PANDANGAN IBNU TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAH
WANITA KHULUK
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
ECEP TURMUJI
NIM: 1110043100017
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1438H/2017M
I' F. :'\GES.-\.H.-\.'\ 1'.-\. i\ ITI.-\ U.II rvx
Skripsi yang bcrjudul ·· PA i'\I) ,\ .' C A \" IB.'I; T A I:'- I I1"1".-\. ( ( IL\ TEi'\T ..vr« :
' W D.-\ H \\ ·.-\.1'\IT .\ h:II UI. Uh:", telah di uj ikan da larn < dang m unaqasya h Fakul tas
Syariuh dan Hukurn Universitas Islam Negeri Sy arif Hidavatullah Jakart a pada tungga l
7 JUl1i 20 17. Skripsi ini telah diterima scbagai salah satu sya r.u untuk mem pcro leh gclar
Sarjana Hukum (S.H) pad a Program Studi Perbandingan Madzhab (PM).
=------~)
(
: Nur Rahi m_ LL.M.1\11' . 19790418201 101 1 004
: Dewi Sukan i. )vIANI P. 19720S17 2001 12 I 00 1
Ketua
Sekrctaris
p.-\" ITlA UJ IA:\ i\IU:\.-\.QA~SYMI~ I 9{. ': ['alun i Muhammad Ahmadi, ,vI. Si _
NIP . 197 4 12 13 2003 12 I 002 ~
: Il j. Siti Hanna. S. Ag. I.e.. ;'vi A ( JJ-J )1\'IP. 19740216 200801 2 013
C·/~\...----''''>-'
Pcmbimhing I : H. A. Bisvri Abd Sam ael. 1\'1 '\ ~1\' 11' . 19liS03 20 200003 I nOI .! /'7 . '
./ • - i - / i
r r;- v\~..-}
~~ 1---=.1-db' '1' J _' I
L>Sb~ )
Pcmbimbing 11 : Yl u' min Rouf. ?vIA)111' . 197004 16 199703 I 004
Penguj i I
Penguj i II
II i
i
ABSTRAK
Ecep Turmuji. 1110043100017. Prgram Studi Perbandingan Mazhab
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, Pandangan Ibnu Taimiyyah R.A tentang ‘Iddah Wanita Khuluk.
Pernikahan merupakan bagian hidup yang sakral, karena harus
memperhatikan norma dan kaidah hidup dalam masyarakat. Bagi orang-orang
yang telah menikah, dalam menjalani bahtera rumah tangga tentu ada saat-saat
merasakan kebahagiaan, namun demikian adakalanya terdapat permasalahan yang
kompleks yang dapat memicu terjadinya pertengkaran, bahkan tak jarang
berujung kepada perceraian. Konsekuensi yang pertama kali muncul akibat
perceraian adalah adanya masa ‘iddah. Jumhur ulama banyak yang berbeda
pendapat tentang masa ‘iddah seorang wanita, terutama Ibnu Taimiyyah R.A yang
berlain pandangan tentang ‘iddah wanita khuluk.
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah; Untuk mengetahui
ketentuan masa ‘iddah bagi wanita yang putus perkawinan karena khuluk dan
sebab dari pendapat Ibn Taimiyyah R.a tentang menentukan masa ‘iddah wanita
khuluk. Dalam penelitian skripsi ini penulis menggunakan metode penulisan
Deskriptif kualitatif yang dilakukan dengan cara meneliti berdasarkan sumber data
lapangan atau bahan pustaka sebagai bahan pelengkap. Spesifikasi penelitian ini
adalah penelitian deskriptif analitis yang berusaha menggambarkan masalah
hukum, sistem hukum dan mengkajinya secara sistematis.
Selain itu analisis juga dilakukan berdasarkan analisis deskriptif kualitatif
dengan menggunakan metode normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan
dengan cara meneliti bahan pustaka.
‘Iddah bermakna perhitungan atau sesuatu yang dihitung. Menurut bahasa
adalah hari-hari haid atau masa-masa suci bagi wanita. Sedangkan menurut istilah,
‘iddah merupakan masa menunggu bagi wanita untuk melakukan perkawinan
setelah terjadinya perceraian dengan suaminya, baik cerai hidup, maupun cerai
mati.
Dengan tujuan untuk mengetahui keadaan rahimnya atau sebagai waktu
berfikir bagi suaminya. Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah masa
‘iddah bagi seorang wanita, terutama masa ‘iddah bagi wanita khuluk. Ada yang
menyamakannya dengan ‘iddah talak namun ada juga yang mengatakan berbeda
salah satunya pandangan Ibnu Taimiyyah r.a. Perbedaan tersebut tentunya dapat
meresahkan seorang perempuan yang apabila diceraikan oleh suaminya, berapa
lama ia harus menunggu? Sedangkan pada dasarnya perempuan adalah manusia
yang butuh perlindungan dan tempat bergantung.
Kata kunci : Ibnu Taimiyyah r.a, ‘Iddah Wanita Khuluk.
Pembimbing I : H. A. Bisyri Abd Somad, M.A
Pembimbing II : Mukmin Rouf, M.A
Daftar Pustaka : Tahun 1974 s.d Tahun 2013
vi
الرحیم الرحمن هللا بسم
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum.wr.wb
Alhamdulillah, segala puji dan rasa syukur penulis panjatkan kehadirat-
Nya. Tidak ada kekuatan apapun dalam diri ini selain dengan kekuasaan Allah
SWT. Dialah penguasa dari seluruh alam semesta ini, yang Maha Pengasih tanpa
pilih kasih, Maha Penyayang bagi semua makhluk-Nya. Karena anugerah dan
karunia yang diberikan-Nya kita memiliki kemampuan untuk berfikir dan
menikmati segala kenikmatan terutama nikmat Islam dan Iman serta nikmat
duniawi yang tak terhingga jumlahnya. Shalawat dan salam semoga tercurah
kehadirat Qudwah Hasanah Nabi Muhammad SAW, yang selalu kita nantikan
syafa'atnya di hari pembalasan nanti, Amin.
Tidak ada kata lain yang tepat yang dapat penulis untaikan untuk
menunjukan betapa Allah SWT Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Dengan
kasih sayang, rahmat, dan hidayah-Nya penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.
Dialah motivator sejati yang selalu mendorong penulis untuk selalu terus berusaha
menuntaskan kewajiban dan tanggung jawab mulia ini dan untuk selalu berbuat
yang terbaik di dunia ini semata-mata untuk mencapai ridha-Nya.
Walaupun usaha dalam penyelesaian skripsi ini, penulis sudah merasa
optimal namun sudah pasti banyak kekurangan dalam penulisan maupun dalam
pembahasannya. Untuk itu saran dan kritik yang konstruktif sangat kami
harapkan. Sebagai suatu karya ilmiah, semoga skipsi ini bisa bermanfaat bagi
vii
penulis dan bagi semua pihak yang membacanya dan bagi pihak-pihak yang
terkait dengan masalah ini.
Penulis sangat menyadari, bahwa selesainya penulisan skripsi ini bukanlah
semata-mata dari buah tangan hasil penulis sendiri, akan tetapi dari hamba Allah
yang senantiasa mendermakan kemampuannya untuk kemaslahatan publik, baik
secara langsung maupun tidak. Mereka yang dengan tulus hati meluangkan waktu
mesti hanya sekedar menuangkan aspirasi bagi penulis, tentu tanggungjawab ini
akan terasa kian berat, tanpa kehadiran mereka.
Oleh karena itu tidak berlebihan kiranya jika pada kesempatan ini penulis
menyampaikan rasa terimakasih, khususnya kepada :
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si, Ketua Program Studi
Perbandingan Madzhab Fakultas Syari’ah dan Hukum.
3. Ibu Siti Hanna, Lc, MA, Sekretaris Program Studi Perbandingan Madzhab
Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum.
4. Bapak H. A. Bisyri Abd. Somad, M.A dan Bapak Mukmin Rouf, M.A
selaku dosen pembimbing yang sangat bijaksana dan dengan besar hati,
sabar serta bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan
bimbingan bagi penulis dalam penulisan skripsi ini.
5. Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syari’ah
dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
viii
yang telah memberikan fasilitas bagi penulis untuk mengadakan studi
kepustakaan.
6. Para dosen Fakultas Syariah dan Hukum, para Guru, Ustadz yang telah
mendidik Penulis baik secara langsung atau tidak telah membantu
pemahaman Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
7. Yang tercinta Ayahanda dan Ibunda, yang disetiap nafasnya mengalir doa
untuk kebahagiaan dan kesuksesan Ananda dalam meniti kehidupan dunia
dan di akhirat kelak, dan selalu memberikan motivasi baik secara moril dan
materil semata-mata untuk keberhasilan penulis.
8. Adikku Ulfah Latifatul Jannah, Imam Qusyaeri dan seluruh keluarga besar,
terima kasih atas do'a dan motivasinya baik moril dan materiil untuk
keberhasilan studi Penulis.
9. Gina Hoirunnisa yang menemani saya dalam suka maupun duka serta setia
memberikan semangat selama penulisan skripsi ini, dan semoga apa yang
kita cita-citakan tercapai.
10. Teman-teman seperjuangan, khususnya Haidir, Diki Riza, Dedat, Dimas,
Luthfi, Dobleh, Ipul, Anjo, dan teman-teman di Fakultas Syariah dan
Hukum angkatan 2010 teman seperjuanganku yang selalu ada baik dalam
suka maupun duka, teman-teman KKN Kreasi. Dimanapun Aku dan kalian
berada, Aku akan merindukan kalian selalu.
11. Semua makhluk Allah yang membuat Penulis terinspirasi dan semua pihak
yang telah memberikan bantuannya kepada Penulis, hingga penulisan
skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
ix
Penulis hanya dapat memohon kepada Allah SWT. Semoga senantiasa
menerima kebaikan dan ketulusan mereka serta memberikan sebaik-baiknya
balasan atas amal baik mereka. Terakhir semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat
menambah khazanah keilmuan kita. Amin.
Jakarta, 26 Mei 2017
Penulis
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ............................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iv
ABSTRAK ...................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
B. Identifikasi Masalah .................................................................. 7
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah ........................................... 7
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................. 8
E. Review Studi Terdahulu ............................................................ 8
F. Metode Penelitian ...................................................................... 9
G. Sistematika Penulisan ................................................................ 12
BAB II TINJAUAN TENTANG KHULUK DAN ‘IDDAH .................... 14
A. Iddah .......................................................................................... 14
1. Pengertian ‘Iddah ................................................................. 14
2. Dasar Hukum ‘Iddah ........................................................... 15
3. Syarat Wajib ‘Iddah ............................................................. 18
xi
4. Macam-macam ‘Iddah ......................................................... 20
B. Khuluk ....................................................................................... 22
1. Pengertian Khuluk ............................................................... 22
2. Dasar Hukum Khuluk .......................................................... 24
3. Syarat dan Rukun Khuluk ................................................... 25
BAB III CORAK PEMIKIRAN DAN KARYA-KARYA IBNU
TAIMIYYAH R.A .................................................................... 32
A. Sejarah Kelahiran ................................................................. 32
B. Karya-Karya Ibnu Taimiyyah R.A ...................................... 42
1. Karya Ibnu Taimiyyah di Bidang Politik ........................ 43
2. Karya-Karya Ibnu Taimiyyah dibidang Hukum Islam ... 45
3. Karya-Karya Ibnu Taimiyyah dibidang Filsafat ............. 46
4. Karya-Karya Ibnu Taimiyyah dibidang Aqidah (Teologi) 47
C. Corak Pemikiran Ibnu Taimiyyah r.a .................................. 49
BAB IV KETENTUAN DAN FAKTOR-FAKTOR DALAM
PENENTUAN MASA ‘IDDAH WANITA KHULUK........... 57
A. Ketentuan tentang masa ‘iddah wanita khuluk menurut
Ibnu Taimiyya R.A .............................................................. 57
B. Faktor-faktor dalam menentukan masa ‘iddah wanita khulu’
menurut Ibnu Taimiyyah R.A .............................................. 63
BAB V PENUTUP .................................................................................. 70
A. Kesimpulan .......................................................................... 70
xii
B. Saran-saran .......................................................................... 71
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 72
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi ini tentu berbeda dengan
binatang dan makhluk yang lain. Dalam hal menjalin suatu hubungan Islam sudah
mengatur antara laki-laki dan perempuan untuk mengikuti hukum atau aturan
yang telah dianjurkan oleh Islam, yaitu dengan jalan pernikahan. Sehingga orang-
orang yang beragama Islam wajib mentaatinya.
Bagi orang-orang yang telah menikah, dalam menjalani bahtera rumah
tangga tentu ada saat-saat merasakan kebahagiaan, namun demikian adakalanya
terdapat permasalahan yang kompleks yang dapat memicu terjadinya
pertengkaran, bahkan tak jarang berujung kepada perceraian. Putusnya
perkawinan tidak hanya disebabkan oleh perceraian saja. Dalam Undang-Undang
Perkawinan ada tiga hal yang dapat menjadikan putusnya perkawinan, yaitu
kematian, perceraian dan atas keputusan pengadilan.1
Konsekuensi yang pertama kali muncul akibat perceraian adalah adanya
masa „iddah, „iddah bermakna perhitungan atau sesuatu yang dihitung. Menurut
bahasa adalah hari-hari haid atau masa-masa suci bagi wanita. Sedangkan menurut
istilah, „iddah merupakan masa menunggu bagi wanita untuk melakukan
perkawinan setelah terjadinya perceraian dengan suaminya, baik cerai hidup,
1 UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 38. “Penulisan kata khuluk sesuai
dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yang berarti perceraian atas permintaan pihak
perempuan dengan membayar sejumlah uang atau mengembalikan maskawin yang diterima atau
tebus talak.
2
maupun cerai mati. Dengan tujuan untuk mengetahui keadaan rahimnya atau
sebagai waktu berfikir bagi suaminya.2
Masyarakat umum banyak mengalami kebimbangan tentang aturan „iddah
itu sendiri, baik antara laki-laki dan perempuan ataupun pandangan ahli fiqih
dalam memberikan hasil ijtihadnya. Terlebih lagi kurangnya pemahaman
masyarakat mengenai hal ini, baik dalam aturan KHI (Kompilasi Hukum
Indonesia) ataupun agama. Oleh karena itu, terkadang ditemukan pelanggaran
tehadap aturan „iddah yang sudah menjadi ketentuan formatif dalam hukum
Indonesia.
Meskipun dapat diketahui terdapat perbedaan dalam hasil ijtihad „Ulama
Fuqaha mengenai hal ini, penting adanya penelitian yang lebih mendalam bagi
para „Ulama Fuqaha atau Cendekiawan Muslim untuk mencari maslahat demi
kebaikan umat Islam pada khususnya.
Kasus-kasus pelanggaran terhadap masa „iddah banyak terjadi di
maasyarakat. Contohnya, seorang Ibu Rumah Tangga bernama Dina (45) yang
menikah dengan Susanto dikaruniai seorang anak dan tinggal di sebuah rumah
milik sendiri selama sembilan tahun. Namun, rumah tangganya tidak harmonis
lagi, banyak terjadi pertengkaran terus menerus yang membuat Dina memutuskan
untuk tidak mempertahankan keutuhan rumah tangganya dan mengajukan cerai
gugat di Pengadilan Agama. Keinginan Dina tidak didukung dengan keinginan
Susanto yang ingin mempertahankan rumah tangganya. Tetapi Dina tetap ingin
2 Dahlan Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
1997), h. 637.
3
bercerai dengan memberikan uang tebusan kepada Susanto sebesar Rp 400.000,-
sebagai kenang-kenangan.
Setelah bercerai, tak lama kemudian Dina menikah lagi dengan seorang
laki-laki bernama Rohmat dengan jarak perkawinan kedua hanya selapan (35 hari)
setelah perceraian. Jarak antara perceraian dengan perkawinan relatif singkat
dikarenakan Dina sudah terlanjur menerima lamaran dari Rohmat, faktor ekonomi
Dina yang harus menghidupkan dirinya beserta anaknya, dan Dina juga mengaku
tidak mengerti „iddah dan cara perhitungannya, begitu pula dengan Rohmat.
Perkawinan kedua pun dilakukan secara sirri oleh kiyai setempat.
Dalam ilmu fikih terdapat perbedaan mengenai aturan „iddah. Kelompok
pertama mengatakan apabila seorang wanita ditalak oleh suaminya, baik talak
raj‟i maupun talak ba‟in sedangkan ia telah dewasa (haid aktif) maka „iddahnya
adalah tiga kali haid, sedangkan apabila ia belum haid atau tidak lagi mengalami
haid karena faktor usia maka masa „iddahnya adalah tiga bulan, pendapat ini
dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah R.a, Ats-Tsauri R.a, Al-Awza‟I R.a, Ibnu
Abi Laila R.a, Ali bin Abi Thalib R.a, Umar bin Khattab R.a, Ibnu Mas‟ud R.a,
dan Abu Musa Al Asy‟ari R.a.3 Sebagaima Allah SWT berfirman dalam Surat al-
Baqarah ayat 228.
Dalam ayat tersebut dengan tegas dinyatakan ثالثت قروء yang berarti tiga
quru‟ secara sempurna, jadi apabila quru‟ dalam ayat ini diartikan sebagai suci,
itu berarti penerapan masa „iddah bisa jadi hanya sampai dua Quru‟ dan sebagian
3 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Jilid II, Cetakan ke VI,
(Kairo: Daar al-Ma‟rifah, 1982), h. 8.
4
saja, hal ini akan menyalahi ayat ini sendiri yang menyatakan bahwa masa „iddah
mereka adalah tiga quru‟.
