Patofisiologi Hipertensi
Menurut Smeltzer & Bare (2002:898) mengatakan bahwa Mekanisme yang mengontrol
konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak di pusat vasomotor pada medulla oblongata di
otak dimana dari vasomotor ini mulai saraf simpatik yang berlanjut ke bawah korda spinalis dan
keluar dari kolomna medulla ke ganglia simpatis di torax dan abdomen, rangsangan pusat
vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui system syaraf
simpatis . Pada titik ganglion ini neuron prebanglion melepaskan asetilkolin yang merangsang
serabut saraf paska ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan melepaskannya nere frineprine
mengakibatkan konskriksi pembuluh darah.3
Faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh darah
terhadap rangsang vasokonstriktif yang menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah akibat
aliran darah yang ke ginjal menjadi berkurang /menurun dan berakibat diproduksinya rennin,
rennin akan merangsang pembentukan angiotensai I yang kemudian diubah menjadi angiotensis
II yang merupakan vasokonstriktoryang kuat yang merangsang sekresi aldosteron oleh cortex
adrenaldimana hormone aldosteron ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal
dan menyebabkan peningkatan volume cairan intra vaskuler yang menyebabkan hipertensi. 3
Gejala Klinis Hipertensi
Sebagian besar pasien dengan hipertensi tidak mempunyai gejala spesifik yang
menunjukkan kenaikan tekanan darahnya dan hanya diidentifikasikan pada pemeriksaan fisis.
Jika gejala membuat pasien dating ke dokter, dapat digolongkan menjadi tiga kategori. Pasien
dihubungkan dengan (1) kenaikan tekanan itu sendiri, (2) penyakit vaskuler hipertensif, dan (3)
penyakit yang mendasarinya pada kasus hipertensi sekunder. Meskipun dengan popular dianggap
gejala kenaikan tekanan darah, sakit kepala hanya karakteristik untuk hipertensi berat; paling
sering terletak pada daerah oksipital, terjadi ketika pasien bangun pada pagi hari, dan berkurang
secara spontan setelah beberapa jam. Keluhan lain yang mungkin berhubungan adalah pusing,
palpitasi, mudah lelah, dan impotensi. Keluhan yang mengarah ke penyakit vaskuler termasuk
epistaksis, hematuria, pandangan kabur karena perubahan retina, episode lemah atau pusing yang
disebabkan oleh iskemia serebral sementara, angina pectoris, dan dyspnea yang disebabkan oleh
gagal jantung. Nyeri karena diseksi aorta atau bocornya aneurisma merupakan gejala yang
kadang-kadang terjadi.1
Patofisiologi PPOK
Walaupun COPD terdiri dari berbagai penyakit tetapi seringkali memberikan kelainan
fisiologis yang sama. Akibat infeksi dan iritasi yang menahun pada lumen bronkus, sebagian
bronkus tertutup oleh secret yang berlebihan, hal ini menimbulkan dinding bronkus menebal,
akibatnya otot-otot polos pada bronkus dan bronkielus berkontraksi, sehingga menyebabkan
hipertrofi dari kelenjar-kelenjar mucus dan akhirnya terjadi edema dan inflamasi. Penyempitan
saluran pernapasan terutama disebabkan elastisitas paru-paru yang berkurang. Bila sudah timbul
gejala sesak, biasanya sudah dapat dibuktikan adanya tanda-tanda obstruksi. Gangguan ventilasi
yang berhubungan dengan obstruksi jalan napas mengakibatkan hiperventilasi (napas lambat dan
dangkal) sehingga terjadai retensi CO2 (CO2 tertahan) dan menyebabkan hiperkapnia (CO2 di
dalam darah/cairan tubuh lainnya meningkat). 2
Pada orang normal sewaktu terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang menarik jaringan
paru akan berkurang, sehingga saluran-saluran pernapasan bagian bawah paru akan tertutup.
