NAFKAH ISTRI DALAM KASUS PERCERAIAN
QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA
(Analisis Putusan Nomor 2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd dan
Nomor 161/Pdt.G/2017/PTA.Smg)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
HALIMATUSA’ADAH
NIM: 11150440000100
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1441 H/2019 M
iv
ABSTRAK
Halimatusa’adah NIM 11150440000100. Nafkah Istri Dalam Kasus Perceraian
Qobla Dukhul Setelah Melakukan Zina (Analisis Putusan Nomor
2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd dan Nomor 161/Pdt/G/2017/PTA.Smg). program
Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 1440 H/2019 M. xiii + 87 halaman.+ 1
halaman lampiran.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui pandangan hukum Islam dan
hukum positif tentang talak raj’i, nafkah iddah, mut’ah, dan nafkah madhiyah
dalam kasus perceraian qobla dukhul pada putusan Nomor
2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd. Serta bertujuan untuk mengetahui pertimbangan
Majelis Hakim dalam memutuskan perkara Nomor 2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd/
dan Nomor 161/Pdt.G/2017/PTA.Smg. dalam menjatuhkan talak serta pemberian
nafkah dalam kasus perceraian qobla dukhul.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Sedangkan
pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan Normatif
Yuridis. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah dokumen putusan
perkara Nomor 2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd.dan perkara Nomor
161/Pdt.G/2017/PTA. Smg. Sedangkan data sekundernya (studi kepustakaan).
Teknik penulisannya berdasarkan buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Hasil penelitian ini memakai pendapat mazab Syafi’i mengenai makna
nikah secara hakiki yaitu akad sedangkan makna majazinya bersetubuh. Putusan
tingkat pertama tidak sesuai pada keputusannya merujuk sebagai pernikahan
ba’da dukhul. Sedangkan putusan tingkat banding telah sesuai yang keputusannya
merujuk sebagai pernikahan qobla dukhul. Karena walaupun keduanya sudah
bersetubuh namun belum terjadinya akad pernikahan yang sah, dan begitu juga
setelah menikah keduanya tidak berhubungan intim serta tidak tinggal bersama
dengan jangka waktu 2 tahun 5 bulan. Maka menurut KHI pasal 119 ayat 2 huruf
a istri yang dicerai qobla dukhul dijatuhkan talak bain sughra. Begitu juga tidak
diwajibkan iddah menurut PP No. 9 Tahun 1975 pasal 39 ayat 2. Serta pemberian
mut’ah berlaku bagi suami yang belum memberikan mahar. Menurut Jumhur
Ulama pemberian nafkah harus adanya syarat tamkin dari istri diantaranya yaitu
akad dan istri sudah digauli. Namun dalam penellitian ini istri yang tidak digauli
yaitu atas kehendak suami yang tidak mau menggaulinya, sehingga istri
dinyatakan tidak nuysuz dan berhak mendapakan nafkah.
Kata Kunci : qobla dukhul, nafkah, iddah, mut’ah, madhiyah.
Pembimbing : Rosdiana M.A.,
Daftar Pustaka : 1992-2019
v
KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Puji syukur kepada Allah Tuhan Seru Sekalian Alam. Tidak ada kata yang
pantas kecuali pujian yang terus dilafalkan oleh lisan dan tidak ada perbuatan baik
dan perbuatan ketaatan kecuali tertuju hanya kepada-Nya. Hanya Dia lah yang
pantas dipuji dan hanya Dia lah yang pantas disembah, kepada-Nya pula hamba
memohon pertolongan, sehingga penulisan karya ilmiah ini dapat diselesaikan
dengan baik.
Dalam proses penulisan skripsi ini, banyak hambatan, rintangan maupun
cobaan, tentunya ada peran berbagai pihak yang membantu secara langsung
maupun tidak langsung sehingga segala masalah dapat terselesaikan. Maka dari
itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih sedalam-
dalamnya kepada:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag, S.H, M.H, M.A., sebagai Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta beserta Wakil Dekan I, II, dan III Fakultas Syariah
dan Hukum.
2. Dr. Mesraini, M.Ag, sebagai Ketua Program Studi Hukum Keluarga
beserta Ahmad Chairul Hadi, M.A. Sekretaris Program Studi Hukum
Keluarga, yang terus mendukung dan memotivasi penulis untuk segera
menyelasaikan penyusunan skripsi ini.
3. Rosdiana, M.A. sebagai pembimbing skripsi penulis, yang telah sabar dan
terus memberikan arahan untuk membimbing penulis dalam proses
penyusunan skripsi ini.
4. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis
selama duduk di bangku perkuliahan.
vi
5. Pimpinan dan seluruh karyawan Perpustakaan Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas untuk
meminjamkan buku kepada penulis sebagai referensi.
6. Teristimewa kepada kedua orang tua penulis ayahanda Madroji, ibunda
Ratna Wati dan kedua adikku Fahmi dan Ilham Yang selalu memberikan
dorongan, bimbingan, kasih sayang, dan doa tanpa kenal lelah dan bosan.
Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya
kepada mereka.
7. Sahabat-sahabatku tersayang, Devy, Hana, Desi, Novi, Dina, vio, Ladina,
Imamah, Dede, Iis, Aza, Ilham, Nabila, Rifqiyati, Refi, Myta, Angel, dan
seluruh semua teman-teman Hukum Keluarga 2015.
8. Teman-teman KKN Divergent 061 yang telah memberikan pengalaman
hidup yang tak akan penulis lupakan di Desa Sukasari, Rajeg, Tangerang.
9. Seseorang yang selalu setia menemani penulis dalam suka maupun duka,
yang selalu menjadi pendengar paling setia, motivator terhebat. Semoga
Allah melindungi dia selalu.
10. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, namun telah
memberikan kontribusi yang cukup besar dalam penyusunan skripsi ini.
Jakarta, 27 November 2019
Penulis,
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan
asing (terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman ini diperlukan terutama
bagi mereka yang dalam teks karya tulisnya ingin menggunakan beberapa istilah
Arab yang belum dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup masih
penggunaannya terbatas.
A. Padanan Aksara
Berikut ini adalah daftar akasara Arab dan padanannya dalam aksara Latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak Dilambangkan ا
B Be ب
T Te ت
Ts te dan es ث
J Je ج
H ha dengan garis bawah ح
Kh ka dan ha خ
D De د
Dz de dan zet ذ
R Er ر
Z Zet ز
viii
S Es س
Sy es dan ye ش
S es dengan garis bawah ص
D de dengan garis bawah ض
T te dengan garis bawah ط
Z zet dengan garis bawah ظ
‘ عkoma terbalik diatas hadap
kanan
Gh ge dan ha غ
F Ef ف
Q Qo ق
K Ka ك
L El ل
M Em م
N En ن
W We و
H Ha ه
Apostrop ‘ ء
Y Ya ي
ix
B. Vokal Pendek dan Vokal Panjang
Vokal Pendek Vokal Panjang
____ _ ____ = a اى = a
_____ ____= i يى = i
_____ ___ = u = u
C. Diftong dan Kata Sandang
Diftong Kata Sandang
al = (ال) ai = يأ
al-sh = (الش) aw = وأ
-wa al = (وال)
D. Tasydid (Syaddah)
Dalam alih aksara, syaddah atau tasydid dilambangkan dengan huruf,
yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini
tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya: al-Syuf’ah, tidak
ditulis asy-syuf’ah
E. Ta Marbutah
Jika ta marbutah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh
1) atau diikuti oleh kata sifat (na‟t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbûtah
tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah
tersebut diikuti dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihasarakan
menjadi huruf “t” (te) (lihat contoh 3).
x
Kata Arab Alih Aksara
Syarî’ah شريعة
al-syarî’ah al-islâmiyyah الشريعةالإسلامية
Muqâranat al-madzâhib نةالمذاهبمقار
Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih
aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia
Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar nama tersebut
berasal dari Bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn
al-Rânîrî.
Istilah keislaman (serapan): istilah keislaman ditulis dengan berpedoman
kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia, sebagai berikut contoh:
No Transliterasi Asal Dalam KBBI
1 Al-Qur’an Alquran
2 Al-Hadist Hadis
3 Sunnah Sunah
4 Nash Nas
5 Tafsir Tafsir
6 Fiqh Fikih
Dan lain-lain (lihat KBBI)
xii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................................... i
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ........................................................ ii
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................. iii
ABSTRAK ............................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................. v
PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................... vii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
A. Latar Belakang................................................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah ................................ 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................... 7
D. Metode Penelitian .............................................................................. 8
E. Teknik Penulisan ............................................................................... 9
F. Studi Review Terdahulu..................................................................... 9
G. Sistematika Penulisan ...................................................................... 12
BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG NIKAH, CERAI TALAK DAN
NAFKAH ............................................................................................. 14
A. Pengertian Nikah Menurut Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi’i ....... 14
B. Cerai Talak ...................................................................................... 16
1. Pengertian Cerai Talak ............................................................... 16
2. Dasar Hukum Talak ................................................................... 18
3. Macam-Macam Talak ................................................................ 18
4. Akibat Putusnya Perkawinan ...................................................... 24
C. Nafkah Dalam Hukum Islam ............................................................ 25
1. Pengertian Nafkah ...................................................................... 25
2. Dasar Hukum Nafkah ................................................................. 26
3. Syarat-Syarat Menerima Nafkah ................................................ 27
4. Ketentuan Kadar Nafkah ............................................................ 28
5. Sebab-Sebab Yang Mewajibkan Nafkah..................................... 29
xiii
6. Nafkah dalam Hukum Positif Indonesia ..................................... 31
D. Hak-Hak Mantan Istri Akibat Cerai Talak ........................................ 32
1. Mut’ah ....................................................................................... 32
2. Nafkah Iddah ............................................................................. 36
3. Nafkah Madhiyah....................................................................... 46
BAB III STUDI PUTUSAN NOMOR 2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd DAN
NOMOR 161/Pdt.G/2017/PTA.Smg ................................................... 49
A. Perkara Pengadilan Agama Mungkid Putusan Nomor
2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd................................................................ 49
1. Duduk Perkara ........................................................................... 49
2. Pertimbangan Hakim .................................................................. 50
3. Amar Putusan ............................................................................ 54
B. Perkara Pengadilan Tinggi Agama Semarang Putusan Nomor
161/Pdt.G/2017/PTA.Smg ............................................................... 55
1. Duduk Perkara ........................................................................... 55
2. Pertimbangan Hakim .................................................................. 57
3. Amar Putusan ............................................................................ 61
BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TENTANG
NAFKAH DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL
SETELAH MELAKUKAN ZINA ...................................................... 63
A. Analisis Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Nomor
2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd................................................................ 63
B. Analisis Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Nomor
161/Pdt.G/2017/PTA.Smg ............................................................... 75
BAB V PENUTUP ............................................................................................ 79
A. Kesimpulan .................................................................................... 79
B. Saran .............................................................................................. 80
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 82
LAMPIRAN .......................................................................................................... 88
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Allah SWT telah menciptakan makhluk manusia yaitu laki-laki dan
perempuan untuk berpasang-pasangan yang mempunyai daya tarik satu sama
lainnya untuk hidup bersama. Manusia mempunyai kebutuhan yakni
kebutuhan primer dan sekunder, diantara kebutuhan primer atau pokok adalah
kebutuhan seksual yang menjadi naluri manusia.1Maka bagaimana cara
mengatasi dari kebutuhan pokok tersebut agar tidak menyimpang, tidak
disalahgunakan dan tidak pula mendatangkan mudhorat sehingga dijauhkan
dari sesuatu yang di haramkan yaitu berzina. Islam memberikan solusi untuk
memenuhi kebutuhan seksual dengan jalan yang halal yaitu perkawinan.
Namun, apabila tidak mempunyai kemampuan untuk menikah dan tidak bisa
menahan nafsu syahwatnya maka ia harus berpuasa dan mendekatkan diri
kepada Allah, agar mempunyai daya mental dalam menghadapi kemungkinan-
kemungkinan yang di haramkan untuk berzina.2
Pernikahan bukanlah ikatan yang bersifat sementara waktu yang hanya
untuk kesenangan dan status semata, akan tetapi sesuatu yang semestinya
berjalan seumur hidup untuk menegakan agama dan meningkatkan ketaqwaan
kepada Allah SWT.3 perkawinan mempunyai tujuan yang bersifat jangka
panjang sebagaimana keinginan dari manusia itu sendiri yakni sakinah,
mawadah, warahmah yang di definisikan bahwa keluarga memiliki rasa
tenang dan tetram yang di dalamnya terdapat rasa cinta dan kasih sayang yang
berkaitan dengan hal-hal yang bersifat jasmani dan rohani.4
1 Agus Hermanto, Larangan Perkawinan, (Yogyakarta: Lintang Rasi Aksara Books,
2016), h.1. 2 Putri Permata Ramaningsih, Sistem Pemberian Nafkah (Studi Masyarakat di Kecamatan
Sooko Kabupaten Mojokerto), (Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2018), h. 1. 3 Elie Mulyadi, Buku Pintar Membina Rumah Tangga yang Sakinah, Mawwadah,
Warahmah
Bimbingan Mamah Dedeh, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010), h. 253. 4 Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia,
(Jakarta: Kencana, 2017), h. 262.
2
Perkawinan telah diatur di dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan pasal 1 ayat 2 “Ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang
bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa.5 Begitu juga
terdapat di dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 2 yaitu “akad yang sangat
kuat (mitsaqan ghalidhzan) untuk mentaati perintah Allah, dan
melaksanakannya merupakan ibadah”.6
Agama menetapkan setelah berlangsungnya akad nikah dengan rukun
dan syarat yang sah, maka timbulah akibat hukum dan menimbulkan pula hak
dan kewajiban. Maksud dari hak dan kewajiban adalah apa-apa yang harus
diterima oleh seseoang dari orang lain yang mempunyai tanggung jawab.7
Maka untuk tercapainya sebuah tujuan perkawinan maka suami istri
mempunyai hak dan kewajiban secara bersamaan, diantaranya yaitu adalah
suami istri dihalalkan untuk saling bergaul mengadakan hubungan intim
karena perbuatan tersebut merupakan kebutuhan bersama suami istri yang
dihalalkan secara timbal balik, dan tidak boleh dilakukan tidak secara
bersamaan atau hanya sepihak saja. Kemudian suami istri memikul kewajiban
yang luhur untuk menegakan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan
warahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.8
Setalah adanya hak dan kewajiban bersama, masing-masing suami istri
mempunyai hak dan kewajiban terutama seorang suami yang menjadi peran
penting di dalam sebuah keluarga, karena suami memiliki derajat lebih tinggi
dari pada istri yaitu sebagai pemimpin rumah tangga.9 Suami yang menjadi
pemimpin rumah tangga akan lebih besar tanggung jawabnya yang
5 Tim Redaksi Bi, Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: BIP Kelompok Gramedia,
2017), h. 2. 6 Tim Redaksi Nuansa, Kompilasi Hukum Islam (KHI), (Bandung: CV. Nuansa Aulia,
2015, Cet.6), h. 7 Kamar Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan,( Jakarta: Bulan bintang,)
h.27. 8 Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 155-157. 9 Zaitunah Subhan, Al-Qur’an & Perempuan Menuju Kesehatan Gender dalam
Penafsiran), (Jakarta: Kencana, 2015, Cet. 1), h.102.
3
merupakan hak bagi istri yakni kewajiban yang bersifat materi dan non
materi.10
Adapun kewajiban suami yang besifat materi disebut nafkah. Maka
nafkah yang dimaksud adalah mencukupkan kebutuhan istri berupa makanan,
tempat tinggal, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya, karena nafkah merupakan
jaminan hidup bagi seorang istri setelah ia lepas dari tanggungjawab wali atau
kelaurganya.11
. Namun suami memberikan nafkah kepada istrinya sesuai
dengan kemampuan suami yaitu tidak ada ketentuan kadar tertentu.
Setelah adanya kewajiban suami yang menjadi hak istri maka ada pula
kewajiban istri yang menjadi hak suami, namun ada perbedaan bahwa istri
tidak wajib menanggung nafkah tetapi hanya berkewajiban bersifat non materi
saja, sebagimana terdapat di dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 83.12
Namun, berbeda bagi pernikahan yang hanya dipandang status semata
saja, yang mana pasangan tersebut sudah menjadi suami istri tidak
melaksanakan hak dan kewajiban yang telah diatur hukum Islam, seperti
suami istri setelah menikah tidak berhubungan intim atau suami tidak
memberikan nafkah. Maka pernikahan tersebut akan menimbulkan ketidak
sempurnaan, dan begitu juga tujuan dari pernikahan sudah tidak tercapai
sehingga akan mengakibatkan perceraian. Maka apabila diantara salah satu
pihak tidak mendapatkan hak-haknya dikarenakan tidak terlaksananya
kewajiban maka salah satu yang dirugikan bisa mengajukan gugatan ke
pengadilan.13
`
Masalah perceraian telah diatur dalam Hukum Indonesia UU No. 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yaitu pada pasal 38, bahwa perkawinan
dapat putus karena : kematian, perceraian, dan atas keputusan pengadilan.
Selanjutnya pada pasal 39 bahwa perceraian dapat dilakukan di depan sidang
setelah pengadilan sudah berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua
10 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007),
Cet. 2, h. 160. 11 Zubair Ahmad, Relasi Suami Istri Dalam Islam, (Jakarta: Pusat Studi Wanita Uin
Syarif Hidayatullah, 2004), h. 61. 12
Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (Kencana, Jakarta, 2003), h. 164. 13 Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), h 157.
4
belah pihak. Ketentuan yang mengatur tentang perceraian di atur dalam pasal
41 (c) UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan bahwa pengadilan dapat
mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan
menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.14
Bekas istri yang ditalak raj’i dalam perkara cerai talak maka suami
berkewajiban memberikan nafkah, yang harus diberikan kepada bekas istrinya
yakni nafkah iddah dan mut’ah.15
Istri juga boleh mengajukan gugatan kepada
bekas suaminya mengenai nafkah yang tidak pernah diberikan pada masa
pernikahan. Karena nafkah tersebut tidak akan gugur dan menjadi hutang.16
Apabila istri yang dicerai qobla dukhul maka talak yang dijatuhkan
adalah talak bain sugra, dan istri juga berhak mendapatkan mut’ah karena
pada saat akad pernikahan suami belum memberikan mahar. Dan begitu juga
istri tidak perlu menjalankan masa iddah. karena suami istri yang tidak
berhubungan intim istri dinyatakan telah bersih rahimnya sehingga tidak perlu
ditakutkan sedang mengandung.17
Namun di dalam putusan Pengadilan Agama Mungkid Nomor.
2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd dalam kasus perceraian qobla dukhul yang di dalam
pernikahannya tersebut bahwsanya sudah melakukan perbuatan zina namun
setelah menikah keduanya tidak melakukan hubungan intim layaknya suami
istri. Maka dengan ini Hakim memberikan keputusannya dengan menjatuhkan
talak raj’i dan memberikan nafkah iddah dan mut’ah serta nafkah yang tidak
pernah diberikan selama pernikahan dengan jangka waktu 2 tahun 5 bulan
dinyatakan obscuur libel. Oleh karena itu, menjadi suatu hal yang sangat
menarik untuk diteliti dalam bentuk skripsi dengan judul “Nafkah Istri Dalam
14 Redaksi New Merah, Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, (Yogyakarta:
New Merah Putih (Anggota Ikapi, 2009, Cet. 1), h. 25-26. 15 Burhanutut Dyana, Hak-hak Istri Pasca Cerai Talak Raj’i (Analisis Perbandingan
Antara Putusan Pengadilan Agama Tuban Nomor 1781/Pdt.G/2014/PA.Tbn dengan Putusan
Pengadilan Agama Bojonegoro Nomor 154/Pdt.G/2014/PA.Bjn), (Jakarta: Uin Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2015), h. 4. 16 Proyek Pembinaan prasarjana dan sarana perguruan tinggi agama /IAIN di Jakarta,
Ilmu Figih Jilid II Cet ke 2, (Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam,
1984/1985),h. 192. 17 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 42.
5
Kasus Perceraian Qobla Dukhul Setelah Melakukan Zina (Analisis Putusan
Nomor 2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd dan Nomor 161/Pdt/G/2017/PTA.Smg).”
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
a. Apa pengertian nikah menurut mazhab Syafi’i dan mazhab Hanafi?
b. Apa yang dimaksud dengan cerai talak ?
c. Apa saja macam-macam talak?
d. Apakah istri yang ditalak dan dijatuhkan qobla dukhul berhak
mendapakan nafkah?
e. Apakah istri yang ditalak dan dijatuhkan qobla dukhul berhak
mendapakan mut’ah ?
f. Bagaimana ketentuan UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
dan Kompilasi Hukum Islam tentang iddah bagi pernikahan qobla
dukhul ?
g. Apa yang menjadi perbedaan pendapat, hakim tingkat pertama dan
hakim tingkat banding dalam memutuskan suatu perkara ?
h. Bagaimana pertimbangan Majelis Hakim dalam memutuskan perkara
cerai talak Nomor 2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd/ dan Nomor
161/Pdt.G/2017/PTA.Smg. dalam pemberian nafkah dalam kasus
perceraian qobla dukhul setelah melakukan zina?
i. Bagaimana pandangan hukum Islam dan hukum positif di Indonesia
terhadap perkara Nomor 2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd dalam menjatuhkan
talak raj’i dan memberikan nafkah iddah, mut’ah, serta tidak
memberikan nafkah madhiyah dalam kasus perceraian qobla dukhul
setelah melakukan zina?
2. Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini,
penulis membatasi masalah yang akan dibahas sehingga pembahasannya
lebih jelas dan terarah sesuai dengan yang diharapkan penulis. Disini
6
penulis akan membahas dalam kasus perceraian qobla dukhul setelah
melakukan zina, mengenai talak yang dijatuhkan yaitu talak raj’i, dan
mengenai pemberian nafkah iddah, mut’ah dan tidak diberikannya nafkah
madhiyah yang terdapat pada putusan Pengadilan Agama Mungkid Nomor
2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd.
