PARTISIPASI POLITIK MAJELIS ULAMA INDONESIA
DALAM PEMILIHAN PRESIDEN TAHUN 2019
(PERSPEKTIF MEDIA MASSA)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi
Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
BADRIATUL MUNAWAROH
NIM :11150450000063
PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M / 1441 H
iv
ABSTRAK
Badriatul Munawaoh NIM 11150450000063. PARISIPASI MAJELIS
ULAMA INDONESIA DALAM PEMILIHAN PRESIDEN TAHUN 2019.
Program Studi Hukum Tata Negara (SIYASAH). FAKULTAS SYARIAH DAN
HUKUM , Universitas Islam Negri Syraif Hidayatullah Jakarta. Tahun 1440 H /
2019 M.
Skripsi yang ditulis ini bertujuan untuk mengetahui partisipasi Majelis
Ulama Indonesia (MUI) dalam Pilpres Tahun 2019. Penelitian ini menggunakan
data primer dan data sekunder. adapun data primer yang digunakan yaitu berita
medi online seperti, CCN.Com, Kompas.com, Oke Zone.com, Tempo.com.
sedangkan data sekunder yaitu, semua bahan yang memberikan penjelasan
mengenai data primer berupa tulisan-tulisan, baik dalam bentuk buku, jurnal,
artikel, maupun melalui informasi melalui media internet.
Hasil penelitian ini menunjukan bahawa, keterlibatan MUI dalam Pilpres
Tahun 2019 melalui partisipasi aktif dan partisipasi pasif. Partisipasi aktif
dilakukan dengan adanya dukungan kepada KH. Ma’ruf amin sebagai ketua MUI
yang mencalonkan diri menjadi wakil Presiden, sedangkan partisipasi pasif yaitu
dengan parbeberapa himbauan dan seruan kepada semua pihak yang ikut terlibat
dalam Pilpres 2019. Yaitu dengan cara menyerukan kepada bangsa dan pimpinan
serta para tokoh untuk menggunakan hak pilih dengan baik, mengedepankan
keadilan, netralitas persatuan dan kesatuan bangsa. Selain itu karena adanya rasa
prihatin luar biasa terhadap kondisi kebangsaan dan keumatan yang cenderung
terlihat ada fenomena dan gejala perpecahan. Oleh karna itu, sebagai instansi
keagamaan, sudah semestinya MUI melakukan tindakan dalam bentuk memberi
pengaruh melalui seruan atau fatwa. Dengan demikian MUI berharap bangsa
indonesia khususnya umat Islam untuk terus menguatkan persatuan.
Kata Kunci : Partisipasi, Majelis Ulama Indonesia, Pilpres Tahun 2019
Pembimbing : Dr. Khamami Zada.,SH., M.A., MDC
Daftar Pustaka : 2000 s.d 2019
v
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena hanya
berkat rahmat, dan ridha-Nya, penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul
“Partisipasi Politik Majelis Ulama Indonesia (MUI) Dalam Pemilihan Presiden
Tahun 2019” dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu persyaratan
untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) di Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan dan dukungan dari berbagai
pihak, penulis tidak dapat menyelesaikan skripsi ini. Oleh sebab itu, sudah
sepantasnya penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan
setinggitingginya kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Amany Burhanuddin Umar Lubis M.A., Rektor Uin Syarif
Hidayatullah Jakrta dan Penasehat Akademik yang telah memberikan
bimbingan dan arahan serta kemudahan dalam menyetujui proposal
penulis untuk diajukan kepada fakultas.
2. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, SH, MA, MH, Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Sri Hidayati, M.Ag., Ketua Program Studi Hukum Tata Negara
(Siyasah) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Ibu Masyrofah, Ag, M.Si., Sekretaris Program Studi Hukum Tata Negara
(Siyasah) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Bapak Khamami Zada.,SH.,MA.,MDC Selaku pembimbing Skripsi
penulis yang telah memberikan bimbingan dan arahan dengan tulus dan
sabar kepada penulis sejak awal penulis menyusun proposal skripsi untuk
mengikuti Seminar Proposal hingga proses penyelesaian Skripsi penulis.
6. Dosen-dosen Hukum Tata Negara, atas transfer ilmu yang telah diberikan
selama studi di kampus UIN Syarif Hidayatullah tercinta. Semoga dengan
ketulusan dan keikhlasan hati, menjadi amal jariyah Bapak dan Ibu yang
terus mengalir sampai akhirat nanti.
vi
7. Orang tua tercinta, Bapak H. Ahmad Banani Ikhsan dan ibu Hj. Siti
Julaiha serta keluarga besar Abdir reza baihaqi, Nurul Urfah Badriani,
Lubnan Mahbuby, Agnia Meilani, yang selalu menyelipkan nama anada
dalam setiap doanya, dukungan serta ketulusan cinta dan kasih sayang
yang tak terhingga. Tanpa doa dan dorongan dari beliau berdua ananda
tidak mudah melakukan proses studi di UIN Syarif Hidayatullah tercinta.
8. Dan kepada seluruh civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu.
9. Kepada teman-teman seperjuangan Hukum Tata Negara angkatan 2015,
terkhusus delapan srikandi HTN, Indar Dewi, Ika Yulistiana, Lesnida
Borotan, Agilia Gunawan, Trini Diyani, Fatma Agustina, Settia Fany, dan
Muh. Ridwan, Nonble, Azka, Tamam, Arlen Tentunya juga sahabat-
sahabat penulis lainnya yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu.
10. Kepada teman-teman Kosan (Ka Bella Awaliayah SH, Alda
Kholijah,Mami Astuti) sudah menjadi keluarga dan tempat pulang penulis
sepanjang hari-hari penulis menempuh pendidikan di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Kepada Adik-Adik HTN16 Khusunya Nurkholifah,
Husniah, Andriani, Dilla, Dll yang lumayan menemani kegabutan penulis
dalam menempuh pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Kepada
seluh sahabat yang dekat maupun tidk dekat.
Terima kasih atas segala bantuan yang telah diberikan oleh semua
pihak. Semoga bantuan yang telah diberikan mendapat pahala dari Allah
SWT. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi
pembaca pada umumnya.
Ciputat, 03 Oktober 2019
Badriatul Munawaroh
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................ iii
ABSTRAK ........................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR ....................................................................................... v
DAFTAR ISI .................................................................................................... vii
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
B. Indentifikasi, Pembahasan, dan Rumusan Masalah ......................... 4
C. Tujuan dn Manfaat Penelitian .......................................................... 5
D. Review Studi Terdahulu .................................................................... 6
E. Metode Penelitian.............................................................................. 9
F. Sistematika Pembhasan .................................................................. 11
BAB II TEORI PARTISIPASI POLITIK DAN TEORI POLITIK
ULAMA
A. Teori Partisipasi Politik .................................................................. 13
B. Teori Politik Ulama ........................................................................ 18
BAB III MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI)
A. Sejarah Berdirinya MUI .................................................................. 25
B. Visi, Misi, Orientasi dan Fungsi MUI ............................................. 28
C. Asas dan Sifat Lembaga MUI ......................................................... 33
D. Steruktural Pengurus MUI .............................................................. 34
E. Peran dan Pengaruh MUI dalam Politik ......................................... 38
viii
BAB VI ANALISIS PARTISIPASI POLITIK MUI DALAM PILPRES
2019
A. Bentuk Partisipasi Politik MUI dalam Pilpres Tahun 2019 ........... 46
B. Faktor Partisipasi Politik MUI dalam Pilptrs 2019 ......................... 55
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................................... 60
B. Saran ................................................................................................ 61
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 62
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pemilihan umum (Pemilu) merupakan salah satu sarana demokrasi
dalam implementasi kedaulatan rakyat dalam wadah Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945. Melalui pemilihan yang dilakukan, rakyat dapat memilih
pemimpin yang diharapkan mampu membawa perubahan kearah kehidupan
yang lebih baik.1
Salah satu asas yang dianut dalam pelaksanaan pemilu di Indonesia
adalah asas demokrasi. Indikator yang paling mendasar dari keberhasilan dan
kualitas pelaksanaan penyelenggaraan pemilu yang demokratis sebagaimana
asas yang dianut dalam pemilu adalah adanya partisipasi masyarakat dalam
menentukan pilihan seorang pemimpin yang akan memimpin bangsa untuk
jangka waktu tertentu, yaitu apa yang disebut dengan partisipasi politik. Hal ini
sejalan dengan pendapat Maran yang menyebutkan bahwa, “bentuk partisipasi
politik yang paling umum dikenal adalah pemungutan suara (voting), baik
untuk memilih calon wakil rakyat atau untuk memilih kepala negara”.2
Sejalan dengan hal ini pula, Miriam Budiardjo menyebutkan bahwa
partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut
secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih
pimpinan negara dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi
kebijakan pemerintah (public policy).3
1Stevan Kario, Partisipasi Politik Masyarakat Dalam Pelaksanaan Pemilihan Hukum Tua
Tahun 2016 (Studi Di Desa Kolongan Tetempangan Kecamatan Kalawat Kabupaten Minahasa Utara), Ilmu Pemerintahan Program Studi Ilmu Pemerintahan FISPOL UNSRAT. h.21.
2Rafael Raga Maran, Pengantar Sosiologi Politik, (Jakarta:Asdi Mahasatya, 2007), h.148. 3Girindra Sandino, Partisipasi Politik Masyarakat dalam Pemantauan Pemilu,
<23/02/2018>,https://nasional.kompas.com/read/2018/02/23/17152991/partisipasi-politik-masyarakat-dalam-pemantauan-pemilu. Diunduh pada tanggal 15 Januari 2019 21:00 WIB.
2
Dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2019, salah satu komponen
yang turut serta dalam berpartisipasi politik adalah tokoh agama. bahwa entitas
ulam dalam Pilpres 2019 menjadi komoditas politik yang berharga dan mahal
yang disebabkan karena bebera hal. Pertama, isu agama terbukti memberi
peran penting dalam kontestasi politik. Pilkada Jakarta adalah pelajaran paling
berharga yang harus diingat.
Elektabilitas Anies-Sandi yang awalnya relatif kecil, mampu
didongkrak dengan membonceng salah satunya isu agama. Para capres
tentunya tidak ingin diruntuhkan hanya dengan isu berbau agama. Apalagi
kedua petarung –Jokowi dan Probowo– bukan merupakan representasi
kalangan agama. Kedua, dengan menggandeng ulama maka legitimasi rilijius
akan mudah didapatkan. Apalagi jika lawan politik menggandeng kalangan
agamawan, maka hukumnya menjadi fardhu ain untuk melakukan hal yang
sama. Di tengah arus religious trend di kalangan milenial, maka berduet
dengan kaum agamawan adalah sebuah keniscayaan strategi.
Secara filosofis, kepemimpinan merupakan wakil Tuhan di muka bumi,
demikian dalil filsafat teokrasi. Dwitunggal nasionalis ulama akan memberi
legitimasi kepemimpinan yang berbasis agama. Atau, setidaknya menjawab
logika terbalik, pihak lawan tidak akan mudah menjegal melalui isu
agama. Ketiga, dalam Islam ada konsep ulama-umara. Di entitas ini diyakini
menjadi penopang pilar negara, apalagi di Indonesia yang merupakan negara
dengan mayoritas penduduk muslim. Menyatunya ulama (tokoh agama) dan
umara (pemimpin/presiden), maka akan mampu membangkitkan kesadaran
relijiusitas para pemilih yang merupakan mayoritas muslim. Dengan
menggandeng ulama, maka akan mampu membawa konsep dwitunggal ulama
umara. hal ini secara marketing politik sangat menjual.4
Pada sisi lain, Agus Hilman berpendapat, bahwa kiai dan ulama yang
lebih dekat dengan umat, bukan saatnya lagi membicarakan kekuasaan.
Persoalan nyata yang dihadapi umat saat ini adalah kebodohan dan kemiskinan.
4Muhamad Mustaqim (dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kudus), Ulama, Agama, dan Politik, 08 Agustus 2018, https://news.detik.com/kolom/d-4155900/ulama-agama-dan-politik. Di akses pada tanggal 15 April 2019 21:45 WIB.
3
Peran politik kiai dan ulama dalam konteks tersebut bisa memberikan
penyadaran politik akan hak-hak umat untuk memperoleh pendidikan murah
atau layak, jaminan kesehatan, dan keadilan dari negara. Itulah misi kenabian
yang harus dijalankan para ulama.5
Berbeda dengan pendapat Ketua Umum Partai Bulan Bintang Yusril
Ihza Mahendra menyebutkan, bahwa para tokoh Islam perlu terjun ke politik
untuk meraih kekuasaan, karena kekuasaan tersebut dapat digunakan sebagai
alat untuk menerapkan hukum Islam. Permasalahan dalam menegakkan syariat
Islam, adalah hukum yang berlaku di negara Indonesia adalah hukum positif.
Artinya, aturan yang berlaku adalah hukum yang sudah disahkan lewat
undang-undang. Proses transformasi dari hukum syariah ke hukum positif akan
berjalan kalau punya power politik, Agar hukum Islam itu tidak hanya keluar
dari mulut ulama di mimbar masjid, tapi keluar dari kantor Pemerintah, jadi
hukum Negara.6
Keterlibatan ulama berpolitik praktis dalam Pilpres 2019 menuai pro
dan kontra. Maka terkait dengan hal tersebut, Sekjen Majelis Ulama Indonesia
(MUI) Anwar Abbas, menyebutkan bahwa MUIakan mendukung mewujudkan
pemilu yang sukses, bebas, jujur, adil, dan berakhlak. MUI dipastikan akan
menjaga netralitas organisasi dan secara kelembagaan tak akan mau diseret-
seret ke sebuah kelompok yang bertarung di Pilpres 2019. Sikap dan
pandangan MUI dalam menghadapi Pileg dan Pilpres tahun 2019 adalah
sebagai berikut :7
1. Agar pelaksanaan pileg dan pilpres yang akan datang berjalan dengan baik
dan lancar, maka MUI sebagai organisasi harus mendukung secara aktif
5Agus Hilman, Memaknai Ulang Keterlibatan Kiai dalam Politik, (Opini, 27 Februari
2013). http://politik.kompasiana.com/2013/02/27/memaknai-ulang-keterlibatan-kiai-dalam-politik537752.html. Di akses pada tanggal 15 Januari 2019 23:10 WIB.
6CNN Indonesia, Yusril Ajak Tokoh Pesantren Berpolitik, <21012018>,
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180121133556-32-270504/yusril-ajak-tokoh-pesantren-berpolitik. Di akses pada tanggal 14 Januari 2019 23:45 WIB.
7 Gibran Maulana Ibrahim, Sikap MUI di Pemilu 2019: Pimpinan MUI Harus Jaga Netralitas
Organisasi, 09 Januari 2019, https://news.detik.com/berita/d-4376722/sikap-mui-di-pemilu-2019-pimpinan-mui-harus-jaga-netralitas-organisasi. Di akses tanggal 15 April 2019 23:59 WIB.
4
untuk menyukseskan dàn menciptakan pileg dan pilpres yang bebas, jujur,
adil dan berakhlak.
2. Agar kredibilitas MUI di tengah-tengah masyarakat tetap terjaga dan
terpelihara, maka seluruh personalia pimpinan MUI harus bisa menjaga
netralitas organisasi.
3. Agar dalam pileg dan pilpres ini tauhidul ummah dan atau persatuan dan
kesatuan umat tetap dapat terjaga dan terpelihara, maka seluruh personal
pimpinan MUI harus bisa membangun dan mengembangkan sikap tawadud
dan tarohum agar persatuan dan kesatuan di antara umat.
Partisipasi politik ulama dalam pemilu 2019 sebagaimana yang telah
disampaikan di atas, menimbulkan rasa keingintahuan peneliti tentang
fenomena ulama yang turut berpartisipasi politik dalam Pilpres 2019 dengan
mengambil judul : “Partisipasi Politik Majelis Ulama indonesia Dalam
Pemilihan Presiden Tahun 2019”.
B. Identifikasi, Rumusan, dan Pembatasan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Latar belakang masalah di atas, menunjukkan bahwa ulama dan
politik selalu berada dalam kondisi tarik-menarik antara pendapat yang
mengabsahkan serta menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar dan
pendapat lain yang mengkritik dengan keras sebagai pengingkaran Majelis
Ulama Indonesia (MUI) terhadap fungsi meningkatkan kegiatan bagi
terwujudnya ukhuwwah Islammiyyah dan kerukunan antar umat beragama.
