TUGAS UJIANILMU PENYAKIT MULUT
Oleh :
Nama : Sri Ayu Astuti Arib
Stambuk : J11109288
Penguji : Prof. Dr. drg. Harlina, M.Kes
KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU PENYAKIT MULUT
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
1
DAFTAR ISI
MATERI HALAMAN
Oral Medicine
Refarat : Burning Mouth Syndrome
Saliva
Kasus: Virus Herpes Simpleks
Infeksi dan Peradangan
1
12
22
28
35
2
ORAL MEDICINE = ILMU PENYAKIT MULUT
Oral medicine dapat didefenisikan sebagai suatu bidang dalam kedokteran
gigi yang berpusat pada diagnosa dan terapi dari penyakit mukosa mulut
(stomatologi), termasuk di dalamnya diagnosa dan terapi dari keluhan mulut lainnya
yang mungkin merefleksikan penyakit mulut setempat atau manifestasi penyakit
sistemik di rongga mulut, atau fase-fase dari praktek dokter gigi yang khususnya
memusatkan perawatan gigi pada pasien yang memiliki resiko secara fisiologis.1
Beberapa hasil penelitian yang dilakukan oleh Parlak, Tomar, Shulman dan
juga penelitian M Del Rosario pada anak-anak mulai dari usia 2 sampai dengan 17
tahun, terdapat beberapa penyakit mulut yang umum dijumpai pada anak-anak,
diantaranya recurent apthous stomatitis, herpes labialis, linea alba, geographic
tongue, angular cheilitis, dan oral candidiasis.2-4 Terjadinya penyakit-penyakit
tersebut tidak terlepas dari beberapa faktor yang mempengaruhinya seperti adanya
infeksi, penyakit-penyakit sistemik, trauma yang berkepanjangan, dan lain-lain.5
Seperti yang telah dijelaskan di atas, penyakit yang dijumpai di rongga mulut
dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Di bawah ini akan dijelaskan beberapa faktor
etiologi terjadinya lesi di rongga mulut.
1. Infeksi
3
Berbagai jenis flora normal terdapat di dalam rongga mulut yang membentuk
mikroflora oral komensial. Mikroflora ini biasanya mengandung bakteri,
mikroplasma, jamur, dan protozoa, yang keseluruhannya dapat menimbulkan infeksi
oportunistik simtomatik tergantung pada faktor-faktor lokal atau daya pertahanan
tubuh pejamu yang rendah infeksi.5 Beberapa penyakit mulut yang dapat terjadi
akibat infeksi yaitu Keilitis angularis yang disebabkan oleh Stafilokokus aureus dan
Candida albicans, kandidiasis akibat infeksi jamur yang didominasi golongan
Candida albicans, serta herpes labialis dan gingivostomatitis herpetika primer yang
terjadi akibat infeksi virus herpes simpleks tipe1 dan 2, apabila terjadi kontak
mukokutan langsung dari sekresi-sekresi yang terinfeksi virus ini maka penularan
infeksi dapat terjadi.5,6,7
2. Trauma
Penyebab traumatik dari ulserasi rongga mulut bisa berupa trauma fisik atau
kimiawi. Kerusakan fisik pada mukosa mulut dapat disebabkan oleh permukaan
tajam, seperti tepi-tepi protesa, peralatan ortodontik, kebiasaan mengigit pipi, atau
gigi yang fraktur. Trauma kimiawi pada mukosa mulut biasanya dikarenakan tablet
aspirin atau krim sakit gigi yang diletakkan pada gigi-gigi yang sakit.5
3. Hormonal
Perubahan hormon seks terkhusus pada masa remaja dapat menimbulkan
perubahan-perubahan mukosa mulut. Pada fase luteal siklus menstruasi wanita, ketika
konsentrasi hormon progesteron mencapai nilai tertinggi, maka akan mengakibatkan
manifestasi oral seperti RAS (Recurent Apthous stomatitis), herpes labialis, dan
infeksi Candida. Peningkatan mikroorganisme tetentu seperti Provotella intermedia
dan spesies Capnocytophaga juga dapat ditemukan pada masa pubertas.
Meningkatnya kolonisasi bakteri ini menyebabkan gingivitis dan tingginya tendensi
perdarahan gingiva.8,9
4. Kelainan darah
4
Telah lama diketahui bahwa gejala-gejala oral merupakan indikasi awal terjadinya
kelainan hematologis maupun defisiensi nutrisi. Lesi-lesi oral yang sering dijumpai
pada keadaan ini adalah keilitis angularis, glossitis dan ulserasi oral.5
a) Anemia
Anemia defisiensi zat besi diperkirakan 8% terjadi pada wanita usia subur,
sedangkan anemia pernisiosa lebih sering terjadi pada lansia dengan kelainan
pencernaan khususnya penyerapan vitamin B12.5 Manifestasi intraoral dari anemia
paling menonjol pada lidah. Dorsum lidah pada awalnya tampak pucat dengan papila-
papila filiformis yang rata. Atrofi yang berlanjut dari papila berakibat permukaan
lidah tampak licin, kering dan mengkilat (disebut bald tongue). Pada tahap akhir lidah
tampak seperti daging merah dan terdapat apthae oral. Manifestasi oral yang lain dari
anemia mencakup keilitis angularis, ulserasi apthosa dan erosi mukosa.7
b) Leukemia
Pada penderita leukemia, terjadi infiltrasi sel leukosit ke dalam lapisan
retikular mukosa mulut dan kelenjar limfe serta menurunya mekanisme pertahanan
tubuh dan kadar trombosit di dalam darah, keadaan ini menyebabkan terjadinya
manifestasi oral dari penyakit leukemia di rongga mulut. Manifestasi oral yang dapat
terlihat pada penderita leukemia yaitu gingivitis, dimana gingiva mengalami
pembengkakan di daerah margin gingiva. Selain itu, penurunan mekanisme
pertahanan tubuh pada penderita leukemia menyebabkan infeksi rentan terjadi
terutama infeksi dari jamur Candida albicans.10
5. Defisiensi Imun
Pertahanan terhadap kolonisasi mikrobial merupakan salah satu dari fungsi sistem
kekebalan tubuh. Oleh karena itu, suatu kerusakan pada sistem ini akan berakibat
pada timbulnya infeksi. Hal ini digambarkan secara jelas oleh infeksi oportunistik
5
yang timbul dalam mulut penderita AIDS. Jumlah Candida albicans dalam saliva
bertambah pada penderita HIV. Kandidosis oral sering merupakan gejala awal dari
infeksi HIV dan dapat dibedakan menjadi empat bentuk: Pseudomembranosis,
eritematus (atrofik), hiperplastik, dan keilitis angularis.5
Infeksi virus yang terjadi pada penderita HIV yaitu virus Epstein-Barr yang
menyebabkan hairy leukoplakia dan virus HSV I yang menyebabkan penyakit herpes
simpleks. Infeksi HSV I terlihat pada bibir sebagai herpes labialis dan herpes intraoral
yang bersifat kambuhan, lebih sering menetap sehingga terlihat lebih parah
dibandingkan herpes simpleks pada orang yang tidak mengidap penyakit AIDS.7
6. Tembakau
Tembakau adalah faktor resiko utama terjadinya kanker rongga mulut dan faring.
Indonesia menempati urutan ketiga jumlah perokok terbanyak yang mencapai
146.860.000 jiwa. Remaja umumnya mulai merokok di usia remaja awal atau SMP.
Oleh karena itu, edukasi bahaya rokok terhadap kesehatan perlu diberikan sedini
mungkin.11
Secara histologi, karakteristik dari kanker rongga mulut akibat tembakau adalah
adanya hiperkeratinisasi dan vakuolisasi epitel, akantosis, dan proliferasi sel-sel
inflamatori. Penyakit mulut yang sering terjadi akibat penggunaan tembakau terutama
melalui kebiasaan merokok yaitu stomatitis nikotina dan keratosis rokok. Kelainan ini
umumnya mengenai orang dewasa dan jarang pada usia muda.7,12
7. Defisiensi Nutrisi
Masalah gizi remaja perlu mendapat perhatian khusus karena pengaruhnya yang
besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan tubuh serta dampaknya pada masalah
gizi saat dewasa, mengingat di Indonesi persentase populasi remaja mencapai 21%
dari total populasi penduduk yaitu sekitar 44 juta jiwa (BPS, 2003). Masalah gizi
6
pada remaja masih terabaikan karena banyaknya faktor yang belum diketahui
(WHO,2003). Oleh karena itu, dokter gigi sebagai tenaga kesehatan harus mampu
ambil bagian dalam upaya menurunkan angka gizi buruk dikemudian hari dengan
melakukan pemeriksaan mulut yang dapat memberikan informasi cepat dan vital
tentang keadaan gizi seseorang.6,13
Manifestasi oral yang sering ditemukan pada penderita kurang gizi antara lain
keilitis angularis, cheilosis, glossitis dan RAS. Kekurangan gizi yang menimbulkan
manifestasi oral tersebut dapat dikarenakan kekurangan vitamin B2, riboflavin,
vitamin B6, piridoksin, zat besi, asam folat dan biotin.6,13
8. Tingkat Ekonomi Keluarga
Angka penyakit gigi dan mulut diduga lebih tinggi di daerah serta pada anak dari
golongan ekonomi menengah kebawah.14 Hal ini sesuai dengan pernyataan The World
Oral Health Report (2003), bahwa perawatan penyakit gigi dan mulut menempati
peringkat keempat penyakit termahal dalam pengobatan.15 Selain itu, kekurangan gizi
yang merupakan salah satu penyebab penyakit di rongga mulut, sering dialami
masyarakat terutama di negara sedang berkembang.6
9. Tingkat Pendidikan Orangtua
Tingkat pengetahuan seseorang sering dikaitkan dengan perilaku kesehatan.
