KUMPULAN LAPORAN PENELITIAN
PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI
Oleh :
Suryadi
07/257581/KT/6227
LABORATORIUM PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI
JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2009
KLASIFIKASI ARAHAN FUNGSI KAWASAN
I. PENDAHULUAN
a. Permasalahan
Sub-DAS Temon terletak di kabupaten Sukoharjo, Propinsi Jawa Tengah. Dari studi
pendahuluan diketahui bahwa bentuk-bentuk penggunaan lahan sub-DAS Temon saat ini
diantaranya adalah tegalan, pemukiman, semak belukar, kebun, waduk, sawah, dan hutan.
Kondisi topografi sub-DAS Temon sangat bervariasi mulai dari datar, landai, agak curam,
curam, sampai sangat curam. Dari observasi lapangan terlihat bahwa penggunaan lahan di
sub-DAS Temon ini banyak yang tidak sesuai dengan peruntukkannya, seperti terlihat sawah-
sawah yang terletak di daerah yang agak curam sampai curam.
Kondisi tersebut apabila dibiarkan terus-menerus akan memberikan maslah atau
dampak yang negatif terhadap lingkungan. Masalah yang mungkin mengikuti tersebut adalah
seperti erosi, terbentuknya lahan kritis, banjir di musim hujan, kekeringan di musim kemarau,
pencemaran air, pendangkalan waduk, dan lain sebagainya seperti yang umum terjadi di
sebagian besar DAS-DAS di Indonesia.
b. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Membuat peta klasifikasi arahan fungsi kawasan
2. Mengkaji penggunaan lahan saat ini
II. STUDI PUSTAKA
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah keseluruhan daerah yang diatur oleh sistem
sungai sehingga seluruh aliran dari daerah tersebut dikeluarkan melalui outlet tunggal
(Linsley, 1949). DAS (watershed) merupakan suatu areal atau daerah yang dibatasi oleh
bentuk topografi yang didraenasi oleh sutau sistem aliran yang membentuk suatu sungai yang
melewati titik out-let dari total area di atasnya. Pedoman Penyusunan Pola-RLKT (1994) :
DAS adalah suatu daerah tertentu yang bentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa sehingga
merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak sungainya yang melalui daerah tersebut
dalam fungsinya untuk menampung air yang berasal dari curah hujan dan sumber air lainnya,
penyimpanannya serta pengalirannya dihimpun dan ditata berdasarkan hukum alam
sekelilingnya demi kesinambungan daerah tersebut. Esensinya DAS adalahn suatu wilayah
daratan yang menerima air hujan, menampung dan mengalirkannya melalui sungai utama ke
laut/ danau. Satu DAS dipisahkan dari wilayah lain di sekitarnya (DAS-DAS lain) oleh
pemisah alam topografi, seperti punggung bukit dan gunung.
Penggunaan landskap DAS oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
diantaranya adalah hutan alam, hutan tanaman, agroforestry, tegalan, sawah, ladang, badan
air, daerah pemukiman, areal pertambangan, dan lain-lain. Bentuk-bentuk penggunaan lahan
ini dikenal sebagai penggunaan lahan atau tata-guna lahan (land use).
Pengelolaan DAS merupakan proses pengarahan dan pengorganisasian penggunaan
lahan dan sumber daya lain pada suatu DAS untuk menyediakan barang dan jasa yang
diinginkan tanpa merusak sumber daya tanah dan air (Brooks dkk, 1991). Sebagai satu
kesatuan unit pengelolaan, maka DAS harus dapat menampung kepentingan seluruh sektor
dalam rangka pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Untuk itu perlu
dikembangkan pola tata ruang yang dapat menyerasikan tata guna lahan, air serta sumber
daya lainnya dalam satu kesatuan tata lingkungan yang harmonis dan dinamis serta ditunjang
oleh pola perkembangan kependudukan yang serasi.
Penataan Ruang menurut Senawi (2009) merupakan proses perencanaan, pemanfaatan,
dan pengendalian pemanfaatan ruang. Tata guna lahan DAS adalah strategi pemanfaatan
lahan dan merupakan sub-sistem dari pengelolaan DAS. Oleh sebab itu dalam proses penataan
ruang, tidak terbatas pada proses perencanaan saja. Tetapi, meliputi aspek pemanfaatan yang
merupakan wujud operasional rencana tata ruang serta proses pengendalian pemanfaatan
ruang. Dalam proses pengendalian pemanfaatan memiliki mekanisme pengawasan dan
penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) dan tujuan penataan ruang wilayah.
Permasalahan yang menjadi perhatian utama dalam Pengelolaan DAS sebagai bagian
dari pembangunan wilayah sampai saat ini tergolong kompleks dan saling terkait.
Permasalahan tersebut antara lain terjadinya erosi, sedimentasi, banjir pada musim penghujan
dan kekeringan pada musim kemarau yang sangat erat kaitannya dengan keadaan
sumberdaya alam vegatasi/hutan tanah dan air serta unsur manusia yang terdapat dalam
ekosistem DAS tersebut.
Berdasarkan SK Menteri pertanian No. 873/Kpts/Um/11/1980; No.
688/Kpts/Um/8/1980; serta Keppres No. 57/1986 – UU No. 4 Th 1982 dan UU No. 24 Tahun
1992 ada 3 faktor yang digunakan yaitu :
1. Lereng Lapangan
2. Jenis Tanah menurut kepekaan terhadap erosi
3. Curah hujan harian rata-rata
Informasi ketiga faktor tersebut diperoleh dari hasil interpretasi Peta Topografi, Peta
Tanah, dan data Curah Hujan di lapangan. Berturut-turut klasifikasi dan nilai skore ketiga
faktor tersebut adalah sebagai berikut :
1. Lereng Lapangan Nilai Skore
Kelas I : 0% - 8% (datar) 20
II : 8% - 15% (landai) 40
III: 15% - 25% (agak curam) 60
IV: 25% - 40% (curam) 80
V : > 40 % (sangat curam) 100
2. Tanah menurut kepekaan terhadap erosi Skor
Kelas 1 : Alluvial, tanah glei, Planosol, Hidromof Laterik (tidak peka) 15
Kleas 2 : Latosol (agak peka) 30
Kelas 3 : Brown Forest soil, non calcic brown, mediteran (agak peka) 45
Kelas 4 : Andosol, Laterit, Grumusol, Podsol, Podsolik (peka) 60
Kelas 5 : Regosol, Latosol, Organosol, Renzina (sangat peka) 75
3. Intensitas hujan harian rata-rata
Kelas Intensitas Sebutan Skor
1 0 – 13,6 mm/hr sangat rendah 10
2 13,6 – 20,7 mm/hr rendah 20
3 20,7 – 27,7 mm/hr sedang 30
4 27,7 – 34,8 mm/hr tinggi 40
5 > 34,8 mm/hr sangat tinggi 50
Menurut SK Menteri Pertanian, penetapan setiap unit lahan ke dalam suatu kawasan
menurut fungsinya dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Kawasan Lindung
Kawasan dengan jumlah skor 175 dan atau kawasan yang memenuhi syarat-syarat
tertentu, seperti kelerengan > 40%, hutan lindung yang telah ditata batas, pelindung mata
air (200 m sekeliling mata air), kawasan bergambut, kawasan dengan tanah peka terhadap
erosi : tanah regosol, litosol, organosol, dan renzina, kawasan rawan bencana alam :
letusan gunung merapi, tanah longsor, dan gempa, kawasan dengan ketinggian >2000 m
d.p.l. dll.
b. Kawasan Penyangga
Kawasan dengan jumlah skor 125-174 dan atau yang memenuhi kriteria umum sebagai
berikut:
a. Kawasan dengan keadaan fisik arealnya memungkinkan untuk dilakukan
budidaya secara ekonomis tanpa merugikan segi lingkungan.
b. Kawasan yang lokasinya secara ekonomis mudah dikembangkan sebagai
kawasan yang dapat berfungsi lindung dan berfungsi budidaya. Contoh, hutan
produksi terbatas.
c. Kawasan Budidaya Tanaman Tahunan
Kawasan dengan jumlah skor <124 dan cocok untuk budidaya kayu-kayuan, tanaman
perkebunan, dan tanaman industri. Disamping itu harus memenuhi kriteria umum kawasan
penyangga.
d. Kawasan Budidaya Tanaman Semusim
Kawasan sama dengan no 3 namun arealnya terletak pada tanah milik, tanah adat, dan
tanah negara yang seharusnya dikembangkan untuk usaha tani tanaman semusim.