Kelompok kedua berpendapat apabila seorang wanita di talak oleh
suaminya, baik talak raj‟i maupun talak ba‟in sedangkan ia telah dewasa (haid
aktif) maka „iddahnya adalah tiga kali suci, sedangkan apabila ia belum haid atau
tidak lagi mengalami haid karena faktor usia maka masa „iddahnya adalah tiga
bulan, pendapat ini dikemukakan oleh Imam Malik, Imam Syafi‟I R.a, jumhur
ahlil Madinah, Abdullah bin Umar R.a, Zaid bin Tsabit R.a dan Aisyah
R.a.4Sebagaimana Allah Swt berfirman juga dalam surat al-Baqarah ayat 228,
namun dalam ayat ini Allah menggunakan kata yang dalam kebiasaan قروء
bangsa arab kata ,digunakan sebagai bentuk jama‟ yang berarti suci قروء
sedangkan bentuk jama‟ yang biasa dipakai untuk haid adalah أقراء.5
„Iddah dalam ajaran agama Islam terbagi menjadi beberapa jenis: yang
pertama „iddah bagi perempuan yang belum digauli maksudnya adalah bahwa
wanita yang belum digauli, yakni tidak ada masa „iddah atas dirinya menurut
ijma‟ para ulama. Yang kedua „iddah karena cerai mati, „iddah perempuan yang
ditinggal mati oleh suaminya, yaitu ada dua keadaan, yaitu jika perempuan
tersebut hamil, dan dalam keadaan tidak hamil. Dan yang ketiga „iddah cerai
hidup, „iddah bagi wanita yang diceraikan oleh suaminya bukan karena kematian
dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok yakni dalam keadaan hamil, dalam
keadaan dewasa (tidak hamil), belum dewasa.6
4 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, h. 8.
5 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, h. 9.
6 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, h. 89-90.
5
Sedangkan waktu „iddah yang diakibatkan khuluk dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI) dalam pasal 155 adalah sama dengan „iddah talak. Namun
ada juga pendapat lain, dimana berbeda dengan talak yang melarang
pelaksanaannya diwaktu istri dalam keadaan haid atau dalam keadaan suci yang
sudah dicampuri yang dinamai talak bid‟iy, khulu‟ dapat dilaksanakan kapan saja
tanpa terikat waktu tertentu. Alasannya ialah tidak boleh menjatuhkan talak pada
waktu haid atau suci yang sudah dicampuri adalah karena mendatangkan
kemudharatan bagi istri dengan memanjangnya masa „iddah yang harus
dilaluinya.7
Masalah „iddah tidak luput dari perhatian „ulama besar Islam yaitu Ibnu
Taimiyyah R.a terdapat perbedaan ketika proses perceraian diawali oleh pihak
istri yang disebut dengan khulu‟, menurutnya khulu‟ berkedudukan sebagai
fasakh. Dengan demikian khulu‟ menurut Ibnu Taimiyyah R.a tidak mempunyai
batasan seperti halnya talak, dengan kata lain khulu‟ dapat dijatuhkan lebih dari
tiga kali, dan pasangan suami isteri dapat rujuk kembali setelah selesai masa
„iddah tanpa memerlukan muhallil. Ibnu Taimiyyah R.a juga berpendapat bahwa
masa „iddah bagi wanita yang khulu‟ adalah dengan menunggu satu kali masa
haid dengan tujuan untuk mengetahui kosongnya rahim. Dasar hukumnya adalah
hadits riwayat al-Nasa‟i R.a dalam kasusnya Tsabit bin Qais yang isinya, Nabi
saw memerintahkan istri Tsabit bin Qais yang mengajukan khuluk untuk „iddah
satu kali haid. Pendapat satu kali haid tersebut merupakan pendapat yang
7 Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009), h.
238-241.
6
dipegang oleh Utsman R.a, Ibnu Abbas R.a, dan pendapat lebih sahih dari Imam
Ahmad R.a dan pendapat Ishak bin Rahawaihi R.a.8
Berdasarkan pada hadits yang berbunyi:
اس ان اننبي ص و فقانج: يا رسىل .عن ابن عباس قال: جاءث ايرأة ثابج بن قيس بن ش
ل هللا هللا، ان يا اعخب عهيو ف خهق و ال دين، و نكن اكره انكفر ف االسالو. فقال رسى
يقت. و : احردين عهيو حذيقخو؟ قانج: نعى. فقال رسىل هللا ص: اقبم انحذيقت و طهقها حطه .ص
.انبخاري و اننسائ، ف نيم االوطار
Artinya: Dari Ibnu „Abbas R.a, ia berkata: Istri Tsabit bin Qais bin
Syammas dating kepada Nabi SAW, lalu ia berkata, “Ya Rasulullah,
sesungguhnya aku tidak mencela dia (suamiku) tentang akhlaq dan
agamanya, tetapi aku tidak menyukai kekufuran dalam Islam”.
Kemudian Rasulullah SAW bertanya, “Maukah kamu mengembalikan
kebunmu kepadanya?”. Ia menjawab, “Ya”. Lalu Rasulullah SAW
bersabda (kepada Tsabit), “Terimalah kebunmu itu dan thalaqlah dia
sekali”. (HR. Bukhari dan Nasai, dalam Nailul Authar juz 6, hal. 276).
Berdasarkan permasalahan diatas, penulis merasa perlu mengkaji lebih
lanjut tentang ketentuan „iddah bagi wanita yang putus perkawinan karena khulu‟.
Dikarenakan banyak terjadi perbedaan pendapat dikalangan para „Ulama Fuqaha
dan bagaimana praktek yang terjadi ditengah-tengah masyarakat, maka dari itu
penulis bermaksud untuk membahas perkara tersebut dengan membandingakan
pendapat para „Ulama dan bagaimana implementasinya di kalangan umat Islam,
khususnya di Indonesia dengan penelitian yang bejudul “PANDANGAN IBNU
TAIMIYYAH R.A TENTANG ‘IDDAH WANITA KHULUK”.
8 Ibnu Taimiyyah, Majmu al-Fatawa, Jilid 18, (Lebanon: Daar al-kutub al-Ilmiyyah, tth), h.
147.
7
B. IDENTIFIKASI MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas maka identifikasi
masalahnya sebagai berikut:
1. Bagaimana ketentuan masa „iddah bagi wanita yang ditinggal mati oleh
suaminya?
2. Berapa lama waktu menunggu bagi wanita yang dicerai sebelum dan
sesudah dukhul?
3. Bagaimana ketentuan masa „iddah bagi wanita yang meminta cerai
kepada suaminya?
4. Bagaimana pandangan Ibnu Taimiyyah tentang masa „iddah wanita
khulu‟?
5. Apa dasar argumentasi Ibnu Taimiyyah tentang masa „iddah wanita
khulu‟?
C. BATASAN DAN RUMUSAN MASALAH
1. Batasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah yang penulis kemukakan diatas, agar
permasalahan yang penulis bahas tidak meluas, maka penulis membatasinya
hanya sekitar mengenai pandangan Ibnu Taimiyyah tentang „iddah wanita khulu‟
saja.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada batasan masalah diatas dan dalam rangka mempermudah
penulis dalam menganalisa permasalahan, penulis menyusun suatu rumusan
masalah sebagai berikut:
8
1. Bagaimana ketentuan masa „iddah bagi wanita yang putus perkawinan
karena khulu‟ menurut Ibnu Taimiyyah R.a?
2. Apa yang menjadi pertimbangan Ibnu Taimiyyah R.a dalam menentukan
masa „iddah wanita yang putus perkawinan karena khulu‟?
D. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui ketentuan masa „iddah bagi wanita yang putus
perkawinan karena khulu‟ menurut Ibnu Taimiyyah R.a.
b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan Ibnu Taimiyyah R.a dalam
menentukan masa „iddah wanita yang putus perkawinan karena khulu‟.
2. Manfaat Penelitian
a. Secara Akademis
Sebagai khazanah pengetahuan bagi mahasiswa/mahasiswi pada
umumnya, dan masyarakat pada khususnya tentang pendapat Ibnu
Taimiyyah R.a mengenai masa „iddahnya seorang wanita.
b. Secara Praktis
Memberikan pengetahuan serta penjelasan kepada masyarakat
terutama wanita mengenai masa „iddahnya seorang wanita apabila
mengalami perceraian/putus perkawinan karena khulu‟.
E. REVIEW STUDI TERDAHULU
Ada beberapa penelitian yang pembahasannya hampir setara dengan
penelitian ini, namun fokus penelitiannya belum menyentuh pada persoalan
tentang ketentuan jumlah „iddah wanita karena khulu‟. Penelitian tersebut
9
diantaranya:
1. Skripsi yang disusun oleh Ahmad Mutohar, dengan judul: “Analisi
Pendapat Imam Abu Hanifah Tentang Kedudukan Khuluk Sebagai Talak
Dan Fasakh”. Pada intinya penyusun skripsi ini mengungkapkan bahwa
Imam Abu Hanifah R.a menyamakan khuluk dengan talak dan fasakh
secara bersamaan, sedangkan Imam Syafi`i R.a berpendapat bahwa khuluk
adalah fasakh. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ahmad R.a dan Daud
R.a dan sahabat yang berpendapat demikian adalah Ibnu Abbas R.a.
2. Skripsi yang disusun oleh Rosika Wahyu Alamintaha, dengan judul:
“Analisis Terhadap Pasal 155 KHI Tentang Ketentuan „Iddah Bagi Janda
Yang Putus Perkawinan Karena Khuluk”. Dia mengemukakan bahwa
menurut pasal 155 Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah waktu „iddah
bagi janda yang putus perkawinan karena khuluk, fasakh, dan li‟an berlaku
„iddah talak. Dari bunyi pasal tersebut menunjukkan bahwa bagi janda
yang masih mengalami haid adalah selama tiga kali haid.
3. Skripsi yang disusun Muhammad Arifin Subki, dengan judul: “Studi
Analisis Pendapat Imam Syafi`I Tentang Khuluk Yang Dijatuhkan Dengan
Imbalan Barang Yang Haram”. Dalam kesimpulan skripsi ini dijelaskan
bahwa fuqaha berselisih pendapat tentang khuluk yang dijatuhkan dengan
imbalan barang yang haram, seperti khamar dan babi, apakah istri harus
mengganti atau tidak, setelah mereka sependapat bahwa talak dapat terjadi.
F. METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
10
Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif,
sebagaimana yang dikutip oleh lexy J. Moleong dari Bogdan dan Taylor, yaitu
prosedur penelitian yang menghasilkan data perspektif berupa kata-kata terutulis
atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.9
2. Pendekatan Penelitian
Dalam penyusunan penelitian, penulis melakukan pendekatan terhadap
permasalahan dengan “metode normatif”, yaitu penelitian hukum yang dilakukan
dengan cara meneliti bahan pustaka. Tentu referensi yang digunakan memiliki
keterkaitan dengan topik pembahasan yang akan penulis teliti, dengan
menggunakan sumber-sumber yang bekaitan dengan hukum Islam.
3. Sumber Data
Data yang dihimpun dalam penelitian ini terdiri dari (3) tiga, yaitu sumber
data primer, sumber data sekunder dan sumber data tersier.
a. Sumber data primer, yaitu semua sumber yang berhubungan langsung
dengan objek penelitian dalam kerangka perspektif Ibnu Taimiyyah yang
telah menjelaskan tentang „iddah wanita khulu‟ yang kemudian dihimpun
dalam buku-buku seperti:
1) Majmu‟ Al-fatawa
2) Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah
3) Al-Furqan Bainan Auliya Al-Rahman Wa Auliya Al-syaithan
4) Tafsir Al-Kabir
5) Al-Syiasah al-Syar‟iyah
9 Moleong Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2004), h. 3.
11
b. Sumber data sekunder, yaitu sumber data yang dapat menjelaskan data-
data primer dalam hal ini adalah:
1) Al-Fiqh ala Madzahib al-Arba‟ah karya Abdurrahman Al-Jaziry
2) Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid karya Ibnu Rusd
3) Tafsir Ibnu Katsir karya Imam Ibnu Katsir
4) Fath al-Mu‟in Karya Syaikh Zainuddin al-Malibary
5) Fiqh al-Sunnah karya Sayyid Sabiq
6) Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu karya Wahbah Zuhaily
7) Al-Umm karya Imam Syafi‟i
8) Ushul al-Fiqh karya Muhammad Abu Zahrah
9) Ushul Fiqh Karya Amir Syarifuddin.
10) Hukum Perkawinan Islam di Indonesia karya Amir Syarifuddin
c. Sumber data tersier, yaitu meliputi kamus-kamus, koran dan
Ensiklopedia Islam.
4. Metode Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang lebih akurat dan faktual, teknik pengumpulan
data yang dilakukan dengan studi kepustakaan dengan data-data kualitatif. Yakni
dengan mencari bahan-bahan (referensi) yang terkait serta mempunyai relevansi
dengan penelitian. Adapun metode pengumpulan data yang peneliti gunakan
adalah studi pustaka, yaitu buku-buku karangan Ibnu Taimiyyah yang membahas
tentang masa „iddah wanita karena meminta cerai kepada suaminya (khulu‟).
12
5. Teknik Analisa Data
Dalam menganalisa data, menggunakan analisis deskriptif yaitu suatu
metode analisis data dimana menjabarkan data-data yang diperoleh dari hasil
penelitian, sehingga didapatkan suatu kesimpulan yang objektif, logis,konsisten,
dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dilakukan penulis dalam penelitian ini.10
6. Teknik Penulisan Skripsi
Penulisan skripsi ini berdasarkan pada “Buku Pedoman Penulisan Skripsi
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
yang diterbitkan oleh FSH UIN Jakarta tahun 2012.”
G. SISTEMATIKA PENULISAN
Untuk mempermudah penulisan skripsi ini, penulis membagi pembahasan
menjadi beberapa Bab yang diuraikan dalam sistematika sebagai berikut:
BAB I Berisi tentang pendahuluan yang menjelaskan tentang latar belakang
masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat
penulisan, kerangka teori, metode penelitian, review studi terdahulu,
dan sistematika penulisan.
BAB II Berisi tinjauan umum tentang khulu‟ dan „iddah, yang meliputi khulu‟
(pengertian khulu‟, dasar hukum khulu‟, syarat dan rukun khulu‟) yang
meliputi „iddah (pengertian „iddah, dasar hukum „iddah, syarat wajib
dan tujuan „iddah ).
10
Sugiyono, Metode Penelitian kuantitatif, kualitatif, dan R & D, (Bandung: Alfabeta,
2007), h. 244.
13
BAB III Berisi Sejarah dan dasar pemikiran Ibnu Taimiyyah R.a, yang meliputi
biografi tentang Ibnu Taimiyyah R.a, karya-karya ilmiah Ibnu
Taimiyyah R.a, dasar pemikiran Ibnu Taimiyyah R.a.
BAB IV Berisi ketentuan dan faktor-faktor dalam penentuan masa „iddah
wanita khuluk (study pemikiran Ibnu Taimiyyah R.a), meliputi
ketentuan masa „iddah wanita khuluk menurut Ibnu Taimiyyah R.a,
faktor-faktor dalam menentukan masa „iddah wanita khuluk menurut
pendapat Ibnu Taimiyyah R.a.
BAB V Berisi tentang penutup serta saran mengenai masalah dan memuat
jawaban dari pokok masalah yang di angkat.
14
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG KHULUK DAN ‘IDDAH
A. „Iddah
1. Pengertian „iddah
Dalam kamus al-Munawwir, „iddah berarti sejumlah1. Dalam kamus umum
bahasa indonesia „iddah berarti waktu menanti (lamanya 100 hari) bagi
perempuan yang ditalak atau kematian suaminya (selama waktu itu ia tidak boleh
kawin lagi) sampai iddahnya telah habis2. Dalam kamus besar bahasa indonesia,
„iddah adalah masa tunggu bagi wanita yang berpisah dengan suami, baik karena
ditalak maupun bercerai mati. Wanita yang ditalak oleh suaminya harus menjalani
selama tiga kali suci dari menstruasi.3
Sedangkan dalam kamus modern bahasa Indonesia, „iddah berarti waktu
yang lamanya 100 hari sesudah perempuan bercerai dengan suaminya atau
ditinggalkan suaminya sesudah meninggalnya. Dalam waktu itu perempuan tidak
boleh kawin, hal ini untuk mendapat kejelasan siapa bapak dari anak itu.4
Dalam kitab Fath al-Mu‟în dijelaskan bahwa „iddah menurut syara' ialah
masa menunggu buat wanita (tercerai), untuk bisa diketahui rahimnya bebas
kandungan atau untuk ta'abbud yaitu sesuatu yang tidak bisa diterima/dipikirkan
1 Al-Munawwir Warson Ahmad, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,
(Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997), h. 903. 2 Poerwadarminta W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet 5, (Jakarta: PN Balai
Pustaka, 1976), h. 368. 3 Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 416.
4 Zain Muhammad Sutan, Kamus Modern Bahasa Indonesia, (Jakarta: Grafika, Tth), h.
366.
15
oleh akal mengenai maknanya baik berupa ibadah atau bukan ibadah, atau
belasungkawanya atas kematian suami.5
Sayyid Sabiq memberi rumusan „iddah menurut istilah, yaitu „iddah dalam
istilah agama menjadi nama bagi masa lamanya perempuan (istri) menunggu dan
tidak boleh nikah setelah wafat suaminya, atau setelah pisah dari suaminya.
Dari beberapa rumusan di atas, dapat disimpulkan bahwa „iddah adalah
masa tunggu yang ditetapkan oleh hukum syara‟ bagi wanita untuk tidak
melakukan akad nikah dengan laki-laki lain dalam masa tersebut sebagai akibat
ditinggal mati oleh suaminya atau perceraian dengan suaminya itu, dalam rangka
membersihkan diri dari pengaruh dan akibat hubungan dengan suaminya itu.
2. Dasar hukum „iddah
Konsekuensi yang pertama kali muncul akibat pernyataanperceraian adalah
adanya masa „iddah. Perempuan yang bercerai dari suaminya dalam bentuk
apapun, cerai hidup atau mati, sedang hamil atau tidak, masih berhaid atau tidak,
wajib menjalani masa „iddah itu. Kewajiban menjalani masa „iddah dapat dilihat
dari beberapa ayat al-Qur'an, di antaranya adalah firman Allah Swt dalam surat
Al-Baqarah ayat 228:
ف ب خك ٱلل أ ٠ىز ل ٠ذ ء ثخ لش ث ثأفغ ذ ٠زشثص طم ٱ إ أسدب
أدك ث ثعز ٱلخش ١ ٱ ثٱلل ٠ؤ ٱز و ث ذب
ا إص أساد ه إ ف ر شد
عض٠ض دى١ ٱلل دسجخ جبي ع١ ش عشف
ثٱ (.٢٢٢ . )عسح اجمشح:ع١
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu)
tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang
5 Syeikh Zainuddin Al-Malîbary, Fath al -Mu‟în, (Kairo: Maktabah Dar al-Turas, 1980), h.
116.
