PEMETAAN LAMA KETERGENANGAN ZONA INTERTIDAL DI PANTAI TIMUR BINTAN
DESA TELUK BAKAU
Arief Herriansyah; Risandi Dwirama Putra, ST, M.Eng; Arief Pratomo, ST, M.Si.*)
Jurusan Ilmu Kelautan
Fakulas Kelautan dan Perikanan, Universitas Maritim Raja Ali Haji
Jl Politeknik Senggarang KM 24 Tanjungpinang 29125 - Telepon: (0771) 4500098
Email : [email protected]; [email protected]; [email protected]
ABSTRAK
Herriansyah, Arief. 2016. Pemetaan Lama Ketergenangan Zona Intertidal di Pantai Timur Bintan Desa
Teluk Bakau. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Maritim Raja Ali Haji.
Pembimbing I : Risandi Dwirama Putra, ST, M.Eng. Pembimbing II : Arief Pratomo, ST, M.Si.
Penelitian ini bertujuan untuk memetakan, menganalisa dan mengklasifikasikan zona intertidal
berdasarkan data lama ketergenangan perairan di daerah Pantai Trikora Desa Teluk Bakau. Pengambilan
data survey lapangan meliputi 2 data, yaitu data batimetri perairan dan kemiringan pantai. Data batimetri
kemudian dikoreksi dengan nilai kedalaman transducer serta data pasang surut DISHIDROS TNI-AL
2016 stasiun Tanjung Uban. Kontur batimetri perairan diolah menggunakan Surfer untuk menghasilkan
daerah batasan zona intertidal dan lama ketergenangannya yang diolah berdasarkan data tabel pasang
surut DISHIDROS TNI-AL 2016 selama 1 tahun. Kelas kemiringan didapati pada daerah Pantai Trikora
Desa Teluk Bakau lereng miring medominasi wilayah ini dengan persentase 50.7%. Batasan zona
intertidal pada daerah Pesisir Teluk Bakau tersebut yaitu pada kedalaman 3.4 m diukur saat pasang
tertinggi (Hide Astronomical Tide/HAT) dengan lama ketergenangannya pada kedalaman 0-0.5 m akan
digenangi selama 8.4 hari/tahun; kedalaman 0.5-1 m tergenang selama 52 hari/tahun; kedalaman 1-1.5 m;
1.5-2 m; 2-2.5 m; dan 2.5-3 m akan mengalami masa genangan beturut selama 134 hari; 252 hari; 357
hari; dan 365 hari/tahun.
Kata Kunci : Zona Intertidal, Lama Ketergenangan, Batimetri, Kemiringan, Pantai, Pasang Surut, Surfer
10, Arc GIS 10.1.
ABSTRACT
Herriansyah, Arief. 2016. Mapping of Intertidal Zone Puddle Period on the East Coast Teluk Bakau
Bintan. Faculty of Marine Sciences and Fisheries. Maritime University of Raja Ali Haji. Supervisor
I: Risandi Dwirama Putra, ST, M.Eng. Supervisor II: Arief Pratomo, ST, M.Si.
This study aims to map, analyze and classify the intertidal zone is based on puddle period data
Trikora Beach area waters in the village of Teluk Bakau. Data retrieval field survey covers 2, data
bathymetry and slope of the coastal waters. Bathymetry data is then corrected by the value of the depth
transducer and tide data DISHIDROS-TNI AL 2016 Tanjung Uban station. Bathymetric contour
2
processed using Surfer to generate local restrictions and long puddle period intertidal zone are processed
by a data table tidal DISHIDROS the Navy in 2016 for 1 year. Class found in the slope of Trikora Beach
area Teluk Bakau angled slopes dominanted this region with the percentage of 50.7%. Limitation of the
intertidal zone in the Gulf Coast area of mangrove, which is at a depth of 3.4 m measured at the highest
tide (Hide Astronomical Tide / HAT) with long puddle period at a depth of 0-0.5 m will be inundated
during the 8.4 days / year; depth of 0.5-1 m stagnant for 52 days / year; depth 1-1.5 m; 1.5-2 m; 2-2.5 m;
and 2.5-3 m will experience a period of inundation continue for 134 days; 252 days; 357 days; 365 days /
year.
Keywords: Intertidal Zone, Puddle Period, Bathymetry, Tilt, Beach, Tidal, Surfer 10, Arc GIS 10.1.
PENDAHULUAN
Wilayah pesisir merupakan suatu wilayah
daratan yang berbatasan dengan laut, dengan
batas di daratan meliputi daerah-daerah yang
tergenang air maupun yang tidak tergenang air
yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut
seperti pasang surut, arus, dan gelombang.
Desa Teluk Bakau merupakan salah satu
daerah di Kepulauan Riau yang ditetapkan
menjadi daerah konservasi padang lamun
dimana pada bagian zona intertidalnya terdapat
berbagai ekosistem yang menjadi rumah bagi
bermacam-macam organisme. Banyaknya faktor
lingkungan maupun dari manusia ikut turut
mempengaruhi keberlangsungan ekosistem
tersebut, salah satunya ialah lamanya
ketergenangan perairan akibat adanya pasang
surut.
Zona intertidal merupakan suatu kawasan
di daerah pantai dimana didalamnya terdapat
pengaruh pasang surut air laut secara berkala.
Penelitian tentang zonasi daerah intetidal ini
sangat dibutuhkan untuk keperluan penelitian
dan pengetahuan terhadap keberadaan zona
intertidal. Penelitian zonasi ini dilakukan dengan
memetakan suatu zona intertidal atau daerah
pasang surut. Dengan adanya pemetaan zona
intertidal, akan didapatkan data dasar mengenai
zona pasang surut dan lama ketergenangan
perairan di daerah Teluk Bakau yang berguna
sebagai acuan dalam pengembangan kegiatan
penelitian yang lebih lanjut.
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan
Februari – Maret 2016. Tempat penelitian di
perairan pesisir Teluk Bakau, Kecamatan
Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, Provinsi
Kepulauan Riau. Lokasi pengamatan (Gambar
4) terletak pada 1.000 LU – 1.005 LU hingga
104.035 BT – 104.040 BT.
Gambar 1. Lokasi Penelitian
Alat dan Bahan
Adapun peralatan serta bahan-bahan yang
digunakan dalam penelitian ini tertera pada tabel
dibawah :
3
No Nama Alat dan
Bahan
Deskripsi
1 Fish Finder Digunakan untuk keperluan survey pemeruman
perairan intertidal.
