PEMBERDAYAAN PEREMPUAN KEPALA RUMAHTANGGA MELALUI PENGEMBANGAN JEJARING SOSIAL
(Kasus Usaha Mikro di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang Kabupaten Bandung
Propinsi Jawa Barat)
INDRI INDARWATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2005
PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Kajian saya yang berjudul :
“PEMBERDAYAAN PEREMPUAN KEPALA RUMAHTANGGA MELALUI PENGEMBANGAN JEJARING SOSIAL (Kasus Usaha Mikro di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang Kabupaten Bandung Propinsi Jawa Barat)
Adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
Kajian ini.
Bogor, Nopember 2005
Indri Indarwati NRP. A. 154040185
ABSTRAK
INDRI INDARWATI, Pemberdayaan Perempuan Kepala Rumahtangga melalui Pengembangan Jejaring Sosial (Kasus Usaha Mikro di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang Kabupaten Bandung Propinsi Jawa Barat). Dibimbing oleh TITIK SUMARTI dan MARJUKI.
Pemberdayaan masyarakat terutama kepada perempuan kepala rumahtangga (PKRT) yang mengelola usaha mikro merupakan bagian dari proses pengembangan masyarakat. Ketidakberdayaan PKRT usaha mikro ditandai dengan ketidakmampuan mereka dalam memperoleh kesempatan dan kewenangan untuk mengambil keputusan terhadap sumberdaya yang ada dalam masyarakat seperti permodalan, pendidikan keterampilan, kredit, penggunaan tenaga kerja dan kelembagaan formal dalam masyarakat.
Tujuan kajian ini adalah untuk mengetahui karakteristik PKRT yang mengelola usaha mikro, evaluasi program pembangunan masyarakat, analisis gender terhadap PKRT usaha mikro dan program pemberdayaan yang efektif untuk mereka. Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan studi kasus untuk memperdalam masalah kajian.
Isu ketidakadilan gender yang muncul adalah adanya subordinasi dari masyarakat Desa Sekarwangi bahwa PKRT usaha mikro hanyalah pencari nafkah tambahan dan usahanya sebatas untuk membantu suami. Hal tersebut berdampak pada minimnya akses dan kontrol mereka terhadap sumberdaya. Upaya yang telah dilakukan pemerintah adalah melalui program pembangunan masyarakat yaitu Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) dan Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga – Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (UP2K-PKK). Program tersebut ternyata tidak banyak membantu PKRT usaha mikro. Program P2KP banyak dimanfaatkan oleh orang-orang yang dekat dengan pengurus dan menjadi pengusaha mikro, sedangkan UP2K-PKK hanya diberikan pada satu orang warga dan belum bergulir ke warga yang lain sejak 2 tahun yang lalu. Terbatasnya akses terutama permodalan dan kredit yang diterima oleh PKRT membuat mereka akhirnya meminjam kepada rentenir untuk modal usaha.
Alternatif program pemberdayaan bagi PKRT usaha mikro di Desa Sekarwangi adalah pengembangan jejaring sosial usaha mikro dengan membuka akses sekaligus dengan menguatkan posisinya seperti dengan berkelompok, membuat jaminan permodalan dan melibatkan stakeholder untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender.
ABSTRACT
INDRI INDARWATI, Empowerment to Woman Headed Household through Developing of Social Networking (Case in Micro Company in Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang Kabupaten Bandung Propinsi Jawa Barat). Under the direction of TITIK SUMARTI and MARJUKI.
Social empowerment particularly aimed to woman, who also manage micro company, is inevitably a part of social development. The powerless PKRT (Woman Headed Household) is marked by their incapability in gaining opportunity and authority in order to make decision on available resources which existed surrounding such as financial resources, skill education, credit, use of employment and formal institution within society.
The objectives of this study are as follows knowing the characteristic of PKRT, evaluating social development program, analyzing gender from PKRT micro company program and effective empowering program. This study uses qualitative approach to analyze the problem comprehensively.
Issues on injustice gender caused by subordination of peoples in Desa Sekarwangi that PKRT is solely additional income for family and it is done for the sake of husband assistance. These factors affect to the minimum control and access upon the resources. The government has launched several programs for example urban poor eradicating program (P2KP) and effort in improving family income – Welfare and Empowerment to the Family (UP2K-PKK). These program in fact are less helpful. In addition, P2KP was given to those peoples who not only have close relationship with the official but also micro companies of their own. Furthermore, UP2K-PKK is given only to a single people and it has not been circulated to the rest of peoples. The limitation in term of access and amount of finance led them to dealt with the loan giver.
In line with the solution, program of empowering PKRT in Desa Sekarwangi are developing social networking in two aspect; opening access and strengthening their position through grouping, making the finance insurance and involving stakeholders to achieve gender’s equality and justice.
@ Hak cipta milik Indri Indarwati, tahun 2005 Hak cipta dilindungi
Dilarang megutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam
bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm dan sebagainya
PEMBERDAYAAN PEREMPUAN KEPALA RUMAHTANGGA MELALUI PENGEMBANGAN JEJARING SOSIAL
(Kasus Usaha Mikro di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang Kabupaten Bandung
Propinsi Jawa Barat)
INDRI INDARWATI
Tugas Akhir : sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Magister Profesional Pengembangan Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2005
Judul Tugas Akhir : Pemberdayaan Perempuan Kepala Rumahtangga melalui Pengembangan Jejaring Sosial (Kasus Usaha Mikro di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang Kabupaten Bandung Propinsi Jawa Barat)
Nama : Indri Indarwati
NRP : A. 154040185
Program Studi : Magister Profesional Pengembangan Masyarakat
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Titik Sumarti MC, MS Ketua
Dr. Marjuki, MSc Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Magister Profesional Pengembangan Masyarakat
Dr. Ir. Djuara P. Lubis, M.S.
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Sjafrida Manuwoto, M.Sc.
Tanggal Ujian: 16 Nopember 2005
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam
penelitian ini adalah Pemberdayaan Perempuan Kepala Rumahtangga melalui
Pengembangan Jejaring Sosial (Kasus Usaha Mikro di Desa Sekarwangi
Kecamatan Katapang Kabupaten Bandung Propinsi Jawa Barat).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof. Dr. Ir. Sjafrida Manuwoto,
M.Sc., selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bapak Dr.
Ir. Djuara P. Lubis, M.S., selaku Ketua Program Studi Magister Profesional
Pengembangan Masyarakat, Ibu Dr. Ir. Titik Sumarti MC, MS dan Bapak Dr.
Marjuki, MSc selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis
sampaikan kepada Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Magister Profesional
Pengembangan Masyarakat yang telah membekali pengetahuan pengembangan
masyarakat, Bapak Drs. H. Chusnan Yusuf selaku Kepala Balatbangsos
Departemen Sosial Republik Indonesia dan Bapak Dr. Marjuki, M.Sc., selaku
Ketua STKS yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
mengikuti pendidikan Strata-2, Bapak H. Obar Sobarna selaku Bupati Bandung,
H. Dudung Sutisna, selaku Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial Kabupaten
Bandung dan Ibu Hj. Iyan Obar Sobarna, selaku Ketua KKKS Kabupaten
Bandung yang telah memberikan dukungan moril dan spirituil kepada penulis,
Bapak Asep Sutisna selaku Kepala Desa Sekarwangi yang telah memberikan
banyak informasi kepada penulis. Penghargaan juga disampaikan kepada
M. Zainuri, Atirista Nainggolan, Viking Rizarta dan teman-teman MPM Kelas
Bandung Angkatan II atas segala bantuan dan dukungannya. Terima kasih
sebesar-besarnya teruntuk Ibuku, Tya dan keluarga atas segala doa dan kasih
sayangnya.
Semoga kajian ini bermanfaat.
Bogor, Nopember 2005
Indri Indarwati
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 15 Mei 1972 dari ayah Nano
Suparno, BSc dan ibu Sri Sundarti. Penulis merupakan putri kedua dari tiga
bersaudara.
Tahun 1991 penulis lulus dari SMA Negeri 52 Jakarta dan pada tahun
1992 penulis masuk STKS Bandung lulus pada tahun 1997. Pada tahun 2004,
penulis diterima di Program Studi Magister Profesional Pengembangan
Masyarakat pada Sekolah Pascasarjana IPB. Beasiswa pendidikan pascasarjana
diperoleh dari Pusat Pendidikan dan Pelatihan Departemen Sosial Republik
Indonesia.
Penulis bekerja sebagai Pelaksana pada Dinas Kesejahteraan Sosial
Kabupaten Bandung sejak tahun 1999.
Selama mengikuti program S2, penulis menjadi pengurus Koordinator
Kegiatan Kesejahteraan Sosial (KKKS) Kabupaten Bandung. Sebuah policy brief
berjudul Children Centre bagi Korban Bencana Tsunami di Nanggro Aceh
Darussalam (NAD) yang menjadi lampiran dalam Buku Analisis Kebijakan Publik;
Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial karya Edi Suharto, PhD
telah diterbitkan pada tahun 2005.
i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………… i DAFTAR TABEL …………………………………………………………………. iv DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………………… vi DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………………. vii
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ………………………………………………….. 1 1.2. Rumusan Masalah ……………………………………………… 5 1.3. Tujuan dan Kegunaan .……………………………………….… 6
II. TINJAUAN TEORITIS 2.1. Tinjauan Pustaka ……………………………………………….. 8 2.1.1. Pengembangan, Pemberdayaan dan Partisipasi
Masyarakat ……………………………………………
8 2.1.2. Komunitas dan Modal Sosial ……………………….. 11 2.1.3. Perempuan dan Analisis Gender …………………… 15 2.1.4. Usaha Mikro ………………………………………….. 26 2.2. Kerangka Alur Berfikir ………………………………………….. 28
III. METODE KAJIAN 3.1. Batas-batas Kajian ……………………………………………… 31 3.1.1. Tipe Kajian ……………………………………………. 31 3.1.2. Aras Kajian ……………………………………………. 32 3.1.3. Strategi Kajian ………………………………………... 32 3.2. Lokasi, Subyek dan Waktu Kajian …………………………….. 33 3.3. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data ……………….. 35 3.3.1. Sumber Data …………………………………………. 35 3.3.2. Teknik Pengumpulan Data ………………………….. 35 3.4. Cara Pengolahan dan Analisis Data ………………………….. 39 3.5. Penyusunan Program Pemberdayaan Masyarakat …………. 39
IV. PETA SOSIAL DESA SEKARWANGI KECAMATAN KATAPANG KABUPATEN BANDUNG
4.1. Kondisi Geografis dan Administratif ………………………….. 43 4.2. Kondisi Demografi ………………………………………………. 45 4.3. Kondisi Pendidikan ……………………………………………… 48 4.4. Kondisi Ekonomi ………………………………………………… 49 4.5. Kondisi Sosial Budaya ………………………………………….. 51 4.5.1. Keragaman Warga …………………………………… 51 4.5.2. Stratifikasi Warga …………………………………….. 52 4.6. Sistem Nilai dan Norma ………………………………………… 53 4.7. Kelembagaan dan Jejaring Sosial dalam Komunitas ……….. 54 4.8. Karakteristik Subyek kasus (PKRT Usaha Mikro) …………… 59 4.8.1. Karakteristik Subyek Kasus Berdasarkan Usia …… 59 4.8.2. Karakteristik Subyek Kasus Berdasarkan Tingkat
Pendidikan …………………………………………….
60
ii
4.8.3. Karakteristik Subyek Kasus Berdasarkan Status Perkawinan ……………………………………………
62
4.8.4. Karakteristik Subyek Kasus Berdasarkan Jumlah Tanggungan …………………………………………...
63
4.8.5. Karakteristik Subyek Kasus Berdasarkan Jenis Usaha Mikro …………………………………………...
64
4.8.6. Karakteristik Subyek Kasus Berdasarkan Permasalahan Usaha Mikro …………………………
64
4.9. Evaluasi Umum …………………………………………………. 65
V. EVALUASI PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT 5.1. Gambaran Program Penanggulangan Kemiskinan
Perkotaan (P2KP) dan Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga – Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (UP2K-PKK) ……………………………………………………...
67 5.1.1. Gambaran Program Penanggulangan Kemiskinan
Perkotaan (P2KP) …………………………………….
67 5.1.2. Gambaran Program Usaha Peningkatan
Pendapatan Keluarga – Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (UP2K-PKK) …………….
79 5.2. Pengembangan Ekonomi Lokal ……………………………….. 80 5.2.1. Pengembangan Ekonomi Lokal Program
Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) …
81 5.2.2. Pengembangan Ekonomi Lokal Program Usaha
Peningkatan Pendapatan Keluarga – Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (UP2K-PKK) ………………………………….………..
83 5.3. Pengembangan Modal dan Gerakan Sosial …………………. 83 5.4. Kebijakan dan Perencanaan Sosial …………………………... 86 5.5. Evaluasi Umum …………………………………………………. 88
VI. ANALISIS GENDER TERHADAP PEREMPUAN KEPALA RUMAHTANGGA USAHA MIKRO DALAM KOMUNITAS
6.1. Kondisi dan Peran Perempuan Kepala Rumah Tangga (PKRT) Usaha Mikro dalam Komunitas ……………………….
91
6.1.1. Pembagian Kerja PKRT Usaha Mikro dalam Komunitas ……………………………………………..
91
6.1.2. Akses dan Kontrol PKRT Usaha Mikro dalam Komunitas ……………………………………………..
95
6.1.3. Akses dan Kontrol PKRT Usaha Mikro terhadap Manfaat Kegiatan Pembangunan …………………..
97
6.1.4. Akses dan Kontrol PKRT Usaha Mikro terhadap Kelembagaan dalam Komunitas …………………….
99
6.1.5. Faktor yang Berpengaruh terhadap Partisipasi PKRT Usaha Mikro …………………………………...
102
6.2. Peran dan Kebutuhan PKRT Usaha Mikro dalam Program Pembangunan ……………………………………………………
105
6.3. Identifikasi Ketidakadilan Gender terhadap PKRT Usaha Mikro dalam Komunitas ………...............................................
106
6.3.1. Marjinalisasi …………………………………………... 106 6.3.2. Subordinasi …………………………………………… 108
iii
6.3.3. Beban Kerja ………………………………………….. 108 6.3.4. Stereotipe ……………………………………………... 109 6.3.5. Ideologi Gender ………………………………………. 109 6.4. Evaluasi Umum …………………………………………………. 109
VII. PENYUSUNAN PROGRAM PEMBERDAYAAN PEREMPUAN KEPALA RUMAHTANGGA USAHA MIKRO SECARA PARTISIPATIF
7.1. Tahap Identifikasi Masalah dan Kebutuhan ………………….. 111 7.2. Tahap Identifikasi Potensi Lokal ………………………………. 118 7.3. Tahap Pendayagunaan Sumber-sumber Lokal ……………… 120 7.4. Tahap Penyusunan dan Pengusulan Rencana ……………… 124 7.4.1. Penyusunan Tujuan ………………………………….. 124 7.4.2. Penyusunan Rancangan Program …………………. 126 7.4.3. Pelaksanaan Program ……………………………….. 132
VIII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN 8.1. Kesimpulan ………………………………………………………. 134 8.2. Rekomendasi Kebijakan ……………………………………….. 136 8.2.1. Rekomendasi Kebijakan kepada Pemerintah
Daerah …………………………………………………
136 8.2.2. Rekomendasi Kebijakan kepada Pemerintah Desa
Sekarwangi ……………………………………………
137 8.2.3. Rekomendasi Kebijakan kepada TP PKK Desa
Sekarwangi ……………………………………………
138 8.2.4. Rekomendasi Kebijakan kepada PKRT Usaha
Mikro di Desa Sekarwangi …………………………...
139
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………….. 140 LAMPIRAN ……………………………………………………………………….. 146
iv
DAFTAR TABEL
Nomor Teks Halaman
1. Peran Lembaga Formal dan Informal dalam Peningkatan Kesejahteraan …………………………………………………………..
13
2. Perbedaan Kebutuhan Praktis dan Strategis Gender …………….. 23 3. Jadwal Penyusunan Kajian Pengembangan Masyarakat ………… 34 4. Penggalian Data Kajian ……………………………………………….. 38 5. Orbitrasi, Jarak dan Waktu Tempuh Desa Sekarwangi Tahun2004 44 6. Komposisi Penduduk Desa Sekarwangi berdasarkan Usia dan
Jenis Kelamin Tahun 2004 ……………………………………………
45 7. Jumlah Penduduk menurut Gerak/Mobilitas Penduduk Desa
Sekarwangi periode Januari – Desember Tahun 2002 ……………
47 8. Persentase Penduduk Umur 10 Tahun ke Atas menurut Tingkat
Pendidikan yang ditamatkan di desa Sekarwangi Kecamatan Katapang Kabupaten Bandung Tahun 2003 ………………………
48 9. Komposisi Penduduk Desa Sekarwangi berdasarkan Mata
Pencaharian Tahun 2003 ……………………………………………
49 10. Kondisi Perekonomian berdasarkan Usaha Kecil Menengah
Warga Desa Sekarwangi Tahun 2002 ……………………………….
50 11. Peran Lembaga Formal dan Informal dalam Peningkatan
Kesejahteraan PKRT Usaha Mikro di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang Tahun 2004 …………………………………..
55 12. Jumlah dan Persentase Subyek Kasus Berdasarkan Usia di Desa
Sekarwangi Kecamatan Katapang Tahun 2005 ……………………
60 13. Jumlah dan Persentase Subyek Kasus Berdasarkan Tingkat
Pendidikan di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang Tahun 2005 ……………………………………………………………………..
61 14. Jumlah dan Persentase Subyek Kasus Berdasarkan Status
Perkawinan di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang Tahun 2005 ……………………………………………………………………..
62 15. Jumlah dan Persentase Subyek Kasus Berdasarkan Jumlah
Tanggungan di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang Tahun 2005 ……………………………………………………………………..
63 16. Jumlah dan Persentase Subyek Kasus Berdasarkan Jenis Usaha
Mikro di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang Tahun 2005 …..
64 17. Jumlah dan Persentase Subyek Kasus Berdasarkan
Permasalahan Usaha Mikro di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang Tahun 2005 …………………………………………………
64 18. Rekapitulasi Jumlah Penerimaan dan Pengembalian Dana P2KP
Program Peningkatan Ekonomi Keluarga Miskin Tahun 2004/2005 (8 UPK/BKM di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang) ……….............................................................................
73
19. Daftar Penerima Dana Ekonomi Produktif P2KP sebelum Digulirkan di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang Tahun 2004/2005 ……………………………………………………………….
75 20. Daftar Penerima Dana Ekonomi Produktif P2KP setelah
Digulirkan di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang Tahun 2004/2005 ……………………………………………………………….
77
v
21. Jenis Pengelolaan Usaha Penerima Bantuan P2KP di Desa Sekarwangi Tahun 2004 ………………………………………………
81
22. Profil Kegiatan Gender di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang Tahun 2005 ……………………………………………………………..
92
23. Akses dan Kontrol PKRT Usaha Mikro terhadap Sumberdaya Produktif di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang Tahun 2005..
95
24. Akses dan Kontrol PKRT Usaha Mikro terhadap Manfaat Kegiatan Pembangunan di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang Tahun 2005 …………………………………………………
98 25. Akses dan Kontrol PKRT Usaha Mikro terhadap Kelembagaan
Formal dan Informal serta Faktor Pendukungnya di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang Tahun 2005 ……………………
100 26. Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Partisipasi PKRT
Usaha Mikro di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang Tahun 2005 ……………………………………………………………………..
102 27. Analisis Perencanaan Gender terhadap Peranan dan Kebutuhan
Gender yang Dipenuhi di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang Tahun 2005 ……………………………………………………………..
105 28. Identifikasi Masalah dan Kebutuhan PKRT Usaha Mikro di Desa
Sekarwangi Kecamatan Katapang Tahun 2005 ……………………
118 29. Daftar Stakeholder untuk Pemberdayaan PKRT Usaha Mikro di
Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang Tahun 2005 ……………..
122 30. Analisis Stakeholder untuk Pemberdayaan PKRT Usaha Mikro di
Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang Tahun 2005 ……………..
123 31. Analisis Pengembangan Jejaring Sosial terhadap PKRT Usaha
Mikro di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang Tahun 2005 …...
125 32. Rancangan Program Pemberdayaan PKRT melalui
Pengembangan Jejaring Sosial (Kasus Usaha Mikro di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang Kabupaten Bandung Propinsi Jawa Barat) ……………………………………………………………..
131 33. Kerangka Pelaksanaan Kegiatan PKRT Usaha Mikro di Desa
Sekarwangi Kecamatan Katapang Tahun 2005 ……………………
132
Lampiran Halaman
1. Kerangka Kerja Analisis Gender Profil Kegiatan …………………… 147 2. Kerangka Kerja Analisis Gender Profil Akses dan Kontrol pada
Sumberdaya Produktif …………………………………………………
148 3. Kerangka Kerja Analisis Gender Akses dan Kontrol pada Manfaat
dari Kegiatan Pembangunan ………………………………………….
148 4. Kerangka Analisis Harvard Profil Akses dan Kontrol/Manfaat ……. 149 5. Kerangka Analisis Harvard Faktor-faktor yang Berpengaruh …….. 149 6. Kerangka Analisis Moser Perencanaan Gender …………………… 159
vi
DAFTAR GAMBAR
Nomor Teks Halaman
1. Dimensi Modal Sosial – Jaringan Usaha Mikro …………………….. 14 2. Alur Kerja Berpikir Pemberdayaan Perempuan Kepala
Rumahtangga melalui Pengembangan Jejaring Sosial ……………
30 3. Stratifikasi Sosial di Desa Sekarwangi Tahun 2004 ……………….. 52 4. Jejaring Sosial PKRT Usaha Mikro berdasarkan Dimensi Modal
Sosial di Desa Sekarwangi Tahun 2004 …………………………….
57 5. Grafik Penerimaan Dana P2KP di Desa Sekarwangi Tahun
2003/2004 ……………………………………………………………….
69 6. Diagram Penerimaan Dana P2KP di Desa Sekarwangi Tahun
2004 sebelum Digulirkan ………………………………………………
77 7. Diagram Penerimaan Dana P2KP di Desa Sekarwangi Tahun
2004 setelah Bergulir …………………………………………………..
78 8. Analisis Pohon Masalah PKRT Usaha Mikro di Desa Sekarwangi
Kecamatan Katapang ………………………………………………….
112 9. Jejaring Sosial Pemberdayaan PKRT Usaha Mikro di Desa
Sekarwangi Kecamatan Katapang Tahun 2005 ……………………
121
Lampiran Halaman
1. Foto-foto Diskusi Kelompok I ………………………………………… 151 2. Hasil PRA ………………………………………………………………. 155 3. Foto-foto Diskusi Kelompok II ………………………………………... 160 4. Foto Loka Karya: Pemaparan Hasil Penelitian …………………….. 168
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Pedoman Wawancara ………………………………………………… 146 2. Pedoman Diskusi Kelompok ke-I ……………………………………. 147 3. Undangan Diskusi Kelompok ke-I …………………………………… 150 4. Daftar Hadir Peserta Diskusi Kelompok ke-I ……………………….. 153 5. Pedoman Diskusi Kelompok ke-II ……………………………………. 158 6. Daftar Hadir Peserta Diskusi Kelompok ke-II ………………………. 163 7. Pedoman Diskusi Kelompok ke-III (Loka Karya) …………………… 165 8. Undangan untuk Loka Karya …………………………………………. 166 9. Susunan Acara untuk Loka Karya …………………………………… 167 10. Daftar Hadir Peserta Loka Karya …………………………………….. 170
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997
banyak menyebabkan munculnya masalah baru, seperti terjadinya PHK secara
besar-besaran, jumlah pengangguran semakin meningkat dan menurunnya daya
beli masyarakat. Hal tersebut mempunyai dampak terhadap perempuan terutama
terhadap kesejahteraan keluarga mereka. Adanya PHK membuat banyak
perempuan mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup bagi diri dan
keluarganya. Data pada Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja Jawa Barat
hingga akhir tahun 1998 menunjukkan bahwa secara regional prosentase buruh
PHK perempuan adalah sebesar 57,2% untuk wilayah Kabupaten Bandung
(Tjandraningsih, 1999). Perempuan PHK yang berkeluarga menghadapi situasi
yang lebih sulit dibandingkan perempuan PHK yang masih lajang, karena
penghasilan berkurang sedangkan kebutuhan hidup meningkat, berbagai upaya
dilakukan untuk dapat bertahan. Beberapa strategi yang dilakukan adalah
dengan mengambil tabungan pribadi bahkan tabungan anak apabila uang
pesanggon sudah habis, pemotongan anggaran kebutuhan keluarga untuk
pemenuhan kebutuhan primer yakni makanan dan pendidikan,
menyederhanakan pola konsumsi, berhutang, menjual barang atau
menggunakan uang pesanggon mereka untuk membuka usaha mikro.
Adanya pola pikir bahwa laki-laki harus sebagai kepala rumahtangga
saat ini sudah tidak relevan lagi apabila dilihat pada kenyataan yang terjadi di
masyarakat (Saraswati, 2001). Banyak perempuan saat ini di pedesaan maupun
di perkotaan yang mengalami pergeseran peran. Perempuan yang semula lebih
banyak mengurus rumahtangga saja, kini juga berperan sebagai kepala
rumahtangga yang bertanggung jawab atas kebutuhan sehari-hari rumahtangga
dengan bekerja, baik bekerja sebagai buruh maupun bekerja secara mandiri.
Perubahan peran ini terjadi karena adanya perubahan struktur internal dalam
keluarga atau ketika laki -laki tidak berfungsi dalam menjalankan peran produktif
sebagai pencari nafkah, misalnya karena PHK, perang, perpindahan penduduk
atau perpecahan keluarga. Apabila dibandingkan dengan jumlah laki -laki yang
2 menjadi kepala rumahtangga, jumlah perempuan yang menjadi kepala
rumahtangga relatif lebih sedikit. Berdasarkan Profil Perempuan Kepala
Rumahtangga, Badan Pusat Statistik tahun 1998: jumlah perempuan yang
menjadi kepala rumahtangga terus meningkat dari 4 juta orang pada tahun 1971
menjadi 4,3 juta orang pada tahun 1980 dan 4,6 juta orang pada tahun 1985.
Sensus Penduduk tahun 1990 menunjukkan bahwa jumlah perempuan kepala
rumahtangga mencapai sekitar 5 juta orang, kemudian hasil Supas 1995 sekitar
6 juta orang dan hasil Susenas 1998 sekitar 6,3 juta orang.
Data tersebut menunjukkan bahwa jumlah perempuan yang menjadi
kepala rumahtangga terus meningkat dari waktu ke waktu. Gejala tersebut
berasal dari berbagai sebab, mulai dari kematian suami, perceraian, imigrasi,
suami sakit tetap, tidak berfungsinya suami secara ekonomi atau karena tidak
menikah (BPMD Prop. Jabar, 2005). Lebih dari separuh rumahtangga ini
merupakan “the poorest of the poor”, karena nilai so sial budaya cenderung
memarjinalkan perempuan kepala rumahtangga.
Diantara kelima fungsi pokok keluarga yaitu fungsi pendidikan, ekonomi,
keamanan, sosial dan agama (Mutawali, 1987), fungsi ekonomi merupakan hal
dominan yang dirasakan oleh perempuan yang hidup sebagai kepala
rumahtangga, terutama untuk perempuan yang hidup dalam kemiskinan. Data
kemiskinan di Indonesia yaitu 1 (satu) dari 10 (sepuluh) KK miskin adalah
perempuan (janda) rata-rata tidak tamat SD dan sekitar 1,2–1,5 juta KK miskin;
kepala rumahtangganya adalah perempuan (Kementrian PP, 2004). Hal tersebut
menggambarkan bahwa masalah kemiskinan terlihat pada wajah perempuan;
globalisasi menyebabkan kemiskinan terhadap perempuan (Sobritchea, 2000).
Perempuan adalah orang yang paling dekat dengan urusan dapur dan
pendidikan anak-anak, sehingga adanya perubahan dalam penerimaan
pendapatan akan sangat berpengaruh terhadap kelanjutan urusan dapur dan
sekolah anak-anaknya. Buruh perempuan PHK yang berkeluarga, seandainya
dapat memilih, cenderung ingin melakukan pekerjaan yang dilakukan di rumah
agar lebih dapat menjamin terlaksananya tugas-tugas rumahtangga seperti
mengelola usaha mikro warungan, usaha makloon, usaha makanan kecil atau
kreditan. Persoalan yang dialami oleh perempuan yang mengelola usaha mikro
(Firdaus, 2005) adalah masalah teknis usaha seperti kekurangan modal,
keterbatasan penguasaan teknologi tepat guna, terbatasnya jaringan pasar,
3 terbatasnya keterampilan teknis produksi, serta terbatasnya kemampuan
pengembangan desain.
Tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan yang bekerja pada usaha
mikro di Indonesia adalah sebesar 69,11% dan sektor formal 30,89% (Susenas,
2002). Data tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar perempuan Indonesia
bekerja pada usaha mikro, yaitu membuka usaha wiraswasta kecil-kecilan seperti
warungan, penjualan makanan, konveksi, pembuatan gerabah dan sebagainya.
Perempuan yang bekerja pada sektor formal tidak sebesar pada usaha mikro.
Jumlah perempuan yang menjadi kepala rumahtangga untuk wilayah Kabupaten
Bandung sebanyak 10.329 jiwa (Dinkesos, 2004) dan di Desa Sekarwangi
Kecamatan Katapang Kabupaten Bandung sebanyak 31 orang atau 0,30%
(Indarwati, 2004). Hal tersebut menunjukkan bahwa masih banyak perempuan
yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan akhirnya
berperan ganda dalam rumahtangga yaitu sebagai pencari nafkah utama dan
sebagai ibu rumahtangga yang mengerjakan pekerjaan domestik.
Desa Sekarwangi merupakan daerah pertanian (74,14%) dan di desa
sekitarnya banyak terdapat pabrik tekstil, rajut, sepatu, usaha roti dan
sebagainya. Jumlah penduduk sebanyak 5.568 orang, sebagian besar
penduduknya bermata pencaharian sebagai buruh tani sebanyak 1.200 orang
(40,08%) dan buruh/swasta sebanyak 810 orang (27,05%). Adanya PHK
perusahaan swasta dan pekerjaan sektor pertanian yang tergantung pada musim
membuat perempuan akhirnya memilih untuk menggeluti usaha mikro. Usaha
mikro yang dilaksanakan oleh perempuan di Desa Sekarwangi sebanyak 73
usaha dengan jenis usaha terbesar pada makanan dan warungan (Indarwati,
2004). Hasil usahanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari
(subsisten). Total jumlah perempuan usia produktif di Desa Sekarwangi adalah
1.203 orang dan jumlah tenaga kerja perempuan yang bekerja pada usaha mikro
sebanyak 73 orang atau 6,07% (Indarwati, 2004). Jumlah PKRT yang terlibat
dalam usaha mikro sebanyak 60 orang. Data tersebut memperlihatkan bahwa
pada saat ini banyak perempuan yang terlibat dalam usaha ekonomi untuk
memenuhi kebutuhan bagi diri dan keluarganya. Mereka memanfaatkan modal
sosial yang ada dalam komunitas untuk mengembangkan usaha mikronya,
seperti memperoleh modal usaha dari keluarga, meminjam dari tetangga dan
teman, rentenir dan dari program pembangunan yang ada di desa.
4 Program pembangunan bagi komunitas, termasuk di dalamnya bagi
perempuan yang dilaksanakan di Desa Sekarwangi adalah Program
Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) dan Usaha Peningkatan
Pendapatan Keluarga – Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (UP2K-
PKK). Tujuan kegiatan tersebut untuk meningkatkan pendapatan melalui
kelompok usaha ekonomis produktif dalam bentuk Kelompok Swadaya
Masyarakat (KSM) melalui program P2KP ataupun pengelolaan usaha secara
perseorangan melalui program UP2K-PKK. Kedua program ini berasal dari Pusat
dan pendekatannya bersifat top down, tetapi pada prakteknya program ini sudah
mengarah pada pendekatan partisipatif konsultatif (Indarwati, 2005). Kegiatan
UP2K-PKK merupakan bagian kegiatan POKJA II PKK yaitu merupakan usaha
ekonomi yang diusahakan oleh keluarga, baik secara perseorangan maupun
kelompok yang modalnya bersumber dari Inpres Bantuan Pembangunan Desa
atau Bantuan lainnya dari Pemerintah, Bantuan Luar Negeri maupun dari
swadaya masyarakat itu sendiri (TP PKK Kab. Bdg, 2000). Kedua program
tersebut diharapkan dapat memenuhi kebutuhan praktis gender yaitu berupa
kebutuhan untuk pencarian nafkah bagi rumahtangga dan penyediaan pangan
untuk keluarga. Kebutuhan strategis gender dalam kegiatan P2KP belum
terpenuhi karena perempuan belum dilibatkan secara penuh dalam
kepengurusan P2KP yang berdampak pada kegiatan penyusunan perencanaan,
pelaksanaan dan evaluasi kegiatan, suara perempuan tidak dipertimbangkan.
Kebutuhan strategis gender dalam UP2K-PKK terbatas pada kelompok
perempuan yang tergabung dalam kegiatan PKK (Indarwati, 2005).
Masalah yang dihadapi perempuan usaha mikro dalam perspektif gender
adalah pembagian kerja, akses, kontrol dan manfaat (Saptari dkk, 1997). Dalam
pembagian kerja perempuan usaha mikro di Desa Sekarwangi lebih banyak
mengalami double burden (peran ganda), yaitu mereka bekerja sambil mengasuh
anak di rumahnya, akses terhadap informasi pinjaman kredit lunak terbatas dan
kontrol mereka untuk menentukan usahanya agar maju dan berkembang
terbatas karena adanya ketidakadilan gender yang ada dalam masyarakat.
Isu ketidakadilan gender di masyarakat menganggap perempuan
umumnya bergerak dalam usaha yang merupakan perpanjangan tangan
pekerjaan domestik perempuan, seperti pekerjaan menjahit, membuat kerajinan
tangan, mobilitas perempuan rendah sehingga tidak mudah mencari pasar dan
informasi teknologi serta bahan baku, tidak memiliki kolateral (kesetaraan), dan
5 sulit mempunyai akses terhadap permodalan (Kompas, 7 Maret 2005).
Ketidakadilan gender yang terjadi di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang
yaitu perempuan hanya dianggap sebagai pencari nafkah tambahan, sehingga
akses dan kontrol mereka terbatas terhadap berbagai sumberdaya produktif
mulai dari perolehan kredit, modal, pengetahuan dan program pembangunan
masyarakat. Beberapa pertanyaan yang muncul adalah sejauhmana perempuan
kepala rumahtangga usaha mikro mengalami keterbatasan terhadap akses,
kontrol, partisipasi dan manfaat dari program pembangunan? Bagaimana
langkah-langkah strategis pemberdayaan yang tepat untuk PKRT yang
mengelola usaha mikro?
1.2. Rumusan Masalah
Fokus kajian ini adalah untuk memahami pemberdayaan (empowerment)
perempuan kepala rumahtangga melalui keterlibatannya dibidang usaha mikro
mengingat masih rendahnya kesejahteraan perempuan kepala rumahtangga di
Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang. Proses pemberdayaan menitikberatkan
pada aspek pengembangan ekonomi lokal yaitu usaha mikro dengan modal
sosial terutama jejaring sosial dalam komunitas dan bagaimana keterlibatan
perempuan kepala rumahtangga usaha mikro dalam memanfaatkan program
pembangunan yang ada di Desa Sekarwangi. Modal sosial dapat digunakan
untuk meningkatkan akses dan kontrol perempuan kepala rumahtangga usaha
mikro seperti terhadap lembaga fomal dan informal.
Masalah ini perlu diteliti karena ada kesenjangan antara perencanaan dan
implementasi dari Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) dan
Usaha Peningkatan Keluarga – Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga
(UP2K-PKK) dalam meningkatkan kesejahteraan khususnya bagi perempuan
kepala rumahtangga. Program tersebut dapat berkesinambungan melalui dana
bergulir, tetapi ternyata usaha yang dijalankan oleh Kelompok Swadaya
Masyarakat (KSM) banyak yang berhenti dan akhirnya program tersebut tidak
berkembang.
Hal tersebut perlu dikaji lebih lanjut untuk meningkatkan akses dan
kontrol PKRT usaha mikro terhadap sumberdaya produktif dengan cara melihat
karakteristik PKRT usaha mikro, bagaimana akses dan kontrol mereka terhadap
program pembangunan yang ada di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang,
6 bagaimana masalah dan kebutuhan mereka dengan menggunakan analisis
gender dan bagaimana jejaring yang dapat dimanfaatkan untuk memberdayakan
PKRT usaha mikro.
Rumusan permasalahan yang dapat disimpulkan dari uraian di atas
adalah:
1. Bagaimana karakteristik perempuan kepala rumahtangga usaha mikro dan
posisinya dalam komunitas?
2. Bagaimana efektivitas pelaksanaan program pembangunan masyarakat
dilihat dari dampak dan manfaatnya khusus pada perempuan kepala
rumahtangga usaha mikro?
3. Bagaimana masalah, kebutuhan dan jejaring sosial perempuan kepala
rumahtangga usaha mikro dengan menggunakan perspektif gender?
4. Bagaimana penyusunan program pemberdayaan perempuan kepala
rumahtangga usaha mikro secara partisipatif?
1.3. Tujuan dan Kegunaan
Tujuan Kajian merupakan perolehan jawaban dari rumusan
permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya. Tujuan kajian ini adalah:
1. Mengetahui karakteristik perempuan kepala rumahtangga usaha mikro dan
posisinya dalam komunitas.
2. Mengetahui efektivitas pelaksanaan program pembangunan komunitas
terutama dilihat dari dampak dan manfaatnya khusus pada perempuan
kepala rumahtangga usaha mikro.
3. Menganalisis masalah, kebutuhan dan jejaring sosial perempuan kepala
rumahtangga usaha mikro dengan menggunakan perspektif gender.
4. Menyusun program pemberdayaan perempuan kepala rumahtangga usaha
mikro secara partisipatif.
Kegunaan kajian merupakan manfaat yang dapat diperoleh setelah
diadakan penelitian kajian pengembangan masyarakat yang bersifat evaluasi
program. Kajian ini akan berguna bagi pemegang kebijakan untuk menentukan
langkah program yang efektif untuk masa yang akan datang melalui pendekatan
7 partisipatif dan melibatkan peran aktif masyarakat dalam merumuskan kebutuhan
dan permasalahannya secara rinci. Kegunaan kajian ini adalah:
1. Memberikan masukan strategi secara lebih efisien dan efektif kepada
pemegang kebijakan program pemberdayaan perempuan yang ditujukan
untuk meningkatkan kemampuan perempuan kepala rumahtangga agar
dapat mandiri.
2. Memberikan evaluasi kepada pemegang Program Penanggulangan
Kemiskinan Perkotaan (P2KP) yaitu pemerintah daerah Kabupaten Bandung
dan Program Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga – Pemberdayaan
dan Kesejahteraan Keluarga (UP2K-PKK) yaitu kepada TP PKK Kabupaten
Bandung.
3. Memberikan masukan kepada Tim Penggerak PKK dan aparat Desa
Sekarwangi Kecamatan Katapang tentang bentuk pemberdayaan perempuan
kepala rumahtangga usaha mikro yang tepat berdasarkan penelitian
partisipatif yang dilaksanakan.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1. Tinjauan Pustaka
2.1.1. Pengembangan, Pemberdayaan dan Partisipasi Masyarakat
Pengembangan masyarakat adalah suatu gerakan yang dirancang untuk
meningkatkan taraf hidup keseluruhan komunitas melalui partisipasi aktif, dan
jika memungkinkan, berdasarkan inisiatif masyarakat…. Hal ini meliputi berbagai
kegiatan pembangunan di tingkat distrik, baik dilakukan oleh pemerintah ataupun
lembaga-lembaga non pemerintah … (pengembangan masyarakat) harus
dilakukan melalui gerakan yang kooperatif dan harus berhubungan dengan
bentuk pemerintahan lokal terdekat.” (Colonial Office 1954: appendix D, h. 49
dalam Brokensha dan Hodge, 1969: h. 34 dalam Adi, 2003).
Tujuan pengembangan masyarakat adalah untuk memantapkan
komunitas sebagai lokasi yang memungkinkan manusia memenuhi
kebutuhannya, daripada sekedar mengandalkan pada kekuasaan yang lebih
besar, tanpa kemanusiaan dan kekurangan struktur aksesibilitas terhadap
kesejahteraan, ekonomi global, birokrasi, elite profesional dan sebagainya (Ife,
1995).
Pengembangan masyarakat pada dasarnya adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dengan melibatkan masyarakat secara aktif dalam
berbagai kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah, non
pemerintah, lembaga dan masyarakat. Terdapat 3 (tiga) karakter yang perlu
dicermati dalam pengembangan masyarakat (Sulistiati, 2004) yaitu: berbasis
masyarakat (community based), berbasis pada sumberdaya lokal (local resource
based) dan berkelanjutan (sustainable). Berbasis masyarakat mengandung
pengertian bahwa masyarakat dilibatkan sebagai pelaku atau subyek mulai dari
perencanaan, pelaksanaan sampai kepada monitoring dan evaluasinya.
Masyarakat mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan tentang
keputusan yang diperlukannya secara kolektif bukan perorangan. Berbasis
sumberdaya lokal berarti bahwa penciptaan kegiatan yang berasal dari
sumberdaya setempat seperti perikanan, pertanian, peternakan dan sebagainya
sesuai dengan potensi yang ada di dalam masyarakat.
9 Payne (1997) mengemukakan bahwa suatu proses pemberdayaan
(empowerment) pada intinya ditujukan guna membantu klien memperoleh daya
untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan
yang terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi
dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan
kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang ia miliki,
antara lain melalui transfer daya dari lingkungan.
Pemberdayaan berarti mampu = berdaya = tahu, mengerti, paham,
termotivasi, berkesempatan, melihat peluang, dapat memanfaatkan peluang,
berenergi, mampu bekerjasama, tahu berbagai alternatif, mampu mengambil
keputusan, berani menghadapi resiko, mampu mencari dan menangkap
informasi, mampu bertindak sesuai situasi. (Slamet, 2002)
Menurut Friedmann dalam Kartasasmita (1996) mengatakan bahwa
konsep empowerment merupakan paradigma terakhir dari konsep pembangunan
manusia yang kemunculannya disebabkan oleh karena adanya dua
permasalahan yakni “kegagalan” dan “harapan”, yaitu kegagalan model-model
pembangunan ekonomi dalam menanggulangi masalah kemiskinan dan
lingkungan yang berkelanjutan dengan harapan-harapan adanya alternatif
pembangunan yang memasukkan nilai-nilai demokrasi, persamaan gender,
persamaan antar generasi dan pertumbuhan ekonomi yang memadai.
Memberdayakan masyarakat berarti meningkatkan kemampuan masyarakat
dengan cara mengembangkan dan mendinamisasi potensi -potensi masyarakat
dalam rangka meningkatkan harkat dan martabat seluruh lapisan masyarakat
atau dengan kata lain memampukan dan memandirikan masyarakat dengan
menciptakan iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang.
Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat
tetapi juga pranata-pranatanya, menanamkan nilai-nilai budaya modern seperti
kerja keras, hemat, keterbukaan, tanggung jawab adalah bagian pokok dan
upaya pemberdayaan.
Pemberdayaan mengandung makna adanya self determination dan
melibatkan setiap orang untuk merencanakan kegiatan, merumuskan kebutuhan,
melaksanakan dan evaluasi program kegiatan yang telah dilaksanakan secara
partisipatif tanpa membedakan ras, jenis kelamin dan perbedaan-perbedaan
lainnya, karena setiap orang berhak atas penghidupan dan kehidupan yang layak
10 tidak terkecuali bagi perempuan. Pemberdayaan merupakan upaya un tuk
membantu orang perorangan atau kelompok untuk memperoleh sumber-sumber
dan meningkatkan potensi yang dimilikinya agar dapat meningkatkan
kehidupannya dengan lebih baik.
Pemberdayaan masyarakat sangat erat kaitannya dengan partisipasi
yang menekankan bahwa masyarakat akan memiliki keberdayaan yang kuat
apabila mereka terlibat atau dilibatkan dalam suatu proses kegiatan (Suharto,
1997).
Proses pemberdayaan perempuan memiliki 3 (tiga) sumber kekuatan
yaitu kekuatan psikologis, sosial dan politik. Kekuatan psikologis adalah perilaku
percaya diri. Kekuatan sosial menyangkut akses terhadap sistem sumber
sebagai dasar produksi, seperti informasi, pengetahuan dan keterampilan,
partisipasi dalam organisasi sosial dan sumber-sumber keuangan. Kekuatan
politik meliputi akses terhadap proses pembuatan keputusan terutama keputusan
yang mempengaruhi masa depan mereka sendiri. (Friedmann, 1992).
Partisipasi perempuan dapat dilihat dari keterlibatan mereka dalam
perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi. Syarat-syaratnya adalah
komitmen politik, strategi kebijakan responsif gender, sumberdaya dan dana,
sistem informasi dan data terpilah menurut jenis kelamin, dorongan dan kontrol
masyarakat (Kementerian PP, 2002).
Ciri-ciri masyarakat berdaya menurut Sumardjo, Saharuddin (2004):
1. Mampu memahami diri dan potensinya.
2. Mampu merencanakan (mengantisipasi kondisi perubahan ke depan) dan
mengarahkan dirinya sendiri.
3. Memiliki kekuatan untuk berunding, bekerjasama secara saling
menguntungkan dengan bargaining power yang memadai.
4. Bertanggung jawab atas tindakannya sendiri.
Jadi upaya pengembangan masyarakat dalam suatu komunitas tidak
terlepas dari pemberdayaan perempuan dan keterlibatannya dalam kegiatan
perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi. Proses pemberdayaan
terhadap perempuan juga dapat dilihat dari akses dan kontrol perempuan
terhadap sumberdaya produktif dalam masyarakat dan dalam memenuhi
kebutuhan praktis dan strategisnya serta bagaimana suatu program
11 pembangunan masyarakat dapat memberikan manfaat kepada perempuan
dalam hal ini PKRT yang mengelola usaha mikro.
2.1.2. Komunitas dan Modal Sosial
Wilkinson (1970) memahami komunitas sebagai “kumpulan orang-orang
yang hidup di suatu tempat (lokalitas), di mana mereka mampu membangun
sebuah konfigurasi sosial budaya dan secara bersama-sama menyusun aktivitas-
aktivitas kolektif (collective action).”