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka pengetahuan dan penilaian
tentang kesehatan akan lebih baik, sehingga berpengaruh pada prilakunya untuk
hidup sehat yang berdampak pada penurunan resiko terkena suatu penyakit
dikemudian hari.15,16 Keluarga maupun sekolah merupakan lingkungan terdekat anak
untuk memberi dukungan optimal dalam upaya mencegah bahkan juga mengobati
penyakit gigi dan mulut.14
10. Oral Hygiene
7
Oral Hygiene (kebersihan rongga mulut) merupakan faktor resiko terjadinya
penyakit mulut. Dari hasil penelitian tahun 2008 di Iranian, dilaporkan bahwa adanya
hubungan antara kebersihan rongga mulut yang buruk dengan lesi pada lidah.17 Selain
itu, kebersihan rongga mulut yang buruk juga dapat meningkatkan peluang terjadinya
infeksi jamur di rongga mulut.18
Gambaran Klinis Penyakit Mulut
1. Lesi Vesikulobulosa
Herpes Labialis
Kelompok virus yang dapat menyebabkan infeksi di rongga mulut yaitu virus
Herpes simpleks tipe-I, Herpes simpleks tipe-II, Varicella zoster, virus Epstein-
Barr dan Sitomegalovirus. Pada infeksi herpes simpleks secara khas
menimbulkan herpes labialis. Gejala-gejala yang timbul diawali perasaan
menusuk atau perasaan terbakar pada satu tempat di bibir. Dalam 24 jam timbul
vesikel yang akan pecah dalam waktu 48 jam dan akan menimbulkan erosi epitel
dengan batas jelas berwarna merah, selanjutnya akan menjadi keropeng dan
sembuh dalam beberapa waktu. Faktor predisposisi yang dapat menimbulkan
herpes labialis pada individu yang rentan adalah sinar matahari, trauma, stres,
demam, haid, dan imunosupresi. Selain daerah bibir, palatum keras dan sulkus
bukal bawah merupakan daerah yang sering terserang infeksi virus ini.5,7
8
Gambar 1. Herpes labialis19
2. Lesi Merah dan Putih
Kandidiasis Oral
Merupakan infeksi jamur pada mukosa mulut maupun lidah yang biasanya
disebabkan oleh Candida albicans . Infeksi ini meningkat pada penderita HIV,
terlihat adanya plak putih pada mukosa mulut dan lidah, berwarna merah, diikuti
sensasi terbakar ataupun rasa sakit di daerah setempat. Pada lidah terjadi
perubahan pengecapan, sensitif terhadap makanan yang pedas sehingga
menyebabkan penurunan nafsu makan.
Tabel 1. Penyakit Kandidiasis Oral5,7
Penyakit Oral Candidiasis
Epidemiologi Etiologi
Kandidiasis Pseudomembranosis (Trhush)
5% pada bayi yang baru lahir dan 10% pada lansia yang lemah. Paling banyak ditemukan pada penderita HIV Tidak ada predileksi ras atau
Bayi yang ibunya menderita Trush Vagina, pemakaian antibiotik, steroid, dalam jangka panjang, penderita diabetes, hipoparatiroidisme,
9
jenis kelamin immunodefisiensi, kemoterapi
Kandidiasis Atrofik Akut
Sering pada penderita HIV
Penggunaan antibiotik steroid spektrum luas,
Kandidiasis Atrofik Kronis
15-16% pada pemakai gigitiruan lengkap dan sebagian, terutama pada wanita tua
Alergi Gigitiruan
Kandidiasis Keratotik Kronis (Hiperplastik)
Pada lansia. Pemakai gigitiruan dan perokok berat.
OH yang buruk, perokok, serostomia, pemakai gigitiruan
Gambar 2. Kandidiasis Pseudomembranosis pada penderita HIV20
Keilitis Angularis (Angular Cheilitis)
Keilitis angularis merupakan inflamasi pada salah satu atau kedua sudut
mulut. Penyakit ini disebabkan oleh Streptokokus aureus dan Candida albicans,
secara klinis keilitis angularis tampak merah dan pecah-pecah, dengan tepi lesi
yang kurang merah dari pada daerah tengahnya. Keropeng dan nodula-nodula
granulomatosa kecoklatan dapat menyertainya. Keilitis angularis dapat mengenai
penderita penyakit imunologis (penurunan daya tahan tubuh), defisiensi nutrisi,
dan penyakit haemopoetik (kelainan darah).5,7
10
Gambar 3. Keilitis angularis21
Linea Alba
Gambaran klinis dari linea alba yaitu adanya abrasi traumatik dari permukaan
epitel mukosa mulut serta plak keputih-putihan dengan dasar berwarna merah.
Line alba biasanya terjadi pada mukosa labial dan mukosa bukal dekat garis
oklusal. Lesi ini tidak berpotensi mengarah kepada keganasan. Terjadinya lesi ini
sering dihubungkan dengan kecemasan, sindroma premenstruasi, dan
parafungsional mandibula.22
Gambar 4. Linea alba23
3. Kelainan pada Lidah
Kesehatan lidah mampu mencerminkan kesehatan rongga mulut dan
kesehatan umum seseorang. Hal ini sesuai dengan pernyataan beberapa peneliti yang
mengatakan bahwa lidah merupakan indikator kesehatan seseorang secara umum,
11
karena ditemukan adanya hubungan antara lesi pada lidah dengan penyakit sisemik
seperti lidah geografik pada penderita stres emosional, alergi, dan defisiensi nutrisi,
serta lidah atrofik (glossitis atrofic) pada penderita defisiensi zat besi dan riboflavin.24
Lidah berfisur
Lidah berfisur adalah variasi dari anatomi lidah normal yang bersifat jinak,
terdiri atas satu fisura garis tengah, fisura ganda atau fisura multipel pada
permukaan dorsal dari dua pertiga anterior lidah. Pola dan panjang fisur
bermacam-macam dan penyebabnya tidak diketahui dengan pasti, tetapi ada
pendapat mengatakan bertambah banyak seiring bertambahnya usia. Lidah
berfisur mengenai 1-5% penduduk, umumnya terjadi pada sindrom Down dan
sindrom Melkerson-Rosenthal. Fisur tersebut dapat terkena radang sekunder dan
menyebabkan halitosis sebagai akibat dari penumpukan makanan.7
Gambar 5. Lidah berfisur25
Lidah Geografik
Lidah geografik adalah suatu peradangan jinak yang disebabkan oleh
pengelupasan keratin superfisial dan papila-papila filiformis. Penyebabnya tidak
diketahui, tetapi diperkirakan karena stres emosional, alergi, defisiensi nutrisi dan
12
faktor herediter. Lidah geografik ditandai adanya bercak-bercak gundul dari
papila filiformis, berwarna merah muda sampai merah, dapat tunggal atau
multipel yang dibatasi ataupun tidak dibatasi oleh pinggiran putih yang timbul.
Dapat juga disertai peradangan merah di tepi lesinya dan disertai perasaan sakit.
Lesi terus menerus berubah pola dan berpindah dari suatu daerah ke daerah lain.7
Gambar 6. Lidah geografik25
Glossitis Atrofic
Merupakan radang pada lidah yang sering dialami penderita anemia. Dorsum
lidah pada awalnya tampak pucat dengan papila-papila filiformis yang rata. Atrofi
yang berlanjut dari papila mengakibatkan suatu permukaan tanpa papila-papila,
yang tampak licin, kering dan mengkilat. Pada tahap akhir tampak lidah seperti
daging atau merah padam dan terasa sakit apabila terkena minuman maupun
makanan yang panas dan pedas.7
13
Gambar 7. Glossitis atrophic pada Penderita Anemia26
4. Lesi Ulseratif
RAS (Reccurent Aphtous Stomatitis)
Para ahli berpendapat bahwa lesi ini timbul bukan hanya sebagai penyakit
tunggal, melainkan manifestasi klinis dari penyakit lain.1,5,27
Keluhan awal sebelum terjadinya lesi yaitu rasa terbakar dan diikuti nyeri
setempat di sekitar mukosa mulut selama 2-48 jam sebelum munculnya ulser.
Selama masa prodormal ini terjadi suatu daerah kemerahan setempat dan dalam
beberapa jam terbentuk papula putih yang secara berangsur-angsur menjadi ulser
dan membesar dalam waktu 48-72 jam. Lesi yang terbentuk umumnya dangkal,
bulat, simetris dan tidak ada koyakan jaringan. Besar lesi bisa mencapai 2-5 mm,
kadang-kadang ulkus tampak dalam kelompok-kelompok, tetapi biasanya kurang
dari 5 terjadi sekaligus. Lesi dapat sembuh secara spontan dalam waktu 10-14
hari.1,27
14
Gambar 8. Reccurent Aphtous Stomatitis mayor28
REFARAT :
BURNING MOUTH SYNDROME “BMS” (Sindrom Mulut Terbakar)
Sindrom mulut terbakar (BMS) didefinisikan sebagai nyeri kronis, kondisi
idiopatik intraoral mukosa yang tidak disertai dengan lesi klinis atau penyakit
sistemik. BMS merupakan nyeri kronis kondisi mulut yang berhubungan dengan
sensasi nyeri terbakar pada lidah, bibir dan daerah mukosa mulut. Menurut Asosiasi
Internasional untuk Studi Pain (IASP), BMS didefinisikan sebagai nyeri terbakar di
lidah atau selaput lendir mulut lainnya, yang berhubungan dengan tanda-tanda normal
dan temuan laboratorium yang berlangsung setidaknya 4 sampai 6 bulan.29 Kata
'sindrom' digunakan karena banyak pasien juga akan memiliki gejala subyektif lain
(yaitu xerostomia, oral paresthesia, rasa diubah) atau gejala terkait lainnya.30
Epidemiologi dan Lokasi Khusus
Sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa mayoritas pasien dengan
sindrom mulut terbakar adalah perempuan paruh baya di fase pasca-menopause.
Perbandingan perempuan dan laki-laki yang mengalami BMS adalah 7:1.31,32
Prevalensi sindrom mulut terbakar seperti yang dilaporkan beberapa studi
internasional adalah 0,6%-15%.33 Prevalensi pada populasi umum adalah 3,7% (1,6%
pria dan 5,5% wanita).34 Sebagian besar peneliti setuju bahwa prevalensi BMS
meningkat seiring bertambahnya umur pada laki-laki dan perempuan, dimana
sindrom ini sering dialami perempuan pada dekade 50-70.34,35 BMS biasanya muncul
3 tahun sebelum menopause hingga 12 tahun setelah menopause dan jarang terjadi
sebelum usia 30 tahun.34,36
BMS dapat melibatkan beberapa bagian, tetapi ujung lidah adalah lokasi yang
paling umum (71%), diikuti oleh bibir (50%), batas lateral lidah, (46%) dan palatum
(46%).37
15
Etiopatogenesis
Meskipun hubungan sebab-akibat antara faktor etiologi dan BMS belum
ditetapkan secara universal. Namun menurut pendapat para ahli, etiologi BMS
dianggap sebagai multifaktorial yaitu BMS primer yang penyebabnya masih belum
diketahui dan BMS sekunder yang meliputi faktor lokal, sistemik, atau psikogenik.38
Contoh BMS sekunder:
1. Faktor Lokal
Kandidiasis pada mulut
Subklinikal infeksi kandida telah menyarankan bahwa kandidiasis
pada mulut merupakan salah satu etiologi dari BMS. Penelitian yang dilakukan
oleh Chen and Samaranayake mengatakan bahwa pada pengumpulan saliva
pasien BMS ditemukan Candida glabrata yang tumbuh baik di saliva pasien
BMS daripada pasien kontrol.39 Selain itu pada pemeriksaan mikrobiologi
memperlihatkan adanya peningkatan candida sebanyak 53% pada pasien
BMS.39,40
Oral parafunctional habits (clenching,bruxism, dan grinding)
Aktifitas parafungsional adalah semua aktifitas diluar fungsi normal
(seperti mengunyah, bicara, menelan) dan tidak mempunyai tujuan fungsional.
