i
Paper ke-X
PARTICIPATION IN THE HUMAN RIGHT DISCOURSE
(PARTISIPASI DALAM WACANA HAM)
Disusun sebagai Pelaksanaan Tugas untuk:
Mata Kuliah: Nilai, Etika Pekerjaan Sosial, dan Hak Asasi Manusia
Dosen:
Dr. EPI SUPIADI, M.Si
Dra. SUSILADIHARTI, M.SW
Oleh:
HERU SUNOTO
NRP: 13.01.003
PROGRAM SPESIALIS-1 PEKERJAAN SOSIAL
SEKOLAH TINGGI KESEJAHTERAAN SOSIAL
BANDUNG
2013
ii
KATA PENGANTAR
الحمد هلل رّب العالمين، والصالة والسالم على رسوله األمين، وعلى آله وصحبه أجمعين، وبعد ...
Segala puji bagi Allah SWT sehingga kami bisa menyelesaikan tugas ke-VII, paper tentang
Participation in the Human Right Discourse (Partisipasi dalam Wacana HAM) dengan
referensi utama buku Jim Ife, “Human Right and Social Work” Bab VII untuk mata kuliah
Nilai, Etika Pekerjaan Sosial, dan HAM bisa selesai.
Terakhir, kami berharap ada masukan dan penyempurnaan dari sesama teman-teman Sp-1,
dan lebih khusus lagi dosen kami.
Bandung, 04 Oktober 2013
Heru Sunoto
iii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
BAB I. PENDAHULUAN 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2
Wacana Global tentang HAM
Peran Demokrasi
Wacana Lokal tentang HAM
BAB III. PEMBAHASAN 7
BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN 10
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
Partisipasi dalam wacana Hak Asasi Manusia (HAM). Partisipasi adalah keterlibatan pihak-
pihak yang berkepentingan dalam sebuah aktivitas untuk menyelesaikan atau memutuskan
masalah bersama. Secara bahasa, partisipasi dapat didefinisikan sebagai the act of sharing
in the activities of a group (aktivitas berbagi bersama dalam satu aktivitas kelompok)1
Partisipasi juga dapat dijelaskan sebagai berikut:
Participation in social science refers to different mechanisms for the public to express
opinions – and ideally exert influence – regarding political, economic, management or other
social decisions. Participatory decision making can take place along any realm of human
social activity, including economic (i.e. participatory economics), political (i.e. participatory
democracy or parpolity), management (i.e. participatory management), cultural (i.e.
polyculturalism) or familial (i.e. feminism).2
(Dalam ilmu social, partisipasi mekanisme di ranah public untuk menyampaikan opini, dan
idealnya menggunakan pengaruh, mengenai keputusan sosial, politik, ekonomi, manajemen
atau lainnya. Pengambilan keputusan partisipatif dapat terjadi di setiap bidang kegiatan
sosial manusia, termasuk ekonomi (yaitu ekonomi partisipatif), politik (yaitu demokrasi
partisipatif atau parpolity), manajemen (manajemen partisipatif), budaya (yaitu
polyculturalism) atau kekeluargaan (yaitu feminisme).
Korelasinya dengan HAM, adalah bahwa isu-isu HAM yang terkait dengan kelompok-
kelompok yang terdzalimi dan termarjinalkan, di dalam penyelesaiannya harus
memperhatikan asas partisipasi. Jika tidak, maka yang ada adalah alih-alih solusi buat
mereka, yang ada adalah masalah baru yang tidak menyelesaikan, bahkan menambah
masalah baru.
Bagaimana partisipasi itu? Apa saja jenis partisipasi yang bisa diterapkan? Dimana peran
pekerja social? Hal inilah yang akan kita bahas pada paper kita kali ini.
***
1 http://www.thefreedictionary.com/participation.
2 http://en.wikipedia.org/wiki/Participation_%28decision_making%29.
2
BAB II
PARTISIPADI DALAM WACANA HAM
Wacana Global tentang HAM
Meskipun tidak ingin dikungkung, tetapi nyatanya Barat telah membingkai wacana tentang
HAM. Untuk antisipasi, hal ini akan mulai “dilawan”. Bahkan pandangan sekilas pada
literatur HAM menunjukkan bahwa isu relativisme budaya dan wacana dominasi Barat telah
diterima sebagai perhatian utama oleh sejumlah penulis non-Barat sekarang mulai berbicara
tentang HAM3.
