1. Ki Hadjar Dewantara
Indonesia (1972-1978) Yogyakarta. Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, saat genap berusia
40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara.
Semenjak saat itu, ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal
ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun
hatinya.
Perjalanan hidupnya benar-benar diwarnai perjuangan dan pengabdian demi
kepentingan bangsanya. Ia menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda)
Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai
tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain
Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan
Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya sangat komunikatif,
tajam dan patriotik sehingga mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi
pembacanya. Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi
sosial dan politik. Pada tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk
mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai
pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.
Kemudian bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan Dr. Cipto
Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran
nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan mencapai Indonesia
merdeka. Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status badan
hukum pada pemerintah kolonial Belanda. Tetapi pemerintah kolonial Belanda melalui
Gubernur Jendral Idenburg berusaha menghalangi kehadiran partai ini dengan menolak
Biografi Pahlawan Pendidikan 1
Pendiri Taman Siswa ini adalah Bapak Pendidikan Nasional.
Lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889. Hari lahirnya,
diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ajarannya
yang terkenal ialah tut wuri handayani (di belakang memberi
dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan
peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan
memberi teladan). Ia meninggal dunia di Yogyakarta tanggal
28 April 1959 dan dimakamkan di sana. Ia Terlahir dengan
nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Raden mas
berasal dari lingkungan keluarga keraton Wakil Presiden
Republik
pendaftaran itu pada tanggal 11 Maret 1913. Alasan penolakannya adalah karena organisasi
ini dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan menggerakan kesatuan
untuk menentang pemerintah kolonial Belanda.
Kemudian setelah ditolaknya pendaftaran status badan hukum Indische Partij ia pun
ikut membentuk Komite Bumipoetra pada November 1913. Komite itu sekaligus sebagai
komite tandingan dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda.
Komite Boemipoetra itu melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud
merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan menarik
uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut.
Sehubungan dengan rencana perayaan itu, ia pun mengkritik lewat tulisan berjudul
Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar
Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga). Tulisan Seandainya
Aku Seorang Belanda yang dimuat dalam surat kabar de Expres milik Dr. Douwes Dekker itu
antara lain berbunyi: "Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan
pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya.
Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk
menyuruh si Inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Pikiran untuk
menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula
kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa
yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan
bahwa bangsa Inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak
ada kepentingannya sedikitpun".
Akibat karangannya itu, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral
Idenburg menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan, berupa hukuman internering
(hukum buang) yaitu sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat tinggal yang boleh
bagi seseorang untuk bertempat tinggal. Ia pun dihukum buang ke Pulau Bangka. Douwes
Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo merasakan rekan seperjuangan diperlakukan tidak adil.
Mereka pun menerbitkan tulisan yang bernada membela Soewardi. Tetapi pihak Belanda
menganggap tulisan itu menghasut rakyat untuk memusuhi dan memberontak pada
pemerinah kolonial. Akibatnya keduanya juga terkena hukuman internering. Douwes Dekker
dibuang di Kupang dan Cipto Mangoenkoesoemo dibuang ke pulau Banda.
Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena di sana mereka bisa
mempelajari banyak hal dari pada didaerah terpencil. Akhirnya mereka diijinkan ke Negeri
Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman. Kesempatan itu
Biografi Pahlawan Pendidikan 2
dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga Raden Mas
Soewardi Soeryaningrat berhasil memperoleh Europeesche Akte. Kemudian ia kembali ke
Indonesia di tahun 1918. Di Indonesia ia mencurahkan perhatian di bidang pendidikan
sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan.
Setelah pulang dari pengasingan, bersama rekan-rekan seperjuangannya, ia pun
mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Taman
Siswa (Perguruan Nasional Taman Siswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat
menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa
dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan. Tidak sedikit rintangan yang
dihadapi dalam membina Taman Siswa. Pemerintah kolonial Belanda berupaya
merintanginya dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932. Tetapi
dengan kegigihan memperjuangkan haknya, sehingga ordonansi itu kemudian dicabut.
Di tengah keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di Taman
siswa, ia juga tetap rajin menulis. Namun tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke
pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan. Tulisannya berjumlah ratusan buah.
Melalui tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi
bangsa Indonesia.
Sementara itu, pada zaman Pendudukan Jepang, kegiatan di bidang politik dan
pendidikan tetap dilanjutkan. Waktu Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat
(Putera) dalam tahun 1943, Ki Hajar Dewantara duduk sebagai salah seorang pimpinan di
samping Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur.
Setelah zaman kemerdekaan, Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang
pertama Ki Hajar Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan
Kebudayaan yang pertama. Nama Ki Hadjar Dewantara bukan saja diabadikan sebagai
seorang tokoh dan pahlawan pendidikan (bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal
kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai
pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959,
tanggal 28 November 1959. Penghargaan lain yang diterimanya adalah gelar Doctor Honoris
Causa dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1957. Dua tahun setelah mendapat gelar
Doctor Honoris Causa itu, ia meninggal dunia pada tanggal 28 April 1959 di Wakil Presiden
Republik Indonesia (1972-1978) Yogyakarta dan dimakamkan di sana.
Kemudian oleh pihak penerus perguruan Taman Siswa, didirikan Museum
Dewantara Kirti Griya, Museum Wakil Presiden Republik Indonesia (1972-1978)
Yogyakarta, yang untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara.
Biografi Pahlawan Pendidikan 3
Dalam museum ini terdapat benda-benda atau karya-karya Ki Hadjar sebagai pendiri Taman
Siswa dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa. Koleksi museum yang berupa karya tulis
atau konsep dan risalah-risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hadjar
sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam dalam
mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional.
Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu
memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya,
adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus didasarkan kepada
nilai- nilai kemerdekaan yang asasi.
Biografi Pahlawan Pendidikan 4
2. RADEN AJENG KARTINI
ilmu pengetahuan lainnya yang kemudian dibacanya di taman rumah dengan ditemani
Simbok (pembantunya).
Akhirnya membaca menjadi kegemarannya, tiada hari tanpa membaca. Semua buku,
termasuk surat kabar dibacanya. Kalau ada kesulitan dalam memahami buku-buku dan surat
kabar yang dibacanya, ia selalu menanyakan kepada Bapaknya. Melalui buku inilah, Kartini
tertarik pada kemajuan berpikir wanita Eropa (Belanda, yang waktu itu masih menjajah
Indonesia). Timbul keinginannya untuk memajukan wanita Indonesia. Wanita tidak hanya
didapur tetapi juga harus mempunyai ilmu. Ia memulai dengan mengumpulkan teman-teman
wanitanya untuk diajarkan tulis menulis dan ilmu pengetahuan lainnya. Ditengah
kesibukannya ia tidak berhenti membaca dan juga menulis surat dengan teman-temannya
yang berada di negeri Belanda. Tak berapa lama ia menulis surat pada Mr. J. H Abendanon.