16
diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah
dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam
masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan
para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya
menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu
tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah maha perkasa lagi
maha bijaksana. (QS. Al-Baqarah: 228).6
Adapun di antara hadits Nabi Saw yang memerintahkan menjalani masa
„iddah tersebut adalah apa yang disampaikan oleh Aisyah R.a menurut riwayat
Ibnu Majah R.a dengan sanad yang kuat yang artinya, “Telah mengabarkan
kepada kami dari Ali bin Muhammad R.a dari Waki' R.a dari Sufyan R.a dari
Mansur R.adari Ibrahim R.a dari Aswad R.a dari A'isyah R.a berkata: Nabi Saw
menyuruh Barirah untuk ber‟iddah selama tiga kali haid.” (HR. Abu Daud).
Adapun tujuan dan hikmah diwajibkanya „iddah itu adalah sebagaimana
dijelaskan dalam salah satu definisi yang disebutkan sebelumnya, yaitu:
Pertama, untuk mengetahui bersihnya rahim perempuan tersebutdari bibit
yang ditinggalkan mantan suaminya. Hal ini disepakati oleh ulama. Pendapat
„ulama waktu itu didasarkan kepada dua alur pikir:
a. Bibit yang ditinggal oleh mantan suami dapat berbaur dengan bibit orang
yang akan mengawininya untuk menciptakan satu janin dalam perut
perempuan tersebut. Dengan pembauran itu diragukan anak siapa
sebenarnya yang dikandung oleh perempuan tersebut. Untuk
menghindarkan pembauran bibit itu, maka perlu diketahui atau diyakini
bahwa sebelum perempuan itu kawin lagi rahimnya bersih dari
peninggalan mantan suaminya.
6 Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Surabaya: Surya Cipta Aksara, 1993), h. 55.
17
b. Tidak ada cara untuk mengetahui apakah perempuan yang baru berpisah
dengan suaminya mengandung bibit dari mantan suaminya atau tidak
kecuali dengan datangnya beberapa kali haid dalam masa itu, untuk itu
diperlukan masa tunggu.
Alur pikir pertama tersebut di atas, tampaknya waktu ini tidak relevan lagi
karena sudah diketahui bahwa bibit yang akan menjadi janin hanya dari satu bibit
dan berbaurnya beberapa bibit dalam rahim tidak akan mempengaruhi bibit yang
sudah memproses menjadi janin itu. Demikian pula alur pikir kedua tidak relevan
lagi karena waktu ini sudah ada alat yang canggih untuk mengetahui bersih atau
tidaknya rahim perempuan dari mantan suaminya. Meskipun demikian, „iddah
tetap diwajibkan dengan alasan dibawah ini.7
Kedua: untuk ta‟abbud, artinya semata untuk memenuhi kehendak dari
Allah meskipun secara rasio kita mengira tidak perlu lagi. Contoh dalam hal ini,
umpamanya perempuan yang cerai karena kematian suami dan belum digauli oleh
suaminya itu, masih tetap wajib menjalani masa „iddah, meskipun dapat
dipastikan bahwa mantan suaminya tidak meninggalkan bibit dalam rahim
isterinya itu.
Adapun hikmah yang dapat diambil dari ketentuan „iddah itu adalah agar
suami yang telah menceraikan isterinya itu berpikir kembali dan menyadari
tindakan itu tidak baik dan menyesal atas tindakannya itu kemudian bisa rujuk
kembali. Serta dengan adanya „iddah dia dapat menjalin kembali hidup
perkawinan tanpa harus mengadakan akad baru.
7 Hakim Rahmat, HukumPerkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 201.
18
3. Syarat wajib „iddah
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa „iddah adalah masa di
mana seorang wanita yang diceraikan suaminya menunggu. Yang dimaksud
dengan syarat wajib di sini adalah syarat-syarat yang menentukan adanya hukum
wajib, bentuk syaratnya adalah alternatif dalam arti apabila tidak terdapat salah
satu syarat-syarat yang ditentukan, maka tidak ada hukum wajib, sebaliknya
apabila salah satu di antara syarat yang ditentukan telah terpenuhi, maka
hukumnya adalah wajib. Syarat wajib „iddah ada dua, yaitu:
a. Matinya suami. Apabila isteri bercerai dengan suaminya karena
suaminya meninggal dunia, maka perempuan itu wajib menjalani masa
„iddah, baik dia telah bergaul dengan suaminya itu atau belum. Dalam
hal ini tidak ada beda pendapat di kalangan „ulama8. Yang menjadi dasar
hukumnya adalah firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 234 :
جب ٠ أص ٠زس ى ف ٠ز ٱز٠ أج عششا فئرا ثغ أسثعخ أشش ثأفغ زشثص
خج١ش ب رع ث ٱلل عشف ثٱ أفغ ف ب فع ف١ . )عسح اجمشح:فل جبح ع١ى
٢٣٤.)
Artinya: “Orang-orang yang meninggal di antaramu dan meninggalkan
isteri hendaknya dia menjalani masa iddah selama empat bulan
sepuluh hari. Apabila telah sampai waktu yang ditentukan boleh dia
berbuat terhadap dirinya dengan cara yang baik. Allah Maha Tahu
terhadap apa yang mereka lakukan.” (QS. al-Baqarah: 234).9
Ayat ini secara tegas dan umum mengatakan keharusan istri yang ditinggal
mati suami wajib menjalani masa „iddah selama empat bulan sepuluh hari.
8 Amir Syarifuddin, HukumPerkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009), h.
306. 9 Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, h. 17.
19
Meskipun dia belum digauli, tidak berlaku baginya ketentuan tidak ber‟iddah
sebagaimana yang disebut dalam surat al-Ahzab ayat: 49, ketentuan ini
merupakan kesepakatan „ulama.
b. Istri sudah bergaul dengan suaminya, apabila suami belum bergaul
dengan istrinya, maka istri tersebut tidak memenuhi syarat untuk dikenai
kewajiban ber‟iddah. Ketentuan ini berdasarkan kepada surat al-Ahzab
ayat 49:
ب ف غ أ ر لج طمز ذ ث ؤ ٱ ا إرا ىذز ءا ب ٱز٠ أ٠ ٠ ع١ ى
ح ١ل عذ عشادب ج د عش زع ب ف (.٤٤ . )عسح الدضاة:رعزذ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman apabila kamu menikahi
perempuan-perempuan yang beriman kemudian kamu
menceraikannya sebelum kamu menggaulinya, maka tidak ada
kewajiban baginya untuk beriddah terhadapmu yang kamu minta
menyempurnakannya, maka berilah mereka mut‟ah dan lepaskanlah
mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.” (QS. al-Ahzab :49).
Dalam memahami kata “bergaul” atau al-Massu „ulama berbeda pendapat.
Jumhur „ulama mengatakan bahwa bergaul itu maksudnya adalah hubungan
kelamin. Apabila terjadi hubungan kelamin, maka wajib „iddah. Sedangkan
perbuatan lain di luar itu seperti khalwah tidak mewajibkan „iddah. Sebagian
„ulama di antaranya Imam Ahmad R.a dan al-Syafi'I R.a, ulama ahlu ra'yi
(Hanafiyah), berpendapat bahwa apabila telah terjadi khalwah meskipun tidak
sampai hubungan kelamin, telah wajib „iddah. Alasan yang dikemukakan
golongan ini adalah apa yang diriwayatkan dari Khalifah yang berempat bahwa
20
bila sudah ditutup gorden atau telah ditutup pintu (maksudnya adalah khalwah)
telah wajib mahar dan telah wajib „iddah.10
4. Macam-macam „iddah
Bagan 2.1
Macam-macam ‘iddah
Macam-macam „iddah yang akan dijalankan oleh seorang wanita yang
tertalak atau ditinggal mati suaminya tergantung dari kondisi atau keadaan wanita
yang bersangkutan pada saat talak dijatuhkan. Ada beberapa kriteria „iddah yang
telah diatur oleh syara‟ yaitu:
a. Istri qabla dukhul
Ialah seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya atau diceraikannya,
sedangkan ia belum pernah sama sekali digauli oleh suaminya (qabla dukhul),
maka ia tidak wajib „iddah atau tidak ada „iddah baginya sebagaimana firman
Allah SWT dalam surat Al-Ahzab ayat 49:
ب ف غ أ ر لج طمز ذ ث ؤ ٱ ا إرا ىذز ءا ب ٱز٠ أ٠ ٠ ع١ ى
عشادب د عش زع ب ف ح رعزذ ١ل عذ (.٤٤ . )عسح الدضاة:ج
10
Amir Syarifuddin, HukumPerkawinan Islam di Indonesia, h. 307.
‘Iddah
Qabla Dukhul
„Iddah Wanita
Ditinggal Mati
Ba‟da Dukhul
„Iddah Wanita
Hamil
„Iddah Wanita
Yang Monopause „Iddah Quru‟
21
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi
perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan
mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib
atas mereka ´iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.
Maka berilah mereka mut´ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara
yang sebaik-baiknya. (Al-Ahzab ayat: 49).
b. Istri ba‟da dukhul
Seorang isteri yang dicerai atau ditinggal mati oleh suaminya, dan dia sudah
pernah digauli oleh suaminya, dalam hal ini ada beberapa criteria masa „iddah
yaitu:
1) „Iddah wanita hamil, yaitu sampai melahirkan anaknya sebagaimana
firman Allah SWT, dalam surat At-Thalak ayat 4:
ر فعذ ٱسرجز إ غبئى ذ١ض ٱ ـ ٠ئغ
ٱ ذ أ ٠ذض ـ ٱ ثخ أشش
ث
شۦ ٠غشا أ ۥ ٠جع ٠زك ٱلل د أ ٠ضع بي أج (.٤ عسح اطلق:. )ٱلد
Artinya: “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di
antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa
iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu
(pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-
perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka
melahirkan kandungannya. Dan barang siapa yang bertakwa kepada
Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam
urusannya. (QS. At-Thalaq ayat: 4).
2) „Iddah wanita yang telah menopause, yaitu wanita yang telah berhenti
menstruasi. Bagi wanita yang menopause „iddahnya adalah tiga bulan
sebagaimana firman Allah SWT dalam surat At-Thalaq ayat: 4 seperti
yang dijelaskan diatas.
3) „Iddah quru‟, yaitu „iddah seorang wanita yang masih aktif haid dan
masih sehat untuk melakukan hubungan seks dengan suaminya. Dan
22
wanita ini masa „iddahnya apabila tertalak adalah tiga kali quru‟,
sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 228:
ف ب خك ٱلل أ ٠ىز ل ٠ذ ء ثخ لش ث ثأفغ ذ ٠زشثص طم ٱ إ أسدب
أسا ه إ ف ر أدك ثشد ثعز ٱلخش ١ ٱ ثٱلل ٠ؤ ٱز و ث ذب
ا إص د
عض٠ض دى١ ٱلل دسجخ جبي ع١ ش عشف
ثٱ ٢٢٢ع١
Artinya:Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu)
tiga kali quru´. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang
diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah
dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam
masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan
para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya
menurut cara yang ma´ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu
tingkatan kelebihan dari pada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana. (Qs. Al-Baqarah ayat: 228).
B. Khuluk
1. Pengertian khulu‟
Khulu‟ berasal dari kata Khila‟ yang artinya naza‟ (mencabut), karena
masing-masing dari suami istri mencabut pakaian yang lainnya. Untuk maksud
yang sama dengan kata khulu‟ itu para „ulama menggunakan kata fidyah, shulh,
mubaraah. Walaupun dengan makna yang sama, namun dibedakan dari segi
jumlah ganti rugi atau iwadh yang digunakan. Dan bila ganti rugi untuk putusnya
hubungan perkawinan itu adalah seluruh mahar yang diberikan waktu nikah
disebut khulu‟. Bila ganti rugi adalah separuh mahar yang diterima disebut shulh,
bila ganti rugi itu lebih banyak dari mahar yang diterima disebut fidyah dan bila
istri bebas dari ganti rugi disebut mubara‟ah.11
11
Amir Syarifudin, HukumPerkawinan Islam di Indonesia, h. 231.
23
Abdurrahman Al-Jaziri R.a memberikan definisi khuluk menurut masing-
masing madzhab:12
a. Golongan Hanafi mengatakan:
“Khulu‟ adalah menanggalkan ikatan pernikahan yang diterima oleh istri
dengan lafaz khuluk atau yang semakna dengan itu.”
b. Golongan Malikiyah mengatakan:
“Khulu‟ menurut syara adalah talak dan tebus”.
c. Golongan Asy-Syafi‟iyah mengatakan:
“Khulu‟ menurut syara adalah lafaz yang menunjukkan perceraian antara
suami istri dengan tebusan yang harus memenuhi persyaratan tertentu”.
d. Golongan Hanabilah mengatakan:
“Khulu‟ adalah suami menceraikan istrinya dengan tebusan yang diambil
oleh suami dan istrinya atau dari lainnya dengan lafaz tertentu”.
Khulu‟ dinamakan juga tebusan, karena istri menebus dirinya dari suaminya
dengan mengembalikan apa yang diterimanya. Dengan demikian, khulu‟ menurut
istilah syara' adalah perceraian yang diminta oleh istri dari suaminya dengan
memberikan ganti sebagai tebusannya. Artinya istri memisahkan dirinya dari
suaminya dengan memberikan ganti rugi kepadanya.
Menurut fuqaha, khulu‟ secara umum, yakni perceraian dengan disertai
sejumlah harta sebagai „iwadh yang diberikan oleh istri kepada suami untuk
menembus diri agar terlepas dari ikatan perkawinan, baik dengan
kata khulu‟, mubara‟ah maupun talak. Secara khusus, yaitu talak atas
12
Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh „ala al-Madzahib al-Arba‟ah, Juz 4, (Beirut: Dar al-
Fikr, 1972), h. 300.
24
dasar „iwadh sebagai tebusan dari istri dengan kata-kata khulu‟ (pelepasan) atau
yang semakna seperti mubara‟ah (pembebasan).
2. Dasar hukum khulu‟
Seperti yang dijelaskan diatas khulu‟ ini adalah permintaan cerai yang
diajukan oleh isteri kepada suaminya, kemudian suaminya pun menyetujuinya.
Maka isteri wajib mengeluarkan tebusan untuk suaminya sebagai pengganti mas
kawin (mahar) yang dahulu diberikan oleh suaminya. Dalam hal ini, Khulu‟
disyariatkan dalam syari‟at Islam dalam QS. Al-Baqarah: 229, Allah Swt
berfirman:
ب ءا أ رأخزا ى ل ٠ذ ثئدغ رغش٠خ عشف أ ث
غبن فئ رب ش ك ش١ ٱط ب ر١ز
فل ب دذد ٱلل أل ٠م١ خفز فئ ب دذد ٱلل أ ٠خبفب أل ٠م١ ه إل ۦ ر ب ٱفزذد ث ب ف١ جبح ع١
ٱظ ئه
فأ ٠زعذ دذد ٱلل فل رعزذب دذد ٱلل
Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang ma‟ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.
Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah
kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak
akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir
bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-
hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran
yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-
hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa
yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang
yang zhalim”.(QS. Al-Baqarah: 229).13
Adapun yang menjadi dasar hukum khulu‟ selain firman Allah Swt di atas
adalah hadits yang menjadi dalil disyari‟atkannya khulu‟ dan sahnya khulu‟ dalam
Islam yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas R.a:
13
Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Surabaya:
DEPAG RI, 1978), h. 55.
25
ص بط ا اج ش ل١ظ ث شأح ثبثذ ث عجبط لبي: جبءد ا اث ي .ع فمبذ: ٠ب سع
. فمبي ى اوش اىفش ف العل ، ل د٠ ف خك ب اعزت ع١ ي هللا هللا، ا سع
طمب رط .ص اذذ٠مخ ي هللا ص: الج . فمبي سع دذ٠مز؟ لبذ: ع ع١ ١مخ . : ارشد٠
.اجخبس اغبئ، ف ١ الطبس
Artinya: Dari Ibnu „Abbas R.a, ia berkata: Istri Tsabit bin Qais bin
Syammas dating kepada Nabi SAW, lalu ia berkata, “Ya Rasulullah,
sesungguhnya aku tidak mencela dia (suamiku) tentang akhlaq dan
agamanya, tetapi aku tidak menyukai kekufuran dalam Islam”.
Kemudian Rasulullah SAW bertanya, “Maukah kamu mengembalikan
kebunmu kepadanya?”. Ia menjawab, “Ya”. Lalu Rasulullah SAW
bersabda (kepada Tsabit), “Terimalah kebunmu itu dan thalaqlah dia
sekali”. (HR. Bukhari dan Nasai, dalam Nailul Authar juz 6, hal. 276).
3. Syarat dan Rukun Khulu‟
Menurut Fuad Said rukun khulu‟ itu ada empat yaitu: pertama, istri (yang
membayar iwad). Kedua, iwad. Ketiga, shighat. Keempat, suami.14
Pendapat lain
dikemukakan Amir Syarifuddin bahwa rukun khuluk ada empat pertama, suami
yang menceraikan istrinya dengan tebusan. Kedua, istri yang meminta cerai dari
suaminya dengan uang tebusan. Ketiga, uang tebusan atau iwad. Keempat, alasan
untuk terjadinya khulu‟.15
Adapun tentang syarat khulu‟, menurut Ibnu Rusyd R.a mengenai syarat-
syarat diperbolehkannya khulu‟, ada yang berkaitan dengan kadar harta yang
boleh dipakai khulu‟ dan ada juga yang berkaitan dengan sifat (keadaan) di mana
khulu‟ boleh dilakukan. Ada juga yang berkaitan dengan keadaan wanita yang
melakukan khuluk, atau wali-wali wanita yang tidak boleh bertindak sendiri.
a. Harta/barang yang dipakai untuk khulu‟.
14
Said Fuad, Perceraian Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1994), h. 102. 15
Syarifuddin Amir, HukumPerkawinan Islam di Indonesia, h. 234.
26
Dalam hal ini, syarat khulu‟ bisa dilihat dari segi :
1) Kadar harta yang boleh dipakai untuk khulu‟.
