139
PARIWISATA BERBASIS KEARIFAN LOKAL DAN KELEMBAGAAN
KOLABORATIF DALAM MEMBANGUN KEUNGGULAN EKONOMI DAERAH DI
PROVINSI JAMBI
LOKAL WISDOM BASED TOURISM AND COLLABORATIVE INSTITUTION TO
STRENGTEN REGIONAL ECONOMIC ADVANTAGE IN JAMBI PROVINCE
NOVITA ERLINDA, ARNI DIANA
Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Jambi
Jl. R.M. Nur Atmadibrata No. 1 A Telanaipura Jambi
Email : [email protected]
ABSTRACT
Tourism sector has become one of main driving forces of economic development both at national and
regional levels during the last decades. At local level, tourism has undoubtedly given significant
economic multiplier to local economy. Nevertheless, ignoring local wisdoms and collaborative
management instrument in tourism sector are often end up with more conflicts which result in not
optimal management of tourism. Jambi province has plenty of tourism potentials, and recently the
local government has put more efforts to develop this industry in order to strengthen local economic
development. Yet, the development of such a tourism industry is constrained by many factors such as
low support from community, insufficient infrastructure, lack of promotion, and lack of interaction
among supporting institutions. This study aims to identify and to map key variables and actors that
deliver optimal tourism industry based local wisdom and collaborative institution. The study was
carried out in nine cities and regencies in Jambi Province. The primary and secondary data were
analyzed using Prospective Analysis by means of MICMAC and MACTOR methods. Based on
MICMAC analysis, some variables such as incomes (both government and people), job absorption,
conflict, environmental impacts, as well as access and amenities are key variables that deliver optimal
local wisdom-based tourism. In terms of actors, based on MACTOR analysis, there were weak
linkages among actors which suggest the need for strong collaboration among stakeholders to manage
local-based tourism to support regional economic advantage in Jambi Province. Lesson learned from
this study could be used to improve better management of tourism sector both at regional as well as at
local levels.
Keywords : tourism village, collaborative institution, MICMAC, MACTOR
ABSTRAK
Sektor pariwisata telah menjelma menjadi sektor yang menjanjikan baik pada level nasional maupun
lokal dalam beberapa dekade terakhir ini. Pariwisata juga memberikan efek penggandaan terhadap
pergerakan ekonomi lokal. Namun pengembangan pariwisata yang tidak berbasis keunggulan lokal
dan tidak dikelola secara kolaboratif, seringkali berakhir pada konflik dan tidak terkelola secara
optimal. Provinsi Jambi yang memiliki potensi sebagai daerah tujuan wisata, telah menggiatkan sektor
pawisata sebagai salah satu sektor dalam menggerakkan ekonomi lokal. Pada sisi lain pengembangan
pariwisata masih terkendala dengan permasalahan yang ditemui di lapangan, diantaranya
keterdukungan masyarakat lokal rendah, nomenklatur OPD bidang pariwisata yang statis, infrastruktur
dan penganggaran yang belum memadai, lemahnya promosi pariwisata, dan lemahnya interaksi antar
sektor penunjang pariwisata. Penelitian ini bertujuan untuk : Memetakan variabel kunci
pengembangan desa wisata berbasis kearifan lokal dan memetakan hubungan antar aktor pengelolaan
pariwisata kolaboratif. Lokus penelitian dilakukan pada sembilan kabubaten/kota di Provinsi Jambi.
Data primer dan sekunder pada penelitian ini akan dianalisis dengan pendekatan metode prospective
analysis, yang mengkombinasikan penggunaan tools MICMAC dan MACTOR Analysis. Hasil
analisis MICMAC menunjukkan bahwa terdapat sembilan variabel kunci yang menentukan
140
keberhasilan pengembangan pariwisata berbasis kearifan lokal yang dikemas dalam bentuk desa
wisata di Provinsi Jambi, diantaranya pendapatan masyarakat, pendapatan daerah, penyerapan tenaga
kerja, konflik sosial, dampak lingkungan, atraksi, akses, amenietis, dan ancillary. MACTOR analisis
menunjukkan bahwa hubungan antar aktor memiliki interaksi langsung yang lemah. Sehingga
dibutuhkan suatu kelembagaan yang kolaboratif yang berbentuk Institusi Multipihak dalam
pengelolaan pariwisata, agar memberikan keluaran berupa keunggulan ekonomi daerah.
Kata Kunci : desa wisata, Kelembagaan kolaboratif, MICMAC, MACTOR
PENDAHULUAN Sektor pariwisata merupakan salah satu sektor strategis dalam pembangunan ekonomi.
Mengiatnya sektor pariwisata pada suatu wilayah dapat memberikan multiplier effect (efek
penggandaan) pada sektor-sektor lainnya. United Nation World Tourism Organization (UNWTO
Tourism Highlight 201) menjelaskan bahwa kontribusi sektor wisata terhadap GDP dunia sebesar 9%,
dan 11 lapangan kerja tercipta oleh sektor pariwisata. Disamping itu, pariwisata juga berkontribusi
terhadap nilai ekspor dunia sebesar US$ 1,4 Triliun atau setara dengan 5% ekspor yang terjadi di
dunia. Pada level nasional Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 29 tahun 2015 tentang Rencana
Strategis Kementerian Pariwisata tahun 2015-2019, telah menyusun rencana strategis dalam
pengelolaan pariwisata di Indonesia. Serta banyaknya aturan turunan lainnya dalam meningkatkan
pengembangan pariwisata di Indonesia.
Provinsi Jambi sebagai salah satu daerah destinasi wisata di Indonesia, bergerak dalam
melakukan pembenahan dan pengembangan daerah destinasi pariwisata guna meningkatkan daya
saing daerah dan meningkatkan ekonomi masyarakat penyangga daerah pariwisata. Provinsi Jambi
melalui kegiatan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan telah mengalami berbagai kemajuan dalam
pengembangan beberapa desa wisata favorit, yakni Desa Lempur di Kabupaten Kerinci dan Desa
Maro Sebo di Kabupaten Muaro Jambi (Liputan 6, 2015). Bahkan Desa Wisata Lempur di Kabupaten
Kerinci Provinsi Jambi, didaftarkan pada “world legacy award” yaitu penghargaan internasional
dalam bidang pariwisata kategori engaging communities (Antara Jambi, 2016). Selain itu, Kawasan
Percandian Muara Jambi pada tahun 2011 telah ditetapkan sebagai kawasan wisata sejarah terpadu
oleh Presiden RI. Selanjutnya, Kota Sungai Penuh mendapat penghargaan dari Kementerian Pariwisata
RI untuk tujuan wisata “Bukit Khayangan” dalam kategori dataran tinggi terfavorit di Indonesia pada
ajang Anugerah Pesona Indonesia (API) 2017, serta Mesjid Agung Pondok Tinggi yang menjadikan
Kota Sungai Penuh sebagai salah satu anggota “jaringan kota bersejarah” di Indonesia.
Jika mengamati minat kunjungan wisata ke kabupaten/kota di Provinsi Jambi dari tahun 2010
sampai 2016 terus meningkat, baik wisatawan mancanegara maupun wisatawan nusantara.
Sebagaimana data kunjungan wisatawan di Provinsi Jambi dari tahun 2010 sampai 2017 (Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi, 2017), wisatawan yang berkunjung sejumlah 2.162.155
orang yang terdiri dari wisatawan nusantara sebanyak 2.156.777 dan wisatawan manca negara
sejumlah 5.378. Hal ini tentu saja menjadi pertimbangan bagi Provinsi Jambi untuk menghadirkan
inovasi dalam mengembangkan suatu desa wisata yang menghadirkan kearifan lokal.