3. Rumusan Masalah
Di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
dalam pasal 34 ayat 1 suami wajib memberikan segala sesuatu keperluan
hidup berumah tangga. Kompilasi Hukum Islam pasal 119 ayat 2 huruf a
istri yang dicerai qobla dukhul dijatuhkan talak bain sughra. Dan tidak
adanya masa iddah yang ditetapkan di dalam UU No. 1 Tahun 1974 tetang
perkawinan pasal 11 yang diatur di dalam PP No. 9 Tahun 1975 pasal 39
ayat 2. Pemberian Mut’ah berlaku bagi suami yang belum menyebutkan
mahar pada saat akad nikah. Sedangkan di dalam perkara Nomor
2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd dalam kasus perceraian qoblal dukhul setelah
melakukan zina, istri dijatuhkan talak raj’i, diberikan nafkah iddah, dan
mut’ah dengan alasan talak raj’i tersebut. serta istri setalah menikah tidak
diberikan tempat tinggal dan nafkah namun dikatakan obscuur libel.
Maka permasalahan dalam penelitian ini yang perlu dikaji adalah
berkisar sebagai berikut :
1. Bagaimana pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara Cerai
Talak dalam putusan Nomor 2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd/ dan Nomor
161/Pdt.G/2017/PTA.Smg. dalam memberikan nafkah dalam kasus
perceraian qobla dukhul setelah melakukan zina?
2. Bagaimana pandangan hukum Islam dan hukum positif di Indonesia
terhadap perkara Cerai Talak dalam putusan Nomor
2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd dalam menjatuhkan talak raj’i dan
memberikan nafkah iddah, mut’ah, serta tidak memberikan nafkah
madhiyah dalam kasus perceraian qobla dukhul setelah melakukan
zina?
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ialah pernyataan mengenai apa yang hendak
penulis capai, dengan maksud agar penulis maupun orang lain yang
membaca penelitian tersebut dapat mengetahui maksud apa tujuan
penelitian itu sesungguhnya.18
Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah :
1. Untuk mengetahui dan menjelaskan pertimbangan Hakim dalam
memutuskan perkara Cerai Talak dalam putusan Nomor
2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd/ dan Nomor 161/Pdt.G/2017/PTA.Smg.
dalam memberikan nafkah dalam kasus perceraian qobla dukhul setelah
melakukan zina.
2. Untuk mengetahui dan menjelaskan menurut pandangan hukum Islam
dan hukum positif di Indonesia terhadap perkara Cerai Talak pada
putusan Nomor 2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd dalam menjatuhkan talak
raj’i dan memberikan nafkah iddah, mut’ah, serta tidak memberikan
nafkah madhiyah dalam kasus perceraian qobla dukhul setelah
melakukan zina?
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
1) Secara akademis, dapat memberikan sumber reverensi pembelajaran
bagi mahasiswa pada umumnya dan khususnya bagi mahasiswa bagian
hukum keluarga islam.
2) Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran mengenai hukum penikahan menurut imam Syafi’i dan imam
Hanafi serta pemberian nafkah menurut hukum Islam dan hukum positif
khususnya bagi istri yang diceraikan qobla dukhul yang sudah didahului
berzina.
18
Husaini Usman, Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: PT
Bumi Aksara, 2008, Cet.1), h. 30.
8
3) Secara praktis, penelitian ini diharapkan untuk bisa menjadi
pembelajaran serta pertimbangan yang baik bagi seseorang yang mau
melakukan perbuatan zina. Penelitian ini juga diharapkan agar suami
istri lebih mengetahui apa saja yang menjadi hak dan kewajiban dalam
sebuah perkawinan, khususnya bagi suami yang yang mempunyai
kewajiban bersifat materi untuk menafkahkan keluarganya. Dan
diharapkan juga mampu menambah pengembangan keilmuan hakim
dalam memutus perkara terutama dalam perkara cerai talak pada kasus
perceraian qobla dukhul yang sudah di dahului berzina.
D. Metode Penelitian
Metode penelitian ialah suatu proses untuk mendalami sebuah
petunjuk yang terdapat dalam penelitian19
. Maka penulis menggunakan
metode sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan
Jenis penelitian yang digunakan penulis adalah jenis penelitian
kualitatif yang memusatkan perhatian pada prinsip umum yang mendasari
perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia.
Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan normatif
yuridis.
2. Sumber data penelitian
a. Data primer
Sumber data primer dalam penelitian ini adalah berupa putusan
Pengadilan Agama Mungkid dengan perkara Cerai Talak Nomor
2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd dan Nomor 161/Pdt.G/2017/PTA.Smg
melalui Direktori Putusan Mahkamah Agung.
b. Data sekunder
Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh dengan
mengadakan studi kepustakaan berupa dokumen-dokumen yang
19
Husaini Usman, Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: PT
Bumi Aksara, 2008, Cet.1), h. 41.
9
berhubungan dengan permasalahan tersebut seperti dari Al-Qur’an,
Hadits, Undang-undang, Kompilasi hukum Islam, buku-buku, serta
bentuk referensi baik jurnal, artikel, maupun karya tulis lainnya yang
relavan.
3. Teknik Pengumpulan Data
1. Study dokumentasi yaitu penulis memfokuskan untuk dapat mengkaji
tentang berbagai dokumen dan berkas yang mengatur tentang
pemeriksaan putusan yang terkait masalah nafkah istri dalam kasus
perceraian qobla dukhul dalam putusan Nomor
2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd. dan Nomor 161/Pdt.G/2017/PTA.Smg.
2. Kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan mengumpulkan
data dan landasan teoritis dengan mempelajari buku-buku, jurnal
hukum dan artikel, serta sumber bacaan lainnya yang berhubungan
dengan permasalahan yang di teliti.
4. Teknik Analisis Data
Bahan-bahan hukum yang sudah dikumpulkan tersebut dianalisis
dengan berpedoman pada metode kualitatif, yaitu suatu cara penelitian
yang menghasilkan informasi deskriptif analisis dan terkumpul untuk
mendapatkan kebenaran atau mengurai fakta dan berakhir pada suatu
kesimpulan dan saran. Selain itu penulis menggunakan cara berpikir
deduktif yang menarik kesimpulan yang berangkat dari hal-hal yang
bersifat umum menuju hal-hal yang bersifat khusus.
E. Teknik Penulisan
Teknik penulisan skripsi ini menggunakan buku “Pedoman Penulisan
Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun
2017”.
F. Study Review Terdahulu
Dalam melakukan penulisan skripsi ini, penulis telah menemukan
beberapa skripsi yang berhubungan dengan penelitian yang akan penulis teliti.
Berikut skripsi-skripsi yang penulis temukan :
10
Fani Yulianti Fauziah (082321006) “Tinjauan hukum Islam mengenai
gugatan terhadap nafkah lampau anak yang dilalaikan ayahnya (studi
putusan mahkamah agung RI Nomor 608K/AG/2003) skripsi tahun 2015.20
Dalam skripsi ini pokok pembahasannya adalah tentang gugatan terhadap
nafkah lampau anak yang di lalaikan ayahnya ditolak, dengan alasan pendapat
mazhab Hanafi dan para fuqaha bahwasanya nafkah yang diberikan ayah
kepada anaknya merupakan lil intifa’ untuk memenuhi kebutuhan sehingga
jika lewat masanya nafkah tersebut menjadi gugur, yang kemudian pada
skripsi tersebut menggunakan pendapat mazhab Syafi’iyyah yang menjelaskan
mengenai kata lil intifa dapat dikecualikan ketika ditentukan hakim atau
mendapat izin untuk berhutang. Sebab, sang ayah sengaja melalaikan
kewajibannya memberikan nafkah kepada anaknya.
Sedangkan penulis membahas nafkah lampau istri karena suami
melalaikan kewajibannya secara materi. namun majelis tingkat pertama
menolak gugatan nafkah lampau tersebut karena dinyatakan obscuur libel.
namun, disini penulis bertolak belakang dengan adanya obscuur libel yang
kemudian melakukan penelitiannya yaitu membahas mengenai pertimbangan
hakim serta hukum Islam tentang dan hukum positif tentang kewajiban
seorang suami.
Rika Nur Fajriani “Tinjaun hukum Islam tentang pemberian mut’ah
kepada istri qobla dukhul (analisis putusan pengadilan agama kudus
no.535/Pdt.G/2007/PA.Kds) thesis tahun 2010.21
Yang sama dengan skripsi
yang penulis tulis adalah sama-sama membahas tentang pemberian mut’ah
kepada istri yang dicerai qobla dukhul, namun perbedaannya penelitian
tersebut membahas tentang dasar hukum pertimbangan majelis hakim yaitu
surat Al Baqarah ayat 241 yang menjelaskan tidak ada batasan-batasan
mengenai syarat yang harus dipenuhi apabila seorang istri menerima mut’ah.
20 Fani Yulianti Fauziah, Tinjauan hukum islam mengenai gugatan terhadap nafkah
lampau anak yang dilalaikan ayahnya (studi putusan mahkamah agung RI Nomor
608K/AG/2003), skripsi, Purwokerto, institut agama islam negeri purwokerto, 2015. 21 Fajriani, Rika nur, Tinjaun hukum islam tentang pemberian mut’ah kepada istri qobla
dukhul (analisis putusan pengadilan agama kudus no.535/Pdt.G/2007/PA.Kds), thesis, semarang,
institut agama islam walisongo, 2010.
11
Dan juga merujuk kepada surat Al-Ahzab ayat 49, surat Al Ahzab ayat 28
selain itu juga merujuk dengan pendapat imam Abu Hanifah tentang hukum
pemberian mut’ah yang digolongkan menjadi tiga bagian salah satunya
sunnah muakkad, dan hakim juga berprinsip maslahah tahsiniyah yang
merupakan adat kebiasaan yang baik sehingga pemberian mut’ah termasuk
layak dan pantas untuk dibenarkan.
Sedangkan penulis membahas mengenai istri yang dicerai qobla
dukhul setelah melakukan zina, yang mana majelis hakim tingkat pertama
memberikan mut’ah dengan merujuk surat Al Baqarah ayat 241 yang
dinyatakan telah sesuai dengan hukum Islam namun dalam pertimbangannya
hakim juga merujuk pada KHI pasal 149 huruf a serta pemberiannya karena
istri dijatuhkan talak raj’i karena melihat sebelum adanya pernikahan tersebut,
yang kemudian pernikahannya disamakan sebagai pernikahan ba’da dukhul.
Dengan itu maka penulis dalam penelitiannya melakukan analisis terhadap
kasus serta pertimbangan majelis hakim yang kemudian dihubungkan dengan
hukum islam dan hukum positif.
Alfina Sauqi Anwar (152121104) “ penetapan nafkah iddah terhadap
istri qabla ad-dukhul perspektif maslahah (studi kasus putusan mahkamah
agung nomor 561 K/Ag/2017) skripsi tahun 2019.22
Dalam skripsi ini sama-
sama membahas tentang kasus perceraian qobla dukhul yang diberikan nafkah
iddah namun perbedaannya adalah dilihat dari kasus yang berbeda penelitian
tersebut dalam kasus pemberian nafkah iddah bagi pereceraian qobla dukhul
dikarenakan bukan kemauan istri akan tetapi karena adanya penyakit yang di
derita istri, dan istri telah berusaha untuk melakukan pemeriksaan dan
pengobatan ke dokter kandungan dan psikolog, begitu juga suami istri telah
tinggal bersama dengan jangka waktu yang cukup panjang yaitu kurang kebih
15 tahun hingga diajukannya perceraian. Maka Majelis Hakim berijtihad
dengan melakukan pembaruan hukum islam berupa penafsiran progresif yang
22
Alfina Sauqi Anwar “ penetapan nafkah iddah terhadap istri qabla ad-dukhul
perspektif maslahah (studi kasus putusan mahkamah agung nomor 561 K/Ag/2017) skripsi,
surakrta, institut Agama Islam Negeri Surakarta, 2019.
12
bertujuan untuk mewujudkan keadilan substantif, mewujudkan kesetaraan
gender, dan mewujudkan maslahah bagi istri.
Sedangkan penulis membahas penelitian ini mengenai kasusnya
tentang pemberian nafkah iddah bagi pereceraian qobla dukhul, dikarenakan
bukan kemauan istri akan tetapi atas kemauan suami yang tidak mau
menggauli istrinya setelah menikah serta keduanya juga tidak tinggal bersama
dengan jangka waktu yang cukup panjang yaitu 2 tahun 5 bulan, namun
sebelum adanya pernikahan keduanya sudah melakukan zina. Dengan itu
hakim memberikan nafkah iddah dengan melihat sebelum adanya pernikahan
tersebut yang merujuk kepada kitab Syarqowi’Alat Tahrir Juz IV ; 349 yang
menjelaskan bahwasanya nafkah iddah wajib diberikan karena adanya maasa
iddah jika dalam talak raj’i, dan merujuk juga kepada Kompilasi Hukum Islam
pasal 149 huruf b. Maka dengan itu penulis dalam penelitiannya melakukan
analisis tentang kasus serta pertimbangan Majelis Hakim yang kemudian
dihubungkan dengan hukum Islam dan Undang-Undang mengenai istri yang
dicerai qobla dukhul setelah melakukan zina.
G. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh maka penulis
mencoba memaparkan sistematika penulisan sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini menguraikan mengenai latar belakang masalah,
identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, study
review, dan sistematika penulisan.
BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PERNIKAHAN, CERAI
TALAK DAN NAFKAH
Dalam bab kedua ini Menguraikan landasan teori mengenai
pernikahan, cerai talak, yang meliputi pengertian nikah,
pengertian cerai talak, dasar hukum talak, macam-macam talak,
13
akibat putusnya perkawinan. Dan juga menjelaskan tentang
nafkah yang meliputi, pengertian nafkah ,dasar hukum nafkah,
Syarat-Syarat Menerima Nafkah, Ketentuan Kadar Nafkah,
Sebab-Sebab yang Mewajibkan Nafkah. Serta hak-hak istri
akibat cerai talak diantaranya mut’ah, nafkah iddah dan nafkah
madhiyah.
BAB III STUDI PUTUSAN NOMOR 2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd
DAN NOMOR 161/Pdt.G/2017/PTA.Smg.
Dalam bab ketiga ini menguraikan pemaparan terhadap putusan
pengadilan yang diantaranya terdiri dari deskripsi tentang
duduk perkara, pertimbangan hakim, dan amar Putusan.
BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
TENTANG NAFKAH DALAM KASUS PERCERAIAN
QOBLA DUKHUL SETELAH MELAKUKAN ZINA
Dalam bab keempat ini menguraikan pembahasan inti dari
skripsi ini, yang membahas mengenai Analisis putusan No.
2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd dan No. 161/Pdt.G/2017/PTA.Smg
dan analisis menurut pandangan hukum Islam dan hukum
positif di Indonesia terhadap nafkah istri yang dicerai qobla
dukhul.
BAB V PENUTUP
Dalam bab kelima ini menguraikan bab akhir dalam penelitian
ini yaitu mengenai kesimpulan dan saran.
14
BAB II
KAJIAN TEORITIS TENTANG NIKAH, CERAI TALAK DAN NAFKAH
A. Pengertian Nikah Menurut Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi’i
Perkawinan disebut juga pernikahan yang berasal dari kata “nikah”
yang berarti al-jam’u dan al-dhamu, yang artinya (نكاح)
kumpul/mengumpulkan saling memasukan dan digunakan untuk arti
bersetubuh (wat’i).1 makna nikah (Zawaj) juga diartikan dengan aqdu al
tazwij yang artinya akad nikah. Juga bisa diartikan (wath’u al-zaujah)
bermakna menyetubuhi istri.2
Dan para ulama berbeda pendapat tentang makna asli dari nikah.
Apakah nikah tersebut makna aslinya adalah bersetubuh dan makna majazi
adalah akad ikatan, atau sebaliknya makna asli nikah adalah akad ikatan
sedangkan makna majazinya adalah bersetubuh.3 Pendapat pertama yakni
mazhab Hanafiyah mengatakan bahwa nikah menurut arti aslinya (hakiki)
adalah bersetubuh dan menurut arti majazi adalah akad.4 Pendapat kedua
yakni mazhab Syafi’iyah yang paling shahih mengenai pengertian nikah
secara syar’i adalah bahwa kata itu dari sisi denotatif /hakaki bermakna ‘akad’
sedangkan dari segi konotatif/majazi bermakna “hubungan intim”.5 Pendapat
ketiga menurut Abdul Qasim Azzajjad, Imam Yahya, Ibnu Hazm, dan
sebagian ahli ushul dari sahabat Abu Hanifah mengartikan nikah, bersyarikat
artinya antara akad dan setubuh.6
1 Mahmudin Bunyamin dan Agus Hermanto, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: CV
Pustaka Setia, 2017), hal. 1. 2 Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2009), h. 7. 3 Ahmad Sarwat,Ensiklopedia Fikih Indonesia 8: Pernikahan, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2019), h. 3. 4 Gus Arifin dan Sundus Wahidah, Fikih Wanita, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo,
2018), h. 552. 5 Wahbah Zuhaili, Al-fiqhu Asy-Syafi’I Al-Muyassar. Muhammad Afifi, Abdul Hafiz,
Fiqih Imam Syafi’i 2, (Jakarta: almahira, 2010), Cet. 1, h. 449-450. 6 ABD. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia,
(Jakarta: Kencana, 2017), h. 273.
15
Pengaruh perbedaan pendapat antara Syafi’iyah dan Hanafiyah dalam
masalah ini juga bisa dilihat dalam kasus laki-laki yang berzina dengan
wanita. Menurut Hanafiyah, wanita tersebut menjadi mahram bagi orang tua
maupun anak laki-laki tersebut. Ini berebeda dengan Syafi’iyah yang
berpendapat sebaliknya. Juga bisa dilihat dalam kasus orang yang menaklik
talak dengan nikah. Bagi Syafi’iyah, ‘nikah’ di sini diarahkan pada pengertian
‘akad’, bukan ‘hubungan intim’, kecuali bila memang dimaksudkan
demikian.7
Nikah secara syar’i adalah akad yang membolehkan hubungan intim
dengan menggunakan kata ‘menikahkan’, ‘mengawinkan’, atau terjemah
keduanya. Masyarakat arab menggunakan kata “nikah” untuk merujuk makna
“akad” dan “hubungan intim” sekaligus. Namun, jika orang Arab
mengucapkan, “Nakaha fulanun fulanata aw binta fulanin aw uktahu (Fulan
menikahi fulanah atau putri fulan atau saudara perempuannya)” maka yang
dimaksud ialah dia mengawini fulanah dan mengikat akad dengannya.
Sementara itu, jika orang arab mengatakan, “Nakaha Zawjatahu aw imra
atahu (“dia menikahi”istrinya), tidak lain yang dimaksud adalah berhubungan
‘intim dengan istri tersebut.8
Menurut pengertian ahli hadist dan ahli fiqh pernikahan (az-zawaj)
adalah perkawinan dalam arti hubungan yang terjalin antara suami istri dengan
ikatan hukum Islam, dengan memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun
pernikahan, seperti wali, mahar, dua orang saksi dan disahkan dengan ijab
qabul.9
Menurut UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dalam pasal 1
mengartikan perkawinan sebuah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.
7 Wahbah Zuhaili, Al-fiqhu Asy-Syafi’I Al-Muyassar. Muhammad Afifi, Abdul Hafiz,
Fiqih Imam Syafi’i 2, (Jakarta: almahira, 2010), Cet. 1, h. 450. 8 Wahbah Zuhaili, Al-fiqhu Asy-Syafi’I Al-Muyassar. Muhammad Afifi, Abdul Hafiz,
Fiqih Imam Syafi’i 2 , h. 449 9 Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga, (Jakarta: Amzah, 2012), Cetakan kedua, h. 1
16
Sedangkan perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
Inpres No. 1 Tahun 1991 mengartikan perkawinan adalah pernikahan, yaitu
akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghaliidhan untuk menaati perintah Allah
dan melaksanakan merupakan ibadah.
B. Cerai Talak
1. Pengertian Cerai Talak
Kata Thalaq (Talak) berasal dari kata bahasa arab: ithlaq, yang
berarti “melepaskan” atau meninggalkan”.10
Sedangkan menurut istilah
syarak, talak bermaksud meleraikan akad pernikahan atau perkawinan
dengan menggunakan lafaz talak atau perkataan-perkataan lain yang sama
maksud dengannya. Talak merupakan suatu perbuatan yang diharuskan
oleh Islam sebagai jalan terakhir terhadap penyelesaian suatu konflik
rumah tangga.11
Hakikat dari perceraian yang bernama talak yaitu melepaskan,
ikatan perkawinan, dengan adanya lafaz talak. Maksud dari kata-kata
tersebut. Pertama , “melepaskan” yakni talak itu melepaskan sesuatu yang
selama ini telah terikat, yaitu ikatan perkawinan. Kedua, “ikatan
perkawinan” yakni talak yang mengakhiri hubungan perkawinan antara
suami istri yang setelahnya menjadi haram. Ketiga, “dengan lafaz talak”
bahwa putusnya hubungan perkawinan antara suami istri dilakukan dengan
adanya ucapan Talak.12
Putusnya perkawinan yang dalam kitab fiqh disebut talak diatur
secara cermat dalam, PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelakasanaan UU No.
1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan juga secara panjang lebar diatur
dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 38 menjelaskan bentuk putusnya
10 Muhammad Bagir, Fiqih Praktis II, (Bandung: Karisma, 2008), h. 181. 11 Zani Nasohah, perceraian Hak Wanita Islam, (Kuala Lumpur: Ingin Tahu Agama,
2002), h. 14. 12
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 20017),
Cet. 2, h. 199.
17
perkawinan dengan rumusan: Perkawinan dapat putus karena: a. Kematian
b. perceraian dan c. atas keputusan pengadilan.
Pasal ini ditegakan lagi dengan bunyi yang sama dalam Kompilasi
Hukum Islam Pasal 113 dan kemudian diuraikan dalam pasal 114 dengan
rumusan: Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat
terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian.
