OPTIMASI DAN PENGUJIAN TEST KIT SEDERHANA
PENDETEKSI AKTIVITAS ENZIM DIASTASE PADA MADU
SKRIPSI
MUHAMMAD SYAUQI
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020 M/1442 H
OPTIMASI DAN PENGUJIAN TEST KIT SEDERHANA
PENDETEKSI AKTIVITAS ENZIM DIASTASE PADA MADU
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains
Program Studi Kimia
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh
MUHAMMAD SYAUQI
NIM : 11160960000072
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020 M/1442 H
Menyetujui,
Mengetahui,
Ketua Program Studi Kimia
Dr. La Ode Sumarlin, M.Si
NIP: 19750918 200801 1 007
OPTIMASI DAN PENGUJIAN TEST KIT SEDERHANA
PENDETEKSI AKTIVITAS ENZIM DIASTASE PADA MADU
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains
Program Studi Kimia
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh
MUHAMMAD SYAUQI
NIM : 11160960000072
Pembimbing I
Anna Muawanah, M.Si
NIP: 19740508 199903 2 002
Pembimbing II
Dr. La Ode Sumarlin, M.Si
NIP: 19750918 200801 1 007
PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul “Optimasi dan Pengujian Test Kit Sederhana Pendeteksi
Aktivitas Enzim Diastase pada Madu” telah diuji dan dinyatakan lulus pada
Sidang Munaqosah Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta pada hari Rabu, 2 Desember 2020. Skripsi telah diterima
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains (S1) Program studi
Kimia.
Menyetujui,
Mengetahui,
Dekan Fakultas Sains dan Teknologi
Prof. Dr. Lily Surraya Eka Putri, M. Env.Stud
NIP. 19690404 200501 2 005
Ketua Program Studi Kimia
Dr. La Ode Sumarlin, M.Si
NIP. 19750918 200801 1 007
Penguji I
Dr. Hendrawati, M.Si
NIP. 19720815 200312 2 001
Penguji II
Dr. Sandra Hermanto, M.Si
NIP. 19750810 200501 1 005
Pembimbing I
Anna Muawanah, M.Si
NIP. 19740508 199903 2 002
Pembimbing II
Dr. La Ode Sumarlin, M.Si
NIP. 19750918 200801 1 007
PER}IYATAAFI
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH HASIL
KARYA SAYA SENDru DAN BELUM PERNAH DIAIUKAN SEBAGAI
SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU
LEMBAGA MANAPT]N.
Jakartq Desember 2020
ABSTRAK
Muhammad Syauqi Optimasi dan Pengujian Test Kit Sederhana Pendeteksi
Aktivitas Enzim Diastase pada Madu. Dibimbing oleh Anna Muawanah dan La
Ode Sumarlin
Madu mengandung enzim diastase yang dihasilkan dari liur lebah madu sehigga
dapat dijadikan sebagai salah satu parameter keaslian madu. Madu yang baik
menurut SNI 3545:2013 adalah madu yang memiliki nilai DN (Diastase Number)
minimal sebesar 3 DN. Tujuan penelitian ini yaitu untuk optimasi indikator I-KI,
suhu, substrat, dan pH serta mengetahui tingkat stabilitas pereaksi indikator I-KI
pada pembuatan tes kit pendeteksi aktivitas enzim diastase madu. Penelitian
dimulai dari pengujian nilai DN dari sampel madu yang akan dijadikan madu acuan
dengan spektrofotometer UV-Vis dengan lambda 660 nm. Variasi optimasi
konsentrasi indikator I-KI adalah 1,2 %; 1,25 %; 1,3%; 1,35%; 1,4%., variasi
optimasi suhu dilakukan pada 25℃, 30℃, 35℃ dan 40℃, 𝑠ubstrat amilum
konsentrasi 0,5%, 0,75%, 1%, 1,25% dan 1,5% dan optimasi pH dengan rentang
3,3; 4,3; 5,3 dan 6,3. Uji Stabilitas intensitas warna indikator I-KI dilakukan dengan
mengukur absorbansi larutan selama 60 menit menggunakan spektrofotometer UV-
Vis dengan lambda 660 nm. Hasil konsentrasi indikator I-KI yang optimal adalah
1,25%, suhu optimum adalah 40℃ dan konsentrasi substrat amilum yang optimal
adalah 1% dan pH yang optimal adalah pH 5,3. Hasil pengujian stabilitas intensitas
warna indikator I-KI didapatkan terjadi penurunan absorbansi sebesar 0,385 selama
60 menit. Tes kit dirancang dengan komposisi yang terdiri atas 3 buah botol yakni
botol untuk analisis sampel, botol amilum dan botol indikator I-KI, tes kit juga
dilengkapi dengan petunjuk pemakaian. Pengujian kelayakan tes kit dilakukan
dengan menggunakan metode z-score yang dilakukan oleh 25 panelis dan
dihasilkan pengukuran aktivitas enzim diastase pada madu menggunakan tes kit
dihasilkan nilai 96% diterima dan 4% diragukan.
Kata Kunci : Amilum, Enzim Diastase, Indikator I-KI, Madu, Tes kit
ABSTRACT
Muhammad Syauqi Optimization and Testing of Diastase Enzyme Activity
Detection Test Kit in Honey. Supervised by Anna Muawanah and La Ode
Sumarlin.
Honey contains the diastase enzyme which is produced from honey bee saliva so
that it can be used as one of the parameters for the authenticity of honey. Good
honey according to SNI 3545: 2013 is honey that has a DN (Diastase Number) value
of at least 3 DN. The purpose of this study was to optimize the I-KI indicator,
temperature, substrate, and pH and to monitor the level of interference with the I-
KI indicator reagent in the manufacture of the honey diastase enzyme activity
detection kit test. The research started from testing the DN value of the honey
sample which will be used as a reference for honey using a UV-Vis
spectrophotometer with lambda of 660 nm. The variation of the concentration
indicator for optimization I-KI is 1.2%; 1.25%; 1.3%; 1.35%; 1.4%., Temperature
optimization variations were carried out at 25 ℃, 30 ℃, 35 ℃ and 40 ℃, the
substrate starch concentration was 0.5%, 0.75%, 1%, 1.25% and 1.5% and
optimization pH with a range of 3.3; 4,3; 5,3 and 6,3. The color intensity stability
test of the I-KI indicator was carried out by measuring the absorbance of the
solution for 60 minutes using a UV-Vis spectrophotometer with 660 nm lambda.
The result of the optimal I-KI concentration indicator is 1.25%, the optimum
temperature is 40 ℃ and the optimal starch substrate concentration is 1% and the
optimal pH is pH 5.3. The results of testing the intensity of the color intensity of
the I-KI indicator showed a decrease in absorbance of 0.385 for 60 minutes. The
test kit is designed with a composition consisting of 3 bottles, namely bottles for
sample analysis, starch bottles and I-KI indicator bottles, the test kit is also equipped
with instructions for use. Testing the feasibility of the test kit was carried out using
the z-score method carried out by 25 panelists and the results of measuring the
diastase enzyme activity in honey using the test kit resulted in an acceptable value
of 96% and 4% doubt.
Keywords: Starch, Diastase Enzyme, Iodine, Honey, Test
i
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh.
Segala puji dan syukur penulis haturkan ke hadirat Allah SWT atas segala
rahmat dan karunia Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi penelitian
ini. Shalawat serta salam selalu dilimpahkan kepada junjungan Nabi Muhammad
SAW beserta para sahabatnya dan umatnya yang Insya Allah dimuliakan oleh
Allah. skripsi penelitian ini berjudul “Optimasi Indikator I-KI, Suhu, Substrat,
dan pH Pada Pembuatan Tes Kit Pendeteksi Aktivitas Enzim Diastase
Madu.”. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu dan mendukung dalam penulisan skripsi penelitian ini
sehingga dapat terselesaikan;
1. Anna Muawanah, M.Si selaku pembimbing I yang telah membimbing,
memberikan ilmu, nasihat, kesempatan serta sabar dalam membimbing
penyusunan skripsi ini.
2. Dr. La Ode Sumarlin, M.Si selaku pembimbing II yang telah membimbing
dan memberikan saran pada penyusunan skripsi ini.
3. Dr. Hendrawati, M.Si sebagai penguji I yang telah memberikan saran dan
masukan yang bermanfaat.
4. Dr. Sandra Hermanto, M.Si sebagai penguji II yang telah memberikan saran
dan masukan yang bermanfaat.
5. Dr. La Ode Sumarlin, M.Si selaku ketua Program Studi, Kimia Fakultas Sains
dan Teknologi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Prof. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M.Env.Stud selaku Dekan Fakultas Sains
dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
ii
7. Segenap Dosen Program Studi Kimia yang telah memberikan ilmu, wawasan
serta pengalaman yang bermanfaat dan ikhlas kepada penulis.
8. Adawiah, S.Si yang telah mengarahkan dan membantu penulis dalam
memahami metode penelitian.
9. Kedua orang tua tercinta abi, ummi, kakak-kakak yang telah memberikan
segala doa, pengorbanan, nasihat dan motivasinya kepada penulis.
10. Seluruh staff dan laboran di Pusat Laboratorium Terpadu UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan kesempatan dan ilmu kepada
penulis.
11. Dimas, Dhika, Khoe, Safira, Nikko, Kak Yanti, Heri, Aafi, Ihda, Dzikri, Dita,
Aliv, Irma, Mira dan Dwi atas bantuannya selama ini.
12. Beastudi Etos atas kesempatan yang telah diberikan.
13. Teman-teman kimia 2016 atas motivasi dan kebersamaannya.
Penulis berharap kritik dan saran yang membangun guna memperbaiki
skripsi penelitian ini menjadi lebih baik. Semoga skripsi penelitian ini dapat
bermanfaat untuk menambah wawasan serta khazanah ilmu pengetahuan baik untuk
ranah kimia maupun masyarakat secara umum.
Jakarta, Desember 2020
Muhammad Syauqi
iii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................................................ i
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ................................................................................................ vi
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... vii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 6
1.3 Hipotesis Penelitian ................................................................................. 6
1.4 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 6
1.5 Manfaat Penelitian .................................................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 7
2.1 Madu ......................................................................................................... 7
2.2 Enzim diastase ........................................................................................ 12
2.3 Amilum ................................................................................................... 15
2.4 Indikator I-KI ......................................................................................... 17
2.5 Spektrofotometer UVi-Vis ..................................................................... 19
2.6 Tes Kit .................................................................................................... 20
2.7 Proses Visual Mata ................................................................................. 22
BAB III METODE PENELITIAN ..................................................................... 25
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................ 25
3.2 Alat dan Bahan ....................................................................................... 25
3.3 Skema Kerja Penelitian ......................................................................... 26
3.4 Prosedur Penelitian ................................................................................. 27
iv
3.4.1 Pengujian Kuantitatif Aktivitas Enzim Diastase pada Madu dengan
Spektrofotometri UV-Vis ................................................................... 27
3.4.1.1 Pencarian faktor pengenceran ........................................................... 27
3.4.1.2 Pengukuran Aktivitas Enzim Diastase pada Madu ........................... 28
3.4.2 Pengujian stabilitas I-KI dengan Spektrofotometer UV-Vis ............. 29
3.4.3 Optimasi Kondisi Pengujian Kualitatif Aktivitas Enzim Diastase .... 30
3.4.3.1 Optimasi Konsentrasi Indikator I-KI .............................................. 30
3.4.3.2 Optimasi Suhu ................................................................................. 30
3.4.3.3 Optimasi Konsentrasi Subtrat Amilum ........................................... 31
3.4.3.4 Optimasi pH .................................................................................... 31
3.4.4 Pembuatan Tes Kit ............................................................................. 32
3.4.5 Uji Kelayakan Tes Kit ......................................................................... 32
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 35
4.1 Hasil Pengukuran Aktivitas Enzim Diastase secara kuantitatif ............. 35
4.2 Hasil Stabilitas Indikator I-KI dengan Spektrofotometer UV-Vis ......... 38
4.3 Hasil Optimasi Kondisi Pengujian Kualitatif Aktivitas Enzim Diastase
Untuk Aplikasi pada Tes Kit ................................................................. 40
4.3.1 Hasil Optimasi Konsentrasi Indikator I-KI ........................................ 40
4.3.2 Hasil Optimasi Suhu .......................................................................... 44
4.3.3 Hasil Optimasi Konsentrasi Substrat Amilum .................................. 47
4.3.4 Hasil Optimasi pH (power of Hydrogen) ........................................... 52
4.4 Tes Kit Pendeteksi Aktivitas Enzim Diastase ....................................... 56
4.5 Uji Kelayakan Tes Kit Pendeteksi Aktivitas Enzim Diastase ............... 60
BAB V PENUTUP ................................................................................................ 63
5.1 Simpulan ................................................................................................ 63
5.2 Saran ...................................................................................................... 63
v
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 64
LAMPIRAN ......................................................................................................... 72
vi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Kandungan nutrisi madu per 100 gr ...................................................... 9
Tabel 2. Standar nasional madu di Indonesia ...................................................... 11
Tabel 3. Data diastase number sampel madu ...................................................... 36
Tabel 4. Hasil.pengukuran absorbansi kestabilan indikator I-KI ........................ 38
Tabel 5. Pengukuran optimasi suhu..................................................................... 42
Tabel 6. Data optimasi konsentrasi indikator I-KI .............................................. 45
Tabel 7. Data optimasi konsentrasi substrat amilum ........................................... 49
Tabel 8. Data optimasi pH aktivitas enzim diastase ............................................ 53
Tabel 9. Hasil pengukuran madu sampel menggunakan tes kit pendeteksi
aktivitas enzim diastase ........................................................................ 58
vii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Lebah apis melifera (kiri) dan lebah apis cerana (kanan) ............... 8
Gambar 2. Struktur Protein Enzim Diastase ............................................................... 12
Gambar 3. Diagram hidrolisis amilum menjadi glukosa ................................... 14
Gambar 4. Struktur amilosa ............................................................................... 16
Gambar 5. Struktur amilopektin ........................................................................ 16
Gambar 6. Reaksi kalium iodida dengan iodin .................................................. 17
Gambar 7. Reaksi amilum dengan iodin ............................................................ 18
Gambar 8. Skema kerja spektrofotometer UV-Vis ................................................. 20
Gambar 9. Contoh tes kit yang telah dikomersialkan ............................................. 22
Gambar 10. Diagram alir penelitian .................................................................... 26
Gambar 11. Skema reaksi antara indikator I-KI dengan amilum ........................ 40
Gambar 12. Reaksi hidrolisis amilum menjadi glukosa ...................................... 48
Gambar 13. Grafik kecepatan laju reaksi enzim diastase ............................................. 51
Gambar 14. Hubungan konsentrasi substrat dengan laju reaksi enzim ........................ 52
Gambar 15. Pengujian optimasi pH ..................................................................... 54
Gambar 16. Tes kit pendeteksi aktivitas enzim diastase ..................................... 57
Gambar 17. Hasil nilai z score pada pengukuran enzim diastase madu
oleh panelis.......................................................................................61
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Instruksi kerja penentuan enzim diastase dalam madu ................ 72
Lampiran 2. Perhitungan enzim diastase madu lengkeng ................................ 72
Lampiran 3. Perhitungan enzim diastase madu rambutan ................................ 73
Lampiran 4. Perhitungan enzim diastase madu peternakan ............................ 74
Lampiran 5. Perhitungan enzim diastase madu lengkeng di Saraswanti Indo
Genetech ...................................................................................... 75
Lampiran 6. Perhitungan enzim diastase madu peternakan di Saraswanti Indo
Genetech ..................................................................................... 75
Lampiran 7. Regresi linier hubungan antara nilai enzim diastase dengan waktu
hidrolisis amilum oleh enzim diastase ........................................ 76
Lampiran 8. Hasil pengukuran madu menggunakan tes kit pendeteksi aktivitas
enzim diastase oleh panelis ......................................................... 76
Lampiran 9. Grafik absorbansi stabilitas indikator I-KI ............................... 77
Lampiran 10. Data pengujian optimasi konsentrasi indikator I-KI ................... 78
Lampiran 11. Data pengujian optimasi suhu ..................................................... 78
Lampiran 12. Data pengujian optimasi konsentrasi substrat amilum ................ 78
Lampiran 13. Data pengujian optimasi pH ........................................................ 78
Lampiran 14. Perhitungan laju reaksi enzim diastase ....................................... 79
Lampiran 15. Instruksi penggunaan tes kit ....................................................... 80
Lampiran 16. Formulir uji kelayakn tes kit ....................................................... 81
Lampiran 17. Dokumentasi uji kelayakan ........................................................ 82
Lampiran 18. Absensi uji kelayakan ................................................................. 83
Lampiran 19. Dokumentasi uji kelayakan ......................................................... 84
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Madu merupakan cairan alami yang umumnya mempunyai rasa manis yang
dihasilkan oleh lebah madu (Apis sp.) dari sari bunga tanaman atau bagian lain dari
tanaman (ekstrafloral) (BSNI, 2013). Madu diketahui memiliki berbagai macam
manfaat di antaranya, sebagai obat untuk penyembuhan penyakit seperti infeksi
pada saluran pencernaan, serta meningkatkan kebugaran tubuh. Madu juga
diketahui memiliki kegunaan meningkatkan kecepatan pertumbuhan jaringan baru
(Mandal dan Mandal, 2011). Selain itu menurut penelitian Sumarlin et al. (2014)
madu memiliki potensi sebagai antikanker dan antioksidan. Potensi madu sebagai
antikanker dikarenakan kandungan fenolik pada madu memiliki kemampuan
melawan beberapa tipe sel leukemia (Abubakar et al. 2012). Potensi antioksidan
pada madu dikarenakan madu memiliki banyak kandungan komponen fenolik,
asam askorbat, tokoferol, flavonoid, dan katalase (Muhammad et al. 2016). Selain
itu, madu juga berguna sebagai penambah cita rasa dalam bidang pangan sebagai
bahan tambahan pangan. Menurut penelitian Ibrahim et al. (2015) madu berguna
sebagai pemanis dalam pembuatan minuman sari jahe.
Meningkatnya kesadaran masyarakat dalam mengkonsumsi madu membuat
permintaan pasar terhadap madu menjadi meningkat, hal tersebut membuat
beberapa oknum coba memanfaatkan kesempatan dengan cara membuat madu
palsu. Menurut Winarno (1981), madu palsu atau tiruan adalah larutan yang
menyerupai madu. Madu palsu dibuat tanpa pertolongan lebah dalam prosesnya.
2
Pemalsuan madu memiliki berbagai macam tipe seperti, madu dicampurkan dengan
glukosa, fruktosa, sirup ataupun sari buah. Pemalsuan madu juga dapat berupa
penambahan sedikit madu asli kepada madu tiruan ataupun dengan cara
memodifikasi kadar airnya (Feronica, 2012). Perbuatan yang dilakukan oleh
beberapa oknum untuk membuat madu palsu demi mendapatkan untung yang
sebesar-besarnya merupakan perbuatan yang tidak dapat dibenarkan, bahkan Allah
SWT dalam Qur’an Surah Al-Muthaffifin sangat mengecam tindakan bagi orang-
orang yang curang dalam berdagang.