Ia memohon diberikan beasiswa untuk belajar di negeri Belanda.
Beasiswa yang didapatkannya tidak sempat dimanfaatkan Kartini karena ia
dinikahkan oleh orangtuanya dengan Raden Adipati Joyodiningrat. Setelah menikah ia ikut
suaminya ke daerah Rembang. Suaminya mengerti dan ikut mendukung Kartini untuk
mendirikan sekolah wanita. Berkat kegigihannya Kartini berhasil mendirikan Sekolah Wanita
di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama
sekolah tersebut adalah “ Sekolah Kartini ”. Ketenarannya tidak membuat Kartini menjadi
sombong, ia tetap santun, menghormati keluarga dan siapa saja, tidak membedakan antara
yang miskin dan kaya.
Pada tanggal 17 september 1904, Kartini meninggal dunia dalam usianya yang ke-
25, setelah ia melahirkan putra pertamanya. Setelah Kartini wafat, Mr. J. H Abendanon
Biografi Pahlawan Pendidikan 5
Raden Ajeng Kartini lahir pada 21 April tahun 1879 di
kota Jepara, Jawa Tengah. Ia anak salah seorang
bangsawan yang masih sangat taat pada adat istiadat.
Setelah lulus dari Sekolah Dasar ia tidak diperbolehkan
melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi oleh
orangtuanya. Ia dipingit sambil menunggu waktu untuk
dinikahkan. Kartini kecil sangat sedih dengan hal tersebut,
ia ingin menentang tapi tak berani karena takut dianggap
anak durhaka. Untuk menghilangkan kesedihannya, ia
mengumpulkan banyak buku-buku pelajaran dan buku
ilmu
memngumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada
para teman-temannya di Eropa. Buku itu diberi judul “ DOOR DUISTERNIS TOT LICHT ”
yang artinya “ Habis Gelap Terbitlah Terang ”.
Saat ini mudah-mudahan di Indonesia akan terlahir kembali Kartini-kartini lain yang
mau berjuang demi kepentingan orang banyak. Di era Kartini, akhir abad 19 sampai awal
abad 20, wanita-wanita negeri ini belum memperoleh kebebasan dalam berbagai hal. Mereka
belum diijinkan untuk memperoleh pendidikan yang tinggi seperti pria bahkan belum
diijinkan menentukan jodoh/suami sendiri, dan lain sebagainya.
Kartini yang merasa tidak bebas menentukan pilihan bahkan merasa tidak
mempunyai pilihan sama sekali karena dilahirkan sebagai seorang wanita, juga selalu
diperlakukan beda dengan saudara maupun teman-temannya yang pria, serta perasaan iri
dengan kebebasan wanita- wanita Belanda, akhirnya menumbuhkan keinginan dan tekad di
hatinya untuk mengubah kebiasan kurang baik itu. Belakangan ini, penetapan tanggal
kelahiran Kartini sebagai hari besar agak diperdebatkan. Dengan berbagai argumentasi,
masing-masing pihak memberikan pendapat masing-masing. Masyarakat yang tidak begitu
menyetujui, ada yang hanya tidak merayakan Hari Kartini namun merayakannya sekaligus
dengan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember.
Alasan mereka adalah agar tidak pilih kasih dengan pahlawan-pahlawan wanita
Indonesia lainnya. Namun yang lebih ekstrim mengatakan, masih ada pahlawan wanita lain
yang lebih hebat daripada RA Kartini. Menurut mereka, wilayah perjuangan Kartini itu
hanyalah di Jepara dan Rembang saja, Kartini juga tidak pernah memanggul senjata melawan
penjajah, dan berbagai alasan lainnya. Sedangkan mereka yang pro malah mengatakan
Kartini tidak hanya seorang tokoh emansipasi wanita yang mengangkat derajat kaum wanita
Indonesia saja melainkan adalah tokoh nasional, artinya dengan ide dan gagasan
pembaruannya tersebut dia telah berjuang untuk kepentingan bangsanya. Cara pikirnya sudah
dalam skop nasional. Sekalipun Sumpah Pemuda belum dicetuskan waktu itu, tapi pikiran-
pikirannya tidak terbatas pada daerah kelahiranya atau tanah Jawa saja. Kartini sudah
mencapai kedewasaan berpikir nasional sehingga nasionalismenya sudah seperti yang
dicetuskan oleh Sumpah Pemuda 1928.
Terlepas dari pro kontra tersebut, dalam sejarah bangsa ini kita banyak mengenal
nama-nama pahlawan wanita kita seperti Cut Nya’ Dhien, Cut Mutiah, Nyi. Ageng Serang,
Dewi Sartika, Nyi Ahmad Dahlan, Ny. Walandouw Maramis, Christina Martha Tiahohu, dan
lainnya. Mereka berjuang di daerah, pada waktu, dan dengan cara yang berbeda. Ada yang
berjuang di Aceh, Jawa, Maluku, Menado dan lainnya. Ada yang berjuang pada zaman
Biografi Pahlawan Pendidikan 6
penjajahan Belanda, pada zaman penjajahan Jepang, atau setelah kemerdekaan. Ada yang
berjuang dengan mengangkat senjata, ada yang melalui pendidikan, ada yang melalui
organisasi maupun cara lainnya. Mereka semua adalah pejuang-pejuang bangsa, pahlawan-
pahlawan bangsa yang patut kita hormati dan teladani.
Raden Ajeng Kartini sendiri adalah pahlawan yang mengambil tempat tersendiri di
hati kita dengan segala cita-cita, tekad, dan perbuatannya. Ide-ide besarnya telah mampu
menggerakkan dan mengilhami perjuangan kaumnya dari kebodohan yang tidak disadari
pada masa lalu. Dengan keberanian dan pengorbanan yang tulus, dia mampu menggugah
kaumnya dari belenggu diskriminasi. Bagi wanita sendiri, dengan upaya awalnya itu kini
kaum wanita di negeri ini telah menikmati apa yang disebut persamaan hak tersebut.