2 Global Positioning
System (GPS)
Menentukan titik koordinat/mencatat posisi dalam
penelitian.
3 Perahu Motor Digunakan sebagai alat transportasi dalam survey
pemeruman.
4 Tongkat Ukur Digunakan sebagai alat ukur kemiringan pantai.
5 Selang Waterpass Diguanakan sebagai penyeimbang dalam pengukuran
pantai.
6 Lembar Kerja dan alat
tulis
Sebagai media pencatatan data selama survey
pemeruman.
7 Kamera Keperluan dokumentasi.
8 ArcGIS versi (10.1) Digunakan dalam pengolahan citra kemudian
mendigitasi wilayah penelitian, membuat pemetaan
wilayah genangan.
9 Microsoft Excel 2007 Digunakan untuk pengolahan data.
10 Surfer versi (10) Digunakan untuk analisa kontur dan pembuatan kontur
3D zona intertidal.
11 Data Pasang Surut
DIHISROS
Digunakan untuk meramalkan masa lama genangan
pada zona intertidal.
12 Citra SPOT Digunakan sebagai bahan dasar dalam pemetaan.
Tabel 1. Alat dan Bahan
Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan terdiri dari 2
jenis, yaitu data primer dan data sekunder. Data
primer merupakan data yang didapat dari hasil
survey pemeruman dan kemiringan pantai.
Sedangkan data sekunder di peroleh dari instansi
terkait seperti data pasang surut dari DIHIDROS
TNI-AL dan citra satelit dengan lokasi Pulau
Bintan. Kemudian untuk mengolah dan
menganalisis data dilakukan di Laboratorium
Sistem Informasi dan Komputasi, Fakultas Ilmu
Kelautan dan Perikanan, Universitas Maritim
Raja Ali Haji.
Pengukuran Batimetri
Pengambilan data pemeruman/batimetri
menggunakan alat perum gema (fishfinder)
secara singlebeam (pancaran tunggal).
Pengukuran data kedalaman dilakukan langsung
di pesisir perairan pantai Trikora Desa Teluk
Bakau dengan metode Shallow Sounding
menggunakan perahu motor. Sebelum
melakukan pemeruman terlebih dahulu
ditentukan perencanaan lajur perum pada peta
lokasi.
Lajur pemeruman dibuat berupa garis,
dilakukan sebanyak 4 garis lajur sejajar garis
pantai dengan jarak antar lajur 50 m.
Pemeruman akan dilakukan mengikuti garis
dengan jarak antara titik pengambilan data
kedalaman perairan yaitu 25-30 m.
Gambar 2. Contoh Lajur Pemeruman Dengan
Metode Shallow Sonding (BIG, dimodifikasi)
Pengukuran Kemiringan Pantai
Pengukuran kemiringan dari pantai ini
bertujuan untuk mendapatkan klasifikasi dari
profil pantai. Selain itu titik koordinat yang
didapat akan digunakan sebagai penentu batas
pasang tertinggi. Pengukuran dilakukan pada
saat surut terendah.
Gambar 3. Pengukuran Kemiringan Pantai
Dan gambar diatas, diketahui bahwa X
merupakan jarak antara kedua tongkat ukur, Y
merupakan selisih antara ketinggian tongkat
ukur dari pantai (b) dan ketinggian tongkat ukur
4
pada perairan (a), serta α merupakan besarnya
persentase sudut dari kemiringan pantai.
Hubungan antara tiap komponen tersebut dapat
dirumuskan seperti berikut ini :
𝛼 = 𝑌
𝑋 x 100%
Keterangan:
α : Besarnya persentase (%) kemiringan
pantai (slope)
Y : Selisih ketinggian yang diperoleh
tongkat ukur (cm)
X : Jarak antara kedua tongkat ukur (cm)
Kemudian dari hasil tersebut
diklasifikasikan jenis profil pantai menurut
Sunarto (1991). Penentuan titik stasiun
penelitian berdasarkan titik koordinat yang
diambil GPS saat survey lapangan. Jarak antara
masing-masing titik ialah ± 25 – 30 m.
Analisis Data
Analisis Konstanta Harmonik Pasang Surut
Pasang surut dianalisa menggunakan
metode Least Square. Analisis menggunakan
metode Least Square menghasilkan besarnya
nilai komponen-komponen harmonik pasang
surut air laut (S0, M2, S2, N2, K2, K1, O1, P1,
MS4, dan M4), sehingga dapat dihitung nilai
Formzahl untuk mengetahui tipe pasang surut.
Rumus Formzahl ialah sebagai berikut :
𝐹 =𝐾1 + 𝑂1
𝑀2 + 𝑆2
Dimana :
F : Formzahl atau konstanta pasang surut
K1 : Amplitudo dari anak gelombang
pasang surut harian tunggal rata-rata
yang dipengaruhi oleh deklinasi bulan
dan mata hari
O1 : Amplitudo dari anak gelombang
pasang surut harian tunggal yang
dipengaruhi oleh deklinasi matahari
M2 : Amplitudo dari anak gelombang
pasang surut harian ganda rata-rata yang
dipengaruhi oleh bulan
S2 : Amplitudo dari anak gelombang
pasang surut harian ganda rata-rata yang
dipengaruhi oleh matahari.
Untuk penentuan Chart datum (Z0) dalam
penelitian ini dihitung menggunakan persamaan
yang digunakan DISHIDROS Cilacap
(Ongkosongo dan Suyarso, 1987), sebagai
berikut:
Z0 : S0 – (1.2 x (M2 + S2 + K2))
Keterangan :
S0 : Muka air rata-rata (Mean Sea Level)
Z0 : Chart Datum
M2 : Amplitudo dari anak gelombang
pasang surut harian ganda rata-rata yang
dipengaruhi oleh bulan
S2 : Amplitudo dari anak gelombang
pasang surut harian ganda rata-rata yang
dipengaruhi oleh matahari.
K2 : Amplitudo dari anak gelombang
pasang surut semi diurnal karena
pengaruh perubahan jarak akibat
lintasan bulan yang elips.