)٢(ون
وف
اس يست
الن
ىل
عواالتا اك
ذين إذ
)١( ال ن في
فمط
ل ويل ل
)٤( ون
عوث ب هم م
نى اك ٮ
ولن ا
يظ
لىون )٣( ا س
م يخ
وه
نز و و
ىم أ
وه
الىاكذ وإ
)٦( ن مي
ىعلاس لرب ال
وم الن
وم )٥( يق ظيم ي
يوم ع ل
“Celakalah bagi orang-orang yang curang (1) (Yaitu) orang-orang yang
apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dicukupkan (2) Dan
apabila mereka menakar atau menimbang (untuk orang lain), mereka mengurangi
(3) Tidakkah mereka itu mengira bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan
(4) pada sebuah hari yang besar (5) (yaitu) pada hari (ketika) semua orang bangkit
menghadap Tuhan seluruh alam (6)” (Q.S. Al-Muthaffifin:83: ayat 1-6).
Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah mengecam tindakan hamba-Nya yang
mencoba berbuat curang terhadap apa yang diperdagangkan. Kelak di akhirat
mereka yang curang akan dibangkitkan dan harus mempertanggung jawabkan
perbuatannya selama di dunia dan mereka akan dibangkitkan dengan keadaaan
yang sengsara dana amat sulit karena perbuatannya (Abdullah, 1994). Ayat tersebut
turut menjadi peringatan bagi para oknum yang mencoba untuk memanfaatkan
keadaaan dengan membuat madu palsu demi meraup keuntungan yang sebesar-
besarnya, kelak perbuatannya akan dipertanggung jawabkan di akhirat dengan
adzab yang pedih.
3
Kekhawatiran masyarakat perihal keaslian dan kualitas madu yang mereka
konsumsi menjadikan permasalahan yang hingga kini perlu diselesaikan, karena
keaslian madu sangat berkaitan erat dengan manfaat yang akan dirasakan oleh
konsumen setelah mengkonsumsi madu. Salah satu upaya yang dapat kita lakukan
adalah mendukung keberadaan alat tes kit berbasis enzim diastase yang dapat
mendeteksi keaslian madu dan dapat digunakan secara sederhana, cepat dan mudah
di kalangan masyarakat karena saat ini pengujian kualitas madu masih terbatas pada
skala laboratorium.
Diastase merupakan salah satu dari kelompok enzim yang mengkatalisasi
pemecahan amilum menjadi glukosa (Sak-Bosnar dan Sakač, 2012). Menurut SNI
(Standar Nasional Indonesia) nomer 3545:2013 tentang madu, dijelaskan bahwa
batas minimum nilai aktivitas enzim diastase adalah sebesar 3 DN (Diastase
Number). DN menggambarkan nilai aktivitas enzim diastase yang terkandung
dalam madu. DN didefinisikan sebagai nilai kadar enzim dalam 1 gram madu untuk
menghidrolisis 1 mL amilum menjadi glukosa dalam waktu 60 menit pada suhu 40
℃. (BSNI, 2013).
Metode yang digunakan untuk pengujian aktivitas enzim diastase terdapat
dua metode pengujian yakni pengujian secara kualitatif dan kuantitatif. Pengujian
kualitatif dilakukan berdasarkan pengamatan visual terhadap waktu hilangnya
warna biru (Baedhowie dan Pranggonowati, 1983). Kemudian akan dihasilkan
larutan kompleks berwarna biru lalu diamati perubahan warna larutan dan catat
waktu yang diperlukan untuk perubahan intensitas warna larutan dari biru menjadi
jernih (Ardiansyah et al. 2018). Pengujian kuantitatif dilakukan mengacu kepada
AOAC (Association of Analytical Communities) 958.09:2016 dengan metode
4
penelusuran terhadap absorbansi larutan sampel hingga didapat absorbansi <0,235
(AOAC 958,09, 2016).
Optimasi dilakukan terhadap parameter konsentrasi indikator I-KI, suhu,
konsentrasi substrat, dan pH. Uji stabilitas indikator I-KI terhadap tes kit pendeteksi
aktivitas enzim diastase. Optimasi tes kit pendeteksi aktivitas enzim diastase
sebelumnya belum pernah dilakukan, sehingga sebagai permulaan pengembangan
tes kit pendeteksi aktivitas enzim diastase dirasa penting untuk menentukan terlebih
dahulu indikator I-KI, suhu, substrat, dan pH yang optimal untuk dapat
diaplikasikan pada tes kit pendeteksi aktivitas enzim diastase.
Pengujian kemurnian madu diluar laboratorium telah banyak diteliti, baik
melalui metode konvensional maupun menggunakan alat, akan tetapi untuk
penelitian tes kit yang berbasis enzim diastase masih belum dilakukan. Maka dari
itu, pada penelitian ini peneliti mencoba mencari kondisi optimum yang dapat
diaplikasikan pada tes kit pendeteksi aktivitas enzim diastase pada madu. Menurut
Prabowo et al. (2019), penelitian berbasis konvensional dapat dilakukan dengan
berbagai macam parameter pengujian, seperti uji larut, uji buih, uji pemanasan
maupun uji segi enam. Pengujian kemurnian madu menggunakan suatu alat dapat
dilakukan dengan alat polarimeter dan uji sensor warna dengan prinsip pengujian
yakni melihat kadar glukosa dan fruktosa yang terkandung dalam madu. Madu yang
memiliki kadar glukosa dan fruktosa tinggi akan terbaca pada alat polarimeter yang
terinterpretasikan dalam bentuk derajat sudut (Wibowo et al. 2016).
Pengembangan tes kit pendeteksi kemurnian madu berbasis pengamatan
enzim diastase mengacu kepada penelitian Kusumawardhani et al. (2015)
pembuatan tes kit sianida berdasarkan pembentukan hidrindantin. Sebelum
5
membuat tes kit sianida dilakukan terlebih dahulu optimasi terhadap metode
analisis sianida berbasis tes kit. Pengujian tersebut melatarbelakangi dilakukan
optimasi terlebih dahulu sebelum dihasilkan tes kit. Kemudian penelitian Khanifah
et al. (2015) pembuatan tes kit kromium berdasarkan pembentukan kompleks
Cr(VI)-Difenilkarbazida melatarbelakangi dalam pengamatan visual sebagai
paramater tes kit. Penelitian selanjutnya yang melatarbelakangi adalah penelitian
Bardant et al. (2015) pembuatan tes kit kandungan vitamin B6 dilakukan dengan
menggunakan beberapa botol sebagai tempat reagen dan tempat pengujian sampel,
juga disertakan mekanisme kerja agar memudahkan masyarakat dalam
menggunakan tes kit dan penelitian.
Optimasi pengujian aktivitas enzim diastase secara visual diawali dengan
pengujian aktivitas enzim diastase secara kuantitatif terhadap beberapa sampel
madu. Selanjutnya dipilih salah satu madu yang akan dijadikan sebagai madu acuan
yang akan digunakan selanjutnya dalam proses optimasi dan uji stabilitas indikator
I-KI dengan spektrofotometer UV-Vis dilakukan selama 60 menit. Optimasi
konsentrasi indikator I-KI adalah 1,2%; 1,25%; 1,3%; 1,35%; 1,4%. Optimasi suhu
dilakukan pada rentang suhu 25℃; 30 ℃; 35 ℃; 40 ℃. Optimasi konsentrasi
substrat amilum pada variasi 0,5%; 0,75%; 1%; 1,25%; 1,5% dan Optimasi juga
dilakukan terhadap pH dengan variasi 3,3; 4,3; 5,3; 6,3.
Konsentrasi indikator I-KI, Suhu, konsentrasi substrat, dan pH yang optimum
selanjutnya diaplikasikan dalam perancangan tes kit pendeteksi aktivitas enzim
diastase. Tes kit pendeteksi aktivitas enzim diastase dirancang dengan membuat
paket yang berisi dari 1 botol uji sampel madu, 2 botol reagen dan petunjuk
penggunaan. Botol reagen masing-masing berisi larutan substrat amilum, dan
6
larutan indikator I-KI. Uji kelayakan tes kit dilakukan dengan melibatkan 25 panelis
untuk menguji madu menggunakan tes kit yang kemudian hasilnya akan diubah ke
dalam perhitungan z-score. Kemudian hasil dari z-score akan disimpulkan apakah
tes kit memuaskan atau tidak dapat diterima mengacu kepada distribusi normal.
1.2 Rumusan Masalah
1. Pada kondisi berapa konsentrasi indikator I-KI, suhu, konsentrasi substrat,
dan pH optimum dalam uji aktivitas enzim diastase pada madu?
2. Bagaimana hasil uji kelayakan tes kit pendeteksi aktivitas enzim diastase
berdasarkan nilai z-score?
1.3 Hipotesis Penelitian
1. Didapatkan kondisi optimum konsentrasi indikator I-KI, suhu, konsentrasi
substrat, dan pH untuk tes kit pendeteksi aktivitis enzim diastase pada madu.
2. Tes kit yang dibuat mampu diuji coba pada sampel madu acuan dan
mendapatkan hasil uji kelayakan yang baik
1.4 Tujuan Penelitian
1. Menentukan kondisi optimum penambahan indikator I-KI, suhu, konsentrasi
substrat amilum, dan pH dalam pembuatan tes kit aktivitas enzim diastase.
2. Menghasilkan tes kit yang mampu diaplikasikan pada madu acuan dengan
kelayakan yang baik
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah mengetahui potensi pembuatan alat tes kit
pendeteksi aktivitas enzim diastase pada madu yang sederhana dan mudah, dengan
pengamatan visual tanpa harus dilakukan di laboratorium.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Madu
Madu merupakan cairan alami yang umumnya mempunyai rasa manis yang
dihasilkan oleh lebah madu (Apis sp.) dari sari bunga tanaman (floralnektar) atau
bagian lain dari tanaman (ekstrafloral) (BSNI, 2013). Menurut Codex (1987), madu
adalah suatu zat pemanis alami yang diproduksi oleh lebah madu dari nektar
tanaman atau sekresi bagian lain tanaman atau eksresi dari insekta pengisap
tanaman yang dikumpulkan, diubah dan dikombinasikan dengan zat tertentu dari
lebah kemudian ditempatkan, dikeringkan, lalu disimpan di dalam sarang hingga
matang. Rasa dan harum madu sangat dipengaruhi oleh jenis bunga dimana nektar
dikumpulkan. Nektar merupakan larutan encer yang kaya nutrisi dari gula, asam
amino, asam organik, protein, lemak, vitamin, mineral, lemak dan komponen kecil
lainnya, seperti protein dengan aktivitas antimikroba yang tinggi (Nicolson et al.
2007). Nektar merupakan sumber karbohidrat utama bagi lebah. Nektar
mengandung berbagai karbohidrat dimana kandungan terbesar adalah sukrosa,
glukosa dan fruktosa. Nektar juga mengandung karbohidrat lain seperti laktosa,
galaktosa ditemukan dalam jumlah yang kecil. Lebah mengumpulkan nektar dari
kelenjar nektar floral dan ekstrafloral dari berbagai bunga. Nektar floral adalah
kelenjar nektar yang terdapat pada bunga, sedangkan nektar ekstrafloral adalah
nektar yang berasal dari bagian lain selain bunga (kuncup daun, ujung batang)
(Herbert, 1992). Nektar dari nektar floral mengandung sukrosa, glukosa, fruktosa,
sedikit asam amino, dan lemak (Nicolson et al. 2007). Nektar dikumpulkan oleh
8
lebah pekerja dari suatu bunga, nektar tersebut masih mengandung air yang tinggi
(80%) dan juga kadar gula (sukrosa) yang tinggi. Setelah lebah mengubah nektar
menjadi madu, kandungan air menjadi lebih rendah dan sukrosa diubah menjadi
fruktosa dan glukosa (Purnamasari et al. 2015).
Secara taksonomi lebah madu diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Arthopoda
Kelas : Insekta
Ordo : Hymenopthera
Famili : Apidae
Genus : Apis
Spesies : Apis dorsata, Apis florae, Apis cerana, Apis mellifera, Apis
koschevnikovi, Apis laboriosa (Sarwono, 2001).
Gambar 1. Lebah Apis melifera (kiri) dan lebah Apis cerana (kanan)
(Situmorang dan Hasanudin, 2014)
Madu digolongkan menjadi dua kategori berdasarkan jenis lebah yang
dihasilkan dan jenis bunga yang dijadikan sebagai sumber nektar. Di Indonesia
sendiri terdapat 6 jenis lebah madu yaitu Apis andreniformis, Apis dorsata, Apis
cerana, Apis koschevnikovi, Apis nigrocincta dan Apis melifera. Namun lebah madu
yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat Indonesia adalah lebah madu jenis
Apis cerana dan Apis melifera (gambar 1) (Tingek et al. 1988).
9
Madu alami banyak mengandung enzim, yaitu molekul protein yang sangat
kompleks yang dihasilkan oleh sel hidup dan berfungsi sebagai katalisator, yakni
zat pengubah kecepatan reaksi dalam proses kimia yang terjadi di dalam tubuh
setiap makhluk hidup (Purbaya, 2002). Enzim utama madu adalah diastase
(amilase), invertase (sukrase, α-glukosidase) dan glukosa oksidase. Diastase
berperan dalam menguraikan glikogen menjadi gula-gula sederhana. Invertase
menguraikan sukrosa menjadi fruktosa dan glukosa, kemudian glukosa oksidase
berperan dalam memproduksi hidrogen peroksida serta glukosa asam glukonik
(Suarez et al. 2010). Faktor utama yang menentukan komposisi madu adalah
komposisi nektar tanaman asal madu dan faktor-faktor eksternal seperti iklim,
topografi, jenis lebah madu, cara pengolahan dan cara penyimpanan (Sihombing,
2005).
Tabel 1. Kandungan nutrisi madu per 100 gr
Sumber: (Sakri, 2015)
No. Komposisi Jumlah
1. Energi 1272 kl (304 kkal)
2. Karbohidrat 82,4 gr
3. Gula 82,12 gr
4. Serat Pangan 0,2 gr
5. Lemak 0 gr
6. Protein 0,3 gr
7. Air 17,10 gr
8. Riboflavin (Vitamin B2) 0,038 mg
9. Niacin (Vitamin B3) 0,0121 mg
10. Panthotenic Acid (B5) 0,068 mg
11. Vitamin B6 0,024 mg
12. Folat (Vitamin B9) 2,25 mg
13. Vitamin C 0,5 mg
14. Kalsium 6 mg
15. Besi 0,42 mg
16. Magnesium 2 mg
17. Phosporous 4 mg
18. Potassium 52 mg
19. Sodium 4 mg
20. Zinc 0,22 mg
10
Komposisi terbesar dalam madu adalah glukosa dan fruktosa. Berdasarkan
tabel 1 diketahui bahwa Madu memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi dan
rendah lemak. Kandungan gula dalam madu mencapai 80% dan dari gula tersebut
85% berupa fruktosa dan glukosa (Suranto, 2004). Konstituen dari madu adalah
campuran dekstrosa dan fruktosa dengan jumlah yang sama dan dikenal sebagai
invert 50-90 % dari gula yang tidak terinversi dan air. Madu biasa dipalsukan
dengan gula buatan, sukrosa, dan glukosa cair. Madu dapat pula dipalsukan dengan
cara pemberian suatu asupan pada lebah berupa larutan gula sukrosa yang bukan
berasal dari nektar (Siregar, 2006).
Madu asli adalah pemanis alami yang dihasilkan oleh lebah madu dari nektar
tanaman. Madu palsu adalah semua bahan makanan yang menggunakan nama madu
namun tidak semuanya dihasilkan dari lebah (Sumopraswoto dan Suprapto, 1993).
Pemalsuan madu memiliki berbagai macam tipe seperti, madu dicampurkan dengan
glukosa, fruktosa, sirup ataupun sari buah. Pemalsuan madu juga dapat berupa
penambahan sedikit madu asli kepada madu tiruan ataupun dengan cara
memodifikasi kadar airnya (Feronica, 2012). Standar mutu madu berdasarkan
Standar Nasional Indonesia (SNI) nomer 3545 tahun 2013 dapat dilihat pada tabel
2.
11
Tabel 2. Standar nasional madu di Indonesia
No. Jenis Uji Satuan Persyaratan
A. Uji Organoleptik
1. Bau Khas madu
2. Rasa Khas madu
B. Uji Laboratoris
1. Aktivitas Diastase DN min 3
2. Hidroksimetilfulfural
(HMF)
mg/kg maks 50
3. Kadar air % b/b maks 22
4. Gula Pereduksi % b/b min 65
5. Sukrosa % b/b maks 5
6. Keasaman mL NaOH/kg maks 50
7. Padatan tak larut air % b/b maks 0,5
8. Abu % b/b maks 0,5
9. Cemaran Logam
9.1 Timbal (Pb) mg/kg maks 2,0
9,2 Cadmium (Cd) mg/kg maks 0,2
9.3 Mekuri (Hg) mg/kg maks 0,03
10. Cemaran Arsen mg/kg maks 1,0
11 Kloramfenikol Tidak
teridentifikasi
12. Cemaran Mikroba
12.1 Angka Lempeng
Total
koloni/g < 5x103
12.2 Angka Paling
Mungkin Koliform
APM/g <3
12.3 Kapang dan
Khamir
koloni/g <1x101
Sumber: (BSNI, 2013)
Pemalsuan madu dilakukan oleh pihak tertentu demi meraup keuntungan.
Pemalsuan madu yang dilakukan dapat secara volume, fisik, dan keseluruhan.
Pemalsuan volume biasanya dilakukan dengan cara menambahkan gula seperti
fruktosa, glukosa dan sukrosa, akan tetapi kandungannya berbeda dengan madu
asli. Madu asli memiliki kandungan seperti vitamin, mineral, dan enzim yang tidak
dimiliki oleh gula (Rachmawaty, 2011). Faktor-faktor yang menentukan kualitas
madu antara lain warna, rasa, kekentalan dan aroma (Sihombing, 2005).
12
2.2 Enzim diastase
Enzim diastase merupakan enzim yang merubah karbohidrat kompleks
(polisakarida) menjadi karbohidrat sederhana (monosakarida) (Gebremariam dan
Brhane, 2014). Enzim diastase berdasarkan CEIUB (Comission on Enzymes of the
International Union of Biochemistry) termasuk ke dalam kelompok enzim
hidrolase, hal ini dikarenakan enzim diastase dalam reaksi nya akan menghidrolisis
polisakarida menjadi monosakarida. Enzim diastase berdasarkan tempat bekerjanya
masuk ke dalam golongan endoenzim karena memotong bagian dalam atau bagian
tengah dari molekul polisakarida (Sadikin,2002).