Contohnya adalah bruxism dan kebiasaan–kebiasaan lain seperti menggigit kuku,
pensil, bibir, mengunyah satu sisi, tongue thrust, dan bertopang dagu. Aktifitas
yang paling berat dan sering menimbulkan masalah adalah bruxism termasuk
clenching dan grinding. Bruxism adalah mengerat gigi atau grinding terutama
pada malam hari, sedangkan clenching adalah mempertemukan gigi atas dan
bawah dengan keras yang dapat dilakukan pada siang ataupun malam hari.
Beberapa penelitian telah mengambarkan bahwa terdapat perubahan neurologis
pada BMS, sehingga kebiasaan parafungsional mungkin / dapat mengakibatkan
perubahan neuropatik yang akhirnya menyebabkan gejala BMS.40,41
16
2. Faktor Sistemik
Nokturia
Nokturia adalah meningkatnya frekuensi sekresi urin pada malam hari.
Peningkatan kejadian BMS akan berdampak sama atau parallel dengan
peningkatan episode nokturia karena apabila terjadi peningkatan BMS akan
berhubungan dengan mulut kering dan mulut kering akan berhubungan dengan
nokturia.43,44 Asplaund44 menyatakan bahwa kehausan dan minum dua kali lebih
pada malam hari ditemukan peningkatan yang signifikan pada wanita yang BMS
dibandingkan dengan pria dengan BMS. Hal ini dikarenakan adanya
keseimbangan cairan negatif yang berefek pada nokturia.40,44 Untuk mendiagnosa
nokturia yaitu sering bangun malam lebih dari satu kali untuk berkemih.45
Diabetes Mellitus
Telah dilaporkan bahwa diabetes melitus tipe II berperan dalam
terjadinya atau kejadian dari BMS.38,40,46,47,48,49,50,51 Gibson dkk52 melaporkan bahwa
gejala BMS pada pasien diabetes membaik setelah kontrol dari glukosa. Namun
beberapa peneliti53,54 melaporkan bahwa keluhan rasa terbakar pada mulut
disebabkan oleh kandidiasis oral pada pasien diabetes.
Perubahan Hormonal pada Menopause
Perubahan hormonal menjadi salah satu faktor terpenting BMS, karena
sebanyak 90 % wanita dengan BMS ditemukan pada wanita yang mengalami
menopause. 38,40,46,47,48,49,50,51
3. Faktor Psikogenik
Depresi, kecemasan, dan emosional merupakan faktor psikologis yang terkait
dengan BMS. 38,40,46,47,48,49,50,51 Namun ada kontroversi, apakah disfungsi psikologis
merupakan kejadian primer atau kejadian sekunder, karena disfungsi psikologis
merupakan hal yang umum yang dirasakan oleh pasien dengan sakit kronis.55,56 Faktor
ini masih menjadi kontroversi.
17
Etiologi
Pathogenesis
Patologi Klinik
Komplikasi
Gambar 9. Etiopatogenesis BMS38
18
Perubahan Neuropatik
Sensitisasi Aktifitas sentral abnormal simpatik
Perubahan KontrolSegmen Inhibitor
Sensitisasi Aktifitas Perifer perifer
BMS
BMSPrimer
BMSSekunder
KelainanPsikogenik
Interaksi antara etiologi yang belum diketahui (x,y) ataupun etiologi yang
sudah di identifikasi (lokal, sistemik, psikogenik) menyebabkan perubahan
neuropatik yang meliputi kerusakan saraf perifer, gangguan sistem dopaminergik dan
perubahan neurologis lainnya. Gangguan tersebut menimbulkan gejala BMS. Gejala
BMS yang kronis dapat mengakibatkan gangguan psikogenik. 38
Klasifikasi40,47,48,50
Tipe 1 : Nyeri setiap hari, tetapi rasa sakit tidak hadir saat bangun dan memburuk
setiap harinya. Rasa sakit ini non-psikiatri.
Tipe 2 : Rasa sakit yang konstan dan hal ini terkait dengan gangguan kejiwaan
dan kecemasan kronis.
Tipe 3 : Dalam tipe ini, rasa sakit yang terus-menerus dan juga terjadi pada
daerah yang tidak biasa (seperti dasar mulut). Jenis rasa sakit ini sering dikaitkan
dengan kontak alergi stomatitis.
Gejala Klinis
Pada pemeriksaan klinis, terdapat dua hal yang mendefinisikan sindrom. Yang
pertama adalah adanya tiga gejala, yang meliputi nyeri mukosa mulut yang tidak
berhenti, dysgeusia dan xerostomia. Dan pada pemeriksaan klinis yang lain secara
signifikan seharusnya tidak ada tanda-tanda luka atau terdeteksi terdeteksi lainnya di
mukosa rongga mulut bahkan pada daerah yang sakit.57
1. Nyeri
Ini adalah gejala utama dari BMS. Nyeri di BMS digambarkan sebagai sensasi
terbakar berkepanjangan dari mukosa mulut dalam intensitas yang sama tetapi
kuliatas yang berbeda dari sakit gigi. Kualitas nyeri adalah terbakar, panas atau mati
rasa. Intensitas nyeri diukur sekitar 5-8 cm pada skala analog visual 10 cm. Sensasi
terbakar sering terjadi pada lebih dari satu daerah mulut, pada dua pertiga anterior
lidah, anterior palatum keras dan mukosa bibir bawah yang paling sering terlibat.59
19
Daerah umum terjadi nyeri adalah lidah, bibir bawah, palatum, bibir atas, daerah
alveolar rahang bawah. Mukosa bukal dan dasar mulut jarang terlibat. 50% dari kasus
timbulnya nyeri biasanya spontan, di sisa kasus, nyeri dapat melanjutkan penyakit
sebelumnya, perawatan gigi sebelumnya, konsumsi obat-obatan sebelumnya dan
bahkan karena stres. Nyeri di BMS biasanya konstan dan terus menerus, semakin hari
meningkat, mencapai intensitas terbesar pada sore dan malam hari. Ini dapat
mengganggu tidur tapi pasien jarang bangun di malam hari. Nyeri pada intensitas
yang terendah di pagi hari.60
Lokasi nyeri tidak terlokalisir, dan pasien dengan BMS mungkin
mengeluhkan sensasi terbakar di berbagai daerah, termasuk mukosa ekstraoral,
seperti di wilayah dubur kelamin. Nyeri oral selalu bilateral, dan lebih dari satu
daerah mulut mungkin akan berpengaruh.
2. Dysgeusia
Hampir 70% dari pasien, mengalami gangguan indera pengecapan yang terus
menerus.60 Rasanya mungkin pahit, logam atau lainnya.58 Dysgeusia disertai dengan
rasa terbakar di mulit sering dikurangi dengan stimulasi oleh makanan. Perubahan
yang berbeda dalam persepsi rasa muncul di kedua level threhold atau suprathreshold.
Ada beberapa faktor lokal yang dapat menyebabkan dysgeusia adalah kandidiasis
oral, gingivitis deskuamatif, galvanisme oral, periodontitis, cairan klorheksidin dan
xerostomia. Faktor sistemik dapat disebabkan oleh defisiensi vitamin A, B12, seng
dan zat besi, sindrom Sjogren, kerusakan saraf korda timpani, disfungsi hepar,
alkoholisme, gastritis kronis, radioterapi untuk kepala dan leher, psikosis atau
depresi.
3. Xerostomia
Sekitar 46-67% dari pasien BMS mengeluh mulut kering. Ini mencerminkan
sensasi subjektif pada gejala obyektif disfungsi kelenjar ludah.32 Beberapa penelitian
20
tentang aliran saliva pada pasien BMS menunjukkan tidak ada penurunan aliran
saliva baik dirangsang maupun tidak dirangsang. Biasanya, volume saliva normal,
tetapi perubahan komposisi dengan peningkatan albumin, total IgM dan total IgG,
yang merupakan komponen serum dan tidak berasal dari kelenjar ludah. Perubahan
komposisi ionik saliva ini mungkin berperan dalam neuropati lokal yang terlihat pada
pasien BMS.
Diagnosis BMS
Menurut diagnosis Torgerson RR pada penelitian yang berjudul Diagnosis
and Treatment of Oral Mucosal Lession menyatakan bahwa untuk mendiagnosis
BMS memiliki karakteristik yaitu sensasi terbakar pada mulut, ada atau tanpa
dysgeusia dan xerostamia. Sehingga untuk mendiagnosis BMS yaitu adanya sensasi
terbakar pada mulut yang didapatkan dari anamnesis.61
Untuk mengetahuinya digunakan 1 pertanyaan :
• Adakah rasa terbakar pada mulut ? ya / tidak61
Tabel 2.Gejala BMS38
Gejala Tipe-tipe keluhan
Nyeri pada mukosa oral
Dygeusia
Xerostomia
Rasa terbakar
Panas
Kesemutan
Mati rasa
Rasa yang menetap
Persepsi rasa yang berubah
Mulut kering
21
Pemeriksaan Klinis
Pada BMS tidak ditemukan adanya lesi klinis dalam rongga mulut, termasuk
daerah yang sering timbul gejala.38,40,46,47,48,49,50
Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada tes laboratorium untuk mendiagnosis BMS, tetapi pemeriksaan
penunjang lain dibutuhkan untuk mengetahui apakah BMS tersebut disebabkan dari
faktor lokal,sistemik, atau psikogenik contohnya:40,49,50
• Pemeriksaan mikrobiologi (swab)
• Serum glukosa darah (puasa atau tes toleransi glukosa)
• Urin analisis untuk glukosa
• LH
• FSH
Diferensial Diagnosis
Kondisi berikut yang memiliki gejala-gejala seperti BMS: 40,49,50
• Kandidiasis
• Diabetes
• Kecemasan dan depresi
• Aphthous stomatitis
• Stomatitis kontak
• Infeksi tulang, gigi, atau implant
Pengobatan
• Nyeri, yang merupakan gejala yang paling penting dalam BMS, biasanya
dikontrol dengan menggunakan obat dosis rendah seperti benzodiazepin, anti-
depresan trisiklik, gabapentin dll, Grushka dkk. menyarankan bahwa pengobatan
terbaik untuk sindrom terdiri dari kombinasi obat, seperti clonazepam dan baclofen
22
gabapentinn. Gremeau-Richard, pada tahun 2004, melaporkan adanya penurunan
signifikan nyeri BMS dengan aplikasi topikal clonazepam.63 Heckmann SM et al.
melakukan penelitian double blind pada clonazepam pada pasien dengan BMS.