Setelah didapatkan nilai Formzahl dan
chart datum, kemudian akan dicari nilai dari
HAT (Highest Astronomical Tide) atau pasang
tertinggi berdasarkan astronomi, MSL (Mean
Sea Level) atau muka rerata air laut, dan LAT
(Lowest Astronomical Tide) atau surut terendah
berdasarkan astronomi. HAT ini akan dijadikan
sebagai acuan dalam nilai koreksi kedalaman.
HAT : Z0 + (K1 + O1 + S2 + M2 + N2 + K2 + P1
+ M4 + MS4)
MSL : Z0
5
LAT : Z0 - (K1 + O1 + S2 + M2 + N2 + K2 + P1 +
M4 + MS4)
Keterangan :
HAT : Highest Astronomical Tides / nilai
muka air tertinggi dihitung berdasarkan
astronomi.
LAT : Lowest Astronomical Tides / nilai
muka air terendah dihitung berdasarkan
astronomi.
Koreksi Kedalaman
Koreksi Kedalaman Alat
Menurut Soeprapto (1999) dalam
Simanjuntak (2012) bahwa data hasil
pengukuran batimetri harus dikoreksi terhadap
kedudukan permukaan air laut pada waktu
pengukuran dan dilakukan koreksi terhadap
jarak tenggelam transducer (draft transducer)
agar diperoleh kedalaman sebenarnya. Setelah
nilai koreksi transducer diperoleh maka dapat
dilakukan koreksi terhadap nilai kedalaman hasil
ukur dengan cara menjumlahkan nilai koreksi
transducer dengan nilai kedalaman hasil ukur.
Sehingga hasilnya diperoleh nilai kedalaman
sebenarnya terhadap koreksi alat.
Gambar 4. Koreksi Alat Transducer
Dari gambar 4 maka untuk mencari nilai
kedalaman sebenarnya terhadap koreksi
transducer dapat dirumuskan sebagai berikut :
d = A + B
Keterangan :
d : Kedalaman koreksi terhadap transducer (m)
B : Kedalaman air hasil sounding (m)
A : Jarak transducer ke permukaan air (nilai
koreksi draft transducer) (m)
Koreksi Terhadap Kedalaman Acuan
Nilai acuan (datum) yang digunakan
dalam penelitian ini ialah HAT (Hide
Astronomical Tide). Nilai HAT akan menjadi
nilai kedalaman terendah atau nilai nol (0) meter
yang merupakan zona atas intertidal. HAT
diperoleh dari hasil analisis konstanta harmonik
pasang surut tabel DISHIDROS TNI-AL pada 1
bulan tertentu. Adapun rumus koreksi terhadap
kedalaman acuan ialah sebagai berikut :
Z : d(t) + (hmax – htab (t)).
Dimana :
Z : Kedalaman koreksi terhadap acuan (m)
d(t) : Kedalaman saat pengukuran (m)
hmax : Highest Astronomical Tides / nilai
muka air tertinggi dihitung berdasarkan
astronomi (m)
Htab (t) : Nilai tinggi pasang surut pada tabel
DISHIDROS saat pengukuran (m)
Analisis Kontur Kedalaman Untuk
Menghasilkan Peta
Pengolahan peta kedalaman dengan
menggunakan software Surfer 10. Data yang
dimasukkan dalam membuat peta kontur
kedalaman adalah nilai koordinat dalam sistem
proyeksi Universal Transverse Mercator (UTM)
yaitu easting (X) dan northing (Y) serta nilai
kedalaman perairan (Z).
Penentuan Zona Intertidal
Penentuan Zona Intertidal dilakukan
dengan cara kontur kedalaman dibatasi sampai
dengan kedalaman perairan saat HAT/mencapai
pasang tertinggi saat astronomis sehingga
terlihat tiap batasan zona intertidal dalam peta
6
No Kelas Kedalaman Kalkulasi Lama Ketergena n gan
1 a - b a+b 2 b - c a+b+c 3 c - d a+b+c+d 4 d - e a+b+c+d+e 5 e - f a+b+c+d+e+f
dasar sepanjang daerah Teluk Bakau tersebut.
Hal ini digunakan dalam menentukan
segmentasi dari kelas-kelas kedalaman suatu
perairan pada saat mengalami pasang maupun
surut.
Lama Genangan
Pengolahan data lama ketergenangan ini
menggunakan data pasang surut dari
DISHIDROS TNI AL tahun 2016 pada stasiun
Tanjung Uban. Data pasang surut diolah dengan
Microsoft Excel yang kemudian dibagi
berdasarkan kelas-kelas kedalaman yang telah
ditentukan sebelumnya. Lama ketergenangan
dalam suatu kelas kedalaman dikalkulasikan
berdasarkan seberapa lama air tersebut
mengalami pasang maupun surut di perairan tiap
kurun waktu tertentu. Rumus yang digunakan
dalam menentukan kelas kedalaman ialah :
Kelas Kedalaman : HAT – LAT
0,5
Dimana :
LAT : Lowest Astronomical Tides / nilai
muka air terendah dihitung berdasarkan
astronomi
HAT : Highest Astronomical Tides / nilai
muka air tertinggi dihitung berdasarkan
astronomi.
Setelah didapatkan kelas lama
ketergenangan, langkah selanjutnya ialah
melakukan penyortiran terhadap data tabel
pasang surut DISHIDROS TNI AL dalam kurun
waktu selama 1 tahun. Setiap penambahan kelas
kedalaman maka nilai kelas kedalaman yang
sebelumnya juga ikut ditambah, hal ini
mencerminkan lama ketergenangan suatu
perairan dimana bertambahnya suatu kedalaman
perairan akan mebuat lama ketergenangannya
pun menjadi lebih panjang. Rumus yang di
gunakan ialah sebagai berikut :
Tabel 2. Kalkulasi Lama Ketergenangan
Terhadap Kelas Kedalaman
HASIL DAN PEMBAHASAN
Batimetri Perairan
Gambar 5. Jalur Survey Pemeruman
Survey kedalaman perairan dilakukan
pada tanggal 7-8 Maret 2016 pada perairan
Pantai Trikora Desa Teluk Bakau dengan
menggunakan Fishfinder dan GPS untuk
mengkoordinatkan titik kedalaman suatu
perairan saat penelitian dan mencatat waktu saat
penelitian.
Gambar 5. menunjukan peta data hasil
pemeruman yang telah dilakukan. Total titik
pemeruman berjumlah 616 titik dan lajur
pemeruman di bagi menjadi 3 bagian. Data
kedalaman yang diperoleh pada penelitian ini
adalah yang telah dikoreksi oleh draft
transduser, kemudian data yang terkoreksi oleh
draft transduser dikoreksi kembali dengan
koreksi pasang surut.