III. METODE PENELITIAN
Pendekatan dasar yang akan digunakan adalah pendekatan evaluasi lahan yang
menghubungkan survey sumber daya alam dengan persyaratan-persyaratan fisik penggunaan
lahan yang dikaji. Mengoverlay atau menampalkan beberapa sumber peta yaitu Peta
Topografi, Peta Curah Hujan, dan Peta Tanah. Memberikan skoring pada kawasan
berdasarkan skor masing-masing kriteria yang telah ditetapkan. Menurt SK Menteri Pertanian,
penetapan setiap unit lahan ke dalam suatu kawasan menurut fungsinya. Mengidentifikasi
penggunaan lahan pada saat ini berdasarkan Peta Penggunaan Lahan Sub DAS Temon yang
telah tersedia.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Setelah dilakukan penampalan berdasarkan Peta Curah Hujan, Peta Topografi, dan
Peta Tanah, kemudian diperoleh Peta Satuan Lahan. Berdasarkan banyaknya jumlah satuan
lahan yang terbentuk maka diambil sampel 4 satuan lahan secara random. Keempat satuan
lahan tersebut kemudian dilakukan skoring berdasarkan SK Menteri pertanian No.
873/Kpts/Um/11/1980; No. 688/Kpts/Um/8/1980; serta Keppres No. 57/1986 – UU No. 4 Th
1982 dan UU No. 24 Tahun 1992.
Satuan lahan 1 memiliki karakteristik biogeofisik lahan yakni curah hujan yang
tergolong rendah (13,6-20,7 mm/hari), kelerengan termasuk kelas lereng II yaitu 8%-15%
(landai), dan jenis tanahnya adalah tanah mediteran yang mana jenis tanah ini merupakan
tanah yang agak peka terhadap erosi. Dengan skoring karakteristik biogeofisik (nilai skor
105) maka satuan lahan 1 ditetapkan sebagai kawasan budidaya tanaman tahunan. Kawasan
ini cocok untuk budidaya kayu-kayuan, tanaman perkebunan, dan tanaman industri.
Penggunaan lahan saat ini pada kawasan ini adalah sawah, pemukiman, dan semak belukar.
Penggunaan lahan kawasan ini seharusnya dapat dioptimalakn kembali sesuai dengan
karakteristik kondisi lapangan dengan mengubah semak belukar menjadi agroforestry atau
tegalan sehingga dapat mengurangi dampak erosi mengingat jenis tanah pada kawasan ini
agak peka terhadap erosi.
Satuan lahan 2 memiliki karakteristik biogeofisik lahan dengan curah hujan yang
tergolong rendah (13,6-20,7 mm/hari), kelerengan termasuk kelas lereng IV yaitu 25%-40%
(curam), dan jenis tanahnya adalah tanah latosol yang mana jenis tanah ini merupakan tanah
yang sangat peka terhadap erosi. Setelah dilakukan skoring karakteristik biogeofisik lahan
tersebut (nilai skor 175) maka dapat diketahui bahwa arahan fungsi kawasan satuan lahan 2
adalah kawasan hutan lindung. Namun demikian, penggunaan lahan saat ini sangat tidak
sesuai karena terdapat tegalan dan pemukiman pada kawasan tersebut. Seharusnya dengan
kelerengan yang curam dan kondisi tanah yang sangat peka terhadap erosi, masyarakat tidak
menetap pada kawasan tersebut karena kawasan tersebut menjadi kawasan yang rawan
bencana alam yaitu tanah longsor akibat dari pemotongan lereng bukit untuk pemukiman serta
tanah yang peka terhadap erosi tersebut tidak mampu menahan beban yang besar karena
dijadikan sebagai tegalan. Oleh sebab itu akan lebih baik jika kawasan tersebut ditetapkan
sebagai kawasan lindung dan membiarkan semak belukar tumbuh sehingga tanah dapat
menahan beban atau energi kinetik yang menempanya saat musim hujan.
Satuan lahan 3 memiliki karakteristik biogeofisik lahan dengan curah hujan yang
tergolong sedang (20,7-34,8 mm/hari), kelerengan termasuk kelas lereng V yaitu >40%
(sangat curam), dan jenis tanahnya adalah tanah latosol yang mana jenis tanah ini merupakan
tanah yang sangat peka terhadap erosi. Setelah dilakukan skoring karakteristik biogeofisik
lahan (nilai skor 205) maka dapat diketahui bahwa arahan fungsi kawasan satuan lahan 3
adalah kawasan hutan lindung. Akan tetapi penggunaan lahan saat ini pada kawasan satuan
lahan 3 terdapat kebun campur dan tegalan. Dengan kelerengan yang sangan curam, curah
hujan sedang, dan jenis tanah yang sangat peka terhadap erosi seharusnya kawasan ini
dibiarkan saja tumbuh membentuk suksesi alami. Sehingga tanah tidak akan kuat menahan
beban yang besar ketika hujan jatuh, terjadi run off, dan terjadi erosi yang dipercepat apabila
ditanami jenis tanaman yang tergolong tanaman berat.
Sedangkan pada satuan lahan 4 memiliki karakteristik biogeofisik lahan dengan curah
hujan yang tergolong rendah (13,6-20,7 mm/hari), kelerengan termasuk kelas lereng III yaitu
15%-25% (agak curam), dan jenis tanahnya adalah tanah latosol yang mana jenis tanah ini
merupakan tanah yang sangat peka terhadap erosi. Setelah dilakukan skoring karakteristik
biogeofisik lahan tersebut (nilai skor 155) sehingga dapat diketahui bahwa arahan fungsi
kawasan satuan lahan 4 adalah berupa kawasan penyangga. Penggunaan lahan pada kawasan
adalah pemukiman, tegalan, dan sawah. Kawasan ini dimungkinkan dapat dilakukan budidaya
secara ekonomis tanpa merugikan segi lingkungan hidup yakni dapat dikembangkan sebagai
hutan rakyat, tegalan, kebun campur, atau hutan tanaman terbatas. Apabila digunakan sebagai
sawah maka akan menimbulkan kerusakan ekologi karena jenis tanah kawasan ini sangat peka
terhadap erosi dan kelerengannya termasuk agak curam.
V. KESIMPULAN
Arahan fungsi kawasan pada Sub-DAS Temon adalah satuan lahan 1 sebagai kawasan
budidaya tanaman tahunan, satuan lahan 2 dan 3 sebagai kawasan lindung dan satuan lahan 4
sebagai kawasan penyangga. Sebagian besar penggunaan lahan pada saat ini tidak sesuai
dengan karakteristik biogeofisik lahan.
DAFTAR PUSTAKA
Asdak, Chay. 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daeerah Aliran Sungai. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Brooks, K. N., P. F. Ffolliott, H.M. Gregersen, A.L. Lundgren dan R.M. Quinn. 1990. Manual
on Watershed Management Project Planning, Monitoring and Evaluation. A
publication of ASEAN-US Watershed Project College, Laguna Philippines 4031.
Senawi. 1999. Evaluasi dan Tata Guna Lahan Hutan. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.
Senawi, Emma Soraya, dan Edi Yanto. 2007. Slide-Slide Kuliah Pemetaan Tata Guna Lahan.
Laboratoriun SISPH Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.
Supriyandono. 2007. Buku Ajar Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (P-DAS). Jurusan
Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.
KAJIAN PENGGUNAAN LAHAN BERDASARKAN
KELAS KESESUAIAN LAHAN
I. PENDAHULUAN
a. Permasalahan
Sub-DAS Temon terletak di kabupaten Sukoharjo, Propinsi Jawa Tengah. Dari studi
pendahuluan diketahui bahwa bentuk-bentuk penggunaan lahan sub-DAS Temon saat ini
diantaranya adalah tegalan, pemukiman, semak belukar, kebun, waduk, sawah, dan hutan.
Kondisi topografi sub-DAS Temon sangat bervariasi mulai dari datar, landai, agak curam,
curam, sampai sangat curam. Dari observasi lapangan terlihat bahwa penggunaan lahan di
sub-DAS Temon ini banyak yang tidak sesuai dengan peruntukkannya, seperti terlihat sawah-
sawah yang terletak di daerah yang agak curam sampai curam.
Kondisi tersebut apabila dibiarkan terus-menerus akan memberikan maslah atau
dampak yang negatif terhadap lingkungan. Masalah yang mungkin mengikuti tersebut adalah
seperti erosi, terbentuknya lahan kritis, banjir di musim hujan, kekeringan di musim kemarau,
pencemaran air, pendangkalan waduk, dan lain sebagainya seperti yang umum terjadi di
sebagian besar DAS-DAS di Indonesia.
b. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Membuat Peta Precent Land Use
2. Membuat Peta Kelas Kesesuaian Lahan
3. Mengkaji peta precent land use
II. STUDI PUSTAKA
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah keseluruhan daerah yang diatur oleh sistem
sungai sehingga seluruh aliran dari daerah tersebut dikeluarkan melalui outlet tunggal
(Linsley, 1949). DAS (watershed) merupakan suatu areal atau daerah yang dibatasi oleh
bentuk topografi yang didraenasi oleh sutau sistem aliran yang membentuk suatu sungai yang
melewati titik out-let dari total area di atasnya. Pedoman Penyusunan Pola-RLKT (1994) :
DAS adalah suatu daerah tertentu yang bentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa sehingga
merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak sungainya yang melalui daerah tersebut
dalam fungsinya untuk menampung air yang berasal dari curah hujan dan sumber air lainnya,
penyimpanannya serta pengalirannya dihimpun dan ditata berdasarkan hukum alam
sekelilingnya demi kesinambungan daerah tersebut. Esensinya DAS adalahn suatu wilayah
daratan yang menerima air hujan, menampung dan mengalirkannya melalui sungai utama ke
laut/ danau. Satu DAS dipisahkan dari wilayah lain di sekitarnya (DAS-DAS lain) oleh
pemisah alam topografi, seperti punggung bukit dan gunung.