Perjuangan memang belum berakhir, di era globalisasi ini masih banyak dirasakan
penindasan dan perlakuan tidak adil terhadap perempuan.
Biografi Pahlawan Pendidikan 7
3. RADEN DEWI SARTIKA
Meski melanggar adat saat itu, orang tuanya bersikukuh menyekolahkan Dewi Sartika, ke
sekolah Belanda pula.
Sepeninggal ayahnya, Dewi Sartika dirawat oleh pamannya (kakak ibunya) yang
berkedudukan sebagai patih di Cicalengka. Dari pamannya, beliau mendapatkan didikan
mengenai kesundaan, sedangkan wawasan kebudayaan Barat diperolehnya dari berkat
didikan seorang nyonya Asisten Residen bangsa Belanda. Sejak kecil, Dewi Sartika sudah
menunjukkan bakat pendidik dan kegigihan untuk meraih kemajuan. Sambil bermain di
belakang gedung kepatihan, beliau sering memperagakan praktik di sekolah, mengajari baca-
tulis, dan bahasa Belanda, kepada anak-anak pembantu di kepatihan. Papan bilik kandang
kereta, arang, dan pecahan genting dijadikannya alat bantu belajar.
Raden Dewi Sartika yang mengikuti pendidikan Sekolah Dasar di Cicalengka, sejak
kecil memang sudah menunjukkan minatnya di bidang pendidikan. Dikatakan demikian
karena sejak anak-anak ia sudah senang memerankan perilaku seorang guru. Sebagai contoh,
sebagaimana layaknya anak-anak, biasanya sepulang sekolah, Dewi kecil selalu bermain
sekolah-sekolahan dengan teman-teman anak perempuan sebayanya, ketika itu ia sangat
senang berperan sebagai guru. Waktu itu Dewi Sartika baru berumur sekitar sepuluh tahun,
ketika Cicalengka digemparkan oleh kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata dalam
bahasa Belanda yang ditunjukkan oleh anak-anak pembantu kepatihan. Gempar, karena di
waktu itu belum banyak anak-anak (apalagi anak rakyat jelata) memiliki kemampuan seperti
itu, dan diajarkan oleh seorang anak perempuan.
Berpikir agar anak-anak perempuan di sekitarnya bisa memperoleh kesempatan
menuntut ilmu pengetahuan, maka ia berjuang mendirikan sekolah di Bandung, Jawa Barat.
Biografi Pahlawan Pendidikan 8
Dewi Sartika (lahir di Bandung, 4 Desember 1884 –
meninggal di Tasikmalaya, 11 September 1947 pada
umur 62 tahun) adalah tokoh perintis pendidikan untuk
kaum perempuan, diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh
Pemerintah Indonesia tahun 1966. Ayahnya, Raden
Somanagara adalah seorang pejuang kemerdekaan.
Terakhir, sang ayah dihukum buang ke Pulau Ternate
oleh Pemerintah Hindia Belanda hingga meninggal dunia
di sana. Dewi Sartika dilahirkan dari keluarga priyayi
Sunda, Nyi Raden Rajapermas dan Raden Somanagara.
mesi
Ketika itu, ia sudah tinggal di Bandung. Perjuangannya tidak sia-sia, dengan bantuan R. A. A.
Martanegara, kakeknya, dan Den Hamer yang menjabat Inspektur Kantor Pengajaran ketika
itu, maka pada tahun 1904 dia berhasil mendirikan sebuah sekolah yang dinamainya
“Sekolah Isteri”. Sekolah tersebut hanya dua kelas sehingga tidak cukup untuk menampung
semua aktivitas sekolah. Maka untuk ruangan belajar, ia harus meminjam sebagian ruangan
Kepatihan Bandung. Awalnya, muridnya hanya dua puluh orang. Murid-murid yang hanya
wanita itu diajar berhitung, membaca, menulis, menjahit, merenda, menyulam dan pelajaran
agama.
Sekolah Istri tersebut terus mendapat perhatian positif dari masyarakat. Murid-
murid bertambah banyak, bahkan ruangan Kepatihan Bandung yang dipinjam sebelumnya
juga tidak cukup lagi menampung murid-murid. Untuk mengatasinya, Sekolah Isteri pun
kemudian dipindahkan ke tempat yang lebih luas. Seiring perjalanan waktu, enam tahun sejak
didirikan, pada tahun 1910, nama Sekolah Istri sedikit diperbarui menjadi Sekolah
Keutamaan Isteri. Perubahan bukan cuma pada nama saja, tapi mata pelajaran juga
bertambah.
Ia berusaha keras mendidik anak-anak gadis agar kelak bisa menjadi ibu rumah
tangga yang baik, bisa berdiri sendiri, luwes, dan terampil. Maka untuk itu, pelajaran yang
berhubungan dengan pembinaan rumah tangga banyak diberikannya. Untuk menutupi biaya
operasional sekolah, ia membanting tulang mencari dana. Semua jerih payahnya itu tidak
dirasakannya jadi beban, tapi berganti menjadi kepuasan batin karena telah berhasil mendidik
kaumnya. Salah satu yang menambah semangatnya adalah dorongan dari berbagai pihak
terutama dari Raden Kanduruan Agah Suriawinata, suaminya, yang telah banyak
membantunya mewujudkan perjuangannya, baik tenaga maupun pemikiran.
Pada tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah Pasundan bermunculan beberapa
Sakola Istri, terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki cita-
cita yang sama dengan Dewi Sartika. Pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan Sakola Istri di
kota-kota kabupaten (setengah dari seluruh kota kabupaten se-Pasundan). Memasuki usia ke-
sepuluh, tahun 1914 nama sekolahnya diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah
Keutamaan Perempuan). Kota-kota kabupaten wilayah Pasundan yang belum memiliki
Sakola Kautamaan Istri tinggal tiga/empat, semangat ini menyeberang ke Bukittinggi, di
mana Sakola Kautamaan Istri didirikan oleh Encik Rama Saleh.
Seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota
kabupatennya pada tahun 1920, ditambah beberapa yang berdiri di kota kewedanaan. Bulan
September 1929, Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya yang telah
Biografi Pahlawan Pendidikan 9
berumur 25 tahun, yang kemudian berganti nama menjadi "Sakola Raden Déwi". Atas
jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah Hindia-
Belanda.
Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata,
seseorang yang memiliki visi dan cita-cita yang sama, guru di Sekolah Karang Pamulang,
yang pada waktu itu merupakan Sekolah Latihan Guru. Dewi Sartika meninggal 11
September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan dengan suatu upacara pemakaman
sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian
dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar,
Bandung. “Jangan tanya apa yang telah diberikan negara kepadamu, tapi apa yang telah
kamu berikan pada negaramu”. Kata bijak tersebut sangat tepat menjadi panduan semua
bangsa yang hendak menobatkan seseorang sebagai penerima gelar kehormatan ‘pahlawan’
di negaranya.
Terlepas dari bentuk atau cara perjuangannya, seorang pahlawan pasti telah berbuat
sesuatu yang heroik untuk bangsanya sesuai kondisi zamannya. Demikian halnya dengan
Raden Dewi Sartika. Jika pahlawan lain melakukan perjuangan untuk bangsanya melalui
perang frontal seperti angkat senjata, Dewi Sartika memilih perjuangan melalui pendidikan,
yakni dengan mendirikan sekolah. Berbagai tantangan, khususnya di bidang pendanaan
operasional sekolah yang didirikannya sering dihadapinya. Namun berkat kegigihan dan
ketulusan hatinya untuk membangun masyarakat negerinya, sekolah yang didirikannya
sebagai sarana pendidikan kaum wanita bisa berdiri terus, bahkan menjadi panutan di daerah
lainnya.
Biografi Pahlawan Pendidikan 10
4. DOKTOR SUTOMO
Suraji dan dibantu oleh Suwardi Surjaningrat, Saleh, Gumbreg, dan lain-lain dan Sutomo
sendiri diangkat sebagai ketuanya.
Tujuan perkumpulan ini adalah kemajuan nusa dan bangsa yang harmonis dengan
jalan memajukan pengajaran, pertanian, peternakan, perdagangan, teknik dan industri,
kebudayaan, mempertinggi cita-cita kemanusiaan untuk mencapai kehidupan bangsa yang
terhormat. Kemudian kongres peresmian dan pengesahan anggaran dasar Budi Utomo (BU)
diadakan di Yogyakarta 5 Okt 1908. Pengurus pertama terdiri dari: Tirtokusumo (bupati
Karanganyar) sebagai ketua; Wahidin Sudirohusodo (dokter Jawa), wakil ketua;
Dwijosewoyo dan Sosrosugondo (kedua-duanya guru Kweekschool), penulis; Gondoatmodjo
(opsir Legiun Pakualaman), bendahara; Suryodiputro (jaksa kepala Bondowoso),
Gondosubroto (jaksa kepala Surakarta), dan Tjipto Mangunkusumo (dokter di Demak)
sebagai komisaris.
Sutomo setelah lulus dari STOVIA tahun 1911, bertugas sebagai dokter, mula-mula
di Semarang, lalu pindah ke Tuban, pindah lagi ke Lubuk Pakam (Sumatera Timur) dan
akhirnya ke Malang. Saat bertugas di Malang, ia membasmi wabah pes yang melanda daerah
Magetan. Ia banyak memperoleh pengalaman dari seringnya berpindah tempat tugas. Antara
lain, ia semakin banyak mengetahui kesengsaraan rakyat dan secara langsung dapat
membantu mereka. Sebagai dokter, ia tidak menetapkan tarif, bahkan adakalanya pasien
dibebaskan dari pembayaran. Kemudian ia memperoleh kesempatan memperdalam
pengetahuan di negeri Belanda pada tahun 1919. Sekembalinya di tanah air, ia melihat
kelemahan yang ada pada Budi Utomo. Waktu itu sudah banyak berdiri partai politik. Karena
Biografi Pahlawan Pendidikan 11
Doktor Sutomo yang bernama asli Subroto ini lahir di
desa Ngepeh, Jawa Timur, 30 Juli 1888. Ketika belajar di
STOVIA (Sekolah Dokter), ia bersama rekan-rekannya,
atas saran dr. Wahidin Sudirohusodo mendirikan Budi
Utomo (BU), organisasi modern pertama di Indonesia,
pada tanggal 20 Mei 1908, yang kemudian diperingati
sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Kelahiran Budi
Utomo sebagai Perhimpunan Nasional Indonesia,
dipelopori oleh para pemuda pelajar STOVIA (School tot
Opleiding voor Indische Artsen) yaitu Sutomo, Gunawan,
Suraji
itu, ia ikut giat mengusahakan agar Budi Utomo bergerak di bidang politik dan
keanggotaannya terbuka buat seluruh rakyat.
Kemudian pada tahun 1924, ia mendirikan Indonesische Studie Club (ISC) yang
merupakan wadah bagi kaum terpelajar Indonesia. ISC berhasil mendirikan sekolah tenun,
bank kredit, koperasi, dan sebagainya. Pada tahun 1931 ISC berganti nama menjadi Persatuan
Bangsa Indonesia (PBI). Di bawah pimpinannya, PBI berkembang pesat. Sementara itu,
tekanan dari Pemerintah Kolonial Belanda terhadap pergerakan nasional semakin keras. Lalu
Januari 1934, dibentuk Komisi BU-PBI, yang kemudian disetujui oleh kedua pengurus-
besarnya pertengahan 1935 untuk berfusi. Kongres peresmian fusi dan juga merupakan
kongres terakhir BU, melahirkan Partai Indonesia Raya atau disingkat Parindra, berlangsung
24-26 Des 1935 dan Sutomo diangkat menjadi ketua. Parindra berjuang untuk mencapai
Indonesia merdeka.
Selain bergerak di bidang politik dan kedokteran, dr. Sutomo juga aktif di bidang
kewartawanan. Ia bahkan memimpin beberapa buah surat kabar. Dalam usia 50 tahun, ia
meninggal dunia di Surabaya pada tanggal 30 Mei 1938.
Biografi Pahlawan Pendidikan 12
5. ROHANA KUDUS
menulis dan membaca, dan berbahasa Belanda. Selain itu ia juga belajar Abjad Arab, Latin,
dan Arab Melayu. Saat ayahnya ditugaskan ke Alahan Panjang, Rohana bertetanga dengan
Pejabat Belanda atasan ayahnya. Dari istri pejabat Belanda itu Rohana belajar menyulam,
menjahit, merenda, dan merajut yang merupakan keahlian perempuan Belanda. Disini ia juga
banyak membaca majalah terbitan Belanda yang memuat berbagai berita politik, gaya hidup,
dan pendidikan di Eropa yang sangat digemari Rohana.