Adalah benar, setiap kita butuh akan perbedaan budaya sebagai “suara hati” ketika bicara
tentang HAM. Bukan hanya suara dari perspektif pengacara, akademisi, politisi, diplomat,
tokoh agama, filsuf, teolog, wartawan, dan aktivis kelas menengah, tapi juga suara dari
“mereka yang kurang beruntung dan termarjinalkan”4. Meski benar pula bahwa kini, wacana
HAM telah dibuka untuk budaya non-Barat, tetapi itupun masih hanya untuk akademisi,
politisi, dan lain-lain.
Maka, wacana HAM tetap menjadi wacana pemberdayaan tentang ketidakberdayaan. Dan
karena itulah, ia menjadi bagian dari wacana dominasi dan pemandulan/pengkerdilan. Ini
harus menjadi perhatian mendasar bagi pekerja sosial dan menyarankan beberapa prioritas
penting bagi praktek pekerjaan sosial.
Seorang peksos dengan tabiat alamiah profesinya, bisa memberi solusi terhadap masuknya
beragam kerangka berbeda yang merugikan, dengan cara menghubungkan individu dengan
ranah politik. Hal ini karena meski ada stressing pada isu-isu HAM, namun suara dari
mereka yang tidak beruntung dan termasjinalkan tetap tersisih, tidak masuk dalam pusaran
HAM untuk ditangani.
Hal ini tidak aneh. Orang yang kurang beruntung dan termarjinalkan, cenderung untuk
dikecualikan dari wacana kekuasaan. Ham dalam pengertian ini tidak berbeda dengan
ekonomi, politik, budaya, hukum, bisnis, pendidikan tinggi, dan profesionalisme. Hak asasi
manusia adalah kasus khusus, namun. Menyisihkan “suara” mereka yang tidak beruntung
dan termarjinalkan dari wacana HAM itu sendiri merupakan pengingkaran terhadap HAM,
sehingga wacana HAM, dalam bentuk dominasi yang istimewa, adalah tetap kontradiktif
dengan diri mereka diri. Bagi peksos, hal ini harus menjadi concern utama.
3 Schmale 1993; Pereira 1997; Aziz 1999; Bauer & Bell 1999; Parekh 1999; Van Ness 1999; Nirmal 2000;
Moussalli 2001; Dalacoura 2003. 4 Beetham 1999.
3
Keterlibatan Demokrasi
Demokrasi, seperti halnya HAM, adalah konsep yang rumit dan diperebutkan5. Di dalamnya,
ada nilai positif yang jelas, meski masih implementasinya jauh. Dalam demokrasi Yunani
klasik, peran perempuan, anak-anak, dan budak telah dihilangkan dari ranah pembangunan
“masyarakat”6, itu benar-benar bentuk yang sangat sempit.
Dalam demokrasi modern, juga tidak semua orang terlibat dalam proses pengambilan
keputusan. Anak-anak dan orang asing atau “non-warga negara” tidak memiliki hak pilih.
Pada kenyataannya, banyak orang yang dikecualikan dari akses pengambilan keputusan
yang disebut pemerintah sebagai cara "demokratis", dengan alasan kemiskinan, jender,
kelas sosial, latar belakang pendidikan, atau ras (Martin & Schumann 1997). Pada
masyarakat modern yang sangat kompleks, dan banyak keputusan yang perlu diambil,
namun demokrasi langsung yang semua orang harus tutut andil pada semua proses
keputusan, tidak mungkin7.
Oleh karena itu, ada beberapa demokrasi perwakilan, dimana peran orang-orang bukan
untuk membuat keputusan demokratis, tetapi untuk memilih atau menunjuk wakil di
parlemen atau yang lainnya, mempercayai orang yang mereka telah memilih untuk
membuat keputusan. Tapi, mekanisme ini juga begitu kompleks sehingga tidak bisa jalan.