7
No Bujur Lintang Kemiringan Beda
Tinggi
(m)
Kelas Kemiringan
y (m) x (m) %
1 104.6405 1.07865 2.01 15.23 9.914642 0.5 Lereng Miring
2 104.6407 1.07848 1.84 16.38 8.180708 0.5 Lereng Miring
3 104.6408 1.07829 1.83 12.85 10.35019 0.5 Lereng Miring
4 104.641 1.0781 1.43 13 7.153846 0.5 Lereng Landai
5 104.6411 1.0779 0.85 15.9 2.201258 0.5 Lereng Datar
6 104.6419 1.07611 2.14 15.83 11.6235 0.3 Lereng Miring
7 104.642 1.07593 2.3 17.73 10.15228 0.5 Lereng Miring
8 104.6421 1.07571 2.6 17.48 14.30206 0.1 Lereng Sangat Miring
9 104.6422 1.07552 2.18 14.77 13.40555 0.2 Lereng Miring
10 104.6424 1.07531 2.23 14.14 14.35644 0.2 Lereng Sangat Miring
11 104.6424 1.0751 2.24 13.56 15.04425 0.2 Lereng Sangat Miring
12 104.6445 1.07252 1.28 14.8 5.27027 0.5 Lereng Landai
13 104.644 1.07209 1.85 12.29 10.98454 0.5 Lereng Miring
14 104.6441 1.07187 2.03 11.49 13.31593 0.5 Lereng Miring
15 104.6442 1.07165 2.29 13.07 15.22571 0.3 Lereng Sangat Miring
16 104.6443 1.07146 2.15 12.27 15.07742 0.3 Lereng Sangat Miring
17 104.6444 1.07128 2.11 13.61 13.29904 0.3 Lereng Miring
18 104.6522 1.06198 2.35 11.6 19.39655 0.1 Lereng Sangat Miring
19 104.6524 1.06181 2.22 10.81 19.61147 0.1 Lereng Sangat Miring
20 104.6525 1.06169 1.75 9.6 15.10417 0.3 Lereng Sangat Miring
21 104.6518 1.05959 1.44 7.49 12.55007 0.5 Lereng Miring
22 104.6519 1.05984 1.79 10.06 12.82306 0.5 Lereng Miring
23 104.6518 1.05931 2.31 7.71 23.47601 0.5 Lereng Curam
24 104.6536 1.04927 1.73 11.09 11.09107 0.5 Lereng Miring
25 104.6538 1.04911 2 11.47 13.07759 0.5 Lereng Miring
Kemiringan (Slope) Pantai
Pengukuran kemiringan (Slope) pantai
dilakukan dengan menyusuri sepanjang garis
pantai pada daerah Teluk Bakau. Pengukuran
dimulai pada titik 1.07865 N ; 104.6405 E
hingga 1.02485 N ; 104.65447 E mengunakan
GPS, tongkat skala serta selang waterpass.
Gambar 6. Peta Jalur Pengukuran Kemiringan
Pantai Desa Teluk Bakau
Jarak antar tiap titik pengukuran
kemiringan pantai berkisar ± 25 – 30 m, hingga
jumlah total pengukuran kemiringan mencapai
278 titik.
Tujuan dari pengukuran kemiringan
pantai ini ialah untuk mendapatkan klasifikasi
kemiringan pantai daerah Teluk Bakau serta
mendapatan titik batas antara pasang tinggi di
sepanjang pantai secara aktual. Berikut ini
merupakan tabel sebagai gambaran contoh hasil
pengukuran kemiringan pantai.
Klasifikasi kemiringan pantai yang
digunakan merupakan klasifikasi menurut
Sunarto (1991) yang membaginya dalam bentuk
persentase, dimana :
0.0-2.9 % : Lereng Datar
3.-7.9 % : Lereng Landai
8.0-13.9 % : Lereng Miring
14.0-20.9 % : Lereng Sangat Miring
21.0-55.9 % : Lereng Curam
56.0-140.9 % : Lereng Sangat Curam
>140.9 % : Lereng Terjal
Tabel 3. Pengukuran Kemiringan Pantai
Sumber : Data Primer (2016)
Gambar 7. Persentase Total Kemiringan Pantai
Trikora Daerah Teluk Bakau
Berdasarkan perhitungan, untuk nilai
kemiringan terendah yaitu 2.201% dengan kelas
kemiringan lereng datar. Sedangkan untuk nilai
kemiringan tertinggi dengan persentase 23.476%
dan termasuk kedalam kelas kemiringan lereng
curam. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa
8
No Bujur Lintang Kedalaman (m) d(t) (m) Hmax (m) Htab(t)
(M)
Z
(M)
1 104.64468 1.08067 2.9 3.4 3.4 1.200 5.60
2 104.64464 1.08038 4.7 5.2 3.4 1.200 7.40
3 104.64467 1.08011 4.9 5.4 3.4 1.200 7.60
4 104.64469 1.0799 4.5 5 3.4 1.200 7.20
5 104.64489 1.07954 4.3 4.8 3.4 1.200 7.00
6 104.64504 1.07925 3.7 4.2 3.4 1.200 6.40
7 104.64529 1.07901 3.1 3.6 3.4 1.200 5.80
8 104.64552 1.07885 2.9 3.4 3.4 1.200 5.60
9 104.64574 1.07867 4.2 4.7 3.4 1.200 6.90
10 104.6459 1.07841 4.6 5.1 3.4 1.200 7.30
11 104.64604 1.07815 7.4 7.9 3.4 1.200 10.10
12 104.64611 1.0779 9 9.5 3.4 1.200 11.70
13 104.64607 1.07755 9 9.5 3.4 1.200 11.70
14 104.64603 1.07716 8.3 8.8 3.4 1.200 11.00
15 104.64616 1.0768 3.3 3.8 3.4 1.200 6.00
16 104.6463 1.07657 3.4 3.9 3.4 1.200 6.10
17 104.64645 1.07636 3.4 3.9 3.4 1.200 6.10
18 104.64652 1.07583 2.4 2.9 3.4 1.200 5.10
19 104.64664 1.07547 2.7 3.2 3.4 1.200 5.40
20 104.64671 1.0751 2.6 3.1 3.4 1.200 5.30
21 104.64662 1.07478 3 3.5 3.4 1.200 5.70
22 104.64654 1.07447 4.8 5.3 3.4 1.200 7.50
23 104.64662 1.07408 4.9 5.4 3.4 1.200 7.60
24 104.64675 1.07376 4.9 5.4 3.4 1.200 7.60
25 104.64688 1.07351 4.8 5.3 3.4 1.200 7.50
kelerengan yang medominasi di wilayah Pantai
Trikora Desa Teluk Bakau ialah lereng miring.