Potensi dan keunikan kearifan lokal (local wisdom) Provinsi Jambi juga berpeluang untuk
dikemas menjadi suatu produk pariwisata yang berdaya saing. Hal ini didukung oleh dua desa wisata
yang telah eksis di Provinsi Jambi, yang memiliki keunikan tersendiri. Disisi lain terdapat delapan
embrio desa wisata yang sedang berproses menjadi desa wisata dan tersebar di Kabupaten Kerinci,
Muaro Jambi, Merangin, Muaro Jambi, Tanjung Jabung Timur dan Tanjung Jabung Barat. Selain itu
telah terbentuk beberapa Kelompok Sadar Wisata (POKDARWIS) di Provinsi Jambi, tentunya sangat
mendukung tumbuhnya paket-paket wisata berbasis kemasyarakatan. Menurut data Dinas Pariwisata
Provinsi Jambi (2016) telah terdapat 21 POKDARWIS di Provinsi Jambi yang tersebar di seluruh
kabupaten/kota. Begitu juga dengan berkembangnya homestay di wilayah destinasi wisata, hingga
tahun 2016 telah terdata sebanyak 28 homestay yang keberadaannya tersebar di desa wisata di Provinsi
Jambi. Potensi-potensi ini tentunya akan memberikan stimulus untuk memulai pengelolaan pariwisata
berbasis kearifan lokal.
141
Selain Provinsi Jambi memiliki potensi yang besar dalam pengembangan destinasi wisata di
Indonesia, tentu tidak terlepas dari kekurangan atau permasalahan yang dihadapi saat ini maupun
kedepan. Pengembangan sektor pariwisata seyogyanya dapat meningkatkan ekonomi masyarat, dan
membangun keunggulan daerah. Belum optimalnya ekspose atau interaksi dari kearifan lokal yang
dimiliki oleh Provinsi Jambi, menjadi salah satu tantangan dalam mengembangkan desa wisata
berbasis kearifan lokal. Permasalahan lain yang menyebabkan belum optimalnya pengembangan
pariwisata di Provinsi Jambi yaitu pengelolaan pariwisata dilakukan secara parsial, bukan secara
terintegrasi dan dikelola oleh kelembagaan yang kolaboratif. Sebagaimana diamahkan oleh Undang-
undang nomor 10 tahun 2009 tentang kepariwisataan, menjelaskan bahwa kepariwisataan merupakan
keseluruh kegiatan yang terkait dengan pariwisata yang bersifat multidimensi dan multidisiplin yang
muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan
masyarakat setempat, sesama wisatawan, pemerintah, pemerintah daerah, dan pengusaha. Atas latar
belakang inilah timbulnya ide untuk mengkaji pengembangkan desa wisata berbasis kearifan lokal dan
dikelola secara kolaboratif. Penuh harapan agar penelitian ini dapat menjadi salah satu alternatif
strategi dalam pengembangan pariwisata di Provinsi Jambi yang sesuai dengan keinginan masyarakat,
stakeholders, menjaga kelestarian alam, meningkatkan pendapatan masyarakat, dan membangun
keunggulan daerah.
TINJAUAN PUSTAKA Pariwisata secara entimologi berasal dari bahasa sansekerta yang berarti perjalanan atau
bepergian. Pengertian tentang wisata sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Republik
Indonesia No. 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan, bahwa wisata adalah kegiatan perjalanan atau
sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela bersifat sementara. Sedangkan menurut
Undang-Undang RI nomor 10 tahun 2009 tentang kepariwisataan dijelaskan bahwa wisata adalah
kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi
tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik
wisata yang dikunjungi dalam waktu sementara.
Pariwisata berkaitan erat dengan produk yang dihasilkan maupun produk yang terhubung
dengan kegiatan pariwisata tersebut yang biasa disebut produk pariwisata. Produk pariwisata
merupakan rangkaian komponen, mulai dari informasi tentang produk bersangkutan, infrastruktur,
fasilitas, izin sampai segala sesuatu yang memungkinkan terwujudnya kegiatan pariwisata (Mira P
Gunawan, 1990). Pariwisata juga menggabungkan berbagai macam produk, seperti transportasi,
akomodasi, catering, sumber daya alam, hiburan, dan berbagai jenis fasilitas dan jasa lainnya seperti
bank, pertokoan serta biro perjalanan.
Lebih lanjut Mira P Gunawan (1990) menyatakan bahwa produk pariwisata atau yang dapat
dikatakan sebagai tujuan wisata tidak dapat tercipta dengan sendirinya, melainkan suatu perpaduan
dari berbagai sektor. Dalam praktiknya, terdapat tiga komponen dasar pembentuk produk pariwisata
dan tujuan wisata, yaitu daya tarik wisata (attraction), Amenitas dan Aksesibilitas (3A). Komponen
produk wisata terdiri dari komponen-komponen : (1) Atraksi, yaitu daya tarik (attraction) yang
merupakan keunggulan yang dimiliki suatu daerah yang dapat digunakan untuk menjual daerah
tersebut sehingga dapat menarik wisatawan untuk datang melakukan kegiatan wisata; (2) Amenitas,
merupakan kenyamanan yang didukung oleh berbagai kelengkapan sarana dan prasarana pendukung
kegiatan pariwisata. Ketersediaan sarana dan prasarana maupun fasilitas penunjang kegiatan
pariwisata dapat berpengaruh terhadap kelangsungan kegiatan pariwisata di suatu daerah; (3)
Aksesibilitas, merupakan jaringan dan sarana prasarana penghubung yang menghubungkan suatu
kawasan wisata dengan wilayah lain yang merupakan pintu masuk bagi para wisatawan untuk
mengunjungi tempat wisata.
Menurut pendapat Middleton (2004), ada tiga unsur yang membentuk produk industri
pariwisata, yakni : (1) obyek dan daya tarik wisata, adalah segala sesuatu yang unik pada daerah-
daerah tertentu yang menjadi daya tarik orang-orang untuk datang berkunjung ke daerah tersebut; (2)
fasilitas, adalah segala sesuatu yang diperlukan pada tempat tujuan wisata mencakup sarana pokok,
sarana pelengkap dan sarana penunjang kepariwisataan, serta; (3) aksesibilitas, adalah keterjangkauan
yang menghubungkan negara asal wisatawan (tourist generating countries) dengan daerah tujuan
142
wisata (tourist destination area) serta keterjangkauan di tempat tujuan ke obyek-obyek pariwisata
(local transportation).
Sebagaimana terurai diatas bahwa obyek wisata dapat berupa wisata alam seperti gunung,
danau, sungai, pantai, laut, atau berupa obyek bangunan seperti museum, benteng, situs peninggalan
sejarah, dan lain-lain. Menurut UU RI No 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, Daya Tarik Wisata
adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman
kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan
wisatawan.
Pada penelitian ini pengelolaan pariwisata melalui pendekatan kearifan lokal. Kearifan setempat
(local wisdom) menurut tata kebahasaan, dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan lokal yang bersifat
bijaksana, penuh kearifan, bernilai yang tertanam dan diikuti oleh warga masyarakatnya. Menurut
Ridwan (2007), kearifan lokal merupakan usaha manusia dengan menggunakan akal budinya untuk
bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Lebih
lanjut Ridwan (2007) menyatakan bahwa kearifan lokal merupakan pengetahuan yang muncul dari
periode panjang yang berevolusi bersama masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal yang
sudah dialami berama-sama. Proses evolusi yang begitu panjang dan melekat dalam masyarakat dapat
menjadikan kearifan lokal sebagai sumber energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif
masyarakat untuk hidup bersama secara dinamis dan damai.