Banyak keputusan, selanjutnya didelegasikan kepada PNS --orang yang tidak terpilih, tapi
dibayar untuk melaksanakan pekerjaan pemerintah.
Oleh karena kekuatan pengambilan keputusan dari warga dalam demokrasi didelegasikan
dua kali, (i) pertama untuk para politisi, (ii) kemudian ke layanan sipil. Maka, masukan dari
warga negara menjadi terbatas. Demokrasi perwakilan, dengan demikian, telah menjauhi
makna gagasan indah “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”. Peran warga
negara jadi terbatas dan terkikis oleh kompleksitas dan mistifikasi pemerintahan modern8.
Kebijakan yang didefinisikan menjadi hanya bisa dibuat dan difahami oleh para ahli,
sehingga tidak lagi menjadi kebijakan “publik”, bahkan tercabut dari zona debat demokratis
dan menjadi domain eksklusif para ahli saja9.
Untuk itu, telah ada upaya untuk menemukan cara lain, agar demokrasi lebih partisipatif.
Gagasan demokrasi partisipatif, sebagai lawan demokrasi perwakilan, tujuannya untuk
memaksimalkan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan yang
sebenarnya.
5 Held 1987.
6 Sinclair 1988.
7 Rayner 1998.
8 Martin & Schumann 1997.
9 Fay 1975; Rayner 1998; Diadakan 1999.
4
Ada empat usulan umum untuk hal itu, yaitu:
(i) Referendum warga,
(ii) Demokrasi deliberatif,
(iii) Demokrasi elektronik, dan
(iv) Demokrasi desentralisasi .
Pertama, referandum (melibatkan seluruh warga dalam pengambilan keputusan). Hal ini
bisa diberlakukan untuk permasalahan yang hanya membutuhkan jawaban “ya/tidak”,
simple, dan sederhana. Tetapi untuk permasalahan yang memerlukan kajian mendalam,
tetap tidak bisa diterapkan.
Ke dua, demokrasi deliberatif. Demokrasi deliberative berfokus pada proses. Yaitu
kesatuan proses integritas dan kesempatan bagi semua orang untuk bisa memberikan
masukan secara murni ke dalam proses deliberatif sehingga terwujud demokrasi yang lebih
efektif. Orang bisa saja menerima hasil keputusan yang tidak sejalan dengan mereka, asal
mereka tidak dihilangkan dari proses pengambilan keputusan tersebut. Elemen kuncinya
adalah warga dimampukan untuk menjadi:
(i) Bagian dari proses belajar alternatif,
(ii) Meneliti kemungkinan hasil dan merumuskan proposal,
(iii) Mereka diminta untuk berkontribusi pada proses, bukan hanya bereaksi terhadap
usulan.
Ke tiga, demokrasi elektronik. Yang ini menggunakan internet untuk meningkatkan
partisipasi warga. Melalui internet, orang-orang yang tidak pernah bertemu, dapat
mendiskusikan isu-isu dan membuat konsensus. Hal ini tidak akan mungkin terjadi di era
pra-komputer. Penggunaan Internet secara efektif untuk memfasilitasi demokrasi partisipatif
kini mulai didiskusikan, suara komputer pada isu-isu HAM, blogging, dan penggunaan situs
untuk memberikan informasi yang diperlukan untuk membuat keputusan-semacam
demokrasi deliberatif virtual. Internet mulai berubah menjadi partisipasi politik10. Tetapi ada
kelemahannya. Hal ini masih terjadi bahwa komputer hanya tersedia bagi sebagian kecil
penduduk dunia, sehingga setiap proses demokrasi yang bergantung secara eksklusif di
internet akan menghilangkan peran mayoritas manusia.
Ke empat, desentralisasi demokrasi. Ini menunjukkan bahwa cara yang paling efektif agar
orang bisa secara aktif terlibat dalam pengambilan keputusan atas isu-isu yang secara
langsung mempengaruhi mereka adalah dengan desentralisasi, sehingga keputusan yang
dibuat dalam struktur berbasis masyarakat lebih lokal. Tujuannya, untuk memungkinkan
10
Wheeler 1997.