Analisis Pasang Surut
Untuk analisis pasang surut, data yang
digunakan dalam penelitian ini ialah data tabel
pasang surut DISHIDROS TNI AL tahun 2016
bulan Maret. Data yang digunakan merupakan
data tabel pasang surut stasiun Tanjung Uban.
Data pasang surut kemudian analisa dengan
metode Least Square untuk didapatkan nilai
komponen harmonik pasang surut.
Tabel 4. Hasil Analisis Komponen Harmonik
Pasang Surut
Sumber : Data Primer (2016)
Nilai amplitudo yang telah didapatkan
akan digunakan untuk menentukan tipe pasang
surut dengan menggunakan rumus Formzahl.
Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan nilai
bilangan Formzahl sebesar 0.59. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa tipe pasang surut pada
stasiun Tanjung Uban yang mewakili perairan
Bintan termasuk dalam mixed semi-diurnal
ataupun pasang campuran condong ke ganda.
Pasang surut campuran condong ke ganda
berarti dalam 1 hari terjadi 2 kali pasang dan 2
kali surut, namun tinggi antara pasang surut
yang satu berbeda dengan yang lainnya atau
yang kedua.
Gambar 8. Pola Pasang Surut
Dalam penelitian ini hasil analisis yang
digunakan sebagai acuan datum dari ketinggian
pasang surut, yaitu HAT (Highest Astronomical
Tide). Nilai HAT yang didapat dari hasil analisis
ialah 3.4 m, artinya dalam kurun waktu tertentu
pasang tertinggi dapat mencapai ketinggian 3.4
m.
Koreksi Kedalaman Perairan
Tabel 5. Koreksi Kedalaman Perairan
Sumber : Data Primer (2016)
Data kedalaman yang didapatkan saat
pemeruman kemudian terlebih dahulu dikoreksi
dengan kedalaman draft tranducer dan setelah
itu akan dilanjutkan dengan koreksi dari pasang
surut yang sebelumnya sudah dianalisa. Dengan
9
adanya koreksi ini akan didapatkan data
kedalaman yang aktual/data fiks pemeruman.
Untuk nilai koreksi draft tranducer diukur saat
memasang alat tersebut pada saat survey
pemeruman dilakukan dan didapati kedalaman
draft tranducer sepanjang 0.5 m dari permukaan
perairan.
Analisa Kontur Kedalaman
Data fiks pemeruman yang telah dikoreksi
kemudian diolah untuk diinterpolasi dengan
bantuan perangkat lunak Surfer 10. Data yang di
input kemudian di interpolasikan dengan metode
Krigging.
Gambar 9. Hasil Awal Interpolator Krigging
Pada Surfer 10
Gambar diatas merupakan hasil dari
proses interpolator titik fiks dari pemeruman
dengan menggunakan metode Krigging. Setelah
itu, hasil tersebut akan di export kedalam bentuk
shapefile (shp) dan kemudian akan diolah lebih
lanjut menggunakan perangkat lunak ArcGIS
10.1.
Pembuatan Peta Batimetri Pantai Trikora
Desa Teluk Bakau
Data fiks pemeruman yang telah
diinterpolasi kemudian diolah lebih lanjut
mengunakan ArcGIS 10.1. Untuk pembuatan
peta batimetri, wilayah analisis yang dihasilkan
dari interpolasi dengan metode Krigging
kemudian dibatasi dalam wilayah cakupan saat
pengambilan data batimetri dilapangan.
Gambar 10. Peta Batimetri Daerah Teluk Bakau
Luas wilayah area pemeruman mencapai
3.8 km2, dan tampak bahwa kedalaman perairan
pada wilayah Teluk Bakau sangatlah bervariasi,
kelas kedalaman terbagi kedalam 24 kelas
dengan kedalamam mencapai 11.5 m.
Pembuatan Peta Zona Intertidal dan Peta
Lama Ketergenangan Pantai Trikora Desa
Teluk Bakau
Dalam penentuan zona intertidal pada
daerah Pantai Trikora di Desa Teluk Bakau
didasarkan oleh hasil analisa komponen
harmonik pasang surut dari tabel DISHIDROS
tahun 2016. Hasil analisa menunjukkan bahwa
HAT (Highest Asronomical Tide) atau pasang
tertinggi dapat mencapai kedalaman 3.4 m.
kedalaman inilah yang dijadikan sebagai acuan
dalam penentuan zona intertidal. Sehingga batas
zona intertidal pada daerah Pantai Trikora di
desa Teluk Bakau berada pada kedalaman 3.4 m,
sebagaimana yang dapat dilihat pada peta zona
intertidal (gambar 11).
10
No Kelas Kedalaman
(m)
Prediksi Lama Ketergenangan
Bulan Hari Jam
1 0-0.5 0.3 8.4 202
2 0.6-1 1.7 52 1245
3 1.1-1.5 4.4 134 3213
4 1.6-2 8.4 252 6054
5 2.1-2.5 11.9 357 8565
6 2.6-3 12 366 8784
Gambar 11. Peta Zona Intertidal Daerah Teluk
Bakau
Data lama ketergenangan diolah dari data
tabel pasang surut DISHIDROS TNI AL tahun
2016 mulai dari bulan Januari sampai Desember
sebagai data estimasi lama ketergenangan dalam
1 tahun. Data tabel pasang surut DISHIDROS
TNI AL diolah dengan menggunakan Microsoft
Excel.
Tabel 6. Prediksi Lama Ketergenangan Zona
Intetidal Daerah Teluk Bakau dalam Tahun 2016
Sumber : Data Primer (2016)
Data prediksi lama ketergenangan (tabel
6) yang telah didapat kemudian di input kedalam
peta zona intertidal. Pembuatan peta lama
ketergenangan zona intertidal Teluk Bakau ini
diproyeksikan dengan skala 1 : 25.000. Berikut
ini merupakan peta lama ketergenangan zona
intertidal daerah Teluk Bakau.