Kearifan lokal dalam konsep antropologi dikenal pula sebagai pengetahuan setempat
(indigenous or local knowledge), yang disebut pula dengan kecerdasan setempat (local genius), yang
menjadi dasar identitas kebudayaan atau cultural identity (Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata
Republik Indonesia, 2011). Kearifan lokal dalam bahasa asing sering juga dikonsepsikan sebagai
kebijaksanaan setempat (local wisdom) atau pengetahuan setempat (local knowledge) atau kecerdasan
setempat (local genious).
Karakteristik kearifan lokal atau pengetahuan tradisional dari masyarakat hukum adat dijelaskan
oleh Asaad (2011) diantaranya : 1. Adanya keterkaitan dengan budaya atau masyarakat tertentu; 2.
Jangka waktu penciptaan dan pengembangan yang cukup lama, biasanya melalui tradisi lisan; 3.
Bersifat dinamis (dynamic) dan senantiasa berubah seiring waktu dan perubahan kondisi alam; 4.
Terdapat dalam bentuk yang terulis/terkodifikasi maupun tidak tertulis/tidakterkodifikasi seperti
bentuk tutur kata, mitos dan bentuk lainnya (folklore); 5. Disampaikan secara turun temurun dari
generasi ke generasi (intergeneration) Bersifat lokal dan seringkali diungkapkan dalam bahasa
setempat; 6. Diciptakan melalui proses yang unik dan kreatif.
Pengelolaan pariwisata berbasis kearifan lokal ini kemudian membutuhkan suatu pengelolaan
oleh Kelembagaan yang kolaboratif. Kelembagaan (institution) merupakan suatu aturan main (rule of
the game) dalam organisasi yang berperan penting dalam mengatur penggunaan atau alokasi
sumberdaya secara efisien, merata dan berkelanjutan (Rustiadi et. al., 2009). Lebih lanjut Rustiadi et.
al (2009) mencirikan tiga komponen utama yang mencirikan kelembagaan, yaitu: (1) batas yuridiksi,
(2) property right, (3) aturan representasi. Batas yurudiksi menentukan siapa dan apa yang tercakup
dalam suatu kelembagaan. Property right mengandung pengertian tentang hak dan kewajiban yang
diatur oleh hukum, adat dan tradisi atau konsensus yang mengatur hubungan antara anggota
masyarakat dalam kepentingannya terhadap sumberdaya. Sedangkan aturan representasi menentukan
siapa yang berhak berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan yang berhubungan dengan
sumberdaya yang dimaksud.
Selanjutnya kelembagaan kolaboratif berarti pengelolaan sumber daya yang bersinergi secara
bersama, dimana antar aktor berkolaborasi untuk mencapai tujuan bersama dan meraih profit secara
bersama. Konsep kolaborasi mulai berkembang dari konsep kolaborasi pengelolaan konservasi hutan
dan lingkungan. Misalnya sebagaimana kasus pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS), yang
menyatakan bahwa “Skema pembayaran publik seringkali memerlukan negosiasi hulu-hilir yang
intensif untuk menentukan jumlah yang harus dibayarkan oleh pemilik lahan pribadi dan/atau oleh
pengelola sumberdaya publik. Pembayaran yang dikumpulkan dapat dimanfaatkan untuk membiayai
kegiatan pengelolaan seperti pembelian hak konservasi atau pengembangan lahan, atau untuk
membayar pemilik lahan atau pengelola sumberdaya untuk mengubah perilaku pengelolaan lahan”
(Conservation Finance Alliance, 2003).
143
Tujuan akhir dari pengelolaan pariwisata berbasis kearifan lokal dan Kelembagaan kolaboratif
untuk membangun keunggulan ekonomi daerah . Keunggulan ekonomi daerah mengacu pada teori
keunggulan daya saing (competitive advantage) yang dikemukakan oleh Poter (1990). Pada konteks
ini, pengembangan pariwisata berbasis kearifan lokal harus dibangun melalui pendekatan inovasi pada
pengelolaan pariwisata. Atas dasar pemikiran ini, jika ingin mengembangkan desa wisata yang dapat
membangun keunggulan ekonomi daerah, inovasi adalah suatu hal yang mutlak dilakukan untuk
mengemas kearifan lokal suatu daerah yang berdaya saing dalam suatu miniature yang diujudkan pada
suatu desa wisata.
METODOLOGI PENELITIAN
Penentuan lokasi penelitian diprioritaskan pada Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN)
di Provinsi Jambi yaitu Kabupaten Kerinci, Sungai Penuh, Merangin dan Muaro Jambi (Dinas
Pariwisata Provinsi Jambi, 2017). Selain wilayah KSPN, juga disandingkan dengan kabupaten/kota
yang berpotensi dalam pengembangan wisata berbasis kearifan lokal. Selain kriteria sebagai KSPN,
lokus penelitian juga menambahkan tiga pelengkap pola yaitu Kabupaten Tanjung Jabung Barat,
Kabupaten Sarolangun, dan Kota Jambi.
Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer
didapat dari menyampaikan kuesioner, wawancara pakar, dan Focus Group Discution (FGD).
Kuesioner disebarkan pada 60 pengunjung wisata dan usaha pendukung wisata. Sedangkan wawancara
pakar dilakukan pada 12 stakeholders terkait pariwisata di sembilan kabupaten/kota yang menjadi
lokus. Pemilihan responden atau sampel tersebut ditentukan dengan purposive sampling.
Metode Analisi Data Analisis data pada penelitian ini dengan menggunakan pendekatan Prospective analysis.
Metode prospective analysis, yang mengkombinasikan penggunaan tools MICMAC dan MACTOR
Analysis. MICMAC digunakan untuk melakukan analisis pemetaan variabel dan penentuan variabel
utama, sedangkan MACTOR untuk melakukan analisis kekuatan antara tujuan dan faktor. Pada
penelitian ini Prospective analysis mengacu pada pemikiran Ahmed et al,. (2009), Godet (1989,
2006), dan Fauzi (2017), dengan menggunakan tool MICMAC Analysis. MICMAC singkatan dari
bahasa Perancis yang kemudian dipopulerkan dalam bahasa Ingris yaitu Matrix of Cross Impact
Multiplications Applied to a Classification. MICMAC merupakan sebuah tool yang dirancang untuk
melakukan Analisis struktural yang mempunyai kelebihan spesifik dalam menentukan variabel kunci
pada suatu sistem. MICMAC didasarkan pada Matrik Boolean, dimana hubungan langsung dan tidak
langsung antara variabel diolah berdasarkan iterasi berulang-ulang antar variabel. Matrik Boolean
tersebut tertera seperti berikut ini.
2
A B C baris
0 1 0 1
1 0 1 2
1 0 0 1
kolom 2 1 1
A
M B
C
(1)
Mantrik di atas menguraikan jika ada hubungan dari A ke B, maka ditulis dengan elemen matrik
1. Pada tahap ini terlihat juga elemen diagonal dari matrik adalah nol, yang berarti bahwa pengaruh
variabel terhadap dirinya sendiri tidak diperhitungkan. Matrik ini disebut MDI (Matrix Direct
Influence). Dengan mempertimbangkan pengaruh tidak langsung maka akan dihasilkan matrik MDII
(Matrix Direct and Indirect Influence) dengan cara mengkuadratkan matrik MDI yakni.