Adapun identifikasi masalah yang penulis dapatkan dalam kajian ini antara
lain:
a. Pengaruh Majelis Ulama Indoesia terhadap politik khusunya
dalam pemilihan presiden tahun 2019
b. Respon masyarakat terhadap fatwa politik Majlis Ulama
Indonesia dalam pemilihan presiden tahun 2019
c. Partisipasi politik Majelis Ulama dalam pemilihan presiden
tahun 2019
5
d. Faktor-faktor politik yang mempengruhi Majlis Ulama Indonesia
terhadap pemilihan presiden tahun 2019
e. Keterlibatan Dewan Kehormatan dan Badan Pengurus harian
Majlis Ulama Indoeneasi terhadap pemilihan presiden tahun
2019
2. Pembatasan Masalah
Berdasarka identifikasi masalah di atas, mengingat keterbatasan yang
dimiliki oleh peneliti, maka masalah yang akan diangkat dalam penelitian
ini fokus pada partisipasi politik ulama, pada Dewan Pertimbangan dan
Badan Pengurus Harian Majlis Ulama Indonesia dalam pemilihan presiden
tahun 2019 di media.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah di atas, maka
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Bagaimana partisipasi politik Majelis Ulama Indonesia terhadap
pemilihan presiden tahun 2019 ?
b. Faktor- faktor apa saja yang membuat Majelis Ulama Indonesia ikut serta
atau berpartisipasi dalam pemilihan presiden tahun 2019
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitin
Dari rumusan masalah yang akan diangkat dalam penelitian, maka tujuan
dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui bentuk parisipasi Majelis Ulama Indoensia terhadap
pemilihan presiden tahun 2019
b. Untuk mngetahui faktor apa yang membuat Majelis Ulama Indonesia
berpartisipasi dalam pemilihan pilpres tahun 2019
6
2. Manfaat Penelitian
Penelitian yang dilakukan kiranya dapat memberikan beberapa manfaat
atau kegunaan, baik manfaat secara teoritis maupun manfaat secara praktis
sebagai berikut :
a. Secara teori, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk
menambah wawasan pengetahuan di bidang hukum ketatanegaraan,
khususnya politik ulama dalam pemilihan umum.
b. Secara akademik, penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat
untuk menambah wawasan dan pengetahuan penulis dan pembaca
tenteng politik ulama melalui Partisipasi Majelis Ulama Indonesia
(MUI) dalam Pemilihan Peresiden Tahun 2019
c. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk
menamah inventerisasi kekayaan intelektual di lingkungan akademik
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta umumnya di Fakultas Syariah dan
Hukum Khususnya melalui hasil penelitian penulis mengenai
Partisipasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Pemilihan Presiden
Tahnu 2019
D. Review Studi Terdahulu
Dalam penelitian ini, ada beberapa literatur yang penulis jadikan sebagai
acuan dan tinjauan pustaka. Tinjauan pustaka ini bertujuan untuk menemukan
sisi menarik atau sisi lain dan kegunaan dari penelitian skripsi yang sedang
penulis teliti. Beberapa tinjauan pustaka yang penulis temukan sebagai
instrumen perbandingan dalam melakukan penelitian mengenai Partisipasi
Politik Majelis Ulama Indonesia (MUI) Dalam Pemilihan Presiden 2019
adalah:
Agus Saputro, dalam artikel berjudul “Agama dan Negara : Politik
Identitas Menuju Pilpres 2019” menyimpulkan bahwa agama di Indonesia
yang menjadi unsur penting dalam berbagai sendi kehidupan termasuk dalam
politik, dalam menghadapi Pilpres 2019 harus bisa memposisikan negara
kekuasaannya lebih tinggi dalam hal kebijakan bernegara. Pemimpin dan tokoh
7
agama harus bisa meredam pengikutnya dari tindak anarkis, supaya tercipta
Pilpres 2019 yang aman. Akan tetapi otoritas agama juga bisa menjadi
pertimbangan dalam hal negara menentukan otoritas. Bagaimanapun ketika
politik identitas berjalan dengan atas nama agama, yang bisa meredam adalah
agama itu sendiri melalui pemimpin dan tokohnya kemudian diikuti oleh
pengikutnya. Dalam berpolitik, gaya politik identitas akhir-akhir ini masih
menjadi primadona yang digunakan elit politik untuk memenangkan kompetisi
politik/pemilu.
Nurlatipah Nasir (2015), dalam penelitian yang berjudul : “Kyai dan
Islam Dalam Mempengaruhi Perilaku Memilih Masyarakat Kota
Tasikmalaya” menyimpulkan, banyak faktor yang mempengaruhi perilaku
memilih masyarakat kota Tasikmalaya. Hal menarik dari perilaku memilih
masyarakat Kota Tasikmalaya adalah ketika trend suara partai Islam cenderung
terus menurun, maka hal sebaliknya terjadi di Kota Tasikmalaya. PPP selalu
memenangkan Pemilu pasca Orde Baru, dan berdasarkan hasil Pemilu tahun
1999, 60% anggota DPRD Kota Tasikmalaya berasal dari partai-partai Islam
atau partai yang mempunyai basis massa Islam.
Muhammad Dafan Inanda dalam penelitianya berjudul “Pengaruh Ulama
Terhadap Tingkat Partisipasi Politik Masyarakat Kraksaan Pada Pilkada
Kabupaten Probolinggo Tahun 2008” menemukan pengaruh ulama
terhadap partisipasi politik masyarakat Kraksaan. Berdasarkan tingkat
pendidikan, semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat Kraksaan maka
pengaruh ulama semakin kecil begitu juga sebaliknya semakin rendah
tingkat pendidikannya maka pengaruh ulama terhadap masyarakat
Kraksaan semakin tinggi. Jika dilihat berdasarkan jenis kelamin, pengaruh
ulama terhadap partisipasi politik masyarakat Kraksaan yang berjenis
kelamin perempuan lebih besar jika diqibandingkan dengan pengaruh
ulama terhadap partisipasi politik masyarakat Kraksaan yang berjenis
kelamin laki-laki. Hal ini disebabkan karena seringnya kegiatan sosial dari
8
kaum perempuan jika dibandingkan dengan laki-laki misalnya pengajian
dll, dan rendahnya pengaruh ulama terhadap masyarakat Kraksaan yang
berjenis kelamin laki-laki disebabkan karena laki-laki lebih mudah
mengakses informasi atau lebih otonom dalam berpikir dan mempunyai
referensi sendiri.
Saidin Ernas (2010), dalam penelitiannya dengan judul “Dampak
Keterlibatan Kiyai dalam Politik: Studi Kasus Pesantren di Yogyakarta”
menyebutkan, bahwa keterlibatan pesantren di ranah politik yang semakin
marak akhir-akhir ini secara nyata telah menimbulkan berbagai dampak cukup
signifikan, diantaranya :
a. keterlibatan pesantren dalam politik secara nyata telah mendeligitimasi
peran pesantren sebagai otoritas moral dan referensi keagamaan.
Banyak pesantren mengalami penurunan kualitas karena kiai atau
pimpinan pesantren lebih sibuk berpolitik. Kondisi itu membuat
masyarakat memandang pesantren tidak lagi objektif dalam sikap-sikap
politiknya, karena cenderung menguntungkan kelompok politik tertentu
sehingga terjadi delegitimasi peran pesantren.
b. pesantren telah turut mengukuhkan politik pragmatis karena pesantren
telah menjadikan politik sebagai ajang untuk mempertukarkan
dukungan politik dengan kompensasi-kompensasi materi yang diterima,
suatu kondisi yang semakin menjauhkan pesantren dari masyarakat.
Setidaknya hal itu semakin terasa belakangan ini, ketika masyarakat
mulai menyoroti sikap politik pesantren yang dianggap hanya merusak
independensi pesantren dan memecah umat ke dalam politik partisan.
c. terjadi resistensi masyarakat atas sikap politik pesantren. Hal tersebut
secara nyata dapat disaksikan dalam sikap politik masyarakat yang
seakan-akan membangkang terhadap pilihan politik pesantren. Seiring
demokratisasi dan perkembangan pendidikan, masyarakat semakin bisa
membedakan antara sikap pesantren sebagai sikap keagamaan yang
patut dicontoh, ditaati, dan diteladani serta sikap pesantren yang
9
sebetulnya murni politik kepentingan yang tidak berkaitan dengan
ajaran keagamaan sehingga tidak harus ditaati.
Akbar Fakih Maulana Nadhli dalam penelitianya berjudul “Keterlibatan
Ulama Dalam Politik (Studi Terhadap Peran Ulama dalam Kemenangan Idris-
Pradi pada Pemilukada Kota Depok Tahun 2015)” menyimpulkan para ulama
bergerak menyampaikan dukungannya melalui gerakan underground (bawah
tanah), para ulama kerapkali menyisipkan pesan tersirat kepada publik untuk
memilih sosok pemimpin amanah dan religius. Selain itu bentuk dukungan
yang dilakukan para ulama untuk pasangan Idris-Pradi terjadi dalam Forum
Silaturrahmi Ulama Depok. Ulama yang terkumpul dalam forum tersebut
melakukan kampenye berupa menyisipkan ajakan kepada masyarakat Depok
untuk memilih pasangan Idris-Pradi dalam kesempatan ceramah, pengajian
majlis taklim, dan lain sebagainya. Hal ini dimanfaatkan para ulama karena
ulama masih sangat memiliki karisma di kalangan masyarakat kota Depok.
Dari semua karya ilmiah dengan masing-masing titik fokus pembahasan
yang menarik, penulis melihat adanya celah untuk membahas tema dan obyek
penelitian yang sma tapi dengan titik fokus yang berbeda. Dengan judul
“Partisipasi Politik Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Pamilihan
Peresiden Tahun 2019” penelitian yang penulis lakukan ini lebih berarah
kepada Partisipasi MUI dalam Pilpres yang mulai menjadi perdebatan di
masyrakat.
E. Metode Penelitian
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian ini skripsi ini adalah penelitian kualitatif.
Penelitian kualitatif didefinisiakan sebagai prosedur penelitian yang
menghasikan data berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang
dan prilaku yang dapat diamati.8 Sejalan dengan pendapat Lexy di atas,
8 Lexy j Maleong, Metode Penelitian Kualitatif ,(Bandung : Remaja Rosda karya, 2005),
h,3
10
maka data-data penelitian ini diperoleh secara tertulis melalui berita
atau media online, sedangkan metode pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah pendekatan politik yaitu metode untuk
mengetahui partisipasi ulama dalam politik melalui peran Majelis
Ulama Indonesia dalam pemilihan presiden 2019.
2. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini, ada dua yaitu :
a. Data Primer dengen mengunakan pengamata terhadap media online
Data ini peneliti dapatkan melalui informasi media online dan
berita sepeti : CCN.com, Konpas.cm, Detik.cm , Oke Zone.com,
Tempo.com. Metode ini digunakan untuk mendapatkan data dan
informasi tentang Partisipasi Politik MUI dalam Pilpres Tahun 2019.
Hal ini dilakukan dengan mencari berita di media online yang akurat
tentang Majlis Ulama Indonesia dan Pilpres Tahun 209.
b. Data Sekunder
Adapun data sekunder dari penelitian ini yaitu semua bahan yang
memberikan penjelasan mengenai data primer berupa tulisan-tulisan,
baik dalam bentuk buku, jurnal, artikel, maupun melalui informasi
melalui media internet.
Sedangkan teknik pengumpulan data yang akan penulis gunakan
adalah mencari media yang menuliskan tentang keterlibatan Majelis
Ulama Indonesia dalam Pemilihan Peresiden 2019. Melalui metode
dokumentasi penulis dapatkan melalui buku-buku, jurnal, surat kabar
dan sebagainya.
3. Teknik Analisi Data
Setelah semua data terkumpul, maka langakah berikutnya adalah
pengolahan dan analisis data. Teknik analisis data yang digunakan adalah
analisis isi kuantitatif dengan cara memberi gambaran (deskriptif), uraian-
11
uraian yang berisi penafsiran dan penalaran terhadap gambaran yang
diproleh, serta argumentasi rasional (analitik) untuk menjelaskan dan
mempertahankan gambaran yang diproleh. Objek analisis penulis adalah
data hasil pencarian di media online yang disempurnakan dengan data
sekunder lainya seperti buku, jurnal, surat kabar dan lainya.
4. Teknik Penulisan
Pada skripsi ini, penulis menggunakan teknik penulisan skripsi
yang mengacu pada Pedoman Penulisan Skripsi Tahun 2017 Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta. Buku ini diterbitkan oleh fakultas Syariah dan Hukum UIN syarif
hidayatullah
F. Sistematika Pembahasan
Penelitian ini merupakan karya ilmiah, maka Penelitian ini disusun bab-
perbab dengan tujuan untuk mempermudah dalam menarik sebuah kesimpulan
dengan tetap mengacu pada inti permasalahan. Oleh karna itu , masing-masing
bab tersebut masih mempunyai korelasi dengan tema yang dibahas menjadi
satu kesatuan.
Adapun uraian sistem penysunan penelitian adalah sebab berikut :
BAB 1 Pendahuluan, Bab ini menguraikan latar belakang masalah,
identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, kajian pustaka, kerangka teori dan konseptual, metode
penelitian, dan sistematika penelitian.
BAB II partisipasi politik ulama, Bab ini membahas tentang teori-teori
partisipasi politik dan politik ulang ,meliputi definisi partisipasi politik dan
politik ulama.
BAB III berisi tentang Majlis Ulama Indonesia, yang terdiri dari
sejarah, struktural, visi misi, fungsi serta peran dan pengaruh politik Majlis
Ulama Indonesia.
BAB VI membahas tentang analisis hasil penelitian, yaitu analisis
tentang partisipasi politik Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Pilpres 2019.
12
BAB V penutup pada Bab ini disampaikan kesimpulan dan saran-saran
yang dapat disampaikan terkait dengan hasil penelitian.
26
BAB III
MAJELIS ULAMA INDONESIA
A. Sejarah Majelis Ulama Indonesia
Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah wadah atau majelis yang
menghimpun para ulama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk
menyatukan gerak dan langkah-langkah umat Islam Indonesia dalam
mewujudkan cita-cita bersama.
MUI berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 H, bertepatan dengan tanggal
26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para
ulama dan cendekiawan yang datang dari berbagai penjuru tanah air, antara
lain meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Propinsi di
Indonesia, 10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam
tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti, Al Washliyah,
Math'laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari
Dinas Rohani Islam, Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut dan
POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan.
Dari musyawarah tersebut, dihasilkan sebuah kesepakatan untuk membentuk
wadah tempat bermusyawarahnya para ulama dan cendekiawan muslim, yang
tertuang dalam sebuah "Piagam Berdirinya MUI", yang ditandatangani oleh
seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional
Ulama I.1
1 Profil MUI, sumber: www.mui.or.id, diakses tanggal 29 Juli 2019. 12:30 WIB.
27
Pertemuan alim ulama yang melahirkan MUI tersebut ditetapkan
sebagai Musyawarah Nasional (MUNAS) MUI yang pertama. Dengan
demikian, sebelum adanya MUI Pusat, terlebih dahulu di daerah-daerah telah
terbentuk Majelis Ulama.2
Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika Bangsa Indonesia tengah
berada pada fase kebangkitan kembali setelah 30 tahun merdeka, di mana
energi bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan
kurang peduli terhadap masalah kesejahteraan rohani umat. Selama dua puluh
lima tahun Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah musyawarah para ulama,
zu’ama, dan cendekiawan muslim berusaha untuk:3
1. Memberikan bimbingan dan tuntunan kepada Umat Islam Indonesia dalam
mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhai Allah;
2. Memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan
kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan
kegiatan
3. bagi terwujudnya hubungan keislaman dan kerukunan antar-umat
beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa;
4. Menjadi penghubung antara ulama dan pemerintah dan penerjemah timbal
balik antara umat dan pemerintah guna menyukseskan pembangunan
nasional; 4) Meningkatkan hubungan, serta kerjasama antar organisasi,
lembaga Islam dan cendekiawan muslim dalam memberikan bimbingan
2Abdusshomad Buchori, Bunga Rampai Kajian Islam, h., 93
3https://mui.or.id/sejarah-mui/index.php diakses pada 29 juli 2019 13:00 WIB
28
dan tuntunan kepada masyarakat khususnya Umat Islam dengan
mengadakan konsultasi dan informasi secara timbal balik.
Dalam perjalanannya MUI berusaha untuk memberikan bimbingan dan
tuntunan kepada Umat Islam dalam mewujudkan kehidupan beragama dan
bermasyarakat yang diridhoi oleh Allah SWT, memberikan nasehat dan fatwa
mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada pemerintah dan
masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya Ukhuwah Islamiyah dan
kerukunan antar umat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan
bangsa, serta menjadi penghubung antara ulama dan umara (pemerintah) dan
penerjemah timbal balik antara umat dan pemerintah guna mensukseskan
pembangunan nasional, serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan
cendekiawan muslim dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada
masyarakat khususnya umat Islam dengan mengadakan konsultasi dan
informasi secara timbal balik.
Sebagai warasatu al-anbiya', Ulama Indonesia berkewajiban untuk
menegakkan kebenaran dan keadilan dengan cara yang baik dan terpuji yang
merupakan kewajiban bersama (fardhun jama'iy). Oleh karena itu,
kepemimpinan umat Islam yang bersifat kolektif merupakan kewajiban (ijab
al-Imamah) dalam rangka mewujudkan masyarakat madani (khair al-ummah).