Imam Malik R.a, dan Imam Syafi'I R.a serta segolongan fuqaha berpendapat
bahwa seorang istri boleh melakukan khulu‟ dengan memberikan harta yang lebih
banyak dari mahar yang pernah diterimanya dari suami jika kedurhakaan itu
datang dari pihaknya, atau bisa juga memberikan yang sebanding dengan mahar
atau lebih sedikit.
Segolongan fuqaha lain berpendapat bahwa suami tidak boleh mengambil
lebih banyak dari mahar yang diberikan kepada istrinya. Bagi fuqaha yang
mempersamakan kadar harta dalam khulu‟ dengan semua pertukaran dalam
mu'amalat, maka mereka berpendapat bahwa kadar harta itu didasarkan atas
kerelaan. Sedangkan fuqaha yang memegang hadits secara dzahir, maka mereka
tidak membolehkan pengambilan harta yang lebih banyak daripada mahar.
Mereka seolah-olah menganggap bahwa perbuatan tersebut termasuk pengambilan
harta tanpa hak.16
2) Sifat harta pengganti
Imam Syafi'i R.a dan Imam Abu Hanifah R.a mensyaratkan bahwa harta
tersebut harus dapat diketahui sifat dan wujudnya. Sedangkan Imam Malik R.a
membolehkan harta yang tidak diketahui kadar dan wujudnya, serta harta yang
belum ada. Perbedaan pendapat tersebut disebabkan oleh adanya kemiripan harta
pengganti khuluk denganharta pengganti dalam hal jual beli, barang-barang hibah,
atau wasiat.
16
Ibnu Rusyd, Bidâyah al Mujtahid Wa Nihâyah al Muqtasid, Juz II, (Beirut: Dâr al-Jiil,
1989), h. 51.
27
Bagi fuqaha yang mempersamakan harta pengganti dalam khulu' dengan
jual beli, mereka mensyaratkan padanya syarat-syarat yang terdapat dalam jual
beli dan harta pengganti dalam jual beli. Sedang bagi fuqaha yang
mempersamakan harta pengganti dalam khulu‟ dengan hibah, mereka tidak
menetapkan syarat-syarat tersebut. Tentang khulu‟ yang dijatuhkan dengan
barang-barang seperti minuman keras, fuqaha berselisih pendapat apakah istri
harus mengganti atau tidak setelah mereka sepakat bahwa talak itu dapat terjadi.
Imam Malik R.a mengatakan bahwa istri tidak wajib menggantinya,
demikian juga pendapat Imam Abu Hanifah R.a. Sedang Imam Syafi'i
R.aberpendapat bahwa istri wajib mengeluarkan mahar misil.17
3) Keadaan yang dapat dan tidak dapat dipakai untuk menjatuhkan
khulu‟
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa khuluk boleh diadakan berdasarkan
kerelaan suami istri, selama hal itu tidak mengakibatkan kerugian pada pihak istri.
Dasarnya adalah firman Allah SWT:
ززجا ث ل رعض ب أ رشثا ٱغبء وش ى ا ل ٠ذ ءا ب ٱز٠ أ٠ ب ٠ جعض
عبشش خ ج١ ذشخ ثف أ ٠أر١ إل أ ءار١ز فعغ ز عشف فئ وش
ثٱ
خ١شا وث١شا رىشا ش١ ف١ ٱلل ٠جع (.٩٤ . )عسح اغبء:ب
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu
mempusakai wanita dengan jalan paksa, dan janganlah kamu
menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian
dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka
melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka
secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka
bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal
17
Ibnu Rusyd, Bidâyah al Mujtahid Wa Nihâyah al Muqtasid, h. 51.
28
Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”(Q.S. An-
Nisa:19).18
Abu Qilabah R.a dan Hasan Al-Basri R.a berpendapat bahwa suami tidak
boleh menjatuhkan khuluk atas istrinya kecuali jika ia melihat istrinya berbuat
zina, karena mereka mengartikan bahwa "keji" dalam ayat di atas dengan
perbuatan zina. Daud berpendapat bahwa suami tidak boleh menjatuhkan khulu‟
kecuali bila ada kekhawatiran bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat
menjalankan hukum-hukum Allah, berdasarkan ayat tersebut secara zahir.
Adapun An-Nu'man mengatakan bahwa khulu‟ dapat dijatuhkan meskipun
merugikan. Berdasarkan aturan fikih, khulu‟ diberikan kepada istri sebagai
imbangan talak yang dimiliki oleh suami. Oleh karena itu, talak diberikan kepada
suami jika ia membenci istri, maka khulu‟ diberikan kepada istri jika ia membenci
suami. Dengan demikian terdapat keseimbangan antara keduanya.19
b. Istri yang boleh mengadakan khuluk.
Di kalangan jumhur fuqaha telah disepakati bahwa istri yang mampu boleh
mengadakan khulu‟ untuk dirinya, sedangkan perempuan hamba tidak boleh
mengadakan khulu‟ untuk dirinya, kecuali dengan seizin tuannya. Demikian juga
istri yang bodoh (safihah) adalah bersama walinya, sebagaimana pendapat fuqaha
yang menetapkan adanya kemampuan atasnya.
Imam Malik R.a berpendapat bahwa seorang ayah boleh mengadakan khulu‟
untuk anaknya (perempuan) yang masih kecil sebagaimana ia boleh
menikahkannya. Demikian pula untuk anak lelakinya yang masih kecil, karena
18
Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, h. 55. 19
Abidin Slamet dan Aminuddin, Fiqih Munakahat, Jilid I, (Bandung: CV. Pustaka Setia,
1999), h. 91.
29
menurut Imam Malik R.a seorang ayah dapat menceraikan atas namanya.
Kemudian timbul perbedaan pendapat berkenaan dengan anak lelaki yang masih
kecil (di bawah umur). Imam Syafi'i R.a dan Imam Abu Hanifah R.a berpendapat
bahwa ayah tidak boleh mengadakan khulu‟ atas namanya, karena itu seorang
ayah tidak boleh menjatuhkan talak atas namanya juga.
Selanjutnya, Imam MalikR.a berpendapat bahwa, istri yang sedang sakit
keras boleh mengadakan khulu‟. Jika harta tebusannya sebesar warisan dari
suaminya. Tetapi Ibnu Nafi' R.a mengatakan bahwa istri yang sakit tersebut dapat
mengadakan khulu‟ dengan sepertiga dari jumlah harta seluruhnya.
Imam Syafi'i R.a berpendapat bahwa apabila istri mengadakan khulu‟
sebesar mahar misilnya, maka hal itu diperbolehkan, dan harta tersebut diambil
dari sebagian dari harta pokok. Apabila lebih dari mahar misil, maka tambahan
tersebut harus dari sepertiga dari harta pokok. Adapun istri yang terlantar (Al-
Muhmalah), yakni yang tidak memiliki wasi dan ayah, maka Ibnu Qasim R.a
berpendapat bahwa ia boleh mengadakan khulu‟ atas dirinya sebesar mahar misil.
Jumhur „ulama mengatakan bahwa istri yang dapat menguasai dirinya boleh
mengadakan khulu‟. Sebaliknya Al-Hasan R.a dan Ibnu Sirin R.a berpendapat
bahwa ia tidak boleh mengadakan khulu' kecuali dengan ijin penguasa. Mengenai
rukun khulu‟, selain dua hal tersebut di atas (adanya harta yang digunakan. dan
istri yang mengadakan khulu‟) juga harus ada ucapan khulu‟.20
Fuqaha berpendapat bahwa dalam khulu‟ harus diucapkan kata “khulu‟”
atau lafal yang terambil dari khulu‟. Atau bisa juga katalain yang seperti
20
Abidin Slamet dan Aminuddin, Fiqih Munakahat, h. 91.
30
dengannya. seperti: “mubara'ah” yaitu melepas diri dan fidyah yaitu
tebusan.21
Jika tidak menggunakan kata khulu‟ atau yang searti dengannya,
misalnya suami berkata, “engkau tertalak” sebagai imbalan dari barang-barang
seharga sekian, lalu istri mau menerimanya. Maka perbuatan ini termasuk talak
dengan imbalan harta bukan termasuk khulu‟.
Ibnu Qayim R.a menyangkal pendapat tersebut, “barang siapa yang hendak
memikirkan hakikat dan tujuan dari akad atau perjanjian bukan hanya melihat
kata-kata yang diucapkan saja tentu akan menganggap khuluk sebagai fasakh”.
Bila diucapkan dengan kata apapun sekalipun dengan kata talak.
Pendapat ini juga merupakan salah satu pendapat murid-murid Imam
Ahmad R.a. Juga pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah R.a dan
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas R.a. Kemudian Ibnu Taimiyyah R.a berkata,
“Barang siapa hanya melihat dan berpegang kepada lafal-lafal itu, dan
memperhatikannya pula bagaimana adanya dalam hukum akad, tentu ia akan
menentukan lafal talak untuk talak saja”.
Selanjutnya Ibnu Qayim R.a melemahkan pendapat ini. Orang yang
membaca fiqh dan ushul fiqh akan dapat menyaksikan bahwa dalam akad yang
diperhatikan adalah hakikat dan maksud akadnya, bukan formalitas dan sekadar
kata-kata yang diucapkannya. Alasannya ialah bahwa Nabi Saw pernah menyuruh
Tsabit bin Qais agar menalak istrinya secara khulu‟ dengan sekali talak. Selain itu
Nabi Saw menyuruh istri Tsabit untuk ber‟iddah sekali haid. Hal ini jelas
menunjukkan fasakh, sekalipun terjadinya perceraian dengan ucapan talak.
21
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz II, (Kairo: Maktabah Dâr al-Turas, 1970), h. 320.
31
Di samping itu, Allah Swt juga menghubungkannya dengan hukum fidyah,
karena memang ada fidyahnya. Telah diketahui bahwa fidyah tidak mempunyai
pernyataan dengan kata-kala khusus, dan Allah Swt pun tidak menetapkan lafal
yang khusus untuk itu. Talak dengan tebusan sifatnya terbatas dan tidak tergolong
ke dalam hukum talak yang umum sebagaimana ia tidak tergolong kepada hukum
talak yang dibolehkan rujuk kembali, dan beriddah dengan tiga kali suci seperti
ketentuan sunnah yang sah.
32
BAB III
CORAK PEMIKIRAN DAN KARYA-KARYA IBN TAIMIYYAH
A. Sejarah Kelahiran
Pada saat agama Islam menghadapi gejolak yang luar biasa, baik yang
disebabkan karena perpecahan intern umat Islam atau karena permusuhan dengan
Barat (Nasrani) lahirlah seorang bayi yang kelak ditakdirkan Allah SWT menjadi
seorang intelektual muslim terkemuka dan oleh banyak orang disebutkan sebagai
seorang mujaddid (pembaharu), beliau adalah Ibnu Taimiyyah R.a. Namannya
adalah Taqiyuddin Abu Abbas Ahmad bin Al-Khadiri bin Ali bin Abdullah yang
terkenal dengan sebutan Ibnu Taimiyyah R.a.1
Beliau lahir di Harran, sebuah kota kecil beberapa kilometer dari kota
Damaskus pada hari Senin, 10 Rabi‟ul Awwal, 661 Hijriah (12 Januri 1263
Miladiyah).2 Ibnu Taimiyyah R.a berasal dari keluarga besar Taimiyyah yang
amat terpelajar dan sangat dihormati dan disegani oleh masyarakat luas pada
zamannya. Ayahnya adalah Syihabuddin Abdul Halim bin Abdus Sala, (627-682
H) adalah seorang „ulama besar yang mempunyai kedudukan di Masjid Jami‟
Damaskus. Beliau bertindak sebagai khatib dan Imam.3
Para sejarahwan berbeda pendapat tentang ibunya. Sebagaian mengatakan
bahwa ibunnya adalah orang Arab, sedang pendapat lain mengatakan bahwa
1 Sebagaiman dinukil oleh Qamaruddin Khan “Pemikiran Politik Ibnu Taimiyyah“,
(Bandung: Pustaka Salman, ITB, 1983), h.5. 2 Ibnu Taimiyyah, “Al-Furqan Bainan Auliya Al-Rahman Wa Auliya Al-syaithan”,
Terjemah Pustaka Panjimas, “Al-Furqan antara Kekasih Allah Dan Kekasih Syaithan”, (Jakarta:
Pustaka Panjimas, 1989), h. 6. 3 Ali Hasan, “Perbandingan Mazhab”, Cet Ke-4, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
2002), h. 282.
33
ibunnya adalah orang Kordi, beliau sangat berperan dalam mendidik dan
mengembangkan dirinya.4 Kakeknya yang bernama Mujaddin Abi Al-Barakat
Abdus Salam bin Abdullah (590-620 H), oleh Al-Syaukani (1172-1250 H)
dinyatakan sebagai seorang Mujtahid mutlak. Ia juga seorang „alim terkenal ahli
tafsir (mufassir), ahli al-hadis (muhaddis), ahli ushul al-fiqh (ushuli), ahli fiqh
(alfaqih), ahli Nahwu (an-nahwiyy), dan beliau juga seorang pengarang
(mushannif).5 Al-khatib Fakhruddin paman Ibnu Taimiyah R.a dari pihak bapak
adalah seorang cendekiawan muslim popular dan seorang pengarang yang
produktif pada masanya. Syarafuddin Abdullah bin Abdul Halim (692-727 H),
adik laki-laki Ibnu Taimiyah R.a yang juga ternyata dikenal sebagai ilmuan
muslim yang ahli dalam bidang ilmu kewarisan Islam (faraidh), ilmu-ilmu al-
hadis (ulum al-hadis), dan ilmu pasti (al-riyadiyah).6
Dari kutipan diatas dapatlah kita pastikan bahwa keturunan Ibnu Taimiyah
R.a adalah keturunan orang yang berpendidikan, dimulai dari. Kakeknya,
ayahnya, pamannya dan adiknya adalah „ulama yang cukup terkenal dan cukup
disegani pada masanya, sehingga lingkungan keluarganya mampu menjawab dan
menangkis pertanyaan-pertanyaan dari masyarakat yang sangat majemuk di
Damaskus.
Ibnu Taimiyah R.a mulai belajar dari ayahnya sendiri kemudian dilanjutkan
dengan berguru atau belajar pada ahli Zainal ibn al-Maqoddisi, Najam Al-Din ibn
4 Ibnu Taimiyah, “Tafsir Al-Kabir, Jilid I, (Beirut-Lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, t,t),
h. 37. 5 Muhammad Amin, “Ijtihad Ibnu Taimiyah Dalam Bidang Fiqh Islam”, (Jakarta: INIS,
1991), h. 8. 6 Muhammad Amin, “Ijtihad Ibnu Taimiyah Dalam Bidang Fiqh Islam”, h. 9.
34
Asaki, Zainab binti Makki, dan „ulama-„ulama terkemuka pada saat itu.7
Semenjak kecil Ibnu Taimiyah R.a dikenal sebagai seorang anak yang
mempunyai kecerdasan yang luar biasa, tinggi kemauan dalam studi, tekun dan
cermat dalam memecahkann masalah, tegas dan teguh dalam menyatakan dan
mempertahankan pendapat (pendirian), ikhlas dan rajin dalam beramal shaleh, rela
berjuang dan berkorban untuk jalan kebenaran.8
Ketika berumur enam tahun, beliau dibawa ayahnya Syekh Syihabuddin
Abdul Halim bin Abdus Salam ke Damaskus bersama saudaranya. Disana beliau
berdomisili dan dari „ulama dikota itu beliau mempelajari dan mendalami
berbagai cabang ilmu keislaman. Dalam bidang hadits beliau belajar antara lain
kepada Ibnu Abdul Daim seorang ahli hadits kenamaan dinegeri itu, dari Syekh
Samsuddin Al-Hambali, Syekh Jalaluddin Al-Hanafi, dan lain-lain.
Kemudian beliau mendalami ilmu fiqh, bahasa arab, tafsir dan usul fiqh.9
Beliau terkenal sebagai seorang yang sangat kuat hafalannya. Diriwayatkan
bahwa tak satu huruf pun Al-Qur‟an dan hadits yang telah dihafalnya lupa. Sejak
kecil beliau terkenal rajin menghadiri diskusi-diskusi ilmiah. Berkat keuletan dan
ketekunannya, dalam usia tujuh tahun beliau sudah menghapal Al-Qur‟an dengan
amat baik dan lancar.
Selain itu, penguasaannya yang prima terhadap berbagai ilmu yang
diperlukan untuk memahami Al-Qur‟an menyebabkan beliau tampil sebagai ahli
tafsir, disamping juga ahli hadits. Keahlian dalam bidang hadits ini tampak
terlihat sejak masa kecil.
7 Munawir Sjadzali, “Islam and Govermental Sistem”, (Jakarta: INIS, 1991), h. 56.
8 Munawir Sjadzali, “Islam and Govermental Sistem”, h. 57.
9 Harun Nasution, “Ensiklopedi Islam Di Indonesia”, (Jakarta: Jambatan, 1992), h.384.
35
Suatu ketika, salah seorang guru mendiktekan 11 matan hadits kepadanya,
ketika beliau disuruh mengulangi hadits tersebut, dan beliau telah menghapalnya.
Beliau juga telah mempelajari berbagai kitab Al-Jami Bain As-Shahihhain, karya
Imam Al-Hamidi, merupak kitap hadits yang pertama dihafalnya. Selanjutnya
beliau mempelajari berbagai kitab-kitab hadits termasyhur seperti sahih Bukhori,
sahih Muslim, jami al-Tarmizi, sunan Abi Daud, sunan Ibnu Majah, sunan An-
Nasa‟i, dan musnan al-imam Ahmad Ibn Hanbal.10
Sebagai ilmuan Ibnu Taimiyyah R.a mendapatkan reputasi sebagai
seseorang yang berwawasan luas, pendukung kebebasan berpikir, tajam perasan,
teguh pendirian dan pemberani serta menguasasai banyak cabang ilmu
pengetahuan agama. Beliau seorang ahli dalam bidang Tafsir, Al-Hadits, Teologi
dan Fiqh, khususnya Fiqh Hambali.
Menurut Syaukani, pada waktu itu setelah Ibnu Hazm, tidak seseorang yang
tingkat keilmuannya setinggi Ibnu Taimiyyah R.a. Kalau saja belum terejadi salah
pengertian kata istilah “fundamentalisme”, dia dapat dimasukkan dalam kategori
golongan fundamentalis yang mendambakan kembali pada kemurniaan ajaran
Islam sesuai dengan kandungan Al-Qur‟an dan Al-Hadits. Dia penentang keras
terhadap setiap bentuk khurafat dan bid‟ah atau inovasi terhadap agama.