2
A B C baris
1 0 1 2
1 1 0 2
0 1 0 1
kolom 2 2 1
A
M B
C
(2)
144
Dari hasil di atas nampak bahwa ketika Matrik Boolean dikuadratkan,maka terjadi perubahan
julah baris dan kolom. Hasil matrik di atas menunjukkan bahwa elemen diagonal yag semula nol
kemudian berubah sama dengan 1 pada (A,A) dan (B,B). Nilai 1 pada elemen (A,A) misalnya bisa
diartikan bahwa ada dua putaran pengaruh dengan panjang 2 point dari A ke A . Melalui iterasi
berulang-ulang, maka terlihat bahwa semua elemen matrik akan terisi (tidak ada nol) seperti pada M5.
Hal ini menunjukkan bahwa hubungan langsung dan tidak lagsung akan makin stabil manakala
dilakukan interaksi indirect influence (Godet 1994), sebagaimana matrik berikut.
3 4 5
1 1 0 1 1 1 2 1 1
1 1 1 ; 2 1 1 ; 2 2 1
1 0 1 1 1 0 1 1 1
M M M
(3)
Selanjutnya untuk memetakan hubungan antar aktor dalam pengelolaan pariwisata berbasis
kearifan lokal dengan kolaboratif, akan dianalis dengan menggunakan tool MACTOR. Cara kerja
MACTOR dilakukan melalui pengisian matrik posisi atau matrik 1MAO (Matrix Actor-Objective)
dan matrik 2MAO. Matrik selanjutnya yaitu matrik MID (Matrix Influence Direct) yang meng-
gambarkan variabel pengaruh (influence). Setelah mengisi matrik MID dan 1MAO, kemudian
MACTOR akan menghitung matrik 2MAO melalui program komputer. Sistem kerja MACTOR dapat
diuraikan dengan persamaan berikut :
,A B A B A C C BCMIDI MIDI min MID MID (4)
Kemudian untuk menentukan keseimbangan kekuatan hubungan antar actor, terlebih dahulu
menghitung pengaruh langsung dan tidak langsung dari aktor. Jika AM diartikan sebagai pengaruh
total langsung dari aktor A terhadap yang lain, maka
, ,A A B A ABM MIDI MIDI (5)
dan kika kita definisikan AD total pengaruh langsung dan tidak langsung yang diterima A dari 144ctor
yang lain, sebagai berikut
, ,A B A A ABD MIDI MIDI (6)
Selanjutnya koefisien keseimbangan kekuatan hubungan dihitung dengan rumus
,A A A AA
A A AA
M MIDI Mr x
M M D
(7)
Langkah selanjutnya, MACTOR kemudian menghitung matrik 3MAO yakni matrik yang menjadi
dasar dan penting dalam pembahasan MACTOR, dengan formulasi sebagai berikut.
,,3 2A iA i AMAO MAO r (8)
Melalui matrik 3MAO dapat dihasilkan berbagai keistimewaan, antara lain koefisien mobilisasi yang
menunjukkan aktor yang berbeda terlibat dalam satu situasi sebagaimana dijelaskan rumus berikut.
Mob 3A MAO (9)
Persetujuan dan ketidaksetujuan atas suatu tujuan kemudian di overlay dengan menggunakan formula
berikut.
,3 3 0A A iaAg MAO MAO (10)
145
,3 3 0A A iaDisAg MAO MAO (11)
Keistimewaan lain yang juga dapat diolah dari matrik 3MAO adalah matrik konvergensi
(3CAA) yang menggambarkan seberapa besar para 145ctor setuju terhadap suatu isu dan divergensi
(3DAA) yang menggambarkan sebaiknya atau ketidaksetujuan. Matrik konvergensi (persetujuan)
dihasilkan melalui formula :
, , , ,
13 3 3 3 3 0
2A i B i A i B ii
CAA MAO MAO MAO MAO (12)
Sedangkan matrik divergensi (ketidaksetujuan) ditulis dengan formula :
, , , ,
13 3 3 3 3 0
2A i B i A i B ii
DAA MAO MAO MAO MAO (13)
Selanjutnya hasil perhitungan konvergensi dan devergensi antar aktor tersebut menghasilkan
indikator akhir dari MACTOR yaitu koefisien ambivalen untuk setiap aktor yang dihitung dengan
rumus :
,
, ,
,
3 33 1
3 3i k
i k i kk
i
i kk
CAA DAAEQ
CAA DAA
(14)
PEMBAHASAN 1. Variabel kunci dalam pengembangan pariwisata berbasis kearifan lokal
Komponen penting dalam pengelolaan pariwisata adalah penentuan variabel yang menjadi
faktor kunci. Kemudian variabel-variabel dikelompokkan ke dalam dua kategori yakni yang
menyangkut aspek insentif dan aspek regulasi. Aspek insentif menggambarkan sisi permintaan
(demand side, sementara aspek regulasi mengggambarkan sisi penawaran atau supply side. Aspek
regulasi berada dalam kewenangan pemerintah yang menggambarkan sisi penawaran, sementara
aspek inenstif menggambarkan variabel-variabel yang diinginkan oleh aktor yang mengelola
pariwisata.
Kemudian dilakukan analisis dengan menggunakan tool MICMAC yang dikembangkan oleh
Godet (1984) untuk memetakan variabel kunci pengembangan desa wisata berbasis kearifan lokal.
Pada penelitian ini variabel insentif dan regulasi digabung menjadi satu paket variabel sehingga
dapat menggambarkan interaksi kedua aspek variabel sekaligus.
Variabel yang di analisis pada penelitian ini merupakan formulasi hasil wawancara pakar dan
juga dikonfirmasi dengan hasil Focus Group Discussion dengan para stakeholder. Variabel yang
dirumuskan terdiri dari sembilan variabel yaitu pendapatan masyarakat, pendapatan daerah,
penyerapan tenaga kerja, konflik sosial, dampak lingkungan, atraksi, akses, amenietis, dan
ancillary. Sebelum variabel ini dianalisis, dilakukan uji stabilitas melalui MICMAC. Uji stabilitas
untuk menghasilkan hubungan variabel yang lebih stabil sehingga tidak berubah-ubah ketika terjadi
shock atau guncangan dari faktor eksternal. Variabel-variabel tersebut dinyatakan stabil 100%
setelah melalui iterasi sebanyak 3 kali sebagai mana terlihat pada hasil di bawah ini.
Iteration
1
2
3
Influence
93 %
100 %
100 %
Dependence
100 %
100 %
100 %
© LIPSO
R-EPITA-M
ICM
AC
Stability
146
Hasil analisis MICMAC menggambarkan hubungan antara variabel melalui pemetaan dalam
kuadran Influence-Dependence (pengaruh dan ketergantungan) dan kekuatan hubungan antara
variabel itu sendiri. Gambar 1 di bawah ini menggambarkan pengaruh dan ketergantungan
langsung antar variabel yang terkait dengan insentif dan regulasi. Variabel akses (supply side) yang
berada pada kuadran 1 (kiri atas) adalah variabel yang memiliki pengaruh besar dan
ketergantungan yang kecil. Dengan demikian variabel akses merupakan entry point dalam
mengelola pariwisata berbasis kearifan lokal di Provinsi Jambi. Variabel lain yang juga menjadi
variabel entry adalah ancellary, atraksi, dampak lingkungan yang merupakan variabel regulasi.
Ketiga variabel ini merupakan variabel regulasi yang berperan penting sebagai entry point dalam
mengelola pariwisata berbasis kearifan lokal di Provinsi Jambi. Dampak Lingkungan menjadi
prasyarat dalam pengelolaan desa wisata berbasis kearifan lokal, demikian juga ancillary dan
atraksi sebagai syarat dalam penawaran pariwisata.