Warren dalam Fear & Schwarzweller (1985), secara sosiologis komunitas
sebagai “kombinasi dari lokalitas (kawasan) dan unit-unit sosial (manusia dan
kelembagaan sosial) yang membentuk keteraturan, di mana setiap unit sosial
menjalankan fungsi-fungsi sosialnya secara konsisten sehingga tersusun sebuah
tatanan sosial yang tertata secara tertib.”
Ciri-ciri suatu komunitas adalah mempunyai rasa solidaritas yang tinggi,
di mana satu sama lain saling berinteraksi secara intensif dan mempunyai ikatan
emosional yang kuat serta berada dalam wilayah teritorial yang jelas. Desa
Sekarwangi merupakan suatu komunitas di mana di dalamnya terdapat ikatan
emosional, dibatasi oleh wilayah teritorial dan mempunyai nilai dan norma yang
mengatur individu di dalamnya. Perempuan kepala rumahtangga merupakan
bagian dari komunitas dari Desa Sekarwangi. Kesatuan dalam komunitas tidak
bisa dipisahkan dari modal sosial yang merupakan perekat hubungan antar
perseorangan atau kelembagaan di dalam komunitas tersebut.
Worldbank (2001) mengemukakan bahwa modal sosial mengacu pada
kelembagaan, hubungan dan norma yang membentuk kualitas dan kuantitas
interaksi sosial dalam masyarakat. Peningkatannya menunjukkan bahwa kohesi
sosial memberikan kritikal kepada masyarakat tentang kehidupan ekonomi yang
layak dan pembangunan yang berkelanjutan. Modal sosial tidak hanya
merupakan jumlah dari institusi tetapi merupakan perekat yang menghubungkan
masyarakat.
Adanya modal sosial pada masyarakat yang tinggi dapat mempermudah
terjadinya partisipasi masyarakat, juga untuk mendukung kegiatan dan program
dari pemerintah serta memungkinkan munculnya inisiatif lokal yang tinggi untuk
membangun dirinya sendiri.
12 Modal Sosial menurut Colleta & Cullen (2000) merupakan suatu sistem
yang terdiri dari:
1. Integrasi (integration), merupakan hubungan-hubungan kekerabatan yang
saling memperkuat hubungan antar individu dalam komunitas.
2. Pertalian (linkage ) yaitu ikatan dengan komunitas lain diluar komunitas asal,
berupa jejaring (network), dan asosiasi-asosiasi yang bersifat
kewarganegaraan (civil associations ) yang menembus perbedaan
kekerabatan, etnik dan agama.
3. Integritas organisasional (organizational integrity) yaitu keefektifan dan
kemampuan institusi negara untuk menjalankan fungsinya, termasuk
menciptakan kepastian hukum dan menegakkan peraturan.
4. Sinergi (synergy ) yaitu relasi antara pemimpin dan institusi pemerintahan
dengan komunitas (state community relations).
Menurut Powell dan Smith-Doerr (1994) dalam Damsar (2002) jaringan
sosial mempunyai dua pendekatan:
1. Pendekatan analisis yaitu jaringan sosial berupa pola informal dalam
organisasi, bagaimana lingkungan dalam organisasi dikonstruksi dan sebagai
suatu alat penelitian formal untuk menganalisis kekuasaan dan otonomi, area
ini terdiri dari struktur sosial sebagai suatu pola hubungan unit-unit sosial
yang terkait (individu-individu sebagai aktor-aktor yang bersama dan bekerja
sama) yang dapat mempertanggungjawabkan tingkah laku mereka yang
terlibat.
2. Pendekatan preskriptif memandang jaringan sosial sebagai pengaturan
logika atau sebagai suatu cara menggerakkan hubungan-hubungan diantara
para aktor ekonomi.
Modal jaringan alokasi sumber memperoleh nilai tambah melalui
pertukaran yang mempunyai ciri-ciri (Powell, 1990):
1. Penggunaan sumber yang ditingkatkan dan penyebaran resiko, yaitu dengan
menggunakan koperasi untuk mengatur produk.
2. Fleksibilitas dan adaptabilitas, yaitu usaha mikro menangkap peluang pasar,
menyediakan barang murah dan lebih menunjukkan inovatif melalui
13 perubahan teknologi, siklus produk yang singkat dan sistem produksi non
standar.
3. Mengakses informasi dan keterampilan, yaitu mentransfer teknologi yang
telah mapan, akses terhadap seperangkat keterampilan dan keahlian.
Jadi dalam suatu jaringan sosial tercakup di dalamnya usaha-usaha untuk
memperluas hubungan timbal balik berdasarkan kepercayaan baik secara
vertikal maupun horisontal. Berhasilnya suatu program pembangunan
masyarakat dapat dilihat dari bagaimana modal sosial yang terjalin di dalamnya.
Apabila modal sosial tinggi terutama jejaring sosial yang ada di dalamnya, maka
akan muncul sinergi, sehingga kegiatan-kegiatan dapat berjalan secara
berkesinambungan. Modal sosial merupakan hubungan kelembagaan yang
dapat berperan untuk meningkatkan kesejahteraan PKRT usaha mikro. Peran
kelembagaan dapat dilihat pada Tabel 1. berikut ini:
Tabel 1. Peran Lembaga Formal dan Informal dalam Peningkatan Kesejahteraan.
No
Faktor yang berperan
Lembaga Informal Lembaga Formal
1. Informasi: • Pasar, harga,
inovasi produk. • Nilai, pendapat,
kepercayaan. • Pemimpin
politik, kinerja negara.
Keluarga, teman, teman sebaya. Tetangga, sanak famili, jaringan etnik, kelompok informal, jaringan hubungan kerja; Festival, upacara keagamaan, kegiatan olahraga, sejarah, aktivitas keagamaan, kelompok masyarakat sipil.
• Koran, jurnal, majalah, buku-buku, radio, televisi, internet, peraturan.
• Penyediaan infrastruktur: jalan, kantor pos, listrik, telepon.
• Sekolah, kurikulum sekolah. • Hak rakyat, kekebasan
membentuk lembaga, partisipasi masyarakat dalam mekanisme akuntabilitas.
2. Kepercayaan/ trust
Norma, nilai, hubungan interpersonal, sanksi sosial.
• Aturan Hukum, pengandilan independen, hak konsumen, kontrak.
• Institusi keuangan yang aman. • Sekolah, kurikulum sekolah. • Partisipasi masyarakat dalam
mekanisme akuntabilitas. 3. Kredit Kelompok etnik, jaringan
kerabat, teman, peminjam uang, perputaran kredit dalam komunitas, kelompok masyarakat sipil.
• Bank biro, lembaga kredit, pelatihan dan pemasaran.
4. Perangkat publik, pela yanan dasar dan sumber potensi masyarakat
Kelompok komunitas dan komite.
• Kerjasama dengan kelompok lokal melalui reprentasi langsung maupun tidak langsung.
Sumber: Bonds and Bridges: Sosial Capital and Poverty dalam Narayan, 1998.
14 Hubungan antar kelembagaan ini dapat digunakan untuk menganalisis
jaringan sosial usaha mikro yang dikelola oleh perempuan kepala rumahtangga
di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang. Hal tersebut dapat diketahui dengan
melihat bagaimana perempuan kepala rumahtangga dapat mengakses atau
mengontrol kelembagaan yang ada di dalam maupun di luar komunitas untuk
mengembangkan usahanya. Peran kelembagaan ini dapat berfungsi untuk
meningkatkan kesejahteraan perempuan kepala rumahtangga yang mengelola
usaha mikro.
Dimensi modal sosial untuk melihat jaringan usaha mikro menurut Portes
(1998) dapat dilihat pada gambar 1. berikut ini:
Tinggi “Migran desa-Kota”
“Anggota Program Kredit yang sukses”
Quadran 2 Quadran 1 JARINGAN LUAR
KOMUNITAS Quadran 3
Quadran 4
Rendah
“Orang Buangan” “Masyarakat Desa yang Miskin”
Rendah Tinggi
IKATAN INTRA KOMUNITAS
Gambar 1. Dimensi Modal Sosial – Jaringan Usaha Mikro
Gambar 1. memperlihatkan bahwa untuk melihat jaringan usaha mikro
dapat dilihat melalui dimensi modal sosial. Garis Vertikal menunjukkan jejaring di
luar komunitas, sedangkan garis Horizontal menunjukkan pola relasi yang
dibangun dalam komunitas. Tipologi modal sosial dapat dilihat sebagai berikut:
QUADRAN 1:
Quadran 1 menunjukkan bahwa apabila jaringan intra komunitas tinggi,
maka pola relasi/hubungan interaksi bagus dan jaringan di luar komunitas tinggi
(baik individu ataupun komunitas). Kelompok masyarakat ini disebut sebagai
anggota masyarakat dengan program kredit yang sukses, artinya bisa menerima
hubungan-hubungan baik secara komersial maupun dalam skala luas dan
mempunyai kredibilitas. Orang-orang seperti ini mempunyai akses cepat ke bank
dan diakui di dalam ataupun di luar komunitas.
15 QUADRAN 2:
Quadran 2 menunjukkan bahwa ikatan di luar tinggi, sedangkan ikatan
intra komuni tas rendah. Bagian ini disebut sebagai kumpulan orang migran desa-
kota (tidak kenal saudara).
QUADRAN 3:
Quadran 3 menunjukkan bahwa apabila ikatan intra komunitas rendah
dan jaringan di luar komunitas rendah, maka kelompok orang tersebut disebut
sebagai Modal Sosial “Orang Buangan” dan sangat terisolasi dalam komunitas.
QUADRAN 4:
Quadran 4 menunjukkan bahwa apabila ikatan intra komunitas tinggi,
tetapi jaringan luar komunitas rendah, maka disebut “Masyarakat Desa yang
Miskin”, yaitu secara eksternal lemah tetapi masih bisa survive karena ikatan di
dalam kuat. Muncul istilah ‘berbagi kemiskinan’ yaitu saling meminjam yang
merupakan Sosial Mechanism untuk survival.
2.1.3. Perempuan dan Analisis Gender
2.1.3.1. Perempuan Kepala Rumahtangga (PKRT)
Pemahaman mengenai perempuan yang menjadi kepala rumahtangga
dapat dilihat dari berbagai sisi. Perempuan menjadi kepala rumahtangga
disebabkan kematian suami, perceraian, ditinggal, suami sakit tetap dan tidak
menikah (BPMD Propinsi jawa Barat, 2005).
Rumahtangga yang dikepalai perempuan terdiri dari dua jenis, pertama,
rumahtangga yang secara de jure dikepalai perempuan, yang pasangan laki-
lakinya meninggalkannya selama -lamanya disebabkan karena perpisahan atau
telah meninggal dunia, dan perempuan itu secara hukum berstatus cerai atau
janda; kedua, rumahtangga yang secara de facto dikepalai perempuan di mana
pasangan laki-lakinya untuk sementara waktu meninggalkannya, misalnya
karena migrasi kerja dalam jangka waktu lama atau status pengungsi.
Perempuan di sini secara hukum tidak berstatus kepala rumahtangga, dan sering
merasa sebagai tanggungan, meskipun kenyataannya ia memikul tanggung
jawab utama pada aspek keuangan ataupun pekerjaan rumahtangga (Moser,
1999).
16 Pada saat ini ada sekitar 30% sampai 40% rumahtangga yang dikepalai
oleh perempuan di perkotaan (Friedmann, 1992). Peran yang dilakukan oleh
perempuan kepala rumahtangga adalah:
1. Peran dalam lingkup domestik ekonomi rumahtangga.
Perempuan kepala rumahtangga berupaya untuk memenuhi kebutuhan
dasar, menyiapkan makanan dan memelihara anggota keluarga yang sakit.
2. Peran dalam masyarakat.
Perempuan kepala rumahtangga mengadakan hubungan antar tetangga,
keluarga, komunitas dan agama (kuil, mesjid dan gereja).
3. Peran dalam ekonomi pasar.
Perempuan kepala rumahtangga melakukan pekerjaan sektor “formal” dan
“informal” serta koperasi.
4. Peran dalam negara.
Perempuan kepala rumahtangga berperan dalam sekolah.
5. Peran dalam politik.
Perempuan kepala rumahtangga berpartisipasi dalam gerakan sosial, partai
politik dan organisasi pekerja.
Ada lima ketidakberuntungan menurut Chambers (1983) yang dimiliki
oleh keluarga miskin yang dalam hal ini dititikberatkan pada perempuan kepala
rumahtangga yang hidup dalam keterbatasan yaitu:
1. Kemiskinan (poverty).
Kemiskinan ditandai dengan (pertama) rumah yang reot dan dibuat dari
bahan bangunan yang bermutu rendah, perlengkapan yang sangat minim, tidak
memiliki MCK sendiri, ekonomi keluarga ditandai dengan ekonomi gali lubang
tutup lubang; (kedua) pendapatan mereka tidak menentu dan dalam jumlah yang
tidak memadai, sehingga keluarga miskin menghabiskan apa yang mereka
peroleh pada hari itu juga.
2. Fisik yang lemah (physical weakness).
Fisik yang lemah disebabkan adanya rasio ketergantungan yang tinggi
antara anggota keluarga tersebut dengan anggota keluarga dewasa yang sehat
dalam mencari nafkah. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal seperti tidak adanya
seorang laki-laki yang sehat yang menjadi kepala keluarga sehingga
rumahtangga harus dikepalai oleh seorang perempuan yang di samping harus
17 bekerja mengurusi pekerjaan rumahtangga sehari-hari masih juga harus bekerja
untuk menghidupi keluarganya, atau adanya kematian yang mendadak dari
orang dewasa dalam keluarga miskin yang menjadi tulang punggung pencari
nafkah keluarga. Akibat dari ketergantungan ini menyebabkan anggota keluarga
miskin secara fisik lemah sebagai akibat dari interaksi berbagai bibit penyakit dan
rendahnya gizi mereka.
3. Kerentanan (vulnerability).
Keluarga miskin mengalami kerentanan seperti mereka tidak memiliki
cadangan berupa uang atau makanan untuk menghadapi keadaan darurat,
seperti ada anggota keluarga yang tiba-tiba sakit, maka biasanya keluarga ini
akan menjual barang apa saja yang mereka miliki atau utang kepada tetangga
atau rentenir. Keluarga miskin dalam menghadapi situasi paceklik akan menjual
barang-barang yang dimilki yang laku dijual, utang pada tetangga yang lebih
mampu, atau mengurangi makan mereka baik dari segi jenis atau frekuensinya.
Kalau semula makan nasi dua kali sehari, maka pada musim paceklik mereka
makan satu kali sehari, bukan nasi tapi ketela. Keadaan darurat membuat tidak
hanya keluarga miskin menjadi lebih miskin, tetapi juga rawan dari berbagai
penyakit yang tidak jarang dapat membawa kematian.
4. Keterisolasian (isolation).
Keterasingan keluarga miskin mempunyai berbagai bentuk. Kelompok
miskin terasing karena tempat tinggalnya yang secara geografis terasing atau
karena mereka tidak memiliki akses terhadap sumber-sumber informasi yang
ada. Mereka tidak mampu membeli radio karena mereka miskin atau mereka
tidak dapat ikut kegiatan dalam desa mereka yang dapat memberikan informasi
baru karena mereka malu mendatangi pertemuan sebab sering mereka dijadikan
objek pergunjingan oleh orang-orang yang hadir dalam pertemuan itu.
5. Ketidakberdayaan (powerlessness ).
Orang miskin tidak berdaya menghadapi rentenir atau orang-orang lain
yang sering mengeksploitasi mereka dan aparat negara atau polisi yang sering
tidak ramah kepada mereka.
Jadi seorang perempuan kepala rumahtangga adalah mereka yang
mempunyai ketidakberuntungan secara fisik, mental dan sosial dan mereka
harus mengerjakan pekerjaan domestik, seperti mengurus anak atau suaminya
18 yang sakit, mencuci dan sebagainya, dan di lain pihak ia juga harus bekerja
untuk menghidupi keluarganya karena perannya sebagai kepala rumahtangga.
Wajah miskin selalu diidentikan dengan wajah perempuan, karena dengan
keterbatasan yang ada pada dirinya, seorang perempuan harus bekerja
serabutan untuk menghidupi diri dan keluarganya serta keterbatasan dalam
mengakses sumberdaya produktif seperti perolehan modal, kredit, peralatan dan
pelatihan.
Kerentanan yang dihadapi oleh perempuan usaha mikro bersumber dari
posisi mereka sebagai pelaku ekonomi di dalam sektor yang marginal dan posisi
mereka sebagai perempuan di dalam struktur relasi gender yang berlaku (Arifin,
2004). Sektor marginal artinya mereka berada dalam usaha mikro yang hasil
keuntungannya kadang-kadang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar
hidupnya atau bersifat subsisten.
Peran perempuan sebagai kepala rumahtangga tidak dapat dipisahkan
dari kehidupan keluarganya. Menurut Mutawali (1987) keluarga adalah kesatuan
masyarakat terkecil yang merupakan inti dan sendi-sendi masyarakat.
Kesejahteraan masyarakat sangat tergantung kepada keluarga-keluarga yang
ada dalam masyarakat itu. Apabila keluarga-keluarga sejahtera, maka
masyarakat akan sejahtera pula. Pernyataan tersebut memperlihatkan bahwa
sebagai kepala rumahtangga, seorang perempuan juga bertanggung jawab
untuk membina kehidupan keluarganya agar dapat menjadi keluarga yang
mandiri dan sejahtera.
Menurut Dewayanti (2003) persoalan perempuan dapat dipandang dari 2
(dua) pendekatan:
1. Persoalan spesifik yang dihadapi perempuan berkaitan dengan posisinya
sebagai perempuan. Batasan persoalan ini biasanya dikaitkan dengan
konsep diskriminasi dan subordinasi peran perempuan dalam rumahtangga.
2. Persoalan yang berkaitan dengan pengaturan usaha ekonomi di dalam
rumahtangga dan komunitas.
Perempuan sebagai pelaksana urusan rumahtangga menyebabkan
perempuan kehilangan kesempatan untuk memperoleh pekerjaan atau
mengerjakan usaha ekonomi, di lain pihak perempuan juga berupaya sebagai
pencari nafkah dalam keluarga di saat pasangan hidupnya tiada, berpisah atau
19 mengalami sakit berkepanjangan. Perempuan juga mengalami diskriminasi
ketika ia bekerja pada pabrik/perusahaan atau pertanian dan dianggap bukan
sebagai pencari nafkah utama sehingga menyebabkan upah yang diterimanya
kecil (tersubordinasi) dan tidak mencukupi pemenuhan kehidupan bagi diri dan
keluarganya. Kondisi tersebut semakin meningkat ketika kondisi perempuan
berada dalam keadaan miskin. Ia harus mencari nafkah tambahan sementara
suaminya menganggur karena PHK atau tidak mempunyai pekerjaan.
Perusahaan rata-rata mempekerjakan buruh perempuan karena dianggapnya
dapat dibayar murah, lebih teliti, lebih penurut dan jarang menuntut.
PKRT usaha mikro di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang termasuk
dalam kategori Keluarga Pra KS dan KS 1. Kriteria mengenai Keluarga Sejahtera
menurut Achir (1993) dapat dibuat pentahapan sebagai berikut:
1. Keluarga Pra Sejahtera, yaitu yang belum mampu memenuhi kebutuhan
dasarnya secara minimal yang mencakup sandang, pangan, papan dan
kesehatan.
2. Keluarga Sejahtera Tahap I, yaitu keluarga yang telah dapat memenuhi
kebutuhan dasar secara minimal tetapi belum mampu memenuhi kebutuhan
psikologis dan sosial.
3. Keluarga Sejahtera Tahap II, yaitu keluarga yang telah dapat memenuhi
kebutuhan dasar, psikologis dan sosial tetapi belum dapat mengembangkan
kebutuhan untuk menabung dan memperoleh informasi.
4. Keluarga Sejahtera Tahap III, yaitu keluarga yang telah dapat memenuhi
seluruh kebutuhan dasar, kebutuhan sosial psikologis dan kebutuhan
pengembangannya, namun belum dapat memberikan sumbangan
(kontribusi) yang maksimal terhadap masyarakat.
5. Keluarga Sejahtera Tahap III Plus, yaitu keluarga yang telah dapat memenuhi
seluruh kebutuhannya, baik yang bersifat dasar, sosial psikologis maupun
yang bersifat pengembangan serta telah dapat pula memberikan sumbangan
yang nyata dan berkelanjutan dalam masyarakat.
Konsep perempuan kepala rumahtangga mempunyai ciri-ciri yang hampir
sama seperti konsep wanita rawan sosial ekonomi (konsep dari Departemen
Sosial) yaitu seorang perempuan dewasa yang berusia 18 – 59 tahun, belum
menikah atau janda yang tidak mempunyai penghasilan cukup untuk dapat
20 memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, tingkat pendidikan rendah (umumnya
tidak tamat atau maksimal pendidikan dasar, istri yang ditinggal suami tanpa
batas waktu dan tidak dapat mencari nafkah, serta suaminya sakit sehingga tidak
mampu bekerja (Dinsos Prop. Jabar, 2003).
2.1.3.2. Analisis Gender
Analsis gender digunakan untuk melihat perbedaan perempuan dan laki-
laki dari segi (a) kondisi (situasi) dan (b) kedudukan (posisi) di dalam keluarga
dan masyarakat (Sumarti dan Ekawati, 2004). Alat analisis gender yang
digunakan adalah:
1. Kerangka Analisis Harvard (Overholt, 1985)
Kerangka ini merupakan alat bantu untuk meningkatkan kesadaran
gender dan untuk menganalisis hubungan gender di dalam masyarakat.
Kerangka ini terdiri dari tiga komponen utama:
a. Pembagian kerja (dapat dilihat dari profil kegiatan pria dan wanita).
Pembagian kerja dalam keluarga dan masyarakat (masyarakat) dapat
dilihat dari profil kegiatannya, yang mencakup informasi: (1) siapa (pria, wanita
atau bersama) (2) kapan dan di mana kegiatan dilaksanakan serta berapa
frekuensi dan waktu dibutuhkan untuk melakukan kegiatan tersebut (3) berapa
pendapatan yang dihasilkan melalui kegiatan tersebut.
Kegiatan dimaksudkan di sini mencakup kegiatan produktif yang
menyumbang pendapatan keluarga dalam bentuk uang atau barang, misalnya
bertani, berkebun, beternak, berdagang, kerajinan tangan dsb. Kegiatan
reproduktif adalah kegiatan yang menjamin kelangsungan hidup manusia dan
keluarga, misalnya: melahirkan dan mengasuh anak, pekerjaan rumahtangga,
memasak, mencuci, mengambil air, mencari bahan bakar, membetulkan baju dan
sebagainya. Sedangkan yang dimaksud kegiatan sosial adalah kegiatan yang
tidak terbatas pada pengaturan rumahtangga, tetapi yang menyangkut kegiatan
masyarakat, misalnya: pengorganisasian masyarakat dalam kelompok tani, PKK,
LKMD, kelompok simpan pinjam dan partisipasi dalam kelompok agama dan
sosial budaya.
21 Analisis pembagian kerja ini perlu untuk mengidentifikasikan: (1) kegiatan
mana yang memiliki potensi untuk dikaitkan dengan program pembangunan (2)
kapasitas waktu laki-laki dan perempuan (3) ketidakseimbangan beban kerja
antara laki-laki dan perempuan (4) ketidakseimbangan pendapatan yang
dihasilkan melalui pekerjaan laki-laki dan perempuan.
b. Profil akses dan kontrol terhadap sumberdaya dan manfaat.
Akses dan kontrol (peluang dan penguasaan) terhadap sumberdaya
dalam keluarga maupun masyarakat pada umumnya, dapat dilihat dari profil
peluang dan penguasaan terhadap sumberdaya dan manfaat. Profil peluang dan
penguasaan terhadap sumberdaya ini mencakup informasi siapa yang
mempunyai peluang dan penguasaan terhadap (1) sumberdaya fisik/material,
misalnya tanah, modal, peralatan dan sebagainya (2) pasar komoditi (untuk
membeli dan menjual barang) dan kerja (3) sumberdaya sosial budaya, misalnya
informasi, pendidikan dan latihan tenaga kerja, dan lain-lain atau singkatnya
dapat dikategorikan sebagai sumberdaya politis, ekonomi, waktu dan lain-lain.
Sedangkan profil peluang dan penguasaan terhadap manfaat mencakup
informasi siapa yang mempunyai peluang dan penguasaan atas hasil (1)
pendapatan (2) kekayaan bersama (3) kebutuhan dasar: makanan, pakaian,
perumahan dan lain-lain (4) pendidikan (5) prestise/political power.
Akses (peluang) adalah kesempatan untuk menggunakan sumberdaya
ataupun hasilnya tanpa memiliki wewenang untuk mengambil keputusan
terhadap cara penggunaan dan hasil sumberdaya tersebut. Analisis peluang dan
penguasaan terhadap sumberdaya dan manfaat membantu untuk
mengidentifikasikan: (1) di mana kekurangan sumberdaya yang dapat
diatasi/ditanggulangi melalui kegiatan program pembangunan (2) ketidaksamaan
peluang dan penguasaan antara laki -laki dan perempuan (3) siapa memperoleh
manfaat dari penggunaan sumberdaya yang ada, dan (4) potensi apa yang dapat
digunakan dan ditingkatkan melalui kegiatan pembangunan.
c. Partisipasi dalam Lembaga
Akses dan kontrol terhadap sumberdaya dan manfaat yang ada dalam
masyarakat juga dapat dilihat dari partisipasinya. Partisipasi dalam hal ini dapat
berupa (1) partisipasi kuantitatif (mengukur aksesibilitas) yaitu beberapa laki-laki
dan perempuan berperanserta dalam lembaga tertentu dengan kedudukan dan
tugas apa, dan (2) partisipasi kualitatif (mengukur kontrol) yaitu bagaimana
22 peranan laki-laki dan perempuan dalam mengambil keputusan tentang kebijakan
lembaga tersebut. Analisis partisipasi dilakukan untuk lembaga formal dan
informal yang di desa/dusun (masyarakat yang relevan untuk dikaitkan dengan
atau dimanfaatkan untuk kegiatan program pembangunan, misalnya: kelompok
petani, koperasi, kelompok simpan pinjam, kelompok agama, arisan, LKMD, dan
lain-lain).
Analisis pola partisipasi berguna untuk memperlihatkan: (1) hirarki
wewenang yang ada di suatu dusun/desa/masyarakat (2) ketidakseimbangan
antara laki-laki dan perempuan dalam pengambilan keputusan di lembaga-
lembaga yang ada (3) pada lembaga mana peranserta perempuan perlu
diperkuat (4) alasan keterbatasan peranserta perempuan yang dapat dilihat dari
analisis faktor-faktor yang mempengaruhi seperti ekonomi, pembagian kerja,
norma sosial budaya dan sebagainya.
d. Pengambilan keputusan di dalam keluarga
Gambaran pola kontrol.penguasaan yang ada dalam masyarakat dan
terbentuk secara sosial dalam beberapa hal dapat dikaji dari analisis pola
pengambilan keputusan dalam keluarga. Analisa pola pengambilan keputusan
dalam keluarga dilakukan untuk melihat: (1) siapa bertanggung jawab untuk apa
(2) siapa memperoleh manfaat apa (3) siapa bisa dijadikan mitra untuk kegiatan
program pembangunan yang menyangkut perubahan sikap dan perilaku.
2. Kerangka Analisis Moser (Moser, 1986)
Kerangka analisis menurut Moser dapat dilihat dari kebutuhan praktis dan
strategis gender. Analisis kebutuhan praktis dan strategis berguna untuk
menyusun suatu perencanaan ataupun mengevaluasi apakah suatu kegiatan
pembangunan telah mempertimbangkan ataupun ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan yang dirasakan baik oleh laki -laki dan perempuan.
Kebutuhan praktis adalah kebutuhan yang diformulasikan dari kondisi
kongkrit pengalaman perempuan, dengan posisi gender mereka dalam
pembagian kerja secara seksual dan untuk kelangsungan hidup manusia.
Kebutuhan strategis adalah kebutuhan yang dirumuskan dari analisa subordinasi
perempuan terhadap laki-laki, dan dari analisa ini diidentifikasikan kepentingan
gender strategis untuk mencapai suatu alternatif kelembagaan masyarakat yang
lebih setara dan yang lebih memuaskan dari yang ada sekarang, baik dilihat dari
23 segi struktur maupun sifat hubungan antara laki-laki dan perempuan (Moser,
1999). Tabel 2. berikut ini menampilkan perbedaan antara kebutuhan praktis dan
strategis gender.
Tabel 2. Perbedaan Kebutuhan Praktis dan Strategis Gender.
Kebutuhan praktis menyangkut keadaan (=situasi)
Kebutuhan strategis menyangkut kedudukan (=posisi)
Biasanya berhubungan dengan keadaan hidup yang tidak memuaskan, misalnya kurangnya sumberdaya, tidak dipenuhi kebutuhan dasar. Contoh: masalah air minum, pangan, kesehatan, dsb. Dapat segera diidentifikasi karena langsung dirasakan, dapat dipenuhi dalam waktu relatif pendek melalui intervensi tertentu, misalnya membangun sumur, menjala nkan posyandu dsb.
Berkaitan dengan peranan-peranan dan kedudukan di masyarakat yang dipengaruhi faktor struktural seperti ekonomi, sistem politik, perundang-undangan, kebijakan kesejahteraan, norma-norma sosial-budaya dsb. Menyambut peluang dan kekuasaan (akses dan kontrol) terhadap sumberdaya dan kesempatan untuk memilih dan menentukan cara hidup.
Cara menanggulangi kebutuhan praktis: melibatkan perempuan sebagai pemanfaat dan mungkin sebagai peserta. Memperbaiki kondisi hidup perempuan melalui kegiatan dengan suatu hasil yang langsung dan cepat dirasakan. Tidak merubah peranan-peranan dan hubungan sosial budaya yang ada.
Cara menanggulangi kebutuhan strategis: Melibatkan perempuan sebagai pelaku atau memfasilitasi perempuan untuk menjadi pelaku dan penentu kegiatan. Dilakukan melalui penyadaran, perkuatan rasa percaya diri, pendidikan pengembangan, pengorganisasian masyarakat perempuan dan sebagainya. Memperkuat perempuan untuk memperoleh kesempatan yang lebih banyak dalam pengambilan keputusan di semua bidang dan semua tingkat masyarakat, memperjuangkan akses dan kontrol terhadap sumberdaya yang lebih besar.
Sumber: A Theory and Methodology of Gender Planning: Meeting Women’s Practical and Strategic Gender Needs, 1986.
Suatu program pembangunan yang berwawasan gender seharusnya
berusaha untuk mengidentifikasi terlebih dahulu ataupun memperhatikan
kebutuhan masyarakat. Dengan menggunakan pendekatan Gender And
Development, kebutuhan masyarakat tadi dibedakan antara kebutuhan laki-laki
dan perempuan baik yang bersifat praktis maupun strategis. Kebutuhan praktis
berkaitan dengan kondisi (misalnya: kondisi hidup yang tidak memadai,
kurangnya sumberdaya seperti pangan, air, kesehatan, pendidikan anak,
pendapatan dll), sedangkan kebutuhan strategis berkaitan dengan posisi
(misalnya: posisi yang tersubordinasi dalam masyarakat atau keluarga).
Pemenuhan kebutuhan praktis melalui kegiatan pembangunan
kemungkinan hanya memerlukan jangka waktu yang relatif pendek. Proses
tersebut melibatkan input seperti peralatan, tenaga ahli, pelatihan, klinik atau
24 program pemberian kredit dan lain-lain. Umumnya kegiatan yang bertujuan
memenuhi kebutuhan praktis dan memperbaiki kondisi hidup akan memelihara
atau bahkan menguatkan hubungan tradisional antara laki-laki dan perempuan
yang ada. Sedangkan untuk mencapai kepentingan/kebutuhan strategis
berkaitan dengan perbaikan posisi perempuan (misalnya memberdayakan
perempuan agar memperoleh kesempatan lebih besar terhadap akses
sumberdaya, partispasi yang seimbang dengan laki-laki dalam pengambilan
keputusan dan lain-lain) memerlukan jangka waktu relatif lebih panjang.
Kepentingan-kepentingan strategis biasanya relatif lebih kabur dibanding
kepentingan praktis yang mudah terlihat. Perempuan sebagai suatu
kategori/kelompok biasanya memiliki kepentingan strategis sebagai berikut: (1)
mengurangi kerentanan terhadap kekerasan dan eksploitasi, (2) lebih memiliki
jaminan ekonomi, ketidaktergantungan, pilihan dan kesempatan, (3) berbagi
tanggung jawab untuk kegiatan reproduktif dengan laki-laki atau lembaga-
lembaga masyarakat, (4) pengorganisasian masyarakat dengan perempuan
untuk menggalang kekuatan, solidaritas dan aksi (5) meningkatkan kekuatan
politik, (6) meningkatkan kemampuan untuk memperbaiki kualitas hidup dan
masa depan anak-anaknya, (7) lebih manusiawi dan berkeadilan dalam proses
pembangunan.
Langkah-langkah untuk mencapai kebutuhan strategis di dalam suatu
kegiatan/program: (1) Analisis gender suatu masyarakat dilakukan sebelum
kegiatan atau program dimulai. Dalam analisis ini dilakukan secara partisipatif
dengan harus melibatkan laki-laki dan perempuan (baik bersama atau secara
terpisah bila diperlukan) mulai dari tingkat akar rumput/desa. Analisis gender
yang dilakukan sebelum dilaksanakannya suatu program akan berguna
memberikan informasi untuk memperbaiki program, perencanaan dan
rancangannya, ataupun menyediakan data dasar yang berguna untuk mengukur
perubahan kondisi dan posisi kemudian. (2) Konsultasi pada perempuan. Hal ini
memerlukan identifikasi pengorganisasian masyarakat perempuan atau yang
berafiliasi pada perempuan, wakil-wakil dalam suatu wilayah program, dan cara-
cara yang cocok untuk berkonsultasi dan bekerja sama mereka. Jaringan
konsultatif dapat termasuk konsultan lokal, pegawai pemerintah, anggota
pengorganisasian masyarakat, tokoh perempuan dalam masyarakat. Nasehat
dapat dicari dengan cara memaksimalkan keterlibatan perempuan, manfaat, dan
partisipasinya sebagai pengambil keputusan serta dengan menjalin kerjasama
25 dan support dari laki -laki. (3) Memperoleh dukungan dari laki -laki. Dukungan dan
keterlibatan laki -laki sangat penting dalam kegiatan pembangunan bersama
perempuan, baik dalam program pembangunan yang masih terpadu maupun
program pembangunan khusus untuk perempuan. Kesempatan-kesempatan
seharusnya diciptakan untuk berdialog ataupun bernegosiasi antara laki-laki dan
perempuan, untuk mendapatkan kesepahaman bersama akan manfaat baik
untuk laki-laki dan perempuan. Strategi untuk mencapai hal ini sebaiknya
dibangun oleh laki -laki dan perempuan yang memang sudah saling mendukung.
(4) Memperluas kesempatan bagi perempuan. Memaksimalkan keterlibatan
perempuan dalam kegiatan kolektif, pengorganisasian masyarakat masyarakat
perempuan, dan pengambilan keputusan dalam masyarakat; akan memperkuat
kesempatan perempuan untuk mengelola mencapai dan menerima informasi dan
latihan, dan menambah rasa percara diri dan kredibilitas. (5) Mendukung usaha-
usaha pengorganisasian masyarakat. Memberikan dukungan pada perempuan
tingkat lokal dan gabungan pengorganisasian masyarakat kerja di tingkat akar
rumput yang memfokuskan pada penelitian advokasi dan pengembangan
kebijakan. Penguatan jaringan antara pengorganisasian masyarakat yang serupa
di tingkat nasional, regional dan internasional juga penting dirintis utnuk jangka
panjang. (6) Mendorong kesadaran gender. Mempromosikan kepekaan gender
dan keahlian merencanakan yang berwawasan gender diantara seluruh
stakeholder pembangunan (LSM, Pemerintah, agen-agen partner luar negeri).
Proses ini dilakukan melalui serangkain diskusi sistematik dan pelatihan-
pelatihan, penilaian terhadap struktur dan praktek-praktek pelaksanaan
pembangunan. (Moser, 1986)
Analisis gender digunakan untuk memahami apa kebutuhan gender yang
meliputi kebutuhan praktis dan strategis sebagai analisis perencanaan dan
penyusunan program, akses dan kontrolnya terhadap sumberdaya dan adakah
kesenjangan gender di dalamnya, sehingga dapat dianalisa dan dicarikan jalan
pemecahan secara partisipatif bersama dengan masyarakat.
26 2.1.4. Usaha Mikro
Usaha mikro adalah suatu unit ekonomi yang melakukan aktivitas dengan
tujuan menghasilkan barang atau jasa untuk dijual atau ditukar dengan barang
lain dan ada seseorang atau lebih yang bertanggung jawab dan punya
kewenangan untuk mengelola usaha tersebut (BPS, 2000). Usaha tersebut di
dalamnya adalah usaha rumahtangga yang dilakukan pada lokasi/tempat yang
tidak tetap (keliling) ataupun dilakukan pada suatu lokasi tetap namun tempat
perlengkapan usahanya dipindah-pindahkan (tidak tetap).
Usaha mikro merupakan bagian dari pengembangan ekonomi rakyat
(Juoro, 1999). Sebagai pelaku ekonomi, rakyat menjalankan usahanya dalam
bentuk, pertama, usaha tradisional seperti nelayan tradisional. Kedua, sektor
usaha berupa sektor informal, misalnya pedagang kaki lima, memetik hasil alam
dengan teknologi sederhana (seperti memetik hasil hutan dan mengekstraksi
bahan tambang/mineral atau pertambangan rakyat), dan melakukan budidaya
secara sederhana (seperti perkebunan rakyat dan perikanan rakyat). Ketiga ,
small but modern enterprises atau dapat juga dalam bentuk family enterprises
yang dikelola secara profesional. Aspek yang terkait dengan pengembangan
ekonomi kerakyatan antara lain: (1) infrastruktur (2) kapital (3) jaringan kerja
(business network, pemasaran, informasi, manajemen dan teknologi) (4) capacity
building (sumberdaya manusia dan kelembagaan).
Usaha mikro menurut Ismawan (2003) dapat dikembangkan secara riil
strategis dengan alasan sebagai berikut:
1. Usaha mikro telah mempunyai kegiatan ekonomi produktif, sehingga
kebutuhannya adalah pengembangan dan peningkatan kapasitas bukan
penumbuhan, sehingga lebih mudah dan pasti;
2. Apabila diberdayakan secara tepat, usaha mikro akan secara mudah
berpindah menjadi sektor usaha kecil;
3. Secara efektif mengurangi kemiskinan, maupun membantu pemberdayaan
rakyat kategori fakir miskin, serta usia lanjut dan muda.
Usaha mikro dan usaha kecil menurut Soemantri, dkk (2000) memiliki
posisi dan peran yang sangat strategis dalam hal (1) Usaha mikro-kecil dapat
menyerap tenaga kerja yang relatif besar. Daya serap ini dapt menjembatani
kesenjangan yang tajam antara golongan berpunya dengan golongan papa. (2)
27 Menjadi bumper pencegah terjadinya revolusi. (3) Sebagai penghasil devisa dan
penyedia jasa yang murah bagi pekerja di sektor lebih besar.
Bagi praktisi terutama perempuan, usaha mikro-kecil diminati dengan
alasan (1) Menopang kelangsungan hidup rumahtangga. (2) Memenuhi
kebutuhan pengembangan diri. (3) Memberi peluang terjadinya peningkatan
kesejahteraan keluarga secara lahir batin.
Usaha mikro memiliki pekerja kurang dari 5 (lima) orang termasuk tenaga
keluarga yang tidak dibayar (BPS, 2000). Modal usaha mikro kurang dari 20 juta
berkisar pada kegiatan pertanian dan produk-produk bahan pangan, kegiatan
usaha mikro pada umumnya terbatas untuk memenuhi kehidupan sehari-hari
bagi pemilik dan pekerjanya (Juoro, 1999).
Usaha mikro sebagai suatu kelembagaan tidak hanya sekedar group of
people (Garcia, 1994). Tanpa kelembagaan, maka tak akan ada masyarakat
dengan segala kebudayaannya. Ia bertanggung jawab terhadap kebutuhan
manusia dan kelangsungan masyarakat. Kelembagaan dari sudut pandang
ekonomi, fungsi utamanya adalah agar tercapai efisiensi dalam bertindak.
Kelembagaan “…. persist us to carry on our daily lives with a minimum of
repetition and costly negotiation” (Bromley, 1993). Suatu tindakan menjadi
ekonomis, karena telah ada pedoman dalam bertindak. Pelaku ekonomi tak akan
bertindak secara acak, namun mengikuti pola yang sudah disepakati.
Pengembangan kelembagaan mengacu pada proses untuk memperbaiki
kemampuan lembaga dalam mengefektifkan penggunaan sumberdaya manusia
dan keuangan yang ada (Israel, 1992). Tujuan utamanya adalah mengefektifkan
penggunaan sumberdaya, suatu tujuan utama bagi upaya pembangunan dan
menjadi sangat mendesak dalam mengatasi krisis ekonomi dewasa ini.
Usaha mikro sebagai suatu kelembagaan perlu dibangun jaringan untuk
melancarkan mekanisme kerja dan memfasilitasi munculnya kemitraan dan arus
informasi diantara lembaga-lembaga yang terkait (Haeruman dan Eriyatno,
2001). Kelembagaan yang terkait dengan pengembangan ekonomi lokal ini
antara lain adalah: (1) Lembaga produksi (2) Lembaga distribusi (3) Lembaga
keuangan (4) Lembaga keswadayaan masyarakat (5) Kelembagaan advokasi
(kelembagaan pendukung/penyuluhan). Kelima kelembagaan tersebut perlu
bersinergi untuk mencapai kondisi yang kondusif. Pendekatan praktis yang
28 digunakan untuk membangun sistem jaringan kelembagaan tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Jaringan kelembagaan perlu terfokus pada kluster kegiatan ekonomi unggul
yang telah diidentifika si;
2. Kegiatan ekonomi dikembangkan dengan pendekatan “market driven”.
3. Adanya keterkaitan yang erat untuk memberi kesempatan kepada Usaha
Kecil Menengah untuk mengakses pasar yang lebih luas, melalui kolaborasi
kemitraan dengan usaha besar.
4. Memunculkan peluang berkembang dan hubungan public private yang
produktif dan transparan.
5. Pendekatan kerja utama adalah pendekatan pemberdayaan (empowerment)
masyarakat lokal, dengan memberikan kesempatan partisipasi pada setiap
tahapan kegiatan, mulai dari perencanaan dan pengambilan keputusan.
Usaha mikro yang ada di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang bersifat
tidak tetap, dalam arti mereka berusaha manakala ada modal yang memadai,
tetapi bila tidak ada modal maka usaha yang dijalankannya tidak bergerak.
Usaha yang dijalankan berkisar pada penjualan makanan kecil, gorengan,
warungan dan tidak sedikit yang bergerak dibidang konveksi. Lokasi desa yang
dekat dengan pabrik rajut, memungkinkan mereka untuk membuka usaha
konveksi dengan cara makloon, yaitu mengambil bahan dari pabrik untuk dijahit
lurus dan dikerjakan di rumah masing-masing. Usaha makanan yang dijalankan
juga tidak terlepas dari banyaknya pendatang yang tinggal di Desa Sekarwangi
yang bekerja sebagai buruh pabrik.
2.2. Kerangka Alur Berfikir
Perempuan kepala rumahtangga merupakan bagian dari komunitas yang
berada di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang Kabupaten Bandung. Mereka
memiliki keterbatasan pendidikan rata-rata tamat SLTP (Indarwati, 2004). Mereka
mempunyai beban ganda artinya mereka bekerja sebagai pencari nafkah utama,
bekerja di sektor domestik dan mereka hidup dalam kondisi yang serba terbatas
secara ekonomi. Karakteristik PKRT dalam komunitas dilihat melalui komposisi
penduduk, pendidikan dan mata pencaharian yang ada dalam komunitas.
Karakteristik tersebut dapat juga dilihat dari jumlah tanggungan dan bagaimana
sistem norma dan nilai yang ada dalam masyarakat terhadap PKRT yang
29 mengelola usaha mikro. Evaluasi program P2KP dan UP2K-PKK dilihat dari
pengembangan ekonomi lokal, pengembangan modal dan gerakan sosial serta
kebijakan dan perencanaan sosial dan bagaimana pengaruhnya terhadap PKRT
usaha mikro.
Hasil dari pemetaan dan evaluasi program adalah identifikasi kondisi
PKRT usaha mikro. Identifikasi ini dilakukan dengan menggunakan Analisis
Harvard untuk melihat kondisi dan peran gender terutama PKRT dalam
komunitas yang meliputi pembagian kerja, akses dan kontrol terhadap
sumberdaya dan manfaat, faktor yang berpengaruh, akses dan kontrol terhadap
kelembagaan. Analisis Moser untuk melihat peran dan kebutuhan Gender
terutama PKRT dalam program pembangunan apakah program tersebut dapat
memenuhi kebutuhan praktis dan strategis gender. Analisis Gender
dipergunakan untuk melihat ketidakadilan gender dalam komunitas terutama bagi
PKRT yang mengelola usaha mikro, sehingga dari adanya identifikasi ini dapat
disusun program pemberdayaan bagi PKRT usaha mikro.
Proses penyusunan program pemberdayaan perempuan terutama bagi
PKRT usaha mikro terdiri dari 5 (lima) tahap, yaitu (1) Identifikasi masalah dan
kebutuhan, (2) Identifikasi potensi lokal, (3) Pendayagunaan sumber-sumber
lokal dan analisis stakeholder, (4) Penyusunan dan pengusulan rencana.
Penyusunan program pemberdayaan bagi perempuan kepala
rumahtangga terutama PKRT usaha mikro dilakukan melalui Participatory Rural
Appraissal (PRA) dan diskusi kelompok dengan melibatkan stakeholder agar
kebutuhan dan masalah yang dirasakan oleh PKRT usaha mikro dapat disusun
program strateginya secara partisipatif.
Alur Kerja Berpikir dapat digambarkan sebagai berikut:
30
Gambar 2 Alur Kerja Berpikir Pemberdayaan Perempuan Kepala Rumahtangga melalui Pengembangan Jejaring Sosial.
II. Evaluasi Program P2KP dan UP2K-PKK: - Pengembangan Ekonomi Lokal - Pengembangan Modal dan Gerakan Sosial. - Kebijakan dan Perencanaan Sosial.