Penggunaan landskap DAS oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
diantaranya adalah hutan alam, hutan tanaman, agroforestry, tegalan, sawah, ladang, badan
air, daerah pemukiman, areal pertambangan, dan lain-lain. Bentuk-bentuk penggunaan lahan
ini dikenal sebagai penggunaan lahan atau tata-guna lahan (land use).
Kesesuaian lahan menurut FAO (1976, 1984) adalah penggambaran tingkat kecocokan
sebidang lahan untuk suatu penggunaan tertentu. Hal ini dapat dilakukan dengan
menginterpretasikan kualitas dan karakteristik masing-masing system lahan dalam kaitannya
dengan kesesuaiannya untuk berbagai tanaman yang dipertimbangkan dan tindakan
pengelolaan yang diperlukan.
Kesesuaian Lahan (Senawi, 2007) adalah penggambaran tingkat kecocokan sebidang
lahan untuk suatu penggunaan tertentu. Evaluasi kesesuaian lahan pada hakekatnya
berhubungan dengan evaluasi untuk suatu penggunaan tertentu. Penilaian kesesuaian lahan
pada dasarnya dapat berupa pemilihan lahan yang sesuai untuk tanaman tertentu. Kelas
kesesuaian suatu areal dapat berbeda tergantung dari pada tipe penggunaan lahan yang sedang
dipertimbangkan.
Penyebab terjadinya perubahan penggunaan lahan lahan adanya peningkatan jumlah
penduduk dan bergantung dari bagaimana kondisi pendapatan suatu personal bahkan suatu
negara. Perubahan lingkungan secara besar akan menyebabkan masalah lingkungan seperti
erosi, banjir, dan kekeringan. Maka diperlukan Rencana Tataguna Lahan sebagai alat untuk
mengarahkan dan mengendalikan perubahan-perubahan tersebut yang berupa evaluasi lahan.
Menurut Senawi, 2007, Prinsip utama Evaluasi Sumberdaya Lahan – Kesesuaian
Lahan dalah sebagai berikut :
1. Kesesuaian lahan dinilai berdasarkan macam/jenis penggunaan lahan tertentu.
2. Evaluasi lahan membutuhkan pembandingan antara keuntungan yang diperoleh
dengan masukan yang diperlukan.
3. Diperlukan pendekatn multidisiplin dari para ahli.
4. Evaluasi kesesuaian hampir selalu memasukkan pertimbangan-pertimbangan
ekonomis.
5. Evaluasi yang dilakukan sesuai dengan kondisi fisik lahan, kondisi sosek, dan kondisi
nasional.
6. Kesesuaian didasarkan atas penggunaan yang lestari.
7. Evaluasi melibatkan pembandingan lebih dari satu jenis penggunaan lahan.
Dua strategi kesesuaian lahan menurut FAO,1976 sebagai berikut :
Pendekatan dua tahapan (two stage approach) à tahapan pertama terutama berkenaan
dengn evaluasi lahan yang bersifat kualitatif, yang kemudian diikuti dengan tahapan
kedua yang terdiri dari analisis ekonomi dan sosial.
Pendekatan sejajar (parallel approach) : analisis hubungan antara lahan dan
penggunaan lahan berjalan secara bersama-sama dengan analisis-analisis ekonomi dan
sosial
Klasifikasi keseuaian lahan menurt beberapa para ahli dapat dikelompokan sebagai berikut :
1. Klasifikasi kesesuaian sekarang (current suitability) merupakan kesesuaian
penggunaan lahan yang ditentukan dalam keadaan sekarang.
2. Klasifikasi kesesuaian potensial merupakan kesesuaian penggunaan lahan dalam
keadaan yang akan datang setelah diadakn perbaikan utama tertentu yang diperlukan.
Klasifikasi kesesuaian lahan terbagi dalam 4 kategori yakni sebagai berikut :
Ordo kesesuaian lahan (order) : menunjukkan jenis/macam kesesuian atau keadaan
kesesuaian secara umum
Kelas kesesuaian lahan (class) : menunjukkan tingkat kesesuaian dalam ordo.
Sub-kelas kesesuaian lahan (sub-class) menunjukkan jenis pembatas atau macam
perbaikan yang diperlukn di dalam kelas.
Satuan kesesuaian lahan (unit) : menunjukkan perbedaan-perbedaan kecil yang
diperlukan dalam pengelolaan di dalam sub-kelas.
Kelas kesesuaian lahan menunjukkan apakah lahan sesuai atau tidak sesuai untuk penggunaan
tertentu pada tingkat ordo yaitu :
1. Ordo S : Sesuai (suitable)
Lahan yang dapat digunakan untuk suatu penggunaan tertentu secara lestari.
Keuntungan yang diharapkan akan melebihi masukan yang diberikan.
2. Ordo N : Tidak Sesuai (not suitable)
Lahan mempunyai pembatas sedemikian rupa sehingga mencegah suatu penggunaan
secara lestari.
Kelas kesesuaian lahan dapat digolongkan ke dalam kelas-kelas sebagai berikut :
1. Kelas S1 : Sangat Sesuai (highly suitable)
2. Kelas S2 : Cukup Sesuai (moderately suitable)
3. Kelas S3 : Sesuai Marginal (marginally suitable)
4. Kelas N1 : Tidak Sesuai pada Saat Ini (currently not suitable)
5. Kelas N2 : Tidak Sesuai Permanen (permanently not suitable)
Tabel 1. Klasifikasi Kesesuaian Lahan untuk Persyaratan Fisik Slope/Kelerengan :
No. Model S1 S2 S3 NS1. Agroforestry 0-8 % 8-15 % 15-25 % >25 %2. Hutan Tanaman 0-15 % 15-30 % 30-40 % >40 %3. Hutan Lindung NR NR NR NR4. Sawah 0-4 % 4-8 % 8-15% >15 %
Tabel 2. Klasifikasi Kesesuaian Lahan untuk Persyaratan Fisik Aksesbilitas
No. Model S1 S2 S3 NS1. Agroforestry 0-5 km dari
jalan mobil dan desa
5-10 km dari jalan mobil dan desa
10-15 km dari jalan mobil dan desa
> 15 km dari jalan mobil dan desa
2. Hutan Tanaman 0-5 km dari jalan mobil dan desa
5-10 km dari jalan mobil dan desa
10-15 km dari jalan mobil dan desa
> 15 km dari jalan mobil dan desa
3. Hutan Lindung Jalan setapak, jauh dari desa/pemukiman (>15 km), sulit dijangkau
Jalan batas hutan, tidak terlalu jauh dari pemukiman (5-10 km), tidak sulit dijangkau
Jalan batas hutan, dekat dengan pemukiman (0-5 km), mudah dijangkau
Jalan mobil
4. Sawah 0-5 km dari jalan mobil dan
5-10 km dari jalan mobil dan
10-15 km dari jalan mobil
> 15 km dari jalan mobil dan
desa desa dan desa desa
III. METODE PENELITIAN
Pendekatan dasar yang akan digunakan adalah pendekatan evaluasi lahan yang
menghubungkan survey sumber daya alam dengan persyaratan-persyaratan fisik penggunaan
lahan yang dikaji.
Diagram Proses kegiatan dalam Evaluasi Lahan (FAO, 1976)
Prosedur evaluasi lahan dapat dijabarkan sebagai berikut :
1. Konsultasi pendahuluan (persiapan) : penetapan tujuan, jenis data yang akan
digunakan, asumsi yang digunakan, daerah penelitian, intensitas dan skala survei.
2. Penjabaran (deskripsi) dari jenis penggunaan lahan yang dipertimbangkan dan
persyaratan yang diperlukan.
3. Deskripsi satuan peta lahan (land mapping units) dan kemudian kualitas lahan (land
qualities) berdasarkan pengetahuan tentang persyaratan yang diperlukan untuk suatu
penggunaan lahan tertentu dan pembatas-pembatasnya.
4. Membandingkan jenis penggunaan lahan dengan tipe-tipe lahan yang ada. Ini
merupakan proses yang penting dalam evaluasi lahan, di mana data lahan, penggunaan
lahan dan informasi sosial ekonomi digabungkan dan dianalisis secara bersama-sama.