Pengertian talak dalam pasal 114 ini dijelaskan Kompilasi Hukum
Islam dalam pasal 117. Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang
Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan
dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131.13
Salah satu asas perkawinan yang disyariatkan ialah perkawinan
untuk selama-lamanya yang diliputi oleh rasa kasih sayang dan saling
mencintai. Karena itu agama islam mengharamkan perkawinan yang
tujuannya untuk sementara, dalam waktu-waktu yang tertentu sekedar
untuk melepaskan hawa nafsu saja, seperti nikah mut’ah, nikah muhalil
dan sebagainya.
Dalam melaksanakan kehidupan suami istri kemungkinan terjadi
salah paham antara suami istri, salah seorang keduanya tidak
melaksanakan kewajiban, tidak saling percaya dan sebagainya. Dalam
keadaan tersebut maka harus segara diselesaikan sehingga hubungan
suami istri kembali menjadi lebih baik lagi. Namun adakalanya tidak dapat
didamaikan sehingga mendatangkan pertengkaran yang secara terus
menerus dan sudah tidak ada jalan keluar, maka dari perkawinan tersebut
akan mengakibatkan perceraian. Karena talak merupakan obat dan sebagai
jalan keluar bagi suatu kesulitan yang tidak dapat dipecahkan lagi seperti
istilahnya obat suatu penyakit parah yang tidak ada obatnya.14
13 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 20017),
Cet. pertama, h. 226-227. 14
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: PT Bulan
Bintang, 1987), Cet.ke 2, h. 157-158.
18
2. Dasar Hukum Talak
Adapun dalil tentang talak dapat dilihat dalam Q.S. Al Baqarah [2]
ayat 229 sebagai berikut :
ق مارتاان ان الطلا اك باعروف أاو تاسريح بإحسا فاإمسا
“Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik”
Lalu dijelaskan juga dalam Q.S. At-Talaq [65] ayat 1 sebagai berikut :
تن اءا فاطالقوهن لعد ا النب إذاا طالقتم النسا ياا أاي ها
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka
hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi)
iddahnya (yang wajar”.15
Dijelaskan juga di dalam hadits yang berbunyi :16
را عان ابن عما اللاه الطلآاق الا لال م أاب غاض الا .قاالا راسول الله ص: قاالا ض.ر وا
)ورجح ابوحاتم ارسا له, وصححه الاكم, رواه ابوداود وابن ماجه(
Dari Ibnu Umar, dia berkata, telah berkata Rasulullah saw
bersabda, “perbuatan halal yang dibenci oleh Allah ialah talak”.
Diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu Majah. “Dishahihkan oleh Hakim
dan rajihkan oleh Abu Hatim menganggap hadits ini mursal.
3. Macam-Macam Talak
Untuk mengetahui macam-macam talak, perlu diketahui lebih
dahulu dari segi untuk melihatnya :
a. Ditinjau dari segi sifatnya, talak dibagi menjadi dua, yaitu:
1) Talak Sunni, yaitu talak yang dijatuhkan sesuai dengan tuntutan
sunnah. Disebut talak sunni apabila memenuhi syarat-syarat
berikut :
a) Istri yang ditalak sudah pernah digauli.
15
Sudarto, Ilmu Fikih, (Yogyakarta: CV. Budi Utama, 2018), cet. pertama, h. 182. 16 Muhammad bin IsmalAmir, Subulussalam. (Kairo: Dar Al Hadits, 2007), Juz: 3, h. 227.
19
b) Istri dapat segera melakukan iddah suci setelah di talak, yaitu
dalam kedaan suci dan haidh. Menurut ulama Syafi’yah,
perhitungan iddah bagi wanita berhaidh ialah tiga kali suci,
bukan tiga kali haidh. Talak terhadap istri yang telah lepas
haidh (monopouse) atau belum pernah berhaidh, atau sedang
hamil, atau talak karena suami meminta tebusan yakni dalam
hal khulu’ atau ketika istri dalam haidh, semuanya tidak
termasuk talak sunni.
c) Talak dijatuhkan ketika istri dalam keadaan suci, baik di
permulaan, di pertengahan maupun di akhiri suci, sekalipun
beberapa saat setelah itu datang haid.
d) Suami tidak pernah menggauli istri selama masa suci ketika
talak dijatuhkan.17
Talak sunny dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam
pada pasal 121 yang berbunyi Talak sunny adalah talak yang
dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang
suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.18
2) Talak Bid’iy
Talak yang dijatuhkan oleh suami yang mana waktu itu si
istri sedang dalam haid atau dalam masa suci namun dalam waktu
itu telah dicampuri oleh suaminya. Talak dalam bentuk ini disebut
talak bid’iy, artinya talak yang pelaksanaannya menyimpang dari
sunnah Nabi. Hukumnya haram. Alasannya ialah dengan cara ini
perhitungan iddah istri menjadi memanjang, karena setelah terjatuh
talak belum langsung dihitung iddahnya.19
Talak bid’iy dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam
dalam pasal 122 yang berbunyi Talak bid’iy adalah talak yang
dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu istri dalam
17 Hotnidah Nasution, Relasi Suami Istri Dalam Islam, (Jakarta: Pusat Studi Wanita UIN
Syarif Hidayatullah, 2004), h. 28. 18
Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam. Pasal 121. 19 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 130.
20
keadaan haid atau istri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri
pada waktu suci tersebut.20
b. Dengan melihat kepada kemungkinan bolehnya si suami kembali
kepada mantan istrinya, thalaq itu ada dua macam :
1) Talak raj’i ialah talak yang dijatuhkan seorang suami kepada
istrinya, dan suaminya boleh mengadakan rujuk tanpa harus
melakukan pernikahan lagi, seperti talak satu dan talak dua, dengan
syarat masih dalam masa iddah istrinya.21
Hal ini sesuai dengan
Firman Allah SWT dalam Q.S. At Thalaq [65] ayat 1 sebagai
berikut :
ةا تن واأاحصوا العد اءا فاطالقوهن لعد ا النب إذاا طالقتم النسا واات قوا اللها رابكم ياا أاي ها“hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka
hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat
(menghadapi) iddahnya ( yang wajar) dan hitunglah waktu iddah
itu serta betakwalah kepada Allah Tuhanmu” .
Firman Allah SWT dalam Q.S. Al Baqarah [2] ayat 229 sebagai
berikut :
ق مارتاان ان الطلا اك باعروف أاو تاسريح بإحسا أخذوا ما فاإمسا ل لاكم أان ا والا يا
ا حدودا الله يئا إل أان يااافاا أال يقيما آت ايتموهن شا
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh
rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikannya dengan
cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu
dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau
keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum
Allah”.
Talak raj’i yang terdapat di dalam pasal 118 Kompilasi
Hukum Islam menjelaskan bahwa talak raj’i adalah talak kesatu
20 Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam. Pasal 122. 21
Muhammad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan, (Yogyakarta:
Darussalam, 2004) Cet. 1, h. 250.
21
atau kedua, dimana suami berhak rujuk selama istri dalam masa
iddah.22
2) Talak bain yaitu dimana seorang suami tidak lagi memiliki hak
untuk rujuk dengan istri yang ditalaknya.23
a) Talak bain sughra ialah putusnya tali perkawinan suami istri,
karenanya suami tidak boleh kembali begitu saja kepada
mantan istrinya, akan tetapi harus dengan akad nikah dan
mahar yang baru.24
Talak bain sughra yang terdapat di dalam pasal 119
Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa talak bain sughra
adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah
baru dengan bekas suaminya meskipun dalam masa iddah.
sedangkan maksud dari ayat 1 mengenai talak apa saja yang
termasuk sebagai talak bain sughra terdapat di dalam ayat
selanjutnya yaitu ayat 2 yaitu talak yang terjadi qobla dukhul,
talak dengan tebusan atau khulu dan talak yang dijatuhkan oleh
Pengadilan Agama25
Selain itu, ada beberapa hal lain yang mengakibatkan
suami kehilangan hak untuk ruju’ yang telah ditalaknya secara
langsung atau dalam istilah fiqih disebut ba’in shugra, yaitu :
(1) talak yang dilakukan sebelum istri digauli oleh suami.
Talak dalam bentuk ini tidak memerlukan iddah. oleh
karena tidak ada masa iddah, maka tidak ada kesempatan
untuk ruju’, sebab ruju’ hanya dilakukan dalam masa iddah.
hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al-
Ahzab [33] ayat 49 sebagai berikut:
22 Inpres No 1 Tahun1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam. Pasal 118. 23Abu Malik Kamal ibn as-Sayyid Salim, Fikih Sunnah Wanita, (Jakarta: Qisthi Press,
2013), h. 599. 24 Zaenal Arifin, Muh. Anshori, Fiqih Munakahat, (Yogyakarta: CV.Jaya Star Nine,
2019), h. 183. 25 Inpres, No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam. Pasal 119.
22
حتم المؤمنا ا الذينا آمانوا إذاا ناكا ات ث طالقتموهن من ق ابل أان ياا أاي ها
ا ون اها ة ت اعتاد ا لاكم عالايهن من عد وهن فاما تااس
“Hai orang-orang yang berfirman bila kamu
menikahi orang-orang perempuan beriman kemudian kamu
menthalaqnya sebelum sempat kamu gauli, maka tidak ada
iddah yang harus mereka lakukan”.
(2) talak yang dilakukan dengan cara tebusan dari pihak istri
atau yang disebut khulu. Hal ini dapat dipahami dari
isyarat. Firman Allah SWT dalam Q.S. Al-Baqarah [2] ayat
229 sebagai berikut :
ت به تادا ا اف ا فيما ا حدودا الله فالا جنااحا عالايهما فاإن خفتم أال يقيما
ا عاد حدودا الله فاأولائكا هم تلكا حدود الله فالا ت اعتادوها وامان ي ات ا
الظالمونا
“Jika kamu khawatir bahwa keduanya tidak akan
menegakan ketentuan Allah, maka tidak ada halangannya
begitu untuk memberikan uang tebusan. Demikianlah
ketentuan Allah, maka janganlah kamu melampauinya.
Barang siapa yang melampaui ketentuan Allah mereka
itulah orang yang aniaya”.26
(3) talak yang berlaku dibeberapa negara berpenduduk muslim
sebagai akibat putusan hakim yang menjatuhkan talak
disebabkan cacat tertentu pada diri suami, atau
keberadaanya jauh dari istri selama waktu tertentu, atau
karena suami menjalani hukuman di penjara ataupun demi
26
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 20017),
Cet. kedua, h. 221-222.
23
menghindari istri dari tindakan suami yang
membahayakan.27
b) Talak bain kubra yaitu talak tiga, baik sekali ucapan atau
berturut-turut.28
menghilangkan pemilikan bekas suami
terhadap bekas istri serta menghilangkan kehalalan bekas suami
untuk kawin kembali dengan bekas istrinya kecuali setelah
bekas istri itu kawin dengan laki-laki lain, secara wajar,
kemudian terjadi perceraian ba’da dukhul serta telah selesai
menjalani masa iddahnya.29
Hal ini sesuai dengan firman Allah
SWT dalam Q.S. Al-Baqarah [2] ayat 230 sebagai berikut :
راه ت انكحا زاوجا غاي ت ل لاه من ب اعد حا ا فالا تا ها ا فالا جناا فاإن طالقا ها حا فاإن طالقا
ا حدودا الله عاا إن ظانا أان يقيما رااجا ا أان ي ات ا عالايهما
“Jika kamu menthalaqnya (setelah dua kali thalaq),
maka tidak boleh lagi kamu nikahi kecuali setelah dia kawin
dengan laki-laki lain. Jika kemudian dia (suami kedua)
menthalaqnya tidak ada halangannya bagi keduanya untuk
(nikah) kembali. Jika keduanya berpendapat akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah”.
Dari ayat tersebut dapat dihubungkan dengan Kompilasi
Hukum Islam yang terdapat dalam pasal 120 tentang talak bain
kubra, yang menjelaskan bahwa talak bain kubra adalah talak
yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat
dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali kecuali apabila
pernikahan dilakukan dengan setelah bekas istri menikah
27 Quraish Shihab, Fiqih Praktis II: Menurut Al Qur’an, As-Sunnah, dan Pendapat Para
Ulama, (Bandung: Karisma, 2008), h. 208. 28 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 131. 29 Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN di Jakarta,
Ilmu Fiqih Jilid II, (Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1984/1985), h.
232.
24
dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da
dukhul dan habis masa iddahnya.30
c. Perceraian ditinjau dari segi cara suami menyampaikan talak terhadap
istrinya ada beberapa bentuk di antaranya :
1) talak dengan ucapan, yaitu talak yang disampaikan oleh suami
dengan ucapan lisan di hadapan istrinya dan istrinya mendengar
secara langsung ucapan suaminya itu.
2) talak dengan tulisan yaitu talak yang disampaikan oleh suami
secara tertulis lalu disampaikan kepada istrinya dan istri
memahami isi dan maksudnya.
3) talak dengan isyarat yaitu talak yang dilakukan suami yang
tunawicara dalam bentuk isyarat baginya sama dengan ucapan
yang dapat berbicara dalam menjatuhkan talak, sepanjang isyarat
itu jelas dan meyakinkan bermaksud talaknya.
4) talak dengan utusan yaitu talak yang disampaikan oleh suami
kepada istrinya melalui perantara orang lain sebagai utusan. Dalam
hal ini utusan berkedudukan sebagai wakil suami yang
menjatuhkan talak suami dan melaksanakannya talak itu.31
4. Akibat Putusnya Perkawinan
Di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
pasal 41 menguraikan tentang Akibat putusnya perkawinan karena
perceraian sebagai berikut :
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya, semata mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana
ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi
keputusannya;
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan bapak
dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut,
Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
30
Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam. Pasal 120. 31 Dahlan, Fikih Munakahat, (Yogyakarta: Deepublish, 2015), h. 117.
25
c. Pengadilan dapat mewajibkan, kepada bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas
istri.
Sedangkan berdasarkan pasal 149 Kompilasi Hukum Islam
mengenai akibat putusnya perkawinan tentang biaya penghidupan yang
terdapat di UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 41 ayat 3,
telah dijelaskan secara rinci diantaranya sebagai berikut :
a. Memberikan mut’ah (sesuatu) yang layak kepada bekas istrinya, baik
berupa atau benda, kecuali bekas istri qobla dukhul.
b. Memberi nafkah, maskan, dan kiswah (tempat tinggal dan pakaian)
kepada bekas istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri dijatuhi talak
bain atau nuysuz dan dalam keadaan tidak hamil.
c. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separuh apabila
qobla dukhul.
d. Memberikan biaya hadhanah (pemeliharaan anak) untuk anak yang
belum mencapai umur 21 tahun.32
C. Nafkah Dalam Hukum Islam
1. Pengertian Nafkah
Secara bahasa nafkah atau (النفقة) adalah ism al-masdar yang
berarti dan bentuk ,(pergi atau hilang) الذهاب dan (pengeluaran) الإخراج
jamaknya adalah نفقات dan نفاق. Adapun secara istilah adalah pengeluaran
yang biasanya dipergunakan oleh seseorang untuk sesuatu yang baik atau
dibelanjakan untuk orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya yang
meliputi kebutuhan makan, pakaian dan tempat tinggal.33
Nafkah merupakan kewajiban suami terhadap istrinya dalam
bentuk materi, karena kata nafkah itu sendiri berkonatasi materi.
32
Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam. Pasal 149. 33 Ulin Na’mah, Cerai Talak, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2015), Cet. 1, h. 14.
26
Sedangkan kewajiban dalam bentuk non materi, seperti memuaskan hajat
seksual istri tidak masuk dalam arti nafkah, meskipun dilakukan suami
terhadap istrinya. Suami adalah pencari rezeki yang telah diperolehnya itu
menjadi haknya secara penuh dan untuk selanjutnya suami berkedudukan
sebagai pemberi rezeki.
2. Dasar Hukum Nafkah
Di dalam Al-Qur’an, secara jelas ditemukan bahwa suami
berkewajiban memenuhi nafkah bagi istrinya, seperti firman Allah SWT
dalam Q.S. Al-Baqarah [2] ayat 233 sebagai berikut :
عروف ولود لاه رزق هن واكسوات هن بالما عالاى الما اوا لف ن افس الوسعاها لاتكا
“dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada
para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebeni melainkan
menurut kadar kesanggupannya”.
Dalam ayat tersebut dijelaskan oleh para ahli tafsir sebagai
kebutuhan makanan dan minuman (pangan) sementara kata kiswah
dipahami sebagai pakaian. Ayat lain yang menerangkan tentang kewajiban
suami terdapat dalam Q.S At-Thalaq [65] ayat 6 sebagai berikut :
قوا عالايهن اروهن لتضاي نتم من وجدكم والا تضا كا يث سا أاسكنوهن من حا
“tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat
tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan
mereka untuk menyimpitkan (hati) mereka”.34
Firman Allah SWT dalam Q.S. An-Nisa [4] ayat 34:
قوا من أامواالم لا الله ب اعضاهم عالاى ب اعض واباا أان فا اء باا فاض وامونا عالاى النسا ال ق ا الرجا
“kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh
karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas
34
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: PT Bulan
Bintang, 1987), Cet.ke 2, h. 130
27
sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah
menafkahkan sebahagian dari harta mereka”.35
Begitu juga terdapat di dalam hadis Nabi dari Muawiyah al-
Qusyairiy menurut riwayat Abu Daud.
يي قاالا اان عان معااوياة القشا ائناا ؟ :قاالا . أات ايت راسولا الله ص: وا ف اقلت ماا ن اقول ف نسا
رواه )والا تاضرب وهن والا ت قابحوهن , أاطعموهن ما تاأكلونا وااكسوهن ما تاكسونا :قاالا
.(أبوداود dan dari Mu’awiyah al-Qusyairi, ia berkata: aku pernah datang
kepada Rasulullah saw. Mu’awiyah berbata: lalu aku bertanya: apa yang
engkau perintahkan (ya Rasulullah) tentang isteri-isteri kami? Ia
bersabda: “Berilah mereka itu makan dari apa yang kamu makan, berilah
mereka itu pakaian dari apa yang kamu pakai, janganlah mereka itu kamu
pukul dan janganlah mereka itu kamu jelek-jelekan”. (HR. Abu Daud).36
Dari ayat-ayat dan hadits diatas dapat diambil kesimpulan bahwa
suami wajib memberikan makanan, pakaian dan tempat tinggal kepada
istrinya. Dan suami melaksanakan kewajiban itu sesuai dengan
kesanggupannya.37
3. Syarat-syarat Menerima Nafkah
Berdasarkan keterangan dan nash diatas maka syarat-syarat
menerima nafkah ialah:38
a. Telah terjadi akad yang sah antara suami dan istri. Bila akad nikah
mereka masih ragu-ragu atau tidak sesuai dengan rukun dan syarat,
maka istri belum berhak menerima nafkah dari suaminya.
b. Menyerahkan dirinya kepada suaminya.
35 Zubair Ahmad, Relasi Suami Istri Dalam Islam, (Jakarta: Pusat Studi Wanita UIN
Syarif Hidayatullah), h. 63. 36 Muammal Hamidy, Imron, Umar Fanany, Terjemah Nailul Authar Jilid 5, (Surabaya,
PT. Bina Ilmu),h. 2465. 37 Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN di Jakarta,
Ilmu Fiqih Jilid II, (Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1984/1985), h. 1
87. 38
Muslih Abdul Karim, Keistimewaan Nafkah Suami&kewajiban istri. Jakarta:
QultumMedia, 2007, Cet. Pertama, h. 59.
28
c. Suami dapat menggauli istrinya.
d. Istri tidak menolak untuk pindah rumah jika diajak suami
e. Suami dan istri sama-sama dapat saling menikmati.
4. Ketentuan Kadar Nafkah
Ketentuan kadar nafkah tidak diterangkan di dalam Al Qur’an dan
hadits tentang berapa ukuran maksimum dari nafkah yang harus diberikan
kepada istri. Namun hanya menerangkan secara umum saja, yaitu orang
yang kaya maka ia memberikan sesuai dengan kekayaannya, orang yang
sederhana dan miskin memberikan nafkah sesuai dengan kemampuannya
saja.39
Sebagian ulama berpendapat bahwa agama tidak menentukan
jumlah nafkah. Namun, suami wajib memberikan nafkah kepada istrinya
secukupnya yang meliputi makanan, serta segala kebutuhan yang
diperlukan sehari-hari dan sesuai dengan keadaan dan situasi setempat.
Golongan ini menetapkan jumlah nafkah bagi istri di tetapkan sesuai
dengan kemampuan suami, kaya atau miskin, bukan melihat bagaimana
keadaan istrinya. Allah SWT berfiman dalam Q.S. At-Talaq [65] ayat 7
sebagai berikut :
عاته عاة من سا لف الله ن افسا الله وامان قدرا عالايه رزقه ف الي نفق ما آتااه لي نفق ذو سا لا يكا
ا ا آتااها ياجعال الله ب اعدا عسر يسرا إل ما سا
“orang yang mampu hendaknya memberi nafkah menurut
kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah
memberi nafkah dari harta yang diberikan oleh Allah kepadannya, Allah
tidak akan memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa
yang Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”.40
39 Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: PT Bulan
Bintang, 1987), Cet.ke 2, h. 133. 40
Muslih Abdul Karim, Keistimewaan Nafkah Suami&Kewajiban Istri, (Jakarta: Qultum
Media, 2007), Cet. 1, h. 64.
29
Namun Para ulama berusaha memikirkan dan menetapkan jumlah
nafkah minimal yang wajib diberikan suami kepada istrinya. Mazhab
Maliki dan Hanafi berpendapat bahwa besarnya nafkah itu tidak
ditentukan berdasarkan ketentuan syara’, tetapi berdasarkan keadaan
masing-masing suami istri, dan ini akan berbeda berdasarkan perbedaan
tempat, waktu, dan keadaan. Imam Syafi’i berpendapat bahwa nafkah
(makan) itu ditentukan besarnya. Bila orang kaya = 2 mud, (1 mud = +/-
1,5 kg) orang yang sedang = 1,5 mud dan orang yang miskin = 1 mud.