III. Identifikasi Kondisi PKRT usaha mikro: => Kondisi dan Peran Gender terutama PKRT Usaha Mikro dalam Komunitas : Pembagian kerja, akses dan kontrol terhadap sumberdaya dan manfaat, faktor yang berpengaruh, akses dan kontrol terhadap kelembagaan. => Peran dan kebutuhan Gender terutama PKRT Usaha Mikro melalui Program Pembangunan: analisis perencanaan gender, intervensi kebutuhan gender. 11 => Ketidakadilan Gender dalam Komunitas.
V. Program Pemberdayaan Perempuan Kepala
Rumahtangga (PKRT) Usaha Mikro melalui Pengembangan
Jejaring Sosial
IV. Proses Penyusunan Program Pemberdayaan PKRT Usaha Mikro
secara Partisipatif:
I. Karakteristik PKRT usaha mikro dalam komunitas:
=> Pemetaan Sosial - Pendidikan. - Mata Pencaharian. - Kepemilikan Usaha Mikro. - Komposisi Penduduk. => Karakteristik Subyek kasus. => Analisis Jejaring Sosial
1. Tahap Identifikasi Masalah dan Kebutuhan. 2. Tahap Identifikasi Potensi Lokal. 3. Tahap Pendayagunaan Sumber-sumber
Lokal. 4. Tahap Penyusunan dan Pengusulan
Rencana.
Keterangan: Tanda panah menunjukkan alur kerja berpikir.
BAB III
METODE KAJIAN
Penyusunan Kajian dilaksanakan melalui tiga tahap yang meliputi (1)
Praktek Lapangan I berupa pemetaan sosial; (2) Praktek Lapangan II berupa
evaluasi program dan (3) Praktek Lapangan III berupa Penyusunan Program
Pemberdayaan PKRT Usaha mikro. Tahap-tahap tersebut dilaksanakan di Desa
Sekarwangi Kecamatan Katapang, dan setiap tahap merupakan satu kesatuan
yang saling melengkapi, artinya data yang diperoleh pada tahap pertama dan
kedua dipadukan dengan data tahap ketiga yang kemudian dipergunakan dalam
penulisan Laporan Kajian.
Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan studi kasus untuk
memperdalam masalah kajian. Pertimbangannya adalah bahwa kajian yang
dilaksanakan merupakan kajian pengembangan masyarakat untuk mempelajari
kasus usaha mikro perempuan kepala rumahtangga (PKRT) dan karakteristiknya
di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang Kabupaten Bandung.
3.1. Batas-batas Kajian
3.1.1. Tipe Kajian
Tipe Kajian yang digunakan adalah Evaluasi Sumatif Deskriptif (Sitorus,
2004), yaitu dengan dasar-dasar sebagai berikut:
1. Deskripsi (penguraian): menggambarkan suatu kejadian atau gejala sosial
secara lengkap, rinci dan mendalam. Kajian ini menggambarkan kondisi
usaha mikro yang dilaksanakan oleh anggota komunitas terutama
perempuan yang menjadi kepala rumahtangga dan jejaring sosial yang ada di
dalam komunitas tersebut.
2. Evaluasi Sumatif: menentukan efektivitas tindakan dan intervensi program
dan kebijakan; penilaian tipe-tipe intervensi yang efektif dan kondusif untuk
mencapai efektivitas tersebut. Kajian ini menilai keefektifan program P2KP
dan UP2K-PKK dalam meningkatkan kesejahteraan sosial terutama bagi
perempuan kepala rumahtangga usaha mikro di Desa Sekarwangi
Kecamatan Katapang Kabupaten Bandung. Kajian ini berupaya memberikan
32 sumbangan pemikiran untuk pembuatan keputusan tentang program tersebut
dan untuk meningkatkan atau memperbaiki program itu di masa yang akan
datang. Evaluasi ini direkomendasikan kepada instansi yang menangani
program pemberdayaan perempuan dan terutama bagi pengelola kegiatan di
desa yang bersangkutan agar dapat ditemukan langkah-langkah efektif untuk
memecahkan masalahnya.
3.1.2. Aras Kajian
Aras kajian yang digunakan adalah Pendekatan Subyektif Makro yaitu
melihat pengembangan dan pemberdayaan terhadap perempuan kepala
rumahtangga usaha mikro serta jejaring sosial yang ada dalam pengembangan
usaha mikro tersebut. Sasarannya tidak hanya di dalam komunitas itu sendiri,
tetapi juga berada di luar komunitas termasuk di dalamnya analisa tentang
kelembagaan yang mempengaruhi usaha mikro perempuan kepala
rumahtangga.
3.1.3. Strategi Kajian
Strategi Kajian dilakukan dengan cara:
1. Studi kasus instrumental
Studi kasus instrumental yaitu studi kajian yang memperlakukan kasus
pemberdayaan PKRT sebagai instrumen untuk memahami usaha mikro, jejaring
sosial dan program-program yang telah diberikan, dan mengapa program
tersebut tidak berkesinambungan.
2. Analisis Stakeholder
Stakeholder menurut Richard L. Draft (1991) dalam Sutomo, dkk (2003)
merupakan kelompok di dalam dan di luar organisasi yang mempunyai peran
dalam menentukan kinerja organisasi. Analisis stakeholder merupakan strategi
untuk memanfaatkan dukungan sumberdaya kelompok atau institusi dan strategi
menghindari hambatan yang mungkin terjadi oleh kelompok institusi.
Stakeholder yang dianalisis menurut Uphoff (1992) adalah (1) Sektor
Keswadayaan Masyarakat yang tumbuh dan digiatkan oleh warga masyarakat
secara sukarela untuk kepentingan bersama. (2) Sektor Swasta yang mempunyai
33 orientasi pada keuntungan bisnis dalam bidang jasa, perdagangan, industri,
pengusaha pelayanan sosial yang cenderung non profit. (3) Sektor Publik yaitu
pihak pemerintah yang mempunyai arah kebijakan dan program pengembangan
masyarakat.
Cara Analisis stakeholder menurut Sutomo, dkk (2003) adalah dengan
membuat Tabel dan (1) Membedakan beberapa jenis komponen: stakeholder,
kebutuhan, keinginan, tujuan umum. (2) Merumuskan karakteristik penting,
kepentingan, sikap dan kemampuan.
3.2. Lokasi, Subyek dan Waktu Kajian
Kajian ini mengambil lokasi di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang
Kabupaten Bandung dengan pertimbangan:
1. Jumlah penduduk miskin di Desa Sekarwangi sebanyak 228 KK dan 60 KK
(26,32%) diantaranya adalah perempuan kepala rumahtangga yang
mengalami kerentanan ekonomi dan mengelola usaha mikro.
2. Lokasi tersebut telah memperoleh program P2KP dan UP2K-PKK sebagai
bentuk program pemberdayaan masyarakat dan perlu dilihat apakah program
tersebut dapat memberikan manfaat bagi PKRT usaha mikro.
3. Sebagian besar penduduk bekerja pada sektor pertanian dan menjadi buruh
pabrik. Banyak pendatang di desa Sekarwangi, sehingga potensi ekonomi
yang dikembangkan adalah usaha mikro yaitu berjualan makanan (gorengan,
usaha kerupuk, bakso, dan sebagainya), warungan dan konveksi. Kegiatan
itu juga dijalani oleh perempuan yang menjadi kepala rumahtangga.
Subyek Kajian adalah perempuan kepala rumahtangga yang memiliki
usaha mikro dan berada di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang Kabupaten
Bandung. Prosedur sampling dilakukan dengan cara menentukan key people
(orang kunci) dalam hal ini salah seorang informan (Bungin, 2003). Penentuan ini
dilakukan dengan sengaja (purposive sampling) yaitu memilih informan yang
sesuai dengan desain penelitian dan memiliki ciri-ciri yang esensial dari populasi,
sehingga cukup representatif yaitu telah lama menyatu dengan aktivitas yang
menjadi informasi, aktif dalam lingkungan, mempunyai banyak waktu untuk
diwawancarai, informasi cenderung apa adanya berdasarkan realita. Prosedur
pemilihan subyek kasus dilakukan dengan teknik snowball yaitu penentuan
34 sampling dimulai dari informan kunci yang diminta menunjuk PKRT yang menjadi
subyek kasus dan PKRT ini kemudian juga menunjuk teman-temannya yang lain
yang sesuai dengan kriteria penelitian. Kegiatan penetapan subyek kasus
dilakukan melalui tahap sebagai berikut:
1. Pengkaji berupaya memperoleh data awal melalui informan kunci (Kepala
Desa, Ketua TP PKK Desa Sekarwangi, Ketua DPK P2KP).
2. Melalui data tersebut pengkaji menetapkan satu nama sebagai subyek kasus.
3. Melalui nama yang dipilih tersebut, pengkaji berupaya memperoleh nama lain
yang memenuhi kriteria dan seterusnya.
4. Setelah data/informasi dianggap jenuh, kegiatan snowballing dihentikan dan
diperoleh 15 nama untuk digunakan sebagai subyek kasus.
Kajian dilaksanakan selama lebih kurang 3 (tiga) bulan yaitu pada
pertengahan bulan Juni sampai akhir Agustus 2005 (12 minggu). Kajian ini
sendiri merupakan kelanjutan dari Praktek Lapang I dan Praktek Lapang II yang
telah dilaksanakan sebelumnya di lokasi kajian. Jadwal waktu penyusunan kajian
seperti pada Tabel 3. berikut ini:
Tabel 3. Jadwal Penyusunan Kajian Pengembangan Masyarakat
2004 2005 No Langkah Kegiatan 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9
1. Pemetaan Sosial Komunitas (Praktek Lapang 1).
2. Evaluasi Program Pembangunan masyarakat di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang (Praktek Lapang 2).
3. Penyusunan Program Pemberdayaan PKRT Usaha MIkro
35 3.3. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data
3.3.1. Sumber Data
Penentuan sumber data yang diperlukan dalam penyusunan kajian ini
meliputi:
1. Sumber Data Primer
Sumber data primer adalah data yang diperoleh dari subyek kasus dan
Informan. Subyek kasus dalam hal ini adalah PKRT usaha mikro yang dipilih
secara sengaja dengan kriteria seorang perempuan yang mempunyai usaha
mikro, menjadi penopang perekonomian keluarga dan mempunyai semangat
untuk mengembangkan usahanya. Informannya adalah aparat Dinas
Kesejahteraan Sosial Kabupaten Bandung, TP PKK Kabupaten, Aparat
Kecamatan Katapang, Aparat Desa Sekarwangi, BKM/UPK P2KP, Tim
Penggerak PKK Desa Sekarwangi.
2. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh melalui dokumen yang
berasal dari:
a. Dokumen Desa Sekarwangi (Monografi desa, Profil Desa, Laporan-laporan
seperti data keluarga miskin, surat-surat resmi seperti surat pengajuan
bantuan atau proposal P2KP, surat hasil MPKT, Kartu Angsuran Pinjaman
Bergulir P2KP– KSM Desa Sekarwangi, Buku Laporan Keuangan UP2K-
PKK).
b. Dokumen Kecamatan Katapang (Profil Desa di Kecamatan Katapang).
c. Dokumen Kabupaten (Statistik Kabupaten, seperti Data PMKS, Laporan
UP2K-PKK, dan lain-lain).
3.3.2. Teknik Pengumpulan Data
Kelanjutan dari kegiatan Praktek Lapangan I (Pemetaan Sosial) dan
Praktek Lapangan II (evaluasi program pembangunan pada tingkat komunitas)
adalah Kajian Lapangan. Metode pengumpulan data kajian yang digunakan
memperhatikan kecukupan informasi dan efisiensi, maka digunakan empat teknik
pengumpulan data kualitatif, yaitu: pengamatan berperan serta, wawancara
mendalam, kajian dokumen dan diskusi kelompok sebagai berikut:
36 1. Pengamatan Berperan Serta (PBS)
Pengamatan Berperan Serta yaitu interaksi sosial yang terjadi antara
peneliti dengan subyek kasus atau informan secara langsung (Mulyana, 2003).
Metode ini mengarahkan peneliti untuk mengamati dan menggali data
bagaimana PKRT usaha mikro memandang realitas kehidupan mereka yang
biasa, rutin dan alamiah dan bagaimana jejaring sosial yang telah dilaksanakan
dalam usaha mikro untuk meningkatkan akses dan kontrol PKRT usaha mikro
terhadap sumberdaya produktif.
2. Wawancara Mendalam (WM)
Wawancara Mendalam adalah komunikasi antara peneliti dan subyek
kasus atau informan untuk memperoleh informasi melalui tatap muka berulang
kali (Mulyana, 2003). Wawancara ini bersifat luwes dengan susunan pertanyaan
dan kata-kata yang dapat diubah pada saat wawancara disesuaikan dengan
kebutuhan dan kondisi saat wawancara termasuk karakteristik sosial budaya
(agama, suku, gender, usia, tingkat pendidikan, pekerjaan) dari subyek kasus
yang dihadapi.
3. Kajian Dokumen (KD)
Metode Kajian Dokumen berupaya untuk melakukan penggalian data
tentang pelaksanaan usaha mikro oleh PKRT khususnya dan warga masyarakat
umumnya melalui program P2KP dan UP2K-PKK dengan mempelajari dokumen-
dokumen. Dalam hal ini dokumen-dokumen yang terdapat di (1) kantor desa
seperti proposal pengajuan bantuan P2KP, Kartu Angsuran Anggota KSM, data
kependudukan; (2) kecamatan seperti data kependudukan; (3) Dinas
Kesejahteraan Sosial Kabupaten Bandung seperti data PMKS.
4. Diskusi Kelompok (DK)
Diskusi kelompok memberikan akses pada sosok pengetahuan yang lebih
besar atas masyarakat umum. Dinamika diskusi kelompok cenderung untuk
membuka kesempatan untuk pertanyaan-pertanyaan yang tidak diharapkan yang
justru memberikan informasi tambahan (Mikkelsen, 2003). Diskusi Kelompok
dapat menghasilkan data tentang usaha mikro yang dapat meningkatkan
kesejahteraan dan memberdayakan PKRT, karakteristik perempuan terutama
PKRT usaha mikro, jejaring sosial dan kelembagaan yang mewadahi usaha
mikro PKRT. Pelaksanaan diskusi kelompok ini dilakukan dengan pengkaji
37 bertindak sebagai fasilitator dan teknik PRA yang digunakan adalah sebagai
berikut (Astuti, 2000):
a. Pemetaan
Pemetaan digunakan untuk menginventarisir sumberdaya yang ada di
desa. Peta yang dikembangkan berupa peta sosial, peta sumberdaya, akses dan
kontrol terhadap sumberdaya, akses terhadap teknologi/infrastruktur dan lokasi
PKRT usaha Mikro.
b. Profil Sejarah Lokal dan Analisis Kecenderungan
Profil sejarah lokal mengingatkan kembali kejadian penting yang terjadi di
Desa Sekarwangi yang dialami oleh masyarakat yang merubah pola kehidupan
masyarakat misalnya pembangunan jalan dan jembatan, perubahan pola tanam,
migrasi masyarakat dan sebagainya. Analisis kecenderungan membandingkan
perubahan-perubahan dari suatu waktu dengan tujuan untuk mengidentifikasikan
kecenderungan berkembangnya usaha mikro yang dikelola oleh PKRT.
c. Kalender Musim
Kalender musim yang dibuat untuk waktu tertentu, misalnya pada tanggal
berapa tiap bulannya PKRT usaha mikro memperoleh laba atau rugi dalam
menjalankan usaha mikronya. Variabel yang dapat divisualisasikan adalah:
aktivitas pekerjaan, beban pekerjaan laki -laki dan perempuan, jumlah modal
usaha dan pengeluaran usaha mikro PKRT.
d. Aktivitas Harian
Aktivitas harian digunakan untuk mengidentifikasi siapa melakukan apa
diantara anggota keluarga, kapan aktivitas dilakukan, berapa lama waktu yang
diperlukan, beban pekerjaan masing-masing anggota keluarga, kapan anggota
mempunyai waktu luang. Adanya profil aktivitas harian akan membantu kaum
laki -laki untuk meningkatkan kesadaran dan sensitivitas gender. Profil tersebut
juga menunjukkan pada kaum perempuan bahwa terjadi suatu kesenjangan dan
itu bukan merupakan kondisi normatif perempuan dan bukan merupakan kodrat
perempuan.
Tabel 4. berikut ini menunjukkan proses penggalian data kajian:
38
Tabel 4. Penggalian Data Kajian
No TUJUAN JENIS INFORMASI SUMBER DATA
KEGIATAN PESERTA TEKNIK PENGUMPULAN
DATA
TEKNIK KAJIAN ASPEK GENDER
1. Mengetahui karakteristik PKRT.
Karakteristik PKRT usaha mikro, analisis Harvard.
-Subyek kasus.
-Informan. -Dok. Kab.
Diskusi Kelompok I
PKRT Usaha Mikro
PBS, WM, DK Daily Schedule, Profil aktivitas, kalender musim, profil sejarah lokal dan analisis kecenderungan, serta analisis mata pencaharian.
Mengetahui keterlibatan Laki-laki dan Perempuan dalam kegiatan mengelola sumberdaya terutama usaha mikro, pembagian kerja dan partisipasi.
2. Efektivitas program pembangunan.
P2KP dan UP2K-PKK, analisis Moser, profil kelembagaan.
-Subyek kasus.
-Informan. -Dok. Desa.
Diskusi Kelompok II
-BKM -TP PKK Desa -Aparat desa. -PKRT usaha mikro.
WM, KD, DK Diagram venn, diagram analisis moser.
Perbandingan partisipasi L dan P.
3. Analisis masalah dan kebutuhan PKRT.
Identifikasi masalah gender, Kelembagaan dan Jejaring Sosial, modal sosial.
-Subyek kasus.
-Informan.
Diskusi Kelompok III
-Pemda -TP PKK Kab. -KM -TP PKK Desa -Aparat Desa -PKRT usaha mikro.
KD, DK Wawancara, Pohon Masalah, Diagram Partisipasi, Akses dan Kontrol.
Arus jejaring usaha mikro. Kekuatan dan kelemahan, identifikasi masalah gender, rencana program pemberdayaan.
4. Program Pemberdayaan PKRT Usaha Mikro.
Peningkatan Jejaring Sosial dalam Pemberdayaan PKRT Usaha Mikro.
-Subyek kasus.
-Informan. -Dok. Desa
Diskusi Kelompok IV
-Camat -BKM -TP PKK Desa -Aparat Desa -PKRT/PKRT usaha mikro.
WM, DK, KD Loka karya. Program pemberdayaan PKRT melalui peningkatan jejaring sosial.
39 3.4. Cara Pengolahan dan Analisis Data
Analisis data secara umum menurut Miles & Huberman (1992) dapat
dilakukan dengan cara:
1. Reduksi Data adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan dan transformasi data yang lebih kasar. Hasil wawancara,
observasi dan diskusi kelompok terhadap informan dan subyek kasus dicatat
dan dikumpulkan dalam catatan harian, kemudian dipilih data yang sesuai
dengan tujuan penelitian.
2. Penyajian Data yaitu sekumpulan data dan informasi yang sudah tersusun
rapi yang memberi kemungkinan penarikan kesimpulan dan pengambilan
tindakan. Data yang telah dikumpulkan dan dipilih disajikan dalam bentuk
Tabel dan dianalisa sesuai dengan tujuan penelitian.
3. Penarikan Kesimpulan yaitu proses menemukan makna data yang bertujuan
untuk memahami tafsiran dalam konteksnya dengan masalah secara
keseluruhan. Data yang telah dianalisis kemudian ditarik kesimpulan sesuai
dengan masalah kajian.
3.5. Penyusunan Program Pemberdayaan Masyarakat
Cara Penyusunan Program adalah melalui PRA (Participatory Rural
Appraisal). PRA memungkinkan penggalian potensi, sumber dan masalah yang
ada dalam komunitas secara lebih mendalam dan melalui PRA dapat dianalisa
pemecahan masalah dalam bentuk penyusunan program. Dalam PRA, orang
luar lebih berperan sebagai orang yang mengadakan pertemuan, katalis dan
fasilitator yang memungkinkan masyarakat melakukan dan membagi
penyelidikan dan analisis tentang mereka sendiri.
Penyusunan Program ini menggunakan PRA karena PRA merupakan
suatu pendekatan untuk mengumpulkan sumber, potensi, masalah dan
kebutuhan PKRT yang mengelola usaha mikro. Desa Sekarwangi yang terletak
dekat dengan pusat pemerintahan kabupaten dan masuk dalam lingkungan
perkotaan memiliki kondisi kehidupan masyarakat yang masih tergolong pada
pedesaan. Hal tersebut ditandai dengan kehidupan kekerabatan mereka masih
erat, mudah berkumpul dan mereka tetap mempertahankan kondisi alam seperti
40 pertanian agar tidak menjadi lahan komplek perumahan, sehingga tepat bila
menggunakan PRA.
Proses penyusunan program pemberdayaan bagi PKRT usaha mikro
secara partisipatif dilakukan melalui beberapa tahap yaitu:
1. Tahap Identifikasi Masalah dan Kebutuhan. Pada tahap ini dilakukan
pemetaan masalah dengan menggunakan pohon masalah dan identifikasi
kebutuhan dan tujuan pemberdayaan bagi PKRT usaha mikro.
2. Tahap Identifikasi Potensi Lokal. Pada tahap ini dianalisa sumber potensi
yang terdapat di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang yang dapat
dimanfaatkan untuk kegiatan pemberdayaan bagi PKRT usaha mikro.
3. Tahap Pendayagunaan Sumber-sumber Lokal. Pada tahap ini terdapat
analisa stakeholder untuk mengidentifikasi kekuatan dukungan yang ada
pada tiap-tiap kelembagaan untuk kegiatan pemberdayaan terhadap PKRT
usaha mikro.
4. Tahap Penyusunan dan Pengusulan Rencana. Pada tahap ini dibuat
rancangan program pemberdayaan bagi PKRT usaha mikro beserta dengan
kegiatan-kegiatannya.
Proses umum penerapan PRA untuk penjajagan kebutuhan dan
perencanaan program menurut Djohani (1996) terdiri dari tahap-tahap:
1. Persiapan Pengkajian Desa selama 1 - 2 hari, terdiri dari:
a. Kunjungan persiapan dan pengakraban (sosialisasi) kepada masyarakat.
b. Penyelesaian prosedur dan perijinan dari lembaga.
c. Pembentukan Tim PRA, terdiri dari pimpinan program, petugas program serta
wakil dari masyarakat.
d. Pengkajian data sekunder, berupa data dari dokumen seperti topografi, jenis
usaha masyarakat, terutama PKRT, sarana desa, dan sebagainya.
e. Penyusunan desain PRA yang berisi latar belakang program dan gambaran
lokasi/desa, rumusan tujuan, rumusan metoda, jadwal pelaksanaan,
penyusunan teknik PRA.
f. Penyajian rancangan PRA.
g. Persiapan-persiapan praktis, seperti pengaturan konsumsi, waktu dan
tempat, alat-alat serta bahan yang diperlukan untuk melengkapi laporan.
41 2. Pelaksanaan Pengkajian Desa sela ma 4 – 5 hari proses diskusi, meliputi:
3. Kedatangan tim PRA ke lokasi.
4. Pembahasan kembali maksud dan tujuan.
5. Peleburan (sosialisasi) ulang agar PKRT dan komunitas mengetahui bahwa
rencana yang dulu disampaikan akan dilaksanakan.
6. Pengumpulan informasi, melalui teknik kajian pemetaan desa dan alur
sejarah desa serta menetapkan teknik dan fokus informasi yang diperlukan.
3. Penyusunan Rencana Kegiatan selama 4 hari. Penyusunan rencana
kegiatan digunakan untuk menyusun rencana program pemberdayaan PKRT
terutama PKRT yang mengelola usaha mikro secara partisipatif. Kegiatan
yang dilakukan meliputi:
a. Persiapan bahan-bahan perencanaan, seperti kertas, spidol dan sebagainya;
penyepakatan waktu, biasanya selama 2 sampai 3 hari, hari pertama untuk
presentasi seluruh hasil temuan dan pengorganisasian masalah, hari kedua
untuk kajian alternatif pemecahan masalah dan pilihan kegiatan, hari ketiga
untuk penyusunan rencana kegiatan; persiapan teknis seperti jadwal waktu,
undangan, tempat, konsumsi, alat-alat dan bahan.
b. Pelaksanaan Loka Karya desa berupa penyajian seluruh hasil informasi,
pengorganisasian masalah, pembahasan alternatif kegiatan, pemilihan
kegiatan dan pengisian bagan rencana kegiatan.
4. Penulisan Laporan dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Pengkajian keadaan desa (identifikasi masalah, kebutuhan dan potensi).
b. Pengkajian pengaruh program terhadap keadaan masyarakat.
c. Penyusunan rekomendasi kegiatan lanjutan (pleno desa).
d. Evaluasi kegiatan penerapan PRA oleh masyarakat (pleno desa).
e. Penulisan laporan.
f. Penyajian laporan.
Penulisan laporan dilakukan oleh fasilitaor PRA dan laporan juga
dilakukan di lapangan pada saat seluruh informasi masih baru dengan bahasa
yang mudah dipahami oleh masyarakat desa.
42 5. Evaluasi Penerapan PRA, terbagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu:
a. Evaluasi penerapan PRA bersama masyarakat dengan tujuan untuk
memfasilitasi perenungan (refleksi) masyarakat terhadap seluruh proses
terutama kesan masyarakat terhadap proses tersebut dan apa yang telah
dipelajari masyarakat menurut persepsi mereka sendiri.
b. Evaluasi penerapan PRA bersama dengan stakeholder bertujuan untuk
melakukan perenungan (refleksi) terhadap seluruh proses terutama apakah
PRA telah berhasil membangun proses pengalihan kemampuan keterampilan
analisis masyarakat, apakah yang kita peroleh dari kegiatan tersebut,
penemuan-penemuan yang diperoleh dan bagaimana menindaklanjuti
kegiatan tersebut.
BAB IV
PETA SOSIAL DESA SEKARWANGI KECAMATAN KATAPANG KABUPATEN BANDUNG
Peta sosial dalam komunitas perlu dikaji untuk melihat aktivitas
masyarakat terutama PKRT dan dapat menjadi salah satu faktor pengembangan
masyarakat. Aspek-aspek yang digunakan untuk menganalisis kondisi kehidupan
masyarakat terutama PKRT usaha mikro di Desa Sekarwangi meliputi data
mengenai: kependudukan, sistem ekonomi, struktur komunitas, organisasi dan
kelembagaan, sumberdaya lokal, karakteristik PKRT dan jejaring sosial PKRT
usaha mikro dalam komunitas.
4.1. Kondisi Geografis dan Administratif
Desa Sekarwangi merupakan desa di Kecamatan Katapang yang
letaknya paling dekat dengan Ibukota Kabupaten Bandung. Luas Wilayah Desa
yang merupakan dataran adalah 116 ha yang berupa lahan persawahan seluas
86 ha (74,14%) dan darat seluas 30 ha (25,86%) yang terbagi menjadi
pemukiman umum seluas 22 ha (73,33%) dari tanah darat dan selebihnya
(26,67%) adalah lahan untuk sarana olahraga, sekolah dan jalan. Dari data
tersebut dapat diketahui bahwa sebagian besar wilayah desa yaitu 74,14%
adalah lahan persawahan yang subur dan pertanian merupakan mata
pencaharian utama bagi warga desa Sekarwangi. Lahan pemukiman dan sarana
lainnya tidak begitu besar menghabiskan besaran lahan yang ada di Desa
Sekarwangi. Desa Sekarwangi merupakan desa yang dekat dengan pusat
pemerintahan Kabupaten dan dilalui oleh jalan protokol, tetapi lahan pertanian
tetap dipertahankan untuk tidak menjadi lahan pemukiman. Hal tersebut
disebabkan kesuburan tanahnya yang dilintasi oleh saluran irigasi dapat
menghasilkan beras unggulan, sehingga dapat menopang kehidupan warganya.
Perempuan kepala rumahtangga yang menjadi buruh tani selalu
berpindah tempat, apabila musim tanam dan panen telah selesai, agar mereka
bisa bekerja pada para pemilik lahan. Perempuan kepala rumahtangga yang
mengelola usaha mikro warungan, dagang dan konveksi memperoleh
kemudahan dalam transportasi karena lokasi yang dekat dengan pusat
44 pemerintahan Kabupaten dan dekat dengan jalan protokol yang mudah
menghubungkan ke pasar.
Lokasi Desa Sekarwangi dapat dijangkau oleh kendaraan umum yang
melintasi jalan Terusan Kopo (Terminal Leuwipanjang – Soreang) selama 24 jam
penuh. Jarak tempuh dari Terminal Leuwipanjang ke Desa Sekarwangi adalah
13,5 km dengan waktu tempuh bi la tidak terjadi kemacetan di daerah Sayati
adalah 45 menit, sedangkan bila terjadi kemacetan bisa mencapai 1,5 jam
dengan tarif Rp. 2.000. Untuk mencapai daerah pedalaman/pelosok tersedia
kendaraan umum becak yang beroperasi mulai jam 06.00 WIB sampai dengan
jam 15.00 WIB dengan tarif Rp. 2.000 – Rp. 3.000 yang kemudian dilanjutkan
dengan kendaraan ojeg sampai dengan jam 24.00 WIB dan tarif Rp. 1.500. Letak
kantor desa yang strategis yaitu berada tepat di sisi jalan Terusan Kopo
menyebabkan orang mudah untuk mengenali wilayah Desa Sekarwangi.
Aksesibilitas menuju pusat pemerintahan dapat dilihat pada Tabel 5. berikut ini.
Tabel 5. Orbitrasi, Jarak dan Waktu Tempuh Letak Desa Sekarwangi Tahun 2004
NO. Orbitrasi dan Jarak Tempuh Keterangan 1. Jarak ke Ibukota Kecamatan 4 Km 2. Jarak ke Ibukota Kabupaten 2 Km 3. Jarak ke Ibukota Propinsi 18 Km 4. Waktu tempuh ke Ibukota Kecamatan 0,15 Jam 5. Waktu tempuh ke Ibukota Kabupaten 0,10 Jam 6. Waktu tempuh ke pusat fasilitasi terdekat (Ekonomi,
Kesehatan, Pemerintahan) 0,15 Jam
Sumber: Data Monografi Desa Sekarwangi Tahun 2004.
Data pada Tabel 5. menunjukkan bahwa Desa Sekarwangi mempunyai
tingkat aksesibilitas yang cepat untuk menjangkau pusat pemerintahan, baik
pada tingkat kecamatan dan kabupaten. Jarak ke propinsi cukup jauh yaitu 18
km dengan waktu tempuh sekitar 2 sampai 3 jam. Jarak kantor desa ke RW dan
RT mudah dijangkau, karena letak kantor desa di tepi jalan protokol mudah
dihubungi oleh berbagai pihak yang berkepentingan. Desa Sekarwangi sebagai
lokasi terdekat dengan pusat pemerintahan memiliki berbagai sarana fasilitas
perekonomian dan kesehatan seperti pasar dan rumah sakit mudah dijangkau
oleh penduduk dengan kendaraan umum yang tersedia sepanjang waktu. Jarak
pasar yang cukup dekat dan dapat ditempuh dalam waktu 10 menit,
memudahkan PKRT usaha mikro untuk menjangkau pasar.
45 Usaha mikro di Desa Sekarwangi tersebar di setiap RW (terdapat 8 RW,
setelah pemekaran menjadi 13 RW). Masyarakat di tiap RW memiliki usaha
mikro yang beragam dan hampir di setiap RW ada usaha warungan dan dagang
secara kecil-kecilan yang sebagian besar dikelola oleh perempuan kepala
rumahtangga sebagaimana pernyataan dari AN (PKRT usaha mikro):
Perempuan yang bergerak di usaha kecil, yang suaminya tidak bekerja atau menganggur maupun yang tidak mempunyai suami, yang saya tahu berada di 5 RW, yaitu RW 01, 02, 03, 09 dan 10 kira-kira sebanyak 30 orang. Karena yang hadir dalam rapat kemarin hanya setengahnya saja (hanya 15 orang). Mereka membuka usaha warungan, dagang keliling, kreditan dan menjahit.
Uraian tersebut menggambarkan bahwa jumlah PKRT yang mengelola
usaha kecil berupa warungan dan dagang kecil-kecilan ada di tiap RW. Usaha
yang dikelola beraneka ragam, mulai dari usaha warungan sembako, dagang
masakan keliling, dagang bakso, gorengan dan sebagainya. Jumlah PKRT
usaha mikro di desa Sekarwangi tidak dapat diketahui secara pasti besarannya,
tetapi bila dilihat dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa jumlah PKRT
usaha mikro di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang sebanyak 60 orang.
4.2. Kondisi Demografi
Komposisi penduduk digunakan untuk melihat tenaga kerja produktif,
perbandingan jumlah laki-laki dan perempuan dan tingkat ketergantungan yang
ada di Desa Sekarwangi menurut Umur dan Jenis Kelamin. Komposisi tersebut
dapat dilihat pada Tabel 6. berikut ini:
Tabel 6. Komposisi Penduduk Desa Sekarwangi berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin Tahun 2004.
JENIS KELAMIN No GOLONGAN UMUR LAKI-LAKI % PEREMPUAN %
JUMLAH % SR 2004
1. 0 – 4 248 8,22 267 10,47 515 9,25 93 2. 5 – 6 206 6,83 339 13,29 545 9,79 61 3. 7 – 12 302 10,01 234 9,18 536 9,63 129 4. 13 – 15 273 9,05 242 9,49 515 9,25 113 5. 16 – 18 316 10,47 275 10,78 591 10,61 115 6. 19 – 25 309 10,24 210 8,24 519 9,32 147 7. 26 – 35 289 9,58 206 8,08 495 8,89 140 8. 36 – 45 223 7,39 120 4,71 343 6,16 186 9. 46 – 50 254 8,42 172 6,75 426 7,65 148 10. 51 – 60 200 6,63 220 8,63 420 7,54 91 11. 61 – 75 211 6,99 176 6,90 387 6,95 120 12. 76 + 187 6,20 89 3,49 276 4,96 210 JUMLAH 3.018 100,00 2.550 100,00 5.568 100,00 118
Sumber: Data Isian Monografi Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang Kab. Bandung Tahun 2004.
46 Data pada Tabel 6. menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk
berada pada usia angkatan kerja dan merupakan penduduk usia produktif (usia
16 – 60 tahun) yaitu sebanyak 2.794 orang atau 50,18% dan sebagian besar
bekerja sebagai buruh pada pabrik yaitu sebanyak 810 orang atau 27,05%. Hal
tersebut disebabkan letak jalan raya Kopo merupakan wilayah industri di mana
banyak pabrik-pabrik yang mempekerjakan banyak buruh. Jumlah perempuan
usia angkatan kerja atau usia produktif sebanyak 1.203 orang atau 43,06% dari
jumlah penduduk usia produktif. Hal tersebut menunjukkan bahwa hampir
setengahnya perempuan berada pada usia produktif dan mereka ada yang
bekerja sebagai buruh pabrik, buruh tani dan mengelola usaha mikro. Jumlah
perempuan kepala rumahtangga sebanyak 179 orang atau 12,10% dari 1479 KK
di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang, sedangkan jumlah PKRT yang
mengelola usaha mikro dan dalam kondisi Pra KS atau KS 1 sebanyak 60 orang.
Jumlah laki-laki di Desa Sekarwangi lebih besar daripada perempuan
yaitu sebanyak 3.018 orang atau 54,20%. Berdasarkan perhitungan sex ratio
atau Rasio Jenis Kelamin (RJK) yaitu jumlah penduduk laki-laki dibagi jumlah
penduduk perempuan dan dikalikan 100, maka diperoleh hasil yaitu 118. Jadi
dapat dinyatakan bahwa dari 118 laki-laki perbandingannya adalah per 100
penduduk perempuan. Keberadaan perempuan dalam suatu wilayah sangat
diperlukan untuk kegiatan peningkatan kesejahteraan keluarga termasuk dalam
pendidikan anak, tetapi hal tersebut akan mengalami hambatan ketika seorang
perempuan menjadi kepala rumahtangga dan menanggung begitu banyak
anggota keluarga yang harus dinafkahi sementara dirinya sendiri mengalami
keterbatasan dalam mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya karena
keterbatasan usaha dan adanya pandangan masyarakat bahwa perempuan
hanyalah pencari nafkah tambahan.
Tingkat Rasio Beban Tanggungan (RBT) pada penduduk di Desa
Sekarwangi dapat dihitung dengan membagi jumlah penduduk usia 0 – 5 tahun
dan usia 61 tahun ke atas sebanyak 2.774 jiwa dengan jumlah penduduk usia
produktif yaitu usia 16 sampai 60 tahun sebanyak 2.794 jiwa dikalikan 100, maka
diperoleh hasil yaitu 99. Hal tersebut mengandung arti bahwa dalam setiap 100
orang usia produktif menanggung 99 orang yang tidak produktif. Komposisi
perbandingan RBT penduduk yang produktif dengan yang tidak produktif adalah
2 jiwa berbanding 2 jiwa. Rasio beban ketergantungan penduduk tersebut akan
berpengaruh terhadap tingkat partisipasi penduduk dalam suatu pembangunan.
47 Besarnya angka ketergantungan membuat orang akan sulit untuk berpartisipasi
disebabkan konsentrasi mereka adalah untuk menghidupi anggota keluarganya
yang tidak produktif. Perempuan yang bergerak dalam usaha mikro rata-rata
berada pada usia produktif, karena pada usia tersebut mereka masih bisa
berusaha dan menjalankan usaha mikro untuk menghidupi diri dan keluarganya.
Gerak atau mobilitas penduduk Desa Sekarwangi dapat dilihat dapat pada Tabel
7. berikut ini:
Tabel 7. Jumlah Penduduk menurut Gerak/Mobilitas Penduduk Desa Sekarwangi periode Januari-Desember Tahun 2002
2003 No. Registrasi Khusus L P
JUMLAH CBR 2003
CDR 2003
RMm 2003
RMk 2003
1. Kelahiran 53 46 99 20,37 - - - 2. Kematian 10 11 21 - 4,32 - - 3. Migrasi Masuk 98 104 202 - - 41,56 - 4. Migrasi Keluar 126 124 250 - - - 51,44
Sumber: Data Monografi Desa Sekarwangi Kec. Katapang Kab. Bandung Januari 2003.
Data pada Tabel 7. menunjukkan bahwa jumlah kelahiran bayi cukup
tinggi yaitu sebanyak 99 jiwa atau dengan Crude Birth Rate (CBR) sebesar 20,37
bila dibandingkan dengan angka kematian yang ada di Desa Sekarwangi pada
tahun 2003. Hal tersebut menunjukkan bahwa angka harapan hidup di desa
Sekarwangi cukup tinggi, karena pemahaman mereka terhadap penggunaan
fasi litas kesehatan melalui Puskesmas telah memadai.
Jumlah migrasi terbesar ada pada migrasi keluar yaitu sebanyak 250 jiwa
atau dengan Reit Migrasi keluar (RMk) sebanyak 51,44 bila dibandingkan
dengan jumlah migrasi yang masuk di Desa Sekarwangi tahun 2003. Hal
tersebut menunjukkan bahwa banyak penduduk yang melakukan perpindahan ke
luar desa, karena pada umumnya mereka ingin mencari pekerjaan dan
penghidupan yang lebih baik dengan bekerja di pabrik atau menjadi TKI ke
negara-negara di Asia (5 orang). Warga yang menjadi TKI paling banyak adalah
perempuan yang bekerja sebagai pembantu rumahtangga sebanyak 5 orang
atau 4,03% dari jumlah penduduk perempuan yang melakukan migrasi keluar.
Mobilitas perempuan di Desa Sekarwangi yang bekerja sebagai
pembantu rumahtangga di desa tetangga, yaitu di komplek perumahan seperti
Gading Tutuka, Cingcin, Soreang Indah dan sebagainya sebanyak 10 orang atau
8,06%.
48 Lokasi Desa Sekarwangi yang strategis yaitu dekat dengan lokasi pabrik
dan komplek pemda membuat banyak warga yang masuk dan menetap secara
permanen ataupun sementara. Banyak warga desa yang membuka usaha mikro
berupa warungan, konveksi, menjahit ataupun makloon sebanyak 173 orang dan
sebagian dikelola oleh PKRT yaitu sebanyak 60 orang. Usaha PKRT mengalami
pasang surut tiap bulannya, seperti usaha warungan mengalami peningkatan
dan memperoleh keuntungan saat akhir bulan, sedangkan usaha makanan jadi
mengalami keuntungan tiap awal bulan. hal tersebut disebabkan pada awal
bulan warga masyarakat mempunyai dana cukup untuk belanja ke supermarket
dan membeli masakan jadi, sedangkan pada akhir bulan di saat kondisi
keuangan warga masyarakat menipis, mereka memilih untuk membeli sembako
di warung dan memasak sendiri daripada membeli.
4.3. Kondisi Pendidikan
Kondisi pendidikan di Desa Sekarwangi terbesar adalah tamat SD. Hal
tersebut dapat dilihat pada Tabel 8. berikut ini:
Tabel 8. Persentase Penduduk Umur 10 Tahun ke atas menurut Tingkat Pendidikan yang ditamatkan di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang Kabupaten Bandung Tahun 2003
NO. PENDIDIKAN JUMLAH % 1. Tamat SD/sederajat 2.920 60,28 2. Tamat SLTP/sederajat 952 19,65 3. Tamat SLTA/sederajat 775 16,00 4. Tamat D-1 67 1,38 5. Tamat D-2 34 0,70 6. Tamat D-3 28 0,58 7. Tamat S-1 68 1,40 JUMLAH 4.844 100,00
Sumber: Daftar Isian Penyusunan Profil Desa Sekarwangi Kec. Katapang Kab. Bandung Tahun 2003.
Data pada Tabel 8. di atas menunjukkan bahwa sebagian besar atau
setengah dari penduduk Desa Sekarwangi adalah Tamat SD/sederajat sebanyak
2.920 orang atau 60,28%. Pendidikan yang terbatas menyebabkan jenis
pekerjaannya pun terbatas pada penggunaan tenaga kasar seperti menjadi
buruh tani, buruh pabrik dan pedagang kecil. Perempuan terutama PKRT yang
menggeluti usaha mikro seperti warungan, dagang makanan keliling rata-rata
memiliki pendidika n tamat SD sampai dengan tamat SLTP. Pendidikan yang
terbatas juga berpengaruh terhadap penerimaan mereka terhadap program
49 pembangunan yang ada, seperti mereka merasa kesulitan saat mengisi formulir
P2KP dan menerima penjelasan tentang pengembalian cicilan.
4.4. Kondisi Ekonomi
Kondisi ekonomi untuk melihat jenis mata pencaharian dan potensi
ekonomi lokal yang terdapat di Desa Sekarwangi. Mata pencaharian utama di
wilayah ini adalah pertanian. Komposisi penduduk berdasarkan mata
pencaharian dapat dilihat pada Tabel 9. berikut ini:
Tabel 9. Komposisi Penduduk Desa Sekarwangi berdasarkan mata pencaharian Tahun 2003.
NO. MATA PENCAHARIAN JUMLAH % 1. Buruh tani 1.200 40,08 2. Buruh/swasta 810 27,05 3. Petani 400 13,36 4. Pegawai Negeri 286 9,55 5. Pedagang 173 5,78 6. Pengrajin 46 1,54 7. Pensiunan 38 1,27 8. ABRI 32 1,07 9. Peternak 5 0,17 10. Montir 4 0,13 JUMLAH 5.134 100,00
Sumber: Daftar Isian Penyusunan Profil Desa Sekarwangi Kec. Katapang Kab. Bandung Tahun 2003.
Data pada Tabel 9. menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk desa
Sekarwangi bekerja sebagai buruh tani yaitu berjumlah 1.200 orang atau
40,08%. Tenaga mereka diperlukan pada saat musim tanam, musim panen dan
membersihkan sawah yang waktunya tidak tentu tergantung musim dan
permintaan. Upah yang diberikan untuk buruh tani perempuan adalah sebesar
Rp. 7.000,- per hari, sedangkan untuk buruh laki -laki sebesar Rp. 10.000,- per
hari tanpa makan atau Rp. 13.000,- per hari dengan makan. Penghasilan mereka
bila diakumulasikan sebulan tidak layak untuk menghidupi anggota keluarganya
bila disesuaikan dengan standar World Bank tentang pengeluaran orang per hari
adalah US$ 2/orang/hari atau Rp. 20.000/orang/hari.
Jumlah yang besar juga adalah mereka yang bekerja sebagai
buruh/swasta yaitu sebanyak 810 orang atau 27,05%. Hal tersebut disebabkan di
wilayah Kopo banyak terdapat pabrik yang banyak mempekerjakan buruh
terutama buruh wanita yang berasal dari wilayah sekitarnya. Masalah yang
50 terjadi adalah apabila pabrik mengalami kebangkrutan, maka banyak pekerja
yang di-PHK, sehingga akan berpengaruh pada kehidupan dalam rumahtangga.
Usaha mikro di Desa Sekarwangi ditunjukkan malalui mata pencaharian
pedagang dan pengrajin yaitu sebanyak 219 orang atau 7,32%. Sebagian warga
masyarakat mengambil alternatif usaha mikro untuk menghidupi keluarganya
seperti. Pemasaran hasil usaha mikro yang dikelola oleh PKRT berupa
rangginang dan kerupuk dijual ke warung-warung dan pasar atau menjualnya
melalui karyawan yang bekerja di pabrik, sedangkan konveksi biasanya laku
dijual apabila di kantor desa ada kunjungan kerja, kedatangan tamu dari luar
desa, pada saat bazar atau pameran.
Sumberdaya lokal yang ada di Desa Sekarwangi berpengaruh terhadap
mata pencaharian penduduk yang lain, seperti adanya Usaha Kecil Menengah
(UKM) yang ada di desa tersebut sebagian memanfaatkan sumberdaya lokal
seperti melihat pada kondisi demografi dimana penduduk Desa Sekarwangi
sebagian besar adalah pendatang dan bekerja sebagai buruh pabrik, sehingga
mereka membutuhkan masakan matang karena tidak sempat memasak.
Pemanfaatan sumberdaya lokal yaitu dengan menggunakan beras ketan sebagai
hasil pertanian Desa Sekarwangi untuk pembuatan rangginang. UKM ini sudah
berkembang dan mempunyai pekerja. Berikut ini adalah daftar UKM di Desa
Sekarwangi:
Tabel 10. Kondisi Perekonomian berdasarkan Usaha Kecil Menengah Warga Desa Sekarwangi Tahun 2002.