5. Hasil dari butir 4 adalah klasifikasi kesesuaian lahan.
6. Penyajian dari hasil-hasil evaluasi.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
JENIS-JENIS UTAMA PENGGUNAAN LAHAN
SATUAN PEMETAAN LAHAN
KUALITAS LAHANPERSYARATANN DAN PEMBATAS PENGGUNAAN LAHAN
MEMBANDINGKAN PENGGUNAAN LAHAN DAN KEADAAN LAHANPersyaratan ekologisAnalisis sosial ekonomiDampak terhadap lingkungan
KLASIFIKASI KESESUAIAN LAHAN
PENYAJIAN HASIL
KONSULTASI PENDAHULUANTujuan, data & asumsi, rencana evaluasi
ULANGAN
Setelah dilakukan penampalan berdasarkan Peta Topografi dan Peta Penggunaan
Lahan pada saat ini Sub DAS Temon, kemudian diperoleh Peta Satuan Lahan Sub DAS
Temon. Berdasarkan banyaknya jumlah satuan lahan yang terbentuk maka diambil sampel 2
satuan lahan secara random. Dari kedua satuan lahan tersebut kemudian dilakukan analisis
kesesuaian lahan berdasarkan tabel kesesuaian lahan pada Tabel 1 dan Tabel 2.
Satuan lahan 1 memiliki karakteristik biogeofisik lahan yakni memiliki kelerengan
yang termasuk kelas lereng II yaitu 8%-15% (landai). Penggunaan lahan saat ini pada
kawasan ini adalah sawah, pemukiman, dan semak belukar. Oleh sebab itu untuk
mengoptimalkan kawasan ini maka dilakukan analisis evaluasi kesesuaian lahan pada
kawasan ini yang mana akan diarahkan dalam berbagai model penggunaan lahan yaitu
agroforestry, hutan tanaman, hutan lindung, dan sawah. Apabila dilakukan sistem penanaman
agroforestry, berdasarkan Tabel 1 maka kawasan ini termasuk dalam kelas cukup sesuai (S2).
Sedangkan berdasarkan Tabel 2, kawasan ini termasuk dalam kelas sangat sesuai (S1) karena
secara aksesbilitas satuan penggunaan lahan ini sangat mudah dijangkau oleh manusia yang
mana terdapat jalan aspal yang melintasi kawasan tersebut. Karena berdasarkan persyaratan
fisik yang berupa kelerengan termasuk dalam S2 dan berdasarkan aksesbilitas termasuk dalam
S1 maka satuan lahan 1 ini termasuk ke dalam kelas ksesuaian S2 atau cukup sesuai karena
faktor pembatas terkecil berada pada S2 apabila dilakukan sistem penanaman agroforestry.
Namun apabila kawasan ini akan dimodelkan sebagai hutan tanaman, maka
berdasarkan kelerengan termasuk kelas S1 (pada hutan tanaman kelerengan 8%-15%
tergolong sangat sesuai). Berdasarkan aksesbilitas termasuk kelas S1 karena pada satuan
penggunaan lahan 1 dilewati jalan aspal sehingga aksesnya mudah. Oleh sebab itu apabila
satuan penggunaan lahan 1 dijadikan hutan tanaman maka akan sangat sesuai (S1).
Untuk jenis penggunaan lahan yang berupa sawah, maka berdasarkan kelerengan
termasuk kelas S3 (sesuai marginal) dan berdasarkan aksesbilitas termasuk kelas S1 sehingga
apabila digunakan sebagai areal sawah saja maka kawasan ini termasuk kelas S3 atau sesuai
marginal. Sedangkan untuk dijadikan hutan lindung maka akan temasuk kelas Not Suitable
(NS) berdasarkan kelerengan maupun aksesbilitas. Sehingga satuan penggunaan lahan 1
paling sesuai untuk dijadikan sebagai kawasan hutan tanaman karena tergolong kelas sangat
sesuai.
Kemudian pada satuan lahan 2 (atau satuan lahan 4 pada Laporan Klasifikasi Arahan
Fungsi Kawasan) memiliki karakteristik biogeofisik lahan dengan tingkat kelerengan
termasuk kelas lereng III yaitu 15%-25% (agak curam). Penggunaan lahan pada kawasan ini
berupa pemukiman, tegalan, dan sawah. Oleh sebab itu untuk mengoptimalkan kawasan ini
maka dilakukan analisis evaluasi kesesuaian lahan pada kawasan ini yang mana akan
diarahkan dalam berbagai model penggunaan lahan yaitu agroforestry, hutan tanaman, hutan
lindung, dan sawah. Apabila dilakukan sistem penanaman agroforestry, berdasarkan Tabel 1
maka kawasan ini termasuk dalam kelas sesuai marginal (S3). Sedangkan berdasarkan Tabel
2, kawasan ini termasuk dalam kelas sangat sesuai (S1) karena secara aksesbilitas satuan
penggunaan lahan ini sangat mudah dijangkau oleh manusia yang mana terdapat jalan aspal
yang melintasi kawasan tersebut. Sehingga apabila dijadikan kawasan agroforestry maka
kawasan ini tergolong sesuai marginal (S3).
Berdasarkan Tabel 1 apabila kawasan ini dimodelkan sebagai pembangunan hutan
tanaman maka maka kawasan ini termasuk dalam kelas cukup sesuai (S2). Sedangkan
berdasarkan Tabel 2, kawasan ini termasuk dalam kelas sangat sesuai (S1) karena secara
aksesbilitas satuan penggunaan lahan ini sangat mudah dijangkau manusia karena terdapat
jalan aspal yang melintasi kawasan tersebut. Oleh sebab itu berdasarkan persyaratan fisik
yang meliputi kelerengan termasuk dalam S2 dan berdasarkan aksesbilitas termasuk dalam S1
maka satuan penggunaan lahan 2 ini termasuk ke dalam kelas kesesuaian S2 apabila akan
dibangun hutan tanaman.
Untuk jenis penggunaan lahan yang berupa sawah, maka berdasarkan kelerengan
termasuk kelas NS (Not Suitable) dan berdasarkan aksesbilitas termasuk kelas S1 sehingga
apabila digunakan sebagai areal sawah saja maka kawasan ini termasuk kelas NS karena salah
satu faktor pembatasnya berada pada kelas terendah yaitu kelas NS. Sedangkan untuk
dijadikan hutan lindung maka akan temasuk kelas Not Suitable (NS) berdasarkan kelerengan
maupun aksesbilitas. Oleh sebab itu maka penggunaan lahan yang paling sesuai untuk
diterapkan pada satuan lahan 2 adalah hutan tanaman.
V. KESIMPULAN
Berdasarkan analisis kesesuaian lahan yang dilakukan pada kawasan Sub DAS Temon
dapat direkapitulasi pada tabel berikut ini :
No SPL Model
Agroforestry Hutan Tanaman Hutan Lindung Sawah
1. I S2 S1 NS S3
2. II S3 S2 NS NS
Sehingga pada SPL I maupun SPL II paling sesuai apabila dijadikan sebagai kawasan hutan
tanaman yang mana S1 pada SPL I dan S2 pada SPL II.
DAFTAR PUSTAKA
Asdak, Chay. 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daeerah Aliran Sungai. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Brooks, K. N., P. F. Ffolliott, H.M. Gregersen, A.L. Lundgren dan R.M. Quinn. 1990. Manual
on Watershed Management Project Planning, Monitoring and Evaluation. A
publication of ASEAN-US Watershed Project College, Laguna Philippines 4031.
Senawi. 1999. Evaluasi dan Tata Guna Lahan Hutan. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.
Senawi, Emma Soraya, dan Edi Yanto. 2007. Slide-Slide Kuliah Pemetaan Tata Guna Lahan.
Laboratoriun SISPH Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.
Supriyandono. 2007. Buku Ajar Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (P-DAS). Jurusan
Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.
ANALISIS BESARNYA EROSI DAN PENGENDALIANNYA
SUB-DAS TEMON
I. PENDAHULUAN
a. Permasalahan
Sub-DAS Temon terletak di kabupaten Sukoharjo, Propinsi Jawa Tengah. Dari studi
pendahuluan diketahui bahwa bentuk-bentuk penggunaan lahan sub-DAS Temon saat ini
diantaranya adalah tegalan, pemukiman, semak belukar, kebun, waduk, sawah, dan hutan.
Kondisi topografi sub-DAS Temon sangat bervariasi mulai dari datar, landai, agak curam,
curam, sampai sangat curam. Dari observasi lapangan terlihat bahwa penggunaan lahan di
sub-DAS Temon ini banyak yang tidak sesuai dengan peruntukkannya, seperti terlihat sawah-
sawah yang terletak di daerah yang agak curam sampai curam.