Gambar 12. Peta Lama Ketergenangan Zona Intertidal Daerah Teluk Bakau Tahun 2016
11
Gambar 13. Grafik Prediksi Lama
Ketergenangan Zona Intertidal Daerah Teluk
Bakau Tahun 2016
Peta lama ketergenangan zona intertidal
(gambar 13) dan grafik diatas menunjukkan
prediksi lama genangan selama 1 tahun. dalam
satuan waktu hari (1 Tahun : 365 Hari), terlihat
dari peta tersebut lama ketergenangan pada
kedalaman 0.0-0.5 m merupakan wilayah yang
digenangi perairan selama 8.4 hari dalam
setahun. Selanjutnya pada kedalaman 0.6-1 m
kawasan tersebut akan tergenang selama 52 hari.
Pada kedalaman 1.1-1.5 m akan digenangi
selama 134 hari, selanjutnya pada kedalaman
1.6-2 m; 2.1-2.5 m; dan 2.6-3 m merupakan
kawasan yang tergenang selama 252 hari; 357
hari; dan 365 hari atau tergenang selama 1 tahun
penuh.
Keterkaitan Lama Ketergenangan Perairan
Kawasan zona intertidal di daerah Teluk
Bakau disusun oleh 3 penampang ekosistem
utama, yaitu mangrove, lamun, dan ekosistem
karang. Didalam ketiga ekosistem tersebut,
terutama lamun dan karang terdapat biota yang
berasosiasi dan hidup didalamnya sebagai
tempat perkembangbiakan (spawning ground),
pengasuhan (nursery ground), serta sumber
makanan (feeding ground) bagi biota-biota
perairan laut. Keragaman dan sebaran organisme
sangat berkaitan dengan keragaman karakteristik
habitat dan sangat dipengaruhi oleh
ketergenangan air laut. Keragaman habitat akan
menentukan komunitas dan biota yang
berasosiasi dengan sistem ekologi di daerah
pasang surut.
Mangrove
Watson (1987) dalam Brown (2006)
menjelaskan kelas pertumbuhan mangrove untuk
wilayah Indonesia dapat di bagi menjadi
beberapa kelas, sebagaimana berikut ini :
Kelas 1, Mangrove dalam kelas ini hidup di
atas ketinggian muka air laut rata-rata
(MSL), dimana kondisinya tergenang oleh
semua ketinggian air. Spesies
dominan yang tumbuh disini adalah
Rhizophora mucronata, Rhizophora
stylosa dan Rhizophora apiculata. Di
Indonesia Timur, Avicennia sp. dan
Sonneratia sp. mendominasi zona ini;
Kelas 2, Mangrove pada kelas ini hidup di
atas ketinggian rata-rata muka air
laut tertinggi (HAT), dimana kondisi
genangan ini hanya terjadi pada saat air
tinggi. Spesies yang umumnya dapat
tumbuh di sini adalah Brugueira sp.,
Xylocarpus sp., Lumnitzera littorea, dan
Exoecaria agallocha. Rhizophora
sp. jarang ditemui di areal ini karena
lahannya terlalu kering untuk tumbuh;
Kelas 3, Genangan hanya terjadi pada saat
air pasang besar. Spesies utama adalah
Brugeira gymnorrhiza (dominan), Instia
bijuga, Nypa fruticans,
Herritera littoralis, Exoecaria agallocha
dan Aegiceras sp..
12
Gambar 13. Peta Estimasi Distribusi Ekosistem
Mangrove Zona Intertidal Daerah Teluk Bakau
Jika diestimasikan berdasarkan kelas
kedalaman menurut Brown (2006) dengan lama
ketergenangan perairan zona intertidal Teluk
Bakau dan melihat sebaran umum jenis
mangrove yang berada di Pulau Bintan, maka
zonasi mangrove jenis Rhizopora sp. dan
Avicennia sp. akan hidup diatas kedalaman rata-
rata (MSL) yaitu ± 1.7 m. dan digenangi sekitar
± 8.4 bulan dalam setahun menurut peta lama
ketergenangan zona intertidal daerah Teluk
Bakau. Dan untuk jenis Brugueira sp.,
Xylocarpus sp., Nypa fruticans, serta berbagai
jenis mangrove ikutan lainnya akan hidup pada
area dengan kedalaman ± 0.5 m hingga ke
wilayah yang menjadi batas pasang tertinggi
(HAT), serta terus merambah vegetasi darat
pantai yang tidak pernah terkena genangan
pasang surut.
Lamun
Untuk identifikasi jenis lamun yang
berada di Teluk Bakau, Nainggolan (2011) telah
melakukan penelitian dan mendapati jenis lamun
yang berada di Teluk Bakau. Terdapat 10 jenis
lamun yang hidup di perairan Teluk Bakau,
yaitu Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata,
Cymodocea serrulata, Halodule pinifolia,
Halodule uninervis, Halophila ovalis, Halophila
spinulosa, Syringodium isoetifolium,
Thalassia hempricii dan Thalassodendron
ciliatum. Untuk penyebaran lamun mulai dari
pantai hingga ke daerah tubir. Sedangkan
menurut penelitian yang dilakukan oleh Arifa
(2014) ditemukan 5 jenis lamun, yaitu Enhalus
acoroides, Thalassia hemprichii, Syringodium
isoetifolium, Halodule universis, dan Halophila
Ovalis.
Gambar 14. Distribusi Spasial Lamun di
Daerah Teluk Bakau (Nainggolan, 2011)
Karang
Berbagai biota yang hidup pada zona
intertidal baik fauna maupun flora mempunya
keanekaragaman yang tinggi. Seperti yang dapat
dijumpai pada ekosistem karang. Yulianda
(2007) membagi zona intertidal menjadi 3 zona,
yaitu :
Zona 1, merupakan daerah pasang atas
(tertinggi) yang terdiri dari komunitas
lamun dan rumput laut;
13
Zona 2, yaitu daerah pasang tengah yang
terdiri dari komunitas karang dan rumput
laut;
Zona 3, adalah zona pasang bawah yang
terdiri dari komunitas karang dan rumput
laut.