5
orang untuk bisa berperan lebih besar. (Rayner 1998; Ife 2002). Hal ini dapat dicapai melalui
struktur pemerintah lokal, kelompok polisi setempat, warga perumahan, dan sebagainya.
Ini telah menjadi dorongan utama dari teori dan praktek pengembangan masyarakat. Tujuan
utamanya adalah memaksimalkan peran warga. Hal ini karena partisipasi demokratis benar-
benar berbenturan dengan “kepentingan pribadi” penguasan, yang berusaha untuk
mempertahankan struktur yang ada dan proses kekuasaan dengan berupaya mengecilkan
peran partisipasi warga. Untuk ini, peksos masyarakat telah berhasil mengidentifikasi
strategi untuk meningkatkan partisipasi yang efektif, sering tidak melalui gerakan besar tapi
melalui keterlibatan setiap hari dengan isu-isu pada level mikro.
Apa implikasi gerakan demokrasi global bagi peksos? Pembahasan tentang strategi untuk
mengembangkan demokrasi yang lebih partisipatif di tingkat global sangat penting, dari
sudut pandang HAM, karena dua alasan:
Pertama, partisipasi membantu mewujudkan HAM: hak untuk berpartisipasi secara
penuh sebagai warga negara, hak penentuan nasib sendiri, dan seterusnya.
Kedua, memberikan ruang public untuk diskusi, kajian, dan debat tentang HAM. Hal ini
perlu untuk melawan sifat elitis wacana hak asasi manusia yang telah disebutkan di awal
bab ini. Para pekerja hak asasi manusia (yaitu pekerja sosial) karena memiliki minat
yang cukup besar dalam bekerja menuju beberapa bentuk demokrasi global dan rezim
global yang lebih partisipatif daripada sekarang. Ini berhubungan dengan gagasan
“globalisasi dari bawah”11.
Pandangan Lokal tentang HAM
Meski HAM itu sangat universal, namun, pengejawantahannya membutuhkan konteks yang
lebih lokal. Oleh karena itu, isu partisipasi dari “pihak yang kurang beruntung dan korban
pelanggaran HAM”, dalam pembangunan HAM juga memiliki implikasi penting bagi pekerja
sosial yang bekerja secara lokal12.
Seperti yang sudah kita bahas pada Bab 5 yang lalu, HAM yang universal sering
dikontekstualisasikan secara local ketika kitat mendefinisikan kebutuhan manusia.
Universalitas hak atas pendidikan dapat didefinisikan ulang sebagai: (i) kebutuhan
penambahan guru, (ii) gedung sekolah, (iii) kurikulum, dan seterusnya. Oleh karena itu,
dalam definisi kebutuhan, individu di tingkat lokal dapat berpartisipasi dan memberikan
kontribusi, sehingga definisi kebutuhan menjadi dasar penting untuk membingkai wacana
11
Falk 1993; Brecher & Costello 1994, Rajagopal 2003. 12
Mahoney & Mahoney 1993.
6
HAM. Dan, pekerja sosial di antara orang-orang profesional yang tertuduh mengambil alih
wewenang memaknai kebutuhan masyarakat.
Oleh karaena itu, pertanyaan-pertanyaan sekitar “perlu definisi” harus menjadi perhatian
khusus untuk didiskusikan. Tujuannya, untuk mendapatkan kembali kontrol atas definisi hak
asasi manusia mereka.
Oleh karena itu penting bahwa praktek pekerjaan sosial melibatkan dialog dengan individu,
keluarga, kelompok atau masyarakat seputar isu hak:
Apa hak-hak mereka?
Bagaimana dampaknya kepada hak orang lain?
Apakah hal itu benar-benar dapat diakui sebagai HAM dalam hal definisi yang
ditawarkan?
Dan terakhir, bagaimana hak bisa diterjemahkan menjadi “kebutuhan” yang kemudian
dapat dipenuhi?
Apabila klien berasal dari strata pendidikan yang berbeda dan pemahaman yang beragam,
maka penggunaan kata “hak” bisa dihindari untuk menghindari salah-tafsir yang pada
gilirannya akan kontra-produktif bagi “peningkatan partisipasi” mereka. Gunakanlah istilah
yang memudahkan mereka memahami kebutuhan dan hak mereka.