Kondisi tersebut apabila dibiarkan terus-menerus akan memberikan maslah atau
dampak yang negatif terhadap lingkungan. Masalah yang mungkin mengikuti tersebut adalah
seperti erosi, terbentuknya lahan kritis, banjir di musim hujan, kekeringan di musim kemarau,
pencemaran air, pendangkalan waduk, dan lain sebagainya seperti yang umum terjadi di
sebagian besar DAS-DAS di Indonesia.
b. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Membuat Peta Satuan lahan dengan 4 SPL
2. Menghitung dan mengananalisis besarnya tingkat erosi
3. Menentukan teknik pengendalian dampak erosi
II. STUDI PUSTAKA
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah keseluruhan daerah yang diatur oleh sistem
sungai sehingga seluruh aliran dari daerah tersebut dikeluarkan melalui outlet tunggal
(Linsley, 1949). DAS (watershed) merupakan suatu areal atau daerah yang dibatasi oleh
bentuk topografi yang didraenasi oleh sutau sistem aliran yang membentuk suatu sungai yang
melewati titik out-let dari total area di atasnya.
RTL-RLKT (Rencana Teknik Lapangan- Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah)
merupakan jangka menegah (± 5 tahun) yang memuat tentang rencana teknik RLKT, lokasi
dan luas kegiatan, besarnya subsidi dan proyeksi tahunannya, proyeksi personelnya,
dukungan teknologi, dan alat-alat monitoring
Maksud penyusunan RTL-RLKT adalah untuk menyediakan Rencana Dasar Kegiatan
RLKT sebagai petunjuk dalam penyusunan Rencana Teknik Tahunan (RTT) di bidang RLKT
seperti : Reboisasi, penghijauan, hutan kemasyarakatan, konservasi tanah, pengendalian
perladangan, penyuluhan dan sektor lainnya. Tujuan penyusunan RTL-RLKT adalah
memberikan pedoman/ acuan agar RLKT terlaksana dengan tepat, mantap, dan terarah pada
suatu Sub-DAS.
RLKT disusun berdasarkan pendekatan dua aspek : aspek biofisik dan aspek sos-ek
dan budaya masyarakat setempat.
1. Aspek Biofisik, sebagai dasar perencanaan terutama dengan menggunakan besarnya
erosi maksimum pada suatu bidang lahan yang dihitung dengan rumus USLE.
2. Aspek Sosial Ekonomi dan Kebudayaan
Yang perlu diperhatikan dalam penyusunan RTL-RLKT antara lain : tekanan
penduduk, tingkat pendidikan, pendapatan petani, perkembangan penduduk dan
esejahteraan, kegiatan dasar wilayah, pertumbuhan wilayah, dan kerepotan tenaga
kerja.
Bahaya Erosi
Erosi adalah proses penghancuran dan pengangkutan partikel-partikel tanah oleh
tenaga erosi (presipitasi, angin). Dalam kenyataannnya di lapangan proses tersebut akan
diikuti oleh tahapan proses sedimentasi [Ambar, 2007]. Berdasarkan prosesnya dipermukaan
bumi dikenal 2 bentuk erosi yaitu :
1. Erosi alam / normal/ geologi
Merupakan proses pengikisan kulit bumi atau lapisan tanah yang terjadi secara alami.
2. Erosi dipercepat
Pada umumnya tindakan manusia bersifat mempercepat laju erosi, sehingga erosi yang
terjadi ini dikenal sebagai erosi dipercepat (accelerated erosion)
Intensitas erosi dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya proses
penghancuran, pengikisan, pengangkutan, dan pengendapan. Hudson (1976) memandang
erosi sebagai proses yang ditentukan oleh erosivitas (sebagai faktor penyebab) dan erodibilitas
yang dinyatakan dalam persamaan yang sederhana :
E = f (erosivitas, erodibilitas)
Pada kenyataannya tentunya proses erosi tidak berjalan sesederhana itu. Erosivitas
dapat dijabarkan sebagai hujan yang keberadaannya dipengaruhi oleh vegetasi dan
kemiringan. Sementara itu, erodibiltas juga sangat dipengaruhi oleh vegetasi. Bahkan manusia
sangant mempengaruhi faktor-faktor tersebut. Akibantnya, erosi secara jelas merupakan
fungsi dari hujan (i), kemiringan (r), vegetasi (v), tanah (t), dan manusia (m), sehingga dapat
ditulis sebagai berikut :
E = f (i, r, v, t, m)
Dengan demikian erosivitas merupakan sifat yang memerlukan energi (R), serta faktor
yang mempengaruhi energi tersebut adalah lereng (kelerengan/S dan panjang lereng/L).
Faktor erodibilitas diuraikan menjadi sifat-sifat tanah (K) dan faktor yang memodifikasikan
yaitu tanaman (C) dan pengelolaan (P) sehingga persamaan menjadi :
A = R K L S C P
Besarnya erosi dapat dikelompokkan seperti tabel kelas bahaya erosi berikut ini dan
dipetakan pada skala 1 : 50.000
Kelas Bahaya Erosi (ton/ha/th)
I
II
III
IV
V
< 15
15 – 60
60 – 180
180 – 480
>480
Tingkat bahaya erosi (TBE) setiap unit lahan didapatkan dengan menumpang
tindihkan peta bahya erosi dengan peta kedalaman solum tanah. Tabel berikut berisi ketentuan
untuk menetapkan TBE suatu unit lahan.
Solum Tanah (cm) Kelas Bahaya Erosi
I (<15) II (15-60) III (60-180) IV (180-480) V (>480)
Dalam (>90) 0-SR I-R II-S III-B IV-SB
Sedang (60-90) I-R II-S III-B IV-SB IV-SB
Dangkal (30-60) II-S III-B IV-SB IV-SB IV-SB
Sangat dangkal (<30) III-B IV-SB IV-SB IV-SB IV-SB
0 – SR = sangat ringan III – B = berat
I – R = ringan IV – SB = sangat berat
II – S = sedang
Konservasi Tanah dan Air
Konservasi tanah dan air secara garis besar dapat dilakukan dengan 3 metode yaitu
metode mekanik, biologik, dan kimia. Tujuan konservasi tanah dan air secara mekanik adalah
untuk memperkecil aliran permukaan sehingga mengalir dengan kecepatan yang tidak
merusak serta menampung dan menyalurkan aliran permukaan pada bangunan tertentu yang
telah dipersiapkan.
Metode mekanis dapat meliputi berbagai cara seperti :
1. Saluran Diversi
2. Teras
3. Saluran teras
4. Terjunan
5. Rorak
6. Dan Pengendali
7. Dam Penahan
8. Bangunan pengendali jurang
9. Embung
Terasering adalah metode pengendalian erosi yang dilakukan dengan membuat teras,
yaitu berupa timbunan, gundukan tanah atau saluran yang ditempatkan melintang dengan arah
kemiringan lereng atau sisi-sisi bukit. Fungsi teras adalah :
a. Untuk memperpendek panjang lereng sekaligus mengurangi erosi,
b. Mencegah pembentukan parit,
c. Meningkatkan infiltrasi,
d. Menangkap air hujan dan menhannya.
Daerah-daerah dengan derjat kemiringan 0 - 3% dapat dilindungi dari bahaya erosi
secara efektif dengan teras datar. Daerah-daerah dengan kemiringan 3 - 10% dengan teras
kredit, sementara teras guludan dapat ditarkan pada daerah dengan kemiringan 10-15% dan
teras bangku cocok untuk daerah dengan kemiringan 10-30% bahkan hingga 50%.
III. METODE PENELITIAN
Tingkat erosi suatu daerah dapat diperkirakan dengan rumus Universal Soil Loss
Equation (USLE) yang dikembangkan oleh Weischmeier dan Smith, yaitu :
A= R K L S C P
Keterangan :
A= perkiraan tanah yang tererosi (ton/ha/th)
R = faktor erosivitas hujan
K= faktor erodibilitas tanah
L= faktor panjan lereng
S= faktor kemiringan lahan
C = faktor pengelolaan tanaman
P = faktor praktek penanggulangan erosi
Erosivitas hujan adalah kemapuan hujan untuk menimbulkan erosi pada tanah. Bols
(1978) telah mengembangkan cara untuk menghitung erosivitas hujan berdasarkan data curah
hujan bulanan, curah hujan tahunan, dan jumlah hari hujan.
Erodibilitas tanah (K) adalah sifat tanah yang menyatakan kepekaan tanah untuk
tererosi. Cara penentuan nilai K menurut Weischmeier ada dua yaitu dengan persamaan dan
nomograph.
Menurut Arsyad (1989) faktor panjang lereng adalah nisbah tingkat erosi dari suatu
lereng terhadap tingkat erosi dari lereng dengan panjang lereng 22 m. Kelas kemiringan
lereng satuan lahan ditentukan dengan cara membuat jaring-jaring yang berjarak tetap pada
peta topografi yaitu 1 cm.
Faktor tanaman (C) merupakan angka perbandingan erosi lahan yang ditanami sesuatu
jenis tanaman dengan erosi dari plot kontrol. Faktor pengelolaan tanah (P) diperoleh dari
membagi kehilangan tanah dari lahan yang diberi perlakuan P dengan kehilangan tanah dari
petak baku. Faktor P tidak hanya mencakup usaha konservasi tanah secara mekanis tetapi juga
berbagai usaha lain untuk mengurangi erosi.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Setelah dilakukan penampalan dari peta topografi, peta penggunaan lahan, peta tanah,
dan peta iklim maka dapat diperoleh 4 satuan penggunaan lahan. Dari keempat satuan lahan
tersebut kemudian dilakukan perkiraan besarnya erosi yang tersjadi pada daerah tersebut
menggunakan rumus USLE.