Dengan sikapnya yang demikian itu, beliau dimusuhi oleh banyak kelompok
Islam, dan kerap kali berlawanan pendapat dengan kebanyakkan „ulama ahli
hukum.11
10
Abdul Aziz Dahlan, “Ensiklopedia Hukum Islam”, Jilid VI, (Jakarta: PT. Intermasa,
1997, Cet. Pertama), h. 624. 11
Munawir Sjadzali, “Islam Dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan pemikiran “, (Jakarta:
UI Press, 1993), h. 80.
36
Pada umur 19 tahun beliau telah mulai mengarang dan memberi fatwa.
Ketika Ibnu Taimiyyah R.a berusia 21 tahun, beliau telah menyelesaikan
pendidikannya dan menjadi ulama‟ yang diseganai, pada waktu itu ayahnya telah
meninggal dunia, namun demikian jabatan maha guru dibidang hadits, suatu gelar
yang dipegang oleh ayahnya diberbagai madrasah terkamuka di Damaskus.
Berangkat dari sinilah tampaknya karir Ibnu Taimiyyah R.a selalu dari
tahun ke tahun namanya menjadi terkenal dan dalam waktu yang singkat beliau
telah menjadi masyhur melebihi ulama‟-ulama‟ lainnya, yang terkemuka pada saat
itu seperti Ibnu Daqiq Al-Id Kamaluddin Al-Zimlikani Alzahabi.12
Ibnu Taimiyyah R.a berasal dari keluarga besar Taimiyyah yang terpelajar
dan terhormat. Ibnu Taimiyyah R.a memperolah pendidikannya ditengah
lingkungan keluarga sendiri yang secara turun-menurun, merupakan tokoh-tokoh
cerdik pandai. Selain belajar dari lingkungan keluarga sendiri, beliau pun pergi
belajar kepada sejumlah „ulama terkemuka dikota Damaskus pada masa itu.
Meskipun Ibnu Taimiyyah R.a besar dalam naungan keluarga bermazhab
Hambali, wawasan beliau sangat luas meliputi mazhab-mazhab hukum lainnya.
Bahkan bukan itu saja, pengetahuannya pun meliputi soal fasilitas, kalam, mantik,
sastra, sejarah dan berbagai disiplin ilmu lainnya.
Ibnu Taimiyyah R.a dikenal sebagai pemikiran yang tidak menentang
ijtihad empat mazhab, tetapi mengambil pendapat para imam itu dengan
menyebut perbedaan atau kesepakatan pendapat diantara keduanya, baru
kemudian dipilih yang paling kuat menurut pendapatnya.
12
Qamaruddin Khan, ”Pemikiran Politik Ibnu Taimiyyah“, (Bandung: PT. Pustaka
Salman, 1983), h. 15-16.
37
Ibnu Taimiyyah R.a menulis masalah-masalah fiqhiyyah yang beliau
himpun dari berbagai pendapat dalam fiqh Islam tanpa terikat oleh mazhab
tertentu, dengan judul pilihan-pilihan masalah fiqh. Tulisannya mengerankan
sebagian orang karena didalamnya Ibnu Taimiyyah R.a memberikan kemudahan
bagi umat, padahal selama ini banyak orang mengenal tokoh ini sebagai orang
yang kaku dan keras (dalam masalah hukum), sehingga dengan buku-buku hasil
karyanya sirnalah citra tersebut.13
Tidak mengherankan apabila terdapat banyak pertentangan antara Ibnu
Taimiyyah R.a dengan „ulama-„ulama semasanya, karena kemunculannya telah
membawa pemikiran-pemikiran yang „ulama-„ulama waktu itu menggapnya tidak
sejalan dengan pemikiran yang telah mereka warisi dari pendahulu.
Beliau mengundang agar umat Islam kembali kepada al-Qur‟an dan hadits
serta mencontoh para sahabat dan para salaf, beliau menginginkan pemurnian
agama. Hal yang paling ditekankannya dalam usaha pemurnianya ialah agar umat
Islam membuang jauh sifat fanatisme dan kemujudan.
Sebagai „ulama Ibnu Taimiyyah R.a mempunyai pengetahuan yang luas
mengenai ilmu rijalul hadits (perawi hadits) mengenai hadits-hadits yang
didalaminya semuanya dikembalikan (dirujukan) kepada kitab hadits yang enam.
Sehingga dapatlah dikatakan bahwa setiap hadits yang tidak diketahui oleh Ibnu
Taimiyyah R.a bukanlah hadits, namun beliau mengatakan kekuasaan masih
ditangan Allah Swt.
Perpaduan antara kecerdasan otak dan ketekunan dalam belajar serta
13
Abdul Aziz Ghafar“ Islam Politik, Pro Dan Kontra “, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993),
h. 224.
38
kepribadiannya yang dihiasi dengan akhlak yang mulia, ternyata mampu
mengantarkan dirinya menjadi „ulama besar yang sangat berprestasi. Pada masa
itu beliau dapat digolongkan sebagai salah seorang tokoh yang pemahaman
keagamaan boleh dikatakan mandiri dalam pengertian tidak mau terikat pada
pemahaman siapapun dan aliran Islam yang manapun. Namun bersamaan dengan
itu, dia tidak menolak untuk menerima dan membela pendapat siapa dan aliran
Islam manapun jika menurut penilaiannya sejalan dan sesuai dengan al-Qur‟an
dan sunnah.14
Ibnu Taimiyyah R.a menekuni setiap masalah dengan sepenuh hati dan
dengan sedalam-dalamnya. Kadang-kadang untuk mempelajari satu masalah
beliau menghabiskan waktu sampai beberapa malam, dan masalah tersebut tidak
akan ditinggalkannya sebelum dapat dipecahkan dengan memuaskan, beliau
merenunginya dengan perenungan yang sesuai dengan ayat-ayat al-Qur‟an, hadits-
hadits Nabi Saw dan kesimpulan-kesimpulannya selalu sesuai menurut akal
pikiran dengan pertimbangan-pertimbangan dan membanding-bandingkan secara
berulang-ulang sehingga kebenarannya tampak jelas depan matanya.
Itulah sebabnya Ibnu Taimiyyah R.a dipandang sebagai salah seorang
cendekiawan yang paling kritis dan paling kompeten yang dapat peraturan-
peraturan dan hukum dari hadis-hadis dan ayat-ayat al-Qur‟an. Karena
semangatnya dalam pemikiran dan penyelidikan yang bebas dan segar, tidak
terkait dengan pemikiran atau penyelidikan lain, maka dari itu beliau dapat
14
Rajak Abdul Jeje, “Politik Kenegaraan Pemikiran-Pemikiran al-Ghazali dan Ibnu
Taimiyyah “, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1999). h. 118.
39
dikatakan sebagai bapak spiritual modernis Islam diseluruh dunia pada masanya.15
Berpikir bebas merupakan suatu kualitas yang penting dalam perkembangan
mental dan personalitas intelektualnya yang membuatnya lebih unggul dari tokoh-
tokoh yang semasa dengannya. Apabila dihadapkan kepadanya sebuah masalah
maka masalahnya itu akan dipelajarinya menurut al-Qur‟an, hadits dan tradisi-
tradisi (asar) dari orang-orang muslim yang saleh.
Jadi beliau tidak mengikuti pendapat-pendapat cerdik dan pandai pada masa
itu ataupun pendapat-pendapat yang diyakini oleh banyak orang. Beliau akan
berpegang teguh kepada kesimpulan-kesimpulan yang diperolehnya dalam
mempelajari ajaran islam yang murni, meskipun beliau akan mendapat hujatan-
hujatan yang sangat menyakitkan, namun beliau tidak mau menarik kata-katanya
kembali.
Kualitas kepribadian seperti inilah yang menolongnya dalam perjuangan
menghidupkan kembali ajaran Islam yang murni. Beliau meninjau berbagai
masalah dengan caranya sendiri tanpa dipengaruhi oleh apapun kecuali al-Qur‟an,
as-Sunnah dan praktek-praktek para sahabat Nabi Saw, secara beberapa tokoh
sesudah mereka. Demikianlah cara Ibnu Taimiyyah R.a memberi debu-debu
bid‟ah yang mengotori Islam selama beberapa abad.
Ibnu Taimiyyah R.a tidak hanya seorang intelektual yang tinggi tetapi beliau
juga seorang yang gagah berani, kegagahannya itu dipadukan dengan kesabaran
dan ketabahan. Beliau tidak puas dengan hanya duduk di dalam Masjid untuk
memberi ceramah-ceramah atau fatwa-fatwa pada para murid-muridnya, atau
15
Ahmad Ma‟arif Syafi‟i, ”Islam dan Masalah Kenegaraan”, (Jakarta: LP3ES, 1996), h.
40.
40
menyibukkan diri di dalam diskusi-diskusi kesastraan.
Pada tahun 1313 M, Ibnu Taimiyyah R.a diperintah untuk memimpin
peperangan ke Syiria, dan beliau diangkat menjadi profesor pada sekolah tinggi,
tetapi pada bulan Agustus 1318 M beliau dilarang mengeluarkan fatwa. Meskipun
demikian murid-muridnya dapat mengumpulkan fatwa-fatwanya yang kemudian
dicetak di Mesir, yang merupakan peninggalan yang berharga. Diantara murid-
muridnya yang menjadi sesepuh „ulama ialah Imam Ibnu Qoyyim al Jauziyah.
Beliau banyak mengarang buku bersama gurunya Ibnu Taimiyyah R.a di penjara
Damaskus.16
Profesor yang berdarah pejuang dan berjiwa militer ini pernah ditugaskan
oleh pemerintah untuk turut melawan dan mengalahkan tentara Mongol yang telah
berada di dekat Damaskus dalam suatu perang suci (Holi War). Ibnu Taimiyyah
R.a yang menjadi panglima pasukan dan memperoleh kemenangan yang gemilang
disuatu tempat yang bernama Sahab, dekat ibukota Syiria sekitar tahun 1299 M.
Ibnu Taimiyyah R.a hidup pada masa dunia Islam mengalami puncak
disintegrasi politik, dilokasi sosial serta akhlak dan moral. Kekuasaan pemerintah
tidak lagi berada dibawah kekuasaan khalifah yang bertahta di Baghdad
melainkan pada penguasa-penguasa daerah atau wilayah yang bergelar sultan, raja
atau amir, dan wilayah kekuasaan mereka dipersempit bahkan ada yang direbut
oleh penguasa Tar-tar dari timur atau Krusades dari barat.
Jatuhnya Baghdad pada Hulagu dari Tar-tar mengakibatkan umat Islam
mengalami kemunduran, yang berarti berakhirnya dinasti Abbasyiyah, yang
16
Ishak Muslim, “ Sejarah dan Perkembangan Teologi Islam “,(Semarang: Duta Grafika,
1988), h. 156.
41
merupakan puncak dari disintergrasi negara. Pada saat ini tarikat berkembang,
sebagai kompensasi dari pelipur lara umat Islam yang mengalami kehancuran.
Ibnu Taimiyyah R.A mulai melancarkan gerakan ferifikasi (pemurnian) yang
mengajak umat Islam kembali kepada al-Qur‟an dan as-Sunnah, filsafat dan
tasawuf ditentang, karena dirasakan telah menghantarkan umat Islam untuk
menjauhi ajaran islam yang benar. Gerakan inilah yang kemudian dilanjutkan oleh
Muhammad Ibnu Abdul Wahab.17
Ibnu Taimiyyah R.a hidup dibawah kekuasaan Mamluk, yang mana
masyarakatnya pada masa itu sangat beranekaragam baik dalam kebangsaan,
status sosial, agama, aliran budaya, maupun hukum. Hal ini menimbulkan
kerawanan perpecahan dalam berkehidupan bernegara, yang lebih parah lagi pada
waktu itu masalahnya bukan hanya banyak agama tapi juga banyaknya mazhab,
termasuk juga mazhab Hanafi, Maliki, Syafi‟i dan Hambali.
Sebab Ibnu Taimiyyah R.a sering masuk penjara pada saat itu tidak selalu
disebabkan karena memusuhi penguasa, tetapi juga karena pengaduan dan
tuntutan dari sekelompok „ulama dari golongan mazhab lain, terutama oleh
ketajaman kritikannya terhadap kebiasaan memuja para Nabi dan para wali.
Ibnu Taimiyyah R.a berkeyakinan bahwa kebanyakan aqidah kaum
muslimin dan perbuatan-perbuatan mereka bertentangan dengan tauhid ibadah,
seperti keyakinan terhadap syafa‟at atau tawasul terhadap para wali. Pada bulan
Agustus 1302 M atau bulan Rajab 720 H, Ibnu Taimiyyah R.a ditangkap dan
dimasukkan kembali kedalam pejara yang terletak dalam benteng Damaskus
17
Azwar Basyir Ahmad, ”Refleksi Atas Persoalan Keislaman “, (Bandung: PT. Mizan,
1996), h. 23.
42
setelah 5 bulan 18 hari kemudian beliau dibebaskan kembali, dan beliau kembali
beraktifitas seperti biasanya menjalankan tugasnya sebagai „ulama.
Pada bulan sya‟ban 726 H atau Juli 1328 M, beliau ditangkap kembali serta
dimasukkan kedalam penjara, keadaan ini dipergunakannya dengan sebaik-
baiknya untuk menulis tafsir al-Qur‟an dan berbagai karya lainnya, walaupun
demikian jiwanya sangat tersiksa ketika tidak di izinkan lagi untuk menulis,
segala tinta yang tersedia, diatas meja kamar penjaranya kembali diambil semua
oleh pemerintah.
20 hari kemudian „ulama besar, pahlawan besar, yang berjuang dimedan
perang dan berjihad dengan lisan maupun dengan tulisan, melalui mata penanya
dan mata pedangnya itu berpulang kerahmatullah meninggalkan dunia di dalam
penjara yang sempit itu, tersungkur diatas tikar sembahyangnya setelah beliau
membaca ayat suci al-Qur‟an surat al-Qamar yang bertetapan pada tanggal 20 zul
qa‟edah 728 H atau 26 sepember 1328 M.18
B. Karya-karya Ibnu Taimiyyah R.a.
Ibnu Taimiyyah R.A adalah seorang pemikir Islam kenamaan, beliau tidak
hanya terkenal karena kharisma, sistem berfikir dan pengaruhnya, melainkan
beliau juga seorang penulis yang produktif, hampir tidak dapat dibayangkan
betapa tingginya disiplinnya pada waktu disela-sela kesibukannya dalam
menjalankan kegiatan-kegiatan yang ditelitinya sebagai dai, „ulama yang banyak
yang dikunjungi banyak orang.
18
Firdaus A.N. ”Pedoman Islam Dalam Bernegara”, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1989),
h. 246.
43
Sebagai pejuang yang terjun kekancah politik, beliau pun masih dapat
menyisihkan waktunya yang ada untuk mengisi kegiatan mengarang dan menulis
buku. Dilihat dari hasil karya tulisnya, Ibnu Taimiyyah R.a tergolong sebagai
penulis yang berhasil dan produktif.
Karangan-karangannya tidak kurang dari 500 buah jilid buku besar, kecil,
sampai dengan yang berjilid-jilid dengan berbagai judul dan tema, baik masalah
aqidah (teologi), politik (kenegaraan), hukum maupun filsafat. Namun karena
keterbatasan cakupan kajian karya ilmiyah ini, maka penulis hanya dapat
memaparkan sebagian kecil dari karya Ibnu Taimiyyah R.a tersebut.
1. Karya-karya Ibnu Taimiyyah R.a dibidang politik.
a. As-Syiasah as-Syari‟ah fii Islahir Ra‟yi wa Ra‟iyah.
Dari karya Ibnu Taimiyyah R.a diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa
kandungannya tidak hanya menjelaskan tugas dan kewajiban pemerintahan, dan
bagi rakyat memenuhi amanah, realisasinya dalam pembagian zakat, tetapi juga
menegakkan keadilan dan melaksanakan hudud (hukum-hukum yang harus
ditegakkan terhadap kejahatan sesuai dengan al-Qur‟an). Karya ini terdiri dari satu
jilid yang berjumlah 190 halaman.
Dalam masalah pentingnya pemerintahan, Ibnu Taimiyyah R.a di dalam
buku ini, beliau mengatakan bahwa untuk melaksanakan amar ma‟aruf dan nahi
munkar dalam menegakkan keadilan dan keterjaminan dalam melaksanakan
ibadah (shalat, haji) dan menolong orang yang teraniaya, semuanya itu tidak dapat
terlaksana dengan baik kecuali dengan kekuasaan dan pemerintahan, karena itu
beliau mengatakan bahwa “sultan” adalah bayangan Tuhan di bumi. Dan
44
menurutnya enam puluh tahun di bawah pemerintahan yang zalim lebih baik dari
pada semalam tanpa pemerintahan.19
b. Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyah.
Buku ini ditulis Ibnu Taimiyyah R.a sebagai jawaban sekaligus sebagai
bantahan terhadap karya Jamaluddin al-Muthahar al-Hilli yang berjudul Minhaj
al-Karomah Fi Ma‟rifah al-Imamah (jalan kemuliaan mengenai pengetahuan para
imam).
Karya ini ditulis Jamaludduin untuk mempengaruhi raja-raja Mongol agar
menganut paham Syi‟ah, Minhaj as-Sunnah ditulis oleh Ibnu Taimiyyah R.a untuk
membendung meluasnya paham syi‟ah di negara-negara Islam sebelah timur.
Buku ini terdiri dari empat jilid. Jilid satu berjumlah 276 halaman, jilid dua
berjumlah 262 halaman, jilid tiga berjumlah 278 halaman, jilid empat berjumlah
300 halaman. Yang diterbitkan oleh Darul al-Kitab al-Almiyah, Bairut Mesir.