Fuqaha/ulama Fiqh sependapat bahwa pemberian pakaian itu tidak ada
batasnya, sedang pemberian makanan itu ada batasnya.41
Namun tentu saja jumlah nafkah yang paling baik diberikan suami
kepada istri ialah jumlah yang sesuai dengan gambaran ayat Al-Qur’an
diatas.42
5. Sebab-Sebab Yang Mewajibkan Nafkah
Di dalam sebuah perkawinan tentu adanya suatu hak dan kewajiban
antara suami dan istri. Diantara kewajiban suami terhadap istri yang paling
pokok adalah memberi nafkah, baik berupa makanan, pakaian (kiswah),
maupun tempat tinggal bersama.43
Walaupun pada dasarnya suami wajib
memberi nafkah, namun tetap ada batasannya. Batasan itu terkait dengan
kapan kewajiban itu mulai berlaku dan kapan menjadi tidak berlaku.
Dalam hal ini pendapat para ulama terbagi menjadi tiga macam
pendapat. Ada yang mengatakan ketika terjadi istihqaq al-habs (akad),
yang lain mengatakan ketika terjadi tamkin, ada juga yang mengatakan
akad dan tamkin.
a. Akad
Kalau merujuk kepada makna secara bahasa, istihqaq al-habs
adalah keadaan di mana seseorang benar-benar menjadi tahanan atau
41 Gus Arifin, Menikah untuk Bahagia, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2013), Cet.
4, h. 124. 42 Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN di Jakarta,
Ilmu Fiqih Jilid II, (Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1984/1985), h.
190 43 M. Bagir Al-Habsyi, Fiqih Praktis, (Bandung: Mizan, 2002), h. 136.
30
dipenjara. Namun sebenarnya yang dimaksud bukan makna secara
bahasa,
Secara istilah, ungkapan istihqaq al-habs sendiri maksudnya
bahwa akad nikah telah benar-benar terjadi secara sah. Dan ini untuk
membedakannya dengan yang batil. Maka pendapat yang pertama ini
mengatakan bahwa kewajiban memberi nafkah sudah langsung berlaku
tepat ketika akad nikah yaitu ijab kabul telah dilaksanakan.44
Hal tersebut menurut golongan Zhahiriyah sependapat bahwa
kewajiban nafkah dimulai semenjak akad nikah, bukan dari tamkin,
baik istri yang telah melangsungkan akad nikah itu memberi
kesempatan kepada suaminnya untuk digauli atau tidak, sudah dewasa
atau masih kecil, secara fisik maupun melayani kebutuhan seksual
suaminya atau tidak, sudah janda atau masih perawan.
Dasar pemikiran golongan ini ialah ayat-ayat Al-Qur’an
maupun hadis Nabi yang mewajibkan suami membayar nafkah tidak
menetapkan waktu. Dengan begitu bila seseorang telah menjadi suami,
yaitu dengan berlangsungnya akad nikah, maka ia telah wajib
membayar nafkah tanpa melihat kepada keadaan istri. Inilah tuntutan
zahir dari dalil yang mewajibkan nafkah.45
b. Tamkin
Jumhur ulama termasuk ulama Syiah Imamiyah berpendapat
bahwa nafkah itu mulai diwajibkan semenjak dimulainya kehidupan
rumah tangga, yaitu semenjak suami telah bergaul dengan istrinya,
dalam arti isti telah memberikan kemungkinan kepada suaminya untuk
menggaulinya, yang dalam fikih disebut tamkin. Dengan semata
terjadinya akad nikah belum ada kewajiban membayar nafkah.
Berdasarkan pendapat ini bila setelah berlangsungnya akad nikah istri
44 Ahmad Sarwat, Ensiklopedia Fikih Indonesia 8: Pernikahan, (Jakarta: Gremedia
Pustaka Utama 2019), h. 191. 45
Amir Syarifuddin, Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana20017), Cet kedua, h. 168.
31
belum melakukan tamkin, karena keadaanya ia belum berhak
menerima nafkah.46
c. Akad dan Tamkin
Dan pendapat ketiga adalah pendapat mazhab Asy-Syafi’iyah
versi qaul qadim. Pendapat ini menggabungkan antara akad dan tamkin
secara bersamaan. Pembagiannya bahwa kewajiban nafkah mulai
berlaku kewajibannya ketika akad nikah, namun implementasinya
dihitung sejak tamkin.47
6. Nafkah Dalam Hukum Positif Indonesia
Di dalam Hukum Positif Indonesia yaitu Undang-Undang No. 1
Pasal 1974 Tentang Perkawinan mengenai kewajiban suami yang
dijelaskan secara umum di dalam pasal 34 yaitu :
1. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya
2. istri wajib mengatur urusan berumah tangga sebaik-baiknya.
3. Namun apabila diantara keduanya yaitu Jika suami atau istri
melalaikan kewajibannya masing-masing maka salah satu yang tidak
mendapatkan haknya dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.
Terdapat juga di dalam Kompilasi Hukum Islam di Bagian Ketiga
Tentang Kewajiban Suami pasal 80 yang menjelaskan bahwasanya Suami
adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya, akan tetapi
mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan
oleh suami istri bersama. Suami wajib melindungi istrinya dan
memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai
dengan kemampuannya. Suami wajib memberikan pendidikan agama
kepada istrinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang
berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa. Suami juga
46 Amir Syarifuddin, Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 20017), Cet kedua. 168. 47
Ahmad Sarwat, Ensiklopedia Fikih Indonesia 8: Pernikahan, (Jakarta: Gremedia
Pustaka Utama, 2019), h. 193.
32
berkewajiban dapat memberikan nafkah kepada keluarganya Sesuai
dengan penghasilannya suami. Maksud nafkah tersebut yakni adalah :
a. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri.
b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri
dan anak.
c. Biaya pendidikan bagi anak.
Namun, Kewajiban suami terhadap istrinya seperti di atas tersebut
mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari istrinya. Apabila istri
tersebut dinyatakan nuysuz maka suami tidak diwajibkan untuk
memberikan nafkah.
C. Hak-Hak Mantan Istri Akibat Cerai Talak
1. Pengertian Mut’ah
Kata Mut’ah berasal dari kata mata’ dalam bahasa Arab yang
berarti segala suatu yang dapat dinikmati dan dimanfaatkan, misalnya
makanan, pakaian, perabot rumah tangga, dan sebagainya. Kemudian,
dalam istilah fiqih dimaksudkan sebagai suatu pemberian dari suami
kepada istri akibat terjadinya perceraian, sebagai “penghibur” atau “ganti
rugi”.48
Dalam hukum positif arti mut’ah dijelaskan dalam Kompilasi
Hukum Islam pasal 1 huruf (j), yang berbunyi “ Mut’ah adalah pemberian
bekas suami kepada istri, yang dijatuhi talak berupa benda atau uang dan
lainnya”.49
Para ulama memahami bahwa yang dimaksud dengan mut’ah suatu
pemberian sukarela dari seorang suami kepada mantan istrinya yang belum
digauli, sebagai penghibur atau kebaikan yang pernah diterimanya dari
istrinya itu. Akan tetapi, bila melihat makna kata mut’ah sendiri yang
mengandung arti manfaat dan kebaikan yang dirasakan dalam waktu yang
48
Muhammad Bagir, Fiqih Praktis II, (Bandung: karisma, 2008), h. 230. 49 Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam. Pasal 1.
33
panjang, maka pada dasarnya mut’ah adalah suatu pemberian yang dapat
dirasakan manfaatnya bagi istri untuk jangka waktu yang lama.
Namun menurut Zamaksyari bahwa kewajiban memberikan mut’ah
tidak hanya berlaku kepada perempuan yang ditalak yang belum digauli
tetapi berlaku untuk seluruh wanita yang ditalak dengan keadaan masing-
masing. Hal tersebut zamaksyari menafsirkan bahwa ayat 241 Surah Al
Baqarah berlaku secara umum.50
2. Dasar Hukum Mut’ah
Mut’ah hukumnya adalah wajib diterima oleh setiap istri yang
ditalak menurut pendapat yang paling shahih dari para ulama karena
keumuman Firman Allah SWT dalam surat Al Baqarah [2] ayat 241
sebagai berikut:
عروف للمطالقاات ماتااع بالما ا عالاى وا ق المتقيا حا
“kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh
suaminya) mut’ah menurut yang ma’ruf, sebagai suatu kewajiban bagi
orang-orang yang bertakwa”.
Dan juga dalam Q.S. Al Baqarah [2] ayat 236 sebagai berikut :
عروف ره ماتااعا بالما ره واعالاى المقت قادا عوهن عالاى الموسع قادا مات ا عالاى المحسنيا وا ق حا
“dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada
mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang
miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang
patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang
berbuat kebajikan”.51
Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 158 bahwa mut’ah wajib
diberikan oleh bekas suami dengan syarat:
a. Belum ditetapkan mahar bagi istri ba’da dukhul
50 Zubair Ahmad, Relasi Suami Istri dalam Islam, ( Jakarta: Pusat Studi Wanita UIN
Syarif Hidayatullah, 2004), h. 76-77. 51
Abu Malik Kamal ibn as-Sayyid salim, Fikih Sunnah Wanita, (Jakarta: Qisthi Press,
2013), h. 605.
34
b. Perceraian itu atas kehendak suami.52
3. Hukum Pemberian Mut’ah
c. Pemberian Mut’ah untuk istri Qobla Dukhul
Para ulama sepakat mewajibkan memberikan mut’ah kepada
istri yang diceraikan sebelum berlangsung hubungan intim dengannya
yakni qobla dukhul sementara jumlah maharnya belum ditetapkan
sebelum itu. Firman Allah SWT dalam Q.S. Al-Baqarah [2] ayat 236
sebagai berikut :
ة ن فاريضا وهن أاو ت افرضوا لا ا لا تااس اءا ما عوهن لا جنااحا عالايكم إن طالقتم النسا مات وا
عروف ره ماتااعا بالما عالاى المقت قادا ره وا قا عالاى المحسنيا عالاى الموسع قادا حا
“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika
kamu menceraikan istri-istri kamu sebelum kamu bercampur dengan
mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah
kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. orang yang
mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut
kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. yang
demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat
kebajikan”.
Akan tetapi, jika besarnya mahar telah ditetapkan sebelumnya
(misalnya pada waktu akad nikah) lalu si suami menceraikannya
sebelum “menyentuh” (yakni sebelum berlangsungnya hubungan
intim) maka suami hanya wajib memberinya setengah dari jumlah
mahar yang telah ditentukan itu. Firman Allah SWT dalam Q.S. Al-
Baqarah [2] ayat 237 sebagai berikut :
راضتم إل أا ا ف ا ة فانصف ما ن فاريضا قاد ف اراضتم لا وهن وا إن طالقتموهن من ق ابل أان تااس ن وا
اح ة النكا ي اعفونا أاو ي اعفوا الذي بياده عقدا
52
Abdul Gani Abdulullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum
Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), Cet pertama, h. 124
35
“Jika kamu menceraikannya istri-istrimu sebelum kamu
bercampur dengan mereka, sedangkan kamu sudah menentukan
maharnya, maka bayarlah kepada mereka seperdua dari mahar yang
telah kamu tentukan itu. Kecuali jika istri-istrimu itu memaafkan atau
dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah”.
d. Pemberian Mut’ah untuk Istri Ba’da Dukhul
Bagi istri dicerai suaminya ba’da dukhul (yakni setelah di
campuri) atau setelah berlangsung hubungan badan antara keduanya),
maka sebagian ulama seperti Abu Hanifah, Malik dan Ahmad bin
Hanbal (dalam salah satu dari dua pendapat yang diriwayatkan
darinya), juga imam Syafi’I (dalam mazhab qadim-nya, atau
pendapatnya yang lama) menyatakan bahwa pemberian mut’ah
baginya hanya berupa anjuran, sebagaimana mestinya dan istri telah
menerima maharnya secara sempurna.53
Di dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak
dijelaskan secara rinci tentang pemberian mut’ah namun hanya
dijelaskan secara umum saja di dalam bab tentang putusnya
perkawinan serta akibatnya yang menjelaskan bahwasanya pengadilan
mewajibkan kepada bekasi suami untuk membeikan biaya
penghidupan kepada bekas istrinya.
Sedangkan di dalam pasal 149 huruf a Kompilasi Hukum Islam
tentang akibat putusnya perkawinan terdapat penjelasan mengenai
pemberian mut’ah yaitu “Bilamana perkawinan putus karena talak,
maka bekas suami wajib memberikan mut’ah yang layak kepada bekas
istrinya, baik berupa uang, atau benda kecuali bekas istri tersebut
qobla dukhul”.54
Di dalam Kompilasi Hukum Islam dengan bab yang sama yaitu
tentang akibat putusnya perkawinan juga terdapat penjelasan secara
khusus tentang mut’ah yang terdapat di dalam pasal 158 yang
dijelaskan mut’ah wajib diberikan oleh suami dengan syarat belum
53
Muhammad Bagir, Fiqih Praktis II, (Bandung: karisma, 2008), h. 230-231. 54 Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam. Pasal 149.
36
ditetapkan mahar bagi istri ba’da dukhul, dan terjadinya perceraian
yang dilakukan dari kehendak suami. Pada pasal selanjutnya yaitu
pasal 159 menjelaskan bahwasanya pemberian mut’ah yang terdapat di
pasal 158 tersebut sunnah untuk diberikan kepada bekas istrinya tanpa
syarat. Kemudian pada pasal 160 menjelaskan tentang pemberian
mut’ah dapat diberikan sesuai dengan kepatutan dan kemampuan
suami.
D. Iddah
1. Pengertian Iddah
Menurut bahasa, iddah diambil dari kata ‘adad yang dalam kamus
Al-Munawwir berarti hitungan. Kata iddah dalam bahasa Arab berasal dari
kata kata ‘adda - ya’uddu – ‘iddatan dan jamaknya ‘iddad yang artinya
menghitung atau hitungan. Jadi, kata iddah yang artinya ialah hitungan
yang dipakai untuk menunjukkan pengertian hari-hari haid atau hari suci
pada wanita.55
Sedangkan menurut terminologi, para ahli fikih telah merumuskan
tentang definisi iddah diantaranya :
Menurut Al Jaziri iddah secara syar’i yaitu masa tunggu seorang
perempuan yang tidak hanya didasarkan pada masa haid atau sucinya,
tetapi kadang-kadang juga didasarkan ditandai dengan melahirkan, dan
selama masa tersebut perempuan dilarang untuk menikah dengan laki-laki
lain.
Sayid Sabiq menjelaskan bahwa iddah merupakan masa lamanya
perempuan (istri) menunggu dan tidak boleh kawin setelah kematian
suaminya atau setelah bercerai dengan suaminya.56
Zainuddin Abd Al Aziz Al-Malibari mengemukakan bahwa iddah
adalah masa penantian perempuan untuk mengetahui apakah kandungan
55 Zaenal Arifin, Muh. Anshori, Fiqih Munakahat, (Yogyakarta: CV.Jaya Star Nine,
2019), h. 214. 56
Muhammad Isna Wahyudi, Fiqih Iddah Klasik dan Kontemporer,( Yogyakarta:
Pustaka Pesantren, 2009), Cet pertama, h. 75.
37
istri bebas dari kehamilan atau tujuan ibadah, atau untuk masa kekagetan
(penyesuaian) karena baru ditinggal mati oleh suami. Akan tetapi, menurut
tujuan syariat yang asli, iddah memang digunakan untuk menjaga
keturunan dari percampuran dengan benih lain. Dalam definisi ini,
Zainudin Al Malibari menambahkan unsur ibadah sebagai alasan hukum
iddah.57
Maka dari beberapa definisi yang telah dikemukakan menurut para
ahli fiqih dapat disimpulkan bahwa iddah adalah masa yang harus
ditunggu oleh seorang perempuan yang setelah kematian suami atau putus
perkawinan baik berdasarkan masa haid atau suci, bilangan bulan atau
dengan melahirkan untuk mengetahui kesucian rahim, atau beribadah
(ta’abud) maupun bela sungkawa atas kematian suaminya. Selama masa
tersebut perempuan (istri) dilarang menikah dengan laki-laki lain.58
2. Dasar Hukum Iddah
Para ulama telah sepakat bahwa iddah adalah wajib bagi wanita
yang ditinggal mati oleh suaminya atau yang diceraikan dengan suaminya.
Adapun yang menjadi dasar hukumnya yaitu :
Firman Allah SWT dalam Q.S. Al-Baqarah [2] ayat 228 sebagai berikut :
ثاةا ق روء رابصنا بأان فسهن ثالا ات ي ات ا لاقا الله ف واالمطالقا ا خا ن أان ياكتمنا ما ل لا والا يا
وم الخر امهن إن كن ي ؤمن بالله واالي ا لكا إن أاراادوا أارحا هن ف ذا ق براد واب عولات هن أاحا
حا عروف إصلا ن مثل الذي عالايهن بالما ة والا ال عالايهن داراجا واالله عازيز واللرجا
كيم حا
“wanita-wanita yang ditalak henda klah menahan diri (menunggu)
tiga kali quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan
Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari
akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti
57 Titik Hamida, Fiqih Perempuan Berwawasan Keadilan Gender, (Malang: UIN Maliki
Press, 2011), h. 130.
58
Zaenal Arifin, Muh. Anshori, Fiqih Munakahat, (Yogyakarta: CV.Jaya Star Nine,
2019), h. 215.
38
itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita
mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
ma’ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan dari
pada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”
3. Macam-Macam Iddah
Putusnya perkawinan dapat dibedakan karena kematian suami dan
talak. Sedangkan kondisi istri dapat dibedakan menjadi istri yang sudah
dicampuri atau belum, istri yang masih mengalami haid atau belum (atau
bahkan sudah menopause), dan istri dalam keadaan hamil atau tidak.
Berikut ini akan dijelaskan berbagai macam iddah sebagai berikut.59
a. Iddah istri karena kematian suami.
Iddah perempuan yang ditinggal mati suaminya itu tidak dalam
keadaan hamil. Maka masa iddahnya empat bulan sepuluh hari, baik
dia telah melakukan hubungan intim dengan suaminya yang telah
meninggal maupun belum. Allah SWT berfirman dalam Q.S. Al-
Baqarah [2] ayat 234 sebagai berikut :60
رابصنا بأان فسهن أارب اعاةا أا رونا أازوااجا ي ات ا واف ونا منكم واياذا شهر واعاشراواالذينا ي ت ا
“dan orang yang meninggal dunia di antara kamu yang
meninggalkan istri-istri hendaklah mereka (istri-istri) menunggu
empat bulan sepuluh hari”.
b. perempuan yang belum digauli oleh suaminya.
Jika istri belum disetubuhi kemudian dicerai maka ia tidak
memiliki iddah. hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam Q.S. Al-
Ahzab [33] ayat 49 sebagai berikut:61
ا لا وهن فاما حتم المؤمناات ث طالقتموهن من ق ابل أان تااس ا الذينا آمانوا إذاا ناكا كم ياا أاي ها
اعالايه ون اها ة ت اعتاد ن من عد
59 Muhammad Isna Wahyudi, Fiqih Iddah Klasik dan Kontemporer,(Yogyakarta: Pustaka
Pesantren, 2009), Cet pertama, h. 89. 60
Abd al-Qadir Manshur, Fikih Wanita, (Jakarta, Zaman, 2009), Cet pertama, h. 132. 61 Ali Yusuf As-Subki, Fikih Keluarga, (Jakarta: Amzah, 2010), Cet. 1, h. 357.
39
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi
perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan
mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib
atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya”.
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa bagi istri tersebut
tidak ada iddah, artinya bahwa istri tersebut setelah putus perkawinan
dihalalkan mengikatkan perkawinan dengan laki-laki lain. Dan bagi
suami yang mentalaknya memberikan mut’ah bagi istri tersebut.62
Istri yang ditinggal mati suaminya meski belum pernah
melakukan hubungan intim (bersenggama) dengan suaminya tersebut,
ia harus beriddah, seperti iddahnya orang yang sudah pernah
bersanggama dengan suaminya yaitu empat bulan sepuluh hari.63
c. Iddah perempuan yang sedang hamil.
Iddah perempuan yang sedang hamil maka iddahnya adalah
sampai ia melahirkan kandungannya. Ketetapan ini berdasarkan firman
Allah SWT dalam Q.S. At-Talaq [65] ayat 4 sebagai berikut :64
لاهن عنا حا لهن أان ياضا ت الاحاال أاجا وامان ي اتق اللها ياعال لاه من أامره يسرا واأولا
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka
itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa
yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya
kemudahan dalam urusannya”.
Imam Ahmad meriwayatkan dari al Musawwir subai’ah al-
Aslamiyah ditinggal mati oleh suaminya padahal dia sedang hamil.
Beberapa malam kemudian dia melahirkan. Setelah selesai menjalani
masa nifasnya dilamar orang. Dia meminta izin terlebih dahulu kepada
Rasulullah saw. Untuk menikah lagi, maka beliau mengizinkannya,
62 Zaenal Arifin, Muh. Anshori, Fiqih Munakahat, (Yogayakarta: CV.Jaya Star Nine,
2019), h.. 218. 63 Abdul Qadir, Keluarga Sakinah, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995), Cet pertama, h. 339. 64
Zaenal Arifin, Muh. Anshori, Fiqih Munakahat, (Yogyakarta: CV.Jaya Star Nine,
2019), h. 219.
40
dan dia pun menikah”. (hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan
Muslim dalam shahihnya.)65
d. Iddah Perempuan yang berhaid
Bagi istri yang masih haid ,masa iddahnya ialah tiga kali quru’,
berdasarkan firman Allah Swt dalam Q.S. Al-Baqarah [2] ayat 228
sebagai berikut :
ثاةا ق روء رابصنا بأان فسهن ثالا ات ي ات ا ل لا واالمطالقا لاقا الله ف والا يا ا خا ن أان ياكتمنا ما
وم الخر امهن إن كن ي ؤمن بالله واالي ا أارحا
Wanita yang ditalak, hendaklah menahan diri (beriddah) tiga
kali quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang dijadikan
Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari
akhir”
“Quru” adalah kalimat musytarak, berarti “haidh” dan “suci”.