Gambar 2. Struktur Protein Enzim Diastase (www.creative-enzyme.com)
Mengacu dari gambar 2, menurut Kadziola dan Haser (1994), struktur
enzim diastase terdiri dari 403 residu asam amino, 3 ion Ca2+ dan 153 molekul
pelarut. Strukturnya terdiri dari 3 domain yaitu domain sentral (A) terbentuk dari
asam amino Gln 1-Ile 88 dan Asn-153, His-344 dengan motif α-β-8 barrel. Struktur
domain ini berbntuk miring yang menonjol. Domain kedua (B) terbentuk dari sama
amino Val-89, dan Leu-152. Domain ketiga (C) terbentuk dari asam amino Lys-
351, Ile- 403 dengan struktur berbentuk 5β-sheet anti parallel. Sisi aktif enzim
berada pada ujung terminal β-barrel domain sentral (A), yaitu pada residu asam
amino Asp-179, Glu-204, dan Asp-289. Sedangkan substrat terikat pada permukaan
di sekitar residu Trp-276 dan Trp-277.
13
Enzim diastase pada suhu kamar dan dengan pH 7,0 memiliki kecepatan
reaksi maksimum sebesar 415 µg/mL dan memiliki nilai konstanta michaelis-
menten sebesar 343 µg/mL (Yoon et al. 1974). Kecepatan reaksi maksimum
merupakan keadaan dimana enzim telah jenuh oleh substrat dan tidak dapat
berfungsi lebih cepat lagi, sedangkan keadaan pada saat enzim mencapai setengah
dari kecepatan maksimumnya disebut dengan konstanta michaelis-menten
(Hermanto, 2008).
Pada pengujian aktivitas enzim diastase diketahui terdapat dua isitilah yakni
inhibitor dan aktivator. Inhibitor adalah senyawa yang menurunkan kecepatan
reaksi enzimatik. Berdasarkan sifat kinetiknya inhibitor dapat dibedakan menjadi
tiga, yaitu inhibitor kompetitif, nonkompetitif reversible dan nonkompetitif
irreversible. Sedangkan suatu senyawa, unsur atau ion yang dapat meningkatkan
aktivitas kerja suatu enzim disebut aktivator enzim (Sumardjo, 2006). Pada enzim
diastase diketahui bahwa NaCl yang ditambahkan berfungsi sebagai aktivator untuk
mempercepat laju reaksi enzim diastase, sedangkan inhibitor enzim diastase seperti
logam HgCl2 (Yoon et al. 1974). Inhibitor HgCl2 merupakan inhibitor non
irreversibel. Menurut Hermanto (2008), Inhibitor irreversibel merupakan inhibitor
yang pada kerjanya menyerang sisi aktif enzim sehingga menyebabkan rusaknya
sisi aktif enzim dan membuat enzim tidak dapat berfungsi lagi.
Enzim diastase yang terdapat di dalam madu dihasilkan pada saat proses
pematangan madu oleh lebah. Enzim diastase pada lebah biasanya terdapat dalam
kandungan air liur (Ariandi, 2016). Aktivitas enzim diastase dapat digunakan
sebagai indikator untuk mendeteksi kemurnian pada madu (Achmadi, 1991). Enzim
14
(C6H10O5)n
Dekstrin (n = 3-8)
(C12H22O11)n
Maltosa (n=2)
C6H12O6
Glukosa
diastase merupakan protein dan bekerja optimal pada keadaan suhu, substrat, pH
dan inhibitor yang sesuai dengan kondisi optimumnya (Winarno, 1997).
Cara kerja enzim diastase adalah sebagai katalis dalam menghidrolisis
karbohidrat kompleks atau polisakarida menjadi karbohidrat dengan rantai karbon
sederhana atau monosakarida dilakukan dengan memotong setiap ikatan α-1,4
glikosidik pada amilum menjadi rantai pendek yakni glukosa. Enzim diastase juga
berperan dalam proses fermentasi madu serta menghidrolisis amilum, protein dan
glikosida. Aktivitas enzim diastase pH efektif berada pada kisaran 6-7 (Eyster,
1959).
(C6H10O5)n + H2O
Amilum (n>5000) Air
Gambar 3. Diagram hidrolisis amilum menjadi glukosa
Berdasarkan gambar 3 enzim diastase dalam menghidrolisis amilum terjadi
melalui dua tahap, tahap pertama yakni enzim diastase mula–mula menghidrolisis
amilum dengan cara memecah ikatan glisodik ∝-1,4 untuk menghasilkan dekstrin
(Oliveira et al. 2019). Tahap selanjutnya dekstrin akan terhidrolisis menjadi maltosa
Enzim Diastase
Enzim Diastase
Enzim Diastase
15
dan reaksi hidrolisis akan berhenti ketika telah terbentuknya glukosa sebagai hasil
akhir (Winarno, 1997).
Proses perubahan amilum menjadi glukosa yang dilakukan oleh enzim
diastase pada madu dalam uji aktivitas enzim dengan menggunakan larutan
indikator I-KI sebagai indikator adanya amilum. Pembentukan warna biru terjadi
karena struktur amilum yang berbentuk spiral heliks akan mengikat molekul I-KI
(Priyanta et al. 2010). Kemudian terjadi hidrolisis amilum oleh enzim diastase yang
ditandai dengan perubahan warna menjadi nuansa kecokelatan yang menandakan
amilum telah terhidrolisis menjadi dekstrin. Selanjutnya larutan akan berwarna
kuning seulas yang menandakan dekstrin telah terhidrolisis menjadi maltosa dan
proses hidrolisis dinyatakan selesai setelah larutan menjadi bening atau jernih yang
menandakan bahwa amilum telah terhidrolisis menjadi glukosa (Suseno, 2014).
Pengujian aktivitas enzim diastase pada madu didasarkan dengan melihat
nilai Diastase Number (DN) dalam satuan skala schade per gram yang terkandung
di dalam madu. Satu unit aktivitas diastase didefinisikan sebagai nilai kadar enzim
dalam 1 gram madu untuk menghidrolisis 1 mL amilum menjadi glukosa dalam
waktu 60 menit pada suhu 40 ℃. (BSNI, 2013).
2.3 Amilum
Amilum adalah polimer glukosa dengan rumus molekul (C6H10O5)n. Amilum
dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu amilosa dan amilopektin. Amilosa
merupakan polimer rantai lurus yang terdiri atas ribuan glukosa dengan ikatan α 1,4
glikosidik (gambar 4). Jenis kedua yaitu amilopektin yang memiliki ikatan α 1,6
glikosidik di beberapa bagiannya (Nangin dan Sutrisno, 2015). Amilum terdiri atas
dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi yang relatif larut dalam
16
air disebut amilosa dan fraksi yang tidak larut air disebut amilopektin (Fennema,
1976).
Gambar 4. Struktur amilosa (Aiyer, 2005)
Struktur kimia amilopektin (gambar 5) pada dasarnya sama seperti amilosa
yang terdiri atas rantai pendek α-(1,4)-glikosidik dalam jumlah besar.
Perbedaannya, amilopektin mempunyai tingkat percabangan yang tinggi dan bobot
molekul yang besar dengan ikatan α-(1,6)-glikosidik pada percabangannya. Tiap
cabang mengandung 20-25 unit D-glukosa. Adanya rantai cabang membuat
amilopektin memiliki ikatan yang lebih kuat daripada amilosa sehingga struktur
molekulnya lebih stabil. Karena itu amilopektin kurang larut dalam air dan
cenderung bersifat lengket (Winarno, 1997). Menurut Flach (1993), amilopektin
mempunyai ukuran yang lebih besar daripada amilosa karena bentuknya lebih rapat
dan padat, tetapi mempunyai kekentalan yang lebih rendah. Hal ini menunjukkan
bahwa struktur amilopektin lebih kompak bila terdapat dalam larutan.
Gambar 5. Struktur amilopektin (Aiyer, 2005)
17
Proses hidrolisis amilum merupakan pemutusan ikatan glikosidik pada rantai
polimernya oleh suatu reaktan yang dibantu oleh air. Proses ini digunakan di
industri untuk memproduksi molekul sederhana seperti glukosa, maltosa, dan
dekstrin. Ikatan glikosidik pada amilum dapat putus oleh adanya enzim pemecah
amilum (Kaneko et al. 2005).
2.4 Indikator I-KI
Iod termasuk ke dalam golongan halogen yang membuat iod menjadi sangat
reaktif dan cenderung bergabung dengan elemen lain untuk menghasilkan senyawa.
Hal tersebut dikarenakan golongan halogen kekurangan hanya satu elektron dalam
susunan atomnya. Iod sendiri memiliki karakteristik mudah dioksidasikan dalam
larutan asam menjadi iod bebas dengan sejumlah zat pengoksid, iod bebas tersebut
kemudian dapat diidentifikasikan dari pewarnaan biru tua yang dihasilkan saat
bercampur dengan larutan kanji (Vogel,1979).
Penggunaan iod sebagai larutan indikator harus dilarutkan terlebih dahulu
dengan kalium iodida (KI). Pencampuran ini dilakukan karena iod tidak larut dalam
air sehingga untuk dapat larut dalam air harus dibantu dengan kalium iodida. Hal
ini akan menghasilkan suatu ion kompleks triiodida linier (gambar 6) (Xiao et al.
2006).
KI (aq) + I2 (s) KI3 (aq)
Gambar 6. Reaksi kalium iodida dengan iodin (Xiao et al. 2006)
18
Berdasarkan gambar 6 kondensasi I-KI dengan karbohidrat pada uji iodin
akan menghasilkan warna yang khas yakni biru tua. Hal ini disebabkan karena
dalam larutan amilum, terdapat unit-unit glukosa yang membentuk rantai heliks
karena adanya ikatan dengan konfigurasi pada tiap unit glukosanya. Bentuk ini
menyebabkan amilum dapat membentuk kompleks dengan molekul I-KI yang dapat
masuk ke dalam spiralnya, sehingga menyebabkan warna biru tua pada kompleks
tersebut (Fessenden, 1986).
Gambar 7. Reaksi amilum dengan iodin (Teitelbaum et al. 1980)
Larutan amilum (sebelum dipanaskan) larutan berwarna putih bening.
Namun, setelah dipanaskan dan ditetesi dengan larutan indikator I-KI terdapat
perubahan warna menjadi biru tua. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi hidrolisis
amilum pada saat pemanasan. Jika terdapat endapan pada dasar tabung, berarti
menunjukkan masih terdapatnya amilum yang belum larut (Diwan et al. 2012).
Ikatan antara I-KI dan amilum berupa ikatan semu karena dapat putus saat
dipanaskan dan terbentuk kembali pada saat didinginkan. Apabila dipanaskan rantai
amilum akan memanjang sehingga iod mudah terlepas, sama halnya ketika
didinginkan, rantai pada amilum akan mengerut sehingga I-KI kembali terikat
dengan amilum. Hal ini karena kemampuan menghidrolisis sehingga amilum
berubah menjadi glukosa. Pengujian amilum dilakukan dalam suasana asam karena
penambahan larutan iod pada aquades pada suasana basa tidak terjadi perubahan
warna karena I-KI tidak berikatan dengan amilum (Winarno, 1997).
19
Amilum dan I-KI membentuk ikatan kompleks berwarna biru. Amilum bila
direaksikan dengan enzim diastase akan terjadi hidrolisis menjadi glukosa (Baldwin
et al. 1944). Amilum bila dipanaskan dapat terhidrolisis menjadi senyawa yang
lebih sederhana, hasilnya diuji dengan I-KI yang akan memberikan warna biru
sampai tidak berwarna (Poedjiadji, 2009). Menurut Hollo dan Szejtli (1957),
adanya I-KI dalam rantai heliks amilum tidak memiliki efek terhadap
penghambatan enzim.
2.5 Spektrofotometer UV-Vis
Spektrofotometri UV-Vis merupakan salah satu teknik analisis spektroskopi
yang memakai sumber radiasi elektromagnetik ultraviolet dekat (190-380 nm)
dan sinar tampak (380-780 nm) dengan memakai instrumen spektrofotometer
(Mulja dan Suharman, 1995). Spektrofotometri UV-Vis melibatkan energi
elektronik yang cukup besar pada molekul yang dianalisis, sehingga
spektrofotometri UV-Vis lebih banyak dipakai untuk analisis kuantitatif
ketimbang kualitatif (Mulja dan Suharman, 1995). Spektrum UV-Vis mempunyai
bentuk yang lebar dan hanya sedikit informasi tentang struktur yang bisa didapatkan
dari spektrum ini. Akan tetapi spektrum ini sangat berguna untuk pengukuran
secara kuantitatif. Konsentrasi dari analit di dalam larutan bisa ditentukan dengan
mengukur absorban pada panjang gelombang tertentu dengan menggunakan hukum
Lambert-Beer (Dachriyanus, 2004). Sinar Ultraviolet mempunyai panjang
gelombang antara 200-400 nm, sementara sinar tampak mempunyai panjang
gelombang 400-800 nm (Dachriyanus, 2004).
20
Gambar 8. Skema kerja spektrofotometer UV-Vis (Mulja dan Suharman, 1995)
Berdasarkan gambar 8 sumber sinar polikromatis, untuk sinar UV adalah
lampu deuterium, sedangkan sinar Visibel atau sinar tampak adalah lampu wolfram.
Monokromator pada spektrometer UV-Vis digunakaan lensa prisma dan filter
optik. Sel sampel berupa kuvet yang terbuat dari kuarsa atau gelas dengan lebar
yang bervariasi. Detektor berupa detektor foto atau detektor panas atau detektor
dioda foto, berfungsi menangkap cahaya yang diteruskan dari sampel dan
mengubahnya menjadi arus listrik (Suharti, 2017).
Spektrofotometer UV-Vis dapat melakukan penentuan terhadap sampel
yang berupa larutan, gas, atau uap. Untuk sampel yang berupa larutan perlu
diperhatikan pelarut yang dipakai antara lain:
1.Pelarut yang dipakai tidak mengandung sistem ikatan rangkap
terkonjugasi pada struktur molekulnya dan tidak berwarna.
2.Tidak terjadi interaksi dengan molekul senyawa yang dianalisis.
3.Kemurniannya harus tinggi atau derajat untuk analisis (Mulja dan
Suharman, 1995).
Pengukuran kuantitatif menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada
penentuan aktivitas enzim diastase pada madu dilakukan dengan melakukan
standarisasi terlebih dahulu menggunakan panjang gelombang 660 nm. Pengukuran
dilakukan hingga mendapatkan absorbansi sebesar 0,760 nm ± 0,02. Kemudian
21
pengukuran terhadap sampel madu juga dilakukan pada absorbansi 660 nm. Pada
pengukuran sampel dilakukan hingga mendapatkan absorbansi 0,235 (Sak-Bosnar
dan Sakač, 2012).
Menurut Mulja dan Suharman (1995), pengukuran kuantitatif menggunakan
spektrofotometer UV-Vis memberikan beberapa keuntungan, di antaranya:
1. Dapat digunakan secara luas
2. Memiliki kepekaan tinggi
3. Keselektifannnya cukup tinggi
4. Ketelitian tinggi
5. Tidak rumit dan cepat
2.6 Tes Kit
Sensor kimia (tes kit) didefinisikan secara umum sebagai sebuah sensor yang
mampu untuk menentukan suatu zat untuk kemudian diubah menjadi sinyal.
Penggunaan tes kit harus tanpa perlengkapan khusus, listrik, ataupun biaya yang
mahal, serta dapat digunakan untuk analisis di lapangan. Akan tetapi saat ini
keberadaan tes kit di Indonesia masih harus diimpor dan harganya tidak terjangkau
oleh masyarakat (Kusumawardhani et al. 2015). Syarat-syarat pembuatan tes kit
yaitu adanya pereaksi spesifik yang dapat bereaksi dengan senyawa yang akan
dianalisis, seperangkat alat sederhana seperti botol tertutup, pipet tetes, prosedur
uji, dan keterangan fungsi tes kit (gambar 9) (Padmaningrum dan Marwati, 2013).
22
Gambar 9. Contoh tes kit yang telah dikomersialkan (www.bukalapak.com)
Tes kit pada penelitian ini ditujukan untuk mendeteksi keaslian madu melalui
uji pengamatan secara visual aktivitas enzim diastase yang terkandung di dalam
madu. Prinsip kerja dari sensor kimia (tes kit) aktivitas enzim diastase adalah
terjadinya perubahan warna yang signifikan setelah adanya reaksi antara enzim
diastase dengan amilum melalui bantuan I-KI sebagai indikator penanda adanya
kandungan amilum (Drochioiou et al. 2011). Pembuatan tes kit diperlukan
penentuan panjang gelombang sebagai dasar penentuan komposisi tes kit (Khanifah
et al. 2015). Penentuan panjang gelombang pada pembuatan tes kit aktivitas enzim
diastase menjadi penentu untuk dapat mengetahui nilai DN (Diastase Number) pada
madu acuan.
Pembuatan tes kit aktivitas enzim diastase ini berbasis larutan sehingga
pengamatan dilakukan secara visual (melalui bantuan indera penglihatan) yaitu
mata, mata adalah organ fotosensitif yang sangat berkembang dan rumit yang
memungkinkan acermat dari bentuk, intensitas cahaya, dan warna yang dipantulkan
objek (Sherwood, 2001).
2.7 Proses Visual Mata
Mata adalah organ fotosensitif yang sangat berkembang dan rumit, yang
memungkinkan analisis cermat dari bentuk, intensitas cahaya, dan warna yang
23
dipantulkan objek. Mata terletak dalam struktur bertulang yang protektif di
tengkorak, yaitu rongga orbita. Setiap mata terdiri atas sebuah bola mata
fibrosa yang kuat untuk mempertahankan bentuknya, suatu sistem lensa
untuk memfokuskan bayangan, selapis sel fotosensitif, dan suatu sistem sel
dan saraf yang berfungsi mengumpulkan, memproses, dan meneruskan informasi
visual ke otak (Junqueira, 2007).
Proses visual dimulai saat cahaya memasuki mata, terfokus pada retina
dan menghasilkan sebuah bayangan yang kecil dan terbalik. Ketika dilatasi
maksimal, pupil dapat dilalui cahaya sebanyak lima kali lebih banyak
dibandingkan ketika sedang konstriksi maksimal. Diameter pupil ini sendiri diatur
oleh dua elemen kontraktil pada iris yaitu papillary constrictor yang terdiri
dari otot-otot sirkuler dan papillary dilator yang terdiri atas sel-sel epitelial
kontraktil yang telah termodifikasi. Sel-sel tersebut dikenal juga sebagai
myoepithelial cells (Saladin, 2003).
Jika sistem saraf simamilums teraktivasi, sel-sel ini berkontraksi dan
melebarkan pupil sehingga lebih banyak cahaya dapat memasuki mata. Kontraksi
dan dilatasi pupil terjadi pada kondisi dimana intensitas cahaya berubah dan
ketika kita memindahkan arah pandangan kita ke benda atau objek yang dekat
atau jauh. Pada tahap selanjutnya, setelah cahaya memasuki mata, pembentukan
bayangan pada retina bergantung pada kemampuan refraksi mata (Saladin,
2003).