Mereka menemukan bahwa pasien yang mengkonsumsi clonazepam (0,5 mg/hari)
secara signifikan meningkat di peringkat nyeri dibandingkan dengan plasebo
(laktosa).64 Menurut prospektif Sardella A dkk., penelitian secara acak, double blind,
placebo-controlled, meneliti efek dari ekstrak Hypericum perforatum (dikenal sebagai
St. john's wort) pada pasien BMS. Namun tidak ada perbedaan signifikan secara
statistik yang diamati pada skor VAS antara pengobatan aktif dan plasebo.65
• Aplikasi lokal dari agen desensitizing seperti capsaicin topikal: Penggunaan
saus cabai (sumber yang baik dari capsaicin) dalam air rasio 1:2 juga ditemukan
efektif dalam mengurangi nyeri oral pada BMS. Epstein dan Marcoe menganjurkan
3-4 kali/hari untuk aplikasi sebagian atau seluruh bagian yang sakit. Capsaicin
bertindak dengan penipis substansi p, sehingga mengakibatkan penurunan
pembakaran perifer.66
• Terapi penggantian hormon (HRT): Volpe et al, dalam penelitian pada wanita
menopause, menemukan bahwa 12 dari 22 pasien mengalami perbaikan gejala oral
setelah pengobatan berbasis estradiol.67 Telah ditemukan bahwa wanita dengan gejala
terbakar dan reseptor estrogen di mukosa mulut menanggapi penggantian hormon,
sementara hal ini tidak terjadi pada pasien tanpa reseptor ini, namun tidak dapat
dijamin bahwa HRT bisa menjadi pengobatan yang efektif untuk simtomatologi
oral.68
• High fluid diet
• Suplemen gizi dan terapi antioksidan: Femiano et al. pada tahun 2002 telah
menunjukkan penggunaan asam alpha lipoic dalam perawatan BMS. 96% pasien
telah menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam gejala mereka. Ini adalah
antioksidan kuat dan agen saraf.69 Tapi, Cavalcanti DR et al., penelitian yang diacak,
double-blind, plasebo-terkontrol sebanyak 38 pasien, tidak menemukan efektivitas
23
asam alpha lipoic acid, dibandingkan dengan kelompok kontrol diberi plasebo, dalam
pengelolaan BMS.70 Perbedaan yang sama tidak signifikan dilaporkan oleh Lopez-
Jornet P et al. di alpha lipoic kelompok asam (800 mg/hari selama 8 minggu) dan
plasebo.71
• Terapi perilaku kognitif (CBT): Para pasien sindrom mulut terbakar harus
diyakinkan bahwa kondisi ini tidak fatal atau itu adalah kanker, dan akhirnya akan
menyelesaikan sendiri. Bergdahl et al. menyarankan penggunaan terapi perilaku
kognitif untuk pasien BMS. Dia menemukan pengurangan intensitas nyeri setelah
CBT setelah terapi.72 Mock D et al.73 dan Reamy BV et al.74 menemukan kombinasi
terapi perilaku kognitif (CBT), alpha-lipoic acid, dan/atau clonazepam sebagai
pendekatan yang paling menjanjikan untuk pengobatan sindrom mulut terbakar.
24
SALIVA
Saliva adalah cairan eksokrin yang terdiri dari 99% air, berbagai elektrolit
yaitu sodium, potasium, kalsium, kloride, magnesium, bikarbonat, fosfat, dan terdiri
dari protein yang berperan sebagai enzim, immunoglobulin, antimikroba, glikoprotein
mukosa, albumin, polipeptida dan oligopeptida yang berperan dalam kesehatan
rongga mulut.75,76
Saliva terdiri dari 99,5% air dan 0,5% subtansi yang larut. Beberapa
komposisi saliva adalah:77,78,79,80
1. Protein
Beberapa jenis protein yang terdapat di dalam saliva adalah :
a. Mucoid
Merupakan sekelompok protein yang sering disebut dengan mucin dan
memberikan konsistensi mukus pada saliva. Mucin juga berperan sebagai
glikoprotein karena terdiri dari rangkaian protein yang panjang dengan ikatan
rantai karbohidrat yang lebih pendek.
b. Enzim
Enzim yang ada pada saliva dihasilkan oleh kelenjar saliva dan
beberapa diantaranya merupakan produk dari bakteri dan leukosit yang ada pada
rongga mulut. Beberapa enzim yang terdapat dalam saliva adalah amylase dan
lysozyme yang berperan dalam mengontrol pertumbuhan bakteri di rongga mulut.
c. Protein Serum
Saliva dibentuk dari serum maka sejumlah serum protein yang kecil
ditemukan didalam saliva. Albumin dan globulin termasuk ke dalam serum saliva.
d. Waste Products
Pada saliva juga ditemukan sebagian kecil dari waste product pada
serum, urea dan uric acid.
25
2. Ion-ion Organik
Ion-ion utama yang ditemukan dalam saliva adalah kalsium dan fosfat yang
berperan penting dalam pembentukan kalkulus. Ion-ion lain yang memiliki jumlah
yang lebih kecil terdiri dari sodium, potasium, klorida, sulfat dan ion-ion lainnya.77
3. Gas
Pada saat pertama sekali saliva dibentuk, saliva mengandung gas oksigen
yang larut, nitrogen dan karbon dioksida dengan jumlah yang sama dengan serum. Ini
memperlihatkan bahwa konsentrasi karbon dioksida cukup tinggi dan hanya dapat
dipertahankan pada larutan yang memiliki tekanan didalam kelenjar duktus, tetapi
pada saat saliva mencapai rongga mulut banyak karbon dioksida yang lepas. 77
4. Zat-zat Aditif di Rongga Mulut
Merupakan berbagai substansi yang tidak ada didalam saliva pada saat saliva
mengalir dari dalam duktus, akan tetapi menjadi bercampur dengan saliva didalam
rongga mulut. Yang termasuk kedalam zat-zat aditif yaitu mikroorganisme, leukosit
dan dietary substance. 77
Volume rata-rata saliva yang dihasilkan perhari berkisar 1-1,5 liter. Pada orang
dewasa laju aliran saliva normal yang distimulasi mencapai 1-3 ml/menit, rata-rata
terendah mencapai 0,7-1 ml/menit dimana pada keadaan hiposalivasi ditandai dengan
laju aliran saliva yang lebih rendah dari 0,7 ml/menit. Laju aliran saliva normal tanpa
adanya stimulasi berkisar 0,25-0,35 ml/menit, dengan rata-rata terendah 0,1-0,25
ml/menit dan pada keadaan hiposalivasi laju aliran saliva kurang dari 0,1 ml/menit. 76,81,82
Nilai pH saliva normal berkisar 6–7. Konsumsi karbohidrat padat maupun cair
dapat menyebabkan terjadinya perubahan pH saliva dimana karbohidrat akan
difermentasi oleh bakteri dan akan melekat ke permukaan gigi. Dengan adanya sistem
buffer pada saliva, pH akan kembali netral setelah 20 menit terpapar karbohidrat yang
berkonsistensi cair dan 40-60 menit pada karbohidrat yang berkonsistensi padat.83
26
Fungsi Saliva
Beberapa fungsi saliva adalah :76,77,79,80,82,84
a. Sensasi Rasa
Aliran saliva yang terbentuk didalam acini bersifat isotonik, saliva mengalir
melalui duktus dan mengalami perubahan menjadi hipotonik. Kandungan hipotonik
saliva terdiri dari glukosa, sodium, klorida, urea dan memiliki kapasitas untuk
memberikan kelarutan substansi yang memungkinkan gustatory buds merasakan
aroma yang berbeda.
b. Perbandingan Mukosa dan Lubrikasi
Saliva membentuk lapisan seromukos yang berperan sebagai pelumas dan
melindungi jaringan rongga mulut dari agen-agen yang dapat mengiritasi. Mucin
sebagai protein dalam saliva memiliki peranan sebagai pelumas, perlindungan
terhadap dehidrasi, dan dalam proses pemeliharaan viskoelastisitas saliva.
c. Kapasitas Buffering
Buffer adalah suatu substansi yang dapat membantu untuk mempertahankan
agar pH tetap netral. Buffer dapat menetralisasikan asam dan basa. Saliva memiliki
kemampuan untuk mengatur keseimbangan buffer pada rongga mulut.
d. Integritas Enamel Gigi
Saliva juga memiliki peranan penting dalam mempertahankan integritas kimia
fisik dari enamel gigi dengan cara mengatur proses remineralisasi dan demineralisasi.
Faktor utama untuk mengontrol stabilitas enamel adalah hidroksiapatit sebagai
konsentrasi aktif yang dapat membebaskan kalsium, fosfat, dan fluor didalam larutan
dan didalam pH saliva.
e. Menjaga Oral Hygiene
Saliva berfungsi sebagai self cleansing terutama pada saat tidur dimana
produksi saliva berkurang. Saliva mengandung enzim lysozyme yang berperan
penting dalam mengontrol pertumbuhan bakteri di rongga mulut.
27
f. Membantu Proses Pencernaan
Saliva bertanggung jawab untuk membantu proses pencernaan awal dalam
proses pembentukan bolus-bolus makanan. Enzim α-amylase atau enzim ptyalin
merupakan salah satu komposisi dari saliva yang berfungsi untuk memecah
karbohidrat menjadi maltose, maltotriose dan dekstrin.
g. Perbaikan Jaringan
Saliva memiliki peranan dalam membantu proses pembekuan darah pada
jaringan rongga mulut, dimana dapat dilihat secara klinis waktu pendarahan menjadi
lebih singkat dengan adanya bantuan saliva. Saliva memiliki peranan dalam
membantu proses pembekuan darah pada jaringan rongga mulut, dimana dapat dilihat
secara klinis waktu pendarahan menjadi lebih singkat dengan adanya bantuan saliva.
h. Membantu Proses Berbicara
Lidah memerlukan saliva sebagai pelumas selama bicara, tanpa adanya saliva
maka proses bicara akan menjadi lebih sulit. Lidah memerlukan saliva sebagai
pelumas selama bicara, tanpa adanya saliva maka proses bicara akan menjadi lebih
sulit.
i. Menjaga Keseimbangan Cairan
Penurunan aliran saliva akan menghasilkan adanya suatu sensasi haus yang
dapat meningkatkan intake cairan tubuh.
Gambar 10. Anatomi kelenjar saliva mayor85
28
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Volume Saliva
Xerostomia secara harafiah berarti mulut kering (xeros = kering, dan stroma =
mulut). Perasaan mulut kering terjadi bila kecepatan resorpsi air oleh mukosa mulut
bersama-sama dengan penguapan air mukosa, lebih besar daripada kecepatan sekresi
saliva.
Berikut ini terdapat beberapa kemungkinan penyebab yang mempengaruhi
volume saliva:86,87
1. Kesehatan Menurun
Gangguan dalam pengaturan air dan elektrolit yang diikuti oleh terjadinya
keseimbangan air yang negatif dapat menyebabkan menurunnya volume saliva,
sehingga kebutuhan pembasahan mulut meningkat. Gangguan emosional seperti
stress, rasa takut dan defisiensi vitamin, serta perubahan hormonal dapat
menyebabkan turunnya sekresi saliva.