Karena itu para ahli fiqh berbeda pendapat dalam mengartikan “quru”
dalam ayat di atas.
Menurut pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Hambali
“quru” berarti “haidh”. Selanjutnya dinyatakan bahwa istri yang
ditalak dalam keadaan suci yang belum dicampuri, kemudian beriddah
tiga kali haidh. Maka iddahnya habis pada habisnya haidh yang ketiga,
jadi masa iddahnya lebih kurang tiga bulan. Apabila istri ditalak pada
waktu haidh, maka masa iddahnya ialah setelah habis masa haidh
keempat, karena haidh yang pertama tidak termasuk ke dalam haidh
yang dihitung.
Menurut pendapat Imam Syafi’i dan Imam Malik bahwa arti
“quru” ialah “suci”. Masa iddahnya menurut mereka ialah tiga kali
65
Muhammad Nasib ar-Riyadh, Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu
Katsir/Muhammad Nasib ar-Riyadh, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), h. 738.
41
suci, yang dihitung mulai waktu suci yang belum dicampuri. Menurut
pendapat ini masa iddah itu lebih kurang selama dua bulan.66
e. Iddah perempuan yang sudah tidak haid.
Seorang perempuan yang sudah tua dan sudah menupause
(darah haidnya sudah berhenti) maka masa iddahnya selama tiga bulan.
Masalah ini di kalangan ulama fiqih tidak ada perbedaan pendapat, dan
berlandaskan pada firman Allah SWT dalam Q.S. At-Talaq [65] ayat 4
sebagai berikut :
ح ئي يائسنا منا الما واالل ئي لا ثاة أاشهر واالل ت هن ثالا ائكم إن ارت ابتم فاعد يض من نسا
ضنا يا
“wanita-wanita tua yang sudah tidak haid lagi di antara perempuan-
perempuan kamu, jika kamu ragu maka masa iddah mereka tiga bulan,
demikian juga perempuan-perempuan yang belum haid dari kecilnya”
Pada umumnya perempuan yang sudah masuk usia menapuse
atau berhenti dari haid adalah berkisar berusia 45-46 tahun. Namun
menurut Ibnu Taimiyah, tiap-tiap orang berbeda-beda umurnya dalam
memasuki usia menopause.67
4. Hak Istri Dalam Masa Iddah
Istri yang telah bercerai dari suaminya masih mendapatkan hak-hak
dari mantan suaminya selama berada dalam masa iddah, karena dalam
masa itu dia tidak boleh melangsungkan perkawinan dengan laki-laki lain.
Bentuk yang diterima tidak tergantung pada lama masa iddah yang
dijalaninya, tetapi tergantung pada bentuk perceraian yang dialaminya.68
Adapun hak-hak mereka itu adalah sebagai berikut:
66 Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: PT. Bulan
Bintang, 1987), h. 232. 67 Mohammad Asmawi, Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan, (Yogyakarta:
Darussalam, 2004), Cet pertama, h. 270. 68 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 144.
42
a. Sependapat para ahli fiqih bahwa bekas istri dalam masa iddah talak
raj’i atau dalam keadaan hamil baik dalam masa iddah talak raj’i atau
talak bain, berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal dari
suaminya. 69
b. Istri yang dicerai dalam bentuk talak bain, baik bain sugra atau bain
kubra, dia berhak atas tempat tinggal, bila ia tidak dalam keadaan
hamil.
c. Istri yang ditinggal mati oleh suaminya. Hal yang disepakati ialah
bahwa ia berhak mendapatkan tempat tinggal selama dalam iddah,
karena ia harus menjalani masa iddah di rumah suaminya dan tidak
dapat kawin selama masa itu.70
Di dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak
dijelaskan secara rinci tentang pemberian nafkah iddah namun hanya
dijelaskan secara umum saja di dalam bab tentang putusnya perkawinan
serta akibatnya yang menjelaskan bahwasanya pengadilan mewajibkan
kepada bekasi suami untuk membeikan biaya penghidupan kepada bekas
istrinya.
Sedangkan di dalam pasal 149 huruf b Kompilasi Hukum Islam
tentang akibat putusnya perkawinan terdapat penjelasan mengenai
pemberian nafkah dalam masa iddah, yang menjelaskan bilamana
perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib memberi nafkah,
maskan dan kiswah kepada bekas istri selama dalam iddah, kecuali istri
telah dijatuhi talak bain atau nuysuz dalam keadaan tidak hamil. Kemudian
dijelaskan juga pada pasal 152 mengenai nafkah iddah bahwasanya berhak
bagi istri yang sedang menjalani masa iddah kecuali istri tersebut
dinyatakan nuysuz.
69 Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: PT. Bulan
Bintang, 1987), h. 235. 70 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 144.
43
5. Ketentuan Iddah Dalam UU Perkawinan
Mengenai Masa tunggu telah diterapkan di dalam UU No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan pada pasal 11 sebagai berikut:
1) Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu
tunggu.
2) Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur
dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut.
Dalam PP No. 9 Tahun 1975 tentang masa tunggu telah diuraikan
secara rinci dan jelas yang terdapat di dalam pasal 39 sebagai penjelasan
dari UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawina pasal 11 sebagai berikut :
1) Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksudkan dalam pasal 11
ayat (2) undang-undang ditentukan sebagai berikut:
a. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu di
tetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari.
b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi
yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan
sekurang-kurangnya 90 (Sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak
berdatang bulan ditetapkan 90 (Sembilan pulu) hari.
c. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan
hamil, waktu tunggu dtetapkan sampai melahirkan.
2) Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena
perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya belum
pernah terjadi hubungan kelamin.
3) Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu
tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum yang tepat, sedangkan bagi perkawinan yang putus
karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian
suami.71
71 Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2016), h. 173-174.
44
6. Ketentuan Iddah Dalam Kompilasi Hukum Islam
Dalam Kompilasi Hukum Islam juga menjelaskan secara khusus di
dalam bab akibat putusnya perkawinan mengenai masa iddah atau waktu
tunggu yang dijelaskan secara rinci dan jelas di dalam pasal 153 s/d pasal
155.
1) Bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu
atau iddah, kecuali qobla dukhul dan perkawinannya putus bukan
karena kematian suami.
2) Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut:
a. Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qobla
dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari.
b. Apabila perkawinan putus karena perceraian waktu tunggu bagi
yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-
kurangnya 90 (Sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid
ditetapkan 90 (Sembilan puluh) hari.
c. Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut
dalam keadaan hamil,waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan
d. Apabila perkawinan putus karena kematian sedang janda tersebut
dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
3) Tidak ada waktu bagi yang putus perkawinan karena perceraian sedang
antara janda tersebut dengan bekas suaminya qobla dukhul.
4) Bagi perkawinan yang putus perkawinan karena perceraian, tenggang
waktu tunggu terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama
yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap sedangkan bagi
perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu
dihitung sejak kematian suami.
5) Waktu tunggu bagi istri yang pernah haid sedang pada waktu
menjalani iddah tidak haid karena menyusui, maka iddahnya tiga kali
suci.
45
6) Dalam hal keadaan pada ayat 5 bukan karena menyusui, maka
iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam satu tahun tersebut
ia berhaid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali waktu suci.
Pada pasal selanjutnya yaitu pasal 154 menjelaskan bahwasanya
apabila istri dijatuhkan talak raj’i kemudian dalam waktu iddah
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) huruf b, ayat (5) dan ayat (6)
pasal 153 ditinggal mati oleh suaminya, maka iddahnya berubah menjadi
empat bulan sepuluh hari terhitung saat matinya bekas suaminya.
Kemudian pada pasal 155 juga menjelaskan bahwasanya waktu
iddah bagi janda yang putus perkawinannya karena khulu, fasakh, berlaku
untuk iddah talak.72
7. Hikmah Iddah
Iddah disyariatkan berdasarkan makna dan hikmah-hikmah yang
telah dipertimbangkan oleh syariat, diantaranya adalah:
1) Untuk mengetahui kebersihan rahim, dan agar tidak bercampur air
mani dari dua orang laki-laki atau lebih di dalam satu rahim, sehingga
nasab menjadi tercampur baur, dan menyebabkan terjadinya
kerusakan.
2) Untuk mengagungkan sebuah pernikahan, mengangkat derajatnya, dan
menunjakan kehormatannya.73
3) Memberikan masa rujuk yang cukup panjang bagi suami yang
menceraikan dengan maksud memberikan kesempatan kepada suami
istri untuk kembali kepada kehidupan rumah tangga, apabila keduanya
masih melihat adanya kebaikan di dalam hal itu.74
72 Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2016), h. 174-175. 73 Abu Malik Kamal ibn Sayyid Salim, Fikih Sunnah Wanita (Jakarta: Qisthi Press2013),
h. 607. 74
Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar,
2007), Cet.24, h. 449.
46
E. Nafkah Madhiyah
1. Pengertian Nafkah Madhiyah
Nafkah madhiyah terdiri dari dua kata yaitu nafkah dan madhiyah.
nafkah berarti belanja dan madhiyah berasal dari kata isim madhi dalam
bahasa arab yang mempunyai arti lampau atau terdahulu. Nafkah
madhiyah merupakan nafkah yang tidak diberikan atau nafkah yang telah
lewat waktu yang tidak dibayar oleh suami kepada istrinya pada waktu
pernikahan.75
Apabila akad nikah telah sah, maka suami dan istri telah pula
terikat oleh ikatan perkawinan. Dengan adanya ikatan perkawinan itu
berarti istri telah terikat oleh kewajiban-kewajiban sebagai seorang istri
kepada suaminya, sehingga ia tidak dapat lagi mengerjakannya yang lain
untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Karena itu ia berhak memperoleh
nafkah dari suaminya.76
Nafkah yang wajib diberikan oleh suami kepada istrinya berupa
nafkah lahir dan batin. Nafkah tersebut wajib dilaksanakan dan menjadi
utang kalau tidak dilaksanakan dengan sengaja.
Utang nafkah batin hendaknya dibayar dengan jalan melakukan
perbaikan diri dan perbaikan sikap kepada istri, sehingga istri siap
memaafkan suaminya dan siap memberikan pelayanan kepada suaminya
dengan penuh keikhlasan dan kesungguhan. sedangkan nafkah lahir
adalah berupa pemberian biaya dan keperluan hidup yang wajar dalam
bentuk pangan, sandang, papan, kesehatan, dan lain-lain.
Kalau suami tidak memberikan nafkah lahir tersebut maka ia
berstatus sebagai seorang yang mempunyai utang kepada istrinya. Setiap
utang mesti dibayar, baik utang itu kepada istri, suami, anak-anak, maupun
75 Siti Zulaekah, Aanalisis Pelaksanaan Pemberian Nafkah Mantan Istri Akibat Cerai
Talak (studi Kasus di Pengadilan Agama Semarang Tahun 2015), (semarang, Universitas Islam
Negeri Walisongo Semarang, 2016),h. 54. 76
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: PT. Bulan
Bintang, 1987), h. 135.
47
kepada pihak lain. Utang tersebut baru menjadi bebas kalau dibebaskan
oleh yang bersangkutan (yang dihutangi).77
2. Dasar Hukum Nafkah Madhiyah
Nafkah adalah kewajiban suami yang harus dipikulnya terhadap
istrinya. Setiap kewajiban agama itu merupakan beban hukum sedangkan
prinsip pembebanan hukum itu tergantung kemampuan subjek hukum
untuk memikulknya.78
berdasarkan firman Allah SWT dalam Q.S. At-
Thalaq [65] ayat 7 sebagai berikut :
عاة م عاته لي نفق ذو سا لف الله وامان قدرا عالايه رزقه ف الي نفق ما آتااه الله ن سا لا يكا
ا ا آتااها ياجعال الله ب اعدا عسر يسرا ن افسا إل ما سا
“Hendaklah orang yang memberikan nafkah menurut
kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah
memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak
memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah
berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah
kesempitan”.
Ayat tersebut selain menerangkan tentang kewajiban memberi
nafkah, juga memberikan toleransi tentang jumlah nafkah sesuai dengan
kemampuan suami. Artinya, kalau suami pada suatu saat betul-betul tidak
mampu maka jumlah nafkah bisa berbeda dengan jumlah nafkah ketika
suami mempunyai banyak rezeki.
Kalau suami betul-betul tidak mampu memberikan rezeki maka
ujung ayat tadi memberikan jawaban bahwa Allah tidak memberikan
beban kepada seseorang kecuali sekedar dalam keadaan terpaksa. Akan
tetapi, kalau pada suatu saat ia memperoleh rezeki yang banyak maka ia
hendaklah memberi ganti nafkah tersebut secara pantas, adil dan
bijaksana.79
77 Miftah Faridh, Masalah Nikah Keluarga, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 83. 78 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 20017),
Cet kedua h. 172. 79 Miftah Faridh, Masalah Nikah Keluarga, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 83-84.
48
Hukum Positif di Indonesia tidak mengatur tentang nafkah
madhiyah namun hanya dijelaskan secara umum saja yang terdapat di
dalam sebuah perkawinan tentang kewajiaban suami pada pasal 80 ayat (4)
Kompilasi Hukum Islam jo. Pasal 34 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang perkawinan.
1. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
2. Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
3. Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat
mengajukan gugatan kepada pengadilan.80
80
Mardani, Hukum keluarga Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2016), Cet pertama,
h. 114.
49
BAB III
STUDI PUTUSAN NOMOR 2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd DAN
NOMOR 161/Pdt.G/2017/PTA.Smg.
A. Perkara Pengadilan Agama Mungkid Putusan Nomor
2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd
1. Duduk Perkara
Pemohon, umur 42 tahun, dan Termohon, umur 37 tahun sebagai
pasangan suami istri yang sah yang menikah pada tanggal 12 juni 2014.
Sebelum terjadinya pernikahan, Termohon masih mempunyai suami dan
pada saat itu Pemohon sering kali menggoda/merayu Termohon sehingga
keduanya suka sama suka dan kemudian apabila bertemu serta dalam
setiap pertemuan tersebut Pemohon sering kali mengajak Termohon untuk
berbuat zina yang pada akhirnya Termohon hamil diluar nikah.
Kemudian, pada saat kandungan 3 bulan Termohon meminta
kepada Pemohon untuk bertanggung jawab. Akan tetapi, Pemohon
menolak dan tidak mau bertanggung jawab atas perbuatannya yang telah
menghamili Termohon. Lalu Termohon dan bapaknya menemui ibu
Pemohon dan akhirnya dilakukan ijab siri pada hari minggu kliwon 10
februari 2013.akan tetapi pernikahan tersebut batal demi hukum karena
Termohon masih terikat perkawinan dengan suami Termohon.
Sebelum Termohon melahirkan Termohon telah diceraikan dengan
suaminya yang pada saat itu Termohon sedang hamil. Kemudian pada
tanggal 18 Agustus 2013 Termohon melahirkan, namun Pemohon tidak
perduli dan tidak datang serta tidak membiayakan kelahiran anaknya.
Setelah dijemput oleh keluarga Termohon baru Pemohon datang untuk
menjenguk anaknya namun tanpa membawa apapun.
Setelah Termohon bercerai dengan suaminya yang pertama lalu
menikah secara resmi dengan Pemohon yang dilakukan secara sah sesuai
dengan rukun dan syarat yang dilaksanakan pada tanggal 12 juni 2014.
Namun, setelah menikah sebagai suami istri keduanya pulang ke rumah
50
orang tuanya masing-masing dan tidak tinggal bersama, hal tersebut terjadi
karena Pemohon selalu mengikuti kehendak ibu kandungnya, setiap
perintah dari ibunya selalu ditaati tanpa bisa berpikir bahwa perintah itu
benar atau salah tanpa memikir akibatnya dan masa depannya.
Bahwa ketaatan seorang anak terhadap orang tua adalah sesuatu
yang harus dilakukan sesuai dengan hukum agama, durhaka terhadap ibu
adalah suatu perbuatan dosa yang dosanya lebih besar dari pada zina,
apalagi Pemohon merupakan anak tunggal sehingga tumpuan dan harapan
ibu Pemohon selaku orang tua hanya pada Pemohon.
Melihat usia Pemohon yang sudah tua (43 tahun) bukan anak muda
lagi yang selalu bergantung kepada ibunya, tetapi Pemohon sudah dewasa
yang seharusnya berani untuk mengambil sikap, berani mandiri, berani
mengambil keputusan yang tegas dan jelas serta sadar diri atas semua
kesalahan yang pernah Pemohon perbuat dimasa lalu kepada Termohon.
Dari kejadian tersebut Pemohon dan Termohon setelah menikah
tidak berhubungan intim layaknya suami istri serta tidak tinggal bersama,
dan Termohon juga tidak diberikan nafkah selama 2 tahun 5 bulan.
Sehingga mengakibatkan perceraian dengan alasan rumah tangga antara
Pemohon dan Termohon sejak semula tidak harmonis dan tidak
memberikan lagi manfaat terhadap ketentraman jiwa bagi kedua belah
pihak sehingga tujuan dari pernikahan sudah tidak tercapai.
Kemudian, Pemohon mengajukan permohonan cerai talak yang
telah terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Mungkid Nomor
2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd, pada tanggal 07 Nopember 2016. Pemohon
diwakili kuasa hukumnya kepada Miftahul Huda SHI sebagai
Advokat/Pengacara, sedangkan Termohon diwakili kuasa hukumnya
kepada Rianto , SH sebagai Advokat/Pengacara.1
2. Pertimbangan Hakim
Pada hari persidangan kedua belah pihak yang berperkara telah
datang menghadap sendiri ke persidangan dan Majelis Hakim telah
1 Salinan putusan Nomor 2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd. h. 1-9.
51
berusaha mendamaikan agar berusaha hidup rukun dan bisa
memperbaikinya, begitu juga memerintahkan kedua belah pihak untuk
melakukan upaya mediasi dengan mediator Hakim Pengadilan Agama
Mungkid Dra. Emmafatri, SH., MH., akan tetapi usaha tersebut tidak
berhasil.2
Berdasarkan bukti berupa keterangan saksi-saksi baik saksi dari
Pemohon dan Termohon serta dihubungkan dengan keterangan Pemohon
Konpensi dan Termohon Konpensi di depan persidangan, maka telah
ditemukan fakta kejadiannya sebagai berikut :3
- Bahwa antara Pemohon Konpensi dengan Termohon Konpensi adalah
sebagai suami istri sah yang menikah pada tanggal 12 juni 2014;
- Bahwa rumah tangga antara Pemohon dengan Termohon setelah
menikah tidak pernah harmonis karena keduanya tidak tinggal
serumah.
- Bahwa, sebelum menikah antara Pemohon dan Termohon sudah
melakukan hubungan intim layaknya suami istri;
- Bahwa sebelum menikah Termohon sudah melahirkan seorang anak
perempuan dengan umur 3 tahun.
- Bahwa saat ini Pemohon dan Termohon telah berpisah tempat tinggal
selama sekitar 2 (dua) tahun 5 (lima) bulan.
- Bahwa selama berpisah tempat tinggal antara Pemohon dan Termohon
sudah tidak saling memperdulikan lagi.
Maka dari fakta tersebut di atas, maka Majelis Hakim berpendapat
bahwa rumah tangga antara Pemohon dengan Termohon sudah retak
sehingga sudah tidak memberikan lagi manfaat bagi kedua belah pihak
sehingga tujuan dari pernikahan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum
Islam pasal 3 yaitu perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan
2 Salinan putusan Nomor 2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd. h. 15
3 Salinan Putusan Nomor 2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd. h. 19.
52
rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Maka sudah tidak
dapat tercapai lagi.
Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, maka alasan-
alasan perceraian yang terdapat dari fakta-fakta tersebut terdapat di dalam
Pasal 19 huruf (f) PP. Nomor 9 tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No.
1 Tentang Perkawinan dan pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam.
Oleh karena itu permohonan Pemohon telah beralasan hukum maka
permohonan Pemohon untuk menjatuhkan talaknya patut untuk
dikabulkan.4
Majelis Hakim memberikan dasar hukum dalam Q.S. Al-Baqarah
[2] ayat 227 sebagai berikut :
يع عليم وإن عزموا الطلق فإن الله س
“apabila mereka berketetapan hati untuk talak maka sesugguhnya
Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui”.
Maka penyebab Pemohon dan Termohon tidak tinggal bersama
yaitu bukan merupakan kesalahan Termohon dan bukan pula atas
kemauannya, akan tetapi disebabkan karena Pemohon tidak menyukai
Termohon, sehingga keduanya setelah menikah tidak tinggal serumah,
meskipun sebelum menikah Pemohon dan Termohon sudah melakukan
hubungan intim layaknya suami istri, maka dinyatakan Termohon bukan
istri yang nuysuz. Sehingga Termohon berhak mendapatkan nafkah dari
suaminya.
Bahwa memberikan mut’ah merupakan kewajiban seorang suami
yang menceraikan istrinya dengan talak raj’i maka sudah sepatutnya
apabila Pemohon di hukum untuk memberikan mut’ah kepada Termohon,
hal ini sesuai dengan pasal 41 huruf (c) undang-undang Nomor 1 tahun
1974 Tentang Perkawinan dan pasal 149 huruf (a) Kompilasi Hukum
Islam. Kemudian Majelis Hakim juga mengemukakan Firman Allah SWT
dalam Q.S Al-Baqarah [2] ayat 241 sebagai berikut :
4 Salinan putusan Nomor 2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd. h. 20
53
ا على المتقين وللمطلقات متاع بالمعروف حق
“kepada wanita-wanita yang diceraikan hendaklah diberikan oleh
suaminya mut’ah menurut yang ma’ruf sebagai suatu kewajiban bagi
orang-orang yang bertakwa”.