Berdasarkan klasifikasi tersebut,
komunitas karang umumnya terdapat pada zona
pasang tengah dan pasang bawah, hal ini
diindikasikan bahwa komunitas karang tidak
dapat beradaptasi dengan baik pada zona pasang
atas karena karang merupakan biota yang harus
hidup dibawah perairan. Kemudian untuk
wilayah Teluk Bakau di estimasikan letak
ekosistem karang yang ada pada perairan dengan
zona pasang tengah. Zona pasang tengah
dianggap sebagai MSL atau muka rata-rata
perairan. Dengan begitu keberadaan ekosistem
karanga berkisar pada ± 1.7 m sampai ke laut
dalam dengan lama genangannya selama 8.4
bulan dalam setahun. Keberadaan ekosistem
karang ini tidak kalah penting karena banyak
berbaagi jenis biota yang hidup didalamnya.
Gambar 15. Peta Estimasi Distribusi Ekosistem
Karang Zona Intertidal Daerah Teluk Bakau
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Pasang surut pada daerah Bintan, dalam
hal ini termasuk daerah Teluk Bakau termasuk
kedalam jenis mixed semi-diurnal ataupun
pasang campuran condong ke ganda.
Bedasarakan hasil analisis konstanta
harmonik, didapatkan nilai pasang tertinggi
(HAT) yaitu sebesar 3.4 m, MSL 1.7 m, dan
LAT 0 m.
Untuk lama ketergenangan daerah Teluk
Bakau hasil prediksi 1 tahun, pada kedalaman 0-
0.5 m lama ketergenangannya selama 8.4
hari/tahun. Kemudian pada kedalaman 0.6-1 m
wilayah tersebut terendam selama 52 hari/tahun,
selanjutnya pada kedalaman 1.1-1.5 m wilayah
yang terendam dalam 1 tahun selama 134 hari.
Untuk kedalaman selanjutnya yaitu 1.6-2 m, 2.1-
2.5 m, dan 2.6-3 m lama ketergenangannya
dalam 1 tahun ialah 252 hari, 357 hari, dan 365
hari.
Saran
Saran yang dapat diberikan berdasarkan
hasil penelitian ini ialah untuk penelitian
selanjutnya dapat melakukan kajian yang lebih
komperhensif mengenai distribusi dan sebaran
dari biota baik flora maupun fauna yang tinggal
pada zona intertidal perairan Teluk Bakau
berdasarkan lama ketergenangannya sehingga
didapatkan data hasil penelitian dan
digabungkan hasil estimasi.
DAFTAR PUSTAKA
Adibrata, Sudirman. 2007. Analisis Pasang
Surut di Pulau Karampuang, Provinsi
Sulawesi Barat. Vol 1 : 1.
Ahmad et al. 2011. Distribution of Intertidal
Organisms in the Shores of Teluk Aling,
Pulau Pinang, Malaysia. Kyoto
University Research Information
Repository. Vol 41. Hlm 51-61.
Akhrianti, Irma. 2014. Tesis : Distribusi Spasial
dan Preferensi Habitat Bivalva di Pesisir
Kecamatan Simpang Pesak Kabupaten
Belitung Timur. FPIK IPB : Bogor.
14
Arifa, D. 2014. Biomassa Padang Lamun di
Perairan Desa Teluk Bakau Kabupaten
Bintan Provinsi Kepulauan Riau. FIKP
UMRAH : Tanjungpinang.
Awaludin, N. 2010. Geographical Information
Systems With ArcGIS 9.x Principles,
Techniques, Applications, and
Management. ANDI : Yogyakarta.
Bengen, D.G. 2001. Prosiding Pelatihan
Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu.
PSPKL-IPB : Bogor.
BIG, ____. Presentasi Pendahuluan : Pekerjaan
Survey Hidrografi dan Pembuatan Peta
Lingkungan Pantai Indonesia (LPI) Skala
1 : 25000 (Paket 2). Slide Peresentasi.
Brown, B. 2006. 5 Tahap Rehabilitasi
Mangrove. Mangrove Action Project dan
Yayasan Akar Rumput Laut Indonesia :
Yogyakarta.
Dahuri, R. 2001. Pengelolaan Sumber Daya
Wilayah Pesisir dan Lautan Secara
Terpadu. PT. Pradnya Paramita : Jakarta.
Denadai, M. R., Amaral ACZ dan Turra A.
2001. Spatial distribution of molusca on
sandy intertidal substrates with rock
fragments in South Eastern Brazil.
Estuarine, Coastal and Shelf Science. Vol.
53. Hlm. 733-743.
Dianovita, Coryelisabety. 2011. Skripsi :
Pemetaan Batimetri Perairan Dangkal
Karang Congkak dan Karang Lebar
Dengan Menggunakan Citra Ikonos Pan-
Sharpened. FPIK IPB : Bogor.
Fatoni, Khoirol Imam. 2011. Tesis : Pemetaan
Pasang Surut dan Pola Perambatannya di
Indonesia. FPIK IPB : Bogor.
Hartoni, dan Andi Agussalim. 2013. Komposisi
dan Kelimpahan Moluska (Gastropoda
dan Bivalvia) di Ekosistem Mangrove
Muara Sungai Musi Kabupaten
Banyuasin Provinsi Sumatra Selatan. Vol
5 : 1. Hlm. 6-15.
Ismail, Neira Purwaty. 2012. Skripsi : Dinamika
Perubahan Garis Pantai Pekalongan dan
Batang, Jawa Tengah. FPIK IPB : Bogor.
Katili, Abubakar Sidik. 2011. Struktur
Komunitas Echinodermata Pada Zona
Intertidal di Gorontalo. Vol 8 : 1.
Kiswara, W. 1997. Struktur Komunitas Padang
Lamun Perairan Indonesia. Inventarisasi
dan evaluasi potensi laut-pesisir, geologi,
kimia, biologi,
dan ekologi. Hlm. 54-61. LIPI : Jakarta.
Kiswara, W. dan Winardi. 1999. Sebaran Lamun
di Teluk Kuta dan Teluk Gerupuk,
Lombok. Dinamika Komunitas Biologi
Pada Ekosistem Lamun di Perairan
Lombok, Indonesia. Hlm. 11-24. LIPI :
Jakarta.
Lolong, Maxi dan Jendry Masinambow. 2011.
Penentuan Karakteristik Dan Kinerja
Hidro Oceanografi Pantai (Studi Kasus
Pantai Inobonto). Vol 1 : 2.