Yang menekankan nilai-nilai persamaan (al-Musawah), keadilan (al-'adalah)
dan demokrasi (syura).4 Selain itu, di berbagai negara terutama Asia Tenggara
4 Tim Penyusun, 35 Tahun Majelis Ulama Indonesia Berkiprah Menjaga Integritas Bangsa, (Jakarta: Majelis Ulama Indonesia), h., 241-242.
29
ketika itu telah terbentuk Dewan Ulama/Majelis Ulama atau Mufti selaku
penasehat di bidang yang memiliki peran strategis.5
Majelis Ulama Indonesia mempunyai peranan yang sangat penting
dalam hal keagamaan, sosial budaya dan sosial politik, sesuai sifat dan
tanggung jawab yang dipikulnya. Gambaran ini terlihat bahwa Majelis Ulama
Indonesia yang didirikan Tahun 1975, adalah sebuah institusi yang menurut
pedoman dasarnya, antara lain berfungsi memberikan fatwa dan nasihat
mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada pemerintah dan
umat Islam pada umumnya, sebagai amar ma’ru nahi mun’kar dalam usaha
meningkatkan ketahanan nasional.6
B. Visi Misi, Orientasi dan Fungsi
1. Visi
Terciptanya kondisi kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan, dan
kenegaraan yang baik sebagai partisipasi Umat Islam melalui aktualisasi
potensi Ulama’, Zu’ama, dan Cendekiawan Muslim untuk kejayaan Islam dan
Umat Islam, guna terwujudnya Islam yang penuh rahmat di tengah kehidupan
umat manusia dan masyarakat Indonesia khususnya.7
5 Abdusshomad Buchori, Bunga Rampai Kajian Islam, (Surabaya: Majelis Ulama Indonesia, 2015), h., 95
6 Muhaimin, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2005), h.198.
7 Anwar Abbas, dkk, Pedoman Penyelenggaraan Organisasi Majelis Ulama Indonesia, h., 7
30
2. Misi
1) Menggerakkan kepemimpinan dan kelembagaan umat secara efektif,
dengan menjadikan ulama sebagai panutan (qudwah hasanah) sehingga
mampu mengarahkan dan membina Umat Islam dalam menanamkan dan
memupuk Aqidah Islamiyah serta menjalankan Syariah Islamiyah.
2) Melaksanakan Dakwah Islamiyah, amar ma'ruf nahi mungkar dalam
mengembangkan akhlak karimah, agar terwujud masyarakat berkualitas
(khaira ummah) dalam berbagai aspek kehidupan.
3) Mengembangkan Ukhuwah Islamiyah dan kebersamaan dalam
mewujudkan persatuan dan kesatuan umat Islam dalam wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.8
3. Orientasi
Orientasi Majelis Ulama Indonesia mempunyai sembilan orientasi
perkhidmatan, yaitu:9
1. Diniyah (Keagamaan)
Majelis Ulama Indonesia adalah wadah pengkhidmatan yang mendasari
semua langkah dan kegiatannya pada nilai dan ajaran Islam. Karena Islam
adalah agama yang berdasarkan pada prinsip tauhid dan mempunyai ajaran
yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia.
8Abdusshomad Buchori, Bunga Rampai Kajian Islam, h., 99 9Din Samsudin, Pedoman Penyelenggaraan Organisasi Majelis Ulama Indonesia, h., 7-10.
31
2. Irsyadiyah (Memberi Arahan)
Majelis Ulama Indonesia adalah wadah pengkhidmatan dakwah al-
Irsyad, yaitu untuk mengajak umat manusia kepada kebaikan serta
melaksanakan amar makruf dan nahi mungkar dalam arti yang seluas-
luasnya.
3. Ijabiyah (Responsif)
Majelis Ulama Indonesia adalah wadah pengkhidmatan ijabiyah
yang senantiasa memberikan jawaban positif terhadap setiap permasalahan
yang di hadapi masyarakat melalui prakarsa kebajikan (amal saleh) dalam
semangat berlomba dalam kebaikan (fastabiq al-khairat).
4. Hurriyah (Independen)
Majelis Ulama Indonesia adalah wadah pengkhidmatan independen
yang bebas dan merdeka serta tidak tergantung maupun terpengaruh oleh
pihak-pihak lain dalam mengambil keputusan, mengeluarkan pikiran,
pandangan dan pendapat.
5. Ta’awuniyah (Tolong Menolong)
Majelis Ulama Indonesia adalah wadah pengkhidmatan yang
mendasari diri pada semangat tolong-menolong untuk kebaikan dan
ketakwaan dalam membuka kaum dhuafa’ untuk meningkatkan harkat dan
martabat, serta derajat kehidupan masyarakat. Semangat ini dilaksanakan
atas persaudaraan di kalangan seluruh lapisan golongan Umat Islam.
32
6. Syuriyah (Permusyawaratan)
Majelis Ulama Indonesia adalah wadah pengkhidmatan yang
melaksanakan prinsip musyawarah dalam mencapai permufakatan melalui
pengembangan sikap demokratis, akomodatif dan aspiratif terhadap
berbagai aspirasi yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
7. Tasamuh (Toleran dan Moderat)
Majelis Ulama Indonesia adalah wadah pengkhidmatan yang
mengembangkan sikap toleransi dan moderat dalam melaksanakan
kegiatan dengan senantiasa menciptakan keseimbangan di antara berbagai
arus pemikiran di kalangan masyarakat sesuai dengan syariat Islam.
8. Qudwah (Panutan/Kepeloporan)
Majelis Ulama Indonesia adalah wadah penghidupan yang
mengedepankan kepeloporan dan keteladanan melalui prakarsa kebajikan
yang bersifat perintisan untuk kebutuhan kemaslahatan umat.
9. Addualiyah (Mendunia)
Majelis Ulama Indonesia adalah wadah pengkhidmatan yang
menyadari dirinya sebagai anggota masyarakat dunia yang ikut aktif
memperjuangkan perdamaian dan tatanan dunia yang sesuai dengan ajaran
Islam. Sesuai dengan itu Majelis Ulama Indonesia menjalin hubungan dan
kerjasama dengan Lembaga/ Organisasi Islam Internasional di berbagai
Negara
.
33
4. Fungsi
Sehubungan dengan berbagai amanat baik dari kepala negara ataupun
sejumlah menteri serta pemikiran dan saran dari peserta musyawarah maka
Munas I MUI telah merumuskan dalam pasal 4 pedoman pokoknya yang
menyebutkan bahwa MUI berfungsi:10
1. Memberi fatwa dan nasehat mengenai masalah keagamaan dan
kemasyarakatan kepada pemerintah dan umat Islam umumnya sebagai amal
ma’ruf nahi munka, dalam usaha meningkatkan ketahanan nasional.
2. Memperkuat ukhuwah Islamiyah dan melaksanakan kerukunan antar umat
beragama dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan nasional.
3. Mewakili umat Islam dalam konsultasi antar umat beragama.
4. Penghubung ulama dan umara (pemerintah) serta jadi penerjemah timbal
balik antara pemerintah dan umat guna menyukseskan pembangunan
nasional.
5. Majelis Ulama tidak berpolitik dan tidak operasional.
Untuk mencapai tujuannya, Majelis Ulama Indonesia melaksanakan
usaha-usaha sebagai berikut :
1. Memberikan bimbingan dan tuntutan kepada umat Islam dalam
mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhoi oleh
Allah Swt.
2. Memberikan nasehat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan
kemasyarakat kepada pemerintah dan masyarakat. 10Helmi Karim, Konsep Ijtihad Majelis Ulama Indonesia Dalam Pengembangan Hukum Islam, Cetakan Ke-1, (Pekanbaru: Susqa Press, 1994), h.89.
34
3. Meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhuwah Islamiyah dan
kerukunan antar umat beragama dalam memantapkan kesatuan dan
persatuan bangsa.
4. Menjadi penghubung antara ulama dan umara (pemerintah) dan
penterjemah timbal balik antara pemerintah dan umat guna mensukseskan
pembangunan nasional.
5. Meningkatkan hubungan serta kerjasama antara berbagai organisasi,
lembaga Islam, dan cendikiawan muslim.
6. Mewakili umat Islam dalam hubungan dan konsultasi antar umat beragama.
7. Usaha lainnya yang sesuai dengan tujuan organisasi.
C. Asas dan Sifat Lembaga MUI
Terhitung sejak berlangsungnya Munas VI MUI tahun 2000 sesuai dengan
perubahan dan penyempurnaan AD/ART, beberapa perubahan atas asas dan
susunan organisasi MUI yaitu:11
1. Asas MUI yang semula pancasila, berubah menjadi Islam
2. MUI merupakan organisasi yang bersifat keagamaan, kemasyarakatan
independen, dalam arti tidak terikat atau menjadi bagian dari pemerintah atau
kelompok manapun. Independensi juga harus tercermin dalam berfikir,
bersikap,bertindak dan berbuat. MUI tidak berafiliasi kepada salah satu
organisasi sosial politik.
3. Susunan organisasi semula hanya di propinsi, kota/kabupaten, telah diperluas
hingga ke tingkat kecamatan.
11Din Samsudin, Pedoman Penyelenggaraan Organisasi Majelis Ulama Indonesia, h., 18-22.
35
4. Hubungan organisasi MUI Pusat dengan MUI Propinsi, MUI Kota/Kabupaten
yang semula bersifat horizontal aspiratif menjadi koordinatif, aspiratif
struktural administratif. Dalam arti, tak lagi bersifat horizontal aspiratif, tapi
lebih kepada vertikal koordinatif.
5. Hubungan antara MUI dengan organisasi/kelembagaan Islam bersifat
konsultatif dan kemitraan. MUI bukan supra struktur yang membawahi atau
atasan Ormas Islam. MUI bukan organisasi federasi, tetapi merupakan wadah
musyawarah.
D. Struktural Kepengurusan Majelis Ulama Indonesia
Dalam Pasal 9 Pedoman Dasar Majelis Ulama Indonesia tentang Susunan
Pengurus bahwa susunan kepengurusan MUI di semua tingkatan secara umum,
meliputi: 1. Dewan Pertimbangan, 2. Dewan Pimpinan Harian; dan 3. Anggota
Pleno, Komisi dan Lembaga.12
1. Dewan Pertimbangan
Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia berfungsi untuk:
a. memberikan pertimbangan, nasihat, bimbingan dan bantuan kepada Dewan
Pimpinan Majelis Ulama Indonesia dalam pelaksanaan usaha Majelis Ulama
Indonesia sesuai dengan tingkatannya masing-masing
12Pedoman Dasar Majelis Ulama Indonesia
http://test.islamwasathiyah.com/wpcontent/uploads/2016/04/1.-PO_PD-PRT-MUI-HASIL-MUNAS-2015_1-42.pdf diakses pada Rabu, 10 April 2019 Pkl. 11:46
36
b. membahas isu-isu strategis yang dihadapi umat Islam dan solusinya, serta
direkomendasikan ke pimpinan harian.13
Adapun susunan Dewan Pertimbangan MUI Pusat pada Periode
2015-2020 yaitu: Ketua : Prof. Dr. HM. Din Syamsuddin, MA Wakil Ketua:
Prof. Dr. H. Azyumardi Azra., Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA., Prof. Dr.
H. Didin Hafiduddin, MA , Sekretaris: Prof. Dr. H. Noor Ahmad, MA., Dr.
H. Bachtiar Natsir., Drs. H. Natsir Zubaidi.
2. Dewan Pimpinan Harian
Kepengurusan MUI di setiap jenjang berlangsung lima tahun. Sampai
2015 MUI Pusat telah menyelenggarakan delapan kali Musyawarah Nasional
(Munas) dan delapan periode.14 Kemudian pada tahun 2015 dilaksanakan
Munas yang ke-sembilan karena merupakan tahun terakhir periode yang ke-
delapan.15 Selama delapan periode dan periode yang ke-sembilan telah terpilih
beberapa dewan pengurus harian,yaitu :
1) Periode I (1975-1980), Ketua Umum Prof. Dr. Hamka, Sekretaris Umum
Drs.H. Kafrawi Ridwan, MA.
2) Periode II (1980-1985), Ketua Umum KH. M. Syukri Ghozali, Sekretaris
Umum H.A. Burhani Tjokrohandoko (sebelum masa bakti berakhir H.A.
Burhani wafat, digantikan H.A. Qadir Basalamah).
131Pedoman Rumah Tangga Majelis Ulama Indonesia,
http://test.islamwasathiyah.com/wpcontent/uploads/2016/04/1.-PO_PD-PRT-MUI-HASIL-MUNAS-2015_1-42.pdf diakses pada Senin, 22 April 2019 Pkl. 12:41
14Abdusshomad Buchori, Bunga Rampai Kajian Islam, h., 96-97
15Profil Majelis Ulama Indonesia, https://mui.or.id/kepengurusan-mui/# diakses pada Hari Kamis, 7 Februari 2019 Pkl. 15:26
37
3) Periode III (1985-1990), Ketua Umum KH. Hasan Basri, Sekretaris Umum
H.S.Projokusumo
4) Periode IV (1990-1995), Ketua Umum KH. Hasan Basri, Sekretaris Umum
H.S.Projokusumo
5) Periode V (1995-2000), Ketua Umum KH. Hasan Basri (sebelum masa bakti
berakhir KH. Hasan Basri wafat, digantikan oleh Prof. KH. Alie Yafie),
Sekretaris Umum Drs. H. Nazri Adlani
6) Periode VI (2000-2005), Ketua Umum Dr. KH. M.A. Sahal Mahfudz,Sekretaris
Umum Prof. Dr. H. M. Din Syamsudin
7) Periode VII (2005-2010), Ketua UmumDr. KH. M.A. Sahal Mahfudz, Wakil
Ketua Umum Prof. Dr. H. M. Din Syamsudin, dan Sekretaris Umum: Drs. H.
Ichwan Sam
8) Periode VIII (2010-2015), Ketua Umum Dr. KH. M.A. Sahal Mahfudz, Wakil
Ketua Umum Prof. Dr. H. M. Din Syamsudin, dan Sekretaris Umum: Drs.
H.Ichwan Sam. (pada hari Jum'at 24 Januari 2014 Dr. KH. M.A. Sahal
Mahfudz wafat, maka rapat pimpinan MUI yang diselenggarakan pada Selasa
18 Februari 2014 menetapkan Prof. Dr. H. M. Din Syamsudin sebagai Ketua
Umum yang baru dan DR. KH. Ma'ruf Amin sebagai Wakil Ketua Umum.
Sementara Sekretaris Umum tetap Drs. H. Ichwan Sam).
9 ) Periode IX (2015-2020), yaitu: Ketua Umum Prof. Dr. KH. Ma'ruf Amin,
Wakil Ketua Umum Prof. Dr. H. Yunahar Ilyas, LC dan Drs. H. Zainut
Tauhid Sa'adi, M.Si, serta Sekretaris Umum Dr. H. Anwar Abbas, MM.,
M.Ag
38
3. Anggota Pleno, Komisi, dan Lembaga
Dalam Pasal 6 ayat (2) dan (3) Pedoman Rumah Tangga MUI disebutkan
bahwa dalam menjalankan tugasnya, Dewan Pimpinan membentuk komisi-
komisi yang bertugas untuk menelaah, membahas, merumuskan dan
menyampaikan usul-usul kepada Dewan Pimpinan sesuai dengan bidang
masing-masing. Komisi-komisi yang dimaksud adalah:
a. Komisi Fatwa
b. Komisi Ukhuwah Islamiyah
c. Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat
d. Komisi Pendidikan dan Kaderisasi
e.Komisi Pengkajian dan Penelitian
f. Komisi Hukum dan Perundang-undangan
g. Komisi Pemberdayaan Ekonomi Umat
h. Komisi Perempuan, Remaja dan Keluarga
i. Komisi Informatika dan Komunikasi
j. Komisi Hubungan Antar Umat Beragama
k. Komisi Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional
l. Komisi Pembinaan Seni Budaya Islam.