Berbekal semangat dan pengetahuan yang dimilikinya setelah kembali ke kampung
dan menikah pada usia 24 tahun dengan Abdul Kudus yang berprofesi sebagai notaris.
Rohana mendirikan sekolah keterampilan khusus perempuan pada tanggal 11 Februari 1911
yang diberi nama “Sekolah Kerajinan Amai Setia”. Di sekolah ini diajarkan berbagai
keterampilan untuk perempuan, keterampilan mengelola keuangan, tulis-baca, budi pekerti,
pendidikan agama dan Bahasa Belanda. Jatuh bangun memperjuangkan nasib kaum
perempuan penuh dengan benturan sosial menghadapi pemuka adat dan kebiasaan
masyarakat Koto Gadang, bahkan fitnahan yang tak kunjung menderanya seiring dengan
keinginannnya untuk memajukan kaum perempuan. Disamping itu juga Rohana menjadi
perantara untuk memasarkan hasil kerajinan muridnya ke Eropa yang memang memenuhi
syarat ekspor. Ini menjadikan sekolah Rohana berbasis industri rumah tangga serta koperasi
simpan pinjam dan jual beli yang anggotanya semua perempuan yang pertama di
Minangkabau.
Rohana juga menulis puisi dan artikel serta fasih berbahasa Belanda. Berita
perjuangannya ditulis di surat kabar terkemuka dan disebut sebagai perintis pendidikan
Biografi Pahlawan Pendidikan 13
Rohana Kudus (lahir di Koto Gadang, Sumatera Barat, 20
Desember 1884 – meninggal di Jakarta, 17 Agustus 1972
pada umur 87 tahun) adalah wartawan Indonesia. Ia lahir
dari ibunya yang bernama Kiam dan ayahnya bernama
Rasjad Maharaja Soetan. Rohana Kudus adalah kakak tiri
dari Soetan Sjahrir, Perdana Menteri Republik Indonesia
yang pertama dan juga Mak Tuo (Bibi) dari penyair
terkenal Chairil Anwar. Ia juga adalah sepupu H. Agus
Salim. Ayahnya, seorang pegawai Pemerintah Belanda yang
selalu membawakan Rohana bahan bacaan dari kantor.
Dalam umur yang masih sangat mudah Rohana sudah bisa
menulis
perempuan pertama di Sumatera Barat. Keinginan untuk berbagi cerita tentang perjuangan
memajukan pendidikan kaum perempuan di kampungnya ditunjang kebiasaannya menulis
berujung dengan diterbitkannya surat kabar perempuan yang diberi nama Sunting Melayu
pada tanggal 10 Juli 1912. Sunting Melayu merupakan surat kabar perempuan pertama di
Sumatera Barat dan Indonesia yang pemimpin redaksi, redaktur dan penulisnya adalah
perempuan.
Pada tanggal 22 Oktober 1916 seorang muridnya yang telah didiknya hingga pintar
menjatuhkannya dari jabatan Direktris dan Peningmeester karena tuduhan penyelewengan
penggunaan keuangan. Rohana harus menghadapi beberapa kali persidangan yang diadakan
di Bukittinggi didampingi suaminya, seorang yang mengerti hukum dan dukungan seluruh
keluarga. Tuduhan pada Rohana tidak terbukti, jabatan di sekolah Amai Setia kembali
diserahkan padanya, namun dengan halus ditolaknya karena dia berniat pindah ke
Bukittinggi.
Di Bukittinggi Rohana mendirikan sekolah dengan nama “ Rohana School ”. Rohana
mengelola sekolahnya sendiri tanpa minta bantuan siapa pun untuk menghindari
permasalahan yang tak diinginkan terulang kembali. Rohana School sangat terkenal
muridnya banyak, tidak hanya dari Bukittinggi tapi juga dari daerah lain. Hal ini disebabkan
Rohana sudah cukup populer dengan hasil karyanya yang bermutu dan juga jabatannya
sebagai Pemimpin Redaksi Sunting Melayu membuat eksistensinya tidak diragukan.
Tak puas dengan ilmunya, di Bukittinggi Rohana memperkaya keterampilannya
dengan belajar membordir pada orang Cina dengan menggunakan mesin jahit Singer. Karena
jiwa bisnisnya juga kuat, selain belajar membordir Rohana juga menjadi agen mesin jahit
untuk murid-murid di sekolahnya sendiri. Rohana adalah perempuan pertama di Bukittinggi
yang menjadi agen mesin jahit Singer yang sebelumnya hanya dikuasai orang Cina. Dengan
kepandaian dan kepopulerannya Rohana mendapat tawaran mengajar di sekolah Dharma
Putra. Di sekolah ini muridnya tidak hanya perempuan tapi ada juga laki-laki. Rohana diberi
kepercayaan mengisi pelajaran keterampilan menyulam dan merenda. Semua guru di sini
adalah lulusan sekolah guru kecuali Rohana yang tidak pernah menempuh pendidikan formal.
Namun Rohana tidak hanya pintar mengajar menjahit dan menyulam melainkan juga
mengajar mata pelajaran agama, budi pekerti, Bahasa Belanda, politik, sastra, dan teknik
menulis jurnalistik.
Rohana menghabiskan waktu sepanjang hidupnya dengan belajar dan mengajar.
Mengubah paradigma dan pandangan masyarakat Koto Gadang terhadap pendidikan untuk
kaum perempuan yang menuding perempuan tidak perlu menandingi laki-laki dengan
Biografi Pahlawan Pendidikan 14
bersekolah segala. Namun dengan bijak Rohana menjelaskan “Perputaran zaman tidak akan
pernah membuat perempuan menyamai laki-laki. Perempuan tetaplah perempuan dengan
segala kemampuan dan kewajibanya. Yang harus berubah adalah perempuan harus
mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Perempuan harus sehat jasmani dan
rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan
terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan”. Emansipasi yang ditawarkan dan
dilakukan Rohana tidak menuntut persamaan hak perempuan dengan laki-laki namun lebih
kepada pengukuhan fungsi alamiah perempuan itu sendiri secara kodratnya. Untuk dapat
berfungsi sebagai perempuan sejati sebagaimana mestinya juga butuh ilmu pengetahuan dan
keterampilan untuk itulah diperlukannya pendidikan untuk perempuan.