***
7
BAB III
PEMBAHASAN
PARTISIPASI DALAM WACANA HAM
Definisi Partisipasi
Partisipasi adalah keterlibatan pihak-pihak yang berkepentingan dalam sebuah aktivitas
untuk menyelesaikan atau memutuskan masalah bersama. Secara bahasa, partisipasi dapat
didefinisikan sebagai the act of sharing in the activities of a group (aktivitas berbagi bersama
dalam satu aktivitas kelompok)13
Istilah “Partisipasi”, “kemitraan”, “keterlibatan”, dan “bekerja sama” sering digunakan untuk
merangkum berbagai ide dan kegiatan yang berbeda. Istilah-istilah ini terkadang digunakan
secara bergantian atau dapat memiliki arti yang berbeda untuk orang yang berbeda, karena
tidak ada definisi yang dapat diterima secara universal. Dalam buku ini, anda akan melihat
bahwa semua kata-kata ini digunakan untuk menggambarkan “terlibatnya pengguna jasa
dan pengasuh (carer participation) dalam praktek pekerjaan sosial.”14
Partisipasi juga dapat dijelaskan sebagai berikut:
Participation in social science refers to different mechanisms for the public to express
opinions – and ideally exert influence – regarding political, economic, management or other
social decisions. Participatory decision making can take place along any realm of human
social activity, including economic (i.e. participatory economics), political (i.e. participatory
democracy or parpolity), management (i.e. participatory management), cultural (i.e.
polyculturalism) or familial (i.e. feminism).15
(Dalam ilmu social, partisipasi mekanisme di ranah public untuk menyampaikan opini, dan
idealnya menggunakan pengaruh, mengenai keputusan sosial, politik, ekonomi, manajemen
atau lainnya. Pengambilan keputusan partisipatif dapat terjadi di setiap bidang kegiatan
sosial manusia, termasuk ekonomi (yaitu ekonomi partisipatif), politik (yaitu demokrasi
partisipatif atau parpolity), manajemen (manajemen partisipatif), budaya (yaitu
polyculturalism) atau kekeluargaan (yaitu feminisme).
13
http://www.thefreedictionary.com/participation. 14
Janet Warren, Service User and Carer Partisipation in Social Work, 2007, hal 6. 15
http://en.wikipedia.org/wiki/Participation_%28decision_making%29.
8
Urgensi Partisipasi dalam Pelayanan Klien
Perkembangan klien dan partisipasi pengasuh dalam pelayanan perawatan kesehatan dan
pelayanan sosial merupakan tema sentral dalam agenda reformasi pemerintah. Tujuan
utamanya adalah untuk meningkatkan kualitas layanan bagi klien.16
Tingkatan partisipasi17 yang dilakukan oleh orang, ditentukan oleh:
konteks;
tugas;
keputusan yang dibuat;
kemampuan individu, kepentingan dan ketersediaan;
budaya partisipasi hadir dalam suatu organisasi.
Braye (2000)18 mengidentifikasi ada tiga kekuatan pendorong dikembangkannya
pendekatan partisipatif dalam pelayanan sosial:
(i) Mandat hukum dan kebijakan;
(ii) Mandat profesional, dan
(iii) Mandat pengguna.
Mandat-mandat tersebut berasal dari sejumlah arah yang berbeda, dan akibatnya,
mencerminkan berbeda ideologi dan motivasi.
Korelasi Partisipasi dengan HAM
Partisipasi dari klien dan orang terdekatnya, bisa dieksplorasi secara optimal, apabila
mereka mendapatkan sejumlah hal penting, yaitu:
Informasi yang cukup dan jelas tentang masalahnya, kendalanya, proses mencapai hak,
potensi yang diperlukan, manfaat yang akan diperoleh, dan seterusnya;
Konsultasi dari peksos dan pihak-pihak lain yang dipandang kredibel untuk memberikan
konsultasi mengenai masalahnya.
Empowering (penguatan), yaitu peksos melakukan penguatan kepada klien, baik
spiritual, mental, skill, dan networking yang diperlukan.