Gambar 1 Pengaruh dan ketergantungan antar variabel
Pada kuadran 2 (kanan atas) adalah kuadran yang menggambarkan “RELAY” variable,
dimana variabel ini dicirikan dengan pengaruh yang kuat dan juga ketergantungan yang kuat. Pada
kasus ini hanya terdapat satu variabel pada posisi kuadran 2 yaitu pendapatan daerah. Hal ini
berarti bahwa pendapatan daerah akan menjadi faktor penting dalam pengelolaan pariwisata
berbasis kearifan lokal, namun variabel ini juga akan sensitif terhadap pengaruh variabel lain
seperti keberadaan usaha terkait pariwisata, regulasi, infratsuktur dan berbagai faktor eksternal
lainnya. Keberadaan variabel yang berada pada posisi relay perlu dicermati secara seksama karena
sifat pengaruh dan ketergantungan yang sama-sama besar. Dengan demikian pemerintah daerah
perlu mencermati kearifan lokal yang dapat dikelola dalam mendukung sektor wisata dan diminati
oleh pasar dalam meningkatkan pendapatan daerah.
Pada kuadran 3 (kanan bawah) adalah varabel yang disebut sebagai variabel “output”, yang
dicirikan dengan pengaruh yang kecil namun ketergantungan yang besar. Termasuk dalam variabel
ini adalah pendapatan masyarakat dan penyerapan tenaga kerja. Hal ini dapat dimaklumi
pendapatan masyarakat dan penyerapan tenaga kerja merupakan variabel terdampak atau sangat
ditentukan oleh berbagai variabel lainnya.
Pada kuadran 4 (kiri bawah) adalah variabel yang disebut sebagai variabel “otonomous”
yang dicirikan dengan sifat pengaruh yang kecil dan ketergantungan yang juga kecil. Pada kasus
pengelolaan pariwisata berbasis kearifan lokal terdapat satu variabel yang berada pada posisi
kuadran 4 yaitu amenietis. Amenietis menjadi variabel otonomous, dapat dipahami bahwa
akomodasi dan fasilitas memang sangat penting untuk menarik minat wisatawan, namun tidak
semua amenietis harus didekatkan dengan destinasi. Misalnya destinasi alam dan peninggalan
bersejarah, sebaiknya agak berjauhan dari amenietis yang bersifat komersial, seperti hotel, restoran
147
dan rest area.Hal ini penting untuk menjadi perhatian, jangan sampai amenietis yang dibangun
tidak menunjang sesuai kebutuhan destinasi.
Interaksi antara variabel insentif dan variabel regulasi berdasarkan hasil analisis MICMAC
dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini.
Gambar 2 Interaksi antara variabel insentif dan regulasi pariwisata berbasis kearifan lokal
Sebagaimana terlihat pada Gambar 2 di atas, variabel yang memiliki interaksi paling kuat
(dengan tanda panah merah) adalah variabel pendapatan daerah, pendapatan masyarakat, akses,
amenietis, ancillary, penyerapan tenaga kerja dampak lingkungan, dan konflik sosial. Variabel
pendapatan daerah dan pendapatan masyarakat, diantaranya memiliki arah panah yang masuk
berarti variabel ini banyak dipengaruhi daripada mempengaruhi (panah keluar). Variabel
pendapatan daerah dipengaruhi sangat kuat oleh atraksi, akses, dan penerapan tenaga kerja.
Demikian juga variabel pendapatan masyarakat dipengaruhi sangat kuat oleh atraksi, akses,
penyerapan tenaga kerja, konplik sosial dan dampak lingkungan. Pada kasus ini ada beberapa
variabel yang saling mempengaruhi sangat kuat yaitu variabel pendapatan masyarakat dan konplik
sosial, serta pendapatan masyarakat dengan penyerapan tenaga kerja. Interaksi antar variable
tersebut akan sangat mempengaruhi dalam keberhasilan pengelolaan pariwisata berbasis kearifan
lokal dan meningkatkan daya saing daerah. Namun ada beberapa variabel lain interaksinya
cenderung lemah, misalnya pengaruh pendapatan daerah terhadap dampak lingkungan, dan dampak
lingkungan dengan atraksi. Gambaran kekuatan interkasi ini dapat digunakan oleh pengambil
kebijakan untuk menentukan arah kebijakan, agar tidak keliru memberikan fokus perhatian pada
variabel yang memiliki interkasi lemah dan sebaliknya.
Tabel 2 berikut ini menyajikan matrik hasil perhitungan hubungan pengaruh tidak langsung
antar variable. Semakin tinggi angka yang ditunjukkan pada matrik tersebut semakin tinggi
intensitas pengaruh tidak langsung variabel tersebut terhdap variabel lainnya. Sebagai contoh, skor
tertinggi didapat pada interaksi tidak langsung antara akses dan pendapatan masyarakat yakni
sebesar 7859 point yang berarti bahwa akses akan mempengaruhi secara tidak langsung kepada
peningkatan pendapatan masyarakat dengan intensitas tinggi sebesar 7859 point. Hal ini
menunjukkan bahwa dalam mengelola pariwisata berbasis kearifan lokal, secara tidak langsung
bahwa terbukanya akses berdampak besar terhadap peningkatan pendapatan masyarakat lokal dan
pada akhirnya akan berimplikasinya pada peningkatan daya saing daerah.
148
Tabel 1 Matrik hubungan pengaruh tidak langsung antar variabel
Pengaruh tidak langsung antara variabel dapat dipetakan sebagimana terlihat pada Gambar 3
di bawah ini. Secara umum dapat dijelaskan bahwa posisi variabel dalam setiap kuadran tidak
mengalami perubahan. Artinya bahwa variabel-variabel tersebut memiliki pengaruh langsung dan
tidak langsung sekaligus dalam posisi pengaruh dan ketergantungan yang sama, yang berubah
adalah pergeseran derajat intensitas saja. Dari semua variabel konplik sosial (KS) yang mengalami
sedikit pergeseran derajat intensitasnya, sehingga bergeser dari outonomos variabel ke output
variabel.
Gambar 3 Pemetaan pengaruh tidak langsung antar variabel
Interaksi pengaruh tidak langsung tersebut dapat dilihat pada Gambar 4 di bawah ini dimana
interaksi tidak langsung yang sangat kuat (warna merah) terjadi antara akses ke pendapatan
masayarakat, sementara sebagain variabel menunjukan interaksi tidak langsung yang relatif kuat
(warna biru). Hal ini patut difahami karena penikngkatan akses terhadap pariwisata secara tidak
langsung akan mempengaruhi pendapatan masyarakat.
1 : PM
2 : PD
3 : PT
K
4 : KS
5 : DL
6 : Atraksi
7 : Akses
8 : Am
enietis
9 : An
cillary
1 : PM
2 : PD
3 : PTK
4 : KS
5 : DL
6 : Atraksi
7 : Akses
8 : Amenietis
9 : Ancillary
3745 3044 3077 2692 1613 1967 1786 1791 1573
6680 5413 5721 5029 2958 3658 3197 3288 2870
4143 3263 3516 3124 1812 2243 2003 2033 1811
5487 4437 4727 4148 2447 3010 2617 2705 2375
6661 5372 5686 5028 2962 3653 3178 3276 2860
7034 5688 5993 5306 3149 3842 3334 3453 3015
7859 6330 6648 5866 3461 4246 3763 3844 3370
4404 3523 3754 3314 1942 2398 2114 2166 1907
7247 5856 6120 5342 3161 3891 3473 3520 3117
© LIP
SO
R-E
PITA
-MIC
MA
C
149
Gambar 4 Interaksi tidak langsung antar variabel
Selain menghasilkan pemetaan variabel dalam posisi kuadran pengaruh dan ketergantungan
serta interaksi antar variabel, analisis MICMAC juga menghasilkan peringkat variabel berdasarkan
pengaruh dan ketergatungan. Gambar 5 di bawah ini menyajikan ranking berdasarkan pengaruh
(influence) langsung dan tidak langsung.