Retina memiliki dua komponen utama yakni pigmented retina dan
sensoryretina. Pada pigmented retina, terdapat selapis sel-sel yang berisi pigmen
melanin yang bersama-sama dengan pigmen pada koroid membentuk suatu
24
matriks hitam yang mempertajam penglihatan dengan mengurangi penyebaran
cahaya dan mengisolasi fotoreseptor yang ada. Pada sensor retina, terdapat tiga
lapis neuron yaitu lapisan fotoreseptor, bipolar dan ganglionic. Badan sel dari
setiap neuron ini dipisahkan oleh plexiform layer dimana neuron dari berbagai
lapisan bersatu. Lapisan pleksiform luar berada diantara lapisan sel bipolar
dan ganglionic, sedangkan lapisan pleksiformis dalam terletak diantara lapisan
sel bipolar dan ganglionic (Seeley, 2006). Setelah aksi potensial dibentuk pada
lapisan sensori retina, sinyal yang terbentuk akan diteruskan ke nervus optikus,
optic chiasm, optic tract, lateralgeniculate dari thalamus, superior colliculi, dan
korteks serebri (Seeley, 2006).
25
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Pusat Laboratorium Terpadu (PLT) Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian dilaksanakan dari bulan
Desember 2019 – Mei 2020. Pengujian aktivitas enzim diastase dilakukan di
laboratorium Saraswanti Indo Genetech (SIG) Bogor pada tanggal 24 Januari 2020.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah alat-alat gelas, pipet tetes, pipet ukur, botol vial,
cawan petri, labu ukur, spatula, batang pengaduk, tabung reaksi, penangas air listrik
cimarec, waterbath Memmert BM500, magnetic stirrer, vortex Thermolyne
M63210-33, bulp, neraca analitik OHAUS AX124, vortex, pH meter MARTINI
instruments, spektrofotometer UV-Vis ThermoFisher Scientific genesys 10S.
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah sampel madu lengkeng sari
lebah; Madu lebah peternakan; Madu rambutan; Amilum Starch (Himedia); Kalium
Iodida (Merck); Iodine (Merck); Natrium Klorida (Merck); Natrium Asetat (Merck);
Asam Asetat (Merck); Aquades.
26
3.3 Skema Kerja Penelitian
Gambar 10. Diagram alir penelitian
Sampel madu
Pengujian DN aktivitas enzim
diastase berbagai madu secara
kuantitatif dengan metode
AOAC 958,09:2016
Madu sebagai
kontrol postitif
Uji kualitatif aktivitas enzim
diastase
Optimasi konsentrasi substrat
amilum 0,5 %; 0,75%; 1%;
1,25%; 1,5%
Optimasi suhu 25 C; 30 C; 35 C
dan 40 C
Kondisi optimum
Tes kit pendeteksi
aktivitas enzim
diastase
Uji Stabilitas I-KI
Optimasi konsentrasi I-KI 1,2 %;
1,25 %; 1,3%; 1,35%; 1,4%
- Optimasi pH 3,3; 4,3; 5,3; 6,3
Uji kelayakan tes kit
dengan metode z score
27
3.4 Prosedur Penelitian
3.4.1 Pengujian Kuantitatif Aktivitas Enzim Diastase pada Madu dengan
Spektrofotometri UV-Vis (AOAC 958,09, 2016)
Diastase Number merupakan nilai kadar enzim dalam 1 gram madu untuk
menghidrolisis 1 mL amilum menjadi glukosa dalam waktu 60 menit pada suhu 40
℃. (BSNI, 2013). Pengujian kuantitatif aktivitas enzim diastase pada madu
didasarkan pada pedoman AOAC 958,09:2016. Prinsip metodenya adalah diamati
absorbansi larutan uji menggunakan spektrofotometer UV-Vis dengan panjang
gelombang 660 nm. Secara terperinci prosedur pengujian kuantitatif aktivitas enzim
diastase terdiri atas tahapan berikut ini.
3.4.1.1 Pencarian faktor pengenceran
Pencarian faktor pengenceran bertujuan untuk menentukan jumlah volume
aquades yang ditambahkan ke campuran larutan antara amilum dengan larutan
indikator I-KI sehingga didapatkan absorbansi 0,760 ± 0,02 (Sak-Bosnar dan
Sakač, 2012). Alasan dilakukannya pencarian faktor pengenceran karena jika tanpa
pengenceran kelak larutan uji akan terlalu pekat intensitas warnanya sehingga akan
dihasilkan absorbansi di 0,760 ± 0,02 (Tulandi, 2019). Maka dari itu perlu adanya
pencarian faktor pengenceran dengan acuan absorbansi yang telah terstandarisasi.
Absorbansi yang ditentukan menurut AOAC 958,09:2016 untuk larutan tanpa
sampel madu sebesar 0,760 ± 0,02.
Pencarian faktor pengenceran dimulai dengan dicampurkan 10 mL aquades
dengan 5 mL larutan amilum yang telah dipanaskan sebelumnya di penangas.
Kemudian diambil 1 mL untuk dimasukkan dalam erlenmeyer yang di dalamnya
telah terisi 10 mL larutan iod 88,8 ppm. Selanjutnya larutan diukur absorbansinya
28
pada panjang gelombang 660 nm menggunakan spektrofotometer UV Vis, jika
absorbansi yang didapat masih terlalu tinggi maka dilakukan penambahan aquades
secara bertingkat sebagai pengenceran dan diukur hingga mendapatkan absorbansi
0,760 ± 0,02.
3.4.1.2 Pengukuran Aktivitas Enzim Diastase pada Madu
Pengukuran diastase diawali dengan sampel madu ditimbang terlebih
dahulu sebanyak 10 gr kemudian dilarutkan dengan 20-25 mL aquades. Dimana
sampel madu yang digunakan adalah madu lengkeng, madu peternakan dan madu
rambutan. Selanjutnya larutan madu ditambahkan dengan 5 mL larutan dapar asetat
dan dicampurkan dengan 3 mL natrium klorida 0,5 M pada labu ukur 50 mL.
Penambahan natrium klorida ditujukan untuk menstabilkan aktivitas enzim.
Kemudian dilakukan tera dengan cara ditambahkan aquades hingga tanda batas.
Penetapan absorbansi dilakukan dengan cara dipipet 5 mL larutan pati dan
dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan 10 mL larutan contoh (sampel madu) ke
bagian dasar tabung. Selanjutnya larutan diinkubasi selama 15 menit pada suhu
40 ℃ ± 0,2 ℃ menggunakan waterbath. Larutan uji dikocok dengan cara tabung
reaksi digerakkan ke depan dan ke belakang dalam posisi miring kemudian
stopwatch diaktifkan. Setelah 5 menit 1 mL larutan uji dipipet dan dipindahkan ke
erlenmeyer 100 mL3 yang di dalamnya telah terdapat 10 mL larutan Iod 0,0007 N
(88,8 ppm) dan diencerkan sampai volume sesuai dengan yang didapatkan pada
langkah sebelumnya (pencarian faktor pengenceran). Kemudian larutan diukur
absorbansinya pada panjang gelombang 660 nm hingga didapatkan absorbansi
<0,235. Langkah tersebut terus dilakukan dengan interval waktu 5 menit untuk
madu yang diperkirakan memiliki nilai diastase kecil (<35 DN) (diastase number)
29
dan selang waktu 10 menit bagi madu yang diperkirakan memiliki diastase tinggi.
Selanjutnya setelah didapat absorbansi <0,235, pengukuran dihentikan dan
diplotkan dengan regresi linier dengan sumbu x sebagai waktu inkubasi dan sumbu
y adalah absorbansi hasil pengukuran selama kurun waktu hingga mencapai <0,235.
Persamaan regresi linier yang dihasilkan dimasukkan nilai 0,235 untuk
mendapatkan nilai waktu (t). Selanjutnya hasil yang didapatkan dimasukkan
sebagai waktu (t) pada persamaan diastase number (DN) dengan menggunakan
rumus:
DN = 300
𝑡
DN = Diastase Number
t =Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai nilai absorbansi <0,235
(menit)
3.4.2 Pengujian stabilitas indikator I-KI dengan Spektrofotometer UV-Vis
Pengujian stabilitas indikator I-KI ditujukan untuk mengetahui apakah ada
faktor lain yang mempengaruhi penurunan intenstas warna larutan I-KI selain dari
proses hidrolisis amilum yang dilakukan oleh enzim diastase. Larutan uji dibuat
dengan cara dicampurkan 10 mL aquades dengan 5 mL buffer asetat. Selanjutnya
dituangkan ke dalam labu ukur yang di dalamnya telah terdapat 3 mL NaCl, larutan
dikocok. Larutan uji yang telah tercampur dipipet sebanyak 10 mL dan dipindahkan
ke dalam tabung reaksi. Selanjutnya larutan diinkubasi selama 15 menit dengan
suhu 40 ℃ ± 0,2 ℃. Setelah 15 menit, larutan uji dipipet 1 mL dan dipindahkan ke
dalam erlenmeyer yang di dalamnya telah terdapat 10 mL larutan iod 0,0007 N
(88,8 ppm). Selanjutnya larutan diencerkan sampai volume sesuai dengan yang
didapatkan pada langkah sebelumnya (pencarian faktor pengenceran). Kemudian
larutan diukur absorbansinya dengan rentang interval per 10 menit menggunakan
30
spektrofotometer UV-Vis dan dilihat berapa penurunan intensitas warna yang
terjadi selama 1 jam.
3.4.3 Optimasi Kondisi Pengujian Kualitatif Aktivitas Enzim Diastase
(Baedhowie dan Pranggonowati, 1983)
Pengujian kualitatif aktivitas enzim diastase ditujukan untuk dapat
mengetahui adanya aktivitas enzim diastase melalui pengamatan secara visual mata
tanpa menggunakan alat instrumen. Pengujian kualitatif ini untuk mendukung tes
kit pendeteksi aktivitas enzim diastase yang dapat diaplikasikan secara sederhana.
3.4.3.1 Optimasi Konsentrasi Indikator I-KI
Optimasi konsentrasi indikator I-KI dilakukan dengan cara 1 gram madu
acuan dicampurkan dengan 4 mL aquades. Kemudian larutan diaduk hingga madu
larut dalam air. Selanjutnya larutan dipindahkan ke dalam tabung reaksi. Larutan
yang telah di dalam tabung reaksi ditambahkan dengan 10 mL larutan substrat
amilum. Selanjutnya larutan sampel diinkubasi di dalam waterbath selama 30 menit
pada suhu 40℃. Setelah diinkubasi larutan sampel ditambahkan dengan 2 tetes
larutan indikator I-KI. Selanjutnya dicatat waktu yang dibutuhkan untuk perubahan
dari warna biru menjadi bening. Variasi konsentrasi indikator I-KI dilakukan
dengan 5 konsentrasi iod berbeda yaitu 1,2%; 1,25%; 1,3%; 1,35%; dan 1,4%,
kemudian dilihat konsentrasi mana yang memiliki perubahan warna tercepat.
3.4.3.2 Optimasi Suhu
Optimasi suhu dilakukan dengan cara 1 gram madu acuan dicampurkan
dengan 4 mL aquades. Kemudian larutan diaduk hingga madu larut dalam air.
Selanjutnya larutan dipindahkan ke dalam tabung reaksi. Larutan yang telah di
dalam tabung reaksi ditambahkan dengan 10 mL larutan substrat amilum.
31
Selanjutnya larutan sampel diinkubasi di dalam waterbath selama 30 menit. Variasi
suhu dilakukan dari rentang 25 C; 30 C; 35 C dan 40 C. Kemudian larutan
diteteskan dengan 2 tetes indikator I-KI konsentrasi 1,25%. Selanjutnya dicatat
waktu yang dibutuhkan untuk perubahan dari warna biru menjadi bening.
3.4.3.3 Optimasi Konsentrasi Subtrat Amilum
Optimasi konsentrasi substrat amilum dilakukan dengan cara 1 gram madu
acuan dicampurkan dengan 4 mL aquades. Kemudian larutan diaduk hingga madu
larut dalam air. Selanjutnya larutan dipindahkan ke dalam tabung reaksi. Larutan
yang telah di dalam tabung reaksi ditambahkan dengan 10 mL larutan substrat
amilum. Variasi konsentrasi substrat amilum dilakuakan dengan variasi konsentrasi
0,5%; 0,75%; 1%; 1,25%; dan 1,5%. Selanjutnya larutan sampel diinkubasi di
dalam waterbath selama 30 menit pada suhu 40 C. Kemudian larutan diteteskan
dengan 2 tetes indikator I-KI konsentrasi 1,25%. Selanjutnya dicatat waktu yang
dibutuhkan untuk perubahan dari warna biru menjadi bening.
3.4.3.4 Optimasi pH
Optimasi pH juga dilakukan untuk mengetahui pH dilakukan dengan cara 1
gram madu acuan dicampurkan dengan 4 mL aquades. Kemudian larutan diaduk
hingga madu larut dalam air. Selanjutnya larutan dipindahkan ke dalam tabung
reaksi. Larutan yang telah di dalam tabung reaksi ditambahkan dengan 10 mL
larutan substrat amilum 1%. Selanjutnya larutan uji ditambahkan dengan buffer
asetat hingga didapatkan variasi pH yang diinginkan yakni pH 3,3; 4,3; 5,3 dan 6,3.
Selanjutnya larutan sampel diinkubasi di dalam waterbath selama 30 menit pada
suhu 40 C. Kemudian larutan diteteskan dengan 2 tetes indikator I-KI konsentrasi
32
1,25%. Selanjutnya dicatat waktu yang dibutuhkan untuk perubahan dari warna biru
menjadi bening.
3.4.4 Pembuatan Tes Kit (Bardant et al. 2015)
Rancangan tes kit perlu dilakukan percobaaan pembuatan terlebih dahulu
agar penggunaanya mudah dan tidak menimbulkan salah persepsi. Tes kit terdiri
atas 2 botol reagen yang terdiri atas botol substrat amilum dan aquades, botol
indikator I-KI, dan 1 botol analisis sampel madu dan dilengkapi dengan prosedur
pengujian.
Langkah cara penggunaan tes kit dilakukan dengan instruksi sebagai berikut.
Botol analisis terlebih dahulu diisi dengan sampel madu sekitar 4-5 tetes (0,5 cm
dari dasar botol analisis sampel). Kemudian dituangkan seluruh larutan pada botol
2 yang berisi larutan amilum dan aquades ke botol analisis. Botol analisis dikocok
hingga madu larut. Selanjutnya botol analisis dihangatkan pada wadah berisi air
hangat 40 ℃ selama 30 menit (dapat menggunakan thermometer atau dapat pula
diuji dengan dicelupkan jari, jangan sampai jari terasa panas). Botol yang telah
dihangatkan kemudian diteteskan beberapa tetes indikator I-KI yang terdapat pada
botol gelap. Stopwatch disetel dan kemudian diamati hingga intensitas warna biru
pada larutan larutan berubah menjadi warna kecokelatan (seperti warna madu larut
air) dan catat waktu yang dibutuhkan untuk perubahan dari warna biru menjadi
warna kecokelatan.
3.4.5 Uji Kelayakan Tes Kit (Bardant et al. 2015)
Uji kelayakan tes kit oleh panelis bertujuan untuk mengetahui tingkat
kelayakan tes kit pendeteksi aktivitas enzim diastase pada sampel acuan madu. Uji
kelayakan dilakukan dengan cara melibatkan 25 panelis untuk mencoba melakukan
33
pengukuran terhadap sampel madu yang sama dengan menggunakan tes kit
pendeteksi aktivitas enzim diastase.
Peneliti terlebih dahulu telah melakukan pengujian terhadap sampel madu
yang akan diberikan kepada panelis dengan tes kit untuk memastikan nilai aktivitas
enzim diastase pada sampel. Kelayakan tes kit diperoleh dari perhitungan z-score
menggunakan microsoft excel.
Perolehan nilai Z-score berdasarkan persamaan:
Z= (x-𝑥𝑎)/σρ
Dimana X adalah data yang ingin dicari z-score nya, sedangkan 𝑥𝑎 adalah
rata-rata dari keseluruhan hasil durasi waktu yang didapatkan oleh seluruh panelis
dan σρ adalah standar deviasi untuk penilaian. Dihitungnya nilai z-score untuk
menjadikan hasil uji dari tiap-tiap panelis menjadi dapat dibandingkan dengan rata-
rata dari hasil yang dihasilkan oleh keseluruhan panelis. Nilai (x-𝑥𝑎) dapat
didefinisikan sebagai error/kesalahan dalam pengukuran. Nilai σρ dideskripsikan
sebagai nilai ketidakpastian standar. Setelah didapatkan nilai z-score dari setiap
data maka akan diplotkan dalam bentuk error bars dan pengambilan kesimpulan
mengacu berdasarkan distribusi normal sebagai berikut:
1. Nilai z score = 0 menandakan bahwa hasil uji dengan tes kit yang dihasilkan
adalah sempurna
2. Nilai z score -2 sampai 2 dianggap diterima
3. Nilai z score diantara -2 hingga -3 dan 2 hingga 3 berarti hasil uji dengan tes kit
diragukan
34
4. Nilai z score <-3 atau >+3, berarti uji dengan tes kit tidak dapat diterima (IUPAC,
2006).
Peneliti juga akan memberikan kolom pendapat kepada panelis sebagai
wadah untuk memberikan saran dan pendapat terkait kinerja tes kit pendeteksi
aktivitas enzim diastase agar kelak dapat menjadi lebih baik lagi.
35
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Pengukuran Aktivitas Enzim Diastase secara kuantitatif
Penentuan aktivitas enzim diastase merupakan salah satu parameter penting
dalam penentuan kualitas madu. Aktivitas enzim diastase pada madu dapat
diketahui dengan cara melihat nilai Diastase Number (DN) dari madu tersebut.
Diastase Number didefinisikan sebagai nilai kadar enzim dalam 1 gram madu untuk
menghidrolisis 1 mL amilum menjadi glukosa dalam waktu 60 menit pada suhu 40
℃. (BSNI, 2013). DN merupakan satuan skala aktivitas enzim diastase dalam unit
schade (Huang et al. 2019). Standar Nasional Indonesia (SNI) 3545:2013 telah
menetapkan bahwa aktivitas enzim diastase pada madu untuk dapat dikategorikan
sebagai madu asli minimum kandungan aktivitas enzim diastase nya sebesar 3 DN.
Pengujian aktivitas enzim diastase dilakukan pada pH 5,3. pH 5,3 didapatkan
dari pencampuran larutan yang berisi sampel madu dan substrat amilum dengan
larutan dapar asetat dan larutan NaCl. Dapar asetat ditambahkan selain untuk
mendapatkan pH 5,3 pada larutan uji juga berguna untuk mengatasi penurunan
aktivitas enzim diastase yang signifikan ketika larutan uji ditambahkan dengan
natrium klorida (Sak-Bosnar dan Sakač, 2012).