Saat Belanda meningkatkan tekanan dan serangannya terhadap kaum pribumi,
Rohana bahkan turut membantu pergerakan politik dengan tulisannya yang membakar
semangat juang para pemuda. Rohana pun mempelopori berdirinya dapur umum dan badan
sosial untuk membantu para gerilyawan. Dia juga mencetuskan ide bernas dalam
penyelundupan senjata dari Koto Gadang ke Bukiktinggi melalui Ngarai Sianok dengan cara
menyembunyikannya dalam sayuran dan buah-buahan yang kemudian dibawa ke
Payakumbuh dengan kereta api.
Hingga ajalnya menjemput, dia masih terus berjuang. Termasuk ketika merantau ke
Lubuk Pakam dan Kota Medan. Di sana dia mengajar dan memimpin surat kabar Perempuan
Bergerak. Kembali ke Padang, ia menjadi redaktur surat kabar Radio yang diterbitkan Cina
Melayu di Padang dan surat kabar Cahaya Sumatera.
Demikianlah Rohana Kudus menghabiskan 88 tahun umurnya dengan beragam
kegiatan yang berorientasi pada pendidikan, jurnalistik, bisnis dan bahkan politik. Kalau
dicermati begitu banyak kiprah yang telah diusung Rohana. Selama hidupnya ia menerima
Penghargaan sebagai Wartawati Pertama Indonesia (1974), pada Hari Pers Nasional ke-3, 9
Februari 1987, Menteri Penerangan Harmoko menganugerahinya sebagai Perintis Pers
Indonesia. Dan pada tahun 2008 Pemerintah Indonesia menganugerahkan Bintang Jasa
Utama.
Biografi Pahlawan Pendidikan 15
6. Prof. Mr. Dr. SOEPOMO
(SMP) di kota Sala. Kemudian meneruskan pelajarannya ke Rechtschool atau Sekolah
Menengah Hukum di Jakarta. Pada tahun 1923 Soepomo lulus dengan memuaskan dan
termasuk seorang pelajar terbaik yang pernah dihasilkan oleh sekolah tersebut.
Sejak muda Soepomo sudah tertarik pada pergerakan pemuda. Ia menjadi anggota
perkumpulan Jong Java. Juga giat berolah seni dengan memasuki perkumpulan wayang orang
Krido Yatmoko. Ia pun pandai seni karawitan dan tarian Jawa. Sesudah tamat dari Sekolah
Menengah Hukum, Soepomo diangkat menjadi pegawai pada Pengadilan Negeri di Sragen,
daerah Surakarta pula. Minatnya terhadap penelitian ilmu hukum sudah mulai tumbuh pada
waktu itu ia tertarik pada hukum adat dan ingin melakukan penelitian dengan seksama.
Karena minat dan bakatnya Soepomo mendapat tugas belajar untuk memperdalam ilmu
hukum di Universiteit Leiden, Negeri Belanda. Pada tahun 1924 ia berangkat ke Negeri
Belanda dan bermukim di negeri dingin itu hingga tahun 1927. Pada tanggal 14 Juni 1927 ia
berhasil memperoleh gelar (Meester in de rechten sama dengan Sarjana Hukum).
Kepandaiannya amat menonjol. Belum satu bulan kemudian, tepatnya pada tanggal 8 Juli
1927, ia berhasil memperoleh gelar doktor dalam ilmu hukum untuk desertasinya yang
berjudul ”De reorganisatie van het Agraris stelsel in het gewest Surakarta” (Penyusunan
kembali hukum agrarie di daerah Surakarta ) bahkan meraih hadiah tertinggi, yaitu hadiah
”Gajah Mada”.
Keberhasilan Soepomo ini mendapat sambutan baik di kalangan kawan-kawan
mahasiswa di Negeri Belanda dan bangsa Indonesia pada umumnya, karena memberi bukti
bahwa anak Indonesia pun mampu berkarya pada bidang ilmu pengetahuan. Para sarjana
Belanda pun menghargainya. Di Negeri Belanda, pemuda Soepomo juga bergabung dalam
Biografi Pahlawan Pendidikan 16
Prof. Mr. Dr. Soepomo dilahirkan di Sukoharjo, daerah
Surakarta pada tanggal 22 Januari 1903. Ayahnya adalah
Raden Tumenggung Wignyodipuro, menjabat sebagai
Bupati Anom, Inspektur Penghasilan Negeri Kasunanan
Surakarta. Soepomo adalah anak tertua dalam keluarga
yang berjumlah 11 orang, 5 orang laki-laki terhitung
Soepomo dan 6 orang wanita. Mula-mula Soepomo
bersekolah di Europesche Lagere School (ELS), suatu
sekolah dasar untuk anak-anak Belanda. Sesudah tamat
pada tahun 1917, ia meneruskan pelajarannya ke MULO
(SMP
organisasi mahasiswa Perhimpunan Indonesia waktu masih bernama Indonesische
Vereeniging dengan tujuannya Indonesia Merdeka. Di sela-sela kesibukan studi dan
berorganisasi, Soepomo juga giat dalam bidang seni budaya. Pada tahun 1927 di kota Paris
bersama Wiryono Projodikoro ia mengadakan pagelaran tari yang menggemparkan dan
mempesonakan yang hadir, di antaranya Duta Besar Belanda di Paris, Dr. Loudon. Ia begitu
kagum akan tarian Soepomo dan Wiryono, sehingga memintanya untuk mengulangi lagi pada
kesempatan yang lain.
Mr. Dr.Soepomo menekuni bidang Hukum Adat, untuk menunjukkan kepada dunia
bahwa bangsa Indonesia adalah juga bangsa yang berkebudayaan dan beradaban.
Sekembalinya di Indonesia, ia diangkat menjadi pegawai yang diperbantukan pada Ketua
Pengadilan Negeri di Yogyakarta (1927). Setahun kemudian menjadi Ketua Luar Biasa
Pengadilan Negeri di Yogyakarta. Perhatiannya terhadap bidang studi ilmu hukum tetap
besar. Waktunya digunakan untuk memperdalam hukum agraria, hukum adat tanah dan
peradilan di Yogyakarta Mulai tahun 1930 sampai tahun 1932. Soepomo ditarik ke Jakarta
dan bekerja untuk membantu Direktur Justisi di Jakarta. Departemen yang Justitie atau
Departemen Kehakiman menguasinya untuk mengadakan penelitian. hukum adat di daerah
hukum Jawa Barat (Privaatrechtder Inheemse beyolking). Penelitian tersebut menghasilkan
laporan monografi tentang hukum adat privat Jawa Barat yang penting artinya.
Pada tanggal 20 Januari 1929 Mr. Dr. Soepomo kawin dengan puteri bangsawan R.A.