Gambar 5 Urutan variabel berdasaran pengaruh langsung dan tidak langsung
Sebagaimana terlihat pada Gambar 5 di atas, berdasarkan pengaruh langsung maka tiga
variabel utama yang memiliki peringkat tertinggi adalah akses, atraksi, dan ancillary. Semantara
variabel pendapatan masyarakat memiliki urutan terendah dilihat dari aspek influence (pengaruh).
Jika dilihat dari pengaruh tidak langsung maka tiga variabel utama adalah akses, ancillary, dan
atraksi. Tidak terlalu jauh perubahan antara hubungan langsung dan tidak langsung, hanya atraksi
menjadi ranking kedua dan atraksi menjadi posisi ketiga.
Gambar 6 berikut ini menyajikan urutan variabel berdasar ketergantungan (dipengaruhi) baik
langsung maupun secara tidak langsung.
Rank
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Variable
7 - Akses
6 - Atraksi
9 - Ancillary
2 - PD
5 - DL
4 - KS
3 - PTK
8 - Amenietis
1 - PM
Variable
7 - Akses
9 - Ancillary
6 - Atraksi
2 - PD
5 - DL
4 - KS
8 - Amenietis
3 - PTK
1 - PM
© LIPSO
R-EPITA-M
ICM
AC
Classify variables according to their influences
150
Gambar 6 Urutan variabel berdasarkan ketergantungan langsung dan tidak langsung
Sebagaimana terlihat pada Gambar 6 di atas, tiga variabel utama yang menjadi variabel
ketergantungan adalah pendapatan masyarakat, pendapatan daerah, dan penyerapan tenaga kerja.
Ketiga variabel ini merupakan variabel yang terdampak langsung dari pengaruh variabel lain.
2. Memetakan hubungan antar aktor pengelolaan pariwisata kolaboratif
Hasil pengolahan data pengaruh antar actor dengan tool MACTOR dapat dilihat pada
Tabel 3 di bawah ini. Angka yang berada pada kolom Ii menujukkan skor pengaruh, sementara
angka yang berada pada baris Di menunjukkan ketergantungan antar aktor.
Tabel 2 Matrik pengaruh dan ketergantungan antar aktor
Sebagaimana terlihat pada Tabel 3 di atas, stakeholder yang memiliki pengaruh yang tinggi
adalah Dinas Pariwisata dengan skor 625 disusul kemudian dengan Badan Keuangan Daerah (613),
dan Dinas Penanaman Modal Daerah (552). Disisi lain stakeholder yang memiliki kecenderung
ketergantungan tinggi adalah pedagang dengan skor 556 dan yang terendah adalah Persatuan Hotel
dan Restoran Indonesia (PHRI) dengan skor 405. Hal ini juga terlihat pada Gambar 7 berikut ini
akan memetakan stakeholder pada kuadran pengaruh dan ketergantungan.
Rank
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Variable
1 - PM
2 - PD
3 - PTK
4 - KS
6 - Atraksi
8 - Amenietis
7 - Akses
9 - Ancillary
5 - DL
Variable
1 - PM
3 - PTK
2 - PD
4 - KS
6 - Atraksi
8 - Amenietis
7 - Akses
5 - DL
9 - Ancillary
© LIPSOR-EPITA-MICMACClassement par dépendance
Ka
de
s
AS
ITT
A
PH
RI
Po
kd
arw
is
HP
I
BP
PD
Pe
da
ga
ng
Wa
run
g
Pa
rkir
Ek
raf
Ma
sy
ara
ka
t
Ii
Dispar
DPMD
Diskop
Disperin
Dis PU
Disdik
Disbun
Dishut
DP3K
Diskominfo
Bakeuda
BCB
Kades
ASITTA
PHRI
Pokdarwis
HPI
BPPD
Pedagang
Warung
Parkir
Ekraf
Masyarakat
Di
30 32 27 39 26 36 36 35 29 36 32 625
23 27 23 31 21 28 30 29 23 30 25 552
18 21 17 27 17 22 28 28 22 22 23 435
26 26 22 30 23 28 32 31 26 32 27 554
20 19 16 23 18 19 18 17 16 18 18 395
17 19 17 22 15 20 18 18 16 20 19 384
19 17 14 21 15 20 23 23 18 21 20 383
16 13 11 17 13 16 17 17 12 17 14 301
25 25 20 31 23 30 33 32 24 31 26 536
25 26 22 28 23 26 25 24 20 28 23 514
30 30 26 36 25 33 34 33 28 33 32 613
28 27 23 33 24 31 30 29 26 28 28 535
21 18 15 24 17 20 19 19 17 17 22 363
21 27 23 27 24 26 25 24 21 28 22 494
23 30 26 30 26 27 24 24 21 26 24 519
26 26 23 33 23 26 27 26 23 24 29 488
21 26 22 27 24 25 23 22 21 24 22 470
25 22 19 31 20 24 29 28 27 24 29 487
10 7 7 15 6 7 15 16 14 6 15 172
12 9 9 15 8 8 17 18 16 8 16 202
14 9 8 15 9 7 16 17 14 7 17 189
23 28 27 29 26 29 28 27 21 29 24 529
18 17 14 25 14 18 24 23 20 18 21 361
470 474 405 576 416 502 556 542 461 498 507 10101
© LIP
SO
R-E
PIT
A-M
AC
TO
R
MDII
151
Gambar 7 Pemetaan pengaruh dan depedensi aktor pariwisata
Sebagaimana terlihat pada Gambar 7 Badan Keuangan Daerah, Dinas Penanaman Modal
Daerah, Dinas Perindag, Diskominfo, PHRI, HPI, dan Dinas Pemberdayaan (DP3K) berada pada
kuadra 1 (kiri atas) dengan pengaruh tinggi dan ketergantungan rendah. Sebaliknya adalah kuadran
3 (kanan bawah) dimana Kades, Masyarakat, Parkir, Warung dan Pedagang memiliki tingkat
ketergantungan yang tinggi dan pengaruh yang sangat kecil. Di Kuadaran 4 (kiri bawah) adalah
Dinas Kehutanan, Dinas Perkebunan, Dinas PU, dan Dinas Pendidikan, yang memiliki pengaruh
dan memiliki ketergantungan yang sangat kecil. Hal ini dapat difahami karena memang Dinas
tersebut cenderung bersifat independen namun memilki pengaruh dalam integrasi kegiatan dengan
pengelolaan pariwisata.
Tabel 4 berikut ini menyajikan derajat mobilisasi antara stakeholder dengan tujuan
pengelolaan pariwisata berbasis kearifan lokal secara kolaboratif.