2. Umur
Keluhan mulut kering sering ditemukan pada lanjut usia, disebabkan oleh
adanya atropi pada kelenjar saliva sesuai dengan pertambahan umur yang akan
menurunkan volume saliva dan terjadi perubahan komposisi saliva.
3. Penggunaan Obat-obatan
Obat-obatan yang memblokade sistem saraf perifer akan menghambat sekresi
saliva. Oleh karena sekresi air dan elektrolit terutama diatur oleh sistem saraf
parasimpatis. Obat-obatan antikolinergik akan menghambat pengeluaran saliva.
Obatobatan dengan pengaruh anti ß-andrenergik (yang disebut ß-bloker) terutama
akan menghambat sekresi saliva mukus.
Obat-obatan menyebabkan penurunan volume saliva antara lain:87,89
- Antikolinergika - Hipnotika
- Obat penenang (tranquilizer) - Antidepresiva
- Spasmolitika - Anti-epileptika
- Antihipertensiva - Antihistaminika, dll
29
4. Menopause
Pada perempuan menopause sekresi saliva berkurang akibat faktor sistemik
seperti perubahan hormon yang meyebabkan terjadinya penurunan ketahanan rongga
mulut dan sekresi saliva, faktor perubahan kemampuan fisiologi, maupun akibat
faktor perubahan emosional yang terjadi. Ini mempengaruhi derajat kebersihan mulut,
termasuk diet (asupan makanan), serta laju aliran saliva.90
5. Radioterapi
Radioterapi daerah kepala dan leher dapat menyebabkan penurunan volume
saliva tergantung jenis kanker dan lapangan penyinarannya misalnya radioterapi
dengan menggunakan radioactive iodine untuk pengobatan tumor tiroid dapat
merusak kelenjar parotid.88
6. Kemoterapi
Kemoterapi dapat menyebabkan gangguan kelenjar saliva selama atau bahkan
langsung setelah melakukan terapi. Kebanyakan pasien melaporkan fungsi saliva
dapat kembali seperti semula meskipun beberapa diantaranya mengalami xerostomia
secara permanen.89
7. Konsumsi Air Minum
Banyaknya air yang dibutuhkan seseorang berbeda-beda tergantung pada
ukuran tubuh orang tersebut dan apa yang dianggap sesuai untuk tubuhnya. Meski
kebutuhan air tiap orang berbeda menurut Profesor Hiromi Shinya MD, pakar enzim
yang juga guru besar kedokteran di Albert Einstein College of Medicine AS,
usahakan tubuh untuk mendapatkan pasokan air 8 gelas per hari (1,6 liter) untuk
orang dewasa dalam mencegah terjadinya dehidrasi serta xerostomia.91
KASUS EKSTRIM YANG PERNAH DIKERJAKAN:
30
HERPES SIMPLEKS VIRUS
Nama pasien: X
Umur pasien: 9 tahun
Keluhan utama: Pasien datang dengan keluhan rasa sakit pada bibir.
Anamnesa terpimpin: Rasa sakit dirasakan sejak seminggu yang lalu. Pasien
mengaku mengalami rasa sakit tersebut berulang kali dan mengalami demam 3 hari
yang lalu. Pasien jarang mengkonsumsi sayuran dan setiap hari jajan di depan
sekolah.
Pemeriksaan klinis: Terlihat vesikel berisi cairan sebesar 2mm dengan tepi
eritematous berjumlah lebih dari satu di mukosa labial kiri dan kanan. Terdapat abses
di gigi 75.
Diagnosa: suspek Herpes simpleks tipe 2
Perawatan:
Bersihkan luka dengan kapas steril
Desinfeksi dengan betadine
Aplikasi acyclovir
Pemberian vitamin dan antivirus
Gambar 10. Virus Herpes Simpleks
31
Virus Herpes Simpleks adalah virus DNA yang dapat menyebabkan infeksi
akut pada kulit yang ditandai dengan adanya vesikel yang berkelompok di atas kulit
yang sembab. Ada 2 tipe virus herpes simpleks yang sering menginfeksi yaitu :
- HSV-Tipe I (Herpes Simplex Virus Type I)
- HSV-Tipe II (Herpes Simplex Virus Type II)
HSV-Tipe I biasanya menginfeksi daerah mulut dan wajah (Oral Herpes),
sedangkan HSV-Tipe II biasanya menginfeksi daerah genital dan sekitar anus
(Genital Herpes). HSV-1 menyebabkan munculnya gelembung berisi cairan yang
terasa nyeri pada mukosa mulut, wajah, dan sekitar mata. HSV-2 atau herpes genital
ditularkan melalui hubungan seksual dan menyebakan gelembung berisi cairan yang
terasa nyeri pada membran mukosa alat kelamin. Infeksi pada vagina terlihat seperti
bercak dengan luka. Pada pasien mungkin muncul iritasi, penurunan kesadaran yang
disertai pusing, dan kekuningan pada kulit (jaundice) dan kesulitan bernapas atau
kejang. Lesi biasanya hilang dalam 2 minggu.
Episode pertama (infeksi pertama) dari infeksi HSV adalah yang paling berat
dan dimulai setelah masa inkubasi 4-6 hari. Gelala yang timbul, meliputi nyeri,
inflamasi dan kemerahan pada kulit (eritema) dan diikuti dengan pembentukan
gelembung-gelembung yang berisi cairan. Cairan bening tersebut selanjutnya dapat
berkembang menjadi nanah, diikuti dengan pembentukan keropeng atau kerak (scab).
Klasifikasi Ilmiah
Famili : Herpesviridae
Subfamili : Alphaherpesvirinae
Genus : Simpleksvirus
Spesies : Virus Herpes Simpleks Tipe 1 dan
Virus Herpes Simpleks Tipe 2
32
Morfologi
Pembungkus berasal dari selaput inti sel yang terinfeksi. Pembungkus ini
mengandung lipid, karbohidrat, dan protein, dan dapat menghilangkan eter. Genom
ADN beruntai-untai ganda (BM 85-106 X 106) berbentuk lurus. Tipe 1 dan 2
memperlihatkan 50% urutan homologi.
Siklus Hidup Virus Herpes Simpleks
Siklus pertumbuhan HSV berlangsung dengan cepat, memakan waktu 8-16
jam sampai selesai. Gen alfa(dini-segera) segera timbul setelah infeksi. Gen-gen ini
ditranskripsikan pada keadaan tidak adanya sintesis protein virus dan merupakan
permulaan replikasi. Gen beta(dini) timbul kemudian; membutuhkan hasil gen alfa
fungsional untuk ekspresinya, yaitu kebanyakan berupa enzim dan protein replikasi.
Ekspresi gen beta bertepatan dengan penurunan transkripsi gen alfa dan penghentian
sintesis protein sel inang yang ireversibel, dan dikatakan sebagai kematian sel. Hasil-
hasil gen gama(lambat) yang kemudian dihasilkan dan mencakup sebagian besar
protein struktural virus.
Pathogenesis
HSV ditularkan melalui kontak dari orang yang peka lewat virus yang
dikeluarkan oleh seseorang. Untuk menimbulkan infeksi, virus harus menembus
permukaan mukosa atau kulit yang terluka (kulit yang tidak terluka bersifat resisten).
HSV I ditransmisikan melalui sekresi oral,virus menyebar melalui droplet pernapasan
atau melalui kontak langsung dengan air liur yang terinfeksi. Ini sering terjadi selama
berciuman, atau dengan memakan atau meminum dari perkakas yang terkontaminasi.
HSV-I dapat menyebabkan herpes genitalis melalui transmisi selama seks oral-
genital. Karena virus ditransmisikan melalui sekresi dari oral atau mukosa (kulit)
genital, biasanya tempat infeksi pada laki-laki termasuk batang dan kepala penis,
skrotum, paha bagian dalam, anus. Labia, vagina, serviks, anus, paha bagian dalam
33
adalah tempat yang biasa pada wanita. Mulut juga dapat menjadi tempat infeksi untuk
keduanya. Penyebaran herpes genetalis atau Herpes Simpleks II dapat melalui kontak
langsung antara seseorang yang tidak memiliki antigen terhadap HSV-II dengan
seseorang yang terinfeksi HSV-II. Kontak dapat melalui membran mukosa atau
kontak langsung kulit dengan lesi. Transmisi juga dapat terjadi dari seorang pasangan
yang tidak memiliki luka yang tampak. Kontak tidak langsung dapat melalui alat-alat
yang dipakai penderita karena HSV-II memiliki envelope sehingga dapat bertahan
hidup sekitar 30 menit di luar sel.
Penyakit yang ditimbulkan Virus Herpes Simpleks
a. HSV-1
1. Gingivostomatitis herpetik akut
Penyakit ini sering terjadi pada anak-anak kecil (usia 1-3 tahun) dan
terdiri atas lesi-lesi vesikuloulseratif yang luas dari selaput lendir mulut, demam,
lekas marah dan limfadenopati lokal. Masa inkubasi pendek(sekitar 3-5 hari) dan
lesi-lesi menyembuh dalam 2-3 minggu.
2. Keratojungtivitis
Suatu infeksi awal HSV-1 yang menyerang kornea mata dan dapat
mengakibatkan kebutaan.
3. Herpes Labialis
Terjadi pengelompokan vesikel-vesikel lokal, biasanya pada
perbatasan mukokutan bibir. Vesikel pecah, meninggalkan tukak yang rasanya
sakit dan menyembuh tanpa jaringan parut. Lesi-lesi dapat kambuh kembali
secara berulang pada berbagai interval waktu.
b. HSV-2
1. Herpes Genetalis
Herpes genetalis ditandai oleh lesi-lesi vesikuloulseratif pada penis
pria atau serviks, vulva, vagina, dan perineum wanita. Lesi terasa sangat nyeri dan
diikuti dengan demam, malaise, disuria, dan limfadenopati inguinal. Infeksi
34
herpes genetalis dapat mengalami kekambuhan dan beberapa kasus kekambuhan
bersifat asimtomatik. Bersifat simtomatik ataupun asimtomatik, virus yang
dikeluarkan dapat menularkan infeksi pada pasangan seksual seseorang yang telah
terinfeksi.
2. Herpes neonatal
Herpes neonatal merupakan infeksi HSV-2 pada bayi yang baru lahir.
Virus HSV-2 ini ditularkan ke bayi baru lahir pada waktu kelahiran melalui
kontak dengan lesi-lesi herpetik pada jalan lahir. Untuk menghindari infeksi,
dilakukan persalinan melalui bedah caesar terhadap wanita hamil dengan lesi-lesi
herpes genetalis. Infeksi herpesneonatal hampir selalu simtomatik. Dari kasus
yang tidak diobati, angka kematian seluruhnya sebesar 50%.