Satuan lahan 1 memiliki karakteristik biogeofisik lahan yakni curah hujan yang
tergolong rendah (13,6-20,7 mm/hari), kelerengan termasuk kelas lereng II yaitu 8%-15%
(landai), dan jenis tanahnya adalah tanah mediteran yang mana jenis tanah ini merupakan
tanah yang agak peka terhadap erosi. Tipe penggunaan pada kawasan ini adalah pemukiman,
semak belukar, dan sawah. Berdasarkan perkiraan rumus USLE maka besarnya erosi yang
terjadi pada daerah ini sebesar 455,98 ton/ha/th (R = 1.775,9; K = 0,1; LS = 1,4; CP = 1,834).
Maka kawasan ini tergolong pada kelas bahaya erosi IV. Oleh sebab itu perlu adanya teknik
konservasi yang diperlukan untuk mengurangi besarnya erosi yang terjadi.
Berdasarkan keenam faktor yang mempengaruhi terjadinya erosi, maka faktor yang
dapat diubah hanyalah nilai faktor C atau P. Untuk memecahkan masalah tersebut maka dapat
direkomendasikan pembangunan teras gulud : jagung – kacang tanah, mulsa + sisa tanaman
dijadikan mulsa dengan nilai faktor P atau CP adalah 0,006 (Petunjuk Praktikum KTA: 33,
2007). Dengan teknik konservasi tersebut maka diperoleh besarnya erosi pada satuan lahan 1
adalah 1,4917 ton/ha/th sehingga temasuk ke dalam kelas bahaya erosi I dengan tingkat
bahaya erosi I – Ringan.
Satuan lahan 2 memiliki karakteristik biogeofisik lahan dengan curah hujan yang
tergolong rendah (13,6-20,7 mm/hari), kelerengan termasuk kelas lereng IV yaitu 25%-40%
(curam), dan jenis tanahnya adalah tanah litosol yang mana jenis tanah ini merupakan tanah
yang sangat peka terhadap erosi. Jenis penggunaan lahan pada satuan lahan ini adalah tegalan
dan pemukiman. Dengan rumus USLE (R=1.775,9; K=0,78; LS=6,8; CP=1,5) maka diketahui
besarnya erosi yang terjadi sebesar 14.129,06 ton/ha/th sehingga kawasan ini tergolong pada
kelas bahay erosi V atau kelas TBE pada kelas IV – SB (sangat berat).
Melihat begitu besarnya tingkat bahaya erosi dan nilai besarnya erosi yang tinggi
sekali yang memungkinkan terjadi maka hal yang perlu dilakukan adalah mengkonversi
kawasan tersebut menjadi hutan alam. Alasan dipilih hutan alam adalah apabila kawasan
dengan kelerengan yang curam dengan jenis tanah yang sangat peka terhadap erosi maka akan
sangat membahayakan jiwa manusia apabila lahan tersebut dimanfaatkan sebagai lahan
pemukiman. Apabila dijadikan sebagai hutan alam maka nilai besarnya erosi akan menjadi
sebesar 9,419 ton/ha/th karena nilai faktor CP hutan alam adalah 0,001. Dengan demikian
apabila terealisasi maka kawasan tersebut akan tergolong kelas bahaya erosi I dan kelas TBE
0-SR (sangat ringan).
Satuan lahan 3 memiliki karakteristik biogeofisik lahan dengan curah hujan yang
tergolong sedang (20,7-34,8 mm/hari), kelerengan termasuk kelas lereng V yaitu >40%
(sangat curam), dan jenis tanahnya merupakan tanah litosol yang mana jenis tanah ini adalah
tanah yang sangat peka terhadap erosi. Tipe penggunaan lahan pada satuan lahan ini adalah
kebun campur dan tegalan. Sehingga dengan rumus USLE dapat dijabarkan nilai masing-
masing faktor yang mempenagruhi besarnya erosi yang terjadi sebagai berikut :
R=2.685,925; K=0,78; LS=9,5; dan CP=0,6. Maka dapat diketahui besarnya erosi yang
diperkirakan terjadi sebesar 11.928,307 ton/ha/th. Sehingga pada saat ini kawasan ini
termasuk ke dalam kelas bahaya erosi V dan kelas TBE IV-SB (sangat berat).
Dengan nilai besarnya erosi yang diperkirakan sangat tinggi maka perlu
direkomendasikan penggunaan lahan sebagai Hutan tak tertanggu. Mengingat dengan
kelerengan >40% dan jenis tanah yang sangat peka terhadap erosi maka akan menimbulkan
dampak bahaya berupa bencana longsor apabila digunakan sebagai lahan untuk kebun campur
dan tegalan. Nilai faktor CP pada hutan tak terganggu adalah 0,001 sehingga akan
menghasilkan nilai erosi yang diperkirakan terjadi sebesar 19,88 ton/ha/th. Dengan demikian
maka satuan lahan 3 akan termasuk dalam kelas bahaya erosi II dan kelas TBE pada I-R
(ringan).
Sedangkan pada satuan lahan 4 memiliki karakteristik biogeofisik lahan dengan curah
hujan yang tergolong rendah (13,6-20,7 mm/hari), kelerengan termasuk kelas lereng III yaitu
15%-25% (agak curam), dan jenis tanahnya adalah tanah litosol yang mana jenis tanah ini
merupakan tanah yang sangat peka terhadap erosi. Jenis penggunaan lahan pada saat ini
berupa pemukiman, sawah, dan tegalan. Nilai masing-masing faktor yang memperngaruhi
proses terjadinya erosi adalah R=1.775,9; K=0,78; LS=3,1; dan CP=1,917. Sehingga
diperoleh nilai besarnya erosi yang diperkirakan terjadi yaitu 8.231,859 ton/ha/th. Dengan
nilai tersebut maka satuan lahan 4 termasuk dalam kelas bahaya erosi V dan kelas TBE IV-SB
(sangat berat).
Oleh sebab itu maka perlu diakukan perubahan sistem pengelolaan kawasan dengan
pembangunan teras bangku : kacang tanah – kacang tanah. Alasan dipilih penbuatan teras
bangku karena curah hujan kawasan tergolong rendah, kelerengan agak curam, serta tanpa
harus merelokasi penggunaan lahan yang ada. Namun apabila teras bangku yang dipilih maka
akan menghasilkan nilai erosi sebesar 38,647 ton/ha/th dan kawasan termasuk kategori kelas
bahay erosi II dan kelas TBE II-Sedang. Namun apabila menghindari resiko terjadinya
bencana longsor maka jalan yang meski diambil adalah merelokasi semua pemukiman
penduduk dan mengubah kawasan menjadi hutan alam, hutan tak tertanggu, alang-alang
murni atau semak tak terganggu sebagian rumput karena memiliki nilai faktor CP sebesar
0,001 sehingga menghasilkan nilai erosi 4,294 ton/ha/th. Dengan demikian maka satuan lahan
4 akan termasuk dalam kelas bahaya erosi I dan kelas TBE I-Ringan.
V. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil perhitungan perkiraan besarnya nilai erosi menggunakan rumus
USLE maka dapat diperoleh hasil sebagai berikut :
SPL Awal Rekomendasi
Nilai erosi
(ton/ha/th)
Kls. Bhy
erosi
Kls. TBE Nilai erosi
(ton/ha/th)
Kls. Bhy
erosi
Kls. TBE CP
1 455,98 IV IV-SB 1,4917 I I-R Teras gulud
2 14.129,06 V IV-SB 9,419 I 0-S Hutan
3 11.928,307 V IV-SB 19,88 II I-R Hutan
4 8.231,859 V IV-SB 4,294 I I-R hutan
Hampir seluruh SPL yang dipilih secara random menunjukkan tingkat bahaya erosi
yang tinggi sehingga mengharuskan adanya relokasi dan reklamasi kawasan ataupun
penerapan teknik konservasi tanah dan air yang tepat.
VI. DAFTAR PUSTAKA
Asdak, Chay. 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daeerah Aliran Sungai. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Brooks, K. N., P. F. Ffolliott, H.M. Gregersen, A.L. Lundgren dan R.M. Quinn. 1990. Manual
on Watershed Management Project Planning, Monitoring and Evaluation. A
publication of ASEAN-US Watershed Project College, Laguna Philippines 4031.
Kusumandari, Ambar. 2007. Hand Out Konservasi Tanah dan Air. Program Studi Konsevarsi
Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Kusumandari, Ambar dan Sri Astuti. 2007. Petunjuk Praktikum Konservasi Tanah dan Air.
Lab. Pengelolaan DAS Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan
Univesitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Senawi. 1999. Evaluasi dan Tata Guna Lahan Hutan. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.