Langkah pertama dilakukan pengujian aktivitas enzim diastase madu
lengkeng, madu peternakan dan madu rambutan di Pusat Laboratorium Terpadu
(PLT) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Hasil uji aktivitas enzim diastase pada
madu lengkeng, madu peternakan dan madu rambutan adalah sebagai berikut:
36
Tabel 3. Data diastase number sampel madu
Sampel madu Nilai aktivitas enzim diastase (DN)
Madu lengkeng 8,02
Madu peternakan 1,9
Madu rambutan 14,38
Berdasarkan hasil pengujian aktivitas enzim diastase pada tabel 3 diketahui
bahwa nilai aktivitas enzim diastase setiap sampel madu memiliki hasil yang
beragam. Perbedaan nilai aktivitas enzim diastase dari setiap madu dikarenakan
perbedaan karakteristik dari setiap sampel madu. Perbedaan karakteristik madu
sangat dipengaruhi oleh jenis bunga, wilayah geografis, teknologi yang digunakan
saat ekstraksi madu dan juga kondisi penyimpanan (Soares et al. 2017). Menurut
Ashkani et al. (2014), perbedaan nilai aktivitas enzim diastase pada madu dapat
disebabkan oleh kondisi iklim dan vegetasi daari sumber madu. Madu peternakan
memiliki aktivitas enzim diastase dibawah nilai yang telah ditentukan oleh SNI
untuk dapat dikategorikan sebagai madu asli. Mengacu dari tabel 3, dapat ditarik
kesimpulan bahwa diantara ketiga sampel madu yang digunakan, hanya madu
peternakan saja yang dikategorikan sebagai madu kurang baik karena nilai DN nya
dibawah standar dari yang ditetapkan oleh SNI 3545:2013 dan untuk madu
lengkeng dan madu rambutan memiliki kualitas madu yang baik karena nilai DN
nya berada diatas standar dari SNI 3545:2013 yaitu minimal 3 DN.
Setelah ketiga sampel madu diuji nilai aktivitas enzim diastasenya, kemudian
dipilih salah satu madu yang akan dijadikan sebagai madu acuan untuk pengujian
optimasi tes kit pendeteksi aktivitas enzim diastase. Pada penelitian ini dipilih madu
lengkeng sebagai madu acuan karena nilai aktivitas enzim diastase madu lengkeng
37
berada di atas ambang nilai yang ditetapkan oleh SNI 3545:2013. Selain itu, madu
lengkeng juga memiliki nilai aktivitas enzim diastase yang mendekati dari nilai 3
DN dibandingkan madu rambutan. Uji banding dilakukan untuk mendukung data
hasil aktivitas enzim diastase madu lengkeng sebagai madu acuan. Uji banding
dilaksanakan oleh lembaga yang telah terakreditasi yakni Sarasawanti Indo
Genetech (SIG). Hasil pengujian aktivitas enzim diastase yang dilakukan oleh SIG
adalah memiliki aktivitas enzim diastase sebesar 8,7 DN. Perbedaan hasil yang
dilakukan antara pengujian sendiri (peneliti) dengan yang dilakukan oleh SIG
diduga terjadi karena perbedaan laboratorium, alat dan analis. Uji banding
didefinisikan sebagai suatu kondisi pengujian terhadap suatu sampel yang sama
oleh dua laboratorium atau lebih. Salah satu tujuan dilakukannya uji banding adalah
untuk menetapkan nilai pada bahan acuan (SNI 17025:2008).
Pengujian aktivitas enzim diastase pada madu penting dilakukan untuk
mengetahui apakah madu tersebut masuk ke dalam kategori madu asli apa palsu.
Banyaknya pemalsuan madu yang diperjualbelikan di pasaran berakibat
menurunkan kualitas madu. Madu palsu dibuat tanpa pertolongan lebah atau
menggunakan gula sebagai nektar dengan warna yang hampir sama dengan warna
madu asli (Winarno, 1981). Terjadinya pemalsuan madu diketahui berawal dari
tingginya permintaan konsumen terhadap madu dengan harga yang sangat murah,
sehingga banyak oknum penjual yang mencoba untuk meraup untung dengan
membuat madu sendiri demi menekan ongkos produksi. Oleh karenanya diperlukan
pengujian kuantitatif untuk memastikan keaslian madu. Perbedaan nyata antara
madu murni dan madu tidak murni terletak pada komposisi kimianya (Ogdanova et
al. 2004).
38
4.2 Hasil Stabilitas Indikator I-KI dengan Spektrofotometer UV-Vis
Indikator I-KI pada pengujian aktivitas enzim diastase memiliki peran yang
cukup penting karena bertindak sebagai indikator penanda adanya amilum. Pada
saat pengukuran aktivtas enzim diastase terdapat suatu pertanyaan perihal apakah
intensitas warna larutan indikator I-KI yang hilang terjadi karena telah
terhidrolisisnya amilum atau karena adanya faktor lainnya yakni seperti cahaya
ataupun panas. Oleh karena itu, untuk menjawab pertanyaan tersebut dilakukan
pengujian kestabilan larutan indikator I-KI.
Pengujian stabilitas indikator I-KI dilakukan tanpa menggunakan madu. Hal
tersebut bertujuan untuk melihat penurunan intensitas warna dari larutan uji dengan
hanya mengacu kepada perubahan yang disebabkan oleh faktor lingkungan tanpa
melihat faktor penurunan yang disebabkan hidrolisis oleh enzim diastase pada
madu. Hasil pengukuran absorbansi kestabilan indikator I-KI adalah sebagai
berikut:
Tabel 4. Hasil pengukuran absorbansi kestabilan indikator I-KI
No. Waktu (menit) Absorbansi
1 0 0,6735
2 10 0,6675
3 20 0,6615
4 30 0,658
5 40 0,6485
6 50 0,643
7 60
0,635
Rata-rata = 0,655286
Std. Deviasi = ± 0,012736
Hasil pengujian indikator kestabilan I-KI terhadap faktor lingkungan merujuk
pada tabel 4 menunjukkan bahwa larutan uji yang telah ditetesi dengan larutan
indikator I-KI dengan interval 10 menit mengalami penurunan intensitas warna
yang ditandai dengan menurunnya absorbansi larutan uji. Penurunan intensitas
39
warna indikator I-KI selama waktu 1 jam mengalami penurunan absorbansi total
sebesar 0,0385.
Beberapa faktor yang mempengaruhi kestabilan indikator I-KI sebagai
indikator penanda adanya amilum menurut Waszkowiak dan Buszka (2006), salah
satu faktornya adalah kelembapan lingkungan yang tinggi. Selain itu, diketahui
penggunaan suhu diatas 70℃ turut menurunkan intensitas warna pada larutan
indikator I-KI (Turner, 1930). Faktor penyimpanan juga menjadi salah satu faktor
pengaruh kestabilan indikator I-KI (Permatasari et al. 2017). Penggunaan wadah
gelap diketahui mampu mengurangi cahaya matahari yang masuk. Cahaya matahari
termasuk ke dalam salah satu faktor yang dapat menurunakan intensitas warna
larutan indikator I-KI (Sivakumar et al. 2001). Mengacu dari tabel 4, maka perlu
dilakukan usaha agar indikator I-KI tetap stabil dan ideal. Salah satu cara adalah
pemilihan jenis botol untuk larutan indikator I-KI harus menggunakan botol gelap,
hal tersebut bertujuan untuk menghambat cahaya yang masuk ke dalam botol
sehingga larutan indikator I-KI tidak mengalami penguraian. Menurut Wijawati dan
Asiarini (2017), bahwa penyimpanan terbaik untuk larutan I-KI adalah pada wadah
yang kedap udara, tertutup, gelap, terhidar panas. Dengan penyimpanan seperti ini
kelak kadar I-KI akan terjaga dengan baik.
Iod termasuk ke dalam golongan halogen yang membuat iod menjadi sangat
reaktif dan cenderung bergabung dengan elemen lain untuk menghasilkan senyawa.
Hal tersebut dikarenakan golongan halogen kekurangan hanya satu elektron dalam
susunan atomnya. Iod sendiri memiliki karakteristik mudah dioksidasikan dalam
larutan asam menjadi iod bebas dengan sejumlah zat pengoksid, iod bebas tersebut
40
kemudian dapat diidentifikasikan dari pewarnaan biru tua yang dihasilkan saat
bercampur dengan larutan kanji (Vogel,1979).
4.3 Hasil Optimasi Kondisi Pengujian Kualitatif Aktivitas Enzim Diastase
Untuk Aplikasi pada Tes Kit
4.3.1 Hasil Optimasi Konsentrasi Indikator I-KI
Setelah ditentukan madu lengkeng sebagai madu acuan, kemudian dilakukan
optimasi indikator I-KI. Larutan indikator yang berperan penting dalam
memberikan pewarnaan biru gelap yang berguna sebagai indikator hidrolisis
amilum menjadi glukosa, yakni indikator iod dalam kalium iodida (I-KI).
Gambar 11. Skema reaksi antara indikator I-KI dengan amilum. Ditunjukkan dengan
rantai heliks amilosa dengan rantai iodin di tengah (Teitelbaum et al. 1980)
Indikator I-KI ketika terikat ke dalam ikatan heliks dari amilum akan
menghasilkan intensitas warna biru gelap (gambar 11) (Xiao et al. 2006). Kemudian
larutan akan menjadi bening seiring telah terhidrolisis dengan sempurna substrat
amilum oleh enzim diastase. Ikatan heliks tersebut merupakan ikatan semu karena
dapat putus saat dipanaskan dan terbentuk kembali pada saat didinginkan (gambar
11). Komponen indikator I-KI tampak tersusun secara linier dalam rongga bagian
dalam heliks selebar 8 Å dengan jarak I – I sekitar 3,1 Å (Yu et al. 1996). Apabila
dipanaskan, rantai amilum akan memanjang sehingga iod mudah terlepas, sama
halnya ketika didinginkan, rantai pada amilum akan mengerut sehingga iod kembali
terikat dengan amilum (Winarno, 1997).
41
Optimasi konsentrasi indikator I-KI pada penelitian ini penting dilakukan
karena untuk pengujian aktivitas enzim diastase secara kualitatif belum terdapat
data yang secara rinci besarnya konsentrasi indikator I-KI yang digunakan.
Indikator I-KI sebagai larutan uji dengan variasi konsentrasi masing-masing
diteteskan pada campuran larutan madu dan substrat pada waktu yang bersamaan.
Penentuan konsentrasi indikator I-KI optimum dilihat dari variasi yang paling cepat
mengalami perubahan warna dari biru gelap menjadi bening. Pada penelitian ini
hasil optimasi variasi konsentrasi indikator I-KI yang telah diuji dapat dilihat pada
tabel 5.
42
Tabel 5. Waktu perubahan warna pada variasi konsentrasi indikator I-KI
No Konsentrasi
Indikator I-KI
Waktu
perubahan
(detik)
Dokumentasi pengamatan:
waktu awal (kiri), waktu akhir
(kanan)
1 1,2% 302 ± 3,74
2 1,25% 75 ± 0,81
3 1,3% 226 ± 0,81
4 1,35% 457 ± 1,41
5 1,4% 898 ± 2,16
43
Berdasarkan tabel 5 diketahui bahwa konsentrasi indikator I-KI 1,2%
didapatkan waktu yang cukup lama untuk berubahnya warna biru menjadi bening
diketahui terjadi karena pada konsentrasi indikator I-KI yang rendah atau dibawah
optimum rantai I-KI tidak mampu untuk memecah rantai heliks secara maksimal
pada gugus amilosa sehingga reaksi yang terjadi berjalan secara lambat. Maka
diperlukannya konsentrasi indikator I-KI yang lebih besar untuk dapat berikatan
dengan rantai amilosa secara keseluruhan sehingga kelak akan terbentuk rantai
heliks (Whistler et al. 1984). Ketika konsentrasi indikator I-KI 1,25%, terjadi waktu
perubahan larutan uji yang paling cepat dibandingkan konsentrasi lainnya. Hal
tersebut dikarenakan penggunaan konsentrasi indikator I-KI 1,25% seluruh I-KI
mampu menembus rantai amilum untuk kemudian berikatan secara heliks dengan
sempurna.
Kenaikan waktu perubahan larutan uji terjadi seiring dengan penambahan
konsentrasi indikator I-KI yang dilakukan yakni pada konsentrasi 1,3%; 1,35% dan
1,4%. Peningkatan waktu dalam berubahnya larutan uji menjadi berwarna bening.
Menurut Baldwin et al. (1944) terjadi karena dengan bertambahnya konsentrasi
indikator I-KI maka ruang yang dibutuhkan oleh triiodida untuk berikatan dengan
rantai amilum akan menjadi lebih besar. Diketahui bahwa pada rantai heliks amilum
memiliki ruang sebesar 8 A (Anhydroglucose units), sedangkan pada penambahan
konsentrasi indikator I-KI ruang yang dibutuhkan oleh triiodida bisa lebih besar
dari 8 A, sehingga menyebabkan tidak seluruh molekul triiodida dapat masuk ke
dalam rantai heliks amilum dalam waktu bersamaan.
44
4.3.2 Hasil Optimasi Suhu
Optimasi suhu dilakukan setelah didapatkan konsentrasi optimum indikator
I-KI. Optimasi suhu dilakukan karena merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi kestabilan enzim. Menurut Sukandar et al. (2009) optimasi suhu
penting dilakukan karena pada reaksi enzimatik suhu mempengaruhi kestabilan
enzim. Pengaruh suhu terhadap aktivitas enzim yaitu pada suhu rendah aktivitas
enzim menjadi kecil karena tumbukan antar partikel rendah. Adanya peningkatan
suhu reaksi enzim akan meningkat pula dan akan terus meningkat hingga titik
optimum dan jika suhu berlebih enzim akan mengalami denaturasi dan akibatnya
enzim akan kehilangan bentuk spesifiknya sehingga substrat tidak dapat berikatan
lagi dengan sisi aktif enzim (Dennison, 2002). Penggunaan suhu yang tidak sesuai
atau belum sampai kepada suhu optimum enzim tidak memberikan reaksi yang
optimum bagi enzim dalam menghidrolisis substrat menjadi produk akhir,
sedangkan kenaikan suhu yang terlampau jauh melebihi suhu optimum, enzim akan
mengalami denaturasi dan akan kehilangan aktivitas katalitiknya.
Optimasi suhu juga ditujukan sebagai prediksi untuk mengetahui apakah tes
kit nantinya dapat bekerja optimum jika selama pengujian nanti inkubasinya tanpa
pemanasan terlebih dahulu. Optimasi suhu ini juga untuk mengetahui toleransi suhu
yang mempengaruhi tes kit agar mempermudah cara kerja tes kit sehingga
pengujiannya lebih sederhana tanpa menggunakan pemanasan. Data hasil
pengamatan dari tahap optimasi suhu pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
45
Tabel 6. Waktu perubahan warna pada variasi suhu
No Suhu Perubahan warna
(detik)
Dokumentasi pengamatan:
waktu awal (kiri), waktu
akhir (kanan)
1. Suhu 25 ℃ 5940 ± 1,63
2. Suhu 30 ℃ 1963 ± 2,16
3. Suhu 35 ℃ 784 ± 2,16
4. Suhu 40 ℃ 107 ± 0,81
Proses optimasi suhu pada reaksi dalam uji kualitatif aktivitas enzim diastase
pada tabel 6 didapatkan kondisi suhu optimum adalah suhu 40 ℃. Suhu tersebut
dipilih menjadi suhu yang optimum karena dilihat dari perubahan warnanya yang
paling cepat dibandingkan dengan suhu yang lainnya dalam menghidrolisis substrat
amilum menjadi glukosa. Menurut Yazid et al. (2006) saat suhu enzim mencapai
46
suhu optimum maka akan terjadi peningkatan frekuensi tumbukan antara molekul
enzim dan substrat, sehingga enzim bekerja secara lebih aktif dan optimal.
Berdasarkan tabel 6 dengan suhu 25 ℃; 30 ℃ dan 35 ℃ durasi yang dibutuhkan
enzim untuk menghidrolisis cenderung lebih lama. Hal ini dikarenakan pada suhu
25 ℃; 30 ℃ dan 35 ℃ suhu belum optimal dalam mengaktifkan kerja enzim,
sehingga enzim tidak dapat menghidrolisis substrat secara sempurna dan cepat.
Menurut Whittaker (2003), penggunaan suhu yang rendah akan menyebabkan laju
reaksi enzim bergerak lambat. Penyebab kurangnya laju reaksi enzimatik ialah
kurangnya gerak termodinamik, yang menyebabkan kurangnya tumbukan antara
molekul enzim dengan substrat sehingga memperlambat proses hidrolisis amilum
(Sadikin, 2002).
Pengujian terhadap variasi rentang suhu yang telah dipilih mendapatkan hasil
beragam (tabel 6) yakni cenderung meningkat dengan lebih signifikan pada suhu
30-40 ℃. Peningkatan suhu menyebabkan aktivitas enzim meningkat karena suhu
yang tinggi akan meningkatan energi kinetik, sehingga menambah intensitas reaksi
antara substrat dengan enzim. Reaksi yang sering terjadi akan mempermudah
pembentukan komplek enzim dengan substrat, sehingga hasil akhir (produk) yang
terbentuk lebih banyak (Susanti, 2011). Menurut Whittaker (2003), ketika
temperature naik, aktivitas enzim akan ikut bergerak naik hingga mencapai
temperatur optimumnya.
Penetapan suhu 40 ℃ pada tabel 6 sebagai suhu optimum bagi enzim diastase
juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yoon et al. (1974) pada
penelitian tersebut peneliti melakukan pengujian terhadap efek eksternal enzim
diastase yang meliputi salah satunya mencari suhu optimum enzim diastase. Peneliti
47
melakukan variasi suhu dari 30-50 ℃ dan didapatkan suhu yang optimum bagi
enzim diastase adalah suhu 40 ℃. Suhu optimum untuk enzim diastase juga
diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Kowalski et al. (2012) penelitian
tersebut ingin membandingkan perbedaan perubahan aktivitas enzim diastase
selama perubahan suhu dari 25−83 ℃ antara menggunakan metode konvensional
(hotplate) dengan menggunakan microwave. Didapatkan hasil bahwa dengan
menggunakan microwave perubahan aktivitas enzim diastase menjadi lebih cepat
dan terjadinya deaktivasi enzim diastase juga menjadi lebih cepat. Selama
perubahan aktivitas enzim diastase tersebut diketahui dalam menggunakan metode
konvensional atau microwave dihasilkan bahwa aktivitas enzim diastase terbaik ada
pada suhu 40 ℃.
4.3.3 Hasil Optimasi Konsentrasi Substrat Amilum
Setelah didapatkan konsentrasi indikator I-KI dan kondisi suhu yang
optimum untuk tes kit pendeteksi aktivitas enzim diastase, langkah selanjutnya
adalah mencari konsentrasi optimum untuk substrat amilum. Optimasi konsentrasi
substrat amilum dilakukan karena substrat termasuk komponen yang sangat
berperan dalam proses aktivitas enzim. Tujuan dari optimasi konsentrasi substrat
amilum adalah untuk mengetahui berapa kadar konsentrasi optimal substrat amilum
yang digunakan pada uji aktivitas enzim diastase agar terjadinya efisiensi baik dari
penggunaan substrat amilum maupun terhadap waktu yang digunakan pada
pengamatan hidrolisis substrat menjadi glukosa.
Enzim diastase termasuk ke dalam golongan enzim ∝-amilase. Enzim ∝-
amilase merupakan golongan enzim yang berasal dari hewan atau manusia. Enzim
48
Amilum Air
Maltosa
Glukosa
Glukosa
Dekstrin
ini bekerja dengan cara memecah ikatan glisodik ∝-1,4 atau ikatan ∝-1,6 untuk
menghasilkan dekstrin, oligosakarida, maltosa dan D-glukosa (Wang, 2009).