Pengobatan
Beberapa obat antivirus telah terbukti efektif melawan infeksi HSV. Semua obat
tersebut menghambat sintesis DNA virus. Obat-obat ini dapat menghambat
perkembangbiakan herpesvirus. Walaupun demikian, HSV tetap bersifat laten di ganglia
sensorik, dan angka kekambuhannya tidak jauh berbeda pada orang yang diobati dengan
yang tidak diobati.
Salah satu obat yang efektif untuk infeksi Herpes Simpleks Virus adalah
Asiklofir dalam bentuk topikal, intravena, dan oral yang kesemuanya berguna untuk
mengatasi infeksi primer.
Nama Generik : Acyclovir
Nama Dagang : Clinovir (Pharos)
Indikasi : Untuk mengobati genital Herpes Simplex Virus, herpes labialis, herpes
zoster, HSV encephalitis, neonatal HSV, mukokutan HSV pada pasien yang memiliki
respon imun yang diperlemah (immunocompromised), varicella-zoster.
Kontraindikasi : Hipersensitifitas pada acyclovir, valacyclovir, atau komponen lain
dari formula.
35
Bentuk Sediaan : Tablet 200 mg, 400 mg.
Dosis dan Aturan Pakai : Pengobatan herpes simplex: 200 mg (400 mg pada pasien
yang memiliki respon imun yang diperlemah/immunocompromised atau bila ada
gangguan absorbsi) 5 kali sehari, selama 5 hari. Untuk anak dibawah 2 tahun
diberikan setengah dosis dewasa. Diatas 2 tahun diberikan dosis dewasa.
Pencegahan herpes simpleks kambuhan, 200 mg 4 kali sehari atau 400 mg 2 kali
sehari, dapat diturunkan menjadi 200 mg 2atau 3 kali sehari dan interupsi setiap 6-12
bulan. Pencegahan herpes simplex pada pasien immunocompromised, 200-400 mg 4
kali sehari. Anak dibawah 2 tahun setengah dosis dewasa. Diatas 2 tahun dosis sama
dengan dosis orang dewasa.
Efek Samping : Pada sistem saraf pusat dilaporakan terjadi malaise (perasaan tidak
nyaman) sekitar 12% dan sakit kepala (2%).pada system pencernaan (gastrointestinal)
dilaporkan terjadi mual (2-5%), muntah (3%) dan diare (2-3%).
Resiko Khusus : Penggunaan Acyclovir pada wanita hamil masuk dalam kategori B.
Efek teratogenik dari Acyclovir tidak diteliti pada studi dengan hewan percobaan.
Acyclovir terbukti dapat melewati plasenta manusia. Tidak ada penelitian yang cukup
dan terkontrol pada wanita hamil. Pada tahun 1984-1999 diadakan pendaftaran bagi
wanita hamil, dan dari hasil yang terlihat tidak ada peningkatan kelahiran bayi yang
cacat karena penggunaan Acyclovir. Tetapi karena tidak semua wanita hamil
mendaftarkan diri dan kurangnya data dalam jangka waktu yang panjang, maka
direkomendasikan penggunaan acyclovir untuk wanita hamil disertai peringatan dan
diberikan jika benar-benar-benar diperlukan. Acyclovir juga dapat masuk ke dalam
air susu ibu, karena itu penggunaan pada ibu menyusui harus disertai peringatan.
Penggunaan obat lain
• Vidarabin
• Idoksuridin topical (untuk Herpes Simpleks pada selaput bening mata)
• Trifluridin
36
INFEKSI DAN PERADANGAN
Pengertian
Infeksi yaitu invasi dan pembiakan mikroorganisme di jaringan tubuh, secara
klinis tidak tampak atau timbul cedera selular lokal akibat kompetisi metabolisme,
toksin, replikasi intrasel, atau respon antigen-antibodi. 97
Radang atau inflamasi merupakan respon protektif setempat yang ditimbulkan
oleh cedera atau kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi,
atau mengurunng (sekuester) baik agen pencedera maupun jaringan yang cedera itu.97
Infeksi
Infeksi menembus permukaan kulit atau berasal dari dalam tubuh. Gambaran
klinisnya tergantung pada:
1. Letaknya di dalam kulit
2. Sifat alami organisme
3. Sifat respon tubuh terhadap organisme
Sebagian besar infeksi melalui jalan eksternal dengan menembus barier kulit
yang dapat menyebabkan lesi kulit saat organisme menginfeksi tubuh lainnya dan
menimbulkan bercak-bercak kulit. Infeksi dapat disebabkan oleh berbagai macam
organisme, seperti fungi, virus, bakteri, protozoa dan virus metazoa. Banyak
organisme yang hidup atau bahkan tumbuh di dalam kulit tetapi tidak menimbulkan
kerugian terhadap inang yang disebut komensal, atau apabila organisme ini
mengkonsumsi bahan-bahan yang mati maka mereka disebut saprofit.98
Mekanisme kerusakan jaringan yang diakibatkan organisme infeksius
beraneka ragam, karena produk atau sekresi yang berbahaya dari bakteri-bakteri. Jadi,
sel hospes menerima rangsangan bahan kimia yang mungkin bersifat toksik terhadap
metabolisme atau terhadap keutuhan membran sel. Sebagai tambahan, sering timbul
respon peradangan dari hospes yang dapat menyebabkan kerusakan kimiawi terhadap
38
sel. Agen intraseluler misalnya virus sering menyebabkan ruptura sel yang terinfeksi.
Selanjutnya terjadi kerusakan jaringan lokal.98
Infeksi kronik adalah infeksi yang virusnya secara kontinu dapat dideteksi,
sering pada kadar rendah, gejala klinis dapat ringan atau tidak terlihat. Terjadi akibat
sejumlah virus hewan, dan persistensi pada keadaan tertentu bergantung pada usia
orang saat terinfeksi. Pada infeksi kronik oleh virus RNA, populasi virus sering
mengalami banyak perubahan genetik dan antigenik.
Infeksi laten adalah infeksi yang virusnya kebanyakan menetap dalam bentuk
samar atau kriptik. Penyakit klinis dapat timbul serangan akut intermiten; virus
infeksius dapat ditemukan selama timbulnya serangan tersebut.
Infeksi subklinik (tidak tampak) adalah infeksi yang tidak memperlihatkan
tanda jelas adanya infeksi.99
Peradangan
Peradangan ditandai oleh:100
a. Rubor (kemerahan)
Rubor merupakan hal pertama yang tertihat pada daerah peradangan. Pada
saat peradangan mulai timbul maka anteriol yang mensuplai daerah tersebut melebar,
dengan lebih banyak darah mengalir ke dalam mikrosirkulasi lokal. Kapiler-kapiler
yang sebelumnya kosong atau sebagian saja yang meregang dengan cepat terisi penuh
dengan darah. Keadaan ini dinamakan hyperemia atau kongesti, menyebabkan warna
merah lokal karena peradangan akut.
b. Kalor (panas)
Pada daerah peradangan pada kulit menjadi lebih panas dari sekelilingnya
sebab daerah yang disalurkan tubuh ke permukaan daerah yang terkena lebih banyak
daripada yang disalurkan ke daerah normal.
c. Dolor (rasa sakit)
Perubahan pH lokal atau konsentrasi lokal ion-ion tertentu dapat merangsang
ujung-ujung saraf. Selain itu, pembengkakan jaringan yang meradang
39
mengakibatkan peningkatan tekanan lokal yang tanpa diragukan lagi
menimbulkan rasa sakit.
d. Tumor (pembengkakan)
Pembengkakan ditimbulkan oleh pengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi
darah ke jaringan-jaringan interstitial. Campuran dari cairan dan sel yang tertimbun di
daerah peradangan disebut eksudat. Pada keadaan dini reaksi peradangan sebagian
besar eksudat adalah cair, seperti yang terjadi pada lepuhan yang disebabkan oleh
luka bakar ringan.
Biasanya diklasifikasikan berdasarkan waktu kejadiannya, antara lain:
1. Radang akut, yaitu reaksi jaringan yang segera dan hanya dalam waktu yang tidak
lama
2. Radang kronis, yaitu reaksi jaringan selanjutnya yang diperlama mengikuti respon
awal.
Penyebab utama radang akut adalah:101
Infeksi mikrobial
Merupakan penyebab yang paling sering ditemukan. Virus menyebabkan
kematian sel dengan cara multiplikasi intraseluler. Bakteri melepaskan endotoksin
yang spesifik atau melepaskan endotoksin yang ada hubungannya dengan dinding sel.
Di samping itu, beberapa macam organisme, melalui reaksi hipersensitivitas, dapat
menyebabkan radang yang diperantarai imunologi.
Reaksi hipersensitivitas
Terjadi bila perubahan kondisi respon imunologi mengakibatkan tidak
sesuainya atau berlebihannya reaksi imun yang akan merusak jaringan.
Agen fisik
Kerusakan jaringan yang terrjadi pada proses radang dapat melalui trauma fisik,
ultraviolet atau radiasi ion, terbakar atau dingin yang berlebihan (fostbite).
40
Bahan kimia iritan dan korosif
Bahan kimiawi yang menyebabkan korosif (bahan oksidan, asam, basa) akan
merusak jaringan, yang kemudian akan memprovokasi terjadinya proses radang. Di
samping itu, agen penyebab infeksi dapat melepaskan bahan kimiawi spesifik yang
mengiritasi, dan langsung mengakibatkan radang.
Jaringan nekrosis
Aliran darah yang tidak mencukupi akan menyebabkan berkurangnya pasokan
oksigen dan makanan pada daerah bersangkutan, yang akan mengakibatkan
terjadinya kematian jaringan. Kematian jaringan sendiri merupakan stimulus yang
kuat untuk terjadinya infeksi. Pada tepi daerah infark sering memperlihatkan suatu
respon radang akut.
Proses Peradangan100
Salah satu efek pertama dari peradangan adalah pembatasan (wall of) area
yang cedera dari sisa jaringan yang tidak mengalami radang. Ruang jaringan dan
cairan limfatik di daerah yang meradang dihalangi oleh bekuan fibrinogen, sehingga
untuk sementara waktu hampir tidak ada cairan yang melintasi ruangan. Proses
pembatasan akan menunda penyebaran bakteri atau produk toksik.
Dalam waktu beberapa menit setelah peradangan dimulai, makrofag telah ada
di dalam jaringan dan segera memulai kerja fagositiknya. Bila diaktifkan oleh produk
infeksi dan peradangan, efek yang mula-mula terjadi adalah pembengkakan setiap
sel-sel ini dengan cepat. Selanjutnya, banyak makrofag yang sebelumnya terikat
kemudian lepas dari perlekatannya dan menjauh mobil, membentuk lini pertama
pertahanan tubuh terhadap infeksi selama beberapa jam pertama.