Pada penderita COPD saluran saluran pernapasan tersebut akan lebih cepat dan lebih banyak
yang tertutup. Akibat cepatnya saluran pernapasan menutup serta dinding alveoli yang rusak,
akan menyebabkan ventilasi dan perfusi yang tidak seimbang. Tergantung dari kerusakannya
dapat terjadi alveoli dengan ventilasi kurang/tidak ada, tetapi perfusi baik, sehingga penyebaran
pernapasan udara maupun aliran darah ke alveoli, antara alveoli dan perfusi di alveoli (V/Q rasio
yang tidak sama). Timbul hipoksia dan sesak napas, lebih jauh lagi hipoksia alveoli
menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah paru dan polisitemia. 2
Perjalanan klinis penderita PPOK terbentang mulai dari pink puffers sampai blue bloaters
adalah timbulnya dispnea tanpa disertai batuk dan produksi sputum yang berarti. Biasanya
dispnea mulai timbul antara usia 30 sampai 40 tahun dan semakin lama semakin berat. Pada
penyakit lanjut, pasien mungkin begitu kehbisan napas sehingga tidak dapat makan lagi dan
tubuhnya tampak kurus tak berotot. Pada perjalanan penyakit lebih lanjut, pink puffers dapat
berlanjut menjadi bronktis kronis sekunder. Dada pasien berbentuk tong, diafragma terletak
rendah dan bergerak tak lancar. Polisitemia dan sianosis jarang ditemukan, sedangkan kor
pulmonal (penyakit jantung akibat hipertensi pulmonal dan penyakit paru) jarang ditemukan
sebelum penyakit sampai pada tahap terakhir. Gangguan keseimbangan ventilasi dan perfusi
minimal, sehingga dengan hiperventilasi penderita pink puffers biasanya dapat mempertahankan
gas-gas darah dalam batas normal sampai penyakit ini mencapai tahap lanjut. Paru biasanya
membesar sekali sehingga kapasitas paru total dan volume residu sangat meningkat. 2
Pada keadaan PPOK ekstrim yang lain didapatkan pasien-pasien blue bloaters (bronchitis
tanpa bukti-bukti emfisema obstuktif yang jelas). Pasien ini biasanya menderita batuk produktif
dan berulang kali mengalami infeksi pernapasan yang dapat berlangsung selama bertahun-tahun
sebelum tampak gangguan fungsi. Akan tetapi, akhrnya timbul gejala dipsnea pada waktu pasien
melakukan kegiatan fisik. Pasien-pasien ini memperlihatkan gejala berkurangnya dorongan
untuk bernapas; mengalami hipoventilasi dan menjadi hipoksia dan hiperkapnia. Rasio
ventilasi/perfusi juga tampak sangat berkurang. Hipoksia yang kronik merangsang ginjal untuk
memproduksi eritrropoetin, yang akan merangsang peningkatan pembentukan sel-sel darah
merah, sehingga terjadi polisitemia sekunder. Kadar hemoglobin dapat mencapai 20gram/ 100
ml atau lebih, dan sianosis mudah tampak karena Hb dapat tereduksi mudah mencapai kadar 5
gram/100ml walaupun hanya sebagian kecil Hb sirkulasi yang berada dalam bentuk Hb
tereduksi. Pasien-pasien ini tidak mengalami dispnea sewaktu istirahat sehingga mereka tampak
sehat. Biasanya berat tubuh tidak banyak menurun dan bentuk tubuh normal. Kapasitas paru total
normal dan diafrgma berada pada posisi normal. Kematian biasanya terjadi akibat kor pulmonal
atau akibat kegagalan pernapasan. 2
Perjalanan klinis PPOK yang khas berlangsung lama, dimulai pada usia 20-30 tahun
dengan batuk “merokok”, atau “pagi” disertai pembentukan sedikit sputum mukoid. Infeksi
pernapasan ringan cenderung berlangsung lebih lama dari biasanya pada pasien-pasien ini.
Meskipun mungkin terdapat penurunan toleransi terhadap kerja fisik, tetapi biasanya keadaan ini
tidak diketahui karena berlangsung dalam jangka waktu lama. Akhirnya, serangan bronchitis
akut makin sering timbul terutama pada musim dingin dan kemampuan kerja pasien berkurang,
sehingga waktu mencapai usia 50-60an pasien mungkin harus berhenti bekerja. Pada pasien
dengan tipe emfisema tosa yang mencolok perjalanan klinis tampaknya tidak begitu lama yaitu
tanpa riwayat batuk produktif dan dalam beberapa tahun timbul dipsnea yang membuat pasien
menjadi sangat lemah. Bila timbul hiperkapnia, hipoksemia dank or pulmonal prognosisnya
buruk dan kematian biasanya terjadi beberapa tahun sesudah timbul penyakit. Gabungan gagal
napas dan gagal jantung yang dipercepat oleh pneumonia merupakan penyebab kematian yang
lazim.2
Tanda dan Gejala PPOK
Berdasarkan Brunner & Suddarth (2005) adalah sebagai berikut :
1. Batuk produktif, kronis pada bulan-bulan musim dingin.
2. Batuk kronik dan pembentukan sputum purulen dalam jumlah yang sangat banyak.
3. Dispnea.
4. Nafas pendek dan cepat (Takipnea).
5. Anoreksia.
6. Penurunan berat badan dan kelemahan.
7. Takikardia, berkeringat.
8. Hipoksia, sesak dalam dada. 3
Hubungan Hipertensi dengan PPOK
Akibat PPOK, pembuluh arteri di paru -paru akan mengalami kekakuan, sehingga menyebabkan
tekanan darah pada pembuluh arteri tersebut juga meningkat (hipertensi pulmonal).
Referensi
1. Kurt J. Isselbacher. 2000. Harrison: Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Vol 3. Ed.13.
Jakarta: EGC
2. Price, Sylvia A & Wilson, Lorraine M. 2005. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses
penyakit. Vol 2. Ed.6. Jakarta: EGC.
3. Smeltzer C. Suzanne, Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
EGC: Jakarta