Pengelola No. Jenis UKM L P
Jumlah UKM %
1. Usaha Makanan 7 11 18 42,86 2. Konveksi 11 - 11 26,20 3. Barang rongsokan 1 - 1 2,38 4. Akuarium - 1 1 2,38 5. Karet Dragon 2 - 2 4,76 6. Mebeulair 3 - 3 7,14 7. Bata Merah 1 - 1 2,38 8. Jamur Kayu 2 - 2 4,76 9. Peternakan 2 - 2 4,76
10. Perhiasan Emas 1 - 1 2,38 JUMLAH 30 12 42 100,00
Sumber: Data Desa Sekarwangi Tahun 2002.
51 Data pada Tabel 10. menunjukkan bahwa usaha yang dilakukan oleh
warga Desa Sekarwangi terbesar ada pada usaha makanan sebanyak 18 UKM
atau 42,86%. Usaha yang dikelola oleh perempuan adalah makanan asakan,
keripik singkong, rangginang, kudapan dan telor asin sebanyak 11 UKM atau
26,19%. Hal tersebut menunjukkan bahwa usaha mikro yang dijalankan oleh
perempuan di Desa Sekarwangi adalah pada usaha makanan, karena
keterkaitannya dengan urusan dapur, sehingga memudahkan bagi mereka untuk
mengembangkan minat dan bakatnya.
4.5. Kondisi Sosial Budaya
4.5.1. Keragaman Warga
Masyarakat Desa Sekarwangi terdiri dari berbagai etnis yang mendiami
wilayah tersebut. Mereka adalah pendatang yang bertujuan untuk mencari
pekerjaan atau dikarenakan menikah dengan warga setempat. Etnis terbesar
menurut Data Monografi Tahun 2003 ada pada suku Sunda sebanyak 5.310 jiwa
atau 95,28%, yang kedua adalah suku Jawa sebanyak 220 jiwa atau 3,95% dan
terakhir adalah suku Batak sebanyak 43 orang atau 0,77%. Berdasarkan
wawancara dengan warga setempat, suku Jawa banyak terdapat di Desa
Sekarwangi dikarenakan mereka banyak yang bekerja sebagai buruh pabrik
yang banyak terdapat di sisi jalan Kopo. Pengusaha juga mempertimbangkan
adanya etnis tersebut, yaitu suku Jawa yang lebih dikenal ulet dan suka bekerja
keras sangat diperlukan untuk membantu proses produksi mereka, sedangkan
suku Sunda dikenal lebih santai. Suku Batak di Desa Sekarwangi lebih dikenal
sebagai rentenir yang uangnya sering dipinjam oleh masyarakat yang
mempunyai kebutuhan mendesak, tidak terkecuali bagi PKRT yang mengelola
usaha mikro.
Keanekaragaman pekerjaan juga dapat dilihat di desa Sekarwangi
dengan melihat variasi warga desa dalam mencari nafkah hidupnya walaupun
sebagian besar dari mereka adalah buruh tani dan buruh pabrik. Juga terdapat
UKM berupa usaha-usaha mandiri warga desa untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya.
52 4.5.2. Stratifikasi Warga
Stratifikasi atau pelapisan sosial yang terdapat di Desa Sekarwangi
didasarkan pada kemapanan ekonomi, kesepuhan dan agama. Kemapanan
ekonomi biasanya terdapat pada masyarakat dengan kategori Keluarga
Sejahtera III (KS III) dan KS III Plus dengan kriteria yaitu mereka telah dapat
memenuhi seluruh kebutuhannya, baik kebutuhan dasar, sosial, psikologis,
pengembangan dan telah memberikan sumbangan yang nyata dan berkelanjutan
bagi masyarakat. Stratifi kasi menurut kesepuhan yaitu orang yang dituakan dan
stratifikasi menurut agama yaitu golongan ulama atau ustad yang tinggal di Desa
Sekarwangi. Berikut ini dapat dilihat gambar yang menunjukkan pelapisan sosial
di Desa Sekarwangi:
Gambar 3. Stratifikasi Sosial di Desa Sekarwangi Tahun 2004.
Gambar 3. di atas menunjukkan bahwa stratifikasi/pelapisan sosial yang
terjadi di Desa Sekarwangi didasarkan pada status ekonomi dan keseganan
masyarakat terhadap golongan yang ada di atasnya. Warga masyarakat yang
menduduki lapisan satu adalah warga masyarakat yang dianggap “the have”
(orang kaya/KS III/KS III Plus), para ulama yang disegani oleh warga masyarakat
dan para sesepuh atau orang yang dituakan. Petuah yang disampaikan oleh
ulama lebih cepat diserap oleh komunitas di Desa Sekarwangi yang mayoritas
beragama Islam.
Jumlah yang terdapat pada tiap lapisan beragam, dari 1.445 KK yang ada
di Desa Sekarwangi, pada lapisan yang pertama jumlah warganya relatif sedikit
yaitu sebanyak 143 KK (10%). Pada lapisan yang kedua masyarakat memiliki
kepercayaan terhadap golongan PNS dan Aparat Desa yang dianggap memiliki
KS III Plus, KS III , Ulama, Sepuh
KS II, PNS, Aparat Desa.
KS I, Pra KS
Lapisan 1
Lapisan 2
Lapisan 3 40%
50%
10%
53 pengaruh dan kekuasaan untuk membangun desa di mana jumlah mereka
sebanyak 739 KK (50%). Golongan yang terakhir adalah KS I dan Pra KS, di
mana mereka adalah para buruh tani, buruh pabrik dan pedagang kecil yang
jumlah mereka sebanyak 563 KK (40%).
Posisi perempuan kepala rumahtangga yang bergerak dalam usaha mikro
berada pada lapisan tiga (golongan bawah) yaitu KS I dan Pra KS. Mereka rata-
rata bergerak pada bidang usaha warungan dan usaha jahit rajut yang telah
dirintis sejak terjadinya krisis ekonomi Tahun 1997. Suami mereka yang
mengalami PHK menyebabkan mereka yang asalnya dianggap sebagai pencari
nafkah tambahan dan hanya membantu suami akhirnya harus menjadi pencari
nafkah utama. Perubahan peran tersebut menyebabkan mereka harus bisa
membagi tugasnya antara urusan rumahtangga dan sebagai pencari nafkah,
sementara sebagian suami mereka ada yang mengerti dan membantu urusan
rumahtangga istrinya, tetapi ada juga yang tetap bersantai dan berleha-leha yang
menyebabkan seorang PKRT harus membanting tulang untuk membiayai
sekolah anak-anaknya dan menghidupi kelangsungan hidup rumahtangganya.
4.6. Sistem Nilai dan Norma
Sistem nilai dan norma dalam masyarakat di Desa Sekarwangi
Kecamatan Katapang mengacu pada adat istiadat budaya Sunda dan sistem
religi yang dianut yaitu agama Islam. Kehidupan beragama masih kuat, hal
tersebut dapat dilihat dari rutinitas pengajian yang diadakan oleh warga setiap
hari dan setiap minggunya. Tiap RW di Desa Sekarwangi terdapat mesjid yang
selalu diramaikan oleh warga dan terdapat pondok madrasah serta Ikatan
Remaja Mesjid (IRMA) yang aktif mengadakan kegiatan-kegiatan keagamaan.
Perempuan kepala rumahtangga yang bergerak dalam usaha mikro mudah
menjangkau kehidupan keagamaan yang ada di lingkungan mereka dengan
mengikuti pengajian rutin tiap minggu.
Warga masyarakat pendatang sulit diterima oleh warga masyarakat asli di
Desa Sekarwangi. Mereka membutuhkan waktu yang cukup lama untuk dapat
beradaptasi dan diterima oleh masyarakat asli walaupun para pendatang
membawa perubahan seperti terlibat dalam kegiatan desa ataupun organisasi
kewanitaan seperti yang diungkapkan oleh Ibu TT (Pengurus PKK desa):
54 Warga masyarakat di sini sulit menerima pendatang, walaupun mereka aktif dalam kegiatan organisasi kemasyarakatan di Desa Sekarwangi dan sudah tinggal lama di sini. Suara penduduk asli lebih didengarkan daripada suara pendatang. Mereka sering mencurigai pendatang karena mereka tidak mengetahui asal usul pendatang.
Uraian di atas menjelaskan bahwa pendatang mengalami kesulitan untuk
menyesuaikan diri di Desa Sekarwangi. Ikatan kekerabatan yang kuat diantara
penduduk asli, membuat mereka agak susah mempercayai pendatang.
Pendatang yang terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan juga mengalami
kesulitan dalam mengajak warga untuk berperan aktif dalam kegiatan
masyarakat, misalnya untuk kerja bakti.
Usaha mikro yang dikelola oleh PKRT pendatang juga mengalami
hambatan, karena bantuan yang diberikan kepada warga masyarakat terutama
perempuan diberikan kepada penduduk asli dan jarang diberikan kepada
pendatang. Pandangan masyarakat terhadap PKRT yang mengelola usaha
mikro adalah mereka dianggap sebagai pencari nafkah tambahan dan membantu
suami, karena pencari nafkah utama adalah laki-laki yang menjadi kepala
keluarga.
4.7. Kelembagaan dan Jejaring Sosial dalam Komunitas
Lembaga Kemasyarakatan yang ada di Desa Sekarwangi terutama dalam
hubungannya dengan usaha mikro tidak terlepas dari adanya kelompok-
kelompok yang terbentuk yaitu:
2. Kelompok bentukan masyarakat seperti kelompok arisan. Kelompok ini
merupakan inisiatif dari masyarakat untuk menabung yaitu arisan berupa
barang-barang kebutuhan untuk hari Raya.
3. Kelompok bentukan pemerintah seperti LKMD dan PKK. Kelompok ini
bergerak dibidang sosial kemasyarakatan dan perencanaan pembangunan
Desa Sekarwangi.
Kelembagaan yang ada di Desa Sekarwangi yang berhubungan dengan
usaha mikro adalah sebagai berikut:
1. Lembaga ekonomi: BUMDES, Usaha mikro, rentenir, pasar.
2. Kelembagaan Kekerabatan: Keluarga (Extended Family).
3. Lembaga Kesejahteraan Masyarakat: Pokja II – PKK, LKMD, BKM, KSM.
55 Masing-masing kelembagaan tersebut mempunyai sistem norma, nilai
dan pola hubungan yang menjadi aturan main dari lembaga dan kelembagaan
tersebut, seperti PKRT usaha mikro yang meminjam uang kepada rentenir di
dalamnya ada aturan tidak tertulis tentang berapa uang yang dikembalikan per
hari beserta dengan bunganya dan peminjaman dilakukan berdasarkan rasa
saling percaya. Uang yang dipinjamkan oleh rentenir kepada warga dikenakan
beban administrasi sebesar 10% pada saat uang tersebut diberikan ditambah
bunga sebesar 20% perhari selama 10 hari. Apabila uang tidak dibayarkan
dalam satu hari, maka bunganya semakin hari bertambah.
Pola hubungan yang terdapat dalam PKK dengan salah satu program
pokoknya yaitu pemberian bantuan modal untuk Usaha Peningkatan Pendapatan
Keluarga (UP2K-PKK). Dana tersebut boleh dipinjam oleh kader atau masyarakat
yang membutuhkan. Di dalamnya terdapat aturan seperti cicilan pinjaman
selama sepuluh minggu dengan uang jasa 1%. Aturan yang berlaku pada dana
bergulir P2KP juga sama. Warga masyarakat diberikan pinjaman dan dicicil per
bulan, maksimal 12 bulan dengan bunga jasa 1,5%.
Kelembagaan sangat berperan untuk mendukung usaha mikro yang
dijalankan oleh perempuan kepala rumahtangga di Desa Sekarwangi. Tabel 11.
berikut ini merupakan lembaga formal dan informal yang ada di Desa Sekarwangi
Kecamatan Katapang yang dapat meningkatkan usaha mikro bagi PKRT.
Tabel 11. Peran Lembaga Formal dan Informal dalam Peningkatan Kesejahteraan PKRT Usaha Mikro di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang Tahun 2004
Sumber Pendukung
No. Faktor Pendukung
Jejaring PKRT Usaha Mikro Lembaga Informal Lembaga Formal
1. Informasi: Pasar, harga, inovasi produk.
• Keluarga, teman usaha, teman arisan.
• Pasar mingguan, kelompok pengajian.
• Koran, radio, televisi.
• Pembentukan lembaga (KSM,BKM).
2. Adanya kepercayaan/ trust kepada PKRT Usaha Mikro
Rentenir, denda. • P2KP, UP2K-PKK
3. Pemberian kredit Jaringan sanak famili, teman, rentenir,arisan, kelompok masyarakat sipil.
• Bank, P2KP, UP2K-PKK
4. Perangkat publik dan sumber potensi masyarakat
Kelompok arisan. • BKM, KSM.
Sumber: Diadaptasi dari Bonds and Bridges: Sosial Capital and Poverty dalam Narayan, 1998.
56 Data pada Tabel 11. menunjukkan bahwa informasi usaha mikro,
termasuk di dalamnya harga, produk berasal dari keluarga, teman usaha,
pameran, pasar minggon radio dan televisi. Keberadaan pemimpin desa sangat
mempengaruhi keberlangsungan program pembangunan yang ada di Desa
Sekarwangi. Kepercayaan/trust dari warga tinggi apabila personal yang
mengelola dana bantuan dapat dipercaya dan dana tersebut dapat
dipertanggungjawabkan, sehingga perilakunya dapat ditiru oleh warga
masyarakat terutama PKRT usaha mikro seperti dengan tetap menjaga
keberlangsungan pengguliran dana pinjaman.
Kredit bagi PKRT dapat diperoleh melalui kelembagaan informal seperti
keluarga, rentenir dan arisan. Perolehan kredit melalui lembaga formal yaitu dari
perbankan. Kelo mpok masyarakat sipil merupakan kelompok pegawai pemda
yang tinggal di Desa Sekarwangi. Lokasi desa yang dekat dengan pusat
pemerintahan Kabupaten Bandung memungkinkan bagi pegawai pemda untuk
bertempat tinggal di desa tersebut. Kelompok ini dapat dimanfaatkan untuk
memberikan informasi program dan kegiatan yang bermanfaat untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa terutama pencarian kredit untuk
PKRT usaha mikro. Perangkat publik dan sumber potensi masyarakat
merupakan kelembagaan yang terbentuk atas keinginan masyarakat seperti
kelompok arisan dan kelompok bentukan program pemerintah seperti Badan
Keswadayaan Masyarakat (BKM) dan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM).
Kelembagaan tersebut dapat digunakan untuk menjadi wadah pengembangan
usaha mikro yang dikelola oleh PKRT, seperti kelompok arisan uang ataupun
barang dapat menggiatkan kegiatan menabung warga. BKM dan KSM dapat
menjadi wadah untuk kegiatan berkelompok warga dalam mengelola usaha
secara bersama-sama.
Jejaring sosial dalam usaha mikro yang ada di Desa Sekarwangi tidak
terlepas dari hubungannya dengan kelembagaan yang ada, seperti pasar,
lembaga mikro keuangan, program pembangunan desa dalam bidang ekonomi,
konsumen dan sebagainya. Gambar 4. berikut ini akan dilihat bagaimana jejaring
sosial usaha mikro terutama yang dikelola oleh perempuan kepala rumahtangga
di Desa Sekarwangi:
57
JARINGAN INTRA KOMUNITAS
Gambar 4. Jejaring Sosial PKRT Usaha Mikro Berdasarkan Dimensi
Modal Sosial di Desa Sekarwangi Tahun 2004. Keterangan: : hubungan yang sangat kuat. : hubungan timbal balik. : hubungan satu arah. : hubungan tidak erat. Besar kecilnya lingkaran menunjukkan besar kecilnya pengaruh kelembagaan terhadap PKRT usaha mikro.
Gambar 4. menunjukkan pengaruh kelembagaan pada PKRT usaha
mikro. Semakin besar lingkaran semakin besar pengaruhnya terhadap
keberlangsungan usaha mikro yang dijalankan oleh PKRT. Jejaring usaha mikro
terutama yang dikelola oleh perempuan kepala rumahtangga di Desa
Sekarwangi berhubungan dengan aparat Desa, BPD dan LKMD sebagai
perumus kebijakan dan program yang ada di Desa. PKK dengan program UP2K-
PKK dapat berfungsi sebagai penggerak kegiatan usaha mikro yang dikelola oleh
perempuan kepala rumahtangga. Hubungan antara kedua lembaga desa
PKRT USAHA MIKRO
P2KP
RENTENIR
PASAR
WARGA MASYARAKAT
UP2K - PKK
BPD,Desa,LKMD
Rendah
Tinggi Quadran 1 Quadran 2
Quadran 3
Quadran 4: “Masyarakat desa yang Miskin” Ikatan Intra Komunitas Tinggi, Jaringan luar komunitas Rendah.
KELUARGA
58 tersebut dengan PKRT usaha mikro tidak erat, karena rumusan kebijakan
tentang kegiatan usaha ekonomi produktif di desa belum menyentuh kepentingan
dan kebutuhan PKRT usaha mikro.
PKRT dalam menjalankan usahanya selama ini terbentur pada masalah
permodalan dan sebagian besar dari mereka memperolehnya dengan cara
meminjam kepada rentenir. Program pembangunan masyarakat seperti P2KP
dan UP2K-PKK belum sepenuhnya menjangkau usaha mereka. Hubungan
PKRT yang memiliki usaha mikro sangat erat dengan warga masyarakat sebagai
konsumen dan pasar yang bisa berperan sebagai konsumen ataupun produsen.
Pasar di sini adalah pasar dalam bentuk aslinya yaitu tempat bertemunya penjual
dan pembeli untuk melakukan transaksi. PKRT yang bergerak dalam usaha
warungan dan dagang makanan membeli bahan-bahan usaha mereka dari pasar
dan menjualnya kepada warga masyarakat, tetapi pasar bisa menjadi tempat
bagi PKRT menjual usahanya seperti rangginang.
Jaringan PKRT usaha mikro di Desa Sekarwangi berada pada Quadran 4
yaitu termasuk dalam kategori “Masyarakat Desa yang Miskin”. Ikatan intra atau
dalam komunitas untuk usaha mikro yang dikelola oleh PKRT tinggi, tetapi
jaringan luar komunitas rendah. Usaha mikro yang dijalankan oleh PKRT masih
bisa bertahan karena adanya pinjaman dari keluarga atau para rentenir untuk
menambah modal usahanya. Sebagian besar PKRT usaha mikro mengalami
masalah permodalan karena hasil keuntungan usaha mereka digunakan untuk
memenuhi kebutuhan subsisten, sehingga dana untuk modal usaha selalu habis
atau pas-pasan. Ikatan jaringan mereka di dalam komunitas tinggi dengan
mengandalkan ikatan kekerabatan, tetapi untuk pemanfaatan program
pembangunan terutama untuk pembangunan ekonomi produktif yang berasal
dari pemerintah, mereka kurang mendapat perhatian. Hal tersebut dikarenakan
dana yang turun melalui program pembangunan terlebih dahulu diberikan
kepada orang-orang terdekat pemegang kekuasaan di desa walaupun jenis
usahanya baru, sedangkan untuk PKRT usaha mikro diberikan sisa dana
program tersebut sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibu ER (PKRT usaha
mikro):
Waktu ada dana bantuan dari P2KP yang didahulukan adalah orang-orang terdekat Pak RW, sedangkan kami sisanya.
Uraian tersebut menggambarkan bahwa terjadi pembedaan dalam
penerimaan dana bergulir P2KP. Orang-orang yang dekat dengan pemegang
59 kekuasaan di desa dan terlibat dalam kepengurusan P2KP mendapat pinjaman
terlebih dahulu, sedangkan yang tidak dekat walaupun masuk dalam kriteria
penerima bantuan bergulir dan telah didata tidak diberikan. Jumlah PKRT yang
mengelola usaha mikro di Desa Sekarwangi sebanyak 60 orang, tetapi yang
menerima bantuan dana bergulir P2KP hanya 26 orang.
Hubungan jejaring ini menjadi sinergis dan masuk dalam Quadran 1
apabila terjadi peningkatan pola hubungan antar kelembagaan, terutama jejaring
sosial dengan kelembagaan di luar komunitas. Pengembangan jejaring bagi
PKRT usaha mikro memungkinkan bagi mereka untuk memperoleh kredibilitas
dalam mengakses sumberdaya produktif, seperti memperoleh pinjaman modal
dan kredit secara mudah untuk memajukan usaha mikro mereka.
4.8. Karakteristik Subyek Kasus (PKRT Usaha Mikro)
Penentuan subyek kasus dilakukan dengan langsung menunjuk pada
data primer yaitu perempuan kepala rumahtangga yang mengelola usaha mikro,
baik yang telah ataupun belum menerima bantuan P2KP atau UP2K-PKK.
Pertimbangannya adalah sejauhmana program tersebut dapat memberikan
manfaat dan PKRT dapat turut berpartisipasi dan mempunyai kewenangan untuk
mengambil keputusan untuk mengikuti program tersebut.
Subyek kasus yang diambil adalah PKRT dari 6 RW yang ada di Desa
Sekarwangi Kecamatan Katapang. Mereka berjumlah 15 orang dan 4 orang
diantaranya telah menerima bantuan P2KP dan 1 orang telah menerima bantuan
UP2K-PKK. Karakteristik subyek kasus dapat dilihat dari usia, tingkat pendidikan,
status perkawinan, jumlah tanggungan, jenis usaha mikro dan permasalahan
yang dialami PKRT Usaha Mikro.
4.8.1. Karakteristik Subyek Kasus Berdasarkan Usia
Usia subyek kasus perlu diketahui untuk melihat usia produktif
perempuan kepala rumahtangga yang bergerak dalam usaha mikro. Karakteristik
subyek kasus berdasarkan usia dapat dilihat pada Tabel 12. berikut ini:
60 Tabel 12. Jumlah dan Persentase Subyek Kasus Berdasarkan Usia di Desa
Sekarwangi Kecamata n Katapang Tahun 2005 No. U s i a Jumlah (orang) % 1. 20 – 30 5 33,34 2. 31 – 40 5 33,33 3. 41 – 50 3 20,00 4. 51 ke atas 2 13,33 JUMLAH 15 100,00 Sumber: Hasil penelitian Tahun 2005.
Data pada Tabel 12. menunjukkan bahwa sebagian besar PKRT usaha
mikro yang menjadi subyek kasus berada pada usia produktif yaitu sebanyak 10
orang atau 66,66%. Pada usia tersebut seorang perempuan sedang berada pada
tingkat usaha dan semangat aktivitas yang tinggi. Usia yang relatif masih muda
sudah membuat mereka harus menanggung beban kehidupan dalam
rumahtangga seperti membiayai sekolah anak dan makan sehari-hari. Beban
hidup mereka yang tinggi tidak didukung pemberian kesempatan untuk
memperoleh penambahan modal usaha, sehingga banyak dari mereka
meminjam uang kepada rentenir.
Hal yang menjadi penyebab mereka menjadi penopang perekonomian
rumahtangga adalah karena suami mereka mengganggur atau bekerja tapi tidak
menentu penghasilannya. PKRT yang berusia sudah agak lanjut biasanya
bekerja penuh untuk menghidupi anggota keluarga yang menjadi tanggungan
hidupnya. Pasangan hidupnya yang juga sudah berusia lanjut biasanya sulit
untuk mencari pekerjaan lain, sehingga PKRT menjadi penyangga perekonomian
keluarga. Pada usia tersebut mereka ingin aktif dalam kehidupan masyarakat
selain mengurus usaha mikro, tetapi ada juga yang sudah tidak peduli terhadap
kehidupan organisasi kemasyarakatan karena waktunya habis untuk mencari
nafkah.
4.8.2. Karakteristik Subyek kasus Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan subyek kasus perlu diketahui untuk melihat
sejauhmana penerimaan perempuan kepala rumahtangga yang bergerak dalam
usaha mikro terhadap program pengembangan masyarakat yang ada di Desa
Sekarwangi Kecamatan Katapang. Tingkat pendidikan juga diperlukan untuk
menganalisa tingkat kreativitas usaha yang dijalankan oleh PKRT. Karakteristik
subyek kasus berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 13.
berikut ini:
61 Tabel 13. Jumlah dan Persentase Subyek Kasus BerdasarkanTingkat Pendidikan
di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang Tahun 2005 No. Tingkat Pendidikan Jumlah (orang) % 1. Tamat SD/sederajat 7 46,66 2. SLTP/sederajat 4 26,67 3. SLTA/sederajat 3 20,00 4. Diploma (I, II, III) 1 6,67 5. Sarjana 0 0
JUMLAH 15 100,00 Sumber: Hasil penelitian Tahun 2005.
Data pada Tabel 13. menunjukkan bahwa PKRT yang bergerak dalam
usaha mikro hampir setengahnya berpendidikan tamat SD/sederajat sebanyak 7
orang atau 46,67%. Mereka bergerak dalam usaha warungan kecil-kecilan,
dagang bakso dan lotek. Mereka berdagang di halaman rumahnya dengan
membuka kios kecil dan kadang-kadang dikelola bersama dengan suami atau
anak-anaknya. PKRT yang berpendidikan di atas SD bergerak dalam usaha
rangginang, jahit hias dan usaha variasi makanan/snack.
PKRT yang dapat mengenyam pendidikan di atas SD dapat
menggunakan keterampilan dirinya untuk mengerjakan berbagai macam variasi
usaha mikro seperti membuat rangginang atau jahit hias, tetapi yang
berpendidikan SD hanya mampu membuka usaha warungan atau dagang
masakan. Hal tersebut disebabkan mereka tidak memiliki pengetahuan dan
keterampilan lain selain berdagang yang pendapatan hari-harinya digunakan
untuk pemenuhan kebutuhan subsisten rumahtangga. Pendidikan yang terbatas
juga menyebabkan PKRT yang bergerak dalam usaha mikro sulit menerima
penjelasan mengenai program pengembangan masyarakat sebagaimana yang
diutarakan oleh Ibu EL (PKRT usaha mikro):
Ibu-ibu di sini susah kalau diberi penjelasan tentang kegiatan baru, karena rata-rata mereka berpendidikan rendah. Kalau ada informasi mengenai kegiatan, harus dijelaskan secara berulang-ulang dan rinci. Mereka juga datang ke sini dan bertanya berulang-ulang.
Uraian tersebut menegaskan bahwa tingkat pendidikan selain
berpengaruh terhadap bidang usaha yang digeluti oleh PKRT juga terhadap
penerimaan mereka atas informasi baru yang diberikan. Tingkat pendidikan yang
terbatas menyebabkan PKRT usaha mikro belum mampu mengembangkan
usahanya lebih luas dan dengan kualitas yang beragam. Hal tersebut juga
berpengaruh terhadap kesadaran mereka terhadap pengembalian cicilan.
Mereka mudah terpengaruh oleh teman karena tingkat pendirian mereka yang
62 lemah, seperti pada saat pembayaran cicilan P2KP. Mereka melihat temannya
tidak membayar akhirnya mereka juga ikut-ikutan tidak membayar cicilan
pinjaman P2KP.
4.8.3. Karakteristik Subyek kasus Berdasarkan Status Perkawinan
Status Perkawinan subyek kasus perlu diketahui untuk melihat
bagaimana posisi PKRT yang menggeluti usaha mikro dalam komunitas. Adanya
pandangan bahwa perempuan hanya sebagai pencari nafkah tambahan dapat
mempengaruhi aktivitas usaha PKRT terutama terhadap program
pengembangan masyarakat. Mereka sulit menerima keadilan gender karena
adanya anggapan tersebut. Karakteristik subyek kasus berdasarkan status
perkawinan dapat dilihat pada Tabel 14. berikut ini:
Tabel 14. Jumlah dan Persentase Subyek Kasus Berdasarkan Status Perkawinan di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang Tahun 2005
No. Status Perkawinan Jumlah (orang) % 1. Kawin 13 86,67 2. Janda 2 13,33
JUMLAH 15 100,00 Sumber: Hasil penelitian Tahun 2005.
Data pada Tabel 14. menunjukkan bahwa sebagian besar PKRT masih
memiliki pasangan hidup yaitu sebanyak 13 orang atau 86,67%. Kondisi mereka
sebagai kepala rumahtangga yang mengelola segala urusan mulai dari urusan
dapur sampai kelangsungan pendidikan anak memerlukan rasa saling pengertian
dan toleransi terutama dari pasangan hidupnya. Usaha mikro mereka juga perlu
diberikan perhatian dan kepercayaan bahwa mereka juga dapat mengelola
keuangan dan dapat pengembalian cicilan secara rutin.
Status kawin pada PKRT usaha mikro adalah PKRT yang memiliki suami,
tetapi terkena PHK yaitu sebanyak 13 orang atau 86,67%. Suami yang
mengalami PHK tua sebanyak 3 orang atau 23,07% dan 10 orang menjadi PHK
muda 10 orang atau 76,93%. Bagi PKRT yang suaminya terkena PHK tua
mengalami tingkat permasalahan yang sangat kompleks, karena perusahaan
tidak menerima karyawan dengan usia yang sudah tinggi (di atas 40 tahun),
sedangkan kebutuhan hidup dan pendidikan anak-anak harus dipenuhi. Mereka
akhirnya hanya tinggal di rumah dan tidak mengerjakan sesuatu hal yang dapat
meningkatkan pendapatan keluarga. Bagi PKRT yang suaminya mengalami PHK
muda, mereka berpeluang untuk bekerja lagi, tetapi sulitnya mencari pekerjaan
63 membuat mereka akhirnya diam di rumah, walaupun ada sebagian dari mereka
membuat keterampilan kecil-kecilan seperti membuat sepatu sebanyak 1 orang
(PHK dari pabrik sepatu) atau bekerja menjadi tukang becak sebanyak 2 orang.
PKRT yang status pekerjaan suaminya pegawai swasta sebanyak 5 orang
adalah mereka yang secara tertulis di KTP adalah pegawai swasta, tetapi dalam
kehidupan keseharian mereka menganggur.
Status janda pada PKRT karena cerai sebanyak 1 orang dan kematian 1
orang. Kehidupan mereka semakin sulit karena mereka menopang seluruh
keperluan rumahtangga dan menanggung kehidupan anak-anaknya.
4.8.4. Karakteristik Subyek kasus Berdasarkan Jumlah Tanggungan
Jumlah tanggungan subyek kasus yang menjadi beban hidup seorang
PKRT perlu diperhatikan, karena dengan melihat jumlah tanggungan tersebut
dapat pula dilihat besaran jumlah biaya hidup yang diperlukan dalam keluarga
PKRT. Karakteristik PKRT berdasarkan jumlah tanggungan dapat dilihat pada
Tabel 15. berikut ini:
Tabel 15. Jumlah dan Persentase Subyek Kasus Berdasarkan Jumlah Tanggungan di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang Tahun 2005
No. Jumlah Tanggungan (orang) Jumlah (orang) % 1. 1 – 2 3 20,00 2. 3 – 4 9 60,00 3. 5 – 6 2 13,33 4. > 6 1 6,67
JUMLAH 15 100,00
Sumber: Hasil penelitian Tahun 2005.
Data pada Tabel 15. menunjukkan bahwa PKRT yang memiliki
tanggungan 3 – 4 orang sebanyak 9 orang atau 60%. Semakin besar jumlah
tanggungan yang harus dihidupi oleh seorang PKRT, maka semakin keras pula
ia harus mencari nafkah untuk menghidupi diri dan keluarganya. Apabila PKRT
memiliki akses terhadap permoda lan dan kontrol terhadap pendapatan dan
harga yaitu dapat menentukan jenis barang yang akan dibeli berdasarkan kondisi
keuangan, maka tidak akan menjadi masalah.
Jumlah PKRT yang mempunyai beban tanggungan sebanyak 7 – 8 orang
sebanyak 1 orang atau (6,67%). PKRT tersebut menanggung anak, cucu dan
mantu yang bersatu dalam rumahnya dengan membuka usaha warungan dan
lotek. Beban tanggungan yang berat dan usianya yang tidak lagi muda membuat
64 PKRT tersebut harus bekerja ekstra keras untuk mempertahankan
kehidupannya, walaupun dalam kesehariannya ia dibantu oleh anaknya.
4.8.5. Karakteristik Subyek kasus Berdasarkan Jenis Usaha Mikro
Jenis usaha mikro yang dijalankan oleh PKRT perlu dikaji untuk melihat
besaran modal dan permasalahan yang dialami oleh PKRT usaha mikro.
Karakteristik PKRT berdasarkan jenis usaha mikro dapat dilihat pada Tabel 16.
berikut ini:
Tabel 16. Jumlah dan Persentase Subyek Kasus Berdasarkan Jenis Usaha Mikro di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang Tahun 2005
No. Jenis Usaha Mikro Jumlah (orang) % 1. Warungan 5 33,34 2. Dagang masakan 8 53,33 3. Menjahit hias 2 13,33
JUMLAH 15 100,00 Sumber: Hasil penelitian Tahun 2005.
Data pada Tabel 16. menunjukkan bahwa sebagian besar PKRT yang
menjadi subyek kasus menjalankan usaha dagang masakan sebanyak 8 orang
atau 53,33%. Usaha yang dikelola seperti berjualan masakan matang, bakso,
telur puyuh, gado-gado, rangginang dan ayam goreng. Usaha dagang warungan
dikelola oleh 5 orang PKRT atau sekitar 33,33%. Mereka menjual jajanan anak
dan sembako. Usaha selanjutnya adalah menjahit hias yaitu berupa jahit smock
dan jahit renda sebanyak 2 orang atau 13,33%.
4.8.6. Karakteristik Subyek kasus Berdasarkan Permasalahan Usaha Mikro
Permasalahan usaha mikro yang dialami oleh PKRT yang menjadi
subyek kasus dapat dilihat pada Tabel 17. berikut ini:
Tabel 17. Jumlah dan Persentase Subyek Kasus Berdasarkan Permasalahan Usaha Mikro di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang Tahun 2005
No. Permasalahan Usaha Mikro Jumlah (orang) % 1. Permodalan 14 93,33 2. Pemasaran 1 6,67
JUMLAH 15 100,00 Sumber: Hasil penelitian Tahun 2005.
Data pada Tabel 17. menunjukkan bahwa sebagian besar PKRT usaha
mikro yang menjadi subyek kasus mengalami permasalahan permodalan yaitu
sebanyak 14 orang atau sebesar 93,33%. Masalah ini berkaitan erat dengan
akses, kontrol dan jejaring sosial yang dimiliki oleh PKRT usaha mikro. Mereka
65 tidak mampu mengakses lembaga permodalan yang dikelola oleh lembaga
formal karena dikhawatirkan tidak mampu membayar cicilan. Mereka hanya
mampu mengakses dana dengan cara meminjam dari rentenir dengan
memanfaatkan ikatan ketetanggaan (kekerabatan).
PKRT yang mengalami masalah pemasaran adalah usaha menjahit hias
(smock) sebanyak 1 orang atau 6,67%. Hambatan yang dialaminya adalah
karena belum mengetahui teknik pemasaran produk dan persediaan barang
terbatas, sehingga barang yang akan dijual terbatas juga. Hal tersebut berkaitan
erat dengan permodalan yang dimilikinya, karena keterbatasannya untuk
membeli bahan baku menyebabkan persediaan barang juga terbatas.
4.9. Evaluasi Umum
PKRT usaha mikro memperoleh kemudahan dalam mengakses pasar
untuk kegiatan usahanya, karena letak Desa Sekarwangi dekat dengan jalan
protokol dan pusat pemerintahan kabupaten dengan salah satu fasilitasnya yaitu
pasar. PKRT usaha mikro rata-rata berpendidikan tamat SD dan SLTP dan
mereka bergerak dalam usaha warungan, dagang masakan matang, menjahit
smock , dan membuat rangginang.
PKRT usaha mikro yang menjadi subyek kasus adalah mereka yang
berada pada lapisan terbawah dengan kriteria Pra KS dan KS I. Sistem nilai dan
norma yang berlaku di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang adalah mereka
dianggap hanya sebagai pencari nafkah tambahan, sehingga berdampak pada
keterbatasan akses dan kontrol mereka terhadap sumberdaya produktif.
Kelembagaan dan jejaring sosial PKRT usaha mikro masih terbatas pada
jaringan intra komunitas yang tinggi dilihat dari ketergantungan PKRT terhadap
bantuan permodalan yang diperoleh dari keluarga dan rentenir. Program
pembangunan seperti P2KP dan UP2K-PKK masih terbatas diakses oleh PKRT
usaha mikro. Karakteristik PKRT usaha mikro yang menjadi subyek kasus dapat
dilihat dari usia, pendidikan, status perkawinan, jumlah tanggungan, jenis usaha
mikro yang dikelolanya dan permasalahan yang dihadapinya. Sebagian besar
PKRT usaha mikro masih berstatus kawin tetapi suami mereka menganggur
karena terkena PHK, sehingga pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari menjadi
terhambat. Masalah yang dihadapi oleh PKRT usaha mikro adalah permodalan
dan pemasaran.
BAB V
EVALUASI PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT
Pembangunan Sosial berbasiskan komunitas merupakan pembangunan
yang menitikberatkan pada pemberdayaan masyarakat dengan cara melibatkan
partisipasi masyarakat setingginya-tingginya agar mereka dapat merumuskan
aspek-aspek kebutuhan yang diperlukan dalam suatu komunitas dan masalah-
masalah sosial yang perlu dilakukan penanganan segera. Pembangunan
tersebut memperhatikan keterlibatan masyarakat sebagai aktor yang
bertanggung jawab secara penuh terhadap penyelenggaraan kegiatan dengan
memperhatikan sektor swasta sebagai penguat dan sektor pemerintah sebagai
kontrol pembangunan.
Pergeseran paradigma pembangunan dari Production Centered
Development yang menitikberatkan pada pembangunan yang bersifat
sentralistis, mobilisasi, penaklukan, eksploitasi, hubungan fungsional, nasional,
ekonomi konvensional dan unsustainable (tidak berkesinambungan) menjadi
pembangunan yang bersifat People Centered Development yang
menitikberatkan pada desentralisasi, partisipasi, pemberdayaan, pelestarian,
penguatan jejaring sosial, territorial, peningkatan keswadayaan lokal dan
sustainable (pembangunan yang berkelanjutan). Untuk mengetahui apa yang
menjadi masalah dan kebutuhan suatu komunitas perlu adanya pendalaman dan
penelitian terhadap komunitas tersebut terhadap sumber-sumber dan potensi-
potensi apa yang kiranya dapat dimanfaatkan untuk memecahkan masalah dan
memenuhi kebutuhan yang dihadapinya, sehingga kualitas hidup masyarakat
dapat dicapai.
Masalah yang terjadi saat ini adalah masyarakat sudah terlena dengan
model pembangunan yang telah dilaksanakan selama tiga dekade
pembangunan. Banyaknya bantuan yang diberikan oleh terutama Pemerintah
Pusat tanpa melihat kebutuhan dan masalah yang sebenarnya terjadi dalam
masyarakat menyebabkan mereka berpangku tangan terhadap uluran tangan
Pemerintah, sehingga tingkat swadaya masyarakat semakin memudar. Hal
tersebut tentu bukanlah persoalan mudah untuk membangkitkan semangat
kesetiakawanan dari masyarakat untuk berpartisipasi membantu orang-orang di
67 sekelilingnya yang mengalami permasalahan, sehingga diperlukan tenaga
profesional Pengembang Masyarakat yang diharapkan mampu meningkatkan
partisipasi masyarakat agar mereka dapat melaksanakan pembangunan bagi
wilayahnya dari, oleh dan untuk masyaraka t itu sendiri dalam rangka
memecahkan permasalahan yang dihadapi dan untuk dapat memenuhi
kebutuhan mereka dalam bentuk unit sosial ekonomi yang mandiri.
5.1. Gambaran Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP)
dan Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga – Pemberdayaan dan
Kesejahteraan Keluarga (UP2K-PKK)
Program pembangunan masyarakat di Desa Sekarwangi yang memiliki
keterkaitan dengan peningkatan usaha ekonomi masyarakat adalah program
P2KP dan UP2K-PKK. Program ini merupakan program yang digulirkan oleh
Pemerintah Pusat untuk mengembangkan usaha mikro masyarakat desa dan
berupaya untuk mengembangkan partisipasi masyarakat dengan melibatkan
mereka dalam proses penyeleksian warga penerima dan pengguliran dana.
Partisipasi pada kedua program ini masih mengarah pada pendekatan partisipatif
konsultatif, artinya partisipasi tersebut masih mengandalkan orang luar untuk
terlibat dalam kegiatan tersebut.
Pada prakteknya kedua program ini belum menyentuh sebagian warga
yang membutuhkan dana bergulir, terutama bagi PKRT usaha mikro.
Keterlibatan PKRT usaha mikro dalam proses perencanaan dan pelaksanaan
belum mendapat perhatian sepenuhnya, sehingga masalah dan kebutuhan
mereka tidak diketahui. Jumlah PKRT yang mengelola usaha mikro yaitu
sebanyak 60 orang, hanya 26 orang atau 43,33% yang menerima bantuan dari
kedua program tersebut. Berikut ini adalah gambaran kedua program
pembangunan masyarakat yang ada di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang.
5.1.1. Gambaran Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP)
Kegiatan P2KP merupakan program dari Departemen KIMPRASWIL yang
melibatkan sektor swasta dalam mengentaskan kemiskinan di wilayah perkotaan.
P2KP berupaya untuk mengentaskan kemiskinan dengan cara membangun
kebersamaan dengan berbagai pihak dan memberdayakan masyarakat
68 perkotaan melalui pengembangan kapasitas penyediaan sumberdaya dan
membudayakan kemitraan sinergis antara masyarakat dan pelaku-pelaku
pembangunan lokal lainnya.
Komponen kegiatan ini dibagi menjadi 2 (dua) bagian besar, yaitu:
1. Pengembangan Masyarakat melalui Bantuan Langsung Masyarakat
(BLM)
Pengembangan masyarakat dalam P2KP yaitu kegiatan-kegiatan yang
berkaitan dengan pengembangan masyarakat dan pengembangan kapasitas
kota/kabupaten agar mampu bekerjasama lebih efektif dengan organisasi
masyarakat seperti Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) atau Unit Pelaksana
Kegiatan (UPK) dalam penanggulangan kemiskinan. Kegiatan tersebut berupa
pengorganisasian masyarakat melalui Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM),
penyusunan rencana Tahunan dan membentuk jaringan kerjasama dalam bentuk
forum pendampingan bagi BKM.
Dana BLM merupakan bantuan langsung kepada masyarakat. Tujuan
utamanya adalah membuka jalan bagi masyrakat miskin ke sumberdaya modal
yang dapat langsung digunakan oleh masyarakat miskin untuk upaya-upaya
penanggulangan kemiskinan. Dana ini merupakan dana bergulir dari pemerintah
kepada masyarakat kelurahan/desa penerima, yang pengelolaannya
dipercayakan kepada organisasi masyarakat yang dibentuk secara demokratis,
transparan dan tanggung gugat kepada masyarakat, yang secara umum disebut
badan keswadayaan masyarakat (BKM). Pinjaman untuk Kelompok Swadaya
Masyarakat (KSM) yang membutuhkan dana untuk usaha produktif termasuk
kredit mikro perumahan atau perbaikan rumah, dan atau pelatihan keterampilan
yang langsung terkait dengan kegiatan usaha tertentu.
2. Pembangunan Sarana Fisik
Pembangunan sarana fisik melalui dana P2KP diberikan secara hibah
dengan tujuan manfaatnya dapat langsung dinikmati oleh warga masyarakat
seperti pembuatan jalan lingkungan, ja lan setapak dan pembuatan tempat
sampah. Masalah yang terjadi pada pembangunan fisik ini adalah pada
pembuatan tempat sampah dibuat pada lokasi yang strategis yaitu di sisi jalan
desa yang dilalui oleh warga masyarakat, sehingga menggangu ketentraman
warga terutama dari bau yang ditimbulkannya. Tempat pembuangan sampah itu
69 akhirnya dibongkar oleh warga dan dipindahkan ke tempat yang tidak
mengganggu warga masyarakat.
Sumber biaya yang dipergunakan oleh P2KP ini adalah berasal dari Dana
Luar Negeri yang operasional kegiatannya dikoordinir melalui Instansi terkait
mulai dari tingkat pusat sampai tingkat yang berada di bawahnya secara
berjenjang. Alokasi dana P2KP pada tahun 2003/2004 untuk Desa Sekarwangi
adalah sebesar Rp. 104.635.000,- yang diberikan secara bertahap menjadi 3
(tiga) caturwulan. Peruntukan dana P2KP dapat dilihat pada gambar 5 berikut ini:
Gambar 5 . Grafik Penerimaan Dana P2KP di Desa Sekarwangi Tahun 2003/2004.
Gambar 5 menjelaskan bahwa alokasi dana terbesar dari budget P2KP
adalah program peningkatan ekonomi yaitu berupa kegiatan pemberian dana
pinjaman bergulir untuk Usaha Ekonomis Produktif bagi warga di Desa
Sekarwangi Kecamatan Katapang yaitu sebesar Rp. 46.550.000,- (44,49%).
Dana tersebut diberikan kepada 8 (delapan) BKM yang ada di tiap-tiap RW.
Setiap RW memperoleh dana tersebut sekitar ± 5.000.000,- lebih (12,5%). Dari
tiap BKM dibentuk KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat) yang berjumlah 2
(dua) sampai 4 (empat) KSM di tiap RW. Jumlah KSM yang terbentuk di Desa
Sekarwangi yaitu sebanyak 30 KSM. Jumlah yang diterima oleh anggota KSM
bervariasi yaitu sebesar Rp. 250.000,- sampai dengan Rp. 500.000 per orang,
sedangkan dalam setiap KSM terdapat 4 (empat) sampai 6 (enam) anggota.
Program Peningkatan Ekonomi
Program Peningkatan Kualitas PemukimanProgram Penguatan Masyarakat Desa
Dana Operasional (BOP)
Rp. 46.550.000 (44,49%) Peningkatan Ekonomi Rp. 34.635.000 (33,10%)
Pemukiman
Rp. 18.688.096 (17,86%) Penguatan Masy.Ds
Rp. 4.761.904 (4,55%) BOP
70 Program P2KP yang kedua adalah program peningkatan kualitas
pemukiman warga miskin yaitu sebesar Rp. 34.635.000,- (33,10%) yang
diperuntukkan bagi pembuatan jalan lingkungan (gang) dan pembuatan bak
sampah yang ada di masing-masing RW. Adapun program pengembangan
masyarakat yang lain yaitu berupa program penguatan masyarakat sebesar Rp.