Dalam beberapa jam setelah peradangan dimulai, sejumlah besar netrofil dari
darah mulai menginvasi daerah yang meradang. Hal ini disebabkan oleh produk yang
berasal dari jaringan yang meradang akan memicu reaksi berikut:
41
1. Produk tersebut mengubah permukaan bagian dalam endotel kapiler,
menyebabkan netrofil melekat pada dinding kapiler di area yang meradang. Efek
ini disebut marginasi.
2. Produk ini menyebabkan longgarnya perlekatan interseluler antara sel endotel
kapiler dan sel endotel vanula kecil sehingga terbuka cukup lebar, dan
memungkinkan netrofil untuk melewatinya dengan cara diapedesis langsung dari
darah ke dalam ruang jaringan.
3. Produk peradangan lainnya akan menyebabkan kemotaksis netrofil menuju
jaringan yang cedera.
Jadi, dalam waktu beberapa jam setelah dimulainya kerusakan jaringan, tempat
tersebut akan diisi oleh netrofil. Karena netrofil darah telah berbentuk sel matur,
maka sel-sel tersebut sudah siap untuk segera memulai fungsinya untuk membunuh
bakteri dan menyingkirkan bahan-bahan asing.
Dalam waktu beberapa jam sesudah dimulainya radang akkut yang berat, jumlah
netrofil di dalam darah kadang-kadang menigkat sebanyak 4-5 kali lipat menjadi
15.000-25.000 netrofil per mikroliter. Keadaan ini disebut netrofilia. Netrofilia
disebabkan oleh produk peradangan yang memasuki aliran darah, kemudian diangkut
ke sumsum tulang, dan disitu bekerja pada netrofil yang tersimpan dalam semsum
untuk menggerakkan netrofil-netrofil ini ke sirkulasi darah. Hal ini membuat lebih
banyak lagi netrofil yang tersedia di area jaringan yanng meradang.
Bersama dengan invasi netrofil, monosit dari darah akan memasuki jaringan yang
meradang dan membesar menjadi makrofag. Setelah menginvasi jaringan yang
meradang, monosit masih merupakan sel imatur, dan memerlukan waktu 8 jam atau
lebih untuk membengkak ke ukuran yang jauh lebih besar dan membentuk lisosom
dalam jumlah yang sangat banyak, barulah kemudian mencapai kapasitas penuh
sebagai makrofag jaringan untuk proses fagositosis. Ternyata setelah beberapa hari
hingga minggu, makrofag akhirnya datang dan mendominasi sel-sel fagositik di area
42
yang meradang, karena produksi monosit baru yang sangat meningkat dalam sumsum
tulang.
Pertahanan tubuh yang keempat adalah peningkatan hebat produksi granulosit dan
monosit oleh sumsum tulang. Hal ini disebabkan oleh perangsangan sel-sel progenitor
granulositik dan monositik di sumsum. Namun hal tersebut memerlukan waktu 3-4
hari sebelum granulosit dan monosit yang baru terbentuk ini mencapai tahap
meninggalkan sumsum tulang.100
Pembentukan Pus
Bila netrofil dan makrofag menelan sejumlah besar bakteri dan jaringan
nekrotik, pada dasarnya semua netrofil dan sebagian besar makrofag akhirnya akan
mati. Sesudah beberapa hari, di dalam jaringan yang meradang akan terbentuk rongga
yang mengandung berbagai bagian jaringan nekrotik, netrofil mati, makrofag mati,
dan cairan jaringan. Campuran seperti ini biasanya disebut pus. Setelah proses infeksi
dapat ditekan, sel-sel mati dan jaringan nekrotik yang terdapat dalam pus secara
bertahap akan mengalami autokatalisis dalam waktu beberapa hari, dan kemudian
produk akhirnya akan diabsorpsi ke dalam jaringan sekitar dan cairan limfe hingga
sebagian besar tanda kerusakan jaringan telah hilang.100
Efek Radang Akut
Cairan dan eksudat seluler, keduanya dapat mempunyai efek yang berguna.
Manfaat cairan eksudat adalah sebagai berikut:
Mengencerkan toksin
Pengenceran toksin yang diproduksi oleh bakteria akan memungkinkan
pembuangannya melalui saluran limfatik
Masuknya antibodi
Akibat naiknya permeabilitas vaskuler, memugkinkan antibodi masuk ke
dalam rongga ekstravaskuler. Antibodi dapat mengakibatkan lisisnya mikro-
43
organisme dengan mengikutsertakan komplemen, atau mengakibatkan fagositosis
melalui opsonisasi. Antibodi juga penting untuk menetralisir toksin.
Transpor obat
Seperti antibiotik ke tempat bakteri berkembang biak.
Pembentukan fibrin
Dari eksudat fibrinogen dapat menghalangi gerakan mikro-organsme,
menangkapnya dan memberikan fasilitas terjadinya fagositosis.
Mengirim nutrisi dan oksigen
Yang sangat penting untuk sel seperti neutrofil yang mempunyai aktivitas
metabolisme yang tinggi, yang dibantu dengan menaikkan aliran cairan melalui
daerah tersebut
Merangsang respon imun
Dengan cara menyalurkan cairan eksudat ke dalam saluran limfatik yang
memungkinkan partikel dari larutan antigen mencapai limfonodus regionalnya,
dimana partikel dapat merangsang respon imun.
Pembebasan enzim-enzim lisosom oleh sel radang dapat pula mempunyai efek yang
merugikan, yaitu:
Mencerna jaringan normal
Enzim-enzim seperti kolagenase, protease dapat mencerna jaringan normal,
yang menyebabkan kerusakan. Kondisi ini mungkin terutama sebagai hasil kerusakan
vaskuler, misalnya pada reaksi hipersensitivitas tipe III.
Pembengkakan
Pembengkakan jaringan yang mengalami radang akut dapat merugikan.
Pembengkakan karena radang akan berbahaya apabila terjadi di dalam ruang yang
tertutup seperti rongga kepala.
Respon radang yang tidak sesuai
Kadang-kadang respon radang akut tampak tidak sesuai, seperti yang terjadi
pada reaksi hipersensitivitas tipe I, dimana antigen di sekitarnya berkemampuan
44
menyebabkan reaksi yang tidak mengancam dan merugikan individu. Pada respon
radang karena alergi mungkin dapat mengancam hidupnya, misalnya asma ekstrinsik.
45
DAFTAR PUSTAKA
1. Lynch Malcolm A, dkk. Ilmu penyakit mulut diagnosis dan terapi. Ed 8. Alih bahasa: P P Sianita Kurniawan: Binarupa Aksara. Jakarta. 1997: 1, 286-289
2. Shulman, Jay D. The prevalence of oral mucosal lesion in U.S. adults. J Am Dent Assoc, Vol 135, No 9, 1279-1286
3. Shulman, J. D. prevalence of oral mucosal lesion in children and youths in the USA. Int J Paediatr Dent. 2005 Mar; 15(2): 89-97
4. Parlak, AH, dkk. Prevalence of oral lesion in 13-16 year-old students in Duzce, Turkey. Oral disease. 2006, Vol. 12, No.6, pp. 553-558
5. Lewis Michael A. O. Tinjauan klinis penyakit mulut. Alih bahasa: Elly Wiriawan. 1998. Widya Medika. Jakarta.Hal: 47-48, 53-54,79,93
6. Suaibah L. Hubungan status gizi dengan terjadinya keilitis angularis pada anak usia 6-12 tahun di enam panti asuhan di kota madya Medan. Dentika dent J, Vol
7. Langlais RP, Miller CS. Kelainan rongga mulut yang lazim.Jakarta: Hipokrates, 1994: 42,46,52,54,56,68,84,86,94
8. Mascarenhas P. Influence of sex hormones on the periodontium. J Clin Periodontal 2003; 30: 671-681
9. Mariotti Angelo. Sex steroid hormones and cell dynamics in the periodontium. CriticalReviews in Oral Biology and Madicine, 5(1):27-53 (1994)
10. Prohealth. Kelainan Rongga Mulut Yang Berhubungan Dengan Leukemia Akut. (21 Januari 2009)
11. Kompas. Jumlah Perokok Pemula Meningkat. <http://www.klikdoktermenujusehat.com>
12. Tomar S. L., dkk. Oral mucosal smokless tobacco lesions among adolescents in the united states. J Dent Res 76(6): 1277-1286, June, 1997
46
13. Syafiq Ahmad, dkk. Gizi dan kesehatan masyarakat. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007: 84,155
14. Zantika Iis, 89% anak derita penyakit gigi dan mulut. http://www.depkes.go.id (13 Februari 2009).
15. Pintauli Sondang. Menuju gigi dan mulut sehat.USU Press. Medan.2008: 1-2,8,30-31,42
16. Smet Bart. Psikologi kesehatan. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1994:
17. Professional Oral Health.An epidemiologic study of tongue lesions in 1901 iranian dental outpatients. The Journal of Contemporary Dental Practice, Volume 9, No. 7, November 1, 2008
18. Franks AST, Hedegard B. Geriatric dentistry. Blackell Scientific Publications, 1997: 135-139
19. Sciubba James J. 07 Juni 2008. Oral mucosal diseases in the office setting—Part I: Aphthous stomatitis and herpes simplex infections. Academy General Dentistry
20. Samson Pr. J. Pseudomembranous candidiasis of the cheek. July/August 2007 Pg. 347-354 <http:www.//aidsimagelibrary.com(07 September 2008).
21. Anonimous. <http://www.visualdxhealth.com/.../adult_Female_Face.htm> (02 Maret 2009).
22. Minciullo PL, dkk. Bilateral cyclic cheek lesions related to premenstrual syndrome. http://www.PubMed.com(01 November 2008)
23. Dozenist. <http://www.commons.wikimedia.org/wiki/File:Cheekbite10-3...> (03 November 2006).
24. Mojarad F. Prevalence of tongue anomalies in hamadan Iran. J Publ Health, Vol. 37, No.2, 2008, pp. 101-105
25. Anonimous. <http://www.klikdokter.com/illness/detail/235> (02 Maret 2009).
26. Handlers J. P. <http://www.cda.org/.../pubs/journal/jour499/gidis.html> (02 Maret 2009)
47
27. Said H. Usman. Interaksi hormonal dan kualitas kehidupan pada wanita. <http://obgynunsri.org/admin/upload/attachment/INTERAKSI%20HORMONAL%20%20DAN%20KUALITAS%20HIDUP%20WANITA28052008_3054.pdf> 02 Oktober 2004
28. Anonimous. http://www.aegis.com/topics/oi/oi-ohl.html
29. International Headache Society. The International Classification of Headaache Disorders (2nd ed). Cephalalgia 2004;24(1):8-160.
30. Zakzewska JM, Hamlyn PJ. Facial pain. In: Crombie IK, Croft PR, Linton SJ, Resche LL, Korf VM (Eds). Epidemiology of pain. Seattle: International Association for the Study of Pain press 1999:177-202.
31. Ship JA, Grushka M, Lipton JA, Mott AE, Sessle BJ, Dionne RA. Burning mouth syndrome: An update. JAm Dent Assoc 1995;126:842-53.