Gambar 12. Reaksi hidrolisis amilum menjadi glukosa (Sudrajat et al. 2018)
Berdasarkan gambar 12, enzim diastase dalam menghidrolisis amilum terjadi
melalui dua tahap, tahap pertama yakni enzim diastase akan menghidrolisis amilum
dengan cara memecah ikatan glisodik ∝-1,4 untuk menghasilkan dekstrin (Oliveira
et al. 2019). Tahap kedua terjadinya pembentukan maltose da glukosa sebagai hasil
akhir. Kedua tahap tersebut bekerja pada enzim ∝-amilase pada molekul amilosa
(Winarno, 1997).
Pengujian optimasi terhadap konsentrasi substrat amilum mendapatkan hasil
yang bervariasi yakni dihasilkan kadar konsentrasi optimum untuk substrat amilum
dengan konsentrasi 1%. Hasil optimasi konsentrasi substrat amilum dapat dilihat
dibawah ini:.
Diastase
Diastase
Diastase
49
Tabel 7. Waktu perubahan warna pada variasi konsentrasi substrat amilum
No Konsentrasi
Substrat
Amilum
Waktu
Perubahan
(detik)
Dokumentasi Pengamatan:
Waktu Awal (kiri), Waktu
Akhir (kanan)
1 0,5% 2172 ± 3,74
2 0,75% 790 ± 12,2
3 1% 72 ± 3,74
4 1,25% 157 ± 5,65
5 1,5% 178 ± 5,88
50
Variasi konsentrasi substrat amilum (tabel 7) didapatkan hasil bahwa
penambahan konsentrasi substrat dari 0,5% hingga 1% memberikan peningkatan
terhadap aktivitas enzim dalam menghidrolisis amilum menjadi glukosa akan
terjadi peningkatan yang terjadi belum optimal. Pada penambahan substrat 0,5%-
0,75% substrat yang terkandung masih belum dapat memenuhi kebutuhan seluruh
sisi aktif enzim diastase sehingga aktivitasnya cenderung lambat. Menurut
Lehninger (1990), reaksi antara konsentrasi substrat dengan enzim akan tetap
terjadi meskipun penambahan konsentrasi subtrat yang diberikan sangat kecil, hal
ini karena substrat akan tetap mengisi sisi aktif enzim dan terjadi hidrolisis dalam
waktu yang cukup lama.
Penambahan konsentrasi substrat amilum 1% pada larutan uji membuat
aktivitas enzim diastase dalam menghidrolisis substrat amilum mengalami
peningkatan yang cukup signifikan. Pada konsentrasi 1% enzim diastase dalam
menghidrolisis substrat amilum hanya memerlukan waktu 72 detik. Menurut
Elawati et al. (2018) semakin tinggi konsentrasi substrat yang digunakan maka
semakin tinggi aktivitas enzim atau semakin tinggi kecepatan reaksi yang
dikatalisis oleh enzim tersebut. Hal tersebut menandakan bahwa pada konsentrasi
substrat amilum 1% semua sisi aktif telah dipenuhi dengan substrat sehingga
aktivitas enzim diastase dapat berjalan secara optimal.
Peningkatan konsentrasi substrat amilum menjadi 1,25% dan 1,5% membuat
aktivitas enzim diastase dalam menghidrolisis substrat amilum mengalami
penurunan. Penurunan ini ditandai dengan bertambahnya waktu hidrolisis substrat
amilum dibandingkan dengan penambahan konsentrasi substrat amilum 1%.
Penurunan aktivitas enzim diastase ini terjadi karena ketika substrat telah mencapai
51
titik optimum maka penambahan substrat lebih lanjut hanya akan sedikit
meningkatkan aktivitas enzim karena hampir semua enzim telah membentuk
kompleks enzim-substrat. Penambahan substrat setelah kondisi optimum juga
memungkinan terjadinya penurunan hidrolisis substrat, hal ini karena substrat telah
jenuh sehingga tidak dapat lagi membentuk kompleks dengan enzim (Susanti,
2011).
Gambar 13. Grafik kecepatan laju reaksi enzim diastase
Mengacu dari tabel 7, data hasil pengujian terhadap variasi konsentrasi
substrat kemudian digunakan untuk dapat mengetahui kecepatan reaksi enzim
diastase dalam menghidrolisis amilum. Pada gambar 13 diketahui bahwa grafik laju
reaksi enzim diastase membentuk kurva parabola. Hasil tersebut berbeda dengan
teori kinetika enzim. Pada teori kinetika enzim diketahui bahwa laju reaksi enzim
akan terus meningkat seiring dengan penambahan konsentrasi substrat, hingga tepat
pada suatu kondisi dimana penambahan konsentrasi enzim tidak lagi mempercepat
laju aktivitas enzim dikarenakan substrat telah jenuh untuk bereaksi dengan enzim
dan reaksi yang berjalan akan stagnan (gambar 14) (Poedjiadji, 2009). Laju reaksi
enzim diastase pada penelitian ini yang cenderung memiliki kurva parabola
dikarenakan penambahan konsentrasi substrat setelah kondisi optimum hanya
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1
1,2
0 0,25 0,5 0,75 1 1,25 1,5 1,75Kec
epat
an la
ju r
eaks
i en
zim
(%
/men
it)
Konsentrasi Substrat (%)
52
memperlambat laju reaksi aktivitas enzim diastase. Menurut Noviendri et al.
(2008), penurunan hidrolisis substrat amilum terjadi karena penambahan substrat
hanya akan menjadi inhibitor bagi reaksi enzimatik.
Gambar 14. Hubungan konsentrasi substrat dengan laju reaksi enzim (Shahib, 2005)
Setelah melalui pengujian variasi konsentrasi substrat amilum, maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa konsentrasi substrat amilum yang optimum adalah
konsentrasi substrat amilum 1%. Konsentrasi 1% sebagai konsentrasi yang
optimum dalam pengujian aktivitas enzim diastase sesuai dengan SNI 3545:2013.
Walaupun pada SNI 3545:2013 sudah tertera berapa konsentrasi yang optimum
untuk konsentrasi substrat dalam bereaksi dengan enzim diastase, penelitian ini
tetap perlu dilakukan karena pada SNI 3545:2013 lebih mengacu kepada cara kerja
secara kuantitatif dengan melihat nilai DN dari sampel madu, sedangkan pada
penelitian ini untuk optimasi variasi konsentrasi substratnya lebih mengacu kepada
kualitatitf yakni dengan melihat perubahan warna pada larutan uji.
4.3.4 Hasil Optimasi pH (power of Hydrogen)
Kadar pH pada enzim merupakan langkah yang cukup penting dalam
pengukuran aktivitas enzim. Menurut Hermanto (2008), suatu enzim baru dapat
bekerja pada suhu dan pH yang optimum. Enzim memperlihatkan aktivitas katalitik
maksimum pada kisaran pH tertentu yang disebut pH optimum kerja enzim. Enzim
53
umumnya aktif pada rentang pH yang sempit. Setiap enzim memiliki karakter yang
berbeda dimana kondisi optimum pH lingkungan akan spesifik untuk tiap enzim.
Kondisi pH yang jauh dari kondisi spesifik ini akan menyebabkan inaktivasi enzim
karena enzim mengalami kerusakan struktur protein (Lehninger, 1990). Perubahan
pH juga akan mempengaruhi efektifitas sisi aktif dari enzim dalam membentuk
kompleks enzim-substrat, sehingga akan menghambat enzim dalam menghidrolisis
substrat (Winarno, 1997). Optimasi pH penting dilakukan karena enzim diastase
hanya akan bekerja secara optimal pada pH optimal. Dengan pH optimal,
konformasi sisi aktif enzim akan menjadi lebih efektif dalam mengikat substrat,
yang selanjutnya akan diubah menjadi produk akhir (Sofihidayati, 2016)
Optimasi pH enzim diastase dilakukan untuk menentukan pH yang optimum
dari kinerja aktivitas enzim diastase dalam menghidrolisis amilum, karena dengan
lingkungan pH yang optimum maka aktivitas enzim akan bekerja secara maksimal.
Hasil pengujian terhadap optimasi pH enzim diastase dapat dilihat pada tabel
dibawah ini:
Tabel 8. Waktu perubahan warna pada variasi pH aktivitas enzim diastase
No. pH Waktu Perubahan (detik)
1 3,3 690 ± 1,41
2 4,3 253 ± 0,81
3 5,3 226 ± 0,81
4 6,3 513 ± 1,63
54
Gambar 15. Pengujian optimasi pH. Kondisi awal (kiri) dan kondisi akhir (kanan).
Keterangan: tabung dari kiri ke kanan (pH 3,3 ; 4,3; 5,3 dan 6,3)
Berdasarkan tabel 8 didapatkan waktu perubahan yang beragam. Pada pH 3,3
waktu yang diperlukan enzim diastase untuk dapat menghidrolisis amilum adalah
690 detik. Dibutuhkannya waktu sekitar 690 detik untuk enzim menghidrolisis
substrat dikarenakan pada pH rendah dibawah pH optimum. Penggunaan pH
dibawah pH optimum akan membuat enzim mengalami perubahan konformasi,
sehingga aktivitas enzim dalam menghidrolisis substrat akan menurun (Babacan et
al. 2002), hal tersebut dilihat dari lamanya perubahan warna larutan dari biru
menjadi bening seperti pada gambar 15. Pada pH 3,3 diyakini bahwa kondisi terlalu
asam bagi enzim diastase untuk beraktivitas karena pada kondisi yang sangat asam
bentuk enzim akan berubah dan tidak lagi dapat melengkapi substrat spesifisiknya
secara optimal sehingga hidrolisis substrat akan terhambat. Pada pH 3,8 terjadi
penurunan aktivitas enzim diastase sebesar 85% (Babacan et al. 2002). Sehingga
dapat disimpulkan bahwa pada pH 3,3 terjadi penurunan aktivitas enzim diastase
melebihi sekitar 85%.
Saat pH dinaikkan menjadi pH 4,3 didapatkan hasil bahwa terjadi percepatan
enzim diastase dalam menghidrolisis substrat amilum. Percepatan tersebut ditandai
dengan waktu yang tergolong cepat pada perubahan warna larutan uji yakni sebesar
253 detik. Pada pH ini terjadi peningkatan aktivitas enzim diastase dalam
55
menghidrolisis substrat amilum, ini terjadi karena pada pH ini enzim diastase
hampir mencapai titik optimum. Menurut Eyster (1959), pH yang baik bagi enzim
diastase untuk beraktivitas adalah pada rentang serendah-rendahnya 4 dan setinggi-
tingginya 7 dan pH yang optimum terdapat pada kisaran pH 5. Hal tersebut
menunjukkan mengapa pada pH 4,3 terjadi percepatan yang signifikan. Karena
pada pH 4,3 termasuk ke dalam rentang pH yang baik bagi enzim diastase untuk
berativitas namun belum pada tahap pH yang optimum untuk kinerja enzim
diastase. Menurut Babacan et al. (2002) diketahui bahwa pada pH 4,6 aktivitas
enzim diastase menurun sebesar 27%.
Peningkatan hidrolisis amilum oleh enzim diastase terjadi pada pH 5,3. Pada
pH ini waktu yang dibutuhkan oleh enzim diastase untuk menghidrolisis substrat
amilum selama 226 detik. Pada pH ini terjadi percepatan hidrolisis enzim diastase
dibandingkan dengan pH lainnya karena pada pH ini enzim telah mencapai pH
optimum. Pada pH optimum konformasi enzim berada pada kondisi yang ideal. Hal
ini menyebabkan interaksi antara enzim dan substrat menjadi maksimal sehingga
kelak akan menghasilkan produk secara maksimum (Zusfahair dan Ningsih, 2012).
Penentuan pH 5,3 sebagai pH optimum enzim diastase sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Esyter (1959), enzim diastase memiliki rentang pH yang baik
untuk beraktivitas antara 4 sampai 7 dan pH yang paling optimum adalah pada pH
5. Menurut Babacan et al. (2002) pH optimum enzim diastase berkisar pada rentang
5,3 sampai 5,6 akan tetapi pH yang paling optimum adalah pada pH 5,3.
Ketika pH kembali dinaikkan menjadi pH 6,3 terjadi kembali perubahan
waktu hidrolisis amilum oleh enzim diastase, dimana pada pH tersebut enzim
diastase membutuhkan waktu sekitar 513 detik untuk dapat menghidrolisis amilum.
56
Pada pH ini terjadi peningkatan waktu hidrolisis karena pH 6,3 diketahui terlalu
basa bagi enzim diastase untuk beraktivitas sehingga menurunkan kadar aktivitas
enzim diastase.
Setelah pH optimum aktivitas enzim diastase akan mengalami penurunan, hal
ini disebabkan adanya perubahan muatan ion pada rantai samping yang terionisasi
sehingga mengakibatkan terjadinya denaturasi enzim yang disertai hilangnya
aktivitas katalitik enzim. Adanya perubahan struktur tersier menyebabkan
kelompok hidrofobik kontak dengan air sehingga solubilitas enzim menjadi
berkurang yang mengakibatkan turunnya aktivitas enzim secara bertahap (Suryadi
et al. 2013). Menurut Babacan et al. (2002) pada pH 6,5 enzim diastase akan
kehilangan aktivitasnya sebesar 30%, hal ini menyebabkan enzim tidak dapat
menghidrolisis amilum secara maksimal.
4.4 Tes Kit Pendeteksi Aktivitas Enzim Diastase
Setelah didapatkan kondisi suhu, substrat, indikator I-KI dan pH yang
optimum, selanjutnya tes kit dirancang dengan menggunakan suhu, indikator I-KI,
substrat dan pH optimum. Kondisi optimum pada suhu 40 ℃, indikator I-KI
konsentrasi 1,25%, subtrat amilum dengan konsentrasi 1%, dan pada pH 5,3. Tes
kit pada dasarnya merupakan suatu alat yang dapat digunakan untuk mendeteksi
kadar suatu senyawa dengan cukup akurat yang mudah digunakan dan dioperasikan
oleh berbagai kalangan dengan penggunaannya yang tanpa perlengkapan khusus,
listrik ataupun biaya yang mahal (Kusumawardhani et al. 2015).
57
Pemanfaatan tes kit pendeteksi aktivitas enzim diastase pada madu ini
didasarkan pada analisis terhadap perubahan warna dari biru menjadi bening yang
terjadi pada larutan uji melalui pengamatan visual yang kemudian akan dilihat
waktu perubahannya. Perubahan warna pada larutan uji merupakan hasil hidrolisis
substrat amilum menjadi glukosa oleh enzim diastase.
Gambar 16. Tes kit pendeteksi aktivitas enzim diastase.
Ket: botol label oranye (amilum), label hijau (indikator I-KI),
label biru (tabung analisis sampel).
Tes kit pendeteksi aktivitas enzim diastase ini terdiri atas 3 botol, dan 1 buah
petunjuk prosedur penggunaan tes kit. Ketiga botol itu terdiri atas botol yang berisi
larutan substrat amilum dengan aquades, kemudian botol indikator I-KI dan botol
untuk analisis sampel madu (gambar 16). Larutan indikator I-KI ditempatkan dalam
botol yang berwarna gelap untuk membatasi masuknya cahaya ke dalam botol
sehingga larutan tetap stabil. Menurut Wijawati dan Asiarini (2017), bahwa
penyimpanan terbaik untuk iod adalah pada wadah yang kedap, tertutup, gelap,
terhindar panas. Diketahui bahwa penggunaan wadah terbaik untuk larutan iod
58
adalah menggunakan wadah plastic dengan tipe HDPE (High Density
Polyethylene). Penggunaan wadah berjenis HDPE telah digunakan oleh beberapa
perusahaan yang memiliki produk bahan bakunya adalah larutan iod, seperti obat
merah untuk luka. Penggunaan wadah jenis HDPE dipilih karena termasuk ke
dalam bahan yang aman digunakan berulang kali, tahan panas, tidak tembus air,
dan tahan terhdapa sinar matahari karena karakteristiknya yang tidak transparan
(Kurniawan dan Nasrun, 2014).
Prosedur penggunaan tes kit ini adalah dengan cara pertama tama meneteskan
sampel madu 4-5 tetes (0.5 cm dari dasar botol) madu ke dalam botol analisis.
Kemudian campurkan larutan substrat amilum ke dalam botol analisis dilajutkan
pengocokan hingga madu larut. Selanjutnya botol analisis dihangatkan pada air
hangat selama 30 menit pada suhu 40 ℃ atau dapat diprediksi dengan mencelupkan
jari, ketika jari telah merasa hangat maka air hangat sudah dapat digunakan.
Kemudian setelah botol analisis dihangatkan selama 30 menit, angkat dan segera
teteskan larutan indikator I-KI sebanyak 2 tetes dan lihat berapa lama perubahan
hilangnya warna biru menjadi bening. Semakin cepat warna biru hilang maka
semakin tinggi aktivitas enzim diastase pada madu tersebut. Hasil pengujian
terhadap madu sampel didapatkan hasil sebagai berikut:
Tabel 9. Hasil pengukuran sampel madu menggunakan tes kit pendeteksi aktivitas enzim
diastase
Sampel madu Nilai Aktivitas enzim
diastase (DN)
Hasil pengukuran sampel madu
menggunakan tes kit (detik)
Peternakan 1,05 624 ± 2 (10,4 menit)
Lengkeng 8,7 150 ± 0 (2,5 menit)
Rambutan 14,38 15 ± 0
59
Berdasarkan tabel 9 hasil pengujian terhadap beberapa madu sampel
didapatkan hasil yang selaras antara nilai aktivitas enzim diastase yang dimiliki oleh
madu dengan waktu yang dibutuhkan untuk proses hidrolisis. Hasil tersebut
kemudian dibuat plot regresi linier untuk melihat apakah nilai yang didapatkan
memiliki regresi sebesar 0,9235 (lampiran 7). Hasil tersebut membuktikan bahwa
antara sumbu x yakni waktu (detik) dan sumbu y yaitu absorbansi memiliki korelasi
yang cukup baik dan membuktikan pula bahwa semakin tinggi nilai aktivitas enzim
diastase suatu madu maka waktu untuk hidrolisis amilum menjadi glukosa akan
semakin singkat dan begitupun sebaliknya.
Hasil terbaik terdapat pada madu rambutan yang hanya membutuhkan waktu
15 detik untuk proses perubahan warna dari biru menjadi bening. Hal tersebut
dikarenakan nilai DN madu rambutan yang memiliki nilai yang cukup tinggi.
Kemudian hasil yang kurang memuaskan terdapat pada madu peternakan yang
membutuhkan waktu 624 detik untuk proses perubahan warna dari biru menjadi
bening, ini dikarenakan nilai aktivitas enzim diatase madu peternakan yang berada
di bawah ambang batas yang ditetapkan SNI 3545:2013.