Lebih lanjut disebutkan dalam Pasal 6 ayat (4) dan (5) bahwa dalam
menjalankan program yang bersifat khusus/perintisan, Dewan Pimpinan dapat
membentuk Lembaga/Badan sesuai dengan kebutuhan. Lembaga/Badan yang
dimaksud seperti:
39
a. Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, Minuman dan Kosmetika
Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI);
b. Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI);
c. Badan Arbitrase Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
(BASYARNAS MUI);
d. Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam
Majelis Ulama Indonesia (LPLH-SDA) MUI;
e. Komite Dakwah Khusus Majelis Ulama Indonesia (KDK MUI);
f. Lembaga Pentashhih Buku dan Konten Keislaman;
g. Lembaga Wakaf, Zakat, Infak, dan Sadaqoh;
h. dan yang dianggap perlu, dan ditetapkan oleh Dewan Pimpinan MUI.16
E. Peran dan Pengaruh MUI dalam Politik
1. Peran MUI dalam Politik
Dalam kaitannya dengan peran, ulama memiliki dua peran, yakni
sebagai penjaga akidah Islam dan pengawas umat Muslim, yang harus selalu
terkait Sharī’ah antara halhal devosional ritual dan terkait hubungan sosial
kemasyarakatan atau hubungan transaksi bisnis (mu’āmalāt).17
Ketua Bidang Bidang Pendidikan dan Kaderisasi Majelis Ulama
Indonesia (MUI) Pusat, KH Abdullah Jaidi menyebutkan tiga peran utama
yang mesti dijalankan segenap pengurus MUI di berbagai daerah. Pertama,
MUI sebagai pelayan umat, karena itu program-program MUI harus
16Pedoman Rumah Tangga Majelis Ulama Indonesia,
http://test.islamwasathiyah.com/wpcontent/uploads/2016/04/1.-PO_PD-PRT-MUI-HASIL-MUNAS-2015_1-42.pdf diakses pada Senin, 22 April 2019 Pkl. 12:20
40
menjawab masalah yang dihadapi umat. Kedua, MUI sebagai penuntun
umat harus berperan mengarahkan dan menuntun umat dalam pelayanannya.
Ketiga, MUI harus menjaga akidah umat, yaitu merawat akidah agar tidak
terpengaruh dengan faham dan aliran intoleransi atau radikal.18
Ulama dalam perpolitikan di Indonesia bukanlah hal yang asing.
Semenjak dahulu, peran ulama dalam mendirikan bangsa Indonesia ini
memang perlu diakui. Tidaklah mengherankan jika ulama terlibat dengan
urusan politik, atau bahkan ulama itu sendiri yang dengan sengaja terjun
sendiri ke panggung politik sebagai tokoh utama partai politik. Sementara
itu, sosok ulama adalah sosok yang dikenal dengan pemandu umat (Islam)
karena kepandaiannya dalam hal keilmuan Islam. Ulama adalah pemimpin
umat Islam, pewaris Nabi dalam menegakkan dan menjalankan perintah
Tuhan.19
Menurut Ketua Lakpersdam PBNU, Rumadi menyebutkan bahwa
MUI boleh saja berpolitik, tapi dia harus menempatkan politik bukan
dalam konteks perebutan kekuasaan, Peran politik yang dimainkan MUI
seharusnya terbatas seperti dalam fiqh siyasah atau fiqih politik, yaitu
segala sesuatu yang mendekatkan manusia pada kebaikan dan menjauhkan
dari kerusakan. Fungsi MUI adalah memastikan bagaimana masyarakat
18Nashih Nashrullah, Tiga Peran Utama MUI yang Harus Dilaksanakan demi Umat, 04 Feb
2019. https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/19/02/04/pmeszq320-tiga-peran-utama-mui-yang-harus-dilaksanakan-demi-umat. Diakses tanggal 28 Juli 2019.
19Supriyadi, Menyingkap Peran Ulama dalam Politik, 6 April 2009, https://www.nu.or.id/post/read/16648/menyingkap-peran-ulama-dalam-politik. Diakses tanggal 30 Juli 2019.
41
bisa baik, tidak terpecah-belah, dan menjauhkan manusia dari kerusakan.
Senada dengan pendapat Rumada, Tigor Naipospos (Setara Institute)
menyebutkan, bahwa MUI harus membawa politik yang bisa
menjembatani perbedaan, menjaga perdamaian, mengokohkan kerukunan
antar-umat beragama, dan meningkatkan kebangsaan.20
2. Pengaruh MUI dalam Politik
Andi Syafrani menyebutkan, bahwa posisi MUI dianggap sebagai
lembaga yang unik. MUI adalah lembaga swasta yang diberi kewenangan
negara melalui undang-undang. Contohnya adalah kewenangan MUI
dalam mengeluarkan sertifikasi halal. Pada sisi lain, MUI sebagai LSM,
tapi satu-satunya LSM yang masuk dalam sistem hukum Indonesia." Bila
merujuk pada perjalanan MUI, saat ini nampak terjadi pergeseran yang
menggambarkan bahwa MUI memiliki pengaruh dalam bidang politik.
Awal berdirinya MUI pada tahun 1975 yang diresmikan oleh
Soeharto salah satu tujuannya adalah sebagai representasi umat Islam dalam
program antaragama yang digalakkan oleh Orde Baru (Orba). Ketua
pertama MUI, Buya Hamka, mempunyai hubungan kurang harmonis secara
politik dengan rezim Orba. Salah satunya ketika MUI mengeluarkan fatwa
pada Maret 1981 yang melarang umat Islam berpartisipasi pada acara Natal.
Melihat fatwa ini, pemerintah Orba marah dan meminta fatwa tersebut
dicabut. Namun Hamka menolak dan memilih untuk mengundurkan diri
20Tempo.co, MUI Diminta Tak Terlibat dalam Politik Kekuasaan, 16 Oktober 2016, https://nasional.tempo.co/read/812636/mui-diminta-tak-terlibat-dalam-politik-kekuasaan/full&view=ok. Diakses tanggal 30 Juli 2019.
42
pada Mei 1981. Penolakan Hamka dan pengunduran dirinya sebagai ketua
menunjukkan bahwa MUI pada masa awal berdirinya netral bahkan
cenderung berseberangan dengan pemerintah. Kondisi ini berbanding
terbalik setelah masa kepengurusan Hamka, di mana MUI bisa dibilang
menjadi cap stempel pemerintah. Terutama jika kita melihat keputusan MUI
pada setiap pemilu. Institusi MUI pada rentang 1982-1997 menjadi corong
kebijakan pemerintah. Fakta ini juga diungkapkan oleh MB Hooker (1997)
dan Atho Mudzhar (1993) dalam dua tulisan mereka masing-masing yang
mengatakan bahwa MUI pada zaman Orde Baru adalah untuk mendukung
dan menjustifikasi kebijakan-kebijakan pemerintah.21
Posisi MUI mulai berubah setelah masa Reformasi. Jika
dibandingkan pemilu zaman Orde Baru di mana MUI lebih mendukung
pemerintahan Soeharto, pada pemilu pertama era Reformasi, yakni tahun
1999, MUI memperlihatkan keberpihakannya kepada partai Islam dengan
mengimbau kepada umat Islam untuk mencoblos partai politik yang
berjuang kepada untuk kepentingan umat (Nur Ichwan, 2005). Pernyataan
ini tentu saja secara eksplisit mengindikasikan keberpihakan MUI kepada
partai Islam dan berharap umat Islam untuk memilihnya ketika datang di
bilik suara. Keberpihakan MUI kepada partai Islam sepertinya disebabkan
pada awal dekade 1990-an hingga masa Reformasi, ada pergeseran politik di
tubuh pemerintahan terutama Presiden Soeharto mendekat kepada kelompok
21Muhammad As'ad (dosen Universitas Hasyim Asy'ari, Pondok Pesantren Tebuireng
Jombang), MUI, Pilpres, dan Politik Munajat, 25 Februari 2019. https://news.detik.com/kolom/d-4443012/mui-pilpres-dan-politik-munajat. Diakses tanggal 2 Agustus 2019 15:45 WIB.
43
Islam. Beberapa pengamat politik mengatakan bahwa masa itu disebut
sebagai periode di mana Soeharto beralih ke kelompok Islam (the Islamic
turn). Ketika masa Reformasi, euforia ini tetap berlanjut terutama
munculnya partai-partai Islam seperti PAN, PBB, PKB, PK, dan PNU.
Pada tahun 2004, 2009, dan 2014 MUI relatif lebih netral
dibandingkan dengan pemilu masa Orde Baru dan pemilu pertama pada era
Reformasi (1999). Tidak ada lagi memberikan dukungan secara langsung
kepada presiden incumbent seperti pada pemilu era 1980-an dan 1990-an
ataupun dukungan kepada partai Islam seperti pada Pemilu 1999. Yang
terjadi pada Pemilu 2004, 2009, dan 2014, MUI memberikan imbauan netral
agar para pemilih datang ke bilik suara dan memberikan hak pilihnya sesuai
dengan pilihan hatinya masing-masing. Pada 2009 MUI bahkan
mengeluarkan fatwa haramnya golput dengan tujuan agar partisipasi
masyarakat pada pemilu terus meningkat. Hal ini diulangi juga pada 2014 di
mana MUI mengeluarkan imbauan yang sama untuk tidak golput.
Pada Pemilu 2019, sepertinya terjadi pergesaran politik dalam tubuh
MUI. Jika selama ini MUI di pusat dan daerah selalu satu suara, baik dalam
keputusan politik maupun imbauan keagamaan, maka pemilu tahun ini akan
sangat berbeda. Sangat mungkin akan ada perbedaan politik antara satu
MUI di level kabupaten/kota atau propinsi dengan MUI Pusat. Hal ini
berkaitan dengan preferensi politik masing masing daerah. Wilayah yang
terkenal menjadi basis pemilih salah satu pasangan calon, atau pemimpin
daerahnya adalah pendukung salah satu calon, maka ada kemungkinan MUI
44
di daerah tersebut akan mendukung pasangan calon tersebut. DKI Jakarta
adalah contoh paling mudah. Sebagai daerah yang gubernurnya didukung
oleh partai dan capres tertentu, maka dalam acara Munajat 212 yang
diadakan MUI, sangat kentara bahwa kegiatan tersebut sebagai ajang unjuk
gigi pendukung calah satu capres, yang notabene juga dukung oleh
Gubernur DKI.22
Sedangkan, MUI Pusat di mana ketua non aktifnya adalah pasangan
lain, melalui wakil ketua umumnya, Zainul Tauhid Sa'adi mengkritik
keputusan MUI DKI Jakarta yang menggelar acara Munajat 212 yang
diklaim oleh MUI Pusat menjadi acara politik. Hal ini menunjukkan
perbedaan politik yang bisa berujung pada perpecahan antara kepengurusan
MUI di masing masing daerah/wilayah dengan MUI Pusat.
Contoh lain bisa kita lihat di Sumatera Barat. Pada Juli 2018, MUI
Sumbar menolak ide tentang Islam Nusantara. Konsep ini ditelurkan oleh
Nahdlatul Ulama, organisasi yang dipimpin oleh Cawapres KH Ma'ruf
Amin. MUI Pusat yang juga dipimpin oleh Ma'ruf Amin dalam posisi
mendukung Islam Nusantara. Jika kita melihat hasil Pilpres 2014 di Sumbar,
di mana Prabowo menang telak di provinsi ini, bisa jadi MUI Sumbar dalam
posisi politik untuk mendukung pasangan calon ini. Hal ini juga bisa dilihat
dari sikap Jokowi yang mendukung secara terang benderang terhadap
konsep Islam Nusantara. Jadi sikap MUI Sumbar yang menolak Islam
22Muhammad As'ad (dosen Universitas Hasyim Asy'ari, Pondok Pesantren Tebuireng
Jombang), MUI, Pilpres, dan Politik Munajat, 25 Februari 2019. https://news.detik.com/kolom/d-4443012/mui-pilpres-dan-politik-munajat. Diakses tanggal 2 Agustus 2019 17:05 WIB.
45
Nusantara berbanding lurus dengan sikap politiknya terhadap salah satu
pasangan Capres-Cawapres 2019.23
Di dalam bidang politik, MUI haruslah berhati-hati dan cerdik
menilai situasi. Sesuai dengan definisi kata ulama itu sendiri, bahwa ulama
itu “mereka yang penuh akal”, oleh sebab itu para ulama MUI dapat
membagikan ilmu agama dan ilmu-ilmu lain untuk memberi pencerahan dan
dialog-dialog damai kepada para politisi agar berpolitik dengan baik dan
beretika. Masuknya MUI ke dalam proses politik bernegara Indonesia itu
bukanlah berarti MUI menjadi pengganggu keseimbangan “Trias Politica”,
tetapi MUI menjadi aktor fungsional atau aktor penengah, agar tetap
bertindak sesuai kemaslahatan umat di tengah-tengah kehidupan politik
yang penuh godaan dan serba tidak pasti.24
23Muhammad As'ad (dosen Universitas Hasyim Asy'ari, Pondok Pesantren Tebuireng
Jombang), MUI, Pilpres, dan Politik Munajat, 25 Februari 2019. https://news.detik.com/kolom/d-4443012/mui-pilpres-dan-politik-munajat. Diunduh tanggal 2 Agustus 2019 18:20 WIB
24Jeanne Francoise, Pemikiran Politik Islam Modern: Peran Majelis Ulama Indonesia,
Jurnal THE 1st UICIHSS, h.41. http://uicihss.uhamka.ac.id/wp-content/uploads/2017/09/34-PEMIKIRAN-POLITIK-ISLAM-MODERN.pdf
13
BAB II
TEORI PARTSISIPASI POLITIK ULAMA
A. Partisipasi Politik
1. Pengertian Partisipasi Politik
Partisipasi berasal dari bahasa latin, yaitu pars yang artinya bagian
dan capere yang artinya mengambil peranan dalam aktivitas atau kegiatan
politik negara. Apabila digabungkan berarti “mengambil bagian”. Dalam
bahasa Inggris dinamakan partisipate atau participation, berarti mengambil
bagian atau peranan. Jadi partisipasi berarti mengambil peranan dalam
aktivitas atau kegiatan politik Negara.1
Isbandi menyebutkan bahwa, “partisipasi dapat juga berarti
keikutsertaan masyarakat dalam proses pengidentifikasian masalah dan
potensi yang ada di masyarakat, pemilihan dan pengambilan keputusan
tentang alternatif solusi untuk menangani masalah, pelaksanaan upaya
mengatasi masalah, dan keterlibatan masyarakat dalam proses mengevaluasi
perubahan yang terjadi”.2
Beberapa ahli memberikan batasan tentang partisipasi politik cukup
beragam. Diantaranya, Ramlan Surbakti memberikan definisi singkat
mengenai partisipasi politik sebagai bentuk keikutsertaan warga negara
biasa dalam menentukan segala keputusan yang menyangkut atau
mempengaruhi hidupnya.3 Sedangkan, Miriam Budiardjo menjelaskan,
bahwa partisipasi politik merupakan kegiatan seseorang, atau kelompok
orang yang ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan
jalan memilih pimpinan negara, dan secara langsung atau tidak langsung
mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Kegiatan ini
mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum,
1Suharno, Diklat Kuliah Sosiologi Politik, (Yogyakarta: UNY, 2004), h.102. 2Firmansyah, Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideolgi Politik di Era
Demokrasi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2014), h.1. 3Cholisin, dkk, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Yogyakarta: UNY Press, 2007), h.150.
14
menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu artai atau kelompok
kepentingan, mengadakan hubungan dengan pejabat pemerintah atau
anggota parlemen, dan sebagainya.4
Dari beberapa pengertian tersebut di atas dapat diambil kesimpulan,
bahwa partisipasi politik adalah adalah kegiatan seseorang atau sekelompok
orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik yaitu dengan
jalan memilih pimpinan negara dan daerah serta secara langsung atau tidak
langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah.
2. Faktor-faktor Partisipasi Politik
Salah satu bentuk partisipasi politik masyarakat dalam pemerintahan
yang demokratis adalah keikutsertaan anggota masyarakat dalam pemilihan
umum.
Milbrath menjelaskan, bahwa terdapat faktor-faktor penyebab
seseorang melakukan partisipasi politik. Pertama, adanya perangsang
politik seperti sering mengikuti debat atau diskusi politik baik formal
maupun informal. Kedua, peduli terhadap isu-isu sosial, politik, budaya,
ekonomi, dan lain-lain. Ketiga, status sosial, ekonomi, etnis dan agama yang
mempengaruhi persespsi dalam bidang politik. Keempat, lingkungan politik
yang kondusif dan demokratis akan mendekatkan seseorang dengan dunia
politik.5
Sedangkan, Mohtar dan Chollin menyebutkan, bahwa pendidikan,
perbedaan jenis kelamin dan status sosial-ekonomis juga dapat
mempengaruhi keaktifan seseorang dalam berpartisipasi.6
4Merphin Panjaitan, Logika Demokrasi: Rakyat Mengendalikan Negara, (Jakarta: Permata
Aksara, 2011), h.73. 5Rafael Raga Maran, Pengantar Sosiologi Politik: Suatu Pemikiran dan Penerapan,
(Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h.156-157. 6Mohtar Mas’oed dan Colin Mac.Andrews, Perbandingan Sistem Politik, h.41.
15
3. Tipologi Partisipasi Politik
Rahman menyebutkan, bahwa secara umum tipologi partisipasi
sebagai kegiatan dibedakan menjadi:7
a. Partisipasi aktif, yaitu partisipasi yang berorientasi pada proses input
dan output.
b. Partisipasi pasif, yaitu partisipasi yang berorientasi hanya pada output,
dalam arti hanya menaati peraturan pemerintah, menerima dan
melaksanakan saja setiap keputusan pemerintah.
c. Golongan putih (golput) atau kelompok apatis, karena menggapsistem
politik yang ada menyimpang dari yang dicita-citakan.