32. Grushka M. Clinical features of burning mouth syndrome. Oral Surg Oral Med Oral Pathol 1987;63:30-6.
33. Zakrzewska JM, Hamlyn PJ. Facial pain. In: Crombie IK, editor. Epidemiology of pain. Seattle (WA): IASP press; 1999. p. 175-82.
34. Bergdahl M, Bergdahl J. Burning mouth syndrome: Prevalence and associated factors. J Oral Pathol Med 1999;28:350-4.
35. Ferguson MM, Carter J, Boyle P, Hart DM, Lindsay R. Oral complaints related to climacteric symptoms in oophorectomized women. JR Soc Med 1981;74:492-8.
36. Van der Waal I. The burning mouth syndrome. Copenhagen: Munksgaard; 1990. p. 5-90.
37. Miyamoto SA, Ziccardi VB. Burning Mouth syndrome. Mt Sinai J Med 1998;65:343-7.
38. Scala A, Checchi L, Montevecchi M. Update on burning mouth syndrome:overview and patient management. Crit Rev Oral Biol Med. 2003;14:275-91.
48
39. Chen Q, Samaranayake LP. Growth of the fungal pathogen Candida in parotid saliva of patients with burning mouth syndrome. Microbios. 2009;102:45-52.
40. Boy M, Kıvanc B, Meral U.Burning mouth syndrome. Blackwell Scientific Publication. 2008;18(3):188-196.
41. Bergdahl BJ, Anneroth G, Anneroth I. Clinical study of patients with burning mouth. Scand J Dent Res. 2006;102:299-305.
42. Bergdahl M, Bergdahl J. Burning mouth syndrome:prevalence and associated factors. J Oral Pathol Med. 2010;28:350-4.
43. Petruzzi M, Lauritano D. Systemic capsaicin for burning mouth syndrome:short-term results of a pilot study. J Oral Pathol Med. 2004;33:111-4.
44. Asplund R. Nocturia and the burning mouth syndrome(BMS) in the elderly. Arch Gerontol Geriatri. 2005;41:255-60.
45. Junizaf A. Buku Ajar Neurofisiologi Uroginekologi. Jakarta: EGC;2001;1:88-89.
46. Daniel,Charland. Burning Issues in the Treatment of Burning Mouth Syndrome: An Evidence- Based Study of the Literature.Medical Sciences. 2008. Tersedia pada:http://www.utoronto.ca/dentistry/newsresources/evidence_based/burningmouth.pdf (diakses 12 November 2009).
47. Gutkowski S. Changes in Attitudes and Knowledge of Dental Hygiene Students Toward the Senior Citizen Population After a Course on Geriatrics.Inggris : Young dental. 2005. Tersedia pada :http://www.youngdental.com/pdf/tpav3i1.pdf
48. Nakazone A, Paula D. Burning mouth syndrome: a discussion about possible etiological factors and treatment modalities.Brazil : Faculty Odontologi University of Araraquara; 2009.
49. Chirra A.Burning Mouth Syndrome. Healthcare.2006;10.
50. Eusterman D,Vincent. Burning mouth syndrome.New England Dental Center. 2009 ;2:124-135. Tersediapada:http://emedicine.medscape.com/article/1508869-overview.
51. Grushka, Miriam, Joel B. Burning mouth syndrome. Oral Medical. 2010;86:557–61.
52. Gibson J, Lamey PJ, Lewis M. Oral manifestations of previously undiagnosed non-insulin dependent diabetes mellitus. J Oral Pathol Med. 2008;19:284-7.
49
53. Vitkov L, Weitgasser R.Candida-induced stomatopyrosis and its relation to diabetes mellitus. J Oral Pathol Med. 2003;32:46-50.
54. Tourne LP, Fricton JR. Burning Mouth Syndrome Critical review and proposed clinical management. Medical Oral. 2010;74:158-67.
55. Woda A, Pionchon P. A unified concept of idiopathic orofacial pain: pathophysiologic features. J Orofac Pain. 2005;14:196-212.
56. Grushka M, Sessle BJ. Burning mouth syndrome. Dentis Clinical North America. 2009;35:171-84.
57. Garcia-Medina MR. Sindrome de laboca que arde. Rev Asoc Odontol Argennt 1994;82(2):140-45.
58. Ship JA, Grushka M, Lipton JA, Mott AE, Sessle BJ, Dionne RA. Burning mouth syndrome. An update. J Am Dent Assoc 1995;126:842-53.
59. Hummel T, Welge-Lussen A. Taste and smell: An update. Adv Otorhinolarngol. Basel, Karger 2006;63:278-87.
60. Baskar RM, Main DMG. Patients complaining of a dry mouth. Further experience in clinical assessment and management. Br Dental J 1983;154:206-11.
61. Torgerson RR, Diagnosis and Treatment of Oral Mucosal Lession : Burning Mouth Syndrome. NCBI. 2010;4:194-205. Tersedia pada: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20597947.
62. Navazesh M, Kumar S.Xerostamia : Prevaleance, Diagnosis, and Management, Compendium of Conyinuing Education in Dentistry.New Dehli : Jaypee. 2007;3:5- 16.
63. Gremeau-Richard C, Woda A, Navez ML, Attal N, Bouhassira D, Gagnieu MC, et al. Topical clonazepam in stomatodynia: Arandomized placebo-controlled study. Pain 2004;108:51-7.
64. Heckmann SM, Kirchner E, Grushka M, Wichmann MG, Hummel T. A double-blind study on clonazepam in patients with burning mouth syndrome. Laryngoscope 2012;122:813-6.
65. Sardella A, Lodi G, Demarosi F, Tarozzi M, Canegallo L, Carrassi A. Hypericum perforatum extract in burning mouth syndrome: A randomized placebo-controlled study. J Oral Pathol Med 2008;37:395-401.
50
66. Epstein JB, Marcoe JH. Topical application of capsaicin for treatment of oral neuropathic pain and trigeminal neuralgia. Oral Surg Oral Med Oral Pathol 1994;77:135-40.
67. Volpe A, Lucenti V, Forabosco A. Oral discomfort and hormonal therapy in post menopause. Maturitus 1991;13:1-5.
68. López-Jornet P, Camacho-Alonso F, Andujar-Mateos P, Sánchez-Siles M, Gómez-Garcia F. Burning mouth syndrome: An update. Med Oral Patol Oral Cir Bucal 2010;15:E562-8.
69. Femiano F, Scully C. Burning mouth syndrome (BMS): Double blind controlled study of alpha-lipoic acid therapy. J Oral Pathol Med 2002;31:267-9.
70. Cavalcanti DR, da Silveira FR. Alpha lipoic acid in burning mouth syndrome-a randomized double-blind placebo-controlled trial. J Oral Pathol Med 2009;38:254-61.
71. López-Jornet P, Camacho-Alonso F, Leon-Espinosa S. Efficacy of alpha lipoic acid in burning mouth syndrome: A randomized, placebo-treatment study. J Oral Rehabil 2009;36:52-7.
72. Bergdahl J, Anneroth G, Perris H. Cognitive therapy in the treatment of patients with resistant burning mouth syndrome: A controlled study. J Oral Pathol Med 1995;24:213-5.
73. Mock D, Chugh D. Burning mouth syndrome. Int J Oral Sci 2010;2:1-4.
74. Reamy BV, Derby R, Bunt CW. Common tongue conditions in primary care. Am Fam Physician 2010;81:627-34.
75. Hartini, E. Serba serbi ilmu konservasi gigi. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia. 2005 : 69-59.
76. Del P, Maria A, Angela M, et al. Saliva composition and function : A comprehensive review. Journal Contemporary Dental Practice 2008 : 9(3): 5-2
77. Collins WJN, Walsh TF. A handbook for dental hygienis. 3th ed. Northern Ireland : Wright, 1992 : 67 : 113-11
78. Marya, RK. A textbook of physiology for dental student.1th ed. India : CBS Publisher and distributor, 2001 : 273-270
51
79. Avery JK, Chiego DJ. Essential of oral history and embryology. 3 th ed. St.Louis : Mosby Elsevier, 2006 : 215-195
80. Eley BM, Manson JD. Periodontics. 5 th ed. Brithis : Wright, 2004 : 175
81. Rantonen, P. Salivary flow and composition in healthy and diseased adult. Dissertation. Kuopio, Firland : University of Helsinki, 2003 : 12
82. TW, David. Salivary diagnostics. 1st ed. USA : Wiley-Blackwell, 2008 : 59-37
83. Huber, J. Xylitol : Magic in the making. JDHA 1999. 20(1) : 32-31
84. Ireland R, eds. Clinical textbook of dental hygiene and therapy. Germany : Blackwell-Munksgaard, 2007 : 22-21
85. Yunus B. Pengaruh terapi radiasi penderita kanker nasopharinx terhadap populasi Candida albicans di dalam rongga mulut. J PDGI: 2002;2: 363-5.
86. Hasibuan S. Keluhan mulut kering ditinjau dari faktor penyebab, manifestasi dan penanggulangannya. Medan, USU digital library. 2002: 1- 5.
87. Wong DT. Salivary diagnostic. Iowa: Wiley-Blackwell.2008: 28-60.
88. Ginting R, Tambunan G. Obat-obatan anti neoplastik dan manifestasinya di rongga mulut. Paper Jurusan Laboratorium Patologi Anatomi FKG/FK USU. 1992 : 114-22.
89. Scully, C. Oral Medicine and pathology at a glance.UK.Wiley-Blackwell Publishing Ltd,2010: 74-5
90. Maskoep WI, Terapi nutrisi pada penderita kanker. Pusat Pengembangan Paliatif dan Bebas Nyeri RSU Dr. Soetomo – FK UNAIR Surabaya2006:1-15
91. Anonim, 2007, Virus Herpes Simpleks, http://id.wikipedia.org, diakses tanggal 10 April 2008.
92. Anonim, 2007, Herpes Simpleks, http://medlinux.blogspot.com, diakses tanggal 18 April 2008.
93. Anonim, 2008, Penggunaan Tablet Acylovir pada Infeksi Herpes Simpleks, http://yosefw.wordpress.com, diakses tanggal 18 April 2008.
94. Brooks, G., et al, 1995, Mikrobiologi Kedokteran edisi 20, EGC Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta
52
95. Jawetz, E.,et al, 1984, Mikrobiologi Untuk Profesi Kesehatan edisi 16, EGC Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta
96. Oswari, E., 1995, Penyakit dan Penanggulangannya, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
97. Dorland, W. A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
98. Underwood, J. C. E. 1999. Patologi Umum dan Sistematik. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
99. Brooks, Geo F. 2007. Mikrobiologi Kedokteran Jawetz, Melnick, dan Adelberg.Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
100. Guyton, Arthur C. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
101. Underwood, J. C. E. 1999. Patologi Umum dan Sistematik. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
53
Top Related