18.688.096,- (17,86%) yang berisi media warga yaitu kegiatan-kegiatan yang
diadakan oleh BKM berupa pertemuan-pertemuan dan musyawarah, Tunjangan
Warga Jompo sebanyak 10 orang dan Beasiswa bagi Pelajar miskin sebanyak 3
orang.
Dana operasional (BOP) yang dialokasikan dari P2KP sebesar Rp.
4.761.904 (4,55%) diperuntukkan bagi pengelola dana P2KP yaitu para DPK
(Dewan Pimpinan Kolektif) / BKM, tetapi dana tersebut tidak dikeluarkan dalam
bentuk honorarium tetapi untuk pembiayaan pembuatan laporan, evaluasi dan
pengawasan atau pengecekan ke RW. Pendekatan yang digunakan oleh P2KP
pada dasarnya adalah pendekatan Partisipatif, tetapi tidak semua kegiatan
mengikutsertakan warga masyarakat. Banyak warga masyarakat dan para elite
masyarakat mengikuti kegiatan P2KP pada saat dana akan turun, tetapi setelah
masa pengguliran, partisipasi warga masyarakat mulai merosot tajam dalam hal
pengembalian pinjaman ataupun dalam rapat pertemuan pengurus dan terutama
setelah adanya isu bahwa dana P2KP merupakan dana HIBAH.
Pola pengembangan masyarakat dari program P2KP melibatkan
partisipasi masyarakat secara langsung. Pola tersebut terdiri dari beberapa tahap
menurut persepsi dari pengurus BKM, yaitu sebagai berikut:
1. Tahap Perencanaan Kegiatan
Tahap perencanaan dalam P2KP melibatkan para stakeholder dengan
mengikuti sosialisasi yang diadakan baik oleh Pemerintah Kabupaten Bandung
maupun oleh Konsultan Manajemen Wilayah (KMW). Kegiatan yang
direncanakan dalam Musbangdes hanya diikuti oleh elite masyarakat, sedangkan
warga masyarakat sebagai golongan grass root tidak dilibatkan secara aktif.
Jumlah perempuan yang terlibat dalam kegiatan perencanaan program P2KP
sebanyak 3 (tiga) orang. Mereka adalah pengurus PKK dan kerabat pengurus
desa. Warga masyarakat terutama perempuan kepala rumahtangga yang
mengelola usaha mikro tidak dilibatkan dalam perencanaan kegiatan P2KP,
sehingga masalah dan kebutuhan mereka tidak diketahui.
71 2. Tahap Pemilihan Pengurus BKM
Tahap pemilihan pengurus BKM merupakan suatu tahap di mana warga
masyarakat berperan aktif dalam pemilihan anggota UPK/BKM di tiap -tiap RW.
Pemilihan anggota BKM berdasarkan wilayah RW dan keaktifan mereka dalam
bermasyarakat. Pengurus BKM berperan untuk mendata, menyeleksi dan
menentukan penerima bantuan dana bergulir P2KP terutama untuk kegiatan
usaha ekonomi produktif.
3. Tahap Pendataan
Tahap pendataan dilakukan oleh BKM (Badan Keswadayaan Masyarakat)
atau di Desa Sekarwangi disebut UPK (Unit Pelaksana Kegiatan) yang ada di
tiap RW (di Desa Sekarwangi terdapat 8 RW), kemudian Ketua UPK melakukan
pendataan bagi keluarga miskin yang memerlukan dana untuk usaha mikronya.
Warga masyarakat diberikan kebebasan untuk memilih jenis usaha ekonomi
produktif yang dikelolanya, perluasan kesempatan dan peluang usaha maupun
untuk kegiatan prasarana fisik. Keterlibatan perempuan kepala rumahtangga
yang mengelola usaha mikro hanya sebagai penerima informasi adanya
pinjaman P2KP yang dapat dikembalikan dalam jangka waktu tertentu dengan
bunga pinjaman yang telah ditentukan.
4. Tahap Seleksi
Tahap seleksi yaitu UPK menyeleksi keluarga mana yang berhak
memperoleh bantuan modal usaha dilihat dari jenis usaha dan kemendesakan
yang dialami. Setelah seleksi dilakukan kemudian warga dikelompokkan dalam
KSM sesuai dengan jenis usaha yang dikelolanya. Tiap KSM terdiri dari 4
(empat) sampai 5 (lima) orang. Untuk membedakan antar KSM yang terletak di
tiap RW diberikan nama menurut jenis “bunga”. PKRT usaha mikro tidak
dilibatkan dalam proses seleksi, karena penerima dana bantuan P2KP telah
ditentukan oleh BKM di wilayah RW masing-masing.
5. Tahap Pelaksanaan Kegiatan
Tahap pelaksanaan kegiatan yaitu berupa kegiatan pengajuan proposal
usaha oleh warga. Mereka juga telah mempersiapkan jenis barang untuk
meningkatkan usaha mereka. Bagi PKRT usaha mikro pengajuan proposal ini
merupakan peluang untuk meningkatkan usahanya, tetapi banyak diantara
mereka yang tidak menerima dana tersebut.
72 6. Tahap Monitoring
Tahap monitoring dilakukan oleh BKM/UPK kepada KSM yang berada di
wilayahnya berupa pengawasan terhadap pengguliran dana dari satu KSM
kepada KSM yang lainnya. Tahap monitoring dijadikan kegiatan untuk menagih
pengembalian pinjaman yang digunakan oleh warga. Apabila dana tersebut telah
terkumpul, maka diberikan ke KSM baru dengan harapan agar semua warga
merasakan manfaat dari dana tersebut. Masalah yang terjadi dana pinjaman
kadang sulit kembali karena usaha yang dijalankan oleh warga mengalami
kebangkrutan.
Realisasi dana P2KP untuk pembangunan ekonomi rakyat di Desa
Sekarwangi Kecamatan Katapang dapat dilihat pada Tabel 18. berikut ini:
73 Tabel 18. REKAPITULASI JUMLAH PENERIMAAN DAN PENGEMBALIAN DANA P2KP
PROGRAM PENINGKATAN EKONOMI KELUARGA MISKIN
TAHUN 2004 - 2005 ( 8 UPK/BKM DI DESA SEKARWANGI KEC. KATAPANG)
NO RW NAMA UPK/BKM JM YG DITERIMA
JML YG DIKEMBALIKAN
SISA PINJAMAN
PENGEMBALIAN % BERGULIR JML YG
DIKEMBALIKAN SISA
PINJAMAN PENGEMBALIAN
%
1 RW I UPK/BKM DAHLIA 6.000.000
2 RW II UPK/BKM TERATAI 7.600.000 1.867.700 5.732.300 25 3.700.000 640.900 3.059.100 17
3 RW III UPK/BKM MAWAR 6.000.000 4.160.000 1.840.000 69 3.650.000 704.250 2.945.750 19
4 RW IV UPK/BKM MELATI 4.100.000 2.006.900 2.093.100 49 9.300.000 3.037.500 6.262.500 33
5 RW V UPK/BKM BUGENVIL 6.800.000 2.759.500 4.040.500 41 4.750.000 1.375.500 3.374.500 29
6 RW VI UPK/BKM RAFLESIA 5.200.000 2.427.200 2.772.800 47 750.000 10.000 740.000 1
7 RW VII UPK/BKM ANGGREK 6.000.000 4.640.000 1.360.000 77 1.920.000 720.000 1.200.000 38
8 RW VIII UPK/BKM CEMPAKA 5.000.000 1.403.300 3.596.700 28 2.100.000 63.000 2.037.000 3
JUMLAH 40.700.000 19.264.600 21.435.400 48 26.170.000 6.551.150 19.618.850 20
Sumber: Kartu Iuran P2KP Desa Sekarwangi Tahun 2004.
74 Data pada Tabel 18. menunjukkan bahwa dana P2KP untuk program
peningkatan ekonomi sebesar Rp. 40.700.000,- mencapai pengembalian
sebesar Rp. 19.264.600,- atau 48% dari dana awal. Dana pengembalian
ditambah dengan persediaan kas dan bunga sebesar Rp. 26.170.000,- kemudian
digulirkan kepada warga masyarakat yang lain dengan tingkat pengembalian
mencapai sebesar Rp. 6.551.150 atau 20%, tetapi kemudian dana tersebut
terhenti dengan adanya isu bahwa dana tersebut adalah dana hibah dan banyak
Ketua KSM yang merasa enggan untuk menagih kepada anggotanya. Banyak
alasan yang diberikan oleh anggota KSM, diantaranya tidak ada uang untuk
membayar cicilan karena usaha bangkrut atau tidak berjalan, seperti yang
dikemukakan oleh Ibu TT (Pengurus PKK desa):
Usaha sembako dari bantuan P2KP yang dikelola oleh Ibu Pp dan Dw tidak berjalan karena usaha itu baru dan orang yang membeli sembako juga banyak yang menghutang dan tidak membayar, akhirnya bu Pp dan Dw tidak bisa mengembalikan pinjaman P2KP dan usaha itu bangkrut.
Ungkapan tersebut menjelaskan bahwa usaha yang baru dikelola bisa
menyebabkan usaha mikro tidak dapat berkembang, karena usaha tersebut
belum mempunyai konsumen tetap dan modal usaha yang digunakan juga
terbatas, sehingga persediaan barang menjadi terbatas. Modal usaha yang
diperoleh dari pinjaman P2KP sedikit jumlahnya, sehingga adanya konsumen
yang menunggak pembayaran dari barang yang telah dibelinya dapat
menyebabkan PKRT sulit untuk membeli barang baru untuk dijual. Hal tersebut
berdampak pada pengembalian cicilan ke P2KP menjadi terhambat. Alasan tidak
dapat membayar cicilan P2KP juga diutarakan oleh Ibu NG (PKRT usaha mikro)
yang mengelola usaha berjualan bakso:
Usaha jualan saya banyak dihutangin orang. Pas waktu pembayaran cicilan P2KP, mereka belum pada bayar. Jadi apa yang mesti dibayar kalau uang untuk membayar tidak ada, karena masih ada di luar dan kadang-kadang mereka menunggaknya dalam waktu yang lama.
Uraian di atas menggambarkan bahwa pengembalian cicilan dana P2KP
menjadi terhambat dapat disebabkan tidak tersedianya uang yang ada pada
PKRT usaha mikro, karena uang tersebut ada pada pelanggan usahanya yang
belum dibayarkan. Pengembalian cicilan dana P2KP yang terhambat juga
disebabkan karena adanya anggapan bahwa dana tersebut adalah uang
pemerintah, sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibu TT (Pengurus PKK desa):
Warga masyarakat di Desa Sekarwangi sering menganggap bahwa bantuan yang diterima dari P2KP adalah bantuan dari pemerintah atau
75 dari desa yang tidak perlu dikembalikan, sehingga hal tersebut dijadikan alasan untuk tidak mengembalikan pinjaman atau cicilan. Apalagi sejak beredarnya bahwa dana itu adalah dana hibah dari pemerintah, masyarakat semakin enggan untuk mengembalikan pinjaman.
Uraian tersebut menggambarkan bahwa masyarakat di Desa Sekarwangi
tergantung dengan bantuan-bantuan yang datangnya dari pemerintah, sehingga
pada saat ada program bantuan bergulir untuk pengembangan usaha mikro, sulit
bagi mereka untuk secara sadar mengelola keberlangsungan dana. Hal tersebut
semakin diperkuat dengan adanya spanduk yang menuliskan bahwa dana P2KP
merupakan dana hibah dari Pemerintah, sehingga hal itu mendukung keinginan
masyarakat yang sulit menggulirkan dana bantuan.
Pengembalian dana pinjaman P2KP yang terhenti disebabkan banyaknya
warga termasuk PKRT usaha mikro yang meminjam ke rentenir selain meminjam
ke P2KP. Hal tersebut sebagaimana diungkapkan oleh Bapak AS (Kepala Desa):
Ternyata bantuan dana P2KP yang dipinjam oleh masyarakat dan tidak kembali, karena mereka selain meminjam ke P2KP juga mempunyai pinjaman ke tempat lain yaitu ke rentenir. Jumlah warga yang meminjam ke rentenir selain dari P2KP lebih dari 5 orang.
Uraian tersebut menjelaskan bahwa beberapa warga termasuk di
dalamnya PKRT usaha mikro di Desa Sekarwangi meminjam modal untuk
usahanya dari rentenir. Adanya suntikan dana pinjaman dari P2KP digunakan
mereka untuk membayar ke rentenir, sehingga dana bergulir dari P2KP tidak
memberikan manfaat bagi PKRT usaha mikro. Istilah “gali lubang tutup lubang’
berlaku bagi PKRT dalam mengelola usaha mikro mereka.
Tabel 19. berikut ini memperlihatkan tingkat penerimaan dana P2KP
sebelum digulirkan menurut jenis kelamin dan jumlah PKRT usaha mikro yang
menerima bantuan tersebut.
Tabel 19. Daftar Penerima Dana Ekonomi Produktif P2KP sebelum Digulirkan Di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang Tahun 2004/2005
NO. NAMA UPK L % P % JUMLAH % 1. DAHLIA 14 8,14 9 5,23 23 13,37 2. TERATAI 22 12,79 7 4,07 29 16,86 3. MAWAR 15 8,72 5 2,91 20 11,63 4. MELATI 5 2,91 12 6,98 17 9,88 5. BUGENVIL 7 4,07 12 6,98 19 11,05 6. RAFLESIA 14 8,14 5 2,91 19 11,05 7. ANGGREK 8 4,65 16 9,29 24 13,95 8. CEMPAKA 12 6,98 9 5,23 21 12,21
JUMLAH 97 56,40 75 43,60 172 100
Sumber: Kartu Angsuran Pinjaman Bergulir P2KP – KSM Desa Sekarwangi Tahun 2004.
76 Data pada Tabel 19. menunjukkan bahwa perempuan sudah mampu
mengakses pinjaman bergulir P2KP, tetapi tetap laki -laki memperoleh akses
yang lebih besar. Jumlah perempuan yang dapat mengakses bantuan bergulir
P2KP sebanyak 75 orang atau 43,60%. Hal yang perlu diketahui adalah pada
UPK Teratai, Mawar dan Raflesia, jumlah penerima dana bergulir antara laki-laki
dan perempuan sangat terlihat jelas perbandingannya. Jumlah laki-laki mencapai
75%, sedangkan perempuan 25%. Hal tersebut disebabkan ketua KSM di 3 UPK
tersebut 95% adalah laki -laki, sehingga suara dan kebutuhan perempuan tidak
diperhatikan. Berbeda dengan UPK Melati, Bugenvil dan Anggrek. Ketiga tempat
tersebut jumlah perempuan yang dapat mengakses dana bergulir P2KP
sebanyak 70%. Hal tersebut disebabkan pada ketiga wilayah tersebut banyak
terdapat kader PKK yang secara aktif menyuarakan kebutuhan perempuan,
tetapi kebutuhan yang diperhatikan adalah kebutuhannya sendiri, karena yang
menerima dana P2KP adalah pengurus PKK itu sendiri. Sedikit PKRT usaha
mikro yang memperoleh bantuan dana bergulir P2KP di ketiga tempat tersebut,
karena ada kekhawatiran dari pengurus kalau mereka tidak akan mampu
mengembalikan dana tersebut. Apabila dilihat dari kartu pengembalian dana
bergulir, yang meminjamnya sedikit yaitu antara Rp. 200.000 sampai Rp.
250.000 banyak yang membayar cicilan, tetapi peminjam yang jumlah
pinjamannya besar terhambat pembayarannya sebagaimana yang dikemukakan
oleh Ibu YT (Pengurus PKK desa):
Dana terbesar dipinjam oleh bapak-bapak pengusaha becak dan mereka sulit mengembalikan, sedangkan yang pinjamnya Rp. 50.000 sampai Rp. 100.000 lebih cepat mengembalikan. Laki-laki atau perempuan tidak ada perbedaan dalam pengembalian. Kalau memang kedul (malas) ya tetap saja tidak akan mengembalikan.
Uraian tersebut menggambarkan bahwa tidak terjadi perbedaan dalam
pengembalian cicilan pinjaman baik dari laki-laki atau perempuan. Bahkan warga
yang meminjam dalam jumlah sedikit lebih rajin untuk mengembalikan pinjaman
dibandingkan dengan warga yang meminjam dalam jumlah besar. Apabila sudah
tidak ada keinginan dari warga untuk mengembalikan pinjaman karena malas,
maka akan sulit untuk mengembalikan pinjaman. Hal tersebut semakin
diperparah manakala muncul isu bahwa dana P2KP merupakan dana hibah dari
pemerintah.
Gambar 6. berikut ini memperlihatkan perbandingan akses gender dan
PKRT usaha mikro terhadap dana P2KP sebelum digulirkan:
77
Gambar 6. di atas menunjukkan bahwa dana P2KP sebelum digulirkan
lebih banyak diterima oleh laki-laki yaitu 97 orang atau 56,27% dan perempuan
sebanyak 57 orang atau 43,60%. Jumlah PKRT usaha mikro yang menerima
dana P2KP sebelum digulirkan sebanyak 18 orang atau 31,58% dari jumlah
perempuan. Komposisi tersebut sudah seimbang, tetapi bila dibandingkan
dengan jumlah PKRT usaha mikro di Desa Sekarwangi yaitu sebanyak 60 orang,
maka jumlah tersebut belum mampu membantu PKRT usaha mikro yang lain.
Akses PKRT terhadap dana P2KP setelah digulirkan dapat dilihat pada
Tabel 20. di bawah ini.
Tabel 20. Daftar Penerima Dana Ekonomi Produktif P2KP setelah Digulirkan Di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang Tahun 2004/2005
NO. NAMA UPK L % P % JUMLAH % 1. DAHLIA 0 0 0 0 0 0 2. TERATAI 10 90,91 1 1,22 11 13,41 3. MAWAR 7 87,50 1 1,22 8 9,76 4. MELATI 16 55,17 13 15,85 29 35,37 5. BUGENVIL 7 43,75 9 10,98 16 19,51 6. RAFLESIA 1 33,33 2 2,44 3 3,65 7. ANGGREK 4 50,00 4 4,88 8 9,76 8. CEMPAKA 1 14,29 6 7,31 7 8,54
JUMLAH 46 56,10 36 43,90 82 100
Sumber: Kartu Angsuran Pinjaman Bergulir P2KP – KSM Desa Sekarwangi Tahun 2004.
Laki-lakiPerempuanPKRT
L: 97 org (56,40%)
P: 57 org (43,60%)
PKRT: 18 org (31,58%) dari jumlah Perempuan
Jumlah Penerima Dana P2KP untuk UEP: 172 orang.
Gambar 6. Diagram Penerimaan Dana P2KP di Desa Sekarwangi Tahun 2004 sebelum digulirkan.
78 Data pada Tabel 20. menunjukkan bahwa perbandingan antara laki-laki
dan perempuan yang dapat mengakses dana P2KP setelah ada pengembalian
cicilan mengalami perbedaan. Perbandingannya tetap laki-laki lebih besar yaitu
sebanyak 46 orang atau 56,10% sedangkan perempuan sebanyak 36 orang atau
43,90%. komposisi tersebut sudah seimbang, hanya perbandingan jumlah
pinjaman yang berbeda. Jumlah pinjaman yang besar diakses oleh laki -laki yaitu
berkisar antara Rp. 400.000 sampai Rp 650.000 per orang. Usaha yang digeluti
oleh laki-laki adalah usaha jasa, yaitu menyewakan becak. Cicilan yang baru
dikembalikan baru 2 kali dari yang seharusnya 6 kali cicilan dan setelah itu
terhenti. Jumlah perempuan yang dapat mengakses dana bergulir tersebut dari
UPK Teratai dan Mawar sangat sedikit yaitu sebanyak 1,22%. Hal tersebut
disebabkan pengurus UPK dari kedua RW tersebut belum memperhatikan
masalah dan kebutuhan PKRT usaha mikro.
Jumlah perempuan dari UPK yang lainnya yaitu sebanyak 60% dapat
mengakses dana bergulir P2KP setelah ada pengembalian cicilan, tetapi dana
bergulir tersebut dimanfaatkan oleh para kader dan tokoh masyarakat. Usaha
yang dijalaninya adalah dagang sembako secara dadakan yang ternyata
mengalami kredit macet, sehingga usahanya bangkrut. PKRT yang memiliki
usaha mikro akhirnya tidak memperoleh kesempatan untuk meminjam dana
bergulir tersebut yang dapat dipergunakan untuk meningkatkan usahanya.
Berikut ini adalah gambar 7. komposisi penerimaan dana bergulir P2KP.
Laki-lakiPerempuanPKRT
L: 46 org (56,10%)
PKRT: 8 org (29,63%) dari jumlah perempuan
P: 27 org (43,90%)
Gambar 7. Diagram Penerimaan Dana P2KP di Desa Sekarwangi Tahun 2004 (setelah bergulir).
Jumlah Penerima Dana P2KP yang digulirkan untuk UEP: 82 orang.
79 Gambar 7. di atas menunjukkan bahwa dana P2KP yang telah digulirkan
lebih banyak diterima oleh laki-laki yaitu 46 orang atau 56,10% dan perempuan
sebanyak 27 orang atau 32,93%. dan PKRT sendiri (9,76%). Komposisi tersebut
belum dapat membantu PKRT usaha mikro yang sangat membutuhkan suntikan
dana untuk membantu permodalan mereka. Dana P2KP setelah digulirkan
dimanfaatkan oleh para kader dan tokoh masyarakat dan kerabatnya yang
jumlah pinjamannya besar dan digunakan untuk usaha baru sebagaimana yang
diungkapkan oleh Bapak AS (Pengurus P2KP):
Pinjaman P2KP yang kedua dipinjam oleh salah seorang tokoh masyarakat untuk membuka usaha becak di kota bandung. Usaha tersebut saya tidak tahu pasti apakah masih jalan atau tidak.
Uraian tersebut menjelaskan bahwa pengguliran dana P2KP sebagian
dipinjam oleh warga yang mempunyai usaha baru dan tidak ada kejelasan usaha
tersebut masih berjalan atau tidak sampai saat ini. Tidak hanya satu orang yang
meminjam untuk usaha becak, tetapi ada 6 orang dengan jumlah pinjaman yang
cukup besar yaitu sebesar Rp. 500.000 sampai dengan Rp. 650.000 per orang.
5.1.2. Gambaran Program Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga –
Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (UP2K-PKK)
Kegiatan UP2K-PKK merupakan bagian dari kegiatan Kelompok Kerja
PKK II (POKJA II) yang salah satu kegiatannya bergerak dibidang usaha
peningkatan pendapatan keluarga. UP2K adalah semua usaha yang diusahakan
oleh keluarga dengan wanita sebagai penggeraknya baik secara perseorangan
maupun kelompok. PKK sebagai poros gerakan perempuan mempunyai tugas
untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga dan balita dengan 10 program
pokok PKK sebagai alur kerja mereka. Kegiatan UP2K-PKK merupakan
implementasi dari 10 program pokok PKK dan merupakan usaha koperatif guna
meningkatkan pendapatan keluarga untuk mencapai kesejahteraan keluarga.
Penyelenggara kegiatan UP2K ini adalah PKK Desa Sekarwangi, dengan
sumber biaya dari Pemerintah Kabupaten Bandung yang diperuntukkan sebagai
dana operasional desa dan untuk alokasi kegiatan PKK untuk Tahun 2004
adalah sebesar Rp. 5.000.000,- dan dana tersebut terbagi untuk beberapa
kegiatan. Anggaran untuk kegiatan UP2K-PKK menurut alokasi dari pemberi
dana adalah sebesar Rp. 500.000,- tetapi ternyata hanya dialokasikan sebesar
80 Rp. 200.000,- untuk Tahun 2004. Jumlah tersebut tentu sangat minim untuk
membantu perekonomian keluarga terutama bagi perempuan kepala
rumahtangga (PKRT) yang memiliki usaha mikro.
Pendekatan yang dilakukan dalam kegiatan UP2K-PKK belum partisipatif.
Hal tersebut dapat dilihat bahwa pemilihan warga yang akan meminjam dana
UP2K-PKK tergantung pada penunjukkan oleh kader PKK. Dana bergulir dari
UP2K-PKK tidak dapat diakses oleh PKRT yang lain. Dana tersebut pada Tahun
sebelumnya juga mengalami kemacetan karena dipinjam oleh salah seorang
kader PKK yang memegang kepengurusan UP2K-PKK dan tidak dikembalikan.
Hal tersebut menimbulkan keresahan dan akhirnya masyarakat melakukan aksi
demo kepada pengurus PKK sampai akhirnya kader tersebut diganti.
Pada Tahun berikutnya dipinjamkan kepada salah seorang PKRT, tetapi
ternyata macet karena tidak mampu membayar. Hal tersebut yang akhirnya
membuat pengurus ragu untuk meminjamkan kepada PKRT. Dana tersebut
sekarang diakses oleh laki -laki yang mempunyai usaha mikro pembuatan
kerupuk seblak. Dana sebesar Rp. 200.000 dari jumlah yang seharusnya
dianggarkan sebesar Rp. 500.000 untuk UP2K-PKK tidak mampu memenuhi
kebutuhan PKRT untuk meminjamnya. Dana yang dialokasikan sebesar Rp.
600.000 untuk Pokja II yaitu Rp. 400.000 untuk kegiatan BKB (Bina Keluarga
Balita) dan Rp. 200.000 untuk kegiatan UP2K-PKK tentu saja tidak mampu
diakses oleh PKRT usaha mikro apalagi dengan adanya anggapan bahwa
mereka tidak mampu untuk mengembalikan.
5.2. Pengembangan Ekonomi Lokal
Pengembangan ekonomi lokal dapat dilihat dari bagaimana suatu wilayah
dapat memanfaatkan sumberdaya alam dan potensi atau keterampilan yang
dimiliki oleh warganya. Potensi ekonomi lokal yang dapat dilihat di desa
Sekarwangi Kecamatan Katapang adalah jenis usaha yang banyak dilakukan
oleh warga desa sesuai dengan kondisi wilayah desa yang sebagian besar
merupakan pendatang. Mereka bekerja sebagai buruh pabrik dan buruh tani.
Jenis usaha yang dilakukan oleh warga adalah usaha warungan yang menjual
sembako, makanan anak-anak, masakan matang dan penjualan makanan
seperti bakso, siomay, ayam goreng dan sebagainya.
81 5.2.1. Pengembangan Ekonomi Lokal Program Penanggulangan
Kemiskinan Perkotaan (P2KP)
Usaha mikro yang dikelola oleh warga penerima bantuan dana P2KP
sebagian besar adalah warungan dan penjualan makanan. Hal tersebut dapat
dilihat pada Tabel 21. berikut ini.
Tabel 21. Jenis Pengelolaan Usaha Penerima Bantuan P2KP Di Desa Sekarwangi Tahun 2004
Pengelola No Jenis Usaha
L % P % Jumlah %
1. Makanan 33 17,75 29 16,48 62 35,23 2. Konveksi 7 3.98 7 3,98 14 7,95 3. Becak 5 2,84 0 0 5 2,84 4. Warungan 41 23,30 33 18,75 74 42,05 5. Meubelair 3 1,70 0 0 3 1,70 6. Ternak 4 2,27 0 0 4 2,27 7. Tani 6 3,41 1 0,57 7 3,98 8. Kreditan 4 2,27 3 1,70 7 3,98 JUMLAH 103 58,52 73 41,48 176 100
Sumber: Data Proposal Anggota KSM Tahun 2003.
Data pada Tabel 21. menunjukkan bahwa usaha mikro yang memperoleh
bantuan P2KP di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang adalah usaha
warungan yaitu sebanyak 74 orang atau 42,05%. Jenis penjualan yang banyak
diperdagangkan adalah sembako dan makanan ringan. Usaha warungan banyak
dikelola oleh laki -laki yaitu sebanyak 41 orang atau 23,30%. Hal tersebut
menunjukkan bahwa penerima bantuan P2KP untuk usaha warungan lebih
banyak dikelola oleh laki -laki, walaupun berdasarkan hasil observasi usaha
tersebut dikelola oleh perempuan. Ada beberapa asumsi yang mendasarinya,
pertama bahwa dana bergulir P2KP membutuhkan beberapa persyaratan,
diantaranya harus ada KTP dan Kartu Keluarga. Banyak warga masyarakat
terutama kaum perempuan yang tidak memiliki KTP walaupun ia mengelola
usaha warungan, sehingga menggunakan KTP suaminya dan yang tercata t di
dalam data P2KP adalah nama suaminya. Kedua, pihak perempuan harus
memperoleh ijin dari suaminya terlebih dahulu sebelum meminjam dana dari
P2KP, sehingga ia juga mengatasnamakan suaminya untuk meminjam dana.
PKRT yang mengelola usaha mikro yang memperoleh dana pinjaman
bergulir P2KP terbatas jumlahnya yaitu hanya mencapai 10% yaitu sebanyak 26
orang, sedangkan jumlah PKRT usaha mikro di Desa Sekarwangi Kecamatan
82 Katapang sebanyak 60 orang. Hal tersebut menunjukkan bahwa tidak semua
PKRT memperoleh akses terhadap bantuan bergulir P2KP.
Usaha makanan menduduki posisi kedua yaitu sebanyak 62 orang atau
35,23%. Usaha ini berjalan baik karena sebagian besar penduduk Desa
Sekarwangi Kecamatan Katapang adalah pendatang yang bekerja sebagai buruh
pabrik. Usaha yang diperjualbelikan adalah menjual bakso, gorengan, masakan,
bubur, kerupuk seblak, rangginang dan sebagainya.
Dampak dari adanya bantuan modal usaha ekonomi produktif dengan
sumber dana dari program P2KP diantaranya adalah memberikan keuntungan
usaha bagi warga yang meminjamnya. Modal yang bertambah berdampak pada
jenis barang/usaha yang dihasilkan, sehingga dapat memberikan
laba/keuntungan. Usaha tersebut sebagian dijual di sekitar lingkungan desa dan
sebagian lagi dijual di luar desa tersebut, seperti yang terjadi pada usaha
kerupuk seblak, penjualan yang dilakukan telah melewati batas desa. Cara yang
dilakukannya adalah dengan menitipkan ke personal yang bekerja di pabrik atau
warung/kantin yang terletak di luar desa dan di sekolah-sekolah.
Masalah yang terjadi adalah dana P2KP yang dipinjam bergulir tetapi
tidak berkesinambungan. Peminjam yang diberikan dana bantuan sebagian ada
yang mengembalikan dan sebagian yang lain habis tidak bersisa. Alasan yang
diberikan adalah bahwa dana tersebut habis untuk persiapan Lebaran, sehingga
tidak ada dana untuk mengembalikan. Bagi yang usahanya berhasil juga ada
keluhan bahwa mngapa ia rajin mengembalikan uang pinjaman untuk digulirkan,
tetapi untuk meminjam kembali tidak diberikan kesempatan. Warga masyarakat
yang sudah diberikan bantuan UP2K-PKK sampai saat ini hanya berjumlah 1
(satu) orang yaitu pengusaha kerupuk seblak yang dikelola oleh laki-laki. Dana
tersebut bergulir di satu tempat dan pengurus UP2K-PKK hanya mengambil
bunga atau uang jasa perbulannya.
83 5.2.2. Pengembangan Ekonomi Lokal Program Usaha Peningkatan
Pendapatan Keluarga – Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga
(UP2K-PKK)
Dampak dari adanya bantuan modal usaha dengan sumber dana dari
UP2K-PKK adalah memberikan keuntungan usaha bagi warga yang
meminjamnya. Modal yang bertambah berdampak pada jenis barang/usaha yang
dihasilkan, sehingga dapat memberikan laba/keuntungan. Usaha tersebut
sebagian dijual di sekitar lingkungan desa dan sebagian lagi dijual di luar desa
tersebut. Contohnya adalah penjualan kerupuk seblak yang penjualannya baru
sampai pada desa tetangga.
Masalah yang terjadi adalah pengadministrasian dan pengawasan belum
berjalan sesuai dengan yang diharapkan, karena kendala SDM di mana orang
yang mengurusi pengguliran dana tidak tetap dan berganti-ganti, sehingga
menghambat proses pengembalian pinjaman. Selain itu peminat yang mau
meminjam banyak, sedangkan anggaran terbatas.
5.3. Pengembangan Modal dan Gerakan Sosial
Keberhasilan program P2KP dan UP2K-PKK tidak terlepas dari
bagaimana pengembangan modal sosial dan gerakan sosial yang ada di Desa
Sekarwangi Kecamatan Katapang. Pengembangan modal sosial dilihat dari
beberapa aspek berikut ini:
1. Integrasi (integration)
Ikatan kekerabatan yang ada di Desa Sekarwangi masih kuat. Hal itu
dapat dilihat dari letak rumah dalam satu keluarga saling berdekatan. Ikatan
kekerabatan berpengaruh terhadap pemberian bantuan P2KP dan UP2K-PKK.
Pengelola P2KP Desa Sekarwangi lebih mendahulukan kerabatnya untuk
mendapatkan bantuan dana bergulir tersebut, walaupun usaha yang
dijalankannya baru dibentuk atau baru berjalan, sehingga usaha tersebut tidak
berkelanjutan. Pengurus UP2K-PKK memberikan dana bergulir kepada anggota
masyarakat yang dapat dipercaya, karena kegiatan dana bergulir ini terus-
menerus dipantau oleh Tim Penggerak PKK dari kecamatan dan kabupaten,
sehingga para pengurus memilih usaha yang sudah berjalan dan pengelola
usaha mikro tersebut dikenalnya. Ikatan ibu-ibu yang terhimpun dalam kegiatan
84 PKK juga sangat kuat, di mana pada setiap kegiatan mereka dapat berkumpul
dan menjalankan berbagai macam kegiatan kemasyarakatan.
2. Pertalian ( linkage)
Jalinan networking yang ada pada program P2KP dan UP2K-PKK belum
berjalan. Hal tersebut dapat dilihat dari pengguliran dana P2KP tidak
berkesinambungan karena pengawasan dan kerjasama antar lembaga dan
belum adanya keterpaduan dengan program pembangunan masyarakat yang
ada di Desa Sekarwangi. Apabila ada keterpaduan, misalnya bantuan usaha
untuk warga masyarakat terutama PKRT usaha mikro di Desa Sekarwangi
disatukan dengan program dari BUMDES, UP2K-PKK, maka semakin besar
harapan warga untuk memperoleh bantuan agar usaha mereka dapat berjalan
sebagaimana yang diungkapkan oleh Bapak AS (Kepala Desa):
Selama ini upaya untuk membantu PKRT belum ada. Dana desa terutama dari BUMDES masih dialokasikan untuk membantu anak yatim yang tidak mampu bersekolah. Sedangkan untuk usaha kecil sudah ada dari UP2K-PKK dan P2KP untuk warga yang mengajukan. Kalau khusus untuk PKRT belum ada. Nanti akan diusahakan ada dari P2KP, UP2K-PKK dan BUMDES untuk dialokasikan bagi PKRT yang mempunyai usaha kecil.
Uraian ini mengungkapkan bahwa saat ini belum terjalin jejaring
kelembagaan di Desa Sekarwangi untuk mengembangkan usaha mikro terutama
yang dikelola oleh PKRT. Adanya keterpaduan dan kerjasama kelembagaan
dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan usaha mikro di desa dan dapat
meningkatkan akses terhadap PKRT usaha mikro. Jalinan ini juga belum terlihat
dari usaha pemasaran yang lebih luas, misalnya dengan melibatkan pengusaha
untuk membantu menyalurkan usaha warga masyarakat, sehingga pada akhirnya
usaha warga terhambat dan bahkan terhenti, sebagaimana yang diungkapkan
oleh Ibu AN (PKRT usaha mikro):
Usaha makloon di sini mengalami kendala saat penjahit tidak mendapatkan order dari pengusaha, sehingga usaha untuk sementara terhenti. Order diberikan oleh pengusaha kepada warga masyarakat yang telah dikenal sebelumnya, sehingga bagi kita-kita yang baru sulit untuk meminta order dari mereka.
Uraian tersebut menggambarkan bahwa jejaring sosial dalam usaha
makloon yang dikelola oleh PKRT terutama untuk pemasaran mengalami
kesulitan dalam mengakses sumber yaitu pengusaha rajut atau pengusaha
pakaian. Upaya yang telah dilakukan oleh mereka adalah dengan membuat
85 proposal yang disebarkan ke perusahaan rajut atau pakaian agar mereka dapat
diberikan order makloon.
Jumlah bantuan UP2K-PKK yang terbatas belum memungkinkan bagi
PKRT usaha mikro untuk dapat menjangkaunya, sehingga keterlibatan berbagai
kelembagaan yang kompeten diperlukan untuk mendukung usaha yang
dijalankan oleh PKRT di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang.
3. Integritas organisasional (organizational integrity)
Kemampuan instansi pemerintah dalam menjalankan fungsinya terutama
Departemen Kimpraswil dan PKK sudah terlihat dalam pemberian program P2KP
dan UP2K-PKK untuk warga masyarakat. Program tersebut pada hakekatnya
melibatkan berbagai stakeholder yaitu konsultan wilayah, pengurus badan
keswadayaan masyarakat dan aparat desa pada awalnya, tetapi di tengah
perjalanan pengawasan yang melekat tidak berjalan terhadap kelancaran
pengguliran dana. Pengembalian dana pinjaman P2KP pada awalnya lancar
sampai akhirnya bergulir informasi bahwa dana tersebut merupakan dana hibah
dari pemerintah. Informasi itu muncul pada saat diadakan rapat dan dipasang
spanduk yang berisi bahwa dana P2KP merupakan hibah dari pemerintah,
akhirnya warga masyarakat sulit untuk mengembalikan dana tersebut.
4. Sinergi (synergy)
Program P2KP telah memberikan gambaran bahwa program ini
mengedepankan partisipasi, transparansi, akuntabilitas dan sustainable. Pada
kenyataannya program tersebut terhenti, tidak berkelanjutan, karena jejaring
antara stakeholder dengan shareholder di Desa Sekarwangi Kecamatan
Katapang tidak terjalin. Hal tersebut dapat terlihat dari modal usaha yang
diberikan tidak berkelanjutan dan akhirnya habis tidak bersisa, karena cicilan
pembayaran tidak berjalan. Dana bergulir P2KP diberikan pada usaha yang baru
dimulai yang jaringan usahanya terbatas seperti penjualan paket sembako,
ternak ayam, usaha becak dengan jumlah dana yang diberikan cukup besar
tetapi pengembalian cicilan sangat minim bahkan tidak kembali.
Program UP2K-PKK belum kesinambungan karena terbatasnya
kerjasama dengan pihak lain terutama dalam penggalangan modal usaha dan
sasaran program ini juga belum menyentuh sebagian besar PKRT yang ada di
86 Desa Sekarwangi. Hal tersebut disebabkan adanya ketidakpercayaan uang yang
dipinjamkan kepada PKRT usaha mikro tidak akan kembali.
Gerakan sosial dalam P2KP belum ada karena warga masyarakat belum
tergerak untuk berkelompok dan memecahkan masalah mereka, karena
kelompok dalam bentuk KSM ditentukan oleh proyek, sedangkan gerakan sosial
dalam UP2K-PKK sudah ada. Pengurus PKK berupaya mencari warga yang
mengelola usaha mikro dan memberikan bantuan permodalan untu k memajukan
usaha mereka.
5.4. Kebijakan dan Perencanaan Sosial
P2KP merupakan program sebagai perwujudan visi dari Pemerintah yaitu
agar masyarakat mampu membangun kebersamaan dengan berbagai pihak
untuk menanggulangi kemiskinan secara mandiri, efektif dan berkelanjutan.
Tujuan dari Program ini adalah untuk meningkatkan kemandirian dan
kesejahteraan masyarakat melalui swadaya dan partisipasi masyarakat yang
setinggi-tingginya.
Evaluasi kebijakan yang berkaitan dengan P2KP adalah sebagai berikut:
1. Kelebihan P2KP dan UP2K-PKK
Kegiatan P2KP melibatkan partisipasi dari berbagai pihak, mulai dari
pembentukan BKM sampai dengan KSM dengan mengikutsertakan LSM sebagai
fasilitator. Biaya yang diberikan terbagi menjadi tiga bagian besar, yaitu untuk
peningkatan ekonomi, peningkatan kualitas permukiman dan penguatan
masyarakat desa dengan biaya yang telah disesuaikan dengan jumlah penduduk
miskin yang ada di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang. Penerimaan
masyarakat terhadap program ini baik terlihat dari partisipasi mereka dalam
membentuk kelompok, menyatukan kegiatan usaha mereka yang tertuang dalam
pengajuan proposal usaha ekonomi produktif.
Program UP2K merupakan program bagian dari kegiatan PKK, sehingga
di setiap desa kegiatan ini sudah berjalan, hanya saja aktif ataupun pasif sangat
tergantung pada kemauan pengurus tim penggerak PKK untuk memajukan dan
mengelolanya. Anggaran secara periodik diberikan yang bersumber dari Inpres
Bantuan Pembangunan Desa dapat menjadi modal utama untuk memajukan
87 usaha keluarga pra sejahtera dan sejahtera I untuk meningkatkan kehidupan dan
penghidupannya.
2. Kekurangan P2KP dan UP2K-PKK
Kesinambungan kegiatan usaha ekonomi produktif mengalami hambatan,
karena dana yang digulirkan tidak berkembang dan mengalami kemacetan,
karena masyarakat menganggap bahwa dana tersebut sebagai hibah dari
Pemerintah dan tidak perlu dikembalikan. Pihak Instansi dan LSM sebagai
fasilitator juga kurang memberikan pendampingan, sehingga warga masyarakat
terutama Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) merasa tidak mempunyai
kewajiban untuk mengembalikan dana pinjaman.
Jumlah perempuan kepala rumahtangga (PKRT) yang memperoleh akses
pinjaman P2KP sangat terbatas. Dana Bergulir P2KP terutama untuk
pengembangan kelompok ekonomi produktif lebih banyak dimanfaatkan oleh
para kader dan tokoh masyarakat dengan usahanya yang baru mulai dan coba-
coba, sedangkan PKRT yang telah memiliki usaha mikro sedikit yang
memperoleh akses pinjaman tersebut seperti yang dikemukakan oleh Ibu LI
(PKRT usaha mikro):
… Waktu itu saya didata oleh Pak RT untuk memperoleh dana pinjaman P2KP untuk usaha warungan saya, tetapi kemudian saya tidak tahu lagi bagaimana kelanjutannya, karena Pak RW tidak menghubungi saya lagi dan yang saya lihat dana tersebut diberikan kepada orang-orang kaya.
Uraian tersebut memberikan gambaran bahwa dana P2KP belum
menyentuh sebagian PKRT yang memiliki usaha mikro. Dana P2KP lebih banyak
diberikan kepada orang-orang yang menjadi tokoh masyarakat dan menjadi
kader dan mereka merupakan orang kaya dengan usaha yang baru dimulai dan
jumlah uang yang diberikan cukup besar. Hal tersebut menyebabkan PKRT
usaha mikro tidak dapat mengembangkan usahanya karena tidak memperoleh
dukungan dan perhatian dari lembaga yang mengelola program P2KP di
wilayahnya.
Terbatasnya SDM yang mau secara aktif terlibat dalam kegiatan UP2K di
Desa Sekarwangi dapat mempengaruhi berjalannya suatu kegiatan. Hal tersebut
diperparah dengan jadwal kegiatan yang tidak jelas dan pengadministrasian
yang tidak terarah, sehingga mengakibatkan kegiatan UP2K tidak berjalan
sebagaimana mestinya. Anggaran UP2K-PKK yang tidak transparan dapat
menyebabkan masyarakat tidak mengetahui bahwa dalam kegiatan PKK
88 terdapat dana yang dapat digunakan untuk menambah permodalan bagi PKRT
usaha mikro.
5.5. Evaluasi umum
1. Program P2KP merupakan bantuan yang berasal dari tingkat pusat, tetapi
dalam pelaksanaannya belum melibatkan partisipasi aktif masyarakat
terutama perempuan melalui perencanaan penyusunan kebutuhan.
Permasalahan yang terjadi, dana yang seharusnya bergulir menjadi terhenti
dan tidak berkembang, karena dana tersebut dianggap oleh warga
masyarakat sebagai hibah dan tidak perlu dikembalikan. Bagi sebagian
warga yang rajin membayar cicilan jadi terpengaruh dengan perilaku anggota
KSM yang lain dan akhirnya mereka mengikuti tingkah laku teman-temannya
dengan tidak membayar angsuran dana bergulir P2KP. Adanya pemantauan
dan evaluasi dari Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) untuk melihat
KSM yang rajin menggulirkan dana hendaknya diberikan lagi apabila mereka
memerlukan, karena yang terjadi di lapangan ternyata dana yang dibutuhkan
untuk dipinjam kembali tidak dapat terealisasi karena sudah digulirkan pada
usaha yang lain yang tidak jelas bentuk usaha dan keuntungannya.
Keterlibatan dari berbagai stakeholder masih terbatas, sehingga dana tidak
terhimpun dan habis yang akhirnya berdampak pada usaha yang dijalankan
oleh KSM mengalami hambatan dalam permodalan dan pemasaran. Dana
P2KP belum sepenuhnya dirasakan manfaatnya oleh PKRT usaha mikro,
karena sebagian dari PKRT yang mengelola usaha mikro tidak memperoleh
dana bantuan tersebut.
4. Program UP2K merupakan program yang sudah dicanangkan oleh
Pemerintah Pusat sebagai wujud dari pelaksanaan 10 program pokok PKK.
Pelaksanaan program ini sudah melibatkan partisipasi aktif masyarakat
terutama Tim Penggerak PKK tingkat desa dengan diberikannya dana secara
rutin oleh Pemerintah Daerah setempat. Hanya saja dalam perencanaan
perumusan kebutuhan dan bagaimana pengguliran dana UP2K masih
terbentur pada SDM dan kemauan dari pengurus untuk memajukan
masyarakat di desanya. Peningkatan jejaring antar kelembagaan dalam
aspek pemupukan modal, pengguliran dana serta pemasaran hasil usaha
perlu dilakukan untuk keberlangsungan usaha warga masyarakat. SDM yang
89 ada pada kepengurusan PKK desa masih terbatas, sehingga pelaksanaan
program UP2K di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang mengalami
hambatan dalam perkembangannya. Perempuan kepala rumahtangga yang
memiliki usaha mikro di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang belum
diberdayakan secara maksimal, dalam arti mereka belum sepenuhnya
dilibatkan dalam kegiatan usaha ekonomi produktif melalui dana UP2K-PKK.
Hal tersebut dikarenakan PKRT belum mempunyai akses, tidak adanya rasa
saling percaya terhadap pengelolaan anggaran.