Senawi, Emma Soraya, dan Edi Yanto. 2007. Slide-Slide Kuliah Pemetaan Tata Guna Lahan.
Laboratoriun SISPH Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.
Supriyandono. 2007. Buku Ajar Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (P-DAS). Jurusan
Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.
ANALISIS KELAS KEMAMPUAN LAHAN SUB DAS TEMON
I. PENDAHULUAN
a. Permasalahan
Sub-DAS Temon terletak di kabupaten Sukoharjo, Propinsi Jawa Tengah. Dari studi
pendahuluan diketahui bahwa bentuk-bentuk penggunaan lahan sub-DAS Temon saat ini
diantaranya adalah tegalan, pemukiman, semak belukar, kebun, waduk, sawah, dan hutan.
Kondisi topografi sub-DAS Temon sangat bervariasi mulai dari datar, landai, agak curam,
curam, sampai sangat curam. Dari observasi lapangan terlihat bahwa penggunaan lahan di
sub-DAS Temon ini banyak yang tidak sesuai dengan peruntukkannya, seperti terlihat sawah-
sawah yang terletak di daerah yang agak curam sampai curam.
Kondisi tersebut apabila dibiarkan terus-menerus akan memberikan maslah atau
dampak yang negatif terhadap lingkungan. Masalah yang mungkin mengikuti tersebut adalah
seperti erosi, terbentuknya lahan kritis, banjir di musim hujan, kekeringan di musim kemarau,
pencemaran air, pendangkalan waduk, dan lain sebagainya seperti yang umum terjadi di
sebagian besar DAS-DAS di Indonesia.
b. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
Menentukan dan menganalisa kelas kemampuan lahan Sub-DAS Temon
II. STUDI PUSTAKA
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah keseluruhan daerah yang diatur oleh sistem
sungai sehingga seluruh aliran dari daerah tersebut dikeluarkan melalui outlet tunggal
(Linsley, 1949). DAS (watershed) merupakan suatu areal atau daerah yang dibatasi oleh
bentuk topografi yang didraenasi oleh sutau sistem aliran yang membentuk suatu sungai yang
melewati titik out-let dari total area di atasnya. Pedoman Penyusunan Pola-RLKT (1994) :
DAS adalah suatu daerah tertentu yang bentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa sehingga
merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak sungainya yang melalui daerah tersebut
dalam fungsinya untuk menampung air yang berasal dari curah hujan dan sumber air lainnya,
penyimpanannya serta pengalirannya dihimpun dan ditata berdasarkan hukum alam
sekelilingnya demi kesinambungan daerah tersebut. Esensinya DAS adalahn suatu wilayah
daratan yang menerima air hujan, menampung dan mengalirkannya melalui sungai utama ke
laut/ danau. Satu DAS dipisahkan dari wilayah lain di sekitarnya (DAS-DAS lain) oleh
pemisah alam topografi, seperti punggung bukit dan gunung.
Penggunaan landskap DAS oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
diantaranya adalah hutan alam, hutan tanaman, agroforestry, tegalan, sawah, ladang, badan
air, daerah pemukiman, areal pertambangan, dan lain-lain. Bentuk-bentuk penggunaan lahan
ini dikenal sebagai penggunaan lahan atau tata-guna lahan (land use).
Menurut Senawi, 2009, klasifikasi kemampuan lahan adalah pengelompokkan lahan
ke dalam satuan-satuan khusus menurut kemampuannya untuk penggunaan intensif dan
perlakuan yang diperlukan untuk dapat digunakan secara terus menerus. Klasifikasi
kemampuan lahan adalah penilaian lahan (komponen-komponen lahan) secara sistematik dan
pengelompokannya ke dalam beberapa kategori berdasarkan atas sifat – sifat yang merupakan
potensi dan penghambat dalam penggunaannya secara lestari.
Sistem klasifikasi kemampuan lahan membagi lahan ke dalam sejumlahn kategori
yang diurutkan menurut jumlah dan intensitas faktor penghambat yang berpengaruh terhadap
pertumbuhan tanaman, dari kategori tertinggi ke kategori terendah (kelas, su kelas, dan satuan
pengelolaan). Dasar klasifikasi kemampuan lahan adalah faktor pembatas tersebut.
Ada tiga metode evaluasi kemampuan lahan yaitu :
1. Metode Pemerian (description)
Menggambarkan kondisi satuan lahan dengan runut sesuai karakteristik lahan yang
ada.
2. Metode Pengharkatan (scoring)
Setiap skor dari kriteria-kriteria tersebut dijumlahkan kemudian ditentukan tinbgkatan
kelasnya sesuai arahan yang telah ditetapkan.
3. Metode Perbandingan (matching)
Setiap satuan lahan memiliki karakteristik yang berbeda kemudian dibandingkan
dengan kriteria yang lain dan diperbandingkan secara bersamaan kemudian ditentukan
tingkatan kelasnya.
Klasifikasi kemampuan lahan pertama kali diperkenalkan oleh USDA (United State
Departement of Agriculture). USDA membagi lahan berdasarkan potensi dan faktor
pembatasanya ke dalam 8 kelas.
Kelas-kelas kemampuan lahan :
1. Kemampuan lahan kelas I
Tanah pada lahan kelas I ini sesuai untuk segala jenis penggunaan tanpa
memerlukan tindakan pengawetan tanah yang khusus; tidak memiliki penghambat
atau ancaman kerusakan. Kelas I dicirikan oleh : lereng yang datar, bahaya erosi yang
sangat kecil, solum dalam, draenase baik, mudah diolah, dapat menhan air dengan
baik, responsif terhadap pemupukan, tidak terancam banjir, dan iklim setempat sesuai
untuk pertumbuhan tanaman.
2. Kemampuan lahan kelas II
Tanah pada lahan kelas II ini sesuai untuk segala jenis penggunaan pertanian
dengan sedikit hambatan dan ancaman kerusakan. Kelas II dicirikan oleh : lereng
landai, kepekaan erosi sedang atau telah mengalami erosi, bertekstur halus sampai
agak kasar, solum agak dalam, struktur tanah dan daya olah tanah agak kurang baik,
salinitas ringan sampai sedang, kadang terlanda banjir, draenase sedang, dan iklim
agak kurang sesuai untuk tanaman.
3. Kemampuan lahan kelas III
Tanah pada lahan klas III ini sesuai untuk segala jenis usaha pertanian dengan
hambatan dan ancaman kerusakan lahan yang lebih besar dari lahan klas II, sehingga
memerlukan konservasi khusus. Klas III dicirikan oleh : lereng agak miring atau
bergelombang, drainase buruk, solum sedang, permeabilitas tanah bawah lambat, peka
terhadap erosi/telah tererosi agak berat, kapasitas menahan air rendah, kesuburannya
rendah dan tidak mudah diperbaiki, seringkali mengalami banjir, lapisan padas
dangkal, salinitas sedang, hambatan iklim agak besar. Jika lahan kelas III ini
diusahakan maka perlu usaha pengawetan tanah dengan cara perbaikan drainase, strip-
cropping, pergiliran tanaman, pembuatan teras, penambahan pupuk/bahan organik.
4. Kemampuan lahan kelas IV
Tanah pada lahan kelas IV ini mempunyai faktor penghambat yang lebih besar
dari pada kelas III. Kelas IV dicirikan oleh : lereng miring (15-30 %) atau berbukit,
kepekaan erosi besar, solum dangkal, kapasitas menahan air rendah, sering tergenang,
drainase jelek, salinitas tinggi, dan iklim kurang menguntungkan. Jika lahan kelas IV
ini dipergunakan untuk tanaman semusim maka perlu pembuatan teras atau saluran
drainase atau pergiliran. Kelas I-IV sesuai untuk budidaya tanaman pertanian dengan
teras dan pembatas fisiknya meningkat bila tanpa teras. Keas-kelas tersebut sesuai
untuk peternakan (pastoral), agroforestry, dan kehutanan.
5. Kemampuan lahan kelas V
Tanah pada lahan klas V ini tidak sesuai untuk tanaman semusim. Kelas V
dicirikan oleh : lereng datar atau cekung, sering kali terlanda banjir, seringkali
tergenang, berbatu-batu, pada perakaran sering dijumpai catclay, berawa-rawa. Lahan
kelas V ini sesuai untuk hutan produksi atau hutan lindung, padang penggembalaan,
atau suaka alam. Tidak sesuai untuk penanaman tanpa teras. Kelas ini sesuai untuk
penanaman dengan teras bangku untuk pastoral, agroforestry dan kehutanan.
6. Kemampuan lahan kelas VI
Tanah pada lahan kelas VI ini tidak sesuai untuk pertanian. Penggunaannya
terbatas untuk padang penggembalaan, hutan produksi, hutan lindung, atau cagar
alam. Kelas VI dicirikan oleh : lereng agak curam (25-40%), ancaman erosi berat,
telah tererosi berat, solum tanah sangat dangkal, berbatu, batu, dan iklim tidak sesuai.