Klien dimaksud adalah dalam segmen mikro, mezzo, dan makro.
16
Janet Warren, Service User and Carer Partisipation in Social Work, 2007, hal 22. 17
Idem, hal 50. 18
Idem, hal 22.
9
Apabila dibuat tabel, maka akan tampak sebagai berikut:
Korelasinya dengan HAM, adalah bahwa isu-isu HAM yang terkait dengan kelompok-
kelompok yang terdzalimi dan termarjinalkan, di dalam penyelesaiannya harus
memperhatikan asas partisipasi. Jika tidak, maka yang ada adalah alih-alih solusi buat
mereka, yang ada adalah masalah baru yang tidak menyelesaikan, bahkan menambah
masalah baru.
Namun, diakui atau tidak, memasukkan partisipasi dalam seluruh pembuatan keputusan,
akan memiliki sejumlah dampak.
The democratic participation of many people in governance usually leads to a better result in
the end, but there is no denying that it is slower, more complex, more stressful, and
consumes additional resources to make the process work.19
Partisipasi demokratik yang melibatkanbanyak orang pada tata kelola sesuatu, biasanya
memang akan memberikan hasil akhir yang lebih baik. Namun, efeknya akan memakan
waktu lebih lama, proses lebih lambat, lebih kompleks, lebih membuat stress, dan memakan
biaya yang lebih banyak.
.***
19
Keith Fletcher, Partnership in Social Care, Jessica Kingsley Publishers, London and Philadelphia, 2006, hal 25.
PARTISIPASI
INFORMASI
KONSULTASI EMPOWERING
10
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
Berdasarkan apa yang sudah kami kemukakan pada bab-bab terdahulu, dapat kami
simpulkan hal-hal sebagai berikut:
Membantu menyelesaikan masalah klien adalah menu utama seorang pekerja social,
khususnya pekerja social professional.
Membantu klien, harus bergeser dari “bekerja untuk” menjadi “bekerja bersama klien”. Efek
dari istilah ini adalah memberikan porsi yang besar bagi partisipasi klien dalam seluruh
proses pengambilan keputusan. Hal ini selaras dengan prinsip individualization and self-
determination.
Untuk bisa mengeksplorasi partisipasi klien, seorang peksos professional harus mengetahui
hal-hal apa saja yang kondusif terhadap hal tersebut, dan “mendegarkan” keinginan klien.
Banyak cara yang bisa ditempuh untuk seorang peksos mendapatkan apa yang dimaui dan
dibutuhkan klien.
Seorang peksos, untuk selalu mengkorelasikan kemauan dan kebutuhan klien dengan isu-
isu HAM. Karena, jika tidak cermat, maka ia akan masuk di dalam perangkap “dilemma
pelayanan” dan perang kepentingan, yaitu kepentingan klien, kepentingan orang lain, baik
lembaga, pemerintah, maupun masyarakat. Maka, bagaimana menciptakan harmoni dari
semua kepentingan itulah, substansi keberadaan peksos.
SARAN
1. Pekerja Sosial harus memahami etika, etika profesi, dan HAM dan partisipasi dalam
berbagai bentuk dan prosesnya, serta cara-cara yang kondusif bagi munculnya
partisipasi tersebut, sehingga bisa secara proper dalam praktik.
2. Para stakeholder, seperti Kementerian Sosial RI, kementerian terkait, dan termasuk
IPSPI, NGO-NGO, perlu untuk secara regular duduk bersama, melakukan upaya
mencari “format bersama “untuk partisipasi dalam penanganan masalah HAM.
***
11
DAFTAR PUSTAKA
Jim Ife, Human Right and Social Work: Toward Right-Based Practice”, Cambridge
Univercity Press, 2008;
Janet Warren, Service User and Carer Partisipation in Social Work, Learning Matters Ltd.,
United Kingdom, 2007
Keith Fletcher, Partnership in Social Care, Jessica Kingsley Publishers, London and
Philadelphia, 2006
http://www.thefreedictionary.com/participation; downloaded at October 4th 2013.
http://en.wikipedia.org/wiki/Participation_%28decision_making%29; downloaded at October
4th 2013.
***
Top Related