Kushartati, puteri Pangeran Ario Mataram, kerabat keraton Surakarta. Dari perkawinannya
itu memperoleh 6 orang anak, 3 pria dan 3 wanita.
Antara tahun 1932 (Desember) sampai tahun 1938 Soepomo menjabat sebagai Ketua
Pengadilan Negeri Purworejo dan selanjutnya dipindahkan lagi ke Jakarta menjadi pegawai
tinggi pada Departemen Kehakiman. Menjelang pecahnya Perang Asia Timur Raya.
Soepomo mulai memasuki dunia pendidikan tinggi ilmu hukum. la menggantikan Prof. Ter
Haar yang cuti ke Negeri Belanda, dan diangkat sebagai dosen dalam Hukum Adat pada
Rechts Hooge School (RHS) yaitu Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta. Di samping itu juga
memberi kuliah hukum adat pada Bestuursacademie (Akademi Calon Pamongpraja) di
Jakarta. Ketika pemerintah Hindia Belanda hampir runtuh, Soepomo menjabat Guru Besar
Hukum Adat pada Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta, sampai mendaratnya pasukan Jepang di
Indonesia.
Ketika diangkat sebagai Guru Besar Luar Biasa Hukum Adat pada RHS, Soepomo
mengucapkan pidato pengukuhannya dengan judul ”Hubungan Individu dan Masyarakat
dalam Hukum Adat”. Sebagai seorang Sarjana Soepomo selalu berpikir ilmiah, obyektif dan
Biografi Pahlawan Pendidikan 17
tetap memegang kode-kode etik ilmuwan. la menghindari penonjolan diri sebagai kelompok,
dan tidak menyukai sikap ekstrim maupun pertentangan. Soepomo selalu mencari titik
persamaan dan persatuan.
Pada zaman Hindia Belanda Mr. Dr. Soepomo sering menulis karangan tentang ilmu
hukum dalam majalah Indisch Tijdshrift van het Recht (Majalah Hindia mengenai Hukum). la
juga tetap memperhatikan pergerakan nasional. Bersama Ali Sastroamijoyo, Soepomo
menulis karangan berjudul ”Perempuan Indonesia dalam Hukum”. Untuk menyambut
Kongres Perempuan Indonesia di Yogyakarta. Soepomo berperan pula dalam melahirkan
Partai Indonesia Raya ( Parindra), gabungan Budi Utomo (BU) dengan persatuan Bangsa
Indonesia (PBI). Soepomo ditunjuk sebagai anggota panitia untuk merumuskan dalil-dalil
persatuan yang akan mengantarkan BU dengan dasar-dasar kebangsaan Indonesia menuju
Indonesia Merdeka. Laporan Soepomo ini disampaikan dalam konferensi Budi Utomo tahun
1935, dan diterima baik, lahir Parindra sebagai hasil perpaduan BU dengan PBI. Atas dasar
persetujuan hasil pemikiran Soepomo itulah Prof. Supomo duduk sebagai Ketua Balai
Pengetahuan Masyarakat di Jakarta. la juga meneliti Hukum Waris Adat di Jakarta.
Pada zaman pendudukan Jepang, Prof. Supomo menjabat sebagai pembesar dan Kepala
Jawatan Kehakiman, dan duduk dalam Panitia Hukum Adat dan Tatanegara.
Dalam mempersiapkan Indonesia Merdeka Prof. Soepomo mempunyai saham yang besar. la
duduk sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (Dokuritsu
Junbi Cosakai), dan mengetuai Panitia Perancang Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia. la berhasil menyusun konsep UUD dan menjelaskannya setiap makna dari pasal-
pasal UUD itu dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia.
Bahkan Ia berhasil meyakinkan para anggota sidang sehingga Rancangan UUD
tersebut dapat di sahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada sidangnya
sehari sesudah Proklamasi Kemerdekaan, tanggal 18 Agustus 1945. Pada sidang pertama,
yaitu pada tanggal 31 Mei 1945, Prof. Soepomo mengucapksan pidatonya tentang teori
negara secara yuridis, politis dan sosiologis, syarat-syarat berdirinya negara, bentuk negara
dan bentuk pemerintahan serta hubungan antara negara dan agama. Pada kesempatan itu,
Prof. Soepomo mengemukakan pertanyaan antara lain, apakah Indonesia akan berdiri sebagai
negara kesatuan (eenheidsstaat), atau negara serikat (bondstaat) atau pun persekutuan negara
(statenbond)? Bagaimana pula hubungan antara negara dan agama, serta apakah Indonesia
akan berbentuk sebagai republik atau kerajaan (monarchie)? Prof. Soepomo memberi
kesimpulan sebagai berikut:
Biografi Pahlawan Pendidikan 18
1) Politik Pembangunan Negara Indonesia harus disesuaikan dengan struktur sosial
masyarakat Indonesia yang ada dan nyata pada masa itu, serta harus disesuaikan dengan
panggilan zaman.
2) Jika kita hendak mendirikan Negara Indonesia yang sesuai dengan ke Istimewaan sifat
dan corak masyarakat Indonesia, maka negara Indonesia harus berdasar atas aliran
pikiran negara atau staatsdee yang integralistik, negara yang bersatu dengan seluruh
rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongan-golongannya dalam lapangan apa pun.
3) Negara Nasional yang bersatu itu akan memelihara budi pekerti kemanusiaan yang
luhur, akan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. Maka negara yang
demikian itu hendaknya Negara Indonesia yang memakai dasar moral yang luhur, yang
dianjurkan juga oleh agama Islam.
4) Negara akan bertindak sebagai penyelenggara keinsyafan keadilan rakyat seluruhnya
maka kita akan dapat melaksanakan Negara Indonesia yang bersatu dan adil.
Mengenai apakah negara itu, Prof Soepomo condong pada pendapat: “Negara ialah
suatu susunan masyarakat yang integral, segala golongan, segala bagian, segala anggotanya
berhubungan erat satu sama lain dan merupakan persatuan masyarakat yang organis. Yang
terpenting dalam negara yang berdasar aliran pikiran integral, ialah penghidupan bangsa
seluruhnya. Negara tidak memihak kepada sesuatu golongan yang paling kuat, atau yang
paling besar, tidak menganggap kepentingan seseorang sebagai pusat, akan tetapi negara
menjamin keselamatan hidup bangsa seluruhnya sebagai persatuan yang tidak dapat
dipisah-pisahkan”. Pada bagian lain beliau berkata: “Maka semangat kebatinan, struktur
kerokhanian dari bangsa Indonesia bersifat dan bercita-cita persatuan hidup, persatuan
kawulo dan gusti, yaitu persatuan antara rakyat dan pemimpin-pemimpinnya. Segala
manusia sebagai seseorang, golongan manusia dalam suatu masyarakat dan golongan-
golongan lain dari masyarakat itu dan tiap-tiap masyarakat dalam pergaulan hidup di dunia
seluruhnya dianggapnya mempunyai tempat dan kewajiban hidup (dharma) sendiri-sendiri
menurut kodrat alam dan segala-galanya ditujukan kepada Keseimbangan lahir dan batin.