Tabel 3 Derajat mobilisasi aktor-tujuan
Sebagaimana terlihat pada Tabel 4 di atas stakeholder yang memiliki skor mobilisasi
tertinggi ada sembilan aktor yaitu Dinas Pariwisata, Dinas Perkebunan, Dinas Kehutanan, Balai
PM PD PTK
Ks KL Atraksi
Akses
Amenietis
Ancellary
Absolute sum
Dispar
DPMD
Diskop
Disperin
Dis PU
Disdik
Disbun
Dishut
DP3K
Diskominfo
Bakeuda
BCB
Kades
ASITTA
PHRI
Pokdarwis
HPI
BPPD
Pedagang
Warung
Parkir
Ekraf
Masyarakat
Number of agreements
Number of disagreements
Number of positions
1 1 1 1 1 1 1 1 1 9
0 1 1 1 1 1 1 1 1 8
0 1 1 1 1 1 0 0 0 5
0 1 1 1 1 0 0 0 0 4
0 1 1 1 1 0 1 1 1 7
0 1 0 1 1 1 1 1 1 7
1 1 1 1 1 1 1 1 1 9
1 1 1 1 1 1 1 1 1 9
0 1 1 1 1 1 1 1 1 8
0 1 1 1 1 1 1 1 1 8
0 1 1 1 1 1 1 0 0 6
1 1 1 1 1 1 1 1 1 9
1 1 1 1 1 1 1 1 1 9
1 1 1 -1 0 1 1 1 1 8
1 1 1 -1 0 1 1 1 1 8
1 0 1 1 1 1 1 1 1 8
1 1 1 -1 0 1 1 1 1 8
1 1 1 1 1 1 1 1 1 9
1 0 1 1 1 1 1 1 1 8
1 0 1 1 1 1 1 1 1 8
1 0 1 1 1 1 1 1 1 8
1 1 1 -1 1 1 1 1 1 9
1 1 1 1 1 1 1 1 1 9
15 19 22 19 20 21 21 20 20
0 0 0 -4 0 0 0 0 0
15 19 22 23 20 21 21 20 20
© LIPSO
R-EPITA-M
ACTO
R
1MAO
152
Cagar Budaya, Kades, Badan Promosi Pariwisata Daerah, Ekonomi Kreatif dan Masyarakat dengan
skor sembilan. Artinya bahwa menyangkut pengelolaan pariwisata berbasis kearifan lokal dengan
kolaboratif sembilan aktor ini merupakan stakeholder yang akan aktif dalam menjawab permasalah
yang ada. Derajat mobilisi (baris bawah) menujukkan tujuan mana yang diperkirakan akan menjadi
isu utama yang memancing reaksi stakeholder. Dalam kasus ini tujuan minimalisir konplik sosial
dengan skor 23 merupakan tujuan yang dianggap penting oleh para aktor disusul kemudian dengan
penyerapan tenaga kerja dengan skor 22 dan akses serta atraksi pada posisi ketiga dengan skor 21.
Keempat tujuan tersebut dianggap penting oleh para stakeholder untuk mengoptimalkan
pengelolaan pariwisata kolaboratif dalam wujud desa wisata di Provinsi Jambi.
Gambar 8 di bawah ini menggambarkan daya saing aktor yang ditunjukkan oleh tingkat
pengaruh langsung dan tidak langsung aktor tersebut terhadap aktor lainnya. Dari Gambar 8 di
bawah ini nampak bahwa aktor yang berperan penting baik langsung maupun tidak langung adalah
Badan Keuangan Daerah dengan skor daya saing 1,3 disusul kemudian dengan Dinas Pariwisata,
Dinas Koperasi, Dinas Perindustrian, Dinas Perkebunan dan Dinas Pemberdayaan denga skor
masing-masing sebesar 1,3. Sementara aktor yang memiliki daya saing lemah adalah pedagang
informal dan warung dengan skor 0.6. Hal ini dapat difahami karena posisi pedagang informal dan
warung cenderung pada kuadran 3 (kanan bawah) yakni posisi sebagai aktor terdampak dari
kebijakan pengelolaan pariwisata.
Gambar 8 Daya saing aktor dalam pariwisata
Gambar 9 di bawah ini menyajikan hasil analisis MACTOR yang melakukan “timbangan”
untuk setiap tujuan. Dalam kasus ini sembilan tujuan disajikan yakni pendapatan masyarakat,
pendapatan daerah, penyerapan tenaga kerja, konplik sosial, konplik/dampak lingkungan, atraksi,
akses, amenietis, dan ancillary. Terlihat bahwa seluruh stakeholder setuju dengan sembilan tujuan
pengelolaan pariwisata berbasis kearifan lokal secara kolaboratif. Hal ini dijelaskan oleh gambar
yang menunjukan arah timbangan berat kepada tanda positif.
153
154
Gambar 9 Timbangan antara aktor dan tujuan konvergensi dan divergensi antar stakeholder
Analisis MACTOR juga menghasilkan derajat konvergensi (kesepakatan dan persetujuan)
antar aktor dan derajat divergensi (ketidaksetujuan) antara aktor. Tabel 5 di bawah ini menyajikan
jumah konvergensi antar aktor dimana skor yang tinggi menunjukkan konvergensi yang tinggi
antar aktor. Dalam kasus ini aktor yang berkovergensi paling besar antara satu sama lain dengan
skor rata-rata 168 yaitu Dinas Pariwisata, Dinas Perkebunan, Dinas Kehutanan, Balai Cagar
Budaya, ASITA, Badan Promosi Pariwisata Daerah, dan Masyarakat. Pada sisi lain Dinas Pendag
memiliki skor kovergensi rendah yakni 76, yang menujukkan bahwa Dinas Perindag masih
cenderung kegiatannya memiliki koneksitas kegiatan yang masih lemah dengan kegiatan desa
wisata.
155
Tabel 4 Matrik Konvergensi antar aktor
Kecenderungan konvergensi ini juga dapat dilihat pada Gambar 10 di bawah ini yang
merupakan penjabaran grafis dari matrik Tabel 5 di atas.
Gambar 10 Matrik Konvergensi antar aktor
KESIMPULAN Pengembangan pariwisata berbasis kearifna local sangat ditentukan oleh interaksi antar aktor
dan faktor. Interaksi faktor dipetakan dalam pemetaan MICMACM yang menunjukkan bahwa
Sembilan variabel pariwisata menempati posisi yang berbeda dalam konteks pengaruh dan
ketergantungan dalam pengembangan pariwisata. Kesembilan variabel tersebut adalah pendapatan
Dis
pa
r
DP
MD
Dis
ko
p
Dis
pe
rin
Dis
PU
Dis
dik
Dis
bu
n
Dis
hu
t
DP
3K
Dis
ko
min
fo
Ba
ke
ud
a
BC
B
Ka
de
s
AS
ITT
A
PH
RI
Po
kd
arw
is
HP
I
BP
PD
Pe
da
ga
ng
Wa
run
g
Pa
rkir
Ek
raf
Ma
sy
ara
ka
t
Dispar
DPMD
Diskop
Disperin
Dis PU
Disdik
Disbun
Dishut
DP3K
Diskominfo
Bakeuda
BCB
Kades
ASITTA
PHRI
Pokdarwis
HPI
BPPD
Pedagang
Warung
Parkir
Ekraf
Masyarakat
Number of convergences
0 8 5 4 7 7 9 9 8 8 6 9 9 7 7 8 7 9 8 8 8 8 9
8 0 5 4 7 7 8 8 8 8 6 8 8 6 6 7 6 8 7 7 7 7 8
5 5 0 4 4 4 5 5 5 5 5 5 5 3 3 4 3 5 4 4 4 4 5
4 4 4 0 4 3 4 4 4 4 4 4 4 2 2 3 2 4 3 3 3 3 4
7 7 4 4 0 6 7 7 7 7 5 7 7 5 5 6 5 7 6 6 6 6 7
7 7 4 3 6 0 7 7 7 7 5 7 7 5 5 6 5 7 6 6 6 6 7
9 8 5 4 7 7 0 9 8 8 6 9 9 7 7 8 7 9 8 8 8 8 9
9 8 5 4 7 7 9 0 8 8 6 9 9 7 7 8 7 9 8 8 8 8 9
8 8 5 4 7 7 8 8 0 8 6 8 8 6 6 7 6 8 7 7 7 7 8
8 8 5 4 7 7 8 8 8 0 6 8 8 6 6 7 6 8 7 7 7 7 8
6 6 5 4 5 5 6 6 6 6 0 6 6 4 4 5 4 6 5 5 5 5 6
9 8 5 4 7 7 9 9 8 8 6 0 9 7 7 8 7 9 8 8 8 8 9
9 8 5 4 7 7 9 9 8 8 6 9 0 7 7 8 7 9 8 8 8 8 9
7 6 3 2 5 5 7 7 6 6 4 7 7 0 8 6 8 7 6 6 6 8 7