Milbrath dan Goel mem bedakan partisipasi politik menjadi
beberapa kategori yakni :8
a. Partisipasi politik apatis orang yang tidak berpartisipasi dan menarik diri
dari proses politik.
b. Partisipasi politik spector orang yang setidak-tidaknya pernah ikut
memilih dalam pemilihan umum.
c. Partisipasi politik gladiator mereka yang secara aktif terlibat dalam
proses politik, yakni komunikator, spesialis mengadakan kontak tatap
muka, aktivis partai dan pekerja kampanye dan aktivis masyarakat.
d. Partisipasi politik pengritik Orang-orang yang berpartisipasi dalam
bentuk yang tidak konvensional.
4. Bentuk Partisipasi Politik
Ada beberapa macam bentuk partisipasi yang dikemukakan oleh
para ahli. Paige merujuk pada tinggi rendahnya kesadaran politik dan
kepercayaan pemerintah (sistem politik menjadi empat tipe yaitu partisipasi
7 Rahman, H.I., Sistem Politik Indonesia, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2007), h.288.
8Cholisin, dkk, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Yogyakarta: UNY Press, 2007), h.152.
16
aktif, partisipasi pasif tertekan (apatis), partisipasi militan radikal , dan
partisipasi pasif.9
Bentuk-bentuk partisipasi politik yang dikemukakan oleh Almond
terbagai dalam dua bentuk yaitu partisipasi politik konvensional dan
partisipasi politik non konvensional. Adapun rincian bentuk partisipasi
politik konvensional dan non konvensional :10
a. Partisipasi politik konvensional
1) Pemberian suara atau voting
2) Diskusi politik
3) Kegiatan kampanye
4) Membentuk dan bergabung dalam kelompok kepentingan
5) Komunikasi individual dengan pejabat politik atau administratif.
b. Partisipasi politik nonkonvensional
1) Pengajuan petisi
2) Berdemonstrasi
3) Konfrontasi
4) Mogok
5) Tindak kekerasan politik terhadap harta benda : pengrusakan,
pemboman, pembakaran
6) Tindakan kekerasan politik terhadap manusia: penculikan,
pembunuhan, perang gerilya, revolusi.
Cohen dan Uphoff membedakan partisipasi menjadi empat jenis.
Pertama, partisipasi dalam pengambilan keputusan. Kedua, partisipasi
dalam pelaksanaan. Ketiga, partisipasi dalam pengambilan manfaat. Dan
keempat, partisipasi dalam evaluasi.11
99Cholisin, dkk, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Yogyakarta: UNY Press, 2007), h.153.
10Mohtar Mas’oed dan Colin Mac.Andrews, Perbandingan Sistem Politik, h.57. 11 Siti Irene, Desentralisasi dan Partisipasi Masyarakat dalam Pendidikan, (Yogyakarta:
Pustaka Belajar, 2011), h.61.
17
Sedangkan Samuel P. Huntington dan Joan Nelson membagi bentuk-
bentuk partisipasi politik menjadi :12
a. Kegiatan Pemilihan, yaitu kegiatan pemberian suara dalam pemilihan
umum, mencari dana partai, menjadi tim sukses, mencari dukungan bagi
calon legislatif atau eksekutif, atau tindakan lain yang berusaha
mempengaruhi hasil pemilu;
b. Lobby, yaitu upaya perorangan atau kelompok menghubungi pimpinan
politik dengan maksud mempengaruhi keputusan mereka tentang suatu
isu;
c. Kegiatan Organisasi, yaitu partisipasi individu ke dalam organisasi, baik
selaku anggota maupun pemimpinnya, guna mempengaruhi pengambilan
keputusan oleh pemerintah;
d. Contacting, yaitu upaya individu atau kelompok dalam membangun
jaringan dengan pejabat-pejabat pemerintah guna mempengaruhi
keputusan mereka, dan
e. Tindakan Kekerasan (violence), yaitu tindakan individu atau kelompok
guna mempengaruhi keputusan pemerintah dengan cara menciptakan
kerugian fisik manusia atau harta benda, termasuk di sini adalah huru-
hara, teror, kudeta, pembutuhan politik (assassination), revolusi dan
pemberontakan.
Bentuk-bentuk partisipasi politik Huntington dan Nelson
sebagaimana di atas relatif belum lengkap karena keduanya belum
memasukkan bentuk-bentuk partisipasi politik seperti kegiatan diskusi
politik, menikmati berita politik, atau lainnya yang berlangsung di dalam
skala subyektif individu.
5. Hak-hak polik dalam islam
Menurut Muhammad Anis Qasim Ja‟far, hak- hak politik itu ada tiga
macam, yaitu:
12 Samuel P. Huntington dan Joan Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang,
(Jakarta: Rineka Cipta, 1990) h. 9-10.
18
1. Hak untuk mengungkapkan pendapat dalam pemilihan dan referendum.
2. Hak untuk mencalonkan diri menjadi anggota lembaga perwakilan dan
lembaga setempat.
3. Hak untuk mencalonkan diri menjadi presiden dan hal- hal lain
yang mengandung persekutuan dan penyampaian pendapat yang berkaitan
dengan politik.
Ketiga hak politik ini, tegas Qasim, tidak berlaku kecuali bagi
orang- orang yang memenuhi syarat-syarat tertentu di samping syarat
kewarganegaraan. Seseorang boleh menggunakan atau tidak menggunakan
hak-hak politik tersebut tanpa ikatan apa pun.13
B. Politik Ulama
1. Pengertian Ulama
Ulama bentuk dari kata alim yang berarti orang yang ahli dalam
pengetahuan agama Islam. Kata alim adalah kata benda dari kata kerja alima
yang artinya “mengerti atau mengetahui”. Di Indonesia, kata Ulama yang
menjadi kata jama’ alim, umumnya diartikan sebagai “orang yang berilmu”.
Kata Ulama ini bila dihubungkan dengan perkataan lain, seperti Ulama
hadist, Ulama tafsir dan sebagainya, mengandung arti yang luas,yaitu
meliputi semua orang yang berilmu.Apa saja ilmunya, baik ilmu agama
Islam maupun ilmu lain. Menurut pemahaman yang berlaku sekarang,
Ulama adalah mereka yang ahli atau mempunyai kelebihan dalam bidang
ilmu agama Islam, seperti ahli dalam tafsir, ilmu hadist, ilmu kalam, bahasa
Arab dan paramasastranya seperti saraf, nahwu, balagh dan sebagainya.14
13 Mujar Ibnu Syarif, M. Ag, Hak-hak Politik Minoritas Nonmuslim Dalam Komunitas
Islam: Tinjauan dari Persfektif Politik Islam, (Bandung: Penerbit Agkasa, 2003), cet. I, h. 67
14 Muhtarom, Reproduksi Ulama di Era Globalisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005),
h.12.
19
Istilah ulama disebutkan dalam al-Qur’an di dua ayat surah asy-Syu’
ara dan Fathir.“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-
hamba-Nya, hanyalah ulama”15
Dalam pengertian umum ulama mempunyai arti sebagai orang
pintar, terkemuka atau orang-orang terpandang dari kalangan agama.
Sebagai elit agama sering dikaitkan dengan Islam. Hal ini dapat dimengerti
karena asal kata ulama itu sendiri itu memang berasal dari bahasa arab yang
sering diidentikan dengan Islam.16
2. Tipologi Ulama
Tipologi ulama menurut Imam Abdullah al-Haddad terbagi menjadi
dua bagian sesuai dengan bagian ilmu, yakni ulama yang bermanfaat dan
tidak bermanfaat. Ulama yang bermanfaat atau ulama muttaqī (bertakwa)
adalah ulama yang selalu berusaha untuk kebaikan, manfaat dan
kemaslahatan bagi dirinya dan seluruh umat. Sebaliknya ulama tidak
bermanfaat atau ulama (jelek) adalah ulama yang tidak pernah memikirkan
kejelekkan, bahaya dan fitnah atas dirinya dan umat.17
Sedangkan Ali Maschan Moesa mengutip pendapat Turmudi yang
membagi tipologi ulama atau kiai menjadi empat tipe sebagai berikut:18
a. Ulama pesantren, yakni para kiai yang memusatkan perhatian untuk
meningkatkan sumber daya masyarakat melalui pendidikan atau
pesantren;
b. Ulama tarekat, yakni para kiai yang begelut di dunia kebatinan dan
membangun kecerdasan hati masyarakat;
15 M.Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, Cet XXIII, (Bandung: Mizan, 2002), h.382. 16 Mohammad Iskandar, dkk, Peranan Elit Agama Pada Masa Revolusi Kemerdekaan.
(Jakarta: Depdikbud, 2000), h. 1. 17 Imam Abdullah al-Haddad, ad-Da‟wah at-Tammāh wa at-Tażkirah al- Ammāh, Cetakan
4, Ttp: Dar al-Jāwī, 2000, h. 58-60. 18 Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai: Konstruksi Sosial Berbasis Agama, Cetakan 1,
(Yogyakarta: LkiS, 2007), h. 65-66.
20
c. Ulama politik, yakni para kiai yang mengembangkan oraganisasi seperti
NU dan terlibat dalam dunia politik dan pemerintahan;
d. Ulama panggung, yakni para kiai atau juru dakwah yang aktif
memberikan ceramah agama di berbagai tempat.
Mambaul Ngadimah mengkategorikan ulama menjadi tiga tipe,
yaitu Ulama Kultural, Ulama Struktural, dan Ulama Politik, sebagai berikut
:19
a. Ulama Struktural, terdiri dari :
1) Pengurus organisasi keagamaan MUI, Nahdhatul Ulama (NU),
Muhammadiyah, LDII, HTI
2) Pengurus Yayasan Pendidikan, Kesehatan, Ekonomi, Sosial dari
Organisasi Keagamaan tertentu.
b. Ulama Kultural, terdiri dari :
1) Menjadi teladan masyarakat dalam berakhlak al-karimah
2) Ahli agama, Ahli sufi, Fiqh, Falak, Tafsir, Hadis, Hafidz dll
3) Akademisi, punya santri Ponpes salaf/modern, Madin, Masjid
4) Tokoh masyarakat, Imam masjid, tahlil, tokoh supranatural
5) Komunikator masyarakat muballigh Da‟i/Da‟iyah.
c. Ulama Politik, terdiri dari :
1) Anggota DPR, DPD, KPU
2) Pengurus Partai, Politik PKB PKNU, Golkar, PPP, PAN, PBB,
Hanura dll
3) Anggota Tim Sukses Kandidat Kada (Kepala Daerah) dan Wakada
(Wakil Kepala Daerah).
3. Peran Ulama dalam Politik
Agama sering digambarkan sebagai seperangkat aturan dan nilai-
nilai Agung dari Yang Maha Kuasa. Agama dan politik sering dipandang
sebagai entitas yang sama sekali berbeda, terpisah sangat jauh dan tidak
berhubungan antara satu sama lainnya. Lebih-lebih cita yang merupakan
19 Mambaul Ngadhimah, Peran Serta Ulama dalam Membangun Nilai-nilai Demokrasi
pada Pilkada, Jurnal al-Tahrir, Vol. X No. 2 Desember 2010, h. 234.
21
salah satu inti dari agama, politik digambarkan sama sekali bertolak
belakang.20
Keterkaitan Islam dengan kenegaraan diungkapkan oleh banyak
ulama terutama yang concern terhadap permasalahan politik Islam
sebagaimana yang dikutip Dhiauddin Rais. Diantaranya al‐ Mawardi dalam
bukunya al‐Ahkam al‐Sulthaniyah memberikan alasan diwajibkannya
keimamahan dalam Islam, ia mengatakan: “Seandainya bukan karena para
wali (pemimpin), niscaya mereka menjadi kacau tidak terurus serta menjadi
biadab dan liar” Imam al‐Ghazali berpendapat bahwa pelaksanaan
kewajiban‐kewajiban agama baik yang bersifat individu maupun sosial
dapat terlaksana jika ditegakkannya institusi keimamahan dalam suatu
pemerintahan. Karena itu dia mengatakan, “Agama dan kekuasaan adalah
dua anak kembar Agama adalah fondasi dan kekuasaan adalah penjaga
sistem aturan agama tidak akan tercapai selain dengan menggunakan sistem
aturan dunia, dan sistem aturan dunia tidak akan dicapai kecuali dengan
adanya seorang imam yang dipatuhi”.
Muhammad Amin MS dalam bukunya”Mengislamkan Kursi dan
Meja, Dialektika Ulama dan Kekuasaan” menguraikan dengan paparan yang
nyata tentang perpolitikan di Indonesia yang sering kali melibatkan atau
menggunakan peran ulama. Bahkan ulama itu sendirilah yang bermain
politik dan menjadi tokoh utama dalam suatu partai politik. Kursi diartikan
sebagai singgasana yang mana hal tersebut dalam dunia politik disebut
dengan kekuasaan. Sementara meja mempunyai arti papan sebagai tempat
berkas-berkas birokrasi yang mana menjadi urusan kenegaraan. Jika kursi
dan meja tersebut dijadikan dalam satu istilah, kursi dan meja berarti
kekuasaan dalam birokrasi politik. Sementara keikutsertaan ulama yang
menjadi judul tersebut karena memang ulama mempunyai pengaruh dan
daya gertak besar dalam hal tersebut.21
20 Ibnu Burdah, Islam Kontemporer, Revolusi dan Demokrasi, (Malang: Intrans Publishing,
2014), h. 184. 21Muhammad Amin MS, Mengislamkan Kursi dan Meja; Dialektika Ulama dan
Kekuasaan, Cetakan: Pertama, Januari 2009, Penerbit : Kerjasama Pustaka Pelajar (Yogyakarta)
22
Ulama atau elit agama sangat berperan dalam politik, sepanjang
sejarah Indonesia saja mencatat, umat Islam mengalami pasang surut dalam
perjuangan politiknya. Sebutkan saja pada masa kerajaan-kerajaan
Nusantara, politik Islam cenderung menyatu dengan agama. Dalam hal
inilah, para Ulama memainkan peranan penting di dalam kerajaan dan
cenderung menjadi alat justifikasi kekuasaan sultan.22 Terseratnya kultur
Agama ke dalam aktivitas politik semakin menguat ketika elit Agama turut
berlaga memperebutkan kekuasaan, termasuk di daerah. Saat seorang tokoh
agama, baik Kiai ataupun Ustad, terjun ke dunia politik maka praktik-
praktik keagamaan seringkali diarahkan ke dalam aksi mengalang dukungan
politik. Pengajian, majlis taklim, haul dan sebagainya disulap menjadi arena
kampanye calon penguasa.23
Dewasa ini, para Ulama/kiai sepertinya saling berlomba terjun ke
politik praktis melalui partai politik yang beragam (multi partai), baik di
tingkat kabupaten, provinsi maupun nasional. Ulama tidak berkumpul dalam
satu wadah partai politik tertentu, tetapi menyemut ke dalam berbagai partai
politik, terutama partai-partai politik yang berlatar belakang dengan simbol-
simbol ulama/kekiai-an (PKB,PPP,PNU, PKNU, dan lain sebagainya)”.24
Menurut Endang Turmudi, bahwa aspek politik kepemimpinan
ulama/kiai perlu diperhatikan karena ia mengungkap pola patronase dalam
hubungannya dengan masyarakat, dan bagaimana kekuasaannya secara jelas
terlihat sentralitas. Otoritas dan kekuasaan kiai dalam masyarakat
menimbulkan asumsi bahwa pengaruh kiai tidak terbatas hanya pada
hubungan sosial saja, tetapi juga dapat diterapkan dalam bidang politik.
Asumsi ini dibuktikan dengan fakta bahwa selama pemilu, misalnya, partai dengan YLKPN (Pekanbaru). Diakses dari http://www.nu.or.id/post/read/16648/menyingkap-peran-ulama-dalam-politik, tanggal 12 Juli 2019.
22Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam (Dari Masa Klasik Hingga
Indonesia Kontemporer), (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2010), h. 255. 23 Abdul Halim, Politik Lokal: Pola, Aktor dan Alur dan Dramatikalnya (Persektif Teori
Powercube, Modal dan Panggung), (Yogyakarta: LP2B, 2014), h. 148. 24 Ibnu Hajar, Kiai Di Tengah Pusaran Politik, (IRCiSoD, Februari 2009), h.103.
