada sifat dan keadaan Allah sang pencipta.
80
Top Related