Mengacu hasil dari tabel 9, bahwa hasil tersebut dapat dijadikan sebagai data
ketika pengujian madu menggunakan tes kit. Apabila waktu menghilangnya warna
biru berada tepat atau diatas 10 menit, maka madu dapat disimpulkan memiliki
enzim diastase sebesar <1 DN atau bahkan tanpa adanya enzim diastase (madu
palsu). Kemudian jika waktu menghilangnya berada di kisaran 2,5 – 7 menit maka
madu dapat diprediksi memiliki aktivitas enzim diastase 3-8,7 DN. Dan jika
menghilangnya warna biru dengan cepat atau dibawah 2,5 menit maka madu
diprediksi memiliki aktivitas enzim diastase diatas 8,7 DN.
60
4.5 Uji Kelayakan Tes Kit Pendeteksi Aktivitas Enzim Diastase
Uji kelayakan terhadap tes kit pendeteksi aktivitas enzim diastase dilakukan
karena merupakan salah satu parameter terpenting untuk dapat menentukan apakah
tes kit yang dibuat dapat dikatakan sudah sempurna atau belum. Menurut Sutrisno
(1982), pengujian kelayakan adalah suatu pengujian apakah suatu proyek yang telah
dikembangkan apabila dilaksanakan dapat berjalan sesuai dengan tujuan atau tidak.
Tujuan dari pengujian kelayakan tes kit pendeteksi aktivitas enzim diastase adalah
didapatkan gambaran apakah tes kit yang dihasilkan dapat memiliki kinerja yang
memuaskan atau tidak.
Uji kelayakan pada tes kit pendeteksi aktivitas enzim diastase dilakukan
dengan menggunakan metode pengujian z-score. Uji z-score merupakan
perbandingan antara estimasi bias dan nilai target standar deviasi (Hund et al.
2000). Uji z-score pada tes kit pendeteksi aktivitas enzim diastase dilakukan
terhadap 25 panelis yang dipilih secara acak. Sampel madu yang digunakan dalam
pengujian z-score ini adalah madu lengkeng yang dijadikan sebagai madu acuan.
Tujuan dari pengujian z-score pada uji kelayakan tes kit pendeteksi aktivitas enzim
diastase adalah didapatkan data hasil pengukuran aktivitas enzim diastase tiap
panelis dan kemudian akan disimpulkan dalam bentuk persentase kelayakan tes kit.
Pada penelitian ini nilai z-score tiap panelis dihasilkan dari perbandingan antara
data waktu yang didapatkan oleh panelis saat menguji madu dengan rata-rata
keseluruhan waktu akumulasi dari waktu yang didapatkan oleh seluruh panelis dan
hasilnya akan ditampilkan grafik sebagai berikut:
61
Gambar 17. Hasil nilai z score pada pengukuran enzim diastase madu oleh panelis
Nilai z score yang dihasilkan antar tiap panelis diketahui memiliki hasil yang
beragam. Nilai z-score yang beragam tersebut selanjutnya akan diinterpretasikan
dalam pengambilan keputusannya mengacu kepada distribusi normal pada
pedoman IUPAC : 2006. Mengacu pada (gambar 17), diketahui bahwa dari 25
panelis yang melakukan pengujian madu menggunakan tes kit yang dibuat
didapatkan hasil 24 pengukuran (96%) masuk ke dalam kategori diterima,
sedangkan 1 pengukuran (4%) masuk ke dalam kategori diragukan. Hasil tersebut
merupakan hasil pengukuran madu yang dilakukan oleh tiap panelis dan kemudian
akan dihitung z-score nya dengan membandingkan terhadap rata-rata keseluruhan
hasil yang didapat oleh seluruh panelis.
Adanya perbedaan hasil pengukuran diperkirakan terjadi karena perbedaan
cara penanganan terhadap tes kit antar tiap panelis. Faktor ini termasuk ke dalam
kompetensi personil yang ikut mempengaruhi hasil akhir. Menurut ulfiati et al.
(2017) ada beberapa faktor yang mempengaruhi hasil dari suatu pengambilan data
baik berupa presisi, akurasi atau z-score yakni pemilihan metode uji, kompetensi
personil, kalibrasi atau verifikasi. Salah satu yang dapat membedakan adalah
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Ren
tan
g z-
sco
re
Panelis
nilai z-score tiap panelis z-score (0)
Z-score (-2 ≤ Z ≤ 2) Z-score (-3 ≤ Z ≤ -2 dan 3 ≤ Z ≤ 2)
62
pengocokan saat setelah indikator I-KI telah diteteskan ke dalam botol sampel.
Diketahui bahwa semakin meningkat kecepatan pengocokan akan mempercepat
proses hidrolisis. Hal tersebut terjadi karena dengan meningkatnya pengocokan
maka partikel akan bergerak lebih cepat sehingga frekuensi tumbukan antar partikel
juga semakin meningkat sehingga akan meningkatkan laju reaksi (Artati et al.
2013). Akan tetapi hasil pengujian kelayakan dengan nilai z-score dari 25 panelis
96% masuk kategori diterima dan 4% masuk m kategori diragukan, sehingga
pengujian madu menggunakan tes kit hasilnya dapat diterima atau diakui, walau
belum dalam tahap memuaskan
63
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Kesimpulan dari penelitian ini yaitu:
1. Kondisi optimum untuk konsentrasi indikator I-KI adalah 1,25%, suhu 40 ℃,
konsentrasi substrat amilum 1% dan pH (Power of Hydrogen) 5,3 yang baik
untuk dapat diaplikasikan pada tes kit pendeteksi aktivitas enzim diastase
pada madu
2. Hasil uji kelayakan tes kit didapatkan hasil sebesar 96% diterima dan 4%
diragukan.
5.2 Saran
Perlu dilakukan pengembangan lebih lanjut terhadap tes kit pendeteksi
aktivitas enzim diastase seperti dilakukannya validasi metode yang mencakup
presisi, dan limit of detection (LOD). Kemudian perlu dilakukan uji stabilitas tes kit
dengan sediaan indikator I-KI berdasarkan waktu penyimpanan dan diuji coba tes
kit dalam jangka waktu lama serta jumlah sampel madu yang digunakan ditambah
lebih banyak lagi.
64
DAFTAR PUSTAKA
AOAC 958,09.2016. Diagram Alir Penentuan Enzim Diastase dalam
Madu.2348(20), 2–3.
Abdullah. 1994. Luubahut Tafsir Min Ibni Katsir. Diterjemahkan oleh M.Abdul
Ghofar dan Abu Ihsan al-atsari. Jakarta (ID). Pustaka Imam Syafi’i.
Abubakar MB, Abdullah WZ, Sulaiman SA, dan Suen AB. 2012. A Review Of
Molecular Mechanisms of the Anti-Leukemic Effects Of Phenolic Compounds
In Honey. International Journal of Molecular Sciences. 13(11): 15054–15073.
https://doi.org/10.3390/ijms131115054.
Achmadi. 1991. Analisis Kimia Produk Lebah Madu dan Pelatihan Staf
Laboratorium Pusat Perlebahan Nasional Parung Panjang. Bogor(ID):
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor.
Aiyer PV. 2005. Amylases and Their Applications. African Journal of
Biotechnology. 4(13): 1525–1529. https://doi.org/10.5897/AJB2005.000-
3267.
Ardiansyah A, Nurlansi N, dan Musta R. 2018. Waktu Optimum Hidrolisis Pati
Limbah Hasil Olahan Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz var. Lahumbu)
Menjadi Gula Cair Menggunakan Enzim α-Amilase Dan Glukoamilase. Indo.
J. Chem. Res.5(2):86–95. https://doi.org/10.30598//ijcr.2018.5-ard.
Ariandi. 2016. Pengenalan Enzim Amilase (Alpha-Amylase) dan Reaksi
Enzimatisnya Menghidrolisis Amilosa Pati Menjadi Glukosa.
Dinamika.7(1):74-82.
Artati EK, Wulandari F, dan Sukma RN. 2013. Pengaruh Konsentrasi Katalis Asam
dan Kecepatan Pengadukan Pada Hidrolisis Selulosa dari Ampas Batang
Sorgum Manis. Ekuilibrum.12(1):17-22. 10.20961/ekuilibrium.v12i1.2172.
Ashkani H, Badinij K, Bulfati A, Chutani U, Dareshak T, dan Darzada D. 2014.
Assessment of Physico-Chemical and Antimicrobial of Honey of Apis Dorsata
From Different Locations of Pakistan. Global Journal of Fisheries and
Aquaculture. 2(6):186-191.
Babacan S, Pivarnik LF, dan Rand AG. 2002. Honey Amylase Activity and Food
Starch Degradation. Journal of Food Science. 67(5):1625–1630.
https://doi.org/10.1111/j.1365-2621.2002.tb08695.x.
Baedhowie, dan Pranggonowati S. 1983. Petunjuk Praktek Pengawasan Mutu Hasil
Pertanian. Jakarta(ID): Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan.
Baldwin RR, Bear RS, dan Rundle RE. 1944. The Relation of Starch-Iodine
Absorption Spectra to the Structure of Starch and Starch Components. Journal
of the American Chemical Society. 66(1) :111–115.
https://doi.org/10.1021/ja01229a032.
65
Bardant TB, Devi AF, Athailah ZA, Nugrahani W, Qolbi AL, dan Aspiyanto. 2015.
Performance Test of Vitamin B6 Test Kit Candidate. Procedia Chemistry.
16(2015): 113–120. https://doi.org/10.1016/j.proche.2015.12.038.
Codex A. 1987. Standard for Honey. Roma(IT): Food and Agriculture Organization
of the United Nations.
Dachriyanus. 2004. Analisis Struktur Senyawa Organik Secara Spektroskopi (I).
Padang(ID): Andalas University Press.Dennison. 2002. A Guide to Protein
Isolation. New York(US): Kluwer Academic Publisher.
Diwan R, Shinde A, dan Malpathak N. 2012. Phytochemical Composition and
Antioxidant Potential of Ruta graveolens L. In Vitro Culture Lines . Journal
of Botany. 20(12): 1–6. https://doi.org/10.1155/2012/685427.
Drochioiou G, Sandu I, Grandinaru R, Zbancioc G, dan Mangalagiu I. 2011.
Ninhydrin-Based Forensic Investigations: Cyanide Analytical Toxicology.
International Journal of Criminal Investigation. 1(4):37-58.
Elawati NE, Pujiyanto S, dan Kusdiyantini E. 2018. Karakteristik Dan Sifat
Kinetika Enzim Kitinase Asal Jamur Entomopatogen Beauveria bassiana.
Jurnal Bioteknologi & Biosains Indonesia (JBBI).5(1):1.
https://doi.org/10.29122/jbbi.v5i1.2587.
Eyster H. 1959. The Optimum Ph for Diastase of Malt Activity. Ohio Journal of
Science. 59(5): 257–262.
Fennema R. 1976. Principles of Food Science. Part 1: Food Chemstry (XI). New
York(US): Marcel Dekker Inc.
Feronica I. 2012. Kajian Kemurnian Madu Komersial di Kota Bogor dengan
Menggunakan berbagai Metode Pengujian (Skripsi). Bogor(ID): Institut
Pertanian Bogor.
Fessenden RJ. 1986. Kimia Organik Dasar (III). Jakarta(ID): Erlangga.
Flach M. 1993. Problems and Prospects of Present Sago Palm Development. Sago
Palm,1: 8–17.
Gebremariam T, dan Brhane G. 2014. Determination Of Quality And Adulteration
Effects Of Honey From Adigrat And Its Surrounding Areas. International
Journal of Technology Enhancements and Emerging Engineering Research.
2(10):71.
Herbert E. 1992. The Hive and The Honey Bee. Hamilton(NZ): Dandant and Sons.
Hermanto S. 2008. Buku Ajar Biokimia. Jakarta(ID): Fakultas Sains dan Teknologi.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Hollo J, dan Szejtli J. 1957. The Mechanism of Starch-Iodine Reaction. Periodica
Polytechnica Chemical Engineering. 1(2): 141-145.
66
https://www.bukalapak.com/p/industrial/peralatan-medis-laboratori/arrrkl-jual-
test-kit-nitrat-tanah-alat-uji-nitrat-untuk-tanah. Diakses: Jum’at, 2 Oktober
2020
https://www.creative-enzymes.com/similar/diastase_194.html/Diastase.Diakses:
Senin, 7 Desember 2020
Huang Z, Liu L, Li G, Li H, Ye D, dan Li X. 2019. Nondestructive Determination
of Diastase Activity of Honey Based On Visible and Near-Infrared
Spectroscopy. Molecules. 24(7): 1-12. doi. 10.3390/molecules24071244.
Hund E, Massart DL, dan Verbeke JS. 2000. Inter-Laboratory Studies in Analytical
Chemistry. J.Analytica Chimica Acta. 423: 145-165. 10.1016/S0003-
2670(00)01115-6
Ibrahim AM, Yunianta dan Sriherfyna FH. 2015. Pengaruh Suhu dan Lama Waktu
Ekstraksi terhadap Sifat Kimia dan Fisik pada Pembuatan Minuman Sari Jahe
Merah Dengan Kombinasi Penambahan Madu Sebagai Pemanis. Pangan dan
Agroindustri.3(2):530–541.
IUPAC. 2006. The International Harmonized Protocol for the Proficiency Testing
of Analytical Chemistry Laboratories. Pure and Applied Chemistry. 78(1):
145-196. 10.1351/pac200678010145
Junqueira LC. 2007. Histologi Dasar (V). Jakarta(ID): EGC.
Kadziola A, dan Haser R. 1994. Crystal and Molecular Structure of Barley α-
Amylase. Journal of Molecular Biology. 239(1): 104-122.
https://doi.org/10.1006/jmbi.1994.1354
Kaneko T, Ohno T dan Ohisa N. 2005. Purification and Characterization of A
Thermostable Raw Starch Digesting Amylase from A Streptomyces Sp.
Isolated In A Milling Factory. Bioscience, Biotechnology and Biochemistry.
69(6): 1073–1081. https://doi.org/10.1271/bbb.69.1073.
Khanifah N, Sulistyarti H, dan Sabarudin A. 2015. Pembuatan Tes Kit Kromium
Berdasarkan Pembentukan Kompleks Cr(Vi)-Difenilkarbazida. Kimia Student
Journal. 1(1):730–736.
Khopkar. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik (I). Jakarta(ID): UI Press.
Kowalski S, Lukasiewicz M, Bednarz S dan Panus M. 2012. Diastase Number
Changes During Thermaland Microwave Processing of Honey. Czech Journal
of Food Sciences. 30(1): 21–26. https://doi.org/10.17221/123/2010-cjfs.
Kurniawan E, dan Nasrun. 2014. Karakterisasi Bahan Bakar dari Sampah Plastik
Jenis High Density Polyethylene (HDPE) dan Low Density Polyethylene
(LDPE). Jurnal Teknologi Kimia Unimal. 3(2): 41-52.
Lehninger LA. 1990. Dasar-Dasar Biokimia. Jakarta(ID): Erlangga.
Mandal MD, dan Mandal S. 2011. Honey: Its Medicinal Property and Antibacterial
Activity. Asian Pacific Journal of Tropical Biomedicine. 1(2): 154-160. doi.
10.1016/S2221-1691(11)60016-6.
67
Muhammad A, Oyeronke AO, Mohammed I, Abdullahi BS, Ochuko LE, Idowu
AA, Ibrahim M. 2016. Potential Biological Activity of Acacia Honey.
Frontiers in Bioscience - Elite. 8(2): 351-357. doi. 10.2741/e771.
Mulja M, dan Suharman. 1995. Analisis Instrumen (I). Surabaya(ID): Airlangga
University Press.
Murdjiati G. 1992. Ilmu Pengantar Ilmu Pangan Nutrisi dan Mikrobiologi,.
Yogyakarta(ID): Gajah Mada University Press.
Nangin D, dan Sutrisno A. 2015. Enzim Amilase Pemecah Pati Mentah Dari
Mikroba : Kajian Pustaka. Jurnal Pangan Dan Agroindustri. 3(3): 1032–1039.
Nicolson S, Nepi M, dan Pacini E. 2007. Nectaries and Nectar (I). Amsterdam
(ND): Springer Netherlands.
Noviendri D, Fawzya YN, dan Chasanah E. 2008. Karakteristik dan Sifat Kinetika
Enzim Kitinase dari Isolat Bakteri T5a1 Asal Terasi. Jurnal Pascapanen Dan
Bioteknologi Kelautan Dan Perikanan. 3(2), 123-129. doi:
10.15578/jpbkp.v3i2.15 .
Ogdanova S, Ruoff K, dan Oddo LP. 2004. Physico-Chemical Methods For The
Characterisation of Unifloral Honeys : A review. Apidologie. 35: 4–17.
https://doi.org/10.1051/apido.
Oliveira WDS, Neves DA, dan Ballus CA. 2019. Mature Chemical Analysis
Methods for Food Chemical Properties Evaluation. Evaluation Technologies
for Food Quality. 19: 63-90. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-814217-
2.00005-6
Padmaningrum RT, dan Marwati S. 2013. Tester Kit untuk Uji Boraks dalam
Makanan. Jurnal Penelitian Saintek.18(1):24–33.
Permatasari SM, Helmiyati S dan Iskandar S. 2017. Stabilitas Kadar Iodium dalam
Garam Fortifikasi Kalium Iodida(Ki) Menggunakan NaFeEDTA. Darussalam
Nutrition Journal. 1(1): 8-15. http://dx.doi.org/10.21111/dnj.v1i1.1022.
Poedjiadji A. 2009. Dasar-Dasar Biokimia. Jakarta(ID): UI Press.
Prabowo S, Yuliani, Prayitno YA, Lestari K, dan Kusesvara A. 2019. Penentuan
Karakteristik Fisiko-Kimia Beberapa Jenis Madu Menggunakan Metode
Konvensional dan Metode Kimia. Journal of Tropical Agri Food. 1(1): 66-73.
http://dx.doi.org/10.35941/jtaf.1.2.2019.2685.66-73.
Priyanta, Sigit BR, dan Anton J. 2010. Sifat Fisik Granul Amilum Jagung yang
Dimodifikasi secara Enzimatis dengan Lactobacillus acidhophillus pada
Berbagai Waktu Fermentasi. Bali(ID): Prodi Farmasi FMIPA Universitas
Udayana.
Purbaya R. 2002. Mengenal dan Memanfaatkan Khasiat Madu Alami. (I).
Bandung(ID): Pionir Jaya.
68
Purnamasari N, Aprilia H, dan Sukanta. 2015. Perbandingan Parameter Fisikokimia
Madu Pahit (Aktivitas Enzim Diastase, Gula Pereduksi (Glukosa), Keasaman,
Cemaran Abu dan Arsen) dengan Madu Manis Murni. Prosiding Penelitian
SPeSIA. Bandung. Indonesia: Prodi Farmasi FMIPA Universitas Islam
Bandung.46-50.
Puspitasari G, Safrihatini W, dan Umam K. 2019. Studi Kinetika Reaksi dari Enzim
α- Amilase pada Proses Penghilangan Kanji Kain Kapas. Arena Tekstil.
34(1):1-6. http://dx.doi.org/10.31266/at.v34i1.5097
Rachmawaty M. 2011. Efektivitas Beberapa Uji Pemalsuan Madu Kapuk [Skripsi].
Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor.