23
peserta pemilu coba memanfaatkan kiai untuk meningkatkan perolehan
suara mereka. Pengaruh kiai ini tentu begitu jelas dikalangan umat Islam
saleh yang sering mengikuti langkah politik ulama/kiai”.25
Banyak pula elit agama yang berpendapat lain, yang lebih menyakini
Agama sebagai dasar etika sosial, di mana secara formal harsu terpisah dari
politik. Sebab agama yang integral dengan dunia politik dapat menyebabkan
nilai-nilai universal Agama dimanipulasi dan dipolitisir untuk kepentingan
politik praksis. Keterkaitan Agama dengan politik, menurut kelompok ini
lebih pada peran Agama dalam high politic (politik tinggi), yang
diwujudkan melalui upaya menegakkan nilai-nilai universal Agama di
dalam masyarakat, seperti nilai keadilan, kemanusiaan dan tegaknya
supremasi hukum dalam sistem politik apapun.26
Ulama politik bisa saja berbeda secara diametral dengan politik
Ulama. Mungkin saja seorang Ulama politik sedang menjalankan misi
politik Ulama. Tetapi mungkin juga Ulama politik lepas sama sekali dengan
politik Ulama. Misi ke-ulamaan-nya hilang karena ada kepentingan lain
yang lebih menguntungkan, biasanya secara material. Kalau sudah sampai
persoalan ini, maka semua tergantung kepada individu masing-masing
Ulama.27 Politik Ulama dalam konteks ini bukan politik dalam pengertian
partisan, yang tidak lebih dari sekadar berebut kursi dan kekuasaan, siapa
memperoleh apa dengan cara bagaimana dan kapan, yang seringkali
menimbulkan konflik. Politik Ulama adalah politik dalam pengertian yang
lebih luas, politik kebangsaan, politik bagaimana mengarifi kehidupan yang
plural. Sehingga doktrin Ulama/kiai adalah tasamuh, tawazun, dan
ta’adul.28
25Endang Turmudi, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan, (Yogyakarta : LKiS, 2003),
h.246. 26Abdul Halim, Politik Lokal,h. 150. 27Imam Yahya, Gerakan Politik Pesantren , Peran Kyai Mranggen dalam Politik Pasca
Reformasi, (Semarang: Puslit IAIN, 2004). 28KH Said Aqil Siradj, Politik Kyai dalam Jurnal at-Taqaddum, Volume 6, Nomor 2,
Nopember 2014, h. 22.
24
4. Pandangan Islam tentang Ulama yang Berpolitik
Ulama sesungguhnya memiliki peran penting di tengah masyarakat.
Ulama memiliki wibawa, kharisma dan dihormati masyarakat, karena
keluhuran ahklaknya. Ulama dianggap sebagai benteng moralitas karena
kesederhanaan dan kejujuran yang mereka lakukan. Keberpihakan ulama
kepada masyarakat bawah, membuat ulama selama ini terpelihara dengan
baik, karena kejujuran, keikhlasan dan kenetralan ulama di tengah
masyarakat.29 Bahkan, lebih jauh, ulama di dalam Al-Qur’an disebutkan
tidak semata memadai secara intelektual, tetapi juga memiliki self
control yang kuat dalam menjalani tugas keumatan, yakni takut kepada
Allah Ta’ala.
Politik dalam Islam tentunya tidak sama seperti politik praktis yang
diterapkan dalam sistem demokrasi,sehingga tidak akan muncul pendapat
siapa saja yang melibatkan diri penuh di dalam politik akan tercemar,
termasuk ulama. Dalam sistem kepemerintahan Islam (Khilafah),
keterlibatan ulama dalam aktivitas politik justru akan menjadikan para
ulama mulia, akan menjadikan para ulama sebagai sayyidusy-syuhada’.
Karena ulama akan senantiasa melakukan aktivitas amar makruf nahi
mungkar kepada penguasa yang merupakan bagian penting dari aktivitas
politik, demi mengontrol diterapkannya islam secara keseluruhan tanpa
adanya penyelewengan. Ulama juga akan berperan besar dalam
mencerdaskan umat. Maka tercerminlah kemuliaanan dan kedudukan ulama
yang menjadi rujukan dan uswah bagi umat mengganti para Nabi.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW “Ulama adalah pewaris nabi.” (HR
Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ibn Hibban).30
29Hamdan Dly, Membangun Kerukunan Berpolitik dan Beragama di Indonesia, (Jakarta:
Departemen Agama RI, 2002), h. 11. 30Aufa Adzkiya (Aktivis Dakwah Kampus & Pegiat di Pena Langit), Ulama Berpolitik,
Bolehkah dalam Islam?, Selasa, 9 Zulqaidah 1440 H / 2 Oktober 2018. https://www.voa-islam.com/read/citizens-jurnalism/2018/10/02/60335/ulama-berpolitik-bolehkah-dalam-islam/. Di akses pada tanggal 12 Juli 2019, Jam 15:35 WIB.
25
Akan tetapi, ikut serta dalam politik tidak berarti bahwa ulama harus
terjun ke dalam politik praktis, namun keikutsertaan dalam politik bisa jadi
dengan cara memberikan pendidikan politik yang mencerahkan, politik yang
bersesuaian dengan syariat bukan politik kebebasan yang abai terhadap
hukum agama dengan dalih apapun. Namun, juga bukan berarti para ulama
tidak dibenarkan terjun ke politik praktis, asalkan mereka tahu rambu-rambu
itu bukan suatu masalah. Dalam hal ini, ulama tidak menjadikan politik
segalagalanya, mereka justru menjadikan politik sebagai alat menegakkan
hujjah agama, karena banyak hukum Islam itu hanya dapat tegak secara
penuh dengan melalui pemerintahan, dan pemerintahan itu sangat erat
kaitannya dengan politik.31
31http://politik. Kompasiana.com / 2012 /08/16/ haruskah-ulama-menjauhkan-diri-dari
politik- 486092 . Html. Di akses pada tanggal 12 Juli 2019, Jam 15:30 WIB.
46
BAB IV
ANALISIS PARTISIPASI POLITIK MAJELIS ULAMA INDONESIA
DALAM PEMILIHAN PRESIDEN TAHUN 2019
A. Bentuk Partisipasi Politik Majlis Ulama Indonesia dalam Pilperes 2019
Partisipasi politik secara umum dapat dipahami sebagai kegiatan
seseorang atau sekelompok orang untuk ikut secara aktif dalam kehidupan
politik1. Dalam konteks partisipasi politik Pemilihan Presiden Tahun 2019
(Pilpres 2019), MUI berpartisipasi aktif dalam beberapa pernyataan,
himbauan, fatwa dan pertemuan-pertemuan, baik langsung maupun tidak
langsung yang dapat mempengaruhi kebijakan publik dalam menentukan
hak politiknya untuk memilih presiden dan wakil presiden pada Pilpres
2019.
Beradasarkan data yang penulis temukan, partisipasi politik MUI
dalam Pilpres 2019 dapat direpresentasikan dengan menganalisis
pemenuhan unsur-unsur politik parisipasi aktif dan partisipasi pasif yaitu
sebagai berikut sebagai berikut :
1. Partisipasi pasif
Partisipasi pasif, yaitu partisipasi yang berorientasi hanya pada
output, dalam arti hanya menaati peraturan pemerintah, menerima dan
melaksanakan saja setiap keputusan pemerintah.2 salah satu bentuk
partisipasi MUI yaitu bartisipasi pasif yaitu dengan bebrikan izin kepda
anggotanya untuk terjun kedalam plitik praktis, yaitu KH Ma'ruf Amin,
sebagi Ketua umum MUI yang ikut setra atau mencalonkan diri sebagai
Wakil Presiden 2019
dalam berita yang di mual di kompas.com Wakil Ketua Umum
MUI, Zainut Tauhid, mengatakan, KH Ma'ruf Amin hanya nonaktif saja dari
1Cholisin, dkk. 2007, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Yogyakarta: UNY Press, h.150. 2 Rahman, H.I., Sistem Politik Indonesia, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2007), h.288.
47
jabatan Ketua Umum MUI karena permintaan peserta Rakernas MUI, di
Lombok, NTB, beberapa waktu lalu. Karena Peserta rakernas MUI masih
meminta beliau untuk melanjutkan sampai Munas yang akan datang,
Dengan demikian, tidak ada rangkap jabatan di tubuh MUI dengan
nonaktifnya Ma'ruf dari jabatan ketua umum ketika resmi menjadi wakil
presiden. Partisipasi politik yang dilakukan Majelis Ulama Indonesia secara
hukum bukan merupakan pelanggaran, baik pasif mau pun aktif sebab
anggota Majelis Ulama Indonesia juga sama halnya dengan warga negara
lainnya yang mempunyai hak untuk memilih yang dilindungi secara
konstitusional.
Hal tersebut berkaitan dengan adanya beberapa Hak-hak dasar
politik yang inti bagi warga negara diantaranya, hak mengemukakan
pendapat, hak berkumpul, dan hak berserikat. Dalam Undang-Undang Dasar
tahun 1945 (UUD 1945), tercantum adanya keberadaan hak politik sipil
dalam beberapa pasal. Pada Pasal 27 ayat 1 diatur persamaan kedudukan
semua warga negara terhadap hukum dan pemerintahan, dan Pasal 28
mengatur kebebasan,
Sedangkan menurut islam hak Menurut Muhammad Anis Qasim
Ja’far, hak- hak politik itu ada tiga macam, yaitu:
1. Hak untuk mengungkapkan pendapat dalam pemilihan dan referendum.
2. Hak untuk mencalonkan diri menjadi anggota lembaga perwakilan dan
lembaga setempat.
3. Hak untuk mencalonkan diri menjadi presiden dan hal- hal lain
yang mengandung persekutuan dan penyampaian pendapat yang berkaitan
dengan politik.
Ketiga hak politik ini, tegas Qasim, tidak berlaku kecuali bagi
orang- orang yang memenuhi syarat-syarat tertentu di samping syarat
kewarganegaraan. Seseorang boleh menggunakan atau tidak menggunakan
48
hak-hak politik tersebut tanpa ikatan apa pun.3 Dengan demiakan Partisipasi
politik dalam konsep Islami adalah merupakan suatu pemberian amanat
terhadap calon yang dipercaya, yang sesuai dengan nilainilai Islami. Seperti
dijelaskan Allah dalam surat An-Nisa ayat 58-59 yang berbunyi:
Artinya
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS.An-Nisa: 58-59)4
Berdasarkan ayat diatas dijelaskan bahwa Allah telah
3Mujar Ibnu Syarif, M. Ag, Hak-hak Politik Minoritas Nonmuslim Dalam
Komunitas Islam: Tinjauan dari Persfektif Politik Islam, (Bandung: Penerbit Agkasa,
2003), cet. I, h. 67
4 Departemen Agama RI, Op.Cit., h.370
49
memerintahkan kepada manusia untuk berperan aktif dalam kehidupan
politik. Dengan demikian semua masyarakat yang berkepentingan harus
berpartisipasi politik baik secara langsung atau memalui wakil-wakil yang
dipercaya untuk menuju pemimpin yang mampu menjalankan amanat rakyat
dan sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya.
Dengan demikian MUI ikut berpartisipasi secara pasif yaitu
dengan memperbolehkan salah satu anggota MUI yaitu KH Ma'ruf Amin,
ikut setra atau mencalonkan diri sebagai Wakil Presiden 2019.
2. Partisipasi aktif
Partisipasi aktif, yaitu apabila memiliki kesadaran politik dan
kepercayaan kepada pemerintah tinggi. Bentuk parisipasi aktif yang
dilakukan MUI berdasarkan data yang penulis temukan yaitu :
a. Himbauan Untuk Berlaku Jujur dan Adil
Salah satu media online terpercaya Republika.com, memuat berita
tentang himbauan MUI untuk menggiring masyarakat dalam memilih
pasangan calon presiden tertentu. Hal ini dapat direpresentasikan sebagai
ajakan atau himbauan kepada semua pihak untuk berlaku jujur dan adil baik
dalam memberikan suaranya maupun dalam hal perhitungan suara.5
Sebagian masyarakat menuding Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan
aparat keamanan berlaku tidak jujur dan adil serta dianggap mendukung
pasangan Calon Presiden Joko Widodo dan Ma'ruf Amin dalam kontestasi
Pemilu 2019. Anggapaan tersebut mucul bahwa KPU dituding melakukan
kecurangan berupa pegurangan dan penggelembungan suara yang diperoleh
kedua pasangan calon. Untuk itu MUI menghimbau kepada KPU untuk
jujur dan adil dalam perhitungan suara hasil Pilpres 2019. Dalam hal ini
Dewan Pertimbangan MUI secara tegas meminta penyelenggara pemilihan
5https://www.m.repubika.co.id/”Kpu Jujur dalam perhitungan suara” diakses pada 30
Agustus 2019 19:30 WIB
50
umum, termasuk KPU, serta aparat keamanan untuk bertindak jujur dan
adil6.
Selain itu di dalam berita yang dimuat oleh media Republika.com itu,
Prof. Dr. HM. Din Syamsuddin, MA., selaku ketua Dewan Pertimbangan
MUI, secara tegas menyatakan bahwa “KPU tolong secara jujur dan adil,
transparan dan akuntabel, melakukan penghitungan. Jangan ada trik-trik di
situ, jangan ada dusta, jangan ada kebohongan, jangan ada kecurangan.”7
b. Seruan Untuk Tidak Golput
Adanya fatwa MUI yang mengharamkan golput menjadi landasan
yang kuat bagi MUI untuk menghimbau kepada masyarakat agar tidak
golput dalam pemilihan umum. Dalam media yang sama yaitu
Kompas.com, Prof. H. Azyumardi Azra Selaku wakil Ketua Dewan
Pertimbangan MUI menyatakan setuju dengan adanya Fatwa MUI yang
mengharamkan golput.
Dengan adanya fatwa pengharaman golput, itu berarti umat Islam
akan merasakan bahwa memilih merupakan salah satu kewajiban
keagamaan yang mesti dilaksanakan. Hal ini baik dalam mengefektifkan
penyelenggaraan Pemilu sebagai tonggak pertumbuhan demokrasi di
Indonesia karena secara otomatis meningkatkan partisipasi politik
masayarakat8. Seruan untuk tidak golput juga datang dari anggota pengurus
Dewan Pertimbangan dan Dewan Pengurus Harian MUI seperti, Prof. Dr. H
Nasaruddin Umar, MA, Prof. Dr.H Noor Ahmad, dan MA., Dr. H. Bachtiar
Nasir,dan Prof. Dr. H. Didin Hafiduddin. Apa yang disampaikan oleh MUI
di atas adalah merupakan salah satu bentuk partisipasi politik konvensional
6https://www.voaindonesia.com, “MUI Minta KPU Jujur dan Adil dalam Penghitungan
Suara”, 24/04/2019. Diakses pada30 Agustus 2019 Pkl 20:00 WIB 7https://www.m.repubika.co.id/”Kpu Jujur dalam perhitungan suara” diakses pada 30
agustus 2019 Pkl 19:30 WIB
8https://tekno.kompas.com/read/2019/01/26/2047361/hasim.muzadi.golput.tak.perlu.diharamkan diakses pada Rabu 21 Agustus 2019 Pkl 21:34 WIB.
51
yang secara tidak langsung akan mempengaruhi pengambilan keputusan
publik dalam memilih.
Adanya himbauan MUI kepada masyarakat dalam pelaksanaan Pilpres
2019 relevan dengan pendapat Miriam Budiarjo, bahwa partisipasi politik
dalam Pemilu dapat dipresentasikan dalam beberapa pernyataan, himbauan
atau fatwa9
c. Sikap Netralitas Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Komunikasi individual MUI dengan pejabat politik sebagai salah satu
unsur partisipasi politik secara langsung tidak nampak dengan jelas. Namun,
Wakil Ketua Umum MUI, Yunahar Ilyas, menegaskan bahwa "Meski ada
individu yang juga tim sukses, kami secara organisasi netral”. Terkait
dengan adanya individu MUI yang berpolitik, itu sebagai hak politik warga
negara dan dijamin oleh undang-undang sehingga tidak ada larangan.
Soal adanya perbedaan politik di kalangan ulama, bukan merupakan
bentuk keterbelahan MUI. Ulama tidak terbelah, sikap politik merupakan
hal yang bersifat prerogatif bagi setiap individu. Bagi para ulama yang ikut
kontestasi politik praktis memiliki kecenderungan politiknya masing-
masing. MUI hanya menyerukan agar setiap anggota atau ulama Indonesia
dapat menunjukkan diri sebagai pribadi yang alim, berilmu, dan menjadi
teladan10.
MUI sebagai instansi independen menyatakan dirinya mandiri dan
tidak terafiliasi dalam penentuan suara politik. Secara indepensi etis,
masing-masing anggota MUI berhak untuk menentukan kecondongan
pilihannya. Demikian ini tidak dapat dikatakan sebagai sikap tidak
independen, sebab bukan menjadi representasi dari MUI melainkan pribadi
9Girindra Sandino, Partisipasi Politik Masyarakat dalam Pemantauan Pemiu,
23/02/202018 http://nasional.kompas.com/read/2018/02/23/17/152991/partisiasi-politik-masyarakat-dalam-pemilihan-Pemilu Diunduh pada tanggal 31 Januari 2019 21:00 WIB.
10Anom Prihantoro, “MUI tegaskan netralitas pada Pilpres 2019”, 9/04/2019,
https://Pemilu.antaranews.com/berita/822854/mui-tegaskan-netralitas-pada-pilpres-2019.Diakses tanggal 31 Agustus 2019 Pkl. 22:05 WIB.