Dengan disertai argumentasi yang logis, akurat dan mendalam, Ibnu
Taimiyyah R.a mematahkan dalil-dalil teori tersebut. Karena Ibnu Taimiyyah R.a
sangat menentang konsep imamah syi‟ah. Bahkan beliau menganggapnya sebagai
konsep irasional dan berlawanan dengan prinsip-prinsip Islam.20
Keyakinan syi‟ah bahwa imam adalah ma‟sum dari dosa besar dan kecil
serta imamah (kepemimpinan negara) merupakan masalah aqidah, hal inilah yang
tidak dapat diterima oleh Ibnu Taimiyyah R.a. Di dalam buku ini beliau
mengatakan “sekiranya masalah imamah merupakan bagian dari iman maka
19
Ibnu Taimiyyah, “al-Syiasah al-Syar‟iyah”, (Mesir: Darul al-Kitab Ala Arabi, tt), h.
162. 20
M. Arskal Salim, “Etika Intervensi Negara Persfektif Politik Ibnu Taimiyyah”,
(Jakarta: Logos, 1999), h. 42.
45
sudah tentu Nabi Saw sudah menjelaskan pada generasi sesudahnya”,
sebagaimana beliau menjelaskan masalah shalat, zakat, puasa, dan haji. Juga
sudah barang tentu beliau jelaskan masalah iman kepada Allah Swt dan hari akhir,
tetapi sayangnya masalah iman tidak ada penjelasannya secara mendetail di dalam
al-Qur‟an maupun al-Sunnah sebagaimana menjelaskan prisip-prinsip lainnya.21
2. Karya-karya Ibnu Taimiyyah R.a dibidang hukum Islam.
a. Majmu‟ Fatawa
Karya Ibnu Taimiyyah R.a ini terdiri dari 30 jilid, karya ini sangat penting
karena berisikan beberapa ratus keputusan hukum hasil ijtihad Ibnu Taimiyyah
R.a. Salah satu keputusan hukum Ibnu Taimiyyah R.a tersebut adalah shalat nisfu
sya‟ban sendirian atau secarah berjamaah sebagaimana yang dikerjakan oleh
golongan salaf, maka hal itu merupakan yang baik.
Jika nisfu sya‟ban itu dikerjakan di Masjid dengan aturan-aturan tertentu,
misalnya melakukan shalat tersebut seratus raka‟at dengan membaca surat al-
Ikhlas seribu kali secara terus-menerus, maka hal ini hukumnya bid‟ah. Karena
tidak ada seorangpun dari pemimpin-pemimpin Islam mengenalkan amalan ini
karena tidak ada tuntutan dari Rasulullah Saw.22
Beliau juga menulis tentang masalah shalat sunnah lailatul qadar yang
dilaksanakan setelah shalat tarawih pada bulan Ramadhan. Menurutnya amalan ini
merupakan amalan yang bid‟ah. Karena tidak pernah dikerjakan oleh Nabi
21
Ibnu Taimiyyah, “Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah”, jilid I, (Riyadh: Riyad al-Hadisati,
t.th), h. 21. 22
Ibnu Taimiyyah, “Majmu‟ Fatawa”, Jilid I, (Bairut: Darul Fikr, 1920), h. 146.
46
Muhammad Saw, beliau juga para sahabat, tabi‟in dan pemerintahan-
pemerintahan Islam. Dalam hal tersebut hendaklah dicegah dan ditinggalkan.23
b. Al-Qiyas Fi Syarh al-Islam.
c. Risalah Khilaf al-Ummah Fi al-Ibadah.
d. A1-Sarim al-Maslul „al Syatim al-Rasul.
Di dalam kitab ini menerangkan bahwa masuknya seseorang ke dalam Islam
tidaklah menggugurkan hukuman atas tindakan yang telah diperbuatnya.
e. Al-Hisbah Fil-Islam
Buku ini membahas cara penggunaan prinsip menyerukan kebajikan dan
mencegah kejahatan, terutama sehubungan dengan administrasi negara. Dan juga
berisi pernyataan-pernyataan mengenai hakikat dan fungsi negara.
3. Karya-karya Ibnu Taimiyyah R.a dibidang filsafat.
a. Al-Rad „Ala al-Mantaqiyali.
Hal itu dapat dimengerti karena kitab-kitab tersebut adalah karya lain-
lainnya yang sejenis, beliau tulis sebagai koreksi dan kritiknya terhadap berbagai
teori keagamaan yang menurut penilaiannya tidak benar.
b. An-Naqdu al-Mantiq.
Bila diperhatikan karya-karya Ibnu Taimiyyah R.a yang ratusan jumlahnya,
dapat kita lihat bahwa sesungguhnya Ibnu Taimiyyah R.a memiliki berbagai
keahlian dalam berbagai disiplin dan berbagai cabang ilmu pengetahuan. Beliau
tidak hanya ahli dalam bidang aqidah (teologi), hukum, dan filsafat, tetapi juga
ahli di bidang politik (pemerintahan).
23
Ibnu Taimiyyah, “Majmu‟ Fatawa”, h. 247.
47
4. Karya-karya Ibnu Taimiyah dibidang Aqidah (Teologi).
a. Tawasul wal-Wasilah.
Buku ini ditulis oleh Ibnu Taimiyah R.a dengan tujuan agar umat Islam
menjauhi perbuatan-perbuatan bid‟ah, seperti berziarah ke kuburan dengan tujuan
meminta pertolongan atau syafa‟at kepada roh yang sudah terkubur, sekalipun itu
kuburan Nabi dan itu termasuk tetap syirik.24
Karena pada watu itu kebanyakan
aqidah dan amalan umat islam bertentangan dengan tauhid dan mu‟amalah
(ibadah), seperti kayakinan terhadap syafa‟at atau tawasul terhadap Wali-wali
Allah SWT.
Adapun intisari dari isi buku ini, yakni tawassul dibagi kedalam tiga macam.
Pertama adalah taat dan patuh, hal ini diwajibkan guna kesempurnaan iman.
Kedua adalah doa dan syafa‟atnya yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw,
sewaktu diakhirat kelak. Ketiga berarti bersumpah pada Allah Swt, dan meminta
dengan zatnya.
Hal ini tidak pernah dilakukan baik pada waktu nabi masih hidup maupun
setelah beliau wafat karena itu yang terahir ini tidak diperbolehkan.
b. Al-Furqon Baina Auliyaial-Rahman Wa-Awliyahal-Syaitan
Didalam risalah ini, Ibnu Taimiyyah R.a selain menerangkan tentang
kekasih Allah Swt dan kekasih Syaitan, juga menerangkan tentang hakekat dan
syari‟at. Adapun hakekat yang dimaksud disini ialah hakekat agama Allah Swt.
Meskipun setiap mereka mempunyai peraturan masing-masing.
24
Ibnu Taimiyah, “Tawasul Wal-Wasilah”. Terj. Halimuddin. (Jakarta: Bumi Aksara,
1990), h. 33.
48
Sedagkan syariat adalah cara yang ditempuh dalam melaksanakan ibadah
pada Allah Swt. Inti dari buku ini adalah membahas tentang sifat-sifat dari
kekasih Allah Swt, dan sifat-sifat dari kekasih syaitan dan menunjukan suatu
metode antara keduanya. Karya Ibnu Taimiyah R.a sudah diterjemahkan oleh
Abdul Rahman Masykur, terbitan Pustaka Panjimas, Jakarta, tahun 1989, 187
halaman.
c. Al-Aqidah al-Wasiyah.
Karya Ibnu Taimiyyah R.a ini merupakan pembahasan singkat mengenai
dasar iman. Ahli sunnah wal jama‟ah menurut Ibnu Taimiyah R.a, satu- satunya
golongan yang akan terbebas dari kutukan Allah Swt.
d. Iq-Tida‟al-Sirat al-Mustaqim.
Ibnu Taimiyyah R.a menulis karya ini, sehubungan dengan sikap seseorang
raja yang beragama Kristen yang berkuasa dipulau Ciprus, yang memperlakukan
kaum minoritas muslim dengan sewenang-wenangan dan sangat kejam. Ibnu
Taimiyyah R.a berpendapat bahwa minoritas Muslim tidak dapat menunjukan
bagaimana sifat idealnya mereka, karena umat minoritas Muslim harus berjuang
untuk menjadi pihak mayoritas.
Di dalam buku ini Ibnu Taimiyyah R.a menjelaskan, bahwa Islam harus
mempertahankan identitas mereka sebagai sebuah masyarakat agamis dan harus
berhati-hati agar tidak hanyut kedalam kelompok agama lain dengan cara meniru
tata cara kaum mayoritas, adat-adat kebiasaan, kepercayaan dan keyakinan
kelompok agama lain.
49
Jelasnya, Ibnu Taimiyyah R.a menginginkan agar umat Islam berpegang
teguh pada ajaran agamanya kapan dan dimanapun berada, baik sebagai mayoritas
ataupun sebagai minoritas.
e. Kitab al-Nubuwah.
Karya Ibnu Taimiyyah R.a ini adalah sebuah karyanya yang sangat kritis
dalam ulasannya mengenai kenabian, mengenai sihir dan hal-hal yang gaib.
C. Corak Pemikiran Ibn Taimiyyah R.A
Ibnu Taimiyah adalah cermin pribadi yang mampu membangkitkan rasa
kagum yang dalam pada sebagian masyarakat yang sekaligus juga caci maki pada
bagian yang lain. Para penyanjungnya memuja dan menghormatinya sebagai
seorang wali, sedang orang-orang yang menentangnya melemparkan kutukan
dengan segala caci maki karena beliau dianggap melanggar batas dan melakukan
penyelewangan.
Anggapan negatif mereka biasanya terungkap dalam bentuk makian tajam
dan kadang juga deraan fisik yang memilukan. Perpaduan antara kecerdasan otak
dan ketekunan dalam belajar serta kepribadiannya yang dihiasi dengan akhlak
yang mulia, ternyata mampu mengantarkan dirinya menjadi „ulama besar yang
sangat berprestasi.
Beliau juga dapat digolongkan sebagai salah seorang tokoh yang
pemahaman keagamaannya boleh dikatakan mandiri, yaitu dalam pengertian tidak
mau terikat pada pemahaman siapapun dan aliran Islam yang manapun. Namun
bersamaan dengan itu dia tidak menolak untuk menerima dan membela pendapat
50
siapa dan aliran Islam manapun jika menurut penilaian nya sejalan dan sesuai
dengan al-Qur‟an dan As-Sunnah.25
Ibnu Taimiyyah R.a menekuni setiap masalah dengan sepenuh hati dan
dengan sungguh-sungguh. Terkadang untuk mempelajari satu masalah beliau
menghabiskan waktu sampai beberapa malam dan masalah tersebut tidak akan
ditinggalkannnya sebelum dapat dipecahkan dengan memuaskan. Beliau
merenunginya sesuai dengan ayat-ayat al- Qur‟an, hadis-hadis Nabi Saw dan
kesimpulan-kesimpulanya selalu sesuai menurut akal pikiran dengan
pertimbangan-pertimbangan dan membanding- bandingkan secara berulang-ulang,
sehingga kebenarannya tampak jelas di depan matanya.
Itulah sebabnya Ibnu Taimiyyah R.a dipandang sebagai salah seorang
cendekiawan yang paling kritis dan paling kompeten yang dapat menyimpulkan
peraturan-peraturan dan hukum dari hadis-hadis dan ayat-ayat al-Qur‟an. Ikhtisar
pendekatan Ibnu Taimiyyah R.A dalam mengkaji Islam, dapat dilihat pada
pengantar bukunya yang berjudul “Ma‟arij Al-Wusul”, yang tujuannya adalah
untuk menegaskan kembali kedudukan mazhab Hambali yang menjadikan teks-
teks kitab suci sebagai satu-satunya sumber hukum dan teologi yang terpercaya.
Sehingga mazhab itu berusaha untuk mempersempit kemungkinan bagi
suatu perubahan atau inovasi yang mungkin muncul dari berbagai pendekatan
bukan salaf (ortodoks) terhadap pengetahuan agama pada masa-masa berikutnya.
Adapun metode istinbat hukum Ibnu Taimiyyah R.a dalam menggali hukum
adalah sebagai berikut:
25
Rajak Abdul Jeje. “Politik Kenegaraan Pemikiran-pemikiran al-Gazali dan Ibnu
Taimiyah “, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1999), h. 118.
51
1. Al-Qur‟an
Al-Qur‟an adalah sumber hukum Islam yang pertama dan utama. Beliau
memuat kaidah-kaidah hukum fundamental (asasi) yang perlu dikaji dengan teliti
dan dikembangkan lebih lanjut. Dalam ajaran Islam demikian dikemukakan S.
Hossein Nasr, yaitu al-Qur‟an adalah intisari semua pengetahuan, dan yang
terkandung di dalamnya hanyalah benih-benih atau prinsip-prinsipnya saja.26
Kaum Muslimin telah sepakat menerima keotentikan al-Qur‟an, karena al-
Qur‟an diriwayatkan secara mutawatir. Oleh sebab itu, dari segi riwayat, al-
Qur‟an di pandang sebagai sebagai qath‟i tsubut (riwayatnya diterima secara
pasti/meyakinkan). Bertolak dari prinsip, segenap kaum Muslim bersepakat
bahwa al-Qur‟an sendiri memerintahkan agar menetapkan hukum atas dasar
perintah Allah Swt.27
Yang termaktub didalam Surat Al-Maidah ayat 48 yaitu:
ب ومهيمىب عييه فٱحن قب ىمب بيه يديه مه ٱىنت ب بٱىحق مصد م بيىه م بمب أوزه وأوزىىب إىيل ٱىنت
بءك مه ٱىحق ىنو جعيىب مىن م شرعت ومىهبجب وىى شبء ٱلل ٱلل ول تتبع أهىاءه م عمب ج
ث إىى ٱلل مر ن م فٱستبقىا ٱىخير نه ىيبيىم م في مب ءاتى حدة وى جعن م جميعب فيىبئن م ىجعين م أمت و
(.٨٤ . )سىرة اىمبئدة:ب مىت م فيه تختيفىن بم
Artinya:“Dan telah kami turunkan kepadamu al-Qur‟an dengan membawa
kebenaran dan membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab
yang diturunkan sebelumnya dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang
lain itu, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah
turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran yang telag datang kepadamu. Untuk tiap-
tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang.
Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikannya satu umat
26
Muhammad Ali Daud, “Hukum Islam, Pengantar 1lmu Hukum Dan Tala Hukum Islam
Di Indonesia”, Cet Ke- 11, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h.79. 27
Rusli Nasrun, “Konsep Ijtihad Saukani”, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1999), h.
28.
52
(saja). Tetapi allah hendak menguji kamu terhadap pemberiannya
terhadapmu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya
kepada Allahlah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukannya
kepadamu apa yang kamu perselisihkan itu.” (Q.S al-Maidah: 48).
Sama halnya dengan „ulama Islam yang lain, Ibnu Taimiyyah R.a
menempatkan al-Qur‟an sebagai sumber hukum Islam yang utama dan pertama.
Menurutnya, kebutuhan umat Islam sangat mendasar untuk memahami al-Qur‟an
karena dia merupakan tali (agama) Allah Swt yang sangat kuat, peringatannya
yang bijak (az-zikr al-hakim), dan jalan yang lurus (as-sirat al-Mustaqim).
Dengan al- Qur‟an hawa nafsu tidak akan menyimpang dan perkataan tidak
akan tertukar meskipun banyak penolakan. Perbedaan al-Qur‟an tidak akan pernah
habis, dan para ulama (ilmuwan) tidak akan pernah merasa kenyang
mempelajarinya.
Orang yang berkata dengan al-Qur‟an pasti benar, dan siapa yang beramal
dengannya pasti diberi pahala, siapa yang berhukum dengannya pasti adil, dan
orang yang menyeru kepadanya akan diberi petunjuk kejalan yang lurus. Allah
Swt akan membinasakan orang yang meninggalkan al-Qur‟an karena sombong,
dan yang menyesatkan siapa saja yang mencari hidayah selain al-Qur‟an.28
2. Al-Hadits
Umat Islam telah sepakat, bahwasanya apa yang keluar dari Rasulullah Saw,
baik ucapan maupun perbuatan dan juga taqrir, membentuk hukum syariat Islam.
Dan tuntunan yang disampaikan kepada kita dengan sanad yang shahih yang
28
Muhammad Amin, “Ijtihad 1bnu Taimiyyah Dalam Bidang Fiqh Islam“, (Jakarta:
INIS, 1991), h. 71.
53
mendatangkan kepastian atau dugaan yang kuat, maka kebenarannya itu sekaligus
merupakan hujjah atas umat Islam.
Sumber daripada pembentukan hukum syariat Islam, yang oleh para
mujtahiddin diistimbathkan yang bersumber dari hadits, artinya bahwa hukum
yang datang dalam sunnah-sunnah ini adalan hukum-hukum yang datang di dalam
al-Qur‟an, sebagai undang-undang yang harus diikuti.29
Sebagai ulama‟ Ibnu Taimiyyah R.a mempunyai pengetahuan yang luas
mengenai ilmu rijalul hadits (perawi hadis) mengenai hadits-hadits yang
didalaminya semuanya dikembalikan (dirujukkan) kepada kitab hadist yang enam.
Sehingga dapatlah dikatakan bahwa setiap hadist yang tidak diketahui oleh lbnu
Taimiyyah R.a bukanlah hadits, namun beliau mengatakan kekuasaan masih di
tangan Allah Swt.
Selain kelompok Inkar al-Sunnah, setiap Muslim yakin bahwa al-Hadits
adalah sumber kedua bagi hukum Islam setelah al-Qur‟an. Bahkan, ada dari
sebagian Imam mazhab seperti Ahmad Ibnu Hanbal R.a, menempatkan al-Hadits
sebagai sumber hukum Islam pertama bersamaan dengan al-Qur‟an.
Berbeda dengan Ahmad ibnu Hanbal R.a, Ibnu Taimyyah R.a meletakkan
al-Hadits sebagai sumber hukum Islam kedua dan menempatkan al-Qur‟an
sebagai hukum Islam yang pertama. Penolakan tegas Ibnu Taimiyyah R.a
terhadap kebolehan menghapus (hukum) al- Qur‟an dengan al-Hadits (naskh al-
Qur‟an bi as-Sunnah) yang dianut oleh kebanyakan ulama, termasuk di dalamnya
adalah Ahmad Ibnu Hanbal R.a.
29
Abdul Wahhab Khalaf, “Kaidah-Kaidah Hukum Islam. Ilmu Ushul Fiqh”, Cet Ke-8,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h.48.