Pemohon dan Termohon telah menikah selama sekitar 2 (dua)
tahun 5 (lima) bulan, dan meskipun setelah menikah tidak berhubungan
intim akan tetapi sebelum menikah keduanya sudah melakukan hubungan
intim layaknya suami istri, maka sudah pantas dan batas-batas kewajaran
apabila Pemohon dibebani untuk memberikan mut’ah kepada Termohon
sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah).
Nafkah iddah juga merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh
suami apabila menceraikan istrinya dengan talak raj’i, maka sudah
sepantasnya Pemohon dibebani untuk memberikan nafkah iddah kepada
Termohon, hal tersebut sesuai dengan pasal 41 huruf (c) Undang-undang
No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan pasal 149 huruf (b) Kompilasi
Hukum Islam, dan terdapat juga di dalam kitab Syarqowi’Alat Tahrir Juz
IV ; 349 sebagai berikut:
“dan wajib nafkah untuk perempuan dalam iddah, jika ada dalam
talak raj’i, karena perempuan tersebut masih menjadi tangggungan dan
masih tetap di dalam kekuasaan bekas istrinya”.5
Di dalam gugatan rekonpensinya termohon tidak menguraikan
posita gugatan secara jelas dan hanya menyebutkan sebenarnya Termohon
tidak menginginkan adanya perceraian karena masih mencintai Pemohon
dan begitu juga untuk demi masa depan anak, namun dengan syarat
Pemohon harus memperbaiki diri. Akan tetapi apabila Pemohon bersikeras
tetap pada pendiriannya untuk bercerai dan hal ini dikabulkan oleh Majelis
Hakim. Maka Termohon akan mengajukan tuntutan nafkah sebagai beriku:
5 Salinan putusan Nomor 2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd. h. 21-22.
54
1. Nafkah Iddah
Rp. 2.500.000 x 3 bulan = Rp. 7.500.000
2. Nafkah Mut’ah
Terhitung sejak nikah Rp. 2.500.000 x 31 bulan = Rp. 77.500.000
3. Nafkah Kiswah
Rp.500.000 x 31 bulan = Rp. 15.500.000
Di dalam gugatan rekonvensinya Termohon tidak menguraikan
petitum gugatan secara jelas dan hanya menyebutkan mengabulkan
seluruh gugatan tersebut tanpa perinci apa saja yang menjadi tuntutannya.
Bahwa dengan memperhatikan hal-hal sebagaimana tersebut di atas maka
ternyata di dalam posita gugatan tidak mencantumkan fakta peristiwa
hukum (feitelijke grond) dan tidak mencatumkan tuntutan secara terperinci
di dalam petitum gugatan rekovensi.
Surat gugatan seharusnya dibuat secara jelas, dengan memuat dasar
hukum (rechtelijke ground) serta fakta peristiwa hukum (feitelijke grond)
secara runtut dan jelas, dan di dalam petitum gugatan harus dibuat secara
terperinci sehingga sesuai dan bersambung dengan posita gugatan,
sehingga gugatan menjadi terang dan sempurna, oleh karena gugatan yang
tidak memenuhi dasar gugatan (grondslag van de lis) sebagaimana
tersebut di atas, maka mengakibatkan gugatan menjadi tidak jelas (obscuur
libel), maka gugatan tersebut dinyatakan tidak dapat diterima (niet
onvankelijk verkleard).6
4. Amar Putusan
Adapun hasil Putusan Pengadilan Agama Nomor
2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd ialah sebagai berikut :
Dalam Konvensi:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon;
2. Memberi izin kepada Pemohon untuk menjatuhkan talak satu raj’i
terhadap Termohon di depan sidang Pengadilan Agama Mungkid.
6 Salinan putusan Nomor 2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd. h. 23-24
55
3. Menghukum kepada Pemohon Konvensi untuk membayar kepada
Termohon Konvensi berupa:
- Nafkah Iddah sebesar Rp. 3.750.000,- (tiga juta tujuh ratus lima
puluh ribu rupiah);
- Mut’ah sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah)
Dalam Rekonvensi
- Menyatakan gugatan rekonvensi penggugat rekonvensi tidak dapat
diterima.
Dalam Konvensi dan Rekonvensi
- Membayar biaya perkara yang hingga kini dihitung sebesar
Rp.703.000,- (Tujuh ratus tiga puluh ribu rupiah) kepada Pemohon
Konvensi/Tergugat Rekonvensi.7
B. Perkara Pengadilan Tinggi Agama Semarang Putusan Nomor
161/Pdt.G/2017/PTA.Smg
1. Duduk Perkara
Pada perkara ini para pihak terlihat masih belum merasa puas
dengan Putusan Majelis Hakim tingkat pertama, sehingga pihak-pihak
yang berkeberatan mengajukan upaya hukum untuk mencari keadilan.
Upaya hukum yang diajukan adalah upaya hukum banding.
Banding ialah permohonan yang diajukan oleh salah satu pihak yang
terlibat dalam perkara, agar penetapan atau putusan yang dijatuhkan
Pengadilan Agama diperiksa ulang dalam pemeriksaan tingkat banding
oleh Pengadilan Tinggi Agama, karena merasa belum puas dengan
Putusan Pengadilan Tingkat Pertama.8
Pihak yang berkeberatan atas Putusan Pengadilan Tingkat Pertama
adalah Pemohon dan Termohon, sehingga keduanya mengajukan memori
7 Salinan putusan Nomor 2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd. h. 24-25. 8 Sulaikin Lubis, Wismar Ain Marzuki, Gemala Dewi, Hukum Acara Perdata Peradilan
Agama di Indonesia, (Jakarta, Kencana, 2008), Cet. Ke 3, h.178.
56
banding. Pemohon sebagai pembanding I/Terbanding II, sedangkan
Termohon sebagai Terbanding I/Pembanding II.
Bahwa dalam memori bandingnya Pembanding I mengajukan
keberatan-keberatan yang pada pokoknya yaitu tentang dijatuhkannya
talak raj’i, padahal petitum permohonan Pembanding I yaitu mohon di
ijinkan mengikrarkan talak bain shugra terhadap Terbanding I karena hal
tersebut sesuai dengan fakta-fakta bahwa antara pembanding I dan
Terbanding I belum pernah tinggal bersama dan belum melakukan
hubungan intim layaknya suami istri setelah akad nikah. Maka seharusnya
talak yang dijatuhkan adalah talak bain sughra.
Talak bain sughra (kecil), yaitu talak satu atau dua yang dijatuhkan
kepada istri yang belum pernah berhubungan badan.9
Selain itu, pembanding juga keberatan atas Putusan Pengadilan
Tingkat Pertama yang memberikan mut’ah dan nafkah iddah yang di
diberikan kepada Terbanding yang dimana alasannya sama bahwa
Pembanding dan Terbanding setelah akad nikah belum pernah tinggal
bersama dan belum pernah melakukan hubungan intim layaknya suami
istri, sehingga tidak berhak Terbanding mendapatkan mut’ah dan nafkah
iddah.
Sedangkan Termohon/Pembanding II dalam memori bandingnya
mengajukan keberatan-keberatan yang pada pokoknya yaitu bahwa
putusan dalam Konvensi khususnya point 3 adalah sangat tidak adil dan
sangat merugikan Pembanding II karena nafkah yang diberikan pada
pengadilan tingkat pertama terlalu sedikit. Sebagai berikut:
a. Nafkah yang tidak berikan selama 2 tahun 5 bulan yang dinyatakan
pemberian mut’ah sebanyak Rp. 5.000.000,00 adalah terlalu kecil
karena melihat kebutuhan sehari-hari yaitu makan, kebutuhan untuk
bermasyarakat, dan kebutuhan anak.
b. Begitu pula untuk nafkah iddah juga sangat kecil.
9 Mahmudin Bunyamin, Agus Hermanto, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung, CV
Pustaka Setia, 2017), Cet.1, h. 181.
57
c. Kemudian, biaya persalinan itu seharusnya ditanggung oleh
Terbanding II, akan tetapi hal tersebut ditanggung oleh Pembanding II
selaku istrinya.
d. Pada saat Terbanding mengusulkan TES DNA untuk mengetahui anak
yang hamil diluar nikah, tetapi Terbanding II tidak mau bertanggung
jawab untuk membiayai TES DNA tersebut.
2. Pertimbangan Hakim
Majelis Hakim Tingkat Banding Pengadilan Tinggi Agama
Semarang Nomor 161/Pdt.G/2017/PTA.Smg setelah menerima berkas dan
membaca serta mempelajari dengan seksama mengenai pertimbangan
hukum Majelis Hakim Tingkat Pertama, memori banding Pemohon dan
kontra memori banding Termohon serta berkas perkara banding tersebut,
maka Majelis Hakim Tingkat Banding berpendapat bahwa benar
berdasarkan fakta bahwa rumah tangga Pemohon dengan Termohon telah
pecah dan sudah tidak ada harapan lagi untuk kembali rukun. Namun
Majelis Hakim tingkat banding tidak sependapat dengan putusan tingkat
pertama mengenai pemberian ijin untuk mengikrarkan talak satu raj’i, oleh
karena itu Majelis Hakim tingkat banding akan memberikan pertimbangan
sendiri.10
Ketentuan mengenai iddah bagi seorang istri yang dicerai baik
dalam keadaan cerai talak maupun gugat cerai atau cerai mati, yang pada
intinya adalah untuk mengetahui apakah wanita tersebut sedang
mengandung atau tidak, agar tidak merasa bimbang mengenai ayah dari
anak yang dikandungnya itu apabila ia ingin menikah lagi.11
Menurut pendapat Sayid Sabiq dalam kitab Fiqhus Sunnah Juz II
halaman 277 diantaranya untuk :
10 Salinan putusan Nomor 161/Pdt.G/2017/PtA.Smg.. h. 5. 11
Abdur Rahman, Perkawinan Dalam Syariat Islam. (Jakarta, PT. Rineka Cipta, 1992),
Cet.1, h. 114.
58
Untuk mengetahui bersihnya rahim istri yang dicerai dari benih
suaminya sehingga tidak tercampur dengan benih nasab yang lain:
Oleh karena itu, walaupun sebelum menikah antara Pemohon dan
Termohon sudah pernah berhubungan badan. Namun, setelah menikah
keduanya tidak berhubungan intim dan tidak tinggal bersama hingga 2
tahun 5 bulan. Maka jelaslah bahwa selama kurung waktu 2 tahun 5 bulan
setelah akad nikah tersebut rahim Termohon sebagai istri telah bersih dari
benih nasab Pemohon. Maka status hukum kembali kepada keadaan
semula yaitu kondisi akad nikah antara Pemohon dan Termohon tidak
pernah berhubungan intim (qobla dukhul) maka seharusnya talak yang
diikrarkan adalah talak bain sughra. Sehingga istri tidak perlu manjalankan
masa iddah.12
Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 153 ayat 1 yaitu bagi
seorang istri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah,
kecuali qobla dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian
suami.13
Berdasarkan ketentuan pasal 149 huruf a Kompilas Hukum Islam
yaitu memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa
uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla dukhul.14
Dari
ketentuan tersebut Majelis Hakim tingkat banding berpendapat bahwa
sesuai dengan ketentuan dalam Q.S. Al Ahzab [33] ayat 49 sebagai
berikut:
وهن فما ل كم يا أي ها الذين آمنوا إذا نكحتم المؤمنات ث طلقتموهن من ق بل أن تس
ة ت عتد يل ون ها عليهن من عد عوهن وسرحوهن سراحا ج فمت
“hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi
perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka
sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka
12 Salinan putusan Nomor 161/Pdt.G/2017/PTA.Smg.. h. 8-9. 13
Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam. Pasal 153. 14 Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam. Pasal 149.
59
iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah
mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-
baiknya.
Ayat tersebut menjelaskan untuk suami yang tidak mau menggauli
istrinya sehingga dikatakan qobla dukhul kemudian menceraikannya.
Sedangkan dalam pasal 149 a Kompilasi hukum Islam adalah untuk istri
yang setelah menikah menolak untuk digauli oleh suaminya kemudian
suaminya menceraikannya maka istri tersebut tidak berhak untuk atas
mut’ah dari suaminya.
Maka dari fakta tersebut suami setelah menikah tidak mau
menggauli istrinya maka pertimbangan Majelis Hakim tingkat pertama
yang menghukum Pemohon untuk memberikan mut’ah sudah tepat. 15
Bahwa kewenangan hakim terbatas yaitu hanya sebatas yang
ditentukan dalam pasal 149 Kompilasi Hukum Islam saja ialah tentang
pemberian mut’ah, pemberian nafkah selama masa iddah, melunasi mahar
dan biaya hadhonah untuk anak. Sedangkan keberatan Termohon dalam
memori bandingya yaitu tentang kecilnya mut’ah yang dikaitkan dengan
nafkah selama 30 bulan berpisah, keberatan tersebut tidak dapat
dibenarkan karena yang dimaksud dengan mut’ah menurut pasal 1 huruf
(j) Kompilasi Hukum Islam adalah pemberian bekas suami kepada istri,
yang dijatuhi talak berupa benda atau uang dan lainnya.16
Mengenai hadhanah anak Majelis Hakim tingkat banding
memberikan pertimbangan bahwa Majelis Hakim tingkat pertama yang
tidak menjatuhkan putusan dengan menghukum Pemohon/Pembanding I
untuk membayar uang hadhonah anak telah tepat sesuai dengan ketentuan
hukum. Karena anak yang lahir diluar nikah perlu dibuktikan terlebih
dahulu sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-
VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012, oleh karena itu tidak perlu
dipertimbangkan lebih lanjut.17
15 Salinan putusan Nomor 161/Pdt.G/2017/PTA.Smg. h. 10-11. 16
Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam. Pasal 1. 17 Salinan putusan Nomor 161/Pdt.G/2017/PTA.Smg. h. 16.
60
Talak yang dijatuhkan adalah talak satu bain sughra, maka sesuai
dengan ketentuan pasal 119 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam, Pemohon
sebagai suami tidak mempunyai hak rujuk terhadap Termohon sebagai
istri. Maka Pemohon tidak berkewajiban untuk memberikan nafkah iddah.
Majelis Hakim Tingkat Banding berpendapat menurut Sayid Sabiq dalam
bukunya Fiqhussunah Juz II halaman 159 yang berbunyi :
dan dia beberapa riwayat, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda
sesungguhnya (biaya untuk) tempat tinggal dan nafkah selama masa iddah
adalah bagi istri (yang ditalak suaminya) yang suaminya mempunyai hak
rujuk terhadapnya.
Maka keberatan Termohon harus di tolak dan putusan Majelis
Hakim tingkat pertama yang menghukum Pemohon untuk membayar
nafkah selama masa iddah kepada Termohon harus dibatalkan.18
Bahwa gugatan rekovensi tentang nafkah kiswah selama 31 bulan
sebesar 15.500.000, Majelis Hakim berpendapat bahwa yang dimaksud
dengan nafkah kiswah adalah kewajiban yang harus ditanggung suami
sesuai dengan ketentuan pasal 80 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam yang
termasuk di dalamnya nafkah. kiswah, maskan dan biaya rumah tangga.19
Syarat seorang istri untuk mendapatkan nafkah tersebut diatas
sesuai dengan ketentuan pasal 80 ayat (5) dan pasal 84 ayat (2) Kompilasi
Hukum Islam adalah adanya tamkin sempurna dari istri dan istri tidak
nuysuz, namun karena setelah menikah suami menunjukan sikap tidak mau
rukun dengan Termohon sebagai istri sehingga keduanya tidak tinggal
bersama. Maka Termohon sebagai istri yang tamkin dan tidak nuysuz
sehingga oleh karenanya ia berhak atas nafkah selama berpisah 31 bulan.
Oleh karena itu gugatan Temohon dikabulkan.
Nafkah madhiyah adalah merupakan hutang atas suami bagi
istrinya.20
maka nafkah istri telah lewat tidak bayar oleh suami menjadi
18 Salinan putusan Nomor 161/Pdt.G/2017/PTA.Smg. h. 17-18. 19 Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam. Pasal 80. 20
M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, (Jakarta, Prenada
Media, 2003), Edisi pertama, h. 221.
61
hutang yang menjadi tanggung jawab suami untuk membayarnya. Hal ini
sebagaimana dalam kitab Muhadhab Juz II halaman 75:
“jika istri tamkin yang mewajibkan suami memberi nafkah, dan
suami tidak juga memberi nafkah lewat beberapa waktu, (kewajiban)
memberi nafkah menjadi hutang yang merupakan jadi tanggung jawab
suami (untuk membayarnya) dan tidak gugur dengan lewatnya waktu.21
3. Amar Putusan
Adapun hasil Putusan Pengadilan Agama Nomor
161/Pdt.G/2017/PTA.Smg. ialah sebagai berikut :
- Menyatakan permohonan banding Pembanding I dan Pembanding II
dapat diterima;
- Membatalkan Putusan Pengadilan Agama Mungkid Nomor:
2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd tertanggal 19 April 2017 Masehi bertepatan
dengan tanggal 15 Rajab 1438 Hijriyah yang dimohonkan banding,
dan mengadili sendiri yang amar selengkapnya sebagai berikut :
Dalam Konvensi
1. Mengabulkan Permohonan Pemohon
2. Member izin kepada Pemohon (Pembanding) untuk menjatuhkan talak
satu kepada Termohon (Terbanding) di depan sidang Pengadilan
Agama Mungkid;
3. Menghukum kepada Pemohon Konvensi untuk membayar kepada
Termohon Konvensi berupa Mut’ah sebesar Rp. 5.000.000,00 (lima
juta rupiah);
4. Memerintahkan kepada Panitera Pengadilan Agama Mungkid untuk
mengirimkan Salinan Penetapan Ikrar Talak tanpa materai kepada
Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Ngluwar
untuk dicatat dalam daftar yang disediakan untuk itu;
21 Salinan putusan Nomor 161/Pdt.G/2017/PTA.Smg. h. 21-22.
62
Dalam Rekovensi
1. Mengabulkan gugatan Penggugat Rekonvensi untuk sebagian;
2. Menghukum kepada Tergugat Rekonvensi untuk membayar kepada
Penggugat Rekonvensi Nafkah Madhiyah sebesar Rp. 15.500.000,00
(lima belas juta lima ratus rupiah);
3. Menolak gugatan Penggugat Rekonvensi selain dan selebihnya;
Dalam Konvensi dan Rekonvensi
- Membebankan biaya perkara yang hingga kini dihitung sebesar
Rp.703.000,00 (tujuh ratus tiga ribu rupiah) kepada Pemohon
Konvensi/Tergugat Rekonvensi;
- Membebankan kepada Pemohon Konvensi/Pembanding I untuk
membayar biaya perkara pada tingkat banding sebesar Rp. 150.000,00
(seratus lima puluh ribu rupiah.22
22 Salinan putusan Nomor 161/Pdt.G/2017/PTA.Smg. h. 23-24.
63
BAB IV
ANALISIS HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TENTANG
NAFKAH DALAM KASUS PERCERAIAN QOBLA DUKHUL SETELAH
MELAKUKAN ZINA
A. Analisis Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Nomor
2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd.
Majelis Hakim Pengadilan Agama Mungkid mempertimbangkan
putusan Nomor 2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd mengenai perkara Cerai Talak yang
diajukan oleh Pemohon dengan umur 42 Tahun, bahwa Pemohon dan
Termohon telah menikah secara resmi sesuai dengan rukun dan syarat yang
sah pada tanggal 12 juni 2014 di hadapan Pejabat/Pegawai Kantor Urusan
Agama Kecamatan Ngulawar Kabupaten Magelang. Setelah menikah
kehidupan rumah tangga antara Pemohon dan Termohon sudah tidak berjalan
harmonis sehingga berakhir dengan perceraian. Adapun alasan terjadinya
perceraian yaitu karena setelah menikah Pemohon dan Termohon tidak tinggal
bersama dan tidak berhubungan intim seperti pada umumnya suami istri
dengan jangka waktu selama 2 tahun 5 bulan, dan keduanya juga sudah tidak
saling memperdulikan lagi. Sehingga Pemohon mengajukan perkara cerai
talak di Pengadilan Agama Mungkid.
Menurut penulis bahwa sebab alasan terjadinya perceraian,
dikarenakan Pemohon tidak mempunyai rasa cinta terhadap Termohon.
Apabila ia memang mempunyai rasa cinta yang kemudian melalukan
perbuatan yang diharamkan yaitu berzina sehingga terjadinya hamil diluar
nikah, Seharusnya Pemohon sebagai laki-laki bisa bertanggung jawab atas apa
yang ia lakukan. Bahkan keduanya harus berpikir sebelum berkehendak maka
ada resiko yang akan menimpahnya. Begitu juga pada saat sudah menikah
Pemohon menunjukan sifat tidak kesukaannya, hal yang paling inti dari
sebuah perkawinan Pemohon sebagai suami tidak mau menggauli Termohon
sebagai istri. Hal tersebut penulis menganggap bahwa sebelum adanya
64
pernikahan Permohon sudah merasa puas atas apa yang diperbuat terhadap
Termohon. Dan hal yang paling menguatkan adalah pengakuan langsung dari
Pemohon yang terdapat di dalam posita pada poin ke 3 yaitu bahwa sesudah
pernikahan antara Pemohon dan Termohon belum melakukan hubungan intim
layaknya suami istri karena pernikahannya itu dilakukan secara terpaksa dan
tidak didasari dengan rasa cinta.1 Maka hal tersebut sudah jelas bahwa
Pemohon hanya melampiaskan nafsu syahwatnya terhadap Termohon.