Sadikin M. 2002. Biokimia Enzim. Jakarta (ID): Widya Medika.
Sak-Bosnar M, dan Sakač N. 2012. Direct Potentiometric Determination of
Diastase Activity In Honey. Food Chemistry. 135(2): 827–831.
https://doi.org/10.1016/j.foodchem.2012.05.006.
Sakri FM. 2015. Madu dan Khasiatnya: Suplemen Sehat Tanpa Efek Samping.
Yogyakarta(ID): Diandra Pustaka Indonesia.
Saladin KS. 2003. Anatomy & Phisiology: The Unity of Form and Function (III).
New York(US): McGraw-Hill.
Sarwono. 2001. Lebah Madu. Jakarta(ID): Agro Media.
Seeley RR. 2006. Anatomy & Phisiology (VII). New York(US): McGraw-Hill.
Shahib N. 2005. Biologi Molekuler Medik I. Bandung (ID). Universitas Padjajaran
Press.
Sherwood L. 2001. Fisiologi Manusia; dari Sel ke Sistem (II). Jakarta(ID): EGC.
Sihombing D. 2005. Ilmu Ternak Madu. Yogyakarta(ID): Gajah Mada University
Press.
Siregar. 2006. Pengantar Penegenalan Madu. Bogor(ID): Departemen Ilmu
Produksi dan Teknologi Peternakan.
Situmorang R, dan Hasanudin A. 2014. Panduan Manual Budidaya Lebah Madu
(I). Parapat: Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli.
Sivakumar B, Brahmam GNV, Nair MK, Ranganathan S, Rao MV, Vijaraghavan
K dan Krishnawaty K. 2001. Prospects of fortification of salt with iron and
iodine. British Journal of Nutrition. 85(2): 167-173. DOI:
10.1049/BJN2000310.
Soares S, Amaral JS, Beatriz MP, Oliviera P, dan Mafra I. 2017. A Comprehensive
Review on the Main Honey Authentication Issues: Production and Origin.
Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety.16(17):1072-1100.
doi: 10.1111/1541-4337.12278.
69
Sofihidayati T. 2016. Pengaruh pH dan Kation Terhadap Aktivitas Enzim β-
Glukosidase yang Dihasilkan dari A. foetidus (Naka.). Fitofarmaka.6(1): 22–
28. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004.
Standar Nasional Indonesia. 2013. SNI 3545 Madu. Jakarta (ID): BSN.
Standar Nasional Indonesia. 2018. SNI 17025 Persyaratan Umum Kompetensi
Laboratorium Pengujian dan Laboratorium Kalibrasi. Jakarta (ID): BSN.
Suarez MA, Sara T, Stefania R, Bertoli EE, dan Battino M. 2010. Contribution of
Honey in Nutrition and Human Health. Mediterranean Journal of Nutrition
and Metabolism. 3(1): 15-23. doi. 10.1007/s12349-009-0051-6.
Sudrajat D, Mulyana N, Tri Retno DL, Muawanah A, dan Aeni AU. 2018.
Perlakuan Sinar Gamma pada Substrat Jerami Padidan Kapang Phanerochaete
Chrysosporium Untuk Meningkatkan Delignifikasi Melalui Fermentasi Padat.
Ilmiah Aplikasi Isotop dan Radiasi. 14(2): 83-97.
Suharti T. 2017.. Dasar-Dasar Spektrofotometri Uv-Vis dan Spektrometri Massa
Untuk Penentuan Struktur Senyawa Organik. Lampung (ID): AURA.
Sumardjo D. 2006. Pengantar Kimia. Jakarta (ID): Buku Kedokteran EGC.
Sumarlin LO, Muawanah A, dan Wardhani P. 2014. Aktivitas Antikanker dan
Antioksidan Madu di Pasaran Lokal Indonesia. Jurnal Ilmu Pertanian
Indonesia. 19(3):136–144.
Sumopraswoto, dan Suprapto. 1993. Beternak Lebah Madu Modern. Jakarta(ID):
Bhakti Karya Aksara.
Suranto A. 2004. Khasiat dan Manfaat Madu Herbal. Jakarta (ID): Agro Media.
Suryadi Y, Priyatno TP, Susilowati DN, Samudra IM, Yudhistira N, dan
Purwakusumah ED. 2013. Isolasi dan Karakterisasi Kitinase asal Bacillus
cereus 11 UJ. Jurnal Biologi Indonesia. 9(1): 51–62.
http://dx.doi.org/10.14203/jbi.v9i1.146.
Susanti E. 2011. Optimasi produksi dan karakterisasi sistem selulase dari Bacillus
circulans strain lokal dengan induser avicel. Jurnal Ilmu Dasar. 12(1):40–49.
Suseno 2014. Uji Mutu Madu yang Dipasarkan di Pasar Gede Surakarta Ditinjau
dari Kandungan Enzim Diastase, Aktivitas Enzim Diastase dan Kadar
Sukrosa. Kimia Dan Teknologi. 5(2):51-58.
Sutrisno H. 1982. Metodologi Research. Yogyakarta (ID): YP. Fakultas Psikologi
UGM
Teitelbaum RC, Ruby SL, dan Marks TJ. 1980. A Resonance Raman/Iodine
Moessbauer Investigation Of The Starch-Iodine Structure. Aqueous Solution
And Iodine Vapor Preparations. American Chemical Society.11(32):3322–
3328. https://doi.org/10.1002/chin.198032057.
70
Tingek S, Mardan M, Rinderer TE, Koeniger N, dan Koeniger G. 1988.
Rediscovery of Apis Vechti (Maa, 1953): The Saban Honey Bee. Apidologie.
19(1): 97-102. doi, 10.1051/apido:19880107.
Tulandi SM. 2019. The Effect Of Storage Temperature On The Quality Of Honey.
Teknologi dan Seni Kesehatan. 10(1): 59-71. doi. 10.36525/sanitas.2019.6.
Turner RG. 1930. The Starch-Iodine Reaction: Stability and Proportionality of
Color Produced by Small Amounts of Iodine. Journal of The American
Chemical Society.52(1): 2595-3034. https://doi.org/10.1021/ja01370a026.
Ulfiati R, Purnami T, dan Karina RM. 2017. Faktor yang Mempengaruhi Presisi
dan Akurasi Data Hasil Uji dalam Menentukan Kompetensi Laboratorium.
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi. 5(1): 49-53.
Wang NS. 2009. Experiment no. 5: Starch Hydrolysis by Amylase. Maryland:
Department of Chemical & Biomolecular Engineering(US):University of
Maryland.
Waszkowiak K, dan Buszka KS. 2006. Effect Of Storage Conditions On Potassium
Iodide Stability in Iodised Table Salt and Collagen Preparations. International
Journal of Food Science and Technology. 43(08): 895-899.
doi:10.1111/j.1365-2621.2007.01538.x.
Whistler RL, Miller B, dan Paschall FE. 1984. Starch: Chemistry and Technology.
Toronto(CD): Academic Press. Inc.
Whittaker JR. 2003. Enzyme: Function and Characteristics. New York (US):
Marcek Dekker Inc.
Wibowo BA, Rivai M, dan Tasripan. 2016. Alat Uji Kualitas Madu Menggunakan
Polarimeter dan Sensor Warna. Jurnal Teknik ITS. 5(1): 28-33.
http://dx.doi.org/10.12962/j23373539.v5i1.15251.
Wijawati A, dan Asiarini WD. 2017. Pengaruh Wadah , Kondisi dan Cara
Penyimpanan Terhadap Perubahan Kadar Iodium Dalam Garam. Ilmu
Kesehatan. 9(1):7–14.
Winarno FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta(ID): Gramedia Pustaka Utama.
Winarno FG. 1981. Madu. Teknologi, Khasiat, dan Analisis. Bogor(ID):
Pusbangtepa.
Xiao Z, Storms R, dan Tsang A. 2006. A Quantitative Starch-Iodine Method For
Measuring Alpha-Amylase and Glucoamylase Activities. Analytical
Biochemistry. 351(1):146–148. https://doi.org/10.1016/j.ab.2006.01.036.
Yazid E, Lisda N, dan Sudiyarto OH. 2006. Penuntun Praktikum Untuk Mahasiswa
Analis.Yogyakarta(ID): ANDI.
Yoon BS, Hyun HS, dan Paik NW. 1974. Effect of External Factors on Diastase
Activity in Water. Korean Journal of Preventive Medicine.7 (1): 107–113.
https://dx.doi.org/10.1007%2Fs10068-018-0306-4.
71
Yu X, Houtman C, dan Atalla RH. 1996. The complex of amylose and iodine.
Carbohydrate Research. 292(96): 129-141. https://doi.org/10.1016/S0008-
6215(96)91037-X.
Zusfahair Z, dan Riana ND. 2012. Pembuatan Dekstrin dari Pati Ubi Kayu
Menggunakan Katalis Amilase Hasil Fraksinasi dari Azospirillum Sp. Jg3.
Molekul. 7(1):9-19. https://doi.org/10.20884/1.jm.2012.7.1.102.
72
LAMPIRAN
Lampiran 1. Instruksi kerja penentuan enzim diastase dalam madu (AOAC
958,09:2016)
Lampiran 2. Perhitungan enzim diastase madu lengkeng di Pusat Laboratorium
Terpadu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
y = -0,01x + 0,609R² = 0,9944
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
10 15 20 25 30 35 40
Ab
sorb
ansi
Waktu (menit)
73
y = -0,01x + 0,609
0,235 = -0.01x + 0,609
0,01 x = 0,609 – 0,235
0,01 x = 0,374
x = 0,374 : 0,01
x = 37,4
Diastase Number = 300
𝑋
= 300
37,4
= 8,02
Lampiran 3. Perhitungan enzim diastase madu rambutan di Pusat laboratorium
Terpadu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
y = -0,0067x + 0,3747
0,235 = -0.0067x + 0,3747
0,0067 x = 0,3747 – 0,235
0,0067x = 0,1397
x = 0,1397: 0,0067
x = 20,85
y = -0,0067x + 0,3747R² = 0,9891
0
0,05
0,1
0,15
0,2
0,25
0,3
0,35
0,4
5 10 15 20 25
Ab
sorb
ansi
Waktu (menit)
74
Diastase Number = 300
𝑋
= 300
20,85
= 14,38
Lampiran 4. Perhitungan enzim diastase madu peternakan di Pusat laboratorium
Terpadu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
y = -0,0031x + 0,7212
0,235 = -0.0031x + 0,7212
0,0031 x = 0,7212 – 0,235
0,0031 x = 0,4862
x = 0,4862: 0,0031
x = 156,84
Diastase Number = 300
𝑋
= 300
156,84
= 1,9
y = -0,0031x + 0,7212R² = 0,9932
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 150 160 170
Ab
sorb
ansi
Waktu (menit)
75
Lampiran 5. Perhitungan enzim diastase madu lengkeng di Saraswanti Indo
Genetech
Lampiran 6. Perhitungan enzim diastase madu peternakan di Saraswanti Indo
Genetech
76
Lampiran 7. Regresi linier hubungan antara nilai enzim diastase dengan waktu
hidrolisis amilum oleh enzim diastase
Lampiran 8. Hasil pengukuran madu menggunakan tes kit pendeteksi aktivitas
enzim diastase oleh panelis
No Hasil pengukuran
(detik)
Z-score Keterangan hasil uji
(IUPAC:2006)
1 54 -0,864706371 Diterima
2 323 -0,372397673 Diterima
3 352 -0,319323501 Diterima
4 163 -0,66522069 Diterima
5 1440 1,67187302 Diterima
6 50 -0,872026947 Diterima
7 892 0,668954184 Diterima
8 792 0,485939798 Diterima
9 62 -0,85006522 Diterima
10 210 -0,579203929 Diterima
11 1956 2,616227252 Diragukan
12 753 0,414564187 Diterima
y = -0,02x + 13,103R² = 0,9235
0
2
4
6
8
10
12
14
16
0 200 400 600 800
Ab
sorb
ansi
Waktu (detik)
77
13 566 0,072327285 Diterima
14 65 -0,844574789 Diterima
15 992 0,85196857 Diterima
16 99 -0,782349898 Diterima
17 1527 1,831095536 Diterima
18 47 -0,877517378 Diterima
19 72 -0,831763782 Diterima
20 130 -0,725615438 Diterima
21 50 -0,872026947 Diterima
22 775 0,454827352 Diterima
23 412 -0,209514869 Diterima
24 1321 1,4540859 Diterima
25 59 -0,855555652 Diterima
Rata – rata : 526,48
Standar Deviasi : 546,4051332
Lampiran 9. Grafik absorbansi stabilitas indikator I-KI
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0 10 20 30 40 50 60
Ab
sorb
ansi
Waktu (menit)
78
Lampiran 10. Data pengujian optimasi konsentrasi indikator I-KI
Lampiran 11. Data pengujian optimasi suhu
Lampiran 12. Data pengujian optimasi konsentrasi substrat amilum
Lampiran 13. Data pengujian optimasi pH
Konsentrasi
Pengulangan (s)
1,2% 1,25% 1,3% 1,35% 1,4%
Simplo 301 75 227 458 899
Duplo 298 76 225 458 900
Triplo 307 74 226 455 895
Rata-rata 302 75 226 457 898
Standar Deviasi 3,741657 0,816497 0,816497 1,414214 2,160247
Suhu
Pengulangan (s)
25℃ 30℃ 35℃ 40℃
Simplo 5942 1965 781 107
Duplo 5940 1964 785 106
Triplo 5938 1960 786 108
Rata-rata 5940 1963 784 107
Standar Deviasi 1,632993 2,160247 2,160247 0,816497
Konsentrasi
Pengulangan (s)
0,5% 0,75% 1% 1,25% 1,5%
Simplo 2177 784 68 161 176
Duplo 2171 807 77 149 186
Triplo 2168 779 71 161 172
Rata-rata 2172 790 72 157 178
Standar Deviasi 3,741657 12,192894 3,741657 5,656854 5,887840
pH
Pengulangan (s)
3,3 4,3 5,3 6,3
Simplo 688 253 227 515
Duplo 691 254 226 511
Triplo 691 252 225 513
Rata-rata 690 253 226 513
Standar Deviasi 1,414214 0,816497 0,816497 1,632993
79
Lampiran 14. Perhitungan laju reaksi enzim diastase
1. Konsentrasi substrat 0,5%
V = 𝑆
𝑡
= 0,5 𝑔𝑟
36 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡
= 0,014 gr /menit
2. Konsentrasi substrat 0,75%
V = 𝑆
𝑡
= 0,75 𝑔𝑟
13 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡
= 0,058 gr /menit
3. Konsentrasi substrat 1%
V = 𝑆
𝑡
= 1 𝑔𝑟
1 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡
= 1 gr /menit
4. Konsentrasi substrat 1,25%
V = 𝑆
𝑡
= 1,25 𝑔𝑟
2 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡
= 0,625 gr /menit
5. Konsentrasi substrat 1,5%
V = 𝑆
𝑡
= 1,5 𝑔𝑟
3 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡
= 0.5 gr /menit
80
Lampiran 15. Instruksi penggunaan tes kit
1. Siapkan sampel madu yang akan diuji, air hangat dalam wadah dan stopwatch
2. Isi botol uji (botol 1) dengan madu sebanyak 0,5 cm dari dasar tabung
3. Tuangkan seluruh larutan pada botol 2 sampai habis ke dalam botol 1 yang telah
terisi madu
4. Kocok botol 1 dengan cara mengoyang-goyangkan botol hingga madu larut dan
tidak ada yang mengendap
5. Kemudian botol 1 direndam pada wadah yang berisi air hangat (40℃) selama 30
menit
6. Setelah 30 menit angkat botol dan teteskan dengan 2 tetes larutan pada botol 3
7. Setelah penetesan larutan botol 3, segera setel perhitungan waktu pada stopwatch
8. Botol 1 kembali digoyangkan (dikocok)
9. Catat durasi waktu yang dibutuhkan untuk perubahan warna
dari biru pekat menjadi warna awal larutan madu (cokelat keruh)
Kesimpulan:
Jika waktu berubahnya larutan dari warna biru tua ke cokelat keruh membutuhkan
waktu:
1. Diatas (lebih dari) 10 menit = Sampel madu memiliki aktivitas enzim diastase
dibawah 1 DN
2. Kisaran 2,5 menit- 7 menit = Sampel madu memiliki aktivitas enzim diastase
antar 3,8-7 DN
3. Dibawah 1 menit = Sampel madu memiliki aktivitas enzim diastase diatas 8,7
DN
PENTING: Menurut SNI 3545:2013, madu yang baik memiliki aktivitas enzim
diastase minimal 3 DN
81
Lampiran 16. Formulir uji kelayakn tes kit
Formulir “Uji Kelayakan Calon Tes Kit Pendeteksi Aktivitas
Enzim Diastase pada Madu”
Hari dan Tanggal Pengujian :
Nama :
Instruksi :
Baca terlebih dahulu instruksi penggunaan tes kit yang ada pada lembaran
lainnya dan anda diminta memberikan hasil pengujian yang anda lakukan dalam
bentuk durasi waktu (detik) berubahnya larutan dari warna biru pekat
menjadi coklat keruh (warna larutan madu).
Aspek Pengamatan Enzim
Diastase
Durasi Waktu (detik)
Sampel Madu
Komentar :………………………………………………………......................
………………………………………………………........................
………………………………………………………........................
Saran : ……………………………………………………….....................
………………………………………………………........................
………………………………………………………........................
Jakarta,…….Agustus 2020
Yang menyediakan Panelis
(Muhammad Syauqi) ( )
82
Lampiran 17. Surat undangan panelis
SURAT UNDANGAN PANELIS
Ciputat,…. Agustus 2020
Kepada Yth.
Panelis Uji Kelayakan Calon Tes Kit
……………………………..
Di Tempat
Assalamualaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah segala puji dan syukur kita haturkan kepada Allah SWT, atas
segala karunia dan rahmat-Nya yang senantiasa dilimpahkan kepada kita dan
teriring shalawat serta salam kita panjatkan kepada baginda kita Nabi Muhammad
SAW, keluarganya, sahabatnya, dan para penerusnya.
Sehubung dengan akan diadakannya “Uji Kelayakan Calon Tes Kit
Pendeteksi Aktivitas Enzim Diastase pada Madu” hasil penelitian Muhammad
Syauqi, mahasiswa Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang InsyaAllah akan dilaksanakan pada:
Hari, Tanggal : Kamis, 13 Agustus 2020
Waktu : 10.00 WIB-Selesai
Tempat : Ruang Laboratorium Kimia lantai 3
Pusat Laboratorium Terpadu UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
Maka saya selaku peneliti bermaksud mengundang saudara/i untuk dapat
berpartisipasi dalam kegiatan pengujian ini.
Demikianlah undangan ini dibuat. Atas perhatiannya saya haturkan terima
kasih.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Mengetahui, Hormat saya,
Dosen Pembimbing I Peneliti
Anna Muawanah, M.Si Muhammad Syauqi
NIP. 19740508 199903 2 002 11160960000072
83
Lampiran 18. Absensi uji kelayakan
84
Lampiran 19. Dokumentasi uji kelayakan
Top Related