BAB VI
ANALISIS GENDER TERHADAP PEREMPUAN KEPALA RUMAHTANGGA USAHA MIKRO DALAM KOMUNITAS
Perempuan kepala rumahtangga yang bergerak dalam usaha mikro di
Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang merupakan bagian dari komunitas dan
mereka mempunyai potensi sebagai penggerak perekonomian desa. Jumlah
PKRT usaha mikro sebanyak 60 orang dan berada pada lapisan bawah yang
termasuk dalam golongan Pra KS dan KS 1. Mereka berpendidikan rata-rata
tamat SD dan SLTP, sehingga untuk memperoleh pekerjaan yang layak tidak
terpenuhi. PKRT usaha mikro mempunyai usaha warungan, pengolahan
makanan matang dan usaha jahitan. Seorang perempuan yang mempunyai
suami menganggur akhirnya menggeluti usaha mikro untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya sehari-hari. Mereka mengalami keterbatasan dalam
menjalankan usahanya karena adanya anggapan bahwa mereka adalah pencari
nafkah tambahan dan usaha mikro yang dikelolanya hanya sebagai upaya untuk
membantu suaminya yang tidak bekerja.
Jaringan sosial yang ada di Desa Sekarwangi terutama dalam
hubungannya dengan PKRT usaha mikro termasuk dalam Quadran 4 yaitu
jaringan intra komunitas kuat dengan indikatornya yaitu PKRT usaha mikro
dalam menjalankan usahanya dapat meminjam dana untuk modal usaha dari
keluarga, rentenir dan tetangganya. Jaringan di luar PKRT mengalami
keterbatasan yang dapat dilihat dari keterbatasan akses dan kontrol PKRT usaha
mikro dalam memanfaatkan program P2KP dan UP2K-PKK dan turut
berpartisipasi dalam program tersebut.
Evaluasi program P2KP dan UP2K-PKK terhadap PKRT usaha mikro
menunjukkan bahwa kedua program tersebut belum sepenuhnya dapat diakses
oleh PKRT usaha mikro. Beberapa faktor penyebabnya adalah dana bergulir
P2KP dan UP2K-PKK sebagian diberikan pada usaha yang baru berjalan tanpa
disurvey terlebih dahulu dan ditelaah bagaimana perkembangan usahanya dan
pembayaran cicilannya. Adanya isu dana hibah merupakan hal untuk
melemahkan partisipasi warga masyarakat dalam membayar cicilan, sehingga
mengakibatkan program tersebut terhenti. Kedua program pembangunan
masyarakat tersebut pada dasarnya telah mampu membangkitkan partisipasi
91 warga masyarakat dengan keikutsertaan mereka membentuk Badan
Keswadayaan Masyarakat (BKM) dan membentuk Kelompok Swadaya
Masyarakat (KSM) serta aktif mengembalikan dana pinjaman walaupun hanya
mencapai 30% (untuk P2KP). UP2K-PKK sampai saat ini belum menunjukkan
pengguliran karena selama dua Tahun berturut-turut masih diberikan pada satu
orang dan anggarannyapun terbatas.
Melalui teknik analisis gender berbagai kesenjangan maupun isu gender
yang terjadi dalam masyarakat dan lingkungan akan dapat teridentifikasi. Teknik
analisis gender tidak hanya melihat peran, aktivitas, tetapi juga hubungan,
sehingga pertanyaan yang diajukan tidak hanya “siapa mengerjakan apa”, tetapi
juga meliputi: siapa yang membuat keputusan, siapa yang memperoleh
keuntungan, siapa yang menggunakan sumberdaya pembangunan seperti kredit,
program pembangunan dan faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan
tersebut.
6.1. Kondisi dan Peran Perempuan Kepala Rumahtangga (PKRT) Usaha
Mikro dalam Komunitas
Kondisi dan peran PKRT yang mengelola usaha mikro dapat dilihat
melalui teknik analisis gender menurut Harvard. Teknik ini digunakan sebagai
kerangka analisis hubungan gender dalam. Data yang akan dianalisis terdiri dari
profil kegiatan PKRT, profil kegiatan gender, profil akses dan kontrol pada
sumberdaya produktif, akses dan kontrol pada manfaat kegiatan pembangunan,
profil akses dan kontrol serta manfaat pembangunan dan faktor-faktor yang
berpengaruh pada kerangka analisis Harvard.
6.1.1. Pembagian Kerja PKRT Usaha Mikro dalam Komunitas
Pembagian kerja gender terutama bagi PKRT usaha mikro merupakan
suatu analisis yang digunakan untuk melihat perbandingan aktivitas gender
dalam suatu komunitas yang terdiri dari kerja produktif, reproduktif dan kerja
komunitas/sosial. Kerja produktif merupakan aktivitas yang menyumbang pada
pendapatan keluarga; kerja reproduktif adalah aktivitas yang menjamin
kelangsungan hidup manusia; dan kerja komunitas/sosial adalah aktivitas yang
tidak terbatas pada pengelolaan rumahtangga, tetapi aktivitas dalam komunitas.
Pemahaman terhadap pembagian kerja gender terutama PKRT usaha mikro
92 dalam komunitas dapat memudahkan melihat beban kerja baik laki-laki ataupun
perempuan. Tabel 22. berikut ini menjelaskan tentang aktivitas gender untuk
mengetahui pembagian kerja gender yang ada dalam komunitas.
Tabel 22. Profil Kegiatan Gender di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang Tahun 2005
NO KEGIATAN PD LD AP AL 1.
a. Kerja Produktif (Productive Work) Usaha Tani (sawah)
Mengolah tanah (membajak, mencangkul) v Mengairi sawah (mengatur perairan) v Menanam padi v Menyiangi rumput v Memupuk v Menyemprot (membasmi hama) v Menjaga dari gangguan hama dan burung v Memanen vv v Merontokkan padi v Pengeringan v Penyeleban (mengubah dari padi menjadi beras) v Pengepakan ke dalam karung v Penjualan atau pemasaran v
b. Mengelola warung vv v c. Pekerjaan buruh bangunan/bengkel v d. Pekerjaan peternakan vv v e. Pekerjaan jasa v f. Berdagang v
2. Kerja Reproduktif (Reproductive Work) Melahirkan v Mengasuh anak v Menyusui anak v Menyediakan makanan v Mengambil air dan bahan bakar Berbelanja v Perawatan pekarangan rumah v vv Membersihkan rumah & menjaga kesehatan keluarga vv v v 3. Kerja Komunitas/Sosial (community Work) Upacara dan Peringatan Aktivitas pembangunan komunitas v Partisipasi dan kelompok, dan organisasi v vv Mempersiapkan pesta v v Menyiapkan pemakaman v Aktivitas politik lokal v Kegiatan keagamaan v vv v v Sumber: Diadaptasi dari Aus AID’s to Gender and Development dalam IASTP II, 1999. Keterangan: • PD : Perempuan Dewasa. • LD : Laki-laki Dewasa. • AP : Anak Perempuan. • AL : Anak Laki-laki. • vv : Lebih dominan.
Data pada Tabel 22. menunjukkan bahwa Desa Sekarwangi Kecamatan
Katapang sebagian besar merupakan daerah pertanian. Pekerjaan produktif
dalam komunitas adalah bertani yang banyak dilakukan oleh laki-laki.
Perempuan hanya melakukan pekerjaan produktif yang ringan seperti menanam
93 padi, menyiangi rumput dan memanen. Kondisi fisik secara tidak langsung
mempengaruhi aktivitas dan kegiatan antara laki -laki dan perempuan. Laki-laki
mempunyai kondisi fisik yang kuat dan bidang pekerjaan yang dilakukannya
adalah yang bersifat penggunaan otot seperti mencangkul, perbengkelan, dan
sebagainya. Perempuan sesuai dengan kondisi fisiknya juga mengerjakan
pekerjaan yang berkaitan dengan kegiatan kewanitaan dan paling terbesar
adalah kegiatan reproduktif.
Kegiatan perempuan kepala rumahtangga yang mengelola usaha mikro di
Desa Sekarwangi lebih banyak pada kegiatan produktif yaitu mengelola usaha
warungan atau dagang dan melakukan pekerjaan reproduktif yaitu mengelola
pekerjaan domestik. Seorang PKRT usaha mikro dengan demikian mempunyai
beban kerja ganda apabila dilihat dari jam kerja harian yaitu dari subuh hingga
malam hari PKRT lebih banyak melakukan pekerjaan produktif dan reproduktif.
Kalaupun pekerjaan tersebut dilakukan bersama-sama dengan suami atau
anaknya, tetapi tetap lebih banyak dilakukan oleh PKRT, terutama untuk
pekerjaan reproduktif. PKRT yang mengelola usaha mikro juga ikut serta dalam
kegiatan sosial kemasyarakatan. Mereka terhimpun dalam kegiatan PKK,
kegiatan arisan yaitu arisan telur dan arisan barang menjelang hari raya dan
kegiatan keagamaan seperti kegiatan pengajian yang diadakan setiap minggu
yaitu pada hari Jumat (hasil PRA).
Kegiatan perekonomian yang dilakukan oleh PKRT usaha mikro adalah
warungan atau berjualan makanan atau sayuran. Sedikit perempuan yang
bergerak dalam kegiatan usaha yang lebih berat misalnya konveksi,
perbengkelan, berjualan beras, jasa seperti angkutan umum dan sebagainya,
yang penghasilannya jauh lebih besar daripada berjualan warungan.
PKRT yang pasangan hidupnya menganggur mempunyai jadwal harian
yang padat. Apabila suaminya mengerti akan kesulitan PKRT, maka ia akan
berusaha untuk membantu istrinya, tetapi apabila tidak memahami pekerjaan
istrinya tentu akan menjadi masalah. Berdasarkan hasil wawancara sebagian
besar waktu PKRT habis untuk mengerjakan pekerjaan domestik rumahtangga
dan setelah itu mengerjakan usaha mikronya. Suami PKRT yang menganggur
lebih santai menikmati waktunya di rumah. Laki -laki juga terlibat dalam
mengelola warungan, yaitu pada saat istrinya mengantar anak sekolah, maka
suami yang menjaga warung. Kadang-kadang membuat keterampilan kecil-
94 kecilan untuk mengisi waktu luang, tetapi sebagian besar waktunya digunakan
untuk santai sebagaimana yang diungkapkan oleh ibu NG (PKRT usaha mikro):
Suami saya baru kena PHK dari pabrik sepatu, sudah hampir satu Tahun dia menganggur. Usaha yang saya jalankan sekarang adalah dagang bakso. Setiap hari kerjaan dia moyan (berjemur) dan setelah itu menonton televisi. Urusan dapur sampai anak saya yang mengasuh sambil menjaga dagangan saya. Suami saya kadang-kadang membuat sepatu dari bahan-bahan sisa pabrik.
Uraian di atas menggambarkan bahwa PKRT yang mengelola usaha
mikro mengalami double burden atau beban ganda dalam mengelola urusan
rumahtangga dan usaha mikronya. Selain menjaga warungnya, seorang PKRT
juga mengerjakan pekerjaan domestik seperti membersihkan rumah, memasak
dan mengasuh anak. Suaminya yang menganggur akibat PHK kadang-kadang
mengisi waktu luangnya dengan mengerjakan pekerjaan ringan seperti membuat
atau memperbaiki sepatu dan jarang membantu mengerjakan pekerjaan istrinya
apabila tidak diminta. Hal tersebut dapat menyebabkan konflik peran bagi PKRT
usaha mikro yaitu ada keinginan untuk mengurus rumahtangga tetapi di lain
pihak ia juga menjalankan usaha mikronya.
Sebagian PKRT usaha mikro berkeinginan untuk melepaskan diri dari
himpitan tersebut, tetapi tidak tega meninggalkan anak-anaknya karena sebagai
penopang perekonomian keluarga, seorang PKRT bertanggung jawab untuk
menjaga kelangsungan pendidikan anaknya. Hal tersebut sebagaimana
diungkapkan oleh Ibu LI (PKRT usaha mikro):
Kalau saya tidak ingat sama anak-anak saya, ingin saya pergi meninggalkan rumah kembali sama orang tua, karena saya capek dan bingung harus bagaimana mencari uang lagi. Suami menganggur dan sulit mencari kerja lagi karena sudah tua, sedangkan anak-anak memerlukan biaya sekolah.
Uraian tersebut menggambarkan bahwa seorang PKRT usaha mikro
mengalami posisi tidak mengenakkan dan mengalami konflik peran, sehingga
dapat menimbulkan stres karena terlalu lelah bekerja. Ia ingin menenangkan diri
dan beristirahat dengan kembali ke orang tuanya, tetapi ia tidak tega
meninggalkan anak-anaknya yang masih sekolah. Pilihan yang sulit tersebut
menyebabkan seorang PKRT usaha mikro tetap bertahan menjalankan
usahanya untuk membiayai kehidupan dan pendidikan bagi anak-anaknya agar
mereka tidak mengalami nasib seperti dirinya dan bisa maju melebihi kehidupan
orang tuanya.
95 6.1.2. Akses dan Kontrol PKRT Usaha Mikro dalam Komunitas
Masalah PKRT tidak hanya berada pada beban ganda, tetapi juga
adanya keterbatasan dalam akses dan kontrol. Tabel 23. berikut ini memaparkan
tentang kerangka analisis gender menurut profil akses dan kontrol yang ada
pada sumberdaya produktif.
Tabel 23. Akses dan Kontrol PKRT Usaha Mikro terhadap Sumberdaya Produktif di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang Tahun 2005
LAKI-LAKI PEREMPUAN NO. SUMBERDAYA PRODUKTIF
AKSES KONTROL AKSES KONTROL
1. Penggunaan tenaga kerja orang lain v v v 2. Kredit Uang vv v v 3. Modal v v v v 4. Peralatan/teknologi v v 5. Pendidikan/pelatihan v v 6. Sumberdaya lain:
• Organisasi lokal vv v v • Lembaga formal vv v v • Lembaga non formal v v • Pasar v vv Sumber: Diadaptasi dari Aus AID’s to Gender and Development dalam IASTP II, 1999. Keterangan: • vv : Lebih dominan.
Tabel 23. di atas menunjukkan bahwa akses dan kontrol perempuan
sangat terbatas. Perempuan memiliki akses terhadap sumberdaya produktif
seperti penggunaan tenaga kerja, lahan, kredit uang, modal untuk usaha dan
sumberdaya yang lain, tetapi kurang memiliki kontrol terhadapnya. Laki-laki
memiliki akses (kesempatan) dan kontrol (menentukan) dalam sumberdaya
produktif. Penentuan tenaga kerja terutama dalam usaha mikro, laki -laki lebih
memegang peranan penting. Hasil wawancara menunjukkan bahwa perempuan
bekerja hanya sekedar membantu suami, sedangkan tenaga kerja untuk laki-laki
lebih utama seperti yang diungkapkan oleh Ibu PP (PKRT usaha mikro):
Perempuan di sini bekerja hanya untuk membantu suami. Tetap saja suami sebagai pencari nafkah untuk keluarga dan anak-anak.
Uraian di atas mengungkapkan bahwa laki-laki sebagai pencari nafkah
utama dan perempuan sebagai pencari nafkah tambahan dinyatakan sendiri oleh
perempuan di Desa Sekarwangi. Mereka belum menyadari bahwa adanya
anggapan tersebut mempengaruhi akses dan kontrol mereka terhadap
sumberdaya produktif, seperti untuk memperoleh modal dan kredit untuk usaha
mengalami hambatan.
96 Pendidikan/pelatihan belum diakses oleh perempuan, karena gerak
mereka dibatasi oleh urusan rumahtangga dan mengurus suami dan anak-anak.
Apalagi untuk pendidikan/pelatihan yang diselenggarakan di penginapan, mereka
sulit untuk memperoleh izin suami. Peralatan dan teknologi masih diakses dan
dimiliki oleh laki -laki, seperti pembuatan kerupuk seblak, pengetahuan tentang
resep pembuatannya ada pada laki-laki. Usaha konveksi juga sebagian besar
dikelola oleh laki -laki.
Sebagian PKRT yang mengelola usaha mikro dapat mengakses
permodalan yang diperoleh dari program pembangunan yang ada di Desa
Sekarwangi Kecamatan Katapang, tetapi sebagian yang lain tidak dapat
mengaksesnya. Hal tersebut disebabkan adanya kekhawatiran bahwa PKRT
usaha mikro tidak dapat mengembalikan pinjaman tersebut. Kontrol PKRT usaha
mikro pada sumberdaya terbatas pada kontrol terhadap modal. Modal yang
diperolehnya berasal dari keluarga dan bila PKRT usaha mikro dapat mengakses
program pembangunan, maka ia mendapatkan kewenangan untuk menentukan
jenis usahanya. Modal usaha diperoleh PKRT yang bergerak dalam usaha mikro
melalui program P2KP dan UP2K-PKK, walaupun tidak semua memperolehnya
karena keterbatasan anggaran dan dana bersifat bergulir.
Pengelolaan modal untuk usaha mikro diatur antara suami dan istri dalam
arti setelah modal ada dalam keluarga, pengalokasian cenderung didominasi
oleh laki-laki. Kredit lebih besar diperoleh oleh laki -laki kemudian diserahkan
kepada istrinya yang mengelola usaha mikro. Hal tersebut dikarenakan untuk
memperoleh kredit atau pinjaman diperlukan beberapa persyaratan administrasi
diantaranya KTP dan KK. Banyak perempuan di Desa Sekarwangi tidak
mempedulikan kepemilikan KTP, karena dianggapnya tidak memberikan banyak
manfaat, sebagaimana yang diungkapkan oleh Bapak WN (Pengurus P2KP):
Kaum perempuan di sini banyak yang tidak memiliki KTP. Mereka merasa tidak penting untuk memilikinya karena tidak pernah diperiksa dan KTP hanya digunakan untuk meminjam kredit ke bank. Sedangkan untuk meminjam ke bank sudah ada suami. Mereka hanya di rumah saja dan tidak kemana-mana.
Uraian di atas mengungkapkan bahwa akses perempuan terhadap kredit
masih terbatas karena mereka tidak mempunyai KTP yang dapat digunakan
sebagai jaminan untuk memperoleh pinjaman kredit. Mereka mengandalkan
suaminya yang mempunyai KTP untuk mendapatkan pinjaman dari lembaga
formal, sehingga yang tercantum dalam program P2KP lebih banyak nama laki-
97 laki daripada perempuan, padahal usaha mikro lebih banyak dikelola oleh
perempuan. Hal tersebut tentu dapat merugikan kaum perempuan terutama bagi
PKRT usaha mikro, karena usahanya tidak dapat berkembang diakibatkan
ketergantungannya terhadap keberadaan suaminya, terutama pada kepemilikan
KTP.
Kelembagaan formal yang dapat diakses oleh perempuan adalah PKK.
Jumlah Kader yang terlibat di desa Sekarwangi sebanyak ± 56 orang yang
terbagi di 8 RW. Kontrol dalam lembaga ini tetap dikendalikan oleh desa, karena
semua program-programnya ditentukan oleh desa. Kegiatan rapat rutin bulanan
PKK desa selalu dihadiri oleh Kepala Desa. Rencana program pengembangan
desa selalu diinformasikan dan program kegia tan PKK juga diarahkan sesuai
dengan program desa.
PKRT secara dominan mempunyai akses terhadap pasar, karena untuk
keperluan belanja usaha mikro yang dijalankannya, PKRT tidak bisa terlepas dari
adanya pasar. Pasar terdekat yang biasa diakses oleh PKRT adalah Pasar
Soreang dan Pasar Sayati. PKRT tidak mempunyai kontrol untuk menentukan
harga dan jumlah barang yang ada di pasar, karena ia hanya dapat membeli
sesuai keperluan dan jumlah uang yang ada pada dirinya.
6.1.3. Akses dan Kontrol PKRT Usaha Mikro terhadap Manfaat Kegiatan
Pembangunan
Manfaat kegiatan pembangunan terhadap PKRT usaha mikro dapat
dilihat dari sumberdaya yang ada di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang
seperti penghasilan, pangan, sandang, papan dan barang konsumen,
kesempatan kerja, pendidikan/pelatihan dan kekuasaan untuk status yang lebih
tinggi. Setelah adanya program P2KP dan UP2K-PKK tidak banyak memberikan
manfaat terhadap kehidupan PKRT. Akses dan kontrol pada manfaat dari
kegiatan pembangunan dapat dilihat pada Tabel 24. berikut ini.
98 Tabel 24. Akses dan Kontrol PKRT Usaha Mikro terhadap Manfaat Kegiatan
Pembangunan di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang Tahun 2005
LAKI-LAKI PEREMPUAN NO. MANFAAT KEGIATAN
PEMBANGUNAN AKSES KONTROL AKSES KONTROL
1. Penghasilan v v v 2. Pangan
Sandang Barang konsumen
v
v
3. Kesempatan kerja v v v 4. Pendidikan/pelatihan v v v 5. Kekuasaan politis
Status yang lebih tinggi v
v
Sumber: Diadaptasi dari Aus AID’s to Gender and Development dalam IASTP II, 1999.
Data pada Tabel 24. menunjukkan bahwa laki-laki mempunyai akses dan
kontrol terhadap penghasilan dari program pembangunan yang ada di Desa
Sekarwangi. Laki-laki dapat dengan mudah untuk meminjam dana bantuan P2KP
dan UP2K-PKK karena mempunyai KTP. Kewenangan pengambilan keputusan
terhadap penggunaan dana tersebut juga dimiliki oleh laki-laki dengan
memberikan dana secukupnya kepada istrinya untuk kehidupan sehari-harinya.
Perempuan hanya mempunyai akses dan tidak ada kontrol dari penghasilan
yang diterimanya. Hal tersebut disebabkan penghasilan perempuan digunakan
untuk membiayai kehidupan diri dan anak-anaknya juga terlebih bagi seorang
PKRT. Penghasilan yang diterimanya dari hasil usaha digunakan sepenuhnya
untuk menghidupi keluarga dan membiayai sekolah anak-anaknya.
Program P2KP dan UP2K-PKK tidak banyak memberikan pengaruh yang
berarti terhadap pemenuhan kebutuhan pangan dan sandang terutama bagi
PKRT usaha mikro sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibu IN (Pengurus
P2KP):
Dana P2KP dan UP2K-PKK tidak bisa memenuhi kebutuhan pangan dan sandang bagi PKRT usaha mikro. Jangankan untuk memenuhi kebutuhan tersebut, karena uang yang didapatnya digunakan untuk membayar hutang ke rentenir.
Uraian tersebut menjelaskan bahwa dana dari P2KP yang diterima oleh
PKRT usaha mikro pada awalnya digunakan untuk menambah modal usaha,
tetapi karena mereka sebelumnya mempunyai hutang ke rentenir, akhirnya uang
tersebut digunakan untuk membayar hutang, sehingga usaha mereka tidak
berkembang.
99 Akses dan kontrol terhadap kesempatan kerja lebih dimiliki oleh laki-laki
dan mereka bukan merupakan rumahtangga PKRT, karena mereka lebih
mempunyai peluang untuk mengembangkan usaha mereka dengan mendapat
pinjaman yang lebih besar seperti untuk usaha becak. Akses terhadap
kesempatan kerja bagi perempuan terutama PKRT usaha mikro terbatas, karena
adanya anggapan bahwa mereka adalah pencari nafkah tambahan. Akses dan
kontrol untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan juga lebih dimiliki oleh laki-laki,
karena mereka tidak terikat untuk melakukan pekerjaan reproduktif, sehingga
mereka lebih leluasa untuk keluar rumah mengikuti kegiatan, sedangkan bagi
perempuan harus mendapat ijin suami sebelum mengikuti pendidikan atau
pelatihan, apalagi untuk pelatihan yang perlu menginap. Apabila ternyata suami
tidak mengijinkan, maka perempuan tidak dapat mengikuti kegiatan pendidikan
dan pelatihan tersebut. Kekuasaan politis yaitu akses dan kontrol terhadap
peningkatan status yang lebih tinggi ada pada laki -laki, karena mereka
mempunyai peluang untuk mengikuti kegiatan di desa daripada perempuan
apalagi bagi PKRT usaha mikro. Pemegang anggaran P2KP dan UP2K-PKK
adalah para tokoh masyarakat yang sebagian besar yaitu sebanyak 14 orang
atau 80% adalah laki -laki yang menjadi Ketua RW dan tokoh masyarakat, dan 3
orang atau 20% adalah perempuan yang menjadi pengurus PKK dan kerabat
dari aparat desa.
6.1.4. Akses dan Kontrol PKRT Usaha Mikro terhadap Kelembagaan dalam
Komunitas
Akses dan Kontrol PKRT usaha mikro terhadap kelembagaan formal dan
informal digunakan untuk melihat bagaimana jejaring sosial PKRT usaha mikro
terhadap kelembagaan tersebut dan pola hubungan yang terjadi diantara
mereka. Kesempatan dan kewenangan pengambilan keputusan untuk ikut
terlibat dalam kelembagaan formal dan informal dapat dilihat pada Tabel 25.
berikut ini:
100 Tabel 25. Akses dan Kontrol PKRT Usaha Mikro terhadap Kelembagaan Formal
dan Informal serta Faktor Pendukungnya di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang Tahun 2005
Lembaga Informal Lembaga Formal
Keluarga Teman Kelompok arisan
Pasar Media Kelompok (KSM)
Faktor Pendukung
Akses Kontrol Akses Kontrol Akses Kontrol Akses Kontrol Akses Kontrol Akses Kontrol
Informasi: Pasar, harga, inovasi produk.
v v v v v v
Kepercayaan kepada PKRT usaha mikro
v v v v
Pemberian Kredit
v v v v v v
Perangkat publik dan sumber potensi masyarakat
v v
Sumber: Hasil Penelitian Tahun 2005.
Data pada Tabel 25. menunjukkan bahwa akses dan kontrol PKRT usaha
mikro terhadap lembaga informal dan formal terdiri dari informasi tentang harga,
produk dan pasar, kepercayaan terhadap PKRT, pemberian kredit dan perangkat
publik atau sumber potensi masyarakat. Lembaga informal terdiri dari keluarga,
teman usaha atau teman yang beperan sebagai rentenir serta kelompok arisan.
Lembaga formal terdiri dari pasar, media audio visual yang dapat digunakan
sebagai informasi, dan kelompok swadaya masyarakat (KSM) dalam program
P2KP.
PKRT usaha mikro mempunyai kesempatan atau akses terhadap
lembaga formal dan informal, baik dalam aspek informasi, kepercayaan, kredit
dan sumber kemasyarakatan, tetapi mereka lebih banyak tidak mempunyai
kewenangan mengambil keputusan terhadap aspek tadi. PKRT usaha mikro
mempunyai akses terhadap informasi dari lembaga informal seperti keluarga,
teman usaha dan teman arisan. Sesama teman mereka biasa mengutarakan
kesulitan dan berbicara mengenai harga dan barang-barang yang dijual apabila
jenisnya sama. Antara sesama PKRT usaha mikro biasanya mengetahui
bagaimana jenis usaha temannya dan mengetahui berapa keuntungan yang
diperoleh temannya, sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibu EM (PKRT usaha
mikro) yang mengelola dagangan asakan pada saat PRA:
Usaha warungan dan dagangan asakan yang ada di Desa Sekarwangi mengalami pasang surut yang kebalikan dari masing-masing usaha tersebut. Warungan mengalami keuntungan di akhir bulan, sedangkan
101 dagang asakan mengalami keuntungan pada awal bulan. Usaha warungan memerlukan dana sebesar Rp. 200.000 sampai dengan Rp. 300.000 untuk menjalankan usahanya, sedangkan dagangan asakan seperti saya memerlukan modal sebesar Rp. 250.000 sampai Rp. 500.000.
Uraian di atas menggambarkan bahwa sesama PKRT usaha mikro dapat
mengetahui bagaimana kondisi usaha yang dikelola oleh temannya. Mereka
saling mengetahui kapan usaha maju dan kapan merugi, sehingga mereka dapat
membuat antisipasi terhadap usahanya, seperti mengurangi stok barang yang
mudah basi pada saat sepi konsumen dan memperbanyak jenis barang yang
dijual pada saat pembeli banyak. PKRT usaha mikro dapat mengambil keputusan
untuk menentukan berapa harga jual dari barang yang dijualnya berdasarkan
informasi yang diperoleh dari temannya. Informasi tentang harga dan produk
yang dijual oleh PKRT usaha mikro diperolehnya dari lembaga formal seperti
pasar, media dan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM).
PKRT usaha mikro dalam menjalankan usahanya mempunyai akses
terhadap kepercayaan dari keluarga, mereka memperoleh dukungan dan
bantuan dari keluarga seperti bantuan modal usaha. Mereka juga memperoleh
kepercayaan dan dapat memutuskan untuk meminjam uang sebagai modal
usaha dari temannya yang menjadi rentenir. PKRT usaha mikro juga diberikan
kepercayaan untuk mengambil barang di pasar dan membayarnya di kemudian
hari. Pemberian kredit untuk usaha mikro terhadap PKRT diberikan oleh
keluarga, teman, kelompok arisan dan KSM. PKRT usaha mikro banyak
memperoleh dukungan dari teman, seperti teman usaha dan temannya yang
menjadi rentenir.
Pengambilan keputusan PKRT usaha mikro untuk terlibat dalam
meminjam kredit dari rentenir. Mereka lebih suka meminjam kepada rentenir,
karena prosesnya mudah dan tidak rumit, serta cara penagihannyapun ramah
sebagaimana yang diungkapkan oleh ibu LI (PKRT usaha mikro):
Saya kadang kehabisan modal untuk usaha karena hasil usaha dipakai untuk berobat anak saya yang sakit, belum lagi untuk biaya dapur dan sekolah anak. Persediaan rokok juga dihabiskan oleh suami saya. Dia menganggur. Akhirnya saya meminjam pada tante (sebutan untuk rentenir). Prosesnya mudah dan cara menagihnya juga ramah.
Uraian di atas menjelaskan bahwa warga masyarakat terutama PKRT
dalam mengatasi masalah permodalan usaha mikro lebih banyak meminjam
kepada rentenir (bank keliling). Mereka mempunyai anggapan bahwa dengan
102 meminjam kepada rentenir prosesnya lebih mudah, hanya mengandalkan
kepercayaan dan mereka menagihnyapun ramah, sehingga mereka lebih
percaya kepada rentenir.
Akses PKRT usaha mikro terhadap perangkat publik dan sumber potensi
masyarakat terbatas pada teman usahanya dan KSM. Lembaga tersebut dapat
digunakan oleh PKRT usaha mikro untuk memperoleh dukungan modal usaha
dan berkelompok untuk mengembangkan usaha.
6.1.5. Faktor yang Berpengaruh terhadap Partisipasi PKRT Usaha Mikro
Faktor yang berpengaruh menunjukkan adanya aspek politik, ekonomi,
budaya dan pendidikan yang dapat mempengaruhi partisipasi PKRT usaha mikro
keberadaan usahanya. Tabel 26. berikut ini menunjukkan faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap partisipasi PKRT usaha mikro.
Tabel 26. Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Partisipasi PKRT Usaha Mikro di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang Tahun 2005
Kesempatan Dampak Faktor-faktor Lk Pr Lk Pr
Politik (kebijakan) v v v v Ekonomi v v Budaya v v v Pendidikan v v Sumber: Diadaptasi dari The Oxfam Gender Training Manual (Terjemahan) dalam
Harsoyo, 1998.
Tabel 26. menunjukkan bahwa faktor politik, ekonomi, budaya dan
pendidikan dapat memberikan kesempatan dan dampak terhadap PKRT usaha
mikro. Laki-laki lebih mempunyai kesempatan untuk berperan dalam kegiatan
politik seperti menjadi perangkat desa, mulai dari RT, RW, Kadus sampai aparat
desa. Mereka dapat mengambil keputusan atas program dan kegiatan yang ada
dalam komunitas. Kesempatan perempuan untuk aktif dalam bidang politik
terbatas hanya sebagai pengurus PKK yang tidak mempunyai suara untuk
menentukan kebijakan program dan kegiatan, karena keikutsertaan perempuan
dalam kegiatan PKK hanya dikarenakan suami mereka menjadi pejabat di Desa
Sekarwangi. Hal tersebut akan memberikan pengaruh terhadap PKRT usaha
mikro, apalagi bagi pendatang baru, karena program dan kegiatan tidak
memberikan kesempatan bagi PKRT usaha mikro untuk terlibat di dalamnya.
Penduduk lama cenderung untuk mempertahankan kondisi yang ada dan tidak
103 ingin ada perubahan walaupun perubahan itu bersifat positif seperti untuk
membangun masyarakat. Masyarakat akan mengikuti perubahan jika dianggap
hal tersebut bermanfaat bagi kehidupan mereka dan ada buktinya, misalnya
dengan adanya pembangunan fisik jalan, mereka baru percaya terhadap
program pembangunan fisik yang ada di wilayahnya dan terutama terhadap profil
kepemimpinan kepala desa.
Laki-laki mempunyai akses terhadap faktor ekonomi. Mereka lebih mudah
memperoleh pinjaman dari P2KP karena kepemilikan KTP, sedangkan
perempuan terutama PKRT usaha mikro terbatas aksesnya terhadap program
P2KP dan UP2K-PKK. Dampak yang dialami oleh PKRT usaha mikro adalah
terbatasnya akses mereka terhadap program P2KP dan UP2K-PKK
menyebabkan usaha mikro yang dikelolanya tidak berkembang karena
keterbatasan akses permodalan usaha.
Faktor budaya memberikan dampak bagi PKRT usaha mikro, yaitu
hubungan kekerabatan kuat di Desa Sekarwangi dan adanya pembedaan
terhadap warga pendatang. Hal tersebut berpengaruh terhadap pemberian
bantuan dari Program P2KP. Bantuan dana bergulir P2KP sebagian besar
diberikan kepada kerabat pemuka masyarakat yang merupakan penduduk asli,
sehingga PKRT usaha mikro sulit menjangkau program pembangunan yang ada
di Desa Sekarwangi, sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibu AN (PKRT usaha
mikro):
Bantuan P2KP diberikan kepada saudara-saudara pemegang bantuan, terutama saudara dari Pak RW. Mereka rata-rata orang kaya. Ibu El itu penduduk baru, sehingga tidak diberikan bantuan P2KP walaupun kondisi kehidupannya sangat minim dan warungan yang dikelolanya sering tutup karena kehabisan modal.
Uraian tersebut menggambarkan bahwa program P2KP lebih banyak
dimanfaatkan oleh kerabat dan golongan elit masyarakat karena mereka
dianggap dapat mengembalikan pinjaman, sehingga dana P2KP dapat
digulirkan. PKRT usaha mikro yang membutuhkan dana tersebut tidak
memperoleh kesempatan untuk meminjam karena ada kekhawatiran cicilan
pinjaman tidak kembali, sehingga warung yang dikelolanya sering tutup karena
tidak ada modal untuk membeli barang sebagai stok.
Ibu EL (PKRT usaha mikro) mengungkapkan pendapatnya yaitu sebagai
berikut:
104 Waktu itu saya didata katanya untuk mendapatkan bantuan P2KP, tetapi setelah dana itu turun dan orang-orang sudah pada mendapatkan, saya tidak diberikan, padahal saya sudah tinggal di sini 8 Tahun. Saya akhirnya meminjam dana tersebut di desa tempat saya dulu tinggal. Orang-orang sana percaya kepada saya dan sekarang pinjaman itu sudah saya lunasi.
Uraian di atas menggambarkan bahwa program P2KP belum sepenuhnya
menyentuh para pendatang walaupun sudah ada kepastian bahwa dana tersebut
dapat dikembalikan. PKRT usaha mikro terutama pendatang hanya didata saja
tetapi setelah dana sudah ada diberikan kepada orang-orang terdekat atau
saudara pengelola dana P2KP, sehingga usaha mikro yang dikelola PKRT tidak
mengalami perkembangan. Adanya anggapan bahwa perempuan hanya sebagai
pencari nafkah tambahan juga berpengaruh terhadap pemberian bantuan,
karena bantuan dana bergulir sebagian besar diberikan kepada laki -laki yang
dianggap sebagai pencari nafkah utama dan penopang nafkah keluarga.
Faktor pendidikan juga mempengaruhi PKRT usaha mikro. Terbatasnya
pendidikan yang dimiliki oleh mereka memberikan dampak terhadap
keterampilan yang dimiliki oleh mereka, sehingga mempengaruhi jenis usaha
mikro yang dikelolanya. PKRT usaha mikro mempunyai kesempatan untuk
mengikuti keterampilan sebagai wahana untuk menambah wawasan, tetapi gerak
langkahnya kadang terhambat karena harus memperoleh ijin suami untuk keluar
rumah, walaupun kegiatan yang akan diikutinya bersifat positif.
Pengambilan keputusan dalam keluarga tetap ditentukan oleh laki-laki.
PKRT yang memiliki usaha mikro dan masih mempunyai suami dalam upayanya
untuk memperoleh tambahan modal dari pihak luar selalu meminta ijin dari
suaminya terlebih dahulu. Apabila suaminya berkata tidak boleh, maka PKRT
tidak akan meminjam uang tersebut. Alasan yang dilontarkan adalah khawatir
tidak bisa membayar cicilannya nanti karena keuntungan hasil usaha selalu habis
untuk biaya hidup sehari-hari.
105 6.2. Peran dan Kebutuhan PKRT Usaha Mikro dalam Program
Pembangunan
Peran PKRT usaha mikro dalam program pembangunan merupakan
suatu analisis untuk melihat pemenuhan peran produktif, reproduktif dan
kemasyarakatan serta identifikasi kebutuhan gender praktis-strategis yang
menjadi tujuan dari program pembangunan masyarakat di Desa Sekarwangi
Kecamatan Katapang. Analisis peran PKRT usaha mikro dalam program
pembangunan masyarakat menggunakan Teknik Analisis Moser.
Kebutuhan gender terhadap program P2KP dan UP2K-PKK dapat dilihat
pada Tabel 27. yang menggambarkan bagaimana kedua program tersebut
apakah memenuhi kebutuhan praktis dan strategis PKRT usaha mikro.
Tabel 27. Analisis Perencanaan Gender terhadap Peranan dan Kebutuhan Gender yang Dipenuhi oleh Program di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang Tahun 2005
Peranan yang Difokuskan Kebutuhan Gender yang
Dipenuhi Maksud Nyata Maksud Nyata
NAMA PROGRAM
Reproduktif
Produktif Kemasy Reproduktif Produktif Ke masy
Keb Gender Praktis
Keb Gender Strgs
Keb Gender Praktis
Keb Gender Strgs
P2KP
v v v v
UP2K-PKK
v v v v
Sumber: Diadaptasi dari The Oxfam Gender Training Manual (Terjemahan) dalam Widaningroem, 1998.
Data pada Tabel 27. menunjukkan bahwa pada awalnya peranan gender
yang difokuskan pada program pembangunan masyarakat adalah untuk
memenuhi kebutuhan produktif dan kemasyarakatan gender. Kebutuhan gender
yang nyata terpenuhi hanya terbatas pada kebutuhan gender praktis, walaupun
tidak semua anggota terpenuhi kebutuhannya, karena dana tersebut hanya
bergulir pada tingkat tokoh masyarakat dan hanya sedikit ke PKRT (kurang dari
10%).
Program kegiatan P2KP dan UP2K-PKK belum memenuhi kebutuhan
gender apalagi bagi PKRT, baik kebutuhan yang bersifat praktis maupun
strategis. Dana yang diperoleh dari program P2KP ternyata habis dan tidak bisa
bergulir karena terpakai untuk memenuhi kebutuhan subsisten. Kebutuhan
strategis adalah kebutuhan yang berhubungan dengan peningkatan peran
106 perempuan dalam masyarakat. Adanya program P2KP dan UP2K-PKK belum
dapat meningkatkan peran perempuan terutama PKRT. Mereka lebih baik
meminjam pada rentenir daripada meminjam ke P2KP ataupun UP2K-PKK
karena persyaratan dan prosedurnya yang sulit.
6.3. Identifikasi Ketidakadilan Gender terhadap PKRT Usaha Mikro dalam
Komunitas
Kondisi pemberdayaan masyarakat di Desa Sekarwangi belum terlaksana
dan belum diperhatikan terutama untuk kegiatan usaha ekonomi produktif warga
masyarakat. Prioritas kegiatan masih dititikberatkan pada kegiatan perbaikan
kondisi fisik desa dengan pembangunan jalan. Kegiatan sosial kemasyarakatan
masih berkisar pada penyantunan kepada jompo miskin dan pemberian
beasiswa bagi anak terlantar. Selebihnya adalah kegiatan bina keluarga balita
yang kegiatannya sangat menonjol karena ada dukungan kuat dari PLKB dan
Bidan Desa.
Masalah dan kondisi PKRT usaha mikro dapat dilihat dari ketidakadilan
gender yang terjadi dalam pelaksanaan program pembangunan masyarakat di
Desa Sekarwangi yaitu P2KP yaitu terjadi pembedaan dalam penerimaan
bantuan dana bergulir P2KP. Awal penerimaan dana tersebut, perempuan yang
mempunyai usaha mikro memperoleh kesempatan untuk meminjam dan mereka
secara rutin juga membayar cicilannya. Setelah dana terkumpul dan digulirkan,
ternyata perempuan usaha mikro terutama PKRT tidak memperoleh bantuan
kembali padahal mereka sangat membutuhkan untuk pengembangan usaha
mereka. Dana yang bergulir diberikan kepada laki-laki dengan jumlah yang cukup
besar. Jumlah tersebut diserap tetapi pembayaran cicilannya tidak berjalan
sebagaimana mestinya. Cicilan hanya berjalan satu sampai dua kali dan setelah
itu terhenti sama sekali. Ketidakadilan gender yang terjadi di desa Sekarwangi
Kecamatan Katapang berkaitan dengan program pembangunan yaitu:
6.3.1. Marjinalisasi
PKRT mengalami marjinalisasi dalam penerimaan bantuan. Mereka
dianggap tidak akan mampu mengembalikan pinjaman, sehingga akses terhadap
pinjaman terutama dana yang terhimpun dalam program UP2K-PKK mengalami
keterbatasan sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibu LA (Informan):
107 Dana UP2K-PKK kemarin dipinjamkan kepada Ibu NN yang berjualan ayam goreng, tetapi cicilan pengembaliannya mandeg di tengah jalan karena banyak pelanggan yang hutang kepada ibu NN. Seharusnya untuk usaha dagang makanan jangan dihutangin ke pelanggan, karena untuk beli bahan mentahnya ke pasar tidak bisa hutang…Tiap ada Binwil dari kecamatan kegiatan UP2K selalu dipantau, oleh sebab itu bantuan kemudian diberikan kepada Bpk Cc yang mempunyai usaha kerupuk seblak agar pengembalian dan pemantauannya mudah.
Uraian tersebut memberikan gambaran bahwa ada kekhawatiran dari
pengurus PKK dana UP2K-PKK yang dipinjamkan tidak lancar pengembaliannya,
apalagi penggunaan dana tersebut sering dipantau oleh pihak kecamatan. Dana
tersebut akhirnya diberikan kepada salah seorang warga yang dianggap bisa
mengembalikan pinjaman tersebut secara rutin dan apabila ada pemeriksaan,
siap menerima kunjungan bina wilayah.
Hal tersebut dapat juga dilihat pada saat pelaksanaan PRA, ternyata
masih banyak PKRT yang belum bisa mengakses program tersebut, walaupun
kaum perempuan pada umumnya memperoleh kesempatan untuk meminjam
kredit dari program P2KP. Upaya yang ditempuh oleh mereka adalah dengan
meminjam uang dari bank keliling (rentenir). Marjinalisasi terjadi dengan adanya
anggapan bahwa perempuan hanya bekerja di rumah saja, sedangkan laki-laki
bekerja di luar rumah mncari nafkah, seperti yang diungkapkan oleh Ibu DW
(PKRT usaha mikro):
Kalau kita mah kaum perempuan bekerja hanya untuk membantu suami mencari uang tambahan, karena suami yang harus mencari nafkah untuk menghidupi keluarga. Kalau kesempatan untuk bekerja lebih banyak diberikan pada laki-laki, sedangkan ibu-ibu bekerjanya di rumah, seperti ngewarung atau dagang kreditan.
Uraian di atas menggambarkan bahwa kaum perempuan sendiri
menganggap bahwa diri mereka adalah sebagai pencari nafkah tambahan,
sehingga posisi mereka dalam bekerja dianggap rendah. Hal tersebut tidak
terlepas dari sistem sosialisasi yang telah tertanam sejak kecil bahwa perempuan
bekerja di rumah dan laki -laki bekerja di luar rumah.
Marjinalisasi juga terlihat pada saat pelantikan RT/RW, dari 43 orang
pengurus RT/RW yang terpilih, hanya satu orang perempuan yang menjabat
sebagai Ketua RW. Kaum laki-laki berpendapat bahwa perempuan hanya
bekerja mengurusi urusan rumahtangga saja dan kalau ingin aktif ada wadahnya
sendiri yaitu PKK.
108 6.3.2. Subordinasi
Perempuan terutama PKRT usaha mikro di Desa Sekarwangi mengalami
subordinasi dalam bidang usaha yang dijalaninya. Mereka dianggap sebagai
peran yang aktif untuk menambah penghasilan suami dan bukan sebagai kepala
rumahtangga. Perempuan yang pada saat pasangan hidupnya mengalami krisis,
seperti terkena PHK, maka perannya bertambah untuk mencari nafkah bagi
keluarganya. Peran tersebut akhirnya mengharuskan dirinya untuk menjadi
pencari nafkah utama ditambah dengan jumlah tanggungan keluarga yang harus
dihidupinya. sebagaimana yang diungkapkan oleh Bapak HW (Informan):
Tugas perempuan terutama PKRT yang mempunyai usaha mikro adalah membantu suami mencari tambahan uang. Bukan sebagai kepala rumahtangga, karena kepala rumahtangga tetap laki-laki. Kalau suami menganggur, itu karena suami kurang beruntung yaitu tidak mempunyai pekerjaan dan tidak bisa mencari nafkah.
Uraian di atas memberikan pemahaman bahwa perempuan mempunyai
posisi sebagai pihak yang tersubordinasi, karena dianggap sebagai pencari
nafkah tambahan. Apabila keadaan tersebut terjadi kepada seorang PKRT
terutama PKRT yang memiliki usaha mikro, tentu keadaan makin sulit karena
kesempatan untuk memperoleh pinjaman dan program-program pemberdayaan
ekonomi kurang diberikan kepada mereka.