Setelah penulis membaca berkas dokumen putusan perkara Nomor
2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd yang meliputi penjelasan Pemohon dan Termohon,
saksi-saksi serta pertimbangan hukum dari Majelis Hakim, dapat disimpulkan:
a. Sebelum terjadinya pernikahan antara Pemohon dan Termohon sudah
melakukan hubungan intim layaknya suami istri. Dan pada saat itu
Termohon masih mempunyai suami.
b. Pemohon dinyatakan hamil diluar nikah kemudian pada saat
kandungannya 3 bulan sempat melakukan ijab siri pada tanggal 10 februari
2013 namun hal tersebut batal demi hukum dikarenakan Termohon masih
mempunyai suami.
c. Saat sedang hamil, Termohon telah bercerai dengan suaminya.
d. Sebelum terjadinya pernikahan, Termohon melahirkan seorang anak pada
tanggal 13 Agustus 2013.
e. Kemudian Pemohon menikah dengan Termohon pada tanggal 12 juni
2014, namun setelah menikah keduanya pulang kerumah orang tua
masing-masing.
f. Saat ini Pemohon dan Termohon telah berpisah tempat tinggal selama
sekitar 2 (dua) tahun 5 (lima) bulan. Selama berpisah tempat tinggal antara
keduanya sudah tidak saling memperdulikan lagi, sehingga Termohon
sebagai istri tidak digauli dan tidak diberikan nafkah.
Berkaitan dengan hal tersebut, dalam putusan Nomor
2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd dalam perkara Cerai Talak, yang telah ditetapkan di
1 Salinan putusan Nomor 2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd. h. 2
65
Pengadilan Agama Mungkid hingga naik banding di Pengadilan Tinggi
Agama Semarang dalam Putusan Nomor 161/Pdt.G/2017/PTA.Smg, dari
kedua Pengadilan tersebut dimana Majelis Hakim berbeda pendapat dalam
memberikan pertimbangan dan keputusan.
Dalam Putusan Tingkat Pertama perkara Nomor
2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd Majelis Hakim dalam memberikan
pertimbangannya yaitu mengenai penyebab Pemohon dan Termohon tidak
tinggal bersama yaitu bukan merupakan kesalahan Termohon dan bukan pula
atas kemauannya, akan tetapi disebabkan karena Pemohon tidak menyukai
Termohon, sehingga keduanya setelah menikah tidak tinggal serumah,
meskipun sebelum menikah Pemohon dan Termohon sudah melakukan
hubungan intim layaknya suami istri. maka dinyatakan Termohon bukan istri
yang nuysuz. Sehingga Termohon berhak mendapatkan nafkah dari suaminya.
Mengenai pertimbangan hukum yang dijadikan sebagai penguat alasan
Majelis Hakim dalam memberikan keputusannya, sebagai berikut :
- Tentang alasan-alasan perceraian sebagai berikut :
Surat Al Baqarah ayat 227 serta pasal 19 (f) PP No. 9 Tahun 1975 Tentang
Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan pasal 116
huruf (f) Kompilasi Hukum Islam.
- Tentang pemberian mut’ah sebagai berikut :
Surat Al Baqarah ayat 241, pasal 41 huruf (c) UU No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan dan pasal 149 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam.
- Tentang pemberian nafkah iddah
Pasal 41 huruf (c) UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, pasal 149
huruf (b) Kompilasi Hukum Islam dan Kitab Syarqowi’Alat Tahrir Juz IV;
349 sebagai berikut :
“Dan wajib nafkah untuk perempuan dalam iddah, jika ada dalam
talak raj’i, karena perempuan tersebut masih menjadi tanggungan dan
masih tetap di dalam kekuasan bekas istrinya”.
- Tentang Nafkah yang tidak diberikan pada saat pernikahan
66
Untuk gugatan rekonvensi Termohon mengenai nafkah kiswah selama 2
tahun 5 bulan yang tidak diberikan oleh Pemohon Majelis Hakim tidak
mengabulkannya, karena, gugatan dianggap tidak jelas mengenai dasar
hukum, serta fakta peristiwa hukum dan seharusnya di dalam petitum
gugatan dibuat secara terperinci yang bersambungan dengan posita
gugatan sehingga gugatan menjadi sempurna. Karena gugatan rekovensi
Termohon tidak jelas (obscuur libel) sebagaimana tersebut di atas, maka
gugatannya tidak dapat diterima.
Dari beberapa pertimbangan hukum tersebut Pengadilan Agama
Mungkid Nomor 2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd memberikan amar putusan yaitu
Termohon dijatuhkan talak raj’i, diberikan nafkah iddah dan mut’ah, yang
mana pemberian tersebut Majelis Hakim berlandasan dengan talak raj’i.
Maka dengan petimbangan hakim serta amar putusannya penulis
berpendapat bahwasanya Majelis Hakim tingkat pertama menyamakan
pernikahan tersebut sebagai pernikahan ba’da dukhul, yang mana pendapatnya
yaitu melihat sebelum terjadinya pernikahan keduanya sudah melakukan
hubungan intim (bersetubuh) hal ini merupakan sependapat dengan mazhab
Hanafi yang memberikan pemahaman tentang makna asli dari nikah itu adalah
bersetubuh sedangkan makna nikah secara majazinya adalah akad.2 Maksud
kata bersetubuh disini bahwasanya seorang laki-laki dan perempuan sudah
melakukan persebutuhan sebelum adanya akad nikah contohnya seperti hamil
diluar nikah maka menurut mazhab Hanafi perbuatannya tersebut sudah
dikatakan pernikahan. Sehingga apabila keduanya bercerai mantan suami
tersebut tidak boleh menikah dengan anak hasil persetubuhannya.
Sedangkan dalam Putusan Tingkat Banding perkara Nomor
161/Pdt.G/PTA.Smg bahwasanya Majelis Hakim dalam pertimbangannya
yaitu walaupun melihat sebelum adanya pernikahan sudah melakukan
hubungan intim (berzina) dan juga melihat setelah adanya pernikahan tidak
melakukan hubungan intim layaknya saumi istri, namun hakim memberikan
2 Ahmad Sarwat, ensiklopedia Fikih Indonesia 8: Pernikahan, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2019), h. 4
67
keputusannya yaitu merujuk setelah adanya pernikahan sehingga
pernikahannya tersebut dinyatakan sebagai pernikahan qobla dukhhul. Maka
dengan petimbangannya tersebut penulis berpendapat bahwasanya Majelis
Hakim tingkat banding sependapat dengan mazhab Syafi’i yang memberikan
pemahaman tentang makna nikah secara hakiki adalah akad sehingga
pertimbangannya yaitu melihat setelah adanya perkawinan dengan akad yang
sah, sedangkan makna nikah secara majazinya adalah bersetubuh Majelis
Hakim tidak melihat sebelum adanya pernikahan.3 Sehingga apabila laki-laki
yang berzina dengan perempuan yang kemudian hamil di luar nikah maka
anak hasil persetubuhan tersebut dibolehkan menikah dengan bapaknya.
Perbedaan pertimbangan tersebut yang kemudian di hubungankan
dengan pendapat kedua mazhab yakni mahzab Hanafi dan mazhab Syafi’i.
Apabila penulis memakai pendapat mahzab Hanafi yang menyatakan
bahwasanya makna nikah aslinya adalah bersetubuh, maka akan menimbulkan
banyak kemudharatan seperti diantaranya pada kasus ini melihat sebelum
adanya pernikahan antara Pemohon dan Termohon sering melakukan
perbuatan keji (berzina). Hal tersebut merupakan perbuatan haram yang
dilarang oleh Agama serta mendapatkan dosa besar. Bahkan di dalam Al-
Qur’an surat Al-Isra ayat 32 menjelaskan mengenai zina bahwa janganlah
kamu mendekati zina atau yang berhubungan degan zina dan membawa
kepada perbuatan zina apalagi sampai melakukannya (berzina) Karena, selain
mendapatkan dosa besar juga akan mendatangkan banyak bencana, antara
lain: pertama, apabila seseorang melakukan perbuatan zina sehingga hamil
diluar nikah, maka anak tersebut tidak mempunyai nasab ke ayah biologisnya
sehingga terhalangnya untuk menjadi wali serta tidak memiliki hak pewaris.
Kedua, penularan penyakit yang berbahaya yaitu penyakit kelamin seperti
AIDS. Ketiga, seorang perempuan yang diketahui telah berzina, maka harga
dirinya akan hancur di mata orang lain.
3 Wahbah Zuhaili, Al-fiqhu Asy-Syafi’I Al-Muyassar. Muhammad Afifi, Abdul Hafiz,
Fiqih Imam Syafi’i 2, (Jakarta: almahira, 2010), Cet. 1, h. 490-450.
68
Maka melihat dari pendapat mazhab Hanafi banyaknya terjadi
kemudharatan, dengan ini penulis setuju dengan putusan tingkat banding yang
sependapat dengan mazhab Syafi’i, yang menjelaskan bahwa kebolehan
berhubungan seksual dilakukan setelah adanya akad dengan menggunakan
lafaz inkah atau lafaz tazwij atau dengan menggunakan kalimat yang sama
maksudnya dengan kedua kalimat tersebut. Maka dengan itu apabila laki-laki
dan perempuan melakukan wat’i (bersetubuh) belum dinyatakan pernikahan
dan bahkan diharamkan sebelum adanya akad. Begitu juga di dalam
Kompilasi Hukum Islam telah diterapkan mengenai makna nikah yaitu akad
terdapat pada pasal 2 bahwasanya perkawinan menurut hukum Islam adalah
pernikahan dengan akad yang sangat kuat atau mitsaqqan ghalidzan untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Begitu juga
sesuatu yang bergantung dengan akad akan terdapat kemaslahatan baik di
dunia maupun di agama seperti menjaga kehormatan perempuan, menahan
nafsu dari zina dan memperbanyak ibadah kepada Allah dan Rasulnya.
Kemudian penulis melihat dari dua sudut pandang yang berbeda yaitu
dari sebelum terjadinya pernikahan hingga setelah terjadinya pernikahan
melihat jangka waktu pada saat Termohon melahirkan anaknya pada tanggal
18 Agustus 2013 sedangkan menikah dengan Pemohon pada tanggal 12 juni
2014 maka jangka waktu tersebut adalah 11 bulan. kemudian setelah menikah
keduanya sudah menjadi suami istri yang dihalalkan untuk berhubungan intim.
Namun, hal tersebut tidak terjadi dan keduanya juga tidak tinggal bersama
hingga jangka waktu 2 tahun 5 bulan. Maka dengan itu walaupun keduanya
sebelum menikah sudah pernah melakukan persetubuhan, namun keduanya
belum terikat dengan akad pernikahan yang sah dan kemudian juga melihat
jangka waktu yang cukup panjang sudah tidak berhubungan intim Termohon
sebagai istri telah bersih rahimnya dan sudah tidak ada benih yang tersisa dari
Pemohon. sehingga pernikahan tersebut dinyatakan sebagai pernikahan qobla
dukhul.
Bahwa setelah menikah istri belum digauli oleh suaminya/qobla
dukhul, apabila terjadinya perceraian maka talak yang dijatuhkan adalah talak
69
bain sughra. Talak bain sughra adalah talak yang menghilangkan hak rujuk
terhadap mantan istri, apabila suami ingin rujuk kembali dengan mantan
istrinya maka harus melakukan akad nikah baru. Hal ini telah sesuai dengan
Kompilasi Hukum Islam Pasal 119 ayat 1 yang menerapkan tentang talak bain
sughra, sedangkan pada ayat selanjutnya yang termasuk di dalam talak bain
sughra diantaranya yaitu talak yang terjadi qobla dukhul. Kemudian istri yang
dicerai dan dinyatakan qobla dukhul tidak diwajibkan untuk menjalankan
masa iddah. Hal ini telah di terapkan di dalam Q.S. Al-Ahzab ayat 49 sebagai
berikut :
وهن فما لكم عليهن يا أي ها الذين آمنوا إذا نكحتم المؤمنات ث طلقتموهن من ق بل أن تس
ون ها ة ت عتد من عد
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-
perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu
mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang
kamu minta menyempurnakannya”.
Di dalam Hukum Positif Indonesia yaitu UU No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan pasal 11 yang diatur di dalam PP No. 9 Tahun 1975 pasal
39 ayat 3, menjelaskan tidak adanya masa Iddah bagi perempuan (istri) yang
putus perkawinan karena perceraian sedang antara perempuann (istri) tersebut
dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin.
Diterapkan juga di dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 153 ayat 1
dan 3 yang menjelaskan bahwasanya masa iddah berlaku bagi istri yang
diceraikan suaminya ba’da dukhul. Kemudian untuk istri yang diceraikan
suaminya qobla dukhul tidak berlakunya untuk mejalankan masa iddah.
Karena bahwasanya iddah berlaku dengan adanya sebab diantaranya
seseorang yang sudah terikat sebuah perkawinan, yang kemudian terjadinya
putus perkawinan baik ditinggal mati atau perceraian karena terjadinya
70
persetubuhan.4 Maka berlakunya iddah bagi mantan istri tersebut untuk tujuan
sebagai berkut:
1. untuk mengetahui apakah wanita tersebut sedang mengandung atau tidak
dari bekas suami.
2. untuk menjaga nasab agar tidak rusak.
Namun dalam perkara ini pengadilan Agama Mungkid yang
memberikan nafkah iddah dengan melihat bahwa antara Pemohon dan
Termohon sebelum terjadinya pernikahan sudah berhubungan intim layaknya
suami istri. Tetapi, menurut penulis hal tersebut belum terikat sebuah
perkawinan, sehingga tidak berlakunya untuk masa iddah, tidak adanya masa
iddah maka Pemohon tidak diwajibkan untuk memberikan nafkah iddah
kepada Termohon sebagai mantan istri. Karena, bahwasanya nafkah iddah
hanya berlaku untuk perempuan yang sedang menjalani masa iddah yang
dijatuhkan talak raj’i dikarenakan perempuan tersebut masih menjadi
tanggungan dan masih tetap di dalam kekuasaan bekas suaminya.
Mengenai Pemberian mut’ah yang pertimbangannya yaitu menurut
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 41 huruf c dan
Kompilasi Hukum Islam pasal 149 huruf (f) kemudian Majelis Hakim
mengemukakan firman Allah SWT dalam Q.S. Al Baqarah [2] ayat 241.
Menurut Penulis bahwa Majelis Hakim tingkat pertama sudah tepat
dalam amar putusannya memberikan mut’ah. Namun, penulis kurang
sependapat mengenai pertimbangan Majelis Hakim dalam pemberian mut’ah
melihat sebelum adanya pernikahan sudah berhubungan intim, yang kemudian
merujuk pada KHI pasal 149 huruf (a), yang menganggap pernikahannya
sebagai pernikahan ba’da dukhul. Karena, menurut penulis perbuatan yang
dilakukan antara Pemohon dan Termohon yaitu berhubungan intim,
bahwasanya belum terikat sebuah perkawinan, kemudian sesudah menikah
tidak berhubungan badan dengan jangka waktu cukup panjang seharusnya
pernikahan tersebut dinyatakan sebagai pernikahan qobla dukhul. Menurut
4 Moh Ali Wafa, Hukum Perkawinan di Indonesia Sebuah Kajian dalam Hukum Islam
dan Hukum Materil. (Tangerang Selatan:Yasmi, 2018), h. 296.
71
Kompilasi Hukum Islam pada pasal 158 huruf (b) mengenai pemberian
mut’ah secara umum berlaku bagi istri karena adanya perceraian dari suami.
Mut’ah tersebut dapat diberikan berupa uang atau benda yang tujuannya untuk
memberikan kesenangan sebagai penghibur.
Mengenai mut’ah dijelaskan secara umum di dalam Q.S. Al-Baqarah
[2] ayat 241 sebagai berikut :
ا على المتقي وللمطلقات متاع بالمعروف حق
“kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh
suaminya) mut’ah menurut yang ma’ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-
orang yang bertakwa” .
Sedangkan dalam pemberian mut’ah yang dijelaskan secara khusus
untuk istri yang dicerai qobla dukhul. Menurut para ulama telah sepakat
bahwa istri yang dicerai qobla dukhul sedangkan suami sudah menyebutkan
besar maharnya pada saat akad namun belum diberikan maka suami wajib
memberikan setengah mahar. Hal ini telah diterapkan di dalam Kompilasi
Hukum Islam pasal 35 ayat 1 tentang mahar “Suami yang mentalak istrinya
qobla dukhul wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalam
akad nikah”.
Namun, apabila belum menyebutkan besar maharnya maka suami
harus memberikan uang mut’ah sesuai dengan kemampuannya.
Adapun Istri yang dicerai qobla dukhul telah diterapkan secara jelas
tentang pemberian mut’ah di dalam Q.S. Al-Baqarah [2] ayat 236 sebagai
berikut:
وهن أو ت فرضوا لن فريضة عوهن على ل جناح عليكم إن طلقتم النساء ما ل تس ومت
ا على المحسني الموسع قدره وعلى المقت قدره متاعا بالمعروف حق
“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu
menceraikan istri-istri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan
sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu
mut’ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut
kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu
72
pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi
orang-orang yang berbuat kebajikan”.
Menurut Hukum Positif Indonesia yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan tidak menjelaskan mengenai mut’ah, namun hanya
dijelaskan secara umum saja yaitu mengenai kewajiban suami untuk
memberikan biaya penghidupan terhadap bekas istrinya, yang diterapkan di
pasal 41 ayat 3.
Di dalam Kompilasi Hukum Islam tidak diterapkan mengenai
pemberian mut’ah bagi istri yang dicerai qobla dukhul. Namun hanya untuk
istri yang dicerai ba’da dukhul yanga terdapat pada pasal 158 huruf (a) yang
menjelaskan pemberian mut’ah diberikan kepada istri yang diceraikan ba’da
dukhul dikarenakan suami belum memberikan mahar kepada istrinya, yang
kemudian pada pasal selanjutnya pasal 160 pemberian mut’ah kepada istri
yang dicerai ba’da dukhul dinyatakan hukumnya sunnah. Sedangkan pada
pasal 158 Kompilasi Hukum Islam pemberian mut’ah tidak berlaku untuk istri
yang diceraikan dalam keadaan qobla dukhul. Namun, maksud dari pasal 158
tersebut tidak berlaku bagi istri yang tidak mau menyerahkan diri kepada
suaminya seperti menolak untuk digauli.
Sedangkan permasalahan dari penelitian ini yakni suami yang bersifat
tidak mau rukun yang tidak mau menggauli istrinya. Maka apabila suami
tersebut belum menyerahkan mahar hingga terjadinya perceraian maka suami
harus memberikan mut’ah sesuai dengan kemampuannya.
Mengenai gugatan rekovensi yaitu nafkah istri yang tidak diberikan
selama 2 tahun 5 bulan menurut Majelis Hakim bahwa gugatan penggugat
dinyatakan tidak jelas /kabur karena tidak mencantumkan fakta peristiwa
hukum dan tidak mencantumkan tuntutan secara terperinci didalam gugatan
rekovensi sehingga dinyatakan gugatan tidak dapat diterima. Menurut penulis
bahwa Majelis Hakim tingkat pertama kurang teliti dalam memberikan
pertimbangannya. Karena menurut penulis waalaupun gugatan penggugat
tidak menguraikan tuntutannya secara terperinci di dalam gugatan
rekonvensinya. Namun, di dalam posita tuntutan tersebut berdasarkan atas
73
posita perkara cerai talak yang diajukannya Pemohon dalam perkara konvensi
yaitu hal-hal tentang perkawinan yang mereka alami. Demikian posita yang
melandasi tuntutan Termohon adalah posita Pemohon konvensi yang termuat
dalam perkara cerai talak yang tidak dibantak oleh termohon konvensi dalam
perkara konvensi. Dan begitu juga menurut hukum Islam serta Hukum positif
Indonesia bahwa Seorang suami yang menceraikan istrinya maka akan
menimbulkan sebuah akibat dari perceraian tersebut, diantaranya adalah
pemberian nafkah iddah dan mut’ah yang harus diberikan, namun ada juga
nafkah madhiyah yaitu pada saat pernikahan suami tidak menjalankan
kewajibannya sehingga istri tidak mendapatkan haknya. Adapun hak istri yang
harus dipenuhi yang terdapat di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan dalam pasal 34 ayat 1 yakni suami wajib melindungi
istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga
sesuai dengan kemampuannya, yang dijelaskan secara rinci di dalam KHI
pasal 80 ayat 4 huruf a meliputi sandang (makanan), papan (pakaian), dan
pangan (tempat tinggal).
Suami diberikan derajat lebih tinggi dari perempuan yaitu sebagai
pemimpin, yang mana seorang pemimpin mempunyai tanggung jawab yang
besar yakni menafkahi keluarganya. Hal ini telah diatur di dalam pasal 79 ayat
1 KHI kemudian ditegaskan bahwa suami adalah kepala keluarga sesuai
firman Allah SWT dalam Q.S. An-Nisa [4] ayat 34 sebagai berikut :
ل الله ب عضهم على ب عض وبا أن فقوا من أموالم الرجال ق وامون على النساء با فض
“kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang
lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian
dari harta mereka”.5
Untuk pemberian nafkah terdapat di dalam Q.S. Al-Baqarah [2] ayat
233 sebagai berikut:
5 Zubair Ahmad, Relasi Suami Istri Dalam Islam, (Jakarta: Pusat Studi Wanita UIN
Syarif Hidayatullah), h. 63.
74
لتكلف ن فس الوسعهاوعلى المولود له رزق هن وكسوت هن بالمعروف
“dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu
dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebeni melainkan menurut kadar
kesanggupannya”.
Maka nafkah yang harus diberikan yaitu sesuai dengan kemampuan
suami, apabila suami melalaikan kewajibannya dikarenakan suami tidak
mampu, maka nafkah yang tidak dibayar menjadi hutang suami, lalu apabila
istri mengajukan gugatan ke Pengadilan untuk meminta haknya. maka hutang
tersebut tidak gugur tetap harus dibayar sesudah suami mampu kecuali istri
memaafkan atau menggugurkan haknya.
Namun, dapat dilihat terlebih dahulu suami harus memberikan
kewajibannya apabila istri telah memenuhi syarat yaitu istri sudah tamkin. Hal
ini diterapkan di dalam KHI pasal 80 ayat 5 “Kewajiban suami terhadap
istrinya seperti pada ayat 4 huruf a dan b diatas mulai berlaku sesudah ada
tamkin sempurna dari istrinya”.
Begitu juga Jumhur Ulama memberikan penjelasan mengenai
kewajiban suami yang memberikan nafkah kepada istrinya yang dapat disebut
sebagai tamkinnya istri sebagai berikut: 6
- Istri menyerahkan dirinya walaupun belum digauli oleh suaminya. Seperti
istri mau tinggal bersama dengan suaminya.