Manusia sebagai seseorang tidak terpisah dari seseorang lain atau dunia luar, golongan-
golongan manusia, malah segala golongan mahluk segala sesuatu bercampur baur dan
bersangkut-paut. Inilah ide totaliter, ide integralistik dari bangsa Indonesia yang berwujud
juga dalam susunan tata negaranya yang asli”.
Demikianlah beberapa cukilan pokok-pokok pikiran Prof. Soepomo mengenai
Negara Indonesia yaang akan dibangun. Ia telah ikut meletakkan dasar-dasar pemkiran yang
fundamental bagi negara. Dasar-dasar pemikiran inilah yang kemudian mengilhami setiap
Biografi Pahlawan Pendidikan 19
pasal UUD RI atau Undang-Undang Dasar 1945 Prof. Soepomo adalah ketua Panitia Kecil
Perancang Hukum Dasar yang sudah tentu amat besar peranannya. Panitia Kecil Perancang
Hukum Dasar ini diketuai oleh Prof. Soepomo dan para anggotanya adalah Wongsonegoro
S.H., Ahmad subarjo SH, A.A. Maramis S.H., R.P. Singgih SH. Haji Agus Salim dan dr.
Sukiman Wirjosandjojo.
Prof. Soepomo berhasil menyusun Rancangan Undang -Undang Dasar 1945. Bahkan
ia pula yang menjelaskan segala hal yang menyangkut UUD tersebut didepan sidang.
Rancangan UUD inilah yang kemudian dalam Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945 dibahas kembali dan disahkan sebagai UUD
1945. Prof. Soepomo juga duduk sebagai Panitia Penghalus Bahasa untuk memperbaiki
redaksi Rancangan UUD tersebut, bersama dengan Prof. Dr. Husein Jayadinigrat dan Haji
Agus Salim.
Sungguh besar sekali peranan Prof. Dr. Soepomo dalam penyusunan UUD 1945.
Tidaklah mengherankan, apabila sesudah Proklamasi Kemerdekaan, Prof. Dr. Soepomo
diangkat sebagai Menteri Kehakiman Republik Indonesia yang pertama. Sebagai Menteri
Kehakiman, pertama-tama Prof. Soepomo menghadapi persoalan hukum nasional yang harus
segera dibina, karena hukum kolonial sudah tidak sesuai lagi. Dengan terbentuknya Kabinet
Sjahrir, maka Prof. Soepomo diangkat sebagai Penasehat Menteri Kehakiman. Ia juga
ditunjuk sebagai anggota komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Sesudah pasukan Belanda mendarat di Indonesia, maka terjadilah perjuangan fisik
(militer) di samping perjuangan diplomasi. Prof. Soepomo sejak awal aktif berjuang dalam
bidang diplomasi, sebagai anggota Delegasi Republik Indonesia dalam perundingan-
perundingan dengan Belanda, dalam Perundingan Renville (tanggal 8 Desember 1947), pula
dalam perundingan dengan Komisi Tiga Negara. Prof. Soepomo juga mengambil peranan
dalam perundingan-perundingan di bawah naungan UNCI (United Nations Commission for
Indonesia) yang menghasilkan Roem-Rojen Statement. Dalam Konperensi Meja Bundar
(KMB) di Den Haag, Prof. Soepomo mengetuai suatu Panitia Urusan Ketatanegaraan dan
Hukum Tatanegara.
Di dalam kabinet pertama Republik Indonesia Serikat (RIS) sesudah pengakuan
kedaulatan, Prof. Soepomo diangkat menjadi Menteri Kehakiman. Peranannya besar sekali
dalam memperjuangkan terciptanya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Perubahan dari RIS ke Negara Kesatuan Republik Indonesia ditempuh dengan cara
konstitusional. Kemudian Prof. Soepomo aktif dalam berbagai kepanitiaan, antara lain Panitia
Pembentukan Karesidenan Irian Barat, anggota Delegasi RI ke Sidang Umum PBB, Panitia
Biografi Pahlawan Pendidikan 20
Negara khusus yang bertugas meninjau persetujuan-persetujuan antara Indonesia dan Belanda
yang tercapai dalam KMB, Konferensi Perjanjian Perdamaian dengan Jepang dan sebagainya.
Pada tahun 1954 sampai 1956, Prof. Soepomo bertugas sebagai Duta Besar RI di Inggris
(London). Selain itu Prof. Soepomo juga memimpin berbagai lembaga internasional,
misalnya International Insstitute of Differing Civilization di Brusel, dan International
Commission for a Scientific and Cultural History of Mankind and Indonesian Institute of
World Affairs.
Sebagai seorang sarjana yang terkemuka, Prof Soepomo berjasa dalam pembinaan
ilmu pengetahuan hukum, menjadi Guru Besar pada Universitas Gajah Mada, Akademi Ilmu
Politik, pada Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Indonesia dan
Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian. Pada tahun 1951-1954 Ia menjabat Presiden Universitas
Indonesia dan anggota Panitia Negara Urusan Konstitusi. Selama hidupnya Prof. Dr.
Soepomo telah banyak memberikan sumbangan kepada ilmu hukum dengan karya-karya
ilmiahnya yang berbobot dan telah dijadikan buku atau dimuat di majalah-majalah.
Prof. Mr. Dr. Soepomo wafat tanggal 12 September 1958 di Jakarta. Jenazahnya
dikebumikan di makam keluarga di kampung Yosoroto, Sala. Pemerintah Republik Indonesia
mengakui jasa-jasa Prof. Mr. Dr. Soepomo dan menganugerahi gelar Pahlawan Kemerdekaan
Nasional dengan Surat Keputusan Presiden RI No.123 Tahun 1965 tanggal 14 Mei 1965.
Biografi Pahlawan Pendidikan 21
Top Related