Masrukhin, M. Ali Agus. et al. 2014. Studi
Batimetri dan Morfologi Dasar Laut
Dalam Penentuan Jalur Peletakan Pipa
Bawah Laut (Perairan Larangan-
Maribaya, Kabupaten Tegal). Vol 3 : 1.
(Internet). (diunduh 8 Desember 2015).
Mudzni, Al. 2014. Tesis : Sebaran Teritip
Intertidal dan Hubungannya Dengan
Kondisi Lingkungan Perairan di
Pelabuhan Kota Dumai. FPIK IPB :
Bogor.
Musrifin. 2011. Analisis Pasang Surut Perairan
Muara Sungai Mesjid Dumai. Vol 16 : 1.
Mustary, La Ode Ahmad. 2013. Skripsi :
Pemetaan Batimetri Perairan Laut
Dangkal di Gugusan Pulau Tiga,
Kabupaten Natuna Dengan Menggunakan
Citra Alos Avnir-2. FPIK IPB : Bogor.
Nainggolan, P. 2011. Skripsi : Distribusi Spasial
dan Pengelolaan Lamun (Seagrass) Di
Teluk Bakau, Kepulauan Riau. FPIK IPB
: Bogor.
Nugraha, A. R., Siddhi S., dan Purwanto. 2013.
Pemetaan Batimetri dan Analisis Pasang
Surut untuk Menentukan Elevasi Lantai
dan Panjang Dermaga 136 di Muara
Sungai Mahakam, Sanga-Sanga,
Kalimantan Timur. Jurnal Ilmiah Semesta
Teknika, Vol. 16, No. 1, Hlm. 21-30.
Nyabakken. James. Wiley. 1988. Biologi Laut :
Suatu Pendekatan Biologi.
Gramedia : Jakarta.
Ongkosongo, Otto S. R. 1989. Penerapan
Pengetahuan dan Data Pasang-Surut.
Katalog Dalam Terbitan (KDT) LIPI,
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Oseanologi. Penyunting : OSR
Ongkosongo dan Suyarso. Jakarta. Hal
241-255.
15
Pariwono, J.I,. 1989. Gaya Penggerak Pasang-
Surut. Katalog Dalam Terbitan (KDT)
LIPI, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Oseanologi. Penyunting : OSR
Ongkosongo dan Suyarso. Jakarta. Hal
13-23
Patty. Wilhelmia. 2010. Karakeristik Tipe Dasar
dan Pemanfaatan Perairan di Sekitar
Pulau Gangga, Kabupaten Minut. Vol 6 :
2.
Poerbandono dan Djunarsjah, E. 2005. Survei
Hidrografi. Refika Aditama : Bandung.
Rampengan, R. M. 2013. Amplitudo Konstanta
Pasang Surut M2, S2, K1, dan O1 di
Perairan Sekitar Kota Bitung Sulawesi
Utara. Jurnal Ilmiah Platax, Vol. 1. No. 3.
Hlm. 118-124.
Rinaldy N, Yose. et al. 2014. Analisis
Pengukuran Batimetri dan Pasang Surut
Untuk Menentukan Kedalaman Kolam
Pelabuhan. (Studi Kasus : Pelabuhan
Tanjung Perak, Surabaya). Vol. 3. No. 4.
Hlm 25-36.
Rizaq, Habbie. 2013. Skripsi : Kajian Tingkat
Pengaruh Signifikansi Pasut Laut dan
Kemiringan Pantai Dalam Pendefinisian
Garis Pantai Berdasarkan Undang-
undang Informasi Geospasial (UU No 4
Tahun 2011). FITK ITB : Bandung.
Seri, D. S. 2014. Skripsi : Analisis Harmonik
Gelombang Pasang Surut dan Gelombang
Permukaan di Teluk Pelabuhan Ratu.
FPIK IPB : Bogor.
Siregar, V. P., dan M. Banda. Selamat. 2009.
Interpolator Dalam Pembuatan Kontur
Peta Batimetri (Interpolator In
Bathymetric Map Contouring). E-Jurnal
Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol.
1, No. 1, Hlm. 39-47.
Subagio. 2003. Pengetahuan Peta. Penerbit ITB
: Bandung.
Sunarto. 1991. Geomorphologi Pantai. Pusat
Antar Universitas. UGM : Yogyakarta.
Surbakti, Heron. 2000. Skripsi : Pemetaan
Pasang Surut Serta Analisis Komponen
Pasang Surut di Seluruh Perairan
Indonesia. FPIK IPB : Bogor.
Surfer ®. 2011. Quick Start Guide : Contouring
and 3D Surface Mapping for Scientists
and Engineers. Golden Software, Inc :
Colorado.
Suryana. 2010. Metodologi Penelitian. Buku
Ajar Perkuliahan. Universitas Pendidikan
Indonesia : Bandung.
Tania, A. L. 2014. Tesis : Kajian Dampak
Kegiatan Madak Terhadap Ekosistem
Intertidal di Daerah Pasang Surut Pesisir
Batu Hijau, Sumbawa Barat. FPIK IPB :
Bogor.
Tarigan, M. Salam. 2007. Perubahan Garis
Pantai di Wilayah Pesisir Perairan
Cisadane, Provinsi Banten. Vol 11 : 1.
Triatmodjo B. 1999. Teknik Pantai. Beta Offset :
Yogyakarta
Winarso, G. et al. 2009. Kajian Penggunaan
Data Inderaja Untuk Pemetaan Garis
Pantai (Studi Kasus Pantai Utara
Jakarta).
Yenni. 1989. Skripsi : Karakteristik Komunitas
Fauna Benthos di Daerah Intertidal
Pantai Kamal Kecamatan Penjaringan,
Jakarta Utara. FPIK IPB : Bogor.
Yulianda, F. 1999. Aspek Biologi Reproduksi
Siput Gastropoda Laut. FPIK IPB :
Bogor.
Yulianda, F. 2007. Komunitas Intertidal
Bersubstrat Pasir, Karang dan Berbatu
Pada Musim Hujan dan Musim Kemarau
di Sumbawa Barat. Jurnal Pesisir dan
Lautan, Vol. 8, No. 1, Hlm. 1-7.
Yulianda, F., Yusuf M.S., dan Prayogo W.
2013. Zonasi Dan Kepadatan Komunitas
Intertidal Di Daerah Pasang Surut,
Pesisir Batu Hijau, Sumbawa. Jurnal Ilmu
dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5,
No. 2, Hlm. 409-416.
Top Related