Pengelolaan lahan perlu dibuat teras bangku, pengolahan menurut kontur, penutupan
tanah dengan rumput perlu selalu diusahakan. Hanya sesuai untuk penanaman di muka
crop/ tree agroforestry dipertahankan pada teras bangku dikarenakan kedalaman tanah,
kemiringan tanahnya. Kelas ini juga sesuai untuk pastoral, agroforestry dan
kehutanan.
7. Kemampuan lahan kelas VII
Lahan kelas VII ini tidak sesuai untuk pertanian. Jika untuk tanaman pertanian
harus dibuat teras bangku yang ditunjang dengan konservasi secara vegetatif. Lahan
kelas VII ini dicirikan oleh : lereng curam (40-65%), tererosi berat (banyak parit
erosi), solum sangat dangkal, dan berbatu-batu. Tidak sesuai untuk agroforestry : crop
and tree, tetapi dapat sesuai untuk agroforestry : rumput dan tree, pastoral, kehutanan.
8. Kemampuan lahan kelas VIII
Lahan kelas VIII ini tidak sesuai untuk pertanian, dan harus didiamkan dalam
keadaan alami. Lahan kelas VIII ini dicirikan oleh : lereng yang sangat curam (>
65%), berbatu-batu, kapasitas menahan air sangat rendah, solum sangat dangkal,
seringkali dijumpai singkapan batuan, atau padang pasir. Lahan kelas VIII berguna
untuk hutan lindung, cagar alam, atau tempat rekreasi. Pembatas fisik : berat sehingga
tidak sesuai untuk penanaman, pastoral atau produksi kehutanan. Hanya sesuai untuk
perlindungan DAS.
III. METODE PENELITIAN
Metode evaluasi kemampuan lahan yang akan digunakan adalah metode perbandingan
(matching) yaitu setiap satuan lahan memiliki karakteristik yang berbeda kemudian
dibandingkan dengan kriteria yang lain dan diperbandingkan secara bersamaan kemudian
ditentukan tingkatan kelasnya.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Setelah dilakukan penampalan berdasarkan Peta Topografi, Peta Jenis Tanah, Peta
Iklim, dan Peta Penggunaan Lahan pada saat ini Sub DAS Temon, kemudian diperoleh Peta
Satuan Lahan Sub DAS Temon. Berdasarkan banyaknya jumlah satuan lahan yang terbentuk
maka diambil sampel 4 satuan lahan secara random. Kemudian dari keempat satuan
penggunaan lahan tersebut dilakukan evaluasi kemampuan lahan dengan metode matching
berdasarkan kriteria-kriteria yang ada.
Satuan lahan 1 memiliki karakteristik biogeofisik lahan yakni curah hujan yang
tergolong rendah (13,6-20,7 mm/hari), kelerengan termasuk kelas lereng II yaitu 8%-15%
(landai), dan jenis tanahnya adalah tanah mediteran yang mana jenis tanah ini merupakan
tanah yang agak peka terhadap erosi. Tipe penggunaan pada kawasan ini adalah pemukiman,
semak belukar, dan sawah. Berdasarkan metode matching, satuan lahan 1termasuk ke dalam
kelas kemampuan lahan kelas II. Hal ini dikarenakan kelerengan pada kasawan ini termasuk
kelas lereng landai, solum agak dalam (60-90 cm) karena terdapat sawah, sifat-sifat fisik
tanah yang kurang menguntungkan karena struktur dan tekstur pada tanah geluh berlempung,
sifat iklim disini sangat menguntungkan bagi tanaman. Namun demikian kawasan ini rentan
terhadap erosi angin, erosi tebing sungai yang ringan sehingga perlu dibangun teras bangku
yang mengarah ke dalam.
Satuan lahan 2 memiliki karakteristik biogeofisik lahan dengan curah hujan yang
tergolong rendah (13,6-20,7 mm/hari), kelerengan termasuk kelas lereng IV yaitu 25%-40%
(curam), dan jenis tanahnya adalah tanah latosol yang mana jenis tanah ini merupakan tanah
yang sangat peka terhadap erosi. Jenis penggunaan lahan pada satuan lahan ini adalah tegalan
dan pemukiman. Karena terdapat penggunaan lahan sebagai tegalan maka kedalaman tanah
solum berkisar antara 30-60 cm. Kondisi demikian menyebabkan satuan lahan 2 termasuk
dalam kemampuan lahan kelas VI. Hal ini dikarenakan kawasan memiliki kelerenga yang
curam (25%-40%), memiliki solum yang dangkal, meskipun iklimnya menguntungkan untuk
tanaman. Oleh sebab itu penggunaannya terbatas pada padang pengembalaan, hutan lindung,
cagar alam. Namun apabila tidak terjadi perubahan penggunaan lahan maka perlu dibangun
teras bangku dengan pengelolaan sesuai kontur serta penutupan lahan dengan rumput.
Satuan lahan 3 memiliki karakteristik biogeofisik lahan dengan curah hujan yang
tergolong sedang (20,7-34,8 mm/hari), kelerengan termasuk kelas lereng V yaitu >40%
(sangat curam), dan jenis tanahnya merupakan tanah latosol yang mana jenis tanah ini adalah
tanah yang sangat peka terhadap erosi. Tipe penggunaan lahan pada satuan lahan ini adalah
kebun campur dan tegalan. Dengan metode matching maka satuan lahan ini tergolong dalam
kemampuan lahan kelas VII. Hal ini dikarenakan kondisi lereng yang sangat curam yang akan
dapat menimbulkan terjadinya erosi parit, solum tanah yang dngkal akibat penggunaan lahan
sebagai kebun campur dan tegalan. Lahan ini seharusnya tidak sesuai untu pengerjaan tanah
atau untuk crop/tree agroforestry (kebun campur). Lahan ini lebih sesuai untuk kehutanan
daripada pastoral-farming. Apabila tidak terjadi perubahan penggunaan lahan maka harus
dibuat teras bangku yang ditunjang dengan konservasi secara vegetatif.
Sedangkan pada satuan lahan 4 memiliki karakteristik biogeofisik lahan dengan curah
hujan yang tergolong rendah (13,6-20,7 mm/hari), kelerengan termasuk kelas lereng III yaitu
15%-25% (agak curam), dan jenis tanahnya adalah tanah latosol yang mana jenis tanah ini
merupakan tanah yang sangat peka terhadap erosi. Jenis penggunaan lahan pada saat ini
berupa pemukiman, sawah, dan tegalan. Kedalaman solum berkisar antara 30-90 cm karena
jenis penggunaan lahan pada kawasan ini berupa sawah dan tegalan. Dengan kriteria-kriteria
tersebut maka satuan lahan 4 memiliki kemampuan lahan pada kelas III. Oleh sbab itu lahan
ini sesuai untuk segala jenis usaha pertanian. Namun demikian karena jenis tanah yang sangat
peka terhadap erosi maka perlu teknik konservasi khusus dengan cara memperbaiki draenase,
sistem tanam strip cropping, pergiliran tanaman, pembuatan teras bangku, penambahan pupuk
atau bahan organik.
V. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil evaluasi lahan yang telah dilakukan pada Sub-DAS Temon maka dapat
diketahui keempat satuan yang dipilih memilki kelas kemampuan lahan sebagai berikut :
a) SPL 1 = kelas kemampuan lahan II
b) SPL 2 = kelas kemampuan lahan VI
c) SPL 3 = kelas kemampuan lahan VII
d) SPL 4 = kelas kemampuan lahan III
Semua jenis penggunaan lahan yang diterapkan pada setiap kawasan haruslah disesuaikan
dengan kemampuan lahannya agar tidak menimbulkan bencana.
VI. DAFTAR PUSTAKA
Asdak, Chay. 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daeerah Aliran Sungai. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Brooks, K. N., P. F. Ffolliott, H.M. Gregersen, A.L. Lundgren dan R.M. Quinn. 1990. Manual
on Watershed Management Project Planning, Monitoring and Evaluation. A
publication of ASEAN-US Watershed Project College, Laguna Philippines 4031.
Kusumandari, Ambar. 2007. Hand Out Konservasi Tanah dan Air. Program Studi Konsevarsi
Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Kusumandari, Ambar dan Sri Astuti. 2007. Petunjuk Praktikum Konservasi Tanah dan Air.
Lab. Pengelolaan DAS Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan
Univesitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Senawi. 1999. Evaluasi dan Tata Guna Lahan Hutan. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.
Senawi, Emma Soraya, dan Edi Yanto. 2007. Slide-Slide Kuliah Pemetaan Tata Guna Lahan.
Laboratoriun SISPH Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.
Soraya, Emma. 2008. Sistem Informasi Geografis untuk Evaluasi Lahan : Petunjuk Praktikum
Pemetaan dan Tata Guna Lahan. Lab. SISPH Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta.
Supriyandono. 2007. Buku Ajar Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (P-DAS). Jurusan
Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.
Top Related