7 6 3 2 5 5 7 7 6 6 4 7 7 8 0 6 8 7 6 6 6 8 7
8 7 4 3 6 6 8 8 7 7 5 8 8 6 6 0 6 8 8 8 8 7 8
7 6 3 2 5 5 7 7 6 6 4 7 7 8 8 6 0 7 6 6 6 8 7
9 8 5 4 7 7 9 9 8 8 6 9 9 7 7 8 7 0 8 8 8 8 9
8 7 4 3 6 6 8 8 7 7 5 8 8 6 6 8 6 8 0 8 8 7 8
8 7 4 3 6 6 8 8 7 7 5 8 8 6 6 8 6 8 8 0 8 7 8
8 7 4 3 6 6 8 8 7 7 5 8 8 6 6 8 6 8 8 8 0 7 8
8 7 4 3 6 6 8 8 7 7 5 8 8 8 8 7 8 8 7 7 7 0 8
9 8 5 4 7 7 9 9 8 8 6 9 9 7 7 8 7 9 8 8 8 8 0
168 154 96 76 134 133 168 168 154 154 116 168 168 134 134 150 134 168 150 150 150 153 168
© L
IPS
OR
-EP
ITA
-MA
CT
OR
1CAA
156
masyarakat, pendapatan daerah, penyerapan tenaga kerja, konflik sosial, dampak lingkungan, atraksi,
akses, amenietis, dan ancillary. Variabel akses merupaan variabel penting dari sisi input sementara
variabel pendapatan masyarakat merupakan variabel penting dari sisi output. Variabel pendapatan
daerah menjadi variabel Relay yang memungkikan tidak stabilnya system pariwisata berbasis kearifan
local karena, tujuan peningkatan pendapatan daerah yang tinggi bisa saja menyebabkan sulitnya
pariwisata local untuk berkembang.
Berdasarkan pemetaan interaksi antar aktor atau stakeholder pengelola pariwisata di Provinsi
Jambi, aktor yang memiliki pengaruh tinggi secara berurut adalah Dinas Pariwisata, Badan Keuangan
Daerah, dan Dinas Penanaman Modal Daerah. Kemudian stakeholders yang memiliki kecenderung
ketergantungan tinggi adalah pedagang. Sedangkan stakeholders yang memiliki ketergantungan
terendah adalah Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI).
Selanjutnya dari sembilan tujuan pengelolaan pariwisata berbasis kearifan lokal (pendapatan
masyarakat, pendapatan daerah, penyerapan tenaga kerja, konplik sosial, konplik/dampak lingkungan,
atraksi, akses, amenietis, dan ancillary), tergambar bahwa seluruh stakeholder setuju dengan sembilan
tujuan pengelolaan pariwisata berbasis kearifan lokal secara kolaboratif.
Sedangkan derajat konvergensi (kesepakatan dan persetujuan) antar aktor dan derajat divergensi
(ketidaksetujuan) antara aktor, menunjukkan konvergensi yang tinggi antar aktor. Pada kasus ini aktor
yang berkovergensi paling besar antara satu sama lain yaitu Dinas Pariwisata, Dinas Perkebunan,
Dinas Kehutanan, Balai Cagar Budaya, ASITA, Badan Promosi Pariwisata Daerah, dan Masyarakat.
SARAN Berdasarkan kesimpulan diatas, dapat disarankan bahwa penembangan akses dan
pengembangan yang berkaitan dengan atraksi wisata dan karakteristik wisata serta dampak
lingkunganya harus menjadi perhatian pemerintah melalui pengembangan investasi yang berbasis
kearifan local dengan melibatkan masyarakat. Investasi ini bersifat demand side artinya harus
dikembangkan berdasarkan kebutuhan masyarakat.
Oleh karena pendapatan masyarakat menjadi variabel output yang utama, maka perlu
diperhatikan skema peningkatan pendapatan masyatakat yang berkelkanjutan misalnya melalui
pengembangan koperasi dan kelembagaan desa seperti BUMDES atau peningkatan tabungan
masyarakat desa dari hasil pariwisata.
Dari hasil MACTOR menunjukkan bahwa konvergensi antar aktor pemerintah menjadi salah
satu kunci dalam pengembangan pariwisat. Oleh karenanya disarankan sinergi kelembagaan dengan
memberikan kewenangan kepada Lembaga yang berwenang dalam mengelola wisata melalui skema
regulasi (peraturan daerah atau desa)yang lebih kuat serta memberikan insentif kepada Lembaga agar
bisa bekerja sama secara berkesinambungan dalam mengelola pariwisata berbasis kearifan local.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, M.T., M. Saleh., A.F. Abdelkadir., A. Abdelrahim. 2009. El Maghara Scenario A Search for
Sustainability and Equity: An Egyptian Case Study. Journal of Futures Studies, November
2009, 14(2): 55 – 90.
Asaad, Ilyas. 2011. Pengetahuan Tradisional Sebagai Bagian Kearifan Lokal dari Masyarakat Hukum
Adat Yang Terkait Dengan Sumber Daya Genetik (Sdg) dalam Protokol Nagoya. Jakarta:
Deputi Komunikasi Lingkungan dan Pemberdayaan Masyarakat/KLH.
Conservation Finance Alliance. 2003. Conservation Finance Guide. Diakses tanggal 19 Mei 2018
dari : http://guide.conservationfinance.org/index.cfm.
Dewi, IJ. 2011. Implementasi dan Implikasi Pemasaran Wisata yang Bertanggungjawab (Responsible
Tourism Marketting). Jakarta: Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia.
Fauzi, A. 2017. Draf Buku Analisis Keberlanjutan. Bogor: IPB.
Godet, M. 1989. Effective Strategic Management the Prospective Approach. Journal Tecnology
Analysis and Strategic Management. Volume 1, Issue 1, 1989, Page 45-56.
157
Godet, M. 2006. Creating Future : Scenario Planning as a Strategic Management tool. London:
Economica.
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia. 2011. Buku Kearifan Lokal di Tengah
Modernisasi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan Badan Pengembangan
Sumber Daya Kebudayaan dan Pariwisata Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata
Republik Indonesia. Jakarta. Diakses 23 Februari 2018.
Middleton, V. 2004. Rural Tourism Marketing: The Challenge of New South Africa. International
Journal of Tourism Research, 6 (3): 211-215.
Mira P. Gunawan. 1999. Pariwisata Indonesia, Berbagai Aspek dan Gagasan Pembangunan.
Bandung: Penerbit Lembaga Penelitian ITB.
Porter, M. 1998. Cluster And The New Economics Of Competition, Harvard Business Review,Vol.7,
No.6, pp. 6-15.
Ridwan, NA. 2007. Landasan Keilmuan Kearifan Lokal. Purwokerto: P3M STAIN, Vol 5. Januari-
Juni 2007.
Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2011. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor.
United Nation World Tourism Organization. 2018. UNWTO Tourism Highlight, 2018 edition.Diakses
tanggal 15 April 2018 dari http://marketintelligence.unwto.org/publication/unwto-tourism-
highlights-2018.
Top Related