- Isri sudah dewasa. Dan sudah pantas untuk berhubungan seksual.
- Pernikahannya sesuai dengan rukun dan syarat yang sah.
- Istri taat kepada suaminya tidak nuysuz, kalau suami yang nuysuz maka
nafkah istri tidak gugur.
Maka menurut penulis Termohon sebagai istri sudah masuk diantara
syarat-syarat tersebut. karena Pernikahan Pemohon dan Termohon sesuai
dengan syarat dan rukun yang sah. Walaupun Termohon belum digauli oleh
6 M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam , (Jakarta, Prenada
Media, 2003), h. 217
75
Pemohon sebagai suaminya bukan merupakan kehendak Termohon sendiri.
Namun, hal itu Pemohon sebagai suami yang nuysuz dikarenakan
meninggalkan kewajiban suami terhadap istri yaitu kewajiban yang bersifat
materi (nafkah) dan kewajiban secara kebersamaan (menggauli istrinya).7
Maka suami yang nuysuz dan Termohon dinyatakan sebagai istri yang tamkin
dan tidak nuysuz. Sehingga gugatan rekovensi mengenai nafkah yang tidak
dibayar selama 2 tahun 5 bulan seharusnya dapat diterima dan nafkah tersebut
menjadi hutang pemohon yang harus dibayar kepada Termohon.
B. Analisis Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Nomor
161/Pdt.G/2017/PTA.Smg.
Putusan Pengadilan Tinggi Agama Semarang Nomor
161/Pdt.G/2017/PTA.Smg yang membatalkan Putusan Pengadilan Agama
Mungkid Nomor 2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd akan memberikan pertimbangan
sendiri. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Agama mempertimbangkan bahwa
Pembanding dan Terbanding setelah menikah tidak tinggal bersama dan juga
belum berhubungan intim layaknya suami istri dengan jangka waktu yang
cukup panjang yaitu 2 tahun 5 bulan sehingga dengan jangka waktu tersebut
rahim Terbanding telah bersih maka Terbanding tidak perlu menjalankan masa
iddah dan talak yang dijatuhkan seharusnya adalah talak satu yaitu talak bain
sughra, begitu juga Terbanding berhak mendapatkan nafkah mut’ah karena
walaupun Terbanding belum digauli oleh suaminya namun hal tersebut atas
kemauan Pembanding yang enggan menggauli istrinya yang kemudian
diceraikan, maka sudah sepatutnya Terbanding diberikan mut’ah. Kemudian
nafkah yang tidak diberikan oleh Pembanding terhadap Terbanding selama 2
tahun 5 bulan Majelis Hakim tingkat banding menerima gugatan tersebut
karena Terbanding sebagai istri tidak nuysuz dan tamkin.
Mengenai pertimbangan di atas tersebut Majelis Hakim Pengadilan
Tinggi Agama Semarang memberikan landasan hukum sebagai berikut :
7 Moh Ali Wafa, Hukum Perkawinan di Indonesia Sebuah Kajian dalam Hukum Islam
dan Hukum Materil. (Tangerang Selatan:Yasmi, 2018), h. 115.
76
- Majelis Hakim berpendapat mengenai masa iddah menurut Sayid Sabiq
dalam Kitab Fiqhus Sunnah Juz II halaman 227 sebagai berikut:
“untuk mengetahui bersihnya rahim istri yang dicerai (dari benih
suaminya) sehingga tidak bercampur dengan benih nasab yang lain”.
- Majelis Hakim berpendapat menurut Sayid Sabiq dalam bukunya
Fiqhussunah Juz II halaman 159 sebagai berikut :
“dan dia beberapa riwayat, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda
sesungguhnya (biaya untuk) tempat tingal dan nafkah selama masa iddah
adalah bagi istri (yang ditalak suaminya) yang suaminya mempunyai hak
rujuk padanya”.
- Kompilasi Hukum Islam pasal 153 ayat 1 Tentang Iddah.
- Al Qur’an Surat Al Ahzab ayat 49, dan Kompilasi Hukum Islam pasal 149
huruf a dan pasal 1 huruf j tentang Mut’ah.
- Kompilasi Hukum Islam Pasal 119 ayat 1 Tentang Talak Bain Sughra.
- Kompilasi Hukum Islam pasal 80 ayat 4 Tentang Nafkah.
- Kompilasi Hukum Islam pasal 80 ayat 5 dan pasal 84 ayat 2 tentang
syarat seorang istri mendapatkan nafkah.
- Majelis Hakim berpendapat mengenai nafkah yang tidak diberikan selama
2 tahun 5 bulan yang disebut sebagai nafkah madhiyah, dalam kitab
Muhadhab Juz II halaman 75 sebagai berikut :
“jika istri tamkin yang mewajibkan suami memberi nafkah, dan suami
tidak juga memberi nafkah lewat beberapa waktu, (kewajiban) memberi
nafkah menjadi hutang yang merupakan jadi tanggung jawab suami
(untuk membayarnya) dan tidak gugur dengan lewatnya waktu”.
Dari beberapa pertimbangan hukum tersebut Pengadilan Tinggi Agama
Semarang Nomor 161/Pdt.G/20167/PTA.Smg memberikan amar putusan yaitu
Terbanding dijatuhkan talak satu/bain sughra, kemudian diberikan mut’ah
serta diberikan nafkah madhiyah.
Mengenai pertimbangan dan amar putusan menurut penulis Majelis
Hakim tingkat banding sudah benar telah sesuai dengan hukum Islam dan
77
Hukum Positif Indonesia. Namun, menurut penulis ada beberapa landasan
hukum yang seharusnya dijadikan sebagai penguat dari pertimbangan hukum
tersebut yang mana tidak dipakai oleh Majelis Hakim, diantaranya adalah
tentang iddah, istri yang belum digauli oleh suaminya/qobla dukhul kemudian
terjadinya perceraian, maka istri tidak diwajibkan untuk menjalankan masa
iddah, hal ini sesuai dengan hukum Islam di dalam Q.S. Al-Ahzab [33] ayat
49 sebagai berikut:
وهن فما ل كم عليهن يا أي ها الذين آمنوا إذا نكحتم المؤمنات ث طلقتموهن من ق بل أن تس
ون ها ة ت عتد من عد
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-
perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu
mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang
kamu minta menyempurnakannya.
Kemudian terdapat juga di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan pasal 11 yang diatur di dalam PP No. 9 Tahun 1975 pasal
39 ayat 3, mengenai iddah bagi perempuan yang diceraikan suaminya
sedangkan antara keduanya belum pernah terjadi hubungan intim layaknya
suami istri/qobla dukhul maka tidak adanya masa iddah yang harus dijalankan.
Mengenai mut’ah Majelis Hakim tingkat banding hanya memberikan
pertimbangan hukum secara khusus saja, namun penulis berpendapat untuk
menyinggung secara umum terlebih dahulu yang kemudian dijelaskan secara
khusus. Mengenai mut’ah secara umum terdapat di dalam Kompilasi Hukum
Islam pada pasal 158 huruf (b) “ mut’ah wajib diberikan oleh bekas suami
dengan syarat perceraian itu atas kehendak suami”. Dan juga terdapat di dalam
Q.S. Al Baqarah [2] ayat 241 sebagai berikut :
ا على المتقي وللمطلقات متاع بالمعروف حق
“kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh
suaminya) mut’ah menurut yang ma’ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-
orang yang bertakwa” .
78
Maka dapat di pahami bahwa suami yang menceraikan istrinya
hendaklah untuk memberikan mut’ah. kemudian dijelaskan secara khusus
yaitu tentang pemberian mut’ah dilihat terlebih dahulu bagaimana keadaan
istri tersebut apakah istri yang sudah digauli atau kepada istri belum digauli.
Karena setiap keadaan istri berbeda dalam pemberian mut’ah. Di dalam
pertimbangan hukum Majelis Hakim tingkat banding menjelaskan bagi istri
yang belum digauli kemudian istri belum diberikan mahar maka menurut Al-
Qur’an surat Al Baqarah ayat 264 suami diwajibkan untuk memberikan
mut’ah sesuai dengan kemampuan suami. Maka menurut Penulis Majelis
Hakim tingkat banding sudah benar dalam memberikan pertimbangan hukum.
79
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Uraian dan analisis di atas pada bab-bab terdahulu, maka penulis dapat
memberikan kesimpulan bahwa :
1. Apabila terjadinya perceraian namun suami istri belum sempat berhubungan
badan/qobla dukhul Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 119 talak yang
dijatuhkan adalah talak bain sughra. Kemudian istri yang dicerai qobla dukhul
menurut hukum Islam Al Qur’an surat Al Ahzab ayat 49 tidak adanya
kewajiban untuk beriddah, juga diterapkan di Undang-Undang No 1 tahun
1974 Tentang Perkawinan pasal 11 yang dijelaskan di PP No. 9 Tahun 1975
pasal 39 ayat 2, dan Kompilasi Hukum Islam pasal 153 ayat 1 dan ayat 3.
Kompilasi Hukum Islam pasal 158 huruf b bahwasanya Pemberian mut’ah
diberikan setiap istri yang diceraikan oleh suaminya, sedangkan pemberiannya
mut’ah bagi istri yang dicerai qobla dukhul menurut Hukum Islam Al-Qur’an
surat Al Baqarah ayat 236 dan juga menurut Jumhur Ulama apabila pada saat
pernikahan belum sempat memberikan mahar pada saat akad pernikahan maka
suami memberikan mut’ah sesuai dengan kemampuannya, namun kalau sudah
ditentukan mahar maka hanya memberikan setengah mahar kepada istrinya.
Mengenai pemberian nafkah yang harus ada di dalam sebuah pernikahan
merupakan kewajiban suami yang diatur secara umum di dalam Undang-
Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 34 dan terdapat juga di
dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 80 ayat 4 huruf a yang diatur secara
khusus dan rinci mengenai kewajiban suami tersebut seperti makanan,
pakaian, dan tempat tinggal. Namun kewajiban suami tersebut dapat berlaku
setelah adanya tamkin dari istri. Adapun syarat-syarat tamkin istri dinataranya
adalah adanya pernikahan yang sah, istri sudah digauli, dan istri tidak nuysuz.
Apabila istri sudah memenuhi syarat-syarat tersebut apabila suami tidak
memberikan kewajiban maka nafkah tersebut menjadi hutang yang harus
dibayar.
80
2. Penelitian ini dalam kasus istri yang diceraikan qobal dukhul namun
sebelumnya sudah berzina, penulis lebih memakai pendapat mazhab Syafi’i
yang menyatakan makna nikah aslinya akad, karena dengan akad tersebut
banyak mengandung kemaslahatan, sedangkan apabila memakai pendapat
mazhab Hanafi yang menyatakan bahwa makna nikah arti aslinya bersetubuh,
yang mana dengan makna bersetubuh tersebut terdapat banyak kemudharatan.
Putusan tingkat pertama yang melihat sebelum adanya pernikahan sudah
berhubungan intim (bersetubuh) pernikahannya tersebut disamakan sebagai
pernikahan ba’da dukhul. Pernikahan ba’da dukhul apabila terjadinya
perceraian talak yang dijatuhkan adalah talak raj’i serta berlakunya masa
iddah dan adanya pemberian nafkah iddah dan mut’ah. namun apabila dilihat
dari pendapat mazhab Syafi’i bahwasanya keduanya sebelum menikah sudah
berhubungan badan layaknya suami istri akan tetapi hal tersebut belum
terjadinya akad pernikahan yang sah. maka dengan itu Putusan Tingkat
Pertama telah keliru dalam memberikan pertimbangan dan keputusan.
Sedangkan putusan tingkat banding yang tidak melihat sebelum
adanya pernikahan yaitu sudah berzina namun Majelis Hakim melihat setelah
adanya akad pernikahan yang sah dan keduanya tidak tinggal bersama serta
tidak terjadinya hubungan intim layaknya suami istri, sehingga pernikahan
yaitu disamakan sebagai pernikahan qobla dukhul yang kemudian termohon
dijatuhkan talak bain sughra, dan diberikannya mut’ah. dan juga majelis
hakim menyatakan termohon sebagai istri yang tamkin dan tidak nuysuz
berhak mendapatkan nafkah yang tidak dibayar selama pernikahan yaitu
nafkah madhiyah. Maka dengan pertimbangan serta amarnya majelis hakim
dinyatakan telah sesuai dengan pendapat mazhab Syafi’i dan juga telah sesuai
dengan hukum islam dan hukum positif.
B. Saran
Berdasarkan hasil analisis terhadap masalah yang penulis
paparkan, maka dapatlah disampaikan beberapa saran sebagai berikut :
81
1. Kepada Pemerintah diharapkan untuk membuat peraturan perundang-
undangan secara rinci mengenai kewajiban suami yaitu tentang nafkah
serta hukuman bagi suami yang tidak menjalankan kewajibannya.
Karena permasalahan kewajiban suami sangat penting dan inti di
dalam sebuah keluarga agar berjalan dengan baik dan harmonis.
2. Kemudian juga diharapkan untuk membuat peraturan perundang-
undangan secara khusus dan rinci mengenai hak istri akibat putusnya
perkawinan yaitu tentang mut’ah, serta pemberian mut’ah bagi istri
yang qobla dukhul. Karena hal tersebut untuk penghibur bekas istri
yang telah diceraikan oleh suaminya.
3. Pengadilan agama merupakan sebuah lembaga yang memberikan
keputusan mengenai perkawinan diantaranya adalah perceraian. Maka
dapat diharapkan Kepada hakim pengadilan agama untuk lebih teliti
dan menggali lebih dalam untuk memberikan pertimbangan hukum
serta keputusannya. Sehingga pihak-pihak yang berperkara tidak
merasa dirugikan.
4. Kepada masyarakat khususnya bagi yang sudah menikah yaitu suami
istri untuk lebih sadar hukum serta lebih memahami mengenai hak dan
kewajiban masing-masing. Maka dapat dilakukannya
seminar/penyuluhan tentang undang-undang perkawinan dan aturan-
aturan lainnya.
82
DAFTAR PUSTAKA
AbdShomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia.
Jakarta: Kencana, 2017.
Abdulullah, Abdul Gani, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum
Indonesia. Jakarta: Gema Insani Press, Cet pertama , 1994.
Abdurrahman, Perkawinan Dalam Syariat Islam. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992.
Ahmad, Zubair, Relasi Suami Istri Dalam Islam. Jakarta: Pusat Studi Wanita Uin
Syarif Hidayatullah , 2004.
Al-Habsyi, M. Bagir, Fiqih Praktis. Bandung: Mizan, 2002.
Ali, Moh Wafa, Hukum Perkawinan di Indonesia Sebuah Kajian dalam Hukum Islam
dan Hukum Materil. Tangerang Selatan:Yasmi, 2018.
Amir, Muhammad bin Ismal, Subulussalam. Juz 3, Kairo: Dar Al Hadits, 2007.
Anwar, Alfina Sauqi, penetapan nafkah iddah terhadap istri qabla ad-dukhul
perspektif maslahah (studi kasus putusan mahkamah agung nomor 561
K/Ag/2017). Surakrta: Skripi institut Agama Islam Negeri Surakarta, 2019.
Arifin, Gus, Menikah untuk Bahagia. Cet. 4, Jakarta: PT Elex Media Komputindo,
2013.
Arifin, Gus dan Sundus Wahidah, Fikih Wanita, (Jakarta: PT Elex Media
Komputindo, 2018
Arifin, Zaenal dan Muh. Anshori, Fiqih Munakahat. Yogyakarta: CV.Jaya Star Nine,
2019.
83
ar-Riyadh, Muhammad Nasib, Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu
Katsir/Muhammad Nasib ar-Riyadh. Jakarta: Gema Insani Press, 2000.
Asmawi, Muhammad, Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan. Cet. 1,
Yogyakarta: Darussalam, 2004.
As-Subki, Ali Yusuf, Fikih Keluarga. Cet. 1, Jakarta: Amzah, 2010.
Bagir, Muhammad, Fiqih Praktis II. Bandung: Karisma, 2008.
Bunyamin, Mahmudin dan Agus Hermanto, Hukum Perkawinan Islam. Cet.1,
Bandung: CV Pustaka Setia, 2017.
Dahlan, Fikih Munakahat. Yogyakarta: Deepublish, 2015.
Dyana, Burhanutut, Hak-hak Istri Pasca Cerai Talak Raj’i (Analisis Perbandingan
Antara Putusan Pengadilan Agama Tuban Nomor 1781/Pdt.G/2014/PA.Tbn
dengan Putusan Pengadilan Agama Bojonegoro Nomor
154/Pdt.G/2014/PA.Bjn). Jakarta: Uin Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015.
Fajriani, Rika nur, Tinjaun hukum islam tentang pemberian mut’ah kepada istri qobla
dukhul (analisis putusan pengadilan agama kudus
no.535/Pdt.G/2007/PA.Kds), thesis, semarang, institut agama islam
walisongo, 2010.
Faridh, Miftah, Masalah Nikah Keluarga. Jakarta: Gema Insani Press, 1999.
Fauziah, Fani Yulianti, Tinjauan hukum islam mengenai gugatan terhadap nafkah
lampau anak yang dilalaikan ayahnya (studi putusan mahkamah agung RI
Nomor 608K/AG/2003). Purwokerto: Skripsi institut agama islam negeri
purwokerto, 2015.
Ghozali, Abdul Rahman, Fiqih Munakahat. Jakarta: Kencana, 2003.
84
Hamida, Titik, Fiqih Perempuan Berwawasan Keadilan Gender. Malang: UIN
Maliki Press, 2011.
Hamidy, Muammal, Imron dkk, Terjemah Nailul Authar Jilid 5. Surabaya: PT. Bina
Ilmu.
Hasan, M. Ali, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam. Jakarta: Prenada
Media, Edisi pertama, 2003.
Hermanto, Agus, Larangan Perkawinan. Yogyakarta: Lintang Rasi Aksara Books,
2016.
Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam
Karim, Muslih Abdul, Keistimewaan Nafkah Suami&Kewajiban Istri. Jakarta:
Qultum Media, 2007.
Lubis, Sulaikin dan Wismar Ain Marzuki, dkk, Hukum Acara Perdata Peradilan
Agama di Indonesia. Cet. ke 3, Jakarta: Kencana, 2008.
Manshur, Abd al-Qadir, Fikih Wanita. Cet pertama, Jakarta, Zaman, , 2009.
Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2016.
Muchtar, Kamal, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan
bintang,.
Mulyadi, Elie, Buku Pintar Membina Rumah Tangga yang Sakinah, Mawwadah,
Warahmah Bimbingan Mamah Dedeh. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2010.
Na’mah, Ulin, Cerai Talak. Cet.1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.
85
Nasohah, Zani, perceraian Hak Wanita Islam. Kuala Lumpur: Ingin Tahu Agama,
2002.
Nasution, Hotnidah, Relasi suami istri dalam islam. Jakarta: Pusat Studi Wanita UIN
Syarif Hidayatullah.
Proyek Pembinaan prasarjana dan sarana perguruan tinggi agama /IAIN di Jakarta,
Ilmu Figih Jilid II Cet ke 2, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam, 1984/1985.
Putusan Nomor 2142/Pdt.G/2016/PA.Mkd.
Putusan Nomor 161/Pdt.G/2017/PTA.Smg.
Qadir, Abdul, Keluarga Sakinah. Surabaya: PT. Bina Ilmu, Cet pertama, 1995.
Ramaningsih, Putri Permata, Sistem Pemberian Nafkah (Studi Masyarakat di
Kecamatan Sooko Kabupaten Mojokerto). Jakarta: Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah, 2018.
Redaksi New Merah, Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
Yogyakarta: New Merah Putih Anggota Ikapi, Cet. 1, 2009.
Salim, Abu Malik Kamal ibn as-Sayyid, Fikih Sunnah Wanita. Jakarta: Qisthi Press,
2013.
Sarwat, Ahmad, Ensiklopedia Fikih Indonesia 8: Pernikahan. Jakarta: Gremedia
Pustaka Utama 2019.
Shihab, Quraish, Fiqih Praktis II: Menurut Al Qur’an, As-Sunnah, dan Pendapat
Para Ulama. Bandung: Karisma, 2008.
86
Subhan, Zaitunah, Al-Qur’an & Perempuan Menuju Kesehatan Gender dalam
Penafsira. Jakarta: Kencana, 2015.
Sudarto, Ilmu Fikih. Cet. Pertama, Yogyakarta: CV. Budi Utama, , 2018.
Syarifuddin, Amir Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2007.
Syarifuddin, Amir, Garis-Garis Besar Fiqih. Jakarta :Kencana, 2003.
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2009
Tim Redaksi Bi, Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: BIP Kelompok Gramedia,
2017.
Tim Redaksi Nuansa, Kompilasi hukum islam (KHI). Cet. 6, Bandung: CV. Nuansa
Aulia, 2015.
Usman, Husaini dan Akbar, Purnomo Setiady, Metodologi Penelitian Sosial. Cet.1,
Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008.
Uwaidah, Syaikh Kamil Muhammad, Fiqih Wanita. Cet. 24, Jakarta: Pustaka Al
Kautsar, 2007.
Wafa, Moh Ali, Hukum Perkawinan di Indonesia Sebuah Kajian dalam Hukum Islam
dan Hukum Materil. (Tangerang Selatan:Yasmi, 2018
Wahyudi, Muhammad Isna, Fiqih Iddah Klasik dan Kontemporer. Yogyakarta:
Pustaka Pesantren, Cet pertama, 2009.
Zuhaili, Wahbah, Al-fiqhu Asy-Syafi’I Al-Muyassar. Muhammad Afifi, Abdul Hafiz,
Fiqih Imam Syafi’i 2, Jakarta: almahira, Cet. 1, 2010.
87
Zulaekah, Siti, Aanalisis Pelaksanaan Pemberian Nafkah Mantan Istri Akibat Cerai
Talak (studi Kasus di Pengadilan Agama Semarang Tahun 2015). Semarang:
Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, 2016.
Top Related