6.3.3. Beban Kerja
PKRT yang bergerak dalam usaha mikro mengalami beban kerja
berlebih, karena selain menjalankan usahanya, ia juga harus mengurusi urusan
rumahtangga. Apabila pasangan hidupnya mengerti kerepotannya dan mau
membantu, hal tersebut tidak menjadi masalah, tetapi apabila ternyata suaminya
atau anak-anaknya tidak peduli dengan kesulitannya, maka akan menjadi
masalah bagi PKRT, karena tenaga dan pikirannya akan terkuras habis untuk
memikirkan biaya hidup dan urusan rumahtangganya. Hal tersebut seperti yang
diutarakan oleh Ibu EL (PKRT usaha mikro):
Suami saya sudah lama menganggur. Dulunya kena PHK dari IPTN. Sekarang saya yang harus mencari uang, karena untuk biaya sekolah anak dan hidup sehari-hari. Saya tiap hari bangun pagi terus ngurusin anak yang mau sekolah, setelah itu buka warung sambil mengerjakan sulaman, sementara suami moyan atau bermalas-malasan sambil nonton tv dan minum kopi. Terus terang saya kewalahan dan sangat capek. Suami tiap hari merokok dan minum kopi yang saya ambil dari jualan saya, akhirnya stok habis dan saya tidak bisa jualan.
109 Uraian di atas menjelaskan bahwa seorang PKRT mengalami kesulitan
dalam membagi urusan domestik rumahtangga dan mencari nafkah karena tidak
mempunyai dukungan dari suaminya. Hal tersebut mengakibatkan ter jadinya
ketidakadilan gender apabila ternyata tidak ada perhatian dari lingkungan sekitar
untuk membantu usaha mikro yang dijalankan oleh PKRT tadi.
6.3.4. Stereotipe
Stereotipe yang terjadi terhadap PKRT yang mengelola usaha mikro
adalah usaha warungan dan dagang masakan adalah sebagai perpanjangan dari
urusan rumahtangga perempuan yang tidak terlepas dari aktivitas dapur. Hal
tersebut dapat dilihat dari penerimaan dana bergulir program P2KP, yaitu
sebanyak 33 perempuan mengelola usaha warungan yang terdiri dari penjualan
sembako, masakan matang, makanan anak-anak dan sebagainya.
6.3.5. Ideologi Gender
Perempuan di Desa Sekarwangi masih dianggap bahwa pekerjaannya
mengurusi urusan rumahtangga merupakan kodrat dan kewajiban perempuan.
Hal tersebut berdampak bagi PKRT. Walaupun ia bekerja sendiri untuk
menghidupi keluarganya, tetapi kesempatan untuk memperoleh modal usaha
dan berpartisipasi aktif di dalam kegiatan kemasyarakatan masih dianggap
sebelah mata, tetapi bila ada keperluan pendataan, kaum perempuan masih
dianggap sebagai sumber yang potensial untuk mendata masalah
kependudukan.
6.4. Evaluasi Umum
PKRT usaha mikro dalam menjalankan usahanya mengalami
keterbatasan akses dan kontrol terhadap sumberdaya produktif seperti
penggunaan tenaga kerja orang lain, kredit uang, modal, peralatan/teknologi,
pendidikan/pelatihan dan kelembagan formal dalam komunitas. Hal tersebut
disebabkan adanya ketidakadilan gender yang ada dalam masyarakat seperti
marjinalisasi, subordinasi, stereotipe dan beban kerja berlebih. PKRT usaha
mikro mengalami double burden yaitu mempunyai beban kerja berlebih dalam
kegiatan sehari-harinya. Mereka mengerjakan pekerjaan domestik dan mengurus
usaha mikro.
110 Hasil usaha yang dijalankan oleh PKRT tidak mampu memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari, karena habis untuk membayar hutang ke rentenir
dan membiayai kehidupan rumahtangganya. Program pembangunan yang
digulirkan oleh pemerintah yaitu program P2KP dan UP2K-PKK belum mampu
memecahkan masalah PKRT usaha mikro, karena tidak semua PKRT
mendapatkan bantuan tersebut.
Akses dan kontrol PKRT terhadap kelembagaan formal masih terbatas.
Ikatan erat PKRT usaha mikro terbatas pada kelembagaan informal dalam
masyarakat, seperti untuk mendapatkan kredit dan modal usaha, hubungan
dengan keluarga, teman, tetangga dan rentenir sangat dekat. Akses PKRT usaha
mikro dengan lembaga formal sangat terbatas, karena kebijakan dari desa
berupa program pembangunan belum menyentuh masalah dan kebutuhan PKRT
usaha mikro.
BAB VII
PENYUSUNAN PROGRAM PEMBERDAYAAN PEREMPUAN KEPALA RUMAHTANGGA USAHA MIKRO
SECARA PARTISIPATIF
PKRT yang mempunyai usaha mikro mempunyai potensi untuk
mengembangkan perekonomian desa. Usaha mereka dapat maju apabila
mereka memiliki akses dan kontrol terhadap sumberdaya produktif. Gerak
mereka terhambat disebabkan ada ketidakadilan gender yang ada dalam
pemanfaatan program pembangunan masyarakat di Desa Sekarwangi ataupun
dalam kehidupan mereka sehari-hari. Adanya anggapan bahwa perempuan
mempunyai usaha mikro hanya sekedar membantu suami mencari nafkah
tambahan mempunyai dampak yang luas terutama dalam pengembangan usaha
mikronya. Mereka kesulitan untuk memperoleh akses terhadap permodalan,
pemasaran, program pembangunan dan pendidikan keterampilan.
Pemberdayaan perempuan kepala rumahtangga yang mempunyai usaha
mikro diarahkan pada keadilan dan kesetaraan gender (KKG) dengan mengarah
pada Gender And Development (GAD), yaitu PKRT usaha mikro dapat
memperoleh akses dan kontrol terhadap program pembangunan yang dapat
meningkatkan usaha mikro mereka. Program yang dihasilkan bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan sosial dan ekonomi PKRT secara berkelanjutan agar
mereka mampu mandiri baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari
komunitas. Hal tersebut dapat dicapai bila terjadi sinergi antar kelompok
masyarakat dan keterpaduan kelembagaan dalam komunitas yang terjalin
melalui jejaring sosial. Penyusunan program pemberdayaan bagi PKRT usaha
mikro dilakukan dengan tahap-tahap: identifikasi masalah dan kebutuhan,
identifikasi potensi lokal, pendayagunaan sumber-sumber lokal, penyusunan dan
pengusulan rencana.
7.1. Tahap Identifikasi Masalah dan Kebutuhan
Terdapat masalah ketidakadilan gender terhadap perempuan, yaitu
program pembangunan belum memperhatikan kebutuhan dan kepentingan
perempuan kepala rumahtangga yang mengelola usaha mikro. Mereka belum
sepenuhnya dapat mengakses program P2KP dan UP2K-PKK. Gambaran
112 masalah yang dialami oleh PKRT dapat dilihat pada gambar 8. yaitu bagan
pohon masalah seperti beriku t ini:
Gambar 8. menjelaskan bahwa inti masalah yang dialami oleh PKRT
usaha mikro di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang adalah usaha mikro
mereka kurang berkembang. Hal tersebut disebabkan adanya isu ketidakadilan
gender yang menganggap bahwa mereka adalah pencari nafkah tambahan,
SEBAB MASALAH
Ketidakadilan Gender dalam
komunitas
Keragaman isi warungan terbatas
Kesulitan menyekolahkan
anak
Kebutuhan hidup tidak terpenuhi
Usaha mikro tidak berkembang INTI MASALAH
AKIBAT MASALAH
1) Akses dan kontrol Permodalan
terbatas
5) Akses dan Kontrol PKRT
terhadap P2KP dan UP2K-PKK terbatas
7) Akses dan kontrol Pengetahuan dan
Keterampilan PKRT terbatas
3) Akses dan kontrol Pemasaran
terbatas
Dana digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup
Dana dimanfaatkan oleh elite masyarakat
8) Belum memperoleh pendidikan
keterampilan
Modal habis untuk membayar hutang
ke rentenir
Stok barang terbatas
Tidak mendapat ijin suami
Khawatir tidak mampu
membayar cicilan
Belum mengenal warga lebih dekat
6) Tidak diikutsertakan dalam perencanaan,
pelaksanaan dan evaluasi
Hanya didata tetapi tidak ada
realisasi
2) Belum mengetahui dana potensial dalam
komunitas
Gambar 8. Analisis Pohon Masalah PKRT Usaha Mikro di desa Sekarwangi Kecamatan Katapang
Tidak mempunyai KTP untuk akses
kredit
4) Beban kerja berlebih
113 pekerjaan perempuan sebatas di rumah saja ditambah dengan beberapa
keterbatasan PKRT usaha mikro dalam memperoleh akses terhadap
sumberdaya yang ada di Desa Sekarwangi. Hubungan antar kelembagaan
seperti antara BUMDES, PKK, PEMDA yang menjadi jejaring belum terjalin. Hal-
hal yang menjadi faktor penyebab ketidakadilan gender sehingga usaha mikro
PKRT tidak berkembang secara keseluruhan adalah:
1. Akses dan kontrol terhadap permodalan terbatas.
Kesempatan PKRT usaha mikro terhadap permodalan sangat terbatas.
Modal mereka hanya bersumber dari diri sendiri, keluarga dan rentenir dengan
jumlah sekitar Rp. 100.000,- sampai dengan Rp. 300.000,-. Adanya anggapan
bahwa perempuan hanya sebagai pencari nafkah tambahan berpengaruh
terhadap perolehan permodalan yang diterima oleh PKRT. Pengambilan
keputusan terhadap permodalan juga mempengaruhi keterbatasan dari PKRT
untuk mengembangkan usahanya. Akses dan kontrol mereka terhadap
permodalan menjadi terbatas disebabkan oleh beberapa faktor:
a. Tidak mempunyai KTP untuk akses kredit.
Beberapa perempuan di Desa Sekarwangi ada yang tidak memiliki Kartu
Tanda Penduduk (KTP). Mereka menganggap bahwa kepemilikan KTP tidak
banyak gunanya dan tidak diperiksa. Apabila ada kebutuhan untuk meminjam
kredit kepada suatu lembaga, mereka lebih mengandalkan KTP suaminya. Hal
tersebut menyebabkan mereka sangat bergantung pada suaminya apabila akan
meminjam modal kepada suatu lembaga. Mereka juga beranggapan bahwa
suami mereka yang bekerja di luar rumah dan sebagai kepala keluarga lebih
mendesak untuk memiliki KTP.
b. Modal habis untuk membayar hutang ke rentenir.
Modal usaha mikro yang dikelola oleh PKRT berasal dari hasil
keuntungan usaha yang diperolehnya per hari, tetapi sebagian besar keuntungan
dipergunakan untuk membayar hutang kepada rentenir. Hal tersebut dilakukan
karena apabila tidak dibayarkan dengan segera, maka bunga hutangnya akan
semakin bertambah. Sisa dana kemudian digunakan untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari dan sisanya baru untuk modal usaha. Kontrol PKRT usaha mikro
untuk tidak meminjam dana kepada rentenir lemah, karena suaminya tidak
114 bekerja sehingga pinjam ke rentenir merupakan cara cepat untuk mendapatkan
uang kas.
c. Belum mengetahui dana potensial dalam komunitas.
PKRT usaha mikro di Desa Sekarwangi tidak mengetahui lembaga dana
yang potensial untuk membantu mengatasi masalah permodalan yang
dialaminya. Mereka memilih meminjam kepada rentenir, karena prosesnya
mudah dan berdasarkan atas kepercayaan atau pinjam kepada keluarganya.
Jejaring kelembagaan formal seperti PKK, BUMDES dan program P2KP belum
dapat menyentuh kebutuhan usaha mikro yang dijalankan oleh PKRT yang ada
di Desa Sekarwangi. Lembaga formal yang lain di luar komunitas Desa
Sekarwangi seperti Pemda juga belum menyentuh segi pengembangan usaha
mikro terutama yang dikelola oleh PKRT. Program prioritas desa baru bergerak
dalam pembangunan fisik dan belum sampai pada pemberdayaan PKRT usaha
mikro.
d. Dana digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Dana hasil usaha terkadang habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari. Kadang-kadang usaha warungan yang dikelola oleh seorang
PKRT terpaksa harus tutup untuk sementara waktu, karena kehabisan modal
untuk membeli barang-barang persediaan warungannya. Hal tersebut
menyebabkan kondisi hidup seorang PKRT semakin sulit.
2. Akses dan kontrol pemasaran terbatas.
Permasalahan PKRT usaha mikro diantaranya adalah pemasaran barang
yang terbatas. Usaha yang dijalankan misalnya pembuatan rangginang, usaha
sulam renda dan kerajinan smock. Gerak mereka terbatas karena selain
menjalankan usaha mereka juga mereka mengerjakan pekerjaan domestik.
Adanya anggapan bahwa gerak langkah perempuan adalah di dalam rumah,
sedangkan laki-laki di luar rumah menyebabkan PKRT usaha mikro terbatas
geraknya untuk memperluas jaringan pemasaran. Beberapa hal yang
menyebabkan akses dan kontrol terhadap pemasaran terbatas adalah:
115 a. Beban kerja berlebih
PKRT yang mengelola usaha mikro mempunyai beban kerja berlebih.
Mereka selain menjalankan usaha mikronya ju ga mempunyai tanggung jawab
untuk mengelola urusan rumahtangga yaitu mengurusi suami, membereskan
rumah dan mengasuh anak. PKRT usaha mikro berupaya untuk membagi kerja
produktif, reproduktif dan sosial kemasyarakatan secara seimbang. Mereka
mencari nafkah untuk kelangsungan hidup bagi diri dan keluarganya, bekerja
mengurus rumahtangga dan di lain pihak mereka perlu berPenyadarandengan
warga masyarakat di sekitar lingkungannya, sehingga upaya untuk memperluas
jaringan pemasaran terbatas. Kontrol PKRT usaha mikro di sini lemah, karena ia
tidak mampu melakukan posisi tawar dengan suaminya untuk membagi
pekerjaan domestik.
b. Stok barang terbatas.
Ketersediaan barang erat kaitannya dengan sumberdaya manusia dan
permodalan. Beberapa PKRT yang mengelola usaha mikro mengeluh bahwa
sulit mencari orang yang dapat membantu pekerjaan mereka. Hal tersebut
disebabkan keahlian yang mereka miliki sulit untuk dibagi kepada yang lain dan
sistem pembayaran upah yang masih terbatas, karena barang yang dijual juga
terbatas hasilnya atau keuntungannya.
c. Belum mengenal warga lebih dekat.
Warga pendatang yang tinggal di Desa Sekarwangi dan mengelola usaha
mikro terutama untuk menjahit hias merasa kesulitan dalam mengembangkan
usahanya. Hal tersebut disebabkan mereka belum mengenal warga masyarakat
di Desa Sekarwangi secara lebih dekat, sehingga usaha mereka juga belum
dikenal oleh warga masyarakat yang lain.
3. Akses dan kontrol terhadap P2KP dan UP2K-PKK terbatas.
Akses dan kontrol mereka terhadap program pembangunan yang ada
seperti P2KP dan UP2K-PKK terbatas karena adanya anggapan bahwa mereka
hanya sebagai pencari nafkah tambahan, sehingga jumlah dana yang
diterimanya dan jumlah PKRT yang dapat mengakses program tersebut terbatas.
116 Faktor-faktor yang menyebabkan akses dan kontrol PKRT usaha mikro terhadap
program pembangunan antara lain:
a. Dana dimanfaatkan oleh elite masyarakat.
Dana P2KP sebagian besar dimanfaatkan oleh warga masyarakat yang
menjadi pengurus pengelolaan dana bergulir tersebut. Dana bergulir terlebih
dahulu diberikan kepada keluarga terdekat yang mempunyai jenis usaha baru,
sedangkan untuk warga yang miskin yang membutuhkan suntikan dana
permodalan diberikan sisanya. Hal tersebut berdampak pada perkembangan
usaha mikro yang dikelola oleh perempuan kepala rumahtangga yang tergolong
dalam kategori keluarga Pra KS dan KS1.
b. Hanya didata tetapi tidak ada realisasi.
Sebagian PKRT menyatakan bahwa mereka sebelumnya didata untuk
memperoleh bantuan dana bergulir P2KP, tetapi setelah dana itu ada, mereka
tidak mendapatkannya. Mereka akhirnya meminjam ke sumber yang lain seperti
ke rentenir untuk menutupi kebutuhan usaha mikronya.
c. Khawatir tidak mampu membayar cicilan.
Ada kekhawatiran yang tersirat dari para pengelola dana program
pembangunan yang ada di Desa Sekarwangi, yaitu jika mereka memberikan
pinjaman kepada PKRT usaha mikro yang masuk dalam kategori keluarga Pra
KS dan KS 1, maka dana tersebut tidak akan kembali. Selain karena adanya
anggapan bahwa kemampuan mereka untuk mengembalikan dana tersebut
terbatas juga hasil usaha mikro yang dijalaninya banyak dihutangi oleh pembeli,
sehingga dana untuk mengembalikan cicilan tidak ada.
d. Tidak diikutsertakan dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
Sebagian dari PKRT usaha mikro mengatakan bahwa mereka tidak
menerima penjelasan tentang bagaimana program P2KP dan UP2K-PKK yang
ada di desa mereka. Bagi PKRT usaha mikro yang menerima bantuan, mereka
hanya diterangkan tentang jumlah cicilan yang harus dikembalikan berdasarkan
jumlah pinjaman dan berapa bulan cicilan tersebut akan di lunasi.
117 4. Akses dan kontrol pengetahuan dan keterampilan PKRT terbatas.
PKRT usaha mikro memiliki pengetahuan dan keterampilan terbatas. Hal
tersebut dapat dilihat dari jenis usaha yang dikelola oleh mereka terbatas pada
usaha kecil-kecilan dan keterampilan mereka dalam pengelolaan hasil usaha
juga terbatas, sehingga usaha mikro mereka kurang berkembang. Hal tersebut
berdasarkan adanya ideologi gender bahwa pekerjaan perempuan hanya di
rumah saja dan laki-laki yang bekerja keluar rumah.
a. Belum pernah memperoleh pendidikan keterampilan.
Sebagian PKRT usaha mikro memerlukan pendidikan dan keterampilan
untuk menambah wawasan usaha mereka. Mereka belum pernah memperoleh
pelatihan keterampilan yang sesuai dengan minat dan bakat mereka selama ini,
seperti bagaimana cara mengelola usaha warungan, mengelola permodalan agar
berkembang, keterampilan membuat makanan atau menjahit, yang kesemuanya
disesuaikan dengan kebutuhan usaha mereka.
b. Tidak mendapat ijin suami.
Sebagian dari PKRT yang mengelola usaha mikro merasa kesulitan
memperoleh ijin suami untuk mengikuti pelatihan keterampilan terutama apabila
pelatihan tersebut memerlukan waktu lebih dari satu hari dan menginap, karena
akan berdampak pada kerja produktif dan reproduktif mereka, walaupun
pelatihan tersebut berupaya untuk meningkatkan usaha mikro yang dikelolanya.
Kontrol PKRT usaha mikro terhadap pengetahuan dan keterampilan lemah,
karena ia tidak dapat melakukan posisi tawar dengan suaminya untuk
memajukan usahanya dengan mengikuti pelatihan keterampilan.
Identifikasi masalah dan kebutuhan PKRT usaha mikro seperti pada Tabel
28. berikut ini:
118 Tabel 28. Identifikasi Masalah dan Kebutuhan PKRT Usaha Mikro di Desa
Sekarwangi Kecamatan Katapang Tahun 2005
MASALAH KEBUTUHAN UPAYA PEMECAHAN MASALAH
Ketidakadilan Gender dalam komunitas
Adanya informasi kepada warga masyarakat tentang kesetaraan dan keadilan gender.
Penyadaran Gender
Akses dan kontrol PKRT terhadap program P2KP dan UP2K-PKK terbatas.
Adanya Peran serta PKRT dalam kegiatan forum desa.
Pemberian kesempatan bagi PKRT untuk aktif dalam forum desa
Tidak diikutsertakan dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi
Adanya wadah bagi perempuan untuk menyalurkan aspirasi dan permasalahannya.
Pembentukan Forum Perempuan
Beban kerja berlebih
Adanya pelayanan kesejahteraan sosial bagi anak yang ibunya bekerja.
Pembentukan Kelompok Bermain Anak
Akses dan kontrol Permodalan terbatas
Muncul kemandirian dan swadaya masyarakat dalam mengelola permodalan.
Pengelolaan tabungan secara kelompok
Meningkatnya pengetahuan dan keterampilan PKRT usaha mikro.
Pendidikan dan Pelatihan Keterampilan usaha bagi PKRT
Akses dan kontrol Pengetahuan dan Keterampilan PKRT terbatas Adanya diklat tentang tata cara
pengelolaan perkoperasian. Pendidikan dan Pelatihan tentang Perkoperasian
Belum mengetahui dana potensial dalam komunitas
Adanya hubungan antar kelembagaan untuk menjaring sumberdaya permodalan bagi PKRT usaha mikro.
Perluasan jejaring sosial untuk menggalang permodalan
Akses dan kontrol Pemasaran terbatas
Adanya jaringan pemasaran bagi PKRT usaha mikro.
Perluasan jejaring kerja pemasaran
7.2. Tahap Identifikasi Potensi Lokal
Potensi lokal yang dapat menjadi sumber untuk menangani masalah yang
dihadapi oleh PKRT usaha mikro berasa dari dalam diri sendiri (internal) dan dari
dalam lingkungan (external). Potensi sumber yang berasal dari dalam diri sendiri
(internal resources ) adalah:
1. Keinginan untuk merubah nasib; setiap PKRT yang mengelola usaha mikro
mempunyai keinginan untuk memajukan usahanya. Keinginan tersebut
merupakan sumber yang potensial, karena akan menumbuhkan semangat
untuk bekerja lebih giat lagi. Potensi ini perlu mendapat dukungan dari
berbagai pihak, baik dari komunitas, kelembagaan lokal maupun peraturan
yang ada.
2. Daya survive yang tinggi; PKRT usaha mikro memiliki kehidupan yang minim
yaitu hasil usahanya hanya mampu memenuhi kebutuhan pokok, tetapi
mereka mempunyai ketahanan untuk hidup karena modal sosial yang ada di
119 desa mendukung mereka untuk survive terutama dari kerabat dan teman
yaitu berupa dukungan bantuan permodalan untuk mengembangkan usaha
mikro.
3. Pengetahuan lokal; PKRT usaha mikro di Desa Sekarwangi memiliki
pengetahuan lokal atau indigenous knowledge yang merupakan pemahaman
PKRT untuk mengetahui kapan usahanya banyak pembeli dan kapan sepi
pembeli. Mereka dapat memprediksi berapa modal yang diperlukan untuk
memperbanyak jenis barang yang akan dijualnya dan kapan meminimalisir
jumlah barang yang dijualnya terutama barang-barang berupa makanan yang
mempunyai batas kadaluwarsa.
Potensi sumber yang berasal dari luar atau lingkungan (external
resources) diantaranya:
1. Program pembangunan masyarakat
Program pembangunan masyarakat yang ada di Desa Sekarwangi
Kecamatan Katapang seperti Program P2KP dan UP2K-PKK dapat
dimanfaatkan untuk memecahkan masalah yang dialami oleh PKRT terutama
dalam memperoleh akses terhadap permodalan.
2. Kelembagaan formal dan informal
Kelembagaan yang ada di desa Sekarwangi dapat digunakan untuk
mendukung dan mengembangkan usaha mikro yang dikelola oleh PKRT.
Kelembagaan itu bisa berupa kelembagaan formal dan informal seperti
keluarga, pameran, kelompok arisan, rentenir, media informasi, PKK,
BUMDES, Pemda. Faktor-faktor pendukung yang dapat digunakan PKRT
usaha mikro untuk memperoleh akses dari kelembagaan itu adalah informasi
tentang produk, harga, keberadaan desa, kepercayaan/trust dan perolehan
kredit. Hubungan kelembagaan dapat menjadi jejaring sosial yang dapat
mengembangkan usaha mikro yang dikelola oleh PKRT.
120 7.3. Tahap Pendayagunaan Sumber-sumber Lokal
Kegiatan pendayagunaan sumber-sumber lokal untuk pemberdayaan
PKRT usaha mikro didasarkan pada pengembangan jejaring artinya setiap
program memerlukan jejaring atau hubungan antar kelembagaan agar terjadi
sinergitas dan muncul trust diantara masyarakat terutama PKRT usaha mikro,
pemerintah dan lembaga swasta.
Pendayagunaan sumber-sumber lokal diantaranya adalah meningkatkan
hubungan kelembagaan yang berada di dalam maupun di luar komunitas agar
jejaring sosial masyarakat Desa Sekarwangi meningkat dari Quadran 4 yaitu
“Masyarakat Desa yang Miskin” ke Quadran 1 yaitu “Anggota Program Kredit
yang Sukses”. Kriteria agar hubungan intra dan luar komunitas tinggi adalah
adanya pola relasi/hubungan yang bagus antara individu, komunitas maupun
dengan kelembagaan. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi kelembagaan yang dapat mendukung program
pemberdayaan PKRT usaha mikro di Desa Sekarwangi Kecamatan
Katapang.
2. Melakukan analisis stakeholder yang diperlukan untuk mengetahui
kelembagaan yang mempunyai potensi untuk meningkatkan akses dan
kontrol PKRT usaha mikro.
3. Jejaring yang dibangun bersifat setara, transparan, jujus, integrasi dan
dedikasi untuk mencapai tujuan bersama.
4. Memberikan kepercayaan bagi PKRT usaha mikro untuk membentuk
kelompok dan mengelola program dan kegiatan yang ada untuk
meningkatkan akses dan kontrol mereka.
Jejaring sosial dalam proses pemberdayaan ini adalah sebagai berikut:
121
Gambar 9. Jejaring Sosial Pemberdayaan PKRT Usaha Mikro di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang Tahun 2005
Gambar 9 menjelaskan bahwa perlu ada jejaring kelembagaan untuk
memecahkan masalah yang dialami oleh PKRT yang mengelola usaha mikro.
Adanya kebijakan dari aparat desa untuk mengelola program pengembangan
usaha mikro yang dikelola oleh PKRT berdasarkan kesetaraan dan keadilan
gender dapat meningkatkan taraf kesejahteraan PKRT sehingga kebutuhan
strategisnya dapat dicapai yaitu peningkatan status dan perekonomian mereka.
Adanya peran pemerintah daerah dan kelembagaan dalam komunitas dapat
membantu memecahkan permasalahan yang dialami oleh PKRT usaha mikro.
Warga masyarakat sebagai konsumen dapat memberikan peluang kepada PKRT
untuk maju dan mengembangkan dirinya dengan tidak menganggap mereka
adalah pencari nafkah tambahan.
Pada tahap pendayagunaan sumber untuk program pemberdayaan bagi
PKRT melalui pengembangan jejaring sosial tidak terlepas dari peran
stakeholder. Analisis stakeholder diperlukan untuk melihat peran stakeholder dan
sejauhmana fungsinya dalam program pemberdayaan bagi PKRT usaha mikro di
Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang. Daftar Stakeholder dapat dilihat pada
Tabel 29. berikut ini:
BUMDES, P2KP, UP2K-PKK, TEMAN, KELOMPOK ARISAN, RENTENIR,
KELUARGA, PERBANKAN
PKRT USAHA MIKRO
Aparat Pemerintah Prop/Kab/Kec,
BK3S, K3S
WARGA MASYARAKAT (KONSUMEN),
PASAR
Aparat Desa, BPD,
LKMD, PKK.
122 Tabel 29. Daftar Stakeholder untuk pemberdayaan PKRT Usaha Mikro di Desa
Sekarwangi Kecamatan Katapang Tahun 2005
SEKTOR PUBLIK SEKTOR SWASTA SEKTOR SWADAYA MASYARAKAT
- Badan Pemberdayaan Masyarakat Daerah (BPMD) Propinsi Jabar.
- Badan Perencanaan Daerah (Bapeda) Kab. Bdg
- Bagian Perekonomian Setda
- Bagian Pemberdayaan Perempuan Dinas Kesejahteraan Sosial Kab. Bdg.
- Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kab. Bdg
- Dinas Koperasi (Diskop) Kab. Bdg
- Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kab. Bdg.
- Pemerintahan desa/kec.
- Tim Penggerak PKK Desa
- Bank Perkreditan Rakyat (BPR)/Bank Negara Indonesia (BNI)
- Badan Usaha Milik Desa
- Badan Koordinator Kegiatan Kesos (BK3S)
- Koordinator Kegiatan Kesos (K3S)
- Usahawan
- Pusat Studi Wanita (PSW)
- PKRT Usaha Mikro
- Tokoh adat
- Ulama
- Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM).
- Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM).
- Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
- Organisasi Sosial
- Komunitas
Sumber: Hasil Peneltian 2005
Daftar stakeholder pada Tabel 29. terdiri dari sektor publik yang menjadi
perumus kebijakan, sektor swasta yang menjadi pendukung kegiatan dan sektor
swadaya masyarakat sebagai aktor utama pelaksana kegiatan. Ketiganya dapat
menjadi shareholder dalam menunjang terlaksananya kegiatan. Sektor publik
dan swasta dipilah menurut tingkat kepentingan mereka yang terkait dengan
masalah dan kebutuhan PKRT usaha mikro, mulai dari kegiatan pemberdayaan
perempuan sampai dengan pemberdayaan usaha mikro. Daftar stakeholder
diperlukan untuk menjalin jejaring sosial yang dibutuhkan untuk mengatasi
masalah ketidakadilan gender pada PKRT usaha mikro. Para stakeholder ini
kemudian dianalisis menurut kepentingan dan kebutuhannya. Analisis
stakeholder dapat dilihat pada Tabel 30. berikut ini:
123 Tabel 30. Analisis Stakeholder untuk Pemberdayaan PKRT Usaha Mikro di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang Tahun 2005
Stakeholder Hubungan Proyek – S Hubungan S – Proyek Kebutuhan (S) Tujuan Umum (S) Evaluasi Strategi
Support/hindari Pemda Fasilitasi Penerapan Kebijakan Anggaran Terbatas Memberdayakan masyarakat XXXX Potensi TP PKK Kab Fasilitasi Pembina Wilayah Kemandirian,
swadaya Swadaya XX Potensi
Kecamatan Fasilitasi Pembina Wilayah Proyek berkembang
Percontohan XXX Potensi
Pemdes Fasilitasi Pembina PKK Ada kegiatan Sukses XXXX Potensi TP PKK Desa Penentuan Kelompok
penerima dana Pengelola Anggaran UP2K-PKK Dilaksanakan Dana kembali XXX Potensi
BPR/BNI Pendukung kegiatan Pendukung dana Menambah nasabah
Memperluas usaha perbankan
XX Potensi
BUMDES Pendukung kegiatan Pendukung dana Program berjalan Membantu masyarakat XXX Potensi BK3S/K3S Pendukung kegiatan Pendukung dana dan kegiatan Program berjalan Memberdayakan masyarakat XXX Potensi Usahawan Pendukung kegiatan Pendukung pemasaran Produksi lancar Memperluas usaha XXX Potensi Pusat Studi Wanita Fasilitasi pemberdayaan
perempuan Pemberi informasi tentang
kesetaraan dan keadilan gender PenyadaranKKG KKG XXXX Potensi
Organisasi Sosial Fasilitasi tempat Membantu masyarakat Dukungan masyarakat
Membantu masyarakat XXXX Potensi
LSM Fasilitator masyarakat Pendamping kegiatan Mendapatkan kegiatan
Program berjalan lancar XXXX Potensi
Tokoh Adat Pemberi informasi Tokoh yang disegani Didengarkan Mensukseskan program pemerintah
XXXX Potensi
Ulama Pemberi informasi Tokoh yang disegani Dakwah Pengembalian pinjaman lancar
XXXX Potensi
BKM/UPK Penentuan KSM Penentuan KSM Laporan Keuangan Dana Bergulir XXX Potensi KSM Koordinator kelompok Pengelola penagihan dalam
kelompok Pembayaran cicilan
lancar Tagihan lancar XXXX Potensi
PKRT Usaha Mikro Tidak semua Penerima Dana Dapat bantuan untuk modal
Bantuan modal sesuai kebutuhan
XXXX Potensi
Komunitas Yang dapat bantuan orang kaya
Penerima Dana Bergulir Ada bantuan untuk usaha
Ada bantuan untuk usaha XX Potensi
Keterangan: Stakeholder : Orang atau lembaga yang berkompeten untuk terlibat dalam proses pemberdayaan PKRT usaha mikro di Desa Sekarwangi. Hubungan Proyek – S : Hubungan Proyek dengan stakeholder. Hubungan S – Proyek : Hubungan stakeholder terhadap proyek. Kebutuhan (S) : Kebutuhan stakeholder. Tujuan Umum (S) : Tujuan stakeholder. X : Menunjukkan kapasitas evaluasi dari masing-masing stakeholder. Strategi Support/hindari : Menunjukkan dukungan terhadap program pemberdayaan PKRT usaha mikro.
124 Data pada Tabel 30. menunjukkan bahwa stakeholder yang berperan
adalah dari Pemda, lembaga PKK, Lembaga Desa dan Kelompok Usaha dan
swasta yaitu Perbankan, Organisasi Sosial, BUMDES, Usahawan, Pusat Studi
Wanita (PSW), BKM dalam program P2KP dan UP2K-PKK. Pihak Pemda
berperan sebagai fasilitator program dan kegiatan serta sebagai lembaga dana,
lembaga swasta sebagai pendamping dan pemantau, lembaga desa sebagai
pengolah data dan program desa serta masyarakat sendiri terutama PKRT
sebagai aktor utama. Kerjasama ini membentuk tiga komponen utama strategi
pengembangan masyarakat.
Keinginan dari masing-masing stakeholder adalah kemajuan program dan
dana tersebut dapat berkembang, sehingga dapat bergulir dan dapat dirasakan
oleh seluruh masyarakat yang membutuhkan. Evaluasi tertinggi diharapkan
berasal dari Pemda, Pemdes, Pengurus UP2K-PKK, Ketua KSM dan PKRT
usaha mikro.
7.4. Tahap Penyusunan dan Pengusulan Rencana
7.4.1. Penyusunan Tujuan
Penyusunan rancangan program pemberdayaan perempuan kepala
rumahtangga yang mengelola usaha mikro tidak terlepas dari perumusan tujuan
yang akan dicapai untuk mengembangkan usaha tersebut. Perumusan tujuan
terdiri dari tujuan umum dan tujuan khusus.
1. Tujuan Umum
Tujuan Umum yang akan dicapai dalam upaya pemberdayaan PKRT
usaha mikro adalah “Terwujudnya kesetaraan dan keadilan Gender terhadap
PKRT dalam mengembangkan akses dan jejaring sosial usaha mikro di Desa
Sekarwangi Kecamatan Katapang. “
Tujuan umum itu mengandung arti bahwa pemberdayaan PKRT usaha
mikro diarahkan untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender dengan
mengembangkan jejaring sosial yang ada di Desa Sekarwangi Kecamatan
Katapang. Kesetaraan dan keadilan gender mengandung arti bahwa PKRT
usaha mikro memperoleh akses untuk mengembangkan usahanya dan
125 mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan dalam menentukan hal
yang terbaik bagi dirinya dan terutama untuk mengembangkan usaha mikronya.
2. Tujuan khusus
Tujuan Khusus yang akan dicapai dalam pemberdayaan PKRT usaha
mikro berdasarkan prioritas sebab dan akar masalah yang akan dipecahkan
adalah:
a. Meningkatkan akses dan kontrol terhadap permodalan
PKRT memperoleh akses terhadap permodalan dengan melibatkan
kelembagaan yang ada di dalam maupun di luar komunitas Desa Sekarwangi
baik formal maupun informal untuk mendukung usaha mikro yang dikelolanya.
Mereka juga mempunyai kontrol untuk mengambil keputusan apakah
permodalan tersebut dapat memberikan manfaat bagi usahanya tanpa
dipengaruhi oleh pihak lain.
b. Meningkatkan akses dan kontrol terhadap pemasaran
PKRT usaha mikro memperoleh akses terhadap pemasaran dengan
memberikan kesempatan kepada perempuan untuk bekerja dan tidak memiliki
beban ganda. Hal tersebut perlu dilakukan agar persediaan barang selalu ada
untuk mempermudah proses pemasaran.
c. Meningkatkan akses dan kontrol PKRT terhadap P2KP dan UP2K-PKK
PKRT usaha mikro dilibatkan dalam siklus perencanaan, pelaksanaan dan
evaluasi program dan kegiatan yang ada di desa, sehingga suara dan kebutuhan
mereka didengar dan dapat dijadikan dasar untuk membuat bahan kebijakan
tindak lanjut. Hal tersebut diperlukan untuk menampung aspirasi PKRT sebagai
subyek dan bukan sebagai obyek pembangunan, sehingga mereka bisa eksis
dalam komunitas.
d. Meningkatkan akses dan kontrol pengetahuan dan keterampilan
Pengetahuan dan keterampilan PKRT usaha mikro perlu ditingkatkan untuk
menambah wawasan berusaha bagi mereka. Mereka bisa memanfaatkan waktu
luang dan diisi dengan kegiatan yang dapat meningkatkan usaha mereka, seperti
engisi waktu luang selama menunggu warung dengan menyulan atau menerima
pesanan menjahit pakaian atau makloon.
126 7.4.2. Penyusunan Rancangan Program
Penyusunan rancangan program dilakukan dengan cara melihat bentuk
kegiatan yang bersifat langsung ataupun tidak langsung. Program dan kegiatan
yang bersifat langsung yaitu yang berkaitan langsung dengan program
pemberdayaan PKRT usaha mikro melalui pengembangan jejaring sosial.
Program dan kegiatan yang bersifat tidak langsung yaitu memberikan masukan
bagi pemegang kebijakan tentang pentingnya program pemberdayaan bagi
PKRT usaha mikro untuk memajukan usaha mereka dengan mengembangkan
akses dan kontrol mereka terhadap kelembagaan yang ada di dalam ataupun di
luar komunitas.
Penyusunan rancangan program tidak terlepas dari adanya analisis
terhadap pengembangan jejaring sosial terhadap usaha mikro yang dikelola oleh
PKRT di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang dikaitkan dengan ketidakadilan
gender yang ada dalam komunitas dan manfaat yang dapat dirasakan oleh
PKRT usaha mikro.
Tabel 31. Analisis Pengembangan Jejaring Sosial terhadap PKRT Usaha Mikro di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang Tahun 2005
Ketidakadilan
Gender Jejaring Sosial Tujuan Manfaat bagi PKRT
Usaha Mikro
Subordinasi dan marjinalisasi PKRT Usaha Mikro
Sektor Publik: BPMD Prop, Dinkesos, TP PKK Sektor Swasta: PSW Sektor Swadaya Masy: PKRT Usaha mikro, tokoh adat, ulama.
Meminimalisir Ketidakadilan Gender
Mampu mengambil keputusan dan mandiri
Akses dan kontrol PKRT usaha mikro terhadap program P2KP dan UP2K-PKK terbatas
Sektor Publik: Bapeda, aparat desa Sektor Swasta: usahawan. Sektor Swadaya Masy: PKRT Usaha mikro, LSM, BKM, komunitas, tokoh adat, ulama.
Meningkatkan akses dan kontrol PKRT terhadap program P2KP dan UP2K-PKK
Permasalahan PKRT Usaha Mikro diperhatikan
Akses dan kontrol terhadap permodalan terbatas
Sektor Publik: Dinkesos, TP PKK Sektor Swasta: BK3S, K3S, BUMDES, BNI/BPR, Sektor Swadaya Masy: PKRT Usaha mikro, tokoh adat, ulama.
Meningkatkan akses dan kontrol permodalan
Kesempatan untuk memperoleh modal dengan terlibat dalam kelembagaan formal dan informal
127 Akses dan kontrol terhadap pengetahuan dan keterampilan terbatas
Sektor Publik: Dinkesos, TP PKK Sektor Swasta: Orsos Sektor Swadaya Masy: PKRT Usaha Mikro, komunitas.
Meningkatkan akses dan kontrol terhadap pengetahuan dan keterampilan
Kesempatan menambah pengetahuan dan keterampilan untuk mengembangkan usaha mikro
Akses dan kontrol pemasaran terbatas
Sektor Publik: Disperindag, Diskop, Bagian Ekonomi Setda, Aparat Desa, TP PKK Sektor Swasta: Usahawan SektorSwadaya Masy: PKRT Usaha mikro, komunitas.
Meningkatkan akses dan kontrol terhadap pemasaran
Kesempatan memperluas jaringan pemasaran
Data pada Tabel 31. menunjukkan bahwa jejaring sosial merupakan entry
point untuk melaksanakan program dan kegiatan untuk meminimalisir
ketidakadilan gender yang terjadi di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang.
Adanya manfaat yang dirasakan oleh PKRT usaha mikro sesuai dengan tujuan
program dan kegiatan dapat menumbuhkan swadaya dan kemandirian bagi
komunitas terutama bagi PKRT usaha mikro. Jejaring sosial melibatkan tiga
komponen utama dalam komunitas yaitu sektor publik, swasta dan komunitas itu
sendiri agar kegiatan pengembangan masyarakat dapat berkesinambungan.
Program pemberdayaan bagi PKRT usaha mikro melalui pengembangan
jejaring sosial adalah sebagai berikut:
1. Pengembangan Jejaring Sosial untuk Pemberdayaan perempuan kepala
rumahtangga (PKRT) usaha mikro
Program pemberdayaan perempuan merupakan suatu program untuk
meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap posisi PKRT
terutama PKRT yang mengelola usaha mikro. Ketidakadilan gender yang terjadi
dapat diminimalisir berdasarkan fakta dan data yang ada di lapangan. Program
pemberdayaan bagi PKRT ini berupaya untuk meningkatkan posisi tawar
perempuan kepala rumahtangga dalam masyarakat agar suara dan kebutuhan
mereka dapat ditindaklanjuti dalam bentuk program pengembangan masyarakat.
Kegiatan yang perlu dilaksanakan dalam program pemberdayaan PKRT usaha
mikro ini adalah:
128 a. Pemberian kesempatan bagi PKRT untuk aktif dalam forum desa
Pemberian kesempatan bagi PKRT untuk aktif dalam Forum Desa
merupakan suatu bentuk kegiatan untuk memperluas akses dan kontrol
perempuan terutama PKRT usaha mikro agar terlibat dalam perumusan masalah
pembuatan program pengembangan masyarakat yang ada di Desa Sekarwangi.
Pendekatan kepada PKRT usaha mikro perlu dilakukan untuk menjaring aspirasi,
kebutuhan dan permasalahan mereka agar kegiatan pengembangan masyarakat
yang dilaksanakan sesuai dengan masalah dan kebutuhan mereka.
b. Penyadaran Gender
Penyadaran Gender merupakan kegiatan pengenalan kesetaraan dan
keadilan gender dalam setiap program kegiatan pembangunan dan pemberian
informasi tentang isu ketidakadilan gender yang terjadi dalam program
pembangunan masyarakat yang ada di desa Sekarwangi.
c. Pembentukan Forum Perempuan
Pembentukan Forum Perempuan merupakan suatu bentuk kegiatan untuk
menampung aspirasi perempuan yang difasilitasi oleh Bidang Pemberdayaan
Perempuan. Forum ini diupayakan menjadi suatu forum pelayanan konsultasi
bagi PKRT usaha mikro yang mengalami ketidakadilan gender seperti tindak
kekerasan.
d. Pembentukan Kelompok Bermain Anak
Kegiatan ini berupaya untuk mengatasi masalah perempuan kepala
rumahtangga usaha mikro yang mengalami hambatan dalam pengembangan diri
disebabkan peran ganda dalam rumahtangga. Bentuk kegiatan yang dilakukan
adalah dengan membentuk lembaga penitipan anak, Ibu yang bekerja
mengalami kesulitan dalam hal pengasuhan anak apalagi bagi seorang PKRT
yang mengelola usaha mikro. Lembaga ini diharapkan dapat memberikan
pelayanan kesejahteraan anak, sehingga terjamin tumbuh kembang anak
dengan baik seperti anak-anak seusianya.
129 2. Pengembangan Jejaring Usaha Mikro
Program pengembangan jejaring usaha mikro diupayakan untuk
menjamin kelangsungan usaha mikro yang dijalankan oleh PKRT. Kegiatan ini
perlu dilakukan secara berkelompok dengan melibatkan berbagai stakeholder
dalam pelaksanaannya. Bentuk kegiatan yang dilakukan adalah:
a. Pengelolaan Tabungan Bersama
Pengelolaan tabungan secara berkelompok merupakan suatu kegiatan
untuk memelihara kelangsungan permodalan. Suntikan dana diberikan untuk
menambah permodalan usaha mikro yang dikelola oleh PKRT, kemudian dana
tersebut dikelola secara bergulir dan diupayakan mereka dapat menyisakan
sedikit penghasilannya untu k tabungan. Pengelolaan tabungan secara
berkelompok diharapkan dapat membuat PKRT usaha mikro mempunyai rasa
tanggung jawab bersama dan mandiri dalam mengelola modal usaha.
b. Pendidikan dan Pelatihan Keterampilan usaha bagi PKRT
Pendidikan dan pelatihan keterampilan usaha bagi PKRT merupakan
upaya untuk meningkatkan keterampilan bagi PKRT usaha mikro agar mereka
dapat menambah wawasan jenis usaha yang berdampak pada semakin
meluasnya akses mereka terhadap sumberdaya. Pelatihan keterampilan yang
diberikan dapat berupa keterampilan memasak, menjahit, kecantikan dan
sebagainya yang dapat bermanfaat untuk memperluas wahana usaha bagi
PKRT usaha mikro.
c. Pendidikan dan Pelatihan tentang Perkoperasian
Pendidikan dan pelatihan tentang perkoperasian merupakan suatu bentuk
kegiatan agar warga masyarakat terutama PKRT usaha mikro dapat
meningkatkan pengetahuan dan pemahaman mereka tentang tata cara simpan
pinjam sebagai kelanjutan dari kegiatan pengelolaan tabungan bersama.
Kegiatan ini juga berupaya untuk memberikan pemahaman kepada warga
masyarakat terutama PKRT usaha mikro agar mereka dapat bekerjasama dalam
masyarakat.
130 d. Perluasan jejaring sosial untuk menggalang permodalan
Kegiatan perluasan jejaring sosial untuk menggalang permodalan
diperlukan agar PKRT usaha mikro mempunyai akses yang lebih luas terhadap
sumberdaya di dalam dan diluar komunitas. Jejaring ini mencakup hubungan
kelembagaan yang terjalin dengan baik, sehingga muncul kepercayaan untuk
memberikan bantuan modal kepada PKRT yang mengelola usaha mikro.
e. Mengikuti Pameran
Kegiatan perluasan jejaring kerja pemasaran merupakan upaya untuk
memperluas akses dan kontrol PKRT usaha mikro untuk memasarkan hasil
usahanya yang tidak terbatas dalam komunitas saja, tetapi dapat berkembang di
luar komunitas. Bentuk nyatanya adalah mengikutsertakan hasil kerjainan PKRT
usaha mikro dalam pameran-pameran industri.