52
masing-masing. Adapun bila masing-masing anggota memiliki pandangan
yang berbeda, maka tidak menjadi alasan untuk timbulnya perpecahan.
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa adanya anggota MUI yang
secara individu terlibat politik praktis dalam Pemilu 2019, baik yang berada
di kubu Jokowi maupun Prabowo. Namun, adanya partisipasi politik praktis
yang dilakukan secara individual dari Majelis Ulama Indonesia secara
hukum bukan merupakan pelanggaran, sebab individu Majelis Ulama
Indonesia juga sama halnya dengan warga negara lainnya yang mempunyai
hak untuk memilih yang dilindungi secara konstitusional. Hal tersebut
berkaitan dengan adanya beberapa Hak-hak dasar politik yang inti bagi
warga negara diantaranya, hak mengemukakan pendapat, hak berkumpul,
dan hak berserikat.
d. Seruan untuk Menjaga Persatuan Umat
Dalam rapat pleno MUI ke-34 dibahas tentang umat Islam dalam
menghadapi agenda demokrasi pemilihan legislatif dan pemilihan presiden
2019, yang dihadiri pimpinan organisasi masyarakat Islam dari seluruh
Indonesia. Sejalan dengan hal tersebut, Wakil Ketua Dewan pertimbangan
MUI, Didin Hafidhuddin, mengatakan bahwa berdasarkan rapat pleno, ada
8 poin kesimpulan yang dihasilkan ialah:11
1) MUI merasa prihatin luar biasa terhadap kondisi kebangsaan dan
keumatan yang cenderung terlihat ada fenomena dan gejala
perpecahan;
2) MUI menyerukan kepada bangsa dan pimpinan serta para tokoh
untuk mengedepankan persatuan dan kesatuan. Menurutnya, pilpres
merupakan alat, sarana dan tidak boleh menimbulkan kehancuran
sebuah bangsa;
3) umat Islam diharapkan untuk terus menguatkan persatuan dan
kesatuan walau mungkin terjadi perbedaan pilihan. Seharusnya
11 Muhamad Rizky, “Pleno MUI Hasilkan 8 Kesimpulan Terkait Pemilu 2019”, 30/01/
2019”, https://news.okezone.com/topic/38262/pemilihan-presiden. Diakses tanggal 30 Agustus 2019 Pkl. 22:47 WIB.
53
perbedaan-perbedan pilihan tidak boleh menyebabkan rusaknya
ukhuwah islamiyah;
4) MUI menyerukan kepada para ulama dan zuama untuk tidak
mengumbar pernyataan-pernyataan yang mengundang konflik dan
pertentangan;
5) MUI menempatkan sebagai rumah besar bersama, rumah besar umat
dari manapun dari berbagai macam kelompok manapun dan menjadi
teman dari penguasa, tetapi dalam bagian untuk memberikan amar
maruf nahi mungkar terhadap kondisi yang ada;
6) MUI mempersilakan umat Islam untuk memiliki literasi dalam
bidang politik, untuk dapat menentukan pilihan yang terbaik
berdasarkan literasi politiknya;
7) MUI berharap kepada pemangku amanah penyelengara Pemilu
2019, untuk netral dan berkeadilan. Sehingga demokrasi dapat
berjalan dengan baik, dengan lancar dengan aman dan tertib.
8) umat Islam memiliki kekuatan yang sangat dahsyat, yakni doa.
Sehingga doa dikatakan silahulmukmin. Juga diharapkan kepada
pemimpin umat, tokoh-tokoh para pendukung kiai para ulama dan
juga umat secara menyeluruh baik pada waktu bangun malam
melaksanakan salatnya.
Point turunan dari hasil rapat pleno ini merupakan alasan mengapa
MUI harus mengambil tindakan untuk ikut berpartisipasi terhadap Pilpres
2019.
Dari data di atas, keterlibatan MUI dalam pemilihan presiden 2019
dapat dikategorikan sebagai partisipasi konvensional. Penulis
mengklasifikasi keterlibatan MUI sebagai bentuk konvensional, sebab tidak
mengedepankan mekanisme konfrontatif dan distruktif, melainkan lebih
kepada seruan yang mengarah pada harmonisasi. Selain itu, juga dapat
dipahami bahwa keterlibatan MUI dengan proses pilpres 2019,
mengandaikan adanya kesatuan atau intersectsion antara ulama dan politik.
Hanya saja, tidak sampai pada tahap pengambilan kebijakan hingga tahap
54
dominasi. Tentu saja, MUI sadar bahwa di mata masayarakat, instansinya
memiliki marwah sehingga banyak diikuti.
MUI dalam pandangan masyarakat Indonesia bukan hanya figur
biasa di tengah-tengah masyarakat, tetapi lebih dari itu dipandang sebagai
wakil Tuhan yang semua prilakunya serba benar dan harus diikuti. Inilah
yang menjadi daya tarik sehingga MUI mengeluarkan fatwa haram golput,
dan menyerukan himbauan untuk berlaku jujur dan adil dalam Pilpres 2019.
Jika dibandingkan dengan masa Orde Baru, dimana MUI
mendukung sepenuhnya pemerintahan Soeharto, pada pertama era
Reformasi MUI memperlihatkan keberpihakanya terhadap partai Islam
dengan menghimbau kepada seluruh umat Islam agar memilih partai yang
berjuang pada kepentingan umat. Keberpihakan MUI terhadap partai Islam
disebabkan karena adanya pergeseran politik dalam pemerintahan Soeharto
yang menyebabkan Presiden Soeharto kala itu mendekat pada kelompok-
kelompok Islam. Berbeda dengan Pilpres 2019, MUI tidak lagi memberikan
dukungan secara langsung melaikan MUI memberikan himbauan netral
dengan tidak membawa nama instansi ke dalam ranah politik dan agar
pemilih yang datang ke bilik suara dan memberikan hak pilihnya sesuai
dengan pilihann hatinya masing-masing. Bahkan MUI menyuarakan fatwa
haram golput dengan tujuan agar partisipasi masyarakat pada Pemilu terus
berkembang12.
Dengan demikian, dapat disimpulakan bahwa partisipasi politik
MUI dalam Pilpres 2019 tidak sampai pada arah pengambilan kebijakan,
sehingga partisipasi politik MUI bisa dikatakan hanya pada taraf parsial.
Dikatakan parsial karena yang dilakukan hanya pada tahap konvensional,
yaitu sepeti seruan dan himbauan agar beraku jujur dan adil tidak golput
bersikap netral dan menjaga persatuan umat.
12Muhammad As'ad ..”MUI Pilpres, dan Politik Munajat”,
https://news.detik.com/kolom/d-4443012/mui-pilpres-dan-politik-munajat. Diakses tanggal 2 Agustus 2019.12:30 WIB
55
B. Faktor-faktor Partisipasi Politik Majelis Ulama Indonesia dalam
Pemilihan Presiden Tahun 2019
1. Kekhawatiran MUI Terhap Pilpres yang tidak Jujur dan Adil
Dalam Pilpres 2019, sebagian masyarakat menuding KPU dan aparat
keamanan berlaku tidak jujur dan adil. KPU dituding melakukan
kecurangan berupa pegurangan dan penggelembungan suara yang diperoleh
kedua pasangan Calon Presiden. Adanya tudingan itu membuat MUI
mengeluarkan himbauan agar berlaku jujur dan adil. Tidak hanya itu, dalam
berita yang dimuat oleh media online, tirto.id, Ketua Dewan Pertimbangan
MUI, Din Syamsuddin, mengatakan “sengketa hasil pilpres memang sudah
seharusnya diselesaikan melalui jalur sesuai hukum, yakni di Mahkamah
Konstitusi, ia berharap majelis hakim MK dapat bekerja secara jujur, adil,
transparan dan akuntabel”13.
Sebagai warasatu al-anbiya’, MUI mempunyai peranan yang sangat
penting dalam hal sosial politik sesuai sifat dan tanggung jawab yang
dipikulnya. MUI berkewajiban untuk menegakan kebenaran dan keadilan
dengan cara yang baik dan terpuji yang merupakan kewajiban bersama
(fardhun jama’iy). Oleh karena itu, kepemimpinan umat Islam yang bersifat
kolektif merupakan kewajiban (ijabal-imamah) dalam rangka mewujudkan
masyarakat madani yang menekankan nilai-nilai persamaan, keadilan, dan
demokrasi14.
Dengan demikian, faktor yang menyebabkan MUI menghibau untuk
berlaku jujur dan adil yakni adanya khawatiran MUI terhadap
penyelenggara pemilihan umum termasuk KPU berbuat kecurungan dan
berlaku tidak jujur dan adil terhadap Pilpres 2019.
13Din Syamsudin MK Jangan Maim-Main Dengan Keadilian https://tirto.id/din-
syamsuddin-mk-jangan-bermain-main-dengan-keadilan-ec8n diakses pada 26 Sepember 2019 Pkl 18:20 WIB.
14 Tim Penyusun, 35 Tahun Majelis Ulama Indonesia Berkiprah Menjaga Interitas
Bangsa,( Jakarta Majelis Ulama Indonesia ), h. 241-242.
56
2. Meningkatnya Golput
Berdasarkan hasil real count dari KPU, angka golput secara umum
meningkat dari tahun ke tahun. Pada Pilpres tahun 2009, perolehan suara
golput mencapai 29,6%. Ini adalah suara terbesar dari total perolehan
seluruh partai. Pada tahun 2014, berdasarkan real count Pemilu legislatif,
angka golput memang cenderung menurun hingga pada angka 24,89%15.
Sementara itu, Partai Politik (Parpol) dengan jumlah perolehan suara
terbesar, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), hanya
meraih sekitar 18,95%. Ini menunjukkan bahwa partai terbesar sekalipun,
hanya mampu meraup suara kurang dari 20% (detik.com, diakses pada 21
Mei 2014 Membengkaknya jumlah suara golput disinyalir karena banyak
faktor. Di antaranya adalah faktor trauma terhadap para elit politik yang
menjabat pada periode sebelumnya. Tentu tidak semua orang yang menjadi
wakil rakyat itu adalah buruk. Hanya saja ulah para oknum yang
mengecewakan masyarakat tampak selalu mendominasi, sehingga
masyarakat pun semakin tidak percaya lagi dengan para calon meskipun
bukan incumbent.
Ketidakpercayaan ini tampak berlaku menyeluruh untuk semua calon,
baik yang baru maupun yang lama. Isu-isu Suku Agama dan Ras (SARA)
yang juga masih marak dalam perpolitikan Indonesia belakangan ini,
tampaknya juga tidak mampu membendung arus golput yang kian
membesar. Bagi sebagian orang, golput adalah solusi paling damai untuk
membuat para oknum tersebut jera atau untuk menyelamatkan bangsa.
Menyikapi hal ini, lembaga fatwa yang dinilai paling otoritatif di Indonesia
juga tidak tinggal diam. MUI turut merespon derasnya arus golput dengan
pendekatan fatwa. Oleh karena itu, haram bagi muslim Indonesia yang tidak
menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu16.
15 Moch Nurhasim, (ed.) Dkk., partisipasi Pemilihan Pada Pemilu 2014: Studi Penjajakan.
Jakarta: LIPI-KPU,2014. h., 4-5 16 Ihwan Syam, Ijtima Ulama : Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia
2009. Jakarta : MUI 2019. h.,32-33
57
Alasan MUI juga rasional, yaitu untuk penyelematan bangsa. Tidak
memilih alias golput menurut lembaga ini, bukanlah sebuah solusi
melainkan justru sebuah ancaman. Fatwa haram golput dikeluarkan oleh
MUI pada saat Ijtima Ulama di Kota Padang Panjang, Sumatera Barat,
tahun 2009 lalu. Untuk mensosialisasikan fatwa haram ini, MUI
menggerakkan para da’i atau juru dakwah untuk menyebarkan informasi
fatwa tersebut kepada seluruh masyarakat muslim. MUI menjadi sumber
konsultasi para da’i untuk melakukan tugas sosialisasi penyebaran informasi
fatwa haram golput. Media massa juga memiliki peran yang sangat penting
dalam sosialisasi fatwa ini hingga ke akar rumput.
Kelahiran fatwa haram golput ini menunjukkan bahwa Indonesia
adalah negara yang tidak dapat lepas dari agama, meskipun belum tepat juga
jika dikatakan negara agama atau negara Islam. Peran para ulama dalam
menyukseskan demokrasi di Indonesia begitu kentara dari fatwa tersebut.
Tidak tanggung-tanggung, fatwa tersebut mengancam dosa bagi siapapun
yang memiliki kesanggupan namun tidak menggunakan hak suaranya
dengan baik dalam Pemilu17.
Dalam fatwa tersebut juga ditegaskan bahwa selama ada calon yang
memenuhi syarat, maka wajib dipilih. Mengenai syarat-syarat ini, para
ulama yang tergabung dalam MUI ini menetapkan bahwa kriteria pemimpin
yang baik sebagaimana tertuang dalam poin ke-4 fatwa tersebut adalah
beriman dan bertakwa, jujur (shiddiq), terpercaya (amanah), aktif dan
aspiratif (tabligh), mempunya kemampuan (fathanah), dan
memperjuangkan kepentingan umat Islam. Memilih orang yang memiliki
kriteria tersebut hukumnya adalah wajib.
Dari faktor di atas, maka jelaslah mengapa MUI memberikan
himbauan kepada masyarakat untuk tidak golput dalam Pemilu berdasar
pada argumentasi fatwa pengharaman golput yang telah dikeluarkan.
17Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah, Fatwa Haram Golput Dalam Perspektif Sosiologi Hukum
Islam, Jurnal Yudisia: Pemikiran Hukum dan Hukum Islam, (Vol. 6 No. 1, Juni 2015), h. 4.
58
3. Menjaga Netralitas MUI
Pada Orientasinya MUI adalah wadah pengkhidmatan independen
yang bebas dan merdeka serta tidak tergantung maupun terpengaruh oleh
pihak-pihak lain dalam mengambil kepuusan, mengeluarkan pikiran
pandangan dan pendapat18.
Dalam berita yg dimuat pada media online CNN Indonesia, Sekretaris
Jenderal MUI, Anwar Abbas menyatakan “Agar kredibilitas MUI di tengah-
tengah masyarakat tetap terjaga dan terpelihara maka seluruh personalia
pimpinan MUI harus bisa menjaga netralitas organisasi"19. Oleh karena itu,
MUI menyatakan dirinya mandiri dan tidak teravilasi dalam penentuan
suara politik. Sebagimna yang tertanam pada asas dan sifat MUI merupakan
organisasi yang bersifat keagamaan, kemasyarakatan independen, dalam arti
tidak terikat atau menjadi bagian dari pemerintahan atau kelomok manapun.
MUI tidak berafiliasi kepada salah satu organisasi sosial politik20.
Dengan demikian, faktor yang menyebabkan MUI harus menjaga
kenetralatan dalam Pilpres 2019 yaitu agar anggota MUI tidak membawa
kepentingan politik kedalam insatansi, yang menyebabkan keberpihakan
MUI kepada salah satu calon dalam Pilpres 2019.
4. Menjaga Persatuan Umat
Hasil rapat peleno MUI ke-34 membahas tentang umat Islam dalam
menghadapi agenda demokrasi pemilihan legislatif dan Pemilihan Presiden
201921. MUI melihat adanya indikasi perpecahan yang terjadi di tengah
masyarakat sebagai konsekuensi dari diselenggarakannya Pilpres 2019.
18 Din Syamsudn, Pedoman Penyelenggaraan Organisasi Majelis Ulama Indonesia, h., 7 19Mui Himbau Pengurus Bersikap Netral di pilpres 2019
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190109083253-32-359457/mui-imbau-pengurus-bersikap-netral-di-pilpres-2019 diakses pada 23 September 2019 PKL 22 :50
21 Muhamad Rizky, “Pleno MUI Hasilkan 8 Kesimpulan Terkait Pemilu 2019”, 30/01/ 2019”, https://news.okezone.com/topic/38262/pemilihan-presiden. Diakses tanggal 30 Agustus 2019 Pkl. 22:47 WIB.
59
Karena itu, sebagai instansi keagamaan, sudah semestinya MUI melakukan
tindakan dalam bentuk memberi pengaruh melalui seruan dan fatwa.
Sekalipun fatwa yang dikeluarkan oleh MUI tidak mengikat secara
legalitas, namun fatwa bagi masyarakat umum, dianggap sebagai suatu
keharusan, terlebih adanya rasa percaya bahwa MUI merupakan instansi
yang bernaung di bawah nuansa keagamaan.
Selain itu, MUI tidak berhenti pada tindakan penyeruan dan fatwa
yang ditujukan kepada khalayak umum. Namun, juga kepada para tokoh
masyarakat agar ikut memberi pengaruh pasti terhadap masyarakat dalam
menjaga kondisifitas dan ketentraman dalam bernegara. Pilpres hanyalah
alat dalam bernegara sehingga jangan sampai karena perbedaan pilihan
ternyata juga berimbas pada pertengkaran dan perpecahan umat. Tapi di
samping itu, MUI secara institusi tidak menyerukan pada pilihan calon
presiden tertentu. Baginya, pilihan politik merupakan hak masing-masing
pribadi dalam memilih. Selain kepada tokoh masyarakat, MUI juga
menyerukan agar para ulama tidak memberikan pernyataan-pernyataan
provokatif yang dapat memancing gejolak di masyarakat.