54
Ibnu Taimiyyah R.a membagi al-Hadits (dari segi penyampaian) kepada tiga
bagian:
a. Al-Hadits mutawatir yaitu yang tidak menyalahi lahiriyyah al-Qur‟an,
bahkan berfungsi sebagai penafsir al-Qur‟an yang termasuk ke dalam
kelompok ini ialah hadits-hadits (mutawatir) yang berkenaan dengan
masalah zakat, pelaksanaan haji, umrah dan lain-lainnya yang berkaitan
dengan hukum-hukum Al-Qur‟an yang sukar diketahui tanpa melalui al-
Hadits. Tehadap kelompok hadits-hadits yang pertama ini, kata Ibnu
Taimiyyah R.a, telah ada kesepakatan „ulama hadits untuk menerimanya
sebagai hujjah dan menempatkan fungsinya sebagai pelengkap dan
penyempurna al-Qur‟an. Orang yang mengingkari kehujjahan al-Hadits
ini berarti mengingkari salah satu sumber agama yang sangat penting dan
menghancurkan sendi Islam yang amat kukuh.
b. Hadits-hadits mutawatirah yaitu yang tidak menafsirkan lahiriyyah nash
al-Qur‟an, atau malah menyalahi lahiriyyah al-Qur‟an karena
mendatangkan hukum baru yang tidak ada dalam al-Qur‟an, seperti
hadits tentang penentuan nishab pencurian, hadits tentang hukuman
rajam bagi penzina, dan hadits-hadits lain seperti itu. Selain kelompok
Khawarij, orang-orang yang sepaham dengan kaum radiakal ini, para
ulama salaf dan semua ahli fiqh, kata Ibnu Taimiyyah R.a, menerima
kehujjahan hadits-hadits kelompok.
c. Hadits-hadits Ahad yaitu yang penyampaiannya melalui riwayat yang
siqoh (terpercaya). Seluruh hadits ini, Ibnu Taimiyyah R.a
55
menyampaikan kehujjahannya telah diakui oleh para ahli fiqh, ahli
hadits, ahli tasawuf. Dan umumnya para ulama yang lain meskipun
sebagian ahli kalam dan ra‟iy hanya menerima sebagian yang sesuai dan
sebagian menolak yang lain berdasarkan syarat-syarat tertentu yang
mereka buat sendiri.
3. Qiyas
Selain yang telah disebutkan diatas, Ibnu Taimiyyah R.a juga menerima
qiyas sebagai dasar hukum, dengan cara qiyas itu berarti para mujtahid telah
mengembalikan ketentuan hukum sesuatu kepada sumbernya al-Qur‟an dan al-
Hadis.
Sebab hukum Islam terkadang tersurat jelas dalam nash al-Qur‟an atau al-
Hadits, dan terkadang juga bersifat implisit serta analogi terkandung dalam nash
tersebut. Mengenai qiyas ini, Imam Syafi‟I R.a mengatakan setiap peristiwa pasti
ada kepastian hukum dan umat Islam wajib mematuhinya. Akan tetapi jika tidak
ada ketentuan hukumnya yang pasti, maka harus dicari pendekatan yang sah yaitu
dengan ijtihad, dan ijtihad itu adalah al-Qiyas.30
Ibnu Taimiyyah R.a kemudian membagi qiyas ke dalam dua macam yaitu
qiyas al-Shahih dan qiyas al-Fasid (ghair al-Shahih). Qiyas al-Shahih ialah qiyas
yang dengannya (hukum-hukum syariat) dapat tersampaikan yaitu dengan cara
menggabungkan dua masalah (kasus) yang serupa dan membedakan dua kasus
yang berbeda.
30
Muhammad Abu Zaahrah, “Ushul Al-Fiqh”, Terj. Pustaka Firdaus, “Ushul Fiqh“,Cet
Ke -8, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), h. 336.
56
Sedangkan qiyas al-Fasid yaitu yang menyalahi dalalah nash atau
mengqiyaskan dua perkara yang masing-masing dihalalkan dan diharamkan oleh
nash semacam qiyasnya orang-orang yang menyamakan jual beli dengan riba
dengan dasar sama-sama mencari keuntungan.
Padahal, dengan tegas nash mengharamkan riba dan menghalalkan jual beli.
Sebagaiman para ahli usul al-fiqh yang lain, lbnu Taimiyyah R.a berkeyakinan
tidaklah mungkin ada nash yang tidak mengandung maslahat yang disyariatkan
(al-Maslahah al-Masyru‟ah), karena maslahah masyru‟ah itulah yang justru
menjadi tali pengikat dalam persamaan atau membanding-bandingkan antara
hukum masalah yang satu dengan masalah yang lain.31
31
Muhammad Amin, “Ijtihad 1bnu Taimiyyah Dalam Bidang Fiqh Islam“, (Jakarta:
INIS, 1991), h. 128.
57
BAB IV
KETENTUAN DAN FAKTOR-FAKTOR DALAM PENENTUAN MASA
‘IDDAH WANITA KHULUK
A. Ketentuan Tentang Masa ‘Iddah Wanita Khuluk Menurut Ibnu
Taimiyyah R.a.
Islam adalah agama yang sempurna, mengatur segala aspek kehidupan
manusia, baik ibadah, muamalah (ekonomi, sosial, budaya, perdata), jinayat
(hukum pidana), siyasah (politik), kewarganegaraan dan seperti yang penulis
bahas yakni munakahat. Dan semua itu Islam memberikan legalitas, kritik dan
penyempurnaan hingga terbentuk suatu tatanan yang harmonis dan juga
menciptakan tatanan sosial yang baru lebih mencerminkan bahwa Islam adalah
Rahmatan lil alamin.
Terhadap berbagai problem yang terjadi ditengah-tengah masyarakat
kebanyakan al-Qur‟an tidak memberikan suatu solusi yang rinci. Aturan dan
hukum-hukum yang tercantum dalam al-Qur'an dirasa masih global. Sehingga
para „ulama masih merasa perlu untuk merinci hal yang global atau mujmal
tersebut dalam bentuk ra‟yi atau ijtihad mereka. Dengan demikian diharapkan
hukum-hukum tersebut lebih mudah dimengerti dan diterapkan dalam kehidupan
keseharian dalam masyarakat. Salah satu dari hasil ijtihad tersebut adalah
pendapat Ibnu Taimiyyah R.a tentang jumlah masa „iddah bagi wanita yang
khulu‟. Dimana pendapat Ibnu Taimiyyah R.a dalam kitabnya“Majmu' al-
Fatawa” mengenai jumlah masa „iddah bagi wanita yang khulu‟ adalah satu kali
haid.
58
Islam adalah suatu agama universal dalam setiap hukum yang diterapkan
selalu adil, seperti dalam perceraian sesuai dengan firman Allah SWT surat al-
Baqarah ayat 229 dan hadits Tsabit bin Qais, Islam tidak hanya memberikan hak
kepada suami untuk menceraikan isterinya, namun dalam Islam seorang wanita
pun diberikan hak untuk meminta cerai dari suaminya.
Hak cerai dari pihak isteri disebut khulu‟, akibat dari perceraian tersebut
timbulah masa „iddah (masa menunggu). Mengenai „iddah bagi wanita yang
khulu‟ ini menjadikan perdebatan yang sangat kuat dari kalangan imam madzhab.
Hal ini disebabkan oleh pemikiran-pemikiran dan latar belakang dalam
mengambil istinbath hukum mengenai hal itu. Dari pemikiran Ibnu Taimiyyah R.a
dinyatakan bahwa „iddah bagi wanita yang khulu‟ adalah satu kali haid, seperti
kata beliau dalam kitabnya “Saya tidak mengetahui seseorang dari ahli ilmu
dengan menukil hadits yang telah dinukil oleh sahabat bahwasanya khulu‟ itu
adalah talak ba‟in dan dihitung tiga kali sucian. Tetapi karena sudah ada hadits
yang telah dinukil dari Utsman dan ahli ilmu menukil hadits dari Utsman dengan
sanad yang shahih”.
Ibnu Taimiyyah R.a berpendapat dalam kitabnya “Bahwasannya wanita
yang khuluk diperintahkan untuk „iddah satu kali haid dan ahli ilmu berkata tidak
ada „iddah bagi wanita yang khuluk”.1
Dengan berpijak pada informasi atau data-data yang telah penulis peroleh di
depan, penulis melakukan analisis terhadap permasalahan yang ada. Sebelum
1 Ibnu Taimiyyah, Majmu‟ Al Fatawa, Jilid 18, (Beirut-Lebanon: Dar Al-Kutub Al-
Ilmiah, t.th), h. 147.
59
mengkritisi apa yang disampaikan oleh Ibnu Taimiyyah R.a, ada beberapa hal
yang ingin penulis jelaskan.
Pertama, perceraian adalah merusak hubungan perkawinan, dan oleh
karenanya selalu menyakitkan. Perceraian juga menentukan kesetaraan kekuasaan
antara dua jenis kelamin. Siapa yang mempunyai kekuasaan untuk mengambil
inisiatif cerai sangatlah fundamental terhadap masalah kesetaraan ini. Ada satu
pendapat yang dipertahankan, dan ini benar adanya bahwa al-Qur‟an berpihak
pada kelompok lemah di masyarakat, dan oleh karena itu membantu dalam
memberdayakan perempuan. Lalu, kepada siapa al-Qur‟an memberikan kekuasaan
untuk cerai? Laki-laki? Atau perempuan? Atau keduanya? Atau, apakah mereka
mempunyai sikap terfokus kepada laki-laki dan menjadikannya tolak ukurdalam
memahami dan menasirkan ayat-ayat al-Qur‟an tentang perceraian?
Kedua, benarkah khuluk adalah talak ba‟in? Atau, apakah fasakh? Karena
dari permasalahan tersebutlah terjadi perselisihan pendapat. Dari kalangan ulama
pada umumnya beranggapan bahwa khuluk adalah talak ba‟in sehingga munculah
pendapat bahwa wanita yang khuluk iddahnya adalah tiga kali suci. Jumhur
fuqaha berpendapat bahwa khuluk adalah talak.
Pendapat ini dikemukakan pula oleh Imam Malik R.a, Imam Abu Hanifah
R.a mempersamakan khuluk dengan talak dan fasakh bersama-sama. Sedang
Imam Syafi‟i R.a berpendapat bahwa khuluk adalah fasakh. Pendapat ini juga
dikemukakan oleh Imam Ahmad R.a dan Imam Abu Daud R.a, dan dikemukakan
pula oleh Ibnu Abbas R.a dari kalangan sahabat.2
2 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Jilid 3, (Jakarta: Pustaka Amani, 1995), h. 153.
60
Diriwayatkan pula dari Imam Syafi'i R.a bahwa khulu‟ adalah kata-kata
sindiran (kinayah). Jadi, jika dengan kata-kata kinayah tersebut suami
menghendaki talak, maka talak pun terjadi, dan jika tidak, maka menjadi fasakh.
Tetapi dalam qaul jadidnya dikatakan bahwa khuluk adalah talak. Kegunaan
pemisahan tersebut adalah, apakah khuluk itu dihitung dalam bilangan talak atau
tidak.
Jumhur fuqaha yang berpendapat bahwa khulu‟ adalah talak menjadikanya
sebagai talak ba‟in. Demikian itu apabila suami dapat merujuk isterinya pada
masa „iddah, maka penebusannya itu tidak akan berarti lagi. Abu Tsaur R.a
berpendapat bahwa apabila khulu‟ tidak menggunakan kata-kata talak, maka
suami tidak akan bisa merujuk isterinya.
Fuqaha yang menganggap khulu‟ sebagai talak mengemukakan alasan
bahwa fasakh itu tidak lain merupakan perkara yang menjadikan suami sebagai
pihak yang kuat dalam pemutusan ikatan perkawinan dan yang bukan berasal dari
kehendaknya. Sedang khulu‟ ini berpangkal pada kehendak (ikhtiyar). Oleh
karenanya, khulu‟ itu bukan fasakh.
Dan fuqaha yang tidak menganggap khulu‟ sebagai talak mengemukakan
alasan bahwa dalam al-Qur'an menyebutkan tentang talak, maka uraian dalam
firman Allah Swt yaitu dalam al-Baqarah ayat 229 yaitu: Talak (yang dapat
dirujuki) itu dua kali. Kemudian disambung kembali dalam ayat 230 yaitu: Jika
suami mentalaknya (sesudah talakyang kedua), maka perempuan itu tidak halal
lagi baginya sehingga ia kawindengan suami yang lain (Q.S. al-Baqarah: 229-
61
230)3. Jika tebusan itu adalah talak, berarti dimana isteri tidak halal lagi bagi
suami kecuali sesudah isterinya kawin lagi dengan lelaki yang lain, dan itu
menjadi talak yang keempat.
Tatanan struktur sosial dan budaya yang membawa perempuan
terdiskriminasi diperkuat oleh pendapat „ulama yang mengharuskan wanita khulu‟
ber‟iddah dengan tiga kali haid. Memang „ulama tidak murni harus dipersalahkan,
sebab „ulama mempunyai hak untuk berfatwa dan berpendapat berdasarkan
pemahaman yang dimilikinya. Perlu diingat bahwa dalam memberikan fatwa atau
pendapat mereka tidak lepas dari bingkai ruang dan waktu. Solusi bijak yang
mungkin bisa dilakukan yaitu dengan cara merubah pola pikir bahwa perempuan
juga berhak menerima hak yang sama dengan laki-laki. Salah satunya dengan
khulu‟ yang merupakan prioritas perempuan.
Dalam hal ini ada „ulama yang menganggap khulu‟ bagian dari talak adalah
mengenai pendapat Ibnu Taimiyyah R.a yang menyatakan barang siapa
memperhatikan pendapat bahwa „iddah hanya ditetapkan sebanyak tiga kali haid,
agar masa rujuk cukup lama dan suami bisa berpikir panjang serta mendapatkan
kesempatan untuk rujuk selama masa „iddah ini. Tetapi kalau kesempatan untuk
rujuk kepada istrinya (yang pisah) tidak ada, maka maksud (peraturan) tersebut
adalah untuk membersihkan rahim dari kehamilan. Dan untuk membuktikan
kebersihan ini cukup dengan satu kali masa haid saja, hal ini dapat dilihat dalam
karyanya Majmu‟ Fatawa. Yang demikian ini adalah pendapat Khalifah Utsman
R.a, Abdullah bin Umar R.a, Rubayyi‟ binti Muawwiz R.a dan pamannya.
3 Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Semarang: CV Al-Waah, 1994), h.55.
62
Pendapat ini yang diikuti oleh Ibnu Abbas R.a dan riwayat yang kuat dari Ahmad
R.a, juga pendapat Ishaq bin Rahawaih R.a dan yang dipilih oleh Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah R.a.
Dari pemikiran Ibnu Taimiyyah R.a dinyatakan bahwasanya khulu‟ itu
bukan talak. Seperti halnya pendapat Ibnu Abbas R.a bahwa sistem tebus bukan
suatu talak. Namun kebanyakan seseorang menyamakan dan mencampuradukkan
kedua istilah itu. Berkaitan dengan pendapatnya diatas, Ibnu Abbas R.a
menguatkan argumennya pada firman Allah Swt dalam surat al-Baqarah ayat 229-
230. Bahwa Allah SWT telah menjelaskan tentang tebusan setelah talak dua kali.
Dimana tebusan dalam ayat diatas termasuk sesuatu yang khusus, sedangkan yang
lainya adalah bersifat umum. Oleh karena itu meskipun tebusan itu dianggap
sebagai talak, maka tebusan termasuk bentuk talak yang keempat. Pendapat ini
dipegangi oleh Imam Ahmad R.a dan dikutip oleh Ibnu Abbas R.a.
Dari sini penulis menganalisa bahwasanya Ibnu Taimiyyah R.a dalam
mengemukakan pendapatnya didasarkan pada as-Sunnah dan ijma‟ sahabat yang
menyatakan perbedaan secara jelas bahwa khulu‟ berbeda dengan talak. Mengenai
„iddah khulu‟ ia bersandar pada hadits serta ijma‟ yang menegaskan bahwa tidak
ada rujuk dalam khuluk. Dan tersebut dalam sunnah dan pendapat para sahabat
bahwa „iddah khulu‟ adalah satu kali haid. Menurut nash juga khulu‟ boleh
dilakukan setelah talak kedua kali. Dan sesudahnya, masih bisa talak kedua
kalinya. Dengan ini jelas sekali bahwa khuluk bukan talak sehingga „iddahnya
juga berbeda4.
4 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz 8, (Beirut-Lebanon: Dar al-Fikr, t.th), h. 262.
63
B. Faktor-faktor Dalam Menentukan Masa ‘Iddah Wanita Khuluk
Menurut Ibnu Taimiyyah R.a.
Ibnu Taimiyyah R.a sejak kecil dikenal sebagai seorang anak yang
mempunyai kecerdasan otak luar biasa, tinggi kemauan dan kemampuan dalam
studi, tekun dan cermat dalam memecahkan masalah, tegas dan teguh dalam
menyatakan dan mempertahankan pendapat (pendirian), ikhlas dan rajin dalam
beramal shaleh, rela berkorban dan siap berjuang untuk jalan yang benar.
Sumber-sumber hukum yang dipergunakan oleh Ibnu Taimiyyah R.a dalam
menetapkan suatu hukum telah jelas. Setiap mujtahid memiliki metode tersendiri
dalam memecahkan atau menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.
Penggunaan metode itu dipengaruhi oleh background (latar belakang) meliputi
latar belakang pendidikan, pola hidup, serta kondisi masyarakat sekitar.
Diawal telah penulis jelaskan mengenai Istinbath hukum Ibnu Taimiyyah
R.a yang berbeda dengan imam madzhab yang dianutnya, Imam Ahmad Ibnu
Hanbal R.a. Secara umum dalam pengambilan suatu hukum IbnuTaimiyyah R.a
selalu mengembalikannya kepada al-Qur‟an dan sunnah Nabi Saw. Beliau juga
menggalakkan ijtihad dan sangat menentang taqlid, sebab beliau hidup ketika
terjadi kemunduran dan masa ketika masyarakat mengalami kejumudan. Hal itu
merupakan langkah inovatif yang dilakukan oleh beliau untuk mendobrak tatanan
yang telah mapan, dimana kondisi umat terbelengguoleh kejumudan.