131 Tabel 32. Rancangan Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Rumahtangga melalui Pengembangan Jejaring Sosial
(Kasus Usaha Mikro di desa Sekarwangi Kecamatan Katapang Kabupaten Bandung Propinsi Jawa Barat)
TUJUAN INDIKATOR KINERJA PROGRAM KEGIATAN WAKTU PENYANDANG DANA
Meminimalisir Isu Ketidakadilan Gender
Meningkatnya pemahaman warga masyarakat tentang kesetaraan dan keadilan gender.
1. Penyadaran Gender 1 bulan Bagian Pemberdayaan Perempuan
Meningkatkan akses dan kontrol PKRT terhadap program P2KP dan UP2K-PKK
Meningkatnya peran serta PKRT dalam kegiatan forum desa.
2. Pemberian kesempatan bagi PKRT untuk aktif dalam forum desa
3 bulan Komunitas desa Sekarwangi
Meningkatkan partisipasi perempuan
Tersedianya wadah bagi perempuan untuk menyalurjkan aspirasi dan permasalahannya.
3. Pembentukan Forum Perempuan
3 bulan Komunitas desa Sekarwangi – Bagian PP
Berkurangnya beban kerja
Tersedianya pelayanan kesejahteraan sosial bagi anak yang ibunya bekerja.
1. Pengembangan Jejaring sosial untuk Pemberdayaan Perempuan Kepala Rumahtangga Usaha Mikro
4. Pembentukan Kelompok Bermain Anak
3 bulan Komunitas desa Sekarwangi - Dinkesos
Meningkatkan akses dan kontrol permodalan
Meningkatnya kemandirian dan swadaya masyarakat dalam mengelola permodalan.
1. Pengelolaan tabungan secara kelompok
3 bulan Shareholder, PKRT Usaha Mikro
Meningkatnya pengetahuan dan keterampilan PKRT usaha mikro.
2. Pendidikan dan Pelatihan Keterampilan usaha bagi PKRT
3 bulan TP PKK Desa Sekarwangi Meningkatkan akses dan kontrol terhadap pengetahuan dan keterampilan Meningkatnya pemahaman
tentang tata cara pengelolaan perkoperasian.
3. Pendidikan dan Pelatihan tentang Perkoperasian
1 minggu Dinas Koperasi Kab. Bdg
Meningkatkan akses dan kontrol terhadap dana potensial dalam komunitas
Meningkatnya hubungan antar kelembagaan untuk menjaring sumberdaya permodalan bagi PKRT usaha mikro.
4. Perluasan jejaring sosial untuk menggalang permodalan
3 bulan Shareholder
Meningkatkan akses dan kontrol terhadap pemasaran
Meningkatnya jaringan pemasaran bagi PKRT usaha mikro.
2. Pengembangan Jejaring Usaha Mikro
5. Perluasan jejaring kerja pemasaran
2 minggu Shareholder
132 7.4.3. Pelaksanaan Program
Kerangka pelaksanaan program perlu diuraikan untuk menentukan
langkah-langkah kegiatan yang diperlukan dalam memberdayakan PKRT usaha
mikro. Kerangka tersebut adalah sebagai berikut:
Tabel 33. Kerangka Pelaksanaan Kegiatan PKRT Usaha Mikro di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang Tahun 2005
No. NAMA KEGIATAN LANGKAH-LANGKAH PENANGGUNG
JAWAB
1. Pemberian kesempatan bagi PKRT untuk aktif dalam forum desa
a. Mengikutsertakan PKRT usaha mikro dalam rapat-rapat rutin PKK dan melibatkannya dalam mengambil keputusan.
b. Mengikutsertakan PKRT usaha mikro dalam kegiatan pembangunan desa.
c. Melibatkan PKRT usaha mikro dalam kepengurusan desa.
Aparat Desa, TP PKK desa.
2. Penyadaran Gender
a. Pengalokasian anggaran. b. Menghubungi pihak terkait untuk
pelaksanaan kegiatan. c. Penyiapan materi. d. Pelaksanaan kegiatan.
Dinkesos
3. Pembentukan Forum Perempuan
a. Pengalokasian anggaran. b. Menghubungi pihak terkait untuk
pelaksanaan kegiatan. c. Mengadakan pertemuan-pertemuan. d. Brainstorming masalah dan kebutuhan
perempuan terutama PKRT usaha mikro. e. Pembentukan Forum Perempuan. f. Pelaksanaan kegiatankegiatan untuk
pemberdayaan perempuan.
Komunitas
4. Pembentukan Kelompok Bermain Anak
a. Pengalokasian anggaran. b. Menghubungi pihak terkait untuk
pelaksanaan kegiatan. c. Pengembangan dari kegiatan PADU
(Pendidikan Anak Usia Dini) yang ada dalam komunitas sebagai tempat untuk penitipan anak dalam bentuk kelompok bermain.
Komunitas
5. Pengelolaan Tabungan Bersama
a. Pendataan PKRT Usaha Mikro. b. Pembuatan proposal anggaran yang
diperlukan. c. Menghubungi stakeholder. d. Pembentukan kelompok berdasarkan jenis
usaha. e. Pengelolaan dana dengan cara dipinjam
dan dengan bunga ringan serta ada penyisihan hasil usaha untuk tabungan.
PKRT Usaha MIkro
6. Pendidikan dan Pelatihan Keterampilan usaha bagi PKRT
a. Pendataan PKRT Usaha Mikro. b. Pengalokasian anggaran. c. Menghubungi stakeholder. b. Pelaksanaan kegiatan.
Stakeholder
7. Pendidikan dan Pelatihan tentang Perkoperasian
a. Pendataan PKRT Usaha Mikro. b. Pengalokasian anggaran. c. Menghubungi stakeholder. d. Pelaksanaan kegiatan.
Stakeholder
133 8. Perluasan jejaring
sosial untuk menggalang permodalan
a. Mendata Stakeholder dan Shareholder. b. Pembuatan proposal rencana kegiatan
Komunitas
9. Mengikuti Pameran
a. Pendataan PKRT Usaha Mikro. b. Mengikutsertakan PKRT usaha mikro
dalam kegiatan pameran. c. Pelaksanaan kegiatan.
Komunitas
BAB VIII
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN
8.1. Kesimpulan
Kesimpulan dari hasil kajian pemberdayaan perempuan kepala
rumahtangga yang mengelola usaha mikro melalui pengambangan jejaring sosial
di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang adalah sebagai berikut:
1. Perempuan kepala rumahtangga yang mengelola usaha mikro adalah
mereka yang berada pada lapisan KS1 dan Pra KS yang mempunyai
tanggung jawab sebagai penopang nafkah keluarga, karena mereka sudah
tidak mempunyai pasangan hidup atau suami mereka menganggur sebagai
akibat dari PHK. Jejaring usaha mikro yang ada di Desa Sekarwangi masih
terbatas pada hubungan dalam atau intra komunitas artinya PKRT usaha
mikro dalam mengatasi masalah permodalan mengandalkan pinjaman dari
rentenir. Hubungan kelembagaan dengan Luar Komunitas masih terbatas
artinya PKRT usaha mikro masih memiliki keterbatasan dalam melakukan
hubungan dengan kelembagan di luar komunitas.
2. Program pembangunan yang ada di Desa Sekarwangi yang berasal dari
Pemerintah seperti P2KP dan UP2K-PKK belum dapat diakses secara
maksimal oleh PKRT usaha mikro. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah
PKRT yang menerima bantuan tersebut terbatas dan ternyata masih banyak
yang belum dapat mengakses bantuan tersebut. Program P2KP belum dapat
mengembangkan ekonomi lokal karena usaha yang dirintis masih baru dan
dana tersebut banyak dimanfaatkan oleh elit masyarakat. Adanya isu dana
hibah menyebabkan pengguliran dana P2KP terhenti. Partisipasi masyarakat
dalam program P2KP dan UP2K-PKK belum dapat memunculkan swadaya
masyarakat untuk bertanggung jawab bersama-sama mengelola dana
tersebut secara berkesinambungan. Kedua program belum dapat memenuhi
kebutuhan praktis dan strategis gender karena hasil usaha habis digunakan
untuk membayar hutang ke rentenir dan untuk memnuhi kebutuhan hidup
sehari-hari.
135 3. Akses dan kontrol PKRT usaha mikro terhadap sumberdaya seperti seperti
pemanfaatan peralatan atau teknologi, pendidikan dan pelatihan serta
lembaga formal masih terbatas. Pembagian kerja PKRT usaha mikro masih
lebih dominan pada pekerjaan reproduktif. Pekerjaan produktif masih terbatas
pada usaha warungan yang dikelolanya. Adanya ketidakadilan gender bahwa
PKRT hanya sebagai pencari nafkah tambahan dan gerak langkah PKRT
usaha mikro hanya dalam lingkup rumahtangga saja membuat PKRT usaha
mikro sulit mencapai akses dan kontrol terutama terhadap kredit dan
pinjaman dari program pembangunan masyarakat di Desa Sekarwangi.
4. Upaya yang perlu dilakukan untuk memberdayakan PKRT usaha mikro
adalah dengan mengembangkan jejaring sosial baik dengan kelembagaan di
dalam maupun di luar komunitas mengenai informasi harga dan produk,
keberadaan desa, kepercayaan/trust, kredit dan perangkat publik dan sumber
potensi masyarakat. Tujuan umum program pemberdayaan PKRT usaha
mikro adalah terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender terhadap PKRT
dalam mengembangkan akses dan jejaring sosial usaha mikro di Desa
Sekarwangi Kecamatan Katapang, sedangkan tujuan khususnya adalah
meningkatkan akses dan kontrol terhadap permodalan, pemasaran, program
P2KP dan UP2K-PKK, serta meningkatkan akses dan kontrol terhadap
pengetahuan dan keterampilan. Rancangan program yang disusun untuk
memberdayakan PKRT usaha mikro adalah:
a. Program Pengembangan Jejaring Sosial untuk Pemberdayaan
Perempuan Kepala Rumahtangga Usaha Mikro dengan kegiatannya yaitu
penyadaran gender, pemberian kesempatan bagi PKRT untuk aktif dalam
forum desa, pembentukan forum perempuan dan pembentukan kelompok
bermain anak.
b. Program Pengembangan Jejaring Usaha Mikro, kegiatannya adalah
pengelolaan tabungan secara kelompok, pendidikan dan pelatihan
keterampilan usaha bagi PKRT, pendidikan dan pelatihan tentang
perkoperasian, perluasan jejaring sosial untuk menggalang permodalan
dan perluasan jejaring kerja pemasaran.
136 8.2. Rekomendasi Kebijakan
Program-program pengembangan masyarakat yang telah disusun secara
partisipatif untuk memberdayakan PKRT usaha mikro perlu ditindaklanjuti
dengan memberikan rekomendasi kepada pihak-pihak yang terkait dengan
kajian. Rekomendasi diberikan kepada Pemerintah Daerah, Pemerintah Desa
Sekarwangi dan TP PKK Desa Sekarwangi.
8.2.1. Rekomendasi Kebijakan kepada Pemerintah Daerah
Rekomendasi yang diberikan kepada pemerintah daerah adalah:
1. Analisis Gender diperlukan untuk mengetahui masalah dan kebutuhan
perempuan terutama bagi PKRT usaha mikro, sehingga perlu kiranya
dilakukan kegiatan analisis gender pada setiap tahun anggaran. Analisis
gender dipergunakan untuk melihat isu ketidakadilan gender yang terjadi
dalam masyarakat, sehingga program dan kegiatan yang disusun sesuai
dengan masalah dan kebutuhan gender.
2. Kesetaraan dan keadilan gender diperlukan dalam setiap kegiatan
pembangunan sebagai pengarusutamaan gender, sehingga tidak ada satu
orangpun yang tersisih dan mengalami keterpinggiran dalam memanfaatkan
program pengembangan masyarakat.
3. Tanggap dan sensitif terhadap kebutuhan PKRT usaha mikro, terutama
dalam memperoleh akses terhadap permodalan dan pemasaran dengan
meningkatkan jejaring sosial yaitu mengembangkan hubungan kelembagaan
yang ada di dalam dan di luar komunitas.
4. Meningkatkan swadaya masyarakat agar mereka dapat berpartisipatif dalam
program pembangunan, sehingga pembangunan dapat berkesinambungan
dengan cara menjadikan warga masyarakat sebagai subyek pembangunan
dengan memperhatikan kebutuhan dan permasalahan yang dialami mereka.
Langkah-langkahnya adalah dengan memperhatikan data terpilah gender,
melakukan pendekatan kepada masyarakat terutama PKRT usaha mikro untuk
mengetahui masalah dan kebutuhan yang dialami agar program pengembangan
masyarakat sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka. Salah satu cara
untuk mengetahuinya adalah dengan mengadakan penjajagan ke lapangan dan
137 agar program dapat berjalan efektif, maka diperlukan evaluasi program secara
berkesinambungan.
8.2.2. Rekomendasi Kebijakan kepada Pemerintah Desa Sekarwangi
Ujung dari pelaksanaan program pembangunan masyarakat adalah di
tingkat desa. Keberadaan kepemimpinan desa sangat berpengaruh terhadap
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan fisik sebagai prioritas
pembangunan desa memang penting untuk mempermudah transportasi dan
untuk memperoleh kepercayaan dari warga masyarakat, tetapi pemberdayaan
masyarakat tidak boleh diabaikan untuk meningkatkan partisipasi dalam
pembangunan. Apabila tingkat swadaya masyarakat meningkat, maka program
pengembangan masyarakat akan berkesinambungan, karena berkurangnya
tingkat ketergantungan warga masyarakat terhadap pemerintah. Rekomendasi
yang diberikan kepada pemerintah desa adalah:
1. Proses pemberian bantuan ekonomi produktif untuk warga masyarakat
diberikan berdasarkan proses seleksi yang ketat dan ada survey terhadap
usaha mereka. Masyarakat diberikan kesempatan untuk mengajukan
permohonan pinjaman dana sesuai dengan kebutuhannya dan sanggup
untuk mengembalikan dana yang dipinjamnya, sehingga dana tersebut dapat
bergulir dan berkembang.
2. Peningkatan SDM pengelola dana program pembangunan di tingkat desa.
Peningkatan itu dapat dilakukan dengan memberikan kepercayaan pada
generasi muda yang bisa dipercaya untuk mengelola anggaran dan
mengirimkan warga untuk pendidikan dan pelatihan, sehingga program
pembangunan dapat berjalan secara berkesinambungan.
3. Memberikan akses dan kontrol terhadap permodalan dan pemasaran bagi
PKRT usaha mikro. Kerjasama dengan berbagai pihak untuk memperluas
pemasaran hasil usaha sangat diperlukan untuk meningkatkan pendapatan
bagi warga miskin terutama PKRT usaha mikro yang bergerak dibidang home
industry, seperti pada usaha warungan, jahit hias, kerupuk, konveksi, ternak
dan sebagainya.
138 4. Memberikan kesempatan bagi perempuan terutama PKRT usaha mikro untuk
terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program
pembangunan, sehingga masalah mereka dapat diminimalisir, karena
kebutuhan dan permasalahan mereka dipenuhi.
5. Mengembangkan jejaring sosial dengan cara memperluas hubungan
kelembagaan di dalam dan di luar komunitas untuk menggalang sumberdaya
dan memberikan akses dan kontrol bagi PKRT usaha mikro agar dapat
memanfaatkan program pemberdayaan bagi PKRT usaha mikro. Jejaring
kelembagaan yaitu mendayagunakan sumber potensi kelembagaan di desa
seperti BUMDES, P2KP dan UP2K-PKK untuk bersama-sama memecahkan
masalah yang dialami oleh PKRT usaha mikro.
6. Memberikan informasi mengenai tertib administrasi kependudukan seperti
pembuatan KTP untuk melihat statistik kependudukan dan untuk melihat
komposisi gender termasuk di dalamnya pendidikan dan pekerjaan, sehingga
diperoleh informasi aktual untuk dilakukan program pengembangan
masyarakat kepada mereka.
Langkah-langkahnya adalah dengan melibatkan perempuan dalam
pengambilan kebijakan terutama untuk program yang ada kaitannya dengan
usaha mikro yang dimiliki oleh PKRT, mengembangkan jejaring antar
kelembagaan di dalam dan di luar komunitas serta memperhatikan kebutuhan
masyarakat untuk berkelompok dan berwirausaha.
8.2.3. Rekomendasi Kebijakan kepada TP PKK Desa Sekarwangi
Tim Penggerak PKK Desa Sekarwangi secara tidak langsung
mempengaruhi perkembangan usaha mikro yang dikelola oleh PKRT. PKK
sebagai wadah pemberdayaan perempuan di tingkat desa mempunyai peran
yang penting untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga terutama bagi PKRT
usaha mikro. Rekomendasi kebijakan yang diberikan kepada Tim Penggerak
PKK Desa adalah:
1. Memperhatikan kebutuhan dan masalah yang dialami oleh keluarga dan
perempuan terutama PKRT yang mengelola usaha mikro yaitu dalam aspek
lemahnya permodalan, pemasaran, akses terhadap program pembangunan
dan akses terhadap pengetahuan keterampilan.
139 2. Memberikan kesempatan dan peluang bagi PKRT usaha mikro untuk dapat
memanfaatkan program UP2K-PKK dalam menambah permodalan dan
memberikan peluang untuk pemasaran usaha mikro yang dikelola oleh
PKRT.
3. Mendirikan lembaga penitipan anak untuk memberikan pelayanan
kesejahteraan sosial bagi perempuan yang bekerja agar terjamin tumbuh
kembang anak secara wajar sesuai dengan anak-anak seusianya.
Langkah-langkahnya adalah dengan memberikan kesempatan kepada
PKRT usaha mikro agar dapat mengakses program UP2K-PKK untuk
meningkatkan usaha mereka. Menggalang kebersamaan dalam komunitas
terutama bagi Tim Penggerak PKK desa agar bersatu padu memajukan program
dan kegiatan PKK untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga.
8.2.4. Rekomendasi Kebijakan kepada PKRT Usaha Mikro di Desa
Sekarwangi
PKRT usaha miko di Desa Sekarwangi merupakan potensi yang dapat
dikembangkan untuk mendukung perekonomian keluarga. Kerjasama dan
kekompakan perlu dijaga dalam melaksanakan berbagai kegiatan
pengembangan usaha mikro yang dilaksanakan di wilayahnya. Kontrol terhadap
berbagai segi kehidupan perlu diperhatikan untuk mengembangkan jiwa
kewirausahaan secara mandiri.
Langkah-langkahnya adalah dengan berkelompok untuk meningkatkan
kemampuan berwirausaha dengan menggalang permodalan secara bersama-
sama, sehingga usaha mikro yang dijalankan dapat berkembang.
140 DAFTAR PUSTAKA
Achir, Y.C. 1993. Keluarga Sejahtera sebagai Wahana Pengentasan Penduduk dari Ketertinggalan. Warta Demografi.
Adi, Isbandi Rukminto. 2003. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Adimihardja, Kusnaka, Harry Hikmat. 2004. Participatory Research Appraisal dalam Pelaksanaan Pengabdian kepada Masyarakat. Bandung: Humaniora.
Ambardi, Urbanus M. Socia Prihawantoro. 2002. Pengembangan Wilayah dan Otonomi Daerah. Jakarta: Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah BPPT.
Arifin, Haswinar. 2004. Cara Memahami Kerentanan Perempuan Pengusaha Kecil. Dalam Jurnal Analisis Sosial Vol. 9 No. 2 Agustus 2004. Bandung: Akatiga.
Arsyad, Lincoln. 1999. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah. Yogyakarta: BPFE.
Astuti, Mary. 2000. Teknik Participatory Rural Appraisal Berdimensi Gender (Makalah). Yogyakarta: PSW UGM.
Badan Pemberdayaan Masyarakat Daerah (BPMD) Propinsi Jawa Barat. 2005. Pelatihan Analisis Gender dalam Kegiatan Peningkatan dan Pengembangan Pengarusutamaan Gender. Bandung: BPMD.
________. 2005 . Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (pekka). Bandung: BPMD.
Badan Pusat Statistik. 2000. Profil Usaha Kecil dan Menengah Tidak Berbadan Hukum Indonesia. Katalog BPS 1302 Survei usaha Terintegrasi 1998. Jakarta-Indonesia: Badan pusat Statistik.
________. 2000. Profil Usaha Perdagangan Tidak Berbadan Hukum Indonesia . Katalog BPS 8404 Survei Usaha Terintegrasi 2000. Jakarta-Indonesia: Badan Pusat Statistik.
Bromley, D.W. 1993. Common Property as Metaphor: Systems of Knowledge, Resources and Decline of Individualism . Hyderabad: The Common Property Resource Diggest 27. IASCP, Winrock and ICRISAT.
Bryson, John M. 2003. Perencanaan Strategis bagi Organisasi Sosial. Terjemahan oleh M. Miftahuddin. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Cendekia, Ilham. 2002. Metode Fasilitasi; Pembuatan Keputusan Partisipatif. Jakarta: Pattiro.
Chambers, Robert. 1983. Rural Development Putting the Last First. Published by Longman Inc.
________. 1996. PRA: Memahami Desa secara Partisipatif. Diterjemahkan oleh Sukoco Y. Yogyakarta: Yayasan Mitra Tani.
Colleta, Nat J., Michelle L Cullen. 2000. Violent Conflict and the Transformation of Social Capital; Lessons from Cambodia, Rwanda, Guatemala, and Somalia. Washington DC: The World Bank.
Damsar. 2002. Sosiologi Ekonomi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Dewayanti, Ratih. 2003. Strategi Adaptasi Perempuan: Persoalan Ekonomi dan Upaya
141 Pengorganisasian . Jurnal Analisis Sosial Vol. 8 No. 2. Oktober 2003. Bandung: Akatiga.
Deputi II Bidang Kesetaraan Gender. 2002. Panduan Perencanaan Berspektif Gender Edisi 2 (Bahan Informasi Pengarusutamaan Gender). Jakarta: Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI.
Dinas Sosial Propinsi Jawa Barat. 2003. Pemutakhiran Data PMKS, PSKS dan Sasaran Garapan Lainnya tahun 2003. Bandung: DINSOS Prop. Jabar.
Dinas Kesejahteraan Sosial Kabupaten Bandung. 2005. Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) dan Sasaran Lain Kabupaten Bandung Tahun 2004. Bandung: DINKESOS Kab. Bandung.
Dirjen Perumahan dan Permukiman. 2002. Pedoman Umum P2KP . Jakarta: Departemen KIMPRASWIL.
________. 2002. Pedoman Teknis P2KP . Jakarta: Departemen KIMPRASWIL.
Djohani, Rianingsih. 1996. Acuan Penerapan PRA; Berbuat Bersama Berperan Setara. Bandung: Driya Media.
________. 1996. Selipan I: Dimensi Gender dalam Pengembangan Program secara Partisipatif; Buku Saku untuk Petugas Program. Bandung: Driya Media.
Fear, F.A and Schwarzweller, H.K. 1985. Introduction: Rural Sociology, Community and Community Development. In Fear, F.A. and Schwarzweller, H.K (eds). 1985. Research in Rural Sociology and Development, Focus on Community. Greenwich and London: JAI.
Firdaus, M. 2005. Aspek Keadilan Jender pada Lembaga Kredit Mikro dalam Kompas tanggal 7 Maret 2005.
Friedmann, John. 1992. Empowerment: The Politics of Alternative Development. Cambridge, Massachusetts: Blackwell Publishers.
Gabriel, Tom. 1991. The Human Factor in Rural Development. London: Belhaven Press.
Garcia, Manuel B. 1994. Introductory Sociology: A Unified Approach with Accompanying Work Book. Metro Manila, Philippines: National Book Store.
Giddens, Anthony. 2004. The Constitution of Society; Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial. Terjemahan oleh Sujono Adi Loka. Malang: Citra Mentari Group.
Gunardi, Agung., dkk. 2004. Pengantar Pengembangan Masyarakat. Bogor: Departemen Ilmu Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian IPB dan Sekolah Pascasarjana IPB.
Haeruman, Herman Js. Eriyatno. 2001. Kemitraan dalam Pengembangan Ekonomi Lokal. Jakarta: Yayasan Mitra Pembangunan Desa-Kota dan BIC Indonesia.
Handayani, Trisakti., Sugiarti. 2002. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Press.
Harsoyo. 1998. Metode Harvard dan Aplikasinya. Makalah dalam Pelatihan Teknik Analisis Gender. Yogyakarta: Pusat Studi Wanita Universitas Gajah Mada.
________. 1998. Matriks Analisis Gender dan Aplikasinya. Makalah dalam Pelatihan Teknik Analisis Gender. Yogyakarta: Pusat Studi Wanita Universitas Gajah Mada.
Hikmat, Harry. 2004. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Bandung: Humaniora Utama Press.
IASTP II. 1999. Teknik Analisis Gender untuk Pusat Studi Wanita. Batu, Malang.
Ife, Jim. 1995. Community Developmen; Creating Community Alternatives – Vision, Analysis and Practice. Australia: Longman House.
142
Indarwati, Indri. 2004. Peta Sosial Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang Kabupaten Bandung Propinsi Jawa Barat (PL-1). Bandung.
________. 2005. Evaluasi Kegiatan Pengembangan Masyarakat di Desa Sekarwangi Kecamatan Katapang Kabupaten Bandung Propinsi Jawa Barat (PL-2). Bandung.
Iskandar, Jusman., Carolina Nitimihardjo. 1990. Pengantar Penelitian Pekerjaan Sosial. Bandung: An Naba, Perpustakaan SKM Al Ihsan STKS Bandung.
Ismawan, Bambang. 2000. Pemberdayaan Orang Miskin: Refleksi Seorang Pegiat LSM. Jakarta: Puspa Swara.
________. 2003. Peran Lembaga Keuangan Mikro dalam Otonomi Daerah, www.ekonomi rakyat.org/edisi_13/artikel_1.htm.
Israel, Arturo. 1992. Pengembangan Kelembagaan; Pengalaman Proyek-proyek Bank Dunia . Jakarta: LP3ES.
Juoro, Umar. 1999. Mengembangkan Ekonomi Rakyat, www.ekonomirakyat.org/edisi_13/artikel_1.htm.
K. Yin, Robert. 2003. Studi Kasus (Desain dan Metode). Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Kartasasmita, Ginanjar. 1996. Pemberdayaan Masyarakat, Konsep Pembangunan yang berakar pada Masyarakat. Jakarta: Bapenas.
Kementrian PP RI. 2002. Panduan Pelaksanaan Inpres Nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Jakarta.
________. 2004. Kondisi dan Posisi Perempuan Indonesia. Jakarta.
Kompas. Potret Mbak Mar, Potret Ekonomi Perempuan. Tanggal 7 Maret 2005.
________. Yang Takluk pada Nasib: Perempuan (Miskin) Kepala Rumahtangga. Tanggal 7 Maret 2005.
Konsultan Manajemen Wilayah (KMW) Satuan Wilayah Kerja (SWK) IV. 2003. Buku Saku P2KP untuk Warga . Bandung: KMW-SWK IV.
Koentjaraningrat. 1997. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Mikkelsen, Britha. 2003. Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-upaya Pemberdayaan; Sebuah Buku Pegangan Bagi Praktisi Lapangan. Terjemahan oleh Matheos Nale. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Miles, Matthew B., A. Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif; Buku Sumber tentang Metode-Metode Baru . Jakarta: UI Press.
Mosse, Julia Cleves. 2002. Gender dan Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Moser, Caroline., Karen Levy. 1986. A Theory and Methodology of Gender Planning: Meeting Women’s Practical and Strategic Gender Needs. London: University College.
Moser, Caroline. 1999. Memenuhi Kebutuhan Praktis dan Kebutuhan Strategis Gender diambil dari World Development, Pergamon Press vol 7 No. 11 dalam Ford Foundation. Bahan Diskusi Tutorial “Kursus Jender dan Seksualitas”. Depok: Unit Pelatihan Studi Jender dan Pembangunan dan Laboratorium Antropologi FISIP UI.
Mulyana, Deddy. 2003. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Nasution, S. 2003. Metode Research (Penelitian ilmiah), Jakarta: Bumi Aksara.
143
Mutawali. 1987. Peranan Wanita dalam Pembangunan Desa. Bandung: PT. Karya Nusantara.
Narayan, Deepa. 1998. Bonds and Bridges: Sosial Capital and Poverty. Washington DC: World Bank.
Nasdian, Fredian Tonny, Bambang Sulistyo Utomo. 2004. Pengembangan Kelembagaan dan Modal Sosial. Bogor: Departemen Ilmu Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian IPB dan Sekolah Pascasarjana IPB.
Nuryana Mu’man. 2004. Modal Sosial dalam Suharto Edi. 2004. Isu-isu Tematik Pembangunan Sosial: Konsepsi dan Strategi. Jakarta: BALATBANG DEPSOS RI.
Overholt, Catherine et Al. 1985. Gender and Development. West Hartford: Kumarian Press.
Payne, Malcolm. 1997. Modern Social Work Theory, Second Edition. London: Macmillan Press Ltd.
Perry, Martin. 1999. Mengembangkan Usaha Kecil dengan Memanfaatkan Berbagai Bentuk Jaringan Kerja Ekonomi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Portes, Alejandro. 1998. Social Capital: its Origins and Applications in Modern Sociology.” Annual Review of Sociology. Vol. 22, pp 1-24
Powell, W. 1990. Neither market nor hierarchy: network forms of organization , in L. Cummings and B. Shaw (eds) Research in Organizational Behavior, Vol. 12, Greenwich, CT: JAI Press.
Ridjal Fauzie, dkk. 1993. Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia . Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.
Rietbergen, Jennifer., dkk. 1998. Participation and Sosial Assessment; Tools and Techniques. Washington DC: The World Bank.
Rusli, Said. 1996. Pengantar Ilmu Kependudukan. Jakarta: LP3ES.
Rusli, Said, dkk. 2004. Kependudukan. Bogor: Departemen Ilmu Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian IPB dan Sekolah Pascasarjana IPB.
Sanderson, Stephen K. 2000. Makro Sosiologi: Sebuah Pendekatan terhadap Realitas Sosial. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Saharuddin. 2005. Metode-Metode Partisipatif dalam Pengembangan Masyarakat. Bogor: Departemen Ilmu Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian IPB dan Sekolah Pascasarjana IPB.
Saptari, Ratna. dkk. 1997. Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial. Jakarta: PT. Pustaka Utama graffiti.
Saraswati, Rika. 2001. Perempuan Indonesia menuju Peran sebagai Kepala Rumahtangga dalam Kompas tanggal 26 Februari 2001.
Singarimbun, Masri., Sofian Effendi. 1995. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES.
Sitorus, M.T. Felix dan Agusta, Ivanovich. 2004. Metodologi Kajian Komunitas. Bogor: Departemen Ilmu Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian IPB dan Sekolah Pascasarjana IPB.
Slamet, Margono. 2002. Memantapkan Posisi dan Meningkatkan Peran Penyuluhan Pembangunan dalam Pembangunan dalam Pambudy, Rachmat dan Adhi, Andriyono Kilat (Editor). 2002. Pemberdayaan Sumberdaya Manusia menuju Terwujudnya Masyarakat Madani. Jakarta: Badan Pengembangan SDM Pertanian, Pusat Pengembangan Penyuluhan Pertanian.
Sobritchea, Carolyn I. 2000. Preface; Crossing the Threshold (A Resource Book on
144 Women and Micro Finance). Philippines: Wise Act Inc.
Soemantri, Andriani Sumampeuw, dkk. 2000. Seri Usaha Mikro-Kecil: Ada Bersama Tradisi. Jakarta: Swisscontact & Limpad.
Soewondo Nani. 1984. Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan Masyarakat. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Suhardianto, Hari. 1999. Jawa Barat: Desa Adat dalam Mubyarto. 1999. Pemberdayaan Ekonomi Rakyat; Laporan Kaji Tindak Program IDT. Yogyakarta: Aditya Media.
Suharto, Edi. 1997. Pembangunan, Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial; Spektrum Pemikiran. Bandung: Lembaga Studi Pembangunan (LSP)-STKS Bandung.
_______. 2004. Analisis Kebijakan Sosial. Bandung: STKS Press.
_______. 2004. Isu-Isu Tematik Pembangunan Sosial. Jakarta: Balatbang Depsos RI.
_______. 2005. Analisis Kebijakan publik; Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial. Bandung: Alfabeta.
Sulistiati. 2004. Pembangunan Sosial dan Pemberdayaan Sosial dalam Edi Suharto. 2004. Isu-isu Tematik Pembangunan Sosial: Konsepsi dan Strategi. Jakarta: Balatbangsos Depsos RI.
Sumardjo, Saharuddin. 2005. Metode-Metode Partisipatif dalam Pengembangan Masyarakat. Bogor: Departemen Ilmu Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian IPB dan Sekolah Pascasarjana IPB.
Sumarti, Titik. dkk. 2004. Analisis Ekonomi Lokal. Bogor: Departemen Ilmu Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian IPB dan Sekolah Pascasarjana IPB.
Sumarti, Titik. Ekawati Sri Wahyuni. 2004. Perspektif Gender dalam Pengembangan Masyarakat. Bogor: Departemen Ilmu Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian IPB dan Sekolah Pascasarjana IPB.
Susenas. 2002 dalam Kebijakan Pemberdayaan Perempuan dalam Pembangunan Nasional. Jakarta: Kementrian Pemberdayaan Perempuan RI.
Supriatna, Tjahya. 1997. Birokrasi, Pemberdayaan dan Pengentasan Kemiskinan. Bandung: Humaniora Utama Press (HUP).
Sutomo, Sumengen., dkk. 2003. Perencanaan Partisipatif. Jakarta: CV. Cipruy.
Sutrisno, Loekman. 1997. Kemiskinan, Perempuan dan Pemberdayaan . Yogyakarta: Kanisius.
Syahyuti. 2003. Bedah Konsep Kelembagaan: Strategi Pengembangan dan Penerapannya dalam Penelitian Pertanian . Bogor: Pusat Litbang Sosek Pertanian, Badan Litbang Pertanian.
Syaukat, Yusman. Sutara Hendrakusumaatmadja. 2004. Pengembangan Ekonomi Berbasis Lokal. Bogor: Departemen Ilmu Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian IPB dan Sekolah Pascasarjana IPB.
Tim Penggerak PKK Pusat. 2001. Pedoman Umum Gerakan Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga. Bandung: TP PKK Propinsi Jawa Barat.
Tim Penggerak PKK Propinsi Jawa Barat. 2000. Petunjuk Pelaksanaan Pengelolaan UP2K-PKK. Bandung: TP PKK Kabupaten Bandung.
Tjandraningsih, Indrasari. 1999. Krisis Ekonomi dan PHK: Maknanya bagi Perempuan dalam Jurnal Perempuan Edisi 11 Mei-Juli 1999. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Todaro, Michael P. 1999. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga; Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga.
145
Uphoff. 1992. Local institutional Development; An Analytical Source Book with Cases. United States of America: Kumarian Press.
Usman, Sunyoto. 2004. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Widaningroem, R. 1998. Metode Moser dan Aplikasinya. Makalah dalam Pelatihan Teknik Analisis Gender. Yogyakarta: Pusat Studi Wanita Universitas Gajah Mada.
Wilkinson, KP. 1970. The Community as a Social Field. Sosial Force, Vol 48/3. Pp. 311-322.
Worldbank. 2001. What is Social Capital dalam http://www. Worldbank.org/poverty/scapital/whatsc.htm tanggal 5/22/01.
146
PEDOMAN WAWANCARA
Perempuan Kepala Rumahtangga Usaha Mikro
A. Identitas Subyek Kasus:
1. Nama : …………………………………………………………………. 2. Usia : …………………………………………………………………. 3. Status : …………………………………………………………………. 4. Pekerjaan : …………………………………………………………………. 5. Pendidikan : …………………………………………………………………. 6. Pekerjaan Suami: ………………………………………………………………. 7. Jumlah anggota keluarga: …………………………………………………….. 8. Alamat : …………………………………………………………………. 9. Penghasilan per bulan/minggu/hari: ………………………………………….. 10. Perawatan kesehatan: Puskesmas/Diobati sendiri/Dukun. 11. Pendidikan untuk anak: sekolah/tidak disekolahkan. 12. Usaha yang dijalankan: …………………………………………………………
…………………………………………………………………. ………………………………………………………………….
B. Identifikasi Masalah dan Harapan:
1. Masalah yang dialami: …………………………………………………………. ………………………………………………………………….
2. Upaya pemecahan masalah: ……………………..…………………………… …………………………………………………………………. ………………………………………………………………….
3. Harapan terhadap kehidupan yang akan datang: …………………………… …………………………………………………………………. ………………………………………………………………….
4. Hubungan dengan keluarga: ………………………………………………….. 5. Hambatan dan Masalah: ……………………………………………………….
…………………………………………………………………. 6. Hubungan dengan tetangga: ………………………………………………….. 7. Hambatan dan Masalah: ……………………………………………………….
…………………………………………………………………. 8. Hubungan dengan produsen: ………………………………………………….
…………………………………………………………………. 9. Hambatan dan Masalah: ……………………………………………………….
…………………………………………………………………. 10. Hubungan dengan konsumen: ………………………………………………… 11. Hambatan dan Masalah: ……………………………………………………….
…………………………………………………………………. 12. Jumlah bantuan yang pernah diterima: ………………………………………. 13. Asal Bantuan : …………………………………………………………………. 14. Keterlibatan dalam kegiatan masyarakat: …………………………………… 15. Hambatan usaha yang dirasakan: …………………………………………….
…………………………………………………………………. ………………………………………………………………….
Lampiran 1. Pedoman Wawancara
147
PEDOMAN DISKUSI KELOMPOK ke-I
Tujuan : Mengetahui karakteristik PKRT Sasaran : Perempuan Kepala Rumahtangga usaha mikro I. Susunan Acara 1. Pembukaan. 2. Pemaparan Diskusi Kelompok oleh fasilitator. 3. Pelaksanaan Diskusi, dengan materi:
a. Pemetaan PKRT usaha mikro. b. Pembagian kerja gender, dengan menggunakan Daily Schedule (aktivitas
harian) dan Kerangka analisis Harvard (Profil Aktivitas), kalender musim. c. Akses dan Kontrol/Manfaat, dengan Diagram Venn, Profil Sejarah Lokal
dan analisis kecenderungan, analisis mata pencaharian. d. Partisipasi dengan menggunakan Profil Kegiatan. e. Akses pada jasa/pelayanan.
4. Kesimpulan. 5. Penutup. II. Tabel Kuesioner
Tabel 1. KERANGKA KERJA ANALISIS GENDER
PROFIL KEGIATAN NO KEGIATAN PD LD AP AL Wk Tm 1. Kerja Produktif (Productive Work)
Produksi (Padi)
Mengolah tanah (membajak, mencangkul) Mengairi sawah (mengatur perairan) Menanam padi Menyiangi rumput Memupuk Menyemprot (membasmi hama) Menjaga dari gangguan hama dan burung Memanen Merontokkan padi Pengeringan Penyeleban (mengubah dari padi menjadi beras) Pengepakan ke dalam karung Penjualan atau pemasaran Mengelola took Pekerjaan buruh bangunan/bengkel Pekerjaan peternakan Pekerjaan jasa Berdagang 2. Kerja Reproduktif (Reproductive Work) Melahirkan Mengasuh anak Menyusui anak Menyediakan makanan Mengambil air dan bahan bakar Berbelanja Perawatan pekarangan rumah Membersihkan rumah & menjaga kesehatan keluarga 3. Kerja Komunitas/Sosial (community Work) Upacara dan Peringatan
Lampiran 2
148
Aktivitas pembangunan komunitas Partisipasi dan kelompok, dan organisasi Mempersiapkan pesta Menyiapkan pemakaman Aktivitas politik lokal Kegiatan keagamaan Sumber: Aus AID’s to Gender and Development dalam IASTP II, 1999. • PD : Perempuan Dewasa. • LD : Laki-laki Dewasa. • AP : Anak Perempuan. • AL : Anak Laki- laki.
Tabel 2. KERANGKA KERJA ANALISIS GENDER
PROFIL AKSES DAN KONTROL PADA SUMBER DAYA PRODUKTIF
LAKI-LAKI PEREMPUAN NO. SUMBER DAYA AKSES KONTROL AKSES KONTROL
1. Penggunaan tenaga kerja orang lain 2. Lahan 3. Sumber daya alam lainnya:
• Sungai
4. Modal 5. Kredit 6. Peralatan/teknologi 7. Pendidikan/pelatihan 8. Sumber daya lain: • Organisasi lokal • Lembaga formal • Lembaga non formal • Pasar • Terminal Sumber: Aus AID’s to Gender and Deve lopment dalam IASTP II, 1999.
Tabel 3. KERANGKA KERJA ANALISIS GENDER
AKSES DAN KONTROL PADA MANFAAT DARI KEGIATAN PEMBANGUNAN
LAKI-LAKI PEREMPUAN NO. SUMBER DAYA AKSES KONTROL AKSES KONTROL
1. Pangan Sandang Barang konsumen Perumahan
2. Pelayanan kesehatan 3. Sumber daya alam 4. Kepemilikan asset 5. Kesempatan kerja 6. Pendidikan/pelatihan 7. Kekuasaan politis
Status yang lebih tinggi
8. Penghasilan 9. Manfaat lainnya Sumber: Aus AID’s to Gender and Development dalam IASTP II, 1999.
149
Tabel 4. KERANGKA ANALISIS HARVARD
PROFIL AKSES DAN KONTROL/MANFAAT
LAKI-LAKI PEREMPUAN A. SUMBER DAYA AKSES KONTROL AKSES KONTROL
Tanah Peralatan Tenaga kerja Uang kas Pendidikan/pelatihan Organisasi/kelembagaan
B. MANFAAT
Pendapatan dari luar Pemilikan kekayaan Kebutuhan dasar Pendidikan Kekuatan politik
Sumber: The Oxfam Gender Training Manual (Terjemahan) dalam Harsoyo, 1998.
Tabel 5. KERANGKA ANALISIS HARVARD
FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH
Dampak Kesempatan Kendala Faktor-faktor Lk Pr Lk Pr Lk Pr
Politik Ekonomi Budaya Pendidikan Lingkungan Hukum Sumber: The Oxfam Gender Training Manual (Terjemahan) dalam Harsoyo, 1998.
150
Lampiran 3 Undangan Diskusi Kelompok ke-I
151
GAMBAR 1. FOTO-FOTO DISKUSI KELOMPOK I
1. Pengisian instrumen karakteristik PKRT Usaha Mikro dan pembuatan bagan pemetaan.
2. Pemberian contoh pengisian formulir identitas Subyek Kasus.
3. Pengisian instrumen masalah yang dialami oleh PKRT Usaha Mikro.
152
4. Pengisian Instrumen Pertanyaan (Jadwal Harian PKRT Usaha Mikro.).
5. Pengisian diagram kalender musim.
153
Lampiran 4. Daftar Hadir Peserta Diskusi Kelompok ke-I
154
155
GAMBAR 2. HASIL PRA
156
157
158
PEDOMAN DISKUSI KELOMPOK ke-II
Tujuan : Efektivitas Program Pembangunan dan Analisis Masalah dan Kebutuhan PKRT
Sasaran : Perempuan Kepala Rumahtangga usaha mikro BKM, TP PKK Desa. I. Susunan Acara 1. Pembukaan. 2. Pemaparan Diskusi Kelompok oleh fasilitator. 3. Pelaksanaan Diskusi, dengan materi:
a. Informasi Hasil Diskusi I dan II. b. Evaluasi program P2KP dan UP2K-PKK melalui Kerangka Analisis
Moser. c. Analisis Pohon Masalah PKRT Usaha Mikro.
4. Kesimpulan. 5. Penutup. II. Tabel Kuesioner
Lampiran 5. Pedoman Diskusi Kelompok ke-II
159
Tabel 6. KERANGKA ANALISIS MOSER
PERENCANAAN GENDER
Peranan yang Difokuskan Kebutuhan Gender yang Dipenuhi Maksud Nyata Maksud Nyata
NAMA PROYEK
Reproduktif Produktif Kemasy Reproduktif Produktif Kemasy Keb Gender Prod
Keb Gender Str
Keb Gender Prod
Keb Gender Str
Pendekatan Kebijakan
Informasi selanjutnya
P2KP
UP2K-PKK
Sumber: The Oxfam Gender Training Manual (Terjemahan) dalam Widaningroem, 1998.
160
GAMBAR 3. FOTO-FOTO DISKUSI KELOMPOK II
1. Pemetaan akses dan kontrol terhadap program
3. Pemetaan akses dan kontrol terhadap program.
2. Gambaran partisipasi masyarakat dalam program P2KP.
161
4. Pemetaan akses dan kontrol terhadap program.
5. Pemetaan akses dan kontrol terhadap sumberdaya produktif.
6. Pemaparan oleh salah seorang informan yang menjadi anggota BKM/UPK.
162
7. Pemaparan partisipasi yang dilaksanakan oleh masyarakat dalam program P2KP.
8. Pemaparan deskripsi masalah pengguliran dana P2KP.
163
Lampiran 6. Daftar Hadir Peserta Diskusi Kelompok ke-II
164
165
PEDOMAN DISKUSI KELOMPOK ke-III (LOKA KARYA)
Tujuan : Penyusunan Program Pemberdayaan PKRT Usaha Mikro Sasaran : Perempuan Kepala Rumahtangga usaha mikro BKM, TP PKK Desa, Aparat Desa, Tokoh Masyarakat, Camat, Aparat Kecamatan
1. Pembukaan. 2. Pelaksanaan Diskusi, dengan materi:
a. Informasi Hasil Diskusi I, II dan III (Hasil Penelitian). b. Penyusunan Program Pemberdayaan bagi PKRT Usaha MIkro.
3. Kesimpulan. 4. Penutup.
Lampiran 7. Pedoman Diskusi Kelompok ke-III (Loka Karya)
166
Lampiran 8. Undangan untuk Loka Karya
167
Lampiran 9. Susunan Acara untuk Loka Karya
168
GAMBAR 4. FOTO LOKA KARYA: PEMAPARAN HASIL PENELITIAN
2. Para pesera loka karya.
3. Peserta perempuan yang menghadiri kegiatan loka karya.
1. Pemaparan hasil penelitian.
169
4. Para Stakeholder
170
Lampiran 10. Daftar Hadir Peserta Loka Karya
Top Related