Dengan demikian dari faktor diatas MUI ikut serta berpartisipasi
dalam Pilpres 2019. Maka dapat disimpulkan, dari semua faktor tersebut
partisipasi MUI terhadap Pilpres 2019 lebih disebabkan karena keinginan
menjaga persatuan dan kesatuan umat. Salah satu langkahnya adalah
dengan menekankan pada kehidupan yang harmonis. Artinya, MUI
merupakan instansi yang tetap berada di bawah formalitas hukum dan tidak
melakukan intervensi lebih terutama dalam pengambilan kebijakan negara.
60
60
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpuln
Berdasarkan penelurusan dan analisis yang telah disampaikan pada
bagian sebelumnya, maka kesimpulan yang dapat disampaikan adalah sebagai
berikut :
1. Partisipasi MUI dalam pilpres Tahun 2019 terbagi kedalam dua
partisipasi yaitu partisipasi aktif dan partisipasi pasif. Yang pertama
Partisipasi aktif partisipasi ini ditunjukan yaitu dengan mengizinkan
anggota MUI untuk terjun ke dalam plitik praktis, yaitu KH Ma’ruf Amin
untuk menjadi Wakil Presiden. Kedua yaitu partisipasi aktif yaitu
ditunjukan melalui beberapa himbauan dan seruan kepada semua pihak
yang ikut terlibat dalam Pilpres 2019 ataupun kepada masyarakat
Indonesia khususnya yaitu umat Islam. dengan menghimbau kepada
seluruh pihak untuk berlaku jujur dan adil baik dalam memberikan
suaranya maupun dalam penghitungan suara. menyerukan kepada seluruh
masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya agar tidak golput. MUI
berharap kepada pemangku amanah penyelengara Pemilu 2019, untuk
netral dan berkeadilan, sehingga demokrasi dapat berjalan dengan baik,
dengan lancar dengan aman dan tertib.
2. Adapun faktor yang menyebabkan MUI ikut berpartisipasi dalam
Pemilihan Presiden Tahun 2019 yaitu MUI merasa prihatin luar biasa
terhadap kondisi kebangsaan dan keumatan yang cenderung terlihat ada
fenomena dan gejala perpecahan. Sebagai instansi keagamaan, sudah
semestinya MUI melakukan tindakan dalam bentuk memberi pengaruh
melalui seruan himbauan atau fatwa, agar terjaga persatuan Umat
bangsa, penggunaan hak pilih, netralitas Ulama, dan keadilan.
61
B. Saran
Sehubungan dengan hasil penelitian, maka saran yang dapat
disampaikan adalah sebagai berikut :
1. Secara praktik, MUI harus mampu memberikan suri tauladan kepada
masyarakat, khususnya umat Islam dalam mewujudkan partisipasi politik
yang sehat agar tercipta sistem ketatanegaraan yang mampu
mensejahterakan rayat Indonesia.
2. Secara institusional MUI memang harus terlibat dalam politik praktis
karena peran ulama sangat dibutuhkan dalam dunia perpolitikan di
indonesia.
62
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku :
Ali, Zaenuddin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, Cetakan ke 5, 2014).
Al-Haddad, Imam Abdullah, ad-Da‟wah at-Tammāh wa at-Tażkirah al- „Ammāh, Cetakan 4, Ttp: Dar al-Jāwī, 2000.
Anwar, Komunikasi Politik, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2011).
Asshiddiqie, Jimly, Pengantar Hukum Tata Negara, (Jakarta : Rajawali Pers, 2011).
Bangun, Zakaria, Demokrasi dan Kehidupan Demokrasi di Indonesia, (Medan : Bina Media Perintis, 2008).
Burdah, Ibnu, Islam Kontemporer, Revolusi dan Demokrasi, (Malang : Intrans Publishing, 2014).
Cholisin, dkk. Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Yogyakarta : UNY Press, 2007).
Diantha, I Made Pasek, Metode Penelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi Teori Hukum, Cetakan ke 2, (Kencana, Cetakan ke 2, Jakarta, 2017).
Firmansyah. Marketing Politik (antara pemahaman dan realitas), (Jakarta: Yayasan Obor, 2014).
Firmansyah, Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideolgi Politik di Era Demokrasi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2014).
Fuady, Munir, Konsep Negara Demokrasi, (Bandung : Revita Aditama, 2010).
Ghofur, Abdul, Demokratitasi dan Prospek Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002).
Irene, Siti, Desentralisasi dan Partisipasi Masyarakat dalam Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2011).
Iskandar, Mohammad, dkk, Peranan Elit Agama Pada Masa Revolusi Kemerdekaan. (Jakarta: Depdikbud, 2000).
Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam (Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer), (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2010).
63
Hajar, Ibnu, Kiai Di Tengah Pusaran Politik, (IRCiSoD, Februari 2009).
Halim, Abdul, Politik Lokal: Pola, Aktor dan Alur dan Dramatikalnya (Persektif Teori Powercube, Modal dan Panggung), (Yogyakarta: LP2B, 2014).
Hamdan Dly, Membangun Kerukunan Berpolitik dan Beragama di Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2002).
Huntington, Samuel P. dan Joan Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990).
Karim, Helmi, Konsep Ijtihad Majelis Ulama Indonesia Dalam Pengembangan Hukum Islam, Cetakan Ke-1, (Pekanbaru: Susqa Press, 1994).
Khoirudin, Politik Kiai, (Yogyakarta: Averroes Press, 2005).
Kusnardi, Moh. dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, cetakan ke-5, (Jakarta : Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 1983).
Maran, Rafael Raga, Pengantar Sosiologi Politik, (Jakarta:Asdi Mahasatya, 2007).
Masoed, Mochtar dan Colin Mac Andrews, Perbandingan Sistem Politik, (Yogyakarta : Gadjah Mada University Pres, 2011).
Mas‟ud, Masdar Farid i, Syarah Konstitusi UUD 1945 dalam Perspektif Islam, Cetakan 3, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2011).
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, (Jakarta : Prenadamedia group, edisi revisi, cetakan ke-9, 2014).
Misrawi, Zuhairi, Hadratussyaikh Hasyim Asy‟ari Moderasi, Keumatan dan Kebangsaan, (Jakarta: Kompas. 2010).
Moesa, Ali Maschan, Nasionalisme Kiai: Konstruksi Sosial Berbasis Agama, Cetakan 1, (Yogyakarta: LkiS, 2007).
Muhaimin, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2005).
Muhtarom, Reproduksi Ulama di Era Globalisasi, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005).
Mu’nim D.Z., Abdul., Islam di Tengah Arus Transisi, (Jakarta : Kompas, 2000).
64
Nasution, Bahder Johan, Metode Penelitian Ilmu Hukum, (Bandung : Mandar Maju, 2008).
Sitepu, Anthonius, Teori-Teori Politik, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2012).
Pahmi Sy, Politik Pencitraan, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2010).
Panjaitan, Merphin, Logika Demokrasi: Rakyat Mengendalikan Negara, (Jakarta: Permata Aksara, 2011).
Rahman, H.I., Sistem Politik Indonesia, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2007).
Shihab, M.Quraish, Membumikan al-Quran, Cetakan XXIII, (Bandung :
Mizan, 2002).
Syarif, Mujar, Hak-hak Politik Minoritas Nonmuslim Dalam Komunitas
Islam: Tinjauan dari Persfektif Politik Islam, (Bandung: Penerbit
Agkasa, 2003), cet. I
Winarno, Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan, (Jakarta : Bumi Aksara, 2008).
Yahya, Imam, Gerakan Politik Pesantren , Peran Kyai Mranggen dalam Politik Pasca Reformasi, (Semarang: Puslit IAIN, 2004).
B. Jurnal
Budiarjo, Miriam, Hak Asasi Manusia Dalam Dimensi Global, Jurnal Ilmu Politik, Nomor 10, 1990, Jakarta.
Chalik, Abdul, Elite Lokal Berbasis Pesantren Dalam Kontestasi Pemilihan Kepala Daerah Di Jawa Timur, Jurnal Sosial dan Budaya Keislaman, Volume. 23 No. 2, Desember 2015: 363-381, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya.
Enayat, Hamid, Modern Islamic Political Thought: The Response of the Shī’ī and Sunnī Muslims to the Twentieth Century, (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2006), p.110. Dikutip dari Jeanne Francoise, Jurnal The 1st UICIHSS, h.41. http://uicihss.uhamka.ac.id/wp-content/uploads/2017/09/34-Pemikiran-Politik-Islam-Modern.pdf.
Ernas, Saidin, Dampak Keterlibatan Pesantren dalam Politik: Studi Kasus Pesantren di Yogyakarta, Jurnal Kontekstualita, Volume 25, No. 2, 2010, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon.
65
Fernandes, Arya, Politik Identitas dalam Pemilu 2019: Proyeksi dan Efektivitas, CSIS Election Series Nomor. 1, 2018, Centre for Strategic and International Studies, Jakarta.
Hilmi, “Pemikiran Politik Islam tentang Hubungan Eksekutuf dan Legislatif”, Jurnal Media Akademika, Vol. 19, No. 2, (April, 2004).
Kario, Stevan, Partisipasi Politik Masyarakat Dalam Pelaksanaan Pemilihan Hukum Tua Tahun 2016 (Studi Di Desa Kolongan Tetempangan Kecamatan Kalawat Kabupaten Minahasa Utara), Ilmu Pemerintahan Program Studi Ilmu Pemerintahan FISPOL UNSRAT.
Nasir, Nurlatipah, Kyai Dan Islam Dalam Mempengaruhi Perilaku Memilih Masyarakat Kota Tasikmalaya, Jurnal Politik Profetik, Volume 6 Nomor 2 Tahun 2015, Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Politik (STISIP).
Ngadhimah, Mambaul, Peran Serta Ulama dalam Membangun Nilai-nilai Demokrasi pada Pilkada, Jurnal al-Tahrir, Vol. X No. 2 Desember 2010.
C. Internet
Agus Hilman, Memaknai Ulang Keterlibatan Kiai dalam Politik, (Opini, 27 Februari 2013). http://politik.kompasiana.com/2013/02/27/memaknai-ulang-keterlibatan-kiai-dalam-politik537752.html. Diunduh pada tanggal 15 Januari 2019.
Andhika Prasetia, Menelisik Alasan Pesantren Jadi Magnet Safari Capres-Cawapres, <14/10/2018>, https://news.detik.com/berita/d-4256334/menelisik-alasan-pesantren-jadi-magnet-safari-capres-cawapres. Diunduh pada tanggal 15 Januari 2019.
Anom Prihantoro, “MUI tegaskan netralitas pada Pilpres 2019”, 9/04/2019, https://pemilu.antaranews.com/berita/822854/mui-tegaskan-netralitas-pada-pilpres-2019. Diunduh tanggal 31 Agustus 2019.
Aufa Adzkiya (Aktivis Dakwah Kampus & Pegiat di Pena Langit), Ulama Berpolitik, Bolehkah dalam Islam?, Selasa, 9 Zulqaidah 1440 H / 2 Oktober 2018. https://www.voa-islam.com/read/citizens-jurnalism/2018/10/02/60335/ulama-berpolitik-bolehkah-dalam-islam/. Diakses tanggal 12 Juli 2019.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2016, . https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/diskusi. Diunduh tanggal 30 Agustus 2019
66
Breakingnews.co.id, “Jimly Asshiddiqie: Arah Politik Munajat 212 Sudah Terang Benderang”, 22/02/19, https://breakingnews.co.id/read/jimly-asshiddiqie-arah-politik-munajat-212-sudah-terang-benderang. Diunduh tanggal 31 Agustus 2019.
CNN Indonesia, Yusril Ajak Tokoh Pesantren Berpolitik, <21012018>, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180121133556-32-270504/yusril-ajak-tokoh-pesantren-berpolitik. Diunduh pada tanggal 14 Januari 2019.
CNN Indonesia, “MUI Pusat 'Ceramahi' MUI DKI soal Kampanye di Munajat 212”, 23/02/2019 , https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190223151201-32-372064/mui-pusat-ceramahi-mui-dki-soal-kampanye-di-munajat-212. Diunduh tanggal 30 Agustus 2019.
Doddy Rosadi, “3 Dampak Negatif Golput terhadap Pembangunan”, 17/03/2014, "https://www.suara.com/news/2014/03/17/170947/tiga-dampak-negatif-golput-terhadap-pembangunan. Diunduh tanggal 2 September 2019.
Fitria Chusna Farisa, "KPU Sebut Partisipasi Pemilih pada Pemilu 2019 Capai 81 Persen", 27/05/2019, https://nasional.kompas.com/read/2019/05/27/16415251/kpu-sebut-partisipasi-pemilih-pada-pemilu-2019-capai-81-persen. Diunduh pada tanggal 2 September 2019. .
Imam Solehudin, “Jelang 17 April, MUI Imbau Masyarakat Memilih Sesuai Hati Nurani”, 9 April 2019, https://www.jawapos.com/nasional/politik/09/04/2019/jelang-17-april-mui-imbau-masyarakat-memilih-sesuai-hati-nurani/. Diunduh tanggal 30 Agustus 2019.
Jeanne Francoise, Pemikiran Politik Islam Modern: Peran Majelis Ulama Indonesia, Jurnal THE 1st UICIHSS, h.41. http://uicihss.uhamka.ac.id/wp-content/uploads/2017/09/34-PEMIKIRAN-POLITIK-ISLAM-MODERN.pdf.
Profil MUI, sumber: www.mui.or.id, diakses tanggal 29 Juli 2019.
Muhammad Amin MS, Mengislamkan Kursi dan Meja; Dialektika Ulama dan Kekuasaan, Cetakan : Pertama, Januari 2009, Penerbit : Kerjasama Pustaka Pelajar (Yogyakarta) dengan YLKPN (Pekanbaru). Diakses dari http://www.nu.or.id/post/read/16648/menyingkap-peran-ulama-dalam-politik, tanggal 12 Juli 2019.
67
Muhammad As'ad – detikNews, “MUI, Pilpres, dan Politik Munajat”, 25/02/2019. https://news.detik.com/kolom/d-4443012/mui-pilpres-dan-politik-munajat. Diunduh tanggal 31 Agustus 2019.
MUI, Pengurus MUI, , http://mui.or.id/mui/category/tentang-mui/pengurus-mui/periode-berjalan/dewan- pertimbangan. Diakses tanggal 27 Juli 2019.
Muhamad Rizky, “Pleno MUI Hasilkan 8 Kesimpulan Terkait Pemilu 2019”, 30/01/ 2019”, https://news.okezone.com/topic/38262/pemilihan-presiden. Diunduh tanggal 30 Agustus 2019.
Nashrullah, Nashih, Tiga Peran Utama MUI yang Harus Dilaksanakan demi Umat, 04 Feb 2019. https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/19/02/04/pmeszq320-tiga-peran-utama-mui-yang-harus-dilaksanakan-demi-umat. Diakses tanggal 28 Juli 2019.
Puteranegara Batubara, “MUI: Masyarakat Butuh Ketenangan, Tak Perlu Demo di MK!”, 26/06/2019, https://news.okezone.com/read/2019/06/26/605/2070965/mui-masyarakat-butuh-ketenangan-tak-perlu-demo-di-mk. Diunduh tanggal 1 Sepetmnber 2019.
Reza, “MPR: Fatwa MUI Soal Golput Bisa Tingkatkan Partisipasi Politik Masyarakat”, 01/04/2019, https://www.liputan6.com/news/read/3931459/mpr-fatwa-mui-soal-golput-bisa-tingkatkan-partisipasi-politik-masyarakat. Diunduh pada tanggal 2 September 2019.
Said Aqil Siradj, Politik Kyai dalam Jurnal at-Taqaddum, Volume 6, Nomor 2, Nopember 2014, www.said-aqil.com.
Siti Afifiyah, “MUI Jakarta Ditunggangi Politik 212 Pro Prabowo, Ini Kata Pengamat”, 23/02/2019. https://www.tagar.id/mui-jakarta-ditunggangi-politik-212-pro-prabowo-ini-kata-pengamat. Diunduh tanggal 31 Agustus 2019.
Supriyadi, Menyingkap Peran Ulama dalam Politik, 6 April 2009, https://www.nu.or.id/post/read/16648/menyingkap-peran-ulama-dalam-politik. Diakses tanggal 30 Juli 2019.
Tempo.co, MUI Diminta Tak Terlibat dalam Politik Kekuasaan, 16 Oktober 2016, https://nasional.tempo.co/read/812636/mui-diminta-tak-terlibat-dalam-politik-kekuasaan/full&view=ok. Diakses tanggal 30 Juli 2019.
Top Related