Menurut penulis, jika dalam sebagian masalah ada pendapat Ibnu
Taimiyyah R.a yang menyalahi pendapat Ahmad Ibnu Hambal R.a, itu hanya
menurut sebagian riwayat, karena bersamaan dengan itu, hampir selalu ada
64
riwayat lain yang menyebutkan bahwa pendapat Ibnu Hambal R.a justru sama
dengan pendapat yang dikemukakan oleh Ibnu Taimiyyah R.a.
Salah satu corak pemikiran Ibnu Taimiyyah R.a adalah kedekatannya
dengan nash, terutama dalam masalah ibadah. Sesuatu yang tidak disebutkan
dalam nash dinilai bertentangan dan dikategorikan dalam amalan bid‟ah. Beliau
sangat membenci terhadap amalan yang disebut olehnya dengan bid‟ah ini.
Bila dalam al-Qur‟an tidak diketemukan dasar hukum terhadap suatu kasus,
maka Ibnu Taimiyyah R.a beralih pada penggunaan as-Sunnah. Tetapi sering kali
dalam beberapa kasus disamping diketemukan dasarnya dalam al-Qur‟an, juga
diketemukan dasar-dasarnya di dalam as-Sunnah. Maka kedua-duanya
dipergunakan dengan saling menguatkan. Ibnu Taimiyyah R.a dikenal sebagai
mufti yang dalam menyampaikan fatwa-fatwanya banyak berpegang pada as-
Sunnah. Oleh karena itu, tidaklah mengheranklan jika dalam menetapkan hukum
suatu masalah, beliau tidak akan pergi kepada dalil lain selama ada nash-nash al-
Qur‟an dan as-Sunnah.
Walaupun Ibnu Taimiyyah R.a dinilai oleh banyak „ulama sebagai pengikut
hadits yang tulen, namun dalam kesempatan yang sama beliau ketat dalam menilai
keabsahan hadits.
Langkah selanjutnya, bila tidak diketemukan dasar hukumnya baik dalam
al-Qur‟an maupun dalam as-Sunnah, maka Ibnu Taimiyyah R.a menggunakan
ijma‟. Sedangkan ijma‟ menurut versi Ibnu Taimiyyah R.a adalah kesepakatan
„ulama kaum muslimin mengenai suatu hukum dari beberapa hukum.
65
Lebih lanjut Ibnu Taimiyyah R.a mengatakan orang yang keluar dari ijma‟
kaum muslimin dinilai sebagai orang yang menempuh jalan selain yang ditempuh
oleh orang-orang yang beriman, yang demikian ini dicela oleh al-Qur‟an.
Dari uraian di atas, penulis dapat memberikan indikasi betapa kuat
IbnuTaimiyyah R.a berpegang kepada ijma‟ kaum muslimin sebagai kebenaran
yang tidak bercampur dengan kebatilan. Beliau mensyaratkan penggunaan ijma‟
harus benar-benar merupakan seluruh „ulama dalam masa tertentu dan tidak
memandang cukup ijma‟ yang hanya didasarkan pada kesepakatan sebagian
„ulama tanpa disetujui oleh sebagian „ulama yang lain.
Berkaitan dengan ijma‟, Ibnu Taimiyyah R.a bukan orang yang
mengabaikan akal pikiran, namun ia meletakkan akal sesuai dengan proposisinya,
yaitu di belakang nash-nash agama, karena menurut kemampuan akal itu terbatas,
sehingga ketika seseorang mempergunakan akal pikirannya di dalam memahami
sesuatu khususnya al-Qur‟an dan as-Sunnah haruslah mengetahui batasan
kemampuan akalnya.
Selain menggunakan dasar ijma‟, beliau juga menggunakan qiyas, dan
menurut beliau qiyas adalah menghimpun dua masalah yang serupa dan
memisahkan (membedakan) dua masalah yang berbeda. Sama halnya dengan
ijma‟, batasan qiyas pun sederhana. Namun dalam prakteknya tidak banyak
berbeda dengan penggunaan qiyas Ibnu Taimiyyah R.a dengan para „ulama pada
umumnya. Hanya saja Ibnu Taimiyyah R.a termasuk „ulama yang membolehkan
penggunaan qiyas berdasarkan hikmah.
66
Namun menurut sebagian „ulama qiyas itu didasari oleh „illat bukan dengan
hikmah, lebih dari itu hikmah hanya bisa diketahui oleh panca indra dan
tergantung pada aspek apa dan siapa yang memandangnya. Adakalanya sesuatu
yang bernilai positif dapat berdampak negatif, sebaliknya sesuatu yang bernilai
negatif dapat berdampak positif. Oleh karena itu, penggunaan qiyas berdasarkan
hikmah akan lebih banyak menghasilkan kesimpulan hukum yang rancu. Hal ini
sesuai dengan pendapat jumhur „ulama bahwa penentuan hukum terutama dalam
qiyas, harus didasarkan pada „illat bukan pada hikmah. Sehingga dengan
menggunakan „illat tersebut dapat menghasilkan kesimpulan yang tidak rancu.
Sebagaimana yang dijelaskan diawal bahwa menurut Ibnu Taimiyyah R.a
seluruh nash di‟illati dengan kemaslahatan, begitu juga mengenai „iddah bagi
wanita yang khulu‟. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Anbiya ayat
107:
لمين ك إلا رحمت للع (.٧٠١ . )سورة األنبياء:وما أرسلن
Artinya: “Dan tidaklah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi)
rahmat bagi semesta alam”. (Qs. Al-Anbiya‟: 107).5
Dalam masalah „iddah khulu‟ Ibnu Taimiyyah R.a beristinbath
menggunakan al-Hadits dikisahkan dari isteri Tsabit bin Qais yang datang kepada
khalifah Utsman, yang artinya: “bersabda Rasulullah SAW kepada tsabit:
Ambillah miliknya (isteri Tsabit) untukmu (Tsabit) dan mudahkanlah urusannya.
Lalu ia menjawab: baik. Lalu Rasulullah S.A.W. menyuruh isteri Tsabit ber‟iddah
5 Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, h. 508
67
dengan satu kali haid dan dikembalikan kepada keluarganya. (H.R Nasa'I dengan
perawi-perawi yang kepercayaan)”6.
Demikianlah pendapat yang diikuti oleh Utsman R.a, Ibnu Abas R.a dan
riwayat yang paling kuat dari Ahmad R.a, juga pendapat Ishaq bin Rahawaih R.a
dan yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah R.a. Dari istinbath hukum
Ibnu Taimiyyah R.a yang dilandaskan pada hadits tersebut menurut penulis dapat
diakui validitasnya, karena sanadnya tidak terputus-putus, sehingga dapat diakui
kebenarannya dan juga rawinya dapat dipercaya dan diakui kredibilitasnya.
Berdasarkan hadits tersebut Ibnu Taimiyyah R.a menguatkan pendapatnya
bahwa „iddah khulu‟ dengan satu kali haid. Kalau ditelusuri lebih mendalam
dalam menggunakan suatu dasar dalam beristinbath hukum, Ibnu Taimiyyah R.a
tetap mengacu dan mendasarkan pada dasar yang lebih kuat. Dan sangatlah
bermanfaat dalam rangka menghindari penetapan hukum yang bertentangan
dengan syara‟ yang lain.
Selain hadits Ibnu Taimiyyah R.a juga menggunakan al-Ijma‟ sebagai dalil
Naqli, yang disandarkan pada kesepakatan sahabat bahwa „iddah wanita yang
khulu‟ cukup dengan satu kali haid. Pendapat ini yang dipegangi oleh Utsman R.a,
Ibnu Abbas R.a, dan Umar R.a. Pendapat ini bersumber dari salah seorang „ulama
salaf, madzhab Ishaq R.a, Ibn Mundzir R.a dan selain keduanya dan ini
diriwayatkan dari sabda Rasulullah SAW dalam beberapa sunnah Rasul.7
Seperti diketahui bahwa cerai khulu‟ adalah gugatan dari pihak isteri kepada
suami karena adanya ketidakcocokan antara keduanya, lalu dengan tebusan maka
6 Imam An-Nasa‟i, Sunan An-Nasa‟I, Juz 5, (Beirut: Dar Al-Fikr, t.th), h. 169.
7 Ibnu Taimiyyah, Majmu al-Fatawa, h. 147.
68
isteri bisa melepaskan diri dari suami. Akan tetapi yang menjadi persoalan
gugatan cerai kebanyakan atas dasar kesalahan suami. Sehingga dengan putusnya
hubungan perkawinan akan berimbas pada keluarga terutama pihak isteri dan
anak-anaknya.
Dari pendapat Ibnu Taimiyyah R.a dinyatakan jika cerai khulu‟ cukup
ber‟iddah dengan satu kali haid. Karena dari sisi hukum jelas khulu‟ tidak boleh
dirujuk maka kalau masa „iddah dimaksudkan untuk membersihkan rahim dari
kehamilan maka cukup dengan satu kali haid.
Dari sisi kemaslahatan kaitannya dengan realita sekarang banyak dari
mereka kaum janda yang harus menanggung keluarganya sendiri karena tidak
adanya tanggungjawab dari suami. Sehingga jika harus ber‟iddah yang cukup
lama kemungkinan keluarga akan terlantar. Karena kebanyakan kasus setelah
adanya perceraian maka suami lari dari tanggungjawab dengan meninggalkan
kewajibannya.
Sebagaimana pendapat yang dikemukakan Ibnu Taimiyyah R.a dalam
fatwanya, penulis sepakat bahwa wanita yang khuluk „iddahnya adalah satu kali
haid. Dilihat dari syari‟at dan kemaslahatannya pada masa sekarang bahwa
seorang wanita yang khuluk kemudian menyandang predikat (janda) apalagi
kalau sudah ada anak tentu saja tidak mudah dalam menjalani hidup yang penuh
tantangan ini.
Dengan demikian, pemahaman bahwa khulu‟ adalah talak yang berimbas
pada masa „iddah yang lebih panjang tidak bisa memberikan solusi yang lebih
baik kedepan. Mengenai dasar hukum khuluk sudah jelas bahwa Rasulullah Saw
69
sendiri bersabda bahwa wanita yang khuluk hendaknya ber‟iddah dengan satu kali
haid. Yang demikian adalah pendapat Ibnu Taimiyyah R.a.
70
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari Skripsi yang berjudul analisis
pendapat Ibnu Taimiyyah tentang `Iddah Khuluk adalah sebagai berikut:
1. Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa „iddah khulu‟ adalah satu kali
suci, sebab terjadi perbedaan tentang masa „iddah bagi wanita khulu‟
disebabkan karena perbedaan para „ulama dalam menyamakan/
menetapkan kedudukan khulu‟. Menurut Jumhur khulu‟ adalah talak,
sedangkan Ibnu Ibnu Taimiyyah menyebutkan bahwa khulu‟ itu bukan
talak tetapi fasakh. Terhadap masalah „iddah khulu‟, demi untuk
kehati- hatian Penulis lebih cenderung kepada pendapat para fuqaha
yang mengatakan bahwa „iddah khulu‟ adalah tiga kali suci, pendapat
tiga kali suci ini juga sudah diadopsi dalam sistem perundangan/
paraturan hukum kita di Indonesia yaitu dalam Kompilasi Hukum
Islam pasal 155.
2. Dasar pertimbangan Ibnu Taimiyyah dalam menentukan bahwa khulu‟
sebagai fasakh adalah QS. Al-Baqarah ayat 229-230, dan hadits yang
diriwayatkan oleh Abdur Razzak dalam sunannya yang artinya “Dari
Ikrimah, Ibnu Abbas berkata: “Apa yang dibolehkan dengan
membayar harta (Khulu”), maka bukanlah termasuk talak”. Ibnu
Taimiyyah berpendapat Kalau seandainya Khulu‟ itu adalah talak,
tentu jumlah talak semuanya akan berjumlah empat bukan tiga
71
lagi. Dan tentu hal ini tidak tepat, karena talak hanyalah tiga kali.
Dengan demikian, maka Khulu” bukanlah talak akan tetapi fasakh.
B. Saran-saran
Dalam pembahasan ini Allah banyak berfirman yang menjelaskan tentang
perceraian antara suami dan isteri, diantaranya dalam QS. Al-Baqaraah: 228, QS.
Al-Baqaraah: 229, QS. Al-Baqaraah: 230 menerangkan tentang masa „Iddah
seorang isteri yang ditalak suami, QS. An-Nisa:19 tentang khuluk,QS. al-Baqarah
: 234 tentang masa „Iddah bagi isteri yang ditinggal mati suaminya, QS. al-Ahzab
:49 tentang masa „Iddah bagi isteri yang diceraikan oleh suaminya namun belum
digauli,QS. At-Thalaqayat : 4 tentang masa „Iddah seorang isteri yang diceraikan
suaminya setelah digauli, dan masih banyak firman Allah dan hadist yang
menjelaskan tentang perceraian.
Ketika Al-Qur‟an membolehkan perceraian, bahwa jangan beranggapan Al-
Qur‟an menganjurkan perceraian. Jangan beranggapan ketika Allah menetapkan
adanya perceraian bahwa itu sesuatu yang dengan gampang boleh dilakukan.
Meskipun Allah sudah menerangkan dan menjelaskan tentang hal tersebut melalui
firman-firman-Nya bukan berarti Allah menganjurkan perceraian antara suami
dan isteri. Karena Rasullah saw pun bersabda dalam suatu hadist yang
diriwayatkan oleh Abu Daud dan Hakim yang berbunyi: “Perkara yang halal tapi
dibenci Allah adalah perceraian”.
Oleh sebab itu bagi yang sudah dan akan menjalankan bahterai rumah
tangga menjaga keutuhan rumah tangganya, jangan sampai terjadi perselisihan
yang mengakibatkan timbulnya perceraian.
72
DAFTAR PUSTAKA
UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Al-Qur’an dan Terjemahannya.
A. N., Firdaus. Pedoman Islam Dalam Bernegara. Jakarta: PT. Bulan Bintang,
1989.
Al-Jaziri, Abdurrahman. Al-Fiqh „Ala Madzahib al-Arba‟ah, Juz 4. Beirut: Dar al-
Fikr, 1972.
Al-Malîbary, Syeikh Zainuddin. Fath al -Mu‟în. Kairo: Maktabah Dar al-Turas,
1980.
Al-Munawwir, Ahmad. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap.
Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997.
Al-Nasa’I, Imam. Sunan An-Nasa‟i, Juz 5. Beirut: Dar Al-Fikr, t.th.
Amin, Muhammad. Ijtihad Ibnu Taimiyah Dalam Bidang Fiqh Islam. Jakarta:
INIS, 1991.
Basyir, Azwar Ahmad, Refleksi Atas Persoalan Keislaman. Bandung: PT. Mizan,
1996.
Dahlan, Abdul Aziz. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1997.
Daud, Ali Muhammad. Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam Di Indonesia, Cet. 11. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
Depdiknas. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2002.
Fuad, Said. Perceraian Menurut Hukum Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna, 1994.
Ghafar, Aziz Abdul. Islam Politik, Pro Dan Kontra. Jakarta: Pustaka Firdaus,
1993.
Hasan, Ali. “Perbandingan Mazhab”, Cet. IV. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2002.
Ibnu Rusyd, Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad. Bidayatul
Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Jilid II, Cet. Vii. Kairo: Daar al-
Ma’rifah, 1982.
73
Ibnu, Taimiyyah. Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah, Jilid I. Riyadh: Riyad al-
Hadisati, t.th.
_____________, Majmu‟ Fatawa, Jilid I. Bairut: Darul Fikr, 1920.
_____________, Majmu al-Fatawa, Jilid 18. Lebanon: Dar al-kutub al-Ilmiyyah,
t.th.
_____________, Al-Furqan Bainan Auliya Al-Rahman Wa Auliya Al-syaithan,
Terjemah Pustaka Panjimas, “Al-Furqan antara Kekasih Allah Dan Kekasih
Syaithan”. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1989.
_____________, Tafsir Al-Kabir, Jilid I. Beirut-Lebanon: Dar Al-Kutub Al-
Ilmiah, t,th.
_____________, Al-Syiasah al-Syar‟iyah. Mesir: Darul al-Kitab Ala Arabi, t.th.
J, Moleong Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2004.
Jeje, Rajak Abdul. Politik Kenegaraan Pemikiran-Pemikiran al-Ghazali dan Ibnu
Taimiyyah. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1999.
Khan, Qamaruddin. “Pemikiran Politik Ibnu Taimiyyah“. Bandung: Pustaka
Salman, 1983.
Khalaf, Abdul Wahhab. Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Ilmu Ushul Fiqh, Cet. VII.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2002.
Ma’arif, Syafi’i Ahmad. Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta: LP3ES, 1996.
Muslim, Ishak. Sejarah dan Perkembangan Teologi Islam. Semarang: Duta
Grafika, 1988.
Nasrun, Rusli. Konsep Ijtihad Saukani. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu. 1999.
Nasution, Harun. Ensiklopedi Islam di Indonesia. Jakarta: Jambatan, 1992.
Nurul, Asna Ita. Pelanggaran Masa Iddah di Masyarakat: Studi Kasus di Dusun
Gilang, Desa Tegaron, Kec. Banyubiru, Skripsi Fakultas Syariah
Universitas Islam Negeri (UIN), Sunan Kali Jaga, 2015.
Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah, Juz II. Kairo: Maktabah Dâr al-Turas, 1970.
Salim, Arskal M. Etika Intervensi Negara Persfektif Politik Ibnu Taimiyyah.
Jakarta: Logos, 1999.
Sjadzali, Munawir. Islam and Govermental Sistem. Jakarta: INIS, 1991.
74
_____________, Islam Dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan pemikiran.
Jakarta: UI Press, 1993.
Slamet, Abidin dan Aminuddin. Fiqih Munakahat, Jilid I. Bandung: CV Pustaka
Setia, 1999.
Sugiyono, Metode Penelitian kuantitatif, kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta,
2007.
Syarifudin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana,
2009.
W.J.S, Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet. 5. Jakarta: PN
Balai Pustaka, 1976.
Zahrah, Muhammad Abu. Ushul Al-Fiqh, Terj. Pustaka Firdaus, Ushul Fiqh, Cet.
VII. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003.
Zain, Muhammad Sutan. Kamus Modern Bahasa Indonesia. Jakarta: Grafika, t.th.
Top Related